Feminisme dan Aktivisme Laki-Laki: Analisis Frame Alignment dalam Gerakan Laki-Laki Pro-Feminis (Studi Sosiologi Gerakan Sosial mengenai Upaya Pengorganisasian Gerakan Aliansi Laki-Laki Baru) Ryan Fajar Febrianto (1006692921) ABSTRAK Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis posisi gerakan laki-laki pro-feminis dalam konstelasi gerakan perempuan dengan menitikberatkan Frame Alignment yang dibangun gerakan sebagai upaya mengkritisi standpoint feminisme. Pendekatan penelitian kualitatif dilakukan dengan menggunakan strategi studi kasus kepada gerakan Aliansi Laki-Laki Baru (ALLB) melalui teknik pengumpulan data yakni wawancara mendalam dan analisis data sekunder. Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa aktivisme laki-laki yang tergabung dalam ALLB, sebagai sebuah bentuk gerakan laki-laki pro-feminis, mengalami perdebatan karena dianggap berpotensi mendominasi agenda gerakan perempuan serta menjadi pesaing bagi pendanaan organisasi gerakan perempuan. Strategi yang dibangun oleh ALLB, dengan mengalihkan tawaran pendanaan program kepada organisasi perempuan hingga menjadi forum komunikasi bagi organisasi perempuan menunjukkan bentuk ALLB sebagai sistem pendukung gerakan perempuan, bukan sebagai pesaing gerakan. Membangun koalisi yang solid adalah upaya yang dilakukan dalam memobilisasi sumberdaya dan mempromosikan posisi ALLB sebagai sistem pendukung gerakan perempuan. Melalui politik refleksi dan mengusung maskulinitas hegemonik sebagai dasar dari perjuangan gerakan, ALLB berupaya membangun citra baru laki-laki dan mengubah perilaku dan perspektif laki-laki yang suportif dan pro-aktif terhadap perjuangan keadilan gender. PENDAHULUAN Di skala global, saat ini laki-laki mulai berperan aktif dalam agenda pencapaian kesetaraan gender. Berbagai organisasi internasional, seperti White Ribbon Campaign (Toronto, Kanada), MenEngage (Global Online Network), Sonke Gender Justice (Afrika Selatan), Instituto Promundo (Brazil), dan MASVAW (Men's Action to Stop Violence Against Women, India), merupakan organisasi-organisasi yang di dominasi oleh laki-laki yang berdiri sebagai upaya mendorong kesetaraan gender di berbagai isu, mulai dari kesehatan seksual dan reproduksi, keadilan ekonomi, anti kekerasan, hak-hak Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT), dan berbagai isu lainnya (Bojin, 2012). Organisasi yang didominasi oleh anggota laki-laki seperti ini pun berkembang seiring dengan tumbuhnya kesadaran akan efektivitas keterlibatan laki-laki dalam pencapaian agenda kesetaraan gender, misalnya ditandai dengan munculnya Men‟s Consciousness Raising Group di Inggris dan Amerika Serikat pada sekitar tahun 1970 bersama dengan menguatnya gerakan pembebasan perempuan (women’s liberation movement) di negara tersebut (Pilcher dan Whelehan, 2004). Selain itu, Cornwall et al. (2011) pun berusaha mengeksplorasi akar dari ide keterlibatan laki-laki ini dalam Konferensi Internasional mengenai Populasi dan Pembangunan/International Conference on Population and Development (ICPD) Kairo pada tahun 1994 serta Beijing Platform for Action pada tahun 1995. Dalam konteks Indonesia, sejak akhir tahun 2000, gerakan laki-laki pro-feminis1 sudah mulai bermunculan dengan dimotori oleh laki-laki yang memiliki kedekatan dengan gerakan perempuan (Hasyim, 2008). Selain itu,
1 Ada banyak istilah dalam mengidentifikasi laki-laki yang menyuarakan ketidakadilan perempuan dan terlibat dalam perjuangan perempuan untuk meraih hak-hak dan tuntutannya, seperti Feminis LakiLaki, laki-laki pro-feminis, laki-laki pro-perempuan, atau meninist yang notabene memiliki konteks arti yang sama. Dalam konteks penelitian ini, peneliti menggunakan istilah laki-laki pro-feminis sebagai upaya konsistensi penggunaan istilah.
Feminisme dan..., Ryan Fajar Febrianto, FISIP, 2014
wacana perlunya keterlibatan laki-laki dalam kesetaraan gender, khususnya penghapusan kekerasan terhadap perempuan pun sudah mulai dikukuhkan sejak tahun 2007. Di tahun tersebut, sebuah semiloka berjudul "Merumuskan Strategi Pelibatan Laki-Laki dalam Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan di Indonesia" di Yogyakarta pun menghasilkan berbagai rekomendasi aksi yang berkaitan dengan upaya eliminasi kekerasan terhadap perempuan. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia pun tidak bersikap diam dalam melibatkan laki-laki dalam upaya mencapai kesetaraan gender. Aktivisme laki-laki di Indonesia dalam agenda kesetaraan gender juga ditandai dengan munculnya Aliansi Laki-Laki Baru, sebuah gerakan sosial berskala sub-nasional yang berdiri sejak tahun 2009 dan fokus pada dua buah strategi, yakni membangun citra laki-laki baru anti-kekerasan terhadap perempuan dan melakukan upaya-upaya yang berorientasi pada perubahan perilaku laki-laki. Dalam kaitannya dengan gerakan perempuan, pembentukkan citra dan memberdayakan laki-laki untuk perubahan sosial menuntut adanya strategi tersendiri bagi pengembangan individu (menjadi laki-laki pro-feminis) maupun pengembangan organisasional dari Aliansi Laki-Laki Baru. Framing, merupakan salah satu teori dalam studi gerakan sosial yang memiliki relevansi pada bagaimana organisasi gerakan sosial dapat dibangun, membentuk koalisi, dan mendapatkan dukungan serta partisipasi publik. Namun, banyak kalangan feminis radikal yang bersepakat bahwa laki-laki adalah pelaku utama kekerasan terhadap perempuan, bekerjasama dengan mereka sama saja dengan “sleeping with enemy” (Subono, 2009). Hakikat mengenai laki-laki pro-feminis pada dasarnya masih menjadi persoalan, sebab sebagian feminis perempuan berpendapat bahwa sulit bagi laki-laki untuk benar-benar menjadi feminis, mengingat mereka tidak pernah memiliki pengalaman perempuan yang sejati. Di sisi lain, penelitian Tesis yang dilakukan Kate C. Bojin berjudul "All Our Work is Political: Men's Experience in Pro-Feminist Organizing" pada tahun 2012 mempermasalahkan pemisahan antara gerakan laki-laki pro-feminis dengan gerakan feminis (yang didominasi oleh perempuan), dan justru menekankan akan pentingnya kolaborasi yang kuat. Gerakan laki-laki pro-feminis dapat dikolaborasikan dengan gerakan perempuan dibandingkan mengekslusi mereka sebagai cross movement, sebab keduanya bekerja dengan "tujuan bersama" untuk menciptakan kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan dan laki-laki. Dalam diskursus feminisme, teori standpoint menunjukkan bahwa peran perempuan merupakan aktor utama dari pergerakkan feminisme, dengan dasar bahwa kehidupan perempuan dan peran perempuan di hampir semua masyarakat secara signifikan berbeda dengan kehidupan dan peran laki-laki; perempuan memiliki tipe pengetahuan yang berbeda. Posisi perempuan sebagai kelompok yang disubordinasi membuat mereka mampu melihat dan memahami dunia secara berbeda dan memungkinkan mereka menantang bias laki-laki (Narayan, 1989). Mengambil penjelasan dari Sandra Harding, teori standpoint mengandaikan adanya kekhususan epistemik; teori standpoint mengandaikan kelebihpentingan satu situasi, yakni situasi yang hanya dialami perempuan (dan tak pernah dialami laki-laki) - misalnya penindasan yang dialami perempuan jadi penting karena laki-laki tidak pernah mengalami penindasan apapun (Amiruddin, 2006). Teori standpoint dalam feminisme ini memperlihatkan posisi laki-laki (dan gerakan laki-laki) yang mendukung perjuangan feminis memiliki posisi yang ambigu. Dengan kata lain, di satu sisi, laki-laki dipandang tidak mampu secara signifikan memahami dan menyuarakan pengalaman dan penindasan yang
Feminisme dan..., Ryan Fajar Febrianto, FISIP, 2014
dialami perempuan, di sisi lain, kerjasama dengan laki-laki dalam gerakan feminisme dibutuhkan untuk mewujudkan keadilan gender yang lebih progresif. Kenyataannya, kemunculan berbagai organisasi dan gerakan sosial laki-laki pro-feminis ini muncul sebagai bentuk “solidaritas” dan upaya menentang budaya patriarki yang tidak hanya merugikan perempuan namun juga melalui laki-laki melalui maskulinitas hegemonik (hegemonic masculinity), yakni bagaimana laki-laki dengan posisi hierarki yang lebih tinggi (hegemonic masculinity) melakukan opresi terhadap laki-laki yang berada di posisi yang lebih rendah (subordinate masculinity). Sehingga, gerakan laki-laki pro-feminis pun sebenarnya tidak hanya bergerak dalam kerja-kerja mendukung perjuangan feminisme perempuan, namun juga menyuarakan perjuangan laki-laki yang menolak budaya patriarki. Hasyim (2009) melihat bahwa dalam konteks Indonesia, aliansi atau jaringan laki-laki properempuan yang pernah dideklarasikan dengan liputan media yang cukup besar adalah CANTIK atau Cowok-Cowok Anti-Kekerasan yang dideklarasikan pada 25 November 2000 di Jakarta yang mengusung tema anti-kekerasan terhadap perempuan. Fenomena munculnya organisasi dan gerakan laki-laki pro-feminis ini menggambarkan dukungan hingga aktivisme laki-laki yang semakin progresif terhadap perjuangan pemenuhan kesetaraan gender, khususnya terkait perjuangan hak perempuan maupun politik reflektif terhadap privilese dan ketertindasan laki-laki melalui budaya patriarki. Motivasi laki-laki pro-feminis dalam gerakan sosial yang mendukung keadilan gender pun menjadi pertanyaan tersendiri. Sagala (2009) menyatakan bahwa seorang “laki-laki feminis” berhadapan tidak hanya dengan faktor didalam dirinya (internal), namun juga di luar dirinya (eksternal). Laki-laki feminis boleh jadi tidak bersepakat dengan ideologi patriarki. Namun diluar dirinya, ia berhadapan dengan realitas masyarakat patriarki dan gelar “lakilaki feminis” kemudian dilekatkan dengan sejumlah harapan akan perjuangan menuju kesetaraan gender yang lebih baik. Dengan kata lain, proses pembentukkan gerakan laki-laki pro-feminis bukanlah sesuatu yang mudah, sebab lakilaki yang bergabung didalamnya perlu melakukan refleksi dan penyadaran diri terhadap eksistensinya sebagai laki-laki dalamkonstelasi budaya patriarki di masyarakat. Melibatkan laki-laki dalam perjuangan pemenuhan hak-hak perempuan melalui gerakan laki-laki pro-feminis pada nyatanya menimbulkan risiko tersendiri bagi gerakan perempuan. Penelitian Tesis yang dilakukan Kate C. Bojin berjudul "All Our Work is Political: Men's Experience in Pro-Feminist Organizing" pada tahun 2012 menyatakan bahwa melibatkan laki-laki dalam upaya mencapai kesetaraan gender membuat perhatian dan pendanaan mungkin akan teralihkan dari memprioritaskan pemberian bantuan sumberdaya khusus kepada perempuan kian bergeser kepada laki-laki. Hal ini pada akhirnya membuat kondisi sumberdaya finansial organisasi feminis perempuan semakin terancam (Bojin, 2012: 66). Namun, risiko pun muncul jika laki-laki tidak dilibatkan. Bekerja secara ekslusif hanya dengan perempuan pada akhirnya tidak akan menantang relasi kekuasaan antara laki-laki dan perempuan secara konkret (Sagala, 2009). Penelitian ini memiliki keterbatasan karena tidak menjelaskan mengenai bagaimana 5 laki-laki yang menjadi subyek penelitian ini mampu memobilisasi dukungan dan partisipasi publik, khususnya kepada laki-laki. Melalui Framing, penelitian ini berusaha mengisi kekosongan kajian tersebut dengan berusaha untuk menggali lebih dalam mengenai upaya gerakan laki-laki pro-feminis mendapatkan dukungan dan partisipasi publik kepada laki-laki sebagai partisipan dan aktor melalui gerakan sosial yang mereka bentuk. Dengan juga menganalisis
Feminisme dan..., Ryan Fajar Febrianto, FISIP, 2014
menggunakan pemikian standpoint feminisme, penelitian ini juga secara fokus akan menyinggung mengenai posisi dan konflik gerakan laki-laki pro-feminis dalam konstelasi pergerakkan feminisme yang dimotori oleh kelompok perempuan. Pendekatan penelitian kualitatif adalah pendekatan yang akan peneliti gunakan untuk menggali pengalaman dan refleksi individu-individu dalam gerakan sosial terhadap suatu fenomena sosial. Dalam penelitian ini eksplorasi akan dilakukan terutama kepada para pendiri, penasihat dari gerakan Aliansi Laki-laki Baru serta representasi dari gerakan perempuan dengan merujuk pada inti pertanyaan penelitian: 1) Bagaimana Aliansi Laki-Laki Baru memposisikan diri dalam konstelasi gerakan perempuan?; serta 2) Bagaimana strategi yang dilakukan Aliansi Laki-Laki Baru untuk terlibat dalam pergerakan feminisme melalui Frame Alignment? KERANGKA KONSEPTUAL Pada dasarnya, kerangka pemikiran yang digunakan menggunakan 3 buah teori utama sebagai basis dari analisis yang dilakukan, yakni teori terkait Frame Alignment, Standpoint Feminisme, serta beberapa konsep dan pemikiran mengenai gerakan sosial baru. Untuk memahami bagaimana kerangka pemikiran digunakan dalam menganalisis data temuan yang ada, berikut adalah model analisis yang disusun untuk memperlihatkan keterhubungan antara kerangka pemikiran dan data temuan penelitian. Gambar 1: Model Analisis Penelitian
Sumber: Hasil olah peneliti Ideologi dan praktik merupakan dua indikator dalam mengidentifikasi data hasil temuan penelitian. Hal ini dimaksudkan untuk memperlihatkan bagaimana ideologi gerakan dan praktik yang dilakukan ALLB dalam memajukan perubahan sosial yang mereka usung saling terkait satu dengan yang lainnya. Dasar dari penentuan dua indikator ini adalah dengan melihat substansi dari pertanyaan penelitian yang diangkat yakni mengenai upaya memposisikan ALLB dalam konstelasi gerakan perempuan (dengan mengangkat ideologi yang terbangun) dan
Feminisme dan..., Ryan Fajar Febrianto, FISIP, 2014
strategi ALLB dalam terlibat di gerakan feminisme dan melakukan perubahan sosial yang diusung melalui Frame Alignment (yang dilihat melalui praktik-praktik yang dilakukan). Untuk memahami 3 sudut kerangka pemikiran yang diangkat, peneliti menyusunnya dalam kerangka pemikiran berbasis tema (tematik) dari substansi yang diangkat, mulai dari pembahasan tentang kemunculan gerakan laki-laki pro-feminis, perdebatannya dengan standpoint feminisme, hingga pemikiran utama mengenai gerakan sosial dan Frame Alignment. Berikut adalah kerangka pemikiran yang telah disusun.
Standpoint Feminisme Widjajanti M. Santoso dalam disertasi (2006) yang dipublikasikan oleh Departemen Sosiologi UI dengan judul "Femininitas Perempuan Indonesia pada Era Kebebasan Pers Kajian Feminis Sosiologi terhadap Sinetron" memaparkan pemikiran terkait standpoint yang menjadi dasar bagi para feminis dalam memposisikan diri baik secara ideologis maupun praktis. Mengambil pemikiran standpoint dari Dorothy Smith, Penelitian Widjajanti menitikberatkan standpoint sebagai realitas yang berbentuk dualistik dengan fungsi bahwa standpoint merupakan suatu cara untuk mengungkapkan signifikansi problematika perempuan yang dinamakan sebagai "pertanyaan perempuan". Dalam pemikiran standpoint, terdapat perbedaan dominasi pada kelompok-kelompok tertentu, dimana ada yang memiliki kuasa atas pengetahuan (knower), ada kelompok yang menerima pengetahuan sebagai apa adanya (taken for granted). Standpoint merupakan cara bagi kelompok marginal untuk dapat memiliki pengetahuannya sendiri. Harstock (1977, dalam Santoso, 2006) menjelaskan secara spesifik bahwa pandangan standpoint ini sama halnya dengan analogi Marxian dimana pengetahuan kelompok buruh/proletar berbeda dengan pemikiran kelompok kapitalis. Logika dimana kelompok marginal mengalami kesadaran palsu (false consciousness) atas dominasi pengetahuan yang dimiliki kapitalis ini pada akhirnya digunakan oleh feminis dalam upaya pengembangan kesadaran. Pola pikir yang dualistik dalam standpoint feminisme melihat pola pikir laki-laki yang dominan (khususnya dalam hal ilmu pengetahuan) dibandingkan perempuan. Selanjutnya, Widjajantipun memaparkan bahwa pola dualistik ini digunakan dalam mempelihatkan kesenjangan (gap) antara kehidupan sehari-hari dengan norma dan nilai yang selanjutnya dikategorisasi sebagai sebuah ideologi. Perempuan dan laki-laki memiliki pengalaman keseharian yang berbeda dalam masyarakat. Pemikiran standpoint memperlihatkan bahwa pengalaman perempuan (khususnya dalam ilmu pengetahuan, secara spesifik sosiologi) tidak terekam dalam pengetahuan. Produksi dan reproduksi pengetahuan yang hanya mengambil pemikiran laki-laki menciptakan bias gender. Pola pemikiran ideologis seperti ini yang kemudian memunculkan kesadaran bahwa perempuan harus berusaha melakukan penyadaran atas kesenjangan yang dialami baik secara ideologis maupun praktis. Terkait dengan pengalaman keseharian, Sandra Harding (dalam Amiruddin, 2006) menyatakan bahwa teori standpoint berakar pada kekhususan epistemik yang mengandalkan kelebihpentingan satu situasi, yakni situasi yang hanya dialami perempuan (dan tak pernah dialami laki-laki). Misalnya, penindasan yang dialami perempuan menjadi penting karena laki-laki tidak pernah mengalami penindasan apapun. Hal ini menggambarkan bahwa aktor dari
Feminisme dan..., Ryan Fajar Febrianto, FISIP, 2014
pergerakkan feminisme adalah perempuan dengan dasar perjuangan perempuan yang bergerak atas ketidakadilan yang perempuan alami. Dalam tesis Kate C. Bojin, informan menyatakan bahwa dalam memposisikan diri dengan gerakan perempuan, gerakan laki-laki pro-feminis perlu untuk melakukan kolaborasi yang bermakna dengan kelompok perempuan. Permasalahan mengenai posisi gerakan laki-laki dalam konstelasi gerakan perempuan kemudian muncul melalui pertanyaan bagaimana gerakan laki-laki pro-feminis kemudian dapat masuk ke gerakan perempuan tanpa mendominasi ruang ini, dimana privilese yang dimiliki laki-laki tidak bisa benar-benar dihilangkan? Bagaimana lakilaki dapat bergabung tanpa mendominasi dan mengganggu ruang feminis? (Ruddy, 2006; Pease, 2010 dalam Bojin, 2012). Pertanyaan ini penting diangkat sebab terkait dengan kemampuan laki-laki dalam mereprentasi refleksi pengalaman nyata yang dimiliki oleh perempuan. Crowe (dalam Bojin, 2012) mengungkapkan bahwa pengalaman dan suara perempuan terhadap kehidupan sehari-harinya merupakan dasar dari dialog dan pertanyaan feminis. Penelitian Bojin (2012) kemudian memperlihatkan bahwa posisi laki-laki pro-feminis dalam gerakan perempuan dilihat sebagai bentuk pembentukkan koalisi dan dukungan yang dapat menciptakan dan menguatkan bentuk baru dari solidaritas lintas gender. Strategi politik aliansi merupakan hal yang vital seiring dengan pendanaan program terkait kesetaraan gender dan hak-hak perempuan semakin terancam. Partisipan penelitian Bojin pun mengungkapkan pentingnya bagi laki-laki pro-feminis untuk merefleksi dan menyadari privilese dan kekuasaan yang dimiliki serta pentingnya mendengarkan suara dan kepentingan perempuan feminis. Hal ini menunjukkan bahwa strategi politik aliansi merupakan hal penting bagi gerakan laki-laki pro-feminis dalam memposisikan diri, seiring dengan penyadaran bahwa dasar dari gerakan feminis adalah pengalaman dan ketertindasan perempuan yang sebagaimana tertera dalam standpoint feminisme, baik dalam diskursus maupun secara praktis. Gerakan Sosial dan Frame Alignment Process Studi mengenai gerakan sosial memiliki fokus tersendiri dalam melihat bagaimana sekelompok aktor-aktor yang tergabung dalam aliansi, mengorganisasikan diri dan menjadi katalis bagi perubahan sosial. Secara definitif, Gerakan Sosial merupakan bentukan yang luas dari aliansi-aliansi sosial dari orang-orang yang terhubung melalui kepentingan bersama dalam upaya menghalangi atau menciptakan perubahan sosial. Gerakan sosial ini dapat muncul dengan didasari adanya keresahan dan perhatian terhadap hak-hak dan kesejahteraan yang ditunjukkan dengan adanya beragam tipe aksi kolektif yang ditujukan langsung untuk menantang otoritas, pemegang kekuasaan, atau kepercayaan dan praktik-praktik kultural (Porta dan Diani, 2006). Dalam kajian Sosiologi, gerakan sosial tidak dilihat hanya sebatas medium pembawa ide dan makna yang tumbuh secara otomatis diluar susunan struktural, kejadian yang tidak diantisipasi, atau ideologi yang ada. Namun, aktor dari gerakan dipandang sebagai agen yang signifikan dan aktif dalam upaya produksi dan pelanggengan makna terhadap konstituen, musuh/lawan, penonton atau pemerhati (Snow dan Benford, 1988). Frame Alignment merupakan bagian dari kajian mengenai gerakan sosial yang membahas mengenai peran aktor-aktor tersebut dalam membentuk persepsi orang lain terhadap keresahan terkait gejala yang muncul dan
Feminisme dan..., Ryan Fajar Febrianto, FISIP, 2014
menentukkan apakah orang lain tersebut ingin terlibat dalam gerakan atau tidak. Frame Alignment, ditujukan pada keterkaitan antara orientasi interpretif dari individual dan organisasi gerakan sosial, seperti didalamnya terdapat susunan kepentingan individu, nilai-nilai, dan kepercayaan, serta aktivitas, tujuan, dan ideologi organisasi gerakan sosial yang kongruen dan saling mengisi (Snow dan Rochford, 1986). Istilah Frame (dan frame-work) adalah istilah yang dipinjam dari pemikiran Goffman (1974: 21) yang menunjukan “interpretasi skemata” yang memungkinkan individu „untuk menempatkan, merasa, mengidentifikasi dan melabel‟ peristiwa dalam ruang hidup mereka dan dunia secara luas. Melalui anggapan bahwa kejadian atau peristiwa hidup adalah hal yang bermakna, frame berfungsi untuk mengorganisasi pengalaman dan memandu tindakan, baik secara individual ataupun kolektif. Melalui konsepsi ini, dipahami bahwa Frame Alignment merupakan kondisi yang diperlukan dalam partisipasi terhadap gerakan (Snow dan Rochford, 1986). Adapula istilah mikromobilisasi, yang ditujukan sebagai proses yang bersifat interaktif dan komunikatif yang mempengaruhi frame alignment. Kajian mengenai framing ini muncul sejak adanya pertanyaan mengenai interpretasi terhadap peristiwa dan pengalaman relevan terkait partisipasi dalam aktivitas dan kampanye gerakan sosial. Terlalu banyak perhatian yang terpusat hanya pada keresahan dari sisi manifestasi psikologi sosial (seperti deprivasi relatif, alienasi) dan mengabaikan fakta bahwa keresahan merupakan subyek dari interpretasi diferensial, dan nyatanya variasi dari interpretasi diantara individu dan organisasi gerakan sosial dapat berpegaruh pada bagaimana mereka bergerak (Snow dan Rochford 1986). Dalam pembahasannya, proses frame alignment ini memiliki 4 tipe proses, antara lain: (a) frame bridging, (b) frame amplification, (c) frame extension, (d) frame transformation. Dalam setiap varian dari proses alignment ini terdapat indikasi terjadinya proses mikromobilisasi. Premis yang mendasari hubungan antara satu varian (tipe) dengan yang lain adalah frame alignment, sebagai suatu kondisi yang memungkinkan untuk terjadinya partisipasi gerakan, baik dilihat dari sisi intensitas maupun pencapaian interaksional (Snow dan Rochford, 1986: 467).
1. Frame Bridging Tipe Frame Bridging dimaknai sebagai hubungan antar dua atau lebih kongruen yang bersifat ideologis namun secara struktural tidak terhubung pada kerangka terkait isu atau masalah tertentu. Bridging ini dapat terjadi pada level organisasi, baik antara dua organisasi gerakan sosial dalam gerakan yang sama, ataupun dalam tingkatan antar individu. Dalam level analisis ini, frame bridging melibatkan hubungan antara sebuah organisasi gerakan sosial dengan ruang sentimen yang tidak termobilisasi atau opini publik yang terpreferensi dalam kluster tertentu (McCarthy, 1986). Proses bridging ini secara umum dihasilkan dari penyebaran informasi dan kegiatan penjangkauan yang dilakukan secara interpersonal atau intrakelompok jaringan melalui media massa, telepon, dan surat menyurat. Untuk banyak organisasi gerakan sosial, frame bridging menjadi bentuk utama dari proses alignment.
2. Frame Amplification Frame Amplification dimaknai sebagai upaya klarifikasi dan invigorasi dari kerangka interpretif yang terdapat dalam isu, masalah, atau kejadian tertentu. Frame Amplification didasari bahwa penaknaan terhadap kejadian dan hubungan antar
Feminisme dan..., Ryan Fajar Febrianto, FISIP, 2014
kejadian dengan situasi kehidupan manusia sering dimaknai secara berbeda dan terfabrikasi oleh pihak lain (Goffman, 1974), sehingga dukungan terhadap dan partisipasi dalam gerakan ini menjadi penting dalam klarifikasi dan invigorasi kembali dari kerangka interpretif. Terdapat dua bentuk dari frame amplification, yakni value amplification dan belief amplification.
Value Amplification dapat dipandang sebagai upaya identifikasi, idealisasi, dan elevasi dari satu atau lebih nilai-nilai yang mendasari konstituen namun tidak menginspirasi terjadinya aksi kolektif karena beberapa alasan. Alasan tersebut mungkin disebabkan karena telah mengalami atophia (nilai tersebut tidak berkembang), tidak terpakai lagi, atau telah tertekan karena minimnya kesempatan untuk mengekspresikannya seiring dengan struktur otoritas yang represif (Tilly, 1978), telah menjadi taken for granted atau dipandang klise (Zijderveld, 1979), tidak lagi ditantang atau dihambat (Turner dan Kilian, 1972), atau relevansinya terhadap kejadian atau isu tertentu bersifat ambigu (Goffman, 1974).
Belief Amplification. Secara umum, kepercayaan (belief) merujuk pada hubungan “antar dua hal atau antar suatu hal dengan karakteristik dari hal tersebut”. Seperti contohnya anggapan Tuhan telah Mati, Kapitalis adalah Ekploitator, Hitam itu Indah. Jika nilai merujuk pada tujuan pencapaian gerakan, kepercayaan dapat diterangkan sebagai elemen ideasional yang secara kognitif mendukung atau menghambat aksi dalam mencapai nilai yang diinginkan.
3. Frame Extension Berbagai program, aktivitas, nilai dan kepercayaan dalam proses frame aplifikasi bisa jadi tidak mendasar dalam ranah sentimental para situasi kehidupan dan kepentingan dari calon pengikut gerakan. Ketika hal ini terjadi, organisasi gerakan sosial perlu untuk memperluas keterikatannya terhadap kerangka berpikir ini sehingga kerangka berpikir ini (nilai, kepercayaan, dsb) dapat sampai pada calon pengikut yang potensial. Beragam cara dilakukan pemimpin gerakan dengan mengelaborasi tujuan dan aktivitas dengan harapan memperluas basis pengikutnya. Singkat kata, Frame yang dimiliki suatu gerakan kemudian dikolaborasikan dan dimasukkan ke kelompok/organisasi lain sebagai bentuk perluasan dari basis pengikutnya.
4. Frame Transformation Kita telah memahami bagaimana proses penyatuan (alignment) dari individu dan organisasi gerakan sosial dapat digabungkan melalui upaya bridging, amplification, dan extension. Program-program, tujuan, nilai, dan kepercayaan yang dipromosikan oleh organisasi gerakan sosial bisa jadi tidak menggaung/resonan terhadap gaya hidup konvensional atau ritual dalam kerangka interpretif yang ada. Jika hal ini yang terjadi, maka nilai baru perlu untuk ditanamkan dan diasuh, pemaknaan dan pemahaman lama perlu dibuang, kepercayaan yang salah (missframing) perlu untuk dikerangkakan kembali (Goffman, 1974: 308) untuk mengumpulkan dukungan dari partisipan gerakan. METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Berdasarkan tujuan penelitian, tipe penelitian yang
Feminisme dan..., Ryan Fajar Febrianto, FISIP, 2014
digunakan adalah penelitian analitis (analitical research) yang berusaha untuk memberikan gambaran tentang kondisi, situasi atau fenomena sosial tertentu serta menganalisisnya menggunakan teori/konsep yang relevan. Secara khusus, pendekatan yang digunakan dalam penelitian kualitatif ini adalah pendekatan Studi Kasus (case study). Dalam pendekatan Studi Kasus, peneliti berusaha untuk mengeksplorasi secara mendalam sebuah program, kejadian, aktivitas, atau satu atau lebih individual yang tergabung dalam kelompok tertentu. Hal-hal ini kemudian dibatasi oleh kerangka waktu dan aktivitas, dan peneliti mengumpulkan informasi yang detail dengan menggunakan serangkaian prosedur pengumpulan data dalam kerangka waktu tertentu (Creswell, 2003). Dalam tahap pengumpulan data, penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data kualitatif yakni field research yakni dengan memilih kelompok sosial untuk diteliti. Pemilihan kelompok sosial dalam penelitian ini berfokus pada organisasi Aliansi Laki-Laki Baru, yang merupakan organisasi yang bergerak di isu keterlibatan laki-laki dalam agenda kesetaraan gender. Metode pengumpulan data yang dilakukan oleh peneliti adalah wawancara mendalam dengan menggunakan pedoman wawancara kepada aktor kunci yang berperan dalam membangun dan mengarahkan aliansi. Partisipan utama dari penelitian ini adalah para pendiri dan pengurus atau aktor dari Aliansi Laki-Laki Baru. Penelitian ini dilakukan sejak awal Desember 2013 hingga Mei 2014 dengan periode pengumpulan data terbanyak pada bulan Maret dan April 2014. Disamping proses pengumpulan data melalui wawancara mendalam, peneliti juga melakukan pengumpulan informasi melalui analisis tulisan yang terdapat di situs resmi Aliansi Laki-Laki Baru (http://lakilakibaru.or.id). Didalam situs tersebut, memuat lengkap mengenai sejarah pendirian, bentuk, standpoint, hingga program dan dokumentasi program. Selain itu, dalam situs tersebut terdapat kolom "Wacana" yang memuat tulisan terkait standpoint atau pernyataan tertulis ALLB terkait reaksi terhadap isu tertentu atau tulisan tentang peran laki-laki dalam perjuangan menuju kesetaraan gender secara umum. Tulisan itu kemudian peneliti kumpulkan dan analisis menjadi masukkan bagi data primer yang dikumpulkan peneliti. Subyek Penelitian Subyek penelitian berperan sebagai sumber data dalam penelitian ini. Peneliti melakukan kategorisasi informan utama dan informan pendukung untuk menggali bagaimana proses framing dilakukan dalam internal organisasi maupun secara kolektif (collective framing) dengan gerakan perempuan dari organisasi pendukung/anggota. Mewawancara aktor utama dari Aliansi Laki-Laki Baru bertujuan untuk melihat bagaimana Aliansi didirikan dan dikembangkan melalui upaya framing yang dilakukan serta melihat sejauh mana framing dilakukan untuk menarik partisipan (laki-laki) serta membangun citra dihadapan organisasi perempuan. Berikut adalah tabel kriteria pemilihan informan yang telah peneliti susun. Tabel 1: Kriteria Pemilihan Informan No
Kategori
Status/Peran/Kepentingan
Informan Utama 1
Aktor utama Aliansi Laki-Laki Baru
1. Menjadi salah seorang dari 5 pendiri Aliansi Laki-Laki Baru atau menjadi koordinator nasional/wilayah dari ALLB.
Feminisme dan..., Ryan Fajar Febrianto, FISIP, 2014
2. Memiliki pengalaman dalam mengorganisasi Aliansi Laki-Laki Baru setidaknya dalam 3 tahun terakhir 3. Aktif sebagai penasihat atau pengurus dari Aliansi Laki-Laki Baru setidaknya dalam 3 tahun terakhir 4. Memiliki pengalaman, pemahaman dan perhatian khusus terhadap isu dan upaya keterlibatan laki-laki dalam perjuangan kesetaraan gender 5. Memiliki kewenangan untuk mengarahkan aliansi kedepannya (fungsi steering committee) Informan Pendukung 1
Tokoh Feminis Perempuan
2
Pengurus perempuan ALLB
1. 2. 3. 1. 2. 3. 4. 5.
Berasal dari organisasi perempuan Memiliki pemahaman tentang isu keterlibatan laki-laki dalam feminism Memiliki jaringan yang luas dengan tokoh feminis perempuan lainnya. Merupakan aktivis feminis yang memiliki pengalaman bekerja di organisasi perempuan Aktif terlibat dalam kepengurusan organisasi dan/atau program ALLB Memiliki pengalaman, pemahaman, dan perhatian khusus terhadap isu dan upaya keterlibatan laki-laki dalam perjuangan kesetaraan gender Memiliki kewenangan dalam kepengurusan aliansi Memiliki jaringan yang luas dengan organisasi perempuan dan aktivis feminis perempuan.
Peneliti melakukan wawancara kepada 4 orang informan dengan kriteria yang tertera dalam tabel diatas. Demi menjaga privasi identitas informan, nama-nama yang muncul telah diubah oleh peneliti. Keempat informan tersebut antara lain Dicky dan Andre, yang merupakan laki-laki pro-feminis sebagai pendiri dan penggerak ALLB, Dian, yang merupakan pengurus perempuan dari ALLB, serta Yulia, yang merupakan aktivis feminis yang bergabung dengan organisasi perempuan. MENGKONTEKSTUALISASI ALLB SEBAGAI GERAKAN SOSIAL BARU Dalam diskursus mengenai gerakan sosial, kemunculan pro-feminisme sebagai respons dari feminisme gelombang kedua telah menimbulkan berbagai perdebatan, salah satunya adalah dalam mengkategorisasi gerakan pro-feminisme secara khusus sebagai bentuk gerakan sosial baru atau gerakan identitas. Politik gerakan dengan menginkorporasi agenda feminisme kemudian memunculkan pertanyaan mengenai dasar epistemologis dari perjuangan laki-laki mendukung feminisme. Apa yang kemudian mendasari laki-laki membentuk sebuah gerakan dan berkomitmen untuk terlibat dalam gerakan feminisme? Pembentukkan identitas kolektif menjadi bagian yang penting dalam proses pembentukkan jati diri gerakan pro-feminisme. Sehingga, penting untuk memahami gerakan profeminisme, melalui studi kasus ALLB, dalam kerangka pemikiran gerakan sosial baru sekaligus gerakan identitas. Bagian ini akan menggali posisi ALLB dalam gerakan feminisme melalui latar belakang pendirian, bentuk, jejaring, hingga tantangan ALLB dalam mencapai tujuan kolektif sebagai upaya penulis mengangkat perdebatan tersebut. Sejarah Terbentuknya ALLB: Dari Gerakan Perempuan menuju Gerakan Baru Pro-feminisme, seperti halnya gerakan sosial baru pada umumnya, melihat tingkatan personal dari praktik
Feminisme dan..., Ryan Fajar Febrianto, FISIP, 2014
yang dilakukan laki-laki sebagai sebuah arena dimana kekuasaan sekaligus resistensi bekerja. Contohnya terletak pada bagaimana laki-laki mempraktikkan/mengasah kekuasaan mereka melalui proses produksi dan reproduksi maskulinitas normatif, seperti misalnya menolak dalam pola pengasuhan anak secara bersama, melalui kekerasan terhadap perempuan, dan terlibat dalam perilaku yang mendominasi dan mengontrol orang lain (Ashe, 2007). Profeminis kemudian percaya jika laki-laki terlibat secara kritis dalam praktik-praktik opresif dan hegemonik tersebut, mereka pada akhirnya dapat menantang praktik dari kekuasaan di level keseharian dalam relasinya dengan perempuan, anak, dan laki-laki lainnya (Pease 2000). Aliansi Laki-Laki Baru (ALLB), sebagai bentuk dari gerakan pendukung kepada gerakan perempuan merupakan aliansi yang dibentuk pada 9 September 2009 oleh beberapa individu, baik perempuan dan laki-laki yang terlibat dalam gerakan perempuan. Ide mengenai pembentukkan Aliansi ini muncul didasari oleh keresahan akan tumbuh suburnya kekerasan dan ketidakadilan yang dialami perempuan. Ketidakadilan ini dipandang muncul dan terbangun atas dasar fondasi budaya patriarki yang langgeng dalam masyarakat karena ditopang oleh sistem yang melibatkan multi-agen, mulai dari media, institusi agama, keluarga, pendidikan, bahkan Negara (Situs Resmi ALLB: http://lakilakibaru.or.id). Pembentukkan ALLB juga berasal dari pandangan bahwa budaya patriarki ini kemudian membawa dampak negatif baik laki-laki sendiri, dimana konstruksi terhadap maskulinitas yang diandalkan oleh budaya patriarki juga melahirkan hierarki dalam kalangan laki-laki. Selanjutnya, ALLB pun percaya bahwa melalui edukasi dan proses perubahan perilaku, laki-laki akan menyadari bahwa hirarki itu menimbulkan ketidakadilan dan penindasan laki-laki atas laki-laki lainnya. Hal ini yang menjadi landasan ALLB terfokus pada 2 strategi utama, yakni dengan upaya pembentukkan citra baru laki-laki dan upaya penyadaran dan perubahan perspektif serta perilaku lakilaki. Keresahan yang menjadi dasar pembentukkan ALLB memperlihatkan bahwa berdirinya ALLB merupakan bentuk dari upaya dan komitmen menentang praktik dan budaya patriarki yang telah menjadi bentuk yang terlembaga dari kekuasaan hegemonik di level keseharian masyarakat. Hal ini sesuai dengan karakteristik gerakan sosial baru yang dirujuk oleh Hall (1989). Hall (Hall dan Jacques 1989 dalam Ashe, 2007) melihat pergeseran gerakan sosial pada „era baru‟ ini yang lebih menekankan pada upaya menentang posisi identitas spesifik secara kultural dan simbolis, yang kemudian menandakan gerakan kolektif menjadi sebuah bentuk demokratisasi kultur. ALLB dibentuk dan diinisiasi oleh tokoh feminis perempuan dan laki-laki penggiat kesetaraan gender yang bergabung di organisasi perempuan. Organisasi pendiri yang kemudian disebut sebagai 'organisasi pendukung' ALLB tersebar di 5 wilayah, yakni di kota Banda Aceh, Bengkulu, Jakarta, Yogyakarta, dan Kupang. Adapun organisasi pendukung tersebut antara lain: Rifka Annisa Yogyakarta, Yayasan Jurnal Perempuan (Jakarta), Women Crisis Center (WCC) Cahaya Perempuan Bengkulu, Rumah Perempuan Kupang, RutgersWPF Indonesia, serta Yayasan Pulih (Jakarta). Bentuk Aliansipun berangkat dari ide memformalisasi bentuk berjejaring dan konsolidasi antar organisasi gerakan sosial yang memiliki perhatian di isu kesetaraan gender namun selama ini terkesan bergerak sendiri-sendiri. Memahami konteks pendirian ALLB yang dibangun oleh gerakan perempuan, strategi utama yang kemudian dilakukan ALLB adalah dengan memastikan diri bahwa ideologi dan arah perjuangan pergerakkan akan tetap sejalan dengan gerakan perempuan. Melalui kesadaran seperti ini, ALLB pun dijadikan sebagai wadah konsolidasi dan
Feminisme dan..., Ryan Fajar Febrianto, FISIP, 2014
kerjasama antar lembaga dalam upaya melibatkan laki-laki dalam perjuangan kesetaraan gender. Yayasan Jurnal Perempuan (2011) pernah menerbitkan sebuah buku berjudul “Membangun Citra Baru Laki-Laki” sebagai bentuk dokumentasi terhadap terbentuk dan eksistensi ALLB. Buku ini kemudian mendefinisikan jelas fungsi ALLB dalam posisinya dengan gerakan perempuan. Fungsi tersebut antara lain:
Menjadi wadah bertemunya pada individu yang sudah sejak lama terlibat dalam ide yang sama sheingga dapat saling menguatkan gerakan. Arah perjuangan dalam aliansi ini akan semakin jelas dan saling menopang satu sama lain—yang tadinya saling terpisah.
Menjadi jembatan dialog dengan gerakan perempuan—induk gerakan kesetaraan gender—sehingga memunculkan kepercayaan satu sama lain.
Ikut andil menciptakan dan mewujudkan keadilan gender serta pencegahan terhadap kekerasan berbasis gender, tanpa mengambil ruang politik yang sudah dibangun oleh gerakan perempuan.
Lebih lanjut, Dicky menekankan kembali bahwa ALLB secara bentuknya merupakan aliansi yang bersifat sistem pendukung (supporting system), dalam arti memiliki posisi sebagai pendukung organisasi perempuan dan tidak berdiri sendiri sebagai organisasi yang secara khusus memperjuangkan isu laki-laki. Dalam hal ini, gerakan perempuan dianggap sebagai “Ibu” sekaligus “rahim” dari dibentuknya aliansi ini. Terkait hal ini, Dicky, salah satu pendiri ALLB mengungkapkan, “Karena dari awal gerak aliansi ini letaknya ada di organisasi pendukung. Kita tuh kan benerbener yang ada di samping organisasi perempuan. Gak boleh kita leading atau kita di belakang. Bener-bener jadi supporting system.” (Informan Dicky, 22 Desember 2013) Dibangun dari gerakan dan menjadi gerakan baru yang saling berjejaring adalah karakteristik yang selaras dengan karakteristik gerakan sosial baru. Gerakan sosial baru menempatkan penekanan pada bentuk dan sistem pengorganisasian gerakan yang fleksibel dan melibatkan proses interaksi dengan jaringan-jaringan yang luas dan dinamis (Touraine, 1981). Peran ALLB sebagai penghubung dari organisasi perempuan terkait konsolidasi program keterlibatan laki-laki menunjukkan bahwa gerakan sosial dapat terbangun dan bekerja dari dengan bentuk yang dinamis. Hal ini berkontradiksi pada bentuk gerakan sosial di era sebelumnya yang bersifat formal, terstruktur, dan tertutup berdasarkan kelas sosial. Fokus ALLB sebagai bentuk koordinasi dan konsolidasi program keterlibatan laki-laki yang dirujuk kepada organisasi perempuan memperlihatkan bagaimana gerakan sosial baru fokus bermain di arena masyarakat sipil. Pierson (1991: Bab 3) memberi karakteristik gerakan sosial baru sebagai gerakan yang bermain di arena perjuangan yang lebih terletak di masyarakat sipil dibandingkan orientasinya kepada negara. Touraine (1981) juga menegaskan hal ini dengan istilah yang disebutnya sebagai „historicity' bahwa obyek dari perjuangan gerakan sosial baru bukan berada pada negara, namun kepada upaya untuk mengopresi „musuh kelas‟ dari gerakan, yang terletak pada konflik yang terjadi dalam arena pembentukkan sistem nilai dimana masyarakat mengonstruksinya. Bentuk perubahan sosial yang diusung ALLB, melalui fokusnya pada pembentukkan citra baru laki-laki dan perubahan perilaku laki-laki menggambarkan bahwa gerakan ini tidak berfokus pada perlawanan terhadap negara, melainkan mengkonsolidasikan organisasi gerakan sosial untuk menentang kultur, proses sosial, maupun struktur sosial yang menguatkan kokohnya
Feminisme dan..., Ryan Fajar Febrianto, FISIP, 2014
budaya patriarki. Proses pembentukkan ini juga menunjukkan, seperti yang pernah dikaji oleh Mario Diani (1992; 2003; 2004; Diani dan Bison 2004), memperlihatkan bahwa gerakan sosial merupakan sebuah bentuk proses sosial yang distingtif, yang melibatkan berbagai mekanisme bagaimana aktor-aktor terlibat dalam tindakan kolektif, yakni: (1) bergabung dalam relasi konfliktual dengan mengidentifikasi secara jelas oponen didalamnya; (2) terhubung melalui jaringan yang bersifat informal; (3) saling berbagi identitas kolektif bersama. Perlu disadari bahwa upaya pendirian ALLB ini berasal dari individu yang sebelumnya bergerak dan memiliki fokus pada isu kesetaraan gender dan feminisme. Tokoh yang ikut mendirikannya tentu memiliki pengalaman dan pengetahuan yang mumpuni terkait femisme dan kesetaraan gender. Identitas bersama akan „perhatian dan perjuangan‟ terhadap nilai-nilai kesetaraan gender menjadi identitas kolektif yang kemudian ikut mengonstruksi ideologi gerakan. Hal ini yang kemudian mendorong ALLB untuk terfokus pada 5 isu utama yang terkait dengan isu-isu yang diperjuangkan oleh gerakan perempuan serta beberapa isu baru yang terkait dengan identitas laki-laki. Isu tersebut yakni (1) Kekerasan terhadap Perempuan, (2) Kesehatan dan Hak Seksual dan Reproduksi, (3) Tafsir Agama yang merugikan perempuan (khususnya Poligami), (4) Fatherhood, serta (5) Seksualitas. Politik Identitas Gerakan Pro-Feminisme dan Problematika dengan Gerakan Sosial Baru Dalam diskursus mengenai pro-feminisme dan gerakan sosial baru, terlepas dari bentuk gerakan hingga fokus keresahan dan ideologi yang menegaskan bentuknya sebagai gerakan sosial baru, berbagai pihak mengajukan keberatannya terhadap kategorisasi gerakan pro-feminis sebagai sebuah gerakan sosial. Connell (2000: 208 - 210 dalam Ashe, 2007) misalnya, dia meyakini bahwa posisi hegemonik laki-laki memiliki arti bahwa gerakan laki-laki mempraktikkan berbagai bentuk yang berbeda dengan gerakan sosial. Ketika merujuk pada gerakan feminisme atau gerakan hak sipil di Amerika sebagai gerakan sosial, contohnya, Connel memperlihatkan bahwa kedua gerakan tersebut terbentuk atas dasar eksploitasi dari kelompok spesifik. Laki-laki, lanjut Connell (2000: 209 dalam Ashe, 2007), menurutnya bukanlah kelompok gender yang tereksploitasi namun justru mengokupasi posisi dominan di masyarakat. Hal ini dibuktikan relevan dengan data temuan yang ada. Melalui wawancara dengan koordinator nasional ALLB, banyak pihak, terutama aktivis gerakan perempuan yang diketahui masih mempertanyakan motif laki-laki yang terlibat dalam gerakan pro-feminisme. Terdapat pemikiran bahwa motor dari gerakan perempuan atau feminisme adalah perempuan, karena dasar dari perjuangan feminisme adalah opresi dan ketertindasan yang dialami oleh perempuan. Dengan demikian, secara pengalaman epistemik, laki-laki tidak memiliki pengalaman opresi dan ketertindasan yang dialami oleh perempuan. Hal ini yang mendasari banyak feminis yang kemudian mempertanyakan motif dibalik berdirinya ALLB. Informan kemudian memaknai identitas laki-laki penggiat kesetaraan gender atau laki-laki feminis sebagai sebuah label. Terminologi “Feminis” kemudian menjadi dipertanyakan ketika laki-laki yang memegang label tersebut. Bagi informan Dicky misalnya, menjadi Feminis tidak lebih dari label semata yang disematkan kepada laki-
Feminisme dan..., Ryan Fajar Febrianto, FISIP, 2014
laki yang mendukung kesetaraan gender. Meski demikian, Dicky mengungkapkan bahwa melalui ALLB, informan menganggap laki-laki memiliki kepentingan dan agenda politik yang berbeda namun masih bersinggungan dengan gerakan perempuan. Hal tersebut dapat ditunjukkan melalui strategi inkorporasi agenda/isu gerakan perempuan kedalam agenda perjuangan ALLB. Seperti contohnya, ruang bagi gerakan kesetaraan gender selama ini dikuasai oleh gerakan perempuan dan seringkali terfokus pada berbagai program, mulai dari edukasi, pemberdayaan, hingga pemulihan yang khusus ditujukan kepada perempuan. Namun, fokus yang dilakukan ALLB berbeda. ALLB dibentuk berdasarkan 2 strategi utama yang dipilih sebagai fokus strategi perubahan yang diusung. Kedua strategi tersebut yakni, 1) Membangun Citra Laki-Laki Baru, dan 2) Melakukan upaya-upaya yang berorientasi pada perubahan perilaku laki-laki. Secara terfokuspun ALLB bersama organisasi pendukung mengkategorisasi kelompok yang menjadi target penerima manfaat program ALLB, antara lain: 1. Remaja Laki-laki dan Perempuan, 2. Laki-laki dewasa, 3. Laki-laki aktifis, 4. Akademisi, 5. Pemuka Agama, 6. Media, 7. Tokoh Masyarakat, 8. Laki-laki pelaku kekerasan (Jurnal Perempuan, 2011). Laki-laki menjadi target utama bagi penerima manfaat dari perjuangan gerakan. Tak hanya itu, jika kita kembali lagi merujuk pada proses pendirian ALLB, pembentukkan ALLB juga diperuntukkan untuk memberi ruang bagi lakilaki mengkaji mengenai dirinya (laki-laki) sendiri terkait patriarki dan maskulinitas yang juga mengungkung dirinya. Berangkat dari perbedaan fokus inilah pada akhirnya ALLB melandaskan berbagai kegiatan implementasi yang diusung. Dalam tataran pengalaman, hal yang unik dari ALLB ini terletak ketika organisasi pendukung, terutama mereka yang melakukan berbagai kegiatan di tingkatan akar rumput di luar Jakarta, seperti melakukan seminar, diskusi publik, kampanye, hingga pelatihan adalah bagaimana masyarakat kemudian menangkap ALLB bukan sebagai sebuah organisasi, namun sebagai sebuah nilai. Respons masyarakat yang menjadikan „Laki-Laki Baru‟ sebagai nilai baru dan kemudian ditransformasikan sebagai sebuah identitas pribadi memunculkan tantangan dalam upaya mengontrol penyalahgunaan identitas tersebut yang pada akhirnya dapat menciptakan paradoks dari nilai yang diusung dan juga berpotensi merusak citra ALLB. Pengakuan seseorang telah menjadi „Laki-Laki Baru‟ karena kesadaran akan nilai anti-kekerasan atau anti-diskriminasi bisa dimanfaatkan individu untuk tujuan dan kepentingan pribadi. Tak hanya itu, ketika seseorang melakukan klaim bahwa dirinya „Laki-Laki Baru‟, tantangan lainnya adalah pihak mana yang perlu bertanggung jawab, apakah individu atau aliansi. Hal ini yang menciptakan sebuah pertanyaan baru mengenai penggunaan identitas „Laki-Laki Baru‟ sebagai sebuah nilai. Merespons tantangan ini, ALLB pun kemudian berangkat pada ide bahwa ALLB perlu untuk membuka diri dan melihat tantangan ini sebagai sebuah kesempatan pengembangan program. Ketertarikan masyarakat terhadap “nilai” dan “identitas individu” merupakan hal yang sulit dikontrol. Dengan demikian, perlu adanya program yang mampu mengakomodasi pembentukkan identitas ini dalam upaya memastikan bahwa nilai yang dipersepsikan masyarakat tersebut adalah nilai yang sesuai dengan yang diperjuangkan oleh ALLB. Program-program yang dilakukan dimaksudkan untuk memberikan pesan perubahan positif pada laki-laki yang dianggap juga menjadi korban dari budaya patriarki. Nilai-nilai positif seperti anti-kekerasan, anti-diskriminasi, setara, merupakan beberapa nilai yang diusung oleh ALLB, seperti yang tertera dalam laman resmi ALLB,
Feminisme dan..., Ryan Fajar Febrianto, FISIP, 2014
Tabel 2: Prinsip-Prinsip Aliansi Laki-Laki Baru No 1
Prinsip Berkomitmen terhadap Kesetaraan dan Keadilan
2
Anti diskriminasi
3
Anti kekerasan terhadap perempuan
Deksripsi Aliansi meyakini bahwa laki-laki dan perempuan memiliki status dan kedudukan yang sama. Karenanya Aliansi menolak segala bentuk ketidakadilan yang dialami oleh salah satu jenis kelamin. Dan Aliansi mendukung sepenuhnya segala strategi affirmasi untuk menciptakan kesetaraan untuk mempercepat pencapaian keadilan. Aliansi menolak segala bentuk tindakan diskriminasi atas dasar jenis kelamin maupun diskriminasi atas dasar lainnya. Aliansi akan melakukan upaya-upaya untuk penghapusan tindakan diskriminasi dengan melakukan kampanye dan advokasi. Aliansi meyakini bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah tindakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia dan merupakan tindakan melawan hukum. Aliansi menuntut pertanggungjawaban seratus persen terhadap pelaku kekerasan. Aliansi melakukan upaya-upaya pencegahan dengan mempromosikan perubahan perilaku kepada laki-laki yang berpotensi menjadi pelaku kekerasan terhadap perempuan melalui pembangunan citra baru laki-laki yang anti-kekerasan. Sumber: Situs Resmi Aliansi Laki-Laki Baru (http://lakilakibaru.or.id)
Selain dituangkan menjadi dasar nilai penyusunan program, prinsip-prinsip ini kemudian juga digunakan sebagai tata cara perilaku bagi mereka yang menggunakan 'Laki-Laki Baru' sebagai sebuah identitas. Namun, tantangan yang kemudian disadari adalah karena ALLB juga terdapat di daerah, ALLB memperhatikan bagaimana keragaman nilai yang terdapat di daerah juga dapat diakomodasi dalam upaya pembuatan citra baru laki-laki. Penyadaran bahwa pembuatan citra baru laki-laki terutama dalam konteks laki-laki di daerahpun memerlukan eksplorasi dan pendekatan yang beragam, mengingat karakteristik laki-laki yang beragam di tiap wilayahnya. Dengan melihat bentuk program seperti Forum Belajar dan Kelas Refleksi dalam kerangka upaya membangun citra laki-laki baru dan mengubah perspektif dan perilaku laki-laki, segala bentuk pengalaman keseharian yang merupakan bentuk standpoint feminisme, yang dikukuhkan melalui istilah 'personal is political' juga dijadikan strategi pro-feminis untuk menginkorporasi keterhubungan atara kekuasaan di tingkatan personal dan publik (Ashe, 2007). Dengan menginkorporasi standpoint feminis „personal is political‟ ini, laki-laki pro-feminis dirasa wajib untuk aktif dalam upaya menantang dan mereformasi tingkah laku dan kesadaran mereka terhadap relasi gender yang dikonstruksi masyarakat selama ini. Pro-feminis kemudian dipandang perlu untuk menginkorporasi pemikiran bahwa maskulinitas adalah sebuah arena dimana laki-laki dapat berjuang secara pribadi dalam oposisinya dengan peran ideal normatif terkait identitas, subjektifitas, praktik-praktik kelaki-lakian, dan menganggap bahwa mengubah perilaku personal merupakan bentuk yang terintegrasi dari politik gender laki-laki (Connel, 2000). Dengan demikian, inilah yang menjadi alasan bahwa dasar dari perjuangan pro-feminis juga berakar dari akar perjuangan feminisme melalui upaya mereformasi pengetahuan dan perilaku laki-laki, karena personal is political juga dijadikan fondasi yang sama dalam bergerak: menghubungkan kehidupan keseharian dengan gambaran situasi yang lebih luas, yakni budaya
Feminisme dan..., Ryan Fajar Febrianto, FISIP, 2014
patriarki, melalui upaya mempertanyakan normativitas kelaki-lakian dalam konteks masyarakat patriarkis. Maka dengan demikian, ALLB dapat dikatakan sebagai gerakan sosial baru maupun gerakan identitas, sebagaimana yang dikemukakan oleh Habermas (1981: 33) bahwa gerakan sosial baru secara fundamental memfokuskan diri pada produksi kultural, nilai-nilai sosial, dan proses sosialisasi. Upaya ALLB dalam mengkritisi nilai kelaki-lakian sebagai identitas tradisional juga memperlihatkan bentuknya sebagai gerakan identitas, seperti yang juga dikemukakan Larana, Johnson, dan Gusfield (1994: 4) bahwa gerakan identitas memiliki ciri-ciri berasosiasi dengan seperangkat kepercayaan, simbol, nilai-nilai, dan pemaknaan dari sentimen kebersamaan dari sebuah kelompok yang terdiferensiasi, dengan penggambaran diri yang dilakukan oleh setiap kelompok, dan mengkonstruksi atribut-atributnya secara sosial terkait kehidupan keseharian. Cita-cita ALLB sebagai gerakan pendobrak nilai-nilai tradisional dengan mempromosikan nilai-nilai dan identitas baru laki-laki, serta berangkat dari proses refleksi ketertindasan laki-laki dan juga perempuan dari budaya patriarki yang kemudian membentuk identitas kelompok “pro-feminisme”. Proses formulasi identitas juga berasal dari resistensi terhadap kuasa laki-laki sebagai konstruksi yang problematik dibandingkan bersifat alamiah dan taken-for-granted (McDickyner 1997: 97). Politik Berbagi Ruang: Gerakan Pro-feminis dalam Konstelasi Gerakan Perempuan Dalam perkembangannya, kemunculan pro-feminis mengalami perdebatan, dimana kritikus dari gerakan feminisme beranggapan bahwa laki-laki pada akhirnya memproduksi relasi kuasa yang ada melalui politik gender yang mereka lakukan. Laki-laki bisa saja mengeksploitasi feminisme untuk keuntungan mereka, seperti misalnya menggunakan pro-feminis sebagai alat untuk mendapatkan pendanaan riset, serta untuk 'mengambil alih' dan untuk mengesampingkan perspektif perempuan (Canaan dan Griffin 1900; Spark 1994). Selama ini, ruang feminisme didominasi oleh peran perempuan dalam mempertanyakan dan menantang kondisi opresi yang mereka alami. Peran perempuan dalam memandu arah gerak feminismepun menjadi signifikan sebab pengalaman perempuan merupakan dasar dari pengetahuan dan politik feminisme. Terkait hal ini, ALLB menegaskan dirinya bahwa bentuk dari ALLB adalah sistem pendukung gerakan feminisme, dalam arti politik membatasi diri dalam feminisme dilakukan dengan memposisikan diri tidak berlawanan dengan prinsip feminisme dan melakukan pendekatan yang berbeda dengan yang dilakukan gerakan perempuan (feminisme) pada umumnya. Hal ini juga menjadi persoalan sendiri bagi ALLB dalam memposisikan dirinya dalam gerakan perubahan. Dalam memposisikan diri dengan gerakan perempuan, ALLB menyadari atas kecurigaan dan keresahan beragam pihak, terutama feminis perempuan dalam melihat motif pribadi hingga dampak aktivisme gerakan profeminis terhadap keberlangsungan organisasi perempuan. Merespons hal ini, ALLB menyusun strategi khusus dalam memposisikan diri dari risiko dan tantangan yang mungkin dihadapi. Jika diamati, bentuk yang diambil ALLB jelas merujuk pada politik berbagi ruang. Hal tersebut dapat dilihat dalam tabel berikut ini.
No
Risiko
Tabel 3: Strategi ALLB dalam Menghadapi Risiko Respons
Feminisme dan..., Ryan Fajar Febrianto, FISIP, 2014
No 1
2
3
Risiko Respons Menciptakan dominasi baru Menempatkan kelompok sebagai sebuah dukungan untuk dan dari laki-laki terhadap merupakan bagian dari gerakan perempuan gerakan perempuan Menghindari pengambilan keputusan dalam gerakan anti kekerasan terhadap perempuan Mengalihkan sumberdaya Menempatkan program untuk laki-laki sebagai pelengkap dari bagi program pemberdayaan program pemberdayaan perempuan perempuan Membantu perempuan/kelompok feminis untuk menghimpun dana/sumber daya untuk program pemberdayaan perempuan Berkolusi dengan laki-laki Mengajak perempuan untuk menjadi bagian dari kelompok untuk membuat pelaku kekerasan gerakan laki-laki bersifat akuntabel terhadap perempuan Sumber: Dokumentasi Aliansi Laki-Laki Baru dalam Situs Resmi Organisasi Whiteribbon, Australia (http://whiteribbon.org.au) Salah satu upaya penting yang harus disadari dalam politik pro-feminism dalam hubungannya memposisikan
diri dengan feminisme adalah bagaimana gerakan pro-feminis secara strategis mampu mendengarkan suara dari feminis perempuan. Seperti yang dapat terlihat pada respons diatas, bahwa upaya mengajak perempuan untuk menjadi bagian dari kelompok untuk membuat gerakan laki-laki bersifat akuntabelpun dilihat sebagai upaya untuk 'mendengarkan' sekaligus mempertimbangkan secara serius perspektif perempuan dalam ruang gerak ALLB. Peran perempuan dalam kepengurusan internal ALLB berfungsi sebagai pihak yang menjaga dan membangun sensitivitas terhadap isu perempuan, dalam arti memastikan bahwa ALLB tetap berada pada 'jalur' gerakan perempuan. Dreher (2009 dalam Bojin, 2012) menekankan pentingnya “etika mendengarkan” yang berarti bahwa laki-laki perlu memiliki kemampuan bukan hanya kepada kelompok lain (perempuan), namun juga menjadi reseptor aktif pada upaya memahami kompleksitas dari sistem privilese (Pease, 2010 dalam Bojin, 2012). Tak hanya itu, respons untuk membiarkan perempuan untuk mengambil keputusan bermakna bahwa laki-laki pro-feminis menyadari bahwa feminisme bukanlah sesungguhnya untuk mereka (Crowe, 2011 dalam Bojin, 2012), dalam arti lakilaki menyadari bahwa terdapat batasan tertentu untuk laki-laki tidak menjadi aktor aktif dalam perjuangan feminisme. Politik Pendanaan Satu hal yang setidaknya menjadi poin penting terkait keresahan aktivis gerakan perempuan maupun pengurus ALLB sendiri dalam memposisikan ALLB dalam gerakan perempuan. Hal tersebut yakni keresahan terkait beralihnya pendanaan donor terkait program pemberdayaan perempuan menjadi program keterlibatan laki-laki. Informan Andre mengungkapkan pengalaman ALLB dalam mengajukan kegiatan ke lembaga donor, dimana Andre melihat terdapat segregasi antara program dari gerakan 'laki-laki' dan program gerakan 'perempuan'. Jika dilihat melalui tujuannya, padahal tujuan utamanya adalah sama yakni sebagai upaya perjuangan kesetaraan gender dan anti-kekerasan terhadap perempuan. Dikotomi terhadap 'dana gerakan perempuan' dan 'dana gerakan laki-laki' ini kemudian menimbulkan kesan tersendiri bahwa program dari 'gerakan perempuan' dan 'gerakan laki-laki' tidak dapat dikolaborasikan meski sebenarnya memiliki tujuan yang sama. Kecurigaan ini yang juga memberikan kesan bahwa 'gerakan perempuan' dan 'gerakan laki-laki' perlu bersaing dalam merebut sumberdana, terlebih lagi, Andre mengungkapkan setidaknya dalam konteks saat ini,
Feminisme dan..., Ryan Fajar Febrianto, FISIP, 2014
pendanaan terhadap LSM di Indonesia semakin terbatas, “Apalagi saat ini kan pendanaan di Indonesia, pada NGO itu sudah mulai berkurang, ini menjadi ancaman sendiri ketika ada aliansi laki-laki baru. Buktinya, sampai saat ini kami tidak menerima dana besar." (Informan Andre, 29 Maret 2014) Bagi ALLB, menjadi sistem pendukung juga berarti ALLB perlu berperan membantu organisasi pendukung (organisasi perempuan) dalam hal pendanaan bagi program terkait keterlibatan laki-laki. Selama ini, masyarakat, khususnya aktivis feminis maupun pihak donorpun kurang memahami sistem yang diberlakukan oleh ALLB. Hal ini yang kemudian membuat ALLB dicurigai sebagai pesaing dari organisasi perempuan. Secara umum, sistem dukungan dana yang diterima ALLB saat ini tidak diterima secara langsung oleh internal ALLB, namun diberikan kepada organisasi pendukung untuk implementasi program keterlibatan laki-laki. Salah satu upaya ALLB dalam memastikan organisasi pendukung memiliki program yang ditujukan kepada laki-laki dilakukan dengan upaya mengalihkan penerimaan dana program keterlibatan laki-laki kepada organisasi pendukung, sehingga ALLB secara kepengurusan internal tidak menerima dana secara langsung. Sistem ini dibuat sebagai strategi ALLB untuk tidak menjadi pesaing dalam politik donor. Strategi yang dilakukan ALLB sebagai sistem pendukung, salah satunya dengan membantu dalam pencarian pendanaan organisasi perempuan disatu sisi memang seolah menyelamatkan pendanaan organisasi perempuan, namun disisi lain menimbulkan tantangan tersendiri bagi pengembangan dan keberlanjutan ALLB. Meski demikian, Dicky melihat hal ini justru yang membuat ALLB tidak berorientasi pada proyek, namun menjadi “living organization”, dalam arti ide dan kegiatan terus berjalan meski ada dan tidak adanya dana. Semangat perubahan dan keterbatasan sumber dana dirasa bukan menjadi hambatan utama akan penyelenggaraan kegiatan/program yang dilakukan oleh pengurus ALLB. Semangat membangun ALLB sebagai “living organization” kemudian juga diwujudkan dalam pelembagaan ALLB. ALLB saat ini tidak berbadan hukum dan tidak akan berbadan hukum. Status berbadan hukum seringkali menjadi prasyarat penerimaan donor bagi pendanaan program organisasi. Untuk menjaga sistem pendanaan yang telah ditetapkan ALLB sebagai sistem pendukung organisasi perempuan, informan merasa ALLB tidak memerlukan status badan hukum karena dapat merusak jalannya sistem pendanaan yang telah disepakati. Sesuai dengan teori gerakan sosial baru, bahwa jaringan, meskipun berbentuk longgar dan terbuka, justru menciptakan kekuatan tersendiri. Kondisi dimana ALLB membangun sistem pendukung dalam hal pendanaan kepada jaringan organisasi perempuan, seharusnya dapat membuat organisasi perempuan semakin lebih progresif dan tetap memiliki 'kuota' terkait program pelibatan laki-laki dalam susunan program organisasional mereka. Sistem ini ditujukan agar ALLB dapat menjadi Aliansi yang mampu memproliferasi strategi perubahan melalui upaya mempengaruhi organisasi perempuan untuk mengadakan program keterlibatan laki-laki. Seperti halnya data yang ditunjukkan diatas, dalam tesis yang dilakukan Kate C. Bojin (2012), lembaga donor dan persyaratan pendanaan bagi kesetaraan gender lebih berbasis proyek dan justru memicu bentuk kompetisi dari hubungan antara gerakan perempuan dengan pro-feminisme. Penelitian kepada ALLB ini kemudian menunjukkan bentuk dari berbagai inisiatif lembaga-lembaga independen dengan menginisiasi program keterlibatan laki-laki yang hanya eksklusif dimiliki satu organisasi dan tidak lintas program. Hal ini yang justru sebenarnya perlu menjadi keresahan tersendiri sebab dengan kondisi seperti ini tidak memungkinkan adanya koordinasi dan komunikasi yang
Feminisme dan..., Ryan Fajar Febrianto, FISIP, 2014
jelas antar lembaga, termasuk antara lembaga penyelenggara program keterlibatan laki-laki dengan gerakan perempuan. Secara bentuk, ALLB membuka sistem pendukung yang secara strategis justru membantu pendanaan organisasi perempuan. Maka dari itu, membangun aliansi dan komunikasi antar gerakan pro-feminisme dengan gerakan feminisme merupakan hal yang penting sebagai upaya memposisikan diri dalam konstelasi gerakan perempuan.
MENGEMBANGKAN ALLB MELALUI FRAME ALIGNMENT Framing telah banyak digunakan oleh aktivis gerakan sosial dalam membangun gerakannya. Pada dasarnya, setiap gerakan sosial membawa kepercayaan dan ideologi. Kedua hal tersebut merupakan bagian dari proses mengkonstruksi makna gerakan bagi partisipan juga oposisi gerakan (Snow dan Benford, 1988). Dengan demikian, kesuksesan gerakan sosial dalam mencapai tujuan kolektifnya juga dapat ditentukan ketika frame yang berada pada partisipan dan organisasi dapat saling terhubung untuk kemudian meresonansi perubahan yang diusung. Hal ini yang secara sederhana dimaknai melalui konsep Frame Alignment. Dengan dibangunnya Framing Aliansi, agenda politik ALLB akan semakin efektif, terutama berkontribusi pada efektivitas membangun citra baru laki-laki. Upaya menentang framing patriarki yang selama ini dikukuhkan melalui maskulinitas yang hegemonik juga memerlukan framing yang lebih besar dan sistematis. Perlu dipahami, ketika ALLB berfokus pada perubahan yang merujuk pada perubahan kultural, struktural, dan proses sosial sekaligus, ALLB memiliki tantangan untuk memproliferasi dan mengamplifikasi pesan perubahan ke tataran yang lebih luas dengan cara-cara yang efektif dan persuasif. Sebelumnya, penulis mencoba mengkategorisasi upaya-upaya perubahan yang dilakukan ALLB dengan 4 tahapan frame alignment, yakni frame bridging, frame amplification, frame extension, dan frame transformation. Selain itu, penting untuk memahami bahwa proses frame alignment ini dapat dikatakan berhasil jika mengikuti aspek-aspek seperti: 1) Ketangguhan, keterlitian, dan kelengkapan framing, dimana gerakan perlu untuk mengidentifikasi masalah dan menyediakan solusi dan strategi serta taktik untuk menghadapi masalah, serta mengangkat nilai-nilai motivasi yang menjadi landasan dari perubahan yang dilakukan; 2) Relevansi dari frame dengan realitas yang dihadapi oleh partisipan gerakan, hal ini terkait dengan kesesuaian dengan pengalaman peserta hingga mitos dan narasi budaya yang ada; 3) Siklus protes (Tarrow, 1983) dimana frame muncul ketika era permasalahan itu berlangsung dan memerlukan perubahan sosial. Tiga prinsip ini yang akan penulis coba angkat dalam setiap tahapan yang dilakukan ALLB.
Frame Bridging Jika kembali pada sejarah pendirian ALLB, proses pendirian ALLB tidak terlepas dari diskusi yang berkelanjutan hingga saat ini. Proses pendiskusian gerakan ketika gerakan baru berdiri merupakan bentuk
Feminisme dan..., Ryan Fajar Febrianto, FISIP, 2014
dari upaya menjembatani keresahan masing-masing pihak yang tergabung didalam ALLB. Didirikan oleh aktivis feminis perempuan dan laki-laki yang bergabung dalam organisasi gerakan perempuan, terjadi proses pertukaran ide dan diskusi alot mengenai keresahan dan ide berdirinya ALLB. Proses ini pada akhirnya menyatukan ide untuk membuat Aliansi yang berfungsi menjadi forum koordinasi dan konsolidasi gerakan perempuan sekaligus memberi ruang tersendiri bagi laki-laki untuk berpartisipasi aktif dalam agenda kesetaraan gender. Terkait dengan mengrekonstruksi kembali identitas laki-laki, pendirian ALLB juga tidak lepas dari kritik insiatif laki-laki terkait upaya kesetaraan gender yang terpisah dan tidak terkoordinasi, serta tidak berkembangnya laki-laki yang bekerja dalam organisasi perempuan. ALLB kemudian dibentuk menjadi wadah untuk laki-laki, khususnya mereka yang terlibat dalam kerja-kerja teknis di organisasi perempuan untuk memainkan peran yang lebih signifikan melalui ALLB. Hal ini yang kemudian dikatakan sebagai dibukanya ruang yang selama ini tidak termobilisasi (Diani dan Porta, 1986). Laki-laki yang sebelumnya berkutat dengan program-program terkait pemberdayaan perempuan ini dilihat sebagai pihak yang memiliki orientasi atribusional yang sama namun selama ini memiliki minim basis organisasi untuk mengekspresikan keresahan dan bergerak untuk mencapai kepentingannya, khususnya terkait dengan pelibatan laki-laki dalam wacana kesetaraan gender. ALLB membuka ruang ini dengan konsekuensi khusus bahwa laki-laki yang tergabung didalamnya perlu untuk tetap menjalin koordinasi yang kuat dengan aktivis feminis perempuan. Mengingat bahwa dasar dari ide pembentukkan ALLB adalah sistem pendukung gerakan perempuan, maka terjadilah upaya menjembatani orientasi atribusional dan keresahan laki-laki pendukung kesetaraan gender ini dengan aktivis perempuan dari gerakan perempuan. Proses menjembatani orientasi, keresahan, dan ide ini dipandang merupakan hal yang penting dalam menentukkan visi, misi, dan strategi gerakan.
Frame Amplification Melalui pemahaman mengenai maskulinitas hegemonik, ALLB percaya bahwa konstruksi maskulinitas pada akhirnya menyaratkan suatu kompetisi yang juga merugikan laki-laki. Implementasi maskulinitas hegemonik dalam tatanan masyarakat patriarkis membuat laki-laki yang mampu memenuhi kriteria idealitas laki-laki di masyarakat berada pada posisi dominan dalam kategori gender di masyarakat. Dominasi tersebut pada akhirnya memudahkan laki-laki untuk memiliki kuasa atas segala hal dan merasa bebas untuk melakukan tindakan apapun, termasuk kekerasan, yang dapat merugikan perempuan, anak, hingga ke sesama laki-laki. Berangkat dari hal ini, nilai terkait “keadilan” muncul sebagai bentuk mereformasi tatanan relasi gender di masyarakat. “Adil” ini kemudian berkembang bukan hanya pada bagaimana laki-laki mampu menyeimbangkan posisi dengan perempuan, namun juga pada sesama laki-laki
Feminisme dan..., Ryan Fajar Febrianto, FISIP, 2014
melalui penentangan terhadap maskulinitas hegemonik. Upaya refleksi, kampanye, dan edukasi dilakukan ALLB dan organisasi pendukung dalam mengamplifikasi nilai “adil” di masyarakat. Pada akhirnya, nilai “adil” ini tidak berdiri secara tunggal. Nilai “adil” ini kemudian dikembangkan menjadi beragam nilai yang lebih spesifik dan relevan dengan nilai “ibu” gerakan pro-feminis, yakni gerakan feminisme. Gadis Arivia, dalam bukunya berjudul Feminisme sebuah Kata Hati (2006) memberikan referensi kriteria bagaimana konsep laki-laki baru dapat dikembangkan menjadi 10 kriteria, yakni 1) Memiliki rasa peduli, 2) Toleran, 3) Berbudaya, 4) Membebaskan, 5) Menggunakan bahasa positif, 6) Memahami pembagian kerja domestik, 7) Peduli hak reproduksi, 8) Menggairahkan dalam aktivitas seksual*, 9) transparan, dan 10) antipoligami. Jika dilihat, “adil” telah berkembang menjadi nilai-nilai lain yang saling terkait, seperti “peduli”, “toleran”, “membebaskan”, “positif ”, dan sebagainya. Nilai ini menjadi bagian penting dari gerakan sosial baru seperti ALLB yang memiliki strategi perubahan membentuk citra laki-laki baru. Seperti yang dipaparkan pada bab sebelumnya, bahwa ALLB tidak lagi dilihat sebagai wujud organisasi, namun telah menjadi bentuk nilai dalam masyarakat. Artinya, disatu sisi ALLB telah berhasil memproliferasi dan mengamplifikasi nilai-nilai yang dituangkan dalam program menjadi bagian dari implementasi gaya hidup khususnya bagi laki-laki. Nilai yang dipromosikan kemudian ditransformasi menjadi alternatif sikap dan gaya hidup laki-laki. Disinilah letak frame amplification berhasil. Nilai-nilai ini telah berhasil diamplifikasi sebab dirasa telah menjadi relevan dengan situasi dan realitas yang dihadapi oleh partisipan gerakan, dalam arti telah menyentuh tingkatan pengalaman penerima nilai. Tak hanya nilai, kepercayaan juga menjadi hal yang penting dalam implementasi frame amplification. Dalam berbagai situs dan jejaring sosial yang dimiliki ALLB, mereka memperlihatkan slogan “Gerakan Laki-Laki untuk Keadilan Gender” sebagai bentuk kepercayaan bahwa laki-laki mampu bergerak secara strategis dan bermakna dalam pencapaian keadilan gender. Kritik sekaligus masukkan yang penulis coba berikan dalam upaya amplifikasi ini adalah nilai dan kepercayaan yang diamplifikasi bersifat umum dan tidak menyentuh kompleksitas dari karakteristik kepribadian laki-laki dalam latar belakang budaya yang beragam, terutama jika melihat ruang gerak ALLB yang bergerak di wilayah nasional.
Frame Extension Ruang gerak yang selama ini didominasi ALLB adalah ranah masyarakat sipil, dimana ALLB, dalam wujudnya sebagai Aliansi, bergerak dengan berkoalisi dengan organisasi gerakan sosial hingga inisiatifinisiatif komunitas. Namun, tidak menutup kemungkinan ALLB pun memperluas fungsi dirinya kepada organisasi non-LSM, seperti yang dilakukan kepada beberapa lembaga dan program tertentu yang tidak berada dalam jaringan maupun pemrograman ALLB. Seperti misalnya, terkait dengan fungsi individual,
Feminisme dan..., Ryan Fajar Febrianto, FISIP, 2014
banyak dari anggota ALLB yang kemudian menjadi konsultan di berbagai lembaga pembangunan dan pemerintahan. Meski tidak digerakkan secara organisasional, namun upaya ektensi tetap berjalan mengingat bentuk ALLB dimaknai sebagai living organization, yang berarti, tidak peduli dimana individu bekerja, prinsip dan nilai ALLB adalah pesan yang tetap harus disampaikan. Bentuk living organization pada akhirnya memudahkan partisipan dalam gerakan ALLB dalam memperluas pengaruh diri kepada jaringan atau program lain diluar ALLB. Terkait dengan hal ini, Melucci (1996 dalam Diani dan Porta, 1998) menyatakan bahwa individu sebenarnya tidak menciptakan koneksi jaringan melalui keanggotaan, namun melalui partisipasi mereka dalam beragam bentuk aktivitas sosial dan kultural (festival musik, kelompok membaca, kelompok film, dan sebagainya). Dengan melakukan hal tersebut, mereka mereproduksi lingkungan subkultural dan kontrakultural yang kemudian mendorong kegiatan protes untuk keberlanjutan dan transformasi orientasi kritis gerakan bahkan ketika protes sedang tidak marak terjadi. Karakteristik ALLB sebagai gerakan sosial baru ditandai dengan bentuk jaringan yang terbuka membuat ALLB dapat dengan mudah mengekspansi diri kepada jaringan diluar gerakan perempuan ataupun masyarakat sipil. Penulis melihat bahwa peran ALLB dapat sangat relevan jika mulai mendekatkan diri dengan sektor privat melalui menjadi konsultan bagi program-program CSR (Corporate Social Responsibility/Tanggung Jawab Sosial Korporasi) yang terkait dengan misalnya pencegahan kekerasan atau pendidikan gender. Dengan demikian, ALLB pun dapat memiliki ruang gerak sekaligus kesempatan untuk mengembangkan pesan perubahan hingga mengembangkan diri secara organisasional. Dalam upaya melakukan ekstensi terhadap mempromosikan nilai-nilai kesetaraan gender, misalnya nilai anti-kekerasan berbasis gender, ALLB juga perlu untuk mengembangkan perspektif bahwa isu mengenai laki-laki bersifat cross-cutting (lintas potong), dalam arti dapat diitegrasikan dan dikolaborasikan dengan isu-isu yang lain, khususnya dalam upaya pembuatan program
Frame Transformation Strategi yang dilakukan ALLB dengan pendekaan berbasis persaudaraan (brotherhood) dan penggunaan bahasa serta efektivitas program yang dijalankan dipandang SP telah berhasil dalam menarik perhatian publik dan respons positif, khususnya laki-laki kepada ALLB baik secara program, organisasional, hingga nilai. Tak hanya itu, dalam beberapa kasus individual, ALLB berhasil mendorong peserta programnya untuk melakukan transformasi diri melalui implementasi prinsip dan tata perilaku yang diusung ALLB. Meski penelitian ini tidak mengukur sejauh mana frame alignment berhasil dilakukan ALLB, namun dalam tahapan ini, frame yang telah terbentuk dapat beresonan dan membentuk kembali Frame yang digaungkan Feminisme dan..., Ryan Fajar Febrianto, FISIP, 2014
oleh gerakan feminis. Selama ini, feminisme dianggap eksklusif hanya kepada perempuan. Dengan kemunculan gerakan laki-laki pro-feminis seperti ALLB ini, Frame gerakan feminis yang kaku dan seakan menutup diri pada inklusivitas kepada laki-laki tersebut dapat didobrak dan dikerangkakan kembali melalui upaya berbagi ruang feminisme kepada gerakan perempuan dan gerakan laki-laki pro-feminis. Contoh perubahan yang ditemukan dalam penelitian ini baik yang dialami oleh penerima manfaat program hingga pengurus juga memperlihatkan bahwa program-program, tujuan perubahan, nilai, dan kepercayaan yang dipromosikan oleh ALLB kemudian beresonansi terhadap gaya hidup konvensional. Ketika transformasi ini terjadi, nilai-nilai baru, pemaknaan dan pemahaman baru yang digaungkan ini perlu untuk dijaga kepada partisipan gerakan. Goffman (1974) mengistilahkan hal ini sebagai “penguncian” dimana aktivitas, kegiatan, dan pengalaman yang relevan dapat dijadikan kerangka dasar dari pembentukkan kerangka yang lain. Hal ini dapat juga berarti bahwa pada akhirnya partisipan gerakan dapat kemudian dijadikan subyek dari upaya frame alignment yang berjalan secara terus menerus dalam upaya melakukan perubahan. KESIMPULAN ALLB berupaya untuk menjadi gerakan pro-feminis dengan mengklaim dan memposisikan diri sebagai sistem pendukung gerakan perempuan. Meski ikut menginkorporasi agenda gerakan perempuan sebagai strategi gerakan, namun ALLB, seperti halnya gerakan pro-feminis memiliki perhatian khusus pada aspek mikro, yakni mendobrak identitas dan peran tradisional laki-laki yang diyakini berkaitan erat dengan kokohnya budaya patriarki di masyarakat. Berbeda halnya dengan feminisme yang lebih terfokus pada perubahan di skala makro, gerakan profeminis (ALLB) menempatkan fokus perubahan pada membangun citra baru laki-laki dan mengubah perilaku lakilaki sesuai dengan prinsip yang diusung, yakni 1) berkomitmen terhadap kesetaraan dan keadilan, 2) Antidiskriminasi, 3) Anti-kekerasan terhadap perempuan. Politik refleksipun dilakukan sebagai dasar memahami identitas dan privilese laki-laki dalam tatanan masyarakat patriarkis, serta sebagai upaya untuk memahami posisi ALLB sebagai bagian dari gerakan perempuan, bukan sebagai sebuah gerakan yang terpisah. Nonformalitas bentuk ALLB, jaringan yang bersifat informal dan luas dalam cakupan nasional, identitas kolektif yang terbentuk khususnya pada organisasi pendukung, fokus tindakan politik dan tujuan gerakan yang bersifat non-materialistik menegaskan bentuk ALLB sebagai sebuah gerakan sosial baru. Tak hanya itu, wujud gerakan sosial baru juga diperlihatkan dengan pemaknaan ALLB bukan sebagai sebuah organisasi yang terstruktur, namun sebagai nilai yang dinamis dan mampu menjadi motor bagi transformasi diri. Laki-Laki Baru dimaknai sebagai identitas yang menawarkan pilihan laki-laki terhadap alternatif perilaku dan gaya hidup Penelitian ini memperlihatkan fakta sekaligus memberi kritik bahwa gerakan pro-feminis juga berangkat dari keresahan bahwa laki-laki juga merupakan korban yang teropresi dari sistem patriarki yang mengungkungnya. Eksistensi ALLB sebagai gerakan pro-feminis menimbulkan tantangan tersendiri bagi ruang gerak ALLB. Berbagai kalangan feminis seringkali memiliki keresahan bahwa ALLB dapat mendominasi ruang gerakan perempuan
Feminisme dan..., Ryan Fajar Febrianto, FISIP, 2014
dan dapat menjadi ancaman bagi keberlangsungan pendanaan gerakan perempuan. Namun, hal tersebut telah diantisipasi oleh ALLB dengan menyusun strategi tersendiri dalam menghadapi keresahan tersebut. Gerakan profeminis kemudian perlu memahami bahwa pembangunan koalisi dan koordinasi yang kuat sangatlah diperlukan untuk membangun hubungan yang harmonis dan saling menguntungkan bagi gerakan perempuan maupun gerakan profeminis. Fungsi sebagai forum koordinasi dan kolaborasi gerakan perempuan terkait program keterlibatan laki-laki menjadi fondasi kokoh bahwa ALLB tidak akan mendominasi ruang gerak gerakan perempuan. Ruang gerak ALLB justru pada akhirnya dimaksudkan sebagai ruang dukungan bagi organisasi perempuan dalam mengembangkan pengetahuan dan pengalaman terkait melibatkan laki-laki dalam feminisme, khususnya dalam agenda menghapus kekerasan terhadap perempuan dan keadilan gender. Sistem pendanaan ALLB dengan mengalihkan tawaran pendanaan program, serta bentuk ALLB yang tidak formal memperlihatkan bahwa ALLB bergerak bukan untuk menghimpun dana, melainkan menjadi living organization dimana ide dan gerak dapat bekerja secara simultan dan kontinyu tanpa memerlukan sumberdana yang besar. Motor utama dari pembentukkan living organization adalah keresahan bersama dan solidaritas yang dibangun dalam bentuk Aliansi. Namun, dengan sistem living organization serta nonformalitas bentuk gerakan membuat ALLB memiliki keterbatasan dalam mengekspansi ruang gerak atau program yang dilakukan. Frame Alignment perlu dilihat sebagai proses yang dinamis dan tidak terpisah satu sama lainnya, melainkan proses yang saling menguatkan dan terkait dengan tujuan bentuk Frame lainnya. Dalam setiap tahapan Frame Alignment, setiap komponen memiliki tantangannya masing-masing. Terkait dengan Frame Koalisi, penulis melihat bahwa Frame Extension adalah hal yang perlu diperhatikan sebagai upaya ALLB dalam membangun dan memperluas jaringan kepada bukan hanya organisasi pendukung, namun diluar organisasi pendukung hingga organisasi diluar LSM. Meskipun Frame Extension telah dilakukan dengan beragam cara, misalnya dengan memaksimalkan fungsi individu anggota ALLB dalam memperluas pesan perubahan dalam bentuk perjuangan di inisiatif yang berbeda, namun secara koalisi, upaya Frame Alignment perlu secara intensif dilakukan. DAFTAR PUSTAKA Buku dan Jurnal Arivia, Gadis. (2006). Feminisme: Sebuah Kata Hati. Jakarta: Penerbit Buku Kompas. Ashe, Fidelma. (2007). The New Politics of Masculinity: Men, Power, and Resistance. New York: Routledge. Babbie, Earl. (1995). The Practice of Social Research, 7th Ed. Belmont, CA: Wadsworth Publishing Co. Bhasin, Kamla. (2004). Exploring Masculinity. New Delhi: Women Unlimited. Bem, Daryl J. (1970). Beliefs, Attitudes, and Hunlan Affairs, Belmont, CA: BrooksICole Publishing. Bly, Robert. (1991). Iron John: A Book about Men. New York: Addison-Wesley Buechler, Steven M., (2004). The Strange Career of Strain and Breakdown Theories of Collective Action. Dalam Davis A. Snow, Sarah H. Soule, dan Hanspeter Kriesi (eds.), The Black-well Companion to Social Movements. Oxford: Blackwell, 47–66. Canaan, J. and Griffin, C. (1990). „The new men‟s studies: part of the problem or part of the solution?‟ dalam J. Hearn (ed.) Men, Masculinities and Social Theory, London: Unwin and Hyman, 206–14. Connell, R. W. (2000). The men and the boys. Los Angeles, California: University of California Press. -------- (2005). Masculinities: Second Edition. Los Angeles: University of California Press. Connell, R.W. dan Messerschmidt, J.W. (2005). „Hegemonic masculinity: rethinking the concept‟, Gender and Society, 19 (6): 829–59.
Feminisme dan..., Ryan Fajar Febrianto, FISIP, 2014
Cornish, P. (1999). Men engaging feminism: A model of personal change and social transformation. Journal of Men‟s Studies 7, 173-200. Cornwall, A. & White, S. C. (2000). Men, masculinities and development. IDS Bulletin, 31, 1-6. Cresswell, J. W. (2003). Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed Method approaches. Thousand Oaks, Calif: Sage Publication. Croteau, David dan Lyndsi Hicks. (2009). “Coalition Framing and the Challenge of A Consonant Frame Pyramid: The Case of a Collaborative Response to Homelessness”, dalam Jurnal Social Problems, Vol. 50 No. 2 (Mei 2003), hal. 251272. Los Angeles: University of California Press, dapat diakses di: http://jstor.org/stable/3096833 Crowe, J. (2011). Men and Feminism: Some challenges and a partial response. Social Alternatives 30, 49-53. Diani, Mario. (1992). Analysing Social Movement Networks. Dalam M. Diani dan R. Eyerman (eds.), Studying Collective Action. NewburPark/London: Sage, 107–35. ------- (2003). Networks and Social Movements: A Research Programme. Dalam Mario Diani dan Doug McAdam (eds.), Social Movements and Networks. Oxford/New York: Oxford University Press, 299–318. ------- (2004). Networks and participation. dalam D. Snow, S. Soule, dan H. Kriesi (eds.), The Blackwell Companion to Social Movements. Oxford: Blackwell, 339–59. Diani, Mario dan Della Porta. (1998). Social Movement. Oxford: Blackwell Publishing. Diani, Mario and Bison, Ivano (2004). Organization, Coalitions, and Movements. Theory and Society, 33, 281–309. Dreher , T. (2009). Listening across Difference: Media and multiculturalism beyond the politics of voice. Continuum: A Journal of Media and Cultural Studies 23, 445-458. Farrell, W. (1993). The Myth of Male Power, New York: Simon and Schuster. Gerung, Rocky. (2009). Feminisme dan Partisipasi Laki-Laki. Jurnal Perempuan, 64. halaman 17-23. Goffman, Erving. (1974). Frame Analysis. Cambridge: Harvard University Press. Goldberg, S. (1974). The Inevitability of Patriarchy, New York: William Morrow. Habermas, Jürgen (1981): Theorie des kommunikativen Handelns. Frankfurt am Main: Suhrkamp. Hall, S. and Jacques, M. (eds) .(1989). New Times: The Changing Face of Politics in the 1990s, London: Lawrence and Wishart bekerjasama dengan Marxism Today. Hasyim, Nur. (2008). "Berbagi Kehidupan dengan Perempuan: Membaca Gerakan Laki-Laki Pro-Perempuan di Indonesia", dalam Jurnal Analisis Sosial, Vol. 13 No. 1 Juni 2008, hal. 78-79. Bandung: Akatiga. -------- (2009). Gerakan Laki-Laki Pro-Perempuan: Transformasi Dua Sisi dalam Jurnal Perempuan "Saatnya Bicara Soal Laki-Laki" edisi 64, hal. 53-76. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. -------- (2010). Warna-Warni Lelaki. Yogyakarta: Rifka Annisa. Holmgren, L., & Hearn, J. (2009). Framing 'men in feminism': theoretical locations,local contexts and practical passings in men's gender-conscious positionings on gender equality and feminism. Journal Of Gender Studies, 18, 403-418. Kaufman, C. A. (1990). „The anti-politics of identity‟, Socialist Review, 20, 67–80. Larana, Enrique, Johnston, Hank, dan Gusfield, Joe. 1994. New Social Movements:From Ideology to Identity. Philadelphia: Temple University Press. Jurnal Perempuan. (2009). Laki-Laki Feminis. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan ------------- (2011). Membangun Citra Baru Laki-Laki. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan Melucci, A. .(1985). „The symbolic challenge of contemporary social movements‟, Social Research, 52: 789–816. Messner, M. (1997). The Politics of Masculinities: Men in Movements, Thousand Oaks, CA: Sage. Messner, Michael A dan Michael S. Kimmel. (2009). Men‟s Lives: Eight Edition. Los Angeles: Allyn & Bacon. Modleski, T. (1991). Feminism Without Women: Culture and Women in a „Postfeminist‟‟ Age, USA: Routledge. Moore, S. (1988). „Getting a bit of the Other‟, dal am R. Chapman and J.Rutherford (eds) Male Order: Unwrapping Men, Unwrapping Masculinity, UK: Lawrence and Wishart, 165–92. Patton, M. Q. (1980). Qualitative evaluation methods. Beverly Hills: Sage Publications. Peacock, D. (2010). Engaging men and boys in efforts to support women‟s leadership in peace-building and to end violence against
Feminisme dan..., Ryan Fajar Febrianto, FISIP, 2014
women. Pernyataan tertulis dari UNESCO Future Forum, Greence Sept 9-11, 2010: “Gender Equality: the missing link?Rethinking the internationally agreed development goals beyond 2015. Pease, B. (2010). Undoing privilege : Unearned advantage in a divided world. London: Zed Books. Pilcher, Jane dan Imelda Whelehan. (2004). 50 Key Concept in Gender Studies. London: Sage Publication. Pleck, J. H. (1981). The Myth of Masculinity. Boston: MIT Press. Porta, Donatella Della dan Mario Diani. (2006). Social Movements An Introduction. Oxford: Blackwell Publishing. Rokeach, Milton. (1968a). Beliefs, Attitudes, and Values. San Francisco: Jossey- Bass. ------------ (1968b). The Nature of Human Values, New York: Free Press. Ruddy, J. (2006). Gender mending: Men, masculinity and feminism. Briar Patch, 35, 5-9. Sagala, R. Valentina. (2009). Pengalaman-Pengalaman Aku yang Perempuan: Laki-Laki Feminis? dalam Jurnal Perempuan "Saatnya Bicara Soal Laki-Laki" edisi 64, hal. 25-36. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Schacht, S. P.(2001). dalam D.W. Ewing (Ed.), Feminism with men : Bridging the gender gap. 79 Lanham, MD: Rowman & Littlefield. Subono, Nur Iman. (2009). Lelaki sebagai Mitra dalam Menghapuskan Kekerasan terhadap Perempuan dalam Jurnal Perempuan "Saatnya Bicara Soal Laki-Laki" edisi 64, hal. 113-123. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Snow, David A. dan Robert D. Benford. (1986). "Frame Alignment Processes, Micromobilization, and Movement Participation" dalam American Sociological Review, Vol. 51, No. 4 (Agustus, 1986), hal. 464-481, dapat diakses di: http://links.jstor.org/sici?sici=0003-1224%28198608%2951%3A4%3C464%3AFAPMAM%3E2.0.CO%3B2-2 ----------------------------------------- (1988). “Ideology, Frame Resonance, and Participant Mobilization”. Hal 197-217 dalam Bert Klandermans, Hanspeter Kriesi, dan Sidney Tarrow (eds.), dari Structure to Action: Social Movement Participation Across Cultures. Greenwich, Conn.: JAI Tarrow, Sidney. (1983). Struggling to Reform: Social Movements and Policy Change during Cycles of Protest. Western Societies Paper 15. Ithaca: Cornell University. Tilly, Charles. (1978). From Mobilization to Revolution. Reading, MA: Addison-Wesley Publishing Co. Touraine, Alain (1981). The Voice and the Eye: An Analysis of Social Movements. Cambridge: Cambridge University Press. ----------- (1985). An Introduction to the Study of Social Movements. Social Research, 52, 749–88. Turner, Ralph H. and Lewis M. Killian. (1972). Collective Behavior. Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall. Turner, Ralph (1994). Ideology and Utopia After Socialism. dalam E. Larana, H. Johnston, dan J. Gusfield (eds.), New Social Movements: From Ideology to Identity. Philadelphia: Temple University Press, 79–100. United Nations. (1994). Plan of Action (PoA) International Conference on Population and Development. UN: Kairo. ----------- (1996). Beijing Declaration and Platform for Action, The Fourth World Conference on Women. UN: Beijing. White, S. C. (2000). Did the earth move? The hazards of bringing men and masculinities into gender and development. IDS Bulletin 31, 33–41. Zijderveld, Anton C. (1979). On Cliches: The Supersedure of Meaning by Function in Modernity, London: Routledge and Kegan Paul.
Skripsi/Tesis Bojin, Kate C. (2012). Thesis: All Our Work is Political: Men's Experience in Pro-Feminist Organizing. Toronto: University of Toronto. Santoso, Widajanti M. (2006). Disertasi: Femininitas Perempuan Indonesia pada Era Kebebasan Pers Kaian Feminis Sosiologi terhadap Sinetron. Depok: Departemen Sosiologi FISIP Universitas Indonesia.
Laman Internet Kimmel, M. S.(1995), 09; 2012/9. Men supporting women. dapat diakses di: http://go.galegroup.com.myaccess.library.utoronto.ca/ps/i.do?id=GALE%7CA17443710 Meer, Shamin. (2012). Struggles for Gender Equality: Reflections on the Place of Men and Men's Organization. Johannesburg: Open Society Initiatie for Southern Africa, dapat diakses di: http://osisa.org/womens-right-/regional/struggle-gender-equality
Feminisme dan..., Ryan Fajar Febrianto, FISIP, 2014
Khumalo, Bafana. (2005). “The Role of Men in The Struggle for Gender Equality: Possibilities for Positive Engagement”, dalam Agenda Special Focus 2005 (Gender, Culture, and Rights), hal. 88-95, dapat diakses di: http://genderjustice.org.za/about-us/staff/100about-us//staff/management/2001173-bafana-kumalo.html Detik News: http://news.detik.com/read/2013/04/07/084817/2213416/10/pakai-rok-mini-di-bundaran-hi-5-pria-tolak-kekerasan-terhadapwanita, diakses 1 Mei 2014. Dokumentasi ALLB dalam Situs Resmi White Ribbon, Australia: http://www.whiteribbon.org.au/uploads/media/Conference_2013/Pro_Feminist_Men_Movement_in_Indonesia_New_Mens_Alliance.pdf, diakses 1 Juni 2014. Situs Resmi Kalyanamitra, “Aliansi Laki-Laki Baru: Partisipasi Laki-Laki dalam Agenda Keadilan Gender”, http://www.kalyanamitra.or.id/eventsdetail.php?id=1&iddata=79, diakses 1 Maret 2014. Situs Resmi Aliansi Laki-Laki Baru Aceh: http://komunitaslaki-lakibaruaceh.wordpress.com Situs Resmi Aliansi Laki-Laki Baru: http://lakilakibaru.or.id Situs Resmi One Billion Rising: http://onebillionrisingindonesia.org
Feminisme dan..., Ryan Fajar Febrianto, FISIP, 2014