STUDI KASUS KELAINAN REGIO ABDOMEN ANJING MELALUI INTERPRETASI RADIOGRAFI DI KLINIK HEWAN MYVETS KEMANG DAN BUMI SERPONG DAMAI
ADY WIBOWO
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Studi Kasus Kelainan Regio Abdomen Anjing Melalui Interpretasi Radiografi di Klinik Hewan MyVets Kemang dan Bumi Serpong Damai adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, 7 September 2010
Ady Wibowo NIM B04061514
ABSTRACT ADY WIBOWO. Case Study Radiographic Interpretation of Dog’s Abdominal Disorder in MyVets Animal Clinic Kemang and Bumi Serpong Damai. Under direction of DENI NOVIANA and SITI ZAENAB. The aim of this study was to analyze abnormality and disease in abdomen region of dog by radiographic interpretation. The study was done by radiographic interpretation and confirmed with medical record that was taken from MyVets Animal Clinic Kemang and Bumi Serpong Damai. Interpretation was done by seven of basic Roentgen signs with changes of size, shape, number, location, margination, opacity, and alteration of organ function. Interpretation result was grouped by three system organ which are gastrointestinal, urinary, and reproduction system. Nine cases were taken for further discussion and compared it with literature. Abnormalities that were found in gastrointestinal system are constipation with prolaps ani, gastric foreign body, and bloating. Abnormalities that were found in urinary system are urolithiasis in urethra, renal failure, and nephromegaly with urolithiasis. Abnormalities that were found in reproduction system are dystocia fetalis, mummification, and pyometra. Keywords : radiographic interpretation, dog, gastrointestinal system, urinary system, reproduction system
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
STUDI KASUS KELAINAN REGIO ABDOMEN ANJING MELALUI INTERPRETASI RADIOGRAFI DI KLINIK HEWAN MYVETS KEMANG DAN BUMI SERPONG DAMAI
ADY WIBOWO
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan pada Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
Judul Skripsi : Studi Kasus Kelainan Regio Abdomen Anjing Melalui Interpretasi Radiografi di Klinik Hewan MyVets Kemang dan Bumi Serpong Damai Nama : Ady Wibowo NIM : B 04061514
Disetujui
Drh. Deni Noviana, Ph.D Pembimbing I
Drh. Siti Zaenab Pembimbing II
Diketahui
Dr. Dra. Nastiti Kusumorini Wakil Dekan Fakultas Kedokteran Hewan
Tanggal Lulus :
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya tulis ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Maret 2010 ini ialah interpretasi radiografi dengan judul Studi Kasus Kelainan Regio Abdomen Anjing Melalui Interpretasi Radiografi di Klinik Hewan MyVets Kemang dan Bumi Serpong Damai. Proses penyusunan skripsi ini merupakan sebuah perjalanan panjang yang tidak lepas dari dukungan dan bantuan berbagai pihak. Pada kesempatan ini, Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Drh. Deni Noviana, Ph.D dan Drh. Siti Zaenab selaku pembimbing skripsi atas ilmu, keterampilan, nasihat, saran, kritik, dan kesabarannya dalam membimbing penulis. 2. Drh. Retno Wulansari, MS, Ph.D sebagai dosen penilai dalam seminar atas semua masukan untuk perbaikan tulisan ini. 3. Prof. Dr. Drh. I Wayan T. Wibawan, MS dan Dr. Drh. M. Fahrudin, MS sebagai dosen penguji yang telah memberikan masukan yang baik untuk kemajuan penulis. 4. Drh. Risa Tiuria, MS, Ph.D selaku pembimbing akademik atas motivasi dan bimbingan dalam kegiatan akademik penulis. 5. Ayah, Ibu, Tira, Tiyur, Tiara Tsani, dan lek Dadang atas doa, dukungan, hitungan mundur, dan semangat yang diberikan kepada penulis. 6. Seluruh dokter hewan dan paramedis di klinik MyVets Kemang dan Bumi Serpong Damai. 7. Seluruh dokter hewan dan staf bagian Bedah dan Radiologi. 8. Rekan-rekan sepenelitian (Iir, Marina, Uni Fitri, teh Retno, dan mbak Tetty) atas kerjasama, semangat, dan kebersamaan selama penelitian ini. 9. Keluarga 43sculapius yang sama-sama berjuang S-1 di FKH IPB. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, 7 September 2010 Ady Wibowo
RIWAYAT HIDUP Penulis bernama lengkap Ady Wibowo, dilahirkan di Margomulyo Natar, Lampung Selatan pada tanggal 5 Agustus 1988. Penulis merupakan anak pertama dari tiga bersaudara dari Ayah yang bernama Tatang dan Ibu yang bernama Sutarti. Tahun 2006 penulis lulus SMA Negeri 1 Natar Lampung Selatan dan pada tahun yang sama lulus seleksi masuk IPB melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB. Penulis memilih mayor Kedokteran Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan. Selama menjadi mahasiswa Institut Pertanian Bogor, penulis aktif di BEM TPB Kabinet Hexagonal sebagai staf Departemen Sosial dan Kesejahteraan Mahasiswa tahun 2006/2007, DPM FKH IPB sebagai sekretaris Komisi Eksternal tahun 2007/2008, MPM KM IPB sebagai staf BP Konstitusi tahun 2007/2008, Veterinary English Club sebagai anggota tahun 2007/2008, Ikatan Mahasiswa Kedokteran Hewan Indonesia (IMAKAHI) FKH IPB sebagai anggota tahun 2007/2009, kelas angkatan 43 Aesculapius sebagai Ketua Rohis tahun 2007/2009, Himpunan Minat dan Profesi Ruminansia sebagai anggota tahun 2007/2010, Dewan Keluarga Mushala An Nahl sebagai anggota tahun 2007-2010, DPM FKH IPB Dewan Revolusioner sebagai Ketua tahun 2008/2009. Disamping itu, penulis juga aktif dalam Organisasi Mahasiswa Daerah Keluarga Mahasiswa Lampung sebagai Ketua Departemen Kerohanian dan Pendidikan tahun 2007/2008, Organisasi luar kampus Program Kakak Asuh sebagai Pengurus tahun 2007/2009. Penulis mendapatkan beasiswa P2SDM IPB tahun 2006/2007, beasiswa PPA tahun 2007/2008, dan beasiswa BBM tahun 2008/2009.
viii
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL .............................................................................................. ix DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... x PENDAHULUAN ............................................................................................... 1 Latar Belakang ................................................................................................. 1 Tujuan .............................................................................................................. 2 Manfaat ............................................................................................................ 2 TINJAUAN PUSTAKA ...................................................................................... 3 Radiasi Ionisasi ................................................................................................ 3 Faktor-Faktor Pembentuk dalam Radiografi ..................................................... 6 Kontras Radiografi ........................................................................................... 9 Interpretasi Radiografi .................................................................................... 10 Posisi Pemotretan Radiografi Hewan Kecil .................................................... 13 Interpretasi Radiografi Daerah Abdomen........................................................ 13 Sistem Pencernaan ......................................................................................... 16 Sistem Perkemihan dan Reproduksi................................................................ 17 Teknik Bahan Kontras Radiografi .................................................................. 18 METODE .......................................................................................................... 22 Waktu dan Tempat ......................................................................................... 22 Prosedur ......................................................................................................... 22 HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................................................... 23 SIMPULAN DAN SARAN ............................................................................... 39 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 40
ix
DAFTAR TABEL Halaman 1 Hasil pengamatan radiograf kasus konstipasi dan prolaps ani .......................... 23 2 Hasil pengamatan radiograf kasus adanya benda asing di lambung.................. 25 3 Hasil pengamatan radiograf kasus bloat .......................................................... 26 4 Hasil pengamatan radiograf kasus urolithiasis di uretra ................................... 28 5 Hasil pengamatan radiograf kasus gagal ginjal ................................................ 30 6 Hasil pengamatan radiograf kasus nephromegaly dan urolithiasis.................... 32 7 Hasil pengamatan radiograf kasus distokia fetalis............................................ 34 8 Hasil pengamatan radiograf kasus mummifikasi.............................................. 36 9 Hasil pengamatan radiograf kasus pyometra.................................................... 38
x
DAFTAR GAMBAR Halaman 1 Identifikasi opasitas lima substansi yang berbeda dalam mengabsorbsi sinar-x .. 7 2 Pengaruh ketebalan objek terhadap radioopasitas .............................................. 7 3 Anatomi organ viscera dengan proyeksi kiri (A) dan kanan (B) di ruang abdomen anjing ............................................................................................... 14 4 Anatomi organ viscera dengan radiograf standar pandang lateral rekumbensi kanan (A) dan ventro-dorsal (B) di ruang abdomen anjing normal .................. 15 5 Kasus konstipasi dan prolaps ani, radiograf standar pandang lateral rekumbensi kanan ............................................................................................................... 23 6 Kasus benda asing di lambung, radiograf standar pandang lateral rekumbensi kanan ............................................................................................................... 25 7 Kasus benda asing di lambung, radiograf standar pandang ventro-dorsal ........ 25 8 Kasus bloat, radiograf dengan standar pandang lateral rekumbensi kanan ....... 26 9 Kasus urolithiasis di uretra, radiograf standar pandang lateral rekumbensi kanan ............................................................................................................... 28 10 Kasus gagal ginjal, radiograf standar pandang lateral rekumbensi kanan ....... 29 11 Kasus gagal ginjal, radiograf standar pandang ventro-dorsal ......................... 30 12 Kasus nephromegaly dan formasi urolith di vesika urinaria, radiograf standar pandang lateral rekumbensi kanan ................................................................. 32 13 Kasus distokia fetalis, radiograf standar pandang lateral rekumbensi kanan ... 34 14 Kasus distokia fetalis, radiograf standar pandang ventro-dorsal..................... 34 15 Kasus mummifikasi, radiograf standar pandang lateral rekumbensi kanan ..... 36 16 Kasus pyometra, radiograf standar pandang lateral rekumbensi kanan ........... 37 17 Kasus pyometra, radiograf standar pandang ventro-dorsal ............................ 37
PENDAHULUAN Latar Belakang Radiografi merupakan sarana penunjang diagnostik yang sudah berkembang pesat baik di dunia kedokteran manusia maupun dalam dunia kedokteran hewan yang bertujuan untuk kesejahteraan. Radiografi membantu menentukan keputusan utama diagnosa dengan mengombinasikan rekam medik yang tercatat sehingga cepat dilakukan penanganan pengobatan. Perkembangan radiografi ini dimulai sejak sinar-x ditemukan pada tanggal 8 November 1895 hingga adanya publikasi pertama angiografi satu tahun setelahnya. Perkembangan ini merupakan dasar perubahan besar dalam tata cara diagnosa dan penanganan penyakit pada manusia dan hewan (Thrall & Widmer 2002). Meningkatnya kesadaran masyarakat akan kehidupan yang seimbang antara manusia dan hewan kesayangan terutama anjing dalam menjaga kesehatan keduanya membutuhkan pelayanan kesehatan yang baik, cepat, dan akurat. Dalam menunjang peningkatan pelayanan kesehatan ini, penggunaan sinar-x sebagai alat bantu diagnosa sangat penting selain pemanfaatan sinar-x sebagai sarana terapi pengobatan (Hendee & Ritenour 2002). Sinar-x sebagai alat bantu diagnosa dilakukan pada regio thorak, abdomen, ekstremitas, ruang peritoneum, kepala serta leher, dan tulang punggung. Kelainan pada regio abdomen lebih banyak terjadi karena regio abdomen memiliki banyak sekali organ (Orpet & Welsh 2002). Tiga sistem tubuh yang terdapat di dalam regio abdomen dan sering mengalami kelainan diantaranya sistem pencernaan, sistem perkemihan, dan sistem reproduksi. Kemampuan calon dokter hewan dalam interpretasi radiografi kelainan pada regio abdomen berdasarkan tujuh parameter Roentgen yaitu perubahan dalam ukuran, bentuk, jumlah, lokasi, marginasi, opasitas, dan fungsi normal organ harus ditingkatkan sebelum praktik di lapangan. Dokter hewan praktik dan akademisi di dunia pendidikan membutuhkan informasi yang bersifat kualitatif dari kelainan yang terjadi pada regio abdomen anjing. Maka diperlukanlah analisa interpretasi kelainan pada regio abdomen anjing untuk memberikan informasi data yang bermanfaat.
2
Tujuan Tujuan studi kasus ini adalah untuk menganalisa kejadian penyakit dan kelainan regio abdomen pada anjing melalui interpretasi radiografi berdasarkan tujuh parameter Roentgen yaitu perubahan dalam ukuran, bentuk, jumlah, lokasi, marginasi, opasitas, dan fungsi normal organ sehingga didapatkan data yang bersifat kualitatif dari kasus yang terjadi di Klinik Hewan MyVets. Dengan demikian, hasil ini dapat dijadikan acuan bagi dokter hewan praktik dalam meningkatkan pengetahuan dan kemampuan dalam menangani kasus yang terjadi pada anjing. Manfaat Melalui studi kasus ini akan didapatkan data yang bersifat kualitatif berkaitan dengan kelainan pada regio abdomen anjing melalui interpretasi radiografi. Data kelainan yang ditemukan diharapkan dapat menjadi bahan referensi pemeriksaan dan diagnosa penyakit bagi dokter hewan praktik dan akademisi di dunia pendidikan. Interpretasi radiografi yang berkelanjutan dapat meningkatkan kemampuan calon dokter hewan dalam mendiagnosa penyakit sebagai perwujudan fungsi radiodiagnostik.
TINJAUAN PUSTAKA Sinar-x ditemukan oleh ahli fisika Jerman yang bernama Wilhelm Conrad Roentgen pada tanggal 8 November 1895, sehingga sinar-x ini juga disebut Sinar Roentgen. Penemuan ini membawa pengaruh perkembangan yang besar bagi dunia kedokteran baik manusia maupun hewan. Sebagai contohnya adalah angiography yang dipublikasikan pada tahun 1896, hanya setahun setelah ditemukannya sinar-x (Thrall & Widmer 2002). Perkembangan Roentgen di Indonesia dimulai oleh Dr. Max Herman Knoch seorang ahli radiologi berkebangsaan Belanda yang bekerja sebagai dokter tentara di Jakarta (Anonim 2008). Pemanfaatan sinar-x ini terus berkembang dari tahun ke tahun dan sudah banyak dimanfaatkan dalam dunia kedokteran manusia dan hewan sebagai sarana penunjang diagnosa dan terapi radiasi (Widmer et al. 1994; Adams 1994; LaRue & Gillette 1994; Hendee & Ritenour 2002). Radiasi Ionisasi Sinar-x merupakan gelombang elekromagnetik atau disebut juga dengan foton sebagai gelombang listrik sekaligus gelombang magnet. Energi sinar-x relatif besar sehingga memiliki daya tembus yang tinggi. Sinar-x dapat dipantulkan, dibiaskan atau dibelokkan, dan difraksikan seperti sinar pada umumnya, perbedaannya sinar-x mempunyai panjang gelombang yang lebih pendek (Hendee & Ritenour 2002). Sinar-x bergerak lurus, tidak dipengaruhi oleh medan magnet yang berada di sekitarnya, dan dapat menghitamkan kertas potret. Sinar-x menghasilkan ionisasi pada berbagai gas setelah melewatinya sehingga dengan pengetahuan tersebut digunakan untuk mengukur intensitas sinar-x. Sinarx terbagi atas dua bentuk yaitu sinar-x karakteristik dan sinar-x bremsstrahlung. Sinar-x karakterisktik terbentuk melalui proses perpindahan elektron atom dari tingkat energi yang lebih tinggi menuju ke tingkat energi yang lebih rendah. Perbedaan energi dari tingkatan-tingkatan orbit dalam atom target cukup besar, sehingga radiasi yang dipancarkannya memiliki frekuensi yang cukup besar dan berada pada daerah sinar-x. Sinar-x bremsstrahlung terjadi apabila elektron yang bermuatan listrik bergerak dengan kecepatan yang tinggi melintas dekat ke inti
4
suatu atom menyebabkan elektron membelok dengan tajam karena gaya tarik elektrostatik inti atom yang kuat. Peristiwa ini menyebabkan elektron kehilangan energinya sehingga memancarkan radiasi elektromagnetik. Sinar-x karakteristik mempunyai spektrum energi yang diskrit, sementara spektrum energi dari sinar-x bremsstrahlung adalah kontinyu yang lebar (Martin 2000). Proses terbentuknya sinar-x diawali dengan adanya pemberian arus pada kumparan filamen pada tabung sinar-x sehingga akan terbentuk awan elektron. Pemberian beda tegangan akan menggerakkan awan elektron dari katoda menumbuk target di anoda sehingga terbentuklah sinar-x karakteristik dan sinar-x bremsstrahlung. Sinar-x yang dihasilkan keluar dan jika berinteraksi dengan materi dapat menyebabkan beberapa hal diantaranya adalah efek fotolistrik, efek hamburan Compton, dan efek terbentuknya elektron berpasangan. Ketiga efek ini didasarkan pada tingkat radiasi yang berinteraksi dengan materi secara berurutan dari paling rendah hingga paling tinggi. Efek fotolistrik dari radiasi ionisasi akan mengakibatkan efek biologi radiasi yang dapat terjadi secara langsung ataupun secara tidak langsung (Martin 2000; Thrall & Widmer 2002). Radiasi ionisasi efek fotolistrik terjadi ketika sebuah hamburan partikel foton dengan energi yang berkecukupan menumbuk elektron yang berada pada lapisan K-shell dari suatu atom. Tumbukan foton dengan elektron pada lapisan Kshell menyebabkan terlepasnya elektron dari lintasannya dan menghasilkan sepasang ion yaitu elektron yang bermuatan negatif di lintasan dan yang bermuatan positif di inti atom. Besarnya ionisasi yang terjadi bergantung pada tingkat energi yang dimiliki oleh foton. Semakin tinggi energi foton maka semakin banyak ionisasi dapat terjadi. Elektron yang lepas dari lintasan atom lapisan K-shell berinteraksi dengan molekul biologi di sekitarnya misalnya DNA (Hendee & Ritenour 2002).
Efek Compton terjadi bila seberkas foton
ditembakkan ke sebuah elektron bebas yang diam, sehingga sinar-x akan mengalami perubahan panjang gelombang menjadi lebih besar. Elektron yang diam menyerap sebagian energi foton sehingga bergerak membelok membentuk sudut terhadap arah foton mula-mula. Foton yang menumbuk elektron terhambur dengan sudut tertentu terhadap arah foton semula dan panjang gelombangnya menjadi lebih besar (Thrall & Widmer 2002). Efek terbentuknya elektron
5
berpasangan terjadi setelah seberkas foton ditembakkan ke suatu atom dan melintas dekat dengan inti atom (elektron positif) dan elektron lapisan terdalam (elektron negatif). Tumbukan tersebut menyebabkan elektron positif dan elektron negatif terlepas sebagai seberkas sinar yang mempunyai daya tembus yang tinggi. Terlepasnya elektron positif dan elektron negatif dari suatu atom dapat terjadi oleh seberkas foton yang mempunyai energi minimal sebesar 1,02 MeV (Hendee & Ritenour 2002). Radiasi ionisasi yang terjadi pada makhluk hidup dapat berbahaya. Jaringan yang terpapar sinar-x melibatkan DNA yang merupakan gen yang ikut dalam semua proses metabolik dan klonogenik sel yang akan menghasilkan amplifikasi biologik. Ionisasi yang terjadi pada DNA dapat menimbulkan peningkatan laju mutasi, peningkatan angka abortus dan abnormalitas fetus jika teradisi pada fetus, peningkatan risiko terkena penyakit dan masa hidup yang pendek, peningkatan risiko kanker terutama kanker tiroid, leukemia, kanker kulit, dan peningkatan risiko katarak (Thrall & Widmer 2002). Mengingat hal itu, pemanfaatan sinar-x harus memperhatikan efek negatif biologis tersebut dengan menggunakannya secara arif, bijaksana, dan aman bagi hewan, manusia, serta lingkungan sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku (Ulum & Noviana 2008). Orang yang bekerja dengan sinar-x harus memperhatikan risiko dari radiasi. United States Nuclear Regulatory Commision menyatakan batasan dosis individu terpapar radiasi maksimal adalah 0,05 Sievert atau 5 rem per tahun (Widmer et al. 1994). Dosis tersebut masih mempunyai efek yang tidak diinginkan sehingga selalu dievaluasi setiap tahunnya, dan pada tahun 2008 International Commision on Radiological Protection menyatakan dosis individu terpapar radiasi maksimal adalah 0,02 Sievert per tahun (Wrixon 2008). Berdasarkan Surat Keputusan Kepala Bapeten No. 01/Ka-BAPETEN/V-99 (1999) batas dosis maksimal yang diterima pekerja radiasi di Indonesia adalah 0,05 Sievert per tahun. Memperhatikan hal itu, orang yang bekerja dengan sinar-x harus menguasai kemampuan dalam menempatkan posisi pasien untuk radiografi, penguasaan operasi mesin sinar-x, dan teknik ruang gelap dengan baik (Menendez 2007). Jumlah paparan radiasi dari suatu sinar-x yang diterima individu dapat dikurangi dengan menjaga jarak, waktu paparan, dan penghalang. Prinsip tersebut
6
dikenal dengan “The Big Three of Radiation Safety”. Prinsip menjaga jarak antara teknisi atau operator dengan sumber sinar-x dapat mengurangi jumlah paparan sinar-x yang diterima. Semakin jauh jarak operator dengan sinar-x semakin lebih aman bagi tubuh. Waktu yang diperlukan untuk paparan sinar-x sedapat mungkin hanya sepersekian detik sehingga jumlah radiasi sinar-x yang diterima semakin sedikit. Penggunaan penghalang berupa apron 0,5 mm Pb, sarung tangan 0,5 mm Pb, kacamata dengan 0,25 mm Pb, lempengan Pb penutup leher (mini apron) untuk melindungi kelenjar tiroid dan peralatan pelindung lainnya dapat menjaga tubuh dari radiasi sinar-x (Partington 2006). Faktor-Faktor Pembentuk dalam Radiografi Teknik pencucian film di ruang gelap merupakan faktor yang sangat penting untuk mendapatkan radiograf yang dapat terbaca sebagai sarana diagnosa. Walaupun pengambilan radiografi telah benar dan sesuai dengan prosedur, namun apabila tidak mempunyai pengetahuan yang cukup di ruang gelap serta keahlian teknis maka film yang didapat tidak akan bernilai sebagai sarana diagnosa karena kesalahan dalam teknik pencucian (Watters 1994). Tahapan pencucian film di ruang gelap adalah developing, rinsing, fixing, washing, dan drying. Kualitas cairan dari developer dan fixer harus selalu diperiksa untuk mendapatkan hasil yang baik (Martin 2000). Pengetahuan radiologi sebagai dasar dari kemampuan sinar-x dalam menetrasi film harus dikuasai oleh radiografer. Ketika sinar-x mengenai pasien, beberapa sinar-x diabsorbsi, beberapa berpendar, dan yang lainnya bertebaran. Radiograf merupakan gambaran dari jumlah dan distribusi sinar-x yang melewati pasien dan menghitamkan film dengan beberapa kemungkinan. Kemungkinan yang terjadi akibat interaksi sinar-x dengan benda yaitu tidak terjadi apa-apa sehingga film hitam seluruhnya, sinar-x dihentikan sepenuhnya sehingga terlihat warna putih pada film, dan sebagian sinar-x berinteraksi tapi ada juga sebagian yang melewati sehingga citra yang terlihat adalah warna abu-abu. Istilah yang menggambarkan keadaan film tersebut akibat terpaparnya sinar-x biasa disebut densitas. Densitas merupakan istilah yang menunjukkan kehitaman film yang ditentukan banyaknya kristal perak yang terbentuk akibat berinteraksi dengan
7
sinar-x yang dapat mencapai film setelah melalui tubuh hewan. Densitas dari beberapa komposisi yang dapat dijadikan dasar adalah radiograf udara, lemak, air, tulang, dan logam (Berry et al. 2002).
Udara
Lemak
Air
Tulang
Logam
Radiopaque Radiolucent Densitas Optik Kehitaman Film Densitas Radiograf Gambar 1 Identifikasi opasitas lima substansi yang berbeda dalam mengabsorbsi sinar-x (Berry et al. 2002). Ada dua istilah untuk menggambarkan radiografi yang ditimbulkan dari pasien yang di foto yaitu radiolucent untuk bentuk suatu objek yang sedikit mengabsorbsi radiasi dan radiopaque untuk menunjukkan bahan/organ yang menahan banyak radiasi. Ketebalan dari objek juga mempengaruhi radioopasitas yang ditimbulkan dari sinar-x. Semakin tebal objek yang dilewati sinar-x maka semakin sedikit sinar-x yang merubah citra film sehingga gambaran yang terjadi pada film adalah warna putih (Berry et al. 2002).
Radiopaque Radiolucent Gambar 2 Pengaruh ketebalan objek terhadap radioopasitas (Berry et al. 2002).
8
Sinar-x yang mampu menghitamkan film setelah melewati tubuh pasien menghasilkan derajat citra yang berbeda pada film. Perbedaan tersebut terjadi karena sinar-x yang mampu diabsorbsi, berpendar, dan bertebaran ketika menumbuk objek. Tubuh tidak sepenuhnya sama (homogen) dalam mengabsorbsi sinar-x, fenomena ini disebut sebagai perbedaan absorbsi (Berry et al. 2002). Kondisi demikian, radiografer dalam memotret tubuh pasien harus memperhatikan beberapa faktor agar mendapatkan radiograf yang bagus dan bernilai diagnosa. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kuantitas atau jumlah sinar-x yang terbentuk tersebut terdiri atas Milliamperage, Second, Milliamperage Second, Kilovoltage peak, dan Focal spot-Film Distance. Faktor lain yang juga mempengaruhi kualitas radiograf adalah tipe intensifying screen, tipe film sinar-x, dan teknik penggunaan grid (Thrall & Widmer 2002; Partington 2006; Menendez 2007). Milliamperage merupakan standar satuan jumlah (flux) elektron yang keluar dari katoda menuju anoda untuk menghasilkan sinar-x di dalam tabung sinar-x. Peningkatan pengaturan milliamperage pada unit sinar-x akan menyebabkan densitas radiograf berupa kehitaman film atau lucent. Sementara itu, penurunan pengaturan milliamperage akan mereduksi densitas radiograf atau menghasilkan film yang terang atau opaque. Unit diagnostik yang paling banyak digunakan untuk hewan kecil dioperasikan pada pengaturan dari 50 sampai 300 mA. Unit portable sinar-x kecil yang digunakan pada hewan besar menggunakan aliran yang rendah sekitar 10 atau 20 mA. Sementara itu, unit sinar-x yang besar seperti di rumah sakit hewan kecil dapat menggunakan aliran yang besar yaitu 2000 mA (Partington 2006). Second adalah waktu mengalirnya arus dari katoda menuju ke anoda, dan waktu untuk menghasilkan sinar-x dalam setiap paparan. Semakin panjang waktu paparan, jumlah elektron yang mengalir dari katoda menuju anoda akan semakin besar dan jumlah foton yang dihasilkan pun semakin besar. Waktu paparan dan milliamperage merupakan faktor terbentuknya jumlah foton. Berdasarkan hal itu, waktu paparan yang singkat digunakan untuk menurunkan hasil radiograf yang samar-samar
akibat
pergerakan,
sehingga
selalu
digunakan
pengaturan
milliamperage yang tinggi serta pengaturan waktu yang rendah. Pengaturan
9
milliamperage yang tinggi, maka jumlah elektron akan dimaksimalkan di dalam tabung sinar-x untuk mengisi anoda dengan waktu yang sangat pendek (Partington 2006).
Milliamperage Second adalah perkalian antara Milliamperage dengan
Second yang berarti bahwa jumlah elektron yang keluar dari katoda menuju anoda dalam satu paparan untuk menghasilkan sinar-x (Orpet & Welsh 2002). Energi yang dhasilkan oleh sinar-x untuk melakukan penetrasi melalui benda atau bagian tubuh yang sampai ke permukaan film dinamakan Kilovoltage peak. Peningkatan kilovoltage (kV) akan meningkatkan densitas radiografi atau kehitaman film karena peningkatan foton sinar-x yang melewati tubuh pasien. Penurunan kilovoltage sebaliknya, yaitu akan menurunkan densitas film (Orpet & Welsh 2002). Pengaturan kilovoltage yang paling sering digunakan untuk diagnostik radiologi berkisar dari 40 sampai 150 kV. Pengaturan kV yang tinggi dan mAs yang rendah digunakan untuk pemeriksaan jaringan lunak. Sementara itu, untuk struktur yang keras seperti struktur tulang digunakan kV yang rendah dan mAs yang tinggi (Partington 2006). Jarak focus spot tabung sinar-x dengan permukaan film disebut Focal spotFilm Distance. Faktor ini pada dasarnya tetap atau konstan selama pengambilan foto dari satu paparan dengan paparan yang lain. Jarak yang biasa digunakan untuk hewan besar berkisar dari 70 sampai 85 cm dan untuk hewan kecil berkisar dari 90 sampai 105 cm. Menjaga Focal spot-Film Distance sangat penting karena akan mempengaruhi faktor eksposur lainnya. Penurunan Focal spot-Film Distance akan menyebabkan densitas film semakin meningkat karena intensitas sinar-x yang melewati pasien meningkat (Partington 2006; Menendez 2007). Kontras Radiografi Kontras adalah istilah yang digunakan pada perbedaan opasitas (kekeruhan) antara dua regio atau area dari radiografi. Kontras ini memberikan kemudahan bagi radiografer untuk membaca hasil radiografi dalam membedakan bentukan organ yang ada. Kontras dikatakan tinggi bila gambar yang dihasilkan berwarna hitam atau putih. Kondisi tersebut tidak menunjang dengan baik ke arah suatu pembacaan karena organ yang berbeda akan diekspresikan dengan warna yang sama. Prinsip radiografi sendiri adalah digunakan untuk menghasilkan banyaknya
10
gradasi bayangan abu-abu di antara hitam (udara) dan putih (tulang). Jumlah gradasi bayangan abu-abu antara hitam dan putih disebut dengan istilah latitude (Martin 2000). Kontras radiograf dipengaruhi oleh dua faktor utama, yaitu; 1). Peningkatan nilai KVP menyebabkan daya tembus meningkat sehingga kontras film akan rendah atau menurun dan terbentuk banyak gradasi bayangan abu-abu, dan 2). Penurunan nilai KVP menyebabkan daya tembus dari sinar-x menurun sehingga kontras film akan tinggi atau meningkat dan menghasilkan sedikit gradasi bayangan abu-abu (Thrall & Widmer 2002). Interpretasi Radiografi Interpretasi radiografi dilakukan untuk mengumpulkan semua data-data dan bukti, menganalisa, dan akhirnya adalah mengambil keputusan terhadap pemeriksaan yang telah dilakukan. Ada beberapa tahap yang harus diperhatikan untuk mendapatkan interpretasi yang baik dan berujung pada diagnosa yang akurat yaitu pemeriksaan anamnesa, pemeriksaan fisik, teknik radiografi yang benar, dan evaluasi radiograf. Foto radiografi selalu diinterpretasi berdasarkan tahapan yang telah disebutkan diatas (Morgan & Wolvekomp 2004). Pemeriksaan anamnesa selalu dilengkapi dengan signalemen serta rekam medik lain yang digunakan untuk mendiagnosa. Anamnesa hewan diketahui dari pemilik hewan atau dari orang yang berhubungan dekat dan mengetahui keadaan hewan. Anamnesa yang tidak benar dapat memberikan diagnosa yang diambil salah dan tidak akurat. Signalemen hewan memberikan informasi khusus sehingga memudahkan dalam mengenali hewan dan tindakan penanganan yang akan diambil selanjutnya. Signalemen hewan terdiri atas nama hewan, jenis hewan, ras, warna bulu dan kulit, jenis kelamin, umur, dan tambahan khusus berupa berat badan, petanda buatan, petanda bawaan, petanda khusus, dan penggunaan hewan. Rekam medik lain juga diperlukan untuk mendukung arah diagnosa yang benar dan akurat (Thrall & Widmer 2002). Pemeriksaan fisik selalu dilakukan sebelum pengambilan tindakan Roentgen. Pemeriksaan tersebut memberikan pertimbangan mengenai perlu atau tidaknya tindakan Roentgen serta sekaligus menentukan area atau lesio pengambilan foto apabila hewan tersebut memang harus dilakukan pemeriksaan
11
radiografi. Radiografi merupakan langkah konfirmasi terhadap hasil diagnosa klinis atau kecurigaan terhadap kelainan tertentu, sehingga dengan radiograf didapatkan diagnosa yang benar dan akurat. Pemeriksaan fisik sangat penting sebagai pertimbangan tindakan Roentgen karena menyangkut kesehatan pasien serta operator dari berlebihnya dosis akumulasi sinar-x yang terpapar (Kleine 1994; Tayal 2004). Prosedur radiografi yang benar memberikan radiograf yang benar sehingga memudahkan dalam pembacaan. Prosedur yang salah dapat menyebabkan radiograf tidak mempunyai nilai diagnosa sama sekali apabila radiograf tersebut tidak dapat dibaca serta informasi yang diinginkan dari radiograf hewan tidak dapat ditemukan. Prosedur radiografi yang salah akan memberi kesimpulan diagnosa yang salah. Selain prosedur radiografi, harus diperhatikan juga tata cara pengamatan radiografi yang benar agar tidak salah dalam menyimpulkan diagnosa. Radiografi merupakan gambaran dua dimensi dari suatu struktur atau organ yang tiga dimensi sehingga perlu diimajinasikan ke dalam bentuk asalnya yang berupa tiga dimensi. Untuk mendapatkan imajinasi tiga dimensi tersebut, pengambilan foto harus dengan posisi sudut pandang yang tepat serta diperlukan minimal dua radiograf dengan sudut pandang yang berbeda ketika pengamatan radiografi. Radiograf yang diamati harus ada tanda posisi pasien seperti tanda kiri atau kanan yang memudahkan pengamat untuk menentukan kelainan yang terjadi apakah di tubuh pasien bagian kanan atau bagian kiri. Penandaan posisi pasien tersebut dilakukan ketika prosedur pengambilan foto (Tayal 2004). Pengamatan radiografi dilakukan dalam ruangan tertutup dan lingkungan yang tenang. Radiograf digantung pada illuminator dengan prosedur standar dan pola tetap. Hasil pengambilan radiograf lateral maka bagian cranial pasien diletakkan di sisi kiri pada illuminator atau sebelah kiri pembaca. Hasil pengambilan radiograf ventro-dorsal atau dorso-ventral maka bagian cranial diletakkan di atas dan bagian kiri pasien berada di kanan pembaca. Pencahayaan illuminator yang digunakan dalam ruangan harus cukup. Cahaya yang terlalu banyak dan terang dapat menyulitkan dalam pengamatan, maka cahaya ruangan lain yang tidak perlu harus dikurangi. Lesio organ yang diamati difokuskan pada titik tertentu untuk mendapatkan pengamatan yang jelas dan baik. Pengamatan ini
12
dilakukan dari jarak dekat maupun jauh. Hal ini dilakukan untuk memberi kejelasan dari radiograf tersebut, apakah gambar yang terbentuk hanyalah noda atau hamburan dari kesalahan teknik pencucian atau memang suatu lesio. Informasi mengenai tanggal pembuatan radiografi juga harus dilakukan pengecekan. Bayangan yang muncul dari radiograf harus dievaluasi dan diberikan penjelasan apakah berupa bentukan normal anatomi, pecahan atau gambaran dari struktur yang bertumpuk, artefak dari kesalahan posisi, atau lesio patologi (Tayal 2004). Evaluasi dari radiograf dilakukan pada semua bagian dari foto radiograf yang diambil. Terdapat beberapa pendekatan dalam melakukan evaluasi, pendekatan tersebut yaitu pendekatan melalui sistem organ, organ, dan daerah organ atau area. Pendekatan melalui sistem organ adalah pendekatan dengan evaluasi dari susunan organ yang membentuk sistem dalam tubuh, contohnya sistem pernapasan, sistem pencernaan, sistem peredaran darah, dan lain-lain. Pendekatan melalui organ adalah pendekatan evaluasi dari organ-organ yang ditemukan, contohnya jantung, hati, usus, dan lain-lain. Pendekatan melalui area adalah pendekatan dengan evaluasi dari area yang ditemukan, contohnya regio abdomen area epigastrikus, mesogastrikus, dan hipogastrikus. Berdasarkan ketiga pendekatan evaluasi tersebut, pendekatan dengan sistem organ adalah yang paling disarankan untuk digunakan. Hal ini karena pendekatan dengan sistem organ lebih mudah dan berurut sesuai dengan susunan organ dalam sistem (Bischoff 2003; Tayal 2004). Evaluasi radiograf digunakan untuk menemukan dan menjelaskan adanya kelainan dari pasien. Kelainan tersebut dapat berupa perubahan dari organ atau struktur berupa perubahan ukuran, bentuk atau kontur, jumlah, lokasi, marginasi, opasitas (radiopacity atau radiolucent), dan perubahan fungsi normal organ (Bischoff 2003; Tayal 2004). Setelah evaluasi radiograf selesai, kelainan yang ditemukan dikonfirmasi dengan anamnesa dan data rekam medik dari pasien untuk mengambil kesimpulan diagnosa. Apabila terdapat diagnosa banding yang mungkin dari kelainan tersebut dengan gejala yang mirip, maka kelainan tersebut dibandingkan dan diambil satu kelainan khas yang muncul dari suatu penyakit untuk mengambil kesimpulan akhir diagnosa (Tayal 2004).
13
Posisi Pemotretan Radiografi Hewan Kecil Posisi pemotretan radiografi hewan dengan standar pandang yang lazim digunakan adalah; x Cranio-caudal (CC) x Latero-medial (LM)/ Lateral recumbency x Ventro-dorsal (VD) x Dorso-ventral (DV) x Obique (-Oblique) Penamaan ini berdasarkan terminologi pada Nomina Anatomica Veterinaria. Selain posisi standar pandang di atas, terdapat standar pandang lain sebagai standar pandang spesifik seperti contohnya dorsolateral palmaromedial oblique (DLPaMO) untuk pemotretan os carpal, namun standar pandang spesifik ini hanya digunakan untuk beberapa daerah struktur tubuh (Thrall & Widmer 2002). Posisi yang digunakan untuk pemotretan radiografi abdomen adalah lateral recumbency, dorso-ventral, dan ventro-dorsal. Posisi lateral recumbency baik kanan maupun kiri biasa digunakan untuk pengambilan radiografi dan evaluasi organ-organ di regio abdomen. Posisi dengan standar pandang ventro-dorsal lebih baik daripada dorso-ventral. Hal ini disebabkan posisi ventro-dorsal memberikan ruang yang lebih luas bagi abdomen sehingga gambaran organ-organ yang berada di abdomen terpisah dan lebih jelas pada radiografi. Selain itu, gambaran organ juga didukung oleh cara pengambilan radiografi yang baik yaitu pada saat hewan ekspirasi maksimum (Redrobe 2001). Interpretasi Radiografi Daerah Abdomen Ketika melakukan interpretasi radiograf, pembaca radiograf harus mengetahui terlebih dahulu bentukan normal organ suatu hewan serta ditunjang dengan ilmu-ilmu yang mendukung seperti anatomi dan fisiologi, fisika radiografi, patofisiologi, dan prinsip dasar kesehatan dan bedah (Thrall & Widmer 2002).
14
Gambar 3 Anatomi organ viscera dengan proyeksi kiri (A) dan kanan (B) di ruang abdomen anjing (Dyce et al. 2002).
Keterangan: 1. Diafragma; 2. Hati; 3. Lambung; 4. Limpa; 5. 5’. Ginjal kiri dan kanan; 6. Kolon deskenden; 7. Usus halus; 7’. Duodenum deskenden; 8. Pankreas; 9. Rektum; 10. Saluran perkemihan dan reproduksi hewan betina; 11. Vesika urinaria.
Evaluasi radiograf digunakan untuk menjelaskan adanya kelainan dari struktur organ dan menentukan lokasi lesio. Radiograf abdomen dari pasien yang mengalami kelainan dievaluasi dengan temuan berupa salah satu atau gabungan dari perubahan ukuran organ atau struktur organ, variasi dari kontur dan bentuk, variasi dari jumlah organ, perubahan posisi dari organ dan struktur organ, peningkatan opasitas dari organ atau struktur organ, peningkatan bentukan organ atau struktur organ,dan perubahan dari fungsi normal organ. Evaluasi radiograf abdomen dilakukan dengan pendekatan sistem organ yang memudahkan radiografer dalam interpretasi dan deskripsi bila terjadi kelainan (Love & Berry 2002; Bischoff 2003; Tayal 2004).
15
A B Gambar 4 Anatomi organ viscera dengan radiograf standar pandang lateral rekumbensi kanan (A) dan ventro-dorsal (B) di ruang abdomen anjing normal (Zwingenberger 2008).
Keterangan: 1. Diafragma; 2. Hati; 3. Lambung; 4. Limpa; 5. Ginjal; 6. Kolon; 7. Usus halus; 8. Rektum; 9. Saluran perkemihan dan reproduksi hewan jantan; 10. Vesika urinaria.
Pemeriksaan radiograf abdomen dilakukan mulai dari struktur eksternal abdomen termasuk struktur tulang belakang, tulang rusuk, dan tulang iliaca. Selanjutnya evaluasi dinding abdominal dari adanya retakan atau sobekan pada integritas, perubahan pada opasitasnya atau adanya benda asing. Pemeriksaan selanjutnya adalah diafragma serta evaluasi seluruh konfigurasi abdominal. Evaluasi yang paling utama adalah evaluasi untuk sistem pencernaan, sistem perkemihan dan reproduksi, proporsi sistem musculoskeletal, dan ruang peritoneum (Kleine 1994). Visualisasi organ-organ yang berada di abdomen dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu perbedaan kerapatan atau densitas antara satu organ dengan organ lain, banyaknya lemak dalam abdomen, pergerakan pasien selama pemotretan, dan ketebalan hewan. Indikasi dilakukan pemotretan daerah abdomen adalah adanya muntah yang persisten, rasa sakit pada regio abdomen, hematuria atau dysuria, evaluasi massa abdomen, evaluasi distensi abdomen, tenesmus, jaundice, diare persisten, dan evaluasi adanya kebengkakan (Menendez 2007).
16
Sistem Pencernaan Evaluasi radiografi sistem pencernaan dilakukan terhadap rongga mulut dan pharynx, namun evaluasi tersebut sangat jarang dilakukan karena kasus yang terjadi sedikit. Evaluasi radiografi selanjutnya dilakukan pada esofagus dan lambung. Lambung terletak berdekatan dengan hati yaitu di caudal hati serta di cranial kolon transversa. Axis dari lambung mempunyai posisi yang paralel dengan tulang rusuk pada sudut pandang lateral. Bagian pylorus anjing pada umumnya terletak pada sebelah lateral kanan dari median tubuh anjing (Dyce et al. 2002). Ukuran lambung dari ras anjing bervariasi, namun sama dalam hal opasitas yang bergantung kepada isi dari lambung. Radiografi lambung dilakukan untuk mengevaluasi karakter dan lokasi dari dinding lambung apabila terjadi lesio berupa lesio ekstramural, mural, dan intramural (Love & Berry 2002). Usus halus terletak di bagian tengah abdomen, caudal lambung dan hati, berhubungan langsung dengan lambung dan usus besar. Usus halus normal pada anjing menempati tidak lebih luas dari bagian tengah tubuh tulang vertebra lumbal dan ukurannya tidak melebihi dua kali diameter dari tulang rusuk. Di dalam usus halus yang normal, biasanya ditemukan jumlah cairan atau gas dalam jumlah yang sedikit (Love & Berry 2002). Usus besar termasuk diantaranya sekum, kolon, rektum, dan saluran anus dievaluasi gambaran radiografinya. Sekum pada umumnya terletak di bagian lateral kanan dari median tubuh hewan dengan sudut pandang ventro-dorsal. Sementara itu, pada sudut pandang lateral terlihat di bagian tengah abdomen. Sekum pada anijng terlihat seperti bentuk huruf “C”. Kolon askenden terletak di bagian lateral kanan dari median tubuh hewan. Pada flexura hati, kolon askenden berbelok ke kiri dengan melintasi sumbu tubuh hewan ke kiri. Dibagian flexura limpa, kolon melintas ke caudal dan berlanjut sampai ke ruang pelvis, kolon yang berada di ruang pelvis namanya berubah menjadi rektum (Dyce et al. 2002). Ketika pemeriksaan usus besar dan yang termasuk di dalamnya, maka perlu diperhatikan perbedaan struktur anatomi antara hewan jantan dan betina. Struktur anatomi hewan jantan bagian ventral rektum merupakan kelenjar prostat dan uretra. Sementara itu, pada hewan betina adalah vagina (Love & Berry 2002).
17
Pemeriksaan hati dan limpa dikategorikan masih sebagai satu sistem pencernaan karena berhubungan sangat erat dalam mekanisme bekerjanya. Hati terletak oblique tepat di caudal (menempel) dengan diafragma. Sementara itu, lambung yang mempunyai kerapatan atau densitas yang sama terletak di caudal diafragma dan hati. Letak keduanya dengan kesamaan densitas sering menyebabkan kesulitan saat menentukan marginasi keduanya. Untuk hewan kecil, pemeriksaan hati biasanya bersamaan dengan organ limpa. Letak organ limpa pada anjing dapat diamati dengan baik dari radiografi yang diambil, sementara pada kucing letak limpa sangat sulit diidentifikasi karena kerapatan daerah abdomen yang lebih rapat dibandingkan dengan anjing (Newel & Graham 2002). Sistem Perkemihan dan Reproduksi Sistem perkemihan dan reproduksi meliputi pemeriksaan ginjal, ureter, vesika urinaria (VU), uretra, kelenjar prostat, dan uterus. Pengambilan radiografi sistem perkemihan umumnya tidak menggunakan anestesi sebagai wujud mengurangi penggunaan obat-obatan bagi pasien. Penggunaan sedasi atau anestesi direkomendasikan pada beberapa keadaan, yaitu apabila prosedur biasa tidak dapat dilakukan. Penggunaan restrain nonmanual dapat digunakan dengan menggunakan beberapa peralatan bantu seperti kantung pasir, sarung tangan timbal, tali pengikat, dan lain-lain. Pemeriksaan organ untuk pengambilan radiografi sistem perkemihan dapat dilakukan sekali waktu untuk beberapa organ dengan penggunaan bahan kontras (Feeney et al. 1994). Ginjal mempunyai bentuk anatomi seperti biji kacang dengan arah obliquecranioventral. Letak anatomi ginjal kanan berada dekat dengan columna vertebralis antara vertebrae thoracalis ke-13 sampai lumbal ke-3. Ginjal kiri posisinya antara vertebrae lumbalis ke-2 sampai ke-5. Ginjal normal anjing kirakira 2,5-3,5 kali panjang vertebrae lumbalis ke-2 dan kucing 2 kali panjang lumbalis 2 (Love & Berry 2002). Pemeriksaan radiografi ginjal untuk memeriksa ukuran, bentuk, lokasi, dan integritas ginjal termasuk keberadaan sistem pengumpulan urin di ginjal. Ginjal selalu dapat divisualisasikan karena ukurannya yang besar serta terbentuk dari jaringan adiposa (Bischoff 2003).
18
Ureter normal terletak di retroperitoneal. Ureter tidak terlihat dengan radiografi biasa, sehingga diperlukan penggunaan bahan kontras yang dimasukkan melalui intravena pyelografi. Ureter yang terinterpretasi biasanya memiliki diameter tidak kurang dari 2-3 mm (Heuter 2005). Pemeriksaan ureter untuk menentukan indikasi adanya kelainan kongenital ureter, kalkuli ureter, dan hidroureter sebagai akibat adanya blok atau hambatan oleh batu ginjal dalam ureter yang merusak dinding ureter. Pemeriksaan ini juga dilakukan untuk melihat ukuran, bentuk, dan lokasi ureter serta aktifitas peristaltik ureter (Bischoff 2003). Menurut Love dan Berry (2002), vesika urinaria dari berbagai hewan mempunyai ukuran yang sangat bervariasi. Pengamatan radiograf dengan sudut pandang ventro-dorsal, vesika urinaria dapat menempati bagian lateral kiri atau kanan dari median tubuh hewan, atau dapat juga di median. Vesika urinaria yang kosong tidak akan terlihat pada radiograf. Pemeriksaan radiografi vesika urinaria disebut juga cystography. Pemeriksaan ini untuk mengevaluasi adanya lesio ekstramural, mural, atau intramural pada dinding vesika urinaria. Uretra dari hewan jantan terdiri atas tiga bagian; prostatic (bagian yang paling sempit), membranous, dan penile. Prostatic uretra dibatasi oleh kelenjar prostat, membranous uretra memanjang dari prostat sampai ke tulang penis, dan penile uretra berada dorsal dari tulang penis. Uretra hewan betina lebih pendek dan lebih lebar dibandingkan pada hewan jantan (Love & Berry 2002). Uterus terletak di antara vesika urinaria dan kolon. Uterus normal tidak terlihat pada gambaran radiografi. Uterus yang dapat terlihat pada gambaran radiografi mengindikasikan adanya kebuntingan atau kelainan. Radiograf indikasi kebuntingan akan memperlihatkan uterus berisi fetus dengan kerangkanya yang akan terlihat kira-kira pada hari ke-41 pada anjing. Sementara itu, pada kucing akan terlihat pada hari ke-35 (Dennis et al. 2010). Teknik Bahan Kontras Radiografi Penambahan bahan kontras berfungsi untuk meningkatkan perbedaan densitas struktur anatomi organ. Penggunaannya harus memperhatikan dosis pemakaian terhadap hewan. Pemakaian bahan kontras yang berlebihan dapat memberikan efek samping terhadap hewan. Bahan kontras terdiri dari kontras
19
positif, kontras negatif, dan kontras campuran (double contrast) (Almén & Aspelin 2009). Kontras positif bersifat radiopaque dan terbagi dalam dua bentuk yaitu bahan yang dapat larut dan tidak larut. Kontras positif yang dapat larut terbagi menjadi terlarut tidak terionisasi contohnya adalah iohexol dan iopamidol yang digunakan untuk myelography, dan terlarut terionisasi contohnya iothalamate, diatrizoat, dan metrizoate yang tidak boleh digunakan untuk sistem pernapasan dan myelography. Kontras positif yang tidak larut contohnya adalah BaSO4 untuk penggunaan saluran pencernaan. Penggunaan BaSO4 tidak boleh diberikan kepada pasien yang dicurigai mengalami rupture atau perforasi di saluran cernanya. Sehingga penggantinya digunakan bahan kontras yang tidak membahayakan hewan tersebut berupa iodine organik. Kontras negatif digunakan untuk memberi bentuk organ sehingga bayangan di film akan berwarna hitam di tengah organ. Contoh kontras negatif adalah udara, karbondioksida, oksigen, dan nitrit oksida. Kontras negatif tidak boleh digunakan kepada pasien yang mengalami hemorrhagie cystitis karena dimungkinkan terjadi penyerapan gas ke dalam sistem sirkulasi. Double contrast digunakan untuk organ berupa bentukan kantung seperti lambung, usus besar, dan vesika urinaria. Penggunaan double kontrast untuk mengetahui perubahan struktur dinding organ (Almén & Aspelin 2009). Sistem pencernaan mempunyai kerapatan obyek yang beragam, sehingga perlu dilakukan perlakuan khusus sebelum pemotretan sinar-x. Perlakuan tersebut berupa hewan dipuasakan, pemberian obat laksansia, pemberian cairan terusmenerus (enemas) atau defekasi, atau pemberian bahan kontras dengan konsentrasi dan bentuk tertentu. Teknik yang sering dipakai untuk mendapatkan pencitraan radiograf dari organ dengan jelas adalah menggunakan bahan kontras. Penggunaan bahan kontras pada lambung diberikan peroral untuk melihat citra kelainan di lambung berupa benda asing yang radiopaque, perubahan ukuran, atau posisi. Cara lain untuk pemberian kontras dapat dilakukan dengan pneumogastrografi yaitu pemberian bahan kontras negatif dengan udara. Pada umumnya udara yang diberikan 5 mL/Kg berat badan ke dalam lambung via tube untuk mengetahui posisi dan citra massa ekstramural. Pemberian bahan kontras positif pada lambung dengan jumlah 3-10 mL/Kg berat badan digunakan untuk
20
mengetahui posisi lambung, bentuk, dan waktu pengosongan lambung. Double contrast pada lambung sangat bermanfaat untuk mengetahui adanya benda asing dan lesio pada dinding lambung seperti ulcer dan tumor (Redrobe 2001). Pemberian bahan kontras pada evaluasi usus halus digunakan untuk mengetahui posisi, adanya obstruksi, dan lesio yang terjadi pada usus halus. Bahan kontras yang dipakai pada umumnya berbentuk liquid dengan jumlah 3-12 mL/Kg berat badan via oral. Bahan kontras tersebut merupakan double contrast dari barium dan suspensi air. Waktu perjalanan bahan kontras meninggalkan usus halus bervariasi dari berbagai spesies dan juga dipengaruhi oleh sedatif dan anestesi yang dipakai. Pengambilan foto radiografi pada umumnya dilakukan pada menit ke-5, 15, dan 30 setelah pemberian. Selain waktu tersebut, radiografer dapat mengambil foto pada menit yang diinginkan untuk mendapatkan radiograf pada organ yang akan dievaluasi (Redrobe 2001). Pengambilan radiografi pada sistem perkemihan sering menggunakan bantuan bahan kontras untuk mendapatkan gambaran radiograf yang baik dan jelas. Bahan kontras tersebut berupa kontras positif, negatif (contoh: udara), atau kombinasinya dengan melalui aboral (intra-uretra). Radiografi vesika urinaria dengan menggunakan bahan kontras disebut cystografi. Terdapat tiga teknik cystografi yaitu; 1). Cystografi kontras positif untuk mendeteksi kebocoran atau rupture dari saluran perkemihan bagian bawah yang disebabkan oleh trauma; 2). Cystografi kontras negatif untuk memberi bentuk dan ukuran lumen vesika urinaria; 3). Cystografi double contrast untuk mendeteksi bentuk lain dari penyakit vesika urinaria. Anjing jantan memiliki risiko tinggi terjadinya rupture vesika urinaria karena uretra jantan dapat memungkinkan terjadi peningkatan tekanan intravesikular dan kompensasinya adalah trauma abdomen. Prosedur yang direkomendasikan untuk pemeriksaan rupture vesika urinaria adalah penggunaan bahan kontras positif. Sedasi dilakukan untuk menjaga posisi hewan, menahan pergerakan, kateterisasi, dan menjaga bahan kontras untuk tetap di vesika urinaria. Bahan kontras yang digunakan adalah iodine medium seperti hypaque atau iohexol dengan dosis kira-kira 10 mL/Kg berat badan (Bischoff 2003). Ureter dalam keadaan normal tidak terlihat dalam evaluasi radiografi. Tetapi dengan penggunaan bahan kontras, ukuran ureter dapat terlihat dan biasanya
21
diameternya tidak kurang dari 2-3 mm. Penggunaan bahan kontras dimasukkan melalui intravena pyelografi. Pyelografi akan memperlihatkan citra radiopaque yang konsisten dan diameter ureter akan bervariasi setiap waktu karena gerakan peristaltik. Radiografi pada uretra menggunakan teknik radiografi melalui retrograde atau aboral intra-uretra. Radiograf uretra akan terlihat jelas dan halus dengan menggunakan bahan kontras, prostat uretra terlihat sedikit melebar bila dibandingkan dengan ekstrapelvis renalis. Secara normal bahan kontras tidak akan masuk ke dalam duktus prostat atau jaringan kelenjar (Heuter 2005).
METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan selama dua bulan, dimulai sejak Maret 2010 sampai dengan April 2010. Penelitian dilakukan di Klinik Hewan MyVets Kemang, Jakarta Selatan dan Bumi Serpong Damai, Tangerang. Prosedur Pengumpulan data dilakukan dengan mengumpulkan data rekam medik dan foto gambaran radiografi regio abdomen anjing dari kasus yang terjadi di Klinik Hewan MyVets dengan menggunakan kamera digital. Data yang terkumpul sejumlah 74 ekor anjing dengan foto radiografi lebih dari satu kali serta standar pandang berbeda diambil 9 kasus yang terjadi kemudian dianalisa dan diinterpretasi dengan tujuh parameter Roentgen yaitu perubahan dalam ukuran, bentuk, jumlah, lokasi, marginasi, opasitas, dan fungsi normal organ sehingga didapatkan diagnosa kelainan yang terjadi pada hewan tersebut. Data tersebut kemudian dikombinasikan dengan catatan rekam medik yang ada untuk mendapatkan penegakkan diagnosa yang akurat. Pengamatan radiograf dapat dilakukan dengan menggunakan satu dari tiga pendekatan evaluasi radiografi yaitu melalui sistem organ, organ, atau daerah organ. Interpretasi dan deskripsi kelainan pada regio abdomen dilakukan dengan pendekatan sistem organ untuk memudahkan pengelompokkan kelainan yang terjadi (Love & Berry 2002; Bischoff 2003; Tayal 2004). Hasil kelainan yang ditemukan dari interpretasi radiograf dikelompokkan ke dalam kelainan tiga sistem organ yaitu sistem pencernaan, sistem perkemihan, dan sistem reproduksi. Simpulan diagnosa berupa data kelainan pada regio abdomen anjing dilengkapi dengan pembahasan dan dibandingkan dengan pustaka.
HASIL DAN PEMBAHASAN Pengamatan secara sistematik dari radiograf merupakan metode yang paling baik untuk mendapatkan informasi yang spesifik dalam penentuan diagnosa (Wolvekamp 2010). Umumnya, evaluasi radiograf dilakukan pada dua foto radiogafi untuk mendapatkan informasi dan memberikan imajinasi tiga dimensi suatu organ (Tayal 2004). Pengamatan radiograf dapat juga dilakukan dengan menggunakan satu foto apabila sudah dapat menjelaskan kelainan yang terjadi pada pasien. Berdasarkan pengamatan melalui pembacaan analisa radiografi terhadap kelainan pada regio abdomen anjing didapatkan hasil interpretasi radiografi sebagai berikut: Kelainan Sistem Pencernaan Kasus 1
Gambar 5 Kasus konstipasi dan prolaps ani, radiograf standar pandang lateral rekumbensi kanan. Tabel 1 Hasil pengamatan radiograf kasus konstipasi dan prolaps ani Signalemen
Pengamatan
Bruno, Anjing Lokal/Jantan
Perubahan ukuran Perubahan bentuk Perubahan jumlah Perubahan lokasi Marginasi Peningkatan opasitas Perubahan fungsi normal
Temuan Radiografi Ya Ya (lambung, kolon)
Ya (lambung) Ya (usus halus, usus besar)
Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak
24
Bruno merupakan anjing lokal yang tidak bisa defekasi selama 3-4 hari, walaupun demikian Bruno masih mau makan untuk memenuhi kebutuhan energi bagi tubuhnya. Kejadian tersebut pernah dialami Bruno 1-2 bulan yang lalu kemudian diberikan obat dulcolax dan akhirnya bisa defekasi. Sebelum dibawa ke klinik, Bruno diberi obat dulcolax tetapi tidak ada reaksi dari obat tersebut. Pemeriksaan fisik memperlihatkan bagian anus mengalami pembengkakan. Kondisi yang demikian mengharuskan dilakukannya tindakan pemeriksaan penunjang berupa radiografi. Pemeriksaan radiografi pada Gambar 5 Kasus konstipasi dan prolaps ani menunjukkan adanya peningkatan opasitas lebih radiolucent pada lambung. Ukuran lambung menjadi lebih besar dan opasitas radiolucent menunjukkan adanya pembentukan gas. Gas tersebut dapat terbentuk akibat proses metabolisme yang tidak sempurna. Lambung yang mengalami pembesaran dan berisi gas dimungkinkan terjadi akibat gastric dilatation volvulus, yaitu distensi lambung karena akumulasi udara dan cairan disertai dengan terputarnya lambung pada axisnya (DeNovo 2003; Eldredge et al. 2007). Dibagian usus halus sampai ke kolon terlihat adanya feses yang padat, keras, dan bertumpuk. Feses tersebut menyebabkan ukuran kolon menjadi tidak normal yaitu melebar ± 3 kali ukuran kolon normal atau disebut sebagai megakolon. Feses yang terhambat dan bertumpuk menunjukkan telah terjadi penurunan fungsi normal dari usus. Dibagian ujung rektum terjadi pelipatan yang merupakan kelainan berupa prolaps ani. Lipatan tersebut menyebabkan feses tidak dapat diekskresikan sehingga hewan mengalami kesulitan defekasi atau konstipasi. Hati terlihat tidak terlalu jelas pada radiograf sehingga tidak dapat diinterpretasikan secara spesifik. Organ limpa terlihat normal dan pada posisi yang normal. Menurut Moore dan Burrows (2000) prolaps ani yang menyebabkan terjadinya konstipasi pada hewan merupakan satu diantara beberapa faktor penyebab lainnya. Prolaps ani dapat juga diinisiasi oleh beberapa faktor penunjang lain yaitu akibat parasit saluran pencernaan, cystitis, prostatitis, distokia, hernia perinealis, hipertropi prostat, colitis, konstipasi, benda asing di rektum, tumor rektum atau anal, urolithiasis, dan tenesmus yang terjadi setelah bedah urogenital atau perineal (Waschak 2000).
25
Kasus 2
Gambar 6 Kasus benda asing di lambung, radiograf standar pandang lateral rekumbensi kanan.
Gambar 7 Kasus benda asing di lambung, radiograf standar pandang ventrodorsal. Tabel 2 Hasil pengamatan radiograf kasus adanya benda asing di lambung Signalemen
Pengamatan
Lili, Anjing Teckel/Betina
Perubahan ukuran Perubahan bentuk Perubahan jumlah Perubahan lokasi Marginasi Peningkatan opasitas Perubahan fungsi normal
Temuan Radiografi Ya
Ya (lambung)
Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak
Pemeriksaan radiografi pada Gambar 6 dan Gambar 7 Kasus benda asing di lambung menunjukkan peningkatan opasitas dengan bentukan radiopaque di lambung. Massa radiopaque tersebut merupakan benda asing yang dalam keadaan normal tidak ada dalam lambung. Benda asing tersebut juga menyebabkan pencernaan makanan tidak berlangsung dengan baik, hal ini terlihat pada feses yang banyak di usus halus namun disela-sela feses tersebut terdapat kumpulan gas
26
yang jumlahnya banyak. Kumpulan gas tersebut terjadi akibat dari proses fermentasi dalam usus yang tidak sempurna. Pada usus besar, terdapat akumulasi feses dalam jumlah yang banyak. Hati dan limpa tidak terlihat secara jelas pada radiograf. Benda asing dalam lambung anjing dapat berasal dari beberapa benda. Menurut Eldredge et al. (2007) anjing diketahui dapat menelan tulang belulang, boneka, tongkat, batu, pin, jarum, serpihan kayu, pakaian, bola karet, kulit, bulu, benang, dan benda-benda lain yang berada disekitar anjing tersebut. Ukuran esofagus anjing lebih besar daripada saluran keluar lambung yaitu saluran pylorus. Kondisi anatomi tubuh yang demikian menyebabkan anjing dapat menelan objek yang lebih besar namun tidak dapat melewati lambung, tetapi terhambat di lumen lambung. Menurut Willard (2005) kejadian adanya benda asing dalam lambung biasanya diikuti dengan gastritis kronis dan selanjutnya terjadi gastritis obstruksi. Benda asing dalam lambung Lili adalah karpet karet yang tertelan. Hal ini berdasarkan keterangan dokter hewan yang menanganinya pada saat itu. Kasus 3
Gambar 8 Kasus bloat, radiograf standar pandang lateral rekumbensi kanan. Tabel 3 Hasil pengamatan radiograf kasus bloat Signalemen
Pengamatan
Lily, Anjing Teckel/Betina
Perubahan ukuran Perubahan bentuk Perubahan jumlah Perubahan lokasi Marginasi Peningkatan opasitas Perubahan fungsi normal
Temuan Radiografi Ya Ya (lambung) Ya (lambung) Ya (usus halus, limpa) Ya (lambung)
Tidak Tidak Tidak Tidak
27
Lily merupakan anjing Teckel yang mengalami pembesaran abdomen sejak beberapa hari sebelum dibawa ke klinik. Pemeriksaan penunjang berupa radiografi dilakukan untuk mendiagnosa kelainan yang terjadi. Interpretasi radiografi Gambar 8 Kasus bloat, radiograf standar pandang lateral rekumbensi kanan terlihat adanya perubahan ukuran dari lambung. Ukuran lambung menjadi sangat besar dengan opasitas radiolucent. Bentukan tersebut bisa dipastikan lambung terisi oleh udara. Udara tersebut dapat terakumulasi karena terbentuk di lambung ataupun masuk dari udara luar melalui saluran pencernaan atau disebut aerophagia (Waschak 2000). Usus halus tidak terlihat secara keseluruhan, walaupun demikian serosa dari usus halus yang terlihat menunjukkan tidak ada kelainan. Lumen usus halus pada beberapa tempat terisi oleh gas, jumlah gas tersebut tergolong dalam jumlah yang normal. Tidak ada benda asing dalam lambung maupun dalam usus halus. Usus halus dan limpa mengalami perubahan lokasi. Usus halus terdorong ke dorso-caudal dan limpa terdorong ke caudal. Usus besar tidak terlihat secara jelas dalam radiograf. Hati juga tidak terlihat dengan jelas karena ukuran lambung yang membesar. Ukuran limpa pada radiograf terlihat normal. Interpretasi radiografi menyimpulkan diagnosa bahwa pasien mengalami indikasi bloat. Bloat dapat terjadi dalam dua kondisi, yaitu kondisi pertama anjing mengalami gastric dilatation dengan distensi lambung berisi udara dan cairan. Kondisi kedua berupa gastric dilatation dengan volvulus yaitu bersamaan dengan distensi lambung, lambung terputar pada axisnya. Kejadian gastric dilatation dapat berkomplikasi dengan adanya volvulus atau pun tidak. Jika volvulus terjadi, lambung akan terputar 180o atau kurang yang disebut sebagai torsio. Terputarnya lambung pada axisnya dapat terjadi pada 180o sampai 360o atau lebih (DeNovo 2003; Eldredge et al. 2007).
28
Kelainan Sistem Perkemihan Kasus 4
Gambar 9 Kasus urolithiasis di uretra, radiograf standar pandang lateral rekumbensi kanan. Tabel 4 Hasil pengamatan radiograf kasus urolithiasis di uretra Signalemen
Pengamatan
Whisky, Anjing Pomerian/Jantan
Perubahan ukuran Perubahan bentuk Perubahan jumlah Perubahan lokasi Marginasi Peningkatan opasitas Perubahan fungsi normal
Temuan Radiografi Ya Ya (vesika urinaria)
Ya (uretra) Ya (vesika urinaria, uretra)
Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak
Whisky merupakan anjing Pomerian yang mengalami kesulitan urinasi beberapa malam sebelum dibawa ke klinik. Anjing tersebut menjalani diet urinari dari awal bulan September 2007. Setelah dilakukan pemeriksaan penunjang berupa radiografi ditemukan formasi urolith di uretra. Pemeriksaan radiografi pada Gambar 9 Kasus urolithiasis di uretra, radiograf standar pandang lateral rekumbensi kanan menunjukkan adanya perubahan ukuran dari vesika urinaria dan terlihat lebih radiopaque. Vesika urinaria yang besar tersebut berisi akumulasi cairan yaitu urin. Pembesaran vesika urinaria menyebabkan usus terdorong ke cranial dan kolon ke dorsal. Namun demikian, saluran pencernaan dalam kondisi normal pada gambaran radiografi. Dibagian uretra terjadi peningkatan opasitas yang merupakan bentukan dari obstruksi kalkuli (urolithiasis). Melalui pemeriksaan dengan menggunakan cateter, cateter terhambat masuk lebih dalam dan hanya mencapai kelenjar bulbouretralis. Hal ini menguatkan diagnosa bahwa terjadi obstruksi di uretra akibat kalkuli atau urolith. Obstruksi formasi kalkuli di
29
uretra ini menyebabkan urin dari vesika urinaria tidak dapat diekskresikan dan menimbulkan distensi vesika urinaria. Obstruksi yang terjadi menimbulkan penurunan fungsi normal dari saluran perkemihan sehingga aliran urin terhambat untuk diekskresikan. Ginjal terinterpretasikan tidak mengalami kelainan. Sementara itu, ureter tidak terlihat dalam radiograf. Urolith terbentuk dari akumulasi mineral yang tidak diabsorbsi dengan baik dalam sistem perkemihan. Urolith dapat terakumulasi pada ginjal dan vesika urinaria, serta dapat menyebabkan obstruksi pada ureter dan uretra. Kasus whisky merupakan bentuk akumulasi formasi urolith di uretra. Urolith yang terlihat dalam radiograf memungkinkan bahwa bentukan urolith tersebut adalah jenis struvite, kalsium oksalat atau kalsium fosfat (Adam 2000). Kejadian urolith struvite (magnesium ammonium fosfat) pada anjing dan kucing mempunyai persentase 54%. Sementara itu, urolith kalsium oksalat pada anjing mempunyai persentase 28% dan pada kucing 37% (Shaw & Ihle 2006). Kasus 5
Gambar 10 Kasus gagal ginjal, radiograf standar pandang lateral rekumbensi kanan.
30
Gambar 11 Kasus gagal ginjal, radiograf standar pandang ventro-dorsal. Tabel 5 Hasil pengamatan radiograf kasus gagal ginjal Signalemen
Pengamatan
Charlie, Anjing Pug/Jantan
Perubahan ukuran Perubahan bentuk Perubahan jumlah Perubahan lokasi Marginasi Peningkatan opasitas Perubahan fungsi normal
Temuan Radiografi Ya Ya (vesika urinaria) Ya (kolon) Ya (ginjal, lambung, usus halus) Ya (vesika urinaria)
Tidak Tidak Tidak Tidak
Charlie merupakan anjing Pug telah mengalami diare sebelum dibawa ke klinik. Melalui pemeriksaan fisik, mukosa mulut terlihat pucat, frekuensi jantung lemah, dehidrasi 15%. Pemeriksaan laboratorium menunjukkan jumlah ureum 466,94 mg/dl lebih tinggi dari kisaran normal 15-40 mg/dl dan kreatinin 9,85 mg/dl lebih tinggi dari kisaran normal 1-2 mg/dl. Sementara itu, jumlah total protein masih dalam kisaran normal 5,5-7,5 g/dl yaitu 7,28 g/dl. Keadaan tersebut menghendaki pemeriksaan penunjang berupa radiografi untuk mendapatkan diagnosa yang lebih jelas. Pemeriksaan radiografi pada Gambar 10 Kasus gagal ginjal menunjukkan adanya peningkatan opasitas pada ginjal berupa radiopaque. Bentukan radiopaque kemungkinan dapat berupa penebalan struktur ginjal dari jaringan parenkim atau bentukan kristal yang mengarah pada terjadinya formasi kalkuli. Sementara itu, vesika urinaria mengalami perubahan ukuran. Vesika urinaria membesar dengan opasitas abu-abu putih yang mengindikasikan vesika urinaria terisi penuh oleh urin. Kondisi vesika urinaria yang membesar (distensi vesika
31
urinaria) dan terisi penuh oleh urin (retensi urin) mengindikasikan telah terjadi obstruksi pada saluran keluar vesika urinaria. Obstruksi tersebut menyebabkan urin tidak dapat diekskresikan sehingga terjadi penurunan fungsi normal dari saluran perkemihan bagian bawah. Sementara itu, ureter tidak terlihat dalam radiograf. Organ lambung dan usus halus terlihat radiolucent sehingga memungkinkan telah terbentuknya gas. Gas di dalam saluran pencernaan tersebut jumlahnya melebihi kadar normal, walaupun memang belum diketahui jumlah nilai normalnya. Pemeriksaan radiografi pada standar pandang ventro-dorsal terlihat posisi kolon berubah ke arah lateral kiri dari median karena terdorong vesika urinaria yang membesar. Kolon dalam posisi normal akan terlihat membentuk “tanda tanya” pada standar pandang ventro-dorsal (Dennis et al. 2010). Pemeriksaan radiografi pada Gambar 11 Kasus gagal ginjal, radiograf standar pandang ventro-dorsal menunjukkan bentukan radiopaque pada letak ginjal. Bentukan ini menguatkan diagnosa bahwa telah terjadi formasi kalkuli di ginjal dan bukan suatu artefak. Formasi kalkuli yang terbentuk di ginjal dapat berupa sedimen struvite atau kalsium oksalat, hal ini dikarenakan kedua jenis urolith ini akan terlihat radiopaque pada radiografi. Beberapa kejadian nephrolithiasis terkadang disertai dengan adanya hematuria, sakit pada daerah lumbal atau abdominal, dan tanda-tanda kerusakan tubulus renalis (Shaw & Ihle 2006). Mineral pembentuk nephrolithiasis anjing setelah dianalisis laboratorium dapat berasal dari bentukan kalsium oksalat, struvite, ammonium urat, kalsium fosfat, cystine, xanthine, dan campuran (Adam 2000). Gambaran radiograf yang dapat terlihat karena opasitas radiopaque adalah kalsium oksalat, struvite, dan kalsium fosfat. Sementara itu, yang tidak terlihat karena opasitas radiolucent adalah ammonium urat, cystine, dan xanthine (Dye 2003). Rekam medik dan interpretasi radiografi menyimpulkan diagnosa bahwa Charlie mengalami gagal ginjal, yaitu sindrom keadaan ekskretori dan fungsi endokrin ginjal tidak dapat mempertahankan homeostasis tubuh. Filtrasi dari glomerulus rata-rata kurang dari atau sama dengan 25% dari normal. Hasil uji laboratorium menunjukkan bahwa Charlie mengalami azotemia. Azotemia adalah peningkatan konsentrasi dari nitrogen nonprotein seperti urea dan kreatinin dalam
32
darah. Keadaan azotemia merupakan tanda dari sindrom gagal ginjal. Azotemia terbagi atas tiga tahap yaitu azotemia pre-renal, azotemia renal, dan azotemia post-renal. Azotemia pre-renal terjadi ketika aliran darah melemah menghasilkan dehidrasi, hemoragi, gagal jantung atau hypoadrenocortism. Azotemia renal terjadi ketika filtrasi yang dilakukan ginjal dalam glomerulus kurang dari atau sama dengan 25% dari normal. Azotemia post-renal lebih mudah dalam mendiagnosanya karena menghasilkan obstruksi saluran perkemihan atau terjadinya rupture pada saluran perkemihan. Tanda klinis yang dapat dikenali dari azotemia post-renal adalah obstruksi yang menyebabkan distensi vesika urinaria (Shaw & Ihle 2006). Radiograf Gambar 10 dengan jelas memperlihatkan terjadinya distensi vesika urinaria sehingga dapat disimpulkan telah terjadi obstruksi saluran perkemihan. Sementara itu, bentukan radiopaque pada ginjal mengindikasikan telah terjadi kelainan pada ginjalnya. Kasus 6
Gambar 12 Kasus nephromegaly dan formasi urolith di vesika urinaria, radiograf standar pandang lateral rekumbensi kanan. Tabel 6 Hasil pengamatan radiograf kasus nephromegaly dan urolithiasis Signalemen
Pengamatan
Blod, Anjing Terrier/Betina
Perubahan ukuran Perubahan bentuk Perubahan jumlah Perubahan lokasi Marginasi Peningkatan opasitas Perubahan fungsi normal
Temuan Radiografi Ya Ya (ginjal) Ya (limpa, kolon) Ya (vesika urinaria)
Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak
33
Blod merupakan anjing Terrier yang telah sering diperiksa karena tanda klinis yang sama yaitu urinasi dengan urin berwarna coklat gelap hampir hitam. Blod mengalami muntah dan kondisi tubuhnya lemas. Pemeriksaan laboratorium menunjukkan jumlah ureum 51 mg/dl lebih tinggi dari kisaran normal 15-40 mg/dl. Pemeriksaan ultrasonografi menunjukkan adanya sedimen atau massa ±1 cm di dalam vesika urinaria. Ginjal kanan lebih besar dari ukuran normal. Pemeriksaan radiografi dilakukan untuk mendapatkan diagnosa pada pasien. Pemeriksaan radiografi menggunakan bahan kontras omnipaque® dengan pengambilan radiografi 45 menit setelah pemberian terlihat pada Gambar 12. Terjadi perubahan posisi organ limpa ke caudal mendekati posisi vesika urinaria. Posisi normal limpa adalah di caudal hati sehingga tidak menjauhi hati seperti terlihat dalam radiograf. Mukosa usus terlihat jelas dan normal. Terjadi perubahan ukuran dari kedua ginjal, ukuran ginjal kanan 4,5 kali vertebrae lumbalis ke-2 dan ginjal kiri 4 kali vertebrae lumbalis ke-2. Ukuran ginjal normal anjing adalah ± 2,5-3,5 kali panjang vertebrae lumbalis ke-2 (Love & Berry 2002). Besarnya ginjal tersebut menyebabkan posisi kolon terdorong ke ventral. Ginjal yang membesar atau nephromegaly terjadi karena abnormalitas dari infiltrasi seluler, obstruksi saluran perkemihan, nekrosis tubular akut, atau perkembangan dari cystis renalis (pseudocysts). Abnormalitas infiltrasi seluler dapat terjadi karena peradangan, infeksi, dan neoplasia (Forrester 2000). Bentukan radiopaque ditemukan pada bagian lumen vesika urinaria. Area abu-abu disekitar massa radiopaque merupakan urin yang normal. Bentukan radiopaque ini menunjukkan adanya bentukan sedimen yang merupakan partikelpartikel kristal. Bentukan tersebut belum mengarah ke pembentukan batu atau kalkuli di vesika urinaria. Pengendapan partikel kristal dapat memicu terbentuknya formasi kalkuli bila terakumulasi pada satu organ dan dapat menghambat saluran perkemihan bagian bawah (Carlton & McGavin 1995). Endapan kristal yang terbentuk di saluran perkemihan tergantung oleh pH, temperatur urin, derajat kelarutan, dan konsentrasi kristalloid (Latimer et al. 2003). Ureter dalam radiograf tidak terlihat dan merupakan keadaan yang normal (Heuter 2005).
34
Kelainan Sistem Reproduksi Kasus 7
Gambar 13 Kasus distokia fetalis, radiograf standar pandang lateral rekumbensi kanan.
Gambar 14 Kasus distokia fetalis, radiograf standar pandang ventro-dorsal. Tabel 7 Hasil pengamatan radiograf kasus distokia fetalis Signalemen
Pengamatan
Chesnut, Anjing Beagle/Betina
Perubahan ukuran Perubahan bentuk Perubahan jumlah Perubahan lokasi Marginasi Peningkatan opasitas Perubahan fungsi normal
Temuan Radiografi Ya
Ya (fetus)
Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak
Interpretasi radiografi Gambar 13 Kasus distokia fetalis, radiograf standar pandang lateral rekumbensi kanan terlihat dua fetus dari betina yang bunting. Dua fetus tersebut dalam kondisi normal dengan struktur tulang belakang normal. Satu
35
fetus sudah berada di jalan kelahiran dengan presentasi longitudinal anterior posisi dorso-ventral. Orientasi tersebut adalah orientasi normal dan sangat baik bagi fetus untuk kelahiran. Menurut Jackson (2007), orientasi anak anjing kelahiran normal adalah presentasi longitudinal anterior dengan posisi dorsal. Sementara itu, postur fetus dengan kepala dan leher terjulur bersandar pada kaki depan dengan pundak tertekuk. Tidak ada kendala bagi fetus pertama untuk lahir secara normal dengan ukuran fetus yang tidak terlalu besar dan jalan kelahiran yang cukup. Fetus yang kedua, berada di abdomen dengan presentasi longitudinal-posterior posisi dorso-ventral. Orientasi tersebut sebenarnya juga merupakan orientasi normal tetapi posisi fetus longitudinal-posterior dalam radiograf tidak sempurna karena tulang belakang melengkung vertikal. Posisi yang demikian menyebabkan fetus tidak dapat lahir dengan lancar. Hal ini terbukti dengan keadaan fetus yang menyangkut di vulva ketika masa kelahiran. Jalan keluar untuk mengatasi tersangkutnya fetus di vulva adalah dengan operasi Caesar. Penyebab kesulitan hewan betina melahirkan atau dikenal dengan distokia adalah faktor fetus (distokia fetalis). Distokia fetalis terjadi karena ukuran fetus yang besar, orientasi atau kedudukan fetus yang abnormal, bentukan fetus yang abnormal, dan kematian fetus. Faktor lain yang juga mempengaruhi terjadinya distokia adalah faktor induk (distokia meternalis) berupa jalan kelahiran tidak cukup besar dengan ukuran fetus, atoni uteri atau inersia uteri, torsio uteri, hidroallantois, dan pembentukan septum vagina (Archbald 2000; Eldredge et al. 2007). Hasil interpretasi radiograf menunjukkan distokia yang terjadi pada anjing betina Beagle berasal dari faktor fetus berupa kedudukan fetus yang tidak sempurna untuk mencapai jalan kelahiran.
36
Kasus 8
Gambar 15 Kasus mummifikasi, radiograf standar pandang lateral rekumbensi kanan. Tabel 8 Hasil pengamatan radiograf kasus mummifikasi Signalemen
Pengamatan
J-lo, Anjing Lokal/Betina
Perubahan ukuran Perubahan bentuk Perubahan jumlah Perubahan lokasi Marginasi Peningkatan opasitas Perubahan fungsi normal
Temuan Radiografi Ya Ya (fetus)
Ya (fetus)
Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak Tidak
Pemeriksaan radiografi pada J-lo seekor anjing lokal betina dilakukan karena anjing tersebut sebelumnya bunting. Interpretasi radiografi Gambar 15 Kasus mummifikasi, radiograf standar pandang lateral rekumbensi kanan terlihat adanya perubahan bentuk dari fetus. Perubahan tersebut jelas terlihat dengan bentukan massa radiopaque di abdomen. Derajat opasitas dari massa radiopaque tersebut sama dengan struktur tulang dari pasien. Bentukan radiopaque merupakan struktur dari fetus yang telah mati dan mengeras menyebabkan mummifikasi. Menurut Jackson (2007) kematian fetus yang tetap berada dalam uterus atau abdominal memungkinkan terjadinya mummifikasi. Mummifikasi terjadi karena cairan fetus dan tubuh diresorbsi kemudian fetus mengeras. Korpus luteum dari induk biasanya tetap aktif sehingga induk tidak estrus kembali. Sebagian besar dari kasus fetus yang mengalami mummifikasi akan menjadi kering dan seperti kertas (papyraceous mummification). Mummifikasi merupakan bentuk fetus yang mengering dan mengeras setelah kematian fetus pada pertengahan sampai sepertiga akhir kebuntingan.
37
Secara umum, mummifikasi sulit dideteksi karena tidak diketahui saat yang tepat kematian fetusnya (Shaw & Ihle 2006). Mummifikasi dapat terjadi sebagai akibat dari kelainan kebuntingan yaitu kebuntingan abdominal. Kebuntingan abdominal terjadi karena fetus yang hidup dalam uterus memasuki ruang abdomen disebabkan peluruhan dari uterus akibat kecelakaan atau trauma. Fetus dapat bertahan hidup apabila plasenta tidak terganggu. Jika fetus dapat bertahan hidup sampai masa kelahiran, cara kelahiran yang dilakukan adalah dengan operasi. Namun fetus yang mampu bertahan hidup sangat jarang terjadi, sebagian besar fetus mati dan terjadi mummifikasi (Jackson 2007). Kasus 9
Gambar 16 Kasus pyometra, radiograf standar pandang lateral rekumbensi kanan.
Gambar 17 Kasus pyometra, radiograf standar pandang ventro-dorsal.
38
Tabel 9 Hasil pengamatan radiograf kasus pyometra Signalemen
Pengamatan
Barbie, Anjing Poodle/Betina
Perubahan ukuran Perubahan bentuk Perubahan jumlah Perubahan lokasi Marginasi Peningkatan opasitas Perubahan fungsi normal
Temuan Radiografi Ya Ya (uterus) Ya (uterus) Ya (uterus) Ya (uterus)
Tidak Tidak Tidak Tidak
Pemeriksaan radiografi pada Gambar 16 Kasus pyometra menunjukkan adanya perubahan ukuran dari uterus. Uterus normal tidak terlihat pada gambaran radiografi (Love & Berry 2002). Uterus tergambarkan dengan opasitas radiopaque abu-abu memanjang dan besar. Bentukan abu-abu tersebut menunjukkan kelainan berupa keberadaan kumpulan massa yang bersifat cairan di uterus. Dinding uterus menebal terlihat dari marginasinya yang radiopaque bila dibandingkan dengan kumpulan massa yang ada dalam uterus. Umumnya, pembesaran uterus bersifat tidak spesifik dan dapat dibedakan dengan pembesaran yang terjadi sebagai akibat kehamilan, pseudopregnancy, pyometra, hydrometra, mucometra, torsio uterus, dan adenomyosis uterus (Misumi et al. 2000). Pyometra terjadi akibat kelainan hormonal pada siklus estrus yaitu fase diestrus dan diikuti dengan infeksi sekunder oleh bakteri. Kelainan hormonal lebih diakibatkan oleh akumulasi hormon steroid uterus yang merubah morfologi uterus menghasilkan cystic hyperplasia endometrium diikuti akumulasi dari sekresi endometrium ke dalam lumen uterus dan infeksi sekunder bakteri. Infeksi bakteri menghasilkan pus (nanah) yang akan terlihat berupa massa abu-abu dalam radiograf. Isolasi bakteri yang paling banyak ditemukan pada kasus pyometra adalah Escherichia coli. Bakteri lain yang juga dapat ditemukan dalam jumlah sedikit yaitu Staphylococcus, Streptococcus, Proteus spp, Kleibseila spp, dan Salmonella spp (Bugalia 2004).
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Kelainan pada regio abdomen anjing yang dapat didiagnosa melalui interpretasi radiografi menggunakan tujuh parameter Roentgen berupa perubahan dalam ukuran, bentuk, jumlah, lokasi, marginasi, opasitas, dan fungsi normal organ dari sistem pencernaan yaitu konstipasi dengan prolaps ani, benda asing di lambung, dan bloat; sistem perkemihan yaitu urolithiasis di uretra, gagal ginjal, dan nephromegaly disertai urolithiasis; sistem reproduksi yaitu distokia fetalis, mummifikasi, dan pyometra. Saran Saran yang dapat diberikan adalah perlu dilakukannya interpretasi radiografi kelainan pada regio abdomen hewan kecil terhadap kasus yang berbeda untuk memperkaya informasi yang bermanfaat berkenaan dengan kelainan yang terjadi. Disamping itu, perlu dilakukan persentase insidensi kejadian kelainan pada regio abdomen hewan kecil melalui interpretasi radiografi dari setiap tahun untuk memperlihatkan pola kelainan yang terjadi di suatu daerah.
DAFTAR PUSTAKA [Anonim]. 2008. Sejarah Radiologi. http://parijatim.or.id/index.php?act=page&halaman=I_02. [19 Juli 2010] Adam LG. 2000. Nephrolithiasis. Di dalam Tilley & Smith: The 5-Minute Veterinary Consult. Lippincott Williams & Wilkins. Adams WM. 1994. Veterinary Radiation Therapy. Di dalam Moon M: The Compendium Collection; Radiology in Practice. New Jersey, Trenton: Veterinary Learning Systems Co., Inc. Almén T, Aspelin P. 2009. Contrast Media in Diagnostic Radiology. Textbook of Radiology January 1995. [terhubung berkala] http://www.medcyclopaedia.com/library/radiology/chapter07.aspx. [19 Juli 2010] Archbald LF. 2000. Dystocia. Di dalam Tilley & Smith: The 5-Minute Veterinary Consult. Lippincott Williams & Wilkins. [BAPETEN]. 1999. Surat Keputusan Kepala BAPETEN No. 01/KaBAPETEN/V-99 tentang Ketentuan Keselamatan Kerja terhadap Radiasi. Berry CR, Love Ne, Thrall DE. 2002. Introduction to Radiographic Interpretation. Di dalam Thrall DE: Textbook of Veterinary Diagnostic Radiology. 4th edition. London: W.B. Saunders Company. Bischoff MG. 2003. Radiographic techniques and interpretation of the acute abdomen. Clinical Techniques in Small Animal Practice, 18: 7-19. Bugalia NS. 2004. Pseudo-pregnancy and cystic endometrial hyperplasiapyometra complex in bitches. Di dalam Compendium of Training Pet Animal Practice, 9-10 December 2004. CCS Haryana Agriculture University, Hisar-125004. Carlton WW, McGavin MD. 1995. Thomson’s Special Veterinary Patology. St. Louis: Mosby-Year Book, Inc. Dennis R, Kirberger RM, Barr F, Wrigley RH. 2010. Handbook of Smal Animal Radiology and Ultrasound. 2nd edition. USA: Churchill Livingstone Elsevier Ltd. DeNovo RC. 2003. Disease of the Stomach. Di dalam Tams TR: Handbook of Small Animal Gastroenterology. USA: Elsevier Science. Dyce KM, Sack WO, Wensing CJG. 2002. Textbook of Veterinary Anatomy. 3rd edition. Philadelphia: Saunders Elsevier Science. Dye T. 2003. The acute abdomen: a surgeon’s approach to diagnosis and treatment. Clinical Techniques in Small Animal Practice, 18: 53-65.
41
Eldredge DM, Carlson LD, Carlson DG, Giffin JM. 2007. Dog Owner’s Home Veterinary Handbook. 4th edition. New Jersey: Wiley Publishing, Inc. Feeney DA, Barber DL, Johnston GR, Osborne CA. 1994. The Excretory Urogram: Part I Techniques, Normal Radiographic Appearance, and Misinterpretation. Di dalam Moon M: The Compendium Collection; Radiology in Practice. New Jersey, Trenton: Veterinary Learning Systems Co., Inc. Forrester SD. 2000. Renomegaly. Di dalam Tilley & Smith: The 5-Minute Veterinary Consult. Lippincott Williams & Wilkins. Hendee WR, Ritenour ER. 2002. Medical Imaging Physics. 4th edition. New York: Wiley-Liss Inc. Heuter KJ. 2005. Excretory urography. Clinical Techniques in Small Animal Practice, 20: 39-45. Jackson PGG. 2007. Handbook Obstetri Veteriner. Edisi kedua. Aris Junaidi, penerjemah. Indonesia: Gadjah Mada University Press. Terjemahan dari: Handbook of Veterinary Obstetrics. 2nd edition. Klein LJ. 1994. Radiology of Acute Abdominal Disorders in the Dog and Cat. Di dalam Moon M: The Compendium Collection; Radiology in Practice. New Jersey, Trenton: Veterinary Learning Systems Co., Inc. LaRue SM, Gillette EL. 1994. Recent Advances in Radiation Oncology. Di dalam Moon M: The Compendium Collection; Radiology in Practice. New Jersey, Trenton: Veterinary Learning Systems Co., Inc. Latimer KS, Mahaffey EA, Prasse KW. 2003. Duncan and Prasse’s Veterinary Laboratory Medicine Clinical Pathology. 4th edition. State Avenue: Blackwell Publishing. Love NE, Berry CR. 2002. Interpretation Paradigms for the Abdomen – Canine and Feline. Di dalam Thrall DE: Textbook of Veterinary Diagnostic Radiology. 4th edition. London: W.B. Saunders Company. Martin JE. 2000. Physics for Radiation Protection. Canada: John Wiley & Sons, Inc. Menendez NC. 2007. How to improve radiographic quality in practice. Irish Veterinary Journal, Volume 60, No 4. Misumi K, Fujiki M, Miura N, Sakamoto H. 2000. Uterine horn torsion in two nongravid bitches. Journal Small Animal Practice, 41: 468-471. Moore LE, Burrows CF. 2000. Constipation and Obstipation. Di dalam Tilley & Smith: The 5-Minute Veterinary Consult. Lippincott Williams & Wilkins. Morgan JP, Wolvekomp P. 2004. Atlas of Radiology of the Traumatized Dog and Cat. 2nd edition. Jerman: Schlütersche Vertagsgesellschaft mbH & Co.KG.
42
Newel SM, Graham JP. 2002. The Liver and Spleen. Di dalam Thrall DE: Textbook of Veterinary Diagnostic Radiology. 4th edition. London: W.B. Saunders Company. Orpet H, Welsh P. 2002. Handbook of Veterinary Nursing. USA: Blackwell Science Ltd. Partington BP. 2006. Diagnostic Imaging. Di dalam McCurnin DM & Bassert JM: Clinical Textbook for Veterinary Technicians. 6th edition. Philadelphia: Elsevier Saunders. Redrobe S. 2001. Imaging techniques in small mammals. Seminars in Avian and Exotic Pet Medicine, 10: 187-197. Shaw DH, Ihle SL. 2006. Small Animal Internal Medicine. USA: Blackwell Publishing. Tayal R. 2004. Radiographic diagnosis in pet practice. Di dalam Compendium of Training Pet Animal Practice, 9-10 December 2004. CCS Haryana Agriculture University, Hisar-125004. Thrall DE, Widmer WR. 2002. Radiation Physic, Radiation Protection, and Darkroom Teory. Di dalam Thrall DE: Textbook of Veterinary Diagnostic Radiology. 4th edition. London: W.B. Saunders Company. Ulum MF, Noviana D. 2008. Pemanfaatan radiografi sebagai sarana diagnostik penunjang dalam dunia kedokteran hewan yang aman bagi hewan, manusia, dan lingkungan. Di dalam Proceedings of KIVNAS 2008, 19-22 Agustus 2008. Bogor, Indonesia hlm 397-398. Waschak MJ. 2000. Rectal and Anal Prolapse. Di dalam Tilley & Smith: The 5Minute Veterinary Consult. Lippincott Williams & Wilkins. Watters JW. 1994. The Radiographic Darkroom and Film Processing. Di dalam Moon M: The Compendium Collection; Radiology in Practice. New Jersey, Trenton: Veterinary Learning Systems Co., Inc. Widmer WR, Cantwell HD, Shaw SM, Vogel KM, Hurd CD, Han CM, Blevins WE. 1994. Radiation Biology and Radiation Safety. Di dalam Moon M: The Compendium Collection; Radiology in Practice. New Jersey, Trenton: Veterinary Learning Systems Co., Inc. Willard MD. 2005. Gastric Foreign Objects. Di dalam Nelson RW & Couto CG: Manual of Small Internal Medicine. 2nd edition. Philadelphia: Elsevier Mosby. Wolvekamp P. 2010. Basic Principles of Abdominal Radiography. 27 WSAVA congress. Wrixon AD. 2008. New ICRP recommendations. Journal of Radiological Protection 28 (2008). UK: IOP Publishing Ltd hlm 161-168.
43
Zwingenberger A. 2008. Normal Abdomen 8. http://mirc.veterinaryradiology.net/cases/documents/20081210120159073/ MIRCdocument.xml. [19 Juli 2010]