SASTRA NTT SEBAGAI “ADVOCATUS DIABOLI” 1 Oleh Inosentius Mansur
I. PENDAHULUAN Harus diakui bahwa geliat dunia sastra Nusa Tenggara Timur (NTT) mengalami perkembangan signifikan. Perkembangan itu tak hanya dalam bidang kuantitas, tetapi juga dalam bidang kualitas. Kalau kita perhatikan secara sungguh-sungguh, banyak sekali sastrawan2 yang muncul diimbangi dengan publikasi hasil karya mereka. Para sastrawan itu masing-masing menampilkan karakter lewat cara mereka membedah tema dan menyampaikan pesan yang tentu saja ditelisik dari perspektif sastra.3 Buku-buku sastra hasil karya mereka pun mulai menyebar di jagat NTT. Belum lagi dengan berbagai karya sastra dalam bentuk puisi dan cerpen yang tersebar di media cetak (Flores Pos dan Pos Kupang) dan berbagai media online (Floresa. co, Floressastra) dan media internal sekolah, kampus, komunitas ilmiah tertentu ataupun yang hanya dipublikasikan lewat blog pribadi, Facebook serta sastra lisan yang berkembang di daerahdaerah tertentu. Semua ini mau mengatakan bahwa dunia sastra kita mengalami perkembangan. Tidak berlebihan kalau saya mengatakan bahwa kita (baca: NTT) sedang memasuki sebuah “peradaban” sastra, suatu masa dimana diskursus sastra sedemikian menjadi interese publik dan digemari oleh begitu banyak orang. Sastra kini telah menjadi topik hangat, tema aktual dan menarik serta dijadikan sebagai sarana untuk melibatkan diri dalam perdebatan bersama. Berkaitan dengan dengan perkembangan itu, apresiasi dan kritikan pelan-lelan mulai tampak.4 Jadi, tak hanya kemunculan berbagai sastrawan dengan sejumlah karya sastra mereka, tetapi juga beberapa kali (meskipun tidak banyak) kritik serta tafsir sastra yang bertujuan
1
Makalah ini dibawakan dalam Seminar Bertajuk: “Sastra dan Penindasan” yang diselenggarakan oleh STFK Ledalero, 29 Oktober 2016. 2 Saya tidak memiliki kompetensi untuk menilai siapa yang layak disebut sebagai sastrawan dan siapakah yang tidak. Kata sastrawan yang dimaksudkan di sini lebih berdasarkan pemahaman saya bahwa sastrawan adalah orang yang menghasilkan karya sastra baik penulis maupun sastra lisan. 3 Informasi tentang naman-nama Sastrawan bisa baca Yohanes Sehandi, Mengenal Sastra dan Sastrawan NTT (Yogyakarta: Penerbit Unversitas Sanata Dharma, 2012), hal. 35-75 4 Akhir-akhir ini, ruang Imajinasi Pos Kupang tidak hanya menyajikan cerpen, tetapi juga kritik atas cerpen itu.
1
mempertajam makna dan memperlebar diskursus tentang sastra. Meskipun harus diakui bahwa kritik sastra belum menjadi kultur integral yang sudah lazim dari dunia sastra kita, tetapi tidak bisa diingkari bahwa hal itu telah dimulai. Sekali lagi, betapapun itu (baca: kritik dan tafsir sastra) barangkali belum terlalu signifikan. Selain itu, perdebatan tentang dunia sastra di media massa – meskipun dalam bentuk artikel opini - juga menjadi bukti bahwa sastra kini menjadi fokus perhatian. Hal tersebut mesti diapresiasi sebab “tafsir yang terbuka amat dibutuhkan untuk membedah karya sastra”. 5 Ini adalah indikasi adanya kultur demokratis dalam dunia sastra kita. Agar sastra semakin menukik, kontekstual dan efektif, maka hasil karya sastra perlu “ditentang” dan “ditantang” dengan paradigma berpikir alternatif, opositif agar solutif. Sastra akan semakin menjadi sesuatu yang bernilai jika ditelisik dari berbagai perspektif, baik itu yang sejalan maupun itu berseberangan. Sastra akan menjadi semacam milik publik dan berguna bagi publik jika publik memiliki kepekaan yang darinya publik tak hanya memberikan makna, tetapi juga mengambil maknanya untuk kehidupan sosial. Dalam tulisan ini, saya tidak sedang memilih posisi sebagai pengamat ataupun kritikus sastra, tetapi hanya coba melihat relevansi antara sastra, politik dan kepedulian sosial. Yang mau ditelaah dalam tulisan ini adalah sejauh mana sastra bisa menjadi sarana liberatif, terutama untuk konteks sosial politik NTT. Sastra tak hanya terbatas pada teks. Nyatanya karya sastra terdiri atas teks (sistem relasi intratekstual) dalam relasinya dengan realitas ekstra-tekstual: dengan normanorma sastra, tradisi dan imajinasi.6 Tentu saja hal tersebut tidak bisa berdiri sendiri tanpa sebuah realitas sosial yang menjadi rujukan imajinasi sastra. Sastra memang mengenal tiga kutub utama yaitu pengarang, teks dan pembaca (penikmat).7 Namun demikian, saya hanya sebagai “penikmat amatiran” yang berusaha untuk melihat sejauhmana sastra itu bisa menjadi “advocatus diaboli” bagi setiap kebijakan sosial yang salah kaprah dan berpotensi merugikan masyarakat. Sastra mesti menjadi pengawas dan pemberi kritik dan bila perlu selalu menjadi tukang kritik sosial. Sastra selalu berusaha agar pemimpin mesti mendengarkan kritik; dan mengembangkan salah
5
Suwardi Endraswara, Teori Kritik Sastra (Yogyakarta: CAPS, 2013), hal. 81 D. W. Fokema&Elrud Kunne-Ibsch, J. Praptadiharja dan Kepler Slaban (Penterj.), Teori Sastra Abad Kedua Puluh (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1998), hal. 174 7 Suwardi Endraswara, Op. Cit., hal. 93 6
2
satu prinsip yang perlu ditegakan dalam ruang publik yaitu Auditer et altera pars (hendaknya pihak lain pun didengar).8 II. SASTRA SEBAGAI “ADVOCATUS DIABOLI” 2.1 Penjelasan Terminologi “Advocatus Diaboli” Istilah advocatus diaboli yang saya pakai dalam tulisan ini memiliki arti sebagai setan pembela atau setan pengganggu. 9 Advocatus diaboli adalah sebutan bagi orang yang ditugasi menyampaikan „argumen perlawanan‟. Sebagaimana dalam pemahaman biasa, advocatus diaboli adalah orang yang mengambil sudut pandang berlawanan atau cara pandang yang berbeda dalam rangka mendapatkan gambaran yang lebih menyeluruh tentang suatu hal. Cara ini tak jarang digunakan sebagai „tekhnik diskusi‟ agar peserta diskusi tetap dalam perspektif sehingga perdebatannya konstruktif. 10 Dengan demikian, dalam tulisan ini saya memakai istilah advocatus diaboli dan mengartikannya sebagai setan pembela serentak pengganggu, yang selalu berpikir lain, selalu melihat dari sisi lain, selalu bersedia dan tidak takut untuk berkonfrontir, tidak begitu saja “seiasekata” dan tidak menerima begitu saja apa yang terjadi. Advocatus diaboli merupakan paradigma berpikir kritis serentak menawarkan kritik, tetapi selalu bersifat diskursif, membangun dan solutif. Advocatus diaboli tidak sama dengan cara melawan dengan selalu mencari titik lemah untuk kemudian menjatuhkan lawan. Advocatus diaboli yang dipakai di sini adalah sebuah ungkapan dan bentuk “mencintai dengan cara kritis”, bahkan sesekali “melawan karena mencintai”. 2.2 Sastra dan Politik Apakah sastra dan politik itu berkawan erat ataukah mereka mesti ditempatkan pada posisi dan ruang yang berbeda? Apakah sastra berbeda secara signifikan dengan politik ataukah kedua-duanya merupakan sejoli yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain? Pertanyaanpertanyaan inilah yang muncul dalam benak saya ketika hendak mencari titik pijak agar 8
Pius Pandor, Ex Latina Claritas, Dari Bahasa Latin Muncul Kejernihan (Jakarta: Obor, 2010), hal. 246 Untuk mempertajam pemahaman kita tentang advocatus diaboli, saya menganjurkan membaca dan membandingkannya dengan tulisan Tony Kleden, “Pers Sebagai Advocatus Diaboli” dalam Paul Budi Kleden dan Otto Gusti Madung, Menukik Lebih Dalam (Maumere: Ledalero, 2009), hal. 279-292 10 Bdk. B.J. Marwoto & H. Witdarmono, “Proverbia Latina” Kompas, 2004, yang diakses dari https://kutukamus.wordpress.com/2014/02/27/advocatus-diaboli/, 25/10/2016 9
3
menemukan titik temu antara sastra dan politik. Tanpa bermaksud mengabaikan pertanyaanpertanyaan ini, saya meyakini bahwa sastra berpilin erat dengan politik. Seseorang bisa bersastra tentang politik. Selanjutnya politik akan menjadi sesuatu yang memiliki nilai estetis, esensial dan mendalam jika dianalisis dengan memakai pisau analisis sastra. Jadi, bagaimana pun juga, sastra tidak pernah berpisah ataupun tidak dapat dipisahkan dengan politik. Politik selalu berkaitan dengan moral dan karya sastra yang baik selalu memberi pesan kepada pembaca untuk berbuat baik. Pesan ini dinamakan “moral”. 11 Politik yang mengabaikan moral pada ghalibnya adalah apolitik dan sastra yang baik mesti selalu berkaitan dengan politik yang memperhatikan aspek moral. Dalam hal ini, moral kerapkali harus mendapat perhatian khusus, hingga dengan membaca karya-karya sastra itu, para pembaca tidak semakin merosot melainkan dipertinggi kebudannya. 12 Moral selalu berkaitan dengan sikap dan tindakan serta kebiasaan-kebiasaan yang baik; kondisi atau suasana hati, semangat atau spirit; juga berkaitan dengan ajaran tentang sesuatu (nilai) yang baik. 13 Sastra dan politik mesti selalu merujuk pada nilai luhur, nilai yang baik dan menjadi panduan moral-etis bagi terciptanya kehidupan sosial yang layak. Sastra bisa beperan mengawasi salah kaprah dan kekhilafan sosial yang disebabkan oleh ambisi politik yang mengabaikan moral, mengabaikan nilai luhur. Sastra dan politik menempatkan moralitas pertimbangan substansial. Dalam sejarah dunia, ada banyak sastrawan menggunakan kemampuan sastranya untuk mengecam tindak-tanduk distortif dan sistem politik yang menyangkal kemanusiaan serta mengabaikan moralitas. Salah satunya adalah Nadine Gordimer. Perempuan kulit putih ini terutama dikenal karena menulis tentang antirasisme dan ketidakadilan sosial di Afrika Selatan akibat politik apartheid. Banyak karyanya yang mengambil tema polits tentang penindasan orang kulit putih atas mayoritas kulit hitam di negaranya sebelum naiknya Nelson Mandela sebagai Presiden Afrikan Selatan kulit hitam pertama pada 1994. Dalam kesempatan penyerahan hadiah Nobel sastra 1991 di Stockholm, dia menegaskan bahwa tugas seorang penulis adalah menyuarakan pembelaan terhadap mereka yang tertindas di bagian dunia mana pun. 14 Selain itu,
11
Budi Darma, “Moral dan Sastra” dalam Selo Soemardjan, dkk. Budaya Sastra (Jakarta: CV Rajawali, 1984), hal. 79 12 Andre Hardjana, Kritik Sastra, Sebuah Pengantar (Jakarta: Gramedia, 1981), hal. 44 13 Peter. C. Aman, Moral Dasar, Prinsip-Prinsip Pokok Hidup Kristiani (Jakarta: Obor, 2016), hal. viii 14 Karena kecendrungan politik dan kritik keras dalam karyanya, sejumlah buku Nadine pernah dilarang beredar ole Rezim apartheid Afrika Selatan, termasuk Novel The Late Bourgeois World (1996) dan Burger’ss
4
beberapa penyair terkemuka Indonesia seperti Chairil Anwar, Amir Hamzah, W. S. Rendra, Wiji Tukul merupakan sebagian contoh dari beberapa penyair yang menelisik konteks sosial politik Indonesia dengan kata-kata puitik. Mereka tak sekadar berpuisi, tetapi berpuisi tentang keprihatinan sosial. Mereka tak sebatas bersyair, tetapi bersyair tentang kepedihan dan air mata yang barangkali tidak digubris oleh siapapun. Lewat kata-kata puitik, mereka mengafirmasi diri sebagai ens sociale. Mereka memberikan kritik serentak menawarkan terobosan dengan menggunakan katakata sastra. Terkadang dengan gaya berkata yang sarkastik, mereka “menangisi” realitas dan secara amat elok menyerang beberapa kebijakan sosial yang menyandera kebebasan rakyat. Mereka “bersembunyi” dibalik kata-kata manis, tetapi sesekali dan dengan serta merta nan efektif “menyelinap” diantara kerumunan persoalan sosial, tampil seperti orang gila yang berteriak dan menyebabkan suara mereka mendapat sorotan dan perhatian. Mereka juga acapkali memberi ancaman agar persoalan yang mereka tanggisi itu segera dicari solusinya. Mereka terkenal, bukan hanya karena jago meramu kata, tetapi juga pandai menghadirkan diskursus kritis atas berbagai problem sosial lewat pilihan kata-kata bernuansa sastra. Kombinasi sebagai seniman kata dan pengelaborasi konteks politik, membuat mereka dikenang sebagai seniman besar yang berjasa. Begitu juga dengan beberapa nama lain, seperti Y. B. Mangunwijaya dan Pramoedya Ananta Toer seringkali menghasilkan karya sastra yang merupakan hasil kajian dan refleksi mereka tentang kondisi sosial politik. Pramoedya Ananta Toer misalnya, dalam Bumi Manusia pernah melontarkan kritik sosial Nyai Ontosoro sebagai wanita pribumi yang mesti mendapat perlakuan yang sama dengan wanita Eropa, dan tidak boleh dipandang sebelah mata. Semua manusia, termasuk wanita pribumi tidak boleh diperlakukan berbeda.15 Hal inilah yang menjadi pertanda kepekaan sosial politiknya. Mereka (Mangunwijaya dan Pramoedya) memang tidak menjadikan sastra “berafiliasi” ataupun menjadi subordinasi dari politik, tetapi menunjukan betapa karya sastra memiliki daya bagi politik pembebasan rakyat. Mereka berhasil menunjukkan independensi sastra tanpa mengabaikan kepedulian terhadap berbagai kondisi politik. Mereka mampu menampilkan otonomi sastra dengan selalu membongkar berbagai aip Daugthter (1997). Bdk. Anton Kurnia, Mencari Setangkai Daun Surga, Jejak Perlawanan Manusia Atas Hegemoni Kuasa, Esai-Esai Sastra, Politika dan Budaya (Yogyakarta: IRCioD, 2016), hal. 135-136 15 Bdk. Pramoedya Ananta Toer. Bumi Manusia (Jakarta: Lentera Dipantara, 2005), hal. 33-34
5
pembangunan dan menggonggong tindakan serta kebijakan kontra-politik. Sastra yang mereka ciptakan justru semakin menunjukan, taring, orisinal dan berkarakter saat kegelisahan, kritikan, pemberontakan, desakan dan disposisi hati nurani lahir dari keprihatinan atas konteks sosial politik yang mendegradasi dan mendekonstruksi sakralitas kekuasaan. Kata-kata dan paragraph sastra yang mereka desain, lahir dari pengalaman, pergolakan dan pemberontakan batin serentak kemauan luhur sebagai “peringatan” akan adanya kebijakan salah kaprah dari para pemimpin. Dengan dan melalui sastra, mereka membombardir tindak-tanduk distortif elite-elite politik. Mereka memang bukan politikus, tetapi melibatkan diri dalam pergulatan sosial politik dengan mengelaborasinya dari kacamata sastra. Mereka masuk dalam kategori “pemerhati” sosial politik, kendatipun mereka sendiri tak pernah mengatakannya. “Selipan-selipan” mereka seringkali menggelitik, mengganggu dan menjadi “hantaman” terhadap berbagai distorsi sosial. Mereka layak diberi gelar “pahlawan” sosial. Contoh-contoh ini mau mengatakan bahwa sastra dan politik berjalan dalam relasi simbiosis mutualisme. Dengan dan melalui sastra, politik bukan sekadar instrumen untuk mendapatkan kekuasaan ataupun yang berkaitan dengan kekuasaan sebagaimana tesis Andrew Heywood16, tetapi juga sarana untuk mencapai kebaikan bersama. Sastra bagi mereka adalah matra bagi liberalisasi sosial. Sastra berusaha untuk menyadarkan elite-elite politik bahwa berpolitik adalah panggilan mulia untuk mewujudkan kesejahteraan. 17 Sastra berusaha untuk menentang praktik-praktik yang mendekonstruksi politik untuk kepentingan parsial-pragmatis. Sastra bukan hanya tentang seni berkata, tetapi juga merupakan nyanyian tentang “kesadisan” sosial. Sastra bukan hanya tentang irama-irama, diksi-diksi ataupun kumpulan paragraph yang mengikuti kaidah penulisan sastra, tetapi juga membuat kehidupan dan dunia sosial menjadi lebih berirama dan dengan demikian menjadi lebih bermakna. Sastra bukan hanya tentang kepandaian memintal kata-kata puitis, atau sekadar meramu kalimat-kalimat bermakna, tetapi juga membidik berbagai kekeliruan yang telah menghancurkan esensi demokrasi. Sastra menjadi sarana untuk melindungi rakyat kecil, melawan kuasa hegemonik dan berusaha menyadarkan elite politik agar tidak mengorbankan rakyat demi keinginan parsial-pragmatis. Benarlah kata Waluyo bahwa kata-kata kadang-kadang lebih tajam 16
Adrew Heywood mengatakan “All politics is about power: semua politik adalah mengenai kekuasan. Bdk. Ikhsan Darmawan, Mengenal Ilmu Politik (Jakarta: Kompas, 2015), hal. 15 17 Guenche Lugo, Manifesto Politik Yesus, (Yogyakarta: ANDI, 2009), ha. 108
6
daripada pedang dan lebih runcing dari peluru.18 Kata, terutama kata yang ditulis sastrawan dan telah menjadi sastra, kiranya tidak hanya menjadi sekumpulan “onggokan” yang hanya diposisikan di emperan realitas, tetapi mesti menjadi sebuah permata yang terlahir dari pergolakan batin tentang kekacauan sosial dan kemudian melahirkan tawaran-tawaran positif bagi pembangunan. Sastra mesti mengembalikan asas demokrasi sebagaimana mestinya. Sastra mesti “memungkinkan semua warga Negara memiliki kemungkinan dan kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam proses pengambilan putusan politik dan mengontrol pemerintah”. 19 Hal ini penting, sebab dalam sebuah Negara yang lahir dari kesepakatan bersama (contract social), rakyat adalah pemegang kedaulatan tertinggi. Sebagai pemangku kekuasaan tertinggi, tidak ada dan boleh ada kuasa lain yang melampaui dan melangkahi kekuasaan rakyat.
20
Tugas sastra
adalah menjaga agar rakyat sungguh-sungguh diperlakukan sebagai pemilik kekuasaan. Rakyat adalalah otoritas tertinggi dan tidak boleh dipermainkan. Rakyat bukan subordinasi dari penguasa apalagi sekadar dijadikan objek politik untuk memenuhi hasrat kekuasaan. 2.3 Sastra NTT dan Peran Adocatus Diaboli 2.3.1 Sastra: Mengadvokasi Hak Rakyat Kondisi masyarakat dapat diketahui dari karya sastra. Alasannya, karya sastra selalu merupakan cerminan dari fakta masyarakat dengan memasukkan unsur fiksi didalamnya.21 Sastra dianggap dianggap seperti roh leluhur, yang tidak berumah dalam kehidupan masyarakat di dunia ini. tetapi bisa diundang – dengan ilham dan kreativitas – dan diwadahkan dalam bentuk material dalam bentuk karya sastra di dunia untuk memberi wejangan dan menyelamatkan manusia dari roh jahat, angkara murka, penindasan penguasa atau ketidakadilan sosial. 22 Sastra tak boleh eksklusif, tetapi selalu terbuka dan membuka diri terhadap realitas dan harus membuka tabir kegelapan hidup yang disebabkan oleh hegemoni tertentu.
18
Herman J. Waluyo, Apresiasi Puisi Untuk Pelajar dan Mahasiswa, cet. 2 (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003), hal. 43 19 Efriza, Ilmu Politik Cet. 3 (Bandung: Alfabeta, 2013), hal. 135 20 Richard Muga Buku, “Demokrasi dan Etika Perwakilan” dalam Scintila Conscientiae, Letupan Nurani (Maumere: Ledalero, 2014), hal. 22 21 Ulasan lengkap lengkap tentang hal ini, baca Rene Wellek dan Austin Warren, Teori Kesustraan, Cet. 5, Melani Budianta (Penterj.), (Jakarta: Gramedia, 2014), hal. 98-120 22 Ariel Heryanto, “Keadilan Sosial dan Sastra” dalam Kompas, 30 Maret 1984
7
Merujuk pada pendapat ini serta argumentasi sebagaimana telah dijabarkan sebelumnya, sangat diharapkan agar sastra mesti selalu menjalankan peran advocatus diaboli. Sastra yang berperan sebagai advocatus diaboli adalah sastra yang senantiasa membela rakyat dari berbagai bentuk marginalisasi dan mengganggu berbagai kebijakan publik yang tidak mengakomodasi kepentingan rakyat. Sastra harus mengadvokasi kepentingan rakyat. Sastra tidak boleh membiarkan rakyat ditindas. Sastra selalu kritis terhadap penguasa ataupun elite-elite politik yang menindas rakyat. Saat rakyat tidak mampu berkata, maka sastra harus mengatakan apa yang tak terkatakan itu. Saat rakyat dibungkam, sastra harus menjadi ruang atau menyediakan ruang bagi mereka untuk berbicara jujur, berbicara bebas tanpa represi. Saat rakyat dilokalisir dan menjadi “kerbau bercocok hidung”, sastra harus tampil membawa mereka keluar dan bersamasama menyerukan pekikan perlawanan tanpa kekerasan. Untuk maksud mulia ini, sensibilitas sosial sastrawan amat dibutuhkan. Dia harus menjadi sastrawan kreatif, yang memperhatikan lingkungannya, dibutuhkan pengorbanan yang besar, dengan insentif yang sangat minimal. 23 Sastrawan seperti ini hanya memikirkan lingkungan sosial, dan tidak terlalu peduli pada apa yang akan diterimanya. Kalkulasinya populis dan bukan pragmatis. 2.3.2 Sastra NTT: Kepedulian Sosial -Kontekstual Sastra sebagai advocatus diaboli mesti berbicara tentang kepedulian sosial, terutama lagi kepedulian tentang konteks sosial politik lokal NTT. Karena itu, perlu sekali kita mengembangkan apa yang disebut sebagai sastra kontekstual.24 Sastra kontekstual adalah sastra yang menulis dan berbicara tentang konteks masyarakat lokal tertentu. Dalam sastra jenis ini, para sastrawan sadar benar bahwa dia mencipta untuk kelompok konsumen tertentu.25 Tujuanya jelas yaitu melakukan sesuatu untuk anggota sosial. Karena itulah sastranya mesti terlahir dari permenungan mendalam tentang apa yang terjadi dan berpotensi akan terus terjadi dalam sebuah kelompok masyarakat. Hal ini berlaku pula untuk sastra NTT. Ada banyak persoalan di NTT yang mesti menjadi titik acuan sastra. Persoalan itu antara lain: korupsi, kemiskinan, pengangguran, human trafficking, pembangunan yang tidak merata, penguasa yang sewenang-wenang, persoalan kesehatan, pencaplokan ruang publik untuk 23
Ariel Heryanto Budiman “Sastra yang Berpublik” dalam Perdebatan Sastra Kontekstual (Jakarta: CV. Rajawali, 1985), hal. 86 24 Ibid., hal. 98 25 Ibid.,
8
kepentingan tertentu, ketiadaan sense of crisis dan sederetan problem lainnya. Adalah amat bagus jika persoalan-persoalan ini menjadi tema sastra dan juga tema kritik sastra. NTT memang telah memiliki orang-orang yang memiliki kompetensi dalam bidang sastra. Hal ini terbukti dari banyaknya sastrawan NTT. Namun lebih dari itu, NTT juga tetap dan akan terus membutuhkan sastrawan yang tampil sebagai “masyarakat alternatif” demi penguatan civil society. Mereka harus menjadi penggagas politik kemanusiaan dan pencentus kelompok yang secara kritis menggonggong berbagai kekhilafan publik. Mereka mesti selalu menyadari bahwa karya sastra merupakan pekikan tentang kebebasan, tanpa mengabaikan unsur fiksi. Dialektika antara unsur fiksi, fakta dan kepedulian sosial akan menjadikan sastra itu berdaya liberatif. Selain itu, karya sastra juga diharapkan merupakan manifestasi dan artikulasi suara rakyat akar rumput. Sastra mesti mengakomodir suara kaum tak bersuara. Sastra NTT tak boleh hanya untuk dinikmati segelintir orang – semisal para sastrawan ataupun orang yang memiliki kemampuan dalam bidang sastra - tetapi mesti memberi pengaruh bagi pemerdekaan rakyat dari berbagai bentuk penderitaan. Dengan demikian, setiap sastra selalu mempertimbangkan dampak bagi konteks dan selalu melihat bagaimana efek sosialnya. Sastra tak pernah berdiri sendiri apalagi menyendiri. Wajah kepenulisan sastra NTT adalah wajah yang ramah pada perjuangan menegakan kemanusiaan di bumi Flobamora. 26 Itu berarti sastra NTT tidak boleh mengabaikan pembangunan manusia NTT. Hal ini penting sebab locus pembangunan juga sudah bergeser dari pusat-pusat ekonomi dan politik menuju komunitas lokal yang memiliki karakter khusus, pada dua dekade terakhir. Maka salah satu proposal politik yang coba diajukan dan diperjuangkan adalah menganalisis peran komunitas lokal (daerah) dalam politik pembangunan. 27 Di saat pemerintah tidak menjabarkan program pembangunan demi terciptanya masyarakat sejahtera, maka sastra harus menjadi intrumen untuk menyadarkan pemerintah agar selalu fokus pada kebaikan bersama. Sastra adalah “kawan” sekaligus “lawan” penguasa, tetapi dia bukanlah advokat tanpa dasar yang begitu saja membela kepentingan rakyat tanpa secara kritis mendalami substansi pembelaannya. Sastra juga mesti membantu komunitas lokal (daerah) untuk keluar dari penderitaan hidup dan sebisa mungkin – bersama mereka – mendesak pemerintah lokal (NTT) untuk selalu memperhatikan nasib rakyat. 26
Redem Kono, “Menolak Adorno, Menerima Rorty, Catatan Untuk Yohanes Sehandi” dalam media Floressatra, 28/07/2016. 27 Max Regus, “Politik Pembangunan dan Perlawanan Lokal” dalam Paul Budi Kleden dan Otto Gusti, Op. Cit., hal. 185.
9
Karena itu - sekali lagi - karya sastra mesti lahir dari kondisi sosial politik yang kontekstual dan harus merupakan narasi tentang kepedulian sosial. Kata Sapardi Djoko Damono: “satu-satunya hal yang bisa dilakukan penulis masa kini adalah bersikap lebih bersungguhsungguh dalam memperhatikan persoalan masyarakat di sekitarnya”.
28
Dengan begitu, sastra
menjadi instrumen penting yang menjadi bagian integral dari dinamika demokrasi. Saya tidak bermaksud, untuk menafikan berbagai karya sastra di NTT yang selama ini mulai bersemi secara militan, tetapi menginginkan juga agar sastra kita menjadi representasi desakan rakyat. Sastra harus berdiri pada posisi “orang-orang kalah” yang tidak berdaya berhadapan kuasa hegemonik. Kuasa hegemonik itu, sebagaimana seringkali dipraktikan dalam politik dan dalam pembangunan adalah “power over”, kuasa atas, kuasa yang mencaplok, yang mendominasi.29 Dalam konteks seperti inilah sastra mesti menawarkan konsep dan agenda aksi liberatifemansipatif demi menggapai perubahan, menciptakan kekuasasan yang produktif, yang selalu berjuang agar rakyat menikmati keadilan sosial dalam segala dimensi kehidupan. Karena itu, setiap kata dalam sastra, tak hanya lahir dari olahan dan reproduksi atas imajinasi, tetapi juga lahir dari kajian dan analisis kritis atas berbagai kondisi sosial yang memprihatinkan. Imajinas mesti diolah berdasarkan realita dan berorientasi pembebasan. Geliat signifikan sastra kita menjadi peluang bagi terciptanya sastra tentang kepedulian sosial yang kontekstual. Sastra pada ghalibnya selalu berdimensi “sosial-karitatif”, tidak pernah ego dan selalu altruis. Sastra betapapun hanya kumpulan kata – tidak pernah individualistik-egoistik. Sastra tak boleh diam apalagi mendiamkan berbagai persoalan yang jelas-jelas mengorbankan rakyat. Sastra mestilah sastra rakyat, sastra tentang rakyat, sastra yang bersuara tentang kepentingan rakyat. Rakyat adalah “detak nadi” sastra dan penderitaan mereka adalah “helaan nafas”nya. Inspirasi sastra adalah tangingan rakyat dan “penanya” adalah disparitas antara yang kaya dan yang miskin. Sastra mesti berorientasi etis, moral dan transformatif. Titik pijak dan titik tuju sastra adalah kemanusiaan. Karenaya, sastra mesti memastikan bahwa kemanusiaan tidak boleh dipreteli apalagi dikorbankan demi mencapai kepentingan-kepentingan politik tertentu. Tepatlah apa yang
28
Sapardi Djoko Damono, “Kritik Sosial dalam Sastra Indonesia: Lebah Tanpa Sengat” dalam Prisma, No. 10 (Oktober), Th VI, 1997, hal 53-61 29 Cyipri Jehan Paju Dale, “Kerangka Aksi dan Agenda Revolusi Kita” dalam Cypri Jehan Paju Dale dan Kris Bheda Somepers, Masa Depan Revolusi Kita, Pemikiran dan Agenda Aksi (Labuan Bajo: Sunspirit, 2014), hal. 148
10
dikatakan Abdul Hadi bahwa tanah air sastra adalah kehidupan dan kemanusiaan itu sendiri.30 Dia tak pernah lepas atau melepaskan diri dari realitas kehidupan manusia. Sastra bertolak dari dan bertolak kepada kemanusiaan, tetapi tidak boleh menolak kemanusiaan. Sastra mesti mengarungi samudra kehidupan dan membantu manusia agar tidak terhanyut goncangan dan badai “lautan-samudra” kehidupan. III. PENUTUP NTT seringkali dipelesetkan sebagai: “Nanti Tuhan Tolong” atau “Nasib Tidak Tentu”. Pelesetan ini bukan tanpa alasan. Kita menyaksikan bagaimana sebagian besar rakyat NTT masih menderita. Impian untuk hidup sejahtera masih jauh dari harapan. Berbagai janji politik yang pernah diberikan kepada rakyat tentang hidup baik, belum sepenuhnya direalisasikan. Di saat seperti ini, rakyat membutuhkan pembela yang mengadvoksi hak-hak mereka untuk mendapatkan hidup layak. Rakyat membutuhkan wakil yang bisa menyuarakan pekikan hati untuk mendapatkan pertolongan agar segera keluar dari sandera sosial. Memang bahwa di Negara kita – termasuk di NTT - telah memiliki dewan perwakilan rakyat yang bertugas untuk menyuarakan kepentingan rakyat. Namun demikian, akkhir-akhir ini, kepercayaan terhadap dewan terhormat itu mulai stagnan. Hal tersebut disebabkan karena suara rakyat seringkali digadaikan untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Mereka menggadaikan rakyat dan bahkan seringkali berlawanan atau lebih tepatnya melawan rakyat yang harus mereka wakili. Di sinilah peran sastra NTT dibutuhkan. Sastra NTT mesti tampil sebagai advocatus diaboli. Sastra NTT mesti selalu berdiri pada posisi orang-orang kalah, orang-orang yang tertindas. Sastra tidak boleh tega membiarkan rakyat dimarginalisasi. Sastra mesti mengembalikan politik sebagai matra sakral dan tidak dibiarkan didesakralisasi demi kepentingan pragmatis. Singkat kata, sastra mesti selalu memiliki kepedulian sosial-politik. Dengan demikian, sastra NTT dapat diharapkan serentak diandalkan untuk menjadi sarana liberatif. Sastra memang tidak memiliki kesanggupan teknis-operasional dan otoritas legal dalam melakukan usaha pembebasan. Sastra bukanlah institusi, tetapi “ sekumpulan ide-ide” yang (mesti) lahir dari pergulatan atas pergolakan. Sastra memiliki kekuatan kata-kata yang lebih tajam dari pedang bermata dua dan pasti memberi efek positif bagi pemerdekaan rakyat. Sastra 30
Abdul Hadi, "Realisme Sosial dan Humanisme Universal: Sastra Indonesia 1959-1965", Horison, No. 9, Th. XVII, 1982 halaman 244-250.
11
NTT mesti kritis-diskursif yang berpihak serta berpijak pada kepentingan rakyat NTT. Sastra mesti menjadi simbol perjuangan rakyat. Refleksi sastra NTT mesti selalu berkiblat pada politik partisipatif serta pembelaan terhadap hak-hak asali rakyat yang (telah – akan) dicaplok oleh elite-elite politik dalam konspirasinya dengan kaum kapitalis.
12
SUMBER RUJUKAN I. BUKU DAN ARTIKEL BUKU Aman, Peter. C., Moral Dasar, Prinsip-Prinsip Pokok Hidup Kristiani. Jakarta: Obor, 2016 Buku, Richard Muga “Demokrasi dan Etika Perwakilan” dalam Scintila Conscientiae, Letupan Nurani. Maumere: Ledalero, 2014 Darma, Budi. “Moral dan Sastra” dalam Selo Soemardjan, dkk. Budaya Sastra. Jakarta: CV Rajawali, 1984, hal. 79 Darmawan, Ikhsan Mengenal Ilmu Politik. Jakarta: Kompas, 2015 Dale, Cyipri Jehan Paju “Kerangka Aksi dan Agenda Revolusi Kita” dalam Cypri Jehan Paju Dale dan Kris Bheda Somepers, Masa Depan Revolusi Kita, Pemikiran dan Agenda Aksi. Labuan Bajo: Sunspirit, 2014, haL. 148 Efriza, Ilmu Politik Cet. 3. Bandung: Alfabeta, 2013 Endraswara, Suwardi. Teori Kritik Sastra. Yogyakarta: CAPS, 2013 Fokema, D. W. &Elrud Kunne-Ibsch, J. Praptadiharja dan Kepler Slaban (Penterj.), Teori Sastra Abad Kedua Puluh. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1998 Hardjana, Andre. Kritik Sastra, Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia, 1981 Heryanto, Ariel. “Keadilan Sosial dan Sastra” dalam Kompas, 30 Maret 1984 Heryanto, Ariel “Sastra yang Berpublik” dalam Perdebatan Sastra Kontekstual. Jakarta: CV. Rajawali, 1985. Kleden, Tony “Pers Sebagai Advocatus Diaboli” dalam Paul Budi Kleden dan Otto Gusti Madung, Menukik Lebih Dalam. Maumere: Ledalero, 2009, hal. 279-292 Kurnia, Anton. Mencari Setangkai Daun Surga, Jejak Perlawanan Manusia Atas Hegemoni Kuasa, Esai-Esai Sastra, Politika dan Budaya.Yogyakarta: IRCioD, 2016 Lugo, Guenche. Manifesto Politik Yesus. Yogyakarta: ANDI, 2009 Pandor, Pius. Ex Latina Claritas, Dari Bahasa Latin Muncul Kejernihan. Jakarta: Obor, 2010 Regus, Max. “Politik Pembangunan dan Perlawanan Lokal” dalam Paul Budi Kleden dan Otto Gusti Madung, Menukik Lebih Dalam. Maumere: Ledalero, 2009, hal. hal. 185 Sehandi, Yohanes. Mengenal Sastra dan Sastrawan NTT. Yogyakarta: Penerbit Unversitas Sanata Dharma, 2012 Toer, Pramoedya Ananta. Bumi Manusia. Jakarta: Lentera Dipantara, 2005 13
Waluyo, Herman J. Apresiasi Puisi Untuk Pelajar dan Mahasiswa, cet. 2. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2003 Wellek, Rene dan Austin Warren, Teori Kesustraan, Cet. 5, Melani Budianta (Penterj.). Jakarta: Gramedia, 2014 II. MAJALAH Damono, Sapardi Djoko “Kritik Sosial dalam Sastra Indonesia: Lebah Tanpa Sengat” dalam Prisma, No. 10 (Oktober), Th VI, 1997, hal 53-61 Hadi, Abdul, "Realisme Sosial dan Humanisme Universal: Sastra Indonesia 1959-1965", dalam Horison, No. 9, Th. XVII, 1982. III. MEDIA ONLINE Kono, Redem “Menolak Adorno, Menerima Rorty, Catatan Untuk Yohanes Sehandi” dalam media Floressatra, 28/07/2016. IV. INTERNET B.J. Marwoto & H. Witdarmono, “Proverbia Latina” Kompas, 2004, yang diakses dari https://kutukamus.wordpress.com/2014/02/27/advocatus-diaboli/, 25/10/2016
14