RINGKASAN DISERTASI
PEMBERDAYAAN PUSKESMAS BERDASARKAN PENGUKURAN KINERJA (KASUS PUSKESMAS DI PROVINSI DKI-JAKARTA)
OLEH : AMY Y.S.RAHAYU
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006
PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini adalah :
Nama
: Amy Y.S.Rahayu
NRP
: P.016010061
Program Studi
: Ilmu Penyuluhan Pembangunan pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor,
Dengan ini menyatakan bahwa disertasi saya yang berjudul “Pemberdayaan Puskesmas Berdasarkan Pengukuran Kinerja (Kasus Puskesmas di Provinsi DKI-Jakarta), adalah memang benar hasil karya saya sendiri. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sejujurnya, agar dapat digunakan sebagaimana seharusnya.
Bogor, September, 2006 Saya,
Amy Y.S.Rahayu.
ii
RINGKASAN AMY Y. S. RAHAYU. Pemberdayaan Puskesmas Berdasarkan Pengukuran Kinerja. Dibimbing oleh BASITA GINTING, DJOKO SUSANTO, MARGONO SLAMET, DAN AZHAR KASIM. Pelayanan publik di bidang kesehatan menjadi barometer tingkat kesejahteraan penduduk. Di Provinsi DKI-Jakarta, masih terjadi kesenjangan antara tingkat kesehatan penduduk yang diharapkan dengan kenyataannya.Puskesmas sebagai pelayanan kesehatan publik dan berada di tingkat Kecamatan memiliki peran penting dalam meningkatkan derajad dan status kesehatan penduduk. Pemberdayaan Puskesmas dipandang tepat dengan mengukur kinerjanya terlebih dulu. Alat ukur yang dipandang mampu menganalisis kinerja Puskesmas secara sistemik dan dinamis adalah Balanced Scorecard (BSC) dikombinasikan dengan System Dynamic (SD). Pertanyaan penelitian dalam disertasi ini adalah : 1). Bagaimana tingkat kinerja dan pola kecenderungan kinerja BSC Puskesmas ?, 2). Bagaimana struktur sistem kinerja Puskesmas, 3) Bagaimana model pemberdayaan pelayanan kesehatan Puskesmas berdasarkan pada skenario-skenario yang dibuat ? Populasi sampel dalam penelitian ini adalah Puskesmas elite, moderate, dan slum di Provinsi DKI-Jakarta minus Kepulauan Seribu. Paradigma yang digunakan adalah positivist dan ’hard approach’. Adapun total sampel pelanggan setiap triwulan adalah 150 responden yang ditarik selama 4 triwulan secara time series, sedangkan sample pegawai adalah 30 responden pertriwulan selama 4 triwulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Puskesmas elite memiliki kinerja lebih baik dari yang lain, sementara moderate lebih baik dari slum. Pola kecenderungan kinerja menunjukkan ke arah umpan balik Balancing yang artinya seluruh kinerja yang ditemukan masih memerlukan perbaikan atau koreksi. Pada struktur kinerja, ditemukan: 1) Mutu layanan elite, moderate dan slum sensitive terhadap peningkatan rasio pasien medis; 2) Kepuasan pelanggan pada ketiga Puskesmas sensitive terhadap rasio pasien medis ; 3) Pada elite kepuasan pegawai sensitive terhadap rasio insentif, sedangkan pada moderate kepuasan pegawai sensitive terhadap peningkatan potensi pasien, dan pada slum kepuasan pegawai sensitive terhadap rasio pasien medis. 4) Penerimaan swadana di ketiga Puskesmas sensitif terhadap potensi pasien. Model pemberdayaan pada ketiga Puskesmas berbeda, pada Puskesmas elite model pemberdayaan tahun pertama diprioritaskan pada kombinasi perspektif proses intrenalpembelajaran pertumbuhan, tahun kedua pada pelanggan-proses internal. Pada Puskesmas moderate, tahun pertama difokuskan pada kombinasi pemberdayaan perspektif keuangan-pelanggan, tahun kedua pada pelanggan-pembelajaran pertumbuhan. Sementara pada Puskesmas slum, arah pemberdayaan tahun pertama pada kombinasi perspektif pelanggan-proses intrenal, dan tahun kedua pada kombinasi pelangganpembelajaran pertumbuhan.
iii
ABSTRACT AMY Y.S. RAHAYU. The empowerment of the Puskesmas based on measuring of performance. Under direction of BASITA GINTING, DJOKO SUSANTO, MARGONO SLAMET, AND AZHAR KASIM. Public services related to health have become a barometer for people’s welfare level. In DKI-Jakarta Province, there has been a gap between the expected people’s health and the real situation. Puskesmas, which serves as people’s health center and is located in districts, plays an important role in improving both the degree and the status of people’s health. Empowerment is required to enable Puskesmas empower people, while the base for such an empowerment is by measuring the performance of Puskesmas first. The equipment thought to be able to analyze Puskesmas’s performance systematically and in a dynamic way is Balanced Scorecard (BSC) combined with Sytem Dynamic (SD) The questions in this research are: 1) How are the performance level and pattern of BSC Puskesmas performance ?; 2) How are the s tructure of Puskesmas’s performance ? ; and 3) How is the model of empowerment for health service in Puskesmas based on the scenarios made ? The population samples in this study are elite, moderate and slump Puskesmas in DKI-Jakarta except for Kepulauan Seribu. The paradigms use are both ‘positivist’ and ‘hard approach’. The total sample of customers in every quarter is 150, obtained periodically for four quarters in time series; whereas the sample of employees is 30 persons obtained quarterly for 4 quarters consecutively. The result shows that elite Puskesmas has a better performance compared to the others, while the moderate is better than the slump. The pattern of performance trend tends move to the direction to balancing feed back which means that all performances found still required improvement. The study of structure of performance, it was revealed that:1) service quality of elite, moderate, and slump is sensitive to the increase of medical patient ratio; 2) Customer satisfaction on the three Puskesmas is sensitive to medical patient ratio ; 3) In the elite, employee’s satisfaction is ensitive to incentive ratio, while in the moderate, it is sensitive to patient potential increase, and in the slump, it is sensitive to the medical patient ratio; 4) ‘Swadana’ income in the three Puskesmas is sensitive to patient potential. The model for the empowerment of the three Puskesmas are different: The elite requires on combination of internal process- learning- growth perspective and customerinternal process; the moderate needs empowerment in the combination of financialcustomer perspective, and customer-learning and growth perspective; while the slump requires the one of combination of customer-internal process perspective and customerslearning and growth.
iv
PEMBERDAYAAN PUSKESMAS BERDASARKAN PENGUKURAN KINERJA (KASUS PUSKESMAS DI PROVINSI DKI-JAKARTA)
OLEH : AMY Y.S.RAHAYU NRP. 016010061
Disertasi Sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2006
Judul
: Pemberdayaan Puskesmas Berdasarkan Pengukuran Kinerja (Kasus Puskesmas di Provinsi DKI-Jakarta)
Nama Mahasiswa
: Amy Y.S.Rahayu
NRP
: P.016010061
Program Studi
: Ilmu Penyuluhan Pembangunan.
Menyetujui : 1. Komisi Pembimbing
Dr.Ir.Basita Ginting Sugih en, MA Ketua
Prof.Dr.Ign Djoko Susanto, SKM, APU Anggota
Prof.Dr.H.R Margono Slamet,MSc Anggota
Prof Dr.Azhar Kasim, MPA Anggota Mengetahui,
2. Ketua Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan
3. Dekan Pascasarjana
Dr.Ir. Amri Jahi ,MSc
Dr.Ir. Khairil Anwar Notodiputro,MS
Tanggal Ujian :
Tanggal Lulus :
vi
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Solo -Jawa Tengah pada 30 Januari 1955 sebagai putri tunggal dari pasangan Monica E.N.Siswosujanto dengan Joseph T.Siswosujanto. Menikah dengan Andreas Djoko Soeroso, dikaruniai 3 putra - Yohanes Andy Maury Suryo Wardhono, Daniel Aditya Apri Tjondro Wardhono, dan Laurentius Bramantyo Nugroho Wikastopo – dan 1 orang cucu Bonaventura Andika Putra Suryowardhono dari menantu Veronika Mayadewi. Pendidikan sarjana ditempuh di Fakultas Ilmu Sosial Politik – Universitas Indonesia, lulus pada tahun 1984. Pada tahun 1996 lulus dari Program Magister Pascasarjana Bidang Ilmu Administrasi FISIP-UI. Pada tahun 2002 diberikan kesempatan untuk belajar di program doktor pada Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan pada Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Sejak tahun 1986 penulis bekerja sebagai staf pengajar di Departemen Ilmu Administrasi FISIP -UI. Pada tahun 1990 aktif sebagai peneliti di lembaga Ilmu- ilmu Sosial FISIP-UI hingga tahun 1995. Pada tahun 1997 hingga 2005, diberikan kepercayaan menjabat sebagai Ketua Program Studi D-III Bidang Ilmu Administrasi di FISIP-UI. Berbagai penelitian pernah dilakukan, terakhir adalah penelitian tentang Kinerja Pemerintah Kota (Studi Kasus Pelayanan Publik di Kota Jakarta, Suarabaya , dan Bandung) tahun 2001, hasil kerjasama Pascasarjana FISIP -UI dengan Ford Foundation. Berbagai artikel dan tulisan tentang Pelayanan Publik telah diterbitkan dalam jurnal Birokrasi dan Administrasi, dan Jurnal Administrasi Terapan. Tulisan kecil tentang keterkaitan Penyuluhan Pembangunan dengan sektor publik melengkapi bunga rampai sebuah buku yang telah dipublikasikan, berjudul ‘Membentuk Pola Perilaku Manusia Pembangunan’ yang didedikasikan pada Prof.Dr.H.R Margono Slamet, pada tahun 2003.
vii
PRAKATA Puji syukur pada Tuhan Yang Maha Esa atas segala nikmat dan karunia-Nya sehingga penulis berhasil menyelesaikan disertasi yang berjudul: “Pemberdayaan Puskesmas Berdasarkan Pengukur an Kinerja (Kasus Puskesmas di Provinsi DKI-Jakarta, 2005)” Pada kesempatan ini penulis mengucapan terima kasih kepada yang terhormat komisi pembimbing : Dr Ir Basita Ginting Sugih an, MA selaku Ketua Komisi, serta para anggota komisi, Prof Dr Ign. Djoko Susanto, SKM, APU, Prof Dr H.R.Margono Slamet, MSc, dan Prof Dr Azhar Kasim, MPA. Penulis juga mengucapkan terima kasih pada jajaran pimpinan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, Dr Ir Khairil Anwar Notodiputro, MS, selaku Dekan, Prof Dr Ir Hardinsyah selaku Dekan Fakultas Ekologi Manusia-IPB, Dr Gumilar Rusliwa Soemantri selaku Dekan FISIP-UI yang telah memberikan kesempatan pada penulis untuk belajar di IPB, dan pada Dr Ir Amri Jahi, MSc selaku Ketua Program Studi Ilmu Penyuluhan Pembangunan. Tidak lupa penulis juga mengucapkan terima kasih atas partisipasi dan dukungan pimpinan dan staf Dinas Kesehatan serta Suku Dinas Kesehatan, Kepala Puskesmas dan staf di wilayah Provinsi DKI-Jakarta, serta berbagai pihak yang telah membantu dalam proses penelitian ini. Terakhir, ungkapan terima kasih pada ayah, ibu, suami, anak-anak, menantu dan cucu, serta seluruh keluarga atas segala doa dan kasih sayangnya Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, September, 2006 Amy Y.S Rahayu
viii
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL …………………………………………………………..
ix
DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………......
x
DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………………… ..
xi
PENDAHULUAN ………………………………………………………......
1
Latar Belakang ……………………………………………………… ......... Perumusan Masalah……………………………………………………….. Tujuan Penelitian………………………………………………………….. Kontribusi Penelitian………………………………………………… ........ Definisi dan Operasionalisasi Konsep - Variabel…………………… .........
1 14 17 18 20
TINJAUAN PUSTAKA………………………………………………........... Esensi dan Pentingnya Pelayanan Publik ..................................................... Tinjauan Konsep Perubahan dalam Kaitannya dengan Pemberdayaan Pelayanan Publik .......................................................................................... Tinjauan Konsep Pemberdayaan .................................................................. Konsep dan Pengukuran Kinerja .................................................................. Pengukuran Kinerja Balanced Scorecard .................................................... Perspektif Berpikir Sistem ............................................................................
35 35
KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS ……………………………… Kerangka Berpikir ………………………………………………………… Hipotesis ……………………………………………………………………
81 81 84
METODE PENELITIAN …………………………………………………… Paradigma Penelitian..................................................................................... Tipe Penelitian Dilihat dari Dimensi Tujuan dan Waktu............................. Populasi Penelitian ....................................................................................... Jenis dan Teknik Penarikan Sampel.............................................................. Analisis Data .................................................................................................. Jenis Data yang digunakan ........................................................................ Sumber Data Primer dan Sekunder ........................................................... Teknik Pengumpulan Data ........................................................................ Teknik Pengolahan dan Analisis Data ..................................................... . Validit as dan Reliabilitas Instrumen ............................................................ Validitas Model dan Uji Sensitifitas .............................................................
86 86 88 89 91 93 93 94 95 95 100 101
HASIL DAN PEMBAHASAN ........................................................................ Kinerja Puskesmas ......................................................................................... Kinerja Puskesmas dari Perspektif Pelanggan .........................................
105 105 106
ix
41 52 58 65 73
Kinerja Puskesmas dari Perspektif Proses Internal .................................. Kinerja Puskesmas dari Perspektif Keuangan .......................................... Kinerja Puskesmas dari Perspektif Pembelajaran dan Pertumbuhan ....... Pola Kecenderungan Hubungan Kinerja BSC Puskesmas ............................ Hasil Validitas Model ............................................................................... Causal Loop Diagram Kinerja BSC Puskesmas ...................................... Struktur atau Bentuk Sistem Kinerja Puskesmas .......................................... Model Pemberdayaan Puskesmas di DKI-Jakarta ........................................ Uji Sensitivitas Model .............................................................................. Skenario Pemberdayaan ………………... ……………………………… Skenario Puskesmas elite ……………………………. Model Pemberdayaan Puskesmas elite .................................................... Skenario Puskesmas moderate ........................................ Model Pemberdayaan Puskesmas Moderate ............................................ Skenario Puskesmas slum ................................................ Model Pemberdayaan Puskesmas Slum ...................................................
117 137 142 155 157 159 166 174 175 179 182 192 193 205 206 220
SIMPULAN DAN SARAN …………………………………………………...
227
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………….
231
LAMPIRAN …………………………………………………………………..
232
x
DAFTAR TABEL Halaman 1 2.
Jumlah Puskesmas Kecamatan dan Kelurahan, serta Jumlah Penduduk dan Penduduk Miskin Per-wilayah, Di DKI-Jakarta (2005) ………….................... Operasionalisasi Konsep Kinerja BSC Puskesmas DKI-Jakarta ……… ...........
25
3.
Notasi dan Interpretasi Simbol- simbol CLD ....................................................
29
4.
Hard Versus Soft Approaches ...........................................................................
88
5
Tipologi Puskesmas di DKI-Jakarta Berdasarkan Wilayah Kecamatan elite, moderate dan slum ............................................................................................ Konversi Nilai Skala Likert Ke Nilai Mutu Layanan dan Kinerja Pelayanan Dengan Metode Normatif .................................................................................. Konversi Nilai Interval Ke Nilai Mutu dan Nilai Kinerja Pelayanan Dengan Metode Empirik .................................................................................................. Pengembangan Alternatif Kebijakan Fungsional ..............................................
90
6 7 8 9
4
98 98 99
10
Misi, Tujuan, Pengukuran, Target dan Indikator Kinerja Kepuasan 107 Pelanggan Puskesmas ........................................................................................ Nilai Indeks Kepuasan Pelanggan Terhadap Servqual Puskesmas ................... 108
11
Mutu Pelayanan Servqual Puskesmas ..............................................................
109
12
Indeks Kepuasan Pelanggan dan Mutu Pelayanan Puskesmas 110 (Metode Empirik) .............................................................................................. 13. Misi, Tujuan, Pengukuran, Target dan Indikator Kinerja Proses Internal 118 Puskesmas .......................................................................................................... 14 Target dan Penilaian Perkembangan Program Inovasi Puskesmas ................... 119 15
Pedoman dan Pembanding Penilaian Kinerja Inovasi Per Triwula n .................
119
16
Mutu Kinerja Program Inovasi Puskesmas Elite ...............................................
120
17
Mutu Kinerja Program Inovasi Puskesmas Moderate .......................................
121
18
Mutu Kinerja Program Inovasi Puskesmas Slum ..............................................
122
19
Pedoman Penilaian Waktu Layanan ..................................................................
123
20
Waktu Layanan Aktual Puskesmas Elite ..........................................................
124
21
Waktu Layanan Aktual Puskesmas Moderate ...................................................
125
22
Waktu Layanan Aktual Puskesmas Slum .........................................................
126
xi
23
Pedoman Penilaian Ketersediaan Obat ..............................................................
127
24
Kinerja Ketersediaan Obat Puskesmas elite, Per Triwulan (2005) ...................
128
25
Kinerja Ketersediaan Obat Puskesmas Moderate Per Triwulan (2005) ............
130
26
Kinerja Ketersediaan Obat Puskesmas slum Per Triwulan (2005) .................... 131
27
Pedoman Penilaian Frekuensi Penyuluhan ........................................................
28
Pedoman Penilaian Kehadiran Sasaran Penyuluhan .......................................... 133
29
Frekuensi Penyuluhan Pada Puskesmas elite ....................................................
133
30
Persentase Kehadiran Sasaran Penyuluhan pada Puskesmas elite ....................
133
31
Indeks Penilaian Pelanggan Terhadap Penyuluhan Puskesmas elite ................. 134
32
Frekuensi Penyuluhan Pada Puskesmas Moderate ............................................
134
33
Persentase Kehadiran Sasaran Penyuluhan Pada Puskesmas Moderate ............
134
34
Indeks Penilaian Pelanggan Terhadap Penyuluhan Puskesmas Moderate.........
135
35
Frekuensi Penyuluhan Pada Puskesmas Slum ...................................................
135
36
Persentase Kehadiran Sasaran Penyuluhan Pada Puskesmas Slum ................... 136
37
Indeks Penilaian Pelanggan Terhadap Penyuluhan Puskesmas slum ...............
38 39
Misi, Tujuan, Pengukuran, Target dan Indikator Kinerja Keuangan 137 Puskesmas .......................................................................................................... Efektivitas Biaya Subsidi Pelayanan Kesehatan Puskesmas Elite(2005) .......... 138
40
Pertumbuhan Pemasukan Swadana Per Triwulan Puskesmas Elite ..................
139
41
Efektivitas Biaya Subsidi Pelayanan Kesehatan Puskesmas Moderate (2005)..
140
42
Pertumbuhan Pemasukan Swadana Per Triwulan Puskesmas Moderate ..........
141
43
Efektivitas Biaya Subsidi Pelayanan Kesehatan Puskesmas Slum (2005) .......
142
44
Pertumbuhan Pemasukan Swadana Per Triwulan Puskesmas Slum .................
143
45
Mutu Kinerja Keuangan Puskesmas ..................................................................
144
46
Nilai Indeks Kinerja Dari Aspek Kepuasan Pegawai Puskesmas .....................
145
47
Mutu Kinerja Puskesmas dari Aspek Kepuasan Pegawai (Metode Normatif)..
145
48
Nilai Konversi Mutu Kinerja Kepuasan Pegawai dengan Metode Empirik ......
146
xii
132
136
49
Mutu Kinerja Puskesmas dari Aspek Kepuasan Pegawai (Metode Empirik) .
146
50
Nilai Indeks Kinerja Dari Aspek Kapabilitas Informasi Puskesmas .................
148
51
Mutu Kinerja Puskesmas dari Aspek Kapabilitas Informasi (Metode Normatif) ........................................................................................................... Nilai Konversi Mutu Kinerja Kapabilitas Informasi dengan Metode Empirik .............................................................................................................
149
150
54
Mutu Kinerja Puskesmas dari Aspek Kapabilitas Informasi (Metode Empirik) ............................................................................................................ Indeks dan Mutu Kinerja Kapabilitas Pegawai ................................................
55
Data Sekunder yang Menunjang Kapabilitas Pegawai .....................................
154
56
Rekapitulasi Hasil Kinerja BSC Puskesmas di DKI-Jakarta ............................
155
57 58
Hasil Validasi Variabel- variabel Model Kinerja Puskesmas Elite, 159 Moderate dan Slum ........................................................................................... Rekapitulasi Uji Sensitivitas ………………………………………………….. 176
59
Hasil Intervensi Variabel Rasio Pasien Medis terhadap Mutu Layanan elite ...
60 61
Hasil Intervensi Variabel Rasio Pasien Medis terhadap Kepuasan Pasien 184 (elite) ................................................................................................................. Hasil Intervensi Variabel Rasio Insentif terhadap Kepuasan Pegawai (elite).... 185
62
Hasil Intervensi Variabel Potensi Pasien terhadap Penerimaan (elite) .............
63
Alternatif Skenario Pemberdayaan Puskesmas elite .......................................... 193
64
191
68
Hasil Intervensi Variabel Rasio Pasien-Medis Terhadap Mutu Layanan (moderate) ......................................................................................................... Hasil Intervensi Variabel Rasio Pasien-Medis Terhadap Kepuasan Pasien (moderate) .......................................................................................................... Hasil Intervensi Variabel Rasio Potensi Pasien Terhadap Kepuasan Pegawai (moderate) ........................................................................................... Hasil Intervensi Variabel Rasio Potensi Pasien Terhadap Penerimaan (moderate) .......................................................................................................... Alternatif Skenario Pemberdayaan Puskesmas moderate ..................................
69
Hasil Intervensi Variabel Rasio Pasien-MedisTerhadap Mutu Layanan (slum)
207
70
Hasil Intervensi Variabel Rasio Pasien-MedisTerhadap Kepuasan Pasien 208 (slum) ................................................................................................................. Hasil Intervensi Variabel Rasio Pasien-MedisTerhadap Kepuasan Pegawai 209 (slum) ....................................................................................... ......................... Hasil Intervensi Variabel Potensi Pasien Terhadap Penerimaan (slum) ........... 210
52 53
65 66 67
71 72
xiii
149
152
183
186
195 196 197 204
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Perspektif Balanced Scorecard ………………………………………………..
11
2.
Notasi Diagram Stock Flow (SFD) .....................................................................
30
3.
Grafik Perilaku dan Struktur System …………………………………… …………….
31
4.
Diagram Skenario Model Star ............................................................................
33
5.
Kerangka Pemikiran Disertasi ............................................................................
83
6
Skema Tehnik Penarikan Sampel Responden Pelanggan ..................................
92
7
Proses Validasi Model ....................................................................... ................
103
8
Siklus BSC Pada Organisasi Publik dan Non Profit ..........................................
105
9
Grafik Kecenderungan Tangible Puskesmas Elite,Moderate, dan Slum ............
111
10 Grafik Kecenderungan Responsiveness Puskesmas Elite,Moderate, dan slum..
112
11 Grafik kecenderungan Reliability Puskesmas Elite,Moderate dan slum ……..
113
12 Grafik kecenderungan Assurance Puskesmas Elit e,Moderate, dan slum ………
114
13 Grafik Kecenderungan Empathy Puskesmas Elite,Moderate, dan Slum ……… 115 14 Grafik Kecenderungan Kepuasan Pegawai Puskesmas elite moderate, dan slum ..................................................................................................................... 15 Grafik Kecenderungan Kapabilitas Informasi Puskesmas Elite,Moderate, dan Slum ................................................................................................................... 16 CLD Dinamika Sistem Kinerja BS C Puskemas .................................................
147
17 Stock-Flow Diagram (SFD) Kinerja Perspektif Pelanggan Puskesmas elite.......
167
18 Stock-Flow Diagram (SFD) Kinerja Perspektif Proses Internal Puskesmas elite
169
150 160
19 Stock-Flow Diagram (SFD) Kinerja Perspektif Pembelajaran-Pertumbuhan 172 Puskesmas elite ................................................................................................... 20 Stock-Flow Diagram (SFD) Kinerja Perspektif Keuangan Puskesmas elite. ................ 174 21 Kontinum Interpretasi Nilai Sensitivitas Puskesmas Elite ..................................
178
22 Kontinum Interpretasi Nilai Sensitivitas Puskesmas Moderate ..........................
178
23 Kontinum Interpretasi Nilai Sensitivitas Puskesmas Slum .................................
179
24 Penempatan Variabel Kinerja BSC Menurut Kuadran Star ................................
181
25 Grafik Perkembangan Mutu Layanan setelah di Intervensi Rasio Pasien-Medis 183 (elite) ...................................................................................................................
xiv
26 Grafik Perkembangan Kepuasan pasien setelah di Intervensi Rasio PasienMedis (elite) ........................................................................................................ 27 Grafik Perkembangan Kepuasan Pegawai setelah di Intervensi Rasio Insentif (elite) ................................................................................................................... 28 Grafik Perkembangan Penerimaan setelah di Intervensi Potensi Pasien (elite)
184 185 186
29 Penempatan Variabel Kinerja BSC dan Variabel Sensitif Puskesmas elite 187 Menurut Kuadran Star. 30 Model Pemberdayaan Puskesmas elite …………………………........................ 192 31 Grafik Perkembangan Mutu Layanan setelah di Intervensi Rasio Pasien Medis (moderate) .......................................................................................................... 32 Grafik Perkembangan Kepuasan Pasien setelah di Intervensi Rasio Pasien Medis (moderate) ................................................................................................ 33 Grafik Perkembangan Kepuasan Pegawai setelah di Intervensi Rasio Potensi Pasien (moderate) ................................................................................................ 34 Grafik Perkembangan Penerimaan setelah di Intervensi Rasio Potensi Pasien (moderate) ............................................................................................................ 35 Penempatan Variabel Kinerja BSC dan Variabel Sensitif Puskesmas moderate Menurut Kuadran Star. 36 Model Pemberdayaan Puskesmas moderate ……………………………………
194
37 Grafik Perkembangan Mutu Layanan setelah di Intervensi Rasio Pasien-Medis (slum) ................................................................................. 38 Grafik Perkembangan Kepuasan Pasien setelah di Intervensi Rasio PasienMedis (slum) ....................................................................................................... 39 Grafik Perkembangan Kepuasan Pegawai setelah di Intervensi Rasio PasienMedis (slum) ....................................................................................................... 40 Grafik Perkembangan Penerimaan setelah di Intervensi Potensi Pasien (slum) .............................................................................................................................. 41 Penempatan Variabel Kinerja BSC dan Variabel Sensitif Puskesmas slum Menurut Kuadran Star. 42 Model Pemberdayaan Puskesmas Slum ……………………………………………….
207
xv
192 194 195 198 205
208 209 210 211 221
DAFTAR LAMPIRAN
1
Gambar CLD dan Umpan Balik R1 -R4 dan B1-B8............................................
232
2
Persamaan Simulasi Komputer (Powersim) ........................................................
233
3
Data Inisial Stock Flow .......................................................................................
234
4
Data Validitas Instrumen ………………………………………………………. 235
5
Validasi Statistik model ………………………………………..........................
236
6
Kuisioner ……………………………………………………………………….
237
7
Data Pendukung Tipologi Puskesmas .................................................................
238
xvi
PENDAHULUAN Latar Belakang
Salah satu pelayanan publik yang memiliki tingkat urgensi yang tinggi pada kesejahteraan rakyat adalah pelayanan kesehatan. Menurut McKevitt (1998:1) pelayanan kesehatan adalah salah satu dari inti pelayanan publik atau core of public services yang mencakup 4 (empat) bidang yang diberinya akronim ‘HEWS’ yakni bidang kesehatan (Health), pendidikan (Education), kesejahteraan sosial (Welfare), dan pertahanankeamanan (Security). Tingkat kesejahteraan penduduk antara lain ditentukan oleh tingkat kesehatannya. Sedangkan tingkat kesehatan penduduk ditentukan oleh beberapa indikator, antara lain adalah : Pertama, kualitas fisik penduduk yang meliputi derajat kesehatan, serta status kesehatan. Kedua, ketersediaan sarana kesehatan serta jenis pengobatan yang dilakukan. Derajat kesehatan penduduk dapat diamati melalui indikator angka kematian bayi dan angka harapan hidup. Data yang tercatat di BPS (Badan Pusat Statistik, 2002: 9), memberikan gambaran bahwa angka kematian bayi mengalami penurunan dari 71 % pada tahun 1990, menjadi 47 % pada tahun 2000, sementara angka harapan hidup mengalami peningkatan yakni dari 59.8 tahun pada tahun 1990 menjadi 65.4 tahun pada tahun 2000. Adapun status kesehatan penduduk merupakan gambaran tentang kondisi kesehatan penduduk yang dapat dilihat melalui indikator angka kesakitan (persentase penduduk yang mengalami gangguan kesehatan) dan angka lama sakit yang mengganggu aktivitas sehari- hari. Dari data BPS (2002:10), dapat digambarkan bahwa persentase penduduk yang mengalami keluhan kesehatan dan merasa terganggu aktivitasnya pada tahun 2002 mengalami kenaikan dibanding tahun 2001. Hal tersebut ditunjukkan dengan meningkatnya angka kesakitan di perkotaan dari 14.0 % pada tahun 2001 menjadi
14.7
% pada tahun 2002, sedangkan angka kesakitan di pedesaan meningkat dari 15.1 % pada tahun 2001 menjadi 15.8 % pada tahun 2002.
1
Sedangkan pada indikator angka lama sakit juga menunjukkan adanya peningkatan baik di perkotaan maupun di pedesaa n. Di perkotaan, tercatat angka lama sakit pada tahun 2001 adalah 5.4 hari, sedangkan pada tahun 2002 meningkat menjadi 5.6 hari. Sementara di pedesaan pada tahun 2001 angka lama sakit adalah 5.8 hari, dan pada tahun 2002 meningkat menjadi 6.0 hari. Indikator berikutnya yang mempenga ruhi kesehatan penduduk adalah ketersediaan berbagai sarana kesehatan. Data yang tercatat di BPS (2002:12) menggambarkan bahwa jumlah dokter pada tahun 2000 hingga 2002 tidak mengalami kenaikan yakni masih tetap 26.917 orang, begitu pula jumlah dokter per 100.000 penduduk tidak mengalami peningkatan, yakni tahun 2001 adalah 13.8 %, dan pada tahun 2002 masih tetap 13.8 %. Sementara itu jumlah rumah sakit juga tidak mengalami kenaikan yakni tetap 1.145 pada 2001 dan pada tahun 2002. Sedangkan jumlah tempat tidur rumah sakit mengalami penurunan dari 126.017 tempat tidur pada tahun 2001 menjadi 124.834 tempat tidur pada tahun 2002. Sarana kesehatan berupa Puskesmas mengalami penurunan jumlah, pada tahun 2001 tercatat 7.237 Puskesmas tingkat Kecamatan, dan pada tahun 2002 jumlahnya menurun menjadi 7.217. Namun jumlah Puskesmas pembantu mengalami peningkatan dari 21.267 pada tahun 2001, meningkat menjadi 21.587 pada tahun 2002, sebaliknya jumlah Puskesmas keliling mengalami penurunan, dari 6.392 pada tahun 2001 menjadi 5.800 pada tahun 2002. Dari data tentang indikator kesehatan penduduk tersebut dapat disimpulkan bahwa di satu sisi derajat kesehatan penduduk meningkat, namun di sisi lain status kesehatan penduduk masih rendah baik di perkotaan maupun di pedesaan, bahkan bila diperhatikan, angka kesakitan dan angka lama sakit baik di perkotaan maupun di pedesaan tidak memiliki perbedaan yang jauh, artinya walaupun secara geografi dan demografi kota dan desa berbeda, namun keduanya memiliki kesamaan masalah yakni status kesehatan yang masih rendah. Sementara itu ketersediaan berbagai sarana kesehatan seperti jumlah dokter tidak mengalami peningkatan, sedangkan jumlah tempat tidur di rumah sakit mengalami penurunan, begitu pula dengan jumlah Puskesmas. Permasalahan kesehatan tingkat nasional tersebut, pada dasarnya merupakan agregat dari permasalahan kesehatan baik pada tingkat perkotaan maupun pedesaan.
2
Sementara itu permasalahan kesehatan di kota-kota besar nampak semakin berat karena berhadapan dengan masalah jumlah penduduk dan kepadatan penduduk yang semakin meningkat, serta krisis ekonomi yang tidak segera membaik. Propinsi DKI Jakarta sebagai ibukota negara memiliki permasalahan kesehatan yang terkait dengan jumlah dan kepadatan penduduk. Pada tahun 2003 Jakarta dihuni oleh 1.892.093 Kepala Keluarga (KK) atau 7.456.931 jiwa, yang tersebar di 267 kelurahan, 2.663 RW, dan 29.551 RT. Dengan rata-rata kepadatan penduduk sebesar 11.272 /Km2, maka menjadikan propinsi ini sebagai wilayah terpadat penduduknya di Indonesia. Jumlah dan kepadatan penduduk yang besar menuntut penyediaan sarana dan prasarana
berbagai
fasilitas
umum
antara
lain
adalah
pelayanan
kesehatan
(Sumber:Jakarta dalam Angka, 2003). Salah satu fasilitas kesehatan tingkat pertama dan menjadi ujung tombak pelayanan kesehatan masyarakat di DKI-Jakarta dan juga wilayah-wilayah lainnya di Indonesia, adalah Pusat Kesehatan Masyarakat (selanjutnya ditulis Puskesmas). Di Propinsi DKIJakarta, jumlah Puskesmas tidak mengalami peningkatan sejak tahun 1999 hingga 2005 yakni Puskesmas Kecamatan 44, sedangkan Puskesmas Kelurahan berjumlah 313. Adapun Puskesmas keliling mengalami penurunan dari 60 menjadi 54 (Sumber: Jakarta Dalam Angka, 2004 ) Dari total penduduk DKI-Jakarta, 3.90 % merupakan penduduk miskin, di mana kebutuhan akan pelayanan kesehatan mereka masih tergantung pada pelayanan Puskesmas. Tabel 1 menggambarkan bahwa peran Puskesmas sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan dasar masih sangat diperlukan. Persentase jumlah pendud uk miskin yang berkisar antara 1.87 % hingga 12.3 % dari rata-rata jumlah penduduk di kotamadya kotamadya di DKI-Jakarta (Jakarta Dalam Angka,2004) diperkirakan menjadi pelanggan Puskesmas. Akses dan tarif Puskesmas yang terjangkau, menjadi pilihan utama bagi penduduk miskin di DKI-Jakarta. Ilustrasi berikut ini adalah gambaran tentang jumlah Puskesmas Kecamatan, Kelurahan, serta persentase penduduk miskin di DKI-Jakarta pada tahun 2005.
3
Tabel 1 Jumlah Puskesmas Kecamatan dan Kelurahan, serta Jumlah Penduduk dan Penduduk Miskin Per-wilayah, Di DKI-Jakarta (2005) No
1 2 3 4 5 6
Wilayah
Pusk Kec
Pusk Kel
Jumlah Penduduk
Jumlah Penduduk Miskin dan % dari Jumlah Penduduk
Jakarta Pusat
8
33
897.941
35.872 (3.99 %)
Jakarta Timur
10
85
2.094.586
59.356 (2.83 %)
Jakarta Barat
8
66
1.567.571
59.794 (3.81 %)
Jakarta Selatan
10
75
1.701.555
31.887 (1.87 %)
Jakarta Utara
6
50
1.176.355
102.118 (8.68 %)
Kabupaten Kepulauan Seribu
2
4
18.923
2.297 (12.13 %)
44
313
7.456.931
Total
291.324 (3.90 %)
Sumber : Diolah berdasarkan data dari Suku Dinas Kesehatan dan BPS -Prop.DKI-Jakarta, 2005
Dari data jumlah penduduk miskin tersebut, pada saat ini rata-rata setiap Puskesmas Kecamatan melayani 1.148 orang hingga 17.019 orang penduduk miskin (BPS Provinsi DKI-Jakarta, 2005). Era otonomi daerah saat ini, semakin menempatkan posisi Puskesmas pada peran yang lebih berat sejalan dengan pemberdayaan daerah menuju pada kekuatan internal daerah. Jika sebelumnya pemerintah pusat sepenuhnya masih mengendalikan masalah kesehatan di daerah, maka dengan otonomi daerah, pemerintah daerah harus mengandalkan kekuatan sendiri dalam menangani kesehatan penduduknya di daerah, Puskesmas dalam hal ini menjadi ujung tombak pelaksana teknis di daerah yang bertanggung jawab terhadap kesehatan penduduk di wilayahnya. Secara garis besar fungsi Puskesmas sebagai pusat pembangunan kesehatan masyarakat dapat dipahami melalui batasan atau pengertian Puskesmas sebagaimana diketengahkan oleh Azwar berikut ini :
“Puskesmas adalah suatu unit pelaksana fungsional yang berfungsi sebagai pusat pembangunan kesehatan, pusat pembinaan peran serta masyarakat dalam bidang kesehatan, serta pusat pelayanan kesehatan tingkat pertama yang menyelenggarakan kegiatannya secara menyelu ruh, terpadu dan berkesinambungan pada suatu masyarakat yang bertempat tinggal dalam suatu wilayah tertentu” (Azwar, 1996 : 119)
4
Secara lebih jauh Azwar mengungkapkan bahwa Puskesmas berkewajiban untuk menyediakan pelayanan kesehatan tingkat pertama (basic health services) yakni suatu pelayanan kesehatan yang bersifat pokok dan sangat dibutuhkan oleh masyarakat serta memiliki nilai strategis dalam meningkatkan derajad kesehatan masyarakat. Pada umumnya pelayanan kesehatan tingkat pertama bersifat rawat jalan (out patient services), sementara itu pelayanan kesehatan tingkat kedua bersifat layanan rawat inap (in patient services), sedangkan pelayanan kesehatan tingkat ketiga bersifat lebih kompleks dan dilengkapi dengan tenaga-tenaga sub-spesialis. (Azwar,1996:41-42). Tidak jauh berbeda dengan konsep Puskesmas yang diketengahkan oleh Azwar tersebut, di Provinsi DKI-Jakarta, pengertian Puskesmas yang tercantum dalam ‘Standarisasi Pelayanan Kesehatan Puskesmas’ di DKI-Jakarta (1999:2) adalah :
“Puskesmas adalah suatu kesatuan organisasi kesehatan fungsional yang merupakan pusat pengembangan kesehatan masyarakat yang juga membina peran serta masyarakat disamping memberikan pelayanan secara menyeluruh dan terpadu kepada masyarakat di wilayah kerjanya dalam bentuk kegiatan pokok. Dengan kata lain Puskesmas mempunyai wewenang dan tanggung jawab atas pemeliharaan kesehatan masyarakat dalam wilayah kerjanya” Dalam kedua batasan Puskesmas yang diketengahkan tersebut, wewenang dan tanggung jawab Puskesmas terhadap pemeliharaan kesehatan masyarakat yang ada di dalam wilayah kerjanya menempatkan peran Puskesmas secara proaktif dari pada reaktif. Artinya Puskesmas bukan hanya menunggu pasien seperti halnya yang dilakukan oleh rumah sakit-rumah sakit biasa, melainkan dituntut untuk dapat bekerja dengan cara ‘menjemput bola’ yakni melakukan tindakan preventif atau pencegahan, melakukan penyuluhan dan promosi tentang kesehatan dan berbagai aspek yang berkaitan, serta melakukan tindakan pengobatan terhadap masyarakat yang menderita sakit melalui tindakan kuratif dan tindakan rehabilitatif. Mengacu pada peran tersebut, saat ini Puskesmas melaksanakan dua bentuk layanan, pertama adalah layanan kesehatan masyarakat (KesMas) yakni layanan di luar gedung, di mana secara proaktif Puskesmas mendatangi masyarakat secara periodik untuk memberikan penyuluhan (promotif dan preventif), kunjungan, dan pembinaan kesehatan lingkungan masyarakat. Kedua, berupa pelayanan kesehatan di dalam gedung
5
(YanKes), yakni merupakan bentuk pelayanan pengobatan dalam berbagai macam poliklinik , yang disediakan untuk masyarakat dengan tarif retribusi yang terjangkau dan diatur melalui Peraturan Daerah. Karena kedua bentuk layanan tersebut memiliki aspek kajian yang berbeda dan bersifat luas dan kompleks, maka dalam disertasi ini dibatasi dan difokuskan pada kajian pelayanan kesehatan (YanKes) yang terdapat di dalam gedung atau pelayanan pengobatan. Terkait dengan wewenang dan tanggung jawab Puskesmas, pada dasarnya tugas pokok Puskesmas mencakup 3 (tiga) aspek utama yakni: Pertama, memberikan pelayanan kesehatan yang bermutu, terjangkau, dan memiliki cakupan yang luas sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Kedua, membina peran serta masyarakat dalam berbaga i upaya kesehatan. Ketiga, mengembangkan usaha-usaha inovatif agar terjamin pemerataan pelayanan kesehatan dan tergalinya potensi masyarakat. (Direktorat Jenderal Pembinaan Kesehatan Masyarakat, 1996:3). Ketiga tugas pokok Puskesmas tersebut mengandung makna bahwa di satu sisi Puskesmas harus memberdayakan kesehatan masyarakat dan lingkungannya, di sisi lain Puskesmas juga harus memberdayakan dirinya sendiri untuk menjadi layanan kesehatan yang bermutu, terjangkau sesuai dengan harapan masyarakat, serta inovatif. Dalam makna tersebut tersirat suatu pandangan bahwa sebagai institusi pelayanan masyarakat, Puskesmas diarahkan untuk memiliki kepekaan terhadap berbagai perubahan lingkungan yang dihadapinya saat ini, termasuk perubahan pada aspek kesehatan masyarakat. Tuntutan agar Puskesmas mampu mengembangkan diri, kenyataannya juga di desak oleh berbagai masalah yang muncul akhir-akhir ini khususnya terkait dengan masalah kesehatan penduduk perkotaan, antara lain, kepadatan penduduk di DKI-Jakarta yang semakin meningkat karena faktor ekonomi di pedesaan yang semakin sulit dan berdampak pada arus urban semakin meningkat, urban yang meningkat
mempengaruhi
tingkat kesempatan kerja, sehingga tingkat penga ngguran menjadi tinggi, dan menimbulkan kemiskinan-kemiskinan baru. Walaupun perkembangan rumah tangga miskin yang menurun dari 101.674 rumah tangga miskin pada tahun 2000, menjadi 88.049 rumah tangga miskin pada tahun 2002 (BPS-DKI-Jakarta, 2003), tidak berarti bahwa Jakarta bebas dari kemiskinan. Masalah kemiskinan erat kaitannya dengan masalah kesehatan penduduk marginal, dan dampaknya sangat luas terhadap kesehatan
6
lingkungan. Puskesmas sebagai salah satu layanan kesehatan diharapkan mampu menangkap fenomena ini secara sigap tanggap, dan bertanggung jawab. Terkait dengan hal tersebut, maka peran Puskesmas saat ini sangat diperlukan, artinya sejauh mana Puskesmas mampu merespon perubahan-perubahan yang terjadi di lingkungannya. Puskesmas dapat merespon perubaha n-perubahan yang terjadi bila kinerja Puskesmas dalam memberikan pelayanan kesehatan sesuai dengan yang diharapkan oleh masyarakat. Pemberdayaan Puskesmas dengan demikian memiliki makna yang terkait dengan sejauh mana kinerja Puskesmas saat ini, dan apa yang diperlukan untuk meningkatkan kinerja Puskesmas agar mampu memberdayakan dirinya dan masyarakat di wilayah kerjanya. Secara konseptual pemberdayaan berhubungan dengan perubahan-perubahan lingkungan yang secara cepat bergerak. Organisasi yang responsif tentunya harus segera merespon dengan baik setiap jengkal perubahan dengan pemberdayaan yang sesuai, baik secara kelembagaan maupun individual. Pemberdayaan sesungguhnya merupakan suatu proses yang berjalan secara terus menerus, karena perubahan lingkungan juga berjalan secara terus menerus (Obaldeston, dalam Clutterbuck dan Kernaghan, 2003:15) Dalam ‘World Development Report’ (2001:99) dinyatakan bahwa sebaiknya pemberdayaan institusi pelayanan publik di negara-negara berkembang diarahkan pada kepedulian dan reponsiveness lembaga- lembaga tersebut pada masyarakat tidak mampu. (making State Institution more responsive to poor people), sebab kemiskinan bukan hanya hasil dari proses ekonomi, sosial, dan politik semata, melainkan juga hasil dari tanggung jawab dan responsib ilitas dari lembaga- lembaga pelayanan publik itu sendiri. Untuk mengubah agar pelayanan publik menjadi responsif, langkah pertama adalah membangun dan meningkatkan kapasitas mereka secara lebih baik (building the capacity of public services) Sejalan dengan hal tersebut, maka pemberdayaan dapat dilakukan dengan efektif bila terlebih dahulu diketahui tingkat kinerja dari organisasi yang akan diberdayakan. Artinya bahwa hasil pengukuran kinerja dapat dijadikan sebagai pedoman untuk menentukan model pemberdayaan yang tepat. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Clutterbuck dan Kernaghan (2003:16), dan Berman et al (2001:334)
7
Secara ideal penilaian kinerja yang obyektif seharusnya dilakukan melalui sisi internal dan eksternal. Dari sisi internal, perlu diketahui kinerja pemberi layanan dalam hal ini adalah Puskesmas, sedangkan dari sisi eksternal perlu diketahui penilaian atau kepuasan penerima layanan, dalam hal ini adalah masyarakat pelanggan Puskesmas. Dalam praktik, penilaian kinerja Puskesmas banyak dilakukan dari sisi internal yakni oleh atasan langsung Puskesmas yakni Pemerintah Daerah Provinsi DKI-Jakarta melalui Dinas Kesehatan Kota DKI-Jakarta. Mekanisme dan peraturan penilaian kinerja yang digunakan adalah berpedoman pada Instruksi Presiden nomor 7 tahun 1999, tentang ‘Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah’. Sementara itu penilaian kinerja dari sisi eksternal Puskesmas yakni penilaian pelanggan belum atau jarang dilakukan oleh Puskesmas sendiri. Pada umumnya penilaian kinerja dari sisi eksternal diprakarsai oleh lembaga-lembaga di luar Puskesmas, seperti Perguruan Tinggi, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), dan berbagai mitra kerja pemerintah. Beberapa penelitian yang menyoroti kinerja Puskesmas dari sisi eksternal atau dari sisi persepsi pelanggan, rata-rata menggambarkan hasilnya bahwa kinerja Puskesmas serta beberapa pelayanan publik yang lain masih belum menunjukkan mutu pelayanan yang diharapkan pelanggan, sehingga masih harus dilakukan peningkatan maupun perbaikan kinerja mutu layanan. Sebagai contoh penelitian yang telah dilakukan oleh Tim Peneliti Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Indonesia (FISIP-UI) pada tahun 2001, yang menyoroti tentang Kinerja Pelayanan IMB, Puskesmas, dan PD.Pasar di tiga kota besar di Indonesia (Jakarta, Surabaya, dan Bandung) menemukan Indeks Kepuasan Pelanggan yang masih rendah pada ketiga pelayanan publik tersebut. Sementara hal yang sama juga ditemukan pada penelitian yang dilakukan oleh mitra kerja Menteri Pendayagunaan Aparatur Pemerintah (MENPAN-RI) yakni Deutsche Gesellschaft Technische Zusammenarbeit (GTZ) pada tahun 2003 yang menyoroti tentang Kinerja Puskesmas di beberapa kota di Indonesia. Sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Pusat Kajian Pembangunan Administrasi Daerah dan Kota FISIP-UI, pada tahun 2004, banyak mengetengahkan berbagai reformasi praktek dan kinerja pelayanan publik termasuk Puskesmas, di Kabupaten Jembrana.
8
Dalam konsep sektor publik, fenomena pengukuran kinerja pelayanan publik dipandang masih belum optimal dilaksanakan. Sebagian besar organisasi pelayanan publik tidak cukup memiliki kreativitas untuk menciptakan standar kinerja yang memungkinkan bisa diukur secara jelas dan lengkap. Faktor-faktor yang mempenga ruhi hal tersebut antara lain adalah cakupan bidang layanan yang terlalu luas, baik cakupan wilayah layanan maupun masyarakat yang dilayani sangat heterogen sehingga sulit dilakukan standarisasi pengukuran secara tepat. Kedua, cakupan yang luas tersebut menyebabkan tujuan menjadi kurang dapat didefinisikan secara jelas. Ketiga, adalah terkait dengan hasil pengukuran kinerja yang sering tidak berdampak apapun bagi para pegawai, sehingga para pegawai memandang bahwa pengukuran kinerja hanya melelahkan dan membuang waktu, serta tidak memberikan motivasi. (Hughes 1994, McKevitt, 1998, Farnham dan Horton, 1993). Salah satu alat ukur kinerja organisasi yang selama bertahun-tahun sukses diterapkan di berbagai organisasi, menawarkan suatu konsep pengukuran secara berimbang baik dilihat dari sisi internal-eksternal, maupun dari sisi pengukuran kinerja keuangan-bukan keuangan. Alat ukur tersebut diperkenalkan oleh Kaplan dan Norton (1996:10) sebagai Balanced Scorecard (selanjutnya ditulis BSC), yang secara berimbang mengukur kinerja dari sisi internal seperti keuangan, proses internal, dan pembelajaranpertumbuhan, serta dari sisi eksternal yakni kepuasan pelanggan. Parameter-parameter generik yang disediakan dalam BSC, dipandang dapat mengakomodasikan kebutuhan pengukuran kinerja Puskesmas. Pada perspektif keuangan misalnya, indikator- indikator keberhasilan keuangan tidak selalu dihubungkan dengan keuntungan. Dalam organisasi pelayanan publik seperti halnya Puskesmas, kinerja keuangan dapat dilihat pada efektifitas penggunaan dana baik subsidi maupun swadana untuk kepentingan pelayanan kesehatan. Pada perspektif pelanggan,
indikator
keberhasilan adalah terletak pada kemampuan Puskesmas dalam memberikan kepuasan pelanggan. Sementara itu pada perspektif proses internal, indikator keberhasilan adalah pada kemampuan Puskesmas dalam menyediakan mutu layanan yang terkait dengan aspek inovasi, operasi, dan layanan purna jual. Sedangkan pada perspektif pembelajaranpertumbuhan, indikator keberhasilan terletak pada kemampuan Puskesmas dalam
9
mengembangkan sumber daya manusia atau para pegawainya, dalam hal ini mencakup kapabilitas, kepuasan, dan penyediaan informasi yang mendukung para pegawai dalam bekerja. Syarat utama dalam praktik BSC adalah penekanan pada analisis hubungan secara kausalitas pada variabel-variabel kinerja, sehingga tidak bersifat parsial atau berdiri send iri-sendiri. Artinya, bila variabel yang satu menjadi indikator hasil (lag indicator), maka variabel lainnya akan menjadi indikator pengungkit (lead indicator), sekecil apapun indikator pengungkit diyakini dapat mendongkrak atau meningkatkan kinerja. Sebagai contoh indikator peningkatan kepuasan pelanggan disebabkan karena meningkatnya kinerja proses internal, sedangkan kinerja proses internal sendiri sangat dipengaruhi oleh peningkatan kemampuan pegawai dari hasil pembelajaran dan pertumbuhan pegawai yang ditingkatkan, sementara itu pembelajaran dan pertumbuhan pegawai meningkat karena dana dan kapabilitas organisasi mencukupi, dana dan kapabilitas mencukupi karena ada pemasukan dari pelanggan yang setia dan puas. Demikian seterusnya, variabel- variabel kinerja BSC akan membentuk suatu hubungan sistemik yang dinamis sesuai dengan dunia nyata. Salah satu metode untuk menggali hubungan sistemik pada keempat kinerja BSC tersebut adalah metode System Dynamic (SD) yang didasari oleh cara berpikir sistem (System Thinking) yang diketengahkan oleh Senge (1999). Fasilitas perangkat lunak untuk mengetahui pola kecenderungan kinerja dan model hubungan kausalitas variabelvariabel kinerja BSC Puskesmas terdapat dalam SD. Penggunaan SD membantu memahami kompleksitas hubungan dan struktur kinerja (gambaran hubungan kinerja secara kuantitatif), serta memungkinkan untuk mengetahui varaibel-variabel kinerja yang dapat menjadi pengungkit dalam pemberdayaan Puskesmas. Selebihnya, empat perspektif BSC tersebut bertumpu pada visi, misi dan strategi organisasi, sehingga setiap aspek yang diukur harus selalu berangkat dari visi, misi dan strategi organisasi. Hubungan empat perspektif BSC dapat dilihat pada gambar 1.1. pada halaman berikut ini.
10
KEUANGAN Bagaimana organisasi dapat menggunakan sumber dana secara efektif dan efisien ?
PELANGGAN Bagaimana caranya memuaskan pelanggan?
VISI, MISI DAN STRATEGI
PROSES INTERNAL Bagaimana menciptakan Mutu layanan yang baik ?
PEMBELAJARAN DAN PERTUMBUHAN Bagaimana meningkatkan kapabilitas dan kepuasan pegawai, serta kapabilitas inform ?
Gambar 1 Pengukuran Kinerja dalam Perspektif Balanced Scorecard (Sumber: Di adopsi dari “ The Balanced Scorecard Provides framework to a Strategy into Operational Terms” , oleh Kaplan dan Norton, 1996: hal. 9).
Awalnya BSC memang ditujukan dan dipraktikkan dalam organisasi bisnis, namun dalam perkembangannya, BSC juga dipraktikkan dalam organisasi publik dan organisasi non-profit. Negara-negara yang telah mempraktikkan BSC di organisasi pemerintah antara lain adalah Australia, Belanda, Kanada, dan Amerika Serikat (Kaplan dan Norton, 1996, Akkermans dan Oorschot, 2003, Hepworth,1998, Malmi, 2001, Wisniewski dan Dickson,2001, Niven, 2003). Di Indonesia, indikator- indikator BSC direkomendasikan untuk dijadikan sebagai acuan dalam menilai keberhasilan organisasi pelayanan publik sesuai dengan kondisi yang sedang dan akan dialami oleh pemerintah. Indikator- indikator tersebut adalah, (a) kemampuan aparatur pemerintah dalam berinovasi dan melakukan perubahan, (b) kinerja proses internal pemerintah, (c) kinerja pelayanan pada masyarakat, dan (d) kemampuan pemerintah dalam meningkatkan efisiensi dan efektifitas anggaran (Maarif, 2002:70). Dari hasil pengamatan awal yang dilakukan terhadap sebagian besar Puskesmas di DKI-Jakarta, diduga lingkungan dan demografi sosial ekonomi penduduk turut mempengaruhi kinerja Puskesmas. Rasio jumlah penduduk dengan jumlah penduduk miskin diduga turut mempengaruhi potensi penduduk untuk menjadi pelanggan 11
Puskesmas, yang pada gilirannya dapat mempengaruhi pendapatan swadana dan mutu layanan Puskesmas. Sebagaimana diketahui bahwa sejak Maret 2001 seluruh Puskesmas Kecamatan di DKI-Jakarta telah menjadi Puskesmas Swadana (SK Gubernur DKIJakarta, Nomor 15 Tahun 2001). Kewenangan sebagai Puskesmas Swadana pada dasarnya adalah Puskesmas berhak untuk mengelola secara otonom sumber pendapatan yang berasal dari retribusi. Selanjutnya dari sumber dana retribusi, Puskesmas memiliki peluang yang cukup besar untuk mengembangkan diri, antara lain keleluasaan untuk menentukan sebagian kebutuhan operasional pelayanan kesehatan seperti penambahan obat-obatan, kontrak dokter, dan layanan inovasi lainnya. Berdasarkan pada pengamatan tersebut, tidak berlebihan kiranya bila dalam penelitian ini Puskesmas Kecamatan dikelompokan ke dalam tipologi Puskesmas yang terletak di wilayah elite, moderate dan slum atau kumuh (selanj utnya disingkat dengan E, M, dan S). Tujuan pengelompokan dalam tipologi adalah selain untuk memetakan Puskesmas pada kondisi yang lebih homogen, juga untuk keperluan analisis dalam melihat kausalitas variabel-variabel kinerja. Tipologi Puskesmas dalam bentuk aslinya adalah mencakup Puskesmas Kecamatan (pembina), Kelurahan (pembantu), dan Puskesmas Keliling. Selanjutnya dalam penelitian ini yang dimaksud denga n Puskesmas adalah Puskesmas Kecamatan (Pembina) yang dibedakan dalam tipologi E, M, dan S Catatan awal dari penelitian ini juga mengungkapkan bahwa masih terdapat beberapa masalah utama yang rata-rata dihadapi oleh Puskesmas Kecamatan di DKIJakarta saat ini dan menjadi kendala dalam meningkatkan atau memperbaiki kinerja Puskesmas, yakni : Pertama , sumber daya manusia yang masih terbatas baik secara kualitas maupun kuantitas sesuai dengan standarisasi yang ditetapkan. Dalam peraturan ‘Standarisasi Pelayanan Kesehatan Pada Puskesmas di Daerah Khusus Ibukota Jakarta’ diketahui bahwa jumlah ideal SDM Puskesmas Kecamatan seharusnya adalah 96 orang, sedangkan Puskesmas Kelurahan 27 orang, namun pada saat ini jumlah SDM baru separuhnya. Kedua , sebagaimana diakui oleh Puskesmas, bahwa saat ini Puskesmas belum mampu memenuhi tuntutan masyarakat terhadap pelayanan yang lebih bermutu sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Ketiga, Fasilitas kesehatan antara lain seperti gedung Puskesmas Kecamatan dan Kelurahan yang belum sesuai standar dan lokasi yang kurang strategis, serta peralatan medik dan non medik yang belum mencukupi. Keempat,
12
manajemen Puskesmas yang belum terlaksana secara optimal. Kelima, sosialisasi dan promosi kesehatan yang belum optimal. Keenam, motivasi pegawai yang rendah. Ketujuh, tenaga spesialis yang dipandang masih kurang. Kedelapan, standar, juklak, dan protap yang tidak lengkap. Kesembilan, kesadaran masyarakat terhadap pola hidup sehat masih rendah, dibuktikan dengan kecenderungan meningkatnya penyakit yang disebabkan oleh gaya hidup seperti, darah tinggi, pemakaian obat-obat terlarang, HIVAID, TBC, kusta, dan lain- lainnya (Hasil kajian dari laporan tahunan Puskesmas Cempaka Putih, Kalideres, Kebayoran Baru, Kemayoran, dan Kebun jeruk, tahun 2004).
13
Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan tersebut, maka dapat ditarik benang merah yakni, pertama, eksistensi Puskesmas Kecamatan di DKI-Jakarta pada dasarnya memiliki peran penting sebagai pelayanan publik inti di bidang kesehatan dan menjadi barometer kesehatan penduduk di tingkat ujung tombak. Terlebih bila mengingat DKI-Jakarta sebagai wilayah yang memiliki kepadatan penduduk tertinggi di Indonesia, maka kebutuhan akan sarana kesehatan yang mudah di akses serta murah seperti halnya Puskesmas masih sangat diperlukan. Kedua, dari berbagai tugas yang diemban Puskesmas, dapat disimpulkan bahwa tugas pokok Puskesmas pada dasarnya bersifat memberdayakan masyarakat di wilayah kerjanya agar memiliki kesadaran terhadap kesehatan diri dan lingkungannya. Karena itu sebelum memberdayakan masyarakat, sangat penting jika Puskesmas sendiri menjadi berdaya, yakni mampu melaksanakan tugas-tugasnya tersebut dengan baik. Ketiga, lingkungan Puskesmas yang bergerak de ngan cepat, seperti perubahan gaya hidup, kesadaran masyarakat terhadap kesehatan yang menurun, krisis ekonomi yang menimbulkan kemiskinan baru, serta pertambahan penduduk yang sulit dikendalikan, mengharuskan Puskesmas untuk meningkatkan kemampuan dan kapasitasnya secara terus menerus, agar dapat mengantisipasi semua perubahan lingkungan dengan baik. Keempat, berbagai hasil penelitian menunjukkan bahwa dari sisi eksternal atau dari sisi penilaian pelanggan, Puskesmas belum dapat memenuhi harapan pelanggan. Kepuasan pelanggan memang tidak mempengaruhi kinerja Puskesmas secara langsung, namun pengaruhnya terasa untuk jangka panjang. Ke depan masyarakat semakin menyadari bagaimana mutu suatu pelayanan publik yang baik, dan hal ini merupakan suatu kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Kelima, secara internal masih terdapat kendala -kendala yang berupa keterbatasanketerbatasan baik keuangan maupun bukan keuangan, seperti kuantitas dan kualitas sumber daya manusia, sarana dan prasarana, motivasi pegawai yang rendah, manajemen Puskesmas yang belum optimal, standar dan aturan-aturan yang belum lengkap, serta sosialisasi dan promosi program-program baru yang kurang gencar. Bila diperhatikan secara lebih jauh, masalah-masalah yang dihadapi Puskesmas terkait satu sama lain dan
14
bersifat kompleks, sebagai contoh, keterbatasan dana akan menghambat upaya Puskesmas untuk memberdayakan pegawai dan menyediakan mutu layanan yang diharapkan. Bila tidak tersaji kapabilitas pegawai dan mutu layanan yang baik maka akan mengurangi minat dan kepercayaan masyarakat untuk berobat ke Puskesmas, potensi jumlah pasien yang datang akan semakin berkurang, dan pada akhirnya akan menurunkan jumlah pemasukan retribusi. Inti sari dari latar belakang permasalahan Puskesmas di DKI-Jakarta tersebut menggambarkan perlunya pemberdayaan Puskesmas secara lebih terarah dengan terlebih dahulu melihat kinerja Puskesmas, dalam hal ini adalah kinerja dari aspek Pelayanan Kesehatan (YanKes). Untuk melihat kinerja Puskesmas, alat ukur yang dipandang komprehensif dan mampu mengkaji secara sistemik hubungan variabel- variabel kinerja Puskesmas adalah Balanced Scorecard (BSC) yang mencakup pengukuran kinerja dari perspektif keuangan, pelanggan, proses internal, dan pembelajaran-pertumbuhan. Hubungan kausalitas variabel- variabel kinerja BSC akan lebih sempurna bila analisis dibantu dengan metode System Dynamic (SD). Penggunaan alat ukur kinerja BSC dan metode SD melalui beberapa pertimbangan, yakni: Pertama, BSC mengkomunikasikan antara kinerja dengan visi, misi, dan tujuan strategis organisasi. Kinerja yang diukur bertitik tolak dari hal tersebut. Kedua, BSC menjembatani pengukuran dari aspek keuangan dan yang bukan keuangan. Dari aspek kinerja masa lalu (keuangan), kinerja masa kini (proses internal), dan kinerja masa depan (pelanggan dan pembelajaran-pertumbuhan) dalam suatu hubungan yang bersifat non linier atau secara sistemik. Pola hubungan sistemik ini sesuai dengan apa yang terdapat di dunia nyata, di mana variabel- variabel dalam organisasi pada kenyataannya saling mempengaruhi dan membentuk suatu komponen yang disebut sistem. Pemahaman berpikir sistemik selanjutnya akan digunakan dalam menganalisis hubungan kausalitas antara variabel- variabel kinerja BSC Puskesmas. Ketiga,
untuk
mengkaji
komplek sitas
hubungan
variabel- variabel kinerja
Puskesmas secara sistemik, digunakan metode SD yang dilengkapi dengan perangkat lunak powersim. Perangkat lunak powersim memberikan serangkaian manfaat, antara lain, mampu menggambarkan pola kecenderungan dan struktur kinerja BSC Puskesmas, memiliki fasilitas untuk melakukan simulasi model yang berguna untuk menguji
15
sensitivitas variabel- variabel kinerja. Hasil uji sensitivitas dapat dimanfaatkan sebagai pertimbangan dalam pemberdayaan Puskesmas lebih lanjut. Memberikan peluang untuk melakukan eksperimen-eksperimen simulasi sedemikian rupa secara efisien dan murah karena tidak perlu dilakukan di dunia nyata, melainkan cukup di komputer. Keempat, indikator- indikator generik yang dianjurkan pada umumnya sesuai dengan kondisi organisasi yang diukur, serta berjumlah tidak terlalu banyak yakni antara 3 hingga 5 indikator untuk mengantisipasi keterbatasan-keterbatasan pemahaman dalam praktiknya.(Kaplan dan Norton, 1996). Kelima, pengukuran kinerja BSC juga memberikan ‘the whole of story’ organisasi yang selama ini jarang diungkapkan. Maksudnya karena pengukuran yang digunakan mencakup dan memperhatikan berbagai perspektif, yang dapat mengungkapkan kinerja organisasi secara komprehensif (Niven, 2003) Berdasarkan pada uraian tersebut, maka rumusan permasalahan dalam disertasi ini adalah : “Bagaimana model pemberdayaan Puskesmas dari aspek pelayanan kesehatan, berdasarkan pada hubungan sistemik kinerja BSC Puskesmas ?” Secara lebih terinci, rumusan permasalahan tersebut dituangkan dalam pertanyaan penelitian sebagai berikut : 1. Bagaimana tingkat kinerja dan pola kecenderungan atau arah hubungan kinerja BSC Puskesmas (E, M, dan S), pada perspektif pelanggan, proses internal, keuangan, dan pembelajaran-pertumbuhan ? 2. Bagaimana struktur atau bentuk hubungan kinerja BSC Puskesmas secara sistemik ? 3. Bagaimana model pemberdayaan Puskesmas berdasarkan pada skenario yang telah dibuat ?
16
Tujuan Penelitian
Berdasarkan pertanyaan penelitian tersebut, maka tujuan penelitian ini adalah : 1. Mengkaji sejauh mana tingkat kinerja dan pola atau arah hubungan yang mencerminkan kecenderungan kinerja Puskesmas (E, M, dan S) di DKI-Jakarta, ditinjau dari perspektif pelanggan, proses internal, keuangan, dan pembelajaranpertumbuhan. 2. Mengkaji struktur atau bentuk hubungan kinerja BSC Puskesmas secara sistemik. 3. Mengkaji model pemberdayaan Puskesmas yang sesuai berdasarkan skenario skenario yang telah ditetapkan.
17
Kontribusi Penelitian
Penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi dari segi teoritis maupun dari segi praktis. 1. Kontribusi dari segi teoritis. Dari segi pengembangan teori penelitian ini penting dilakukan, sebab, pertama, dalam penelitian ini model pemberdayaan organisasi pelayanan publik didasarkan pada hasil evaluasi kinerja yang dilakukan sebelumnya. Kedua, evaluasi kinerja dilakukan dengan mengimplementasikan suatu metode pengukuran BSC, yang dipandang mampu mengungkap dan menggambarkan ‘the whole of story’ kinerja Puskesmas dari keempat perspektif BSC. Berdasarkan hal tersebut, secara tidak berlebihan, alat atau metode pengukuran kinerja BSC ini diharapkan dapat menjadi pembelajaran dan dikembangkan lebih lanjut ke dalam suatu proses studi pemberdayaan pelayanan publik lainnya. Ketiga, analisis kinerja yang didasarkan pada konsep berpikir sistem (System Thinking) mengembangkan suatu proses pembelajaran dalam memandang setiap fenomena perubahan dalam organisasi sebagai suatu sistem sebagaimana dalam dunia nyata. (Senge, et al 1999) Implementasi cara berpikir sistem diwujudkan dalam kombinasi pengukuran BSC dengan pendekatan SD, yang menghasilkan
gambaran pola atau arah
kecenderungan perilaku dan struktur atau bentuk sistem dari kinerja Puskesmas. Keempat, penelitian ini juga memberikan kontribusi pada pengembangan konsepkonsep Penyuluhan Pembangunan, khususnya pengembangan konsep perubahan perilaku baik sistem maupun individu serta konsep-konsep pemberdayaan. Model pemberdayaan yang diawali dengan evaluasi kinerja secara khusus, merupakan pengayaan konsep pemberdayaan yang selama ini telah digunakan dalam studi Penyuluhan Pembangunan Kelima, dengan digunakannya pendekatan non-linier dalam penelitian ini, maka diharapkan akan semakin melengkapi pendekatan – pendekatan linier yang digunakan selama ini. Melalui pendekatan non-linier, fenomena-fenomena dalam penyuluhan pembangunan dapat dikaji secara dinamis dan kausalistis
18
2. Kontribusi dari segi praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi, pertama bagi Puskesmas di DKI-Jakarta, dalam hal ini dengan diketahuinya kinerja BSC Puskesmas, maka konsep pemberdayaan Puskesmas dapat dilakukan dengan lebih terarah, dan mengacu pada skenario-skenario yang didasarkan pada analisis sistem secara jelas untuk dua tahun ke depan. Kedua, penelitian ini juga memberikan kontribusi kepada Puskesmas dan organisasi pelayanan publik pada umumnya, berupa pengembangan alat ukur kinerja yang lebih komprehensif, serta bertumpu pada aspek-aspek kritis yang sesungguhnya telah tertuang dalam visi, misi, dan tujuan strategis organisasi Puskesmas maupun pelayanan publik pada umumnya. Dengan implementasi pengukuran kinerja secara tepat, Puskesmas dapat meningkatkan mutu pelayanannya secara lebih baik, dan dengan mutu pelayanan yang baik, maka kepercayaan masyarakat pada pelayanan kesehatan Puskesmas dapat meningkat. Kepercayaan masyarakat ya ng meningkat terhadap Puskesmas diharapkan akan memberikan umpan balik positif terutama bagi peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Ketiga, bagi Pemerintah Propinsi DKIJakarta, sebagai instansi pembuat kebijakan yang terkait dengan pelayanan kesehatan di DKI-Jakarta, penelitian ini memberikan sumbangan pemikiran dan masukan- masukan yang bermanfaat terhadap kebijakan-kebijakan yang mendasar yang berkaitan dengan pemberdayaan Puskesmas baik secara organisasional maupun individual.
19
Definisi dan Operasionalisasi Variabel
Terdapat 4 (empat) konsep utama sebagai dasar dalam kerangka berpikir dan analisis, yakni konsep pemberdayaan, konsep pelayanan publik, konsep kinerja, dan konsep sistem. Konsep pelayanan publik dan konsep pemberdayaan menjadi dasar dan arah dalam menghubungkan analisis kinerja pelayanan Puskesmas sebagai pelayanan publik dengan model pemberdayaan yang diinginkan. Sedangkan konsep kinerja menjadi dasar dari kerangka operasionalisasi variabel- variabel kinerja yang akan diukur dalam penelitian ini. Sementara itu konsep sistem melalui metode System Dynamic, menjembatani temuan kinerja dan pola atau arah kecenderungan hubungan kinerja Puskesmas dan model pemberdayaan yang diinginkan . Berikut ini adalah pengertian atau definisi- definisi dari ko nsep utama yang menjadi dasar kerangka berpikir. 1. Definisi Pelayanan Publik. Pelayanan Publik secara luas didefinisikan sebagai organisasi-organisasi sektor publik yang pembiayaannya didasarkan pada pajak dari pada melalui penjualan jasa secara perseorangan maupun secara korporasi. Bentuk pelayanan publik antara lain adalah pelayanan bidang kesehatan, pendidikan, kesejahteraan sosial, dan keamanan. (Farnham dan Horton, 1993, serta McKevitt, 1998) 2. Definisi Pemberdayaan Pemberdayaan adalah bagaimana membuat masyarakat mampu membangun dirinya sendiri, mampu, berdaya, tahu, mengerti, paham, termotivasi, berkesempatan melihat peluang, dapat memanfaatkan peluang, berenergi, mampu bekerja sama, tahu berbagai alternatif, mampu mengambil keputusan, berani menghadapi resiko, mampu mencari menangkap informasi, dan mampu bertindak sesuai situasi. (Slamet, 2003) Pemberdayaan berarti mengarah pada perubahan perilaku, baik perilaku individu maupun sistem dalam organisasi (Jenkins, 1996) 3. Definisi Kinerja Kinerja adalah tingkat pencapaian hasil organisasi yang dapat diukur secara kuantitatif (Swanson,1999). Kinerja juga didefinisikan sebagai hasil dari
20
perilaku atau cara-cara berpikir, bertindak orang-orang dalam organisasi (Stolovitch dan Keeps,1992). Kinerja adalah hasil yang dicapai oleh organisasi dan dinilai dengan cara membandingkan antara hasil yang diinginkan dengan kenyataannya.(Gilley dan Maycunich, 2000) Berikutnya adalah definisi dan operasionalisasi konsep, variabel dan indikator yang digunakan dalam penelitian ini, mencakup konsep kinerja BSC yang terdiri dari 4 (empat) perspektif utama yang menjadi parameter kinerja Puskesmas, yakni (1) pelanggan dengan indikator 5 (lima) dimensi Service Quality (Servqual) yang terdiri dari kepuasan pelanggan terhadap aspek pelayanan tangibelity, responsiveness, reliability, assurance, dan empathy, (2) proses internal dengan indikator kemampuan inovasi, dan operasi, (3)
pembelajaran-pertumbuha n dengan indikator kepuasan pegawai,
kapabilitas informasi, dan kapabilitas pegawai, dan (4) keuangan dengan indikator efektifitas pembiayaan per pelanggan, dan kontribusi pelanggan pada swadana. Sementara konsep model pemberdayaan diawali dengan analisis hubungan kausalitas (non linier) kinerja BSC Puskesmas yang digambarkan melalui model Causal Loop Diagram (CLD) dan model Stock Flow Diagram (SFD), uji sensitivitas variabelvariabel
kinerja,
pembuatan
skenario
pemberdayaan
dan
pembuatan
model
pemberdayaan. 1. Perspektif pelanggan Perspektif ini berpandangan bahwa pelanggan adalah masa depan organisasi, oleh karena itu organisasi yang memperhatikan masa depannya pasti akan memperhatikan kepuasan pelanggan. Dalam perspektif pelanggan, kinerja organisasi diukur dengan penilaian kepuasan pelanggan terhadap mutu pelayanan organisasi. (Kaplan dan Norton, 1996) Adapun pelanggan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah masyarakat atau penduduk yang berdiam di suatu wilayah Kecamatan yang mengunjungi dan terdaftar sebagai pasien Puskesmas untuk menikmati layanan pengobatan dalam poliklinik-poliklinik yang ada di dalam gedung Puskesmas. 2. Kepuasan Pelanggan Persepsi pelanggan yang menyatakan perbandingan terhadap produk/jasa yang diterimanya dengan yang diharapkannya (Kotler,1997; Zaithaml, et al, 1990)
21
Konsep kepuasan pelanggan selanjutnya diukur dalam 5 (lima) dimensi Servqual (Zaithaml, et al, 1990) di mana definisinya adalah sebagai berikut : a. Tangibelity Bukti fisik kemampuan pelayanan jasa yang dapat ditunjukkan pada pelanggan. Parameternya antara lain, lokasi yang mudah dijangkau, keteraturan loket pendaftaran, kecukupan bangku di ruang tunggu, dan kebersihan toilet. b. Reliability Keandalan suatu layanan sesuai dengan yang dijanjikan. Parameternya antara lain adalah keberadaan dokter hingga jam kerja usai, kecepatan layanan secara wajar, kerumitan prosedur layanan, dan keterandalan petugas dalam melayani. c. Responsiveness Ketanggapan petugas untuk membantu pelanggan secara responsif, cepat, tepat dan dengan penyampaian informasi secara jelas. Parameternya antara lain adalah, kemampuan medis dokter dalam melayani pasien, ketersediaan obat-obatan, dan tanggap terhadap keluhan pasien. d. Assurance Jaminan suatu layanan yang telah dijanjikan pada pelanggan dan menumbuhkan rasa percaya pelanggan. Parameternya antara lain adalah, jaminan bahwa setiap keluhan pelanggan akan diperhatikan, jaminan bahwa setiap permintaan keringanan biaya tindakan medis bagi pelanggan tidak mampu akan diperhatikan, dan jaminan tidak ada perbedaan perlakuan terhadap pelanggan. e. Empathy Perhatian individual secara tulus terhadap pelanggan, sebagai upaya memahami keinginan pelanggan. Parameternya antara lain adalah, perhatian dan ketulusan dokter dalam melaya ni, perhatian dan ketulusan petugas para medis dalam melayani, serta perhatian dan ketulusan petugas pendaftaran dalam melayani pelanggan.
3. Perspektif Proses Internal Proses internal adalah proses ‘produksi’ penting yang harus dikuasai oleh organisasi dan yang memungkinkan terciptanya proposisi nilai yang dapat
22
memenuhi harapan pelanggan. Terdapat 3 variabel generic yang ditawarkan BSC dalam pengukuran kinerja proses internal yakni, kemampuan inovasi, operasi, dan layanan purna jual (Kaplan dan Norton, 1996). Selanjutnya dalam penelitian ini variabel purna jual tidak akan diukur karena Puskesmas saat ini belum melakukan layanan purna jual. Adapun definisi kedua variabel proses internal adalah sebagai berikut : a. Kemampuan Inovasi Kemampuan inovasi organisasi untuk menciptakan nilai-nilai baru yang sebelumnya tidak ada, dan memiliki rangkaian manfaat bagi peningkatan kebutuhan pelanggan. Pelayanan baru yang sedang direncanakan oleh Puskesmas pada saat penelitian ini dilakukan adalah perubahan tata cara pelayanan kesehatan yang mengarah pada efisiensi, praktek dokter sore hari, kontrak dokter spesialis, paket layanan persalinan, sistem informasi kesehatan (SIK) dan International Standart Organization (ISO) b. Kemampuan Operasi Pengertian operasi di sini adalah proses produksi yang menitik beratkan pada cara-cara penyampaian jasa pada pelanggan yang mencakup efisiensi, promosi, konsistensi, dan tepat waktu. Parameter dalam penelitian ini adalah aspek waktu layanan, ketersediaan obat, dan kemampuan penyuluhan.
4. Perspektif Pembelajaran-Pertumbuhan Kemampuan organisasi untuk berubah, meningkatkan diri dalam merespon perubahan-perubahan lingkungan yang terjadi dengan cara terus menerus memperbaiki sumber daya manusia/ pegawai, sistem dan prosedur, serta sarana dan prasarana termasuk informasi (Kaplan dan Norton, 1996) Parameternya adalah kapabilitas pegawai, kepuasan pegawai dan kapabilitas informasi. a. Kapabilitas Pegawai Kemampuan pegawai yang mencakup pengetahuan umum tentang organisasinya, sikap dan komitmen terhadap segala sesuatu yang terkait dengan tugas-tugas dalam organisasi (Bramley, 1996)
23
b. Kepuasan Pegawai Kepuasan pegawai yang mencakup kepuasan pada aspek penghargaan finansial dan bukan finansial, lingkungan dan suasana kerja, kepercayaan pimpinan, serta aspek keikut sertaan dalam pengambilan keputusan organisasi (Herzberg, et al, dalam Tyson dan Jackson, 2000) c. Kapabilitas Informasi Penilaian pegawai terhadap kemampuan organisasi dalam menyediakan informasi yang mendukung tugas-tugas pegawai secara cepat, akurat dan tersedia kapanpun informasi diperlukan (Kaplan dan Norton, 1996)
5. Perspektif Keuangan : Aspek pendapatan dan pengeluaran yang memberikan kontribusi terhadap kelangsungan program dan peningkatan pendapatan organisasi (Kaplan dan Norton, 1996) Dalam kasus Puskesmas, terdapat dua sumber pembiayaan pelayanan kesehatan, yakni dari subsidi dan dari retribusi (swadana). Dari subsidi, sulit untuk mengukur kinerja pendapatan dan pengeluaran subsidi, sebab sistem perencanaan anggaran dalam orga nisasi pemerintah lebih menekankan pada kemampuan organisasi untuk menyerap habis anggaran yang telah direncanakan. Karena itu pengukuran kinerja subsidi lebih ditekankan pada berapa besar rasio anggaran yang diperuntukkan bagi satu orang pasien. Dari swadana, parameter yang digunakan adalah rata-rata kontribusi per pelanggan pada pemasukan swadana.
Selanjutnya, diketengahkan operasionalisasi konsep-konsep kinerja BSC yang telah dijelaskan batasan – batasannya tersebut, mencakup variabel, sub-sub variabel, indikator- indikator, responden, serta metode pengukurannya, sebagaimana tertera dalam tabel berikut ini.
24
Tabel 2 Operasionalisasi Konsep Kinerja BSC Puskesmas DKI-Jakarta No 1.
Variabel dan Indikator Perspektif Pelanggan 1.Tangibelity a. Lokasi yang mudah dijangkau b. Keteraturan Loket pendaftaran c. Kecukupan bangku di ruang tunggu d. Kebersihan toilet 2. Reliability a. Keberadaan dokter hingga jam kerja usai b. Kecepatan layanan c. Kerumitan prosedur layanan d. Kehandalan Petugas dalam melayani 3. Responsiveness a. Kemampuan dokter b. Ketersediaan obat-obatan c. Ketanggapan petugas terhadap keluhan 4. Assurance a. Jaminan bahwa setiap keluhan pelanggan diperhatikan b. Jaminan bahwa permintaan keringan biaya tindakan akan dipenuhi c. Jaminan bahwa tidak ada perbedaan perlakuan terhadap pelanggan
Jenis Data, Responden dan Pengukuran Jenis Data : Primer Sumber : Responden Pelanggan (Pasien) Pengukuran : 1. Indeks Kepuasan Pelanggan (IKP) pada skala Likert 1-5 2. Mutu Kinerja Dihitung melalui nilai Konversi normatif dan empiris Keterangan: Konversi Normatif adalah Konversi Nilai Mutu Kinerja menurut pedoman IKM (Indeks Kepuasan Masyarakat) dalam SK MenPan No.25/2003 yang berlaku di Organisasi Pelayanan Publik saat ini. Sedangkan konversi empiris adalah konversi Nilai Mutu Kinerja berdasarkan Perhitungan nilai interval pada data empiris Kedua Nilai Mutu Kinerja (normatif dan empiris) digunakan sebagai perbandingan
5. Empathy a. Perhatian dan ketulusan dokter dalam melayani b. Perhatian dan ketulusan petugas para medis dalam melayani c. Perhatian dan ketulusan petugas pendaftaran dalam melayani 2
Perspektif Proses Internal 1. Proses Inovasi a. Perubahan tata cara pelayanan kesehatan yang mengarah pada efisiensi b. Praktek dokter sore hari c. Kontrak dokter spesialis d. Paket Layanan Persalinan e. Sistem Informasi Kesehatan (SIK) f. International Standart Organization (ISO)
Jenis Data : Sekunder Sumber : Puskesmas Pengukuran : Penilaian kinerja Inovasi berdasarkan pada perbandingan antara standar nilai proses inovasi yang ditetapkan dan kenyataannya Standar : Tahap Rencana = 0.25 Tahap Pembahasan =0.50 Tahap Realisasi = 1.0 Melalui interval score, nilai aktual yang telah dihitung akan dibandingkan menurut rating untuk menentukan Mutu Kinerja Inovasi.
25
2. Proses Operasi (Produksi) a. Waktu Layanan (lead time) b. Ketersediaan Obat c. Kinerja Penyuluhan - Frekuensi Penyuluhan - Kehadiran sasaran penyuluhan - Indeks Penilaian Pelanggan tentang Penyuluhan Puskesmas
Waktu Layanan: Perbandingan waktu layanan ideal (normatif 15-30 menit) dengan waktu layanan aktual. Ketersediaan Obat Perbandingan antara ketersediaan obat normatif dan aktual Frekuensi Penyuluhan Perbandingan antara frekuensi normatif (60 x) penyuluhan per triwulan dengan kenyataannya Kehadiran sasaran penyuluhan Perbandingan antara kehadiran sasaran penyuluhan normatif (90 %) dengan kenyataannya. Indeks Penilaian pelanggan tentang penyuluhan Puskesmas Jenis data : Primer Sumber : Pelanggan (Pasien) Pengukuran : Skala 1-5
3.
Perspektif Keuangan 1. Efektifitas Biaya Subsidi Pelayanan Kesehatan per satu orang pelanggan 2. Kontribusi swadana per pelanggan
Jenis Data : Sekunder Sumber : Puskesmas Pengukuran: Efektifitas Pembiayaan Rasio Jumlah Subsid i &Jumlah Pelanggan . Kontribusi Swadana per pelanggan Rasio Jumlah pelanggan dan Total Pemasukan Swadana Mutu Kinerja Perbandingan Efektifitas Pembiayaan dan Swadana pada ketiga Puskesmas.
4
Perspektif Pembelajaran-Pertumbuhan 1. Kepuasan Pegawai a. Keterlibatan dalam pengambilan keputusan b. Penghargaan terhadap prestasi c. Lingkungan/suasana kerja d. Dukungan sarana kerja e. Insentif Pegawai 2. Kapabilitas Informasi a. Ketersediaan Informasi yang mendukung pekerjaan pegawai b. Kecepatan arus informasi yang mendukung pekerjaan pegawai c. Keakuratan informasi yang mendukung pekerjaan pegawai
Jenis data : Primer Sumber : Responden Pegawai Puskesmas Pengukuran : Indeks Kepuasan Pegawai pada skala 1 -5
Jenis data : Primer Sumber : Responden Pegawai Puskesmas Pengukuran : Indeks Kapabilitas Informasi pada skala 1-5
26
3. Kapabilitas Pegawai Dari Aspek General knowledge : a. Pengetahuan ttg manajemen Puskesmas b. Pengetahuan thd kesesuaian 20 Upaya Pokok Puskesmas saat ini c. Pengetahuan tentang Puskesmas Swadana Dari Aspek Attitude d. Sikap thd perlunya pelatihan kualitas layanan e. Ketertarikan thd pelatihan kualitas layanan f. Sikap thd manfaat ISO Dari Aspek Skill g. Kesesuian pengetahuan yang dimiliki dengan tugas yang dijalankan h. Komitmen untuk komunikatif dengan Plg. i. Komitmen thd upaya mengetahui kep.plg k. Ketertarikan thd tugas yg berhub. dengan keluhan pelanggan l. Ketersediaan menangani tugas yang berhubungan dengan keluhan pelanggan m. Memilih tugas ‘di belakang meja’ atau melayani pelanggan secara langsung
Jenis data : Primer Sumber : Responden Pegawai Puskesmas Pengukuran : Indeks Kapabilitas Pegawai pada skala 1-5 Mutu Kinerja : Dihitung melalui nilai Konversi normatif dan empiris
Sumber : Hasil Kajian Penulis, 2006
Selanjutnya, model pemberdayaan yang akan dibangun dalam disertasi ini didasarkan pada konsep dan metode SD. Berikut ini adalah batasan dan definisi dari konsep-konsep tersebut. 1. Konsep Model Dalam SD, fungsi model adalah untuk menjelaskan berbagai area yang diukur seperti keuangan, sumber daya manusia, pelanggan, dan sebagainya. Model adalah representasi dari dunia nyata. Model dapat dibedakan dalam berbagai bentuk, antara lain fisik, analog, digital (komputer), dan matematikal.(Maani dan Cavana, 2000). Menurut Sterman (2000), setiap model adalah representasi dari suatu sistem, yakni kelompok dari elemen-elemen yang saling berhubungan secara fungsional dan membentuk suatu keseluruhan yang kompleks. 2. System Dynamic (SD) SD merupakan metode yang menjembatani konsep berpikir sistemik (System Thinking / ST) yang digunakan sebagai cara berpikir dalam menganalisis kinerja BSC Puskesmas. ST menurut Senge et al (1999) terdiri dari tahapan berpikir events (apa fenomena itu), patterns (pola-pola apa yang terdapat dalam
27
fenomena), structures (bagaimana pola-pola tersebut saling berhubungan dan saling mempengaruhi), dan mental models (mengapa pola-pola fenomena tersebut saling berhub ungan dan saling mempengaruhi). Selanjutnya, sebagai metode SD dilengkapi dengan ‘bahasa, notasi, dan simbolsimbol’ yang secara keseluruhan terdapat di dalam perangkat lunak komputer yang disebut powersim. Berikut ini konsep-konsep penting dalam SD : a. Model Causal Loop Diagram (CLD) CLD adalah suatu alat berupa model yang memperlihatkan pola hubungan kausal diantara satu set variabel-variabel yang dioperasikan dalam sistem. Elemen dasar dalam CLD adalah ‘variabel- variabel’ dan ‘panah-panah’ yang menggambarkan hubungan variabel-variabel, baik hubungan searah (tanda ‘s’ atau ‘+’) maupun berlawanan arah (tanda ‘o’ atau ‘- ‘). Suatu variabel adalah suatu kondisi, situasi, tindakan, atau keputusan-keputusan yang dapat mempengaruhi dan dipengaruhi oleh variabel lainnya. Model CLD diciptakan dengan melalui proses yang panjang yang memadukan kerangka berpikir secara teoritik dan aspek-aspek empirik Hubungan kausalitas dalam CLD menghasilkan dua macam umpan balik, yakni positif dan negatif b. Umpan Balik Positif (Reinforcing / R) Umpan balik positif menggambarkan pola kecenderungan hubungan yang saling menguatkan (seluruhnya + ) atau meluruhkan (seluruhnya - ). Makna positif atau negatif bukan berarti baik atau buruk, melainkan hanya menggambarkan pola perubahan searah atau berlawanan arah. Contoh: Bila mutu layanan meningkat, maka kepuasan pelanggan juga meningkat, da n bila kepuasan pelanggan meningkat, jumlah pasien akan bertambah, bertambahnya jumlah pasien akan meningkatkan penerimaan retribusi, bertambahnya penerimaan akan meningkatkan mutu layanan. (variabel mutu layanan akan mengawali dan menutup sebuah loop atau pola umpan balik) c. Umpan Balik Negatif ( Balancing/ B) Menggambarkan pola hubungan yang bersifat melemahkan, karena salah satu variabel negatif. Untuk menyeimbangkan sistem, maka variabel yang negatif biasanya diperhatikan dan dilakukan tindakan koreksi. Berdasarkan pengertian
28
tersebut, maka umpan balik B juga dikenal sebagai suatu sistem yang mencari stabilitas dan kontrol terhadap keseimbangan yang diinginkan. Contoh: Penerimaan retribusi akan meningkatkan pelatihan pegawai (+), sementara peningkatan pelatihan akan mengurangi (-) penerimaan. Pesan yang dibawa dalam hubungan ini adalah, bahwa penerimaan harus dijaga sedemikian rupa agar kebutuhan pelatihan terpenuhi dengan wajar. Berikut ini notasi dan simbol-simbol yang digunakan dalam CLD.
Tabel 3 Notasi dan Interpretasi Simbol-simbol CLD SIMBOL + atau S
INTERPRETASI
CONTOH
Simbol kesamaan arah
+
(S = Same Direction) X
+
Y
Menunjukkan kesamaan arah pada hubungan sebab akibat antara variable X dan Y
- atau O
Simbol perbedaan arah
(O = Opposite Direction)
Menunjukkan Perbedaan arah pada hubungan sebab akibat antara variable X dan Y
X
¯
Y
B ( Balancing )
Umpan balik negative ( negative feedback loop )
Mutu
Penjualan
Jika mutu meningkat, maka penjualan juga akan meningkat (sebaliknya )
Populas i
Kematian
Jika kematian meningkat, maka populasi akan menurun.
Kematian
B
Populasi
+ + R ( Reinforcing )
Umpan balik positif (positive feedback loop ) dapat berupa peningkatan ( + ) atau penurunan (- )
Kelahiran
R
Pp opulasi
+
Sumber : Sterman, 2000 : 139 d. Model Stock Flow Diagram (SFD) Penggambaran hubungan kausalitas melalui model CLD dipandang belum mencukupi karena model tersebut tidak mampu memberikan gambaran struktur (bentuk ) sistem secara quantifiable atau berisi nilai- nilai variabel yang dapat dihitung. Karena itu digunakan SFD yang dapat menutup i keterbatasan CLD tersebut. SFD digambarkan dalam notasi Stock-Flow yang merupakan konsep sentral dalam SD. Notasi ‘Stock’ menggambarkan sebuah
29
akumulasi atau inventory (gudang) suatu sistem berupa apa saja, seperti misalnya informasi, keputusan-keputusan, SDM, pelanggan, dan sebagainya. Stock merupakan sumber terjadinya ketidakseimbangan dalam sistem, karena jumlah dan akumulasinya selalu berubah dan perubahannya dipengaruhi oleh apa yang disebut sebagai ‘Flow’ atau aliran atau laju. Sebagai contoh, Stock pegawai selalu berubah karena dipengaruhi oleh ‘laju’ atau ‘Flow’ jumlah pegawai yang masuk dan yang keluar yang terus bergerak naik-turun karena pensiun, keluar, dan rekruitmen (Sterman, 2000). Berikut ini diketengahkan notasi dan simbol-simbol SFD Simbol Stock Simbol Flow Simbol Stock dan Flow
? ?
Stock
Flow
Gambar Struktur Umum SFD Inflow = penambahan stock Outflow= pengurangan stock
? ?
Stock
? Outflow
Inflow
? ?
?
? Pegawai Laju_Pgw_masuk Laju_Pgw_Keluar
Perekrutan_Pgw
? Pensiun
Contoh : SFD Pega wai - Stock = Pegawai - Inflow = Laju Pgw Masuk - Outflow = Laju Pgw Keluar - Auxalery = Perekrutan Pgw - Auxalery = Pensiun
Gambar 2 Notasi Diagram Stock Flow (SFD) (Sumber : Stearman, 2000:193) Dalam gambar Stock-Flow, pada ujung-ujungnya digambarkan simbol ‘awan’ (cloud) yang melambangkan ‘ketidakterbatasan’ (infinite) dari suatu sistem. Kenyataannya dalam dunia nyata, sumber-sumber dalam sistem adalah terbatas dan harus dibatasi, agar sistem mudah dikelola. Di dalam model hal ini juga diimplementasikan, seperti pernyataan Sterman, bahwa : “to keep your models manageable, you must truncate these chains using sources and sinks, represented in stock-flow maps by ‘cloud’ “ . Karena itu dalam
30
implementasi SFD, tidak semua variabel digambarkan dalam SFD, melainkan hanya variabel- variabel yang diduga memiliki efek paling kuatlah yang dinotasikan dalam SFD. e. Grafik Perilaku (Behaviour Over Time) Dalam faktanya, suatu sistem dibedakan melalui perilaku pada waktu yang berbeda (Behaviour Ov er Time/ BOT). Perbedaan perilaku sistem dalam SD digambarkan melalui grafik perilaku sistem menurut waktu (Grafik BOT) yang berbeda-beda. Fungsi Grafik BOT adalah untuk membantu mengamati kecenderungan perilaku sistem dan membantu memilih perilaku yang terbaik (melalui simulasi dalam perangkat lunak powersim) untuk menetapkan skenario -skenario dalam pengambilan keputusan organisasi.
Menurut
Sterman (2000:108), t erdapat 6 (enam) bentuk dasar dari Grafik BOT, yakni : (1) exponential growth, (2) goal seeking, (3) S-shaped growth, (4) oscillation, (5) growth with overshoot, dan (6) overshoot and collapse. Dalam penelitian ini hanya diketengahkan 2 di antaranya yang lazim terjadi yakni perilaku exponential growth dan goal seeking. Berikut ini adalah gambar dan penjelasannya. (1) Exponential Growth
(2) Goal Seeking Goal
Time
Time
Gambar 3 Grafik Perilaku dan Struktur System (Sumber: Sterman, 2000 : 108)
Penjelasan grafik perilaku sistem adalah sebagai berikut : 1). Grafik Exponential Growth Perilaku Exponential growth terjadi karena adanya umpan balik positif (positive feedback atau Reinforcing /R). Sebagai contoh, kelahiran akan meningkatkan populasi (+), populasi akan meningkatkan kelahiran (+) jadi (+)
31
x (+) = (+), atau kematian mengurangi populasi (-), populasi mengurangi kematian (-), jadi (-) x (-) = (+). 2) Grafik Goal Seeking. Perilaku goal seeking disebabkan terjadinya umpan balik negatif (negative feedback atau Balancing/B). Karena terjadinya umpan balik negatif yakni kesenjangan antara kondisi yang aktual dengan yang dikehendaki, maka sistem bereaksi dengan melakukan tindakan koreksi hingga kondisi yang dikehendaki tercapai. Dalam kasus ini peningkatan kinerja tidak bersifat linier namun dibatasi oleh tujuan (goal) yang dikehendaki atau telah ditetapkan. Contoh, pada kepuasan pelanggan, gap yang terdapat antara kepuasan pelanggan yang diinginkan (yakni pada skala 5) dengan kepuasan pelanggan aktual, (skala 3,2), memerlukan suatu tindakan koreksi yang dapat mendongkrak kepuasan pelanggan yang diinginkan (skala 5). Jika tujuan tersebut telah tercapai maka grafik perilaku tidak akan meningkat lagi melainkan mendatar.
f.
Uji Sensitivitas Model Uji sensitivitas adalah untuk mengetahui respon model terhadap suatu stimulus. Respon ditunjukkan dengan perubahan perilaku dan/atau kinerja model, sedangk an stimulus dilakukan dengan memberikan/mengubah perlakuan tertentu pada variabel model. Uji sensitivitas bertujuan untuk menjelaskan sensitivitas parameter, variabel, dan hubungan antar variabel dalam model, sedangkan hasil uji sensitivitas adalah dalam bentuk perubahan perilaku model yang dapat digunakan untuk menganalisis efek intervensi terhadap model. Uji sensitivitas dilakukan melalui perangkat lunak powersim dalam komputer (Muhammadi, dkk, 2001:361). Dalam penelitian ini, uji sensitivitas menghasilkan variabel-variabel kinerja yang berperan sebagai pengungkit (leverage) model kinerja Puskesmas.
g. Skenario Pemberdayaan Fahey dan Randall (1998:4) mengartikan skenario sebagai sebuah deskripsi naratif tentang proyeksi berbagai pilihan yang masuk akal dari bagian-bagian
32
spesifik suatu sistem, di masa yang akan datang. Skenario dilakukan setelah variabel- variabel sensitif ditemukan. Untuk memberikan gambaran skenario yang sesuai dengan kondisi organisasi publik, maka selanjutnya dalam disertasi ini skenario akan disusun berdasarkan pada model kuadran Star (Star, dalam Ringland, 2002:33). Kuadran Star terdiri dari 4 (empat) kuadran yang didasarkan pada kombinasi faktor- faktor kondisional seperti kondisi kepastian dan ketidakpastian (certainty-uncertainty), serta kondisi di mana kontrol dan hirarkhi begitu ketat dengan kondisi di mana jaringan pemberdayaan lebih memungkinkan untuk dilakukan (common-control hierarkhy- empowered networks). Variabel-variabel sensitif yang ditemukan selanjutnya diletakkan di kuadran yang sesuai berdasarkan latar belakang kondisi organisasi. Kuadran C adalah kuadran prioritas karena terdiri dari kombinasi kondisi organisasi yang dipandang lebih fleksibel bagi upaya pemberdayaan. Prioritas kedua adalah kuadran B, dan ketiga adalah D, sedangkan kuadran A dipandang sebagai kuadran yang memiliki kombinasi kondisi organisasi paling berat dalam upaya pemberdayaan. Berikut ini adalah gambar dari kuadran Star.
UNCERTAINTY
COMMON CONTROL HIERARKHY
A
B
D
C
EMPOWERED NETWORKS
RELATIVE CERTAINTY PREDICTABILITY
Gambar 4
Diagram Skenario Model Star (Sumber: Diadopsi dari Skenario Model Star, 2002)
33
h. Simulasi Model Setelah variabel-variabel sensitif ditempatkan pada skenario model Star, maka selanjutnya simulasi variabel- variabel dapat dilakukan secara efektif dengan memprioritaskan variabel- variabel pada kuadran tertentu. Simulasi model merupakan penambahan atau pengurangan 10 hingga 20 % dari nilai- nilai variabel sensitif untuk melihat pola perubahan sistem. Tidak ada batasan berapa kali simulasi harus dilakukan, yang terpenting adalah pada simulasi mana ditemukan perubahan yang paling signifikan yang dapat mempengaruhi bekerjanya sistem. Hasil simulasi berguna untuk menentukan pengaruh variabel tertentu terhadap arah pemberdayaan Puskesmas. Simulasi model dapat dia mati melalui perubahan tabel nilai variabel serta grafik perilaku variabel menurut waktu. i.
Variabel ‘Base Case’ Yakni variabel yang dipilih atau ditetapkan sebagai variabel yang akan diuji melalui simulasi oleh varaiabel- variabel lain dalam sistem. Penetapan variabel ‘base case’ didasarkan pada pertimbangan: (1) bahwa variabel tersebut memiliki kompleksitas dinamika yang tinggi (mempengaruhi dan dipengaruhi oleh sebagian besar variabel- variabel dalam sistem). (2) variabel tersebut menunjukkan kinerja yang cenderung lemah berdasarkan analisis kinerja yang telah dilakukan sebelumnya.
j.
Variabel Sensitif Yakni variabel-variabel yang dalam uji sensitivitas melalui komputer, diketahui memiliki nilai sensitivitas yang kuat terhadap variabel base case.
34
35
TINJAUAN PUSTAKA
Esensi dan PentingnyaPelayanan Publik
Esensi dan pentingnya pelayanan publik dapat dipahami melalui konsep sektor publik. Bapak ekonomi klasik Adam Smith (1776) melalui pekerjaan monumental dalam bukunya yang sangat dikenal “The Wealth of Nations” mengetengahkan 3 (tiga) peran dasar negara, yakni: Pertama, melindungi rakyat dari segala bentuk penjajahan dan penindasan bangsa lain. Manifestasi tugas ini nampak pada kekuatan militer yang diciptakan oleh negara. Kedua, melindungi masyarakat dari aspek hukum dan ketidakadilan, wujud dari tugas ini nampak pada diciptakannya berbagai peraturan dan perangkat lembaga peradilan dan hukum untuk melindungi rakyat dari ketidakadilan. Ketiga, menegakkan serta memelihara lembaga- lembaga publik untuk melakukan tugas-tugas perlindungan terhadap rakyat. Bentuk aktivitasnya adalah berupa pelayanan publik. (Aronson, 1985:14) Tiga peran dasar Negara tersebut kemudian diasumsikan sebagai pembatas antara apa yang har us dilakukan oleh negara dan pasar. Dikotomi tersebut diperkuat Smith dengan mengandalkan apa yang disebut sebagai ‘the invisible hand’ (‘tangan yang tidak terlihat’, atau mekanisme ‘pasar bebas’) yang diperkirakan mampu mengatur pemerataan income dalam sistem perekonomian negara, sehingga negara tidak perlu turut campur tangan di dalamnya. Paradigma ini banyak dianut oleh Negara-negara di Eropa barat sekitar abad 18 an. Sejarah kemudian mencatat, bahwa kemungkinan besar sektor publik tidak akan berkembang sepesat seperti sekarang ini jika pasar berhasil menciptakan distribusi income secara merata pada masyarakat, sebagaimana prediksi Smith sebelumnya. Kenyataannya hingga abad 19-an, pasar bebas tidak bekerja sebagaimana diramalkan, terjadi kegaga lan pasar atau market failure yang mencakup: Pertama, transaksi yang dilakukan oleh sektor swasta pada kenyataannya gagal menyediakan sejumlah barangjasa yang diperlukan bagi hajat hidup masyarakat. Kedua, kegagalan dalam menciptakan pemerataan penghasilan bagi sebagian besar masyarakat, karena sebagian masyakat tidak
35
memiliki sarana produksi, seperti modal, sumberdaya manusia, sumberdaya alam, tehnologi, daya beli, dan berbagai sarana lainnya untuk akses ke pasar. Ketiga, bahwa kedua kegagalan tersebut membawa implikasi kegagalan pasar dalam menciptakan tingkat stabilitas pendapatan nasional dan lapangan kerja. (Aronson, 1985: 19 ). Kondisi tersebut kemudian mengundang berbagai kritikan terhadap aliran ekonomi klasik, dan memicu munculnya aliran baru yakni teori ekonomi neo-klasik yang dipelopori oleh seorang ahli ekonomi Inggris, Keynes (1936) dengan anjurannya yang bertolak belakang dengan teori ekonomi klasik, yakni agar negara berperan aktif dalam mengontrol dan mengatur sistem perekonomian negara agar tercipta pemerataan kesejahteraan bagi rakyat. Teori Neo-klasik mengajarkan konsep ‘social philanthropy’ yang kemudian dikembangkan sebagai bentuk perbaikan dan pertanggungjawaban peran negara kepada warga negaranya serta untuk memecahkan masalah- masalah sosial yang selama ini tidak mampu ditangani oleh sektor privat. Sektor publik memiliki karakteristik dasar yang mudah ditandai yakni dengan melihat institusi atau lembaga yang diciptakan dan didanai oleh negara baik melalui pajak, subsidi, grant, loan, dan sebagainya yang pada dasarnya bertujuan untuk memenuhi tuntutan dan kebutuhan rakyat. Apapun yang dilakukan oleh sektor publik dapat dipastikan selalu berada pada domain atau proses politik.. Dalam hal ini , Chapman dan Cowdell (1998:2 -3) mempertegas karakteristik tersebut sebagai berikut : “These institutions are founded and funded by state, in the interest of state and, through the state, in the interest of its citizens. Their aims are politically determined by the state. Their budgets are sourced from taxation, both nationally and locally. Funding is determined by allocation, rather than by use, and they are controlled, or at least regulated, by state. The state is responsible for the legal obligation given to such institutions and for the legal controls over what they do. Indeed it is one of characteristics of public sector organizations that they are bounded by and operate within extensive legislation which creates an often creaking bureaucracy, much of which is concerned with the ‘proper’ use of public money” Secara lebih jauh, ditinjau dari karakteristik kelembagaan, Chapman dan Cowdell melihat sektor publik sebagai suatu organisasi yang memberikan manfaat pada masyarakat luas dalam berbagai cara. Kebutuhan dan hajat hidup masyarakat luas dipertemukan dengan konsep permintaan dan pelayanan barang – jasa oleh pemerintah secara keseluruhan mela lui mekanisme politik. Karena orientasinya pada kemanfaatan
36
masyarakat luas tersebut, maka sifat sektor publik dikatakan altruistic dan tidak berorientasi keuntungan. “Public sector institutions are usually understood in the sense of the first category. They are generally organizations, the purpose of which is to benefit society in some way. They are concerned with satisfying social wants and needs – that is, with meeting demands for services or support which benefit society as a whole. They may therefore be said to be ‘altruistic’, with concern for others as a guiding principle. As a result, they are generally non-profit-making organizations”. Sejalan dengan pemahaman Chapman dan Cowdell tersebut, Nutley dan Osborne (1994:1) menambahkan bahwa sektor publik menggambarkan badan-badan pemerintah yang memiliki kewenangan khusus yang diperoleh dari parlemen di mana mereka tunduk dan bertanggung jawab padanya. Selain dari pada itu sebagian besar sektor publik walaupun tidak semuanya - didanai melalui pajak. Selanjutnya ditambahkannya pula bahwa domain organisasi sektor publik mencakup pelayanan pemerintah pusat, daerah dan industri-industri milik negara:
“ Public sector may have included some of the following : Central government departments, agencies and services – such as defence, education, health and social security. Local government departments and services – such as educations, social services, and housing.Nationalized industries - such as British Rail, Post Office”. Untuk membedakan organisasi privat dan publik, Farnham dan Horton (1993:28 ) menyatakan bahwa: “Private organizations are those created by individuals or groups for market or welfare purposes. There are ultimately accountable to their owners or members. Private organizations take the forms of unincorporated associations, companies, partnerships, and voluntary bodies. Public Organizations are created by government for primarily collectivistor political purposes. They ultimately accountable to political representatives and the law. Their criteria for succsess are less easy to define than are those of private organizations. Public organizations cover a wide range of activities and encompass all those public bodies which are involved in making, implementing and applying public policy.” Di dalam prakteknya, garis pemisah antara dua sektor tersebut sangat kabur dan sulit, demikian ditambahkan oleh Farnham dan Horton. Maksud nya adalah terkait dengan
37
wilayah atau domain kedua sektor yang semakin tidak jelas, pelayanan yang diciptakan oleh organisasi sektor publik meluas dan semakin bervariasi serta tidak ditujukan sematamata pada misinya semula yakni social philanthropy, bahkan menyaingi bisnis swasta. Terkait dengan masalah wilayah sektor publik, McKevitt (1998:1)mengemukakan secara tegas, bahwa sesungguhnya domain utama sektor publik ada pada 4 (empat) pelayanan inti yang terdiri dari, Health, Education, Welfare, dan Security (HEWS). Lebih lanjut dijelaskan bahwa dalam Undang-Undang Negara manapun, ke empat pelayanan inti tersebut menjadi tugas pelayanan pokok pemerintah pada warga negaranya. Setidaknya pemerintah menjamin bahwa rakyatnya berhak memperoleh layanan inti HEWS dan bebas dari permasalahan kegagalan pasar. Lebih lanjut McKevitt juga memberikan alasan, mengapa hanya empat macam pelayanan tersebut yang dikatakan menjadi inti dari pelayanan publik ? Dalam penjelasannya, empat macam pelayanan tersebut digambarkan memiliki hubungan interdependensi terhadap kesejahteraan rakyat secara umum. Artinya tingkat pendidikan masyarakat akan mempengaruhi kesehatan, kesehatan akan mempengaruhi kesejahteraan sosial-ekonomi, dan kesejateraan sosial-ekonomi akan mempengaruhi stabilitas keamanan, begitu seterusnya membentuk suatu siklus yang saling berkaitan. Sehingga dalam rangka menjalankan tugas pokoknya, negara minimal harus menjamin keempat pelayanan inti tersebut berjalan secara baik, jika misi altruism negara ingin tetap terjaga Secara filosofis, pelayanan publik memiliki makna yang besar bagi kehidupan dalam suatu negara dan tidak dapat diukur melalui keuntungan atau apapun secara individual, karena kemanfaatannya lebih dirasakan secara kolektif atau lebih tepat yakni menyangkut hajat hidup orang banyak (baca:rakyat). Demikian pula dalam hal pengelolaan dan pemeliharaannya, menjadi tanggung jawab kolektif dalam hal ini negara, dan bukan orang perseorangan. Filosofi pelayanan publik ini secara jelas telah diungkapkan oleh Adam Smith (1776) dalam “The Wealth of Nations” (dalam Chapman and Cowdell, 1998: 2) sebagai berikut : “…..those public institutions and those public works, which though they may be in the highest degree advantageous to a great society, are, however, of such a nature , that the profit could never repay the expense to any individual, or small number of individuals, and which it, therefore, cannot be expected that any individual, or small number of individuals, should erect or maintain”
38
Esensi pelayanan yang berorientasi pada kepentingan masyarakat secara luas tersebut, sekaligus juga menggarisbawahi makna ‘publik’ pada istilah pelayanan publik itu sendiri. Hal ini sebagaimana dibenarkan oleh Chapman dan Cowdell (ibid :114) bahwa “The definition of the public calls it ‘the community as an aggregate’ , with community meaning a body of people living in the same locally, and an aggregate meaning of a collection unit, or people, ...” Kenyataannya, dalam pelayanan publik secara spesifik istilah ‘publik’ lebih mengacu ‘as a collection of groups”. Misalnya kelompok masyarakat pelanggan jasa kesehatan, kelompok pelanggan jasa pendidikan, dan seterusnya. Selain dari itu, makna pelayanan publik yang mengandung istilah kolektif antara lain juga dapat ditandai pada model pembiayaannya yakni melalui pajak, dari pada melalui penerimaan dari hasil penjualan secara private. Mengenai hal ini dapat dipahami pada definisi pelayanan publik yang diketengahk an oleh Farnham dan Horton (1993) berikut ini: “The public services are broadly defined as those major public sector organizations whose current and capital expenditures are funded primarily by taxation, rather than by raising revenue through the sale of their services to either individual or corporate consumers. The public services so defined, include the civil service, local government, the National Health Service (NHS), and the educational and police services.” Badan atau agen penyelenggara pelayanan publik kemudian tidak terbatas pada pemerintah pusat atau pemerintah daerah semata, namun juga mencakup perusahaanperusahaan negara yang diciptakan oleh pemerintah dalam rangka penyediaan pelayanan secara langsung. Osborne dan Nutley (1994:1) mempertegas hal ini, yakni:(1) Pelayanan publik yang diselenggarakan oleh Departemen Pemerintah Pusat, seperti pertahanan keamanan, kesehatan, pendidikan, sosial, (2) Pelayanan publik yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah, seperti air bersih, sampah, kesehatan, serta (3) Pelayanan publik yang diselenggarakan oleh Industri atau Perusahaan yang bersifat nasional , seperti listrik, kereta api , kantor pos, telepon, dan sebagainya Pelayanan publik di bidang kesehatan sebagaimana telah diketengahkan oleh Mckevitt pada bahasan sebelumnya, merupakan pelayanan inti yang memiliki urgensi
39
tinggi terhadap sistem kesehatan penduduk baik secara regional maupun nasional. Secara jelas WHO (World Health Organization) merumuskan sistem kesehatan sebagai suatu kesatuan faktor- faktor kesehatan yang kompleks dan saling berhubungan dalam suatu Negara yang diperlukan untuk memenuhi tuntutan kesehatan baik perorangan, keluarga, kelompok, masyarakat, di suatu Negara (WHO,1984, dalam Azwar, 1996:14). Selanjutnya sistem kesehatan mencakup hal yang amat luas, Azwar (1996:14) menyatakan bahwa sistem kesehatan terdiri dari : (1) Sub sistem pelayanan kesehatan, dan (2) Sub sistem pembiayaan kesehatan. Untuk menghasilkan suatu pelayanan kesehatan yang baik, kedua sub sistem tersebut harus ditata dan dikelola dengan baik. Dalam tinjauan pustaka ini selanjutnya akan disoroti tentang sub sistem pelayanan kesehatan. Sub sistem pelayanan kesehatan menurut Levy dan Loomba (1973, dalam Azwar, 1996:35), memiliki makna sebagai upaya yang diselenggarakan sendiri atau secara bersama-sama dalam suatu organisasi untuk memelihara atau meningkatkan kesehatan, mencegah dan menyembuhkan penyakit serta memulihkan kesehatan perseorangan, keluarga, kelompok atau masyarakat. Berdasarkan pada batasan tersebut maka karakteristik pelayanan kesehatan ditentukan oleh pengorganisasian pelayanan (apakah dilaksanakan secara sendiri atau dalam organisasi formal), kemudian ditentukan oleh ruang lingkup kegiatan (apakah mencakup salah satu atau keseluruhan dari pemeliharaan, pencegahan, pengobatan, pemulihan kesehatan), dan ditentukan pula oleh sasaran pelayanan kesehatan (apakah perorangan, keluarga, kelompok, atau masyarakat) Hodgetts dan Cascio (1983, dalam Azwar, 1996:36-39) membedakan pelayanan kesehatan dalam dua bentuk yakni : (1) Pelayanan kedokteran (medical services) yang ditandai dengan cara pengorganisasian yang bersifat sendiri (solo practice) atau secara bersama-sama dalam suatu lembaga kesehatan (institution). Tujuan utamanya adalah untuk menyembuhkan penyakit, dan sasaran utamanya adalah perseorangan atau keluarga. (2) Pelayanan Kesehatan Masyarakat (public health services), yang ditandai dengan pengorganisasian yang dikelola oleh baik pemerintah (pusat dan atau daerah) maupun swasta. Tujuannya adalah untuk memelihara, mencegah, dan menyembuhkan penyakit. Sedangkan sasaran utamanya adalah kelompok atau masyarakat.
40
Pelayanan kesehatan sebagai suatu sistem pada umumnya dibagi dalam beberapa strata. Somers dan Somers (1974,dalam Azwar, 1996:40) mengetengahkan stratifikasi pelayanan kesehatan sebagai : (1) Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama (primary health services) yakni pelayanan kesehatan yang bersifat pokok (basic), yang sangat dibutuhkan oleh sebagian besar masyarakat dan mempunyai nilai strategis dalam meningkatkan derajad kesehatan masyarakat. Pada umumnya pelayanan kesehatan tingkat pertama ini berupa pelayanan rawat jalan (ambulatory/out patient services). (2) Pelayanan Kesehatan Tingkat Kedua (secondary health services) yakni pelayanan kesehatan lebih lanjut, telah bersifat rawat inap (in patient services) dan untuk menyelenggarakannya telah dibutuhkan tersedianya tenaga-tenaga spesialis. (3) Pelayanan Kesehatan Tingkat Ketiga (tertiary health services) yakni pelayanan kesehatan yang bersifat lebih kompleks dan umumnya diselenggarakan oleh tenaga-tenaga spesialis. Dalam konsep pelayanan kesehatan tersebut Puskesmas dapat digolongkan dalam karakteristik public health services yang memberikan pelayanan kesehatan tingkat pertama. Sebagaimana telah diungkapkan, bahwa urgensi pelayanan kesehatan seperti Puskesmas adalah sangat penting dan mempunyai nilai strategis yang tinggi terhadap derajad hidup masyarakat di suatu wilayah.
Tinjauan Konsep Perubahan Dalam Kaitannya dengan Pemberdayaan Pelayanan Publik
Selanjutnya dalam tingkat urgensi yang demikian tinggi, pelayanan kesehatan yang dikelola oleh pemerintah khususnya di negara-negara berkembang seperti halnya di Indonesia menghadapi tantangan yang cukup berat. Lingkungan yang terus menerus berubah menuntut pelayanan publik dapat beradaptasi dengan lingkungannya. Tinjauan terhadap konsep perubahan dalam bagian ini antara lain bertujuan untuk memberikan penekanan arti perubahan dalam pemberdayaan pe layanan publik bidang kesehatan, sebagaimana diketengahkan oleh Jenkins bahwa ’empowerment means making changes’. Pemberdayaan Pelayanan publik di bidang kesehatan (dalam hal ini Puskesmas), dengan demikian dapat dipandang sebagai bagian dari upaya menciptakan perubahan dan mengantisipasi perubahan lingkungan. Sementara perubahan itu sendiri merupakan
41
sesuatu yang mustahil untuk dihindari dalam era modernisasi dan globalisasi saat ini. Kesadaran pelanggan akan nilai-nilai mutu pelayanan yang baik, kesadaran masyarakat tentang hak-hak mereka dalam menerima pelayanan publik secara sepatutnya, dan masalah nilai- nilai hak azasi manusia yang menjadi bagian pelayanan publik baik secara filosofis maupun dalam praktiknya, secara keseluruhan membentuk sifat kritis pelanggan masyarakat untuk tidak begitu saja menerima layanan yang cacat. Berdasarkan pada tuntutan lingkungan tersebut, maka pemberdayaan pelayanan publik akan lebih bermakna ketika perubahan-perubahan yang terjadi di dalamnya adalah terkait dengan peningkatan kualitas pelayanan yang mengacu pada pemuasan kebutuhan pelanggan atau masyarakat. Secara internal perubahan-perubahan tersebut seharusnya juga memberikan kesempatan bagi individu- individu pelaksana pelayanan publik untuk berubah. Konsep perubahan yang diketengahkan Senge, et al (1999:33), mengetengahkan bahwa organisasi adalah hasil dari cara-cara orang berpikir dan berinteraksi di dalamnya. Karena itu setiap perubahan apapun yang ada di dalam organisasi, harus memberi kesempatan bagi orang-orang di dalamnya untuk mengubah cara-cara berpikir dan berinteraksi mereka. Perubahan orang-orang dalam organisasi tidak bisa hanya dilakukan dengan peningkatan pelatihan semata- mata, atau dengan menggunakan pendekatan kontrol, atau perubahan manajemen secara tangible, melainkan harus melibatkan ‘pemberian kesempatan’ dalam berbagai aktivitas baru pada orang-orang agar dapat mengembangkan kapabilitasnya sedemikian rupa untuk perubahan. Konsep perubaha n Senge et al tersebut memberikan arti, bahwa pemberdayaan seharusnya tidak hanya sekedar mengubah, melainkan memberikan kesempatan untuk berubah. Dalam hal ini tentunya organisasi harus memfasilitasi individu- individu dalam proses perubahan tersebut. Sala h satu yang diketengahkan oleh Senge adalah kesempatan untuk belajar. Memberikan kesempatan belajar berarti organisasi telah melakukan investasi terhadap pengembangan ide-ide baru, bakat atau kapabilitas baru yang selama ini tidak terdeteksi melalui pola interaksi yang terencana dan terarah. Secara kongkrit, pendelegasian pemikiran, kesempatan dalam pengambilan keputusan, kewenangan, dan metode bertindak, menjadi inti dari perubahan orang-orang di dalam organisasi.
42
Pemikiran-pemikiran yang terkait dengan perubahan organisasi kemudian bermunculan dalam berbagai bentuk teori maupun konsep, antara lain adalah konsepkonsep perubahan dan pengembangan organisasi (Organization Development / OD) yang mengkaitkan perubahan dengan perilaku manusia dan budaya organisasi (Beckhard,1969) kemudian konsep pembelajaran organisasi (Learning Organization) yang memandang perubahan organisasi sebagai cara untuk memberikan kesempatan pada orang-orang di dalamnya untuk meningkatkan kapabilitasnya (Senge, 1999; Maycunich,2000). Terdapat beberapa kekuatan yang menghubungkan perubahan-perubahan dalam organisasi. Dalam konsep “administrative reform” yang diketengahkan oleh Caiden (1969:4), dinyatakan bahwa perubahan dalam organisasi atau dalam masyarakat tidak terjadi dengan sendirinya, setidaknya ada 4 (empat) kekuatan yang mendorong timbulnya perubahan, yakni: (1) gerakan yang menghubungkan antara perubahan dengan lingkungan, (2) gerakan yang menghubungkan antara perubahan dengan ide- ide baru atau inovasi, (3), gerakan yang menghubungkan antara perubahan dengan penghapusan masalah- masalah sosial, dan (4) gerakan yang menghubungkan perubahan dengan sifat kecenderungan membandingkan dan mengevaluasi aktifitas-aktifitas sosial. Menurut Caiden, semua bentuk reformasi dalam organisasi merupakan bagian dari perubahan sosial. Perubahan sosial merupakan dinamika lingkungan yang sewaktu-waktu dapat mempengaruhi organisasi. Caiden lebih memaknai perubahan dalam organisasi sebagai suatu ‘reform’ yakni perubahan yang secara sengaja diciptakan, artificial atau buatan, dapat dihindari jika tidak diperlukan, dan memiliki tujuan moral (moral purpose). Sementara itu para pemerhati lingkungan organisasi mengaitkan perubahan organisasi dengan perubahan lingkungannya . Era globalisasi dan perdagangan bebas yang dikaitkan dengan kelangkaan sumber-sumber karena ketatnya persaingan dewasa ini menjadi alasan bahwa perubahan organisasi diperlukan. Daft (1992:71) mendefinisikan lingkungan sebagai : “The environment is infinite and includes everything outside the organization”. Selanjutnya, dari definisi lingkungan tersebut, Daft memberikan definisi lingkungan organisasi yakni : “As all elements that exist outside the boundary of the organization and have the potential to affect all or part of the organization. Berdasarkan konsep Daft tersebut maka stakeholders organisasi yang menjadi boundary pertama yang
43
harus diperhatikan dalam perubahan, adalah pelanggan, pegawai, manajemen, pemasok, dan pesaing. Dengan demikian apa yang dimaksud dengan perubahan organisasi itu ? Beckhard (1969, dalam Tyson dan Jackson, 2000:209)) mendefinisikan perubahan organisasi sebagai : ‘Usaha terencana, organisasi luas dan dikelola dari atas untuk meningkatkan efektifitas dan kesehatan or ganisasi melalui intervensi terencana dalam proses-proses organisasi yang menggunakan ilmu pengetahuan sosial”. Sejalan dengan konsep pemberdayaan dalam organisasi pelayanan publik, maka makna perubahan menjadi tema penting yang terkait dengan tujuan dari pemberdayaan itu sendiri. Pemberdayaan mengacu pada definisi Beckhard tersebut adalah sebagai usaha terencana untuk melakukan perubahan-perubahan dalam organisasi dan individu-individu yang ada di dalamnya melalui berbagai intervensi terencana terhadap aktivitas yang dilakukan oleh organisasi. Sebagai contoh, pemberdayaan kapabilitas dan kapasitas pegawai misalnya, pasti akan mengikutsertakan sejumlah intervensi- intervensi organisasi dalam berbagai bentuknya, apakah melalui perubahan peraturan, policy, metode, dan bahkan intervensi dalam mengubah perilaku, melalui pendidikan pelatihan misalnya. Dalam konsepnya tentang ‘Three categories of change’ (perubahan diawali dengan kemampuan struktur kewenangan, teknologi, dan perilaku), Robbins dan Decenzo lebih mengacu pada sequensial perubahan yang diawali oleh adaptasi organisasi terhadap perubahan lingkungannya. Dalam organisasi yang adaptif perubahan tersebut direspon oleh organisasi melalui hubungan kewenangan, mekanisme koordinasi, desain pekerjaan, dan kontrol, Selanjutnya perubahan struktur ini akan diikuti oleh perubahan teknologi kerja mencakup proses kerja, metode kerja, dan peralatan. Jika orang-orang dalam organisasi belum memiliki kapasitas dan kapabilitas yang sesuai dengan perubahan yang baru diadopsi, maka orang-orang ini harus diubah perilaku, sikap, harapan, maupun persepsinya. Dapat dikatakan bahwa tingkat intervensi tertinggi dalam perubahan organisasi adalah kewenangan dan policy, kemudian intervensi terhadap metode atau cara, dan terakhir adalah perilaku para pelaksananya. Dalam hubungannya dengan pemberdayaan yang mengindikasikan suatu perubahan organisasi yang terencana dan dikelola dengan memanfaatkan intervensi, muncul pertanyaan, sejauh mana perubaha n-perubahan tersebut dapat dikelola secara
44
baik dan berhasil atau bermanfaat bagi organisasi ? Linda Ackerman (1984, dalam Jick dan Peiperl, 2003:2) memaknai perubahan sebagai sesuatu yang direncanakan dan berbentuk respon atau kekuatan-kekuatan yang menekan organisasi. Dalam hal ini Ackerman menyatakan, bahwa mengelola perubahan tergantung pada macam atau jenis perubahan itu sendiri. Ackerman menyatakan sekurang-kurangnya ada 3 (tiga) macam bentuk atau tipe perubahan, yakni : (1) Development change, yakni perubahan yang berupa perbaikan ketrampilan, metode atau kondisi, guna mencapai harapan yang lebih baik. Pengelolaan tidak begitu rumit dan dapat dilakukan secara linier dari A ke B. (2) Transitional Change. Perubahan bentuk ini memerlukan step-step peruba han yang bersifat bertahap dan pelan dimulai dari menata kembali organisasi, membuat proyek contoh perubahan, dan baru mengoperasionalkannya secara penuh. Tugas manajemen menjadi kompleks karena masa transisi dari yang lama ke yang baru.dan yang terakhir adalah (3) Transformational Change. Tipe perubahan ini dikatakan sebagai tipe paling radikal, karena secara total organisasi mengubah variabel- variabel tertentu, seperti misalnya mengkonsepkan kembali visi- misi, budaya, tujuan, dan kepemimpinan organisasi secara total. Pengelolaan perubahan jenis ini diakui sangat sulit, diperlukan analisis total lingkungan organisasi, dan komitmen seluruh stakeholder-nya. Jika perubahan organisasi dapat dikelola sesuai dengan jenis – jenis perubahan sebagaimana diketengahkan oleh Ackerman tersebut, maka tidak demikian dengan perubahan perilaku manusia dalam organisasi. Perubahan yang mengacu pada peningkatan atau kontrol terhadap kinerja pegawai misalnya, sulit untuk dikelola apabila tidak disertai dengan pengetahuan terhadap kesiapan orang-orang dalam organisasi untuk berubah. Terkait dengan hal tersebut, maka kesiapan orang untuk berubah terdapat pada 2 (dua) kekuatan yang ada dalam individu-individu itu sendiri. Kekuatan tersebut meliputi pertama, pengetahuan dan ketrampilan dasar, kesadaran diri, dan toleransi terhadap ambiguitas.Bahkan ada bukti yang menyatakan bahwa tingkat motivasi dan harga diri berperan penting dalam kesiapan individu untuk berubah. Kekuatan kedua adalah berkaitan dengan sistem yang meliputi budaya dan iklim organisasi, dan konsekuensi yang dirasakan terhadap kegagalan atau keberhasilan organisasi. Gabungan faktor-faktor tersebut memberikan diskripsi mengenai rasa aman (Tyson dan Jackson 2000:237).
45
Selanjutnya Carnall (dalam Tyson dan Jackson, 2000:237) mengetengahkan, jika rasa aman tinggi atau rendah, maka respon terhadap perubahan akan banyak berupa penolakan, penekanan, ataupun distorsi. .
Robbins dan Decenzo (2001:236) menunjuk pada 3 (tiga) alasan mengapa orang
cenderung resisten terhadap perubahan. Pertama, orang-orang sering berasumsi negative terlebih dahulu terhadap perubahan, sebelum menyimak dengan baik manfaatnya. Perubahan diasumsikan sebagai yang tidak pasti (uncertainty), penuh keragu-raguan terhadap sesuatu yang belum diketahuinya karena masih baru. Kedua, sebagian besar orang-orang takut terhadap perubahan karena takut kehilangan sesuatu yang bernilai. Sebut saja kedudukan, investasi, pertemanan, kelompok, dan hal-hal lain yang bernilai bagi manusia. Ketiga, mempercayai perubahan sebagai hal yang tidak baik bagi organisasi. Orang-orang dalam organisasi secara diam-diam akan menganalisis perubahan-perubahan yang ada, dan memberikan penilaian. Hasil analisa mereka dapat negative atau positif, artinya tergantung pada kesesuaian perubahan dengan manfaatnya secara individual bagi mereka. Dalam ilmu penyuluhan pembangunan, dikenal teknik untuk menurunkan resistensi, misalnya dalam metode pembelajaran orang dewasa secara lateral, orang-orang belajar tanpa harus ‘terpaksa’, karena pendidik menempatkan secara sejajar dirinya dengan peserta didi, dengan demikian apa yang dikatakan dengan ‘kehilangan harga diri’ tidak akan terjadi. Robbins dan Decenzo (2001:237) mengetengahkan teknik -teknik penurunan resistensi sebagai berikut: (1) ketika resistensi terjadi karena kurangnya informasi perubahan, maka teknik yang sesuai adalah melalui pendidikan dan komunikasi. (2) Apabila orang-orang yang resisten memiliki keahlian untuk membuat kontribusi atau sumbangan dalam perubahan, maka teknik yang digunakan adalah partisipasi atau melibatkan orang-orang yang resisten tersebut dengan aktifitas perubahan. (3) Apabila orang-orang merasa ketakutan atau merasa terasing pada perubahan, maka teknik yang digunakan adalah memfasilitasi dan memberikan dukungan dan negosiasi bahkan ‘membeli’ komitmen mereka. (4) Apabila resistensi terjadi pada kelompok-kelompok yang memiliki kekuatan/ kewenangan, maka teknik yang digunakan adalah cooptasi, merger, atau mengajak mereka untuk bergabung atau berasosiasi. Dan yang terakhir (5)
46
ketika kelompok-kelompok yang memiliki kekuatan sulit untuk diajak kerjasama, maka teknik ‘paksaan’ berupa sanksi yang tegas dapat digunakan. Menurut Tyson dan Jackson (2000:243) , kerangka terbaik untuk mengatasi perubahan adalah memperhatikan individu dan menganalisis situasi dan pengalaman organisasi di masa lalu. Kadang-kadang perubahan besar tidak diperlukan, justru perubahan yang memerlukan perbaikan sederhanalah yang baik, perubahan yang membuat sesuatu yang sudah berjalan baik menjadi lebih baik. Jika perubahan-perubahan sederhana ini dilakukan secara terus menerus, maka kebutuhan akan perubahan besar dapat berkurang.. Greiner (dalam Tyson dan Jackson,2000) menyebut hal ini sebagai ‘struktur kebiasaan’. Namun kadang-kadang struktur kebiasaan menghambat penyesuaian terhadap perubahan. Yang terpenting menurut Greiner adalah bagaimana organisasi dapat menyiapkan umpan balik yang berguna bagi pegawai selama proses perubahan. Umpan balik dapat dirancang dan bermacam- macam dan menyangkut perilaku manajerial, seperti keamanan, dihargai ide- ide dan gagasan, kepemimpinan yang mendukung kreatifitas, demokratis, dan lain- lainnya. Dapat ditarik benang merah dari pembahasan konsep perubahan tersebut, pertama, bahwa perubahan terkait dengan suatu upaya organisasi dalam mengantisipasi dan menghadapi perubahan lingkungan. Kedua, perubahan terkait dengan pemberdayaan baik organisasi maupun individu. Perubahan yang tidak memberdayakan adalah perubahan yang tidak bermanfaat. Oleh karena itu orang-orang yang akan diubah sebaiknya diberikan kesempatan dan fasilitas untuk dapat berubah. Ketiga, perubahan menuntut kesiapan organisasi untuk berubah. Perubahan berarti memberikan kesempatan pada siapapun untuk belajar berubah, sehingga perubahan adalah suatu proses. Keempat, tidak mustahil bahwa didalam suatu perubahan akan terjadi penolakan atau resistensi. Di dalam pelayanan publik sejak era defisit anggaran tahun 1980-an, terjadi perubahan yang mendasar terhadap kuantitas dan kualitas pelayanan publik di berbagai negara. Perubahan paradigma pelayanan publik selaras dengan perubahan lingkungan dunia saat itu, di mana titik awal dan koreksi terhadap pelayanan publik dimulai. Amerika Serikat dan Inggris adalah dua negara besar yang merasakan bahwa public expenditures mereka membengkak karena besarnya subsidi pelayanan publik. Munculnya gerakan privatisasi yang dipelopori oleh Presiden Amerika Serikat Rona ld Reagan dan
47
Perdana Menteri Inggris Margareth Thacher pada tahun 1979, membawa dua implikasi perubahan sekaligus, yakni di satu sisi mengurangi beban negara dari pengeluarannya yang berupa subsidi, di sisi lain mengandung makna perubahan besar terhadap ethic dan manajerial sektor publik, antara lain munculnya perhatian terhadap pembenahan dan pembaharuan pelayanan publik yang selama ini dinilai tidak efisien dan tidak efektif, serta memiliki kinerja yang rendah. Di negara-negara berkembang, kegagalan pasar disikapi oleh pemerintah dengan peran sentral pemerintah yang dominan, segala sesuatunya ditetapkan secara ‘top-down policy’ oleh pemerintah. Pelayanan publik lebih banyak dikelola dan disediakan oleh pemerintah serta diatur dalam suatu mekanisme politik. Tangan-tangan politik dengan berbagai kepentingannya sering berada di balik berbagai macam pelayanan masyarakat. Indonesia pada jaman orde baru pernah menempatkan birokrasi pelayanan publik sebagai mesin partai mayoritas pada saat itu. Masyarakat tidak memiliki pilihan dan harus menerima kondisi monopoli pemerintah sebagai satu-satunya pemenuhan hajat hidup mereka. Kondisi ini tentu saja membawa implikasi yakni semakin resistennya birokrasi terhadap masukan dan kritikan masyarakat. Chapman dan Cowdell ( 1998:12) memperjelas hal tersebut sebagai perilaku ‘we know best’ yang merupakan sindiran bagi pemerintah yang merasa seolah paling mengetahui apa yang dibutuhkan masyarakat, dan karenanya masyarakat tidak perlu protes atau komplain. Perubahan yang dituntut masyarakat pada era tersebut seperti gayung bersambut sejalan dengan perubahan era defisit dunia. Birokrasi dituntut untuk memberikan pelayanan publik secara murni, dan harus terlepas dari kungkungan mesin politik. Munculnya gerakan privatisasi selain mengindikasikan kembalinya pasar bebas, juga merupakan kritik luas terhadap peran negara dalam pelayanan publik. Menurut para ahli, pelayanan publik memerlukan paradigma baru yang mampu membawa pencerahan, dan perubahan. Pe layanan publik diharapkan memposisikan dirinya pada lingkungan politik dan birokrasi yang tidak rigid. Walaupun untuk terlepas sama sekali adalah suatu kemustahilan, namun setidaknya ‘otonomi’ bagi sektor publik harus berjalan secara rasional dan menekanka n pada prinsip-prinsip pelayanan yang mengacu pada pemenuhan kebutuhan dan kepuasan masyarakat. Perbedaannya dengan sektor private adalah sesuatu yang tidak perlu dibahas secara mendetail – perbedaan tersebut justru memberikan warna
48
dan karakteristik khas masing- masing pelayanan – konsentrasi dapat diarahkan pada bagaimana mengadopsi ‘apa yang baik’ dari private. Ide untuk mengadopsi apa yang baik dari private tersebut pernah dikemukakan dalam bentuk pandangan yang mengarah pada ‘public-private-partnership’ dilontarkan dalam upaya untuk memperbaiki kinerja sektor publik. Osborne dan Gaebler (1992) dalam bukunya yang sangat terkenal yakni “Reinventing Government”, menawarkan suatu perubahan yang mencakup policy level, design organisasi dan peraturan kerangka kerja yang mengacu pada organisasi sektor publik yang responsive dan memberdayakan masyarakat. Dalam paradigma ini ada beberapa credo yang mengubah budaya kerja pemerintah, antara lain, pemerintahan katalis yang lebih mengarahkan katimbang mengayuh, pemerintahan yang lebih desentralistis, pemerintahan yang kompetitif, pemerintahan yang berorientasi pelanggan, pemerintahan yang digerakkan oleh misi, pemerintahan yang wirausaha, pemerintahan yang antisipatif, pemerintahan yang dimiliki oleh masyarakat, dan pemerintahan yang berorientasi pasar. Beberapa tahun kemudian hingga saat ini, pandangan ini dengan cepat diadopsi oleh beberapa negara berkembang termasuk Indonesia. Reinventing government dengan cepat digunakan sebagai conceptual framework pada berbagai proposal proyek-proyek pembangunan pemerintah dan menempati
silabi
beberapa
mata
kuliah
manajemen
publik
dan
administrasi
pembangunan Pada aspek lain, perubahan juga nampak pada ditawarkannya suatu paradigma yang mengacu pada prinsip -prinsip dari “New Public Sector Marketing” , Chapman dan Cowdell (1998), Nutley dan Osborne (1994), adalah nama- nama spesialis yang mengetengahkan pandangan baru yang mengubah pandangan tradisional pelayanan publik terhadap pemasaran barang-jasa publik, terutama disesuaikan dengan tuntutan pasar yakni demand dari masyarakat. Menurut para pakar tersebut, ke depan perubahan marketing sektor publik akan mempengaruhi filosofi dan fungsi pelayanan publik, dan selanjutnya akan mengembangkan suatu pemahaman yang jelas tentang kebutuhan, keinginan, dan aspirasi para pemilih. Selama ini terdapat pandangan yang salah terhadap pasar, dan lebih sering dihubungkan dengan dunia profit- making business – memang pada kenyataannya hampir seluruh konsep marketing ditulis dan ditujukan bagi dunia bisnis – sementara tidak disadari bahwa proses pertukaran yang dikontrol oleh supply dan
49
demand dalam pasar sesungguhnya juga mencakup sektor publik yang juga adalah bagian dari ekonomi. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Chapman dan Cowdell (1998:31) sebagai berikut: “Used in this way, references to ‘the market’ have been mainly associated with the world of profit-making business. Indeed, the bulk of available literature on marketing has been written from the business, profit-making perspective. However, the market defines the relationships between supply and demand in any sector of the economy, and is therefore a key social institution. Society only endorses those institutions which serve its needs, and the process of exchange is a central one”. Kegamangan terhadap marketing sangat dapat dimengerti mengingat konsep marketing sendiri lebih melekat di sektor bisnis. Setidaknya diperlukan perubahan cara pandang terhadap pemasaran. Secara filosofis, marketing akan lebih ‘mendekatkan’ provider – consumer (citizen), karena selama ini diketahui bahwa pandangan sektor publik yang jauh dari masyarakat sesungguhnya sangat tidak menguntungkan sektor publik sendiri, antara lain menjauhnya partisipasi dan kontrol masyarakat. McKevitt (1998:38) menyinggung perihal pendekatan marketing dalam publik sektor sebagai berikut : “Service marketing has, in its strategic objectives, obvious resonance for the management of public services – that is, the creation and maintenance of a valued relationship with the citizen-client. For example, customer complaints in the private sector are an important source of management data for the improvement of service quality ; the traditional public sector attitude has been to ignore complaints from service recipients, that is, citizens”. Jelas sudah bahwa melalui pendekatan marketing juga diharapkan muncul suatu nilai- nilai yang menghargai konsumen, dalam hal ini masyarakat sebagai warga negara. Sebagaimana diketahui bahwa di dalam sektor publik, masyarakat sebagai warga negara tidak memiliki ‘kedudukan’ yang sama dengan konsumen pada sektor private. Pada faktanya masyarakat tidak memiliki pilihan dalam mengkonsumsi barang-jasa publik. Preferensi masyarakat disalurkan mela lui haknya sebagai pemilih (voter), sedangkan supplay dan demand terjadi dalam suatu proses politik. Demikian pula dalam mekanisme harga, masyarakat tidak bersentuhan langsung sebagaimana dalam pasar private. Kondisi tersebut menyebabkan sektor publik menjadi sangat dominan dalam perannya sebagai
50
public producer maupun provision. Dominasi sektor publik tersebut bahkan tercermin pada resistensinya terhadap komplain dan kritikan masyarakat Perilaku ini sesungguhnya tidak boleh terjadi bila sektor publik ingin menghindari sindiran ‘we know what is best practice’, yang mengindikasikan seolah-olah pemerintah adalah satu-satunya pihak yang paling mengetahui apa yang diharapkan dan dibutuhkan oleh masyarakat. Perubahan radikal pada tahun 1980-an yang dipelopor i oleh Margaret Thatcher (mantan Perdana Menteri Inggris) melalui privatisasi beberapa pelayanan publik, bertujuan mendudukkan warga negara seperti ‘the customer is king’ atau ‘the customer always right’. Gebrakan lainnya yang meramaikan khasanah pelayanan publik adalah paradigma kualitas layanan (service quality – sering disingkat servqual), adalah pengukuran kinerja melalui kepuasan pelanggan. Level pelayanan yang menghadapkan secara langsung antara pemberi layanan dengan masyarakat pengguna layanan (front line) kali ini menjadi fokus utama dalam servqual yang diujikan pada sejumlah pelayanan private dan publik di New Zealand dan Inggris. Keampuhan kualitas pelayanan terhadap kepuasan pelanggan merupakan hasil penelitian Zeithaml, Berry, dan Parasurama n (1990) yang membuktikan betapa kinerja aparat ujung tombak memegang peranan penting dalam mengantarkan suatu pelayanan yang berkualitas. Kinerja aparat pemberi layanan juga termasuk bagaimana mereka dapat memahami pelanggan, menangkap keinginan dan harapan pelanggan, serta memberikan yang terbaik pada pelanggan. Kesenjangan antara ‘harapan’ dan ‘kenyataan’ yang dirasakan oleh pelanggan menjadi titik awal bagi perbaikan suatu pelayanan . Setidaknya ada 5 (lima) gap dalam servqual, dimana gap ke lima bermuara pada 5 (lima ) dimensi kualitas layanan, yakni tangible, realibility, responsiveness, assurance dan empathy (Zaithaml, et al, 1990 hal 131). Pelajaran yang dapat dipetik dari perkembangan paradigma pelayanan publik tersebut adalah, pertama, setelah era defisit, konsep pelayanan publik mulai mengalami perubahan terutama pada teknik manajerial dengan mengadopsi teknik manajerial privat.(Osborne dan Gaebler,1998 ; Chapman dan Cowdell, 1998 ; Farnham dan Horton, 1993) Kedua, konsentrasi perubahan lebih cenderung pada peningkatan kualitas level frontline.(Zeithaml et al,1990 ; Mckevitt, 1998 ; Lovelock,1990) Ketiga, gerakan peningkatan kinerja birokrasi pelayanan publik nampak gencar dipromosikan (Savas,
51
1990 ; Osborne dan Gaebler, 1998, Moore, 1995, Walters, 1993 ).Keempat, nampak perhatian terhadap partisipasi dan pemberdayaan masyarakat pengguna, namun belum sepenuhnya memperoleh tekanan.yang berarti ( Moore,1995 ; McKevitt 1998).
Tinjauan Konsep Pemberdayaan
Turbulensi lingkungan yang semakin cepat menuntut pelayanan publik di bidang kesehatan juga semakin cermat melakukan perubahan-perubahan. Proses perubahan yang memberikan kesempatan untuk belajar dan memfasilitasi perubahan merupakan upaya pemberdayaan. Apakah batasan sua tu pemberdayaan itu ? Sebagian dari masalah memahami dan mengimplementasikan pemberdayaan adalah kesulitan mendefinisikan secara tepat makna pemberdayaan itu sendiri. Definisi tentang pemberdayaan hingga saat ini masih beragam, sebagian menganggap pemberdayaan adalah suatu cara atau alat, dan sebagian lagi menganggap pemberdayaan sebagai proses dan tujuan. (Clutterbuck dan Kernaghan, 2003:3). Stewart dalam rangka menjelaskan arti empowerment, menyatakan bahwa ketika orang membicarakan tentang pemberdayaan organisasi maupun para pegawai, yang pertama dipikirkan adalah asumsi bahwa kondisi organisasi dan pegawai mereka saat ini tidak atau kurang berdaya. Kata ‘berdaya’ erat kaitannya dengan kata ‘power’, artinya orang yang memiliki ‘daya’ adalah orang yang memiliki ‘power ’. Sangat berbeda dengan authority yang secara esensial diartikan sebagai suatu hak, power mengandung arti ‘kemampuan’ atau ‘kemampuan untuk melakukan sesuatu’. Para pimpinan organisasi barangkali memiliki hak (authority) untuk memerintah bawahannya melakukan suatu pekerjaan, akan tetapi tidak cukup hanya itu, diperlukan pula power atau kemampuan agar perintahnya tersebut ditaati dan dilaksanakan dengan baik bahkan memperoleh hasil sebagaimana yang diharapkan, misalnya dengan ancaman, sanksi atau penghargaan (role power), dengan keahlian memerintah dan memimpin (expert power), dengan menggunakan sarana atau sumber-sumber untuk mendukung pelaksanaan pekerjaan, seperti materi, uang, alat-alat dan sebagainya (resource power). Empowerment dengan demikian adalah sebagai suatu cara yang produktif dan praktis dalam mencapai yang terbaik dari para pegawai dalam organisasi (Steward, 1994:6) 52
Whetten, et al (2000:405-407) menjelaskan bahwa pemberdayaan memiliki sederetan makna yakni antara lain, bahwa pemberdayaan menolong orang lain untuk mengembangkan harga diri mereka (to help people develop a sense of self-worth), pemberdayaan juga berarti untuk mengatasi penyebab kehilangan kewenangan (to overcome causes of powerlessness), pemberdayaan juga berarti memberikan energi pada orang lain untuk melakukan aktifitas (to energies people to take action), pemberdayaan juga berarti memobilisasi faktor-faktor rangsangan intringsik dalam pekerjaan (it means to mobilize intrinsic excitement factors in work ), dan akhirnya pemberdayaan juga berarti menyempurnakan suatu tugas. Clutterbuck dan Kernaghan (2003:3) mendefinisikan pemberdayaan sebagai upaya menemukan cara-cara baru untuk memusatkan kekuasaan di tangan orang-orang yang paling membutuhkan untuk melaksanakan pekerjaannya. Pemberdayaan juga berarti pendelegasian tanggung jawab atas pembuatan keputusan sampai sejauh mungkin di bawah lini manajemen. Pemberdayaan juga berarti peralihan kekuasaan secara terkendali dari manajemen ke karyawan untuk mencapai tujuan jangka panjang. Pemberdayaan juga mengandung makna sebagai upaya menciptakan kondisi dan situasi di mana orang-orang bisa menggunakan kualitas-kualitas dan kemmapuan-kemampuan mereka di tingkat maksimum. Ditinjau dari sejarah penggunaan dan pemahaman kata ‘empowerment’ , Whetten, dan kawan-kawan menyatakan bahwa istilah pemberdayaan bukan istilah baru sebagaimana dikenal secara populer pada gerakan pemberdayaan tahun ’80-an hingga ’90-an. Makna pemberdayaan dengan berbagai konteks ya ng melatarbelakanginya, kadang-kadang menyebabkan artinya menjadi rancu dan membingungkan. Dengan mengetahui maknanya dalam berbagai disiplin, maka diharapkan orang akan dapat menggunakan
arti
pemberdayaan
secara
tepat.
Berikut
ini
sederetan
makna
pemberda yaan dalam evolusi dari beberapa disiplin, antara lain psikologi. Sosiologi, dan theologi. Pertama, dalam disiplin psikologi, pemberdayaan diartikan sebagai ‘effectance motivation’ , yakni suatu motivasi intrinsic yang membuat sesuatu terjadi (White, 1959, dalam Whetten et al, 2000: 406). Selain itu juga berarti ‘psichological reactance’ yang mengacu pada pencarian kebebasan dari hambatan-hambatan.
53
Kedua, dari disiplin ilmu sosiologi. Pemberdayaan mempunyai pengertian mendasar sebagai ‘rights movement’, di mana orang-orang mengkampanyekan kebebasan dan kontrol terhadap lingkungan mereka sendiri (Solomon, 1976, Bookman dan Morgan, 1988, dalam Whetten et al, 2000), atau masalah- masalah perubahan sosial yang pada dasarnya dipusatkan pada pemberdayaan kelompok atau orang-orang (Marx, 1844, Alinski, 1971, dalam Whetten, et al, 2000). Ketiga, dari disiplin theologi, yang memperdebatkan pemberdayaan dengan ‘helplessness’, kemudian menekankan pemberdayaan terhadap penentuan nasib sendiri, dan terlepas dari belenggu kontrol kekuatan yang lain yang lebih dominan ( Freire dan Faundez, 1989, dalam Whetten et al, 2000). Keempat, dari literatur manajemen, konsep pemberdayaan kemudian dikenal melalui evolusi manajemen itu sendiri, misalnya pada tahun 1950-an aliran ‘human relations’ memperkenalkan pemberdayaan sebagai penggambaran sebuah pendekatan yang bersahabat antara kelompok manajer dengan para staf. Tahun 1960-an pemberdayaan digambarkan sebagai keharusan para manajer untuk secara sensitif merasakan kebutuhan dan motivasi terhadap pegawai, serta melibatkannya dalam berbagai pelatihan yang terkait dengan hal tersebut. Pada tahun 1970-an, peta pemberdayaan telah mengarah pada keinginan dan minat para pimpinan untuk lebih jauh menolong para pegawai mereka khususnya dalam keterlibatan menentukan tujuan organisasi. Tahun 1980-an , pemberdayaan dimaknai sebagai pemberdayaan team kerja yang mengacu pada siklus kualitas dan kinerja. Tahun 1997 hingga saat ini , dengan berbagai variasinya, pemberdayaan dimaknai sebagai kemampuan untuk memberdayakan pegawai dan organisasi. Ditinjau dari dimensi-dimensinya, Whetten dengan melengkapi pendapat Spreitzer (1992) dan Mishra (1992) menyatakan bahwa pemberdayaan individu memiliki 6 (enam) dimensi, yakni, pertama, self – esteem, yakni bahwa orang-orang yang diberdayakan memiliki harga diri, artinya pemberdayaan akan lebih meningkatkan bukan malah menurunkan harga diri mereka. Kedua, self-efficacy, yakni bahwa ketika orangorang
diberdayakan, mereka sesungguhnya merasa memiliki kompetensi diri, jadi
pemberdayaan tidak hanya menambah atau meningkatkan kompetensi mereka, namun juga meningkatkan kepercayaan diri mereka terhadap kompetensi yang dimilikinya.
54
Ketiga, self-determination, bahwa pemberdayaan harus meningkatkan kemampuan orang-orang yang diberdayakan untuk mampu menentukan pilihan sendiri, dalam arti menentukan inisiatif, dan berbagai aktifitas yang berhubungan dengan tugas-tugas mereka. Keempat, personal control, bahwa pemberdayaan harus mempu meningkatkan kemampuan orang-orang untuk mengontrol sendiri segala sesuatu yang merintangi atau menghambat pekerjaan mereka. Kelima, meaning, yang berarti bahwa orang-orang yang diberdayakan memiliki suatu perasaan bahwa dirinya memiliki arti dan memiliki nilainilai yang sejalan dengan tujuan organisasi, sehingga pemberdayaan berarti dukungan melalui kesempatan, peluang dan arahan agar keberartian mereka semakin meningkat. Keenam, ‘trust in other people’. Dimensi yang satu ini erat kaitannya dengan prinsipprinsip keadilan dan kejujuran. Pemberdayaan tidak boleh mengandung arti sebagai ‘pemanfaatan’ terhadap satu sama lain, melainkan memberikan makna keamanan dan kenyamanan karena hak- hak satu sama lain saling dihargai melalui satu kata yakni ‘kepercayaan’ Apapun makna dibalik pemberdayaan, perlu digarisbawahi bahwa
pentingnya
pemberdayaan antara lain berkiblat pada, pertama, kecepatan perubahan yang semakin tinggi, turbulensi lingkungan organisasi, cepatnya respon persaingan, akselerasi permintaan-permintaan pelanggan yang menuntut kecepatan dan fleksibelitas tanggapan yang tinggi. Kedua, perubahan lingkungan membawa implikasi pada perubahan organisasi, dimana organisasi harus membuat penyesuaian-penyesuaian agar tetap eksis. Metodemetode tradisional berupa koordinasi dan kontrol yang ketat dipandang sudah tidak sesuai lagi. Upaya mencapai kinerja dalam kondisi yang baru menuntut seluruh komponen organisasi menjadi berdaya. Ketiga, dewasa ini hampir tidak ada organisasi yang bekerja tanpa tuntutan bekerja secara lintas fungsi dan lintas sektoral. Kerjasama seperti itu hanya dapat dilakukan melalui pemberdayaan yang tepat di semua lini organisasi (Obaldeston, dalam Clutterbuck dan Kernaghan, 2003:15) Sejalan dengan hal tersebut, Jenkins (1996:39) kemudian memberikan tekanan bahwa kunci pemberdayaan adalah membuat suatu perubahan, yakni perubahan perilaku
55
organisasi maupun persepsi para anggota organisasi termasuk pimpinan. Pandangan Jenkins tersebut tidak lain bertumpu pada konsep ‘human resources’ , dimana manusia dalam organisasi dipandang sebagai ‘asset’ yang penting dan perlu secara terus menerus diberdayakan dan diarahkan perilakunya agar tujuan organisasi tercapai secara optimal. Dengan memiliki penekanan yang sama, perspektif penyuluhan pembangunan juga memandang pemberdayaan sebagai bagian perubahan perilaku manusia atau masyarakat sasaran, sebagaimana diketengahkan oleh Slamet (2003, hal. 45) : “Bagaimana membuat masyarakat mampu membangun dirinya sendiri. Mampu, berdaya, tahu, mengerti, paham, termotivasi, berkesempatan melihat peluang, dapat memanfaatkan peluang, berenergi, mampu bekerja sama, tahu berbagai alternatif, mampu mengambil keputusan, berani menghadapi resiko, mampu mencari dan menangkap informasi, dan mampu bertindak sesuai situasi.” Benang merah yang dapat ditarik dari berbagai konsep pemberdayaan tersebut adalah ‘perubahan perilaku’, baik perilaku individu- individu dalam organisasi maupun perilaku organisasi atau sistem. Apapun makna pemberdayaa n, jika berkaitan dengan perubahan, pengembangan, atau perbaikan, maka dapat dipastikan akan diikuti dengan perubahan perilaku individu maupun sistem. Cara atau upaya yang ditujukan untuk mendorong sesuatu agar berubah tidak akan ada gunanya ketika tidak diikuti dengan perubahan perilaku, bagaimanapun organisasi digerakan oleh manusia. Kegagalan untuk mengenal respon individual terhadap pemberdayaan akan membuahkan kegagalan pemberdayaan itu sendiri (Clutterbuck dan Kernaghan, 2003:163-7). Mengacu pada konsep perubahan maupun konsep pemberdayaan yang telah diuraikan tersebut, maka makna pemberdayaan dalam pelayanan publik khususnya di bidang kesehatan adalah terkait erat dengan upaya-upaya organisasi dalam merespon perubahan lingkungannya dan melakukan perubahan secara internal. Secara konseptual, respon organisasi pelayanan publik terhadap perubahan lingkungannya tidak secepat respon organisasi private bisnis. Osborne dan Gaebler (1998:23) menyatakan, bahwa pemerintahan dan bisnis adalah dua lembaga yang berbeda secara mendasar. Bisnis didorong untuk motif keuntungan, sedangkan pemerintah untuk motif bisa dipilih kembali. Bisnis memperoleh sebagian
56
besar uang dari pelanggannya, sedang pemerintah dari pembayar pajak Bisnis berada pada domain kompetisi, sedangkan pemerintah ada pada domain politik dan monopoli. Berdasarkan karakteristik inilah maka organisasi pelayanan publik sulit untuk berkembang, karena tidak terdapat motivasi yang mendorong perubahan. Di sektor privat, masalah efisiensi, efektifitas, dan kualitas adalah suatu keharusan. Hal tersebut karena tuntutan lingkungan, di mana pesaing, pelanggan dan stakeholder dapat sewaktu-waktu mengancam hidup dan matinya bisnis mereka. Ketergantungan yang
tinggi
terhadap
pelanggan,
menyebabkan
sektor
bisnis
memperlakukan
pelanggannya bak raja, dan menjaga kualitas service delivery mereka. Kinerja mereka dihubungkan dengan kepuasan pelanggan, peningkatan produktifitas dan keuntungan. Sementara nilai-nilai tradisional yang dihubungkan dengan pelayanan publik sering menekankan pada stabilitas, segala sesuatunya seolah dapat diprediksikan, kontinuitas, dan kepastian. Nilai- nilai tersebut mempengaruhi pelayanan publik yang digambarkan tertutup dan sangat birokratik. Lingkungan politik juga ikut mempengaruhi pelayanan publik, antara lain dalam pricing controls, di mana penetapan harga layanan ditentukan melalui mekanisme politik (Eliassen dan Kooiman,1993 ; Farnham dan Horton,1995; Leach-Steward dan Walsh,1994). Sementara itu beberapa ahli menyoroti perihal ‘perilaku birokrasi’ pelayanan publik. Munculnya budaya korupsi, kolusi dan nepotisme di tubuh organisasi pemerintah semakin menambah beban berat terhadap citra pelayanan publik. Di negara-negara miskin atau negara-negara berkembang, umumnya gaji pegawai negeri memang tidak cukup untuk menyambung hidup. Hal ini karena pemerintah tidak mampu menggaji pegawainya secara layak. Karena itu, gaji yang rendah sering dilihat sebagai penyebab korupsi, setidak-tidaknya korupsi kec il-kecilan, jika tidak di seluruh sistem. Namun jawaban untuk hal ini jauh lebih rumit dari pada sekedar menaikkan gaji. Demikian diungkapkan oleh Pope (2003:18). Selain masalah formula kompensasi yang kurang memadai, masalah juga muncul pada pengukuran out put birokrasi yang sulit. Sementara itu masalah monopoli juga menjadi penghalang bagi terciptanya sistem yang kompetetitif dan pada akhirnya akan bermuara pada rendahnya mutu layanan.
57
Menjadi krusial kemudian untuk mempertanyakan dari mana tepatnya suatu pemberdayaan harus dimulai ?. Karena pemberdayaan adalah suatu perubahan yang artificial, dan terencana, maka memerlukan starting point untuk mengetahui dari mana arah pemberdayaan akan dimulai. Pemberdayaan dapat dilakukan dengan efektif bila terlebih dahulu diketahui tingkat kinerja dari organisasi yang akan diberdayakan. Artinya bahwa hasil pengukuran kinerja dapat dijadikan sebagai pedoman untuk menentukan model pemberdayaan yang tepat. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Clutterbuck dan Kernaghan (2003:16), dan Berman et al (2001:334). Terkait dengan hal tersebut, maka konsep kinerja perlu untuk diketengahkan pada bagian berikut ini.
Konsep dan Pengukuran Kinerja Peningkatan dan perbaikan indikator kinerja pada pelayanan pub lik saat ini menjadi tolak ukur bahwa kesulitan yang dihadapi pelayanan publik dalam pengukuran kinerja tidak berarti mengendurnya upaya kearah peningkatan kinerja yang baik Hughes (1994:207) mengungkapkan bahwa : “Performance indicators become a new movement within the public services with the express aim of finding out how hard government activity was to measure”. Kinerja didefinisikan secara beragam. Para ahli manajemen kinerja menyatakan bahwa konsep kinerja bersifat multidimensional, artinya memiliki berbagai macam pengukuran dari berbagai dimensi kinerja yang ada. Begitu pula faktor-faktor yang mempengaruhinya, juga penting untuk diperhatikan apakah tujuan pengukuran adalah untuk menilai kinerja hasil atau perilaku hal tersebut sebagaimana diungkapkan Bates dan Holton (1995, dalam Armstrong dan Baron,1998:15), bahwa: “Performance is a multi-dimensional construct, the measurement of which varies, depending on a variety of factors. They also state that it is important to determine whether the measurement objectives is to assess performance outcomes or behaviour”. Sejalan dengan pemikiran Bates dan Holton, Campbell (1990, dalam Armstrong dan Baron, 1998:16), menyatakan bahwa kinerja adalah perilaku (behaviour) dan harus dibedakan dengan hasil (outcomes), sebab hasil telah dipengaruhi oleh faktor-faktor dalam sistem.
58
Rothwell, et al (2000: 1-2) menyatakan pada kalimat awal dibukunya, bahwa kinerja dapat menjadi suatu konsep yang ‘elusive’ artinya sulit untuk dicari kesamaan pemahamannya. Artinya, bahwa konsep atau pendefisinian kinerja sering digunakan secara rancu dengan konsep ‘behaviour’, melalui cara yang sederhana, kinerja dirumuskan sebagai hasil akhir, dan perilaku adalah alat untuk mencapai hasil akhir tersebut. Menurut Rothwell dan kawa n-kawan, hal tersebut tidak sepenuhnya benar. Seorang yang sangat rajin dan sangat loyal pada organisasi serta berpengalaman, dapatkah dijamin bahwa kinerjanya akan lebih baik dari yang lain ? Fokus utama dalam kinerja individual menurut Rothwell dan kawan-kawan adalah bagaimana mereka dapat mencapai hasil terbaik (accomplishments), sedangkan perilaku menjadi penekanan kedua. Benang merah dari ragam batasan kinerja yang dikemukakan para ahli tersebut adalah, bahwa kinerja dapat diukur baik secara individual, yakni melalui hasil perilaku individu dalam organisasi, maupun secara organisasional, yakni melalui hasil yang dapat dicapai oleh organisasi. Dengan demikian juga dapat dikatakan bahwa kinerja individu adalah bagian dari kinerja organisasi. Penekanan individual disini dimaksudkan mengacu pada kinerja para pegawai, atau ‘the workers’ di dalam organisasi. Berdasarkan pemahaman tersebut, maka kinerja pegawai sesungguhnya menjadi dasar atau fondasi keberhasilan organisasi, hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Rosen (1993:42) yang menggarisbawahi pentingnya kinerja pegawai sebab : “At the foundation of the organizational triangle are the workers who actually produce and deliver public services” Rumusan kinerja organisasi akan semakin jelas jika menyimak konsep kinerja Brumbrach (1988, dalam Armstrong dan Baron, 1998:16) berikut ini: “Performance means both behaviours and results. Behaviour emanate from the performer and transform performance from abstraction to action. Not just the instruments for results, behaviours are also outcomes in their own right – the product of mental and physical effort applied to task – and can be judged apart from results” . Rumusan Brumbrach tentang kinerja tersebut membawa pada pemahaman bahwa kinerja mencakup baik perilaku dan hasil. Armstrong menyebut pandangan ini sebagai ‘mix-model’ dimana perilaku (behaviour) dipertimbangkan sebagai ‘input’ dan hasil
59
(results) sebagai ‘output’. Hal serupa juga diketengahkan oleh Swanson (1999, dalam Gilley dan Maycunich, 2000:180) Namun demikian, “Performance is not only about what is achieved but also about how it is achieved”. Demikian pendapat Armstrong dan Baron (1998:8) , yang berarti bahwa masalah kinerja harus ditangani secara profesional melalui manajemen kinerja yang dapat mengarahkan berbagai konteks kinerja yang ada, apakah hal tersebut berkaitan dengan penetapan indikator (indicator of performance), pengukurannya (performance measurement), evaluasi (performance evaluation), maupun pengembangan (performance development) dan perbaikan kinerja (performance improvement) . Mengapa kinerja penting bagi pelayanan publik ? Dalam pelayanan publik kinerja terkait dengan sistem akuntabilitas publik. Konsep akuntabilitas adalah pertanggung jawaban sektor publik terhadap masyarakat yang dilayaninya (Wilson dan Hinton, 1993:123) Dalam sektor publik dikenal beberapa konsep akuntabilitas, antara lain adalah, akuntabilitas
politik,
akuntabilitas
manajerial,
akuntabilitas
legal,
akuntabilitas
konsumen, dan akuntabilitas profesional (Lawton dan Rose, 1991, dalam Wilson dan Hinton, 1993:126). Akuntabilitas politik (political accountability) berkaitan dengan pertanggung jawaban terhadap pemberi otoritas atau kewenangan secara terstruktur dalam politik. Dalam hal ini misalnya seorang menteri bertanggung jawab terhadap presiden, selanjutnya presiden bertanggung jawab terhadap parlemen. Akuntabilitas politik juga mencakup berbagai issue yang terkait secara konstitutional, misalnya masalah kesejahteraaan, keadilan, subsidi, dan sebagainya. Dalam hubungannya dengan pelayanan publik, akuntabilitas politik berarti pertanggungjawaban terhadap mandat yang diterima dari rakyat untuk menyelenggarakan pelayanan bagi rakyat (Day dan Klein,1987, dalam Wilson dan Hinton, 1993:126). Akuntabilitas manajerial berhubungan dengan manajemen kinerja atau penilaian terhadap kinerja maupun audit terhadap pelaksanaan suatu kewenangan yang telah didelegasikan dalam suatu tugas pelayanan publik yang mencakup akuntabilitas fiskal secara rutin, akuntabilitas terhadap proses atau efisiensi, dan akuntabilitas terhadap efektifitas program. Metcalfe dan Richard (1990) kemudian menyatakan bahwa akuntabilitas manajerial banyak diaplikasikan dalam sektor publik. Di Inggris hal ini
60
cenderung kearah desentralisasi inisiatif manajemen keuangan yang diciptakan oleh pemerintahan Thatcher pada tahun 1982. Akuntabilitas legal dan administratif biasanya berhubungan dengan akuntabilitas politik. Istilah legal disini melebihi ‘mandat’, karena kewenangan yang diterima adalah berdasarkan hukum dan aturan yang ada. Sedangkan akuntabilitas administratif memiliki arti yang lebih luas, Peters (1984:241) menekankan pada kontrol birokrasi, termasuk diantaranya adalah tugas dan peran para pegawai pelayanan publik yang mengacu pada tanggung jawab administratif. Akuntabilitas konsumen adalah mengacu pada konteks pertanggungjawaban terhadap para pengguna pelayanan publik termasuk dalam hal ini pelaksanaan dari pada berbagai prosedur penggunaan komplain, praktik -praktik maladministration, dan ombudsman. Dengan kata lain bahwa responsiveness dari pelayanan publik terhadap masyarakat adalah menjadi ukuran akuntabilitas pelayanan publik. (Lawton dan Rose, 1991:21) Tipe akuntabilitas yang terakhir adalah akuntabilitas profesional, yakni pertanggungjawaban pelayanan publik secara profesional, mencakup profesionalisme para pegawainya, profesionalisme pelayanan, dan penanganan klaim. Dalam arti bahwa karakteristik profesionalisme dalam pelayanan publik harus terdapat didalam ukuran kinerja akuntabilitas profesional. Karakteristik profesional tersebut oleh Metcalfe dan Richard (1990 :124) mencakup antara lain, kepemilikan suatu ‘badan’ yang mencerminkan
kekhususan
yang
terstandarisasi,
terlihat
pada
pelatihan
yang
bersertifikasi, otonomi dalam bidang keahlian, kontrol terhadap pengantaran pelayanan, kode etik dan standard aturan yang jelas, dan menekankan pada kompetensi dan etik perilaku Ingraham dan Romzek (1994 : 269) memberikan karakteristik terhadap tipologi akuntabilitas berdasarkan pada ‘sumber pengawasan’ dan ‘tingkatan pengawasan’. Dimensi sumber pengawasan biasanya berhubungan dengan dari mana suatu pengawasan berasal, misalnya apakah eksternal atau internal. Pengawasan internal biasanya ada di dalam agen-agen pelayanan publik itu sendiri, sedangkan pengawasan eksternal berada diluar agen pelayanan publik. Sedangkan tingkatan pengawasan berhubungan dengan tinggi atau rendahnya suatu pengawasan. Kombinasi dua dimensi tersebut menghasilkan
61
4 (empat) model akuntabilitas yakni, pertama, akuntabilitas berdasarkan mekanisme birokratik yang bercirikan sumber pengawasan internal karena lebih menekankan efisiensi, dengan tingkat pengawasan tinggi yang menekankan pada aturan, prosedur, dan standard operasional yang rigid. Kedua, Akuntabilitas legal, kombinasi dari sumber pengawasan berasal dari eksternal (auditor, atau lembaga peradilan) dan tingkatan pengawasan yang tinggi melalui monitoring secara berkala dan menekankan pada rule and law. Ketiga, akuntabilitas profesional, yang dicirikan oleh tingkatan pengawasan yang rendah dengan penekanan pada konsep keahlian, profesionalism yang telah diatur dalam suatu kode etik, serta sumber pengawasan dari internal. Keempat, adalah akuntabilitas politik, yakni bercirikan
sumber pengawasan eksternal (pemilih, voter,
constituent,) dan tingkatan pengawasan yang rendah karena lebih memberlakukan nilainilai responsiveness Penilaian terhadap kinerja juga mencakup penilaian kinerja yang terfokus pada sumber daya manusia atau kinerja individu. Khasanah manajemen kinerja yang berkaitan dengan perbaikan kinerja sumber daya manusia, banyak dibahas dalam konteks ‘Human Performance Improvement’ (HPI). American Society for Training and Development (ASTD, 1992, dalam Rothwell, et al, 2000:10) yang memberikan batasan HPI “sebagai suatu pendekatan yang sistemik untuk menganalisis, memperbaiki, dan mengelola kinerja individual di tempat kerja melalui penggunaan intervensi yang bermacam-macam dan sesuai”. Hampir sama denga n ASTD, Harless (1992, ibid:10), mendefinisikan HPI sebagai “proses analisis, desain, pengembangan, testing, implementasi, dan evaluasi dari intervensi yang sesuai terhadap kinerja SDM yang sepantasnya”. Secara lebih lengkap Rothwell (1996, ibid:10) mendefinisikan HPI “sebagai suatu proses yang sistematik dari pengenalan dan penganalisisan kesenjangan-kesenjangan kinerja SDM yang penting, perancangan dan pengembangan dengan pembiayaan yang effective dan intervensi secara etik terhadap bagaimana caranya menutup kesenjangan-kesenjangan tersebut, kemudian mengimplentasikan intervensi, dan mengevaluasi hasilnya baik secara finansial maupun non- finansial”. Rothwell, et al (2000:44-45) menyatakan kesenjangan atau gap kinerja merupakan perbedaan antara tingkatan kinerja saat ini dengan tingkatan kinerja yang diinginkan
62
Rumusannya adalah : Desired Performance – Current Performance = Performance Gap or Discrepancy Dari beberapa definisi HPI nampak bahwa perbaikan kinerja SDM adalah amat penting dalam organisasi. Gilley dan Maycunich (2000:182) menyatakan bahwa HPI dapat menyediakan pendekatan-pendekatan untuk mengatasi permasalahan-permasalahan kinerja melalui analisis permasalahan yang menyentuh keakarnya. Pendekatan system yang digunakan memungkinkan menganalisis elemen-elemen yang saling terkait dengan penyebab kesenjangan kinerja individual/ SDM. Rothwell (1996:32) menyatakan bahwa pendekatan system memandang organisasi sebagai system yang terbuka yang dengan demikian tergantung pada sukses tidaknya interaksi organisasi dengan lingkungannya. Rothwell juga mengidentifikasikan bahwa setidaknya ada 4 (empat) macam lingkungan yang menurutnya dapat membantu menemukan upaya-upaya perbaikan kinerja SDM. Lingkungan tersebut yakni: (1) Lingkungan organisasional, yakni sinonim dengan suprasistem atau segala sesuatu yang ada di lingkungan eksternal organisasi. (2) Lingkungan kerja, yakni segala sesuatu yang ada didalam organisasi atau disebut lingkungan internal organisasi. (3) Pekerjaan itu sendiri, dimana terjadi proses input ditransformasikan menjadi output, dan yang terakhir adalah, (4) Pekerja atau individuindividu atau SDM yang akan dinilai hasil pencapaian kinerjanya. Selain itu, Gilley dan Maycunich (2000:199) mengingatkan bahwa kegagalan HPI selama ini dikarenakan terabaikannya beberapa prinsip-prinsip penting oleh para pimpinan organisasi. Prinsip -prinsip tersebut adalah: (1) keterhubungan antara kinerja dengan penghargaan/reward. Para pegawai gagal mewujudkan peningkatan kinerja mereka sebab mereka merasa bahwa pimpinan tidak menghargai dan menghubungkan pencapaian kinerja terbaik mereka dengan reward atau penghargaan. Para pimpinan menunda-nunda, mengelak, bahkan mengambil waktu yang sangat panjang untuk urusan reward ini, sehingga pegawai menjadi tidak percaya dan menganggap peningkatan kinerja mereka tidak ada hubungannya sama sekali atau tidak ada implikasinya dengan penghargaan
yang
seharusnya
diterima.
Pandangan
ini
disebut
sebagai
performance/reward disconnect. (2) Prinsip yang kedua adalah tidak menutupi hasil kinerja pegawai dengan dalih apapun. Para pegawai perlu mengetahui seberapa jauh atau seberapa banyak hasil kinerja mereka, agar mereka dapat menentukan prioritas langkah-
63
langkah apa yang harus diperbuatnya untuk meningkatkan atau memperbaiki kinerja berikutnya. Dalam masalah ini bukan kinerja pegawai yang salah, melainkan ketidakmampuan para pimpinan untuk mengkomunikasikan dengan para pegawai. Hal ini sering disebut sebagai ‘performance whitewashing’ (menutup-nutupi pencapaian kinerja pegawai). (3) Kegagalan kinerja SDM juga disebabkan karena inspection failure yakni kelalaian para pimpinan organisasi untuk mengontrol pekerjaan pegawai. Pimpinan yang hanya mengalokasikan sedikit waktu untuk mengontrol kinerja pegawainya akan menemui kegagalan dalam pencapaian kinerja SDM yang diharapkannya. Konsep kinerja yang multidimensional juga menggambarkan ragam faktor-faktor yang diperkirakan mempengaruhi penilaian suatu kinerja. Tom Gilbert (dalam LaBonte, 2001:4), mengidentifikasikan 6 (enam) variable kunci yang menurutnya harus dipertimbangkan dalam menilai kinerja organisasi, yakni pertama adalah variable lingkungan yang terdiri dari informasi, resources, dan incentives, serta yang kedua adalah variable individual yang terdiri dari knowledge, capacity, dan motives. Rummler dan Brache (1988, dalam Rothwell, dkk 2000:5) mengetengahkan 6 (enam) variabel yang mempengaruhi kinerja individu dalam pekerjaannya, spesifikasi pekerjaan, campur tangan terhadap pekerjaan mereka, konsekuensi-konsekuensi, feedback , knowledge dan skill, serta kapasitas individual. Tidak berbeda jauh dengan rumusan Rummler maupun Gilbert, Armstrong dan Baron (1998:16) mengetengahkan 5 (lima) faktor yang mempengaruhi kinerja yakni, faktor- faktor personal seperti skill, kompetensi, motivasi, dan komitmen. Kemudian yang kedua adalah faktor- faktor leadership seperti kualitas dukungan, pemberian semangat, dan team leader. Ketiga, yakni faktor team, antara lain kualitas dukungan yang disediakan oleh kolega/teman/team work. Keempat, faktor sistem meliputi sistem kerja dan fasilitas-fasilitas yang disediakan oleh organisasi. Dan yang kelima, adalah faktor situasional atau kontekstual yang berupa tekanan dan perubahan lingkungan eksternal maupun internal dimana individ u itu bekerja . Masalah manajemen kinerja yang dihadapi oleh sektor publik, adalah masalah pengukuran. Sektor publik pada umumnya tidak memiliki standard kinerja yang baku sebagaimana dalam sektor private. Standard kinerja yang ada umumnya bersifat ad hoc
64
dan jauh dari sistematik. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Hughes (1994:205) sebagai berikut :
“By any standard, performance management in the tradisional model of public administration was inadequate, and this applies to either the performance of individuals or organization. Measures which did exist were ad hoc and far from systematic”.
Pengukuran Kinerja Balanced Scorecard
Pengukuran kinerja merupakan bagian dari manajemen kinerja yang dipandang penting baik di organisasi private maupun publik. Keinginan organisasi untuk mengetahui kinerjanya sering terhambat oleh masalah yang berkaitan dengan pengukuran. Hughes (ibid:206) mengakui bahwa memang benar sangat sulit mengukur kinerja di sektor publik sebab di sana tidak ada ide tentang apa yang diproduksi, bagaimana memproduksinya, apakah pekerja bekerja dengan baik, bagaimana mengukur produktifitas mereka, apakah pelanggan puas, jika tidak siapa yang harus menghadapi keluhan pelanggan, dan seterusnya. Bahkan di banyak kasus, seorang administrator tidak perlu bersusah payah memikirkan kinerja anak buahnya, menurut mereka pengukuran kinerja hanya menimbulkan masalah. Kendati demikian Niven (2003: x) mengingatkan bahwa
pembedaan antara
publik dan privat hendaknya tidak dipakai sebagai alasan untuk menghindari pengukuran kinerja. Di era keterbukaan yang semakin tinggi organisasi sektor publik harus berani menerima tantangan berupa akuntabilitas dan transparansi melalui penilaian terhadap kinerja mereka. Informasi dan pelaporan kerangka kerja yang konsisten dari kinerja sektor publik dipandang sebagai kemampuan untuk menyingkap kinerja dan hasil dari pekerjaan mereka. Reformasi manajemen kinerja sektor publik dipandang sangat penting, dan menjadi bagian integral dari program-program yang ada di setiap organisasi pelayanan publik. Organisasi pelayanan publik saat ini diharapkan dapat mengembangkan berbagai
65
indikator kinerja yang dapat diukur secara obyektif dan mengacu pada pencapaian tujuan organisasi (Hughes, 1994; Wilson dan Hinton, 1993; Gilley, et al, 1999) Salah satu pengukuran kinerja organisasional yang saat ini masih banyak digunakan baik di organisasi privat maupun publik adalah Balanced Scorecard (BSC) karya Kaplan dan Norton (1996). Inti dari konsep BSC sebagaimana telah diungkapkan sebelumnya adalah mencakup pengukuran kinerja organisasi melalui 4 (empat) Perspektif utama, yakni Keuangan, Proses Internal, Pembelajaran-Pertumbuhan, serta Pelanggan. Sebelum BSC diperkenalkan pada tahun 1990 oleh Kaplan dan Norton, kebanyakan pengukuran kinerja dilakukan terhadap aktifitas keuangan (yang juga dianggap sebagai aktifitas yang telah berlalu / past-activity), sedangkan aktifitas-aktifitas lainnya yang bersifat non-keuangan dan mendorong kesuksesan organisasi di masa depan (proses internal, pembelajaran-pertumbuhan pegawai, dan pelanggan) jarang dilakukan. Selanjutnya Kaplan dan Norton (ibid:8) juga mengetengahkan bahwa pengukuran kinerja baik finansial maupun non-finansial tersebut harus menjadi bagian dari sistem infor masi untuk para pekerja di semua tingkatan di perusahaan. Para pekerja lini depan harus memahami konsekuensi finansial akibat dari tindakan dan keputusan-keputusan mereka. Sedangkan pada pimpinan juga harus memahami berbagai faktor pendorong keberhasilan finansial jangka panjang. Berikut ini pandangan Kaplan dan Norton terhadap 4 (empat) perspektif BSC yang diketengahkannya tersebut. Pertama, Perspektif Keuangan. Dalam organisasi keuangan dipandang sangat penting karena memberikan suatu catatan konsekuensi tindakan ekonomis yang telah diambil oleh organisasi di masa lalu. Pengukuran kinerja keuangan menunjukkan apakah strategi, implementasi, dan pelaksanaan kebijakan keuangan memberikan kontribusi atau tidak terhadap peningkatan keuntungan organisasi. Tujuan keuangan pada organisasi bisnis biasanya berkaitan dengan profitabilitas, return on capital employed (ROCE), dan economic value added. Di dalam organisasi publik tidak selalu demikian, Niven (2003:33) menjelaskan bahwa dalam organisasi publik dan non-profit, tujuan ukuran kinerja keuangan adalah beda, karena kedua organisasi tersebut tidak berorientasi pada laba, sehingga penekanannya akan lebih mengacu pada bagaimana dana digunakan secara efisien dan efektif, atau seberapa jauh pemborosan dapat ditekan, dan seberapa jauh kemampuan pendanaan organisasi secara berkelanjutan kedepan. Pemasukan keuangan
66
pelayanan publik di daerah diperoleh melalui beberapa model, pertama, tergantung pada dana bantuan dari pusat yang secara fundamental dasarnya adalah pajak daerah. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Wilson dan Hinton (1993:175) bahwa :“Local authority net revenue funding was provided in the form of grants from central government. The fundamental need for grants stems from the tax based of local government”. Grant dapat berarti sebagai suatu subsidi, atau sebagai bantuan proyek (Considine, 1994:43). Kedua, melalui pungutan pajak langsung atau charging yang dikenakan pada sejumlah jasa publik maupun non publik, yang secara keseluruhan merupakan penerimaan asli daerah. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Considine (1994:43) sebagai berikut : “Indirect taxes, taxes on specific goods and charges for the use of government services are also valued tools” Kedua, Perspektif Pelanggan. Perhatian terhadap pelanggan pada umumnya hanya dikenal pada organisasi bisnis. Bisnis merasa perlu untuk mengidentifikasi pelanggan dan segmen pasar dimana perusahaan akan bersaing. Ukuran utama kinerja dari aspek pelanggan umumnya terdiri atas, kepuasan pelanggan, retensi pelanggan, akuisisi pelanggan baru, profitabilitas pelanggan, dan pangsa pasar di segmen sasaran. Selain itu perspektif pelanggan juga mencakup berbagai ukuran tertentu yang menunjukkan proposisi nilai yang akan diberikan oleh perusahaan pada pelanggan. Proposisi nilai pelanggan ini penting karena dapat menjadi faktor pendorong apakah pelanggan akan tetap loyal, atau sebaliknya. Sebagai contoh misalnya pelanggan akan lebih menghargai masalah tenggang waktu (lead times) yang singkat atau tepat waktu pada pengiriman barang-jasa yang diinginkannya. Juga pelanggan akan lebih menyukai produk -jasa yang inovatif, dan harga yang murah atau terjangkau. Harapan pelanggan terhadap jasa-barang yang diinginkannya dipengaruhi oleh komunikasi dari mulut ke mulut, kebutuhan personal, pengalaman masa lalu, komunikasi eksternal penyedia layanan pada calon pelanggan, demikian hasil identifikasi dalam penelitian kepuasan pelanggan yang dilakukan oleh Zeithaml, et al (1990:19) Pada pelayanan publik, konsep pelanggan menjadi problema tersendiri. Kesulitan utama untuk konsentrasi pada pelanggan adalah karena disana ada beberapa aktor yang terlibat, seperti politisi, pembayar pajak, pemilih, yang secara keseluruhan berpengaruh terhadap pelayanan publik, sehingga untuk secara esklusif hanya memperhatikan
67
pelanggan adalah tidak mungkin. (Flynn, 1988, dalam Eliassen dan Kooiman, 1993:130). Hal ini juga diungkapkan oleh Chapman dan Cowdell (1998:145) bahwa “In the public services, it can be quite difficult to understand the importance of client expectations , particularly in a situation where an organization is effectively a monopoly provider” Hal tersebut kemudian dibantah oleh Farnham dan Horton (1993:170), bahwa : “Local authority managers are producing mission statement and business plans, costing services, drawing up contracts, establishing quality assurance system and developing customer awareness. These are now central to management agenda”. Sejalan dengan hal tersebut, penciptaan indikator- indikator kepuasan pelanggan pada pelayanan publik bukan merupakan masalah lagi. Pada sebagian besar organisasi publik, selain mengetahui kepuasan pelanggan, juga perlu diketahui bagaimana membangun dukungan komunitas (build community support). Hal ini akan terwujud jika proses internal berhasil mengembangkan inovasi dan sesuatu yang baru. (Niven, 2003 :37). Ketiga, Perspektif Proses Internal. Dalam perspektif ini, identifikasi berbagai proses internal adalah penting, sebab memungkinkan organisasi bisnis untuk, memberikan proposisi nilai yang akan menarik perhatian pelanggan, serta memenuhi harapan terhadap keuntungan finansial yang tinggi pada para shareholder. Di dalam bisnis, pengukuran keunggulan proses internal dapat melalui beberapa indikator, antara lain melalui ‘waktu siklus pengiriman’ (delivery cycle time) yakni jumlah waktu dari pesanan diterima pelanggan sampai pada saat pesanan lengkap dikirimkan. Termasuk dalam ukuran ini adalah waktu tunggu, waktu inspeksi, waktu gerak, dan waktu antri. Ukuran lainnya adalah berkaitan dengan inovasi produk dan proses pengenalannya, antara lain adalah prosentase penjualan produk baru, perkenalan produk baru dengan benchmarking produk lainnya, waktu yang diciptakan untuk penciptaan produk dengan generasi berikutnya (Tunggal, 2001:87). Dalam organisasi publik, pengembangan proposisi nilai pelanggan juga dipandang penting, karena dapat mempertahankan loyalitas pelanggan, serta mendorong dukungan komunitas yang lebih tinggi lagi bagi penyediaan layanan jasa publik, bentuk pengukurannya sebagaimana disarankan oleh (Niven, 2003:18) adalah mengidentifikasi bagaimana menciptakan proses internal baru dari pada konsentrasi pada aktifitas-aktifitas perbaikan. Termasuk dalam area ini antara lain adalah pengembangan layanan dan sistem
68
pengantaran , kemitraan dengan masyarakat yang dilayani, presentasi laporan- laporan yang menunjukkan proses internal baru pada khalayak atau semacam promosi. Keempat, Perspektif Pembelajaran dan Pertumbuhan. Perspektif keempat dari BSC ini mengidentifikasikan pentingnya infrastruktur yang harus dibangun perusahaan dalam menciptakan pertumbuhan dan peningkatan kinerja jangka panjang. Setidaknya ada 3 (tiga) sumber utama infrastruktur dalam pembelajaran dan pertumbuhan yakni, manusia, sistem dan prosedur perusahaan. Perusahaan perlu menutup kesenjangan antara kondisi aktual manusia, sistem, dan prosedur dengan kondisi yang diharapkan. Untuk menutup kesenjangan infrastruktur manusia, diperlukan faktor pendongkrak yakni, peningkatan kapabilitas pegawai, antara lain dengan pelatihan dan pendidikan yang berkaitan dengan kompetensi yang dibutuhkan dalam pekerjaannya, kepuasan pegawai dan kapabilitas informasi. Kapabilitas pegawai dari aspek kompetensi adalah suatu karakteristik dasar dari seseorang yang memungkinkannya memberikan kinerja unggul dalam pekerjaan, peran, atau situasi tertentu. Dalam model gunung es kompetensi terbagi tiga, pertama kompetensi yang nampak di permukaan dapat diketahui bentuknya yakni, ketrampilan dan pengetahuan. Tingkat kedalaman kedua yang semakin tidak terlihat tetapi mengarahkan dan mengendalikan perilaku permukaan adalah, peran sosial dan citra diri, watak, dan motif- motif yang lebih dekat dengan kepribadian seseorang. Ketrampilan adalah hal- hal yang orang bisa lakukan dengan baik, misalnya programming, mengetik, dan sebagainya, sedangkan pengetahuan adalah apa yang diketahui seseorang tentang suatu topik, misalnya bahasa komputer. Peran sosial adalah citra yang ditunjukkan oleh seseorang di depan publik. Peran sosial mewakili apa yang dianggap orang itu penting. Peran sosial juga mencerminkan nilai-nilai seseorang. (Boulter, et al 2003:39) Bramley (1996:73) menjelaskan knowledge, skill, dan attitude dari aspek pengukuran. Pengertian tentang knowledge, dibedakan ke dalam 3 (tiga) tingkatan, yakni (1) tingkatan paling dasar yang disebut sebagai declarative knowledge. Artinya yang akan diukur adalah kemampuan dasar tentang fakta dan informasi tugas-tugas di seputar area pekerjaan. Dalam hal ini berkaitan dengan informasi tentang ‘what’ Contoh, informasi tentang di mana ruang periksa, di mana ruang UGD, atau bagaimana mengisi formulir formulir pendaftaran, atau isian blangko apa saja yang harus diberikan pada pasien dalam
69
rangka rujukan , dan seterusnya. (2) Pengetahuan yang berkaitan dengan kemampuan untuk merangkai potongan-potongan informasi secara baik sehingga dapat menjadi penjelasan tentang ‘how’, misalnya bagaimana prosedurnya, bagaimana melakukan sesuatu, bagaimana mengatur permintaan atau tindakan-tindakan, dan sebagainya. Pengetahuan pada tingkat ini disebut procedural knowledge. (3) tingkat pengetahuan yang tertinggi adalah ‘strategic knowledge’. Pada tingkat ini kemampuan yang diukur mencakup informasi tentang ‘way’ dan ‘which’ yakni kemampuan menganalisis situasi tertentu, membuat keputusan tentang apa yang baik dan apa yang tidak, menganalisis masalah- masalah dalam organisasi, dan sebagainya. Tentang skill atau ketrampilan, Bramley (1996:81) membagi kedalam 4 (empat) tingkatan yakni, (1) tingkat skill yang paling dasar, disebutnya sebagai communication. Contoh dalam hal ini misalnya kemampuan memberikan gambaran atau ciri, atau identitas sesuatu. (2) tingkatan kedua adalah simple procedure, yakni kemampuan untuk menunjukkan gambaran suatu prosedur sederhana, baik dengan instruksi, lisan atau catatan. (3) tingkatan skill yang disebut skilled action atau skill automaticly. Ukurannya adalah kemampuan mengoperasikan sesuatu (komputer, mobil, mesin ketik, dsb) secara otomatis tanpa perlu diberikan contoh atau arahan terlebih dulu. (4) tingkatan tertinggi dari skill adalah judging. Ukuran ketrampilan telah sampai pada taraf kualitas. Sebagai contoh, misalnya seorang dokter memutuskan apakah obat yang diberikan tepat/manjur atau sebaliknya, pertimbangannya adalah bukan karena secara otomatis obat diberikan karena memang demikian seharusnya, akan tetapi lebih mempertimbangkan masa depan kesehatan pasien yang juga kepuasan dirinya sebagai dokter. Pada indikator kepuasan pegawai, unsur-unsur dalam kepuasan pegawai, antara lain adalah keterlibata n dalam pengambilan keputusan, penghargaan, akses yang memadai pada informasi yang digunakan untuk melakukan pekerjaan dengan baik, dorongan aktif pimpinan, tingkat dukungan lingkungan kerja, dan sebagainya (Tunggal, 2001:89). Konsep ini juga dapat diaplikasikan dalam organisasi publik, dengan menambahkan motivasi pegawai, design perbaikan sistem insentif mengingat para pegawai publik bekerja pada kondisi keuangan yang terbatas. (Niven, 2003:35). Selanjutnya pada kapabilitas informasi yang juga dipandang penting dalam dimensi pembelajaran dan pertumbuhan, Niven (ibid:200-201) mengetengahkan bahwa
70
informasi adalah lebih dari pada kemampuan untuk sekedar menerapkan perangkat IT (information technology), melainkan kemudahan akses informasi itu sendiri. Para pegawai harus mampu mengakses informasi tentang pelanggan, dan stakeholder lainnya. Dalam hal ini kapabilitas informasi dapat diukur melalui ketersediaan, kesesuaian dan kemudahan akses informasi- informasi yang berhubungan dengan pekerjaan maupun Pelanggan. Penempatan Perspektif Keuangan pada posisi teratas dalam konsep BSC, menggambarkan bahwa tujuan keuangan merupakan aspek utama dalam pengukuran kinerja organisasi, yakni untuk memuaskan stakeholder perusahaan, antara lain pemegang saham, konsumen, karyawan, dan lain- lainnya yang secara keseluruhan tercermin dalam perspektif keuangan. Karena pelayanan publik pada umumnya tidak berorientasi keuntungan finansial, maka komposisi penempatan keempat perspektif BSC tersebut berbeda. Dalam hal ini Niven (2003:17-19), menjelaskan bahwa konsep BSC dapat diterapkan dalam organisasi publik dan nonprofit, dengan penyesuaian-penyesuaian dimensinya. Ditambahkannya, bagi organisasi publik dan nonprofit, aspek nilai tambah ekonomis dan profitabilitas pada kinerja keuangan bukan menjadi tujuan utama. Tujuan utama dalam organisasi publik adalah ‘memberikan pelayanan’ sebaik mungkin dan seefisien mungkin pada masyarakat pelanggan, sehingga prioritas utama dalam misi organisasi adalah ‘pelanggan’ dalam arti ‘siapakah pelanggan kita, dan bagaimana kita menciptakan nilai untuk pelanggan kita tersebut’. Berdasarkan argumentasi tersebut maka model BSC disesuaikan dengan menempatkan perspektif pelanggan pada posisi utama. Sebagaimana diketengahkannya bahwa : “We put the customer perspective at the top. The message is that anything and everything we do regarding financials, revenues, and so on is there to support our customer” (ibid : 34) Jika Niven menempatkan fokus kinerja atas pelanggan, maka tidak demikian halnya dengan Olve, et al (1999:307), menurutnya penerapan BSC dalam organisasi publik tetap harus menempatkan kinerja keuangan sebagai fokus utama sebagaimana pada organisasi bisnis. Baik dalam sektor publik maupun private, hal yang paling sesuai dalam pemanfaatan BSC adalah membagi setiap dimensi ke dalam kelompok ‘waktu’, seperti misalnya, dimensi ‘keuangan’ adalah dikelompokkan ke dalam waktu ‘kemarin’
71
(yesterday), dimensi ‘pelanggan’ dan ‘Proses internal’ dikelompokkan ke dalam waktu ‘sekarang’ (today), dan dimensi ‘pembelajaran-pertumbuhan’ dikelompokkan ke dalam waktu ‘besuk’ (tomorrow). Dengan pengelompokkan waktu secara demikian, maka fokus BSC akan menjadi jelas, dalam hal ini, apa yang harus dilakukan sekarang dan apa yang harus dilakukan besuk, keduanya tetap berdasar pada pengalaman ‘kemarin’, yakni dimensi keuangan. Argumen ini merupakan alasan pertama Olve, dan kawan-kawan. Sedangkan alasan kedua, adalah bahwa di dalam sektor publik, mengukur ‘kepuasan pelanggan’ dan ‘loyalitas pelanggan’ adalah sulit, mengingat cakupan dari pelayanan publik yang demikian luas. Arti kepuasan pelanggan sesungguhnya adalah mencakup ‘benefit to society’, yang menurut Olve, et al hal ini tidak mudah untuk mengukurnya. Berdasarkan hal tersebut, maka pengukuran hanya mungkin dilakukan melalui penghitungan atau konversi suatu hasil secara moneter . Sejalan dengan konsep waktu-nya Olve, dan kawan-kawan, Andre de Waal (2001: 88), menjelaskan bahwa kinerja keuangan adalah menunjukkan dimensi masa lalu, dimana pengukurannya adalah untuk mengetahui ‘apa yang terjadi dimasa lalu’. Baik Waal maupun Kaplan dan Norton menyebutnya sebagai ‘lag indicator’. Untuk melengkapi indikator masa lalu, organisasi harus mengukur indikator pendorong atau ‘lead indicator’ yang akan meramalkan hasil masa depan. Menurut Waal, perspektif indikator pendorong ini dapat berbeda dalam setiap organisasi yang berbeda-beda, seperti misalnya organisasi publik berbeda dengan private. Ditambahkannya pula, bahwa suatu pengukuran yang seimbang adalah mencerminkan hubungan ‘cause-and-effect’ oleh mana nilai-nilai pelanggan diciptakan. Dalam penjelasannya, Kaplan dan Norton menegaskan bahwa kinerja-kinerja yang diukur dalam Perspektif BSC pada dasarnya harus terhubung satu dengan yang lain, jika salah satu menjadi indikator hasil (lag indicator), maka harus ada indikator pendorong (lead indicator). Dengan demikian kinerja-kinerja yang diukur bukan kinerja parsial dan berdiri sendiri-sendiri, melainkan saling terhubung sebagai suatu sistem. Gagasan Kaplan dan Norton terkait dengan hubungan kausalitas sistemik antara keempat Perspektif Kinerja BSC tersebut sesungguhnya dilandasi oleh pendekatan organisasi sebagai suatu sistem di mana setiap elemen dari kinerja organisasi
72
sesungguhnya saling interdependensi dan saling mempengaruhi satu dengan yang lain dan membentuk suatu kesatuan kekuatan kinerja organisasi secara utuh. Hanya sayang bahwa konsep BSC tidak dilengkapi dengan alat yang dapat menjelaskan seberapa jauh hubungan sistemik yang terdapat dalam variable- variabel kinerja dapat diukur secara kuantitatif. Sehingga untuk keperluan analisis hubungan kinerja secara sistemik diperlukan suatu metode dan alat yang dapat menjembatani. Sejalan dengan kebutuhan tersebut, maka dipandang perlu untuk menggunakan konsep System Thinking (ST) dan metode System Dynamic (SD) yang mampu menjabarkan pola hubungan dinamis kinerja BSC. Perspektif Berpikir Sistem
Paradigma berpikir sistem atau ‘system thinking’ (selanjutnya ditulis ST) memperoleh perhatian pada awal abad 20, di mana para ahli fisika (quantum) mulai mempertanyakan persepsi ‘Newtonian’. Sanggahan terhadap ‘kebenaran’ teori Newton muncul dalam bentuk formulasi tentang prinsip -prinsip ‘uncertainty’ atau ketidakpastian, di tahun 1923. Kemudian pada tahun 1947, Weiner mengembangkan cybernetics, yakni ilmu tentang hubungan manusia dengan mesin. Setelah itu Von Bertalanffy mengembangkan teori system melalui bukunya yang berjudul ‘General System Theory’ dan dipub likasikan pada tahun 1954. Selanjutnya Forrester dari Massachusetts Institute of Technology (MIT) memperkenalkan dan mendemonstrasikan simulasi model yang kemudian dikenal dengan ‘system dynamic’. (Maani dan Cavana, 2000:6) Ide yang terkandung dalam teori ST tersebut adalah melihat ‘dunia’ (organisasi) sebagai suatu sistem, sebagaimana diketengahkan dalam 5 (lima) disiplin pembelajaran organisasi oleh Senge yang menempatkan ST dalam disiplin yang ke lima. Untuk memahami ST, maka secara berturut-turut akan diketengahkan tentang teori atau konsep sistem, kemudian konsep berpikir sistemik, konsep dinamika sistem dan konsep model. Dalam kehidupan sehari- hari setiap orang dihadapkan, dipengaruhi, bahkan mempengaruhi sistem, apakah itu sistem biologi, sosial, ekonomi, politik, alam, dan sebagainya. Demikian pula dalam kehidupan organisasi modern. pekerjaan manusia hampir tidak dapat dipisahkan dengan sistem, seperti komputer, mobil, bangunan, sistem
73
kerja, sistem produksi, dan seterusnya. Senge, et al (1999:137), mendefinisikan sistem : “System are defined by the fact that their elements have a common purpose and behave in common ways, precisely because they are interrelated toward that purpose”. Sementara itu Ruben (1988: 62) melengkapi definisi sistem sebagai suatu entitas atau suatu keseluruhan yang terdiri dari bagian-bagian yang saling interdependensi. Secara lengkap definisi tersebut adalah sebagai berikut : “A system is any entity or whole that is composed of interdependent parts. System have characteristics and capabilities that are distinct from those of separate parts”. Diketengahkannya pula bahwa sebagian besar sistem memiliki kelengkapan fisik seperti, mobil, rumah, masyarakat, sistem transportasi, sistem tubuh manusia, dan sebagainya. Sejalan dengan definisi Ruben, Maani dan Cavana (2000:6) mendefinisikan sistem sebagai berikut : “A system is a collection of parts that interact with one another to function as a whole”. Meskipun demikian, sistem dikatakan lebih dari sekedar kumpulan bagian-bagian, melainkan di sana terdapat produk dari ‘interaksi’ antar bagianbagian tersebut. Checkland (1999:24) menterjemahkan sistem sebagai ‘holon’ yakni sistem aktifitas manusia. Aminullah (2004:2) mempertegas pengertian sistem sebagai ‘keseluruhan saling pengaruh antar unsur dari sebuah obyek dalam batas lingkungan tertentu yang bekerja mencapai tujuan’. Tidak jauh berbeda dengan Aminullah, sistem juga didefinisikan sebagai “keseluruhan interaksi antar unsur dari sebuah obyek dalam batas lingkungan tertentu yang bekerja mencapai tujuan”. Pengertian ‘keseluruhan’ adalah lebih dari sekedar penjumlahan atau susunan (aggregate), namun terletak pada kekuatan (power) yang dihasilkan oleh keseluruhan itu jauh lebih besar dari suatu penjumlahan atau susunan. (Muhammadi, dkk, 2001:3). Selanjutnya menurut Muhammadi, dkk (ibid:4-8), definisi tersebut mengandung beberapa pengertian, yakni : (1) Pengertian ‘interaksi’ adalah pengikat atau penghubung antar unsur, yang memberi bentuk / struk tur kepada obyek, membedakan dengan obyek lain, dan mempengaruhi perilaku dari obyek. Contoh misalnya struktur organisasi adalah pengikat dari bagian produksi, pemasaran, keuangan, dan personalia yang memberi bentuk dan membedakan antara suatu organisasi bisnis atau publik. Selanjutnya perbedaan struktur ini akan mempengaruhi perilaku dan unjuk kerja organisasi-organisasi
74
yang bersangkutan. (2). Dalam system juga mengandung pengertian ‘unsur’ adalah benda, baik kongkrit atau abstrak, yang menyusun obyek sistem. Unjuk kerja dari sistem ditentukan oleh fungsi unsur ini. Gangguan salah satu fungsi unsur akan mempengaruhi unsur lain, sehingga akan mempengaruhi pula fungsi kerja sistem secara keseluruhan. Unsur juga disebut bagian atau sub-sistem. Contoh dalam organisasi publik, jika fungsi keuangan terganggu, maka fungsi-fungsi lainnya seperti produksi, distribusi, dan pelayanan pelanggan juga akan terganggu. (3). Pengertian ‘obyek’ adalah sistem yang menjadi perhatian dalam suatu batas tertentu sehingga dapat dibedakan antara sistem dengan lingkungan sistem. Artinya semua yang di luar sistem adalah lingkungan system. Semakin luas batas perhatian semakin kabur batas sistem, sebaliknya jika semakin spesifik batas obyek, maka semakin jelas batas sistem. Contoh. Perusahaan dalam bentuk fisik sangat jelas batasnya dengan lingkungan wilayah, sedangkan perusahaan dalam bentuk intangible seperti organisasi akan kabur batasnya dengan lingkungan pasar. (4 ) Selanjutnya adalah pengertian ‘batas’, antara system dengan lingkungan tersebut memberikan dua jenis sistem yakni ‘sistem tertutup’ dan ‘sistem terbuka’. Sistem tertutup adalah sebuah sistem dengan batas yang dianggap kedap (tidak tembus) terhadap pengaruh lingkungan. Sistem tertutup itu hanya ada dalam anggapan (untuk kepentingan analisis), karena pada kenyataannya sistem selalu berinteraksi dengan lingkungan atau sebagai sebuah sistem terbuka. Contoh, organisasi apapun selain terdapat interaksi dari bagian-bagian yang ada didalamnya, juga melakukan interaksi dengan lingk ungannya misalnya pelanggan, pemasok, pesaing, pemerintah, dan sebagainya. (5). Yang terakhir adalah pengertian ‘tujuan’ yakni unjuk kerja sistem yang teramati atau diinginkan. Unjuk kerja yang teramati merupakan hasil yang telah dicapai oleh kerja sistem, yaitu keseluruhan interaksi antar unsur dalam batas lingkungan tertentu. Terkait dengan pemahaman dasar tentang konsep sistem tersebut, orang diajak untuk memahami tentang kompleksitas suatu sistem di mana kehidupan terus berlanjut dan tumbuh. Banyak masalah-masalah organisasi bermunculan sebagai akibat tidak diantisipasinya efek samping dari tindakan-tindakan di masa lalu. Hal ini berakibat pada gagalnya implementasi kebijakan untuk memecahkan masalah penting, dan tentunya justru akan menciptakan masalah baru. Agar pembuatan keputusan efektif, diperlukan cara berpikir yang memahami kompleksitas sistem itu sendiri.
75
Suatu paradigma dalam berpikir dan bertindak berdasarkan pada kompleksitas sistem disebut sebagai ‘system thinking’ (ST). ST didefinisikan oleh Sterman (2000:4) sebagai : ‘…the ability to see the world as a complex system, in which we understand that ‘you can’t just do one thing’ and that ‘everything is connected to everything else’. Checkland (2000:21-23) menambahkan, bahwa ST adalah melihat dunia sebagai suatu sistem sama artinya dengan memahami hubungan- hubungan yang ada di dalamnya. Dalam melihat kompleksitas dunia tersebut, manusia dipenuhi ide- ide abstrak tentang dunia menurut persepsinya. Gambaran dunia nyata akan diperoleh ketika ide-ide yang dipersepsikan manusia tersebut diterjemahkan dengan metodologi penelitian. Di dalam organisasi, berpikir sistemik tidak sekedar memandang struktur organisasi sebagai bagan semata, atau melihat struktur organisasi sebagai desain dari alur dan proses pekerjaan dalam organisasi, sebagaimana gambaran orang saat ini. Menurut Senge (1994:90), dalam perpikir sistemik (ST), struktur organisasi adalah pola dari interrelationship diantara berbagai komponen dalam sistem organisasi. Termasuk didalamnya adalah alur dari hirarkhi dan proses, juga berbagai perilaku dan persepsi, kualitas produk, cara-cara keputusan dibuat, dan ratusan faktor lainnya yang ada disana. Berkaitan dengan pengambilan keputusan, Sterman (2000:3 -5) mengetengahkan bahwa ST dapat dipahami ketika melihat orang-orang berpandangan holistik, di mana mereka akan bertindak dan berpikiran jangka panjang dan melihat sistem secara keseluruhan, mengidentifikasikan daya pengungkit yang tinggi pada sistem, dan menghindarkan kebijakan yang resisten. ST merupakan tantangan dan sekaligus alat dan proses yang menolong orang-orang dalam organisasi untuk memahami kompleksitas, merancang dengan baik pelaksanaan kebijakan, dan menjadi panduan dalam mengikuti perubahan dalam sistem. Aminullah (2004:18) menyimpulkan bahwa “berpikir sistemik pada dasarnya adalah alat bantu menyederhanakan kerumitan sehingga dapat ditangani. Membuat penyederhanaan adalah membuat sketsa dari suatu benda yang rumit tanpa kehilangan wujud keseluruhan dari gambar sesungguhnya. Sketsa dapat berfungsi sebagai alat perekat bagi berbagai pihak dalam melihat rangkaian bagian dari keseluruhan secara terpadu. Pembuatan sketsa peta sistemik adalah pintu masuk berpikir sistemik, yang perlu diurai lebih rinci, tetapi masih bisa ditangani dengan analisis sistemik”
76
Tidak semua orang berpikir secara sistemik, Maani dan Cavana (2000: 12) menjelaskan bahwa ada 4 (empat) tingkatan berpikir, yakni : (1) Tingkatan berpikir yang dikatakan sebagai ‘event’ yakni tingkatan berpikir yang hanya mengandalkan informasi atau kejadian-kejadian aktual yang hanya menyentuh permukaannya saja. Misalnya informasi tentang apa yang terjadi, dimana, kapan, bagaimana, dan siapa yang terlibat. Tingkatan berpikir demikian juga disebut ‘a snapshots view’ atau informa si yang masih dangkal. (2). Tingkatan berpikir yang disebut ‘pattern’ yakni berpikir setingkat lebih dalam dari event, di mana diperlukan gambaran secara lebih berpola terhadap kecenderungan dari suatu kejadian. Cara berpikir demikian maksudnya untuk memberikan pengayaan gambaran suatu kejadian secara realitis dan memberikan lebih banyak lagi ‘sisi dalam’ dari suatu kejadian. (3). Tingkatan berpikir yang ketiga adalah berpikir secara sistemik (systemic structures). Berpikir secara sistemik menunjukkan cara berpikir yang mendalam tentang bagaimana hubungan antar variable di dalam kejadian yang kita pikirkan. Tujuan dari berpikir sistemik adalah untuk mengetahui bagaimana variable-variable tersebut saling berinteraksi. (4). Tingkatan berpikir yang paling dalam adalah yang dinamakan ‘mental model’ yakni cara berpikir yang didasarkan pada nilainilai, kepercayaan, asumsi-asumsi yang dipegang, dan berbagai alasan yang diyakini benar. Kedalaman berpikir demikian sering ditunjukkan dengan pertanyaan ‘mengapa’ sesuatu terjadi, mengapa harus dilakukan dan mengapa tidak ? Berpikir sistemik adalah cara berpikir yang mengacu pada kedalaman tingkat berpikir yang tidak hanya melihat kejadian dari permukaannya semata ( fenomena gunung es ) melainkan berpikir hingga ke tingkatan mental model, yakni mencari tahu sedalam-dalamnya tentang ‘akar’ dari suatu permasalahan sehingga dapat mengambil keputusan yang setepat-tepatnya. Untuk keperluan operasional, ST dilengkapi dengan ‘System Dynamic’ ( SD) yakni berupa metode untuk mempelajari sistem yang komplek. Pembelajaran SD memerlukan lebih dari sekedar alat, melainkan diperlukan secara fundamental berbagai disiplin ilmu. Selain dari pada itu, karena SD berhubungan dengan perilaku sistem yang komplek, maka landasan SD bukan teori linier melainkan sebaliknya yaitu non- linier dengan pengembangan matematik, fisika, dan tehnik. Namun demikian untuk mengaplikasikan dalam perilaku manusia, SD dapat diturunkan atas pengetahuan sosial, psikologi, ekonomi, dan ilmu sosial lainnya Tujuan ST dan SD adalah untuk
77
memperbaiki pemahaman terhadap kinerja organisasi serta kaitannya dengan struktur internal, kebijakan operational, termasuk pelanggan, pesaing , dan stakeholder yang lain, dan kemudian menggunakan hal tersebut untuk kebijakan menciptakan pengungkit yang efektif bagi keberhasilan organisasi, serta menghindarkan resistensi kebijakan. (Sterman, 2000:4-5) Forrester (1961, dalam Sterman, 2000:21-22) mempertegas bahwa penggambaran dunia nyata adalah tidak sesederhana yang kita bayangkan. Sejak awal penekanan SD adalah pada multiloop, multistate, and non-linear character of the feeedback system in which we live. Kompleksitas dinamik muncul karena sistem memiliki sifat-sifat antara lain adalah : (1) dinamis, sebagaimana dikatakan oleh Heraclitus, bahwa “all is change” artinya bahwa apapun yang ada di dunia ini berubah, sistem tubuh manusia, organisasi, dan lain- lainnya dapat dipastikan mengalami perubahan. (2) Berpasangan secara ketat. Hal ini menggambarkan sifat sistem yang yang secara kuat berinterasi satu sama lain. (3) Diarahkan oleh umpan balik. Sifat ini sebagai hasil interaksi yang kuat satu sama lain, sehingga interaksi yang satu akan berdampak bagi yang lain. (4) Non- linier. Artinya bahwa hubungan interaksi tersebut dapat menjadi hubungan sebab-akibat. (5). Pengorganisasian diri. Artinya bahwa sistem secara spontan muncul dari struktur internal sendiri. Pola-pola yang menunjukkan saling ketergantungan merupakan umpan balik struktur. (6) Adatif, yakni kemampuan untuk menyesuaikan dengan perubahan, sepelan apapun. Bentuknya bisa evolusi atau adaptasi melalui pembelajaran. (7) Counterintuitive, artinya bahwa di dalam sistem yang kompleks hubungan sebab akibat adalah melalui waktu dan ruang yang panjang, sementara orang cenderung melihat segala sesuatunya pada jangka pendek, atau sesaat. (8) Resistensi kebijakan. Kompleksitas sistem seringkali sulit untuk dipahami, hasilnya banyak pemecahan masalah yang membingungkan atau membuat situasi menjadi lebih buruk, hal inilah yang kemudian membuat resistensi. (9) Bercirikan ‘trade-offs’ artinya, adanya waktu tunda dalam umpan balik. Hal ini juga berarti terdapat respon jangka panjang dari intervensi sistem berbeda dengan respon jangka pendek. Kebijakan pengungkit tinggi justru memperburuk, sementara kebijakan pengungkit rendah sering menimbulkan perbaikan yang tidak kekal sebelum maslah tumbuh semakin buruk
78
Secara metodologi, ST menggunakan fungsi ‘model’ dalam menjelaskan berbagai area yang akan diukurnya, seperti keuangan, SDM, pelanggan, dan lain sebagainya. Adapun pengertian model menurut Maani dan Cavana (2000:20) adalah : “Model is defined as being a representation of the real world”. Model dapat dibedakan dalam berbagai bentuk, apakah fisik, analog, digital (computer), matematikal, dan seterusnya. Dalam batasan tersebut oleh Maani dan Cavana, konsep model dapat dipahami tidak hanya dalam bentuknya yang tradisional yang sering mengacu pada kuantitaif (hard modelling), melainkan juga dapat dalam bentuk lebih soft modeling yang mengacu pada pendekatan konseptual dan kontekstual yang cenderung lebih realistic, pluralistic, dan holistic atau lebih kualitatif. Dalam ST biasanya digunakan pendekatan yang lebih soft modeling sementara dalam system dynamic (SD) lebih mengacu pada hard modeling. Menurut Sterman (2000:89) ‘every models is a representation of a system-a group of functionally interrelated elements forming a complex whole’. Lebih lanjut dijelaskannya bahwa suatu model dirancang untuk memahami misalnya bagaimana siklus suatu bisnis dapat dibuat stabil, atau suatu model dari berbagai kebijakan, atau model yang menggambarkan lingkungan ekonomi, dan seterusnya. Suatu model yang komprehensif kompleksitasnya akan serupa dengan sistemnya sendiri. Untuk membatasi bangunan model, diperlukan ‘seni’ untuk ‘cut-out’ memperjelas tujuan model secara logika. Luasnya suatu sistem kadang-kadang tidak mungkin digambarkan dalam model secara lengkap, apalagi jika data tidak lengkap, asumsi-asumsi tidak pernah diuji, dan orang yang membangun model tidak memahami perilaku sistem Untuk membangun model, biasanya seseorang memerlukan syarat awal yakni membuat karakterisasi dari permasalahan melalui diskusi dengan klien, dibantu oleh para peneliti, kemudian mengumpulkan data, wawancara, dan observasi langsung atau partisipasi. Namun demikian di sana banyak cara atau metode yang dapat dipakai untuk mengumpulkan informasi yang dibutuhkan untuk mendefinisikan dinamika masalah. Perilaku dinamis dari suatu sistem dapat dikenali melalui ‘model’. Menurut Muhammadi dan kawan-kawan (2001:52), model adalah suatu bentuk yang dibuat untuk menirukan suatu gejala atau proses. Model dapat dikategorikan ke dalam model kuantitatif, kualitatif, dan model ikonik. Model kuantitatif adalah model yang berbentuk rumus-rumus matematik, statistik, atau computer. Model kualitatif adalah model yang
79
berbentuk gambar, diagram, atau matrik, yang menyatakan hubungan dalam unsur. Dalam model kualitatif tidak digunakan rumus-rumus matematik, statistik, dan komputer. Model ikonik adalah model yang memiliki bentuk fisik yang sama dengan barang yang ditirukan, meskipun skalanya dapat diperbesar atau diperkecil. Pentingnya model dalam SD antara lain adalah : (1) model dapat mewakili dunia nyata, di mana proses pengambilan keputusan dapat dilakukan melalui simulasi model tanpa harus melakukan percobaan secara langsung pada fenomena yang nyata. Dengan simulasi model berarti akan lebih menghemat biaya, tenaga, dan waktu. (2) Melalui simulasi model, para pengambil keputusan dapat melakukan penyegaran dalam mengasah ketrampilan, dan memainkan perannya dalam pengambilan keputusan, tanpa perlu merasa bersalah karena gagal. (3) Melalui simulasi model, sebuah laboratorium yang murah dapat disediakan untuk pembelajaran dan pelatihan dalam memahami sistem organisasi. (4). Dunia virtual yang juga merupakan model formal, menyediakan kualitas yang tinggi akan tersedianya hasil umpan balik, sebab model dapat dikendalikan dan dikontrol dalam tingkatan variasi random yang dikehendaki. ‘Kotak hitam’ dalam dunia nyata, bersifat tertutup dan sulit dikendalikan atau dikontrol, namun dalam dunia model, kotak hitam tersebut dapat dibuka, dimana seseorang dapat mensimulasikan asumsiasumsinya dan memodifikasinya berdasarkan pada pengetahuan yang dikuasainya. (Sterman, 2000:35). Selanjutnya Sterman juga mengetengahkan langkah- langkah membuat model (hal ini akan dibahas dalam bab tentang metode penelitian ), hanya menurut Randers (1980, dalam Sterman 2000 :87) menyatakan bahwa tidak ada resep yang manjur untuk menjamin keberhasilan dalam membuat model. “There is no cookbook recipe for successful modelling, no procedure you can follow to guarantee a useful model” . Membuat model adalah tergantung dari kreatifitas dan gaya serta pendekatan yang digunakan oleh pembuat model.
80
KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESA
Kerangka Berpikir
Pentingnya peran Puskesmas dalam peningkatan kesehatan penduduk di wilayahnya saat ini menghadapi berbagai tantangan baik berupa kendala internal yakni keterbatasan-keterbatasan sumber daya manusia, serta sumber-sumber lainnya yang mendukung, maupun kendala eksternal yakni perubahan-perubahan lingkungan, dan menurunnya kesadaran masyarakat terhadap pola hidup sehat. Berdasarkan pada kondisi aktual tersebut, maka model pemberdayaan Puskesmas khusus nya pada aspek pelayanan kesehatan dipandang penting dan menjadi fokus utama dalam kajian ini. Konsep pemberdayaan yang menjadi acuan di sini adalah berorientasi pada perubahan perilaku, baik perilaku sistem atau organisasi maupun perilaku individu anggota organisasi. Dalam menciptakan model pemberdayaan Puskesmas, dibutuhkan suatu dasar yang kuat untuk mengetahui perubahan perilaku seperti apa yang dikehendaki, apakah perilaku-perilaku di sana saling terkait satu sama lain dalam suatu sistem organisasi, bagaimana arah dan bentuk perilaku-perilaku di sana. Berdasarkan pandangan demikian maka agar model pemberdayaan yang akan direkomendasikan lebih tepat dan sesuai, terlebih dulu dilakukan pengukuran kinerja, mengapa ? karena kinerja adalah hasil dari perilaku yang mencerminkan kemampuan organisasi dalam melaksanakan tugasnya. Adapun alat ukur kinerja yang dipandang komprehensif dan sesuai adalah Balanced Scorecard (BSC). Dalam penelitian ini keempat perspektif kinerja BSC yang pada dasarkan berhubungan secara kausalitas, kemudian diimplementasikan dengan menggunakan sebagian besar ukuran-ukuran generik yang terdapat di dalamnya, yang terdiri dari: (1) Perspektif pelanggan, dengan indikator kepuasan pelanggan, (2) Perspektif proses internal, dengan indikator-indikator kemampuan inovasi, dan operasi (3) Perspektif keuangan, dengan indikator biaya per satu pelanggan dan kontribusi per pelanggan pada swadana, (4) Perspektif pembelajaran-pertumbuhan, dengan indikator kapabilitas informasi, kapabilitas pegawai, dan kepuasan pegawai.
81
Untuk membantu menggali secara lebih dalam hubungan kausalitas yang terdapat dalam kinerja BSC Puskesmas tersebut, maka diperlukan metode analisis yang sesuai, dalam hal ini adalah System Dynamic (SD). Metode ini menyediakan perangkat model yang berupa diagram yang dapat menggambarkan pola atau arah dan struktur atau bentuk hubungan kinerja sebagaimana layaknya suatu sistem. Diagram tersebut adalah Causal Loop Diagram (CLD) yang menggambarkan pola atau arah hubungan variabel- variabel secara sistemik, dan Stock Flow Diagram (SFD), yang menggambarkan struktur atau bentuk hubungan secara kuantitatif, di mana
variabel- variabel yang berhubungan
memiliki nilai. Kedua diagram tersebut selanjutnya menjadi dasar untuk melakukan uji sensitivitas terhadap variabel-variabel kinerja yang memiliki kompleksitas dan pengaruh yang kuat terhadap kinerja Puskesmas secara keseluruhan.. Simulasi uji sensitivitas ini sangat membantu untuk memilih variabel-variabel mana yang memiliki sensitifitas tinggi (memiliki daya pengungkit yang tinggi) yang dapat berguna untuk mengambil keputusan dalam memberdayakan Puskesmas. Variabel- variabel yang memiliki sensitifitas tinggi kemudian disusun dalam suatu skenario kuadran Star, guna memudahkan mengambil keputusan pemberdayaan Puskesmas. Dalam skema kerangka pemikiran berikut ini, terkandung dua aktifitas penelitian yang menggunakan paradigma yang berbeda. Aktifitas pertama adalah pengukuran kinerja BSC pada ketiga Puskesmas sampel dengan paradigma positivist
dan
menggunakan perangkat analisis statistik diskriptif. Adapun sebagian besar variabelvariabel BSC yang dioperasionalisasikan adalah menggunakan parameter generik BSC yang
disesuaikan
dengan
kondisi
Puskesmas.
Variabel- variabel tersebut telah
disampaikan pada bagian pendahuluan dari disertasi ini Aktifitas kedua adalah berupa pemodelan. Aktifitas pemodelan menggunakan paradigma System Dynamic (SD) dengan pendekatan hard approach (kuantitatif). Penggunaan model untuk membantu memahami hubungan variabel- variabel kinerja BSC secara sistemik. Selain itu dalam konsep BSC disyaratkan untuk menganalisis kinerja secara kausalitas. Aktifitas ini secara berurutan meliputi : 1) Pembuatan model Causal Loop Diagram (CLD) yang dapat menggambarkan pola atau arah hubungan kausalitas variabel- variabel kinerja BSC. 2) Pembuatan model Stock Flow Diagram (SFD), yang
82
dapat menggambarkan bentuk atau struktur hubungan kausalitas variabel- variabel kinerja BSC secara kuantitatif. 3) Menguji variabel- variabel kinerja BSC dalam SFD. Berikut ini adalah gambaran sederhana alur kerangka berpikir disertasi ini URGENSI PUSKESMAS
MODEL PEMBERDAYAAN PUSKESMAS
(Elite, Moderate, Slum)
PENGUKURAN KINERJA PELANGGAN
(Kepuasan Pelanggan)
KEUANGAN
PROSES INTERNAL
(Efektifitas Biaya, dan Kontribusi Swadana)
VISI-MISI DAN STRATEGI
(Kemamp. Inovasi, Operasi, Penyuluhan)
PEMBELAJARAN DAN PERTUMBUHAN
(Kapab.Pgw, Kepuasn Pgw, dan Kapab.Informasi )
UJI SENSITIVITAS UNTUK MENEMUKAN VARIABEL LEVERAGE KINERJA
SKENARIO -SKENARIO PEMBERDAYAAN PUSKESMAS
(Elite, Moderate, Slum)
Gambar 5 : Kerangka Pemikiran Disertasi (Hasil kajian Penulis, 2006)
Variabel yang diuji adalah yang umumnya lemah dan memiliki kompleksitas hubungan kausalitas yang tinggi (disebut variabel base case) dengan cara memberikan stimulus atau perubahan nilai variabel dari 10 hingga 20 % dalam suatu program simulasi powersim dalam komputer. Kegunaan uji simulasi adalah untuk menemukan variabelvariabel yang memiliki sensitifitas tinggi terhadap kinerja BSC. Selanjutnya variabelvariabel yang sensitif tersebut diperlakukan sebagai variabel pengungkit dalam skenario pemberdayaan. 4) Menetapkan skenario-skenario pemberdayaan berdasarkan variabel-
83
variabel yang telah diuji sensitifitasnya. Karena kinerja yang diukur adalah pada organisasi pelayanan publik, maka skenario yang digunakan disesuaikan dengan lingkungan birokrasi dan sistem pelayanan publik, untuk itu dipilih model skenario menurut Kuadran Star sebagaimana telah diuraikan dalam bagian pendahuluan. 5) Berdasarkan skenario kemudian ditetapkan model pemberdayaan ketiga Puskesmas untuk prediksi atau perkiraan t5 hingga t12 (triwulan 5 – 12 atau tahun 2007 - 2008) Walaupun kedua aktifitas dilaksanakan secara terpisah, namun dari aspek hasil kedua aktifitas saling terkait. Hasil pengukuran kinerja berupa indeks rata-rata kinerja menjadi nilai awal (initial) dari nilai variabel yang dioperasionalisasikan dalam SFD. Adapun variabel-variabel yang digunakan dalam pemodelan CLD dan SFD adalah: Pada perspektif pelanggan terdiri dari 1). jumlah pasien dan 2) kepuasan pelanggan. Pada perspektif proses internal terdiri dari: 1) mutu layanan, 2) waktu layanan, 3) inovasi layanan, 4) penyuluhan, dan 5) ketersediaan obat. Sedangkan pada perspektif keuangan terdiri dari 1) penerimaan subsidi, dan 2) penerimaan retribusi (swadana). Terakhir, pada perspektif pembelajaran-pertumbuhan terdiri dari 1) jumlah pegawai, 2) work load (beban kerja), 3) insentif pegawai, 4) kepuasan pegawai, 5) coverage pelatihan (kebutuhan belajar), 6) ketersediaan informasi, dan 7) kapabilitas informasi. Total seluruh variabel yang dioperasionalisasikan dalam pemodelan dan mencakup pada 4 (empat) perspektif kinerja BSC adalah 16 (enam belas) variabel. Penentuan variabel- variabel tersebut selain berdasarkan pada parameter kinerja yang telah dikonseptualisasikan, juga berdasarkan proses validasi model yang dilakukan bersamasama dengan pihak Puskesmas. Kaidah ini dilakukan agar model mendekati dunia nyata, dan tidak semata-mata berlandaskan teori atau konsep yang dibangun. Hipotesis Hipotes is yang diketengahkan dalam penelitian ini adalah : 1. Tingkat dan pola atau arah kecenderungan kinerja BSC (pelanggan, proses internal, keuangan, dan pembelajaran-pertumbuhan) pada Puskesmas elite diduga lebih baik daripada Puskesmas moderate. Sementara tingkat dan pola kecenderungan kinerja BSC pada Puskesmas moderate diduga lebih baik daripada Puskesmas slum.
84
2. Struktur atau bentuk sistem kinerja BSC Puskesmas diduga memiliki hubungan kausal yang membentuk suatu loop (bentuk sistem tertutup) di mana terdapat umpan balik (feed back) negatif yang mendominasi hubungan antara satu variabel terhadap variabel lainnya. 3. Variabel-variabel leverage (pengungkit) yang dapat meningkatkan kinerja Puskesmas diduga akan berbeda antara Puskesmas elite, moderate dan slum. Pada Puskesmas elite diduga variabel yang menjadi leverage adalah variabel yang terdapat pada perspektif pembelajaran-pertumbuhan. Sedangkan pada Puskesmas moderate diduga bahwa variabel yang menjadi leverage adalah yang terdapat pada perspektif proses internal. Sementara pada Puskesmas slum bahwa variabel yang menjadi leverage adalah yang terdapat pada pelanggan.
85
METODE PENELITIAN Pada bagian ini secara berturut-turut akan diketengahkan paradigma penelitian, rancangan penelitian, populasi dan sampel, data, teknik pengumpulan data, teknik analisis data, validitas dan reliabilitas. Paradigma Penelitian Paradigma penelitian yang akan digunakan dalam upaya menjawab pertanyaanpertanyaan dalam penelitian ini mencakup dua paradigma sekaligus. Dalam upaya menjawab pertanyaan penelitian tentang tingkat kinerja BSC Puskesmas, paradigma yang digunakan adalah kuantitatif atau positivist. Sedangkan untuk menjawab pertanyaan penelitian yang berhubungan dengan pola (arah) dan struktur (bentuk) kinerja BSC, serta model pemberdayaan Puskesmas digunakan paradigma System Dynamic dengan pendekatan ‘hard approach ’ yang saat ini telah disejajarkan dengan pendekatan kuantitatif. Alasan menggunakan pendekatan kuantitatif atau positivist dalam menjawab pertanyaan tentang tingkat kinerja tidak lain karena ditinjau dari asumsi ontologi, epistemologi, aksiologi, dan metodologi, penelitian ini memiliki karakteristik atau gambaran sebagaimana dimaksud dalam asumsi- asumsi tersebut. Pertama, dari asumsi ontologi (apa sifat dari realita), penelitian ini mendasarkan pada realita obyektif dan tunggal terpisah dari subyektifitas peneliti. Artinya, fenomena yang diteliti berada di luar peneliti dan secara obyektif dapat diukur dengan menggunakan daftar pertanyaan atau instrumen. Kedua, ditilik dari asumsi epistemologi (bagaimana hubungan peneliti dan yang diteliti), maka dalam penelitian ini hubungan peneliti independen dari obyek yang diteliti. Artinya peneliti berusaha mengendalikan prasangka dan bersikap obyektif dalam menilai situasi. Ketiga, dari asumsi aksiologi (apakah peran nilai), maka penelitian ini adalah bebas nilai dan tidak bias. Artinya nilai peneliti terpisah dari penelitian. Keempat, dari asumsi metodologi (apakah proses penelitiannya), proses penelitian ini berjalan dalam alur deduktif atau hubungan sebabakibat (Patton,1988 dalam Creswell,1994:4). Selain asumsi-asumsi tersebut, secara umum alasan pemilihan paradigma kuantitatif, antara lain juga karena permasalahan yang diteliti (khususnya pada tujuan mengetahui kinerja Puskesmas) memiliki variabel-variabel, konsep-konsep, dan teori86
teori yang pada umumnya telah dikenal, dan mudah untuk dijadikan pijakan dalam meneliti. Selanjutnya dalam upaya menjawab pertanyaan kedua dalam penelitian ini, yakni tentang pola dan struktur kinerja BSC serta model pemberdayaan Puskesmas berdasarkan struktur kinerja BSC tersebut, digunakan System Dynamic (SD) dari aliran kuantitatif atau ‘hard approach’. Penggunaan SD dipandang mampu memecahkan masalah kompleksitas hubungan sistemik (non linier) variabel-variabel dalam Balanced Scorecard (BSC). Hal tersebut sesuai dengan fungsi SD sebagai metode pembelajaran dalam suatu sistem yang komplek sebagaimana diketengahkan oleh Sterman ( 2000:4) berikut ini, bahwa: “System dynamic is a method to enhance learning in complex systems. Just as airline uses flight simulators to help pilots learn, system dynamics is, partly, a method for developing management flight simulators, often computer simulation models, to help us learn about dynamic complexity, understand to sources of policy resistence, and design more effective policies”
Paradigma ‘hard approach’, menurut Maani dan Cavana (2000:20), adalah setara dengan pendekatan kuantitatif atau deterministic sebagaimana digunakan dalam penelitian yang menguji hubungan linier. Sejalan dengan Maani dan Cavana, Hsiao (2001:7), juga menyatakan bahwa saat ini pendekatan hard approach dikelompokkan dalam paradigma positivistic, hal ini sebagaimana diungkapkannya bahwa:“…the current system dynamics modeling effectively embrace a ‘positivistic worldview’, a paradigm (way of thinking) that concider the world as ordered universe made up of atomistic, discrete and observable events” Pandangan tentang kesetaraan paradigma ‘hard approach’ dengan paradigma positivist atau kuantitatif, antara lain juga didasarkan pada peran statistik dalam pengukuran variabel- variabel dari sistem dan dalam mendemonstrasikan obyektifitas model, serta penempatan peran peneliti secara obyektif di luar obyek yang ditelitinya. Lebih jauh Hsiao menyatakan bahwa : “The quantitative modelling approach, in principle, follow the positivist paradigm and emphasizes the measurable factors of a system, without paying sufficient attention to the complexity of human interaction”
87
Selain dari pada itu, secara ontologi, epistemologi, metodologi, dan aksiologi, penggunaan hard approach dipandang sesuai karena menunjukkan karakteristik yang sama dengan paradigma kuantitatif yang digunakan untuk menjawab pertanyaan kinerja. Karakteristik tersebut selanjutnya dapat disimak pada tabel 4 yang sekaligus membedakan pula antara paradigma hard approach dan soft approach dalam SD.
Tabel 4 Hard Versus Soft Approaches Criteria
Hard Approaches
Model Definition
A representation of the real world
Problem Definition
Clear and single dimensional (single objective) People and Organization Not taken into account Data Quantitative Goal Solution and optimization Outcome Product or recommendation Sumber : Pidd (1996, dalam Maani dan Cavana, 2000:21
Soft Approaches A way of generating debate and insight about the real world Ambigous and multidimensional (multiple objective) Are integral parts of the model Qualitative Insight and learning Progress through group learning
Tipe Penelitian Ditinjau dari Dimensi Tujuan dan Waktu
Ditinjau dari dimensi tujuan, tipe penelitian yang menjawab tujuan pertama adalah deskriptif, yakni mengga mbarkan dan menganalisis tingkat kinerja Puskesmas melalui dukungan analisis teori yang relevan. Sedangkan tipe penelitian untuk menjawab model pemberdayaan Puskesmas adalah explanation. Penelitian tipe explanatif menurut Neuman (1997:20) adalah penelitian yang bertujuan menjelaskan dan menggambarkan alasan-alasan ‘mengapa sesuatu terjadi atau tidak terjadi’. Selain itu, tipe penelitian ini juga bertujuan untuk menjelaskan hubungan sebab-akibat secara kausalitas sebagaimana menjadi tujuan kedua penelitian ini. Tipe explanatif sengaja dipilih karena sesuai dengan cara berpikir yang digunakan dalam memahami permasalahan kinerja secara kausalistik dan menggambarkan suatu cara berpikir yang tidak hanya melihat suatu permasalahan yang nampak dipermukaan saja, melainkan melihat secara lebih luas lagi hingga ke pola-pola hubungan antara variabel yang satu dan yang lain. Makna eksplanasi semakin nyata ketika pola-pola hubungan ditelaah bentuk struktur hubungan yang memiliki makna dan dapat
88
diperhitungkan besarannya, dan kemudian memotretnya secara lebih mendalam lagi melalui analisis mental model yang pada dasarnya mempertanyakan ‘mengapa’ masalahmasalah tersebut terjadi dan saling berhubungan secara kausalitas Ditinjau dari aspek waktu, tipe penelitian ini longitudinal research, artinya bahwa pengambilan data dilakukan secara time series, di mana data diambil secara periodik setiap 3 (tiga) bulan sekali dalam satu tahun survei yakni tahun 2005. Metode pengumpulan data secara runtun waktu adalah syarat utama dalam metode SD yakni untuk mengetahui pola kecenderungan sistem selama batas waktu tertentu. Dengan diketahuinya pola kecenderungan sistem, maka struktur hubungan variabel- variabel dalam sistem akan mudah diidentifikasikan. Selanjutnya melalui perangkat lunak powersim secara efisien dapat dilakukan pekerjaan simulasi model dan pembuatan skenario-skenario pemberdayaan untuk menetapkan model pemberdayaan Puskesmas secara tepat. Populasi Penelitian
Keseluruhan elemen atau populasi dalam penelitian ini adalah berupa organisasi dan individu- individu pegawai dan pelanggan yang terlibat dalam kegiatan Pusat Kesehatan Masyar akat atau Puskesmas Kecamatan, yang beroperasi di Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta (minus Kepulauan Seribu) pada kurun waktu 2005. Alasan untuk tidak mengikutsertakan Puskesmas di Kabupaten Kepulauan Seribu dalam populasi penelitian ini antara lain adalah karena pada saat penelitian ini dilaksanakan, Puskesmas di sana belum berstatus sebagai Puskesmas swadana sebagaimana Puskesmas lain di wilayah DKI-Jakarta, sehingga dikuatirkan akan mempengaruhi sifat homogenitas Puskesmas yang diteliti. Dengan demikian populasi target dalam penelitian ini berjumlah 42 (empat puluh dua) Puskesmas Kecamatan. Perhitungan tersebut berasal dari jumlah Puskesmas Kecamatan dalam populasi target ada 44 (empat puluh empat) Puskesmas Kecamatan dikurangi 2 (dua) Puskesmas Kecamatan Kepulauan Seribu, sehingga jumlahnya adalah 42 (empat puluh dua) Puskesmas Kecamatan. Pada dasarnya populasi Puskesmas dapat digolongkan homogen, terutama dilihat dari titik acuan (point of reference) berupa stratifikasi kewilayahan di mana Puskesmas
89
beroperasi, yakni wilayah administratif Kecamatan. Namun untuk keperluan analisis kinerja, dalam penelitian ini dilakukan pengelompokkan Puskesmas ke dalam tipologi Puskesmas elite, moderate, dan slum. Adapun yang menjadi dasar pengelompokkan adalah: Pertama,
rasio
jumlah
penduduk
dan
penduduk
miskin
diperkirakan
mempengaruhi potensi jumlah pasien yang pada gilirannya juga mempengaruhi penerimaan retribusi Puskesmas. Tinggi, sedang, dan rendahnya rasio jumlah penduduk berbanding penduduk miskin selanjutnya menjadi acuan untuk mengelompokkan Puskesmas dalam wilayah elite, moderate dan slum. Kedua, tipologi juga didasarkan pada banyaknya lokasi tempat tinggal rumah tangga miskin seperti di bantaran sungai, perkampungan kumuh, dan tepi rel kereta api. Lokasi- lokasi demikian terdapat di beberapa Kecamatan di mana Puskesmas beroperasi dan diduga dapat mempengaruhi kinerja Puskesmas dalam melayani segmen pelanggan keluarga miskin (GAKIN). Ketiga, didasarkan pada Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) wilayah setempat, artinya tinggi, sedang dan rendahnya NJOP di wilayah Puskesmas menjadi acuan pengelompokkan Puskesmas wilayah elite, moderate, dan slum (Data tentang hal ini terlampir) Adapun hasil identifikasi ke dalam tiga tipologi Puskesmas dapat disimak pada Tabel 5 berikut ini.
Tabel 5 Tipologi Puskesmas di DKI-Jakarta Berdasarkan Wilayah Kecamatan Elite, Moderate dan Slum No
1. 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Puskesmas Wilayah Elite Pasar Rebo Ciracas Matraman Kelapa Gading Kebon Jeruk Palmerah Taman Sari Menteng Cempaka Putih Jaga Karsa Pasar Minggu Pesanggrahan Setiabudi Tebet Kebayoran Baru
Puskesmas Wilayah Moderate Cipayung Makasar Duren Sawit Tanjung Priok Kembangan Grogol Petamburan Senen Sawah Besar Gambir Pancoran Kramat Jati Kalideres Mampang Prapatan Kebayoran Lama
Total 16 Puskesmas Elite 14 Puskesmas Moderate Sumber: Diolah dari Data Sekunder Penelitian (2005)
Puskesmas Wilayah Slum Tanah Abang Jatinegara Cakung Pulo Gadung Penjaringan Pademangan Koja Cilincing Tambora Cengkareng Kemayoran Johar Baru
12 Puskesmas Slum
90
Langkah selanjutnya adalah menentukan populasi sampel berdasarkan pada populasi target yang telah dikelompokkan tersebut. Dengan metode sampling acak kelompok, pada masing- masing kelompok akan diambil secara random 1 (satu) Puskesmas. Jumlah atau besaran sampel Puskesmas dalam hal ini ditetapkan berdasarkan homogenitas populasi dan kemampuan sumberdaya yang digunakan dalam penelitian ini. Semakin homogen populasi semakin kecil sampel, dan semakin heterogen populasi, semakin besar sampel (Irawan, 2004:73). Berdasarkan pada pemahaman tersebut, maka populasi sampel dalam penelitian ini secara random jatuh pada Puskesmas Elite Kebayoran Baru, Puskesmas Moderate yakni Kalideres, dan Puskesmas Slum, adalah Kemayoran. Rumusan populasi juga mempertimbangkan cakupan obyek yang diteliti. Dalam hal ini diketahui bahwa Puskesmas di DKI-Jakarta saat ini melaksanakan dua macam aktifitas yang tercermin dalam struktur organisasi, yakni aktifitas di dalam gedung yang dikenal dengan pelayanan kesehatan yang berujud pelayanan pengobatan (kuratif) dan sebagian pelayanan promotif (penyuluhan), serta aktifitas di luar gedung yang dikenal sebagai pelayanan kesehatan masyarakat. Karena keterbatasan sumberdaya, maka penelitian ini dibatasi dan difokuskan hanya pada aspek pelayanan kesehatan di dalam gedung. Dengan demikian rumusan populasi sampel adalah : ‘Organisasi yang mencakup pegawai dan pelanggan pelayanan kesehatan pada Puskesmas Kecamatan elite, moderate, dan slum, di Provinsi DKI-Jakarta (minus Kepulauan Seribu), pada tahun 2005’
Jenis dan Teknik Penarikan Sampel
Dari rumusan populasi, unit analisis dalam penelitian ini adalah organisasi dan individu. Organisasi adalah diwakili oleh Puskesmas Kecamatan Kebayoran Baru (elite), Kalideres (moderate) dan Kemayoran (slum), sedangkan unit analisis individu adalah pelanggan dan pegawai ketiga Puskesmas tersebut. Berdasarkan populasi sampel ditarik sejumlah sampel pelanggan dan pegawai Puskesmas dengan memperhatikan prosedur tertentu. Jenis sampel pelanggan yang digunakan adalah sampel probabilita dengan teknik penarikan ‘sampel acak kelompok dua tahap’. Pilihan pada samp el acak kelompok karena
91
didasarkan pada pertimbangan, pertama, bahwa persebaran pelanggan pelayanan kesehatan/pengobatan terkonsentrasi atas kelompok-kelompok yang disebut layanan poliklinik, misalnya pelanggan poliklinik umum, THT, gigi, dan seterusnya. Kedua, berdasarkan pada hal tersebut, maka sangat tidak efisien jika harus mengambil elemen sampel secara langsung dari populasi, sebab selain harus proporsional, juga memerlukan waktu cukup lama untuk menyusun kerangka sampel. Ketiga, tujuan pengelompokan adalah untuk menciptakan homogenitas elemen-elemen dalam populasi. Keempat, semakin homogen populasi, maka besaran jumlah sampel tidak mengikat. Berdasarkan hal tersebut, maka langkah- langkah penarikan sampel pelanggan adalah: (1) Menetapkan daftar kelompok yakni berdasarkan poliklinik -poliklinik. (2) Menarik sampel acak dengan pengembalian kembali (with replacement) dari daftar kelompok poliklinik-poliklinik yang telah ditetapkan pada tahap pertama tersebut. Jumlah sampel kelompok yang ditarik adalah dua poliklinik pada masing- masing kelompok Puskesmas. (3) Dari satu sampel kelompok poliklinik yang ditarik pada tahap kedua, ditarik secara acak 25 responden sebagai sampel individual pelanggan secara runtun waktu, yakni setiap satu triwulan sekali. Total sampel pelanggan adalah 25 responden x 2 poliklinik x 3 Puskesmas x 4 triwulan = 600 responden (150 responden/triwulan). POPULASI PUSKESMAS PKC ‘ELITE’
PKC ‘MODERATE’
PKC ‘SLUM’
Sampling kelompok POLIKLINIK (10 – 14 )
POLIKLINIK (10 – 14 )
POLIKLINIK (10 – 14 ) Triwulan 1
Sampling kelompok 2 POLIKLINIK E DAN F
2 POLIKLINIK E DAN F
2 POLIKLINIK E DAN F Triwulan 4
25 Pelanggan E 25 Pelanggan F
25 Pelanggan E 25 Pelanggan F
25 Pelanggan E 25 Pelanggan F
TOTAL SAMPEL = 4 triwulan X 50 responden X 3 kel = 600 resp.
Gambar 6 Skema Tehnik Penarikan Sampel Responden Pelanggan (Sumber: Hasil Kajian Penulis, 2005)
92
Pada sampel pegawai, jenis sampel yang digunakan adalah probabilita, artinya setiap pegawai PNS Puskesmas memiliki kesempatan yang sama untuk menjadi sampel. Adapun tehnik penarikan sampel dilakukan secara acak sederhana dengan pengembalian kembali (with replacement) setiap triwulan sekali sejumlah 10 sampel, dengan komposisi 7 (tujuh) medis, dan 3 non medis. Total sampel selama 4 (empat) triwulan ada lah 4 x 10 responden x 3 PKC ( elite, moderate dan slum) = 120 responden pegawai
Analisis Data
Analisis data yang akan diketengahkan pada bagian ini merupakan rangkaian penjelasan tentang jenis data menurut sumber dan skala pengukuran yang digunakan, teknik pengumpulannya, teknik pengolahan dan pengukuran data, dan teknik analisis data. Jenis Data yang Digunakan Untuk menjawab pertanyaan tentang tingkat kinerja, diperlukan jenis data primer dan data sekunder. Data primer yang diperlukan di sini mencakup data primer kuantitatif dan data primer kualitatif. Data primer kuantitatif diperlukan untuk menyusun dan mengetahui informasi tentang tingkat kinerja BSC Puskesmas, dalam hal ini mencakup: (1) data primer dari perspektif pelanggan yakni ‘Indeks Kepuasan Kelanggan (IKP)’. (2) data primer dari perspektif proses internal yakni ‘Indeks Penilaian Pelanggan terhadap Penyuluhan’. (3) data primer dari perspektif pembelajaran-pertumbuhan organisasi yang meliputi a). kepuasan pegawai, b). kapabilitas informasi, dan c). kapabilitas pegawai. Selain data primer kuantitatif diperlukan pula data primer kualitatif yang diperoleh melalui wawancara dengan responden yang dipandang dapat memberikan informasi akurat yang diperlukan. Termasuk dalam data primer kualitatif adalah sebagian besar data yang digunakan untuk model CLD dan SFD, dan berupa data ‘judgment’ yang diperlukan secara langsung dari pihak Puskesmas yang berkaitan dengan norma atau standar perbandingan penilaian kinerja yang sebelumnya tidak terdapat/tidak tertulis. Sumber yang dipercaya dapat memberikan judgment adalah Kepala Puskesmas, dan pihak-pihak lain terkait yang dipandang mengetahui kebenaran dari norma yang diinginkan.
93
Data berikutnya yang diperlukan adalah data sekunder untuk proses pemodelan, mencakup proses pembuatan diagram Causal-Loop Diagram (CLD) dan Stock -Flow Diagram (SFD) yang kegunaannya untuk mengetahui pola (arah) kecenderungan dan struktur (bentuk) hubungan kinerja Puskesmas. Baik data primer maupun sekunder dikumpulkan setiap 3 bulan sekali (time series ). Data sekunder mencakup : (1) data keuangan (khusus YanKes), (2) data persediaan obat dan norma persediaan obat, (3) data waktu layanan dan norma waktu layanan, (4) data program-program inovasi yang sedang dilaksanakan, (5) data tentang frekuensi penyuluhan, rata-rata kehadiran sasaran, dan norma penyuluhan, (6) data jumlah pelanggan, pegawai, penduduk, dan data-data lain yang tertulis yang berfungsi mendukung temuan dan pemodelan.
Sumber data Primer dan Sekunder Sumber data primer diperoleh secara langsung dari responden pelanggan, dan responden pegawai, serta dari sumber-sumber langsung baik dari individu-individu para pejabat terkait maupun lembaga - lembaga terkait, seperti, Kepala Puskesmas, pejabat terkait dari Suku Dinas Kesehatan Kota di DKI-Jakarta, pejabat terkait dari Dinas Kesehatan DKI-Jakarta, serta sumber-sumber lainnya seperti para ahli di bidang permodelan atau system dynamic. Sedangkan sumber data sekunder adalah dari pihak kedua yang telah mengumpulkannya terlebih dulu. Pihak kedua di sini adalah dapat berasal dari internal Puskesmas maupun dari eksternal Puskesmas. Data sekunder yang diperlukan biasanya telah berbentuk data olahan dan dimuat dalam dokumen-dokumen tertulis atau tercatat seperti laporan, hasil rapat, peraturan, dan dokumen-dokume n lain terkait. Adapun yang dimaksud dengan responden pelanggan adalah pelanggan yang terdaftar di Puskesmas yang mendatangani Puskesmas untuk menikmati pelayanan pengobatan yang diselenggarakan oleh Puskesmas melalui berbagai macam poliklinik yang ada di Puskesmas. Batasan ini dibuat untuk membedakan dengan definisi pelanggan Puskesmas pada aspek Kesehatan Masyarakat (pelanggan atau masyarakat yang dikunjungi oleh Puskesmas) sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Responden pegawai yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pegawai medis dan non medis yang berstatus sebagai pegawai tetap atau Pegawai Negeri Sipil yang bekerja
94
di Puskesmas. Karena jumlah pegawai medis lebih banyak dari pada pegawai administratif, maka sampel responden pegawai medis secara proposional lebih banyak bila dibandingkan dengan pegawai non medis.
Teknik Pengumpulan Data Prosedur pengumpulan data primer kuantitatif adalah dengan tehnik penyebaran kuisioner secara langsung (dengan menggunakan pewawancara terlatih) pada responden pelanggan maupun pegawai pada setiap triwulan yang dimulai pada bulan Maret hingga Desember tahun 2005. Pengambilan secara runtun waktu ini adalah syarat utama untuk keperluan pemodelan untuk tujuan mengetahui pola kecenderungan peningkatan atau penurunan kinerja Puskesmas selama kurun waktu tertentu. Prosedur pengumpulan data primer kualitatif dilakukan dengan wawancara secara mendalam dengan individu-individu yang menjadi sumber informasi penting dalam penelitian ini, antara lain adalah Kepala Puskesmas yang menjadi sampel penelitian, dan sumber-sumber lainnya dari Dinas Kesehatan Prop.DKI-Jakarta. Prosedur pengumpulan data sekunder adalah dilakukan dengan cara mengumpulkan dokumen-dokumen penting yang diperlukan, untuk kemudian mempelajarinya dan mengolahnya kembali bila diperlukan, hingga informasi yang diinginkan dapat dipenuhi.
Teknik Pengolahan dan Analisis Data Sebagian data primer yang terkait dengan pengukuran persepsi dan nilai indeks kinerja BSC (Pelanggan dan Pegawai) diolah melalui perangkat lunak komputer SPSS versi 11.5. Sementara sebagian lagi yang berupa data sekunder, diolah secara manual dengan mempergunakan rumus-rumus matematik sederhana. Pengolahan data yang dilakukan melalui SPSS mencakup, pertama, data primer dari perspektif pelanggan yakni ‘Indeks Kepuasan Kelanggan’. Kedua, data primer dari perspektif proses internal yakni ‘Penilaian Pelanggan terhadap Penyuluhan’. Ketiga, data primer dari perspektif pembelajaran-pertumbuhan organisasi yang meliputi (1) kepuasan pegawai, (2) kapabilitas informasi, dan (3) kapabilitas pegawai. Analisis data primer tentang tingkat kinerja dilakukan menurut metode statistik deskriptif untuk mengetahui nilai pada setiap variabel atau indikator kinerja BSC.
95
Sebelumnya perlu diketengahkan bahwa skala yang digunakan untuk mengukur variabelvariabel kinerja adalah skala Likert dengan rating scale 1 hingga 5 atau dengan pernyataan dari ‘sangat tidak setuju’ hingga ‘sangat setuju’. Setiap pernyataan ditandai dengan suatu ‘numerical score’ artinya analisis dapat berbasis atas item demi item atau dapat dilakukan penjumlahan skor (summated) pada setiap responden. Menurut Maholtra (1999:271) pendekatan demikian dalam skala Likert mengacu pada ‘summated scale’ , dan dengan demikian termasuk dalam skala interval. Terkait dengan metode pengukuran variabel tersebut, maka untuk mengetahui dan menganalisis nilai- nilai pada setiap variabel diperlukan statistik deskriptif yang dihubungkan dengan frekuensi persebaran nilai- nilai, antara lain measure of location yakni suatu statistik yang menggambarkan suatu lokasi dari satu set data, dan biasanya terdiri dari mean (atau nilai rata-rata, jika skala yang digunakan interval), mode (atau nilai tertinggi pada distribusi, jika skala yang digunakan adalah kategori atau nominal), dan median (atau nilai tengah, jika skala yang digunakan adalah ordinal). Karena skala Likert mengacu pada skala interval, maka persebaran nilai dalam penelitian ini akan dilihat secara rata-rata (mean) atau dengan tendensi sentral pada nilai rata-rata. Selanjutnya dalam analisis statistik deskriptif digunakan dua versi analisis data primer yakni analisis melalui metode konversi secara normatif sebagaimana dianjurkan dalam ‘Pedoman Umum Penyusunan Indeks Kepuasan Masyarakat atau IKM (menurut Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor: KEP/25/M.PAN/2/2004) yang telah diberlakukan pada sebagian besar Unit Instansi Pemerintah.dan teknik analisis melalui metode konversi empiris atau aktual, dimana penentuan peringkat nilai kinerja didasarkan pada nilai interval yang diperoleh dari selisih skor tertinggi dan terendah. Penggunaan kedua teknik analisis tersebut antara lain bertujuan untuk membandingkan nilai mutu kinerja agar selanjutnya dapat menjadi bahan pertimbangan bagi pengambilan keputusan pihak Puskesmas. Setelah dilakukan penyesuaian istilah dan pembobotan, maka teknis analisis normatif dilakukan dengan langkah- langkah sebagai berikut : Pertama, Nilai Indeks Kepuasan Masyarakat (di dalam penelitian ini disesuaikan dan diganti dengan nilai ‘Indeks Kepuasan Pelanggan’, dan selanjutnya disingkat IKP) dihitung dengan menggunakan ‘nilai tertimbang’, masing- masing indikator pelayanan.
96
Setiap indikator memiliki penimbang yang berbeda sesuai dengan bobot yang diberikan pelanggan (di dalam SK MENPAN bobot penimbang setiap indikator dianggap sama). Adapun rumus nilai pembobotan adalah sebagai berikut:
Nilai pembobotan = Nilai bobot yang diberikan pelanggan Jumlah akumulasi indikator
Contoh : Indikator ‘x’ adalah salah satu dari 4 indikator yang diberikan bobot oleh pelanggan tertinggi yakni 4, maka nilai bobot indikator ‘x’ adalah 4 / 10 atau 0.4 (angka 10 merupakan akumulasi dari jumlah indikator yakni 1, 2, 3, 4 = 10) Kedua, untuk mengetahui nilai IKP per indikator, maka digunakan rumus sebagai berikut
IKP per indikator = Total Nilai Persepsi per indikator X Bobot n Responden
Sedangkan untuk mengetahui nilai ‘Indeks Kepuasan Pelanggan’ per variabel dimensi Servqual digunakan rumus sebagai berikut :
IKP per dimensi = ? Total Nilai Persepsi per indikator X Bobot n Responden
Ketiga, untuk memudahkan interpretasi terhadap penilaian IKP maka terlebih dahulu nilai pada skala Likert (1-5) dikonversikan ke dalam ‘nilai konversi IKP’ antara 20 - 100. Keempat, langkah terakhir adalah menentukan ‘nilai konversi IKP’, dengan rumus
IKP konversi = IKP per Dimensi X nilai dasar 20 Hasil penghitungan menurut langkah- langkah tersebut adalah tertera pada Tabel 6 berikut ini.
97
Tabel 6 Konversi Nilai Skala Likert Ke Nilai Mutu Layanan dan Kinerja Pelayanan Dengan Metode Normatif Nilai Skala Likert 1 2 3 4 5
Nilai Konversi Interval 1.00 1.81 2.61 3.41 4.21
-
Nilai Konversi IKP (nilai dasar 20)
Mutu Pelayanan
Kinerja Unit Pelayanan
20 - 36 36.1 - 52 52.1 - 68 68.1 - 84 84.1 - 100
E D C B A
Sangat kurang Kurang Sedang Baik Sangat Baik
1.80 2.60 3.40 4.20 5.00
Sumber: SK Kep.MENPAN NO.25/2004
Sedangkan konversi berdasarkan metode empiris dilakukan dengan mencari selisih nilai skor terendah - sebagai contoh pada perspektif ‘kepuasan pelanggan’ nilai tersebut adalah 2.68 - dengan nilai skor tertinggi adalah 4.68, selisih kedua nilai diketahui yakni 2.00. Selisih nilai kemudian dibaga i 5 dan hasilnya adalah nilai interval 0.4. Selanjutnya berdasarkan nilai interval tersebut peringkat nilai konversi dapat disimak pada Tabel 7 berikut ini.
Tabel. 7 Konversi Nilai Interval Ke Nilai Mutu dan Nilai Kinerja Pelayanan Dengan Metode Empirik Nilai Interval 4.28 - 4.68 3.87 - 4.27 3.45 - 3.86 3.03 - 3.44 2.62 - 3.02 Sumber: Hasil kajian penulis, 2006
Nilai Mutu
Nilai Kinerja Pelayanan
A B C D E
Sangat Baik Baik Sedang Kurang Sangat Kurang
Teknis a nalisis berikutnya adalah berkaitan dengan pemodelan, yakni menggunakan perangkat lunak komputer powersim, dengan tujuan untuk mengetahui atau menemukan pola kecenderungan perilaku variabel-variabel dalam model. Muhammadi, dkk (2001:374) mengetenga hkan beberapa teknik analisis model, namun yang dipandang sesuai dengan tujuan penelitian ini adalah apa yang disebutnya dengan ‘Pengembangan Alternatif Kebijakan Fungsional’ untuk keperluan penentuan kebijakan (dalam penelitian ini adalah untuk keperluan memutuskan model pemberdayaan mana yang paling sesuai). Teknik
analisis
tersebut
berupa
pengembangan
kebijakan
alternatif
untuk
mengembangkan ide- ide baru yang diperlukan dalam mempengaruhi sistem untuk
98
mencapai tujuan. Pengembangan ide-ide baru dalam kebijakan dapat dilakukan dengan cara membiarkan model tetap seperti apa adanya, sedangkan yang diubah adalah parameter dari fungsi- fungsi dalam model. Tabel 8 berikut ini akan membantu memperjelas hal tersebut. Tabel 8 Pengembangan Alternatif Kebijakan Fungsional PARAMETER
P1 , P2, P3, P4
PARAMETER SENSITIVITAS TINGGI P1, P2, P3
KOMBINASI PARAMETER Komponen Sensitivitas P1, P2 X1 P2, P3 X2 P3, P1 X3
PERNYATAAN KEBIJAKAN Kebijakan A Kebijakan B Kebijakan C
KATEGORI KEBIJAKAN Lama Lama Baru
(Sumber: Muhammadi, dkk, 2001:375)
Berdasarkan konsep analisis model tersebut, maka analisis model dalam disertasi ini akan mengacu pada langkah- langkah sebagai berikut : 1. Analisis kausalitas 4 kinerja utama BSC (Pelanggan, Proses Internal, Pembelajaran-Pertumbuhan, dan Keuangan) melalui model diagram CLD untuk mengetahui pola kecenderungan sistem kinerja BSC Puskesmas. Kemudian untuk mengetahui perilaku struktur sistem kinerja, analisis dilakukan terhadap diagram alir (diagram stock–flow) atau SFD. 2. Analisis uji sensitivitas model untuk menemukan perilaku ‘terbaik’ dari variabelvariabel kunci yang diyakini dapat menjadi pengungkit pemberdayaan Puskesmas. 3. Menyusun skenario pemberdayaan berdasarkan faktor- faktor kunci yang diperkirakan
dapat
menjadi
pengungkit
kinerja
Puskesmas
dengan
mempertimbangkan strategi dan lingkungan sistem kerja Puskesmas. Analisis skenario menggunakan kuadran Star. 4. Menetapkan model pemberdayaan Puskesmas yang dibuat berdasarkan skenario skenario yang telah ditetapkan.
99
Validitas dan Reliabilitas Instrumen
Validitas dan reliabilitas instrumen menggunakan validitas dan reliabilitas konstruk. Evaluasi validitas konstruk dimulai dengan memeriksa nilai t dari muatanmuatan faktor (factor loading) atau koefisien-koefisien yang ada dalam model. Nilai t suatu muatan faktor atau koefisien yang tinggi merupakan bukti bahwa variabel- variabel teramati atau faktor-faktor yang ada mewakili konstruk-konstruk yang mendasarinya. Nilai t setiap muatan faktor perlu melebihi nilai kritis yaitu 1,96 untuk tingkat signifikan 0,01. Nilai t suatu muatan faktor yang melebihi nilai kritis menunjukkan bahwa variabel yang bersangkutan secara nyata mempunyai hubungan dengan konstruk terkait dan sekaligus merupakan verifikasi hubungan antara variabel dan konstruk yang telah didefinisikan sebelumnya. Setelah pemeriksaan keeratan hubungan antara faktor dengan konstruk dilakukan, perlu juga pemeriksaan atas besarnya muatan faktor untuk melihat kuatnya hubungan antara variabel teramati dengan konstruk yang bersangkutan. Muatan faktor sebuah variabel minimal pada konstruknya dikatakan tinggi jika nilainya lebih dari 0,50 (Hair et al, 1998). Dengan demikian, sebuah variabel dikatakan memiliki validitas terhadap konstruk atau variabel laten yang baik apabila nilai t muatan faktornya lebih besar dari nilai kritis (1,96) dan nilai muatan faktornya lebih besar atau sama dengan 0,50. Reliabilitas sebuah pengukuran merupakan suatu cara untuk melihat konsistensi suatu pengukuran. Reliabilitas yang tinggi menunjukkan bahwa indikator- indikator mempunyai konsistensi tinggi dalam mengukur konstruk latennya. Reliabilitas ini diukur dengan nilai Cronbach Alpha. Nilai Cronbach Alpha diperoleh dengan memasukkan semua indikator sebuah konstruk pada aplikasi SPSS. Kecocokan model struktural diperiksa dengan cara melihat signifikansi dari berbagai koefisien persamaan struktural yang diestimasi. Hal ini dilakukan dengan melihat nilai alpha (α) dari konstruk variabel yang diestimasi. Konsistensi reliabilitas yang mencukupi ditunjukkan oleh nilai Cronbach Alpha lebih besar dari 0,6 dalam skala 0 sampai 1 (Maholtra, 1999). Adapun analisis faktor dilakukan dengan menggunakan metode Principal Component Analysis, untuk mengetahui apakah faktor tersebut layak digunakan dengan
100
memenuhi syarat-syarat Measure of Sampling Adequacy (MSA) test tidak dibawah 0,5 dan Anti Image Matrices tidak di bawah 0,5 (Hair et al., 1998). Jika MSA berada dibawah 0,5 berarti faktor tersebut tidak dapat digunakan, sedangkan jika terdapat item dalam Anti image matrices yang nilainya di bawah 0,5 maka item tersebut harus dibuang. Pada tabel Anti image matrice terlihat sejumlah angka yang membentuk diagonal, yang bertanda ‘a’. Hal ini menandakan bahwa MSA adalah sebuah indikator. Selain melihat uji nilai muatan faktor (factor loading), nilai alpha (α) dan nilai MSA, analisis faktor juga mensyaratkan nilai Kaiser-Meyer-Olkin Measure of Sampling Adequacy (KMO MSA) dan Bartlett’s Test of Sphercity dalam sampel secara keseluruhan. Besarnya nilai Kaiser-Meyer-Olkin Measure of Sampling Adequacy (KMO MSA) tidak di bawah 0,5 untuk melihat kecukupan sampel MSA secara keseluruhan. Sementara nilai signifikansi dalam Bartlett’s Test of Sphercity harus di bawah 0,05. Nilai ini digunakan untuk melihat adanya korelasi diantara variabel-variabel pengukuran. Berikut ini akan disajikan contoh hasil pengolahan validitas indikator- indikator instrumen kepuasan pelanggan, persyaratan nilai KMO-MSA, dan reliabilitas kelompok variabel dalam instrumen. Validitas Model dan Uji Sensitifitas
Validasi berikutnya dilakukan dalam kaitannya dengan tujuan penelitian kedua, yakni model pemberdayaan. Menurut Sterman (2000:846) validasi adalah berasa l dari kata latin ‘verus’ yang artinya kebenaran obyektif (truth), sedangkan istilah verifikasi diartikan sebagai ‘mencari kebenaran, akurasi, dan realitas dari suatu fenomena ’. Dengan demikian tanggung jawab terhadap model secara ilmiah adalah, bagaimana menciptakan model yang sebaik mungkin dalam arti memiliki kebenaran baik dari logika pemikiran atau teoritis, dan dari logika empiris dapat dipertanggung jawabkan yakni melalui uji statistik. Pada dasarnya tidak ada ketentuan berapa kali atau dengan cara apa saja suatu model harus divalidasi. Banyak cara atau metode validasi dan dapat dilakukan sesuai dengan keyakinan yang diinginkan oleh pembuat model. Hal ini sebagaimana
101
diketengahkan oleh Forrester dan Senge (1980, dalam Maani dan Cavana, 2000:69) bahwa: “There is no single test which serves to ‘validate’ a system dynamic model. Rather,confidence in a dynamic simulation model accumulates gradually as the model passes more test and as new points of correspondence between the model and empirical reality are identified”
Coyle, (dalam Maani dan Cavana, 2000:69) menganjurkan validasi model melalui tiga cara, yakni, pertama melakukan test verifikasi terutama terhadap parameterparameter yang digunakan dalam model. Tes ini untuk mencocokan ukuran yang digunakan dalam model dengan kenyataannya. Kedua, tes validasi, yakni tes untuk menunjukkan bahwa secara aktual, model memiliki konsistensi perilaku yang tetap atau sama dengan kenyataannya. Ketiga, tes legitimasi, di mana model yang ditetapkan berdasarkan atas hukum- hukum dalam sistem, atau secara umum aturan-aturan yang mengikuti model diterima. Prinsip dari validasi terakhir ini adalah bahwa perilaku model harus masuk akal ( plausible), dan tidak bertentangan dengan dunia nyata. Muhammadi, dkk (2001:344) menyatakan bahwa, teknik validasi yang utama dalam metode berpikir sistem adalah ‘validasi struktur model’ , yakni sejauh mana keserupaan struktur model mendekati struktur nyata. Artinya adalah sejauh mana interaksi variabel model dapat menirukan interaksi kejadian nyata. Berdasarkan
pada
uraian
tersebut,
validasi
model
dalam
penelitian
ini
mengakomodir anjuran para ahli dengan penyesuaian-penyesuaian yang didasarkan atas pertimbangan faktor kondisional di lapangan. Dalam hal ini penulis melakuka n validasi secara lintas perspektif yakni menggunakan metode validasi yang memenuhi kaidah logika pemikiran atau teori, dan logika empirik atau statistik. Dengan demikian validasi model pada penelitian ini ditetapkan melalui : Pertama, validasi pada taraf proses modelling. Pada proses pembuatan model, logika pemikiran dibangun selain melalui teori juga mengikut sertakan para ahli dan pakar dynamic modelling, serta pihak stakeholder yakni Puskesmas dan Suku Dinas Kesehatan, untuk memberikan masukan maupun kritikan terhadap model teoritik yang digagas. Melalui proses diskusi berkali-kali dan cukup panjang serta terdokumentasi, dihasilkan suatu model berdasarkan 4 kinerja BSC yang didasarkan atas logika pemikiran dan empiris dan berbagai parameter yang
102
digunaka n. (daftar nama pakar modelling dan tanggal pertemuan diskusi dilampirkan). Kedua, Validasi
secara
kuantitatif
atau
secara
statistik
dengan
menghitung
penyimpangan antara nilai rata-rata simulasi terhadap nilai rata-rata aktual, dengan rumus AME (Absolute Means Error). Dalam hal ini ditetapkan batas penyimpangan yang dapat diterima adalah antara 5 - 10 % . Berikut ini adalah rumus AME Rumus AME = Si - Ai
(Si = nilai rata-rata simulasi ; Ai = nilai rata-rata aktual)
Ai Berikut ini gambar proses validasi sebagaimana diketengahkan oleh Muhammadi, dkk
Proses
Keluaran
PERILAKU DAN KINERJA MODEL
Kontrol
Konstruksi Model
Validasi Konstruksi * Dasar Teori
Observasi kompleksitas dan ketidakpastian
Validasi Model
Rencana. Keluaran
STRUKTUR MODEL
Validasi Struktur Validasi Kinerja *Konsistensi (Statistik) *Sensitiitas
Validasi Model
Masukan
PERILAKU DAN KINERJA NYATA (FAKTA DAN DATA)
STRUKTUR DUNIA NYATA
Gambar 7 Proses Validasi Mode l ( Sumber: Muhammadi, dkk, 2001:346) Setelah validasi model dilakukan, selanjutnya dilakukan uji sensitivitas model. Menurut Muhammadi, dkk, ( 2001:361), uji sensitivitas adalah untuk mengetahui respon model terhadap suatu stimulus. Respon ditunjukkan dengan perubahan perilaku dan/atau kinerja model. Sedangkan stimulus dilakukan dengan memberikan perlakuan tertentu pada unsur atau struktur model. Uji sensitivitas bertujuan untuk menjelaskan sensitivitas parameter, variabel, dan hubungan antar variabel dalam model. Sedangkan hasil uji sensitivitas adalah dalam bentuk perubahan perilaku dan/atau kinerja model, dan digunakan untuk menganalisis efek intervensi terhadap model.
103
Terdapat dua macam uji sensitivitas yang diketengahkan oleh Muhammadi, dkk, yakni : Pertama, intervensi Fungsional, yakni intervensi terhadap parameter tertentu atau kombinasi parameter tertentu dari model dengan menggunakan fasilitas dalam perangkat lunak komputer (powersim) yang cocok atau mewakili perubahan keputusan, kejadian, dan keadaan tertentu. Maani dan Cavana (2000:228) menambahkan bahwa intervensi fungsional ini dapat dilakukan dengan cara menambah atau mengurangi 10 % dari parameter-parameternya. Sedangkan Muhammadi melakukannya dengan menambah atau mengurangi 10 – 20 % parameter-para meternya. Selanjutnya dalam penelitian ini, dipilih uji sensitivitas melalui intervensi fungsional, dengan pertimbangan efisiensi, dan agar tidak perlu mengubah struktur sistem kinerja yang diuji Kedua, intervensi Struktural, yakni intervensi yang mempengaruhi hubungan antar unsur atau struktur, yang dapat dilakukan dengan mengubah unsur atau hubungan yang membentuk struktur model, misalnya dengan menambahkan sub-model ‘penghubung’ kedalam model awal, sehingga mengubah struktur model semula. Uji sensitivitas dilakukan terhadap model yang baru, jika hasilnya tidak mengubah bentuk dasar (archetype) model maka disebut ‘intervensi inkremental’
sebaliknya jika mengubah
bentuk dasar model, maka disebut ‘intervensi radikal’.
104
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil dan pembahasan penelitian akan diuraikan secara bersamaan dan tidak terpisah pada bagian lain. Secara keseluruhan isi pada bagian ini mencakup jawaban dari pertanyaan-pertanyaan penelitian, yakni : (1) hasil dan pemba hasan kinerja BSC Puskesmas yang terdiri dari kinerja dari perspektif pelanggan, proses internal, pembelajaran-pertumbuhan, dan keuangan. Selain itu juga diketengahkan tentang pola atau arah kecenderungan kinerja Puskesmas yang ditunjukkan dengan peta Causal Loop Diagram (CLD) yang berisi hubungan-hubungan variabel kinerja secara kausalitas, dan umpan balik yang dihasilkan dari hubungan-hubungan di sana, yang berguna untuk analisis kinerja BSC secara sistemik. ; (2) hasil dan pembahasan struktur atau bentuk kinerja Puskesmas dalam analisis Stock Flow Diagram (SFD) yang menggambarkan bentuk hubungan secara sistemik dan kuantitatif dan (3) model pemberdayaan Puskesmas (elite, moderate, dan slum) yang terlebih dulu akan didahului dengan hasil uji sensitivitas, dan skenario pemberdayaan.
Kinerja Puskesmas
Sebagaimana telah diketengahkan sebelumnya, kinerja Puskesmas diukur dengan menggunakan parameter-parameter generic pada konsep Balanced Scorecard (BSC) yang terdiri dari perspektif pelanggan, proses internal, keuangan, dan pembelajaranpertumbuhan. Siklus BSC pada penelitian ini tidak diakhiri dengan perspektif keuangan sebagaimana konsep asli dari Kaplan dan Norton (1996), melainkan mengikuti anjuran Niven (2003), yang diakhiri dengan perspektif pelanggan. Hal ini dilakukan karena tujuan organisasi pelayanan publik (sebagaimana halnya Puskesmas) tidak berorientasi pada keuntungan, melainkan pada kemanfaatan bagi masyarakat pengguna. Niven menggambarkan siklus tersebut sebagai berikut:
105
MISSION
EMPLOYEE LEARNING AND GROWTH How do we enable ourselves to grow and change, meeting ongoing demands ?
CUSTOMER Whom do we define as our customer ? How do we create value for our customer ?
STRATEGY FINANCIAL How do we add value for customers while controlling cost ?
INTERNAL PROCESSES To satisfy customer while meeting budgetary constraints, at which business processes must we excel ?
Gambar 8 Siklus BSC Pada Organisasi Publik dan Nirlaba (Sumber: Niven, 2003:32)
Kinerja Puskesmas dari Perspektif Pelanggan Kinerja Puskesmas dari Perspektif Pelanggan diukur melalui parameter ‘Indeks Kepuasan Pelanggan’ terhadap 5 (lima) dimensi service quality (servqual) menurut Zaithaml, Parasuraman, Berry (1990). Adapun pengertian setiap dimensi dan pembobotan pelanggan terhadap indikator-indikator dimensi servqual adalah sebagai berikut : 1. Dimens i tangible : Kemampuan pelayanan yang terlihat pada aspek fisik Puskesmas. Diukur melalui 4 indikator dengan urutan bobot kepentingan menurut persepsi pelanggan, yakni (a) lokasi Puskesmas yang mudah dijangkau kendaraan umum (43 %) ; (b) keteraturan loket pendaftaran (28 %); (c) Kecukupan bangku di ruang tunggu (17 %) ; dan (d) kebersihan toilet (12%) 2. Dimensi responsiveness : Kemampuan Puskesmas memberikan pelayanan yang tanggap dan cepat, dengan indikator sesuai urutan bobot menurut kepentingan pelanggan, yakni (a) keberadaan dokter hingga jam kerja usai (46 %) ; (b) kecepatan pelayanan (21 %) ; (c) kerumitan prosedur pelayanan, (19 %) dan ( d) tanggap terhadap keluhan pasien (14 %).
106
3. Dimensi reliability : Kemampuan Puskesmas memberikan layanan yang handal dan akurat, dengan indikator sesuai urutan bobot menurut kepentingan pelanggan, yakni (a) kemampuan dokter dalam pengobatan (42 %) ; (b) ketersediaan obatobatan yang dibutuhkan (32 %) ; (c) petugas medis yang dapat diandalkan (26 %) 4. Dimensi assurance :Kemampuan Puskesmas untuk meyakinkan pelanggan dalam layanannya, dengan indikator sesuai bobot menurut kepentingan pelanggan, yakni (a) Jaminan bahwa setiap keluhan pelanggan akan diperhatikan (48%) ; (b) jaminan bahwa setiap permintaan keringanan biaya pengobatan akan diperhatikan (31%);(c) jaminan bahwa tidak ada pembedaan perlakuan terhadap pasien (21 %). 5. Dimensi empathy : kemampuan Puskesmas memberikan perhatian secara individual pada pelanggan, dengan indikator sesuai urutan bobot menurut kepentingan pelanggan, yakni (a) empathy dokter (51 %) ; (b) empathy petugas paramedis (37 %) ; dan (c) empathy petugas pendaftaran (12 %)
Pengukuran Kepuasan Pelanggan sesungguhnya merupakan penjabaran dari misi dan tujuan Puskesmas yang pada hakekatnya memang bertujuan memberikan pelayanan kesehatan yang berorientasi pada kebutuhan pelanggan, yakni memberikan pelayanan yang simpel dalam prosedur, terjangkau dalam tarif, profesional dan bermutu, sebagaimana tercermin dalam strategi Puskesmas yang dapat disimak melalui Tabel 9 berikut ini.
Tabel 9 Misi, Tujuan, Pengukuran, Target dan Indikator Kinerja Kepuasan Pelanggan Puskesmas PELANGGAN PENGUKURAN
MISI
TUJUAN STRATEGIS
Mengembang kan pelayanan Kesehatan yang berkualitas dan paripurna
Memberikan pelayanan kesehatan yang berorientasi pada masyarakat, simple dalam prosedur, terjangkau, professional, dan berkualitas
Indeks Kepuasan Pelanggan (IKP) Pada skala Likert (1-5)
TARGET
IKP = 5
INDIKATOR
5 dimensi servqual -tangible -responsiveness - reliability - assurance, dan - empathy
Sumber : Hasil Kajian Penelitian, 2006
107
Hasil pengukuran kepuasan pelanggan selanjutnya akan ditampilkan dalam 3 (tiga) macam tabel, Tabel 10 menunjukkan ‘Nilai Indeks Kepuasan’ atau IKP pelanggan berdasarkan bobot kepentingan pelanggan yang belum dikonversikan, tujuannya adalah untuk melihat rentang nilai rating scor kepuasan pelanggan terendah 1 (sangat tidak puas) dan tertinggi 5 (sangat puas). Sementara Tabel 11 berikutnya, menggambarkan nilai ‘Mutu layanan’ Puskesmas berdasarkan pada IKP yang telah dikonversikan secara normatif menurut ketentuan SK Kep.MENPAN No 25/2004, ke dalam data ordinal A : sangat baik, B : Baik, C : sedang, D : Buruk, dan E : sangat buruk. Sedangkan pada Tabel 12 membandingkan mutu layanan Puskesmas berdasarkan pada IKP yang telah dikonversikan secara empirik atau aktual. Aplikasi kedua metode tersebut akan menghasilkan nilai mutu kinerja layanan yang berbeda. Adapun maksud dari pembandingan ini adala h untuk bahan pertimbangan Puskesmas dalam memilih kebijakan penentuan metode konversi pada nilai mutu kinerja, apakah mengikuti normatif yang dianjurkan pemerintah saat ini atau mengikuti cara-cara empirik sesuai kenyataannya walaup un hasilnya akan lebih rendah.
Tabel 10 Nilai Indeks Kepuasan Pelanggan Terhadap Servqual Puskesmas ELITE
MODERATE
SLUM
Triwulan
Triwulan
PKC Triwulan SERVQUAL
1
2
3
2.62
2.67
2.73
3.45
3.49
4.02
4
1
2
3
4
1
2
3
4
2.78
3.84
3.85
3.87
3.92
3.64
3.77
3.89
3.91
3.49
3.56
3.51
3.51
3.58
3.59
3.92
3.90
3.97
3.97
4.20
4.40
4.57
3.16
3.18
3.20
3.23
3.92
4.00
4.02
4.03
4.12
4.26
4.63
4.68
3.41
3.47
3.52
3.56
3.11
3.22
3.38
3.45
3.90
3.98
3.99
4.09
3.30
3.36
3.47
4.59
3.83
3.96
3.97
4.02
Tangible Responsiveness Reliablity Assurance Empathy
Sumber : Hasil pengolahan data primer penelitian (2006)
Terlihat dalam tabel di atas bahwa Nilai Indeks Kepuasan Pelanggan (IKP) terhadap dimensi tangible Puskesmas elite nampak lebih rendah bila dibandingkan dengan Puskesmas moderate, dan slum. Nilai IKP berada pada kisaran 2.62 hingga 2.78, sedang pada moderate berada pada kisara n 3.84 – 3.92 dan pada slum berada pada
108
kisaran 3.64-3.91. Secara keseluruhan IKP menunjukkan kecenderungan nilai yang meningkat sejak triwulan 1 hingga 4, walaupun tidak begitu tajam. Selanjutnya IKP dikonversikan melalui metode penghitungan normatif menurut IKM pada Kep.MENPAN No. 25/2004, maka terlihat pada tabel 11 bahwa mutu kinerja layanan Puskesmas elite pada dimensi tangible adalah ‘sedang’ dengan nilai ‘C’, sedangkan pada Puskesmas moderate (Kalideres) dan slum (Kemayoran), mutu kinerja layanan tergolong ‘Baik’ atau ‘B’.
Tabel 11 Mutu Pelayanan Servqual Puskesmas (Metode Normatif)
PKC 1
ELITE
MODERATE
SLUM
Triwulan
Triwulan
Triwulan
2
3
4
1
2
3
4
1
2
3
4
C
C
C
C
B
B
B
B
B
B
B
B
B
B
B
B
B
B
B
B
B
B
B
B
B
B
A
A
B
B
B
B
B
B
B
B
B
B
A
A
B
B
B
B
B
B
B
B
B
B
B
B
B
B
B
B
B
B
B
B
SERVQUAL Tangible Responsiveness Reliablity Assurance Empathy
Sumber : Hasil pengolahan data primer penelitian (2006)
Apabila penghitungan konversi menggunakan metode empirik dengan cara berdasarkan peringkat nilai interval, maka diperoleh hasil yang sangat berbeda dengan penghitungan sebelumnya. Secara keseluruhan hasil konversi dapat disimak pada Tabel 12 berikut ini. Nampak
dalam Tabel 12 bahwa nilai mutu kinerja pelayanan setiap
dimensi berbeda dengan nilai pada Tabel 11 sebelumnya. Sebagai contoh pada dimensi tangible, Puskesmas elite Kebayoran Baru sebelumnya berada pada nilai mutu pelayanan ‘sedang’ dengan nilai ‘C’, pada Tabel 12, tangible berada pada nilai mutu ‘sangat kurang’ dengan nilai ‘E’. Begitu pula dengan nilai kinerja yang lainnya, nampak setingkat di bawah nilai mutu normatif. Hasil metode empirik sering dipandang tidak nyaman, namun sebenarnya hasil tersebut menunjukkan nilai aktual apa adanya dan justru menjadi masukan yang berguna untuk menetapkan langkah-langkah perbaikan yang diperlukan.
109
Tabel 12 Indeks Kepuasan Pelanggan dan Mutu Pelayanan Puskesmas (Metode Empirik) ELITE
MODERATE
SLUM
Triwulan
Triwulan
PKC Triwulan SERVQUAL
Tangible Responsiveness Reliablity Assurance Empathy
1
2
3
2.62 E 3.45 C 4.02 B
2.67 E 3.49 C 4.20 B
2.73 E 3.49 C 4.40 A
4.12 B 3.90 B
4.26 B 3.98 B
4.63 A 3.99 B
4
1
2
3
4
1
2
3
4
2.78 E 3.56 C 4.57 A
3.84 C 3.51 C 3.16 D
3.85 C 3.51 C 3.18 D
3.87 B 3.58 C 3.20 D
3.92 B 3.59 C 3.23 D
3.64 C 3.92 B 3.92 B
3.77 C 3.90 B 4.00 B
3.89 C 3.97 B 4.02 B
3.91 C 3.97 B 4.03 B
4.68 A 4.09 B
3.41 D 3.30 D
3.47 C 3.36 D
3.52 C 3.47 C
3.56 C 4.59 C
3.11 D 3.83 C
3.22 D 3.96 B
3.38 D 3.97 B
3.45 C 4.02 B
Sumber : Hasil pengolahan data primer penelitian (2005)
Rendahnya penilaian pelanggan terhadap tangible elite terutama karena sebagian besar pelanggan menilai bahwa ruang tunggu di Puskesmas tidak memadai terutama pada jam-jam sibuk . Untuk melayani jumlah pelanggan yang mencapai rata-rata 200 orang per hari, luas ruang tunggu dan ketersediaan bangku-bangku yang ada terlihat kurang memadai. Beberapa bangunan Puskesmas Kecamatan di wilayah DKI-Jakarta sebetulnya telah cukup bagus dan sesuai dengan standar yang ditetapkan kurang lebih 1500 m2 untuk luas tanah, dan 1200 m2 untuk luas bangunan, namun masih terdapat beberapa bangunan yang belum direnovasi dan masih terkesan tambal sulam dalam penataan ruang-ruang pelayanan kesehatan, terutama ruang tunggu. Menurut keterangan Kepala Puskesmas, renovasi hanya dapat dilakukan bila disetujui oleh Dinas Kesehatan terkait, dalam hal ini Puskesmas sebagai unit teknis tidak memiliki kewenangan untuk mengubah, membangun atau merenovasi atas inisitaif sendiri. Puskesmas hanya mengusulkan dalam biaya anggaran tahunan (subsidi). Krisis ekonomi yang berkepanjangan diduga akan meningkatkan potensi pasien dan jumlah pasien, yang harus diimbangi dengan penataan ruang layanan kesehatan yang memadai. Selanjutnya dapat digambarkan perbandingan tangible elite, moderate dan slum sebagaimana nampak pada gambar grafik di bawah ini.
110
3.8
2
2
2
3.5
2
3
3.3 3
1
3
2
3.0 2.8 1 1
1
1 2
3
1
3
Tangible_Elit Tangible_Moderat Tangible_Slum
4
Time
Gambar 9 Grafik Perilaku Kinerja Tangible Puskesmas Elite,Moderate, dan Slum (Sumber : Hasil Kajian Penulis, 2006) Pada grafik terlihat kinerja elite lebih rendah dari dua Puskesmas yang lain. Grafik juga mengindikasikan suatu kecenderungan perilaku kinerja ke arah model ‘goal seeking behaviour’ (Sterman, 2000: 111), perilaku yang mengacu pada pencarian keseimbangan sistem karena masih terdapat kesenjangan antara kinerja yang diharapkan dengan kenyataannya. Melalui perbaikan kesenjangan nilai tangible maka grafik akan tergambar meningkat namun peningkatannya tidak akan linier, melainkan terbatas pada titik tujuan yang diinginkan yakni skala penilaian 5. Selanjutnya bila titik tujuan tersebut telah tercapai, grafik akan tergambar mendatar. Bentuk ini sekaligus menandakan adanya perilaku non linier. Dapat dipastikan bahwa seluruh grafik dimensi-dimensi servqual lainnya juga membentuk kecenderungan yang sama yakni ‘goal seeking behaviour’ Pada dimensi responsiveness, bobot tertinggi yang diberikan pelanggan adalah indikator ‘keberadaan dokter hingga jam kerja Puskesmas usai’. Wajar kiranya jika indikator tersebut diberikan bobot tertinggi, karena harapan terbesar pelanggan Puskesmas adalah kesiapan dokter yang selalu berada di tempat ketika diperlukan. Adapun ‘kecepatan pelayanan Puskesmas’, dipandang oleh pelanggan sebagai unsur kedua terpenting, selanjutnya ‘kerumitan prosedur pelayanan’ dan ‘tanggapan dokter terhadap keluhan pasien’, menempati bobot ketiga dan keempat. Nampak dalam Tabel 10 Puskesmas slum memiliki IKP tertinggi bila dibandingkan dengan elite maupun moderate. Secara keseluruhan IKP juga menunjukkan kecenderungan meningkat pada setiap triwulan. Adapun nilai mutu pelayanan normatif pada ketiga kelompok Puskesmas berada pada peringkat ‘B’ atau pada peringkat kinerja
111
pelayanan ‘Baik’, sedangkan secara empiris, elite terendah dengan nilai mutu ‘C’, moderate berada pada peringkat kedua dengan nilai C, dan slum memiliki peringkat tertinggi dengan nilai B. Adapun grafik perilaku kinerja responsiveness dapat disimak pada gambar 10 berikut ini.
4.0 3
3
2
2
3
3
2
2
3.8 3.6 3.4
2
3.2 3.01 1
1
3 1 2
1
1
3
4
Responsiveness_elit Responsiveness_moderat Responsiveness_slum_
Time
Gambar 10 Grafik Perilaku Kinerja Responsiveness Puskesmas Elite,Moderate, dan Slum (Sumber : Hasil Kajian Penulis, 2006)
Faktor kunci penilaian responsifitas adalah kesiapsiagaan figur dokter dalam pelayanan sehari-hari. Masyarakat menghendaki para dokter tidak mewakilkan urusan pengobatan pada para perawat Dalam kenyataannya, para dokter dan petugas para medis memiliki tugas ganda, yakni sebagai profesional medis dan administratif sekaligus. Para dokter dan petugas paramedis tidak hanya bertanggung jawab di bidangnya, namun juga bertanggung jawab terhadap urusan- urusan yang bersifat administratif seperti membuat laporan rutin, bulanan dan tahunan, mengelola berbagai aktifitas yang bersifat administratif manajerial seperti kunjungan ke masyarakat, rapat lintas sektoral, penyuluhan, dan promosi, yang memakan waktu lebih besar dari pada fungsi utama pelayanan medis. Dari hasil pengamatan dapat dikemukakan bahwa pasien sering ditangani hanya oleh petugas paramedis atau bidan yang juga diberikan kuasa untuk menulis resep, bila dokter sedang berkeliling melakukan kunjungan atau rapat-rapat lintas sektoral, sedangkan dokter jaga tidak mampu menangani seluruh pasien terutama pada jam-jam sibuk. Keinginan pelanggan agar dokter senantiasa siaga bila dibutuhkan tidak
112
mungkin terwujud tanpa adanya penataan kembali tugas dan fungsi dokter dan para medis Pada dimensi reliability, IKP tertinggi berada pada Puskesmas elite, yakni berkisar pada nilai 4.12 hingga 4.68. bahkan pada triwulan 3 dan 4 mutu kinerja adalah ‘A’. Kemudian peringkat kedua adalah Puskesmas slum dengan nilai kinerja normatif maupun empirik ‘B’, sedangkan Puskesmas moderate memiliki nilai mutu kinerja normatif ‘B’ namun pada nilai mutu kinerja empirik adalah ‘D’. Nampak pada tabel di atas, kecenderungan peningkatan IKP pelanggan dari triwulan I hingga IV, walaupun tidak begitu tajam, namun menunjukkan perbedaan yang cukup nyata. Bobot paling tinggi yang diberikan pelanggan adalah pada indikator ‘kemampuan dokter mengobati’, hal tersebut menggambarkan bahwa keandalan Puskesmas di mata pelanggan adalah ‘kemampuan dokter’ dalam menyembuhkan pasien. Sedangkan ‘ketersediaan obat-obatan’ dan ‘kehandalan petugas medis’ me miliki peringkat penting kedua dan ketiga di mata pelanggan. Berikut ini adalah grafik kecenderungan perilaku reliability pada ketiga Puskesmas.
1
4.5 1 1 4.0 1
3
3
3
3
1 2
3.5
3 2 1
2 3
2 2
Reliability_Elit Reliability_Moderat Reliability_Slum
2 4
Time
Gambar 11 Grafik Perilaku Kinerja Reliability Puskesmas Elite,Moderate, dan Slum (Sumber : Hasil Kajian Penulis, 2006) Sekali lagi data menunjukkan bahwa dimensi reliability erat kaitannya dengan kehandalan SDM Puskesmas terutama dokter. Stigma yang melekat dan cenderung meragukan kemampuan dokter-dokter Puskesmas terlanjur membentuk opini masyarakat. Diduga penyebabnya adalah kurang seimbangnya jumlah pasien dengan jumlah dokter
113
yang melayani, sehingga terjadi work load dan waktu pemeriksaan tidak optimal atau tidak sungguh-sungguh. Pada dimensi assurance, IKP terendah nampak pada Puskesmas slum Sedangkan Puskesmas elite memiliki IKP tertinggi dan kinerja terbaik yang dicapai pada triwulan 3 dan 4 dengan nilai mutu kinerja ‘A’, sedangkan moderate pada peringkat kedua, dengan nilai mutu kinerja empirik ‘D’ pada triwulan pertama, dan meningkat ‘C’ pada triwulan 2, 3, dan 4. Peringkat ketiga adalah slum dengan nilai mutu kinerja empiris ‘D’. Secara keseluruhan pola kecenderungan sejak triwulan 1 hingga 4 nampak meningkat, kendati tidak tajam. Indikator terpenting yang dinilai pelanggan adalah ‘keterjaminan bahwa setiap keluhan pelanggan diperhatikan Puskesmas’. Pada aspek ini yang diharapkan pelanggan adalah Puskesmas memperhatikan secara serius masukan- masukan pelanggan berupa saran, komplain dan sebagainya dengan tindak lanjut kongkrit. Pada indikator ‘keterjaminan bahwa permintaan keringanan biaya diperhatikan’, adalah berkaitan dengan biaya -biaya tindakan medis yang bervariasi besarannya. Sedangkan pada ‘keterjaminan bahwa Puskesmas tidak melakukan diskriminasi pelanggan’ dimaksudkan diskriminasi terhadap pelanggan ‘gratis’ atau yang tidak mampu membayar biaya tindakan, bahkan biaya karcis. Kecuali elite, moderate dan slum, berada pada peringkat mutu pelayanan ‘D’ atau ‘Kurang’. Berikut ini adalah grafik kecenderungan perilaku assurance.
1
1
4.5 1 1 4.0
1 2
3.5 2 3 1
2
2
2
3
3
Assurance_Elit Assurance_Moderat Assurance_Slum
3 2
3
4
Time
Gambar 12 Grafik Perilaku Assurance Puskesmas Elit,Moderat, dan Slum (Sumber : Hasil Kajian Penulis, 2006)
114
Dimensi terakhir adalah empathy yakni perhatian secara personal dari pihak Puskesmas. Grafik kecenderungan empathy nampak pada Gambar 13 berikut ini, di mana Puskesmas moderate memiliki kecenderungan peningkatan paling rendah bila dibandingkan dengan dua Puskesmas yang lain.
1 4.0 1 3.8 3
13
13
3.6
2 2
3.4
1
Empathy_Elit
2
Empathy_Moderat
3
Empathy_Slum
2 2 1
2
3
4
Time
Gambar 13 Grafik Perilaku Empathy Puskesmas Elit,Moderat, dan Slum (Sumber : Hasil Kajian Penulis, 2006)
Empathy adalah perhatian secara personal dari para petugas Puskesmas. Pada umumnya pelanggan menginginkan ‘empathy dokter’ lebih penting dari pada petugas yang lain. Hal tersebut nampak pada pembobotan tertinggi yang diberikan oleh pelanggan pada indikator tersebut. IKP tertinggi adalah elite, sedangkan moderate menempati peringkat ketiga. Ketiga kelompok Puskesmas nampak rata-rata memiliki nilai mutu pelayanan normatif ‘B’ atau peringkat kinerja pelayanan ‘Baik’ , namun secara empiris, nilai mutu pelayanan ‘B’ hanya terdapat pada Puskesmas elite, sedangkan pada Puskesmas slum pada awalnya ‘C’ dan kemudian meningkat pada triwulan 2, 3, dan 4. menjadi ‘B’. Peringkat terendah adalah pada Puskesmas moderate Dari hasil temuan dapat disimpulkan bahwa secara empiris, mutu layanan tangibel pada Puskesmas elite lebih rendah dibandingkan dengan dua Puskesmas lainnya . Sedangkan pada mutu layanan responsiveness, yang terbaik adalah Puskesmas slum. Pada dimensi reliability, mutu layanan yang terbaik adalah Puskesmas elite, demikian pula mutu layanan pada dimensi assurance dan empathy. Secara keseluruhan fokus penilaian pelanggan mengacu pada ‘kemampuan dokter’ dalam melayani.
115
Upaya peningkatan kepuasan pelanggan, tidak selalu dihubungkan dengan peningkatan keuntungan, namun lebih merupakan upaya untuk menciptakan ‘customer intimacy’ (membangun hubungan dengan pelanggan untuk jangka panjang), yang merupakan bagian dari konsep proposisi nilai pelanggan. Operasional yang baik, bermutu, dan efisien serta mengacu pada kebutuhan pelanggan adalah aplikasi dari konsep proposisi nilai pelanggan tersebut Manfaat dari membangun hubungan yang baik dengan pelanggan adalah, Puskesmas dapat mempertahankan pelanggan lama yang telah sembuh, dan tetap berobat ke Puskesmas bila sakit, dan selanjutnya melalui promosi dari mulut ke mulut dari pelanggan yang sembuh, kepercayaan terhadap pelayanan Puskesmas diharapkan meningkat, artinya bahwa dengan peningkatan kepercayaan masyarakat terhadap kinerja Puskesmas, maka persentase jumlah pelanggan dapat ditingkatkan lebih besar dari yang ada saat ini. Karena sasaran Puskesmas adalah penduduk di wilayah Kecamatan di mana Puskesmas beroperasi, maka laju pertambahan penduduk juga mempengaruhi jumlah pelanggan Puskesmas. Bahkan penduduk di wilayah Kecamatan tersebut sekaligus menjadi ‘pasar’ bagi Puskesmas. Pada saat ini jumlah penduduk yang menjadi pelanggan Puskesmas kurang lebih baru 40 %, artinya masih sekitar kurang lebih 60 % yang dapat ditingkatkan potensinya sebagai pelanggan Puskesmas. (Sumber: data sekunder penelitian, 2005). Variabel berikutnya yang juga diduga mempengaruhi total jumlah pasien adalah variabel ‘harga’ atau tarif yang terjangkau. Keterjangkauan tarif Puskesmas antara lain juga dapat dilihat melalui perbandingan jumlah pasien gratis dengan total pasien per hari yang tidak begitu mencolok, keadaan ini membuktikan bahwa daya beli masyarakat atas tarif layanan kesehatan di Puskesmas masih terjangkau atau sesuai dengan daya beli mereka. Semakin meningkat kualitas Puskesmas, maka diasumsikan bukan hanya orang miskin/tidak mampu yang akan berobat ke Puskesmas, namun juga sebagian besar masyarakat menengah, dari data diketahui bahwa lebih dari setengah jumlah pengunjung Puskesmas elite berpenghasilan rata-rata di atas Rp.1.500.000,- , sedangkan Puskesmas moderate dan slum rata-rata berpenghasilan di bawahnya. Fakta lain juga menunjukkan, bahwa Puskesmas elite dalam satu hari rata-rata dikunjungi oleh 3.55 % pasien gratis (8
116
orang) dari total kunjungan sebesar 100 hingga 150 orang pasien per hari. Sedangkan Puskesmas moderate, 8.5 % pasien gratis per hari (17 orang), dari total kunjungan ratarata 130 hingga 200 orang perhari, adapun Puskesmas slum dikunjungi 17.6 % pasien gratis per hari (37 orang) dari rata-rata total kunjungan pasien 150 hingga 250 orang perhari (Sumber: diolah dari data sekunder penelitian, 2005). Aspek tarif menjadi kekuatan atau daya tarik tersendiri bagi Puskesmas, sebab di wilayah Kecamatan di mana Puskesmas beroperasi, hampir tidak ada layanan kesehatan sejenis yang memasang tarif semurah Puskesmas yakni sekali kunjungan 2000 rupiah sudah termasuk pemeriksaan dan obat. Jika aspek tarif ini diimbangi dengan pelayanan yang bermutu, maka tidak mustahil hal ini dapat mengubah citra Puskesmas dan menjadi pelayanan kesehatan yang diminati oleh masyarakat.
Kinerja Puskesmas dari Perspektif Proses Internal Perspektif kedua untuk mengukur kinerja Puskesmas adalah proses internal. penekanan utama perspektif ini yakni pada pentingnya mata rantai proses produksi yang diawali dengan proses inovasi – yakni bagaimana organisasi mengidentifikasikan kebutuhan pelanggan saat ini maupun yang akan datang, kemudian mengembangkan identifikasi tersebut ke dalam rencana -rencana maupun tindakan kongkrit – kemudian pada proses operasi – yakni bagaimana organisasi menyampaikan produk atau jasanya kepada pelanggan saat ini – dan yang terakhir adalah pada proses layanan purna jual, yakni bagaimana organisasi menciptakan layanan setelah penjualan guna memberikan nilai tambah bagi kepuasan pelanggan (Kaplan dan Norton, 1996:92). Pada penelitian ini karena proses purna jual belum menjadi kelaziman dan belum dilaksanakan di Puskesmas, maka ukuran proses internal hanya mengacu pada kinerja: (1) Inovasi, dan (2) Operasi, Adapun misi, dan tujuan strategis yang menjadi basis parameter proses internal Puskesmas dapat disimak pada Tabel 13 berikut ini.
117
Tabel 13 Misi, Tujuan, Pengukuran, Target dan Indikator Kinerja Proses Internal Puskesmas MISI
TUJUAN STRATEGIS
Mengembang kan pelayanan Kesehatan yang berkualitas dan paripurna
Meningkatkan mutu pelayanan kesehatan (Yankes ) terutama dalam pengembangan produk layanan jasa kesehatan dan peningkatan manajemen kesehatan yang handal.
PROSES INTERNAL PENGUKURAN
1.Mutu Kinerja Inovasi 2.Mutu Kinerja Operasi
TARGET
Realisasi 1
INDIKATOR
1. Target Realisasi Inovasi pelayanan baru 2. Lead Time Pelayanan 3. Ketersediaan Obat. 4. Penyuluhan
Sumber : Hasil Kajian Penelitian, 2006
1). Kinerja Inovasi Hasil identifikasi pelayanan baru (inovasi) pada 3 (tiga) Puskesmas sampel adalah (1) perubahan tatacara pelayanan kesehatan yang mengarah pada efisiensi prosedur, (2) praktek sore hari, (3) kontrak dokter spesialis, (4) paket layanan persalinan, (5) Sistem Informasi Kesehatan (SIK), dan (6) International Standart Organization (ISO). Selanjutnya
kinerja
inovasi
diukur
dari
kemampuan
Puskesmas
dalam
merealisasikan setiap target program-program inovasi yang telah dirancang. Adapun metode pengukurannya adalah sebagai berikut : Pertama, menetapkan nilai skor standar dari perkembangan proses pelaksanaan program-program inovasi di Puskesmas. Kecuali program SIK dan ISO, 4 program lainnya ditargetkan selesai akhir tahun 2005. Sedangkan SIK dan ISO ditargetkan selesai 2007. Target penyelesaian program kemudian diterjemahkan ke dalam nilai skor perkembangan program pada setiap triwulan. Kecuali SIK dan ISO, pada triwulan 1, program ditargetkan sampai pada tahap ‘rencana’, dan diberikan skor 0.25. Pada triwulan 2, target program adalah ‘pembahasan’ dengan nilai skor 0.50. Sementara pada triwulan 3, target program adalah ‘persiapan’ dengan nilai skor adalah 0.75, dan pada akhir tahun 2005 atau triwulan 4, target program adalah ‘realisasi’ dengan nilai skor 1. Pada program SIK dan ISO karena program ditargetkan selesai setelah tahun 2007, maka target program pada triwulan 1 adalah ‘rencana’ dengan nilai skor 0.25, triwulan 2 adalah ‘pembahasan 1’ dengan nilai skor 0.50, pada triwulan 3 masih dalam ‘pembahasan
118
2’ dengan nilai skor 0.75, dan pada triwulan 4 program masih dalam tahap ‘pembahasan 3’ dengan nilai skor 0.75. Tabel 14 Target dan Penilaian Perkembangan Program Inovasi Puskesmas No.
Program Inovasi
Triwulan 1 T P
Target dan Penilaian Hingga th 2005 Triwulan 2 Triwulan 3 T P T P
Triwulan 4 T P
1
Perubahan tata cara pelayanan kesehatan Renc 0.25 Pemb 0.50 Pers 0.75 Real 1.0 2 Praktek sore hari Renc 0.25 Pemb 0.50 Pers 0.75 Real 1.0 3 Kontrak dokter spesialis Renc 0.25 Pemb 0.50 Pers 0.75 Real 1.0 4. Paket layanan persalinan Renc 0.25 Pemb 0.50 Pers 0.75 Real 1.0 5. Sistem Informasi Kesehatan (SIK) Renc 0.25 Pemb 0.50 Pemb 0.75 Pemb 0.75 6. ISO Renc 0.25 Pemb 0.50 Pemb 0.75 Pemb 0.75 Total Nilai Per Triwulan 1.50 3.0 4.5 5.5 Keterangan : 1. Program 1 – 4 ditargetkan 1 tahun anggaran (2005) harus dapat direalisasikan 2.Program 5 dan 6 ditargetkan 2 tahun anggaran yakni akhir 2007 selesai, sedangkan tahun 2005 target adalah perencanaan dan pembahasan untuk persiapan. 3.Singkatan : T : Target P : Penilaian Renc : Tahap Rencana Pemb: Tahap Pembahasan Pers : Tahap Persiapan Real : Tahap Realisasi (Program telah dapat dijalankan) Sumber : Hasil pengolahan Data Sekunder Penelitian (2005)
Kedua, Untuk menentukan mutu kinerja inovasi, nilai-nilai skor pada tabel tersebut kemudian dikonversikan ke dalam nilai interval dan nilai mutu layanan. Selanjutnya kedua nilai konversi digunakan sebagai pembanding dalam menilai kinerja pencapaian target program-program inovasi Puskesmas pada setiap triwulan. Berikut ini adalah tabel tentang nilai konversi tersebut.
Tabel 15 Pedoman dan Pembanding Penilaian Kinerja Inovasi Per Triwulan Nilai Interval
Nilai Interval Nilai Interval Nilai Interval Tw.1 Tw. 2 Tw.3 (nilai 1.5) (nilai 3 ) (nilai 4.5) 1 2 3 4 1 0 - 0.3 0 - 0.60 0 - 0.90 2 0.31 - 0.6 0.61 - 1.20 0.91 - 1.80 3 0.61 - 0.9 1.21 - 1.80 1.81 - 2.70 4 0.91 - 1.2 1.81 - 2.40 2.71 - 3.60 5 1.21 - 1.5 2.41 - 3.00 3.61 - 4,50 Sumber: Hasil Pengolahan Data Sekunder Penelitian (2005)
Nilai Interval Tw.3 (nilai 5.5) 5 0 - 1.10 1.11 - 2.20 2.21 - 3.30 3.31 - 4.40 4.41 - 5.50
Mutu Kinerja Inovasi 6 E D C B A
119
Pada Puskesmas elite, temuan menunjukkan bahwa pada triwulan 1 nilai pencapaian program inovasi sebesar total 1.0 yang diperoleh dari terpenuhinya target perencanaan program sebesar 0.25 pada program inovasi nomor 1 hingga 4, sedangkan pada program SIK dan ISO perencanaannya belum dijalankan sehingga nilainya nol.
Tabel 16 Mutu Kinerja Program Inovasi Puskesmas Elite No. 1
Program Inovasi Perubahan tata cara pelayanan kesehatan Praktek sore hari
Target dan Penilaian Hingga th 2005 Triwulan 2 Triwulan 3 T P T P
Triwulan 1 T P
Triwulan 4 T P
Renc
0.25
Pemb
0.50
Pers
0.75
Real
1.0
Renc
0.25
-
0
Pers
0.75
Real
1.0
Renc
0.25
Pemb
0.50
Pers
0.75
Real
1.0
Renc
0.25
Pemb
0.50
-
0
Real
1.0
-
0
Renc
0.25
Pemb
0.50
-
0
0 Renc 0.25 Total Nilai 1.0 2.00 Mutu Kinerja Inovasi (Elit) 4 (Baik / B) 4 (Baik / B) Sumber: Hasil Identifikasi Data Sekunder Penelitian (2005)
Pemb
0.50 3.25 4 (Baik/ B)
-
2 3 4. 5. 6.
Kontrak dokter spesialis Paket layanan persalinan Sistem Informasi Kesehatan (SIK) ISO
0 4.0 4 (Baik/ B)
Pada triwulan 2, satu-satunya target yang tidak terpenuhi adalah pada program inovasi nomor 2 yakni ‘praktek sore hari’ seharusnya pada triwulan 2 program tersebut telah sampai pada ‘pembahasan’ namun karena sesuatu hal, tidak dijalankan. Adapun nilai pencapaian program-program inovasi adalah 2.0, nilai ini termasuk dalam skala interval 4. Sedangkan pada triwulan 3, giliran program inovasi paket pelayanan persalinan yang tidak berjalan, sehingga nilai pencapaian program-program inovasi total adalah adalah 3.25, dan termasuk dalam skala interval 4 juga. Terakhir pada triwulan 4, nilai pencapaian program-program inovasi adalah 4.0, karena program SIK dan ISO stagnan. Total nilai berada pada skala interval 4. Dapat disimpulkan bahwa keseluruhan kinerja inovasi elite menunjuk skala interval 4 yang berarti penilaian ‘Baik’ atau memiliki mutu kinerja ‘B’ Berikut ini adalah Tabel 17 yang menggambarkan nilai target program-program dan mutu kinerja inovasi Puskesmas moderate.
120
Tabel 17 Mutu Kinerja Program Inovasi Puskesmas Moderate No. 1 2 3 4. 5. 6.
Program Inovasi Perubahan tata cara pelayanan kesehatan Praktek sore hari Kontrak dokter spesialis Paket layanan persalinan Sistem Informasi Kesehatan (SIK) ISO
Triwulan 1 T P
Target dan Penilaian Hingga th 2005 Triwulan 2 Triwulan 3 T P T P
-
0
Renc
0.25
Pemb
0.50
Pers
0.75
-
0
Renc
0.25
Pers
0.75
Real
1.0
Renc
0.25
Pemb
0.50
Pers
0.75
Real
1.0
Renc
0.25
-
0
Pers
0.75
Real
1.0
Renc
0.25
Renc
0.25
-
0
-
0
0 Renc 0.25 Total Nilai 0.75 1.50 Mutu Kinerja Inovasi 3 (Cukup / C) 3 (Cukup / C) (Moderat) Sumber: Hasil Identifikasi Data Sekunder Penelitian (2005)
Pemb
0.50 3.25 4 (Baik/ B)
Triwulan 4 T P
Pemb
0.50 4.25 4 (Baik/ B)
Pada triwulan 1 program inovasi yang sesuai target (sampai tahap rencana) adalah program ‘kontrak dokter spesialis’, ‘paket layanan persalinan’ dan ‘SIK’, sehingga nilainya adalah 0.75. Nilai ini berada pada ranking skala ordinal 3 atau mutu kinerja ‘cukup’ atau ‘C’. Pada triwulan 2, seharusnya seluruh program berada pada tahap pembahasan, namun ada 3 program yang tidak memenuhi target antara lain ‘paket layanan persalinan’ (tidak memerlukan pembahasan lagi melainkan langsung ke persiapan). Sedangkan program ISO yang seharusnya sudah sampai pembahasan, pada triwulan 2 baru direncanakan. Dengan demikian total nilai skor pada triwulan 2 adalah 1.50, nilai ini termasuk dalam ranking nilai ordinal 3 atau ‘Cukup’ (C). Pada triwulan 3, satu-satunya program yang tidak sesuai target adalah ‘SIK’, total nilai skor adalah 3.25. Nilai ini termasuk dalam ranking skala ordinal 4 atau ‘Baik’ dengan mutu kinerja ‘B’. Sedangkan pada triwulan 4, program yang belum memenuhi target sekali lagi adalah ‘SIK’ dan ‘perubahan tata cara pelayanan kesehatan’ yang seharusnya telah direalisasikan ternyata masih dalam persiapan, sehingga total nilai skor adalah 3.25 dan berada pada ranking nilai ordinal 4 atau ‘Baik’ dengan mutu kinerja ‘B’ Berikut ini nilai pencapaian target dan mutu kinerja inovasi pada Puskesmas (Slum).
121
Tabel 18 Mutu Kinerja Program Inovasi Puskesmas Slum No. 1 2 3 4. 5. 6.
Program Inovasi Perubahan tata cara pelayanan kesehatan Praktek sore hari Kontrak dokter spesialis Paket layanan persalinan Sistem Informasi Kesehatan (SIK) ISO
Triwulan 1 T P
Target dan Penilaian Hingga th 2005 Triwulan 2 Triwulan 3 T P T P
Triwulan 4 T P
-
0
Renc
0.25
Pemb
0.50
-
0
-
0
Renc
0.25
Pers
0.75
Real
1.0
Renc
0.25
Pemb
0.50
Pers
0.75
Real
1.0
Renc
0.25
-
0
Pers
0.75
Real
1.0
Renc
0.25
Renc
0.25
-
0
-
0
Renc 0.25 Renc 0.25 Total Nilai 1.00 1.50 Mutu Kinerja Inovasi (Slum) 3 (Cukup / C) 3 (Cukup / C) Sumber: Hasil Identifikasi Data Sekunder Penelitian (2005)
Pemb
0.50 3.25 4 (Baik/ B)
Pemb 0.50 3.50 4 (Baik/ B)
Pada triwulan 1 terdapat 2 program inovasi yang tidak memenuhi target yakni, program ‘perubahan tata cara pelayanan kesehatan’ dan ‘praktek sore hari’, kedua program tersebut seharusnya telah berada pada tahap perencanaan, pada kenyataannya perencanaannya diundur ke triwulan 2. Nilai yang diperoleh adalah 1.0 dan termasuk dalam ranking skala ordinal 3 atau ‘Baik’ dengan mutu kinerja ‘B’. Selanjutnya pada triwulan 2, program inovasi yang tidak memenuhi target adalah ‘paket layanan persalinan’ , kemudian ‘SIK’ dan ‘ISO’ (kedua program tersebut seharusnya sudah sampai pembahasan), total nilai skor adalah 1.50 dan termasuk dalam ranking skala ordinal 3 atau ‘Cukup’ dengan mutu kinerja ‘C’. Pada triwulan 3, satu-satunya target yang tidak terpenuhi adalah ‘SIK’. Program ini pada triwulan 3 seharusnya telah berada pada tahapan pembahasan pertama, sehingga total nilai skor adlah 3.25 atau berada pada skala ordinal 4 yang berarti ‘Baik’ dengan mutu kinerja ‘B’. Sedangkan pada triwulan 4, terdapat 2 program yang tidak memenuhi target, yakni program ‘perubahan tata cara pelayanan kesehatan’ yang belum terealisasi, dan program ‘SIK’ yang belum dibahas. Total nilai skor adalah 3.50 atau ‘Baik’ dengan mutu kinerja ‘B’. 2). Kinerja Operasi Indikator kinerja operasi mencakup waktu layanan, ketersediaan obat, dan indeks penilaian penyuluhan. Berikut adalah hasilnya.
122
a. Waktu Layanan Indikator pertama pada proses operasi adalah ‘waktu layanan’. Sebelum data tentang ‘waktu layanan’ diketengahkan, terlebih dahulu dikemukakan bahwa jam kerja Puskesmas secara resmi adalah 8 (delapan) jam per hari kerja (Senin – Jum’at), yang dimulai dari pukul 08.00 – 16.00. Selama jam kerja tersebut, Puskesmas mengalokasikan 6 (enam) jam yakni dari pukul 08.00 – 14.00 untuk pelayanan operasional di dalam gedung (pengobatan/kuratif) dan di luar gedung (penyuluhan, promosi, dsb), sedangkan 2 (dua) jam selebihnya digunakan untuk urusan administratif. Pembagian tugas-tugas yang mencakup di dalam dan di luar gedung juga membawa implikasi bahwa konsentrasi petugas terbagi menjadi dua. Kondisi inilah yang nampak bahwa tidak semua petugas medis dan paramedis selalu berada di dalam gedung untuk melayani pengobatan. Untuk menghitung waktu layanan, digunakan sampel poliklinik umum, karena jumlah pelanggan terbanyak (di atas 50 %) terpusat di poliklinik umum, demikian pula SDM yang bertugas, yakni dipilih dokter umum dan perawat umum yang bertugas di poliklinik umum. Berdasarkan hal tersebut, maka ‘waktu layanan’ dapat diketahui dengan cara membagi jam kerja operasional di dalam gedung dengan rata-rata jumlah pasien yang ditangani oleh seorang petugas medis dan paramedis. Untuk menilai seberapa besar mutu layanan yang diperoleh, maka diperlukan nilai pembanding yakni waktu ideal yang seharusnya dipakai oleh pihak Puskesmas. Secara normatif, pihak Puskesmas menyatakan bahwa waktu ideal yang dijadikan standar waktu pelayanan yakni 15 – 30 menit untuk melayani 1 (satu) orang pasien dengan kasus umum yang tidak memerlukan tindakan medis yang memakan waktu lebih dari yang ditentukan. Selanjutnya nilai skor dapat ditentukan dengan berpedoman pada perbandingan waktu ideal dan persebarannya sebagaimana tertera pada tabel berikut ini.
Tabel 19 Pedoman Penilaian Waktu Layanan SKOR
MUTU
5 4 3 2 1
A B C D E
WAKTU LAYANAN Kurang dari 15 menit Lebih dari 30 menit Waktu ideal 15-30 menit 10-14.9 menit 30.1-35 menit 5-9.9 menit 35.1-40 menit 0-4.9 menit 40.1-45 menit > 45 menit
KINERJA Sangat Baik Baik Sedang Tidak Baik Sangat Tidak Baik
Sumber : Hasil Pengolahan Data Sekunder Penelitian (2005)
123
Tabel berikut ini adalah hasil penghitungan Waktu Layanan di Puskesmas elite Tabel 20 Waktu Layanan Aktual Puskesmas Elite NO
KETERANGAN
TRIWULAN 1
TRIWULAN 2
TRIWULAN 3
TRIWULAN 4
1
Jumlah Pelanggan Poli Umum/hari Rasio Jumlah SDM Medis + paramedis/hari berbanding pelanggan /hari Jumlah Jam kerja/hari
117 orang
121 orang
132 orang
145 orang
4 : 117 orang (1 : 29 orang)
4 : 121 orang (1 : 30 orang)
4 : 132 orang (1 : 33 orang)
4 : 145 orang (1 : 36 orang)
360 menit/hari
360 menit/hari
360 menit/hari
360 menit/hari
360 : 29 = 12.4 menit Baik (B)
360 : 30 = 12 menit Baik (B)
360 :33 = 10.9 menit Baik (B)
360 : 36 = 10 menit Baik (B)
2
3
Waktu layanan Mutu Kinerja
Sumber : Hasil pengolahan data primer penelitian (2006)
Berdasarkan pada pedoman pemberian skor tersebut, maka dapat diketahui nilai skor waktu layanan Puskesmas elite, yakni pada triwulan 1, adalah 12.4 menit, nilai ini termasuk dalam skor 4 dan mutu layanan B (baik). Pada triwulan 2, waktu layanan aktual adalah 12 menit, nilai ini termasuk dalam skor 4 dengan mutu layanan B. Sedangkan pada triwulan 3 waktu layanan aktual adalah 10.9 menit, dengan demikian skornya adalah 4, dengan mutu layanan B. Terakhir pada triwulan 4, waktu layanan aktual adalah 10 menit, nilai ini termasuk dalam skor 4, dan termasuk dalam mutu layanan B. Menyimak mutu kinerja yang diperoleh Puskesmas elite, maka
nampak
kecenderungan yang terjadi adalah semakin meningkat jumlah pasien, semakin cepat waktu yang digunakan untuk melayani pasien. Terlihat dari triwulan 1 hingga ke 4 menunjukkan waktu pelayanan yang semakin berkurang seiring dengan peningkatan jumlah pasien, yakni pada kisaran 10 menit per pasien. Jika peningkatan jumlah pasien tidak diikuti dengan penambahan SDM medis, maka kecenderungan tersebut dapat membahayakan mutu pelayanan karena kemungkinan petugas sangat cepat memeriksa pasien, sebagai akibat bertambahnya work load petugas, implikasinya sama yakni akan menurunkan mutu layanan. Dari hasil identifikasi Waktu Layanan Puskesmas Kalideres (moderate), diketahui bahwa pada triwulan 1 waktu layanan aktual Puskesmas moderate Kalideres adalah 16.4 menit, termasuk dalam skor ideal yakni 5 ( mutu kinerja A). Selanjutnya pada triwulan 2 adalah 15 menit (mutu kinerja A), juga termasuk dalam skor ideal, dan pada triwulan 3
124
adalah 14.4 menit, skor nya adalah 4 (mutu kinerja B), serta pada triwulan terakhir adalah 13.3 menit atau skor 4 (mutu kinerja B). Waktu layanan aktual tersebut masih dalam batas waktu ideal yang ditentukan yakni 15 hingga 30 menit. Namun sebagaimana yang terjadi pada Puskesmas elite kecenderungan yang terjadi adalah semakin meningkat jumlah pasien semakin berkurang waktu layanan yang digunakan, jika masih berada pada batas waktu ideal, maka hal tersebut tidak akan menimbulkan masalah, namun jika keluar dari batas ideal, maka jelas akan mempengaruhi mutu layanan dan beban kerja pegawai.
Tabel 21 Waktu Layanan Aktual Puskesmas Moderate NO
KETERANGAN
TRIWULAN 1
TRIWULAN 2
TRIWULAN 3
TRIWULAN 4
1
Jumlah Pelanggan Poli Umum/hari Rasio Jumlah SDM Medis + paramedis/hari berbanding pelanggan /hari Jumlah Jam kerja/hari
110 orang
118 orang
125 orang
135 orang
5 : 110 orang (1 : 22 orang)
5 : 118 orang (1 : 24 orang)
5 : 125 orang (1 : 25 orang)
5 : 135 orang (1 : 27 orang)
360 menit/hari
360 menit/hari
360 menit/hari
360 menit/hari
360 : 22 = 16.4 menit Sangat baik (A)
360 : 24 = 15 menit Sangat baik (A)
360 :25 = 14.4 menit Baik (B)
360 : 27 = 13.3 menit Baik (B)
2
3
Waktu layanan Mutu Kinerja
Sumber : Hasil pengolahan data primer penelitian (2006)
Pada Puskesmas slum Jumlah SDM yang bertugas rata-rata perhari adalah 4 orang terdiri dari 2 orang dokter umum dibantu dengan 2 orang perawat umum, waktu layanan di Puskesmas slum berada pada kisaran 10 menit hingga 12.4 menit untuk melayani pelanggan sejumlah 115 orang perhari hingga 142 orang per hari. Pada tabel berikut , nampak bahwa semakin meningkat jumlah pelanggan, petugas menggunakan waktu layanan yang semakin singkat. Jika batas minimal waktu ideal adalah 15 menit, maka yang perlu dipertimbangkan dalam temuan tersebut adalah perlunya menambah jumlah petugas, agar mutu layanan tetap dapat dipertahankan, artinya jangan sampai terjadi waktu layanan yang terlalu cepat hanya karena jumlah pelanggan yang banyak. Dari emp at triwulan, Puskesmas slum memperoleh skor 4 atau mutu kinerja baik (B) pada setiap triwulannya.
125
Tabel 22 Waktu Layanan Aktual Puskesmas Slum NO
KETERANGAN
TRIWULAN 1
TRIWULAN 2
TRIWULAN 3
TRIWULAN 4
1
Jumlah Pelanggan Poli Umum/hari Rasio Jumlah SDM Medis + paramedis/hari berbanding pelanggan /hari Jumlah Jam kerja/hari
115 orang
124 orang
128 orang
142orang
4 : 115 orang (1 : 28 orang)
4 : 124orang (1 : 31 orang)
4 : 128 orang (1 : 32 orang)
4 : 142 orang (1 : 36 orang)
360 menit/hari
360 menit/hari
360 menit/hari
360 menit/hari
360 : 28 = 12.9 menit Baik (B)
360 : 31= 11.6 menit Baik (B)
360 :32 = 11.3 menit Baik (B)
360 : 36= 10 menit Baik (B)
2
3
Waktu layanan Mutu Kinerja
Sumber : Hasil pengolahan data primer penelitian (2006)
Dari paparan waktu layanan di ketiga Puskesmas sampel. Maka dapat disimpulkan bahwa kinerja terbaik adalah Puskesmas moderate, terutama di triwulan 2, di mana waktu layanan yang digunakan berada pada ranking waktu minimal yang ideal. Selebihnya adalah waktu layanan yang digunakan rata-rata di bawah waktu minimal ideal (15 menit), dan hal ini harus menjadi perhatian terutama masalah ketelitian petugas medis dalam memeriksa pasien. b. Ketersediaan Obat Indikator variabel operasi yang kedua, adalah ketersediaan obat. Norma yang digunakan Puskesmas dalam menjamin ketersediaan obat adalah didasarkan pada jumlah pasien pada tahun anggaran sebelumnya ditambah dengan 25 %. Di samping itu penyediaan obat juga memperhitungkan norma kelebihan atau kekurangan obat, batas toleransi kelebihan atau kekurangan adalah 25 %. Dengan demikian jika jumlah pasien per triwulan diketahui, maka penghitungan norma kesediaan obat per triwulan juga dapat diketahui. Selanjutnya dalam penghitungan norma kesediaan obat, penghitungan akan menggunakan sampel poliklinik umum dengan sampel obat infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) yang termasuk dalam daftar 10 (sepuluh) penyakit terbanyak di ketiga Puskesmas. Informasi yang perlu diketengahkan dalam penghitungan ketersediaan obat adalah ; (1) Data ketersediaan obat yang seharusnya pada setiap triwulan berdasarkan jumlah pasien per triwulan saat ini ; (2) Data ketersediaan obat aktual berdasarkan perhitungan jumlah pasien tahun lalu (pesediaan obat di Puskesmas didasarkan pada perkiraan jumlah
126
pasien tahun lalu) ; (3) Data tentang kesejangan atau gap antara ketersediaan yang seharusnya dengan yang aktual. Toleransi besaran gap maksimal adalah 25 % , (Sumber: judgment pihak Puskesmas), artinya gap ideal adalah jika tidak terjadi kelebihan obat atau gap = 0 %. Selanjutnya kinerja akan dilihat dari toleransi gap ketersediaan obat ini ; (4) Penentuan jenis penyakit dan obat. Oleh karena jenis obat dan jenis penyakit yang ada di Puskesmas sangat bervariasi dan cukup banyak, maka pengukuran menggunakan sampel yakni poliklinik umum dengan jenis penyakit ISPA (Infeksi Saluran Pernapasan Akut), dengan alasan bahwa poliklinik umum adalah poli yang paling besar pengunjungnya, lebih dari 50 % pasien Puskesmas adalah pengujung poli umum, sedangkan penyakit ISPA adalah salah satu dari 10 besar penyakit yang paling banyak diderita oleh pasien umum. Selanjutnya dilakukan penghitungan jumlah obat dalam butir per pasien dengan berdasarkan pada norma dosis dan macam obat untuk ISPA.
Tabel 23 Pedoman Penilaian Ketersediaan Obat SKOR MUTU
5 4 3 2 1
KETERSEDIAAN OBAT PER TRIWULAN
A B C D E
Gap ketersediaan obat ideal 0 % ± 0.1 - 5% ± 5.1 – 10 % ± 10.1 – 15% ±> 15% Sumber : Hasil Pen golahan Data Sekunder Penelitian (2005 )
Norma obat untuk pasien ISPA di Puskesmas adalah mengacu pada jenis dan komposisi obat serta dosis minum perhari. Pada umumnya komposisi obat yang diberikan untuk pasien ISPA adalah (1) paracetamol, (2) amoxiciline, (3) obat batuk, dan (4) CTM. Jadi ada 4 jenis obat. Masing- masing diberikan dalam dosis 1 hari 3 kali selama 3 hari. Berdasarkan perhitungan tersebut, kebutuhan butir obat dapat dihitung, yakni untuk 1 orang pasien ISPA diperlukan paracetamol 9 butir, amoxiciline 9 butir, obat batuk 9 butir, dan CTM 9 butir. Berikut ini secara berturut-turut disajikan hasil verifikasi ketersediaan obat di Puskesmas melalui sampel penghitungan obat yang dibutuhkan oleh pasien penyakit
127
ISPA, serta perbandingannya dengan normatif tahun sebelumnya yang telah ditetapkan oleh Puskesmas. Jumlah pasien di Puskesmas elite pada triwulan 1 adalah 15.192 (lima belas ribu seratus sembilan puluh dua) orang. Dari jumlah tersebut, 62 % atau 9.419 (Sembilan ribu empat ratus sembilan belas) adalah pengunjung poli umum. Selanjutnya 72 % atau 6.782 (enam ribu tujuh ratus delapan puluh dua) adalah pasien ISPA. Pada triwulan 2 Jumlah pasien di Puskesmas elite adalah 15.975 (lima belas ribu sembilan ratus tujuh puluh lima) orang, 55 % atau 8.786 (delapan ribu tujuh ratus delapan puluh enam) orang adalah pasien poli umum. Dari jumlah pasien poli umum tersebut, 65 % penderita ISPA yakni 5.710 (lima ribu tujuh ratus sepuluh) orang Pada triwulan 3, terdapat 62 % dari 17.048 (tujuh belas ribu empat puluh delapan) orang adalah pasien poli umum. 54 % atau 5708 (lima ribu delapan) orang diantaranya adalah penderita ISPA. Pada triwulan 4 ada 54 % dari 19.350 (sembilan belas ribu tiga ratus lima puluh) orang adalah pasien poli umum, 59 %- nya atau 6.165 (enam ribu seratus enam puluh lima) orang adalah penderita ISPA Berdasarkan pada data jumlah pasien ISPA per triwulan tersebut selanjutnya diketahui jumlah obat yang dibutuhkan adalah dengan mengalikan kebutuhan obat berdasarkan norma dosis dengan jumlah pasien ISPA, hasilnya adalah sebagai berikut :
Tabel 24 Kinerja Ketersediaan Obat Puskesmas elite, Per Triwulan (2005) Uraian Jenis Obat ISPA: 1. Paracetamol 2. Amoxiciline 3. Obat batuk 4. CTM Total obat Cadangan 25 % Obat yang seharusnya tersedia Obat yang tersedia saat ini (termasuk sisa obat) Gap (Kelebihan obat) Persentase Mutu Kinerja
Triwulan 1 (dalam butir)
Triwulan 2 (dalam butir)
Triwulan 3 (dalam butir)
Triwulan 4 (dalam butir)
6.782 x 9 = 61.038 6.782 x 9 = 61.038 6.782 x 9 = 61.038 6.782 x 9 = 61.038 244.152 61.038 305.190
5.710x9= 51.390 5.710x9= 51.390 5.710x9= 51.390 5.710x9= 51.390 205.560 51.390 256.950
5.708x9=51.372 5.708x9=51.372 5.708x9=51.372 5.708x9=51.372 205.488 51.372 256.860
6.165x9=55.485 6.165x9=55.485 6.165x9=55.485 6.165x9=55.485 221.940 55.485 277.425
343.690
300.200
300.010
300.049
43.150 ( 16.79 % )
22.624 ( 8.15 % )
E
C
38.500 ( 12.61 % ) D
42.250 ( 16.83 % ) E
Sumber : Hasil Pengolahan Data Sekunder Penelitian, 2006
128
Berdasarkan Tabel 24 tersebut dapat dinyatakan bahwa gap atau kesenjangan antara ketersediaan obat yang seharusnya dengan yang aktual tidak melebihi 25 % dari norma yang ditetapkan. Angka yang tertera adalah pada triwulan 1 sebesar 12.61 % atau mutu kinerja ‘D’, triwulan 2, adalah 16.83 % atau mutu kinerja ‘E’, sedangkan kesenjangan pada triwulan 3 yakni 16.79 % atau mutu kinerja E, dan pada triwulan 4 adalah 8.15 % atau mutu kinerja C. Gap ketersediaan obat mendekati ideal atau yang paling bagus adalah pada triwulan 4. Dari jumlah pasien di Puskesmas moderate, sebanyak 13.034 (tiga belas ribu tiga puluh empat) orang pada triwulan 1, sejumlah 51 % atau 6.647 (enam ribu enam ratus empat puluh tujuh) orang adalah pelanggan poli umum. Dari jumlah tersebut, 70 % atau 4.653 (empat ribu enam ratus lima puluh tiga) orang adalah pasien ISPA. Pada triwulan 2 Jumlah pasien di Puskesmas adalah 14.192 (empat belas ribu seratus sembilan puluh dua) orang, 52 % atau 7.380 (tujuh ribu tiga ratus delapan puluh) orang adalah pasien poli umum. Dari jumlah pasien poli umum tersebut, 65 % penderita ISPA yakni 4.797 (empat ribu tujuh ratus sembilan puluh tujuh) orang. Pada triwulan 3, terdapat 60 % dari 15.074 (lima belas ribu tujuh puluh empat) orang adalah pasien poli umum. 51 % di antaranya atau 4.613 (empat ribu enam ratus tiga belas) orang adalah penderita ISPA. Data selanjutnya, pada triwulan 4 ada 55 % dari 16.199 (enam belas ribu seratus sembilan puluh sembilan) orang adalah pasien poli umum, 53 %-nya atau 4.722 (empat ribu tujuh ratus dua puluh dua) orang adalah penderita ISPA Berdasarkan pada data jumlah pasien ISPA per triwulan tersebut selanjutnya diketahui jumlah obat yang dibutuhkan adalah dengan mengalikan kebutuhan obat berdasarkan norma dosis dengan jumlah pasien ISPA, hasilnya adalah sebagai berikut : Data pada Tabel 5.17 menunjukan bahwa gap ketersediaan obat di Puskesmas cukup baik karena mendekati angka ideal dengan prosentase gap yang lebih kecil bila dibandingkan dengan Puskesmas elite Pada triwulan 1 adalah 5.26 % dengan mutu kinerja ‘C’ , triwulan 2 adalah 4.23 % dengan mutu kinerja ‘B’ , kemudian pada triwulan 3 hanya 3.57% dengan mutu kinerja ‘B’, dan pada triwulan 4 hampir sama yakni 3.53 % dengan mutu kinerja ‘B’.
129
Tabel 25 Kinerja Ketersediaan Obat Puskesmas Moderate Per Triwulan (2005) Uraian Jenis Obat ISPA: 1. Paracetamol 2. Amoxiciline 3. Obat batuk 4. CTM Total obat Cadangan 25 % Obat yang seharusnya tersedia Obat yang tersedia saat ini Gap (Kelebihan obat) Persentase Mutu Kinerja
Triwulan 1 (dalam butir)
Triwulan 2 (dalam butir)
Triwulan 3 (dalam butir)
Triwulan 4 (dalam butir)
4.653 x 9=41.877 4.653 x 9=41.877 4.653 x 9=41.877 4.653 x 9=41.877 167.508 41.877 209.385
4.797x9=43.173 4.797x9=43.173 4.797x9=43.173 4.797x9=43.173 172.692 43.173 215.865
4.613x9=41.517 4.613x9=41.517 4.613x9=41.517 4.613x9=41.517 166.068 41.517 207.585
4.722x9=42.498 4.722x9=42.498 4.722x9=42.498 4.722x9=42.498 169.992 42.498 212.490
220.400
225.000
215.000
220.000
11.015 ( 5.26 % ) C
9.135 ( 4.23 % ) B
7.415 ( 3,57 % ) B
7.510 ( 3.53 % ) B
Sumber : Hasil Pengolahan Data Sekunder Penelitian, 2006
Berikutnya adalah data ketersediaan obat pada Puskesmas slum Dari jumlah pasien di Puskesmas sebanyak 13.836 (tiga belas ribu delapan ratus tiga puluh enam ) orang pada triwulan 1, sejumlah 56 % atau 7.748 (tujuh ribu tujuh ratus empat puluh delapan) orang adalah pelanggan poli umum. Dari jumlah tersebut, 52 % atau 4.029 (empat ribu dua puluh sembilan) orang adalah pasien ISPA. Pada triwulan 2 Jumlah pasien di Puskesmas adalah 14.950 (empat belas ribu sembilan ratus lima puluh) orang, 58 % atau 8.671 (delapan ribu enam ratus tujuh puluh satu) orang adalah pasien poli umum. Dari jumlah pasien poli umum tersebut, 53 % penderita ISPA yakni 4.595 (empat ribu lima ratus sembilan puluh lima) orang. Pada triwulan 3, terdapat 67 % dari 15.350 (lima belas ribu tiga ratus lima puluh) orang adalah pasien poli umum. 60 % diantaranya atau 6.170 (enam ribu seratus tujuh puluh ) orang diantaranya adalah penderita ISPA. Data selanjutnya, pada triwulan 4 ada 59 % dari 17.126 (tujuh belas ribu seratus dua puluh enam) orang adalah pasien poli umum, 57 % diantaranya atau 5.759 (lima ribu tujuh ratus lima puluh sembilan) orang adalah penderita ISPA. Selanjutnya berdasarkan pada data jumlah pasien ISPA per triwulan tersebut diketahui jumlah obat yang dibutuhkan adalah dengan mengalikan kebutuhan obat berdasarkan norma dosis dengan jumlah pasien ISPA, hasilnya adalah sebagai berikut :
130
Tabel 26 Kinerja Ketersediaan Obat Puskesmas slum Per Triwulan (2005) Uraian Jenis Obat ISPA: 1. Paracetamol 2. Amoxiciline 3. Obat batuk 4. CTM Total obat Cadangan 25 % Obat yang seharusnya tersedia Obat yang tersedia saat ini Gap (Kelebihan obat) Persentase Mutu Kinerja
Triwulan 1 (dalam butir)
Triwulan 2 (dalam butir)
Triwulan 3 (dalam butir)
Triwulan 4 (dalam butir)
4.029 x 9 =36.261 4.029 x 9 =36.261 4.029 x 9 =36.261 4.029 x 9 =36.261 145.044 36.261 181.305
4.595x9=41.355 4.595x9=41.355 4.595x9=41.355 4.595x9=41.355 165.420 41.355 206.775
6.170x9=55.530 6.170x9=55.530 6.170x9=55.530 6.170x9=55.530 222.120 55.530 277.650
5.759x9=51.831 5.759x9=51.831 5.759x9=51.831 5.759x9=51.831 207.324 51.831 259.155
250.200
250.000
300.000
300.000
68.895 ( 37 % ) E
43.225 ( 20.90 % ) E
22.350 ( 8.0 % ) C
40.845 ( 15.76 % ) E
Sumber : Hasil Pengolahan Data Sekunder Penelitian, 2006
Dari data dalam Tabel 26 nampak bahwa Puskesmas slum pada triwulan 1 memiliki kesenjangan ketersediaan obat paling tinggi bila dibandingkan dengan elite maupun moderate, yakni 37 % atau diatas batas toleransi yang ditetapkan, dengan demikian mutu kinerjanya adalah ‘E’. Pada triwulan 2 adalah 20.90 %, juga masih tinggi dengan mutu kinerja ‘E’. Sedangkan pada triwulan 3 turun menjadi 8 % atau mutu kinerjanya ‘C’ , dan pada triwulan 4 gap ketersediaan obat naik menjadi 15.76 % di mana mutu kinerjanya adalah ‘E’ Berdasarkan temuan tersebut, maka secara keseluruhan, gap ketersediaan obat yang terbaik adalah pada Puskesmas moderate, kemudian peringkat kedua adalah Puskesmas elite, dan yang memiliki gap tertinggi adalah Puskesmas slum c. Penyuluhan Masyarakat Dalam proses operasi atau produksi Puskesmas, aspek penyuluhan masyarakat dipandang sebagai mata rantai yang tidak terpisahkan dengan proses pelayanan kesehatan secara keseluruhan. Penyuluhan juga dipandang tidak hanya sebagai tindakan preventif terhadap kasus-kasus kesehatan yang belum terjadi, namun juga dianggap sebagai tindakan lanjutan akibat terjadinya kasus-kasus kesehatan yang menonjol dan memerlukan penanganan dan pencegahan lebih lanjut agar kasus-kasus kesehatan tersebut tidak meluas.
131
Selanjutnya, mutu operasi Puskesmas dilihat dari aspek penyuluhan diukur melalui : pertama, total frekuensi penyuluhan per triwulan, kedua, persentase sasaran yang hadir dari yang ditargetkan, dengan cara membandingkan persentase gap antara tingkat kehadiran sasaran yang diharapkan dengan kenyataannya, ketiga, indeks persepsi atau penilaian peserta penyuluhan terhadap : (1) manfaat penyuluhan, (2) metode penyuluhan, (3) kesesuaian jadwal pe nyuluhan, (4) pemahaman terhadap isi yang disuluhkan. Berikut ini adalah hasilnya. Banyaknya program-program kesehatan yang ditunjang penyuluhan pada saat penelitian ini diadakan adalah 20 (dua puluh) program kesehatan, yakni, 1).KB ; 2). KIA ; 3).gizi ; 4) immunisasi ; 5).diare ; 6). DBD ; 7). ISPA ; 8). AIDS ; 9). Hepatitis ; 10). rokok-narkotika-obat berbahaya ; 11). Kangker ; 12). penyakit degeneratif ; 13). airkesehatan lingkungan ; 14). TBC ; 15). kusta/prambosia ; 16). kesehatan gigi dan mulut ;17). kesehatan mata ; 18). kesehatan jiwa ; 19). kesehatan kerja ; dan 20). kecacingan. Pada setiap triwulannya, puskesmas diharapkan mengadakan 60 kali penyuluhan Mutu kinerja frekuensi penyuluhan dinilai dari seberapa banyak penyuluhan diadakan setiap triwulannya. Ukuran kinerja frekuensi penyuluhan dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 27 Pedoman Penilaian Frekuensi Penyuluhan SKOR
5 4 3 2 1
MUTU
A B C D E
FREKUENSI PENYULUHAN PER TRIWULAN
Frekuensi Penyuluhan Ideal = 60 55-59 50-54 45-49 < 45
Sumber : Hasil Pengolahan Data Sekunder Penelitian (2005)
Untuk kehadiran sasaran penyuluhan, standar idealnya adalah 90% sasaran harus hadir. Penilaian kehadiran sasaran penyuluhan didasarkan pada jumlah sasaran penyuluhan yang hadir. Ukuran kehadiran sasaran penyuluhan adalah sebagai berikut :
132
Tabel 28 Pedoman Penilaian Kehadiran Sasaran Penyuluhan SKOR
MUTU
KEHADIRAN SASARAN PENYULUHAN PER TRIWULAN 5 A Kehadiran Sasaran Penyuluhan Ideal = 90 % 4 B 85 – 89% 3 C 80 – 84% 2 D 75 – 79 % 1 E < 75 % Sumber : Hasil Pengolahan Data Sekunder Penelitian (2005)
Frekuensi penyuluhan pada pada Puskesmas elite pada triwulan 1 dan 2 masih jauh dari yang diharapkan, sedangkan pada triwulan 3 terlihat adanya peningkatan hingga triwulan 4. Data tentang hal tersebut dapat disimak pada Tabel 5.21 berikut ini.
Tabel 29 Frekuensi Penyuluhan Pada Puskesmas elite Triwulan Frekuensi Penyuluhan 1 52 2 52 3 56 4 62 Sumber : Diolah dari data Sekunder Penelitian (2005)
Mutu Kinerja C C B A
Persentase kehadiran sasaran penyuluhan juga turut menentukan efektifitas dari suatu penyuluhan. Dalam tabel 30 terlihat bahwa rata-rata persentase kehadiran sasaran penyuluhan Puskesmas elite berkisar pada angka 80 hingga 85 % atau pada mutu kinerja sedang ‘C’. Hanya pada triwulan 3 mencapai 85 % dengan mutu kinerja ‘B’
Tabel 30 Persentase Kehadiran Sasaran Penyuluhan pada Puskesmas elite Persentase Triwulan Kehadiran Sasaran Mutu Kinerja 1 80 % C 2 84 % C 3 85 % B 4 80 % C Sumber : Diolah dari data Sekunder Penelitian (2005)
Indikator terakhir adalah dilihat dari indeks penilaian pelanggan terhadap penyuluhan-penyuluhan yang dilakukan Puskesmas. Hasilnya adalah sebagaimana tertera pada Tabel 31 berikut ini.
133
Tabel 31 Indeks Penilaian Pelanggan Terhadap Penyuluhan Puskesmas elite No
Indikator
1
M anfaat Penyuluhan
2
Ketepatan metode yang digunakan
3
Kesesuaian jadual penyuluhan
4
Pemahaman terhadap isi penyuluhan
1 3.45 (B) 2.67 (C) 2.45 (D) 3.44 (B)
Triwulan 2 3 3.56 3.5 (B) (B) 2.69 2.98 (C) (C) 2.48 2.49 (D) (D) 3.48 3.51 (B) (B)
4 3.65 (B) 3.02 (C) 2.55 (D) 3.56 (B)
Sumber: Diolah dari Data Primer Penelitian, 2005
Jika angka-angka skor pada Tabel 31 tersebut dikalikan dengan nilai dasar 20 (lihat aturan normatif MenPan) maka indeks penilaian pelanggan terhadap indikator pertama, yakni ‘manfaat penyuluhan’ bagi pelanggan adalah ‘Baik’ atau ‘B’. Sedangkan indikator kedua, yakni ‘ketepatan metode penyuluhan yang digunakan’ dinilai oleh pelanggan ‘sedang’ atau ‘C’. Selanjutnya pada indikator ‘kesesuaian jadual penyuluhan dengan kesibukan pelanggan’ dinilai ‘kurang’ atau ‘D’oleh pelanggan. Dan yang terakhir, indikator ‘pemahaman terhadap isi penyuluhan’ oleh pelanggan dinilai ‘baik’ atau ‘B’. Pada Puskesmas moderate, banyaknya program-program kesehatan yang ditunjang penyuluhan pada saat penelitian ini diadakan adalah 15 (lima belas) program kesehatan, yakni, KB, KIA, gizi, immunisasi, diare, DBD, ISPA, AIDS, hepatitis, rokok-narkotikaobat berbahaya, kesehatan gigi dan mulut, penyakit degeneratif, air-kesehatan lingkungan, TBC, kusta/prambosia. Berikut ini tabel frekuensi penyuluhan moderate.
Tabel 32 Frekuensi Penyuluhan Pada Puskesmas Moderate Triwulan Frekuensi Penyuluhan Mutu Kinerja 1 40 E 2 43 E 3 49 D 4 55 B Sumber : Diolah dari data Sekunder Penelitian (2005)
Tabel 33 Persentase Kehadiran Sasaran Penyuluhan Pada Puskesmas Moderate Persentase Kehadiran Triwulan Sasaran Penyuluhan 1 88 % 2 87 % 3 85 % 4 85 % Sumber : Diolah dari data Sekunder Penelitian (2005)
Mutu Kinerja B B B B
134
Dalam Tabel 33 terlihat bahwa secara keseluruhan hasil menunjukkan mutu kinerja berada pada ranking penilaian ‘baik’ atau ‘B’. Indikator terakhir adalah dilihat dari indeks penilaian pelanggan terhadap penyuluhan-penyuluhan yang dilakukan Puskesmas. Hasilnya adalah sebagaimana tertera pada Tabel 34 berikut ini. Tabel 34 Indeks Penilaian Pelanggan Terhadap Penyuluhan Puskesmas Moderat No 1 2 3 4
Indikator Manfaat Penyuluhan Ketepatan metode yang digunakan Kesesuaian jadual penyuluhan Pemahaman terhadap isi penyuluhan
1 4.45 3.44 3.45 4.34
Triwulan 2 3 4.48 4.51 3.47 3.47 3.48 3.47 4.42 4.51
4 4.55 3.52 3.51 4.56
Sumber: Diolah dari Data Primer Penelitian, 2005
Dengan mengalikan angka-angka skor pada Tabel 5.26 dengan nilai dasar 20 (lihat aturan normatif MenPan) maka indeks penilaian pelanggan terhadap indikator pertama, yakni ‘manfaat penyuluhan’ bagi pelanggan dinilai ‘sangat baik’ atau ‘A’. Sedangkan indikator kedua, yakni ‘ketepatan metode penyuluhan yang digunakan’ dinilai oleh pelanggan ‘Baik’ atau ‘B’. Selanjutnya pada indikator ‘kesesuaian jadual penyuluhan dengan kesibukan pelanggan’ dinilai ‘baik’ atau ‘B’oleh pelanggan. Dan yang terakhir, indikator ‘pemahaman terhadap isi penyuluhan’ oleh pelanggan dinilai ‘sangat baik’ atau ‘A’. Pada Puskesmas slum, jumlah program-program yang ditunjang penyuluhan pada tahun 2004 adalah 15 (lima belas) yakni, KB, KIA, gizi, diare, ISPA, DBD, immunisasi, TBC, kesehatan gigi dan mulut, kesehatan lingkungan, kusta, kulit, AIDS, narkotika, dan kesehatan kerja. Sedangkan saat ini 2005 jumlah program-program yang ditunjang penyuluhan meningkat menjadi 16 yakni ditambah dengan penyuluhan hepatitis. Dengan demikian peningkatannya hanya 3.2 %. Padahal bila diperhatikan, subsidi slum hampir sama dengan Puskesmas elite, yakni sekitar 4 miliar rupiah. Tabel 35 Frekuensi Penyuluhan Pada Puskesmas Slum Triwulan Frekuensi Penyuluhan Mutu Kinerja 1 44 E 2 46 D 3 54 C 4 62 A Sumber : Diolah dari data Sekunder Penelitian (2005)
135
Berikutnya adalah angka persentase kehadiran sasaran penyuluhan pada tahun 2005, sebagaimana tertera pada Tabel 36 berikut ini.
Tabel 36 Persentase Kehadiran Sasaran Penyuluhan Pada Puskesmas Slum Triwulan
Persentase Kehadiran Sasaran Penyuluhan
1 80% 2 80 % 3 75 % 4 82 % Sumber : Diolah dari data Sekunder Penelitian (2005)
Mutu Kinerja C C D C
Indikator terakhir adalah dilihat dari indeks penilaian pelanggan terhadap penyuluhan-penyuluhan yang dilakukan Puskesmas. Hasilnya adalah sebagaimana tertera pada Tabel 37 berikut ini.
Tabel 37 Indeks Penilaian Pelanggan Terhadap Penyuluhan Puskesmas Puskesmas Slum No 1 2 3 4
Indikator Manfaat Penyuluhan Ketepatan metode yang digunakan Kesesuaian jadual penyuluhan Pemahaman terhadap isi penyuluhan
1 3.02 3.11 2.33 3.21
Triwulan 2 3 3.15 3.22 3.14 3.24 2.33 2.41 3.23 3.22
4 3.27 3.33 2.44 3.35
Sumber: Diolah dari Data Primer Penelitian, 2005
Dengan mengalikan angka-angka skor pada Tabel 37 dengan nilai dasar 20 (lihat aturan normatif MenPan) maka indeks penilaian pelanggan terhadap indikator pertama, yakni ‘manfaat penyuluhan’ bagi pelanggan dinilai ‘sedang’ atau ‘C’. Sedangkan indikator kedua, yakni ‘ketepatan metode penyuluhan yang digunakan’ dinilai oleh pelanggan juga ‘sedang’ atau ‘C’. Selanjutnya pada indikator ‘kesesuaian jadual penyuluhan dengan kesibukan pelanggan’ dinilai ‘kurang’ atau ‘D’oleh pelanggan. Dan yang terakhir, indikator ‘pemahaman terhadap isi penyuluhan’ oleh pelanggan dinilai ‘sedang’ atau ‘C’ oleh pelanggan.
136
Kinerja Puskesmas dari Perspektif Keuangan Perspektif finansial memberikan target jangka panjang yang jelas bagi perusahaan yang mencari keuntungan. Tetapi bagi perusahaan pemerintah dan organisasi nirlaba, perspektif keuangan mungkin akan memberikan batasan dan bukan tujuan. Perusahaanperusahaan pemerintah harus membatasi pengeluaran mereka sesuai dengan jumlah yang dianggarkan. Tetapi keberhasilan organisasi seperti ini tidaklah diukur dengan bagaimana menjaga pengeluaran sesuai dengan anggaran, atau bahkan dengan penghematan yang dapat dilakukan sehingga pengeluaran yang sebenarnya jauh dibawah yang dianggarkan. Keberhasilan bagi organisasi pemerintah dan nirlaba adalah seharusnya diukur dengan seberapa efektif dan efisien organisasi tersebut dalam memenuhi berbagai aturan pokoknya. Pertimbangan finansial memang dapat menjadi pendorong atau kendala, tetapi jarang menjadi tujuan utama (Kaplan dan Norton, 1996:179-180).
Tabel 38 Misi, Tujuan, Pengukuran, Target dan Indikator Kinerja Keuangan Puskesmas MISI
Mengembang kan pelayanan Kesehatan yang berkualitas dan paripurna
TUJUAN STRATEGIS
PENGUKURAN
INDIKATOR
Meningkatkan kemandirian pembiayaan operasional melalui peningkatan swadana, dan meningkatkan penghematan
1 Tingkat pembiayaan per pasien 2.Tingkat kontribu si swadana per pasien
1.Biaya per pasien 2.Kontribusi swada na per pasien
Sumber : Hasil Kajian Penelitian, 2006
Jumlah total pemasukan subsidi tahun 2005 pada Puskesmas elite adalah Rp. 4.559.250.870,- (empat miliar lima ratus lima puluh sembilan juta dua ratus lima puluh ribu delapan ratus tujuh puluh rupiah). Sedangkan jumlah pengeluaran subsidi total adalah Rp. 4.503.958.595,- (empat miliar lima ratus tiga juta sembilan ratus lima puluh delapan ribu lima ratus sembilan puluh lima rupiah). Dari total pemasukan subsidi, 54.2 % di antaranya digunakan sebagai biaya operasional pelayanan kesehatan di dalam gedung dalam bentuk belanja langsung (telepon, listrik, dan air) dan tidak langsung (biaya operasional termasuk obat-obatan, pelayanan 24 jam atau UGD, dan biaya-biaya
137
lainnya). Tabel 39 berikut ini adalah mengetengahkan tentang efektivitas biaya subsidi pelayanan kesehatan Puskesmas elite .
Tabel 39 Efektivitas Biaya Subsidi Pelayanan Kesehatan Puskesmas Elite(2005) No
Uraian
Triwulan
Pemasukan: 1. Belanja langsung 2. Belanja Tidak Langsung T otal
25.620.832
29.859.150
31.143.142
37.920.041
124.543.165
600.792.317
600.792.317
600.792.317
600.792.317
2.316.991.636
626.413.149
630.651.467
631.935.459
637.712.358
2.441.534.801
25.620.832
23.022.210
37.980.082
37.920.041
124.543.165
568.092.909
570.907.909
540.547.909
637.442.909
2.316.991.636
593.713.741
593.930.119
577.527.991
674.362.950
2.441.534.801
Pengeluaran: 1. Belanja langsung 2. Belanja Tidak Langs ung T o t a l Subsidi T o t a l Pelanggan
15.192
15.975
Biaya per satu pelanggan 1 : 39.081 1 : 37.179 (cost effectiveness) Sumber: Hasil pengolahan data sekunder penelitian (2006)
17.048 1 : 33.877
19.350 1 : 34.850
67. 565 1 : 36.136
Efektivitas biaya per pelanggan dapat diketahui melalui perhitungan sederhana dengan cara membandingkan total pengeluaran subsidi per triwulan dengan jumlah pelanggan pertriwulan. Dalam Tabel 39 tersebut, nampak bahwa perbandingan antara total pengeluaran subsidi per triwulan dengan total pelanggan per triwulan menunjukan kecenderungan yang meningkat, dimana semakin besar pengeluaran semakin besar pula jumlah pelanggan. Secara nyata, peningkatan kedua variabel tersebut diikuti dengan penurunan rasio biaya per pelanggan dari Rp.39.081,- per satu orang pelanggan pada triwulan 1 menurun menjadi Rp.37.179,- pada triwulan 2, dan Rp.33.877,- pada triwulan 3, serta meningkat lagi menjadi Rp.34.850 pada triwulan 4. Dengan demikian dapat dihitung rata-rata biaya per pelanggan pada Puskesmas elite yakni Rp. 36.136,- per pelanggan. Selanjutnya untuk mengetahui kinerja keuangan swadana, berikut ini akan diketengahkan peningkatan pemasukan swadana Puskesmas yang akan diketengahkan melalui Tabel 40 berikut ini.
138
Tabel 40 Pertumbuhan Pemasukan Swadana Per Triwulan Puskesmas Elite TRIWULAN
JUMLAH PELANGGAN 15.192 (22.5 %)
TOTAL PEMASUKAN SWADANA Rp. 275.550.745 (23.6 %)
RATA-RATA KONTRIBUSI PER PELANGGAN Rp. 20.888,-
2
15.975 (23.6 %)
Rp. 286.780.200 (24.6 %)
Rp. 21.603
3
17.048 (25.3 %)
Rp. 295.890.810 (25.4 %)
Rp. 19.663
4
19.350 (28.6 %)
Rp. 308.381.224 (26.4 %)
Rp. 18.978
67.565 (100 %)
Rp. 1.166.602.979 (100 %)
1
Total
Rp. 20.196
Sumber: Hasil pengolahan data sekunder penelitian (2006)
Menyimak Tabel 40 tersebut, dapat diketengahkan bahwa pemasukan swadana Puskesmas elite cenderung meningkat pada setiap triwulan. Triwulan 1 ke 2 meningkat 1 %, triwulan 2 ke 3 peningkatannya 1.2 %, dan pada triwulan 3 ke 4 meningkat 1 %. Secara logika, peningkatan swadana disebabkan peningkatan jumlah pelanggan per triwulan, nampak dalam tabel, bahwa jumlah pelanggan mengalami peningkatan 1.1 % pada triwulan 1 ke 2, kemudian pada triwulan berikutnya meningkat
1.7 % dan
selanjutnya pada triwulan 3 ke 4 menurun 3.3 %. Rata-rata pelanggan memberikan kontribusi Rp.20.196,- pertriwulan. Kontribusi pelanggan terhadap swadana berupa pembayaran biaya retribusi/karcis dan biaya/tarif tindakan medis yang besarnya bervariasi berdasarkan jenis pelayanan atau tindakan. Sebagai contoh, pelayanan umum, gigi, dan pelayanan klinik lainnya dikenakan karcis retribusi Rp.2000,-/pelanggan termasuk pemeriksaan dan pengobatan, namun jika diperlukan tindakan medis misalnya cabut gigi atau jahitan, maka pelanggan dikenakan tarif tidakan medis yang besarannya diatur berdasarkan tarif yang telah ditentukan oleh Peraturan Daerah. Selain tarif umum, terdapat pula tarif retribusi bagi layanan keluarga miskin (GAKIN) yang besarnya Rp.750,- , sedangkan Asuransi Kese hatan (Askes) dikenakan Rp.1000,- dan Jaminan Asuransi Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek) dikenakan Rp. 1750,-. Sementara itu pelayanan Unit Gawat Darurat (UGD) dikenakan tarif Rp.10.000,- dan tarif bersalin dikenakan Rp. 150.000,- (paket bersalin selama 3 hari). Perhitungan dalam 139
Tabel tersebut merupakan agregat dari jumlah pelanggan dari berbagai jenis pelayanan kesehatan, tarif karcis pada setiap layanan, dan jumlah pemasukan dari tindakan medis. Berikut ini adalah kinerja keuangan dari Puskesma s moderate. Jumlah total pemasukan subsidi pada Puskesmas moderat tahun 2005 adalah Rp. 2.755.451.000,- (dua miliar tujuh ratus lima puluh lima juta empat ratus lima puluh satu ribu rupiah), sedangkan total pengeluaran subsidi di tahun yang sama adalah Rp. 2.734.451.000,- (dua miliar tujuh ratus tiga puluh empat juta empat ratus lima puluh satu ribu rupiah). Dari total pemasukan subsidi Puskesmas moderate 60 % atau Rp. 1.653.270.600,(Satu miliar enam ratus lima puluh tiga juta dua ratus tujuh puluh ribu enam ratus rupiah) digunakan sebagai biaya pengobatan yang terdiri dari biaya langsung (listrik, telepon, dan air), dan biaya tidak langsung berupa biaya operasional pelayanan kesehatan di dalam gedung atau pengobatan.
Tabel 41 Efektivitas Biaya Subsidi Pelayanan Kesehatan Puskesmas Moderate (2005) No
Uraian
Triwulan
Pemasukan: 1.
Belanja langsung
2. Belanja Tidak Langsung Total
18.750.000
17.580.000
18.668.000
18.700.000
73.698.000
381.583.650
385.200.000
392.132.000
420.656.450
1.579.572.100
400.333.650
402.780.000
410.800.500
439.356.450
1.653.270.600
18.750.000
17.580.000
18.668.000
18.700.000
73.698.000
381.583.650
385.200.000
392.132.000
420.656.450
1.579.572.100
400.333.650
402.780.000
410.800.500
439.356.450
1.653.270.600
13.034
14.192
15.074
16.199
58.499
1 : 27.252
1 : 27.122
1 : 28.262
Pengeluaran: 1.
Belanja langsung
2. Belanja Tidak Langsung T o t a l Subsidi T o t a l Pelanggan
Biaya per satu pelanggan 1 : 30.715 1 : 28.381 (cost effectiveness) Sumber: Hasil pengolahan data sekunder penelitian (2006)
Nampak dalam Tabel 41 kecenderungan peningkatan jumlah pelanggan yang diikuti
dengan
kecenderungan
peningkatan
jumlah
penggunaan
subsidi.
Jika
dibandingkan dengan Puskesmas elite, rasio subsidi per pelanggan di Puskesmas
140
moderate lebih rendah yakni rata-rata satu orang pelanggan dibiayai dengan subsidi sebesar Rp.28.262,- (dua puluh delapan ribu dua ratus enam puluh dua rupiah) Selanjutnya, pertumbuhan swadana moderate pada triwulan 1 ke triwulan 2 meningkat 0.4 %, pada triwulan 2 ke 3 meningkat 0.2 %, dan pada triwulan 3 ke 4 meningkat 1.22 %. Adapun peningkatan jumlah pelanggan pada triwulan 1 ke triwulan 2 adalah 3 %, sedangkan triwulan 2 ke triwulan 3, meningkat 1.5 %, dan pada triwulan ke 3 dan 4 meningkat sebesar 1.9 %. Dari nilai total swadana dan total pelanggan dapat diketahui bahwa rata-rata setiap pelanggan memberikan kontribusi pemasukan swadana sebesar Rp. 25.158,- (dua puluh lima ribu seratus lima puluh delapan rupiah). Rata-rata kontribusi ini lebih besar bila dibandingkan dengan rata-rata kontribusi pelanggan pada pemasukan swadana Puskesmas elite.
Tabel 42 Pertumbuhan Pemasukan Swadana Per Triwulan Puskesmas Moderate TRIWULAN
JUMLAH PELANGGAN 13.034 (21.3 %)
TOTAL PEMASUKAN SWADANA Rp. 357.932.600 (24.3 %)
RATA-RATA KONTRIBUSI PER PELANGGAN Rp. 27.461
2
14.192 (24.3 %)
Rp. 362.850.900 (24.7 %)
Rp. 25.567
3
15.074 (25.8 %)
Rp. 367.900.900 (24.9 %)
Rp. 24.406
4
16.199 (27.7 %)
Rp. 383.046.093 (26.12 %)
Rp. 23.646
1
Total
58.499 Rp. 1.471.730.493 (100 %) (100 %) Sumber: Hasil pengolahan data sekunder penelitian (2006)
Rp. 25.158
Pada Puskesmas slum, dari Tabel 42 berikut ini menunjukkan total pemasukan subsidi tahun 2005 adalah Rp. 4.910.568.000 (empat miliar sembilan ratus sepuluh juta lima ratus enam puluh delapan ribu rupiah), sedangkan total pengeluaran subsidi di tahun yang sama adalah Rp. 4.733.273.056,- (empat miliar tujuh ratus tiga puluh tiga juta dua ratus tujuh puluh tiga ribu lima puluh enam rupiah). Sejumlah Rp.1.964.227.200 (satu miliar sembilan ratus enam puluh empat juta dua ratus dua puluh tujuh dua ratus rupiah) atau 40 % dari total pemasukan subsidi digunakan sebagai biaya operasional pelayanan kesehatan. Tabel 43 berikut ini adalah efektivitas biaya subsidi pada Puskesmas slum 141
Efektivitas biaya per satu orang pelanggan dapat diketahui dari penghitungan total pemasukan subsidi dibagi dengan total pelanggan, hasilnya adalah Rp.32.063,- (tiga puluh dua ribu enam puluh tiga rupiah) per triwulan. Nilai ini terlihat lebih besar jika dibandingkan dengan Puskesmas moderate, namun di bawah efektivitas biaya Puskesmas elite Tabel 43 Efektivitas Biaya Subsidi Pelayanan Kesehatan Puskesmas Slum (2005) No
Uraian
Triwulan
Pemasukan: 1.
Belanja langsung
2. Belanja Tidak Langsung T ot al
31.210.000
32.010.000
32.500.000
35.900.100
131.620.100
452.990.390
456.970.000 462.370.200
460.276.510
1.832.607.100
484.200.390
488.980.000 494.870.200
496.176.610
1.964.227.200
31.210.000
32.010.000
32.500.000
35.900.100
131.620.100
452.990.390
456.970.000 462.370.200
460.276.510
1.832.607.100
484.200.390
488.980.000 494.870.200
496.176.610.
1.964.227.200
15.350
17.126
61.262
1 : 32.239
1 : 28.972
1 : 32.063
Pengeluaran: 1.
Belanja langsung
2. Belanja Tidak Langsung T o t a l Subsidi T o t a l Pelanggan
13.836
14.950
Biaya per satu pelanggan 1 : 34.996 1 : 32.708 (cost effectiveness) Sumber: Hasil pengolahan data sekunder penelitian (2006)
Selanjutnya diketengahkan pertumbuhan swadana pada Puskesmas Slum sebagaimana ditampilkan dala m Tabel. Dari Tabel 43 dapat disimak bahwa pertumbuhan pemasukan swadana terlihat pada triwulan 1 ke triwulan 2 terlihat adanya peningkatan 0.2 % , pada triwulan 2 ke triwulan 3 meningkat kecil yakni 0.12 %, dan terjadi pada triwulan 3 ke triwulan meningkat sebesar 0.32 %. Adapun peningkatan jumlah pelanggan pada triwulan 1 ke triwulan 2 nampak cukup tinggi yakni 1.8 %, dan pada triwulan 2 ke triwulan 3 sebesar 0.7 %, serta pada triwulan 3 ke triwulan 4 sebesar 2.8 %. Dari aspek kontribusi pelanggan terhadap pemasukan swadana, rata-rata setiap pelanggan memberikan kontribusi sebesar Rp.20.363. Nilai ini masih di bawah Puskesmas moderate, namun hampir sama dengan Puskemas elite.
142
Tabel 44 Pertumbuhan Pemasukan Swadana Per Triwulan Puskesmas Slum TRIWULAN
JUMLAH PELANGGAN 13.836 (22.6 %)
TOTAL PEMASUKAN SWADANA Rp. 309.332.600 (24.7 %)
RATA-RATA KONTRIBUSI PER PELANGGAN Rp. 22.357
2
14.950 (24.4 %)
Rp. 310. 500.900 (24.9 %)
Rp. 20.769
3
15.350 (25.1 %)
Rp. 312.100.900 (25.02 %)
Rp. 20.332
4
17.126 (27.9 %)
Rp. 315.557.550 (25.3 %)
Rp. 18.425
1
Total
61.262 Rp. 1.247.491.950 (100 %) (100 %) Sumber: Hasil pengolahan data sekunder penelitian (2006)
Rp. 20.363
Secara keseluruhan, kinerja keuangan ketiga Puskesmas dapat disimpulkan bahwa kinerja keuangan Puskesmas moderate, nampak memiliki mutu tertinggi bila dibandingkan dengan Puskesmas elite dan slum dilihat dari efektivitas biaya subsidi, peningkatan pelanggan, dan kontribusi setiap pelanggan terhadap swadana. Biaya operasional yang dikeluarkan untuk setiap pelanggan hanya Rp.28.262 (dua puluh delapan ribu dua ratus enam puluh dua rupiah) lebih murah sekitar Rp. 7000,(tujuh ribu rupiah) bila dibandingkan dengan dua Puskesmas yang lain, padahal pemasukan subsidi Puskesmas moderate jauh lebih kecil bila dibandingkan dengan elite maupun slum Dalam aspek pertumbuhan swadana, Puskesmas moderate berada pada peringkat mutu ‘sedang’, pertumbuhan swadana yang tertinggi adalah Puskesmas elite, terendah adalah slum. Tabel 45 berikut ini gambaran tentang hal tersebut.
143
Tabel 45 Mutu Kinerja Keuangan Puskesmas NO
UKURAN STRATEGIS
ELITE
MODERATE
SLUM
1
Efektivitas Biaya Subsidi
Rp.36.136/orang ( Rendah )
Rp.28.262/orang ( Tinggi )
Rp.32.063/orang ( Sedang )
2
Pertumbuhan Swadana
1.06 % ( Tinggi )
0.60 % ( Sedang )
0.21 % ( Rendah )
3
Peningkatan Pelanggan
2.03 % ( Sedang )
2.13 % ( Tinggi )
1.77 % ( Rendah )
4
Kontribusi setiap pelanggan Terhadap swadana.
Rp.20.196/orang ( Rendah )
Rp.25.158/orang ( Tinggi )
Rp.20.363/orang ( Sedang )
Tinggi
Rendah
Mutu Kinerja Keuangan Sedang Sumber: Hasil pengolahan data sekunder penelitian (2006)
Kinerja Puskesmas dari Perspektif Pembelajaran dan Pertumbuhan Berdasarkan konsep BSC, terdapat 3 parameter generik yang dianggap memiliki kontribusi kuat terhadap pertumbuhan dan pembelajaran pegawai di Puskesmas, yakni (1) kepuasan pegawai, (2) kapabilitas informasi, dan (3) kapabilitas pegawai. Berikut ini adalah hasilnya. 1). Kepuasan Pegawai Indikator-indikator pada parameter kepuasan pegawai adalah penilaian pegawai terhadap (1) keterlibatan pegawai dalam pengambilan keputusan, (2) penghargaan terhadap prestasi pegawai, (3) lingkungan suasana kerja, (4) dukungan sarana kerja, dan (5) insentif pegawai. Tabel 46 berikut ini adalah hasil dari pengukuran kepuasan pegawai. Baik pegawai Puskesmas elite, moderate maupun slum, memberikan penilaian yang rendah terhadap indikator insentif pegawai bila dibandingkan dengan indikatorindikator lain dalam kepuasan pegawai, yakni rata-rata kurang lebih 2.0. Pada Puskesmas elite, penilaian tertinggi terdapat pada indikator penghargaan terhadap prestasi pegawai dan lingkungan suasana kerja. Sedangkan pada Puskesmas moderate, penilaian tertinggi adalah pada dukungan sarana kerja yang memadai. Pada Puskesmas slum penilaian tertinggi terlihat pada keterlibatan pegawai dalam pengambilan keputusan. Secara keseluruhan nilai-nilai persepsi menunjukan kecenderungan yang meningkat setiap
144
Tabel 46 Nilai Indeks Kinerja Dari Aspek Kepuasan Pegawai Puskesmas ELITE
MODERATE
SLUM
Triwulan
Triwulan
Triwulan
PKC Kepuasan Pegawai 1
Keterlibatan dalam pengambilan keputusan Penghargaan terhadap prestasi pegawai Lingkungan suasana kerja di Puskesmas Dukungan sarana kerja yang memadai Insentif Pegawai
2
3
4
1
2
3
4
1
2
3
4
2.11
2.10
2.14
2.16
2.10
2.13
2.12
2.17
2.08
2.11
2.13
2.19
2.23
2.27
2.31
2.43
2.08
2.10
2.16
2.19
2.03
2.03
2.05
2.06
2.09
2.17
2.13
2.29
2.05
2.09
2.11
2.28
2.07
2.07
2.09
2.09
2.07
2..15
2.26
2.26
2.12
2.12
2.22
2.34
2.06
2.08
2.10
2.13
2.00
2.02
2.01
2.04
2.00
2.03
2.05
2.07
2.01
2.02
2.04
2.06
Sumber : Hasil pengolahan data primer penelitian (2006)
Untuk mengetahui nilai mutu kinerja kepuasan pegawai, dapat disimak pada tabel berikut ini. Tabel 47 Mutu Kinerja Puskesmas dari Aspek Kepuasan Pegawai (Metode Normatif) ELITE
MODERATE
SLUM
Triwulan
Triwulan
Triwulan
PKC Kepuasan Pegawai 1
Keterlibatan dalam pengambilan keputusan Penghargaan terhadap prestasi pegawai Lingkungan suasana kerja di Puskesmas Dukungan sarana kerja yang memadai Insentif pegawai
2
3
4
1
2
3
4
1
2
3
4
2.11 D
2.10 D
2.14 D
2.16 D
2.10 D
2.13 D
2.12 D
2.17 D
2.08 D
2.11 D
2.13 D
2.19 D
2.23 D
2.27 D
2.31 D
2.43 D
2.08 D
2.10 D
2.16 D
2.19 D
2.03 D
2.03 D
2.05 D
2.06 D
2.09 D
2.17 D
2.13 D
2.29 D
2.05 D
2.09 D
2.11 D
2.28 D
2.07 D
2.07 D
2.09 D
2.09 D
2.07 D
2..15 D
2.26 D
2.26 D
2.12 D
2.12 D
2.22 D
2.34 D
2.06 D
2.08 D
2.10 D
2.13 D
2.00 D
2.02 D
2.01 D
2.04 D
2.00 D
2.03 D
2.05 D
2.07 D
2.01 D
2.02 D
2.04 D
2.06 D
Sumber : Hasil pengolahan data primer penelitian (2006)
Penilaian pegawai terhadap mutu kinerja kepuasan pegawai secara keseluruhan adalah kurang atau ‘D’. Sebagaimana pada bagian sebelumnya, pada kesempatan ini juga akan diketengahkan mutu kinerja yang dihitung dari nilai konversi melalui metode empirik. Adapun hasil nilai konversi adalah sebagai tertera pada Tabel 48 berikut ini.
145
Tabel 48 Nilai Konversi Mutu Kinerja Kepuasan Pegawai dengan Metode Empirik
Nilai Persepsi 1 2 3 4 5
Nilai Interval Konversi Empiris 2.00 2.09 2.18 2.27 2.34
- 2.08 - 2.17 - 2.26 - 2.34 - 2.43
Peringkat Mutu E D C B A
Mutu Kinerja Sangat Kurang Kurang Sedang Baik Sangat Baik
Sumber : Hasil pengolahan data primer penelitian (2006)
Berdasarkan nilai konversi tersebut, maka mutu kinerja kepuasan pegawai dapat dibandingkan dengan menyimak Tabel 49 berikut ini.
Tabel .49 Mutu Kinerja Puskesmas dari Aspek Kepuasan Pegawai (Metode Empirik) ELITE
MODERATE
SLUM
Triwulan
Triwulan
Triwulan
PKC Kepuasan Pegawai
2
3
4
1
2
3
4
1
2
3
4
Keterlibatan dalam pengambilan keputusan Penghargaan terhadap prestasi pegawai Lingkungan suasana kerja di Puskesmas Dukungan sarana kerja yang memadai
2.11 D
1
2.10 D
2.14 D
2.16 D
2.10 D
2.13 D
2.12 D
2.17 D
2.08 E
2.11 D
2.13 D
2.19 C
2.23 C
2.27 C
2.31 B
2.43 A
2.08 E
2.10 D
2.16 D
2.19 C
2.03 E
2.03 E
2.05 E
2.06 E
2.09 D
2.17 D
2.13 D
2.29 B
2.05 E
2.09 D
2.11 D
2.28 B
2.07 E
2.07 E
2.09 D
2.09 D
2.07 E
2..15 D
2.26 C
2.26 C
2.12 D
2.12 D
2.22 C
2.34 A
2.06 E
2.08 E
2.10 D
2.13 D
Insentif Pegawai
2.00 E
2.02 E
2.01 E
2.04 E
2.00 E
2.03 E
2.05 E
2.07 E
2.01 E
2.02 E
2.04 E
2.06 E
Sumber : Hasil pengolahan data primer penelitian (2006)
Pada indikator keterlibatan pegawai dalam pengambilan keputusan, nampak mutu kinerja rata-rata kurang baik atau ‘D’, artinya bahwa pegawai kurang puas terhadap aspek keterlibatan mereka dalam pengambilan keputusan di Puskesmas. Sedangkan mutu kinerja indikator-indikator lainnya lebih bervariasi, seperti pada pengha rgaan terhadap prestasi pegawai pada triwulan 4 Puskesmas elite memperoleh nilai mutu ‘A’ yang berarti meningkat dari triwulan-triwulan sebelumnya yakni ‘C’ dan ‘B’. Begitu pula pada Puskesmas moderate meningkat dari sangat kurang menjadi baik atau ‘B’. Secara keseluruhan nampak tidak berbeda jauh antara mutu kinerja yang diolah dengan metode
146
normatif dengan empiris, misalnya pada indikator insentif pegawai baik Puskesmas elite, moderate, maupun slum memiliki mutu sangat kurang atau ‘E’. Gambar 14 berikut ini adalah grafik kecenderungan dari perilaku kepuasan pegawai baik di Puskesmas elite, moderate, maupun slum.
5 4
3 21 2 3
1
23
123
1
3
4
1
Kepuasan_Pegawai_Elite
2
Kepuasan_Pegawai_Moder at
3
Kepuasan_Pegawai_Slum
1 1
2
Time
Gambar 14 Grafik Perilaku Kinerja Kepuasan Pegawai Puskesmas Elite,Moderate, dan Slum (Sumber : Hasil Kajian Penulis, 2006)
Pada grafik tergambar secara jelas, bagaimana pola kecenderungan perilaku sistem kepuasan pegawai yang meningkat namun sangat kecil peningkatannya sehingga terkesan datar. Yang perlu diperhatikan pada grafik tersebut adalah discrepancy antara kinerja yang diharapkan dengan kenyataannya tergambar begitu lebar, sehingga dapat dipastikan bahwa umpan balik negatif akan terjadi. Sistem akan mencari keseimbangan melalui tindakan koreksi terhadap kesenjangan yang ada. Tindakan koreksi diperlukan untuk perbaikan pada kelima indikator kinerja kepuasan pegawai. 2). Kapabilitas Informasi Variabel kedua dari perspektif pembelajaran dan pertumbuhan adalah kapabilitas informasi. Sejauh mana kemampuan pegawai dalam menjalankan tugas memperoleh dukungan akses informasi tentang pelanggan, proses internal, dan keuangan, yang secara keseluruhan mencakup ketersediaan, kecepatan, dan keakuratan informasi tersebut. Hasil dari pengolahan data dapat disimak dalam Tabel 50 berikut ini. Penilaian pegawai terhadap indikator ketersediaan informasi yang mencakup informasi
147
tentang pelanggan, proses internal, dan keuangan, dinilai lebih tinggi oleh pegawai Puskesmas elite, dan moderate, dari pada penilaian pegawai di Puskesmas slum.
Tabel 50 Nilai Indeks Kinerja Dari Aspek Kapabilitas Informasi Puskesmas ELITE
MODERATE
SLUM
Triwulan
Triwulan
Triwulan
PKC Kapabilitas Informasi
2
3
4
1
2
3
4
1
2
3
4
Ketersediaan Informasi
3.22
1
3.24
3.30
3.52
2.95
3.14
3.40
3.28
2.72
2.96
2.88
3.16
Kecepatan Informasi
3.67
3.75
3.75
3.84
3.40
3.56
3.58
3.60
3.08
3.22
3.24
3.34
Keakuratan Informasi
3.77
3.88
3.82
3.95
3.40
3.46
3.56
3.72
3.22
3.32
3.33
3.54
Sumber : Hasil pengolahan data primer penelitian (2006)
Ketersediaan informasi dinilai penting dalam meringankan beban kerja pegawai. Beban kerja (work load) pegawai diketahui melalui perbandingan jumlah pegawai Puskesmas dengan jumlah kunjungan pasien ke Puskesmas, dan jumlah kunjungan pegawai Puskesmas ke masyarakat. Jumlah pegawai Puskesmas saat ini berjumlah lebih kurang 62 hingga 64, sedangkan jumlah pasien yang berkunjung ke Puskesmas kurang lebih 200 hingga 300 orang setiap hari. Beban tersebut belum termasuk dengan pelayanan di luar gedung Puskesmas yang harus menjangkau seoptimal mungkin penduduk di wilayah di mana Puskesmas berada. Sejalan dengan peningkatan jumlah pelanggan, maka idealnya jumlah pegawai juga ditingkatkan terutama pegawai medis. Saat ini pegawai medis di Puskesmas rata-rata berjumlah 9 hingga 11 orang Indikator kedua yakni kecepatan informasi, nilai terendah adalah pada Puskesmas slum. Kecepatan informasi menggambarkan adanya dukungan teknologi tinggi yang membantu kelancaran arus informasi antara pegawai, antar pimpinan dan pegawai, dan arus informasi keluar-masuk Puskesmas. Pada waktu penelitian ini dilakukan, ketiga Puskesmas sampel sedang dalam proses mewujudkan program Sistem Informasi Kesehatan (SIK) yang rencananya akan terintegrasi dengan Dinas Kesehatan. Indikator yang terakhir adalah keakuratan informasi, nampak dala m tabel bahwa urutan nilai tertinggi adalah Puskesmas elite, kemudian moderate, dan nilai terendah adalah Puskesmas slum. Informasi yang tersedia dengan cepat tidak akan bermanfaat 148
apabila ternyata tidak akurat. Keakuratan informasi ditentukan oleh bagaimana cara Puskesmas mengolah dan menyajikan data atau informasi yang diperlukan pegawai. Berikut ini Tabel 51 yang akan menyajikan mutu kinerja kapabilitas informasi menurut metode normatif. Tabel. 51 Mutu Kinerja Puskesmas dari Aspek Kapabilitas Informasi (Metode Normatif) ELITE
MODERATE
SLUM
Triwulan
Triwulan
Triwulan
PKC Kapabilitas Informasi
2
3
4
1
2
3
4
1
2
3
4
Ketersediaan Informasi
3.22 C
1
3.24 C
3.30 C
3.52 B
2.95 C
3.14 C
3.40 C
3.28 C
2.72 C
2.96 C
2.88 C
3.16 C
Kecepatan Informasi
3.67 B
3.75 B
3.75 B
3.84 B
3.40 C
3.56 B
3.58 B
3.60 B
3.08 C
3.22 C
3.24 C
3.34 C
Keakuratan Informasi
3.77 B
3.88 B
3.82 B
3.95 B
3.40 C
3.46 B
3.56 B
3.72 B
3.22 C
3.32 C
3.33 C
3.54 B
Sumber : Hasil pengolahan data primer penelitian (2006)
Mutu kinerja ketersediaan informasi pada ketiga Puskesmas hampir sama yakni berada pada nilai mutu ‘C’ atau sedang, kecuali pada triwulan 4 Puskesmas elite ‘B’. Pada ‘kecepatan informasi’ mutu paling rendah adalah pada Puskesmas slum begitu pula pada mutu kinerja ‘keakuratan informasi’. Berikut ini adalah Tabel 52 yang akan mengetengahkan terlebih dahulu hasil pengolahan nilai konversi mutu kinerja kapabilitas informasi secara empirik sebagai berikut. Tabel 52 Nilai Konversi Mutu Kinerja Kapabilitas Informasi dengan Metode Empirik Nilai Persepsi 1 2 3 4 5
Nilai Interval Konversi Empiris 2.720 2.966 3.212 3.458 3.704
- 2.966 - 3.212 - 3.458 - 3.704 - 3.950
Peringkat Mutu E D C B A
Mutu Kinerja Sangat Kurang Kurang Sedang Baik Sangat Baik
Sumber : Hasil pengolahan data primer penelitian (2006)
Berdasarkan pada nilai konversi tersebut, maka hasil penilaian mutu kinerja kapabilitas informasi adalah sebagai berikut.
149
Tabel
53 Mutu Kinerja Puskesmas dari Aspek Kapabilitas Informasi (Metode Empirik ) ELITE
MODERATE
SLUM
Triwulan
Triwulan
Triwulan
PKC Kapabilitas Informasi
2
3
4
1
2
3
4
1
2
3
4
Ketersediaan Informasi
3.22 C
1
3.24 C
3.30 C
3.52 B
2.95 E
3.14 D
3.40 C
3.28 C
2.72 E
2.96 D
2.88 D
3.16 D
Kecepatan Informasi
3.67 B
3.75 A
3.75 A
3.84 A
3.40 C
3.56 B
3.58 B
3.60 B
3.08 D
3.22 C
3.24 C
3.34 C
Keakuratan Informasi
3.77 A
3.88 A
3.82 A
3.95 A
3.40 C
3.46 B
3.56 B
3.72 A
3.22 C
3.32 C
3.33 C
3.54 B
Sumber : Hasil pengolahan data primer penelitian (2006)
Secara keseluruhan dalam metode empirik, mutu kinerja kapabilitas informasi yang terbaik di antara ketiga Puskesmas adalah Puskesmas elite, peringkat kedua adalah Puskesmas moderate, sedangkan yang terakhir adalah Puskesmas slum. Sedangkan grafik yang menggambarkan kecenderungan dari perilaku sistem kapabilitas informasi Puskesmas adalah sebagai berikut.
5 4 1 3 2 3
12 3
12 3
1 3
1
Kapabilitas_Informasi_Elite
2
Kapabilitas_Informasi_Moder at Kapabilitas_Informasi_Slum
2 3 1 1
2
3
4
Time
Gambar 15 Grafik Kecenderungan Kapabilitas Informasi Puskesmas Elite, Moderate, dan Slum (Sumber : Hasil Kajian Penulis, 2006)
Grafik kecenderungan perilaku masih berbentuk ‘goal seeking’ karena masih terdapat kesenjangan antara kinerja yang diharapkan dengan kenyataannya. Untuk memperbaiki sistem kinerja, diperlukan tindakan koreksi pada nilai kinerja yang rendah.
150
3). Kapabilitas Pegawai Pengukuran elemen-elemen kapabilitas pegawai dibatasi dan mengacu pada indikator general knowledge atau pengetahuan umum pegawai tentang manajemen dan beberapa upaya Puskesmas dalam mendukung terlaksananya pelayanan yang berkualitas. Sedangkan pada skill, lebih mengacu pada pengukuran client-service skill-abilities. Begitu pula tentang sikap responden, lebih diarahkan pada pengukuran sikap responden tentang ketertarikannya terhadap kualitas pelayanan. Indikator nomor 1 hingga 3 pada Tabel 54 berikut ini merupakan indikator tingkat pengetahuan umum pegawai. Nampak bahwa angka skor yang cenderung di atas 4 menunjukan pengetahuan responden pegawai tentang ‘keteraturan manajemen Puskesmas saat ini’. Begitu pula pengetahuan tentang masih sesuainya ‘20 Program Upaya Pokok Puskesmas’ hingga saat ini Mutu kinerja kapabilitas pegawai terhadap kedua pengetahuan tersebut memiliki nilai ‘baik’ atau ‘B’ bahkan cenderung ‘sangat baik’ atau ‘A’. Namun pada indikator nomor 3, yakni pengetahuan pegawai tentang hubungan Puskesmas swadana dengan peningkatan kualitas pelayanan responden Puskesmas elite dan moderate yang menilai bahwa swadana meningkatkan kualitas layanan, sedangka n responden Puskesmas slum, rata-rata menyatakan peningkatannya sedang saja. Selanjutnya indikator nomor 4 mewakili sikap responden terhadap perlunya pelatihan yang mendukung pelaksanaan kualitas pelayanan Puskesmas, responden Puskesmas slum menyatakan bahwa pelatihan semacam itu ‘cukup perlu’, terbukti dengan nilai mutu pada kisaran ‘sedang’ atau ‘C’. Hal ini berbeda dengan sikap responden dari Puskesmas elite dan moderate yang memperlihatkan optimisnya terhadap perlunya pelatihan yang mendukung terselenggaranya kualitas pelayanan di Puskesmas. Mutu kinerja kapabilitas elite dan moderate adalah ‘sangat baik’ atau ‘A’. Indikator nomor 5 mewakili sikap minat atau ketertarikan pada pelatihan yang mendukung pelaksanaan kualitas pelaya nan di Puskesmas. Pada kenyataannya, sikap yang memandang perlu pelatihan dengan ketertarikan terhadap pelatihan tersebut tidak selalu konsisten. Terbukti dengan nilai skor moderate yang melemah, yang diikuti dengan mutu kinerja kapabilitas yang berada pada kisaran ‘sedang’ atau ‘C’.
151
Tabel 54 Indeks dan Mutu Kinerja Kapabilitas Pegawai ELITE
MODERATE
SLUM
Triwulan
Triwulan
Triwulan
PKC Kapabilitas Pegawai 1 1. Pengetahuan Responden tentang manajemen Puskesmas saat ini 2. Pengetahuan terhadap kesesuaian 20 Upaya Pokok Puskesmas saat ini 3.Pengetahuan tentang Puskesmas Swadana 4.Sikap tentang perlunya pelatihan kualitas pelayanan 5.Ketertarikan terhadap pelatihan kualitas pelayanan 6.Sikap terhadap manfaat ISO 7.Kesesuaian pengetahuan yang dimiliki dengan tugas yang dijalankan 8.Komitmen untuk komunikasi dengan pelanggan 9. Komitmen dengan upaya mengetahui kepuasan pelanggan 10. Ketertarikan terhadap tugas menangani keluhan pelanggan 11. Ketersediaan terhadap tugas menangani keluhan pelanggan 12. Pilihan tugas ‘dibelakang meja’ atau melayani pelanggan secara langsung.
2
3
4
1
2
3
4
1
2
3
4
3.88 B
4.25 A
4.55 A
4.31 A
4.07 B
4.25 A
4.22 A
4.37 A
3.45 B
3.52 B
4.51 A
4.55 A
4.11 B
4.30 A
4.33 A
4.32 A
4.21 A
4.14 B
4.31 A
4.37 A
3.71 B
3.80 B
3.74 B
4.00 B
3.72 B 4.40 A
4.20 B 3.79 B
4.23 A 4.40 A
4.30 A 4.41 A
4.12 B 4.22 A
4.32 A 4.21 A
3.92 B 4.52 A
4.31 A 4.71 A
2.83 C 3.40 C
2.78 C 3.37 C
2.83 C 3.43 B
2.89 C 3.43 B
4.12 B
4.40 A
4.40 A
4.62 A
3.22 C
3.40 C
3.63 B
4.09 B
2.77 C
2.92 C
2.92 C
2.80 C
3.20 C 3.20 C
3.21 C 2.98 C
3.21 C 3.30 C
3.51 C 3.31 C
3.07 C 3.10 C
3.16 C 3.24 C
3.17 C 3.24 C
3.29 C 3.18 C
3.52 B 2.62 C
3.70 B 2.51 C
3.92 B 2.70 C
3.49 B 2.72 C
3.92 B
4.30 A
4.31 A
4.41 A
3.23 C
3.14 C
3.27 C
3.27 C
2.91 C
3.20 C
3.22 C
3.43 B
4.00 B
4.10 B
3.98 B
4.50 A
3.10 C
3.40 C
3.61 B
3.66 B
2.12 C
2.32 C
2.91 C
2.83 C
4.00 B
4.13 B
3.98 B
4.00 B
3.30 C
3.41 B
3.37 C
3.58 B
3.41 B
3.42 B
4.11 B
4.09 B
4.33 A
4.33 A
4.61 A
4.58 A
4.14 B
4.14 B
4.23 B
4.37 B
3.52 B
3.52 B
3.55 B
3.65 B
2.92 C
2.59 C
3.23 C
3.26 C
4.02 B
4.23 B
4.13 B
4.35 B
3.00 C
3.15 C
3.25 C
3.24 C
Sumber : Hasil pengolahan data primer penelitian (2006)
Selanjutnya, sikap responden terhadap manfaat pelaksanaan ISO di Puskesmas (ISO merupakan salah satu bentuk upaya peningkatan mutu manajemen pelayanan), pada indikator nomor 6 nampak bahwa responden Puskesmas slum memiliki sikap lebih positif dalam memandang ‘manfaat ISO’ dalam mendukung kemajuan pelaksanaan tugas-tugas pelayanan di Puskesmas. Sedangkan responden elite dan moderate tidak antusias dengan ISO. Indikator selanjutnya yang masih berhubungan dengan sikap adalah, sikap responden terhadap kesesuaian pendidikan formalnya dengan tugas-tugas yang dijalankan
152
saat ini. Ketiga responden baik dari Puskesmas elite, moderate maupun slum menyatakan ‘cukup sesuai’. Hasil pengamatan di lapangan menunjukan, hampir sebagian besar pegawai Puskesmas yang menjabat struktural, dan menjalankan tugas-tugas administratif adalah bergelar atau berpendidikan dokter dan medis-paramedis. Nampaknya terjadi dwi fungsi dokter, yakni baik sebagai manajer atau administrator maupun berfungsi pula sebagai dokter. mantan Ketua IDI, Kartono Muhamad pernah menyoroti hal ini, dalam kaitannya dengan kekurangan dokter di daerah, sedangkan di sisi lain dokter di Puskesmas lebih banyak menjalankan tugas-tugas manajerial (Sumber: Kompas, April, 2006) Selanjutnya indikator- indikator yang mewakili skill-abilities adalah indikator nomor 8 hingga 12. Kemampuan Client serv ices competencies adalah kemampuan menyediakan pelayanan yang berkualitas yang ditunjukkan dengan penilaian terhadap pentingnya membangun hubungan dengan pelanggan, mencari input atau sumber-sumber penting agar pelayanan menjadi lebih baik, sharing information, dan membangun komunikasi dengan pelanggan (Brisson et al, 1998). Nampak nilai skor indikator nomor 8 yang tertinggi adalah pada responden pegawai Puskesmas Kebayoran Baru. Dengan pernyataan komitmen tinggi terhadap kesediaan untuk membangun komunikasi dengan pelangga n, sedangkan responden moderate dan slum berada pada tingkat komitmen yang sedang. Komitmen yang tinggi juga nampak pada responden Puskesmas elite dalam kesediaan mencari upaya untuk melayani pelanggan sebaik-baiknya, sedangkan responden moderate dan slum lebih memilih berada pada tingkat komitmen yang sedang-sedang saja. Indikator nomor 10 tentang ketertarikan menangani tugas-tugas yang berhubungan dengan keluhan pelanggan bila tugas tersebut didelegasikan oleh pimpinan, nampaknya memperoleh nilai yang konsisten, artinya ketiga responden tidak menunjukan perbedaan nilai yang nyata, dan konsisten terhadap indikator nomor 11 yakni ‘bersedia’ melaksanakan tugas-tugas tersebut. Komitmen yang tinggi juga nampak pada responden Puskesmas elite dalam kesediaan mencari upaya untuk melayani pelanggan sebaik-baiknya, sedangkan responden moderate dan slum lebih memilih berada pada tingkat komitmen yang sedangsedang saja.
153
Komitmen responden selanjutnya diuji dengan persetujuannya terhadap pilihan bekerja di belakang meja atau berhadapan langsung dengan pelanggan. Keraguan nampak pada responden elite dan slum, sedangkan pada responden moderate secara tegas ‘setuju’ dengan tugas-tugas pelayanan langsung pada pelanggan. Indikator-indikator kapabilitas tersebut hanya sebagian dari informasi tentang kapabilitas pegawai Puskesmas, serta lebih mengacu pada skala sikap pegawai terhadap pengetahuannya tentang manajemen secara umum, sikap terhadap pelayanan yang berorientasi pada kualitas, serta komitmennya untuk menjalankan beberapa kualitas pelayanan yang ditanyakan pada mereka. Untuk melengkapi informasi tentang kapabilitas pegawai, berikut ini disajikan data sekunder tentang jumlah dan komposisi pegawai, ratarata pelatihan yang pernah diikuti, work load, rata-rata pengalaman kerja, dan pelatihan atau pendidikan yang bersertifikat yang berhubungan dengan pekerjaan di Puskesmas. Berikut ini adalah hasil dari identifikasi tentang hal tersebut.
Tabel 55 Data Sekunder yang Menunjang Kapabilitas Pegawai No. 1 2
3
4
Uraian Jumlah Pegawai Komposisi Pegawai -Medis (PNS) -Medis (Kontrak)
64
Moderate Jumlah 73
11 10
10 2
9 5
-Para Medis (PNS) -Para-Medis (Kontrak)
14 6
38 4
18 3
-Non-Medis (PNS) -Non- Medis (Kontrak)
17 6
12 7
21 6
Lama bekerja di Puskesmas -Kurang dari 1 tahun -1 tahun – 2 tahun -2 tahun – 3 tahun -3 tahun - 4 tahun - diatas 4 tahun
7 5 18 10 24
13 4 10 19 46
15 9 10 12 16
Slum
5 kali 3 kali 3 kali
3 kali 4 kali 2 kali
3 kali 3 kali 2 kali
1 : 903
1 : 801
1 : 988
62
Rata-rata Pelatihan yang pernah diikuti dalam 2 tahun terakhir -Medis (PNS) -Para Medis (PNS) -Non-Medis (PNS)
5
Elite
Work load (jumlah SDM : jumlah pasien)
Su mber: Diolah dari Data Sekunder Puskesmas, 2005
154
Setelah seluruh hasil kinerja BSC ketiga Puskesmas (elite, moderate dan slum) diketahui, maka selanjutnya secara garis besar dapat disimpulkan sebagai berikut : Tabel 56 Rekapitulasi Hasil Kinerja BSC Puskesmas di DKI-Jakarta No.
Kinerja Elite
I 1. 2 3 4 5 II 1 2 3 4 III 1 2 IV 1 2 3 4 5 6 7
Kepuasan Pelanggan : Tangible Responsiveness Reliability Assurance Empathy Proses Internal : Indeks Pencapaian Program-Program Inovasi Rata-rata Lead Time (waktu layanan) Indeks Ketersediaan obat Indeks Penilaian Penyuluhan Keuangan : Indeks Biaya Per Pelanggan Indeks Kontribusi Pemasukan per Pelanggan. Pembelajaran – Pertumbuhan Indeks Kepuasan Pegawai Indeks Kapabilitas Informasi Indeks Kapabilitas Pegawai Data Sekunder yang Mendukung Kap.Pegawai Jumlah Pegawai PNS Jumlah Pegawai Kontrak Rata- rata Pelatihan Per Pegawai Tingkat Work Load Total nilai dari 18 Indikator Kinerja yang diujikan
Puskesmas Moderate
Slum
R R T T T
T S R S R
S T S R S
T S S R
S S R S
S S T T
R R
T T
S S
T T T
S S R
R R S
S T T S
T S S R (+)=T
R R R T (-)=R
5T+9S+4R
3T+8S+7R
9T+ 3S+6R
Sumber : Hasil Penelitian Penulis, 2006
Secara garis besar, dapat ditetapkan bahwa urutan kinerja BSC adalah pertama, Puskesmas elite, kedua adalah Puskesmas moderate, dan terakhir adalah Puskesmas slum
Pola Kecenderungan Hubungan Kinerja BSC Puskesmas Sebagaimana telah diketengahkan
bahwa
variabel- variabel
kinerja
BSC
diperkirakan saling berhubungan secara kausalitas membentuk suatu sistem. Cara pandang yang mengacu pada analisis hubungan variabel secara sistemik sangat membantu untuk mengambil keputusan pemberdayaan Puskesmas secara komprehensif dan tidak parsial. Tindakan perbaikan kinerja yang lemah dipandang memiliki keterkaitan dengan kinerja yang lainnya, Kaplan dan Norton (1996) memberikan pernyataan bahwa
155
lag indicator (indikator hasil ) pasti terkait dengan lead indicator (indikator pendorong). Untuk menggambarkan hubungan tersebut, berikut ini diketengahkan pola atau arah kecenderungan hubungan-hubungan sistemik dalam kinerja BSC Puskesmas dalam suatu gambar Causal Loop Diagram (CLD) Dalam System Dynamic (SD), CLD adalah suatu alat berupa model yang memperlihatkan pola hubungan kausal diantara satu set variabel-variabel yang dioperasikan dalam sistem. Elemen dasar dalam CLD adalah ‘variabel- variabel’ dan ‘panah-panah’ yang menggambarkan hubungan variabel-variabel, baik hubungan searah (tanda ‘s’ atau ‘+’) maupun berlawanan arah (tanda ‘o’ atau ‘- ‘). Suatu variabel adalah suatu kondisi, situasi, tindakan, atau keputusan-keputusan yang dapat mempengaruhi dan dipengaruhi oleh variabel lainnya. Model CLD diciptakan dengan melalui proses yang panjang yang memadukan kerangka berpikir secara teoritis dan aspek-aspek empiris. Hubungan kausalitas dalam CLD menghasilkan dua macam umpan balik, yakni positif (Reinforcing / R) dan negatif (Balancing/ B) Umpan balik positif (R) menggambarkan pola kecenderungan hubungan yang saling menguatkan (seluruhnya + ) atau meluruhkan (seluruhnya - ) dalam bentuk loop (hubungan kausal) tertutup. Makna positif atau negatif bukan berarti baik atau buruk, melainkan hanya menggambarkan pola perubahan searah atau berlawanan arah. Contoh: Bila mutu layanan meningkat, maka kepuasan pelanggan juga meningkat, dan bila kepuasan pelanggan meningkat, jumlah pasien akan bertambah, bertambahnya jumlah pasien akan meningkatkan penerimaan retribusi, bertambahnya penerimaan akan meningkatkan mutu layanan. (variabel mutu layanan akan mengawali dan menutup sebuah loop atau pola umpan balik) Umpan balik negatif (B) menggambarkan pola arah hubungan yang bersifat melemahkan, karena salah satu variabel negatif. Untuk menyeimbangkan sistem, maka variabel yang negatif biasanya diperhatikan dan dilakukan tindakan koreksi. Berdasarkan pengertian tersebut, maka umpan balik B juga dikenal sebagai suatu sistem yang mencari stabilitas dan kontrol terhadap keseimbangan yang diinginkan. Contoh: Penerimaan retribusi akan meningkatkan pelatihan pegawai (+), sementara peningkatan pelatihan akan mengurangi (-) penerimaan. Pesan yang dibawa dalam hubungan ini adalah, bahwa
156
penerimaan harus dijaga sedemikian rupa agar kebutuhan pelatihan terpenuhi dengan wajar. Sebelum model CLD dan SFD (Stock Flow Diagram) diciptakan, terlebih dulu dilakukan validasi terhadap kedua model tersebut. Berikut ini hasil validasi model.
Hasil Validitas Model Pekerjaan pemodelan adalah pekerjaan ilmiah yang harus dilakukan seobyektif mungkin dengan mentaati fakta yang ada, oleh karena itu validitas atau keabsahan suatu model menjadi salah satu kriteria penilaian obyektifitas suatu pekerjaan ilmiah. (Muhammadi, dkk, 2001:343). Keabsahan suatu model juga berfungsi untuk memastikan bahwa model layak digunakan untuk membangun skenario pemberdayaan Puskesmas. Model dianggap layak bila memiliki keserupaan dengan dunia nyata. Menurut Muhammadi, dkk (2001:344), keserupaan model tidak berarti harus sama, melainkan dapat ditunjukan dengan sejauh mana simulasi dapat menirukan data statistik dan informasi aktual. Dalam penelitian ini tehnik validasi yang digunakan mencakup validasi proses modeling (secara kualitatif), dan validasi statistik. Penjelasan dan hasil kedua validasi adalah sebagai berikut : Pertama, validasi proses adalah suatu cara membuktikan keabsahan suatu model kinerja BSC Puskesmas berdasarkan pada proses kesepakatan para ahli dan praktisi yang dibangun melalui perjalanan yang panjang dalam menghasilkan keserupaan model dengan dunia nyata. Dengan kata lain, validasi pada proses modeling sebenarnya merupakan proses verifikasi secara kualitatif terhadap model yang dibangun, apakah suatu model benar-benar memiliki keserupaan dengan dunia nyata atau tidak, sebelum model ditetapkan. Logika pemikiran model umumnya didahului dengan teori dan data aktual yang kemudian di diskusikan dengan para ahli/pakar maupun para praktisi/stakeholders Puskesmas untuk memperoleh kesepakatan. Langkah pertama dalam validasi proses modeling adalah, dilakukan studi awal terhadap masalah- masalah yang terkait dengan kinerja Puskesmas. Dari hasil telaah berbagai dokumen dan data sekunder, kemudian dibuat rancangan model dan kemudian mendiskusikan rancangan tersebut dengan para ahli modeling untuk memperoleh
157
dukungan teknis dan teoritik yang diperlukan. Pada langkah pertama ini rancangan model mengalami perubahan dan replikasi berulang-ulang. Langkah kedua, kemudian hasil replikasi model hub ungan kinerja yang dihasilkan didiskusikan dengan praktisi terkait, dalam hal ini pihak yang pertama kali terlibat dalam diskusi model adalah pimpinan Puskesmas dan beberapa staf yang berfungsi sebagai informan. Proses kedua ini juga tidak secara serta merta menghasilkan model yang definitif, melainkan mengalami berbagai perubahan dan pengembangan model hingga diperoleh kesepakatan. Langkah ketiga adalah membawa replikasi model dari hasil kesepakatan ke para ahli pemodelan kembali, untuk dilakukan uji simulasi secara statistik. Ketiga langkah validasi proses yang diuraikan tersebut hanyalah bentuk penyederhanaan dari proses panjang perjalanan rancangan model hingga menjadi model yang ditetapkan saat ini, dan belum mencerminkan validasi model secara utuh. Kedua, keabsahan suatu model melalui validasi proses adalah belum cukup, untuk itu perlu dilakukan validasi statistik. Uji statistik yang digunakan yaitu AME (Absolute Means Error), yaitu penyimpangan nilai rata-rata simulasi terhadap nilai aktual. Batas penyimpangan yang dapat diterima adalah antara 5-10%. Ada tujuh variabel yang akan divalidasi, yakni kepuasan pasien, jumlah pasien, pemasukan, pengeluaran dana, insentif pegawai, dan kepuasan pegawai. Secara teoritis, validasi statistik dapat dilakukan dengan secara representasi atau perwakilan, dan tidak harus menguji seluruh variabel dalam model, melainkan memilih variabel- variabel yang memiliki kompleksitas dan mewakili setiap perspektif kinerja BSC. Dalam uji validasi statistik ini dilakukan dua langkah, yang pertama, analisis visual yaitu melihat perbedaan atau kesamaan grafik hasil simulasi dan data aktual. Bagaimana pola kecenderungannya, misalnya, apakah menunjukkan pola yang sama-sama meningkat atau sebaliknya sama-sama menurun. Apakah pola meningkatnya memiliki tipe grafik yang sama, seperti eksponensial, goal seeking, atau S-shape. Analisis visual ini untuk memastikan adanya kesamaan pola kecenderungan. Namun demikian kesama an pola tersebut tidak menjelaskan apakah penyimpangan antara hasil simulasi dan aktual nilainya dapat diterima secara statistik. Untuk itu uji
158
statistik dilakukan sebagai langkah kedua. Hasil rinci dari kedua langkah ini dapat disimak dalam lampiran disertasi ini. Sedangkan hasil uji statistik dari ketujuh variabel kinerja Puskesmas elite, moderate dan slum secara keseluruhan menunjukan pola kecenderungan meningkat atau menaik, serta menunjukan angka-angka penyimpangan yang rata-rata di bawah 10 %, sehingga dapat dinyatakan bahwa ketujuh variabel pada ketiga Puskesmas adalah valid secara keseluruhan. Berikut ini adalah tabel yang berisi ringkasan dari hasil uji validitas AME variabel- variabel kinerja Puskesmas .
Tabel 57 Hasil Validasi Variabel- variabel Model Kinerja Puskesmas Elite, Moderate dan Slum Puskesmas Elite No
AME 1 2 3 4 5 6 7
Puskesmas Moderate
Puskesmas Slum
Variabel
Ind. Kep.Plg Jumlah Pasien Jum.Pemasuk Jum.Pengeluar Jum.Insen.Peg Ind.Kep.Pgw Lead Time
Validitas
0.5 2.4 0.6 3 2 5.1 4.3
Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid
AME 1.6 2.8 1.2 1.5 0.8 3 4.4
Validitas Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid
AME 0.3 4.3 1.1 1.8 4.1 1.6 6.6
Validitas Valid Valid Valid Valid Valid Valid Valid
Sumber: Hasil Pengolahan Penulis, 2005
Causal Loop Diagram Kinerja BSC Puskesmas
Setelah model dinyatakan valid, maka selanjutnya diketengahkan model yang menggambarkan arah kecenderungan hubungan kinerja BSC Puskesmas melalui Causal Loop Diagram (CLD). Dalam model CLD dapat diketahui hubungan- hubungan yang menggambarkan umpan balik sistem kinerja, apakah positif atau Reinforcing (R) atau negatif Balancing (B). Dalam model ditemukan 4 hubungan umpan balik positif (R) yang ditandai R1 hingga R4 (bulatan merah) dan 8 hubungan umpan balik negatif (B) yang ditandai B1-B8 (bulatan biru) Ke duabelas hubungan tersebut terjadi pada 4 perspektif BSC sebagaimana tergambar pada 4 kotak model dengan warna yang berbeda. (lihat gambar 5.9)
159
PELANGGAN
-
PROSES INTERNAL
Ketersediaan Obat
B1
+
+ +
Mutu Layanan
Kepuasan Pasien
Jumlah Pasien
R4
+ +
+ +
R3 Inovasi Layanan
R2 Lead Time
Penyuluhan
R1
+
B3
+
+ +
Tarif
+
B8
-
B2 B6
+ B7 Penerimaan
Insentif Pegawai
Kepuasan Pegawai
+
- +
-
+
-
Kapabilitas Pegawai
B5 Jumlah Pegawai
+ +
+
B4
-
Subsidi
KEUANGAN
Workload
+
+
Coverage Pelatihan Ketersediaan Informasi
+ PERTUMBUHAN PEMBELAJARAN
Gambar 16 CLD Dinamika Sistem Kinerja BSC Puskemas (Sumber: Hasil Penelitian Penulis,2006)
Gambar model CLD berisi kompleksitas detail dan kompleksitas dinamik. Kompleksitas detail menggambarkan jumlah variabel- variabel yang dioperasionalisasikan dalam model, sementara kompleksitas dinamik menggambarkan hubungan kausalitas variabel- variabel. Adapun kompleksitas detail dalam CLD Puskesmas terdiri dari 2 (dua) variabel pada perspektif pelanggan yakni jumlah pelanggan / pasien dan indeks kepuasan pelanggan/pasien. Sementara pada perspektif proses internal terdapat 5 (lima) variabel yakni penyuluhan, mutu layanan, waktu layanan (lead time), inovasi layanan, dan ketersediaan obat. Pemilihan variabel- variabel yang dioperasionalisasikan ini adalah kesepakatan dalam hasil validasi proses dengan pihak Puskesmas. Pada perspektif keuangan, variabel-variabel yang diketengahkan ada 2 yakni penerimaan retribusi dan subsidi. Sedangkan pada perspektif pembelajaran-pertumbuhan, 160
variabel- variabel yang diangkat berjumlah 7 (tujuh) yakni, jumlah pegawai, beban kerja (work load), insentif pegawai, kepuasan pegawai, pelatihan yang bisa di ‘cover’ (coverage pelatihan), ketersediaan informasi, dan kapabilitas informasi. Dengan demikian total variabel yang dioperasionalisasikan dalam model CLD ada 16 variabel . Pada kompleksitas dinamik yang terdapat pada CLD dapat diketahui dengan identifikasi hubungan umpan balik yang terdapat di dalamnya. Sebagaimana telah diketengahkan bahwa terdapat 12 hubungan umpan balik. Berikut ini adalah hasilnya.
Umpan Balik Pada Perspektif Pelanggan (R1 – R4 dan B1) Pada perspektif pelanggan terdapat 4 (empat) hubungan kausalitas dengan umpan balik positif (Reinforcing atau R1-R4) dan 1 (satu) umpan balik negatif (Balancing atau B1) sebagai berikut : R1: Umpan balik Reinforcing Loop terjadi antara jumlah pasien – penerimaan – insentif pegawai – kepuasan pegawai – kapabilitas pegawai – mutu layanan – kepuasan pasien - jumlah pasien. Pola hubungan R1 dimulai dari variabel jumlah pasien dan diakhiri pada variabel yang sama. Dengan demikian jumlah pasien menjadi variabel awal dan akhir yang membentuk suatu loop (system) tertutup yang bersifat positif. Dikatakan positif karena hubungan-hubungan bersifat searah atau positif / meningkat semua (saling menguatkan), dan dapat juga negatif/menurun semua (saling menurunkan). Secara naratif dapat dijelaskan, bahwa jumlah pasien secara positif (+) mempengaruhi penerimaan atau pemasukan Puskesmas dari tar if/swadana. Dengan bertambahnya penerimaan swadana yang dapat dikelola oleh Puskesmas sendiri, maka Puskesmas dapat memberikan (+) insentif pegawai secara lebih layak, sebab sesuai dengan peraturan Pemerintah Daerah, 35 % dari penerimaan swadana memang dialokasikan untuk jasa medis dan insentif pegawai secara merata. Selanjutnya variabel insentif pegawai secara positif mempengaruhi (+) variabel kepuasan pegawai, artinya jika insentif pegawai meningkat, maka kepuasan pegawai juga akan meningkat, begitu pula sebaliknya.kepuasan pegawai yang meningkat, selanjutnya akan mempengaruhi (+) kapabilitas pegawai, dan pada gilirannya, akan mempengaruhi (+) pula mutu layanan. Jika mutu layanan terus meningkat, maka akan mempengaruhi secara positif (+) kepuasan
161
pasien/pe langgan, dan selanjutnya akan berpengaruh (+) terhadap jumlah Pasien.(lihat lampiran model 1) R 2: Umpan balik Reinforcing Loop yang terjadi antara jumlah pasien –work load –lead time – mutu layanan - kepuasan pasien - jumlah pasien. Sekali lagi terjadi hubungan kausalitas dengan umpan balik positif antara variabel – variabel pelanggan dengan perspektif lainnya. Narasinya adalah, peningkatan (+) jumlah pasien secara positif akan meningkatkan (+) pula beban kerja atau work load pegawai. Jika beba n kerja meningkat maka lead time atau waktu layanan akan menjadi cepat atau meningkat (+) karena para pegawai menjadi sibuk. lead time secara positif akan mempengaruhi mutu layanan, dan selanjutnya pada gilirannya akan mempengaruhi (+) kepuasan pasien, dan kembali akan mempengaruhi (+) jumlah pasien. (lihat lampiran model 2) R 3: Umpan balik Reinforcing Loop terjadi antara jumlah pasien – work load – inovasi layanan - mutu layanan – kepuasan pasien - jumlah pasien. Hubungan yang terjadi masih bersumber pada perspektif pelanggan, di mana jumlah pasien sebagaimana telah diungkapkan berpengaruh secara positif (+) akan menambah beban kerja atau Work Load, sedangkan beban kerja akan secara positif mempengaruhi (+) indeks inovasi layanan, artinya jika beban kerja meningkat maka harus dicari upaya untuk meningkatkan inovasi pelayanan agar menurunkan beban kerja pegawai. Pada gilirannya, inovasi layanan akan secara positif pula (+) mempengaruhi mutu layanan, dan seperti yang sudah-sudah mutu akan mempengaruhi kepuasan pelanggan, dan kepuasan akan mempengaruhi jumlah pasien. (lihat lampiran model 3) R 4: Umpan balik Reinforcing Loop yang terjadi antara jumlah pasien – penerimaan – penyuluhan - mutu layanan – kepuasan pasien - jumlah pasien. Pada hub ungan R4, jumlah pasien secara positif mempengaruhi (+) penerimaan, selanjutnya penerimaan akan mempengaruhi kemampuan Puskesmas untuk melakukan penyuluhan (termasuk promosi) pada masyarakat. Efek penyuluhan maupun promosi akan secara positif pula mempengaruhi tersebarnya mutu layanan, dan pada gilirannya akan kembali memuaskan pelanggan, serta meningkatnya jumlah pasien. (lihat lampiran model 4)
162
B 1 : Umpan balik Balancing Loop terjadi antara jumlah Pasien – ketersediaan obat – mutu layanan – kepuasan pasien - jumlah pasien. Pada struktur ini, pola hubungan negatif terdapat pada hubungan antara jumlah pasien akan mengurangi (-) ketersediaan obat. Selanjutnya ketersediaan obat akan secara positif (+) mempengaruhi mutu layanan, kemudian pada gilirannya mutu layanan akan mempengaruhi secara positif (+) jumlah pasien. Hasil hubungan negatif – positif – positif menghasilkan negatif atau umpan balik negatif yang disebut sebagai Balancing (B1). Yang perlu diperhatikan di sini adalah bagaimana menjaga atau mengoreksi agar ketersediaan obat selalu dalam batas normal atau ideal sebagaimana di tetapkan. Tindakan koreksi terhadap ketersediaan obat selanjutnya akan menjadi variabel penyeimbang dalam sistem. (lihat lampiran model 5)
Umpan Balik Pada Pe rspektif Proses Internal (B2 – B4) Pada perspektif proses internal, terjadi pola hubungan dengan umpan balik negatif (Balancing / B2 , B3, dan B4). Secara keseluruhan muara dari hubungan dimulai dan diakhiri dari variabel mutu layanan. Berikut ini adalah narasi dari hubungan tersebut. B 2: Umpan balik Balancing Loop terjadi antara variable - variabel mutu layanan – kepuasan pasien - jumlah pasien – jumlah pegawai – work load – lead time – mutu layanan Peningkatan mutu layanan secara positif akan diikuti oleh peningkatan kepuasan pasien (+), dan kemudian peningkatan jumlah pasien (+). Jika jumlah pasien meningkat, maka jumlah pegawai juga idealnya ditingkatkan (+), sebab jika tidak beban kerja akan meningkat pula. Peningkatan jumlah pegawai secara otomatis akan mengurangi work load (-), selanjutnya peningkatan work load akan menyebabkan peningkatan waktu layanan atau lead time. Naik – turunnya waktu layanan jelas akan mempengaruhi mutu layanan. (lihat lampiran model 6) B 3: Umpan balik Balancing Loop terjadi antara variable mutu layanan – kepuasan pasien - jumlah pasien. - jumlah pegawai – work load – inovasi layanan – mutu layanan Mutu layanan secara positif mempengaruhi kepuasan pasien (+) dan kemudian membawa dampak pada pe ningkatan jumlah pasien (+). Peningkatan jumlah pasien
163
kemudian akan mempengaruhi peningkatan jumlah pegawai (+), kemudian pada siklus berikutnya jika jumlah pegawai ditingkatkan maka akan mengurangi work load (-), selanjutnya peningkatan beban kerja seharusnya diikuti dengan peningkatan (+) inovasi layanan agar mutu layanan menjadi bagus (lihat lampiran model 7) B 4: Umpan balik Balancing Loop terjadi antara variable-variabel mutu layanan – kepuasan pasien - jumlah pasien.- jumlah pegawai – coverage pelatihan – kapabilitas pegawai – mutu layanan Masih bermuara dari mutu layanan, pengaruh positifnya mencapai jumlah pasien dan jumlah pegawai. Jumlah pegawai selanjutnya akan mengurangi (-) jumlah pelatihan yang bisa di cover oleh setiap pegawai (coverage pelatihan). Peningkatan atau penurunan coverage pelatihan selanjutnya akan mempengaruhi peningkatan atau penurunan kapabilitas pegawai (+), kemudian pada gilirannya akan mempengaruhi pula mutu layanan itu sendiri (+). ( lihat lampiran model 8)
Umpan Balik Pada Perspektif Pembelajaran-Pertumbuhan (B 5 – B 6) Pada Perspektif Pembelajaran-Pertumbuhan pegawai Puskesmas, terdapat 2 (dua) pola hubungan kausalitas dengan umpan balik negatif (Balancing atau B5 dan B6). Dengan bermuara pada variabel jumlah pegawai, maka dapat dijelaskan hubungan variabel- variabel tersebut sebagai berikut : B 5: Umpan balik Balancing Loop terjadi antara variable- variabel jumlah pegawai - penerimaan – penyuluhan – mutu layanan – kepuasan pasien - jumlah pasien –jumlah pegawai. Peningkatan jumlah pegawai akan diikuti dengan penurunan penerimaan (-), kemudian turunnya penerimaan menyebabkan turunnya mutu layanan (+), selanjutnya turunnya mutu layanan akan menyebabkan turunnya kepuasan pasien (+) serta turunnya jumlah pasien (+), pada gilirannya turunnya jumlah pasien akan diikuti dengan turunnya jumlah pegawai dalam hal ini pengurangan tenaga kontrak. (lihat lampiran model 9) B 6: Umpan balik Balancing Loop terjadi antara variable-variabel jumlah pega wai – penerimaan - insentif pegawai – kepuasan pegawai – kapabilitas pegawai – mutu layanan - kepuasan pasien - jumlah pasien- jumlah pegawai.
164
Meningkatnya jumlah pegawai karena beban kerja yang meningkat akan mengurangi penerimaan karena Puskesmas harus mengeluarkan belanja pegawai kontrak (-). Jika penerimaan menurun maka hal ini juga akan diikuti dengan penurunan insentif (+) sebab insentif pegawai Puskesmas salah satunya adalah mengandalkan pemasukan swadana (retribusi tarif yang dikelola otonom ole h Puskesmas). Jika insentif menurun maka kepuasan pegawai juga akan menurun (+), pada gilirannya akan mempengaruhi atau menurunkan kapabilitas pegawai karena tidak puas (+). Jika kapabilitas menurun maka dapat dipastikan bahwa mutu layanan juga akan menurun, demikian pula kepuasan pelanggan, dan selanjutnya akan menurunkan jumlah pasien yang datang. Jumlah pasien yang turun harus diikuti dengan penurunan jumlah pegawai (+) agar tidak terjadi kelebihan pegawai.(lihat lampiran model 10)
Umpan Balik Pada Perspektif Keuangan (B 7 – B 8) Pada Perspektif Keuangan, pola hubungan yang terjadi diantara variabel-variabel di dalamnya, menghasilkan umpan balik negatif (Balancing feed back B 7 dan B 8). Secara naratif, hubungan tersebut adalah sebagai berikut : B 7: Umpan balik Balancing Loop terjadi diantara variabel-variabel penerimaan insentif pegawai – penerimaan. Artinya adalah, jika penerimaan Puskesmas meningkat, maka insentif pegawai kemungkinan besar juga akan meningkat (+), demikian pula jika yang terjadi sebaliknya. insentif pegawai yang meningkat akan mengurangi (-) atau menyedot penerimaan Puskesmas (lihat lampiran model 11) B 8: Umpan Balik Balancing Loop terjadi diantara hubungan variabel- variabel penerimaan – penyuluhan – penerimaan. Sama dengan hubungan sebelumnya, bahwa jika penerimaan Puskesmas meningkat karena jumlah pelanggan meningkat misalnya, maka biaya penyuluhan juga akan meningkat (+), namun jika biaya penyuluhan meningkat, maka penerimaan akan kembali berkurang (-) atau menurun (lihat lampiran model 12) Demikian hasil analisis model hubungan kausalitas kinerja BSC Puskesmas yang digambarkan melalui Causal-Loop Diagram (CLD). Sebagai bangunan mental model sebagaimana diketengahkan oleh Senge, maka parameter-parameter dalam struktur CLD
165
akan lebih lengkap dan quantifiable bila diketengahkan dalam bangunan model Stock Flow Diagram (SFD) dalam struktur atau bentuk sistem kinerja Puskesmas berikut ini.
Struktur Sistem Kinerja Puskesmas
Pola atau arah kecenderungan hubungan yang digambarkan melalui CLD adalah untuk membantu analisis hubungan variabel-variabel kinerja secara sistemik, namun untuk mengetahui berapa nilai hubungan variabel-variabel di sana, diperlukan alat bantu yang disebut Stock Flow Diagram (SFD). Melalui SFD dinamika struktur sistem secara quantifiable dapat diketahui. (dapat dihitung). Hal ini secara konseptual diperkuat oleh Sterman (2000:191) yang menyatakan bahwa CLD memiliki sejumlah keterbatasan, antara lain adalah ketidakmampuannya untuk mengga mbarkan atau menghitung stock – flow dari struktur sistem yang merupakan konsep sentral dalam System Dynamic (SD). Stock-Flow Diagram (SFD) selanjutnya diperlukan untuk mengetahui aliran berbagai informasi maupun keputusan-keputusan yang ada dalam sistem secara kuantitatif. Perhitungan-perhitungan diperlukan untuk membantu membuat intervensi tindakan melalui simulasi model sistem sehingga dapat diketahui perilaku dari sistem. Dengan diketahuinya perilaku sistem kinerja Puskesmas, maka dapat disusun skenarioskenario tindakan atau pemberdayaan sebagai dasar pengambilan keputusan dalam penetapan model pemberdayaan Puskesmas elite, moderate, maupun slum sebagai tujuan terakhir dari penelitian disertasi ini. Menurut Sterman (2000:192) stock adalah akumulasi-akumulasi. Dalam sistem dapat berupa akumulasi apa saja, dapat berupa informasi, keputusan-keputusan, barangbarang yang kasat mata, sumber-sumber termasuk sumber daya manusia. Sterman mengibaratkan stock seperti gudang penyimpanan atau inventory. Dalam SD stock merupakan sumber dari terjadinya ketidakseimbangan dalam sistem, karena jumlah atau akumulasi stock selalu berubah dan perubahannya sangat dipengaruhi oleh flow atau aliran keluar dan masuknya apapun dalam stock. Sehubungan dengan hal tersebut notasi kedua yang harus dikenal dalam SD adalah flow, yakni laju dari stock , dan dapat berupa laju peningkatan stock (laju masuk) atau in-flow, dan berupa laju penurunan stock (laju
166
keluar) atau out-flow. Demikian, stock-flow merupakan diagram ringkas dari apapun yang keluar dan masuk ke dalam dan mempengaruhi sistem. Pada setiap Puskesmas terdapat 4 (empat) SFD yang mewakili 4 (empat) perspektif BSC yakni perspektif pelanggan, proses internal, keuangan, dan pembelajaranpertumbuhan, sehingga jumlah keseluruhannya adalah 12 (dua belas) SFD. Bentuk dasar (architype) SFD pada ketiga Puskesmas adalah sama, yang berbeda adalah nilai pada setiap variabelnya. Berdasarkan hal tersebut, maka pada bagian ini hanya ditampilkan SFD dari Puskesmas elite (SFD Puskesmas moderate dan slum dilampirkan).
Kepuasan_Pasien
Penduduk
laju_kepuasan_psn
pertumbuhan_pddk rasio_laju_pddk
gap_kep_pasien potensi_pasien
efek_kepuasan kepuasan_psn_diinginkan
rasio_potensi_pasien konstanta_efek_kepuasan Total_Pasien
pasien_datang
Gambar 17 Stock -Flow Diagram (SFD) Kinerja Perspektif Pelanggan Puskesmas elite (Sumber: Hasil Kajian Penulis, 2006)
Pada SFD perspektif pelanggan, terdapat 3 (tiga) stock-flow yakni kepuasan pasien, total pasien, dan penduduk. Hubungan-hubungan yang terbentuk dari ketiga stock-flow tersebut dapat diketahui secara kuantitatif sebagai berikut : 1. Nilai efek kepuasan pasien yang mempengaruhi total pasien Dalam notasi perangkat lunak powersim, rumus hubungan efek kepuasan terhadap pasien adalah : aux
efek_kepuasan = Kepuasan_Pasien/konstanta_efek_kepuasan,
Jadi jika kepuasan pasien diketahui 3.4, dan konstanta efek kepuasan adalah 5, maka efek kepuasan = 3.4 / 5 = 0.68
167
Dengan kata lain, pada tingkat kepuasan pasien (pelanggan) 3.4 (data primer) diperoleh efek kepuasan yang akan mempengaruhi total pasien sebesar 0.68. 2. Nilai potensi pasien yang mempengaruhi total pasien Dalam notasi perangkat lunak powersim, rumus tersebut adalah : aux
potensi_pasien = Penduduk*rasio_potensi_pasien
Jika jumlah penduduk diketahui yakni = 164.943 dan rasio potensi pasien adalah 12 %, maka potensi pasien adalah 164.943 x 12 % = 19.793 orang yang menjadi potensi pasien Puskesmas. 3. Efek kepuasan dan potensi pasien mempengaruhi pasien datang Dalam notasi perangkat lunak powersim, rumus tersebut adalah : aux
pasien_datang = ROUND(efek_kepuasan*potensi_pasien)
Jumlah pasien datang adalah efek kepuasan yakni 0.68 kali potensi pasien yakni 19.793. Selanjutnya jika diperhatikan, SFD perspektif pelanggan tidak berdiri sendiri, melainkan terkait dengan SFD perspektif lainnya, dalam hal ini akan ditelaah keterkaitannya dengan SFD perspektif proses internal yang akan disampaikan pada bagian berikut ini. Dalam SFD proses internal, terdapat 4 (empat) variabel yakni inovasi, ketersediaan obat, lead time, dan penyuluhan. Tidak semua variabel ditampilkan sebagai stock -flow dengan alasan agar mudah dikelola. Secara konseptual model tidak mengenal keterbatasan. (boundary). Sterman (2000: 222) menjelaskan bahwa gambar notasi stock flow dimulai dan diakhiri dengan ‘awan’ (cloud) yang berarti melambangkan ‘ketidakterbatasan’ (infinite) dari suatu sistem, namun kenyataannya, dalam dunia nyata sumber-sumber yang digunakan dalam sistem adalah terbatas dan harus dibatasi, agar mudah mengelolanya secara baik. Menurut Sterman: “To keep your models manageable, you must truncate these chains using sources and sinks, represented in stock and flow maps by ‘cloud’ ”.
168
mutu_layanan
efek_inovasi_pd_mutu
efek_prog_penyuluhan efek_leadtime_pd_mutu obat_per_pasien
buffer_obat_pasien
normal_leadtime efek_mutu_ketersediaan leadtime Ketersediaan_Obat
pembelian pemakaian
tingkat_daya_beli gap_ketersediaan
prog_penyuluhan biaya_per_prog_penyuluhan
rasio_cadangan_diinginkan
Gambar 18 Stock-Flow Diagram (SFD) Kinerja Perspektif Proses Internal Puskesmas elite (Sumber: Hasil Kajian Penulis, 2006)
Dengan demikian, pemotongan rantai stock-flow pada perspektif proses internal adalah dimaksudkan agar model sistem akan lebih mudah di kelola, karena jelas batasbatasnya. Pada variabel inovasi misalnya, yang perlu diketahui adalah efek inovasi pada mutu layanan, begitu pula pada variabel ketersediaan obat, yang perlu diketahui adalah bagaimana efek ketersediaan obat pada mutu layanan. Pada variabel lead time (waktu layanan) dan penyuluhan, yang perlu diketahui adalah juga efek lead time dan efek penyuluhan pada mutu layanan. Berikut ini adalah persamaan matematisnya. 1. Efek inovasi pada mutu layanan Hasil pengolahan data tentang efek inovasi pada mutu layanan adalah sebagai berikut : aux efek_inovasi_pd_mutu = GRAPH(inovasi 0,0.2,[0.16,0.65,0.88,0.97,1,1,1,0.96,0.87,0.67,0.15"Min:0;Max:1;Zoo m"]) Keterangan : - aux = singkatan dari ‘auxiliary’ , yakni variabel antara yang terdiri dari fungsi- fungsi stock.
169
- GRAPH adalah fungsi yang selalu tergantung pada waktu dan tidak selalu
linier,
bahkan
kebanyakan
dari
fungsi
ini
digunakan
untuk
memperlihatkan hubungan yang bersifat non- linier. Rumus GRAPH adalah : aux GRAPH = GRAPH (X,X1,dx, Y (N)) di mana : X = variabel bebas (nilainya bebas, merupakan sumbu-X, disebut pula INPUT) X1 = nilai pertama dari X (variabel bebas) dx = pertambahan nilai (increment) dari X (variabel bebas). Nilainya selalu positif. Y (N)= vektor (sumber-Y, disebut pula OUTPUT) Cara membaca notasi GRAPH tersebut adalah, jika nilai inovasi = 0 , maka nilai mutu layanan adalah = 0.16. Selanjutnya, jika nilai inovasi = 0.2 , maka mutu layanan adalah = 0.65. Apabila diperhatikan, mula- mula peningkatan nilai inovasi akan diikuti dengan peningkatan nilai mutu layanan. Pada saat
nilai inovasi mencapai 0.8 mutu
layanan akan mencapai titik optimum sebesar 1. Pada saat inovasi nilainya 1.4, mutu layanan akan semakin menurun, dan menggambarkan pola hubungan non- linier pada kedua variabel. Artinya, inovasi harus dilakukan secara proporsional, tidak boleh kurang tetapi tidak boleh berlebih. 2. Efek lead time pada mutu layanan Hasil pengolahan data tentang efek lead time pada mutu layanan adalah sebagai berikut : aux efek_leadtime_pd_mutu = GRAPH(leadtime,0,5,[0.5,0.78,0.93,1,1,1,1,0.94,0.86,0.71,0.5"Min:0; Seperti pada fungsi sebelumnya, cara membaca notasi GRAPH tersebut adalah, Max:1;Zoom"]) jika nilai lead time = 0 , maka nilai mutu layanan adalah = 0.5. Selanjutnya, jika nilai lead time naik = 5, maka nilai mutu layanan adalah = 0.78. dan seterusnya peningkatan nilai lead time tidak akan diikuti lagi dengan peningkatan nilai mutu layanan hingga titik optimum 1 (satu) setelah itu nilai mutu layanan aka n semakin menurun. Hal tersebut menggambarkan pola hubungan non-linier pada kedua
170
variabel. Artinya waktu layanan juga harus dilakukan secara proporsional sesuai waktu ideal yang ditetapkan, tidak boleh lebih atau kurang dari waktu yang ideal telah ditetapkan 3. Efek ketersediaan obat pada mutu layanan Hasil pengolahan data tentang efek ketersediaan obat pada mutu layanan adalah sebagai berikut : aux efek_mutu_ketersediaan = GRAPH(Ketersediaan_Obat,0,0.25,[0.39,0.65,0.84,0.94,0.98,1,0.98,0.9 4,0.86,0.7,0.38"Min:0;Max:1;Zoom"]) Pada nilai ketersediaan obat = 0 , nilai mutu layanan adalah = 0.39, dan pada nilai ketersediaan obat = 0.25, nilai mutu layanan adalah = 0.65. Sama seperti pada variabel sebelumnya, hal tersebut membuktikan bahwa hubungan kedua variabel adalah non linier. Artinya ketersediaan obat juga tidak boleh melebihi standar yang telah ditetapkan. 4. Efek penyuluhan pada mutu layanan Hasil pengolahan data tentang efek penyuluhan pada mutu layanan adalah sebagai berikut : aux efek_prog_penyuluhan = GRAPH(prog_penyuluhan/1000,0,0.5,[0.15,0.21,0.37,0.65,0.82,0.89,0. 93,0.95,0.95,0.95,0.95"Min:0;Max:1;Zoom"]) Pada nilai program penyuluhan = 0 , efek program penyuluhan pada mutu layanan adalah = 0.15, dan pada nilai program penyuluhan = 0.05, efek program penyuluhan pada mutu layanan adalah = 0.21. Sama seperti pada variabel sebelumnya, bahwa hubungan kedua variabel adalah non linier Pada SFD terdapat 3 (tiga) stock -flow dari variabel kepuasan pegawai, kapabilitas pegawai, dan medis-paramedis. Hubungan-hubungan non linier antara efek dari variabel yang satu ke yang lain. Dalam hal ini misalnya pada stock –flow kepuasan pegawai, efek kepuasan pegawai mempengaruhi laju penambahan kapabilitas pegawai, selanjutnya efek kapabilitas pegawai akan mempengaruhi mutu layanan pada proses internal Puskesmas.
171
Karena jumlah efek variabel- variabel yang saling mempengaruhi cukup banyak, maka dalam bagian ini akan diketengahkan 2 (dua) di antaranya, yakni efek kepuasan pegawai dalam mempengaruhi laju kapabilitas pegawai, dan efek kapabilitas pegawai pada mutu layanan. Berikut ini adalah Gambar 5.12 yang menunjukan struktur SFD dari perspektif pembelajaran-pertumbuhan pada Puskesmas elite
Kepuasan_Pegawai
laju_kepuasan_pgw rasio_pasien_medis kepuasan_diinginkan
gap_kepuasan
efek_kapabilitas_pd_mutu
efek_kepuasan_pgw
tenaga_medis_dibutuhkan
Medis_Paramedis
workload
Kapabilitas_Pegawai kapabilitas_diinginkan rekrutmen
selesai_kontrak laju_penambahan
tingkat_kemampuan_rekrutmen
masa_kontrak
efek_pelatihan
rasio_peserta_pelatihan gap_kapabilitas
total_Medis_Paramedis PNS
rasio_kapabilitas_info kapabilitas_informasi
pelatihan
coverage_pelatihan
efek_ketersediaan_info
rasio_subsidi_pelatihan
Gambar 19 Stock-Flow Diagram (SFD) Kinerja Perspektif PembelajaranPertumbuhan Puskesmas elite (Sumber Hasil Kajian penulis, 2006)
Sedangkan hasil secara lengkap dapat disimak pada lampiran. 1. Efek kepuasan pegawai pada laju penambahan kapabilitas pegawai Hasil pengo lahan data tentang efek kepuasan pegawai pada laju penambahan kapabilitas pegawai adalah sebagai berikut :
172
aux efek_kepuasan_pgw = GRAPH(Kepuasan_Pegawai,0,0.5,[0.05,0.07,0.13,0.18,0.25,0.3,0.37, 0.46,0.59,0.72,0.87"Min:0;Max:1;Zoom"]) Pada nilai kepuasan pegawai = 0 , akan menyebabkan laju penambahan kapabilitas pegawai sebesar 0.05. Selanjutnya jika efek kepuasan pegawai = 0.5, maka laju penambahan kapabilitas pegawai menjadi = 0.07. demikian seterusnya hingga pada titik optimum 1, laju penambahan kapabilitas pegawai akan menurun. Hal ini sekaligus juga menggambarkan hubungan-hubungan yang terjadi adalah bersifat non- linier. 2. Efek kapabilitas pegawai pada mutu layanan Hasil pengolahan data tentang efek kepuasan pegawai pada laju penambahan kapabilitas pegawai adalah sebagai berikut : aux efek_kapabilitas_pd_mutu = GRAPH(Kapabilitas_Pegawai,0,0.5,[0.14,0.18,0.22,0.28,0.32,0.38,0.44, 0.52,0.6,0.73,0.89"Min:0;Max:1;Zoom"]) Pada nilai efek kapabilitas pegawai = 0 , akan menyebabkan peningkatan mutu layanan sebesar 0.14. Jika nilai efek kapabilitas pegawai meningkat yakni = 0.5, maka mutu layanan akan meningkat sebesar 0.18. demikian penambahan ini akan berlangsung hingga titik optimum 1 dan pengaruhnya terhadap mutu layanan akan semakin menurun, dan hubungan-hub ungan yang terjadi adalah bersifat nonlinier. Pada halaman berikutnya diketengahkan gambar SFD dari Perspektif Keuangan Puskesmas elite. Variabel-variabel keuangan yang perlu diperhatikan adalah hubungan antara efek subsidi dengan work load dan tenaga medis yang dibutuhkan. Yang kedua adalah efek insentif pada kepuasan pegawai. Dari aspek penerimaan, variabel pasien datang pada perspektif pelanggan mempengaruhi penerimaan puskesmas. Berikut ini efek insentif pada kepuasan pegawai. -
Efek insentif pada kepuasan pegawai Hasil pengolahan data tentang efek insentif pada kepuasan pegawai
adalah
sebagai berikut :
173
Pada nilai insentif = 0 , akan menyebabkan peningkatan nilai kepuasan pegawai sebesar 0.04. Jika nilai insentif ditingkatkan sebesar 0.2, maka nilai kepuasan pegawai akan meningkat sebesar
= 0.13. Demikian penambahan ini akan
berlangsung hingga titik optimum tertentu sampai pengaruhnya terhadap kepuasan
pegawai
aakan
semakin
menurun.
Hal
ini
sekaligus
juga
menggambarkan hubungan-hubungan yang terjadi adalah bersifat non-linier.
Cash
tarif penerimaan
pengeluaran rasio_anggaran
subsidi
total_Medis_Paramedis
anggaran rasio_norma_insentif swadana
konstanta_insentif
insentif
pasien_datang
efek_insentif_pd_kepuasan
rasio_subsidi_infrastruktur
Gambar 20 Stock-Flow Diagram (SFD) Kinerja Perspektif Keuangan Puskesmas elite. (Sumber: Hasil Kajian Penulis, 2006) Model Pemberdayaan Puskesmas di DKI-Jakarta
Baik diagram CLD maupun SFD merupakan dasar dalam membuat keputusan untuk model pemberdayaan Puskesmas. melalui uji simulasi sensitivitas
terhadap
174
variabel- variabel dalam model, dapat ditemukan variabel-variabel sensitif yang dapat digunakan untuk dasar pemberdayaan. Berikut ini hasil dan pembahasannya.
Uji Sensitivitas Model Menurut Muhammadi, dkk, (2001:361), uji sensitivitas adalah untuk mengetahui respon model terhadap suatu stimulus. Respon ditunjukkan dengan perubahan perilaku dan/atau kinerja model. Sedangkan stimulus dilakukan dengan memberikan perlakuan tertentu pada variabel atau struktur model. Uji sensitivitas bertujuan untuk menjelaskan sensitivitas parameter, variabel, dan hubungan antar variabel dalam model. Sedangkan hasil uji sensitivitas adalah dalam bentuk perubahan perilaku dan/atau kinerja model, dan digunakan untuk menganalisis efek intervensi terhadap model. Melalui uji sensitivitas maka dapat diketahui variabel- variabel mana saja yang berperan paling efektif atau dapat berperan sebagai pengungkit dalam membangun model kinerja Puskesmas di DKI. Dengan mengetahui variabel-variabel leverage yang paling berpengaruh terhadap kinerja sistem maka dapat ditemukan variabel- variabel tepat guna untuk merumuskan strategi organisasi ke depan. Berkaitan dengan tujuan disertasi ini, maka dengan menganalisis variabel- variabel yang memiliki peran leverage dalam kinerja Puskesmas di DKI Jakarta, selanjutnya diharapkan dapat berguna untuk membangun upaya pemberdayaan Puskesmas. Secara teoritis, setidaknya ada dua macam uji sensitivitas sebagaimana
yang
diketengahkan oleh Muhammadi, dkk. Pertama, intervensi fungsional, yakni intervensi terhadap parameter tertentu atau kombinasi parameter tertentu dari model dengan menggunakan fasilitas dalam perangkat lunak komputer (powersim) yang cocok atau mewakili perubahan keputusan, kejadian, dan keadaan tertentu. Maani dan Cavana (2000:228) menambahkan bahwa intervensi fungsional ini dapat dilakukan dengan cara menambah atau mengurangi 10 % dari parameter-parameternya. Sedangkan Muhammadi,dkk melakukannya dengan menambah atau mengurangi 10 – 20 %. Uji
sensitivitas
dilakukan
dengan
cara
mengintervensi
variabel
dengan
menambahkan nilai sebesar 10 % terhadap variabel yang diuji. Kemudian hasilnya
175
dibandingkan dengan peningkatan yang terjadi pada variabel yang dijadikan referensi atau variabel base case. Hasil perbandingan tersebut diukur selisihnya dengan menggunakan rasio, yaitu selisih hasil intervensi dengan base case dibagi base case. Semakin besar variabel tersebut berpengaruh terhadap perubahan variabel base case, maka semakin sensitif variabel tersebut memberikan perubahan pada sistem. Atau dengan pengertian lain, variabel yang sensitif tersebut dapat menjadi variabel yang dapat mendongkrak sistem. Ada dua hal yang digunakan sebagai pertimbangan untuk menetapkan variabel base case, yaitu: (1)
Variabel tersebut memiliki dinamika kompleksitas yang tinggi, artinya variabel tersebut memiliki kaitan hubungan sebab akibat lebih banyak.
(2)
Variabel tersebut menunjukkan pola kecenderungan kinerja yang lemah berdasarkan analisis kinerja yang telah dilaksanakan sebelumnya.
Berdasarkan pertimbangan dua hal tersebut, maka dari 16 (enam belas) variabel yang dioperasionalisasikan, ditetapkan 4 (empat) variabel base case, yaitu: kepuasan pasien, kepuasan pegawai, mutu layanan, dan penerimaan. Adapun hasilnya sebagaimana terlihat pada rekapitulasi hasil uji sensitivitas berikut ini. Tabel 58 Rekapitulasi Uji Sensitivitas TS Elit Moderat 1 RPsnMedis 2.2089 RPsnMedis 2 Subsidi 2.0201 Subsidi 3 Rinsen 2.0197 RObatPSn 4 NormLeadt 2.0049 Rinsen 5 RAngrn 2.0036 NormLeadt 6 Rrekrut 1.9998 TgkDB 7 ByPorg 1.9967 RAngrn 8 RPotPsn 1.9036 ByPorg 9 RKapInfo 1.0000 RPotPsn 10 RSubPel 1.0000 Rrekrut 11 RObatPSn 1.0000 RKapInfo 12 TgkDB 1.0000 RSubPel Sumber: Hasil Penelitian Penulis (2006)
2.203 2.020 2.012 2.010 2.008 2.004 2.002 1.998 1.863 1.000 1.000 1.000
Slum RPsnMedis Subsidi RObatPSn Rinsen NormLeadt RAngrn Rrekrut RKapInfo RPotPsn TgkDB ByPorg RSubPel
2.054 2.020 2.010 2.009 2.008 2.003 2.000 1.998 1.995 1.846 1.000 1.000
Catatan: • • • •
RPsnMedis = Rasio Pasien Medis Subsidi Rinsen = Rasio Insentif NormLeadt = Normal Lead Time
176
• • • • • • • • • •
Rangrn = Rasio Anggaran Rrekrut = Rasio Rekrutmen ByPorg = Biaya per Progam Peny uluhan RPotPsn = Rasio Potensi Pasien RKapInfo = Rasio Kapabilitas Informasi RSubPel = Rasio Subsidi Pelatihan RObatPSn = Rasio Obat per Pasien TgkDB = Tingkat Daya Beli TS = Tingkat Sensitivitas Rasio Anggaran diintervensi adalah untuk program penyuluhan
Hasil uji sensitivitas di atas diperoleh dengan menggunakan pendekatan skala nilai yaitu dengan nilai terendah 1 dan tertinggi 3. Nilai ini diperoleh dengan melakukan pembobotan ulang, berupa pengkalian dua atas hasil uji sensitivitas aktual. Pembobotan dilakukan hanya untuk memperjelas nilai- nilai hasil uji sensitivitas tersebut. Hasil pembobotan menjadi nilai sensitivitas variabel- variabel yang di uji terhadap variabel base case Interpretasi uji sensitivitas sebagaimana disampaikan dalam tabel di atas diuraikan berikut ini. Nilai 1 memiliki arti tidak sensitif sehingga dalam hal ini diabaikan (dalam tabel adalah variabel nomor 9 – 12). Nilai 2 adalah batas antara Reinforcing dan Balancing. Semakin besar nilai menuju 3, dari nilai tengah 2, maka semakin sensitif pengaruh-nya terhadap 4 variabel base case. Pengaruhnya lebih ke arah Reinforcing yakni saling menguatkan atau saling melemahkan. Sedangkan apabila nilai semakin menuju 1 dari nilai tengah 2, maka semakin sensitif pengaruhnya terhadap tindakan koreksi /Balancing. Dalam tabel nilai uji sensitivitas Puskesmas elite, terdapat 5 (lima) variabel yang memperoleh nilai di atas 2 (dalam tabel adalah variabel nomor 1-5) yakni variabel rasio anggaran (RAngrn)= 2.0036, variabel norma lead time (Normleadt)= 2.0049, variabel rasio insentif (Rinsen) = 2.0197, variabel subsidi (subsidi) = 2.0201, dan variabel rasio pasien medis (RpsnMedis) = 2.2089. Dari 5 variabel tersebut, dipilih 3 (tiga) yang memiliki nilai sensitivitas tertinggi (dalam tabel adalah variabel nomor 1-3), dalam hal ini adalah variabel rasio insentif, subsidi, dan rasio pasien medis. Sementara itu terdapat 3 variabel di bawah nilai 2 dan diatas nilai 1 (dalam tabel adalah variabel nomor 6–8), yakni rasio rekruitmen (Rrekruit) = 1.9998, biaya program penyuluhan (Bypro.Penyul) = 1.9967, dan potensi pasien (PotenPsn) = 1.9036.
177
Kontinum berikut ini akan memperjelas gambaran arah sensitivitas yang telah diuraikan tersebut.
B
PUSKES ELITE PotenPsn ByProg Penyul R Rekrut 1.9036 1.9967 1.9998
RInsentif 2.0197
2
Subsidi 2.0201
R
RPsn Medis 2.0289
Gambar 21 Kontinum Interpretasi Nilai Sensitivitas Puskesmas Elite Sumber : Hasil Kajian Penulis (2006) Pada Puskesmas moderate terdapat 7 (tujuh) variabel yang memiliki nilai sensitivitas di atas 2 (dalam tabel adalah variabel nomor 1-7), namun dalam hal ini ditetapkan 3 (tiga) variabel yang memiliki sensitivitas tertinggi yakni variabel rasio obat pasien (RobatPsn) = 2.012, variabel subsidi = 2.002, dan variabel rasio pasien medis (RpsnMedis) = 2.203. Adapun variabel- variabel dengan nilai 1 diabaikan karena tidak memiliki sensitivitas (dalam tabel adalah variabel nomor 10-12). Sementara, variabelvariabel yang memiliki nilai sensitivitas di bawah 2 hanya berjumlah 2 variabel, yakni variabel rasio potensi pasien (RpotPsn) = 1.863 dan biaya program penyuluhan (ByProg,Penyul) = 1.998. Berikut ini adalah gambar kontinum dari nilai-nilai sensitivitas pada variabel- variabel Puskesmas moderate
B
PUSKES MODERAT PotenPsn ByProg Penyul 1.863 1.998
2
RObat Psn 2.012
Subsidi RPsn Medis 2.002 2.203
R
Gambar 22 Kontinum Interpretasi Nilai Sensitivitas Puskesmas Moderate Sumber : Hasil Kajian Penulis (2006) Pada Puskesmas slum terdapat 7 (tujuh) variabel yang memiliki nilai sensitivitas di atas 2 (dalam tabel adalah variabel- variabel nomor 1-7). Dari jumlah tersebut, 3 (tiga) di antaranya yang memiliki nilai tertinggi dipilih, yakni variabel rasio obat pasien = 2.010, kemudian variabel subsidi = 2.002, dan variabel rasio pasien medis = 2.054. Sedangkan variabel- variabel yang bernilai di bawah 2 yang mengarah ke kontinum Balancing ada 3 (tiga) variabel, dan keseluruhannya di pilih, yakni variabel biaya program penyuluhan (ByProgPenyul)= 1.998, variabel tingkat daya beli obat (TDB Obat) = 1.995, dan terakhir
178
adalah variabel potensi pasien (PotenPsn) = 1.846. Gambar berikut ini merupakan kontinum dari nilai- nilai tersebut PUSKES SLUM
B
PotenPsn 1.846
TDB Obat ByProg.Penyul 1.995 1.998
2
RObat Psn 2.010
Subsidi RPsn Medis 2.020 2.054
R
Gambar 23 Kontinum Interpretasi Nilai Sensitivitas Puskesmas Slum (Sumber : Hasil Kajian Penulis (2006) Setelah variable- variabel sensitif diketahui, maka langkah selanjutnya adalah menetapkan skenario pemberdayaan. Skenario Pemberdayaan Puskesmas Elite Fahey dan Randal (1998:4) menjelaskan bahwa proses pembelajaran skenario, yaitu proses bagaimana sebuah organisasi dapat memperkirakan apa yang akan terjadi di masa mendatang pada lingkup usahanya. Untuk itu, menurut, Fahey dan Randal, perlu adanya sebuah metode yang dapat menggabungkan pembuatan sebuah skenario dengan proses pengambilan keputusan berkaitan dengan penyusunan strategi manajemen ke depan. Fahey dan Randall mengartikan skenario sebagai sebuah deskripsi naratif tentang proyeksi berbagai pilihan yang masuk akal dari bagian-bagian spesifik di masa mendatang. Sejumlah kombinasi peristiwa di masa depan, ada yang mudah dan sulit diperkirakan sehingga memunculkan berbagai pilihan di masa depan. Gambaran masa depan tersebut, umumnya dibatasi oleh informasi yang berhasil diperoleh, kemampuan untuk memahami informasi, dan kemampuaan untuk membuat imajinasi. Kendalakendala inilah yang mengakibatkan gambaran masa depan tetap gelap karena tidak mampu mengetahui secara pasti apa yang akan terjadi di masa mendatang. Melalui pembelajaran skenario diharapkan dapat memberikan masukan penting yang dapat mempengaruhi dan meningkatkan kualitas pengambilan keputusan. Menurut Baker (1993, dalam Maani dan Cavana, 2000:83), skenario adalah bukan peramalan (forecast). Jika ramalan adalah suatu intensi yang menggambarkan suatu kepastian pernyataan masa depan, maka skenario adalah ditujukan untuk menyediakan
179
sesuatu yang mungkin dapat digunakan untuk mengantisipasi kondisi-kondisi yang akan datang. Selanjutnya dijelaskan, bahwa terdapat dua cara skenario, pertama berupa skenario yang dapat menggambarkan evolusi kejadian-kejadian dari saat ini hingga beberapa waktu ke depan (future history). Kedua, skenario yang disusun berdasarkan analisis kebijakan dan strategi yang menyediakan informasi hubungan sebab-akibat masa sekarang dan yang akan datang. Secara lebih jauh Wack (1985, dalam Maani dan Cavana, 2000:83) menyatakan bahwa skenario harus dapat menolong para pengambil keputusan untuk mengembangkan visi kedepan tentang sistem organisasi mereka. Dengan demikian dapat digarisbawahi bahwa skenario adalah suatu gambaran akan kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi di masa datang.
Skenario dibedakan
dengan peramalan dalam hal, pertama, adanya sebuah pola dan bukan presisi atau suatu gambaran kinerja dalam time series. Kedua, adanya
multiple path yaitu beragam
kecenderungan sesuai asumsi yang digunakan. Untuk kepentingan penyusunan skenario pemberdayaan agar lebih praktis dan mengedepanka n prioritas, maka dalam penelitian ini variabel- variabel base case akan dikelompokkan dalam suatu kuadran-kuadran prioritas yang diadopsi dari model Star (dalam Ringland,2002:33). Pengelompokan ke dalam model Star dipandang sesuai karena selain dapat memberikan gambaran penempatan variabel menurut prioritas, juga dipandang sesuai dengan domain organisasi pelayanan publik seperti halnya Puskesmas. Pada model Star, terdapat 4 (empat) kuadran yang didasarkan pada kombinasi faktor- faktor lingkungan kondisional organisasi pelayanan publik pada umumnya. Pertama, pada kuadran A, kombinasi faktor- faktor kondisional organisasi yang penuh ketidakpastian (uncertainty) dengan kondisi ketatnya rantai hierakhi dan pengawasan (common-control hierarchy ). Kuadran ini menggambarkan kuadran yang sulit diintervensi karena berada pada kombinasi dua aspek kondisional yang sulit. Kedua, pada kuadran B, menggambarkan kombinasi faktor- faktor kondisional organisasi
yang
penuh
ketidakpastian
(uncertainty)
dan
terdapatnya
jaringan
pemberdayaan (empowered networks). Kuadran ini tingkat kesulitannya di bawah kuadran A, sedangkan aspek yang mempermudah adalah adanya jaringan pemberdayaan.
180
Ketiga, pada kuadran C, menggambarkan kombinasi faktor- faktor kondisional organisasi yang relatif memiliki tingkat kepastian atau dapat diprediksikan (relative certainty/predictability)
dengan
terdapatnya
jaringan
pemberdayaan
(empowered
networks). Kuadran ini digambarkan sebagai kuadran ideal, dimana terdapat dua kondisi yang saling mendukung untuk dilakukan proses pemberdayaan. Keempat, pada kuadran D, menggambarkan kombinasi faktor- faktor kondisional organisasi yang relatif memiliki tingkat kepastian atau dapat diprediksikan (relative certainty/predictability) dengan ketatnya rantai hierakhi dan pengawasan (commoncontrol hierarchy). Digambarkan sebagai kebalikan kuadran B, yang memerlukan perlakuan khusus, karena berada pada dua kondisi yang saling bertolak belakang. Kuncinya, salah satu kondisi harus dapat dik uasai. Selanjutnya 4 variabel base case Puskesmas ditempatkan ke dalam kuadrankuadran ya ng sesuai (lihat gambar 5.17). Variabel- variabel dalam kuadran kemudian disimulasikan untuk menemukan variabel- variabel sensitif terhadap variabel- variabel base case. Dengan demikian baik Puskesmas elite, moderate, maupun slum memiliki model kuadran Star yang sama, sedangkan yang membedakan adalah variabel- variabel sensitif di dalamnya Uncertainty
Penerimaan -Subsidi -Potensi Pasien Command/Control Hierarchy
Kepuasan Pegawai -Rasio Insentif -PotensiPasien
Kepuasan Pasien -Rasio Pasien-Medis
A
B
D
C
Empowered Networks
Mutu layanan -BiayaPenyuluhan -RasioInsentif -Rasio Pasien-Medis Relative Certainty/ Predictability
Gambar 24 Penempatan Variabel Base Case Menurut Kuadran Star pada Puskesmas Elite (Sumber: Diadopsi dari Model Star, 2002)
181
Selanjutnya skenario pemberdayaan Puskesmas dapat disusun berdasarkan pada hubungan variabel base case dengan variabel sensitif dengan prioritas simulasi sebagai berikut: 1. Skenario dengan mensimulasikan perubahan variabel mutu layanan jika diintervensi oleh perubahan variabel biaya program penyuluhan, rasio insentif, dan rasio pasien medis. 2. Skenario dengan mensimulasikan perubahan variabel kepuasan pasien jika diintervensi oleh perubahan variabel rasio pasien medis. 3. Skenario dengan mensimulasikan perubahan variabel kepuasan pegawai jika diintervensi oleh perubahan variabel rasio insentif dan potensi pasien 4. Skenario dengan mensimulasikan perubahan variabel penerimaan jika diintervensi oleh perubahan variabel subsidi dan potensi pasien.
1. Hasil Simulasi Variabel Mutu Layanan Dari 3 variabel sensitif (biaya program penyuluhan, rasio insentif, dan rasio pasien medis) yang diasumsikan mempengaruhi mutu layanan Puskesmas elite, setelah disimulasikan dengan penambahan atau pengurangan antara 10 – 20 % pada nilai masingmasing variabel untuk waktu dua tahun kedepan (dimulai dari t5
– t12),
ternyata ketiga
variabel berpengaruh terhadap mutu layanan Puskesmas elite, tetapi variabel rasio pasienmedis lebih besar pengaruhnya atau lebih bermakna, bila dibandingkan dengan dua variabel yang lain. Perubahan variabel tersebut sebelum dan setelah diintervensi dapat disimak pada tabel dan gambar grafik berikut ini. Tabel 59 Hasil Intervensi Variabel Rasio Pasien Medis terhadap Mutu Layanan elite Waktu (triwulan) 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Simulasi 1 0.0629 0.0614 0.0559 0.0449 0.0331 0.0220 0.0230 0.0238 0.0243 0.0248 0.0252 0.0254 0.0255
Mutu Layanan Simulasi 2 0.0629 0.0614 0.0559 0.0449 0.0331 0.117 0.123 0.128 0.131 0.132 0.133 0.133 0.133
Simulasi 3 0.0629 0.0614 0.0559 0.0449 0.0331 0.117 0.123 0.128 0.133 0.136 0.138 0.139 0.139
Keterangan
Simulasi 1 : Rasio Pasien-Medis 130 (awal) Simulasi 2 : Intervensi : 130+STEP(117, pada t5) Simulasi 3 : Intervensi : 130+STEP (150, pada t5)
182
0.06
2)
0.05 0.04 0.03
mutu_layanan
mutu_layanan
1)
2 3
1 0.05 2 3 0
0
3
6
9
2 3
2
9
12
0.10
12
1 2 3 3
6
Time
Time
Gambar 25 Grafik Perkembangan Mutu Layanan setelah di Intervensi Rasio Pasien-Medis elite (Sumber : Hasil Kajian Penulis, 2006)
Grafik nomor 1 menggambarka n kondisi awal mutu layanan sebelum diintervensi (nilainya dinaikkan atau diturunkan). Kemudian setelah diintervensi dengan penurunan nilai awal dari 130 menjadi 117 pada triwulan ke 5 (t 5 ) dengan rumus 130+STEP(117,5), maka hasilnya dapat disimak pada gra fik nomor 2 (dalam gambar berwarna hijau) dan pada
perubahan
nilai
penurunan/peningkatan
mutu nilai
layanan
di
didasarkan
tabel pada
kolom
simulasi
2.
perkiraan
jika
beban
Asumsi kerja
dikurangi/ditambah 10-20% dari nilai awal, maka akan seberapa jauh perubahan penurunan/peningkatan mutu layanan Puskesmas elite di triwulan 1 tahun depan. Hasilnya terlihat bahwa nilai mutu layanan meningkat hingga diatas 0.1 setelah triwulan ke 5 hingga ke 12 Pada simulasi 3, dilakukan intervensi dengan meningkatkan nilai awal hingga 150 pada t5 dengan rumus 130+STEP(150,5) pada perangkat lunak powersim, hasilnya dapat disimak baik pada tabel simulasi 3 dan grafik nomor 3. Terjadi peningkatan nilai mutu layanan ‘sedikit’ lebih besar dari pada simulasi 2. Dapat disimpulkan bahwa rasio pasien medis pada triwulan pertama tahun depan (t5) dapat mempengaruhi peningkatan nilai mutu layanan ketika berada pada rasio minimal 117 atau maksimal 150 dengan asumsi kuantitas pegawai tidak berubah. Berdasarkan hal tersebut maka rasio pasien medis dipandang sebagai leverage mutu layanan paling tidak untuk satu tahun ke depan, dan direkomendasikan untuk menjadi perhatian Puskesmas.
2. Hasil Simulasi Variabel Kepuasan Pasien Hasil simulasi penurunan dan peningkatan variabel rasio pasien medis ternyata sangat berpengaruh secara nyata terhadap kepuasan pasien. Gambar grafik nomor 1 berikut ini menunjukkan kepuasan pasien ketika belum diintervensi, grafik nomor 2 183
setelah diintervensi dengan penurunan rasio pasien medis dengan dari 130 menjadi 117 pada t5 dengan rumus 130+STEP(117,5), dan setelah diintervensi dengan peningkatan rasio pasien medis sebesar 150 dengan rumus 130+STEP(150,5) hasilnya keduanya mempengaruhi perubahan kepuasan pasien hingga diatas 4,5. (grafik ketiga gambar nomor 2). Hasil ini menunjukkan bahwa rasio pasien medis ideal bagi kepuasan pasien ketika berada pada nilai rasio 117 hingga 150, dengan kata lain minimal rasio adalah 117 dan maksimal adalah 150. Dalam hal ini variabel rasio pasien medis sekali lagi berperan sebagai pengungkit variabel kepuasan pasien, selain pada mutu layanan.
Tabel 60 Hasil Intervensi Variabel Rasio Pasien Medis terhadap Kepuasan Pasien (elite)
Kepuasan_Pasien
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
1)
Kepuasan Pasien Simulasi 2 3.40 3.50 3.59 3.67 3.73 3.77 3.92 4.05 4.17 4.28 4.38 4.46 4.53
Simulasi 1 3.40 3.50 3.59 3.67 3.73 3.77 3.80 3.83 3.86 3.88 3.91 3.94 3.97
Keterangan
Simulasi 3 3.40 3.50 3.59 3.67 3.73 3.77 3.92 4.05 4.17 4.28 4.38 4.47 4.54
Simulasi 1 : Rasio Pasien-Medis 130 (awal) Simulasi 2 : Intervensi : 130+STEP(117, pada t-5) Simulasi 3 : Intervensi : 130+STEP (150, pada t -5)
2)
3.9 3.8 3.7 3.6 3.5 3.4 0
3
6
9
Kepuasan_Pasien
Waktu
12
Time
4.5
2 2
4.0
2 1
1 2 3 3.5 1 0
3 1
3 1
2 3 3
6
9
12
Time
Gambar Grafik Perkembangan Kepuasan pasien setelah di Intervensi Rasio Pasien-Medis elite. (Sumber : Hasil Kajian Penulis, 2006) 3. Hasil Simulasi Variabel Kepuasan Pegawai Variabel-variabel sensitif yang diduga mempengaruhi kepuasan pegawai adalah rasio insentif dan rasio pasien medis. Hasil simulasi keduanya berpengaruh, namun pengaruh yang paling bermakna adalah variabel rasio insentif.
184
Dalam tabel maupun grafik nampak perubahan nilai kepuasan pegawai yang begitu signifikan setelah rasio insentif dinaikkan dari 0.115 (11 %) menjadi 0.15 (15 %) pada t5. Pada t12 bahkan kepuasan pegawai dapat meningkat hingga 4,0 lebih. Pengaruh menjadi tidak berarti ketika intervensi dilakukan lewat simulasi peningkatan nilai rasio insentif menjadi 20 % (grafik ketiga gambar nomor 2 dan tabel kolom simulasi 3) nilai kepuasan pegawai bertahan pada posisi simulasi 2, artinya, bahwa tindakan koreksi untuk meningkatkan kepuasan pegawai adalah peningkatan rasio insentif hingga kurang lebih 15 % dari insentif yang diterima saat pegawai saat ini, yakni rata-rata 11 % dari take home pay mereka. Dapat disimpulkan variabel rasio insentif merupakan pengungkit bagi kepuasan pegawai, dan direkomendasikan agar variabel ini diberdayakan lebih la njut.
Tabel 61 Hasil Intervensi Variabel Rasio Insentif terhadap Kepuasan Pegawai (elite) Simulasi 1 2.00 2.12 2.23 2.35 2.48 2.60 2.73 2.85 2.97 3.08 3.19 3.30 3.40
1)
Kepuasan_Pegawai
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Kepuasan Pegawai Simulasi Simulasi 2 3 2.00 2.00 2.12 2.12 2.23 2.23 2.35 2.35 2.48 2.48 2.60 2.60 2.97 2.97 3.29 3.29 3.55 3.55 3.77 3.77 3.96 3.96 4.12 4.12 4.26 4.26
3.5
Keterangan Simulasi 1 : Rasio Insentif 0.115 (awal) Simulasi 2 : Intervensi : 0.115+STEP(0.15, pada t5) Simulasi 3 : Intervensi : 0.115+STEP (0,20, pada t5)
2)
3.0 2.5 2.0 0
3
6
Time
9
12
Kepuasan_Pegawai
Waktu
2
4.0
2 3
3.5 2
3.0 2.5 2.0 1 2 3 0
1
3 1
1 3 1 2 3
6
9
12
Time
Gambar 27 Grafik Perkembangan Kepuasan Pegawai setelah di Intervensi Rasio Insentif elite. (Sumber : Hasil Kajian Penulis, 2006)
185
4. Hasil Simulasi Variabel Penerimaan Nilai potensi pasien kenyataannya mempengaruhi penerimaan, artinya ketika dilakukan simulasi terhadap peningkatan potensi pasien dari 0.15 menjadi 0.20 pada t5 dengan rumus 0.15+STEP(0.20,5) terlihat lonjakan penerimaan yang begitu nyata. Uji simulasi lebih jauh dengan semakin meningkatkan nilai potensi pasien semakin meningkatkan pula nilai penerimaan, karena itu diputuskan menampilkan 2 simulasi saja karena hasilnya telah jelas. Pada variabel subsidi, karena kondisinya penuh ketidak pastian maka berapapun nilai yang diubah dalam simulasi (dilakukan secara acak karena sulit diprediksi) hasilnya tidak menentu. Karena itu variabel subsidi tidak direkomendasikan sebagai pengungkit karena sulit diprediksikan. Berikut ini adalah hasil simulasi tersebut.
Tabel 62 Hasil Intervensi Variabel Potensi Pasien terhadap Penerimaan (elite) Penerimaan Waktu
Keterangan
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Simulasi 2 849,978,131 887,940.131 924.747.525 958,960,355 989,000,124 2.359.793.124 2.410.181.124 2.462.222.124 2.515.688.124 2.570.465.124 2.626.496.124 2.683.439.124 2.741.294.124
Simulasi 1 : Potensi pasien 0.15 (awal) Simulasi 2: Intervensi 0.15+STEP(0.20 pada t5)
2) penerimaan
1) 1.1e9 1e9 900,000,000 0
3
6
Time
9
12
penerimaan
Simulasi 1 849,978,131 887,940.131 924.747.525 958,960,355 989,000,124 1.014,992,124 1.137,450,124 1,060,478,124 1,084,133,124 1,108,187,124 1,132,697,124 1,157.606,124 1,182,857,124
3e9
2
2
2
2e9 2e9 1e9
12 0
12
1
1
1
3
6
9
12
Time
Gambar 28 Grafik Perkembangan Penerimaan setelah di Intervensi Potensi Pasien Elite (Sumber : Hasil Kajian Penulis, 2006)
186
Model Pemberdayaan Puskesmas Elite Berdasarkan pada skenario yang telah disimulasikan tersebut, maka pemberdayaan Puskesmas elite dapat dilakukan dengan mengkombinasikan prioritas variabel base case sebagai variabel yang dipandang memiliki kompleksitas dinamis tinggi serta memiliki banyak kelema han - dengan variabel sensitif yang telah diuji secara simulasi pengaruhnya terhadap variabel base case tersebut. Berikut ini adalah gambar model pemberdayaan Puskesmas elite. Visualisasi model dituangkan dalam kombinasi sumbu X yang menggambarkan ‘waktu’ yakni waktu dimulainya pemberdayaan (t5) hingga t12 (2 tahun ke depan), dan sumbu Y yang menggambarkan ‘tingkat kinerja’ yang paling lemah hingga yang tertinggi. Tahun 2007 (t5 – t8): Prioritas pemberdayaan pertama adalah pada perbaikan mutu layanan dan kepuasan pelanggan. Variabel yang terbukti sensitif pada kedua aspek tersebut adalah rasio pasien medis. Dalam simulasi, rasio pasien medis elite adalah dapat ditingkatkan pada nilai tertinggi 150 dan terendah 117 dari nilai ideal 130 pasien setiap harinya. Saat ini Puskesmas elite melayani 100 hingga 150 lebih pasien setiap harinya, hal ini menyebabkan terjadinya work load (beban kerja) sehingga dapat dipahami jika aspek resposiveness pegawai rendah (lihat IKP) dan penyuluhan rendah. Pada nilai yang sama variabel kepuasan pelanggan juga sensitif terhadap rasio pasien medis. Artinya jika jumlah pasien semakin meningkat, maka pelanggan kuatir mutu layanan akan menjadi semakin rendah. High
Performance
P K.Peg
KP ML Low t5
Time
t 12
Gambar 29 Model Pemberdayaan Puskesmas elite (Sumber: Hasil Kajian Penulis, 2006)
187
Keterangan gambar: ML = Mutu Layanan (varibel sensitif adalah Rasio Pasien Medis) KP = Kepuasan Pelanggan (variabel sensitif adalah Rasio Pasien Medis) K.Peg = Kepuasan Pegawai (variabel sensitif adalah Rasio Insentif) P = Penerimaan ( variabel sensitif adalah Potensi Pasien) Tahun 2008 (t9 – t12): Prioritas pemberdayaan adalah kepuasan pegawai dan penerimaan (swadana). Variabel yang sensitif mempengaruhi kepuasan pegawai adalah rasio insentif. Untuk meningkatkan rasio insentif adalah melalui dua cara, pertama, menunggu kebijakan Pemerintah Daerah Provinsi DKI-Jakarta, kedua adalah dengan meningkatkan penerimaan swadana. Benang merah yang dapat ditarik dari model pemberdayaan Puskesmas elite Kebayoran Baru adalah, bahwa ternyata pemberdayaan SDM pada Puskesmas elite menjadi kunci utama untuk keberhasilan ke depan. Dalam model terlihat bahwa perspektif Pembelajaran-Pertumbuhan mendominasi tiga tahap prioritas pemberdayaan, di samping perspektif lainnya. Semua perbaikan dan perubahan yang berhubungan dengan perspektif Pembelajaran-Pertumbuhan pasti terkait dengan pemberdayaan pegawai. Pemberdayaan pegawai berarti terkait dengan perubahan perilaku pegawai. Perubahan perilaku pegawai mengacu pada peningkatan, perbaikan, bahkan kontrol terhadap kemampuan pegawai. Dengan demikian diperlukan kesiapan-kesiapan dalam memberdayakan pegawai. Tyson dan Jackson (2000:237) menyatakan bahwa kesiapan pegawai untuk berubah bertumpu pada dua kekuatan, pertama, yakni kekuatan yang ada dalam individu-individu itu sendiri yang meliputi pengetahuannya, ketrampilan dasar, kesadaran diri, dan toleransi terhadap ambiguitas. Bahkan terdapat bukti bahwa tingkat motivasi dan harga diri berperan penting dalam kesiapan individu untuk berubah. Kekuatan kedua adalah berkaitan dengan sistem yang meliputi budaya dan iklim kerja organisasi, serta konsekuensi-konsekuensi terhadap kegagalan maupun keberhasilan organisasi akibat perubahan. Selanjutnya dinyatakan bahwa gabungan dari faktor-faktor tersebut memberikan diskripsi mengenai rasa aman. Terkait dengan konsep Tyson dan Jackson tersebut, maka setiap pemberdayaan pegawai masalah kesiapan dan rasa aman menjadi kunci keberhasilan. Jangan sampai pemberdayaan di satu sisi memberikan kewenangan, disatu sisi menambahkan beban.
188
Jika yang terjadi demikian maka tidak ada rasa aman, pegawai akan cenderung menghindari perubahan sehingga pemberdayaan akan gagal, dan justru menimbulkan resistensi. Robbins dan Decenzo (2001:236) mengingatkan bahwa kebanyakan kasus pemberdayaan sering menimbulkan resistensi , karena para pegawai berasumsi negatif terlebih dulu terhadap setiap perubahan. Perubahan diasumsikan sebagai sesuatu yang tidak pasti (uncertainty) manfaatnya bagi mereka. Sebagian orang takut pada perubahan, karena mengancam eksistensi mereka yang sudah mapan. Penilaian baik -buruknya perubahan adalah tergantung pada manfaatnya secara individual bagi mereka. Dalam kasus pemberdayaan pegawai Puskesmas agar lebih resposif dalam melayani, mungkin akan menemui kendala resistensi jika pimpinan Puskesmas kurang hati-hati dalam melaksanakan perubahan bagi mereka. Dalam studi Penyuluhan Pembangunan dikenal teknik untuk menurunkan resistensi yakni dengan metode pembelajaran orang dewasa (POD). Metode POD menganggap orang-orang yang diberdayakan bukan sebagai orang yang bodoh atau lemah, melainkan justru dipandang sebagai individu yang telah memiliki peta kognitif yang lengkap tentang pekerjaannya, sehingga posisi mereka adalah sebagai mitra sejajar yang secara lateral diberikan kesempatan untuk memberdayakan diri sendiri, dan sharing dengan pegawai yang lain, sehingga tanpa disadari tidak ada yang merasa ‘kehilangan harga diri’. Stewart (1994:122-124) mencoba mengingatkan bahwa setiap pemberdayaan memerlukan budget atau investasi untuk pelatihan. Kebanyakan organisasi pemerintah menur utnya kurang investasi dibidang pelatihan, tanpa budget yang memadai maka pelatihan akan kehilangan arti. Mungkin yang dimaksud oleh Stewart disini adalah bahwa dengan budget yang memadai dimungkinkan penyelenggaraan suatu pelatihan yang baik, dengan kurik ulum yang baik dan instruktur yang baik pula. Selanjutnya juga diingatkan bahwa tidak cukup hanya dengan invest pelatihan, namun juga diperlukan dukungan waktu dan encouragement pimpinan dalam bentuk pertemuan atau meeting time yang cukup, atensi pribadi, sharing ketrampilan dan pengetahuan yang dimiliki pimpinan. Saran terakhir yang diberikan Stewart adalah bahwa setiap pemberdayaan harus diikuti
189
dengan pemberian reward yang memadai bisa berbentuk peningkatan insentif maupun gaji atau penghargaan non finansial.
Skenario Pemberdayaan Puskesmas moderate Pada Puskesmas moderate, terdapat 5 (lima) variabel yang diduga mempengaruhi sensitifitas 4 (empat) variabel base case (kepuasan pasien, kepuasan pegawai, mutu layanan, dan penerimaan). Kelima variabel sensitif tersebut adalah rasio obat pasien, subsidi, rasio pasien- medis, biaya program penyuluhan, dan potensi pasien. Sebagaimana pada Puskesmas elite, keempat variabel base case selanjutnya ditempatkan pada posisi di kuadran Star sesuai dengan karakteristik kondisi lingkungan organisasi Puskesmas. Yang berbeda adalah variabel-variabel sensitifnya.
Uncertainty
Penerimaan -Subsidi -Potensi Pasien Command/Control Hierarchy
Kepuasan Pasien -Rasio Pasien-Medis -Rasio Obat-Pasien
A
B
D
C
Kepuasan Pegawai -PotensiPasien
Empowered Networks
Mutu layanan -BiayaPenyuluhan -Rasio Pasien-Medis
Relative Certainty/ Predictability
Gambar 30 Penempatan Variabel Base Case Menurut Kuadran Star pada Puskesmas Moderate (Sumber: Diadopsi dari Model Star, 2002)
Berdasarkan penempatan variabel- variabel base case pada kuadran Star tersebut, maka dapat dibangun asumsi-asumsi skenario sebagai berikut :
190
1. Skenario dengan mesimulasikan perubahan variabel mutu layanan jika diintervensi oleh perubahan variabel biaya program penyuluhan, dan rasio pasienmedis. 2. Skenario dengan mensimulasikan perubahan variabel kepuasan pasien jika diintervensi oleh perubahan variabel rasio pasien medis, dan rasio obat-pasien 3. Skenario dengan mensimulasikan perubahan variabel kepuasan pegawai jika diintervensi oleh perubahan variabel potensi pasien 4. Skenario dengan mensimulasikan perubahan variabel penerimaan jika diintervensi oleh perubahan variabel potensi pasien. Adapun hasil simulasi adalah sebagai berikut :
1.Hasil Simulasi Variabel Mutu Layanan Tabel 63 Hasil Intervensi Variabel Rasio Pasien-Medis Terhadap Mutu Layanan (moderate) Waktu (Triwulan) 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Mutu Layanan Simulasi 2 0.0541 0.0487 0.035 0.0216 0.0151 0.111 0.117 0.122 0.126 0.127 0.128 0.128 0.127
Simulasi 1 0.0541 0.0487 0.035 0.0216 0.0151 0.0157 0.0164 0.0168 0.0171 0.0173 0.0174 0.0174 0.0174
Keterangan Simulasi 3 0.0541 0.0487 0.035 0.0216 0.0151 0.111 0.117 0.122 0.126 0.129 0.13 0.13 0.13
Simulasi 1 : Rasio Pasien Medis 100 (awal) Simulasi 2 : Intervensi : 100+STEP(110, pada t5) Simulasi 3 : Intervensi : 100+STEP (120, pada t5)
2) 0.05 0.04 0.03 0.02 0
3
6
Time
9
12
mutu_layanan
1)
mutu_layanan
Sumber: Hasil Simulasi Penelitian, 2006
0.10 0.05 1 2 3
2 3
2
1 6
1 9
1 12
3 12
0
2 3
3
Time
Gambar 31 Grafik Perkembangan Mutu Layanan setelah di Intervensi Rasio Pasien Medis Moderate (Sumber : Hasil Kajian Penulis, 2006)
191
Dalam tabel terlihat perbedaan nilai mutu layanan sebelum diintervensi melalui simulasi (lihat kolom simulasi 1) dengan nilai setelah diintervensi dua kali (lihat kolom simulasi 2 dan 3). Intervensi pertama adalah dengan mengubah rasio pasien medis menjadi 110 pada waktu t5 dengan rumus 100+STEP(110,5) dalam perangkat lunak powersim. Hasilnya dapat disimak peningkatan nilai mutu layanan yang cukup signifikan. Pada simulasi 2 ketika intervensi ditingkatkan, nilai mutu layanan juga meningkat. Intervensi selanjutnya tetap menunjukkan nilai yang sama dan tidak ada peningkatan yang berarti, sehingga diputuskan untuk menghentikan simulasi dan ditetapkan bahwa perubahan yang paling baik adalah pada nilai rasio pasien-medis sebesar 110 hingga 120. Nilai inilah yang direkomendasikan untuk pemberdayaan. Berikut ini adalah gambar grafik yang menvisualisasikan hasil simulasi mutu layanan.
3. Hasil Simulasi Variabel Kepuasan Pasien
Kedua variabel sensitif yakni rasio pasien medis dan rasio obat-pasien, memiliki pengaruh terhadap variabel kepuasan pasien, namun pengaruh yang paling bermakna dan memperlihatkan perubahan yang berarti adalah variabel rasio pasien medis. Logikanya adalah jika rasio pasien medis sesuai maka beban pegawai tidak akan berat, sehingga pelanggan dapat melakukan komunikasi lancar dengan petugas medis (konsultasi kesehatan secara intensif), dengan kata lain petugas memiliki banyak waktu untuk pelanggan atau pasien. Pada tabel dapat disimak perubahan nilai Kepuasan Pasien yang cukup nyata setelah diintervensi nilai Rasio Pasien-Medis pada simulasi 2 sebesar 110 pada waktu t5 dengan rumus 100+STEP(110,5). Demikian pula perubahan pada simulasi 2, setelah intervensi ditingkatkan menjadi 120. Simulasi selanjutnya tidak akan membuat nilai meningkat, melainkan terbatas pada nilai tertinggi yakni 5 (skala Likert) setelah nilai 5 tercapai maka grafik akan tumbuh mendatar pada titik tertinggi 5. Grafik semacam ini menggambarkan pola goal seeking .
192
Tabel 6 Hasil Intervensi Variabel Rasio Pasien-Medis Terhadap Kepuasan Pasien (moderate) Waktu 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Simulasi 1 3.40 3.49 3.56 3.61 3.64 3.66 3.68 3.70 3.73 3.75 3.77 3.79 3.81
Kepuasan Pasien Simulasi 2 3.40 3.49 3.56 3.61 3.64 3.66 3.81 3.95 4.08 4.19 4.30 4.39 4.46
Simulasi 3 3.40 3.49 3.56 3.61 3.64 3.66 3.81 3.95 4.08 4.19 4.30 4.39 4.47
Keterangan Simulasi 1 : Rasio Pasien Medis 100 (awal) Simulasi 2 : Intervensi : 100+STEP(110, pada t5) Simulasi 3 : Intervensi : 100+STEP (120, pada t5)
2) 3.8 3.6 3.4 0
3
6
9
12
Kepuasan_Pasien
1)
Kepuasan_ Pasien
Sumber: Hasil Simulasi Penelitian, 2006
Time
4.5
2 23
4.0 2 3.5
12 3 3 12 0
3
3
1
1
6
9
1
12
Time
Gambar 32 Grafik Perkembangan Kepuasan Pasien setelah di Intervensi Rasio Pasien Medis (moderate) (Sumber : Hasil Kajian Penulis, 2006)
Gambar grafik nomor 1 menunjukkan pola kecenderungan yang belum diintervensi dengan nilai rata-rata kepuasan pasien diatas 3, sedangkan pada grafik nomor 2 terlihat kecenderungan peningkatan nilai kepuasan pasien yang meningkat setelah t5, bahkan pada t8 mencapai nilai kepuasan pasien diatas 4. Grafik tidak akan meningkat secara eksponential, melainkan akan mendatar setelah mendekati titik tertinggi dari nilai kepuasan pasien yakni 5 (skala Likert).
3. Hasil Simulasi Variabel Kepuasan Pegawai Jika pada Puskesmas elite variabel rasio insentif berpengaruh secara nyata terhadap variabel kepuasan pegawai, maka tidak demikian di Puskesmas moderate. Rasio potensi pasien ternyata menjadi perhatian pegawai.
193
Hasil simulasi menunjukkan bahwa potensi pasien mempengaruhi kepuasan pegawai ketika dinaikan menjadi 15 % dan 24 %, namun kenaikannya tidak begitu mencolok, begitu juga ketika nilai intervensi ditingkatkan lebih lanjut, hasilnya tetap sama. Hal ini menggambarkan bahwa adanya dilema, dimana di satu sisi pegawai pada Puskesmas moderate mengharapkan jumlah pasien meningkat dengan harapan pemasukan swadana meningkat dan berimbas pada insentif mereka. Tetapi di sisi lain kekuatiran akan meningkatnya beban kerja juga menjadi pemikiran para pegawai. Memperhatikan hal ini, tentunya pemberdayaan akan lebih bijak jika memperhatikan antara rasio peningkatan jumlah pasien dengan beban kerja pegawai. Tabel Hasil Intervensi Variabel Rasio Potensi Pasien Terhadap Kepuasan Pegawai (moderate) Waktu
Simulasi 1 2.05 2.11 2.17 2.23 2.29 2.36 2.43 2.50 2.57 2.64 2.71 2.78 2.84
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Kepuasan Pegawai Simulasi Simulasi 2 3 2.05 2.05 2.11 2.11 2.17 2.17 2.23 2.23 2.29 2.29 2.36 2.36 2.44 2.44 2.51 2.51 2,59 2,59 2.66 2.66 2.72 2.72 2.79 2.79 2.86 2.86
Keterangan Simulasi 1 : Rasio Potensi Pasien 12% (awal) Simulasi 2 : Intervensi : 12%+STEP(15%, pada t5) Simulasi 3 : Intervensi : 12%+STEP (24%, pada t5)
Sumber: Hasil Simulasi Penelitian, 2006
2) 2.8
Kepuasan_Pegawai
Kepuasan_Pegawai
1) 2.6 2.4 2.2 0
3
6
Time
9
12
1 2.7 1 2.4
1 12
2.1
3 12 0
3
23
23
3
6
9
12
Time
Gambar 33 Grafik Perkembangan Kepuasan Pegawai setelah di Intervensi Rasio Potensi Pasien (moderate) (Sumber : Hasil Kajia n Penulis, 2006)
Hasil simulasi dapat disimak pada tabel dengan membandingkan nilai simulasi 1 (belum diintervensi) dengan simulasi 2 dan 3. Sedangkan pada grafik dapat disimak
194
grafik nomor 1 adalah sebelum diintervensi, dan grafik nomor 2 adalah menggambarkan intervensi 2 dan 3 (kedua grafik divisualisasikan menjadi satu gambar agar lebih efisien)
5.Hasil Simulasi Variabel Penerimaan Sebagaimana pada Puskesmas elite, rasio potensi pasien secara meyakinkan mempengaruhi penerimaan Puskesmas moderate. Berikut ini tabel nilai hasil simulasi tersebut. Peningkatan rasio potensi pasien dari 15 % menjadi 20 % dan seterusnya, terbukti berpengaruh terhadap penerimaan (swadana) hampir 80 %. Peningkatan potensi pasien dapat terjadi jika Puskesmas memperhatikan pemberdayaan kepuasan pasien, dan peningkatan kepuasan pasien terjadi jika mutu layanan juga diperhatikan. CLD dan SFD sistem kinerja ketiga Puskesmas (elite, moderate, dan slum) telah menggambarkan kausalitas hubungan ketiga variabel tersebut. Tabel 66 Hasil Intervensi Variabel Rasio Potensi Pasien Terhadap Penerimaan (moderate) Penerimaan Simulasi Simulasi 1 2 686,341,650 686,341,650 693.634.650 693.634.650 703,663,000 703,663,000 719,571,500 719,571,500 756,321,450 756,321,450 764,804,450 1,198,729,450 773,559,450 1,217,854,450 782,569,450 1,237,659,450 791,834,450 1,258,127,450 801,337,450 1,279,224,450 811,044,450 1,300,865,450 820,972,450 1,323,067,450 831,104,450 1,345,796,450
Waktu 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Keterangan
Simulasi 1 : Rasio Potensi Pasien 15% (awal) Simulasi 2 : Intervensi : 15%+STEP(20%, pada t5)
2) pemasukan
1) 800,000,000 750,000,000 700,000,000
pemasukan
Sumber: Hasil Simulasi Penelitian, 2006
1.3e9 2
1.1e9
3
6
Time
9
12
2
900,000,000 700,000,000 1 2 0
0
2
12 3
1
1
1
6
9
12
Time
Gambar 34 Grafik Perkembangan Penerimaan setelah di Intervensi Rasio Potensi Pasien (Sumber : Hasil Kajian Penulis, 2006)
195
Model Pemberdayaan Puskesmas Moderate
Berdasarkan pada temuan hasil simulasi pada Puskesmas moderate, maka dapat disusun model pemberdayaan moderate. Pada tahun 2007 (t5 – t8) prioritas pemberdayaan pertama adalah pada perbaikan mutu layanan dan kepuasan pelanggan. Variabel yang terbukti sensitif pada kedua aspek tersebut adalah rasio pasien medis. Dalam simulasi, rasio pasien medis moderate adalah dapat ditingkatkan hanya pada nilai tertinggi 120 dan nilai terendah 100 pasien setiap harinya. Saat ini Puskesmas moderate 130 hingga 200 pasien setiap harinya. Seperti halnya pada elite, terjadi work load (beban kerja), sehingga dapat dipahami jika aspek reliability dan empathy pegawai rendah (lihat IKP). Selain membenahi rasio pasien medis, pemberdayaan dapat dilakukan dengan cara memperbaiki reliability dan empathy pegawai. Pada moderate, indeks kapabilitas pegawai ditemukan rendah bila dibandingkan dengan 2 Puskesmas yang lain.
High P
Performance
K.Peg
KP ML
Low t5
Time
t 12
Gambar 35 Model Pemberdayaan Puskesmas moderate (Sumber: Hasil Kajian Penulis, 2006) Keterangan gambar: ML = Mutu Layanan (variabel sensitif adalah Rasio Pasien Medis) KP = Kepuasan Pelanggan (variabel sensitif adalah Rasio Pasien Medis) K.Peg = Kepuasan Pegawai (variabel sensitif adalah Potensi Pasien) P = Penerimaan ( variabel sensitif adalah Potensi Pasien) Tahun 2008 (t9 – t12): Prioritas pemberdayaan adalah kepuasan pegawai dan penerimaan (swadana). Kedua variabel sensitif terhadap potensi pasien. Pada kepuasan pegawai, jika potensi pasien meningkat, maka jumlah pasien akan meningkat pula, hal ini
196
akan menyebabkan beban pegawai meningkat. Pada variabel penerimaan, pengaruh potensi pasien adalah menambah jumlah pasien,yang pada gilirannya akan mendongkrak penerimaan Puskesmas dari retribusi pasien.
Skenario Pemberdayaan Puskesmas slum Pada Puskesmas slum terdapat 6 (enam) variabel (rasio obat pasien, subsidi, rasio pasien- medis, biaya program penyuluhan, dan potensi pasien, dan tingkat daya beli), yang diduga mempengaruhi sensitifitas 4 (empat) variabel base case (kepuasan pasien, kepuasan pegawai, mutu layanan, dan penerimaan). Uncertainty
Penerimaan -Subsidi -Potensi Pasien Command/Control Hierarchy
Kepuasan Pasien -Rasio Pasien-Medis -Tingkat Daya Beli
A
B
D
C
Kepuasan Pegawai - Rasio Pasien medis
Empowered Networks
Mutu layanan -BiayaPenyuluhan -Rasio Obat-Pasien -Rasio Pasien-Medis
Relative Certainty/ Predictability
Gambar 36 Penempatan Variabel Base Case Menurut Kuadran Star pada Puskesmas slum (Sumber: Diadopsi dari Model Star, 2002) Sebagaimana pada Puskesmas elite maupun moderate, keempat variabel base case selanjutnya ditempatkan pada posisi di kuadran Star sesuai dengan karakteristik kondisi lingkungan organisasi Puskesmas, sedangkan yang berbeda adalah variabel- variabel sensitifnya. Berdasarkan penempatan variabel- variabel base case pada kuadran Star tersebut, maka dapat dibangun asumsi-asumsi skenario hubungan variabel sebagai berikut:
197
1. Skenario dengan mesimulasikan perubahan variabel mutu layanan jika diintervensi oleh perubahan variabel biaya program penyuluhan, rasio obatpasien, dan rasio pasien- medis. 2. Skenario dengan mensimulasikan perubahan variabel kepuasan pasien jika diinterve nsi oleh perubahan variabel rasio pasien medis, dan tingkat daya beli 3. Skenario dengan mensimulasikan perubahan variabel kepuasan pegawai jika diintervensi oleh perubahan variabel rasio pasien medis. 4. Skenario dengan mensimulasikan perubahan variabel penerimaan jika diintervensi oleh perubahan variabel potensi pasien. Adapun hasil simulasi adalah sebagai berikut :
1. Hasil Simulasi Variabel Mutu Layanan Pada dasarnya ketiga variabel sensitif yakni biaya penyuluhan, rasio obat-pasien dan rasio pasien-medis berpengaruh terhadap variabel base case mutu layanan, namun seperti pada elite dan moderate, nampaknya pengaruh yang paling bermakna adalah variabel rasio pasien-medis. Pada intervensi terhadap peningkatan rasio pasien medis dari 129 menjadi 140 pada t5, terjadi peningkatan nilai mutu layanan yang begitu signifikan, kemudian pada simulasi berikutnya nilai rasio pasien ditingkatkan dari 129 menjadi 150, hasilnya tidak terlihat peningkatan nilai mutu layanan yang mencolok seperti pada simulasi 2 (grafik nomor 2), berarti bahwa nilai peningkatan rasio pasien medis yang paling bermakna dan dapat mengubah nilai mutu layanan adalah tidak lebih dari 140. Lebih dari nilai tersebut tidak memiliki pengaruh terhadap peningkatan mutu layanan. Pada intervensi terhadap peningkatan rasio pasien medis dari 129 menjadi 140 pada t5, terjadi peningkatan nilai mutu layanan yang begitu signifikan pada waktu t5 dan seterusnya hingga t12. Kemudian pada simulasi 3 nilai rasio pasien ditingkatkan dari 129 menjadi 150, hasilnya tidak terlihat peningkatan nilai mutu layanan yang mencolok seperti pada simulasi 2 (grafik nomor 2).
198
Tabel 67 Hasil Intervensi Variabel Rasio Pasien-MedisTerhadap Mutu Layanan (slum) Waktu
Simulasi 1 0.0611 0.0605 0.0551 0.0423 0.0284 0.0161 0.0167 0.0171 0.0175 0.0177 0.0179 0.0181 0.0181
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Mutu Layanan Simulasi 2 0.0611 0.0605 0.0551 0.0423 0.0284 0.113 0.118 0.123 0.126 0.129 0.130 0.130 0.131
Simulasi 3 0.0611 0.0605 0.0551 0.0423 0.0284 0.113 0.118 0.123 0.126 0.129 0.131 0.132 0.132
Keterangan Simulasi 1 : Rasio Pasien-Medis 129 (awal) Simulasi 2 : Intervensi : 129+STEP(140 pada t5) Simulasi 3 : Intervensi : 129+STEP (150pada t5)
Sumber: Hasil Simulasi Penelitian, 2006
mutu_layanan
2) mutu_layanan
1) 0.06 0.05 0.04 0.03 0.02 0
3
6
9
12
Time
23
23
2
9
12
0.10 0.051 2 3 0
123 3
6
Time
Gambar 37 Grafik Perkembangan Mutu Layanan setelah di Intervensi Rasio Pasien-Medis (slum) (Sumber : Hasil Kajian Penulis, 2006)
2. Hasil Simulasi Variabel Kepuasan Pasien Dua variabel sensitif yakni rasio pasien medis dan tingkat daya beli disimulasikan terhadap variabel kepuasan pasien, kedua berpengaruh, namun pengaruh yang paling mencolok perubahannya adalah rasio pasien medis, hasilnya adalah sebagai berikut. Rasio pasien medis ternyata berpengaruh pada kepuasa n pasien di ketiga Puskesmas sampel. Pada Puskesmas slum pengaruh pada perubahan nilai dari 129 menjadi 100 pada t5 dengan rumus 129+STEP(100,5) artinya jika nilai rasio pasien medis diturunkan menjadi 100, maka nilai kepuasan pasien meningkat hingga 4.58 pada t12 (lihat tabel kolom simulasi 2). Ketika intervensi ditingkatkan menjadi 140 dan seterusnya, maka nilai kepuasan pasien bergeming pada nilai tertinggi 4.60 dan tidak
199
meningkat lagi. Hal ini menunjukan bahwa kepuasan pasien berkisar pada rasio pasien medis 100 hingga 140.
Tabel 68 Hasil Intervensi Variabel Rasio Pasien-MedisTerhadap Kepuasan Pasien (slum) Waktu
Kepuasan Pasien Simulasi 2 3.68 3.76 3.84 3.90 3.95 3.98 4.09 4.20 4.30 4.38 4.46 4.52 4.58
Simulasi 1 3.68 3.76 3.84 3.90 3.95 3.98 3.99 4.01 4.03 4.04 4.06 4.08 4.09
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Simulasi 3 3.68 3.76 3.84 3.90 3.95 3.98 4.09 4.20 4.30 4.39 4.47 4.53 4.60
Keterangan Simulasi 1 : Rasio Pasien-Medis 129 (awal) Simulasi 2 : Intervensi : 129+STEP(100 pada t5) Simulasi 3 : Intervensi : 129+STEP (140 pada t5)
Kepuasan_Pasien
Kepuasan_Pasien
Sumber: Hasil Simulasi Penelitian, 2006
4.0 3.9 3.8 3.7 0
3
6
9
12
2 4.4
23
4.2
2
4.0
3 12
3.8 12 0
1
3 1
1
3 3
6
9
12
Time
Time
Gambar 38 Grafik Perkembangan Kepuasan Pasien setelah di Intervensi Rasio Pasien-Medis (Sumber : Hasil Kajian Penulis, 2006) 3. Hasil Simulasi Variabel Kepuasan Pegawai Variabel sensitif yang mempengaruhi variabel kepuasan pegawai adalah rasio pasien medis, berikut ini adalah hasilnya Intervensi yang dilakukan terhadap perubahan rasio pasien- medis dari 129 menjadi 90 pada waktu t5 dengan rumus 129+STEP(90,5) terbukti meningkatkan nilai kepuasan pegawai setelah t8 menjadi 2.29 dan pada hingga t12 menjadi 2.48. Upaya yang dilakukan dengan intervensi ditingkatkan menjadi 129+STEP(100,5) bahkan lebih besar lagi, ternyata tidak berhasil meningkatkan nilai kepuasan pegawai. Dengan demikian
200
dapat dikatakan bahwa kepuasan pegawai mencapai 2.48 jika rasio pasien medis adalah 90 hingga 100 orang per hari.
Tabel.69 Hasil Intervensi Variabel Rasio Pasien-MedisTerhadap Kepuasan Pegawai (slum) Waktu
Simulasi 1 2.05 2.07 2.10 2.12 2.15 2.18 2.21 2.24 2.27 2.31 2.35 2.38 2.42
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Kepuasan Pegawai Simulasi Simulasi 2 3 2.05 2.05 2.07 2.07 2.10 2.10 2.12 2.12 2.15 2.15 2.18 2.18 2.21 2.21 2.24 2.24 2.29 2.29 2.33 2.33 2.38 2.38 2.43 2.43 2.48 2.48
Keterangan Simulasi 1 : Rasio Pasien-Medis 129 (awal) Simulasi 2 : Intervensi : 129+STEP(90 pada t5) Simulasi 3 : Intervensi : 129+STEP (100 pada t5)
Sumber: Hasil Simulasi Penelitian, 2006 Kepuasan_Pegawai
2) Kepuasan_Pegawai
1) 2.4 2.3 2.2 2.1 0
3
6
9
12
Time
2.4 2 2.3
2 1
1
2.2 2.1 3 12 0
3
1
23
3 12 3
6
9
12
Time
Gambar 39 Grafik Perkembangan Kepuasan Pegawai setelah di Intervensi Rasio Pasien-Medis slum (Sumber : Hasil Kajian Penulis, 2006) 3. Hasil Simulasi Variabel Penerimaan Variabel sensitif yang mempengaruhi variabel penerimaan adalah potensi pasien berikut ini adalah hasilnya Intervensi yang dilakukan terhadap variabel potensi pasien dengan meningkatkan nilai potensi dari 10 % menjadi 12 hingga 15 %, terbukti mempengaruhi peningkatan penerimaan hampir 80 % pada t5, bahkan nilai cenderung meningkat pada t12 . Intervensi pengurangan nilai potensi pasien juga berakibat pada penurunan penerimaan hanya tidak begitu mencolok seperti pada intervensi peningkatan. Simulasi dihentikan, karena berapapun nilai intervensi ditingkatkan, penerimaan akan terus meningkat. Secara logika hal ini dapat dipahami.
201
Tabel 70 Hasil Intervensi Variabel Potensi Pasien Terhadap Penerimaan (slum) Penerimaan Waktu
Keterangan Simulasi 1 727.504.390 737.823.390 752.939.000 768.689.200 778.835.610 786.672.610 793.727.610 800.986.610 808.432.610 816.048.610 823.851.610 831.841.610 840.001.610
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
Simulasi 2 727.504.390 737.823.390 752.939.000 768.689.200 778.835.610 1.222.416.610 1.239.518.610 1.257.113.610 1.293.731.610 1.312.737.610 1.332.185.610 1.352.075.610 1.352.075.610
Simulasi 1 : Potensi Pasien 10 % (awal) Simulasi 2 : Intervensi : 10 %+STEP(15% pada t5) Simulasi 3 : Intervensi : 10%+STEP (20% pada t5)
Sumber: Hasil Simulasi Penelitian, 2006
1)
2) 1.5e9
pemasukan
pemasukan
850,000,000
800,000,000 750,000,000 0
3
6
9
12
Time
3 2
1.2e9
3 2
3 2
900,000,000 1 23 0
12 3
1
1
1
3
6
9
12
Time
Gambar 40 Grafik Perkembangan Penerimaan setelah di Intervensi Potensi Pasien (Sumber : Hasil Kajian Penulis, 2006)
Model Pemberdayaan Puskesmas Slum Visualisasi model dituangkan dalam kombinasi sumbu X yang menggambarkan ‘waktu’ yakni waktu dimulainya pemberdayaan (t5) hingga t12 (2 tahun ke depan), dan sumbu Y yang menggambarkan ‘tingkat kinerja’ yang paling lemah hingga yang tertinggi. Tahun 2007 (t5 – t8): Prioritas pemberdayaan pertama adalah pada perbaikan mutu layanan dan kepuasan pelanggan. Variabel yang terbukti sensitif pada kedua aspek tersebut adalah rasio pasien medis. Dalam simulasi, rasio pasien medis slum dapat ditingkatkan pada nilai tertinggi 140 hingga 150, dan nilai terendah adalah 129 pasien setiap harinya. Saat ini Puskesmas melayani 150 hingga 250 pasien setiap harinya. Puskesmas slum memiliki work load (beban kerja) paling tinggi bila dibandingkan dengan elite dan moderate. Sementara itu kondisi ini diperparah dengan temuan kinerja 202
assurance, kepuasan pegawai, kapabilitas informasi dan jumlah pegawai yang rendah. Secara garis besar pemberdayaan pada tahun pertama diarahkan pada pembenahan aspekaspek yang mendukung kapabilitas pegawai, agar mutu layanan meningkat dan kepuasan pelanggan meningkat pula.
High
Performance
P K.Peg
KP ML Low t5
Time
t 12
Gambar 41 Model Pemberdayaan Puskesmas Slum (Sumber: Hasil Kajian Penulis, 2006) Keterangan gambar: ML = Mutu Layanan (variabel sensitif adalah Rasio Pasien Medis) KP = Kepuasan Pelanggan (variabel sensitif adalah Rasio Pasien Medis) K.Peg = Kepuasan Pegawai (variabel sensitif adalah Rasio Pasien Medis) P = Penerimaan ( variabel sensitif adalah Potensi Pasien)
Tahun 2008 (t9 – t12): Prioritas pemberdayaan adalah kepuasan pegawai dan penerimaan (swadana). Kepuasan pegawai sensitif terhadap rasio pasien medis, mencerminkan ketidakpuasan atau keengganan pegawai bila jumlah pasien terus meningkat yang pada gilirannya akan menyebabkan beban kerja mereka meningkat pula. Hal ini wajar karena selama ini beban pegawai di Puskesmas slum adalah tertinggi dibandingkan elite dan moderate. Pada variabel penerimaan, potensi pasien dapat mendongkrak penerimaan swadana, namun di sisi lain akan menurunkan kepuasan pegawai. Pemberdayaan dapat diarahkan dengan cara mengimbangi peningkatan jumlah pasien dengan peningkatan jumlah tenaga medis secara kontrak.
203
Dari model pemberdayaan yang telah digambarkan pada ketiga Puskesmas, dapat disimpulkan bahwa variabel sensitif yang juga berfungsi sebagai variabel pengungkit (leverage) bagi mutu layanan dan kepuasan pelanggan yang paling berperanan saat ini dan dua tahun ke depan adalah rasio pasien medis. Sebagai variabel pengungkit, rasio pasien medis dan efek yang ditimbulkannya dapat dipertimbangkan untuk mengambil keputusan pemberdayaan Puskesmas. Artinya pemberdayaan dapat dimulai dari mana saja asal memperhatikan keterkaitan atau efek dari dinamika rasio pasien medis. Dalam konsep berpikir sistemik, dapat dijelaskan hubungan variabel arsio pasien medis dan efek yang ditimbulkannya secara kausalitas sebagai berikut : tinggi rendahnya rasio pasien medis akan mempengaruhi work load, selanjutnya work load akan mempengaruhi tingkat kapabilitas pegawai dalam melayani, tingkat kapabilitas pegawai akan mempengaruhi tingkat mutu layanan Puskesmas, selanjutnya mutu layanan akan mempengaruhi kepuasan pasien, dan kepuasan pasien akan mempengaruhi jumlah pasien, yang pada gilirannya akan mempengaruhi jumlah penerimaan retribusi/swadana, di mana hasil penerimaan retribusi diantaranya adalah dimanfaatkan untuk rekruitmen pegawai / dokter kontrak, tinggi rendahnya penerimaan akan mempengaruhi kemampuan Puskesmas untuk menyeimbangkan rasio pasien medis yang diinginkan. Rasio pasien medis terkait dengan kuantitas SDM. Keterbatasan dana subsidi yang dapat dialokasikan untuk penambahan SDM Puskesmas pada dasarnya dapat ditutupi dengan kewenangan Puskesmas untuk merekrut pegawai dengan sistem kontrak yang anggarannya diambil dari 65 % dana retribusi yang lazim disebut sebagai dana swadana. Cara lain untuk memberdayakan adalah dengan melihat efek rasio pasien medis, antara lain dengan memperhatikan kapabilitas pegawai. Aspek kapabilitas adalah hasil dari rasio pasien medis, artinya tinggi rendahnya rasio pasien medis akan mempengaruhi tinggi rendahnya kapabilitas pegawai. Pegawai yang capai karena melayani jumlah pelanggan
yang
banyak
akan
mempengaruhi
kapabilitasnya
dalam
melayani,
manifestasinya dapat terlihat pada sikap pegawai yang kurang atau tidak menyenangkan pelanggan. Mengacu pada hal tersebut, maka tidak kalah penting untuk meningkatkan kapabilitas pegawai dengan cara meningkatkan mutu pegawai dalam bekerja, antara lain dengan pembinaan dan pelatihan pegawai Puskesmas yang hingga saat ini masih
204
dipandang krus ial terutama pada peningkatan kedisiplinan, reliabilitas, responsifitas, dan empathy pegawai dalam melayani, yang ditemukan masih lemah kinerjanya. Dari informasi dengan beberapa pegawai di tiga Puskesmas sampel diakui bahwa pelatihan yang dibutuhkan yang terkait dengan peningkatan mutu layanan, dan peningkatan kemampuan pegawai masih jarang dilakukan. Kendati telah diusulkan dalam anggaran subsidi tahunan, budget untuk pelatihan tidak sampai 1 % dari anggaran keseluruhan. Respon yang begitu positif nampak ketika penulis menawarkan pelatihan mutu layanan secara cuma-cuma di beberapa Puskesmas. Ketika diberikan waktu oleh pimpinan Puskesmas, para pegawai dengan antusias mengikuti pelatihan dengan serius. Hal tersebut menunjukkan bahwa minat terhadap pelatihan yang berfungsi menyegarkan kemampuan mereka dalam melayani nampak kuat, sayang ketersediaan dana tidak mendukung. Bila disimak lebih jauh, pada mutu layanan ketiga Puskesmas, penilaian pelanggan atau masyarakat nampak terkonsentrasi pada dimensi ‘kemampuan’ dokter Puskesmas, seperti kemampuan dokter dalam mengobati, keberadaan dokter pada saat dibutuhkan pasien, dan sikap ramah para dokter terhadap pasien. Dalam hal ini dokter menjadi barometer mutu layanan Puskesmas. Dengan demik ian pemberdayaan dokter menjadi perlu untuk dipertimbangkan. Pemberdayaan di sini lebih dikaitkan dengan aspek perilaku, karena yang ditemukan adalah berkaitan dengan perilaku kerja. Secara psikologis, sikap para dokter Puskesmas terhadap pasien sangat mungkin dipengaruhi oleh kemampuan ekonomi si pasien, dan perlu diketahui bahwa sebagian besar pelanggan Puskesmas adalah kalangan menengah ke bawah. Kalangan mana adalah merupakan bagian masyarakat yang paling lemah dalam memperjuangkan hak-haknya. Dominasi dokter terhadap pasien lebih menonjol bila dibandingkan dengan dokter yang praktek di rumah sakit-rumah sakit besar dan melayani pasien kalangan atas yang lebih kritis dalam menerima layanan. Tentu bahwa ke depan hal ini harus diubah, dan perubahan sikap tersebut adalah pemberdayaan perilaku. Perubahan perilaku individu- individu dalam Puskesmas memerlukan kesiapan, artinya, pegawai dapat berubah bertumpu pada dua kekuatan, pertama, yakni kekuatan yang ada dalam individu- individu itu sendiri yang meliputi pengetahuannya, ketrampilan
205
dasar, kesadaran diri, dan toleransi terhadap ambiguitas. Bahkan terdapat bukti bahwa tingkat motivasi dan harga diri berperan penting dalam kesiapan individu untuk berubah. Kekuatan kedua adalah berkaitan dengan sistem yang meliputi budaya dan iklim kerja organisasi, serta konsekuensi-konsekuensi terhadap kegagalan maupun keberhasilan organisasi akibat perubahan. Selanjutnya dinyatakan bahwa gabungan dari faktor-faktor tersebut memberik an diskripsi mengenai rasa aman, setiap pemberdayaan pegawai masalah kesiapan dan rasa aman menjadi kunci keberhasilan. Jangan sampai pemberdayaan di satu sisi memberikan kewenangan, di sisi lain menambahkan beban. Jika yang terjadi demikian maka tidak ada rasa aman, pegawai akan cenderung menghindari perubahan sehingga pemberdayaan akan gagal, dan justru menimbulkan resistensi. Kebanyakan kasus pemberdayaan sering menimbulkan resistensi, karena para pegawai berasumsi negatif terlebih dulu terhadap setiap perubahan. Perubahan diasumsikan sebagai sesuatu yang tidak pasti (uncertainty) manfaatnya bagi mereka. Sebagian orang takut pada perubahan, karena mengancam eksistensi mereka yang sudah mapan. Penilaian baik-buruknya perubahan adalah tergantung pada manfaat secara individual bagi mereka. Dalam kasus pemberdayaan pegawai Puskesmas agar lebih responsif dalam melayani, mungkin akan menemui kendala resistensi jika pimpinan Puskesmas kurang hati-hati dalam melaksanakan perubahan bagi mereka. Dalam studi Penyuluhan Pembangunan dikenal teknik untuk menurunkan resistensi yakni dengan metode pembelajaran orang dewasa (POD). Metode POD menganggap orang-orang yang diberdayakan bukan sebagai orang yang bodoh atau lemah, melainkan justru dipandang sebagai individ u yang telah memiliki peta kognitif yang lengkap tentang pekerjaannya, sehingga posisi mereka adalah sebagai mitra sejajar yang secara lateral diberikan kesempatan untuk memberdayakan diri sendiri, dan sharing dengan pegawai yang lain, sehingga tanpa disadari tidak ada yang merasa ‘kehilangan harga diri’. Karena
Dinas
Kesehatan
memiliki
kewenangan
lebih
luas
menyangkut
pemberdayaan pegawai Puskesmas, maka seharusnya unit-unit penyelenggara pelatihan dan pendidikan di sana menjadi lebih aktif dalam memberdayakan pegawai Puskesmas. Dua perubahan perilaku dapat dilakukan, pertama perubahan skill atau kemampuan yang mengacu pada perilaku khusus sesuai yang dikehendaki dalam pelayanan – yang dapat
206
dilakukan dengan pelatihan - dan perubahan yang terkait dengan pengetahuan yang mendasar yang berisi prinsip -prinsip melayani secara berkualitas dan mengarah pada peningkatan kesadaran pegawai, yang dapat dilakukan dengan pendidikan. Menarik mengamati beberapa Puskesmas di daerah elite yang menempati sebuah gedung yang cukup megah dan dilengkapi dengan lift 4 lantai, namun sepi dari pengunjung (PKC Kelapa Gading dan Ciracas). Informasi yang diperoleh menunjukkan bahwa masyarakat sekitar enggan masuk ke Puskesmas tersebut karena dua alasan, pertama takut bahwa tarif berobat akan berbeda dengan Puskesmas lain, kedua persepsi masyarakat terhadap Puskesmas adalah bahwa Puskesmas telah berganti status sebagai rumah sakit dan berarti lebih eksklusif. Suatu hal yang dilematis yang didasari oleh stigma yang terlanjur melekat pada Puskesmas selama ini yakni sebagai pusat pelayanan kesehatan murah dan kumuh. Pilot project pembangunan Puskesmas secara berlebihan tersebut hanya merugikan pemerintah sendiri. Kedekatan Puskesmas dengan masyarakat dapat diupayakan dan lebih
bermanfaat
bila
Puskesmas
beroperasi
secara
‘merakyat’
namun
tidak
meninggalkan standar pelayanan kesehatan yang layak, disertai sikap para pegawai termasuk para dokter dan para medis yang ramah, bertanggung jawab dan handal. Tak kalah penting dalam bahasan ini adalah pemberdayaan masyarakat sebagai pelanggan Puskesmas. Kendati masyarakat sebagai pelanggan diberikan hal untuk menilai kinerja Puskesmas, tidak berarti bahwa mereka steril dari kelemahan dan kekurangan sebagai pelanggan. Beberapa ahli pelayanan publik memproklamirkan pelanggan adalah ‘raja’, bahkan tanggal 5 September diperingati sebagai Hari Pelanggan. Penghormatan terhadap pelanggan tidak akan berarti bila masyarakat pelanggan tidak mengimbangi dengan perilaku yang sesuai. Dari pengamatan yang dilakukan, pada beberapa Puskesmas terjadi penggunaan kartu miskin secara tidak wajar. Sebagaimana diketahui bahwa kewenangan mengeluarkan kartu GAKIN (Keluarga Miskin) berada di tangan Lurah, pihak Puskesmas memberikan verifikasi berdasarkan pada data BPS. Dalam praktik, kartu GAKIN banyak yang jatuh di tangan pelanggan yang bukan semestinya, terlihat selama pengamatan ada beberapa pelanggan yang secara ekonomi terlihat mampu (memakai perhiasan, menggunakan motor pribadi) tetapi menggunakan kartu GAKIN. Pihak Puskesmas seolah tidak memiliki daya dalam menghadapi
207
fenomena ini, kartu GAKIN menjadi senjata paling ampuh yang tidak mungkin untuk ditolak. Di sisi lain hal yang sebaliknya terjadi, terlihat beberapa pelanggan yang secara ekonomi nampak tidak mampu tetapi tidak memiliki kartu GAKIN karena berbagai alasan, antara lain tidak mempunyai KTP. Beberapa Puskesmas menolak memberikan layanan, namun beberapa yang lain melayani dengan baik dan gratis karena alasan kemanusiaan. Contoh perilaku pelanggan dari hasil pengamatan penulis tersebut seharusnya juga menjadi perhatian Dinas Kesehatan terkait. Sistem asuransi seperti Askes, Jamsostek, dan GAKIN mungkin memerlukan reformasi dalam sistem distribusi dan alokasi. Pendataan penduduk miskin melalui BPS kadang-kadang tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan, penduduk miskin yang sudah didata banyak yang sudah pindah karena berbagai alasan. Di sisi lain kewenangan Kelurahan untuk me ngeluarkan kartu GAKIN bagi penduduknya harus diawasi secara ketat melalui verifikasi Puksesmas secara sungguhsungguh. Pihak Puskesmas terkesan kurang peduli dengan hal ini karena beban kerja mereka sendiri sudah cukup berat, sehingga pekerjaan verifikasi dipandang menambah beban kerja. Dalam hal ini Dinas Kesehatan seharusnya mengambil alih tugas verifikasi atau memberikan tenaga khusus untuk melakukan pekerjaan tersebut, dan tidak membebankan ke Puskesmas. McKevitt (1998) mengungkapkan bahwa ‘pelanggan bukannya tidak pernah salah’ ungkapan tersebut terbukti pada kasus GAKIN yang telah diuraikan di atas. Sebagaimana Pada pelanggan internal (pegawai), maka pelanggan masyarakat juga harus diberdayakan melalui pembinaan dan pengararahan yang mampu menyadarkan masyarakat tentang partisipasi dan dukungannya terhadap setiap layanan kesehatan yang disediakan oleh pemerintah dengan cara mematuhi aturan main yang telah diterapkan. Arena yang sesuai untuk itu adalah penyuluhan. Dari data sekunder yang dihimpun, rata-rata frekuensi penyuluhan yang dilakukan oleh ketiga Puskesmas pada saat penelitian ini dilaksanakan, telah baik, yakni hampir 90 % dari yang ditargetkan yakni 60 kali dalam sebulan, dan meliputi berbagai penyuluhan kesehatan sesua i 20 Upaya Pokok Puskesmas, serta diselenggarakan baik di dalam maupun di luar gedung. Penilaian sebagian besar pelanggan terhadap program-program penyuluhan Puskesmas adalah baik, hanya pada
208
aspek ‘waktu penyuluhan’ yang kurang mengena. Kehidupan kota bes ar dengan masyarakatnya yang sibuk, diduga menjadi kendala dalam menetapkan waktu penyuluhan secara tepat dan nyaman. Mungkin yang perlu ditingkatkan dalam penyuluhan bukan frekuensinya semata, melainkan juga kualitas dari intensitas dan metode serta kualitas penyuluh. Rata-rata pegawai Puskesmas ketika ditanyakan apakah mereka pernah dibekali metode atau caracara menyuluh yang benar, jawabannya terbanyak adalah tidak pernah, sedangkan beberapa di antaranya menyatakan pernah namun sekali saja. Berarti bahwa para pegawai melakukan penyuluhan secara otodidak dan menurut pengalaman atau secara getok tular dari para pendahulunya.
SIMPULAN DAN SARAN Dari hasil temuan dan pembahasan yang telah diuraikan, berikut ini disampaikan kesimpulan dan saran sebagai berikut. Simpulan 1. Puskesmas elite memiliki kinerja lebih baik dibandingkan dengan Puskesmas moderate dan slum. Sementara Puskesmas moderate memiliki peringkat kinerja yang lebih baik dari Puskesmas slum 2. Pola atau arah kecenderungan perilaku sistem kinerja ketiga Puskesmas adalah mengacu pada hubungan variabel- variabel kinerja yang menghasilkan umpan balik negatif (Balancing) karena masih terdapat kesenjangan antara kinerja yang diharapkan dengan yang aktual saat ini. Umpan balik negatif untuk selanjutnya menjadi pertanda perlunya tindakan koreksi terhadap variabel- variabel kinerja yang masih lemah. 3. Dari struktur atau bentuk sistem kinerja Pelayanan Kesehatan ketiga Puskesmas dapat disimpulkan bahwa : a. Mutu layanan pada elite, moderate dan slum, sensitif terhadap peningkatan rasio pasien medis. Artinya peningkatan rasio pasien medis pada nilai tertentu akan menyebabkan peningkatan beban kerja, peningkatan beban
209
kerja akan menurunkan kapabilitas pegawai, penurunan kapabilitas pegawai akan menurunkan mutu layanan. b. Kepuasan pelanggan pada ketiga Puskesmas juga sensitif terhadap peningkatan rasio pasien medis. Artinya, peningkatan rasio pasien medis pada nilai tertentu akan mempengaruhi mutu layanan, mutu layanan akan mempengaruhi kepuasan pelanggan. c. Pada Puskesmas elite, kepuasan pegawai sensitif terhadap rasio insentif. Semakin tinggi insentif semakin tinggi kepuasan pegawai. Sementara pada moderate, kepuasan pegawai sensitif terhadap peningkatan potensi pasien, artinya potensi pasien menyebabkan jumlah pasien, jumlah pasien akan mempengaruhi
penerimaan
retribusi,
penerimaan
retribusi
akan
mempengaruhi kemampuan Puskesmas untuk mensejahterakan pegawai. Adapun pada slum, kepuasan pegawai sensitif terhadap rasio pasien medis, artinya rasio pasien medis akan mempengaruhi beban kerja, beban kerja akan mempengaruhi kepuasan pegawai. d. Penerimaan swadana di ketiga Puskesmas, sensitif terhadap Potensi Pasien. Semakin tinggi Potensi pasien, semakin tinggi pula Jumlah pasien, dan semakin tinggi Penerimaan Puskesmas. 4. Model pemberdayaan pada ketiga Puskesmas berbeda, pada Puskesmas elite, kinerja yang diperdiksikan dapat mengungkit pemberdayaan Puskemas pada tahun pertama adalah kuantitas dan kualitas pegawai, sedangkan pada tahun kedua adalah peningkatan insentif, dan peningkatan potensi atau jumlah pasien. Sementara pada Puskesmas moderate kinerja yang diprediksikan dapat menjadi pengungkit dalam pemberdayaan Puskesmas pada tahun pertama adalah kuantitas dan kualitas pegawai, sedangkan di tahun kedua adalah peningkatan potensi atau jumlah pasien. Pada Puskesmas slum, kinerja yang diprediksikan menjadi pengungkit dalam pemberdayaan Puskesmas pada tahun pertama adalah kuantitas dan kualitas pegawai. Sedangkan pada tahun kedua adalah masih kuantitas dan kualitas pegawai dan peningkatan jumlah pasien
210
5. Secara garis besar dapat dikemukakan bahwa kinerja utama yang mampu menjadi pengungkit pemberdayaan ketiga Puskesmas adalah perbaikan kuantitas dan kualitas pegawai terutama tenaga medis.
S aran Terkait dengan hasil penelitian, maka dikemukakan saran sebagai berikut: 1. Pada ketiga Puskesmas disarankan agar pemberdayaan dilakukan terutama pada Perspektif Pembelajaran-Pertumbuhan., di mana aspek kuantitas dan kualitas pegawai menjad i acuan. Pembinaan pegawai melalui pelatihan peningkatan ketrampilan dan pendidikan yang mengajarkan prinsip-prinsip kualitas pelayanan dipandang penting. Unit pendidikan dan pelatihan pada Dinas kesehatan diharapkan dapat mengakomodasi kebutuhan ini 2. Masalah beban kerja yang terjadi pada ketiga Puskesmas dapat menjadi masalah serius bila tidak segera diatasi. Hanya ada dua cara, yakni menambah jumlah pegawai kontrak, dan atau mengembalikan fungsi pegawai pada tempatnya. Pemisahan medis dan non medis (ad ministratif- manajerial) dipandang akan lebih memberikan peluang pada pegawai untuk secara optimal melaksanakan tugasnya. 3. Kepada Pemerintah Provinsi DKI-Jakarta khususnya Dinas Kesehatan DKIJakarta sebagai atasan Puskesmas, disarankan untuk meninjau kembali kebijakan tentang manajemen Puskesmas selama ini di mana deskripsi pekerjaan medis dan non medis kurang transparan. Bahkan untuk meninjau kembali apakah Puskesmas masih harus dikepalai oleh seorang dokter, serta, apakah sebagian besar kedudukan struktural dalam Puskesmas masih harus didominasi oleh para dokter. Ke depan disarankan agar pimpinan Puskesmas sebaiknya dijabat oleh bukan dokter, melainkan oleh sarjana kesehatan masyarakat atau yang setara. 4. Alokasi biaya penyuluhan rendah, padahal aspek penyuluhan mempengaruhi mutu layanan. Puskesmas seharusnya lebih aktif meningkatkan penyuluhan, dan tidak hanya mengandalkan anggaran subsidi pemerintah. 65 % dana retribusi yang dikelola secara langsung oleh Puskesmas merupakan sumber untuk pendanaan penyuluhan dan pelatihan, hanya sayang kewenangan penggunaan dana untuk
211
kedua pekerjaan tersebut belum diperkenankan oleh Pemerintah Daerah Provinsi DKI-Jakarta, ke depan kebijakan tersebut perlu untuk ditinjau kembali. 5. Pengukuran kinerja secara berkelanjutan adalah kebutuhan yang tidak dapat ditawar-tawar lagi, karena itu Puskesmas disarankan menindak lanjuti hasil penelitian ini secara kontinyu dan melanjutkan pengukuran kinerja pada tahuntahun berikutnya untuk memberdayakan organisasi maupun individu-individu pegawai di dalamnya.
212
DAFTAR PUSTAKA
Abbott, John, 1996 : “Sharing the City, Community Participation in Urban Management”, by Earthscan Publications Ltd, London Adi, Rukminto Isbandi, 2003 : “Pemberdayaan, Pengembangan Masyarakat dan Intervensi Komunitas ( Pengantar pada Pemikiran dan Pendekatan Praktis), Lembaga Penerbit FE-UI. Anderson, C, Gordon, 1993 : “Managing Performance Appraisal Systems”, Blackwell Publisher, Oxford, UK Antoft, Kell and Novack, Jack, 1999 : “Grassroots Democracy ”, by Hanson ColledgeDalhousie University, Nova Scotia. Aminullah, Erman, 2004: “Berpikir Sistemik, Untuk Pembuatan Bisnis, dan Ekonomi, Peneribit PPM, Jakarta
Kebijakan Publik,
Armstrong, Michael, and Murlis Helen, 1998 : “Reward Management, a Handbook of Remuneration Strategy and Practice ”, Kogan Page Limited, London Armstrong, Michael, 1997 : “Managing People” , by Kogan Page, Limited, London Armstrong, Michael, and Baron, Angela, 1998 : “Performance Management, the New Realities”, by IPD House, Camp Road, London Aronson, Richard,J , 1985 : “Public Finance”, by McGraw Hill Book Company, New York, USA Balk, L. Walter, 1996 : “ManagerialReform and Professional Empowerment in The Public Service” , Quorum Books Publishers, USA Bauer, Joel, and Levy Mark, 2004 : “How to Persuade People Who don’t Want to be Persuaded”, by John Weley and Sons, Inc, USA Berman, M.Evan, et al, 2001 : “Human Resource Management in Public Service”, SAGE Publication Inc, London Bingham, D.Richard, et al, 1991 : “Managing Local Government, Public Administration in Practice” , SAGE Publication, London Boulter, Nick; Dalziel, Murray; and Hill, Jacki,1995 :“People and Competencies, theRoute to Competitive Advantage”, by Jossey-Bass, San Fransisco
213
Bramley, Peter, 1996 : “Evaluating Training Effectiveness”, by Mac-Graw Hill Publishing Company, London Bryson, John M, 2004 : “Strategic Planning for Public and Nonprofit Organizations”, Jossey-Bass, San Francisco. Brown, A.Stanley, 1995 : “What Customers Value Most”, by John Wiley and Sons, Canada Campbell, Andrew, and Luchs, Sommers Kathleen, 1997 : “Core Competency – Base Strategy” , by Thomson Business Press, London Chapman, David, and Cowdell, Theo,1998 : “New Public Sector Marketing”, By Financial Times Pitman Publishing, Great Britain. Checkland, Peter, 1999 : “Soft Methodology: a 30 – Year Retrospective” , by John Wiley and Sons, Ltd, New York, USA Clarke, Thomas and Clegg Stewart, 1998 : “Changing Paradigms, the Transformation Of Management Knowledge for 21 stCentury”, by Harper CollinsBusiness Publishers, London Creswell, W. John, 1994 : “Research Design, Qualitative and Quantitative Approach” by SAGE Publication, Ltd, UK Denhardt, B, Robert, 1984 : “Theories of Public Organization ”, by Brook/ Cole Publishing Company, USA Downs, George,W and Larkey,D,Patrick, 1986 : “The Search for Government Efficiency, from Hubris to Helplessness”, MacGraw Hill Inc, USA Dunleavy, Patrick, 1991 : “Democracy, Bureaucracy and Public Choice ”, by Harvester Wheatsheaf Publishers, New York Edvinsson, Leif, and Malone,S.Michael, 1997 : “Intellectual Capital, Realizing You Company’s True Value by Finding its Hidden Roots”, Harper Business Publisher, New York Eliassen,A.Kjell and Kooiman, Jan, 1993 : “Managing Public Organization” , By Sage Publications, London. Farnham, David and Sylia Horton, 1993 : “Managing The New Public Services” , By the Macmillan Press LTD, London. Fahey, L and R.M Randall, 1998 : “Learning from the Future. Competitive Foresight Scenario”, John Wiley and Sons, Inc. New York, USA.
214
Fitz-enz, Jac, 2000 : “The ROI of Human Capital, Measuring the Economic Value of Employee Performance” , AMACOM, Publisher, USA Gilley, W, Jerry, et al, 1999 : “The Performance Challenge ”, Perseus Books, Cambridge, Massachusetts. Gilley, W.Jerry, and Maycunich, Ann, 2000 : “Beyond the Learning Organization” , Perseus Books Group, New York Gilley, W.Jerry, and Maycunich, Ann, 2000 : “Organizational Learning Performance And Change, an Introduction to Strategic Human Resources Development”, Perseus Books Group, New York Gill, John and Johnson,Phil, 2002 : “Research Methods for Managers”, by SAGE Publication, Ltd, UK Gray, Clive, 1994 : “Government Beyond The Centre, Sub-National Politics in Britain” , Macmillan Press, Ltd, London. Gronroos, Christian, 1990 : “Service Management and Marketing, Managing the Moment of Truth in Service Competition”, by Lexington Books, Canada Gupta, Kavita, 1999 : “ A Practical Guide to Needs Assessment” , Jossey-Bass A Wiley Company, San Fransisco Habbel, Rolf, 2002 : “The Human Factor, Management Culture in a Changing World”, by Palgrave, Macmillan, New York Hradesky, Jack, 1995 : “Total Quality Management Handbook ”, Mac-Graw Hill Inc, USA Hughes, E. Owen, 1994 : “Public Management and Administration, an Introduction”, by St Martin Press, London Ingraham,W.Patricia and Romzek S.Barbara, 1994 : “New Paradigms for Government Issues for the Changing Public Service”, by Jossey-Bass Inc, Publishers,San Fransisco. Irawan, Prasetyo, 2004 : “Logika dan Prosedur Penalties”, Penerbit, LAN-Jakarta Ivancevich, John, M, 2003 : “Human Resource Management”, McGraw Hill, New York, USA Jick, Todd,D and Peiperl, Maury A, 2003: “Managing Change, Cases and Concepts”, By Irwin McGraw-Hill, Boston
215
Kaplan,S.Robert, and Norton,P.David, 1996 : “Balanced Scorecard, Translating Strategy Into Action”, by President and Fellows of Havard College, USA Kaplan,S.Robert, and Norton,P.David , 2004 : “Strategy Maps, Converting Intangible Into Tangible Outcomes” , by Harvard Business School Publishing Corporation, USA Karim, Abdul Rais Muhammad, 1999 : “Reengineering the Public Service Leadership And Change in an Electronic Age” , by Pelanduk Publications, Malaysia LaBonte, J. Thomas, 2001 : “Building a New Performance Vision”, by the American Society for Training and Development, USA Lane, Jan-Erik, 1997 : “Public Sector Reform, Rationale, Trends, and Problem ” , SAGE Publications, London Leach, Steve ; Stewart, John ; and Walsh, Kieron, 1994 : “The Changing Organization and Management of Local Government”, by Macmillan Press, Ltd, London Lovell, Roger, 1994 : “Managing Change in the New Public Sector”, Published by Longman, London Lovelock, Christopher, 1994 : “Product Plus, How Product + Service = Competitive Advantage, McGraw Hill Intrenational Edition, Singapore Maani, E. Kambiz and Cavana, Y.Robert, 2000 : “System Thinking and Modelling, Understanding Change and Complexity” , Prentice Hall, New Zealand. Maholtra, K Naresh, 1999 : “Marketing Research, An Applied Orientation”, Prentice Hall Inc, New Jersey McKevitt, David, 1998 : “Managing Core Public Services”, Blackwell Publishers, United Kingdom McKenna, Eugene and Beech, Nic, 1995: “The Essence of Human Resource Management”, by Prentice Hall, London, UK Mello, Jeffrey, A, 2002 : “Strategic Human Resource Management”, by South Western, USA Mintzberg, Henry, 1994 : “The Rise and Fall of Strategic Planning” , by Prentice Hall International, Limited, UK
216
Muhammadi ; Aminullah, Erman dan Soesilo, Budhi, 2001 : “Analisis Sistem Dinamis, Lingkungan Hidup, Sosial, Ekonomi, Manajemen” , Penerbit UMJ Press, Jakarta Moore, Mark H, 1995 : “Creating Public Value” , by The President and Fellows of Harvard College, USA Mueller, Dennis, C, 1997 : “Perspectives on Public Choice, a Handbook”, Cambridge University Press, USA Niven, Paul,R, 2003 : “Balanced Scorecard, Step-by-Step for Government and Nonprofit Agencies” by John Wiley and Sons,New Jersey Neuman, Lawrence, W, 1997 : “Social Research Methods, Qualitative and Quantitative Approaches” , by Allyn and Bacon, Boston, London. Norton, Alan, 1994 : “International Handbook of Local and Regional Government” by Edward Elgar Publishing Company, USA Nutle, Sandra, and Osborne, P.Stephen, 1994 : “The Public Sector Management Handbook” , Longman Group Limited, London. Olve, Goran-Nils; Roy,Jan ; and Wetter,Magnus, 1999 : “Performance Drivers, a Practical Guide to Using the Balanced Scorecard”, by John Wiley and Sons, New York, USA O’Connor, J. and Ian McDermott, 1997 : “The Art of Systems Thinking”, London, Harper Collins Publisher. Pambudy, H.R dan Adhi,K Andriyono, 2001 : “Pemberdayaan Sumberdaya Manusia Menuju Terwujudnya Masyarakat Madani”, Penerbit, Pustaka Wira Usaha Muda, Jakarta. Pinch, Steven, 1985 : “Cities and Services, the Geografhy of Collective Consumption”, by Routledge and Kegan Paul, London Pollitt, Christopher, and Harrison, Stephen, 1992 : “Handbook of Public Service Management”, Blackwell Publishers, USA Rainey, Hal,G, 1997 : “Understanding and Managing Public Organizations”, by JosseyBass Publisher, San Franscisco Ringland, Gill, 2002 : “Scenario in Public Policy ”, by John Wiley and Sons, Ltd London, UK Rooth, Gabriel, 1987 : “The Private Provision of Public Services in Developing Countries” , by the World Bank, USA
217
Rothwell, William; Hohne,K.Caroline; and King, B.Stephen, 2000 : “Human Performance Improvement, Buildin g Practitioner Competence”, Gulf Publishing Company, Houston, Texas Rosen, Doree, Ellen, 1993 :”Improving Public Sector Productivity, Concepts and Practice”, SAGE Publication, London Sachs, Jeffrey, D, 2005: “The End of Poverty, Economic Possibilities for Our Time”, By The Penguin Press, London Scheuing,E.Eberhard and Christopher William, F, 1993 : “The Service Quality Hand Book”, AMACOM, New York Schneider, Hartmut, and Libercier, Helene -Marie, 1995 : “Participatory Development from Advocacy to Action” , by OECD, Paris Schmidtz, David, 1991 : “The Limits of Government, An Essay on the Public Goods Argument”, by WestviewPress, Inc, USA Senge, M.Peter, et al, 1994 : “The Fifth Discipline Fieldbook, Strategies and Tools For Building a Learning Organizaion”, by Doubleday Dell Publishing Group Inc, New York, USA Senge, M.Peter, et al, 1999 : “The Dance of Change, The Challenges of Sustaining Momentum in Learning Organizations”, by Doubleday, Random House Inc, New York. Slamet, Margono, 2003 : “Membentuk Pola Perilaku Manusia Pembangunan”,IPB Press, Bogor. Steward,Mitchell Aileen, 1994: “Empowering People” , Pitman Publishing, London. Sterman, John, 2000 : “Business Dynamic, Systems Thinking and Modelling for a Complex World” , by Irwin McGraw Hill, New York Stoker, Gerry, 1991 : “The Politics of Local Government” , by Macmillan Education, Ltd, London. Sullivan, Patrick,H, 2000 : “Value Driven Intellectual Capital, How to Convert Intangible Corporate Assets Into Market Value”, John Wiley and Sons, Canada Supranto,J, 1997 : “Teknik Sampling Untuk Survey dan Eksperimen” , Penerbit Rineka Cipta, Jakarta
218
Tenner, Arthur,R and DeToro Irving,J, 1992 : “Total Quality Management, Three Steps to Continuous Improvement”, by Addison-Wisley Publishing Company, Canada. Tyson, Sham and Jackson, Tony, 2000 : “ The Essence of Organizational Behaviour” By Pearson Education Asia Pte.Ltd. UK Waal, de Andre, 2001 : “Power of Performance Management, How Leading Companies Create Sustained Value” , John Wiley and Sons, Inc, USA Warren, Kim, 2002 : “Competitive Strategy Dynamic” , John Wiley and Sons, New York, USA Whetten, David, 2000 ; Cameron, Kim.S ; and Woods, Mike : “Developing Management Skills, for Europe”, by Pearson Education Limited, England Wilson, John and Hinton, Piter, 1993 : “Public Services and The 1990s : Issues in Public Service Finance and Management, Great Britain by Tudor Business Publishing Limited Zeithaml, Valarie, A ; Parasuraman, A : and Berry, Leonard, L, 1990: “Delivering Quality Service, Balancing Customer Perceptions and Expectations” , by The Free Press, Macmillan, Inc, New York.
PENELITIAN- PENELITIAN Penelitian Tentang : Kinerja Pemerintah Daerah Kota (Studi Awal Tentang Kinerja Pemerintah Daerah Kota Dilihat dari Kualitas Pelayanan di Bidang Kesehatan, Pasar, dan Ijin Mendirikan Bangunan), Tim Peneliti Pasca Sarjana FISIP -UI, 2001. Penelitian Tentang : Kepuasan Pelanggan Puskesmas di Kota Bandung, Tim Peneliti dari Bandung Institute of Governance Studies / BIG, 2001. Penelitian Tentang : Kinerja Pelayanan Puskesmas di Indonesia, Tim Peneliti MENPAN dan Deutsche Gesellschaft Technische Zusammenarbeit/GTZ, 2003
UNDANG-UNDANG DAN PERATURAN PEMERINTAH Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1990 tentang Susunan Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Negara Republik Indonesia Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan
219
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah Keputusan Menteri dalam Negeri Nomor 23 Tahun 1994 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja Pusat Kesehatan Masyarakat. Surat Keputusan Gubernur Kepala Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 3229 Tahun 1999 tentang Standarisasi Pelayanan Kesehata n Pada Puskesmas di Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Peraturan Daerah Khusus Ibukota Jakarta Nomor 3 Tahun 1999 tentang Retribusi Daerah. Keputusan Gubernur Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta, Nomor 43 tahun 2000 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengelolaaan Administrasi Keuangan Puskesmas sebagai Unit Swadana Daerah. Surat Keputusan Gubernur Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Puskesmas Swadana di Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Naskah Kebijakan Dasar Puskesmas (Menuju Indonesia Sehat 2010) oleh Direktorat Jenderal Bina Kesehatan Masyarakat Departemen Kesehatan RI, tahun 2003
DOKUMEN-DOKUMEN Salinan dokumen ‘Laporan Tahunan Puskesmas Kecamatan Kebayoran Baru tahun 2005’ Salinan dokumen ‘Laporan Tahunan Puskesmas Kecamatan Kalideres tahun 2005’ Salinan dokume n ‘Laporan Tahunan Puskesmas Kecamatan Kemayoran tahun 2005’ Salinan dokumen ‘Standarisasi Pelayanan Puskesmas di DKI-Jakarta tahun 1999’
BAHAN BACAAN DARI INTERNET A.Ilker Soydan : http//www. Siemens.com ( Investigating the Effect of Account Receivable and Delivery Delay on the Profitability of a Medical Departement, Siemens Case) Henk akkermans and Kim van Oorschot , Eindhoven University of Technology Department of Technology Management :
[email protected] , and
[email protected] ( Developing a Balanced Scorecard with System Dynamics)
220
Rueylin HSIAO, Assistant Professor Department of Decision Science NUS Business School, National University of Singapore :
[email protected] (Modelling Meaning, Not Variables: Towards an Interpretative Modelling of System Dynamics) Frank Scoeneborn, Heidelberger Druckmaschinen AG-Germany :
[email protected] (Linking Balanced Scorecard to System Dynamics)
221
222
LAMPIRAN 1 Gambar CLD dan Umpan Balik R1-R4 dan B1-B8
LAMPIRAN 2 Persamaan Simulasi Komputer (Powersim)
LAMPIRAN 3 Data Inisial Stock Flow
LAMPIRAN 4 Data Validitas Instrumen
LAMPIRAN 5 Validasi Statistik Model
LAMPIRAN 6 Kuisioner
LAMPIRAN 7 Data Pendukung Tipologi Puskesmas