P ABENDON ET AL.: PEMBENTUKAN KLASTER GENOTIPE JAGUNG
Pembentukan Klaster Genotipe Jagung Berdasarkan Markah SSR (Simple Sequence Repeat) 1
2
3
1
2
Marcia B. Pabendon , E. Regalado , Sutrisno , M. Dahlan , dan M.L. George 1
Balai Penelitian Tanaman Serealia, Maros Asian Maize Biotechnology Network, CIMMYT, Philippines 3 Balai Penelitian Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian, Bogor 2
ABSTRACT. The Cluster Recuiring of Maize Genotypes Based on SSR (Simple Sequence Repeat) Markers. The Simple Sequence Repeats (SSRs) have been used to identify maize inbreds into heterotic groups in relation to the determination of hybrid parents. Thirty seven inbreds collected from Maros, Bogor, and Thailand (CIMMYT Asian), were analyzed with 30 SSRs primers that are distributed over the ten chromosomes of maize genome. From the total of 43 inbreds, 145 elleles were identified, ranging from 2 to 8 alleles per locus with the average of 4.8 alleles. The polymorphism information content (PIC) ranges from 0.21 (umc1161) to 0.87 (umc1196) with the average of 0.62. Cluster analysis placed the inbred lines in nine groups and six inbreds do not belong to the nine groups. However, based on bootstrap analysis, each cluster has a low degree of confidence. According to PCA, there were three SSRs loci which were not contributed to the construction of the dendrogram as the result of low PIC value i.e. phi050 (0.31%), phi420701 (0.40%), and umc1161 (0.21%). The cophenetic correlation (r) is 0.874, showing a good fit of the dendrogram with the similarity matrix generated using SSRs data. The result showed that the genotypes that were collected from different places or institutions, were not always in different clusters. The high value of genetic distance was consistent with the information of specific combining ability (SCA). The SSRs technique can be used for assigning inbreds into clusters and quantifying genetic similarity, but it seems that a large number of SSRs primers are required to obtain reliable estimates of genetic distance. Key words: Maize inbreds, cluster, Simple Sequence Repeat (SSR). ABSTRAK. Analisis klaster beberapa genotipe jagung menggunakan metode Simple Sequence Repeat (SSRs) bertujuan untuk mengelompokkan galur-galur murni ke dalam kelompok heterotik guna menentukan tetua hibrida. Sejumlah 37 genotipe jagung yang dikoleksi dari Maros, Bogor, Malang dan Thailand (CIMMYT program Asia) telah diidentifikasi untuk membentuk klaster berdasarkan kekerabatan genetik menggunakan 30 markah SSR, dengan memilih praimer yang menyebar secara merata pada 10 kromosom jagung. Dari 43 genotipe yang diuji, diperoleh 145 alel dengan kisaran 2 sampai 8 alel per lokus, rata-rata 4,8 alel. Nilai polimorfisme berkisar dari 0,21 (umc1161) sampai 0,97 (umc1196), dengan rata-rata 0,62. Berdasarkan analisis klaster, 43 genotipe dibagi ke dalam sembilan kelompok. Di samping itu, ada enam genotipe yang tidak masuk pada salah satu dari kelompok tersebut dan berdiri sendiri. Analisis bootstrapping menunjukkan tingkat konfidensi dari setiap klaster relatif rendah, kecuali klaster D (99,3%). Hasil analisis komponen utama (PCA), menunjukkan tiga lokus SSR yang tidak mempunyai kontribusi dalam pembentukan dendrogram dan lokus-lokus tersebut mempunyai tingkat polimorfisme paling rendah, yaitu phi050 (0,31%), phi420701 (0,40%), dan umc1161 (0,21%). Koefisien korelasi kofenetik (r) dari dendrogram berdasarkan matriks kemiripan genetik adalah 0,874. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa genotipe yang dikoleksi dari institusi atau daerah yang berbeda tidak selalu berada dalam kelompok heterotik yang berbeda. Informasi lain adalah pasangan genotipe dengan jarak genetik tinggi didukung oleh nilai daya gabung khusus (DGK) yang baik. Teknik SSR dapat membantu
dalam pembentukan klaster berdasarkan kekerabatan genetik, namun masih perlu diuji lebih banyak praimer untuk membentuk klasterklaster yang lebih akurat dengan tingkat konfidensi yang lebih tinggi. Kata kunci: Genotipe jagung, klaster, Simple Sequence Repeat (SSR).
S
alah satu kesulitan dalam pembentukan kultivar hibrida adalah pemilihan tetua yang memiliki heterosis tinggi. Pemilihan tetua jagung dalam pengembangan populasi dasar merupakan hal yang krusial karena keberhasilannya sebagian besar ditentukan oleh tahapan seleksi. Oleh sebab itu, jika pemulia dapat memprediksi prospek persilangan galur-galur yang akan dikembangkan sebelum memproduksi dan menguji di lapang, maka efisiensi program pemuliaan akan meningkat dengan cara mengkonsentrasikan upaya pembentukan populasi dasar dari materi-materi persilangan yang paling potensial. Teknik yang sudah lama digunakan oleh para pemulia jagung dalam memilih tetua dari galur murni adalah melalui topcross untuk pengujian daya gabung umum (DGU), dilanjutkan dengan testcross untuk pengujian daya gabung khusus (DGK), kemudian dilanjutkan pada persilangan dialel. Menurut Hallauer dan Miranda (1988), secara normal total waktu yang dibutuhkan untuk kegiatan tersebut sekitar 10-15 tahun di daerah subtropis, sedangkan di daerah tropis 5-7 tahun. Dengan bantuan markah molekuler pola heterotik dapat langsung diperoleh setelah pengujian DGU sehingga tidak perlu melakukan testcross. Dengan demikian, cara ini pada kondisi normal dapat menghemat waktu, tenaga, dan biaya untuk dua musim tanam. Senior et al. (1998) menguji tingkat polimorfisme 94 galur murni dengan menggunakan 70 markah SSR (Simple Sequence Repeat) yang polimorfis, dan berhasil mengidentifikasi sebanyak 365 alel. Pola perbedaan genetik galur-galur tersebut konsisten dengan hasil pedigree, dan hasil klaster sesuai dengan data pedigree yang mengikuti pola heterotik. Penelitian Senior et al. (1996) menemukan bahwa lokus SSR berpautan dengan lokus Restricted Fragment Length Polymorphism (RFLP) yang berdekatan dan segregasinya mengikuti pola pewarisan Mendel. 23
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN P ANGAN V OL. 22 NO. 1 2003
Markah SSR umumnya terdeteksi pada satu lokus (single locus). Lee et al. (1989), yang menggunakan markah RFLP mengestimasi jarak genetik ke dalam jarak Roger (Modified Roger Distance=MRD). Estimasi jarak genetik sejumlah galur murni jagung berdasarkan MRD menunjukkan bahwa hasil dan kemampuan daya gabung khusus (DGK) mempunyai korelasi yang nyata dengan MRD pada enam dari 10 peta kromosom jagung. Dengan demikian RFLP adalah salah satu metode alternatif potensial yang dapat membantu pengujian di lapang. Namun demikian, RFLP kurang diminati karena membutuhkan banyak tenaga dan waktu serta tingkat polimorfisme yang lebih rendah dibandingkan dengan markah SSR. Tujuan penelitian ini untuk membentuk klaster beberapa genotipe yang dikoleksi, berdasarkan hubungan kekerabatan, dengan menggunakan markah SSR.
BAHAN DAN METODE Penelitian dilaksanakan di laboratorium Biologi Molekuler, Balai Penelitian Bioteknologi Pertanian dan Sumber Daya Genetik (Balitbiogen), Bogor, dan di laboratorium service Asian Maize Biotechnology Network (Ambionet) di IRRI, Los Banos, Filipina pada tahun 2001-2002. Dalam percobaan ini digunakan 37 genotipe jagung yang dikoleksi dari Malang, Bogor, Maros, dan Thailand. Koleksi tersebut sebagian besar diintroduksi dari tem- pat yang sama, yaitu CIMMYT Asia, Thailand (Dahlan 2002, Subandi 2002, komunikasi pribadi), dan kemungkinan berasal dari populasi yang sama. Kemungkinan sebagian besar dari koleksi tersebut mempunyai latar belakang genetik yang sama walaupun dikoleksi dari tempat yang berbeda di Indonesia. Oleh sebab itu, jika dilakukan pengujian daya gabung umum maupun daya gabung khusus materi-materi tersebut yang hanya didasarkan pada perbedaan tempat atau asal dari genotipe maka hasilnya tidak akan efektif. Isolasi DNA dilakukan di laboratorium service Ambionet, IRRI, Filipina. Proses ekstraksi mengikuti metode CTAB (Cetyl Trimetyl Amonium Bromide) (Saghai-Maroof et al. 1984) yang telah dimodifikasi untuk tanaman jagung (Regalado 2002). Tanaman yang diekstraksi adalah yang berumur 10-15 hari setelah dikecambahkan pada baki plastik, dengan menggunakan media tanah. Kuantitas dan kualitas DNA hasil ekstraksi diukur melalui elektroforesis horizontal dengan menggunakan gel agarose 0,8%. Proses amplifikasi menggunakan metode SSR, yang menggunakan mesin PCR (Polymerase Chain Reaction). Amplifikasi bertujuan untuk menggandakan DNA yang akan dipakai untuk masing-masing praimer 24
yang digunakan. Pada metode SSR, konsentrasi DNA yang dibutuhkan untuk satu reaksi adalah 10 ng/µl. Dalam penelitian ini digunakan 30 praimer SSR. Penggunaan praimer berdasarkan hasil optimasi laboratorium service Ambionet (Regalado 2002). Praimer diperoleh dari laboratorium bioteknologi CIMMYT. Proses amplifikasi sebanyak 30 siklus, yang terdiri dari beberapa tahap sesuai protokol CIMMYT dan hasil optimasi laboratorium service Ambionet adalah Tahap o pertama, denaturasi 1 menit pada suhu 94 C yang diikuti oleh tahap kedua yaitu 1 menit pada suhu yang o sama, 1 menit pada suhu 65 C, dan 2 menit pada suhu o 72 C. Temperatur annealing kemudian diturunkan dari o 1 C setiap dua siklus hingga berakhir pada saat temperatur annealing tercapai. Tahap kedua diulang 29 kali dan berakhir dengan siklus pemanjangan pada o suhu 4 C. Setelah selesai, hasil amplifikasi dikeluarkan dari mesin PCR. Reaksi dihentikan dengan memasukkan 4 µl sequencing dye atau stop solution (70% glicerol, 20 mM EDTA, 0,2% SDS, 0.6 mg/ml bromphenol blue) pada masing-masing tube microplate. Hasil amplifikasi produk PCR dicek melalui elektroforesis horizontal yang menggunakan gel agarose 1%. Jika DNA teramplifikasi maka separasi DNA dari produk PCR dapat dilanjutkan pada gel vertikal dengan menggunakan gel poliakrilamid, yang mampu menghasilkan resolusi yang tinggi. Analisis data dilakukan berdasarkan hasil skoring pola pita DNA yang muncul pada plate. Hasil skoring dalam bentuk data biner, jika ada pita diberi skor satu dan jika tidak ada pita diberi skor 0. Data biner dianalisis dengan menggunakan program komputer NTSYS-pc versi 2.1 (Rohlf 2000). Polimorphic Information Content (PIC) berdasarkan terminologi nilai PIC ini sama dengan nilai diversitas gen (heterozygosity) (Weir 1996). Nilai PIC memberikan perkiraan kekuatan pembeda dari marker dengan menghitung bukan saja jumlah alel dalam satu lokus, tetapi juga frekuensi relatif dari sejumlah alel dari suatu populasi yang diidentifikasi. Lokus markah dengan jumlah alel yang banyak akan terdapat pada frekuensi yang seimbang dengan nilai PIC yang paling tinggi. Nilai PIC dihitung untuk masing-masing markah SSR (Smith et al. 1997). Nilai PIC digunakan dalam mengukur diversitas alel pada satu lokus dengan formula: n
PIC = 1 -
2
Σ fi
i = 1, 2, 3, ………n
1
2
di mana f i adalah frekuensi alel ke-i.
P ABENDON ET AL.: PEMBENTUKAN KLASTER GENOTIPE JAGUNG
Analisis matriks jarak genetik merupakan analisis yang membandingkan antara ketidaksamaan karakter terhadap jumlah seluruh karakter. Matriks jarak genetik dapat diperoleh dari hasil analisis kemiripan genetik (Lee 1998) dengan formula: S = 1 - GS di mana S = jarak genetik GS = kemiripan genetik (Genetic Similarity). Tingkat kemiripan genetik adalah tingkat kemiripan karakter, dalam hal ini fragmen pita yang dimiliki secara bersama dari genotipe-genotipe yang diidentifikasi. Tingkat kemiripan genetik (GS) diestimasi dari data jumlah alel menggunakan koefisien Jaccard (Rohlf 2000) dengan formula: S=
m (n + u)
di mana m = jumlah pita (alel) DNA yang sama posisinya n = total pita DNA u = jumlah pita (alel) DNA yang tidak sama posisinya. Ke-43 genotipe dikelompokkan berdasarkan matriks kemiripan genetik melalui Unweighted Pair Group Method Using Arithmatic Average (UPGMA). Matriks jarak dan dendrogram dibentuk dengan menggunakan program NTSYS-pc (Numerical Taxonomic System) versi 2.1 (Rohlf 2000). Untuk mengetahui tingkat kepercayaan pengelompokan pada dendrogram berdasarkan set praimer yang digunakan, dilakukan a n a l i s i s bootstrapping m e n g g u n a k a n p r o g r a m "winboot". Analisis komponen utama digunakan untuk mengetahui praimer-praimer yang berperan dalam pembentukan dendrogram. Komponen utama dari peubah data asal diperoleh dari matriks varians-kovarians peubah asalnya. Skor komponen utama untuk setiap pengamatan dihitung melalui persamaan (Dillon and Goldstein 1984): Y h1 = a1 (xh - x), ....... Y hk = ak (xh - x) di mana Y h1 = skor komponen ke-1 dari objek pengamatan ke-h a 1 = vektor pembobot komponen utama ke-1 X h = vektor data pengamatan dari objek ke-h x = vektor nilai rata-rata dari variabel asal
HASIL DAN PEMBAHASAN Analisis Polimorfisme pada 30 Lokus SSR Tiga puluh praimer SSR yang diamplifikasi menyebar secara merata pada 10 kromosom genom jagung. Masing-masing kromosom diidentifikasi tiga lokus SSR (Tabel 1). Dari 43 genotipe yang dianalisis, diperoleh 145 alel dengan jumlah rata-rata 4,8 dan berkisar dari 2 sampai 8 alel per lokus. Tingkat polimorfisme (PIC) berkisar antara 0,21-0,87 dengan rata-rata 0.62. Tingkat polimorfisme paling rendah terdapat pada lokus umc1161 (0,21%) dan paling tinggi pada lokus umc1196 (0,87%). Hasil analisis ini konsisten dengan yang diperoleh Smith et al. (1997) dengan tingkat polimorfisme ratarata 0,62. Senior et al. (1998) memperoleh rata-rata tingkat polimorfisme yang lebih rendah, hanya 0,59%. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh penggunaan gel agarose karena resolusi gel agarose lebih rendah daripada poliakrilamid. Szewe-McFadden et al. (1996) dalam Rongwen et al. 1995 mengemukakan bahwa penggunaan praimer SSR sebanyak 10-20 memungkinkan untuk membedakan sejumlah genotipe yang berkerabat dekat karena kemampuan menghasilkan polimorfisme yang tinggi. Olufowote et al. (1997), sebagaimana dikutip Garland et al. (1999) mengemukakan bahwa SSR atau mikrosatelit lebih akurat dalam mengidentifikasi variasi di antara genotipe. Dari 14 genotipe yang mereka uji, 21,5% heterogenus berdasarkan data fenotipik dan RFLP, sedangkan data mikrosatelit sebesar 64%. Pada Gambar 1 dapat dilihat salah satu contoh profil lokus SSR yaitu phi034 pada gel poliakrilamid. Analisis Klaster Berdasarkan Similaritas Genetik Analisis kemiripan genetik digunakan untuk menentukan hubungan kekerabatan genetik 43 genotipe jagung yang diidentifikasi. Hubungan kekerabatan tersebut dapat ditampilkan dalam bentuk visualisasi dendrogram melalui analisis NTSYS, yang diturunkan dari matriks kemiripan genetik. Dendrogram tersebut dikonstruksi melalui UPGMA pada 30 lokus SSR. Koefisien korelasi kofenetik (r = 0,874) tergolong good fit (Rohlf and Fisher 1968, dikutip Rohlf 2000). Hal ini menunjukkan bahwa jumlah praimer yang digunakan cukup memadai untuk membentuk dendrogram. Peijic et al. (1998) mengemukakan bahwa nilai koefisien korelasi kofenetik menggambarkan akurasi pengelompokan secara genotipik yang dapat dihasilkan berdasarkan estimasi kemiripan genetik antara inbred yang diidentifikasi dengan markah yang
25
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN P ANGAN V OL. 22 NO. 1 2003 Tabel 1. Profil 30 lokus SSR pada 43 genotipe jagung yang diidentifikasi. No.
Lokus
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30
phi109275 umc1122 phi227562 phi96100 phi083 phi101049 phi374118 phi053 phi046 phi072 phi079 phi076 phi109188 phi087 umc1153 umc1143 phi452693 phi299852 umc1545 phi034 phi328175 phi420701 phi233376 umc1161 umc1279 phi032 umc1277 phi041 phi050 umc1196
Kromosom no.
Susunan basa
Kisaran relatif lokus SSR (bp)*
Kisaran relatif lokus SSR (bp)**
Jumlah alel
Polimorfisme (%)
1,00 1,06 1,12 2,00 2,04 2,09 3,02 3,05 3,08 4,00 4,05 4,11 5,00 5,06 5,09 6,00 6,06 6,08 7,00 7,02 7,04 8,00 8,03 8,06 9,00 9,04 9,08 10,00 10,03 10,07
AGCT (CGT)7 ACC ACCT AGCT AGAT ACC ATAC ACGC AAAC AGATG AGCGGG AAAG ACC (TCA)4 AAAAT AGCC AGC (AAGA) 4 CCT AGG CCG CCG (GCTGGG)5 (CCT) 6 AAAG (AATA) 5 AGCC AAGC CACACG
119-143 151-169 310-328 269-297 125-137 230-274 217-238 167-195 62-66 143-167 180-195 161-173 148-174 150-177 105-114 76-86 125-145 111-149 70-86 122-146 100-130 291-300 142-154 134-158 92-101 233-241 134-138 196-216 80-86 137-161
119-143 151-169 310-325 269-297 129-135 230-274 217-238 169-195 62-66 143-163 165-197 161-175 148-172 150-179 105-114 77-87 125-145 111-147 70-86 122-146 100-130 291-300 142-154 134-158 92-101 233-245 130-138 196-216 80-86 137-161
6 3 5 5 3 8 5 5 2 4 7 4 5 5 5 7 6 7 5 4 5 4 5 6 4 4 3 4 3 6
0,79 0,43 0,55 0,66 0,60 0,85 0,72 0,79 0,46 0,58 0,55 0,68 0,70 0,62 0,59 0,77 0,69 0,76 0,71 0,61 0,64 0,40 0,65 0,21 0,45 0,85 0,50 0,55 0,31 0,87
* = data dari laboratorium servis Ambionet, Philippines ** = data 43 genotipe yang diidentifikasi
Gambar 1. Salah satu contoh profil lokus SSR phi034.
digunakan. Untuk visualisasi dendrogram yang lebih akurat maka nilai koefisien kofenetik sebaiknya >0,9, tergolong very good fit. Angka ini dapat diperoleh jika lebih banyak praimer yang digunakan. Nilai tersebut ditetapkan berdasarkan interpretasi koefisien kofenetik dari Rohlf dan Fisher (1968), dikutip Rohlf (2000), dimana nilai r > 0,9 (very good fit), 0,8 < r < 0,9 (good fit), 0,7 < r < 0,8 (poor fit), dan r < 0,7 (very poor fit). Penentuan kelompok atau klaster dilakukan berdasarkan metode pautan rata-rata (average linkage) dengan memilih selisih jarak terbesar serta didukung
26
oleh informasi lain seperti populasi asal genotipe. Selain itu juga didukung oleh hasil analisis bootstrapping yang menggunakan program winboot. Berdasarkan pertimbangan tersebut, ditarik garis memotong dendrogram pada skala tingkat kekerabatan (genetic similarity) 0,290. Dari pemotongan dendrogram terbentuk sembilan kelompok, yang diberi inisial A sampai I (Tabel 2, Gambar 2). Selain itu, ada enam genotipe yang terpisah. Hasil analisis bootstrap menunjukkan hampir semua klaster, kecuali klaster D, mempunyai tingkat konfidensi pengelompokan yang relatif rendah. Ada dua klaster berdasarkan UPGMA yaitu E dan H tidak terlihat atau genotipe-genotipe tersebut menjadi outlayer berdasarkan analisis bootstrapping (Tabel 2). Berarti belum ada karakter yang terdeteksi yang mampu meningkatkan konfidensi kedua kelompok tersebut. Rendahnya tingkat konfidensi pengelompokan kemungkinan disebabkan oleh praimer yang digunakan masih relatif kurang. Secara umum tampak bahwa dendrogram berdasarkan UPGMA konsisten dengan
P ABENDON ET AL.: PEMBENTUKAN KLASTER GENOTIPE JAGUNG
A CML51 W39 W44 W46 CML206 1 CML396 LYDMR CA00108 P4G12 Arc1-S5 CA00324 W49 W54 CA00332 CA14502 W63 CA14514 J1-46 CA03111 CA03123 CA03136 CA03139 CA03102 CA03134 CML236 CA00302 W51 AMATL W65 W48 J2-375 W42 2 CML292 3 CML202 GM19 J1-19 W64 SW3-109 W57 4 J2-R SW3-61 65 GM15 CA34503
Arc1-S5
0.00
0.25
0.50
0,29
0.75
A
B
C
D E F
G H
I
1.00
Koefisien kemiripan genetik genetik Koefisien kemiripan
Gambar 2. Fenogram 43 genotipe jagung berdasarkan kemiripan genetik yang dikonstruksi berdasarkan UPGMA dengan menggunakan koefisien Jaccard pada 30 lokus SSR.
dendrogram hasil analisis bootstrap. Hal ini didukung oleh nilai koefisien kofenetik yang masih tergolong good fit. Jika kelompok-kelompok yang terbentuk dibandingkan dengan asal koleksi, tampak bahwa genotipe yang berada dalam kelompok yang sama tidak semua berasal dari tempat yang sama, kecuali kelompok D. Hal tersebut menunjukkan bahwa pengelompokan berdasarkan asal koleksi tidak selalu mendukung pengelompokan berdasarkan markah molekuler. Ahmad et al. (1980), seperti dikutip Daradjat et al. (1991) melaporkan bahwa genotipe yang berasal dari daerah yang sama tidak selalu berada dalam klaster yang sama. Artinya, diversitas geografi tidak selalu ada hubungannya dengan diversitas genetik. Dari total 37 genotipe yang diidentifikasi, terdapat lima genotipe yang telah dipilih berdasarkan hasil daya gabung yang baik, yaitu J2-R-144, SW3-61, J1-46, J1-19 dan SW3-109. Pada Gambar 2 tampak bahwa kelima genotipe juga berada pada kelompok yang berbeda dan mempunyai peluang untuk dijadikan sebagai tetua hibrida.
Alel yang Berperan dalam Pembentukan Dendrogram Untuk mengetahui alel-alel yang berperan dalam pembentukan dendrogram dilakukan analisis komponen utama (Principal Component Analysis = PCA). Dari hasil analisis tersebut diperoleh empat komponen utama pertama yang memiliki akar ciri >1 (Tabel 3). Komponen utama PC-1, PC-2, PC-3 dan PC-4 dapat menerangkan keragaman pita SSR masing-masing 12,96%, 8,37%, 6,72%, dan 5,77%. Total keempat PC tersebut adalah 33,82%. Artinya hanya 33,82% keragaman dari karakter pita SSR 43 genotipe jagung dapat diterangkan oleh komponen utama tersebut. Rendahnya nilai komponen utama ini menunjukkan perlunya penambahan praimer untuk mendukung keakuratan pengelompokan. Dari 33,82% nilai komponen utama diperoleh 49 alel yang berperan dalam pembentukan dendrogram, yang berada pada 27 lokus SSR. Lokus SSR yang tidak berperan adalah phi050, phi420701, dan umc1161. Ketiga lokus tersebut mempunyai tingkat polimorfisme yang paling rendah masing-masing 0,31%, 0,40% dan 0,21% (Tabel 1). 27
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN P ANGAN V OL. 22 NO. 1 2003 Tabel 2. Komposisi genotipe dalam klaster berdasarkan similaritas genetik. Klaster
Jumlah genotipe pada tiap klaster
A
CML51 W39 W44 W46
B
Tingkat kemiripan genetik
Tingkat konfidensi pengelompokan (%)
Mexico (CIMMYT) Thailand (CIMMYT Asia) Thailand (CIMMYT Asia) Thailand (CIMMYT Asia)
0,275
8,0
CML396 LYDMR CA00108
Mexico (CIMMYT) Maros Thailand (CIMMYT Asia)
0,375
49,0
C
P4G12 CA00324 J2-375 W49 W54 CA00332 CA14502 W63 CA14514 J1-46-2*
Bogor Bogor Maros Thailand (CIMMYT Asia) Thailand (CIMMYT Asia) Thailand (CIMMYT Asia) Thailand (CIMMYT Asia) Thailand (CIMMYT Asia) Thailand (CIMMYT Asia) Maros
0,305
36,5
D
CA03111 CA03123 CA03136 CA03139 CA03102 CA03134
Thailand (CIMMYT Asia) Thailand (CIMMYT Asia) Thailand (CIMMYT Asia) Thailand (CIMMYT Asia) Thailand (CIMMYT Asia) Thailand (CIMMYT Asia)
0,740
99,3
E
CML236 CA00302
CIMMYT (Mexico) Thailand (CIMMYT Asia)
0,325
-
F
W51 AMATL W65 W48 J2-375
Thailand (CIMMYT Asia) Maros Thailand (CIMMYT Asia) Thailand (CIMMYT Asia) Maros
0,330
15,8
G
CML202 GM19 J1-19*
Mexico (CIMMYT) Maros Maros
0,305
10,5
H
W64 SW3-109*
Thailand (CIMMYT Asia) Maros
0,330
-
I
GM15 CA34503
Maros Thailand (CIMMYT Asia)
0,305
45,0
CML206 W42 CML292 W57 J2-R-144* Sw3-61*
CIMMYT (Mexico) Thailand (CIMMYT Asia) Mexico (CIMMYT) Thailand (CIMMYT Asia) Maros Maros
-
-
Tunggal (berdiri sendiri)
Asal koleksi
* = genotipe calon tetua hibrida berdasarkan pengamatan fenotipik.
Analisis Jarak Genetik dengan Nilai Daya Gabung Khusus Genotipe Berdasarkan pola pita 30 lokus SSR diperoleh matriks kemiripan genetik (genetic similarity) 43 genotipe jagung berdasarkan koefisien Jaccard. Dari matriks tersebut diperoleh nilai jarak genetik. Jarak genetik ter-
28
besar (0,89) terdapat pada pasangan genotipe CA34503 vs CML51 dan GM15 vs CA03136. Jarak genetik terkecil dengan nilai 0 terdapat pada pasangan genotipe CA03139 vs CA03102. Dasar penentuan nilai jarak genetik yang pasti yang dapat menghasilkan heterosis tinggi sangat sukar karena banyak faktor yang menentukan (Lee 1998).
P ABENDON ET AL.: PEMBENTUKAN KLASTER GENOTIPE JAGUNG Tabel 3. Nilai komponen utama (PC) dari masing-masing pita/alel yang berperanan dalam membedakan 43 genotipe jagung yang diidentifikasi. No.
Lokus SSR
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49
phi032 phi034 phi041 phi048 phi053
phi072 phi076
phi079 phi083
phi087 phi101049 phi109188 phi109275 phi227562 phi233376 phi299852
phi328175 phi374118 phi452693 phi96100 umc1122 umc1143
umc1153 umc1196 umc1277 umc1279 umc1545
Akar ciri Keragaman (%) Kumulatif
Alel (bp)
PC1
PC2
PC3
PC4
241 233 122 204 200 66 62 187 175 171 155 151 173 167 161 190 135 133 128 g1 258 168 i2 i3 g1 h1 147 123 111 130 124 232 217 125 289 277 151 86 82 80 114 106 149 143 138 134 98 86 81
-0,0378 -0,0571 -0,1506 -0,0815 -0,0105 -0,3090 0,3089 -0,0720 0,1375 -0,3191 -0,0997 -0,0331 0,2342 -0,2794 0,0430 -0,2111 0,1571 -0,0264 0,1610 -0,1769 -0,0281 -0,2849 -0,3089 0,0797 0,0956 -0,3135 -0,3291 0,1991 0,0718 0,1711 -0,0235 0,0173 0,0434 -0,2476 0,1679 -0,2725 -0,2956 0,0413 -0,3262 0,1412 0,1409 -0,2334 0,1897 0,0272 0,0667 -0,0683 -0,1355 -0,2587 0,1447
0,2327 -0,2714 -0,0276 0,0106 -0,0150 0,1406 -0,1406 -0,1238 0,1347 0,0749 0,2156 -0,2790 0,2353 -0,0192 -0,2075 -0,2065 -0,2598 0,0835 0,1869 0,1038 0,0119 0,0739 0,0558 -0,0230 0,1099 0,0613 0,0628 0,2265 -0,2037 0,1074 -0,0843 -0,3278 0,0657 -0,0349 0,2567 -0,0267 0,0322 0,0740 0,0747 -0,3030 -0,1780 0,0754 0,1659 -0,0216 -0,1631 0,2253 -0,0308 -0,0450 -0,0071
-0,0150 0,0371 0,1577 -0,0713 0,2262 -0,0328 0,0328 0,2033 -0,0227 -0,0067 0,0303 -0,0404 0,1346 -0,0580 -0,0423 -0,0066 -0,0611 -0,0258 0,1124 0,2413 -0,0716 0,1024 -0,0825 0,2636 -0,0137 -0,0282 -0,0299 -0,0729 0,2329 0,0056 0,0612 0,2039 -0,2602 0,2147 0,0784 -0,0967 -0,0913 0,1855 -0,0701 -0,1374 -0,0234 -0,1046 -0,0069 -0,1722 -0,2175 0,1920 -0,0061 0,0132 -0,0516
0,1785 -0,1610 -0,1843 -0,1746 -0,2094 0,1755 -0,1755 -0,1318 -0,0593 -0,0291 -0,1726 0,1519 0,0463 -0,0110 -0,0690 -0,0119 0,0618 -0,1254 0,1407 -0,1810 -0,0664 0,1756 -0,0335 -0,0185 -0,1613 -0,0163 -0,0371 0,0264 -0,0261 -0,1502 0,0180 0,0814 0,0697 -0,0126 0,0624 0,0435 -0,0679 0,0756 0,0068 -0,1047 0,2216 -0,1477 -0,1510 -0,0379 -0,1922 0,2358 -0,1776 -0,1332 0,2221
12,41 12,96 12,96
1,61 8,37 21,33
1,33 6,72 28,05
1,44 5,77 33,82
Angka tebal pada PC tertentu adalah nilai komponen utama dari alel tertentu pada lokus yang berperanan dalam pembentukan dendrogram.
Berdasarkan informasi fenotipik, genotipe J1 vs J2 dan GM15 vs GM19 menghasilkan daya gabung yang baik. Dari hasil analisis klaster, J1 dan J2 berada pada klaster yang berbeda. Nilai jarak genetik J2-R-144 vs J1-46 , J2-R-144 vs J1-19-1, dan GM-15 vs GM-19 masingmasing adalah 0,80, 0,72, dan 0,72. Menurut Lee et
al.(1989), individu yang berkerabat dekat akan mempunyai jarak genetik yang dekat, dan sebaliknya. Dengan demikian, informasi daya gabung khusus konsisten dengan penetapan nilai jarak genetik secara molekuler. Oleh sebab itu, klasterisasi galur-galur jagung ke dalam kelompok heterotik sebelum pengujian di 29
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN P ANGAN V OL. 22 NO. 1 2003
lapang memungkinkan bagi peneliti pemuliaan untuk mengurangi biaya dan waktu pengujian karena uji DGK tidak perlu dilakukan lagi. Selain itu cara ini dapat menghindari terjadinya persilangan di dalam kelompok heterotik. Semakin luas tingkat diversitas genetik antarcalon tetua semakin besar peluang terbentuknya segregan potensial (Daradjat et al. 1991). Senior et al. (1998) menyatakan bahwa pengelompokan genotipe yang didasarkan pada hasil analisis di mana hasil dendrogram secara genotipik sesuai dengan informasi fenotipik atau pedigree akan mempunyai peluang sebagai kelompok heterotik. Dengan mengetahui jarak genetik dari setiap pasangan genotipe yang diuji dan didukung oleh informasi fenotipik seperti uji daya gabung akan mempermudah mendeteksi calon tetua hibrida lebih awal. Dengan menggunakan metode SSR, genotipe yang mempunyai tingkat heterosigositas tinggi dapat terdeteksi, sehingga munculnya segregasi pada generasi lanjut dapat dihindari. Secara umum dapat dikatakan bahwa penggunaan markah SSR cukup efektif untuk mendeteksi kandidat tetua hibrida.
KESIMPULAN DAN SARAN Sebanyak 43 genotipe yang diidentifikasi dapat dibagi menjadi sembilan klaster. Ada enam genotipe yang tidak termasuk ke dalam salah satu dari sembilan kelompok tersebut. Namun tingkat konfidensi pengelompokan relatif rendah. Genotipe yang berada dalam klaster yang sama tidak selalu berasal dari tempat/asal koleksi yang sama. Nilai koefisien kofenetik sebesar 0,874 tergolong good fit. Nilai jarak genetik berdasarkan markah SSR konsisten dengan hasil daya gabung khusus beberapa genotipe (J2-R-144 vs J1-46-2, J2-R-144 vs J1-19-1, GM15 vs GM19). Informasi jarak genetik berdasarkan markah molekuler SSRs perlu dibandingkan dengan informasi dari pengujian topcross atau testcross untuk lebih meyakinkan bahwa kedua parameter erat hubungannya. Untuk mendapatkan klaster dengan tingkat kepercayaan yang lebih tinggi maka perlu menambah praimer, khususnya yang mempunyai tingkat polimorfisme tinggi.
30
UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada Direktur Bioteknologi CIMMYT (Mexico), Dr. David Hoisington, yang memberi peluang kepada penulis untuk melaksanakan penelitian pada proyek Ambionet.
DAFTAR PUSTAKA Daradjat, A.A., M. Noch, dan M.T. Danakusuma. 1991. Diversitas genetik pada beberapa sifat kuantitatif tanaman terigu (Triticum aestivum L.). Zuriat 2 (1): 21-25. Dillon, W.R. and M. Goldstein. 1984. Multivariate analysis methods and applications. John Willey and Sons. pp. 581. Garland, S.H., L. Lewin, M. Abedinia, R. Henry and A. Blakeney. 1999. The use of microsatellite polymorphisms for the identification of Australian breeding lines of rice (Oryza sativa L.). Euphytica 108: 53-63. Hallauer, A.R., and J.B. Miranda. 1988. Quantitative genetics in maize breeding. Second Edition. Iowa State University Press/Ames. Iowa. p. 337-368. Lee, M. 1998. DNA markers for detecting genetic relationship among germplasm revealed for establishing heterotic groups. Presented at the Maize Training Course, CIMMYT, Texcoco, Meksico, August 25, 1998. Lee, M., E.B. Godshalk, K.R. Lamkey, and W.L. Wooman. 1989. Association of restriction length polymorphysm among maize inbreds with agronomic performance of their crosses. Crop Sci. 29: 1067-1071. Peijic, I., P. Ajmon-Marsan, M. Morgante, V. Kozumplick, P. Castiglioni, G. Taramino, and M. Motto. 1998. Comparative analysis of genetic similarity among maize inbred lines detected by RFLPs, RAPDs, SSRs, and AFLPs. Theor. Appl. Genet. 97: 1248-1255. Regalado, E. 2002. Ambionet protocols. Ambionet service laboratory, c/o IRRI, Los Banos, Philippines. p.10. (unpublished). Rohlf, F.J. 2000. NTSYSpc Numerical taxonomy and multivariate analysis system version 2.1. Applied Biostatistics Inc. Saghai-Maroof, M.A., K.M. Soliman, R. Jorgenson, and R.W. Allard. 1984. Ribosomal DNA spacer length polymorphisms in barley: Mendelian inheritance, chromosomal location and population dynamics. Proc. Natl. Acad. Sci. 81: 8014-8018. Senior, M.L., E.C.L. Chin, M. Lee, J.S.C. Smith, and C.W. Stuber. 1996. Simple sequence repeat markers developed from maize sequences found in the genebank database: Map construction. Crop Sci. 36: 1676-1683. Senior, M.L., J.P. Murphy, M.M. Goodman, and C.W. Stuber. 1998. Utility of SSRs for determining genetic similarities and relationships in maize using an agarose gel system. Crop Sci. 38: 1088-1098. Smith, J.S.C., E.C.L. Chin, H. Shu, O.S. Smith, S.J. Wall, M.L. Senior, S.E. Mitchell, S. Kresovich, and J. Ziegle. 1997. An evaluation of the utility of SSR loci as molecular markers in maize (Zea mays L.): comparisons with data from RFLP and pedigree. Theor. Appl. Genet. 95: 163-173. Szewe-McFadden, A.K., S. Kresovich, S.M. Bliek, S.E. Mitchell, and J.R. McFerson. 1996. Identification of polymorphic, conserved simple sequence repeats (SSRs) in cultivated Brassica species. Theor. Appl. Genet. 93: 534-538. Vassal, S.K., G. Srinivasan, C.F. Gonzales, D.L. Beck, and J. Crossa. 1993. Heterosis and combining ability of CIMMYT’s quality protein maize germplasm. II. Subtropical. Crop Sci. 33 :51-57. Weir, B.S. 1996. Genetic data analysis II. 2nd ed. Sinauer Associates. Inc., Sunderland.