RUMPA’NA BONE MAMMULANGNGE TAHUN 1824* RUMPA’NA BONE MAMMULANGNGE IN 1824 Syahrir Kila Balai Pelestarian Nilai Budaya Makassar Jalan Sultan Alauddin / Tala Salapang Km 7 Makassar, 90221 Telepon (0411) 883748, 885119 Faksimile (0411) 865166 Pos-el:
[email protected] Handphone: 0811466090 Diterima: 4 Agustus 2015; Direvisi: 12 Oktober 2015; Disetujui: 26 November 2015 ABSTRACT 7KLVVWXG\DLPHGWRUHYHDODQGH[SODLQWKHEDFNJURXQGDQGWKHHQGRIFRQÀLFWEHWZHHQ.LQJGRPRI%RQHDQG 1HWKHUODQGLQ7KLVVWXG\ZDVDSROLWLFDOKLVWRU\RI6RXWK6XODZHVLRQWKDWSHULRG7KLVVWXG\ZDVD KLVWRULFDOWKXVWKHZULWHUXVHGWKHKLVWRULFDOPHWKRGLQFDWFKLQJGDWDLQWRIRXUVWDJHVV\VWHPDWLFDOO\7KHIRXU VWDJHVDUHKHXULVWLFFULWLFLVPLQWHUSUHWDWLRQDQGKLVWRULRJUDSK\7KHUHVXOWVWXG\LQGLFDWHGWKDWWKHFRQÀLFW ZDVFDXVHGE\WKH.LQJGRPRI%RQHUHMHFWHGWKHSUHVHQFHRI1HWKHUODQGPLOLWDU\HNVSHGLWLRQLQ6RXWK6XODZHVL DQGWKHDEVHQFHRI%RQH.LQJLQWKHPHHWLQJLQYLWDWLRQZLWKWKH'XWFKJRYHUQPHQWLQ0DNDVVDU7KHUHIRUHWKH 'XWFKGHFLGHGWRODXQFKDPLOLWDU\DWWDFNDJDLQVW%RQH'HVSLWHORVHWKH.LQJRI%RQHWe Maniratu Arung 'DWDDQGRWKHUUR\DOVZHUHQRWFDSWXUHGE\WKH'XWFKEHFDXVHKDYHÀHGWRWKHFRXQWU\VLGH KeywordsUXPSD¶QD%RQH.LQJGRPRI%RQHPDPPXODQJQJHWKH'XWFK(DVW,QGLHV ABSTRAK .DMLDQLQLEHUWXMXDQXQWXNPHQJXQJNDSNDQGDQPHQMHODVNDQODWDUEHODNDQJGDQDNKLUGDULNRQÀLN.HUDMDDQ Bone dengan Belanda pada tahun 1824. Kajian ini merupakan salah satu sejarah politik yang mewarnai Sulawesi Selatan masa itu. Kajian ini bersifat historis, sehingga penulis menggunakan metode sejarah dalam menjaring data melalui empat tahap secara sistematis. Keempat tahap tersebut adalah heuristik, kritik, interpretasi, dan KLVWRULRJUD¿ +DVLO NDMLDQ PHQXQMXNNDQ EDKZD NRQÀLN WHUMDGL NDUHQD .HUDMDDQ %RQH PHQRODN NHKDGLUDQ ekspedisi militer Belanda di Sulawesi Selatan dan ketidakhadiran Raja Bone pada undangan pertemuan dengan pemerintah Belanda di Makassar. Oleh sebab itu, Belanda memutuskan untuk melancarkan serangan militer terhadap Bone. Meskipun kalah, Raja Bone, We Maniratu Arung Data, beserta para pembesar kerajaan tidak ditangkap oleh Belanda, sebab telah menyingkir ke daerah pedalaman. Kata kunci: Rumpa’na Bone, Kerajaan Bone, mammulangnge, Hindia Belanda
PENDAHULUAN Hubungan awal Kerajaan Bone dan Belanda dimulai ketika terjadi hubungan persahabatan antara Belanda dengan Arung Palakka, ketika yang disebut terakhir menjadi buronan pihak Kerajaan Gowa. Sementara benihbenih permusuhan antara Kerajaan Bone dan Belanda pasca kematian Arung Palakka, dimulai ketika Inggris merebut Maluku tahun 1810. Selanjutnya ia memblokade Batavia pada 1811,
sehingga Gubernur Willem Janssens (pengganti Daendels) mengungsi ke Semarang. Beliaulah yang membuat perjanjian atau yang dikenal sebagai Kapitulasi Semarang (18 September 1811)sebagai tanda penyerahan tanpa syarat semua wilayah koloni Belanda kepada Inggrisdi Jawa, Sumatera, Banjarmasin (Kalimantan) dan Makassar (Poelinggomang.2005b:103). Ketika itu, Kerajaan Bone diperintah oleh Latenritappu dan beliau tidak menyetujui isi dari kapitulasi
*
Disampaikan pada seminar tanggal 7 Juli 2012 yang diselenggarakan oleh Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Makassar. Sudah dimuat dalam bentuk “Prosiding”, tetapi belum diajukan penilaian angka kreditnya sebab tidak memenuhi persyaratan sebagai sebuah prosiding seperti yang dipersyaratkan oleh LIPI.
253
WALASUJI Volume 6, No. 2, Desember 2015: 253—265 tersebut sebab dianggap tidak melalui suatu perang. Juga mengingat isi pasal enam Perjajian Bongaya yang menyatakan bahwa Inggris harus diusir dari Celebes (Sulawesi). Ketika mengetahui penolakan itu, Inggris mencoba untuk mengingatkan Kerajaan Bone, tentang hubungannya di masa lalu pada saat Inggris membantu Bone untuk menghancurkan pos-pos Belanda yang ada di Bantaeng dan Bulukumba. Selain itu, juga Bone diingatkan ketika Inggris membantu Bone melakukan pemblokiran pantai sebelah selatan Makassar, tetapi karena tidak berhasil menduduki Makassar, maka Inggris lalu meninggalkan daerah itu. Sikap penolakan itu diperlihatkan dengan menyatakan” Kami bukan budak pemerintah Belanda, kami hanyalah sekutunya. Tak ada satupun huruf dalam Perjanjian Bungaya yang menyebutkan bahwa Belanda boleh memperjualbelikan atau menjadikan kami sebagai alat pembayaran rampasan perang kepada pihak ketiga. Kami sebagai sekutu tahu diri, kami hanya membantu sekutu kami yaitu Belanda. Kerajaan Bone, Tanete dan Suppa siap untuk berperang dari pada menjadi alat pembayaran utang perang (Latif, 2012:160161). Begitu juga ketika Pemerintah Inggris harus menyerahkan kembali wilayah koloninya Bela kepada Belanda sebagai amanah dari Traktat London 1814. Pengembalian ini, lagi-lagi mendapat penolakan dari kerajaan-kerajaan lokal, terutama dari penguasa Bone bersama sekutunya, yaitu Suppa dan Tanete. Meski mendapat penolakan dari pemerintah kerajaan lokal, namun Pemerintah Hindia Belanda, tetap berjalan sambil mencari solusi penyelesaian dengan rajaraja lokal yang menentang. Berdasarkan traktat tersebut, Belanda mengawali pemerintahannya dan sekaligus melegitimasi kekuasaan tersebut, lalu menempatkan dirinya sebagai pelindung dan perantara terhadap kerajaan-kerajaan bumiputra. Belanda mulai menata pemerintahannya dengan wacana untuk mengubah Perjanjian Bungaya. Tetapi sebelum hal itu dilakukan, Pemerintah Hindia Belanda akan melakukan pertemuan pendahuluan dengan kerajaan-kerajaan sekutu. Pertemuan awal ini hanya diikuti oleh Luwu,
254
Sidenreng, dan Wajo, sedangkan yang tidak hadir adalah Bone, Tanete dan Suppa, sementara Pemerintah Hindia Belanda diwakili Komisaris Tobias dan sekertarisnya (Latif,2012:209). Pertemuan lanjutan dilakukan kemudian setelah Gubernur Jenderal Hindia Belanda Geder Alexander Gerard Philip Baron van der Capellen tiba di Makassar pada 4 Juli 1824. Malam harinya raja Gowa datang menghadap untuk membicarakan masalah Perjanjian Bungaya dengan Gubernur Jenderal. Pada waktu yang berbeda, datang pula utusan dari Kerajaan Bone yang diwakili oleh Arung Lompu dan Ade’ Pitue. Kehadiran utusan itu adalah sebenarnya hanya untuk menyampaikan permintaan raja Bone menyangkut tiga hal yaitu; a) agar Belanda mengakui Kerajaan Bone sebagai kerajaan merdeka dan sekutu yang setara; b) raja Bone dinyatakan sebagai ketua seluruh raja-raja sekutu di Sulawesi Selatan; c) setiap raja yang akan menghadap harus seizin dan sepengetahuan raja Bone. Permintaan raja Bone tersebut ditolak mentah-mentah oleh PemerintahHindia Belanda sebab dianggap sudah tidak efektif lagi untuk diteruskan seperti zamannya Arung Palakka. Untuk itu,Belanda mengirim surat kepada raja Bone yang meminta agar beliau dapat mengubah pendiriannya itu (Poelinggomang, dkk.,2005a:222). Ketiga persoalan itulah yang kemudian menjadi pemicu terjadinya konflik antara kedua pihak. Pada pertemuan lanjutan itu, raja Bone tidak hadir bersama sekutunya dan beberapa kerajaan sekutu lainnya. Ketidakhadiran Bone bersama sekutunya dalam pertemuan itu dianggap dihasut dan dipropokasi oleh Bone, sehingga mereka harus diberi ganjaran yang setimpal. Pertama-tama yang harus diganjar adalah Tanete dan Suppa dengan harapan bahwa menguasai wilayah itu, Bone diharapkan dapat merubah sikapnya terhadap Belanda. Tetapi apa yang diharapkan itu ternyata tidak sesuai dengan harapan Belanda, sebab ternyata Bone tidak pernah merubah sikapnya yang semula menolak kehadiran Belanda, termasuk wacana perubahan Perjanjian Bungaya. Sikap penolakan beliau tidak pernah berubah hingga beliau wafat pada 1835 (Poelinggomang,dkk.,2005a:223).
Rumpa’na Bone Mammulangnge ... 6\DKULU.LOD
Berdasarkan uraian singkat tersebut, yang menjadi pokok persoalan kajian ini adalah faktorfaktor apakah yang menjadi penyebab sehingga pemerintah kolonial Belanda harus menghukum Kerajaan Bone dengan melancarkan serangan militer 1824. Serangan inilah yang kemudian mengakibatkan Bone kalah untuk pertama kalinya dari Belanda sehingga disebut Rumpa’na Bone Mammulangnge 1824. Oleh karena itu, tujuan dilakukannya kajian ini adalah untuk mengungkap dan menjelaskan latar belakang serangan militer Belanda itu.Juga untuk mengungkap dan menjelaskan tentang dinamika perlawanan Kerajaan Bone menghadapi Belanda. Selain itu, kajian ini diharapkan dapat meningkatkan pemahaman tentang peristiwa-peristiwa historis lain yang ada kaitannya, terutama perjuangan menentang kekuasaan pemerintah kolonial Belanda. Lebih jauh kajian ini diharapkan dapat memberikan informasi serta pemahaman tentang sejarah perjuangan bangsa. Hasil penelitian berkaitan dengan kajian ini memang masih sangat kurang, terutama yang membahas secara khusus. Berdasarkan kajian pustaka bahwa ditemukan sejumlah karya yang di dalamnya terdapat pembahasan menyangkut peristiwa 1824; antaranya; Latif (2012) “Konfederasi Ajatappareng : Sejarah Sosiopolitik Suku Bugis di Sulawesi Selatan”. Patunru (1969). Sejarah Gowa;Patunru (1989); Sejarah Bone; Abduh (1985). Sejarah Perlawanan Terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Sulawesi Selatan; Mattulada (1998). Sejarah, Masyarakat dan Kebudayaan Sulawesi Selatan. Juga terdapat sumber lokal berupa lontarak yaitu; Lontarak Akkarungeng Bone, Lontarak Akkarungeng Suppa, Lontarak Akkarungeng SawittodanGising (2002). Lontarak Tanete. Naskah-naskah lokal tersebut, semua telah dialihbahasakan. Sumber-sumber lokal tersebut, pada umumnya hanya menjelaskan secara singkat tentang perlawanan Bone pada 1824. Meskipun demikian, sumber-sumber itu menjadi acuan utama dalam kajian ini.
METODE Lokasi penelitian ini adalah Kabupaten Bone dan sekitarnya dengan batasan temporalnya antara 1824-1836. Sumber yang digunakan adalah sumber sekunder dan sumber lokal (berupa lontarak) yang diperoleh dari beberapa perpustakaan yang ada di Kantor Arsip dan Perpustakaan Daerah Kabupaten Bone sebagai lokasi utama penelitian. Selain itu, juga dilakukan pengumpulan data pada beberapa perpustakaan yang ada Kota Makassar dan sekitarnya. Pemilihan kedua lokasi tersebut dengan pertimbangan bahwa Kabupaten Bone merupakan tempat terjadinya peristiwa itu. Sedang Kota Makassar dipilih karena di daerah ini terdapat beberapa perpustakaan yang menyimpan beberapa data dan sumber yang menyangkut tema penelitian ini. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan penalaran deskriptif analitis. Metode yang dipergunakan untuk merekonstruksikan kembali kejadian-kejadian masa lampau adalah metode sejarah yang melalui tahapan-tahapan kerja sistematis yang meliputi; pencarian dan pengumpulan data sejarah (heuristis) melalui beberapa perpustakaan (studi literatur); kemudian menilainya secara kritis (kritik sumber). Dilanjutkan dalam bentuk QDUDVLVHMDUDKKLVWRULRJUD¿ 'XDMHQLVGDWD\DQJ dipergunakan dalam kajian ini yaitu sumber dari karya-karya yang telah diterbitkan maupun belum diterbitkan, serta dibantu oleh lontarak-lontarak dari daerah yang bersangkutan. PEMBAHASAN /DWDU.RQÀLN Hubungan antara Arung Palakka dan VOC sebelum dan sesudah Perang Makassar telah terjalin karena sama-sama mempunyai kepentingan. Arung Palakka bersedia membantu VOC untuk melawan Kerajaan Gowa agar Kerajaan Bone dan Soppeng dapat terbebas dari perbudakan Kerajaan Gowa. Sementara itu, VOC sendiri bersedia bekerjasama dengan Arung Palakka karena menganggap Kerajaan Gowa adalah batu sandungan untuk menjalankan monopoli perdagangan di Nusantara bagian timur.
255
WALASUJI Volume 6, No. 2, Desember 2015: 253—265 Oleh karena itu, pada 1665, Arung Palakka dan Joan Maetsuyker mengikat suatu perjanjian. Isi perjanjian itu adalah bahwa” Selama matahari dan bulan memancarkan sinarnya, selama itu pula Bone dan Kompeni Belanda tetap bersatu teguh”. Perjanjian ini tercetus berkat bantuan Arung Palakka terhadap VOC dalam perang untuk menundukkan Pariaman. Setelah itu Arung Palakka meminta kepada VOC untuk membantunya membebaskan Kerajaan Bone dari jajahan Kerajaan Gowa. Permintaan bantuan itu diterima VOC karena usaha untuk menduduki Kerajaan Gowa, juga menjadi cita-citanya (Qahhar,2010:81). Mereka kemudian membuat kesepakatan untuk melancarkan serangan atas Kerajaan Gowa. Setelah persekutuan terjalin, Kerajaan Gowa diserang, VOC dipimpin oleh C.J. Speelman yang dibantu oleh Kapten Jonker van Maniva dari Ambon serta Arung Palakka dan pasukan Angke yang terkenal itu. Setelah terjadi beberapa kali pertempuran hebat antara kedua pihak, Kerajaan Gowa terpaksa menerima perundingan dengan VOC (Belanda) dan sekutu-sekutunya. Perundingan damai pun segera dilakukan untuk mengakhiri perang yang telah memakan banyak korban pada kedua belah pihak. Pada 18 November 1667, lahirlah perjanjian yang sangat terkenal sampai sekarang dengan nama Perjanjian Bungaya. Kendati perjanjian telah ditandatangani, perlawanan-perlawanan dari pihak Kerajaan Gowa belum juga tuntas (Andaya,2004:170; Patunru,1969:51). Bagi Kerajaan Gowa, perjanjian tersebut sangat merugikan sebab hampir semua hakhaknya yang selama ini menjadi prerogatifnya dihilangkan berdasarkan perjanjian tersebut. Sebaliknya, bagi Arung Palakka sangat menguntungkan sebab merupakan pembuka jalan menuju puncak kejayaannya di daerah Sulawesi Selatan. Selain itu, ia juga mendapat hak prerogatif dari Belanda. Salah satu hak itu adalah setiap raja atau bangsawan yang ingin bertemu pemerintah Belanda di Benteng Fort Rotterdam harus seizin dari Arung Palakka.Hak itu diberikan kepada Arung Palakka sebab ia dan pasukannya telah berbuat banyak bagi Belanda.
256
Meski demikian, dalam berbagai hal beliau tidak pernah tunduk sepenuhnya kepada VOC. Hal ini dilatari oleh ambisi Arung Palakka untuk menjadikan Sulawesi Selatan dalam satu ikatan kekeluargaan yang menempatkan Kerajaan Bone sebagai pemegang kendali dalam menentukan nasib wilayah ini (Qahhar,2010:122). Selama masa perjalanan sejarah kedua pihak (VOC dan Arung Palakka) tidak selalu berada dalam satu kesatuan pendapat. Bahkan dalam kenyataan Arung Palakka lebih populer di kalangan masyarakat dibanding VOC. Selain itu, Arung Palakka juga mencoba untuk membangun kembali hubungannya dengan Kerajaan Gowa. Hubungan yang semakin akrab tersebut sangat mengkhawatirkan pihak VOC, apalagi ketika Arung Palakka mengadakan perkawinan lintas politik antara La Patau dengan I Mariama Karaeng Patukkangan. Hasil perkawinan ini nantinya dipersiapkan untuk menduduki tahta Kerajaan Gowa (Sagimun, 1986:267). Kondisi Kerajaan Bone pasca kematian Arung Palakka, mengalami perubahan karena pimpinan baru VOC cenderung melupakan hak-hak istimewa yang telah diberikan kepada Kerajaan Bone oleh pemerintah VOC sebelumnya melalui C.J. Speelman. Apalagi pada awal abad ke-19 Inggris juga sudah mulai muncul di wilayah Sulawesi Selatan untuk menanamkan kekuasaannya. Bahkan Inggris telah mencoba secara rahasia untuk membina hubungan dengan Kerajaan Bone. Hubungan antara Inggris dengan Kerajaan Bone tercipta lewat bantuan Inggris kepada Kerajaan Bone Masa menyerang dan berhasil menghancurkan pos-pos pertahanan VOC Belanda yang ada di daerah Bantaeng dan Bulukumba pada 1797. Demikian juga Masa dalam 1800, Kerajaan Bone juga dibantu oleh Inggris untuk memblokade pantai sebelah selatan Makassar, sekalipun usaha ini tidak berhasil mendudukinya (Poelinggomang,dkk., 2005a:171172). Kendatipun antara Inggrsi dan Kerajaan Bone telah terbina hubungan baik jauh sebelum Inggris menduduki Sulawesi Selatan, namun ketika Inggris mengambil alih kekuasaan atas daerah Sulawesi Selatan pada 1811 dari
Rumpa’na Bone Mammulangnge ... 6\DKULU.LOD
tangan VOC Belanda, justru Bone menolaknya. Penolakan pihak Kerajaan Bone atas pendudukan Inggris tersebut didasarkan pada isi Perjanjian Bungaya 1667, terutama pada pasal 6 yang berisi antara lain; Bahwa orang-orang Inggris harus diusir dari Celebes (Sulawesi) (Patunru, 1969:5256). Sikap Bone yang menolak kehadiran Inggris di Sulawesi Selatan sangat mengkhawatirkan bagi Inggris.Karena sikap penolakan itu, Inggris lalu mengingatkan raja Bone ke-23, Toappatunru mengenai hubungan mereka pada masa sebelumnya. Peringatan itu tidak dihiraukan oleh Bone, kecuali jika tuntutannya yang terdiri atas enam point dipenuhi oleh Inggrsi, di antaranya adalah Bone menuntut agar setiap raja di Sulawesi Selatan yang hendak menemui residen atau pembesar Inggris harus melalui atau seizin Bone (Amir,dkk.,2012:131-132). Atas penolakan itu, Mayor Jenderal Nightingale mengeluarkan ultimatum yang ditujukan kepada raja Bone pada 6 Juni 1814. Ultimatum itu memberikan kesempatan kepada raja Bone hingga pukul 12.00 malam untuk berpikir dan mengakui perbuatan-perbuatannya yang tidak sah selama ini. Ultimatum ini tidak juga dihiraukan oleh raja Bone, sehingga pada 7 Juni 1814 sebelum fajar menyingsing Inggris telah memulai serangannya terhadap perkampungan orang-orang Bugis di Bontoala, tempat kedudukan raja Bone. Istana raja Bone di Bontoala dibakar habis sehingga beliau dan pembesarnya mengungsi (Mattulada, 1998:175-176). Raja Bone dan pembesarnya yang telah mengungsi, tidak dikejar lagi oleh pasukan Inggris yang mendapat bantuan dari Sidenreng dan Soppeng sebab yang bersangkutan sudah berada di daerah Maros. Usaha ini tidak berhasil karena Bone mendapat bantuan tenaga dari sekutunya, yaitu Kerajaan Tanete dan Suppa. Sementara itu, Inggris bersama pasukannya berusaha mengambil alih Pelabuhan Parepare dari penguasaan Bone, selanjutnya untuk sementara diserahkan pengelolaannya kepada Datu Sidenreng La Wawo Sultan Ali yang merupakan sekutu setia Inggris. Begitu juga daerah-daerah di Noorder Provincie yang dikuasai Kerajaan Bone, diserang oleh pasukan Inggris bersama sekutunya. Sawah-
sawah yang terdapat di daerah tersebut, juga diambil penguasaannya oleh pasukan Inggris dan selanjutnya dijual kepada umum atau dipinjampakai kepada orang-orang Eropa dan orang-orang Makassar yang dianggap telah berjasa kepada Inggris (Poelinggomang,dkk., 2005a:177). Menjelang masa akhir pemerintahannya di Sulawesi Selatan, Inggris bersama sekutunya belum berhasil menyelesaikan sikap penentangan yang dilakukan oleh Bone, Tanete dan Suppa. Pada Oktober 1815 Kapten Wood terpaksa harus meninggalkan Makassar karena digantikan oleh Mayor D.M. Dalton (1815-1816). Beberapa hari setelah memangku jabatan sebagai resident Makassar, ia menyerang wilayah utara yang merupakan wilayah pertahanan Kerajaan Tanete. Tetapi serangan ini pun tidak berhasil karena Tanete dan Bone tetap menguasai wilayah tersebut. Itulah sebabnya Mayor Dalton mengerahkan kembali pasukannya untuk menyerang daerah Noorder Provincie. Sejak Januari sampai Agustus 1815 serangan ini pun tidak berhasil sampai akhirnya Inggris ditarik dari Sulawesi Selatan pada 25 September 1816. Wilayah-wilayah yang menjadi taklukkannya selama pemerintahannya, kemudian harus diserahkan kembali kepada Belanda (Mappangara, 2003:64-65). Persiapan Penyerangan Penyerahan wilayah kekuasaan Inggris di Sulawesi Selatan ke tangan Hindia Belanda, kembali menimbulkan gejolak keras di tubuh Kerajaan Bone. Sikap penentangan yang diperlihatkan pihak Bone hampir sama ketika Inggris mengambil alih wilayah-wilayah koloni VOC-Belanda di daerah ini. Bahkan sikap penolakan itu nantinya lebih hebat daripada ketika Inggris berkuasa. Pihak Kerajaan Bone sebenarnya dapat menerima kehadiran kembali Pemerintah Belanda, asalkan pihak Belanda mau menerima tawaran yang diajukan oleh pihak Kerajaan Bone. Salah satu tawaran yang diajukan oleh pihak Kerajaan Bone adalah hakhak prerogatif yang telah diberikan oleh Belanda pasca Perjanjian Bungaya kepada Bone pada masa Arung Palakka. Itulah sebabnya sehingga masa Hindia Belanda, langkah pertama yang ditempu 257
WALASUJI Volume 6, No. 2, Desember 2015: 253—265 adalah untuk melakukan pembaharuan Perjanjian Bungaya, namun ditentang mati-matian oleh pihak Kerajaan Bone. Dalam proses perjalanan penandatanganan Pembaharuan Perjanjian Bungaya 1824, beberapa kali pertemuan diselenggarakan antara Pemerintah Belanda dengan raja-raja sekutu di Sulawesi Selatan, namun raja Bone, raja Tanete, dan raja Suppa tidak pernah memenuhi undangan untuk hadir pada pertemuan itu. Sebagai akibatnya, Pemerintah Belanda menganggap ketidakhadiran raja-raja yang diundang pada pertemuan itu adalah karena dipropokasi oleh Raja Bone We Mani Ratu Arung Data. Hal ini dilandasi pada kenyataan bahwa raja Bonesejak awal diangkatnya, tidak pernah mau bekerjasama dengan Belanda, begitu pula dengan raja-raja pendahulunya. Setelah beberapa kali diadakan negosiasi untuk menemukan titik temu, namun tidak pernah berhasil mencapai kesepakatan. Belanda menganggap bahwa raja Bone dan sekutunya memang keras kepala sehingga harus diberikan hukuman yang setimpal. Pemerintah Belanda lalu mempersiapkan satu pasukan besar yang didukung oleh beberapa kerajaan sekutu. Persiapan pasukan segera dilakukan dan akan mempergunakan segala kekuatan yang dimilikinya. Hal ini dilakukan Belanda mengingat Kerajaan Bone pada saat itu mempunyai pengaruh besar pada beberapa kerajaan yang ada di Sulawesi Selatan. Sebelum Belanda menggempur Kerajaan Bone dengan kekuatan penuh, terlebih dahulu Belanda menyerang kerajaan-kerajaan sekutu Bone yang berada di wilayah utara, yaitu Kerajaan Tanete, dan Kerajaan Suppa. Tujuan penyerangan itu adalah untuk memberikan sok terapi bagi Bone agar mau merubah sikap politiknya dan mau menerima kehadiran Belanda di Sulawesi Selatan. Jumlah personil yang dipersiapkan untuk menyerang Kerajaan Tanete adalah 600 orang, terdiri atas 180 serdadu Eropa, 176 orang pribumi, 10 orang huzzar dan empat meriam lapangan masing-masing ditarik 4 ekor kuda. Para perwira dan serdadu seluruhnya berjumlah 366 orang Selain itu, terdapat 48 orang marinir dari kapal Eurydice dibawah Letnan van Pelt, dan dua palaton kelasi di bawah Letnan Laut D’Ablaing
258
dan van Cattemburg. Letnan Pinet dan van Dedel, keduanya dari kapal Eurydice, menawarkan diri untuk ikut dalam ekspedisi yang membawa serta ajudannya. Seluruh kekuatan pasukan ini terdiri atas 20 orang bintara dan serdadu (termasuk 200 orang serdadu Eropa) dan 28 ekor kuda. Marinir di bawah Letnan Kolonel Buijs terdiri atas lima kapal layar, dua kapal meriam dan sebuah kapal pengangkut (Asba, 2010: 110-111). Pada 8 Juli 1824, Rabu pagi kapal perang Belanda telah berada di depan perairan Pancana. Komandan ekspedisi lalu mengirim kurir untuk menemui La Patau, Raja Tanete untuk menyampaikan pesan Pemerintah Belanda agar beliau dapat merubah sikapnya dan bersedia datang ke Makassar untuk menandatangani Pembaharuan Perjanjian Bungaya dan menerima kedatangan kembali Belanda di Sulawesi Selatan. La Patau tidak goyah dari pendiriannya, dan menyatakan bahwa itu adalah merupakan suatu penghinaan pada dirinya. Pada 16 Juli 1824 Belanda mendaratkan pasukannya di Sudin, sebuah tempat antara Kampung Ance dan Kampung Nyingo yang menurut perkiraan Belanda bahwa tempat itu kurang mendapat perhatian Kerajaan Tanete sehingga pertahanannya agak lemah (Poesponegoro,dkk., 1990:221). Akhirnya menjelang malam pasukan ekspedisi menembakkan meriam ke pusat pemerintahan Tanete, perang pun mulai berkobar (Gising, 2002:145-146). Pada 16 Juli 1824 angkatan laut Belanda mulai memuntahkan pelurunya terhadap benteng Tanete yang terletak di pinggir pantai. Pasukan Tanete membalas pula serangan Belanda dari benteng Pancana. Tanete mempertahankan diri dengan perlawanan yang seru. Kedua belah pihak menderita kerugian yang tidak sedikit, di pihak Belanda gugur Letnan Burger dan beberapa orang prajurit lainnya. Ekspedisi yang dilancarkan pihak Pemerintah Hindia Belanda ini berhasil mendesak pasukan Tanete pimpinan La Patau. Banyak korban yang jatuh sehingga La Patau memutuskan mengundurkan diri ke daerah pegunungan. Sebelum mengungsi, beliau sempat mengirim utusan untuk menemui saudara perempuannya yang bernama Daeng Tanisanga agar mengambil
Rumpa’na Bone Mammulangnge ... 6\DKULU.LOD
alih pemerintahan serta melakukan perundingan dengan pihak Pemerintah Belanda di Makassar untuk menghindari jatuhnya korban yang lebih banyak (Asba, 2011:113). Selain itu, beliau juga mengharapkan agar mengangkat Kadi Pancana, Daeng Masabbi menjadi Kadi Tanete untuk melakukan perundingan, dan mengangkat pula Pabbicara Daeng PaliE sebagai pendampingnya. Setelah semuanya terlaksana, diumumkanlah kepada masyarakat tentang penyerahan tahta. Setelah itu, La Patau lebih memilih memihak kepada raja Bone berperang melawan pasukan Belanda. Pesan La Patau itu, dilaksanakan oleh adiknya yang telah menduduki tahta Kerajaan Tanete. Ia melakukan pertemuan dengan Belanda pada 19 Juli 1824 yang didampingi oleh Kadi Tanete yang bernama Daeng Masabbi. Setelah pertemuan itu, Belanda kembali ke Makassar dan sempat menaklukkan daerah-daerah yang dilewatinya seperti; Sigeri, Labbakkang, Pangkajene dan Maros (Amir, 2014a:135). Setelah kurang lebih dua minggu Belanda kembali ke Makassar, ratu Tanete berangkat ke Makassar untuk menandatangani Pembaharuan Perjanjian Bungaya pada 7 Agustus 1824. Tetapi kurang lebih sebulan kemudian atau tepatrnya pada September 1824, La Patau bersama pasukan Bone kembali ke Tanete untuk melakukan penyerangan. Ratu Tanete yang saudaranya sendiri menyingkir ke Makassar untuk meminta perlindungan dari pemerintah Belanda. Dengan demikian, Tanete sebenarnya tidak lama dikuasai oleh Belanda. Beberapa tahun kemudian, Belanda kembali menyerang Tanete dan berhasil dikuasai pada 31 Mei 1825 (Arsip, 1854:185-186). Setelah mengobrak abrik pertahanan pasukan Tanete, pada 5 Agustus 1824, pasukan Belanda melakukan pula penyerangan ke Kerajaan Suppa. Maksud penyerangan itu juga dimaksudkan untuk sok terapi bagi Kerajaan Bone. Untuk itu, Belanda melakukan pendaratan dengan kekuatan besar yang terdiri atas angkatan laut di bawah pimpinan Letkol Terzee Buys, membawahi empat buah kapal kecil, dua buah kapal meriam, dan pasukan darat di bawah pimpinan Letkol Reeder, yang terdiri atas
pasukan infantri dibantu oleh pasukan Barru yang memakai kapalnya sendiri, serta ditambah pasukan darat Sidenreng menyerang Kerajaan Suppa. Untuk menghadapi pasukan Belanda, Suppa mempersiapkan 400 pasukan infantri dan 300 pasukan berkuda, serta bantuan dari Sawitto, Rappang dan Alitta (Abduh, dkk., 1985:67-68). Pada 13 Agustus 1824, tiba di depan Suppa dan keesokan harinya 14 Agustus 1824 Suppa diserang sehingga terjadi pertempuran sengit. Pasukan ini dipimpin oleh Letnan Bauff dengan 30 orang anggota bawahannya terjebak dan mendapat serangan dengan tiba-tiba dari pasukan Suppa yang sedang menunggu. Pasukan Belanda terpaksa bertahan sambil berusaha mengudurkan diri dan meninggalkan korbannya. Di samping itu, Belanda juga berusaha menghubungi Sultan Adam agar menyerah saja, namun usaha Belanda ini pun sia-sia karena beliau tetap bertekad untuk meneruskan peperangan melawan Belanda (Steurs,1854:383). Pada 19 Agustus 1824, pos pertahanan Suppa di sebelah timur diduduki oleh Belanda (Arsip, 1854:178). Antara 20 Agustus 1824, dan 23 Agustus 1824, Sidenreng datang membantu Belanda menyerang Suppa (Lontarak Akkarungeng Sawitto: 22; Lontarak Akkarungeng 6XSSD41-46). Kekuatan pasukan Belanda makin bertambah dengan datangnya bantuan sebuah kapal perang dari Makassar membawa 110 orang serdadu infantri dengan persenjataan 10 meriam ukuran besar dan kecil untuk memperkuat pasukan Belanda dalam melawan Suppa. Usaha Belanda untuk menutup Suppa dari sebelah utara dilakukan pada 27 Agustus 1824 oleh pasukan gabungan Sidenreng (Latif, 2012:223) dengan kekuatan 2000 orang dan 70 orang serdadu Belanda. Sebagian pasukan Belanda mengadakan serangan dari selatan dan sebagian lagi menembaki dari laut. Namun usaha untuk melumpuhkan Kerajaan Suppa belum berhasil dilakukan oleh Belanda meskipun mendapat bantuan dari beberapa sekutu lokalnya. Menurut Amir (2014b:44) bahwa awal September 1824, Belanda menarik pasukannya kembali ke Makassar.
259
WALASUJI Volume 6, No. 2, Desember 2015: 253—265 Serangan Terhadap Kerajaan Bone Meskipun Belanda gagal menaklukkan sekutu Bone di bagian utara yaitu Suppa, namun ia tetap melanjutkan usahanya untuk menaklukkan Bone. Selain berusaha merebut kembali daerahdaerah yang dikuasai Bone di bagian utara Makassar, seperti Maros untuk membuka akses ke Bone dari arah barat, juga menyisir ke bagian selatan sebagai pintu masuk ke Kerajaan Bone. Serangan Belanda itu diarahkan kepada wilayah di bagian selatan seperti; Bantaeng, Bulukumba serta Sinjai yang merupakan pintu masuk ke Kerajaan Bone. Hal ini dimaksudkan agar Kerajaan Bone mau merubah sikapnya dan bekerjasama dengan Belanda di Sulawesi Selatan. Ketika itu, Kerajaan Bone diperintah oleh seorang raja perempuan yang bernama We Maniratu Arung Data yang dilahirkan pada 14 Oktober 1776 dari Raja Bone La Tenritappu To Appaliweng (Lamallongeng dan Jamaluddin, 2012:4; Lontarak Bone: 154-155). Sesungguhnya sikap Kerajaan Bone tidak akan pernah berubah meski kerajaan sekutu telah diberi pelajaran. Itulah sebabnya Belanda kemudian mempersiapkan suatu pasukan dalam jumlah besar di bawah pimpinan Mayor Jenderal van Geen untuk menyerang Kerajaan Bone yang dianggap melawan kehendak Pemerintah Belanda di Sulawesi Selatan. Pengerahan kekuatan secara bersar-besaran (Agresi I 1824-1825) berjumlah 1300 orang serdadu Belanda, 900 orang pribumi (dinas). Korps bantuan dari Panembahan Sumenep terdiri atas satu batalion prajurit tombak dan satu satuan pemanah berjumlah 60 orang. Pasukan Kerajaan Gowa sebanyak 3200 orang,Bantaeng sebanyak 200 orang, Galesong sebanyak 1200 orang, danBinamu serta Bangkala 1500 orang. Jumlah pasukan seluruhnya adalah 7900 orang. Pasukan bantuan dari sekutu Belanda di Sulawesi Selatan ini hanya sebagian yang mempergunakan senjata atau senapan (Mappangara, 2004:116). Kekuatan Angkatan Laut Belanda yang dikerahkan ke Teluk Bone, terdiri atas delapan buah kapal perang dan tiga buah kapal meriam, juga kapal-kapal pengangkut pasukan dan perbekalan dari Sumenep. Beberapa puluh buah kapal partikelir yang disewa, bersama 80 buah bark dan perahu-perahu layar pengangkut pasukan 260
bumiputra, semuanya termasuk dalam satuan Agresi Militer I Belanda untuk menaklukkan Bone yang menyatakan diri sebagai kerajaan atau negara merdeka dan berdaulat di Sulawesi Selatan. Selain itu, pasukan infantri reguler dari Jawa sebagai kekuatan utama berangsur-angsur datang dari Jawa. Pada akhir Januari 1825, semua persiapan perang dinyatakan siap untuk melakukan misinya (Mattulada, 1998:341). Pada 5 Februari 1825, Belanda mengirimkan pasukannya ke daerah selatan di bawah pimpinan Letnan Kolonel Roeder, dan pada 28 Februari 1825, ekspedisi Belanda yang disertai pasukan Kerajaan Gowa berangkat meninggalkan Makassar menuju Bantaeng dan Bulukumba yang selanjutnya menyerang Sinjai dan Kajang. Pada 10 Maret 1825, pasukan Mayor Le Bron bersama Karaeng Bantaeng (I Bagala) memasuki wilayah kekuasaan Kajang. Karaeng Kajang I Daeng Pahakkang, tidak melakukan perlawanan dan memilih jalan damai dengan syarat pasukan pemerintah Belanda tidak mengganggu rakyat Kajang. Begitu juga dengan rumah-rumah dan kebun-kebun rakyat tidak dirusak dan dibakar (Amiruddin, 1995:122). Pada 25 Februari 1825 Mayor Le Bron de Vaxela menerima perintah untuk menyerang dari belakang dengan satu kesatuan pribumi yang dibantu oleh satu kompi tentara Eropa melalui Batu Balu dan Kassi, terhadap orang-orang Bore yang bertahan dalam jarak tertentu di Bulukumba. Sementara itu, Mayor Jenderal van Geen akan bekerjasama dan melakukan penyerangan dari sisi laut. Di pihak lain, Mayor Le Bron de Vaxela berhasil merebut empat benteng didekat Kassi setelah terjadi pertempuran singkat. Dengan demikian, pasukan Belanda dengan mudah dapat masuk ke dalam wilayah Bulukumba, sementara orang-orang Bone segera menarik diri. Setelah itu, mereka melanjutkan perjalanan menuju ke Bone, dan memilih Sungai Sinjai sebagai tempat pendaratan pertama, panglima beserta kekuatan induknya berangkat dengan kapal ke sana. Sementara Mayor Le Bron de Vaxela sekali lagi akan menempuh perjalanan lewat darat bersama kesatuan pribumi dan memilih melalui Kassi menuju laut. Pada 6 Maret 1825, panglima
Rumpa’na Bone Mammulangnge ... 6\DKULU.LOD
tersebut berangkat untuk mencapai tujuan operasi di Bulukumba. Perjalanan ini sangat sulit, bukan karena takut sama musuh yang hampir selalu muncul setiap saat di beberapa tempat, melainkan karena jalan yang tidak rata dan sungai yang bergelombang tinggi. Hal itu menghambat laju perjalanan Mayor Le Bron de Vaxela untuk muncul tepat waktu di Sinjai sesuai waktu yang ditetapkan. Pada 13 Maret 1825 barulah mereka dapat mendarat dan keesokan paginya ia baru mencapai muara Sungai Sinjai (Arsip, 1854:138). Mereka segera mempercepat pendaratan di mana orang-orang Bone telah berkumpul dengan suatu kekuatan besar, namun pasukan Belanda dapat dipukul mundur sebelum peralatan arteleri yang diperlukan dibongkar. Pasukan Pemerintah Hindia Belanda meninggalkan Sinjai pada 23 Maret 1825 menuju Bone dan tiba di sana pada keesokan harinya (Bahtiar,dkk., 2014:123). Dalam Agresi Militer ini pasukan Belanda dibantu oleh Raja Gowa I Mappatunru Karaeng Lembangparang Tumenanga ri Katangka. Pasukan van Geen yang tiba di pelabuhan Bajoe pada 24 Maret 1825, tidak segera melakukan perlawanan. Rintangan medan yang sangat berat, setidaknya mengurungkan niatnya untuk sementara. Pasukan Belanda menduga bahwa medan pertempuran untuk daerah Bone tentu lebih sulit jika dibandingkan dengan apa yang telah dihadapi di Sinjai. Oleh karena itu diadakanlah pengintaian untuk mengetahui keadaan medan pertempuran yang sebenarnya. Van Rijneveld ditugaskan untuk melakukan tugas tersebut yang kemudian hasilnya dilaporkan bahwa benteng-benteng yang ada di sepanjang pantai tidak menjadi masalah. Benteng-benteng yang ada diibaratkan hanya sebagai kubangan kerbau semata-mata (Poelinggomang, dkk.,2005a:228). Ketika itu penyakit mulai berjangkit di kalangan pasukan Belanda dan penyebarannya sangat cepat sehingga operasi militer harus cepat dilaksanakan. Oleh karena itu, pimpinan pasukan Belanda segera memerintahkan agar pasukan segera bergerak menuju BajoE, kota dagang utama orang-orang Bone yang dipertahankan dengan benteng-benteng yang sangat baik. Dalam sumber lain disebutkan bahwa pada 23 Maret
1825, panglima bersama pasukan induk berangkat kembali ke Bone, dan Mayor Le Bron de Vaxela bersama pasukan pribuminya dikirim lewat darat. Tetapi kini dia juga ditipu oleh pemandunya sehingga ia terlambat mengadakan serangan dari arah timur. Setelah armada itu berlabuh di depan BajoE, orang-orang Belanda mengadakan pemantauan seadanya di mana Mayor Gey dan Mayor Jenderal van Geen yang memerintahkan agar berdiri dalam jarak tembak meriam Bone. Pada 27 Maret 1825 mulai melakukan pendaratan dengan beberapa rakit di tempat yang dilindungi oleh serangan pendahuluan. Pasukan yang baru tiba segera bergabung bersama panglimanya, kendati pun medan agak sulit ditembus oleh kapal laut karena kondisi air yang mulai surut. Suatu serangan tiba-tiba yang dilakukan oleh Belanda yang baru tiba dengan bayonet sehingga orang-orang Bone mengundurkan diri mencari posisi yang strategis untuk mengadakan serangan balik. Baru setelah orang Belanda semuanya mendarat, orang-orang Bone tampaknya mulai menyerang orang-orang Belanda di laut dengan kekuatan yang besar. Namun setelah melihat pasukan Belanda bergerak mendekatinya dan sekaligus melepaskan tembakan dari sekelompok pasukan marinir yang ditujukan terhadap mereka, orang-orang Bone itu terburu-buru melarikan diri. Setelah itu, pendudukan benteng-benteng pertahanan segera diambil alih oleh Belanda dengan demikian BajoE segera dikuasai (Arsip, 1854:184 dan Mappangara, 2003:84). Walaupun pasukan Bone mempertahankan wilayahnya di sepanjang Teluk Bone sekuat tenaga, karena persenjataan yang tidak seimbang, akhirnya wilayah pantai BajoE dapat direbut dalam waktu satu hari. Dengan jatuhnya benteng pertahanan di sepanjang pantai BajoE, termasuk Pelabuhan BajoE mengakibatkan pasukan Belanda tanpa susah payah dapat memasuki ibu kota Kerajaan Bone tanpa mendapatkan perlawanan yang berarti. Laskar pengawal pantai Bone pada akhirnya mengundurkan diri ke daerah pedalaman setelah mencederai beberapa puluh tentara Belanda. Laskar pantai meninggalkan 60 pucuk meriam dan puluhan senjata bedil, mesiu, dan lain-lain peralatan perang. Dalam
261
WALASUJI Volume 6, No. 2, Desember 2015: 253—265 pertempuran pantai itu, laskar Bone kehilangan sekitar 200 orang anggota yang tewas. Semua peralatan perang yang ditinggalkan itu dirampas oleh tentara Belanda, termasuk puluhan perahu pengangkut. Kubu-kubu pertahanan dan rumahrumah sekitar pelabuhan dibumihanguskan oleh pasukan Belanda. Mayor Jenderal van Geen, bertekad melanjutkan perlawanan untuk menduduki ibu kota Kerajaan Bone. Beberapa hari kemudian, setelah BajoE diduduki, maka Mayor Jenderal van Geen, bersama Raja Gowa I Mappatunru Karaeng Lembang Parang, dikawal oleh pasukan pilihan yang kuat, bergerak dengan penuh kewaspadaan tinggi dari BajoE ke Watampone (Patunru, 1989:249-259). Tekanan berat yang dilancarkan pasukan Belanda menjadikan pasukan Bone terpaksa mundur seiring dengan majunya pasukan Belanda. Untuk melemahkan pasukan Belanda, taktik gerilya merupakan alternatif lain dalam rangka memenangkan pertempuran. Taktik ini sangat mendukung bagi laskar-laskar Bone mengetahui dengan baik medan pertempuran. Pada 29 Maret 1825, raja Bone diungsikan (Bahtiar,dkk., 2014:125). ecara phsikologis telah membangkitkan semangat perlawanan di kalangan rakyat Bone karena raja dianggap sebagai inti kerajaan. Itulah sebabnya sehingga raja Bone tidak ditemukan oleh tentara Belanda karena telah diungsikan oleh para pengawalnya. Sebagai akibatnya, pasukan Belanda yang memimpin agresi ini merasa kecewa karena tidak dapat menangkap Raja Bone We Maniratu Arung Data, Sultan Saleha Rabiatuddin. Segala upaya telah dilakukan untuk mencari tahu keberadaan raja Bone. Dari hasil laporan informannya serta laporan-laporan dari berbagai orang kepercayaannya, diketahui kalau raja Bone bersama Arung Lompu berada di daerah Wajo. Sebagian pembesar Kerajaan Bone dan pasukan pertahanannya berada di daerah pertahanan Passempe, di atas lereng gunung, sebuah bukit pertahanan yang sangat ampuh dan sulit untuk ditembus karena posisinya yang sangat strategis. Sementara pasukan-pasukan sekutu Belanda yang putus asa karena lawan telah melarikan diri, dan nafsu perang yang masih berkobar, sehingga atas
262
persetujuan Mayor Jenderal van Geen, mereka mengadakan pengrusakan-pengrusakan di ibu kota Kerajaan Bone, termasuk membakar rumahrumah penduduk (Mattulada,1998:344-345). Kegagalan untuk menangkap raja Bone dan para SXQJJDZD (panglima) laskar perang Bone, mengakibatkan Belanda kecewa. Karena itu, ditulisnya surat ultimatum kepada raja Bone yang telah diketahui berada di Wajo. Isinya ialah menyerukan kepada raja Bone bersama pembesar-pembesarnya serta para panglima-panglima perang yang menyertainya menyerahkan diri di Watampone. Belanda juga menjanjikan pengampunan apabila seruannya untuk menyerahkan diri dipenuhi. Kurir yang membawa surat itu, tak berhasil menemui raja Bone dan Arung Lompu. Hanya pembesar Bone yang berhasil ditemuinya, yaitu mangkubumi Kerajaan`Bone (Tomarilaleng)dan beberapa orang pembesar lainnya. Para pembesar Bone sama sekali tidak memberi reaksi terhadap ultimatum Belanda itu (Mappangara, 2004:86). $NKLU.RQÀLN Agresi Militer Belanda dianggap gagal sebab dalam serangan besar-besaran yang dilancarkan ini tidak berhasil menangkap Raja Bone We Maniratu Arung Data karena telah diungsikan oleh para pengawalnya.Target sasaran sebenarnya adalah menangkap raja Bone karena beliau dianggap tokoh penting yang telah menjadi pelopor penolakan atas raja-raja di Sulawesi Selatan terhadap kembalinya Belanda untuk melakukan pembaharuan Perjanjian Bungaya. Hal itu dilakukan sebab dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan yang terjadi di daerah ini. Oleh karena itulah pimpinan pasukan Belanda dalam agresi itu merasa kecewa atas kenyataan itu, sehingga Van Geen berusaha untuk mengadakan serangan ke daerah Wajo, tempat diperkirakan raja Bone dan pembesarnya berada. Sementara itu raja Bone tetap diminta oleh Belanda untuk menyerah, Belanda juga mengirimkan perahu ringan di bawah pimpinan Letkol Zoutman bersama 100 orang infantri, juga ikut Kapten Herzens untuk mengejar armada BajoE yang telah melarikan diri. Mereka yang
Rumpa’na Bone Mammulangnge ... 6\DKULU.LOD
dikirim segera menyesuri Sungai Cenrana, tetapi usaha itu tidak berhasil mengejar raja Bone. Bahkan dapat disimpulkan pada kenyataan itu bahwa raja Bone tidak mau menyerahkan diri sehingga harus dikejar sampai di mana pun juga (Arsip, 1854:185). Lebih lanjut dijelaskan bahwa penyerangan ini gagal karena cuaca tidak memungkinkan sebab hujan turun terus menerus menyebabkan air Sungai Cenrana meluap sehingga banjir dan sulit untuk dilewati. Selain itu, wabah penyakit malaria berjangkit dan membawa bencana bagi pasukan Belanda. Pasukan Belanda pimpinan Mayor Jenderal van Geen dianggap gagal dalam agresinya ke Bone sebab tidak dapat menangkap raja Bone dan para pembesarnya. Meski berhasil membumihanguskan Kota Watampone, namun usaha itu tetap dianggap sia-sia. Akhirnya Mayor Jenderal van Geen menarik pasukannya kembali ke Makassar.1Kenyataan itu membuat pimpinan pasukan Belanda murka sehingga sekutusekutunya merasa kecewa, mereka membakar kotaraja rata dengan tanah. Hasil akhir perang ini (Agresi Militer Belanda 1824) ke Bone tidak membawa hasil karena tidak dapat memaksa raja Bone untuk tunduk dan menandatangani pembaharuan Kontrak Bungaya 1824. Raja Bone dan para pembesarnya berhasil mengungsi 1
Tidak menyebutkan dengan detail tentang tanggal pastinya keberangkatan dan kedatangan pasukan ekspedisi ini dari Tana Bone. Hanya disebutkan bahwa dalam keadaan putus asa dan kecewa yang berkecamuk dalam dada kalangan tentara Belanda dan laskar pembantunya, ditambah lagi datangnya berita tentang pecahnya Perang Diponegoro (1825-1830) di Jawa melawan Belanda. Peperangan di Jawa ini memerlukan pengerahan tenaga yang cukup besar sehingga Jenderal van Geen segera diperintahkan kembali ke Jawa dan memutuskan untuk sementara waktu menghentikan kegiatan operasi ekpedisi perangnya di Sulawesi Selatan. Dikatakan bahwa dalam April 1825, Jenderal van Geen bersama armada dan segenap pasukan laskar pembantunya, diperintahkan meninggalkan Tana Bone untuk kembali ke Makassar atau tempat asal pasukan-pasukan pembantu. Untuk waktu itu ekspedisi perang Jenderal van Geen untuk menaklukkan Tana Bone, mengalami kegagalan yang membawa kekecewaan para penguasa Belanda baik di Makassar maupun di Batavia. Kemudian pasukan ekspedisi perang Belanda itu kembali ke Jawa untuk mengambil bahagian dalam peperangan melawan Pangeran Diponegoro 18251830 yang disebut juga Perang Jawa.
ke daerah pedalaman sebelum pasukan Belanda masuk ke ibu kota kerajaan sehingga antara keduanya tidak pernah bertemu. Akhirnya penyerangan terhadap Kerajaan Bone pada Agresi Militer 1824 dianggap gagal total sehingga penyelesaian antara kedua pihak tidak tercapai. Pada waktu yang bersamaan, Pemerintah Belanda di Batavia juga mengalami perang dengan Pangerang Diponegoro (Perang Jawa) 1825-1835, sehingga pasukan yang ada di Sulawesi Selatan juga dibutuhkan karena tenaga yang ada di Batavia kurang memadai. Oleh karena itu, Belanda segera meninggalkan Bone menuju Makassar dalam dua jurusan yaitu satu melalui jalur darat lewat Maros dan satu lagi melalui jalur laut. Mereka tiba di Makassar pada 22 April 1825 setelah mengalami perjalanan kurang lebih 24 hari (Poelinggomang,dkk., 2005a:230). Kegagalan agresi ini sehingga menyebabkan tidak adanya penyelesaian yang menghasilkan keputusan politik. Belanda tidak berhasil memaksakan kehendaknya agar Bone dapat mematuhi isi dari Perjanjian Bungaya yang sudah diperbaharui pada 1825. Karena kegagalan ini pula menyebabkan hubungan Belanda dan Kerajaan Bone semakin renggang. Sepeninggal pasukan Belanda dan sekutunya, raja Bone beserta pembesarnya kembali ke Watampone.2 Pada 22 April 1824 pasukan Belanda bersama sekutunya tiba di Makassar (Bahtiar,dkk,. 2014:130). Setelah Belanda meninggalkan Kerajaan Bone, raja beserta seluruh pembesar kerajaan segera membangun kembali kerajaannya. Tetapi hal ini sudah terlambat sebab di dalam tubuh NHUDMDDQPXQFXONRQÀLNGLDQWDUDSDUDEDQJVDZDQ terkait sikap mereka terhadap Belanda. Kedua kelompok ini berbeda pandangan dan sikap, satu menginginkan kerjasama dengan Belanda dan satu lagi tetap menolak kerjasama. Kelompok yang menolak kerjasama dipimpin oleh raja Bone dan Arung Lompu serta sebagian pembesar 2 Sebagian sejarawan menganggap bahwa Agresi Militer Belanda 1824 ke Bone, dianggap gagal sebab tidak bisa menyelesaikan persengketaan antara kedua pihak. Tidak adanya penyelesaian sengketa tersebut sebab pada waktu yang bersamaan terjadi pula Perang Jawa (Perang Diponegoro 1825-1830) yang melibatkan Pemerintah Hindia Belanda sehingga harus menarik semua pasukannya yang berada di luar Jawa untuk peperangan tersebut.
263
WALASUJI Volume 6, No. 2, Desember 2015: 253—265 dan SXQJJDZD sedang kelompok yang mau kerjasama dipimpin oleh Tomarilaleng Arung Sinri. Pandangan kelompok kedua ini menganggap bahwa Kerajaan Bone pasti hancur kalau tidak mau bekerjasama dengan Belanda. Itulah sebabnya sehingga Arung Sinre meninggalkan Bone dan pergi menetap di Makassar karena merasa gagal untuk mempengaruhi raja Bone I Benni Arung Data agar mau bekerjasama dengan Belanda. PENUTUP Hubungan baik yang terjadi antara Bone dan Belanda terjalin akrab ketika Arung Palakka mulai membina persahabatan dengan Speelman atas nama pemerintah Belanda di Batavia. Hubungan baik itu berlangsung hingga pasca Perjanjian Bungaya yang diwujudkan oleh Belanda dengan memberikan kewenangan dalam bentuk hak prerogatif terhadap Arung Palakka yang berlangsung sampai beliau meninggal dunia. Itulah sebabnya Kerajaan Bone selalu menolak kebijakan yang akan diberlakukan Belanda di Bone sebab dianggap menyalahi aturan-aturan yang telah disepakati oleh Arung Palakka dengan Speelman atas nama Pemerintah Belanda. Aturan itu, terutama menyangkut hak prerogatif sebagai sekutu utama yang setara dan ketua raja-raja di Sulawesi Selatan. Hak-hak itu juga yang selalu dituntut oleh raja Bone pasca kematian Arung Palakka, namun rupanya penguasa Belanda pasca pemerintahan Speelman, banyak yang dirubah terutama menyangkut hak-hak istimewa yang telah diberikan terhadap Arung Palakka oleh Speelman (Belanda), dianggap tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman sehingga harus dilupakan atau diabaikan.Namun sebaliknya pihak Kerajaan Bone tetap harus mempertahankan dan menuntut hak-hak itu meskipun Arung Palakka telah tiada. Bahkan Kerajaan Bone dengan tegas menyatakan bahwa Perjanjian Bungaya tidak berlaku lagi. Akibat ketidaksepahaman antara Kerajaan Bone dengan pemerintah Belanda di Sulawesi Selatan, sehingga Kerajaan Bone harus ditundukkan melalui perang. Sebelum Kerajaan Bone diserang, terlebih dahulu kerajaan-kerajaan sekutunya, yaitu Kerajaan Tanete dan Kerajaan 264
Suppa harus terlebih dahulu diserang dengan tujuan agar Kerajaan Bone mau menerima dan bekerjasama dengan pihak pemerintah Belanda di Sulawesi Selatan. Tetapi harapan itu tidak menyurutkan prinsip Kerajaan Bone untuk tetap tidak mau bekerjasama dengan Belanda. Bukan hanya itu, sejumlah wilayah yang berada di bagian selatan yaitu, Bantaeng, Kajang, Bulukumba dan Sinjai harus juga diserang sebab wilayah-wilayah itu adalah merupakan pintu utama memasuki Kerajaan Bone dari dua arah yaitu laut dan darat. Setelah wilayah-wilayah tersebut diserang dan sebagian dikuasai, kini terbuka lebar pintu masuk ke Kerajaan Bone. Dalam penyerangan Kerajaan Bone oleh Belanda bersama sekutunya, pihak Kerajaan Bone melakukan perlawanan sengit meskipun pada akhirnya Kota Watampone berhasil dibumihanguskan.Meskipun telah dihancurkan oleh Belanda bersama sekutunya, namun hasil akhir dari penyerangan itu, tidak diakhiri dengan suatu penyelesaian politik yang baik sebab raja Bone dan pembesar-pembesarnya berhasil melarikan diri ke daerah pedalaman. Akhirnya Belanda meninggalkan Bone menuju Makassar tanpa bertemu dengan raja Bone. Apalagi pada waktu yang bersamaan, terjadi Perang Jawa atau Perang Diponegoro sehingga semua kekuatan yang berada di luar Jawa, terutama di Sulawesi Selatan ditarik kembali ke Batavia untuk memperkuat tenaga yang ada di sana. DAFTAR PUSTAKA Abduh, Muhammad,dkk. 1985. 6HMDUDK 3HUODZDQDQ 7HUKDGDS ,PSHULDOLVPH GDQ .RORQLDOLVPHGL6XODZHVL6HODWDQ Jakarta: Depdikbud, IDSN. Amiruddin. 1995. 0HQHOXVXUL 3HUMXDQJDQ , 0DQQHQJ $UXQJ 'DWD 5DMD %RQH .H 6HEDJDL 3DKODZDQ 7DQDK $LU Ujung Pandang: BPSNT. Amir, Muhammad,dkk. 2012. .RQIOLN GDQ 3HUXEDKDQ6RVLDOMakassar: De la macca. Amir, Muhammad. 2014a. “Konflik Tanete dengan Belanda di Sulawesi Selatan 1824” dalam Jnana Budaya, Jurnal Ilmiah untuk Informasi sejarah, Sosial, dan Budaya,
Rumpa’na Bone Mammulangnge ... 6\DKULU.LOD
Volume 19, Nomor 2, Agustus 2014. Amir, Muhammad. 2014b. “Perlawanan Suppa Terhadap Ekspedisi Militer Belanda 1824”, dalam :DODVXML Jurnal Ilmiah Sejarah dan Budaya, Volume 5, Nomor 1 Juni 2014. Arsip. 1854. Bijdragen Tot De Geschiedenis van Celebes, dalam: 7LMGVFKULIW 9RRU Nederlandsh-Indie (TNI), Jilid II, 1854. Asba, A.Rasyid. 2010.*HUDNDQ6RVLDOGL7DQDK %XJLV 5DMD 7DQHWH La Patau Menentang Belanda. Jokyakarta: Ombak. Bahtiar,dkk., 2014. :H 0DQLUDWX $UXQJ 'DWD 6ULNDQGL 'DODP 3HUMXDQJDQ 0HODZDQ Belanda.0DNDVVDU3XVWDND5HÀHNVL Gising, Basrah. 2002. 6HMDUDK .HUDMDDQ Tanete(terjemahan Lontarak Tanete). Makassar: Samajaya. Lamallongeng, Asmat Riady dan Jamaluddin. 2007.&DWDWDQ +DULDQ 5DMD5DMD %RQH Makassar: De La Macca. Latif, Abd. 2012. “Konfederasi Ajatappareng 1812-1906; Sejarah Sosiopolitik Orang Bugis di Sulawesi Selatan”. Desertasi Fakulti Sains Sosial dan Kemanusiaan, Bangi, Malaysia. Lontarak Akkarungeng Bone. Koleksi Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan dan Tenggara. Lontarak Akkarungeng Suppa. Koleksi Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan dan Tenggara. Lontarak Akkarungeng Sawitto. Koleksi Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan dan Tenggara.
Mattulada. 1998 6HMDUDK 0DV\DUDNDW GDQ .HEXGD\DDQ6XODZHVL6HODWDQ. Makassar: :Hasanuddin University Press. Mappangara, Suriadi.2003.HUDMDDQ%RQHGDODP 6HMDUDK 3ROLWLN 6XODZHVL 6HODWDQ $EDG XIX. Makassar: Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Sulawesi Selatan. Patuntu, Abd. Razak, Daeng. 1969. 6HMDUDK*RZD. Ujung Pandang: Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan dan Tenggara. Patunru, Abd. Razak, Daeng. 1989.6HMDUDK%RQH. Ujung Pandang: Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan dan Tenggara. Poelinggomang, Edward ,L.dkk. 2005a, 6HMDUDK 6XODZHVL6HODWDQ-LOLG,GDQ,,Makassar : Badan Penelitian dan Pengembangan Daerah (Balitbangda). Poelinggomang, Edward, L.2005b. “Sejarah Tanete”. Barru: Pemerintah Kabupaten Barru. Qahhar, Abdul. 2010. $UXQJ 3DODNND 'DWX Tungke’na Tana Ugie. Sungguminasa: Yayasan Al’Muallim. Poesponegoro, dkk. 1990. 6HMDUDK 1DVLRQDO Indonesia Jilid IV. Jakarta: Balai Pustaka. Sagimun,M.D. 1986. 6XOWDQ +DVDQXGGLQ Menentang VOC. Jakarta: Depdikbud. Steurs,H.van de. 1854. De Expeditie Tegen Tanette en Soepa in 1824, dalam 7LMGVFKULIW voor Nederlandsch Indie (TNI), Vol.59.
265