BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH Silikon (Latin: silicium) merupakan unsur kimia yang mempunyai simbol Si. Silikon adalah sejenis metaloid tetravalen yang kurang reaktif berbanding dengan analog kimianya, karbon. Ia merupakan unsur kedua paling berlimpah di dalam kerak Bumi, mencapai hampir 25.7% mengikuti berat. Ia terdapat di dalam tanah liat, feldspar, granit, kuartza dan pasir, kebanyakannya dalam bentuk silikon dioksida (juga dikenali sebagai silika) dan dalam bentuk silikat. (Wikipedia, 2008) Penelitian tentang pemanfaatan silika telah banyak dilakukan, diantaranya pemanfaatan silika yang terdapat pada fly ash (abu terbang sisa pembakaran batu bara) serta silika yang terdapat pada abu sisa pembakaran sekam padi. Fly ash dan bottom ash adalah terminologi umum untuk abu terbang yang ringan dan abu relatif berat yang timbul dari suatu proses pembakaran suatu bahan yang lazimnya menghasilkan abu (Anonim, 2009)( http://b3.menlh.go.id/s/phpad ,2009). Harsono (2002) menyatakan telah melakukan pembuatan silika amorf dari limbah sekam padi. Hasil analisis komposisi menunjukkan bahwa kandungan unsur silikon (Si) cukup dominan dalam abu sekam padi. Penelitian lainnya adalah pemanfaatan abu terbang (fly ash) dari hasil pembakaran batu bara serta abu tandan kosong kelapa sawit sebagai komposit yang berfungsi sebagai penguat dalam pembuatan polimer. Hal tersebut dikarenakan adanya kandungan unsur silika yang cukup banyak yang dapat berfungsi sebagai perekat yang baik. Pada penelitian kali ini akan dicoba untuk menganalisa kandungan silika pada abu ampas tebu dalam aplikasinya sebagai penguat dalam pembuatan polimer. Ampas tebu (baggase) adalah campuran dari serat yang kuat dengan jaringan parenchyma yang lembut, yang mempuyai tingkat higroskopis yang tinggi, dihasilkan melalui penggilingan tebu. Kandungan sellulosanya sekitar 26 – 43%. (Petra, 2002) Dari 1
kandungan serat yang cukup tinggi inilah diperkirakan abu sisa pembakarannya mengandung silika yang cukup tinggi pula sehingga dapat dimanfaatkan sebagai perekat alternatif yang cukup efektif dalam pembuatan polimer. Ampas tebu ini belum banyak dimanfaatkan baik dalam penelitian maupun industri. Oleh karena itu, diperlukan adanya penelitian lebih lanjut mengenai kandungan serta kemungkinan aplikasinya.
B. BATASAN MASALAH 1. Ampas tebu yang digunakan diperoleh dari Pabrik Gula Tasik Madu , Solo. 2. Suhu pada saat pengabuan (pengovenan) ampas tebu divariasi yaitu 500oC, 600oC, dan 700oC. 3. Metode yang digunakan untuk menentukan kandungan Si dalam abu ampas tebu adalah metode analisa dengan menggunakan Spektrofotometer Serapan Atom (SSA) 4. Suhu pada saat analisa dibuat konstan yaitu pada suhu ruangan sekitar 25oC. 5. Volume larutan sampel ampas tebu sebanyak 25 ml
C. IDENTIFIKASI MASALAH 1.
Kondisi optimum yang diperlukan dalam analisa Si. Kondisi optimum dalam penentuan kandungan silika dari abu ampas tahu dapat meliputi : pH, temperatur, waktu pada saat pembakaran hingga menghasilkan abu, panjang gelombang maksimum, konsentrasi larutan yang berupa campuran abu.
2.
Ada beberapar metode yang dapat digunakan untuk analisa Si, diantaranya UVvis, IR, spektroskopi nyala, AAS. Namun dipilih analisa Silika dengan menggunakan instrumen Spektroskopi Serapan Atom (AAS) karena metode tersebut memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan yang lain, diantaranya kecepatan analisanya yang tinggi, ketelitian dalammenentukan konsentrasi ampai tingkat runut, serta sebelum pengukuran tidak selalu memerlukan pemisahan unsur yang ditentukan karena kemungkinan penentuan 2
satu unsur dengan kehadiran unsur lain dapat dilakukan asalkan katoda berongga yang diperlukan tersedia.
D. RUMUSAN MASALAH 1. Apakah di dalam abu ampas tebu dari pabrik Gula Tasik madu Solo terdapat silika yang cukup dominan? 2. Apakah abu ampas tebu dapat digunakan sebagai penguat dalam pembuatan polimer?
E. TUJUAN PROGRAM Mengetahui besarnya kandungan Silika dalam abu ampas tebu dalam aplikasinya sebagai komposit polimer.
3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A.
Silikon
Dalam bentuk hablurnya, silikon berwarna kelabu gelap dengan kilauan logam. Silikon masih dapat bereaksi dengan halogen dan alkali cair, tetapi kebanyakan asam(kecuali gabungan asam nitrat dan asam hidrofluorida) tidak mempengaruhinya. Silikon menghantar hampir 95% panjang gelombang cahaya inframerah. Silikon tulen mempunyai suhu rintangan yang negatif, karena bilangan cas bebas meningkat dengan suhu. (Wikipedia, 2008) B.
Fly Ash dan Bottom Ash
Fly ash dan bottom ash adalah terminology umum untuk abu terbang yang ringan dan abu relatif berat yang timbul dari suatu proses pembakaran suatu bahan yang lazimnya menghasilkan abu. Fly ash dan bottom ash dalam konteks ini adalah abu yang dihasilkan dari pembakaran batubara. Fly ash/bottom ash yang dihasilkan oleh fluidized bed system berukuran 100200 mesh (1 mesh = 1 lubang/inch2). Ukuran ini relative kecil dan ringan, sedangkan bottom ash berukuran 20-50 mesh. Secara umum ukuran fly ash/bottom ash dapat langsung dimanfaatkan di pabrik semen sebagai substitusi batuan trass dengan memasukkannya pada cement mill menggunakan udara tekan (pneumatic system). Disamping dimanfaatkan di industri semen, fly/bottom ash dapat juga dimanfaatkan menjadi campuran asphalt (ready mix), campuran beton (concerete) dan dicetak menjadi paving block/batako. Dari suatu penelitian empiric untuk campuran batako, komposisi yang baik adalah sbb : Kapur
: 40%
Fly ash
: 10%
Pasir
: 40% 4
Semen
: 10%
Persoalan lingkungan muncul dari bottom ash yang menggunakan fixed bed atau grate system. Bentuknya berupa bongkahan-bongkahan besar. Seperti yang telah disinggung di atas bahwa bottom ash ini masih mengandung fixed carbon (catatan : fixed carbon dalam batubara dengan nilai kalori 6500-6800 kkal/kg sekitar 41-42%). Jika bottom ash ini langsung dibuang ke lingkungan maka lambat laun akan terbentuk gas Metana (CH4) yang sewaktu-waktu dapat terbakar atau meledak dengan sendirinya ( self burning dan self exploding). Di sisi yang lain, jika akan dimanfaatkan di pabrik semen maka akan merubah desain feeder, sehingga pabrik semen tidak tertarik untuk memanfaatkan bottom ash tersebut. (Kementrian Negara dan Lingkungan Hidup, 2006) Batubara sebagai bahan bakar banyak digunakan di PLTU. Kecenderungan dewasa ini akibat naiknya harga minyak diesel industri, maka banyak perusahaan yang beralih menggunakan batubara sebagai bahan bakar dalam menghasilkan steam (uap). Sisa hasil pembakaran dengan batubara menghasilkan abu yang disebut dengan fly ash dan bottom ash (5-10%). Persentase abu (fly ash dan bottom ash) yang dihasilkan adalah fly ash (80-90%) dan bottom ash (10-20% ) : [Sumber PJB Paiton]. Komponen utama dari abu terbang batubara yang berasal dari pembangkit listrik adalah silika (SiO2), alumina, (Al2O3), dan besi oksida (Fe2O3), sisanya adalah karbon, kalsium, magnesium, dan belerang. Rumus empiris abu terbang batubara ialah: Si1.0Al0.45Ca0.51Na0.047Fe0.039Mg0.020K0.013Ti0.011 Tabel 1. Komposisi kimia abu terbang batubara Komponen Bituminous
Subbituminous
Lignite
SiO2
20-60%
40-60%
15-45%
Al2O3
5-35%
20-30%
10-25%
Fe2O3
10-40%
4-10%
4-15%
5
CaO
1-12%
5-30%
15-40%
MgO
0-5%
1-6%
3-10%
SO3
0-4%
0-2%
0-10%
Na2O
0-4%
0-2%
0-6%
K2O
0-3%
0-4%
0-4%
LOI
0-15%
0-3%
0-5%
Sifat kimia dari abu terbang batubara dipengaruhi oleh jenis batubara yang dibakar dan teknik penyimpanan serta penanganannya. Pembakaran batubara lignit dan subbituminous menghasilkan abu terbang dengan kalsium dan magnesium oksida lebih banyak daripada bituminus. Namun, memiliki kandungan silika, alumina, dan karbon yang lebih sedikit daripada bituminous. Kandungan karbon dalam abu terbang diukur dengan menggunakan Loss On Ignition Method (LOI). Abu terbang batubara terdiri dari butiran halus yang umumnya berbentuk bola padat atau berongga. Ukuran partikel abu terbang hasil pembakaran batubara bituminous lebih kecil dari 0,075mm. Kerapatan abu terbang berkisar antara 2100 sampai 3000 kg/m3 dan luas area spesifiknya (diukur berdasarkan metode permeabilitas udara Blaine) antara 170 sampai 1000 m2/kg. (Marinda, 2008) C.
Ampas Tebu 1.
Definisi
Ampas tebu (baggase) adalah campuran dari serat yang kuat dengan jaringan parenchyma yang lembut, yang mempuyai tingkat higroskopis yang tinggi, dihasilkan melalui penggilingan tebu. Pada proses penggilingan tebu terdapat 5 kali proses dari batang tebu sampai ampas tebu. Pada proses penggilingan pertama dan kedua dihasilkan ampas tebu basah, hingga pada penggilingan terakhir dihasilkan ampas tebu yang kering.
6
2.
Karakteristik dan Komposisi Ampas Tebu
Ampas tebu memiliki bulk density sekitar 7,5 lbs/cub atau 0,125 gr/cm3, moisture content sekitar 48% menurut Hugot (HandBook of Cane Sugar Engineering, 1986). Nilai di atas diambil dari penelitian terhadap ampas tebu basah. Ampas tebu basah memiliki kapasitas kalor dalam jumlah yang besar. Kalor yang dihasilkan ampas tebu mempunyai 2 jenis kalor, yaitu : GCV (Gross Calorific Value) dan NCV (Net calorific Value). GCV merupakan total pembakaran ampas tebu dan sumber kalor berasal dari selisih kalor akibat uap air yang keluar pada saat terjadi pembakaran dengan kalor yang dihasilkan dengan proses pengembunan. Pada ampas tebu yang baru hasil penggilingan mempunyai kelembapan rata-rata 50%. Untuk komposisi ampas tebu secara umum ditunjukkan pada tabel berikut :
Tabel 2. struktur ampas tebu (Lacey, J .. The Microbicloby of the baggase of Sugar Cane- Proc. Of XVII Congress Of ISSCT) No
Komponen
% berat kering
1
Sellulosa
26 – 43%
2
Hemisellulosa
17 – 23 %
3
Pentosan
20 – 33 %
4
lignin
13 – 22 %
Melihat kandungan di atas, ampas tebu memiliki kandungan sellulosa paling banyak dan sellulosa adalah yang mengandung gula.
7
D.
Abu Ampas Tebu
1. Karakteristik Kimia Abu ampas tebu (bagasse ash) adalah hasil pembakaran secara kimiawi dari pembakaran ampas tebu, terdiri dari garam-garam anorganik. Pada saat ampas tebu dibakar pada boiler, perubahan menjadi klinker dengan perubahan warna menjadi warna cerah keunguan. Pada pembuatan keramik dari ampas tebu, dimana keramik dipanaskan pada suhu 500oC sampai meningkat menjadi 700oC sampai berat abu menjadi konstan sehingga dapat diketahui komposisi abu ampas tebu yang terkandung didalamnya adalah 73,8%. 2. Abu Ampas Tebu sebagai Fly Ash Fly ash merupakan abu pembakaran batu bara pada pembangkit tenaga listrik, yang berubah bentuk pada cerobong asap. Fly ash terdiri atas partikel yang berdiameter sampai 50 µm dan lolos ayakan 45 µm (Tattershall G. M., and Banfill P. F. G., “ The Rheologhy of Fresh Concrete”., 1983) ASTM C 618 dan Canadian Standard Asociation (CSA) A 23,5 memberikan 2 jenis fly ash yaitu tipe F dan tipe C. Secara umum perbedaan kedua tipe ini adalah pada sumbernya, yaitu batu bara. Tapi secra khusus, perbedaan yang nyata adalah komposisi kimia yang terkandung pada fly ash. Pada tipe F, komposisi kimia yang diberikan yaitu : SiO2.Al2O3-Fe2O3 ≥ 70 %, dan untuk kadar CaO rata-rata kurang dari 8%. Sedangkan tipe C, untuk komposisi yang sama SiO2.Al2O3-Fe2O3 antara 50 – 70%. Pada abu ampas tebu, komposisi SiO2.Al2O3-Fe2O3 berkisar 70 – 80%.
E. Spektrofotometer Serapan Atom 1. Teori Spektrofotometer Serapan atom Prinsip dasar Spektrofotometri serapan atom adalah interaksi antara radiasi elektromagnetik dengan sampel. Spektrofotometri serapan atom merupakan metode 8
yang sangat tepat untuk analisis zat pada konsentrasi rendah (Khopkar, 1990). Teknik ini adalah teknik yang paling umum dipakai untuk analisis unsur. Teknikteknik ini didasarkan pada emisi dan absorbansi dari uap atom. Komponen kunci pada metode spektrofotometri Serapan Atom adalah sistem (alat) yang dipakai untuk menghasilkan uap atom dalam sampel. (Anonim, 2003) Cara kerja Spektroskopi Serapan Atom ini adalah berdasarkan atas penguapan larutan sampel, kemudian logam yang terkandung di dalamnya diubah menjadi atom bebas. Atom tersebut mengapsorbsi radiasi dari sumber cahaya yang dipancarkan dari lampu katoda (Hollow Cathode Lamp) yang mengandung unsur yang akan ditentukan. Banyaknya penyerapan radiasi kemudian diukur pada panjang gelombang tertentu menurut jenis logamnya (Darmono,1995). Jika radiasi elektromagnetik dikenakan kepada suatu atom, maka akan terjadi eksitasi elektron dari tingkat dasar ke tingkat tereksitasi. Maka setiap panjang gelombang memiliki energi yang spesifik untuk dapat tereksitasi ke tingkat yang lebih tingggi. Besarnya energi dari tiap panjang gelombang dapat dihitung dengan menggunakan persamaan : C
E=h. λ
.......................................................(1)
Dimana E = Energi (Joule) h = Tetapan Planck ( 6,63 . 10 -34 J.s) C = Kecepatan Cahaya ( 3. 10 8 m/s), dan
λ = Panjang gelombang (nm) Larutan sampel diaspirasikan ke suatu nyala dan unsur-unsur di dalam sampel diubah menjadi uap atom sehingga nyala mengandung atom unsur-unsur yang dianalisis. Beberapa diantara atom akan tereksitasi secara termal oleh nyala, tetapi kebanyakan atom tetap tinggal sebagai atom netral dalam keadaan dasar (ground state). Atom-atom ground state ini kemudian menyerap radiasi yang diberikan oleh
sumber radiasi yang terbuat oleh unsur-unsur yang bersangkutan.
9
Panjang
gelombang yang dihasilkan oleh sumber radiasi adalah sama dengan panjang gelombang yang diabsorpsi oleh atom dalam nyala. Absorpsi ini mengikuti hukum Lambert-Beer, yaitu absorbansi berbanding lurus dengan panjang nyala yang dilalui sinar dan konsentrasi uap atom dalam nyala.
Kedua variabel ini sulit untuk
ditentukan tetapi panjang nyala dapat dibuat konstan sehingga absorbansi hanya berbanding langsung dengan konsentrasi analit dalam larutan sampel. Teknik-teknik analisisnya yaitu kurva kalibrasi, standar tunggal dan kurva adisi standar (Anonim, 2003). 2. Instrumen Spektrofotometer Serapan Atom Alat spektrofotometer serapan atom terdiri dari rangkaian dalam diagram skematik berikut:
Gambar 2. Diagram Spektrometer Serapan Atom atau SSA (Syahputra, 2004)
Keterangan : 1. Sumber sinar 2. Pemilah (Chopper) 3. Nyala 4. Monokromator 5. Detektor 6. Amplifier 7. Meter atau recorder Komponen-komponen Spektrofotometri Serapan Atom (SSA) 1. Sumber Sinar Sumber radiasi SSA adalah Hallow Cathode Lamp (HCL). Setiap pengukuran dengan SSA kita harus menggunakan Hallow Cathode Lamp khusus misalnya akan menentukan konsentrasi tembaga dari suatu cuplikan. Maka kita harus menggunakan 10
Hallow Cathode khusus. Hallow Cathode akan memancarkan energi radiasi yang
sesuai dengan energi yang diperlukan untuk transisi elektron atom. Hallow Cathode Lamp terdiri dari katoda cekung yang silindris yang terbuat dari
unsur yang sama dengan yang akan dianalisis dan anoda yang terbuat dari tungsten. Dengan pemberian tegangan pada arus tertentu, logam mulai memijar dan dan atomatom logam katodanya akan teruapkan dengan pemercikan. Atom akan tereksitasi kemudian mengemisikan radiasi pada panjang gelombang tertentu (Khopkar, 1990). Dan secara jelas dapat dilihat pada Gambar 3. Anode Fill Gas Ne or Ar (1-5 torr)
Socket
Hollow Cathode Lamp
Glass Envelope
Gambar 3. Diagram skematik lampu katoda cekung (Khopkar, 1990) Sumber radiasi lain yang sering dipakai adalah ”Electrodless Dischcarge Lamp” lampu ini mempunyai prinsip kerja hampir sama dengan Hallow Cathode Lamp (lampu katoda cekung), tetapi mempunyai output radiasi lebih tinggi dan
biasanya digunakan untuk analisis unsur-unsur As dan Se, karena lampu HCL untuk unsur-unsur ini mempunyai signal yang lemah dan tidak stabil yang bentuknya dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Electrodless Dischcarge Lamp (Anonim, 2003) 11
2. Sumber atomisasi Sumber atomisasi dibagi menjadi dua yaitu sistem nyala dan sistem tanpa nyala.
Kebanyakan instrumen sumber atomisasinya adalah nyala dan sampel
diintroduksikan dalam bentuk larutan. Sampel masuk ke nyala dalam bentuk aerosol. Aerosol biasa dihasilkan oleh nebulizer (pengabut) yang dihubungkan ke nyala oleh ruang penyemprot (chamber spray). Jenis nyala yang digunakan secara luas untuk pengukuran analitik adalah udara-asetilen dan nitrous oksida-asetilen. Dengan kedua jenis nyala ini, kondisi analisis yang sesuai untuk kebanyakan analit dapat ditentukan dengan menggunakan metode-metode emisi, absorbsi dan juga fluorosensi.
Gambar 5. Instrumentasi sumber atomisasi (Anonim, 2003) 1. Nyala udara asetilen Biasanya menjadi pilihan untuk analisis mengunakan SSA. Temperatur nyalanya yang lebih rendah mendorong terbentuknya atom netral dan dengan nyala yang kaya bahan bakar pembentukan oksida dari banyak unsur dapat diminimalkan. 2. Nitrous oksida-asetilen Dianjurkan dipakai untuk penentuan unsur-unsur yang mudah membentuk oksida dan sulit terurai. Hal ini disebabkan karena temperatur nyala yang dihasilkan relatif tinggi. Unsur-unsur tersebut adalah: Al, B, Mo, Si, So, Ti, V, dan W.
12
Prinsip dari SSA, larutan sampel diaspirasikan ke suatu nyala dan unsur-unsur di dalam sampel diubah menjadi uap atom sehingga nyala mengandung atom unsurunsur yang dianalisis. Beberapa diantara atom akan tereksitasi secara termal oleh nyala, tetapi kebanyakan atom tetap tinggal sebagai atom netral dalam keadaan dasar ( ground state ). Atom-atom ground state ini kemudian menyerap radiasi yang diberikan oleh sumber radiasi yang terbuat dari unsur-unsur yang bersangkutan. Panjang gelombang yang dihasilkan oleh sumber radiasi adalah sama dengan panjang gelombang yang diabsorbsi oleh atom dalam nyala. 3. Monokromator Monokromator merupakan alat yang berfungsi untuk memisahkan radiasi yang tidak diperlukan dari spektrum radiasi lain yang dihasilkan oleh Hallow Cathode Lamp
4. Detektor Detektor merupakan alat yang mengubah energi cahaya menjadi energi listrik, yang memberikan suatu isyarat listrik berhubungan dengan daya radiasi yang diserap oleh permukaan yang peka. 5. Sistem pengolah Sistem pengolah berfungsi untuk mengolah kuat arus dari detektor menjadi besaran daya serap atom transmisi yang selanjutnya diubah menjadi data dalam sistem pembacaan.
6.
Sistem pembacaan Sistem pembacaan merupakan bagian yang menampilkan suatu angka atau
gambar yang dapat dibaca oleh mata. 3. Teknik – Teknik Analisa Dalam analisa secara spektrometri teknik yang biasa dipergunakan antara lain: 1.
Metode kurva kalibrasi
13
Dalam metode kurva kalibrasi ini, dibuat seri larutan standard dengan berbagai konsentrasi dan absorbansi dari larutan tersebut diukur dengan SSA. Selanjutnya membuat grafik antara konsentrasi (C) dengan Absorbansi (A) yang akan merupakan garis lurus melewati titik nol dengan slope = ε. B atau slope = a.b, konsentrasi larutan sampel diukur dan diintropolasi ke dalam kurva kalibrasi atau di masukkan ke dalam persamaan regresi linear pada kurva kalibrasi sperti yang ditunjukkan pada gambar 6.
Gambar 6. Kurva kalibrasi (Syahputra, 2004)
2.
Metode standar tunggal
Metode ini sangat praktis karena hanya menggunakan satu larutan standar yang telah diketahui konsentrasinya (Cstd).
Selanjutnya absorbsi larutan standard (Astd) dan
absorbsi larutan sampel (Asmp) diukur dengan spektrofotometri. Dari hukum Beer diperoleh: Astd = ε. B. Cstd
Asmp = ε. B. Csmp
ε. B = Astd/Cstd
ε. B = Asmp/Csmp
Sehingga: Astd/Cstd = Asmp/Csmp
Csmp = (Asmp/Astd).Cstd ...............................(3)
Dengan mengukur absorbansi larutan sampel dan standard, konsentrasi larutan sampel dapat dihitung. 3.
Metode adisi standard
14
Metode ini dipakai secara luas karena mampu meminimalkan kesalahan yang disebabkan oleh perbedaan kondisi lingkungan (matriks) sampel dan standard. Dalam metode ini dua atau lebih sejumlah volume tertentu dari sampel dipindahkan ke dalam labu takar. Satu larutan diencerkan sampai volume tertentu, kemudian diukur absorbansinya tanpa ditambah dengan zat standard, sedangkan larutan yang lain sebelum diukur absorbansinya ditambah terlebih dulu dengan sejumlah tertentu larutan standard dan diencerkan seperti pada larutan yang pertama. Menurut hukum Beer akan berlaku hal-hal berikut: Ax = k.Cx;
AT = k(Cs+Cx)
.....................................(4)
Keterangan, Cx = konsentrasi zat sampel Cs = konsentrasi zat standar yang ditambahkan ke larutan sampel Ax = Absorbansi zat sampel (tanpa penambahan zat standar) AT = Absorbansi zat sampel + zat standar Jika kedua persamaan di atas digabung, akan diperoleh: Cx = Cs x {Ax/(AT-Ax)}
........................................(5)
Konsentrasi zat dalam sampel (Cx)dapat dihitung dengan mengukur Ax dan AT dengan spektrofotometer. Jika dibuat suatu seri penambahan zat standar dapat pula dibuat suatu grafik antara AT lawan Cs, garis lurus yang diperoleh diekstrapolasi ke AT = 0, sehingga diperoleh: Cx = Cs x {Ax/(0-Ax)} ; Cx = Cs x (Ax/-Ax)
F.
...............................(6)
Kerangka Berpikir
Dari penelitian sebelumnya, telah diketahui bahwa dengan adanya kandungan sellulosa atau serat dalam suatu material dapat menyebabkan terbentuknya silika (SiO2) pada abu sisa pembakarannya. Silika tersebut dapat bersifat merekatkan karena struktur Si yang mengikat 2 atom O dapat secara cukup reaktif mengikat unsur lain yang positif karena keelektronegatifannya, sehingga dalam aplikasinya dapat digunakan sebagai perekat dan penguat pada pembuatan struktur polimer. 15
G.
Hipotesa
Dari kerangka berpikir di atas dapat dibuat hipotesa dari rumusan masalah yang ada, yaitu : 1. Dalam abu ampas tebu dari pabrik Gula Tasikmadu, Solo terdapat kandungan silika yang cukup dominan. 2. Abu ampas tebu yang dihasilkan dapat digunakan sebgai perekat dalam pembuatan struktur polimer
16
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah eksperimental laboratoris. Alat yang digunakan untuk menganalisa Silika adalah Spektrofotometer Serapan Atom dengan variabel yang diukur adalah konsentrasi atau kandungan silika 25 ml larutan abu ampas tebu. Sedangkan parameter yang diamati adalah absorbansi dengan teknik analisa menggunakan metode addisi standar.
1. Alat dan Bahan 1.1 Alat yang digunakan : 1. Neraca Analitik 2. Oven 3. Beaker Glass 25 ml 4. Beaker Glass 50 ml 5. Pengaduk 6. Pipet tetes 7. Spektrofotometer Serapan Atom (SSA) merk Shimadzu
1.2 Bahan yang digunakan : 1. Ampas tebu 2. Aquades 3. HCL pekat
2. Prosedur Kerja 2.1 Preparasi Sampel Abu ampas tebu ditimbang sebanyak @5 gram sebanyak 6 kali (untuk 3 variasi suhu dimana @suhu dianalisa sebanyak 2 kali untuk hasil yang lebih 17
valid). Kemudian dikeringkan dengan oven pada suhu 190oC selama 1 jam (mengacu pada jurnal penelitian sebelumnya tentang sintesis Silika). Proses pemurnian sampel dilakukan untuk memisahkan silika dari abu ampas tebu. Metode yang dipakai untuk pemurnian ini adalah metode pengasaman yaitu dengan menggunakan larutan HCl pekat. Proses pemurniannya dilakukan dengan cara sampel berupa abu ampas tebu dimasukkan ke dalam gelas beker dan dibasahi dengan akuades panas. Selanjutnya campuran ditambahkan 5 ml HCl pekat dan diuapkan sampai kering. Pengerjaan ini diulangi tiga kali. Selanjutnya dituangkan 20 ml akuades dan 1 ml HCl pekat ke gelas piala tadi dan dibiarkan di atas penangas air selama 5 menit. Campuran tersebut kemudian disaring dengan kertas saring bebas abu dan dicuci 4 sampai 5 kali dengan akuades panas. Hasil dari penyaringan berupa residu padat beserta kertas saringnya dipanaskan mula-mula pada suhu 300oC selama 30 menit dengan oven untuk proses pengarangan. Proses pengabuan dilakukan untuk mengetahui kandungan abu dari ampas tebu. Keenam sampel divariasi yaitu dengan cara dioven pada suhu 500 oC, 600oC, dan 700oC selama 1 jam (masing-masing suhu diujikan pada 2 sampel) hingga yang tersisa hanya endapan Silika (SiO2) berwarna putih.
2.2. Pengukuran dengan SSA Setelah diperoleh silika kemudian dilakukan proses identifikasi dengan menggunakan metode Atomic Absorption Spectophotommmmetry (AAS) pada panjang gelombang 251,8 nm (mengacu pada penelitian sebelumnya tentang analisa kandungan silika). Data yang diperoleh kemudian dianalisa secara kuantitatif dengan teknik analisa standar addisi, sehingga diperoleh kandungan silika dalam abu ampas tebu.
18
3. Tampat Penelitian Penelitian dilakukan di Sub Laboratorium Kimia, Universitas Negeri sebelas Maret, Surakarta. Percobaan pendahuluan dan pembuatan larutan dilakukan di Laboratorium Kimia Dasar Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Universitas sebelas Maret (UNS) Surakarta. 4. Waktu Penelitian Waktu Penelitian selama ± 6 bulan dengan jadwal alokasi waktu sebagai berikut : Progres Tiap Bulan Kegiatan
I
Pengumpulan Bahan Persiapan Pembuatan Larutan yang akan diukur Pengukuran Analisa Data Pembuatan laporan
19
II
III
IV
V
VI
20