SAKSI DARI PIHAK KELUARGA DALAM GUGAT CERAI MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM ACARA PERDATA Studi Kasus Putusan Pengadilan Agama Tangerang Perkara Nomor: 221/Pdt.G/2008/P.A Kota Tangerang Banten
Oleh : IRVAN SYAH NIM: 105044101370
KONSENTRASI PERADILAN AGAMA PROGRAM STUDI AKHWAL SYAKHSYIAH FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1430 H/2010 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi yang berjudul “SAKSI DARI PIHAK KELUARGA DALAM GUGAT CERAI MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM ACARA PERDATA”. Studi Kasus Putusan Pengadilan Agama Tangerang Perkara Nomor: 221/Pdt.G/2008/P.A Kota Tangerang Banten. Telah diujikan dalam sidang munaqasah Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 17 Juni 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Strata satu (S1) pada Program Studi Akhwal Al-Syakhshiyyah (Peradilan Agama). Jakarta, 24 Juni 2010 Disahkan Oleh Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum
Prof.Dr.H.M Amin Suma. SH, MA, MM NIP.1955050 198203 1012 Panitia Ujian Munaqasah Ketua
:Drs.H.A. Basiq Djalil, SH.MA NIP.1950 0306 197603 1001
(………………)
Sekretaris
:Kamarusdiana, S.Ag.MH NIP.1927 0224 199803 1003
(………………)
Pembimbing : Drs.H.A. Basiq Djalil, SH.MA NIP.1950 0306 197603 1001
(………………)
Penguji I
: Drs. Odjo Kusnara N. M.Ag NIP.1946 0904 196510 1002
(………………)
Penguji II
: Drs. H. A. Juaini Syukri. Lcs, M.Ag NIP.1955 0706 199203 1001
(………………)
LEMBAR PERNYATAAN
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar
strata 1 Fakultas Syriah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisa ini telah saya cantumkan dengan ketemtuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 3. Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan asli hasil karya saya, atau merupajkan hasil jiplakan dari karya orang lain maka sayabersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, 09 Juni 26 Rabiul Akhir
2010 M 1431 H
بسم اهلل الرمحن الرحيم
KATA PENGANTAR Assalamualaikum. Wr. Wb. Segala puji bagi Allah SWT tuhan semesta alam, yang telah menciptakan manusia sebagai makhluk yang paling sempurna dimuka bumi ini, diantara kesempurnaan yang Allah berikan adalah akal pikiran dan kepintaran. Sehingga dapat membedakan antara manusia dengan makhluk yang lainnya. Shalawat serta salam tetap tercurahkan kepada utusan Allah yang paling mulya yaitu Nabi Muhammad SAW berserta keluarga, sahabat dan para umatnya yang selalu berpegang teguh pada ajaran-ajarannya hingga akhir zaman. Dalam menyelesaikan skripsi ini penulis betul-betul menyadari adanya rintangan dan ujian yang berat, namun pada akhirnya Allah maha tahu dan Allah tidak akan memberikan kesulitan yang tidak disanggupi oleh manusia dan pasti selalu ada jalan keluar dalam suatu masalah, untuk itu tentunya tidak terlepas dari beberapa individu yang memberikan kontribusi dalam memberikan bimbingan dan masukan yang sangat berharga bagi penulis guna menyempurnakan skripsi ini. Dengan
demikian
dalam
kesempatan
yang
berbahagia
ini
penulis
mengungkapkan rasa terima kasih kepada : 1. Prof. Dr. H. Muhamad Amin Suma, S.H, MA, MM. Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum Uin Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Drs. H. A. Basiq Djalil, S.H, MA, sebagai pembimbing yang telah memberikan bimbingan selama proses penulisan skripsi ini sehingga skripsi ini dapat diselesaikan dan Kamarusdiana, S.Ag, MH Ketua dan sekertaris Program Studi Akhwal AlSyakhsiyyah Konsentrasi Peradilan Agama.
iv
3. Segenap dosen di Fakultas Syari’ah dan Hukum yang dengan tulus telah mentransfer ilmunya kepada penulis selama kuliah di kampus ini, dengan rasa hormat yang teramat dalam semoga ilmu yang telah beliau sampaikan menjadi bermanfaat bagi penulis baik didunia maupun akhirat 4. Ketua pengadilan Agama Dr. Ai Jamilah, M.H, yang telah menyempatkan waktunya untuk dapat berdiskusi dan mengizinkan penulis untuk dapat melakukan penelitian di Pengadilan Agama Kota. 5. Segenap pengelola Perpustakaan Utama dan Perpustakaan Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan fasilitas kepada penulis dalam mencari data pustaka 6. Ayah dan Ibunda tercinta serta adiku yang tersayang, yang telah memberikan semangat, nasihat dan do’a demi kesuksesan penulis. Mudah-mudahan Allah SWT selalu memberikan rahmat dan kasih sayangnya 7. Teman-teman Fakultas Syari’ah dan Hukum khususnya Jurusan Peradilan Agama Angkatan 2005 yang selalu memberikan motifasi kepada penulis. Akhrnya atas jasa baik moril ataupun materil penulis akhirnya atas jasa baik moril ataupun materil penulis hanya dapat memanjatkan do’a semoga menjadi amal ibdah dan amal jariyah yang selalu mengalir pahalanya. Jakarta, 9 Juni 26
Rabiul Akhir 1431 H
Penulis
iv
2010 M
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .............................................................................................
i
DAFTAR ISI ............................................................................................................ iv BAB I
PENDAHULUAN…………………………………………………. 1 A. Latar Belakang Masalah ..............................................................
1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah..........................................
7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...................................................
8
D. Kajian Terdahulu .........................................................................
8
E. Metode Penelitian dan Tehnik Penulisan .................................... 10 F. Sistematika Penulisan ................................................................. 13 BAB II
SAKSI DALAM ISLAM DAN HUKUM ACARA PERDATA… 14 A. Pengertian Saksi .......................................................................... 14 B. Syarat-Syarat Saksi ..................................................................... 22 C. Dasar Hukum menjadi Saksi ....................................................... 28 D. Kewajiban Saksi .......................................................................... 32
BAB III
KEDUDUKAN SAKSI DARI PIHAK KELUARGA DALAM PERCERAIAN MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM ACARA PERDATA………………………………………………. 36
iv
A. Kedudukan Saksi Dari Pihak Keluarga Dalam Perceraian Menurut Hukum Islam ................................................................ 36 B. Kedudukan Saksi Dari Pihak Keluarga Dalam Perceraian Menurut Hukum Acara Perdata .................................................. 41 BAB IV
ANALISIS
YURISPRUDENSI
TERHADAP
PUTUSAN
HAKIM No.221/Pdt.G/2008/PA. TNG A. Profil Pengadilan Agama Kota Tangerang ................................. 51 B. Duduk Perkara............................................................................. 54 C. Saksi Perceraian dari Phak Kluarga ............................................ 58 D. Analisa Penulis ............................................................................ 61 BAB V
PENUTUP A. Kesimpulan ................................................................................. 67 B. Saran-saran .................................................................................. 68
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................. 69
LAMPIRAN ............................................................................................................. 72 1. Surat Keterangan dari Pengadilan Agama Tangerang ........................................ 73 2. Surat Keterangan Wawancara ............................................................................. 74 3. Putusan Nomor: 221/Pdt.G/2008/PA.TNG ......................................................... 75
iv
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Dalam suatu proses persidangan yang diatur dalam hukum acara perdata, pembuktian merupakan proses terpenting untuk menguji dan memulai suatu perkara. Hukum pembuktian diperlukan untuk memperoleh kepastian bahwa peristiwa hukum benar-benar telah terjadi. Pembuktian diperlukan untuk menerapkan hukum secara tepat, benar dan adil bagi pihak-pihak yang berperkara. Oleh karena itu kepada para pihak yang berperkara wajib memberikan keterangan disertai dengan bukti-bukti yang berkaitan dengan peristiwa atau hubungan hukum yang terjadi. Menurut ketentuan pasal 163 HIR, pasal 283 Rbg dan pasal 1865 BW diatur hal-hal yang terkait dengan asas-asas pembuktian dalam pasal 1865 BW dijelaskan “Barang siapa yang mengaku mempunyai hak atau mendasarkan pada suatu peristiwa untuk menguatkan haknya dan menyangkal hak orang lain harus membuktikannya”, adanya hak atau peristiwa ini maka baik penggugat atau tergugat dibebani pembuktian, terutama penggugat wajib membuktian peristiwa yang diajukan.1
1
Retno Wulan Sutanto dan Iskandar oerip kartawinata, Hukum Acara Dalam Praktek, (Bandung: Mandar Maju, 1995), Cet. Pertama, h.58.
2
Dalam hukum acara perdata mengatur alat bukti yang sah berdasarkan ketentuan yang berlaku, setiap alat bukti yang diajukan memiliki nilai yang berbeda antara yang satu dengan yang lain sehingga kekuatan hukum yang melekat pada masing-masing alat bukti menjadi berbeda pula. Hakim hanya boleh menjatuhkan putusan berdasarkan alat-alat bukti yang telah di tentukan, menurut ketentuan yang ada dalam pasal 164 HIR, 284 Rbg dan pasal 1866 KUH Perdata ada lima jenis alat bukti dalam perkara perdata diantaranya adalah: Alat bukti tulisan (surat), alat bukti saksi, alat bukti persangkaan, alat bukti pengakuan dan alat bukti sumpah.2 Sesuai dengan ketentuan alat bukti yang disebutkan di atas, selain alat bukti dengan surat yang dapat diajukan oleh para pihak baik penggugat atau tergugat, dalam proses persidangan diperkenankan oleh undang-undang untuk menguatkan dalil-dalilnya dengan menghadirkan para saksi. Menurut ketentuan pasal 1902 KUH Perdata menjelaskan bahwa membuktikan suatu kejadian dengan saksi sangat diperbolehkan setelah pembuktian dengan surat dilakukan. Saksi yang didatangkan ke muka persidangan adalah seseorang yang melihat dan mendengar sendiri kejadian atau peristiwa yang disengketakan dengan jalan pemberitahuan secara lisan dan pribadi oleh orang yang bukan salah satu pihak dalam perkara.3
2
Abdurrahman, Hukum Acara Perdata, (Jakarta:Universitas Tri Sakti, 2001), Cet. Kelima, h.82. 3 Sudikno, Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta:Liberty, 1977), cet. Pertama, h.168.
3
Menurut hukum acara perdata, mendatangkan seorang saksi dalam suatu persidangan harus berdasarkan inisiatif para pihak dengan cara membawa sendiri saksi-saksinya, selain itu seorang saksi juga dapat didatangkan atas inisiatif hakim, hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 139 ayat 2 HIR yang menyebutkan bahwa seorang hakim berhak memanggil para saksi dalam suatu persidangan untuk dapat didengar kesaksiannya. Menurut ketentuan tersebut diatas menjelaskan bahwa kedudukan alat bukti saksi sangat penting dalam proses persidangan karena alat bukti saksi merupakan alat bukti yang tampak dan dapat menjelaskan peristiwa-peristiwa hukum yang tidak dicatat melalui alat bukti tulisan. Untuk itu tidaklah cukup jika seorang saksi hanya menerangkan bahwa ia mengetahui peristiwanya, akan tetapi ia harus menerangkan bagaimana ia dapat mengetahui peristiwanya dan apa sebab musababnya sampai ia dapat mengetahui peristiwa tersebut.4 Menurut hukum Islam, pembuktian dikenal dengan kesaksian, kesaksian yang ada dalam Al-qur’an, As-sunnah dan menurut para sahabat adalah sebutan bagi segala sesuatu yang dapat menjelaskan kebenaran. Dalam hal ini tidak ada larangan tentang pembuktian dengan saksi, selama firman Allah dan sabda Rasulnya tidak melarang. Seorang saksi harus dapat berlaku adil dan mengharuskan kedua belah pihak yang berperkara untuk dapat mendatangkan dua orang saksi.
4
Gatot Supramono, Hukum Pembuktian di Peradilan Agama, (Ujung Pandang: Alumni, 1993), cet. Pertama, h. 30.
4
Dalam kesaksian tidak hanya mengkhususkan pada dua orang saksi saja, boleh lebih dari itu sesuai dengan perkara tertentu. Dalam masalah kesaksian para fuqoha berbeda pendapat mengenai kesaksian kerabat bagi kerabatnya ada yang membolehkan dann berpendapat bahwa kesksian antara keluarga tidak dianggap sebagai penghalang untuk memberikan kesaksian, sebagaimana dikatakan oleh Abu Muhammad bin Hazm dan dari kalangan Ahlu Zhahir.5 Sedangkan dari kalangan Mazhab Syafi’i dan Imam Ahmad secara khusus melarang kesaksian sedarah yakni seorang bapak terhadap anaknya dan kesaksian anak kepada bapaknya karena bila hal yang demikian diterima kesaksiannya maka sama saja kesaksian itu ditujukan kepada dirinya sendiri. Sedangkan mayoritas ulama membolehkan kesaksian yang diberikan oleh seorang saudara untuk saudaranya akan tetapi ulama mazhab Maliki berkata” Kesaksian tersebut tidak diperbolehkan kecuali dengan satu syarat,” dan selanjutnya terjadi perbedaan pendapat mengenai satu syarat tersebut. Sebagian para pengikut mazhab Maliki ada yang berkata,“Dia harus melihat keadilannya.” Sebagian berkata, “Apabila hubungan kekeluargaannya tidak terlalu dekat.”Dan sebagian lagi berkata “Boleh dalam kasus yang ringan, bukan kasus yang berat.” Yang jelas kesaksian seorang anak terhadap
5
Ibnu Qayyim Al-jauziyah, Panduan Hukum Islam, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), Cet.Pertama, h.76.
5
bapaknya dan kesaksian seorang bapak terhadap anaknya dalam kasus yang tidak menyangkut tuduhan dapat diterima.6 Bila dicermati dalam hukum acara perdata secara normatif kesaksian telah diatur dalam pasal 145 HIR dan pasal 172 RBG maupun pasal 1909 KUH Perdata, dalam pasal tersebut lebih mengarah kepada kedudukan alat bukti saksi dan syarat-syarat alat bukti saksi secara formil. Pasal-pasal tersebut mengharuskan saksi diluar pihak keluarga sedarah, dan salah satu dari pihak menurut garis lurus, suami atau istri meskipun ketentuannya sudah bercerai, dan juga bekas suami tetap diangap tidak cakap menjadi saksi. Studi ini menjadi menarik dan penting dilakukan bila dilihat secara empiris dalam perkara perceraian yang ada di Pengadilan Agama banyak ditemukan saksi dari pihak keluarga sedarah yaitu bapak atau ibu kandung dan juga sanak keluarga, sementara itu yurisprudensi hakim yang terdapat dalam putusan No. 221/Pdt.G/2008/P.A TNG membuktikan bahwa dalam putusan tersebut terdapat saksi-saksi dari pihak keluarga yang diantaranya adalah pemohon mengajukan saksi yang memiliki hubungan dengan pemohon sebagai bapak kandung, sedangkan dari pihak termohon saksi yang diajukan tersebut memiliki hubungan sebagai ibu kandung. Ketentuan pasal pasal 145 HIR dan pasal 172 RBG maupun 1909 KUHPerdata yang menjelaskan bahwa syarat sah saksi mengharuskan diluar dari pihak keluarga. Disamping itu menurut Mazhab Syafi’i juga melarang ketentuan saksi dari keluarga. 6
Ibid., h.78.
6
Melihat hal tersebut bahwa antara undang-undang yang berlaku dan telah menjadi pedoman dalam peradilan dengan fakta yang terdapat di Pengadilan Agama melalui putusan No. 221/Pdt.G/2008/P.A TNG saling bertolak belakang, oleh karena itu sangat menarik menurut penulis untuk dapat membuktikan apakah benar terjadi ketidaksesuaian antara hukum yang berlaku dengan praktek yang ada dipengadilan. Bila benar, apa argumentasi hukum yang dipakai oleh majelis hakim dalam amar putusannya. Berdasarkan latar belakang pemikiran diatas, maka studi ini memfokuskan pada: “KESAKSIAN DARI PIHAK KELUARGA DALAM PERCERAIAN MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM ACARA PERDATA” Dengan
melakukan
studi
analisis
yurisprudensi
Putusan
Nomor
221/Pdt.G/2008/P.A TNG
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1.Pembatasan Masalah Dalam studi inimembatasi penelitian hanya mengenai kedudukan saksi dari pihak keluarga menurut hukum Islam dan hukum acara perdata yang berlaku dipengadilan agama. Dengan melakukan studi analisis terhadap putusan perkara dengan Nomor 221/Pdt.G/2008/P.A Tangerang. 2.Rumusan Masalah Dari pembatasan masalah diatas maka rumusan masalahnya yaitu berdasarkan hukum acara perdata secara normative kesaksian telah diatur
7
dalam pasal 145 HIR dan pasal 172 RBG maupun pasal 1909 KUH Perdata menyatakan bahwa syarat sah saksi dalam perceraian harus diluar dari pihak keluarga, hal yang sama juga disebutkan menurut Mazhab Syafi’I juga melarang ketentuan saksi dari pihak keluarga. Akan tetepi pada kenyataannya di Pengadilan Agama Tangerang menghadirkan saksi dari pihak keluarga. Dari rumusan tersebut dapat dirinci dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut: a. Kenapa kedudukan saksi dari pihak keluarga yang ada dalam perkara perceraian dilarang menurut hukum Islam dan hukum acara perdata? b. Bagaimana hakim Pengadilan Agama menerima kesaksian dari pihak keluarga dalam kasus perceraian di Pengadilan Agama Kota Tangerang pada putusan Nomor: 221/Pdt.G/2008/P.A Tng? c. Bagaimana penyelesaian masalah yang berkaitan dengan saksi keluarga yang ada dalam perceraian di Pengadilan Agama?
C.Tujuan Dan Manfaat Penelitian Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui kedudukan saksi dari pihak keluarga yang ada dalam perkara perceraian menurut hukum Islam dan hukum Acara Perdata 2. Untuk mengetahui alasan hakim di Pengadilan Agama Tangerang menerima saksi dari pihak keluarga dalam perkara perceraian
8
3. Untuk mengetahui sejauh mana penyelesaian masalah yang berkaitan dengan saksi keluarga yang ada dalam perceraian di Pengadilan Agama
D. Kajian Terdahulu Setelah penulis menelusuri beberapa perpustakan khususnya di perpustakaan
syari’ah,
perpustakan
umum
UIN
Syarif
Hidayatullah
Jakarta,dan perpustakaan hukum Universitas Muhamadiyah Jakarta, penulis dapati belum pernah ada yang mengkaji secara khusus mengenai masalah saksi keluarga dalam perceraian, sedangkan yang penulis dapati adalah beberapa karya tulis berupa skripsi sebagai berikut : Abdul Aziz, dengan judul skripsi “Kedudukan Saksi Dalam Pernikahan Tinjauan terhadap Imam Mazhab Syafi’I dan Hanafi”, Universitas Islam Negri Jakarta: 2007. Skripsi ini hanya menjelaskan tentang kedudukan saksi dalam pernikahan menurut pandangan Imam Mazhab antara Syafi’I dan Hanafi tidak mengarah kepada saksi dari pihak keluarga dalam perkara perceraian. Ema Fakhriah, dengan judul skripsi “Tinjauan Yuridis versi Al-Qur’an dan As-sunah terhadap unus testis nulus testis” (Satu saksi bukan saksi ), Universitas Islam Negri Jakarta: 2006. Dalam skripsi ini menjelaskan masalah satu saksi bukan saksi yang ditinjau melalui Al-Qur’an dan Sunnah dalam tinjauan hukum Islam dan empiris pada Pengadilan Agama dan Pengadilan Negri dan tidak menjelaskan kedudukan saksi dari pihak keluarga.
9
Robi Asmara, dengan judul skripsi “Kesaksian Dalam Perkara Perceraian Dengan Alasan Zina” Universitas Muhamadiyah Jakarta: 2005, Menjelaskan Saksi-saksi yang ada dalam perkara perceraian dengan alasan perzinahan, dalam hal ini penulis tidak menyinggung mengenai kedudukan saksi dari pihak keluarga akan tetapi lebih kepada saksi perzinahan yang dapat di jadikan alasan untuk melepaskan tali pernikahan.
Afriandi MS, dengan judul skripsi “Relevansi Kedudukan Dua Orang Saksi Wanita di Pengadilan,” Universitas Islam Negri Jakarta: 2005, Skripsi ini hanya menjelaskan mengenai kedudukan saksi wanita saja apakah saksi wanita relevan dalam suatu persidangan yang ada di pengadilan.
Hari
sasangka,
Hukum
Pembuktian
dalam
pertkara
Perdata,
(Bandung:CV, Mandar Maju, 2005), dalam buku ini hanya menjelaskan beberapa pengertian tentang hukum pembuktian dan prosedur pembuktian dalam proses peradilan perdata
Assadulloh Al-Faruq, Hukum Acara Peradilan Islam,(Yogyakarta: Pustaka Yustisia, 2009) dalam buku ini menjelaskan secara umum tentang Hukum Acara Peradilan Islam dan hukum pembuktian dalam Islam serta interpretasi para ulama mengenai saksi dan persaksian. Berdasarkan kajian terdahulu yang telah diuraikan di atas belum ditemukan kajian yang menjelaskan tentang kedudukan saksi dari pihak
10
keluarga, melalui skripsi ini penulis merasa penting untuk dapat membahas masalah kedudukan saksi dari pihak keluarga dalam perkara cerai. E.Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian kualitatif adalah penelitian yang menghasilkan data deskriftif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan prilaku yang dapat diamati.7 2. Pendekatan Masalah Pendekatan masalah yang digunakan yaitu melalui pendekatan secara yuridis normatif yang menjelaskan tentang asas hukum atau doktrin hukum positif dengan mengadakan pendekatan undang-undang yang telah berlaku dan mempunyai kekuatan hukum tetap8, Pendekatan yuridis normatif dilakukan untuk meneliti bagaimana ketentuan dan hal lain mengenai saksi keluarga dalam perceraian. Pendekatan kasus, dalam pendekatan kasus dilakukan melalui sumber-sumber data primer berupa putusan hakim pengadilan agama yang mengajukan saksi dari pihak keluarga dan dilakukan dengan cara telaah terhadap kasus-kasus yang
7
Lexy J. Moeloeng M.A Metodologi Penelitian Kualitatif, ( Bandung: PT. Remaja Rosda Karya ), Cet 18. 8 Zainuddin Ali Metode Penelitian Hukum, ( Jakarta: Sinar Grafika, 2009 ), Cet. Pertama, h.28.
11
berkaitan dengan isu yang dihadapi dan telah menjadi putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.9
3. Teknik Pengumpulan Data Dalam teknik pengumpulan data diambil dari primer, yaitu dengan mempelajari dokumen-dokumen yang ada di pengadilan agama. Dalam hal ini terdapat dua jenis data antara lain : a. Studi Dokumentasi Studi dokumentasi adalah mencari hal-hal atau variabel berupa catatan, transkip, agenda, jurnal dan putusan pengadilan agama. Dokumen yang digunakan berupa putusan hakim Pengadilan Agama Tangerang dengan perkara Nomor: 221/Pdt.G/2008/P.A Tng mengenai permohonan thalak. Dalam putusan ini baik pemohon dan termohon mengajukan saksi dari pihak keluarga yaitu bapak kandung dan ibu kandung. b. Studi Wawancara Teknik wawancara ialah tanya jawab lisan antara dua orang atau lebih secara langsung, Pewawancara disebut interviewer, sedangkan orang yang diwawancara disebut interviewee. Wawancara yang dilakukan
9
Peter Mahmud Marzuki,Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2005), Cet.Pertama, h. 96.
12
dengan
seorang
hakim
Pengadilan
Agama
Tangerang.10Adapun
wawancara yanmg dilakukan dengan tiga orang hakim yaitu sebagai berikut: a. Drs. H.Shonhaji, SH b. Dr.Ai Jamilah, MH c. Drs. HJ. Suhaimi,MH
4. Teknik Analisa Data Analisa data yang merupakan proses pencarian dan penyusunan secara sistematis data yang diperoleh dari hasil wawancara dan bahanbahan lain sehingga dapat di pahami dengan mudah dan dapat diinformasikan kepada orang lain. Penulis menggunakan analisa data kualitatif yang bersifat induktif, yaitu suatu analisis data dimana penulis menjabarkan data-data yang diperoleh dari hasil penelitian. 5. Teknik Penulisan Dalam penyusunan teknik penulisan semua berpedoman pada prinsip-prinsip yang telah diatur dan dibukukan dalam pedoman skripsi, Tesis dan disertasi yang diterbitkan oleh UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2007.
10
Husaini usman dan Purnomo Setiyadi Akbar, Metodologi Penelitian Sosial, (Jakarta: PT. Bumi aksara, 1996), cet.1, h. 57.
13
F.Sistematika Penulisan Penulisan skripsi ini terdiri dari Lima (5) bab adalah sebagai berikut : Bab I :
tentang pendahuluan, dalam pendahuluan ini penulis akan mengemukakan latar belakang masalah, menguraikan pembatasan dan perumusan masalah, tujuan penulisan, Kajian terdahulu, metode penelitian dan sistematika penulisan.
Bab II :
tentang tinjauan umum saksi, dalam bab ini berisi seputar pengertian saksi menurut hukum islam dan hukum acara perdata, syarat-syarat saksi, dasar hukum menjadi saksi, kewajiban saksi.
Bab III :
tentang kedudukan saksi dari pihak keluarga dalam perceraian menurut hukum Islam dan Kedudukan saksi dari pihak keluarga dalam perceraian menurut hukum Acara Perdata
Bab IV :
tentang profil Pengadilan Agama Kota Tangerang, duduk perkara, saksi perceraian dari pihak keluarga, analisa penulis.
Bab V :
merupakan bab penutup yang berisikan tentang kesimpulan dan saran-saran.
BAB II SAKSI MENURUT HUKUM ISLAM DAN HUKUM ACARA PERDATA
A. Pengertian Saksi dan Kesaksian 1. Menurut Hukum Islam Saksi dalam kamus bahasa Indonesia adalah orang yang dapat memberikan keterangan tentang suatu kejadian yang telah dilihat, didengar, atau mengalami kejadian itu.1 Sedangkan dalam Ensiklopedi Islam saksi adalah orang yang melihat atau mengetahui sendiri suatu peristiwa untuk melihat, menyaksikan atau mengetahuinya, agar suatu ketika
bila
diperlukan
ia
dapat
memberikan
keterangan
yang
membenarkan bahwa peristiwa itu sungguh terjadi.2 Saksi dalam bahasa arab memakai kata الشهادتadalah bentuk Jama’ dari الشهداة:berarti pemberitahuan oleh seseorang menggunakan lafadzh tertentu mengenai adanya hak yang berada pada tanggungan orang lain.3 Kesaksian dalam hukum acara perdata Islam dikenal dengan sebutan As-syahadah, menurut bahasa ialah: a. Pernyataan atau pemberitahuan yang pasti b. Ucapan yang keluar dari pengetahuan yang diperoleh dengan penyaksian langsung
1
Anando Santoso, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Surabaya: Kartika, 1995), cet. Pertama, h.303. 2 Hafizh Dasuki, Ensiklopedi Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1999), cet. h. 202. 3 .Aliy As’ad, Fathul Mu‟in, (Kudus: Menara Kudus, 1979), cet. Pertama, h.59.
15
c. Mengetahui sesuatu secara pasti, mengalami dan melihatnya seperti persaksian saya menyaksikan sesuatu artinya saya mengalami dan melihatnya sendiri sesuatu itu maka saya ini sebagai saksi4 Untuk dapat mendefinisikan saksi maka terlebih dahulu harus mengetahui definisi kesaksian. Kesaksian adalah:
Artinya:”Kesaksian adalah istilah mengenai pemberitahuan seseorang yang benar di pengadilan dengan kesaksian untuk menetapkan suatu hak terhadap orang lain.”5 Kesaksian dalam hukum Islam disebut dengan syahid (saksi lakilaki) atau syahidah (saksi perempuan) yang terambil dari kata musyahadah yang artinya menyaksikan dengan mata kepala sendiri. Jadi saksi yang dimaksud adalah manusia yang hidup. Dalam hal kesaksian kebanyakan para ahli hukum Islam (jumhur fuqaha) menyamakan kesaksian (syahadah) itu dengan bayyinah.
4
Anshoruddin, Hukum Pembuktian Menurut Hukum Acara Islam Dan Hukum Positif, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm.73. 5 Abdur Rahman Umar, Kedudukan Saksi Dalam Peradilan Menurut Hukum Islam, (Jakarta:Pustaka Al-Husna, 1986), cet.I, h.50.
16
Apabila saksi disamakan dengan bayyinah berarti pembuktian dimuka peradilan Islam, termasuk dimuka peradilan agama hanya mungkin dengan saksi saja, sebab Rasulullah mengatakan “al bayyinah „ala al mudda‟y wa al yamin „ala man ankar”.6 Ada beberapa ahli hukum Islam yang mengartikan bayyinah itu sebagai sesuatu apa saja yang dapat mengungkapkan dan menjelaskan kebenaran, melihat pengertian tersebut berarti kesaksian hanya merupakan sebagian dari bayyinah.
Kesaksian merupakan sebuah istilah mengenai pemberitahuan seseorang yang benar didepan pengadilan dengan ucapan kesaksian untuk menerapkan suatu hak terhadap orang lain, dengan kata lain saksi merupakan alat bukti yang sah yang bertujuan untuk memberitahukan peristiwa yang sebenarnya dengan lafadz “aku bersaksi.”7
Kesaksian adalah menyampaikan perkara yang sebenarnya, untuk membuktikan suatu kebenaran dengan mengucapkan lafadz-lafadz kesaksian dihadapan sidang pengadilan. Kesaksian merupakan keterangan saksi secara lisan dimuka sidang atas apa yang dilihat sendiri oleh saksi tentang duduk perkara yang disengketakan.8
Menurut Fiqih, persaksian itu (supaya menjadi alat pembuktian yang sah), adapun persaksian dalam fiqih dibagi menjadi dua macam: 6
Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Perdilan Agama,(Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada, 2002), cet.Ke-9, h.152. 7 Abdur Rahman Umar, Kedudukan Saksi Dalam Peradilan Menurut Hukum Islam, h.55. 8 Ropaun Rambe dan A. Mukri Agafi, Implementasi Hukum Islam, (Jakarta: PT. Perca, 2001), h.174.
17
a. Persaksian atas dasar yakin Persaksian atas dasar yakin adalah persaksian terhadap suatu perbuatan dan ucapan. Persaksian melalui perbuatan seperti perbuatan zina, ghasab, radha‟ dan wiladah. Dalam persaksian tersebut seorang saksi diharuskan benar-benar melihat orang yang melakukan perbuatan itu atau melihat pelaku perbuatan itu. Sedangkan persaksian dengan ucapan seperti ucapan dalam aqad, fasakh dan ucapan pada pengakuan. Persaksian ini harus benarbenar melihat orang yang mengucapkannya dan mendengar pula bunyi yang diucapkannya. b. Persaksian atas dasar dhan atau Istifadhah Persaksian atas dasar - adalah persaksian terhadap beberapa peristiwa tertentu yang hanya dengan mendengar saja tetapi harus di yakininya dengan syarat persaksiannya tidak disangkal dan bahwa peristiwa itu sudah lama terjadi. 9Ada beberapa peristiwa dalam pembuktian yang menggunakan persaksian istifadhah yaitu: 1) Kafirnya seseorang 2) Cacatnya pribadi seseorang 3) Pengunduran diri seseorang sebagai hakim 9
Djamil Latif, Kedudukan dan Kekuasaan Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: NV.Bulan Bintang, 1975), cet. Pertama, h.147.
18
4) Muslimnya seseorang 5) Adilnya seseorang 6) Wakaf 7) Zakat 8) Nikah 9) Warisan
Dapat diterimanya persaksian dengan istifadhah pada peristiwaperistiwa tersebut diatas karena peristiwa itu telah lama terjadi, sehingga sukar dibuktikannya. Oleh karena itu persaksian istifadhah tidak dapat diterima pada perisitiwa-peristiwa yang baru terjadi.
Dengan mengetahui arti dari kesaksian di atas, dapat dipahami bahwa kesaksian itu mengenai pemberitahuan dan keterangan yang diberikan oleh seorang saksi dimuka pengadilan dalam mengungkapkan suatu kebenaran, tentang apa yang telah disaksikannya dalam suatu peristiwa tertentu. 10
10
Ibid., h.147.
19
2. Menurut Hukum Acara Perdata Saksi adalah orang yang memberikan keterangan dimuka sidang dengan memenuhi syarat-syarat tertentu, tentang sesuatu peristiwa atau keadaan yang ia lihat, dengar dan ia alami sendiri, sebagai bukti terjadinya suatu peristiwa atau kejadian tersebut.11 Dalam hukum acara perdata, pembuktian dengan saksi sangat penting karena jika dalam suatu masyarakat desa biasanya perbuatan hukum yang dilakukan tidak tertulis, melainkan dengan dihadiri oleh saksi-saksi karena perbuatan hukum yang dilakukan kebanyakan masih menggunakan faham saling mempercayai antara satu sama lain. Dalam peristiwa yang demikian menjelaskan bahwa tidak selamanya sengketa perdata dapat dibuktikan dengan alat bukti tulisan atau akta saja. Akan tetapi jalan yang dapat ditempuh untuk membuktikan suatu perkara ialah dengan menghadirkan saksi-saksi yang kebetulan melihat, mengalami atau mendengar sendiri kejadian yang diperkarakan.
Kesaksian menurut hukum acara perdata ialah kepastian yang di berikan
kepada
hakim
dipersidangan
tentang
peristiwa
yang
disengketakan, dengan jalan membuktikan secara lisan pribadi oleh orang
11
Mukti Arto, Praktek Perkara Perdata Pada Peradilan Agama, ( Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), cet. I, h.160.
20
yang bukan salah satu pihak dalam perkara yang dipanggil di persidangan.12
Dalam pasal 1907 KUH Perdata menjelaskan “Tiap-tiap kesaksian harus disertai dengan alasan-alasan bagaimana di ketahuinya hal-hal yang diterangkan”. Pendapat-pendapat maupun pemikiran-pemikiran khusus yang diperoleh dengan jalan pikiran atau kesimpulan bukan disebut kesaksian.
Kesaksian merupakan alat bukti yang wajar, karena keterangan yang diberikan kepada hakim dipersidangan itu berasal dari pihak ketiga yang melihat atau mengetahui sendiri peristiwa yang bersangkutan. Pihak ketiga pada umumnya melihat peristiwa yang bersangkutan lebih objektif dari pada pihak yang berkepentingan sendiri 13 Ditegaskan dalam pasal 1895 KUH Perdata yang berbunyi: “Pembuktian dengan saksi-saksi diperkenankan dalam segala hal yang tidak dikecualikan oleh undang-undang.” Jadi, pada prinsipnya alat bukti saksi menjangkau semua
12
A. Juaini Syukri, Keyakinan Hakim Dalam Pembuktian Perkara Perdata Menurut Hukum Acara Positif dan Hukum Acara Islam, (Jakarta: PT. Magenta Bhakti Guna, 1986), h.34. 13 Sudikno, Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 1977), cet. Pertama, h.166.
21
bidang dan jenis sengketa perdata, kecuali apabila undang-undang sendiri menentukan sengketa yang hanya dapat dibuktikan dengan akta atau alat bukti tulisan, barulah alat bukti saksi tidak dapat diterapkan.
Seorang saksi diharuskan benar-benar melihat, mendengar, mengetahui atau mengalami sendiri terhadap apa yang disaksikannya, bukan berdasarkan cerita dari mulut kemulut atau dari pendengaran ke pendengaran, lalu kemudian saksi menyusun atau mengambil suatu kesimpulan atau memberikan penilaiannya sendiri. Saksi tidak boleh menyimpulkan atas apa yang disaksikannya itu melainkan menerangkan apa adanya menurut aslinya, dan seorang saksi harus menyebutkan sebab ia mengetahui peristiwa tersebut.14
Pengertian di atas dapat diambil suatu kesimpulan, bahwa saksi adalah orang yang mengetahui secara langsung peristiwa dalam suatu perkara, dan kemudian saksi tersebut bertanggung jawab atas kesaksiannya jika suatu saat kesaksiannya itu dibutuhkan. Tugas seorang saksi adalah berkewajiban untuk mengungkapkan kesaksiannya dimuka pengadilan untuk menjelaskan peristiwa yang ia ketahui, karena pada dasarnya kesaksian seorang saksi sangat diperlukan untuk kemaslahatan hukum.
14
Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama,(PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta, 2002), cet. kesembilan. h.160.
22
B. Syarat-Syarat Saksi 1.Menurut Hukum Islam Syarat-syarat saksi menurut hukum islam antara lain: a.Islam Seluruh para ahli hukum islam telah sepakat bahwa syarat utama untuk menjadi saksi adalah orang Islam. Sesuai dengan firman Allah swt
282 2 Artinya:”..dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (diantara kamu). Jika tidak ada dua orang laki-laki, maka boleh seorang laki-laki dan dua orang perempuan dari saksisaksi yang kamu senangi…” (Q.S. Al-Baqarah:282) Dalam ayat tersebut para ulama berbeda pendapat tentang kesaksian orang kafir dalam beberapa masalah tertentu antara lain: Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad bin Hambal membolehkan menerima kesaksian orang kafir terhadap wasiat yang dilakukan oleh
23
orang Islam, dikarenakan tidak adanya orang lain yang menyaksikan, mereka berpegang pada firman Allah swt15 :
106 5 Artinya :”Hai orang-orang yang beriman! Apabila salah seorang dari kamu menghadapi kematian, sedang ia akan berwasiat, maka hendaklah wasiat itu, disaksikan oleh dua orang yang adildiantara kamu, atau dua orang selain kamu, jika kamu dalam perjalanan dimuka bumi, lalu kamu ditimpa bahaya kematian,…”.(Q.S. Al-Maidah: 106) Sedangkan Imam Malik dan Imam Syafi’i menolak kesaksian orang kafir terhadap orang Islam secara mutlak. Mereka berpegang kepada sifat saksi yang ditegaskan oleh Allah swt dalam surat al-Baqarah ayat:282 dan surat at-Thalak ayat:2, yaitu seorang saksi harus adil dan termasuk kedalam golongan Islam yang di ridhai. ”Sedangkan orang kafir tidak termasuk kedalam orang adil, bukan Islam dan orang kafir termasuk golongan orang yang fasik serta mendustakan Allah, apalagi terhadap manusia tentu lebih tidak dapat dipercaya”.16 b.Baligh Baligh merupakan syarat untuk dapat diterimanya seseorang menjadi saksi, karena kedewasaan membuat seseorang mampu berfikir dan bertindak secara sadar dan baik, dalam segala tindakannya. Allah berfirman:
282 2 Artinya:”….dan persaksikanlah dengan dua orang saksi laki-laki (diantara kamu)”…(Q.S.Al-Baqarah:2:282)
15 16
Abdur Rahman Umar, Kedudukan Saksi Dalam Peradilan Menurut Hukum Islam, h. 44 Ibid., h. 45.
24
Pemakaian lafadz الرجالmenunjukkan pengertian orang yang sudah baligh, bukan anak-anak17.
c.Berakal Orang gila tidak dapat menjadi saksi, apalagi untuk menerima kesaksian. Karena orang gila adalah orang yang setiap tindakannya tidak dapat dipertimbangkan dengan akal. Disamping itu akal yang sehatpun tidak dapat menerima kesakisan mereka, serta mereka jelas bukan termasuk orang yang disenangi untuk menjadi saksi. 18 Allah berfirman: 282 2
Artinya:”Hai orang-orang yang beriman apabila kamu bermu‟amalah tidak secara tunai untuk waktyu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis diantara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan, dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun dari hutangnya. Jika orang yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah keadaannya atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua 17 18
Ibid., h. 48. Ibid., h. 49.
25
orang saksi dari orang-orang lelaki (diantaramu). Jika tidak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai”…(Q.S. AlBaqarah:2:282). d.Adil Sifat adil dijadikan sebagai persyaratan untuk menjadi saksi sesuai dengan firman Allah swt: 19
2 65 Artinya:”Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua orang saksi yang adil diantara kamu”..(Q.S. At-thalak :65:2). e.Dapat berbicara Seorang saksi sudah seharusnya orang yang harus dapat berbicara untuk dapat menyampaikan dan menerangkan kepada hakim tentang suatu kejadian yang disaksikannya. Oleh karena itu dapatnya saksi berbicara adalah sangat penting dan merupakan suatu keharusan. Akan tetapi, dalam hal ini para ulama berbeada pendapat tentang kesaksian orang bisu yang isyaratnya dapat dipahami dan pandai menulis, diantaranya adalah: 1.Mazhab Hambali: Tidak menerima dengan isyarat walaupun dimengerti, tetapi menerima jika orang tersebut sanggup menulis. 2.Mazhab Maliki:
19
Ibid., h. 50.
26
Dapat menerima kesaksian orang bisu yang dapat dimengerti isyaratnya. 3.Mazhab Syafi’i: Dalam mazhab ini ada beberapa pendapat, pertama dapat menerima dengan isyarat dalam masalah perkawinan dan talak. Ada pula yang tidak menerimanya, oleh karena itu kesaksian orang bisu hanya dapat diterima jika dalam keadaan darurat. 4.Imam Hanafi Tidak menerima kesaksian orang bisu, baik di mengerti isyaratnya maupun ia pandai menulis.20 f.Baik Ingatan dan Teliti Kesaksian bagi orang yang daya ingatannya sudah tidak normal, pelupa dan sering salah, maka jelas kesaksian ini diragukan kebenarannya. Sebab hal ini akan mempengaruhi ketelitiannya, baik dalam ingatan maupun
dalam
mengemukakan
kesaksiannya.
Oleh
karena
itu
kesaksiannya tidak dapat dipegang dan dipercaya. g.Tidak ada tuhmah Yang dimaksud dengan tidak ada tuhmah disini adalah tidak ada sangkaan buruk terhadap maksud baik seseorang dalam mengemukakan kesaksiannya, tuhmah adalah orang yang disangsikan bermaksud baik dalam kesaksian, hal ini disebabkan karena orang tersebut memiliki rasa benci atau sebaliknya sangat cinta terhadap yang disaksikannya, hal ini dapat digambarkan seperti kesaksian seorang ayah terhadap anaknya atau
20
Ibid., h.51.
27
kesaksian seseorang terhadap musuhnya. Maka kesaksian itu bisa diterima bila tidak ada tuhmah.21 3. Menurut Hukm Acara Perdata Sedangkan syarat-syarat saksi dalam hukum acara perdata ialah sebagai berikut: a. Seorang saksi harus dapat bersikap objektif, karena objektifitas merupakan syarat yang harus diberikan oleh seorang saksi didalam persidangan. Objektifitas kesaksian yang diberikan oleh seorang saksi yaitu: 1. Tidak boleh ada hubungan kekeluargaan dengan salah satu pihak 2. Tidak boleh ada hubungan kerja 3. Mampu bertanggung jawab yakni sudah dewasa, sudah berumur 15 tahun keatas, atau sudah pernah kawin dan tidak sakit ingatan b. Syarat formal, merupakan syarat yang secara formal harus dipenuhi dan dilakukan oleh seorang saksi yaitu: a. Harus datang di sidang pengadilan b. Harus menerangkan dibawah sumpah c. Tidak unus testis nullus testis
21
Ibid., h.52.
28
c. Syarat subjektif/material, merupakan syarat mengenai materi yang harus diterangkan oleh seorang saksi yaitu: a. Menerangkan tentang apa yang dilihat, yang didengar dan dialami oleh seorang saksi b. Dasar-dasar atau alasan seorang saksi mengapa ia dapat melihat, mendengar dan mengalami apa yang diterangkan22
C. Dasar Hukum Menjadi Saksi 1. Dasar Hukum Menjadi Saksi Menurut Hukum Islam a. Al-Qur’an
135 4 Artinya:”Wahai orang-orang yang beriman. Jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah…” (Q.S. An-Nisa‟ : 135)
2 65 Artinya: “…Dan hendaklah kamu tegakan kesaksian itu karena Allah… (Q.S. Ath-Thalak: 2)
8 5 Artinya:” Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu menjadi orangorang yang selalu menegakan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil…”(Q.S. Al-Maidah: 8)
22
Hari Sasangka, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Perdata, (Bandung:Mandar Maju, 2005), cet. Pertama, h.67.
29
282 2 Artinya: “ Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang (lelaki diantaramu). Dan persaksikanlah jika kamu berjual beli.” (Q.S. Al-Baqarah: 282)
b. As-Sunnah Sedangkan hadits nabi yang mengulas tentang kesaksian, diantaranya adalah :
Artinya:”Dari Zaid bin Khalid al-juhani, sesungguhnya nabi saw telah bersabda: sukakah kamu kuberitahukan kepadamu saksi-saksi yang baik? Yaitu orang yang memberikan kesaksian sebelum ia diminta untuk mengemukakannya”. (H.R. Muslim)23 23
1, h.261.
Imam Muslim, Shahih Muslim 3, terj. Ma’mur Daud, (Jakarta: Widjaya, 1984), cet. Ke-
30
Artinya:”Dari Ibnu Abbas r.a, bahwasanya Nabi saw ditanya tentang kesaksian, lalu ia bertanya kepada orang yang bertanya itu: engkau lihatlah matahari?”orang itu menjawab: Ya, kemudian nabi bersabda: „seperti itulah: maka jadilah engkau atau tinggalkan sama sekali‟(H.R. Baihaqi dan Turmudzi).
Artinya:”Dari Ibnu Abbas r.a, bahwasanya nabi saw bersabda: “pembuktian adalah kewajiban penggugat, sedangkan sumpah adalah kewajiban orang yang mengingkari”. (H.R. Baihaqi dan Turmudzi).24
24
Shan’ani, Subulus Salam, juz IV, Dahlan, Bandung, hal.126.
31
Dasar hukum memberikan kesaksian adalah fardlu kifayah, jika dua orang yang telah memberikan kesaksian maka semua orang telah gugur kewajibannya. Akan tetapi jika semua orang menolak memberikan kesaksian maka semuanya berdosa karena maksud dari kesaksian itu adalah untuk memelihara hak. Hukum memberikan kesaksian pada mulanya adalah fardlu kifayah bisa
berubah menjadi fardlu „ain jika tidak ada lagi orang lain yang
mengetahui suatu kasus, kecuali dua orang saja maka memberikan kesaksian adalah wajib bagi kedua orang yang menyaksikannya. Terhadap saksi seperti ini jika keduanya menolak untuk memberikan kesaksian maka mereka boleh dipanggil secara paksa.25
2. Dasar Hukum Menurut Hukum Acara Perdata Menurut hukum acara perdata ketentuan tentang saksi telah diatur dalam
pasal
1895
KUH
Perdata
“Pembuktian
dengan
saksi-saksi
diperkenankan dalam segala hal dimana itu tidak dikecualikan oleh undangundang”, dalam hal ini terdapat beberapa ketentuan tentang dasar hukum mengenai saksi adalah sebagai berikut : Dasar hukum saksi dibagi manjadi dua bagian antara lain: - Dasar Hukum Pemeriksaan Saksi :
25
Asadullah AL-Faruq, Hukum Acara Peradilan Islam, (Yogyakarta:Pustaka Yustisisa, 2009), cet. Pertama, h.47.
32
- Pasal 144 – 152 HIR - Pasal 171 – 179 RBg - Dasar Hukum Keterangan Saksi: - Pasal 168 – 172 HIR - Pasal 306 – 309 RBg - Pasal 1895 dan 1902 s/d 1912 BW.
D. Kewajiban Saksi Kewajiban yang ditetapkan kepada saksi dari pihak keluarga dalam perceraian sama halnya dengan kewajiban saksi pada umumnya, diantaranya adalah: 1. Kewajiban untuk menghadap Kewajiban untuk menghadap di persidangan pengadilan agama ini dapat disimpulkan dari pasal 140 dan 141 HIR (pasal.166, 167 Rbg), yang menentukan adanya sanksi bagi saksi yang tidak mau datang setelah dipanggil dengan patut.26 Adapun syarat materiil saksi ialah: a. Menerangkan apa yang dilihat, didengar, dan dialami sendiri, pasal 171 HIR/pasal 308 RBg. b. Diketahui sebab-sebab ia mengetahui peristiwanya, pasal 171 (1) HIR/pasal 308 (1) RBg.
26
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta:Liberty, 1977), cet. Pertama, h.174.
33
c. Bukan merupakan pendapat atau kesimpulan saksi sendiri, pasal 171 (2) HIR/pasal 308 (2) RBg. d. Saling bersesuaian satu sama lain, pasal 170 HIR. e. Tidak bertentangan dengan akal sehat.27
2. Kewajiban untuk bersumpah Seorang saksi berkewajiban untuk bersumpah sesuai dengan agama yang dianut yang menjadi kepercayaanya, hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 147 HIR, 175 Rbg,1991 BW jo pasal. 4 S.1920 no. 69. Oleh karena sumpah ini diucapkan sebelum memberi kesaksian dan berisi janji untuk menerangkan yang sebenarnya, maka sumpah ini disebut juga sumpah promissoir, lain dengan sumpah sebagai alat bukti yang disebut sumpah confirmatoir, sumpah oleh saksi ini harus diucapkan dihadapan kedua belah pihak. Bagi saksi yang beragama Islam rumusan atau lafal sumpah itu berbunyi sebagai berikut : “Demi Allah, Saya bersumpah bahwa saya akan menerangkan yang benar dan tidak lain dari pada yang sebenarnya”. Bagi saksi yang beragama Kristen, dengan berdiri sambil mengangkat tangan kananya sampai setinggi telinga serta merentangkan jari telunjuk dari jari tengahnya (pasal. 1 S. 1920 no. 69) mengucapkan sumpah sebagai berikut : “Saya bersumpah bahwa saya akan menerangkan yang benar dan tidak lain dari pada yang sebenarnya”.
3. Kewajiban memberikan keterangan Seorang saksi yang telah bersumpah berkewajiban memberikan keterangan sesuai dengan apa yang ia lihat, dengar dan ia alami. Dan jika 27
A. Mukti Arto, Praktek Perkara Pada Pengadilan Agama, h. 165-166.
34
ia enggan memberikan keterangan, maka atas permintaan dan biaya pihak yang berkepentingan, ketua pengadilan dapat memberi perintah, agar saksi itu disandera sampai saksi itu memenuhi kewajibannya sesuai dengan ketentuan pasal 148 HIR.28 Dari penjelasan yang ada diatas dapat disimpulkan bahwa orang yang dapat didengar sebagai saksi adalah pihak ketiga dan bukan salah satu pihak yang berperkara, pasal 139 ayat 1 HIR dan Psal 165 ayat 1 Rbg, baik pihak formil maupun materil tidak boleh didengar kesaksiannya sebagai saksi. Sedangkan seorang saksi yang dapat didengar kesaksiannya dan dapat diterima dipengadilan untuk menjadi saksi, yaitu seorang saksi harus dapat bersikap objektif atau tidak boleh ada ikatan kekeluargaan , seorang saksi harus memenuhi syarat formil atau materil di pengadilan.
28
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, h. 176.
BAB III KEDUDUKAN SAKSI DARI PIHAK KELUARGA DALAM PERCERAIAN MENURUT HUKUM ACARA PERDATA DAN HUKUM ISLAM
A. Kedudukan Saksi dari Pihak Keluarga Dalam Perceraian Menurut Hukum Acara Perdata Dalam perkara perdata terdapat beberapa ketentuan tentang saksi yang telah diatur dalam pasal 139-143 HIR, 165-170 RBg dan pasal 1909 KUH Perdata. Pada prinsipnya menganut sistem bahwa menjadi saksi dalam perkara perdata adalah suatu kewajiban hukum, akan tetapi tidak bersifat memaksa (imperatif) melainkan voulentary pada peristiwa-peristiwa tertentu. Seorang saksi dikatakan bersifat imperatif artinya setiap orang tidak boleh dipaksa wajib menjadi saksi, akan tetapi tergantung kepada kerelaan. Prinsip ini hanya mutlak dalam dua hal yaitu: 1. Saksi Tidak Relevan Meneguhkan Dalil atau Bantahan Ketentuan pasal 139 ayat (1). Jika saksi yang didengar keterangannya tidak penting atau tidak berbobot untuk meneguhkan dalil penggugat atau bantahan tergugat, kepada saksi tidak berlaku kewajiban hukum untuk menjadi saksi. Oleh karena itu saksi saksi tidak dapat dipaksa untuk hadir dipersidangan Mengenai sejauh mana saksi dapat meneguhkan dalil penggugat atau bantahan tergugat, harus benar-benar dipertimbangkan oleh hakim
35
36
secara objektif dan realistis. Tidak boleh tergesa-gesa menyatakan saksi yang diajukan penggugat atau tergugat untuk dihadirkan dengan paksa melalui panggilan pengadilan.1 2. Saksi Berdomisili di Luar Wilayah Hukum Pengadilan Yang Memeriksa Apabila saksi yang bersangkutan berdomisili di luar wilayah hukum pengadilan yang memeriksa, hal ini dapat di simpulkan bahwa, menjadi saksi dalam perkara perdata merupakan kewajiban hukum yang bersifat imperatif relatif, dalam arti apabila di penuhi syarat wajib, maka wajib pula hukumnya yaitu apabila saksi berdomisili diwilayah hukum pengadilan yang memeriksa perkara.2 Alat bukti saksi sangat luas jagkauannya hampir meliputi semua bidang perdata, hanya dalam hal-hal yang sangat terbatas sekali keterangan saksi tidak diperbolehkan, seperti melarang pembuktian dengan saksi terhadap isi suatu akta, rasionya adalah pada umumnya keterangan saksi dalam hal ini kurang dipercaya karena sering terjadi kebohongan. Banyak yang menggambarkan bahwa keterangan alat bukti saksi cenderung tidak dapat di percaya dengan dasar petimbangan : a. Saksi cenderung berbohong, baik sengaja atau tidak. b. Suka mendramatisir, menambah atau mengurangi kejadian yang sebenarnya. c. Ingatan manusia terhadap suatu peristiwa tidak selamanya akurat.
1
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), cet. Kelima,
h. 633. 2
Ahmad Mujahidin, Pembaharuan Hukum Acara Perdata, (Jakarta: IKAHI, 2008), cet. Pertama, h.267.
37
d. Sering mempergunakan emosi, baik pada saat menyaksikan peristiwa maupun pada saat memberikan keterangan pada persidangan, sehingga kemampuan untuk menjelaskan sesuatu tidak proposional lagi. Atas dasar hal-hal tersebut di atas maka peran seorang hakim sangat diperlukan untuk dapat menyaring kesaksian seorang saksi yang dapat dijadikan alat bukti yang sah, karena tidak semua keterangan saksi bernilai sebagai alat bukti yang sah, ada beberapa bagian keterangan saksi yang tidak boleh di nilai dan dijadikan sebagai alat bukti, yaitu sebagai berikut: a. Pendapat Pribadi Saksi Pendapat pribadi atau pendapat khusus seorang saksi adalah tidak dibenarkan sebagai alat bukti keterangan saksi, oleh karena itu harus dikeluarkan atau dikesampingkan dari penilaian pembuktian, jika hal ini dilarang berarti hakim salah menerapkan hukum pembuktian dan putusan akan dibatalkan pada tingkat banding atau kasasi. b. Dugaan Saksi Dugaan manusia pada umumnya di dasarkan pada daya tangkap panca indera, sehingga akuratnya suatu dugaan tergantung pada daya tangkap panca indera manusia yang dimiliki seseorang, disamping itu mengandung unsur keraguan, sedang yang dituntut hukum dari keterangan saksi sebagai alat bukti adalah kepastian atas kejadian dan peristiwa yang disaksikannya.
38
c. Kesimpulan Pendapat Saksi Memberikan keterangan yang berdasarkan suatu kesimpulan dari apa yang ia saksikan dalam suatu peristiwa bisa mengakibatkan saksi mengambil kedudukan dan fungsi serta kewenangan hakim, selain dari itu keterangan saksi akan melenceng dari garis objektif kearah pendapat yang subjektif, kemudian kesimpulan dari seseorang tidak selama bersifat benar akan tetapi sebaliknya bisa keliru, sehingga tidak memberikan suatu kesaksian. d. Perasaan Pribadi Saksi Keterangan yang diberikan berdasarkan perasaan sangat cenderung dipengaruhi dengan kata hati sanubari atau getaran jiwa seseorang, sehingga yang menonjol dalam keterengan yang diberikan berdasarkan perasaan maka kehilangan makna fungsi panca indera penglihatan dan pendengaran. e. Kesan Pribadi Saksi Kesan merupakan hasil yang diperoleh dari suatu pengalaman atau pendengaran, kesan dianggap sebai impression yaitu hasil yang diperoleh seseorang dari pengalaman dan pengamatan dalam suatu peristiwa, namun suatu kesan lebih cenderung mengarah pada penilaian subyektif sesuai dengan latar belakang yang berada disekitar kehidupan orang yang bersangkutan. Oleh karena itu keterangan saksi
39
yang berisikan kesan atas peristiwa yang disaksiannya juga harus disingkirkan sebagai alat bukti.3 Melihat pentingnya saksi dalam perkara perdata, maka di dalam hukum acara perdata secara khusus mengatur tentang pembuktian dengan alat bukti saksi berdasarkan dengan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seseorang untuk dapat menjadi saksi, hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 139-142 HIR, mengenai tata cara pelaksanaan dan syarat-syarat sah menjadi saksi, adalah sebagai berikut: 1. Syarat Formil Dalam syarat formil, menempatkan saksi berada pada kedudukan seseorang dalam memberikan kesaksian sebagai kewajiban hukum adalah sebagai berikut: a. Seorang saksi berumur 15 tahun keatas. b. Sehat akalnya. c. Tidak hubungan keluarga sedarah dan keluarga semenda dari salah satu pihak menurut keturunan yang lurus. d. Tidak ada hubungan perkawinan dengan salah satu pihak meskipun sudah bercerai (pasal 144(1) HIR). e. Tidak ada hubungan kerja dengan salah satu pihak dengan menerima upah (pasal 144(2) HIR, kecuali undang menentukan lain. f. Menghadap dipersidangan (pasal 141(2) HIR). g. Mengangkat sumpah menurut agamanya (pasal 147 HIR). h. Berjumlah sekurang-kurangnya dua orang untuk kesaksian suatu peristiwa, atau dikuatkan dengan alat bukti lain (pasal 169 HIR), kecuali mengenai perzinahan. i. Dipanggil masuk keruang sidang satu demi satu (pasal 144 (i) HIR).
3
Ibid., h. 261.
40
j. Memberikan keterangan secara lisan (pasal 147 HIR).4
2. Syarat Meteril Dalam syarat materil yang akan dijelaskan bersifat kumulatif, bukan alternatif. Jadi, jika salah satu syarat tidak terpenuhi maka mengakibatkan keterangan saksi tersebut mengandung cacat materil dan tidak sah dijadikan alat bukti, dalam hal ini syarat materil yang melekat pada alat bukti saksi antara lain: a. Keterangan seorang saksi saja tidak dapat diterima sebagai alat bukti saksi, ditegaskan dalam pasal 169 HIR, Pasal 1905 KUH Perdata. b. Keterangan berdasarkan alasan dan sumber pengetahuan. c. Hal-hal yang tidak sah menjadi alat bukti saksi, seperti pendapat khusus yang diperoleh dengan jalan pikiran atau alasan pribadi saksi, bukan termasuk kesaksian. Hal ini diatur dalam pasal 171 ayat (2) HIR, Pasal 308 ayat (2) RBg dan pasal 1907 ayat (2) KUH Perdata. d. Saling Persesuaian, saling bersesuaian antara keterangan saksi yang satu dengan yang lain atau antara keterangan saksi dengan alat bukti lain. Hal ini diatur dalam pasal 170 HIR dan Pasal 1908 KUH Perdata. Berdasarkan syarat-syarat saksi di atas menjelaskan bahwa kedudukan saksi dari pihak keluarga tidak dapat diterima kesaksiannya, walaupun dalam konteks yang ada di atas tidak menjelaskan saksi-saksi dari pihak keluarga yang ada dalam perceraian, yang tidak dapat didengar kesaksiannya. Dan sesuai dengan ketentuan pasal 1909 KUH Perdata yang menjelaskan bahwa 4
Kamarusdiana dan Nahrowi, Hukum Acara Perdata, (Jakarta: Fakultas Syari‟ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah), cet. Pertama, h.89.
41
saksi keluarga tidak dapat didengar keterangannya sebagai saksi karena dianggap tidak dapat bersikap objektif. Kedudukan saksi dari pihak keluarga juga ditegaskan dalam pasal 145 HIR dan Pasal 172 RBg bahwa orang yang dilarang didengar sebagai saksi telah diatur secara enumeratif bahwa kelompok saksi yang tidak cakap menjadi saksi secara absolut terdiri dari: 1. Keluarga sedarah dan semenda dari salah satu pihak menurut garis lurus 2. Suami atau istri dianggap tidak cakap menjadi saksi meskipun sudah bercerai. Hal ini sangat jelas menurut undang-undang yang berlaku dan telah memiliki kekuatan hukum tetap, serta menjadi pedoman dalam suatu majelis persidangan yang ada dipengadilan agama maupun pengadilan negeri, untuk tidak menerima saksi dari pihak keluarga dalam perkara berdata pada umumnya.5 Apabila saksi telah memenuhi syarat yang disebutkan di atas maka seorang saksi mempunyai nilai pembuktian bebas. Hakim dalam hal ini bebas untuk menilai kesaksian itu sesuai dengan hati nuraninya. Hakim dalam hal ini tidak
boleh
terikat
dengan
keterangan
saksi
artinya
hakim
dapat
menyingkirkannya asal di pertimbangkan dengan argumentasi yang kuat. Dalam hal menimbang harga kesaksian seorang saksi, hakim harus menumpahkan sepenuhnya tentang pemufakatan dari saksi-saksi, mengenai cocoknya kesaksian-kesaksian dalam perkara yang diperselisihkan, tentang sebab-sebab yang mungkin ada pada saksi untuk memberikan keterangan secara jelas, tentang perlakuan atau adat dan kedudukan saksi, dan pada 5
M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, h. 635.
42
umumnya atas segala hal yang dapat menyebabkan saksi itu dapat dipercaya atau tidak. Karena dapat tidaknya seorang saksi dipercaya tergantung pada banyak hal, yang harus diperhatikan oleh hakim, dalam pasal 172 HIR (pasal 309 Rbg, 1908 BW) menentukan, bahwa dalam mempertimbangkan nilai kesaksian, hakim harus benar-benar melihat tindak tanduk seorang saksi baik dari cara hidup atau segala hal yang sekiranya mempengaruhi tentang dapat tidaknya saksi dipercaya 6 Hakim dalam hal ini tidak dapat dipaksa untuk mempercayai saksi sebab mungkin saja terjadi saksi palsu. Oleh karena itu dalam mendengarkan kesaksian para saksi, hakim harus berhati-hati benar dan memperhatikan benar-benar apakah ada kesesuaian antara keterangan para saksi dengan isi perkara yang disengketakan, bagaimana sifat-sifat dan adat istiadat saksi, dan ada hubungan apakah saksi dengan yang disaksikan.7 Agar memperoleh keterangan yang relevan bagi hukum dalam memeriksa saksi, hakim harus menggunakan cara yang tepat. Lazimnya seorang hakim membiarkan seorang saksi untuk bercerita dari awal hingga akhir, cara saksi bercerita dengan bebas ini sering membuang waktu, karena tidak jarang cerita yang tidak relevan bagi hukum diceritakan juga oleh saksi. Hal ini terlihat kurang efektif bila digunakan oleh para hakim dalam mencari keterangan para saksi. Adapun cara lain yang lebih efektif adalah cara yang terpimpin. Dalam hal ini seorang hakim berperan aktif untuk dapat membedakan peristiwa mana yang relevan dan mana yang tidak, sudah siap dengan pertanyaan yang disusunnya secara sistematis dan kemudian saksi tinggal menjawab 6
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 1977), cet. Pertama, h. 168. 7 Ahmad Shahibuddin, Keyakinan Hakim Dalam Pembuktian Perkara Perdata Menurut Hukum Acara Positif dan Hukum Acara Islam, (Jakarta:PT. Pembimbing Masa, 1983), cet. Pertama, h. 38.
43
pertanyaan-pertanyaan tersebut. Cara ini akan menghemat waktu dan akan lebih tepat mengenai sasarannya.8 Sesuai dengan ketentuan pasal 145 HIR kedudukan saksi dari pihak keluarga tidak dapat didengar, begitu juga dengan keluarga semenda yang dimaksud dengan keluarga semenda adalah mereka yang tertarik karena ikatan tali pernikahan. Adapun alasan bahwa saksi dari pihak keluarga tidak dapat didengar, karena dikhawatirkan mereka akan memberikan keterangan yang palsu di persidangan. Karena terpaksa disebabkan oleh hubungan keluarga yang dekat. Anak-anak yang belum berumur 15 tahun juga dilarang untuk didengar kesaksiannya, kecuali jika mereka telah menikah, karena dikhawatirkan mereka akan mengkhayal dan juga orang gila dilarang didengar kesaksiannya karena
keterangannya
tidak
dapat
dipertanggung
jawabkan
secara
keseluruhan.
Akan tetapi dalam hal ini keluarga sedarah dan keluarga semenda tidak boleh ditolak sebagai saksi, dalam perkara-perkara mengenai kedudukan sipil dari pihak yang bersangkutan atau mengenai perjanjian kerja. Pada ayat (4) pasal 145 HIR, menyebutkan bahwa keterangan mereka hanya boleh dipandang sebagai penjelasan saja, artinya bahwa keterangan mereka itu tidak merupakan bukti. Orang-orang yang tersebut pada ayat (1) 145 HIR di atas, diberi hak oleh undang-undang untuk mengundurkan diri, untuk tidak mau didengar sebagai saksi, karena dikhawatirkan kalau nanti terjadi hubungan buruk dengan pihak yang dirugikan yaitu dengan saudara saksi sendiri. Apabila mereka terpaksa harus memberikan keterangan, karena kalau tidak memberikan keterangan maka mereka akan disanderakan, dan apabila mereka berani memberikan keterangan yang palsu yang menguntungkan saudaranya, maka mereka dapat dituntut karena sumpah palsu. Oleh karena itu
8
Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, h.170.
44
berdasarkan keberatan-keberatan tersebut, saksi boleh menentukan sendiri, apakah ia mau didengar sebagai saksi atau tidak. Dalam pasal 146 HIR menyebutkan golongan orang-orang yang di perkenankan untuk mengundurkan diri. Hal ini bukan berarti hakim menolak mereka untuk memberikan kesaksian akan tetapi saksi sendiri yang oleh undang-undang diberi hak untuk tidak mau didengar di bawah sumpah.9 Adapun orang-orang yang diperbolehkan mengundurkan diri antara lain: 1. Saudara laki-laki dan saudara perempuan dan ipar laki-laki serta perempuan dari salah satu pihak. 2. Keluarga sedarah menurut keturunan yang lurus, saudara laki-laki, dan perempuan dari laki atau istri salah satu pihak. 3. Semua orang yang karena kedudukan, pekerjaan atau jabatannya yang sah, diwajibkan untuk menyimpan rahasia tetapi semata-mata hanya mengenai hal demikian yang dipercayakan padanya. Saksi yang datang kepengadilan, sebelum memberikan keterangan terlebih dahulu mengangkat sumpah menurut agamanya masing-masing dihadapan hakim yang memeriksa perkara. Adapun maksud dari sumpah tersebut adalah diharapkan dengan bersumpah saksi akan memberikan keterangan yang benar sesuai dengan apa yang dilihat dan didengarnya sendiri. Saksi yang bersumpah tentunya tidak main-main dengan sumpahnya karena apa yang telah diterangkan sudah mengatasnamakan tuhannya, sehingga apabila ia tidak memberikan keterangan yang benar maka akan mendapatkan kutukan dari tuhannya dan tidak hanya itu saksi juga dapat dituntut dalam perkara pidana berdasarkan pasal 242 KUHP yang ancaman hukumnya paling lama tujuh tahun, karena melakukan keterangan palsu dibawah sumpah.10 9
Retno Wulan Sutanto dan Iskandar oerip kartawinata, Hukum Acara Dalam Praktek, (Bandung: Mandar Maju, 1995), cet. Pertama, h.58. 10 Gatot Supramono, Hukum Pembuktian di Peradilan Agama, (Ujung Pandang: Alumni, 1993), cet. Pertama, h. 35.
45
B. Kedudukan Saksi Dari Pihak Keluarga Dalam Perceraian Menurut Hukum Islam Dengan terbentuknya KHI (Kompilasi Hukum Islam), yang menjadi salah satu landasan hukum dalam suatu persidangan yang ada di Pengadilan Agama, sedikit banyak telah memberikan kontribusi dalam pengambilan keputusan para hakim dalam menyelesaikan perkara agar tidak terjadi perbedaan dalam putusan pengadilan untuk kasus-kasus yang sama. Pada dasarnya KHI merupakan pengembangan dari hukum perkawinan yang tertuang dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974, oleh sebab itu tidak terlepas dari misi yang diemban oleh undang-undang perkawinan tersebut, walaupun cakupannya hanya terbatas bagi kepentingan umat Islam, akan tetapi KHI tersebut mutlak harus dapat memberikan landasan hukum perkawinan yang dapat dipegangi oleh umat Islam.11 Sebagai acuan dan merupakan pedoman bagi masyarakat muslim khususnya, KHI telah banyak mengatur terutama dalam masalah perkawinan, kewarisan, perwakafan dan didalamnya meliputi perceraian.12Akan tetapi mengenai masalah kedudukan saksi dalam perceraian tidak diatur dalam Kompilasi Hukum Islam. Namun demikian kedudukan saksi dari pihak keluarga dalam perceraian banyak ditemukan dalam literatur-literatur fiqih dan hukum Islam lain yang merujuk pada Al-qur‟an atau Al-hadits. Syekh Abu Syuja‟ berkata :
“Apabila penuduh disertai saksi, maka hakim mendengarkan saksi itu dan memutuskan hukum untuk penuduh dengan berdasarkan saksi tersebut. Kalau tidak ada saksi, maka perkataan yang dibenarkan adalah perkataan orang yang tertuduh.” 11
Ahmad Rofiq, Hukum Islam di Indonesia, ( Jakarta:Raja Grafindo Persada, 1997), cet.
Ke-2, h.56. 12
Mohammad Daud Ali, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, ( Jakarta:PT.Raja Grafindo Persada, 2004), cet. kesebelas, h. 294.
46
Sedangkan menurut riwayat Al-Baihaqi:
Artinya:”…Tetapi penuduh harus disertai saksi, sedangkan orang yang tertuduh harus bersumpah apabila membela diri.”(H.R Baihaki) Dalam hadits tersebut menjelaskan bahwa harus ada saksi yang menguatkan penuduh, maksudnya adalah karena saksi itu sebagai dasar yang kuat untuk menguatkan tuduhan, karena penuduh itu sendiri adalah lemah, karena apa yang ia ucapkan bisa berbeda dengan kenyataan, lalu dasar yang kuat yaitu adanya saksi adalah untuk memperkuat lemahnya penuduh. Sedangkan sumpah adalah alasan yang lemah.13 Kedudukan saksi dalam hukum Islam terlihat sangat penting untuk membuktikan suatu kejadian dalam sebuah peristiwa. Saksi sangat diperlukan untuk memperkuat lemahnya penuduh dan lemahnya sumpah. Dalam hukum Islam juga diatur tentang kriteria saksi yang dapat diterima kesaksiannya Dalam hal ini para fuqaha menjelaskan tentang kesaksian yang dilakukan oleh seorang ayah terhadap anaknya dan kesaksian seorang ayah terhadap anaknya bahwa kesaksian tersebut dapat ditolak, begitu pula kesaksian yang dilakukan oleh seorang ibu terhadap anaknya dan kesaksian seorang anak terhadap ibunya. Termasuk yang menjadi persoalan para fuqoha adalah mengenai keraguan akan i‟tikad baik terhadap kesaksian seseorang, yaitu kesaksian suami istri antara yang satu dengan yang lainnya. Imam Malik dan Abu Hanifah menolak kesaksian suami terhadap istri dan kesaksian istri terhadap suaminya. Selanjutnya kesaksian seseorang terhadap saudaranya, termasuk persoalan yang disepakati oleh para fuqaha adalah diterimanya i‟tikad baik dalam kesaksian seseorang tersebut, jika kesaksiannya tidak bermaksud untuk 13
Al-Imam Taqiyuddin Abu Bakar Al-Husaini, Kifayatul Akhyar, Jilid.III, (Surabaya:PT. Bina Ilmu, 1997), cet.Pertama, h. 341.
47
menutup-nutupi cela dan selama ia tidak bermaksud merayu saudaranya dalam rangka memperoleh kebaikan hubungan.14 Imam Syafi‟i berkata,”Seandainya kesaksian seorang bapak kepada anaknya itu diterima, maka sama saja kesaksian itu ditujukan kepada dirinya sendiri”. Nabi saw bersabda, „Sesungguhnya Fatimah itu bagian dariku, sehingga sesuatu yang meragukanku akan meragukannya, dan sesuatu yang menyakitiku akan menyakitinya’. Imam Syafi‟i juga berkata: “Anak itu adalah bagian dari bapak, maka seakan-akan seorang bapak itu mempersaksikan sesuatu yang menjadi bagian dirinya.” Az-Zuhri berkata dari Urwah, dari Aisyah, dari Nabi SAW, beliau bersabda, “Tidak boleh diterima kesaksian seorang lelaki pengkhianat, kesaksian seorang wanita pengkhianat, kesaksian orang yang tertuduh, dihadapan keluarga dan kerabatnya, dan kesaksian orang yang dikenai hukuman cambuk.” Mereka berkata, “Karena diantara kesaksiannya itu ada unsur kebencian dan bagian (keturunan), maka kesaksiannya itu tidak bisa diterima, sebagaimana tidak diperbolehkan memberikan zakat kepadanya sehingga pembunuhan yang dilakukan oleh anaknya dapat dianggap sebagai fitnah.dan tanggungan denda utang anak tidak bisa dibebankan kepada bapaknya, serta bapak tidak bisa dituntut dan ditahan karena perbuatan anaknya. Mereka berpedoman kepada Firman Allah yang berbunyi:
61 24 Artinya:’Tidak ada halangan bagi orang buta, tidak pula bagi orang pincang, tidak pula bagi orang sakit, tidak pula bagi dirimu sendiri, makan (bersama-sama mereka) dirumah kamu sendiri atau dirumah bapakbapakmu, dirumah ibu-ibumu’. (Qs. An-Nur (24):61)
14
Bidayatul Mujtahid, (Dar Al-Jil, Beirut), cet. Ke-I, h. 687.
48
Dalam ayat tersebut Allah tidak menyebutkan rumah anak-anak, karena hal itu sudah masuk di dalam penyebutan rumah-rumah mereka sendiri, sehingga dianggap cukup dengan menyebutkan rumah-rumah mereka tanpa harus menyebutkan rumah anak-anak. Allah SWT berfirman:
15 43 Artinya:”Dan mereka menjadikan sebagian dari hamba-hamba-Nya sebagai bagian dari-Nya’.(Qs. Az-Zuhruf (43):15) Dalam ayat tersebut di atas menjelaskan yakni seorang anak adalah bagian, sehingga kesaksian seseorang tidak dapat diterima dari bagiannya. Mayoritas ulama membolehkan kesaksian yang diberikan oleh seorang saudara untuk saudaranya, pendapat ini terdapat dalam kitab Tahdzib dari riwayat Ibnu Al-Qasim, dari malik. Sebagian ulama mazhab Maliki berkata,”Kesaksian tersebut tidak diperbolehkan kecuali dengan 1 syarat.” Selanjutnya terjadi perbedaan pendapat diantara mereka dalam menentukan
syarat
tersebut.
Sebagian
berkata,
“Dia
harus
terlihat
keadilannya.” Sebagian berkata,”Apabila hubungan kekeluargaannya tidak terlalu dekat.”Asyhab berkata, “Boleh dalam kasus yang ringan, bukan kasus yang berat.”Apabila ia menampakan keadilannya maka ia boleh memberikan kesaksian dalam kasus yang berat. Sebagian lagi berkata, “Kesaksiannya dapat diterima secara mutlak kecuali dalam kasus yang mengandung tuduhan, seperti kesaksian seorang saksi yang mencari kemuliaan dan kehormatan.” Yang jelas kesaksian seorang anak untuk bapaknya dan seorang bapak untuk anaknya dalam kasus yang tidak menyangkut tuduhan dapat diterima. Pendapaat ini dikemukakan oleh Imam Ahmad. Dalam hal ini terdapat tiga periwayatan yang bersumber dari Imam Ahmad yaitu: Riwayat yang melarang dan riwayat yang membolehkannya dalam kasus yang tidak ada kaitannya dengan tuduhan, dan riwayat yang memisahkan kesaksian anak kepada bapaknya dan kesaksian bapak terhadap anaknya. Kesaksian anak untuk
49
bapaknya dapat diterima, sedangkan kesaksian bapak untuk anaknya tidak dapat diterima.15 Disamping itu kesaksian seseorang yang tidak boleh dijadikan dasar memutuskan perkara, dijelaskan dalam sebuah hadits Rasulullah saw sebagai berikut:
Artinya: Dari Abdullah bin Ummar r.a beliau berkata: Rasulullah saw. Bersabda: “Tidak diterima kesaksian seseorang yang berkhianat, baik pria maupun wanita, tidak boleh juga diterima kesaksian orang yang menyakiti saudaranya, juga tidak diterima kesaksian seorang yang mencukupkan dirinya untuk keluarga rumah, yaitu orang diberi nafkah oleh keluarga sebuah rumah”. (Hr. Ahmad dan Abu Daud).16 Khiyanat yang dimaksud dalam hadits tersebut oleh Abu Ubaid dijelaskan, yaitu khiyanat yang berkenaan dengan hak-hak Allah dan hak-hak manusia. Dalam perkataan “dan orang yang menyakiti saudaranya” itu, menunjukan bahwa permusuhan itu menjadikan penghalang bagi diterimanya suatu kesaksian, karena dengan permusuhan demi membela agama tidaklah merupakan penghalang. Selanjutnya yang dimaksud “orang yang mencukupkan dirinya untuk keluarga sebuah rumah” yaitu pelayan rumah tangga, kesaksiannya tidak boleh diterima, karena besar kemungkinan kesaksiannya itu adalah untuk kepentingan pribadi (ada interes pribadi). Kemudian para ulama berbeda pendapat tentang masalah kesaksian seorang anak atas ayahnya dan sebaliknya, juga kesaksian suami terhadap istrinya dan sebaliknya. Karena kesaksian yang demikian itu besar 15
Ibnu Qayim Al-Jauziyah, Panduan Hukum Islam, (Jakarta:Pustaka Azzam, 2007), cet. Kedua, h. 99. 16 Abu Bakar Muhammad, Terjemah Subulus Salam, (Surabaya: Al-Ikhlas, 1995), cet. Ke-I, h. 542.
50
kemungkinan terjadi pembelaan, disebabkan pada umumnya dalam hal tersebut terjadi suatu jalinan kecintaan (mahabah).17
17
Ibnu Qayim Al-Jauziyah, Panduan Hukum Islam, h. 100.
BAB IV KEDUDUKAN SAKSI DARI PIHAK KELUARGA DI PENGADILAN AGAMA KOTA TANGERANG
A. Profil Pengadilan Agama Kota Tangerang Pengadilan
Agama
Tangerang
bertempat
di
Jalan
Perintis
Kemerdekaan II, Komplek Perkantoran Cikokol Kota Tangerang. Wilayah Administratif daerah tingkat II kota Tangerang dilokasi sangat strategis letak geografisnya, tetutama pengembangan ekonomi wilayah dan penduduknya secara umum. Letak geiografis kota Tangerang terletak antara 66’ Lintang selatan dampai dengan 6.13’ Lintang Utara dan 106.36’ Bujur Timur sampai dengan 106.42’ Bujur Timur. Batas wilayah : 1. Sebelah Utara, berbatasan dengan Kecamatan Teluknaga dan Kecamatan Sepatan Kabupaten Tangerang 2. Sebelah Selatan, berbatasan dengan Kecamatan Curug Kecamatan Serpong dan Kecamatan Pondok Aren Kabupaten Tangerang 3. Sebelah Timur Berbatasan dengan DKI Jakarta 4. Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Cikupa Kabupaten Tangerang Adapun bangunan gedung Pengadilan Agama tangerang seluas 1858 m2 yang terdiri dari bangunan ex Sospol yang telah direhab Tahun 2007 dan gedung lama yang telah dibangun dari anggaran DIPA Tahun 2009 alokasi Belanja Modal sebesar Rp. 3.853.274.000,-.(Tiga Milyar Delapan Ratus Lima Puluh Tiga Juta Dua Ratus Tujuh Puluh Empat Ribu Rupiah).
50
51
Wilayah Administratif Daerahaa Tingkat II Kota Tangerang berada di lokasi sangat strategis letak geografisnya, terutama pengembangan ekonomi, wilayah dan penduduknya secara umum.
Wilayah hukum/Yurisdiksi Pengadilan Agama Tangerang meliputi seluruh wilayah Daerah Tingkat II Kota Tangerang yang terdiri dari 13 (tiga belas) kecamatan dan 104(seratus empat) Kelurahan.1 Tugas pokok Pengadilan Agama sebagai Badan Pelaksana Kekuasaan Kehakiman ialah menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya (pasal 2 ayat 1 UU No.14 1970 tentang ketentuan pokok kekuasaan kehakiman), termasuk didalamnya menyelesaikan perkara Voluntair (penjelasan pasal 2 ayat 1 tersebut). Berdasarkan ketentuan undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang perubahan atas undnag-undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Pengadilan Agama, khususnya pasal 1,2,49 dan penjelasan umum angka 2, serta peraturan perundang-undangan lain yang berlaku, antara lain: Undang-undang No.1 Tahun 1974 Tentang perkawinan, PP No.28 Tahun 1977 Tentang perwakafan tanah milik, Inpres No.1 Tahun 1991 Tentang Kompilasi Hukum Islam, Permenag No. 2 Tahun 1987 yang diubah dengan Permenag No. 3 Tahun 2005 Tentang Wali Hakim.2
1
Laporan Tahunan Pengadilan Agama Kota Tangerang,(Arsip Pengadilan Agama Kota Tangerang), h.1. 2 A. Mukti Arto, Praktek Perkara Pada Pengadilan Agama, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,1996),h.1.
52
Begitu pula tugas Pengadilan Agama Tangerang adalah menerima, memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara-perkara tertentu diantara orang Islam atau yang mewujudkan diri dengan hukum islam berupa: Perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqoh dan ekonomi Syari’ah.3 Selain dari tugas pokok diatas, Peradilan Agama mempunyai tugas tambahan baik yang diatur dalam undang-undang maupun peraturan-peraturan lainnya yaitu: 1. Memberikan pertimbangan dan nasehat tentang hukum Islam kepada instansi pemerintah apabila diminta. (Pasal 52 ayat (1) Undang-undang No. 7/1989) 2. Menyelesaikan permohonan pertolongan pembagian harta peninggalan di luar sengketa antara orang-orang Islam. (Pasal 107 ayat (2) undangundang No. 7/1989). Hal ini sudah jarang dilakukan karena Undangundang No.3 Tahun 2006 telah mengatur dibolehkannya penetapan ahli waris dalam perkara volunteer 3. Memberikan Isbath kesaksian rukyat hilal dalam penentuan wal bulan tahun hijriyah (Pasal 52 A UU No.3 Tahun 2006) 4. Melaksanakan tugas lainnya seperti pelayanan riset/penelitian dan tugastugas lainnya. Adapun wilayah hukum Pengadilan Agama Tangerang meliputi seluruh wilayah daerah Tingkat II Kota Tangerang yang terdiri dari 13 (Tiga Belas) kecamatan dan 104 (seratus empat) Kelurahan.
3
Pasal 49 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006, Tentang Perubahan atas Undangundang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, h.34-36.
53
Sedangkan yang merupakan kompetensi absolut Peradilan Agama adalah terdapat pada pasal 49, yang berbunyi ayat (I) Pengadilan Agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkaraperkara ditingkat pertama antara orang yang beragan Islam dibidang: Perkawinan, kewarisan, wasiat, dan hibah yang dilakukan berdasarkan hukum Islam, wakaf dan Shadaqah. Pada ayat (2) bidang perkawinan sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 1 huruf a ialah hal-hal yang diatur dalam atau berdasarkan undang-undang mengenai perkawinan yang berlaku. Kemudian pada ayat (3) Bidang kewarisan. Sebagaimana yang dimaksud dalam ayat 1 huruf b ialah penentuan siapa-siapa yang menjadi ahli waris, penentuan mengenai harta peninggalan, penentuan bagian masing-masing ahli waris, dan melaksanakan pembagian harta peninggalan tersebut.4
Pengadilan Agama Tangerang selama kurun waktu tahun 2009 menerima perkara sebanyak 1296 perkara, yang terdiri dari 1226 jenis perkara gugatan dan 70 jenis perkara permohonan. Sedangkan sisa perkara pada tahun 2008 sebanyak 194 jenis perkara gugatan dan 2 jenis perkara permohonan. Selama kurun waktu satu tahun Pengadilan Agama Tangerang memeriksa setiap perkara yang diterima, dan mengadilinya. Banyaknya perkara yang diputus pada tahun 2009 sebanyak 1227 perkara baik jenis perkara gugatan
4
Roihan Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, cet. Ke-9, (Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada, 2002), h.28.
54
maupun jenis perkara permohonan. Sehinggga pada tahun 2009 ini menyisakan perkara sebanyak 265 perkara. Perkara yang diputus selama tahun 2009 meliputi Perkara cerai talak yang diputus sebanyak 300 perkara, perkara gugat sebanyak 678, perkara yang dicabut oleh para pihak baik cerai gugat, cerai thalak maupun perkara lainnya sebanyak 112 perkara, sedangkan perkara cerai yang menghadirkan saksi dari pihak keluarga sebanyak 1227 perkara yang telah diputus, hal ini mmbuktikan bahwa setiap perkara yang masuk ke Pengadilan Agama Kota Tangerang mengutamakan saksi keluarga. B. Duduk Perkara Terhadap Putusan No.221/Pdt.G/2008/PA. TNG Pemohon (AP) umur 19 tahun, agama Islam, pekerjaan belum bekerja, tempat tinggal di kp. Bayur RT. 02/07 Krelurahan periuk Kecamatan priuk kota Tangerang, adalah suami sah termohon, termohon KY umur 19 tahun Ibu rumah tangga, tempat tinggal di Kp. Bayur Rt. 02/07 No.25 Kelurahan priuk Kecamatan priuk Kota Tangerang, agama Islam, pekerjaan Ibu Rumah tangga, tempat tinggal di Kp.Bayur Rt. 02/07 Kelurahan priuk Kecamatan priuk Kota Tangerang, menikah pada tanggal 6 mei 2006, yang dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah Kantor Urusan Agama Kecamatan Priuk Kota Tangerang. Dari pernikahan tersebut telah dikarunia seorang anak laki-laki yang bernama Arfi Dasayu Prakasa lahir pada tanggal 65 Desember 2007, sejak tanggal 7 juni 2006 ketentraman rumah tangga pemohon dan termohon sudah tidajk harmonis dan tepatnya pada tahun 2007 pemohon dan termohon telah pisah ranjang disebutkan hal-hal sebagai berikut.
55
1. Antara pemohon dan termohon selalu cekcok 2. Termohon berwatak keras 3. Termohon tidak mau mendengarkan perintah pemohon sebagai suaminya 4. Termohon jika sedang bertengkar selalu mengucapkan kata-kata kasar 5. Pemohon mulai jarang pulang
Selama perselisihan dan pertengkaran terjadi terus menerus, pemohon telah berupaya mengatasi masalah tersebut dengan jalan musyawrah keluarga, namun upaya tersebut tidk berhasil abtara pemohon dan termohon tetap pada masing-masing pendiriannya dan sulit ditemukan penyelesaiannya sehingga tidak ada jalan lain selain pemohon mengajukan persoalan inikepada pengadilan agama. Adapun pertimbangan huku, maksud dan tujuan perkawinan tidak terwujud, majelis hakim telah memberikan nasehat kepada pemohon dan juga termohon agar dapat hidup rukun kembali namun usaha itu tidak berhasil. Dalam
hal
tersebut
majelis
hakim
beserta
anggota
telah
mempertimbangkan fakta-fakta dalam persidangan: 1. Telah terjadi pernikahan antara pemohon dan termohon di Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Periuk Kota Tangerang. 2. Pemohon dan termohon sudah tidak harmonis lagi , sering terjadi perselisihan dan pertengkaran disebabkan termohon keras kepala, termohon tidak mau patuh terhadap perintah pemohon termohon jika bertengkar suka berkata kasar dan pemohon mulai jarang pulang kerumah
56
3. Majelis telah mendengar keterangan para saksi keluarga dari kedua belah pihak 4. Telah adanya upaya untuk memperbaiki rumah tangga pemohon dan termohon namun tidak berhasil, sehingga terlihat menunjukan ketidak harmonisan untuk membina rumah tangga yang kekal dan bahagia. Berdasarkan kenyataan tersebut setelah memeriksa pembuktian, majelis hakim berkesimpulan bahwa yang menjadi yangmenjadi tujuan pernikahan yitu untuk membentuk keluarga sakinah, mawaddah, warrahmah sebagaimana yang disebutkan dalam undang-undang No.1 Tahun 1974 joncto Pasal 3 Kompilasi Hukum Islam (KHI) sudah tidak mungkin lagi terwujud. Sudah tidak ada kesatuan hati antar pemohon dan termohon sehingga tiodak dapat di utuhkan lagi maka majlis hakim berpendapat bahwa antara pemohon dan termohon telah terjadi perselisihan yang sulkit didamaikan lagi. Dalam hal ini majlis hakim mengabulan permohonann pemohon untuk bercerai kepada istrinya, karena pemohon tetap pada pendiriannya untuk bercerai. C. Saksi Perceraian Dari Pihak Keluarga Dalam penulisan skripsi ini penulis mengadakan penelitian lapangan dengan mewawancarai beberapa hakim yang bertugas di Pengadialan Agama Tangerang. Praktek peradilan yang sudah berjalan di Pengadilan Agama Tangerang, tidak mengeyampingkan dalam penggunaan alat bukti saksi, baik dari segi kedudukan maupun dari segi agama saksi sendiri atau dari lain hal. Hal ini membuktikan bahwa yang ingin dicapai oleh seorang hakim dalam mendengarkan kesaksian seorang saksi adalah materi saksi itu sendiri
57
dan kebenarannya. Sesuai dengan ketentuan pasal 76 No. 7 Tahun 1989 yang menjelaskan bahwa kedudukan saksi dari pihak keluarga dibolehkan dalam perkara perceraian. Dalam hal ini Menurut Dr. Ai Jamilah M.H dan para hakim yang ada di pengadilan Agama tidak menolaknya dengan pertimbangan kesaksian itu memang benar dan bisa dipertanggung jawabkan kebenarannya, artinya kita tidak menolak saksi keluarga baik itu dari pihak tergugat ataupun penggugat karena yang kita terima kesaksiannya bukan pribadinya. Semua praktek peradilan terutama dalam perkara perceraian, menurut Dr, Ai Jamilah M.H, sangat memerlukan saksi dari pihak keluarga, karena sampai saat ini dalam kasus perceraian yang lebih tahu permasalahannya mayoritas dari pihak keluarga, walaupun ada beberapa dari luar pihak keluarga, akan tetapi kita semua lebih mengutamakan bahkan mewajibkan saksi dari pihak keluarga terlebih dulu, untuk dapat dihadirkan sebagai saksi oleh kedua belah pihak yang berperkara dan bukan dari pihak lain. Menurut Dr. Ai Jamilah M.H, keterangan saksi di Pengadilan Agama, berbeda dengan keterangan saksi di Pengadilan Negeri, keterangan saksi di Pengadilan Negeri menyangkut perkara keperdataan membolehkan saksi dari pihak luar atau siapa saja yang bersedia mejadi saksi, tentunya mereka yang mengetahui permasalahannya, sedangkan kesaksian di Pengadilan Agama, tidak bisa sembarang saksi, karena banyak permasalahan yang hanya diketahui oleh pihak yang bersangkutan (suami-istri atau lingkup keluarga) saja. Menurut penjelasan yang ada di atas, sangat jelas bahwa keterangan saksi dari pihak keluarga dapat diterima kesaksiannya, kecuali kesaksian seorang anak terhadap perceraian kedua orang tuanya tidak dapat diterima menjadi saksi dalam persidangan. Menurut Dr. Ai Jamilah M.H, kesaksian seorang anak terhadap orang tuanya yang ingin bercerai, tidak dapat dijadikan
58
sebagai alat bukti saksi, karena kesaksiannya jelas tidak dapat bersifat objektif.5 Adapun alasan hakim melarang kesaksian seorang anak terhadap perceraian kedua orang tuanya adalah sebagai berikut: 1. Apabila kesaksian seorang anak dapat diterima dalam perkara perceraian kedua orang tuanya maka ditakutkan akan mempengaruhi fisikologis atau kejiwaan dari si anak, karena dengan posisinya menjadi saksi maka seorang anak akan menjadi trouma karena melihat perselisihan yang berujung kepada sebuah perpisahan yang akan memisahkan kedua orangtuanya jika nantinya sampai bercerai. 2. Apabila kesaksian seorang anak dapat diterima dalam perkara perceraian kedua orang tuanya maka dikhawatirkan seorang anak akan memihak antar kedua belah pihak baik ibu atau ayahnya, dan bisa saja memicu permusuhan antara anak dengan ayahnya atau ibunya, jika sudah terjadi permusuhan maka hal ini sangat tidak wajar dan agama pun melarang jika permusuhan terjadi dalam sebuah keluarga.6 D. Analisa Penulis Permasalahan yang di akibatkan dari pertengkaran yang terjadi terus menerus antara rumah tangga AP (suami) KY(istri), pada bulan juni 2006 telah terjadi percekcokan antara kebudayaan dan tempat nya pada tahun 2007 percekcokan tersebut semakin memuncak, disini pemohon merasa sudah tidak kuat lagi untuk melanjutkan hubungan pernikahannya dan sejak tahun 2007 antara pemohon dan termohon sudah pisah ranjang, dan pemohonan sudah tidak pulang ke rumah .
5
Wawancara dengan Dr. Ai Jamilah, M.H, Hakim Pengadilan Agama Tangerang, Tanggal 2 Maret 2010. 6 Wawancara dengan Dr. Ai Jamilah, M.H, Hakim Pengadilan Agama Tangerang, Tanggal 2 Maret 2010.
59
Malihat kasus tersebut setelah mendengar dari berbagai keterangan baik pemohonan mau pun termohon beserta aksi dan dan alat bukti maka menurut majlis hakim realita yang ada dalam praktek itu sifatnya kasuistik, seorang hakim tetap terpacu pada normatif tetapi tetap melihat kepad kasus yang ada seperti yang terjadi dalam kasus tersebut, karena seorang suami sudah tidak bisa lagi dan tidak kuat lagi melihat sifat istrinya. Menurut majlis hakim dalam hal tersebut tidak jadi masalah, majlis hakim menilai sesuai dengan kaidah ushul fiqih yaitu, “menolak kemudlaratan, harus lebih di dahulukan dari pada mencari dan memperoleh kemaslahatan (dar-ul mafasid moqoddamun ‘ala jalbi al-mashalihi). Alasan hakim memutus perkara tersebut karena pemohon tetap pada pendiriannya untuk bercerai, penyebabnya adalah termohon keras kepala dan tidak mau patuh perintah pemohon lagi sehingga pertengkaran terjadi terus menerus,hal ini membuktikan bahwa rumah tangganya sudah tidak dapat lagi dibina dengan baik, agar kedua belah pihak tidak lebih jauh melanggar norma hukum dan norma agama maka perceraian merupakan alternatif terakhir untuk menyelesaikan permasalahan bagi pemohon dan termohon. Setelah melihat putusan yang ada di pengadilan agama, yaitu mengenai alat bukti saksi yang terdapat dalam dua putusan tersebut dengan menghadirkan saksi dari pihak keluarga, kesaksian seorang saksi merupakan sarana hakim untuk menemukan kebenaran tentang suatu fakta. Oleh karena itu, alat bukti saksi merupakan alat pembuktian yang penting harus memenuhi syarat sesuai dengan
60
ketentuan yang berlaku di pengadilan agama. Dalam hal ini ada pembahasan yang menraik perhatian bagi penulis untuk dianalisa. Dalam hukum islam dijelaskan melalui firman allah dalam surat Albaqarah ayat: 22, bahwasanya kedudukan aksi untuk alat pembuktian sangat di perlukan untuk dapat membuktikan kebenaran dalam suatu masalah, melihat kasus tersebut kedua belah pihak menghadirkan saksi dari pihak keluarga sendiri sedangkan kedudukan saksi dalam perceraian talah diatur dalam undang-undang yang berlaku dipengadilan agama. Sesuai dengan ketentuan pada pasal 145 HIR/172 RBg, pada prinsipnya semua orang dapat menjadi saksi kecuali undang-undang menentukan lain. Dalam hal ini HIR/RBg merupakan hukum acara yang berlaku di pengadilan agama, memiliki ketentuan tentang kedudukan aksi yang tidak boleh di dengar kesaksiannya antara lain: 1. Keluarga sedarah dan semenda dari salah satu pihak menurut garis lurus 2. Suami atau isteri dianggap tidak cakap menjadi saksi meskipun sudah bercerai 3. Anak-anak yang tidak diketahui benar apakah sudah cukup umur 4. Orang gila
Sedangkan ketentuan yang ada dalam pasal 76 Undng-undang No.3 Tahin 2006 Tentang perubahan atas Undang-undang No.7 Tahun 1989 Tentang peradilan Agama menjelaskan tentang kedudukan saksi dari pihak keluarga akan tetapi penjelasan yang ada dalam undang-undang No.3 Tahun 2006 Tentang perubahan atas Undang-undang No.7 Tahun 1989 Tentang peradilan agama
61
tersebut tidak melarang kesaksian seseorang dari pihak keluarga dan membolehkan dalam masalah syikak atau perceraian. Melihat hal tersebut dalam asas hukum dikenal denga istilah lex special derogate lex generalis bahwa hukum yang khusus akan mengalahkan hukum yang umum. Maka dalam hal ini pengadilan agama tidak menggunakan ketentuanketentuan yang ada dalam HIR, RBg dan KUH perdata, karena jika digunakan hal ini jelas bertolak belakang belakang dengan Undang-undang No.3 Tahun 2006 Tentang perubahan atas Undng-undang No.7 Tahun 1989 Tentang peradilan Agama. Kedudukan saksi dari pihak keluarga dalam KHI tidak diatur, melainkan hal ini jelas bertolak belakang dengan Undang-Undang No. 3 tahun 2006. tentang perubahan atas Undang-Undang N0.7 Tahun 1989 Tentang pendidikan agama. Kedudukan saksi dari pihak keluarga dalam KHI tidak diatur, melainkan hal ini termuat dalam beberapa kitab-kitab fiqih yang didalamnya terdapat beberapa ikhtilaf para ulama terutama para ulama mahzab. Menurut Mahzab syafi’I, jika kesaksian seorang bapak kepada anaknya itu diterima, maka sama saja kesaksian itu ditujuakan kepada dirinya. Hal ini membuktikan bahwa kesaksian dari pihak keluarga tidak dibolehkan dalam memberikan keterangan. Sedangkan menurut Mzhab Maliki juga tidak membolehkan kesaksian dari pihak keluarga, jika diterima harus berdasarkan satu syarat yakni orang tersebut harus dapat berlaku adil. Menurut mayoritas ulama, dalam masalah kesaksian seseorang dari pihak keluarga dibolehkan, jika kesaksiannya itu tidak mengandung tuduhan sehingga kesaksiannya dapat bersifat objektif dan dapat dipertanggung jawabkan serta menjadi kesaksian yang sah. Ketentuan yang ada di Pengadilan Agama Kota Tangerang menjelaskan bahwa kwsaksian dari pihak keluarga dapat diterima dalam perkara perceraian
62
sesuai dengan ketentuan pasal 76 Undang-Undang no. 3 tahun 2006 tentang perubahan atsa Undang-Undang No.7 Tahun 1989 tentang peradilan agama, kecuali kesaksian seorang anak terhadap perceraian kedua orang tuanya, hal ini dilarang untuk didengar kesaksiannya sesuai ketentuan yang ada di Pengadilan Agama Kota Tangerang. Berdasarkan hal tersebut di atas secara umum Pengadilan Agama membolehkan saksi dari pihak keluarga untuk mkesaksiannya di dalam persidangan, akan tetapi dalam hal ini ternyata tidak sepenuhnya kedudukan saksi keluarga dapat memberikan kesaksian dan dapat diterima kesaksiannya, karena menurut ktentuan yang ada di Pengadilan Agama seorang anak tidak boleh didengar kesaksiannya dalam sidang perceraian kedua orang tuanya. Adapun alasan yang dikemukan di pengadilan agama adalah: 1. jika seorang anak dihadirkan sebagai saksi maka dikhawatirkan ia akan berpihak sehingga menyebabkan permusuhan. 2. jika seorang anak menjadi saksi perceraian kedua orangtuanya akan mempengaruhi fisikologinya sehingga akan trouma dan berdampak buruk untuk masa depannya
Dengan demikian, bahwa hukum acara yang berlaku di peradilan agama sama halnya dengan hukum acara yang ada di perdilan umum, maka kedudukan saksi dari pihak keluarga pada prinsipnya dapat diterima dan diperolehkan akan tetapi sesuai dengan perkara-perkara tertentu. Ketetapan hukum seperti yahg telah ada di pengadilan agama yang secara khusus mengtur masalah hukum keluarga, maka dalam hal ini menurut ketentuan hakim pengadilan agama, seorang saksi yang tahu persis tentang masalah rumah tangga kedua belah pihak yang berperkara tentu dari pihak keluarganya, oleh
63
karena itu pengdilan agama memperolehkan saksi keluarga untuk dapat membrikan kesaksiannya.
Jika dianalisa, ketentuan yang ada dipengadilan agama melarang kesaksiannya, karena hal tersebut disertakan alasan-alasan yang kuat, walaupun alasan yang yang dikemukakan tidak disandarkan kepada undang-undang karena alasan tersebut merupakan yurisprudensi hakim terhadap putusan-putusan terdahulu, dengan alasan-alasan tersebut diharapkan agar tidak terjadi permasalahan yang tidak diinginkan sehingga berakibat buruk terhadap keluarga tersebut. Adapun di antara alasan-alasan tersebut dikarenakaan seorang anak tidak mampu bersikap objektif. Sesuai dengan alasan-alasan tersebut, maka jelas kenapa pihak pengadilan agama tidak memperoleh kesaksian seorang anak dalam perkara percerain, hal ini berdasarkan ketentuan-ketentuan yang telah menjadi keputusan bersama para hakim yang ada d pengadilan agama.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Dari uraian yang ada di atas maka masalah kesaksian seorang saksi dari pihak keluarga dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Saksi dari pihask keluarga dalam KUH Perdata tidak dapat didengar keterangan nya sebagai saksi dalam sidang perceraian karena dianggap tidak dapat bersikap objektif sehingga dikhawatirkan tidak dapat berbuat adil, dalam hukum Islam Ulama Mazhab Syafi’i dan Maliki menolak kesaksian seorang saksi dari keluarga karena dikhawatirkan akan memihak. 2. Pertimbangan hakim terhadap perkara perceraian yang telah diputus membolehkan saksi dari keluarga karena hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 76 undang-undang No.3 Tahun 2006 Tentang perubahan atas undang-undang No.7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama, adapun alasan yang dijadikan landasan hukumnya adalah hakamain dalam alqur’an surat al-Nissa juz 5 ayat 35. 3. Kedudukan saksi keluarga dalam perceraian di Pengadilan Agama Kota Tangerang dibolehkan untuk menjadi saksi hal ini telah menjadi kesepakatan hakim Pengadilan Agama Kota Tangerang sesuai dengan Undang-undangN0.3 Tahun 2006 Tentang perubahan atas undang-undang No.7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama undang-undang inibersifat khusus sedang KUH Perdata bersifat umum maka dalam azas hukum dilkenal dengan Lex specialis derogate lex generalis, yaitu hukum yang khusus akan meyampingkan hukum yang bersifat umum.
38
39
B. Saran-saran Dengan selainya pembahasan dalam skripsi ini penulis measa perlu untuk memperbaikinya, beberapa saran sebagai berikut:
1. Permasalahan saksi keluarga dalam perkara cerai perlu disosialisasikan dimasyarakat melalui ceramah-ceramah, majelis-majelis ta’lim dan pengajian dimasyarakat.
2. Masalah saksi keluarga, penulis menyarankan agar dimasukan dalam kurikulum fiqih di Tsanawiyah maupun Aliyah.
3. Untuk menghindari kesalahan seperti mengajukan saksi dalam perkara perceraian di Pengadilan Agama, maka perlu sekali dilakukan sosialisasi dalam bentuk seminar tentang hukum atau diskusi public.
40
DAFTAR PUSTAKA Departemen Agama RI, al-qur’an dan terjemahannya, Jakarta:1994. Abu Bakar Al-Husaini, Al-Imam Taqiyuddin. Kifayatul Akhyar,. Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1997, Jilid.III. Ali, Zainuddin Hukum Perdata Islam Di Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika, 2006. Al-jauziyah, Ibnu Qayyim. Panduan Hukum Islam, Jakarta: Pustaka Azzam, 2007. AL-Faruq, Asadullah. Hukum Acara Peradilan Islam. yogyakarta: Pustaka Yustisisa, 2009. Anshoruddin. Hukum Pembuktian Menurut Hukum Acara Islam Dan Hukum Positif . Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004. Arto, Mukti. Praktek Perkara Perdata Pada Peradilan Agama. Pustaka Pelajar, 1996.
yogyakarta:
As’ad, Aliy. Fathul Mu’in. yogyakarta: Menara Kudus, 1979. Rusyd, Ibnu. Bidayat al-Mujtahid. Beirut:Dar Al-jil. Efendi, Satria. Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer, Jakarta: Kencana,2004. Dasuki, Hafizh. Ensiklopedi Islam. Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve,1999. Daud Ali, Mohammad. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004. Departemen Agama, Direktorat jendral. Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, Ilmu Fiqih, Jakarta:1985. Djalil, A. Basiq. Pernikahan Lintas Agama Dalam Perspektif Fiqih Dan Kompilasi Hukum Islam. Qulbun Salim, 2005. Haikal, Abduttawab. Rahasia Perkawinan Rasulullah saw. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1988. Halim, Abdul, Peradilan Agama dalam Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta: Rajawali Press, 2000. Harahap, M. Yahya. Hukum Acara Perdata Tentang: Gugatan, Pembuktian Perseorangan dan Putusan Pengadilan. Jakarta: Sinar Grafika, 2005.
41
Hasbi Ashsidiqy, Teungku Muhammad. Peradilan dan Hukum Acara Islam. Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1997 Imam Muslim, Shahih Muslim, terj. Ma’mur Daud, Jakarta: Widjaya, 1984,jlid 3. Kamarusdiana dan Nahrowi. Hukum Acara Perdata. Jakarta: Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah. Jakarta. Latif, Djamil. Kedudukan dan Kekuasaan Peradilan Agama di Indonesia. Jakarta: NV. Bulan Bintang, 1975. Mahkamah Agung Republik Indonesia. Kompilasi Hukum Islam. Jakarta, 1999. Manan, Abdul. Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama. Jakarta: Kencana 2006. Mertokusumo, Sudikno. Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta: Liberty, 1977. Mujahidin, Ahmad Mujahidin. Pembaharuan Hukum Acara Perdata. Jakarta: IKAHI, 2008. Nailul Authar. Surabaya: PT. Bina Ilmu, 2005, Jilid 6. Prodjodikoro, Wirjono. Hukum Perkawinan Di Indonesia. Bandung :Vorkik Van Hoeve, 1959. Rasaid, M.Nur. Hukum Acara Perdata, Jakarta: Sinar Grafika. 1996. Rambe, Ropaun dan Agafi, A. Mukri. Implementasi Hukum Islam. Jakarta: PT. Perca, 2001. Rasyid, Roihan A. Hukum Acara Perdilan Agama. Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada, 2002. Rasjid, Sulaiman. Fiqih Islam. Jakarta: Attahiriyah, 1976. Rofiq, Ahmad. Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997. Sabiq, Sayyid. Fiqih Sunnah. Kairo: Dar al-Fath,1999. Santoso, Anando. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Surabaya: Kartika,1995. Sasangka, Hari. Hukum Pembuktian Dalam Perkara Perdata. Bandung: Mandar Maju, 2005. Shan’ani, Subulus Salam, juz IV, Dahlan, Bandung.
42
Supramono, Gatot. Hukum Pembuktian di Peradilan Agama. Ujung Pandang: Alumni, 1993. Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia: Antara Fiqih Munakahat dan Undang-undang Perkawinan. Jakarta: Kencana. Syukri, A. Juaini. Keyakinan Hakim Dalam Pembuktian Perkara Perdata Menurut Hukum Acara Positif dan Hukum Acara Islam. Jakarta:PT. Magenta Bhakti Guna, 1986. Umar, Abdur Rahman. Kedudukan Saksi Dalam Peradilan Menurut Hukum Islam. Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1986.