TOM TtRais FSw"oeafworr!'YWwd*.296t7-
POLA REPRODUKSI PADA TERNAK KELINCI RDenny Purnama Balai Penelniaw Ternak, PO.BOX 221 Bogor 16002
RINGKASAN
Kelinci (Oryctolagus cuniculus) termasuk dalam ordo Logomorpha tergolong hewan herbivora non ruminansia, memiliki kemampuan reproduksi yang tinggi. Kelinci terdiri dwi banyak "breed,, dari jenis kecil, sedang maupun besar dengan potensi dan pola reproduksi yang berbeda-beds . Untuk berhasilnya budidaya, kits harus mernaharni potensi dan pola reproduksi tersebut sehingga dapat melakukan budidaya kelinci secara efisien. Tulisan ini memuat beberapa aspek reproduksi yang dirangkum dari berbagai sumber yang berkaitan dengan fisiologi reproduksi ternak kelinci dan mullah-mudahan dapat be manfaat. Kata kunci : Kelina, reproduksi
PENDAHULUAN
Kelinci (Or)ctolagus cuniculus) tarmasuk dalam ordo Logomorpha tergolong herbivora non nimiancia, memiliki kemampuan reproduksi yang tinggi, cepat hewan berkembang biak, interval kelahiran yang pendek, prolifrkasi yang unggi, jugs kelinci mudah dipelihara dan tidak membutuhkan lahan yang leas pada pemelihaman yang banyak (Templeton,1968) . Kelinci memdiki banyak "breed" dan jenis yang kecil, jems yang sedang maupun yang besar dan masing-masing "breed" mempunyai potensi dan poly reproduksi yang berbeda . Di Indonesia selam kelinci lokal yang umimr dipehhara juga dipelihara kelinci ras seperti Flemish Giant, New Zealand White, Californian, Blouwender, Rex. satin, dan lain-lain. Yang berkembang saat ini adalah kelinci hasil persilangan dcngan pola reproduksi yang bervariasi Kegagalan reproduksi pada kelinci, terjadi akibat kurangnya pemahaman terhadap pola reproduksi ternak kelinci tenrtama yang berhubungan dengan fisiologi reproduksi . Tujuan penulisan makalah adalah untuk menginformasikan pola reproduksi temak kelinci yang kepada pemerbati petemakan khususnya bagi yang beternak kelinci .
ANATOMI KELAMIN JANTAN DAN BETINA
sahuan reproduksi betina terbagi dua konnra yang terpisah dan masingmasing mempunyai serviks yang terpisah setelah vagina. Pada sistim reproduksi kelnci tidak ads kemungkinan terjadi " cross over " telur di dalam uterus. Vagina pada kelinci henna dewasa dapat ditemukan sejajar dengan anus > sedangkan penis dan scrotum pads jantan dewasa dapat ditemukan di bawah perut diantam lipatan paha belakang. Pada
96
Temr Tekms Fvngsonal non Penelftf 2000
kelinci jantan muda bentuk testes belum terlihat sehingga kesalahan identifikasi seKSual sexing terjadi (lihat gambar 1 dan 2).
SEKSING
"Sexing" adalah untuk membedakan kelamin jantan dan betina pada kelinci yang bane disapih (umur 4-8 minggu) . Anak kelinci jantan yang barn disapih, testis masih berada di dalam rongga penrt, sedangkan penisnya belum terlhat dari luar. Untuk membedakan jenis kelamin pada kelinci muda, perlu dilakukan pemeriksaan dari dekat yaitu dengan cara meletakkan punggung anak kelnci pada MW kanan sehingga kepalanya menghadap ke atas dan tangan kin memegang kedua kaki depan. Selanjutnya ibu jari dan telunjuk tangan kanan di letakkan di depan dan di belakang alat kelanun, dan dilakukan penekanan sehingga alat kelamin yang di Main tubuh akan menonjol keluar. (lihat gambar 3). Dengan melihat perbedaan bentuk tonjolan alat kelamin, maka dapat ditentukan jenis kelamin. Jika berkelamin jantan , tonjolan tadi bentuknya lebih panjang, runcing dan ada lekukan di tengahnya . Jika berkelamin betina, maka tonjolan tadi mempunym celah yang melintang dan jugs alat kelamin betina (vulva) lebih dekat ke anus (lihat gambar 4).
a...t.f .» I- ..i
Gambar 1. Alat kelamin jantan Sumber : hebas, dkk. 1986
97
T- Tilb- F7rngafonal row PsMlib ?000
Gambar 2. Alat kelamin betina Sumber : Lebas, dkk. 1986
Gambar 3 . Cara pengecekan alat kelamin kelinci muda.
r- "'*-
m(,
h Aentuk-bentuk slat kelamin kelinci Jantmi dart betina A. slat kelamin Jantan umur 2 bulan, ukuran sesunggt?Irnya . . B. alat kelamin ber irta umur 2 bulan, ukurart sesungquhrlya -------- ------------------------ ----------- ------------Sumber t Mugroho (1782)
Gambm 4. Bentuk alai kelamin kehnci muda Sumber : NWgroho. 1982
Tabel 1. Karakterisasi Repmduksi pads Kehnci
8 buah (4 pasang) Jantan : 8 - 9 Man : 5 - 9 bulan Henna Vol Ejakulat : 0,4 -1,5 ml 150 - 300juta / ml pH : 6,6 - 7,5 Warns putih susu Bau Akasia Waktll Kapasitasi sperms 6jam 4-6 hari beraturan Cara kawin slam dan IB Be ina sedang birahi Di kandan8 pejantan Pebandingan jantan betina 1:10-12 Jumlah sevis 3 X kawin Waktu pagi bari Tidak spmitan Perlu rangsangan
2000
Tenor Teknus Frrngaional ronPenelid 2000
Kebuntingan Bunting Semu Proses melaporkan Jumlah Anak perkelahiran (Litter Size) Nisbah Kelamin (sex ratio) Bobot lahir Jarak kawin setelah beranak Penyapihan
Waktu fertilitas 1-2 jam Lama 29-35 hari, rata-rata 31 hari Deteksi dengan palpasi hari ke-10 setelah kawin Umum terjadi Hari ke 16 sampai hari ke 19 Mencabuti bulu Pagi hari, berlangsung beberapa jam Rata-rata 7-9 ekor 50 :50% Rata-rata 42-45 gram Ideal 14 hari Umur sapih 35-45 had Bobot sapih rata-rata 400-500fr.
KELENJAR MAMAE
Kelinci memiliki 4 pasang kelenjar mamae, yang tumbuh dan berkembang cepat pada minggu terakhir masa kebuntingan Jumlah produksi susu rata-rata secara 150-200 mg/hari pada anak varietas pertama dan meningkat pada varietas berikutrnya. Pada kelinci besar jumlahnya akan lebih banyak dan maksimum pengeluaran air susu terjadi pada minggu kedua dan ketiga masa laktasi . Untuk mendapatkan air susu yang optimal, sebaiknya pengasuhan anak dibatasi 7 - 8 ekor. Jika jumlah anak yang dilahirkan perkelahiran (litter size) melebihi 8 ekor, maka kelebihan anak dapat dilakukan tmdakan fostering ywtu dengan menitipkan anak ke mduk lain yang jumlah anaknya lebih sedikit (Pumama, 1997).
DEWASA KELAMIN (PUBERTAS)
Pubertas pads kelinci bervanasi dan sangat tergantung pads breech" . Kelinci jenis kecil mempunyai masa pubertas lebih dini dibandingkan kelinci jenis besar. Kelinci betina lebih dulu mengalami pubertas dibandingkan kelincijantan. Maraci dan Machado (1978) mengemukakan bahwa, dewasa kelamin pada kelinci jantan NZW dicapai pada umur 6 bulan. Cheeke dkk (1982) mengatakan bahwa, kelinci jantan mencapai dewasa kelamin pada umur 4-8 bulan, tergantung pada bangsa dan tingkat makanan . Menunit Hafez (1970), meskipun spermatozoa motil terlihat pada ejakulat pertama Umur 4 bulan tetapi spermatozoa yang mempunyai fertilitas baik diperoleh pada umur 7-8 bulan. Sastrodihardjo, 1985 melaporkan basil survey pada peternakan rakyat di Jawa bahwa sebagian besar peternak mengawinkan pertama kali kelinci jantan pada Umur 8 bulan, sedangkan kelinci betina pada umur 6 bulan.
100
Tenor Tekrds Fungsional nonPeneliti 2000
KEADAAN UMUM SPERMATOZOA
Cheeke dkk (1982) melaporkan bahwa, dalam keadaan normal volume ejakulat kelinci jantan dewasa antara 0,4-1,5 ml dengan konsentrasi sperms rata-rata 150 juta per ml. Konsen rasi sperms secara umum dipenganihi oleh bangsa den tingkat rangsangan. Hafez (1980) melaporkan bahwa, bangs kelinci ukuran sedang rata-rata volume ejakulat 0,8 ml dengan konsentrasi 10-1000 juts per ml. Semen kelinci dalam keadaan normal mempumyai pH berkisar antara 6,6-7,5 (Mc Donald, 1976), warns putih susu, ban akasia den mempunyai tekanan osmotik hampir sama dengan darah yang ekwvalen dengan larrtan NaCl 0,90%. Hasil pengukuran volume semen pada kelinci Rex di Bahtnak dengan menggabungkan ejakulasi pertama den kedua terukur 1,09 ml dengan konsentrasi sperms 219,4 juta/ml . Sedangkan pada kelinci New Zealand White volume yang terukur pads 2 kali ejakulasi adalah 1,92 ml dengan konsentrasi sperms 248,8 juta/ml .
BIRAHI (ESTRUS)
Kelinci yang didomesbikasi mempunyai siklus birahi (estrus) yang beraturan, umumnya terjadi setiap 4-6 han den berhubungan erat dengan penode estrogen dalam dash serta dapat dilihat pads keadaan sitologi vagina (Colby, 1986). Tanda-tanda birahi yang terlihg adalah vagina yang membengkak den berwarna kemerah-merahan. Sedangkan setae tingkah laku jika dipegang punggungnya make induk akan terangkat tubuh bagian belakang.
PERKAWINAN
Perkawman dapat ddakukan secara alarm atau melalui inseminam buatan Jika dilakukan secara alami mengingat sifat teritorial pejantan memuntut pe kawinan dilakukan di kandang pejantan den jika MAW= sebaliknya pejantan tidak man berkopulasi. Induk yang ddcawmkan sebaiknya yang sedang estrus dengan tanda vagina yang membengkak kemerahan, karena mduk yang estrus aurmudahkan pejantan berkopulaasi . Bila kopulasi terjadi ditandai dents jatuhnya pejantan kesamping den berlangsung sangat cepat Adanya cairan dalam vagina belum menjamm terjadmya perkawinan yang fertil, kadangkadang saat ejakulasi hanya berisi plasma semen tanpa sperma. Untuk An perkawman perlu diulang agar fertditas terjadi. Jika pejantan kesulitan untuk berkopulasi, make dapat dibantu sehingga kopulaw terjadi . Owen dkk (1977) menyatakan bahwa, panes mecupakan salah satu faktor lingkungan yang bmpenganuh pads kelinci di negara tropis, suhu hnglamgan diatas 30° C dapat mengbambat ferbhtas pads pejantan sedangkan pads betina bunting batkan kematian embrio . Untuk itu waktu mmpwmkan kelinci sebaiknya dilakukan pada pagi han atau sore hari pads saat suhu lines tidak terlalu panas (beddsar 23° C - 25° C). Pada daerah bersuhu sejuk, pefwinan pads slang harm pads hakekatuya tidak bermasalah. Kebiasmn pexemak mengawinkan kelinci pada pagi hari lebih banyak
Tsn- Tiwbws Ftnvsional MR Penehi, 20010
disebabkan oleh tersedianya waktu luang yaitu sebelum peternak bercocok tanam (Diwyanto dkk, 1985). Yang perlu diperhatikan dalam perkawinan kelinci ad" hares menghindarkan perkawman sedarah atau silang dalam (in breeding) . Oleh karena itu setiap perkawman harus dicatat clan dibuatkan silsilah jika anal-anaknya akan dilahrkan bibit.
PELEPASAN SEL TELUR (OVULASI)
Ovulasi adalah prows pelepasan sel telur dari folikel de graaf, clan pads ternak kelinci tidal tegadi secara spontan (Induce Ovulator) . Ovulasi alum terjadi bila induk mendapat rangsangan dari luar (Hafez, 1970 ; Sandford, 1979; Cheeke dkk, 1982. Rangsangan dapat berupa perkawinan melalui kopulasi, melalui penyuntikan hormon, rangsangan listrik, rangsangan oleh tangan dun cumbu rayu dengan kelinci betma. Colby (1986) menyatakad bahwa, kelinci bersifat Posceital Ovulator, yaitu ovulasi terjadi hanya jika adanya kopulasi. Prows kopulasi dapat menyebabkan peningkatan ukurdn folikel secara cepat pada masing- musing ovarium. Ovulasi biasanya terjadi 6-10 jam setelah kopulasi atau perangsangan (Colby, 1986), 10-12 jam (Miller dkk, 1969). Ovum mempunym umur fertil selama 6 jam setelah ovulasi. Folikel yang mahang memiliki diameter 1,5 mm serta poly ovular folikel unnun terjadi. Serum LH (Luteinazing Hormone) akan mencapai prncak 1-2 jam setelah kopulasi. Hafez (1980) morgatakan bahwa, ovulasi distimulir oleh LH.
KEBUNTINGAN
Kebuntingan dimulai clan pertemuan sel telur dun sperma. Setelah dibuahi sel telur membagi din menjadi sel bare clan pada saat yang bersanraan sel telur men* tuba fallopii . Setelah membelah, akan berimplantasi kemudian menjadi embrio clan tetap diuterus sampai Whir . Pada 4 hari pertama uterus siap menerima embrio clan setelah 8 hari , sel bagian luar dan embno bertaut pads dinding-dinding uterus kemudian plasenta dibentuk oleh bagian dari embno clan uterus. Lama kebuntingan adalah waktu dari mulai perkawman sampai beranak Lamanya dipenganilu oleh bangsa Jelinc4 utnur induk, besar clan jumlah anal clan lingkungan (Sandford, 1979). Lama kebuntingan yang panjang terlihat bilajumlah anak yang dilahirkan sedikit clan mempunyai berat lebih dan 100 gram, sebahknya jumlah anal yang banyak menJadikan lama kebuntingan lebih pendek (Cheeke dkk, 1982). Lama kebuntingan umumnya rata-rata 31-32 hari (Hafez, 1980 ; Cheeke dkk, 1982) tetapi ada yang 29 hari clan paling lama 35 hari. Hafez (1970) melaporkan, kelinci yang lahir antara 30-32 hari setelah perkawman sebanyak 98 persen clan kebuntingan diperpanjang apabila litter size wdildt, terdapat anal yang terlalu besar (abnormal) atau karena terjadi kematian . Lama kebuntingan induk kelinci pada peternakan di Jawa bervariasi antara 29 - 36 hari dengan rata-rata 30 hari (Sastrodihardjo, 1985). Kebuntingan dapat diketahui dengan cara palpasi percutan ventro caudal pads hari ke 10 setelah kawm, yaitu dengan cara meraba bagian bawah perut induk Bila ternw benjolan bulat yang mengambang sebesar kelereng clan terasa kenyal maka dapat dipashkan bunting, bila benjolan ternw keras clan lebih kecil maka
102
Tenor Tekms Fungsional nonPenelia 2000
kelinci tersebut tidak bunting karena yang teraba adalah feses dan kelnci dapat dikawinkan ulang. Stres karena pembahan linglamgan, pemberian obat-obatan serta penangamn kasar dapat menyebabkan terjadinya abortus atau gangguan pada kebuntingan. Kesuburan induk diukur oleh jumlah eel telur yang diovulasikan don jumlah anak yang dilahirkan (Sanford, 1979).
BUNTING SEMU
Bunting semu sering terjadi pads kelinci akibat adanya handling yang kasar, dinaiki oleh betina lain don sebagainya. Hal ini terjadi akibat adanya corpus luteum persisten yang terdapat selama 2 minggu. Hari ke ke 16 - 19, betina akan bersikap seperti akan melahirkan yang normal, tetapi jika dikawinkan biasanya mduknya akan bunting.
PROSES MELAHIRKAN
Kelinci melahirkan pada pagi ban, yang sebelumnya ditandai dengan kegiatan mencabud bulu untuk sarang. Bagian anak yang akan keluar lebih dahulu adalah bagian antenomya. Anak pada umur 35 ban tidak lahir akan mati, untuk itu hares segera dikeluarkan karena dapat menghambat kebuntingan benkutnya. Induk dapat disuntik dengan hormon Oxytocin (0,1 cc/ 1,5 kg BB induk) . Beberapa menit setelah penyuntikan biasanya induk akan beranak, oleh sebab itu hares ditunggu karena sexing beranok tidak pada tempatnya don interval kelabiran berlangsmg sangat cepat dengan plasenta yang masih utuh. Untuk menyelamatkan anak, operator hares membantu membuka plasenta agar anak segera mendapatkan oksigen don proses pengerasan tulang cepat terjadi.
JUMLAH ANAK YANG DILAHIRKAN PERKELAHIRAN (LITTER SIZE)
Litter sin ad" jumlah auk yang dilahirlcan perkelahuan, banyaknya terpntung bangsa, jenis don lingfampn. Umumnya litter size lebih besar pada bongo besar don persilanpn danpada bangsa lainnya (Hafez, 1970). Choke dkk (1982) menyatakan bobwa, utter size terpntung poda bangse, makanan, umur don lmglnrnpn induk. Jumlah eel teluryang dilepas oleh masing-masing ovarium maup*m salah satin faktor yang meaartukan litter sin. FaCtor lain yang berpengaruh adalah jumlah eel tehrr yang dibuahi spernta kemudian menuju emus don bakembang sampai Whir (Choke dkk, 1982). Se= um= litter sin poda kelinci adalah 4,0-8,1 ekor (Nalbandov, 1975), 4-12 ekor (Anonim, 1982). Litter sin yang diperoleh dari basil 18 odalah 8,8 ekor (Komov, 1966), 6,93 (Lahiri dkk, 1982), 7,8 ekor (Chiang dkk, 1968). Hafez (1970) menptakan bahwa, litter size menunm dengan meningkatoya pe sentase inbreeding. Sedangkan menunut Arifn dkk, (1977X litter size meningkat dengan meningkatnya bobot induk. Temperatur sangat berpenpnrh terhadap kebundnpn don litter size, di mana kebuntingan tmkeml don litter size yang paling sedikit jika perkowman ddakukan 103
Tam Teknis
F-gaio" MR Pemf 2000
pada saat temperatur hnglanigan tmggi . Sedangkan di Indonesia pada surve peternakan di Jawa jumlah anak kelinci sepelahiran sebagian besar adalah 7 ekor (4-9 ekor) (Sastrodihardjo, 1985). Di Balimak pada-pemeliharaan intensif, jumlah anak kelinci sepelahiran kelnci Rex rata-rata 7 ekor. Sedangkan Sartika (1986) melaporkan jumlah anak sepelahiran pada kelinci lokal adalah 5 ekor (4-6 ekor) .
NISBAH KELAMIN (SEKS RATIO)
Nisbah kelamin atau "Sex Ratio" adalah perbandingan dari persentase kelamin jantan dan betna pada suatu kelahiran (Nalbandov, 1975) . Secara teoritis perbandingan jantan - betina adalah 50 : 50 % (Robert, 1956 ; Mc Donald , 1976), artinya perbandingan yang dilahirkan antara jantan dan betina seimbang Hafez (1970) mengatakan bahwa, jantan lebih sedikit dilahirkan dari pada betina . Sandford (1979) menjelaskan bahwa, hal ini terjadi akibat kematian embrio jantan sebelum dilahirkan lebih tinggi. Robert (1956) melaporkan bahwa, persentasejantan lebih tinggi pads waktu bunting dibandmgkan seat lahir . Embrio jantan yang mati akan diserap kembah atau dapat juga abortus. Sastrodihardjo 1985, melaporkan bahwa nisbah kelamin pada peternakan kelinci di Jawa memiliki kesamaan ywtu 50 : 50 % dengan kisaran 30 : 70 %.
JARAK KAWIN SETELAH BERANAK
Pada pemeliharaan tradisional yang cenderung mencampiukan pejanmn dengan induk secara terus-meneaus, ketika induk beranak akan langsung dikawinni kembali oleh pejantan. Pada sag beranak, mduk kelnci dalam posisi berahi dan bila terjadi perkawman biasanya induk akan bunting. Yang menjadi persoalan adalah terjadi tarik-menarik hormonal antara hormon untuk memproduksi air sum dengan hormon unuk mempertahankan kebuntingan sehingga dampaknya dapat menurunkan produksi air sm. Untuk itu sebaiknya jarak -kawin setelah beranak diberdcan waktu antara seperu yang dilakukan di Balitnak pada reproduksi kelinca Rex Hasil: penelitian memmjukan jarak kawin setelah beranak yang ideal adalah 14 hari karma selam efisien juga memberikan performans yang baik pada jumlah anak yang dilahirkan (Raharjo, dkk. 1993).
PENYAPIHAN
Untuk budidaya kelnci yang efisien, penyapihan dapat dilakukan pada -umi r 35 hari sampai 45 hari. Jika jwak kawin setelah beranak dilakukan 14 hari, maka dengan penyapihan umur 35 ban akan memberikan waktu kering kandang selama 7 hari untuk mempersiapkan kelenjar mamae pada kelahiran berikutnya. Bobot sapih pads anak kelnci yang sehat berkisar antara 400-500 gr tergamung jumlah anak yang diasuh oleh induk danjenis kelinci .
104
Teear Tebds FLngsional ronPenelid ?000
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terimakasih kepada Ibu Dra. R lie Arifiantini . MS, staf pengajar FKH Junisan Reproduksi IPB den Bapak Ir. Sudiman Satrodihardjo MS (Alm) Staf Peneliti BALITNAK atas bantuannya dalam penyediaan bahan pustaka den bimbingan dalam penulisan. Kemudian ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Ibu Elizabeth Wina, MSc yang telah mernbahas den mengkoreksi tulisan inn .
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 1982. Pedoman Beternak Kelinci. Balm Informasi Pertanian Departemen Pertanian. Kayu Ambon 1,embang Bandung. Arifi E.A, E. Salah, E. Galal, E.A El-Tawil and S.S Kishin, 1977 . Litter size at birth and at weaning in three breeds of rabbit and their crosses. In : Animal Breedings abstracts, 1978. 46 (12) : 740 Cheeke P.R, N.M. Patton and G.S. Templeton, 1982. Rabbit Production. 5'b Ed. The Interstate Printers and Publishers, Inc., Danville, Illinois USA Chiang . H.S., M.T. Lai and J.E. Dalpavero, 1968. Artificial insemination in the Rabbit. J. Taiwan Ass. Animal Husbandry Vet. Med. 13 :17-23 Colby. E.D., The Rabbit dalam: Morrow .D.A, 1986. Current therapy in theriogenology 2. W.B. Saunders Company, Philadelphia. Cole. H.M. and P.T. Cupps, 1977. Reproduction in domestic animals. 3d Ed Academic Press, London. Diwyanto, K., Sumanto, B. Sudaryanto, T. Sartdca den D. Lubis. 1985. Suatu studi kasus mengenai budidaya tmak kelind di Desa Pandansari Jawa Tengah (aspek managemen den pr~oduktivvitas ternak) . Ihnu den Peternakan Vol . 1 No.10. pp 445-452 Hafez E.S.E., 1970. Rabbit, In : ESE . Hafez ed., Reproduction and Breeding techniques for laboratory animals. Lea & Febiger, Philadelphia. Pp.273-298 Hafez E. S.E., 1980. Reproduction in farm animal. 4's Ed Lea & Febiger, Philadelphia Komov I.A., 1966. Early service ofbreading does. In : Animal breeding abstracts 1967 . 35 314 Lahiri S.S., V.RB. Sastry and J.M. Mahajan, 1982. Not on the inheritance of age First breeding, litter size and weight in rabbit In : Animal Breading Abstracts, 1983. 51 (6) :484. Lebas. F, P. Coudert, R Rovier and H. de Rochambeau . 1986. The rabbit husbandry, health and production. Food and Agriculture Organization of The United Nations. Rome. Maraci . M and C.R. Macado, 1978. Sexual maturity in rabbit defined by the Phusical and chemical acs of the semen. In : Animal Breeding Abstracts, 1978. 46 (10):592 . McDonald L.E., 1976. Veterinary endocrinology and reproduction. 2°a Ed Lea & Febiger, Philadelphia.
105
Ten- Teknis Fnngsionat non Penelia 1000
Miller D .C., J.F . Roche and P.J. Dziuk, 1969. Estimation of the optimum inter-val between insemination J. Reprod. Fert. 19 : 545-546 Nalbandov AN., 1975. Reproductive physiology of mammals and birds. The Comparative Phisiology Of Domestic And Laboratory Animal And Man. 3'd Ed. W.H. Freeman & Company, San Francisco USA Owen J.E., D.J. Morgan and J. Barlow, 1977. The rabbit as a producer of meat and skin in Developing Co»ntries . Tropical Product Institute. London. Perry E.J., 1969.m Historical Background, pp. 3-12 In : E.J. Peny ed. The Arti-ficial Insemination of farm animal. 4'h Ed Oxford & IBH Publishing Co., New Delhi. Purnama, D., 1997. Tehnik fostering sebagai tindakan alternatif dalam usaha meningkatkan produktivitas induk kelinci. Proseding Lokakarya Fungsional Non Peneliti. Puslitbangnak pp : 54 - 61 Robert S.J., 1956. Veterinary Obstetrics and Genital Diseases . Ithaca, New York Raharjo, Y.C., FX. Wijana dan T. Sartr7sa. 1993. Penganrh jarak kawin setelah beranak terhadap performans reproduksi kelinci Rex . Ilmu dan Peternakan Vol 6 No. l pp 27- 30 Sandford J.C., 1979. The Domestic Rabbit. 3`dEd Granada London. Sastrodihardjo, S., 1985. Performans reproduksi kelinci (Oryctolagus cuniculus) pada peternakan kelinci dijawa. Proceeding Seminar Peternak dan Forum Peternak Unggas dan Aneka Ternak. Puslitbangnak Bogor. pp 187 -195. Sartika, T., K Diwyanto. 1986. Produktivitas kelinci lokal : litter size pertumbuhan, mortalitas dan kondisi induk. Dmu dan Peternakan Vol. 2 No. 3 pp 117 -121. Seit, B. 1954. Pembuahan buatan. Penerbit Balai Buku Indonesia. Jakarta. Templeton G.S., 1968. Domestic Rabbit Production . The Interstate Printers & Publishers, Inc. Denville Illinois. Warman AR, 1982. Penyakit Pada Kelinci Mencegah Dan Mengobafirlya . Penerbit