SALINE INFUSION SONOHYSTEROGRAPHY PADA KELAINAN ENDOMETRIUM DAN TES PATENSI TUBA
dr. Putu Doster Mahayasa, Sp.OG(K)
BAGIAN / SMF OBSTETRI DAN GINEKOLOGI FK UNUD / RSUP SANGLAH DENPASAR 2014
BAB I PENDAHULUAN
Transvaginal Sonography (TVS) uterus dan tuba telah berkembang menjadi prosedur diagnostik rutin untuk mengevaluasi kelainan – kelainan ginekologi. Telah banyak dibuktikan bahwa TVS sangat akurat dalam menemukan kelainan di kavum uteri dan tuba. Prosedur ini memiliki keuntungan di mana untuk pencitraan normal hampir tidak terdapat perbedaan interpretasi meskipun pemeriksaan dilakukan oleh operator yang berbeda. Namun akurasi diagnostiknya akan menurun jika digunakan untuk kasus abnormalitas dan inkonklusif. Di sisi lain, histeroskopi sering digunakan sebagai metode untuk evaluasi endometrium pada pasien perdarahan uterus abnormal dan dinilai cukup efektif namun metode ini mahal dan invasif1,2. Hysterosalphingography (HSG) dan Laparoskopi merupakan 2 metode klasik yang digunakan untuk tes patensi tuba, tetapi HSG memiliki kerugian antara lain merupakan prosedur yang tidak nyaman, terekspos terhadap radiasi dan meningkatkan risiko infeksi. Sementara itu Laparoskopi walaupun dapat memberikan gambaran anatomi pelvis lebih baik dari HSG tetapi tetap tidak dapat memberikan gambaran kavum uteri, invasif dan mahal, serta tidak dapat disingkirkan efek dari anestesi umum yang digunakan1. Saline Infusion Sonohysterography (SIS) sudah diakui sebagai teknik yang baik dalam mengevaluasi kelainan kavum uteri, bahkan SIS dapat meningkatkan akurasi pemeriksaan TVS pada kasus abnormalitas dan inkonklusif1. Selain untuk mengevaluasi kavum uteri, SIS juga digunakan untuk tes patensi tuba pada kasus infertilitas. SIS memiliki kelebihan antara lain merupakan prosedur yang tidak invasif, sehingga meminimalisasi rasa tidak nyaman pada pasien serta bebas efek anestesi umum3. Saline Infusion Sonohysterography (SIS) merupakan prosedur yang dapat diaplikasikan dan menjadi bahan pembelajaran di Fakultas Kedokteran Universitas Udayana (FK UNUD)/Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sanglah. Diharapkan nantinya SIS dapat dijadikan suatu keahlian yang dapat dimiliki oleh
peserta didik Program Pendidikan Dokter Spesialis I (PPDS-I) Obstetri dan Ginekologi FK UNUD/RSUP Sanglah.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Saline Infusion Sonohysterography (SIS) Saline Infusion Sonohysterography (SIS)
merupakan suatu teknik
pencitraan ultrasonografi dari kavum uteri, di mana sebuah kateter ditempatkan dalam kavum uteri dan media kontras cairan saline steril (NaCl 0,9%) disuntikkan ke dalamnya untuk memisahkan dinding endometrium, yang kemudian akan divisualisasikan dengan TVS. Istilah ini pertama kali diperkenalkan oleh Parson dan Lense pada tahun 19931. Teknik ini mengalami beberapa penyempurnaan, dan kini diharapkan mampu menggantikan peran HSG konvensional yang selama ini telah menjadi prosedur rutin di bidang fertilitas dan ginekologi. Di samping itu SIS merupakan teknik yang lebih sederhana dibandingkan histeroskopi yang lebih kompleks dalam teknik pengerjaannya1,2. Tujuan utama SIS adalah untuk memperoleh gambaran keadaan kavum uteri, apakah ada suatu abnormalitas endometrium serta untuk tes patensi tuba pada kasus infertilitas1,2,.
2.1.1. Sejarah Teknik ini pertama kali dilaporkan di Italia pada tahun 1981 dan Israel pada tahun 1982 dengan menggunakan kanul uteri kaku dan dievaluasi dengan Transabdominal Sonography (TAS) yang ternyata memberikan penilaian yang sangat akurat terhadap kavum uteri2,3. Pada tahun 1984, Richman dkk menginstilasi kavum uteri dengan dextran 70% melalui sebuah kanul uteri kaku sementara dilakukan TAS dan membandingkan hasilnya dengan HSG konvensional. Didapatkan bahwa obstruksi tuba menyebabkan ekspansi berkelanjutan dari kavum uteri. Hal ini menyebabkan terjadinya akumulasi cairan peritoneum. Dengan penelitian ini didapatkan patensi tuba unilateral memiliki akurasi 97 %2,3. Tahun 1986, Randolph dkk menggunakan teknik serupa dengan menggunakan cairan saline steril sebagai media, untuk memprediksi hasil operasi
pada wanita yang akan menjalani laparoskopi atau histeroskopi. Abnormalitas uterus seperti uterus unikornus, septa, polip dan mioma intrakavitas dan submukosa dideteksi dengan sensitivitas 98% dan spesifitas 100%. Sementara itu, akumulasi cairan di posterior kavum Douglasi mengindikasikan patensi unilateral maupun bilateral dengan sensitivitas 100% dan spesifitas 91%2,3. Pada tahun 1991 Mitri dkk di Afrika Selatan menggunakan kateter Foley ukuran 8F pada serviks, menunjukkan bahwa SIS lebih informatif daripada HSG konvensional2,3. Bonilla-Musoles dkk di Spanyol pada tahun 1992 menemukan bahwa SIS menggunakan kateter balon memiliki sensitivitas 96%, spesifitas 97%, nilai prediksi positif 96% dan nilai prediksi negatif 97%. Pada tahun 1992 Syrop dan Sahakian menggunakan kanul Rubin kaku dan cairan normal saline untuk mengevaluasi pasien infertilitas sebelum In Vitro Fertilization (IVF)2,3. Pada Oktober 1990 American Fertility Society Meeting di Washington DC melaporkan evaluasi sinekia intrauterin pada pasien infertilitas menggunakan kateter balon 5F HS fleksibel untuk memasukkan cairan saline steril. Pada American Fertility Society Meeting di Washington DC tahun 1993, dengan teknik yang sama menggunakan kateter balon atau kateter Soules 2 mm yang biasa digunakan untuk inseminasi intrauterin dalam mengevaluasi kelainan intrakavitas. Hasilnya visualisasi kavum uteri dengan SIS dibandingkan dengan histeroskopi ataupun histerektomi menunjukkan sensitivitas 95-100% untuk lesi intrakavitas3. Tahun 2001, Parsons dkk menggunakan kateter 5F HS untuk memasukkan cairan normal saline. Digunakan juga balon kateter atau kateter untuk inseminasi intruterin ukuran 2 mm untuk mendeteksi abnormalitas intrakavitas dengan akurasi 100% yang kemudian dapat dikonfirmasi dengan histeroskopi atau histerektomi2,3.
2.1.2. Indikasi dan kontraindikasi Indikasi dilakukan SIS antara lain1,2,3,4,5 : 1. Kelainan endometrium : polip endometrium, hiperplasia endometrium, kanker endometrium, mioma uteri, adhesi/sinekia
2. Tes patensi tuba pada kasus infertilitas 3. Abortus berulang 4. Kelainan kongenital uterus misalnya : septum uterus, uterus bikornis, uterus dupleks Sementara itu SIS merupakan kontraindikasi pada keadaan1,2,3,4,5 : 1. Hamil 2. Penyakit radang panggul (PRP) 3. Akseptor IUD 4. Hematometra 5. Obstruksi : stenosis serviks atau vagina
2.1.3. Prosedur Pengertian terhadap fisiologi uterus menjadi penting untuk penggunaan SIS secara optimal. American Institute of Ultrasound in Medicine (AIUM) menganjurkan SIS pada wanita yang belum menopause dilakukan segera setelah menstruasi, selama fase proliferatif, tidak lebih dari hari ke-10. SIS paling optimal dilakukan pada hari ke-4, 5 atau 6 setelah sikus menstruasi karena dengan endometrium dalam keadaan paling tipis, diharapkan dapat diketahui patologi dalam kavum uteri secara lebih jelas1,5,6. Prosedur ini dilakukan sebelum ovulasi karena hamil merupakan kontraindikasi SIS. Secara umum, fase sekresi dihindari karena dapat menyebabkan hasil penemuan positif palsu akibat lipatan dan kerutan pada garis endometrium. Pada wanita postmenopause dengan perdarahan abnormal, pemeriksaan SIS dapat dilakukan kapan saja. Jika wanita tersebut sedang menjalani terapi sulih hormon, maka harus dicermati perdarahan lucut atau fase progesteron dari terapi sulih hormon tersebut5,6. Seleksi pasien merupakan langkah penting yang harus dilakukan pertama kali. Pasien diberikan penjelasan yang baik mengenai langkah – langkah prosedurnya, keuntungan dan kerugiannya serta beberapa manfaat yang akan didapatkan dengan prosedur ini. Antibiotik profilaksis direkomendasikan pada wanita dengan riwayat PRP. Doksisiklin dapat diberikan selama 10 hari sebelum tindakan SIS. Sementara itu pemberian doksisiklin 200 mg dosis tunggal berguna
untuk pasien dengan immunocompromise seperti diabetes mellitus, kanker dan Human Immunodeficiency Virus (HIV). Antibiotik profilaksis juga diberikan kepada pasien dengan infertilitas untuk mencegah kerusakan tuba akibat infeksi panggul6. Adapun alat - alat yang digunakan untuk prosedur SIS sebagaimana tampak pada gambar 2.1 antara lain1,2,5 : 1. Spekulum vagina 2. Sonde uterus 3. Spuit 20 ml 4. Tenakulum 5. Larutan saline 6. Kateter sonohysterography dengan spuit 3 ml untuk balon
Gambar 2.1. Alat – alat yang digunakan untuk SIS (Dikutip dari Berridge dan Winter, 2004)5.
Kateter dan balon harus dibilas dengan saline steril sebelum insersi untuk menyingkirkan udara sebanyak mungkin. Adanya udara dalam kateter akan terlihat di kanalis endometrium dan dapat menyamarkan abnormalitas selama pemeriksaan5. Pasien diminta berkemih terlebih dahulu kemudian setelah dalam posisi lithotomi dilakukan pemeriksaan TVS untuk menentukan bentuk dan ukuran uterus, ketebalan endometrium dan kondisi kedua ovarium. Selanjutnya probe TVS dikeluarkan dan spekulum dipasang sehingga tampak serviks. Serviks dibersihkan
dengan
antiseptik1,2,5,6.
Lalu
dilakukan
pemasangan
kateter
sonohysterography melalui kanalis servikalis ke dalam kavum uteri. Ketika sudah berada dalam kavum uteri, balon dikembangkan dengan memasukkan cairan 1-1½ ml untuk mencegah keluarnya larutan saline dan untuk mempertahankan kedudukan kateter. Sebaiknya menghindari menyentuh fundus uteri ketika memasukkan kateter karena dapat menimbulkan nyeri dan refleks vasovagal. Hal ini juga dapat menggeser endometrium sehingga menyebabkan hasil positif palsu1,2,6. Spekulum dilepaskan secara perlahan agar kateter tidak tertekuk dan probe TVS dimasukkan kembali di samping kateter, kemudian dilakukan injeksi 5-30 ml larutan saline hangat ke dalam kavum uteri dengan bantuan asisten (Gambar 2.2). Larutan saline sebaiknya dalam kondisi hangat untuk mencegah nyeri dan kontraksi uterus. Transvaginal Sonography (TVS) dalam potongan longitudinal untuk menyajikan gambaran dari kornu ke kornu kemudian potongan transversal untuk menyajikan gambaran puncak fundus ke serviks1,2,5,6,. Teknik pengukuran ketebalan endometrium pada SIS berbeda dengan TVS di mana dengan TVS ketebalan endometrium diukur dari basalis ke basalis, sementara pada SIS dengan adanya cairan di dalam kavum uteri maka ketebalan masing – masing dinding endometrium diukur secara terpisah kemudian hasilnya ditambahkan6. Setelah selesai melakukan evaluasi endometrium, kateter ditarik dengan tuntunan TVS sehingga isthmus uteri dan kanalis endoserviks dapat dievaluasi. Setelah kateter dilepaskan, sebelum melepaskan probe TVS dilakukan evaluasi vagina bagian atas dan forniks. Keseluruhan prosedur berlangsung sekitar 5 – 10 menit6.
Gambar 2.2. SIS dengan menggunakan kateter lurus (Dikutip dari Parsons, 2001)3.
Pada kavum uteri yang nomal akan tampak gambaran kavum uteri yang terdistensi dengan baik, garis endometrium licin dan ekogeniknya seragam (Gambar 2.3)5.
Gambar 2.3. Gambaran kavum uteri normal pada SIS (Dikutip dari Berridge dan Winter, 2004)5.
2.2. SIS Pada Kelainan Endometrium Saline Infusion Sonohysterography (SIS) memiliki kemampuan diagnostik yang serupa dengan histeroskopi dalam menilai perdarahan uterus abnormal,
sementara TVS memiliki keterbatasan dalam visualisasi kavum uteri8. SIS merupakan metode yang lebih nyaman untuk pasien dan lebih cepat daripada histeroskopi walaupun tingkat kegagalan SIS lebih tinggi daripada histeroskopi9. Penggunaan cairan saline pada SIS akan memberikan gambaran permukaan endometrium yang lebih baik. Adanya iregularitas permukaan endometrium akan tampak sebagai suatu gambaran hipoekoik6. Transvaginal Sonography (TVS) memiliki sensitivitas, spesifitas, nilai prediksi positif dan nilai prediksi negatif yang lebih rendah daripada SIS dan histeroskopi, sementara SIS dan histeroskopi sebanding10. Akurasi diagnostik SIS dan
histeroskopi
dalam
mendeteksi
hiperplasia
endometrium,
kanker
endometrium dan mioma submukosa sama – sama efektif, lebih baik dibanding akurasi diagnostik TVS11. Saline Infusion Sonohysterography (SIS) meningkatkan akurasi diagnostik TVS dan dapat digunakan pada fasilitas kesehatan yang tidak memiliki histeroskopi14. Saline Infusion Sonohysterography (SIS) mampu memberikan deskripsi yang baik mengenai ketebalan garis endometrium serta patologi di miometrium, sementara histeroskopi lebih superior dalam memberikan tampilan profil permukaan endometrium dan kemampuan operatif tambahan yang tidak dimiliki SIS12,13. Perbandingan sensitivitas, spesifitas, nilai prediksi positif dan nilai prediksi negatif dari TVS, SIS dan Office Hysteroscopy (OHS) dapat dilihat pada tabel 2.17.
Tabel 2.1. Perbandingan TVS, SIS dan OHS pada kasus AUB (Dikutip dari Kelecki et al, 2005)7.
2.2.1. Polip endometrium Polip endometrium merupakan penyebab yang cukup sering ditemukan pada perdarahan
uterus
abnormal
pada wanita premenopause
maupun
postmenopause, menyebabkan perdarahan uterus abnormal pada 30 % kasus, di mana biasanya polip ini jinak. Insidens keganasan pada polip adalah 0,5 – 1,5 %5. Polip cenderung lunak dan dapat dilakukan pengangkatan polip dengan tang biopsi atau eksisi dengan gunting kecil. Reseksi polip dilakukan untuk evaluasi histologi maupun terapi simptomatik perdarahan5. Pada SIS polip endometrium akan tampak sebagai massa yang homogen dan menempel pada endometrium dan bergerak mengikuti pergerakan cairan saline dalam kavum uteri (Gambar 2.4a)5,10. Kadang dapat tergambar tangkai polip. SIS dapat membedakan lesi ini dari penebalan endometrium. Polip dengan menggunakan
Doppler
akan
memiliki
pembuluh
darah
sentral
dan
ekogenisitasnya sama dengan endometrium seperti terlihat pada gambar 2.4b1,5.
Gambar 2.4. Gambaran multipel polip : a. Dengan SIS, b. Dengan Color Doppler (Dikutip dari Berridge dan Winter, 2004)5.
2.2.2. Hiperplasia endometrium Hiperplasia endometrium merupakan 4 – 8 % penyebab perdarahan postmenopause. Hiperplasia endometrium merupakan akibat stimulasi estrogen yang tidak seimbang pada endometrium5. Secara histologi hiperplasia endometrium dibagi menjadi simpleks, kompleks dan atipikal. Hiperplasia simpleks terdiri dari perubahan struktur
kelenjar dengan perubahan ukuran kelenjar dan iregularitas bentuk kelenjar dengan pembentukan kista. Hiperplasia simpleks jarang berkembang menjadi karsinoma endometrium. Hiperplasia kompleks akan meningkatkan ukuran dan jumlah kelenjar dengan bentuk yang ramai dan ireguler5. Jika tidak ada atipia, kemungkinan berkembang menjadi karsinoma <5%. Pada hiperplasia simpleks dan kompleks terjadi perubahan struktur kelenjar sementara hiperplasia atipikal terjadi atipia seluler. Pada hiperplasia atipikal, kemungkinan berkembang menjadi karsinoma endometrium sekitar 23 %5. Dengan SIS, hiperplasia endometrium tampak sebagai penebalan difus dan ireguler dari endometrium dengan batas endo-miometrium yang jelas serta ketebalan >10 mm (Gambar 2.5)5,11. Walaupun demikian, SIS tidak dapat membedakan tipe hiperplasia endometrium bila dihubungkan dengan gambaran histopatologi1,.
Gambar 2.5. Gambaran hiperplasia endometrium pada SIS (Dikutip dari Berridge dan Winter, 2004)5.
2.2.3. Kanker endometrium Kanker endometrium merupakan kanker wanita tersering no 4 di Amerika. Perdarahan postmenopause merupakan gejala paling sering pada wanita dengan kanker endometrium, tetapi hanya 10 – 20 % wanita dengan perdarahan postmenopause akan menjadi kanker5.
Seperti hiperplasia endometrium, kanker endometrium disebabkan estrogen yang tidak seimbang. Obesitas merupakan faktor risiko di mana kelebihan berat badan 22,7 kg akan meningkatkan risiko 3 kali dan kelebihan berat badan >22,7 kg akan meningkatkan risiko 9 kali. Faktor risiko lain adalah nuliparitas, menars dini, menopause lambat, hipertensi, diabetes dan sindroma polikistik ovarium. Pada wanita postmenopause, faktor risiko paling penting adalah usia. Wanita usia >70 tahun memiliki risiko 6 – 10 kali untuk kanker endometrium jika dibandingkan dengan wanita yang usianya lebih muda5. Adenocarcinoma merupakan 85% dari kanker endometrium, yang dihubungkan dengan hiperplasia endometrium, yaitu berupa endometrioid, yang cenderung berdiferensiasi baik dan memiliki prognosis lebih baik. Jenis kanker endometrium lain adalah pappilary serous carcinoma dan clear cell carcinoma. Kedua jenis kanker endometrium ini tidak terlalu berhubungan dengan faktor risiko klasik, berdiferensiasi buruk dan memiliki prognosis yang lebih buruk5. Dengan SIS, kanker endometrium tampak sebagai penebalan difus endometrium yang tidak dapat dibedakan dengan hiperplasia endometrium (Gambar 2.6)1,3. Walaupun begitu, penelitian yang dilakukan oleh Dessole dkk menunjukkan bahwa SIS dapat digunakan untuk menilai sejauh mana invasi miometrium dan memiliki peranan dalam staging preoperatif15. Kanker
endometrium
dapat
memberikan
gambaran
massa
fokal
inhomogen. Kavum uteri wanita dengan kanker endometrium tidak dapat terdistensi dengan baik, dan karena ada tanda keganasan, penggunaan kateter dangan balon yang teroklusi penting untuk menilai distensi dari kavum uteri5.
Gambar 2.6. Gambaran kanker endometrium pada SIS (Dikutip dari Parsons, 2001)3.
2.2.4. Adhesi/sinekia Dikenal juga dengan istilah sindrom Asherman. Riwayat infeksi, kuret yang tidak bersih, abortus provokatus, penyakit tuberculosis, endometriosis merupakan faktor risiko terjadinya perlengketan di kavum uteri dan tuba fallopii2. Dengan SIS perlekatan dalam kavum uteri akan tampak berupa uterus yang kurang berdistensi saat larutan saline dimasukkan, atau pertemuan antara dinding anterior dan posterior uterus, memberikan gambaran seperti pita yang tidak dapat bergerak bebas (Gambar 2.7)1,5,11.
Gambar 2.7. Gambaran sinekia pada SIS (Dikutip dari Berridge dan Winter, 2004)5.
2.2.5. Mioma uteri Leiomioma uteri atau fibroid merupakan tumor jinak otot polos. Fibroid diklasifikasikan berdasarkan letaknya di uterus yaitu : submukosa, intramural dan subserosa. Fibroid submukosa paling sering menyebabkan perdarahan uterus abnormal5. Fibroid tampak sebagai massa hipoekoik terhadap polip endometrium dan hipoekoik terhadap miometrium (Gambar 2.8a)5. Ekogenik endometrium dapat terlihat meliputi fibroid. Endometrium tidak bisa terlihat bila fibroid telah mengerosi garis endometrium. Bayangan refraktif yang berulang dilaporkan sebagai tanda leiomioma uteri. Bila fibroid terproyeksi di > 50 % permukaan lumen, maka dapat direseksi dengan histeroskopi, untuk menghindari operasi5. Suatu penelitian oleh Beemsterboer dkk melaporkan bahwa nilai diagsnotik SIS setara dengan histeroskopi dalam mendiagnosis fibroid17. Mioma uteri dengan Color Doppler akan memberikan gambaran pembuluh darah yang kompek di daerah perifer tonjolan dan biasanya gambaran ekogenisitasnya berbeda dengan endometrium (Gambar 2.8b)5. Perlu ditentukan dengan baik letak mioma apakah menonjol ke kavum uteri atau terletak di miometrium. Penting juga untuk mengetahui seberapa jauh mioma yang berada di miometrium mendekati permukaan serosa1. Suatu penelitian yang dilakukan oleh Karimzadeh dkk menunjukkan bahwa dibandingkan dengan histeroskopi, SIS memiliki sensitivitas dan spesifitas yang lebih tinggi dalam mendiagnosa mioma submukosa dibandingkan dengan polip endometrium dan hiperplasia endometrium16.
Gambar 2.8. Gambaran fibroid submukosa : a. Dengan SIS, b. Dengan SIS dan Color Doppler (Dikutip dari Berridge dan Winter, 2004)5.
2.3. SIS Untuk Tes Patensi Tuba Infertilitas terjadi pada sekitar 15 % pasangan suami istri. Faktor laki – laki menyebabkan infertilitas sekitar 20 %, dan sisanya disebabkan oleh faktor wanita. Penyebab utama infertilitas pada wanita termasuk anovulasi, faktor tuba, peritoneum, uterus maupun serviks, serta idiopatik. Faktor tuba menyebabkan 30 – 35 % infertilitas, yang termasuk di antaranya kerusakan tuba akibat penyakit radang panggul, penggunaan alat kontrasepsi dalam rahim, riwayat appendicitis perforasi, kehamilan ektopik dan abortus septik. Adhesi tuba dan obstruksi tuba juga dapat disebabkan oleh endometriosis dan trauma operasi terdahulu18. Hysterosalphingography (HSG) dan laparoskopi dengan kromopertubasi merupakan 2 metode klasik yang digunakan untuk tes patensi tuba18. Suatu penelitian yang dilakukan oleh Maheux-Lacroix dkk menunjukkan bahwa hysterosalphyngosonography akan meningkatkan akurasi tes patensi tuba pada wanita subfertil19. Obstruksi proksimal bilateral tuba pada batas dengan uterus dapat terjadi karena spasme tuba selama proses HSG yang disebabkan oleh injeksi zat. Kontraksi uterus juga dapat menyebabkan spasme sementara tuba fallopii pars interstitial, yang dapat disalahartikan dengan obstruksi tuba selama HSG, di mana hal ini harus hati – hati dibedakan dengan kondisi patologis18. Jika obstruksi terjadi di bagian tengah atau distal tuba fallopii, kondisi patologis yang mendasarinya. Dibandingkan dengan laparoskopi, HSG memiliki
sensitivitas lebih rendah untuk menentukan tuba fallopii yang paten dan diagnosis obstruksi tuba berdasarkan HSG, terdapat 60 % kemungkinan tuba tersebut paten. Oleh karena itu obstruksi proksimal bilateral tuba uterus yang didiagnosa dengan HSG harus diikuti dengan laparoskopi18. Dahulu HSG merupakan satu – satunya teknik yang digunakan dalam tes patensi tuba, namun teknik tersebut memiliki banyak kekurangan, seperti paparan radiasi dan hanya dapat dilakukan di tempat yang menyediakan fasilitas radiologi1. Laparoskopi di sisi lain walaupun merupakan gold standard untuk tes patensi tuba, tetapi merupakan prosedur invasif yang menggunakan anestesi umum dan memiliki beberapa komplikasi seperti cedera pembuluh darah pelvis, usus dan kandung kemih. Laparoskopi juga memiliki kelemahan yaitu tidak dapat mengevalusi kavum uteri. Berdasarkan hal tersebut dibutuhkan suatu prosedur diagnostik yang memiliki sensitivitas dan spesifitas tinggi dalam membedakan obstruksi tuba fallopii yang sebenarnya serta mengurangi kebutuhan untuk laparoskopi18,19. Saline Infusion Sonohysterography (SIS) merupakan suatu teknik baru dan memiliki
banyak
keuntungan
antara
lain
tidak
memerlukan
opname,
meminimalisasi rasa tidak nyaman dan risiko infeksi yang rendah. SIS dapat membedakan obstruksi tuba patologis dan obstruksi tuba akibat spasme. Struktur anatomis organ reproduksi lainnya dapat diketahui, misalnya penanda fase preovulatoar dapat diketahui. Penilaian kondisi ekstra tuba tidak dapat dikerjakan dengan HSG. Untuk tes patensi tuba, dilakukan pengamatan akumulasi cairan bebas di kavum Douglas dengan menggunakan TVS hingga identifikasi aliran di dalam tuba dan struktur tuba yang sesungguhnya dengan TVS, Doppler maupun USG 3 dimensi20,. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Pujar dkk, untuk tes patensi tuba, jika dibandingkan dengan laparoskopi kromopertubasi, SIS memiliki sensitivitas 83,3%, spesifitas 82,9%, nilai prediksi positif 42,9% dan nilai prediksi negatif 97,5%. Akurasi diagnosis SIS untuk oklusi tuba unilateral lebih tinggi (97,5%) daripada oklusi tuba bilateral (50%), hal ini disebabkan oleh spasme tuba21.
Perbandingan tes patensi tuba dengan SIS dan laparoskopi kromopertubasi dapat dilihat pada tabel 2.221.
Tabel 2.2. Tes patensi tuba pada SIS dan laparoskopi (Dikutip dari Pujar et al, 2010)21.
Cairan di rongga pelvis meningkat pada saat sebelum ovulasi, maka fase preovulatoar merupakan waktu yang paling ideal untuk melakukan evaluasi tuba. Keuntungan lain adalah dapat mengevaluasi kondisi endometrium dan petumbuhan folikel. Pemeriksa dapat mengevaluasi adanya folikel dominan apabila ditemukan folikel berukuran 14 mm atau lebih dan tidak adanya korpus luteum. Apabila hal ini ditemukan, maka pemeriksa dapat melakukan pemeriksaan selanjutnya tanpa takut melakukan pemeriksaan pada saat oosit sudah ovulasi atau bahkan sudah berjalan di saluran tuba1. Tes patensi tuba biasanya dilakukan setelah evaluasi endometrium, setelah dinilai adanya perlengketan atau lesi intraluminal. Cairan yang dimasukkan saat evaluasi
endometrium
cenderung
melingkupi
ovarium
sehingga
dapat
memberikan latar belakang hipoekoik yang lebih jelas untuk penilaian turbulensi cairan yang diekspresikan oleh tuba yang paten. Turbulensi di sekitar tuba atau cairan bebas di kavum Douglas diinterpretasikan sebagai tuba paten. Sementara itu, apabila tidak ditemukan turbulensi dan didapatkan penggelembungan kavum uteri atau tekanan dirasakan berat diinterpretasikan sebagai oklusi tuba. Gambaran tuba falopii paten dengan dapat terlihat pada gambar 2.921. Mobilitas ovarium dapat dinilai selama pemeriksaan dengan mengamati pergerakan ovarium ketika dilakukan penekanan ringan abdomen bagian bawah dengan probe atau tangan
operator. Tuba atau ovarium yang mengalami perlengketan tidak memiliki pergerakan1.
Gambar 2.9. Gambaran tuba paten dengan SIS (Dikutip dari Pujar et al, 2010)21.
Suatu penelitian serupa SIS tetapi memakai kontras udara yang dilakukan Jeanty dkk menunjukkan tuba yang tidak dapat tervisualisasi disebabkan oleh spasme selama instilasi, adhesi peritubal, obstruksi dan perbedaan permeabilitas antara tuba. Adanya nyeri bahu merupakan tanda tuba paten. Gambaran tuba paten dengan air contrast-sonohysterography berupa bagian hiperekoik yang relatif lurus (Gambar 2.10a) sementara gambaran tuba paten dengan Color Doppler dapat dilihat pada gambar 2.10b. Color Doppler dinilai kurang bermanfaat karena terdapat banyak artefak yang akan menyamarkan tuba22.
Gambar 2.10. Gambaran tuba paten : a. Dengan Air contrast-sonohysterography, b. Dengan Color Doppler (Dikutip dari Jeanty dkk, 2000)22.
2.4. Komplikasi Komplikasi – komplikasi yang mungkin timbul terkait prosedur SIS adalah1,2,3 : 1. Endometritis 2. Eksaserbasi penyakit radang panggul (PRP) 3. Nyeri 4. Perforasi uterus 5. Reaksi vasovagal Sebagaimana umumnya suatu prosedur medis, kejadian yang tidak diinginkan bisa terjadi. Adanya arus normal saline ke arah kavum uteri dan rongga abdomen dapat membawa mikroorganisme dari genitalia eksterna ke arah kavum uteri dan kavum peritoneum dan menyebabkan infeksi panggul atau peritonitis. Meskipun demikian, risiko infeksi sangat rendah (<1%)2,6. Rasa tidak nyaman sering menyertai saat instilasi cairan. Hal ini disebabkan karena uterus memiliki persarafan tipe visceral. Pemberian cairan saline secara lambat dapat menghindari terjadinya kram2. Pemilihan kateter juga harus diperhatikan. Kateter yang terlalu keras dan kaku akan menyebabkan perforasi, sebaiknya memilih kateter yang lunak. Saat kateter menyentuh fundus uteri bisa menyebabkan kram uterus, demikian juga saat dilakukan instilasi normal saline, juga bisa timbul rasa kram. Cara mengalihkannya adalah dengan meminta pasien untuk batuk saat instilasi cairan untuk mengalihkan rasa tidak nyaman tersebut. Transabdominal sonography (TAS) bisa juga digunakan untuk panduan mempermudah melihat gerakan kateter1,2. Refleks vasovagal dapat terjadi dan ditandai dengan rasa panas, mual, pusing, dan bisa kolaps. Terjadinya refleks vasovagal ini berhubungan erat dengan persarafan uterus. Persarafan uterus terutama terdiri atas sistem saraf simpatetik dan untuk sebagian terdiri atas sistem parasimpatetik dan serebrospinal (Gambar 2.11)23. Sistem parasimpatetik berada dalam panggul di sebelah kiri dan kanan os sacrum, berasal dari saraf S2, S3, dan S4 yang selanjutnya memasuki pleksus Frankenhauser. Sistem saraf simpatetik masuk ke rongga panggul sebagai pleksus hipogastrikus melalui bifurkasio aorta dan promontorium terus ke bawah menuju
ke pleksus Frankenhauser. Pleksus ini terdiri atas ganglion – ganglion berukuran besar dan kecil yang terletak terutama pada dasar ligamentum sakrouterina. Serabut – serabut saraf tersebut di atas member inervasi pada miometrium dan endometrium. Kedua sistem simpatetik dan parasimpatetik mengandung unsur motorik dan sensorik. Kedua sistem bekerja antagonistik. Saraf simpatetik menimbulkan dan vasokontriksi, sedanglan parasimpatetik sebaliknya, yaitu mencegah kontraksi dan menimbulkan vasodilatasi24.
Gambar 2.11. Persarafan uterus23
Refleks vagal dapat terjadi saat instilasi cairan saline steril ke dalam kavum uteri. Hal ini disebabkan stimulus akibat uterus yang terdistensi dibawa oleh serat aferen dari nervus hipogastrikus (simpatetik) dan nervus splanikus pelvis (parasimpatetik) melalui traktus spinosolitari menuju nucleus traktus solitarius ke batang otak bagian kaudal. Serat aferen ini melalui jalan yang sama dengan yang dilalui oleh nervus vagus sehingga stimulus berupa uterus yang terdistensi ini juga dapat menimbulkan refleks vasovagal (Gambar 2.12)25.
Gambar 2.12. Hubungan Nervus Vagus dan Uterus
Jika terjadi kegawatdaruratan refleks vasovagal pada prosedur SIS yang harus dilakukan adalah26 :
Hentikan prosedur SIS.
Pertahankan airway, breathing dan circulation.
Posisikan pasien dalam posisi tredelenburg (kepala posisi lebih rendah daripada kaki).
Jika perlu medikamentosa dapat diberikan golongan beta bloker, Dysopiramide, Midodrine, Fludocortisone, Theophylline, golongan SSRI, Enalapril.
Bila
mengalami
kesulitan
saat
insersi
kateter,
dapat
diperiksa
kemungkinan adanya stenosis kanalis servikalis atau posisi uterus yang hiperantefleksi atau hiperretrofleksi. Tenakulum dapat digunakan untuk stabilisasi dan penggunaan sondase penting untuk menilai arah korpus uteri dan dilatasi kanalis servikalis1,2,3.
BAB III RINGKASAN
Saline Infusion Sonohysterography (SIS)
merupakan suatu teknik
pencitraan ultrasonografi dari kavum uteri, di mana sebuah kateter ditempatkan dalam kavum uteri dan media kontras berupa cairan saline steril (NaCl 0,9%) disuntikkan ke dalamnya untuk memisahkan dinding endometrium, yang kemudian akan divisualisasikan dengan TVS. Tujuan utama SIS adalah untuk memperoleh gambaran keadaan kavum uteri, apakah ada suatu abnormalitas endometrium serta untuk tes patensi tuba pada kasus infertilitas. Saline Infusion Sonohysterography (SIS) dilakukan pada kasus kelainan endometrium (polip endometrium, hiperplasia endometrium, kanker endometrium, mioma uteri, adhesi/sinekia), infertilitas (tes patensi tuba), abortus berulang, kelainan kongenital uterus (septum uterus, uterus bikornis, uterus dupleks). Sementara itu SIS tidak boleh dilakukan pada kasus hamil, PRP, akseptor IUD, hematometra, obstruksi (stenosis vagina)1,2,3. Saline Infusion Sonohysterography (SIS) memiliki kemampuan diagnostik yang serupa dengan histeroskopi dalam menilai perdarahan uterus abnormal. Dalam hal ini, kemampuan diagnostik SIS lebih baik daripada TVS. Saline Infusion Sonohysterography (SIS) merupakan metode yang lebih nyaman untuk pasien dan lebih cepat daripada histeroskopi walaupun tingkat kegagalan SIS lebih tinggi daripada histeroskopi9,. Saline Infusion Sonohysterography (SIS) mampu memberikan deskripsi yang baik mengenai ketebalan garis endometrium serta patologi di miometrium, sementara histeroskopi lebih superior dalam memberikan tampilan profil permukaan endometrium dan kemampuan operatif tambahan yang tidak dimiliki SIS12,13. Untuk tes patensi tuba, walaupun dahulu HSG merupakan satu – satunya pemeriksaan dan Laparoskopi di sisi lain walaupun merupakan gold standard, SIS memberikan keuntungan dibandingkan kedua prosedur tersebut karena tidak perlu opname, meminimalisasi rasa tidak nyaman dan paparan radiasi, risiko infeksi yang rendah, tidak membutuhkan sarana radiologi maupun ruang operasi
serta dapat membedakan obstruksi tuba patologis dan obstruksi tuba akibat spasme1,20. Komplikasi SIS berupa infeksi dapat terjadi walaupun risiko infeksi sangat rendah (<1%)6. Rasa tidak nyaman saat instilasi cairan dapat diatasi dengan memberikan cairan saline hangat secara lambat2. Pemillihan kateter yang lunak akan menghindari perforasi uterus. Saat kateter menyentuh fundus uteri bisa menyebabkan kram uterus, cara mengalihkannya adalah dengan meminta pasien untuk batuk saat instilasi cairan1,2. Refleks vasovagal dapat terjadi. Hal ini ditandai dengan rasa panas, mual, pusing, dan bisa kolaps. Bila ini terjadi prosedur harus dihentikan1,2,3. Pada akhirnya, walaupun untuk kelainan endometrium dan tes patensi tuba masing – masing telah memiliki pemeriksaan gold standard yaitu histeroskopi untuk kelainan endometrium dan laparoskopi untuk tes patensi tuba, SIS dapat digunakan untuk kelainan endometrium dan tes patensi tuba, terutama pada tempat layanan kesehatan yang belum memiliki sarana histeroskopi dan laparoskopi. Prosedur SIS juga relatf sederhana dan tidak membutuhkan alat khusus sehingga dharapkan dapat dilakukan oleh seorang dokter spesialis obstetri dan ginekologi.
DAFTAR PUSTAKA
1.
Djuwantono T, Tjahyadi D, Ritonga MNA. Saline-infusion Sonohysterografi dan Sonohisterosalpingografi. In : (Pribadi A, Mose JC, Wirakusumah FF) Ultrasonografi Obstetri & Ginekologi, Edisi I, Sagung Seto ; 2011 : 365-389.
2.
Sutrisno. Peran Transvaginal Sonohysterography (TVS), Saline Infusion Sonohysterography (SIS) dan Office Hysterocopy (OHS) pada Kasus – kasus Abnormal Uterine Bleeding. In : (Djuwantono T, Bayuaji H, Permadi W) Step By Step Penanganan Kelainan Endokrinologi Reproduksi dan Fertilitas dalam Praktik Sehari – hari, Edisi I, Sagung Seto ; 2012 : 207-235.
3.
Parson AK, Saline Infusion Sonohysterography. Medica Mundi 2001 ; 45(2) : 29-41.
4.
American Institute of Ultrasound in Medicine. AIUM Practice Guideline for The Performance of Sonohysterography. J Ultrasound Med 2012 ; 31 : 165172.
5.
Berridge DL, Winter TC. Saline Infusion Sonohysterography Technique, Indications, and Imaging Findings. J Ultrasound Med 2004 ; 23 : 97-112.
6.
Hoffman BL, Schorge JO, Schaffer JL, Halvorson LM, Bradshaw KD, Cunningham FG. Techniques Used for Imaging in Gynecology. In : (Hoffman BL, Schorge JO, Schaffer JL, Halvorson LM, Bradshaw KD, Cunningham FG) Williams Gynecology, 2nd Edition, McGraw Hill ; 2012 : 35-36.
7.
Kelecki S, Kaya E, Alan M, Alan Y, Bilge U, Mollamahmutoglu L. Comparison
of
Transvaginal
Sonohysterography,
Saline
Infusion
Sonohysterography, and Office Hysteroscopy in Reproductive-aged Woman with or without Abnormal Uterine Bleeding. Fertility and Sterility 2005 ; 84(3) : 683-686. 8.
Yildizhan
B,
Yildizhan
R,
Ozkesici
B,
Suer
N.
Transvaginal
Ultrasonohysterography and Saline Infusion Sonohysterography for The Detection of Intra-uterine Lesion in Pre and Post Menopausal Women with
Abnormal Uterine Bleeding. Journal of International Medical Research 2008 ; 36 : 1205-1213. 9.
Rogerson L, Bates J, Weston M, Duffy S. A Comparison of Outpatirnt Hysteroscopy with Saline Infusion Hysterosonohysterography. BJOG 2002 ; 109 : 800-804.
10. Grimbizis G, Tsolakidis D, Mikos T, Anagnostou E, Asimakopoulos E, Stamatopoulos P, Tarlatus B. A Prospective Comparison of Transvaginal Ultrasound,
Saline
Infusion
Sonohysterography,
and
Diagnostic
Hysteroscopy in the Evaluation of Endometrial Pathology. Fertility and Sterility 2010 ; 94(7) : 2720 – 2725. 11. Soguktas S, Cogendez E, Kayatas SE, Asoglu MR, Selcuk S, Ertekin A, Comparison of Saline Infusion Sonohysterography and Hysterocopy in Diagnosis of Premenopausal Women with Abnormal Uterina Bleeding. European Journal of Obstetrics & Gynecology and Reproductive Biology 2012 ; 161 : 66-70. 12. Sharma M, Joshi S, Sharma A, Nagar O, Khuleta R, Bagarhatta M. Role of Saline Infusion Sonohysterography in Abnormal Uterine Bleeding. Int J Reprod Contracept Obstet Gynecol 2013 ; 2(4) : 533-538. 13. Dijkhuizen FPHLJ, De Vries LD, Mol BWJ, Brolmann HAM, Peters HM, Moret E, Heintz APM. Comparison of Transvaginal Ultrasonohysterography and Saline Infusion Sonohysterography for The Detection of Intracavitary Abnormalities in Premenopausal Woman. Ultrasound Obstet Gynecol 2000 ; 15 : 372-376. 14. Matthew M, Gowri V, Rizvi SG. Saline Infusion Sonohysterography-An Effective Tool for Evaluation of The Endometrial Cavity in Women with Abnormal Uterine Bleeding. Acta Obstetrica et Gynecologica 2010; 89 : 140142. 15. Dessole S, Rubattu G, Farina M, Capobianco E, Cherchi PL, Tanda F, Gallo O, Ambrosini G. Risks and Usefulness of Sonohysterography in Patients with Endometrial Carcinoma. American Journal of Obstetrics and Gynecology 2006 ; 194 : 362-368.
16. Karimzadeh MA, Firouzabadi RD, Goharzad F. Diagnostic Value of Saline Contrast Sonohysterography Comparing with Hysteroscopy for Detecting Endometrial Abnormalities in Women with Abnormal Uterine Bleeding. Iranian Journal of Reproductive Medicine 2011 ; 9(3) : 199-202. 17. Beemsterboer SN, Thurkowi AL, Verstraeten R, Brolmann HAM. Reproducibility of Saline Contrast Sonohysterography for The Detection of Intracavitary Abnormalities in Women with Abnormal Uterine Bleeding. Ultrasound Obstet Gynecol 2008 ; 31 : 445-449. 18. Hajishafiha M, Zobairi T, Zanjani VR, Ghasemi-Rad M, Yekta Z, Mladkova N. Diagnostic Value of Sonohysterography in The Determination of Fallopian Tube Patency as An Intial Step of Routine Infertility Assessment. J Ultrasound Med 2009; 28 : 1671-1677. 19. Maheux-Lacroix S, Boutin A, Moore L, Bergeron M, Bujold E, Laberge PY, Lemyre M, Dodin S. Hysterosaphyngosonohysterography for Diagnosing Tubal Occlusion in Subfertile Women : A Systematic Review Protocol. Systematic Reviews 2013 ; 2(50) : 1-5. 20. Lindheim SR, Sprague C, Winter TC. Hysterosalphyngography and Sonohysterography : Lesson in Technique. AJR 2006; 186 : 24-29. 21. Pujar Y, Sherigar B, Patted S, Desai BR, Dhumale H. Comparative Evaluation of Saline Infusion Sonohysterography and Hysterolaparoscopy for Diagnosis of Uterine Cavity Abnormalities and Tubal Patency in Infertility : A One Year Cross-sectional Study. South Asian Federation of Obstetrics and Gynecology 2010 ; 2(2) : 133-135. 22. Jeanty P, Besnard S, Arnold A, Turner C, Crum P. Air-contrast Sonohysterography as A First Step Assessment of Tubal Patency. J Ultrasound Med 2000 ; 19 : 519-527. 23. Cited
from
:
http://what-when-how.com/neuroscience/the-autonomic-
nervous-system-integrative-systems-part-4/ 24. Rachimhadhi T. Anatomi Alat Reproduksi. In : (Saifuddin AB, Rachimhadhi T, Wiknjosastro GH) Ilmu Kebidanan Sarwono Prawirohardjo, Edisi Keempat, PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo ; 2008 : 125.
25. Collins JJ, Lin CE, Berthoud HR, Papka RE. Vagal afferent from the uterus and cervix provide direct connections to the brainstem. Cell Tissue Res 1999 : 295 : 43-54. 26. Parry SW, Kenny RA. The Management of Vasovagal Syncope. QJM 2009 : 92(12) : 697-705.