sampul, abstrak, ucapan terima kasih, daftar isi rev071213.docx BAB 1-6 rev071213.docx
TESIS
PEMANFAATAN LAHAN PRA DAN PASCAREKLAMASI DI PULAU SERANGAN
I GEDE SURYA DARMAWAN
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2013
i
TESIS
PEMANFAATAN LAHAN PRA DAN PASCAREKLAMASI DI PULAU SERANGAN
I GEDE SURYA DARMAWAN NIM 1191861003
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ARSITEKTUR PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2013
i
PEMANFAATAN LAHAN PRA DAN PASCAREKLAMASI DI PULAU SERANGAN
Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister pada Program Magister, Program Studi Arsitektur-Perencanaan dan Manajemen Pembangunan Desa dan Kota, Program Pascasarjana Universitas Udayana
I GEDE SURYA DARMAWAN NIM 1191861003
PROGRAM MAGISTER PROGRAM STUDI ARSITEKTUR PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR 2013
ii
Lembar Pengesahan
TESIS INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL 09 DESEMBER 2013
Pembimbing I,
Pembimbing II,
Dr. Ir. Syamsul Alam Paturusi, MSP. NIP. 19570506 198403 1 001
Dr. Eng. I Wayan Kastawan, ST., MA. NIP. 19710917 199702 1 002
Mengetahui
Ketua Program Teknik Arsitektur Program Pascasarjana Universitas Udayana,
Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana,
G. A. M. Suartika, ST., MEngSc., PhD. NIP. 19691018 199412 2 001
Prof. Dr. dr. A. A. Raka Sudewi, Sp. S (K) NIP. 19590215 198510 2 001
iii
Tesis Ini Telah Diuji pada Tanggal 04 Desember 2013
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana, No : 3290/UN 14.4/HK/2013, Tanggal 04 Desember 2013
Ketua : Dr. Ir. Syamsul Alam Paturusi, MSP.
Anggota 1. Dr. Eng. I Wayan Kastawan, ST., MA. 2. Dr. Ir. I Gusti Made Putra, MSi. 3. Dr. Ir. Ida Ayu Armeli, MSi. 4. Gusti Ayu Made Suartika, ST., MengSc., Ph.D.
iv
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
Saya yang bertandatangan dibawah ini : Nama
: I Gede Surya Darmawan
NIM
: 1191861003
Program Studi : Magister Arsitektur Judul Tesis
: Pemanfaatan Lahan Pra dan Pascareklamasi di Pulau Serangan
Dengan ini menyatakan bahwa karya ilmiah Tesis ini bebas plagiat. Apabila di kemudian hari terbukti plagiat dalam karya ilmiah ini, maka saya bersedia menerima sanksi sesuai peraturan Mendiknas RI No.17 Tahun 2010 dan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku.
Denpasar, 9 Desember 2013 Yang membuat pernyataan,
I Gede Surya Darmawan
v
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur penulis ucapkan kehadapan Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan karunianya, tesis berjudul “Pemanfaatan Lahan Pra dan Pascareklamasi di Pulau Serangan” dapat diselesaikan sesuai waktu yang telah ditentukan. Penelitian ini memiliki tujuan untuk mengidentifikasilahan-lahan di Pulau Serangan yang mengalami perubahan pemanfaatan kemudian dikomparasikan. Selanjutnya untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan pemanfaatan lahan pascareklamasi, serta mengkaji dampak yang ditimbulkan dari perubahan tersebut terhadap keberlanjutan Pulau Serangan sebagai wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Dalam menyelesaikan tesis ini, tentunyamendapat bimbingan dan masukan dari berbagai pihak sehingga kesulitan-kesulitan dalam penyusunan proposal tesis ini dapat teratasi. Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : Prof. Dr. dr. I Made Bakta, Sp.PD (K.Hom) selaku Rektor Universitas Udayana yang telah memberikan berbagai fasilitas bagi penulis untuk mengikuti jalannya perkuliahan dan menyelesaikan pendidikan di Magister Universitas Udayana. Prof. Dr. dr. A. A. Raka Sudewi, Sp. S (K) selaku Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menjadi mahasiswa Program Magister pada Program Pascasarjana Universitas Udayana.
vi
Dr. Ir. Syamsul Alam Paturusi, MSP., selaku Dosen Pembimbing Satu, dengan kesabarannya memberikan masukan serta saran positif sehingga mendukung kelancaran dan mempercepat penyelesaian tesis ini. Dr. Eng. I Wayan Kastawan, ST. MA., selaku Dosen Pembimbing Dua yang dengan kesabarannya memberikan saran dan arahan positif sehingga tesis ini dapat diselesaikan dengan dengan lancar dan maksimal. Dr. Ir. I Gusti Made Putra, MSi., selaku Dosen Penguji Satu yang memberikan masukan serta saran positif dalam penyusunan tesis ini. Dr. Ir. Ida Ayu Armeli, MSi., selaku Dosen Penguji Dua yang memberikan saran serta arahan positif dalam penyelesaian tesis ini. G. A. M. Suartika, ST. MEngSc. PhD, selaku Dosen Penguji Tiga sekaligus Ketua Program Studi Magister Teknik Arsitektur yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas bagi penulis serta memberikan arahan positif dalam menyelesaikan studi pendidikan di Magister Arsitektur Universitas Udayana. Keluarga yaitu Bapak, Ibu, Yuyik, Mangtak, dan Tutik yang tidak hentihentinya memberikan semangat dan dorongan positif dalam penyelesaian tesis ini serta dengan kesabaran terus menerus memberitahu agar cepat menyelesaikannya. Kadek Kurbani, Spd., sebagai pacar tercinta dan rekan terbaik yang selalu ikut serta dalam penelitian ke lapangan serta menemani disaat senang maupun susah sehingga tidak terasa tesis ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Serta teman-teman yang telah membantu memberikan masukan dan data terkait penelitian yang sangat membantu penulis dalam penyusunan tesis ini.
vii
Penulis sadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna dan masih banyak terdapat kekurangan. Untuk itu diharapkan saran dan kritik positif dari pembaca demi kesempurnaan tesis ini. Semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan utamanya bagi masyarakat lokal Pulau Serangan serta memberikan masukan dan sebagai informasi bagi pemerintah setempat dalam konteks pemanfataan lahan pra dan pascareklamasi di Pulau Serangan. Akhir kata, penulis ucapkan terima kasih.
Denpasar, 9 Desember 2013 Penulis,
I Gede Surya Darmawan NIM 1191861003
viii
PEMANFAATAN LAHAN PRA DAN PASCAREKLAMASI DI PULAU SERANGAN ABSTRAK Pulau Serangan merupakan pulau yang memiliki nilai lokalitas historis yang tinggi karena adanya reklamasi tahun 1995-1998 yang merubah fisik Pulau Serangan dari seluas 111 hektar menjadi 481 hektar yang mengubah zonasi pemanfaatan serta kepemilikan lahan karena adanya lahan kepemilikan investor PT. Bali Turtle Island Development (BTID) pada pascareklamasi. Pada prareklamasi hanya terdapat lahan kepemilikan masyarakat Pulau Serangan, sedangkan pascareklamasi, wilayah Pulau Serangan telah terbagi dua dan dipisahkan oleh kanal yaitu wilayah permukiman penduduk (di sebelah kiri kanal wisata) dan wilayah PT. BTID (di sebelah kanan kanal wisata). Dalam menjawab fenomena tersebut, maka timbul 3 pertanyaan penelitian yaitu: 1) Bagaimana kondisi pemanfaatan lahan pra dan pascareklamasi di Pulau Serangan? 2) Faktor-faktor apa yang mempengaruhi perubahan pemanfaatan lahan pascareklamasi di Pulau Serangan? dan 3) Bagaimana dampak perubahan pemanfaatan lahan pascareklamasi terhadap keberlanjutan Pulau Serangan sebagai wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil? Berdasarkan jenis penelitian yang mengandung nilai lokalitas yang kuat karena hanya terjadi di Pulau Serangan, maka dalam menjawab ketiga rumusan penelitian digunakan pendekatan kualitatif. Jenis data yang dipergunakan adalah data kualitatif dengan teknik penelitian observasi dan survey. Instrumen yang dipergunakan alat foto dan recorder hp, dan pedoman wawancara dengan pengambilan purposive sampling. Hasil penelitian didapatkan fakta bahwa reklamasi tahun 1995-1998 telah mengubah pemanfaatan serta perluasan lahan secara makro/global dan mikro/terperinci. Dalam penelitian ini, didapatkan faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan tersebut antara lain faktor fisik lahan dengan adanya reklamasi besar-besaran oleh PT. BTID, faktor ekonomi, dan kelembagaan serta faktor-faktor pendukung seperti faktor sosial, budaya, dan kepercayaan masyarakat. Dampak dari perubahan pemanfaatan lahan terhadap tiga pilar keberlanjutan pembangunan di Pulau Serangan, kurang memberikan keberlanjutan lingkungan dan sosial, namun memberikan keberlanjutan ekonomi. Dapat disimpulkan, perubahan pemanfaatan lahan melalui reklamasi di Pulau Serangan kurang mendukung keberlanjutan Pulau Serangan sebagai wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, sehingga dalam menerapkan reklamasi pada daerah lain di Pulau Bali harus benar-benar memperhatikan ketiga pilar pembangunan berkelanjutan. Kata Kunci: pemanfaatan lahan, faktor, dampak, pra dan pascareklamasi
ix
THE LAND USE ON PRE- AND POST-RECLAMATION IN SERANGAN ISLAND ABSTRACT Serangan Island is an island, that has a high locality with historical value because of the reclamation from 1995 to 1998, that changed the physical appearence of the Serangan Island area from 111 hectares to 481 hectares. It changed the territorial area and the land ownership by PT. Bali Turtle Island Development (BTID) on post-reclamation. In the pre-reclamation, the land ownership was owened by the local people. Mean while, after the reclamation Serangan Island is devided into two and it is seperated by a canal, which are: as the resident area (on the left side of the canal) and the land ownership by PT. BTID (on the right side of the canal). From those phenomenon above, there are three questions could be formulated as below: 1) How was the land use pre-and postreclamation in Serangan Island? 2) What kinds of factor that can effected the changes of the land use post-reclamation in the Serangan Island? and 3) How was the impacts of the land use change post-reclamation towards sustainability Serangan Island as coastal areas and small islands? Based on the type of the research, Serangan Island has a high locality value and reclamation occurred there, all the above questions could be answered by using the qualitative method. The data used are in qualitatif method with observation tecnique and survey. The instruments used are photograph, recorder from mobile phone, purposive sampling by holding an interview with the local people. The results showed that in the reclamation period from 1995 until 1998 has been changed the land use and expansion are in term of macro or global and micro or detailed. In this research it was found the factors which effecting these changes including physical factors of land use by the massive reclamation cause by PT. BTID, in economical factors, and others supporting factors such as: social factors, culture and the local people belief. The impatcs of land use changes on the three pillars of sustainable development in the Serangan Island, it is less provide to the environmental and social sustainability, but provide economic sustainability. For the conclusions, land use change through reclamation in Serangan Island is less support sustainability on Serangan Island as coastal areas and small islands, so that in applying reclamation in other areas of the island should really pay attention to the three pillars of sustainable development. Keywords: land use, factors, impatcs, pre-and post-reclamation
x
RINGKASAN
Pemanfaatan lahan pra dan pascareklamasi di Pulau Serangan terbagi menjadi dua yaitu perubahan pemanfaatan secara makro/global dan secara mikro/terperinci. Secara makro, perubahan pemanfaatan lahan melalui reklamasi Pulau Serangan dimulai tahun 1995 dan terhenti tahun 1998. Reklamasi ini mengubah luas Pulau Serangan menjadi empat kali lipat dari luas asli Pulau Serangan (dari 111 hektar menjadi 481 hektar). Keadaan Pulau Serangan prareklamasi yang terdiri dari beberapa pulau yang membentuk kesatuan pulau, berubah menjadi satu pulau tanpa adanya pemisah berupa laut. Meskipun mengalami perluasan, justru membuat wilayah kekuasaan masyarakat setempat menjadi menyempit karena pihak PT. BTID membagi wilayah kekuasaan lahan di Pulau Serangan menjadi dua yaitu wilayah Permukiman Penduduk dan wilayah PT. BTID yang dipisahkan oleh kanal wisata selebar 10 meter. Luas wilayah Permukiman Penduduk pascareklamasi 46,5 hektar yang mana pada prareklamasi seluas 111 hektar. Secara mikro, perubahan pemanfaatan lahan pra dan pascareklamasi di Pulau Serangan terbagi menjadi dua yaitu lahan yang mengalami perluasan dengan jenis pemanfaatan tetap, dan lahan yang mengalami perubahan pemanfaatan lahan. Lahan yang mengalami perluasan misalnya: lahan Pura Dalem Sakenan, Pura Segara, Pura Dalem Cemara, Pura Prajapati, Pura Puncaking Tingkih, Pura Tanjung Sari, Pura Tirta Arum, Pura Taman Sari, dan Kuburan. Sedangkan lahan yang mengalami perubahan pemanfaatan adalah: perubahan laut menjadi Taman Kota, Pasar, LPD, KUD, Balai Konservasi Penyu, berbagai fasilitas Watersport,
xi
Permukiman Banjar Kubu, Pura Beji Dalem Sakenan, Pura Batu Api, dan Pura Batu Kerep. Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan pemanfaatan lahan terdiri dari tiga yaitu faktor fisik lahan, faktor ekonomi dan kelembagaan. Disamping itu, terdapat pula faktor-faktor pendukung seperti faktor sosial, budaya, adat istiadat, dan kepercayaan masyarakat setempat. Faktor fisik lahan yang dimaksud adalah tingkat abrasi daratan Pulau Serangan yang cukup tinggi. Sedangkan faktor ekonomi yaitu masalah income dan kesejahteraan penduduk Pulau Serangan yang rendah, masalah pelestarian penyu yang dikelola dengan baik, masalah kondisi Pura Sakenan yang perlu diperluas serta perbaikan sarana-prasarana di Pulau Serangan. Faktor kelembagaan yang dimaksud yaitu kedatangan PT. BTID yang terdiri dari Group Bimantara dan Kodam IX Udayana melakukan reklamasi Pulau Serangan tahun 1995 berdasarkan SK Gubernur Bali 24 Desember 1992 dan Izin Keruk dan Reklamasi oleh Departemen Perhubungan 1996. Sedangkan faktor sosial, budaya, dan kepercayaan yang dimaksud adalah budaya masyarakat Pulau Serangan prareklamasi yang menimbun daratan secara manual akibat abrasi yang cukup tinggi serta adanya pawisik dari Tuhan yang melatarbelakangi pendirian Pura Beji Dalem Sakenan, Pura Batu Api dan Pura Batu Kerep. Dampak perubahan pemanfaatan lahan pascareklamasi kurang memberikan keberlanjutan Pulau Serangan sebagai wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Hal ini dikarenakan hanya memberikan dampak positif bagi keberlanjutan ekonomi, namun memberikan
dampak
negatif
bagi
keberlanjutan
lingkungan
dan
sosial.
Keberlanjutan ekonomi terjadi dikarenakan: pascareklamasi tingkat kesejahteraan
xii
penduduk lebih baik yang terbukti dari keadaan rumah-rumah yang dikategorikan dalam level menengah dan sebagian kecil katogori rumah mewah, munculnya berbagai alternatif mata pencaharian (tidak hanya sebagai nelayan saja), lahanlahan baru hasil reklamasi yang diserahkan PT. BTID kepada Desa Pakraman Serangan yang letaknya strategis dan memiliki nilai ekonomi yang tinggi. Namun dampak negatif yang mengancam keberlanjutan sosial Pulau Serangan misalnya: pelanggaran hak asasi manusia dalam proses pembelian paksa lahan warga dialihfungsikan menjadi lahan PT. BTID, isolasi masyarakat dengan adanya kanal wisata yang membagi wilayah Permukiman Penduduk dan wilayah PT. BTID, dan ritualisasi membawa/menggotong mayat ke Kuburan dengan menyeberangi laut. Sedangkan dampak negatif bagi keberlanjutan lingkungan yaitu kerusakan ekosistem rawa dan laut, kerusakan ekosistem darat dan rusaknya struktur tanah/kekeringan, dan terganggunya proses alam. Oleh karena itu, perubahan pemanfaatan
pascareklamasi
kurang
mendukung
3
pilar
pembangunan
berkelanjutan sebagai indikator keberlanjutan pembangunan dari suatu daerah.
xiii
DAFTAR ISI
PRASYARAT GELAR.................................................................................... ii LEMBAR PENGESAHAN.............................................................................
iii
PENETAPAN PANITIA PENGUJI................................................................
iv
LEMBAR PERNYATAAN.............................................................................. v UCAPAN TERIMA KASIH.....………………………………………….......
vi
ABSTRAK........................................................................................................ ix ABSTRACT...................................................................................................... x RINGKASAN................................................................................................... xi DAFTAR ISI…………………………………………………………............. xiv DAFTAR TABEL………………………………………………..................... xviii DAFTAR DIAGRAM...................................................................................... xix DAFTAR GAMBAR………………………………………………………… xx DAFTAR ISTILAH.......................................................................................... xxiii
BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………
1
1.1 Latar Belakang……………………………………………................... 1 1.2 Rumusan Masalah………………………………………...……........... 6 1.3 Tujuan Penelitian……………………………………………............... 6 1.3.1 Tujuan Umum.............................................................................. 7 1.3.2 Tujuan Khusus............................................................................. 7 1.4 Manfaat Penelitian………………………………................................. 7 1.4.1 Manfaat Akademis....................................................................... 8 1.4.2 Manfaat Praktis............................................................................ 8
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN…............….................
9
2.1 Kajian Pustaka……………...……………………................................ 9 2.1.1 Penelitian Mengenai Perubahan Pemanfaatan Ruang dan Lahan 10 2.1.2 Penelitian Mengenai Studi Kasus Pulau Serangan....................... 11
xiv
2.2 Kerangka Berpikir.................................................................................. 12 2.3 Konsep……………………………………...…...................…............. 13 2.3.1 Reklamasi..................................................................................... 14 2.3.2 Pulau Serangan sebagai Pulau-Pulau Kecil......………............... 16 2.4 Landasan Teori……............………………………………….............. 17 2.4.1 Perubahan Pemanfaatan Lahan.................................................... 17 2.4.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perubahan Pemanfaatan Lahan............................................................................................ 19 2.4.3 Pembangunan Berkelanjutan/Sustainable Development.............. 22 2.5 Model Penelitian……………………………...…...………….............. 25
BAB III METODE PENELITIAN………………………………………....... 27 3.1 Pendekatan Penelitian…….......……………………..…..……............. 27 3.2 Lokasi Penelitian……………......................……..…………............... 28 3.3 Jenis dan Sumber Data……………………............………….............. 30 3.3.1 Jenis Data....................................................................................
30
3.3.2 Sumber Data................................................................................ 31 3.4 Instrumen Penelitian…………..……………………..………............. 35 3.5 Teknik Sampling................................................................................... 36 3.6 Teknik Pengumpulan Data………..............…..............……...............
38
3.6.1 Teknik Observasi......................................................................... 38 3.6.2 Teknik Survey.............................................................................
39
3.6.3 Teknik Dokumen......................................................................... 40 3.7 Analisis Data………………....……..................................................... 40 3.8 Penyajian Hasil Analisis Data……...…................................................ 44
BAB IV GAMBARAN UMUM PULAU SERANGAN..........……………...
45
4.1 Gambaran Umum Pulau Serangan Prareklamasi......…...…….............. 45 4.1.1 Gambaran Fisik Pulau Serangan Prareklamasi............................ 45 4.1.2 Gambaran Sosial Pulau Serangan Prareklamasi........................... 49 4.1.3 Gambaran Perekonomian Pulau Serangan Prareklamasi............. 50
xv
4.2 Gambaran Umum Pulau Serangan Pascareklamasi...…..….…............. 53 4.2.1 Sejarah dan Proses Reklamasi Pulau Serangan........................... 53 4.2.2 Gambaran Fisik Pulau Serangan Pascareklamasi......….............. 56 4.2.3 Gambaran Sosial Pulau Serangan Pascareklamasi...................... 60 4.2.4 Gambaran Perekonomian Pulau Serangan Pascareklamasi......... 63
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN...................................…………….... 68 5.1 Kondisi Pemanfaatan Lahan Pra dan Pascareklamasi........................... 68 5.1.1 Perubahan Pemanfaatan Lahan Secara Makro/Global................ 69 5.1.2 Perubahan Pemanfaatan Lahan Secara Mikro/Terperinci............ 75 5.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perubahan Pemanfaatan Lahan Pascareklamasi di Pulau Serangan.......................................................
116
5.2.1 Faktor Fisik Lahan.................................……….........................
117
5.2.2 Faktor Ekonomi........................................................................... 128 5.2.3 Faktor Kelembagaan.................................................................... 133 5.2.4 Faktor-Faktor Lainnya................................................................. 138 5.3 Dampak Perubahan Pemanfaatan Lahan terhadap Keberlanjutan Pulau Serangan sebagai Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.........
144
5.3.1 Keberlanjutan Lingkungan/Ekologi..............................………... 144 5.3.2 Keberlanjutan Ekonomi............................................................... 152 5.3.3 Keberlanjutan Sosial.................................................................... 164
BAB VI PENUTUP.................................................................……………….. 170 6.1 Kesimpulan.............................................................…..…..……............ 170 6.1.1 Kondisi Pemanfaatan Lahan Pra dan Pascareklamasi di Pulau Serangan........................................................................………... 170 6.1.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perubahan Pemanfaatan Lahan Pascareklamasi di Pulau Serangan.................................... 171 6.1.3 Dampak Perubahan Pemanfaatan Lahan Pascareklamasi terhadap Keberlanjutan Pulau Serangan sebagai Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil...................................................... 173
xvi
6.2 Saran......................................................................…..…..……............ 176
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………... 178 LAMPIRAN.....................................................................................................
xvii
183
DAFTAR TABEL
3.1 Jenis dan Sumber Data Terkait Penelitian.................................................. 34 3.2 Teknik Penyajian Hasil Analisis Data....................................................... 44 4.1 Luas Wilayah Menurut Pemanfaatan Tahun 2011.................................... 57 4.2 Jumlah Penduduk Pulau Serangan Tahun 2011......................................... 60 4.3 Komposisi Penduduk Pulau Serangan Tahun 2011................................... 61 4.4 Komposisi Penduduk Tahun 2011 Menurut Agama.................................
63
4.5 Mata Pencaharian Penduduk Pulau Serangan tahun 2011........................
63
4.6 Gambaran Umum Pulau Serangan Pra dan Pascareklamasi...................... 67 5.1 Perbandingan Pasar, LPD, dan KUD Pra dan Pascareklamasi.................
80
5.2 Perbandingan Konservasi Penyu dan Bumi Perkemahan, dan Fasilitas Watersport Pra dan Pascareklamasi............................................
84
5.3 Perbandingan Banjar-Banjar Pra dan Pascareklamasi............................... 99 5.4 Komparasi Pemanfaatan Lahan Pra dan Pascareklamasi.......................... 115
xviii
DAFTAR DIAGRAM
2.1 Kerangka Berpikir....................................................................................... 13 2.2 Model Penelitian......................................................................................... 26 3.1 Skematik Pendekatan Penelitian................................................................ 28 3.2 Metode Non Random Sampling Dengan Cara Purposive Sampling.......... 37 3.3 Skema dari Teknik Sampling Snowball pada Penelitian........................... 38 3.4 Tahap Analisa Data Observasi................................................................... 42 3.5 Tahap Analisa Data Wawancara/Interview................................................ 43 3.6 Tahap Analisa Data Dokumen................................................................... 43 5.1 Mekanisme Kelembagaan Perubahan Lahan Secara Makro di Pulau Serangan..................................................................................................... 134
xix
DAFTAR GAMBAR
2.1
Tiga Pilar Permbangunan Berkelanjutan.................................................. 24
3.1
Peta Lokasi Penelitian yaitu Pulau Serangan........................................... 29
3.2
Pemanfaatan Lahan di Wilayah Permukiman dan PT. BTID................. 30
4.1
Pulau Serangan Prareklamasi Tahun 1948.............................................. 46
4.2
Pulau Serangan Prareklamasi Tahun 1995.............................................. 47
4.3
Pemanfaatan Lahan Prareklamasi di Pulau Serangan.............................. 48
4.4
Letak Banjar-Banjar dan Kampung Bugis Prareklamasi.......................... 49
4.5
Persentase Penduduk Menurut Agama di Pulau Serangan...................... 50
4.6
Kondisi Fisik Pulau Serangan Pascareklamasi......................................... 56
4.7
Pembagian Wilayah di Pulau Serangan yang Dipisahkan Kanal............. 57
4.8
Kondisi Jalan Gang Rumah (Kiri); Jalan Lingkungan (Tengah); dan Jalan Utama Penghubung Pulau Bali dengan Pulau Serangan (Kanan)... 58
4.9
Sistem Pengelolaan Sampah Pascareklamasi........................................... 59
4.10 Saluran Air Kotor Berupa Got yang Mengitari Wilayah Permukiman.... 60 4.11 Letak Wadah Kegiatan Sosial di Pulau Serangan Pascareklamasi.......... 62 5.1
Rekonstruksi Reklamasi dari Tahun 1995-1998...................................... 69
5.2
Pembagian Wilayah Kekuasaan Pra dan Pascareklamasi........................ 71
5.3
Pemanfaatan Lahan di Pulau Serangan Prareklamasi.............................. 73
5.4
Pemanfaatan Lahan di Pulau Serangan Pasca Reklamasi........................ 74
5.5
Perubahan Lahan Laut Menjadi Taman Kota Pulau Serangan................ 77
5.6
Keadaan Taman Kota Pascareklamasi..................................................... 78
5.7
Perubahan Lahan Pasar Desa, LPD, KUD Pra dan Pascareklamasi.......
5.8
Reklamasi Menjadi Areal Melasti, Balai Konservasi Penyu, Watersport 82
5.9
Pemanfaatan Lahan Hasil Reklamasi Laut di Sisi Timur Laut Pulau
79
Serangan.................................................................................................. 83 5.10 Pura-Pura yang Diempon Puri Kesiman Pra dan Pascareklamasi........... 86 5.11 Perluasan Pura Dalem Sakenan dan Pura Pesamuan Agung................... 87 5.12 Pura Sakenan, Pesamuan Agung, dan Laba Pura Pascareklamasi.......... 88 5.13 Pura Dalem Susunan Wadon Pascareklamasi......................................... 89
xx
5.14 Perbandingan Pura Desa Pra dan Pascareklamasi................................... 91 5.15 Pura Puseh/Dalem Cemara dan Pura Segara Pra dan Pascareklamasi.... 92 5.16 Perbandingan Pura Dalem Khayangan Pra dan Pascareklamasi............. 94 5.17 Perubahan Lahan Kuburan Pra dan Pascareklamasi............................... 96 5.18 Keadaan Kuburan Pascareklamasi.......................................................... 97 5.19 Letak Banjar-Banjar Pra dan Pascareklamasi.......................................... 98 5.20 Lokasi Banjar Kubu Pra dan Pascareklamasi.......................................... 100 5.21 Perubahan Luas Lahan Banjar Dukuh Pra dan Pascareklamasi.............. 101 5.22 Perubahan Tegalan Menjadi Pura Beji Dalem Sakenan.........................
102
5.23 Pura Beji Dalem Sakenan yang Ada Pascareklamasi.............................
103
5.24 Letak Pura-Pura di Wilayah PT. BTID Prareklamasi............................. 104 5.25 Letak Pura-Pura di Wilayah PT. BTID Pascareklamasi.......................... 105 5.26 Keadaan Pura Pat Payung Pra dan Pascareklamasi................................. 107 5.27 Perubahan Pemanfaatan Pura Tanjung Sari Pascareklamasi................... 109 5.28 Perubahan Pemanfaatan Pura Puncaking Tingkih Pascareklamasi......... 110 5.29 Perluasan Pemanfaatan Pura Taman Sari dan Pura Tirta Arum.............. 112 5.30 Pemanfaatan Lahan Laut Sebagai Pura Batu Api Pascareklamasi.......... 113 5.31 Pemanfaatan Lahan Laut Sebagai Pura Batu Kerep Pascareklamasi...... 114 5.32 Perubahan Fisik Melalui Reklamasi Menjadi Faktor Utama Perubahan Lahan....................................................................................................... 117 5.33 Tingkat Abrasi Pulau Serangan yang Cukup Besar dari Tahun ke Tahun....................................................................................................... 118 5.34 Perubahan Fisik Melalui Reklamasi di Wilayah Permukiman................ 120 5.35 Perubahan Letak Lahan Pasar Desa, LPD, KUD.................................... 121 5.36 Lahan Areal Melasti yang Terkena Abrasi.............................................. 122 5.37 Perluasan Jaba Tengah Pura Dalem Sakenan Pascareklamasi................ 123 5.38 Perubahan Bentuk & Luas Kuburan Pra dan Pascareklamasi................. 125 5.39 Lahan Sekitar Banjar Kubu Rentan Terkena Abrasi (Prareklamasi)....... 126 5.40 Pulau Seragan Tahun 1948 (Kiri) ; Tahun 1995 (Kanan)........................ 139 5.41 Proses Reklamasi Pulau Serangan Tahun 1995-1998.............................. 140 5.42 Perubahan Laut menjadi Daratan Terjadi secara Tidak Alami (Buatan)
xxi
145
5.43 Kondisi Awal Pulau Serangan (Kiri); Proses Reklamasi Tahun 1996 (Kanan)........................................................................................... 146 5.44 Kerusakan Ekosistem Laut dan Hilangnya Habitat Rawa yang digantikan Bebatuan dan Pasir...................................................................................
147
5.45 Kerusakan Ekosistem Darat dan Struktur Tanah yang Kekeringan...........
149
5.46 Media Tanam Terumbu Karang dan Transplantasi Terumbu Karang .......
150
5.47 Atraksi Pelepasan Kuda Laut.................................................................. 151 5.48 Jenis-Jenis Tempat Penangkaran Penyu....................................................
152
5.49 Penarikan Retribusi Masuk Pulau Serangan Pascareklamasi.....................
153
5.50 Adanya Warung Ikan Bakar Pascareklamasi............................................
154
5.51 Perbandingan Facade Rumah Pra dan Pascareklamasi..............................
155
5.52 Adanya Fasilitas Watersport Menyerap Banyak Tenaga Kerja Lokal.......
156
5.53 Pemugaran Balai Konservasi Penyu oleh Desa Pakraman Serangan.........
158
5.54 Pemungutan Biaya Sewa Lahan Watersport Berdasarkan Lokasinya........
160
5.55 Fungsi BUMDA untuk Menghimpun Keuangan Desa...............................
161
5.56 Pengaspalan dan Kebersihan oleh Desa Pakraman Serangan....................
162
5.57 Pasar Desa baru tahun 2005 (atas); Pasar Desa tahun 2013 (bawah)........
163
5.58 Pembagian Wilayah di Pulau Serangan yang Dipisahkan oleh Kanal........
166
5.59 Keadaan Kuburan Pra dan Pascareklamasi...............................................
167
5.60 Keadaan Pasar, LPD, dan KUD Pra dan Pascareklamasi..........................
168
5.61 Balai Konservasi Penyu yang mewadahi berbagai aktifitas baik yang berfungsi sosial budaya, ekonomi maupun edukasi..................................
xxii
169
DAFTAR ISTILAH
Abstrak Abrasi Adat
Bale Pesandekan Banjar Bendesa Core DesaPakraman Dang Khayangan Diempon Druwe Eksistensi Eksternal Emperan Fisik Gugusan Internal Intervensi Investor
Income Ida Bhatara Jaba Tengah Jaba Sisi Jeroan Kelihan Banjar Konservasi
: Tidak berwujud; tidak berbentuk : Proses pengikisan pantai oleh tenaga gelombang laut dan arus laut yang bersifat merusak : Aturan (perbuatan, dsb) yg lazim diturut atau dilakukan sejak dahulu kala; cara (kelakuan, dsb) yg sudah menjadi kebiasaan; kebiasaan wujud gagasan kebudayaan yg terdiri atas nilai-nilai budaya, norma, hukum, dan aturan yg satu dengan lainnya berkaitan menjadi suatu sistem : Bangunan yang difungsikan sebagai tempat beristirahat di pura : Tempat kegiatan sosial kemasyarakatan di Bali : Pemimpin desa dalam urusan adat : Pusat : Samaartinyadengandesa adat : Pura yang sifatnya universal sehingga semua umat Hindu boleh bersembahyang kesana : Dijaga atau dipelihara dalam konteks pura : Kepunyaan : Suatu proses yang dinamis, suatu 'menjadi' atau 'mengada : Menyangkut bagian luar : Pinggir; sepanjang jalan/trotoar : Yang bisa dilihat oleh manusia; kasat mata : Rangkaian; kumpulan; kelompok : Menyangkut bagian dalam : Upayauntukmengubahperilaku, pikiranatauperasaanseseorang : Orang perorangan atau lembaga baik domestik maupun non domestik yang melakukan suatu investasi (bentuk penanaman modal sesuai dengan jenis investasi yang dipilihnya) baik dalam jangka pendek atau jangka panjang. : Penghasilan : Sebutan Tuhan atau Dewa dalam agama Hindu : Zona tengah tempat aktivitas umat dan fasilitas pendukung : Zona terluar yang merupakan pintu masuk pura dari lingkungan luar : Zona paling suci dalam pura : Pemimpin banjar : Pelestarian atau perlindungan
xxiii
Kanal Makro Mandala Mikro Marina Non Fisik Nyungsung Melasti Melancaran Palemahan Parahyangan Pasca Pasih Pawongan Pawisik PelabaPura
Pemargi Pengemong Pengrajeg Pemangku
Pemedek Penambang
Penglukatan Penyawangan Perbekel Pesisir
Pewaregan Piodalan Pra
: Sungai yang bermuara ke laut : Besar; tebal; berkaitan dengan jumlah yang banyak dan ukuran yang besar : Wilayah kekuasaan suatu tempat baik pura, kediaman raja dalam agama hindu : Kecil : Pelabuhan khusus yang disediakan untuk kapal pesiar : Yang tidak bisa dilihat oleh manusia : Menjunjung atau memuliakan tuhan dan dewa : Upacara yadnya yang bermakna mensucikan diri secara lahir dan batin : Jalan-jalan dalam sebutan tuhan, dewa, dan orang yang disucikan atau berkasta : Lingkungan : Pura : Setelah; sesudah : Pantai : Manusia : Pencerahan yang didapat dari tuhan atau dewa dengan yoga ataupun melalui mimpi : Lahan komunal milik adat yang digunakan untuk menunjang jalannya aktifitas di pura baik fisik ataupun non fisik seperti upacara : perjalanan pergi : Pihak yang mengayomi atau melindungi : Pihak penanggung jawab : Orang yang ditunjuk menjadi “pelayan” utama dalam dewa yadnya khususnya di pura atau sanggah pamerajan dimana dia bertugas : Orang atau umat Hindu yang mendekatkan diri dengan tuhan : Kelompok nelayan di Pulau Serangan yang bertugas mengantar pemedek Pura Sakenan atau wisatawan dari Pulau Bali ke Pulau Serangan atau sebaliknya : Air suci untuk membersihkan rohani : Perwakilan atau simbolisasi dari tuhan atau dewa : Lurah/kepala desa yang mengepalai desa yang kecil : Daerah pertemuan antara daratan dan lautan; ke arah darat meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air, yang masih dipengaruhi sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut, dan perembesan air asin : Dapur : Hari kelahiran sebuah pura : Sebelum
xxiv
Rekonstruksi Reklamasi Segara Sismbiosis Mutualisme Sunia Tamba Tangkil Tegak Pura Tirta Topografi
Tradisi TriHitaKarana Tukar Guling Watersport Yacht
: Penyusunan atau penggambaran kembali dari suatu peristiwa : Menciptakan daratan baru yang sebelumnya berupa air : Laut : Hubungan sesama makhluk hidup yang saling menguntungkan kedua pihak : Sepi : Obat : Datang untuk sembahyang ke Pura : Ukuran, luas dan batas pura : Air suci dalam agama hindu : Studi tentang bentuk permukaan bumi atau objek lain seperti planet, satelit alami (bulan dan sebagainya) dan asteroid. : Adat-istiadat atau kebiasaan : Tiga jalan untuk mencapai kebahagiaan : Pertukaran barang/benda/lahan atau sesuatu dengan tidak menambah uang : Olahraga air/pantai/laut : Kapal layar ringan dan cepat yang didorong oleh layar dan biasanya digunakan untuk pelayaran hobi
xxv
BAB I PENDAHULUAN
Pelaksanaan studi ini dilatarbelakangi adanya suatu fenomena menarik mengenai perluasan wilayah daratan melalui reklamasi di wilayah Selatan Kota Denpasar tepatnya di Pulau Serangan. Reklamasi Pulau Serangan dilakukan dengan mengubah luas pulau menjadi empat kali lipat dari luas aslinya, oleh pihak pengembang PT. Bali Turtle Island Development (PT. BTID). Reklamasi tersebut telah mengubah fisik lahan baik dalam hal bentuk lahan, luasan lahan, serta pemanfaatan lahan dari pra dan pascareklamasi. Oleh karena itu dilakukan suatu penelitian yang melihat kondisi perubahan pemanfaatan lahan pra dan pascareklamasi termasuk hal-hal yang melatarbelakangi perubahan tersebut serta dampak terhadap keberlanjutan Pulau Serangan.
1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki 17.508 pulau dengan garis pantai sepanjang 81.000 km dan luas laut sekitar 3,1 juta km2. Selain itu, kawasan pesisir Indonesia merupakan kawasan pesisir yang memiliki keanekaragaman hayati laut terbesar di dunia seperti hutan mangrove, terumbu karang, dan padang lamun (Dahuri, 2004: 6). Lautan Indonesia memiliki view yang sangat menarik yang menyebabkan maraknya wisatawan lokal dan mancanegara yang mengunjungi wilayah pesisir kepulauan Indonesia. Maraknya para wisatawan yang berkunjung, menyebabkan terbukanya lahan bisnis
1
2
bagipemilik modal untuk membeli atau menyewa lahan untuk dimanfaatkan sebagai fasilitas pariwisata seperti hotel, restaurant, watersport, dan fasilitas lainnya di wilayah pesisir kepulauan Indonesia, tak terkecuali Pulau Bali yang dinobatkan sebagai pulau dengan tujuan wisata terfavorit tahun 2009 (Majalah Travel+Leisure, 2009: 3). Berdasarkan fakta diatas, Pulau Bali mulai gencar mengembangkan daya tarik masing-masing daerahnya untuk dijadikan daerah tujuan wisata. Salah satu pengembangan daerah tujuan wisata di Bali adalah pengembangan kawasan wisata Pulau Serangan. Pengembangan wisata di Pulau Serangan dilakukan karena Pulau Serangan memiliki potensi dekat dengan Bandara Internasional Ngurah Rai, Pelabuhan Benoa, jalur jalan BayPass Ngurah Rai, potensi hutan mangrove, perikanan, budidaya rumput laut serta habitat penyu untuk bertelur sehingga Pulau Serangan dinamakan pula Pulau Penyu (wawancara, I Wayan Patut, 2013). Berdasarkan izin dari pemerintah provinsi Bali, pihak PT. BTID melakukan reklamasi Pulau Serangan dengan menimbun wilayah laut, sehingga luas daratan bertambah dengan tujuan untuk didirikan fasilitas wisata seperti: lapangan golf, resort, lagoon untuk sarana rekreasi air, yacht club, beach club house, pembangunan superlot yang berupa villa, fasilitas penunjang pariwisata lainnya, serta marina/ferry. Namun proyek tersebut akhirnya terhenti tahun 1998 karena faktor krisis moneter, politik, sosial, budaya, dan faktor-faktor lainnya (Woinarski, 2002: 9). Sebelum adanya reklamasi oleh PT. BTID, Pulau Serangan terdiri dari lima gugusan pulau besar serta pulau-pulau kecil yang membentuk satu kesatuan Pulau
3
Serangan dengan total luasan sekitar 111 hektar. Kelompok masyarakat pun hidup tersebar di gugusan pulau tersebut dengan terdapatnya tujuh Banjar Adat (Banjar Ponjok, Kaje, Tengah, Peken, Kawan, Dukuh dan Kubu) dan satu Kampung Bugis (umat Islam). Pasca reklamasi terjadi cukup banyak perubahan di Pulau Serangan, salah satu yang paling terlihat adalah perubahan fisik pulau yaitu menjadi empat kali lipat dari luas asli pulau yaitu dari 111 hektar menjadi 481 hektar. Masyarakat pun tidak lagi hidup secara terpencar dan sudah mengelompok dalam satu pulau. Meskipun lahan di Pulau Serangan meluas menjadi empat kali lipat dari luas asli pra reklamasi, namun wilayah penduduk untuk bermukim menjadi mengecil yakni ditempatkan di ujung Barat Laut wilayah Pulau Serangan (disebelah kiri kanal wisata). Keberadaan Banjar Kubu pun sudah tidak ada pascareklamasi karena lahan Banjar dan permukiman sudah dibeli dan beralih fungsi menjadi lahan milik PT. BTID (wawancara, I Wayan Dharta, 2013). Perubahan fisik Pulau Serangan pascareklamasi telah membawa dampak pada perubahan wilayah kepemilikan lahan di Pulau Serangan. Meskipun Pulau Serangan sudah menjadi satu kesatuan pulau, namun terdapat pembagian kepemilikan kawasan yang dipisahkan oleh kanal wisata yang membelah Pulau Serangan menjadi dua kawasan yaitu kawasan pengembangan pariwisata yang dimiliki PT. BTID yang berada di sebelah kanan kanal dan kawasan permukiman penduduk yang berada di sebelah kiri kanal. Adanya beberapa lahan di wilayah permukiman penduduk yang masih dimiliki oleh PT. BTID disebabkan karena pada proses reklamasi, PT. BTID juga menimbun wilayah perairan dangkal yang di wilayah permukiman penduduk yang memisahkan pulau satu dengan pulau
4
yang lain, sehingga mempermudah akses transportasi antar penduduk di wilayah permukiman penduduk (wawancara, Wayan Mudita, 2013). Perubahan pemanfaatan lahan di Pulau Serangan dari prareklamasi yang mana seluruh lahan di Pulau Serangan dimiliki oleh masyarakat lokal dan Desa Pakraman Serangan, dengan adanya reklamasi oleh PT. BTID telah mengubah zonasi kepemilikan lahan secara makro yang mana terdapat dua zona yaitu zona wilayah permukiman penduduk dan zona wilayah kepemilikan BTID. Kedua zonasi tersebut dipisahkan oleh kanal wisata. Meskipun pada pascareklamasi luas lahan di Pulau Serangan meluas menjadi empat kali lipat dari luas aslinya, namun justru memperkecil zonasi kepemilikan lahan oleh masyarakat setempat yang mana PT. BTID menguasai sekitar 75 % dari keseluruhan lahan yang ada di Pulau Serangan. Secara mikro, telah terjadi berbagai perubahan luasan serta pemanfaatan lahan di Pulau Serangan baik yang berada di wilayah Permukiman Penduduk maupun di wilayah PT. BTID. Pada wilayah Permukiman Penduduk, perubahan pemanfaatan lahan yang terjadi antara lain: pada prareklamasi berupa laut, berubah menjadi Lapangan Bola/Taman Kota, Pasar Desa, LPD, KUD, Bumi Perkemahan, dan berbagai fasilitas Watersport pada pascareklamasi. Sedangkan perluasan lahan untuk fungsi yang sama pada pra dan pascareklamasi kebanyakan dipergunakan untuk perluasan fungsi keagamaan seperti perluasan Jaba Tengah Pura Sakenan, Pura Puseh/Dalem Cemara, Pura Segara, dan Pura Dalem Khayangan dan Pura Prajapati. Pada wilayah PT. BTID, perubahan luasan dan pemanfaatan lahan yang terjadi antara lain: perubahan lahan Banjar Kubu dan
5
Permukiman menjadi lahan kosong milik PT. BTID, perubahan lahan laut menjadi Pura Batu Api dan Pura Batu Kerep, serta perluasan lahan Pura Tanjung Sari, Pura Pancaking Tingkih, dan Pura Tirta Arum. Dengan
adanya
perubahan
pemanfaatan
lahan
dari
pra
hingga
pascareklamasi, telah mengubah tatanan hidup masyarakat Pulau Serangan. Perubahan fisik sangat terlihat jelas dengan adanya kanal wisata yang membagi kepemilikan lahan di Pulau Serangan yang justru membuat mengecilnya wilayah kekuasaan dan kepemilikan lahan bagi masyarakat lokal Pulau Serangan. Selain itu, adanya reklamasi perluasan Pulau Serangan ini justru menyebabkan menyempitnya garis pantai yang bisa dinikmati oleh masyarakat Pulau Serangan karena pascareklamasi, hampir 75 % garis pantai berada di wilayah kepemilikan PT. BTID. Fenomena ini tentunya menimbulkan kontradiksi dengan maksud perencanaan perluasan Pulau Serangan yang diharapkan mensejahterakan masyarakat Pulau Serangan, pada kenyataannya justru mempersempit wilayah kekuasaan masyarakat lokal Pulau Serangan. Berdasarkan uraian diatas, diperoleh fakta bahwa adanya reklamasi dari PT. BTID telah mengubah seluruh aspek kehidupan masyarakat Pulau Serangan yang ditandai dengan perubahan fisik Pulau Serangan serta wilayah kekuasaan masyarakat lokal Pulau Serangan dengan wilayah kekuasaan PT. BTID. Perubahan fisik Pulau Serangan terjadi secara makro/global dan mikro/perubahan guna lahan secara terperinci pra dan pascareklamasi. Perubahan lahan yang terjadi di Pulau Serangan terbagi menjadi tiga jenis yaitu perubahan luasan dan ukuran, perubahan letak lahan dan juga perubahan pemanfaatan lahan. Melalui penelitian
6
ini diharapkan dapat diketahui mengenai eksisting perubahan lahan tersebut dari pra dan pascareklamasi baik dilihat dalam konteks makro maupun mikro. Selain itu, perlu dicari tahu hal-hal yang melatarbelakangi perubahan pemanfaatan lahan pra hingga pascareklamasi, dan mencari tahu melalui observasi dan survey untuk melihat dampak perubahan pemanfaatan lahan terhadap keberlanjutan Pulau Serangan berdasarkan indikator pembangunan berkelanjutan. Berdasarkan hal tersebut, peneliti dapat menilai kecenderungan ke arah positif atau negatif dampak perubahan pemanfaatan lahan di Pulau Serangan.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan fenomena yang telah dipaparkan diatas, maka dirumuskan beberapa permasalahan penelitian, antara lain: 1. Bagaimana kondisi pemanfaatan lahan pra dan pascareklamasi di Pulau Serangan? 2. Faktor-faktor apa yang mempengaruhi perubahan pemanfaatan lahan pascareklamasi di Pulau Serangan? 3. Bagaimana dampak perubahan pemanfaatan lahan pascareklamasi terhadap keberlanjutan Pulau Serangan sebagai kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil?
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini terbagi menjadi dua yaitu tujuan umum dan tujuan khusus.
7
1.3.1 Tujuan Umum Secara umum, tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui pemanfaatan lahan pra dan pascareklamasi di Pulau Serangan.
1.3.2 Tujuan Khusus Selain tujuan umum, penelitian ini juga memiliki tujuan khusus. Tujuan khusus merupakan tujuan secara terperinci yang ingin dicapai dalam penelitian ini. Adapuntujuan khusus dari penelitian ini adalah : 1. Untuk mengetahui kondisi pemanfaatan lahan pra dan pascareklamasi di Pulau Serangan. 2. Untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang
mempengaruhi perubahan
pemanfaatan lahan pascareklamasi di Pulau Serangan. 3. Untuk mengkaji dampak perubahan pemanfaatan lahan pascareklamasi terhadap keberlanjutan Pulau Serangan sebagai kawasan pesisir dan pulaupulau kecil.
1.4 Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini terbagi menjadi 2 yaitu manfaat akademis dan manfaat praktis.
8
1.4.1 Manfaat Akademis Secara akademis, manfaat yang ingin dicapai pada penelitian ini adalah memperkaya wawasan serta memberikan pengetahuan arsitektur dalam konteks perencanaan kawasan yaitu pemanfaatan lahan pra dan pascareklamasi di Pulau Serangan.
1.4.2 Manfaat Praktis Secara praktis, bagi peneliti lain, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan rujuan awal untuk penelitian selanjutnya dalam konteks yang sama maupun untuk mengembangkan penelitian yang melihat perubahan pemanfaatan lahan pra dan pascareklamasi di Pulau Serangan. Bagi masyarakat dan pemerintah lokal baik itu Desa Dinas maupun Desa Pakraman Serangan, penelitian ini diharapkan dapat memberikan
informasi
mengenai
kondisi
pemanfataan
lahan
pra
dan
pascareklamasi baik yang terdapat perubahan fungsi lahan, perluasan lahan, maupun yang tidak mengalami perubahan sehingga dapat dikomparasikan/dicari perbedaan lahan pra dengan pascareklamasi. Selanjutnya dapat memberikan manfaat dengan mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan pemanfaatan lahan tersebut, serta dampak yang ditimbulkan dari perubahan pemanfaatan lahan pascareklamasi terhadap keberlanjutan Pulau Serangan sebagai wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
9
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN MODEL PENELITIAN
Bab ini terdiri dari empat sub bagian, pertama yaitu kajian pustaka yang berisi tentang penelitian-penelitian sebelumnya yang relevan dengan penelitian yang akan dilakukan saat ini. Kedua yaitu kerangka berpikir dari awal proses sebelum diadakannya penelitian sampai berakhirnya penelitian dan penarikan kesimpulan. Ketiga berupa konsep yang merupakan batasan-batasan terminologi teknis berdasarkan judul penelitian. Keempat yaitu landasan teori merupakan landasan berpikir yang bersumber dari suatu teori yang diperlukan sebagai tuntunan dalam memecahkan rumusan masalah penelitian. Dan terakhir yaitu model penelitian yang menjelaskan mengenai abstraksi dan sintesis antara teori dan permasalahan penelitian yang digambarkan dalam bentuk diagram.
2.1. Kajian Pustaka Kajian pustaka merupakan salah satu dari rangkaian penelitian yang berguna untuk menghindari duplikasi dan mengetahui beberapa penelitian terdahulu yang terkait serta relevan dengan penelitian saat ini dengan judul “Pemanfaatan Lahan Pra dan Pascareklamasi di Pulau Serangan”. Melalui kajian pustaka ini, dapat dijadikan bahan masukan dan pembanding bagi penulis dalam menentukan konsep, landasan teori, metode penelitian serta informasi-informasi serupa dalam kasus dan konteks yang sama.
9
10
Dalam penulisan kajian pustaka, terdiri dari 2 cara yaitu kajian pustaka yang berorientasi pada peneliti dan yang kedua adalah kajian pustaka yang berorientasi pada tema penelitian (tematik). Pada penelitian ini digunakan cara yang kedua yaitu berdasarkan tematik dalam penyusunan kajian pustakanya.
2.1.1 Penelitian Mengenai Perubahan Pemanfaatan Ruang dan Lahan Penelitian sejenis dengan tema pemanfaatan ruang dan lahan dipergunakan sebagai bahan masukan bagi peneliti untuk mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan pemanfaatan ruang dan lahan yang sesuai dengan topik penelitian yaitu mengenai perubahan pemanfaatan lahan. Terdapat dua penelitian dengan topik pemanfaatan ruang yang memiliki relevansi terhadap topik penelitian, terlebih lagi sesuai dengan karakteristik lokasi penelitian yaitu Pulau Serangan yang kebanyakan terdiri dari wilayah pesisir. Penelitian pertama mengambil judul “Kajian Pengembangan Pemanfaatan Ruang Terbangun di Kawasan Pesisir Kota Kupang”. Kajian yang dibuat oleh Paula Isabel tahun 2008 ini bertujuan untuk mengkaji pengembangan pemanfaatan ruang terbangun di kawasan pesisir Kota Kupang yang mempertimbangkan penilaian dari aspek fisik, aspek sosial ekonomi dan aspek kebijakan tata ruang kawasan pesisir, sesuai dengan karakteristik kawasan pesisir Kota Kupang yang unik secara fisik. Dalam proses kajian ini menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Relevansi kajian ini terhadap penelitian adalah penggunaan pendekatan dan metode penelitian yaitu pendekatan kualitatif dengan metode deskriptif, dikarenakan kesamaan topik penelitian dan karakteristik wilayah
11
penelitian. Selain itu, beberapa teori terkait pemanfaatan ruang di kawasan pesisir juga dapat memperkaya konsep ataupun landasan teori untuk menyelesaikan rumusan masalah penelitian. Kajian pustaka yang kedua yaitu tesis yang dibuat oleh Yulita tahun 2011, mengambil judul "Perubahan Penggunaan Lahan dalam Hubungannya dengan Aktivitas Pertambangan di Kabupaten Bangka Tengah". Penelitian ini menggunakan metode multiple regression analysis yaitu teknik analisis data yang digunakan untuk mengetahui faktor-faktor yang diduga mempengaruhi variabel tujuan dalam suatu wilayah sendiri tanpa melihat pengaruh daerah lain. Relevansi kajian pustaka ini terhadap peneliti adalah memperkaya teori-teori mengenai definisi penggunaan lahan, perubahan penggunaan lahan, serta faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan pemanfaatan lahan.
2.1.2 Penelitian Mengenai Studi Kasus Pulau Serangan Penelitian dengan melihat persamaan studi kasus yaitu Pulau Serangan juga sangat diperlukan pada penelitian ini untuk dijadikan data tambahan bagi penelitian. Kajian sejenis dengan studi kasus Serangan yang didapatkan berjumlah dua penelitian yang mana terdapat perbedaan fokus topik penelitian masing-masing. Pada penelitian pertama melihat dampak adanya reklamasi di pulau Serangan terhadap lingkungan dan masyarakat. Hasil penelitian yang dibuat oleh Lisa Woinarski tahun 2002 ini, mengungkapkan bahwa proyek reklamasi yang terhenti telah menyebabkan banyak kerusakan baik dalam bidang lingkungan, sosial
12
maupun ekonomi masyarakat Serangan, sehingga masyarakat Serangan berharap pihak BTID bertanggung jawab atas kerusakan dalam semua sektor masyarakat tersebut, sambil berharap proyek tersebut dilanjutkan kembali hingga terwujud fasilitas resort, hotel, terminal kapal pesiar, dan fasilitas megah lainnya. Dengan terwujudnya proyek BTID, tentunya memberikan lapangan pekerjaan yang besar bagi masyarakat lokal Serangan untuk dipekerjakan di tempat tersebut, sebagai kompensasi atas hilangnya mata pencaharian asli masyarakat Serangan akibat proyek reklamasi Pulau Serangan. Pada penelitian kedua lebih melihat model pemanfaatan Pulau Serangan pasca reklamasi. Penelitian yang dibuat oleh I Made Wisnawa pada tahun 2002, memiliki persamaan dalam hal pendekatan dan metode penelitian yang dipergunakan yaitu pendekatan kualitatif dengan metode deskriptif eksploratif. Persamaan metode ini didasarkan atas judul/topik penelitian yang berangkat dari fenomena lapangan yang ingin disajikan/dipaparkan secara apa adanya, sehingga pendekatan kualitatif dengan metode deskriptif merupakan metode yang paling cocok berdasarkan kesamaan topik serta karakteristik tempat penelitian yang hanya terjadi di Pulau Serangan saja.
2.2. Kerangka Berpikir Kerangka berpikir merupakan hasil abstraksi dan sintesis dari teori yang dikaitkan dengan masalah penelitian yang dihadapi, disamping untuk menjawab dan memecahkan masalah penelitian. Kerangka berpikir terkait judul penelitian
13
yaitu : “Pemanfaatan Lahan Pra dan Pascareklamasi di Pulau Serangan” akan dipaparkan pada Diagram 2.1.
Dahulu/Sebelum Tahun 1995 (Prareklamasi) Pulau Serangan terdiri dari 5 gugusan pulau. Luas Pulau Serangan 111 hektar. Masyarakat hidup menyebar di gugusan pulau.
Prareklamasi
Melihat kondisi pemanfaatan lahan pra dan pascareklamasi di Pulau Serangan
Sekarang/Setelah Tahun 1998 (Pascareklamasi) Pulau Serangan direklamasi menjadi satu pulau. Luas Pulau Serangan 481 hektar. Masyarakat hidup dalam satu kesatuan pulau
Terjadinya perubahan luasan dan pemanfaatan lahan di Pulau Serangan
Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan pemanfaatan lahan pascareklamasi
Pascareklamasi
Dampak perubahan pemanfaatan lahan terhadap keberlanjutan Pulau Serangan sebagai wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
Pemanfaatan Lahan Pra dan Pascareklamasi di Pulau Serangan Kesimpulan : Memberikan pemahaman mengenai perubahan lahan dari pra dan pascareklamasi yaitu dengan mengkomparasikan pemanfaatan lahan pra dan pascareklamasi, faktor-faktor yang mempengaruhinya serta dampaknya terhadap keberlanjutan Pulau Serangan di masa yang akan datang.
Diagram 2.1 Kerangka Berpikir (Sumber: Analisis Surya, 2013)
2.3. Konsep Konsep dijadikan acuan dan pedoman dalam penelitian agar apa yang ingin disampaikan oleh penulis dapat dipahami sesuai dengan keinginan penulis.
14
Adapun sumber inspirasi konsep berasal dari judul dan atau rumusan masalah. Dibawah ini akan dipaparkan mengenai konsep dari penelitian ini.
2.3.1 Reklamasi Menurut UU Nomor 27 Tahun 2007, Pasal 1 Angka 23 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, reklamasi dapat diartikan sebagai kegiatan yang dilakukan oleh orang dalam rangka meningkatkan manfaat sumber daya lahan ditinjau dari sudut lingkungan dan sosial ekonomi dengan cara pengurugan, pengeringan lahan atau drainase. Tujuan utama reklamasi adalah menjadikan kawasan berair yang rusak atau tak berguna, menjadi lebih baik dan bermanfaat. Kawasan baru tersebut biasanya dimanfaatkan untuk kawasan permukiman, perindustrian, bisnis dan pertokoan, pelabuhan, perkotaan, pertanian, serta obyek wisata. Secara umum, bentuk reklamasi ada dua, yaitu reklamasi menempel pantai dan reklamasi lahan terpisah dari pantai daratan induk. Cara pelaksanaan reklamasi sangat tergantung dari sistem yang digunakan. Menurut Buku Pedoman Reklamasi di Wilayah Pesisir (2005: 21), dibedakan atas empat sistem, yaitu : 1. Sistem Timbunan Reklamasi dilakukan dengan cara menimbun perairan pantai sampai muka lahan berada di atas muka air laut tinggi (high water level).
15
2. Sistem Polder Reklamasi dilakukan dengan cara mengeringkan perairan yang akan direklamasi dengan memompa air yang berada di dalam tanggul kedap air untuk dibuang keluar dari daerah lahan reklamasi. 3. Sistem Kombinasi antara Polder dan Timbunan Reklamasi ini merupakan gabungan sistem polder dan sistem timbunan, yaitu setelah lahan diperoleh dengan metode pemompaan, lalu lahan tersebut ditimbun sampai ketinggian tertentu sehingga perbedaan elevasi antara lahan reklamasi dan muka air laut tidak besar. 4. Sistem Drainase Reklamasi sistem ini dipakai untuk wilayah pesisir yang datar dan relatif rendah dari wilayah di sekitarnya tetapi elevasi muka tanahnya masih lebih tinggi dari elevasi muka air laut.
Pulau Serangan termasuk pada pulau yang mengalami reklamasi pantai hingga mencapai empat kali lipat dari luas aslinya. Perencanaan awal reklamasi ini dilakukan dengan tujuan meningkatkan manfaat sumber daya lahan utamanya untuk mendatangkan ekonomi tinggi dengan cara membangun fasilitas megawisata seperti Hotel berbintang, marina dan terminal yatch, lapangan golf, villa dan fasilitas megah lainnya. Cara reklamasi dilakukan dengan sistem timbunan yaitu menimbun perairan pantai sampai muka lahan berada di atas muka air laut tinggi. Pada akhirnya proyek ini terhenti tahun 1998 dengan hasil
16
reklamasi yang sudah mencapai 90% dari perencanaan, namun progress pembangunan fasilitas mega wisata masih 0%.
2.3.2 Pulau Serangan sebagai Pulau-Pulau Kecil Pulau Serangan dapat digolongkan sebagai pulau kecil karena memiliki luas area kurang dari 5.000 km2 dan mempunyai jumlah penduduk kurang dari 500.000 orang. Pulau kecil juga merupakan pulau dengan habitat yang terisolasi dengan habitat lain, keterisolasian suatu pulau akan menambah keanekaragaman organisme yang hidup di pulau tersebut. Selain itu, pulau kecil juga memiliki lingkungan yang khusus dengan proporsi spesies endemik yang tinggi bila dibandingkan dengan pulau kontinen, dan pulau kecil juga memiliki tangkapan air yang relatif kecil sehingga kebanyakan air dan sedimen hilang ke dalam air. Dari segi budaya, masyarakat yang mendiami pulau kecil memiliki perbedaan dengan masyarakat yang tinggal di pulau kontinen dan daratan. Adanya masukan sosial, ekonomi dan teknologi ke pulau ini akan mengganggu kebudayaan mereka (Dahuri, 1998: 54). Berdasarkan uraian di atas, terdapat tiga kriteria yang dapat digunakan dalam membuat batasan pulau kecil yaitu: batasan fisik (luas pulau), batasan ekologis (proporsi spesies endemik dan terisolasi), dan keunikan budaya. Berdasarkan morfologinya, pulau kecil dibedakan menjadai 2 yaitu (Hehanussa, 1992: 85):
17
1. Pulau berbukit, terdiri dari pulau yang memperlihatkan morfologi dengan lereng umumnya lebih besar dari 100 dan dengan elevasi lebih besar dari 100 meter diatas permukaan laut. 2. Pulau datar, yang secara topografi memperlihatkan tonjolan morfologi yang berarti. Pulau jenis ini umumnya memiliki batuan yang secara geologi berumur muda, terdiri dari endapan klastik jenis fluviatil dengan dasar yang terdiri dari pelapisan endapan marin dangkal, atau pecahan koral. Pulau Serangan masuk dalam kategori pulau kecil karena memiliki luas area kurang dari 5.000 km2 dan topografi Pulau Serangan yang relatif datar dengan ketinggian rata-rata 4 meter dari permukaan air laut. Selain itu, wilayah Pulau Serangan tidak terdapat bukit dan hampir seluruh wilayahnya terdiri dari wilayah pesisir dengan sumber mata air payau (percampuran air tawar dengan air laut).
2.4. Landasan Teori Landasan teori adalah landasan berpikir yang bersumber dari suatu teori yang dipergunakan sebagai tuntunan untuk memecahkan rumusan masalah penelitian. Beberapa landasan teori yang dipakai dalam penelitian ini antara lain :
2.4.1 Perubahan Pemanfaatan Lahan Lahan adalah suatu lingkungan fisik yang meliputi tanah, iklim, relief, hidrologi, dan vegetasi, dimana faktor-faktor tersebut mempengaruhi potensi penggunaannya. Termasuk di dalamnya adalah akibat-akibat kegiatan manusia, baik pada masa lalu maupun sekarang, seperti reklamasi daerah-daerah pantai,
18
penebangan hutan, dan akibat-akibat yang merugikan seperti erosi dan akumulasi garam (Hardjowigeno et al., 2001: 3). Menurut Mochtarram (dalam Ina, 2001), lahan mempunyai beberapa ciri yaitu: 1. Permanen, artinya tidak berubah-ubah (bersifat tetap) dan tidak bisa diperbaharui. 2. Supply (ketersediaan) lahan terbatas dan langka. 3. Menjadi tumpuan harapan dari berbagai kepentingan para stakeholders. Sistem penggunaan lahan dikelompokkan menjadi 2 kelompok besar yaitu (Arsyad, 1989 : 67): 1. Penggunaan
lahan
pertanian
dan
penggunaan
lahan
non
pertanian.
Penggunaanlahan pertanian antara lain tegalan, sawah, ladang, kebun, padang rumput, hutan produksi, hutan lindung dan sebagainya. 2. Penggunaan lahan non pertanian antara lain penggunaan lahan perkotaan atau pedesaaan, industri, rekreasi, pertambangan dan sebagainya.
Winoto et al. (1996) mendefinisikan perubahan penggunaan lahan sebagai suatu proses perubahan dari penggunaan lahan sebelumnya ke penggunaan lahan lainnya yang dapat bersifat permanen maupun sementara, dan merupakan bentuk konsekuensi logis adanya pertumbuhan dan transformasi perubahan struktur sosial ekonomi masyarakat yang sedang berkembang. Apabila penggunaan lahan untuk sawah berubah menjadi pemukiman atau industri maka perubahan penggunaan lahan ini bersifat permanen dan tidak dapat kembali (irreversible) tetapi jika
19
beralih guna menjadi perkebunan biasanya bersifat sementara. Perubahan penggunaan lahan pertanian berkaitan erat dengan perubahan orientasi ekonomi, sosial, budaya dan politik masyarakat. Perubahan penggunaan lahan pertanian ke non pertanian bukanlah sematamata fenomena fisik berkurangnya luasan lahan, melainkan merupakan fenomena dinamis yang menyangkut aspek-aspek kehidupan manusia, karena secara agregat berkaitan erat dengan perubahan orientasi ekonomi, sosial budaya dan politik masyarakat. Perubahan penggunaan lahan dalam pelaksanaan pembangunan tidak dapat dihindari. Perubahan tersebut terjadi karena adanya keperluan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang makin meningkat jumlahnya dan berkaitan dengan meningkatnya tuntutan akan mutu kehidupan yang lebih baik. Sebagai contoh meningkatnya kebutuhan akan ruang tempat hidup, transportasi dan tempat rekreasi akan mendorong terjadinya perubahan penggunaan lahan (Rosnila, 2004: 120).
2.4.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perubahan Pemanfaatan Lahan Pola penggunaan lahan bersifat sangat dinamis, bervariasi menurut waktu dan tempat. Dalam menentukan penggunaanlahan, terdapat tiga faktor penting yang perlu dipertimbangkan yaitu (Barlowe, 1986: 15): 1. Faktor fisik lahan 2. Faktor ekonomi 3. Faktor kelembagaan
20
Selain itu faktor kondisi sosial dan budaya masyarakat setempat juga akan mempengaruhi pola penggunaan lahan (Gandasasmita, 2001 : 48). Faktor fisik yang mempengaruhi penggunaan lahan adalah faktorfaktoryang terkait dengan kesesuaian lahannya, meliputi faktor-faktor lingkungan yang secara langsung maupun tidak langsung mempengaruhi pertumbuhan dan budidaya tanaman, kemudahan teknik budidaya ataupun pengolahan lahan dan kelestarian lingkungan. Faktor fisik ini meliputi kondisi iklim, sumberdaya air dan kemungkinan pengairan, bentuk lahan dan topografi, serta karakteristik tanah, yang secara bersama akan membatasi apa yang dapat dan tidak dapat dilakukan pada sebidang lahan. Faktor kelayakan ekonomi adalah seluruh persyaratan yang diperlukan untuk pengelolaan suatu penggunaan lahan. Pengelola lahan tidak akan memanfaatkan lahannya kecuali bila penggunaan tersebut, termasuk dalam hal ini teknologi yang diterapkan, telah diperhitungkan akan memberikan suatu keuntungan atau hasil yang lebih besar dari biaya modalnya (Barlowe 1986: 18). Kelayakan ekonomi ini bersifat dinamis, tergantung dari harga dan permintaan terhadap penggunaan lahan tersebut atau hasilnya. Penerapan teknologi baruataupun meningkatnya permintaan mungkin menyebabkan suatu penggunaan lahan yang tadinya tidak memiliki nilai ekonomis berubah menjadi layak secara ekonomis (Saefulhakim; 1999: 131). Faktor-faktor kelembagaan yang mempengaruhi pola penggunaan lahan adalah faktor-faktor yang terkait dengan sosial budaya dan aturan-aturan dari masyarakat, termasuk dalam hal ini aturan atau perundangan dari pemerintah
21
setempat. Penggunaan lahan yang dijumpai di suatu wilayah adalah penggunaan lahan yang tidak bertentangan dengan kebijaksanaan pemerintah, sosial budaya, kebiasaan, tradisi, ataupun kepercayaan yang dianut oleh masyarakat setempat (Barlowe, 1986: 20). Faktor-faktor yang mempengaruhi penggunaan lahan adalah juga faktorfaktoryang berpengaruh terhadap perubahan penggunaan lahan, sehingga ketikafaktor penggunaan lahan berubah maka faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan penggunaan lahan juga berubah, dimana faktor fisik bersifat tetap. Beberapa penelitian telah dilakukan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan penggunaan lahan. Gaona et al. (2000) memfokuskan pada penggunaan lahan dan deforestasi di Dataran Tinggi Ciapas, Mexico dengan hasil faktor kepadatan penduduk menunjukkan fenomena bahwa semakin tinggi pemukiman maka semakin tinggi proses deforestasi yang berada di sekitarnya. Deforestasi
tersebut
terjadi
pada
kelas
lereng
≤
12o
dimana
terlihatpeningkatan kawasan terbangun dan hutan terbuka rata-rata terjadi. pada kelas lereng tersebut. Selain itu penambahan kawasan terbangun dan hutan terbuka terjadi pada semua jenis tanah yakni Luvisol, Rendzina dan Acrisol. Sebaliknyapengurangan kerapatan hutan terjadi pada jenis tanah Rendzina dan Luvisol. Carolita (2005) menganalisis faktor-faktor perubahan penggunaan lahan di Jabotabek berdasarkan faktor fisik lahan seperti ketinggian, kemiringan lahan, jenis tanah, dan jenis penggunaan lahan sebelumnya; faktor sosial ekonomi seperti jarak dari pusat CBD ke pusat desa dan kepadatan penduduk; dan faktor arahan penggunaan lahan (RTRW). Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa faktor
22
kepadatan penduduk berpengaruh nyata terhadap perubahan penggunaan lahan menjadi urban, dimana perubahan tersebut umumnya terjadi pada lahan dengan tingkat kelerengan 0 – 3% dan ketinggian 250 – 400m, sedangkan faktor jenis tanah, jarak dari pusat CBD ke pusat desa, penggunaan lahan sebelumnya dan arahan penggunaan lahan secara statistik tidak signifikan sebagai faktor penyebab perubahan penggunaan lahan menjadi urban. Sedangkan Niin (2010) menyimpulkan bahwa faktor fisik lahan merupakan variabel yang paling konsisten mempengaruhi perubahan penggunaan lahan hutan menjadi penggunaan lainnya diikuti faktor kebijakan penggunaan lahan dan faktor sosial ekonomi.
2.4.3 Pembangunan Berkelanjutan/Sutainable Development Pembangunan
Berkelanjutan/Sustainable
Development
pertama
kali
diperkenalkan dalam World Conservation Strategy (Strategi Konservasi Dunia) yang diterbitkan oleh United Nations Environment Programme (UNEP), International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN), dan World WideFund for Nature (WWF) pada tahun 1980. Pada 1982, UNEP menyelenggarakan sidang istimewa memperingati 10 tahun gerakan lingkungan dunia (1972-1982) di Nairobi, Kenya, sebagai reaksi ketidakpuasan atas penanganan lingkungan selama ini. Dalam sidang istimewa tersebut disepakati pembentukan Komisi Dunia untuk Lingkungan dan Pembangunan (World Commissionon Environment and Development - WCED). PBB memilih Perdana
23
Menteri Norwegia Nyonya Harlem Brundtland dan mantan Menteri Luar Negeri Sudan Mansyur Khaled, masing-masing menjadi Ketua dan Wakil Ketua WCED. Menurut Brundtland Report dari PBB (1987), pembangunan berkelanjutan adalah proses pembangunan (lahan, kota, bisnis, masyarakat, dan sebagainya) yang berprinsip “memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan”. Salah satu faktor yang harus dihadapi untuk mencapai
pembangunan
kehancuran
lingkungan
berkelanjutan tanpa
adalah
mengorbankan
bagaimana
memperbaiki
kebutuhan
pembangunan
ekonomidan keadilan sosial. Konsep Pembangunan Berkelanjutan ini kemudian dipopulerkan melalui laporan WCED berjudul “Our Common Future” (Hari Depan Kita Bersama) yang diterbitkan pada 1987. Laporan ini mendefinisikan Pembangunan Berkelanjutan sebagai pembangunan yang memenuhi kebutuhan generasi saat ini tanpa mengurangi kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Di dalam konsep tersebut terkandung dua gagasan penting. Pertama, gagasan kebutuhan, khususnya kebutuhan esensial kaum miskin sedunia yang harus diberi prioritas utama. Kedua, gagasan keterbatasan, yang bersumber pada kondisi teknologi dan organisasi sosial terhadap kemampuan lingkungan untuk memenuhi kebututuhan kini dan hari depan. Jadi, tujuan pembangunan ekonomi dan sosial harus dituangkan dalam gagasan keberlanjutan di semua negara, baik negara maju maupun negara berkembang. Sedangkan menurut Budimanta (2005: 20) menyatakan pembangunan berkelanjutan adalah suatu cara pandang mengenai kegiatan yang dilakukan
24
secara sistematis dan terencana dalam kerangka peningkatan kesejahteraan, kualitas kehidupan dan lingkungan umat manusia tanpa mengurangi akses dan kesempatan kepada generasi yang akan datang untuk menikmati dan memanfaatkannya. Pembangunan berkelanjutan mencakup tiga lingkup kebijakan: pembangunan ekonomi, pembangunan sosial dan perlindungan lingkungan (selanjutnya disebut 3 Pilar Pembangunan berkelanjutan).
Gambar 2.1 Tiga Pilar Pembangunan Berkelanjutan (Sumber: Presentasi Bu Widiastuti, 2011)
Untuk menciptakan suatu pembangunan berkelanjutan, manusia melakukan transformasi yang mencakup 3 bidang yaitu, keberlanjutan dibidang ekonomi, lingkungan dan sosial yang dijabarkan sebagai berikut : 1. Keberlanjutan ekonomi, yang diartikan sebagai pembangunan yang mampu menghasilkan produk-produk barang dan jasa secara berkelanjutan dan tetap menjaga keseimbangan pada seluruh sektor ekonomi dengan tidak membiarkan adanya monopoli satu atau beberapa sektoral.
25
2. Keberlanjutan lingkungan, yang diartikan sebagai tetap menjaga sistem lingkungan agar tetap berjalan secara berkesinambungan seperti tetap menjaga peruntukan untuk ruang terbuka hijau, keanekaragaman hayati dan ekosistemekosistem yang ada. 3. Keberlanjutan sosial, dapat diartikan sebagai pemerataan dalam menjaga kesinambungan sosial baik kesinambungan kesehatan, pendidikan, gender dan politik.
2.4 Model Penelitian Model penelitian ini digunakan untuk memudahkan dalam proses penelitian, baik dalam hal pencarian data maupun dalam proses analisis data. Model penelitian ini akan dipaparkan pada halaman berikutnya yaitu Diagram 2.1.
26
Lahan Baru Pascareklamasi Laut
Prareklamasi
Perluasan Pemanfaatan Lahan
Pascareklamasi
Perubahan Pemanfaatan Lahan
Pemanfaatan Lahan Pra dan Pascareklamasi di Pulau Serangan
Rumusan Masalah 1
Rumusan Masalah 2
Rumusan Masalah 3
Kondisi pemanfaatan lahan pra dan pascareklamasi di Pulau Serangan
Faktor-faktor pengaruh perubahan pemanfaatan lahan pascareklamasi di Pulau Serangan
Dampak perubahan pemanfaatan lahan terhadap keberlanjutan Pulau Serangan sebagai wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
Teori 1 Perubahan Pemanfaatan Lahan
Teori 3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perubahan Pemanfaatan Lahan
Teori 4 Tiga Pilar Pembangunan Berkelanjutan
Diagram 2.2 Model Penelitian (Sumber: Analisis Surya, 2013)
27
BAB III METODE PENELITIAN
Bab ini terdiri dari tujuh sub bagian yaitu pendekatan penelitian, lokasi penelitian, jenis dan sumber data, instrumen penelitian, teknik pengumpulan data, teknik analisis data serta teknik penyajian hasil analisis data.
3.1 Pendekatan Penelitian Penentuan metode dan pendekatan suatu penelitian sangat ditentukan dari rumusan masalahnya. Penelitian ini menggunakan Pendekatan Kualitatif Deskriptif. Pendekatan ini dipergunakan karena topik penelitian yang berasal dari fenomena lapangan yang memiliki nilai lokalitas, yang mana kasus reklamasi Pulau Serangan menjadi empat kali lipat dari luas aslinya dan akhirnya terhenti sebelum reklamasi selesai dan pembangunan tidak jadi dilakukan, belum tentu terdapat di tempat/daerah lain. Melalui pendekatan ini, fenomena/kondisi di lapangan akan dijelaskan secara apa adanya, tanpa adanya manipulasi dan kehadiran peneliti tidak merubah dinamika yang terjadi pada obyek yang diteliti. Untuk mengetahui kondisi perubahan pemanfaatan lahan pra dan pascareklamasi serta faktor-faktor yang mempengaruhinya, serta dampak perubahan tersebut, peneliti dituntut secara langsung merasakan fenomena yang terjadi melalui observasi maupun survey dengan wawancara mendalam, yang tidak dapat dikerjakan dengan instrumen non human seperti kuisioner.
27
28
Rancangan Penelitian Rumusan Masalah 1 : Kondisi pemanfaatan lahan pra dan pascareklamasi di Pulau Serangan
Rumusan Masalah 2 : Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan pemanfaatan lahan pascareklamasi di Pulau Serangan
Pendekatan Kualitatif Deskriptif
Rumusan Masalah 3 : Dampak perubahan pemanfaatan lahan pascareklamasi terhadap keberlanjutan Pulau Serangan sebagai wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
Diagram 3.1 Skematik Pendekatan Penelitian (Sumber: Analisis Surya, 2013)
3.2 Lokasi Penelitian Lokasi penelitian ini adalah Pulau Serangan yang terletak di kecamatan Denpasar Selatan, kota Denpasar, provinsi Bali. Pulau Serangan saat ini (pascareklamasi) memiliki luas lahan sekitar 481 hektar, terdiri dari tanah tegalan 394 ha, permukiman seluas 48 ha, sisanya berupa dangkalan pesisir dengan batas wilayah sebagai berikut : Sebelah Utara
: Desa Sanur Kauh
Sebelah Selatan
: Kelurahan Tanjung Benoa
Sebelah Timur
: Selat Badung
Sebelah Barat
: Kelurahan Pedungan
29
U
Wilayah PT. BTID
Wilayah Permukiman
Gambar 3.1 Peta Lokasi Penelitian yaitu Pulau Serangan (Sumber: Kementerian Jenderal PU, GoogleEarth, 2013)
Fokus dari lokasi penelitian ini adalah melihat pemanfaatan lahan yang mengalami perubahan baik perubahan luasan, maupun perubahan pemanfaatannya dari pra dan pascareklamasi. Beberapa perubahan pemanfaatan lahan dari pra dan pascareklamasi akan dipaparkan pada gambar di bawah ini.
30
Pasar Desa
Watersport
KUD
Pura Sakenan
Taman Kota Balai Konservasi Penyu
Pura Batu Api Pura Batu Api
Pura Beji Dalem Sakenan
Kuburan
Gambar 3.2 Pemanfaatan Lahan di Wilayah Permukiman dan PT. BTID (Sumber: Observasi Surya, 2012 dan 2013)
3.3 Jenis dan Sumber Data Pada sub bab ini akan dijelaskan mengenai jenis dan sumber data yang dipakai dalam penelitian ini, yaitu: 3.3.1 Jenis Data Jenis data yang dipergunakan pada penelitian ini adalah data kualitatif dikarenakan ketiga rumusan permasalahan penelitian didasarkan pada fenomena yang terjadi di lapangan. Data kualitatif merupakan data dalam bentuk kata verbal/uraian, coretan gambar, rekaman (bukan angka) yang didapatkan langsung
31
melalui observasi dan survey di lapangan, sehingga perlu disederhanakan, diringkas dan dibuat secara sistematis (Noeng Muhadjir, 1996: 14). Data kualitatif yang dicari untuk memecahkan ketiga rumusan masalah penelitian adalah data lokasi serta latar belakang terjadinya perubahan lahan pra dan pascareklamasi yang bisa ditanyakan langsung melalui wawancara dengan tokoh-tokoh adat setempat dan selanjutnya melihat lokasinya langsung di lapangan, dan selanjutnya bisa dipetakan lewat google earth, sehingga mendapatkan komparasi pemanfaatan lahan pra dan pascareklamasi serta faktorfaktor yang menjadi penyebab perubahannya. Untuk mengetahui dampak perubahan pemanfataan lahan pascareklamasi dicari data kualitatif yang didapatkan dari wawancara dengan tokoh-tokoh masyarakat yang dianggap mengetahui dan merasakan perubahan lahan pada masa pra dan pascareklamasi dan juga bisa didapatkan langsung melalui observasi langsung ke lapangan.
3.3.2 Sumber Data Sumber data yang dipergunakan pada penelitian ini terdiri dari dua yaitu data primer dan data sekunder. 1. Data Primer Data primer atau data utama dari lapangan merupakan data yang didapatkan langsung melalui observasi maupun survey pada obyek penelitian. a. Observasi terkait penelitian yang dilakukan adalah melihat serta mencatat zona kepemilikan lahan secara makro dan mencatat secara lebih detail zona lahan yang mengalami perubahan pemanfaatan lahan baik di wilayah
32
permukiman penduduk maupun di wilayah PT. BTID pascareklamasi. Untuk mengetahui dampak perubahan pemanfaatan lahan pascareklamasi terhadap keberlanjutan Pulau Serangan utamanya keberlanjutan lingkungan dilakukan dengan observasi melihat keadaan lingkungan dan pembangunan, selanjutnya dikomparasikan dengan foto-foto pra reklamasi serta didukung teknik survey yang akan dijelaskan pada sub bab berikutnya. Instrumen observasi adalah foto melalui kamera, video, serta sketsa-sketsa untuk mendokumentasikan fenomena yang terjadi di lapangan. b. Selanjutnya, untuk mengetahui pemanfaatan lahan prareklamasi, faktorfaktor yang mempengaruhi perubahan tersebut, serta dampak dari perubahan pemanfaatan lahan terhadap keberlanjutan Pulau Serangan utamanya dalam hal sosial dan ekonomi, dilakukan Survey yakni dengan instrumennya berupa wawancara mendalam (indept interview) dengan tokoh-tokoh masyarakat baik itu Bendesa Adat, Kelihan Banjar, Kepala Lingkungan, pelaku pemanfaatan lahan maupun masyarakat yang dianggap mengetahui keberadaan perubahan lahan pra dan pascareklamasi. Fokus dari survey ini adalah mewawancarai masyarakat yang memiliki umur di atas 40 tahun karena kejadian dari sebelum reklamasi adalah sekitar 23 tahun yang lalu. Oleh karena itu, masyarakat di atas umur 40 tahun dan merupakan warga asli
Pulau
Serangan
diasumsikan
mengetahui
keadaan
perubahan
pemanfaatan lahan dari prareklamasi (sebelum tahun 1995) hingga pascareklamasi (setelah tahun 1998).
33
2. Data Sekunder Sumber data sekunder merupakan sumber data yang sudah ada dan berupa dokumentasi, sehingga peneliti hanya tinggal aktif mencari dokumen yang berkaitan dengan judul dan rumusan masalah penelitian. Data sekunder dapat berupa
majalah
dan
koran,
dokumen
dari
pemerintahan,
makalah/jurnal/tesis/disertasi dari peneliti lain yang ada relevansinya dengan penelitian ini, browsing melalui internet, serta data-data statistik dari pemerintah. Data sekunder pada penelitian ini berupa data pustaka terkait penelitian yang sejenis dengan penelitian ini baik dari segi kemiripan topik, judul, lokasi, maupun pendekatan penelitian. Data sekunder tersebut diantaranya peta udara Pulau Serangan pra dan pascareklamasi yang bisa didapatkan dari pihak yang mereklamasi pulau Serangan yaitu PT. BTID dan Kodam IX Udayana, teori-teori tentang perubahan pemanfaatan lahan, faktor-faktor pengaruh perubahan pemanfaatan lahan, Undang-Undang mengenai pemanfaatan dan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, dan teori pembangunan berkelanjutan.
34
Tabel 3.1 Jenis dan Sumber Data Terkait Penelitian Sumber Data Data
Jenis Data Primer
Gambaran umum wilayah penelitian dan geografis Pulau Serangan. Fisik dan non fisik Pulau Serangan.
Rumusan Masalah 1 Kondisi pemanfaatanlahan pra dan pascareklamasi di Pulau Serangan.
Rumusan Masalah 2 Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan pemanfatan lahan pascareklamasi di Pulau Serangan. Rumusan Masalah 3 Dampakperubahan pemanfaatan lahan pascareklamasi terhadap keberlanjutan Pulau Serangan sebagai wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Kualitatif Kualitatif
Observasi & survey awal Observasi & Survey (Wawancara)
Sekunder - Peta Pulau Serangan (internet/googleearth, BPN) - Deskripsi Gambaran Umum (Profil Pulau Serangan) - Kodam IX Udayana (kondisi fisik dan non fisik prareklamasi) - Data PT. BTID (masterplan perencanaan reklamasi, peta udara pra dan pascareklamasi, foto keadaan prareklamasi) - Data Desa Dinas (kondisi non fisik pascareklamasi)
Kualitatif
Observasi & Survey (Wawancara)
- Literatur (teori perubahan pemanfaatan lahan) - Data PT. BTID (peta udara pulau Serangan pra dan pascareklamasi) - Data Desa Pakraman Serangan (awig-awig, eka ilikita) - Data Puri Kesiman (purana Pura Sakenan)
Kualitatif
Observasi & Survey (Wawancara)
- Literatur (faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan pemanfaatan lahan) - Data desa pakraman (awig-awig, eka ilikita)
Kualitatif
Observasi & Survey (Wawancara)
- Literatur (teori tiga pilar pembangunan berkelanjutan) - Data Desa Dinas (statistik pendapatan penduduk pra dan pascareklamasi) - Data Desa Pakraman (pendapatan Desa Pakraman hasil pemanfaatan lahan) Kesimpulan dan Saran
(Sumber: Analisis Surya, 2013)
35
3.4 Instrumen Penelitian Penelitian yang menggunakan metode kualitatif menggunakan instrumen sebagai berikut : 1. Peneliti sebagai instrumen utama penelitian Pada penelitian dengan metode kualitatif, kehadiran peneliti sangat diperlukan dalam observasi maupun survey di lapangan misalnya : mengetahui suhu/hawa lokasi penelitian yang tidak dapat dijelaskan melalui foto, mengetahui mimik, ekspresi muka, bahasa tubuh informan saat wawancara sehingga dapat mengetahui kebenaran informasinya yang tidak dapat dijelaskan apabila hanya mendengarkan rekaman suara dari recorder handphone. 2. Pedoman wawancara Pedoman wawancara dipakai saat melakukan wawancara mendalam dengan informan maupun responden penelitian. Pedoman wawancara dibuat dalam kalimat positif (bukan kalimat negatif/mempertanyakan) karena isinya hanya berupa intisari dari pertanyaan-pertanyaan yang akan diajukan oleh peneliti untuk memecahkan ketiga rumusan masalah penelitian. Pedoman wawancara dibuat secara terstruktur namun dalam melakukan wawancara dilakukan secara tidak terstruktur, dikembangkan/diimprovisasi oleh peneliti tergantung dari informan. Wawancara secara tidak terstruktur dipergunakan agar berkesan tidak kaku, memberikan kesan rileks bagi informan sehingga informan dapat memberikan informasi dengan bebas dan selengkaplengkapnya baik mengenai pemanfaatan lahan pada masa prareklamasi maupun
36
pascareklamasi, faktor-faktor yang mempengaruhinya, serta dampak yang informan rasakan dalam hal perekonomian dan sosial budaya dengan adanya perubahan pemanfaatan lahan pra dan pascareklamasi ini. 3. Alat tulis berupa pensil, pulpen, penggaris dan sebagainya untuk mencatat hasil penelitian maupun untuk membuat sketsa-sketsa baik berupa sketsa peta lokasi yang mengalami perubahan pemanfaatan lahan, dan juga catatan hasil penelitian untuk kemudahan eksplorasi di lapangan. 4. Alat foto berupa kamera digital untuk mengabadikan setiap kejadian-kejadian penting dalam penelitian. 5. Alat perekamvisual berupa handycam serta alat perekam suara berupa recorder handphone. Handycam dan recorder handphone dipergunakan untuk merekam hasil wawancara terhadap informan maupun saat mengabadikan suatu peristiwa yang berkaitan dengan topik penelitian.
3.5 Teknik Sampling Dalam mengamati keadaan di lapangan baik dalam mengamati keadaan pemanfaatan lahan pra dan pascareklamasi, faktor-faktor yang mempengaruhi perubahannya, serta dampak perubahan lahan tersebut terhadap kualitas wilayah permukiman dan lingkungan di Pulau Serangan, peneliti melakukan pemilihan sampel dengan cara Non Random Sampling. Pemilihan non random sampling dikarenakan pendekatan penelitian menggunakan pendekatan kualitatif yang menghindari pengambilan sampel acak. Pemilihan non random sampling dengan
37
cara purposive sampling dilakukan sehingga hal-hal yang ingin dicari tampil menonjol dan lebih mudah dicari maknanya (Noeng Muhadjir, 1996: 109). Pada pendekatan kualitatif,
untuk
mendapatkan informasi melalui
wawancara, maka sampel diambil dengan teknik non random sampling yang artinya tidak diberikan kesempatan yang sama bagi setiap populasi untuk dipilih menjadi sampel. Pengambilan non random sampling dilakukan dengan cara purposive sampling yaitu pengambilan sample dengan pertimbangan tertentu yang dianggap relevan atau dapat mewakili obyek yang diteliti serta dianggap memiliki informasi yang paling besar/berguna bagi peneliti. Misalnya mengambil sampel Bendesa Adat sebagai perwakilan dari Desa Pakraman Serangan, Kelihan Banjar merupakan pemimpin dari masing-masing Banjar di Desa Pakraman Serangan, pelaku pemanfaatan lahan, pihak perencana dan pelaksana reklamasi yaitu PT. BTID, serta tokoh masyarakat yang dianggap mengetahui permasalahan di lapangan terkait penelitian (Sofian Effendi, 2012: 173).
Desa Pakraman dan Dinas (pengatur kebijakan lahan) Bendesa Adat dan Lurah
Pelaku Usaha (Pelaku Pemanfaatan Lahan)
Tokoh Masyarakat
BTID
Pedagang Pasar, Pengelola LPD dan KUD, Pengelola Konservasi Penyu, Pemilik Watersport, dll
Kelihan masingmasing Banjar, Mantan Pejabat Publik, Pemangku Pura dan masyarakat
Perencana dan Pelaksana Reklamasi
Mengambil sampel yang dianggap memiliki informasi paling berguna dari masing-masing kelompok masyarakat Diagram 3.2 Metode Non Random Sampling dengan Cara Purposive Sampling (Sumber: Analisis Surya, 2013)
38
Metode snowball/bola salju juga dipakai dalam penelitian ini untuk memperbesar informasi dengan cara peneliti akan menanyakan link kepada narasumber/informan, kira-kira siapa saja selanjutnya yang bisa ditanyakan oleh peneliti mengenai permasalahan penelitian, sehingga teknik sampling ini tampak seperti bola salju yang berguling kesana kemari.
Pihak B
Pihak A
Merekomendasikan pihak B
Pihak C
Merekomendasikan pihak C
dan Seterusnya...
Merekomendasikan pihak D, dst...
Diagram 3.3 Skema dari Teknik Sampling Snowball pada Penelitian (Sumber: Hasil Analisis, 2013)
3.6 Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data pada penelitian ini menggunakan tiga teknik yaitu teknik observasi, survey, dan dokumen. 3.6.1 Teknik Observasi Observasi yang dilakukan pada penelitian ini adalah pengamatan langsung di lapangan yaitu Pulau Serangan. Teknik observasi dilakukan untuk mendapatkan data berupa foto, rekaman video, sketsa dan gambar, yang mana pada penelitian ini akan dilakukan pengambilan foto tentang zona wilayah permukiman dan zona PT. BTID termasuk pula lahan-lahan yang mengalami perubahan pascareklamasi, sketsabentuk, ukuran dan pemanfaatan lahan pascareklamasi, dan lain-lain. Pengamatan melalui observasi dilakukan dengan melihat obyek observasi yang terdiri dari (Sugiyono, 2011: 222):
39
a. Place, yaitu lahan yang mengalami perubahan luasan dan pemanfaatan dari pra dan pascareklamasi, seperti lahan Pura-Pura baik yang diempon oleh Puri Kesiman maupun Desa Pakraman Serangan, Pasar Desa, LPD, KUD,Taman Kota, Balai Konservasi Penyu, berbagai fasilitas watersport, dan lain-lain. b. Actor, yaitu pelaku/orang yang ikut berperan/mengetahui fenomena yang menjadi topik penelitian. Dalam penelitian ini, yang menjadi actor terciptanya perubahan lahan di Pulau Serangan adalah pihak yang mereklamasi pulau Serangan yaitu pihak PT. BTID, Desa Dinas dan Desa Pakraman Serangan yang mengatur pemanfaatan lahan, pelaku pemanfaatan lahan, serta masyarakat lokal Pulau Serangan yang mengetahui dan ikut merasakan fenomena perubahan pemanfaatan lahan pra dan pascareklamasi di Pulau Serangan. c. Activity, yaitu kegiatan yang dilakukan oleh aktor dalam situasi lingkungan kawasan yang sedang berlangsung. Activity terkait topik penelitian adalah kegiatan reklamasi yang mempengaruhiukuran serta luasan lahan pra dan pascareklamasi, pemanfaatan lahan yang terjadi di Pulau Serangan, serta Desa Dinas serta Desa Pakraman Serangan yang memberikan kebijakan pemanfaatan lahan.
3.6.2 Teknik Survey Sesuai dengan metode penelitian kualitatif, maka teknik survey terhadap informan dan responden dilakukan dengan interview/wawancara. Untuk
40
mendapatkan informasi yang mendalam dari informan dan responden, maka peneliti harus terampil dalam melakukan wawancara baik itu menjaga perasaan informan/responden, antusias dalam mendengarkan informan berbicara, dan teknik wawancara lainnya. Dalam melakukan wawancara, peneliti menggunakan instrumen berupa pedoman wawancara yang dibuat dalam bentuk kalimat positif (bukan kalimat pertanyaan).
3.6.3 Teknik Dokumen Teknik dokumen adalah teknik penelusuran data yang bukan dibuat oleh peneliti, melainkan sudah ada sebelumnya dan dibuat oleh orang lain. Bentuk dari data dokumen adalah teks tertulis. Pada penelitian ini, yang termasuk data dokumen seperti adalah dokumen perencanaan reklamasi Pulau Serangan yang dibuat PT. BTID dan Kodam IX Udayana, kesepakatan antara PT. BTID dengan Desa Pakraman Serangan yang tertuang dalam Momerandum of Understanding (MoU) yang berisikan sembilan butir kesepakatan pada akhir reklamasi tahun 1998 termasuk pemberian lahan baru kepada Desa Pakraman Serangan oleh PT. BTID, peraturan-peraturan dari Desa Pakraman Serangan yaitu awig-awig, ekailikita, perarem, hasil sabha desa, dan dokumen lainnya.
3.7 Analisis Data Berdasarkan tiga jenis data yang telah dikumpulkan pada teknik pengumpulan data yaitu data observasi, data survey (interview), dan data dokumen, selanjutnya data akan dianalisis dengan menyajikannya secara lebih
41
sistematis. Teknik analisis data dapat diartikan sebagai proses penyederhanaan data ke dalam bentuk yang lebih mudah dibaca dan diinterpretasikan dengan tujuan untuk menjawab rumusan permasalahan dalam mengungkap suatu fenomena (Sofian Effendi, 2012: 250). Analisis data dengan pendekatan kualitatif dengan metode deskriptif sifatnya induktif yaitu mencari temuan-temuan di lapangan atau berdasarkan empiri yang umumnya menghasilkan lebih banyak temuan lokal sehingga tidak memerlukan kerangka teori yang jelas dalam melakukan penelitian. Pada penelitian ini, data yang dianalisis adalah data dari hasil observasi, data hasil survey (interview) serta data dokumen yang sudah dikumpulkan pada tahapan sebelumnya. Adapun penjabaran analisis dari data tersebut adalah: a. Analisis Data Observasi (Image Analysis) Data Observasi pada penelitian ini terdiri dari foto-foto lapangan dan sketsa tentang zonasi pemanfaatan lahan di pulau Serangan yang telah mengalami perubahan baik secara makro (terdapat 2 zonasi yaitu zona wilayah permukiman penduduk dan zona PT. BTID) dan secara mikro (perubahan laut menjadi Pasar Desa, LPD, KUD, Taman Kota, perluasan areal Jaba Tengah dan Jaba Sisi Pura Sakenan, Pura Puseh/Dalem Cemara, dan lain-lain). Adapun analisis data observasi adalah sebagai berikut:
42
Foto + Sketsa
Peta-Peta (Zona Lahan Pra dan Pascareklamasi)
Diinterpretasikan
1. Dibuat Peta-Peta Tematik. 2. Dari Peta Tematik Selanjutnya Diinterpretasikan
Diagram 3.4 Tahap Analisa Data Observasi (Sumber: Analisa Surya, 2013)
b. Analisis Data Wawancara/Analisis Isi (Content Analysis) Dalam analisis data wawancara terdiri dari beberapa tahapan yaitu: data hasil wawancara berupa rekaman wawancara dan catatan wawancara diubah dalam bentuk teks tertulis; selanjutnya diklasifikasikan menurut jenis instansi tempat informan berasal misalnya Lurah yang berasal dari Desa Dinas, Bendesa yang berasal dari Desa Pakraman, pelaku pemanfaatan lahan, masyarakat lokal dan luar Pulau Serangan dan sebagainya. Selanjutnya teks tertulis yang sudah diklasifikasi dilakukan coding untuk mencari kata-kata kunci dari hasil wawancara; tahap terakhir yaitu menginterpretasi/memaknai kata-kata kunci hasil wawancara.
43
Tahap 1
Hasil Wawancara (suara dan catatan wawancara)
Kata-Kata (Teks Tertulis) Dirobah
Step 1 Diklasifikasikan
Kata-Kata (Teks Tertulis)
Tahap 2
Diklasifikasikan Berdasarkan Instansi (Desa Dinas & Desa Pakraman), Pelaku Pemanfaatan Lahan, Masyarakat
Kata-Kata Kunci Step 2 Coding
Tahap 3
Diinterpretasikan/Dimaknai
Kata-Kata Kunci
Diagram 3.5 Tahap Analisa Data Wawancara/Interview (Sumber: Analisa Surya, 2013)
c. Analisis Data Dokumen Dalam analisa data dokumen, dilakukan dalam tiga tahapan yaitu tahap pertama yaitu tahap reduksi data yang terbagi menjadi tahap klasifikasi, kemudian dicoding,
dan selanjutnya disortir. Dilanjutkan dengan tahapan
kedua, data yang telah disortir tersebut ditabulasi dalam bentuk teks tertulis, tabel, ataupun diagram. Tahap terakhir, data yang sudah ditabulasikan tersebut diinterpretasikan oleh peneliti dan dicari kesimpulannya. Tahap 1
Tahap 2
Reduksi Data : 1. Klasifikasi 2. Coding 3. Sortir
Penyajian Data Data yang telah didapatkan, ditabulasikan baik ke dalam teks naratif, tabel, dan grafik.
Tahap 3 Interpretasi dan Penarikan Kesimpulan
Diagram 3.6 Tahap Analisa Data Dokumen (Sumber : Analisis Surya, 2013)
44
3.8 Penyajian Hasil Analisis Data Penyajian analisis data merupakan teknik menata data yang telah dianalisis pada tahapan sebelumnya. Data yang telah dianalisis, selanjutnya akan disajikan dalam bentuk teks atau penjelasan naratif, gambar, tabel, maupun dalam diagram. Tabel 3.2 Teknik Penyajian Hasil Analisis Data Metode dan Penyajian Hasil Jenis Data Analisis Data Teks atau penjelasan naratif, Kondisi
pemanfaatan
lahan
pra
dan gambar,
pascareklamasi di Pulau Serangan dan tabel Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan Teks atau penjelasan naratif, pemanfaatan lahan pascareklamasi gambar di Pulau Serangan Dampak
perubahan
pemanfaatan
lahan
pascareklamasi terhadap keberlanjutan Pulau Serangan sebagai wilayah pesisir dan
Teks atau penjelasan naratif, gambar
pulau-pulau kecil.
Sumber : Analisis Surya, 2013 Dalam penyajian hasil analisis data untuk menjawab rumusan masalah satu, akan dipaparkan berdasarkan kasus-perkasus atau secara parsial untuk melihat perubahan pemanfaatan lahan secara mikro/terperinci, sehingga didapatkan kejelasan bagi pembaca dalam memaparkan kronologis suatu peristiwa yang ingin disampaikan.
45
BAB IV GAMBARAN UMUM PULAU SERANGAN
Gambaran umum mengenai Pulau Serangan akan dipaparkan kedalam dua sub bagian yaitu gambaran umum Pulau Serangan pada masa prareklamasi (sebelum tahun 1995) dan gambaran umum Pulau Serangan pada masa pascareklamasi (setelah tahun 1998). Hal-hal yang diuraikan pada masing-masing sub bab adalah mengenai gambaran umum dari segi fisik, sosial dan ekonomi di Pulau Serangan.
4.1 Gambaran Umum Pulau Serangan Prareklamasi 4.1.1 Gambaran Fisik Pulau Serangan Prareklamasi a. Ruang, Tanah, Air Secara umum, luas Pulau Serangan prareklamasi sekitar 111 hektar yang terdiri dari beberapa gugusan pulau yang membentuk satu kesatuan Pulau Serangan, dengan masyarakatnya yang hidup tersebar pada masing-masing gugusan pulau tersebut. Bentuk dan luas Pulau Serangan prareklamasi mengalami perubahan terus menerus akibat banyaknya lautan dangkal yang terkadang muncul menjadi daratan saat air surut dan tenggelam saat air pasang. Terdapat dua perubahan bentuk Pulau Serangan prareklamasi yang didapat penulis yaitu Pulau Serangan tahun 1948 dan tahun 1995. Pada peta Pulau Serangan tahun 1948, Pulau Serangan terdiri dari 2 gugusan pulau besar dan 7 gugusan pulau kecil (Kodam IX Udayana, 1988: 4).
45
46
7 Gugusan Pulau Kecil 2 Gugusan Pulau Besar
Gambar 4.1 Pulau Serangan Prareklamasi Tahun 1948 (Sumber: Kodam IX Udayana, 1988)
Namun pada peta Pulau Serangan tahun 1995 (awal dilaksanakannya reklamasi), telah terjadi perubahan dalam hal bentuk eksisting Pulau Serangan yaitu terdiri dari 5 gugusan pulau besar dan lebih dari 7 gugusan pulau kecil. Perubahan ini disebabkan rentannya Pulau Serangan terkena kikisan akibat ombak pasang surut sehingga pada tahun 1995 inilah awal dilakukannya proses reklamasi hingga terhenti tahun 1998.
47
PULAU SERANGAN
+ 7 Gugusan Pulau Kecil
5 Gugusan Pulau Besar TANJUNG BENOA
Gambar 4.2 Pulau Serangan Prareklamasi Tahun 1995 (Sumber: PT. BTID, 2013)
Topografi Pulau Serangan relatif datar dan landai dengan ketinggian daratan tertinggi yaitu 4 meter dari permukaan air laut. Hal ini berarti daratan Pulau Serangan sangat rentan terkena sapuan dan kikisan air laut karena ketinggian daratan yang hampir sejajar dengan permukaan air laut. Kondisi air tanah di Pulau Serangan sangat dipengaruhi oleh kondisi pulaunya yang kecil dan sempit yang memiliki panjang + 3 km dari Utara ke Selatan dan lebar + 0,65 km dari Barat ke Timur. Dengan kondisi pulau yang sempit dan kecil serta topografinya yang rendah/hampir sejajar dengan permukaan air laut, menyebabkan air tanah di Pulau Serangan terasa payau dengan kedalaman tiga hingga lima meter karena percampuan antara air laut yang asin dengan air tawar. Air semacam ini sebenarnya kurang baik/layak untuk dikonsumsi masyarakat sebagai air minum (wawancara, Gede Mudana Wiguna, 2013).
48
b. Pemanfaatan Lahan Secara umum, pemanfaatan lahan di Pulau Serangan sampai tahun 1988 terdiri dari : - Permukiman = 17,99 % - Kebun
= 58,05 %
- Rawa-rawa = 33,23 %
Gambar 4.3 Pemanfaatan Lahan Pra Reklamasi di Pulau Serangan (Sumber: Kodam IX Udayana, 1988)
c. Kondisi Jalan dan Utilitas Kondisi jalan di Pulau Serangan prareklamasi hanya berupa jalan tanah yang berfungsi sebagai penghubung lingkungan yang ada di Pulau Serangan, dengan lebar jalan relatif sempit yaitu antara 2-5 meter. Untuk jaringan air bersih, di Pulau Serangan terdapat dua mata air yang terdapat di sekitar Dusun Dukuh dan Kampung Bugis. Kualitas air yang diperoleh dari sumur kurang baik dan sebenarnya hanya layak dipakai untuk mencuci tetapi sumber mata air payau ini dipergunakan masyarakat untuk air minum. Untuk pelayanan listrik secara umum hanya cukup melayani 30% kebutuhan listrik penduduk Pulau Serangan. Sistem persampahan pada prareklamasi masih belum dilakukan dengan sistem yang teratur sehingga sampah-sampah masih berserakan dimana-mana dan terkadang dibuang ke laut. Untuk sistem drainase di Pulau Serangan pra reklamasi, masih belum terdapatnya got pembuangan air hujan dan pembuangan limbah yang masih banyak dibuang ke laut (wawancara, Wayan Darta, 2013).
49
4.1.2 Gambaran Sosial Pulau Serangan Prareklamasi Pulau Serangan prareklamasi terdiri dari 7 Banjar Dinas (umat Hindu) dan 1 Kampung Bugis (umat Islam). Tujuh Banjar Dinas tersebut adalah Banjar Ponjok, Kaje, Tengah, Peken, Kawan, Dukuh, dan Kubu. Jumlah penduduk Pulau Serangan pada tahun 1987 adalah 2574 jiwa yang tersebar pada tujuh Banjar Adat/Dinas dan satu Kampung Bugis yaitu : - Banjar Kaje dan Ponjok
= 660 jiwa.
- Banjar Tengah dan Peken
= 899 jiwa.
- Banjar Kawan, Dukuh, Kubu
= 796 jiwa.
- Kampung Bugis
= 219 jiwa
Banjar Kawan
Banjar Dukuh Kampung Bugis
Banjar Ponjok Banjar Kaje Banjar Tengah Banjar Peken
Banjar Kubu
PETA PT. BTID TAHUN 1995 PETA UDARA TAHUN 1995
Gambar 4.4 Letak Banjar-Banjar dan Kampung Bugis pada Prareklamasi (Sumber: Wawancara, Wayan Darta, PT. BTID, 2013)
Ketujuh Banjar Adat yang difungsikan pula sebagai Banjar Dinas dipergunakan sebagai tempat berkumpulnya kegiatan kemasyarakatan umat Hindu di Pulau Serangan. Bagi umat Muslim yang bertempat tinggal di Kampung Bugis,
50
wadah kegiatan masyarakat diwadahi di pos kamling dan mesjid. Pada masa prareklamasi, jumlah banjar di pulau Serangan berjumlah 7 banjar yaitu Banjar Ponjok, Kaje, Tengah, Peken, Kawan, Dukuh, dan Kubu. Dari data empat tahun terakhir diketahui perkembangan penduduk adalah 0,93 % / tahun. Dari struktur penduduk menurut agamanya, sebagian besar penduduk memeluk Agama Hindu yaitu 91 %, selebihnya terdiri dari umat Islam yaitu 7,6 %, dan Khatolik 1,4 %. Berdasarkan angka prosentase tersebut, keberadaan pura-pura di Pulau Serangan terutama Pura Sakenan sebagai Pura Dang Khayangan, merupakan sarana yang memiliki perananan sangat penting karena didatangi oleh hampir seluruh masyarakat Pulau Bali (Kodam IX Udayana, 1988: 5).
Gambar 4.5 Persentase Penduduk Menurut Agama di Pulau Serangan (Sumber: Kodam IX Udayana, 1988)
4.1.3 Gambaran Perekonomian Pulau Serangan Prareklamasi a. Pertanian, Perikanan, dan Peternakan Kondisi tanah di Pulau Serangan sebagian besar berpasir dan tidak terdapat sungai. Sumber air tawar umumnya berasal dari sumur yang airnya terasa asin. Kondisi ini menyebabkan sulit mengandalkan usaha pertanian di sawah sehingga
51
persentasi petani di Pulau Serangan hanya 0,7 %. Kebanyakan lahan pertanian hanya berupa tegalan dengan total luasan + 75,62 % dengan hasil produksi berupa kelapa, jambu batu, pisang, dan pepaya. Tidak adanya sawah yang ditanami padi disebabkan sumber mata air yang cenderung asin sehingga produksi lahan tegalan menjadi hal utama dalam bidang pertanian di Pulau Serangan. Sebagian besar penduduk Pulau Serangan prareklamasi bermata pencaharian sebagai nelayan, yaitu sekitar 86 %. Peralatan yang digunakan diantaranya perahu bermesin tempel yang dipergunakan nelayan untuk mencari ikan maupun untuk dipakai mengangkut wisatawan. Pemasaran hasil tangkapan dilakukan melalui KUD Mina Cipta Karya yang merupakan satu-satunya koperasi yang terdapat di Pulau Serangan pada prareklamasi. Usaha peternakan pada pra reklamasi sifatnya hanya sebagai usaha sambilan. Hal ini diketahui dari tingkat populasi dan jenis ternak yang dipelihara jumlahnya relatif sedikit dan jenisnya lokal (tidak unggul). Jenis ternak yang mengalami pertumbuhan populasi stabil adalah sapi yaitu 21,2 % / tahun dan ayam kampung 27,9% / tahun (Kodam IX Udayana, 1988 : 6). b. Perdagangan Persentase penduduk yang terlibat dalam usaha perdagangan lebih besar dibandingkan dengan mengelola lahan tegalan. Prosentase penduduk yang bermata pencaharian sebagai pedagang sekitar 11 % (tahun 1987). Jenis komoditi yang diperdagangkan kebanyakan berupa barang-barang kerajinan yang dijual kepada wisatawan domestik maupun wisatawan asing.
52
c. Transportasi Sarana perhubungan yang banyak dimiliki penduduk Pulau Serangan adalah jukung, baik yang bermesin tempel maupun tanpa mesin. Jenis sarana transportasi darat seperti sepeda motor sangat minim terdapat di Pulau Serangan. Hal ini dikarenakan kondisi jalan yang kurang layak karena hanya berupa jalan tanah dan karena Pulau Serangan terdiri dari beberapa gugusan pulau sehingga transportasi air menjadi transportasi utama di Pulau Serangan prareklamasi. Jukung selain difungsikan sebagai alat transportasi dan mata pencaharian, juga disewakan kepada wisatawan untuk berkeliling melihat keindahan Pulau Serangan. Sampai tahun 1986, terdapat 65 jukung bermesin tempel dan 300 jukung tanpa mesin tempel yang dimiliki penduduk Pulau Serangan. d. Industri Kegiatan industri yang ada di kawasan masih bersifat home industri berupa industri makanan ringan dan kerajinan tangan berupa anyaman, serta industri rumahan berupa pengolahan rumput laut. e. Pariwisata Kondisi pariwisata di Pulau Serangan prareklamasi cukup baik dengan banyaknya wisatawan yang berkunjung ke Pulau Serangan. Pada tahun 1987 tercatat 24.498 wisatawan yang berkunjung ke Pulau Serangan. Jumlah tersebut terdiri dari 624 wisatawan domestik dan 23.874 wisatawan asing. Banyaknya wisatawan dikarenakan lalu lintas air menuju Pulau Serangan yang relatif lancar serta jarak Pantai Serangan dengan Pantai Suwung (Pantai Selatan Bali yang
53
terdekat dengan Pulau Serangan) hanya kurang lebih 1 km dan ombaknya yang relatif kecil. f. Ketenagakerjaan Pada tahun 1987 tercatat jumlah tenaga kerja di Pulau Serangan relatif besar yaitu sekitar 49 % dari total penduduk, namun mutu SDM nya masih rendah mengingat sebagian besar penduduk Pulau Serangan (88 %) hanya berpendidikan SD ke bawah. dari data tahun yang sama diketahui bahwa penduduk Pulau Serangan tidak ada yang menganggur, walaupun umumnya hanya sebagai pekerja kasar.
4.2 Gambaran Umum Pulau Serangan Pascareklamasi 4.2.1 Sejarah dan Proses Reklamasi Pulau Serangan Sejak tahun 70-an industri pariwisata telah ada di Pulau Serangan, dengan turis yang datang untuk melihat penyu. Namun, pada akhir tahun 80-an, industri pariwisata itu berkembang ketika sekelompok investor mau membangun resort di Serangan, namanya PT. Bali Turtle Island Development (BTID). Awalnya, kepemilikan BTID dimiliki oleh Grup Bimantara, yang dipimpin oleh Bambang Trihatmojo dan Tommy Soeharto (anak mantan Presiden Soeharto), serta PT. Pembangunan Kartika Udayana, yang dimiliki Komando Daerah Militer (Kodam) IX Udayana. Akan tetapi, sebelum PT. BTID muncul sebagai pembangun, pihak dari Kodam sudah mengajukan surat permohonan kepada Gubernur Bali untuk melakukan “Pelestarian dan Pengembangan Pariwisata di Pulau Serangan” pada bulan Januari 1990. Sasaran proyek itu adalah “menyelamatkan kondisi fisik
54
Pulau Serangan dari kerusakan lebih parah, peningkatan sosial ekonomi penduduk, pelestarian peninggalan budaya dan peningkatan apresiasi budaya”. Mereka diberikan izin prinsip oleh Gubernur Bali. Setelah izin prinsip keluar, panitia pembebasan tanah melaksanakan pembebasan tanah di Pulau Serangan untuk pembangunan selama delapan tahapan, dari Juli 1990 sampai April 1991. Setelah itu, izin prinsip diberikan kepada PT. BTID guna pengajuan permohonan Hak Guna Bangunan, yang diberikan kepada PT. BTID dalam Surat Keputusan Gubernur Bali, tanggal 24 Desember 1992. PT. BTID kemudian mengadakan penelitian untuk Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal), yang disetujui oleh Gubernur Bali pada tahun 1995. Akhirnya, PT. BTID diberikan Izin Kerja Keruk dan Reklamasi disekitar Pulau Serangan pada bulan Juli 1996 oleh Departemen Perhubungan. Proyek yang direncanakan PT. BTID adalah untuk membangun lapangan golf, resort, lagoon untuk sarana rekreasi air, yacht club, beach club house, pembangunan villa, fasilitas penunjang pariwisata lainnya, serta marina/ferry dan jembatan penyeberangan dari daratan Pulau Bali ke Pulau Serangan. Selain itu, supaya proyek PT. BTID lebih menarik masyarakat Bali dan masyarakat Pulau Serangan, ada rencana untuk membangun pusat penelitian penyu dan bakau, kios dan restoran, serta perbaikan fasilitas pemukiman masyarakat seperti sarana air, listrik, wc umum dan lain-lainnya. Proyek PT. BTID “memanfaatkan lahan asli Pulau Serangan sekitar 111 ha”, di samping itu melakukan pengerukan dan penimbunan (reklamasi) pantai, sehingga luas lahan keseluruhan yang akan
55
dikembangkan mencapai +481 Ha”, atau hampir 4 kali lipat luas asli Pulau Serangan. Proyek reklamasi akhirnya terhenti karena kondisi politik serta kesulitan dana akibat krisis moneter pada tahun 1998, dengan progress di lapangan baru mencapai 60% dari rencana pengerukan dan reklamasi. Hingga saat ini, tidak ada investor baru, dan lahan PT. BTID pun kosong. Namun, permasalahan lingkungan dan masyarakat di Pulau Serangan terus terjadi. Oleh karena itu, masyarakat Pulau Serangan membentuk Tim 18, yang anggotanya diambil dari tokoh-tokoh masyarakat Pulau Serangan dalam mengadakan kesepakatan dengan PT. BTID. Pada tanggal 14 Oktober 1998 kesepakatan berupa Memorandum of Understanding (MoU) dibentuk, yang mewajibkan PT. BTID melakukan beberapa hal yang akan menguntungkan penduduk Pulau Serangan dan sebaliknya. Terdapat sembilan butir dalam MoU yang diminta penduduk Puau Serangan terhadap PT. BTID dan satu butir yang diminta PT. BTID terhadap masyarakat Pulau Serangan. Namun, tidak semua butir MoU dilaksanakan oleh PT. BTID. Selanjutnya, permasalahan di Pulau Serangan terus berlangsung, dan Pemerintah Daerah Bali membentuk Panitia Khusus (Pansus) untuk mengevaluasi proyek PT. BTID. Setelah memperoleh informasi awal dari masyarakat, pakar lingkungan, dan tokoh lainnya, DPRD Bali mendengar langsung masukan sekaligus keluhan dari masyarakat soal kelangsungan proyek tersebut. Akhirnya, Pansus mengeluarkan rekomendasi yang intinya menyetujui proyek PT. BTID
56
tersebut dilanjutkan, tertanggal 15 Mei 2001. Namun hingga sekarang, proyek tersebut belum dilanjutkan kembali (Woinarski, L. 2002: 8-11).
4.2.2 Gambaran Fisik Pulau Serangan Pascareklamasi a. Ruang, Tanah, Air dan Iklim
Wilayah PT. BTID
Wilayah Permukiman
Sudah Menjadi Satu Pulau
Gambar 4.6 Kondisi Fisik Pulau Serangan Pascareklamasi (Sumber: Kementerian Jenderal PU, Google Earth, 2013)
Kondisi geografis Pulau Serangan pascareklamasi sudah menjadi satu Pulau (bukan terdiri dari beberapa gugusan pulau) dengan luasan total 481 hektar dan sudah terhubung dengan Pulau Bali dengan adanya jembatan penyeberangan yang bisa dilalui melalui transportasi darat. Wilayah Pulau Serangan sudah terbagi menjadi 2 zona yang dipisahkan oleh kanal wisata. Zona di sebelah kiri kanal merupakan wilayah permukiman penduduk sedangkan zona disebelah kanan kanal merupakan wilayah perencanaan PT. BTID.
57
Wilayah Perencanaan PT. BTID
Wilayah Permukiman Penduduk Air kanal
Gambar 4.7 Pembagian Wilayah di Pulau Serangan yang Dipisahkan oleh Kanal (Sumber : Analisa Surya, 2013)
Kondisi iklim Pulau Serangan pascareklamasi memiliki suhu lebih panas dibandingkan prareklamasi yaitu 28 - 310C dan curah hujan rata-rata 1.000 mm/tahun (menurun dibanding prareklamasi yaitu 1836mm/tahun). Perubahan ini dikarenakan karena perluasan wilayah daratan berpasir yang menyebabkan iklim panas di wilayah ini meningkat (Bahtera Nusantara, 2009: 10). c. Pemanfaatan Lahan Luas Pulau Serangan pascareklamasi adalah 481 hektar yang mana 76,675 hektar dimanfaatkan untuk permukiman penduduk, luas kuburan 1,261 hektar, luas pekarangan 20,869 hektar, luas taman 1,057 hektar, luas perkantoran 0,138 hektar dan luas prasarana umum lainnya 381 hektar. Tabel 4.1 Luas Wilayah Menurut Pemanfaatan Lahan Tahun 2011 Permukiman
76,675 hektar
Kuburan
1,261 hektar
Pekarangan
20,869 hektar
Taman
1,057 hektar
Perkantoran
0,138 hektar
Prasarana Umum Lainnya
381 hektar
Total Luas
481 Hektar
Sumber : Profil Kelurahan Serangan, 2011
58
e. Kondisi Jalan dan Utilitas Kondisi jalan pascareklamasi jauh lebih baik dibandingkan prareklamasi karena jalan utama dan jalan lingkungannya sudah diaspal sehingga bisa dilalui transportasi darat berupa motor dan mobil. Lebar jalan yang terdapat di Pulau Serangan bervariasi yaitu mulai dari 1,5-3 meter (untuk gang di depan rumah), 5-6 meter (untuk jalan lingkungan), dan 12-14 meter (jalan penghubung Pulau Bali dengan Pulau Serangan).
Gambar 4.8 Kondisi Jalan Gang Rumah (Kiri); Jalan Lingkungan (Tengah); dan Jalan Utama Penghubung Pulau Bali dengan Pulau Serangan (Kanan) (Sumber: Observasi Surya, 2013)
Pascareklamasi, masyarakat Pulau Serangan lebih menggunakan sumber air bersih dari PDAM Kota Denpasar karena sumber mata air setempat berjenis air payau yang tidak layak dikonsumsi. Sumber mata air payau lebih dipergunakan untuk keperluan mencuci. Sistem persampahan pasca reklamasi juga sudah lebih ditata dengan baik dengan adanya Depo Pengolahan Sampah Restu Bumi yang dikelola oleh Desa Pakraman Serangan, serta di beberapa spot sudah terdapat bak dan tong sampah, serta terdapat larangan membuang sampah ke laut dengan
59
ancaman pidana dan denda. Melalui upaya seperti ini diharapkan permasalahan sampah dapat lebih diminimalisir.
Gambar 4.9 Sistem Pengelolaan Sampah Pascareklamasi (Sumber: Observasi Surya, 2013)
Pelayanan
listrik
pascareklamasi
sudah
melayani
100%
wilayah
permukiman penduduk (disebelah kiri kanal). Sedangkan di wilayah perencanaan PT. BTID yaitu sebelah kanan kanal belum terdapat jaringan listrik karena hampir seluruh lahan masih berupa hamparan tanah kosong, dan sisanya berupa PuraPura yang dimiliki oleh Desa Pakraman Serangan. Sistem drainase di Pulau Serangan pada masa pascareklamasi, sudah terdapat saluran air kotor dan air hujan berupa got namun penempatannya hanya berada di sisi pinggir pulau (mengitar jalan lingkungan), sedangkan saat memasuki gang-gang permukiman sudah tidak terdapat got-got.
60
Saluran Got Mengelilingi Permukiman
Gambar 4.10 Saluran Air Kotor Berupa Got yang Mengitari Wilayah Permukiman (Sumber: Hasil Observasi, 2013)
4.2.3 Gambaran Sosial Pulau Serangan Pascareklamasi Berdasarkan data kependudukan Pulau Serangan bulan Desember tahun 2011, penduduk Pulau Serangan berjumlah 3.649 jiwa, dengan persentase lakilaki 1.823 jiwa dan perempuan 1.826 jiwa, yang terbagi menjadi 934 kepala keluarga. Kepadatan penduduk cukup tinggi yaitu 776/km. Jumlah ini hanya 1,49% dari total penduduk kecamatan Denpasar Selatan. Tabel 4.2 Jumlah Penduduk Pulau Serangan Tahun 2011 Jenis Kelamin
Jumlah
Jumlah Laki – laki
1.823
Jumlah Perempuan
1.826
Total
3.649
Jumlah Kepala Keluarga
934
Kepadatan Penduduk
776 per km
% penduduk Densel
1,49%
Sumber : Profil Kelurahan Serangan, 2011
61
Pulau Serangan sebagai wilayah administratif di Bali terbagi menjadi dua kepemimpinan yaitu Desa Dinas (Kelurahan) dan Desa Adat/Pakraman. Kedua pemerintahan tersebut memiliki beberapa Banjar yang mana urusan adat dikepalai oleh Kelihan Adat dan urusan kedinasan yang dikepalai oleh Kepala Lingkungan. Banjar Adat di Pulau Serangan difungsikan pula sebagai Banjar Dinasdengan jumlah enam Banjar Adat/Dinas, yaitu Ponjok, Kaja, Tengah, Kawan, Peken, Dukuh, serta satu Kampung Bugis (minus Banjar Kubu karena warganya sudah bergabung dengan Banjar Dukuh karena lahannya dibeli PT. BTID). Tabel 4.3 Komposisi Penduduk Pulau Serangan Tahun 2011 Jumlah Penduduk No.
Banjar
Jumlah KK Laki-Laki
Perempuan
1
Ponjok
235
247
128
2
Kaja
321
327
164
3
Tengah
235
219
107
4
Kawan
351
358
172
5
Peken
246
214
119
6
Dukuh
222
224
108
7
Kampung Bugis
213
237
112
Total
1823
1826
910
Sumber : Profil Kelurahan Serangan, 2011 Keberadaan Banjar Kubu yang ada pada prareklamasi, sudah tidak ada lagi pada pascareklamasi karena lahan Banjar Kubu sudah dialihfungsikan menjadi lahan milik investor (PT. BTID) dengan sistem tukar guling. Lahan Banjar Kubu berada di kawasan yang merupakan wilayah perencanaan PT. BTID (disebelah kanan kanal), sehingga lahan serta warga Banjar Kubu sudah direlokasikan ke
62
wilayah permukiman penduduk yaitu di sebelah kiri kanal. Sedangkan bagi umat Islam, lokasinya tetap berada di wilayah kampung Bugis baik pada masa pra maupun pascareklamasi (tetap berada di wilayah permukiman/di sebelah kiri kanal).
Banjar Peken Banjar Kawan Banjar Kaje Banjar Ponjok Banjar Dukuh Banjar Tengah
KETERANGAN : : Wilayah Permukiman Penduduk : Wilayah Perencanaan PT. BTID
Banjar Kubu (sudah hilang karena tukar guling lahan dengan BTID)
Mesjid dan Pos Kamling (Kampung Bugis)
Gambar 4.11 Letak Wadah Kegiatan Sosial di Pulau Serangan Pascareklamasi (Sumber: Observasi Surya, 2013)
Komposisi penduduk Pulau Serangan berdasarkan agamanya, didapatkan bahwa mayoritas penduduk Pulau Serangan memeluk Agama Hindu. Sebagian kecil penduduk memeluk agama Islam dan lebih sedikit lagi memeluk agama Katholik. Jumlah penduduk Pulau Serangan berdasarkan agamanya akan disajikan pada Tabel 4.4.
63
Tabel 4.4 Komposisi Penduduk Tahun 2011 Menurut Agama Agama
Laki-Laki
Perempuan
Jumlah
Hindu
1.593 orang
1.566 orang
3.159 orang
Islam
324 orang
307 orang
631 orang
Katholik
16 orang
8 orang
24 orang
1.933 orang
1.881 orang
3.814 orang
Total
Sumber : Profil Kelurahan Serangan, 2011
4.2.4 Gambaran Perekonomian Pulau Serangan Pascareklamasi Mata pencaharian penduduk Pulau Serangan pascareklamasi beragam, mulai dari PNS, wiraswasta, dan tukang. Namun, mayoritas masyarakat Pulau Serangan berprofesi sebagai nelayan karena sektor perikanan berupa hasil kekayaan laut yang tersedia di laut Pulau Serangan masih melimpah dan kuliner ikan bakar masih menjadi salah satu andalan wisata di Pulau Serangan. Tabel 4.5 Mata Pencaharian Penduduk Pulau Serangan Tahun 2011 No
Jenis Kelamin
Laki-Laki
Perempuan
1
Pegawai Negeri Sipil
10
7
2
Pengrajin Industri Rumah Tangga
53
37
3
Peternak
45
45
4
Nelayan
475
470
5
Bidan
0
3
6
Perawat
0
1
5
Montir
2
0
6
Pensiunan PNS/TNI/POLRI
6
0
7
Pengusaha Kecil dan Menengah
5
0
64
8
Pengacara
1
0
9
Dukun Kampung Terlatih
7
2
10
Dosen
1
0
11
Arsitek
1
0
12
Seniman/Artis
2
0
13
Karyawan Perusahaan Swasta
132
102
Total
740
667
Sumber : Profil Kelurahan Serangan, 2012 Lembaga-lembaga adat/desa yang sifatnya sosial dan ekonomi juga cukup banyak terdapat di Pulau Serangan, yang berfungsi untuk menyatukan dan mengkoordinasi kegiatan-kegiatan masyarakat sesuai dengan bidangnya. Namun lembaga ini ada yang aktif dan ada yang tidak aktif. Lembaga-lembaga yang aktif dan tetap eksis adalah lembaga yang punya kaitan erat dengan adat dan agama. Adapun berbagai lembaga usaha di Pulau Serangan antara lain (Profil Kelurahan Serangan, 2011: 25): a. Lembaga Ekonomi, dan Unit Usaha Desa/Kelurahan - Koperasi Unit Desa = berjumlah 1 unit. - Koperasi Simpan Pinjam = berjumlah 2 unit. - Kelompok Simpan Pinjam = berjumlah 6 unit - Bumdes = berjumlah 1 unit b. Lembaga Pengelolaan Pesisir dan Terumbu Karang - Kelompok Nelayan Karya Segara (KNPKS). - Kelompok Nelayan Pelagis Segara Buana. - Kelompok Ibu-Ibu Nelayan Segar Segara.
65
- Kelompok Budidaya Karang Eka Budi Segara. - Kelompok Budidaya Karang Pesona Bahari. c. Industri Kecil dan Menengah - Industri Makanan = berjumlah 1 unit. - Industri Kerajinan = berjumlah 2 unit d. Usaha Jasa Angkutan Laut - Jet Boat = jumlah pemiliknya 6 orang. - Perahu jenis Ferry/Kapal Penumpang = jumlah pemiliknya 2 orang. e. Usaha Jasa dan Perdagangan - Pasar Hasil Bumi/Tradisional = berjumlah 1 unit. - Usaha Toko/Kios = berjumlah 472 unit. - Swalayan = berjumlah 2 unit. - Warung Serba Ada = berjumlah 147 unit. - Toko Kelontong = berjumlah 123 unit. - Usaha Peternakan = berjumlah 4 unit. f. Usaha Jasa Keterampilan - Tukang Batu = 27 orang. - Tukang Jarit/Bordir = 14 orang. - Tukang Gali Sumur = 4 orang
Berdasarkan gambaran umum Pulau Serangan pra dan pascareklamasi yang telah dipaparkan secara deskriptif, selanjutnya akan disajikan dalam bentuk Tabel 4.6 untuk mengkomparasikan antara gambaran umum Pulau Serangan
66
prareklamasi dengan Pulau Serangan pascareklamasi. Melalui Tabel 4.6, dapat dilihat secara lebih mudah mengenai perbandingan/perbedaan antara Pulau Serangan prareklamasi dengan pascareklamasi dalam sudut pandang umum mengenai fisik, sosial, dan ekonomi.
67
Tabel 4.6 Gambaran Umum Pulau Serangan Pra dan Pascareklamasi No
Gambaran Umum Fisik, Sosial, Ekonomi
1.
Fisik - Ruang Tanah, Air, Iklim
- Pemanfaatan Lahan
Prareklamasi (Sebelum Tahun 1995)
- Luas Pulau + 111 hektar. - Terdiri dari 5 gugusan pulau besar dan + 7 gugusan pulau kecil. - Permukiman (17,99%), Kebun (58,05%), Rawa-Rawa (33,23%)
- Kondisi Jalan dan Utilitas
- Kondisi jalan berupa jalan tanah (lebar 2-5 meter). - Transportasi utama menggunakan perahu (transportasi air). - Hanya terdapat sumber mata air payau. Belum ada PDAM. - Pelayanan listrik hanya 30%dari kebutuhan listrik masyarakat. - Sistem persampahan : belum ada tempat pembuangan sampah. - Sistem drainase : belum ada got.
2
Sosial
- Terdiri dari 7 Banjar Adat/Dinas dan 1 Kampung Bugis. - Jumlah penduduk tahun 1987 = 2.574 jiwa. - Agama Hindu (2.342 orang), Islam (196 orang), Katholik (36 orang).
3
Ekonomi
- Sebagian besar bermata pencaharian sebagai nelayan 2.213 orang. - Petani 18 orang. - Pedagang dan pekerja kasar 283 orang.
Pascareklamasi (Setelah Tahun 1998)
- Luas Pulau + 481 hektar. - Sudah menjadi 1 pulau. - Permukiman Penduduk (76,68ha), Kuburan (1,26 ha), pekarangan (20,87 ha), Taman (1,06 ha), Perkantoran (0,14 ha), Prasarana Umum lainnya (381ha). - Kondisi jalan sudah diaspal (lebar 214 meter). - Transportasi utama sepeda motor dan mobil (transportasi darat). - Menggunakan air bersih dari PDAM. - Pelayanan listrik : sudah memenuhi seluruh permukiman penduduk (100%). - Sistem persampahan : Sudah ada depo pengolahan sampah dan bak-bak sampah. - Sistem drainase : sudah ada got yang mengitari permukiman. - Terdiri dari 6 Banjar Adat/Dinas (minus Banjar Kubu) dan 1 Kampung Bugis. - Jumlah penduduk tahun 2011 = 3.649 jiwa. - Agama Hindu (3.159 orang), Islam (631 orang), Katholik (24 orang). - Sebagian besar bermata pencaharian sebagai nelayan 945 orang. - Pengrajin 90 orang. - Peternak 90 orang. - PNS 17 orang. - Karyawan Swasta 234 orang.
Sumber : Rangkuman Gambaran Umum Pulau Serangan, 2013
68
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
Bab ini menguraikan hasil penelitian dan pembahasan yang didapatkan dengan pengkoleksian data dari lapangan yang selanjutnya dianalisis dengan teori untuk memecahkan rumusan permasalahan. Penyajian hasil dan pembahasan dikelompokkan menjadi tiga bagian yaitu: 1) kondisi pemanfaatan lahan pra dan pascareklamasi; 2) faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan pemanfaatan lahan
pascareklamasi;
dan
3)
dampak
perubahan
pemanfaatan
lahan
pascareklamasi terhadap keberlanjutan Pulau Serangan sebagai wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
5.1 Kondisi Pemanfaatan Lahan Pra dan Pascareklamasi Dalam menguraikan kondisi pemanfaatan lahan pra dan pascareklamasi, terdapat dua cara untuk melihat perubahan tersebut yaitu melihat perubahan pemanfaatan lahan secara makro dan secara mikro. Perubahan secara makro yaitu melihat perubahan pemanfaatan lahan secara global (tidak mendetail) yang mencakup zonasi wilayah lahan di Pulau Serangan terbagi menjadi dua yaitu wilayah permukiman penduduk dan wilayah PT. BTID, yang dipisahkan oleh kanal wisata. Perubahan secara mikro yaitu melihat perubahan secara mendetail/ kasus demi kasus baik yang terdapat di zona wilayah permukiman penduduk maupun di wilayah PT. BTID.
68
69
5.1.1 Perubahan Pemanfaatan Lahan secara Makro/Global Terjadinya perubahan pemanfaatan lahan secara makro/global di Pulau Serangan dimulai dengan adanya reklamasi Pulau Serangan dari tahun 1995-1998. Reklamasi ini telah mengubah bentuk fisik lahan baik itu bentuk dan ukuran lahan, luasan lahan, wilayah kekuasaan lahan, serta terjadiya perubahan penggunaan dari pra hingga pascareklamasi. Dalam membahas hal tersebut, akan dianalisa ke dalam tiga tahapan yaitu: 1) rekonstruksi reklamasi pra hingga pascareklamasi (tahun 1995-1998); 2) pembagian wilayah kekuasaan pra dan pascareklamasi; dan 3) pemanfaatan lahan pra dan pascareklamasi. 1. Rekonstruksi Reklamasi Pulau Serangan PRAREKLAMASI
PASCAREKLAMASI
Keterangan : : Lahan Eksisting : Lahan Hasil Reklamasi
Gambar 5.1 Rekonstruksi Reklamasi dari Tahun 1995-1998 (Sumber: Analisa Berdasarkan Dokumen PT. BTID, 2013)
Berdasarkan Gambar 5.1, terlihat bahwa bagian yang paling banyak direklamasi adalah wilayah Pulau Serangan bagian Timur, Selatan, dan Barat sehingga semakin mendekatnya wilayah Selatan Pulau Serangan dengan wilayah
70
Tanjung Benoa. Dengan semakin dekatnya wilayah Pulau Serangan bagian Selatan dengan Tanjung Benoa, maka isu rencana pembuatan jembatan penyeberangan pun mengemuka. Namun di tengah perjalanan rencana ini urung dilakukan karena reklamasi Pulau Serangan yang terhenti serta pembangunan fasilitas megawisata di Pulau Serangan yang tidak jadi dilaksanakan, sehingga tidak menunjang terciptanya simbiosis mutualisme antara keduanya.
2. Pembagian Wilayah Kekuasaan Pra dan Pascareklamasi Meskipun luas Pulau Serangan sudah mengalami perluasan empat kali lipat dari luas Pulau Serangan prareklamasi dengan adanya reklamasi, hal ini tidak membuat wilayah kekuasaan masyarakat terhadap lahan menjadi semakin meluas. Justru dengan adanya reklamasi, wilayah kekuasaan masyarakat setempat menjadi semakin menyempit karena pihak PT. BTID membagi wilayah kekuasaan lahan di Pulau Serangan menjadi dua yaitu wilayah Permukiman Penduduk dan wilayah PT. BTID yang dipisahkan oleh kanal wisata selebar 10 meter.
71
PASCAREKLAMASI Kanal Wisata
PROSES REKLAMASI
Gambar 5.2 Pembagian Wilayah Kekuasaan Pra dan Pascareklamasi (Sumber: Analisa Berdasarkan Dokumen PT. BTID, 2013)
Berdasarkan rekonstruksi pembagian wilayah kekuasaan yang terjadi di Pulau
Serangan,
terlihat
bahwa
dengan adanya
reklamasi,
berdampak
menyempitnya wilayah kekuasaan permukiman penduduk. Pada prareklamasi, seluruh lahan di Pulau Serangan dikuasai oleh masyarakat setempat yaitu seluas 111 hektar. Namun pascareklamasi, wilayah permukiman penduduk menyempit menjadi sekitar 46,5 hektar sedangkan wilayah yang dikuasai oleh PT. BTID sekitar 435 hektar. Selain
itu,
adanya
pembagian
wilayah
kekuasaan
menyebabkan
berkurangnya garis pantai yang dikuasai masyarakat setempat. Pada prareklamasi, masyarakat setempat menguasai seluruh garis pantai yang berada di pesisir pantai Pulau Serangan yaitu sepanjang 13,5 kilometer. Namun pada pascareklamasi, wilayah garis pantai yang dikuasai/dapat dimanfaatkan oleh masyarakat setempat hanya sekitar 2,5 kilometer dari total panjang garis pantai pascareklamasi Pulau
72
Serangan sekitar 20 kilometer. Artinya sekitar 17,5 kilometer garis pantai atau 3/4 dari total panjang garis pantai dikuasai oleh pihak yang melakukan reklamasi yaitu PT. BTID.
3. Pemanfaatan/Penggunaan Lahan Pra dan Pascareklamasi Kondisi lahan di Pulau Serangan telah mengalami perubahan akibat adanya reklamasi termasuk dalam hal pemanfaatan/penggunaan lahannya. Perubahan pemanfaatan lahan yang terjadi pra dan pascareklamasi tersebut terbagi menjadi dua jenis yaitu: 1. Lahan yang mengalami perluasan dari pra hingga pascareklamasi, yaitu: Banjar Dukuh, Kuburan, Areal Melasti di Ujung Timur Laut Pulau Serangan, Pura Dalem Sakenan dan Pesamuan Agung, Pura Puseh/Dalem Cemara, Pura Segara, Pura Dalem Khayangan, Pura Tanjung Sari, Pura Puncaking Tingkih, Pura Taman Sari dan Pura Tirta Arum. 2. Lahan yang mengalami perubahan pemanfaatan lahan dari pra dan pascareklamasi, yaitu: Lapangan Sepak Bola/Taman Kota Serangan, Pasar Desa, LPD, KUD, Balai Konservasi Penyu, Fasilitas Watersport, Pura Beji Dalem Sakenan, Pura Batu Api, dan Pura Batu Kerep.
73
Pura Pesamuan Agung (Fungsi Keagamaan)
Pasar Desa (Fungsi Ekonomi, Terletak Depan Pura Desa)
LPD dan KUD (Fungsi Ekonomi, Terletak Utara Pura Desa)
Pura Dalem Sakenan (Fungsi Keagamaan)
Areal Melasti (Fungsi Keagamaan)
Pura Puseh/Dalem Cemara (Fungsi Keagamaan)
Banjar Dukuh (Fungsi Sosial) Kuburan (Fungsi Sosial) Banjar Kubu (Fungsi Sosial) Pura Pat Payung (Fungsi Keagamaan)
Pura Taman Sari (Fungsi Keagamaan)
Pura Tanjung Sari (Fungsi Keagamaan)
Pura Puncaking Tingkih (Fungsi Keagamaan) Pura Tirta Arum (Fungsi Keagamaan)
Gambar 5.3 Pemanfaatan Lahan di Pulau Serangan Prareklamasi (Sumber: Rekonstruksi berdasarkan Wawancara, 2013)
Pura Dalem Khayangan (Fungsi Keagamaan)
74
Banjar Dukuh (Fungsi Sosial, Perluasan Lahan)
Pura Puseh/Dalem Cemara (Fungsi Keagamaan, Perluasan Jaba Tengah)
Watersport (Fungsi Ekonomi, Ada Pasca Reklamasi)
LabaPura Sakenan (Fungsi Keagamaan, Luas Lahan Tetap)
Balai Konservasi Penyu (Fungsi Ekonomi, Ada Pasca Reklamasi)
Pasar, LPD, KUD (Fungsi Ekonomi, Ada Pasca Reklamasi) Kuburan (Fungsi Sosial, Perluasan Lahan)
Pura Sakenan (Fungsi Keagamaan, Perluasan Jaba Tengah) Pura Dalem Khayangan (Fungsi Keagamaan, Perluasan Jaba Tengah) Pura Batu Api (Fungsi Keagamaan, Ada Pasca Reklamasi) Pura Batu Kerep (Fungsi Keagamaan, Ada Pasca Reklamasi) Pura Puncaking Tingkih (Fungsi Keagamaan, Perluasan Lahan
Pura Susunan Wadon (Fungsi Keagamaan, Luas Lahan Tetap)
Pura Beji Dalem Sakenan (Fungsi Keagamaan, Ada Pasca Reklamasi)
Pura Tanjung Sari (Fungsi Keagamaan, Perluasan Lahan)
Pura Tirta Arum (Fungsi Keagamaan, Perluasan Lahan)
Pura Taman Sari (Fungsi Keagamaan, Perluasan Lahan)
Gambar 5.4 Pemanfaatan Lahan di Pulau Serangan Pascareklamasi (Sumber: Rekonstruksi berdasarkan Wawancara, 2013)
Pura Pat Payung (Fungsi Keagamaan, Luas Lahan Tetap)
75
5.1.2 Perubahan Pemanfaatan Lahan secara Mikro/Terperinci Dalam menguraikan perubahan pemanfaatan lahan secara mikro/terperinci pada pra dan pascareklamasi di Pulau Serangan, dibagi berdasarkan 2 zona kepemilikan wilayah yaitu wilayah permukiman penduduk dan wilayah PT. BTID. Pada zona wilayah permukiman terdapat enam kasus perubahan pemanfaatan lahan diantaranya: Lapangan Sepak Bola/Taman Kota Pulau Serangan; Pasar Desa, LPD, dan KUD; Balai Konservasi Penyu, Bumi Perkemahan, dan Fasilitas Watersport; Pura-Pura yang Diempon oleh Puri Kesiman; Pura-Pura yang Diempon oleh Desa Pakraman Serangan; dan Kuburan. Sedangkan pada zona wilayah PT. BTID terdapat tiga kasus perubahan pemanfaatan lahan yaitu : Banjar Kubu dan Permukiman Warganya; Pura-Pura yang Diempon oleh Puri Kesiman; dan Pura-Pura yang Diempon oleh Desa Pakraman Serangan.
1. Wilayah Permukiman Penduduk Pada zona wilayah permukiman penduduk, terdapat enam kasus perubahan pemanfaatan lahan. Keenam kasus tersebut terbagi menjadi dua jenis perubahan yaitu: - Perluasan lahan dengan fungsi tetap dari pra hingga pascareklamasi, misalnya: perluasan areal Jaba Tengah Pura Sakenan, Pura Puseh/Dalem Cemara dan Pura Segara, Pura Dalem Khayangan dan Pura Prajapati, serta perluasan lahan Kuburan.
76
- Perubahan pemanfaatan lahan dari pra hingga pascareklamasi, misalnya: perubahan lahan laut pada pra reklamasi menjadi Pasar, LPD, KUD, Lapangan Bola/Taman Kota, Balai Konservasi Penyu, dan Fasilitas Watersport.
A. Kasus 1 (Taman Kota Pulau Serangan) Taman Kota/Lapangan Sepak Bola yang terdapat di Pulau Serangan pascareklamasi, ternyata berupa laut pada pra reklamasi. Awalnya, pihak PT. BTID mengurug zona tersebut dengan tujuan memberikan lahan untuk tempat bermukim warga sebagai kompensasi dari wilayah permukiman penduduk yang sudah dibeli oleh PT. BTID. Luas laut yang diurug oleh PT. BTID untuk rencana dibangun lahan permukiman baru sekitar 40 are yang diberikan kepada masyarakat lokal Pulau Serangan. Hal ini sesuai dengan salah satu pasal yang terdapat pada kesepakatan/Memorandum of Understanding (MoU) antara masyarakat Pulau Serangan dengan PT. BTID tanggal 14 Oktober 1998, yang mana terdapat perjanjian dari PT. BTID akan memberikan lahan serta rumah tinggal baru bagi warga Pulau Serangan yang lahannya sudah diambil alih oleh PT. BTID. Selain itu, pengurugan ini dilakukan untuk mempermudah akses dari Pulau satu ke Pulau yang lain di Pulau Serangan yang dipisahkan oleh laut yang mana pada prareklamasi hanya terdapat jembatan penghubung selebar 1 meter. Namun, pada kenyataannya meskipun PT. BTID telah memenuhi janji untuk melakukan pengurugan sehingga kedua pulau ini menyatu, namun tempat bermukim warga tidak kunjung dibuat. Oleh karena itu, Desa Dinas membuat sejenis Taman Kota di tempat tersebut yang tentunya sudah mendapat persetujuan
77
dari PT. BTID selaku pemilik lahan dan Desa Pakraman Serangan sebagai lembaga adat di Pulau Serangan. Selain itu, Taman Kota ini selain difungsikan sebagai tempat berkumpulnya aktivitas bersama, juga bertujuan memberikan keindahan di poros wilayah permukiman warga. Taman Kota selain difungsikan untuk aktivitas olahraga, juga difungsikan sebagai tempat rekreasi bagi masyarakat lokal dan luas Pulau Serangan serta sebagai parkir kendaraan bagi pemedek Pura Dalem Sakenan saat ada piodalan. TAMAN KOTA PULAU SERANGAN PRAREKLAMASI
TAMAN KOTA PULAU SERANGAN PASCAREKLAMASI
U
Taman Kota seluas 30 are difungsikan sebagai lapangan sepak bola, aktivitas joging dan parkir pemedek Pura Dalem Sakenan dan Pura Dalem Susunan Wadon
U Kondisi Taman Kota Prareklamasi yang hanya berupa Laut. PT. BTID mengurug laut seluas + 40 are dengan tujuan untuk menyediakan lahan serta membangun rumah tinggal untuk penduduk Pulau Serangan. Pada kenyataannya, hanya kebutuhan lahan yang dipenyhi namun fasilitas rumah tinggal tidak jadi dibangun, sehingga dibangun Taman Kota yang dikelola Desa Dinas.
Sisa lahan hasil pengurugan laut dipakai sebagai lahan kosong seluas kira-kira 9,5 are
Gambar 5.5 Perubahan Lahan Laut Menjadi Taman Kota Pulau Serangan (Sumber: Rekonstruksi berdasarkan Wawancara, 2013)
78
Gambar 5.6 Keadaan Taman Kota Pascareklamasi (Sumber: Observasi Surya, 2013)
B. Kasus 2 (Pasar Desa, LPD, dan KUD) Pasar Desa, Lembaga Perkreditan Desa (LPD), dan Koperasi Unit Desa (KUD) pra reklamasi berada di sisi Utara dan Barat Pura Desa. Pasar Desa prareklamasi hanya berupa emperan pedagang yang berdagang persis di depan Pura Desayang hanya aktif di pagi hari. Luas lahan untuk Pasar Desa pada masa prareklamasi sekitar 1 are. Selanjutnya di siang hingga malam hari, lahan ini dipergunakan untuk parkir/ruang terbuka bagi pemedek Pura Desa. LPD dan KUD pada prareklamasi berada di sisi Utara Pura Desa di atas lahan seluas + 90 m2 (LPD dan KUD berada pada satu bangunan). Ketiga fungsi ini berada di atas lahan Pelaba Pura Desa (wawancara, Tamat, W., 2013). Pascareklamasi, pihak PT. BTID memberikan sejumlah lahan hasil reklamasi kira-kira sejumlah 17,5 are kepada masyarakat Pulau Serangan untuk pembangunan pasar (sesuai kesepakatan/Memorandum of Understanding tanggal 14 Oktober 1998) yang salah satu butirnya berisikan PT. BTID menjanjikan memberikan lahan dan pendirian fasilitas Pasar Desa. Lahan yang letaknya 200
79
meter ke Utara dari lahan Pasar Desa yang lama inilah dijadikan lahan untuk didirikannya Pasar Desa, LPD, dan KUD.
U
U
PASAR DESA, LPD, KUD PRAREKLAMASI
PASAR DESA, LPD, KUD PASCAREKLAMASI
Pasar Desa
Pasar, LPD, KUD Prareklamasi LPD
Letak Pasar, LPD, KUD
U
Pasar, LPD, KUD Pasca Reklamasi
Pascareklamasi, bekas lahan LPD dan KUD hanya berupa bongkaran bangunan tanpa terurus
Pascareklamasi, bekas lahan pasar hanya berupa hamparan lahan kosong/digunakan parkir kendaraan bagi pemedek Pura Desa.
Gambar 5.7 Perubahan Lahan Pasar Desa, LPD, KUD Pra dan Pascareklamasi (Sumber: Rekonstruksi berdasarkan Wawancara, 2013)
KUD
80
Berdasarkan rekonstruksi perubahan pemanfaatan lahan Pasar Desa, LPD, dan KUD diatas, terlihat bahwa lahan yang diberikan oleh pihak PT. BTID adalah lahan hasil reklamasi penyatuan pulau karena jarak pulau yang dekat. Selain itu, pihak PT. BTID juga sudah menyanggupi untuk menyediakan fasilitas pasar ikan kepada masyarakat Pulau Serangan karena keberadaaan Pasar pada masa prareklamasi dirasa kurang layak dan luasannya yang terlalu sempit (tertuang dalam salah satu pasal MoU antara pihak masyarakat Pulau Serangan dengan pihak PT. BTID). Adapun komparasi lahan Pasar, LPD, dan KUD pada pra dan pascareklamasi akan dijelaskan pada Tabel 5.1. Tabel 5.1 Perbandingan Pasar, LPD, KUD Pra dan Pascareklamasi Prareklamasi Fungsi Lahan
Luas Lahan
Pasar 1 are LPD
KUD
90 m2 (jadi satu dengan KUD) 90 m2 (jadi satu dengan LPD)
Lokasi
Pascareklamasi
Pemanfaatan Setelah Luas Lahan Dipindah
Tempat parkir Depan Pura Desa kendaraan (Barat) pemedek Pura Desa
Lokasi
Pemanfaatan Sebelum Dipindah
8,5 are
Sebelah Barat Pura Segara
Laut dangkal
Laut dangkal
Laut dangkal
Sebelah Utara Pura Desa
Lahan kosong
1 are
Sebelah Barat Pasar Desa yang Baru
Sebelah Utara Pura Desa
Lahan kosong
8 are
Sebelah Barat Laut Pura Segara
Sumber : Wawancara, Gede Mudana Wiguna dan Pak Mudri, 2013
C. Kasus 3 (Balai Konservasi Penyu, Bumi Perkemahan dan Fasilitas Watersport) Perubahan pemanfaatan lahan di Pulau Serangan juga terjadi di bagian timur laut Pulau Serangan. Perubahan lahan ini terjadi karena reklamasi oleh pihak PT.
81
BTID berdasarkan kesepakatan dengan masyarakat Pulau Serangan yaitu PT. BTID berjanji untuk memperluas areal melasti yang terletak di sisi ujung timur laut Pulau Serangan (prareklamasi) yang tertuang dalam MoU antara Desa Pakraman Serangan dengan PT. BTID. Setelah reklamasi dilakukan, lahan baru hasil reklamasi tersebut diserahkan kepada Desa Pakraman Serangan untuk dimanfaatkan sebagai perluasan areal Melasti. Lahan ini memiliki luas total sekitar + 3,15 hektar. Hal ini sesuai dengan pernyataan dari Bendesa Pakraman Serangan bernama Made Mudana Wiguna : “...melalui kesepakatan dengan pihak PT. BTID, mereka mereklamasi laut di sisi timur laut untuk perluasan melasti. Lahannya kira-kira seluas 3,15 hektar. Saat sebelum reklamasi kita tidak punya TanahDesa untuk keperluan Desa, jadi sayang aja semua lahan itu dipake melasti, jadi kita sewakan saja sama investor, biar ada pendapatan Desa. Makanya sekarang di areal itu dipake tempat wisata watersport...." (Made Mudana Wiguna, Juni 2013) Sama halnya dengan fasilitas Watersport, lahan Konservasi Penyu dan Bumi Perkemahan awalnya juga berupa laut yang direklamasi oleh PT. BTID. Salah satu pasal pada MoU menyebutkan masyarakat Pulau Serangan meminta PT. BTID menyediakan daerah tujuan wisata di Pulau Serangan yaitu Balai Konservasi Penyu saat proyek reklamasi terhenti tahun 1998. Hal ini dimaksudkan agar para wisatawan tetap mengunjungi Pulau Serangan meskipun penyu-penyu yang terdapat di Pulau Serangan pascareklamasi tidak segampang ditemui saat prareklamasi karena kondisi fisik Pulau Serangan yang sudah berubah total. Kegiatan perkemahan dijadikan satu tempat dengan Balai Konservasi Penyu dengan tujuan memberikan informasi dan mengetahui seluk
82
beluk tentang penyu bagi para anak usia sekolah sambil mengadakan perkemahan disana sehingga timbul kecintaan anak-anak kecintaan terhadap penyu melalui obyek wisata ini (wawancara, Wayan Geria,2013).
U
PRAREKLAMASI
U
PRAREKLAMASI
Lahan yang direklamasi Oleh PT. BTID dan diserahkan kepada Desa Pakraman Serangan dengan fungsi Konservasi Penyu dan Bumi Perkemahan, serta Fasilitas Watersport (sesuai MoU bahwa PT. BTID berjanji membangun tempat penangkaran Penyu, sekaligus sebagai obyek wisata di Pulau Serangan). Gambar 5.8 Reklamasi menjadi Areal Melasti, Balai Konservasi Penyu dan Watersport (Sumber: Rekonstruksi berdasarkan wawancara, 2013)
Pemanfaatan lahan ini lebih difungsikan untuk kepentingan ekonomi Desa Pakraman Serangan dan kepentingan konservasi/pelestarian penyu agar tidak punah. Untuk mempermudah dalam pemaparannya, maka lahan dengan fungsi sosial (area melasti) dan ekonomi (sewa lahan untuk investor) ini, penulis bagi dalam empat zona yaitu Zona A, B, C, dan D seperti pada Gambar 5.9.
83
Zona C
U
C
ZonaD
D
B ZonaB
A
ZonaA
Gambar 5.9 Pemanfaatan Lahan Hasil Reklamasi Laut di Sisi Timur Laut Pulau Serangan (Sumber: Hasil Observasi dan Wawancara, 2013)
Pascareklamasi, lahan ini terbagi menjadi empat blok/zona. Zona A dimanfaatkan sebagai Konservasi Penyu dan Bumi Perkemahan serta Villa, zona B dimanfaatkan sebagai Tempat Penyewaan Yatch, Balai Penelitian Terumbu Karang dan Rumput Laut, dan Marine Service. Zona C dimanfaatkan sebagai
84
Restaurant, Watersport, dan Marine Service. Sedangkan zona D dimanfaatkan sebagai Areal Melasti. Adapun perbandingan lahanpada masa pra dan pasca reklamasi akan dipaparkan pada Tabel 5.2. Tabel 5.2 Perbandingan Konservasi Penyu dan Bumi Perkemahan, dan Fasilitas Watersport Pra dan Pascareklamasi
Fungsi Lahan
Prareklamasi
Pascareklamasi
Pemanfaatan Lahan
Luas Lahan
Lokasi
Blok A
Tegalan dan Sebagian Berupa Laut
+ 66 are
Sebelah Timur Kuburan
Blok B
Laut
-
-
Blok C
Laut
-
-
Blok D
Laut
-
-
TOTAL
+ 66 are
Pemanfaatan Luas Lahan Lahan Konservasi Penyu dan Bumi + 1,1 hektar Perkemahan, Villa Penyewaan Yatch, Balai Penelitian Terumbu Karang + 1,4 hektar dan Rumput Laut, MarineService Restaurant, Cafe, Watersport, + 50 are MarineService Areal Melasti
+ 15 are
Lokasi Sebelah Timur Kuburan Sisi Timur Laut (Sebelah Utara Blok A) Sisi Timur Laut (Sebelah Utara Blok B) Ujung Timur Laut (Sebelah Timur Blok C)
+ 3,15 hektar
Sumber : Wawancara, Wayan Darta, Wayan Geria dan Mudana Wiguna, 2013
Berdasarkan Tabel 5.2, dapat ditarik kesimpulan bahwa Pihak PT. BTID selaku investor dan pengembang sudah memberikan lahan sejumlah 2,5 hektar kepada Desa Pakraman Serangan untuk dimanfaatkan sebagai Balai Konservasi Penyu dan Areal Melasti. Akan tetapi, kenyatannya terdapat penambahan fungsi yaitu menyediakan berbagai fasilitas wisata dan akomodasi wisata watersport. Lahan ini disewakan kepada pihak investor maupun pemilik modal baik lokal maupun mancanegara untuk didirikannya berbagai fasilitas watersport. Tujuan penambahan fungsi pemanfaatan lahan ini untuk menambah income Desa
85
Pakraman Serangan untuk membiayai/pendanaan unsur Tri Hita Karana (Parahyangan, Pawongan, Palemahan), yang pada masa prareklamasi, sangat susah melakukan pemanfaatan yang mendatangkan income yang cukup besar bagi Desa Pakraman Serangan.
D. Kasus 4 (Pura-Pura yang Diempon oleh Puri Kesiman) Pada dasarnya, Pura-Pura yang menjadi diempon Puri Kesiman berporos pada Pura Dalem Sakenan. Di sekitar Pura Dalem Sakenan, terdapat pula PuraPura yang memiliki keterkaitan historis dengan Pura Dalem Sakenan yaitu Pura Pesamuan Agung, Pura Dalem Susunan Wadon, dan Pura Beji Dalem Sakenan. Pura Dalem Sakenan, Pura Pesamuan Agung dan Pura Dalem Susunan Wadon sudah ada sejak masa jauh sebelum reklamasi. Sedangkan Pura Beji Dalem Sakenan dibangun pada pascareklamasi tepatnya tahun 2008. Keberadaan PuraPura yang diempon oleh Puri Kesiman telah dijelaskan dalam petikan wawancara di bawah ini : “...Pura Dalem Sakenan, Pesamuan Agung dan Susunan Wadon sudah diwariskan sejak zaman kerajaan untuk kita sebagai pengrajeg (menjaga, pembiayaan piodalan pada zaman kerajaan). Kita punya pengemong (pelaksana tugas) Pura, seperti pemangkunya yang sebagian besar dari Banjar Intaran Sanur...Kalau Pura Beji yang letaknya di BTID itu kita yang minta ke BTID untuk dikasi lahan untuk membuat tempat melancaran Ida Bhatara Pura Sakenan untuk tempat pebersihan beliau. Pura Beji itu dibangun tahun 2008. Sebelum itu biasanya Ida Bhatara di Pura Sakenan melancaran dan pebersihannya deket-deket Pura Sakenan saja..." (Anak Agung Ngurah Gde Kusuma Wardana, Mei 2013)
86
Pura Dalem Sakenan dan Pura Pesamuan Agung terletak pada satu areal baik pada pra maupun pascareklamasi. Pura Susunan Wadon terletak agak jauh kedalam permukiman penduduk (kira-kira 600 meter sebelah Tenggara Pura Dalem Sakenan dan Pura Pesamuan Agung).
U
Lahan Laba Pura Sakenan
PRAREKLAMASI
U
Lahan Laba Pura Sakenan
Pura Dalem Sakenan Dan Pura Pesamuan Agung
Pura Dalem Sakenan Dan Pura Pesamuan Agung
Pura Dalem Susunan Wadon
Pura Dalem Susunan Wadon
PASCAREKLAMASI
Gambar 5.10 Pura-Pura yang Diempon Puri Kesiman Pra dan Pascareklamasi (Sumber: Wawancara, A. A. Ngurah Gde Kusuma Wardana, 2013)
Keberadaan Pura Dalem Sakenan dan Pura Pesamuan Agung tetap dimanfaatkan sebagai Pura Dhang Khayangan pada masa pra dan pascareklamasi. Perubahan yang terjadi adalah terdapatnya perluasan lahan pada masa pra dan pascareklamasi. Pada prareklamasi luas areal Pura Dalem Sakenan dan Pura Pesamuan Agung sekitar + 51 are, sedangkan pada pascareklamasi menjadi + 1 hektar karena terdapat penambahan luasan Jaba Tengah dan Jaba Sisi. Sama halnya dengan Desa Pakraman Serangan, pihak Puri Kesiman juga meminta pihak PT. BTID untuk memperluas areal Pura Sakenan untuk dijadikan areal Jaba Tengah dan Jaba Sisi karena Pura Sakenan termasuk Pura Dhang Khayangan Jagat (Pura bagi seluruh umat Hindu) sehingga saat piodalan/hari raya, banyaknya pemedek Pura yang tangkil ke Pura Sakenan tidak sesuai dengan daya dukung
87
lahan Pura. Pihak PT. BTID menyanggupi permintaan dari Puri Kesiman untuk mereklamasi sisi Barat dan Timur Pura Sakenan (wawancara, Lengur, G., 2013).
U
U
Lahan Laba Pura Sakenan prareklamasi seluas+ 1,5 hektar
Luas Pura Sakenan dan Pura Pesamuan Agung prareklamasi adalah + 51 are Rencana Reklamasi Laut
Pura Pesamuan Agung Pra Reklamasi
U
Foto Udara Pura Sakenan Prareklamasi
Gambar 5.11 Perluasan Pura Dalem Sakenan dan Pura Pesamuan Agung (Sumber: Wawancara, A. A. Ngurah Gde Kusuma Wardana, 2013)
Pura Dalem Sakenan memiliki Pelaba Pura disebelah Utara dan Timur Pura Dalem Sakenan dengan luasan total sekitar 1,45 hektar. Luasan dan jenis pemanfaatan lahan Pelaba Pura Sakenan tetap pada masa pra dan pascareklamasi yang mana dimanfaatkan sebagai lahan kosong dalam kesehariannya, sedangkan saat piodalan Pura Dalem Sakenan dimanfaatkan sebagai tempat berjualan makanan dan penyewaan mainan anak-anak.
88
U
Laba Pura seluas 45 are
Lahan Jaba Tengah hasil reklamasi laut sekitar 54 are. Laba Pura seluas 1 hektar
Pura Dalem Sakenan
Gambar 5.12 Pura Dalem Sakenan, Pesamuan Agung, dan Laba Pura Pascareklamasi (Sumber: Wawancara, Gusti Ngurah Saputra, PT. BTID, 2013)
Pura Dalem Susunan Wadon juga merupakan Pura yang memiliki keterkaitan historis dengan Pura Dalem Sakenan. Pura Dalem Susunan Wadon terletak terpisah dengan Pura Dalem Sakenan dan Pura Pesamuan Agung. Menurut informasi Jero Mangku Pura Sakenan bernama Gusti Ketut Lengur, pemanfaatan lahan pra dan pascareklamasinya tidak berubah, begitu pula pada luas lahannya yang tetap pula. Perubahan hanya terjadi pada pemugaran bagianbagian bangunan yang mengalami kerusakan.
89
Pada prareklamasi, didepan Pura Dalem Susunan Wadon berupa laut. Sekarang sudah menjadi daratan yang dimanfaatkan sebagai lahan kosong kepemilikan PT. BTID
U
Luas Lahan Pura Dalem Susunan Wadon pra dan pascareklamasi + 25 are
Gambar 5.13 Pura Dalem Susunan Wadon Pascareklamasi (Sumber: Wawancara, Gusti Ketut Lengur, 2013)
Perubahan lahan justru terjadi di depan Pura Dalem Susunan Wadon. Pada prareklamasi, lahan di depannya berupa laut yang memisahkan wilayah Banjar Dukuh yang terdapat Pura Dalem Susunan Wadon dengan wilayah Banjar Kawan yang berada di wilayah seberangnya. Dengan adanya reklamasi penyatuan Pulau termasuk di depan Pura Dalem Susunan Wadon, menyebabkan bertambahnya lahan di depan Pura yang sering dimanfaatkan bagi pemedek Pura untuk parkir kendaraan dan tempat berjualan bagi pedagang saat ada piodalan. Lahan kosong hasil reklamasi ini dimiliki oleh PT. BTID (wawancara, Nyoman Suyoga, PT. BTID, 2013).
90
E. Kasus 5 (Pura-Pura yang Diempon oleh Desa Pakraman Serangan) Sama halnya dengan daerah lain di Bali, di Pulau Serangan juga memiliki Pura Tri Kahyangan Tiga berupa Pura Desa, Pura Puseh/Dalem Cemara, dan Pura Dalem Kahyangan. Terdapat penambahan berupa Pura Segara karena letak Pulau Serangan yang dikelilingi oleh laut/segara dan sebagai ucapan rasa syukur kepada Tuhan dengan dilimpahkannya rejeki berupa ikan dan rumput laut di lautan karena pada masa prareklamasi, sekitar 90% masyarakat Pulau Serangan berprofesi sebagai nelayan (wawancara, Wayan Rajin, Mangku Pura Segara, 2013). Pemanfaatan lahan Pura Desa, Puseh/Dalem Cemara, dan Pura Dalem Khayangan tetap sama pada masa pra dan pascareklamasi. Perubahan terjadi pada luas lahan serta beberapa penambahan pemanfaatan lahan Tegak Pura dan Laba Pura akibat dari reklamasi Pulau Serangan, yang dilakukan oleh PT. BTID berdasarkan kesepakatan antara pihak Desa Pakraman dengan PT. BTID yang tertuang dalam MoU (Momerandum of Understanding) tanggal 14 Oktober 1998. Pada Pura Desa tidak terjadi perubahan pemanfaatan dan penambahan luas lahan. Perubahan pemanfaatan lahan justru terjadi pada lahan Laba Pura yang terdapat di depan (Barat) dan samping (Utara) Pura Desa. Laba Pura pada prareklamasi dimanfaatkan sebagai Pasar Desa, LPD dan KUD, sedangkan pascareklamasi dimanfaatkan sebagai ruang terbuka dan tempat parkir bagi pemedek Pura Desa (wawancara, Wayan Tamat, Mangku Pura Desa, 2013).
91
PURA DESA PASCAREKLAMASI
PURA DESA PRAREKLAMASI
U
U Bekas LPD dan KUD menjadi lahan kosong
Bekas Pasar menjadi lahan parkir Pura
Pura Desa tidak mengalami perubahan. Perubahan pemanfaatan ada pada lahan Laba Pura.
Luas Pura Desa + 10 are
Gambar 5.14 Perbandingan Pura Desa Pra dan Pascareklamasi (Sumber: Wawancara, Wayan Tamat, 2013)
Berbeda halnya dengan Pura Desa, pada Pura Puseh/Dalem Cemara yang berada pada satu lahan dengan Pura Segara telah mengalami perubahan pemanfaatan dan luas lahan. Perubahan yang terjadi yaitu lahan didepan (Barat) Pura Puseh/Dalem Cemara dan Pura Segara prareklamasi berupa laut, pada pascareklamasi dimanfaatkan sebagai JabaTengah Pura dan didepannya dimanfaatkan sebagai lahan parkir yang merupakan Laba Pura Puseh/Dalem Cemara dan Pura Segara. Lahan yang direklamasi oleh PT. BTID ini diminta untuk diserahkan ke Desa Pakraman Serangan melalui Bendesa Adat saat itu
92
Wayan Mudita, untuk dimanfaatkan sebagai perluasan Pura Puseh/Dalem Cemara dan Pura Segara.
PURA PUSEH/DALEM CEMARA DAN PURA SEGARA PRAREKLAMASI
U
U
PURA PUSEH DALEM CEMARA DAN PURA SEGARA PASCAREKLAMASI
Jeroan Pura Segara
U U
- Luas Pura Puseh/Dalem Cemara Prareklamasi + 13 are. - Luas Pura Segara Prareklamasi + 4 are.
Perluasan Jaba Tengah(Bekas Laut) Jeroan Pura Puseh/ Dalem Cemara
Jaba Sisi/Laba Pura (Bekas Laut)
Pura Puseh/Dalem Cemara prareklamasi hanya terdiri dari Jeroan saja, didepannya sudah terdapat laut
- Luas Pura Puseh/Dalem Cemara Pascareklamasi + 19 are. - Luas Pura Segara Pascareklamasi + 6 are. - Luas JabaSisi/laba Pura + 12 are.
Gambar 5.15 Pura Puseh/Dalem Cemara dan Pura Segara Pra dan Pascareklamasi (Sumber: Wawancara, Wayan Rajin dan PT. BTID, 2013)
93
Sama halnya dengan Pura Puseh/Dalem Cemara dan Pura Segara, pada Pura Khayangan dan Prajapati juga terdapat perluasan pemanfaatan lahan Pura yang mana sebelumnya/prareklamasi hanya terdiri dari Jeroan dan Jaba Sisi seluas + 7,5 are, pada pascareklamasi terdapat penambahan luasan Jeroan, Jaba Tengah, dan Jaba Sisi menjadi seluas +25 are. Perubahan pemanfaatan juga terjadi pada lahan di depan Pura Dalem Kahyangan, yang mana pada prareklamasi masih berupa laut, pada pascareklamasi menjadi jalan dengan lebar + 4 meter (wawancara, Made Suana, Mangku Pura Dalem Khayangan, 2013).
94
PURA DALEM KAHYANGAN DAN PRAJAPATI PRAREKLAMASI
PURA DALEM KAHYANGAN DAN PRAJAPATI PASCAREKLAMASI
U
Jaba Tengah (perluasan)
U - Luas Pura Dalem Khayangan +7,5 are. - Luas Pura Prajapati +70 m2. Jeroan (perluasan)
Pura Prajapati
Jaba Sisi
Jaba Sisi Pura Dalem Khayangan Prareklamasi
Jaba Tengah (perluasan)
- Luas Pura Dalem Khayangan Pascareklamasi +25 are. - Penambahan luas Jeroan, Jaba Tengah dan Jaba Sisi+ 17,5 are. - Luas Pura Prajapati +70 m2.
Gambar 5.16 Perbandingan Pura Dalem Khayangan Pra dan Pascareklamasi (Sumber: Wawancara, Made Suana dan PT. BTID, 2013)
F. Kasus 6 (Kuburan) Kuburan di Pulau Serangan merupakan lahan yang termasuk dalam kategori lahan druwe desa karena dimiliki atau dikuasai oleh Desa Pakraman Serangan. Pemanfaatan kuburan pra dan pascareklamasi tidak mengalami perubahan yaitu tetap dimanfaatkan sebagai kuburan. Yang membedakan adalah luas lahan
95
kuburan pasca reklamasi lebih besar dibandingkan prareklamasi. Pada pra reklamasi, lahan kuburan hampir terbelah menjadi dua karena dibelah oleh laut, namun pascareklamasi pihak PT. BTID melakukan pengurugan laut yang menyebabkan lahan kuburan sudah menjadi satu dan terdapat penambahan luasan, seperti petikan wawancara dengan kepala perencanaan master plan PT. BTID : “...dulu dari kuburan sampai didepan Pura Dalem Cemara itu laut, kita (PT. BTID) yang mereklamasi, biar ada lahan tambahan untuk mereka tinggal, termasuk perluasan areal kuburan. Biar masyarakat ga basah-basahan di laut terus saat menggotong mayat dibawa ke kuburan. Otomatis jalan didepan Kuburan, Pura Dalem Kahyangan, sampai ke pasar desa itu kita yang bikin badan jalannya hasil dari reklamasi..." (Gusti Ngurah Saputra, Juni 2013) Opini diatas juga semakin diperkuat dengan fakta dari foto udara Pulau Serangan prareklamasi yang memperlihatkan lahan kuburan yang terdapat laut yang menjorok ke daratan kuburan seolah-olah lahan Kuburan hampir terbelah menjadi dua bagian. Luas lahan kuburan prareklamasi + 1,7 hektar, belum terdapat batas patok berupa pagar serta pintu masuknya hanya satu sedangkan pascareklamasi luas lahannya menjadi + 2,5 hektar, batas-batas lahan sudah jelas karena sudah dibangun tembok penyengker keliling, dan terdapat dua pintu masuk kuburan yaitu melalui jalur depan (Barat) dan jalur belakang (Timur).
96
U
U
KUBURAN PASCAREKLAMASI
KUBURAN PRAREKLAMASI
U
U
Foto Udara Pulau Serangan Pascareklamasi
Foto Udara Pulau Serangan Prareklamasi
U
U
Luas Kuburan Pascareklamasi : 2,5 hektar
Luas Kuburan Prareklamasi : 1,7 hektar
Bentuk Kuburan terdapat laut yang menjorok ke daratan.
Gambar 5.17 PerubahanLahan Kuburan Pra dan Pascareklamasi (Sumber: Rekonstruksi berdasarkan Wawancara dan Observasi, 2013)
Bentuk Kuburan sudah utuh menjadi satu
97
Pada masa prareklamasi, ritualisasi masyarakat membawa mayat ke kuburan untuk diaben dilakukan dengan menyeberang laut dan terkadang saat air laut pasang, para pengarak mayat berjalan dalam keadaan hampir tenggelam (tinggi air mencapai badan orang dewasa). Keberadaan kuburan prareklamasi juga dirasakan seram karena hanya sedikit warga yang menjamah kuburan karena letaknya jauh dengan permukiman warga dan dipisahkan oleh laut. Dengan adanya reklamasi ini, menyebabkan hilangnya tradisi mengarak mayat dengan menyeberangi laut. Meskipun memberikan kemudahan bagi warga dalam transportasi menuju Kuburan yang dapat ditempuh dengan jalur darat namun beberapa masyarakat juga merindukan adanya ritualisasi unik ini yang mungkin hanya ada di Pulau Serangan (wawancara, Made Mudita, Mantan Bendesa Pakraman Serangan, 2013).
Lahan di depan Kuburan hasil reklamasi Pintu Masuk Depan
Pintu Masuk Belakang
Gambar 5.18 Keadaan Kuburan Pascareklamasi (Sumber: Hasil Observasi, 2013)
98
2. Wilayah PT. BTID A. Kasus 7 (BanjarKubu dan Permukiman Warganya) Banjar merupakan salah satu lahan yang difungsikan untuk kegiatan sosial kemasyarakatan. Banjar-Banjar yang terdapat di Pulau Serangan baik pada pra reklamasi maupun pasca reklamasi difungsikan sebagai Banjar Adat dan Banjar Dinas. Jumlah Banjar pada masa pra dan pascareklamasi berbeda yang mana pada pra reklamasi berjumlah 7 sedangkan pascareklamasi berjumlah 6 (lahan Banjar Kubu dialihfungsikan menjadi lahan milik PT. BTID). Banjar Kawan Banjar Kaje Banjar Kawan
Banjar Kaja
Banjar Ponjok
Banjar Ponjok PRA REKLAMASI
PASCA REKLAMASI
Banjar Tengah
Banjar Kubu (sudah hilang karena alih fungsi menjadi milik PT. BTID. Banjar Dukuh Banjar Kubu Banjar Dukuh Banjar Peken Banjar Tengah
Gambar 5.19 Letak Banjar-Banjar Pra dan Pascareklamasi (Sumber: Wawancara, Wayan Mudita dan Observasi Surya, 2013)
Banjar Peken
99
Tabel 5.3 Perbandingan Banjar-Banjar Pra dan Pascareklamasi Prareklamasi Banjar
Pascareklamasi
Ponjok
3,5 are
Anggota Banjar 85 KK
Kaje
0,7 are
135 KK
2 meter
0,7 are
164 KK
2 meter
Tengah
1,3 are
146 KK
2 meter
1,3 are
107 KK
2 meter
Peken
3,2 are
153 KK
2 meter
3,2 are
119 KK
2 meter
Kawan
8 are
105 KK
2,5 meter
8 are
172 KK
6 meter
Dukuh
2,5 are
68 KK
2 meter
Kubu
2 are
23 KK
2 meter
Luas Lahan
Akses Jalan
Luas Lahan
1,5 meter
3,5 are
Anggota Banjar 128 KK
Akses Jalan 1,5 meter
3,5 are 128 KK 5 meter - Tidak ada, lahan sudah beralih fungsi menjadi lahan PT. BTID. - Warga Banjar jadi satu dengan Banjar Dukuh
Sumber : Wawancara, Darta, W., profil Kelurahan Serangan, observasi, 2013 Berdasarkan Gambar 5.19 dan Tabel 5.3, terlihat pada pascareklamasi jumlah Banjar berkurang satu karena Banjar Kubu sudah tidak ada. Saat dilakukannya reklamasi Pulau Serangan, wilayah Banjar Kubu masuk dalam wilayah perencanaan PT. BTID, sehingga lahan Banjar dibeli dengan harga murah namun diganti dengan lahan baru hasil reklamasi. Diharapkan dengan sistem tukar guling ini menguntungkan kedua belah pihak termasuk masyarakat Pulau Serangan. Warga Banjar Kubu pascareklamasi sudah menjadi satu dan menjadi warga Banjar Dukuh, sesuai hasil wawancara dengan Pak Wayan Warsa yang saat ini menjabat sebagai Kepala Lingkungan Banjar Dukuh, namun pada prareklamasi menjabat sebagai Kelihan Banjar Kubu. “...Banjar kami (Banjar Kubu) letaknya dekat Pura Tanjung Sari. Dulu BTID mengumpulkan seluruh warga Banjar kita, mereka menyuruh kita menjual lahan banjar dan rumah-rumah warga. Meskipun kita melawan, namanya saat itu zaman Pak Harto dan karena kita dipaksa akhirnya kita mau dengan syarat lahan kita diganti dan dibayar. Mereka memberikan sejumlah lahan kosong
100
untuk bisa warga kami mendirikan rumah yang berada pada areal Banjar Dukuh..." (Wayan Warsa, Juni 2013) Berdasarkan hasil wawancara dengan tokoh masyarakat Banjar Dukuh, dapat direkonstruksikan perubahan lahan Banjar Kubu yang sebelumnya ada (prareklamasi) menjadi tidak ada (pascareklamasi). Lokasi Banjar Kubu pada prareklamasi berada disebelah utara Pura Tanjung Sari (saat ini Pura Tanjung Sari berada di wilayah perencanaan PT. BTID). Peta Udara Pascareklamasi
Peta Udara Prareklamasi
U
Perubahan Lahan Banjar Kubu dari "ada" menjadi "tidak ada"
Banjar Kubu (Sebelah Utara Pura Tanjung Sari)
Pura Tanjung Sari
Gambar 5.20 Lokasi Banjar Kubu Pra dan Pascareklamasi (Sumber: Wawancara, Wayan Warsa, Gusti Ngurah Saputra, PT. BTID, 2013)
Selain Banjar Kubu, Banjar Dukuh juga mengalami perubahan melainkan bukan pada perubahan pemanfaatan lahannya namun pada luasan lahan Banjarnya. Lahan Banjar Dukuh pada masa masa prareklamasi seluas + 2,5 are, sedangkan pascareklamasi luasnya+ 3,5 are. Pada prareklamasi, tidak terdapat daratan di depan (utara) Banjar Dukuh karena berupa laut. Dengan adanya reklamasi, mengakibatkan perubahan wilayah laut menjadi wilayah daratan termasuk reklamasi di depan Banjar Dukuh (Wawancara, Gusti Saputra, 2013).
101
PRAREKLAMASI
U
PASCAREKLAMASI
U
laut jembatan laut Letak Banjar Dukuh yang bersebelahan dengan laut
laut
U
pintu masuk
laut jembatan
U laut
Foto Udara Pulau Serangan Prareklamasi
U
Denah Banjar Dukuh Pascareklamasi
jalan laut
LUAS LAHAN 2,5 ARE
Denah Banjar Dukuh Prareklamasi
Gambar 5.21 Perubahan Luas Lahan Banjar Dukuh Pra dan Pascareklamasi (Sumber: Wawancara, Wayan Warsa, Gusti Ngurah Saputra, PT. BTID, 2013)
B. Kasus 8 (Pura yang Diempon oleh Puri Kesiman) Pada prareklamasi, tidak terdapat satupun Pura yang diempon Puri Kesiman berada di wilayah kekuasaan PT. BTID pascareklamasi. Pura yang terdapat di wilayah kekuasaan PT. BTID pascareklamasi adalah Pura Beji Dalem Sakenan yang didirikan tahun 2008 dan terletak kira-kira 2,2 kilometer sebelah Selatan
102
Pura Dalem Sakenan dan Pura Pesamuan Agung tepatnya di ujung Selatan Pulau Serangan prareklamasi.
PASCA REKLAMASI
PRA REKLAMASI
U
U
Tegalan (Prareklamasi) yang dijadikan Pura Beji Dalem Sakenan (Pascareklamasi) (Ada Pasca Reklamasi)
Pura Beji Dalem Sakenan (Ada Pascareklamasi)
Gambar 5.22 Perubahan Tegalan menjadi Pura Beji Dalem Sakenan (Sumber: Wawancara, A. A. Ngurah Gde Kusuma Wardana, 2013)
Berdasarkan Gambar 5.22, terdapat perubahan pemanfaatan lahan dari tegalan pada prareklamasi, berubah menjadi Pura Beji Dalem Sakenan yang dipergunakan untuk kegiatan sosial keagamaan. Pura Beji Dalem Sakenan didirikan tahun 2008, digunakan sebagai tempat pebersihan dan pemandian Ida Bhatara yang berstana di Pura Dalem Sakenan. Pada prareklamasi, prosesi pebersihan Ida Bhatara di Pura Sakenan dilakukan di depan Pura Dalem Sakenan saja, namun dengan adanya pawisik dari Ida Bhatara yang berstana di Pura Dalem Sakenan maka dibangunlah Pura Dalem Beji di atas lahan 6 are pada pascareklamasi Pulau Serangan.
103
U U
Pascareklamasi
Rencana letak Pura Beji Dalem Sakenan. Pada pra reklamasi belum ada. Baru ada tahun 2008 (pascareklamasi)
Prareklamasi
U
U
Jaba Tengah
Jaba Sisi
Gambar 5.23 Pura Beji Dalem Sakenan yang Ada Pada Pascareklamasi (Sumber: Wawancara, Gusti Ketut Lengur, 2013)
C. Kasus 9 (Pura-Pura yang Diempon oleh Desa Pakraman Serangan) Selain di wilayah permukiman penduduk yang tepatnya di sebelah kiri kanal (pascareklamasi), Pura-Pura yang diempon Desa Pakraman Serangan juga terdapat di wilayah perencanaan PT. BTID. Jumlah Pura yang ada pada prareklamasi
104
berbeda dengan pascareklamasi. Pada pra reklamasi berjumlah 5 Pura sedangkan pada pascareklamasi berjumlah 7 Pura. Pura-Pura yang dimaksud antara lain : Prareklamasi Pura-Pura ini antara lain: Pura Pat Payung, Pura Taman Sari, Pura Tirta Arum, Pura Tanjung Sari, dan Pura Puncaking Tingkih. Kelima Pura ini berada di wilayah Selatan Pulau Serangan pra reklamasi tepatnya berada di wilayah PT. BTID pasca reklamasi. Keberadaan lahan Pura-Pura ini pada prareklamasi hanya terdiri dari Mandala Jeroan saja.
U
Pura Tanjung Sari Luas Lahan + 5 are. Terdiri dari Mandala Jeroan dan Jaba Sisi. Pura Puncaking Tingkih Luas Lahan + 5 are. Terdiri dari Mandala Jeroan dan Jaba Sisi.
Pura Batu Kerep dan Pura Batu Api baru ada pada pascareklamasi. Saat prareklamasi lahannya masih berupa laut.
PRAREKLAMASI
Pura Pat Payung - Luas Lahan + 2 are. - Terdiri dari Mandala Jeroan dan Jaba Sisi. Pura Taman Sari - Luas Lahan + 1,5 are. - Terdiri dari Mandala Jeroan dan Jaba Sisi. Pura Tirta Arum - Luas Lahan + 4 are. - Terdiri dari Mandala Jeroan dan Jaba Sisi.
Gambar 5.24 Letak Pura-Pura di Wilayah PT. BTID Prareklamasi (Sumber: Rangkuman Berdasarkan Hasil Wawancara, 2013)
Pascareklamasi Pura-Pura ini antara lain : Pura Pat Payung, Pura Taman Sari, Pura Tirta Arum, Pura Tanjung Sari, dan Pura Pancaking Tingkih dan terdapat tambahan
105
pemanfaatan yang berfungsi keagamaan yaitu Pura Batu Kerep dan Pura Batu Api. Keberadaan lahan Pura-Pura di wilayah PT. BTID pada pascareklamasi sudah terdapat penambahan fungsi yaitu terdapatnya Mandala Jaba Tengah pada beberapa Pura seperti Pura Taman Sari, Pura Tanjung Sari dan Pura Puncaking Tingkih.
Pura Batu Api (Ada Pascareklamasi) Luas Lahan + 1,2 are. Tidak terdapat Mandala Jeroan.
Pura Puncaking Tingkih Luas Lahan + 19 are. Terdiri dari 3 Mandala Jeroan dan Jaba Tengah, dan Jaba Sisi.
Pura Pat Payung - Luas Lahan + 2 are. - Terdiri dari Mandala Jeroan dan Jaba Sisi.
Pura Batu Kerep (Ada Pascareklamasi) - Luas Lahan + 0,8 are. - Tidak terdapat Mandala Jeroan Pura Taman Sari - Luas Lahan + 6,5 are. - Terdiri dari 3 Mandala : Jeroan dan Jaba Tengah dan Jaba Sisi. Pura Tirta Arum - Luas Lahan + 50 are. - Terdiri dari Mandala Jeroan, Jaba Tengah dan Jaba Sisi.
Gambar 5.25 Letak Pura-Pura di Wilayah PT. BTID Pascareklamasi (Sumber: Rangkuman Berdasarkan Hasil Wawancara, 2013)
Pemanfaatan lahan Pura-Pura yang terdapat di wilayah PT. BTID dari pra hingga pascareklamasi tetap dimanfaatkan untuk fungsi keagamaan, dengan terdapat dua jenis kasus yaitu: 1) penambahan luasan pemanfaatan karena adanya reklamasi seperti Pura Tanjung Sari, Pura Puncaking Tingkih, Pura Taman Sari, dan Pura Tirta Arum; 2) pembangunan baru Pura-Pura pada pascareklamasi yang mana pada prareklamasi lahannya masih berupa laut seperti Pura Batu Kerep dan Pura Batu Api. Sedangkan lahan yang lahannya tetap (tidak terdapat penambahan
106
lahan) yaitu Pura Pat Payung. Diperolehnya izin penambahan luas Pura dan penambahan Pura baru tidak terlepas dari negosiasi pihak Desa Pakraman Serangan selaku pemilik Pura-Pura dengan PT. BTID selaku pemilik lahan. Semuanya telah tertuang dalam MoU yang salah satu isinya berisikan "PT. BTID selaku pemilik lahan di sebelah kanan kanal, memberikan akses untuk Pura-Pura di Wilayah PT. BTID termasuk perluasan lahan Pura".(wawancara, Gede Mudana Wiguna, 2013) Berdasarkan hal di atas, terdapat 3 jenis pemanfaatan Pura-Pura di wilayah PT. BTID yaitu 1) Pura-Pura yang tidak mengalami perluasan pemanfaatan lahan dari pra hingga pascareklamasi; 2) Pura-Pura yang mengalami perluasan pemanfaatan lahan; dan 3) Pura-Pura yang baru ada pada pascareklamasi. 1. Pura yang Tidak Mengalami Perluasan Pemanfaatan Lahan Pra dan Pascareklamasi Pura Pat Payung Pura Pat Payung terletak di paling dekat dengan wilayah permukiman penduduk. Pura Pat Payung sudah ada jauh sebelum adanya reklamasi. Pura ini difungsikan sebagai representasi Ida Bhatara Ratu Gede Dalem Peed yang berada di Pura Dalem Peed Nusa Dua. Hal ini dikarenakan hampir seluruh masyarakat Pulau Serangan menyungsung Pura Dalem Peed. Namun karena letaknya yang berada di Nusa Penida, maka dibangunlah Pura Pat Payung di Pulau Serangan sebagai pencerminan/perwakilan
beliau yang
berstana di Nusa Penida
(wawancara, Ketut Sudiarsa, Mangku Pura Pat Payung, 2013).
107
Pemanfaatan lahan pra dan pascareklamasi Pura Pat Payung tetap sama (tidak mengalami perubahan) baik luas lahannya yang sekitar 2 are maupun fungsinya yang tetap dipakai untuk keagamaan. Perubahan hanya terjadi pada pemugaran Pura menjadi lebih baik yang mana pada prareklamasi hanya terdapat satu pintu masuk Pura, pada pascareklamasi sudah terdapat dua pintu untuk masuk dan keluar, serta pemugaran bangunan-bangunan di dalam Pura Pat Payung.
Prareklamasi
Pascareklamasi
U
Tahun 1994
U
Gambar 5.26 Keadaan Pura Pat Payung Pra dan Pascareklamasi (Sumber: Wawancara, Ketut Sudiarsa dan PT. BTID, 2013)
Tahun 2013
108
2. Pura
yang
Mengalami
Perluasan
Pemanfaatan
Lahan
Pra
dan
Pascareklamasi Pura Tanjung Sari Pura Tanjung Sari berada di wilayah tanjung (daratan yang menjorok ke laut) antara 2 gugusan pulau di bagian timur (prareklamasi). Menurut Pemangku Pura Tanjung Sari bernama Jero Mangku Wayan Mega, Pendirian Pura ini awalnya karena ada pohon besar yang datang dari laut dan terdampar di lahan ini. Berdasarkan petunjuk dari Tuhan, pohon ini dapat dijadikan obat (tamba) bagi penyakit katarak dan penyakit lainnya sehingga dibangunlah Pura Tanjung Sari. Perubahan lahan Pura Tanjung Sari terjadi dari pra hingga pascareklamasi. Pada prareklamasi, luas lahan tegak Pura hanya berkisar 5 are dan hanya terdiri dari Mandala Jeroan saja. Namun pada pascareklamasi sudah terdapat perluasan pemanfaatan yaitu sebagai MandalaJaba Tengah untuk ruang perantara sebelum memasuki Mandala Jeroan dan perluasan Jaba Sisi yang dimanfaatkan sebagai Dapur dan parkir kendaraan dengan total luas lahan Pura Tanjung Sari pasca reklamasi sekitar 21 are.
109 PASCAREKLAMASI
U
Perluasan Lahan sekitar 16 are (pascareklamasi). Total luas Pura 21 are.
Lahan Pura Tanjung Sari Prareklamasi + 5 are.
U Penambahan JabaTengah
U
Penambahan Fungsi Dapur Perluasan JabaSisi
U
Gambar 5.27 Perubahan Pemanfaatan Pura Tanjung Sari Pascareklamasi (Sumber: Hasil Observasi dan Wawancara, 2013)
Pura Puncaking Tingkih Setelah melewati Pura Tanjung Sari, selanjutnya akan menemui Pura Puncaking Tingkih yang tepatnya berada di sebelah Selatan Pura Tanjung Sari. Pada prareklamasi, kalau ingin ke Pura ini, setelah melewati Pura Tanjung Sari harus menyeberangi laut dangkal dahulu hingga mencapai Pura ini, namun pascareklamasi wilayah laut sudah berubah menjadi daratan. Pura ini didirikan jauh sebelum adanya reklamasi. Menurut Pemangku Pura Puncaking Tingkih, Jero Mangku Wayan Alus, awal berdirinya Pura ini dikarenakan masyarakat yang tinggal di wilayah ini hidup melarat karena faktor lahan yang kurang bisa diolah menjadi tegalan ataupun menghasilkan produk padi, dll. Namun masyarakat di wilayah ini tetap bisa tinggal dan dapat melangsungkan hidupnya meskipun dalam keadaan yang sulit. Masyarakat setempat percaya bahwa ada Ida Bhatara
110
setempat yang melindungi mereka asalkan tetap ingat pada beliau, sehingga didirikanlah Pura Puncaking Tingkih ini. Luas lahan Pura Puncaking Tinggkih prareklamasi sekitar 5 are dan hanya terdiri dari Mandala Jeroan saja. Namun pascareklamasi terdapat perluasan pemanfaatan lahan sebagai Mandala JabaTengah dan JabaSisi dengan total luasan + 19 are.
U
PASCAREKLAMASI
Perluasan pemanfaatan dengan adanya Jaba Sisi
Perluasan pemanfaatan dengan adanya Jaba Tengah
U
Luas lahan asli (Jeroan) pra reklamasi + 5 are.
U
U
Gambar 5.28 Perubahan Pemanfaatan Pura Puncaking Tingkih Pascareklamasi (Sumber: Wawancara, Wayan Alus, Mangku Pura Puncaking Tingkih, 2013)
Pura Taman Sari dan Pura Tirta Arum Pura Taman Sari berada dekat dengan Pura Tirta Arum baik pada masa pra maupun pascareklamasi. Pada dasarnya kedua Pura ini difungsikan untuk obat/tamba dan pebersihan/penglukatandan dibangun jauh sebelum reklamasi berlangsung. Pada Pura Taman Sari, luas lahan pra reklamasi sekitar 1,5 are yang
111
hanya terdiri dari Mandala Jeroan saja. Namun pasca reklamasi, atas kesepakatan dengan Pihak PT. BTID, dilakukan perluasan pemanfaatan Pura Taman Sari menjadi seluas 6,5 are dengan adanya tambahan Jaba Tengah dan Jaba Sisi (wawancara, Wayan Kelar, Mangku Pura Taman Sari, 2013). Pada Pura Tirta Arum terdapat dua Pura kecil disebelah Utara dan Selatan Pura yaitu Pura Jero Dukuh Sakti yang fungsinya untuk meminta kesembuhan dari sakit non medis dan Pura Beji Tirta Arum sebagai tempat "pemandian" Ida Bhatara yang berstana di Pura Tirta Arum, serta konon bermanfaat pula bagi wanita yang meminta aura kecantikan bagi dirinya. Namun secara umum, ketiga Pura ini dengan Pura Tirta Arum sebagai poros utamanya disembah oleh masyarakat Pulau Serangan sebagai Pura Suagina yaitu Pura untuk meminta tamba/obat dalam bentuk air suci/ tirta untuk kesembuhan dari berbagai penyakit medis dan non medis (wawancara, Made Sugita, Mangku Pura Tirta Arum, 2013). Pemanfaatan lahan Pura Tirta Arum prareklamasi hanya berupa lahan Tegak Pura saja yaitu MandalaJeroanseluas 4 are. Akan tetapi pada pascareklamasi, pihak PT. BTID memberikan lahan yang cukup luas untuk dimanfaatkan sebagai JabaTengah berisikan pewaregan/dapur, bale dan areal parkir Pura dengan total luasan 50 are (termasuk tegak lahan Pura Jero Dukuh Sakti dan Pura Beji Tirta Arum).
112
Pura Beji Tirta Arum
Pura Jero Dukuh Sakti
Pura Tirta Arum
Dapur dan Bale Pesandekan Lahan asli Pura Taman Sari prareklamasi + 1,5 are
PASCAREKLAMASI
U
Lahan asli Pura Tirta Arum prareklamasi + 4 are
U U
U
Perluasan pemanfaatan dengan adanya Jaba Tengah
Jaba Tengah (perluasan lahan)
Perluasan pemanfaatan dengan adanya Jaba Sisi
Gambar 5.29 Perluasan Pemanfaatan Pura Taman Sari dan Pura Tirta Arum (Sumber: Rangkuman Wawancara dan Observasi, 2013)
3. Pura-Pura yang Baru Ada Pada Pascareklamasi Pura Batu Api Pura Batu Api baru didirikan pascareklamasi tepatnya sekitar pertengahan tahun 2010. Pura ini didirikan atas saran dari Gede Mudana Wiguna Selaku Bendesa Pakraman Serangan saat itu. Berikut petikan wawancara dengan beliau : “...sebelumnya saya bermimpi sosok penyu tapi mengeluarkan api merah dari mulutnya dari ikan berkepala manusia perempuan yang datang dari arah Barat Daya Pulau Serangan. Beliau ingin saya membuatkan tempat yang layak untuk mereka. Setelah saya cek ternyata itu berada di lahan reklamasi di bagian Barat Daya yang
113
pada pra reklamasi setahu saya dahulu lahan itu berupa lautan dangkal yang airnya mengandung minyak. Setelah itu saya minta kepada pihak PT. BTID untuk membuatkan Pura disana dan dikabulkan oleh PT. BTID. Makanya bentuk Pelinggihnya tidak biasa, bentuknya ada yang kura-kura tetapi keluar api dari mulutnya dan ikan duyung wanita..." (Gede Mudana Wiguna, Juni 2013) Pemangku yang diperkenankan menjalankan prosesi upacara di Pura Batu Api adalah pemangku Pura Segara karena memiliki keterkaitan dengan unsur laut dengan airnya yang asin/segara. Pemanfaatan lahan Pura Batu Api yang baru ada pascareklamasi memiliki luas lahan Pura sekitar 1,2 are. Pada prareklamasi, lahan ini masih berupa laut dangkal yang diapit pulau kecil di utara dan selatannya (wawancara, Mudana Wiguna, G, 2013).
U
Jaba Sisi
Jeroan
Gambar 5.30 Pemanfaatan Lahan Laut Sebagai Pura Batu Api Pascareklamasi (Sumber: Wawancara, Gede Mudana Wiguna, 2013)
114
Pura Batu Kerep Pura Batu Kerep bersamaan pendiriannya dengan Pura Batu Api yaitu tahun 2010 (pascareklamasi). Pura Batu Kerep berada di sebelah Timur Pura Pat Payung tepatnya di ujung Timur lahan PT. BTID. Fungsi Pura Batu Kerep adalah sebagai penyawangan dan jalur pemargi Ida Bhatara di Pura Dalem Peed di Nusa Penida menuju Pura Pat Payung di Pulau Serangan. Pada prareklamasi, lahan Pura masih berupa laut dan pascareklamasi sudah berupa daratan dengan luas Pura kira-kira 80 m2. U
Gambar 5.31 Pemanfaatan Lahan Laut Sebagai Pura Batu Kerep Pascareklamasi (Sumber: Wawancara, Gede Mudana Wiguna, 2013)
Berdasarkan penjabaran secara mendetail mengenai perubahan pemanfaatan lahan yang terjadi di Pulau Serangan pra dan pascareklamasi, selanjutnya penulis akan rangkum dalam bentuk Tabel 5.4 untuk mengkomparasikan atau melihat
115
perbedaan perubahan pemanfaatan lahan pra dan pascareklamasi di Pulau Serangan. Tabel 5.4 Komparasi Pemanfaatan Lahan Pra dan Pascareklamasi
JENIS LAHAN
PRAREKLAMASI PEMANFAATAN LUAS LAHAN LAHAN
PASCAREKLAMASI LOKASI
PEMANFAATAN LUAS LAHAN LAHAN
LOKASI
WILAYAH PERMUKIMAN PENDUDUK Kasus 1 (Taman Kota)
Kasus 2 - Pasar Desa - LPD - KUD Kasus 3 - Balai Konservasi Penyu dan Bumi Perkemahan - Watersport dan Perluasan Areal Melasti Kasus 4 (Pura yang Diemong Puri Kesiman) - Pura Dalem Sakenan dan Pesamuan Agung - Pelaba Pura Sakenan - Pura Dalem Susunan Wadon Kasus 5 (Pura yang Diemong Desa Pakraman Serangan) - Pura Desa - Pura Puseh/ Dalem Cemara - Pura Segara - Pura Dalem Khayangan Dan Pura Prajapati
Laut (ada jembatan penghubung pulau)
Pasar Desa LPD dan KUD (berada dalam satu bangunan)
Laut
Areal Melasti dan Laut
Pura Dalem Sakenan dan Pesamuan Agung
40 are
1 are
0,9 are
-
+ 66 are
51 are
Antara Gugusan Antara Gugusan Taman Kota, Lapangan Pulau Banjar Dukuh 30 are Pulau Banjar Dukuh Sepak Bola, Jogging dengan Gugusan (sisanya dengan Gugusan Track, Parkir pemedek Pulau Banjar lahan Pulau Banjar Pura Dalem Susunan Kawan, Kaje, kosong) Kawan, Kaje, Wadon, Lahan Kosong Tengah, Peken Tengah, Peken Sebelah Selatan Pasar Desa (laut Sebelah Selatan Pura 8,7 are Pura Desa direklamasi) Segara Sebelah Selatan Pura LPD (laut direklamasi) 0,8 are Segara Sebelah Utara Pura Desa KUD (sebagian bekas Sebelah Selatan Pura 8,2 are laut yang direklamasi) Segara Balai Konservasi Sebelah Timur Penyu dan Bumi Sebelah Timur 80 are Kuburan Perkemahan (lahan Kuburan bekas reklamasi) Ujung Timur Laut Pulau Serangan
Watersport dan Areal Ujung Timur Laut Melasti (lahan bekas 2,35 hektar Pulau Serangan reklamasi)
Ujung Barat Laut Pulau Serangan
Pura Dalem Sakenan 1 hektar dan Pesamuan Agung
Lahan kosong dan Sebelah Utara dan tempat berjualan saat 1,45 hektar Timur Pura Sakenan piodalan Pura Dalem Sebelah Timur 26 are Susunan Wadon Banjar Dukuh
Pura Desa Pura Puseh/ Dalem Cemara
10 are
Pura Segara
4 are
Pura Dalem Khayangan dan Pura Prajapati
8 are
13 are
Sebelah Timur SD N. 1 Serangan Sebelah Timur Pasar Desa (Baru) Sebelah Timur Pasar Desa yang baru Sebelah Barat Kuburan
Lahan kosong dan tempat berjualan saat piodalan Pura Dalem Susunan Wadon
Ujung Barat Laut Pulau Serangan
1,45 hektar
Sebelah Utara dan Timur Pura Sakenan
26 are
Sebelah Timur Banjar Dukuh
Pura Desa Pura Puseh/ Dalem Cemara
10 are
Pura Segara
6 are
Pura Dalem Khayangan dan Pura Prajapati
18 are
19 are
Sebelah Timur SD N. 1 Serangan Sebelah Timur Pasar Desa (Baru) Sebelah Timur Pasar Desa yang baru Sebelah Barat Kuburan
116
Kasus 6 (Kuburan)
Kuburan (hampir Sebelah Utara Pura 1,7 hektar terbelah menjadi 2) Dalem Khayangan
Kuburan (sudah menjadi satu/tidak terbelah)
2,5 hektar
Sebelah Utara Pura Dalem Khayangan
-
Sebelah kanan kanal
3,5 are
Sebelah Selatan Banjar Kawan
6 are
Wilayah PT. BTID (Sebelah Timur Pura Puncaking Tingkih)
WILAYAH PT. BTID Kasus 7 - Banjar Kubu - Banjar Dukuh Kasus 8 (Pura yang Diemong Puri Kesiman) - Pura Beji Dalem Sakenan Kasus 9 (Pura yang Diemong Desa Pakraman Serangan) - Pura Pat Payung
Banjar Kubu
2 are
Banjar Dukuh
2,5 are
Lahan Tegalan
-
Pura Pat Payung
2 are
Pura Tanjung Sari
5 are
- Pura Puncaking Tingkih
Pura Puncaking Tingkih
- Pura Taman Sari - Pura Tirta Arum
- Pura Tanjung Sari
Sebelah Utara Pura Lahan milik PT. BTID Tanjung Sari Sebelah Selatan Banjar Dukuh Banjar Kawan Sebelah Timur Pura Puncaking Tingkih
Sebelah Utara Pura Tanjung Sari
Pura Beji Dalem Sakenan
Pura Pat Payung
2 are
Sebelah Barat Pura Pat Payung
Pura Tanjung Sari
21 are
5 are
Sebelah Selatan Pura Tanjung Sari
Pura Puncaking Tingkih
19 are
Pura Taman Sari
1,5 are
Sebelah Selatan Pura Pat Payung
Pura Taman Sari
6,5 are
Pura Tirta Arum
4 are
Sebelah Selatan Pura Taman Sari
Pura Tirta Arum
50 are
Ujung Selatan Pulau Serangan
Pura Batu Api
1,2 are
Ujung Timur Pulau Serangan
Pura Batu Kerep
0,8 are
- Pura Batu Api
Laut
- Pura Batu Kerep
Laut
-
Wilayah PT. BTID (Sebelah Utara Pura Tanjung Sari) Wilayah PT. BTID (Sebelah Barat Pura Pat Payung) Wilayah PT. BTID (Sebelah Selatan Pura Tanjung Sari) Wilayah PT. BTID (Sebelah Selatan Pura Pat Payung) Wilayah PT. BTID (Sebelah Selatan Pura Taman Sari) Wilayah PT. BTID (Ujung Selatan Pulau Serangan) Wilayah PT. BTID (Ujung Timur Pulau Serangan)
Sumber: Rangkuman Wawancara dan Observasi, 2013
5.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perubahan Pemanfaatan Lahan Pascareklamasi di Pulau Serangan Terjadinya perubahan pemanfaatan lahan di Pulau Serangan disebabkan oleh faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan tersebut. Menurut Gandasasmita, 2001, terdapat tiga faktor utama dalam menentukan perubahan pemanfaatan lahan yaitu faktor fisik lahan, faktor ekonomi, dan faktor kelembagaan. Disamping itu terkadang terdapat faktor sosial dan budaya serta faktor-faktor lainnya yang
117
ikut pula mempengaruhi perubahan pemanfaatan lahan. Berikut ini akan dibahas secara lebih mendalam mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan pemanfaatan lahan di Pulau Serangan berdasarkan berbagai kasus perubahan yang telah dipaparkan pada sub bab sebelumnya.
5.2.1 Faktor Fisik Lahan Perubahan Pemanfaatan lahan di Pulau Serangan sangat besar dipengaruhi oleh faktor perubahan fisik lahan yaitu adanya reklamasi oleh PT. BTID dari tahun 1995 hingga tahun 1998. Secara makro, reklamasi ini mengubah luas Pulau Serangan yang awalnya 111 hektar, menjadi 481 hektar (empat kali lipat dari luas aslinya) dan membuat wilayahnya menjadi satu (tidak terpecah-pecah oleh laut/gugusan pulau).
PRAREKLAMASI (SEBELUM 1995)
U
PASCAREKLAMASI (SETELAH 1998)
PROSES REKLAMASI (TAHUN 1995-1998)
U
Gambar 5.32 Perubahan fisik melalui reklamasi menjadi faktor utama perubahan lahan (Sumber: Dokumentasi Penulis Berdasarkan Data Primer dan Sekunder, 2013)
U
118
Faktor fisik lahan yaitu masalah pengikisan air laut juga menjadi masalah utama yang terjadi sebelum adanya reklamasi. Dari data analisa peta dengan metode tumpang tindih (super impose) memperlihatkan adanya perbedaan morfologi pulau antara tahun 1948 dan tahun 1990. Dari analisa tersebut, diperoleh data terbenamnya daratan pulau sekitar 50% dalam kurun waktu 42 tahun. Dan diperkirakan bahwa pengikisan air laut ini akan mengalami percepatan dengan semakin besarnya arus air laut di sisi barat pulau akibat semakin meningkatnya volume lalu lintas laut di Pelabuhan Benoa. Oleh karena itu, perlu segera diadakan suatu usaha penyelamatan secara menyeluruh, dalam arti pemecahan ini bukan hanya bersifat internal di pulau itu sendiri, tetapi juga pemecahan eksternal keadaan lingkungan sekitar pulau yang turut mempengaruhi (Kodam IX Udayana, 1995 : 10). + 7 Gugusan Pulau Kecil 7 Gugusan Pulau Kecil 2 Gugusan Pulau Besar
PULAU SERANGAN TAHUN 1948
PULAU SERANGAN TAHUN 1995
5 Gugusan Pulau Besar
Gambar 5.33 Tingkat Abrasi Pulau Serangan yang Cukup Besar dari Tahun Ketahun (Sumber: PT. BTID, 2013)
Apabila dilihat secara mikro/lebih terperinci, dalam membahas faktor fisik lahan yang mempengaruhi perubahan pemanfaatan lahan yang terjadi di Pulau
119
Serangan pra dan pascareklamasi, akan dibagi berdasarkan dua wilayah kekuasaan yaitu lahan yang berada di wilayah Permukiman Penduduk dan lahan yang berada di wilayah PT. BTID.
A. Wilayah Permukiman Penduduk Secara umum, keenam kasus perubahan pemanfaatan lahan yang terjadi di wilayah Permukiman penduduk, dipengaruhi dengan adanya perluasan wilayah daratan melalui reklamasi. Keseluruhan reklamasi di wilayah Permukiman Penduduk, dilakukan oleh PT. BTID atas permintaan warga setempat sebagai kompensasi dilakukannya reklamasi besar-besaran oleh PT. BTID selaku investor yang ingin membuat fasilitas megawisata di Pulau Serangan. Sebelum kedatangan PT. BTID, masyarakat setempat juga sudah melakukan reklamasi secara tradisional karena tingkat abrasi di Pulau Serangan cukup tinggi sehingga meresahkan warga yang tinggal di pinggir pantai Pulau Serangan. Pada Kasus Pertama, perubahan laut menjadi Taman Kota Pulau Serangan pada awalnya dipengaruhi oleh faktor keinginan warga setempat untuk menyatukan wilayah Banjar Dukuh dan Kubu dengan Wilayah Banjar Kawan, Kaje, Tengah, dan Peken yang mana pada prareklamasi kedua wilayah tersebut dipisahkan oleh laut dan hanya terdapat jembatan bambu selebar 1 meter. Adanya reklamasi ini menyebabkan kedua wilayah ini menyatu sehingga memudahkan dalam akses transportasi darat. Lahan hasil reklamasi milik PT. BTID ini rencananya akan dijadikan lahan untuk didirikan perluasan permukiman warga setempat yang sudah lahannya sudah dibeli PT. BTID. Namun pada
120
kenyataannya, lahan ini didirikan Taman Kota yang dikelola dan idenya diprakarsai oleh pemerintah melalui Desa Dinas. Pendirian Taman Kota ini menimbulkan pro kontra di beberapa kalangan. Masyarakat setempat, Desa Dinas, dan Desa Pakraman sangat menyetujui pendirian ini namun tidak disetujui oleh PT. BTID yang beranggapan lahan untuk dijadikan wilayah permukiman terbatas sehingga adanya lahan baru ini diharapkan mampu mencukupi kebutuhan warga akan rumah tinggal.
Perubahan Laut Perluasan Areal Melasti, Balai Konservasi Penyu, Bumi Perkemahan dan Fasilitas Watersport (Kasus 3) Perubahan Laut Menjadi Pasar Desa, LPD, KUD(Kasus 2) Perluasan Pura Dalem Cemara dan Pura Segara(Kasus 5) Perluasan Kuburan (Kasus 6) Perubahan Laut Menjadi Perluasan Pura Dalem Khayangan (Kasus 5) Perubahan Laut Serangan(Kasus 1) Perluasan Jaba Tengah Pura Dalem Sakenan (Kasus 4)
Menjadi
Taman
Kota
Pulau
Prareklamasi berupa laut, hanya terdapat jembatan penghubung wilayah Banjar Dukuh dengan Banjar Kawan, Kaje, Tengah, dan Peken. Awalnya lahan hendak dipakai perluasan wilayah permukiman.
Gambar 5.34 Perubahan Fisik Melalui Reklamasi di Wilayah Permukiman Penduduk (Sumber: Dokumentasi Penulis Berdasarkan Data Primer dan Sekunder, 2013)
Pada Kasus Kedua yaitu perubahan laut menjadi Pasar Desa, LPD, dan KUD dikarenakan luas lahan Pasar Desa, LPD, dan KUD yang lama yang relatif sempit dan berada di gang sempit + 2 meter. Secara fisik, lahan yang dipergunakan untuk aktivitas perekonomian tradisional ini memiliki perbedaan
121
luas dan letak lahan pada pra dan pascareklamasi. Pada prareklamasi ketiga fungsi ini berada pada lahan yang kecil yang berada pada akses jalan sempit sekitar 2 meter. Sedangkan pada pascareklamasi, ketiga fungsi ekonomi ini berada di lahan yang lebih luas dengan akses jalan besar sekitar 5 meter dan bisa diakses dari segala arah karena berada di perempatan jalan besar. Sehingga, faktor fisik lahan menjadi faktor utama terjadinya perubahan letak dan pemanfaatan Pasar Desa, LPD, dan KUD pascareklamasi. Kelayakan lahan yang berada di core/jantung desa yaitu di perempatan jalan desa juga menjadi nilai positif yang menunjang aksesibilitas dan kemudahan pengunjung dalam mengakses Pasar Desa, LPD dan KUD. Pascareklamasi/ Setelah 1998
Prareklamasi/ Sebelum 1995
Bekas Lahan LPD dan KUD
Bekas Lahan Pasar Desa
Pasar Desa
Lembaga Perkreditan Rakyat (LPD)
Koperasi Unit Desa (KUD)
Gambar 5.35 Perubahan Letak Lahan Pasar Desa, LPD, KUD (Sumber: Observasi dan Wawancara, Wayan Mudita dan Wayan Mudri, 2013)
Pada Kasus Ketiga yaitu perubahan laut menjadi perluasan Areal Melasti sekaligus pula didirikan Balai Konservasi Penyu, Bumi Perkemahan, dan Fasilitas
122
Watersport adalah karena faktor fisik lahan Areal Melasti pada prareklamasi yang sempit, serta habitat penyu yang semakin punah akibat perburuan penyu-penyu tanpa memperhatikan regenerasi dari penyu-penyu tersebut. Selain itu, tingginya tingkat abrasi air laut prareklamasi memaksa lahan sebagai Tempat Melasti semakin mengecil luas lahannya dari tahun ke tahun. Hal inilah yang menjadi awal penyebab Desa Pakraman Serangan meminta kepada PT. BTID untuk memperluas Areal Melasti dengan mereklamasi Pantai Timur Laut Pulau Serangan. Selain itu hilangnya habitat penyu yang menjadi daya tarik utama Pulau Serangan karena reklamasi besar-besaran oleh PT. BTID serta perburuan liar juga menjadi penyebab dibangunnya Balai Konservasi Penyu yang difungsikan selain sebagai tempat penangkaran dan pengembangbiakan penyu, juga berfungsi sebagai tempat wisata pendidikan dan untuk kegiatan outbond karena terdapat Bumi Perkemahan pada tempat ini.
Gambar 5.36 Lahan Areal Melasti yang Terkena Abrasi (Prareklamasi) (Sumber: PT. BTID, 2013)
Pada Kasus Keempat, perluasan lahan Jaba Tengah dan Jaba Sisi Pura Dalem Sakenan dan Pura Pesamuan Agung disebabkan daya tampung Jaba
123
Tengah Pura yang terbatas. Selain itu, faktor abrasi juga menjadi penyebab diperluasnya lahan Jaba Tengah dengan dibangunnya senderan permanen sehingga tidak terjadi abrasi lagi di Pura Sakenan. Selain itu, adanya jembatan penyeberangan Pulau Bali menuju Pulau juga menjadi penyebab reklamasi lahan dan perubahan pintu masuk Pura Dalem Sakenan yang semula masuk dari arah Barat dan Utara, pada masa reklamasi berubah menjadi dari arah Selatan. Jaba Tengah Pura Dalem Sakenan dan Pura Pesamuan Agung prareklamasi memiliki kapasitas daya tampung pemedek Pura yang kecil. Terlebih lagi saat piodalan Pura Dalem Sakenan yang mana pemedek Pura dari seluruh penjuru wilayah Bali tangkil ke Pura ini. Dengan adanya perluasan areal Jaba Tengah, kapasitas daya tampung pemedek Pura tercukupi.
Lahan Jaba Tengah hasil reklamasi laut sekitar 54 are.
Gambar 5.37 Perluasan Jaba Tengah Pura Dalem Sakenan Pascareklamasi (Sumber: Dokumentasi Penulis Berdasarkan Wawancara, 2013)
Pada Kasus Kelima, perluasan lahan Pura Puseh/Dalem Cemara, Pura Segara, dan Pura Dalem Khayangan pada dasarnya dikarenakan permintaan warga untuk menyatukan wilayah Banjar Ponjok (terdapat Pura Dalem Cemara/Pura
124
Segara, dan Pura Dalem Khayangan) dengan wilayah Banjar Kaje, Tengah, Peken, dan Kawan. adanya reklamasi ini membuat areal Jaba Tengah Pura Dalem Cemara, Pura Segara, dan Pura Dalem Khayangan menjadi meluas bahkan terdapat lahan kosong yang diserahkan kepada Desa Pakraman Serangan sebagai Laba tepatnya di depan PuraDalem Cemara dan Segara. Laba Pura inilah yang dipergunakan warga setempat sebagai parkir kendaraan (pascareklamasi) yang mana lahan sebelumnya berupa laut sehingga pemedek Pura harus basah-basahan menuju Pura tersebut. Selanjutnya, sama halnya dengan kasus kelima, pada Kasus Keenam yaitu perluasan lahan Kuburan juga disebabkan karena reklamasi oleh PT. BTID untuk menyatukan dua wilayah yang dibatasi oleh laut yaitu wilayah Banjar Kawan, Kaje, Tengah, dan Peken, dengan wilayah Banjar Ponjok yang terdapat Kuburan. Reklamasi ini dilakukan atas permintaan warga kepada PT. BTID yang ingin menyatukan wilayah mereka yang sebelumnya berupa gugusan pulau yang dipisahkan oleh laut. Reklamasi inilah yang berimbas kepada reklamasi di lahan Kuburan yang mana pada pra reklamasi seluas 1,7 hektar menjadi 2,5 hektar pada pascareklamasi.
Ritual
prosesi
membawa
mayat
ke
Kuburan
dengan
menyeberangi laut pun sirna dengan adanya reklamasi ini. Kondisi Kuburan pascareklamasi sudah terdapat akses pintu masuk selebar 5 meter didepan Kuburan, yang memberi kemudahan tersendiri bagi warga setempat dalam mengakses Kuburan saat ada ritual kematian warga di Pulau Serangan pada pasca reklamasi. Selain itu, keadaan lahan Kuburan juga lebih tertata pada pascareklamasi seperti terdapatnya tembok penyengker mengelilingi Kuburan.
125
Prareklamasi/ Sebelum 1995
Pascareklamasi/ Setelah 1998
- Tembok Penyengker yang mengelilingi Kuburan Pascareklamasi. - Akses didepan kuburan berupa daratan hasil reklamasi.
Gambar 5.38 Perubahan Bentuk & Luas Lahan Kuburan Pra & Pascareklamasi (Sumber: Observasi dan Wawancara, Wayan Mudita, 2013)
B. Wilayah PT. BTID Sama halnya dengan perubahan pemanfaatan lahan yang terjadi di wilayah Permukiman penduduk, di wilayah PT. BTID juga dipengaruhi dengan adanya reklamasi oleh PT. BTID. Di wilayah ini, reklamasi dilakukan dengan memperluas ke arah Timur, Selatan dan Barat termasuk menggabungkan gugusan Pulau yang terpecah-pecahkan oleh laut menjadi satu kesatuan daratan. Eksisting keadaan lahan yang dahulunya juga dimiliki oleh masyarakat setempat ini mayoritas berupa tegalan dan hanya terdapat sedikit Permukiman penduduk Banjar Kubu. Keadaan lahan di wilayah ini rentan terkena abrasi air laut sehingga dari tahun ke tahun luas wilayahnya semakin berkurang. Pada Kasus Pertama yaitu perubahan lahan Banjar Kubu dan permukiman warganya menjadi lahan kosong kepemilikan PT. BTID. Secara fisik, letak lahan
126
Banjar Kubu berada paling Selatan dan paling jauh dibandingkan Banjar-Banjar lain yang letaknya mengelompok di bagian Utara Pulau Serangan. Jumlah warga Banjar Kubu yang hanya 23 KK dengan jumlah rumah warga yang sedikit dan letaknya berjauhan juga menyebabkan kesan Banjar Kubu yang terisolir dan berbeda halnya dengan Banjar-Banjar lainnya yang berada pada kompleks permukiman yang padat sehingga susah terusik dengan keberadaan lahannya. Dengan titik permukiman yang sedikit di Banjar Kubu, menyebabkan lahan Banjar juga sepi dan rentan terjadinya perubahan pemanfaatan lahan. Lahan Banjar Kubu terletak di wilayah mayoritas tegalan dengan tingkat abrasi air laut yang tinggi.
Gambar 5.39 Lahan Sekitar Banjar Kubu Rentan Terkena Abrasi (Prareklamasi) (Sumber: PT. BTID, 2013)
Terlebih lagi dengan kedatangan investor PT. BTID ke Pulau Serangan, menyebabkan dalam perencanaannya lebih mengorbankan Banjar Kubu yang memiliki warga paling sedikit dengan letaknya yang jauh dari kompleks padat permukiman. Hal ini memaksa warga Banjar Kubu berpindah tempat dan bergabung dengan warga Banjar Dukuh. Letak lahan Banjar dan rumah warganya
127
yang terpencil menyebabkan wilayah ini masuk dalam wilayah perencanaan PT. BTID seperti diungkapkan Kepala Perencanaan Master Plan Pengembangan Pulau Serangan, Pak Gusti Saputra. “...kita lebih baik mengorbankan Banjar Kubu daripada BanjarBanjar lain yang letaknya berdekatan. Makanya lebih baik kita mengorbankan satu Banjar dibandingkan 6 Banjar kita korbankan, susahnya minta ampun. Toh wilayah untuk kita kembangkan dan reklamasinya paling banyak di bagian Timur dan Selatan. Makanya kita terpaksa mengambil lahan Banjar Kubu karena lahannya berada di wilayah perencanaan kita. Toh jumlah KK (Kepala Keluarga) Banjar Kubu sedikit cuma 25 KK dan lahannya sudah kita ganti rugi. Lahan Banjar Dukuh tempat warga Banjar Kubu bergabung juga sudah kita setujui perluasan lahannya..." (Gusti Ngurah Saputra, Juni 2013) Alasan dipilihnya Banjar Dukuh sebagai tempat bergabungnya warga Banjar Kubu pasca dijualnya lahan Banjar Kubu ke pihak PT. BTID adalah karena letak Banjar Dukuh yang berada paling dekat mendekati Banjar Kubu yaitu di sebelah Utara Banjar Kubu. Dengan bergabungnya warga Banjar Kubu dengan Banjar Dukuh, maka dilakukan perluasan lahan Banjar Dukuh ke arah depan (Utara) yang mana lahan tersebut hasil reklamasi PT. BTID yang sebelumnya berupa laut. Selain itu, juga terdapat beberapa lahan kosong hasil reklamasi yang disediakan PT. BTID kepada warga Banjar Kubu sebagai tempat tinggal (lahan Taman Kota yang pada awalnya disediakan PT. BTID untuk perluasan permukiman penduduk). Pada Kasus Kedua yaitu perubahan lahan laut menjadi Pura Beji Dalem Sakenan juga salah satunya dipengaruhi oleh faktor fisik lahan dengan adanya reklamasi. Pura ini didirikan tahun 2008 atas permintaan Puri Kesiman selaku
128
pengemong Pura Sakenan mengingat diperlukannya prosesi pebersihan Ida Bhatara berdasarkan pawisik dari beliau yang berstana di Pura Dalem Sakenan untuk mendirikan Pura di ujung Selatan Pulau Serangan. Sama halnya dengan kasus kedua, pada Kasus Ketigayaitu perubahan laut menjadi perluasan lahan Pura dan pendirian Pura-Pura baru pascareklamasi, juga dipengaruhi oleh reklamasi yang memungkinkan adanya perluasan lahan. Adanya perluasan lahan karena reklamasi oleh pihak PT. BTID serta perlunya untuk menambahkan fasilitas pewaregan/dapur, bale pesandekan serta fasilitas lainnya di Pura menyebabkan terjadinya perluasan lahan Jaba Tengah dan Jaba Sisi PuraPura seperti Pura Tanjung Sari, Pura Puncaking Tingkih, Pura Taman Sari dan Pura Tirta Arum. Disamping itu dengan adanya reklamasi lahan, maka memungkinkan pembangunan Pura-Pura yang didirikan berdasarkan pawisik tokoh adat setempat seperti reklamasi laut menjadi daratan yang dimanfaatkan sebagai Pura Batu Kerep dan Pura Batu Api.
5.2.2 Faktor Ekonomi Selain faktor fisik lahan, faktor ekonomi juga merupakan faktor utama yang mempengaruhi perubahan pemanfaatan lahan di Pulau Serangan. Perlu diketahui, adanya reklamasi menjadi titik totak terjadinya perubahan pemanfaatan lahan di Pulau Serangan. Sehingga faktor ekonomi yang mempengaruhi perubahan pemanfaatan lahan sama dengan faktor ekonomi yang mempengaruhi adanya reklamasi. Faktor ekonomi yang dimaksudkan disini adalah ekonomi sub sistem yang diibaratkan seperti lingkaran-lingkaran kecil yang saling berhubungan,
129
berinteraksi dan akhirnya membentuk suatu kesatuan sistem dalam lingkaran besar yang bergerak sesuai aturan yang ada (Astuti. M, 2009: 56). Fakor ekonomi yang mempengaruhi adanya perubahan lahan melalui reklamasi adalah kedatangan investor PT. BTID yang melakukan pengembangan wisata di Pulau Serangan dengan cara reklamasi pulau berdasarkan permasalahan ekonomi yang terjadi di Pulau Serangan diantaranya (Kodam IX Udayana, 1995: 10): 1. Masalah Income Penduduk Mata pencaharian penduduk Pulau Serangan pada umumnya adalah nelayan. Dengan mata pencaharian ini diperkirakan bahwa penduduk Pulau Serangan ratarata berpenghasilan rendah. Maka, di dalam usaha pengembangan Pulau Serangan sebagai daerah rekreasi hendaknya mengikut sertakan penduduk mulai dari tahapan, perencanaan, pelaksanaan, dan operasionalnya. Dengan keikutsertaan penduduk dalam proses ini, selain menumbuhkan sense of belonging juga diharapkan dapat meningkatkan taraf hidup ke arah yang lebih baik. 2. Masalah Pelestarian Penyu Penyu sebagai trade mark Pulau Serangan, belum dikelola secara profesional baik untuk kepentingan atraksi wisata, maupun untuk pelestarian dan kebutuhan konsumsi. Sehingga penduduk yang mengelolanya belum mendapatkan nilai tambah yang berarti dengan ternak penyu ini. Selain itu kendala dari habitat alam lingkungan Pulau Serangan tidak mendukung dan semakin tercemarnya laut oleh minyak dan sampah dari Benoa dan Suwung.
130
3. Masalah Kurangnya Sarana Prasarana di Pulau Serangan Dari tahun ke tahun, jumlah pengunjung yang melakukan persembahyangan di Pura Sakenan pada Hari Raya Kuningan semakin meningkat. Peningkatan jumlah penduduk ini tidak disertai dengan peningkatan sarana dan prasarana yang memadai, seperti: pelabuhan dan pemberangkatan. Ruang terbuka di sekitar pulau yang bercampur aduk dengan warung makan/minum, masalah kebersihan dan kurangnya fasilitas toilet, dan lain-lain. 4. Masalah Kondisi Pura Sakenan yang perlu diperluas dan diperbaiki karena memiliki arti khusus bagi masyarakat Bali. 5. Permasalahan rendahnya kesejahteraan masyarakat Pulau Serangan dilakukan dengan peningkatan ekonomi masyarakat melalui lapangan pekerjaan baru. Misalnya: pengelolaan pasar ikan, home stay, art shop, transportasi eksternal/internal. Menjadikan proyek pengelolaan Pulau Serangan yang terencana
yang
mengikutsertakan masyarakat secara langsung dalam
perencanaan, pembangunan, dan pengelolaan kawasan wisata.
Sedangkan apabila dilihat secara mikro (secara terperinci), perubahan lahan laut menjadi Taman Kota Pulau Serangan juga pada dasarnya dipengaruhi oleh faktor ekonomi. Awalnya reklamasi ini dipergunakan untuk mempersatukan pulau yang dihuni warga Banjar Dukuh dengan pulau yang dihuni warga Banjar Kawan, Kaje, Tengah, dan Banjar Peken. Lahan baru hasil reklamasi kepemilikan PT. BTID ini rencananya dipergunakan untuk perluasan wilayah permukiman penduduk. Namun permintaan dari pemerintah dalam hal ini Desa Dinas untuk
131
menjadikan lahan tersebut Taman Kota Pulau Serangan, menjadikan perubahan “skenario” pemanfaatan lahan. Selain itu, pembangunan dan pengelolaan Taman Kota Pulau Serangan sepenuhnya dikelola oleh Desa Dinas. Taman Kota selain difungsikan sebagai ruang terbuka, juga dipergunakan untuk arena jogging track, sepak bola, maupun parkir pemedek Pura Dalem Sakenan dan Pura Susunan Wadon. Saat piodalan inilah menjadi kesempatan bagi Desa Dinas untuk mendapatkan income dari hasil parkir kendaraan di Taman Kota Pulau Serangan. Faktor ekonomi juga menjadi pengaruh perpindahan lahan yang dengan fungsi Pasar Desa, LPD dan KUD. Hal ini dikarenakan, Pasar Desa, LPD, dan KUD yang menjadi penggerak sektor perekonomian tradisional di Pulau Serangan kurang bisa berkembang dengan kondisi lahan dan fasilitas lahan yang minim dan terbatas. Pada prareklamasi, jantung perekonomian Masyarakat Pulau Serangan berada di depan Pura Desa yang mana terdapat lahan Pelaba Pura yang dimanfaatkan sebagai Pasar Desa, LPD, dan KUD. Sektor perekonomian ini kurang berkembang pada prareklamasi karena luas lahan yang ada relatif sempit yaitu sekitar 1,9 are serta akses jalan yang sempit yaitu 2 meter. Ditambah lagi tidak adanya bangunan-bangunan permanen tempat pedagang berjualan di Pasar Desa karena hanya mendirikan lapak-lapak kecil. Hal ini dikarenakan lahan ini difungsikan
pula
sebagai
parkir
pemedek
Pura
Desa
sehingga
tidak
memungkinkan membangun tenda/bangunan permanen di atas lahan sempit dengan multi fungsi ini. Adanya investor PT. BTID yang hendak melakukan reklamasi ini dimanfaatkan oleh masyarakat lokal Pulau Serangan untuk memindahkan Pasar
132
Desa, LPD dan KUD di tempat yang lebih layak sehingga sektor perekonomian ini dapat berkembang dengan adanya lahan yang strategis dengan fasilitas berdagang yang layak karena dibuat dengan struktur bangunan permanen. Secara ekonomi, keberadaan Pasar Desa, LPD dan KUD baru yang berada di jantung wilayah permukiman Pulau Serangan memberikan keuntungan karena lahan bekas laut yang direklamasi oleh PT. BTID ini diberikan secara cuma-cuma oleh PT. BTID kepada Desa Pakraman Serangan, dengan kompensasi masyarakat Pulau Serangan berkewajiban mendukung kelancaran proyek reklamasi yang dilakukan oleh PT. BTID. Faktor ekonomi juga mempengaruhi perluasan lahan areal melasti prareklamasi menjadi Balai Konservasi Penyu, Bumi Perkemahan, dan Fasilitas Watersport pascareklamasi. PT. BTID mereklamasi laut di pantai Timur Laut untuk memperluas areal melasti yang sebelumnya seluas 66 are menjadi seluas 3,15 hektar pada pascareklamasi. Pada perkembangannya, karena letak lahan yang sangat strategis di pantai Timur Laut Pulau Serangan serta memiliki nilai ekonomi yang tinggi dan luasnya lahan yang diberikan PT. BTID, maka lahan ini disewakan kepada pemilik modal untuk mendirikan fasilitas wisata watersport seperti Villa, Tempat Penyewaan Yatch, Balai Penelitian Terumbu Karang dan Rumput Laut, Restaurant, Marine Service, dan lain-lain yang mendatangkan pendapatan bagi Desa Pakraman Serangan. Selain itu, keberadaan Balai Konservasi Penyu sebagai tempat wisata pertama di Pulau Serangan juga menjadi pertimbangan disewakannya lahan sebagai areal melasti ini untuk fasilitas Watersport, sehingga zona obyek wisata di Pulau Serangan pascareklamasi
133
dipusatkan di Pantai Timur Laut Pulau Serangan. Potensi banyaknya wisatawan lokal dan mancanegara yang datang pada masa pra dan pascareklamasi menjadi faktor ekonomi yang mendatangkan income bagi Desa Pakraman setempat dengan munculnya obyek wisata baru di Pulau Serangan pada pascareklamasi.
5.2.3 Faktor Kelembagaan Perubahan pemanfaatan lahan yang terjadi di Pulau Serangan dari pra dan pascareklamasi juga dipengaruhi oleh faktor kelembagaan. Terjadinya reklamasi di Pulau Serangan menjadi pertanda perubahan fisik lahan dan perubahan non fisik kemasyarakatan. Perubahan fisik lahan secara makro yang ditandai dengan reklamasi laut menjadi daratan sehingga bentuk Pulau Serangan yang terdiri dari gugusan pulau berubah menjadi satu pulau melalui adanya reklamasi. Faktor kelembagaan
yang
mempengaruhi
adanya
reklamasi
inilah
yang
juga
mempengaruhi perubahan pemanfaatan lahan di Pulau Serangan. Di bawah ini akan disajikan mekanisme kelembagaan yang mempengaruhi perubahan pemanfaatan lahan secara makro di Pulau Serangan.
134
INVESTOR
PEMERINTAH
PT. BTID : - Group Bimantara (Bambang Trihatmojo dan Tommy Soeharto) - Kodam IX Udayana
Penyatuan Wilayah (Gugusan Pulau Menjadi Satu)
REKLAMASI PULAU SERANGAN
- SK Gubernur Bali 24 Desember 1992 - Izin Kerja Keruk & Reklamasi oleh Departemen Perhubungan Juli 1996
Perluasan Lahan (111 hektar menjadi 481 hektar)
Pembagian Zona Wilayah Kepemilikan (Permukiman Penduduk dan PT. BTID)
REKLAMASI TERHENTI (TAHUN 1998)
Intervensi dari Masyarakat Pulau Serangan
Momerandum Of Understanding (MoU) 14 Oktober 1998
Pembuatan Kanal Wisata
Pendirian Pasar Ikan, LPD, dan KUD
Masyarakat Serangan Harus Mendudukung dan Menjaga Proyek PT. BTID
Pendirian Cultural Centre Budaya
Masyarakat Serangan boleh memakai lahan PT. BTID selama proyek belum dilanjutkan
Pendirian Turtle Exibition
Peningkatan Kesejahteraan dan SDM
Perluasan Lahan Permukiman
Memberikan Akses dan Perluasan Pura-Pura
Diagram 5.1Mekanisme Kelembagaan Perubahan Lahan Secara Makro di Pulau Serangan (Sumber : Rangkuman Wawancara Tokoh Masyarakat dan PT. BTID, 2013)
Berdasarkan diagram diatas, diketahui mekanisme secara kelembagaan yang mempengaruhi perubahan pemanfaatan lahan secara makro di Pulau Serangan adalah kedatangan Investor PT. BTID ke Pulau Serangan yang melakukan reklamasi dengan izin dari Gubernur dan Departemen Perhubungan. Reklamasi ini dilakukan denga tujuan “menyelamatkan kondisi fisik Pulau Serangan dari
135
kerusakan yang lebih parah, peningkatan sosial ekonomi penduduk, pelestarian peninggalan budaya, dan peningkatan apresiasi budaya. Reklamasi inilah yang mengakibatkan perubahan fisik lahan di Pulau Serangan diantaranya penyatuan gugusan pulau, perluasan lahan menjadi empat kali lipat dari luas asli Pulau Serangan, dan pembagian zona wilayah kepemilikan. Reklamasi terhenti tahun 1998 sedangkan proyek pembangunan belum dilakukan memberikan efek intervensi dari masyarakat lokal Pulau Serangan akibat kerusakan tatanan sosial, budaya,ekonomi, serta kerusakan lingkungan. Akhirnya, tanggal 14 Oktober 1998 terjadi kesepakatan antara pihak PT. BTID dengan masyarakat lokal Pulau Serangan yang tertuang dalam Momerandum of Understanding (MoU). Dalam MoU tersebut terdiri dari 9 pasal, yaitu : 1. Memberikan lahan hasil reklamasi dan membantu pendirian Pasar Ikan, LPD, dan KUD sebagai sektor penggerak perekonomian tradisional di Pulau Serangan. 2. Mendirikan Cultural Centre Budaya untuk mendukung keberadaan Pura Sakenan. 3. Memberikan lahan hasil reklamasi dan mendirikan Turtle Conservation dan Edukation Center (TCEC) sebagai tempat konservasi dan edukasi tentang penyu. 4. Memberikan sejumlah lahan hasil reklamasi kepada masyarakat Pulau untuk perluasan lahan permukiman.
136
5. Mendirikan kanal wisata sebagai pemisah wilayah Permukiman Penduduk dengan wilayah PT. BTID. Kanal wisata dipergunakan untuk aktivitas wisata seperti lomba jukung, memancing, dan lain-lain. 6. Memberikan keleluasaan mendirikan bangunan komersial yang sifatnya semi permanen di wilayah kepemilikan PT. BTID dengan syarat apabila proyek pembangunan oleh PT. BTID dilangsungkan, bangunan-bangunan semi permanen yang didirikan oleh masyarakat lokal tersebut bisa dihancurkan oleh pihak PT. BTID. 7. Memberikan akses dan perluasan Pura-Pura baik yang berada di wilayah Permukiman Penduduk maupun di wilayah PT. BTID selama merupakan lahan hasil reklamasi. 8. Peningkatan sumber daya manusia seperti memberikan kesempatan utama bagi masyarakat Pulau Serangan untuk memperoleh lapangan pekerjaan di proyek PT. BTID maupun saat fasilitas megawisata selesai didirikan. 9. Masyarakat Pulau Serangan harus mendukung kelancaran proyek PT. BTID, dan juga menjaga dan mengamankan proyek.
Secara mikro, perubahan pemanfaatan lahan yang terdapat di wilayah Permukiman Penduduk merupakan penjabaran dari kesepakatan yang tertuang dalam MoU diantaranya perubahan laut menjadi fasilitas Pasar, LPD, KUD, perluasan Pura Sakenan, Pura Puseh/Dalem Cemara, Pura Segara, dan Pura Dalem Khayangan, serta Kuburan. Sedikit berbeda dengan hal diatas, pada kasus perubahan laut menjadi Taman Kota Pulau Serangan dan Fasilitas Watersport,
137
pada dasarnya awalnya reklamasi laut oleh PT. BTID dipergunakan untuk perluasan wilayah permukiman dan perluasan areal melasti. Namun kenyataannya dipergunakan sebagai Taman Kota karena merupakan permintaan dari Pemerintah melalui Desa Dinas untuk memanfaatkan lahan bekas laut tersebut sebagai Taman Kota Pulau Serangan. Disamping itu lahan di bagian Timur Laut yang direklamasi PT. BTID untuk perluasan areal melasti, pada kenyataannya selain dipergunakan sebagai perluasan areal melasti, sebagian besar dipergunakan untuk Fasilitas Watersport yang memberikan keuntungan ekonomi bagi masyarakat lokal dan Desa Pakraman Serangan. Sedangkan, pada wilayah kepemilikan PT. BTID, perubahan lahan Banjar Kubu dan permukiman warga Banjar Kubu menjadi lahan kepemilikan PT. BTID dilakukan atas dasar kesepakatan masyarakat dengan PT. BTID. Pada saat akan dilakukannya reklamasi, lahan Banjar Kubu dan warganya masuk dalam perencanaan fasilitas pariwisata PT. BTID. Oleh karena itu, PT. BTID berniat membeli lahan Banjar Kubu dan lahan permukiman warga. Akhirnya pada akhir tahun 1995 terjadi kesepakatan melalui perjanjian antara warga Banjar Kubu yang diwakili oleh Kelihan Banjar Kubu dengan PT. BTID mengenai tukar guling lahan Banjar Kubu dan permukiman warga Banjar Kubu serta perjanjian antara Kelihan Banjar Dukuh dengan PT. BTID mengenai perluasan lahan Banjar Dukuh yang semula seluas 2,5 are menjadi seluas 3,5 are. Terdapatnya Pura-Pura baru pascareklamasi seperti Pura Batu Api dan Pura Batu Kerep serta perluasan PuraPura seperti Pura Tanjung Sari, Pura Puncaking Tingkih, Pura Taman Sari dan Pura Tirta Arum juga didasarkan kesepakatan yang tertuang dalam MoU yang
138
menyebutkan memberikan akses dan perluasan Pura-Pura baik di wilayah Permukiman Penduduk maupun di wilayah PT. BTID.
5.2.4 Faktor-Faktor Lainnya Faktor-faktor lain seperti faktor sosial, budaya, kebiasaan, dan kepercayaan, juga turut mempengaruhi perubahan pemanfaatan lahan pascareklamasi di Pulau Serangan. Seperti diketahui, Pulau Serangan terus mengalami pengikisan lahan/abrasi dari tahun ke tahun. Hal ini terlihat dari peta Pulau Serangan tahun 1948 yang mana Pulau Serangan terdiri dari dua gugusan pulau besar dan beberapa gugusan pulau kecil. Namun pascareklamasi telah berubah menjadi 5 gugusan pulau besar dan beberapa gugusan pulau kecil. Hal ini menyebabkan timbulnya budaya/kebiasaan masyarakat untuk menimbun/mereklamasi lahan pesisir mereka dengan cara konvensional untuk meminimalisir tingkat abrasi air laut yang cukup tinggi. Masyarakat setempat mengambil pasir di bagian lahan yang memiliki topografi yang tinggi dan menimbun sedikit demi sedikit lahan permukiman mereka yang berbatasan langsung dengan laut.
139
+ 7 Gugusan Pulau Kecil 7 Gugusan Pulau Kecil 2 Gugusan Pulau Besar
5 Gugusan Pulau Besar
Gambar 5.40 Pulau Serangan Tahun 1948 (Kiri); Tahun 1995 (Kanan) (Sumber: PT. BTID, 2013)
Dengan kedatangan investor PT. BTID yang berencana mereklamasi besarbesaran inilah yang mempengaruhi masyarakat setempat untuk menyetujui perencanaan investor tersebut karena mereka tidak perlu bersusah payah lagi menimbun wilayah mereka dengan cara konvensional yang membutuhkan tenaga ekstra namun menghasilkan kuantitas yang sedikit. Budaya atau kebiasaan masyarakat setempat yang melakukan penimbunan/reklamasi pun hilang digantikan dengan reklamasi PT. BTID menggunakan alat-alat berat yang jauh lebih efektif dalam menghasilkan kuantitas reklamasi di Pulau Serangan.
140
Gambar 5.41 Proses Reklamasi Pulau Serangan Tahun 1995-1998 (Sumber: PT. BTID, 2013)
Secara lebih spesifik, perubahan lahan Banjar Kubu dan permukiman warga menjadi lahan milik PT. BTID juga disebabkan faktor kedekatan secara sosial yaitu masyarakat Banjar Kubu ingin hidup berkelompok dengan warga Banjar lainnya di permukiman padat penduduk di bagian Utara Pulau Serangan. Pada prareklamasi, warga Banjar Kubu berada jauh dengan wilayah padat penduduk sehingga kurang memiliki kedekatan secara sosial. Dengan bergabungnya warga Banjar Kubu dengan warga Banjar dukuh, secara psikis, warga Banjar Kubu merasa aman dan tidak was-was lagi karena sudah berada di wilayah permukiman padat penduduk yang secara hierarki memiliki kedekatan dalam interaksi antar penduduk di dalam wilayah permukiman, disamping memang tidak terdapat pihan/opsi lain bagi warga Banjar Kubu untuk tetap bertahan di lahan eksisting mereka dengan kedatangan investor PT. BTID dan absolutnya/tidak terbatasnya tingkat kekuasaan pemerintah pada masa itu yang tidak segan-segan memberikan kekerasan fisik kepada masyarakat yang berani melawan kebijakan pemerintah. Perluasan lahan Kuburan juga dipengaruhi oleh faktor sosial budaya masyarakat yang sebagian besar menginginkan wilayah permukiman dengan
141
Kuburan dijadikan satu. Seperti telah diketahui, masyarakat Pulau Serangan prareklamasi
sudah
membudaya
membawa
mayat
ke kuburan dengan
menyeberangi lautan dangkal yang terkadang mencapai ketinggian orang dewasa saat air laut pasang. Kondisi ini mengakibatnya masyarakat enggan dan malas ikut menyeberangi laut sehingga hanya sedikit orang yang ikut menyeberang laut untuk membawa mayat. Kesepakatan antara pihak Desa Pakraman Serangan dengan PT. BTID ini untuk memperluas lahan Kuburan termasuk menyatukan wilayah daratan di depan Kuburan untuk menyikapi fenomena tersebut. Akibatnya pasca reklamasi, setiap ada ritual kematian, hampir seluruh kepala keluarga yang ada di Pulau Serangan, ikut serta membawa dan mengiringi mayat ke Kuburan karena kemudahan akses daratan hasil reklamasi dengan kondisi jalan yang sangat memadai. Namun, tidak sedikit pula warga masyarakat yang merasa kehilangan dan merindukan tradisi mereka pada masa prareklamasi tersebut. Sebagian orang beranggapan kemungkinan tradisi membawa mayat ke Kuburan dengan menyeberangi laut ini hanya terdapat di Pulau Serangan saja akibat wilayah permukiman dan kuburan mereka berada di wilayah daratan yang berbeda karena dipisahkan oleh laut. Selanjutnya, pada kasus perubahan laut menjadi Pasar Desa, LPD, dan KUD yang baru disebabkansecara sosial masyarakat Pulau Serangan prareklamasi merasa kurang nyaman dalam bertransaksi jual beli di lahan yang sempit ini, karena berjubelnya pedagang dan pembeli di atas lahan yang sempit dengan lebar jalan padat permukiman yang hanya selebar 2 meter. Hal ini menyebabkan kurang kondusifnya situasi di tempat ini dengan crowdednya pengguna jalan dengan
142
pedagang dan pembeli yang melakukan transaksi di pasar pinggir jalan ini. Terlebih lagi saat piodalan Pura Desa, menjadikan tingkat kesemrawutan semakin tinggi karena benturan aktivitas pedagang dan pembeli di Pasar Desa dengan pemedek Pura Desa yang memarkirkan kendaraan untuk tangkil ke Pura Desa. Hal ini berlaku pula pada LPD dan KUD yang berada pada satu lahan di atas lahan sempit yang menyebabkan warga enggan/malas datang ke LPD dan KUD karena berjubel dan semrawutnya sirkulasi di areal ini. Perubahan laut menjadi Balai Konservasi Penyu juga dikarenakan pada prareklamasi budaya masyarakat untuk berburu daging penyu yang parah sehingga mengancam kelestarian populasi penyu. Mereka yang berburu penyu tersebut mayoritas merupakan warga masyarakat Pulau Serangan. Ironis melihat kenyataan Pulau yang dikenal sebagai "Pulau surganya penyu" menjadi daerah tempat pembantaian penyu di Bali. Oleh karena itu, PT. BTID memberikan lahan hasil reklamasi laut untuk didirikan Balai Konservasi Penyu yang dinamakan Turtle Conservation dan Edukation Center (TCEC). Fungsi dari tempat ini sebagai tempat penangkaran penyu utamanya jenis penyu langka yang terancam punah sekaligus pula sebagai media pembelajaran untuk masyarakat dari berbagai kalangan usia akan pentingnya pelestarian penyu hingga masih bisa kita jumpai di masa yang akan datang. Fungsi lain dari pendirian TCEC ini adalah untuk merubah stigma di masyarakat luas tentang Pulau Serangan yang dipakai sebagai tempat pembantaian penyu, sebaliknya Pulau Serangan justru dipergunakan sebagai tempat pelestarian penyu dan obyek wisata penyu bagi masyarakat dan wisatawan.
143
Pada kasus perubahan laut menjadi Pura yang diemong Puri Kesiman yaitu Pura Beji Dalem Sakenan yang didirikan tahun 2008, dipengaruhi oleh faktor kepercayaan yaitu adanya pawisik untuk mendirikan tempat pemandian Ida Bhatara yang berstana di Pura Dalem Sakenan. Pawisik ini disampaikan langsung oleh Pemangku Pura Dalem Sakenan bernama I Gusti Ketut Lengur yang menceritakan mengenai mimpinya. “...saya bermimpi didatangi beliau yang berstana di Pura Dalem Sakenan agar dibuatkan tempat pemandian untuk beliau di ujung Selatan Pulau Serangan. Memang dari dulu kita tidak punya tempat pemandian khusus untuk beliau. Makanya Penglingsir Puri Kesiman A.A. Ngurah Gde Kusuma Wardana minta izin dengan pihak PT. BTID untuk membuat Pura Beji serta akses kesana..." (Gusti Ketut Lengur, Juni 2013) Perubahan laut menjadi Pura Batu Api yang diemong Desa Pakraman Serangan juga didasarkan atas pawisik/sunia dari Ida Bhatara melalui mimpi Bendesa Pakraman Serangan bernama Gede Mudana Wiguna untuk mendirikan Pura Batu Api. “...sebelumnya saya bermimpi sosok penyu tapi mengeluarkan api merah dari mulutnya dari ikan berkepala manusia perempuan yang datang dari arah Barat Daya Pulau Serangan. Beliau ingin saya membuatkan tempat yang layak untuk mereka. Setelah saya cek ternyata itu berada di lahan reklamasi di bagian Barat Daya yang pada pra reklamasi setahu saya dahulu lahan itu berupa lautan dangkal yang mengandung minyak tanah. Setelah itu saya minta kepada pihak PT. BTID untuk membuatkan Pura disana dan dikabulkan oleh BTID. Makanya Bentuk Pelinggihnya tidak biasa, bentuknya ada yang kura-kura tp keluar api dari mulutnya dan ikan duyung wanita..." (Gede Mudana Wiguna, Juni 2013) Sama halnya dengan Pura Batu Api, adanya Pura Batu Kerep yang ada pascareklamasi tepatnya tahun 2008 juga karena adanya pawisik dari Pemangku
144
Pura Pat Payung bernama Ketut Sudiarsa yang bermimpi bahwa Ida Bhatara yang berstana di Pura Dalem Peed Nuda Dua menyuruh membuatkan pelinggih penyawangan di ujung Utara Pulau Serangan yang segaris lurus dengan Pura Pat Payung sebagai tempat melancaran beliau menuju Pura Dalem Peed di Nusa Dua ataupun sebaliknya. Pura ini dinamakan Pura Batu Kerep.
5.3 Dampak Perubahan Pemanfaatan Lahan Terhadap Keberlanjutan Pulau Serangan sebagai Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Dalam membahas dampak perubahan pemanfaatan lahan pascareklamasi terhadap keberlanjutan Pulau Serangan sebagai wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil,
akan
diuraikan
berdasarkan
tiga
pilar
pembangunan
berkelanjutan/sustainable development yaitu keberlanjutan lingkungan/ekologi, keberlanjutan ekonomi, dan keberlanjutan sosial.
5.3.1 Keberlanjutan Lingkungan/Ekologi Dampak perubahan pemanfaatan lahan melalui reklamasi terhadap lingkungan dapat dilihat dari bertambahnya luas wilayah daratan Pulau Serangan. Luas wilayah pra reklamasi 111 hektar menjadi 481 hektar pasca reklamasi, artinya sekitar 370 hektar (empat kali lipat dari luas asli) dilakukan pengurugan laut menjadi daratan. Wilayah laut yang diurug adalah di sebelah timur, selatan, barat daya, dan sebagian di utara Pulau Serangan.
145
Lahan Asli Prareklamasi
Hasil Reklamasi Laut
Laut
Gambar 5.42 Perubahan Laut Menjadi Daratan Terjadi Tidak Secara Alami (Buatan) (Sumber: Dokumentasi Surya, 2013)
Perubahan pemanfaatan lahan melalui reklamasi Pulau Serangan tahun 1995 hingga terhenti tahun 1998, kurang mengindahkan UU Nomor 27 Tahun 2007, Pasal 1 Angka 23 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Reklamasi Pulau Serangan dipandang hanya memperhatikan keberlanjutan ekonomi saja, namun mengabaikan keberlanjutan lingkungan dan sosial. Selain itu, pada UU tersebut juga menyebutkan bahwa kawasan yang bisa direklamasi adalah kawasan berair yang rusak dan tak berguna. Pada kenyataannya, wilayah yang direklamasi adalah wilayah produktif kawasan rawa yang terdapat Taman Hutan Raya dengan berbagai ekosistem rawa di dalamnya dan wilayah laut yang terdapat terumbu karang dan padang rumput laut dengan keadaan yang relatif masih asli (wawancara, Wayan Patut, 2013).
146
Terlebih lagi hutan mangrove di Pulau Serangan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 554/Kpts-II/93 tanggal 2 September 1993, dinyatakantermasuk wilayah hutan yang ditetapkan sebagai Taman Hutan Raya Ngurah Rai yang merupakan kawasan pelestarian alam yang terutama dimanfaatkan untuk tujuan koleksi tumbuh-tumbuhan, dan satwa alami atau buatan baik jenis yang asli atau bukan yang asli yang diperuntukkan bagi kepentingan peneliti, ilmu pengetahuan, pendidikan, penunjang budidaya, budaya dan pariwisata dan rekreasi. Oleh karena itu, perubahan pemanfaatan lahan secara makro yang terjadi di Pulau Serangan kurang memperhatikan keberlanjutan lingkungan seperti kesinambungan ekosistem asli yang ada dan keanekaragaman hayati, sehingga berdampak pada masalah-masalah lingkungan sebagai berikut : a. Kerusakan Ekosistem Rawa dan Laut Hal ini disebabkan oleh penimbunan atau pengurugan lautan untuk menambah luas daratan seperti yang dikehendaki. Tentu saja hal ini menyebabkan kerusakan ekosistem laut. Habitat yang ditempati oleh makhluk laut pada perairan dangkal akan hancur karena pengurugan yang terjadi yang tentu saja akan berlanjut ke terganggunya ekosistem laut secara keseluruhan.
Gambar 3.43Kondisi awal Pulau Serangan (kiri) ; Proses reklamasi tahun 1996(kanan) (Sumber: www.reklamasipulauserangan.co.id, 2013)
147
Sebelum penimbunan atau pengurugan di sana sebenarnya adalah ekosistem rawa yang merupakan habitat dari biota laut. Dengan penimbunan tersebut tentu saja akan membinasakan seluruh ekosistem beserta biota laut di dalamnya. Selain itu ekosistem rawa juga sebenarnya digunakan sebagai penahan abrasi air laut. Pascareklamasi keadaan terumbu karang dan padang lamun hancur, habitat seperti ikan, udang, dan kuda laut menjadi terancam punah. Hal ini diperparah pula dengan munculnya budaya baru oleh masyarakat pascareklamasi yaitu melakukan penambangan/pengambilan terumbu karang karena desakan ekonomi dan hilangnya mata pencaharian masyarakat sebagai nelayan akibat jumlah hasil tangkapan yang sangat sedikit (wawancara, Wayan Patut, 2013).
Gambar 5.44 Kerusakan Ekosistem Laut dan Hilangnya Habitat Rawa yang digantikan Bebatuan dan Pasir (Sumber: Hasil Observasi, 2013)
Menurut BLH Kota Denpasar tahun 2009, tingkat kematian terumbu karang di Pulau Serangan tergolong tinggi dimana pada kedalaman 3 meter kematian karang berkisar 15,9 - 45,2 % dan pada kedalaman 10 meter berkisar 0,3 – 42,9%. Gambaran dari hasil monitoring terumbu karang di Pulau Serangan tahun 2009 menunjukkan masih ada pengambilan terumbu karang oleh masyarakat setempat untuk dijual maupun untuk pembuatan bahan bangunan.
148
Penambahan daratan baru di atas lahan laut juga berdampak pada mulai punahnya habitat penyu pasca reklamasi. Padahal Pulau Serangan prareklamasi dikenal dengan “Pulau Penyu” karena pada prareklamasi, diperkirakan sekitar 1015 ekor penyu bertelur setiap hari di Pulau Serangan karena arus pantai yang tidak terlalu besar, topografi pantai yang landai dan minim predator menyebabkan berbagai jenis penyu termasuk penyu hijau memilih Pulau Serangan sebagai habitat untuk bertelur. Pascareklamasi, penyu sepertinya mulai enggan bertelur di Pulau Serangan, selain karena mulai banyak orang yang berdatangan dan menjelajahi pelosok Pulau Serangan untuk memancing dan berburu penyu. Ditambah lagi dengan adanya jembatan penyeberangan Pulau Bali dan Pulau Serangan yang menyebabkan kebebasan masyarakat berbagai daerah di Bali untuk menjelajahi pelosok Pulau Serangan (wawancara Made Sugita, 2013).
b. Kerusakan Ekosistem Darat dan Rusaknya Struktur Tanah/Kekeringan Pulau Serangan prareklamasi dikenal dengan nama “Pulau emas dari Serangan” karena wilayah pesisir pantainya terdiri dari hamparan pasir kuning. Pascareklamasi Pulau Serangan, predikat tersebut sudah hilang karena yang ada hanya hamparan pasir putih yang menyilaukan mata dan membuat suhu udara menjadi semakin panas. Kerusakan ekosistem darat terjadi akibat alih fungsi ekosistem laut menjadi ekosistem darat yang dibuat secara buatan. Struktur tanah yang ada disana bukan merupakan struktur tanah yang seharusnya, yang mana struktur tanah aslinya berupa tanah rawa, pasca reklamasi menjadi tanah/batu kapur yang membuat keadaan Pulau Serangan kering dan tandus.
149
Gambar 5.45 Kerusakan Ekosistem Darat dan Struktur Tanah yang Kekeringan (Sumber: Hasil Observasi, 2013)
c. Terganggunya proses alam Terganggunya proses alam dikarenakan terjadinya perubahan ekosistem yang tidak semestinya. Ekosistem laut diubah oleh manusia menjadi ekosistem darat. Ketidaksesuaian ini tentu saja akan sangat mengganggu proses alam yang terjadi disana, seperti proses angin laut dan angin darat tentu saja akan dipengaruhi dan mengganggu arus laut. Tergangunya arus laut terjadi pula karena berubahnya bentuk daratan pesisir Pulau Serangan yang diakibatkan oleh penimbunan melalui reklamasi. Hal ini terjadi karena terbentuknya daratan dan lautan yang baru terjadi secara tidak alami/buatan manusia, yang tentu saja akan mempengaruhi arus laut baik secara langsung maupun tidak langsung. Perubahan laut menjadi daratan ini juga berdampak pada wilayah di sekitar Pulau Serangan yang mengalami abrasi seperti wilayah Pantai Sanur, Padang Galak, Pantai Lebih, Tanjung Benoa dan lain-lain. Berdasarkan ketiga hal diatas, perubahan pemanfaatan lahan pra dan pascareklamasi berdampak pada ketidakberlanjutan lingkungan di Pulau Serangan karena justru memberikan efek negatif kepada lingkungan diantaranya kerusakan ekosistem darat, rawa, laut, dan terganggunya proses alam. Namun, terdapat
150
usaha-usaha pelestarian dan penyelamatan kondisi lingkungan Pulau Serangan yang telah rusak yang dilakukan oleh tokoh-tokoh masyarakat setempat, pemerintah dan PT. BTID diantaranya : a. Kelompok Penyelamat Laut Melihat kerusakan lingkungan pascareklamasi ditambah lagi munculnya kebiasaan masyarakat melakukan penambangan/pengambilan terumbu karang, menyebabkan didirikannya kelompok penyelamat laut bernama Kelompok Nelayan Pesisir (KNP) Karya Segara. Usaha penyelamatan terumbu karang dilakukan dengan menyetek terumbu karang dengan karang buatan sebagai ganti batu karang alami.KNP Karya Segara didirikan 29 September 2003 dengan anggota berjumlah 48 orang. Tahun 2004 Kementrian Kelautan dan Perikanan yakni Pak Freddy Numberi memberikan bantuan bibit terumbu karang sebanyak 2.000 koloni, yang terdiri dari 3 jenis terumbu karang yaitu karang masif, sub masif dan acrophora.
Gambar 5.46 Media Tanam Terumbu Karang dan Transplantasi Terumbu Karang (Sumber: Dokumentasi I Wayan Patut, 2009)
Selain konservasi habitat laut terutama terumbu karang, KNP Karya Segara juga menjalin kerja sama dengan biro perjalanan wisata atau travel agent yaitu
151
Pro Bali Pandu Wisata yang menjual paket program ekowisata terumbu karang asuh (adopt coral reef) serta pelepasan kuda laut, serta atraksi bersama hiu termasuk tagging nama dan tahun penanamannya di setiap media tanam terumbu karang. Hal inilah yang sangat dinanti wisatawan karena di seluruh Bali hanya di Pulau Serangan terdapat atraksi pelepasan kuda laut.
Gambar 5.47 Atraksi Pelepasan Kuda Laut (Sumber: Dokumentasi I Wayan Patut, 2009)
b. Adanya Balai Konservasi Penyu Untuk menghindari punahnya habitat penyu dan sebagai kompensasi atas terhentinya reklamasi Pulau Serangan, maka PT. TID dan masyarakat lokal sepakat untuk mendirikan Balai Konservasi Penyu tahun 2000. Tempat penangkaran penyu pun sudah dibuat di banyak tempat mulai dari tempat penetasan, tempat tukik (bayi penyu), tempat penyu usia kecil dan tempat penyu usia dewasa. Tujuan dari pendirian ini adalah sebagai tempat konservasi penyu dan obyek wisata pendidikan bagi para wisatawan dan murid sekolah tentang pentingnya menjaga kelestarian penyu yang hampir punah.
152
Tempat Penetasan
Tempat Tukik (Bayi Penyu)
Tempat Penyu Dewasa
Tempat Penyu Usia Kecil
Gambar 5.48 Jenis-Jenis Tempat Penangkaran Penyu (Sumber: Hasil Observasi, 2013)
5.3.2 Keberlanjutan Ekonomi Dampak perubahan pemanfaatan lahan pascareklamasi di Pulau Serangan terhadap keberlanjutan ekonomi, menimbulkan dampak negatif dan dampak positif. Adapun dampak negatif dalam keberlanjutan ekonomi adalah: a. Kehilangan mata pencaharian bagi kelompok penambang Adanya perubahan lahan laut menjadi daratan yaitu pendirian jembatan penyeberangan Pulau Bali dan Pulau Serangan menyebabkan hilangnya mata pencaharian bagi kelompok nelayan yang mengantarkan orang-orang yang hendak ke Pulau Serangan dari Pulau Bali baik untuk berwisata maupun untuk tangkil ke Pura Sakenan dengan mengendarai jukung. Meskipun berdampak negatif bagi perekonomian kelompok penambang,
namun Desa Pakraman Serangan
153
memberikan mandat kepada kelompok penambang untuk menarik karcis masuk bagi orang-orang yang datang ke Pulau Serangan yang ditempatkan setelah jembatan penyeberangan. Adapun nantinya, hasil dari karcis masuk tersebut akan dibagi dua yaitu 50% untuk Desa Pakraman Serangan dan 50% untuk kelompok penambang. Dengan adanya kebijakan ini, sedikit meringankankan beban ekonomi keluarga para bekas penambang. Jembatan Penyeberangan Pulau Bali dan Pulau Serangan
Kompensasi Hilangnya Mata Pencaharian Kelompok Penambang dengan Menarik Retribusi Masuk Pulau Serangan
Gambar 5.49 Penarikan Retribusi Masuk Pulau Serangan Pascareklamasi (Sumber: Hasil Observasi, 2013)
Selain dampak negatif, terdapat pula dampak positif perubahan lahan pascareklamasi bagi keberlanjutan ekonomi masyarakat di Pulau Serangan yaitu : a. Didirikannya Warung Ikan Bakar di Sekitar Pura Sakenan Dampak positif reklamasi perluasan lahan Pura Sakenan di Jaba Sisi sebelah Selatan dan perubahan pintu masuk menuju Pura Sakenan adalah tersedianya lahan untuk didirikan deretan warung ikan bakar sebagai wisata kuliner bagi pemedek Pura Sakenan. Deretan Warung Ikan Bakar ini didirikan tahun 2009 oleh
154
Desa Pakraman Serangan diatas lahan milik PT. BTID dan disewakan khusus kepada masyarakat lokal yang berniat membuka warung kuliner ikan bakar dan dikenakan biaya sewa sebesar Rp.10.000/hari. Adanya Kuliner Warung Ikan Bakar ini sangat membantu keberlanjutan perekonomian masyarakat setempat karena berada pada lokasi strategis yaitu berada setelah akses masuk Pulau Serangan dan sebelum masuk ke Pura Dalem Sakenan. Awal Didirikannya Warung Ikan Bakar Tahun 2009
Tahun 2013 Bangunan Sudah Permanen
Gambar 5.50 Adanya Warung Ikan Bakar Pascareklamasi (Sumber: Hasil Observasi, 2013)
b. Kondisi Rumah Warga yang Lebih Baik Dibandingkan Prareklamasi Keberlanjutan ekonomi juga dirasakan masyarakat Pulau Serangan dengan adanya fenomena perubahan pemanfaatan lahan pascareklamasi. Hal ini dibuktikan dari keadaan rumah pascareklamasi dengan kategori menengah bahkan sebagian kecil bisa dikategorikan rumah mewah. Hal ini berbeda dengan kenyataan prareklamasi yang mana hanya sedikit rumah yang dikategorikan menengah karena kebanyakan rumah warga pra reklamasi kurang begitu layak
155
sebagai tempat tinggal. Hal ini membuktikan bahwa pendapatan warga setempat justru meningkat pascareklamasi baik karena kemudahan mencari dan membuka lapangan kerja baik di Pulau Serangan maupun diluar Pulau Serangan. Kemudahan mencari lapangan pekerjaan di luar Pulau Serangan dipermudah karena adanya jembatan penyeberangan Pulau Bali dan Pulau Serangan. PRAREKLAMASI
PASCAREKLAMASI
Gambar 5.51 Perbandingan Facade Rumah Pra dan Pascareklamasi (Sumber: PT. BTID, Hasil Observasi, 2013)
156
c. Munculnya Beragam Alternatif Mata Pencaharian (Tidak Hanya Sebagai Nelayan) Secara keberlanjutan ekonomi, dampak yang dirasakan masyarakat sangat besar dengan adanya perubahan pemanfaatan lahan pascareklamasi. Dampak yang paling besar adalah pada prareklamasi mata pencaharian terbatas karena hanya mengandalkan sektor perikanan dengan berprofesi sebagai nelayan pencari ikan. Pada pascareklamasi telah berubah yang mana sektor perekonomian sudah merambah pada berbagai jenis profesi termasuk dunia wisata. Hal ini terjadi dengan adanya lahan baru bekas laut yang dimanfaatkan sebagai fasilitas wisata watersport yang cukup banyak menyerap tenaga kerja (+ 250 orang / 20% penduduk Pulau Serangan) lokal Pulau Serangan sehingga dari laut tidak hanya mendatangkan uang dengan mencari ikan, namun dengan menjual keindahan laut pun bisa mendatangkan uang yang cukup menjanjikan.
Marine Service
Restaurant di pinggir pantai
Blue Express Water
Pelatihan diving
Gambar 3.52 Adanya Fasilitas Watersport Menyerap Banyak Tenaga Kerja Lokal (Sumber: Hasil Observasi, 2013)
157
Sama halnya dengan fasilitas watersport, di Balai Konservasi Penyu dan Bumi Perkemahan juga cukup banyak menyerap tenaga kerja lokal (+ 50 orang) Pulau Serangan. Hal ini dikarenakan Balai Konservasi Penyu dan Bumi Perkemahan dijadikan obyek wisata di Pulau Serangan baik bagi wisatawan lokal dan mancanegara dari berbagai kalangan usia. Bangunan ini didirikan sekitar tahun 2000-an yang mana lahannya merupakan hasil reklamasi PT. BTID dan diserahkan kepada Desa Pakraman Serangan sebagai janji dari pihak PT. BTID kepada masyarakat Pulau Serangan yang tertuang dalam MoU tanggal 14 Oktober 1998 yang salah satu butirnya berisikan "PT. BTID memberikan sejumlah lahan reklamasi untuk pembangunan Turtle Exibition". Dengan adanya obyek wisata baru ini, tentunya memberikan dampak positif bagi masyarakat Pulau Serangan karena mendatangkan lapangan pekerjaan baru bagi mereka. Pembangunan Balai Konservasi Penyu awalnya dibiayai oleh pihak PT. BTID dengan kondisi bangunan seadanya (bangunan semi permanen dengan dinding bambu, fasilitas penunjang sedikit), namun sekitar tahun 2005, Desa Pakraman Serangan melakukan pemugaran Balai Konservasi Penyu dan Bumi Perkemahan ini dengan menggunakan struktur bangunan permanen dan juga terdapat penambahan fasilitas penunjang seperti Wantilan Serba Guna, Warung dan Penjualan Cinderamata, 10 unit toilet untuk siswa-siswi yang berkemah disini, serta penambahan bangunan serbaguna sebagai penunjang obyek wisata ini. Tempat penangkaran penyu pun sudah dibuat di banyak tempat mulai dari tempat penetasan, tempat tukik (bayi penyu), tempat penyu usia kecil dan tempat penyu usia dewasa. Dana pembangunan ini didapatkan Desa Pakraman Serangan
158
dari dana hasil sewa lahan yang dimanfaatkan sebagai fasilitas watersport, sewa pedagang pasar dan sewa lahan untuk KUD. Disamping itu terdapat pula sumbangan-sumbangan dari perusahaan lokal dan asing yang melakukan pemanfaatan lahan di Pulau Serangan serta sumbangan dari orang-orang dan pemerhati lingkungan.
Keadaan tahun 2000 Awal Berdirinya Obyek Wisata Balai Konservasi Penyu
Keadaan pascapemugaran tahun 2005, terdapat banyak fasilitas tambahan
Gambar 5.53 Pemugaran Balai Konservasi Penyu oleh Desa Pakraman Serangan (Sumber: Hasil Observasi dan Wawancara I Wayan Geria, 2013)
d. Lahan-Lahan Baru Hasil Reklamasi yang Letaknya Strategis dan Memiliki Nilai Ekonomis Bagi Masyarakat dan Desa Pakraman Serangan Pascareklamasi, meskipun secara kewilayahan wilayah permukiman penduduk menyempit yang menyebabkan garis pantai yang bisa dinikmati penduduk setempat hanya 2,5 km (lebih sedikit dibandingkan prareklamasi 13,5 km), namun efektivitas garis pantai yang dinikmati lebih baik karena berada di
159
wilayah strategis yaitu berada di wilayah pantai sebelah timur laut Pulau Serangan, sehingga disana banyak didirikan fasilitas Watersport. Selain menguntungkan masyarakat lokal dari segi ekonomi karena terbukanya lapangan kerja baru dengan adanya obyek wisata Balai Konservasi Penyu dan Bumi Perkemahan serta berbagai fasilitas Watersport, pemanfaatan lahan hasil reklamasi ini juga mendatangkan benefit bagi Desa Pakraman Serangan sebagai pengelola lahan di Pulau Serangan. Lahan seluas + 2,35 hektar yang dipergunakan sebagai areal melasti ini disewakan kepada investor/pemilik modal baik lokal maupun mancanegara untuk mendirikan berbagai fasilitas watersport seperti: Tempat Penyewaan Yatch, Marine Service, Tempat Pelatihan Diving, Balai Penelitian Terumbu Karang dan Rumput Laut,Restaurant, Watersport. Sesuai Rapat Desa Tahunan (Sabha Desa) tahun 2009, dijelaskan bahwa nilai kontrak lahan Druwe Desa di pantai bagian Timur Laut Pulau Serangan mulai tahun 2011 ditingkatkan menjadi (Rekomendasi Sabha Desa I, 2009): Lokasi tanah di pinggir pantai ditetapkan Rp. 4.500.000 / are / tahun Lokasi tanah di sebelah Selatan dan Barat jalan aspal di Lingkungan Banjar Ponjok ditetapkan Rp. 4.000.000 / are / tahun.
160
Agak Masuk Ke Dalam (Rp. 4.000.000/are/tahun)
Pinggir pantai (Rp. 4.500.000/are/tahun)
Gambar 5.54 Pemungutan Biaya Sewa Lahan Watersport Berdasarkan Lokasinya (Sumber: Hasil Observasi, 2013)
Selain pendapatan dari lahan Druwe Desa, Desa Pakraman Serangan juga mendapatkan berbagai pendapatan yang dipungut oleh jajaran Desa Pakraman Serangan seperti Bankamdes, Pecalang, dan Kelompok Penambang (nelayan yang mengantarkan tamu dan pemedek Pura Sakenan menyeberang dari Pulau Bali menuju Pulau Serangan pada prareklamasi) dengan rincian sebagai berikut: Akses masuk ke Pulau Serangan, dikenakan retribusi Rp. 1.000 bagi pengendara motor dan Rp. 2.000 bagi pengendara mobil. Warga Tamiyu dikenakan retribusi sebesar Rp. 5.000 / kamar/ bulan. Perusahaan/Cafe, dikenakan retribusi sebesar Rp. 150.000 / bulan.
161
Keramba milik Krama Kelas A, dikenakan retribusi sebesar Rp. 50.000 / bulan. Keramba milik Krama Kelas B, dikenakan retribusi sebesar Rp. 30.000 / bulan. Warga Tamiyu yang menaruh/menitipkan perahu di wilayah Pulau Serangan, dikenakan retribusi sebesar Rp. 15.000 / hari. Untuk menghimpun seluruh pendapatan dari segi ekonomi yang didapatkan dari pemanfaatan lahan dan retribusi lainnya, maka tahun 2009 didirikan Badan Usaha Milik Desa Adat (BUMDA) Desa Pakraman Serangan berdasarkan Keputusan Desa Pakraman Serangan No. 13 / KPTS / VIII / 2009. Fungsi BUMDA Desa Pakraman Serangan adalah untuk memayungi / menghimpun unitunit Lembaga Keuangan Desa terkecuali LPD dan Pasar Desa. Seluruh pendapatan Desa yang telah dihimpun oleh BUMDA ini selanjutnya disimpan di LPD dan setiap tahun diadakannya Rapat Desa (Sabha Desa) untuk membahas Unsur Tri Hita Karana di Pulau Serangan termasuk menginformasikan kepada masyarakat Pulau Serangan mengenai transparansi keuangan Desa selama setahun.
Gambar 5.55 Fungsi BUMDA untuk Menghimpun Keuangan Desa (Sumber: Hasil Observasi dan Wawancara Wayan Dartha, 2013)
162
Seluruh pemanfaatan ini akan dipergunakan untuk aplikasi dan pembiayaan unsur Tri Hita Karana di Pulau Serangan seperti: unsur Parahyangan (pembiayaan piodalan, pemugaran Pura-Pura milik Desa Pakraman Serangan) ; unsur Pawongan (pembiayaan kegiatan sosial di Banjar-Banjar seperti kegiatan Pasraman, Sekaa Kidung, Sekaa Tabuh, pembiayaan kegiatan suka duka seperti kematian); serta unsur Palemahan (pengaspalan jalan masuk Pulau Bali menuju Pulau Serangan, pengaspalan jalan lingkar wilayah permukiman penduduk, dan kebersihan Pulau Serangan). Kondisi Jalan Tahun 2004 yang baru setengah diaspal. Badan Jalan dibuat PT. BTID, pengaspalan dibiayai Desa Pakraman Serangan
Kondisi Jalan Tahun 2013, seluruh jalan sudah diaspal oleh Desa Pakraman Serangan
Kondisi Jalan Tahun 2004
Adanya Depo Pengelolaan Sampah Restu Bumi yang dikelola dan dibiayai Desa Pakraman Serangan.
Kondisi Jalan Tahun 2013
Gambar 5.56 Pengaspalan dan Kebersihan oleh Desa Pakraman Serangan (Sumber: Hasil Observasi dan Wawancara, 2013)
Perubahan letak Pasar Desa, LPD dan KUD di lahan yang lebih luas dan berada di wilayah strategis di core/pusat wilayah permukiman dengan jalan yang lebar sekitar 5 meter membuat kenyamanan bagi penjual untuk berdagang dan pembeli untuk berbelanja kebutuhan pokok. Selain itu, dengan luas lahan Pasar yang jauh lebih besar pada pascareklamasi dibanding prareklamasi membuat banyaknya tersedia lahan untuk pedagang berjualan, yang artinya menambah
163
pendapatan dari Desa Pakraman Serangan melalui biaya sewa Rp. 2.000/hari serta menguntungkan pedagang karena tersedianya lahan yang lebih luas dan memperluas lapangan kerja sebagai pedagang dengan ketersediaan lahan yang sangat memadai. Pasar Desa, LPD, dan KUD yang lahannya diberikan oleh PT. BTID, didirikan sekitar awal tahun 2005 dengan dana urunan dari Desa Pakraman Serangan dengan PT. BTID dan Pemerintah (sesuai MoU bahwa PT. BTID memberikan lahan dan membantu pendirian Pasar Desa yang baru). Keadaan Pasar Desa sudah jauh lebih layak bagi pedagang dan pembeli karena sudah didirikan dengan bangunan permanen. Hal ini sangat berbeda dengan keadaan Pasar Desa pada prareklamasi yang sifatnya semi permanen, hanya terdiri dari lapak yang bisa dipindah-pindahkan karena berada pada lahan sempit di depan gang penduduk selebar 2 meter. Mayoritas pedagang yang berjualan adalah masyarakat asli Pulau Serangan dan sebagian kecilnya merupakan masyarakat luar Pulau Serangan.
Kondisi Pendirian Pasar Desa Tahun 2005 diatas lahan 8,7 are.
Kondisi Pasar Tahun 2013
Gambar 5.57 Pasar Desa baru Tahun 2005 (atas); Pasar Desa Tahun 2013 (bawah) (Sumber: Hasil Observasi, 2013)
164
5.3.3 Keberlanjutan Sosial Perubahan pemanfaatan lahan pascareklamasi berdampak negatif dan positif terhadap keberlanjutan sosial budaya di Pulau Serangan. Adapun dampak negatif tersebut antara lain : - Pelanggaran Hak Asasi Manusia Perubahan lahan yang pada prareklamasi milik warga Banjar Kubu diubah melalui pembebasan lahan menjadi milik PT. BTID. Proses pembebasan lahan Banjar Kubu dan permukiman warganya dilakukan dengan intimidasi dari pihak investor yaitu Kodam dan PT. BTID, sehingga warga terpaksa menjual lahannya dengan hanya dihargai 2,5 juta padahal harga pasaran saat itu 15-20 juta. Kira-kira terdapat 23 KK warga Banjar Kubu yang lahannya dibeli PT. BTID yang mana PT. BTID menjanjikan memberikan sejumlah lahan hasil reklamasi di sekitar Banjar Dukuh. Warga Banjar Kubu diminta oleh PT. BTID untuk bergabung dengan warga Banjar Dukuh. PT. BTID menjanjikan akan memberikan sertifikat lahan di tempat tinggal warga Banjar Kubu yang baru. Meskipun sudah diberikan lahan tempat tinggal oleh pihak PT. BTID yang merupakan lahan bekas laut yang telah direklamasi, namun lahan yang dipakai warga Banjar Kubu sebagai tempat tinggal tetaplah merupakan lahan kepemilikan PT. BTID karena hingga sekarang warga bekas Banjar Kubu belum diberikan sertifikat lahan oleh PT. BTID, sehingga sangat riskan sewaktu-waktu lahan tersebut digusur oleh pemilik lahan yaitu PT. BTID. Namun warga Banjar Kubu tetap berpegang teguh pada salah satu butir pasal yang terdapat di MoU antara pihak PT. BTID dengan masyarakat Desa Serangan yaitu memberikan beberapa
165
lahan untuk dijadikan lahan permukiman penduduk yang terdapat di sebelah kiri kanal. Pihak Desa Pakraman dalam Rapat Desa (Sabha Desa tanggal 29 Juli 2009) yang mana dalam bidang Palemahannya berisikan "Lahan reklamasi PT. BTID, yang ada di dalam kanal (sebelah kiri kanal) yang sudah dijadikan tempat tinggal warga Pulau Serangan maupun yang masih berupa lahan kosong, dimohonkan untuk menjadi tanah pekarangan desa/tanah ayahan desa. Hingga sekarang tindak nyata dari rencana tersebut masih dalam tahap negosiasi antara pihak PT. BTID dengan Desa Pakraman Serangan.
- Isolasi Masyarakat Dengan Adanya 2 Zona Kepemilikan Lahan yang Dibatasi Kanal Wisata Salah satu mekanisme perubahan pemanfaatan lahan secara makro adalah dengan pembagian wilayah kepemilikan lahan yaitu wilayah Permukiman Penduduk seluas 46,5 hektar dan wilayah PT. BTID seluas 435 hektar, yang mana kedua wilayah tersebut dipisahkan oleh kanal wisata. Pada wacananya, kanal ini akan dipergunakan untuk kegiatan wisata (jetski dan speed boat). Namun, kenyataannya hal ini tidak bisa dilakukan karena lebar kanal yang hanya selebar 10 meter. Terdapat maksud terselubung dari PT. BTID yang sepertinya menginginkan adanya pembatas antara wilayah mereka dengan wilayah Permukiman Penduduk. Wilayah Permukiman Penduduk yang pada prareklamasi seluas 111 hektar menjadi mengecil yaitu hanya 46,5 hektar pascareklamasi, sehingga dengan adanya pembatas berupa kanal ini, menyebabkan wilayah permukiman penduduk seolah-seolah terisolasi seperti “ikan dalam akuarium”.
166
Wilayah Perencanaan PT. BTID
Wilayah Permukiman Penduduk Air kanal
Gambar 5.58 Pembagian Wilayah di Pulau Serangan yang Dipisahkan oleh Kanal (Sumber: Rekonstruksi berdasarkan Observasi, 2013)
Sedangkan dampak positif perubahan pemanfaatan lahan pascareklamasi terhadap keberlanjutan sosial budaya di Pulau Serangan antara lain : - Kemudahan Akses ke Kuburan Namun Ritualisasi Membawa Mayat Menyeberangi Laut Hilang Pada kasus terjadinya reklamasi lahan kuburan dan reklamasi laut dangkal di depan Kuburan secara tidak langsung berdampak pada kehidupan sosial masyarakat Pulau Serangan, utamanya dalam ritual pengabenan. Pada masa prareklamasi, salah satu ritual pengabenan yaitu membawa mayat ke kuburan dibawa dengan cara menggotong mayat menyeberangi lautan dangkal untuk mencapai kuburan. Terkadang ketinggian air laut bisa mencapai setinggi orang dewasa saat air laut pasang. Keunikan tradisi sosial inilah yang punah dengan adanya reklamasi di depan dan di dalam lahan Pulau Serangan sehingga tidak terdapat lagi wilayah laut yang membatasi daratan kuburan dengan daratan permukiman penduduk. Dengan adanya reklamasi tersebut
memberikan
kemudahan akses ke kuburan karena tidak perlu basah-basahan menyeberangi laut. Namun, ada pula yang rindu akan tradisi ini karena mungkin hanya di Pulau Serangan saja yang terdapat keunikan budaya ini (wawancara, Wayan Mudita, 2013).
167
KUBURAN PRAREKLAMASI
U
KUBURAN PASCAREKLAMASI
U
Kuburan yang terbelah dua dan berbatasan dengan Laut, masyarakat harus menyeberangi laut saat ritual membawa mayat ke kuburan.
Areal di dalam dan di luar Kuburan sudah menjadi daratan hasil reklamasi. Tradisi sosial menyeberangi lautan pun hilang.
Gambar 5.59 Keadaan Kuburan Pra dan Pascareklamasi (Sumber: Dokumentasi PT. BTID, Wawancara, Wayan Mudita, 2013)
- Aktivitas Pasar, LPD, dan KUD yang Lebih Kondusif Perubahan pemanfaatan lahan Pasar Desa, LPD dan KUD menjadi lahan parkir bagi pemedek Pura, dikarenakan dengan adanya reklamasi di depan Pura Segara menjadikan terciptanya simpang yang menjadi core Desa Serangan yang baru, terlebih lagi dengan dibangunnya Pasar Desa, LPD, dan KUD di wilayah ini. Sehingga wilayah ini menjadi tempat bertemunya masyarakat Pulau Serangan dan berfungsi sebagai sentral sektor perekonomian tradisional di Pulau Serangan. Secara kenyamanan, masyarakat Pulau Serangan lebih nyaman berbelanja di Pasar Desa yang baru dengan lahan yang jauh lebih luas serta akses jalan yang sangat memadai dengan lebar 5 meter. Hal ini jauh berbeda dibandingkan pada prareklamasi yang mana letak Pasar Desa, LPD dan KUD berada di wilayah sempit dengan jalan selebar 2 meter dan berfungsi ganda pula sebagai tempat parkir pemedek Pura Desa.
168
PASCAREKLAMASI
PASCAREKLAMASI
1 Bekas LPD dan KUD (berada dalam satu tempat), tempat kurang bagus dan kurang kondusif karena berada di pinggir jalan sempit + 2
Padatnya aktivitas di Pasar Desa yang baru Aktivitas lebih kondusif
LPD yang baru berada di samping Pasar Desa
Bekas Pasar, aktivitas kurang kondusif karena berada di pinggir jalan sempit + 2 meter
KUD yang baru berada di samping pasar Desa
Gambar 5.60 Keadaan Pasar, LPD, dan KUD Pascareklamasi (Sumber: Hasil Observasi, 2013)
- Adanya Balai Konservasi Penyu dengan Berbagai Fungsi Lainnya Pada pascareklamasi, Balai Konservasi Penyu dan Bumi Perkemahan juga difungsikan selain sebagai tempat penangkaran penyu dan tempat berkemah dan edukasi bagi siswa-siswi, juga difungsikan sebagai tempat berkumpulnya (paruman) bagi tokoh-tokoh adat seperti Bendesa Pakraman, Penyarikan, Kelihan dari masing-masing Banjar, serta tokoh-tokoh adat lain dan masyarakat Pulau Serangan untuk mengadakan rapat (paruman) formal maupun informal. Hal ini dikarenakan mendukungnya fasilitas bangunan seperti adanya Wantilan, luas lahan yang besar dan mampu menampung lebih dari 20.000 orang, serta pengelolaan wisata ini yang dikelola sepenuhnya oleh Desa Pakraman Serangan membuat tempat ini menjadi tempat multi fungsi karena selain berfungsi edukasi, konservasi dan ekonomi, juga berfungsi sebagai sosial kemasyarakatan. Selain itu,
169
terdapatnya Badan Usaha Milik Desa Adat Serangan (BUMDA) yang difungsikan untuk menghimpun dana dari hasil sewa dan pengelolaan lahan yang terdapat di Pulau Serangan pascareklamasi. Dengan adanya Balai Konservasi Penyu dengan multi fungsinya, menyebabkan budaya masyarakat lokal pada prareklamasi yang berlomba-lomba menangkap penyu pun berubah pada pascareklamasi yang mana menjadi budaya memelihara penyu di Balai Konservasi Penyu untuk mencegah kepunahan dan sekaligus sebagai tempat wisata. Masyarakat hanya diperbolehkan menyembelih penyu hanya saat diperlukan seperti untuk ritual keagamaan, itupun harus mendapat persetujuan dari Bendesa Pakraman Serangan dengan jumlah yang dibatasi. Balai Serba Guna
Tempat Berkemah
BUMDA Serangan Penangkaran Penyu
Warung dan Penjualan Cinderamata
Wantilan Serba Guna
Gambar 5.61 Balai Konservasi Penyu yang mewadahi berbagai aktifitas baik yang berfungsi sosial budaya, ekonomi maupun edukasi (Sumber: Hasil Observasi, 2013)
170
BAB VI PENUTUP
6.1 Kesimpulan Berdasarkan pemaparan hasil dan pembahasan penelitian yang telah dipaparkan pada bab sebelumnya, dapat ditarik kesimpulan jawaban dari ketiga rumusan permasalahan, antara lain sebagai berikut :
6.1.1 Kondisi Pemanfaatan Lahan Pra dan Pascareklamasi di Pulau Serangan Perubahan pemanfaatan lahan di Pulau Serangan terjadi dikarenakan adanya reklamasi tahun 1995-1998 yang mengubah bentuk fisik lahan baik itu bentuk dan ukuran lahan, luasan lahan, wilayah kekuasaan lahan, serta terjadiya perubahan penggunaan dari pra dan pascareklamasi. Perubahan pemanfaatan lahan terjadi secara makro/global dan secara mikro/terperinci. Secara makro/global, perubahan pemanfaatan lahan melalui reklamasi yang mengubah luas Pulau Serangan dari 111 hektar menjadi 481 hektar pasca reklamasi dan membagi zona kepemilikan lahan menjadi dua, yaitu wilayah Permukiman Penduduk dan wilayah PT. BTID yang mana dipisahkan oleh kanal wisata selebar 10 meter. Pascareklamasi, wilayah Permukiman Penduduk menyempit menjadi sekitar 46,5 hektar sedangkan wilayah yang dikuasai oleh PT. BTID sekitar 435 hektar, padahal wilayah Permukiman Penduduk prareklamasi seluas 111 hektar (seluruh daratan prareklamasi).
170
171
Perubahan pemanfaatan lahan secara mikro seperti misalnya: perubahan laut menjadi Taman Kota, LPD, KUD, Pasar Desa, Balai Konservasi Penyu dan fasilitas Watersport. Lahan tersebut direklamasi PT. BTID dan pascareklamasi sudah diserahkan ke Desa Pakraman Serangan sesuai kesepatan bersama. Selain itu terdapat pula perluasan Pura-Pura baik yang diemong oleh Puri Kesiman seperti Pura Dalem Sakenan dan Pesamuan Agung maupun yang diemong oleh Desa Pakraman Serangan seperti : Pura Puseh/Dalem Cemara, Pura Segara, Pura Dalem Khayangan, Pura Tanjung Sari, Pura Puncaking Tingkih, Pura Taman Sari dan Pura Tirta Arum. Pura-Pura di wilayah PT. BTID yang baru didirikan pascareklamasi diatas lahan bekas tegalan dan laut seperti misalnya: Pura Beji Dalem Sakenan, Pura Batu Api, dan Pura Batu Kerep. Selain itu, terdapat pula tukar guling lahan Banjar Kubu dan permukiman warganya menjadi lahan kepemilikan PT. BTID juga termasuk dalam perubahan lahan secara mikro.
6.1.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perubahan Pemanfaatan Lahan Pascareklamasi di Pulau Serangan Faktor-faktor
yang
mempengaruhi
perubahan
pemanfaatan
lahan
pascareklamasi di Pulau Serangan terbagi menjadi tiga yaitu faktor fisik lahan, ekonomi, dan kelembagaan. Disamping itu terdapat faktor-faktor lain seperti sosial, budaya, dan kepercayaan masyarakat setempat yang mempengaruhi perubahan tersebut. Faktor fisik lahan adalah adanya reklamasi yang dilakukan oleh PT. BTID serta adanya jembatan penyeberangan Pulau Bali dan Pulau Serangan yang
172
mengubah bentuk fisik serta orientasi Pulau Serangan karena berubahnya letak jalur transportasi laut menjadi transportasi darat serta perubahan akses masuk Pulau Serangan. Faktor ekonomi yang melatarbelakangi perubahan lahan antara lain: masalah income penduduk prareklamasi yang rendah sehingga dilakukannya mega proyek melalui reklamasi, masalah pelestarian penyu yang belum dikelola secara profesional baik untuk kepentingan atraksi wisata, maupun untuk pelestarian dan kebutuhan konsumsi, masalah kurangnya sarana prasarana di Pulau Serangan, masalah kondisi Pura Sakenan yang perlu diperluas dan diperbaiki karena memiliki arti khusus bagi masyarakat Bali, dan permasalahan ekonomi lainnya. Faktor kelembagaan adalah kedatangan investor PT. BTID yang melakukan reklamasi di Pulau Serangan berdasarkan izin dari SK Gubernur Bali tahun 1992 dan izin kerja keruk dan reklamasi oleh Departemen Perhubungan tahun 1996. Reklamasi terhenti tahun 1998 juga memberikan kesepakatan kelembagaan antara pihak PT. BTID dengan masyarakat Pulau Serangan yang tertuang dalam MoU 14 Oktober 1998. Faktor-faktor lain seperti kepercayaan setempat juga turut mempengaruhi perubahan pemanfaatan lahan diantaranya perubahan laut dan tegalan menjadi Pura Batu Api dan Pura Batu Kerep berdasarkan pawisik masyarakat setempat.
173
6.1.3 Dampak Perubahan Pemanfaatan Lahan Terhadap Keberlanjutan Pulau Serangan sebagai Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil Perubahan pemanfaatan lahan pascareklamasi memberikan dampak positif dan negatif terhadap keberlanjutan Pulau Serangan sebagai wilayah pesisir dan pulau kecil. Adapun dampak tersebut terbagi menjadi tiga pilar pembangunan berkelanjutan antara lain : a. Keberlanjutan Lingkungan Perubahan pemanfaatan lahan pascareklamasi kurang memberikan dampak buruk pada lingkungan antara lain : - Wilayah yang direklamasi termasuk wilayah pelestarian alam yaitu Taman Hutan Raya Ngurah Rai (Tahura). - Kerusakan ekosistem rawa dan laut - Kerusakan ekosistem darat dan rusaknya struktur tanah/kekeringan - Terganggunya proses alam Meskipun kerusakan lingkungan terus terjadi, namun terdapat beberapa upaya positif baik yang dilakukan oleh masyarakat setempat maupun dari pemerintah dan PT. BTID antara lain : - Kelompok Penyelamat Laut bernama Kelompok Nelayan Pesisir (KNP) Karya Segara yang melakukan upaya penyelamatan kerusakan terumbu karang sebagai habitat/tempat tinggal biota laut. Upaya yang dilakukan adalah dengan transplantasi terumbu karang menggunakan media buatan. - Adanya Balai Konservasi Penyu yang didirikan oleh Desa Pakraman Serangan dibantu pendanaannya oleh pemerintah dan PT. BTID tahun 2000. Tujuannya
174
adalah sebagai tempat konservasi penyu dan obyek wisata pendidikan bagi para wisatawan dan murid sekolah tentang pentingnya menjaga kelestarian penyu yang hampir punah.
b. Keberlanjutan Ekonomi Perubahan pemanfaatan lahan melalui reklamasi memberikan dampak positif dan negatif bagi keberlanjutan ekonomi, namun lebih banyak memberikan dampak positif, yaitu: - Didirikannya warung ikan bakar di sekitar pura sakenan - Kondisi rumah warga yang lebih baik dibandingkan prareklamasi - Munculnya beragam alternatif mata pencaharian (tidak hanya sebagai nelayan) - Lahan-lahan baru hasil reklamasi yang letaknya strategis dan memiliki nilai ekonomis bagi masyarakat dan desa pakraman serangan Sedangkan dampak negatif bagi keberlanjutan ekonomi masyarakat Pulau Serangan dengan adanya perubahan pemanfaatan lahan pascareklamasi adalah: - Kehilangan mata pencaharian bagi kelompok penambang (kelompok nelayan yang bertugas membawa pemedek dan wisatawan dari Pulau Bali ke Pulau Serangan dan sebaliknya). Namun Desa Pakraman Serangan memberikan mandat kepada kelompok penambang untuk menarik karcis masuk bagi orangorang yang datang ke Pulau Serangan yang ditempatkan setelah jembatan penyeberangan. Adapun nantinya, hasil dari karcis masuk tersebut akan dibagi dua yaitu 50% untuk Desa Pakraman Serangan dan 50% untuk kelompok penambang.
175
c. Keberlanjutan Sosial Perubahan pemanfaatan lahan pascareklamasi berdampak negatif dan positif terhadap keberlanjutan sosial budaya di Pulau Serangan. Adapun dampak negatif tersebut antara lain: - Pelanggaran hak asasi manusia dengan adanya paksaan dan intimidasi dari PT. BTID kepada warga Banjar Kubu dalam membeli lahan Banjar Kubu dan permukiman warganya. - Isolasi masyarakat dengan adanya 2 zona kepemilikan lahan yang dibatasi kanal wisata Sedangkan dampak positif perubahan pemanfaatan lahan pascareklamasi terhadap keberlanjutan sosial budaya di Pulau Serangan antara lain: - Kemudahan
akses
ke
kuburan
namun
ritualisasi
membawa
mayat
menyeberangi laut hilang - Aktivitas Pasar, LPD, dan KUD yang lebih kondusif di atas lahan baru hasil reklamasi PT. BTID - Adanya Balai Konservasi Penyu dengan berbagai fungsi lainnya seperti: tempat berkemah dan edukasi bagi siswa-siswi, tempat berkumpulnya (paruman) bagi tokoh-tokoh adat Serangan, adanya Badan Usaha Milik Desa Adat Serangan (BUMDA) yang difungsikan untuk menghimpun dana dari hasil sewa dan pengelolaan lahan milik Desa yang terdapat di Pulau Serangan pasca reklamasi.
176
Jadi dapat disimpulkan bahwa perubahan pemanfaatan lahan pascareklamasi kurang memberikan keberlanjutan pembangunan ke depannya karena hanya memperhatikan keberlanjutan ekonomi tanpa memperhatikan kesinambungan lingkungan dan sosial budaya masyarakat setempat.
6.2 Saran Dalam penelitian ini, telah paparkan fenomena perubahan pemanfaatan lahan dengan berbagai permasalahan yang memberikan keuntungan maupun kerugian utamanya bagi lingkungan dan masyarakat di Pulau Serangan. Saran yang bisa disampaikan adalah reklamasi pada wacananya bertujuan untuk mendayagunakan kawasan berair yang rusak dan tidak berguna menjadi lahan yang lebih baik dan bermanfaat namun tetap memperhatikan kesinambungan lingkungan, ekonomi, dan sosial dengan cara perluasan wilayah daratan melalui pengurugan. Pada kenyataannya, adanya reklamasi justru tidak memperhatikan keberlanjutan ketiga pilar pembangunan berkelanjutan (lingkungan, ekonomi, sosial) itu, atau hanya memperhatikan salah satu pilarnya saja. Kegagalan reklamasi Pulau Serangan jangan sampai menular pada proyek-proyek reklamasi lain di Pulau Bali termasuk reklamasi Teluk Benoa yang menimbulkan banyak polemik di masyarakat. Pengambilan keputusan reklamasi di Bali harus benarbenar memperhatikan kaedah pembangunan berkelanjutan. Jika hal tersebut belum terpenuhi, sebaiknya perubahan pemanfaatan lahan dengan cara reklamasi tidak disarankan untuk dilakukan.
177
Saran penulis terhadap reklamasi yang telah terjadi di Pulau Serangan yang merupakan aspirasi dari masyarakat setempat adalah PT. BTID melanjutkan proyek yang telah direncanakan sejak prareklamasi yaitu membangun fasilitas mega wisata sehingga memberikan keuntungan ekonomi yaitu penciptaan lapangan pekerjaan yang lebih besar bagi masyarakat setempat sebagai kompensasi atas adanya proyek reklamasi yang mengubah tatanan fisik, sosial dan budaya di Pulau Serangan. Selain itu, kerusakan lingkungan yang diakibatkan oleh reklamasi juga sudah terjadi sehingga sebaiknya mega proyek tersebut dilanjutkan namun tidak memperparah kerusakan lingkungan. Tentunya diharapkan agar seluruh stake holder dari Puri Kesiman dan Desa Pakraman Serangan sebagai “benteng” terakhir penjaga eksistensi lahan-lahan yang terdapat di Pulau Serangan juga harus menjaga serta mengelola lahan dengan baik sehingga memberikan manfaat kesejahteraan masyarakat lokal Pulau Serangan tanpa memperparah kerusakan lingkungan sekitar. Pemanfaatan lahan sebaiknya jangan hanya memandang keuntungan dari segi ekonomi semata. Lebih daripada itu, perubahan perluasan serta pemanfaatan lahan yang ada di Pulau Serangan diharapkan tetap memperhatikan dan menjaga lingkungan serta kehidupan sosial kemasyarakatan karena ketiga pilar tersebut merupakan kunci keberhasilan pembangunan berkelanjutan di Pulau Serangan di masa mendatang.
178
DAFTAR PUSTAKA
Referensi : Adisasmita, Rahardjo. 2010. Pembangunan Kawasan dan Tata Ruang. Yogyakarta: Graha Ilmu. Agustana, Putu. Rideng, I Wayan. Sandiasa, Gede. 2010. Administrasi Terpadu Desa Dinas-Desa Pekraman di Desa Bukti, Kec. Kubutambahan, Buleleng. Bali: Universitas Panji Sakti Singaraja Arikunto, Suharsimi. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: PT. Rineka Cipta. Asrul Pramudiya. 2008. Kajian Pengelolaan Daratan Pesisir Berbasis Zonasi di Provinsi Jambi. Tesis. Semarang: Universitas Diponegoro Ayuli, Nina. 2011. Analisis Kebijakan Pemanfaatan Ruang Wilayah Pesisir Kota Medan Studi Kasus: Kecamatan Medan Belawan. Tesis. Jakarta : Universitas Budi Luhur. Barlowe,R. 1986. Land Resource Economics. The Economics of Real Estate.Prentice-Hall Inc. New York, 653 p Bernas PD Nababan. 2012. Kajian Tata Guna Lahan Studi Kasus: Kelurahan Bagan Deli. Tesis. Sumatera Utara: Universitas Sumatera Utara Bungin, Burhan.2009. Penelitian Kualitatif, Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Kencana. Bungin, Burhan. 2005. Metodologi Penelitian Kuantitatif. Jakarta: Kencana. Dahuri, R.J, P. Ginting dan Sitepu. 2001. Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Catatan Kedua. Jakarta: PT. Pradnya Paramita Depdagri. 1978. Laporan Penelitian Integrasi Hak Ulayat ke dalam Yurisdiksi UUPA. Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. Direktorat Jenderal Pemberdayaan Masyarakat dan Desa. 2007. Profil Desa dan Kelurahan Serangan. Denpasar: Departemen Dalam Negeri. Effendi, Sofian. 2012. Metode Penelitian Survey. Jakarta: LP3ES. Gandasasmita K, 2001. Analisis Penggunaan Lahan Sawah dan Tegalan di Daerah Aliran Sungai Cimanuk Hulu Jawa Barat. Disertasi. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Hardjowigeno, S. 1993. Klasifikasi Tanah dan Pedogenesis. Akapres. Jakarta: PT. Pradnya Paramita Issabel, Paula. 2008. Kajian Pengembangan Pemanfaatan Ruang Terbangun di Kawasan Pesisir Kota Kupang. Tesis. Semarang: Universitas Diponegoro.
179
Kodam IX Udayana. 1987. Pelestarian dan Pengembangan Lingkungan Fisik dan Budaya Pulau Serangan. Denpasar: PT. Bina Cipta Adibuana. Lesmana, Andika. 2012. Partisipasi Krama Desa Pakraman Dalam Mengendalikan Pemanfaatan Lahan Ulayat di Desa Pakraman Uma Anyar Kecamatan Seririt Kabupaten Buleleng. Tesis. Denpasar: Universitas Udayana. Marbun, BN. 1977. Proses Pembangunan Desa. Jakarta : Erlangga. Maria S.W. Sumardjono. 2001. Kebijakan Pertanahan antara Regulasi dan Implementasi. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Muhadjir, Noeng. 1996. Metodologi Penelitian Kualitatif, Pendekatan Positivistik, Rasionalistik, Phenomenologik, dan Realisme Metaphisik. Yogyakarta: Rake Sarasin. Rosnila. 2004. Perubahan Penggunaan Lahan dan Pengaruhnya terhadap Keberadaan Situ, Studi Kasus Kota Depok. Tesis. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Saefulhakim S, Panuju DR, Rustiadi E, Suryaningtyas DT. 1999. Pengembangan Model Sistem Interaksi Antar Aktifitas Sosial Ekonomi dengan Perubahan Penggunaan Lahan. Seminar BPPT. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Sjafi'i, Emmy. 2001. Analisis Pemanfaatan Ruang Kawasan Pesisir Teluk Manado, Sulawesi Utara. Tesis. Bandung: UPI Soegiarto. A. 1976. Pedoman Umum Pengelolaan Wilayah Pesisir. Jakarta: Lembaga Oseanologi Nasional. Soetarjo, H. 2000. Hukum Adat di Bali. Tesis. Semarang: Universitas Diponegoro Supriharyono. 2002. Pelestarian dan Pengelolaan Sumber Daya Alam di Wilayah Pesisir Tropis. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama Suryabrata, Sumadi.2004.Metodologi Penelitian. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Trisantono, Bambang. 2011. Pedoman Penyelenggaraan Pemerintahan Desa. Bandung: Fokusmedia Tuwo, Ambo, 2011. Pengelolaan Ekowisata Pesisir dan Laut: Pendekatan Ekologi, Sosial-Ekonomi, Kelembagaan, dan Sarana Wilayah. Surabaya: Brilian Internasional Tarigan, Robinson.2010. Perencanaan Pembangunan Wilayah. Jakarta: PT.Bumi Aksara. Widjaja, HAW. 2010. Otonomi Desa Merupakan Otonomi yang Asli, Bulat, dan Utuh. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
180
Winoto J, Selari M, Saefulhakim S, Santoso DA, Achsani NA dan Panuju DR. 1996. Laporan Akhir Penelitian Alih Guna Tanah Pertanian. Bogor: Lembaga Penelitian IPB bekerjasama dengan Proyek Pengembangan Pengelolaan Sumberdaya Pertanahan BPN. Wisnawa, I Made. 2002. Model Pemanfaatan Pulau Serangan di Kota Denpasar Pasca Reklamasi. Tesis. Semarang: Universitas Diponegoro. Woinarski, Lisa. 2002. Pulau Serangan: Dampak Pembangunan Pada Lingkungan dan Masyarakat. Laporan Studi Lapangan. Malang: Universitas Muhammadiyah. Zahnd, Markus.1999. Perancangan Kota Secara Terpadu-Teori Perancangan Kota dan Penerapannya, Yogyakarta: Kanisius.
Internet : http://Wisman-China-Suka-Panorama-Bawah-Laut-Pulau-Serangan.htm, tanggal 14 Oktober 2012 jam 22.00
diakses
http://pulau-serangan-sudut-bali-yang.html, diakses tanggal 22 Oktober 2012 jam 20.00 http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=pemanfaatan%20ruang%20wilayah% 20pesisir&source.html, diakses tanggal 22 Oktober 2012 jam 21.00 http://worthforall.blogspot.com/2011/10/pengembangan-wisata-bahari-diwilayah.html, diakses tanggal 25 November 2012 jam 17.00 http://www.wwf.or.id/?24224/Strategi-pengelolaan-pesisir-dan-laut-Solor-Alorterpadu, diakses tanggal 25 November 2012 jam 19.00 Wawancara : 1. Nama Umur Pekerjaan
: : :
Alamat Tanggal wawancara
: :
I Wayan Patut 54 tahun Ketua Kelompok Nelayan Pesisir Karya Segara Kelurahan Serangan. Banjar Ponjok Kelurahan Serangan 30 September 2012
2. Nama Umur Pekerjaan Alamat Tanggal wawancara
: : : : :
Gede Mudana Wiguna 60 tahun Bendesa Pekraman Serangan Banjar Dukuh Kelurahan Serangan 13 Oktober 2012 dan 28 Januari 2013
181
3. Nama Umur Pekerjaan Alamat Tanggal wawancara 4. Nama Umur Pekerjaan Alamat Tanggal wawancara
: : : : : : : : : :
Wayan Dharta 62 tahun Mantan Perbekel Serangan, Kepala Badan Usaha Milik Desa Adat (BUMDA) Serangan Banjar Tengah Kelurahan Serangan 5 Februari 2013 Wayan Mudita 58 tahun Mantan Bendesa Pekraman Serangan Tahun 19901995 Banjar Dukuh Kelurahan Serangan 8 Februari 2013
5. Nama Umur Pekerjaan
: : :
Alamat Tanggal wawancara 6. Nama Umur Pekerjaan Alamat Tanggal wawancara
: : : : : : :
Wayan Warsa 50 tahun Kepala Lingkungan Banjar Dukuh dan Mantan Kelihan Banjar Kubu Pra Reklamasi Banjar Dukuh Kelurahan Serangan 22 Februari 2013 Gusti Ketut Lengur 60 tahun Pemangku Pura Dalem Sakenan Banjar Intaran, Sanur 24 Februari 2013
7. Nama Umur Pekerjaan Alamat Tanggal wawancara
: : : : :
Nyoman Suyoga 40 tahun Kepala Pelaksana PT. BTID 25 Mei 2013
8. Nama Umur Pekerjaan Alamat Tanggal wawancara
: : : : :
Gusti Ngurah Saputra 45 tahun Kepala Perencanaan Masterplan PT. BTID 25 Mei 2013
9. Nama Umur Pekerjaan Alamat Tanggal wawancara
: : : : :
Wayan Rajin 55 tahun Pemangku Pura Segara Banjar Kawan Kelurahan Serangan 2Juni 2013
182
10. Nama Umur Pekerjaan Alamat Tanggal wawancara
: : : : :
Ketut Sudiarsa 58 tahun Pemangku Pura Pat Payung Banjar Kawan Kelurahan Serangan 2Juni 2013
11. Nama Umur Pekerjaan Alamat Tanggal wawancara
: : : : :
Wayan Mega 58 tahun Pemangku Pura Tanjung Sari Banjar Kawan Kelurahan Serangan 5 Juni 2013
12. Nama Umur Pekerjaan Alamat Tanggal wawancara
: : : : :
Wayan Kelar 58 tahun Pemangku Pura Taman Sari Banjar Kawan Kelurahan Serangan 5 Juni 2013
13. Nama Umur Pekerjaan Alamat Tanggal wawancara
: : : : :
Made Sugita 58 tahun Pemangku Pura Tirta Arum Banjar Peken Kelurahan Serangan 14 Juni 2013
14. Nama Umur Pekerjaan Alamat Tanggal wawancara
: : : : :
Made Suana 49 tahun Pemangku Dalem Khayangan Banjar Peken Kelurahan Serangan 14 Juni 2013
183
Lampiran 1 Pedoman Wawancara
Pedoman wawancara terdiri dari kalimat positif (bukan pertanyaan) karena merupakan inti dari pertanyaan-pertanyaan yang nantinya akan berkembang di lapangan, disesuaikan dengan informan yang diajak berbincang. Pedoman wawancara dipakai sebagai pegangan penting dalam melakukan wawancara agar yang ditanyakan tetap fokus pada fokus penelitian. 1. Rumusan Masalah 1 (Kondisi perubahan pemanfaatan lahan pra dan pascareklamasi di Pulau Serangan) a. Jenis lahan yang ada di Pulau Serangan. b. Fungsi lahan di Pulau Serangan. c. Letak lahan pra dan pascareklamasi di Pulau Serangan. d. Luasan lahan pra dan pascareklamasi di pulau Serangan. e. Lahan yang tetap pascareklamasi. f. Lahan yang berubah luasan pasca reklamasi. g. Lahan yang mengalami perubahan pemanfaatan pascareklamasi. h. Status lahan pra dan pasca reklamasi di pulau Serangan. 2. Rumusan
Masalah
2
(Faktor-faktor
yang
mempengaruhi
perubahan
pemanfaatan lahan pascareklamasi di Pulau Serangan) a. Keadaan fisik lahan sebelum dijadikan lahan Druwe Desa oleh Desa Pakraman Serangan. b. Pengaruh reklamasi oleh PT. BTID terhadap luas lahan.
184
c. Pengaruh reklamasi oleh PT. BTID terhadap adanya lahan baru milik Desa Pakraman Serangan d. Keadaan perekonomian di Pulau Serangan pra dan pascareklamasi. e. Keadaan perekonomian di Pulau Serangan pra dan pascareklamasi dengan adanya perubahan pemanfaatan lahan. f. Tujuan adanya reklamasi PT. BTID dalam hubungannya untuk masyarakat lokal Pulau Serangan g. Isi dari Momerandum of Understanding. h. Kesepakatan PT. BTID dengan Puri Kesiman dan Desa Pakraman Serangan terkait lahan lama dan lahan baru hasil perubahan pemanfaatan lahan. i. Faktor lain yang mempengaruhi perubahan lahandiluar faktor sosial, ekonomi, dan keagamaan. 3. Rumusan Masalah 3 (Dampak perubahan pemanfaatan lahan pascareklamasi terhadap keberlanjutan Pulau Serangan sebagai wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil) a. Keadaan lingkungan pra dan pascareklamasi. b. Upaya-upaya yang dilakukan oleh masyarakat lokal dan PT. BTID dalam memperbaiki kerusakan lingkungan. c. Kegunaan lahan pra dan pascareklamasi. d. Perubahan sosial dengan keadaan pra dan pascareklamasi. e. Lokasi Banjar Kubu pra dan pascareklamasi. f. Besarnya iuran/urusan untuk piodalan Pura-Pura di Pulau Serangan. g. Pendapatan Pasar Desa, LPD, dan KUD pra dan pascareklamasi.
185
h. Pendapatan fasilitas Watersport. i. Jumlah tenaga kerja lokal yang bekerja di fasilitas Watersport dan Balai Konservasi penyu dan Bumi Perkemahan. j. Pendapatan Desa Pakraman Serangan pra dan pascareklamasi. k. Sumbangsih dana/pendapatan Desa terhadap Unsur Tri Hita Karana di Pulau Serangan. l. Pura-Pura yang dipugar, diperluas dan baru ada pascareklamasi.
186
Lampiran 2 Peta Pulau Serangan Prareklamasi Tahun 1948
(Sumber: Kodam IX Udayana, 2013)
187
Lampiran 3 Peta Pulau Serangan Prareklamasi Tahun 1995
(Sumber: PT. BTID, 2013)
188
Lampiran 4 Peta Pulau Serangan Tahun 1998
(Sumber: Google Earth, 2013)