1
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Rumah sakit merupakan salah satu fasilitas/ sarana vital bagi masyarakat. Peran organisasi (rumah sakit) sebagai media/fasilitas sosial yang mencakup pelayanan kesehatan, penelitian, pendidikan dan sebagiannya mencakupi skala profit selayaknya padat akan sumber daya yang mampu mendukung aktivitasnya. Modal yang diharapkan terus bertumbuh, teknologi yang terus berkembang, serta sumber daya manusia sebagai motor penggeraknya memerlukan aturan/ proses manajemen yang efektif untuk memenuhi tuntutan pelayanan yang optimal. Sumber daya manusia yang dimiliki rumah sakit yang terdiri dari, tenaga medis, keperawatan, kefarmasian, kesehatan masyarakat, gizi, keterapian fisik dan tenaga keteknisan ( PP 32 Tenaga Kesehatan, 1996) merupakan sumber daya utama yang tanpanya, aktivitas utama rumah sakit (pelayanan kesehatan) tidak dapat berjalan. Tenaga keperawatan merupakan sumber daya manusia yang memiliki kuantitas paling banyak di setiap rumah sakit dan berperan besar dalam proses pelayanan kesehatan yang bersentuhan langsung dengan pasien secara kontinu dan sistematik. Posisi tenaga keperawatan juga menjadi penting sebagai tangan kanan Dokter yang menentukan keberhasilan kerja (saran/rujukan/arahan) sang Dokter. Oleh karena itu perawat dituntut untuk memberi pelayanan dengan mutu yang baik. Untuk itu dibutuhkan kecekatan dan keterampilan serta kesiagaan setiap saat
2
dari seorang perawat dalam menangani pasien, kondisi ini akan membuat seorang perawat akan lebih mudah mengalami stres (Hamid, 2001).
Nursalam (2002) mengatakan, beban kerja yang sering dilakukan oleh perawat bersifat fisik seperti mengangkat pasien, mendorong peralatan kesehatan, merapikan tempat tidur pasien, mendorong brankart dan yang bersifat mental yaitu kompleksitas pekerjaan misalnya keterampilan, tanggung jawab terhadap kesembuhan, mengurus keluarga serta harus menjalin komunikasi dengan pasien.
Pelayanan kesehatan yang kontinu dan sistematik serta peran dan tuntutan yang banyak inilah yang sering memunculkan kondisi yang dapat memicu terjadinya stres kerja pada perawat.
Stres dapat ditimbulkan dari semakin banyaknya tantangan yang dihadapi seperti lingkungan kerja, karakteristik persaingan yang semakin tinggi, tidak dapat memanfaatkan waktu secara maksimal, faktor-faktor yang tidak terkontrol, tidak cukupnya ruang untuk bekerja, perkembangan teknologi informasi yang terus menerus, tuntutan permintaan yang berlebihan (Hall dan Savery, 1986 ; Nasurdin et al, 2005).
Menurut Persatuan Perawat Nasional (PPNI, 2006) sebanyak 50,9 % perawat Indonesia yang bekerja mengalami stres kerja, sering merasa pusing, lelah, kurang ramah, kurang istirahat akibat beban kerja terlalu tinggi serta penghasilan yang tidak memadai. Sementara itu, Frasser (1997) menjelaskan bahwa 74% perawat mengalami kejadian stres yang mana sumber utamanya adalah lingkungan kerja yang menuntut kekuatan fisik dan keterampilan. Instalasi Rawat Darurat merupakan unit penting dalam operasional suatu rumah sakit, yaitu sebagai pintu masuk bagi setiap pelayanan yang beroperasi selama 24 jam selain poliklinik umum dan spesialis yang hanya melayani pasien pada saat jam kerja. Sebagai ujung tombak dalam pelayanan keperawatan rumah
3
sakit , IRD harus melayani semua kasus yang masuk ke rumah sakit. Dengan kompleksitas kerja yang sedemikian rupa, maka perawat yang bertugas dituntut untuk memiliki kemampuan lebih dibanding dengan perawat yang melayani pasien di ruang yang lain. Perawat juga dituntut untuk mampu bekerja sama dengan tim kesehatan lain serta dapat berkomunikasi dengan pasien dan keluarga pasien yang berkaitan dengan kondisi kegawatan kasus di ruang tersebut, kebutuhan akan sarana dan peralatan yang menunjang pelayanan merupakan hal penting lain yang harus diperhatikan oleh penyelenggara rumah sakit (RSUD Kota Langsa, 2009). Hasil wawancara penulis dengan perawat yang bertugas di IRD RSUD Salewangang diketahui bahwa beban kerja realitanya diderita oleh perawat berasal dari beberapa faktor, diantaranya jumlah perawat berstatus PNS yang sangat sedikit (14 orang) ditambah dengan perawat peserta magang yang kehadirannya tidak merata dalam satu pekan kerja, sedangkan jumlah pasien per hari menjadi beban tersendiri bagi para perawat. Jadwal shift yang melelahkan, yakni sejak pagi sampai jam 8 malam, terlebih bagi perawat yang mendapat shift malam dan telah berkeluarga. Tuntutan-tuntutan pelayanan dengan mutu yang baik dari atasan juga menjadi beban untuk tercipta dengan perbandingan jumlah tenaga perawat dengan pasien yang masuk dan keluar yang tidak sebanding serta tekanan-tekanan psikologis, seperti rasa lelah. Kondisi tersebut tentu tidak diharapkan, karena berdasarkan fakta di lapangan, stres yang ditandai dengan beberapa gejalanya seperti nervous, sering marah-marah, agresif, tidak dapat rileks atau memperlihatkan sikap yang tidak
4
kooperatif (Hasibuan, 2002) justru dapat berimplikasi pada menurunnya kinerja perawat dalam hal ini pelayanan perawat yang tidak seperti biasanya atau dengan kata lain lebih banyak bersikap negatif pada pasien yang dilayani, akibatnya dapat memberikan dampak kurang baik bagi persepsi pasien dan keluarga atau dampak terburuk adalah, menurunnya kondisi kesehatan pasien serta tekanan yang terus menerus juga pada diri perawat tersebut. Sebagai satu-satunya rumah sakit milik pemerintah Kabupaten Maros yang yang menjadi pusat kegiatan pelayanan kesehatan oleh seluruh penduduk kabupaten/ kota Maros dengan jumlah penduduk kurang lebih 319.527 jiwa yang tersebar di 14 kecamatan definitf dan 103 desa/kelurahan, RSUD Salewangang Maros diharapkan mampu memberikan mutu pelayanan kesehatan yang baik. Kasus stres kerja perawat sangat tidak diharapkan terjadi atau terus berkembang mengingat vitalnya posisi RSUD Salewangang Maros. Kinerja perawat melalui pelayanan kesehatan yang optimal harus terus dipertahankan melalui manajemen rumah sakit yang efektif dan pengelolaan sumber-sumber pemicu stres secara tepat pada pelaku-pelaku kerja di rumah sakit, khususnya perawat IRD yang memiliki jam terbang tinggi dalam pelaksanaan tugas yang kontinu dan sistematik. Berkaitan dengan uraian latar belakang di atas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul : “ Pengaruh Stres Kerja Terhadap Kinerja Perawat Ruang Instalasi Rawat Darurat RSU Salewangang Maros “.
5
1.2.
Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka perumusan masalah pada
penelitian ini adalah : 1.
“Apakah stres kerja memengaruhi kinerja perawat ruang Instalasi Rawat Darurat RSU Salewangang Maros ?”
2.
“Faktor apakah yang berpengaruh dominan sebagai penyebab stres kerja perawat ruang Instalasi Rawat Darurat RSU Salewangang Maros?”
1.3.
Tujuan dan Manfaat Penelitian Berdasarkan uraian rumusan masalah di atas maka tujuan dari penelitian
ini adalah : 1.
Untuk mengetahui sejauh mana stres kerja memengaruhi kinerja perawat ruang Instalasi Rawat Darurat RSU Salewangang Maros ;
2.
Untuk mengetahui faktor pemicu/ penyebab yang paling dominan diantara faktor-faktor pemicu stres kerja perawat ruang Instalasi Rawat Darurat RSU Salewangang Maros. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi beberapa pihak
di antaranya : 1.
Manfaat Akademis Hasil penelitian ini diharapkan akan menambah khasanah kepustakaan dan bahan referensi bagi penelitian yang akan datang mengenai hubungan/ pengaruh antara stres kerja dangan kinerja (perawat).
6
2.
Bagi Organisasi Menjadi bahan masukan dan informasi bagi Rumah Sakit dalam menjaga kinerja perawat dengan mengidentifikasi faktor-faktor pemicu stres dan manajemen stres yang baik.
3.
Bagi Peneliti Sebagai perbandingan antara teori-teori yang ditemukan di perusahaan/ organisasi dengan teori-teori akademik kuliah dan juga dalam aktivitas perusahaan khususnya di bidang stres kerja dan kaitannya dengan kinerja. Selain itu, sebagai bagian dari persyaratan penyelesaian tugas akhir untuk memeroleh gelar Strata 1 (S1).
1.4.
Sistematika Penulisan Penulisan skripsi ini terdiri dari lima bagian, yaitu :
BAB I: PENDAHULUAN Bagian ini merupakan bagian awal penulisan yang terdiri atas sub judul yang saling berhubungan yaitu latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan. BAB II: LANDASAN TEORI Bagian ini menguraikan landasan teori yang akan digunakan sebagai acuan dalam pembahasan permasalahan yang telah diajukan. Teori yang digunakan antara lain teori stes kerja dan kinerja. Di samping itu bagian ini juga berisi kerangka pikir konseptual dan hipotesis.
7
BAB III: METODOLOGI PENELITIAN Bagian ini menjelaskan mengenai tahapan-tahapan yang dilakukan dalam melakukan penelitian yang diawali pendefinisian sampai dengan teknik analisis data. Secara rinci, bagian ini terdiri dari lokasi penelitian, obyek penelitian, jenis penelitian, metode pengumpulan data, jenis data, sumber data, populasi, sampel, metode analisis, teknik analisis, operasionalisasi variabel dan instrumen pengukuran. BAB IV: GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN Bagian ini menguraikan tentang gambaran perusahaan, sejarah perusahaan, struktur organisasi perusahaan, visi dan misi serta hal-hal lain yang menyangkut perusahaan. BAB V: ANALISIS DAN PEMBAHASAN Bagian ini berisi analisis data yang telah diperoleh dalam penelitian dan pembahasannya. Analisis data yang dilakukan meliputi analisis statistik yang digunakan untuk melakukan pengujian terhadap hipotesis penelitian. BAB VI: PENUTUP Bagian ini merupakan penutup dari skripsi ini. Dalam bab ini disajikan kesimpulan serta saran yang relevan dengan hasil penelitian yang telah dilakukan.
8
BAB II LANDASAN TEORI 2.1. Definisi Perawat Definisi perawat menurut UU RI. No. 23 tahun 1992 adalah mereka yang memiliki kemampuan dan kewenangan melakukan tindakan keperawatan berdasarkan ilmu yang dimiliki melalui pendidikan keperawatan. International Council of Nursing (ICN) tahun 1965 menambahkan bahwa perawat adalah seseorang yang telah menyelesaikan pendidikan keperawatan yang memenuhi syarat serta berwenang di negeri bersangkutan untuk memberikan pelayanan keperawatan yang bertanggung jawab untuk meningkatkan kesehatan, pencegahan penyakit dan pelayanan penderita penyakit. Keperawatan menurut model konseptual Nightingale adalah Profesi untuk wanita dengan tujuan menemukan dan menggunakan hukum alam dalam pembangunan kesehatan dan pelayanan kesehatan yang memerlukan pendidikan formal untuk merawat orang yang sakit. Pelayanan kesehatan yang diberikan tersebut terlihat dari kinerja perawat (Hidayati, 2010). 2.2. Stres 2.2.1.Definisi Stres Ada beberapa alasan mengapa masalah stres yang berkaitan dengan organisasi perlu diangkat ke permukaan pada saat ini (Nimran, 1999:79-80). Diantaranya adalah : 1.
masalah stres adalah masalah yang akhir-akhir ini hangat dibicarakan dan posisinya sangat penting dalam kaitannya dengan produktivitas kerja karyawan ;
9
2.
selain dipengaruhi oleh faktor-faktor yang bersumber dari luar organisasi, stres juga banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor yang berasal dari dalam organisasi. Oleh karenanya perlu disadari dan dipahami keberadaannya ;
3.
pemahaman akan sumber-sumber stres yang disertai dengan pemahaman terhadap cara-cara mengatasinya adalah penting sekali bagi karyawan dan siapa saja yang terlibat dalam organisasi demi kelangsungan organisasi yang sehat dan efektif ;
4.
banyak diantara kita yang hampir pasti merupakan bagian dari satu atau beberapa organisasi, baik sebagai atasan mau pun sebagai bawahan yang pernah mengalami stres meskipun dalam taraf yang amat rendah ;
5.
dalam zaman kemajuan di segala bidang seperti sekarang ini manusia semakin sibuk. Di satu pihak peralatan kerja semakin modern dan efisien dan di lain pihak beban kerja di satuan-satuan organisasi juga semakin bertambah. Keadaan ini tentu saja akan menuntut energi karyawan yang lebih besar dari sebelumnya. Sebagai akibatnya, pengalaman-pengalaman yang disebut stres dalam taraf yang cukup tinggi menjadi semakin terasa. Dalam mengetahui peranan / pengaruh stres pada perawat RSU
Salewangang Maros, maka sebelumnya akan dikemukakan pengertian umum mengenai stres dan atau stres kerja itu sendiri. Secara formal, stres didefinisikan sebagai suatu respon adaptif, dihubungkan oleh karakteristik dan atau proses psikologis individu yang merupakan suatu konsekuensi dari setiap tindakan eksternal, situasi atau peristiwa yang menempatkan tuntutan psikologis dan atau fisik khusus pada seseorang (Ivancevich dan Matteson, 1980 dalam Kreitner dan Kinicki, 2005).
10
Definisi yang senada juga dipaparkan oleh Luthans ( dalam Yulianti, 2000:10) bahwa stres adalah suatu tanggapan dalam menyesuaikan diri yang dipengaruhi oleh perbedaan individu dan proses psikologis sebagai konsekuensi dari tindakan lingkungan, situasi atau peristiwa yang terlalu banyak mengadakan tuntutan psikologis dan fisik seseorang. Stres adalah suatu kondisi ketegangan yang mempengaruhi emosi, proses pikiran dan kondisi fisik seseorang (Davis dan Newstrom, 1996). Oleh Schuler (1980) dan Kahn dan Byosiere (1992) dalam Robbins (2006), stres dapat juga diartikan sebagai suatu kondisi dinamik dimana seorang individu dikonfrontasikan dengan suatu peluang, kendala (constrain) atau tuntutan (demand) yang berkaitan dengan apa yang juga diinginkannya dan yang hasilnya dipersepsikan sebagai tidak pasti dan penting. Menurut Charles D, Spielberger (dalam Ilandoyo, 2001:63) menyebutkan bahwa stres adalah tuntutan-tuntutan eksternal yang mengenai seseorang, misalnya obyek-obyek dalam lingkungan atau suatu stimulus yang secara obyektif adalah berbahaya. Stres juga biasa diartikan sebagai tekanan, ketegangan atau gangguan yang tidak menyenangkan yang berasal dari luar diri seseorang.
Aamodt (dalam Margiati, 1999:71) memandang stres sebagai respon adaptif yang merupakan karakteristik individual dan konsekuensi dari tindakan eksternal, situasi atau peristiwa yang terjadi baik secara fisik mau pun psikologis. 2.2.2. Stres Kerja Secara spesifik, stres kerja kemudian dapat didefinisikan sebagai bentuk stres yang diakibatkan oleh suatu pekerjaan atau suatu kondisi yang timbul akibat
11
interaksi antar manusia dengan pekerjaannya ditandai oleh perubahan dalam diri orang tersebut yang menyebabkan penyimpangan dari fungsi yang normal (Soewondo, 1993). Sedangkan menurut Handoko (2008 :200) stres kerja adalah suatu kondisi ketegangan yang memengaruhi emosi, proses berpikir dan kondisi seseorang. Hasilnya, stres yang terlalu besar dapat mengancam kemampuan sesorang untuk menghadapi lingkungan yang akhirnya mengganggu pelaksanaan tugas-tugasnya, berarti mengganggu kinerja/ prestasi kerjanya. Sebagai kesimpulan dari definisi-definisi stres dan stres kerja secara spesifik, dapat disimpulkan bahwa stres/ stres kerja merupakan perubahan kondisi fisik dan psikologis seseorang sebagai akibat dari respon adaptif terhadap keadaan lingkungannya yang kemudian dapat mengganggu pelaksanaan tugas-tugasnya/ pekerjaannya. 2.2.3. Jenis-Jenis Stres Quick dan Quick (1984) mengelompokkan jenis stres menjadi dua, yaitu : 1.
eustress, yaitu hasil dari respon terhadap stres yang bersifat sehat, positif, dan konstruktif (bersifat membangun). Hal tersebut termasuk kesejahteraan individu dan juga organisasi yang diasosiasikan dengan pertumbuhan, fleksibilitas, kemampuan adaptasi dan tingkat performance yang tinggi.
2.
distress, yaitu hasil dari respon terhadap stres yang bersifat tidak sehat, negatif dan destruktif (bersifat merusak). Hal tersebut termasuk konsekuensi individu dan juga organisasi seperti penyakit kardiovaskular dan tingkat
12
ketidakhadiran (absenteeism) yang tinggi, yang diasosiasikan dengan keadaan sakit, penurunan dan kematian. Hal serupa dikemukakan oleh Douglas dalam Ventura (2001) bahwa stres kerja terbagi dua, yaitu stres kerja negatif dan stres kerja positif. Stres negatif biasa disebut Distress dan seringkali menghasilkan perilaku karyawan yang disfungsional seperti sering melakukan kesalahan, moral yang rendah, bersikap masa bodoh dan absen tanpa keterangan. Di sisi lain, stres positif atau biasa disebut Eustress menciptakan tantangan dan perasaan untuk selalu berprestasi serta berperan sebagai faktor motivator yang kritis bagi banyak karyawan. 2.2.4. Sumber-Sumber Pembangkit Stres (Stressor) Sumber stres atau yang disebut dengan stressor adalah faktor-faktor lingkungan yang menimbulkan stres. Dengan kata lain, stressor adalah suatu prasyarat untuk mengalami respon stres ( Kreitner dan Kinicki, 2005). Dari model stres yang dikembangkan dari Koslowsky (1998) dan Matteson dan Ivancevich (1979) dalam Kreitner dan Kinicki (2005) diketahui bahwa terdapat empat jenis stressor, yaitu individual, kelompok, organisasi dan diluar organisasi.
Menurut Hasibuan (2002), faktor-faktor penyebab stres karyawan antara lain, beban kerja yang sulit dan berlebihan, tekanan dan sikap pimpinan yang kurang adil dan wajar, waktu dan peralatan kerja yang kurang memadai, konflik antara pribadi dengan pimpinan atau kelompok kerja, balas jasa yang terlalu rendah, serta masalah-masalah keluarga.
Secara lebih apik, Robbins (1996) mengidentifikasikan tiga perangkat faktor penyebab stres yaitu, lingkungan, organisasional dan individual yang bertindak sebagai sumber potensial dari stres. Ketiga faktor tersebut mengarah ke stres yang
13
aktual bergantung pada perbedaan individual. Bila stres dialami oleh seorang individu, gejalanya dapat muncul sebagai keluaran atau hasil fisiologis, psikologis dan perilaku. Hal ini dapat dideskripsikan sebagai berikut : Sumber potensial
konsekuensi / gejala
Faktor Lingkungan Ketidakpastian ekonomi Ketidakpastian politik Ketidakpastian teknologi Faktor Organisasi Tuntutan tugas Tuntutan peran Tuntutan hubungan antarpribadi Struktur organisasi Kepemimpinan organisasi Tahap hidup organisasi
Perbedaan individu Persepsi Pengalaman pekerjaan Dukungan sosial Kedudukan kontrol Sikap bermusuhan Stres yang dialami
Faktor individu Masalah keluarga Masalah ekonomi kepribadian
Gejala fisiologis Sakit kepala Tekanan darah tinggi Penyakit jantung Gejala psikologis Kecemasan Murung Kepuasan kerja berkurang Gejala Perilaku Produktivitas Kemangkiran Tingkat keluarnya karyawan
Gbr. 2.1 Suatu Model Stres, Robbins (1996)
2.2.5. Gejala-Gejala Stres Stres biasanya diawali/ ditandai dengan gejala-gejala yang dapat terlihat pada seseorang yang mengalami stres. Menurut Hasibuan (2002), orang-orang yang mengalami stres menjadi nervous dan merasakan kekuatiran kronis. Mereka
14
sering menjadi marah-marah, agresif, tidak dapat rileks atau memperlihatkan sikap yang tidak kooperatif. Pembagian secara umum dilakukan Robbins (1996), bahwa seorang individu yang mengalami tingkat stres yang tinggi dapat mengalami tiga ketegori gejala umum, yaitu : 1.
gejala fisiologis : perubahan dalam metabolisme, meningkatkan laju detak jantung dan pernapasan, meningkatkan tekanan darah, menimbulkan sakit kepala dan menyebabkan serangan jantung ;
2.
gejala psikologis : ketidakpuasan, ketegangan, kecemasan, mudah marah, kebosanan dan suka menunda-nunda;
3.
gejala perilaku : perubahan dalam produktivitas, absensi, tingat keluarnya karyawan, perubahan dalam kebiasaan makan, meningkatnya kebiasaan merokok dan konsumsi alkohol, bicara cepat, gelisah dan gangguan tidur. Pembagian yang pada dasarnya sama namun mendapatkan penambahan
pada sisi interpersonal dipaparkan Braham (dalam Handoyo; 2001:68), bahwa gejala stres dapat berupa tanda-tanda berikut ini:
1.
fisik, yaitu sulit tidur atau tidur lidak teratur, sakit kepala, sulit buang air besar, adanya gangguan pencernaan, radang usus, kulit gatal-gatal, punggung terasa sakit, urat-urat pada bahu dan leher terasa tegang, keringat berlebihan, berubah selera makan, tekanan darah tinggi atau serangan jantung, kehilangan energi;
15
2.
emosional, yaitu marah-marah, mudah tersinggung dan terlalu sensitif, gelisah dan cemas, suasana hati mudah berubah-ubah, sedih, mudah menangis dan depresi, gugup, agresif terhadap orang lain dan mudah bermusuhan serta mudah menyerang, dan kelesuan mental;
3.
intelektual, yaitu mudah lupa, kacau pikirannya, daya ingat menurun, sulit untuk berkonsentrasi, suka melamun berlebihan, pikiran hanya dipenuhi satu pikiran saja.
4.
interpersonal, yaitu acuh dan mendiamkan orang lain, kepercayaan pada orang lain menurun, mudah mengingkari janji pada orang lain, senang mencari kesalahan orang lain atau menyerang dengan kata-kata, menutup diri secara berlebihan, dan mudah menyalahkan orang lain.
2.2.6. Dampak Stres Pada umumnya stres kerja lebih banyak merugikan diri karyawan maupun perusahaan. Pada diri karyawan, konsekuensi tersebut dapat berupa menurunnya gairah kerja, kecemasan yang tinggi, frustrasi dan sebagainya (Rice, 1999).
Sedangkan Arnold (1986) menyebutkan bahwa ada empat konsekuensi yang dapat terjadi akibat stres kerja yang dialami oleh individu, yaitu terganggunya kesehatan fisik, kesehatan psikologis, performance, serta mempengaruhi individu dalam pengambilan keputusan.
Dampak stres tidak hanya terjadi pada individu penderita stres melainkan juga pada organisasi/ perusahaan. Bagi perusahaan, konsekuensi yang timbul dan
16
bersifat tidak langsung adalah meningkatnya tingkat absensi, menurunnya tingkat produktivitas dan secara psikologis dapat menurunkan komitmen organisasi, memicu perasaan teralienasi hingga turnover (Greenberg & Baron, 1993 : Quick & Quick, 1984; Robbins, 1993).
2.2.7. Manajemen Stres Stres dalam pekerjaan dapat dicegah timbulnya dan dihadapi tanpa memeroleh dampaknya yang negatif. Manajemen stres lebih daripada sekadar mengatasi, yakni belajar menanggulangi secara adaptif dan efektif. Hampir sama pentingnya untuk mengetahui apa yang tidak boleh dilakukan dan apa yang harus dicoba. Berikut penulis uraikan beberapa pendekatan yang dapat diterapkan sebagai upaya manajemen stres kerja. Keith Davis & John W. Newstrom (dalam Mangkunegara, 2002:157-158) mengemukakan bahwa “four approaches that of ten involve employee and management cooperation for stress management are social support, meditation, biofeedback and personal wellness programs”. 1.
Social Support (pendekatan dukungan sosial ). Pendekatan ini dilakukan melalui aktivitas yang bertujuan memberikan kepuasan sosial kepada karyawan, misalnya bermain game dan bercanda.
2.
Meditation (pendekatan melalui meditasi). Pendekatan ini perlu dilakukan karyawan dengan cara berkonsentrasi ke alam pikiran, mengendorkan kerja otot dan menenangkan emosi. Karyawan yang beragama Islam biasa
17
melakukannya setelah shalat dshuhur melalui doa dan dzikir kepada Allah Subhanahuwata‟ala. 3.
Biofeedback. Pendekatan ini dilakukan melalui bimbingan medis, seperti dokter, psikiater dan psikolog sehingga diharapkan karyawan dapat menghilangkan stres yang dialaminya.
4.
Personal wellness progams (pendekaatan kesehatan pribadi) merupakan pendekatan preventif sebelum terjadinya stres. Dalam hal ini secara periode yang kontinyu karyawan memeriksa kesehatan, melakukan relaksasi otot, pengaturan gizi dan olahraga secara teratur. Strategi-strategi yang diapaparkan Keith Davis & John W. Newstrom
cenderung merupakan upaya daripada karyawan itu sendiri. Sedangkan (Margiati, 1999:77-78) mengelompokkan strategi penanganan stres menjadi tiga: 1.
strategi penanganan individual yang dikembangkan secara pribadi/ individual dapat berupa istirahat sejenak, relaksasi, meditasi, dll.
2.
strategi penanganan organisasional, dapat dilakukan dengan menciptakan iklim organisasi yang mendukung; memeperkaya desain tugas-tugas dengan meningkatkan faktor isi pekerjaan (tanggung jawab, pengakuan, kesempatan untuk pencapaian, dll.) ; mengurangi konflik ; rencana dan pengembangan jalur karir dan menyediakan konseling.
3.
strategi dukungan sosial dapat melalui keluarga, teman kerja, pemimpin atau orang lain. Komunikasi yang efektif adalah intinya, yakni sang penderita stres dapat mengkomunikasikan kondisinya pada keluarga, teman kerja, dll.
18
2.3.
Kinerja
2.3.1. Definisi Kinerja Oleh Maier (dalam As‟ad, 1991:47) pengertian kinerja / prestasi kerja diberi batasan sebagai kesuksesan seseorang di dalam melaksanakan suatu pekerjaan. Lebih tegas lagi, Lawler dan Poter menyatakan bahwa kinerja adalah “ succesfull role achievement”yang diperoleh seseorang dari perbuatannya (As‟ad, 1991:4647). Dari batasan tersebut As‟ad menyimpulkan bahwa kinerja adalah hasil yang dicapai seseorang menurut ukuran yang berlaku untuk pekerjaan yang bersangkutan. Kinerja pada dasarnya adalah apa yang dilakukan atau tidak dilakukan karyawan. Kinerja karyawan adalah yang memengaruhi seberapa banyak mereka memberi kontribusi kepada organisasi. Perbaikan kinerja baik untuk individu maupun kelompok menjadi pusat perhatian dalam upaya meningkatkan kinerja organisasi (Robert L. Mathis & John H. Jackson, 2002:78).
Mangkunegara (2000) kinerja karyawan adalah hasil kerja secara kuantitas yaitu jumlah atau banyaknya pekerjaan yang dihasilkan karyawan dan kualitas yaitu mutu pekerjaan yang dicapai oleh seorang karyawan dalam melaksanakan tugasnya sesuai dengan waktu untuk menyelesaikan tugas dan tanggung jawab yang diberikan kepadanya.
Secara umum kinerja dapat didefinisikan sebagai hasil kerja keseluruhan dalam periode waktu tertentu sesuai tanggung jawabnya yang diukur kualitas dan kuantitasnya berdasarkan target.
19
2.3.2. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Kinerja Lebih rinci, menurut Gibson et aal (dalam Srimulyo, 1999:39), ada tiga perangkat variabel yang memengaruhi perilaku dan prestasi kerja atau kinerja, yaitu : 1. variabel individual yang terdiri dari : a. kemampuan dan keterampilan ; b. mental dan fisik ; c. latar belakang: keluarga, tingkat sosial, penggajian; d. demografis : umur, asal usul, jenis kelamin. 2. variabel organisasional yang terdiri dari : a. sumber daya ; b. kepemimpinan ; c. imbalan ; d. struktur ; e. desain pekerjaan ; 3. variabel psikologis yang terdiri dari : a. persepsi ; b. sikap ; c. kepribadian ; d. belajar ; e. motivasi ;
20
2.3.3. Metode Penilaian Kinerja Karyawan Secara Umum Menurut T. Hani Handoko (dalam Thoyib, 1998:21-22) ada enam metode penilaian kinerja karyawan : 1. rating scale, evaluasi hanya didasarkan pendapat penilai yang membandingkan hasil pekerjaan karyawan dengan kriteria yang dianggap penting bagi pelaksanaan kerja; 2. checklist, yang dimaksudkan dengan metode ini adalah untuk mengurangi beban penilai. Penilai tinggal memilih kalimat-kalimat atau kata-kata yang menggambarkan kinerja karyawan. Penilai biasanya atasan langsung. Pemberian bobot sehingga dapat diskor; 3. critical incident method/ metode peristiwa kritis, penilaian yang berdasarkan catatan-catatan penilai yang menggambarkan perilaku karyawan sangat baik atau jelek dalam kaitannya dengan pelaksanaan kerja. Catatan-catatan ini disebut peristiwa kritis. Metode ini sangat berguna dalam memeberikan umpan balik kepada karyawan dan mengurangi kesalahan kesan terakhir; 4. field review method, metode peninjauan lapangan, penilaian dilakukan langsung di lapangan dengan melibatkan manajer lini serta supervisor dengan meninjau berdasarkan kariteria/ poin-poin peninjauan; 5. tes dan observasi prestasi kerja, bila jumlah pekerja terbatas, penilaian prestasi kerja/ kinerja dapat didasarkan pada tes pengetahuan dan keterampilan. Tes mungkin tertulis atau peragaan keterampilan. Agar berguna, tes harus reliable dan valid;
21
6. metode evaluasi kelompok, ada tiga : ranking, grading dan point allocation method. Metode ranking, penilai membandingkan satu dengan karyawan lain siapa yang paling baik dan menempatkan setiap karyawan dalam urutan terbaik sampai terjelek. Kelemahan metode ini adalah kesulitan untuk menentukan faktor-faktor pembanding, subyek kesalahan kesan terakhir dan halo effect, kebaikannya menyangkut kemudahan administrasi dan penjelasannya. Grading, metode penilaian ini memisahkan atau menyortir para karyawan dalam berbagai klasifikasi yang berbeda, biasanya suatu proporsi tertentu harus diletakkan pada setiap kategori. Point location, merupakan bentuk lain dari grading, dimana penilai diberikan sejumlah nilai total dialokasikan diantara para karyawan dalam kelompok. Para karyawan diberi nilai lebih besar daripada para karyawan dengan kinerja lebih jelek. Kebaikan dari metode ini, penilai dapat mengevaluasi perbedaan relatif diantara para karyawan, meskipun kelemahan-kelemahan efek halo dan bias kesan terakhir masih ada.
2.3.4. Indikator Kinerja Perawat Berdasarkan
Direktorat
pelayanan
dan
Dirjen
Pelayanan
Medik
Departemen Kesehatan Tahun 2001 menyatakan bahwa penilaian kinerja perawat terhadap mutu asuhan keperawatan dilakukan pada studi dokumentasi penerapan Standar Asuhan Keperawatan (SAK), Evaluasi persepsi pasien terhadap mutu
22
asuhan keperawatan dan evaluasi tindakan perawat berdasarkan Standar Operasional Prosedur (SOP). Berdasarkan SK Direktorat Jenderal Pelayanan Medis Nomor: YM.00.03.2.3.7637 perawat harus melaksanakan standar asuhan keperawatan di rumah sakit yang terdiri dari pengkajian keperawatan, diagnosa keperawatan, perencanaan keperawatan, tindakan keperawatan, evaluasi keperawatan, dan catatan asuhan keperawatan. Evaluasi persepsi pasien/keluarga terhadap mutu asuhan keperawatan di rumah sakit terdiri dari data umum, data pelayanan keperawatan, saran pasien/ keluarga untuk perbaikan. Sedangkan evaluasi tindakan perawat berdasarkan SOP yang dinilai yaitu persiapan dan pelaksanaan tiap kegiatan keperawatan (Depkes, 2001). 2.4. Hubungan Stres Kerja dengan Kinerja Karyawan (Perawat) Pola yang meluas dipelajari dalam literatur stres-kinerja adalah hubungan U- terbalik. Logika yang mendasari hubungan U-terbalik ini adalah bahwa stres pada tingkat rendah sampai sedang merangsang tubuh dan meningkatkan kemampuan untuk bereaksi. Pada saat itulah individu sering melakukan tugasnya dengan lebih baik, lebih intensif atau lebih cepat. Sebaliknya, stres pada tingkat yang lebih memuncak/ berkelanjutan memicu perubahan fisik dan mental ke arah yang lebih lemah/ berpola negatif, sehingga mengakibatkan kinerja menurun. tinggi
kinerja
(rendah)
stres
(tinggi)
Gambar 2.2 Hubungan U-Terbalik antara Stres dan Kinerja (Robbins, 1996)
23
2.5.
Penelitian Terdahulu Suatu penelitian yang dilakukan oleh Siahaan (2004) adalah tentang
“Pengaruh Stres dalam Pekerjaan terhadap Kinerja Karyawan (Suatu Kajian terhadap Karyawan Departemen Plant PT. Nippon Indosari Corpindo, CikarangBekasi)”. Penelitian ini memeroleh hasil bahwa stres berpengaruh langsung dan dan bersifat positif terhadap tingkat stres kerja karyawan secara signifikan. Ini berarti bahwa semakin tinggi stres yang dirasakan atau dialami karyawan akan menyebabkan semakin tinggi pula tingkat stres yang dimiliki oleh karyawan tersebut. Sedangkan stres kerja secara signifikan berpengaruh negatif terhadap kinerja karyawan, dimana semakin tinggi tingkat stres yang dialami maka akan semakin rendah kinerja yang dihasilkan. Penelitian lain yang dilakukan oleh Andreas Agung Kristanto, dkk. (2009) tentang “Faktor-Faktor Penyebab Stres Kerja Pada Perawat ICU Rumah Sakit Tipe C di Kota Semarang” memeroleh hasil bahwa terdapat tiga faktor yang berpengaruh dominan dalam stres kerja perawat, yakni: 1)
faktor sikap kerja tersusun dari variabel-variabel berikut yang disusun berurutan sesuai besaran muatan faktor dari proses ekstraksi, yaitu : interaksi dengan rekan kerja, kesempatan beraspirasi, pola perilaku tipe A, interaksi dengan atasan, interaksi dengan teman diluar tempat kerja dan waktu kerja yang menekan;
2)
faktor dukungan sosial terdiri dari dua variabel dengan urutan sesuai dengan muatan faktor dari proses ekstraksi adalah : risiko atau bahaya dan interaksi dengan keluarga;
24
3)
faktor karakteristik pengalaman terdiri atas satu variabel yaitu peristiwa khusus dalam kehidupan. Faktor sikap kerja merupakan faktor yang lebih kuat diantara tiga faktor
yang menyebabkan stres pada perawat.
2.6. Kerangka Pikir Konseptual
STRES KERJA
Faktor Organisasional(X1)
Faktor Individual(X2)
KINERJA ( Y ) Gbr. 2.3 Kerangka Pikir Konseptual
2.7. Hipotesis Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah : 1.
“ Diduga stres kerja (oleh faktor organisasional dan individual) memiliki pengaruh signifikan terhadap kinerja perawat ruang Instalasi Rawat Darurat RSU Salewangang Maros. “
2.
“ Diduga faktor organisasional menjadi faktor dominan penyebab stres kerja pada perawat ruang Instalasi Rawat Darurat RSU Salewangang Maros”.
25
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1.
Lokasi, Obyek dan Jenis Penelitian Dalam usaha pengumpulan data, penulis melakukan penelitian pada Rumah
Sakit Umum Daerah (RSUD) Salewangang Maros. Terkhusus pada semua sub bidang dan sub bagian yang membawahi langsung obyek penelitian penulis. Ada pun obyek penelitian penulis adalah perawat RSUD Salewangang Maros. Jenis penelitian ini merupakan penelitian korelasional yang digunakan untuk meneliti adanya hubungan antara dua variabel atau lebih. Penelitian korelasional digunakan untuk menyelidiki sejauh mana variasi-variasi pada suatu faktor berkaitan dengan variasi-variasi pada satu atau lebih faktor lain berdasarkan pada koefisien korelasi. (Narbuko dan Achmadi, 2008:48) 3.2.
Metode Pengumpulan Data Untuk memeroleh data yang diperlukan dalam penelitian ini, penulis
menggunakan metode pengumpulan data sebagai berikut: 1.
Metode Wawancara Yaitu berupa wawancara langsung terhadap obyek penelitian penulis serta subyek-subyek yang terkait dengannya.
2.
Metode Kuesioner Metode kuesioner adalah suatu daftar yang berisikan rangkaian pertanyaan mengenai sesuatu masalah atau bidang yang akan diteliti. (Narbuko dan Achmadi, 2008:76)
26
3.
Metode Observasi Yaitu berupa pengamatan langsung terhadap situasi kerja pada lingkungan perusahaan (Rumah sakit).
4.
Penelitian Pustaka (Library Research) Yaitu mengadakan telaah terhadap berbagai pustaka yang berkaitan dengan dengan objek dan sasaran penelitian.
3.3.
Jenis dan sumber Data Adapun jenis data yang digunakan adalah sebagai berikut:
1.
Data Kuantitatif Data yang diperoleh dalam bentuk angka-angka seperti jumlah perawat, jumlah pasien, dan lain-lain.
2.
Data Kualitatif Data yang diperoleh tidak berbentuk angka tetapi data berupa keteranganketerangan atau penjelasan tentang stressor, poin penilaian kinerja, dan lainlain.
Sedangkan, sumber data yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah: 1.
Data Primer Yaitu data yang diperoleh melalui pengamatan langsung, wawancara langsung dan pengisian kuesioner terhadap/oleh
perawat sesuai dengan
kebutuhan penulisan. 2.
Data Sekunder Yaitu data yang diperoleh melalui pengumpulan dokumen perusahaan dan buku-buku literatur yang berhubungan dengan penulisan.
27
3.4.
Populasi dan Sampel Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah seluruh perawat ruang
Instalasi Rawat Darurat RSUD Salewangang Maros dengan total 46 orang/ responden. Karena seluruh populasi akan digunakan sebagai sampel, teknik sampling yang digunakan adalah total sampling. Dengan demikian, penelitian ini dinamakan penelitian sensus, yaitu penelitian terhadap seluruh unsur populasi (Rakhmat, 2001:78) 3.5.
Metode dan Teknik Analisis Di dalam melakukan pengolahan dan analisis data, peneliti menggunakan
program SPSS for Windows Version 17.0 untuk setiap tahap pengolahan data, mulai dari pengolahan data metode statistik deskriptif, uji hipotesis melalui regresi berganda, uji signifikansi parsial (uji T) dan uji signifikansi simultan (uji F), serta pada metode penentuan tingkat korelasi dan determinasi variabel. Adapun tahap pengolahannya adalah: 1.
Statistik Deskriptif Deskripsi atau penggambaran sekumpulan data secara visual dapat dilakukan dalam dua bagian yaitu dalam bentuk gambar atau grafik dan dalam bentuk tulisan. Dalam program SPSS for Windows Version 17.0 , metode statistik deskriptif dapat digunakan untuk menghasilkan gambaran data berupa tabel frekuensi dan tabulasi silang (crosstab). Program SPSS for Windows merupakan program komputer yang digunakan untuk perhitungan statistik.
28
2.
Analisis Regresi Berganda Analisis regresi berganda digunakan oleh peneliti, bila peneliti bermaksud meramalkan bagaimana keadaan (naik turunnya) variabel dependen (kriterium), bila dua atau lebih variabel independen sebagai faktor prediktor dimanipulasi (dinaik turunkan nilainya). Jadi analisis regresi ganda akan dilakukan
bila
jumlah
variabel
independennya
minimal
dua(Sugiyono,2007). Analisis regresi berganda dalam penelitian ini juga Bentuk persamaan regresi yang dipakai dalam penelitian ini memiliki dua variabel independen yang dapat dirumuskan sebagai berikut : Y = a + b1X1 + b2 X2 + e ………………………………….(1) Di mana :
3.
Y
= kinerja
a
= konstanta persamaan regresi
b1,b2,
= koefisien regresi masing-masing variabel
X1
= faktor stres organisasional
X2
= faktor stres individual
e
= standar error
Uji Signifikansi Parsial (Uji T) Uji signifikansi parsial atau individual adalah untuk menguji apakah suatu variabel bebas berpengaruh atau tidak terhadap variabel tidak bebas dan
29
untuk mengetahui hal tersebut digunakan uji t atau t-student. Uji t dapat dirumuskan sebagai berikut (Sugiyono,2004): thitung =
r n-2 1 - (r 2 )
……………………………………… (2)
keterangan : r : hasil koefisien korelasi Product Moment t : deviasi harga krisis yang dicari n : jumlah sampel dengan ketentuan: a.
Jika thitung>ttabel, berarti H0 ditolak, H1 diterima.
b.
Jika thitung
Adapun hipotesis yang akan digunakan dalam pengujian ini adalah : H0 : β0 = 0, variabel-variabel independen (faktor organisasional atau faktor individual) tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap variabel dependen (kinerja) H1 : β1 ≠ 0, variabel-variabel independen (faktor organisasional atau faktor individual) mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap variabel dependen (kinerja). 4.
Uji Signifikansi Simultan (Uji F) Uji global disebut juga uji signifikansi serentak/simultan atau Uji F. Uji ini dimaksudkan untuk melihat kemampuan menyeluruh dari variabel bebas yaitu X1,X2,….Xn, untuk dapat atau mampu menjelaskan tingkah laku atau keragaman variabel tidak bebas Y. Uji global juga dimaksudkan untuk
30
mengetahui apakah semua variabel bebas memiliki koefisien regresi sama dengan nol.(Suharyadi dan Purwanto,2004) Sementara itu nilai F-hitung dapat ditentukan dengan rumus sebagai berikut: F =
R2/ (k-1) (1-R2)/(n-1) …………………………… (3)
Keterangan : F : besarnya F hitung n : jumlah sampel k : jumlah variable R2: koefisien determinasi Hipotesis yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: H0 : β1 = β2 = β3 = 0, maka variabel-variabel independen (faktor organisasional dan faktor individual) tidak mempunyai pengaruh yang signifikan secara bersama-sama terhadap variabel dependen (kinerja) H1 : β1 ≠ β2 ≠ β3 ≠ 0, variabel-variabel independen (faktor organisasional dan faktor individual) mempunyai pengaruh yang signifikan secara bersamasama terhadap variabel dependen (kinerja) Dasar pengambilan keputusannya adalah : a.
Jika nilai F hitung > F tabel, maka H0 ditolak, H1 diterima
b.
Jika nilai F hitung < F tabel, maka H0 diterima, H1 ditolak
Sementara itu tingkat signifikansi (α) dalam penelitian ini adalah 5%. 5.
Koefisien Korelasi
31
Koefisien korelasi (R) menunjukkan seberapa dekat titik kombinasi antara variabel dependen dengan variabel independen terhadap garis dugaannya. Apabila titik kombinasi semakin mendekati garis dugaannya maka nilai koefisien korelasi semakin baik. Semakin besar nilai koefisien korelasi menunjukkan hubungan yang semakin erat dan sebaliknya. Koefisien korelasi (R) dapat dirumuskan sebagai berikut: R = R2
………………………………………… (4)
Selanjutnya, untuk melihat tinggi rendahnya korelasi, digunakan skala Guilford (Rakhmat, 2001:29):
6.
> 0,20
=
hubungan rendah sekali; lemah sekali
0,20 – 0,40
=
hubungan rendah tetapi pasti
0.40– 0,70
=
hubungan yang cukup berarti
0,70 – 0,90
=
hubungan yang tinggi; kuat
> 0,90
=
hubungan sangat tinggi;kuat sekali;dapat diandalkan
Koefisien Determinasi R2
=
n (a∑Y + b.∑YX1 + b2.∑YX2) - (∑Y) n∑Y - (∑X)
Koefisien determinasi (R2) merupakan ukuran untuk mengetahui kesesuaian atau ketepatan hubungan antara antara variabel dependen atau variabel tidak bebas (Y) dengan variabel independen atau bebas (X) dalam suatu persamaan regresi.
32
7.
Skala Likert Ada pun untuk perhitungan hasil survey diolah secara manual dan dengan program SPSS Version 17.0 dengan menggunakan skala Likert. Cara perhitungannya adalah dengan menghadapkan responden dengan beberapa pertanyaan dan kemudian diminta untuk memberikan jawaban. Data yang berhasil dikumpulkan dari kuesioner selanjutnya akan diukur dengan bobot hitung 1 sampai 5, dengan kategori: a. Sangat setuju dengan bobot 5 b. Setuju dengan bobot 4 c. Ragu-ragu dengan bobot 3 d. Tidak setuju dengan bobot 2 e. Sangat tidak setuju dengan bobot 1 Ada pun range untuk hasil survey : Skor tertinggi
: n × 5 = 43 x 5 = 215
Skor terendah
: n × 1 = 43 x 1 = 43
Sehingga range untuk hasil survey
–
Range skor: 43 – 77,4
=
Sangat buruk
77,5 – 111,9
=
Buruk
112 – 146,4
=
Cukup
146,5 – 180,9
=
Baik
190 – 224,4
=
Sangat Baik
33
3.6. Variabel dan Instrumen Pengukuran Sesuai dengan latar belakang masalah yang dikemukakan di bab pertama, maka variabel yang diamati adalah: 1.
Variabel bebas (X) yaitu variabel yang diduga menjadi penyebab atau pendahulu dari variabel yang lain (Rakhmat, 2001:12). Dalam penelitian ini yang termasuk variabel bebas adalah stres kerja , secara spesifik, stres kerja yang diderita/ dialami perawat RSU Salewangang Maros. Pengukuran stres kerja menggunakan dua dari tiga perangkat stressor
( Robbins, 1996 ),
yaitu faktor organisasional (X1) dan individual (X2). 2.
Variabel terikat (Y) yaitu variabel yang diduga sebagai akibat atau yang dipengaruhi oleh variabel yang mendahuluinya (Rakhmat, 2001:12). Dalam penelitian ini yang termasuk variabel terikat adalah kinerja perawat RSU Salewangang Maros. Kinerja perawat dapat diukur dengan menggunakan tiga instrumen umum standardisasi (Direktorat pelayanan dan Dirjen Pelayanan Medik Departemen Kesehatan, 2001) yaitu : studi dokumentasi Standar Asuhan Keperawatan (SAK), Evaluasi persepsi pasien terhadap mutu asuhan keperawatan dan evaluasi tindakan perawat berdasarkan Standar Operasional Prosedur (SOP) yang dijabarakan dalam lembar Daftar Penilaian Pelaksanaan Pekerjaan (DP3) dengan kriteria penilaian : kesetiaan, prestasi kerja, tanggung jawab, ketaatan, kejujuran, kerja sama, prakarsa dan kepemimpinan.
34
BAB IV
GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN
4.1.
Lokasi RSU Salewangang Maros Rumah Sakit Umum Daerah Salewangang Maros merupakan satu-satunya
rumah sakit daerah milik pemerintah Kabupaten Maros dengan jangkauan seluas 1.619,11 Km2
dengan jumlah penduduk sebanyak 319.527 jiwa. Penduduk
Kabupaten Maros yang terdiri dari 150.129 jiwa penduduk laki-laki dan 167.097 jiwa penduduk perempuan tersebut tersebar di 14 kecamatan definitif dan 103 desa/kelurahan yang dilayani oleh 14 unit puskesmas yang terdapat di setiap kecamatan. Dengan semakin pesatnya pembangunan kota, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, jumlah penduduk serta perubahan pola pikir dan perilaku masyarakat, maka RSU Salewangang Maros berupaya semaksimal mungkin untuk meningkatkan upaya dalam menciptakan tata kelola kantor yang baik sehingga dapat memberikan pelayanan yang optimal pada subyek internal dan eksternal yang memiliki kepentingan di dalamnya serta layanan publik dalam hal ini pasien.
4.2. Visi, Misi dan Tujuan RSU Salewangang Maros
Visi RSU Salewangang Maros (2011-2015) “Mewujudkan Rumah Sakit yang Unggul Dalam Pelayanan”
35
Misi RSU Salewangang Maros Sesuai dengan misi yang tercantum dalam rencana strategis rektorat bina pelayanan medik departemen kesehatan yang pada dasarnya untuk : 1.
mewujudkan pelayanan medik yang bermutu, efisien, manusiawi, adil dan merata;
2.
mendorong pemberdayaan lintas sektor dan peran serta masyarakat terutama untuk membantu masyarakat miskin dalam pemeliharaan kesehatan;
3.
meningkatkan dan mengembangkan sistem rujukan dan jejaring pelayanan medik yang didukung oleh sumber daya manusia yang profesional, sistem pembiayaan terpadu, pemanfaatan dan pengembangan teknologi tepat guna;
4.
mendorong terciptanya SDM medik yang profesional, akuntabel dan berorientasi pelanggan yang berdasarkan moral, etika dan hukum;
5.
meningkatkan dan mendorong pengembangan dan pemanfaatan teknologi pelayanan medik tepat guna;
6.
mewujudkan
tersedianya
sumber
daya
untuk
peningkatan
dan
pengembangan pelayanan medik, maka dirumuskan beberapa misi untuk mencapai visi Rumah Sakit Umum Salewangang Kabupaten Maros serta mendukung tercapainya visi dan misi direktorat bina pelayanan medik Departemen Kesehatan sebagai : a.
memberikan pelayanan kesehatan yang terintegrasi holistik dan professional kepada lapisan masyarakat miskin;
b.
menyelenggarakan pendidikan yang terpadu dengan pelayanan;
36
c.
menyelenggarakan pelayanan rujukan kesehatan dalam rangka peningkatan kesehatan masyarakat. Nilai-nilai dan Motto Untuk mewujudkan visi melalui misi organisasi memerlukan perjalanan
panjang ke suatu keadaan yang diinginkan, akan dijumpai banyak rintangan, hambatan, kegagalan dan peluang keberhasilan. Untuk tetap eksis dalam mencapai visi tersebut, maka sangat diperlukan semangat yang tinggi agar perjalanan tersebut tidak terhenti dan gagal. Dengan semangat yang tinggi yang dimiliki serta keinginan dasar yang kuat melalui nilai-nilai yang ditanamkan pada setiap personil organisasi maka visi yang telah disepakati dapat terapai. Nilai-nilai yang dianut di Rumah Sakit Umum Salewangang Maros adalah sebagai berikut : 1.
Profesionalisme: Tindakan suatu profesi atau orang yang ahli di bidangnya dengan memegang teguh etika profesi dan standar keahlian yang tinggi.
2.
Ramah
: Sikap dan perilaku yang baik dengan berpraduga positif
dan selalu berusaha menolong pelanggan dengan tulus. 3.
Peduli
: Berusaha segera memahami dengan sungguh-sungguh
masalah yang dihadapi pelanggan dan membantu menyelesaikan masalah tersebut dan dapat memuaskan keinginan pelanggan. 4.
Jujur
: Selalu memegang teguh ketulusan dan keikhlasan dalam
memberikan informasi untuk kepentingan pelanggan. 5.
Tanggung Jawab
: Memikul segala akibat yang timbul dari hasil
pekerjaan dalam memberikan pelayanan yang terbaik bagi pelanggan.
37
6.
Menghargai
: Saling menghargai serta menghormati terhadap
sesama yang lain. Motto Berdasarkan nilai-nilai tersebut di atas serta mencapai visi dan misi yang telah ditetapkan maka diperlukan suatu motto yang tidak saja sebagai suatu hiasan melainkan merupakan perwujudan pengabdian kepada bangsa dan negara. Ada pun motto Rumah Sakit Umum Salewangang Kabupaten Maros “Dengan budaya sipakatau kami melayani dengan sepenuh hati”. Kata sipakatau berasal dari bahasa Bugis - Makassar yang berarti saling hormat menghormati karena diharapkan semua pelaku organisasi di Rumah Sakit Salewangang Kabupaten Maros yang terdiri dari beberapa suku, agama dan ras dapat saling menghormati terhadap perbedaan-perbedaan tersebut agar dapat terwujud kerja sama yang baik antara sesama karyawan.
4.3.
Struktur Organisasi Berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Maros Nomor 22 Tahun 2008
tentang Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Teknis Daerah Kabupaten Maros, susunan organisasi dan tata kerja RSU Salewangang Kabupaten Maros adalah sebagai berikut :
38
Kepala RS
Sekretaris
Jabatan Fungsional
Bag.Umum
Bid. Medik& Non Medik
Bid.Keperawatan
Sub.Bid.Medik UPT Sub.Bid.Non Medik
Bag.Diklat
Bag.Akuntansi
Bid.Pelayanan Masyarakat
Sub.Bid.Asuhan keperawatan
Humas
Sub.Bid.Mnj.Ke perawatan
Rekam Medik
Gbr. 4.1 Struktur Organisasi RSU Salewangang Maros
39
BAB V ANALISIS DAN PEMBAHASAN
5.1.
Analisis
5.1.1. Karakteristik Responden Berdasarkan hasil pengumpulan data melalui kuesioner kepada perawat ruang Instalasi Rawat Darurat (IRD) RSU Salewangang Maros, maka dapat diketahui karakteristik setiap responden berdasarkan usia, jenis kelamin, pendidikan terakhir dan masa kerja.
Tabel 5.1 Karakteristik Responden Berdasarkan Usia Usia
Jumlah Responden
Persentase
20 -23 tahun
8
18.60
24 -27 tahun
18
41.86
28 -31 tahun
12
27.91
> 31 tahun
5
11.63
Total 43 Sumber: Data Primer (Kuesioner), diolah 2012
100%
Berdasarkan tabel di atas dapat diketahui bahwa responden berumur antara 24-27 tahun paling banyak yaitu sebesar 41.86 %, sedangkan yang paling sedikit adalah responden yang berusia di atas 31 tahun yaitu sebesar 11.63 %.
40
Tabel 5.2 Karakteristik Responden Berdasarkan Jenis Kelamin Jenis Kelamin
Jumlah Responden
Persentase
Laki-Laki
10
23.26 %
Perempuan
33
76.74 %
Total 43 Sumber: Data Primer (Kuesioner), diolah 2012
100 %
Beradsarkan tabel di atas diketahui bahwa, responden didominasi oleh (perawat) wanita, yaitu lebih dari setengah jumlah responden atau sebesar 76.74%.
Tabel 5.3 Karakteristik Responden Berdasarkan Pendidikan Terakhir Pendidikan Terakhir
Jumlah Responden
Persentase
DIII Keperawatan
39
90.69 %
SI Keperawatan
3
6.98 %
SI Apoteker
1
2.33 %
Total 43 Sumber: Data Primer (Kuesioner), diolah 2012
100%
Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa hampir seluruh responden atau sebesar 90.69 % berpendidikan memadai untuk perawat, yakni D III Keperawatan.
41
Tabel 5.4 Karakteristik Responden Berdasarkan Masa Kerja Masa Kerja
Jumlah Responden
Presentase
< 1 tahun
6
13,95 %
1-5 tahun
18
41,86 %
6-10 tahun
17
39.53 %
>10 tahun
2
4.65 %
Total
43
100 %
Sumber: Data Primer (Kuesioner), diolah 2012 Tabel 5.4 menunjukkan bahwa lebih dari setengah dari jumlah responden telah mulai bekerja dalam rentang waktu yang cukup lama, yakni antara 1-10 tahun.
5.1.2. Deksripsi Tanggapan terhadap Variabel Stres Kerja dan Kinerja Untuk melihat tanggapan responden terhadap indikator-indikator dan juga penghitungan skor bagi variabel stres kerja dan kinerja, maka diuraikan dalam tabel berikut:
42
Tabel 5.5 Tanggapan Responden terhadap Variabel Stres Kerja (Organisasional) Tanggapan Pertanyaa n 1 2 3 4
5 6
7 8 9 10
Sangat tidak setuju
Tidak Setuju
Ragu-ragu
Setuju
Sangat Setuju
F
%
F
%
F
%
F
%
F
%
3 1 0 0 0 0 0 0 0 2
7.0 2.30 0 0 0 0 0 0 0 4.7
3 9 12 13 16 18 18 14 5 13
7.0 20.9 27.9 30.2 37.2 41.9 41.9 32.6 11.6 30.2
16 28 12 11 21 18 9 11 3 15
37.2 65.1 27.9 25.6 48.8 41.9 20.9 25.6 7.0 34.9
20 4 9 18 5 7 7 18 3 11
46.5 9.3 20.9 41.9 11.6 16.3 16.3 41.9 7.0 25.6
1 1 10 1 1 0 9 0 32 2
2.3 2.3 23.3 2.3 2.3 0 20.9 0 74.4 4.7
Rata-rata
Skor
142 124 146 136 120 118 136 133 191 127 137.3
Tabel di atas memperlihatkan bahwa ada sepuluh indikator dari banyak indikator yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat stres kerja organisasional menurut Istijanto. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa tanggapan responden terhadap Variabel Stres Kerja berada pada range ketiga (cukup). Hal ini dapat diartikan bahwa perawat ruang Instalasi Rawat Darurat RSU Salewangang Maros merasakan stres pada tingkat menengah yang disebabkan oleh faktor stres organisasional dengan indikator/ penyebab paling dominan adalah kurangnya peralatan/ fasilitas kesehatan yang dibutuhkan dalam bekerja serta adanya tuntutan mengutamakan keselamatan pasien dalam mejalankan tugas.
43
Tabel 5.6. Tanggapan Responden terhadap Variabel Stres Kerja (Individual)
Tanggapan
Sangat tidak setuju
Tidak Setuju
Ragu-ragu
Setuju
Sangat Setuju
Pertanyaan
F
%
F
%
F
%
F
%
F
%
1
2 5 0 6 2 1 1 2 3 1
4.7 11.6 0 14.0 4.7 2.3 2.3 4.7 7.0 2.3
13 8 6 16 9 14 9 9 9 8
30.2 18.6 14.0 37.2 20.9 32.6 20.9 20.9 20.9 18.6
21 14 15 16 16 27 21 22 14 23
48.8 32.6 34.9 37.2 37.2 62.8 48.8 51.2 32.6 53.5
3 13 7 2 16 0 12 10 12 11
7.0 30.2 16.3 4.7 37.2 0 27.9 23.3 27.9 25.6
4 3 15 3 0 1 0 0 5 0
9.3 7.0 34.9 7.0 0 2.3 0 0 11.6 0
2 3 4
5 6
7 8 9 10
Rata-rata
Skor
123 130 160 109 132 115 130 126 136 130 128
Tabel di atas memperlihatkan bahwa ada sepuluh indikator diantara banyak indikator yang digunakan untuk mengukur tingkat stres kerja individual menurut Istijanto. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa tanggapan responden terhadap Variabel Stres Kerja Individual berada pada range ketiga (cukup). Hal ini dapat diartikan bahwa perawat Ruang Instalasi Rawat Darurat (IRD) RSU Salewangang Maros mengalami stres pada tingkat menengah yang disebabkan oleh faktor stres individu dengan indikator/ penyebab paling dominan adalah kondisi keluarga/ pribadi yang mengganggu konsentrasi kerja, rasa bosan terhadap pekerjaan/ tugas sehari-hari serta rasa rileks yang sulit didapatkan di waktu kerja mau pun istirahat.
44
Tabel 5.7. Tanggapan terhadap Variabel Kinerja Nilai
1
2
3
4
5
Pertanyaan
F
%
F
%
F
%
F
%
F
%
1
0 0 0 0 0 0 0 0 0 2
0 0 0 0 0 0 0 0 0 4.7
1 0 0 11 8 10 0 3 0 0
2.3 0 0 25.6 18.6 23.3 0 7.0 0 0
8 13 3 3 2 3 20 5 0 11
18.6 30.2 7.0 7.0 4.7 7.0 46.5 11.6 0 25.6
16 14 24 22 13 15 10 25 24 23
37.2 32.6 55.8 51.2 30.2 34.9 23.3 58.1 55.8 53.5
18 16 16 7 20 15 13 10 19 7
41.9 37.2 37.2 16.3 46.5 34.9 30.2 23.3 44.2 16.3
2 3 4 5 6 7 8 9 10
Rata-rata
Skor 180 175 185 154 174 164 165 171 191 162 172.1
Sumber: data diolah (kuesioner), 2012
Tabel di atas memperlihatkan bahwa ada sepuluh indikator dari banyak indikator yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat kinerja karyawan menurut Istijanto. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa tanggapan responden terhadap Variabel Kinerja berada pada range ke empat (baik). Hal ini dapat diartikan bahwa target dan tuntutan tugas yang tinggi untuk menyelesaikan tugas sesuai standar yang ditetapkan, kerja sama tim yang baik dan komunikasi yang baik dengan atasan dapat dilaksanakan dengan baik. Sebagai kesimpulan terhadap respon variabel stres kerja organisasional dan stres kerja individual serta variabel kinerja, dapat diartikan bahwa stres tingkat menengah yang dialami perawat ruang Instalasi Rawat Darurat RSU Salewangang Maros masih memberikan kontribusi positif pada kinerja mereka sehingga dapat disimpulkan bahwa jenis stres yang dialami pada tingkat menengah adalah jenis stres positif atau eustress.
45
5.1.3 Pengaruh Variabel Stres Kerja Organisasional dan Stres Kerja Individual terhadap Variabel Kinerja Dalam tabel-tabel berikut diperlihatkan hasil analisis program SPSS For Windows Version 17.0 untuk setiap variabel beserta koefisien regresi, signifikansi parsial dan simultan serta korelasi dan determinasi.
Tabel 5.8 Ikhtisar Hasil Analisis No.
Variabel
Koefisien
T
Sig.
1
Konstanta
63.281
2
X1
-0.573
-2.414
0.020
3
X2
-0.165
-0.746
0.460
F
0.000
R
0.475
R2
0.226
5.1.3.1 Regresi Tabel out put olah SPSS versi 17.0 di atas menghasilkan analisis statistik (persamaan regresi) sebagai berikut : Y = 63,281 – 0,573 X1 – 0,165 X2 Arti dari konstanta a adalah bahwa tanpa keberadaan variabel X1 (Stres Organisasional) dan variabel X2 (Stres Individual) tingkat kinerja mencapai nilai 63,281 (cukup memuaskan). Sedangkan, nilai koefisien pada variabel X1 yang bertanda negatif menunjukkan bahwa variabel X1 (Stres Organisasional) memiliki hubungan yang berlawanan arah dengan variabel Y (Kinerja). Hal ini berarti bahwa setiap kenaikan satu skala pada variabel X1 akan mengakibatkan penurunan
46
nilai sebesar 0,573 pada variabel Y (Kinerja). Begitu pula pada koefisien variabel X2 yang bertanda negatif memiliki hubungan yang berlawanan dengan variabel Y, dimana setiap kenaikan satu skala pada variabel X2 akan mengakibatkan penurunan nilai sebesar 0,165 pada variabel Y (Kinerja).
5.1.3.2 Uji Signifikansi Parsial (Uji T) Dari tabel out put olah SPSS versi 17.0 di atas dapat diartikan bahwa : Koefisien pertama (konstanta) diperoleh nilai t hitung sebesar 12, 617 dengan menentukan taraf signifikansi sebesar 5% maka diperoleh nilai t tabel (t0.025,42) sebesar 2,018 . Nilai tersebut menunjukkan bahwa t hitung > t tabel sehingga dapat diartikan bahwa konstanta (a) berpengaruh terhadap model regresi. Koefisien kedua diperoleh nilai t hitung sebesar -2,414, dengan taraf signifikansi di bawah 5 % . Nilai tersebut menunjukkan bahwa t hitung > t tabel serta menujukkan nilai signifikansi yang dapat diterima sehingga dapat disimpulkan bahwa model/ variabel stres organisasi berpengaruh signifikan terhadap variabel Y (kinerja). Koefisien ketiga diperoleh nilai t hitung sebesar -0,746 dengan taraf signifikansi di atas 5 % . Nilai tersebut menunjukkan bahwa t hitung < t tabel serta menunjukkan nilai signifikansi yang tidak dapat diterima sehingga dapat disimpulkan bahwa model/ variabel stres individu tidak berpengaruh signifikan terhadap variabel Y (kinerja).
47
5.1.3.3 Uji Signifikansi Simultan (Uji F) Dari tabel out put olah SPSS versi 17.0 di atas diperoleh nilai signifikansi dari F hitung yang dapat diterima yakni kurang dari 5 % atau sebesar 0.000. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa variabel stres organisasional (X1) dan stres individual (X2) secara bersama-sama (simultan) berpengaruh signifikan terhadap variabel kinerja (Y).
5.1.3.4 Koefisen Korelasi Dari tabel out put hasil analisis korelasi dengan menggunakan program SPSS versi 17.0 di atas diperoleh koefisien korelasi (R) sebesar 0.595 yang dapat diartikan bahwa variabel stres organisasi (X1) dan variabel stres individu (X2) memiliki korelasi/ hubungan yang substansial (cukup berarti) dengan variabel kinerja menurut aturan Guilford. 5.1.3.5 Koefisien Determinasi Dari tabel 5.11 diperoleh nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 0.354 menunjukkan bahwa variabel stres organisasional dan stres individual berpengaruh sebesar 35,4 % terhadap variabel kinerja, sedangkan 64,6 % dipengaruhi variabel lain yang tidak menjadi obyek penelitian ini. 5.2
Pembahasan Hasil Penelitian ini menunjukkan adanya kesesuaian hipotesis yang
diajukan, yakni terdapat pengaruh yang signifikan secara simultan dari kedua variabel independen (stres organisasional dan stres individual) terhadap variabel
48
dependen (kinerja). Namun, secara parsial variabel kinerja dipengaruhi dominan dan signifikan oleh variabel stres organisasional. Kebanyakan perawat ruang IRD RSU Salewangang Maros mengeluhkan target dan tuntutan tugas yang terlalu tinggi yang harus mereka jalankan setiap hari,
sehingga terkadang waktu istirahat para perawat harus terabaikan dan
berpindah ke waktu lain. Ini menjadi salah satu faktor dominan pembangkit stres yang dirasakan oleh para perawat (data diolah: kuesioner penelitian). Setiap hari untuk perawat shift pagi harus menjalankan tugas mulai dari pukul 08.00 pagi hingga pukul 08.00 malam melanjutkan kerja perawat shift malam. Setiap langkah dan aktivitas penanganan pasien secara detail harus dicatat oleh setiap perawat sebagai salah satu bukti kerja dan perkembangan keadaan pasien yang ditangani. Bertanggung jawab sepenuhnya atas penanganan/ perawatan yang diberikan kepada pasien yang ditangani juga menjadi beban tersendiri bagi para perawat, terlebih jika pasien yang ditangani lebih dari satu orang dan dalam keadaan yang sangat gawat. Keselamatan pasien menjadi yang utama untuk dipertanggungjawabkan oleh dokter dan terlebih perawat sebagai subyek layanan kesehatan yang lebih intens bertemu dengan para pasien (Wawancara perawat, 27/6/12). Kondisi ini menuntut pergerakan yang super cepat dari para perawat yang rata-rata menangani lebih dari satu pasien setiap harinya yang terus berdatangan hingga melampaui waktu istirahat, pasien yang keadaannya semakin memburuk, serta keluarga pasien yang terlalu banyak memberikan pertanyaan. Kondisi inilah yang disebut kelebihan beban kerja (work overload) secara kualitatif & kuantitatif
49
oleh French & Caplan (dalam Nimran, 1999:89). Hal ini mengindikasikan bahwa perawat ruang IRD RSU Salewangang Maros mengalami stres salah satunya akibat kelebihan beban kerja secara kuantitatif. Kelebihan beban kerja secara kuantitatif adalah suatu kondisi dimana perawat merasa bahwa terlalu banyak pekerjaan yang harus dikerjakan, terlalu beragam hal yang harus dilakukan atau tidak cukup waktu yang tersedia untuk menyelesaikan tugas yang dibebankan, Ivancevich & Matteson (dalam Nimran, 1990:90). Faktor stres individual juga dialami oleh perawat ruang IRD, dimana beberapa perawat mengaku merasa bosan dengan pekerjaan/ tugas yang dijalankan sehari-hari. Rasa jenuh/bosan tersebut menurut Hudak (1997:131-132) antara lain disebabkan oleh, pekerjaan rutin yang diulang-ulang, setiap langkah harus ditulis, perpindahan perawat ke tempat lain, situasi akut yang sering terjadi, bahaya fisik yang mengancam seperti, tertusuk jarum suntik, terpapar sinar radiasi dan terinveksi virus, mengangkat beban yang terlalu berat, bunyi atau pun suara yang terus menerus baik dari alat monitor mau pun pasien yang menjerit, merintih atau menangis dan terlalu sering mencium bau tubuh pasien yang mengeluarkan darah, muntah, urin juga feses yang mengotori tubuh dan ranjang pasien. Kondisi dan pekerjaan yang berulang-ulang tersebut menurut beberapa perawat dapat menyebabkan gangguan pendengaran, penciuman mau pun daya konsentrasi yang seharusnya tetap berada pada kondisi normal/ efektif pada saat perawat sedang bertugas. Gangguan-gangguan daya konsentrasi perawat juga sering terjadi disebabkan oleh faktor masalah keluarga, namun hal tersebut masih dapat dikelola dengan baik mengingat lebih dari 50 % responden (perawat) adalah
50
wanita dimana dalam kondisi ini mereka berpendapat bahwa masih dapat mengelola keadaan hati dan fikiran mereka dalam bekerja. Sedangkan sebagian kecil responden lainnya yakni laki-laki mengandalkan pengalaman kerja yang cukup lama sehingga merasa cukup mampu pula untuk menyesuaikan keadaan keluarga dengan tuntutan tugas. Tekanan-tekanan kerja/ stres yang dialami perawat ruang IRD RSU Salewangang Maros berdasarkan hasil analisis berada pada tingkat menengah yang memberikan kontribusi positif pada kinerja mereka. Keadaan yang menciptakan stres kerja tersebut justru mampu membuat para perawat termotivasi untuk bekerja lebih optimal, sehingga tingkat kinerjanya masih berada pada kisaran range yang cukup baik. Jenis stres ini disebut stres positif/ eustress. Keadaan inilah yang digambarkan dalam teori Robbins (Hubungan Uterbalik) yang menyatakan bahwa stres pada tingkat rendah sampai sedang merangsang tubuh dan meningkatkan kemampuan untuk bereaksi, pada saat itulah individu sering melakukan tugasnya dengan lebih baik, lebih intensif atau lebih cepat. Sebaliknya, stres pada tingkat yang lebih memuncak/ berkelanjutan memicu perubahan fisik dan mental ke arah yang lebih lemah/ berpola negatif sehingga mengakibatkan kinerja menurun. Berdasarkan hasil analisis penelitian ini, hubungan tersebut dapat digambarkan melalui grafik berikut ini :
51
kinerja 190 146,5 112 77,5 43 0
43 77,5
112
146,5
190
stres
Gbr. 5.1 Hubungan U-terbalik antara stres dan kinerja perawat ruang IRD RSU Salewangang Maros
Grafik tersebut menggambarkan tingkat stres pada sumbu horizontal yang semakin meningkat ke arah kanan dan tingkat kinerja pada sumbu vertikal yang semakin meningkat ke arah atas. Secara simultan stres organisasional dan stres inidvidual berada pada titik 132,65 atau berada pada range dengan kategori cukup. Sedangkan, kinerja berada pada titik 172,1 atau berada pada range baik. Garis melengkung berbentuk „u‟ terbalik menggambarkan hubungan antara stres dan kinerja, dimana kondisi stres yang dialami oleh perawat ruang IRD RSU Salewangang Maros pada tingkat menengah menciptakan laju/ tingkat kinerja yang semakin meningkat, seperti terlihat pada lengkungan grafik yang dijelaskan dalam teori Robbins bahwa tekanan-tekanan tingkat menengah itulah yang mendorong kuat para perawat untuk bekerja lebih optimal. Berdasarkan data statistik identitas responden dapat diketahui bahwa manajemen stres secara individu oleh para perawat masih tergolong baik. Hal ini disebabkan oleh usia para perawat yang telah cukup matang dalam berpikir,
52
pendidikan keperawatan yang memadai, masa kerja yang cukup untuk memberi pengalaman pada perawat serta perawat didominasi oleh kaum wanita yang secara psikologi keadaan dan tingkah lakunya selalu didominasi oleh perasaan. Pengelolaan stres yang cukup baik tersebut juga didukung dengan tersedianya ruang khusus perawat yang dilengkapi dengan tempat tidur, tempat duduk, lemari pendingin serta televisi yang dapat menjadi tempat berkumpul perawat untuk beristirahat di sela waktu bertugas atau bersenda gurau dengan perawat lain atau sebagai tempat konsultasi satu sama lain. Namun berdasarkan hasil analisis regresi, jika perawat dan pihak manajemen tidak mampu berkolaborasi dengan baik dalam melaksanakan manajemen stres, stres yang dialami oleh para perawat dapat meningkat menjadi stres jenis negatif/ distress yang menyebabkan kinerja perawat menurun dan berdampak pada pelayanan kesehatan yang kurang optimal sehingga secara lebih luas memberi implikasi negatif pada rumah sakit, yakni tidak tercapainya visi rumah sakit, yakni memberikan pelayanan kesehatan optimal kepada obyek layanan kesehatan.
53
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN
6.1.
Kesimpulan Dari hasil penelitian ini dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : 1. stres organisasional dan stres individual yang dialami oleh perawat ruang Instalasi Rawat Darurat RSU Salewangang Maros, secara simultan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kinerja ; 2. stres organisasional secara parsial memiliki pengaruh yang dominan dan signifikan terhadap kinerja perawat ; 3. jenis stres yang dialami oleh perawat ruang Instalasi Rawat Darurat RSU Salewangang Maros dalah jenis stres positif/ eustress.
6.2.
Saran Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat diajukan beberapa saran sebagai
berikut : 1. sebaiknya manajemen Rumah Sakit secara khusus manajemen Ruang Instalasi Rawat Darurat RSU Salewangang Maros lebih memberikan perhatian khusus terhadap kondisi stres yang dialami para perawat ruang IRD. Secara lebih spesifik, penulis menyarankan agar dibuat program konseling periodik dan/atau pembagian kuesioner periodik untuk mengetahui kondisi stres perawat dan pengaruhnya terhadap kinerja perawat.
54
2. program konseling
dan/atau pembagian kuesioner periodik seperti
pada saran sebelumnya juga dapat dimanfaatkan sebagai alat untuk mengetahui penghambat kinerja perawat secara organisasional, seperti kurangnya
fasilitas
kesehatan
yang
dapat
digunakan
untuk
mengoptimalkan kerja perawat sebagai tangan kanan dokter dan tuntutan-tuntutan tugas yang mungkin tidak sesuai dengan kapasitas sebagian besar perawat. 3. sebaiknya para perawat terus menyadari tugas dan perannya yang sangat mulia, sehingga tekanan-tekanan kerja yang dirasakan baik secara organisasi mau pun individu dapat dikelola dengan baik dan tetap dapat memberikan kontribusi positif pada kinerja. 4. sebaiknya ruang khusus perawat banar-benar dimanfaatkan untuk menjadi tempat berkumpul perawat melepas penat setelah menjalankan tugas. Fasilitas - fasilitas yang disediakan di dalam ruangan sudah cukup memadai namun pencahayaan perlu disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan perawat.
55
DAFTAR PUSTAKA Anitawidanti, Hafni. (2010) Skripsi: Analisis Hubungan Antara Stres Kerja dengan Kepuasan Kerja Karyawan Berrdasarkan Gender:Studi Pada PT Trasindo Surya Sarana. Semarang : Universitas Diponegoro. http://eprints.undip.ac.id/22995/1/skripsistreskerjavskepuasankerja.pdf Diakses 28 Februari 2009 pukul 22:38 WITA
Christianus. 2010. Belajar Kilat SPSS 17.0. Yogyakarta: Andi-Elcom.
Darma,Viko.P. 2008. Skripsi: Analisis Stressor Kerja Dengan Kinerja Perawat Di Ruang Rawat Inap RSUD Genteng Banyu Wangi 2008. Dokumen Tidak Terpublikasi. Makassar: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin.
Hafizurrachman, HM. (2011) Disertasi : Pengembangan Model Prediktif Dalam Mengukur Kinerja Perawat dan Kebijakannya di Rumah Sakit Umum Daerah Tangerang.Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.Diakses 3 April pkl.05:02 WITA.
Hasibuan, H. Malayu, S.P. (2005). Manajemen Sumber Daya Manusia. (Edisi Revisi). Jakarta: PT. Bumi Aksara.
Heni Agnes,T.(2007).Panduan Praktis Pengolahan Data Statistik dengan SPSS 15.0.Semarang:Andi-Wahana Komputer.
Inayah, Niena. (2011). Skripsi: Pengaruh Iklim Komunikasi Terhadap Prestasi Kerja Karyawan Pada Lembaga Bimbingan Belajar JILC Makassar. Dokumen Tidak Terpublikasi. Makassar: Fakultas Ekonomi Universitas Hasanuddin.
Istijanto,M.M.,. 2006. Riset Sumber Daya Manusia (cara praktir mendeteksi dimensi-dimensi kerja karyawan). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
56
Mangkunegara, A. A. Anwar Prabu, Drs., M.Si., Psi. (2000). Manajemen Sumber Daya Manusia Perusahaan. Cetakan Kedua. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Mangkunegara, A. A. Anwar Prabu, Drs., M.Si., Psi. (2002). Manajemen Sumber Daya Manusia Perusahaan. Cetakan Ketiga. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Mangkunegara. (2005). Evaluasi Kinerja SDM Cetakan satu. Bandung: Refika Aditama
Narbuko, Cholid, Drs. & Achmadi, H. Abu, Drs. (2008). Metodologi Penelitian. Cetakan Kesembilan. Jakarta: Bumi Aksara.
Noviandari, Ratna Restu. (2007) Skripsi : Analisis Pengaruh Stres Kerja Terhadap Kinerja Karyawan (Studi Kasus PT Pos Indonesia(Persero) Jakarta Timur 13000 .Bogor: Institut Pertanian Bogor. http://www.google.co.id/#hl=id&sclient=psyab&q. Diakses tanggal 29 Maret 2012 pukul. 14:56 WITA.
Nurasma,A.N.H.,. 2010. Skripsi:Hubungan Beban Kerja Terhadap Kinerja Perawat Di Rumah Sakit Andi Makkasau Pare-Pare Tahun 2009. Dokumen Tidak Terpublikasi 2010. Makassar: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin.
Rahayu Sri. 2005. SPSS Versi 12.0 dalam Riset Pemasaran. Bandung: CV Alfabeta.
Rakhmat, Jalaluddin, Drs., M.Sc. (2001). Metode Penelitian Komunikasi. Cetakan Kesembilan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Robbins, S.P. 1996. Perilaku Organisasi Jilid 2.Alih Bahasa Hadyana Pujaatmaka. Jakarta : PT Prenhallindo