RUANG KAJIAN
POLA REKRUTMEN PARTAI POLITIK DALAM MENGIMPLEMENTASIKAN UNDANG-UNDANG PEMILU PASAL 65 AYAT 1 MENGENAI KETERWAKILAN PEREMPUAN 30% (Studi Kasus di Kota Bekasi) Nuraina & Aos Kuswandi Abstract This research talks about how the politic party implements the regulation about 30% women recruitments to be candidates in legislative institution at DPRD Kota Bekasi. This regulation is the first after a new era of democratization leader in Indonesia which talk about women participation in politic. Before era reformation it didn’t give access for women who want to participation in politic. After that, democration give opportunity for women to participation politic with legalization of regulation general election number 12 pasal 65 points 1. All parties had implementation this regulation which enroll some women to be candidate in legislative but these was not enough for making affirmative action in legislative representation for women because there were no significance in result. After election legislative member only have fewer than 30% for women representation. We have assumption that some of parties were not concern to make good implementation for making in their process to recruitments women for candidate in legislative. Kata Kunci: Rekrutmen Partai Politik, UU Pemilu, Gender
Pendahuluan Salah satu rancangan undangundang yang krusial dan telah disahkan oleh DPR adalah diterimanya kuota perempuan 30% untuk calon legislatif yang disebutkan dalam Undang-undang Pemilu No. 12 Tahun 2003 pasal 65 ayat 1 sebagai berikut: “Setiap partai politik peserta pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR, DPRD Propinsi, dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap Daerah Pemilihan dengan memper-
hatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30% ”. Undangundang tersebut lahir karena masih adanya bias jender tingkat legislatif. Kondisi yang lebih mengkhawatirkan terjadi justru ketika Undang-undang Pemilu No. 12 pasal 65 ayat 1 telah ditetapkan, pada kasus penelitian ini terlihat bahwa kondisi keterwakilan perempuan di DPRD Kota Bekasi belum mendapatkan jumlah yang signifikan dengan upaya affirmative action, dimana jumlah perempuan cenderung
lebih minoritas dibandingkan hasil pemilu 1999. Berikut gambaran keterwakilan perempuan pada DPRD Kota Bekasi hasil Pemilu 2004:
perempuan sebagai subyek bukan obyek di dalam pemilu. Pada pelaksanaan penelitian ini, peneliti menggunakan studi kasus di Kota Bekasi.
TABEL 1. Perbandingan Tingkat Keterwakilan Berdasarkan Agregasi Gender di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Tingkat II Kota Bekasi Hasil Pemilu 2004 NO
Nama Parpol
1 2 3 4 5 6 8 9 10
PKS PDIP P.GOLKAR P. DEMOKRAT PAN PDS PPP PBB TOTAL
Jumlah Anggota Perempuan 1 1 3 0 0 0 0 0 5
Persen (%) 9% 16,7% 33,3% 0% 0% 0% 0% 0% 11%
Jumlah anggota lakilaki 10 5 6 7 6 1 4 1 40
Persen (%) 91% 83,3% 66,7% 100% 100% 100% 100% 100% 89%
Sumber: Daftar nama calon anggota DPRD Kota Bekasi hasil Pemilu 2004 dari KPUD Kota Bekasi 2004
Berdasarkan kondisi tersebut di atas tampaknya peran partai sebagai peserta pemilulah yang seharusnya mampu memberi peluang kepada perempuan untuk ikut serta di dalam proses perekrutan (rekrutmen politik). Selain itu partai hendaknya menjadi wadah sosialisasi mengenai isu-isu jender di dalam politik atau kebijakannya ketika mereka melakukan kampanye kepada masyarakat terutama perempuan mengingat selama Orde Baru atau pelaksanaan pemilu tahun 1999 lalu belum memunculkan isu-isu jender di dalam kampanye partai. Partai yang juga merupakan bagian dari sarana pendidikan politik seharusnya dapat mengubah budaya politik yang masih bias jender dan menempatkan
Bahan dan Cara Kerja Penelitian ini hanya menggunakan satu variabel dengan menggunakan metode deskriptif analisis. Metode ini biasa dilakukan untuk penelitian yang menggunakan analisis kualitatif karena berisikan pemaparan yang menggambarkan suatu obyek penelitian. Sampel ditentukan berdasarkan partai-partai pemenang pemilu pada tahun 2004 di Kota Bekasi. Berdasarkan data di atas maka responden yang akan diwawancara ditentukan sebagai berikut: Pengurus aktif di dalam keanggotaan partai atau calon jadi anggota legislatif dari setiap partai masing-masing terdiri dari 1 orang perempuan; ketua atau 38
Jurnal Madani Edisi I/Mei 2005
anggota KPU yang bertanggung jawab atas pencalonan anggota DPRD Kota Bekasi, 1 orang; akademisi atau pengamat politik dan masalah perempuan 1 orang; masyarakat yang concern pada masalah tersebut terutama mengenai isu keterwakilan perempuan yang diwakili oleh pengurus Kaukus Perempuan Politik Indonesia (KPPI) Kota Bekasi, 1 orang. Untuk akurasi data dalam penelitian ini disiapkan instrumen penelitian berupa pedoman wawancara yang terdiri dari sejumlah pertanyaan terbuka dengan variabel utama ‘Implementsi UU No. 12 Tahun 2003 Pasal 65 Ayat 1’ yang akan di analisis berdasarkan sub-variable pola rekrutmen yang dilakukan oleh partai politik di dalam memenuhi undang-undang tersebut serta variabel tingkat pelembagaan partai politik tersebut di dalam membuat kebijakan.
Apabila kita rata-ratakan, keterwakilan perempuan pada lembaga pemerintah masih di bawah 5% dibandingkan dengan laki-laki. Ini satu kondisi yang sangat timpang, padahal kenyataan menunjukkan bahwa lebih dari setengah total jumlah penduduk di Indonesia adalah perempuan sementara wakil-wakil perempuan pada lembaga pemerintah masih kurang dari 5%. Jelas ini mengabaikan perempuan Indonesia dalam pembuatan keputusan politik. Sama artinya dengan meminggirkan mayoritas penduduk Indonesia dari proses politik. Selama puluhan tahun lembaga-lembaga politik di Indonesia beranggotakan sebagian besar lakilaki dan menghasilkan keputusankeputusan yang tidak berperspektif perempuan. Sedangkan dalam jumlah yang sedikit, suara perempuan tidak akan memiliki kesempatan untuk membawa perubahan yang berarti dalam proses pengambilan keputusan politik. Kondisi ketidaksetaraan jender terjadi juga pada daerah kabupaten /kota dimana perwakilan politik perempuan masih juga sedikit dibandingkan dengan laki -laki. Hal tersebut dapat dilihat pada data di Tabel 2 berikut.
Hasil dan Pembahasan Menurut sensus yang dilaksanakan Biro Pusat Statistik (BPS) tahun 2000, jumlah perempuan di Indonesia adalah 101.625.816 jiwa atau 51% dari seluruh populasi atau lebih banyak dari total jumlah penduduk di ketiga negara yaitu Malaysia, Singapura dan Filipina. Namun demikian, jumlah yang besar tersebut tidak tampak dalam jumlah keterwakilan perempuan di lembaga lembaga pembuat/pengambil keputusan politik di Indonesia. Secara objektif keterwakilan perempuan pada lembaga-lembaga negara dan pemerintahan masih sangat sedikit bila dibandingkan dengan jumlah wakil dari laki-laki. 39
Jurnal Madani Edisi I/Mei 2005
TABEL 2. Perbandingan Tingkat Keterw akilan Berdasarkan Agregasi Jender di Dew an Perw akilan Rakyat Daerah (DPRD) Tingkat II Kota Bekasi Hasil Pemilu 1999 NO
Nam a Parpol
1 2 3 4 5 6 7 8 9
PDIP PAN P.GOLKAR PPP TNI/POLRI PK PBB PKB PKP TO TAL
Jumlah Anggota Perem puan 4 0 2 0 1 0 0 0 0 7
Persen (% ) 30,7 0 28,5 0 20 0 0 0 0 15,6%
Jumlah anggota Laki-laki 9 8 5 5 4 2 2 2 1 38
Persen (% ) 69,3 100 71,4 100 80 100 100 100 100 84,4%
Sum ber: Daftar fraksi DPRD Kota Bekasi periode 1999-2004
Tampilan Tabel 2 menunjukkan ketimpangan keterwakilan politik perempuan di DPRD Kota Bekasi. Kondisi yang lebih mengkhawatirkan
ditetapkan kondisi keterwakilan perempuan di DPRD Kota Bekasi belum mendapatkan jumlah yang signifikan dengan upaya affirmative
TABEL 3. Perbandingan Tingkat Keterwakilan Berdasarkan Agregasi Jender di Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Tingkat II Kota Bekasi Hasil Pemilu 2004 NO 1 2 3 4 5 6 8 9
Nama Parpol PKS PDIP P.GOLKAR P. DEMOKRAT PAN PDS PPP PBB TOTAL
Jumlah Anggota Perempuan 1 1 3 0 0 0 0 0 5
Persen (%) 9% 16,7% 33,3% 0% 0% 0% 0% 0% 11%
Jumlah anggota laki-laki 10 5 6 7 6 1 4 1 40
Persen (%) 91% 83,3% 66,7% 100% 100% 100% 100% 100% 89%
Sumber: KPUD Kota Bekasi 2004
terjadi justru ketika Undang-undang Pemilu No. 12 pasal 65 ayat 1 telah
action, dimana jumlah perempuan cenderung lebih minoritas 40
Jurnal Madani Edisi I/Mei 2005
pemilihan” (Lihat UU Pemilu No.12). Kemudian pada ayat 3 lebih diperinci lagi bahwa: “Pengajuan anggota DPR, DPRD Propinsi dan DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dilakukan dengan ketentuan: a. calon anggota DPR disampaikan kepada KPU, b. calon anggota DPRD propinsi disampaikan kepada KPU propinsi yang bersangkutan dan, c. calon anggota DPRD Kabupaten/Kota disampaikan kepada KPU Kabupaten/Kota yang bersangkutan”. Sedangkan pada UU Partai Politik No.31 Tahun 2003 mengenai ‘Kepengurusan’ Partai Politik menjelaskan bahwa: “Kepengurusan partai politik di setiap tingkatan dipilih secara demokratis melalui forum musyawarah partai politik sesuai dengan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender”. Hal ini juga dijelaskan dalam undang-undang bahwa kesetaraan dan keadilan jender dicapai melalui peningkatan jumlah perempuan secara signifikan dalam kepengurusan partai politik di setiap tingkatan. Pada pelaksanaan pemilu tahun 2004 ditemukan bahwa setiap partai politik telah berupaya mengimplementasikan undang-undang tersebut dengan merekrut calon anggota perempuan untuk dijadikan calon legislatif. Untuk merealisasikan kebijakan tersebut, maka partai politik dituntut untuk membuat kebijakan dan strategi agar kuota perempuan pad a pencalonan anggota legislatif dapat terpenuhi. Bagi partai politik yang besar dan relatif stabil seperti GOLKAR, PPP, PKB dan PDIP hal tersebut tidak menjadi masalah.
dibandingkan hasil pemilu 1999. Tabel 3 menunjukkan gambaran keterwakilan perempuan pada DPRD Kota Bekasi hasil Pemilu 2004 Berdasarkan tampilan data pada Tabel 3 di atas jelas bahwa meskipun Undang-undang Pemilu No. 12 pasal 65 ayat 1 sudah ditetapkan, namun belum cukup untuk menjamin keterwakilan perempuan. Banyak faktor yang menyebabkan adanya ketimpangan jender tersebut seperti kelemahan partai politik merekrut wakil-wakil calon anggota legislatif di DPRD. Ramlan Surbakti menyebutnya sebagai lemahnya proses pelembagaan yang dilakukan oleh partai politik. Nampaknya hal ini sangat dimungkinkan sebagai faktor penyebab, karena mayoritas partai politik peserta pemilu tahun 2004 masih belum punya pola yang melembaga dan belum dilaksanakan secara konsisten dalam menjaring sejumlah calon anggota legislatif. Pola rekrutmen partai politik untuk perwakilan perempuan di legislatif didasari dengan Undangundang Pemilu No.12 Tahun 2003 yang dijelaskan pada pasal 65 ayat 1 bahwa: “Setiap partai politik peserta pemilu dapat mengajukan calon anggota DPR, DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten/Kota untuk setiap Daerah Pemilihan dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%”. Sedangkan proses rekrutmen politik untuk dijadikan calon legislatif yaitu dijelaskan pada pasal 65 ayat 2 Undang-undang Pemilu No. 12 bahwa: “Setiap partai politik peserta pemilu dapat mengajukan calon sebanyak-banyaknya 120% (seratus dua puluh persen) jumlah kursi yang ditetapkan pada setiap daerah 41
Jurnal Madani Edisi I/Mei 2005
Secara kuantitatif pada partai ini relatif banyak kader perempuan. Tidak demikian halnya pada partai politik yang baru dan kecil. Pada partai yang demikian, jumlah kader perempuan sangatlah sedikit, belum lagi pada daerah–daerah yang secara
potensial belum ada perempuan yang berminat di politik. Pandangan ini diperkuat dengan hasil wawancara responden yang dikategorikan sebagai perwakilan masyarakat yang concern dengan masalah perempuan dan politik yaitu, Ibu Tatik
TABEL Jumlah Calon Legislatif Berdasarkan Segregasi Gender 24 Partai Poli tik Pemilu 2004 Kota Bekasi No
Nama Partai
JC
CL
%
CP
%
1.
13
10
76,9%
3
2.
Partai Nasionalis Ind Marhaenisme Partai Buruh Sosial Demokrat
29
19
65,5%
3.
Partai Bulan Bintang
25
19
76%
4.
Partai Merdeka
34
21
5.
Partai Persatuan Pembangunan
53
6.
Partai Demokrasi Kebangsaan
7.
Partai Perhimpunan Baru Partai Nasional Kerakyatan Partai Demokrat
8. 9.
23%
Calon No.1 Prp 2
Calon No.2 Prp 1
10
34%
2
1
6
24%
1
0
61,7%
13
38%
2
0
42
79%
11
20%
0
0
13
10
76,9%
3
23%
2
0
Indonesia
21
13
61,9%
8
38%
1
2
Benteng
14
13
92,8%
1
7%
1
0
31
27
87%
4
12,9%
0
1
29
23
79%
6
20,6%
0
1
13
6
46%
7
53,8%
2
2
12.
Partai Persatuan dan Kesatuan Indonesia Partai Penegak Demokrasi Indonesia Partai Nadhatul Umah Indonesia
15
11
73%
4
26,6%
1
2
13.
Partai Amanat Nasional
49
39
79,5%
10
20%
1
0
14.
Partai Karya Peduli Bangsa
22
18
81,8%
4
18%
1
1
15.
Partai Kebangkitan Bangsa
35
29
82,8%
6
17%
0
0
16.
Partai Keadilan Sejahtera
51
32
62,7%
19
37%
1
0
17.
Partai Bintang Reformasi
35
24
68,5%
11
31%
2
1
18.
55
47
85%
8
14,5%
1
1
19.
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Partai Damai Sejahtera
20
9
45%
11
55%
1
4
20.
Partai Golkar
54
40
74%
14
25,9%
2
1
21.
Partai Patriot Pancasila
11
6
54%
5
45%
3
1
22.
Partai Syarikat Islam
21
14
66.6%
7
33%
0
3
23.
Partai Persatuan Daerah
7
5
71%
2
28,5%
1
1
24.
Partai Pelopor
21
20
95%
1
4,7%
1
0
10. 11.
Rata-rata Prosentase
72,57%
27,43%
Sumber: KPUD Kota Bekasi 2004 Ket : JC (Jumlah Calon), CL (Calon Legislatif Laki-laki), CP (Calon Perempuan Legislatif Perempuan)
42 Jurnal Madani Edisi I/Mei 2005
Ruswartatiek yang juga merupakan Ketua Kaukus Perempuan Politik. Menurut pandangan Ibu Tatik (Ketua KPPI Kota Bekasi dan Pengurus Golkar) bahwa implementasi Undang-undang Pemilu No. 12 Tahun 2003 sudah dilakukan oleh setiap partai namun tidak semua perempuan yang direkrut berdasarkan kualifikasi yang jelas terutama apa yang banyak dilakukan oleh setiap partai kecil yang belum memiliki basis kuat. Sedangkan untuk partai besar memiliki kemudahan dalam merekrut perempuan, paling tidak mereka sudah memiliki kader yang cukup lama berkecimpung di partai, namun sayangnya hal itu tidak diikuti dengan upaya mendudukkan perempuan pada calon legislatif nomor urutan 1 atau nomor jadi. Adapun perempuan yang direkrut atas dasar kualitas justru masih kurang menempatkan strategi yang bersifat praktis bila dibandingkan laki-
laki dimana strategi yang digunakan lebih banyak menggunakan sumbersumber yang bernilai seperti penggunaan uang untuk mendapatkan suara atau mendapatkan nomor jadi. Berdasarkan tampilan data di Tabel 4 menunjukkan bahwa parpol berusaha memenuhi 30% perempuan di dalam proses rekrutmen perempuan untuk dijadikan calon anggota DPRD Kota Bekasi pada Pemilu 2004. Tuntutan 30% keterwakilan perempuan pada setiap daerah pemilihan seperti yang dikehendaki dalam UU No 12 Tahun 2003 pasal 65 ayat 1, nampaknya belum semua partai politik memenuhi ketentuan tersebut. Hanya 9 partai politik yang mengusulkan calon perempuannya lebih dari 30%, antara lain Partai Buruh Sosial Demokrat (34%), Partai Merdeka (38%), Partai Perhimpunan Indonesia Baru (38%), Partai Penegak Demokrasi Indonesia
TABEL Jumlah Calon Legislatif Berdasarkan Se gregasi Gender Partai Politik Pemenang Pemilu 2004 di DPRD Kota Bekasi
No
Nama Partai
JC
CL
%
CP
%
1. 2. 3. 4. 5. 6.
Partai Bulan Bintang Partai Persatuan Pembangunan Partai Demokrat Partai Amanat Nasional Partai Keadilan Sejahtera Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Partai Damai Sejahtera Partai Golkar Rata-rata Prosentase
25 53 31 49 51 55
19 42 27 39 32 47
76% 79% 87% 79,5% 62,7% 85%
6 11 4 10 19 8
24% 20% 12,9% 20% 37% 14,5%
20 54
9 40
45% 74% 73,5%
11 14
55% 25,9% 26,5%
7. 8.
Calon No.1 Prp 1 0 0 0 1 1
Calon No.2 Prp 0 0 1 1 0 1
1 2
3 1
Sumber: KPUD Kota Bekasi 2004 Ket: JC (Jumlah Calon), CL (Calon Legislatif Laki -laki), CP (Calon Perempuan Legislatif Perempuan)
43 Jurnal Madani Edisi I/Mei 2005
(53,8%), Partai Keadilan Sejahtera (37%), Partai Bintang Reformasi (31%%), Partai Damai Sejahtera (55%), Partai Patriot Pancasila (45%), Partai Syarikat Islam (33%). Namun sayangnya partai-partai lama yaitu yang mengikuti pemilu sejak tahun 1999 justru tidak sepenuhnya menempatkan perempuan di atas 30% seperti Partai Golkar, Partai Perjuangan Demokrasi Indonesia (PDIP), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Secara lebih jelas Tabel 5 menggambarkan jumlah calon legislatif berdasarkan segregasi jender pada pemenang pemilu 2004 di DPRD Kota Bekasi. Memperhatikan tampilan Tabel 5 terlihat bahwa rata-rata keterwakilan politik perempuan yang diusulkan oleh partai politik pemenang pemilu 2004 di Kota Bekasi sebanyak 26,5%, dimana jumlah ini masih jauh di bawah kuota 30%. Bila memperhatikan kuota yang ditetapkan oleh masing-masing partai terlihat bahwa hanya 2 partai politik yang menetapkan kuota lebih dari 30%, yaitu Partai Keadilan Sejahtera (PKS) sebanyak 37% dan Partai Damai Sejahtera (PDS) sebanyak 55%. Enam partai lainnya kurang dari 30%. Hal yang menarik ada dua partai yang paling banyak menempatkan perempuan pada nomor urut 1 dan 2 yaitu partai PDS dan Golkar, dimana PDS jumlah nomor urut 1 ada satu orang dan jumlah urut nomor 2 ada 3 orang, sedangkan partai Golkar nomor urut 1 terdiri dari 2 orang perempuan dan 1 orang ada pada nomor urut 2. Sedangkan partai lainnya hanya terdiri dari 1 orang baik yang diposisikan nomor 1 ataupun
nomor 2. Kenyataan tersebut belum mendukung perempuan untuk mendapatkan kedudukan di legislatif. Hal ini terbukti wakil perempuan yang duduk di DPRD Kota Bekasi hasil Pemilu 2004 hanya 5 orang. Jumlah tersebut hanya diwakili dari Partai GOLKAR 3 orang mewakili Daerah Pemilihan Bekasi I (Kecamatan Bekasi Timur), Bekasi III (Bekasi Utara) dan Bekasi IV (Bekasi Selatan dan Jati Asih), Partai PDIP diwakili 1 orang dari Daerah Pemilihan Bekasi V (Kecamatan Pondok Gede dan Jatisampurna), Partai Keadilan Sejahtera 1 orang dari Daerah Pemilihan Bekasi VI yaitu Kecamatan Bantar Gebang dan Rawa Lumbu. Kecilnya jumlah perempuan yang masuk menjadi anggota DPRD Kota Bekasi (11%) dapat berpengaruh terhadap berbagai kebijakan yang diputuskan oleh DPRD. Sangat dimungkinkan kebijakan (PERDA/ APBD) yang ditetapkan kemudian tidak responsif jender karena kecilnya jumlah suara perempuan di DPRD Kota Bekasi. Apabila kita kaitkan dengan sistem pemilihan umum yang bersifat semi proporsional terbuka sekaligus ketentuan penempatan BPP (Bilangan Pembagi Pemilih), menunjukkan bahwa perempuan sulit untuk mendapatkan nomor jadi (nomor 1 dan 2). Hampir di setiap partai, perempuan ditempatkan pada nomor bawah dan tentunya kemungkinan mereka sulit untuk duduk di legislatif, mengingat ketentuan BPP tersebut. Meskipun mereka menang suara mayoritas tapi bila tidak memenuhi BPP maka mereka tetap tidak dapat duduk di legislatif kecuali jika mereka duduk dalam daftar calon urutan nomor 1 44
Jurnal Madani Edisi I/Mei 2005
atau 2. Nomor urut di atas pun belum menjamin yang bersangkutan bisa terpilih menjadi anggota DPRD karena yang bersangkutan akan berkompetisi ketat dengan kandidat dari partai lain. Akan lebih jelas bila kita perhatikan calon anggota legislatif berdasarkan Wilayah Daerah Pemilihan Kota Bekasi dimana peluang perempuan dengan laki-laki mengalami ketidakseimbangan di dalam memperebutkan kursi legislatif. Bila memperhatikan peta berdasarkan Daerah Pemilihan di Kota Bekasi, maka akan ditemukan bahwa peluang perempuan untuk memperebutkan kursi tampak sangat minim dalam arti kompetisi yang dihadapi perempuan lebih sulit dibandingkan laki-laki, kecuali mereka duduk di dalam daftar calon urutan 1 atau 2. Uraian data pada Tabel 6
memberikan gambaran mengenai peluang perempuan untuk berkompetisi untuk memperebutkan kursi DPRD berdasarkan daerah pemilihan di Kota Bekasi. Data yang ditampilkan pada Tabel 6 menunjukkan bahwa calon anggota DPRD yang diusulkan oleh partai politik pada setiap daerah pemilihan di Kota Bekasi relatif tersebar secara merata dalam prosentase jumlah perempuan atas laki-laki. Calon anggota DPRD yang diusulkan pada seti ap daerah pemilihan berada pada sekitar 20% sampai dengan 30%. Namun demikian yang berjumlah 30% hanya untuk daerah pemilihan (1) Bekasi Timur yang mencapai jumlah 30,5%. Jumlah wakil perempuan yang paling sedikit di daerah pemilihan (5) sebanyak 22,8%. Namun yang menjadi masalah adalah persaingan
TABEL Kuota atau jumlah kursi yang dikompetisikan antara partai politik Berdasarkan Daerah Pemilihan di Kota Bekasi Berdasarkan Segregasi Jender
N o
Daerah 1 Bekasi Timur
6 kursi Prp Lk 29 66 Prosentase (%) 30,5 69,5
Daerah 2
Daerah Pemilihan Kota Bekasi Daerah 3 Daerah 4
Daerah 5
Daerah 6
Bekasi Barat Bekasi Utara Kec Bekasi Pondok Gede dan Medan Selatan dan dan Jati Satria Jati Asih Sampurna JUMLAH KURSI YANG DIPEREBUTKAN
Kec. Rawa Lumbu dan Bantar Gebang
9 kursi Prp Lk 37 89 Prosentase (%) 29, 70,6 4
8 kursi Prp Lk 26 83 Prosentase (%) 23,9 70
6 kursi Prp Lk 24 80 Prosentase (%) 23,1 76,9
8 kursi Prp Lk 31 81 Prosentase (%) 27,7 82,3
8 kursi Prp Lk 26 88 Prosentase (%) 22,8 77,2
Data diolah berdasakan sumber KPUD Kota Bekasi 2004 45 Jurnal Madani Edisi I/Mei 2005
untuk mendapatkan kursi di setiap daerah wilayah peluang perempuan sangat minim bila diperbandingkan dengan calon legislatif laki-laki di setiap wilayah. Hal itu ditambah lagi dengan diletakkannya urutan calon legislatif perempuan yang tidak menjamin mereka dapat duduk di kursi legislatif karena nomor yang ditawarkan bukan pada urutan nomor jadi. Berdasarkan data hasil pemilu 2004 Kota Bekasi ditemukan bahwa hanya 8 partai pemenang pemilu yang mendapatkan kursi di DPRD Kota Bekasi dan berdasarkan jumlah tersebut hanya 5 perempuan yang mendapatkan kursi di legislatif, yaitu 3 dari Golkar, 1 dari PDIP dan 1 dari PKS. Tiga perempuan yang duduk di legislatif merupakan kandidat yang terpilih untuk kedua kalinya dalam pemilu 2004 serta 2 perempuan lain adalah kandidat baru sebagai pemenang pemilu 2004. Pada umumnya perempuan yang terpilih merupakan para pengurus partai dan rata-rata mereka telah berkiprah lama di partainya masing-masing. Secara umum berdasarkan kriteria inilah mereka dapat ditempatkan di posisi nomor urut 1 dan 2 di dalam daftar calon legislatif. Berdasarkan wawancara dengan responden perempuan yang menjadi calon dan terpilih duduk di legislatif, mereka pada umumnya merupakan kandidat yang memiliki pengalaman cukup lama di dalam organisasi partai, misalkan Ibu Rista Dewi dari PDIP yang merupakan bendahara pengurus cabang di Kota Bekasi, sudah lama aktif di partai politik sejak terjadi kristalisasi kepengurusan masa kongres PDIP di Medan. Pada masa itulah Ibu Rista Dewi kebetulan
direkrut sebagai pengurus karena masih terjadi kekosongan pengurus di PDIP. Proses karir kepengurusannya di partai politik cenderung cukup lama hingga pada akhirnya beliau ditempatkan sebagai caleg nomor jadi di Kota Bekasi. Ketika diwawancarai bagaimana proses rekrutmen perempuan di PDIP pada masa pemilu 2005, ia mengatakan bahwa proses rekrutmen di PDIP sebenarnya tidak ditentukan perlunya 30% perempuan di dalam kepengurusan maupun keanggotaan partai. Menurut Ibu Rista proses rekrutmen partai politik di PDIP tidak didasari persoalan seksis atau jender melainkan lebih berbicara kepada kriteria kemampuan seseorang untuk berbuat (loyalitas) di dalam partai. Oleh karena itu penentuan untuk menjadi caleg nomor jadi didasarkan pada kedudukannya sebagai pengurus, kemudian berdasarkan kepengurusan tersebut dilakukan perhitungan secara matriks dengan indikator seperti nama, lama berpartisipasi di partai, tingkat loyalitas yang kemudian masingmasing indikator tersebut diberikan jumlah. Misalkan lama kedudukan di partai diberi bobot 40. Berdasarkan rata-rata itulah maka Ibu Rista dapat duduk di nomor urut pertama. Proses perekrutan di PDIP di dalam menempatkan daftar calon legislatif berdasarkan nomor urut berhasil dilalui Ibu Rista Dewi. Selama proses perekrutan hingga dapat eksis di caleg nomor 1 PDIP sangat dilatarbelakangi ketertarikan Ibu Rista terhadap visi nasionalisme dari partai tersebut. Selain itu beliau juga merasa dirinya menyukai dan memiliki bakat berorganisasi yang katanya diturunkan dari orang tuanya 46
Jurnal Madani Edisi I/Mei 2005
yang juga senang berorganisasi. Selama masa perekrutan, ia adalah satu-satunya perempuan yang duduk di kepengurusan mulai dari tingkat kecamatan hingga tingkat cabang. Saat ini selain menjabat sebagai anggota legislatif, Ibu Rista juga masih menjabat bendahara yang kebetulan ia satu-satunya perempuan. Berdasarkan proses rekrutmen tersebut Ibu Rista tidak mengalami kesulitan dan merasa bisa bersaing dengan laki-laki. Masalah kesetaraan jender di dalam PDIP menurut Ibu Rista belum pernah dibahas di dalam AD/ART dan menurutnya pola rekrutmen di PDIP sangat ditentukan oleh kemampuan sumberdaya manusianya di dalam berorganisasi politik sehingga persaingan kedudukan di partai tidak ditentukan dengan latar belakang jender melainkan dari kemampuannya. Sedangkan untuk meningkatkan kemampuan perempuan dalam berorganisasi, di PDIP sudah ada departemen wanita sesuai dengan wilayahnya. Berdasarkan hasil wawancara tersebut di atas dapat kita simpulkan bahwa proses rekrutmen partai di PDIP memang belum memperhatikan masalah kesetaraan jender di dalam merekrut pengurus maupun keanggotaannya. Di dalam upaya membuka peluang 30% perempuan juga belum dilakukan langkah affirmative action (tindakan khusus), sehingga pola rekrutmen masih diperhitungkan secara bias jender, dimana kekhususan kesempatan sangat berpeluang bagi laki-laki daripada perempuan, seperti penentuan bobot dimana pengurus maupun anggota perempuan memiliki nilai minim yang pada akhirnya
mereka didudukkan hanya pada nomor urut rendah. Adapun bila perempuan mampu atau berhasil melampaui pola rekrutmen seperti itu, disebabkan adanya faktor-faktor latar belakang tertentu yang mempengaruhinya, seperti latar belakang sosial background, political socialization, initial political activity, apprenticeship, occupational variables dan motivations. Berdasarkan hasil wawancara terlihat Ibu Rista memiliki pengaruh status sosial dimana Ibu Rista memiliki kemampuan berorganisasi didasari dari latar belakang orang tuanya yang kebetulan juga menyenangi organisasi. Bila melihat pola rekrutmen PDIP dalam merekrut Ibu Rista terlihat cukup fair. Namun dari upaya mewujudkan kesetaraan jender belum terpenuhi karena berdasarkan hasil wawancara, peluang Ibu Rista masuk sebagai pengurus di Cabang sangat dilatarbelakangi oleh tingkat proses rekrutmen yang dijelaskan oleh Jenny berada pada tingkat kedua, yaitu Ibu Rista direkrut oleh lembaga pemilihan yang menjadi agen di dalam proses rekrutmen yang tentu sangat terkait dengan kepentingan elit di partai tersebut, seperti dimana faktor masuknya Ibu Rista di PDIP berkaitan dengan kekosongan kepengurusan yang dirasakannya sebagai faktor keberuntungannya. Oleh karena itu jelas bahwa latar belakang yang demikian tentunya bagi perempuan lain yang juga berkiprah di dalam PDIP dimungkinkan sulit untuk bersaing di dalam partai karena ia juga harus memiliki latar belakang yang menentukan seperti yang dimiliki Ibu Rista. Artinya ia harus mengikuti pola rekrutmen 47 Jurnal Madani Edisi I/Mei 2005
yang dibangun oleh lembaga partai politiknya yang sangat bersifat maskulin dan justru sangat bias jender. Pada studi kasus lain, yaitu di Partai Golkar juga terjadi hal yang sama, dimana peluang perempuan untuk mendapatkan kedudukan legislatif bisa disimpulkan sangat minim bila melihat pola rekrutmen yang dilakukan Partai Golkar, kecuali bila mereka memiliki kriteria atau faktor-faktor yang dibangun oleh Partai Golkar. Menurut Ibu Tatiek Ruswartatik proses pemilihan calon legislatif di Golkar berdasarkan nomor urut yang ditetapkan adalah melalui kriteria PDLT (Prestasi, Dedikasi, Loyalitas, Tidak Tercela). Bila berbicara kriteria loyalitas dalam hal ini berkaitan ukuran lama tidaknya bekerja di partai, kemampuannya mengelola sumber-sumber daya secara ekonomi dan politik dan kemampuan yang dimilikinya. Secara bias jender kriteria ini sangat memungkinkan untuk dapat dilakukan. Namun bila berkaitan dengan perempuan kriteria ini cukup menyulitkan bila ia harus terjun sepenuhnya di bidang politik. Menurut Ibu Tatiek kemampuan perempuan untuk terjun berpolitik sangat bergantung dengan keahliannya mengatur waktu, yaitu mengatur waktu antara karir politik dan karir di rumah tangga. Hal ini menunjukkan bahwa secara kultur perempuan masih memiliki tanggung jawab yang lebih besar daripada laki-laki, dimana ia harus mengemban dua tugas sekaligus. Selain itu pada umumnya karir politik perempuan akan sukses bila ada faktor dukungan dari keluarga (suami dan anak) yang pada dasarnya bila tidak ada dukungan
terhadap hal itu akan sangat menghambat perempuan untuk berkiprah di politik. Pada akhirnya perempuan yang akan berkiprah di politik harus memiliki kemampuan yang lebih ekstra daripada laki-laki. Akibat dari hal tersebut banyak partai politik ketika akan menempatkan perempuan di dalam akses tertinggi di dalam politik masih memiliki pandangan negatif terhadap potensi yang dimiliki kaum perempuan untuk menduduki jabatan penentu di partai akibat adanya latarbelakang peran ganda perempuan itu sendiri. Pada pemilu 2004 ini, tiga kandidat perempuan di Golkar terdiri dari elit yang sudah memiliki jaringan kuat di dalam partai politiknya. Dua dari kandidat perempuan terpilih merupakan kandidat lama, dimana mereka memiliki peluang besar karena sudah memenuhi kriteria PDLT terutama loyalitas terhadap partainya. Sedangkan satu kandidat baru yang sekarang duduk di legislatif sangat dipengaruhi oleh kekuatan hubungan antar elit di dalam partai tersebut, sehingga meskipun ia tidak memenuhi kriteria PDLT dari partainya, tetapi dapat didudukkan pada nomor urut jadi. Bila melihat pola rekrutmen terhadap perempuan di Partai Golkar terlihat nuansa bias jender masih sangat jelas, dimana kriteria yang dibuat oleh Partai Golkar jauh dari masalah sensitivitas jender. Adapun perempuan yang berhasil melampaui pola rekrutmen sangat dipengaruhi oleh kekuatan elit partai yang menurut Jenny Chapman berada pada tingkat kandidat yang dipilih oleh lembaga yang menjadi agen di dalam proses rekrutmen di dalam 48
Jurnal Madani Edisi I/Mei 2005
kriteria tingkatan berpengaruh di dalam pola rekrutmen sistem politik. Oleh karena itu pola rekrutmen di Partai Golkar sangat jauh dari masalah kesetaraan jender. Kasus pola rekrutmen pada Partai Keadilan Sejahtera (PKS) juga belum memperhatikan upaya kesetaraan jender. Namun pada sisi lain, pola rekrutmen di partai ini memiliki kriteria yang cukup membuka peluang perempuan untuk mendapatkan kedudukan di legislatif, meskipun hal tersebut belum dapat disebut sebagai tindakan affirmative action. Pada pola rekrutmen PKS ada beberapa faktor yang tampaknya bisa menjadi celah bagi perempuan untuk mendapatkan kedudukan sebagai caleg hingga menjadi anggota legislatif. Berdasarkan hasil wawancara dengan Ibu Eka Widyani yang sekarang menjabat sebagai anggota legislatif tahun 2005-2009 menceritakan bagaimana proses rekrutmen politik yang ia dapatkan, pertama ia harus melalui proses fit and proper test (tes kelayakan dan kepatutan) dan khusus untuk wanita diwajibkan mendapatkan surat izin dari suami. Bila tidak maka pihak panitia wajib menolak data tersebut. Setelah melalui tahap pertama maka panitia menentukan kedudukan caleg dengan memasukkan nama-nama ke dalam konvensi dimana nama-nama calon yang telah ditetapkan oleh DPD (DPC) PKS diserahkan kepada DPW (tingkat propinsi) yang selanjutnya diturunkan kembali kemudian dilakukan pemilihan umum internal disesuaikan dengan daerah pemilihan masing-masing dan hanya memiliki 5 nama tanpa memperhitungkan pencalonan nama sendiri. Berdasarkan hasil pemilihan umum
internal inilah Ibu Eka Widyani memiliki suara mayoritas dan masuk dalam 12 nominasi jumlah suara terbesar dan kemudian dimasukkan ke daftar nomor urut calon legislatif berdasarkan wilayahnya masingmasing. Sedangkan untuk masalah keanggotaan dibuat tingkatan levelisasi yang masing-masing memiliki kriteria berdasarkan ukuranukuran harian yang dibuat oleh departemen tertentu. Baik perempuan dan laki-laki memiliki kriteria yang sama di dalam pengukuran dimana semakin tinggi tingkat levelisasi maka semakin tinggi tingkat kriteria para kader. Berdasarkan gambaran proses rekrutmen tersebut di atas secara umum cukup memberi peluang perempuan untuk bisa duduk sebagai caleg maupun anggota legislatif, karena di dalam penentuan caleg ada penentuan yang tidak hanya pengurus bisa masuk di dalam daftar caleg namun anggota lain pun bisa asal mereka mengikuti proses perekrutan seperti yang dijelaskan sebelumnya. Namun persoalan bagi kandidat perempuan adalah sebelum mereka masuk di dalam konvensi mereka harus membuat surat izin kepada suami agar mereka diizinkan untuk terjun ke politik meskipun mereka memiliki kemampuan yang cukup handal untuk didudukkan di dalam daftar caleg. Untuk melalui proses rekrutmen tersebut Ibu Eka merasa cukup beruntung mampu bersaing dengan yang lain karena ada beberapa faktor yang menurutnya tidak menjadi hambatan meskipun untuk kandidat perempuan cukup sulit untuk ditempuh. Hal yang paling memudahkan baginya adalah faktor kedekatan lokasi DPD PKS dengan 49 Jurnal Madani Edisi I/Mei 2005
rumahnya sehingga dia tidak mengalami hambatan apabila harus rapat hingga malam hari, dan Ibu Eka juga merasa beruntung ketika menjadi anggota legislatif ia mampu menghadiri pertemuan-pertemuan yang membutuhkan waktu lama karena tempat tinggalnya cukup dekat. Faktor lain yang ia rasakan manfaatnya bagi perempuan yang berpolitik adalah ia mampu untuk berkendara sendiri ke tempat-tempat yang diperlukan oleh partainya sehingga tidak mengherankan bila Ibu Eka mendapatkan suara mayoritas di dalam pemilu internal karena seringnya ia mengikuti banyak kegiatan di partainya maupun melakukan pertemuan dengan para konstituennya. Namun kebutuhan untuk mendapatkan calon legislatif perempuan di PKS masih sangat minim sehingga ketika pemilu 2005 PKS sempat melakukan upaya merekrut perempuan di luar keanggotaan. Bila berdasarkan pola rekrutmen politik di partai PKS terlihat bahwa bias jender masih terlihat kental terutama perempuan yang berkiprah harus mendapatkan izin suami. Namun disisi lain hal ini menyangkut pula upaya membangun komitmen suami yang memperbolehkan istrinya untuk terjun ke politik mengingat latar belakang budaya yang masih dipengaruhi oleh sistem patriaki (sistem yang lebih mendukung lakilaki). Bila kita melihat bagaimana Ibu Eka mendapatkan nomor urut 1 di dalam daftar caleg, bisa dimungkinkan karena ia mampu mengikuti kegiatan partainya secara aktif hal ini disebabkan karena faktor yang mempermudah aksesnya untuk berpartisipasi aktif seperti lokasi DPD
yang dekat dengan rumahnya sehingga belum tentu kandidat perempuan lain bisa seaktif dirinya. Hal ini menarik karena pada umumnya partai politik belum memperhatikan sensivitas jender yang berkaitan dengan kebutuhan perempuan, seperti mengatur jadwal pertemuan yang tidak mengganggu waktu keluarga atau menyediakan fasilitas penitipan anak yang murah bahkan gratis. Oleh karena itu perlu adanya perubahan dalam struktur dan kerja internal partai-partai politik, yaitu melalui proses demokratis, pantas dan transparan yang memungkinkan perempuan bisa terlibat menjadi anggota atau fungsionaris dalam partai politik tersebut sehingga kebijakankebijakan yang berkaitan dengan sensivitas jender dapat tercapai. Hal yang sama terjadi dengan partai-partai yang tidak berhasil menempatkan perempuan di dalam keanggotaan legislatif seperti partai PAN dan PBB. Hasil wawancara yang dilakukan dengan Ibu Cut Niniek Murni ditemukan bahwa pola rekrutmen di partai PAN sangat berkaitan dengan indikator -indikator penilaian yang masih berbias jender, seperti lama waktu kepengurusan dimana hampir setiap kebijakan maupun keputusan selalu dipengaruhi oleh ketentuan pengurus. Ibu Cut merasakan bahwa untuk mendapatkan nomor urut 1 bagi dirinya sulit karena pada dasarnya ia belum sepenuhnya aktif di tingkat daerah pemilihannya. Hal ini disebabkan ia lebih banyak aktif di tingkat DPD sebagai pengurus atau ketua departemen advokasi. Pada akhirnya berdasarkan ketentuan bobot lama keaktifan, Ibu Cut hanya 50
Jurnal Madani Edisi I/Mei 2005
dapat diletakkan pada nomor urut 3 di daerah pemilihan Kota Bekasi dan kebetulan ia satu-satunya perempuan. Tetapi ketika hasil evaluasi pemilu 2004 kemarin Ibu Cut mendapatkan nilai suara jauh lebih besar dibandingkan nomor urut 2 dan lebih sedikit dengan nomor satu sehingga bila diurutkan berdasarkan jumlah suara seharusnya Ibu Cut duduk di nomor 2. Ibu Cut juga mengatakan bahwa kebijakan partainya belum sepenuhnya mendukung perempuan untuk mendapat posisi terbaik di partainya. Berdasarkan hasil wawancara di atas jelas bahwa pola rekrutmen partai PAN masih memberlakukan penilaian yang bias jender sehingga sangat memungkinkan perempuan sulit untuk duduk di legislatif karena ukuran penilaian yang tidak sepenuhnya mendukung perempuan selain karena faktor sistem pemilihan yang cenderung memberikan peluang pada nomor urut atas. Pada kasus lain, pola rekrutmen di PBB juga memiliki kriteria yang sama dengan partai lain, kecuali PKS. Bahwa ketentuan untuk mendudukkan nomor jadi sangat dipengaruhi oleh latarbelakang penilaian kepengurusan seperti sistem skorsing berdasarkan pengurus, aktivis, akademis dalam kepengurusan, kepanitiaan secara struktural yang pada umumnya tidak sepenuhnya mendukung perempuan. Pola rekrutmen PBB yang dijalani oleh Ibu Purnamawati yang kebetulan sudah lama berkiprah di Muslimat PBB di dapartemen kader Pusat tetapi tidak terlalu aktif, merasakan bahwa penentuan 30% perempuan yang dilakukan partainya sangat dipengaruhi oleh kebutuhan partai saat
itu. Oleh karena itu ia yang sebetulnya tidak tertarik untuk menjadi politisi ditawari oleh partainya untuk dapat duduk di daerah pemilihan pusat. Namun karena pertimbangan kurangnya massa pendukung di tingkat propinsi, maka ia pun meminta ditempatkan pada daerah pemilihan tempat tinggalnya. Ibu Purnawati pada dasarnya tidak menyukai arena politik dan ia lebih berminat pada arena sosial yang sampai saat ini masih dijalaninya. Ia menilai di dalam arena politik lebih berbicara secara abu-abu, sedangkan ia lebih senang secara hitam dan putih. Berdasarkan hasil wawancara tersebut di atas jelas bahwa partai PBB belum sepenuhnya menerapkan sistem rekrutmen secara affirmative action terhadap perempuan sehingga rekrutmen perempuan di PBB hanya didasarkan pada kebutuhan partai saat itu untuk memenuhi undangundang mengenai keterwakilan perempuan 30%. Sedangkan beberapa partai lain pemenang pemilu seperti partai Demokrat, cenderung mendudukkan perempuan di dalam daftar caleg urut bawah dan yang tertinggi adalah duduk pada nomor urut 2 (satu orang) dan nomor urut 3 (dua orang) yang tersebar di dalam 6 daerah pemilihan. Demikian pula halnya dengan Partai Persatuan Pembangunan (PPP), perempuan yang didudukkan dalam daftar caleg tertinggi ada pada nomor urut 3 dan itu hanya terdiri dari 3 orang yang tersebar di enam daerah pemilihan. Sedangkan untuk Partai Damai Sejahtera (PDS) jumlah perempuan secara kuantitatif sudah sesuai dengan kuota 30% bahkan sedikit melebihi. Namun dari jumlah perempuan yang tersebar di daerah 51 Jurnal Madani Edisi I/Mei 2005
pemilihan hanya satu yang duduk pada nomor urut 1 dan yang lainnya pada nomor urut 2 atau 3 dari jumlah kandidat rata-rata 3 sampai 4 orang dari setiap daerah pemilihan. Berdasarkan gambaran tersebut di atas jelas bahwa implementasi Undang-undang No. 12 pasal 65 ayat 1 belum dilaksanakan secara baik sehingga upaya mencapai 30% perempuan di parlemen justru mengalami penurunan. Banyak dari partai-partai kurang memperhatikan kebutuhan perempuan baik di dalam masalah kepengurusan partai maupun program-program yang dijanjikan oleh partai tersebut. Sehingga sangat dimungkinkan bila perempuan boleh sepenuhnya tertarik untuk dicalonkan di dalam keanggotaan maupun kepengurusan partai kecuali bila perempuan tersebut sudah memiliki link dengan elit-elit politik di partai tersebut atau direkrut oleh partai politik itu sendiri. Berdasarkan hal itu pula banyak perempuan yang lebih cenderung berpartisipasi politik pasif karena masih merasa adanya hambatan di dalam peranan mereka untuk terjun ke dunia politik, seperti harus mengurus anak, sehingga mereka lebih merasa aman bila tidak disibukkan dengan hal-hal seperti itu. Pada akibatnya persoalan tersebut mempengaruhi penilaian masyarakat yang tercermin di dalam budaya yang memandang scope kerja utama perempuan adalah di tingkat domestik (rumah tangga), sehingga pola pandangan seperti cenderung mempengaruhi penentuan partai terhadap perempuan, seperti misalnya perempuan harus mendapat izin suami bila berpolitik, perempuan harus pandai me-manage antara karir dan rumah tangga, perempuan harus
bisa menjelaskan peran politik kepada suami dan anak-anak agar ia mendapat dukungan dan sebagainya. Tingkat partisipasi pasif akibatnya juga mempengaruhi perempuan dalam mengidentifikasi partai politik, yaitu tidak kepada substansi programprogram partai tetapi cenderung kepada pengaruh figur. Oleh karena itu upaya agar implementasi undang-undang tersebut tercapai telah dilakukan oleh KPU sebagai panitia penyelenggara pemilu dimana ketika dibuka daftar pencalonan legislatif banyak partai yang mencalonkan nama-nama yang sebagian besar adalah laki-laki, namun dari nama-nama tersebut yang masuk dilakukan penyeleksian yang kemudian diketahui ada beberapa nama yang tidak sesuai dengan kriteria. Kemudian oleh KPU diumumkan agar setiap partai menggantikan nama itu dengan calon perempuan dan pada akhirnya partaipartai tersebut pun menempatkan sejumlah perempuan pada namanama yang tidak sesuai dengan kriteria. Berdasarkan hal inilah menurut Bapak Heri, banyak perempuan yang duduk di nomor urut rendah karena menggantikan namanama yang tidak memenuhi kriteria. Berdasarkan keterangan hasil wawancara dengan Ketua KPUD Kota Bekasi Bapak Heri, bahwa pada umumnya partai politik belum sepenuhnya berupaya untuk memenuhi kuota 30% perempuan untuk ditempatkan pada daftar caleg tetap. Ini terlihat dari prosedur pencalonan yang pada tahap pertama mereka belum memiliki kader perempuan untuk ditempatkan pada daftar tersebut, namun setelah dilakukan tahap kedua akibat adanya 52
Jurnal Madani Edisi I/Mei 2005
upaya pressure dari KPU Kota Bekasi akhirnya setiap parpol berusaha keras menempatkan perempuan pada daftar nama calon tetap untuk menggantikan nama-nama yang dinilai tidak memenuhi syarat. Hal ketidaksiapan partai untuk menempatkan atau merekrut perempuan di dalam memenuhi prasyarat itu adalah mereka kurang atau bahkan tidak memiliki kader-keder perempuan sehingga banyak perempuan yang direkrut tidak didasarkan kualitasnya. Hal ini menjadi jelas bahwa partai politik pemenang pemilu di Kota Bekasi belum mampu mengimplementasikan undang-undang tersebut. Bahkan menurut Ketua KPU seharusnya partai tersebut sejak lama harus memperhitungkan pentingnya keterwakilan perempuan, karena pada undang-undang partai politik yang menjelaskan tentang kepengurusan di partai politik dijelaskan perlunya memperhatikan kesetaraan jender dan undang-undang ini sebenarnya sudah lama ditetapkan pada tahun 2002 sebelum lahirnya Undang-undang Pemilu No. 12 pasal 65 ayat 1. Persoalan mengapa partai belum dapat mengimplementasikan undangundang tersebut, seorang pengamat perempuan dan politik Ibu Elly Ferdiana dari Pusat Kajian Wanita UI menjelaskan upaya mewujudkan atau mengimplementasikan undang-undang tersebut perlu adanya pemahaman perempuan terhadap isuisu yang berperspektif perempuan, dalam arti perempuan memahami perannya dalam membuat kebijakan yang berperspektif perempuan sesuai dengan kebutuhannya. Oleh karena itu perlu adanya upaya sosialisasi mengenai masalah tersebut agar
perempuan bisa bergerak di dalam area politik. Hal yang sama juga terjadi di dalam partai politik itu sendiri, dimana banyak kriteria parpol yang tidak menerapkan upaya affirmative action termasuk dalam merekrut perempuan. Menurut Ibu Elly hal ini disebabkan partai politik itu sendiri berlum memahami makna affirmative action dimana kebanyakan parpol memandang kebijakan ini hanya sebagai persyaratan menempatkan perempuan untuk ditempatkan di daftar calon legislatif bukan atas dasar pemahaman menempatkan perempuan dikaitkan dengan isu jender atau isu perempuan yang berkaitan dengan masalah-masalah sosial. Akibatnya banyak perempuan berkualitas yang pada dasarnya mampu untuk ditempatkan di dalam daftar caleg tetap, justru terhambat dengan adanya kriteria yang bias jender, selain masih salah memahami kebijakan affirmative action tersebut. Agar upaya undang-undang tersebut dapat diimplementasikan sepenuhnya oleh partai maka untuk kedepannya perlu banyak dilakukan sosialisasi politik dengan membuka jaringan dengan kelompok-kelompok perempuan di masyarakat. Hal ini penting karena pada dasarnya perempuan sudah mampu berorganisasi sosial, namun mereka perlu dididik untuk lebih berperan di dalam membuat keputusan politis. Sedangkan menurut Ibu Tatik selaku Ketua Kaukus Perempuan Politik Indonesia Kota Bekasi menilai perlu adanya lembaga yang mampu menekan perlunya penerapan kuota 30% di setiap partai, baik di dalam kepengurusan partai hingga keanggotaan partai. Apabila kepengurusan tidak mencapai kuota karena adanya 53 Jurnal Madani Edisi I/Mei 2005
penilaian atau kriteria partai yang tidak dapat diubah maka diperlukan upaya mengubah kebijakan terhadap sistem, yaitu di dalam pencalonan legislatif perlu lagi dibuat aturan yang memungkinkan perempuan dapat terpilih seperti ketentuan hendaknya pengurus dipilih 30% untuk dijadikan calon legislatif dan 30% lainnya dari anggota, dimana pada umumnya perempuan berkedudukan hanya sebagai anggota di partainya. Menurunnya jumlah wakil perempuan di lembaga DPRD Kota Bekasi pada tahun 2004 dibandingkan dengan tahun sebelumnya (1999) terkait erat dengan platform perempuan yang ditetapkan oleh partai politik. Kondisi ini jelas akan berdampak terhadap partai politik di tingkat daerah. Karena kebijakan partai di tingkat daerah berdasarkan pada kebijakan partai di tingkat pusat. Lemahnya komitmen partai politik terhadap keterwakilan perempuan di legislatif turut dipengaruhi oleh adanya ketidaktegasan UU No. 12 Tahun 2003 yang tidak mewajibkan kepada partai politik untuk mencalonkan perempuan sebagai calon legislatif. Bagi partai politik yang tidak responsif jender, maka peluang ini dijadikan sebagai dasar untuk tidak memunculkan perempuan sebagai calon legislatif yang potensial. Dan biasanya berpengaruh terhadap penomoran calon legislatif dalam pemilu. Prediksi yang ditetapkan oleh CETRO (Centre For Electoral Reform) dalam siaran pers tanggal 6 Januari 2004, bahwa keterwakilan perempuan pada pemilu 2004 akan terjegal karena ketidakseriusan partai poltik dalam menjaring dan menetapkan calon perempuan untuk menjadi calon legislatif. Hasil analisis CETRO
(Jurnal Perempuan, 2004:84) terhadap 4 partai poltik besar peserta pemilu menunjukkan temuan sebagai berikut: 1. Belum ada kesungguhan dari pihak partai politik, untuk meningkatkan keterwakilan perempuan dalam parlemen, khususnya DPR RI. 2. Dapat dipastikan bahwa kecil kemungkinan akan terjadi peningkatan keterwakilan perempuan pada pemilu 2004 di DPR RI, DPRD Propinsi dan DPRD Kabupaten/Kota. 3. Sistem pemilu yang ada saat ini belum akomodatif terhadap kepentingan perempuan. 4. Akibatnya, agenda perempuan berupa pendidikan, kesehatan, pemberdayaan ekonomi, dan anti kekerasan terhadap perempuan, termasuk perdagangan perempuan dan anak tidak akan dapat diperjuangkan sebelum Pemilu 2009. Dalam Jurnal Perempuan No. 34 (2004:109) dijelaskan bahwa: “Proses di tingkat partai belum dimulai. Partaipartai yang melakukan muktamar atau munas belum mengubah AD/ART yang menyertakan 30% di struktur partai”. Artinya kuota perempuan tersebut merupakan wacana baru. Maka dengan demikian dapat dipastikan untuk kepengurusan partai di tingkat daerah dan cabang pun harus menyesuaikan dengan tingkat DPP. Meminjam istilah yang dkemukakan oleh Ramlan Surbakti dengan mengutip pendapat Vicky Randal dan Lars Syasan, dalam Party Politics, Volume 8 Januari No. 1 Tahun 2002, dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan kesisteman adalah: “Proses 54
Jurnal Madani Edisi I/Mei 2005
pelaksanaan fungsi-fungsi partai politik, termasuk penyelesaian konflik, dilakukan menurut aturan, persyaratan, prosedur, dan mekanisme yang disepakati dan ditetapkan dalam AD/ART Partai Politik”. Dengan demikian sebagai partai politik yang diharapkan mampu menjalankan fungsinya dengan baik, maka partai politik peserta pemilu 2004 harus mampu merumuskan AD/ART dan peraturan lainnya secara komprehensif dan rinci sehingga mampu berfungsi sebagai kaidah dan prosedur penuntun perilaku dalam melaksanakan fungsi partai politik. Suatu partai politik dapat dikatakan sudah melembaga dari segi kesisteman bila partai politik tersebut melaksanakan fungsi-fungsi partai politiknya berdasarkan AD/ART yang dirumuskan secara komprehensif dan rinci. Pada kenyataannya banyak partai politik yang belum melaksanakan ketentuan partainya secara baik terutama bila dikaitkan dengan upaya membangun partai yang berkesetaraan jender dan mampu membangun isu-isu yang menjadi persoalan utama di masyarakat. Oleh karena itu untuk mengetahui sejauh mana kemampuan partai membangun kekuatan di dalam kelembagaannya sangat dipengaruhi beberapa hal, yaitu bagaimana asal-usul partai tersebut dibangun dan siapa yang lebih menentukan di dalam pembuatan kebijakan di partai dan siapa pula yang menentukan dalam pembuatan keputusan strategis partai politik serta yang terakhir adalah bagaimana partai politik memelihara hubungan dengan anggota dan simpatisan. Adapun partai yang sudah lama muncul dan dulu lahir di luar partai
pada akhirnya mengalami pergeseran dari komitmennya. Hal ini terjadi akibat lebih kuatnya elit membangun jaringan daripada peraturan-peraturan yang dibangun di dalam partai itu sendiri, seperti AD/ART partai tersebut. Oleh karena itu dengan melihat latar belakang seperti itu perempuan akan mampu bersaing adalah bila ia mampu membuat jaringan dengan elit-elit partai yang ditujunya. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Jenny Chapman bahwa kemampuan perempuan untuk terjun dalam sistem politik atau partai adalah bila ia mampu membangun sumber-sumber ekonomi politik yang menjadi lahan persaingan di dalam partai maupun antar partai. Selain itu perempuan harus memiliki kemampuan lebih terutama pendidikan karena faktor ini merupakan hal penting bagi perempuan untuk dapat dicalonkan oleh elit politik. Kedekatan perempuan dengan sumber-sumber politik dan ekonomi dan juga didukung oleh kemampuan atau pendidikannya akan mempermudah perempuan untuk masuk ke dalam sistem politik tersebut, meskipun ia berada di partai manapun. Oleh karena itu pula Jenny menilai bahwa pola rekrutmen yang dikategorikan paling mudah untuk dijalankan oleh perempuan adalah dengan cara dipilih oleh agen pemilih (kelompok elit) yang dibentuk, dibandingkan dengan pengajuan diri maupun dipilih oleh rakyat, kecuali bila parpol tersebut dapat membangun dan menjalankan sistem berdasarkan pada peraturan dan AD/ART yang diberlakukan. Bila partai tersebut memiliki komitmen tinggi dengan peraturan ataupun AD/ART-nya maka kemungkinan ide memunculkan ke55 Jurnal Madani Edisi I/Mei 2005
setaraan jender akan lebih mudah dibandingkan bila parpol tersebut lebih terikat dengan keputusan dan kebijakan elit politik partainya. Akibatnya ketika muncul undangundang yang menekankan perlunya perwakilan perempuan 30% banyak partai politik kesulitan dalam merekrut dan menetapkan calon anggota legislatif perempuan. Hal ini disebabkan partai tersebut belum menempatkan tingkat derajat kesisteman dari partai politik sehingga sangat mempengaruhi hal tersebut. Derajat kesisteman yang ditunjukkan oleh kemampuan partai politik dalam melaksanakan fungsi-fungsi partai politik sangat berpengaruh terhadap kemampuan partai politik dalam menjaring wakil perempuan untuk dicalonkan sebagai anggota legislatif. Mekanisme yang dipergunakan oleh setiap partai politik lebih mengandalkan pada alur yang mengalir begitu saja tanpa melalui proses berpikir strategis dan terencana bahkan cenderung dimunculkan untuk kepentingan politik pribadi atau kelompok. Artinya kuota 30% yang diamanatkan dalam UU No. 12 Tahun 2003 tidak terlalu menjadi target yang harus dipenuhi. Walaupun secara umum, tetap partai politik memberi peluang yang cukup leluasa kepada perempuan untuk ikut serta menjadi calon anggota legislatif dalam pemilu 2004, namun hampir tidak ada upaya khusus untuk memenuhi kuota tersebut. Secara kesisteman partai politik masih belum manganggap penting pemenuhan kuota tersebut. Kehidupan politik sangat dinamis, hal ini dapat dilihat dari tingkat perubahan yang sering terjadi dalam kehidupan masyarakat politik yang disebabkan oleh berbagai faktor.
Elemen-elemen yang ada dalam sistem politik sangat mempengaruhi berbagai perubahan politik. Demikian juga halnya dengan partai politik, dalam kapasitas ia sebagai komponen dari sistem politik, maka ia akan mempengaruhi perubahan politik global dalam sistem politik negara. Namun, dalam hal partai politik sebagai lembaga otonom yang harus menentukan hidup partainya pun tidak lepas dari pengaruh berbagai faktor yang melingkupinya. Baik faktor internal maupun eksternal dari partai itu, akan berpengaruh terhadap dinamika partai yang bersangkutan. Derajat otonomi suatu partai politik, menurut Ramlan Surbakti (2003) terutama dalam pengambilan keputusan berkait dengan hubungan partai dengan aktor luar partai, baik dengan sumber otoritas tertentu (penguasa atau pemerintah), maupun dengan sumber dana (pengusaha, penguasa, negara, atau lembaga luar), dan sumber dukungan massa (organisasi masyarakat). Jelas bahwa, partai politik akan sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor eksternal dalam pengambilan keputusan. Ini mengandung pengertian bahwa secara kelembagaan, partai politik akan diuji mengenai seberapa besar tingkat kemandirian partai untuk tidak tergantung pada pihak lain. Hal ini cukup berat, terutama bagi parta ipartai kecil dan relatif baru yang membutuhkan banyak dukungan dari berbagai pihak luar. Padahal mestinya sebuah partai politik harus mampu mengakomodir berbagai tuntutan, permasalahan dan kebutuhan masyarakat. Sehingga partai tersebut menjadi partai pilihan bagi masyarakat. Itu artinya justru seharusnya 56
Jurnal Madani Edisi I/Mei 2005
partai politiklah yang berpengaruh teradap perubahan orientasi politik masyarakat, sehingga partai politik tersebut mendapat dukungan dari masyarakat.
maupun nomor urut jadi di dalam daftar caleg, disebabkan perempuan tersebut dekat dengan elit politik sehingga mereka dapat direkrut oleh agen yang membuat kebijakan di dalam partai politik. Adapun perempuan yang mengajukan diri di dalam pelaksanaan rekrutmen partai politik atau dipilih oleh konstituen, hal ini belum menjamin perempuan mendapatkan kedudukan di dalam parpolnya atau duduk di nomor urut jadi di daftar calon legislatif. Rekrutmen parpol untuk memenuhi kuota 30% perempuan di legislatif hanya diterapkan di dalam penentuan daftar caleg, padahal di dalam kepengurusan parpol pun kebijakan ini seharusnya juga dapat diimplementasikan oleh parpol tersebut misalnya untuk kepengurusan sekurang-kurangnya menempatkan 30% perempuan atau hendaknya memperhatikan kesetaraan jender. Hal ini sebenarnya sudah dituangkan pula di dalam Undang-undang Parpol tahun 2002. Berdasarkan tingkat kelembagaan sebagian besar partai politik secara derajat kesisteman merupakan parpol yang lahir dari kepentingan elit-elit maupun faksi-faksi di dalam partai politik sehingga arah penentuan kebijakan maupun keputusan sangat dipengaruhi oleh peran mereka. Hal ini memunculkan rendahnya tingkat komitmen para elit maupun anggotanya untuk menjalankan sistem di parpolnya atas dasar aturan atau AD/ART yang telah disepakati bersama. Kondisi ini juga akan berpengaruh dalam menentukan caleg termasuk di dalam menerapkan kebijakan pasal 65 ayat 1 di dalam undang-undang pemilu tersebut.
Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, disimpulkan bahwa implementasi Undang-undang No. 12 pasal 65 ayat 1 tahun 2003 belum sepenuhnya diterapkan oleh partai politik, seperti yang terjadi pada partai politik pemenang pemilu 2004 di Kota Bekasi. Hal ini terjadi disebabkan oleh beberapa faktor yang melatarbelakangi antara lain; Sosialisasi Undang-undang Pemilu terutama pasal 65 ayat 1 dibentuk sangat singkat dan mendesak. Sebagian besar partai politik juga belum memahami bahwa pasal 65 ayat 1 pada Undang-undang Pemilu No. 12 Tahun 2003 merupakan langkah affirmative action atau tindakan khusus untuk perempuan. Hampir dari sebagian besar kandidat perempuan yang diletakkan nomor jadi oleh parpol yang merekrutnya dilatarbelakangi oleh beberapa hal pertama, lamanya masa bakti atau loyalitas perempuan tersebut di dalam parpol atau duduk di dalam kepengurusan sehingga ia mampu memenuhi kriteria yang dibuat oleh parpolnya. Kedua, perempuan tersebut memiliki latarbelakang kemampuan berorganisasi dengan menggunakan sumberdaya ekonomi politik sehingga ia mampu bersaing untuk mendapatkan kedudukan, baik di dalam parpolnya maupun di dalam mendapatkan nomor urut jadi. Ketiga, perempuan yang ditetapkan oleh partai untuk mendapatkan kedudukan 57
Jurnal Madani Edisi I/Mei 2005
Pada derajat otonomi sebagian besar partai politik belum sepenuhnya memiliki kemandirian terutama di dalam mendapatkan sumber dana. Oleh karena itu banyak dari parpol melakukan rekrutmen politik masih didasari adanya kemampuan caleg memiliki sumber dana maupun kekuasaan. Hal ini pun berakibat banyak parpol yang kurang tertarik untuk merekrut perempuan sebab secara umum banyak perempuan yang tidak memiliki sumber ekonomi maupun sumber kekuasaan yang pada umumnya parpol sangat tergantung dengan sistem seperti ini. Agar implementasi undangundang tersebut dapat dilaksanakan oleh parpol di dalam merekrut perempuan untuk memenuhi kuota 30% perlu dibuat suatu lembaga yang mampu menekan agar parpol tersebut mau memperhatikan upaya affirmative action (tindakan khusus) baik melalui sosialisasi kebijakan kesetaraan jender maupun kebijakan yang sensitif jender di setiap partai maupun organisasi-organisasi yang menjadi wadah ruang lingkup perempuan. Lembaga yang dibangun merupakan wadah bagi perempuan untuk berpolitik terutama yang aktif di partai yang bertujuan untuk membangun jaringan bagi perempuan berpolitik. Lembaga ini diharapkan dapat memberi akses bagi perempuan untuk berpolitik sehingga peluang perempuan untuk duduk di legislatif lebih terbuka lebar untuk mencapai kuota 30%. Perlunya parpol membuat kebijakan atau peraturan yang dapat meningkatkan peran serta perempuan di dalam berpartisipasi politik, seperti peningkatan jumlah kuota perempuan, membuka kaderisasi bagi
perempuan yang menerapkan pendidikan politik, seperti meningkatkan kemampuan perempuan memimpin atau berorganisasi politik. Parpol diharapkan mampu membuka peluang bagi perempuan dengan cara memperhatikan kebutuhan-kebutuhan perempuan yang kadangkala menjadi hambatannya dalam menjalankan tugas-tugas parpol, seperti memberi fasilitas kemudahan perempuan untuk mendapatkan akses untuk bisa aktif di parpol, seperti menggunakan jam rapat tidak sampai tengah malam terutama ketika parpol hendak membuat keputusan penting yang strategis. Perlunya ditinjau kembali Undang-undang Pemilu No. 12 Tahun 2003 terutama pasal 65 ayat 1 mengingat masih lemahnya kekuatan hukum di dalamnya, dimana undangundang ini tidak menegaskan perlunya keterwakilan perempuan 30% di parlemen. Ketentuan Bilangan Pembagi Pemilih (BPP) dan penentuan nomor urut pada daftar calon legislatif merupakan salah satu faktor terhambatnya perempuan untuk bersaing mendapatkan kedudukan di legislatif. Seharusnya ketentuan tersebut direvisi sehingga kemenangan mayoritas suara dalam pemilihan langsung dapat menjadi kriteria seseorang tersebut terpilih untuk duduk di legislatif. KEPUSTAKAAN Amal, Ichlasul, (Editor), 1988. Teoriteori Mutakhir Partai Politik, Yogyakarta: PT Tiara Wacana Apter,
58 Jurnal Madani Edisi I/Mei 2005
David.,E, 1987. Pengantar Analisa Politik, (Terjemahan), Jakarta: LP3ES
Birch, A. H., 1971, Representative, United States of America: Preager Publisher Inc.
Saragih, Bintan R., 1991. Lembaga Perwakilan dan Pemilu di Indonesia, Jakarta: Grya Pratama
Chapman, Jenny, 1992, Politics Feminism and the Reformation of Gender, New York and London: Routledge
Surbakti, Ramlan, 1992, Memahami Ilmu Politik, Jakarta: Penerbit PT Gramedia Widiasarana Indonesia
Djohan, Djohermansyah, Drs, MA, dkk., 2002., Sistem Kepartaian dan Pemilu, Jakarta: Pusat Penerbit Universitas Terbuka.
Wahab, A. Solichin, 1990, Analisis Kebijakan: Dari Formulasi ke Implementasi Kebijaksanaan Negara, Jakarta: Rineka Cipta.
Kartono, Kartini, Dra., 1990, Pengantar Metodologi Riset, Bandung: PT Mandar Maju
Jurnal Perempuan, Edisi 14, ISSN 1410-153X
Linz, Juan, J, et al.,2001. Menjauhi Demokrasi Kaum Penjahat, Belajar dari Kekeliruan Negara-negara lain, Bandung: Mizan Malo,
Jurnal Perempuan, Edisi 34, tahun 2004 Masyarakat Indonesia, Majalahmajalah Ilmu-ilmu Sosial Indonesia, Konsolidasi Demokrasi. Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Jakarta. ISSN 012599889, Jilid XXVIII, No. 2, 2002 Partai-partai Politik Indonesia Ideologi dan Program 2004-2009, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, Februari 2004
Manasse, DR., Sri Trisnoningtias, Dra., Tanpa tahun terbitan., Metode Penelitian Masyarakat. Jakarta: Pusat Antar Universitas IlmuIlmu Sosial Universitas Indonesia
Nawawi, Hadari, Prof. Dr. H., 1987, Metode Penelitian Bidang Sosial, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Media Perempuan Edisi no.1 Th 2004 Propeda Kota Bekasi tahun 2000
Peterson, Steven A, Thomas H Rasmussen. 1994, State and Local Politics, United State of America: McGraw Hill Sanit, Arbi, 1985, Perwakilan Politik di Indonesia, Jakarta: CV Rajawali 59 Jurnal Madani Edisi I/Mei 2005