SINTESIS HASIL LITBANG 2010-2014
RPI 12 Konservasi Flora, Fauna, dan Mikroorganisme
Kementerian Kehutanan Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Pusat Penelitian dan Pengembangan Konservasi dan Rehabilitasi email :
[email protected] web : www.puskonser.or.id
KATA PENGANTAR Berdasarkan Keputusan Kepala Badan Litbang Kehutanan No. SK.23/VIIISET/2009 tentang Penanggungjawab Program Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan Tahun 2010-2014, Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi (Puskonser) mengemban tanggung jawab pelaksanaan 7 (tujuh) Rencana Penelitian Integratif (RPI) dari 25 RPI Badan Litbang Kehutanan, yakni 3 RPI sebagai komponen dari Program Litbang Hutan Alam, 2 RPI komponen dari Program Litbang Biodiversitas dan 2 RPI komponen dari Program Litbang Pengelolaan DAS. Setiap RPI dielaborasi ke dalam beberapa kegiatan penelitian untuk menjawab tujuan (ultimate objectives), sasaran (specific objectives) dan luaran (outputs) RPI yang telah ditetapkan sebagai satu kesatuan yang utuh. Seluruh kegiatan penelitian pada setiap RPI sudah selayaknya dapat disintesis luarannya untuk menghasilkan informasi ilmiah, teknologi dan input kebijakan yang utuh. Salah satu RPI Puskonser yang telah ditetapkan dalam Renstra Puskonser Tahun 2010-2014 (Revisi) adalah Konservasi Flora, Fauna dan Mikroorganisme. Sampai akhir 2014, RPI tersebut akan menyelesaikan 228 kegiatan penelitian untuk mencapai tujuan memperoleh model-model konservasi berbasis jenis serta membangun model-model pengelolaan dan pemanfaatan jenis di setiap tipologi kawasan konservasi dengan sasaran adalah flora/fauna dan mikroorganisme yang ada di dalam, sekitar dan di luar kawasan konservasi. Sampai dengan akhir 2012 (pertengahan Renstra) telah dilaksanakan 133 kegiatan penelitian oleh Puskonser, BBPBPTH Yogyakarta, BBPD Samarinda, BPK Aek Nauli, BPTHHBK Mataram, BPK Kupang, BPK Banjarbaru, BPK Samboja, BPK Manado, BPK Makassar dan BPK Manokwari. Output ke 134 kegiatan penelitian tersebut perlu disintesis dalam bentuk sintesis antara untuk melihat kemajuan/capaian kinerja RPI tersebut dan menilai apakah kegiatan penelitian dan pelaksanaannya sudah selaras (in line) dengan pencapaian tujuan dan sasaran RPI pada akhir tahun 2014. Dalam buku sintesis antara ini juga disajikan ringkasan hasil-hasil penelitian penting di bidang konservasi flora, fauna dan mikroorganisme yang ditempatkan setelah bab sintesis antara. Penyajian ringkasan hasil penelitian ini penting untuk menunjukkan darimana sumber utama sintesis antara tersebut. Hal ini perlu dilakukan mengingat kegiatan penelitian RPI ini spektrumnya sangat luas dan variatif. Sintesis antara RPI Konservasi Flora, Fauna dan Mikroorganisme tahun 2013 dapat dijadikan milestone untuk mencapai sintesis RPI akhir tahun 2014 yang berkualitas dan dapat mendorong terwujudnya konservasi flora, fauna dan mikroorganisme yang berkelanjutan. Dari sintesis antara ini, kita dapat melihat berbagai output dalam bentuk kebun konservasi genetik Ramin di OKI dan Tumbangnusa, teknik inokulasi gaharu, paten produksi gaharu buatan dan grand strategi laboratorium mikrobiologi hutan tropis. Koordinator RPI beserta tim penelitinya juga memperkaya sintesis antara ini dengan pool of knowledge yang ada.
i
Masih ada waktu selama dua tahun untuk mengisi gap penelitian yang ada dan mengkoordinasikan seluruh kegiatan penelitian untuk menghasilkan sintesis RPI yang mumpuni dan bermanfaat. Akhirnya, saya menyampaikan terima kasih kepada Koordinator RPI Konservasi Flora, Fauna dan Mikroorganisme beserta tim penelitinya yang telah menunaikan tugasnya dengan baik menyusun sintesis antara ini.Semoga sintesis antara ini bermanfaat bagi pihak yang memerlukan dan menjadi baseline penyusunan sintesis RPI berikutnya.
Kepala Pusat,
Ir. Adi Susmianto, M.Sc. NIP. 19571221 198203 1 002
ii
TIM PELAKSANA PENELITIAN RPI 12 KOORDINATOR : Dr. Ir. Titiek Setyawati, M.Sc Sub Koordinator : Dr. Ir. R Garsetiasih, M.P Dra. Marfuah Wardami, M.P Ir. Ragil S.B Irianto, M.Sc PELAKSANA Puskonser : Dr. Titiek Setyawai, M.Sc Dra. Marfuah Wardani, M.P Dr. Ir. R Garsetiasih, M.P Ir. Ragil S.B Irianto, M.Sc Ir. Adi Susilo, M.Sc Dr. Ir. Hendra Gunawan, M.Si Ir. Reny Sawitri, M.Sc Drh. Pujo Setyo, M.Si Drs. Sofian Iskandar, M.Si Ir. Mariana Takandjandji, M.Si Rozza Trikwatrina, S.Si., M.S Dr. Maman Turjaman, DEA Dr. Erdi Santoso Luciasih Agustini, S.Si., M.Sc BB Dipterocarpa
: Ir. Amiril Saridan, MP M. Fajri, S.Hut Agus Wahyudi, S.Hut
B2PBPTH Yogya : Maryatul Qiptiyah, S.Hut., M.Si BPK Makassar
: Abdul Kadir W., S.Hut., M.Si Heri Suryanto, S.Hut Ir. Merry Kiding Alo, M.S Nurhayati, SP., M.Sc Ir. Halidah, M.Sc Retno Prayudyaningsih, S.Si., M.Si Ir. Nursyamsi Bayu Broto, S.Hut.
BPK Manado
: Julianus Kinho, S.Hut Diah Irawati Dwi Arini, S.Hut
BPTP Samboja
: Drh. Amir Maaruf, M.H Teguh Muslim, S.Hut Triatmoko, S.Hut, M.Sc Noorcahyati, S.Hut
iii
BPK Manokwari
: Hadi Warsito, S.Hut Permenas Dimomonmau,S.Hut Yohanes Wibisono, S.Hut R.G.N. Triantoro, S.Hut., M.Si Krisma Lekito, S.Hut., M.Sc Sarah Yuliana, S.,Hut., M.App.Sc
BPK Kupang
: Aziz Umroni, S,Hut. Oki Hidayat, S. Hut. Ir. Kayat, M.Si Dani Sulistiyo Hadi, S.Si Hery Kurniawan, S.Hut., M.Sc Siswadi, S.Hut Sujarwo Sujatmoko, S.Hut Sumardi, S.Hut., M.Sc Rina Yuana Puspiyatun, S.Hut
BPTHHBK Mataram : Resti Wahyuni, S.Si BPK Aek Nauli
: Darmawan Edy, S.Hut Wanda Kuswanda, S.Hut, M.Sc.
BPK Banjarbaru : Rusmana, S.Hut BPK Ciamis
iv
: Aji Winara, S.Hut
DAFTAR ISI Hal. KATA PENGANTAR ...................................................................................
i
TIM PELAKSANA PENELITIAN RPI 12 ....................................................
iii
DAFTAR ISI .................................................................................................
v
DAFTAR TABEL .........................................................................................
vii
DAFTAR GAMBAR .................................................................................... I
PENDAHULUAN ........................................................................................1
II
PENDEKATAN RISET BIODIVERSITAS ..................................................2 A. Tahapan Riset ..........................................................................................2 B. Rumusan Masalah....................................................................................3 C. Metode Sintesis .......................................................................................8
III
RISET
PENELITIAN INTEGRATIF FLORA,
FAUNA DAN
9
MIKROORGANISME ................................................................................. A. SINTESIS 2010 – 2014 ..........................................................................9 1. Flora .................................................................................................9 2. Fauna ................................................................................................ 32 3. Mikroorganisme ............................................................................... 160
v
vi
DAFTAR TABEL Tabel
Hal.
1.
Perkiraan jumlah spesies yang dikenal dan perkiraan jumlah total di dunia .... 6
2.
Nilai rata rata karakter daun Eusideroxylon zwageri di KHDTK Bondowoso berdasarkan analisis klaster .......................................................26
3.
Pertumbuhan tanaman ulin umur 9 tahun di plot konservasi ex-situ tahun tanam 2004 di Bondowoso ...........................................................................27
4.
Pertumbuhan tanaman ulin umur 7 tahun di plot konservasi ex-situtahun tanam 2006 di Bondowoso ...........................................................................27
5.
Pertumbuhan tanaman ulin umur 5 tahun di plot konservasi ex-situ tahun tanam 2008 di Bondowoso ...........................................................................28
6.
Jumlah jenis dan kerapatan tumbuhan pada berbagai tingkat vegetasi ............35
7.
Jenis tumbuhan pakan Siamang di CA Dolok Sipirok dan sekitarnya ............36
8.
Hasil analisis pemilihan tipe habitat dengan menggunakan Indeks Neu .........38
9.
Jenis endoparasit banteng pada lembaga konservasi eks-situ dan kawasan konservasi in-situ ............................................................................40
10.
Jarak genetik antar populasi di KBS, KBR, TNB, TNMB, TSI II, Sapi Bali dan TSI III .............................................................................................41
11.
Jarak genetik antar populasi trenggiling (Manis javanica) .............................44
12.
Luas kawasan TNBNW berdasarkan kelas tutupan lahan...............................54
13.
Luas kawasan TNBNW berdasarkan ketinggian tempat.................................54
14.
Luas kawasan TNBNW berdasarkan kemiringan lahan .................................55
15.
Pembagian tipe habitat ..................................................................................56
16.
Luas kesesuaian habitat anoa .........................................................................57
17.
Luas kesesuaian habitat anoa berdasarkan zonasi TNBNW ...........................58
18.
Petak pengamatan I di hutan Warmariri. Sarmi ..............................................79
19.
Petak pengamatan II di hutan Warmariri, Sarmi ............................................80
20.
Petak pengamatan di hutan Sasui. Tamraw ....................................................80
21.
Petak pengamatan I di hutan Sidei, Manokwari .............................................81
22.
Petak pengamatan II di hutan Sidei, Manokwari ............................................82
23.
Nilai chi-square pemilihan ketinggian tempat oleh kakatua Sumba ...............93
24.
Indeks Neu untuk preferensi kakatua Sumba berdasarkan ketinggian tempat ...........................................................................................................93
25.
Nilai chi-square pemilihan kelerengan tempat oleh kakatua Sumba ...............94
vii
Tabel
Hal.
26.
Indeks Neu untuk preferensi kakatua Sumba berdasarkan kelerengan tempat........................................................................................................... 94
27.
Rata-rata bobot badan anak rusa pada umur penyapihan ...............................105
28.
Jenis pakan rusa Timor di penangkaran NTT ................................................107
29.
Nilai fisiologis normal pada rusa sambar di UPTD BPIB Api-api .................113
30.
Nilai hematologi normal rusa sambar di UPTD BPIB Api-api.......................113
31.
Kondisi Umum Habitat Elang Jawa di TN Gunung Halimun-Salak dan TN Gunung Merbabu ....................................................................................124
32.
Karakteristik persarangan elang di Blok Tapos (Resort Salak I, SPTN Wilayah II Bogor, TN Gunung Halimun-Salak) ............................................126
33.
Ukuran dan komposisi kelompok lutung di hutan Bodogol, TNGP ...............131
34.
Jumlah dan komposisi kelompok lutung jawa di kawasan hutan Situ Gunung .........................................................................................................132
35.
Jumlah dan komposisi kelompok lutung di kawasan hutan Gunung Beser .....132
36.
Jenis Tumbuhan Pakan Lutung Jawa .............................................................133
37.
Hasil inventarisasi satwa yang potensial menjadi mangsa macan tutul di Jawa tengah. .....................................................................................137 ...
38.
Jenis-jenis mangsa utama dan mangsa sekunder potensial bagi macan tutul jawa di Provinsi Jawa Barat dan Banten .....................................138
39.
Status sebaran Macan tutul jawa (Panthera pardus melas) di Pulau Jawa .....143
viii
DAFTAR GAMBAR Gambar
Hal.
1.
Tingkat biodiversitas di dunia ........................................................................... 1
2.
Status dan tahapan riset di bidang biodiversitas .................................................. 2
3.
Bruguiera gymnorrhiza Lamk (A. Daun; B. Buah muda; C. Buah tua) 16 jenis yang paling dominan pada hutan mangrove di Kampung Isenebuay ...........
4.
Tumbuhan non kayu pada hutan mangrove di Kampung Isenebuay (A. 16 Grammatophyllum speciosum; B. Pigafetta filaris; C. Nypa fruticans). ..............
5.
Tumbuhan berkayu pada hutan pantai di Kampung Isenebuay (A. 16 Dodonea viscosa; B. Thespesia populnea; C. Cordia subcordata). .....................
6.
Tumbuhan non kayu pada hutan pantai di Kampung Isenebuay (A. 17 Ipomoea pres-caprae; B. Widelia biflora; C. Scaevola taccada).......................
7.
Beberapa jenis vegetasi pada hutan kerangas di Kampung Isenebuay (A. 17 Gleychenia linearis; B. Flindersia pimentelliana; C. Comersonia bartramia). ........................................................................................................
8.
Mapania heyneana adalah salah satu jenis herba yang terdapat pada plot 17 monitoring biodiversitas flora TWA Gunung Meja. Jenis ini secara taksonomi sangat mirip dengan jenis pandan .....................................................
9.
Acacia nilotica yang mendapat perlakuan pengolesan pada permukaan 25 batang dan pengolesan pada batang yang ditebang .............................................
10. Merremia peltata sebelum perlakuan dan yang baru mendapat perlakuan .......... 25 11. Restorasi savanna baluran dan TN Bukit Barisan Selatan ................................... 25 12. Peta sebaran populasi siamang berdasarkan ketinggian di CADS dan 34 wilayah sekitarnya ............................................................................................. 13. Penutupan lahan di kawasan CADS dsk ............................................................. 35 14. Indeks keaneragaman jenis vegetasi di kawasan CADS dan sekitarnya .............. 36 15. Banteng jantan di KBS (A), dan di KBR (B). ..................................................... 38 16. Banteng betina di KBS (A), dan di TSI II (B)..................................................... 39 17. Bentuk tanduk banteng di empat taman nasional ................................................ 39 18. Materi genetik yang dikoleksi ............................................................................ 42 19. Hasil PCR menggunakan DNA dari darah.......................................................... 42 20. Trenggiling yang berasal dari Pulau Jawa (A) dan Pulau Sumatera (B) .............. 45 21. Karakteristik sarang Tarsius di Kawasan Bantimurung....................................... 47 22. Diagram jumlah individu serangga yang tertangkap jebakan gantung ................. 48
ix
Gambar
Hal.
23. Diagram jumlah individu serangga yang tertangkap jebakan tanam (pitt 49 fall traps) .......................................................................................................... 24. Peta Kesesuaian Habitat Anoa di Kawasan TNBNW ......................................... 58 25. Pengambilan Sampel Kotoran Anoa .................................................................. 61 26. Pengukuran Jejak .............................................................................................. 61 27. Pengukuran Jejak .............................................................................................. 61 28. Sebaran tekstur pasir peneluran sarang labi-labi moncong babi di 62 wilayah Sungai Vriendschap ............................................................................. 29. Tutupan (a) Mimosa pudica (putri malu) pada pasir peneluran di sungai 66 Jeprey dan (b) Scirpus glosus pada pasir peneluran di sungai Vriendschap ...................................................................................................... 30. Telur dari labi-labi Moncong Babi ..................................................................... 70 31. Sarang labi-labi Moncong Babi ......................................................................... 71 32. Labi-labi Moncong Babi .................................................................................... 71 33. Labi-labi Moncong Babi hasil perburuan masyarakat lokal ................................ 71 34. Labi-labi Moncong Babi hasil perburuan masyarakat lokal ................................ 71 35. Jejak Goura spp. yang ditemukan ...................................................................... 82 36. Sarang Goura spp. di hutan primer..................................................................... 83 37. Kuskus Bertotol Biasa (Spilocuscus maculatus ) jantan ..................................... 87 38. Kuskus Bertotol Biasa (Spilocuscus maculatus ) betina ..................................... 87 39. Grafik prediksi pertumbuhan populasi siamang ................................................. 91 40. Peluang kehadiran trenggiling tertinggi berdasarkan jumlah jenis tingkat 99 semai dan tumbuhan bawah ............................................................................... 41. Sistem kandang di Hutan Penelitian Dramaga, Bogor ........................................ 101 42. Sistem Mini Ranch di NTT dan Taman Safari Indonesia, Bogor ........................ 102 43. Sistem Ranch di Jonggol, Cariu, Bogor dan Ranca Upas, Bandung .................... 102 44. Sketsa kandang rusa .......................................................................................... 102 45. Bangunan peneduh pada sistem terkurung di HP Dramaga, Bogor ..................... 103 46. Tempat makan dan minum pada sistem terkurung dan Sistem Ranch ................. 104 47. Model kandang jepit di Hutan Penelitian Dramaga ............................................ 104 48. Bahan dan alat tagging (pemberian nomor telinga) pada rusa ............................ 106 49. Beberapa jenis pakan rusa Timor di HP Dramaga .............................................. 107 50. Perkembangan puting dan ambing susu pada rusa betina sebagai deteksi 109 bulan melahirkan ............................................................................................... x
Gambar
Hal.
51. Perkembangan kantung ketuban dan perilaku induk betina pada masa 110 melahirkan ......................................................................................................... 52. Perilaku induk betina dan anak yang menyusu pada masa pasca 110 melahirkan ......................................................................................................... 53. Model peti angkut rusa....................................................................................... 115 54. Titik perjumpaan elang jawa dan sarang di Blok Tapos TN Gunung 128 Halimun-Salak ................................................................................................... 55. Lokasi Perjumpaan Elang Jawa dan Elang Hitam pada Blok Hutan di 128 TN Gunung Merbabu, Jawa Tengah ................................................................... 56. Pohon sarang dan persarangan elang jawa di Sub Blok Cipinang Gading, 129 Blok Tapos TN Gunung Halimun-Salak (gambar diambil pada posisi sejajar di lereng tebing) ...................................................................................... 57. Pohon sarang dan persarangan elang jawa di Sub Blok Bobojong, Blok 129 Tapos TN Gunung Halimun-Salak (gambar diambil pada posisi dari dasar tebing) ...................................................................................................... 58. Peta kerawanan habitat macan tutul Jawa (Panthera pardus melas) di 145 Provinsi Jawa Tengah ........................................................................................ 59. Peta kerawanan habitat macan tutul jawa di Provinsi Jawa Barat dan 146 Banten ............................................................................................................... 60. Peta kesesuaian habitat macan tutul Jawa (Panthera pardus melas) di 146 Provinsi Jawa Tengah ........................................................................................ 61. Peta analisis resiko kepunahan lokal macan tutul jawa berdasarkan tipe 151 metapopulasinya ................................................................................................ 62. Peta metapopulasi macan tutul jawa di Provinsi Jawa Barat dan Banten ............. 151 63. Perkembangan jumlah kasus macan tutul keluar dari hutan dan masuk 152 perkampungan di Provinsi Jawa Barat dan Banten ............................................. 64. Jumlah dan persentase kasus keluarnya macan tutul dari hutan dan 153 masuk ke perkampungan menurut wilayah kabupaten di Provinsi Jawa Barat .................................................................................................................. 65. Jumlah kasus keluarnya macan tutul dari hutan dan masuk ke 154 perkampungan menurut bulan terjadinya di Provinsi Jawa Barat ........................ 66. Langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam penanganan konflik 159 antara macan tutul dan manusia .........................................................................
xi
iii
I. PENDAHULUAN Indonesia menduduki posisi yang penting dalam peta keanekaragaman hayati di dunia karena termasuk dalam sepuluh negara dengan keanekaragaman hayati yang tinggi (Primack et al, 1998). Keanekaragaman hayati tersebut memiliki peran yang sangat berarti bagi kehidupan manusia dan lingkungan, antara lain sebagai sumber pangan dan obat-obatan, menjadi reservoir air, menjaga siklus karbon dan lain sebagainya. Tidak hanya itu, di tingkat dunia hampir semua kawasan hutan di Indonesia memiliki tingkat biodiversitas yang tinggi dibandingkan dengan negaralain (Gambar 1).
Gambar 1. Tingkat biodiversitas di dunia (source: www.cbd.int/gbo1/chap-01.html)
Pada saat ini keanekaragaman hayati mengalami penurunan yang cukup tinggi, yang apabila tidak segera dihentikan akan mengalami penurunan secara terus menerus dan diperkirakan sekitar 20-70 persen habitat asli telah lenyap (Bappenas, 1993). Penyebab utama hilangnya biodiversitas sebagian besar akibat dari rusaknya lingkungan dan habitat akibat ulah manusia dalam mengeksploitasi sumberdaya tanpa mengindahkan kelestarian serta laju pertambahan populasi manusia (Indrawan et al. 2007). Tidak dapat dielakkan lagi bahwa kekayaan hayati terbesar banyak ditemukan di hutan-hutan di daerah tropis, meskipun daerah ini hanya mencakup 7% dari luas bumi namun lebih dari setengah dari jumlah spesies di dunia dapat ditemukan di hutan tropis (Whitmore 1990). Faktor yang menjadi ancaman utama keberadaan spesies flora dan fauna adalah pertanian, pembangunan untuk kepentingan komersial, proyek air, rekreasi alam, penggembalaan ternak, polusi, infrastruktur dan jalan, kebakaran alami dan penebangan pohon (Stein et. al., 2000). Menjaga biodiversitas serta kesehatan lingkungan sekitar kita berarti menjaga seluruh komponen baik ekosistem, habitat, populasi, spesies dan variasi genetik.Sebagian besar kerusakan habitat, terutama habitat asli di berbagai wilayah di penjuru dunia, berada di lokasi yang memiliki kepadatan populasi manusia yang tinggi (WRI 2003).
Sintesis 2010-2014
|1
II. PENDEKATAN RISET BIODIVERSITAS A. Tahapan Riset Pada intinya riset di bidang biodiversitas bertujuan untuk menambah informasi tentang status keanekaragaman mulai dari tingkat genetika, spesies, habitat hingga ekosistem. Informasi sebaiknya merupakan hal baru dan tidak mengulang kegiatan riset yang sudah dilakukan oleh orang lain. Gambar 2. menunjukkan tahapan riset yang dilalui mencakup riset dasar hingga ke terapan.
Gambar 2. Status dan tahapan riset di bidang biodiversitas Riset pada umumnya dapat dimulai dengan kegiatan yang paling awal untuk mengumpulkan data dibidang genetika, spesies, habitat dan ekosistem. Sedangkan riset terapan mencakup skala yang lebih luas lagi yakni aplikasi suatu teknik untuk memperoleh data dan infor-masi lanjutan. Untuk melakukan inventarisasi dan proses pemantauan keberhasilan riset diperlukan desain yang sesuai dan memadai. Data yang diperoleh selama beberapa waktu tidak ada gunanya jika desain pengambilan data tidak dirancang dengan baik dan tidak dapat diulang di tempat lain. Harus ada prosedur untuk melakukan inventarisasi dan monitoring untuk mengetahui tingkat keanekaragaman hayati yang ada di suatu wilayah.Tahapan atau prosedur untuk melakukan kegiatan riset yang terkait dengan inventarisasi dan monitoring biodiversitas, jika diterap-kan dengan benar maka akan mudah untuk memecahkan masalah pengelolaan ekosistem yang mencakup didalamnya habitat, spesies dan variasi genetika.Untuk melakukan riset biodiversitas di lingkup Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi ini dalam skema Rencana Penelitian Integratif, perlu dibuat tahapan sebagai berikut: - Tujuan, Sasaran dan Luaran; - Scoping (Definisi Masalah/Ruang Lingkup); - Hipotesa; - Pengumpulan data (inventarisasi, kajian);
Sintesis 2010-2014
|2
-
Analisis Data, Interpretasi, Evaluasi, Penyajian (tulisan dalam jurnal. Media dll), Penyimpanan Data; Keputusan Pengelolaan; Kajian Pengelolaan dan Pemantauan.
Tahapan tersebut diatas dideskripsikan secara lengkap dalam buku pedoman Rencana Penelitian Integratif (RPI) yang dikeluarkan oleh Badan Litbang Kehutanan untuk periode tahun 2010 – 2014 (lima tahun). B. Rumusan Masalah Menurunnya populasi suatu jenis flora dan fauna di alam lebih banyak diakibatkan oleh aktifitas manusia dalam memanfaatkan sum-berdaya alam untuk kelangsungan hidupnya. Pemanfaatan yang dilakukan tanpa upaya untuk melestarikan kelangsungan hidup jenis yang dimanfaatkan tentunya akan berdampak negatif bagi jenis flora dan fauna tertentu, terutama jenis-jenis flora yang lambat tumbuh dan secara alami memilki sifat dan karakter yang sangat spesifik. Beberapa jenis flora di Indonesia yang dimanfaatkan kayunya untuk perda-gangan,seperti contohnya beberapa jenis dalam keluarga Dipterocarpaceae memiliki kecepatan tumbuh yang sangat lambat sehingga pengambilan kayu dalam jumlah besar dalam waktu relatif singkat tidak seimbang dengan kemampuan regenerasi alaminya sehingga dikuatirkan laju kepunahan jenis akan berlangsung cepat. Bahkan terjadinya illegal logging yang akhir-akhir ini kian marak akan semakin memperparah kondisi hutan beserta isinya. Hal ini menjadi salah satu faktor yang memicu cepatnya status kelangkaan atau kepunahan jenis di habitat alaminya. Kelangkaan jenis juga bisa diakibatkan oleh kesalahan dalam mengidentifikasi suatu jenis, dalam hal ini untuk keperluan perdagangan. Seperti yang terjadi pada saat pengelompokan jenis. Ada beberapa jenis kayu yang sulit ditemukan di alam, namun pada saat diperdagangkan jenis langka tersebut masuk ke dalam kelompok jenis tertentu. Seperti contohnya adalah perdagangan jenis merbau yang dalam perdagangan dimasukkan dalam kelompok meranti. Pada prakteknya di alam sangat sulit membedakan jenis meranti dengan jenis lainnya. Ironisnya dalam kelompok meranti terdapat berbagai jenis flora yang sudah mulai langka dan juga jenis-jenis yang memerlukan perhatian akibat menurunnya populasi jenis-jenis tersebut. Bahkan berdasarkan Keputusan Gubernur Propinsi Papua No.72 tahun 2002 tentang Ketentuan Ekspor Kayu Bulat Jenis Merbau di Propinsi Papua, dalam pasal 1 ayat 3 disebutkan bahwa Merbau (Intsia sp.) adalah jenis kayu dari kelompok meranti yang termasuk dalam pos tarif/HS 4403.10.211. Demikian pula dengan kayu eboni yang pada prakteknya ada 3 species yang diperdagangkan dengan nama perdagangan yang sama yaitu eboni (Diospyros phillipinensis, D. pilosanthera dan D. rumphii) padahal menurut kriteria IUCN D. Phillipinensi smasuk kategori genting atau EN (endangered). Khusus untuk jenis Diospyros celebica yang merupakan jenis endemik di Sulawesi saat ini tercatat sebagai vurnerable /rentan dalam Daftar IUCN 2006.
Sintesis 2010-2014
|3
Disamping jenis-jenis yang memang komersial dan sudah dikenal dalam perdagangan, ada beberapa jenis kayu multi-potensial yang tidak hanya dimanfaatkan untuk kayunya namun juga sebagai bahan baku alternatif energi dan obat-obatan, saat ini populasinya di alam mengalami penurunan. Contohnya adalah jenis ki beusi (Pongamia pinnata) dan kempis/kemiren (Hernandia nymphaeifolia). Ki beusi merupakan jenis yang umum tumbuh di hutan dataran rendah, mangrove atau pantai berpasir yang dikenal sebagai ekosistem yang saat ini juga mengalami tekanan akibat kerusakan karena alih fungsi lahan. Jenis ini secara lokal digunakan sebagai bahan bangunan dan barang-barang/furniture rumah tangga. Jenis ini juga menghasilkan minyak yang digunakan sebagai bahan pelumas dan penyamak kulit. Kulit kayu dan daunnya digunakan sebagai bahan obat. Akar dari jenis ini mengandung bakteri rhizobium yang bermanfaat untuk menyuburkan tanah. Jenisjenis yang banyak dimanfaatkan dan merupakan jenis yang umum ditemukan di habitat aslinya yang dikategorikan menjadi spesies kunci. Penanaman baru dimulai pada tahun 2009 di Cikalong, Tasikmalaya oleh Balai Besar Pemuliaan Tanaman HutanYogyakarta dan pembibitan juga dilakukan oleh instansi ini. Kedua jenis ini populasinya saat ini hanya terbatas di Cagar Alam dan Taman Nasional. Spesies kunci juga dapat dijadikan indikator kerusakan habitat atau ekosistem, seperti contohnya ramin yang hanya tumbuh baik di daerah rawa gambut dan beberapa jenis baik flora dan fauna kunci yang terdapat baik di dataran tinggi maupun dataran rendah kawasan hutan tropika di Indonesia. Selain jenis-jenis kayu komersial yang telah dikenal, berbagai jenis kayu yang kurang dikenal (lesser-known species) bahkan masih ada kemungkinan belum teridentifikasi dengan benar berdasarkan nomenklatur (nama botanis), juga terancam kelangkaan dan kepunahan akibat penyusutan hutan. Laporan IUCN yang terbaru menyatakan bahwa hampir sebagian besar jenis flora yang terancam punah atau masuk dalam red list berada di Indonesia (Heriyanto dan Subiandono 2003). Namun demikian data yang diperoleh dari laporan IUCN tersebut juga perlu dikaji ulang karena data dan informasi yang diperoleh kemungkinan menggunakan teknik yang berbeda sehingga kepastian status langka oleh IUCN belum tentu terbukti dengan kondisi yang sebenarnya di alam. Hasil kajian Heriyanto dan Garsetiasih (2002) menunjukkan bahwa jenis-jenis yang masuk dalam daftar IUCN ternyata berdasarkan hasil analisa tidak menunjukkan kelangkaan, dan ada juga beberapa jenis lainnya yang berbeda status kelangkaannya. Jenis non-Dipterocarpaceae yang masuk dalam kategori langka dan terancam punah di Pulau Jawa antara lain Planchonia valida, Phyllanthus indicus, Sterculia oblongifolia, Bischoffia javanica, Symplocos fasciculate, Zyzygium antiseptum, Alstonia scholaris, Parkia roxburghiidan Stelechocarpus burahol. Upaya konservasi eks-situ untuk jenis Dipterocarpus haseltii telah dilakukan oleh peneliti dari Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi dengan melakukan penyemaian anakan hasil cabutan alam dari Cagar Alam Leuweung Sancang di lokasi KHDTK Pasir Awi.
Sintesis 2010-2014
|4
Beberapa kajian jenis flora langka penghasil tengkawang berikut upaya konservasi in-situ dan eks-situ telah dilakukan di beberapa wilayah di Kalimantan Timur, Tengah dan Barat oleh beberapa peneliti dari Balai Besar Penelitian Diperokarpa Samarinda. Salah satu contoh upaya konservasi in-situ jenis Shorea sp. yang berhasil dibangun adalah seluas 18 ha di Muara Wahau dan Malinau. Demikian pula dengan konservasi in-situ untuk Agathis borneensis di hutan alam Berau dan Melak seluas 4,6 ha, sedangkan konsevasi eks-situ seluas 1 ha di hutan produksi Samboja. Tidak hanya flora, satwa juga mengalami hal yang sama. Ancaman utama pada penurunan populasinya adalah akibat kerusakan dan fragmentasi habitat, polusi, pemanfaatan jenis secara berlebihan, introduksi jenis eksotik dan penyebaran penyakit (Primack et al, 1998). Seperti contohnya keragaman burung yang sangat tergantung pada tegakan hutan dan kualitas ekosistem. Dengan demikian, keanekaragaman burung langka (besar) bisa digunakan sebagai indikatorbagi sebaran dan populasi satwa terestrial dan arboreal lainnya seperti macan tutul, harimau, tapir, gajah dan mamalia lainnya yang saat ini terancam punah. Contoh lainnya yaitu burung punai besar (Treron capellei) yang biasa dikonsumsi oleh masyarakat saat ini mulai menurun populasinya di alam. Burung ini masuk dalam ketegori rentan (Vurnerable) berdasarkan IUCN (2002). Sebaliknya, satwa yang di beberapa wilayah dianggap mulai berkurang populasinya seperti rusa (Rusa timorensis) ternyata memiliki potensi untuk dikembangbiakkan melalui penangkaran. Disamping itu daging rusa merupakan sumber protein hewani yang mulai dilirik oleh pasar saat ini. Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi sudah mulai melakukan uji peningkatan laju reproduksi rusa dan kajian pasar konsumsi daging rusa sebagai pengganti daging sapi. Penelitian tentang populasi, dan habitat satwa akan selalu terkait dengan jenis satwa itu sendiri dan tergantung pula dengan kondisi tapak dari lokasinya. Sejak tahun 2003 hingga 2008, Puslitbang Konservasi dan Rehabilitasi sudah melakukan kegiatan riset yang terkait dengan konservasi in-situ beberapa jenis burung (tipe penetap dan invasive). Termasuk di dalamnya juga mengkaji aspek pemanfaatan-nya secara komersial. Selain burung, penelitian mamalia khususnya konservasi in-situ banyak dilakukan di kawasan hutan taman nasional, hutan lindung dan hutan produksi. Termasuk didalamnya juga aspek ekonomi jenis-jenis trenggiling (Manis javanicus) dan kancil (Tragulus javanica), serta monyet ekor panjang (Macaca fascicularis) yang akhir-akhir ini ramai diperbincangkan karena banyaknya permintaan akan jenis monyet ini untuk dijadikan obyek penelitian kedokteran. Meningkatnya permintaan dalam perdagangan dan ekspor satwa-liar dari Indonesia ditandai dengan tingginya angka kuota ekspor atau penangkapan satwa untuk diperdagangkan (masuk dalam CITES), seperti monyet ekor panjang sebanyak 4.000 ekor per tahun. Jenis lain yang diekspor ke luar negeri seperti ular sanca, biawak, karnifora dan beberapa jenis burung. Sayangnya, semua jenis tersebut masih Sintesis 2010-2014
|5
diperoleh dari alam (PHKA, 2007). Dari hasil perdagangan satwaliar ini, berhasil meraup devisa sebanyak Rp. 2.285.152.708,- (Departemen Kehutanan, 2008). Realitas ini menunjukkan bahwa satwaliar dijadikan andalan hasil hutan bukan kayu (HHBK) yang menjanjikan karena jika dikelola dengan baik dan jenis satwanva memiliki tingkat reproduksi yang tinggi sebagai sumberdaya hutan yang terperbaharui maka hal ini dapat mendorong pemerintah dan masyarakat untuk lebih memperhati-kan keberadaan dan keberlangsungan hidup satwa-satwa multiguna tersebut. Selama 5 tahun terakhir,diperoleh devisa dari ekspor satwa sebesar lebih dari 40 kali lipat. Selain jenis-jenis lokal dan endemik yang menjadi target penelitian, jenis flora dan fauna eksotik yang bersifat invasif juga merupakan topik kegiatan penelitian yang menarik mengingat keberadaan jenis-jenis tersebut pada awalnya diperuntukkan bagi tujuan tertentu. Seperti contohnya, penanaman Acacia nilotica di Taman Nasional Baluran pada awalnya adalah untuk mencegah terjadinya kebakaran agar tidak mudah meluas atau menjadi tanaman sekat bakar namun pada akhirnya jenis ini menjadi dominan dan menekan pertumbuhan jenis-jenis flora lokal serta sulit untuk dikendalikan. Jenis invasif ini dipahami bisa berpengaruhnegatif maupun positif bagi kesehatan manusia, lingkungan dan ekonomi di suatu negara, terutama kesehatan dan produktifitas hutan. Jenis asing invasif sangat berpengaruh terhadap keberlangsungan biodiversitas di Indonesia. Definisi biodiversitas secara luas diterjemahkan kedalam beberapa tingkatan penilaian berdasarkan wilayah kecil dan batasan negara yang ada di seluruh dunia. Dalam skala dunia, sekitar 1,75 miliar spesies sudah terdeskripsi dan memperoleh nama ilmiahnya dan masih banyak lagi yang belum ditemukan (Tabel 1). Tabel 1. Perkiraan jumlah spesies yang dikenal dan perkiraan jumlah total di dunia Kerajaan Bakteri Protoctists (alga, protozoa, dll) Fauna Fungi
Spesies dikenal 4 .000 80.000 1.320.000 70.000
Flora
270.000
JUMLAH TOTAL
1.744.000
Perkiraaan jumlah total 1.000.000 600.000 10.600.000 1.500.000 300.000 ca.14.000.000
Sumber : CBD (www.cbd.int/gbo1/chap-01.html) Status konservasi suatu jenis secara global yang dibuat selama ini adalah berdasarkan kategori IUCN. Lembaga riset di Indonesia yang diprakarsai oleh LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia) telah membuat daftar flora langka yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia (Mogea et al,2001). Namun demikian, masih perlu diadakan kajian potensi terkini menyangkut status jenis-jenis flora dan fauna
Sintesis 2010-2014
|6
tersebut untuk mengetahui potensi dan status terakhir masing-masing jenis tersebut di habitat alaminya. Jika IUCN khusus membuat daftar semua jenis flora yang perlu mendapatkan perhatian khusus disebabkan potensi di habitat alaminya, terutama di dataran tinggi dan dataran rendah yang mulai menurun maka untuk jenis-jenis flora yang diperdagangkan kayunya secara internasional, CITES telah membuat daftar jenisjenis yang perlu dilindungi berdasarkan tingkat kelangkaannya. Pada dasarnya, CITES membuat daftar untuk flora dan fauna. Daftar ini sangat membantu dalam upaya mencegah penebangan liar, perdagangan satwaliar dan pasar gelap. CITES membagi kelompok/kategori berdasarkan status kelangka-an jenis di alam yaitu Appendix I tentang jenis-jenis yang sudah terancam punah sehingga peredaran antar negara dilarang, kecuali untuk tujuan tertentu dan tidak merusak habitat alaminya. Appendix II memuat jenis yang belum terancam punah namun jika perdagangan internasional tidak dikontrol maka terjadi risiko kepunahan. Sedangkan Appendix III memuat jenis-jenis yang perlu diawasi oleh suatu negara secara internasional, meskipun negara tempat penyebaran jenis yang bersangkutan belum memerlukan alat kontrol secara interna-sional. Seperti kasus ramin di Indonesia, yaitu menurunnya potensi ramin di alam serta tingginya risiko kepunahan, sedangkan ramin masih diperdagangkan secara internasional, maka perdagangan yang tidak dikontrol dikuatirkan akan menyebabkan kepunahan jenis ramin dalam waktu singkat. Dengan demikian, ramin masuk dalam kategori Appendix III (Sumarhani, 2007). Selain ramin, masih banyak jenis flora pohon lainnya yang memerlukan perhatian karena populasinya di alam mengalami penurunan drastis akibat eksploitasi yang tidak mengindahkan keles-tarian serta akibat menurunnya kualitas habitat atau ekosistem tempat jenis tersebut hidup. Seperti contohnya, ulin (Eusideroxylon zwageri) dan eboni (Diospyrosspp.) keberadaannya di alam terancam kepunahan akibat penurunan populasi di beberapa habitat aslinya di Kalimantan dan Sulawesi. Demikian pula dengan beberapa jenis fauna yang habitatnya di Indonesia mengalami penurunan hingga mencapai 49% (Mc.Neely et al. 1990). Beberapa kawasan hutan yang masih berfungsi dengan baik, tidak hanya di kawasan konservasi dan bahkan di kawasan hutan produksi yang tidak produktif, masih bisa dimanfa-atkan oleh beberapa jenis satwaliar, terutama jenis fauna langka terestrialdan jenis satwa arboreal yang dapat beradaptasi dengan baik (Bismark, 2006). Dalam rangka mencegah kepunahan jenis-jenis flora dan fauna yang saat ini sudah sangat sulit ditemukan di habitat alaminya, berbagai lembaga baik nasional dan internasional serta badan-badan dunia di bidang yang terkait membuat inisiatif untuk melakukan kajian tentang perlindungan dan pengawetan bagi flora dan fauna yang mengalami tekanan di habitat aslinya akibat perkembangan kemajuan jaman.
Sintesis 2010-2014
|7
Upaya konservasi yang didasarkan pada tiga pilar Convention on Biological Diversity (CBD) yaitu perlindungan, pengawetan plasma nutfah dan pemanfaatan sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya berdasarkan prinsip kelestarian (Ramono, 2004) perlu mendapatkan dukungan tidak hanya oleh pemerintah pusat namun juga pemerintah daerah dan masyarakat setempat.Kegiatan konservasi ini pada dasarnya bertujuan untuk mencegah kepunahan keanekaragaman genetik, jenis dan ekosistem. Permasalahan di atas tersebut dicoba dirumuskan untuk mencari solusi atau jawabannya melalui pembagian berdasarkan takson yakni flora, fauna dan mikroorganisme berdasarkan komponen berikut:
-
Analisis biofisik dan potensi flora, fauna dan mikroorganisme; Biologi konservasi jenis flora, fauna dan mikroorganisme; Bioprospecting mikroorganisme; Konservasi eks- situ dan in- situ flora, fauna dan mikroorganisme.
C. Metode Sintesis Pembuatan sintesis hasil penelitian dilakukan berdasarkan hasil riset yang dilakukan oleh para pelaksana di masing-masing UPT yang kegiatan risetnya dimulai pada tahun 2010 dan didanai oleh anggaran DIPA ditambah dengan penelitian lain yang terkait. Sintesis diperlukan untuk melihat sejauh mana capaian akhir hasil riset yang dilakukan. Jika ada gap atau kesenjangan dapat direncanakan tindakan yang perlu dilakukan untuk memenuhi target pencapaian riset. Sintesis dibangun berdasarkan hasil dari riset dikombinasikan dengan berbagai pengetahuan maupun pengalaman yang diperoleh dari sumber lainnya dengan aspek yang sama. Sintesis diperoleh melalui koleksi rangkuman hasil penelitian sesuai dengan tema yang tertera dibawah RPI 12 konservasi flora, fauna dan mikroorganisme. Masing-masing kegiatan berada pada sub-bab dibawah tema yang sudah ditentukan dalam kerangka kerja logis (KKL) pedoman RPI dan disahkan oleh Badan Litbang Kehutanan (Lampiran 1). Indikator yang tertera pada KKL menjadi bahan verifikasi untuk menilai apakah sasaran dan tujuan akhir bisa tercapai jika dibanding-kan dengan perkembangan riset sesuai yang dilaporkan atau dirang-kum hingga tahun berjalan. Kata kunci dari masing-masing indikator dapat ditemukan pada tujuan di setiap tema yang tertera pada KKL. Scoring dan valuasi dilakukan secara subjektif mengingat tidak ada perangkat yang digunankan untuk menilai secara kuantitatif. Penilaian lebih berdasarkan pada capaian secara kualitatif.
Sintesis 2010-2014
|8
III. RISET PENELITIAN INTEGRATIF FLORA, FAUNA DAN MIKROORGANISME A. SINTESIS 2010 – 2014 1.
FLORA
a.
Informasi Biofisik Habitat, Dinamika Populasi dan Keragaman Genetik Jenis-Jenis Flora Langka dan Terancam Punah (Ki beusi, Kempis, Genetika Cendana, Eksplorasi Ulin, Ramin, dan Eboni)
a.1. Habitat Dan Populasi Ulin di Kalimantan Barat, Tengah dan Selatan. Kegiatannya penelitian tahun 2010 dilakukan pada tiga lokasi di wilayah Kalimantan Timur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ulin (Eusideroxylon zwageri Teijsm.&Binn.) tumbuh dengan baik pada tempat-tempat yang memiliki kondisi iklim dengan tingkat kelem-baban udara yang relatif tinggi (69,17%-79,29%) dan suhu berkisar antara 27,06ºC hingga 29,16ºC serta dengan pH tanah yang sangat masam hingga agak masam. Unsur kimia tanah (terutama yang bersifat makro) umumnya sangat rendah hingga rendah. Tekstur tanah bervariasi antara berpasir (di Sungai Wein) hingga berliat (Muara Wahau). Topografi di daerah ini umumnya bergelombang, hanya sebagian kecil yang merupakan daerah datar hingga landai, mulai dari tepi sungai hingga punggung bukit. Hasil penelitian tahun 2010 tersebut memberikan data bahwa dalam petak cuplikan seluas 1-1,84 ha tercatat sebanyak 172-234 jenis pohon yang berdiameter batang ≥10 cm, dengan nilai kerapatan 484503 pohon/ha dan luas bidang dasar 31,13-36,68 m²/ha. Populasi ulin sangat kecil dan cenderung menjadi semakin langka karena eksploitasinya yang berlebihan. Regenerasi alaminya tidak menunjukkan prospek yang menguntungkan bagi upaya konservasi. Oleh karena itu upaya pengembangan dan konservasi eks-situ perlu dilakukan. Kegiatan pada tahun berikutnya yang dilakukan pada dua lokasi menunjukkan bahwa tegakan ulin (Eusideroxylon zwageri Teijsm.&Binn.) di areal HPH PT Aya Yayang (Kabupaten Tabalong, Kalimantan Selatan) dan Mungku Baru (Kota Palangka Raya, Kalimantan Tengah) tumbuh baik pada tempat-tempat yang memiliki kondisi iklim dengan tingkat kelembaban udara yang tinggi. Suhu udara rata-rata antara 26,40ºC dan 29ºC dengan kelembaban udara antara 68% dan 81% di Tabalong. Sedangkan untuk di Mungku Baru, nilai kisarannya adalah antara 26,6 dan 29,7ºC untuk suhu udara dan antara 74 dan 82% untuk kelembaban udaranya. Topografi pada kedua areal penelitian sangat berbeda. Di Tabalong, topografinya bergelombang mulai dari lereng-lereng di tepi anak sungai hingga punggung bukit, sedangkan yang di Mungku Baru umumnya datar hingga agak landai dengan beberapa anak sungai yang mengalir di dalamnya. Pada petak pengamatan (jalur) seluas 60m x 5m (= 0,03 ha) tercatat sebanyak 455 semai atau dengan nilai kerapatan
Sintesis 2010-2014
|9
15.167 semai/ha. Pada daerah ini, intensitas cahayanya berkisar antara 30,8 hingga 34,4 lux. Perkembangan atau pertumbuhan ulin mengalami stagnan yang dicirikan oleh menurunnya jumlah semai setelah mencapai tinggi 100 cm. Semai yang baru tumbuh sangat jarang karena musim berbuah ulin dalam 2-3 tahun terakhir ini tidak teratur atau bahkan tidak terjadi. Populasi dan habitat ulin saat ini mengalami penurunan yang sangat drastis akibat dari gangguan (terutama penebangan) yang berlebihan yang dilakukan oleh masyarakat, dan itu terjadi baik di hutan-hutan produksi, hutan lindung maupun di hutan konservasi. Proses regenerasi ulin secara alami cenderung mengarah ketidak normalan, berlangsung sangat lambat dan berisiko mengancam kelestarian ulin di masa datang apabila penanganannya (melalui upaya pengembangan dan konservasi in-situ) tidak dilakukan secara sungguh-sungguh. Kegiatan eksplorasi benih ulin pada tahun 2012 dilakukan di Balikpapan, Kabupaten Kutai Timur, Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kabupaten Berau. Sebanyak 2.821 benih ulin dari 84 pohon induk telah dikumpulkan dan disemaikan di persemaian Balitek KSDA Samboja. Bentuk benih ulin bervariasi diantaranya obovoid, ellipsoid, oblong dan sylindrical dengan panjang 9,88 s/d 10.53 cm dan diameter 4,94 s/d 5,16 cm. Total benih yang berkecambah pada akhir 2012 sebanyak 68,3%. Persentase perkecambahan tertinggi berasal dari Balikpapan sedangkan terendah dari Penajam Paser Utara. Tinggi dari 20 semai ulin tertinggi berkisar antara 57,5 - 74,2 cm. Rencana lokasi pembangunan plot penanaman ulin adalah antarai Km 3,5 - Km 4 arah Semoi, KHDTK Samboja. a.2. Informasi Jenis Eboni (Diospyrosspp.) dan Populasinya di Kawasan Konservasi Cagar Alam Tongkoko, TN Bogani Nani Wartabone Dan TN Aketajewa Lolobata. Di Cagar Alam Tangkoko ditemukan jenis-jenis eboni pada ketinggian tempat< 500 m dpl. Teridentifikasi ada tujuh jenis eboni yaitu Diospyros malabarica Kostel., D. cauliflora Blume, D. minahasae Bakh, D. pilosanthera Blanco, D. ebenum A. Koenig, D. korthalsiana Hiern. dan D. hebecarpa A.Cunn. Pada tingkat pohon, INP tertinggi pada D. pilosantherayaitu 9,91% dan terendah pada D. cauliflora yaitu 0.75%. Permudaan alami yang cukup banyak terdapat pada jenis D. pilosanthera dan D. cauliflora. Permudaan alami eboni jenis D. cauliflora pada tingkat semai berjumlah banyak, dan pada tingkat pohon sangat kurang. Hal ini disebabkan eboni termasuk jenis semi toleran, membutuhkan naungan pada tingkat semai dan ketika tumbuh menjadi pohon dewasa membutuhkan penyinaran matahari yang cukup. Pada ketinggian tempat > 500 m dpl. eboni yang ditemukan sebanyak lima jenis yaitu D. maritima, D. ebenum, D. cauliflora , D. pilosanthera , dan D. minahasae . INP pohon tertinggi pada D. minahasaeyaitu 9,47% dan terendah pada D. Maritima yaitu1,86%. Permudaan alami yang cukup banyak terdapat pada jenis D. minahasae dan D. pilosanthera. Secara kuantitas, distribusi jenis eboni pada ketinggian tempat < 500 m
Sintesis 2010-2014
| 10
dpl. lebih melimpah bila dibandingkan dengan ketinggian tempat > 500 m dpl. Jenis eboni yang populasinya terbatas dihabitat alami pada kawasan CA.Tangkoko yaitu D. korthalsiana yang hanya ditemukan pada tingkat tiang dengan jumlah individu yang sangat sedikit. Tercatat sebanyak 153 jenis yang terdiri dari 39 famili dalam berbagai tingkat vegetasi yang hidup berasosiasi dengan eboni (Diospyros spp.). Famili Euphorbiaceae merupakan famili yang paling dominan, yakni sebanyak 12 jenis, Lokasi penelitian di bawah 500 m dpl. memiliki indeks keanekaragaman species (H’) = 3,369. INP tertinggi untuk vegetasi tingkat pohon yaitu Cananga odorata Hook.f.et Th. sebesar 40,36%. Pada lokasi penelitian di atas 500 m dpl., INP tertinggi yaitu Homalium celebicum Koorder., sebesar 17,43% dengan indeks keanekaragaman spesies (H’) sebesar = 3,386. Populasi eboni pada ketinggian tempat di atas 500 m dpl. lebih besar daripada ketinggian tempat di bawah 500 m dpl. Jumlah populasi pada tingkat semai tinggi, kemudian cenderung menurun pada tingkat pancang dan tiang selanjutnya kembali naik pada tingkat pohon. Eboni dari jenis D. cauliflora dan D. pilosanthera, relatif mempunyai permudaan alami yang lebih tinggi dibanding dengan eboni jenis lainnya. Di CA. Tangkoko, tempat tumbuh pohon eboni (D. pilosanthera) bervariasi mulai dari 60-450 m dpl. Konsentrasi pertumbuhan berdasarkan altitude yang paling banyak (melimpah) pada ketinggian tempat 301-400 m dpl, dengan kelerengan antara 100-300. Ketinggian tempat, suhu rata-rata dan interaksi antara kedua faktor tersebutberpengaruh nyata terhadap diameter pohon yang dijumpai. Faktor suhu berpengaruh nyata terhadap diameter batang permudaan tingkat tiang, namun ketinggian tempat tumbuh tidak berpengaruh nyata pada diameter batang. Permudaan tingkat pancang berpengaruh nyata menurut ketinggian tempat tumbuh. Interaksi antara faktor ketinggian tempat tumbuh dan suhu juga berpengaruh nyata terhadap diameter batang. Di Taman Nasional Bogani Nani Wartabone (TNBNW) diketemukan jenis-jenis eboni pada ketinggian tempat < 500 m dpl. Teridentifikasi ada enam jenis eboni yaitu D. cauliflora, D. minahasae, D. malabarica, D. pilosanthera, D. korthalsiana dan D. buxifolia. INP tertinggi tingkat pohon adalah D. pilosanthera yaitu 3,22% dan terendah adalah D. cauliflora yaitu 0,64%. Pada ketinggian tempat> 500 m dpl. hanya dijumpai 2 jenis eboni yaitu: D. cauliflora dengan INP 0,64% dan D. pilosanthera dengan INP 6,73%. Jenis eboni yang paling dominan di dua ketinggian tempat tumbuh tersebut adalah D. pilosanthera.Jenis D. pilosanthera memiliki permudaan tingkat semai dan jumlah pohon dewasa paling banyak dengan sebaran lebih luas dan kerapatan yang tinggi. Eboni yang paling sedikit dijumpai adalah jenis D. buxifolia, di mana hanya dijumpai pada tingkat semai dan pancang. Berdasarkan hasil analisis vegetasi terdapat sedikitnya 137 jenis yang terdiri dari 28 famili dalam berbagai tingkatan vegetasi. Kelompok famili yang paling banyak jumlah jenisnya adalah Euphorbiaceae yaitu 11 jenis, kemudian Clusiaceae dan Myristicaceae, yang masing-masing mempunyai 7 jenis, sedangkan suku Ebenaceae yang ditemukan sebanyak 6 jenis. Pada lokasi penelitian di bawah 500 m dpl. untuk
Sintesis 2010-2014
| 11
tingkat pohon, nilai INP tertinggi adalah Drypetes neglecta 28,75% dengan nilai H 3,553, sedangkan pada ketinggian tempat > 500 m dpl. untuk tingkat pohon INP tertinggi adalah Macaranga celebica yaitu 18,56% dengan nilai H 3,666. Di TN. Bogani Nani Wartabone, faktor suhu danketinggian tempat tidak berpengaruh nyata terhadap diameter pohon eboni (D. pilosanthera) pada tingkat pohon. Frekuensi perjumpaan pohon yang tertinggi pada kuadran ke III (201-300 m dpl.) dengan diameter pohon rata-rata 76,38 cm dan diameter berkisar antara 42 sampai 113 cm. Faktor ketinggian tempat tumbuh, suhu dan interaksi keduanya berpengaruh nyata terhadap diameter permudaan eboni tingkat pancang. Pengaruh suhu dan ketinggian tempat tumbuh terhadap tinggi permudaan eboni (D. pilosanthera) tingkat pancang tidak berbeda nyata, sedangkan interaksi keduanya berbeda nyata. Anakan eboni (D. pilosanthera) selain menyebar dibawah pohon induknya, banyak juga ditemukan tumbuh bergerembol jauh dari pohon induknya. Di TN. Aketajawe Lolobata, tercatat ada 13 jenis eboni yaitu: D. buxifolia, D. cauliflora, D. celebica, D. ebenum, D. hebecarpa, D. korthalsiana, D. lolin, D. malabarica, D. maritima, D. minahasae, D.philippinensis, D. Pilosanthera dan D. rumphii. Vegetasi tempat tumbuh eboni di lokasi penelitian lebih banyak didominasi tingkat semai. Berdasarkan hasil pengukuran tingkat pohon, INP tertinggi terdapat pada jenis Canarium indicum sebesar 57,43%. Sedangkan pengamatan vegetasi pada ketinggian tempat di atas 500 m dpl. hanya dijumpai beberapa jenis vegetasi pioner seperti Imperata cylindrica, Spathologlotis plicata, Nephentes hirsutum dan Nephentes spp., serta beberapa jenis dari suku Clusiaceae seperti Calophyllum spp. dan Garcinia sp. a.3. Eksplorasi Habitat dan Populasi Eboni (Diospyros celebica Bakh) di Sulawesi Selatan. Kegiatan eksplorasi dilakukan di hutan Bellabori, Kabupaten Gowa dan di hutan Coppo, Lasitae, Kabupaten Barru. Dari data yang dikumpulkan, habitat eboni pada kedua lokasiberada pada formasi hutan hujan dataran rendah dengan ketinggian tempat antara 60 sampai 175 m dpl. Kondisi hutan mengalami gangguan akibat tebangan. Eboni juga tumbuh diatas kondisi tanah yang masam, cukup dalam, berdrainase baik dengantekstur lempung berliat. Sifat kimia ditandai dengan rendahnya tingkat ketersediaan unsur hara makro, nilai tukar kation rendah, kejenuhan basa rendah yang ditandai denganrendahnya kandungan Ca dan Mg. Penyebaran populasi eboni pada hutan yang terganggu lebih kecil dibandingkan dengan hutan utuh. Perlu dilakukan penanaman pengayaan pada lokasi yang tingkat regenerasi tumbuhnya rendah. Benih dapat diambil dari anakan alami yang tumbuh di bawah tegakan induknya. Penanaman dapat dilakukan dengan jalur maupun dalam petak-petak dengan konsentrasi penanaman di bawah tegakan yang jarang dengan pohon yang terpencar. Penanaman pengayaan dapat dilakukan dengan melibatkan masyarakat setempat.
Sintesis 2010-2014
| 12
b.
Teknik Pelestarian Jenis Flora Langka dan Terancam Punah (Taxus, Dipterokarpa, Pinus, Gaharu, Symplocos, Sterculia, Kayu Papi, Ramin, Kempas, Ulin, Flora Endemic Papua, Flora Kunci Dataran Rendah, IAS, Identifikasi Flora Invasif Merauke).
b.1. Teknik Konservasi Gaharu (Gyrinops versteegii), Kadimbil/ Merbau (Intsia bijuga) dan Injuwatu (Pleiogynium timoriense) di Nusa Tenggara Timur. Daerah persebaran alami gaharu (Gyrinops versteegii (Gilg) Domke) di Nusa Tenggara Timur meliputi Sumbawa dan Pulau Flores. Jenis ini di Sumbawa dapat ditemui di Sumba Tengah, Sumba Barat, Ende, Nagekeo dan Amfoang Kabupaten Kupang. Gyrinops versteegii paling banyak dijumpai di Pulau Flores, terdapat pada ketinggian tempat 250–1.000 m dpl., dengan suhu rata-rata 26oC. Pengumpulan data gaharu tahun 2012, dilaksanakan di Kabupaten Ende dan Nagekeo, Flores.Di Kabupaten Ende, G. versteegii dapat dijumpai di dua desa yaitu di Desa Mbobhenga dan Desa Detukeli. Kondisi habitat G. versteegii di Desa Mbobhenga memiliki ketinggian tempat 662–700 m dpl. Berdasarkan informasi masyarakat Desa Mbobhenga, pada tahun 1980-an G. Versteegiidi alam masih banyak dijumpai. Tingginya tingkat eksploitasi menyebabkan populasinya mengalami penurunan. Gyrinops versteegii di Desa Detukeli dijumpai pada ketinggian tempat ±1.000 m dpl.dengan suhu ± 26oC. Pada lokasi ini pohon G. versteegii yang dijumpai merupakan pohon hasil penanaman tahun 1997. Koleksi materi genetik G.versteegii didapatkan dari beberapa populasi meliputi Ende dan Nagekeo (Pulau Flores), Sumba Barat dan Sumba Tengah (Pulau Sumba) serta Amfoang, Kabupaten Kupang (Pulau Timor). Koleksi materi genetik yang diambil dari lokasi terdiri dari cabutan anakan alam, buah serta biji. Koleksi materi genetik dalam bentuk buahdilakukan dengan mengunduh buah masak. Sedangkan anakan alam diambil dengan cara mencongkelnya. Kondisi anakan yang diambil mempunyai tinggi sekitar 7 cm. Pembangunan plot konservasi eks-situ G. versteegii direncanakan di Wanariset Soe, Kabupaten Timor Timur Selatan/TTS (Pulau Timor). Daerah persebaran kadimbil/merbau (Intsia bijuga (Colebr.) O.K.) dan injuwatu (Pleiogynium timoriense (DC.) Leenh.) saat ini diketahui hanya tumbuh secara alami di Pulau Sumba, yaitu di Sumba Barat dan Sumba Timur. Kondisi habitat kadimbil/merbau yaitu tumbuh pada ketinggian tempat 131-558 m dpl.; suhu udara 28,10C-29,30C; kelembaban udara61-63%. Kondisi habitat injuwatu, tumbuh pada ketinggian tempat 22-157 m dpl.; suhu udara 27,60C-39,10C; dan kelembaban udara 67-86%. Koleksi materi genetik kadimbil dan injuwatu didapatkan dalam bentuk cabutan anakan. Koleksi materi genetik kadimbil diperoleh dari dua populasi, yaitu Lamboya dan Lamboya Bawah. Koleksi materi genetik injuwatu diperoleh dari dua populasi yaitu Pambotan Jara dan Tarimbang.
Sintesis 2010-2014
| 13
Konservasi eks-situ kadimbil/merbau dibuat di KHDTK Banamla’at, Kefamenanu, Kabupaten Timor Timur Utara/TTU(Pulau Timor). Penanaman jenis kadimbil/merbau dilapangan menunjukkan perbedaan pertumbuhan antar populasinya. Kadimbil yang berasal dari populasi Lamboya Bawah memiliki rata-rata pertumbuhan tinggi dan diameter yang lebih baik dibandingkan dengan populasi Lamboya. Meskipun terdapat perbedaan pertumbuhan dari ke dua populasi tersebut, kadimbil/merbau dari kedua populasi, secara visual masih mampu tumbuh dengan baik diluar habitat aslinya. Konservasi eks-situ untuk jenis Injuwatu dilaksanakan di KHDTK Banamla’at Kefa Kabupaten TTU (Pulau Timor). Penanaman awal (dua populasi yaitu populasi Pambotan Jara dan Tarimbang) hingga akhir bulan Desember 2012 diketahui bahwa secara visual tanaman dapat tumbuh dengan baik. Bila dilihat dari persen hidup, tanaman dari dua populasi ini memiliki persen hidup 100%. Dengan demikian dapat diprediksi bahwa injuwatu mampu tumbuh beradaptasi dengan baik diluar habitat alaminya. Kesimpulan : 1. Daerah persebaran gaharu di Nusa Tenggara Timur meliputi Pulau Sumbawa dan Pulau Flores. Jenis ini di Sumbawa dapat ditemui di Sumba Tengah, Sumba Barat, Ende, Nagekeo dan Amfoang Kabu-paten Kupang. Gaharu di Pulau Flores tumbuh pada ketinggian tempat 250-1.000 m dpl., dengan suhu rata-rata 26oC. Jenis ini di Kabupaten Ende dan Nageke (Flores), dapat dijumpai di desa Mbobhenga dan desa Detukeli. Di Desa Mbobhenga, gaharutum-buh pada ketinggian tempat 662-700 m dpl., dan di Desa Detukeli dijumpai pada ketinggian tempat ± 1.000 m dpl. Sedangkan materi genetik gaharu Gyrinops versteegii didapatkan dari Ende dan Nageke(PulauFlores), Sumba Barat dan Sumba Tengah (Pulau Sumba) serta Amfoang Kabupaten Kupang (Pulau Timor). Koleksi materi genetik yang diambil terdiri dari cabutan anakan alam, buah dan biji. 2. Daerah persebaran kadimbil/merbau dan injuwatu di Sumba Barat dan Sumba Timur, Pulau Sumba. Kadimbil/merbau tumbuh pada ketinggian tempat 131-558 m dpl.; suhu udara 28,1–29,3 0C; kelem-baban udara 61-63%. Injuwatu tumbuh pada ketinggian tempat 22–157 m dpl.; suhu udara 27,6–39,10C; kelembaban udara 67-86%. Koleksi materi genetik kadimbil/merbau dan injuwatu didapatkan dalam bentuk anakan cabutan. Koleksi materi genetik kadimbil/merbau diperolehn dari dua populasi, yaitu Lamboya dan Lamboya Bawah. Koleksi materi genetik injuwatu diperoleh dari dua populasi yaitu Pambotan Jara dan Tarimbang.Konservasi eks-situ kadimbil/merbau dibuat di KHDTK Banamla’at, Kefamenanu, Kabupaten TTU (Pulau Timor). Penanaman jenis kadimbil/merbau dilapangan menunjukkan perbedaan pertumbuhan antar populasinya. Kadimbil yang berasal dari populasi Lamboya Bawah memiliki rata-rata pertumbuhan
Sintesis 2010-2014
| 14
tinggi dan diameter yang lebih baik dibandingkan dengan populasi Lamboya.Konservasi eks-situ jenis injuwatu dilaksanakan di KHDTK Banamlaat Kefa Kabupaten TTU (Pulau Timor). Penanaman awal dua populasi yaitu populasi Pambotan Jara dan Tarimbang, secara visual tanaman dapat tumbuh dengan baik. Tanaman dari dua populasi memiliki persen hidup 100%. b.2. Identifikasi Berbagai Jenis Flora Endemik dan Areal Sumberdaya Genetik di Papua. Hasil penelitian menunjukkan secara ekologi terdapat empat tipe habitat di kawasan hutan dataran rendah Kampung Isenebuay, yaitu:hutan dataran rendah, hutan pantai, hutan mangrove dan hutan kerangas. Kondisi lokasi penelitian merupakan hutan dataran rendah dengan datar, bergelombong ringan dengan topografi berbukit-bukit. Kondisi komposisi jenis berdasarkan tingkat pertumbuhan yang berbeda di lokasi penelitian menunjukkan komposisi tegakan yang normal. Jumlah jenis tumbuhan berkayu yang dijumpai di lokasi penelitian adalah 121 jenis dari 39 famili. Nilai Indeks Keanekaragaman Jenis untuk tingkat pertumbuhan semai 3,768, pancang 3,758, tiang 3,352 dan pohon 3,363. Perbedaan komposisi pada berbagai tingkat keaneka-ragaman jenis tumbuhan berkayu di lokasi penelitian dapat terjadi akibat beberapa hal, yaitu perbedaan kondisi fisik, kondisi hutan, ukur-an petak contoh selama penelitian, dan tingkat kelimpahan relatif masing-masing jenis pada habitat tersebut. Sedangkan pengukuran dan monitoring pada petak ukur biodiversitas dalam Hutan Wisata Gunung Meja yang dilakukan pada tahun 2012 mencakup pengukuran riap dari petak A-E sampai dengan petak JJ-NN, dilanjutkan dengan petak OOSS.Data untuk plot moni-toring ini masih berada dalam tahap penghitungan riap dan analisis, sehingga yang bisa ditampilkan adalah informasi dari petak A, F, K, EE dan JJ yang mencapai kenaikan riap diameter rata-rata 0,782-1,893 cm. Beberapa hal yang dapat disimpulkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Secara fisik kondisi lokasi penelitian di Kampung Isenebuay Pulau Rumberpon merupakan hutan dataran rendah dengan topografi landai, bergelombang ringan hingga berbukit-bukit.Lokasi peneliti-an merupakan kawasan hutan bekas tebangan oleh PT. Inhutani pada tahun 1970-an. 2. Terdapat empat (4) jenis tipe habitat pada kawasan hutan Kampung Isenebuay, yaitu: hutan pantai, hutan mangrove, hutan kerangas dan hutan dataran rendah. 3. Jumlah jenis tumbuhan berkayu yang dijumpai dari lokasi penelitian hutan dataran rendah Kampung Isenebuay adalah 121 jenis dari 39 famili. 4. Secara umum keanekaragaman jenis untuk tingkat pertumbuhan se-mai, pancang, tiang dan pohon di Kampung Isenebuay adalah tinggidengan rata-rata indeks Shanon-winners adalah diatas 3. 5. Kondisi komposisi jenis berdasarkan tingkat pertumbuhan pada kawasan hutan dataran rendah Kampung Isenebuay menunjukkan komposisi tegakan yang Sintesis 2010-2014
| 15
normal, dimana semai memiliki jumlah yang lebih banyak jika dibandingkan dengan pancang, tiang dan pohon. 6. Tumbuhan non kayu pada plot monitoring biodiversitas flora TWA Gn. Meja terdiri dari 11 jenis palem dan rotan, 21 jenis anggrek, 50 jenis herba, 4 jenis bambu, 36 jenis paku-pakuan, 40 jenis semak dan perdu, 9 jenis pandan, 41 jenis liana dan 6 jenis benalu. 7. Pengamatan dan pengukuran dalam petak A, F, K, EE dan JJ dalam TWAGn. Meja, Manokwari menunjukkan adanya perubahan kon-disi tegakan, akibat adanya individu yang mati dan juga adanya perkembangan riap diameter yang berkisar dari 0,782-1,893 cm.
A
B
C
A
Gambar 3. Bruguiera gymnorrhiza Lamk (A. Daun; B. Buah muda; C. Buah tua) jenis yang paling dominan pada hutan mangrove di Kampung Isenebuay
A A
B
C
Gambar 4.Tumbuhan non kayu pada hutan mangrove di Kampung Isenebuay (A. Grammatophyllum speciosum; B. Pigafetta filaris; C. Nypa fruticans).
A A
B
C
Gambar 5.Tumbuhan berkayu pada hutan pantai di Kampung Isenebuay (A. Dodonea viscosa; B. Thespesia populnea; C. Cordia subcordata).
Sintesis 2010-2014
| 16
A A
A A
B
B
C
Gambar 6.Tumbuhan non kayu pada hutan pantai di Kampung Isenebuay (A. Ipomoea pres-caprae; B. Widelia biflora; C. Scaevola taccada).
A A
C
B
Gambar 7. Beberapa jenis vegetasi pada hutan kerangas di Kampung Isenebuay (A. Gleychenia linearis; B. Flindersia pimentelliana; C. Comersonia bartramia).
Gambar 8. Mapania heyneana adalah salah satu jenis herba yang terdapat pada plot monitoring biodiversitas flora TWA Gunung Meja. Jenis ini secara taksonomi sangat mirip dengan jenis pandan. b.3. Kajian Ekologi Jenis Dipterokarpa Langka dan Terancam Punah Lokasi kajian dilakukan di kawasan hutan KHDTK Labanan, Kab. Berau, Kalimantan Timur. Dari 31 jenis pohonfamili Dipterocarpa-ceae, terdapat9 jenis pohon yang masuk dalam kategori kritis, yakni: Shorea hopeifolia, Shorea superba, Dipterocarpus tempehes, Shorea johorensis, Shorea seminis, Hopea mengerawan, Shorea mujongensis, Parashorea malaanonan, Shorea smithiana, Dipterocarpus elongates, Shorea almon dan Shorea longisperma. b.4. Teknik Konservasi Eks-situ eboni (Diospyros spp.) di Prop. Sulawesi Utara. Pengumpulan materi genetik eboni (Diospyros spp.) berupa biji dan anakan cabutan alam dilakukan di Pulau Talise, Kabupaten Mina-hasa Utara, Cagar Alam Tangkoko, Kota Bitung, Sulut, TN Bogani Nani Wartabone di Kabupaten Bolaang
Sintesis 2010-2014
| 17
Mongondow (Sulut) dan Kab. Bone Bolango (Gorontalo) serta Kabupaten Pohuwato (Gorontalo). Pembangunan tegakan eboni (Diospyros spp.) telah dilaksanakan di Hutan Penelitian Taman Wisata Alam Batuangus yang berlokasi di Kelurahan Kasawari, Kecamatan Aertembaga, Kota Bitung, Provinsi Sulawesi Utara seluas 4 ha. Jumlah total bibit anakan yang ditanam sebanyak 4.356 bibit, terdiri dari : D. pilosanthera sebanyak 1.518 bibit, D. rumphii sebanyak 1.320 bibit dan D. minahasae sebanyak 1.518 bibit. Jumlah bibit yang diteliti sebanyak 3.600 bibit, terdiri dari 1.200 bibit per jenis untuk ketiga jenis eboni (Diospyros spp.). Pembangunan tegakan konservasi eksitu Diospyros spp., juga dilakukan di Arboretum BPK Manado seluas 1,2 ha yang terdiri dari 10 (sepuluh) jenis yaitu ; D. pilosanthera, D. cauliflora, D. minahasae, D. ebenum, D. korthalsiana, D. celebica, D. rumphii, D. malabarica, D. hebecarpa dan D. lolindengan masing-masing jenis yang ditanam sebanyak 50 bibit (= 500 bibit). Total luas kebun konservasi eksitu yang dibangun pada tahun 2012 seluas 5,2 ha dengan jumlah tanaman seluruhnya sebanyak 4.856 bibit anakan. Respon perlakuan terhadap pertumbuhan bibit anakan yang ditanam, menunjukkan tidak adanya pengaruh yang nyata terhadap persen tumbuh dan pertumbuhan diameter batang eboni. Interaksi antara ukuran lubang dengan pemupukan juga tidak berpengaruh nyata. Pem-berian pupuk organik tidak berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan diameter tanaman eboni. Interaksi antara ukuran lubang tanam dengan pemupukan juga belum memberikan respon yang nyata. Hal ini diduga karena pengukuran dan pengambilan data yang dilakukan terlalu dini karena umur tanam dilapangan baru 45 hari. Pertumbuhan tinggi (3)jenis eboni (D. minahasae, D. pilosantheradan D. rumphii) yang ditanam pada areal terbuka di HPTWA Batuangus pada umur tanam 45 hari, menunjukkan pengaruh yang cukup baik pada perlakuan pemu-pukan pupuk kandang ayam dan pupuk kandang sapi dibandingkan dengan yang tidak diberikan perlakuan pemupukan. Faktor lain yang diduga ikut mempengaruhi keberhasilan pertumbuhan atau persentase tumbuh ketiga jenis tersebut adalah teknik penanaman. Penanaman dilakukan pada awal musim penghujan, dengan teknik tanam lebih dalam dari pangkal batang. Teknik penanaman demikian dilakukan agar tanaman tetap kokoh dari terjangan angin, dan ujung akar dapat menjangkau bagian tanah dalam yang lembab. b.5. Jenis-jenis Tumbuhan Asing Invasif di TN Wasur. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut: Jumlah jenis tumbuhan invasif yang dijumpai dalam rawa-rawa TN Wasur mencapai 50 jenis, terdiri dari berbagai famili dan habitus. Habitus yang dijumpai mulai dari rumput, teki, herba, semak, liana, paku-pakuan, tumbuhan air, sampai dengan pohon. Anggota famili terbanyak berasal Famili rumput-rumputan (Poaceae), diikuti famili teki-tekian (Cyperaceae) dan polong-polongan (Fabaceae). Jenis yang
Sintesis 2010-2014
| 18
berupa semak-semak merupakan yang terbanyak, diikuti jenis-jenis yang habitusnya berupa rumput, liana dan teki-tekian. Jumlah jenis invasif yang dijumpai di Rawa Biru mencapai 25 jenis, terbanyak dari famili Cyperaceae dan disusul famili Poaceae. Habitus jenis terbanyak berupa teki-tekian, liana dan rumput. Jenis-jenis dominan adalah Thoracostachium sumatranum, Carex sp. dan Ischaemum timorense. Jumlah jenis invasif yang dijumpai di Rawa Donggamit 7 jenis, terbanyak darifamili Cyperaceae, diikuti dari famili Poaceae. Habitus jenis-jenis yang dijumpai umumnya rumput dan semak. Jenis-jenis yang dominan adalah Eleocharis indica, Eragrostis tenuifolia dan Ischaemum timorense. Jumlah jenis invasif yang dijumpai di Rawa Ukra mencapai 29 jenis, terbanyak darifamili polong-polongan (Fabaceae), disusul famili Poaceae dan famili Cyperaceae. Habitus jenisterbanyak berupa semak, diikuti jenis-jenis rumput dan liana. Jenis-jenis yang dominan adalah Stachytarpeta jamaicensis dan Imperata cylindricadi daerah pinggiran rawa, serta Ludwigia octovalvis di badan air rawa Ukra. Jenis-jenis invasif utama rawa yang perlu mendapat perhatian lebih lanjut adalah Carex sp., Hanguana malayana, Thoracostachium sumatranum, Elaeocharis indica, Ludwigia oktovalvisdan Stachytarpeta jamaicensis. Jenis lainnya yang perlu diwaspadai adalah Mimosa pigra yang dapat menjadi ancaman terhadap keberadaan lahan-lahan basah dan sabana dalam kawasan. Proses invasi jenis-jenis tersebut diperkirakan merupakan perpa-duan beberapa karakter seperti akibat tiadanya musuh alami, toleransi jenis invasif yang luas dan kemampuan jenis tersebut untuk meman-faatkan sumberdaya, selain didukung dengan kondisi lahan basah dalam kawasan yang secara alami menjadi penampung segala material yang masuk di dalamnya. TN. Wasur mencakup beberapa daerah lahan basah yang penting untuk sistem pengaturan tata air kawasan dan habitat satwa seperti burung air dan kangguru. Rawa-rawa tersebut antara lain adalah Rawa Biru, Rawa Donggamit dan Rawa Ukra. Dari pengamatan di lapangan, rawa-rawa tersebut sudah mengalami proses invasi dari beragam jenis tumbuhan. Secara keseluruhan, jenis-jenisyang dijumpai di dalam ketiga daerah rawa ini mencapai 50 jenis dari berbagai famili dan habitus. Famili rumput-rumputan (Poaceae) memiliki anggota jenis terbanyak yaitu 8 jenis invasif diikuti 7 jenis dari famili teki-tekian (Cyperaceae) dan 6 jenis dari famili polong-polongan (Fabaceae). Sedangkan dari segi habitus, jenisyang berupa semaksemak merupakan yang terbanyak menginvasi daerah ini diikuti jenis-jenis yang habitusnya berupa rumput, liana dan teki-tekian. Berdasarkan daftar-daftar jenis dari ketiga rawa tersebut di atas, sedikitnya terdapat 6 (enam) jenis yang perlu mendapat perhatian .
Sintesis 2010-2014
| 19
a) Carex spp. Jenis-jenis Carex spp. sering dikenal secara lokal dengan nama rumput pisau, termasuk dalam famili teki-tekian (Cyperaceae). Anggota famili ini sekilas nampak seperti rumput biasa, namun dapat dibedakan dengan rumput umumnya (famili Poaceae) dari bagian batangnya yang solid, menyudut dan membentuk segitiga. Carex spp. umumnya menyebar dengan baik di daerah yang terpapar matahari sampai dengan sangat sedikit naungan, di daerah padang rumput yang tidak terlalu basah, tepi-tepi jalan dan di daerah Jawa lazim dijumpai di hutan tanaman jati (Soerjani dkk, 1986; Weber, 2005). Jenis ini dapat tumbuh sampai pada daerah dengan ketinggian tempat ± 900 mdpl. (di beberapa lokasi sampai dengan ± 1.200 mdpl.). Seperti jenis teki-tekian dan rumput lainnya, Carex spp. sangat mudah untuk menyebar di suatu lokasi dengan bantuan rhizom dan bijinya. b) Hanguana malayana (Jacq.) Merr. Jenis ini dikenal masyarakat setempat dengan nama tebu rawa, meskipun jenis H. malayana sebenarnya tidak tergolong dalam kelompok tebu-tebuan (atau bagian dari famili rumput-rumputan, Poaceae), melainkan termasuk dalam famili Hanguanaceae. Jenis ini diketahui merupakan tanaman hias yang berasal dari Semenanjung Malaya. Jenis ini tumbuh dan menyebar dengan mudah pada daerah yang tergenang air. Kemampuannya untuk membentuk rumpun yang tebal dan rapat seringkali menghambat jenis-jenis lain menempati daerah yang ditumbuhinya. c)
Thoracostachium sumatranum L.
Anggota teki-tekian ini dijumpai bersama-sama dengan rumput Carex sp. menginvasi daerah Rawa Biru. Di beberapa lokasi juga membentuk asosiasi dengan jenis-jenis lainnya. d) Eleocharis indica (Lour) Druce. Salah satu jenis rumput ini diketahui tahan terhadap kedua kondisi musim yang berbeda di kawasan. Jenis ini terutama tumbuh dominan pada badan air Rawa Donggamit saat musim kemarau dan mampu ber-tahan dalam penggenangan yang cukup tinggi saat musim penghujan. Pada musim kering jenis ini ikut membantu perkembangan jenis-jenislainnya yang menyebar di sekitar perakarannya, pada permukaan tanah rawa yang mengering. Eleocharis indica dapat tumbuh dan menyebar dengan baik pada daerah terbuka, di tempat-tempat yang basah dan tergenang, pada daerah ber-air tawar dan berair payau, rawa-rawa, seringkali membentuk ham-paran sejenis, sampai dengan daerah berketinggian 1.350 mdpl, (Soerjani et al, 1986; Weber, 2003). Jenis ini dijumpai menginvasi rawa Ukra yang secara fisik dapat berhubungan dengan daerah muara dan laut pada saat kondisi genangan tinggi. Invasi jenis ini dikhawa-tirkan oleh pengelola kawasan dapat menjadi ancaman terhadap habitat burung-burung migran.
Sintesis 2010-2014
| 20
e)
Ludwigia octovalvis (Jacq.) Raven.
Herba berbunga kuning ini tumbuh sangat rapat dan sering dijum-pai bersamasama dengan jenis rerumputan lainnya menginvasi daerah rawa-rawa dalam kawasan. Invasi jenis ini seringkali menyebabkan pendangkalan dan mengurangi permukaan air yang terbuka. Ludwigia octovalvis umumnya tumbuh di daerah-daerah yang selalu basah dengan musim kemarau yang jelas, juga dijumpai di padang-padang rumput dan daerah-daerah lembab, membentuk rumpun-rumpun tebal di sepanjang aliran-aliran air, di Pulau Jawa dapat dijumpai sampai pada daerah berketinggian 1.450 mdpl. f)
Stachytarpheta jamaicensis (L.) Vahl.
Jenis ini diketahui merupakan jenis asing yang sangat mudahmenempati daerahdaerah terbuka dan terganggu. Tumbuhan yang dikenal secara lokal sebagai rumput ekor tikus atau jarong ini dapat tumbuh dan menyebar dengan cepat di daerah terbuka sampai dengan sedikit ternaungi, dengan kondisi daerah yang tidak terlalu kering, seringkali dijumpai di tepi-tepi jalan, hutan sekunder, tepi-tepi kali kecil, dan umumnya tumbuh dalam jumlah yang banyak (Soerjani et al, 1986; Weber, 2003). Di dalam kawasan TN. Wasur, jenis ini terutama dijumpai di daerah padangpadang sabana dan di sekitar rawa-rawa seperti rawa Ukra. Jenis ini cukup sulit diawasi penyebarannya karena biji yang dihasilkannya mampu bertahan terhadap kebakaran, dan sangat mudah tumbuh kembali setelah tergenang air pada musim penghujan. Selain keenam jenis yang dijelaskan di atas, meskipun tidak dilakukan pengukuran, di dalam kawasan juga sudah tampak adanya jenis Mimosa pigra L., yang secara lokal dikenal jenis putri malu raksasa. Jenis ini telah dikategorikan sebagai salah satu dari 100 jenis invasif paling berbahaya di seluruh dunia (Lowe et al, 2000; Weber, 2003; Westcott & Dennis, 2003, Zimdahl, 2007). Jenis yang sangat berguna sebagai tanaman pakan ternak ini perlu diwaspadai penyebarannya dalam kawasan, karena berdasarkan bukti di banyak negara, pembasmian dan penanggulangannya merupakan masalah yang cukup berat dan kompleks. Penyebab dan Dampak Invasi Tumbuhan Asing Suatu jenis dapat menginvasi suatu ekosistem karena berbagai sebab. Beberapa kasus dan sumber pustaka menyatakan sedikitnya ada 3 (tiga) dugaan atau hipotesis penyebab terjadinya invasi tumbuhan pada suatu daerah. Ketiga hipotesis tersebut meliputi: 1. Hipotesis ketiadaan musuh alami (the enemy release hypothesis) Suatu jenis tumbuhan dapat berkembang menjadi tumbuhan invasif di suatu ekosistem disebabkan karena tidak adanya musuh alami. Musuh alami ini dapat berupa pemangsa alami dan patogen atau penyakit yang bisa menghambat
Sintesis 2010-2014
| 21
pertumbuhan dan penyebaran jenis tumbuhan tersebut di ekosistem yang bersangkutan (Fine, 2002; Zedler dan Kercher, 2004). Berdasarkan hipotesis ini, jenis-jenis yang merupakan jenis eksotik atau jenis asing adalah yang berpeluang paling besar untuk menjadi invasif terhadap suatu ekosistem alami. Di rawa-rawa TN Wasur, jenis-jenis seperti Hanguana malayana, Stachytarpeta jamaicensis dan Thoracostacium sumatranum termasuk jenis-jenis invasif yang penyebarannya sesuai dengan hipotesis ini. 2. Hipotesis toleransi yang luas (the broader tolerance hypothesis) Hipotesis ini memperkirakan bahwa pada dasarnya jenis tumbuhan invasif secara alami memiliki toleransi yang luas terhadap batas-batas kondisi lingkungan yang lebih luas dan beragam (Zedler dan Kercher, 2004; Zimdahl, 2007). Tumbuhan invasif diduga lebih mampu mentoleransi kondisi-kondisi lingkungan yang lebih ekstrim jika dibanding dengan jenis-jenis non invasif. Contoh-contoh yang sesuai dengan hipotesis ini, yang dijumpai dari lokasi pengamatan adalah jenis Stachytarpeta jamaicensis dan Eleocharis indica. Kedua jenis ini memiliki adaptasi yang besar terhadap kondisi musim cukup ekstrim yang ada di kawasan. Pada saat musim kering mampu bertahan melewati kemungkinan kebakaran dan kekeringan, sementara di musim hujan mampu tumbuh dengan baik pula pada kondisi tergenang. 3. Hipotesis efisiensi pemanfaatan sumberdaya (the efficient use hypothesis) Hipotesis ini menyatakan bahwa jenis-jenis tumbuhan invasif umumnya merupakan jenis-jenis yang mampu memanfaatkan sumberdaya di habitatnya secara lebih efisien dibandingkan dengan jenis-jenis non invasif (Westcott dan Dennis, 2003; Zedler dan Kercher, 2004; Zimdahl, 2007). Sumberdaya yang dimaksud dapat meliputi cahaya, zat hara dan air. Tumbuhan invasif bisa saja berasal dari jenis yang memiliki musim tumbuh yang lebih panjang, tingkat fotosintesis yang lebih tinggi, ciri morfologis yang lebih efektif dalam pemanfaatan sumberdaya, dan lain-lain. Bervariasinya bentuk habitus jenis-jenis invasif yang dijumpai di rawa-rawa TN. Wasur dapat disesuasikan dengan hipotesis ini. Adanya habitus yang beragam, mulai dari tumbuhan bawah berupa semak dan liana yang menutupi permukaan tanah, rerumputan dan teki-tekian hingga pada pepohonan memungkinkan seluruh strata dalam ekosistem alami secara vertikal dapat diduduki oleh tumbuh-an invasif.Kondisi ini selanjutnya mengarahkan pemanfaatan setiap sumberdaya untuk proses fotosintesis secara efisien, sekaligus mengancam keberadaan jenis-jenis asli lainnya. Beberapa hal dapat pula menjadi penyebab rawa-rawa dalam TN Wasur, seperti juga lahan basah lainnya lebih rentan terhadap invasi jenis tumbuhan asing adalah: 1. Kondisi rawa yang menjadi semacam “tempat pembuangan akhir”. Sumber air bagi rawa umumnya membawa segala bahan dan benda yang pada akhirnya akan
Sintesis 2010-2014
| 22
mengendap di rawa (Zedler dan Kercher, 2004). Sumber-sumber bibit tumbuhan atau propagul tumbuhan yang mudah menyebar pada lahan basah akan ikut terbawa aliran air pada saat musim hujan, ikut menggenang di rawa, mengendap pada saat kering dan selanjutnya dapat tumbuh dan menginvasi rawa tersebut. 2. Bahan-bahan yang dibawa pada saat penggenangan dapat pula berupa sedimen yang pada akhirnya mendangkalkan bahkan mengeringkan rawa. Daratan yang baru terbentuk ini dapat dengan mudah mendukung pertumbuhan propagulpropagul tumbuhan yang ikut terbawa pada saat penggenangan sebelumnya. Proses invasi tumbuhan pada lahan basah membawa pengaruh baik secara langsung maupun tidak langsung terhadap kondisi suatu ekosistem. Kondisi ini dapat terjadi pula pada rawa-rawa dalam TN. Wasur. Secara langsung, proses invasi tumbuhan akan mengubah struktur dan komposisi tumbuhan dalam ekosistem. Perubahan ini terutama terjadi pada karakter arsitektur secara vertikal, perubahan pada kandungan zat hara tanah, dan mungkin saja mempengaruhi sumber bahan yang mempermudah kebakaran lahan. Secara tidak lang-sung,adanya perubahan struktur dan komposisi ekosistem akibat invasi tumbuhan menyebabkan perubahan pada mikroorganisme tanah, yang selanjutnya akan mempengaruhi organisme pada tingkat di atasnya. Akibat langsung dari menyebarnya tumbuhan invasif dalam suatu kawasan adalah menurunkan keanekaragaman hayati terutama jenis-jenis tumbuhan dalam kawasan tersebut. Jenis invasif cenderung men-jadi dominan karena berhasil menempati ruang yang jauh lebih luas daripada jenis-jenis yang sebelumnya mendiami habitat tersebut.Pro-ses pengendalian dan pengelolaan penyebaran jenisjenisdi masing-masing rawa, yang dapat diawali dengan penentuan prioritas jenis dan tindakan ujicoba pengendalian.Pertimbangan untuk pelibatan masya-rakat sekitar dalam pengendalian penyebaran jenis-jenis tumbuhan prioritas, misalnya dengan pemantauan rutin, pembasmian secara fisik dan rutin. b.6. Teknik Eradikasi Spesies Invasif Flora Acacia nilotica di TN. Baluran dan Merremia peltata di TN. Bukit Barisan Selatan, Lampung serta Teknik Restorasi Savana Baluran, Jawa Timur. Penelitian ini bertujuan untuk menemukan teknik yang tepat untuk mengeradikasi jenis tumbuhan invasif di dua Taman Nasional yakni Acacia nilotica di TN. Baluran dan Merremia peltata (mantangan) di TN. Bukit Barisan Selatan. Perlakukan aplikasi herbisida dilakukan terhadap kedua tanaman tersebut serta teknik restorasinya dengan hasil sebagai berikut: 1. Herbisida Garlon pada konsentrasi 2, 10 dan 15 ml/l solar dapat mematikan 100% tanaman A. nilotica dengan cara pengolesan pada permukaan batang dengan ketinggian 25 cm dari permukaan tanah. Herbisida Garlon pada konsentrasi 500, 250, 125, 67,5, dan 10 ml/l solar dapat mematikan 100% tanaman A. nilotica dengan cara pengolesan pada tunggul tanaman yang baru dipotong. Herbisida
Sintesis 2010-2014
| 23
Starane pada konsentrasi 500, 250, 125, dan 67,5 ml/l solar dapat mematikan 100% tanaman A. nilotica dengan cara pengolesan pada tunggul tanaman yang baru dipotong. 2. Penyemprotan herbisida Lindomin dapat mematikan 100% daun dan batang bagian atas permukaan tanah jenis Merremia peltata. Penggunaan herbisida Garlon dengan konsentrasi 10 ml per satu liter solar dengan cara pembababatan dan oles sulur , tiap sulur diolesi 25 ml campuran Garlon dan solar dapat mematikan tumbuhan Merremia peltata. 3. Untuk menghindari tumbuhnya jenis invasif lain seperti Chromolaena odorata dan Lantana camara, setelah pembabatan dan pengolesan herbisida harus segera dilakukan penanaman oleh jenis cepat tumbuh yaitu binuang (Octomeles sumatrana). 4. Hasil penelitian menunjukkan ada perbedaan yang nyata produktivitas rumput lamuran (Dichantium caricosum) pada areal terbuka dan di bawah naungan pohon akasia (A. nilotica) yang sudah mati karena olesan Garlon. Pada areal terbuka produk-tivitasnya lebih tinggi dibanding di bawah naungan. Sedangkan untuk pemupukan, hasil analisis statistik menunjukkan bahwa tidak ada pengaruh antar tingkat perlakuan pemupukan NPK terhadap produktivitas rumput. Tetapi secara kuantitatif perlakuan pemupukan sebanyak 4 g memberikan nilai produktivitas paling baik disbanding perlakuan lainnya. 5. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa ada pengaruh antar perlakuan pemberian hidrogel, NPK dan FMA terhadap produk-tivitas rumput. Perlakuan pemberian hidrogel sebanyak 500 ml dan FMA tanpa NPK memberikan nilai produktivitas rata-rata saat musim basah sebesar 1,347 gr/rumpun/hari. Produktivitas tersebut sedikit lebih kecil dibanding produksi yang didapat pada perlakuan dengan pemberian pupuk NPK sebanyak 4 gr yaitu sebesar 1,380 gr/rumpun/hari. 6. Pemupukan urea sebanyak 3 gr per rumpun pada saat penanaman pada areal terbuka yaitu areal yang sudah dilakukan tebang oles tunggul perlu dilakukan untuk meningkatkan produktivitas rumput. Berdasarkan hasil yang diperoleh, ada beberapa hal yang dapat direkomendasikan untuk aplikasi di lapangan, yaitu: 1. Dosis 10 ml Garlon per satu liter solar dapat diaplikasikan dalam pengendalian A nilotica di lapang dengan cara pengolesan pada permukaan batang dengan ketinggian 25 cm dari permukaan tanah. Selain itu Garlon pada konsentrasi 10 ml/l solar dapat diaplikasikan dengan cara pengolesan pada tunggul tanaman dengan ketinggian 25 cm dari permukaan tanah. 2. Dosis 10 ml Garlon per satu liter solar dapat diaplikasikan dalam pengendalian Merremia peltata dengan cara babad dan oles sulur, masing-masing sulur diolesi 25 ml.
Sintesis 2010-2014
| 24
3. Areal yang sudah dilakukan pengendalian dengan cara tebang oles batang atau tunggul di TN Baluran atau babad oles sulur Merremia peltata di TN Bukit Barisan Selatan harus segera dilakukan restorasi yaitu di savanna Baluran dengan rumput lamuran (Dichantium caricosum), sedangkan di TN Bukit Barisan Selatan dengan tanaman penghambat binuang (Octomeles sumatrana) . Kegiatan penelitian disajikan pada gambar berikut:
Gambar 9. Acacia nilotica yang mendapat perlakuan pengolesan pada permukaan batang dan pengolesan pada batang yang ditebang.
Gambar 10. Merremia peltata sebelum perlakuan dan yang baru mendapat perlakuan
Gambar 11. Restorasi savanna baluran dan TN Bukit Barisan Selatan
Sintesis 2010-2014
| 25
c.
Teknik Reproduksi Jenis-Jenis Flora Langka dan Terancam Punah dan/atau Bernilai Ekonomi (Konservasi Ek-Situ Ulin, Cendana, Eboni dan Ramin)
c.1. Teknologi Konservasi Eks-Situ Beberapa Jenis Flora Langka dan Terancam Punah (Eboni dan Ulin). Plot konservasi genetik jenis ulin (Eusideroxylon zwageri Teijsm.&Binn.) di KHDTK Sumberwringin, Bondowoso Jawa Timur dibangun pada tahun 2004 sebanyak 400 tanaman, tahun 2006 sebanyak 300 tanaman dan tahun 2008 sebanyak 196 tanaman, total areal seluas 3 ha. Dengan materi genetik berasal dari 11 populasi yaitu Kalimantan Barat (populasi Nanga Tayap, Sanggau), Kalimantan Tengah (populasi Sumber Barito dan Seruyan Hulu) Kalimantan Timur (populasi Sepaku, Labanan, Samboja, Kutai Kertanegara), Jambi (Batanghari dan Durian Luncuk) dan populasi Belitung. Kegiatan pemeliharaan tanaman hingga tahun 2014 berupa pembersihan semak sekitar tanaman, pendangiran, pembuatan piringan, pemupukan tanaman dan evaluasi pertumbuhan. Karakterisasi morfologi merupakan informasi tahap awal untuk membedakan variasi ulin berdasarkan sifat morfologi daun. Informasi ini perlu diklarifikasi lebih lanjut dengan menggunakan uji DNA untuk mengetahui kepastian taksonomi di dalam jenis ulin. Karakter morfolo-gi daun ulin dari beberapa provenan menunjukkan adanya perbedaan pada ukuran panjang dan lebar daun, akan tetapi rasio antara panjang dan lebar, cenderung menunjukkan kemiripan. Nilai rata- rata beberapa variabel daun disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Nilai rata rata karakter daun Eusideroxylon zwageri di KHDTK Bondowoso berdasarkan analisis klaster. Variabel
Klaster 1
2
3
4
Panjang daun (cm)
24,59
25,76
29,2
18,4
Lebar daun (cm)
10,17
8,98
13,2
7,19
Rasio (cm)
2,42
2,87
2,21
2,57
Pengukuran sifat pertumbuhan dilakukan terhadap semua individu tanaman tahun tanam 2004, 2006 dan 2008. Persentase hidup tanaman tahun tanam 2004 pada umur 8 tahun yang tertinggi adalah dari provenan Seruyan Hulu, diikuti oleh provenan Nanga Tayap, Sepaku dan Sumber Barito. Demikian juga untuk rata-rata tinggi dan diameter tanaman. Plot konservasi ulin tahun tanam 2006 menunjukkan persentase hidup yang cukup moderat untuk semua provenansi. Tanaman pada plot ini berasal dari Sanggau-Kalbar, Belitung-Babel, Durian Luncuk- Jambi dan Samboja-Kaltim. Namun demikian tidak ada informasi dan peta tanaman yang jelas menyebabkan
Sintesis 2010-2014
| 26
evaluasi tanaman tidak bisa dilakukan berdasarkan provenan, sehingga evaluasi tanaman didasar-kan pada perbedaan jenis pohon penaung yaitu Eucalyptus pellita (Blok 1), Pinus sp. (Blok 2), dan semak belukar (Blok 3). Intensitas cahaya yang tinggi pada tanaman di bawah semak belukar menyebabkan pertumbuhan tinggi dan diameter tanaman lebih cepat diban-dingkan dengan tanaman di bawah vegetasi dengan tajuk yang lebih rapat. Hasil evaluasi terhadap tanaman ulin tahun tanam 2008 menun-jukkan bahwa provenan Samboja menunjukkan pertumbuhan yang paling lambat dibandingkan dengan populasi lainnya. Sedangkan Provenan Labanan mempunyai tinggi pohon yang paling cepat, namun mempunyai pertumbuhan diameter pangkal yang paling lambat diban-dingkan dengan populasi lainnya. Persentase hidup tanaman masih cukup tinggi (85%), bila dibandingkan dengan tanaman tahun tanam 2006 (79%), dan tahun tanam 2004 (60%). Persentase hidup tanaman ulin di Bondowoso mengalami penurunan seiring dengan pertambahan umur tanaman karena adanya tanaman penaung yang rapat pada lokasi penanaman.Dengan demikian perlu dipertimbangkan untuk mengura-ngi naungan sehingga intensitas cahaya yang masuk ke lantai hutan bisa lebih optimal untuk pertumbuhan tanaman ulin. Hasil evaluasi pertumbuhan sampai dengan tahun 2013 sebagaimana disajikan pada Tabel 3 sampai dengan Tabel 5. Tabel 3. Pertumbuhan tanaman ulin umur 9 tahun di plot konservasi ex-situ tahun tanam 2004 di Bondowoso
Provenan Nanga Tayap -Kalbar Sumber Barito Kalteng Sepaku- Kaltim Seruyan Hulu -Kalteng
Persen hidup (%)
6,86
Rata -rata 1,45
Diameter batang @10 cm (cm) Rata Min max -rata 0,67 9,56 1,85
0,75
3,10
1,17
0,66
3,31
1,48
0,80 0,90
4,70 7,10
1,36 2,20
0,73 0,84
4,43 8,82
1,66 2,57
Tinggi tanaman (m) min
max
58
0,80
44 49 75
Tabel 4. Pertumbuhan tanaman ulin umur 7 tahun di plot konservasi ex-situtahun tanam 2006 di Bondowoso Tinggi tanaman (m)
Diameter batang @10 cm (cm) RataMin max rata
Persen hidup (%)
min
max
Ratarata
Sanggau-Kalbar
60
0,25
1,70
0,75
0,66
2,53
1,32
Belitung-Babel
76
0,45
2,40
1,20
0,65
3,15
1,66
Durian Luncuk-Jambi
88
0,30
2,50
1,31
1,01
4,54
2,1,3
Samboja-Kaltim
83
0,30
2,00
0,98
0,74
2,91
1,55
Provenan
Sintesis 2010-2014
| 27
Tabel 5. Pertumbuhan tanaman ulin umur 5 tahun di plot konservasi ex-situ tahun tanam 2008 di Bondowoso
Provenan Semani-Batanghari Jambi Labanan Berau-Kaltim Semboja- Kaltim
Persen hidup (%)
Tinggi tanaman (m)
Diameter batang @10 cm (cm) RataMin max rata
min
max
Rata -rata
79
0,30
2,40
1,01
0,69
3,64
1,60
76 83
0,30 0,40
2,90 2,00
0,99 0,95
0,54 0,70
3,36 2,46
1,33 1,34
Pengumpulan materi genetik eboni (Diospyros celebica Bakh.) dilakukan di Tegakan benih eboni di Kecamatan Sausu, Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah. Materi genetik yang dikumpulkan berupa buah masak dari empat pohon induk sebanyak kurang lebih 1.000 buah dan 1.200 anakan/cabutan (wildlinsg) dengan tinggi kurang lebih 10 cm dan baru memiliki 2 helai daun yang berasal dari 30 pohon induk. Pengumpulan materi genetik eboni dilakukan di Sulawesi Selatan dengan mengambil anakan alam di dua lokasi yang berbeda, yaitu Tegakan Benih Teridentifikasi Desa Coppo, Kabupaten Barru dan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung, Kabupaten Maros. Pada tahun 2010 dan 2011 pohon induk di kedua lokasi tersebut tidak berbunga dan berbuah, maka dilakukan pengambilan anakan di bawah tegakan 20 pohon induk dengan jumlah 700 anakan. Berdasarkan informasi dari petugas lapangan bahwa pohon eboni di TBT Copp, Kabupaten Barru pada saat ini (Januari, 2013) sedang terjadi pembungaan. Perlakuan bibit eboni asal benih melalui penyemaian dengan media tanah dan pasir (1:3). Benih berkecambah 10-30 hari setelah penaburan, dan siap disapih setelah biji terangkat dari media dan kulit biji terlepas dari kotiledon. Dengan metode ini keberhasian berkecam-bah benih mencapai 85%. Semai disapih pada polybag yang telah diisi media tanah + pupukkandang + pasir dengan perbandingan 1:1:1. Jumlah bibit hingga berumur 7 bulan di persemaian adalah sebanyak 700 bibit. Perlakuan bibit eboni asal cabutan pada polybag dengan media tanah+pasir+pupuk kandang (1:1:1). Polybag-polybag tersebut kemudian diletakkan pada bedeng semai dengan sungkup 28nvasiv dan dinaungi dengan paranet 80%. Pertumbuhan bibit eboni tergolong lambat, memerlukan waktu yang cukup lama untuk mencapai ukuran siap tanaman. Daya hidup bibit asal cabutan dari Sulawesi Tengah lebih baik daripada cabutan asal Sulawesi Selatan (94% bibit asal Sulawesi Tengah hidup sedangkan cabutan asal Sulawesi Selatan hanya sebesar 50%). Dalam hal ini diduga, umur bibit dapat berpengaruh terhadap daya hidup. Hingga umur 7 bulan di persemaian, jumlah bibit yang masih hidup adalah sebanyak 1.132 bibit dari populasi Sulawesi Tengah dan 350 bibit dari populasi Sulawesi Selatan.
Sintesis 2010-2014
| 28
Kesimpulan: 1. Terbangunnya plot konservasi eks-situ ulin (Eusideroxylon zwageri Teijsm.&Binn.) seluas 3 ha di Bondowoso, Jawa Timur (2004). Hasil evaluasi pertumbuhan tanaman ulin tahun tanam 2004, 2006 dan 2008 menunjukkan bahwa terjadi penurunan persentase hidup seiring dengan bertambahnya umur tanaman. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh adanya vegetasi penaung yang rapat. Sedangkan hasil karakterisasi terhadap morfologi daun tanaman ulin tahun tanam 2004 menunjukkan indikasi adanya variasi yang mengarah pada perbedaan varietas yaitu varietas kapur, daging, sirap dan tanduk. 2. Koleksi materi genetik eboni (Diospyros celebica Bakh.) di Sulawesi Tengah telah dilakukan di TBT Sausu, Kabupaten Parigi Moutong dengan mengumpulkan anakan(wildlings) sebanyak 1.200 anakan yang berasal dari 30 pohon induk dan 1.000 butir buah eboni yang berasal dari 4 pohon induk. Sedangkan keleksi materi genetik di Sulawesi Selatan telah dilakukan di TBT Coppo, Kabupaten Barru dan Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung. Karena pada tahun 2010 dan 2011 tidak terjadi pembungaan dan pembuahan di kedua daerah tersebut, anakan yang berhasil dikoleksi adalah sebanyak 700 anakan dari hasil pembuahan 2-3 tahun sebelumnya yang berasal dari 20 pohon induk. Jumlah bibit yang masih hidup hingga umur 7 bulan di persemaian sebanyak 1.132 bibit dari populasi Sulawesi Tengah dan 350 bibit dari populasi Sulawesi Selatan. d. Potensi Jenis Pohon Potential Sebagai Bahan Baku Obat Anti Kolesterol, Diabetes dan Kanker. d.1. Informasi Bahan Baku Obat Anti Diabetes, Anti Kolesterol dan Anti Kanker yang Diperoleh dari Tumbuhan Hutan. Kegiatan penelitian dimulai pada tahun 2010 dengan melakukan kajian etnobotani di beberapa lokasi hutan cagar alam di pulau Jawa untuk melihat bagaimana pemanfaatan jenis tumbuhan oleh masyara-kat terutama untuk bahan baku obat diabetes, kolesterol dan kanker. Terdapat empat jenis pohon hutan secara tradisional dimanfaatkan sebagai obat kolesterol dan obat diabetes oleh masyarakat di sekitar kawasan hutan Cagar Alam Pagerwunung, Kaliwungu Selatan, Kabupaten Kendal, Jawa Tengah, danCagar Alam Yanlapa, Jasinga, Jawa Barat. Dua jenis sebagai obat anti kolesterol yaitu Dialium indum L. (ranji) dan Bouea macrophylla Blume (gandaria). Dua jenis untuk obat diabetes adalah Alstonia scholaris R. Br. (pulai atau lame) dan Lagerstroemia speciosa Auct. (bungur). Pada tahun selanjutnya yakni tahun 2011, ditemukan tujuh jenis pohon hutan oleh masyarakat di sekitar kawasan hutan Cagar Alam Sempu, Malang, Jawa Timur secara tradisional dimanfaatkan untuk pengobatan diabetes adalah: Pterospermum javanicum Jungh. (bayur), Artocarpus elasticus Reinw. (bendo), Lagerstroemia speciosa Pers. (bungur), Heritiera littoralis Dryand. (dungun), Bischoffia javanica Blume (gintungan), Litsea cubeba Pers. (huru) dan Antiaris toxicaria Lesch (ipuh).
Sintesis 2010-2014
| 29
Kondisi Tempat Tumbuh Jenis Shorea platyclados Slooten Ex Foxw., Shorea ovalis (Korth.) Blume, Shorea balangeran (Korth.) Burck, Shorea teysmanniana Dyer. ex Brandis, Shorea leprosula Miq. dan Shorea bracteolata Dyer. Beserta Kandungan Senyawa Metabolik Sekunder Potensial Sebagai Bahan Obat Kanker. Enam jenis Shorea tumbuh alami di kawasan hutan Sumatera, yaitu : Shorea platyclados Slooten Ex Foxw., Shorea ovalis (Korth.) Blume, Shorea balangeran (Korth.) Burck, Shorea teysmanniana Dyer. ex Brandis, Shorea leprosula Miq. dan Shorea bracteolata Dyer. Dua jenis diantaranya juga tumbuh di Kepulauan Bangka Belitung, S. ovalis dan S. balangeran. Jenis S. ovalis dan S. platyclados diketahui dapat ditanam di luar habitatnya. Kedua jenis Shorea yang ditanam di luar habitatnya berdasarkan hasil analisis sampel diketahui memiliki kandungan senyawa metabolik sekunder lebih lengkap. Kondisi tempat tumbuh dan kandungan senyawa metabolik sekunder keenam jenis Shorea tersebut adalah sebagai berikut: Shorea platyclados Shorea platyclados (meranti tenam, meranti bukit) di Hutan Lindung Bukit Daun, Bengkulu tumbuh pada ketinggian tempat 400 – 600 m dpl. jenis tanah Podsolik Merah Kuning, pH tanah 5,9 – 6,8 dan tipe iklim A. Jenis ini ditanam dan dapat tumbuh di Hutan Penelitian Pasir Hantap, Sukabumi pada ketinggian tempat 650 – 673 m dpl., jenis tanah Latosol, pH tanah 6,3 – 6,8 dan tipe iklim B. Shorea ovalis Shorea ovalis (meranti kujung, meranti merah) di Hutan Produksi Pemerihan, Lampung Selatan tumbuh pada ketinggian tempat 253-297 m dpl., jenis tanah Podsolik Merah Kuning, pH tanah 5,4 – 6,6 dan tipe iklim A. Shorea ovalis yang ditanam di Hutan Penelitian Cigerendeng, Ciamis tumbuh pada ketinggian tempat 97-119 m dpl., jenis tanah Alluvial Coklat, pH tanah 6,2 – 6,6 dan tipe iklim B. Shorea balangeran Shorea balangeran (belangir, belangiran) di hutan Bangka Belitung tumbuh pada daerah dataran rendah lahan kering atau kadang tergenang air pasang surut, tumbuh pada ketinggian 9 – 55 m dpl., tipe iklim B. Jenis tanah Asosiasi Alluvial dan Regusol berwarna kelabu muda kehitaman, berasal dari endapan liat, debu dan pasir. Shorea teysmanniana Shorea teysmanniana (meranti bunga, meranti batu) tumbuh sangat jarang di hutan Musi Banyuasin, Sumatera Selatan. Jenis ini tumbuh pada dataran rendah lahan kering dan lahan basah pasang surut, ketinggian 10 – 40 m dpl., dengan tipe iklim A. Jenis tanah Podsolik merah kuning pada daerah lahan kering, dan jenis Alluvial serta Regusol berwarna hitam keabu-abuan untuk lahan basah.
Sintesis 2010-2014
| 30
Shorea leprosula Shorea leprosula (meranti babi) tumbuh di hutan Way Kanan, Taman Nasional Way Kambas, Lampung. Jenis ini tumbuh mengelompok jarang pada daerah dataran rendah dengan ketinggian hingga 60 m dpl., tipe iklim A. Jenis tanah podsolik coklat kuning, podsolik merah kuning, aluvial hidromorf dan gley humus lacustrin. Shorea bracteolata Shorea bracteolata (meranti putih) tumbuh di hutan HL Boven Lais Bengkulu Utara. Tumbuh mengelompok jarang pada tebing bukit dengan ketinggian 340 - 460 m dpl., tipe iklim A. Jenis tanah Podsolik Merah Kuning warna kehitaman, dengan tekstur liat dan sedikit berpasir. Uji fitokimia kulit batang dari keenam jenis Shorea tersebut mengandung tujuh jenis senyawa metabolik sekunder yaitu: alkaloid, saponin, tannin, fenolik, flavonoid, triterfenoid dan glikosida. Uji fitokimia ranting dan daun S. ovalis, S. teysmanniana asal hutan Musi Banyuasin dan S. bracteolata HL Boven Lais Bengkulu Utara bracteolata mengandung 8 (delapan) jenis senyawa metabolit sekunder yaitu alkaloid, saponin, tannin, fenolik, flavonoid, triterfenoid dan glikosida dan steroid. Kandungan senyawa fitokimia ini disinyalir merupakan senyawa aktif sebagai antioksidan dan anti kanker. Kulit batang S. platyclados dan Shorea ovalis asal Hutan Penelitian memiliki kandungan fitokimia lebih lengkap dibanding asal hutan alam. Kondisi tempat tumbuh diprediksi dapat berpengaruh terhadap kandungan fitokimianya. Dapat disimpulkan bahwa : 1. Terdapat dua jenis pohon hutan yang berpotensi sebagai bahan obat kolesterol yakni Dialium indum L. (ranji) danBouea macrophylla Blume (gandaria). Untuk pengobatan diabetes dapat digunakan delapan jenis pohon hutan sebagai obatnya:Pterospermum javanicum Jungh. (bayur), Artocarpus elasticus Reinw. (bendo), Lagestromia speciosa Pers. (bungur), Heritiera littoralis Dryand. (dungun), Bischoffia javanica Blume (gintungan), Litsea cubeba Pers. (huru), Antiaris toxicaria Lesch (ipuh) dan Alstonia scholaris R. Br. (pulai atau lame). 2. Terdapat enam jenis Shorea yakni : Shorea platyclados Slooten ex Foxw. (meranti tenam, meranti bukit), Shorea ovalis (Korth.) Blume (meranti kujung, meranti merah), Shorea balangeran (Korth.) Burck (belangir, belangiran), Shorea teysmanniana Dyer. ex Brandis (meranti bunga, meranti batu), Shorea leprosula Miq. (meranti babi) dan Shorea bracteolata Dyer.(meranti putih) diketahui mengandung tujuh jenis senyawa metabolik sekunder terdiri dari: alkaloid, saponin, tannin, fenolik, flavonoid, triterfenoid dan glikosida. 3. Daun dan ranting Shorea ovalis (Korth.) Blume (meranti kujung, meranti merah), Shorea teysmanniana Dyer. ex Brandis meranti bunga, meranti batu) dan Shorea bracteolata Dyer. (meranti putih) diketahui mengandung 8 (delapan) jenis
Sintesis 2010-2014
| 31
senyawa metabolit sekunder yaitu alkaloid, saponin, tannin, fenolik, flavonoid, triterfenoid dan glikosida dan steroid. 4. Turunan dari senyawa-senyawa metabolik sekunder Shorea disinyalir berperan aktif sebagai antikanker. 5. Shorea platyclados Slooten ex Foxw. dan Shorea ovalis (Korth.) Blume dapat tumbuh di luar habitatnya dan memiliki golongan senyawa metabolik sekunder yang sama. Kedua jenis Shorea yang ditanam di luar habitatnya memiliki kandungan senyawa metabolik sekunder yang lebih lengkap. 6. Jenis Shorea platyclados Slooten ex Foxw. dan Shorea ovalis (Korth.) Blume dapat diprioritaskan untuk dibudidayakan dalam rangka pemanfaatan bahan baku obat kanker. 2.
FAUNA
a.
Informasi Biofisik Habitat, Dinamika Populasi dan Keragaman Genetik Jenis Fauna Langka dan Terancam Punah.
a.1. Metoda Pendugaan Populasi Jenis-jenis Burung Paruh Bengkok. Di Indonesia terdapat beberapa jenis burung paruh bengkok yang diantaranya sudah masuk dalam Appendix I CITES seperti Cacatua mollucensis (kakatua maluku), C. sulphurea (kakatua jambul kuning) dan Eos histrio (nuri talaud). Berdasarkan Peraturan Pemerintah (PP 7 tahun 1999), jenis-jenis burung paruh bengkok yang dilindungi antara lain: kakatua koki (C. galerita), kakatua jambul kuning (C. sulphurea), kakatua tanimbar (C. coffini), kakatua maluku (C. mollucensis) dan beberapa jenis nuri dan betet. Namun demikian jenis-jenis tersebut masih saja diperdagangkan dan pengambilan dilakukan masih dari habitat alaminya. Saat ini populasi di alam terancam mengalami penurunan akibat perdagangan liar tersebut. Kuota pemanenan di alam kadangkala terkendala oleh akurasi data populasi di alam. Untuk itu dicari teknik pendugaan yang tepat dan efisien dalam menentukan ukuran populasi alami dan laju reproduksinya. Hasil penelitian yang dilakukan di areal hutan KHDTK Malili, Kabupaten Luwu Timur, Makassar, terhadap dua jenis burung paruh bengkok endemik yakni perkici dora (Trichoglossus ornatus) dan serindit paruh merah (Loriculus exilis). Populasi perkici dora yang terbesar diikuti oleh betet kelapa punggung hijau dan serindit Sulawesi. Metode sirkular terbukti merupakan metoda inventarisasi burung yang memiliki tingkat akurasi paling tinggi dibandingkan dengan metoda jalur dan transek. Sedangkan yang murah dan efisien untuk inventarisasi burung paruh bengkok adalah metode transek garis. Kombinasi kedua metoda ini merupakan yang terbaik dan disarankan untuk menduga populasi burung paruh bengkok di habitat alaminya.
Sintesis 2010-2014
| 32
a.2. Teknologi Konservasi Siamang (Symphalangus syndactylus Raffles, 1821) pada Kawasan Hutan di Sumatera Utara Sebaran dan Pola Sebaran Populasi siamang di kawasan Cagar Alam Dolok Sipirok(CADS) dan sekitarnya tersebar pada beberapa lokasi. Dari semua tipe penutupan lahan yang ada di CADS, siamang hanya dijumpai pada hutan lahan kering primer sebanyak 81,8%, serta pada hutan lahan kering sekunder dan pinggiran sungai di dekat pertanian lahan kering sebanyak 9,1%. Keberadaan siamang di pinggiran sungai dekat pertanian lahan kering tersebut diduga berkaitan dengan adanya pohon pakan di sekitar areal tersebut walaupun dalam jumlah yang terbatas. Berdasarkan kelas ketinggian, sebagian besar wilayah CADS termasuk dalam kelas ketinggian 900-1200 m dpl, dan sebagian kecil termasuk kelas ketinggian 600900 m dpl. Sebagai pembanding, hasil pengamatan di sekitar CADS yang termasuk kelas ketinggian >1200 m dpl menunjukkan adanya keberadaan siamang pada ketinggian di atas 1200 m dpl (Gambar 13). Hasil analisis pola sebaran spasial menunjukkan bahwa populasi siamang di CADS tersebar menurut pola berkelompok atau agregat. Kepadatan individu dan kelompok, dan struktur umur Jumlah populasi siamang yang dijumpai di beberapa lokasi CADS dan daerah penyangganya adalah 24 individu yang tersebar dalam 7 kelompok. Lokasi dengan jumlah siamang terbanyak adalah Rambasi-hasur yaitu 12 individu yang terdiri dari 4 kelompok dan 1 individu soliter. Berdasarkan survey lokasi-lokasi pengamatan dengan intensitas sampling sebesar ± 2,7%, maka nilai dugaan kepadatan individu adalah sebesar 9,91±3,40 individu/km2. Nilai koefisien variasi (CV) untuk nilai dugaan kepadatan individu tersebut adalah 0,22. Dengan luas CADS 69,7 km2, maka diperkirakan terdapat 691 individu siamang di kawasan CADS dan sekitarnya. Kepadatan kelompok siamang adalah sebesar 3,71 kelompok/km2. Satu kelompok berukuran 3,43 individu/kelompok. Selain berkelom-pok, selama pengamatan di CADS juga dijumpai individu tunggal (4 kali dari 11 kali perjumpaan). Berdasarkan fase pertumbuhan siamang, pada pengamatan di CADS terdapat empat kategori umur yaitu bayi, anak, remaja, dan dewasa. Proporsi tiap kategori dari hasil penelitian ini adalah 4,17% bayi, 12,5% anak, 29,17% remaja dan 54,17% dewasa. Distribusi umur menunjukkan bahwa kelompok remaja merupakan kategori umur dengan jumlah terbanyak dibandingkan kategori lainnya. Bayi merupakan kategori dengan jumlah paling sedikit. Kelompok yang hanya terdiri dari pasangan jantan dan betina adalah 71,4%, sedangkan sisanya sebesar 28,6% terdiri dari betina dewasa dengan remaja, anak, atau bayi. Berdasarkan komposisi kelompok, terlihat bahwa tingkat keberhasilan menghasilkan keturunan tergolong rendah.
Sintesis 2010-2014
| 33
Hasil analisis populasi menunjukkan struktur umur sedang terganggu. Jika kondisi ini terus berlangsung, populasi akan terus menurun, dan dapat terjadi kepunahan. Hal ini diantaranya terlihat dari minimnya klas umur bayi dan anak (masing-masing 4,17% dan 12,5%), cukup besarnya individu yang belum memiliki pasangan (36%), besarnya proporsi pasangan yg tidak memiliki keturunan (71,4%), rendahnya potensi reproduksi (R0<1) dan indikator laju pertumbuhan negatif (r m= 0,04) dan kurang dari 1 ( λ=0,965). Walaupun kepadatan siamang relatif tidak terlalu rendah, namun struktur populasi kurang mendukung untuk perkembangan populasi di masa yang akan datang. Populasi siamang di CADS terindikasi merupakan populasi yang menurun (regressive population), dan potensi reproduksinya tidak mendukung untuk kelangsungan generasi dalam jangka waktu yang lama. Karakteristik Habitat Kawasan CA. Sipirok merupakan bagian dari barisan Hutan Ba-tang Toru yang merupakan hutan hujan tropika yang mewakili tipe hutan sub Montana dan Montana, dengan ketinggian tempat antara 600-1.200 meter dari permukaan laut. Dalam penelitian ini, habitat siamang di Cagar Alam Dolok Sipirok (CADS) dan sekitarnya dikategorikan ke dalam dua kategori, yaitu hutan primer dan hutan sekunder. Penutupan lahan lainnya yaitu pertanian lahan kering, kebun campur, dan semak, tidak dimasukkan dalam penelitian karena bukan merupakan bagian dari habitat alamiah siamang. Penutupan lahan di CADS secara rinci disajikan pada Gambar 13.
Gambar 12. Peta sebaran populasi siamang berdasarkan ketinggian di CADS dan wilayah sekitarnya.
Sintesis 2010-2014
| 34
PETA PENUTUPAN LAHAN DI CAGAR ALAM DOLOK SIPIROK
Gambar 13. Penutupan lahan di kawasan CADS dsk. (Sumber: Kwatrina et al. (2010) Struktur dan Komposisi Vegetasi Untuk mengetahui struktur dan vegetasi pada habitat siamang, telah dilakukan analisis vegetasi yang mewakili tipe habitat dan ketinggian. Berdasarkan tipe habitat dan ketinggian tempat, maka habitat siamang dalam penelitian ini dikategorikan menjadi 4 kategori, yaitu: hutan primer pada ketinggian 600-900 m dpl, hutan primer pada ketinggian 900-1.200 m dpl, hutan sekunder pada ketinggian 600-900 m dpl, dan hutan sekunder pada ketinggian 900-1.200 m dpl. Penga-matan dilakukan pada delapan lokasi yang tersebar di wilayah CADS dan sekitarnya. Secara lengkap hasil analisis disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Jumlah jenis dan kerapatan tumbuhan pada berbagai tingkat vegetasi Tingkat vegetasi Semai
Jumlah jenis tumbuhan (ind.) 87
Pancang
84
Tiang
56
Pohon
78
Jenis dominan Nama lokal Haundolok Siala Pakis panjang Haundolok Hoteng Api-api Haundolok Randu kambing Hoteng Hoteng Haundolok Hoteng maranak
INP (%)
Kerapatan (ind./ha)
15,80 9,77 8,95 23,50 11,40 8,25 36,13 31,33 26,08
4.000 2.562,5 2.187,5 650 240 210 50 45 42,05
28,94 28,58 16,18
35,6 30,6 15
Sintesis 2010-2014
| 35
Dari keempat tingkat vegetasi yang diamati, jumlah jenis paling tinggi ditemukan pada tingkat semai sebanyak 87 jenis, sedangkan terendah pada tingkat tiang sebanyak 56 jenis. Jenis yang mendominasi adalah Haundolok yang memiliki INP dan kerapatan tertinggi pada tingkat semai, pancang dan tiang. Pada tingkat pohon didominasi oleh Hoteng. Hoteng merupakan salah satu jenis tumbuhan pakan Siamang. Keanekaragaman, Kelimpahan, dan Kemerataan Jenis Vegetasi Hasil analisis vegetasi disajikan dalam bentuk indek keanekaragaman, indek kelimpahan dan indeks kemerataan jenis vegetasi. Hasil selengkapnya disajikan pada Gambar 14. 14 12 10 8 6 4 2 0
H' D
Semai
Pancang
Tiang
Pohon
Keterangan: H’ = indeks keanekargaman jenis Shannon, D = indekskekayaan jenis Margalef. Gambar 14. Indeks keaneragaman jenis vegetasi di kawasan CADS dan sekitarnya. Jika dibandingkan indeks keanekaragaman jenis pada semua tingkat vegetasi, maka nilai tertinggi terdapat pada tingkat semai dengan nilai 4. Selanjutnya adalah tingkat pancang, pohon, dan teren-dah pada tingkat tiang. Indeks Margalef dan N (indeks kelimpahan jenis)sebagai salah satu ukuran keanekaragaman jenis yang menunjukkan kekayaan jenis juga menunjukkan hasil yang sama. Hal ini menunjukkan bahwa vegetasi tingkat tiang di CADS dan sekitarnya memiliki ukuran keanekaragaman jenis terendah dibandingkan tingkat pertumbuhan lainnya. Jenis Dan Pola Sebaran Jenis Tumbuhan Pakan Salah satu komponen penting dalam habitat siamang adalah pakan. Siamang merupakan satwa pemakan daun (foliovorous) dan buah (frugivorous). Tabel 7. Jenis tumbuhan pakan Siamang di CA Dolok Sipirok dan sekitarnya. No
Nama Lokal
1 Andarasi 2 Api-api
Sintesis 2010-2014
Nama Ilmiah
Suku
Ficus congesta Roxb. Moraceae Gordonia excelsaBlume Theaceae
| 36
Bagian yang dimakan Daun Buah Kulit √ √ -
No
3 4 5 6
Nama Lokal
Bayur Dapdap Handis Hatopul
7 Haundolok jambu 8 Hayu horsik 9 Hole misang 10 Hoteng 11 Hoteng maranak 12 Hoteng barangan 13 Junjung buhit 14 Karet 15 Lacat bodat 16 Mayang 17 Mayang durian 18 Modang kuning 19 Pege-pege 20 Rambutan hutan 21 Sampinur tali 22 Simargalunggung 23 Songgak 24 Takki gatal 25 Tambiski tombak 26 Torop 27 Tupe
Nama Ilmiah Pterospermum blumeanum Korth. Garcinia celebica L. Artocarpus rigidus Blume Eugenia grandis Wight. Ilex pleiobrachiata Loes Ficus sp. Quercus gemelliflora Blume Castanopsis inermis Jack. Actinodaphne glabra Blume Hevea brasiliensis Muell. Arg Shorea hopeifolia Sym. Palaquium obovatum Engl., var. Palaquium obovatum Engl., var. Litsea odorifera Valeton Cryptocarya nitens (Blume) Koord.&Val. Podocarpus imbricatus Bl. Var Aquilaria malaccensis Lamk. Eurea acuminataA.P.DC. Artocarpus elasticus Reinw. -
Suku
Bagian yang dimakan Daun Buah Kulit
Sterculiaceae Guttiferae Moraceae
√ √
Myrtaceae
√
√ √
-
√
-
Aquifaceae Moraceae Fagaceae
√ √ √
-
Fagaceae
√ √
-
Lauraceae
√
-
Euphorbiaceae
√
Dipterocarpaceae Sapotaceae √ Sapotaceae
√
√
-
Lauraceae
√
-
Lauraceae
√ √
-
Podocarpaceae
√
-
Thymelaeaceae
√ √
-
Theaceae
√ √
-
Moraceae
√
-
-
√
-
√
Sintesis 2010-2014
| 37
Tabel 8. Hasil analisis pemilihan tipe habitat dengan menggunakan Indeks Neu Klasifikasi tipe habitat
Lokasi Lumban lobu dan Poldung Aek Latong dan Simander Hutain baru dan sitandiang Rambas I dan Rambas II
Hutan Primer 600 – 900 m dpl. Hutan Primer > 900 -1.200 m dpl. Hutan Sekunder 600-900 m dpl. Hutan Sekunder >900-1.200 m dpl. Total
Luas Proporsi Jumlah Indeks Indeks (ha) Luas Plot Seleksi Standar SE A π m wi Bi 10
0,250
10
0,333
0,083 0,160
10
0,250
10
1,000
0,250 0,250
10
0,250
10
2,000
0,500 0,289
10 40
0,250 1,000
10 40
0,667 4,000
0,167 0,215 1,000 0,913
a.3. Kajian Keanekaragaman Genetik Banteng di Pulau Jawa Morfologi Atau Organ Tubuh. Hasil penelitian di kebun binatang Surabaya dan Ragunan menunjukkan adanya perubahan yang merupakan penyelewengan fisik maupun biologis, yaitu: Warna kulit badan banteng jantan di KBS telah mengalami perubahan di mana terlihat warna badan keabu-abuan dan timbul warna coklat di bagian belakang (Gambar 15). Di KBR juga terjadi perubahan warna kulit banteng jantan menjadi coklat (Gambar 15).
A A Gambar 15.Banteng jantan di KBS (A), dan di KBR (B).
B
Ukuran dan bentuk tanduk pada banteng betina di KBS dan KBR mengecil letaknya hampir menempel pada kepala (Gambar 16), bila dibandingkan dengan banteng betina di TSI II dan TSI III (Gambar 16).
Sintesis 2010-2014
| 38
A A
B A
Gambar 16. Banteng betina di KBS (A), dan di TSI II (B). Benjolan pada kepala dan gelambir banteng jantan di KBS terlihat sangat menonjol bila dibandingkan dengan banteng jantan di TSI II dan TSI III. Di kawasan konservasi in-situ, banteng di TNUK dan TNB, ben-tuk tanduk lebih lebar, panjang dan besar; panjang kaki lebih pendek, badan lebih gempal, sehingga banteng di kedua taman nasional ini merupakan banteng yang lebih banyak beraktifitas di dataran rendah, sedangkan banteng di TNMB dan TNA, bentuk tanduk banteng lebih kecil, pendek; kaki lebih panjang, badan lebih ramping, dan badan bagian belakang lebih tinggi. Hal ini disebabkan banteng di kedua taman nasional ini bergerak di dataran rendah dan perbukitan.
Gambar 17. Bentuk tanduk banteng di empat taman nasional
Sintesis 2010-2014
| 39
Endoparasit Tabel 9. Jenis endoparasit banteng pada lembaga konservasi eks-situ dan kawasan konservasi in-situ. No
Lokasi
Sedimentasi-Filtrasi
1. 2.
KB Surabaya KB Ragunan
(+)telur trematoda (+)telur nematoda
3. 4. 3. 5. 6.
TSI II, Prigen TSI III, Denpasar TN Alas Purwo TN Baluran TN Ujung Kuloni*
(+) telur trematoda (+) telur nematoda (+) telur trematoda (+) telur trematoda (+) telur trematoda
Jenis endoparasit Paramphistomum spp. Haemonchus spp. Oeshophagustomum spp. Paramphistomum spp. Moniezia spp. Paramphistomum spp. Paramphistomum spp. Fasciola spp. Paramphistomum spp.
Kecacingan trematoides tersebut merupakan penyakit parasitik yang privalensinya cukup tinggi, namun tidak disertai gejala klinis yang jelas. Sedangkan dampak yang ditimbulkan dapat menurunkan daya produksi dan reproduksi bahkan kematian. Di lembaga konservasi kebun binatang dan TSI, banteng diberi obat cacing secara rutin tiga bulan sekali, tetapi satwa masih terinfeksi telur cacing melalui hewan perantara (hospes) siput atau langsung dari air yang diminum. Keragaman Genetik Banteng Hasil multiple alignment 657 urutan basa fragmen D-loop DNA mitokondria dari banteng dari KB Surabaya, KB Ragunan, TSI II (Prigen), TN Meru Betiri, TN Baluran, Sapi Bali, TSI III (Bali) diketahui terdiri dari 6 haplotipe. Haplotipe 1 (41 individu) yaitu: KBS-01, KBS-02, KBS-03, KBS-04, KBS-05, KBS-06, KBS-07, KBS-08, KBS-09, KBS-10, KBS-11, KBS-12, RAG-01, RAG-02, RAG-03, RAG04, RAG-05, RAG-06, RAG-07, RAG-08, RAG-09, RAG-10, RAG-11, RAG-12, RAG-13, RAG-14, RAG-15, SB-01, SB-05, SB-06, SB-07, SB-09, SB-10, TSI-05, TSI-07, TSI-08, Timis, Nila, TNMB-02, TNMB-03, dan TNMB-04; haplotipe 2 (satu individu), yaitu: SB-04; haplotipe 3 (8 individu), yaitu: TSI-01, TSI-02, TSI-03, TSI-04, TSI-06, SB-02, SB-08, dan Nanik; haplotipe 4 (satu individu), yaitu : TNMB-01; haplotipe 5 (satu individu), yaitu : SB-03; dan haplotipe 6 (satu individu), yaitu: SB-11. Diversitas haplotipe populasi banteng di KB Surabaya, KB Ragunan, TSI II dan TSI III, TN. Baluran, TN. Meru Betiri, dan sapi bali adalah 0,385±0,077 dan diversitas nukleotida (Pi) = 0,00218±0,00095. Pada uji Tajima (Tajima test) menunjukkan nilai D= -0,50134 dan tidak berbeda nyata P>0,10 diantara individu banteng di semua populasi. Demikian pula pada uji Fu dan Li menunjukkan nilai D = -0,86873 dan tidak berbeda nyata P>10 diantara individu pada semua populasi banteng. Sedangkan nilai Fu’s Fs = 0,123 yang menunjukkan nilai positif yang berarti telah terjadi silang dalam (inbreeding).
Sintesis 2010-2014
| 40
Jarak genetik di dalam populasi KB. Surabaya (0), KB. Ragunan (0), TN Meru Betiri (0,001), TSI II (0,003), Sapi Bali (0,004), dan TSI III (0,004). Jarak genetik antar populasi dapat dilihat secara lengkap pada Tabel 3, sedangkan rata-rata jarak genetik antar populasi adalah 0,002. Jarak genetik antar individu banteng di KB. Surabaya, KB. Ragunan, TN. Meru Betiri, TSI II (Prigen), Sapi Bali, dan TSI III (Bali) berkisar antara 0,000 – 0,011 (Tabel 10). Tabel 10. Jarak genetik antar populasi di KBS, KBR, TNB, TNMB, TSI II, Sapi Bali dan TSI III. No. 1 2 3 4 5 6
Lokasi KB Surabaya KB Ragunan TN Meru Betiri TSI II, Prigen Sapi Bali TSI III, Bali
1
2
3
4
5
6
0,000 0,000 0,004 0,003 0,002
0,000 0,004 0,003 0,002
0,001 0,004 0,003 0,002
0,004 0,003 0,002
0,004 0,003
0,003
Hasil penelitian menyimpulkan bahwa di lembaga konservasi eks-situ seperti KB. Surabaya dan KB. Ragunan, morfo-metrik banteng telah mengalami perubahan berupa ukuran bagian badan seperti bentuk dan ukuran tanduk, warna kulit, dan kemampuan reproduksi, hal ini disebabkan terjadinya inbreeding dilihat dari jarak genetik di dalam populasi 0. Sedangkan di kawasan konservasi in-situ TN. Meru Betiri, TN. Baluran, TN. Ujung Kulon dan TN. Alas Purwo, morfometrik banteng paling besar adalah di TN. Baluran dilihat dari ukuran telapak kaki dan jarak kaki. Pengelompokan banteng di kawasan konservasi in-situ berda-sarkan habitat, bentuk tanduk dan bentuk badan ada dua golongan yaitu banteng TN. Ujung Kulon dan TN. Baluran yang lebih banyak beraktifitas di dataran rendah dan memiliki bentuk badan lebih pendek dan gempal, tanduk lebih besar dan panjang serta kaki lebih pendek dan besar, sedangkan banteng TN. Meru Betiri dan TN. Alas Purwo beraktifitas di dataran rendah dan dataran tinggi memiliki bentuk dan ukuran badan lebih panjang dan ramping. Tanduk lebih kecil dan pendek serta kaki yang lebih panjang dan ramping. Diversitas haplotipe populasi banteng di KBS, KBR, TSI II dan III (Prigen dan Bali), TN. Baluran, TN. Meru Betiri, dan sapi bali adalah 0,385±0,077 dan diversitas nukleotida (Pi) = 0,00218±0,00095, sedangkan nilai Fu’s Fs = 0,123 yang menunjukkan nilai positif yang berarti telah terjadi silang dalam (inbreeding). a.4. Teknik Pengambilan Materi Genetik Teknik pengambilan materi genetik dari feses yang dicobakan ada 3 macam, yaitu dengan menggunakan cotton buds steril, menggunakan kertas tissue dan diambil secara langsung pada feses yang masih basah. Preservasi sampel di lapangan yang dicobakan di lapangan ada 3 macam, yaitu : tanpa perendaman, direndam
Sintesis 2010-2014
| 41
dalam buffer EDTA dan direndam ethanol. Pada masing-masing perlakuan, sampel disimpan pada suhu 4ºC.
Gambar 18. Materi genetik yang dikoleksi Hasil koleksi sampel materi genetik DNA diekstraksi dengan menggunakan kit ekstraksi dari Wizard Genomic PROMEGA dan Ultra Clean Fecal DNA Kit. Berdasar hasil kuantifikasi DNA, didapatkan konsentrasi DNA pada absorbansi 260/280 yang bervariasi, yaitu antara 2,4 – 309 ng/ml, dengan rasio 1,6 – 5,3. Hasil PCR crude DNA feses menggunakan primer D-Loop Mitokondria CDR dan YDF belum menampakkan adanya DNA yang teramplifikasi. Sementara itu, hasil PCR dengan menggunakan metode dan primer yang sama untuk sampel darah DNA sudah berhasil diamplifikasi.
Gambar 19. Hasil PCR menggunakan DNA dari darah Variasi konsentrasi DNA dari sampel feses diduga berkaitan dengan teknik pengambilan feses. Nilai konsentrasi yang tinggi diduga berkaitan dengan kondisi feses yang dikoleksi untuk sampel, yaitu masih banyak mengandung lendir. Sebaliknya, konsentrasi yang rendah didapatkan dari feses yang tidak berlendir. Sementara itu, belum teramplifikasinya DNA pada proses PCR sesuai dengan Frantzen et al. (1998) yang menyatakan bahwa amplifikasi DNA dari sampel feses memiliki peluang yang rendah dibandingkan sampel darah atau pun jaringan. Hal ini karena pada sampel feses lebih banyak dijumpai inbibitor PCR yang masih perlu
Sintesis 2010-2014
| 42
dianalisis lebih lanjut sehingga mampu dieliminasi. Berkaitan dengan hal tersebut di atas, upaya untuk terus mengoptimasi ekstraksi DNA masih diperlukan sehingga memiliki peluang yang besar sampai dengan amplifikasi DNA. Materi genetik yang telah dikoleksi dari dua Taman Nasional (Alas Purwo dan Baluran) adalah feses dan tulang. Metode ekstraksi dari kit Wizard Genomic PROMEGA mampu mengamplifikasi DNA darah. Metode ekstraksi dari kit Wizard Genomic PROMEGA dan Ultra Clean Fecal DNA Kit belum mampu mengamplifikasi DNA dari feses banteng. a.5. Kajian Keanekaragaman Genetika Trenggiling Keragaman genetik Sebanyak 222 sekuen (111 sekuen forward dan 111 sekuen reverse) dan satu sekuen Anis sp.( GU206864.1 ), serta outgroup dari Manis p.pendactyla (GQ232079.1) ) digunakan dalam penelitian ini. Panjang sekuen fragmen D-loop dari DNA mitokondria trenggiling yang digunakan dalam penelitian sepanjang 1133 bp. Distribusi situs polimorfik sekuen D-loop DNA mitokondria tertinggi menyatakan bahwa variabilitas tinggi pada trenggiling terdapat pada urutan nukleotida 701-800, yaitu 26 situs polimorfik (2,30%). Distribusi haplotipe 84, dimana frekuensi haplotipe tertinggi pada populasi trenggiling (Manis javanica) terdapat pada H-66 (9,52%) dengan distribusi haplotipe dari spesimen yang disita di Merak (Banten), H-19 (7,14%) dengan distribusi haplotipe di Sumatera Utara dan di Penangkaran Dramaga, dan H-77 (4,76%) dengan distribusi di Pangkalan Bun (Kalimantan Tengah), sedangkan frekuensi haplotipe lainnya berkisar antara 1,8% dan 2,38%. Hasil analisa filogeni menunjukkan pada populasi trenggiling di Sumatera Utara, Palembang, Kebun Binatang Ragunan, Kebun Binatang Surabaya, Sukabumi, Banten, Penangkaran Dramaga, penyitaan di Pangkalan Bun, penyitaan di Serang, penyitaan di Jakarta, dan penyitaan di Surabaya terdapat 22 clade/haplogroup, yaitu clade I (9,52%), II (7,14%), III (5,95%), IV (3,57%), V (4,76%), VI (9,52%), VII (7,14%), VIII (2,38%), IX (8,33%), X (4,76%), XI (15,48%), XII (2,38), XIII (5,95%), XIV (1,19%), XV (11,90%), XVI (1,19%), XVII (5,95%), XVIII (1,19%), IXX (1,19%), XX (1,19%), XXI (7,14%), dan clade XXII (13,09%). Dari hasil tersebut menunjukkan frekuensi clade tertinggi adalah clade XI (15,48%) dan yang terendah clade XIV, XVI, XVIII, IXX, XVI,XVIII, IXX, XX (1,19%). Clade XI yang memiliki nilai tertinggi (15,48%), demikian juga dengan clade I (9,52%) dan clade VI (9,52%) berasal dari Sumatera Utara. Pada clade IX (8,33%) yang merupakan kumpulan trenggiling yang berasal dari Kebun Binatang Ragunan, Banten dan Sukabumi terdapat satu trenggiling yang berasal dari Sumatera Utara. Clade XV (11,90%) merupakan kumpulan trenggiling sitaan yang berasal dari Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah dan Pelabuhan Merak, Banten. Clade XXII Sintesis 2010-2014
| 43
(13,0%) merupakan kumpulan trenggiling sitaan dari Tanjung Priok, Jakarta dan Surabaya. Disamping itu trenggiling sitaan yang ditemukan di Surabaya tersebar pada clade dari Pangkalan Bun dan Jakarta, sehingga dapat dikatakan bahwa trenggiling sitaan yang berasal dari Pelabuhan Merak, Banten; Tanjung Priok, Jakarta dan Surabaya merupakan trenggiling yang memiliki kekerabatan dekat dengan trenggiling dari Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah. Rata-rata jarak genetik antar individu pada semua populasi adalah 0,012, dalam populasi berkisar antara 0,001-0,010 dan antar populasi 0,002-0,020 (Tabel 11). Tabel 11. Jarak genetik antar populasi trenggiling (Manis javanica) Sumatera Utara 0,055 Sukabumi 0,052 0,006 Ragunan 0,054 0,0070,002 Kebun Binatang Surabaya 0,056 0,017 0,016 0,017 Palembang 0,052 0,007 0,005 0,007 0,013 Banten 0,055 0,009 0,003 0,004 0,019 0,008 Penyitaan di Jakarta 0,056 0,019 0,017 0,020 0,007 0,013 0,021 Penyitaan di Surabaya 0,055 0,018 0,016 0,018 0,008 0,013 0,019 0,004 Penyitaan di Merak 0,054 0,009 0,008 0,010 0,014 0,006 0,011 0,014 0,014 Kandang Dramaga 0,053 0,005 0,004 0,005 0,015 0,005 0,006 0,017 0,016 0,008 Jarak populasi trenggiling yang hubungan kekerabatan paling dekat dimiliki oleh kelompok trenggiling dari Kebun Binatang Ragunan dan Sukabumi, sedangkan trenggiling yang memiliki hubungan kekerabatan paling jauh adalah trenggiling sitaan yang berasal dari Tanjung Priok, Jakarta dengan Kebun Binatang Surabaya. Jarak genetik dalam clade berkisar 0,002-0,15 (rata-rata 0,0035±0,0023) dan jarak genetik antar clade berkisar antara 0,003-0,021. Jarak clade terdekat adalah 0,003 antar clade VIII dan clade XI adalah trenggiling berasal dari Sumatera Utara dan trenggiling dari penangkaran di Kandang Darmaga, sedangkan clade paling jauh berasal dari clade XVIII, Sumatera Utara dengan clade XIII, sitaan Merak yang diduga dari Kalimantan. Pohon filogeni trenggiling (Manis javanica) berdasarkan sekuen d-loop DNA mitokondria menyatakan hubungan kekerabatan masing-masing clade/haplogroup. Clade I trenggiling sitaan dari Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah dengan trenggiling sitaan yang berasal dari Merak, dan diduga berasal dari Pulau Kalimantan, ternyata benar karena hubungan kekerabatannya yang dekat dan dapat dikelompokkan dalam satu clade. Hal ini didukung oleh nilai boostrap tinggi (92%) dari trenggiling pada clade XXI, demikian juga dengan trenggiling yang berasal dari Kebun Binatang Ragunan dengan trenggiling dari Sukabumi dengan nilai boostrap, 90%.
Sintesis 2010-2014
| 44
Morfometrik Trenggiling Ukuran bagian tubuh trenggiling jantan dan betina yang terdiri dari berat badan, panjang badan, panjang ekor, panjang kepala, panjang kaki depan, panjang kaki belakang, telapak kaki depan, telapak kaki belakang, lingkar ekor, lingkar kepala dan lingkar badan . Morfometrik dibedakan menurut lokasi asal usul atau lembaga konservasi tempat ditemukannya trenggiling.Trenggiling yang berasal dari Kalimantan, yaitu dari Pangkalan Bun memiliki ukuran bagian tubuh yang paling besar, seperti bobot badan, panjang total dari ujung kepala sampai ujung ekor, panjang ekor, lingkar dada, lingkar ekor dan lingkar kepala. Trenggiling yang berasal dari Pulau Kalimantan memiliki ukuran paling besar dibandingkan trenggiling dari Pulau Jawa dan Pulau Sumatra (Gambar 20). Warna sisik trenggiling yang berasal dari Pulau Kalimantan lebih kehitam-hitaman dibandingkan sisik trenggiling dari pulau lainnya.
A A
B A
Gambar 20. Trenggiling yang berasal dari Pulau Jawa (A) dan Pulau Sumatera (B) Analisis Bahan Aktif Sisik Trenggiling Hasil analisis kandungan bahan aktif dengan metode GCMS yang cukup menonjol adalah 1,4-diaza-2,5 dioxobicyclo [4.3.0]nonane (C14H16N2O2) pada kulit (22,18%)dan daging trenggiling (13,60%) yang dapat berfungsi melawan infeksi penyakit yang disebabkan oleh beberapa pathogen seperti Staphylococcus epidermis, Staphylococcus aureus dan Enterobacteria faecalis (Goharet.al , 2010). Sedangkan zat Methanethiol (CAS) Mercaptomethane (17,35%) yang juga terdapat pada daging trenggiling merupakan bahan aktif yang digunakan pada produksi pestisida, fungisida, bahan bakar jet dan plastik. Sisik trenggiling mengandung bahan aktif yang menonjol yaitu Phenol, 3-methyl (CAS)m-cresol digunakan atau diproduksi sebagai zat antara (synthetic intermediate) untuk bahan atau material lainnya yang meliputi plastik, pesticida, obat-obatan dan dyes. Turunan dari m-cresol termasuk Tolimidone, 5-(3-methylphenoxy) pyrimidin2(1H)-one, Bevantotol (RS)-[2-(3,4-dimethoxyphenyl)ethyl] [2-hydroxy-3-(3 methylphenoxy) propylamine dan Bromocresol green. Tolimodine digunakan sebagai Sintesis 2010-2014
| 45
obat yang dapat meningkatkan glucose homeostatis (Ochman et.al , 2012) dan glucose toleransi (Saporito et.al, 2012) serta branchodilator dan antiulcer phyroxyphyrimidinous (Lipinski et.al, 2012). Kandungan bahan aktif yang cukup tinggi dan terdapat pada hati trenggiling yaitu 9-Octadecanoic acid(2)-CAS).oleic acid (21,91%), yang dapat dikatagorikankan sebagai monoinsaturated omega-9, omega 3 dan omega 6 secara alami berasal dari lemak dan minyak minyak satwa dan tumbuhan yang tidak berbau dan berwarna. Pemanfaatan oleic acid dalam beberapa bentuk seperti triglyceride untuk makanan manusia, garam sodium untuk emulsi pada sabun, serta obat paruparu dan vitamin F. Kesimpulan : Sekuen D-Loop DNA mitokondria populasi trenggiling (Manis javanica Desmarest, 1822) sepanjang 1133 pasang basa (base pair) terdapat pada 84 haplotipe dengan jumlah polimorfik sebanyak 172 situs dan total mutasi sebanyak 185. Hasil analisa filogeni menunjukkan pada populasi trenggiling di Sumatera Utara, Palembang, Kebun Binatang Ragunan, Kebun Binatang Surabaya, Sukabumi, Banten, Penangkaran Dramaga, penyitaan di Pangkalan Bun, penyitaan di Serang, penyitaan di Jakarta, dan penyitaan di Surabaya terdapat 22 clade/haplogroup, clade XI yang memiliki nilai tertinggi (15,48%), demikian juga dengan clade I (9,52%) dan clade VI (9,52%) berasal dari Sumatera Utara. Pada clade IX (8,33%) yang merupakan kumpulan trenggiling yang berasal dari Kebun Binatang Ragunan, Banten dan Sukabumi terdapat satu trenggiling yang berasal dari Sumatera Utara. Clade XV (11,90%) merupakan kumpulan trenggiling sitaan yang berasal dari Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah dan Pelabuhan Merak, Banten. Clade XXII (13,0%) merupakan kumpulan trenggiling sitaan dari Tanjung Priok, Jakarta dan Surabaya. Rata-rata jarak genetik antar individu pada semua populasi adalah 0,012, dalam populasi berkisar antara 0,001-0,01, antar populasi 0,002-0,020. Jarak genetik dalam clade berkisar 0,002-0,15 (rata-rata 0,0035±0,0023) dan jarak genetik antar clade berkisar antara 0,003-0,02. Diversitas genetik sangat tinggi terdapat 84 haplotipe dengan diversitas haplotipe (Hd) 0,99±0,004 dan diversitas nukleotida (Pi) 0,01038. Fu’s Fs statistik -59,713 menunjukkan tingginya diversitas genetik dan ekspansi populasi. Morfometrik trenggiling (Manis javanica) merupakan adaptasi terhadap lingkungannya, seperti eyelids, warna dan urutan sisik pada ekor, dan ukuran bagian tubuh. Trenggiling yang berasal dari P. Kalimantan memiliki ukuran bobot tubuh paling besar dibandingkan trenggiling dari P. Jawa dan Sumatera, bobot badan trenggiling jantan dari Pangkalan Bun 7,545±2.970 kg dan betina 3,650±1,375 kg.
Sintesis 2010-2014
| 46
Bioprospeksi pada bagian tubuh trenggiling ternyata mempunyai kandungan bahan aktif maupun turunannya telah banyak digunakan pada kesehatan manusia maupun kesehatan lingkungan. Kandungan bahan aktif pada hati trenggiling seperti 9-Octadecanoic acid(2)-CAS).oleic acid (21,91%), 1,4-diaza-2,5 dioxobicyclo [4.3.0]nonane (C14H16N2O2) pada kulit (22,18%)dan daging trenggiling (13,60%), Methanethiol (CAS) Mercaptomethane (17,35%), dan Phenol, 3-methyl (CAS)m-cresol pada sisik yang dapat berfungsi untuk obatobatan, pestisida, fungisida, bahan bakar jet, plastik dan vitamin. a.6. Kajian Populasi dan Habitat Tarsius (Tarsius spectrum) di Taman Nasional Bantimurung Bulusaraung Populasi Tarsius Tarsius yang dijumpai secara tidak langsung melalui suara di berbagai lokasi seperti di sepanjang jalur Gua Mimpi, Gua Batu maupun Biraeang. Tarsius bersarang di tebing-tebing karst yang bervariasi ketinggiannya, yaitu antara 10 – 20 meter dari permukaan tanah (Gambar 21). Sedikitnya dijumpai 3 - 8 kelompok Tarsius berdasar suara yang berasal dari tebing karst di masing-masing lokasi dan waktu pengamatan. Fluktuasi perjumpaan Tarsius berkaitan dengan adanya fluktuasi sumberdaya pakan. Pada musim hujan, vegetasi lebih rapat sehingga kelimpahan serangga lebih tinggi. Hal ini berarti sumberdaya pakan lebih melimpah sehingga Tarsius hanya sedikit menggunakan waktu untuk mencari makan dan lebih susah untuk terdeteksi. Sebaliknya, di musim kemarau vegetasi lebih kering sehingga kelimpahan serangga berkurang. Hal ini berakibat pada waktu mencari makan lebih lama dan Tarsius menjadi lebih mudah terdeteksi.
Gambar 21. Karakteristik sarang Tarsius di Kawasan Bantimurung Kepadatan Tarsius di lokasi sekitar Gua Mimpi pada saat penghujan 0,4375 ekor/km2 dan saat kemarau 0,594 ekor/km2. Kepadatan Tarsius di sekitar Gua Batu saat penghujan 0,114 ekor/km2 dan saat kemarau 1,473 ekor/km2. Kepadatan di Biraeng, Kabupaten Pangkep saat penghujan sebesar 4,91 ekor/km2 dan saat kemarau sebesar 2,00 ekor/km2 .
Sintesis 2010-2014
| 47
Kepadatan maksimal Tarsius adalah pada musim kemarau. Kepadatan rata-rata sebesar 1,82 ekor/km2 pada bulan Mei dan sebesar 0,81 ekor/km2 pada bulan Oktober. Karakteristik Habitat Ketinggian sarang Tarsius bervariasi pada masing-masing lokasi yaitu berkisar antara antara 5 – 50 meter di atas permukaan tanah. Selama pergerakannya, Tarsius membutuhkan cabang dengan diameter kecil (< 4 cm) terutama untuk berburu dan menjelajah. Diameter sedang (4 – 8 cm) terutama digunakan untuk istirahat dan menandai daerah jelajah (home range). Sedangkan diameter > 8 cm juga digunakan untuk istirahat dan menandai daerah jelajah (home range) meskipun tidak sebanyak diameter sedang (MacKinnon dan MacKinnon, 1980). Nama jenis penyusun vegetasi habitat Tarsius yang memiliki Indeks Nilai Penting (INP) tinggi dan secara intensif digunakan dalam pergerakan harian yaitu: Paliasa (Kleinhovia hospita Linn.), Ficus spp., Mali-mali (Leea indica (Burm f.) Merr.), dan Bitti (Vitex cofassus). Karakteristik habitat tidur Tarsius adalah di lubang pada tebing karst. Vegetasi yang memiliki INP tertinggi pada berbagai tingkat di habitat Tarsius adalah : Jabon (Anthocephalus cadamba) pada tingkat pohon, Bungur (Langerstronia speciosa) pada tingkat Tiang dan Pancang dan Biraeng (Ficus spp.) pada tingkat semai. Potensi pakan Secara umum Tarsius merupakan hewan pemakan serangga (insectivorus), di samping juga dapat memanfaatkan vertebrata kecil lainnya seperti kadal dan burung. Jumlah individu serangga pakan Tarsius yang tertangkap pada jenis jebakan gantung dan jebakan tanam sebagai gambar berikut.
20 18 16 14 12 10 8 6 4 2 0
musim kemarau
Re a
musim penghujan
Gu aM im pi I Gu aM im pi II Gu aB atu I Gu aB Ka atu l eb on II gK ale ng ke re Ga lun gk ul a ng Ga I lun gk ul a ng II
Jumlah individu
Jumlah individu serangga dengan jebakan gantung
Lokasi
Gambar 22. Diagram jumlah individu serangga yang tertangkap jebakan gantung.
Sintesis 2010-2014
| 48
50 45 40 35 30 25 20 15 10 5 0
musim kemarau
II
Re a
I Ga l
un g
ku la
ng
ng
er e un g
ku la
gk len Ka
on g Ka
leb
Ga l
I
Ba tu Gu a
I pi I
Ba tu Gu a
im
im m Gu a
M Gu a
II
musim penghujan
pi I
Jumlah individu
Jumlah individu serangga dengan pitt fall traps
Lokasi
Gambar 23. Diagram jumlah individu serangga yang tertangkap jebakan tanam (pitt fall traps) Jumlah individu dan jumlah jenis serangga yang tertangkap lebih banyak pada musim kemarau dibandingkan pada musim penghujan. Ketersedian pakan lebih banyak pada saat musim kemarau. Tarsius lebih banyak mengkonsumsi kelompok Orthoptera dan Lepidoptera. Sebaliknya selama musim kemarau Tarsius tetap memakan beberapa jenis Orthoptera dan Lepidoptera, namun di samping itu juga meningkatkan konsumsi Coleoptera dan Hymenoptera. a.7. Kajian Populasi dan Habitat Anoa (Bubalus spp.) pada Kawasan Konservasi di Propinsi Sulawesi Utara dan Gorontalo Kawasan TN Bogani Nani Wartabone Penelitian di Taman Nasional Bogani Nani Wartabone dilakukan di kompleks hutan Gunung Poniki dan sekitarnya dengan luas wilayah penelitian 516 ha. Dalam pengelolaanya wilayah ini masuk dalam Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah (SPTNW) II Doloduo. Secara ekosistem masuk ke dalam tipe hutan dataran rendah (300-1.000 m dpl.) dan hutan dataran tinggi (1.000-1.600 m dpl.). Secara fisik, kondisi wilayah pengamatan didominasi oleh kelas ketinggian 900–1.000 m dpl. yaitu seluas 204 ha, sedangkan untuk kelas kelerengan didominasi oleh kelas 25-45% seluas 171 ha. Suhu di lokasi penelitian berkisar pada 17 oC di pagi hari dan 23oC di sore hari. Hasil analisis vegetasi, ditemukan 98 jenis pohon yang dikelompokkan kedalam 48 famili dengan jumlah individu sebanyak 4.762 individu. Jenis famili yang mendominasi adalah jenis Euphorbiaceae, Rubiaceae dan Meliaceae. Indeks Nilai penting (INP) di kompleks hutan Gunung Poniki adalah: tingkat anakan pohon dan pohon muda didominasi oleh jenis Orophea sp. Dengan nilai INP masing-masing 57,835% dan 51,742%. Sedangkan tingkat pohon, INP tertinggi pada jenis Calophyllum soulattri Burm.f. atau Poguingon (INP = 32,106%). Dari hasil pengamatan teridentifikasi sebanyak 28 jenis pohon pakan, di mana sebagian besar
Sintesis 2010-2014
| 49
bagian yang dimakan oleh anoa adalah bagian daun. Jenis-jenis tumbuhan pakan tersebut di antaranya buah leler (Dillenia serrata), jenis rumput-rumputan (Paspalum conjugatum), paku naga (Atryium nigripes) dan kunyit hutan (Alpinia sp.). Tempat yang digunakan sebagai pelindung atau cover, tempat tidur atau sarang berupa gua batu dan rongga pohon. Jumlah jejak anoa yang ditemukan di lapangan se-banyak 143 jejak dengan kepadatan 1.8 jejak/ha. Pengelompokan berdasarkan kelas umur menghasilkan tingkatan 37 jejak merupakan jejak dewasa, 86 jejak remaja dan 20 merupakan jejak anak. Kisaran ukuran populasi anoa adalah 5-14 individu dengan kepadatan sebesar satu (1) individu/km2. Hasil pengumpulan terhadap morfometri tengkorak anoa yang berasal dari kawasan TNBNW diperoleh sebanyak 6 spesimen yang terdiri dari 5 spesimen merupakan anoa dataran rendah dan satu anoa gunung. Kisaran panjang tanduk untuk anoa dataran rendah adalah 18.5-29.5 cm dan 17-18 cm untuk anoa dataran tinggi. Anoa, babi rusa atau babi putih dan babi hutan adalah satwa yang paling banyak diburu oleh masyarakat yang diperoleh dengan mema-sang jerat atau dodeso di sepanjang jalur anoa. Hasil dari buruan terse-but biasanya dijual di pasar-pasar tradisional dengan harga mencapai Rp.28.000-30.000/kg. Keberadaan anoa, kini mulai jarang ditemukan seiring dengan perubahan hutan yang merupakan habitat anoa serta tingginya tingkat perburuan di alam. Suaka Margasatwa Nantu Suaka Margasatwa Nantu ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No : 537/Kpts-II/1999 tanggal 22 Juli 1999 dengan luas sebesar ±31.215 ha. Lokasi penelitian berada di sebelah selatan dengan luas wilayah lokasi penelitian ± 3.300 ha. Secara fisik, kondisi SM Nantu bagian Selatan didominasi oleh kelas ketinggian 0-200 m dpl. seluas 1.319 ha atau sebesar 39,97% dari luas total. Kelas kelerengan didominasi kelerengan 25-45% yaitu seluas 1.142 ha atau sebesar 34,61% dari luas keseluruhan. Hasil pengamatan vegetasi pada seluruh plot diperoleh sebanyak 9.608 individu, terdiri dari 61 jenis yang dikelompokkan menjadi 29 famili. Tingkatan anakan pohon, pohon muda dan pohon didominasi oleh jenis Thea lanceolata Piere. dengan masing-masing nilai INP yang diper-oleh sebesar 54,968%, 50,218% dan 41,658%. Sedangkan jenis famili yang mendominasi di wilayah ini yaitu famili Euphorbiaceae, Annonaceae dan Guttiferae. Di SM Nantu, kondisi populasi anoa jauh lebih banyak dibanding-kan di kompleks hutan Gunung Poniki TNBNW. Dalam penelitian ini berhasil dijumpai empat ekor anoa, tiga anoa di lokasi Hatibi yang terdiri dari jantan, betina dan anak, warna bulu yang dijumpai berwarna merah, namun perjumpaan tersebut hanya berlangsung secara singkat. Demikian pula anoa yang dijumpai di Blok Adudu yaitu satu ekor anak anoa dengan bulu berwarna kuning keemasan. Jumlah jejak yang
Sintesis 2010-2014
| 50
diperoleh sebanyak 180 jejak yang terdiri dari 103 jejak dewasa, remaja 59 jejak dan anak-anak 18 jejak. Dari hasil perjumpaan langsung diperoleh dugaan kisaran populasi anoa sebesar 20-22 individu, dengan kepadatan populasi di wilayah penelitian sebesar 0,76 ind/km2. Habitat Preferensi Anoa Pemilihan habitat tertentu oleh anoa terhadap seluruh komponen habitat sebanyak 14 habitat dengan nilai l hit > l ( 0.05,4) . Hasil perhitungan tertinggi dengan indeks preferensi terhadap 14 komponen habitat anoa baik fisik dan biotik dijelaskan sebagai berikut: 1. Ketinggian tempat (X1): anoa memilih lokasi yang berada pada urutan ketinggian >1.000 m dpl.; 800-1.000 m dp.l dan 600-800 m dpl. Ketinggian tempat sangat erat kaitannya dengan gangguan, kesimpulan yang dihasilkan adalah semakin tinggi suatu tempat maka semakin ideal sebagai habitat anoa. 2. Kemiringan lereng (X2): Indeks preferensi terhadap variabel kemiringan lereng, diperoleh bahwa anoa lebih banyak melakukan aktivitasnya pada lokasi dengan kemiringan lereng 9-15%; 16-25% dan 0-8%. 3. Kelembaban (X3): indeks preferensi terhadap variabel kelembaban relatif menunjukkan bahwa lokasi dengan nilai kelembaban relatif > 90% dipilih oleh anoa untuk melakukan aktivitasnya; 71-80% dan 81-90%. 4. Kerapatan tajuk atas (X4): indeks preferensi tertinggi terhadap tutupan tajuk atas diperoleh angka 51-59% merupakan habitat yang paling disukai oleh anoa, disusul 81-89% dan > 91%. 5. Jarak dari sungai (X5): indeks preferensi tertinggi terhadap jarak dari sungai menunjukkan bahwa kisaran jarak 401-600 m merupa-kan habitat yang disukai oleh anoa disusul jarak 800-1.000 m dan > 1000 m. Meskipun menggunakan habitat pada radial yang jauh dari sumber air namun dalam aktivitas hariannya, anoa akan selalu mempertimbangkan bahwa wilayah jelajah hariannya tetap ada air. 6. Jarak dari aktivitas manusia (X6): Indeks prefrensi terhadap jarak dari aktivitas manusia menunjukkan angka jarak 6-8 km dari pemukiman menjadi habitat dengan aktivitas anoa tertinggi, diikuti jarak >8 km dan 4-6 km. Meskipun dikatakan anoa sangat menyukai habitat yang jauh dari gangguan dan aktivitas manusia, namun tidak jarang anoa juga sering menggunakan habitat yang berbatasan dengan wilayah perkebunan. 7. Jarak dari tepi hutan (X7): Indeks preferensi terhadap jarak dari tepi hutan (forest edge) menunjukkan bahwa habitat dengan jarak 2-4 km jauhnya dari tepi hutan adalah habitat yang paling disukai oleh anoa, diikuti dengan jarak <2 km dan >8 km. Hal ini menunjukkan bahwa habitat anoa berdasarkan jarak dari tepi hutan adalah tersebar merata. 8. Jarak dari jalan (X8): Indeks preferensi terhadap jarak dari jalan menunjukkan bahwa jarak dengan kisaran >8 km merupakan habitat yang paling disukai oleh 2
2
Sintesis 2010-2014
| 51
anoa, diikuti dengan kisaran jarak < 2 km dan 2-4 km. Demikian halnya dengan jarak dari aktivitas manusia, menunjukkan bahwa aktivitas anoa pada jarak dari jalan adalah tersebar merata. Ada saat anoa menjauh dari gangguan namun tidakjarang juga anoa mendatangi juga tempat-tempat yang dekat dengan aktivitas manusia. 9. Kerapatan tumbuhan bawah (X9): Indeks Prefrensi terhadap nilai kerapatan tumbuhan bawah, menunjukkan bahwa anoa memilih habitat yang memiliki nilai kerapatan tumbuhan bawah pada kisaran 400.000-500.000 ind/ha. Kerapatan nilai tumbuhan bawah terkait dengan ketersediaan pakan anoa di alam. 10. Kerapatan tingkat pohon (X10): Indeks preferensi terhadap nilai kerapatan pohon, menunjukkan bahwa habitat dengan nilai kera-patan pohon 201-250 Ind/ha, dipilih oleh anoa untuk melakukan aktivitasnya. 11. Kerapatan tingkat pancang (X11): Indeks preferensi terhadap nilai kerapatan vegetasi tingkat pancang, menunjukkan bahwa habitat yang memiliki kisaran angka berada pada nilai 40.000-50.000 ind/ha. 12. Kerapatan tingkat tiang (X12): Indeks preferensi terhadap nilai kerapatan vegetasi tingkat tiang menunjukkan bahwa habitat yang disukai oleh anoa di TNBNW memiliki nilai kisaran > 2.800 ind/ha. 13. Kerapatan tingkat semai (X13): indeks preferensi habitat terhadap nilai kerapatan vegetasi tingkat semai menunjukkan bahwa habitat dengan kisaran angka 100.000-200.000 indivdu/ha, merupakan habitat yang sangat disukai oleh anoa. 14. Jumlah jenis tumbuhan pakan (X14): indeks preferensi habitat terhadap nilai jumlah tumbuhan pakan menunjukkan bahwa semakin bervariasi jenis tumbuhan pakan di suatu habitat merupakan habitat yang paling disukai oleh anoa. Variasi pakan menunjukkan kebutuhan satwa terhadap nutrisi tertentu, satwa memiliki naluri dengan memilih berbagai jenis pakan seperti daun muda. Faktor Dominan Habitat Faktor dominan habitat diperoleh variabel yang sangat berpengaruh terhadap kehadiran anoa adalah variabel ketinggian tempat (X1) dan nilai kerapatan vegetasi pohon (X10). Model persamaan regresi yang diperoleh adalah: ln Y = -5.664+0.932 ln X1 + 0.02X10. Hasil persamaan regresi menunjukkan adanya indikasi bahwa semakin tinggi suatu tempat di kawasan TNBNW, frekuensi kehadiran anoa akan semakin tinggi. Hal ini membuktikan teori yang menjelaskan bahwa anoa kini menempati dataran tinggi untuk menghindari adanya gangguan. Penggunaan habitat berdasarkan ketinggian tempat tertentu juga dipengaruhi oleh musim. Musim penghujan biasanya menempati habitat di puncak-puncak gunung, sedangkan musim kema-rau anoa akan menempati ketinggian tempat yang lebih rendah untuk mencari sumber air. Variabel kedua adalah kerapatan jumlah pohon. Semakin tinggi kerapatan jumlah pohon akan
Sintesis 2010-2014
| 52
meningkatkan frekuensi kehadiran anoa, korelasi ini terkait dengan ketersediaan tumbuhan pakan, kerapatan tajuk serta nilai kelembaban. Potensi Tumbuhan Pakan Jumlah jenis tumbuhan pakan yang teridentifikasi di Wilayah Seksi III Maelang yaitu di Gunung Imandi ditemukan sebanyak 21 jenis, sebanyak 12 jenis di wilayah Gunung Gambuta dan sebanyak 13 jenis tumbuhan pakan yang ditemukan di wilayah Gunung Sinombayuga. Sebagian jenis pakan alami anoa terdiri dari tumbuhan bawah dan buah-buahan. Indeks kelimpahan diperoleh sebanyak 9 jenis tumbuhan pakan memiliki nilai kelimpahan yang tinggi. Keanekaragaman jenis tumbuhan pakan di lokasi Gn. Imandi memiliki indeks kekayaan (Dmg = 2,019) dan keanekaraman jenis yang tertinggi (H’ = 1,879). Sedangkan indeks kemerataan jenis tertinggi berada di lokasi penelitian Gn. Sinombayuga–Doloduo (J’=0,659). Semakin tinggi indeks kemerataan jenis pada suatu habitat maka keseimbangan komunitas akan semakin tinggi. Kandungan Nutrisis Pakan Anoa Dari 28 jenis tumbuhan pakan yang ditemukan di Kompleks Hutan Poniki TNBNW dan 31 jenis tumbuhan pakan dari SM. Nantu, hanya dilakukan analisis terhadap 11 jenis tumbuhan pakan yang sering dimakan anoa. Hasil analisis proksimat menunjukkan bahwa kandungan protein yang terdapat pada beberapa jenis pakan anoa memiliki nilai protein di atas 20% yaitu Calophyllum soulattri Burm.f. sebesar 28,863%. Jenis yang memiliki kandungan lemak tertinggi yaitu jenis Elatostema sp., kandungan serat kasar paling tinggi adalah Calophyllum soulattri Burm.f sebesar 35,794%. Pendugaan Kelimpahan Populasi Anoa Pendugaan populasi anoa dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan estimasi kepadatan jejak. Sifat yang sangat sensitif terhadap kehadiran manusia, soliter dan memiliki daya jelajah luas merupakan faktor pembatas untuk menduga populasi anoa secara pasti. Jumlah keseluruhan jejak kaki anoa yang dijumpai di tiga lokasi pengamatan sebanyak 460 jejak yang terdiri dari kelas umur Dewasa (D) sejumlah 237 jejak, Muda (M) sejumlah 197 jejak dan Anak (A) sejumlah 25 jejak. Berdasarkan jumlah jejak yang dijumpai di masing-masing lokasi menunjukkan bahwa habitat Gn. Imandi di Maelang lebih banyak jika dibandingkan dengan lokasi di Gn. Gambuta Suwawa yaitu sebanyak 272 jejak dan 185 jejak. Berdasarkan penghi-tungan terhadap jumlah populasi diketahui bahwa lokasi Gn. Imandi di Maelang memiliki nilai kepadatan populasi lebih tinggi dibandingkan dengan lokasi Gn. Gambuta di Suwawa dengan nilai kepadatan masing-masing sebesar 63,06 ekor/ha dan 51,39 ekor/ha.
Sintesis 2010-2014
| 53
Pemodelan Spasial Kesesuaian Habitat Variabel Habitat Vegetasi Hasil analisis citra satelit landsat tahun 2012 diperoleh kelas penutupan lahan yaitu Hutan (hutan primer dan sekunder), kebun campuran, sawah, pertanian lahan kering, pemukiman/lahan terba-ngun, semak belukar, badan air, lahan kosong dan awan. Analisis citra menghasilkan nilai indeks vegetasi untuk kawasan TNBNW berada pada selang -1 hingga 0,82. Luas kawasan TNBNW berdasarkan kelas tutupan lahan disajikan dalam Tabel 12. Tabel 12. Luas kawasan TNBNW berdasarkan kelas tutupan lahan Kelas Tutupan Lahan Hutan Kebun Sawah Pertanian Lahan Kering Pemukiman /Lahan terbangun Semak Belukar Badan Air Tanah kosong Awan dan Bayangan awan Jumlah
Luas ha 275.330,20 357,99 1,54 3128,62 0,003 3834,02 506,98 20,83 0,00 283.180,19
% 97,23 0,13 0,00 1,10 0,00 1,35 0,18 0,01 0,00 100,00
1. Ketinggian tempat (elevasi) dan kemiringan lahan (slope) Ke dua faktor dikategorikan sebagai faktor topografi, menurut National Research Council (1993) dalam Okarda (2010), anoa dapat hidup hingga pada ketinggan tempat di atas 2.300 m dpl. Data topografi diperoleh melalui Digital Elevation Model (DEM) dengan resolusi 100 x100 meter. Secara umum keadaan topografi kawasan TNBNW berupa rangkaian pegunungan dan lembah yang terjal dengan ketinggian yang cukup bervariasi yaitu antara 50 – 2.000 m dpl. Tabel 13. Luas kawasan TNBNW berdasarkan ketinggian tempat. Kelas Ketinggian Kelas Ketinggian 0 – 300 m dpl Kelas Ketinggian 300 – 600 m dpl Kelas Ketinggian 600 – 1.000 m dpl Kelas Ketinggian 1.000 – 1.300 m dpl Kelas Ketinggian 1.300 – 1.600 m dpl Kelas Ketinggian > 1.600 mdpl Jumlah
Sintesis 2010-2014
| 54
Luas ha 18.625 80.250 105.687 53.998 23.099 1.521 283.180
% 6,58 28,34 37,32 19,07 8,16 0,54 100,00
Tabel 14. Luas kawasan TNBNW berdasarkan kemiringan lahan. Kemiringan Lahan
Kelas
Datar Berombak Bergelombang Berbukit Bergunung Jumlah
0–8% 8 – 15 % 15 – 25 % 25 – 45 % > 45 %
Luas ha 19.941 34.376 63.562 110.461 54.840 283.180
% 7,04 12,14 22,45 39,01 19,37 100,00
2. Jarak dari Jalan Berdasarkan hasil penelitian kajian karakteristik habitat anoa (Arini et al., 2011) terdapat pemilihan habitat oleh anoa berdasarkan jarak dari jalan yaitu >8 km. Artinya anoa cenderung menempati habitat yang sangat jauh dari gangguan manusia. Jarak dari jalan diperoleh dengan metode Euclidean yang tersedia dalam Software ArcGis 10. 3. Jarak dari Pemukiman Menurut Mustari (2003), anoa memiliki kecenderungan terlihat lebih dari satu kilometer dari jalan, atau titik-titik kegiatan manusia khususnya di Tanjung Amalengo, Sulawesi Tenggara. Adanya fakta ini menunjukkan bahwa aktivitas manusia (dalam hal ini pemukiman) akan mempengaruhi kehadiran anoa di suatu habitat. Jarak dari pemu-kiman diperoleh dengan metode Euclidean yang tersedia dalam Software ArcGis 10. Hasil uji menggunakan indeks pemilihan habitat diperoleh jarak > 6 km dari pemukiman memiliki preferensi tertinggi. Ada kecenderungan anoa menghindari adanya manusia dan aktivitas manusia serta beberapa habitat yang tergang-gu (Mustari, 2003; Bason, 2012). Namun tidak jarang jejak anoa ditemukan di pinggir-pinggir kebun dalam frekuensi yang sangat sedikit. 4. Jarak dari Sumber Air Hasil penelitian dengan menggunakan indeks pemilihan habitat menjelaskan terdapat pemilihan habitat berdasarkan jarak dari sungai yaitu pada jarak 800 meter dari sungai (Arini, et al., 2011). 5. Jarak dari Forest edge Jarak dari Forest edge didefinisikan sebagai jarak dari tepi hutan. Hutan, terutama hutan primer yang tidak terganggu merupakan habitat utama bagi anoa. Tepi hutan adalah gangguan dan cenderung untuk dihindari dengan memberikan respon berpindah lebih jauh masuk ke dalam hutan yang tidak terganggu.
Sintesis 2010-2014
| 55
Klasifikasi Tipe Habitat Klasifikasi tipe habitat oleh anoa di kawasan TN. Bogani Nani Wartabone dilakukan melalui pengkategorian habitat berdasarkan ketinggian tempat dan tutupan lahan. Jumlah keseluruhan plot pe-ngamatan adalah 809 plot yang terdiri atas 226 plot merupakan plot yang terdapat perjumpaan langsung maupun tandatanda anoa yang ditinggalkan (presence ≈ 1) yang ditemukan di lapangan, sedangkan sejumlah 583 plot merupakan titik di mana tidak atau kemungkinan ditemukannya kehadiran anoa (pseudo absence ≈ 0). Titik-titik per-jumpaan inilah yang nantinya akan digunakan sebagai variabel dalam penyusunan model regresi logistik biner. Sebanyak 509 titik diguna-kan untuk membangun model dan 300 titik digunakan sebagai uji validasi model. Tabel 15. Pembagian tipe habitat. Tipe Habitat Habitat non hutan (lahan pertanian kebun campuran & pemukiman dsb)/NH Hutan dataran rendah (300–1,000 m dpl.)/ HDR Hutan pegunungan (1,000– 1,600 m dpl.)/ HP Hutan lumut (> 1.600 mdpl)/HL Jumlah
ha
Luas %
Jumlah Plot
4.894
1,73
123 plot
197.791
69,85
481 plot
78.927
27,87
187 plot
1.568 283.180
0,55 100,00
18 plot 809 plot
Indeks Pemilihan Habitat Pemilihan terhadap suatu tipe habitat sangat dipengaruhi oleh kualitas serta ketersediaan sumberdaya di dalamnya. Preferensi meru-pakan kemungkinan suatu sumberdaya untuk dipilih satwa di antara sumberdaya yang ada dan menunjukkan hasil perilaku suatu organisme (Jhonson, 1980; Singer, 2000; Chapman, 2000; Olabarria et al, 2002). Preferensi satwa dalam suatu habitat dapat dipengaruhi oleh ketersediaan sumber pakan, predator dan sejarah masa lalu dan prefe-rensi satwa dapat digambarkan dari pola sebaran spasial (Underwood et al, 2004).Dari perhitungan diketahui bahwa nilai 2(hitung)>2(tabel) yaitu 164,589 > 11,35 sehingga dapat disimpulkan bahwa terdapat pemilihan tipe habitat oleh anoa di kawasan TNBNW. Dari tabel di atas diketahui bahwa terdapat pemilihan dalam penggunaan habitat. Nilai w atau indeks preferensi pada habitat Hutan Lumut (w=14,38) dan Hutan Pegunungan (w=1,92) menunjukkan lebih dari satu yang berarti bahwa habitat tersebut sangat disukai oleh anoa yang ditunjukkan oleh banyaknya tanda yang ditinggalkan ataupun perjumpaan secara langsung. Sedangkan Hutan Dataran Rendah memiliki nilai indeks preferensi kurang dari 1 yaitu 0,55. Hal ini menunjukkan bahwa habitat tersebut kurang disukai. Hal ini disebabkan karena
Sintesis 2010-2014
| 56
sebagian hutan dataran rendah di kawasan TN Bogani Nani Wartabone telah ada aktivitas manusia atau frekuensi gangguan manusia cukup tinggi. Hal ini menyebabkan perubahan perilaku anoa yang sangat sensitif terhadap gangguan yaitu dengan mencari tempat yang relatif lebih aman seperti di puncak-puncak gunung atau hutan-hutan yang tidak terjangkau oleh aktivitas manusia. Pembentukan Model Kesesuaian Habitat 1. Uji Multikolinieritas Langkah dalam analisis regresi dimulai dengan melakukan uji korelasi antar variabel. Uji yang digunakan adalah uji multikolinieritas. Ghozali (2006) menyatakan bahwa uji multikolinieritas bertujuan untuk menguji apakah model regresi ditemukan adanya korelasi antar variabel bebas. Indikasi ada tidaknya multikolinieritas dianalisis dengan menggunakan Tolerance Value (TOL) dan dari Varians Inflation Factor (VIF) (Okarda, 2010; Ambagau, 2010; Kuswanda, 2011). Nilai toleransi kurang dari 1 atau VIF lebih besar dari 10 menunjukkan multikolinieritas signifikan. Model Resource Selection Function (RSF) Berdasarkan tahapan analisis di atas maka model RSF yang terbentuk dari persamaan regresi logistik adalah sebagai berikut: 𝑃=
exp (– 24.419 + 5.407 𝑁𝐷𝑉𝐼 + 0.004 𝐸𝐿𝑉 + 4.672 log 𝐽𝑃𝑀) 1 + exp(– 24.419 + 5.407 𝑁𝐷𝑉𝐼 + 0.004 𝐸𝐿𝑉 + 4.672 log 𝐽𝑃𝑀)
Hasil model RSF di atas menjelaskan bahwa peluang pemilihan sumberdaya oleh anoa di kawasan TNBNW sangat dipengaruhi oleh 3 faktor variabel habitat yaitu tutupan lahan (indeks vegetasi), ketinggian tempat dan jarak dari pemukiman yang menunjukkan frekuensi intensitas gangguan oleh manusia. Pemetaan Kesesuaian Habitat Anoa di TNBW. Penerapan model yang terbentuk akan menghasilkan peta probabilitas kesesuaian habitat anoa. Peta probabilitas dibagi ke dalam tiga batas yang telah ditetapkan yaitu daerah yang tidak sesuai, sesuai dan sangat sesuai (Tabel 16). Tabel 16. Luas kesesuaian habitat anoa. No
Kelas Kesesuaian Habitat
1. Kelas kesesuaian rendah 2. Kelas Kesesuaian sedang 3. Kelas kesesuaian tinggi Jumlah Total
Luas ha 180.668 45.788 56.724 283.180
% 63,80 16,17 20,03 100,00
Dari tabel 16 di atas diketahui bahwa kelas kesesuaian habitat rendah memiliki luasan terbesar yaitu 63,80%, diikuti kelas kesesuaian tinggi sebesar 20,03% dan
Sintesis 2010-2014
| 57
kelas kesesuaian sedang sebesar 16,17%. Berdasarkan peta terlihat bahwa kelas kesesuaian tinggi cenderung berada pada nilai ketinggian tempat yang tinggi dan jauh dari gangguan manusia seperti pemukiman, jalan atau aktivitas lainnya. Dari hasil perhitungan accuracy assesment dalam ERDAS 9.1, diperoleh nilai Overall Classification Accuracy sebesar 81,00% dan nilai Kappa Statistic yang diperoleh sebesar 64,23%. Hal ini berarti peta memiliki tingkat keakuratan model yang cukup memuaskan.
Gambar 24. Peta Kesesuaian Habitat Anoa di Kawasan TNBNW 2. Aplikasi Model RSF Taman nasional di Indonesia dikelola berdasarkan zonasi dan dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidik-an, menunjang budidaya, pariwisata dan rekreasi di mana kriteria-nya didasarkan pada PP No. 68 tahun 1998. Kawasan TNBNW dibagi ke dalam empat zona yaitu zona inti (171.935,34 ha), zona pemanfaatan (17.670,18 ha), Zona Rehabilitasi (15.937,70 ha) dan zona Rimba (77.813,97 ha). Hasil overlay antara peta kesesuaian habitat anoa dan peta zonasi TNBNW menunjukkan bahwa sebagian besar kelas kesesuaian tinggi untuk habitat anoa berada di dalam zona inti kawasan dengan luas sebesar 55.365 ha dan berada di zona rimba sebesar 1.359 ha. Demikian pula dengan kelas kesesuaian habitat sedang juga berada pada zona inti kawasan dengan masing-masing luasan 40.056 ha untuk zona inti dan 5.732 ha untuk zona rimba. Tabel 17. Luas kesesuaian habitat anoa berdasarkan zonasi TNBNW. Zonasi TNBNW Zona Inti Zona Rimba Zona Rehabilitasi Zona Pemanfaatan JUMLAH
Sintesis 2010-2014
| 58
Luas Kelas Kesesuaian Habita Anoa (ha) Kesesuaian Kesesuaian Kesesuaian Rendah Sedang Tinggi 77.389 40.056 55.365 71.011 5.732 1.359 15.073 0 0 17.195 0 0 180.668 45.788 56.724
Mengacu pada Peraturan Pemerintah No. 68 Tahun 1998 yang menyebutkan bahwa zona inti di suatu kawasan taman nasional merupakan wilayah yang mempunyai komunitas tumbuhan dan atau satwa beserta ekosistemnya yang langka atau yang keberada-annya terancam punah. Habitat anoa dengan kelas kesesuaian tinggi berdasarkan overlay, berada di zona inti dan zona rimba kawasan TNBNW dan kondisi ini harus tetap dijaga dan diperta-hankan untuk mendukung keberadaan anoa di kawasan ini. Vegetasi kompleks hutan Gunung Poniki TNBNW didominasi oleh jenis Orophea sp. Famili Euphorbiaceae, Rubiaceae dan Meliaceae merupakan jenis yang mendominasi. Dari hasil analisis vegetasi, dijumpai sebanyak 28 jenis tumbuhan yang teridentfikasi sebagai pakan anoa. Kepadatan populasi anoa di Kompleks Hutan Gunung Poniki sebesar 1 individu/km2 dengan jumlah individu diperkirakan sebesar 5-14 individu. Kepadatan jejak kaki sebesar 1.8 jejak/ha dengan jumlah jejak yang dtemukan sebanyak 143 jejak. Jenis vegetasi yang dominan di lokasi penelitian SM. Nantu adalah jenis Thea lanceolata Piere baik untuk tingkat anakan, pohon muda dan pohon. Famili Euphorbiaceae, Annonaceae dan Guttiferae me-rupakan jenisyang mendominasi jenis vegetasi di lokasi penelitian.Jenis vegetasi pakan yang dijumpai di lapangan berjumlah 31 jenis. Kepadatan populasi anoa SM. Nantu berkisar 0,76 individu/km2 dengan kisaran populasi 20-22 individu. Kepadatan jejak yang ada di kawasan sebesar 0,53 jejak/ha, dengan jumlah jejak yang ditemukan sebanyak 180 jejak. Hasil regresi linier berganda menghasilkan duadominan terhadap habitat anoa yaitu ketinggian tempat dan nilai kerapatan pohon. Kelimpahan anoa berdasarkan jejak yang ditemukan di masing-masing lokasi penelitian adalah sebagai berikut, 63,06 ekor/ha di Gn. Imandi Maelang, 51.39 ekor/ha di Gn. Gambuta Suwawa dan 3.4 ekor/ha di Gn. Sinombayuga Doloduo. Nilai kepadatan jejak tertinggi ada lokasi di Gn. Imandi Maelang Berdasarkan model Resource Selection Function (RSF) yang dibangun dengan menggunakan model regresi biner diperoleh model kesesuaian habitat anoa di kawasan TN. Bogani Nani Wartabone dengan tiga faktor variabelutama yang paling berpe-ngaruh yaitu indeks vegetasi, jarak dari pemukiman dan ketinggian tempat. Dari model yang diperoleh tiga kelas kesesuaian habitat anoa yaitu kelas kesesuaian rendah sebesar 63,80% (180.668 ha), kesesuaian sedang 16,17% (45.788 ha) dan kelas kesesuaian tinggi sebesar 20,03% (56.724 ha).Hasil tumpang tindih (overlay) antara peta kesesuaian habitat anoa dan peta zonasi TN. Bogani Nani Wartabone, kelas kesesuaian tinggi secara keseluruhan berada di zona inti dan zona rimba kawasan taman nasional.
Sintesis 2010-2014
| 59
a.8. Estimasi Populasi dan Habitat Anoa Dataran Rendah (Bubalus depressicornis) di Hutan Lindung Pegunungan Mekongga, Kolaka, Sulawesi Tenggara. Penelitian dilakukan di Hutan Lindung Pegunungan Mekongga, Kolaka, Sulawesi Tenggara. Selama penelitian dilakukan pengumpulan data menggunakan 2 metode dengan hasil yaitu metode strip transect tidak ditemukan perjumpaan langsung dengan anoa, sedangkan estimasi populasi anoa dengan perhitungan tandatanda kehadiran yaitu jejak (footprint count) didapatkan perkiraan jumlah individu di komplek hutan Salodong sebanyak 18 individu, sedangkan di komplek hutan Leang Paniki sebanyak 20 individu. Dari perhitungan kepadatan populasi diketahui Komplek Hutan Salodong sebanyak 5.39 individu/ha, sedangkan di Komplek Hutan Leang Paniki sebanyak 5.45 individu/ha.Dari komposisi umur, populasi tidak stabil dikarenakan jumlah anoa dewasa relative lebih banyak dibandingkan remaja. Populasi stabil/ berkembang apa bila jumlah remaja lebih besar (Indrawanet al., 2007). Habitat anoa dilokasi penelitian berada jauh dari aktivitas manusia atau pada hutan yang belum terjamah (virgin forest), terdapat aliran sungai, dengan karakteristik berbatu dan bertebing curam.Hal ini sesuai dengan Mustari (2009) yang menyatakan hutan dengan karakteristik berbatu dan bertebing curam dimana banyak terdapat formasi gua bebatuan (limestone) juga dapat dijadikan anoa sebagai habitat, namun dengan tingkat okupansi yang lebihrendah (Mustari, 2009). Sedangkan menurutLabiro (2001) anoa (Bubalus sp.) tidak lagi memiliki habitat yang khas, sebab anoa dataran rendah dapat ditemukan di dataran tinggi dan sekitarnya begitu pula sebaliknya.Hal ini dimungkinkan karena habitat anoa terganggu oleh adanya aktivitas manusia di dalam hutan.Karakteristik fisik habitat Anoa dilokasi penelitian memiliki suhu berkisar 18 – 25 0C, kelembapan 62-70%, kemiringan 0-100%, intense tascahaya 500-1, Phtanah 3.5-7, Ph air 7-8, suhu air 14-190C, dan ketinggian 766-1391 mdpl. Sedangkan, dari analisis vegetasi diketahui jenis yang dominan pada tumbuhan bawah yaitu jenis Katilaporo 1 (Elatostema ingriflorum), sedangkan untuk semua tingkatan pohon, jenis yang mendominasi adalah Jambu-Jambu (Acronychiapedunculata.). Terdapat 2 ancaman terhadap kelestarian anoa di HL. Peg. Mekongga yaitu Perambahan dan Perburuan. Hal ini sesuai dengan Burton et al. (2005) yang menyebutkan bahwa perburuan dan hilangnya habitat merupakan factor utama menurunya populasi anoa di alam. Perambahan di lokasi penelitian dilakukan masyarakat untuk dijadikan perkebunan coklat dan cengkeh. Sedangkan perburuan dilakukan untuk kebutuhan daging dan ekonomi. Perburuan dilakukan dengan dua metode yaitu dengan jerat dan anjing. Perburuan menggunakan jerat rata-rata dilakukan 2 kali dalam seminggu dengan rata-rata mendapatkan anoa sebanyak 2-4 ekor. Sedangkan penggunaan anjing rata-rata dilakukan 2 kali dalam setahun dengan rata-rata mendapatkan buruan anoa sebanyak 6-10 ekor. Jumlah terbanyak yang
Sintesis 2010-2014
| 60
pernah didapatkan dengan anjing yaitu sebanyak 23 ekor dalam satu kali perburuan. Daging dari satu ekor anoa dijual perbagian tubuh, dimana kaki depan dan belakang (Rp. 170.000-Rp. 250.000/kaki), leher dan kepala (Rp.300.000-Rp.400.000), dada (Rp. 200.000), rusuk dan pinggul (Rp. 250.000) dan rusuk dan punggung (Rp. 150.000-Rp.250.000). Dari informasi didapatkan bahwa daging anoa pernah ditemukan dijual di salah satu pasar di Kolaka dengan harga 50-75 kg/kg (Balai Penelitian Kehutanan Makassar, 2013).
Gambar 25. Pengambilan Sampel Kotoran Anoa
Gambar 26. Pengukuran Jejak
Gambar 27. Pengukuran Jejak a.9. Teknologi Konservasi Jenis Labi-Labi Moncong Babi (Carettochelys insculpta) di Papua Habitat Habitat pasir peneluran Labi-labi di Sungai Vriendschap menyebar di sepanjang sungai mulai dari hulu sampai dengan hilir termasuk kumpulan pasir di wilayah rawa. Pasir yang terkumpul (sandbank) muncul saat debit sungai turun, tertutup atau tenggelam saat debit air sungai meningkat. Peningkatan debit air terutama
Sintesis 2010-2014
| 61
disebabkan oleh hujan di wilayah pegunungan yang terkumpul pada aliran Sungai Baliem dan Sungai Seng kemudian bersatu pada satu aliran di Sungai Vriendschap. Pasir terlihat sangat lebar dan luas pada saat sungai mulai surut.Tekstur pasir peneluran terdiri atas beberapa bagian yang meliputi tekstur debu kasar sampai pasir sangat kasar. Substrat dasar pasir terdiri dari pasir halus dan pasir dengan bebatuan kecil/halus. 12 10 8 Σ6 p4 a2 s0 i r
11
Bor (Rawa)
6 4 0
1
2
1
2 0
I (2 - 1)
0
3
2 0
II (1 - 0.5)
4
3
1
III (0.5 0.25)
3 0
1
0
1
IV (0.25 0.1)
Tekstur pasir (mm)
3 0 0 0 0
V (0.1 0.05)
0 0
0 0
VI (0.05 0.02)
Bor (Sungai) Obokain Indama Sumo
Gambar 28. Sebaran tekstur pasir peneluran sarang labi-labi moncong babi di wilayah Sungai Vriendschap Gambar 28 memperlihatkan sebaran tekstur pasir di sepanjang Sungai Vriendschap yang meliputi wilayah adat Bor (rawa dan sungai), Obokain, Indama dan Sumo, didominasi oleh tekstur pasir sedang (fraksi III) sebanyak 18 area pasir peneluran, dikuti tekstur pasir halus (fraksi IV) sebanyak 13 area pasir peneluran, tekstur pasir kasar (fraksi II) sebanyak 8 area pasir peneluran, tekstur pasir sangat kasar (fraksi I) sebanyak 4 area pasir peneluran, tekstur debu kasar (fraksi VI) sebanyak 3 area pasir peneluran dan fraksi tekstur pasir sangat halus (fraksi V) sebanyak 2 area pasir peneluran. Tekstur pasir peneluran pada wilayah Bor (rawa) terdiri atas kelompok pasir sedang, halus dan halus sekali dengan sebarannya di dominasi oleh pasir halus, sedangkan pada wilayah Bor (sungai) dan Indama tekstur pasir termasuk dalam kelompok pasir sangat kasar, kasar dan sedang. Sebaran tekstur pasir peneluran di wilayah Obokain terlihat lebih komplit dimana tekstur pasir peneluran termasuk pada kelompok pasir sangat kasar, kasar, sedang, halus dan debu kasar, sementara pada wilayah Sumo hanya terdiri atas dua kelompok pasir yaitu pasir sedang dan halus. Dalam wilayah jelajah labi-labi moncong babi, penggunaan pasir persarangan tidak berbeda antara betina bertelur dan tidak bertelur tetapi labi-labi moncong babi betina mempunyai wilayah jelajah lebih luas dibandingkan wilayah jelajah jantannya (Doody et al., 2002). Sarang-sarang labi-labi moncong babi umumnya terdapat pada pasir yang bersih, halus, yang tidak tertutup oleh vegetasi dan dekat dengan air (Georges et al., 2008b) dan hanya dapat bertelur pada pasir yang rendah dimana pasir
Sintesis 2010-2014
| 62
masih dapat saling terikat dengan kelembaban yang rendah, pada pasir dengan sedikit atau tanpa vegetasi penutup yang mempunyai ketinggian pasir 0,25 m di atas air (Doody et al., 2003b), pada pasir di sungai, pasir ditikungan alur sungai, atau di anak sungai kecil yang memasuki aliran utama (Georges et al., 2008b), pasir pada tepi sungai atau rawa. Tingginya jumlah jejak tidak diikuti oleh keberhasilan dalam proses peneluran atau membuat sarang di sungai Vriendschap dapat disebabkan oleh beberapa faktor seperti 1) adanya gangguan suara motor perahu saat induk naik ke pasir untuk bertelur, 2) perburuan induk di saat hendak naik ke pasir, 3) kondisi pasir yang masih basah oleh luapan air sungai, 4) turunnya hujan di sore hari sebelum hari gelap, dan 5) gangguan alam (atmosfir) berupa kilatan-kilatan cahaya dilangit yang biasa menandakan hujan akan turun. Pada peneluran penyu di pantai, kepadatan pasir dapat memberikan kontribusi bagi berkurangnya kehadiran jumlah sarang.Pasir yang padat umumnya masih terkena dampak hempasan air laut ataupun air sungai saat banjir yang menghasilkan jumlah sarang lebih sedikit dibanding jumlah sarang yang terdapat pada pasir tidak padat. Triantoro dan Kuswandi (2005) mendapati jumlah sarang penyu Belimbing (Dermochelys coriacea) di Suaka Margasatwa (SM) Jamursba Medi lebih sedikit pada bagian pantai yang padat akibat sering mengalami limpasan atau abrasi air sungai, sementara Karavas et al. (2005) mendapati berkurangnya jumlah sarang jenis penyu tempayan (Caretta caretta) di bagian barat pantai dibandingkan jumlah sarang di bagian timur Pantai Sekania, akibat semakin meningkatnya konsentrasi pasir halus dari timur pantai ke barat pantai. Peningkatan konsentrasi pasir halus tersebut mengakibatkan struktur pasir menjadi lebih padat yang dihindari oleh penyu Tempayan. Potensi pasir dengan jejak induk yang cukup banyak terdapat pada pasir sangat kasar (I) dan halus (IV) pada wilayah Obokain dan pasir sedang (III) pada wilayah Sumo, sedangkan jumlah sarang didapati terkonsentrasi lebih tinggi pada kelompok pasir halus (IV) di wilayah pemanfaatan Obokain dibanding wilayah Bor dan Sumo. Potensi jejak induk labi-labi yang naik ke pasir untuk bertelur (bersarang) menggambarkan bahwa kelompok tekstur pasir sangat kasar, sedang dan halus di Sungai Vriendschap berpotensi dijadikan pilihan sebagai habitat pasir peneluran bagi induk labi-labi untuk melakukan aktifitas bertelur. Pasir peneluran di wilayah Obokain paling dipilih oleh induk labi-labi moncong babi untuk dijadikan tempat bersarang, sedangkan pasir peneluran pada wilayah Indama dan Sumo juga mempunyai potensi cukup baik untuk dijadikan tempat bersarang oleh induk labi-labi moncong babi dimana terlihat jumlah jejak induk cukup tinggi. Sementara pasir peneluran di wilayah Bor (rawa) dan Bor (sungai) mempunyai potensi yang kecil untuk dijadikan sarang peneluran yang ditandai dengan rendahnya jumlah jejak maupun sarang yang ditemukan. Pada Sungai Jeprey, tekstur pasir di dominasi tekstur pasir sedang, diikuti tekstur pasir halus dan kasar. Keberadaan jejak dan
Sintesis 2010-2014
| 63
sarang labi-labi moncong babi menyebar pada tekstur pasir kasar, sedang dan halus, dengan konsentrasi jejak dan sarang terbaik pada tekstur pasir halus. Pada induk betina labi-labi moncong babi, kepekaaan terhadap isyarat lingkungan dalam proses peneluran ditunjukkan berbeda dengan yang ditemukan pada proses peneluran penyu. Minimnya aktifitas peneluran oleh induk labi-labi moncong babi disebabkan adanya gangguan cuaca (hujan) baik yang terjadi pada wilayah Vriendschap maupun pada wilayah pegunungan. Hujan yang turun pada wilayah Sungai Vriendschap menyebabkan basahnya pasir peneluran sedangkan hujan yang turun pada wilayah pegunungan menyebabkan permukaan air sungai meningkat sehingga menutup sebagian atau seluruh pasir peneluran. Sebaran pasir peneluran di wilayah Bor (rawa) mempunyai tutupan vegetasi yang lebih luas dibandingkan pasir peneluran yang berada di wilayah tepi sungai (Obokain, Indama dan Sumo). Jenis vegetasi yang dominan menutupi pasir peneluran di wilayah rawa terdiri atas beberapa jenis rumput seperti Ludwigia scandens, Scirpus glosus, Ischaemum timoriense dan Pragmintes karka. Di luar jenis-jenis rumput tersebut, jenis Pandanus lauterbachii terlihat bersama-sama mendominasi wilayah rawa. Tutupan vegetasi pada wilayah tepi sungai Vriendschap lebih banyak di dominasi jenis Casuarina rumphiana (Gymnostoma rumphianum), Sacharum spontaneum dan Cyperus rotundus.Jenis Casuarina rumphiana dapat tumbuh dan menyebar pada pasir peneluran di tepi sungai disebabkan buahnya terbawa air sungai saat meluap.Jenis ini sudah terdapat di wilayah Bor (rawa) namun masih jarang sebarannya.Sementara jenis rumput Sacharum spontaneum tumbuh secara mengelompok pada pasir peneluran dan menyebar mulai dari wilayah Bor (sungai) sampai Sumo namun masih dalam jumlah sedikit di wilayah Bor (rawa). Jenis Cyperus rotundus baru ditemui pada wilayah Obokain dengan konsentrasi cukup banyak pada pasir dimana terdapat banyak sarang peneluran (pasir nomor 3 pada wilayah pemanfaatan Obokain). Jenis vegetasi yang terdapat di sekitar hulu sungai Vriendschap meliputi Casuarina rumphiana, Duabanga moluccana Blume, Anthocephalus cinensis, Campnosperma auriculata, Ficus globosa, Ficus variagata, Premna corymbosa, Dysoxylum moltissimum, Timonius timons, Canarium indicum, Pandanus polycephalus Lamk.,Pandanus tectorius Sol., Calamus spBlume dan Koorthalsia sp.Vegetasi pada rawa peneluran meliputi Intsia bijuga ok.,Heritiera littoralis, Campnosperma auriculata, Trevesia sundaica Miquel, Hibiscus tiliaceus L., Elaeocarpus spaericus K., Gymnacranthera paniculata, Myristica fatua Houtt, Schefflera lucescens, Alstonia sp, Pandanus polycephalus Lamk., Pandanus tectorius Sol. dan Freycinetia funicularis Mar, sedangkan jenis vegetasi yang terdapat pada rawa sebagai tempat perkembangan hidup meliputi Alstonia cf macrophylla, Myristica fatua, Gymnocranthera paniculata, Hibiscus tiliaceus, Campnosperma
Sintesis 2010-2014
| 64
auriculata, Gluta renghas, Evodia gonwichi, Anthocephallus cadamba, Canarium indicum, Artocarpus elasticus, Artocarpus communis, Ficus Benjamina, Intsia bijuga ok., Cryptocaria sp, Sterculia parkinsonii, Sterculia singilawi, Inocarpus sp, Heritiera littoralis, Syzygium verstegi, Pandanus polycephalus Lamk., Pandanus tectorius Sol., Freycinetia funicularis Mar., Hidriastele costata, Rophaloblaste ladermanii dan Caryota rumphiana. Pada pasir peneluran di Sungai Jeprey, vegetasinya meliputi vegetasi berkayu dan vegetasi non kayu. Tumbuhan di tepi Sungai atau Rawa Vriendschap, yang diperkirakan menjadi sumber makanannya adalah Pandanaceae (Pandanus polycephalus Lamk.,Pandanus tectorius Sol. dan Pandanuslauterbachii), Sagu (Metroxylon sp), Premna corymbosa, Dysoxylum moltissimum, Syzygium verstegi, Ipomoea aquatica (kangkung air) dan Pragmintes karka (rumput air). Hasil analisa makanan dari perut labi-labi moncong babi di Australia, ditemukan remah-remah buah pandan batu, daun Melaleuca spp, biji, akar, batang tanaman Aerenchymatous, dan materi hewan yang meliputi siput air tawar (Thiaridae sp), Water boatmen (Corixidae sp), kumbang air (Homeodytes scutellaris Germ.), Hydrophilus latipalpus Cast. (Hydrophilidae), dan semut-semut (Iridomyrmex sp) (Schodde et al., 1972), buah-buahan dan dedaunan dari pohon Pandanus aquaticus, buah-buahan dan dedaunan dari pohon Ficus racemosa, algae, ikan, buah-buahan dan dedaunan dari jambu-jambuan (Syzygium cf forte), dan Nimpha (Najas tenuifolia) (Georges dan Kennett, 1989). Buah pandan dari beberapa jenis, setelah tua jatuh dan masuk kedalam sungai yang dapat menjadi makanan bagi labi-labi. Pada sungai Vriendschap, terdapat perbedaan sifat penutupan vegetasi antara pasir peneluran di wilayah rawa dengan pasir peneluran di tepi sungai akibat perbedaan jenis vegetasi penyusun.Pasir peneluran di wilayah rawa lebih di dominasi oleh rerumputan dengan pertumbuhan yang rapat seperti Scirpus glosus (rumput pisau), Ischaemum timoriense dan Pragmintes karka, sedangkan pada pasir peneluran di tepi sungai sifat penutupan vegetasi diselingi pepohonan dan rumput. Sifat penutupan rapat yang terjadi pada pasir peneluran yang terdapat di tepi sungai disebabkan telah terjadi pembentukan pulau vegetasi pada pasir peneluran dengan memberikan ruang pasir peneluran di sekeliling vegetasi, sementara sifat penutupan yang tidak rapat terjadi apabila jenis vegetasinya tumbuh secara menyebar dalam kelompok-kelompok (rumpun-rumpun) kecil atau tunggal dengan memberikan ruang pasir peneluran di antara kelompok-kelompok vegetasi atau di celah-celah vegetasi yang ada. Jenis yang mengelompok (berumpun) diisi oleh jenis Sacharum spontaneum (tebu air) sedangkan jenis Cyperus rotundus pertumbuhannya menyebar.Walaupun pertumbuhannya menyebar namun batangnya yang kecil dan lemah masih bisa diterobos oleh induk labi-labi untuk melakukan persarangan dicelah-celahnya dan tidak mengurangi tingginya intensitas cahaya matahari. Di Sungai Jeprey, sebaran jenis Mimosa pudica dapat menutupi pasir peneluran. Batangnya yang berduri dan Sintesis 2010-2014
| 65
sebaran pertumbuhannya yang rapat (mengelompok) dapat memberikan kesulitan bagi induk labi-labi moncong babi menemukan pasir diantara vegetasi ini dan membuat sarang.Secara umum penyebaran Mimosa pudica pada pasir peneluran di Sungai Jeprey belum meluas.Gambaran vegetasi penutup pasir dapat dilihat pada Gambar 29 dibawah ini.
a
b
Gambar 29. Tutupan (a) Mimosa pudica (putri malu) pada pasir peneluran di sungai Jeprey dan (b) Scirpus glosus pada pasir peneluran di sungai Vriendschap Populasi Populasi labi-labi moncong babi tahun 2009 - 2012 di Sungai Vriendschap, kabupaten Asmat, menunjukkan tahun 2009 populasi jejak labi-labi yang naik ke pasir sebanyak 1059 jejak dengan sarang sebanyak 720 buah. Tahun 2011 total jejak labi-labi moncong babi berjumlah 543 jejak dengan rincian 19 jejak terdapat di wilayah rawa sedangkan 524 jejak terdapat di sepanjang sungai (rata-rata = 11.44 ± 34.11;kisaran = 0 – 201), sedangkan total sarang berjumlah 131 sarang dengan rincian 7 sarang terdapat di wilayah rawa dan 124 sarang terdapat di sepanjang sungai (rata-rata = 2.75 ± 15.26; kisaran = 0 – 106). Tahun 2012 di wilayah Bor (rawa) populasi jumlah jejak yang didapat selama 7 hari pengamatan sebanyak 53 dan jumlah sarang sebanyak 13. Tahun 2013 di Sungai Jeprey, kabupaten Kaimana, populasi jejak induk sebanyak 221 jejak dan populasi sarang sebanyak 61 sarang dengan pengamatan selama 14 hari. Hasil penelitian lapangan yang dilakukan di Rawa Bor, Sungai Katarina, dan Sungai Vriendschaap yang berada dalam wilayah Kabupaten Asmat, provinsi Papua, ditemukan 13 sarang dan 53 jejak dari labi-labi moncong babi dengan rata-rata 20 telur per-sarang Kepadatan sarang (2011) sebesar 2.76 sarang/Ha dan kepadatan jejak sebesar 5.74 jejak/Ha pada pasir peneluran yang terdapat vegetasi, lebih tinggi dibandingkan kepadatan sarang sebesar 0.23/Ha dan jejak sebesar 4.19/Ha pada pasir yang tidak terdapat vegetasi. Pada tahun 2013, kepadatan jejak pada pasir bervegetasi adalah
Sintesis 2010-2014
| 66
67,24/Ha dan kepadatan sarang adalah 21,81/Ha. Pada pasir tanpa adanya vegetasi diperoleh kepadatan jejak sebesar 43,50/Ha dan kepadatan sarang sebesar 12,24/Ha. Apabila didasarkan pada perimeter, terlihat kepadatan sarang sebanyak 9.00 sarang/Km dan jejak sebanyak 18.70 jejak/Km pada pasir peneluran yang terdapat vegetasi lebih tinggi dibandingkan kepadatan sarang sebesar 0.75 sarang/Km dan jejak sebesar 13.63 jejak/Km pada pasir yang tidak terdapat vegetasi. Dari sisi kepadatan harian, jumlah sarang yang berhasil terdata tahun 2009 selama 34 hari (15 Oktober – 19 November) sebanyak 720 sarang, tahun 2011 selama 18 hari (8 – 25 November) sebanyak 132 sarang, tahun 2012 selama 7 hari sebanyak 13 sarangdan tahun 2013 selama 14 hari (1 – 14 Oktober) sebanyak 61 sarang, maka jumlah ratarata sarang tahun 2009 sebanyak 21 sarang/hari, jumlah rata-rata sarang tahun 2011 sebanyak 7 sarang/hari, tahun 2012 sebanyak 2 sarang/hari dan tahun 2013 sebanyak 4 sarang/hari. Pengaruh faktor lingkungan utama terhadap keberadaan jejak dan sarang labilabi moncong babi di Sungai Vriendschap berbeda dengan yang di Sungai Jeprey. Di sungai Vriendschap, dari 6 faktor lingkungan yang meliputi luasan pasir, panjang pasir (Perimeter), bentuk bentang pasir (Fractal Dimension), bentuk permukaan pasir (Shape Index), tekstur pasir dan luasan tutupan vegetasi penutup pasir, diperoleh faktor luas tutupan vegetasi yang paling memberikan pengaruh atas keberadaan jumlah jejak dan sarang. Sementara di Sungai Jeprey, dari 3 faktor lingkungan yang meliputi luasan pasir, luas tutupan vegetasi dan tekstur pasir, diperoleh faktor luasan pasir paling memberikan pengaruh terhadap keberadaan jumlah jejak induk, namun ketiga faktor tersebut tidak ada yang memberikan memberikan pengaruh terhadap keberadaan jumlah sarang. Pada labi-labi moncong babi, pasir bervegetasi (Sungai Vrendschap) dan luasan pasir (Sungai Jeprey) paling mempengaruhi keberadaan jejak dan sarang. Hal berbeda dengan induk betina jenis Spotted turtle (Clemmys guttata) yang menunjukkan mereka lebih memilih kondisi substrat untuk sarang dibandingkan lokasi untuk bersarang (Rasmussen dan Litzgus, 2010). Biologi Peneluran Diameter rata-rata sarang yang dibangun di Sungai Vriendschap adalah 11.91 ± 1.73 cm (n = 62, kisaran = 8 – 17.5) dengan kedalaman rata-rata sarang adalah 17.38 ± 1.86 cm (n = 70, kisaran = 13 – 22). Jumlah telur rata-rata dalam satu sarang adalah 20.05 ± 5.60 butir (n = 79, kisaran = 7 – 34), dengan diameter rata-rata adalah 41.33 ± 1.54 mm (n = 400, kisaran = 35.25 – 46.49) dan berat telur rata-rata 37.98 ± 6.30 gr (n = 400, kisaran = 30 – 50). Telur yang sehat berwarna putih, cangkang yang keras dan terdapat titik embrio. Dalam satu sarang belum ditemukan telur labilabi moncong babi yang tidak normal (abnormal). Karakteristik ukuran morfologi dari induk betina labi-labi moncong babidi Sungai Vriendschap meliputi rata-rata berat induk adalah 11.63 ± 1.02 Kg (n = 14,
Sintesis 2010-2014
| 67
kisaran = 10.43 – 13.38), rata-rata panjang plastron adalah 36.96 ± 1.41 cm (n = 14, kisaran = 35 – 39), rata-rata lebar plastron adalah 29.07 ± 1.40 cm (n = 14, kisaran = 27 - 31), rata-rata panjang lengkung kerapas (CCL) adalah 48.06 ± 0.93 cm (n = 14, kisaran = 46.4 – 49.5), rata-rata panjang tegak lurus kerapas (SCL) adalah 44.14 ± 2.91 cm (n = 14, kisaran = 35 - 47), rata-rata lebar lengkung kerapas (CCW) adalah 48.16 ± 1.68 cm (n = 14, kisaran = 45.6 – 51.5), dan rata-rata lebar tegak lurus kerapas (SCW) adalah 34.21 ± 1.66 cm (n = 14, kisaran = 30 - 36). Etnozoologi (pemanfaatan) labi-labi moncong babi Intensitas pemanfaatan terhadap telur labi-labi moncong babi di Sungai Vriendschap, Asmat mencapai 100% (sangat tinggi) dimana pengambilan telur tidak terbatas dan tidak menyisakan satupun telur dalam sarang untuk menetas secara alami. Pemanfaatan indukmerupakan dampak dari pemanenan telur dalam semusim peneluran dan jumlah yang ditangkap untuk di konsumsi juga tidak ada batasan minimal, tergantung pada kesempatan menangkap induk dan kemampuan daya angkut perahu. Tingginya intensitas pemanfaatan disebabkan telur ditetaskan dan diperdagangkan dalam bentuk tukik (anakan). Diprediksikan selama hampir 10 tahun (mulai tahun 2001) telah terjadi hilangnya generasi labi-labi moncong babi di Sungai Vriendschap karena induknya di konsumsi dan telurnya di ambil tanpa menyisakan sebutir pun dalam sarang alaminya. Pemanfaatan induk dan telur labi-labi moncong babi di Sungai Jeprey, Kaimana masih sebatas untuk konsumsi dan belum sampai pada taraf perdagangan. Hal tersebut disebabkan masyarakat masih mempunyai alternatif hewan buruan yang dapat dijual sebagai sumber pendapatan seperti Kasuari (Casuari sp), babi hutan (Sus sp) dan rusa (Cervus timorenses). Kedepannya, telur labi-labi moncong babi dimungkinkan dapat diburu dan diperdagangkan oleh masyarakat di sekitar Sungai Jeprey apabila masyarakat sudah kesulitan mendapat hewan buruan untuk diperdagangkan dan sudah mengetahui nilai ekonomi yang dapat diperoleh dari penjualan tukik.Kondisi tersebut disebabkan pola ketergantungan dan pemanfaatan sumber daya alam pada masyarakat lokal masih tinggi. Intensitas pemanfaatan telur labi-labi moncong babi yang sangat tinggi di Sungai Vriendschap menjadi ancaman tersendiri bagi pelestarian populasinya di alam.Di Sungai Kikori (PNG), intensitas pemanfaatan yang sangat tinggi menyebabkan penurunan kualitas telur dalam rentang tahun 2003 – 2006 (Georges et al., 2008b) dan penurunan populasi secara substansial dalam tiga dekade terakhir yang terindikasi dari kombinasi permintaan dan harga pasar, tingkat pemanenan yang sangat tinggi oleh manusia, dan penurunan yang nyata dalam ukuran induk betina yang dipanen (Eisemberg et al., 2011). Komposisi gizi daging labi-labi moncong babi Komposisi kandungan gizi labi-labi moncong babi dilakukan sebab masyarakat di sekitar Sungai Vriendschap dan Sungai Jeprey telah memanfaatkannya sebagai
Sintesis 2010-2014
| 68
sumber bahan makanan pengganti daging dan tidak menutup kemungkinan upaya penangkaran labi-labi moncong babi kedepannya dalam menjaga dan mendapatkan sumber ketahanan pangan yang baru. Hasil analisis proksimat menunjukkan mayoritas penyusun daging labi-labi moncong babi terdiri dari air. Kandungan air pada daging labi-labi mentah berkisar antara 78,56 % – 79,07 %. Kadar protein dari labi-labi yang berkisar 16,39 – 18,40 masih lebih besar daripada nilai protein pada Keong (12,00), Kodok (16,40), Kerang (8,00), dan Kepiting (13,80) (Siahaan, 2012). Hasil analisa nutrisi pada daging labi-labi bagian dada dan paha menunjukkan kandungan yang terdapat dalam kedua sampel daging memiliki nilai yang tidak jauh berbeda, kecuali nilai kolesterolnya pada dada memiliki nilai lebih tinggi. Nilai kandungan kolesterol pada bagian dada sebanyak 25 mg/ takaran saji. Data morfometri dari 5 ekor labi-labi tersebut memiliki variasi ukuran cukup tinggi. Bobot labi-labi tersebut bervariasi dari 2 kg hingga 11 kg. Pemanfaatan labilabi moncong babi terbagi atas 2 golongan yaitu masyarakat lokal (asli Papua) yang mengumpulkan telur dan meng-onsumsi telur dan daging, dan pemanfaatan oleh masyarakat dari luar (non lokal) yang mengumpulkan telur. Hasil analisis kandungan nutrisi menunjukkan bahwa daging labi-labi moncong babi terdiri dari 78,56% air, 1,08% abu, 1,54% lemak dan 18,40% protein. Analisis asam lemak yang dilakukan menunjukkan bahwa dalam daging labi-labi terkandung beberapa jenis asam lemak (asam miristat, asam palmitat, asam stearat, asam palmitoleat, asam oleat, asam linoleat (omega 3), dan asam arakhidonat (AA)). Keragaman Genetik Keragaman genetik dari wilayah Sungai Jeprey berhasil diperoleh, sementara dari Sungai Vriendschap belum berhasil dilakukan. Keragaman genetik labi-labi moncong babi berdasarkan Nei’s Gene Diversity (Nei, 1978) pada populasi di Sungai Jeprey adalah 0,3632.Nilai ini termasuk tinggi, yang berarti pada populasi tersebut memiliki fitness tinggi dan memiliki peluang untuk lestari. Populasi dengan keragaman genetik yang tinggi mempunyai peluang hidup yang lebih baik untuk beradaptasi dengan lingkungannya (Rina, 2000) dalam Indrasari (2002). Individu 1, individu 2, individu 4, individu 5, dan individu 6, merupakan kelompok pertama yang mempunyai hubungan kekerabatan dekat, sementara kelompok kedua yang mempunyai kekerabatan dekat adalah individu individu 3 dan individu 7. Pergerakan atau daya jelajah dari labi-labi moncong babi di Sungai Jeprey cukup jauh.Hal tersebut terlihat pada hubungan kekerabatan yang ada. Individu 5 dan 7 termasuk dalam kelompok kekerabatan yang berbeda, sementara kedua individu ditemukan pada wilayah sungai yang sama yaitu kearah hulu. Kemampuan daya jelajah labi-labi moncong babi yang jauh menyebabkan keragaman genetiknya di alam cukup baik akibat minimnya kemungkinan terjadinya inbreeding. Dengan keragaman genetik yang baik maka kemampuan jenis untuk berkembangbiak dan bertahan di alam juga baik dan secara tidak langsung kelestarian dan populasi
Sintesis 2010-2014
| 69
genetiknya tetap lestari. Kemampuan daya jelajah yang tinggi di alam, di dukung oleh rute pergerakannya yang masih sangat baik dan tidak terhalang antara Sungai Jeprey dengan Danau Yamur, dan Sungai Jeprey dengan sungai-sungai utama lainnya di sekitar Kaimana, seperti Sungai Napuri. Kondisi habitatnya harus tetap terjaga dan hubungan antar sungai tidak boleh terhalang oleh kepentingan lain, misalnya pembuatan bendungan, yang dapat memutus kemampuan jelajah labi-labi moncong babi. Kasus pembendungan sungai dapat saja terjadi terutama pada aluralur sungai yang tidak lebar dan dalam.Habitat atau alur-alur sungai dimana satwa ini hidup sebagian masuk dalam areal konsesi Ijin Usaha Pengelolaan Hasil Hutan (IUPHH) Kaltim Utama.Pembuatan jalan yang melintasi alur sungai untuk aktifitas logging, dikuatirkan dapat menggangu dan memutus alur pergerakan jenis ini di alam.Apabila dikaitkan dengan kampanye “Go Green”, maka perusahaan dapat mempunyai nilai tambah apabila dapat memberikan suatu pengelolaan yang baik terhadap jenis dilindungi ini di alam. Selain faktor habitat yang perlu dipertahankan untuk menjaga kelestarian labilabi moncong babi di alam, faktor pemanfaatan untuk kebutuhan konsumsi masyarakat lokal perlu juga diperhatikan.Wilayah sebaran hidup atau peneluran labilabi moncong babi umumnya berada di wilayah yang jauh ke dalam areal hutan (pedalaman), yang kondisi ekonomi masyarakatnya terbatas.Terbatas bukan hanya dari segi pendapatan tetapi terbatas dalam mendapatkan kebutuhan pangan diluar sumber pangan yang berasal dari alam.Secara tidak langsung, ketergantungan pangan dari alam juga cukup tinggi, tidak terkecuali sumber pangan dari satwa yang hidup di air (labi-labi moncong babi, kura-kura air tawar lain, dan berbagai jenis ikan). Saat ini, masyarakat di sekitar Sungai Jeprey dan Danau Yamur sudah memanfaatkan labi-labi moncong babi sebagai sumber makanan, namun mereka belum sampai kepada tahap memperdagangkan. Hilangnya genetik akibat pemanenan atau eksploitasi berlebih dapat menyebabkan meningkatnya resiko menuju kepunahan dan menurunkan tingkat pemulihan dari populasi (Allendorf et al., 2008).
Gambar 30. Telur dari labi-labi Moncong Babi
Sintesis 2010-2014
| 70
Gambar 31. Sarang labi-labi Moncong Babi
Gambar 32. Labi-labi Moncong Babi
Gambar 33. Labi-labi Moncong Babi hasil perburuan masyarakat lokal
Gambar 34. Labi-labi Moncong Babi hasil perburuan masyarakat lokal
Sintesis 2010-2014
| 71
a.10. Habitat dan Sebaran Populasi Rusa Sambar di Kaltim Status Rusa Sambar Status perlindungan rusa sambar di IUCN adalah vulnerable dan merupakan hewan yang dilindungi menurut undang-undang Ordonansi dan Peraturan Perlindungan Binatang Liar tahun 1931 No. 134 dan 266. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa, pada tanggal 27 Januari 1999 memasukkan semua jenis dan genus Cervus kedalam Lampiran Jenis-jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi (Anonim, 2008). Penyebaran rusa sambar di Kalimantan tercatat ada di semua daerah, baik hutan primer maupun hutan sekunder. Penyebarannya terdapat di daerah sekitar Bantol, Sungai Malinau, Sungai Semendarut, Sungai Sesayap, Apau Kayan, Long Pahangai, Muara Wahau, Sungai Sangatta, Kutai, Muara Langun, Bukit Soeharto dan Muara Koman. Habitat yang disukai adalah hutan yang terbuka atau padang rumput dan hidup pada berbagai ketinggian mulai dari dataran rendah sampai daerah pantai hingga ketinggian 3000 m di atas permukaan laut. (Yasuma, 1990), semak belukar yang rapat digunakan sebagai tempat untuk berlindung dan bersembunyi (Ariantiningsih, 2000). Populasi rusa di alam dapat dikategorikan menjadi dua kelompok, yaitu kelompok yang hidup di kawasan hutan lindung/konservasi dan yang hidup di luar kawasan tersebut. Tidak ada data yang pernah dicatat mengenai populasi yang berada di kawasan non konservasi. Perburuan secara modern (senjata api) yang cukup tinggi, beberapa populasi yang tertinggal tidak diketahui (Semiadi, 2002). Eksploitasi terhadap hidupan liar di Indonesia akan mengakibatkan munculnya masalah-masalah konservasi (Suhartono, 2003). Data jumlah satwa yang terdapat di alam merupakan sangat penting dalam sebuah pengelolaan kawasan. Namun demikian untuk mengetahui jumlahnya secara tepat sangat sulit dilakukan dan memerlukan teknik penghitungan khusus. Secara garis besar metode yang sering dipergunakan yaitu penghitungan secara langsung dan tidak langsung (Rabinowitz, 1997). Keberadaan rusa sambar di Kalimantan Timur juga tidak terlepas dari tersedianya habitat sebagai kawasan yang terdiri dari komponen fisik maupun abiotik yang merupakan satu kesatuan dan dipergunakan sebagai tempat hidup serta berkembang biaknya satwa liar. Satwa liar menempati habitat yang sesuai dengan lingkungan yang diperlukan untuk mendukung kehidupannya, karena habitat mempunyai fungsi menyediakan makanan, air dan pelindung. Habitat yang sesuai untuk suatu jenis, belum tentu sesuai untuk jenis yang lain, karena setiap satwa menghendaki kondisi habitat yang berbeda-beda. Habitat suatu jenis satwa liar merupakan sistem yang terbentuk dari interaksi antar komponen fisik dan biotik serta dapat mengendalikan kehidupan satwa liar yang hidup di dalamnya (UGM, 2007)
Sintesis 2010-2014
| 72
Rusa unicolor adalah salah satu jenis herbivora yang dilindungi dan kini keberadaanya semakin berkurang dikarenakan perburuan dan kerusakan habitat. Prosentase penyebaran populasi di Kalimantan Timur terdapat di kawasan Hutan Lindung Sungai Wain (HLSW) di tiga lokasi yang berbeda adalah 48% pada tipe habitat hutan primer campuran sekunder, 39% tipe hutan primer dan 13% tipe sekunder. Penyebaran rusa sambar di HLSW terdapat pada ketinggian antara 18,28m – 91,13m. Tipe habitat Rusa Sambar di HLSW adalah hutan primer campuran dan tercatat terdapat 63 jenis tumbuhan pakan rusa. Tumbuhan yang dimanfaatkan sebagai pakan adalah famili Leguminoceae 43%, Euphorbiaceae (10%), Lauraceae (9%) Meliaceae (7%). Rusa di Sangkulirang sangat jarang ditemui dikarenakan aktivitas masyarakat seperti berladang, berburu dan menebang pohon. Adanya perusahaan sawit yang intensif disekitar kawasan mengakibatkan rusa sambar semakin jauh masuk kedalam hutan, Di habitat hutan Sangkulirang terdapat 25 jenis tumbuhan pakan rusa antara lain famili Annonaceae 8%, Rutaceae, Cyperaceae dan Dileniaceae 8%, Euphorbiaceae 13%, Leaceae 16%, Leguminoceae 9%, Moraceae 8%, Rubiaceae 5% dan schicaeae 8%. Habitat rusa sambar di Tane Olen kab. Malinau berbukit-bukit dengan ketinggian antara 100 – 700 m dpl. Rusa sambar mempunyai sifat alami untuk mencari mineral pada mata air yang mengandung mineral tinggi. Perburuan yang dilakukan oleh masyarakat setempat menyebabkan rusa sambar sangat sulit untuk ditemui. Dari lima kamera yang dipasang pada lokasi yang berbeda, terdapat 2 ekor rusa sambar, 1 ekor babi hutan, 1 ekor pelanduk dan aktifitas perburuan oleh masyarakat lokal. Penyebaran populasi di Kalimantan Timur terdapat di kawasan Hutan Lindung Gunung Beratus (HLGB) sebanyak 22 titik dan Taman Nasional Kutai (TNK) sebanyak 15 titik. Tipe habitat Rusa Sambar di HLGB adalah hutan primer dan tercatat terdapat 23 jenis tumbuhan pakan rusa. Tipe habitat di TNK adalah hutan sekunder dan diketemukan sebanyak 7 jenis pakan rusa. Indeks Nilai Penting Beberapa jenis pakan rusa ditemukan, dan pada tingkat semai ini didominasi oleh Hypobathrum sp. (15.83) kemudian diikuti oleh jenis pakan lain yaitu; Leea Indica (I2,44), Polyalthia sp. (10,8), Fordia splendidisima (7,92), Melicope sp. (2,26) dan Dacroides sp. (1,13). a.11. Kajian Sebaran Dan Habitat Labi-Labi (Amyda cartilaginea Boddaert 1770) Di Kalimantan Timur Pendahuluan Labi-Labi (Amyda cartilaginea) termasuk satwaliar yang tidak dilindungi oleh undang-undang RI namun masuk dalam Apendix II CITES dan masuk dalam red list IUCN dengan status terancam. Dan pada tahun 2008 CITES Animal Committee (AC) memutuskan untuk memasukkan A. cartilaginea dalam Review of Significant Sintesis 2010-2014
| 73
Trade. Hal ini berarti perlu ada perhatian khusus atas populasi alami, yang bermakna bahwa pemanfaatan untuk pemanenan harus sesuai dengan kaidah kelestarian. Dari hasil rapat koordinasi penegakan hukum bidang pemanfaatan dan perdagangan tumbuhan dan satwa liar tahun 2010 di Ambon pada tanggal 5 Agustus 2010, menyebutkan bahwa pola pemanfaatan biota laut/air tawar yang tidak dilindungi UU namun masuk Appendiks CITES juga belum jelas (contoh: Labi-labi dan Kura-kura). Permintaan ekspor semakin meningkat khususnya dari negara-negara Singapura, China, Hongkong, Taiwan dan Jepang. Labi-labi yang diperbolehkan untuk dipanen adalah yang berukuran <5 kg dan >13,5 kg, dengan kuota diberikan dalam bentuk jumlah bukan berat, maka diduga pedagang akan lebih menginginkan mengirim labi-labi berukuran besar untuk pasar ekspor. (Amri. K, & Khairuman,2009) Hingga saat ini ekspor labi-labi dari Indonesia masih didominasi oleh hasil tangkapan dari alam. Hal ini terbukti dari banyaknya perusahaan pengekspor labilabi hanya sebagai penampung hasil tangkapan dari alam saja. Mengingat lambatnya perkembangan populasinya di alam, maka dikhawatirkan dengan semakin tingginya tingkat eksplorasi terhadap labi-labi akan dapat menimbulkan penurunan populasi sehingga mengancam kelestariannya. Sampai saat ini diketahui penyebaran Amyda cartilaginea di Indonesia hanya ada di Sumatera, Jawa dan Kalimantan. Di Kalimantan sendiri penyebarannya hampir merata akan tetapi belum ada data dan informasi yang lengkap mengenai habitat dan penyebarannya. Belum lengkapnya informasi sebaran dan habitat LabiLabi Amyda cartilaginea di alam khususnya di Kalimantan sehingga populasinya belum dapat diperkirakan. Maka mendorong untuk dilakukannya penelitian mengenai penyebaran dan habitat di Kalimantan agar dapat mendukung kelengkapan informasi Amyda cartilaginea di alam untuk menduga populasinya di alam sehingga upaya/tindakan konservasi dapat dilakukan dengan tepat termasuk penentuan kuotanya. Habitat dan Penyebaran Amyda cartilaginea di Kalimantan Timur Habitat Amyda cartilaginea tersebar di seluruh wilayah sungai di Kalimantan Timur namun berdasarkan referensi/pustaka dan penelusuran Informasi maka daerah sungai yg menjadi habitat Amyda cartilaginea terbagi menjadi 6 Kelompok Wilayah Sungai antara lain: Sesayap, Kayan, Berau-Kelai, Mahakam, Karangan, Kendilo . Berdasarkan daerah yang menjadi kantong pemanenan dibagi menjadi 2 yaitu: lokasi kantong pemanenan bagian utara meliputi sekitar DAS Berau (Nunukan, Berau, Malinau, Tarakan, Bulungan) dan DAS Mahakam (Kutai Kertanegara, Kutai Timur, Kutai Barat). DAS Mahakam memiliki luas sebesar 77.700 Km², yang terbagi dalam 7 sub DAS, yaitu sub DAS Mahakam Ulu (25.530 km²), Sub DAS Kedang Pahu (7.520 km²), sub DAS seberang Muara Pahu (4.980 km²), sub DAS Danau Melintang dan Danau Semayang (2.430 km²), Sub DAS Belayan (10.350 km²), Sub DAS
Sintesis 2010-2014
| 74
Kedang Kepala dan Kedang Rantau (20.190 km²), dan sub DAS Mahakam Ilir (6.910 km²). Beberapa lokasi yang telah di survey meliputi: Teluk Bingkai (N 01.992 - E 116 22.034), Sungai Loa Surut (N 01.018 - E 116 23.589),Kahala S 01.362 - E 116 21.720), Tuana Tuha (S 01.253 - E 116 25.828), Rawa Buak (N 01 794 - E 116 25.’659), Sungai Tiwei (S 01 o29’14.7” - E 116o 08’23.9”), Sungai Lombok (S 01o37’14.5” - E 116o 07’56.7”). Sungai Kelinjau (N 0 25.980 E 116 40.776), sungai Mesangat (N 0 30.189 E 116 41.858), sungai Senambah, sungai Ngayau (N 0 24.882 E 116 42.381), sungai Suwi ( N 0 24.599 E 116 36.954) (Kutai Timur), sungai Kedang Pahu (S 0 19.399 E 116 03.933), sungai Jintan (S 0 18.907 E 116 03.062), sungai Belowan (S 0 19.675 E 116 02.379). Karakteristik Sungai Yang Menjadi Habitat Amyda cartilaginea Karakteristik sungai yang disurvei berdasarkan luas DAS termasuk dalam klasifikasi sungai sedang sampai besar ( 50 - ≥300 KM2). Dilihat dari beberapa indikator seperti kecepatan arus air (tenang), suhu air (25,1 – 28,20 C) dasar perairan (lumpur berpasir), sumber pakan hampir semua sesuai bagi habitat Amyda cartilaginea bila. Untuk diketahui pada umumnya suhu permukaan perairan Indonesia adalah berkisar antara 28 - 31°C (Monoarfa, 2002 dalam Byna, dkk, 2009), masih dibawah standar baku mutu untuk perikanan yaitu 35°C. Berdasarkan referensi menyebutkan bahwa Amyda cartilaginea hidup di alam seperti rawa-rawa, danau, sungai yang suhu airnya berkisar 25 – 30°C. Beberapa jenis ikan yang berhasil ditangkap antara lain : Ikan seluang (Osteochillus Schlegeli), wader (Puntius brammoides), baung (Mystus nemurus), dan beberapa jenis ikan snake head (Channa spp.), kihung, Toman Giant Snake Head (Channa micropeltes) dan gabus (Channa striata). Predator yang ditemukan biawak (Varanus salvator), Toman, Buaya (crocodylus siamensis), Ular Piton (phyton reticulates), Ular karung (Achrocordus granulates). Satwa yang dijumpai antara lain : elang, burung raja udang, bangau, rangkong/enggang, bangau tong tong, kuntul, toman, gabus, baung, jelawat/sepat, pepuyu, wader, lais/lepok, belida/pipih, seluang, ular air belang kuning, kera, bekantan, lutung/owa, lebah. Jenis vegetasi secara umum hampir disepanjang pinggir sungai kedang pahu sebelah kanan banyak ditumbuhi jenis rotan (callamus sp) “jahab” yaitu jenis yang sering dijadikan tali dan kerajinan lampit (alas tikar khas Kalimantan), akan tetapi saat ini kurang dimanfaatkan oleh masyarakat secara komersil karena harganya rendah. Selain jenis rotan yang dominan juga ada jenis : bamboo (bambusa sp), baringtonia sp. yang terdapat disepanjang pinggir sungai kecil seperti di sungai Belowan dan Jintan. jenis ini terdapat dilapisan depan berperan sebagai buffer line (terdekat dengan air sungai) bagi tumbuhan dibelakangnya. Jenis – jenis lain yang dijumpai berdasarkan pengamatan disepanjang perjalanan menyusuri sungai antara lain : Gluta rengas (anacardiaceae), Vitex pinnata (laban), dracontomelon dao (sengkuang), pterospermum sp., lagerstromia sp. (bungur), family dari Annonaceae, rubiaceae, Anacardiaceae, Malvace, Heritiera sp, Dilenia sp (simpur), Artocarpus sp.,
Sintesis 2010-2014
| 75
Cratoxyilon sp, Glocidion sp, Garcinia sp, Pandanus sp, Sizigium sp., Mangifera sp. (buah gepeng) Hasil analisis kualitas air pH antara 6,79 – 8 masih masuk dalam pH yang normal, Nilai pH air sungai yang normal berkisar antara 6,0 - 8,0 (Kristanto, 2002 dalam Byna, dkk. 2009). Salinitas pada perairan sungai yang disurvey menunjukan nilai 0 (nol) yang berarti perairan tersebut tidak /belum dipengaruhi oleh air laut (interusi air asin). Sungai yang termasuk dalam kategori tidak layak untuk kehidupan biota perairan berdasarkan nilai COD (COD>10 ppm) mencapai 50% dari 10 sungai yang disurvey. Kandungan karbondioksida bebas (CO2) dalam suatu perairan maksimal 20 ppm, lebih dari itu akan membahayakan kehidupan organisme perairan. Kadar CO2 yang dikehendaki oleh ikan adalah tidak lebih dari 12 ppm dengan kandungan O2 terendah adalah 2 ppm (Asmawi, 1983). TDS air sungai yang disurvey antara 63 – 1034 mg/L sedangkan nilai standar baku mutu yang ditetapkan untuk TDS adalah 2000 mg/L. Pemanenan Amyda cartilaginea Pengukuran individu Amyda cartilaginea dilakukan dari hasil panen di pengumpul, sedangkan pemancingan langsung tidak mendapatkan Amyda cartilaginea. Hal ini dimungkinkan karena Amyda cartilaginea sering ditemukan secara tidak berkelompok (Suwarno, 1996 dalam Nurbaiti, 1999). Serta aktivitas pada siang dan malam hari dengan aktivitas makan biasanya pagi jam 06.00 – 10.00 dan sore hari 16.00 – 23.00 (Kusdinar, 1995 ; Rahmi.N, 2008). Sedangkan pengecekan jaring/pancing dilakukan jam 08 – 16.00 sehingga waktu potensial hanya 3 jam dari 11 jam aktivitas makan labi-labi. Kusrini. dkk, 2009 melaporkan bahwa peluang untuk dapat menangkap seekor A. cartilaginea cukup kecil. Mengingat tingginya variasi pada upaya pemancingan (lama pemancingan, jumlah mata pancing, panjang wilayah yang dipancing), Sesungguhnya data yang dikumpulkan tidak dapat menggambarkan kondisi populasi A. cartilaginea di lokasi survei. Perhitungan selanjutnya di bawah ini, mengenai estimasi produksi dan keberhasilan penangkapan merupakan hasil etimasi kasar yang memerlukan pengulangan pada masa mendatang. Berdasarkan perbandingan jenis kelamin lebih banyak Amyda cartilaginea Jantan ( 74 ekor) daripada betina (41 ekor). Sedangkan penggolongan kelas umur Amyda cartilaginea dapat diperkirakan berdasarkan Panjang Lengkung Karapas (PLK), maka dapat digolongkan menjadi 3 kelas umur yaitu : remaja 3 ekor, dewasa muda 14 ekor, dan dewasa 98 ekor. Hal ini dimungkinkan karena individu dewasa lebih mudah terlihat dan mata pancing yang digunakan berukuran besar (bila menggunakan alat pancing) sehingga tukik/anakan tidak tertangkap. Rata – rata pemanenan labi – labi per-bulan 100 ekor lebih (di pengumpul besar). Diketahui ada 3 pengumpul besar di Kutai kertanegara jadi bila kumulasikan menjadi 300 ekor/bulan, artinya dalam 1 tahun untuk wilayah Kabupaten Kutai Kertanegara saja bisa mencapai 3600 ekor (3/4 dari quota ekspor). Jumlah ini lebih besar daripada hasil pemanenan di wilayah Kalimantan Timur bagian utara (Kalimantan Utara) yang
Sintesis 2010-2014
| 76
merupakan kantong pemanenan, hanya mencapai 2766/tahun (2/3 dari quota ekspor). persentase labi-labi Betina yang dipanen lebih kecil yaitu 36 %, sedangkan Jantan mencapai 64 %. Untuk melihat kategori labi-labi yang dipanen termasuk ke dalam criteria yang diperbolehkan oleh CITES management (yaitu ukuran <5,5kg dan >13,5 kg) maka dilakukan penghitungan jumlah labi-labi yang dipanen berdasarkan criteria berat yang hasilnya adalah 62,2 % ukuran/berat yang boleh dipanen dan 37,8% untuk ukuran/berat yang seharusnya tidak boleh dipanen. Bila dilihat dari struktur populasi berdasarkan umur/ukuran terlihat jumlah labi-labi yang besar lebih banyak daripada labi-labi berukuran kecil. Hasil pengumpulan di wilayah ini berbeda dengan hasil pengumpulan diwilayah utara Kalimantan Timur yang dilaporkan oleh Kusrini, dkk pada tahun 2009. Akan tetapi hasil pengumpulan labi-labi setiap wilayah yang bervariasi baik jumlah Maupun ukuran belum tentu bersifat konstan, yang artinya pengumpulan pada periode tertentu dapat berbeda-beda. Ancaman Terhadap Populasi Labi-Labi Ancaman terbesar terhadap populasi labi-labi bukan oleh tingginya tingkat perburuan/pemanenan, karena hampir tidak ada pekerjaan khusus sebagai pemburu labi-labi. Sebagian besar masyarakat bermatapencaharian sebagai nelayan. Jadi hasil tangkapan labi-labi lebih banyak diperoleh dari pemasangan rawai untuk mencari ikan berukuran besar, karena lebih pasti daripada khusus mencari labi-labi. Ancaman terbesar adalah penurunan kualitas dan kuantitas perairan sungai sebagai habitat labilabi akibat dari dampak pembukaan lahan untuk tujuan perkebunan dan pertambangan. Hal ini ditunjukan dari hasil analisis kualitas air yang rendah dan berdasarkan informasi serta pengamatan langsung banyaknya pembukaan lahan untuk perkebunan (sawit) yang memanfaatkan lahan berair seperti daerah rawa sampai dipinggir sungai yang tidak sesuai dengan jarak minimal dari sempadan sungai. Dampak yang ditimbulkan bukan hanya berasal dari perkebunan akan tetapi juga berasal dari pertambangan serta budaya masyarakat sendiri yang membuang sampah di sungai. Dari hasil penelitian sebelumnya tidak diketahui populasinya secara pasti, akan tetapi ancaman konversi lahan basah (rawa) sampai sempadan sungai berpotensi menurunkan kualitas dan kuantitas habitat Amyda cartilaginea. KESIMPULAN Pendugaan populasi di alam tidak dapat diperkirakan secara pasti, tetapi produksi pemanenan di tingkat pengumpul dapat menjadi acuan yang lebih mendekati/mendukung prinsip kehati-hatian dalam penentuan quota. Monitoring berkelanjutan perlu dilakukan dengan dibantu oleh enumerator di lokasi asal pemanenan. Parameter analisis kualitas yang lengkap perlu dilakukan untuk menentukan tingkat kualitas air dan dampaknya bagi labi-labi sehingga dapat dijadikan indikator kualitas habitat bagi Amyda cartilaginea serta dapat dipergunakan sebagai standar kualitas kolam budidaya. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dicapai terlihat hasil pemanenan Amyda cartilaginea di Kalimantan Timur di
Sintesis 2010-2014
| 77
khawatirkan tidak mencukupi quota (3/4 dari kuota 5000 ekor/tahun) bila Kalimantan Utara memiliki kuota sendiri karena sebelumnya Kalimantan Utara masih masuk dalam kuota Kalimantan Timur untuk ekspor satwa liar. Di Kalimantan Timur sendiri upaya penangkaran dan budidaya belum ada karena menganggap hasil tangkapan dari alam masih cukup banyak. Perlu dilakukan pembudidayaan guna memenuhi permintaan pasar yang diharapkan bisa menekan penangkapan dan penurunan populasi skala besar. Masih kurangnya informasi penangkaran dan teknik budidaya Labi-Labi Amyda cartilaginea di Kalimantan Timur maka perlu dilakukannya penelitian upaya penangkaran labi-labi di Kalimantan Timur. a.12. Kajian Biodiversitas, Potensi dan Sebaran Mambruk (Goura sp.) di Hutan Papua. Pendahuluan Diperkirakan Papua memiliki 8 dari 24 daerah burung endemik (DBE) di Indonesia (DBE terbesar di dunia). Selain itu terdapat sekitar 101 spesies burung sebaran terbatas (BST) atau 25% BST di Indonesia dengan tingkat endemisitas Papua sebanyak 39 spesies. Spesies burung-burung tersebut yang tersebar di kawasan Papua, terdapat beberapa jenis yang kemungkinan merupakan jenis satwa kunci suatu daerah yang perlu mendapat perhatian. Sebagai jenis yang dilindungi Goura spp.,merupakan jenis endemik yang telah ditetapkan oleh Convention International Trade in Endangered Spesies of Wild Flora and Fauna (CITES), (UNEP-WCMC, 2011) dengan status Vulnerable oleh The IUCNRed List of Threatened Species (IUCN, 2010) maupun Undang-Undang Pemerintah sebagai jenis yang dilindungi dan terancam kepunahan, namun keadaan dilapangan tidak menjamin jenis-jenis tersebut yang termasuk dalam kategori dilindungi dapat bertahan leluasa dan bebas. Jenis ini masih merupakan jenis yang paling dicari dan diincar oleh para kolektor satwa burung, baik untuk dipelihara maupun dijual. Selain perburuan, adanya ekosistem hutan tempat beraktifitas yang telah terganggu. Sehingga habitat sebagai tempat tinggal (baik untuk berkembangbiak, mencari makan dan aktifitas lainnya) bagi jenis ini semakin terdesak dan tidak menutup kemungkinan jenis ini dapat hilang (punah). Sebagai akibat dari tekanan kebutuhan ekonomi dan adanya kepentingan daerah yang semakin berkembang, kondisi kawasan hutan sebagai tempat hidup dan berkembang perlu dilakukan kajian identifikasi keragaman jenis, habitat dan sebaran populasi dari jenis yang termasuk dalam kategori langka dan dilndungi. Data dan informasi yang berkenaan dengan jenis, habitat dan sebarannya dapat kiranya dijadikan acuan sebagai penetapan pengelolaan kawasan yang lestari dan jenis yang menjadi proritas perhatian dalam melindungi jenis langka yang terancam kepunahan.
Sintesis 2010-2014
| 78
Hasil Sintesis Hasil pengamatan yang dilakukan pada kawasan hutan Warmariri (Sarmi), Sasui (Tambraw) dan Sidei (Manokwari), secara sederhana dibuat dalam bentuk tabel hasil pengamatan yang terdiri dari habitat, kepadatan (ekor) dan sebaran burung saat pengamatan yang dapat dilihat diketahui beberapa di antaranya terdapat hasil pengamatan. Pada daerah pengamatan di hutan Warmariri, pengamatan dibagi dalam beberapa petak pengamatan yang hasilnya ditampilkan dalam bentuk tabel. Pada Tabel 18. menampilkan hasil pengamatan di petak I yang disajikan sebagai berikut: Tabel 18. Petak pengamatan I di hutan Warmariri. Sarmi Habitat Primer Sekunder Pada kawasan Habitat hutan hutan ini sekunder pada banyak titik ditemukan pengamatan jenis tegakan ini didoinasi pohon seperti jenis Intsia sp., Antocephalus I Celtis cadamba, latifolia, Pericopsis Canarium moniana commune, Pometi sp.,danIntsia palembanica Jenis tegakan Jenis tegakan pohon seperti pohon seperti: Intsia sp., Ficus spp, Litsea Macaranga II sp.,Pometia spp spdan Dysoxylum Myrstica sp. molle dan Pometia sp. Tegakan Tegakan pohon pohon Ficus Pometia spp, Pometia sp.,Intsia spdan III palembanica, Myrstica sp. Ficus spp., Canarium sp., dan Litsea sp. IV Tegakan Tegakan
Titik
Rawa Diketahui beberapa jenis pohon yang terdapat pada habitat ini adalah Ficus spp., Macaranga spp., Metroxylon sp., Dysoxylum molle danbeberapa jenis palem
Tidak terdapat rawa
Jumlah perjumpaan burung (ekor) Primer Sekunder Rawa
2
3
Tidak ditemukan
Tidak ditemukan
1
-
1
Tidak ditemukan
Tidak ditemukan
Tidak
Tidak
-
Beberapa jenis palem dan Metroxylon sp.
Tidak terdapat
Sintesis 2010-2014
| 79
pohon Antocephalus cadamba, Pericopsis moniana, Myristica spp, Canarium sp
pohon Macaranga spp., Metroxylon sp., danbeberapa jenis palem
rawa
ditemukan ditemukan
Sedangkan pada petak pengamatan II disajikan pada Tabel 19. sebagai berikut; Tabel 19. Petak pengamatan II di hutan Warmariri, Sarmi Habitat
Titik Primer Pada kawasan hutan ini banyak ditemukan jenis tegakan pohon seperti Pimelodendron amboinicum, Celtis latifolia, Canarium commune dan Intsia palembanica Jenis tegakan pohon seperti Pometia sp. Canarium sp., Artocarpus sp.,dan Myrstica sp.
I
II
Sekunder Pada habitat ini diketahui jenis tegakan Canarium sp, Myristica fatua dan Artocarpus communis
Jenis tegakan pohon seperti: Ficus spp., MyristicaMacara nga spp Dysoxylum molle dan Artocarpus
Rawa
Jumlah perjumpaan burung (ekor) Primer Sekunder Rawa
Tidak terdapat rawa
Tidak ditemukan
3
-
Tidak terdapat rawa
1
Tidak ditemukan
-
Sementara hasil pengamatan di kawasan hutan Sasui, Kabupaten Tamraw, dapat disajikan pada Tabel 20. sebagai berikut: Tabel 20. Petak pengamatan di hutan Sasui. Tamraw. Habitat
Titik
I
Primer Pada habitat ini diketahui jenis tegakan Myristica spp, Canarium sp, dan Litsea sp., Ficus spp., dan Pometia sp.
Sintesis 2010-2014
| 80
Sekunder Pada habitat ini diketahui tegakan pohon dari jenis :Pometia coreaceae, Dracontomelon dao, Sterculia parkinsonii dan Antocephalus cadamba
Jumlah perjumpaan burung (ekor) Primer Sekunder
Tidak ditemukan
2
Titik
II
III
IV
Habitat Primer Jenis tegakan pohon Pometia sp., Litsea sp., Pimelodendron amboinicum, Celtis latifolia Canarium commune dan Intsia palembanica Canarium sp., Myristica fatua Artocarpus communis Dysoxylum molle
Antocephalus cadamba, Dysoxylum molle, Pericopsis moniana, Dysoxylum molle
Sekunder Canarium commune, Intsia palembanica, dan Dracontomelon dao, Litsea sp dan Pometia spp. Gnetum genemo, Alstonia sp., Pometia coreaceae, dan Dracontomelon dao Canarium sp, Dysoxylum molle, Litsea sp., Myristica dan Gnetum genemo
Jumlah perjumpaan burung (ekor) Primer Sekunder Tidak ditemukan
Tidak ditemukan
Tidak ditemukan
1
2
Tidak ditemukan
Pada hasil pengamatan yang dilakukan pada daerah hutan Sidei, Kabupaten Manokwari disajikan pada Tabel 21. sebagai berikut; Tabel. 21. Petak pengamatan I di hutan Sidei, Manokwari Titik
I
II
III
Habitat Primer Jenis tegakan pohon seperti Intsia sp., Spondias sp., Octomeles sumatrana, Pisonia umbelliferra, vitex pinnata dan Vatica rassak Jenis tegakan pohon seperti Octomeles sumatrana, Spondias sp, dan Litsea sp.
Sekunder Jenis tegakan pohon seperti Dysoxylum molle,. Intsia sp., Spondias sp., Pisonia umbelliferra, dan Vatica rassak Jenis tegakan pohon seperti Spondias sp., Octomeles sumatrana, Pisonia umbelliferra, dan Vatica rassak Jenis tegakan pohon Jenis tegakan pohon seperti Intsia sp., Pisonia seperti Intsia sp., sp.,Litsea sp., Ficus sp Canarium sp, dan Octomeles sumatrana
Jumlah perjumpaan burung (ekor) Primer Sekunder
Tidak ditemukan
3
Tidak ditemukan
Tidak ditemukan
1
Tidak ditemukan
Sedangkan pada Tabel 22. ditampilkan petak pengamatan II yang dilakukan di hutan sedei sebagai berikut;
Sintesis 2010-2014
| 81
Tabel. 22. Petak pengamatan II di hutan Sidei, Manokwari Jumlah perjumpaan burung (ekor)
Habitat
Titik Primer
Intsia sp., Pisonia sp I Dysoxylum molle, Litsea sp., dan Myristica Spondias sp, Litsea sp. II Pisonia spdan Dysoxylum molle ,Litsea sp., Ficus sp dan Octomeles sumatrana, Intsia III sp., Spondias sp., dan Octomeles sumatrana Pisonia umbelliferra, vitex IV pinnata dan Vatica rassak
Sekunder
Primer
Sekunder
Dysoxylum molle,. Intsia sp., Spondias sp., Pisonia 1 2 umbelliferra, dan Vatica rassak Spondias sp., Octomeles Tidak sumatrana, Pisonia ditemuka 1 umbelliferra, dan Vatica rassak n Intsia sp., Canarium sp, Tidak Tidak Dysoxylum molle, Litsea sp., ditemuka ditemuka Myristica n n Intsia sp., Spondias sp., Octomeles sumatrana
Tidak Tidak ditemuka ditemuka n n
Habitat Berdasarkan pengamatan di beberapa tipe habitat yang ada di kawasan tersebut dapat dibedakan menjadi tipe habitat rawa, hutan primer dan sekunder. Hutan sekunder banyak didominasi dengan kondisi tegakan hutan yang terbuka sebagai akibat dari perambahan atau pembukaan lahan sebagai kebun masyarakat., sehingga areal ini lebih terbuka dibandingkan pada tipe habitat lainnya. Dari beberapa habitat ini, diketahui tipe habitat sekunder yang didalamnya teraliri atau adanya genangan air dan dalam kondisi yang agak lembab merupakan tempat yang sering dikunjungi Goura spp. Hal ini diketahui telah ditemukan jejak atau bekas bemain atau mengaisngais tanah untuk mencari makanan yang dapat ditampilakan pada Gambar 35 sebagai berikut:
Gambar 35. Jejak Goura spp. yang ditemukan
Sintesis 2010-2014
| 82
Di habitat ini ditumbuhi juga jenis-jenis vegetasi seperti Ficus spp, dan, Macaranga spp serta berbagai jenis liana, herba dan tumbuhan bawah. Pada daerah ini juga banyak ditumbuhi tanaman sagu (Metroxylon sp). Sementara pada Gambar 36., hasil pengamatan di habitat hutan primer ditemukan sarang burung baru dibangun oleh Goura spp.
Gambar 36. Sarang Goura spp. di hutan primer Potensi Goura spp. yang ditemukan pada kawasan hutan Warmariri dari jenis Goura spp.Victoria. Sedangkan jenis Goura spp. yang sitemukan di daerah seputaran Papua Barat dari jenis Goura spp.Cristata. Secara umum potensi kedua jenis ini belum dapat dipastikan, hal ini adanya keterbatasan dalam pengamatan yang dilakukan saat kegiatan berlangsung. Penemuan secara visual tidak mudah dijumpai, namun jejak atau bekas cakaran (mengais) dimana tempat bermain dan mencari makan pada lantai hutan dapat dilihat dan ditemukan. Berdasarkan hasil pengamatan dilapangan dan beberapa informasi yang diperoleh dari masyarakat setempat, jenis ini melakukan aktifitasnya secara kelompok kecil (lek). Dapat dijumpai antara 2 hingga 4 ekor dalam aktifitasnya. Minimnya data dan informasi mengenai potensi Goura spp., tidak terlepas dari pelaksanaan kegiatan pengamatan dilapangan dan adanya sensifitas Goura spp. tersebut terhadap kondisi lingkungan. Berdasarkan informasi masyarakat yang sering melakukan perburuan, pada jenis ini (Goura spp.), sering hanya mendapatkan 1 (satu) hingga 2 (dua) ekor saja, bila dibandingkan melakukan perburuan untuk jenis lainnya seperti pada kelompok Ducula, Julang Irian atau jenis Parrot lainnya. Hal ini disebabkan pada jenis ini relatif sangat sensitif dan peka terhadap kondisi lingkungan sekitar. Bila konsidi sekitar tempat beraktifitas terganggu dengan cepat langsung terbang burung meninggalkan tempat tersebut. Sehingga tidak mudah untuk mendekati dan memantau keberadaan jenis ini.
Sintesis 2010-2014
| 83
Sebaran Pengamatan Goura spp. yang dilakukan di beberapa tempat cukup menyulitkan, hal ini disebabkan jenis ini sangat sensitif terhadap faktor lingkungan yang dianggap mengganggu. Perilaku yang ditunjukan oleh Goura spp. bila merasa terganggu atau terancam dengan cara langsung terbang pada menjauh dari sumber pengganggu dan hinggap di dahan yang tinggi seraya mengeluarkan suara untuk memberitahukan kelompok lainnya. Hal ini sering terjadi di lokasi pengamatan yang menyebabkan kedala dalam kegiatan pengamatan. Berdasarkan pengamatan yang diperoleh terdapat beberapa jenis burung lain yang berasosiasi dengan burung Goura spp. Diketahui jenis Bayan (Eclectus roratus), Nuri hitam (Chalcopsitta atra) dan beberapa jenis Ducula. Sebaran beberapa jenis Goura spp. ditemukan pada daerah tertentu. Pada areal hutan sekunder tidak ditemukan/ terdengar, hal ini kemungkinan disebabkan adanya lahan terbuka untuk berkebun sehingga kemungkinan habitat bagi burung tersebut yang tidak nyaman. Pada daerah yang berawa, dimana kondisi yang agak lembab dan adanya aliran air serta sumber pakan yang ada dilantai hutan. yang sering didatangi oleh jenis ini. Hal ini dapat dilihat adanya bekas jejak kaki atau bekas mengais tanah tuk mencari makanan di lantai hutan.habitat hutan Sedangkan pada habitat hutan primer, berdasarkan informasi dari masyarakat yang menngataan bahwa jenis ini sering mendatangi pohon pala hutan (Myrstica spp.) untuk memakan buahnya yang jatuh di lantai hutan. Pemanfatan Pada umumnya masyarakat di lokasi penelitian adalah sebagai peramu, dimana menggantungkan hidupnya pada berkebun dan mencari ikan. Hal ini terlihat dengan adannya kebun tanaman semusim yang banyak di temukan di sepanjang jalan menuju kawasan dan adanya kebun tanaman pinang, pisang dan tanaman semusim (jagung, kacang atau ketela) yang merupakan tanaman andalan oleh masyarakat. Pemanfaatan secara langsung satwa burung, diketahui pada sebagian dari mereka melakukan perburuan untuk dimanfaatkan sebagai pemenuhan kebutuhan protein maupun untuk menambah ekonomi. Untuk menambah ekonomi dengan cara menjual jenis ini, namun bila hasil buruan mereka masih hidup. Sedangkan bila hasil perburuan mereka telah mati, biasa mereka konsumsi sendiri atau ada yang berkeinginan untuk membeli. Berdasarkan informasi dari masyarakat, harga Goura spp. anak (muda) relatif lebih murah rata-rata berkisar Rp. 30.000,- hingga Rp. 50.000,- dibandingkan yang telah dewasa yang berkisar Rp. 100.000,- hingga Rp. 150.000,-. Berbeda dengan jenis lainnya seperti burung Kakatua atau Nuri, dimana yang anak (muda) relatif lebih mahal berkisarRp. 100.000,- hingga Rp. 120.000,-. Menurut keterangan
Sintesis 2010-2014
| 84
masyarakat, jenis Goura spp. tidak dapat menirukan atau bernyanyi seperti burung kakatua atau Nuri yang dapat dilatih. Sehingga harganya lebih murah, selain itu pada usia muda masih perlu perawatan pemeliharaan termasuk dalam pemberian pakan. Sedangkan bila telah dewasa (besar) dapat dipelihara untuk kepentingan hobby atau estetika sebagai peliharaan di rumah. Implementasi Hasil Penelitian A. Metode Mengetahui secara pasti populasiGoura spp. berdasarkan jumlah induk sangat sulit dilakukan. Pendekatan terbaik adalah dengan mengetahui intensitas perburuan masyarakat dan berapa hasil yang mereka peroleh, sehingga dapat dilakukan estimasi jumlah Goura spp. tersebut dalam kawasan hutan. Observasi secara langsung dengan teknik survey membutuhkan waktu yang tidak sedikit, sehingga perlu dilakukan penggalian informasi dari masyarakat yang mengetahui kebiasaan jenis burung ini bermain. Penyadaran masyarakat akan pentingnya konservasi sangat diperlukan guna menunjang upaya konservasi selanjutnya. Melalui pertemuan yang digagas oleh pemerintah daerah maupun ketua adat akan memberikan pengertian dan pemahaman kepada masyarakat untuk menjaga kelestarian plasma nutfah yang ada didaerahnya. B. Input Kebijakan Pemanfaatan satwa liar mendapat dukungan pada pasal 2, 3 dan 23 dari UU no. 41 tahun 1999 yang isinya menjelaskan bahwa peyelenggaraan dan pemanfaatan kehutanan berasaskan manfaat dan lestari dengan tujuan untuk kemakmuran rakyat yang berkeadilan. Namun perlu dilakukan pemberian rambu-rambu dalam melakukan hal tersebut, dimana terkadang lebih banyak disalah gunakan dalam pelaksanaanya. Dalam banyak kasus perlindungan terhadap satwa liar, kegiatan konservasi pada ayat 3 UU No. 5 tahun 1990 belum dilaksanakan karena berbagai pertimbangan. C. Produk Pengetahuan akan penangkaran setidaknya dapat menjadi jembatan bagi masyarakat dalam meningkatkan populasi di luar kawasan hutan (ek situ). Penanggaan yang baik pada pengelolaan penangkaran akan berjalan sesuai dengan perencanaan apabila adanya kompensasi bagi masyarakat dalam melakukan penangkaran. Kesimpulan Dan Saran 1. Pada kawasan yang agak lembab merupakan tempat yang sering didatangi oleh burung Goura spp.. 2. Rendahnya penemuan jenis mambruk kemungkinan disebabkan perburuan yang dilakukan oleh masyarakat sebagai penyedia protein keluarga, dan kemungkinnan
Sintesis 2010-2014
| 85
lainnya adalah sensitifnya jenis ini terhadap kondisi yang kurang nyaman, sehingga kegiatan pengamatan kuarng mendapat hasil yang maksimal. 3. Upaya konservasi dengan melalui kegiatan penangkaran merupakan upaya perlindungan perlu dilakukan untuk mencegah kerentanan atau punahnya jenis ini. a.13. Karakteristik Habitat Dan Populasi Kuskus Bertotol Biasa (Spilocucus maculatus) di Hutan Dataran Rendah Papua Kuskus bertotol biasa (S) merupakan salah satu jenis kuskus yang umum dijumpai pada kawasan hutan dataran rendah, baik pada hutan primer maupun sekunder. Berdasarkan pengamatan terhadap karakter morfologis jenis S pada ke dua lokasi pengamatan (di Pulau Moor), satwa ini diketahui merupakan jenis kuskus berukuran paling besar jika dibandingkan dengan jenis kuskus lainnya yang terdapat pada kawasan ini (Phalanger orientalis), perbedaan jenis kelamin menun-jukkan adanya dimorfisme nyata, yaitu pejantan berukuran lebih besar daripada jenis betina dan dapat mencapai 650 mm (kira-kira sepanjang lengan orang dewasa). Panjang ekor sama dengan panjang tubuh dan hanya ¼ -1/3 dari ujung distal yang tidak berbulu. Seperti halnya jenis-jenis kuskus pada umumnya, jenis Stelah umum dimanfaatkan oleh penduduk lokal di Papua secara turun-temurun, terutama untuk konsumsi daging sebagai salah satu sumber protein hewani. Kuskus ini termasuk hewan buruan yang mudah di-jumpai pada malam hari dalam perburuan, karena satwa ini biasanya bergerak lambat di atas tajuk vegetasi, kehadiran mereka dapat dengan mudah dideteksi melalui aroma pekat dari suatu zat berbentuk gel yang dieksresikan lewat anusnya dan pollet pada dahan-dahan vegeta-si untuk menandai wilayah jelajahnya (home range). Aroma tersebut dapat diketahui dari jarak yang cukup jauh. Mereka juga seringkali dapat dideteksi melalui suara ringkikannya ketika berkelahi maupun kawin. Kuskus bertotol biasa (S) dewasa ini menjadi jenis yang marak diburu (dengan teknologi berburu yang lebih modern) karena selain untuk konsumsi daging, karena bulunya yang halus dengan pola warna yang indah biasanya juga dijadikan berbagai bentuk karya kerajinan tas ataupun untuk diawetkan. Satwa ini juga seringkali ditangkap untuk diperdagangkan secara ilegal ataupun untuk dipelihara. Selain oleh aktivitas perburuan, penebangan dan konversi areal hutan merupakan ancaman serius bagi eksistensi satwa Sdan fauna arboreal lainnya karena rusaknya/hilangnya habitat serta terganggunya jalur lalulintas dalam pergerakan mereka. Dapat disimpulkan bahwa Kuskus bertotol biasa (Spilocuscus) merupakan satwa yang peka terhadap gangguan sehingga cenderung menempati habitat yang tidak terusik. Hal ini terlihat dari rendahnya kepadatan populasi satwa pada tempat-tempat yang telah mengalami kerusakan habitat. Populasi di lokasi penelitian terendah terjadi pada areal hutan yang terganggu dan tinggi pada areal hutan yang tidak terganggu dengan kisaran kepadatan populasi antara 3,093 – 13,173 satwa per
Sintesis 2010-2014
| 86
hektar. Pada umumnya Kuskus Bertotol Biasa (Spilocuscus) mudah dijumpai pada habitat yang menyediakan lebih beraneka ragamnya jenis vegetasi pakan dan vegetasi tempat berlindung. Beberapa populasi satwa Kuskus Bertotol Biasa (Spilocuscus) terisolasi pada daerah kepulauan memiliki karakteristik yang unik, namun pada umumnya satwa tersebut rentan terhadap kepunahan sehingga diperlukan tindakan pengelolaan populasi dan habitat yang optimal.
Gambar 37. Kuskus Bertotol Biasa (Spilocuscus maculatus ) jantan.
Gambar 38. Kuskus Bertotol Biasa (Spilocuscus maculatus ) betina
b. Teknik Pelestarian Jenis Fauna Langka dan Terancam Punah b.1. Teknologi Konservasi Siamang (Symphalangus syndactylus Raffles, 1821) Pada Kawasan Hutan di Sumatera Utara Seleksi Sumberdaya/Komponen Habitat Variabel komponen habitat/sumberdaya untuk penentuan pemi-lihan site adalah jumlah jenis tumbuhan pakan pada tingkat pohon (X1), jumlah jenis tumbuhan pakan pada tingkat tiang (X2), jumlah jenis vegetasi tingkat pohon (X3), jumlah jenis vegetasi tingkat tiang (X4), Lbds total tingkat pohon (X5), Lbds total tingkat tiang (X6), tinggi tumbuhan pada tingkat pohon (X7), tinggi tumbuhan pada tingkat tiang (X8), kerapatan vegetasi pada tingkat pohon (X9), kerapatan vegetasi tingkat tiang (X10), kerapatan jenis tumbuhan pakan tingkat pohon (X11), kerapatan jenis tumbuhan pakan tingkat tiang (X12), suhu udara (X13), kelembaban udara (X14). Berdasarkan tahapan analisis maka model RSF yang terbentuk dari persamaan regresi adalah : 𝜋(𝑥) =
exp(−1,779 + 0,683𝑋2 − 2,849𝑋6 − 0,178𝑋8 ) 1 + exp(−1,779 + 0,683𝑋2 − 2,849𝑋6 − 0,178𝑋8 )
Keterangan : 𝜋(𝑥) = kemungkinan kehadiran siamang X2 = jumlah jenis pakan tingkat tiang X6 = Lbds total tingkat tiang X8 = Tinggi tumbuhan tingkat tiang Analisis terhadap komponen habitat menunjukkan bahwa kemung-kinan kehadiran siamang ditentukan oleh jumlah jenis pakan tingkat tiang, luas bidang
Sintesis 2010-2014
| 87
dasar total tingkat tiang, dan tinggi tumbuhan tingkat tiang. Hasil ini memberikan gambaran bahwa vegetasi pertumbuhan tingkat tiang memiliki arti sangat penting bagi kehidupan siamang. Walaupun sebagai satwa aboreal siamang tergantung pada keberadaan pohon, tetapi keberadaan tingkat pertumbuhan tiang sangat penting artinya.Secara keseluruhan hasil penelitian habitat ini menunjukkan bahwa tipe habitat tidak memberikan implikasi penting bagi keber-adaan siamang di CADS, namun komponen habitat pada tingkat tiang yang memberikan implikasi penting. Hasil analisis rendahnya ukuran keanekaragaman hayati tingkat tiang dibandingkan tingkat pertumbuh-an lainnya perlu mendapat perhatian dalam upaya pengelolaan kawasan CADS sebagai habitat siamang. Produktifitas Pakan dan Daya Dukung Habitat Rata-rata kerapatan tumbuhan pakan siamang di CA. Sipirok adalah sebesar 136 individu/ha (hasil analisis dari Kwatrina et al., (2011)), Data ini selanjutnya akan digunakan dalam analisis biomassa, produktivitas dan daya dukung habitat bagi siamang di CA. Sipirok. Nilai rata-rata biomasa daun tumbuhan pakan siamang pada hutan sekunder sebesar 4,04 kg/individu pohon (berat basah) lebih besar dibandingkan biomassa pada hutan primer sebesar 3,04 kg/individu pohon (berat basah) dan hal yang sama juga pada berat keringnya. Apabila kerapatan tumbuhan pakan daun di CA. Dolok Sipirok sekitar 136 ind./ha maka dugaan biomassa pada hutan primer sebesar 414 kg/ha (berat basah) dan 222 kg/ha (berat kering) dan pada hutan sekunder sebesar 550 kg/ha (berat basah) dan 249 kg/ha (berat kering). Rata-rata biomassa per individu pohon atau per hektar pada hutan sekunder lebih besar dapat terjadi akibat adanya perbedaan intensitas cahaya, iklim mikro serta kondisi bio-fisik lainnya. Sebagai contoh, intensitas cahaya yang lebih tinggi sampai menembus lapisan bawah tajuk pada hutan sekunder karena kerapatan lebih rendah (Kwatrina et al, 2011) mengakibatkan lebih banyak daun yang berkembang pada setiap ranting atau cabang pohonnya. Hasil pendugaan nilai produktivitas daun pada hutan sekunder diperoleh sebesar 10,8 kg/ha/hari (berat basah) atau 6,8 kg/ha/hari (berat kering) dan pada hutan primer sebesar 10,1 kg/ha/hari (berat basah) atau 4,7 kg/ha/hari (berat kering). Dengan demikian, rata-rata nilai produktivitas daun (hutan sekunder dan hutan primer) adalah sebesar 10,5 kg/ha/hari (berat basah) atau 5,75 kg/ha/hari (berat kering). Hasil penelitian ini tidak berbeda jauh dengan Chapin III (2002) yang menyatakan bahwa produktivitas daun pada tumbuhan di hutan hujan tropis sekitar 1,14 gram/m2/hari atau 11,4 kg/ha/hari. Nilai rata-rata produktivitas daun pakan siamang antara hasil pendugaan (analisis regresi) dengan hasil pengukuran di lapangan tidak begitu berbeda, kecuali pada berat kering di hutan primer. Hal ini menunjukkan bahwa nilai simpangan baku dari ke dua pendekatan di atas sangat kecil, kurang dari 1 gram/m2/hari. Hasil ini
Sintesis 2010-2014
| 88
menunjukkan bahwa persamaan di bawah ini dapat menjadi referensi untuk menduga produktivitas daun tumbuhan pakan satwaliar, khususnya siamang di CA. Sipirok dan sekitarnya, yaitu: Produktivitas daun pada hutan sekunder: - Berat basah : Yb= -2,035 + 0,146 Dp, Adjusted R2 = 61,1 % - Berat kering : Yk= -1,266 + 0,091 Dp, Adjusted R2 = 56,0 % Produktivitas daun pada hutan primer: - Berat basah : Yb = -0,310 + 0,002 Dtj, Adjusted R2 = 60,6 % - Berat kering : Yk = -0,189 + 0,001 Dtj, Adjusted R2 = 61,7 % Nilai dugaan biomassa tumbuhan pakan buah siamang pada hutan sekunder sebesar 17,13 kg/individu pohon (berat basah) dan 7,92 kg/individu pohon (berat kering). Pada hutan primer diperoleh sebesar 16,69 kg/individu pohon (berat basah) dan 7,63 kg/individu pohon (berat kering). Secara keseluruhan, nilai rata-rata biomassa antara hasil pendugaan (analisis regresi) dengan hasil pengukuran di lapangan untuk pakan buahpun tidak begitu berbeda, baik pada hutan primer maupun hutan sekunder. Nilai rata-rata simpangan baku di bawah 0,5 kg/individu pohon. Hasil ini menunjukkan bahwa persamaan di bawah ini dapat menjadi referensi untuk menduga biomassa buah tumbuhan pakan satwaliar, khususnya siamang di CA. Sipirok dan sekitarnya, yaitu: a. Biomassa buah pada Hutan Sekunder: - Berat basah: Yb= 0,07 + 1,111 Dp – 1,316 Ttot, Adjusted R2 = 81,2% - Berat kering: Yk= 1,929 + 0,510 Dp – 0,748 Ttot, Adjusted R2 = 65,3% b. Biomassa buah pada Hutan Primer: - Berat basa : Yb= -12,598 + 3,275 Dp – 4,299 Ttot, Adjusted R2 = 90,5 % - Berat kering: Yk= -7,808 + 1,694 Dp – 2,198 Ttot, Adjusted R2 = 89,7 % Nilai produktivitas buah tumbuhan pakan siamang (berdasarkan contoh penelitian) adalah sebesar 58,94 kg/ha per hari (berat basah) dan 35,90 kg/ha per hari (berat kering) pada hutan sekunder dan pada hutan primer diperoleh sebesar 60,50 kg/ha per hari (berat basah) dan 26,95 kg/ha per hari (berat kering). Dengan demikian, rata-rata dugaan nilai produktivitas buah pakan siamang (hutan primer dan sekunder) adalah sebesar 59,72 kg/ha per hari (berat basah) dan 27,45 kg/ha per hari (berat kering). Persentase spesies tumbuhan pakan buah tentunya tidak serentak sepanjang musim berbuah (100%), Sugardjito (1986) menyatakan bahwa jenis tumbuhan berbuah rata-rata hanya berkisar antara 5–30 % dalam setiap bulannya. Berdasarkan data tersebut, maka diperoleh nilai produktivitas buah (mempertimbangkan musim ber-buah) rata-rata berkisar antara 10,45 kg/ha per hari (berat basah) dan rata-rata sebesar 4,81 kg/ha per hari (berat kering).
Sintesis 2010-2014
| 89
Nilai konsumsi pakan siamang berdasarkan hasil pengamatan di kebun binatang diperoleh rata-rata sebesar 1,02 kg/hari per ekor. Nilai dugaan daya dukung (berdasarkan nilai produktivitas daun dan buah dibagi nilai konsumsi pakan) antara 702 – 2.765 ekor atau rata-rata sekitar 1.743 ekor dengan asumsi kondisi hutan CA. Sipirok tidak mengalami kerusakan dan siamang selalu mengkonsumsi kombinasi antara buah dan daun. Apabila luas keseluruhan hutan primer dan sekunder sekitar 6.600 ha maka kapasitas optimum kawasan CA. Dolok Sipirok yang akan mampu mendukung pertumbuhan siamang adalah sekitar 3,5 –4 ha untuk 1 ekor siamang. Nilai dugaan ini masih cenderung overestimate karena belum memperhatikan persaingan pakan maupun penggunaan ruang dengan lainnya, seperti orangutan. Jenis tumbuhan pakan siamang sebagian besar juga merupakan pakan orangutan yang sama-sama menggunakan CA. Dolok Sipirok sebagai habitatnya (Kuswanda, 2011). Menurut Rockwood (2006), adanya kompetisi konsumsi pakan akan mengakibatkan suatu jenis satwaliar tidak optimal untuk memanfaatkan segala sumberdaya yang ada di habitatnya. Model Pertumbuhan Populasi Menurut Kwatrina et al., (2010), dugaan kepadatan siamang di CA. Dolok Sipirok saat ini adalah 9,91±3,4 individu/km2 dengan dugaan populasi sekitar 691 ekor. Hal ini berarti ke depannya populasi siamang masih dapat berkembang sampai mencapai nilai daya dukungnya. Namun demikian, untuk meningkatkan populasi siamang tersebut perlu didukung oleh rencana pengelolaan yang tepat, terutama untuk mengantisipasi perubahan dan penyerobotan kawasan menjadi lahan pertanian atau pemukiman yang sudah terjadi di beberapa lokasi sekitar CA. Sipirok, seperti sekitar Desa Rambassiasur dan Daerah Arse. Berdasarkan analisis dengan menggunakan matrik Leslie diper-oleh dugaan populasi tahun ke-1 (N1) sebesar 708 ekor dengan N0 merujuk hasil penelitian Kwatrina et al., (2010) yaitu sebesar 691 ekor. Dari ke dua ukuran populasi tersebut kemudian dianalisis nilai r (laju pertumbuhan populasi) dengan menggunakan dasar persamaan pertum-buhan logistik. Nilai r yang diperoleh adalah sebesar 0,041, yang menunjukkan bahwa pertumbuhan populasi tersebut termasuk kategori titik keseimbangan yang stabil (Alstad, 2001). Dengan menggunakan nilai r tersebut, maka populasi akan mencapai kondisi stabil (berfluk-tuasi di sekitar daya dukungnya) adalah pada tahun ke-170 dengan asumsi kondisi habitat di CA. Dolok Sipirok tetap dalam kondisi normal (tidak ada bencana, perubahan habitat dan sebab lainnya secara drastis). Model pertumbuhan populasi siamang (berdasarkan model) adalah: 𝑁𝑡 =
1.743 1 + 1,522. 𝑒 −0,041.𝑡
Pada waktu ukuran populasi akan mencapai kondisi stabil (tahun ke-170), pertumbuhan populasi terjadi sangat lamban (Gambar 39). Kondisi ini dapat
Sintesis 2010-2014
| 90
1800 1300 800 300 -200
1 13 25 37 49 61 73 85 97 109 121 133 145 157 169 181 193 205
Prediksi populasi (ekor)
dimungkinkan karena setiap individu akan bersaing memperebutkan sumberdaya yang sangat terbatas dan tentunya akan mempengaruhi terhadap berbagai perilaku reproduksi terutama bagi betina dewasa.
Tahun ke..
Gambar 39. Grafik prediksi pertumbuhan populasi siamang Grafik ini memberikan gambaran bahwa pertumbuhan populasi siamang di CA. Dolok Sipirok relatif cepat sampai mencapai ambang batas daya dukungnya, dari tahun ke-1 sampai tahun ke-80 an. Pertumbuhan populasi akan melambat sesaat akan mencapai nilai daya dukungnya. Menurut Tarumingkeng (1994), pertumbuhan populasi satwaliar sebenarnya akan berfluktuasi di sekitar daya dukungnya apabila tidak ada bencana alam atau faktor lain yang berubah secara ekstrim. Untuk menjaga pertumbuhan populasi siamang maka pihak pengelola (Balai Besar KSDA Sumut) disarankan untuk terus melakukan pengamanan kawasan untuk mencegah kerusakan habitat, terutama akibat perambahan. b.2. Kajian Habitat dan Sebaran Populasi Kura-kura Leher Ular Rote (Chelodina mccordi Rhodin, 1994) Habitat dan Populasi Kura-Kura Leher Ular Rote Beberapa danau yang pernah menjadi habitat kura-kura leher ular di Kab. Rote Ndao, berdasarkan hasil wawancara dengan petugas Dinas Pertanian, Perkebunan dan Kehutanan serta masyarakat adalah: (1). Kec. Rote Tengah: D.Peto dan D.Manute; (2). Kec. Rote Selatan: D.Seda; (3). Kec. Lobalain: D.Holoama dan mata air Lelain; (4). Kec. Rote Barat Daya: D.Tua dan D.Ana; (5). Kec. Rote Barat Laut: D.Lenggu, D.Naluk: (6). Kec. Rote Barat: D Hela; (7). Kec. Rote Timur: D. Oendui, D.Oesuti dan D.Landu. Survei habitat dan populasi kura-kura leher ular Rote dilakukan pada 11 danau yang tersebar di Pulau Rote. Berdasarkan hasil inventa-risasi dan informasi dari masyarakat sekitar habitat kura-kura tersebut, dari kesebelas danau hanya 2 danau yang masih ada populasi kura-kura leher ular Rote, yaitu Danau Peto dan D. Ledulu. Namun total populasi yang masih ada belum diketahui secara pasti karena selama inventa-risasi baik dengan metode langsung berupa mengelilingi danau maupun dengan metode sensus tangkap lepas dengan memasang perangkap, tidak ditemukan perjumpaan langsung dengan kura-kura leher ular tersebut.
Sintesis 2010-2014
| 91
Vegetasi yang dominan pada empat danau (Danau Peto, Manute, Seda, dan Tua) adalah jenis kayu putih. Danau Ledulu didominasi oleh jenis pohon rawa seperti pandan hutan dan kedondong air. Danau Holoama, Lenggu, Feo dan Naluk sekitarnya didominasi oleh tanaman pertanian seperti kelapa. Sedangkan Danau Oendui dan Ina, di sekitarnya banyak pohon duri (Acacia nilotica). Sosek Masyarakat Terkait Kura-kura Leher Ular Rote Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelangkaan kura-kura leher ular disebabkan eksploitasi berlebihan yang dilakukan penduduk sekitar guna memperoleh keuntungan ekonomi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa partisispasi masyarakat dalam pelestarian kura-kura leher ular perlu ditingkatkan. Beberapa ke-lompok masyarakat sangat mendukung upaya pelestarian kura-kura tersebut. Sementara itu, sebagian masyarakat setempat tidak peduli ter-hadap upaya pelestarian tersebut. Upaya pelestarian kura-kura leher ular ditempuh dengan berbagai cara. Cara pertama adalah dengan me-larang eksploitasi kura-kura leher ular serta menghentikan perdagangannyadi Pulau Rote. Cara kedua adalah dengan melakukan penangkar-an terhadap kura-kura leher ular yang masih tersisa dan kemudian mengembalikan lagi anakan kura-kura tersebut ke habitat aslinya. Percobaan Pemberian Pakan Tingkat palatabilitas kura-kura leher ular Rote terhadap pakan yang diberikan adalah lele, ikan kembung, ikan cakalang dan udang, dengan rata-rata konsumsi pakan, berturut-turut: 10,7; 7,8; 5,3; dan 2,2 gram/ekor/hari. Hasil analisis proksimat pakan kura-kura leher ular Rote menunjukkan udang dan lele memiliki kandungan protein yang lebih tinggi dibandingkan dengan ikan cakalang dan kembung. Kesimpulan 1. Populasi kura-kura leher ular Rote walaupun masih ada tetapi sudah langka dan danau yang menjadi habitatnya sudah sangat terbatas. 2. Hasil survei sosek menunjukkan bahwa kelangkaan kura-kura leher ular disebabkan eksplotasi yang berlebihan. 3. Tingkat palatabilitas kura-kura leher ular Rote terhadap pakan yang diberikan berturut-turut adalah lele, ikan kembung, ikan cakalang dan udang. 4. Perlu penetapan sebagai kawasan yang dilindungi pada danau-danau yang habitatnya masih baik dan diduga masih ada populasi kura-kura leher ular Rote. 5. Perlu dibuat aturan yang lebih ketat untuk melindungi populasi kura-kura leher ular Rote dan habitatnya yang masih ada.
Sintesis 2010-2014
| 92
b.3. Analisis Preferensi Habitat Kakatua Sumba citrinocristata) di TN. Laiwangi Wanggameti.
(Cacatua
sulphurea
Untuk mengetahui apakah kakatua Sumba memiliki preferensi terhadap ketinggian tempat dilakukan uji chi-square (X2hit). Dari hasil penghitungan diketahui bahwa nilai X2hit> X2(0.005,k-1), yaitu 50,06 > 9,488 sehingga terdapat pemilihan ketinggian tempat oleh kakatua Sumba. Tabel 23. Nilai chi-square pemilihan ketinggian tempat oleh kakatua Sumba. Kelas ni=O ketinggian a p i (m dpl.) < 250 7.188,37 0,15 0 251 – 500 11.570,24 0,25 36 501 – 750 12.465,41 0,27 6 751 – 1000 12.369,08 0,26 19 1000 – 3.429,90 0 1250 0,07 Jumlah 47.014 61 1
ei=X nipi
(Oi – Ei)2/Ei
Oi – ei
9,33 -9,33 15,01 20,99 16,17 -10,17 16,05 2,95 4,45
X2(0.005,k-1)
9,33 29,34 6,40 0,54
-4,45
4,45
61
50,06
9,488
Keterangan: a=luas areal, p=proporsi luas areal, Oi=frekuensi kehadiran kakatua, ei=harapan frekuensi kehadiran kakatua Untuk mengetahui ketinggian tempat yang disukai kakatua Sumba selanjutnya dilakukan pengujian dengan menggunakan pendekatan metode Neu (indeks preferensi). Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa kakatua Sumba lebih menyukai lokasi dengan ketinggian tempat antara 201 – 400 m dpl. (Tabel 24). Tabel 24. Indeks Neu untuk preferensi kakatua Sumba berdasarkan ketinggian tempat Kelas a ketinggian (ha) (m dpl.) 0 – 200 7.188,37 201 – 400 11.570,24 401 – 600 12.465,41 601 – 800 12.369,08 801 – 1000 3.429,90 Jumlah 47.014
p 0,15 0,25 0,27 0,26 0,07 1
n
u
e
w
0 0 9,33 0 36 0,59 15,01 2,36 6 0,10 16,17 0,36 19 0,31 16,05 1,20 0 0 4,45 0 61 1 61 3,92
b 0 0,6 0,09 0,31 0 1
rangking 4 1 3 2 5
Keterangan : p=proporsi luas, n=frekuensi kehadiran kakatua, u=proporsi frekuensi kehadiran kakatua, e=nilai harapan. W=indeks preferensi, b=indeks preferensi yang distrandarkan. Untuk mengetahui apakah kakatua memiliki preferensi terhadap kelerengan tempat dilakukan uji chi-square (X2hit). Dari hasil penghitungan diketahui bahwa
Sintesis 2010-2014
| 93
nilai X2hit> X2(0.005,k-1), yaitu 236,57 > 12,592 sehingga terdapat pemilihan kelerengan tempat oleh kakatua Sumba. Tabel 25. Nilai chi-square pemilihan kelerengan tempat oleh kakatua Sumba Kelerengan tempat a ni= p (%) (ha) Oi 0 – 2 (datar) 29.775 0,63 1 2 – 8 (landai) 768 0,02 11 8 – 16 (miring) 3.975 0,08 3 16 – 25 (curam) 1.307 0,03 4 25 – 40 (agak terjal) 1.510 0,03 10 40 – 55 (terjal) 6.551 0,14 12 > 55 (sangat terjal) 3.182 0,07 20 Jumlah 47.014 1 61
ei=X nipi 38,63 1,00 5,16 1,70 1,96 8,50 4,13 61,07
Oi – Ei -37,63 10,00 -2,16 2,30 8,04 3,50 15,87 -0,07
(Oi – X2(0.005,kEi)2/Ei 1) 36,66 100,43 0,90 3,13 33,00 1,44 61,01 236,57 12,592
Keterangan: a=luas areal, p=proporsi luas areal, Oi=frekuensi kehadiran kakatua, Ei=harapan frekuensi kehadiran kakatua Untuk mengetahui hubungan antara frekuensi kehadiran kakatua dengan kelerengan dilakukan pengujian dengan menggunakan pendekatan metode Neu. Berdasarkan hasil penelitian dapat diketahui bahwa kakatua lebih menyukai daerahdaerah yang agak terjal, landai dan terjal (Tabel 26). Tabel 26.Indeks Neu untuk preferensi kakatua Sumba berdasarkan kelerengan tempat Kelerengan tempat (%) 0 – 2 (datar) 2 – 8 (landai) 8 – 16 (miring) 16 – 25 (curam) 25 – 40 (agak terjal) 40 – 55 (terjal) > 55 (sangat terjal) Jumlah
a (ha) 29.775 768 3.975 1.307 1.510 6.551 3.182 47.014
p
n
u
e
38,6 0,63 1 0,02 3 0,02 5 0,08 1,00 0,08 3 0,05 5,16 0,03 4 0,07 1,70 0,03 16 0,26 1,96 0,14 12 0,20 8,50 0,07 20 0,33 4,13 1 61
1
w
0,03 5,02 0,58 2,36 8,17 1,41 4,84 22,4 61 1
b
rangking
0,00 0,22 0,03 0,11 0,36 0,06 0,22
7 2 6 4 1 5 3
100
Keterangan : p=proporsi luas, n=frekuensi kehadiran kakatua, u=proporsi frekuensi kehadiran kakatua, e=nilai harapan. W=indeks preferensi, b=indeks preferensi yang distrandarkan Komponen habitat terdiri atas komponen fisik dan komponen. Komponen fisik dan invasi ini membentuk suatu yang dapat mengendalikan kehidupan satwaliar. Suatu habitat adalah hasil interaksi dari sejumlah komponen. Secara terperinci komponen fisik terdiri dari air, udara, iklim, topografi, tanah dan ruang. Komponen terdiri dari vegetasi, mikro dan makrofauna serta manusia (Alikodra, 1990).
Sintesis 2010-2014
| 94
Kakatua Sumba menempati wilayah yang memiliki ketinggian tempat beragam, mulai dari ketinggian 200 hingga 800 m dpl. Dari tiga lokasi tempat dilakukannya penelitian, kakatua Sumba terkonsentrasi pada ketinggian 200 – 400 m dpl. di lokasi Blok Hutan Billa. Faktor yang mempengaruhi frekuensi kehadiran kakatua pada habitat di TNLW adalah jarak dari aktivitas manusia, jumlah jenis pohon istirahat, jumlah jenis pohon sarang dan ketinggian lokasi. Hal ini mengindikasikan bahwa pada habitat yang memiliki jumlah jenis pakan yang banyak dan jauh dari aktifitas manusia maka ada kecenderungan semakin tinggi frekuensi kehadiran kakatua di lokasi tersebut. Blok Hutan Billa paling sering dikunjungi oleh kakatua kemudian Mahaniwa dan Praingkareha. Meskipun Praingkareha memiliki luas paling besar (6.477,56 ha) dibandingkan dengan Billa (826 ha) dan Mahaniwa (1.866,5 ha) Praingkareha kurang dikunjungi oleh kakatua. Hal ini diduga terkait jarak dengan aktivitas manusia yang sangat dekat. Diketahui bahwa Praingkareha dilalui oleh jalan aspal yang menghubungkan Desa Praingkareha dan Desa Wahang. Jalan tersebut menjadi satusatunya akses masyarakat. Terlebih lagi adanya pos per-istirahatan sejenak oleh angkutan truk di dekat plang kawasan tepatnya di samping mata air menyebabkan lokasi tersebut cukup ramai pada waktu-waktu tertentu, sehingga dapat mengganggu keberadaan kakatua. Berdasarkan pengamatan di lapangan kakatua biasanya tidak nya-man dengan kehadiran dan aktivitas manusia. Hal tersebut ditunjukkan melalui teriakan peringatan hingga terbang/kabur meninggalkan lokasi tempat di mana manusia berada. Namun ada sedikit perbedaan pada perjumpaan dengan dua ekor kakatua di Praingkareha, Kakatua tersebut tampak tenang bertengger istirahat di ranting pohon kahambi omang yang tepat terletak di atas jalan aspal yang membelah kawasan Blok Hutan Praingkareha. Bahkan saat truk penumpang lewat, burung tersebut tetap tenang bertengger di tempatnya tanpa merasa sedikit terganggu. Diduga hal tersebut terjadi karena kakatua tersebut sudah terbiasa dan beradaptasi dengan kondisi lingkungannya. Kesimpulan dan Rekomendasi Kesimpulan 1. Kehadiran kakatua pada suatu habitat sangat dipengaruhi oleh faktor fisik dan biotik habitat itu sendiri. Faktor dominan komponen habitat yang mempengaruhi frekuensi kehadiran kakatua pada suatu habitat yang disukai di TNLW adalah jumlah jenis pohon pakan, jumlah jenis pohon sarang, jumlah jenis pohon istirahat dan ketinggian tempat. 2. Habitat yang disukai oleh kakatua di TNLW adalah habitat yang memiliki jumlah jenis pohon pakan, sarang dan istirahat terbanyak, jauh dari aktivitas manusia dan
Sintesis 2010-2014
| 95
memiliki kelerengan agak curam. Komponen habitat yang dapat mendukung kehadiran kakatua adalah ketinggian tempat berkisar antara 251 – 500 m dpl. Rekomendasi 1. Lokasi yang disukai kakatua serta daerah yang berdekatan dengan lokasi tersebut dijadikan zona inti alam pengelolaan di TNLW. 2. Perlu dilakukan pengelolaan habitat dengan cara menanam pohon-pohon pakan, sarang dan istirahat pada lokasi-lokasi yang tidak disukai oleh kakatua pada kisaran ketinggian 251 – 500 m dpl. b.4. Kajian Ekologi dan Teknik Konservasi Trenggiling (Manis javanica Desmarest. 1822) Pada Hutan Konservasi di Sumatra Utara Penurunan populasi trenggiling yang cepat mengakibatkan IUCN Red List of Threatened Species (2008) meningkatkan status konservasi trenggiling menjadi endangered (terancam punah). Trenggiling banyak diburu karena daging dan sisiknya dapat dipergunakan sebagai bahan baku kosmetik, hiasan, obat-obatan dan shabu (narkoba). Pada beberapa daerah lidah trenggiling dipercayai dapat digunakan untuk penglaris. Pemanfaatan trenggiling yang tinggi membutuhkan upaya konservasi agar populasi trenggiling dapat berkembang dengan baik dan menahan laju kepunahan secara alami. Penelitian ini (tahun 2012-2014) bertujuan untuk mendapatkan informasi ilmiah mengenai kondisi ekologi dan teknik konservasi insitu trenggiling pada kawasan konservasi di Sumatera Utara. Sasaran penelitian pada Tahun 2012 adalah tersedianya informasi komponen habitat (vegetasi, suhu, kelembaban dan pH tanah) pada habitat trenggiling (habitat used dan unused), pemilihan tipe habitat yang paling disukai oleh trenggiling dan variabel sumberdaya yang paling mempengaruhi peluang kehadiran (penempatan sarang) oleh trenggiling di Suka Margasatwa Siranggas. Rancangan pemilihan lokasi penelitian dilakukan secara stratifikasi berdasarkan perbedaan tipe asosiasi vegetasi/tipe habitat dan sehingga mewakili beberapa kondisi habitat trenggiling. Pada setiap tipe habitat dibuat garis transek (line transect) sepanjang 1 km yang ditempatkan secara acak (random sampling). Di dalam transek dibuat plot pengukuran pemilihan tipe dan komponen habitat berbentuk bujur sangkar/square dengan ukuran 50 m x 50 m. Jumlah plot pada setiap tipe habitat sebanyak 7 plot (luas total 1,75 ha). Selanjutnya, pada plot pemilihan tipe habitat dibuat plot pengukuran komponen habitat dengani pembuatan plot analisis vegetasi menggunakan metode garis berpetak (strip transect method) merujuk Kusmana (1997). Used plot ditentukan secara search samping method (Morrison et al., 2001) berdasarkan penemuan lubang dan unused plot diletakan secara sistematik dengan jarak 100 meter. Pengukuran komponen fisik menggunakan alat ukur, seperti termo-
Sintesis 2010-2014
| 96
hygrometer dan soil tester dan komponen spesifik (jumlah lubang semut) dilakukan pada plot 1 m x 1 m dengan titik tengah plot adalah lokasi lubang. Variabel komponen habitat/sumberdaya untuk penentuan pemilihan site yang diamati adalah adalah jumlah jenis tumbuhan pada tingkat pohon (X1), tingkat tiang (X2), tingkat pancang (X3) dan tingkat semai dan tumbuhan bawah (X4), luas total bidang dasar pada tingkat pohon (X5) dan tingkat tiang (X6), kerapatan jenis pada tingkat pohon (X7), tingkat tiang (X8), tingkat pancang (X9) dan tingkat semai dan tumbuhan bawah (X10), suhu udara (X11), kelembaban udara (X12), pH tanah (X13) dan sumber pakan, seperti sarang semut dan/atau serangga (X14). Analisis data yang digunakan diantaranya adalah indeks keanekaragaman jenis Shannon (Ludwig dan Reynolds, 1988), analisis deskriptif statistik untuk semua variabel komponen habitat, analisis MANOVA, uji normalitas data, uji korelasi dan regresi logistik. Lokasi plot penelitian pada tipe habitat hutan primer secara geografis terletak sekitar koordinat 98° 14' 8,3" Bujur Timur dan 02° 34' 16.2" Lintang Utara sampai dengan 98° 14' 9.8" Bujur Timur dan 02° 34' 45.1" Lintang Utara dengan ketinggian antara 900 – 1.000 m dpl. Tipe habitat hutan pada 98° 17' 56,4" BT dan 02° 34' 15,5" LU sampai dengan 98° 17' 56,3" BT dan 02° 34' 27.3" LU dan 98° 18' 16,5" BT dan 02° 34' 16,6" LU sampai dengan 98° 18' 13,9" BT dan 02° 34' 32.9" LU dengan ketinggian antara 1.000 – 1.150 m dpl. Tipe habitat hutan campuran pada 98° 12' 51,0" BT dan 02° 34' 23,8" LU sampai dengan 98° 13' 19.7" BT dan 02° 34' 20,5" LU dengan ketinggian antara 520-650 m dpl. Tipe lahan perkebunan masyarakat pada 98° 15' 5.5" BT dan 02° 36' 8.6" LU sampai dengan 98° 14' 29.2" BT dan 02° 36' 7.4" LU dengan ketinggian 650 – 700 meter dpl. Komponen habitat biotik dari seluruh plot penelitian (42 plot) memiliki nilai rata-rata adalah untuk jenis dan jumlah tumbuhan pada tingkat semai dan tumbuhan bawah adalah 6,1±2,2 jenis/4m2 atau 15,8 individu/4m2, tingkat pancang 3,7±1,5 jenis/25m2 atau 6,3 individu/25m2, tingkat tiang 4,1±2,0 jenis/100m2 atau 5,3 individu/100m2 dan tingkat pohon 4,4±2,5 jenis/400m2 atau 6,6 individu/400m2. Rata-rata nilai komponen fisik adalah suhu 27,9°± 3,3 C, kelembaban udara 76,8 ± 13,8 % dan pH tanah sebesar 6,5±0,3. Jenis tumbuhan yang mendominasi diantaranya adalah kemenyan toba (Styrax paralleloneurus Perk), hoting batu (Quercus maingayi Bakh), hau dolok baringin (Syzygium acuminatum Miq.) dan meranti batu (Shorea acuminata Dyer). Komponen habitat yang menunjukan perbedaan antara used plot (plot yang ditemukan lubang trenggiling) dengan availability plot (plot yang tersedia) diantaranya adalah jenis dan jumlah tumbuhan pada tingkat semai dan tumbuhan bawah, luas bidang dasar (Lbds) pada tingkat pohon dan kelembaban udara Tipe habitat trenggiling di dan sekitar SM. Siranggas sedikitnya meliputi tipe hutan primer, tipe hutan sekunder, tipe hutan campuran dan kebun/lahan olahan.
Sintesis 2010-2014
| 97
Hasil uji MANOVA keempat tipe tersebut menunjukan karakteristik komponen habitat biotik yang berbeda. Proporsi penggunaan habitat tertinggi adalah pada tipe hutan sekunder dengan nilai proporsi sebesar 35,71%, kemudian hutan campuran sebesar 28,27% dan terendah hutan primer sebesar 14,29%. Hasil analisis ini menunjukkan bahwa tipe habitat hutan sekunder dan hutan campuran merupakan tipe habitat yang paling banyak digunakan oleh trenggiling di sekitar SM. Siranggas. Tingginya penggunaan habitat pada hutan sekunder dimungkinkan karena kondisi suhu tanah sedang (tidak terlalu panas seperti pada lahan olahan dan tidak terlalu lembab seperti pada hutan primer) sehingga memberi kenyamanan untuk bersarang bagi trenggiling. Trenggiling tidak memilih habitat tertentu untuk mencari makan atau menempatkan sarang dan cenderung menggunakan seluruh tipe habitat untuk hidup (uji Chi-square menyimpulkan nilai χ2 hitung < χ2 (0.01;k-1). Hal ini terlihat dari hasil pengamatan yang menunjukan bahwa lubang/sarang trenggiling hampir secara merata ditemukan pada setiap tipe habitat. Kondisi ini sangat mungkin terjadi karena trenggiling sebagai satwa pemakan serangga akan cenderung menyebar mengikuti sumber pakannya. Serangga, seperti semut dan jangkrik secara umum dapat ditemukan dan hidup pada setiap tipe lahan, mulai dari area terbuka, semak belukar sampai hutan yang masih primer. Selanjutnya, berdasarkan uji indeks preferensi (indeks kesukaan) dengan menggunakan metode Neu menunjukan bahwa rasio seleksi (wi) dan indeks standar seleksi (Bi) yang nilainnya >1 adalah pada tipe hutan sekunder (wi= 1,429; Bi= 0,357) dan hutan campuran (wi= 1,143; Bi= 0,286). Hal ini berarti bahwa kedua tipe habitat tersebut merupakan lokasi yang memiliki peluang paling tinggi untuk dipilih oleh trenggiling sebagai habitat untuk mencari makan dan tinggal. Habitat hutan sekunder dan hutan campuran lebih disukai dimungkinkan karena kondisi jumlah dan kerapatan tumbuhan, terutama pada tingkat semai dan tumbuhan bawah relatif jarang bila dibandingkan dengan tipe lainnya. Kondisi ini diduga akan memudahkan trenggiling untuk mendeteksi atau mencari keberadaan lubang semut pada lantai hutan yang lebih terbuka. Tipe habitat lainnya, hutan primer dan kebun masyarakat cenderung dihindari oleh trenggiling (tidak disukai). Untuk mengetahui fungsi pemilihan sumber daya (resources selection function/RSF) oleh trenggiling digunakan uji regresi logistik. Hasil step terakhir (step ke-3) dari forward stepwise menunjukan terdapat tiga variabel bebas yang paling berpengaruh terhadap nilai Y (ada dan tidak adanya sarang), yaitu X1 (Jumlah jenis tumbuhan pada tingkat semai dan tumbuhan bawah), X13 (pH tanah) dan X15 (Jumlah lubang semut pada kategori sedang). Namun dari tiga variabel ternyata yang signifikan (nilai Sig < 0.05) adalah hanya variabel X1 dan X13. Variabel yang tidak signifikan (X15) kemudian dikeluarkan dalam penyusunan model karena pengaruhnya akan sangat kecil terhadap perubahan variabel terikat/kehadiran
Sintesis 2010-2014
| 98
trenggiling (Y). Model RSF (resources selection function/RSF) trenggiling dengan nilai Nagelkerke R2 sebesar 83,5% yang terbentuk adalah : 𝜋(𝑥) =
exp(−63,879 + 2,160𝑋1 + 11,731 𝑋13) 1 + exp(−63,879 + 2,160𝑋1 + 11,731 𝑋13)
dimana : π(x)
=
X1 X13
= =
peluang kehadiran trenggiling dalam penempatan pakan/sarang. Jumlah jenis tingkat semai dan tumbuhan bawah pH tanah
lubang
Dari model RSF yang tersusun dapat disimpulkan bahwa semakin berkurang jenis atau jumlah tingkat semai dan tumbuhan bawah dengan kondisi tanah normal dan sedikit basa akan meningkatkan peluang trenggiling untuk membuat lubang (pakan maupun sarang). Pada kodisi lantai hutan yang relatif bersih memungkinkan trenggiling lebih mudah untuk mencari dan mendeteksi keberadaan atau lubang semut. Selain itu, dimungkinkan juga untuk menghemat energi karena tidak perlu terlebih dahulu membersihkan tumbuhan dalam membuat lubang. Sebaran dan jumlah pakan/keberadaan lubang semut (X15) tidak berpengaruh secara signifikan karena keberadaan semut dan serangga sebagai makanan utama trenggiling hampir menyebar secara merata pada lantai hutan. Keadaan pakan yang masih melimpah dan trenggiling mampu hidup pada berbagai tipe hutan (tidak ada pemilihan tipe habitat) mengakibatkan variabel pakan tidak begitu berpengaruh terhadap kehadiran trenggiling/pembuatan lubang. Simulasi model RSF selanjutnya dilakukan terhadap nilai variabel habitat terpilih, yaitu X1 dan X13 yang dimisalkan dalam jumlah tertentu antara selang 1 sampai dengan 7. Penetapan angka tersebut berdasarkan hasil pengamatan sebenarnya yang ditemukan pada plot penelitian. Hasil simulasi disajikan pada Gambar 40 dibawah ini.
P e l u a n g
1,1 1,0 k 0,9 0,8 e 0,7 h 0,6 0,5 a n 0,4 0,3 d 0,2 i 0,1 0,0 r a
1 pH=6.0
2
3
4
5
6
7
Jumlah jenis semai dan tumbuhan bawah pH=6.2 pH=6.4 pH=6.6 pH=6.8
8
9 pH=7.0
Gambar 40. Peluang kehadiran trenggiling tertinggi berdasarkan jumlah jenis tingkat semai dan tumbuhan bawah
Sintesis 2010-2014
| 99
Berdasarkan hasil simulasi menunjukan bahwa semakin sedikit jumlah jenis semai dan tumbuhan bawah dengan pH tanah mendekati 7,0 (netral) maka peluang kehadiran trenggiling (mencari makan dan/atau bersarang) sangat tinggi. Semakin banyak jumlah jenis tumbuhan bawah dengan pH tanah menjauh dari netral maka peluang kehadiran akan semakin rendah. Sebagai contoh, pada kondisi pH tanah = 6,0 dengan jumlah jenis semai dan tumbuhan bawah hanya ada 1 jenis (luasan plot = 4 m2) maka peluang kehadiran sebesar 0,98. Akan tetapi jika jenis tumbuhan bawah bertambah satu maka peluang kehadiran menurun menjadi 0,89. Hasil simulasi ini semakin memberikan gambaran bahwa habitat yang disukai oleh trenggiling adalah kondisi dengan jenis atau jumlah semai dan tumbuhan bawah yang rendah dan pH tanah mendekati netral (pH tanah=7). C. Teknik Reproduksi Jenis-Jenis Fauna Langka dan Terancam Punah dan/atau Bernilai Ekonomi c.1. Teknologi Penangkaran Rusa Timor Sistem Penangkaran Secara umum ada tiga penangkaran rusa, yaitu terkurung (kandang), semi terkurung (mini ranch), dan bebas (ranch). Namun penetapan penangkaran, tergantung pada ketersediaan dana atau biaya, luas lahan dan tenaga kerja. Penangkaran dengan terkurung merupakan pedok intensif yang dapat dilakukan pada lahan seluas kurang dari 250 m2 dengan kepadatan 1 jantan dan 4 betina. Sistem semi terkurung merupakan pedok intensif dengan luas lahan sampai 1 ha yang terdiri dari 1-2 jantan dewasa dan 4-5 betina dewasa serta beberapa individu remaja dan anak (total 12 individu). Penangkaran dengan bebas merupakan pedok ekstensif dengan luas lahan sekitar 1-5 ha atau lebih dengan kepadatan 12 individu/ha. Penangkaran rusa timor yang dilakukan di Pusat Pengembangan Penangkaran Rusa di Hutan Penelitian Dramaga Bogor, menggunakan terkurung atau kandang. Sistem terkurung dilakukan dengan cara rusa dipelihara pada suatu areal yang dikelilingi pagar dan pakan diberikan dari luar dengan cara pengaritan (cut and carry). Persyaratan Penangkaran Rusa Beberapa persyaratan yang perlu diperhatikan dalam penetapan lokasi penangkaran rusa baik pada kandang, semi tertutup maupun bebas antara lain: lokasi berada di luar kawasan, terletak di tempat yang tenang, dan aman dari gangguan, mudah dicapai baik pada musim kemarau maupun musim hujan, tersedia air yang banyak sepanjang tahun untuk keperluan minum, pembersihan kandang, penyiraman pakan, maupun untuk berkubang, topografi rata sampai bergelombang ringan, luas lahan minimal 0,5 ha (untuk tertutup), terisolasi dari pengaruh binatang atau ternak lain, permukaan tanah bertekstur halus, bukan batu karang yang tajam atau kasar, tersedia beberapa pohon peneduh atau saung karena rusa memerlukan tempat untuk
Sintesis 2010-2014
| 100
berteduh dan berlindung dari panas atau hujan, serta mudah mendapatkan hijauan yang dapat digunakan sebagai pakan. Sarana dan Prasarana Perkandangan Kandang Kandang berfungsi sebagai tempat berlindung dari hujan, panas, predator; tempat berteduh atau beristirahat, tempat berkembangbiak, tempat makan atau minum, tempat perawatan bagi rusa yang sakit dan pengontrolan. Kandang sebaiknya disekat sesuai dengan status fisiologi rusa, diberi pintu, agar mudah dalam penanganan sehari-hari baik dalam pemberian pakan, mudah dalam penangkapan untuk penimbangan dan pengukuran, mudah dalam pemberian tanda, pemeriksaan kesehatan, mudah dalam perawatan rusa yang sakit, dan karantina bagi rusa yang baru. Pagar Pagar sebaiknya dibuat sekeliling areal penangkaran. Bahan terdiri dari tiang pagar (besi siku, beton atau pagar hidup) dan kawat ram dan kawat duri. Tinggi tiang pagar minimum 2,5 m dari permukaan tanah, ditanam 50–75 cm dengan pondasi beton dan jarak antar tiang pagar 2 m. Ujung bagian atas tiang pagar, dibengkokkan sepanjang 0,5 m dan diberi kawat duri sebanyak 3–4 baris. Tinggi tiang pohon hidup 2,5 m dari permukaan tanah, diameter minimum 10 cm dan ditanam dengan kedalaman 50–75 cm serta pohon hidup ditanam di antara tiang pagar beton/besi.
Gambar 41. Sistem kandang di Hutan Penelitian Dramaga, Bogor
Sintesis 2010-2014
| 101
Gambar 42. Sistem Mini Ranch di NTT dan Taman Safari Indonesia, Bogor
Gambar 43. Sistem Ranch di Jonggol, Cariu, Bogor dan Ranca Upas, Bandung
Gambar 44. Sketsa kandang rusa.
Sintesis 2010-2014
| 102
Bangunan Peneduh Bangunan peneduh terdiri dari atap yang terbuat dari alang-alang atau rumbia, atau genteng atau seng atau terpal. Bangunan peneduh berfungsi sebagai tempat berteduh pada saat hujan atau panas dan sebaiknya dalam sebuah kandang, terdapat sebuah bangunan peneduh.
Gambar 45. Bangunan peneduh pada sistem terkurung di HP Dramaga, Bogor Tempat Makan dan Minum Tempat makan terbuat dari kayu atau papan yang berbentuk palungan sepanjang 1,5–2,0 m atau berbentuk bulat segi 6 sepanjang 50–75 cm. Sedangkan tempat minum berbentuk kolam atau dari ember atau bak yang dibenamkan ke dalam tanah. Setiap kandang terdapat satu tempat makan dan satu tempat minum (Gambar 46). Kandang Jepit Kandang jepit berbentuk:kotak persegi dengan ukuran 200x100x200 cm (Gambar 47). Bahan kandang jepit terdiri dari rangka besi pipa berukuran 1.5” dan 1” dan rangka dinding terbuat dari besi behel 6 mm, dinding dan alas jepit dari plywood 20 mm serta tiang jepit dari balok pinus 5 x 10 cm. Sistem kerja dari kandang jepit merupakan perangkap jepit yang beralas lepas. Kandang jepit berfungsi dalam penimbangan bobot badan rusa, pemotongan velvet dan ranggah serta pemasangan tagging. 3
Jalan Kontrol dan Saluran Air Jalan berfungsi untuk pengontrolan dan pemberian pakan terletak di sepanjang pinggir kandang selebar 1,5–2,0 m. Air diperlukan untuk mengairi pakan, pemeliharaan kandang dan untuk minum sehingga diperlukan bak penampung dan menara air.
Sintesis 2010-2014
| 103
Gambar 46. Tempat makan dan minum pada sistem terkurung dan Sistem Ranch
Gambar 47. Model kandang jepit di Hutan Penelitian Dramaga Gudang dan Peralatan Gudang digunakan untuk menyimpan peralatan dan bahan-bahan perlengkapan penangkaran. Peralatan yang dibutuhkan adalah tim-bangan, generator, perlengkapan kandang, pemeliharaan pakan seperti dedak padi dan obat-obatan. Teknik Pemeliharaan Rusa di Penangkaran Pengelompokan Rusa Pengelompokan rusa bermanfaat untuk memudahkan dalam pem-berian pakan sesuai kebutuhan, memudahkan dalam pengaturan perkawinan, menghindari perkawinan sedarah (in breeding), menjaga pejantan agar tidak mengganggu rusa yang lain, keamanan bagi induk yang bunting dalam proses kelahiran, ketenangan bagi induk yang menyusui dalam merawat anak, menghindari perkawinan sebelum waktunya, memperoleh kesempatan makan bagi rusa yang baru disapih, memudahkan penanganan bagi rusa yang sakit serta memu-dahkan pemeliharaan bagi rusa yang baru agar cepat beradaptasi. Teknik pengelompokkan rusa didasarkan atas status fisiologi, yaitu jantan dan betina yang telah siap kawin, jantan yang belum siap kawin (baru disapih), betina yang belum siap kawin (baru disapih), betina yang sedang bunting, betina yang melahirkan, rusa yang sakit dan rusa yang baru dari lokasi lain.
Sintesis 2010-2014
| 104
Penyapihan Anak Rusa Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penyapihan anak rusa adalah induk disatukan dengan anaknya sampai berumur 4 bulan agar anak rusa mendapat air susu lebih banyak; penyapihan sebelum berumur 4 bulan khususnya pada anak rusa yang ditinggal mati oleh induknya, diperlukan penambahan air susu dari luar; setelah disapih pemeliharaan tetap terpisah antara jantan dan betina untuk menghindari kemungkinan terjadi perkawinan lebih awal. Perbandingan antara anak rusa yang disapih pada umur 4 bulan dan sebelum berumur 4 bulan, adalah: Tabel 27. Rata-rata bobot badan anak rusa pada umur penyapihan.
No. 1. 2.
Jenis Kelamin Jantan Betina
Rata-rata bobot badan pada umur penyapihan Sebelum 4 bulan (kg) 4 bulan (kg) 11,1 17,35 10,1 16,15
Sumber: Takandjandji, 1993 Kesehatan Kematian rusa timor di penangkaran dengan kandang lebih banyak terjadi pada musim hujan. Penyakit yang sering menyerang pada mu-sim hujan adalah pneumonia (radang paru-paru) sebagai akibat kandang yang becek dan lembab. Kematian pada rusa dewasa disebab-kan oleh makanan, lingkungan dan stress akibat penanganan yang kurang pas. Upaya pencegahan dan pemberantasan hama dan penyakit pada rusa timor, dilakukan beberapa kegiatan, antara lain sanitasi lingkung-an kandang, pemberian pakan yang memenuhi standar gizi yang dibutuhkan rusa, memperbaiki teknik penanganan dan vaksinasi secara rutin (3 bulan sekali) sesuai anjuran medis dengan menggunakan Clostridial dan Leptospiral. Penandaan atau pemberian nomor Penandaan dengan cara pemberian nomor merupakan hal penting di dalam manajemen penangkaran rusa.Penandaan sebaiknya dilaku-kan sebelum anak rusa disapih.Tujuan penandaan atau pemberian no-mor, adalah untuk mengetahui silsilah (pedigree), mengetahui umur, untuk memudahkan dalam pengontrolan dan pengenalan individu serta memudahkan pengaturan perkawinan. Cara pemberian nomor pada rusa adalah dengan membeli nomor telinga (ear tag) yang dijual di poultry shop. Nomor dipasang di teli-nga rusa dengan menggunakan tang yang telah disiapkan dan dipasang di sebelah kanan untuk jantan dan kiri untuk betina. Nomor tersebut memberikan tanda registrasi pada rusa, misalnya DMG-M-2-010709-1. Huruf pertama menunjukkan kode lokasi tempat
Sintesis 2010-2014
| 105
kelahiran rusa yaitu Dramaga. Huruf kedua menunjukkan jenis kelamin rusa yaitu jantan (male) dan betina (female). Angka 2 berarti jantan kedua dari hasil penangkaran di Dramaga. Angka 010709 berarti rusa lahir tanggal 1 bulan Juli tahun 2009 dan merupakan anak pertama.
Gambar 48. Bahan dan alat tagging (pemberian nomor telinga) pada rusa Teknik Pemeliharaan Pagar dan Kandang Pemeriksaan dan pemeliharaan pagar harus dilakukan secara ter-atur agar rusa tidak ke luar kandang karena kerusakan pagar. Kerusak-an pagar sering terjadi pada saat musim kawin, karena adanya perkelahian antar pejantan. Lingkungan dan ventilasi dalam kandang harus tetap terjaga agar tidak lembab terutama pada saat musim hujan karena rusa timor terutama pada anak yang belum disapih tidak tahan terhadap kondisi yang lembab. Teknik Pemeliharaan Pakan Pemeliharaan pakan harus sering dilakukan agar memperoleh pakan yang baik secara kualitas maupun kuantitas serta selalu tersedia secara kontinyu sepanjang tahun. Pemeliharaan terhadap pakan dilakukan dengan cara pembersihan, pengolahan tanah, pemupukan, pendangiran, dan penyiraman terutama pada musim kemarau panjang. Pembersihan rumput liar dan pendangiran dilakukan 3 bulan sekali, pengolahan tanah dan pemupukan dilakukan 1 tahun sekali. Teknik Pemberian Pakan Pakan segar diberikan berdasarkan bobot badan rusa, dengan perhitungan 10% x bobot badan x 2. Maksud dikalikan 2 yaitu diperhi-tungkan dengan jumlah hijauan yang tidak dimakan karena sudah tua, tidak disenangi atau tidak palatable, kotor karena terinjak-injak, dan telah bercampur dengan urine dan faeces. Pemberian pakan sebaiknya disertai dengan pemberian garam sebagai perangsang nafsu makan dan untuk memenuhi kebutuhan mineral. Pemberian pakan dilakukan de-ngan cara pengaritan (hijauan dipotong) baik pada musim hujan mau-pun musim kemarau, tergantung penangkaran.Frekuensi pemberian pakan sebanyak 2 atau 3 kali dalam sehari (pagi, siang dan sore) dengan jumlah pemberian pada sore hari yang lebih banyak karena rusa termasuk satwa yang memamahbiak. Pemberian pakan tambahan berupa dedak padi diberikan 3 kali dalam seminggu, sebanyak 0,5 kg per individu. Pemberian pakan bagi rusa yang sedang bunting, harus lebih intensif baik kualitas maupun kuantitas karena peranan makanan sangat penting untuk pertumbuhan janin
Sintesis 2010-2014
| 106
di dalam rahim dan juga berguna untuk mempertahankan kondisi tubuh induk. Pemberian pakan pada anak rusa, dimulai pada umur 2 minggu dengan cara memberikan hijauan muda (pucuk) yang dipotong kecil-kecil.Jenis pakan rusa terdiri dari jenis rerumputan, hijauan dan dedaunan serta makanan penguat berupa dedak padi (Tabel 28). Tabel 28. Jenis pakan rusa Timor di penangkaran NTT Jenis Pakan Rusa Timor di Penangkaran Nama Lokal/Daerah Nama Latin Famili 1. Rumput Gajah Pennisetum purpureum Graminae/Poaceae 2. Rumput Raja Pennisetum Graminae/Poaceae purpuphoides 3. Rumput Setaria Setaria sphacelata Graminae/Poaceae 4. Rumput Hamil Panicum maximum Graminae/Poaceae 5. Turi Sesbania grandiflora Leguminosae 6. Lamtoro Leucaena leucephalla Leguminosae 7. Kabesak Acacia leucophloea Leguminosae 8. Beringin Ficus benjamina Moraceae 9. Name (nama NTT) Pipturus argenteus Urticaceae 10. Busi (nama NTT) Melochia umbellata Sterculiaceae 11. Rumput Lapangan 12. Dedak Padi No.
Sumber: Takandjandji, 1994 Sedangkan jenis pakan yang diberikan pada rusa timor di penangkaran HP Dramaga, Bogor adalah rumput gajah (Pennisetum purpureum Scumacher), hanjeli (Coix lacryma jobi L.), sulanjana (Hierochloe horsfieldii Kunth Maxim) dan gewor (Comellina nudiflora L.), alang-alang muda (Imperata), sorgum (Sorghum spp.), kaliandra (Calliandra sp.) dan padi-padian (Pennisetum spp.).
Gambar 49. Beberapa jenis pakan rusa Timor di HP Dramaga Sintesis 2010-2014
| 107
Air bersih harus selalu tersedia di dalam kandang yang digunakan untuk minum dan berkubang karena pada musim kawin, rusa jantan sangat menyenangi air sebagai tempat berkubang sambil meraung-raung dan mengejar sang betina. Teknik Reproduksi Reproduksi adalah suatu proses biologi yang terjadi antara jantan dan betina dengan tujuan untuk membentuk satu individu baru di dalam kehidupannya. Secara ideal, perbandingan antara jantan dan betina di dalam penangkaran adalah 1 : 4-5 (poligamus). Berahi pada rusa betina menandakan bahwa betina telah mengalami dewasa kela-min dan bersedia menerima pejantan dalam perkawinan. Berahi terjadi bersamaan dengan pengeluaran sel telur dari kandung telur (ovulasi) di mana terjadi pertemuan antara sel telur dengan sel kelamin jantan dalam proses pembuahan untuk pembentukan suatu makhluk baru. Tanda-tanda berahi pada betina adalah nafsu makan berkurang, tidak tenang, berdiri tenang apabila dinaiki sang jantan atau betina, sering kencing, mencium dan menjilat alat kelamin jantan, vulva (alat kelamin betina paling luar) terlihat membengkak, berwarna merah dan apabila dipegang terasa hangat. Tanda-tanda berahi pada jantan adalah sering meraung, berkubang, menancapkan ranggah ke tanah atau pohon atau kawat, bahkan sering mencium dan membaui urine yang dikeluarkan rusa betina sambil menjulurkan lidah.Lama berahi diamati mulai dari permulaan timbulnya keinginan untuk kawin hingga saat terakhir. Pubertas (dewasa kelamin) pada jantan ditandai oleh kesanggupan berkopulasi (kawin) dan menghasilkan sperma, di samping perubahan-perubahan kelamin sekunder lain. Pubertas pada betina ditandai oleh terjadinya estrus, ovulasi dan dapat berreproduksi atau menghasilkan keturunan walaupun sebenarnya belum mencapai ukuran bobot badan dewasa. Dewasa kelamin (pubertas) terjadi sebelum dewasa tubuh. Perkawinan pertama yang tepat pada rusa betina dara dilakukan beberapa bulan setelah mencapai dewasa kelamin (pubertas). Apabila perkawinan dilakukan pada saat pubertas,induknya akan sulit mela-hirkan bahkan anak yang dilahirkan cenderung lemah, kurang sehat, bobot lahir rendah dan pertumbuhan induknya akan kerdil karena organ-organ reproduksi belum berkembang secara sempurna. Perkawinan pada rusa ditunjukkan oleh adanya musim kawin yang jelas. Rusa yang masih produktif, perkawinannya sebaiknya dilakukan pada saat betina sedang berahi. Permulaan pembuahan pada rusa sulit diketahui, sehingga yang dijadikan tolok ukur dalam menentukan kebuntingan adalah perilaku setelah terjadi perkawinan di mana terlihat rusa betina lebih tenang, perut sebelah kanan membesar, susu (ambing) menurun, dan selalu menolak atau menghindar apabila didekati oleh jantan. Aktivitas kelahiran (partus) terdiri dari 3 tahap yakni kontraksi uterus, pengeluaran anak (foetus) dan pengeluaran placenta. Rusa timor termasuk dalam golongan beranak tunggal.
Sintesis 2010-2014
| 108
Hasil penelitian Takandjandji (1993) terhadap rusa timor di penangkaran memperoleh data fisiologis, yaitu: lama berahi 2,25 hari dengan siklus berahi 20,25 hari, umur pubertas pada rusa jantan 8 bulan, betina 8,13 bulan, umur yang tepat bagi betina dara untuk dikawinkan 15,25 bulan, dan jantan 12,67 bulan, lama kawin (kopulasi) 2,33 detik, frekuensi kawin 2,14 kali/hari, lama bunting 8,38 bulan, umur kebuntingan pertama 17,00 bulan, musim melahirkan pada bulan September, umur beranak pertama 25,50 bulan, interval kelahiran I dan II 13,25 bulan dan anak rusa disapih pada umur 4,00 bulan. Keberhasilan aspek reproduksi pada rusa timor di HP Dramaga diindikasikan dengan angka konsepsi yang berlanjut dengan kebun-tingan dan angka kelahiran hidup dari akhir kebuntingan tersebut. Hasil penelitian Setio, et al (2010) tentang reproduksi terkait dengan indikasi masa bunting dan partus menunjukan bahwa selama masa pengasuhan anak (termasuk menyusui), pola reproduksi tetap berlangsung (masa estrus/berahi, konsepsi/perkawinan dan kebuntingan). Interval waktu melahirkan tercatat 356 hari sedangkan menurut Toelihere, et al (2005) masa bunting pada rusa timor antara 248-285 hari (8-9 bulan). Hasil pengamatan Setio, et al (2010) di penangkaran rusa timor di HP Dramaga, Bogor menyatakan bahwa berahi pertama 63-85 hari setelah melahirkan, kedekatan betina terhadap jantan terjadi 2-3 hari selama masa berahi, nafsu makan induk betina lebih tinggi selama bunting dan 1-2 hari menjelang melahirkan, gerakan janin pada induk betina yang sedang bunting umumnya mulai terlihat setelah umur kebuntingan 6 bulan (perut sebelah kanan) dan deteksi bulan partus terlihat dari perkembangan puting dan ambing (2-3 bulan sebelum partus). Sedangkan deteksi hari partus (1-2 hari), antara lain terlihat dari ruang pelvis melebar, vulva memerah dan membengkak (kadang keluar cairan mukosa dan sedikit terbuka), ambing besar dan padat berwarna putih kemerahan (kadang terlihat pembuluh darah vena). Deteksi jam partus (1-3 jam sebelumnya), antara lain dapat dilihat pada Gambar 50 dengan posisi rebah badan pada satu sisi dengan kaki depan dan/atau belakang direntangkan, posisi rebah-berdiri terjadi berulang kali pada waktu yang berdekatan, perejanan beberapa kali (berdiri atau berbaring satu sisi), sering menjilati bagian vulva dan anus, dan kontraksi otot defekasi (perejanan) 2-5 menit sekali dengan ekor diangkat ke atas (Setio, et al, 2010).
Gambar 50. Perkembangan puting dan ambing susu pada rusa betina sebagai deteksi bulan melahirkan (sumber foto: Setio, 2010) Sintesis 2010-2014
| 109
Hasil penelitian Setio, et al (2010), kondisi pada saat partus (Gambar 51), antara lain kantung ketuban dapat pecah di dalam atau di luar ruang pelvis (gelembung krem pucat atau berdarah dan transparan keluar dari vulva), induk berusaha memecahkan kantung ketuban yang keluar dari vulva untuk memudahkan proses keluar anak (lahir), posisi partus anak dimulai dari kaki depan kemudian kepala, selanjutnya badan dan jatuh ke lantai kandang.
Gambar 51. Perkembangan kantung ketuban dan perilaku induk betina pada masa melahirkan (sumber foto: Setio, 2010) Perilaku pasca partus (Gambar 52) adalah induk betina menjilati seluruh tubuh anak dan memakan bekas kantung ketuban, cairan ketuban dan plasenta, anak menyusu pada induk untuk mendapatkan kolostrum (air susu pertama yang baru keluar dan mengandung antibody).
Gambar 52. Perilaku induk betina dan anak yang menyusu pada masa pasca melahirkan (sumber foto: Setio, 2010) Teknik Pemindahan (Transfering) Penggiringan Rusa Pengandangan rusa merupakan teknik memindahkan rusa dengan menggiring rusa ke kandang yang telah disiapkan.Penggiringan dilakukan dengan cara menggiring rusa yang telah dipilih dan ditentukan untuk ditangkap atau dipindahkan ke areal pembiakan (pedok), melalui jalur yang telah disediakan. Thohari et al. (1991) menyatakan bahwa perlakuan dalam penggiringan sebaiknya tidak dengan cara-cara kasar dan pelibatan banyak orang untuk menghindari stres pada rusa.
Sintesis 2010-2014
| 110
Cara Penangkapan dan Penjeratan Penangkapan adalah kegiatan menangkap rusa yang dilakukan dalam areal penangkaran untuk keperluan penanganan, seperti pembe-rian perlakuan, pengobatan, pemanenan dan pemotongan velvet atau ranggah.Yang perlu diperhatikan dalam penangkapan adalah meng-hindari pada rusa. Stres sering terjadi pada rusa terutama pada saat penangkapan untuk pemotongan ranggah, penimbangan berat badan, perlakuan pemberian pakan dan pengangkutan rusa untuk pemindahan lokasi (Takandjandji, 2007). Akibat dari tersebut dapat menyebabkan rusa mati secara mendadak, terutama pada rusa jantan di penangkaran. Penangkapan rusa membutuhkan tenaga 2–3 orang dan pada rusa jantan yang mempunyai ranggah kokoh atau sempurna, harus menda-pat perhatian yang lebih serius karena sangat galak dan liar serta dorongan kaki belakang rusa sangat kuat. Apabila penangkapan dilakukan dengan benar dan kaki belakang dipegang dengan kuat dan tetap tenang, biasanya rusa tidak akan bereaksi atau melawan. Cara menangkap dan memegang rusa, yaitu dengan mendekatinya dari belakang namun tetap tenang. Dalam proses pendekatan, langkah harus perlahan sehingga rusa menjadi terbiasa dengan keberadaan kita, dengan demikian akan mudah ditangkap. Setelah rusa ditangkap, leher-nya dijepit dengan tangan kanan, dan ke dua mata ditutup menggu-nakan tangan kiri agar dapat mengurangi stres. Petugas lainnya, memegang ke dua pangkal paha atau bagian kaki belakang rusa dari arah samping (Takandjandji 2007). Proses penangkapan dengan penjeratan sering dilakukan pada rusa di penangkaran, yaitu dengan menggunakan alat berupa jaring, tali, dan pembuatan lubang-lubang perangkap. Rusa yang telah meningkat kewaspadaannya akan terus menjauh dari petugas sehingga membutuh-kan waktu yang lama untuk kembali menenangkan rusa.Sambil berjalan mendekati rusa, petugas membawa pakan dan tali untuk menjerat. Apabila rusa sudah mendekat, tali langsung dilemparkan tepat pada ranggahnya dan setelah terjerat, petugas lainnya membantu menangkap dan memegang rusa. Cara ini merupakan cara yang paling fatal karena membuat rusa menjadi stres tetapi relatif lebih ekonomis karena tidak membutuhkan biaya yang besar. Penangkapan dengan Pembiusan Pembiusan dilakukan untuk menghindari stres pada rusa dengan pemberian obat. Namun Semiadi dan Nugraha (2004) menyatakan, penggunaan obat bius merupakan pekerjaan yang sangat berbahaya, khususnya pada manusia dan rusa. Oleh sebab itu, penggunaan obat bius untuk tujuan pengendalian rusa harus dilakukan oleh dokter he-wan atau staf kesehatan yang telah mendapat kewenangan. Obat bius yang sering digunakan terbagi atas dua kelompok yakni untuk kepentingan pembiusan total dan bius lokal.
Sintesis 2010-2014
| 111
Obat bius yang sering digunakan dalam penangkaran adalah xylazine dan ketamine. Pembiusan dapat menggunakan sumpit yang dibuat dari aluminium atau paralon yang panjangnya 100-120 cm dan diameternya sama dengan alat suntik yang volumenya sekitar 3-5 cc yang telah diisi obat bius. Alat suntik dipasang pada bagian ujung sumpit dan dibidikkan ke sasaran rusa yang akan ditangkap dengan meniupkannya sehingga alat suntik ini mengenai tubuh rusa. Beberapa saat kemudian rusa tersebut akan terbius dan pingsan. Obat bius yang digunakan adalah campuran rompun (xylazine) dengan dosis 2 mg per kg berat rusa (estimasi) dan katalar (ketamine) dengan dosis 5 mg per kg berat rusa (estimasi). Pengisian ampul sulfas atropin yaitu untuk rusa dewasa sebanyak 2 cc, sedangkan untuk anak rusa sebanyak 1 cc (Mukhtar 1996). Jenis obat ini mempunyai obat penawar (antidota) sehingga rusa yang terbius, dapat segera sadar kembali. Rusa yang telah dibius dapat ditangkap dengan mudah. Teknik ini lebih banyak digunakan sehingga tidak mengakibatkan cidera pada rusa dan operator atau petugas. Walaupun cara ini membutuhkan waktu yang lama karena rusa mempunyai alat penciuman yang tajam. Biasanya rusa tidak akan menyerang jika pendekatan dilakukan dengan benar, kaki belakang dipegang kuat dan tetap tenang. Asisten operator harus siap untuk menghindar jika rusa telah sadar dari obat bius dan mulai melawan. Namun tetaplah tenang sambil memegang kaki belakang dan biarkan rusa melakukan perlawanannya selama beberapa saat. Setelah itu, rusa akan berhenti melawan karena masih dipengaruhi oleh obat bius yang diberikan. Pengangkutan Rusa Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pengangkutan rusa adalah apabila jaraknya sangat jauh dan membutuhkan waktu yang lama, sebaiknya menggunakan peti atau kandang angkut yang berbentuk persegi empat (Takandjandji dan Sutrisno, 2006). Ukuran kandang angkut yang digunakan disesuaikan dengan ukuran tubuh rusa, yaitu sekitar 1,5x1,5x1,5m dan setiap kandang berisi seekor rusa . Ukuran kandang diusahakan agar rusa dapat berdiri tegak atau tidak membungkuk dan dapat bergerak bebas. Kandang angkut harus mempunyai lubang udara. Pemberian pakan hijauan segar dapat dilakukan di dalam kandang angkut. Pengangkutan rusa sebaiknya pada waktu matahari tidak bersinar terik dan suhu udara cukup sejuk. Waktu yang terbaik adalah pada pagi, sore atau malam hari. Thohari et al. (1991) menyatakan bahwa pengangkutan rusa perlu memperhatikan persiapan, jarak dan lama pengangkutan, perlakuan selama pengangkutan dan pelepasan setelah pengangkutan. Pengendalian Stres pada Rusa Stres merupakan salah satu gambaran kondisi fisiologis yang mengalami gangguan secara non-fisik. Perubahan kondisi fisiologis dapat menggunakan patokan nilai fisiologis rusa yang sehat sebagai parameternya. Pengetahuan
Sintesis 2010-2014
| 112
perubahan kondisi ini sangat baik untuk melakukan perawatan, pencegahan atau pengobatan dengan tepat dan mengenai sasaran. Kondisi yang berubah setiap saat akan mengakibatkan perubahan fisiologis dan berdampak pula pada perubahan nilai hematologi (Ma’ruf dan Triatmoko, 2004). Nilai fisiologis normal maupun hematologi normal dapat dijadikan parameter kondisi rusa, sebagaimana disajikan pada Tabel 29 dan Tabel 30. Tabel 29. Nilai fisiologis normal pada rusa sambar di UPTD BPIB Api-api Umur/Seks Jantan dewasa Betina dewasa Anak
Napas (menit) 72-84 60-84 60-96
Nadi (menit) 120-140 120-140 96-120
Suhu rektal 38,5-40,5 38,5-41,0 39,8-41,2
Sumber: Ma’ruf dan Triatmoko (2004) Tabel 30. Nilai hematologi normal rusa sambar di UPTD BPIB Api-api No. Hematologi 1. Hemaglobine (g/dl) 2. Sedimentation rate (mm/jam) 3. Leucocyte count(103/mm3 ) 4. Trombocyte count (103/mm3) 5. Eritrocyte count (106/mm6 ) 6. Packed cell volume (%) Differential count 1. Eosinophile 2. Basophile 3. Stab 4. Segmen 5. Lymphocyt 6. Monocyte
Jantan dewasa 14-18 3-8 4-9 75-200 210-250 45-55
Betina dewasa 14-18 2-3 7-9 60-204 150-200 43-56
Anak-anak 12-14 5-15 4-12 225-500 128-230 38-44
0-4 0-1 0-1 58-66 32-42 0-1
0-4 0-1 0-1 53-67 25-40 0-2
0-3 0-1 0-1 40-50 40-60 0-1
Sumber: Ma’ruf dan Triatmoko (2004) Cara penanggulangan stres dapat dilakukan dengan mengurangi pengejaran dan penangkapan dalam jumlah orang yang banyak. Pengejaran dilakukan hanya oleh seorang petugas perawat agar rusa tidak merasa curiga. Apabila rusa sudah tertangkap atau terjerat, pemberian suntikan yang berisi obat bius dapat dilakukan dan dilanjutkan dengan pemindahan dan pengangkutan. Cara ini telah digunakan di penangkaran di Oilsonbai, Nusa Tenggara Timur sebagai upaya untuk menanggulangi stres pada rusa dan tidak mengakibatkan cidera baik pada rusa maupun petugas (Takandjandji 1994). Cara lain dalam penanggulangan stres pada rusa adalah dengan mengetahui penanganan yang tepat, khususnya dalam bidang medis veteriner, melalui konsultasi dengan dokter hewan.Selain itu, perlakuan terhadap rusa, terutama rusa jantan dewasa yang baru dipotong ranggahnya, perlu mendapat perhatian lebih dibandingkan dengan kelompok rusa lainnya.
Sintesis 2010-2014
| 113
Konsultasi dengan dokter hewan setempat perlu dilakukan untuk mendapatkan petunjuk atau pengobatan medis veteriner. Upaya ini untuk mencari solusi yang terbaik agar dapat mengurangi stres pada rusa di penangkaran. Sampai saat ini capture myopathy pada rusa belum ada obatnya, sehingga tindakan pencegahan harus diutamakan yakni dengan cara mengurangi stres saat penanganan (Semiadi dan Nugraha 2004). Teknik Penangkapan Rusa Cara menangkap rusa di penangkaran agar tidak menimbulkan cidera baik pada petugas maupun rusa itu sendiri, antara lain menjepit leher dengan tangan kanan, ke dua mata ditutup menggunakan tangan kiri, agar dapat mengurangi stress, petugas lainnya, memegang ke dua pangkal paha dari arah samping. Penangkapan pada rusa jantan yang mempunyai ranggah kokoh atau sempurna, harus mendapat perhatian yang lebih serius karena sangat galak dan liar. Penangkapan rusa dapat juga dilakukan dengan cara penggiringan ke kandang jepit atau kandang yang lebih kecil, lalu dimasukkan ke kotak angkut. Penggiringan tersebut dapat dilakukan dengan pem-berian umpan pakan atau di tempat pemberian pakan. Penangkapan yang terbaik adalah pada sore hari ketika pengaruh panas sinar matahari sudah berkurang atau pagi hari sebelum udara panas. Pembiusan hanya dianjurkan apabila cara penggiringan tidak dapat dilakukan dan dalam pengawasan tenaga kesehatan hewan (dokter hewan). Teknik penangkapan rusa menggunakan kandang jepit badan beralas yang dapat dilepas. Penggunaan kandang jepit beralas lepas dapat dilakukan dengan dua model, yaitu model kandang jepit bertangga dan model kandang jepit berkolong. Ke dua model tersebut sudah diuji dan dapat digunakan untuk penangkapan, namun demikian, model kandang jepit berkolong memberikan waktu habituasi yang lebih singkat. Hal ini disebabkan rusa tidak merasa aneh pada saat melalui kandang jepit berkolong dibandingkan model bertangga yang tidak umum dalam kandang rusa. Selanjutnya, penangkapan rusa dilakukan dengan cara menarik pengunci alas kandang jepit, sehingga alas kandang lepas ke bawah dan rusa terperangkap badannya dengan posisi kaki menggantung. Pengangkutan Rusa Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pengangkutan rusa, adalah, apabila jarak pengangkutan sangat jauh dan membutuhkan waktu yang lama, sebaiknya menggunakan peti atau kandang berbentuk persegi 4. Bentuk dan model kotak angkut harus kompak, kokoh, mampu menahan beban tubuh rusa, tetapi mudah untuk diangkat atau dipindahkan. Ukuran kotak angkut (pxlxt) sekitar 150x70x120 cm (Gambar 53). Bahan kotak dapat berasal dari kayu (papan, balok atau kayu lapis tebal), besi, atau kombinasi berbagai bahan. Kotak angkut sebaiknya tertutup sebagian besar dan terbuka sebagian kecil (untuk sirkulasi udara). Seluruh sisi kotak angkut dibuat permanen, kecuali untuk pintu masuk/keluar (bagian muka dan
Sintesis 2010-2014
| 114
belakang) dibuat buka/tutup dengan geser atas. Pada bagian dalam kotak sebaiknya kering dan lembut, atau dapat dimasukkan sedikit jerami kering. Proses pemasukan ke kotak angkut dan teknik pengangkutan men-jadi sangat peting untuk mengurangi pada rusa. Setiap individu dima-sukkan ke dalam satu kotak angkut, kecuali yang sedang mengasuh anak. Setelah penangkapan dan pemasukan rusa ke kotak angkut, rusa segera dibawa dan tidak diinapkan terlalu lama. Pengangkutan rusa menggunakan alat angkut yang terlindung dari gangguan dan pengaruh cuaca (panas atau hujan). Pengangkutan terbaik sebelum matahari bersinar terik, yaitu pagi hari, sore hari atau malam hari. Stres pada rusa dapat dihindari dengan pengelolaan pengangkutan yang baik dan saat pelepasannya. Pemberian vitamin anti melalui makanan atau minuman dapat dilakukan pada waktu sebelum dan sesu-dah pengangkutan.Stres juga dapat dikurangi dengan cara mengurangi kebisingan dan gangguan lainnya selama proses penangkapan, pe-ngangkutan hingga pelepasan di tempat pemeliharaan yang baru. Pemberian pakan hijauan segar yang berserat (rumput) sangat dianjurkan untuk pengangkutan jarak jauh, sehingga rusa disibukkan dengan makan dan memamah biak. Selanjutnya, pelepasan dilakukan dengan membuka pintu pada arah kepala rusa dan membiarkannya keluar sendiri untuk proses adaptasi di lokasi atau kandang pemeliharaan yang baru.
Gambar 53. Model peti angkut rusa Analisis Ekonomi Pemanfaatan rusa di Indonesia umumnya masih mengandalkan potensi di alam dan masih terbatas hanya untuk pemenuhan kebutuhan keluarga akan daging padahal rusa memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi baik daging maupun hasil ikutan lainnya. Daging, kulit, dan ranggah (muda dan tua) merupakan komoditas yang bernilai mahal. Daging rusa sangat digemari orang karena mempunyai tekstur yang lembut, berwarna merah dan rendah kolesterol. Produk hasil rusa memiliki keunggulan antara lain kulit dan ranggah dengan nilai jual yang cukup tinggi dan dapat diproduksi tanpa harus menyembelih rusa. Dalam dunia pengobatan, ranggah muda (velvet) dapat digunakan orang sebagai ramuan obat-obatan. Harga ranggah muda (velvet) tahun 1981 di pasaran internasional adalah $ 90/kg. Berat ranggah muda rata-rata 1,0-2,5 kg tergantung Sintesis 2010-2014
| 115
pada umur pejantan. Ranggah digunakan sebagai bahan obat-obatan tradisional Cina karena mengandung mineral dan testoteron. Ranggah dipotong pada umur 50-70 hari, kemudian dikeringkan dan diekspor. Menurut Takandjandji dan Garsetiasih (2002), rusa timor dewasa di NTT mempunyai berat hidup 50-70 kg dengan rata-rata berat karkas sebesar 20,0 – 31,0 kg atau 44,3 – 62,0 % dari berat hidup. Karkas adalah berat daging tanpa kepala, kaki dan jeroan dan berat karkas dipengaruhi oleh pakan, umur, jenis kelamin dan lingkungan. Rusa yang dijadikan sebagai bibit berumur 12 – 15 bulan atau yang telah siap kawin. Umumnya rusa berproduksi 10-15 tahun dan waktu yang dibutuhkan sampai menghasilkan keturunan kemudian dijual yakni ± 30 bulan (2,5 tahun). Umur yang tepat untuk dijual 18 bulan karena bobot badan rusa sudah stabil, penjualan di bawah umur akan rugi karena harganya rendah dan kesempatan untuk memanfaat-kan kecepatan pertumbuhan badan yang optimal akan hilang. Penju-alan di atas umur, akan rugi karena biaya pemeliharaan terus berjalan sedangkan pertambahan berat badan tidak ada. Waktu yang tepat untuk penjualan rusa, pada saat musim kemarau di mana pakan segar sulit dijumpai. Harga jual rusa, didekati dengan cara mengetahui dan mempertimbangkan harga daging eceran serta produk lainnya di pasaran. Rusa yang disisakan setelah dimanfaatkan harus lebih sedikit agar hemat biaya, lahan dan memperoleh keuntungan yang cukup besar, minimal 10 ekor (2 jantan dan 8 betina) dengan perbandingan ideal 1:4. Pada tahun keenam, bibit rusa sebanyak 5 ekor (1 jantan dan 4 betina), apabila diperhitungkan dengan risiko kematian 25%, tinggal 4 ekor terdiri dari 1 jantan dan 3 betina dan pada akhir proyek (tahun kesepuluh), semua rusa dijual. Berdasarkan asumsi-asumsi di atas diperoleh perkiraan nilai-nilai Net Present Value (NPV), Benefit Cost Ratio (BCR) dan Internal Rate Ratio (IRR) di penangkaran rusa timor di NTT, masing-masing Rp. 77.000; 2,960 dan 38,767%. Nilai NPV penangkaran rusa di HP Dramaga Bogor pada tingkat suku bunga 18% sebesar Rp.150.624.719, nilai BCR selama 10 tahun sebesar 1,43 dan nilai IRR sebesar 17,31%. Kegiatan penangkaran rusa timor di HP Dramaga mempunyai kemampuan untuk mengembalikan modal seluruh biaya investasi (payback period) selama 3,14 tahun pada tingkat suku bunga deposito 18%. Kondisi ini menggambarkan bahwa upaya penangkaran rusa timor di NTT dan di HP Dramaga Bogor layak untuk dilaksana-kan. Kegiatan penangkaran rusa cukup menguntungkan walaupun pada awalnya memerlukan biaya dan investasi yang cukup besar. Usaha ini memerlukan luas lahan yang lebih kecil, akan tetapi dapat memberikan keuntungan yang jauh lebih besar apabila dibandingkan dengan ternak-ternak yang sudah umum dikenal.
Sintesis 2010-2014
| 116
c.2. Kajian Kelayakan Penangkaran Rusa Sambar (Rusa unicolor) Di KHDTK Hutan Penelitian Samboja Identifikasi Regulasi Rusa sambar terdiri dari tujuh sub spesies di dunia, dua diantaranya ada di Indoensia, yaitu R.u. equina yang menyebar di Sumatera dan R.u. brookei di Kalimantan (Leslie, 2010). Ancaman akan keberadaannya saat ini banyak mengalami ancaman baik akibat kerusakan habitat maupun perburuan liar (Suzanna & Masy'ud, 1991; Atmoko, 2007). Gambaran perburuan liar terhadap rusa sambar di Kalimantan Timur jika dilihat dari pengiriman hasil buruan rusa ke pasar, menunjukkan bahwa setidaknya dalam satu bulan dari satu kabupaten diburu minimal 60 - 120 ekor, atau sekitar 600 – 1400 ekor rusa Sambar liar dibunuh pertahunnya (Semiadi et al., 2008). Penurunan populasi rusa sambar di Sumatera dan Kalimantan diperkirakan lebih dari 50% selama kurun waktu 24-30 tahun terakhir (Timmins et al., 2008). Mengingat tingginya ancaman terhadap rusa sambar, maka jenis ini dilindungi berdasarkan PP nomor 7 tahun 1999 (Pemerintah RI, 1999), dan masuk dalam kategori rentan menurut IUCN (Timmins et al., 2008). Persepsi masyarakat terhadap penangkaran rusa sambar Menurut sebagian besar responden saat ini sudah semakin sulit menemukan rusa sambar saat mereka masuk ke dalam hutan. Menurut 86,67% responden, penurunan populasi tersebut disebabkan oleh adanya perburuan liar dengan menggunakan perangkap-perangkap (jerat) di dalam hutan. Daging rusa hasil buruan tersebut selanjutnya dijual di pasar tradisional dengan harga Rp 35.000,00-45.000,00/kg, sedangkan daging yang sudah digiling dijual dengan harga Rp 60.000,00/kg. Selain akibat perburuan penurunan populasi juga disebabkan oleh kerusakan habitanya. Masyarakat menyadari bahwa kondisi KHDTK Samboja yang sering mengalami kebakaran pada musim kemarau juga berpengaruh terhadap penurunan populasi rusa sambar. Kebakaran tersebut, menurut masyarakat dapat merusak tempat hidup/habitat rusa sambar, seperti pohon-pohon pelindung (shelter), dan sumber pakan. Pengetahuan tentang Perlindungan Rusa sambar Masyarakat Desa Semoi Dua sebagian besar mengetahui bahwa rusa sambar termasuk satwa yang dilindungi sehingga tidak boleh diburu. Informasi tersebut mereka dapatkan dari televisi, surat kabar, maupun informasi yang bersifat lisan. Masyarakat menyebutkan bahwa rusa sambar merupakan satwa yang dilindungi oleh pemerintah, mereka tidak menyebutkan bahwa satwa tersebut dilindungi oleh undang-undang. Aspek Pengembangan Penangkaran Rusa sambar Menurut masyarakat pembangunan penangkaran rusa sambar di KHDTK Samboja merupakan salah satu upaya yang perlu untuk pelestarian satwa tersebut. Sintesis 2010-2014
| 117
Mereka berharap dengan pembangunan penangkaran tersebut anak cucu mereka masih dapat mengetahui rusa sambar di masa depan. Berdasarkan skoring, persepsi masyarakat Desa Semoi Dua mengenai pengembangan rusa sambar tergolong “sedang”. Masyarakat mendukung pengembangan penangkaran rusa sambar, tetapi sedikit khawatir jika pengembangan penangkaran tersebut mengganggu aktivitas berladang mereka. Hal itu dikarenakan masyarakat Desa Semoi Dua adalah masyarakat petani yang menggantungkan hidupnya dari hasil pertanian. Selain itu masyarakat juga khawatir apabila rusa-rusa yang ditangkarkan merusak tanaman mereka dan membatasi akses untuk membuka ladang baru. Masyarakat mengharapkan agar areal penangkaran rusa dipagar sekelilingnya sehingga rusa tidak merusak tanaman pertanian. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Persepsi Masyarakat Variabel-variabel umur, tingkat pendidikan formal, tingkat pendidikan non formal, pendapatan, jumlah tanggungan keluarga, luas lahan garapan, dan lama tinggal berpengaruh terhadap persepsi masyarakat. Faktor-faktor yang berpengaruh positif terhadap persepsi masyarakat adalah tingkat pendidikan formal, tingkat pendidikan non formal, dan lama tinggal. Sedangkan faktor-faktor yang berpengaruh negatif terhadap persepsi masyarakat adalah umur, pendapatan, jumlah tanggungan keluarga, dan luas lahan garapan. Variabel-variabel bebas memiliki pengaruh sebesar 46,05 % terhadap variabel terikat, sehingga sebanyak 53,95% variabel terikat (persepsi masyarakat) dipengaruhi oleh faktor-faktor dari luar. Faktor tingkat pendidikan non formal berpengaruh nyata terhadap persepsi masyarakat, sedangkan faktor lainnya (umur, tingkat pendidikan formal, pendapatan, jumlah tanggungan keluarga, luas lahan garapan, dan lama tinggal) tidak berpengaruh nyata terhadap persepsi masyarakat. Pembangunan dan pengembangan penangkaran rusa memerlukan partisipasi masyarakat sekitar kawasan, khususnya masyarakat yang berinteraksi secara langsung dengan KHDTK Samboja. Pada tahap awal, partisipasi masyarakat dapat ditujukan untuk tujuan keamanan, dimana ada komitmen dari masyarakat untuk tidak menganggu keberadaan rusa berikut habitatnya di dalam penangkaran. Hal ini menjadi perlu, mengingat kawasan KHDTK Samboja merupakan kawasan yang rawan akan gangguan hutan. Usia responden yang sebagian besar merupakan usia produktif dan tingkat persepsi yang termasuk kategori “sedang” merupakan modal utama dalam pelibatan masyarakat dalam kegiatan penangkaran rusa sambar. Bercermin dari keberhasilan penangkaran rusa timor di Nusa Tenggara Timur salah satunya disebabkan adanya unsur partisipasi masyarakat (Takandjandji et al., 2011). Beberapa desain penangkaran rusa yang dapat diadopsi di KHDTK Samboja adalah ranch apabila tersedia lahan yang cukup luas (sekitar 1-5 ha) dan semi ranch apabila lahan terbatas sampai dengan 1 ha (Setio, 2007). Desain apapun yang dipilih oleh perencana nantinya diharapkan dapat mengakomodir kekhawatiran masyarakat
Sintesis 2010-2014
| 118
salah satunya dengan membuat pagar pembatas yang cukup kuat dengan kebun masyarakat. Tingkat Kepentingan Stakeholder Persepsi para stakeholder dari kalangan pemerintahan dan swasta (Dishut Kaltim, PPA Tahura, BKSDA Kaltim, pihak penangkar rusa sambar yang ada di Kaltim) semuanya mendukung kegiatan penangkaran rusa sambar yang akan dilakukan, kecuali pihak aparat desa Semoi Dua yang menyatakan ragu sebab status kawasan di Km 16 di KHDTK Samboja masih dianggap tumpang tindih karena berdasarkan peta penempatan transmigrasi berada dalam pengelolaan wilayah desa Semoi Dua. Identifikasi Kondisi Biofisik Areal di Km 16 KHDTK Samboja memenuhi syarat sebagai lokasi penangkaran rusa dilihat dari kondisi biofisiknya. Kondisi Tapak Kondisi topografi di lokasi ini bergelombang bervariasi. Terdapat beberapa plot penelitian yang ada, diantaranya plot gaharu, ulin, tegakan benih meranti. Plot Tegakan Benih Meranti sekitar 3 bulan yang lalu mengalami kebakaran, sehingga banyak tanaman yang mati. Berdasarkan informasi masyarakat lokasi tersebut pernah dilakukan pengeboran minyak/gas oleh perusahaan VICO. Terdapat lokasi yang datar di sekitar danau VICO, menurut informasi dari masyarakat lokasi tersebut dulunya dipergunakan oleh perusahaan VICO untuk menaruh alat-alat berat yang digunakan untuk pengeboran minyak/gas di lokasi tersebut. Aksesibilitas Aksesibilitas menuju lokasi ini dari Km. 38 Samboja berjarak 16 km, selanjutnya masuk kedalam sekitar 1 km. Kondisi jalan dulunya dapat dilalui mobil roda empat, namun karena jarang dilalui, saat ini hanya bisa dilalui kendaraan roda dua atau roda empat 4WD. Kondisi Hidroorologi Pada lokasi ini terdapat danau buatan yang dibuat oleh perusahaan VICO, danau tersebut berasal dari beberapa anak sungai yang dibendung. Luas danau sekitar 4 ha, dengan kondisi tidak pernah kering walaupun pada musim kemarau. Danau berada berdekatan dengan lokasi yang bertopografi datar, yaitu sekitar 20 meter. Vegetasi dan sumber pakan Lokasi bertopografi datar sebagian bekas terbakar dan sebagian lainnya tidak terbakar. Kondisi yang terbakar sekarang ditumbuhi Acacia mangium dan alangalang. Sedangkan yang tidak terbakar ditumbuhi semak-semak, macaranga, jenis rumput-rumputan dan liana/herba, selain itu juga masih tersisa beberapa tanaman
Sintesis 2010-2014
| 119
meranti yang masih hidup. Jenis pohon adalah Acacia mangium (INP=242,66%), Macaranga motleyana (INP=15,41%), Vernonia arborea (INP=12,08%), Shorea leprosula (INP=12,02%), Gmelina arborea (INP=11,36%) dan Swietenia mahagony (INP=6,44%). Hasil identifikasi terhadap tumbuhan bawah ditemukan 32 jenis, 18 jenis di antaranya berpotensi sebagai sumber pakan bagi rusa sambar dalam penangkaran. Lima jenis tumbuhan bawah dominan pada lokasi penelitian adalah Scleria sp. (INP=64,60%), Nephrolepis sp. (INP=17,35%), Imperata cylindrical (INP=15,82%), Mikania sp. (INP=7,63%), dan Saccharum spontaneum (INP=7,31%). Produktivitas Hijauan Berdasarkan hasil perhitungan diketahui bahwa total produktivitas dari 18 jenis hijauan yang berpotensi sebagai sumber pakan bagi rusa sambar hanya sebesar 33,74 Kg/ha/hari untuk berat segar dan 1,00 Kg/ha/hari untuk berat kering. Dengan memperhitungkan bahwa kebutuhan pakan bagi setiap ekor rusa umumnya adalah 6 kg/hari maka dari proper use 70% yang ditumbuhi oleh hijauan pakan dapat diketahui bahwa daya dukung habitat bagi rusa sambar saat ini adalah sebanyak 8 ekor/ha/hari. Desain Tapak Penangkaran Bila mengacu pada kondisi fisik dan biologis kawasan di Km 16 LHDTK Samboja yang akan dijadikan sebagai lokasi penangkaran maka setidaknya dalam desain penangkaran jangka panjang dapat dikembangkan menjadi dua zona utama, yakni zona perkantoran serta zona penangkaran. Kedua zona tersebut dibangun dengan mempertimbangkan proyeksi efisiensi pengelolaan, daya dukung habitat, ketersediaan lahan penangkaran, serta populasi rusa yang akan ditangkarkan. Alokasi kebutuhan ruang untuk penangkaran sistem ranching yang dapat diterapkan di KHDTK Samboja adalah sebagai berikut: a. Zona perkantoran (A), memiliki luas 0,7 ha atau 23,33% dari total luas rencana penangkaran. Topografi kawasan ini terlalu berbukit dan tidak cocok untuk aktivitas rusa sehingga peruntukannya lebih bermanfaat untuk bangunan bagi penjaga/pekerja, menara kontrol pengawasan rusa, serta gudang peralatan dan pakan. b. Pedok Indukan (B dan C), memiliki luas 1,4 ha atau 46,67% dari total luas rencana penangkaran. Dipergunakan bagi rusa yang telah memasuki usia kematangan secara reproduksi. Diproyeksikan dapat menampung 15 ekor rusa indukan. c. Pedok pembesaran (D), memiliki luas 0,4 ha atau 13,33% dari total luas rencana penangkaran. Diproyeksikan dapat menampung 5 ekor rusa yang masih dalam usia muda ( < 2 tahun). d. Pedok adaptasi dan isolasi/karantina (B2), memiliki luas 0,018 ha atau 0,6 % dari total luas rencana penangkaran. Diproyeksikan penggunaannya sebagai kandang
Sintesis 2010-2014
| 120
untuk adaptasi rusa yang baru datang, tempat untuk melahirkan bagi rusa betina, serta lokasi untuk perawatan bagi rusa yang sedang sakit. e. Pedok areal pengembangan/kebun rumput (E), memiliki luas 0,9 ha atau 30%. Pedok ini berfungsi untuk mensuplai kebutuhan pakan bagi rusa di saat kondisi pakan yang tersedia sudah tidak mencukupi. Selanjutnya, seiring dengan pertambahan populasi rusa dalam penangkaran, maka pedok pengembangan/kebun rumput ini ke depannya dapat juga dipergunakan sebagai pedok indukan. Faktor interaksi antara naungan (ternaung) dan jenis tanaman (S. sphacelata) memberikan pengaruh terendah terhadap persentase kehidupan tanaman dengan nilai rata-rata persen hidup hanya mencapai 84,08% sementara persentase hidup perlakuan lain pada interaksi yang sama berkisar antara 89,75%-95,39%. Untuk interaksi antara konsentrasi NPK dan jenis tanaman, perlakuan konsentrasi NPK 6 gr/rumpun pada jenis P.dilatatum dan P. purpureum memberikan persentase kehidupan tertinggi hingga mencapai 100%. Hal ini mengindikasikan bahwa kedua jenis tanaman tersebut memiliki toleransi tinggi terhadap lingkungan tempat tumbuhnya. Kedua jenis rumput tersebut selain memiliki keunggulan produktivitas biomassa yang tinggi juga mampu bertahan pada kondisi kekeringan dan tanah yang kurang subur (Polakitan dan Kairupan, 2011). c.3. Teknik Penangkaran Trenggiling Kandang Penangkaran Model teknik penangkaran trenggiling dilakukan di Sumatera Utara, Medan milik UD. Multi Jaya Abadi yang dimulai sejak tahun 2007. Pengamatan trenggiling dilakukan dengan cara dikandangkan secara berpasangan dan individu. Kandang penangkaran berbentuk permanen sebanyak 40 buah berukuran 2 m x 4 m, tinggi 2,0 m di bagian depan dan 1,5 m di bagian belakang, berlantai semen, dan beratap asbes dengan sirkulasi udara baik. Pagar kandang terbuat dari tembok, teralis besi, kawat harmonika dan antar kandang disekat dengan teralis besi yang dilapisi kawat harmonika. Konsumsi Pakan Kondisi trenggiling di penangkaran sehat secara fisik, tidak menunjukkan perilaku anta-gonistik , nafsu makan cukup bagus, iklim mikro seimbang dan trenggiling sudah beradaptasi dengan jenis pakan yang diberikan yaitu dedak padi, jagung halus, yang dicampur dengan kroto sebagai pakan utama. Konsumsi pakan pada trenggiling berpasangan sebesar 178,21 gram/pasang/hari dengan rata-rata perlakuan P1 (dedak+jagung+kroto 50 gram) sebesar 167,69 gram/hari dan P2 (dedak+jagung+kroto 80 gram) 188,72 gram/hari, serta konsumsi per individu sebanyak 89,10 gram/individu/hari sedang konsumsi pakan trenggiling dalam kandang individu sebanyak 100,24 gram/individu/hari.
Sintesis 2010-2014
| 121
Trenggiling lebih menyukai pakan yang sering diberikan (dedak padi dicampur dengan jagung halus dan kroto) dibandingkan dengan jenis pakan yang baru (rayap, cacing, dan jangkrik). Konsumsi dedak padi dan jagung halus sebesar 13,64%; kroto 11,57%; cacing 1,27%; rayap 1,01% dan jangkrik sebesar 0,78% dengan total pemberian pakan 362,65 gram/individu/hari. Rata-rata bobot badan trenggiling jantan lebih besar daripada betina, demikian pula halnya dengan ukuran morfometrik. Rata-rata bobot badan jantan adalah 2,99 kg dan betina 2,33 kg. Sedangkan ukuran morfometrik berupa panjang total 78,62 cm (jantan) dan 70,32 (betina) serta lingkar dada jantan 33,44 cm dan betina 27,32 cm. Bobot badan harian pada trenggiling yang diberi perlakuan pakan alternatif, tidak mengalami kenaikan bahkan cenderung menurun karena berkaitan erat dengan tingkat konsumsi dan lamanya pengamatan. Konversi pakan juga masih sangat rendah dimana berkorelasi dengan konsumsi pakan dan pertambahan bobot badan harian, sedangkan daya cerna trenggiling terhadap pakan jangkrik lebih tinggi karena jangkrik mengandung serat kasar yang tinggi dan rayap terendah. Pakan utama trenggiling adalah serangga, sehingga pemberian dedak dan jagung kurang memenuhi gizi yang dibutuhkan trenggiling. Oleh karena itu, pada Tahun 2012 dicobakan lagi jenis pakan yang memiliki nilai gizi tinggi yaitu telur, tahu, dan rayap. Penelitian Tahun 2012 dilakukan di Penangkaran Trenggiling HP Dramaga selama 84 hari. Penelitian menggunakan 4 (empat) individu trenggiling terdiri dari 2 (dua) jantan dan 2 (dua) betina. Perlakuan pakan yang diberikan yakni kroto yang dikombinasikan dengan beberapa jenis pakan alternatif dengan formulasi sebagai berikut : A = Kroto (50%) + Telur (50%) B = Kroto (50%) + Tahu (50%) C = Kroto (50%) + Telur (20%) + Tahu (30%) D = Kroto (50%) + Telur (18%) + Tahu (26%) + Rayap (6%) Dari hasil penelitian diketahui bahwa rata-rata konsumsi pakan 229,012 gram/individu/hari dan tertinggi dicapai oleh trenggiling jantan. Pakan alternatif dengan perlakuan menggunakan campuran antara telur, tahu dan kroto lebih disukai dan banyak dikonsumsi trenggiling. Pertambahan bobot badan tertinggi dicapai oleh trenggiling 2 (betina) dan nilai rata-rata sebesar 0,19 kg/individu/hari serta perlakuan menggunakan campuran telur, tahu, rayap, dan kroto memberikan kontribusi tertinggi. Rata-rata konversi tertinggi dicapai oleh trenggiling 3 (betina) sedangkan perlakuan tertinggi adalah perlakuan dengan menggunakan campuran telur dan kroto dengan rata-rata konversi sebanyak 3571,891. Ukuran morfometrik tertinggi terjadi pada trengiling betina dengan perlakuan yang bervariasi.
Sintesis 2010-2014
| 122
Penelitian Tahun 2013 difokuskan pada perlakuan pemberian pakan dengan menggunakan bahan pakan yang bernutrisi, tidak bersaing dengan manusia dan mudah di dapat, yaitu ampas tahu, limbah sayur dan buah yang dicampur dengan pakan alami berupa kroto sebagai pembentuk aroma. Penelitian menggunakan 4 (empat) individu trenggiling. Dari hasil penelitian diketahui bahwa rata-rata konsumsi pakan trenggiling tertinggi dicapai oleh trenggiling 3 yaitu 260,607±1,668 gram/individu/hari (bahan kering 155,322±0,994 dan protein kasar 56,491±0,361). Konversi pakan tertinggi dicapai trenggiling 4 yaitu 0,183 gram/individu/hari. Konversi pakan meningkat sejalan dengan meningkatnya konsumsi pakan dan pertambahan bobot badan harian trenggiling. Pertambahan bobot badan harian tertinggi dicapai oleh trenggiling 4 yaitu 17,857±22,208 gram/individu/hari. Pertumbuhan dalam hal ini pertambahan bobot badan harian pada trenggiling yang diberikan pakan alternatif, meningkat pada periode I karena trenggiling sudah mulai beradaptasi dengan bahan pakan yang diberikan. Berdasarkan hasil penelitian pemberian pakan pada tahun 2013 menunjukkan bahwa dari bahan pakan yang diberikan (ampas tahu, tepung ikan, pellet yang dicampur dengan kroto), ternyata tidak semua disukai trenggiling. Oleh karena itu, bentuk dan teknik pemberian pakan alternatif perlu disesuaikan agar trenggiling dapat memanfaatkan pakan tersebut secara optimal. Berdasarkan pemikiran tersebut, maka penelitian pakan alternatif pada tahun 2014 lebih diarahkan kepada jenis pakan yang disukai pada tahun sebelumnya (tahun 2011-2013), dengan berbagai formula. Hal ini dilakukan untuk menjawab berbagai permasalahan dalam penyediaan pakan trenggiling di penangkaran, baik teknik pemberian maupun bahan pakan. Di samping itu, penyediaan pakan alternatif juga sebagai salah satu upaya untuk meningkatkan keuntungan bagi para penangkar trenggiling agar dapat meminimalisasi harga kroto sebagai pakan utama yang mahal. Ukuran Morfologis, Penyakit dan Perilaku Trenggiling Ukuran morfologis trenggiling dewasa di penangkaran Medan, panjang kaki depan jantan 9,08 cm dan betina 8,40 cm, panjang kaki belakang jantan 9,92 cm dan betina 9,30 cm, panjang badan jantan 87,58 cm dan betina 86,40 cm. Berat badan anak berumur 1 bulan 300 gram, panjang badan 20 cm dan lingkar badan 17 cm, sedang umur enam bulan memiliki berat badan 700 gram, panjang badan 27 cm dan lingkar badan 23 cm. Penyakit yang sering menyerang trenggiling di penangkaran adalah caplak, diare, pilek, dan luka . Trenggiling akan cepat mati apabila terdapat luka pada bagian yang tidak bersisik (bagian abdomen). Hasil analisis endoparasit di laboratorium helmintologi menggunakan metode Mc Master, sedimentasi, dan pengapungan terhadap trenggiling di penangkaran Medan, tidak ditemukan telur cacing .
Sintesis 2010-2014
| 123
Perilaku trenggiling di penangkaran meliputi posisi tidur, perilaku bergerak, perilaku makan, memanjat dan berdiri. Posisi tidur trenggiling yaitu melingkar (64%), terlentang (27%), dan memanjangkan tubuh (9%). Perilaku bergerak adalah berjalan (38,6%), mendatangi pakan (29,9%), memanjat (24,5%), dan berdiri (7%). Perilaku makan dengan aktivitas minum 37,8%; urinasi 16,8%; defekasi 15,4%. d. Teknik Konservasi Fauna Kunci d.1. Kajian Habitat dan Populasi Elang Jawa (Nisaetus bartelsi) di Jawa Barat dan Jawa Tengah Kondisi Umum Habitat Elang Jawa Beberapa lokasi yang diindikasikan menjadi habitat elang jawa pada kawasan hutan TN Gunung Halimun-Salak (Jawa Barat), dua diantaranya adalah Blok Koridor (Resort Gunung Kendeng, Seksi Pengelolaan Taman Nasional/SPTN Wilayah III Sukabumi) dan Blok Tapos (Resort Salak I, SPTN Wilayah II Bogor). Sementara itu, lokasi habitat indikatif elang jawa di TN Gunung Merbabu (Jawa Tengah) yang dilakukan penelitiannya adalah pada blok hutan yang relatif menyatu, yaitu: Balongan, Balongan Timur, Bimo, Dok Malang, Dok Cilik, Tulangan, Ngerakalan, Bukit Mungkro, Babon, dan Ganje. Hasil analisis vegetasi tingkat tiang dan pohon pada habitat indikatif elang jawa di Blok Koridor TN Gunung Halimun-Salak menunjukkan indeks keragaman jenis (H’) berkisar 2,06-2,63 (kategori sedang) dan nilai keseragaman antar jenis (E) berkisar 0,75-0,85 (kategori tinggi). Sementara itu, vegetasi tingkat tiang dan pohon di blok hutan TN Gunung Merbabu menunjukkan indeks keragaman jenis (H’) berkisar 0,99-1,80 (kategori rendah hingga sedang) dan nilai keseragaman antar jenis (E) berkisar 0,53-0,87 (kategori sedang hingga tinggi). Tabel 31. Kondisi Umum Habitat Elang Jawa di TN Gunung Halimun-Salak dan TN Gunung Merbabu Lokasi Penelitian
Tipologi Habitat
TN Gunung Halimun-Salak (Jawa Barat) Blok Koridor Hutan sekunder - Sub Blok GH (850yang bercampur 1.100 m dpl.) dengan tanah - Sub Blok Pasir Bedil terbuka dan (950-1.000 m dpl.) perkebunan masyarakat
Sintesis 2010-2014 | 124
Kondisi Topografi Bergelombang ringan hingga sedang
Jenis Vegetasi utama
Puspa (Schima walichii), saninten (Castanopsis argentea), pasang (Quercus spp.), pasang batarua (Q. dolichorcarpa) dan kirung (Elaeocarpus pierri), ki hiur (C. acuminatisima), dan ki ronyok (Castanopsis spp.)
Lokasi Penelitian Blok Tapos - Sub Blok Loji (750950 m dpl) - Sub Blok Cipinang Gading (850-1.150 m dpl) - Sub Blok Bobojong (750-1.050 m dpl)
Tipologi Habitat Kombinasi hutan primer, hutan sekunder dan perkebunan
TN Gunung Merbabu (Jawa Tengah) Blok: Balongan, Hutan lahan Balongan Timur, Bimo, kering sekunder Dok Malang, Dok (alam dan Cilik, Tulangan, tanaman), tanah Ngerakalan, Bukit terbuka, dan Mungkro, Babon, dan berbatasan Ganje (1.650-2.300 m dengan dpl) pertanian lahan kering
Kondisi Topografi Bergelombang sedang hingga berat
Jenis Vegetasi utama
Cenderung bertopografi landai dengan beberapa areal bergelombang ringan hingga sedang
Puspa (Schima walichii), pinus (Pinus merkusii), sowo (Vitis landuk), bitami (Podocarpus spp.), akasia (Acacia decurrens), pasang (Quercus spp.), wuru besi (Hibiscus similis), dempul (Glochidion rubrum), pampung (Macropanax dispermus), lodrok (Saurauia bracteosa) dan melandingan gunung (Leucaena glauca)
Pinus (Pinus merkusii), puspa (Schima walichii), mara (Macaranga spp.), ki bancet (Turpini spp.), kayu afrika (Maesopsis ominii), ki sireum (Eugenia clavimyrtus), huru (Litsea spp.), kurai (Trema orientalis), ganitri (Elaeocarpus ganitrus), pasang (Quercus spp.) dan suren (Toona spp.)
Perjumpaan Elang Hasil penelitian pada habitat indikasi di kawasan hutan TN Gunung HalimunSalak (Jawa Barat) hanya berhasil dijumpai elang jawa di Blok Tapos, yaitu Sub Blok Cipinang Gading (925 m) dan Sub Blok Bobojong (852 m dpl). Pada kedua sub blok tersebut, elang jawa dijumpai masing-masing sebanyak dua individu dalam aktivitas terbang melayang dan berputar (soaring) secara terpisah. Selain elang jawa, penelitian berhasil menjumpai satu individu elang brontok (Spizaetus cirrhatus) di Sub Blok Loji (875 m dpl), dan tiga individu elang hitam (Ictinaetus malayensis) di Sub Blok Bobojong (di atas Sungai Ciapus, ketinggian 864 m dpl). Hasil penelitian pada habitat indikasi di kawasan hutan TN Gunung Merbabu (Jawa Tengah) hanya berhasil dijumpai dua individu elang jawa di Blok Babon (1.940 m dpl) dalam aktivitas terbang melayang dan berputar (soaring). Jenis elang lain yang paling sering dijumpai pada blok hutan TN Gunung Merbabu adalah elang Sintesis 2010-2014
| 125
hitam (Ictinaetus malayensis), yaitu: satu individu di Blok Bimo, tiga individu di Blok Ngerakalan, tiga individu di Blok Ganje, satu individu di Blok Tulangan. Keberadaan elang lain selain elang jawa dimungkinkan pada suatu wilayah karena beberapa laporan penelitian menyebutkan bahwa jenis-jenis elang tersebut memiliki home range yang bertumpuk (overlapped). Home range tersebut biasanya bertumpuk dengan home range elang ular, elang hitam dan elang brontok. Persarangan Elang Persarangan elang jawa dan elang lainnya yang berhasil dijumpai pada penelitian ini hanya terdapat di Blok Tapos (TN Gunung Halimun-Salak). Karakteristik persarangan dan jenis pohon sarang tersebut sebagaimana dimuat pada Tabel 32. Tabel 32. Karakteristik persarangan elang di Blok Tapos (Resort Salak I, SPTN Wilayah II Bogor, TN Gunung Halimun-Salak) Jenis Elang Elang Jawa (Nisaetus bartelsii)
Jenis Vegetasi Pohon sarang Suren (Toona spp.), Famili: Meliaceae
Karakteristik Persarangan Tinggi pohon 35-40 m diameter 60 cm Tinggi sarang 25 m
Sub Blok Bobojong
Elang Jawa (Nisaetus bartelsii)
Tinggi pohon 25-35 m diameter 40-60 cm Tinggi sarang 20-25 m
Sub Blok Loji
elang brontok (Spizaetus cirrhatus)
Ganitri (Elaeocarpus ganitrus), Famili: Tiliaceae Rasamala (Altingia excelsa), Famili: Hamamelidaceae Pasang (Quercus spp.), Famili: Fagaceae Randu (Ceiba spp.), Famili: Bombacaceae
Lokasi Sub Blok Cipinang Gading
Sintesis 2010-2014
| 126
Tinggi pohon 40-50 m diameter 170 cm Tinggi sarang 20 m (baru) dan 25 m (lama)
Topografi Lokasi Ketinggian tempat 1.111 m dpl pada lereng tebing, kemiringan > 45o, ketinggian lereng ± 100 m, posisi pohon sarang pada pertengahan lereng. Ketinggian tempat 968 m dpl pada lereng tebing, kemiringan > 45o, ketinggian lereng ± 150 m, posisi pohon sarang pada sepertiga atas lereng.
Ketinggian tempat 856 m dpl pada lereng tebing, kemiringan > 45o, ketinggian lereng ± 75 m, posisi pohon sarang pada pertengahan lereng.
Potensi Satwa Mangsa dan Ancaman Hasil penelitian pada habitat indikatif di kawasan hutan TN Gunung HalimunSalak (Jawa Barat) dan TN Gunung Merbabu (Jawa Tengah) berhasil diidentifikasi beberapa jenis satwa yang berpotensi sebagai satwa mangsa elang jawa. Beberapa jenis satwa liar tersebut antara lain: tupai (Callosciurus sp.), jalarang (Ratufa bicolor), monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), owa jawa (Hylobates moloch), lutung jawa (Trachyphitecus auratus), jenis burung kecil, kadal dan ular. Beberapa jenis burung kecil pada habitat elang jawa merupakan target perburuan liar. Jenis-jenis burung tersebut antara lain adalah burung cucak kutilang (Pycnonotus aurigaster), cucak gunung (Pycnonotus bimaculatus) dan kacamata gunung (Zosterops montanus). Perburuan liar dalam kawasan hutan konservasi ini berpotensi sebagai ancaman terhadap keberadaan satwa mangsa dan gangguan habitat. Kesimpulan dan Saran 1.
Kesimpulan
Beberapa temuan hasil penelitian menunjukkan perjumpaan elang jawa sangat terbatas, sehingga tidak dapat diperkirakan populasinya. Perjumpaan elang jawa cenderung pada tipologi habitat hutan alam (habitat utama bersarang), hutan sekunder dan daerah terbuka (habitat perburuan mangsa). Penggunaan habitat dalam home range elang jawa juga bertumpuk dengan elang lainnya, seperti elang hitam (Ictinaetus malayensis) dan elang brontok (Spizaetus cirrhatus). Namun demikian, terdapat preferensi habitat bagi elang jawa, terutama untuk persarangan. Tipologi dan karakteristik habitat elang jawa dan persarangannya, antara lain: ketinggian lokasi 852-1.940 m dpl dengan keberadaan pohon sarang pada ketinggian 968-1.111 m dpl. topografi bergelombang ringan hingga berat, terutama habitat persarangan pada perbukitan/lembah (100-150 m) dengan tebing yang curam (kemiringan > 45o), keberadaan jenis pohon yang spesifik sebagai pohon sarang, terutama adalah jenis rasamala (Altingia excelsa), pasang (Quercus spp.), suren (Toona spp), ganitri (Elaeocarpus ganitrus) dan puspa (Schima wallichii). keberadaan satwa mangsa, antara lain: mamalia kecil, bayi primata, burungburung kecil dan kelompok reptil. 2. Saran Hasil penelitian ini merupakan sebagian data dan informasi yang dapat dijadikan acuan dalam menentukan kriteria dan indikator kelayakan habitat elang jawa. Kecenderungan preferensi habitat juga dapat dijadikan acuan dalam pengelolaan habitat elang jawa dan pemilihan lokasi pelepasliarannya (second habitat).
Sintesis 2010-2014
| 127
Lokasi perjumpaan elang jawa
Sub Blok Bobojong
Sub Blok Cipinang Gading
Lokasi sarang elang jawa
Sumber Peta: Google Earth (2014)
Gambar 54. Titik perjumpaan elang jawa dan sarang di Blok Tapos TN Gunung Halimun-Salak
Blok Dok
Lokasi perjumpaan elang hitam
Blok
Cilik Tulangan Blok Dok Malang Blok Bimo Lokasi perjumpaan elang jawa
Blok Ngerakalan Blok Balonga n
Blok Bukit Mungkro
Blok Timur Blok
Ganj e
Blok Balongan
Babon
Sumber Peta: Google Earth (2014) Gambar 55. Lokasi Perjumpaan Elang Jawa dan Elang Hitam pada Blok Hutan di TN Gunung Merbabu, Jawa Tengah
Sintesis 2010-2014
| 128
Gambar 56. Pohon sarang dan persarangan elang jawa di Sub Blok Cipinang Gading, Blok Tapos TN Gunung Halimun-Salak (gambar diambil pada posisi sejajar di lereng tebing)
Gambar 57. Pohon sarang dan persarangan elang jawa di Sub Blok Bobojong, Blok Tapos TN Gunung Halimun-Salak (gambar diambil pada posisi dari dasar tebing)
d.2. Populasi dan Habitat Lutung jawa (Trachypithecus auratus) Pendahuluan Indonesia memiliki sedikitnya 40 jenis primata dari lima suku, yaitu Pongidae, Hylobatidae, Cercopythecidae, Nycticidae dan Lorisidae. Lima jenis diantaranya tersebar di kawasan hutan Pulau Jawa, yaitu owa jawa (Hylobates moloch), surili (Presbytis comata), monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), lutung jawa (Trachypithecus auratus), dan kukang jawa (Nycticebus javanicus). Owa jawa dan surili merupakan jenis endemik Jawa (Supriatna dan Wahyono, 2000). Lutung jawa (Trachypithecus auratus Geoffroy, 1812) merupakan jenis primata jawa yang mempunyai daerah sebaran yang luas, dari mulai bagian barat hingga timur Pulau Jawa. Berdasarkan SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 733/Kpts-II/1999, lutung jawa termasuk satwa yang dilindungi. Berdasarkan IUCN Redlist Data Book (2008), status konservasi lutung jawa adalah Vulnerable (langka). Habitat lutung jawa tersebar dari mulai hutan hujan dataran rendah (0 m dpl hingga hutan dataran tinggi dengan ketinggian 1600 m dpl. Populasi lutung jawa tersebar pada beberapa habitat utama seperti Taman Nasional (TN) Ujung Kulon, TN. Gunung Gede Pangrango, TN. Gunung Halimun Salak, TN. Gunung Ciremai,
Sintesis 2010-2014
| 129
TN. Alas Purwo, TN. Meru Betiri dan TN. Baluran. Namun demikian, sebaran populasinya terdapat pula di beberapa kawasan suaka alam, seperti CA. Leuweung Sancang, SM. Cikepuh, CA. Gunung Papandayan, Hutan Lindung Gunung Slamet dan CA. Dungus Iwul. Selain itu lutung jawa juga terdapat di beberapa kawasan hutan produksi dan hutan/ lahan yang terfragmentasi (Nijman, 2000). Habitat lutung Jawa meliputi hutan primer, hutan sekunder, hutan pantai, hutan mangrove maupun hutan hujan tropis. Lutung Jawa memiliki daerah jelajah yang cukup luas sehingga memerlukan koridor untuk pergerakannya. Menurut Supriatna dan wahyono (2000), daerah jelajahnya berkisar antara 15-23 ha. Hal ini dipengaruhi oleh jenis pakannya, menurut Clutton-Brock and Harvey (1977), primata yang hanya memakan daun akan memiliki daerah jelajah dan bentuk tubuh yang kecil dibandingkan dengan primata yang memakan beraneka ragam seperti daun, bunga dan buah. Ancaman utama populasi lutung jawa, adalah menurunnya luasan habitat, terutama di kawasan hutan produksi. Selain itu adanya aktivitas perburuan dan perdagangan liar terhadap jenis tersebut turut mempercepat laju kepunahannya. Menurut kategori keterancaman jenis menurut IUCN (International Union for Conservation of Nature and Natural Resources), suatu spesies disebut terancam (threatened) jika termasuk salah satu dari tiga kategori yaitu vulnerable, endangered, dan critically endangered. Berdasarkan kategori tersebut, tercatat ada empat jenis primata yang terancam punah di pulau Jawa, yaitu owa jawa (Hylobathes moloch), surili (Presbytis comata), lutung jawa (Trachypithecus auratus), dan kukang jawa (Nycticebus javanicus) (IUCN 2011, Supriatna et al. 2000). Hasil Penelitian dilakukan di beberapa kawasan hutan, yaitu kawasan hutan Gunung Honje, TN. Ujung Kulon, kawasan hutan Bodogol, TN. Gunung Gede Pangrango, kawasan hutan Situ gunung, KPH Sukabumi, kawasan hutan Gunung Beser, KPH Cianjur dan kawasan hutan mangrove Muara Gembong, KPH Bogor. 1.
Populasi
Selama pengamatan di kawasan hutan Gunung Honje, TN. Ujung Kulon, dijumpai tujuh kelompok lutung jawa dengan jumlah 33 individu. Jumlah individu dalam kelompok yang terlihat bervariasi antara 3 hingga 7 individu. Kepadatan populasi lutung jawa di kawasan hutan Gunung Honje mencapai 23,57 individu per km2 dan kepadatan kelompok mencapai 5 kelompok per km2. Gurmaya, dkk (1992) mencatat ada 21 kelompok lutung jawa dengan jumlah 114 individu dalam survey yang dilakukan hampir di seluruh Ujung Kulon. Sementara itu hasil survei Tim PEH TNUK pada tahun 2012, memperlihatkan lutung jawa tersebar hampir di seluruh daratan Ujung Kulon (TNUK, data tidak dipublikasi).
Sintesis 2010-2014
| 130
Berdasarkan komposisi umur dan kelamin, pada individu usia dewasa, individu jantan berjumlah delapan individu sedangkan betina berjumlah 11 individu. Sex ratio jantan : betina adalah 1 : 1,4. Berdasarkan kelompok umur, jumlah individu dewasa lebih besar daripada jumlah individu usia muda dan anak, yaitu 19 individu dewasa dan 14 individu usia remaja dan anak. Di kawasan hutan Bodogol, TN. Gunung Gede Pangrango, dijumpai tujuh kelompok lutung jawa, dengan total jumlah individu lutung yang terhitung sebanyak 34 individu dengan ukuran kelompok berkisar antara 3-8 individu per kelompok. Komposisi individu per kelompok terdiri dari jantan dewasa, betina dewasa, individu anak dan bayi. Seks ratio jantan dewasa dan betina dewasa adalah 1:2,1. Tabel 33. Ukuran dan komposisi kelompok lutung di hutan Bodogol, TNGP No Kelompok 1 2 3 4 5 6 7
Jantan dewasa 1 1 1 1 1 1 1 7
Betina dewasa 2 3 2 2 3 1 2 15
Anak
bayi
1 2 1 3 1 1 9
1 1 1 1 4
Jumlah total 3 6 6 4 8 3 5 35
Hutan alam Situ Gunung terletak di kaki Gunung Pangrango pada ketinggian antara 950-1.036 meter dari permukaan laut. Keadaan topografinya bergelombang sampai berbukit. Menurut klasifikasi Schmidt dan Ferguson TWA Situ Gunung mempunyai tipe iklim B dengan curah hujan berkisar antara 1.611-4.311 mm per tahun dengan 106-187 hari hujan per tahun. Suhu udara berkisar pada suhu yaitu 16oC-28oC dan kelembaban pada daerah ini rata-rata 84% Menurut administrasi pemerintahan, TWA Situ Gunung termasuk wilayah Desa Kadudampit, Kecamatan Kadudampit, Kabupaten Sukabumi. Secara geografis, kawasan ini terletak pada posisi antara 106’54’37” – 106’55’30” BT dan 06’39’40” – 06’41’12” LS. Kawasan hutan ini merupakan zona penyangga Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Selama pengamatan, tercatat dijumpai tiga kelompok lutung jawa, dan satu kelompok monyet ekor panjang. Ukuran kelompok lutung jawa yang dijumpai berkisar antara 6-11 individu per kelompoknya, dengan komposisi terdiri dari jantan dewasa, betina dewasa, individu anak dan bayi. Seks ratio jantan dewasa dan betina dewasa adalah 1:2,6.
Sintesis 2010-2014
| 131
Tabel 34. Jumlah dan komposisi kelompok lutung jawa di kawasan hutan Situ Gunung Jantan Dewasa 1 1 1 3
Kelompok Kelompok 1 Kelompok 2 Kelompok 3
Betina dewasa 3 2 3 8
Remaja/anak
bayi
Total
5 3 2 10
2 1 3
11 7 6 24
Hutan alam gunung Beser, terletak di wilayah kerja BKPH Cijedil. KPH Cianjur, Perum Perhutani Divisi Regional Jawa Barat. Luas kawasan hutan alam tersebut adalah 2.255,80 hektar. Kawasan hutan alam ini merupakan hutan produksi dan kawasan lindung, dengan ketinggian antara 400 - 1000 meter dpl. Secara Administratif, kawasan ini berada di desa Cijedil, Keamatan Cugenang, Kabupaten Cianjur. Hasil pengamatan mencatat, terdapat tiga kelompok lutung jawa dengan jumlah 15 individu (tabel 34). Selain lutung jawa dijumpai pula 1satu kelompok monyet ekor panjang (Macaca fascicularis). Berdasarkan informasi dan laporan tahunan KPH Cianjur, di kawasan hutan ini juga terdapat owa jawa (Hylobates moloch) dan surili (Presyitis comata). Kedua jenis primata ini merupakan jenis endemic Jawa. Tabel 35. Jumlah dan komposisi kelompok lutung di kawasan hutan Gunung Beser Kelompok Kelompok 1 Kelompok 2 Kelompok 3
2.
Jantan Dewasa 1 1 1 3
Betina dewasa 1 2 2 8
Remaja/anak 1 1 2 10
bayi 1 1 1 3
Total 4 5 6 15
Habitat
Habitat lutung jawa di hutan Gunung Honje terdiri dari hutan sekunder tua, hutan primer dan kebun ladang masyarakat yang ada di dalam kawasan. Pada awal sejarah kawasan, sebagian dari kawasan hutan Gunung Honje merupakan hutan produksi Perum Perhutani. Sehingga pada habitat lutung jawa di Resort Kopi dan Ketapang lebih mendekati tipe hutan sekunder. Hasil pengamatan vegetasi pada habitat lutung jawa di kawasan hutan Gunung Honje, dijumpai 23 jenis tumbuhan pohon. Beberapa jenis pohon yang cukup dominan adalah gadog (Bridelia glauca), mahoni (Swietenia mahogani), hampelas (Ficus ampelas), laban (Vitex pubescens), leungsir (Pometia pinnata) dan teureup (Artocarpus elasticus). Mahoni banyak dijumpai di kawasan hutan resort Kopi dan Ketapang, mengingat mahoni merupakan jenis tumbuhan yang ditanam ketika kawasan tersebut berstatus hutan produksi.
Sintesis 2010-2014
| 132
Habitat lutung jawa di kawasan hutan Bodogol merupakan hutan hujan dataran tinggi pegunungan. Dari plot pengamatan vegetasi yang diamati, tercatat ada 32 jenis tumbuhan di habitat lutung jawa. Beberapa jenis tumbuhan pohon merupakan sumber pakan lutung jawa, diantaranya afrika (Maesopsis eminii), kisireum (Syzigium restratum), kopo (Eugenia densiflora), hamerang (Ficus alba) dan teureup (Artocarpus elasticus). Daftar jenis tumbuhan selengkapnya tertera pada tabel 36 berikut: Tabel 36. Jenis Tumbuhan Pakan Lutung Jawa No
Nama Lokal
Nama Ilmiah
1
Afrika
Maesopsis eminii
2
Kisireum
Syzigium restratum
3
Kopo
Eugenia densiflora
4
Hamerang
Ficus alba
5
teureup
Artocarpus elasticus
6
Bisoro
Ficus laevicarpa
7
kurai
Trema orientalis
8
Mokla
Knema cinerea
9
Salam gunung
Eugenia clavimirtus
10
Cangcaratan
Nauneoplea optusa
11
Beunying
Ficus pistulosa
12
Kiputri
Podocarpusneuriifolia
13
Kileho
Sauraija pendula
14
Kondang
Ficus variegate
15
walen
Ficus ribes
16
Suren
Toona suren
17
Jirak
Symplocos chonchinen
18
Mara
Macarangatriloba
19
Saninten
Castanopsis argantea
20
Pasang
Lithocarpus pallidus
21
Manglid
Magnolia blumei
22
Seuseureuhan
Pipier aduncum
23
Harendong
Melastoma affine
24
huru
Phobea grandis
25
Janitri
Elaeocarpus pierrei
26
Rasamala
Altingia excelsa
27
Puspa
Schima wallichii
28
Leungsir
Pometia pinnata
29
Kareumbi
Omalanthus populneus
Sintesis 2010-2014
| 133
30
Huru tangkil
Gnetum sp.
31
Kiara bodas
Ficus involucrate
32
Kecapi hutan
Sandoricum kotjape
Selama pengamatan tercatat 21 jenis tumbuhan di kawasan hutan Situ Gunung. Vegetasi hutan Situ Gunung didominasi oleh jenis tumbuhan produksi, seperti puspa (Schima wallichii), pasang (Lithocarpus sp), damar (Aghatis lorantifolia), dan rasamala (Altingia excels). Dalam plot pengamatan vegetasi pada habitat lutung jawa di kawasan hutan Gunung Beser, KPH Cianjur, dijumpai 17 jenis tumbuhan tingkat pohon. Beberapa jenis tumbuhan merupakan jenis dominan, diantaranya kayu afrika (Maesopsis emanii), puspa (Schima wallichii), rasamala (Altingia excelsa) dan pasang (Lithocarpus sp). Kawasan hutan Muara Gembong merupakan bagian dari kawasan hutan di kabupaten Bekasi seluas : 10.481,15 Ha terdiri dari 346,00 berupa Tanaman Jenis Bako-bako (Rhizopora sp), dan Api-api (Avicenia sp), 25,18 Ha untuk penggunaan boster Pertamina, 6,00 Ha untuk penggunaan PGN (Perusahaan Gas Negara) dan seluas 10.099,17 Ha berupa tanah kosong akibat dari abrasi, pemukiman, tambak, kebun, tegalan dan tanah yang disengketakan oleh pihak lain. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri kehutanan Nomor 475/Menhut-II/2005 tanggal 16 Desember 2005 Kawasan hutan Ujung Krawang (Muara gembong) seluas ± 5.311,15 Ha terletak di Kecamatan Muara gembong kabupaten Bekasi ditetapkan sebagai hutan lindung, sedangkan sisanya seluas 5.170,00 Ha merupakan hutan produksi. Seperti pada umumnya kawasan hutan mangrove, hutan mangrove di Muara Gembong didominasi oleh tumbuhan bako-bako (Rhizopora sp), api-api (Avicenia sp.) dan cemara laut (Casuarina equisetifolia). Kesimpulan
Populasi lutung jawa yang hidup di kawasan hutan Banten dan Jawa Barat masih cukup banyak dan berada di atas ambang batas populasi minimum (minimum viable population). Sebagai primata pemakan daun (foliosvore), lutung jawa mudah beradaptasi dengan berbagai kondisi habitat, dalam hal ini hutan produksi maupun kawasan konservasi. Hal tersebut terlihat pada populasi lutung jawa yang terdapat di kawasan hutan mangrove Muara Gembong, yang terisolasi dari kawasan hutan mangrove lainnya di pantai utara Jawa. Terdapatnya populasi lutung jawa di kawasan hutan mangrove Muara Gembong menjadikan kawasan hutan tersebut mempunyai nilai penting dalam konservasi jenis, dalam hal ini konservasi jenis primata jawa. Mengingat populasi lutung jawa tersebut merupakan populasi yang tersisa di kawasan pantai utara Jawa.
Sintesis 2010-2014
| 134
Selain itu terdapatnya populasi lutung jawa di berbagai hutan produksi dan hutan lindung di kawasan Situ Gunung dan Gunung Beser, yang lokasinya berdampingan dengan kawasan konservasi Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, memberikan peran penting sebagai koridor habitat bagi lutung jawa dan jenis primata jawa lainnya, seperti monyet ekor panjang, owa jawa dan surili. Ancaman kepunahan lutung jawa yang utama adalah kegiatan perburuan liar jenis tersebut untuk diperdagangkan. Kawasan hutan produksi yang masih lemah pengamanannya, berpotensi mengundang pemburu liar untuk melakukan aktivitasnya. Pengelolaan kawasan hutan produksi dan hutan lindung menjadi daerah tujuan ekowisata akan mengurangi tekanan aktivitas perburuan liar.
d.3. TEKNIK KONSERVASI SATWA KARNIVORA PUNCAK MACAN TUTUL JAWA (Panthera pardus melas Cuvier 1809)
I.
PENDAHULUAN
Macan tutul (Panthera pardus Linnaeus, 1758) merupakan salah satu jenis kucing besar dari genus Panthera dalam famili Felidae. Berdasarkan analisis taksonomi modern ada delapan atau sembilan sub spesies, salah satunya adalah macan tutul jawa (Panthera pardus melas Cuvier, 1809). Sebaran macan tutul jawa sangat terbatas, hanya di Pulau Jawa (Santiapillai & Ramono, 1992; Meijaard 2004), Pulau Kangean (Direktorat PPA, 1978; 1982), Pulau Nusakambangan (Gunawan, 1988) dan Pulau Sempu (Surabaya Post Hot News, Selasa, 17/09/1996). Terdapat kecenderungan melanisme (warna hitam) pada macan tutul (Guggisberg, 1975; Nowak, 1997) dan yang mengalami melanisme dinamakan macan kumbang (black panther). Macan kumbang masih memiliki tutul rosette walaupun tersamar oleh warna rambut yang gelap (Lekagul & McNeely, 1977; Garman, 1997). Macan tutul yang mengalami melanisme kebanyakan ditemukan di hutan yang lebat dan basah, dimana warna ini bermanfaat sebagai penyamaran dalam perburuan mangsa (Garman, 1997). Status kelangkaan macan tutul jawa menurut kategori Redlist IUCN (International Union for Conservation of Nature & Natural Resources) terus meningkat dari Vulnerable (1978) menjadi Threatened (1988), Indeterminate (1994), Endangered (1996) dan akhirnya menjadi Critically Endangered pada 2008 (IUCNThe World Conservation Union, 1996; Ario et al., 2008). Di Indonesia, macan tutul jawa sudah dilindungi sejak tahun 1970 berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian Nomor 421/Kpts/Um/8/1970, kemudian pada tahun 1999 dipertegas lagi dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7 tahun 1999 tentang Pengawetan Tumbuhan dan Satwa. Macan tutul jawa juga termasuk dalam Appendix I CITES
Sintesis 2010-2014
| 135
(Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna & Flora) (Soehartono & Mardiastuti, 2002). Kebijakan pembangunan yang tidak berwawasan lingkungan bersama-sama dengan tekanan sosial-ekonomi serta sikap dan perilaku masyarakat secara simultan dan akumulatif telah mengakibatkan: (1) hilangnya atau berkurangnya luasan habitat (habitat loss) sehingga tidak mampu lagi mendukung kehidupan macan tutul jawa, (2) degradasi kualitas habitat (habitat degradation) sehingga tidak sesuai lagi bagi macan tutul jawa dan (3) fragmentasi habitat (habitat fragmentation) yang meningkatkan resiko kepunahan macan tutul jawa akibat isolasi dan mekanisme inbreeding. Dampak akhir dari berbagai penyebab tersebut terhadap macan tutul jawa adalah: (1) menurun hingga hilangnya kesesuaian habitat; (2) menurunnya populasi secara regional dan beberapa punah secara lokal, serta (3) berkurangya daerah sebaran dan terisolasinya beberapa populasi (Gunawan, 2010). Penelitian macan tutul jawa sangat penting dilakukan karena setelah harimau jawa (Panthera tigris sondaica Temminck, 1844) punah, macan tutul jawa menduduki puncak rantai makanan (trophic level) dalam ekosistem hutan di Pulau Jawa, sehingga. macan tutul jawa juga merupakan spesies kunci (keystone species) yang sangat penting bagi keseimbangan ekosistem. Di sisi lain keberadaan macan tutul jawa semakin terancam punah (Gunawan, 2010). Informasi tentang perkembangan populasi dan penyebaran macan tutul jawa selama beberapa dekade terakhir di Pulau Jawa tidak terpantau dengan baik. Meijaard (2004) menyarankan agar pengelola kawasan konservasi memberikan perhatian khusus pada macan tutul jawa, antara lain dengan survei satwa tersebut secara menyeluruh sebagai langkah pertama dalam upaya konservasi.
II. STATUS EKOLOGI HABITAT A. Tipe-Tipe Vegetasi Habitat Provinsi Jawa Tengah memiliki sekitar 615.243,6 Ha yang terdiri atas Hutan Alam Pegunungan 37.725,6 Ha, Hutan Alam Dataran Rendah 4.379,1 Ha, Tanaman Pinus 223.052,6 Ha, Tanaman Jati 340.453,2 Ha dan Tanaman Campuran 9.633,1 Ha. Hutan tanaman campuran biasanya terdiri atas dari dua atau lebih jenis-jenis seperti Jati (Tectona grandis), Mahoni (Swietenia macrophylla), Puspa (Schima noronhoe), Pinus (Pinus merkusii), Damar (Agathis alba), Sengon (Paraserianthes falcataria), dan lain-lain. Hutan tersebut terbagi dalam fungsi produksi, lindung dan konservasi. Hutan produksi dan lindung dikelola oleh Perum Perhutani Unit 1 Jawa Tengah. Sementara hutan konservasi dikelola oleh Balai KSDA dan Balai Taman Nasional. Dari 20 KPH Perum Perhutani Unit 1 Jawa Tengah yang diteliti, terdapat 15 KPH yang wilayahnya masih menjadi daerah sebaran macan tutul jawa. Dari 15 KPH tersebut terdapat 48 titik indikasi keberadaan macan tutul jawa (Gunawan, 2010).
Sintesis 2010-2014
| 136
Di Pulau Jawa, maca tutul jawa menghuni areal-areal berhutan, baik hutan alam maupun hutan tanaman. Hutan habitat macan tutul jawa terdiri atas berbagai tipe vegetasi, yaitu hutan mangrove, hutan pantai, hutan hujan tropis dataran rendah, hutan hujan tropis pegunungan, dan hutan tanaman dengan berbagai jenis tanaman monokultur seperti jati, pinus, mahoni, puspa, rasamala maupun tanaman campuran. Hutan alam terdiri atas hutan primer dan sekunder. Hasil penelitian Gunawan (2010) di Provinsi Jawa Tengah menemukan bahwa dari 48 titik lokasi indikasi macan tutul jawa, frekuensi terbanyak ditemukan di hutan pinus (43,8%) diikuti hutan jati (27,1%), hutan alam pegunungan (14,5%), hutan tanaman campuran (8,3%) dan hutan alam dataran rendah (6,3%). Sementara itu, hasil penelitian Gunawan (2012) di Provinsi Jawa Barat dan Banten menemukan bahwa dari 75 lokasi indikatif keberadaan macan tutul di wilayah Provinsi Jawa Barat dan Banten, 64,0% tersebar di ekosistem hutan hujan tropis pegunungan (>1.000 m dpl), sedangkan 17,3% tersebar di hutan hujan tropis dataran rendah (< 1.000 m dpl), sisanya tersebar di tipe ekosistem hutan tanaman pinus 5,3%, jati 6,7%, mahoni 1,3%, kayu rimba campuran 4,0% serta hutan pantai dan mangrove 1,3%. Satu-satunya lokasi indikatif ditemukannya macan tutul di hutan pantai dan mangrove adalah di TN. Ujung Kulon. B. Satwa Mangsa Menurut Gunawan (2010) berdasarkan hasil peneltiannya di Provinsi Jawa Tengah ditemukan 21 jenis satwa yang potensial menjadi mangsa macan tutul jawa. Mangsa utama macan tutul adalah primata dan ungulata. Dengan demikian mangsa utama potensial di Jawa Tengah adalah : monyet, lutung, owa jawa, surili, rekrekan, kukang jawa, babi hutan, kijang, rusa, dan kancil. Tabel 37. Hasil inventarisasi satwa yang potensial menjadi mangsa macan tutul di Jawa tengah. No. 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Nama Lokal Nama Latin MANGSA UTAMA POTENSIAL Monyet Macaca fascicularis Raffles, 1821 Lutung Trachypithecus auratus E. Geoffroy, 1812 Owa jawa Hylobates molloch Audebert , 1798 Surili Presbytis comata Desmarest, 1822 Rek-rekan Presbytis fredericae Sody, 1930 Kukang Jawa Nycticebus coucang Boddaert, 1785 Babi hutan Sus scrofa Linnaeus, 1758 Kijang Muntiacus muntjak Rafinesque, 1815 Rusa Rusa timorensis, Blainville, 1822 Kancil Tragulus javanicus Osbeck ,1765 MANGSA SEKUNDER POTENSIAL Lingsang Prionodon linsang Hardwicke, 1821
Sintesis 2010-2014
| 137
No. 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21
Nama Lokal Garangan Landak Luwak Trenggiling Kucing hutan Kelelawar Cukbo Bajing Tikus Tupai
Nama Latin Herpestes javanicus E. Geoffroy-Hilaire, 1818 Hystrix javanica F. Cuvier, 1823 Paradoxurus hermaphroditus Pallas, 1777 Manis javanica Desmarest, 1822 Prionailurus bengalensis Kerr, 1792 Pteropus sp. Iomys horsfieldii, Waterhuse, 1838 Callosciurus sp. Rattus rattus Linnaeus, 1758 Tupaia sp.
Sumber : Gunawan (2010) Menurut Gunawan (2012) ada 10 jenis satwa mangsa utama potensial bagi macan tutul di Jawa Barat dan Banten dari kelompok Primata dan Ungulata seperti : Monyet (Macaca fascicularis), Lutung (Trachypithecus auratus), Surili (Presbytis comata), Owa (Hylobates moloch), Oces (Nycticebus coucang), Rusa (Cervus timorensis russa), Mencek (Muntiacus muntjak), Babi Hutan (Sus scrofa), Kancil (Tragulus javanicus), dan Banteng (Bos javanicus). Terdapat 20 jenis satwa yang potensial menjadi mangsa sekunder macan tutul yaitu dari kelompok mamalia kecil dan sedang serta burung. Jenis-jenis satwa mangsa potensial bagi macan tutul jawa di Provinsi Jawa Barat dan Banten disajikan di tabel berikut ini. Tabel 38. Jenis-jenis mangsa utama dan mangsa sekunder potensial bagi macan tutul jawa di Provinsi Jawa Barat dan Banten. No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Nama Lokal Nama Latin MANGSA UTAMA POTENSIAL Monyet ekor panjang Macaca fascicularis (Raffles, 1821) Lutung jawa Trachypithecus auratus (É. Geoffroy, 1812) Surili Presbytis comata (Desmarest, 1822) Owa Hylobates moloch (Audebert, 1798) Oces Nycticebus coucang (Boddaert, 1785) Rusa Cervus timorensis russa (Müller & Schlegel, 1844) Mencek Muntiacus muntjak (Zimmermann, 1780) Babi Hutan Sus scrofa (Linnaeus, 1758) Kancil Tragulus javanicus (Osbeck, 1765) Banteng Bos javanicus (d'Alton, 1823) MANGSA SEKUNDER POTENSIAL Luwak Paradoxurus hermaphroditus (Pallas, 1777). Garangan Herpestes javanicus (É. Geoffroy Saint-Hilaire, 1818) Musang Viverricula indica (Desmarest, 1804) Trenggiling Manis javanica (Desmarest, 1822) Sero Prionodon linsang (Horsfield, 1822) Landak Hystrix javanica (F. Cuvier, 1823)
Sintesis 2010-2014
| 138
No. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20.
Nama Lokal Ajag Kucing Hutan Ayam Hutan Merak Sigung, teledu Cukbo, Walangkopo Careuh besar Careuh kecil Tando Encang-encang Biawak Jelarang Bajing Tupai, Kekes
Nama Latin Cuon alpinus (Pallas, 1811) Prionailurus bengalensis (Kerr, 1792) Gallus gallus (Brisson, 1766) Pavo muticus (Linnaeus, 1766) Mydaus javanensis (Desmarest, 1820) Petaurista elegans (Müller, 1840) Viverricula malaccensis (Gmelin, 1788) Mustela nudipes (Desmarest, 1822) Cyanocephalus variegatus (Simpson, 1945) Iomys horsfieldii (Waterhouse, 1838) Varanus salvator (Merrem, 1820) Ratufa bicolor (Sparrman, 1778) Callosciurus notatus (Boddaert, 1785) Tupaia javanica (Horsfield, 1822)
Sumber : Gunawan (2012) C.
Preferensi Habitat
1.
Tipe Vegetasi Hutan
Menurut Gunawan (2010) Macan tutul jawa menyeleksi habitatnya, di Jawa Tengah, habitat hutan hujan tropis dataran rendah paling disukai oleh macan tutul jawa kerena memiliki nilai indeks seleksi tertinggi (w = 8,5), diikuti hutan tanaman campuran (w = 5,9), hutan hujan tropis pegunungan (w = 3,0) dan hutan tanaman pinus (w = 1,2). Hutan jati walaupun memiliki proporsi luas paling besar tetapi tidak disukai oleh macan tutul jawa karena nilai indeks seleksinya kurang dari satu (w = 0,5). Menurut Gunawan (2012), di Jawa Barat dan Banten, macan tutul jawa lebih menyukai ekosistem hutan hujan tropis pegunungan dan hutan hujan tropis dataran rendah. Hal ini diduga karena kondisinya yang umumnya masih memiliki vegetasi primer dan kaya akan keanekaragaman jenis flora fauna. Demikian juga dengan hutan hujan tropis dataran rendah, meskipun kemungkinan sudah banyak yang sekunder, namun masih kaya keanekaragaman hayati flora dan fauna sehingga disukai macan tutul jawa. 2. Iklim Macan tutul jawa di Provinsi Jawa Tengah tersebar di berbagai kondisi iklim (A, B, C,D,E). Menurut Gunawan (2010) terdapat hubungan antara keberadaan macan tutul jawa dengan kondisi iklim (tipe curah hujan) di suatu wilayah. Di Jawa Tengah macan tutul jawa lebih banyak dijumpai daerah beriklim basah (A dan B) (68,75%) daripada di daerah beriklim kering (C, D, E) (31,25%). Dengan demikian, curah hujan merupakan koponen habitat yang penting bagi macan tutul jawa (Gunawan, 2010).
Sintesis 2010-2014
| 139
Menurut Gunawan (2010) Iklim (curah hujan) diduga berpengaruh terhadap keberadaan satwa mangsa macan tutul yang merupakan herbivora. Satwa herbivora tergantung pada ketersediaan hijauan pakan yang umumnya merupakan tumbuhan bawah. Kelimpahan tumbuhan bawah dipengaruhi oleh kondisi curah hujan setempat. 3. Status Kawasan Hutan Dari 48 titik lokasi indikasi macan tutul jawa di Provinsi Jawa Tengah, 14,58% tersebar di kawasan hutan lindung, 6,25% di hutan konservasi dan 79,17% di hutan produksi. Tidak ditemukan macan tutul di hutan rakyat. Hutan Konservasi yang masih memiliki macan tutul jawa di Jawa Tengah adalah Taman Nasional Gunung Merapi, Taman Nasional Gunung Merbabu dan Cagar Alam Nusa Kambangan (Barat dan Timur) (Gunawan, 2010). Pentingnya status fungsi kawasan hutan bagi habitat macan tutul jawa juga ditunjukkan oleh fakta bahwa dari 17 lokasi sebaran macan tutul yang mengalami kepunahan lokal, 94% (16) di antaranya berada di hutan produksi dan hanya satu yang berada di hutan konservasi (hutan alam). Dari 16 lokasi sebaran macan tutul jawa yang telah mengalami kepunahan lokal, 87,5% (14) diantaranya merupakan hutan tanaman jati dan hanya dua lokasi yang merupakan hutan tanaman pinus (Gunawan, 2010). Di Provinsi Jawa Barat dan Banten, Gunawan (2012) juga menemukan bahwa macan tutul memiliki preferensi terhadap hutan konservasi, kemudian hutan lindung dan yang terakhir hutan produksi. 4. Topografi Macan tutul menyukai daerah berlereng curam dan dekat patahan tebing atau puncak punggung bukit yang dekat dengan tebing. Tempat ini dipilih sebagai tempat berlindung karena umumnya sulit dijangkau manusia (Chundawat, 1990; Marker and Dickman, 2005). Macan tutul jawa di Provinsi Jawa Tengah tersebar di hutan-hutan dengan kisaran topografi yang beragam, namun ada kecenderungan macan tutul jawa banyak ditemukan di daerah dengan lereng yang curam sampai sangat curam. Hasil penelitian Gunawan (2010) menemukan bahwa ada hubungan antara keberadaan macan tutul jawa dengan kondisi kelerengan habitatnya. Dari 48 lokasi indikasi macan tutul jawa, sebagian besar ditemukan pada kelas lereng datar (43,8%), curam (31,3%) dan sisanya hampir merata tersebar di kelas lereng landai 6,3%, agak curam 8,3% dan sangat curam 16,4%. Menurut Gunawan (2010) macan tutul jawa lebih banyak menggunakan habitat dengan lereng curam dan sangat curam diduga ada kaitannya dengan faktor keamanan habitat, karena pada kondisi topografi yang berat umumnya tingkat kerawanan terhadap gangguan oleh manusianya rendah. Faktanya di lapangan memang kawasan hutan bertopografi berat jarang dirambah manusia dan umumnya juga merupakan hutan lindung yang terjaga dan tidak ada kegiatan eksploitasi. Fakta juga menunjukkan bahwa dari 15 populasi macan tutul jawa yang mengalami
Sintesis 2010-2014
| 140
kepunahan lokal di Provinsi Jawa Tengah, 46,67% memiliki topografi datar. Hal ini diduga ada kaitannya dengan faktor kerawanan terhadap gangguan manusia di sekitar hutan (tekanan dari penduduk) (Gunawan, 2010). Di Provinsi Jawa Barat dan Banten, Gunawan (2012) juga menemukan fenomena yang sama, yaitu macan tutul paling menyukai habitat bertopografi sangat curam, kemudian curam dan agak curam. Hal ini diduga berkaitan dengan keamanan habitat, karena daerah daerah berlereng curam umumnya dihindari manusia dan jauh dari jangkauan manusia, sehingga aman dari gangguan manusia. Daerah bertopografi terjal umumnya juga ditetapkan sebagai hutan lindung yang tidak dieksploitasi dan selalu dijaga kelestariannya, sehingga daerah ini relatif aman bagi macan tutul dan satwa mangsanya. 5. Ketinggian Tempat (Altitude) Menurut Gunawan (2010) dari 48 lokasi indikasi macan tutul jawa di Jawa Tengah, frekuensi terbanyak ada di ketinggian 0 – 500 m dpl (52,1%) diikuti ketinggian lebih dari 1.000 m dpl (31,3%) dan ketinggian 500-1.000 m dpl (16,7%). Berdasarkan indeks seleksi, ketinggian di atas 1.000 m dpl paling disukai, sementara ketinggian kurang dari 500 m dpl kurang disukai. Ada Sembilan lokasi indikasi macan tutul jawa yang memiliki ketinggian 1.000 m atau lebih dari permukaan laut. Lokasi-lokasi tersebut umumnya merupakan gunung-gunung yang hutannya telah ditetapkan sebagai hutan lindung yaitu : Gunung Slamet, G. Prahu, G. Sindoro, G. Sumbing, G. Merapi, G. Merbabu, G. Lawu, G. Ungaran dan.G. Muria. Sementara itu, Gunung Merapi dan Gunung Merbabu telah ditetapkan sebagai taman nasional sejak tahun 2004 (Gunawan, 2010). Di Provinsi Jawa Barat dan Banten, Gunawan (2012) menemukan bahwa macan tutul memiliki preferensi terhadap daerah dengan ketinggian lebih dari 1.000 m dpl atau daerah pegunungan. Beberapa gunung yang dihuni macan tutul jawa antara lain : G. Cakrabuana, G. Papandayan, G. Galunggung, G. Tilu, G. Jubleg, G. Malabar, G. Burangrang, G. Tangkubanprahu, G. Kalong, G. Sanggabuana, G. Kendeng, G. Endut, G. Gede-Pangrango, G. Bongkok, G. Ciremai, G. Halimun-Salak (Gunawan, 2013). Menurut Gunawan (2010) hubungan ketinggian tempat dengan pemanfaatan habitat oleh macan tutul jawa diduga berkaitan dengan faktor kerawanan terhadap gangguan. Dalam hal ini kerawanan terhadap tekanan masyarakat pada hutan. Perkampungan dan pemukiman padat umumnya berada di daerah dataran rendah dengan ketinggian kurang dari 1.000 m dpl, oleh karena itu hutan-hutan di dataran rendah banyak dikelilingi oleh pemukiman. Disamping itu, kawasan hutan di daerah ketinggian lebih dari 1.000 m dpl banyak yang merupakan kawasan hutan lindung atau hutan konservasi.
Sintesis 2010-2014
| 141
D. Kerawanan Habitat Pemetaan kerawanan habitat sangat penting bagi pengelolaan macan tutul karena berguna untuk mitigasi potensi konflik antara macan tutul dan manusia. Di habitathabitat yang rawan, potensial terjadi kasus keluarnya macan tutul jawa dari hutan ke pemukiman atau kebun di sekitar hutan yang bisa disebabkan kurangnya satwa mangsa atau kalah dalam perebutan wilayah jelajah (Gunawan, 2013). Berdasarkan tingkat kerawanan terhadap potensi gangguan aktifitas manusia, di Provinsi Jawa Tengah hanya sedikit habitat yang memiliki kelas kerawanan rendah (aman) untuk habitat macan tutul jawa yaitu 16,90%, selebihnya memiliki kerawanan tinggi atau tidak aman (40,74%) dan sedang (42,36%). Berdasarkan luasnya, areal berhutan yang memiliki tingkat kerawanan rendah atau aman untuk habitat macan tutul jawa hanya 11,07%, sedangkan sebagian besar lainnya memiliki tingkat kerawanan tinggi atau tidak aman (69,19%) dan sedang (19,73%). Sementara di Jawa Barat dan Banten, 36% dari total luasan hutan memiliki kerawanan tinggi untuk habitat macan tutul, 29% kerawanan sedang dan 35% memiliki kerawanan rendah atau relatif aman bagi habitat macan tutul jawa. Habitathabitat yang aman (kerawanan rendah) umumnya adalah hutan konservasi seperti Taman Nasional, Suaka Margasatwa, Cagar Alam dan beberapa merupakan Hutan Lindung. Kawasan Hutan Produksi umumnya memiliki kerawanan tinggi untuk habitat macan tutul. Dari 75 titik indikasi keberadaan macan tutul jawa di Jawa Barat dan banten, 15% diantaranya ada di kawasan hutan dengan kerawanan tinggi atau tidak aman, 25% kerawanan sedang dan 60% berada di habitat dengan kerawanan rendah atau relatif aman (Gunawan, 2013). Faktor keamanan sangat penting dalam analisis kesesuaian habitat macan tutul jawa karena dari hasil penelitian ini diperoleh fakta bahwa 66,67% populasi macan tutul jawa yang mengalami kepunahan lokal di Jawa Tengah berada di lokasi dengan kerawanan habitat tinggi atau tingkat keamanannya rendah dan 33,33% berada di lokasi dengan tingkat keamanan sedang (Gunawan, 2010). E. Kesesuaian Habitat Mengevaluasi habitat-habitat yang masih tersisa dan memperkirakan lokasilokasi yang masih memiliki kesesuaian sebagai habitat macan tutul jawa merupakan pekerjaan penting dalam rangka konservasi satwa tersebut (Gunawan, 2010). Pemodelan spasial kesesuaian habitat secara kuantitaif sangat penting untuk pengelolaan populasi satwaliar dan perencanaan strategi konservasi pada skala lanskap (U.S. Fish and Wildlife Service, 1980; 1981; Osborne et al., 2001). Model kesesuaian habitat (habitat suitability) merupakan metode yang efisien dan murah serta cepat untuk menilai kualitas habitat satwaliar (Brooks 1997; Schamberger et al., 1982; Cole & Smith, 1983).
Sintesis 2010-2014
| 142
Hasil penelitian Gunawan (2010) di Jawa Tengah menemukan bahwa 7,67% patches hutan (kantonog habitat) memiliki kelas kesesuaian habitat rendah, 36,92% kesesuaian sedang dan 55,41% kesesuaian tinggi. Dari segi luasan, areal berhutan yang memiliki kelas kesesuaian habitat tinggi adalah 30,86%, kelas kesesuaian habitat sedang 61,24% dan kelas kesesuaian habitat rendah 7,90%. Sementara itu, lokasi indikasi macan tutul jawa terkonsentrasi di habitat-habitat dengan kelas kesesuaian tinggi (54,17%), diikuti dengan kelas kesesuaian sedang (41,67%) dan kelas kesesuaian rendah.
III. STATUS POPULASI A. Distribusi Populasi Dahulu pernah diklasifikasikan 30 sub spesies macan tutul, sekarang berdasarkan analisis taksonomi modern hanya ada sembilan sub spesies yang valid, salah satunya adalah Panthera pardus melas yang sebarannya hanya di Pulai Jawa. Secara umum daerah sebaran macan tutul jawa disajikan pada Tabel 39 di bawah ini. Tabel 39. Status sebaran Macan tutul jawa (Panthera pardus melas) di Pulau Jawa. NO 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 1. 2. 3.
UNIT WILAYAH HUTAN JAWA TENGAH1) KPH Banyumas Barat KPH Banyumas Timur KPH Kedu Selatan KPH Kedu Utara KPH Surakarta KPH Telawah KPH Purwodadi KPH Randublatung KPH Cepu KPH Kebunharjo KPH Pati KPH Kendal KPH Pekalongan Timur KPH Pekalongan Barat KPH Pemalang CA. Nusakambangan TN Gunung Merapi TN Gunung Merbabu JAWA BARAT2) KPH Kuningan KPH Majalengka KPH Ciamis
FUNGSI HUTAN UTAMA
PENGELOLA WILAYAH HUTAN
Produksi dan Lindung Produksi Produksi Produksi dan Lindung Produksi dan Lindung Produksi Produksi Produksi Produksi Produksi Produksi dan Lindung Produksi Produksi Produksi dan Lindung Produksi Konservasi Konservasi Konservasi
Perum Perhutani Unit I Jateng Perum Perhutani Unit I Jateng Perum Perhutani Unit I Jateng Perum Perhutani Unit I Jateng Perum Perhutani Unit I Jateng Perum Perhutani Unit I Jateng Perum Perhutani Unit I Jateng Perum Perhutani Unit I Jateng Perum Perhutani Unit I Jateng Perum Perhutani Unit I Jateng Perum Perhutani Unit I Jateng Perum Perhutani Unit I Jateng Perum Perhutani Unit I Jateng Perum Perhutani Unit I Jateng Perum Perhutani Unit I Jateng BKSDA Jawa Tengah BTN Gunung Merapi BTN Gunung Merbabu
Produksi Produksi Produksi
Perum Perhutanu Unit III Jabar Perum Perhutanu Unit III Jabar Perum Perhutanu Unit III Jabar
Sintesis 2010-2014
| 143
NO 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21. 22. 23. 24. 25. 26. 27. 28. 29. 30. 31. 32. 33. 34. 1. 2. 3. 4.
UNIT WILAYAH HUTAN KPH Tasikmalaya KPH Garut KPH Sukabumi KPH Cianjur KPH Purwakarta KPH Bandung Selatan KPH Bandung Utara KPH Sumedang KPH Indramayu KPH Bogor KPH Banten CA Tukung Gede CA Rawa Dano/Danau CA Gunung Simpang CA Telaga Warna TWA Gunung Pancar TB Gunung MasigitKarembi TWA Gunung Tampomas CA Burangrang CA Gunung Tangkuban Perahu CA Gunung Tilu CA Telaga Bodas CA Gunung Papandayan CA Kawah Kamojang CA Leuweung Sancang SM Cikepuh SM Gunung Sawal TN. Gunung GedePangrango TN Gunung HalimunSalak TN Gunung Ciremai TN Ujung Kulon JAWA TIMUR3) KPH Madura (P. Kangean) KPH Tuban KPH Padangan KPH Saradan
Sintesis 2010-2014
| 144
FUNGSI HUTAN UTAMA Produksi Lindung Produksi Produksi Produksi Produksi dan Lindung Lindung Produksi Produksi Produksi Lindung Konservasi Konservasi Konservasi Konservasi Konservasi Konservasi
PENGELOLA WILAYAH HUTAN Perum Perhutanu Unit III Jabar Perum Perhutanu Unit III Jabar Perum Perhutanu Unit III Jabar Perum Perhutanu Unit III Jabar Perum Perhutanu Unit III Jabar Perum Perhutanu Unit III Jabar Perum Perhutanu Unit III Jabar Perum Perhutanu Unit III Jabar Perum Perhutanu Unit III Jabar Perum Perhutanu Unit III Jabar Perum Perhutanu Unit III Jabar BKSDA Jabar Banten BKSDA Jabar Banten BKSDA Jabar Banten BKSDA Jabar Banten BKSDA Jabar Banten BKSDA Jabar Banten
Konservasi dan Lindung Konservasi Konservasi
BKSDA Jabar Banten
Konservasi Konservasi Konservasi Konservasi Konservasi Konservasi Konservasi Konservasi
BKSDA Jabar Banten BKSDA Jabar Banten BKSDA Jabar Banten BKSDA Jabar Banten BKSDA Jabar Banten BKSDA Jabar Banten BKSDA Jabar Banten BTN Gunung Gede pangrango
Konservasi
BTN Gunung Halimun Salak
Konservasi Konservasi
BTN Gunung Ciremai BTN Ujung Kulon
Lindung
Perum Perhutani Unit II Jatim
Produksi Produksi Produksi
Perum Perhutani Unit II Jatim Perum Perhutani Unit II Jatim Perum Perhutani Unit II Jatim
BKSDA Jabar Banten BKSDA Jabar Banten
NO 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 1)
UNIT WILAYAH HUTAN KPH Jember KPH Blitar KPH Jatirogo KPH Madiun (BH Ponorogo) KPH Gundih CA. Kawah Ijen CA. P. Sempu CA. Gunung Sigogor SM. Dataran Tinggi Yang TN. Bromo Tengger Semeru TN. Meru Betiri TN. Baluran TN. Alas Purwo
FUNGSI HUTAN UTAMA Produksi Produksi Produksi Produksi
PENGELOLA WILAYAH HUTAN Perum Perhutani Unit II Jatim Perum Perhutani Unit II Jatim Perum Perhutani Unit II Jatim Perum Perhutani Unit II Jatim
Produksi Konservasi Konservasi Konservasi Konservasi
Perum Perhutani Unit II Jatim BKSDA Jawa Timur BKSDA Jawa Timur BKSDA Jawa Timur BKSDA Jawa Timur
Konservasi
BTN. Bromo Tengger Semeru
Konservasi Konservasi Konservasi
BTN. Meru Betiri BTN. Baluran BTN. Alas Purwo
Sumber Gunawan (2010); 2) Sumber : Gunawan (2012); 3) Dari berbagai sumber.
Gambar 58. Peta kerawanan habitat macan tutul Jawa (Panthera pardus melas) di Provinsi Jawa Tengah.
Sintesis 2010-2014
| 145
Gambar 59. Peta kerawanan habitat macan tutul jawa di Provinsi Jawa Barat dan Banten
Gambar 60. Peta kesesuaian habitat macan tutul Jawa (Panthera pardus melas) di Provinsi Jawa Tengah
Sintesis 2010-2014
| 146
B. Fragmentasi Populasi Macan tutul jawa di Pulau Jawa menghadapi ancaman utama berupa fragmentasi hutan. Ancaman terbesar fragmentasi terjadi di hutan produksi. Padahal di Provinsi Jawa Tengah hutan produksi mencakup 83,84% dari seluruh kawasan hutan (Perum Perhutani, 2006). Sementara di Jawa Barat dan Banten hampir separuhnya (46,1%) dari kawasan hutan adalah Hutan Produksi. Hutan Produksi sangat rentan terhadap fragmentasi karena setiap saat terancam oleh tebang habis atau konversi. Provinsi Jawa Tengah memiliki laju deforestasi periode 2000-2005 rata-rata 142.560 ha per tahun. Pada periode 2003-2006 terjadi deforestasi terbesar yaitu 5.073,2 ha atau 80,6% dari total deforestasi di Pulau Jawa (Departemen Kehutanan, 2007a). Berdasarakan hasil penelitian Gunawan (2010) dalam kurun waktu 16 tahun (1990-2006) provinsi Jawa Tengah telah kehilangan hutan alamnya seluas 446.561,09 Ha atau 88,0%. Fragmentasi telah terjadi di semua hutan alam yang tersisa di gunung-gunung lainnya seperti Gunung Merapi, Gunung Merbabu, Gunung Sindoro, Gunung Sumbing, Gunung Prahu dan Gunung Rogojembangan. Gununggunung tersebut merupakan daerah sebaran macan tutul jawa di Provinsi Jawa Tengah (Gunawan, 1988). Pada tahun 1990, luas hutan alam lahan kering masih 507.407,51 Ha yang tersebar dalam 108 fragment hutan. Tahun 2000 menurun drastis (77,5%) menjadi 114.044,23 Ha dalam 88 fragment hutan dan pada tahun 2006 hutan alam lahan kering yang tersisa tinggal 60.846,42 Ha dalam 39 fragment hutan atau menurun 46,6% dari tahun 2000. Secara total dari tahun 1990 sampai tahun 2006 Provinsi Jawa Tengah telah kehilangan hutan alam lahan kering seluas 446.561,09 Ha (88,0%) atau rata-rata 27.910 hektar per tahun (Gunawan, 2010). Fragmentasi hutan juga terjadi di Provinsi Jawa Barat dan Banten. Hal ini diindikasikan oleh berkurangnya fragment-fragment hutan, misalnya fragment hutan lahan kering sekunder dari 123 fragment pada tahun 2000 menjadi 86 fragment, hutan primer dari 23 fragment menjadi 18 fragment, hutan tanaman dari 1.097 fragment menjadi 874 fragment. Hal ini mengindikasikan hilangnya kantongkantong habitat satwa dan ada kemungkinan menyebabkan fragmentasi atau menjauhkan antar populasi yang satu dengan populasi lainnya (Gunawan, 2012). Secara umum luas tutupan hutan Provinsi Jawa Barat dan Banten tahun 2000 seluas 806.560,12 Ha berkurang sekitar 44.590,09 (5,53%) menjadi 761.971,03 Ha pada tahun 2011 (Gunawan, 2012). Hal ini masih lebih baik dibandingkan dengan kondisi di Provinsi Jawa Tengah yang tutupan hutannya berkurang 46,6% hanya dalam kurun waktu 2000-2006 (Gunawan, 2010). Hilangnya habitat sangat berpengaruh pada kepunahan macan tutul jawa secara lokal, karena hilangnya habitat tidak saja menyebabkan penurunan total habitat tetapi juga menyebabkan terputusnya penyebaran habitat yang tersisa. Terputusnya kesinambungan habitat tersebut antara
Sintesis 2010-2014
| 147
lain disebabkan oleh pembukaan hutan untuk pertanian, pemukiman, jalan raya, irigasi, waduk dan jaringan listrik saluran udara tegangan esktra tinggi (SUTET). C. Metapopulasi Menurut Gunawan (2010) fragmentasi hutan telah menyebabkan pemecahan suatu populasi macan tutul jawa menjadi beberapa sub populasi di kantong-kantong habitat (patches) yang terpisahkan satu sama lain. Populasi macan tutul jawa yang menyebar di Pulau Jawa dapat dipandang sebagai empat tipe metapopulasi seperti yang diklasifikasikan oleh Harrison & Taylor (1997) yaitu: (1) classic metapopulation; (2) mainland-island metapopulation; (3) non equilibrium metapopulation; dan (4) patchy population. Dari analisis yang dilakukan oleh Gunawan (2010) terhadap metapopulasi, ditemukan populasi-populasi macan tutul jawa di Provinsi Jawa Tengah tersebar dalam empat tipe metapopulasi. Terdapat enam kelompok populasi yang membentuk non-equilibrium metapopulation yang melibatkan 15 populasi (lokasi indikasi macan tutul jawa) atau 31,25% dari seluruh populasi. Terdapat satu satu metapopulasi tipe mainland-islands yaitu di Gunung Slamet dan sekitarnya yang melibatkan 11 populasi atau 22,92% dari seluruh populasi. Hanya terdapat satu classic metapopulation yang melibatkan lima populasi atau 10,42% dari seluruh populasi dan tiga patchy population yang melibatkan 17 populasi atau 35,42% dari seluruh populasi. Di Provinsi Jawa Barat dan Banten, Gunawan (2013) telah melakukan inventarisasi populasi dan hasilnya dapat dikelompokan dalam empat tipe metapopulasi yaitu mainland-islands, classic, non equilibrium dan patchy. Metapopulasi-metapopulasi tersebut terbentuk akibat fragmentasi hutan yang disebabkan oleh perubahan peruntukan kawasan hutan untuk berbagai kepentingan seperti pertanian, pemukiman, perkebunan, jalan raya, jaringan listrik, pembangunan waduk dan jaringan irigasi. Contoh metapopulasi patchy di Jawa Barat ditunjukkan oleh populasi-poopulasi di titik 1, 2, 3, 4 (Resort Haurkuning, Resort Subang, Resort Pakem dan Resort Ciniru, BKPH Garawangi, KPH Kuningan). Dalam metapopulasi tipe patchy, populasi yang satu dengan lainnya masih terhubung dan dapat saling bertukar genetik. Metapopulasi semacam ini relatif memiliki survival lebih tinggi dibandingkan non equilibrium maupun classic. Contoh metapoopulasi nonequilibrium di Jawa Barat ditunjukan oleh populasipopulasi di KPH Ciamis dan KPH Tasikmalaya tidak terkoneksi dengan populasi lain dan jaraknya terlalu jauh serta rintangannya terlalu sulit dilewati, sehingga tidak ada pertukaran genetik antar populasi-populasi tersebut. Hal ini dikhawatirkan dapat menyebabkan kepunahann lokal akibat tidak ada kolonisasi dari populasi di sekitarnya. Kemungkinan lain adalah kepunahan akibat erosi genetik karena
Sintesis 2010-2014
| 148
inbreeding atau perkawinan sekerabat karena terhalangi untuk kawin dengan populasi lain. Metapopulasi tipe classic dapat digambarkan oleh populasi-populasi ti titik 3638 (Cariu, BKPH Jonggol, KPH Bogor) dan titik 40 (Gunung Karang), titik 45 (Telaga Warna, Seksi Wilayah KSDA Bogor) dan titik 46 (Gunung Pancar, Seksi Wilayah KSDA Bogor). Di sana terdapat kantong-kantong habitat yang tidak berpenghuni macan tutul yang bila ada peluang akan dikolonisasi oleh kantong habitat yang berisi macan tutul. Provinsi Jawa Barat masih memiliki beberapa metapopulasi macan tutul jawa tipe Mainland-islands yang dalam jangka panjang akan mampu melestarikan macan tutul jawa. Kantong habitat yang dapat berperan sebagai mainland adalah Gunung Gede, Gunung Salak, Gunung Halimun, Gunung Burangrang dan Gunung Bukittungul dan Gunung Karang. Populasi macan tutul di gunung-gunung tersebut diperlikrakan dapat mengkolonisasi patch yang kosong di sekitarnya yang berperan sebagai islands. Sementara gunung-gunung yang lain tidak cukup luas untuk menjadi mainland. Bahkan beberapa gunung kecil menjadi patch (kantong habitat) atau habitat island (pulau habitat) yang terisolasi seperti Gunung Ciremai, Gunung Syawal, Gunung Cakrabuana, Gunung Sangkur, dan Gunung Sanggabuana. Disamping tersebar dalam berbagai tipe metapopulasi. Beberapa populasi macan tutul merupakan populasi dengan luasan habitat kecil dan terisolasi seperti populasi di titik 8 (Cisaladah, Pangandaran, KPH Ciamis), titik 9 (Cipatujah, Karang Nunggal, KPH Tasikmalaya), titik 10 (Sodong, Tanaju, KPH Tasikmalaya), titik 17 (Tambakan, Cijambe, KPH Purwakarta), dan titik 55 (Cagar Alam Leuweung Sancang, Seksi KSDA Sukabumi). Populasi-populasi kecil ini sangat terancam kepunahan lokal akibat gagal bereproduksi karena tidak ada pasangan kawin atau erosi genetik akibat inbreeding. D. Resiko Kepunahan Lokal Dari analisis terhadap metapopulasi macan tutul jawa di Jawa Tengah, tampak bahwa non equilibrium metaoipulation mencakup 31,25% dari seluruh populasi. Hal ini tentu mengkhawatirkan di masa mendatang karena populasi-populasi tersebut rentan terhadap kepunahan lokal akibat isolasi sehingga tidak ada migrasi antar populasi untuk rekolonisasi (Gunawan, 2010) Populasi yang diharapkan dapat bertahan dalam jangka panjang adalah yang berada di Gunung Slamet dan sekitarnya yang membentuk metapopulasi mainlandislands. Gunung Slamet menjadi patch sumber (source) kolonisasi (mainland) bagi populasi-populasi di sekitarnya (islands) yang menjadi penerima (sink). Populasi yang juga diperkirakan akan terus bertahan dalam jangka pajang ke depan adalah populasi-populasi yang tersebar dalam pola patchy population seperti di KPH Pekalongan Barat-KPH Banyumas Barat (Salem-Majenang), Pekalongan Timur
Sintesis 2010-2014
| 149
(Brondong–Paninggaran dan sekitarnya), dan KPH Pemalang dan sekitarnya (Gunawan, 2010). Populasi-populasi macan tutul di hutan jati banyak yang tersebar dalam pola Classic metapopulation antara lain mulai dari KPH Semarang, KPH Telawah, KPH Gundih, KPH Purwodadi, KPH Randublatung, KPH Cepu, KPH Kebonharjo, KPH Mantingan dan KPH Pati. Beberapa populasi pada tipe ini ini juga menghadapi ancaman kepunahan lokal yang serius karena tidak adanya konektifitas, baik sementara akibat penebangan hutan jati maupun permanen akibat konversi untuk pemukiman, jalan dan lahan pertanian (Gunawan, 2010). Berdasarkan analisis metapopulasi di Jawa Tengah dapat dikelompokkan resiko kepunahan lokal macan tutul jawa dimana ada delapan populasi (17%) memiliki resiko kepunahan lokal tinggi karena luas habitatnya yang kecil, terisolasi dan terdegradasi berat. Sembilan belas populasi (39%) memiliki resiko kepunahan lokal sedang dan 21 populasi (44%) memiliki resiko kepunahan lokal rendah (Gunawan, 2010). Sementara itu Gunawan (2013) mendapatkan 75 titik lokasi indikasi macan tutul jawa di Jawa Barat dan Banten yang tersebar di kawasan hutan produksi dan hutan lindung sebanyak 41 titik lokasi (14 KPH Perum Perhutani unit III), 16 titik lokasi ada di dalam kawasan hutan konservasi yang dikelola oleh BKSDA dan 18 titik lokasi ada di taman nasional yang dikelola oleh Balai Taman Nasional. Sebagian hutan-hutan tersebut juga terlah terjadi fragmentasi yang menyebabkan beberapa populasi dikhawatirkan terancam kepunahan lokal karena isolasi dan dalam tipe metapopulasi non equilibrium. Sebagai contoh, beberapa populasi di KPH Ciamis dan KPH Tasikmalaya tidak terkoneksi dengan populasi lain dan jaraknya terlalu jauh serta rintangannya terlalu sulit dilewati sehingga membentuk metapopulasi non equilibrium, dimana tidak ada pertukaran genetik antar populaso-populasi tersebut. Hal ini dikhawatirkan dapat menyebabkan kepunahann lokal akibat tidak ada kolonisasi dari populasi di sekitarnya. Kemungkinan lain adalah kepunahan akibat erosi genetik karena inbreeding atau perkawinan sekerabat karena terhalangi untuk kawin dengan populasi lain (Gunawan, 2013).
Sintesis 2010-2014
| 150
Gambar 61. Peta analisis resiko kepunahan lokal macan tutul jawa berdasarkan tipe metapopulasinya
Gambar 62. Peta metapopulasi macan tutul jawa di Provinsi Jawa Barat dan Banten.
Sintesis 2010-2014
| 151
Populasi lain yang terancam kepunahan lokal adalah populasi dengan luasan habitat kecil dan terisolasi seperti populasi di titik 8 (Cisaladah, Pangandaran, KPH Ciamis), titik 9 (Cipatujah, Karang Nunggal, KPH Tasikmalaya), titik 10 (Sodong, Tanaju, KPH Tasikmalaya), titik 17 (Tambakan, Cijambe, KPH Purwakarta), dan titik 55 (Cagar Alam Leuweung Sancang, Seksi KSDA Sukabumi). Populasipopulasi kecil ini sangat terancam kepunahan lokal akibat gagal bereproduksi karena tidak ada pasangan kawin atau erosi genetik akibat inbreeding (Gunawan, 2013).
IV. KONFLIK MACAN TUTUL - MANUSIA A. Bentuk dan Distribusi Konflik Kasus gangguan macan tutul di Jawa Barat sejak tahun 2001 hingga tahun 2012 cenderung meningkat, yaitu dari satu kasus pada tahun 2001 menjadi 16 kasus di tahun 2011. Sedangkan sampai Bulan Desember tahun 2012 baru dilaporkan 5 kasus gangguan macan tutul. Gangguan macan tutul ini berupa keluarnya macan tutul dari hutan dan masuk ke perkampungan. Keluarnya macan tutul dari habitatnya ini diduga bukan hanya disebabkan oleh kurangnya satwa mangsa atau rusaknya habitat tetapi diduga disebabkan oleh perebutan teritori. Hal ini ditunjukkan oleh fakta bahwa semua macan tutul yang keluar dari habitatnya berjenis kelamin jantan dan berumur 2 – 2,5 tahun lebih, yaitu umur dimana macan tutul jantan menjadi dewasa muda (sub adult) yang matang seksual dan harus meninggalkan induknya untuk membangun teritorinya sendiri (Nowak, 1997; Guggisberg, 1975). Ketika berebut teritori dengan jantan dewasa yang lebih kuat atau induk jantan, tampaknya kebanyakan macan tutul muda mengalami kekalahan dan harus keluar dari teritori induknya. Sementara, habitatnya sudah dikepung oleh pemukiman maka ketika macan tutul muda tersebut keluar hutan langsung masuk ke pemukiman.
Gambar 63. Perkembangan jumlah kasus macan tutul keluar dari hutan dan masuk perkampungan di Provinsi Jawa Barat dan Banten.
Sintesis 2010-2014
| 152
Ada enam kabupaten dimana terjadi kasus macan tutul keluar dari habitatnya yaitu Ciamis, Tasikmalaya, Kuningan, Garut, Cianjur dan Sukabumi, namun frekuensi keluarnya macan tutul dari habitatnya yang tertinggi terjadi di Kabupaten Ciamis yaitu dari kawasan hutan Gunung Syawal. Gunung Syawal merupakan hutan konservasi yang berfungsi sebagai suaka margasatwa (SM). Kawasan hutan ini dikelilingi oleh hutan produksi yang dikelola Perum Perhutani. Hutan produksi ini berperan sebagai penyangga (buffer) dan sekaligus perluasan habitat bagi satwa di SM. Gunung Syawal. Dalam satu dekade terakhir hutan produksi ini mengalami kerusakan sehingga luas habitat satwa di SM Gunung Syawal berkurang. Hutan-hutan produksi di sekeliling SM Gunung Syawal berbatasan langsung dengan pemukiman desa-desa antara lain di Kecamatan Sadananya, Kecamatan Cihaur Beuti, Kecamatan Cikoneng, , Kecamatan Panumbangan, dan Kecamatan Panjalu. Desa-desa dari kecamatan-kecamatan tersebut yang paling sering didatangi macan tutul dari Gunung Syawal.
Gambar 64. Jumlah dan persentase kasus keluarnya macan tutul dari hutan dan masuk ke perkampungan menurut wilayah kabupaten di Provinsi Jawa Barat. Dari 37 kasus keluarnya macan tutul dari habitatnya, paling sering terjadi pada bulan Februari (7 kasus), Januari dan Oktober (masing-masing 5 kasus), November, Maret dan April (masing-masing 3 kasus), Mei (2 kasus), Agustus dan September (masing-masing 1 kasus) sedangkan pada bulan Juni dan Juli tidak terjadi kasus keluarnya macan tutul dari habitatnya. Ada lima kasus yang laporannya tidak ada catatan bulan terjadinya. Dari pola gangguan keluarnya macan tutul dari habitatnya yang kebanyakan terjadi justru pada musim hujan, dimana diasumsikan pada musim hujan, satwa mangsa melimpah, maka anggapan bahwa keluarnya macan tutul akibat kekurangan satwa mangsa akibat musim kemarau tidak sepenuhnya benar. Pada puncak musim kemarau bulan Juni – Agustus jumlah kasus keluarnya macan tutul justru terendah (nol). Apalagi dengan bukti bahwa semua macan tutul yang keluar dari habitatnya merupakan jantan dewasa muda, maka dugaan bahwa keluarnya macan tutul dari habitatnya akibat perebutan teritori bisa diterima dan hal ini menandakan bahwa
Sintesis 2010-2014
| 153
reproduksi dalam populasi tersebut cukup baik karena populasi berkembang (jumlah individu meningkat).
Gambar 65. Jumlah kasus keluarnya macan tutul dari hutan dan masuk ke perkampungan menurut bulan terjadinya di Provinsi Jawa Barat. B. Diagnosa Konflik Analisis penyebab keluarnya macan tutul dari hutan dan memasuki kebun atau pemukiman penduduk dijelaskan sebagai berikut : 1. Pendekatan teori teritorial Macan tutul termasuk satwa yang meimiliki sifat teritorial, yaitu memiliki wilayah jelajah (home range) yang dipertahankan dari individu jantan lain. Maca tutul jantan memiliki home range yang sering overlap dengan beberapa home range betina dan mengawini macan tutul betina yang overlap dengan home rangenya atau berada di dalam home rangenya. Home range macan tutul umumnya terpusat di sekitar badan air di mana mangsa terkonsentrasi (Seidentsicker dan Susan, 1991). Ukuran home range macan tutul sangat bervarasi dan sangat tergantung pada ketersediaan jumlah dan penyebaran satwa mangsa (IUCN - The World Conservation Union, 1996). Ukuran home range macan tutul jantan berkisar antara 30 – 78 km2 dan betina 23 – 33 km2 di kawasan yang dilindungi (Bailey, 1993). Home range mungkin jauh lebih besar ketika ketersediaan makanan berkurang. Sebagai contoh, home range berkisar antara 338 - 478 km2 ditemukan Norton & Lawson (1985) di dataran tinggi. Bothma and Knight (1997) menemukan bahwa di Kalahari Selatan yang kering dan miskin mangsa, rata-rata home range macan tutul jantan dewasa adalah 2.182 ± 492 km2 dan betina dewasa 489 ± 293 km2. Sementara di Taman Nasional Royal Chitwan, Nepal, yang memiliki kepadatan populasi ungulata sangat tinggi, home range macan tutul betina hanya 6 – 13 km2 dan di Taman Nasional Serengeti dan Tsavo, Afrika Timur, teritori mereka berkisar antara 11 – 121 km2 (IUCN - The World Conservation Union, 1996). Gunawan (2010) membuat asumsi bahwa home range macan tutul jawa sekitar 600 ha.
Sintesis 2010-2014
| 154
Macan tutul muda tidak memiliki home range tetap sampai mendapatkan home range karena yang dewasa mati atau berhasil merebutnya dari macan tutul dewasa. Macan tutul mempertahankan teritorinya dari individu lain sesama jenis kelamin. Menurut Grzimek (1975) macan tutul tidak akan keluar dari teritorinya jika makanan cukup tersedia dan mudah didapat. Berdasarkan teori dan pengalaman di atas maka, kasus masuknya macan tutul ke pemukiman dapat dianggap sebagai fenomena teritorial. Apalagi macan tutul yang keluar dari SM. Gunung Syawal umumnya adalah macan tutul jantan muda dengan perkiraan umur sekitar 2,5 sampai 3 tahun, yaitu saatnya disapih oleh induknya. Macan tutul muda jantan tersebut harus mencari teritorinya sendiri, bila tidak tersedia lagi ruang, maka macan tutul muda harus berebut dengan macan tutul tua (mungkin ayahnya) dan yang kalah harus keluar dari habitat yang ada dan mencari habitat lain. Kasus macan tutul masuk ke pemukiman sekitar Gunung Syawal dapat disimpulkan sebagai fenomena teritorial. Dengan perkataan lain, macan tutul yang keluar tersebut merupakan macan tutul muda yang sedang mencari teritori baru. Hal ini juga menjadi indikasi keberhasilan perkembangbiakan populasi macan tutul jawa di SM. Gunung Syawal. 2.
Pendekatan teori daya dukung habitat
Habitat satwa adalah lingkungan dengan kondisi tertentu dimana suatu jenis satwa hidup. Habitat yang sesuai atau baik akan mendukung kehidupan dan perkembangbiakan satwa di dalamnya secara normal. Habitat memiliki kemampuan atau kapasitas tertentu untuk mendukung kehidupan populasi suatu jenis yang disebut sebagai daya dukung habitat. Dengan perkataan lain daya dukung (carrying capacity) dapat didefinisikan sebagai kemampuan suatu habitat untuk mendukung kehidupan satwa secara normal yang diukur dengan jumlah maksimum individu yang dapat hidup dan berkembangbiak secara normal di habitat tersebut. Apabila daya dukung suatu habitat terlampaui maka bisa terjadi peningkatan persaingan ruang dan persaingan makanan yang dapat menimbulkan dampak menurunnya kesehatan individu satwa, timbulnya penyakit, perkelahian dan keluarnya satwa dari habitat tersebut untuk mencari makan, memperluas jelajah atau mencari teritori baru. Fenomena keluarnya macan tutul dari SM. Gunung Syawal dapat dilihat dari sudut pandang daya dukung. Dalam hal ini daya dukung habitat SM. Gunung Syawal sudah tidak mampu lagi mendukung kehidupan macan tutul dalam jumlah yang ada, sehingga kelebihan jumlah individu tersebut melimpas keluar untuk mencari sumber makanan baru. Hal ini diindikasikan oleh perilaku pemangsaan terhadap ternak di sekitar SM. Gunung Syawal. Peningkatan populasi macan tutul akibat keberhasilan reproduksi, tidak akan sampai membuat macan tutul masuk perkampungan apabila di sekitar Gunung Syawal masih terdapat hutan sebagai penyangga SM Gunung Syawal. Selama ini Sintesis 2010-2014
| 155
SM. Gunung Syawal dikelilingi oleh hutan lindung, hutan produksi terbatas dan hutan produksi dengan vegetasi hutan alam dan hutan tanaman pinus, puspa dan rasamala. Sejak adanya krisis moneter dan euforia reformasi, terjadi perambahan kawasan hutan produksi di sekitar Gunung Syawal. Meskipun kemudian peramabahan ini diadopsi dalam pola PHBM (Pengelolaan Hutan Bersama Masyarakat), namun kerusakan hutan sudah terlanjur parah. Vegetasi hutan telah dibabat, baik secara menyeluruh maupun secara tumpang sari, sehingga secara umum kawasan hutan produksi di sekitar SM Gunung Syawal yang menjadi lahan PHBM telah didominasi oleh tanaman kopi. Sementara itu, lantai hutan dengan vegetasi tanaman kopi tidak memiliki tumbuhan bawah yang merupakan pakan herbivora. Hal ini karena tumbuhan bawah dianggap pengganggu (gulma) yang mempengaruhi produktivitas tanaman kopi sehingga dibasmi menggunakan herbisida (Gambar 24). Tidak adanya tumbuhan bawah menyebabkan kawasan yang ditanami kopi, menjadi tidak cocok bagi habitat satwa herbivora, padahal satwa herbivora seperti kijang, babi hutan, monyet ekor panjang dan lain-lain merupakan mangsa macan tutul. Akibatnya populasi satwa mangsa macan tutul tersebut pun menurun sehingga macan tutul memerlukan daerah jelajah lebih luas lagi untuk mendapatkan mangsanya dengan cukup. Dengan fakta-fakta tersebut di atas, maka kasus keluarnya macan tutul dari SM Gunung Syawal ke pemukiman dapat disimpulkan sebagai akibat dari menurunnya daya dukung habitat. SM Gunung Syawal saja dengan luas sekitar 5.360 Ha tidak mampu mendukung populasi macan tutul yang terus berkembang, jika tidak didukung oleh hutan lindung dan hutan produksi di sekitarnya sebagai penyangga. Dengan adanya pembabatan hutan produksi dan menggantinya dengan tanaman kopi melalui program PHBM, terbukti telah mengurangi luasan ruang habitat macan tutul jawa dan budidaya kopi telah menurunkan kualitas habitat satwaliar herbivora mangsa macan tutul. Dengan perkataan lain, telah terjadi penurunan daya dukung habitat macan tutul jawa di kelompok hutan Gunung Syawal dan sekitarnya. 3. Pendekatan hubungan pemangsa-mangsa Sementara hutan produksi di sekitar SM. Gunung Syawal mengalami perambahan dan berubah menjadi tanaman kopi, di luar kawasan hutan yang dirambah tersebut terdapat kebun masyarakat dengan pola tanaman campuran dan strukturnya menyerupai struktur hutan yang terdiri dari beberapa strata. Jenis-jenis pohon di lahan-lahan masyarakat di sekitar SM. Gunung Syawal, baik yang dibudidayakan maupun tumbuh alami. Keragaman jenis tanaman kebun sekitar SM Gunung Syawal dan strukturnya yang menyerupai hutan menjadi habitat yang cocok bagi beberapa jenis satwa seperti kijang, babi hutan dan monyet ekor panjang. Oleh karena itu seiring dengan kerusakan hutan, maka intensitas kasus masuknya satwaliar ke dalam kebun
Sintesis 2010-2014
| 156
budidaya semakin meningkat, terutama gangguan oleh babi hutan dan monyet ekor panjang. Kebun milik penduduk menjadi habitat alternatif bagi beberapa jenis satwa. Keluarnya macan tutul dari Gunung Syawal dan masuk ke kebun budidaya diduga karena mengikuti satwa mangsanya, namun ketika masuk pemukiman dan menemukan ternak yang mudah didapatkan karena dikandangkan atau diikat di sekitar rumah, maka ternak tersebut dijadikan mangsanya. Pendekatan teori ini kurang akurat, karena pada hakekatnya macan tutul merupakan satwa yang cenderung menjauhi manusia dan memilih tinggal di dalam hutan (satwa interior) yang menjauhi daerah tepian hutan (edge). Masuknya macan tutul ke pemukiman merupakan keterpaksaan saja karena habitatnya telah berkurang dan rusak sehingga tak mampu lagi mendukung kehidupannya dan diperlukan wilayah baru sebagai home rangenya.
V. IMPLIKASI MANAJEMEN 1. Manajemen Habitat Habitat macan tutul jawa yang telah terdegradasi, sehingga daya dukungnya menurun perlu dilakukan pembinaan habitat guna memulihkan kembali daya dukung habitat dan meningkatkan kembali populasinya. Gunawan (2013) memberikan prinsip-prinsip yang diimplementasikan dalam pembinaan habitat antara lain :
perlu
dipahami
dan
a. Kawasan hutan konservasi berupa Cagar Alam dan Suaka Margasatwa yang umumnya tidak luas tidak akan mampu mendukung kehidupan macan tutul jawa yang terus berkembang. Oleh karena itu, peranan hutan produksi dan hutan lindung di sekitarnya menjadi sangat penting sebagai penyangga atau buffer. Hutan produksi atau hutan lindung di sekitar hutan konservasi berperan sebagai perluasan habitat. Hal ini membawa implikasi bahwa hutan produksi atau hutan lindung di sekitar hutan konservasi yang memiliki luasan kecil perlu dipertahankan tutupan hutannya dan tidak digarap untuk PHBM ataupun tumpang sari. b. Pihak manajemen KSDA perlu menginventarisasi kawasan hutan konservasi yang memiliki luasan kecil dan kemudian bekerjasama dengan pihak manajemen hutan lindung dan hutan produksi untuk bersama-sama menetapkan luasan penyangga hutan konservasi yang diperlukan. Bagi pengelola hutan produksi dan hutan lindung, upaya konservasi seperti ini sebenarnya sejalan dengan program sertifikasi pengelolaan hutan produksi lestari (PHPL) khususnya dalam pengelolaan HCVF (High Conservation Value Forest). c. Habitat-habitat macan tutul yang rusak akibat perambahan perlu segera direstorasi agar tidak menimbulkan dampak lanjutan berupa konflik antara macan tutul dengan masyarakat.
Sintesis 2010-2014
| 157
2.
Manajemen Populasi
Populasi-populasi yang terbentuk kelompok metapopulasi tipe non equilibrium perlu mendapat perhatian serius, karena populasi-populasi ini sesungguhnya merupakan populasi yang terisolasi sehingga terancam oleh inbreeding ataupun kegagalan reproduksi karena tidak ada pasangan kawin. Populasi-populasi tersebut perlu terus dimonitor dan diamankan dari ancaman seperti perburuan dan perambahan habitat (Gunawan, 2013). Populasi-populasi yang tidak terhubung perlu dibuatkan koridor perpindahan sebagai penghubung sehingga bisa saling bertukar genetik melalui perkawinan antar populasi. Kantong-kantong habitat yang masih memiliki kesesuaian untuk macan tutul tetapi kosong, perlu juga dihubungkan dengan kantong habitat berpenghuni macan tutul agar terjadi migrasi atau rekolonisasi. Meskipun upaya translokasi mungkin diperlukan di masa mendatang, namun saat ini tampaknya masih belum dapat dilakukan karena perlu dilakukan studi yang mendalam tentang kelayakan dan dampak yang mungkin ditimbulkan. Metapopulasi tipe Mainland-islands perlu dijaga dan diamankan agar proses migrasi dari mainland ke islands dapat berlangsung. Faktanya, beberapa islands sudah terputus dan tidak terhubung dengan mainland akibat fragmentasi hutan. Hal ini perlu dihubungkan kembali melalui pembuatan koridor perpindahan. Demikian juga metapopulasi tipe classic, untuk melancarkan arus perpindahan antar kantong habitat, maka konektifitas antar populasi perlu dipelihara. Kantong-kantong habitat yang kosong namun memiliki kesesuaian untuk habitat macan tutul juga perlu dihubungkan dengan kantong habitat berpenghuni macan tutul agar dapat direkolonisasi. 3.
Manajemen Konflik
Informasi tentang peta kerawanan habitat sangat membantu pengelola KSDA untuk melakukan upaya mitigasi atau pencegahan konflik antara macan tutul dan manusia. Habitat-habitat yang rawan ini perlu diwaspadai dan dimonitor terus karena potensiaal terjadi gangguan macan tutul terhadap ternak. Di sisi lain, masyarakat di sekitarnya perlu diberi pemahaman tentang bagaimana mengantisipasi terjadinya gangguan macan tutul terhadap ternak mereka. Bila terjadi kasus konflik macan tutul, maka langkah-langkah yang harus dilakukan disajikan pada diagram di bawah ini.
Sintesis 2010-2014
| 158
KONFLIK MACAN TUTUL-MANUSIA
Macan Tutul Tertangkap
Hidup INFORMASI POKOK Identifikasi jenis kelamin Perkiraan umur Panjang, tinggi, Berat Gemuk, sedang, kurus INFORMASI TAMBAHAN Kesehatan Luka Tutul atau kumbang Frekuensi kejadian Musim (kemarau/hujan) Kondisi hutan terdekat Jarak ke hutan terdekat Ada/tidak perburuan satwa
Satwa diserahkan ke BKSDA atau Lembaga Konservasi untuk penanganan lebih lanjut
Tidak Tertangkap
Mati INFORMASI POKOK
INFORMASI POKOK
Identifikasi jenis melalui jejak atau tanda lain (macan tutul atau bukan) Pengukuran jejak untuk perkiraan umur Luka pada korban Identifikasi tanda-tanda lain yang tertinggal
Identifikasi jenis kelamin Perkiraan umur Panjang, tinggi, Berat Gemuk, sedang, kurus Penyebab kematian
INFORMASI TAMBAHAN Kesehatan Luka Tutul atau kumbang Frekuensi kejadian Musim (kemarau/hujan) Kondisi hutan terdekat Jarak ke hutan terdekat Ada/tidak perburuan satwa
Spesimen atau bagian-bagiannya diserahkan ke BKSDA
INFORMASI TAMBAHAN Frekuensi kejadian Musim (kemarau/hujan) Kondisi hutan terdekat Jarak ke hutan terdekat Ada/tidak perburuan satwa
Dilaporkan ke BKSDA untuk penanganan lebih lanjut
Gambar 66. Langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam penanganan konflik antara macan tutul dan manusia. Penanganan konflik antara macan tutul dan manusia harus didasari pengetahuan tentang penyebabnya. Salah mendiagnosa penyebabnya mengakibatkan upaya penanganannya menjadi tidak efektif. Sebagai contoh, macan tutul jantan yang keluar dari hutan disebabkan oleh perebutan wilayah jelajah atau teritori, maka penanganannya tidak boleh dikembalikan ke habitat asalnya karena pasti akan keluar hutan lagi. Macan tutul jantan yang kalah dalam perebutan wilayah jelajah, harus keluar dari habitat yang diperebutkan dan mencari wilayah jelajah baru yang belum dikuasai oleh individu jantan lain. Dalam pencarian wilayah jelajah baru, seringkali macan tutul jantan harus menyeberangi pemukiman atau kebun dimana masyarakat sudah memaasang perangkap untuk satwa pengganggu lain misalnya jerat babi hutan. Oleh karena itu, sering terjadi macan tutul terperangkap jerat babi hutan di kebun milik penduduk di luar hutan.
Sintesis 2010-2014
| 159
VI. KESIMPULAN Macan tutul jawa (Panthera pardus melas Cuvier 1809) secara umum sedang menghadapi berbagai ancaman terutama akibat deforestasi yang menyebabkan kehilangan habitat (habitat loss), fragmentasi habitat (habitat fragmentation) dan degradasi habitat (habitat degradation). Hal ini menyebabkan populasi macan tutul jawa menjadi terpencar-pencar dalam berbagai tipe metapopulasi dengan berbagai tingkatan resiko kepunahannya. Dampak akhir dari semua proses tersebut adalah terjadinya konflik antara macan tutul jawa dan manusia. Hal ini semakin menambah ancaman terhadap kelestarian satwa tersebut, karena dianggap sebagai musuh manusia. Sehubungan dengan berbagai permasalahan tersebut, maka diperlukan upaya yang komprehensif, holistik dan terus menerus mulai dari penelitian sampai dengan implementasi pembinaan habitat, pengelolaan populasi dan penanganan konflik. Upaya-upaya tersebut harus melibatkan semua pihak yang berkepentingan. Hal ini karena habitat macan tutul jawa meliputi berbagai tipe tutupan lahan, fungsi kawasan hutan, lembaga pengelola kawasan hutan dan lembaga lintas sektoral lainnya. Hal ini karena menyangkut pengelolaan tata ruang yang melibatkan kawasan hutan.
3. MIKROORGANISME a.
Pengelolaan Koleksi dan Pengembangan Database Mikroba
Tujuan dari kegiatan ini adalah mengelola koleksi dan mengembangkan database mikroba yang berasal dari hutan tropis Indonesia. Pengelolaan mencakup teknik pemeliharaan yang berkesinambungan sebagai bagian dari konservasiex-situ, pencegahan biopiracy, dan penyediaan mikroba potensial untuk pemanfaatanbioprospeksi mikroba. Kegiatan ini merupakan rangkaian kegiatan pengumpulan sampel dari berbagai tipe ekosistem hutan tropis di Indonesia, kegiatan isolasi mikroba, identifikasi mikroba, dan preservasi mikroba. Kegiatan isolasi merupakan usaha kegiatan penting untuk mendapatkan mikroba dari sampel serasah daun, tanah, pencernaan serangga, feses satwa liar, dan batang kayu yang mengalami pembusukan. Identifikasi mikroba dilakukan dengan analisis sekuen Deoxyribonucleic acid (DNA). Kegiatan eksplorasi mikroba telah dilakukan diantaranya di Mekongga (Sulawesi Tenggara), Pulau Bunyu (Kalimantan Utara, Gunung Krakatau (Lampung), Taman Nasional Way Kambas (Lampung), Hutan Penelitian Samboja (Kalimantan Timur), Gunung Tangkubanperahu (Jawa Barat), Sawah Lunto (Sumatera Barat), dan Aek Nauli (Sumatera Utara). Analisis sekuen DNA adalah suatu metode untuk mengetahui keragaman dengan satu sekuen gen 16S atau 28S rRNA. Keuntungan yang didapatkan dengan menggunakan metode analisis sekuens gen 16S rRNA ialah kumpulan datanya mudah diperoleh melalui database yang tersedia di website database mikroba dunia sehingga dapat dengan mudah dibandingkan. Penyusunan database menggunakan software File Maker Pro. Pada
Sintesis 2010-2014
| 160
waktu tertentu, Revival study dilakukan untuk memeriksa viabilitas mikroba yang telah disimpan pada freezer -80 0C juga telah dilakukan, hal ini dilakukan bila terjadi kerusakan refrigerator (-80 oC) dan gangguan listrik yang cukup lama. Data isolat mikroba yang terdiri dari bakteri, fungi dan yeast sudah masuk dan dicatat ke dalam database adalah 2.967 isolat mikroba, jumlah isolat yang sudah diidentifikasi secara molekuler adalah 1.444 jenis mikroba. Sampai saat ini kegiatan pemanfaatan dari koleksi mikroba yang tersedia saat ini, baru terbatas pada pemanfaatan Fusarium solani sebagai fungi pembentuk gaharu. Semua isolat tersebut di atas disimpan di Pusat Koleksi Mikroba Hutan Tropis Indonesia (INDONESIA TROPICAL FOREST CULTURE COLLECTIONINTROF CC) yang bertempat di Kelti Mikrobiologi, Puslitbang Konservasi dan Rehabilitasi. b. Eksplorasi dan Bioprospeksi Mikroba Lignoselulolitik Sebagai Agen Biodegradasi Kegiatan penelitian ini meliputi 2 aspek, yaitu eksplorasi (untuk mengumpulkan sampel dan mengisolasi mikroorganisme) dan bioprospeksi (untuk menyeleksi isolat mikroorganisme yang dapat mendegradasi biomasa berlignoselulosa). Eksplorasi dilakukan di 15 lokasi TN/Cagar Alam, yaitu:TN Karimunjawa, Bali Barat, Gn. Ceremai, Gn. Leuseur, Berbak, Bukit Barisan Selatan, Gn. Gede-Pangrango, Gn. Merapi, Bukit TigaPuluh, Bantimurung-Bulusaraung, Lore Lindu, Kutai, Bromo Tengger Semeru, Ujung Kulon dan Cagar Alam Danau Maninjau, dan berhasil memperoleh lebih dari 2100 isolat mikroorganisme dari sampel berupa kayu lapuk, serasah, tanah, serangga penggerek batang dan hewan kaki seribu. Berdasarkan hasil skrining pada tahap bioprospeksi, dari 2100 lebih isolat diperoleh 620 isolat mikroorganisme yang dapat mendegradasi senyawa lignoselulosa. Biodiversitas mikroba lignoselulolitik ini meliputi 219 isolat fungi, 395 isolat bakteri, 2 isolat yeast dan 4 isolat actinomycetes. Keenam ratus dua puluh isolat ini disimpan sebagai koleksi INTROF-CC. Beberapa diantaranya telah diuji lebih lanjut dan diketahui potensi pemanfaatannya dalam proses produksi bioetanol dari biomasa berlignoselulosa, seperti: 1.
Isolat fungi : TNK-F2.1-X dan GB. K1-P berpotensi digunakan pada tahap delignifikasi dan sakarifikasi, karena menghasilkan enzim pendegradasi lignin, selulosa dan hemiselulosa yang cukup tinggi aktivitasnya. TNK-F2.1-X memproduksi enzim laccase 268,2 Unit/L; enzim lignin peroksidase 195,1 Unit/L; enzim mangan peroksidase 29,2 Unit/L; dan crude enzyme selulase 1,5 FPU/ml. GB.K1-P memproduksi enzim laccase 96,4 Unit/L; enzim lignin peroksidase 17,6 Unit/L; enzim mangan peroksidase 38,5Unit/L. Adapun aktivitas crude enzyme selulase dari isolat ini masih dalam proses pengerjaan .
Sintesis 2010-2014
| 161
2.
Isolat bakteri : LR-15.T8, TG-02 S.9, PM-ED1.11 dan BLW-26B T.2 berpotensi dibiakan untuk memproduksi enzim selulase dan hemiselulase, namun metode optimasi produksi enzimnya masih perlu dipelajari lebih lanjut. 3. Isolat yeast: BTS-F7.2B-N dan AK.7B.4 dapat dimanfaatkan pada proses fermentasi glukosa menjadi etanol. Berdasarkan uji fermentasi glukosa yang dilakukanpada tahun 2013, kedua isolat ini dapat menghasilkan etanol dengan kadar 17,5 mg/ml; dan dalam uji fermentasi hidrolisat kayu sengon dan kayu kelapa sawit hanya isolat AK.7B.4 yang dapat diuji sebagai agen fermentasi dengan menghasilkan kadar etanol 4,5 – 4,7 mg/ml. Hasil ini tidak jauh berbeda dengan fermentasi oleh Saccharomyces cerevisae (FST 74.5) sebagai strain pembanding, yang menghasilkan kadar etanol 3,8 – 4,9 mg/ml dari substrat yang sama. Isolat BTS-F7.2B-N tidak dapat diuji dan dikembangbiakan lebih lanjut karena telah kehilangan viabilitasnya.
Dapat disimpulkan bahwa target dan tujuan kegiatan penelitian ini telah tercapai, dan diperoleh beberapa isolat potensial yang dapat diteliti dan dikembangbiakan lebih lanjut dalam rangka mensuplai kebutuhan enzim-enzim lignoselulolitik seperti laccase, lignin peroksidase, mangan peroksidase, selulase dan hemiselulase, baik untuk produksi bioetanol Generasi II ataupun kegiatan penelitian dan/atau industri terkait lainnya. c.
Pembentukan Gubal Gaharu
Ekplorasi fungi pembentuk gubal gaharu telah dilaksanakan oleh Puslitbang Konservasi ddan Rehabilitasi dan BPTHHBK Mataram di seluruh propinsi di Indonesia dan telah mendapatkan isolat sebanyak 58 isolat yang telah teridentifikasi secara molekuler dan 6 isolat yang belum teridentifikasi secara molecular. Dari sejumlah isolat tersebut yang telah dicoba di lapang sejumlah 24 isolat, dari kedua puluh enam isolat tersebut yang diminati oleh para petani gaharu sebanyak 5 isolat yaitu FORDACC00509, FORDACC00500, FORDACC0052963, FORDACC00512 dan FORDACC52957. Penelitian inokulasi pembentukan gubal gaharu telah dilaksanakan di NTB, Riau, Banten, Jabar, Kepulau Riau, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, NTT dengan 54 isolat yang tersimpan di lemari pendingin dengan suhu -82oC. Di samping itu juga telah dilaksanakan penelitian pada berbagai jenis tanaman Aquilaria spp. dan Gyrynopsverstegiidengan berbagai jarak inokulasi yaitu 5, 10, 15, 20, 25, 30, 40 dan 50 cm. Bor yang digunakan saat ini juga sudah mengarah yang kecil yaitu 3 mm, sedangkan BPHHBK Mataram di NTB menggunakan jenis bor tersendiri (SIMPORI) yaitu bor yang didalamnya berongga dan berlubang namun tidak bermata,cara memasukkan dengan dipalu dan menariknya dengan alat pencabut.
Sintesis 2010-2014
| 162
d. Bioprospeksi Fungi Mikoriza Arbuskula untuk Bioreklamasi Lahan Bekas Tambang di Sulawesi Lahan bekas tambang batu kapur PT Semen Tonasa mempunyai tingkat kesuburan tanah yang rendah karena kadar unsur hara makro seperti N (0,06%), P (15,67 ppm) dan K (3,47 ppm) yang rendah dan populasi mikroba bakteri (1,68 x 1014) serta cendawan (5,41 x 101) dalam tanah yang rendah juga. Penanganan lahan bekas tambang secara baik dan benar merupakan kunci keberhasilan upaya rehabilitasi lahan. Eksplorasi Fungi Mikoriza Arbuskula pada lahan bekas tambang batu kapur di PT Semen Tonasa mendapatkan 4 morfotipe spora yaitu Acaulospora sp (2 jenis), Gigaspora sp (1 jenis) dan Glomus sp (1 jenis). Keempat jenis FMA tersebut diproduksi secara massal untuk djadian sebagai inokulan dalam uji efektivitas FMA di tingkat semai dan lapang di lahan bekas tambang batubara. Jenis FMA Acaulospora sp. dicampur dengan Gigaspora sp. dan diberi nama Isomik MK1. Inokulasi FMA indigen Gigaspora sp., Acaulospora sp., dan Isomik MK1. pada semai Muntingia calabura, Acasia auriculiformis, Alstonia scholaris, Vitex cofassus dan Tectona grandis dapat meningkatkan pertumbuhan tinggi, diameter, biomasa, serapan P dan kolonisasi akar yang sangat tinggi dibandingkan dengan kontrol. Disamping itu indeks mutu bibit juga semakin tinggi dengan adanya inokulasi FMA tunggal dan Isomik MK. Peningkatan pertumbuhan semai terbesar sebagai akibat perlakuan inokulasi FMA adalah semai V. Cofassus dengan peningkatan tertinggi sebesar 635% (tinggi), 275% (diameter), 1.694% (biomasa), 2.313% (serapan P), serta 829 (indeks mutu bibit). Pertumbuhan bibit S sericea dan V. Cofassus yang telah terinokulasi dengan FMA dan ditanam di lapang masih menunjukan peningkatan pertumbuhan pada parameter tinggi, diameter tanaman muda umur 3, 9, 15 dan 21 bulan di lapang. Demkian juga parameter kolonisasi FMA dan kadar P pada jaringan tanaman muda masih menunjukkan peningkatan. Namun demikian peningkatan tersebut sangat kecil dibandingkan dengan peningkatan pada saat di pembibitan. Dengan adanya revegetasi dengan tanaman bibit S sericea dan V. Cofassus yang telah terinokulasi dengan FMA pada lahan bekas tambang batu kapur dapat meningkatkan populasi bakteri dan cendawan pada lahan tersebut. Demikian juga pada parameter N, P dan K pada tanah juga semakin meningkat. e.
Pengendalian Hama Tanaman Penghasil Gaharu Heortia vitessoides
Serangan ulat daun Heortia vitessoides pada pohon penghasil gaharu terjadi sepanjang tahun dengan pola serangan berfluktuasi dan dengan intensitas yang berbeda dari waktu ke waktu. Perkembangan populasi hama meningkat antara bulan Januari – April dengan diselingi sedikit penurunan pada bulan Pebruari.
Sintesis 2010-2014
| 163
Perkembangan populasi hama turun kembali pada bulan Mei – Juni pada tingkat yang relatif rendah, kemudian meningkat kembali sampai mencapai tingkat tertinggi antara Agustus – September. Setelah itu populasi kembali turun pada tingkat yang rendah antara Oktober – Desember. Perkembangan populasi dan serangan hama dipengaruhi oleh jumlah rata-rata curah hujan. Munculnya tunas baru dan daun muda pada saat curah hujan relatif tinggi berperan dalam memengaruhi kenaikan populasi hama. Menurut Qiau et al. (2012), serangga betina H. vitessoides lebih tertarik kepada daun muda. Hasil pengamatan juga menunjukkan bahwa koloni telur dan kelompok ulat instar awal selalu ditemukan pada daun yang masih muda. Hama ulat ditemukan dalam berbagai tingkat perkembangan (instar), namun pada setiap pohon yang terserang kebanyakan hanya terdapat satu macam instar atau satu generasi ulat gaharu. Meskipun demikian, pada setiap lokasi terdapat beberapa generasi yang overlaping mengingat di setiap waktu pengamatan dijumpai ulat dengan tingkat perkembangan yang berbeda. Menurut Kalita et al. (2002) dan Chen et al (2011), H. vitessoides dapat menghasilkan beberapa generasi dalam satu tahun. Pengatamatan di daerah Kandangan, Kalimantan Selatan, dan di Kebun Raya Bogor, bahkan menemukan beberapa generasi ulat gaharu dalam satu pohon yang terserang. Hasil mapping serangan ulat menunjukkan sebagian besar tanaman gaharu pernah terserang dengan frekuensi 1-2 kali serangan dalam satu tahun. Berdasarkan persentase, populasi pohon yang mengalami serangan ulat H. vitessoides rata-rata berkisar 70-75%, bahkan ada yang di atas 90%. Di antara populasi pohon tersebut, lebih dari sepertiganya (>30%) mengalami serangan berulang 2-4 kali per tahun. Serangan hama berulang membawa kosekuensi terjadinya proses penggundulan daun yang juga berulang. Defoliasi total terutama dialami tanaman gaharu berukuran kecil (seedling). Terjadinya peningkatan kuantitas dan kualitas serangan ulat H. vitessoides menyebabkan terhambatnya pertumbuhan tanaman, dan tidak jarang menyebabkan kematian. Di KHDTK Carita pada tahun 2013 ditandai dengan peningkatan jumlah pohon yang mati, terutama di plot ITTO dan Rorak yang ukuran pohonnya masih dalam kategori seedling. Apabila pada tahun 2012 hanya terdapat pohon mati di plot ITTO sebanyak 2 batang, pada tahun 2013 pohon mati ditemukan di semua plot, masing-masing sebanyak 15, 4 dan 1 batang berturut-turut di plot ITTO, Rorak dan Werkit. Secara umum, tingkat kerusakan tanaman dengan intensitas defoliasi berat (5075%) dan berat sekali (75-100%) selama tahun 2013 relatif sama antara plot ITTO dan Rorak, yakni berkisar antara 10 – 80% dari populasi pohon. Persentase terendah dari populasi pohon dengan tingkat serangan kategori berat dan berat sekali terjadi pada bulan Januari, sedangkan persentase tertinggi terjadi pada bulan Oktober. Hal yang sama juga terlihat pada plot Werkit, namun dengan persentase yang lebih rendah. Pada plot ini, persentase terendah populasi pohon dengan tingkat defoliasi
Sintesis 2010-2014
| 164
berat dan berat sekali hanya sebesar 5 % sedangkan tertinggi hanya mencapai 25%. Ukuran pohon yang rata-rata jauh lebih besar, baik diameter maupun tinggi pohon, di plot Werkit dibanding dua plot lainnya menyebabkan populasi pohon dengan tingkat serangan berat dan sangat berat menjadi jauh lebih rendah persentasenya karena masing-masing pohon memiliki jumlah daun yang jauh lebih banyak. Sebaliknya, pohon di plot ITTO dan Rorak rata-rata bertajuk kecil dengan jumlah daun yang lebih sedikit, sehingga tingkat defoliasi akibat serangan hama cenderung lebih berat. Kondisi ekologis, khususnya tingkat kerapatan pohon, dan tinggi pohon tampaknya berpengaruh terhadap serangan ulat gaharu dan tingkat kerusakan yang diakibatkannya. Plot Werkit dengan tingkat kerapatan pohon yang sangat tinggi dengan rata-rata tinggi pohon gaharu di atas 4m mendapatkan serangan dan tingkat kerusakan yang lebih ringan dari 2 plot yang lain yang memiliki tanaman gaharu dengan tinggi rata-rata sekitar 1,0-1,25 m. Pengendalian yang telah dilakukan dapat dibagi menjadi 4 hal yaitu pengendalian mekanik, kimiawi, nabati, hayati dan Integrated Pest Management. a. Pengendalian secara mekanik Pengendalian mekanikmerupakan salah satu cara pengendalian yang telah diterapkan sejak lama oleh nenek moyang kita. Cara pengendalian ini adalah dengan cara memetik daun yang ada telurnya atau ada ulatnya/larva untuk dimusnahkan dengan cara diremas atau diinjak dengan kaki. b. Pengendalian dengan insektisida nabati Pengendalian nabati adalah pengendalian dengan menggunakan bagian dari tanaman yang mempunyai daya bunuh, penolak (repellent) terhadap serangga. Ekstrak biji mimba dengan dosis 0,3 g/l dapat mengakibatkan mortalitas ulat H. vitessoides sebesar 100%. Pada penelitan di BPK Mataram, konsentasi perasan biji mimba dengan dosis 100 g/l air dapat menyebabkan motalitas H. vitessoides di rumah kaca sampai 100%, sedangkan pada perasan daun biji mimba dengan dosis 100 g/l air dapat menyebabkan mortalitas sebesar 85,7 %. c.
Pengendalian secara biologis (biological control)
Pengendalian biologis adalah pengendalian dengan menggunakan material hidup seperti entomopathogen, predator dan parasit. Bacillus thuringiensis pada konsentrasi 0,5 g dan 1,5 g/l air dapat mematikan 100% ulat H. vitessoides pada skala laboratorium. Predator Sycanus sp. dapat mempredasi ulat daun tanaman pengahsil gahary H. vitessodes sebesar 82% di rumah kaca.
Sintesis 2010-2014
| 165
d. Pengendalian secara Kimiawi Pengendalian kimiawi adalah pengendalian dengan menggunakan bahan kimia anorganik. Pengendalian secara kimiawi sudah sangat lazim dilakukan oleh para petani sejak dulu, namun resiko terhadap lingkungan dan produk tanaman cukup tinggi. Insektisida kimiawi Curacron dan Sevin pada konsentrasi 2 ml/l dapat mematikan ulat H. vitessoides 100%. e.
Pengendalian Terpadu (Integrated Pest Management)
Pengendalian ini merupakan gabungan dari beberapa cara pengendalian serangga seperti pengendalian mekanik, pengendalian kimiawi, pengendalian nabati dan pengendalian hayati. Pengendalian terpadu ini telah diterapkan oleh seorang petani gaharu dengan cara penyemprotan secara kimiawi menyeluruh di kebunnya seluas 2 ha., kemudian setelahnya dilakukan monitoring pada seluruh tanaman apabila ada serangan maka akan dipetik daunnya atau rantingnya. Pada tahap selanjutnya dilakukan monitoring pada tanaman bagian tepi setiap minggu, apabila ada serangan maka akan disemprot atau dipetik daunnya/rantingnya.
Sintesis 2010-2014
| 166