Seni Tradisi: Modal Budaya Membangun Karakter Bangsa Melalui Rekonstruksi Kreatif Dan Dekonstruksi Kritis Kiriman: Kadek Suartaya, S,S.Kar, M.Si., Dosen PS. Seni Karawitan, ISI Denpasar. Disampaikan pada seminar dalam rangka kegiatan dies natalis dan wisuda tahun 2011 I. Optimisme-Pesimisme Jagat Seni Segumpal kegundahan yang dilontarkan oleh seorang gadis belia dalam sebuah lomba pidato berbahasa Bali di arena Pesta Kesenian Bali (PKB) 2011 yang baru lalu membuat penonton tertegun. Dalam pidatonya yang berjudul “Ngewangun Karakter Wangsa Melarapan Pesta Kesenian Bali”, dara belia duta Kabupaten Gianyar itu dengan intonasi galau mengungkapkan tergerusnya seni tradisi oleh hegemoni globalisasi. “Indayang cingak, aduh dewa ratu, akehan mangkin kula wargane sane ngengebin selebriti ring tivi-ne. Jegegne Dewi Sita miwah Dewi Subadra sampun kalah baan I Luna Maya miwah Cut Tari. Bagusne Sang Arjuna taler doh kasub antuk Ariel Peterpan. Wayang kulit, sane dumun dados balih-balihan sane akeh micayang piteket lan suluh agama, mangkin sayan-sayan rered kakutang penonton. Sekulerisasi lan komersialsisasi ngancan ngicalang taksu seni budaya druwene. Riantukan punika, ngiring mangkin lestariang lan limbakang seni budaya sami, angge ngewangun karakter wangsane“. Seni tradisi, karakter bangsa, dan globalisasi adalah ide, konsep, fenomena yang akan dipertautkan dalam paper kecil ini. Ketiganya dipertautkan untuk mengartikulasikan tentang peranan dan pentingnya seni tradisi sebagai alternatif pondasi karakter bangsa ketika kini berhadapan dengan keniscayaan gelombang globalisasi. Ada beberapa argumentasi, kenapa seni dipandang berkontribusi penting membangun karakter bangsa dan kenapa seni diketengahkan sebagai benteng jati diri bangsa di tengah era globalisasi ini. Sebab, seni adalah gudang penyimpanan makna-makna kebudayaan1. Budaya dan seni tradisi merupakan bagian integral dari kehidupan sosio-kultural-religius masyarakat 2. Tradisi merupakan akar perkembangan kebudayaan yang memberi ciri khas identitas atau keperibadian suatu bangsa ... seni tradisi menyediakan bahan baku yang melimpah 3. Di Bali dan di Indonesia pada umumnya para seniman tidak membiarkan kesenian tradisi menjadi beku, dan untuk itu setiap generasi terus berusaha untuk melakukan inovasi terhadap kesenian tradisi milik mereka 4. Sebagai bagian dari kebudayaan, kesenian adalah salah satu perlengkapan manusia dalam memenuhi kehidupannnya. Adalah kehidupan akan menjadi gersang tanpa kehadiran kesenian. Akan tetapi arti seni bagi nilai kehidupan tentulah lebih multidimensional. Sepanjang sejarahnya seni memang mengabdikan diri untuk kemanusiaan. Jika kebudayaan dirumuskan sebagai gejala apa yang dipikirkan, menurut Mochtar Lubis, maka seni merupakan unsur yang amat penting yang memberikan wajah manusiawi, unsur-unsur keindahan, keselarasan, keseimbangan, perspektif, irama, 1
Janet Wolff (dalam Joost Smiers), 2009. Art Under Pressure: Memperjuangkan Keanaragaman Budaya di Era Globalisasi (terj. Umi Haryati), INSISPress, Yogyakarta, hlm. 122. 2 Yasraf Amir Piliang, 2005. Penguatan Seni Pertunjukan Tradisi dalam Era Merkantilisme Budaya (dalam Seni Pertunjukan Indonesia: Menimbang Pedekatan Emik), STSI Surakarta, Surakarta, hlm. 311. 3 Sal Murgiyanto, 2004. Tradisi dan Inovasi: Beberapa Masalah Tari di Indonesia, Wedatama Widya Sastra, Jakarta, hlm. 15-16. 4 I Wayan Dibia, 1999. Seni Diantara Tradisi dan Modernisasi, STSI Denpasar, Denpasar, hlm.7.
harmoni, proporsi dan sublimasi pengalaman manusia, pada kebudayaan. Tanpa nilainilai maka manusia akan jatuh menjadi binatang ekonomi atau kekuasaan belaka 5. Seni sebagai gudang penyimpan makna-makna kebudayaan berarti di dalamnya mengkristalisasikan pencapaian peradaban manusia pelaku utama kebudayaan itu yang terimplementasi dalam karakter bangsanya. Karakter bangsa dalam antropologi dipandang sebagai tata nilai budaya dan keyakinan yang mengejawantah dalam kebudayaan suatu masyarakat dan memancarkan ciri-ciri khas keluar sehingga dapat ditanggapi orang luar sebagai kepribadian masyarakat tersebut. Karakter bangsa adalah kualitas jati diri bangsa yang membedakannya dengan bangsa lain. Karakter bangsa Indonesia bersumber pada nilai-nilai kebangsaan yang kita miliki Karena itu, dalam konteks kehidupan kekinian, karakter sebuah bangsa dapat dieksplorasi dari nilai-nilai seni kebudayaannya. Konstruksi karakter bangsa itu kini kita sadari sebagai sebuah pondasi signifikan dalam kehidupan berbangsa di era kesejagatan ini. Carut-marutnya kehidupan berbangsa ditengarai disebabkan kelalaian membangun karakater bangsa. Soekarno dan Ki Hajar Dewantara telah jauh-jauh hari mengingatkan bangsa Indonesia tentang pentingnya karakter bangsa Urgensi perlunya pembangunan karakter bangsa itu, salah satunya dapat digali dan ditimba dari jagat seni. Seni tradisi sarat dengan nilai-nilai kearifan lokal yang berkarakter. Globalisasi mempengaruhi hampir semua aspek yang ada di masyarakat, termasuk kesenian yang merupakan subsistem dari kebudayaan. Meneropong jagat seni dalam konteks globalisasi dewasa ini menghadapkan kita pada berbagai panorama masa depan yang menjanjikan berbagai optimisme, akan tetapi sekaligus pesimisme 6. Sebagai bagian dari peradaban global, masyarakat Indonesia pun kiranya sulit melepaskan diri dari arus transformasi budaya. Konsekuensinya adalah terjadi pergeseran-pergeseran nilai yang membawa dampak yang besar dalam berbagai aspek kehidupan penghuni jagat ini, termasuk pada ekspresi artistik. Bagaimana dunia seni, seni tradisi khususnya sebagai representasi karakater bangsa mengaktualisasikan diri di tengah hegemoni globalisasi tersebut yang akan didiskusikan dalam kesempatan ini. Pertama, dilema kultural seni tradisi di tengah tranformasi budaya yang dibawa gelombang globalisasi. Kedua, rekonstruksi dan dekonstruksi seni tradisi sebagai proses kreativitas seni membangun karakter bangsa. Kedua masalah tersebut, bahasannya akan mengacu pada suasana berkesenian, seni pertunjukan, di Bali. II. Dilema Kultural Seni Tradisi Seni tradisi yang pada hakikatnya merupakan representasi dari kebudayaan luhur, sejak dulu telah menjadi media pendidikan yang ampuh dalam membentuk karakter masyarakatnya. Di Bali, hampir dalam semua seni pertunjukan tradisi, selain berfungsi sebagai persembahan, juga berkontribusi penting mencerahkan karakter masyarakatnya. Saat menonton teater Topeng atau dramatari Gambuh di pura, penonton memperoleh spirit keagamaan dan siraman rohani. Ketika menonton Arja atau Drama Gong di Bale 5
Mochtar Lubis, 1992. Budaya, Masyarakat dan Manusia Indonesia. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta,hlm. 136. 6
Yasraf Amir Piliang, 2000. Global/Lokal: Memperhitungkan Masa Depan (dalam Junal MSPI Th X 2000), Bandung, hlm. 111.
Banjar, masyarakat penonton menyerap nilai-nilai moral dan sosial yang berguna. Lebihlebih bila menyimak pementasan Wayang Kulit, penonton akan dihidangkan ensiklopedi kehidupan yang semuanya patut dijadikan pegangan diri. Tetapi, masyarakat modern masa kini telah kehilangan orientasi hidup, terombang-ambing oleh centang perenang kusutnya zaman. Pergeseran budaya dan nilainilai mendistorsi pola pikir dan prilaku masyarakat kita. Guncangan budaya itu juga berimbas pada keberadaan lokal jenius yang terurai dalam ekspresi seni tradisi bangsa. Wayang Kulit yang dulu sangat karismatik di tengah masyarakat Indonesia, khususnya di Jawa dan Bali, kini terpojok lunglai. Di tengah masyarakat Bali tempo dulu, wayang merupakan tontonan favorit yang begitu deras mengisi alam pikiran dan dunia nyata masyarakatnya. Pesan-pesan ceritanya diresapi cermat dan tokoh-tokoh idolanya dijadikan teladan serta identifikasi diri. Namun kini, pendidikan karakter yang diberikan oleh teater wayang dan seni tradisi kita itu telah rapuh dan mandul. Seni tradisi kita tergilas laju era kekinian. Tak kenal tak sayang. Kira-kira seperti itulah nestapa sebagian seni tradisi Bali di tengah masyarakat masa kini. Karena semakin tak dipedulikan, tidak sedikit kemudian bentuk-bentuk kesenian itu teronggok di pojok, hidup payah matipun pasrah. Komunitas pendukungnya pun tak lagi memiliki ikatan batin dengan nilai keindahan yang mungkin dulu pernah disanjung-sanjung dan dibanggakan. Kini, bentuk-bentuk kesenian yang telah mengisi dinamika kehidupan masyarakat tersebut kian marginal dan langka. Pencapaian estetik yang pernah diraihnya tergerus tak terurus. Fungsi-fungsi sosial dan religius yang sempat diisinya terkikis. Makna-makna kultural dan filosofis yang dulu mengawalnya terpental entah kemana. Tragisnya, kesenjangan bentuk-bentuk kesenian itu dengan generasi muda, semakin lebar. Orientasi masyarakat kita di tengah gelombang globalisasi yang cenderung materialis-kapitalistik, sungguh membuat butir-butir budaya itu tergelincir. Harapan untuk menyelamatkannya kembali memang belum sirna. Pesta Kesenian Bali (PKB) masih gigih menghadirkan kesenian tradisi, termasuk yang dikatagorikan tua dan langka. Bagi masyarakat umum, mungkin bentuk-bentuk kesenian langka tersebut terdengar asing, lebih-lebih di kalangan generasi muda masa kini. Gamelan Gambang misalnya yang dentang bilah-bilah bambunya kian sayup di tengah euforia ritual keagamaan, tak begitu banyak dikenali masyarakat karena ensambel tua itu sendiri memang hampir punah. Begitu pula mata air seni pertunjukan Bali, Gambuh, mungkin hanya dikenal oleh komunitas yang terbatas. Demikian pula halnya dengan Wayang Gambuh, lebih-lebih pernah menonton, bagi masyarakat masa kini, mungkin mendengar namanya pun agaknya baru kali ini. Sekaratul maut memang sedang mengintai bahkan telah merenggut sebagian nilainilai tradisi, tersemasuk warisan kesenian tradisional Bali. Dialektika budaya global dan lokal sekarang ini cenderung menggiring masyarakat hanyut mengorbankan jati dirinya terdistorsi oleh dinamika budaya semu yang sedang menghegemoni. Seni-seni tradisi yang merupakan bagian integral dengan sosio-kultural-religius masyarakat, kini berona gamang, sebagian tertidur lelap. Dis-apresiasi bukan hanya mendera kesenian yang telah tua dan kuyu, bahkan seni-seni tradisi primadona di tahun 1970-an pun telah semakin tak mendapat perhatian. Arja dan Drama Gong misalnya, telah kehilangan pamor. Pementasannya kian sulit dicari. Arena panggung pertunjukan di bale banjar pun semakin lengang dari pentas
kedua teater itu. Ekspresi seni tradisi pada umumnya tampak kikuk berinteraksi dengan dinamika zaman. Masyarakat kekinian dimanjakan oleh beragam pilihan seni dan hiburan modern, salah satunya lewat presentasi televisi. Komunalitas yang menjadi identitas masyarakat Bali dalam menghayati kehidupan lewat teks yang disajikan oleh kesenian tradisionalnya, ke depan, jika tak segera dibenahi, agaknya akan merenggang. Muatan nilai-nilai keindahan yang disuguhkan seni tradisi tak akan mampu lagi menularkan kebeningan nurani. Pesan-pesan moral yang diungkapkan seni tradisi tak kuasa lagi menerbitkan fajar budi masyarakat. Keberadaaan seni tradisi hanya dipandang sebagai seonggok hidangan basi. Seni tradisi hanya sekali-sekali dilirik sebagai ekspresi budaya yang kusut masai. Penyelamatan dan aktualisasi terhadap bentuk-bentuk seni tradisi sudah sepatutnya diapresiasi. Sebab dalam seni tradisi tidak hanya merupakan kristalisasi estetik suatu rentangan zaman namun juga sarat dengan makna kultural. Kini, ditengah laju trasformasi budaya, keberadaan seni tradisi sebagai formulasi artistik kian redup dan sebagai pencatat makna budaya kurang dipedulikan. Perubahan budaya sebagai imbas dinamika kehidupan, berkontribusi besar pada cara pandang, pola berpikir, sikap hidup masyarakat, termasuk pada sikap masyarakat Bali masa kini dalam berinteraksi dengan keseniannya. III. Rekonstruksi-Dekonstruksi Sejatinya, khasanah seni tradisi adalah mata air yang mengalirkan dahaga berkreasi. Kontinuitas pelestarian dan pengembangan kesenian di Bali lazimnya berorientasi pada nilai-nilai estetika dan konsep-konsep artistik dari kesenian tradisi yang telah teruji zaman tersebut. Gambuh misalnya, bertransformasi menjadi Arja dan Legong. Konsep klasik Legong kini dielaborasi menjadi beragam tari palegongan. Begitu pula dalam seni karawitan. Konsep dan pola-pola musikal dalam gamelan Gambuh mengejawantah dalam gamelan Semarapagulingan. Repertoar yang dimiliki Gong Gede disajikan lebih segar dan kreatif dalam gamelan Gong Kebyar. Kini di tengah dinamisnya perkembangan Gong Kebyar, tak sedikit yang mengeksplorasi elemen-elemen yang terdapat dalam gamelan tua seperti Gambang, Slonding, atau Gender Wayang. Kesenian tradisi-klasik yang menyimpan nilai estetik nan luhur, lebih-lebih yang telah terpuruk langka, patut digali, direkonstruksi, direvitalisasi dan dibanggakan di tengah lingkungan komunitasnya serta dalam publik lebih luas seperti PKB. Uluran tangan Pemda Bali dalam konteks PKB merekontruksi dan merevitalisasi bentuk-bentuk seni tradisi tentu patut dihargai. Ini merupakan tonikum yang diharapkan menggeliatkan kesenian yang tergolek merana itu untuk beringsut menyapa fenomena kehidupan. Sayangnya yang terjadi selama ini di lapangan, sering wajah kusut dan aroma masainya hanya segar dan wangi sekelebat saja. Hasil rekontruksi sebuah kesenian langka yang diuji coba dipentaskan, seusai dipertontonankan, umumnya kembali lunglai. Kontekstualisasi hasil rekontruksi sebuah kesenian dengan komunitas pendukungnya tak terjalin. Rekontruksi dan revitalisasi bentuk-bentuk seni tradisi, selain dengan penguatan estetik-konseptualnya, kiranya sanggaan penguatan sosial-kultural dan psikis-mental yang berkorelasi dengan kesenian tersebut semestinya juga dibangun. Secara sosialkultural, kepada para pelaku seni dan komunitasnya ditumbuhkan semangat kebersamaan memaknai nilai-nilai estetik dan etik yang dilandasi kasih damai. Secara psikis-mental, di
kalangan pegiat seni dan masyarakat pendukungnya disemai kembali psiko-estetik dan psiko-relegi yang dapat meneguhkan mentalitas penyayang terhadap keagungan budaya tradisi, seni tradisi yang unggul. Adalah drama tari Gambuh, teater tua yang diakui sebagai mata air seni pertunjukan Bali, masih mampu bertahan dari kepunahannya di Desa Batuan, Sukawati, dalam sanggaan karakteristik para pelaku seni dan masyarakat pelestari budaya. Di Batuan, seni pentas kehormatan pada era kejayaan kerajaan Bali itu kini digeluti sebagai persembahan seni dan juga dipertahankan sebagai seni persembahan ritual keagamaan. Era baru semestinya tak melumpuhkan karakter bangsa. Beruntung, semangat untuk memperkuat karakter diri, masyarakat, dan bangsa itu masih terasa cukup membuncah di Pulau Dewata. Gairah berasyik masyuk dengan seni tradisi masih menyala-nyala di tengah masyarakat Bali. Kekhusukan ritual keagamaan masih dimeriahkan oleh persembahan seni ngayah. Para seniman Bali masih jengah mengawal dan mengembangkan warisan seni leluhurnya. Pemerintah Bali pun masih bergairah menyokong Pesta Kesenian Bali (PKB) yang direspons riuh masyarakat. Suara gamelan masih mengalun dan lenggok tari masih mengumbar senyum di Pulau Kesenian ini. Penulis buku Island of Bali (1937), Miguel Covarrubias, mengagumi masyarakat Bali sebagai orang-orang yang berbakat seni. Menurut peneliti asal Meksiko tersebut, stimulasi estetis itu terekspresi dalam segala aspek kehidupan. Emosi berkesenian tersebut biasanya membumbung dalam ritus keagamaannya. Hampir dalam setiap upacara agama Hindu di Bali disertai persembahan seni. Tak berlebihan bila dikatakan pasang surut dan bahkan hidup mati kesenian Bali disangga oleh psiko-relegi dalam implementasi upacara-upacara agama. Beragam jenis kesenian seperti sastra, teater, musik, tari hingga seni rupa menyembul, mengkristal, dan menggeliat di tengah atmosfir relegiusitas seperti itu. Kesenian Bali merupakan bagian penting dari kehidupan masyarakat Bali yang sudah diwarisi sejak zaman lampau. Hampir semua jenis kesenian Bali mengandung tendensi untuk menunjang dan mengabdikan kehidupan agama Hindu. Di tengah masyarakat Bali pada umumnya, hasrat berkesenian dan menyimak kesenian tampak tumbuh dan berkembang sejak masa bocah. Ini berarti pendidikan karakter tunas-tunas bangsa itu sudah bersemi sejak dini. Oleh karena itu, berkesenian dalam konteks ritual keagamaan dan berkesenian dalam presentasi estetik festival, parade atau lomba patut terus digelorakan, semuanya memiliki andil membentuk karakter manusia Bali. Karakter adalah watak, tabiat, akhlak, atau kepribadian seseorang yang terbentuk dari hasil internalisasi berbagai kebajikan yang diyakini dan digunakan sebagai landasan untuk cara pandang, berpikir, bersikap, dan bertindak. Kebajikan terdiri atas sejumlah nilai, moral, dan norma, seperti jujur, berani bertindak, dapat dipercaya, dan hormat kepada orang lain. Interaksi seseorang dengan orang lain menumbuhkan karakter masyarakat dan karakter bangsa. Oleh karena itu, pengembangan karakter bangsa hanya dapat dilakukan melalui pengembangan karakter individu seseorang. Akan tetapi, karena manusia hidup dalam ligkungan sosial dan budaya tertentu, maka pengembangan karakter individu seseorang hanya dapat dilakukan dalam lingkungan sosial dan budaya yang bersangkutan. Bertakwa, bertanggung jawab, berdisiplin, jujur, sopan, peduli, kerja keras, sikap baik, toleransi, kreatif, mandiri, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, menghargai, bersahabat, dan cinta damai, adalah karakter postif sebuah bangsa. Agama dan budaya
merupakan dua pondasi karakter bangsa. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat beragama. Oleh karena itu, kehidupan individu, masyarakat, dan bangsa selalu didasari pada ajaran agama dan kepercayaannya. Secara politis, kehidupan kenegaraan pun didasari pada nilai-nilai yang berasal dari agama. Atas dasar pertimbangan itu, maka nilai-nilai pendidikan budaya dan karakter bangsa harus didasarkan pada nilai-nilai dan kaidah yang berasal dari agama. Selain dari agama, bahwasannya tidak ada manusia yang hidup bermasyarakat yang tidak didasari oleh nilai-nilai budaya yang diakui masyarakat itu. Nilai-nilai budaya itu dijadikan dasar dalam pemberian makna terhadap suatu konsep dan arti dalam komunikasi antaranggota masyarakat itu. Posisi budaya yang demikian penting dalam kehidupan masyarakat mengharuskan budaya menjadi sumber nilai dalam pendidikan budaya dan karakter bangsa. Menggali akar kebudayaan dan kesenian dari dialektika imajinasi dan pemikiran kreatif suatu bangsa, menjadi proses yang bisa diarahkan bagi ikhtiar pembentukan karakter bangsa sebab kesenian berkembang tak lepas dari proses perjalanan sebuah bangsa. Seni dalam segala perwujudannya merupakan salah satu ekspresi proses kebudayaan manusia, sekaligus pencerminan dari peradaban suatu masyarakat atau bangsa pada suatu kurun waktu tertentu. Karena seni, bagaimanapun, merupakan bagian langsung dari kehidupan manusia yang sama penting dengan aspek-aspek kehidupan lainnya. Jejak peradaban suatu bangsa berkembang selaras dengan perkembangan kebudayaannya. Di dalamnya perkembangan seni tradisi, sains, dan teknologi. Seni tradisi dalam banyak hal dipengaruhi oleh orientasi nilai hidup manusia dalam proses interaksinya dengan alam, manusia sesama, dan Tuhan. Itulah sebabnya pada seni tradisi, kita temukan begitu banyak aspek. Antara lain spiritualitas, magis, dan kebiasaankebiasaan alamiah. Di tengah terjangan budaya global sekarang ini, pemberdayaan dan penguatan terhadap keberadaan seni tradisi rupanya perlu segera diupayakan. Kesenian Bali pada umumnya, seni tradisi khususnya, harus melakukan reposisi kultural yaitu mencari posisi politik di tengah masyarakat lokal, benteng pertama dan terakhir yang mengawal legitimasinya. Nilai-nilai tradisi yang selama ini dianggap tidak berubah, orisinil, abadi, langgeng, dan a-historis kini dituntut untuk menemukan posisi dan maknanya yang baru 7. Karena itu disamping langkah rekonstruksi, upaya dekonstruksi juga mesti dilakukan. Dekonstruksi dilakukan pada seni tradisi bukan dalam pengertian ekstrim pembongkaran dan penghancuran melainkan melalui reinterpretasi dan inovasi. Pemikiran ini dilandasi bahwa kesenian adalah murupakan proses kebudayaan yang selalu dinamis dan akan berpeluang eksis dalam sanggaan kreativitasnya. Kreativitas merupakan proses mental dimana pengalaman masa lampau dikombinasikan kembali, sering dalam bentuk yang diubah sedemikian rupa sehingga timbul pola-pola baru, bentuk-bentuk baru yang lebih baik untuk mengatasi kebutuhan tertentu8. Proses kreatif dimulai dari dalam diri manusia berupa pikiran, perasaan atau imajinasi kreatif manusia kemudian dituangkan menggunakan media dan teknik tertentu, sehingga melahirkan karya-karya kreatif Secara luas kreativitas bisa berarti sebagai potensi kreatif, proses kreatif dan produk kreatif. Proses kreativitas melalui kegiatan seni
7
Yasraf Amir Piliang, 2005. Penguatan Seni Pertunjukan Tradisi dalam Era Merkantilisme Budaya (dalam Seni Pertunjukan Indonesia: Menimbang Pedekatan Emik), STSI Surakarta, Surakarta, hlm. 317. 8 Suwaji, Bastomi, 1992. Wawasan Seni. IKIP Semarang Press, Semarang, hlm. 180.
adalah jalan sebaik-baiknya yang dapat dilakukan sebab melakukan kegiatan seni berarti terjadi suatu proses kreatif. Proses berkesenian dekonstrukstif dalam seni pertunjukan Bali telah dikobarkan oleh I Ketut Marya pada tahun 1920-an. Ingatlah kembali bagaimana proses kreatif Marya menciptakan tari Kebyar Duduk. Sebagai seniman berbasis seni tradisi klasik, ia menginterpretasikan tabuh-tabuh instrumental gamelan Gong Kebyar yang kemudian mengkristal menjadi tari baru yang dikenal sebagai Kebyar Duduk. Tatanan tari tradisi diterobosnya namun identitas estetik tari Bali lebih diberi artikulasi artistik. Tari Kebyar Duduk dan atau kemudian jadi tari Terompong menjadi tonggak pembaharuan tari jenis kebyar. Demikian pula apa yang dilakukan I Wayan Limbak di Bedulu pada tahun 1930an terhadap tari yang kini disebut Cak. Didorong oleh Walter Spies, ia mendekonstruksi koor cak dalam ritual penolak bala Sanghyang menjadi tari Cak turistik. Bahkan reinterpretasi pada Cak kembali dilakukan oleh Sardono W. Kusumo tahun 1972 di Banjar Teges Kanginan, Ubud, dalam pertunjukan yang disebut Cak Rina. Di masa kini, ada beberapa dekonstruksi pada seni pertunjukan tradisional Bali yang berhasil diterima masyarakat. Sendratari PKB dibangun dari semangat dekonstruktif. Elemen-elemen utama yang menjadi konstruksi sendratari yang baru muncul di Bali pada tahun 1962 itu ditunjang oleh seni tradisi. Penampilan sendratari dipanggung yang lebar dengan disaksikan ribuan penonton mengharuskan seni pertunjukan ini mendekonstruksi dirinya menjadi seni pentas dalam sajian estetik globalkolosal. Adi Merdangga yang muncul tahun 1984 dan hingga kini menjadi ujung tombak pawai PKB adalah kreativitas seni yang merupakan dekonstruksi dari seni tradisi gamelan Balaganjur. Seni tradisi wayang kulit pun tak luput dari adanya semangat dekonstrukstif seperti munculnya garapan wayang inovasi di ISI Denpasar yang kini tampak berhasil ditata apik-komunikatif oleh salah satu alumnusnya, I Wayan Nardayana yang populer dengan sebutan dalang Cenkblonk (baca: cengblong). IV. Kreatif-Kritis Seni tradisi adalah gudang penyimpanan makna-makna kebudayaan masyarakat pendukungnya, memiliki kontribusi penting membangun karakter bangsa di tengah era globalisasi. Secara bentuk dan isi, seni tradisi merupakan media komunikasi spesifik yang mengandung nilai-nilai estetik dan moral yang merefleksikan kebeningan nurani dan pencerahan budhi, dua pondasi utama dari kualitas konstruksi karakter bangsa. Untuk tampil sebagai budaya tanding globalisasi, seni tradisi sudah seharusnya mencari posisi strategis atau reposisi kultural yang merepresentasikan dirinya sebagai modal budaya jati diri bangsa. Aktualisasi seni tradisi dalam konteks membangun karakter bangsa dalam pengejawantahan jati diri bangsa di tengah transformasi budaya dan hegemoni budaya massa itu memerlukan idealisme berkesenian yang konstrukstif-prospektif. Ekspresi artistik dalam seni tradisi harus direkonstruksi secara kreatif. Nilai-nilai estetik yang mengendap pada seni tradisi tak ditabukan didekonstruksi secara kritis.
DAFTAR PUSTAKA Bastomi, Suwaji, 1992. Wawasan Seni. IKIP Semarang Press, Semarang.
Dibia, I Wayan, 1999. Seni Diantara Tradisi dan Modernisasi, STSI Denpasar, Denpasar, Lubis, Mochtar. 1992. Budaya, Masyarakat dan Manusia Indonesia. Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Murgiyanto, Sal, 2004. Tradisi dan Inovasi: Beberapa Masalah Tari di Indonesia, Wedatama Widya Sastra, Jakarta. Piliang Yasraf Amir, 2000. Global/Lokal: Memperhitungkan Masa Depan (dalam Jurnal MSPI Th X 2000), Bandung. -----------------------, 2005. Penguatan Seni Pertunjukan Tradisi dalam Era Merkantilisme Budaya (dalam Seni Pertunjukan Indonesia: Menimbang Pedekatan Emik), STSI Surakarta, Surakarta. Wolff, Janet (dalam Joost Smiers), 2009. Art Under Pressure: Memperjuangkan Keanekaragaman Budaya di Era Globalisasi (terj. Umi Haryati), INSISPress, Yogyakarta. *Paper ini disajikan pada dies natalis ISI Denpasar tahun 2011, Senin, 25 Juli 2011.