Revolusi Senyap 1945 http://sinarharapan.co/news/read/140816081/revolusi-senyap-1945-span-span-
16 Agustus 2014 14:31 Fransisca Ria Susanti/Vidi Batlolone Politik
Indonesia diproklamasikan tanpa hiruk-pikuk. ”Apabila dahulu aku katakan bahwa Indonesia akan merdeka sesudah jagung berbuah, sekarang dapat dikatakan Indonesia akan merdeka sebelum jagung berbunga.” Pernyataan itu diucapkan Soekarno di depan para pemuda dan publik yang menunggunya di Lapangan Terbang Kemayoran, Selasa, 14 Agustus 1945. Hari itu, Soekarno, Muhammad Hatta, dan Radjiman Wedyodiningrat baru mendarat dari Dalat, kota yang berjarak 300 kilometer (km) dari Saigon, markas besar tentara Jepang di Asia Tenggara. Mereka usai bertemu Jenderal Terauchi, sang panglima. Pertemuan Terauchi dengan tiga pemimpin Indonesia itu berlangsung pada 12 Agustus 1945, bertepatan dengan hari ulang tahun Hatta. Dalam pertemuan yang berlangsung sekitar sejam itu, Terauchi mengatakan, pemerintah Jepang akhirnya memberi kemerdekaan untuk Indonesia. Soal waktu pelaksanaan kemerdekaan, terserah Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Lembaga ini merupakan kelanjutan Badan Penyelidikan Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) bentukan Jepang. Radjiman pernah menjabat sebagai Ketua BPUPKI, lembaga yang dibubarkan pada 7 Agustus 1945, dua 1
hari sebelum berangkat ke Dalat. Soekarno dan Hatta adalah Ketua dan Wakil Ketua PPKI. Setahun sebelum Terauchi menyampaikan keputusan itu pada 7 September 1944, Perdana Menteri Jepang, Kuniaki Koso mengatakan, “Indonesia akan memperoleh kemerdekaan pada kemudian hari.” Kemerdekaan Indonesia telah disiapkan. “Kemerdekaan tidak perlu direbut, tapi hanya diselenggarakan,” tulis Hatta dalam bukunya Sekitar Proklamasi 17 Agustus 1945. Tapi, “penyelenggaraan” ini bukan hal yang mudah. Di sinilah tarik-menarik urusan cara menyatakan kemerdekaan antara “kelompok tua” dan “kelompok muda” menjadi ciri khas “revolusi Indonesia”. Ini merupakan sebuah tarik-menarik yang akan menunjukkan, kemerdekaan itu bukan “hadiah”. Sejarawan Rushdy Hoesein dan JJ Rizal melihat, proklamasi adalah kecerdasan para pemuda bangsa memanfaatkan situasi kekosongan kekuasaan. “Konsep Indonesia merdeka adalah gelora revolusi kita,” ujar Rushdy. Gelora ini memang tidak gegap gempita, tapi mampu mengompromikan jalan co-operation yang yang ditempuh Soekarno-Hatta dan jalan non-cooperation yang ditempuh para pemuda. “Sebetulnya kalau melihat gerakan pemuda sejak 1930-an, kelompok co-operation dan non-cooperation ini selalu bersama. Jadi, jangan dipikir yang co-operation seolah tak radikal,” tutur Rizal. Ini agaknya menjelaskan alasan Soekarno dan Hatta tak melawan ketika kelompok pemuda yang tergabung dalam Menteng 31, dipimpin Sukarni dan Chairul Saleh, “menculik” mereka ke Rengasdengklok. Soekarno-Hatta menghargai gelora para pemuda yang tak menginginkan kemerdekaan Indonesia “berbau” Jepang. Mereka mengiyakan saja “penculikan” itu, meskipun sebenarnya sudah berencana memproklamasikan kemerdekaan Indonesia bersama delegasi PPKI yang akan rapat di Hotel des Indes, pada hari yang sama ketika para pemuda “menculik” mereka. Ini memang soal cara. Mereka ingin melihat juga membuktikan, apakah cara mereka atau cara para pemuda yang lebih efektif menyampaikan kabar merdeka, tanpa kehilangan
2
muka terhadap Jepang, tanpa kena basmi sekutu, dan—ini yang terpenting—tanpa menumpahkan darah rakyat lebih besar. Rushdy bahkan menyebutkan, Rengasdengklok adalah “drama.” Meskipun dalam kesaksiannya, Hatta menyampaikan, baik ia maupun Soekarno tak mengharapkan “penculikan” itu. Rizal berpendapat, turutnya Soekarno-Hatta dengan ajakan Sukarni dan kawan-kawan lebih ke kepercayaan yang dimiliki dwitunggal tersebut terhadap para pemuda. Beberapa memoar menyebutkan, Soekarno-Hatta dipaksa pemuda mempercepat proklamasi kemerdekaan hingga dibawa ke Rengasdengklok karena keduanya belum yakin Jepang kalah perang dan menyerah kepada sekutu. Namun pengakuan Hatta, ia dan Soekarno telah tahu kabar ini sejak mereka transit di Singapura, sepulang dari Dalat, kemudian diperkuat saat pertemuan dengan para pemimpin Jepang di Istana Jakarta pada 14 Agustus 1945. Hatta juga telah menyiapkan rapat PPKI pada 16 Agustus 1945, sebagai hari pernyataan proklamasi dibacakan dengan bukti bahwa ia telah mengetik naskah proklamasi pada malam 15 Agustus 1945, saat dijemput Ahmad Subarjo pergi ke rumah Soekarno, sebelum “diculik” keesokan harinya. Akhirnya, ini memang soal cara. Para pemuda membutuhkan gelora. Proklamasi harus dibacakan seorang pemimpin rakyat yang berdiri gagah di depan corong radio, di hadapan ratusan ribu rakyat di sebuah lapangan terbuka, dengan kibaran bendera, dan pekik merdeka yang gagah. Kalau “panggung” seperti itu membuat tentara Jepang geram, rakyat sudah siap dengan bentrokan. Sederhana Namun, proklamasi ternyata tidak berjalan segagah yang dibayangkan anak-anak muda yang penuh gairah. Proklamasi berjalan sangat sederhana. Namun, ada kompromi yang akhirnya berhasil dibuat. Proklamasi itu bukan proklamasi versi PPKI, tapi versi rakyat Indonesia. Memang tidak di lapangan terbuka yang dihadiri ratusan ribu orang, tapi setidaknya sang proklamator membacakannya di depan corong mikrofon atas nama rakyat Indonesia, dengan diiringi penaikan bendera merah putih dan lagu “Indonesia Raya”.
3
Semua itu mungkin terjadi setelah Soekarno dan Hatta mendapati bahwa Jepang ingkar janji. Itu persis saat Hatta hampir yakin bahwa orang Jepang memiliki spirit samurai yang selalu memegang teguh janji. Karena itu, di rumah Laksmana Tadashi Maeda, sepulang mereka dari “wisata” Rengasdengklok juga pertemuan dengan Mayjen Nishimura yang mengingkari janji Jepang, Soekarno dan Hatta mengompromikan “cara” menyatakan kemerdekaan Indonesia dengan para pemuda. Tak ada lagi cara Jepang, tapi juga bukan cara yang menuntut pengorbanan rakyat yang besar. Kemerdekaan, bagi Soekarno dan Hatta, butuh napas panjang, bukan gerakan heroik sekali gebrak yang kemudian tersengal-sengal saat harus mempertahankannya dari sekutu yang bakal tak bisa terima ada gerakan politik saat negara vakum kuasa. Di rumah Maeda, sebelum rapat besar digelar, Soekarno bersama Hatta, Ahmad Subardjo, dan Sayuti Melik membuat pertemuan kecil guna menyusun teks proklamasi. Tidak ada seorang pun di antara mereka, menurut Hatta, yang mempunyai teks resmi yang dibuat 22 Juni 1945. Jadilah Soekarno meminta Hatta menyusun teks ringkas proklamasi. Hatta mendikte dan Soekarno yang menuliskannya dengan tangan. Menurut Rushdy dan Rizal, teks tersebut mirip dengan yang selama ini sudah dirancang tim BPUPKI. Namun yang menarik dari penyusunan teks tersebut, Rizal menyatakan, menunjukkan kelihaian dan ketangkasan berbahasa Hatta sebagai seorang politikus. Dengan kalimat-kalimat yang digunakan untuk menyusun teks itu, menurut Rizal, Hatta berhasil menjaga sensitivitas seruan kemerdekaan agar tidak menyinggung Jepang. Tapi, ia pun sukses menyusupkan spirit radikal dalam naskah tersebut. Istilah “pemindahan kekuasaan” yang menggantikan “penyerahan kekuasaan” bermakna kuat. Istilah “diusahakan” yang kemudian diganti “diselenggarakan” pun sama. Menurut Rizal, bukan tidak mungkin istilah “pemindahan” ini kemudian ditafsir para pemuda sebagai pelucutan senjata dan mengusir bala tentara Jepang serta sekutu pascaproklamasi dikumandangkan. Dalam naskah aslinya, tulisan tangan Soekarno yang berhasil diselamatkan BM Diah dari tong sampah—usai diketik Sayuti Melik— kemudian disimpan DN Aidit sebelum dikembalikan ke Arsip Negara, istilah “pemindahan” ini ditulis Soekarno setelah
4
mencoret dua kata lain sebelumnya. Salah satunya adalah kata “penyerahan.” Selanjutnya kita tahu apa yang terjadi. Proklamasi dikumandangkan dengan singkat dan sederhana. Sosialisasi kemerdekaan yang dilakukan di daerah-daerah melalui rapat-rapat umum berlangsung tanpa huru-hara. Bahkan rapat raksasa di Lapangan Ikada pada 19 September 1945 yang dihadiri sekitar 200.000 orang berjalan damai, tanpa bentrok fisik hanya karena Soekarno berhasil meyakinkan rakyatnya, juga meyakinkan tentara Jepang bahwa pemerintah Indonesia tahu cara mengurus “merdeka”. Soekarno, Rizal berpendapat, rela mempertaruhkan seluruh reputasinya karena ia berpegang bahwa kekerasan tak akan menyelesaikan masalah. Hal ini bukan berarti Soekarno lembek dan menunjukkan ia kolaborator Jepang. Ini lebih kepada pemahaman Soekarno dan para pendiri bangsa lainnya, bahwa ketika ada penderitaan yang besar, rakyatlah yang harus menanggung. Ia tak mau hal itu terjadi. “Bagi Soekarno, jika ada yang harus dikorbankan, itu bukan rakyat, tapi elite,” ujar Rizal. (Ida Rosdalina/Dany Putra) Sumber : Sinar Harapan
5