RONGGENG DHUKUH PARUK BANYUMASAN: TERJEMAHAN DARI SEGI BAHASA-SASTRA DAN UNGKAPAN BUDAYA Sugeng Priyadi1 ABSTRAK Tulisan ini bertujuan mengkaji terjemahan novel Ronggeng Dukuh Paruk
karya Ahmad Tohari (2003) ke dalam bahasa dialek Banyumasan (yang diterjemahkan sendiri oleh pengarangnya, 2006); dengan menfokuskan pada segi bahasa, sastra, dan ungkapan budaya. Hasil kajian menunjukkan bahwa dari segi bahasa dan sastra, terjemahan itu baru pada tahap tekstual yang merupakan tahap terjemahan literal dari bahasa sumber ke bahasa sasaran. Terjemahan Tohari juga merupakan terjemahan kalimat demi kalimat dan cenderung memakai metode intuisi. Dari segi ungkapan budaya terjemahan itu menunjukkan adanya ungkapan budaya yang menonjol seperti fenomena Oedipus Complex, terputusnya Ahmad Tohari dengan roh tradisi kebanyumasan, dan sumpah serapah yang dilakukan orang-orang pedesaan Banyumas.
KATA KUNCI terjemahan tekstual, terjemahan literal, metode intuisi
1.
Pengantar Tulisan ini difokuskan pada masalah terjemahan pada karya sastra dan hasil-hasil kebudayaan yang terkait dengan budaya Banyumasan. Karya sastra yang dianalisis adalah novel karya Ahmad Tohari yang berjudul Ronggeng Dukuh Paruk yang diterbitkan tahun 2003, yang selanjutnya terbit terjemahannya dalam bahasa dialek Banyumasan pada tahun 2006. Karya yang pertama yang ditransformasikan ke dalam teks berbahasa dialek Banyumasan menunjukkan bahwa ada fenomena literer yang terkait dengan aspek terjemahan dari bahasa Indonesia ke dalam bahasa ibu sang pengarang. Pembahasan novel ditekankan pada terjemahan dari segi bahasa dan sastra. Pada bagian berikutnya membahas aspek kebudayaan dalam terjemahan dengan mencermati fenomena ungkapan kebudayaan Banyumas. Dalam mencermati terjemahan Tohari dari novel yang berbahasa Indonesia ke dialek Banyumasan tidak dapat mengabaikan teori menerjemahkan yang meliputi empat tahap, yakni (1) tekstual, (2) referensial, (3) kohesif, dan (4) natural (Newmark 1999: 20) sehingga Sugeng Priyadi adalah dosen PBSID, FKIP, Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Alamat korespondensi: Jl. Raya Dukuhwaluh, Universitas Muhammadiyah Purwokerto, 53182.
153
154 SINTESIS Vol.5 No.2, Oktober 2007
___________________________________________________________________________________
akan diketahui sampai pada tahap manakah terjemahan yang sudah dikerjakan pengarang. Di samping itu, ada dua pendekatan yang dikemukakan oleh Newmark (1999: 21) yang dapat dipakai untuk menganalisis hasil terjemahan Tohari, yakni (1) mulai menerjemahkan kalimat demi kalimat, hingga paragraf atau bab pertama untuk mendapatkan rasa dan nada teks yang diterjemahkan yang dilanjutkan dengan mereview dan membaca teks bahasa sumber, (2) membaca keseluruhan teks dua atau tiga kali untuk menemukan maksud, register, nada, menandai kata-kata dan teks yang sulit, dan memulai menerjemahkan setelah menangkap arah dan tujuan. Sementara itu, pendekatan yang kedua diterapkan pada tulisan ini, khususnya yang membahas terjemahan di bidang budaya. Selain pendekatan, Newmark (1999: 21) juga menyatakan ada dua metode yang biasa ditempuh dalam proses terjemahan, yaitu (1) metode intuisi dan (2) metode analisis. Metode yang pertama lebih cocok dipakai untuk teks-teks sastra, sedangkan metode yang kedua cocok untuk teks mekanis dan institusional. Seperti halnya dengan pendekatan, kedua metode tersebut juga dimanfaatkan untuk menganalisis hasil terjemahan Tohari dan diterapkan untuk membahas terjemahan di bidang budaya. 2.
Terjemahan dari Segi Bahasa Pembahasan terjemahan karya sastra difokuskan pada novel Ronggeng Dukuh Paruk, khususnya buku pertama Catatan Buat Emak yang dialihbahasakan sendiri oleh pengarangnya dari bahasa Indonesia ke dalam bahasa Jawa dialek Banyumasan, seperti dalam kutipan berikut. Dua puluh tiga rumah di pedukuhan itu, dihuni oleh orangorang seketurunan. Konon moyang semua orang Dukuh Paruk adalah Ki Secamenggala, seorang bromocorah yang sengaja mencari daerah paling sunyi sebagai tempat menghabiskan riwayat keberandalannya. Di Dukuh Paruk inilah akhirnya Ki Secamenggala menitipkan darah dagingnya. … kubur Ki Secamenggala yang terletak di punggung bukit kecil di tengah Dukuh Paruk menjadi kiblat kehidupan kebatinan mereka. Gumpalan abu kemenyan pada nisan kubur Ki Secamenggala membuktikan polah tingkah kebatinan orang Dukuh Paruk berpusat di situ (Tohari 2003: 10).
Terjemahan: Telu likur umah sing ana neng pedhukuhan kuwe deenggoni neng wong-wong sing ngaku tunggal trah. Crita gemiyene
Priyadi, Ronggeng Dhukuh Paruk Banyumasan: ... 155
___________________________________________________________________________________
kaki buyute kabeh wong Dhukuh Paruk arane Eyang Secamenggala sing kawentar neng jaman kuna dadi gentho. Eyang Secamenggala milih panggonan sing paling sepi nggo nutugna lakone sing mbrandhal. Njuran neng Dhukuh Paruk kuwe Eyang Secamenggala ninggali trah keturunane. … kuburane Eyang Secamenggala sing ana neng igir gumuk dadi kiblat kebatinane wong Dhukuh Paruk. Awu menyan sing methuthuk neng paesan kuburane Eyang Secamenggala mertandhani jagat kebatinane wong Dhukuh Paruk pusere ana neng kuburan kuwe (Tohari 2006: 2).
Terjemahan pada kalimat secara bahasa, ‘orang-orang seketurunan’ seharusnya ‘sing tunggal trah,’ bukan ‘sing ngaku tunggal trah.’ Terjemahan ‘bromocorah’ dengan ‘gentho’ juga kurang tepat karena bromocorah berkaitan dengan kasus pencurian (maling), sedangkan gentho lebih tepat untuk menerjemahkan berandal (brahol). Secara keseluruhan, terjemahan itu berusaha untuk menjelaskan bahwa Secamenggala adalah nenek moyang atau ‘danyang’ masyarakat Dukuh Paruk. Di situ, tidak tepat digunakan istilah kebatinan karena penghormatan kepada danyang desa merupakan tindakan ritual animisme, sedangkan kebatinan cenderung ke arah mistik, tasawuf, atau filsafat Jawa. Pernyataan bahwa makam Secamenggala sebagai pusat kebatinan untuk memposisikan masyarakat Dukuh Paruk sebagai masyarakat abangan. ‘Abu menyan’ atau ‘awu menyan’ seharusnya ‘onggokan’ atau ‘gumpalan’ karena hasil pembakaran menyan tidak menjadi abu atau awu seperti kayu bakar, tetapi mengeras. Di tepi kampung, tiga anak laki-laki sedang bersusah payah mencabut sebatang singkong. Namun, ketiganya masih terlampau lemah untuk mengalihkan cengkeraman akar ketela yang terpendam dalam tanah kapur. Kering dan membatu. Mereka terengah-engah, namun batang singkong itu tetap tegak di tempatnya. Ketiganya hampir berputus asa seandainya salah seorang anak di antara mereka tidak menemukan akal… … tiga ujung kulup terarah pada titik yang sama. Currr. Kemudian Rasus. Ketiganya mengusap telapak tangan masing-masing. Dengan tekad terakhir mereka mencoba mencabut batang singkong itu kembali…
156 SINTESIS Vol.5 No.2, Oktober 2007
___________________________________________________________________________________
… Rasus dan Warta mendapat dua buah, Darsun hanya satu. Ketiganya kemudian sibuk mengupasi bagiannya dengan gigi masing-masing, dan langsung mengunyahnya. Asinnya tanah. Sengaknya kencing sendiri (Tohari 2003: 10-11) .
Terjemahan: Neng pinggir pedhukuhan ana bocah lanang telu lagi ngantogna tenaga nggo mbedhul budin. Ning tenagane bocah telu kuwe ora paja-paja nggo ngalahna kuwate oyod budin sing mancep lemah kapur sing garing tur madhas. Telu-telune krenggosan, ning wit budine tetep jejeg mejeger neng panggonane. Bocah lanang telu kuwe meh baen pungkas. Untung baen ana salah sijine sing nemu akal… … ana kulup telu temuju bareng-bareng maring prenah siji. Currr. Sebanjure Rasus, Warta, karo Darsun padha deleng-delengan. Telu-telune padha ngusap-usap tlapak tangane dhewek-dhewek. Nganggo tekad sing esih ana bocah telu kuwe daya-daya mbedhul budin kuwe sepisan maning… … Rasus karo Warta olih loro. Darsun kaduman mung siji. Ora nana sing ngaru-ara utawane ora trima. Bocah telu njuran padha ngonceti budin pekolihe dhewek-dhewek nganggo untu, dibrakot, njuran demamah, deleg sisan. Krasa pisan asine lemah, krasa pisan pesinge uyuhe dhewek (Tohari 2006: 2-4).
Ketela pohon yang biasanya dicari oleh anak-anak desa adalah singkong yang tersisa dari panen. Biasanya singkong yang tertinggal di tanah itu rasanya manis. Tohari tampaknya tidak memiliki pengalaman makan singkong tersebut. Cara yang ditempuh oleh ketiga anak di atas merupakan kebiasaan anak-anak pedesaan yang tidak merasa jijik terhadap air kencingngya sendiri. Terjemahan ‘singkong’ menjadi ‘budin’ sebenarnya kurang tepat karena kata tersebut merupakan kata dari Bahasa Jawa Baku (BJB), yang tepat dalam bahasa dialek Banyumasan adalah ‘boled.’ Begitu pula dengan ‘kulup,’ seharusnya ‘kathir.’ Kathir adalah penutup alat kelamin yang akan dipotong ketika khitan. Juga kata ‘membatu’ tidak bisa disepadankan dengan ‘madhas’ (menjadi wadhas), tetapi ‘atos.’ Terjemahan ‘mengupasi bagiannya dengan gigi masing-masing dan langsung mengunyahnya’ tidak sepadan dengan ‘ngonceti budin pekolihe dhewek-dhewek nganggo untu, dibrakot, njuran demamah, deleg sisan.’ Kata ‘dibrakot’ dan ‘deleg sisan’ tidak ada pada bahasa sumber. Begitu pula dengan ‘krasa pisan asine lemah’ dan ‘krasa pisan pesinge uyuhe dhewek, ’seharusnya kata ‘pisan’ yang menyatakan superlatif tidak perlu dalam terjemahan.
Priyadi, Ronggeng Dhukuh Paruk Banyumasan: ... 157
___________________________________________________________________________________
… bungkil ampas minyak kelapa yang telah ditumbuk halus dibilas dalam air. Setelah dituntas kemudian dikukus. Turun dari tungku, bahan ini diratakan dalam sebuah tampah besar dan di-taburi ragi bila sudah dingin. Besok hari pada bungkil ampas minyak kelapa itu akan tumbuh jamur-jamur halus. Jadilah tempe bongkrek. Sudah sejak lama Santayib memenuhi kebutuhan orang Dukuh Paruk akan tempe itu (Tohari, 2003: 21). Orang-orang Dukuh Paruk mempunyai cara sederhana menolong orang termakan racun. Air kelapa bercampur garam menjadi pencahar yang lumayan mujarab. Juga air yang bercampur abu dapur. Kalau orang keracunan bisa muntah setelah minum pencahar ini, ada harapan hidup baginya. Celakanya penggunaan pencahar yang tak terkendali sering pula membawa kematian. Orang Dukuh Paruk sendiri tak tahu banyak teman mereka bukan mati oleh racun bongkrek, melainkan karena kekurangan cairan pada tubuh mereka, akibat terlalu banyak muntah (Tohari 2003: 29-30).
Terjemahan: Bungkil ampas klapa sing wis debebek lagi derambang ngambi banyu. Sewise tuntas, arep dedang. Medhun kang pawon bahan panganan kuwe mengko deler neng tampir. Angger wis adhem decampuri ragi tempe. Ngesuk bahan panganan kuwe bakal metu jamure. Tegese wis dadi bongkrek. Santayib wis suwe dadi bakul bongkrek nggo ngewulani kebutuhane wong Dhukuh Paruk (Tohari 2006: 14). Wong Dhukuh Paruk nduweni cara sing gampang nggo nulungi wong sing kenang racun. Banyu klapa decampuri uyah deprecaya teyeng dadi tamba sing mandi. Utawa banyu capur awun pawon. Angger wong kenang racun teyeng mutah sawise nginum banyu klapa campur uyah, kena dearep-arep marine. Ning angger mutahe terus-terusan ya mbilaheni. Wong Dhukuh Paruk dhewek ora padha ngreti, akeh kanca batir sing mati ora merga racun, ning merga kakehan goli mutah, sing marekna awak dadi kurang banyu (Tohari 2006:23).
Kutipan di atas menyatakan bagaimana tradisi orang Banyumas membuat tempe bongkrek. Daerah-daerah yang penduduknya keracunan tempe bongkrek terletak di DAS Serayu beserta anakanak sungainya. Bakteri dari sungai-sungai itu telah masuk ke sumursumur. Yang kedua, bagaimana cara masyarakat Banyumas untuk menawarkan racun ketika keracunan tempe bongkrek. Terjemahan ‘sudah sejak lama Santayib memenuhi kebutuhan orang Dukuh
158 SINTESIS Vol.5 No.2, Oktober 2007
___________________________________________________________________________________
Paruk akan tempe itu’ menjadi ‘Santayib wis suwe dadi bakul bongkrek nggo ngewulani kebutuhane wong Dhukuh Paruk’ tidak memerlukan frase ‘dadi bakul bongkrek.’ Juga ‘ngewulani’ tidak sepadan dengan ‘memenuhi,’ tetapi ‘nyukupi.’ ‘Banyak teman’ cukup diterjemahkan ‘akeh kancane’ atau ‘akeh batire.’ Prefiks ‘di’ di dalam bahasa Jawa Baku (BJB) dikenal dengan bacaan ‘de,’ misalnya debebek, derambang, dan deler. 3.
Terjemahan dari Segi Sastra Dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk, khususnya buku pertama Catatan Buat Emak, Ahmad Tohari menyajikan satu bait tembang dhandhanggula. Kutipan pertama sebagai berikut : /1/ Bedug tiga datan arsa guling/ padang bulan kekencar ing latar/ thenguk-thenguk lungguh dhewe/ angine ngidid mangidul/ saya nggreges rasaning ati/ rumasa yen wis lola/ tanpa bapa biyung/ tanpa sanak tanpa kadang/ urip sengsara tansah nandhang prihatin/ duh nyawa gondelana// (Tohari 2003: 63-64).
Terjemahan dalam bahasa Indonesia : Pukul tiga dini hari aku belum mau terlena (tak hendak tidur)/ bulan menabur cahaya di halaman/ selagi aku (duduk) termangu seorang diri/ angin yang berhembus ke selatan/ membuat hati semakin merana/ beginilah awak yang (merasakan) telah sebatang kara/ tiada ayah bunda/ tiada sanak (dan) saudara/ Hidupku yang papa selalu dirundung derita (hidup sengsara selalu berprihatin)/ Oh nyawa, bertahanlah kau di badan // (Tohari 2003: 64).
Dalam buku versi dialek Banyumasan, Ahmad Tohari (2006: 59) tidak menerjemahkan satu bait tembang dhandhanggula, tetapi hanya memperbaiki bacaan meskipun ada kesalahannya : /1/ Bedhug tiga datan arsa guling/ padhang bulan kekencar ing latar/ thenguk-thenguk lungguh dhewe/
Priyadi, Ronggeng Dhukuh Paruk Banyumasan: ... 159
___________________________________________________________________________________
anginnya ngidid mangidul/ saya nggrentes rasaning ati/ rumangsa yen wis lola/ tanpa bapa biyung/ tanpa sanak tanpa kadang/ urip sengsara tansah nandhang prihatin/ dhuh nyawa gondhelana//
Satu bait tembang dhandhanggula di atas melukiskan pahit getirnya Rasus dan kawan-kawannya yang telah sebatang kara karena mereka telah ditinggal mati oleh orang tua yang menjadi korban tempe bongkrek. Tembang dhandhanggula dalam konteks tembang macapat mempunyai watak yang tidak sesuai dengan kehidupan pahit getirnya seseorang, mungkin lebih cocok dengan tembang megatruh. Pada bait di atas, terdapat gaya bahasa repetisi yang tampak pada baris ke-7-8, yaitu tanpa bapa biyung, tanpa sanak tanpa kadang. Pada bagian lain, gaya bahasa tautologi atau pada baris ke-3: thenguk-thenguk lungguh dhewe dan baris ke-9: urip sengsara tansah nandhang prihatin. Gaya tersebut sekurangkurangnya dua kali mengungkapkan pengertian yang sama untuk menggarisbawahi sesuatu (Hartoko & Rahmanto 1986: 141), sedangkan pada baris ke-10: dhuh nyawa gondhelana menunjukkan gaya hiperbol karena melebih-lebihkan apa yang sebenarnya, seolah-olah nyawa dapat digondeli (Sudjiman 1990: 35). Kutipan kedua menggambarkan berahi yang sedang dirasakan oleh Rasus yang melihat Srintil telanjang dengan membandingkan pengalamannya pada kambing jantan yang digembalakannya : Rasanya, sebagai anak laki-laki tak ada yang salah pada tubuhku. Melihat Srintil telanjang bulat di hadapanku, aku teringat kambing jantanku bila sedang berahi. Jantung memompa darahku ke segala penjuru. Pada organ tertentu, arteri begitu padat berisi darah hingga menggembung dan menegang. Kehendak alam terasa begitu perkasa menuntutku bertindak. Srintil menarik tanganku. Kupandangi wajahnya yang merona merah. Kupandangi matanya yang berkilat-kilat. Kupandangi pucuk hidungnya dengan bintik-bintik keringat di pucuknya. Kemudian yang tertangkap oleh lensa mataku bergoyang, lalu membaur. Bayangan sosok Srintil melenyap. Yang muncul menggantikannya adalah halimun (Tohari 2003: 67).
160 SINTESIS Vol.5 No.2, Oktober 2007
___________________________________________________________________________________
Terjemahan dalam dialek Banyumasan : Tek rasa, (ng)goli dadi bocah lanang awaku (awakenyong) beres sekabehane (kabeh). Weruh Srinthil wuda blijing neng ngarepku (ngarepenyong), inyong dadi kemutan wedhus bandhot sing lagi kepengin baleg. Jantunge inyong (jantungenyong) mompa getih marang awak sebadan. Neng perangan awak sing wigati, ana saluran sing kebek banget getih nganti megar (nggedheni) lan ngenceng (ngaceng). Dayaning naluri ngojok-ojoki supayane inyong (supayane-nyong) gagiyan temandang. Srinthil nyered tangane inyong (tanganenyong). Tek penthelengi (delengi) rai sing semringah abang. Tek penthelengi (delengi) matane sing semunar. Tek sawang pucuk cungure sing kemringet. Ningen akhire kabeh wewayangan sing mlebu mring mataku padha goyang. Blegere Srinthil ilang. Metune dadi pedhut (Tohari 2006: 62).
Pada kutipan kedua ada beberapa gaya bahasa. Yang pertama, litotes pada kalimat sebagai anak laki-laki tak ada yang salah pada tubuhku. Tak ada yang salah sama dengan benar, maksudnya badan Rasus sehat. Litotes merupakan gaya yang tampaknya memperkecil sesuatu, tetapi yang dimaksud justru sebaliknya (Hartoko & Rahmanto 1986: 80). Yang kedua, hiperbol pada telanjang bulat yang bisa diterjemahkan tepat dalam dialek Banyumasan dengan wuda blinjing. Yang ketiga, metafora pada teringat kambing jantanku bila sedang berahi yang membandingkan antara dunia manusia dengan dunia hewani (Hartoko & Rahmanto 1986: 85) untuk melukiskan Rasus yang birahi melihat Srintil telanjang bulat. Yang keempat, klimaks yang menjelaskan proses ereksi alat kelamin Rasus pada kalimat arteri begitu padat berisi darah hingga menggembung dan menegang. Namun, terjemahan dalam dialek Banyumasan dari kata menggembung menjadi megar, suatu terjemahan yang menggelikan karena alat kelamin pria digambarkan seperti bunga yang mekar. Padanan yang bisa dipakai adalah nggedheni atau mededeng. Yang kelima, repetisi yang mengulang kata kupandangi tiga kali. Namun, dalam terjemahan dialek Banyumasannya berubah menjadi gaya bahasa antiklimaks karena kata kupandangi diterjemahkan tek penthelengi berulang dua kali yang disusul dengan tek sawang. Terjemahan tersebut pada konteks kalimatnya jelas tidak sepadan karena kata tek penthelengi tidak biasa dipakai dalam situasi seorang kekasih yang sedang memandangi wajah wanita yang dicintainya.
Priyadi, Ronggeng Dhukuh Paruk Banyumasan: ... 161
___________________________________________________________________________________
Kata itu layak dipakai pada saat-saat orang akan berkelahi atau sedang bertengkar. Jadi, transformasi dari gaya repetisi menjadi antiklimaks tadi sesuai dengan bahasa sasarannya. Kutipan yang ketiga : Kedua puluh tiga rumah di Dukuh Paruk sudah kelihatan sepi, kecuali rumah Kartareja. Di rumah dukun ronggeng itu sudah beberapa malam lampu besar dinyalakan. Nyai Kartareja telah selesai mendandani Srintil dengan kain dan baju baru. Rambutnya disanggul. Kartareja menyalakan pedupaan, yang diletakkannya di sudut halaman. Sebuah gayung dengan tangkainya yang tertanam di dalam tanah juga ada di sana. Celana kolor bekas, kutang bekas, serta pakaian dalam lainnya dilemparkan ke atas genting. Selesai dengan pekerjaan itu, Kartareja berdiri di tengah halaman dengan wajah menatap langit. Dukun ronggeng itu sedang melakukan ritus penangkal hujan (Tohari 2003: 69).
Terjemahan dalam dialek Banyumasan : Telu likur umah sing ana neng Dukuh Paruk wis padha (keton) sepi, kejaba umahe Kartareja. Neng umah kuwe wis pirang[-pirang] wengi dipadhangi [dening] lampu sing gedhe. Nini Kartareja wis rampung (ng)goli ndandani Srinthil nganggo jarit karo klambi anyar. Rambute digelung. Kaki Kartareja gawe dupa terus didelah (disogaken) neng padon latar. Neng kana ya ana siwur sing garane dicebna (decebaken) maring (ming) lemah. Kathok kolor, kutang utawa anggon-anggon jeroan liyane dibalangna (debalangaken) maring (ming) ndhuwur gendheng. Bare kuwe Kartareja njanggleng neng tengah latar, raine madhep maring (ming) langit. Dhukun ronggeng kuwe lagi nglakoni japa mantra (donga) nerang, kon aja udan (Tohari 2006: 64-65).
Kutipan yang ketiga dan terjemahannya yang disajikan di atas menunjukkan bahwa Ahmad Tohari menuliskan jenis pakaian dalam yang tidak sesuai dengan zamannya. Kathok kolor dikenal lebih kemudian daripada cawet atau cangcut (cawat yang memakai tali pada dua sisinya), begitu pula dengan kutang yang bentuknya berbeda. Perempuan Jawa yang memakai jarit pada umumnya tidak pakai jeroan (celana dalam) sehingga apabila mereka akan buang hajat cukup dengan nyincingaken jaritnya. Jadi, Ahmad Tohari telah melakukan transformasi budaya dari masa lalu dengan kenyataan ketika novel edisi bahasa Indonesia itu ditulis. Transformasi ini akan
162 SINTESIS Vol.5 No.2, Oktober 2007
___________________________________________________________________________________
mempengaruhi penerjemahannya. Celana kolor bekas dan kutang bekas tidak sepadan dengan kathok kolor dan kutang saja. Kata bekas tidak muncul dalam terjemahan sehingga ada bagian yang ditanggalkan secara gramatikal mungkin penting, tetapi tidak penting untuk kejelasan arti. Fenomena transformasi di atas disebut ellipsis (Sudjiman 1990: 27). Jika dicermati, pakaian dalam lainnya (anggonanggon jeroan liyane) tidak jelas dalam konteks masa lampau. Ahmad Tohari dalam menerjemahkan kata ritus dengan nglakoni japa mantra terlalu bertele-tele karena sebenarnya cukup disepadankan dengan kata donga (donga nerang) sehingga ia tidak perlu memberikan tambahan terjemahan kon aja udan. 4. Ungkapan Budaya 4.1 Oedipus Complex Ronggeng Dukuh Paruk dengan anak judul Catatan Buat Emak secara terus-menerus menggambarkan kompleks Oedipus yang terlihat dari kutipan-kutipan, baik dalam edisi bahasa Indonesia maupun dialek Banyumasan. Ah Srintil tak bersalah bila dia tak mengerti apa arti dirinya bagiku. Dia takkan mengerti bahwa bagiku, dirinya adalah sebuah cermin di mana aku dapat mencoba mencari bayangan Emak. Srintil takkan mengerti hal itu. Dan sekali lagi kukatakan Srintil tak bersalah (Tohari 2003: 50). Mata Srintil terarah lurus kepadaku. Tak lebih dari sepasang mata anak-anak. Aneh juga. Dari pemilik sepasang mata itu aku mengharap terlalu banyak. Tetapi aku tak merasa bersalah. Tidak. Karena pada saat itu misalnya, ketika Srintil menatapku tajam, aku teringat Emak. Emakku yang mati dan mayatnya dicincang. Atau Emakku yang lari bersama mantri keparat itu, dan sekarang barangkali berada di Deli, negeri khayali yang berada di batas langit (Tohari 2003: 55).
Terjemahan: O, Srinthil ora salah angger dheweke ora ngreti, jane dheweke wigaten banget tumrap inyong. Dheweke ora bakal ngreti. Tumrape inyong dheweke kaya kaca pengilon sing neng kono inyong teyeng njajal-jajal nggoleti wujude biyung. Dekaya ngapa Srinthil ora bakal ngreti. Ning sepisan maning tek omong, Srinthil jan ora salah (Tohari 2006: 45).
Priyadi, Ronggeng Dhukuh Paruk Banyumasan: ... 163
___________________________________________________________________________________
Matane Srinthil mencenger maring inyong. Ningen ya mung wujud mata bocah. Kayong aneh. Maring bocah sing nduweni mata kuwe inyong kegedhen pengarep-arep. Ningen inyong ya rumangsa salah. Ora. Merga nalikane Srinthil mencereng maring inyong kuwe, inyong dadi kemutan si biyung. Inyong rasane kaya lagi adhep-adhepan karo biyunge dhewek. Biyunge inyong sing mati kenang racun bongkrek lan mayide dirajang-rajang, utawa biyunge inyong sing jane esih urip ning lungan karo mantri keparat kae, lan siki padha urip neng tanah Deli, tanah pengangen-angen sing anane neng pinggir langit (Tohari 2006:51).
Kutipan-kutipan di atas merupakan gambaran fenomena Oedipus Complex (Bertens 1991: xxix; Young 2003) pada diri Rasus yang mencari jati diri Sang Emak yang seolah-olah hadir pada diri Srintil. Di situ, ada dua hal yang tampaknya bertolak belakang, yaitu pertama Rasus merindukan figur emak sebagai orang tuanya yang tidak dikenalnya dan kedua Rasus merindukan Srintil sebagai seorang kekasih meskipun Rasus dan Srintil belum dewasa. Kompleks Oedipus dalam sastra tradisional bisa dilihat pada kasus Guru Minda dalam cerita pantun Lutung Kasarung (Rosidi 1986), Kamandaka dalam Babad Pasir (Hardjana 1985), Watugunung dalam Babad Tanah Jawi (Olthof 1941: 7-11; Ras 1990: 125). Dengan demikian, fenomena Oedipus Complex merupakan fenomena yang universal, yang dapat ditemukan pada masyarakat lain sehingga konsep Guru Minda Complex, Kamandaka Complex, Watugunung Complex, bahkan Rasus Complex bisa dipakai dalam keilmuan. 4.2 Hubungan Seksual Orang Banyumas kalau membicarakan masalah hubungan seksual biasanya sangat vulgar, baik dalam percakapan sehari-hari maupun dalam karya sastra seperti yang disajikan dalam teks Babad Pasir. Teks tembang macapat melukiskan dengan detail hubungan romantis Raden Kamandaka dengan Putri Bungsu ketika mereka setelah bertemu pertama kali dan pertemuan kembali sesudah diceritakan Kamandaka dua kali tewas terbunuh. Dalam teks prosa mungkin lebih vulgar lagi dengan menggambarkan seolah-olah hubungan seksual seperti gapura atau pintu yang digedor-gedor dengan kekuatan penuh. Ahmad Tohari menggambarkan hubungan seksual hanya sekilas saja:
164 SINTESIS Vol.5 No.2, Oktober 2007
___________________________________________________________________________________
Aku percaya, suasana gelap dapat mengubah nilai yang berlaku pada pribadi-pribadi. Orang berpikir lebih primitif dalam suasana tanpa cahaya. Dan sebuah perilaku primitif memang terjadi kemudian antara aku dan Srintil. Ilusi akan hadirnya Emak saat itu tak muncul. Segalanya terjadi. Alam sendiri yang turun tangan mengguruiku dan Srintil. Boleh jadi Srintil merasakan sesuatu yang menyenangkan. Tetapi entahlah, karena aku hanya merasa telah memperoleh sebuah pengalaman yang aneh (Tohari 2003: 76).
Terjemahan dalam bahasa dialek Banyumasan : Inyong ngandel salatan peteng bisa ngowahi reganing tata susila sing dinut saben-saben wong. Wong dadi bisa duwe polah kaya kewan nalikane sajerone petengan. Lan polah tingkah kaya kewan njur pancen delakoni daning inyong karo Srinthil. Wewayangane biyunge inyong ora ngeton. Kabeh wis kedaden. Naluri dadi gurune inyong karo Srinthil. Mbok menawa Srinthil teyeng ngrasakna kenekmatan. Ning inyong dhewek, mbuh lah. Kayane inyong mung ngrasa olih pengalaman anyar tur aneh (Tohari 2006: 72).
Mengapa Tohari tidak mengikuti tradisi sastra babad yang pernah ditulis di Banyumas dalam menggambarkan hubungan seksual? Kemungkinan Tohari telah terlepas dari tradisi, dalam arti ia tidak menguasai karya-karya babad besar yang hidup cukup lama pada masyarakat Banyumas. Kenyataannya, memang ia tidak peduli, apa lagi memahami karya sastra yang menjadi tradisi penting di kawasan Banyumas. Selain itu, Tohari juga menunjukkan kata-kata vulgar yang dalam bentuk kata-kata yang saru dan brecuh yang mencerminkan karakter cablaka Banyumasan. Mungkin Tohari merasa malu menggunakan kata-kata dialek Banyumasan seperti yang selalu ia katakan kepada semua orang bahwa orang Banyumas itu rendah diri berbicara dalam bahasa dialek Banyumasan. Padahal, ia sendiri yang malu dan rendah diri memakai dialek Banyumasan. Hal itu terbukti pada terjemahannya. Dalam dunia, ronggeng mestinya kata-kata saru dan brecuh harus sering ditampilkan. Roh kebanyumasan agaknya sudah tercabut pada diri Tohari. Bukan orang Banyumas yang sejati kalau ia tidak penjorangan atau semblothongan (Priyadi 2003). 4.3 Sumpah Serapah Ahmad Tohari sering menyajikan sumpah serapah orang Banyumas yang meliputi bajul buntung, bajingan tengik, dan asu
Priyadi, Ronggeng Dhukuh Paruk Banyumasan: ... 165
___________________________________________________________________________________
buntung. Di antara ketiganya, asu buntung tampaknya paling favorit. Ketiganya, baik dalam bahasa Indonesia maupun dialek Banyumasan disajikan sama. Berarti tidak ada proses penerjemahan karena ketiganya akrab dalam kehidupan masyarakat Banyumas di pedesaan. Justru yang dipertanyakan adalah dalam edisi Indonesia tidak diterjemahkan sehingga ungkapan yang berasal dari bahasa dialek Banyumasan itulah yang diadopsi ke dalam bahasa Indonesia. Penerjemahan ke dalam bahasa Indonesia, misalnya menjadi buaya buntung, tupai bau, dan anjing buntung akan kehilangan rasa bahasa. Jadi, bajul buntung, bajingan tengik, dan asu buntung tidak dapat dicari padanannya dalam bahasa Indonesia. 5. Penutup Pembahasan dari segi bahasa dan sastra terhadap novel Ronggeng Dhukuh Paruk Banyumasan yang merupakan karya terjemahan Ahmad Tohari dari edisi bahasa Indonesia menunjukkan bahwa terjemahan itu baru pada tahap tekstual yang merupakan tahap terjemahan literal dari bahasa sumber ke bahasa sasaran. Terjemahan Tohari juga merupakan terjemahan kalimat demi kalimat (pendekatan pertama) dan cenderung memakai metode pertama, yaitu metode intuisi. Hal itu tampak pada terjemahan yang meninggalkan banyak revisi yang tidak dilakukan oleh penerjemahnya. Tohari tampaknya tidak melakukan review terhadap hasil terjemahannya. Di samping itu, penguasaan Tohari terhadap bahasa sumber dan latar belakang budaya Banyumasan juga tergolong kurang, yang disebabkan oleh gudang pengalamannya sudah tercampur dengan budaya lain. Atau dengan kata lain, ia tidak melakukan survai untuk kepentingan terjemahan meskipun novel itu ditulis sendiri oleh penerjemahnya dan si penerjemah juga berasal dari bahasa sumber yang seharusnya dikuasai. Ungkapan budaya yang menonjol meliputi fenomena Oedipus Complex pada diri Rasus terhadap Srintil, terputusnya antara tradisi dengan Ahmad Tohari yang sudah kehilangan roh kebanyumasannya, dan sumpah serapah yang dilakukan orang-orang pedesaan Banyumas.
166 SINTESIS Vol.5 No.2, Oktober 2007
___________________________________________________________________________________
DAFTAR PUSTAKA Bertens, K. 1991. Sigmund Freud Memperkenalkan Psikoanalisa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Hardjana. 1985. Raden Kamandaka. Jakarta: Balai Pustaka. Hartoko, Dick & B. Rahmanto. 1986. Pemandu di Dunia Sastra. Yogyakarta: Kanisius. Newmark, Peter. 1999. A Textbook of Translation. New York, London, Toronto, Sydney, Tokyo, Singapore: Phoenix ELT. Olthof, W.L. 1941. Poenika Serat Babad Tanah Djawi wiwit saking Nabi Adam doemoegi ing Taoen 1647. ‘s-Gravenhage: Martinus Nijhoff. Priyadi, Sugeng. 2003. ”Beberapa Karakter Orang Banyumas,” Jurnal Bahasa dan Seni, Tahun 31, No.1, Februari. Malang: Fakultas Sastra, Universitas Negeri Malang. Ras, J.J. 1990. “Tradisi Jawa Mengenai Masuknya Islan di Indonesia,” dalam W.A.L. Stokhof & N.J.G. Kaptein. Beberapa Kajian Indonesia dan Islam. Jakarta: Indonesian-Netherlands Cooperation in Islamic Studies. Rosidi, Ajip. 1986. Purba Sari Ayu Wangi (Lutung Kasarung). Jakarta: Pustaka Jaya. Sudjiman, Panuti. 1990. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: UI-Press. Tohari, Ahmad. 2003. Ronggeng Dukuh Paruk. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. ___. 2006. Ronggeng Dhukuh Paruk Banyumasan. Purwakerta: Yayasan Swarahati. Young, Robert M. 2003. Oedipus Complex. Jogjakarta: Pohon Sukma.