KONTRAK BAKU SEBAGAI STANDAR KEGIATAN DUNIA USAHA WARALABA DI INDONESIA
Oleh
S U W A R D I, S.H., MH
UNIVERSITAS NAROTAMA FAKULTAS HUKUM SURABAYA
2010
0
ABSTRAK Dalam perkembangan dunia usaha global keberadaan usaha waralaba yang berkem bang di Indonesia telah mengalami kemajuan yang sangat berarti hal itu disebabkan banyaknya investor yang berminat didalam sector bisnis waralaba atau Franchise tersebut untuk itu perlu dipersiapkan pranata hukum yang memadai sehingga diharapkan tidak akan merugikan bagi
masyarakat kita yang
baru mengenal bidang usaha waralaba atau
franchise tersebut. Kita tidak bisa menghindar dari globalisasi itu sendiri inilah yang dihadapi oleh negara berkembang didalam bisnis global nanti siapa yang cerdik didalam mengambil peluang bisnis maka merekalah yang lebih sukses untuk berperan maka kita harus mempersiapkan semampunya agar tidak menjadi penonton didalam Negaranya sendiri.
Kata Kunci : Standard Kontrak Pedoman Bisnis Franchise Waralaba
1
BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah Perkembangan Franchise yang merupakan dari salah satu bagian dari pranatapranata ekonomi yang kini berkembang dengan pesat, bahkan melintasi batas-batas yuridiksi negara. Perkembangan ini semakin meningkat dalam sua sana dunia yang semakin mengglobal, sering disebut dengan era globalisasi, di mana dalam era tersebut menjadikan batas-batas kedaulatan negara menjadi semakin transparan ditambah dengan adanya kemajuan yang begitu pesat dalam teknologi telekomunikasi belakangan ini. Era globalisasi memancarkan gelom bangnya ke seluruh dunia dengan tak terkecuali. Salah satunya adalah globali sasi ekonomi yang telah menjadikan interdependensi ekonomi dunia yang semakin kuat. Dalam hal ini, franchise sebagai salah satu institusi dalam bidang ekonomi yang dalam hal ini khususnya dalam sistem pemasaran barang dan jasa menjadi tidak terelakkan lagi untuk turut dilanda santernya arus globalisasi, yang pada akhirnya pun masuk ke Indonesia Franchise atau di Indonesia yang lebih kita kenal sebagai waralaba bertu juan untuk membentuk standarisasi mutu produk atau jasa (termasuk pelayanan) dalam memenuhi kepuasan konsumen.1 Jadi yang dimaksud franchise merupakan kontrak lisan yang ditulis atas suatu per janjian baik dengan terang-terangan atau diam, yang didalamnya seseo rang memberikan hak kepada orang lain, suatu lisensi untuk menggunakan na ma dagang, tanda pelayanan, logo 1
Amis Karamoy, Sukses Usaha Lewat Waralaba Grafika Jakarta 1996 h. 151 - 154 2
atau yang berhubungan secara karakteristik dengan minat masyarakat dalam bisnis pena waran, penjualan, pendistribusian atau pelayanan dalam bentuk partai atau eceran, leasing atau dengan cara lain dan didalamnya seorang franchise diminta untuk membayar kan, sacara langsung atau tidak langssung suatu biaya franchise (franchise fee). Dapat dilihat bahwa segi hukum franchising melibatkan bidang hukum perjanjian dan bidang hukum tentang hak milik intelektual (intelectual property rights). Dalam sistemm franchise terdapat dua pihak yakni pemberi Waralaba (franchisor) dan Penerima Waralaba (franchisee) dimana menurut peraturan pemerintah no. 16 tahun 1997 dalam pasal 1 butir 2 menyatakan bahwa pemberi waralaba adalah badan usaha atau perorangan yang memberikan hak kepada pihak lain untuk memanfaatkan dan atau menggunakan hak tas kekayaan inte lektual atau penemuan atau ciri khas usaha yang dimiliki sedangkan dalam pasal 1 butir 3 menyatakan bahwa untuk memanfaatkan atau menggunakan hak atas kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas yang dimiliki pemberi waralaba. Bisnis franchise memang dapat menjadikan pengusaha kecil (franchisee) menjadi mitra pengusaha besar (franchisor). Tetapi tanpa suatu perangkat hukum yang mengatur nya secara adil, maka yang terjadi adalah ibarat tukang potong yang menyembelilh ayam satupersatu. Contohnya dalam suatu kontrak franchise, seringkali pihak franchisor sudah menyiapkan suatu kontrak baku yang mengakibatkan pihak franchisee sudah tidak mempu nyai banyak peluang untuk bernegosiasi. 2. RUMUSAN MASALAH a.Bagaimana agar kontrak baku dalam waralaba memenuhi sistem hukum perjanjian ? 3
3. TUJUAN PENELITIAN a. Untuk mengetahui sejauh mana sistem “Kontrak Baku dalam Waralaba diterapkan di Indonesia”. b. Untuk menumbuhkan kesadaran di kalangan dunia usaha mengenai pen tingnya suatu jaminan perlindungan hukum dalam melaksanakan sistem bis nis franchise khusus nya dikaitkan dengan keberadaan kontrak baku dalam franchising. 4. MANFAAT PENELITIAN a. Bagi kalangan dunia akademisi bisa dimanfaatkan sebagai acuan pada bidang keil muan yang sejenis sehingga akan terus berkembang sesuai dengan kemajuan jaman b. Manfaat untuk kalayak umum merupakan sebagai tambahan penge tahuan sehingga jika terjun pada bidang usaha waralaba semacam itu sudah memahami bagaimana membuat kontrak kerja dengan parrner bisnis dengan benar..
4
BAB II PEMBAHASAN 1. KONTRAK BAKU DITINJAU DARI SISTEM HUKUM PERJANJIAN a. Klausul Eksemsi Dengan semakin banyak digunakannya kontrak baku dalam sistem bisnis waralaba, maka terdapat adanya masalah berkaitan dengan pencantuman klau sul atau ketentuan yang secara tidak wajar sangat memberatkan bagi pihak lainnya dalam hal ini pihak franchisee. Sutan Remy Syahdeini lebih memillih memperkenalkan dan mengguna kan istilah klausul eksemsi sebagai terjemahan daru exemption clause terjema han dari exculpatory clause yang dipakai di dalam pustaka-pustaka hukum Amerika Serikat, daripada mengam bil istilah dari bahasa Belanda dengan menterjemahkan exoneratie clausule menjadi klau sul eksonerasi. Ini berdasarkan kepada keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayan Republik Indonesia No. 0398/U/ 1998, tanggal 11 Agustus 1988 mengenai Pedoman Umum Pembentukan istilah yang menyatakn istilah-istilah yang dipakai adalah yang bera sal dari bahasa Inggris. Karena demi keseragaman, maka sumber rujukan yang diutamakan ialah istilah Inggris yang pemakaiannya sudah internasional, yang lazimnya oleh para ahli dalam bidang nya.2 Mariam Darus Badrulzaman mengartikan klausul eksonerasi (klausul eksemsi) seba gai klausul yang berisaikan pembatasan pertanggung jawaban dari kreditur, dalam hal ini
2
Sutan Remy Syahdeini, Op. Cit., h.73. 5
franchisor.3 Sedangkan menurut Sutan Remy Syah deini, klausul eksemsi adalah klausul yang bertujuan untuk membebaskan atau membatasi tanggung jawab salah satu pihak trhadap gugatan pihak lainnya dalam hal yang bersangkutan atau tidak dengan semestinya melaksa nakan kewajibannya yang ditentukan di dalam perjanjian tersebut.4 Ditinjau dari hukum perjanjian Indonesia terdapat asas hukum yang dapat dipakai sebagai tolok ukur untuk menentukan substansi suatu klausu dalam kontrak baku waralaba adalah meruapak suatu klausul yang secar tidak wajar sangat memberatkan bagi pihak lainnya atau tidak. Salah satunya adalah terdapat di dalam pasal 1337 dan 1339 BW. Pasal 1337 BW menyatakan suatu sebab adalah telarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila ber lawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum. Pasal 1339 BW menya takan persetujuan-persetujuan tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas dinyatakan didalamnya, tetai juga untuk segal sesuatu yang menurut sifat persetu juan, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang. Pasal 1338 (3) BW mengandung adanya suatu tuntutan keadilan, dimana dalam menuntut dipenuhinya isi dari suatu pewrjan jian, seseorang tidak boleh meninggalkan norma-norma keadilan atau kepatutan. Diperlukan adanya perlakuan yang adil dalam menuntut pemenuhan pelak sanaan isi dari perjanjian. Adanya pedoman bahwa semua perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik maka hakim mempunyai kekuasaan untuk mencegah suatu pelaksanaan perjanjian yang terlalu menyinggung rasa keadilan. Selain itu diperlukan adanya kewas padaan untuk mencegah pelaksanaan perjanjian yang akan memperkosa rasa keadilan. Kekuasaan untuk mencegah ekses-ekses ini berada ditangan hakim, yang bila perlu, juga 3
Mariam Darus Badrulzaman, Op. Cit., h. 109. 6
berwenang untuk menghapuskan sama sekali kewajiban kontraktuil terdapat dalam perjan jian. b.Pembakuan oleh Pemerintah dalam Kep. Menperindag No. 259/ MPP/ Kep/1997 Semakin banyaknya timbul masalah yang menyangkut klausul eksemsi dalam sistem hukum waralaba di Indonesia maka diperlukan adanya perhaian yang besar baik oleh hakim, para ahli hukum dan pemerintah sebagai pihak eksekutif serta DPR sebagai pihak Legislatif. Pada hakim diharapkan dalam menghadai sengketa perjanjian yang didasarkan pada suatu kontrak baku teru tama kontrak baku waralaba dapat mengembangkan suatu yurisprudensi tetap atas klausul-klausul yang terdapat dalam suatu kontrak baku waralaba sehingga yurisprudensi tersebut dapat menjadi pedoman bagi semua pihak yang berkepen tingan dengan penggunaan kontrak baku waralaba. Perkembangan yang terjadi pada saat ini adalah pemerintah telah menerbitkan Pera turan Pemerintah Indonesia No. 16 Th. 1997 tertanggal 18 Juni 1997 tentang waralaba dengan anggapan sistem waralaba dapat menjadi salah satu cara untuk meningkatkan kegiatan dan memberikan kesempatan kepada golo ngan ekonomi lemah untuk berusaha, yang berarti memberikan kesempatan untuk pemerataann dan juga menciptakan lapangan pekerjaan untuk masya rakat. Peraturan pelaksanaan dari PP N0. 16 Th. 1997 adalah SK Menteri Perin dustrian dan Perdagangan No. 259/MPP/KEP/7/1997 tertaggal 28 Juni 1997 tentang ketentuan dan tata cara pelaksanaan pendaftaran usaha waralaba. Kalau melihat isi dari pasal yang terdapat dalam PP. No. 16/1997 maka terdapat adanya usaha dari pemerintah Indonesia untuk melaksanakan pembakuan terhadap bentuk kontrak 4
Sutan Remy Syahdeini, O. Cit., h. 75. 7
dan prosedur usaha waralaba. Pasal 2 PP 16/ 1997 menyatakan bentuk kontrak (perjanjian) waralaba adalah tertulis dan di buat dalam bahasa Indonesia serta berlaku hukum Indo nesia. Pasal 3 (1) PP No. 16/1997 yang menyatakan pemberi waralaba (fran chisor) wajib menyampaikan keterangan kepada penerima waralaba (fran chisee) serta tertulis dan benar sekurang-kurangnya memngenai a.
Pemberi waralaba, berikut keterangan mengenai kegiatan usahanya ;
b.
Hak atas kekayaan intelektual atas penemuan atau ciri khas usaha yang menjadi obyek waralaba ;
c.
Persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi oleh penerima waralaba ;
d.
Bantuan atau fasilitas yang ditawarkan pemberi waralaba kepada penerima waralaba ;
e.
Hak dan kewajiban pemberi dan penerima waralaba ;
f. Pengakhiran, pembatarlan dan perpanjangan perjanjian waralaba serta hal-hal lain yang perlu diketahui penerima waralaba dalam rangka pelaksanaan perjanjian waralaba. Pasal 3 (1) PP.No. 16/1997 apabila dihubungkan dengan pendapat Amir Karamoy disebut sebagai keajiban untuk memiliki Disclosure Document (Doku men kterbukaan) yang bertujuan untuk melindungi waralaba (franchisee) yang sebagian besar adalah para pengusa ha kecil, dimana seorang franchisee perlu mengetahui infoemasi lengkap dan jelas tentang prospek dan resiko bisnis yang akan mereka masuki. Disclosure Document tersebut berisikan informasi antara lain mengenai latar belakang bisnis, pengalaman perusahaan dan personil kuncinya, persyaratan sebagai waralaba (franchisor) dan aspek keuangan. Doku men tersebut dapat juga berupa company profile, yang isinya tidak hanya menyajikan hal8
hal yang bersifat promosional, tetapi informasi dan data mengenai pengalaman bisnis, sistem waralaba yang dimiliki, program sistensi, resiko dan laporan keuangan. Disclosure Document tersebut harus didaftarkan pada peme rintah setempat.5 Pasal 7 PP No. 16/1997 menyatakan bahwa perjanjian waralaba dan disclosure document didaftarkan di Departement Perindustrian dan perdagangan oleh penerima wara laba (franchisee) paling lambat 30 hari terhitung sejak berla kunya perjanjian waralaba. Sedangkan di dalam SK Menperindag No. 259/MPP/KEP/7/1997 tersebut di dalam pasal 7 (1) terlihat adanya usaha pemerintah untuk menekan ekses dari kontrak baku dalam arti meniadakan atau menekan semaksimal mung kin sifat yang sangat “berat sebelah” dari klausul-klausul yan terdapat dalam suatu kontrak baku waralaba (klausul eksemsi) dengan menetapkan model untuk kontrak baku waralaba oleh Depperindag yang merupakan suatu badan atau organ yang mempunyai kepentingan dan jangkauan yang sangat luas. Model dari kontrak baku terssebut diharapkan dapat memuat suatu klausul yang mempertimbang kan berbagai sudut kepentingan, bukan hanya daru sudut pandang pihak pengusaha semata. C. Penyuluhan atau Klausul Kontrak Baku Suatu bentuk kontrak baku dalam sistem bisnis waralaba adalah berisikan suatu aturan main yang telah ditetapkan oleh pihak franchisor dan franchisee dalam kontrak itu sediri yang merupakan arahan datu pedoman pelaksanaan bagi pihak yang sewaktu-waktu berhu bungan dengan pihak yang lain selama jangka berlakunya kontrak tersebut.
5
Amir Karamoy, Sukses Usaha Lewat Waralaba Tanya-Jawab Berbagai Aspek Waralaba, Jurnalindo Aksara Grafika, Jakarta, 1996, h. 151 - 154 9
Pihak dranchisor dan franchisee harus mengetahui dan memahami isi dari aturan main dalam kontrak baku waralaba sehingga diharapkan para pihak dapat bertindak sesuai dengan aturan main dalam kontrak waralaba yang telah ditandatangani. Sering terjadi dalam pelaksanaannya tedapat keengganan atau ketidak mampuan dari para pihak dalam kontrak waralaba khususnya pihak franchisee untuk membaca atau ketika dia mencoba untuk memahami setiap isi yang tercantum dalam kontrak waralaba, terlebih lagi jika kontrak tersebut iasinya sangat rumit dan panjang sehingga untuk mem baca denga teliti atau memahami isinya dari kontrak tersebut secara tepat dan tepat diperlukan suatu persyaratan kemampuan secara hukum.6 Ketidakmampuan dan keengganan yang sering terjadi pada franchisee sewaktu mambaca dan memahami isi dari kontrak baku waralaba yang menyebabkan sema kin tingginya efek negatif dari kontrak baku waralaba. Apalagi pada saat kontrak baku waralaba akan ditandatangani tidak ada usaha untuk membaca dan memahami isi dari kontrak baku tersebut oleh pihak fran chisee. Apalagi tidak ada usaha dari pihak franchisor untuk memberi kan penger tian mengenai isi dari kontrak baku waralaba bahkan tidak ada usaha utuk men diskusikan isi dari kontrak baku waralaba tersebut. Selain itu dalam proses pembukaan hubungan bisnis waralaba, franchisor sering menyodorkan secara langsung kontrak baku waralaba keada seorang calon franchisee untuk membubuhkan tandatangan pada kolom yang sudah disiapkan dan jarang memberi kan kesempatan kepada calon franchisee untuk membaca dan meneliti kontrak baku waralaba tersebut terlebih dahulu sebelum menandatanganinya. Hal ini yang menyebabkan
10
timbulnya "take it or leave it", karena pada seorang calon frnchisee keberatan dengan klausul-klausul yang terdapat dalam kontrak baku tersebut, pihak franchisor tidak memberi kan kesempatan kepada calon franchisee untuk merundingkan klausul-klausul dalam kon trak baku tersebut dan mempersilahkan kepada calon franchisee utuk langsung menanda tangani kontrak baku waralaba tersebut atau kalau tidak mau menandatangani maka sedia dipersilahkan utnuk meninggalkannya7. Kadang kala franchisor juga tidak memahami isi dari klausul-klausul kontrak baku yang disodorkan kepada pihak calon franchisee, ketika pihak calon franchisee menanyakan atau mita penjelasan mengenai isi dari klausul-klausul kontrak baku waralaba yang diajukan oleh franchisor. Penjelasan atau jawaban yang diberikan oleh franchisor kepada pihak franchisee akhirnya tidak memberikan gambaran yang jelas mengenai isi dari klau sul-klausul suatu kontrak baku waralaba yang diajukannya. Tetapi perbuatan yang dila kukan oleh seorang calon frnchisee utuk menanyakan tiap isi dari klausul-klausul suatu kontrak baku waralaba adalah merupakan suatu hal yang perlu dilaksanakan oleh seorang calon franchisee untuk mengetahui prospek dan resiko bisnis waralaba yang akan dilaksana kannya. Untuk dapat memahami isi dari klausul-klausul suatu kontrak baku waralaba dengan baik, cepat dan tepat memang diperlukan suatu kemampuan tertentu. Seorang fran chisor harus dapat menguasai kemampuan tersebut. Dia harus dapat menguasai kemam puan tersebut sehingga dapat memahami setiap isi dari klausul-klausul kontrak waralaba
6
Kartini Mulyadi, Hukum Kontrak Internasional dan Perusahaannya Terhadap Perkembangan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, Jakarta, 1994 h. 87 11
yang diaju kannya. Ada tingkat pema haman yang baik diantar kedua belah pihak mengenai suatu kontrak baku waralaba sangat diperlukan utuk menghindari adanya perse lisihan pada saat pelaksanaan isi dari klausul-klausul kontrak baku waralaba tersebut. Banyak franchisor yang enggan untuk memperbaiki, merevisi atau merundingkan kembali klausul–klausul dari kontrak baku waralaba, tetapi banyak pula franchisor yang tidak memahami makna dari klausul-klausul yang dican tumkannya dalam kontrak baku waralaba yang diajukannya. Bahkan ada yang beralasan untuk mencari klausul pengganti dari klausul-klausul yang ada dalam suatu kontrak bakuk waralaba yang dapat memuaskan pihak calon fran chisee adalah sangat sulit. Hal tersebut sebenarnya dapat diatasi dengan mempergunakan jasa konsultan hukum yang pada saat ini banyak yang mengkhususkan diri untuk bergerak dalam bidang hukum bisnis. Dimana peran dari konsultan hukum tersebut adalah untuk meneliti kontrak baku waralaba tersebut dengan cermat, tepat dan baik. Pada saat pelaksanaan dari kontrak baku waralaba dapat mengan dalkan pengamatan dari konsultan hukum tersebut. Selain itu untuk mengurangi efek negatif dari suatu kontrak baku wara laba, maka sebelum penandatanganan kontrak pada pasal 3 ayat (1) PP No. 16/1997 mewajibkan kepada pihak franchisor untuk menyampaikan keterangan kepada pihak franchisee secara tertulkis dan benar sekurang-kurangnya menge nai : a. Pemberi waralaba (franchisor), berikut keterangan mengenai usahanya ; b. Hak atas kekayasan intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha yang menjadi obyek waralaba ; 7
Juajir Sumardi, Aspek-aspek Hukum Franchise dan Perusahaan Transnasional, Citra Aditya Bakti, Bandung 12
c. Persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi penerima waralaba (franchisee) d. Bantuan atau fasilitas yang ditawarkan pemberi waralaba (franchisor) kepada penerima waralaba (franchisee) ; e. Hak dan kewajiban pemberi dan penerima waralaba (franchisor dan franchisee) ; f. Pengakkhiran, pembatalan, perpanjangan perjanjian waralaba serta hal-hal lain yang perlu diketahui penerima waralaba dalam rangka pelaksanaan perjanjian waralaba. Ketentuan yang dimaksud dalam pasal 3 ayat (1) tersebut dimaksudkan agar pihak franchisor dan pihak franchisee memiliki dasar awal yang kuat dalam melakukan kegiatan waralaba secara sehat dan terbuka. KEterangan mengenai franchisor menyangkut identi tasnya, antra lain nama dan atau alamat tempat usaha, nama dan alamat franchisor, penga laman mengenai keberhasilan atau kegagalan selama menjalankan waralaba, keterangan mengenai franchisee yang pernah dan masih melakukan perikatan dan kondisi keuangan. Persyaratan yang harus dipenuhi adalah franchisor antara lain mengenai cara pembayaran ganti rugi, wilayah pemasaran, dan pengawasan mutu. Ketarangan mengenai prospek kegia tan waralaba, meliputi juga dasar yang digunakan dalam pem berian keterangan tentang prospek yang dimaksud Banatuan atau fasilitas yang diberikan antara lain berupa pelatihan, bantuan keuangan, bantuan pemasaran, bantuan pembukuan dan pedoman kerja. Pasal 3 ayat (2) PP No. 16/1997 mewajibkan kepada franchisor untuk memberikan waktu yan gcukup kepada franchisee untuk meneliti hal-hal sebagaimana dimaksud dalam ayat (1). Sedangka pasal 7 PP No. 16/1997 memberikan pengaturan sebagai berikut :
1995, h. 21 13
(1)Perjanjian waralaba beserta keterangan tertulis sebagaimana dimaksud kan pada pasal 3 ayat (1) didaftarkan di Departemen Perindustrian dan Perdagangan oleh penerima waralaba paling lambat 30 hari terhitung sejak berlakunya perjanjian wara laba. (2)Pendaftaran sebagaimanan dimaksudkan dalam ayat (1) dilaksanakan dalam rangka dan untuk kepentingan pembinaan usaha waralaba. Dalam pasal 7 tersebut, memperlihatkan bahwa pemerintah mempu nyai kepen tingan terhadap pembinaan usaha waralaba yang semakin terlihat dari pasal 10 SK Menpe rindag yang merupakan peraturan pelaksanaan dari PP No. 16/1997. Pasal 10 SK Menpe rindag menyatakan bahwa menteri dan pejabat lain yang ditunjuk dan memberikan saran penyempurnaan atas perjanjian wara laba antara pemberi waralaba (franchisor) dengan penerima waralaba (fran chisee). Dari pasal 10 tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa Menperindag atau pejabat lain yang ditunjuk mempunyai kewenangan untuk memberikan saran penyempurnaan atas suatu perjanjian atau kontrak waralaba antara seorang franchisor dengan seorang franchise.
14
BAB III KESIMPULAN DAN SARAN 1. Kesimpulan a. Pernyataan kehendak (konsensus) di dalam suatu kontrak baku waralaba tidak harus berupa kata-kata tetapi dapat berwujud dalam diterimanya doku men kontrak waralaba oleh franchisee dengan ada protes pada saat mene rimanya atau setelah beberapa waktu seorang franchisee mempunyai waktu yang cukup untuk membaca dokumen kontrak bakuu waralaba. Kenyataan yang ada selam ini adalah kontrak baku telah dipakai secara meluas dalam sistem bisnis waralaba sejak lama dan memang lahir dari kebutuhan masya rakat sendiri. Dalam bisnis waralaba tidak dapat berlangsung tanpa adanya kontrak bakuk yang memang dibutuhkan dan karena itu diterima oleh masya rakat. Penggunaan kontarak baku dalam sistem bisnis waralaba memang menyebab kan pengikisan asas kebebasan berkontrak. Tetapi dalam penggunaannya, masih terdapat kebebasan-kebebasanyang dapat diwujudkan.
Klausul eksemsi yang sering trdapat
dalam suatu kontrak baku waralaba adalah bertujuan untuk membebaskan atau mem batasi tanggungjawab salah satu pihak lainnya dalam hal yang bersangkutan atau tidak bersangkutan dengan semestinya melaksanankan kewajibannya yang ditentukan di dalam perjan jian tersebut. Ditinjau dari hukum perjanjian terdapat tolok ukur untuk menentukan sub stansi suatu klausul dalam kontrak baku waralaba merupakan klausul yang secara tidak wajar sangat memberatkan bagi pihak yang lainnya atau tidak. Tolok ukur tersebut adalah yang terdapat dalam pasal 1`337, 1338 (34) dan 1339 BW. Selain
15
itu, tedapat suatu konse diluar hukum perjanjian kita yang juga dapat dipakai yaitu kon sep “Penyalahgunaan Keadaan (Mis brui va Omstagdigheden)”. b. Perkembangan yang terjadi pada saat ini adalah terdapat adanya usaha dari pemerintah in donesia unk menekan ekses dari kontrak wara laba dengan menerbitkan PP No. 16 Th. 1997 dan pembakuan terhadap kalusul - klausul yang terdapat di dalam kontrak waralaba melalui SK Menperindagg No. 259/MPP/KEP/7/1999. Bentuk pencegahan lain adalah dengan memberikan penyuluhan atas kalusul-klausul yang terdapat dalam suatu kontrak baku. Penyuluhan tersebut dilaksa nakan oleh Deperindag dengan berdasarkan pada pasal 10 SK Menperindag No. 259/MPP/KEP/7/ 1999. Untuk menghindari adanya perbedaan tingkat pemahaman diantarapihak franchi sor dan frnchisee serta timbulnya perselisi han pada saatt pelaksanaan isi dari kalusulkalusul kontrak baku waralaba maka dapat diatasi dengan mempergunakan jasa konsul tan atau enasehat hukum yang mempunyai kemampuan dan pemahaman yang bai mengenai hukum bisnis utamanya waralab. Peran dari konsultan atau penasehat hukum tersebut adalah untuk mneliti kontrak baku waralaba yang akan ditandata ngani oleh pihak franchisee dal bentuk pendapat hukum (Legal Opinion).
2. S a r a n a. Langkah yang dapat ditempuh untuk mengatasi berbagai permasalahan yang dihadapi sehubungan dengan penggunaan kontrak baku waralaba dan adanya klausul eksemsi yang sering dicantumkan oleh pihak frnchisor adalah meli puti ;
16
-
Penyusunan undang-undang yang mengatur pembatasan yang harus dipatuhi dalam pembuatan kontra baku yang melengkapi pengaturan sebagaimana yang diatur dalam Buku III BW atau yang secara khusus mengatur mengenai klausul yang memberat kan tersebut (klausul eksemsi) ;
-
Mengembangkan yurisprudensi tetap atas klausul yang terdapat dalam kontrak baku waralaba oleh para hakim yang menghadapi sengketa perjanjian, sehingga menjadi pedoman bagi pihak-pihak yang berkepen tingan dengan mendasarkan pada pasal 1337, 1338 (3) dan 1339 BW serta konsep “ Penyalahgunaan Keadaan (Misbruik van Omstag dig heden)” ;
b. Penetapan model kontrak baku waralaba yang dibuat oleh suatu badan atau organ yang mepunyai kepentingan dan jangkauan yang lebih luas dengan mendasarkan masukan dari para ahli hukum yang menguasai segi-segi hukum perjanjian. Pemerintah dalam hal ini Deperindag yang mempunyai kepentingan terhadap pembi naan usaha waralabab diharapkan dapat secara intensif memberikan penyuluhan atas klausul yang dicantumkan dalam kontrak baku waralaba. Pendapat hukum memang sangat diperlikan dalam mengurangi efek negatif dfari suatu ,kontrak baku waralaba tetapi tetap dipelkukan adanya suatu sikap kehati-hatian dari pihak franchisor dan franchisee untuk memilih penasehat atau konsultan hukum yang akan dimintai pendapat hukum mengenai kontrak baku waralabab serta untuk penasehat atau konsultan hukum yang dimintai pendapat hukumnya agar sangat berhati-hati dalam mengeluarkan suatu pendapat hukum.
17
DAFTAR PUSTAKA Amrul Partomuan Pohan, Penggunaan Kontrak Baku (Standart Contract) Dalam Praktek Bisnis di Indonesia, Majalah Hukum Nasional, BPHN, No. 1, 1994, h. 62. Abdulkadir Muhammad, Hukum Perikatan, Alumni, Bandung, 1982, h. 128. Amir Karamoy, Sukses Usaha Lewat Waralaba Tanya-Jawab Berbagai As pek Waralaba, Jurnalindo Aksara Grafika, Jakarta, 1996, h. 151 - 154 Juajir Sumardi, Aspek-Aspek Hukum Franchise dan Perusahaan Transnasi onal, Citra Aditya Bhakti, Bandung , 1995, h. 21. Kartini Mulyadi, Hukum Kontrak Internasional dan Pengaruhnya terhadap Perkembangan Hukum Nasional, BPHN Departemen Kehakiman, Jakarta, 1994, h. 87. Mariam Darus Badrulzaman, Perlindungan terhadap Konsumen Dili hat dari Sudut Perjanjian Baku (standart), BPHN, 1986, h. 59 Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Baku (Standart) Perkembangan Di Indonesia, Alumni, Bandung, 1981, h. 109. Sutan Remy Syahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan yang Se imbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, 1993, h. 66 Subekti, Pembinaan Hukkum Nasional, Alumni, 1975, h. 74 Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Perdata, Jakarta, Bale Bandung, 1986, h. 68-70 Subekti, Hukum Perjanjian, Cet. IV, Jakarta, Intermasa, 1979, h. 41. Badan Pembinaan Hukum Nasional, Naskah Akademis Tentang Kon trak Di Bidang Perdagangan, Dep. Kehakiman, Jakarta, 1994, h 14 - 15.
18