Keberpihakan dan kecendrungan terhadap suatu pendapat menjadi tabir yang menghalangi pandangan seseorang untuk dapat meniliti. (Ibnu Khaldun)
# 01 Januari - Februari
2015
NOBAR SENYAP
GAGAL TOTAL
Kalian, orang-orang beradab semuanya pengecut! Orang hebat tak akan pernah memperlihatkan penampilan luar seseorang. Mereka meninjau hatinya. (Narayan Hemchandra)
Manusia lebih merupakan anak zamannya, daripada anak bapaknya. ( Marc Bloch)
Surat Pembaca Salam perjuangan! Perkenalkan nama saya Wildan, tinggal di Ringinharjo, Bantul. Saya membaca majalah terbitan PUSHAM UII secara tidak sengaja. Waktu itu saya berkunjung ke rumah seorang teman di daerah Mergangsan, Yogyakarta. Saat duduk di teras rumah, saya melihat ada 4 majalah terbitan PUSHAM UII. Setelah itu saya ambil dan membacanya. Ternyata isinya sangat menarik sekali karena mengangkat isuisu tentang masalah sosial, keamanan dan hak asasi manusia. Majalah seperti ini sangat membantu masyarakat untuk bisa
mengetahui dan memahami berbagai isu yang sedang hangat dibicarakan. Harapan saya majalah ini bisa dibaca oleh masyarakat secara luas, sehingga pengetahuan tentang isu-isu di atas bisa di ketahui oleh khalayak. Oh ya, sekedar usul. Bagaimana kalau disisipkan juga cerita bergambar, sehingga isi majalah bisa lebih bervariatif? Wildan, Bantul
Halo…PUSHAM UII. Mau usul, nih. Boleh, kan ? Tolong, dong, dibahas secara detail dan mendalam tentang hak anak. Saat ini negara kita kan sedang mengalami “darurat kekerasan terhadap anak”. Setiap tahun kasus kekerasan terhadap anak selalu meningkat. Ini menimbulkan keprihatinan kita semua. Anak yang menjadi harapan untuk meneruskan estafet perjuangan bangsa malah direnggut masa depannya. Jika memungkinakan, sertakan pula
Mohon diulas tentang menjamurnya pembangunan hotel-hotel dan mal yang cukup meresahkan warga kota Jogja. Keberadaan hotel memang menunjang sektor pariwisata, dan Yogyakarta masih menjadi salah satu ikon tujuan wisata baik wisatawan domestik maupun mancanegara. Tapi pada sisi yang lain, keberadaan hotel dan mal sangat mengganggu kehidupan warga di sekitarnya.
berbagai instrumen hukum tentang hak-hak anak, baik nasional maupun internasional. Aku tunggu terbitannya, ya? Sri Indah Dewi, Purworejo
Pompa-pompa air milik hotel dan mal menguras sumber air milik warga secara mengerikan. Debit air di sumur warga semakin menyusut. Warga resah akan terjadi kekeringan, bila masalah ini tidak segera diselesaikan. Salam. Muhammad Rifqi, Rejowinangun.
DAFTAR ISI EDITORIAL < 02 > Pembuat Perubahan Itu Punya Tanda Lahir Kemerahan LAPORAN UTAMA < 05 > Nobar Senyap Gagal Total < 10 > Kisah Mamik dari Balik Jeruji Besi < 16 > Film Senyap yang Tak Lagi Senyap < 24 > Dokumen ini Terlalu Kuat untuk Tidak Disaksikan < 26 > Senyap adalah Penegasan Optimisme Mengenai Rekonsiliasi
WAWANCARA < 30 > Surawan, Kapolres Bantul. Baik yang Pro maupun yang Kontra, Semua Punya Hak < 32 > Pipit Ambarmirah, Penggiat Hak Asasi Manusia. Bagi Sebagian Korban, “Bungkam” adalah Cara Bertahan Hidup TOKOH < 35 > Pulihkan Hak dan Kehormatan para Korban
TAGAR < 38 > Kicauan Senyap di Dunia Maya RESENSI < 40 > Panduan dalam Menyikapi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan PERSPEKTIF < 43 > Rekonsiliasi dan Medan Perebutan Makna
PRANALA, Edisi Januari-Februari 2015
1
Editorial
PEMBUAT PERUBAHAN ITU PUNYA TANDA LAHIR KEMERAHAN
Oleh: Puguh Windrawan
Anda masih ingat sosok ini; Mikhail Gorbachev? Sosok yang kemudian menjadikan Uni Soviet lebih terbuka dengan menerima ide-ide liberalisasi. Mantan Presiden sekaligus orang yang pernah menjabat sebagai Sekretaris Jenderal Partai Komunis Uni Soviet ini punya sejarah yang melegenda, setidaknya di mata orang Barat. Dilematis, karena ia dianggap sebagai bapak pembaharu pemikiran di negaranya, namun di lain sisi ia dianggap sebagai pemicu keretakan sehingga Uni Soviet terpecah belah. Uni Soviet era lama yang digambarkan begitu menakutkan telah berubah menjadi mahluk baru, meski saat ini, terkadang masih mempertahankan ide lamanya.
N
amanya; Rusia. Ada yang khas dari pria yang lahir pada tahun 1931 ini. Selain kacamata tebal dan tubuh cenderung gemuk, serta pendek untuk ukuran orang Barat, ternyata ada ‘tanda lahir’ kemerahan yang senantiasa merangsak di kepalanya yang setengah botak. Penanda, yang saya yakin membuat ia gampang dikenali, meski ia berjalan di kerumunan ribuan orang. Tak banyak yang begini. Tak banyak orang yang memiliki tanda lahir di kepalanya. Meski menarik perhatian, saya tak akan membahas tanda tanda lahir itu. Saya lebih suka melihat apa yang ia lakukan. Bicara mengenai Gorbachev, maka banyak sejarawan akan memaknainya sebagai perubahan yang radikal. Seakan begitu tiba-tiba dan tak ada yang menyangka bahwa Uni Soviet kala itu akan berubah. Perubahan yang membuat permusuhan antara dua kutub; Uni Soviet dan Amerika Serikat, menjadi mencair meski untuk sementara. Tak mudah untuk membuat pilihan agar Uni Soviet berubah. Perubahan, apalagi perubahan paradigma, tidak selalu mudah. Tidak ada makan siang yang gratis dan semua perlu perjuangan. Ada pergorbanan di sana dan semuanya tentu punya konsekuensi-konsekuensi yang harus dijalankan. Pilihan, bagi Gorbachev tidaklah mudah. Ia akan mer-
2
PRANALA, Edisi Januari-Februari 2015
ubah sejarah, ia akan merubah pandangan, maka ia menjadikan dirinya sebagai pendobrak perubahan itu. Selintas, persepsi ini muncul bagi mereka yang mendukung kebijakan anak seorang mekanik ini. Namun, bagi mereka yang tidak menyukainya, kebijakan Gorbachev tak lebih sebagai olok-olok kekalahan komunis yang menyedihkan. Harga yang harus dibayar Gorbachev memang mahal. Selepas itu, ia tak pernah lagi bisa memimpin negaranya. Kalah dalam pemilihan Presiden selanjutnya. Namun, setidaknya, ia berusaha melepaskan bayang-bayang semu demi kenyamanan masyarakatnya. Siapa yang tidak bergidik ngeri membayangkan kedua negara; Uni Soviet dan Amerika terlibat perang nuklir? Siapa yang akan menjadi korban, jelas rakyat masing-masing negara! Bukan itu yang menjadi pilihan Gorbachev, ia lebih memilih mengalah meski bukan untuk menuai kekalahan. Meski memang banyak juga orang yang mengatakan ini sebagai sebuah kekalahan murni. Kecelakaan sejarah bagi Uni Soviet. Benarkah demikian? Meski ia menawarkan keterbukaan yang lekat dengan prinsip demokrasi, yang kemudian dianggap lebih menjurus pada kekalahan terhadap paradigma yang ditawarkan Amerika, namun
bukan berarti ia bertekuk lutut. Pria ini tetap punya idealisme terhadap negaranya. Acapkali, tuduhan kekalahan komunis terhadap lawan-lawannya, diimbanginya dengan keteguhannya dalam bersikap. Ia tetap mensejajarkan Uni Soviet secara sepadan dengan Amerika, bukan sekedar sebagai pengikut setia. Ia tampilkan ini di muka umum. Ia tampilkan kenyataan ini lewat pidatonya di hadapan pemimpin dunia di Forum Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB). Ia berseru,”Tidak ada yang berniat meremehkan bahayanya perseteruan, dan rumitnya segala permasalahan yang sampai sekarang belum terselesaikan. Namun, kita telah sama-sama telah lulus dari sekolah dasar pelatihan tentang kesepahaman dan pencarian solusi tanpa melanggar kepentingan masing-masing. Uni Soviet dan Amerika Serikat telah menciptakan gudang peluru kendali terbesar, namun setelah menyadari tanggungjawab mereka, maka mereka menjadi pelopor dalam menandatangani persetujuan tentang pengurangan dan pemusnahan fisik sebagai senjata itu, yang telah membahayakan diri mereka sendiri dan orang lain”.1 Negara, bagi Gorbachev, bukan didudukkan sebagai lembaga yang terpisah dengan rakyatnya. Ia tidak bisa berdiri sendiri, seolah tercerabut dari akarnya. Pilihan yang dilakukan adalah pilihan yang rasional. Tidak mungkin terus menerus untuk saling bermusuhan. Ini tidak baik bagi rakyat yang kala itu sedang dipimpinnya. Ia berbaik sangka dengan negara adikuasa lainnya, dengan mendudukkan perdamaian sebagai salah satu pilarnya. Sebuah pilihan yang sulit telah ia lakukan, meski ia harus menerima kenyataan bahwa ia dicerca sebagai penganut paham liberalisme
oleh lawan-lawan politiknya. Gorbachev menemukan kenyataan bahwa memilih adalah sebuah tindakan yang penuh dengan pemikiran canggih dan futuristik. Memilih berdamai daripada berseteru, meski fakta sejarah telah mengatakan sebaliknya. Sejarah telah menggambarkan bahwa perseteruan dua negara ini menghiasi pola pikir selama bepuluh-puluh tahun. Beranak pinak di pikiran sebagian besar masyarakat di dunia. Gorbachev melakukan perubahan. Maka, bagi ia yang melakukan perubahan adalah ia yang menciptakan sejarah. Meski untuk itu ia harus membayarnya secara mahal, tak pernah bisa kembali memimpin negaranya, terlepas apakah ia membuat perubahan tersebut. Tidak semua orang bisa mengerti bagaimana ia telah berjuang untuk memperkecil jurang perbedaan. Sebagian orang menyatakan, ini adalah kekalahan sebuah negara adikuasa terhadap negara adikuasa yang lain. Ini bukan sekedar perubahan. Ini adalah persoalan siapa yang harus mempimpin dan siapa yang layak dijadikan bahan cercaan. Selepas perubahan yang dilakukan Gorbachev, setidaknya dunia perfilman Amerika menjadi berubah. Dalam segala action dan tetek bengek spionasenya, tak lagi menjadikan Uni Soviet sebagai bulan-bulanan. Bayangkan, tatkala Amerika dan Uni Soviet terlibat perang dingin. Berbagai film Amerika yang mampir ke bioskop Indonesia di dominasi oleh rekaman kemenangan tak masuk akal pihak Amerika. Seorang Rambo bisa menang sendirian melawan ribuan pasukan Uni Soviet. Jika saja Amerika punya 100 orang saja mirip Rambo ini, saya yakin, Amerika akan
Diterbitkan Oleh Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Islam Indonesia (PUSHAM UII) Yogyakarta Penaggung Jawab: Eko Riyadi, S.H. MH. | Pemimpin Redaksi: Puguh Windrawan, SH. MH | Reporter: Kamil Alfi Arifin, Kelik Sugiharto, Prayudha Magriby, La Arpani | Kontributor: Budi Prasetya, ST. Tri Guntur Naryawa | Fotografer: Gibran Prathisara | Layout: Arief Mizuary Alamat Redaksi/Tata Usaha: Jeruk Legi RT. 13 RW. 35 Gang Bakung No.517 A, Banguntapan, Bantul, Yogyakarta 55198 | Telpon: 0274-452032 | Fax: 0274-452158 | Website: www.pusham-uii. ac.id Email:
[email protected]
PRANALA, Edisi Januari-Februari 2015
3
Editorial
dengan mudah menaklukan dunia. Meski begitu, setidaknya nasib Gorbachev lebih baik dari pendahulunya, Leon Trotsky. Ia mati mengenaskan karena berbeda jalan dengan seorang tokoh sentral sebuah negara adikusa, Josef Stalin. Bagaimana mungkin, pilihan garis politik antara Stalin dan Trotsky bisa berakhir sedemikian rupa? Trotsky sebelumnya adalah pemuja Lenin, sebuah hal yang sama sekali tak bisa dibantah. Sebelumya, Trotsky yang bernama asli Lev Davidovich Bronstein ini, bersama-sama dengan Lenin memimpin Revolusi Oktober yang kemudian menggulingkan kekuasaan Tsar dan memproklamirkan, yang dalam bahasa Ted Sprague, sebagai negara buruh pertama di dunia.2 Sebuah pilihan politik yang sudah menjadi keyakinannya semenjak lama. Tak bisa dipenggal, karena apa yang bisa menggoyahkan keyakinan seseorang, setelah orang tersebut telah “merasa menemukan kebenaran” dalam keyakinan itu? Itulah yang terjadi pada Trotsky. Apalagi, ditengah kebenaran yang dia yakini, ia ditentang dan sempat dijebloskan di penjara oleh kekuasaan Tsar. Episode tragisnya dimulai tatkala ia berbeda pendapat dengan Lenin saat mengeditori sebuah majalah, Iskra. Meski berbeda pendapat, tak kemudian membuat dua orang ini bersitegang terus menerus. Mereka berdua saling berpegang pada kenyataan bahwa sebuah revolusi tetap butuh kerjasama. Setelah sekian lama saling bermusuhan dan berbeda pendapat, mereka berdua akhirnya bergandengan tangan. Meski gandengan tangan yang mereka lakukan ini mendapatkan kata cemburu dari tokoh antagonis yang selalu ingin berkuasa, Stalin. Namun, begitulah drama revolusi. Setiap perubahan drastis yang dilakukan sebuah negara selalu menyisakan tangis. Selain kematian rakyat, semua orang ingin selalu menjadikan dirinya pemimpin. Semua orang selalu ingin tampil di depan, seolah ingin mengatakan kepada semua orang, “Hei, tengoklah aku! Aku ini adalah pahlawan yang siap membawa kalian kepada perubahan dan kemakmuran!” Kata-kata ini juga berlaku. Setiap perubahan pasti menyisakan korban, berupa darah dagingnya sendiri. Setelah kematian Lenin, maka Stalin 4
PRANALA, Edisi Januari-Februari 2015
ingin memaksakan jalan untuk selalu berkuasa. Tak ada yang bisa mengendalikan ‘tangan besinya’ selain Trotsky. Di tangan Stalin, ideologi marxisme berjalan secara mengerikan. Menurut saya, kesalahan sejarah penguasaan pada diri Stalin-lah yang membuat ideologi ini selalu disepadankan dengan sesuatu yang menjijikkan, tak berkualitas, penuh dengan darah dan selalu terbayang konsep kediktatoran. Akhir cerita Trotsky memang berakhir tragis. Terbunuh oleh kaki tangan Stalin. Setelah sebelumnya, Stalin selalu mengarang cerita bahwa Trotsky adalah musuh sejati Lenin. Padahal sudah jelas, Lenin sebelum kematiannya selalu mengatakan bahwa dirinya dan Trostky tidak menyimpan dendam meski pernah berselisih pendapat. Kematian Trotsky adalah kematian bagi cerita Uni Soviet yang sebelumnya dengan perkasa melawan kekuatan Jerman. Pilihan jalan Trotsky untuk melawan Stalin adalah pilihan yang sudah matang. Dia tak mau serampangan menjalankan misi itu. Sebab, pertaruhannya sangat besar. Ini masalah masa depan Uni Soviet. Saya pernah membayangkan seandainya Trotsky yang berkuasa di Uni Soviet pasca kematian Lenin, mungkin cerita dunia ini akan lain. Setidaknya Trotsky adalah seorang ideolog yang mempertahankan idealismenya, dibandingkan dengan Stalin yang memerintah dengan segala cara, termasuk membunuh. Tapi mungkin, inilah cara Tuhan untuk menjadikan Uni Soviet berkaca diri. Mereka punya tokoh-tokoh yang luar biasa. Mereka yang membuat perubahan dan mempertahankannya, meski nyawa yang menjadi taruhannya. Namun sekali lagi, setidaknya Gorbachev masih bernasib baik. Nyawanya tidak melayang di tangan musuh-musuh politiknya. Sementara Trotsky dengan segala idealismenya harus terkubur oleh sejarah, meski pemikirannya masih selalu dikenang. Endnotes 1.
Pidato Gorbachev di PBB pada 7 Desember 1988 ini dikutip dari Simon Sebag Montefiore (pengantar), Pidato-pidato yang Mengubah Dunia (Jakarta: Esensi divisi Penerbit Erlangga, 2008), hlm. 205. 2. Kisah Leon Trotsky ini bersandar pada tulisan Ted Sprague, “Hidup Ini Indah: Biografi Singkat Leon Trotsky”, dalam Leon Trotsky, Program Transisional; Untuk Revolusi Sosialis dan Sejarah Internasional Keempat (Yogyakarta: Resist Book, 2012).
Laporan Utama
Nobar SENYAP GAGAL TOTAL
Dianggap sebagai pertanda kebangkitan kembali komunisme di tanah air, pemutaran dan nonton bareng (nobar) film Senyap gagal dihelat. Hal ini juga terjadi di Yogyakarta. Empat titik pemutaran, masing-masing di kantor Aliansi Jurnalis Indonesia (AJI) Yogyakarta, Fisipol UGM, Institut Seni Indonesia (ISI) dan Cafe Memoar, sama sekali tak bisa melanjutkan pemutarannya. Ada kesan polisi tidak melindungi kebebasan warganya dalam hal ini. Benarkah demikian?
Oleh: Kamil Alfi Arifin
Foto: Gibran Pathisara
PRANALA, Edisi Januari-Februari 2015
5
Laporan Utama
S
uatu siang, enam belas Desember tahun lalu. Kantor AJI di Jalan Pakel Baru, Umbulharjo, tiba-tiba kedatangan beberapa polisi. Mereka membawa satu pesan penting dan serius. Isi sangat tegas; meminta AJI tidak melakukan kegiatan pemutaran film Senyap, yang sebelumnya, memang diagendakan pada pukul tujuh malam harinya. Alasannya terletak pada soal keamanan. “(Polisi) minta kami tidak muter film itu, khawatir akan terjadi gejolak karena tuntutan pembubaran film itu. Polisi takut terjadi keributan di wilayah ini,” ujar pengurus Divisi Litbang AJI Yogyakarta, Bambang Muryanto, saat ditemui di kantornya. Peringatan polisi untuk membatalkan pemutaran film garapan Joshua Oppenheimer ini, bermula dari laporan beberapa ormas. Satu malam sebelum jadwal pemutaran film Senyap di AJI Yogyakarta, sejumlah ormas-ormas Islam, seperti Gerakan Anti Maksiat (GAM), Forum Anti Komunis Indonesia (FAKI), Front Pembela Islam (FPI) dan ormas-ormas Islam lain di bawah payung besar Forum Umat Islam (FUI), berkumpul di terminal Ngabean. Pertemuan itu khusus membahas soal film Senyap dan memutuskan untuk mencekal serta membubarkan pemutarannya. “Dari FUI, kita fungsikan untuk melakukan pembubaran,” ujar Koordinator FUI, Muhammad Fuad. Setelah pertemuan, ormas-ormas tersebut kemudian memberitahukan pada polisi melalui pesan broadcast. Mereka meminta polisi untuk membubarkan acara pemutaran film Senyap di AJI. Jika tidak, mereka akan bertindak sendiri. Sontak, mendengar laporan yang bernada ancaman tersebut, polisi langsung bertindak cepat dan mendatangi kantor AJI Yogyakarta. Usai sholat Maghrib, tepat pada jam pemutaran yang telah dijadwalkan, selain polisi, juga datang satu orang anggota FAKI dan empat orang FUI ke kantor AJI Yogyakarta. Sementara massa FUI yang lain, menunggu di luar wilayah kompleks Perumahan Melati. Fuad menyatakan ada sekitar lima ratus orang yang dikerahkan. Meski hal ini, dibantah kebenarannya oleh Bambang. “Bohong itu, tidak benar,” sanggahnya. Dengan mempertimbangkan resiko keamanan wilayah di sekitar kantor AJI Yogyakarta, akhir6
PRANALA, Edisi Januari-Februari 2015
nya mereka betul-betul menunda pemutaran film Senyap. Mengingat AJI Yogyakarta baru pindah ke kantor barunya di wilayah ini belum lama. Mereka takut menggangu dan citranya buruk di mata warga. “Kami di sini baru satu tahun,” terang Bambang. Padahal, sudah ada sekitar tiga puluhan lebih peserta yang hadir malam itu untuk menonton dan mendiskusikan film Senyap. Menurut pengakuan Bambang, setelah AJI Yogyakarta menunda pemutaran film akibat ancaman pembubaran, meraka sempat ditawari oleh polisi untuk memutar film di polres. Polisi siap memfasilitasi. Tapi besoknya, polisi berubah pikiran dan mengatakan tak ada ruangan untuk menonton film Senyap, seperti yang dijanjikan sebelumnya. Sebagai gantinya, AJI Yogyakarta ditawari memutar film Senyap di tempat yang lain, yakni di Palm Cafe. Semua biaya akan ditanggung oleh kepolisian. Hanya saja, AJI Yogyakarta menolak. Kegiatan yang dibiayai oleh aparat, tidak sesuai dan bertentangan dengan prinsip AD/ART AJI. Sampai kini, pemutaran film Senyap yang diagendakan oleh AJI belum juga terealisasi. Agenda pemutaran dan nobar film Senyap di AJI Yogyakarta bukanlah pemutaran pertama di Yogyakarta. Sebelumnya, di Taman Budaya Yogyakarta (TBY), film ini sudah pernah diputar untuk publik luas. Meski demikian, sejauh pantauan redaksi Pranala, agenda pemutaran film Senyap di AJI merupakan agenda pemutaran pertama kali yang dibubarkan. Ini kemudian diikuti pembubaran lain di tiga tempat, yakni di Fisipol UGM, ISI dan Cafe Memoar. Sementara pemutaran-pemutaran “kecil” film Senyap di tempat-tempat yang lain, lolos dari pencekalan dan pembubaran, seperti di Fakultas Hukum UII, di Kantor Lembaga Pers Fakultas MIPA UII, Linier, dan banyak tempat lainnya. ****
Kasus-kasus pembubaran film Senyap di Yogyakarta yang dilakukan ormas tertentu, dipertanyakan dan disesalkan oleh banyak pihak. Apalagi kekerasan itu terjadi dalam era keterbukaan informasi. Ini ditambah dengan kenyataan bahwa Yogyakarta dikenal sebagai kota toleran dan budaya. Muncul banyak pertanyaan. Misalnya, “Mengapa pemutaran film Senyap sampai dibubarkan? Apa yang sebenarnya ditakuti dari film Senyap?” Menurut Fuad, bagi FUI, kehadiran dan pemutaran film ini adalah salah satu tanda dari bahaya kebangkitan kembali komunisme di Indonesia. “Isu komunis bukan main-main. Satu, dua orang yang menonton, yang terdoktrin, bagi kami bahaya” tegas Fuad. Di bawah pemerintahan Jokowi ini, kata dia, isu-isu dan gerakan komunisme memang terkesan semakin diakomodir, diberikan tempat, sehingga mulai menguat dan mulai unjuk kekuataan. “Kita seperti test the water,” ujar alumni Jurusan Ekonomi UII itu. “Siapa yang menjamin mereka tidak bangkit lagi? Jangan-jangan mereka berkerudung di balik partai-partai sekuler,” lanjutnya. Oleh sebab itu, FUI tak mau kecolongan. Kelompok Islam harus siap siaga, harus bangun dan bergegas mengambil tindakan tegas. Jangan sampai komunisme kembali bangkit dan merajalela di bumi Indonesia. “Yang kita takut dari komunisme itu ajarannya, mereka anti Tuhan. Ini
masalah agama. Komunis anti Agama. Kami tidak mau mahasiswa terjerumus,” tegas dia. Fuad menegaskan, FUI memang sengaja mengambil jalur keras untuk menghadapi hal-hal yang dianggap merongrong dan membahayakan Islam di Indonesia. “Kalau bukan kami, siapa lagi?” tanyanya. Bahkan, FUI mengaku secara terang-terangan sebagai pihak yang bertanggung jawab terhadap pembubaran pemutaran film Senyap di Yogyakarta. FUI, kata Fuad, tidak melawan hukum. Sebab, pihaknya sudah terlebih dahulu melapor sebelum mengambil tindakan sendiri. Selain dianggap membahayakan, menonton film Senyap dan belajar komunisme juga dipandang tak ada gunanya. “Mengapa belajar komunisme, apa keuntungannya? Bagi kami sudah cukup belajar dari Al-Qur’an dan Sunnah,” tambah Fuad. Sementara Bambang mengatakan, AJI Yogyakarta mengagendakan pemutaran film Senyap dalam rangakaian program Divisi Litbang. Dipergunakan semata-mata kepentingan pembelajaran jurnalistik. “Film Senyap itu, kan dokumenter, produk jurnalistik juga. Kami ingin lihat apa sih isinya,” terang Bambang. Menurut Bambang, kekhawatiran dan ketakutan ormas-ormas itu akan kebangkitan kembali komunisme di tanah air, adalah bentuk sikap yang berlebihan. Komunisme sebagai sistem politik sudah mati dan tak ada peminatnya.
Pembubaran pemutaran film senyap sedikit ricuh
PRANALA, Edisi Januari-Februari 2015
7
Laporan Utama
Bambang mengaku tidak mengerti, mengapa komunisme sampai hari ini masih seperti hantu yang ditakuti. Tapi yang jelas, di Indonesia, lanjut dia, komunisme terasa masih hidup karena jadi dagangan politik dan proyek. Bambang menduga, isu soal komunisme di Indonesia memang sengaja “dipelihara” oleh militer dengan menggunakan kelompok-kelompok sipil Islam. Fuad sendiri mengemukakan, FUI memang pernah melakukan audiensi dengan polisi dan tentara terkait dengan pemutaran film ini. Namun saat ditanya, apakah FUI didukung oleh tentara sehingga membuat FUI berani mengambil langkah-langkah yang anarkis, Fuad menampik. “Backing-nya dari Allah. Konsekuensi dari ‘Allahuakbar’, yang lain kecil,” jawabnya. **** Film Senyap sebagaimana ditegaskan oleh sang sutradara, Joshua Oppenheimer, dalam sebuah wawancara, mengandung pesan optimisme untuk rekonsialiasi. Bambang juga memandang rekonsiliasi penting dilakukan, agar anak bangsa bisa saling memaafkan, saling mengikhlaskan, tak saling curiga, dan menyongsong masa depan yang lebih baik. “Yang harus berinisiatif itu adalah negara,” kata Bambang. Namun, bukan hanya komunisme yang dianggap berbahaya. Rekonsiliasi ternyata juga dicurigai sebagai sebuah agenda tersembunyi. “Siapa yang menjamin rekonsiliasi itu tulus? Bohong kalau mereka itu tidak punya kepentingan,” ujar Fuad. Ia juga menambahkan jika peristiwa 65 adalah sebuah peristiwa yang berdarah. “Dua-duanya saling hutang darah. Kami tidak ingin umat Islam dibunuh lagi. Kita tidak membenarkan pembersihan PKI seratus persen, karena banyak orang-orang yang tertuduh komunis yang dibantai. Tetapi (pembersihan komunis) itu lebih baik daripada PKI itu dibiarkan,” lanjut dia. Fuad berpandangan tidak masalah korban 65 itu dipulihkan hak-haknya oleh negara. Tetapi, pihaknya tidak terima, akan menentang dan melawan. Ini akan dilakukan apabila korban-korban 65 itu kembali mengorganisir diri, berserikat dan berkumpul seperti sekarang ini. FUI berani melakukan apapun, termasuk kekerasan terhadap 8
PRANALA, Edisi Januari-Februari 2015
kelompok-kelompok lain yang berbeda pandangan dengan dirinya, dan dianggap sebagai aliran sesat. “Beda, perbedaaan pendapat dengan aliran sesat,” tegas Fuad membenarkan aksi anarkis yang dilakukan terhadap pembubaran film Senyap. **** FUI bukan pertama kalinya melakukan tindak anarkis yang mengancam dan mencederai kebebasan berpendapat di Yogyakarta. Selain membubarkan film Senyap, beberapa waktu sebelumnya, FUI membubarkan diskusi gender di Universitas Sanata Dharma. Kemudian menggrebek diskusi bersama Irshad Manji di LKiS, dan masih banyak tindakan anarkis yang lainnya. Menanggapi sejumlah aksi anarkis tersebut, polisi tak banyak melakukan apa-apa. Polisi terkesan tunduk pada tuntutan pelaku kekerasan. “Kenapa polisi justru memihak pada pelaku kekerasan. Polisi tidak punya kekuatan untuk menahan massa yang bakal ke sini,” ujar Bambang mempertanyakan. Bambang menilai, alih-alih memberikan perlindungan, polisi di Yogyakarta telah gagal melindungi hak warga untuk menonton dan berdiskusi. “Kami sebagai korban merasa tidak dilindungi, hak
untuk menonton film, diskusi, tidak dilindungi oleh polisi. Polisi selalu absen,” tegas Bambang. Pencekalan dan pembubaran film Senyap, bagi Bambang, adalah indikasi serius mulai pudarnya toleransi di Yogyakarta yang selama ini dikenal sebagai city of tolerance. “Jogja toleran itu mitos. Jogja sudah tidak toleran lagi. Jogja sudah diskriminatif,” Bambang melanjutkan. Lebih jauh, Bambang mengutip data terbaru yang dilansir oleh The Wahid Institute. Lembaga tersebut meletakkan Yogyakarta di peringkat nomor dua sebagai kota yang intoleran pada tahun 2014. Sementara, laporan kepolisian pada tahun yang sama, menunjukkan bahwa tidak aksi tuntutan mengenai persoalan-persoalan hak asasi manusia di Yogyakarta sepanjang tahun itu. Padahal, lanjut Bambang, banyak sekali tindakan anarkis dan sejumlah aksi dan protes terhadapnya. Namun, Kapolres Bantul, Surawan, saat ditemui di kantornya, mengelak dan membantah tudingan polisi gagal melindungi hak warga terkait dengan pemutaran film Senyap di Yogyakarta. Menurutnya, polisi bukan melarang menonton film Senyap, “Kalau nonton di rumah sendiri, tidak apa-apa,” tepisnya. Polisi, kata Surawan, tidak
Sisa-sisa pembubaran pemutaran film senyap di Ruang Audio Visual ISI YK
berhak menilai isi film tersebut. Bahkan Surawan sendiri mengaku belum menontonnya. Yang dia tahu, film Senyap menjadi polemik dan menimbulkan pro-kontra di tengah masyarakat dan Lembaga Sensor Film (LSF) sudah memutuskan untuk melarangnya. Dengan berpegangan pada keputusan LSF, dan memperhatikan ancaman dari pihak-pihak yang kontra film Senyap, polisi meminta pemutaran film ini tidak dilaksanakan karena pertimbangan efek yang ditimbulkan. “Kami menjaga agar tidak terjadi gesekan. Agar konflik tidak terjadi. Itu saja. Bukan berarti polisi tidak melindungi masalah ini,” terang lelaki kelahiran Tuban itu. Menurut Surawan, apapun yang dilakukan oleh kepolisian, itu dalam rangka menjalankan tugas untuk menjaga keamanan. Polisi tidak mau terlibat dalam polemik apakah film Senyap itu baik atau tidak untuk masyarakat. Dalam negara demokrasi, kata dia, semua tergantung terhadap keputusan politik. “Semua tergantung keputusan politik, kita keamanan hanya mengikuti,” pungkasnya.
PRANALA, Edisi Januari-Februari 2015
9
Laporan Utama
Kisah Mamik
Dari Balik JERUJI BESI Oleh : Prayudha Magriby Foto : Gribran Prathisara
Semua korban adalah orang Indonesia yang dibunuh oleh orang Indonesia sendiri. Disebut sebagai salah satu kebiadaban terbesar di abad ke-20. Peristiwa seputar 1965 seolah menjadi labirin yang tak terpecahkan.
10
PRANALA, Edisi Januari-Februari 2015
S
osok nenek ini kini hidup bahagia. Menikmati teh hangat di pagi hari, sembari memandangi bunga-bunga di halaman rumah. Anak-anaknya telah bekerja semua dan berkeluarga semua. Hari senja yang pastinya menjadi dambaan setiap manusia. Di awal tahun ini hari-harinya bertambah ceria. Putrinya yang bersuamikan orang Belanda kini tengah mudik. Ia tengah melakukan penelitian untuk tugas akhir kelulusan. Anak lelakinya juga telah dipindah tugaskan di Pekalongan, sebagai seorang kepala cabang sebuah bank. Itu artinya, si anak lelaki bisa lebih sering mengunjunginya. Menjelang siang, sosok yang kerap dipanggil Ibu Mamik ini berjalan beberapa langkah. Ia memantau pembangunan kosan eksklusif di dekat rumahnya. Sesekali ia mengecek pemasangan AC di kamar bawah yang masuk tahap finishing. Tak lupa ia menoleh ke atas, melihat pengerjaan kamar di lantai dua. “Puji Tuhan, banyak yang minat, jadi saya bangun lagi,” ujar Mamik sumringah. Setelah itu, ia pergi ke toko kelontong miliknya yang berada di Jalan Veteran. Anak-anaknya ia besarkan dengan didikan yang disiplin. Ia dan almarhum suaminya sedari kecil mendidik anaknya untuk mandiri dan pekerja keras. “Yang besar naik sepeda mini, yang kecil pakai roda tiga nganter minyak di warung-warung,” jelas Mamik, berkisah tentang masa kecil anak-anaknya. Mamik dulu memang dikenal sebagai distributor minyak tanah yang cukup sukses. Almarhum suaminya juga cukup sukses dengan bengkelnya di samping terminal lama (sekarang XT Square). Namun demikian, sukses ini tidak datang dengan tiba-tiba. Setelah menikah di tahun 1978, Mamik beserta suami memutuskan hijrah dari Minomartani, Sleman, ke Kota Yogyakarta. Sembari menemani suami yang tengah merintis bengkel las,
ia mencoba berjualan kue wajik. Dari menitip-nitipkan wajik di warung-warung, akhirnya ia bisa membuka warung sendiri. Warung itu kemudian berkembang menjadi penyalur minyak tanah. Ia sejatinya sempat mencicipi rasanya menjadi PNS, sebagai seorang guru di tahun 1960-an. Ini karena saat itu belajar di IKIP Yogyakarta Jurusan Pendidikan Umum. Namun, proses sejarah membuatnya mesti berusaha tanpa bantuan negara. Darah yang Mamik turunkan pada anaknya juga membuat anak-anaknya mesti mampu berpijak tanpa bantuan orang lain. Di saat semua anak bermimpi menjadi PNS, Mamik berjibaku memahamkan putra-putrinya untuk mengubur mimpi menjadi PNS. **** Jam dua dini hari. Bulan April tahun 1968. Mamik tiba-tiba terhenyak dari tidurnya. Pintu kos digedor keras berulang kali. Ia dengan ragu membuka pintu. Segera saja moncong sebuah senapan laras panjang tepat menodong wajahnya. Satu per satu sekelompok pria tegap berseragam lengkap mengepung tubuh Mamik yang gemetaran. Salah satu dari delapan pria itu mengaku tengah mencari pemimpin Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani). “Saya tidak tahu. Nama saya Christina Sumarmiyati. Saya masih mahasiswa,” ucapnya terbata-bata. Pria itu tampak tak peduli dan terus memaksanya untuk membuat pengakuan. Karena tak jua mengaku, Mamik lantas diinterogasi sejadi-jadinya. Ia diminta naik ke atas sebuah meja. Beberapa perlakuan kasar ia terima, dan berada di luar batas kewajaran. Setelah itu, Mamik yang tak berdaya kemudian diarak ke sebuah truk militer. Tengannya diborgol dengan seorang lelaki yang tak ia kenal. Tak pernah terbesit sedikitpun jika ia akan mengalami hal yang demikian. Mamik memang bukan anggota Gerwani. PRANALA, Edisi Januari-Februari 2015
11
Laporan Utama
Ia sebelumnya memang pernah ditangkap pada 22 Desember 1965, tak lama setelah penangkapan ayahnya yang merupakan aktivis Barisan Tani Indonesia (BTI). Namun, ia akhirnya dibebaskan dari Rutan Cebongan pada 14 April 1966, karena tidak terbukti sebagai anggota Gerwani. Mamik hanyalah aktivis Ikatan Pemuda Pelajar Indonesia (IPPI) dan Persatuan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI). Pembebasan tersebut atas bantuan Pastor de Blot, seorang romo berkebangsaan Belanda. Keanggotaannya di IPPI dimulai sejak masih duduk di Sekolah Pendidikan Guru (SPG). Mamik sangat tertarik, karena hampir seluruh teman sekolahnya yang pintar dan kreatif ikut dalam organisasi tersebut. Setelah masuk kuliah, ia kemudian bergabung dengan PMKRI. Sebagai seorang Katolik yang taat, ia merasa terpanggil untuk bergabung dengan organisasi itu. Namun demikian, dorongan hati untuk berkecimpung di organisasi sejatinya dipengaruhi oleh atmosfir di keluarga Mamik. Orang tua dan paman-pamannya ikut dalam perjuangan kemerdekaan. “Paman saya itu bahkan punya ruang bawah tanah di rumahnya untuk tempat bersembunyi para pejuang kemerdekaan. Kami sangat nasionalis,” ucap Mamik dengan nada sedikit mengeras. Dalam nuansa pasca kemerdekaan yang masih kental, hampir seluruh anak muda kala itu tergabung dalam organisasi. Mamik tertarik dengan gerakan kiri karena melihat program kerjanya yang konkrit bagi wong cilik. Sejumlah aktivis gerakan kiri banyak mengadakan program pemberdayaan ekonomi di desanya. Karena itu, dengan berorganisasi, ia berharap bisa melakukan banyak hal bagi sesama.
Mamik sebagai manusia serasa ambruk. “Mereka (petugas) malah pergi sambil tertawa,” tambahnya. Tak kuasa menahan sakit, Mamik akhirnya jatuh pingsan. Tak cukup dengan itu, setiap malam Mamik dikonfrontasi dengan tahanan yang baru masuk. Ia ditanya apakah mengenali sosok-sosok tersebut atau tidak. Jika terdengar suara truk di tengah malam, hatinya mulai tak karuan. Itu pertanda pemeriksaan akan dilakukan, dan itu artinya ia akan disiksa. Tiap kali pemeriksaan, petugas pasti akan menyiksa para tawanan. Mamik selalu dikembalikan dengan badan penuh lebam. Sedikit melegakan, tahanan ibu-ibu kerap membaluri luka lebamnya dengan beras kencur. Tapi, setelah sembuh, pemeriksaan itu dimulai kembali. Gerakan memerangi Mamik dan tahanan politik lainnya, paska 30 September 1965, memang membawa sentimen tentang agama. Mereka yang diindikasikan punya hubungan dengan PKI, dianggap anti Tuhan. Investigasi dan penelitian ihwal peristiwa pasca 1965 menunjukan bukan hanya aparat negara yang bertanggungjawab. Sejumlah organisasi sipil, termasuk ormas keagamaan juga terlibat dalam aksi kekerasan. Dalam laporan investigasi Komnas HAM tahun 2012, hal itu diputuskan sebagai kejahatan HAM berat. Kelompok nasionalis menganggap komunis sebagai pemberontakan pada NKRI dan Pancasila. Sementara itu, kelompok religi melihat PKI sebagai kumpulan orang-orang anti Tuhan yang dibenarkan untuk diperangi. **** Penyiksaan di Wirogunan berlangsung hingga tiga tahun. Pada 1971, Mamik bersama sejumlah
**** Menjelang pagi, truk yang Mamik tumpangi sampai di Penjara Wirogunan, kamp konsentrasi bagi tahanan politik PKI di Yogyakarta. Ia masih diborgol bersama seorang lelaki yang tak ia kenali. Entah dengan maksud apa, Mamik dan lelaki itu dimasukan dalam satu sel dengan tangan yang masih saling terikat hingga lima hari lamanya. “Saya tidak kenal sama sekali,” jawab Mamik menjawab pertanyan soal lelaki yang diborgol bersamanya itu. Karena terus berkelit, ia dan lelaki itu ditelanjangi. Keduanya dipaksa duduk berpangkuan. Martabat 12
PRANALA, Edisi Januari-Februari 2015
“SEBAGAI TAHANAN PEREMPUAN KAMI SADAR HARGA DIRI. KAMI BUKAN PELACUR, TAPI TAHANAN POLITIK,”
tahanan dipindahkan ke kamp Plantungan, Sukorejo, Jawa Tengah. “Kami baru bisa melihat dunia luar. Kami bernyanyi seolah semua telah usai,” kenang Mamik saat rombongannya berada di dalam truk untuk menuju Plantungan. Kamp Plantungan ketika zaman pendudukan Belanda merupakan tempat pengasingan bagi penderita lepra. Ibaratnya keluar mulut buaya masuk mulut harimau, Mamik dan kawan-kawan menemui Kamp itu sebagai tempat yang tidak lebih baik. “Penuh semak belukar, ular-ular berbisa, kelabang, kalajengking, itu sangat menyeramkan,” ingatnya, sewaktu dipaksa membersihakan kompleks penjara. Tahanan saat itu diperintahkan untuk bekerja dengan tergabung pada unit pertanian, peternakan, penjahitan, produksi, dan pemasaran. Selain itu, tiap-tiap tahanan dijadwalkan untuk bekerja di dapur secara bergantian. Mereka mesti memasak singkong di pagi hari untuk sarapan. Menjelang siang mereka diperbolehkan keluar penjara untuk berbelanja di Pasar Kambang. Saat keluar, mereka diwajibkan mengenakan sarung dengan atasan baju kain tetron berwarna biru. Itu cukup sebagai tanda bahwa mereka adalah tahanan politik. Pengasingan di Plantungan tampaknya difokuskan bagi program indoktrinisasi. Setiap hari Sabtu, para tahanan akan dikumpulkan dan diberi materi soal Pancasila. Intimidasi juga terjadi dengan mengevaluasi tindakan tahanan selama seminggu. Jika ada kelompok yang berkumpul dan berbincang-bincang, itu akan dianggap sebagai rapat gelap. Jika ada yang mengajukan protes, itu akan dianggap sebagai pembangkangan. Semua serba diawasi. Hal yang paling ditakuti Mamik dan tahanan lain di Plantungan adalah pelecehan seksual. “Sebagai tahanan perempuan kami sadar harga diri. Kami bukan pelacur, tapi tahanan politik,” ujarnya. Ketakutan itu bukan tanpa alasan. Beberapa petugas penjara memanfaatkan situasi dengan “ngebon” para tawanan. Petugas membawa keluar tawanan dan kembali semaunya sendiri. “Ada dua kasus kehamilan tahanan dengan petugas,” tambah Mamik. Praktik itu menguap begitu saja tanpa ada peradilan. Tahanan perempuan, dianggap berafilisasi dengan Gerwani, memang diidentikkan sebagai perempuan tak berahlak. Beberapa media nasional pasca G30S merilis artikel yang dikeluarkan
Ibu Mamik saat ditemui di tokonya.
oleh Angkatan Darat (AD) tentang adanya “pesta pedang” atau orgy, pesta dengan aktivitas seks, setelah peristiwa pemberontakan. Pesta yang disebut sebagai “tarian harum bunga” itu melibatkan 200 wanita dan 400 lelaki. Informasi tersebut dikemukakan oleh Sean Reardon pada penelitian kerjasama antara Universitas Muhammadiyah Malang dengan Australian Consortium for In-country Indonesian Studies di tahun 2002. Namun demikian, berdasarkan data dan dokumen yang ada, Sean memastikan “tarian harum bunga” hanyalah propaganda AD. “Penggunaan Gerwani sebagai sasaran propaganda Soeharto memungkinkan Soeharto untuk memasukkan isu moral dan seksual. Hal yang sangat penting untuk membuat marah dan menghebohkan orang dimana-mana,” tulis Sean. Propaganda “pesta pedang” PRANALA, Edisi Januari-Februari 2015
13
Laporan Utama
akhirnya bisa membuat marah semua pihak, terutama kaum agamawan. **** 16 Oktober 1976 atau lima tahun setelah diasingkan di Kamp Plantungan, Mamik bersama 45 tawanan lain dipindahkan Kamp Bulu, Semarang. “Kami yang ngeyel-ngeyel akhirnya dipindah. Yang manut-manut malah masih tinggal,” terang Mamik. Kamp Bulu adalah penjara khusus perempuan. Mamik sedikit lega karena ia dan perempuan lain bisa lebih aman dari ancaman pemerkosaan. Selain itu, keluarga juga diberi keleluasaan untuk menjenguk. Dua tahun berlalu di Bulu. Hingga suatu hari datanglah rombongan dari Amnesti Internasional. Kala itu, kejadian pasca G30S sudah mulai terdengar samar-samar oleh dunia internasional. Rombongan relawan Amnesti Internasional berasal dari Belanda, Prancis, Jerman, dan Inggris. Interaksi akhirnya bisa terjadi. “Di antara kami ini, kan banyak orang-orang pinter, yah,” kata Mamik. Beberapa tahanan yang menguasai bahasa Belanda dan Inggris akhirnya bisa berkomunikasi langsung dengan para relawan. Mereka menceritakan segala kejahatan, penyiksaan, dan pelecehan yang telah dialami. “Nah, penjaganya itu malah, ndak dong,” tambah Mamik terkekeh. Kisah nestapa para tahanan politik itu akhirnya tersebear ke seluruh dunia. Dunia akhirnya tahu bahwa di negara bernama Indonesia ada kekejaman yang tak kalah mengerikan dari aksi holocoust di Jerman. Suatu pagi di tanggal 27 September 1978, seorang tahanan meminta agar Mamik dan tahanan lainnya berkemas-kemas. Mereka diminta berjalan hingga penjagaan terakhir. Tak dinyana-nyana, hari itu ternyata hari pembebasan. Di luar penjara, Ayah, Ibu, dan ketiga adik Mamik sudah bersiap menjemput. Meski ditahan tanpa melakukan kesalahan, Mamik sangat bersyukur atas pembebeasan itu. Seolah-olah pembebasan itu karena jasa Amnesti dan tekanan dunia internasional. Laporan Sean Reardon menjelaskan sebuah hal. Menurut-
nya, peristiwa seputar 1965 tidak bisa dilepaskan dari konteks perang dingin antara Amerika dan Uni Soviet, antara demokrasi liberal (kapitalisme global) dengan komunisme. Menurut Sean, G30S tidak lain adalah kondisi yang diciptakan untuk menggulingkan Soekarno yang mulai dianggap berbahaya bagi kepentingan barat. Ucapan “Go to hell America with your aid…” yang Soekarno utarakan saat keluar dari PBB, menggambarkan betapa Amerika sangat berkepentingan untuk menggulingkan Soekarno. Melalui CIA, Bank Dunia, dan IMF, Amerika memanfatkan Soeharto untuk mengkudeta Soekarno. “Dia sejatinya seorang nasionalis sejati tapi karena mempersulit masuknya modal asing, Soekarno ditersangkakan sebagai komunis,” terangnya. Seperti menjagokan Rambo sebagai pahlawan di perang Vietnam, barat sejatinya melihat penyerangan pada PKI, termasuk pembunuhan masal di dalamnya, adalah hal yang menggemberikan. “Pembunuhan masal itu hanya berita kecil yang semakin memperkuat kemenangan barat,” tulis Sean. **** Di hari pembebasannya, Mamik sudah berusia 32 tahun. Sepuluh tahun ia habiskan waktu mudanya dengan kepedihan atas kesalahan yang mustahil ia akui. Dunia bebas perlahan menyadarkan jika ia manusia dan ia wanita. Mamik mulai menyadari jika ia harus memulai hidup normal. Suatu sore ayahnya membuka sebuah obrolan. “Nduk, kamu sudah umurnya, loh,” ucap Mamik menirukan sang ayah. “Terus?” jawab Mamik terkejut. Sang ayah mulai membahas pemuda bernama Edi. Edi ini sebelumnya sudah beberapa kali bertandang ke rumah Mamik. Mamik, dengan perjuangan hidupnya yang keras, menganggap pernikahan itu mesti siap lahir dan batin. Ia bercita-cita untuk mengejar ketertinggalannya selama ini. “Kalau ndak sama dia, siapa lagi yang mau sama orang seperti kamu?” kata sang ayah.
“PENGGUNAAN GERWANI SEBAGAI SASARAN PROPAGANDA SOEHARTO MEMUNGKINKAN SOEHARTO UNTUK MEMASUKKAN ISU MORAL DAN SEKSUAL. HAL YANG SANGAT PENTING UNTUK MEMBUAT MARAH DAN PRANALA, Edisi Januari-Februari 2015 14 MENGHEBOHKAN ORANG DIMANA-MANA,”
Edi rupanya adalah anak dari seorang tahanan yang pernah Mamik tolong ketika di Wirogunan. Mamik kerap membuat hiasan dari rambut panjangnya yang ia potong. Hiasan itu kemudian oleh seorang ibu dijual dan dibelikan kue galundheng. Galundheng itu kemudian dikirimkan pada Edi yang ditahan di penjara laki-laki. Berkat kue galundheng, tanggal 25 November 1978, Mamik dan Edi resmi menikah. Meski berbeda keyakinan, keduanya akhirnya bisa bersatu. Salah satu syarat yang Mamik ajukan adalah agar kelak anak-anaknya mengikuti imannya. Mamik dan Edi akhirnya dikaruniai satu anak perempuan dan seorang anak lelaki. Sebagai wujud rasa terimakasihnya pada bantuan para romo, Mamik memiliki nazar jika kelak salah satu anaknya dia persembahkan sebagai romo. Keluarga itu semakin mesra ketika di tahun kesepuluh pernikahan, Edi akhirnya mau untuk dibaptis. Mamik juga mengabdikan dirinya di yayasan Yakkum, organiasai amal dan sosial Katolik. Meski demikian, keluarga kecil Mamik mesti bertahan dari stigma sebagai mantan tahana politik selama berpuluh-puluh tahun. Angin segar sedikit berhembus saat Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menghapuskan sejumlah diskriminasi negara pada keluarga dan mantan tahanan politik yang terkait dengan PKI. Wacana mengenai penghapusan Tap MPRS No. XXV/1965 mengemuka. Usulan penganai diundangkannya Undang-undang (UU) Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) muncul pada 2004. Namun demikian, perlawanan terhadap usaha rekonselisasi nasional itu begitu kuat. UU KKR batal dan Presiden Gus Dur pun akhirnya dilengserkan. Tokoh NU dan ICMI, Salahudin Wahid mengamini, jika NU terlibat. Namun ia juga menekankan, bahwa konteks saat itu adalah kondisi peperangan. Artikelnya di Republika, Kamis, 06 Nopember 2003 mengemukakan urgensi adanya rekonsiliasi nasional. Ini agar kejadian serupa tidak
akan terulang lagi. Selain itu, rekonsiliasi akan memperkuat kekuatan nasional untuk menyongsong masa depan. Namun demikian, rekonsiliasi hanya akan terjadi jika peristiwa seputar 1965 bisa terungkap secara terang benderang. Romo Franz Magnis Suseno meminta agar usaha untuk mengungkap peristiwa 1965 terus dilakukan. Pada harian Kompas edisi Senin, 03 Oktober 2005 ia menulis: “…mereka yang kemudian membunuh, atau membiarkan dibunuh, ratusan ribu saudara dan saudari sebangsa, yang menangkap, dan sering menyiksa jutaan orang, yang menahan puluhan ribu orang lebih dari 10 tahun lamanya, yang mencuri hak warga, dan sering juga hak miliknya, dengan dalih mereka terlibat PKI/G30S, padahal banyak yang tidak terbukti. Itu semata-mata karena orientasi politik mereka, salah satu kebiadaban terbesar di bagian kedua abad ke-20.” Salah seorang ilmuan yang sejak awal menyoroti peristiwa seputar peristiwa 1965, Benedict Anderson terus isu memantau perkembangan dari kasus tersebut. Pakar kajian Indonesia dari Cornell University baru bisa menginjakan kaki di Indonesia setelah orde baru tumbang. Ia cukup gembira dengan gerbrakan yang dilakukan oleh Gus Dur pada saat memerintah. Ia menilai ormas-ormas yang terlibat sudah mau bersikap jujur. “Ini sangat bagus, walaupun mereka (NU) harus menghadapi fakta bahwa di antara keluarga mereka sendiri ada yang menjadi algojo. Dan rupanya mereka bersiap untuk itu,” ujarnya dalam wawancara dengan Radio Nederland pada September 2005. Namun demikian, ia kecewa karena pengungkapan pelanggaran HAM 1965 kini mandek. Ada beberapa pihak yang masih belum terbuka karena disandera kepentingan besar. Namun demikian, ia tidak bermaksud untuk memojokan siapapun. Ia hanya ingin semua pihak bisa bersikap jujur agar rekonsiliasi nasional di Indonesia bisa cepat terwujud.
PRANALA, Edisi Januari-Februari 2015
15
Laporan Utama
Film Senyap
TAK LAGI
Adi Rukun, Tokoh Utama Film Senyap
A
di Rukun dengan cermat mengamati laporan reporter Ted Yates dari NBC News, kantor berita dari Amerika Serikat. Sang reporter menggambarkan Indonesia sebagai negara yang sangat kaya sumber daya alam. “Indonesia has various potenchy of wealth in the natural resources,” ujar sang reporter. Narasi tersebut diikuti oleh adegan aktivitas pabrik pengolahan karet, Goodyear. Rekaman video itu diambil pada tahun 1967. Selain adegan aktivitas di pabrik, ditayangkan juga sejumlah tank tempur yang menembakkan martir. Di atas tank, para serdadu serbu tampak bersiaga dengan senapan di tangan. Adegan berganti lagi dengan sebuah infografis menggambarkan peta kepulauan Indonesia. Narasi pada adegan tersebut
16
PRANALA, Edisi Januari-Februari 2015
berbunyi, “…in fact, this is the biggest defeat ever had by the communist anywhere in the world.” Kekalahan terbesar komunis adalah di Asia Tenggara, khususnya Indonesia. Reporter Ted Yates lantas berbincang dengan seorang warga Indonesia di Bali. Ia merasa heran, bagaimana di pulau seindah Bali bisa timbul sebuah peristiwa yang mengerikan. Warga Pulau Dewata itu lantas menjawab, bahwa Bali saat itu jauh lebih indah tanpa adanya komunis. “Some of them wanted to be killed, and announce; give me a chance say goodbye to all of my relatives and in the next morning i’m ready to be killed,” ujarnya. Ia menuturkan pada Ted, bahwa para penganut komunis di Bali menyadari kesalahannya. Mereka lantas dengan suka rela meminta untuk disingkirkan selama-lamanya.
SENYAP Oleh: Prayudha Magriby
“Mari kita baca ulang. Semua lembaran yang sudah hilang. Seperti mengeja kembali hati. Yang sudah hampir mati. Di antara burung bernyanyi. Menyambut pagi.” (Faruk Tripoli, 17 Desember 2014).
Setelah melihat tayangan itu, Adi menjemput anak-anaknya di sekolah. Anak tertua Adi, Iqbal, masih duduk di bangku SMP. Di dalam kelas, sang guru sejarah tengah memberikan materi terkait pahlawan revolusi. Guru sejarah itu bercerita bagaimana kekejaman PKI pada peristiwa pemberontakan G30S PKI. “Komunis itu kejam. Komunis itu semacam tidak memiliki Tuhan,” tegas sang guru. Ia lantas menceritakan dengan detail bagaimana para anggota Gerwani menyiksa para jendraljendral ABRI, sebagaimana yang pernah disaksikan dalam film G30S PKI. Dampak dari kekejaman PKI itu membuat anggota partai komunis dibasmi. Tak lupa sang guru juga menjelaskan jika anak cucu PKI tidak boleh menjadi PNS, tentara, apalagi duduk di pemerintahan. “Berterimakasihlah kita pada
pahlawan tadi (pahlawan revolusi), karena telah memperjuangkan negara kita sehingga menjadi negara yang demokrasi,” pungkas sang guru mengakhiri kelasnya. Adi bersama putra dan putrinya singgah di pusat kota. Di samping danau buatan yang mengering, ia mendengarkan cerita Iqbal ihwal sekolahnya hari itu. Iqbal menceritakan semua penjelasan gurunya soal PKI. Tak lupa, adegan penyiletan dan pencongkelan mata para dewan jendralpun ia gambarkan dengan detail. Adi merasa tidak sepakat dengan penjelasan guru sejarah anaknya. “Itu semua bohong. Nggak ada itu seperti yang dituduhkan itu,” tegasnya. Ia mencoba memahamkan putranya bahwa peristiwa G30S itu rekayasa. Pelaku dari pembunuhan para jendral sejatinya adalah Angkatan Darat (ABRI). “Ada gurumu cerita itu orang dibuang di Sungai Ular sana? Ada itu dia cerita jutaan orang yang nggak berdosa itu dibunuh?” tanya Adi. Rangkaian kejadian yang Adi Rukun alami tersebut adalah cuplikan film Senyap pada menit 10.57 hingga menit 17.30. Pada adegan-adegan selanjutnya, Adi digambarkan menjadi tukang kacamata yang bertemu dengan para pembunuh kakaknya, Ramli. Film dokumenter berdurasi satu setengah jam itu menggambarkan bagaimana orang dengan tega menghabisi nyawa orang lain, orang yang dianggap ada hubungannya dengan partai komunis. **** Menit 58.05 Raut muka Adi Rukun tampak lebih tegang kali ini. Ia menyaksikan video Amir Hasan dan Inong di tepi Sungai Singular. Keduanya tidak lain adalah tetangga di desanya. “Maka dibacoklah saudara Ramli ini berkali-kali dan ditusuk dengan PRANALA, Edisi Januari-Februari 2015
17
Laporan Utama
keris waktu itu. Maka, dia tampak sudah tidak berdaya. Maka ini, saya tolakan ke dalam sungai, maka dia bergantunglah dia di akarakar kayu ini sambil meminta tolong, maka mereka angkat (Ramli) ke motor yah, maka dikerjailah (dipotong) itu kemaluannya,” ujar Amir Hasan dengan penuh semangat. Ia memperagakan aksinya pada Inong yang dalam adegan itu berpura-puara sebagai Ramli, kakak kandung Adi Rukun. Dengan penggarapan yang berlapis-lapis (cerita di dalam cerita) semacam itu, film Senyap kemudian menjadi fenomenal. Joshua Oppenheimer dianggap mampu membangun film dokumenter yang menggugah soal peristiwa seputar G30S. Film itu lantas ditayangkan di ratusan tempat di seluruh Indonesia. Komnas HAM bahkan menjadikannya sebagai program edukasi dalam upaya pelurusan peristiwa seputar 1965. Film Senyap dianggap dapat mendorong terjadinya rekonsiliasi sekaligus pengungkapan fakta pelanggaran hak asasi manusia. Namun demikian, penolakan terhadap film ini juga cukup masif. Sejumlah penayangan dibubarkan paksa oleh ormas dan polisi. Penolakan timbul dengan alasan bahwa film ini dapat menghidupkan kembali paham komunisme. Ada ketakutan bahwa gesekan ini akan semakin meluas. Mencermati dampaknya yang cukup fenomenal, film Senyap kemudian menarik perhatian akademisi. Guru Besar Fakultas Ilmu Budaya UGM, Faruk Tripoli bahkan melakukan kajian akademis. Penelitian itu didasari oleh keinginannya untuk memberikan landasan akademis pada film tersebut. “Film itu tidak hanya perlu untuk ditonton, melainkan perlu diteliti secara lebih cermat. Apalagi bila film itu mau dan bahkan sudah diputuskan untuk menjadi sebuah dasar ataupun alat bagi 18
PRANALA, Edisi Januari-Februari 2015
kegiatan politik yang besar,” terangnya. Ini penting agar baik pihak yang mendukung maupun menentang film ini bisa menilainya secara jernih. “Bukan tidak mungkin pengkajian yang lebih cermat dan komprehensif terhadap film ini dapat mencegah terjadinya konflik horisontal maupun vertikal yang lebih besar dalam masyarakat,” ujar pria yang juga menjabat sebagai Kepala Jurusan S2 Ilmu Sastra UGM ini. Faruk memulai analisisnya dengan menekankan bahwa film adalah sebuah karya seni yang sangat dekat dengan kenyataan. Terlebih film dengan genre dokumenter. Namun demikian, ia menegaskan bahwa film tetap bukan merupakan gambaran dari realitas objektif. Sebagaimana produk kebudayaan lainnya, film terwujud dari seleksi atas kenyatataan. Proses seleksi itu dimulai dari pemilihan bagian dari realita untuk difilmkan, dalam pengambilan gambar. Proses seleksi itu lebih mendetail lagi dalam proses editing. Dengan demikian, fakta yang disajikan oleh sebuah film, termasuk film dokumenter, tetaplah bersifat subyektif. Fakta yang dihadirkan dalam film tersebut menurut Faruk perlu didudukan secara tepat. Tidak bisa disimpulkan secara
gegabah bahwa fakta yang ditunjukan merupakan pelanggaran hak asasi manusia seputar peristiwa G30S. “Yang ada hanyalah cerita tentang pelanggaran yang dilakukan oleh para pelakunya itu sendiri. Apakah cerita tersebut identik dengan tindakan pelanggaran yang diceritakan?” ujarnya. Bagaimanapun menurutnya fakta itu merupakan fakta mental. Penggambaran dalam film Senyap bersumber dari ingatan para pelaku, bukan tindakan itu sendiri. Lebih lanjut, pandangan manusia mengenai kenyataan, dalam teori konstruksionis sosial, tidak ada dengan sendirinya. Pandangan tersebut dibentuk oleh proses sosial dan kultural yang sesaat maupun yang berlangsung terus-menerus. “Maka, ingatan tokoh-tokoh pada film Senyap mengenai apa yang mereka lakukan di masa lalu, sekaligus menyangkut identitas diri mereka sebagai penjahat ataupun pahlawan tidak bisa dilepaskan dari proses sosial dan kultural yang panjang maupun yang sesaat itu,” papar Faruk. Ia kemudian memberikan contoh
(Atas) Adegan reka ulang peristiwa Pembantaian di Sungai Ular (Samping Kiri) Kuburan Almarhum Ramli, Korban Peristiwa Sungai Ular
adegan pengakuan Amir Hasan pada Joshua. Amir mengatakan bahwa seharusnya para algojo pembantai PKI mendapat hadiah dari Amerika. Ini karena tindakan mereka telah sesuai dengan perang anti-komunis yang dimotori oleh Amerika, negara asal Joshua. Cara Amir bercerita dipengaruhi oleh prasangka bahwa pembuat film Senyap sepandangan dengannya. Akan tetapi, Faruk tidak kemudian menggolongkannya sebagai karya fiksi. Sosok yang juga mengepalai Pusat Kebudayaan Koesnadi Hardjasoemantri UGM tersebut mengatakan, bahwa film Joshua tidak menggambarkan fakta-fakta pelanggaran hak asasi manusia pada pertengahan kedua tahun 1960-an, melainkan fakta mental yang berupa ingatan dan cerita tentangnya. Fakta itu tidak bisa dianggap sebagai kebenaran materiil yang dapat dijadikan bukti hukum ihwal pelanggaran hak asasi manusia. Lebih jauh, Faruk berpendapat, konteks proses sosial dan kultural dan bahkan relasi kuasa yang mempengaruhi pengakuan para tokoh dalam film ini perlu untuk didalami. **** Menit 59.10 Suara Joshua Oppenheimer tiba-tiba tertangkap pada video yang Adi saksikan. “Kalau backing dari tentara seperti apa misalnya?” tanya Joshua dalam video itu. Amir Hasan dengan cepat menjawab, “Paling-paling dia di sana, nggak pernah kemari (tempat eksekusi). Menurutnya, aksi penumpasan PKI dilakukan oleh rakyat sipil. “Jadi dia (pemerintah dan tentara) menjaga posisi. Kalau nanti perjuangan pemerintah ini dikatakan, nanti dunia marah. Walaupun kita tahu backing-nya itu mereka (tentara) di belakang,” tambah mantan ketua komando aksi di wilayah Sungai Ular ini. Dalam pandangan Faruk, informasi yang dikemukakan para tokoh di film Senyap, yang telah dirajut melalui editing, memiliki pola tertentu. Pola tersebut mencerminkan bangunan ideologis yang ingin diwujudkan oleh pembuat film. “Sebagai representasi, pastilah mengandung ideologi atau kepentingan tertentu dari pembuatnya,” paparnya dalam wawancara via surat elektronik. Seorang pembuat film pasti mengarahkan perhatian penonton pada arah tertentu. Faruk memiliki catatan soal semangat rekonsiliasi yang katanya ditunjukan dalam film Senyap. Menurutnya, tujuan yang ingin dicapai oleh Joshua lebih berwujud sebuah pengadilan sekaligus tuntutan pengakuan dosa. “Menonton film ini saya seperti menyaksikan film-film kriminal dan horor Hollywood. Semacam pengadilan jalanan (street justice) yang keras,” ujar pria kelahiran Banjarmasin 58 tahun silam ini. Film Senyap tidak menggambarkan dialog, tetapi menghadapkan para pelaku kejahatan dengan semua perbuatannya di masa lalu. Tunjuan PRANALA, Edisi Januari-Februari 2015
19
Laporan Utama
(Dari Kiri Ke kanaan) Adi (kiri) sedang mewawancarai mantan Ketua Komando Aksi di Deli Serdang. Salah satu adegan percakapan Adi dan ibunya. Adegan Adi bersalaman dengan salah satu mantan algojo.
yang ingin dicapai film tersebut lebih pada sebuah shock therapy. Secara lebih teoritis, melalui disiplin keilmuannya, Faruk menyimpulkan film Senyap melalui tiga lapis representasi. Pertama, representasi dari para pelaku pembantaian itu berdasarkan ingatan mereka yang sudah berjarak sekitar 40 tahun, dan dalam konteks relasinya dengan seorang Amerika bernama Joshua Oppenheimer dan di hadapan sebuah kamera yang diarahkan kepada mereka. Kedua, representasi yang berupa video pertama Joshua sendiri mengenai representasi dari para pelaku dalam konteks relasi sosial dan media dengan jarak waktu di atas. Ketiga, representasi film Senyap terhadap video pertama yang sudah merupakan representasi tingkat kedua di atas. Secara langsung, yang film Senyap merepresentasikan video pertama, yang Adi Rukun saksikan. Video pertama itu sendiri direpresentasikan dalam konteks hubungannya dengan Adi dan keluarganya sebagai keluarga korban pembantaian. Dengan kata lain, film ini secara langsung merepresentasikan hubungan antara representasi tingkat kedua dengan Adi dan keluarganya. Faruk juga mencermati struktur naratif dari film Senyap. Menurutnya, ada sebuah skenario yang dijadikan pijakan oleh Joshua. Struktur naratif, yang berusaha membangun relasi spasial antara video dengan kehidupan Adi, menimbulkan kesan bahwa adegan-adegan yang terkait dengan kehidupan keluarga Adi tidak sepenuhnya bersifat faktual. Adegan-adegan itu seakan sudah ditata mengikuti sebuah skenario yang sudah disusun lebih dahulu, supaya sesuai ataupun bertentangan dengan apa yang terdapat di dalam video. Dengan demikian, menurut Faruk, respon dari para pembantai terhadap Adi juga merupakan respon yang sudah diantisipasi. Adi ditampilkan sebagai seorang hakim yang mengadili para pembantai, 20
PRANALA, Edisi Januari-Februari 2015
memojokkan mereka dalam posisi harus mengakui dosa-dosa yang sudah mereka perbuat. Bukti yang Faruk sebutkan adalah adegan ayah Adi yang tersesat di jemuran, dengan properti sebuah sajadah yang terbentang rapi. Adegan di menit akhir itu membuat kesan adanya skenario semakin kuat. Skenario yang begitu cerdik itu menurut Faruk menunjukan tendensi ideologis tertentu. Menurutnya, Joshua mencoba bermain dengan persepsi soal Islam dalam pusaran persitiwa seputar 1965. “Hampir semua pembantai yang mempunyai nama Islam disebutkan namanya. Kalaupun ada yang tidak bernama Islam, misalnya Inong, citra dirinya sebagai seorang yang taat dalam agama tersebut diperlihatkan dengan jelas,” terangnya. Faruk menemukan adanya beberapa tokoh yang tidak disebutkan namanya. Secara karakter, mereka dipertentangkan dengan tokoh-tokoh bernama Islami, yang digambarkan bersalah. Tokoh tanpa nama itu adalah tokoh ibu yang menyatakan ketidaksetujuannya dengan pembantaian orang-orang PKI. Seorang tokoh lainnya adalah pembantai yang berhasil berdamai dengan Adi Rukun. “Saya tidak bisa menganggap Joshua terlupa mengenai hal ini. Saya harus melihatnya sebagai sebuah kesengajaan,” tegas sosok yang kerap disebut sebagai juru kunci kritik sastra Indonesia ini. Dengan kata lain, Joshua berusaha mencitrakan tokoh yang antagonis adalah penganut Islam. Sebaliknya, tokoh yang protagonis itu di luar Islam. Akan tetapi, film ini juga menunjukan jika keluarga Adi itu beragama Islam. Setidaknya ini ditunjukan dengan adanya sejumlah sajadah di rumah orang tua Adi. Namun demikian, Faruk rupanya punya urain lebih mendetail ihwal “keislaman” dari Adi dan keluarganya, melalui kajian semiotika. Dalam pengamatannya, sajadah di rumah orang tua Adi digambarkan ditumpuk begitu saja bersama dengan kain-kain biasa yang kotor. Satu sajadah yang tergelar rapi ditempatkan berdekatan dengan
jemuran yang kotor. Sajadah inilah yang kemudian menjadi tempat ayah Adi merasa tersesat. Dengan sejumlah temuan itu, Faruk mempertanyakan motivasi besar di baliknya. “Saya mau tidak mau harus mengatakan bahwa Joshua cenderung menjadikan orang-orang Islam sebagai kambing hitam dari kegagalan negosiasi,” ujarnya. Hal itu yang menurutnya menjadikan dalam durasi satu setengah jam lebih, tidak terdapat sekalipun adegan Adi atau keluarganya melakukan ibadah. “Kalau keluarga Adi bukan Islam atau tidak pernah beribadah, untuk apa mereka punya sajadah? Apakah sajadah itu hanya sebagai properti yang memang dipersiapkan oleh si pembuat film?” tanya Faruk. Padahal, dalam beberapa adegan tampak Adi memperlihatkan pengetahuan agama Islamnya. Selain itu, terdapat juga adegan Adi bertemu dengan pamannya yang berpenampilan Islami. Hal tersebut menurut Faruk menunjukan jika keluarga besar Adi adalah penganut Islam yang taat. Temuan-temuan tersebut dan temuan lain terkait film Senyap telah Faruk tuliskan juga dalam sebuah naskah akademik. Temuan itu ia harapkan bisa menjadi bahan pertimbangan oleh berbagai pihak, tidak terkecuali bagi Komnas HAM. Terkait dengan ide rekonsiliasi yang digadang-gadang
“YANG MASIH NGOTOT TIDAK MAU MELAKUKAN REKONSILIASI ADALAH ORANGORANG YANG TERJEBAK OLEH KEKUATAN SOSIAL DAN POLITIK KETIGA, MISALNYA AMERIKA SENDIRI,”
dapat didorong dengan penayangan film ini, Faruk memberi sedikit catatan. Dengan dasar akademis dia mengatakan, “Film Senyap ini bukanlah ajakan untuk terbangunnya dialog dan rekonsiliasi, melainkan lebih dekat pada tindakan penghakiman dan penghukuman terhadap mereka yang dianggap bersalah.” Kecenderungan itu semakin tampak pada adegan pertemuan Adi dengan keluarga almarhum Amir Hasan. Di dalam adegan itu Joshua terlibat aktif untuk memaksa keluarga Amir menyaksikan kekejaman ayah mereka. Lebih lanjut, menurut Faruk, kesulitan pengungkapan pelanggaran hak asasi manusi pada peristiwa seputar 1965 bukan disebabkan oleh masyarakat sipil. Ia menganjurkan pembahasan itu mesti komperhensif dan dari berbagai sisi. “Yang masih ngotot tidak mau melakukan rekonsiliasi adalah orang-orang yang terjebak oleh kekuatan sosial dan politik ketiga, misalnya Amerika sendiri,” katanya. Ia juga sedikit mengingatkan adanya kemungkinan bahwa film ini merupakan upaya memecah belah. Ada kecenderungan film ini ingin mempertebal tembok pemisah antara hijau dan merah, antara kaum religius dan abangan, untuk kepentingan pihak ketiga. Dengan demikian, terlepas dari film Senyap, Faruk sangat berharap adanya rekonsiliasi nasional antara para korban dan pelaku. “Mereka (korban dan pelaku) semacam korban dari divide et impera. Jadi, segeralah berdamai dan jangan justru tambah dalam terperosok. Setelah itu, segeralah dukung pencabutan Tap MPRS yang melarang komunis itu,” pungkas Faruk. **** Menit 01.25.40 Adi dengan ditemani Joshua pada akhirnya bertandang ke rumah Amir Hasan, yang saat itu telah meninggal dunia. Di tengah-tengah percakapan, istri almarhum Amir memutuskan untuk angkat PRANALA, Edisi Januari-Februari 2015
21
kaki. Kedua anak laki-laki Amir meminta agar wawancara itu segera diakhiri. “Udah sampai sini saja kalau masalah ini. Karena orang tua saya sakit jadi trauma dia pula lagi. Mengingat masa lampau, ya udah mari kita benahi sekarang bagus-bagus. Tapi kalau Joshua memaksa untuk buka, apa yang harus dibuka?” ujar salah seorang anak Amir dengan nada tinggi. Sementara itu, Adi tetap duduk tenang dengan mata berkaca-kaca. Segera saja Joshua memberikan laptop dan meminta Adi menekan tombol spasi agar video berjalan kembali. Video itu berisi rekaman Amir saat menuturkan jumlah korban yang ia eksekusi. Perdebatan antara Joshua dengan kedua anak Amir berlanjut. Tiba-tiba isteri Amir kembali ke ruang tamu. “Cuma kami mohon maaf ya, sama si Adi, ya? Apa yang Adi rasakan, ya kami juga merasakannya. Jadi mohon maaf,” ucap isteri Amir sembari menatap Adi. Adi membalasnya dengan menganggukan kepala dan sedikit menuai senyuman. Di tengah ketenangan Joshua kembali berucap, “Ada satu rekaman lagi dengan bapak. Soalnya di sini dia menceritakan…” Ucapan Joshua itu membuat suasana semakin memanas dan tiba-tiba terhenti. “Kami sambut Joshua dengan baik. Tapi kalau begini, kami kan, jadi tidak senang Joshua,” pungkas salah seorang anak Amir. Adegan di rumah almarhum Amir itu pun usai. 22
PRANALA, Edisi Januari-Februari 2015
Keterlibatan Joshua dalam film tersebut, kemudian tiga representasi yang dimainkan sekaligus, serta beberapa teknik di film ini membuatnya menjadi film dokumenter yang unik. Seorang dosen Fakultas Seni Media Rekam ISI Yogyakarta, Arif Sulistiyono, mengamini jika fil ini adalah film dokumenter yang penggarapannya cukup bagus. “Secara bentuk, ini tidak biasanya,” ucapnya. Arif juga menyebutkan jika secara teoritis film dokumenter setidaknya terbagi dalam jenis: ekspositori, drect cinema, performatif, dan observasional. Uniknya, film Senyap mampu mengkombinasikan beberapa jenis penggarapan sekaligus. “Ada temen-temen menyebutnya hybrid. Kalau saya pribadi menganggap ini bisa merangkum semua bentuk. Apakah ini masuk unsur hybryd, itu bisa jadi,” tambah sosok yang juga menjabat Kepala Jurusan Animasi ini. Film Senyap menurutnya mampu melakukan observasi tapi sekaligus mampu memunculkan keAdegan Joshua menyerahkan laptop kepada Adi untuk memperlihatkan video berisi mantan pelaku pembunuhan PKI.
Adegan dimana ibunya Adi bertanya pada suaminya tentang anak sulung mereka, Ramli
san dramatis. Kesan dramatis ini hingga mendapat perhatian dari sejumlah praktisi dan akademisi. Arif bahkan sempat berdebat dengan seorang dosen Bina Nusantara yang menganggap para narasumber di film ini melakukan acting. Namun demikian, Arif tetap yakin Joshua tetap memberi jarak pada narasumbernya. Ia memastikan Joshua memiliki metode pendekatan khusus kepada para narasumbernya. Efek dramatis ini pula yang membedakan Senyap dengan Jagal, film garapan Joshua sebelumnya. Pada Jagal, yang ditonjolkan adalah aspek visual dan deskripsi dari apa yang terjadi pasca 1965. Di Senyap, Arif melihat Joshua lebih berupaya mendapatkan empati dari penononton saat melihat adegan demi adegan. Selain itu, Joshua dan tim dalam penilaian Arif sangat jeli dalam setiap tahapan produksi. Dari tahapan riset, Joshua mampu mendalami persoalan serta mampu begitu dekat dengan para narasumber. Riset selama 11 tahun sebelum masuk tahapan produksi, merupakan waktu yang relatif lama bagi sebuah film dokumenter. Itu bisa disejajarkan dengan film Heart yang diproduksi selama enam tahun di 54 negara dan dengan ratusan juru kamera. Pada tahapan pengambilan gambar, Joshua dan tim sangat lihai dalam menimbulkan efek dramatis dari tiap-tiap narasumber. Arif mencontohkan penggunaan teknik extreme close up pada Inong, saat dia menolak untuk melanjutkan obrolan dengan Adi Rukun. Model pengambilan gambar semacam itu menimbulkan kesan Adi memaksa Inong untuk melanjutkan pengakuannya. Terkait data audio, Joshua mampu mendapatkan informasi yang mendalam dari narasumber dengan tetap menjaga naturalitas dari cara penyampaiannya. Yang paling menarik dari film ini menurut Arif adalah penggarapan editingya. “Dia njait-nya bagus banget. Joshua ngeditnya itu asyik banget,” ungkap sosok kelahiran Magelang tahun 1976 ini. Film Senyap mampu memanfaatkan jeda antar adegan untuk menimbulkan efek tertentu. Tiap-tiap adegan berhubungan satu sama lain dengan simbol tertentu sebagai penghubung. Terdapat juga detail-detail yang itu punya efek emotif. “Dan itu koyo film (non-dokumenter). Itu sangat emosional
seperti dalam film,” papar Arif menyimpulkan kejelian editing pada film Senyap. Dengan penggarapan demikian, Arif menilai sangat wajar jika film Senyap banyak mendapatkan penghargaan. Ia mengakui, jika secara bentuk, film dokumenter ini mungkin tampak biasa saja. Akan tetapi, dalam penilaian sebuah film dokumenter, aspek isu yang diangkat sangat menentukan. Isu pelanggaran hak asasi manusia dalam film Senyap tampaknya menjadi hal yang membuat film itu memiliki nilai lebih. Arif mencontohkan film dokumneter yang menang karena membawa isu homoseksual. Terkait isu hak asasi manusia yang menjadi nyawa film, Arif melihat film ini memiliki potensi untuk mendorong adanya penegakan hak asasi manusia. Dia bersepakat dengan program Komnas HAM yang mengadakan roadshow penayangan film ini. Target pemutaran di kampus-kampus merupakan strategi yang tepat. Masyarakat kampus memiliki pengetahuan soal konteks peristiwa 1965. Selain itu, orang-orang terididik di kampus bisa menyebarkan gagasan film Senyap secara lebih luas. Soal objektifitas dari fakta-fakta yang disajikan, secara teoritis, Arif meyakini jika film dokumenter memang sudah semestinya subjektif. Baginya, otentitas fakta sejarah dari film Senyap tidak lebih penting dari semangat kemanusiaan yang dibawanya. Akan tetapi, Arif juga sedikit mengkritisi motif yang mungkin saja Joshua ingin capai dalam filmnya. “Kayaknya kok agak nggak mungkin dia bisa dengan begitu mudah mengakses ini itu dengan mudahnya. Mesti ono sing lewih gede, yang itu punya kepentingan langsung maupun tidak,” sangkanya. Dengan isu seriskan itu, cukup luar biasa jika Joshua mampu mengambil gambar dengan nyaman, terlebih dalam film Jagal. Joshua juga mampu bertemu dengan tokoh-tokoh besar yang dalam hal ini bisa membahayakan dirinya dan tim. “Kalau ternyata nggak ada, ya baguslah. Tapi kok nggak yakin, yah,” pungkas Arif.
PRANALA, Edisi Januari-Februari 2015
23
Laporan Utama
MARTIN ALEIDA, SASTRAWAN DAN BUDAYAWAN
DokumEntEr ini tErLaLu kuat untuk tiDak DiSakSikan Wawancara Oleh: Kamil Alfi Arifin
Martin Aleida adalah saksi mata, korban dan sekaligus penulis yang gigih untuk terus mengabarkan faktafakta kekejian di sekitar peristiwa kelabu 65. Beberapa waktu lalu, Martin, di tengah-tengah menonton film Senyap. Ia juga bercerita seputar persoalan ketakutan dan dendam yang seolah tak pernah selesai terhadap komunisme di tanah air, serta upaya-upaya rekonsiliasi. Berikut petikan wawancaranya yang dilakukan melalui media sosial.
Anda pasti sudah menonton film Senyap. Bahkan mungkin berkali-kali ya. Berapa kali Anda nonton film tersebut? Saya hanya sekali menonton Senyap. Sebagai korban sekaligus sebagai penulis yang produktif menulis soal-soal 65, bagaimana komentar dan kesan Anda tentang film ini? Dokumenter ini terlalu kuat untuk tidak disaksikan. Dia lebih memagut, menghanyutkan perasaan, karena berangkat dari korban. Adi yang mencari siapa yang membantai abangnya. Karya sastra, seperti pernah saya katakan, juga disiplin seni lain, ditakdirkan untuk memihak pada korban. Sementara karya Oppenheimer yang lain, Jagal adalah gambaran yang menjijikkan tentang para pembunuh, musuh dari semua peradaban. Komnas HAM menjadikan pemutaran film ini sebagai kegiatan negara dan sekaligus alat untuk mengingat masa lalu. Sementara LSF melarangnya. Bagaimana Anda melihat gesekan dua lembaga ini? Ada yang menarik ketika Senyap diputar di Taman Ismail Marzuki, kerjasama Komnas HAM dan Dewan Kesenian Jakarta. Penonton membludak, diputar dua kali. Menteri Dalam Negeri Tjahyo Kumolo menulis surat kepada Dewan Kesenian Jakarta, mengucapkan terima kasih sudah menyuguhkan film itu kepada publik. Sementara Komnas HAM menunjukkan konsistensinya tentang pelanggaran HAM berat yang dilakukan negara terhadap rakyatnya tahun 1965-66. Lembaga Sensor menolak.
24
PRANALA, Edisi Januari-Februari 2015
Jangan terkecoh, masih banyak lembaga dan masyarakat biasa yang buta dan tuli. Saya saja oleh Akademi Jakarta dianulir untuk menerima anugerah Akademi Jakarta, sebagaimana yang diputuskan juri yang diangkat sendiri tahun 2013. Tapi tahun itu, saya dapat penghargaan kesetiaan berkarya dari Kompas, dan awal 2014 memperoleh anugerah seni dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Manusia kepala batu seperti Ajip Rosidi dari Akademi Jakarta merasa kurang puas kalau belum melihat darah semua orang kiri yang dia kafirkan. Baca buku saya; Langit Pertama, Langit Kedua). Adakah dan bagaimana bentuk rekonsiliasi yang bisa dan mungkin dilakukan? Terutama dalam konteks budaya Indonesia? Tentang rekonsiliasi, tak ada rekonsiliasi kalau korban terus dizalimi. Buku putih yang diterbitkan pemerintah harus dilengkapi dengan fakta tentang ribuan korban yang dibantai dan dengan cara seperti apa. Tanpa kedua belah pihak punya hak yang sama mengenai fakta sejarah, maka rekonsiliasi tak mungkin. Senyap telah mengungkapkan apa yang telah terjadi, maka dia harus diterima dengan ksatria oleh mereka yang tangan dan hatinya berlumuran darah saudaranya sendiri. Mengapa ketakutan dan dendam terhadap komunisme seolah tak pernah selesai di Indonesia? Bahkan muncul ormas dengan label anti komunis? Anda jangan silap atau mengingkari sejarah. Selama PKI mendominasi perpolitikan Indonesia, hanya terjadi satu pembunuhan terhadap seorang anggota tentara yang dipacul seorang petani yang mempertahankan tanahnya. Ingat petani itu diadili dan dihukum. Buka file, itu terjadi sekitar akhir 1964 atau awal 1965 di Bandar Betsy, Sumatera Utara. Kemudian ada juga pengadilan terhadap petani di Indramayu. Sebagai wartawan Harian Rakyat, saya menulis laporan mengenai pengadilan itu. Harian Rakyat juga menerbitkan komik bergambar berdasarkan laporan saya itu, dilukis oleh Bramastho. Jadi, apakah Anda mau telan mentah-mentah fitnah kalau tak membunuh PKI maka Anda akan dibunuh?
untuk ditelan. Di tangan Gus Dur, pahala, kebajikan, begitu bersahaja; minta maaflah karena kami ikut menumpahkan darahmu. Gus Dur bukan kesatria, dia manusia biasa. Para pengacau tidak hanya tidak merasa bersalah, mereka (seperti di Senyap) membunuh sesuai dengan titah Tuhan. Nauzu billah minzalik. Catat, para pembunuh manusia 65-66 lebih keji dari Nazi. Pasukan Nazi pakai seragam memaksa korban mereka ke kamar gas. Di Indonesia tentara cuma di belakang, bawa truk untuk mengangkut jasad yang disepak para pembunuh yang mereka bina. Percayalah, tanpa pengakuan terhadap kekejian terhadap manusia yang terjadi 1965-66, bangsa Indonesia akan tetap menjadi bangsa terkutuk. Ingat, di Belanda November tahun ini akan berlangsung pengadilan rakyat Internasional (IPT 65) untuk mengadili kejahatan RI dengan merujuk pada rekomendasi Komnas HAM. Itu memang bukan pengadilan pidana, tapi Indonesia akan semakin terkutuk di mata dunia. Gus Dur, bagi sementara kaum kepala batu yang mengingkari kebenaran faktual, juga adalah matahari yang harus mereka tenggelamkan. Percayakah Anda Indonesia negara demokratis? Legislasinya ketetapan MPRS yang ingin dianulir Gus Dur, masih nangkring dengan zalimnya. Di PBB, komunisme tidak dilarang, yang dilarang fasisme. Masih banyak yang buta dan tuli dan lebih banyak lagi yang dibutakan, ditulikan. Betapa banyak haji, pemuka Islam yang jadi digilis karena memberontak terhadap kolonialisme tahun 1926. Anda sudah tahu tak usah saya rinci. Banyak yang mengaku tak beragama, tapi di dalam hati mereka menelusuk di kaki Tuhan. Ayah Aidit haji, bacalah biografi Lenin yang ditulis Louis Fischer, berapa puluh kali dia menyebut God. Tak sedikit yang mengaku beragama gagah-gagahan, tapi perbuatan mereka sama dengan melemparkan najis ke haribaan Allah. Anda lihatlah di sekeliling kita. Ini masalah politik bukan agama.
Bagaimana tanggapan Anda tentang warisan permintaan maaf yang pernah dilakukan Gus Dur. Dan saat ini, warisan berharga itu nampaknya mulai “diotak-atik” dan dipersoalkan lagi? Rekonsiliasi ala Gus Dur sudah terkubur bersama bapak bangsa itu. Dia manusia tiada tara. Sementara masyarakat pendukung kezaliman dan pesta pora rezim militeristik, dia meminta maaf karena ada unsur NU yang ikut membantai dan memekikkan bahwa darah saudaranya sendiri halal
PRANALA, Edisi Januari-Februari 2015
25
Laporan Utama
Joshua Oppenheimer, sutradara film senyap
SEnyaP aDaLaH PEnEgaSan oPtimiSmE mEngEnai rEkonSiLiaSi Wawancara Oleh: Kamil Alfi Arifin
Film Senyap dicekal dimana-mana. Pemutarannya
alan dari 1.127 pemutaran di seluruh Indonesia, antara 10
dibubarkan secara paksa oleh ormas tertentu, terma-
Desember 2014 sampai 10 Januari 2015. Dua puluh enam
suk di Yogyakarta. Aparat seperti tak berbuat apa-apa.
pembatalan itu sudah mencakup semua jenis pencekalan.
Sepenuhnya tunduk pada tuntutan pelaku kekerasan.
Baik yang dibatalkan oleh pihak pemilik gedung atau
Kelompok-kelompok kontra film Senyap, khawatir dan
kampus, dibatalkan sendiri oleh panitia karena ancaman
cemas, film ini bagian dari sekian tanda-tanda yang terang
ormas atau tekanan aparat, atau dibatalkan dengan paksa
mengenai kebangkitan kembali komunisme di Indonesia.
setelah dicoba diputar.
Kehadiran film ini juga dianggap hanya mencabik-cabik
Film Senyap telah diputar lebih dari seribu kali di 32
luka masa lalu yang sudah dilupakan oleh banyak orang.
provinsi di seluruh Indonesia dalam waktu satu bulan.
Akibatnya, tatanan bangsa kembali teraduk dan tegang.
Ditonton lebih dari 50 ribu orang Indonesia di 116 kota,
Banyak orang kemudian mempertanyakan pentingnya film
dari Aceh sampai Papua, dari Manado sampai Kupang.
ini di masa sekarang. Tapi menurut sutradara film Senyap, Joshua Oppenheimer, film ini justru adalah penegasan optimisme mengenai rekonsiliasi. Hanya saja, sebelum menuju ke arah rekonsiliasi
Ini sungguh sebuah apresiasi penonton yang luar biasa, dan kerja distribusi yang baik. Kami sangat berterima kasih pada teman-teman pendukung dan terutama atas kerja keras para penyelenggara pemutaran film Senyap.
yang sejati, perlu dibuka bahwa ternyata masih ada luka
Prediksi kami sebetulnya sama saja. Selama masih ada
masa lalu yang lebar dan menganga.
LSF, dan selama cara berpikirnya masih sama dengan
Sebuah luka yang alih-alih diobati, selama rezim orde baru, luka itu malah disembunyikan dan rakyat dibius sedemikian rupa untuk menghilangkan rasa perihnya. Kini, ketika luka itu kembali dibuka dan diangkat ke permukaan. Wajar banyak pihak yang terlibat dan mengambil keuntungan dari tragedi kelabu 65 tersebut, menjadi terusik, terkejut dan terganggu kenyamanannya.
rezim orde baru, tentu saja, film kami, baik Jagal maupun Senyap, masih punya kemungkinan untuk ditolak seluruhnya oleh LSF. Hanya saja, tingginya semangat masyarakat Indonesia dalam mengapresiasi film Senyap pada saat film ini diluncurkan, ditambah dukungan lembaga negara seperti Komnas HAM atau Dewan Kesenian Jakarta, tentu membuat kami menyetujui untuk mencoba langkah baru. Mendaftarkan film ini ke LSF. Tentu saja percobaan
Halo Joshua. Apa kabar, sehat?
ini didorong oleh sebuah harapan yang naik bersama
Kabar baik. Saya sehat-sehat saja. Mudah-mudahan
terpilihnya Jokowi, dan angin perubahan yang kelihatann-
begitu pula dengan Anda.
ya cukup menyegarkan pada saat kami meluncurkan film
Ketika film Senyap diputar di Indonesia, banyak terjadi pelarangan di berbagai tempat. Padahal sebelumnya, Anda memprediksi kemungkinan pembredelan film ini tak terlalu besar. Tanggapan Anda?
ini 10 November 2014 silam.
Berbicara mengenai jumlah pembatalan pemutaran film
Dalam suatu wawancara dengan Wall Street Journal, Anda bilang bahwa film Senyap adalah semacam “panggilan lantang” ke arah rekonsialiasi. Tapi, banyak lho yang mengkhawatirkan bahwa film ini justru seperti bensin yang ditumpahkan pada luka lama
Senyap, sebetulnya tidak banyak. Hanya ada 26 pembat-
yang sejatinya belum sepenuhnya kering. Tanggapan Anda?
26
PRANALA, Edisi Januari-Februari 2015
Saya tak pernah mendengar atau membaca pendapat
belum dinyatakan sebagai penjahat kemanusiaan. Bahkan
yang mengatakan bahwa saya menyiramkan bensin ke
ada yang hampir jadi pahlawan nasional, sebagian lagi
dalam luka lama. Kalau saya ingin menyiramkan sesuatu,
masih hidup sebagai tokoh masyarakat, pimpinan politik,
tentunya saya lebih baik menyiramkan antiseptik atau obat
dan bisa hidup bebas. Para korban, keluarganya, masih
yang bisa membantu penyembuhan luka itu. Saya tidak
didiskriminasi, distigmatisasi, harta bendanya yang
paham kaitan bensin (yang berkaitan dengan bara atau
dulu dirampas secara tidak sah belum dikembalikan.
mesin) dengan luka dari masa silam.
Mereka yang dipecat semena-mena belum mendapatkan
Pendapat sejenis, yang mengatakan bahwa saya membu-
pesangon, pensiun, serta rekompensasi lainnya.
ka luka lama, atau malah membuat luka baru dengan film,
yang diraih bersama rezim orde baru yang dimulai dengan
Pelajaran sejarah di sekolah masih menyembunyikan dan belum menyebutkan adanya peristiwa pelanggaran HAM berat. Belum menjelaskan duduk persoalannya kepada jutaan siswa setiap tahunnya. Pada intinya, keadilan belum ditegakkan sama sekali. Lalu bagaimana bisa dikatakan saya yang membuka luka
pembunuhan masal 1965.
lama atau membuat luka baru dengan film?
biasanya datang dari orang-orang yang terusik kekuasaan dan kenyamanan hidupnya, setelah menikmati keuntungan
Yang penting diketahui, dan ini sungguh terang bagi
Rezim orde baru didirikan diatas pembantaian massal dan
mereka yang mau berpikir kritis, bahwa luka itu terbuka
dimulai sejak luka itu ditorehkan. Luka itu masih terbuka
menganga sejak dibantainya jutaan orang tak bersalah
menganga bernanah, sampai hari ini. Rezim orde baru
oleh rezim militer tahun 1965. Luka itu belum sembuh
masih terus berlangsung selama luka itu masih belum
karena selama setengah abad bukannya diupayakan
disembuhkan. Karena luka itu belum diobati dan belum
untuk diobati, luka itu justru disembunyikan. Pemerintahan
sembuh, rezim orde baru belum berakhir sampai hari
sepanjang rezim Orde Baru membius rakyat selama
ini. Sekalipun pendiri dan pimpinan utamanya, Jenderal
puluhan tahun agar rasa sakitnya tidak terasa.
Soeharto, sudah terguling dari kekuasaannya 15 tahun
Film Jagal dan Senyap, sejauh-jauhnya hanya bisa
yang lalu.
menyadarkan dan menunjukkan bahwa luka itu masih ada,
Apa sebenarnya makna penting dari film Senyap di tengah-tengah usaha-usaha rekonsiliasi yang sudah mulai dirintis?
menganga, terbuka, dan semakin lama dibiarkan semakin membusuklah ia. Lantas, tentu saja, mereka yang selama ini sudah berusaha habis-habisan menyembunyikan luka itu serta berusaha membuat rakyat lupa, terpaksa harus melakukan penyangkalan, dan menuduh sayalah yang membuka luka yang sudah sembuh itu. Terlalu gamblang dan nyata terlihat, bahwa luka itu belum pernah sembuh dan mengering seperti yang dikatakan penerus dan pendukung orde baru. Luka itu terjadi ketika kejahatan terhadap kemanusiaan dilakukan terhadap ratusan ribu sampai jutaan orang Indonesia. Bagaimana bisa luka itu sembuh, ketika kejahatan terhadap kemanusiaan belum dinyatakan sebagai kejahatan
Film Senyap adalah sebuah media yang bisa membantu mengingatkan masyarakat mengenai sebuah persoalan yang masih mengganggu, sekalipun terjadi 50 tahun yang lalu. Film Senyap menegaskan kembali pentingnya rekonsiliasi. Sebuah jawaban optimis atas kegundahan yang mungkin muncul setelah melihat Indonesia lewat film Jagal. Film Senyap adalah penegasan optimisme kami mengenai rekonsiliasi, seperti yang dikatakan oleh co-sutradara anonim; rekonsiliasi adalah sebuah jalan yang berat dan sukar, tetapi bukan jalan yang tak mungkin ditempuh. Menurut Anda, bagaimana nasib usaha rekonsialiasi pasca film ini? Atau barangkali lebih tepat, bagaimana model rekonsiliasi yang dianggap tepat menurut Anda? Bagaimana nasib usaha rekonsiliasi pasca film Senyap?
terhadap kemanusiaan.
Saya tidak punya ekspektasi dan berpretensi bahwa film
Pembunuhan massal belum
Senyap bisa mengubah nasib usaha rekonsiliasi yang
diakui sebagai pembunuhan massal. Para pelaku dan mereka yang bertanggung jawab terhadap 9 jenis kejahatan terhadap kemanusiaan itu
telah dirintis oleh keluarga korban, aktivis hak azasi, dan lembaga negara seperti Komnas HAM atau LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban) selama ini. Saya hanya punya harapan bahwa film Senyap, yang didistribusikan gratis di seluruh Indonesia bisa membantu proses rekonsiliasi itu. Bagaimana model rekonsiliasi
PRANALA, Edisi Januari-Februari 2015
27
Laporan Utama
yang dianggap tepat menurut saya? Pertanyaan ini tidak
mendorong senator Amerika Serikat, seperti senator Tom
relevan jika ditanyakan sebagai pendapat pribadi saya.
Udall, untuk mengajukan resolusi senat. Isinya mendesak
Pertanyaan ini seharusnya ditanyakan kepada keluarga
pemerintah Amerika Serikat untuk mengakui keterlibatan-
korban dan penyintas, model rekonsiliasi apa yang
nya dalam pembantaian massal 1965, dan membuka
dianggap tepat menurut mereka.
semua dokumen rahasianya mengenai Indonesia pada
Film Senyap muncul di tengah-tengah kebangkitan kembali pesona gagasan dan gerakan kiri di Indonesia. Film Anda ini dianggap semakin mencerahkan pesonanya. Respon Anda?
periode 1960-1970an.
Film Senyap dan juga film sebelumnya, Jagal, adalah dua film yang menyoroti gagasan sekaligus mempertanyakan kemanusiaan kita. Ini tidak ada urusannya dengan “kiri” atau “kanan” gerakan di Indonesia. Terlebih lagi, pilihan ideologis sebuah gerakan tidak selayaknya didasarkan pada tinggi-rendahnya pesona yang dibawanya. Tokoh utama dalam film Senyap, Adi Rukun dan keluarga dan termasuk Anda sendiri, apakah sudah ada jaminan keselamatan? Kami mengupayakan yang terbaik. Memindahkan keluarga Adi Rukun ribuan kilometer dari kampung halamannya, dan menjalani kehidupan yang baru. Adi sendiri melihat kepindahannya ini sebagai sebuah kesempatan untuk bisa hidup dengan lebih layak dan kesempatan bagi anak-anaknya untuk mendapatkan pendidikan yang lebih baik. Adi adalah orang berani, sekaligus lembut dan
Berapa lama penggarapan film ini? Film Senyap digarap bersama-sama dengan film Jagal. Dimulai dari 2001, ketika saya mewawancarai pelaku pembantaian masal pertama kali dalam rangka membuat film mengenai gerakan buruh perkebunan pasca reformasi politik. Walaupun begitu, pengambilan gambar utama dilaksanakan 2010 sampai 2012, bersamaan dengan finalisasi penyuntingan, tetapi sebelum peluncuran film Jagal (The Act of Killing). Komnas HAM menjadikan pemutaran film Senyap sebagai kegiatan negara dan alat untuk mengingat kembali masa lalu. Apakah film ini memang dapat menggambarkan masa lalu, bukankah ia hanya sekedar representasi? Siapapun yang membicarakan “sekadar” representasi tidak sedang berbicara tentang film Senyap semata. Ia sedang membicarakan semua hal yang kita pahami, semua yang mungkin kita cerna dan kita mengerti lewat
sabar. Keberanian Adi sekeluargalah yang membuat saya
media.
termotivasi membuat film ini.
Selama kita tidak punya mesin waktu dan mengalami
Anda orang Amerika, sebuah negara yang anti Komunis. Mengapa justru bikin film yang terkesan membela orang-
tersampaikan lewat media yang selalu adalah sebuah rep-
orang komunis dan gagasan kiri di Indonesia?
resentasi. Dan justru di situ problemnya dengan film. Kita
kembali masa lalu itu lagi, selamanya masa lalu akan
Pertama kali, sebelum saya menjadi warga negara
hanya bisa memahami masa lalu, yang direkam dalam
apapun, saya adalah seorang manusia. Saya bisa berganti
film sekalipun, sebagai representasi. Apa yang tidak? Film
kewarganegaraan kapan saja saya mau, tetapi saya tidak
Jagal (The Act of Killing) dengan tegas menolak bahwa
bisa berganti menjadi sesuatu selain manusia. Kesadaran
film dokumenter bisa merepresentasikan sebuah peristiwa
kemanusiaan ini melampaui batas-batas ideologi,
sebagaimana adanya. Sebaliknya, film saya justru secara
kiri-kanan, dan kewarganegaraan. Stereotipe bahwa orang
terbuka menyampaikan bahwa apa yang bisa direkam
Amerika pasti begini dan kalau orang Indonesia pasti
dalam sebuah dokumenter adalah sebuah representasi
begitu, sungguh tidak banyak membantu dalam melihat
sebagaimana ingin diperlihatkan oleh para tokohnya
persoalan dan gagasan yang saya angkat dalam film
kepada dunia.
Jagal dan Senyap.
Film Jagal justru menekankan pentingnya representasi itu.
Anda bisa lihat dengan cukup jelas, stereotipe seperti ini,
Saya mereprentasikan sejarah sebagaimana sebuah peris-
misalnya bahwa orang komunis pasti tak bermoral, tak
tiwa itu direpresentasikan oleh para pelakunya. Sejarah
bertuhan, senang mengklaim atau bertukar istri, layak
yang Anda pelajari dari buku teks resmi di sekolah adalah
diberantas, dan seterusnya, adalah hal yang mendorong
sebuah representasi juga. Film “Pengkhianatan G30S/PKI”
terjadinya rasa permusuhan masal. Kemudian memungk-
adalah sebuah representasi juga.
inkan kekerasan masal terjadi serta meluas.
Kalau saya representasikan lagi sesuatu yang sudah
Yang justru penting dilihat, tetapi sering dilupakan adalah,
direpresentasi itu, maka saya membuka lapis demi lapis
bahwa sebagai warga negara Amerika Serikat, saya bisa
realitas itu. Membawa Anda ke sebuah bentang pen-
28
PRANALA, Edisi Januari-Februari 2015
galaman dan pengertian yang belum direpresentasikan sebelumnya. Saya tidak menciptakan sebuah peristiwa baru atau realitas baru, melainkan apa yang lakukan lewat film saya adalah sebuah upaya memperkaya pemahaman kita terhadap berbagai representasi atas realitas yang ada. Semua yang Anda pahami dari media apapun, catatan, dokumen, lukisan, buku, video, TV, radio, cerita ibu Anda, peta, gossip, berita koran, blog, dan seterusnya, semuanya adalah representasi belaka. Dan dari sini saya ingin mengatakan bahwa representasi itu penting. Bisa jadi itulah satu-satunya yang kita punya. Tidak selayaknya representasi diawali dengan kata “sekadar”. Komnas HAM memilih film Senyap sebagai bagian dari program kerja subkomisi pendidikan dan penyuluhan, karena tema yang diangkat sesuai dengan tema kerja mereka, yaitu rekonsiliasi, bukan karena film Senyap, atau film apapun dapat secara utuh menggambarkan masa lalu. Sesudah ratusan halaman laporan ditulis, sesudah ratusan buku ditulis, sesudah ratusan film dibuat dan dipublikasi, masa lalu tidak akan pernah secara utuh tergambarkan. Tapi apakah film Senyap dapat menggambarkan masa lalu? Tentu bisa. Cerita bohong semacam penyiksaan jenderal di Lubang Buaya dalam film “Pengkhianatan G30S/PKI” sekalipun bisa menggambarkan masa lalu. Kebohongan dalam film itu menggambarkan kebutuhan produsernya, rezim Orde Baru, pada masa itu. Mereka perlu berbohong mengenai kekejaman PKI untuk menjustifikasi idelogi anti komunisme yang dibawa orde baru. Kenapa tiba-tiba, Komnas HAM memutuskan demikian. Apakah ada agenda politis lain di balik pemutaran film ini? Perjuangan penegakan HAM bukan semata-mata kerja peningkatan kesadaran masyarakat dan upaya penegakan hukum, melainkan juga perjuangan di bidang politik. Agenda politik apa yang saya bayangkan bisa didukung dengan film Senyap? Mungkin sebuah pemutaran film Senyap bagi para anggota parlemen untuk mendorong mereka agar segera membuat lagi undang-undang mengenai Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKRI). Mungkin. Ini pun bukan agenda politik sebetulnya, tetapi lebih ke agenda kerja bidang pendidikan dan penyuluhan dengan sasaran khusus saja. Saya tidak tahu agenda politik Komisi Nasional HAM RI. Pertanyaan ini seharusnya diajukan kepada komisionernya. Anda pernah berharap besar pada pemerintahan Jokowi terkait dengan pelanggaran HAM masa lalu, termasuk peristiwa 65. Tapi nampaknya, Jokowi tidak banyak melakukan apa-apa
sampai hari ini, terlebih tentang pelarangan pemutaran film Anda di sejumlah tempat. Anda tidak kecewa? Kalau Jokowi belum banyak melakukan apa-apa dalam bidang penegakan HAM sampai hari ini. Yang terlihat jelas, bagi saya, itu karena dia baru jadi presiden selama 100 hari. Padahal dia akan menjadi presiden selama 1.826 hari, kalau genap 5 tahun. Saya sadar bahwa dia bukanlah Presiden Abdurrahman Wahid, yang bisa tiba-tiba menyatakan permintaan maafnya terhadap korban peristiwa 1965, mengakui keterlibatan organisasinya, Nahdatul Ulama, dan mengajukan gagasan agar TAP MPR no. 25/1966 mengenai larangan penyebaran ideologi komunisme dicabut. Lalu, sebelum apapun secara formal dilakukan, Gus Dur terguling. Saya berharap besar pada Jokowi karena pada pemilihan presiden yang lalu ia adalah satu-satunya calon presiden yang mencantumkan janji untuk menuntaskan kasus HAM masa lalu. Termasuk peristiwa 1965, dan berjanji menghapus segala bentuk impunitas. Kita lihat saja dalam periode pemerintahan Jokowi sekarang ini, masih ada 1.726 hari lagi. Adakah yang akan ia lakukan untuk memenuhi dua janjinya itu? Kalau sampai hari terakhir ia tidak berbuat apapun, kita lihat saja para kontestan pemilihan presiden 2019. Aiapa yang kelihatannya paling bisa diharapkan menegakkan hak asasi manusia di Indonesia. Kita dukung dia. Kalau masih Jokowi, kita dukung Jokowi. Kalau ada calon yang lebih baik, kita dukung calon yang lebih baik. Apa Anda tidak tertarik tinggal dan menetap di Indonesia? Saya hidup berpindah di tempat yang menurut saya paling menarik. Saya lahir dan besar di Amerika Serikat, meninggalkannya untuk bersekolah. Saya pindah ke London, Inggris, dan dari situ saya sempat tinggal di Indonesia. Keluar masuk, karena visa-nya mengharuskan saya begitu. Lalu saya sekarang tinggal di Copenhagen, Denmark. Tak tahu untuk berapa lama, dan entah sesudah ini saya akan pindah ke mana. Saya tertarik untuk tinggal dan menetap di Indonesia, sebagaimana telah saya lakukan dalam 11 tahun, antara 2001 sampai 2012. Saya belajar banyak, mulai dari bahasa, tentang kehangatan hubungan antar manusia di Indonesia, tentang persahabatan, tentang gerakan hak asasi yang mungkin lemah, tapi selalu menolak untuk menyerah dan mati. Banyak hal yang saya dapatkan dari Indonesia.
PRANALA, Edisi Januari-Februari 2015
29
Wawancara
Surawan, Kapolres Bantul
Baik yang Pro mauPun yang kontra,
SEMUA PUNYA HAK Wawancara oleh: Kelik Sugiarto Foto: Gibran Pathisara
Bagaimana tanggapan Anda tentang film Senyap? Kalau untuk filmnya sendiri, saya belum melihat. Saya belum tahu isinya apa. Kami hanya mendengar dari berita saja kalau film ini menimbulkan pro kontra di masyarakat. Ada yang menjadikan film ini sebagai bahan kajian, tapi ada juga yang menolak. Timbulnya pro kontra itu sendiri sebenarnya wajar terjadi di tengah masyarakat. Tugas kepolisian sebagai penjaga keamanan dan menjadi mediator sehingga tidak terjadi konflik. Film ini ditanggapi beragam oleh masyarakat. Ada yang pro dan ada yang kontra. Apa yang menjadi penyebabnya? Ini sudah terjadi miskomunikasi. Seolah menghidupkan kembali faham komunisme. Kemudian muncul reaksi dari orang-orang yang tidak menginginkan film ini diputar. Miskomunikasi ini terjadi karena yang pro dan kontra dengan film ini tidak pernah bertemu. Kalau sebelumnya ada penjelasan, ”Ini lho, isi film nya,” saya rasa tidak akan terjadi polemik di masyarakat. Harusnya ada lembaga yang berkompeten mengulas film itu, sehingga bisa diputuskan boleh tidaknya diputar di tengah masyarakat. Pada beberapa tempat pemutaran dan diskusi film ini mendapat ancaman dan intimidasi. Bagaimana tanggapan Anda? Kalau bicara bahwa film itu dijadikan bahan kajian, maka disini masuk pada ranah pendidikan. Di situ ada Kemendikbud yang berhak untuk memutuskan film itu, boleh atau tidak dijadikan sebuah 30
PRANALA, Edisi Januari-Februari 2015
bahan kajian akademik. Pengalaman pemutaran film di Jawa Timur harusnya sudah bisa dijadikan pelajaran bahwa terjadi pro dan kontra. Kalau ingin dijadikan forum akademik, ya resmi saja melalui Diknas. Apalagi kalau sudah masuk dalam kurikulum, kan tidak akan ada persoalan. Dari kalangan kampus sendiri juga tidak pernah memberitahukan kepada kami akan ada pemutaran film. Sehingga di lapangan, setelah terjadi gesekan baru kita datang. Sebenarnya, kan bisa saja film itu diputar di rumah, lalu diadakan kajian, kan nggak apa-apa. Kalau memang tidak mau ada konflik disana. Bagaimana dengan jaminan konstitusional terkait kebebasan berkumpul, berserikat dan mengeluarkan pendapat? Bicara masalah hak, semua masyarakat punya hak. Termasuk yang menentang film itu pun juga punya hak. Masyarakat umum, kan tidak tahu isi film ini apa. Di lain pihak, faham komunisme ini, kan benar-benar menjadi momok bahaya laten bagi negara kita. Wajar dong, ketika masyarakat mendengar bahwa faham komunisme itu muncul, kemudian mereka bereaksi dan tumbuh semangat untuk bela negara. Jadi baik yang pro maupun yang kontra dengan film ini, semua punya hak. Nah, disinilah kita berdiri menjadi penengah, sehingga tidak terjadi gesekan. Kalau film itu resmi atau sudah melalui kajian, misalnya oleh Kemendikbud atau lembaga sensor film, ya sebarkan saja secara bebas. Yang menjadi masalah, kenapa film
ini harus diputar sembunyi-sembunyi? Bagaimana cara mendapatkannya? Kenapa tidak dijual bebas di toko-toko? Penelitian kecil saya terhadap mereka yang kontra dengan film ini mengatakan, mereka tidak ingin faham komunis hidup lagi. Ada kesan kepolisian membiarkan kelompok-kelompok yang kontra untuk melakukan kekerasan. Bukankah seharusnya polisi memberikan perlindungan kepada masyarakat yang ingin memutar film ini? Kepolisian tidak berarti melindungi atau tidak melindungi. Dalam sebuah kegiatan masyarakat, misalkan ada orjen tunggalpun yang penontonnya banyak, tetapi ada beberapa masyarakat yang lain terganggu dan komplain. Kita boleh menghentikannya. Dalam film ini ada masyarakat lain yang secara ideologi terganggu. Tidak hanya itu, ibadahpun bisa kita hentikan ketika terjadi pro kontra. Ada satu gereja yang ijinnya belum keluar. Ya, kita minta hentikan segala aktivitas peribadahannya sampai ijinnya keluar. Sama juga dengan film ini. Kalau pemerintah mengatakan film ini boleh untuk ditonton, pasti semua tidak akan masalah. Tapi ini, kan tidak ada yang mengatakan film ini boleh atau tidak boleh untuk ditonton. Terakhir baru muncul larangan pemutaran film ini dari Lembaga Sensor Film (LSF). Menurut Anda, apakah penting segera dilakukan rekonsiliasi antara korban 65 dan pelakunya? Kalau bicara itu, kita bicara negara. Kita ini negara demokrasi. Semua boleh mengeluarkan pendapat, tapi yang harus kita pegang adalah keputusan politik. Apakah itu dalam bentuk undang-undang atau yang lain. Itulah dasar hukum untuk melakukan semua tindakan, dan itu yang diterima masyarakat. Saya tidak bisa berbicara tentang rekonsiliasi karena saya seorang penegak hukum. Negara membuat peraturan, itu yang menjadi pegangan kita. Saat ini di Yogjakarta khususnya, marak terjadi kasus-kasus intoleransi. Laporan Wahid Institute pada 2014 menguatkan hal itu. Wilayah ini berada di urutan nomer dua untuk kasus intoleransi. Beberapa kalangan menilai hal ini terjadi karena tidak responsifnya kepolisian. Tanggapan Anda? Masalah intoleransi memang ada, tapi bukan berarti polisi tidak melindungi. Ada kejadian
yang berlangsung begitu cepat. Masalah ini tidak muncul seketika. Antisipasi sudah dilakukan, tetapi komunikasi antar pihak yang bermasalah ini putus karena kurangnya mediasi. Satu contoh kasus di daerah Kadipiro terkait masalah gereja. Gereja ini sudah lama dibangun. Di sekitar daerah itu juga ada peternakan babi. Banyak masyarakat terganggu dengan keberadaannya. Kita mediasi agar babi-babi itu diungsikan. Namun ada satu warga yang bandel. Tidak mau mengungsikan babi, sehingga menimbulkan komplain dari masyarakat. Babi itu tidak segera dipindahkan, akhirnya komplain masyarakat bergeser ke masalah IMB gereja. Saat pendeta diminta menunjukan IMB nya, ia tidak bisa menunjukkan. Masalah ini, dari yang semula tentang peternakan babi, akhirnya berubah menjadi masalah ijin gereja. Coba kalau babi itu diungsikan dari dulu, masyarakat tidak akan menyerang masalah gereja. Kita sudah melakukan mediasi, tapi kadang ada masyarakat yang bandel. Akhirnya muncul gesekan-gesekan. Sekarang ini banyak bermunculan ormas yang menggunakan kekerasan dalam menyikapi sebuah perbedaan. Tanggapan Anda? Masalah itu kembali pada kita sendiri. Kalau kita bisa menyikapi dengan benar dan cepat, saya rasa tidak akan ada pihak-pihak yang bertindak sembarangan. Munculnya tindakan kekerasan pasti karena adanya permasalahan yang tidak diantisipasi sebelumnya. Bagaimana polisi menjalin komunikasi dengan kelompok-kelompok tersebut? Ya, kita melakukan komunikasi dengan mereka. Bukan berarti kita didikte. Kita punya kode-kode sebagai penegak hukum. Kita tekankan kepada mereka, jangan melakukan tindakan anarkis. Mereka warga masyarakat juga, jadi jangan kita musuhi. Walaupun di balik itu apa kepentingannya, kita tidak tahu juga. Yang penting, mari sama-sama menjaga keamanan dan menciptakan suasana yang kondusif.
PRANALA, Edisi Januari-Februari 2015
31
Wawancara
Pipit Ambarmirah, penggiat hak asasi manusia
BAGI SEBAGIAN KORBAN,
“BUNGKAM” ADALAH CARA BERTAHAN HIDUP Wawancara oleh: Kelik Sugiarto
32
PRANALA, Edisi Januari-Februari 2015
Foto: Gibran Pathisara
Bagaimana tanggapan Anda tentang film ini? Berterimakasih kepada Joshua. Ia berani menghadirkan kisah lain tentang tragedi 65, lewat seorang tokoh bernama Adi, yang kakaknya menjadi korban pada peristiwa tersebut. Salut serta angkat topi dengan keberanian Adi. Ia mencari kebenaran tentang apa yang terjadi pada kakaknya dengan membuka luka, kesedihan dan harapannya lewat film ini. Berani membuka diri bagi korban maupun keluarga korban 65 adalah hal yang berat, dengan banyak konsekuensi yang berat pula. Pesan apa yang terdapat dalam film tersebut? Pengungkapan kebenaran tentang apa yang terjadi pada saat terjadi tragedi di tahun 65. Hal itu diwakili oleh kisah Adi Rukun. Bahwa dari film ini bisa dilihat adanya impunitas terhadap para pelaku, dimana saat ini banyak dari pelaku mempunyai peranan dan kedudukan yang tinggi dalam pemerintahan. Sampai saat ini pun, pelajaran sejarah yang diajarkan di sekolah-sekolah masih sejarah sesuai pesanan penguasa. Apakah film ini sudah mewakili suara korban? Mewakili dalam hal apa dulu? Ada juga korban ketika menonton film ini, menjadi terluka kembali. Mengingatkan pada peristiwa mengerikan yang dialaminya. Tdak bisa disalahkan, karena sampai saat ini tidak ada usaha apapun untuk memulihkan luka tersebut. Bahkan pengakuan akan apa yang terjadi pada tahun 65 sampai saat ini masih belum ada. Akan tetapi film
Senyap ini memberi setitik cahaya untuk melihat apa yang terjadi di tahun 65 tersebut. Apa yang dialami keluarga Adi Rukun juga terjadi pada ribuan, bahkan jutaan keluarga lain yang menjadi korban tragedi 65. Dalam film ini ditampilkan juga salah satu korban yang tidak ingin peristiwa kelam itu dibuka kembali. Apakah memang ada perbedaan dalam menyikapi peristiwa 65 tersebut? Ya, itu tadi. Banyak dari korban masih belum sembuh dari luka dan trauma yang dialami. Perlakuan yang berbeda terhadap korban 65 dan keluarganya, juga masih terjadi sampai detik ini. Diperjelas lagi dalam film Senyap, bahwa para pelaku masih menduduki posisi-posisi penting dan strategis dalam pemerintahan. Bisa dibayangkan, bagaimana ketakutan-ketakutan yang dialami mereka. Bagi sebagian korban, “bungkam” adalah cara bertahan hidup. Apakah film ini bisa dijadikan titik awal untuk merangkai kembali apa yang sebenarnya terjadi dengan sejarah bangsa di masa lalu? Bisa! Apa yang diceritakan dalam film ini mewakili apa yang terjadi di wilayah lain di Indonesia. Masyarakat Indonesia perlu tahu terutama generasi mudanya. Mengetahui sejarah bangsanya sepahit apapun, akan menjadi langkah awal membangun bangsa yang lebih baik dan beradab. Dengan begitu, peristiwa tidak berperikemanusiaan yang terjadi di masa lalu tidak akan terulang kembali. Di berbagai tempat, pemutaran film ini mendapatkan ancaman dan intimidasi. Bagaimana tanggapan Anda? Ada pemahaman yang keliru tentang peristiwa 65. Pemahaman yang keliru inilah, yang dipergunakan beberapa pihak yang punya kepentingan untuk membungkam suara korban yang mulai berani bersuara. Butuh waktu merubahnya. Hak untuk mendapatkan kebenaran adalah hak semua orang. Dengan melihat film ini, pengungkapan akan kebenaran yang terjadi di masa lalu mulai sedikit terbuka. Masyarakat bisa leluasa mendapatkan film ini dengan mudah dan gratis. Tinggal mendaftar lewat website di internet. Jadi tidak perlu takut untuk menonton film ini. Aparat kepolisian dinilai lambat dan tidak responsif dengan berbagai ancaman dan intimidasi tersebut. Apa pendapat Anda? Itu sejak dulu terjadi. Bukan hanya untuk film Senyap. Diskusi-diskusi serta pertemuan-pertemuan komunitas korban juga tidak mendapatkan pengamanan yang memadai. Hak berkumpul dan berserikat diabaikan sejak dulu. Pemahaman yang benar tentang masa lalu tidak hanya untuk masyarakat, tetapi juga dibutuhkan oleh aparat pemerintahan, termasuk Kepolisian.
PRANALA, Edisi Januari-Februari 2015
33
Wawancara
Dalam situasi seperti itu, polisi sebagai representasi negara, bagaimana seharusnya bertindak? Melindungi warganya tentu saja, tanpa kecuali dan pilih kasih. Bukan malah cuci tangan dan membiarkan ormas menjalankan tugas polisi. LSF pada akhirnya membuat keputusan larangan pemutaran film. Dianggap menumbuhkan kembali faham komunisme. Bagaimana tanggapan anda? Menyedihkan sebetulnya, karena seperti kembali ke masa Orde Baru yang represif dan otoriter, yang melarang kebebasan berpikir masyarakat. Padahal film ini bisa membuka ruang diskusi di masyarakat tentang sejarah Indonesia. Film ini juga bisa menjadi modal untuk mendukung rekonsiliasi bangsa. Sampai saat ini banyak dari korban dan pelaku hidup berdekatan. Terkait dengan rekonsiliasi. Seberapa pentingkah rekonsiliasi itu harus dilakukan? Makna rekonsiliasi sendiri adalah memulihkan hubungan. Peristiwa kelam masa lalu memang sudah terjadi dan tidak bisa diubah. Jadi, apakah yang bisa kita lakukan bersama untuk mencegah peristiwa serupa tidak terulang kembali di kemudian hari? Hal pertama dan terutama adalah pengungkapan kebenaran, yaitu dengan mendengarkan cerita dari korban, tentang apa yang sesungguhnya terjadi. Salah satu contohnyanya dengan film Senyap ini. Mendengarkan cerita para korban juga salah satu cara untuk melawan lupa dan pelanggengan impunitas. Saat ini, ketika para korban mulai berani menceritakan kisahnya, mereka masih mendapatkan ancaman dan intimidasi. Masyarakat sendiri masih takut untuk untuk secara terbuka memberikan dukungan kepada korban. Karena yang berkewajiban untuk memberikan keamanan dan melindungi masyarakat pun tidak melakukan tugasnya. Dengan menceritakan apa yang dialami, sebetulnya sudah membantu korban untuk perlahan-lahan pulih. Harapannya, negara mengakui tentang kealpaannya itu dan memberikan reparasi kepada para korban, entah bagaimana nanti bentuknya. Dengan permintaan maaf dan pengakuan bahwa mereka tidak bersalah, bagi sebagian besar korban sudah dirasa cukup. Pemerintah saat ini berjanji untuk menuntaskan kasus-kasus pelanggaran Ham berat masa lalu dan akan memutus rantai-rantai impunitas. Bagaimana tanggapan Anda? Kita lihat saja nanti bagaimana penyelesaiannya. Seperti kita tahu bersama, bagaimana kondisi pemerintahan saat ini. Agak was-was juga, dengan melihat orang-orang di sekitar presiden.
34
PRANALA, Edisi Januari-Februari 2015
Beberapa merupakan pelaku pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu. Pasca runtuhnya rezim orde baru, seperti apa perjalanan penegakan hak asasi manusia di Indonesia? Pada awal reformasi sampai saat ini, tuntutan keadilan terhadap berbagai kasus pelanggaran hak asasi manusia masa lalu terus mengemuka. Meminta pertanggungjawaban atas sejumlah kasus pelanggaran hak asasi manusia. Mulai dari kasus Peristiwa 65 dan sesudahnya, kasus kekerasan Aceh dan Papua. Ada juga kasus Tanjung Priok 1984, Talangsari Lampung 1989, penghilangan paksa tahun 1997-1998, Semanggi I dan II, pembunuhan wartawan Udin, Marsinah, kasus Timor Leste, dan yang lain. Tetapi sampai hari ini pun, belum banyak yang terungkap. Menyedihkan lagi, beberapa kasus yang sampai ke pengadilan tidak memberikan keadilan bagi korban, tetapi memberikan legitimasi bagi para pelaku dan melanggengkan impunitas. Ada juga segi positifnya, yaitu terbentuknya Koalisi Keadilan dan Pengungkapan Kebenaran semenjak tahun 2008. Awalnya bekerja mendorong pembentukan komisi kebenaran, mengkritisi dan mendampingi lembaga negara yang menulis ulang UU KKR, yang dianulir Mahkamah Konstitusi pada tahun 2007. Kemudian berinisiatif untuk menggelar proses pengungkapan kebenaran dan mendokumentasikannya dalam laporan “Menemukan Kembali Indonesia”. Ini semua memberikan angin segar bagi penegakan hak asasi manusia saat ini.
Tokoh
Pulihkan hak dan kehormatan Para korban Oleh: Kamil Alfi Arifin
Ia bercerita tentang perjalanan hidupnya yang panjang. Awalnya menjadi aktivis islam, wartawan, sampai kemudian menjadi dosen, sekaligus aktivis perdamaian. Dengan kapasitasnya sebagai peneliti di Pusat Studi Konflik dan Perdamaian UGM, ia juga mengemukakan pandangannya seputar pembubaran film Senyap dan persoalan rekonsiliasi ke depan.
PRANALA, Edisi Januari-Februari 2015
35
Tokoh
Beberapa buku tentang konflik etnis berbahasa Inggris, terlihat tergeletak begitu saja di atas mejanya yang lebar. Nampaknya, buku itu belum tuntas dibaca oleh si empunya, Muhammad Najib Azca. Di tengah-tengah aktivitasnya yang bejibun, buku itu dibiarkan berserakan. Sementara bukubukunya yang lain, namapak tertata rapi dalam rak “perpustakan kecil” di kantornya yang sejuk. Maklum, selain menjadi wakil dekan II, mengajar dan membimbing mahasiswa di lingkungan Fisipol, dia juga bergiat sebagai peneliti di Pusat Studi Konflik dan Perdamaian (PSKP) di Universitas Gadjah Mada (UGM). “Maaf, saya sedang rapat sampai dengan jam 16.00, mas,” ujarnya membalas pesan, yang satu jam sebelumnya saya kirimkan ke hapenya. Najib ternyata ada rapat dadakan. Sejak remaja, Najib sudah terbiasa dengan padatnya aktivitas. Saat masih sekolah tingkat pertama di Ma’had Islam, Pekalongan, Najib juga sudah aktif di Pelajar Islam Indonesia (PII). Bahkan, ketika duduk di tingkat menengah atas di sekolah yang sama, Najib terpilih dan dipercaya sebagai Ketua PII Pekalongan. Najib memang lahir di kota batik itu pada tahun 1968 silam, di tengah-tengah keluarga santri, dengan basis tradisi NU kultural. Meski demikian, di Ma’had Islam, Najib bergaul dengan anak-anak dari keluarga Muhammadiyah. Di sekolah Islam ini, seperti diakuinya, bercampur antara anak-anak orang NU dengan anak-anak orang Muhammadiyah. Pada saat kuliah strata satu pun, Najib tidak hanya sekedar kuliah semata. Dia juga memilih aktif bergiat di lembaga musholla Fisipol. Iya, tahun 1987, Najib masuk ke UGM. Tapi kelulusannya molor sampai lima tahun. Bukan karena tak mampu mengatur waktu dan sibuk berorganisasi, dia memilih berangkat ke Jakarta dan bekerja sebagai wartawan di Tabloid Detik, sampai kemudian dibredel oleh Soeharto. Kuliahnya ditinggal selama bertahun-tahun pada waktu itu. Setelah terjadi pembredelan terhadap media tempat bekerjanya tersebut, Najib tak lantas pulang dan balik ke kampus, dia terpanggil kembali menjadi aktivis. Ikut terlibat dalam 36
PRANALA, Edisi Januari-Februari 2015
membentuk sejumlah organisasi dan membentuk media baru, bernama Simphony, pada tahun 1995. “Tapi ini kemudian dibredel juga,” ujar peraih gelar doktor dari Universitas Amsterdam ini, mencoba mengenang kembali cerita di masa silamnya. Setelah pembredelan kedua kalinya itu, akhirnya Najib balik ke kampus dan berusaha menyelesaikan skripsinya tentang militer. Skripsi ini lama tertunda dan dibiarkan terkatungkatung. Pengalamannya di luar kampus, menjadi aktivis dan wartawan, membuat kemampuan menulis dan analisa Najib semakin berkembang. Terbukti, skripsinya yang telah digarapnya mendapatkan pujian dari dosen pengujinya dan kemudian diterbitkan menjadi buku dengan judul “Hegemoni Tentara” oleh LKiS. Berkat skripsinya, Najib diminta menjadi dosen di Fisipol dan asisten PSKP UGM. “Setelah dianggap bagus, lalu ditawari menjadi dosen. Padahal menempuh waktu kuliah sembilan tahun dan nilai 3.01,” pungkas Najib tersenyum. “Jadi agak kecelakaan, mas. Pengalaman jadi dosen dan peneliti itu tidak direncanakan,” katanya. ****
Sebagai sosok yang memiliki kepedulian terhadap studi konflik dan perdamaian, Najib tentu terus mengamati dengan tekun berbagai dinamika konflik, termasuk persoalan 65, hingga hari ini. Terkait mengenai polemik dan pembubaran film Senyap yang baru saja terjadi belum lama ini, Najib juga tak ketinggalan. Ia mulai memperbaiki duduknya, dan mulai berpikir serius saat ditanya mengenai hal itu. Menurutnya, pembubaran film Senyap itu harus dibaca dari perspektif sosiologis-historis, agar pembacaannya menjadi lengkap. Sebab, bagaimanapun, kata dia, pembubaran film itu merupakan hasil kulminasi konflik horizontal yang panjang antara kelompok komunis dan kombinasi kekuatan antara Islam, militer dan nasionalis, sebagai kelompok yang anti-komunis. “Luka itu sampai sekarang masih belum pulih, baik dari sisi korban maupun pelaku,” paparnya. PKI memang jadi korban dalam peristiwa itu. Tapi, kelompok-kelompok anti komunis, kelompok-kelompok Islam garis keras, kata Najib, juga menganggap orang-orang komunis samasama pelaku kekerasan pada periode-periode sebelumnya. Mereka memandang, dalam film Senyap, orang-orang PKI semata-mata diposisikan sebagai korban. Itulah yang membuat film Senyap kemudian dicekal dan dilarang pembubarannya, karena mereka menganggap film itu tak lebih dari sekedar propaganda dan tanda kebangkitan kembali komunisme di tanah air. Selain itu, aspek lain untuk menjelaskan soal pembubaran film Senyap, lanjut Najib, adalah militer. Militerlah satu-satunya pihak yang terus berkepentingan mereproduksi wacana bahaya PKI sampai sekarang ini. Militer gerah dan cemas dengan kehadiran film Senyap. Oleh sebab itu, terlihat sangat terang militer memberikan dukungan yang penuh terhadap kelompokkelompok Islam garis keras, sehingga kelompokkelompok ini terkesan berani melakukan tindakan anarkis. Menurut Najib, setidaknya terdapat dua indikasi dukungan militer terhadap kelompokkelompok tersebut. “Pertama, ada kesamaan konstruksi wacana (mengenai bahaya laten komunis- red ). Kedua, adanya koordinasi di garis
lapangan. Saya mendengar beberapa pihak militer di Jakarta tidak menginginkan pemutaran film Senyap,” kata Najib. Adanya dukungan dari pihak militer itulah, yang juga menjadi alasan mengapa polisi gamang bertindak melindungi hak warga untuk menonton film Senyap. Ada kesan hanya tunduk pada tuntutan kelompok-kelompok Islam garis keras. “Tugas polisi untuk melindungi warganya dari tindakan-tindakan di luar hukum. Kecuali jika acara itu melanggar hukum, itu boleh dibubarkan,” terang Najib. Peristiwa 65 memang menjadi persoalan besar dan kelam bangsa ini. Dampaknya masih terasa sampai hari ini. Upaya-upaya rekonsiliasi, baik rekonsiliasi di akar rumput dan rekonsiliasi di level elit memang telah diupayakan oleh sejumlah pihak dan komunitas, meski belum memberikan efek yang banyak. Najib memandang, gabungan antara rekonsiliasi yang berbasis komunitas dan rekonsiliasi elit bisa terus dikembangkan. Hal itu dianggap cocok sebagai model rekonsiliasi yang tepat dalam konteks budaya Indonesia. Ke depan, harus terus ada upaya pengungkapan kebenaran sejarah dan keberanian untuk menerima dan saling memaafkan di antara sesama anak bangsa. “Pulihkan hak dan kehormatan para korban, hapuskan stigma-stigmanya,” harap dia. Negara, kata Najib, harus mengambil langkah terdepan untuk menginisiasi tugas mulia itu. Namun, pemerintah belum memiliki sikap yang jelas sampai hari ini. “Belum ada sikap definif dari negara, belum ada langkah-langkah kongkret dan koheren,” jelas Najib sambil meminta untuk mengakhiri perbincangan, karena buru-buru pulang untuk menjemput anak. Tak terasa, jarum jam berdetak di angka lima. Para pegawai di kantornya pun juga sudah pulang. Kantor dekanat, sore itu mulai gelap sepi dan senyap.
PRANALA, Edisi Januari-Februari 2015
37
Tagar
Kicauan Senyap di Dunia Maya Oleh: Prayudha Magriby
Penayangan film Senyap direspon positif para pengguna sosial media. Ini tampak dari ribuan kicauan para netizen di akun @Anonymous_TAoK. Pendapat mereka beragam mulai dari kesan sampai pada analisis soal peristiwa 1965. Bagaimana keramaian kicauan para netizen? Ini adalah beberapa di antaranya. Akun tweeter film Senyap hingga 16 Februari 2015 tercatat diikuti oleh 3.022 followers. Mereka datang dari sejumlah latar belakang dan profesi. Pada kicauan terakhirnya, Anonim Senyap menulis “We are deeply honored that THE LOOK OF SILENCE won the Peace Award at the Berlin Film Festival”. Rupanya, Film Senyap kembali lagi mendapat penghargaan. Kali ini, Festival Film Berlin memberikan penghargaan dalam kategori Film Perdamaian. Film Senyap diputar di sejumlah tempat dan institusi. Kampus-kampus tampaknya sangat bersemangat untuk menggelar film soal peristiwa 65 ini. Ini seperti undangan nonton bareng dari Pers Mahasiswa Poros UAD Yogyakarta.
Melalui akun @porosUAD, ia menulis, “Malam ini 18.00 WIB | Pemutaran dan Diskusi Film Senyap | di Ruang 102 Kampus 2 UAD | Mari Ramaikan!” Uniknya, Ormas Islam Nahdatul Ulama (NU) melalui lembaga keseniannya Lesbumi menjadikan nonton bareng Film Senyap untuk memperingati hari lahir NU. Akun @nu_online pada 26 Januari menulis, “Hadirilah, Diskusi dan Pemutaran Film Senyap di PBNU.” Hampir seluruh netizen memberikan kesan positif. Salah satu tanggapan datang dari Krisna dengan akun @Pramoedya_AK. Dia menulis, “Bapakku tertarik bgt nonton film senyap… dia bilang “film ini seharusnya ditonton setiap pelajar”. Keinginan agar film ini bisa ditonton oleh lebih banyak orang tentunya didasari oleh alasan-alasan yang menarik pula. Akun @cakalmadury semisal menyukai Film Senyap, karena bisa membuka diskusi soal peristiwa seputar 65. Beberapa netizen bahkan tampat sudah cukup paham mengenai G30S. Aan Anshori menyebut bahwa film ini bisa mengungkap dalang dari pelanggaran HAM berat pada 65. Dalam akun @Aananshori ia menulis, “Film #senyap ini medium bagi kita untuk belajar mematahkan pewarisan politik kekerasan yg dilakukan negara meminjam tangan warga.”
38
PRANALA, Edisi Januari-Februari 2015
Mereka yang telah menonton film Senyap berharap jika peristiwa 65 bisa segera terungkap agar bangsa ini bisa segera belajar dari sejarah. “Negara tak akan pernah bisa maju ke depan, jika yang dibelakang belum diluruskan hingga sekarang,” tulis pemiliki akun @Tengkulramani. Perhatian juga muncul dari sejumlah pengguna sosial media di luar negeri. Akun @welovedo semisal menulis, “Missed the indepth discussion between @JoshuaOppenheimer & @wernerherzog on @lookofsilince at @berlinale”. Mereka sangat mengapresiasi karya Joshua. “The Look of Silence is quite simply an incredible film @ JoshuaOppenheim. Amazing effort from you and your team,” Josh Dye pada akun @JoshDye91. Selain di Indonesia, film Senyap juga diputar di sejumlah negara. Hampir seluruh penghargaan yang diterima Joshua juga berasal dari dunia internasional. Namun demikian, penayangan film ini juga sempat mendapat penolakan. Di beberapa tempat, acara nonton bareng bahkan dibubarkan paksa. Mahasiswa IAIN dengan akun @WujudkanHAM menulis, “Meski pemutaran film senyap di Unmuh telah digagalkan oleh FPI yang ternyata mhs IAIN Jember. Namun malam ini tidak ada tanda2 penggagalan.” Sebagian besar pembubaran memang dilakukan oleh ormas dengan “bendera Islam”. Akan tetapi, terdapat netizen cukup kritis dengan mencurigai adanya permainan di belakang aksi pembubaran. “Pemutaran Film Senyap Meresahkan Warga atau TNI?” tulis Sudarsono Syah lewat akun @ SudarsonoSyah.
Selain pembubaran, film Senyap juga dinyatakan tidak lulus sensor oleh Lembaga Sensor Film (LSF). Melalui surat dengan nomor 04/0CP.NAS/TlK/lSF.XII/2014, LSF menyatakan film ini ditolak seutuhnya untuk dipertontonkan kepada khalayak umum atau bioskop. Keputusan sepihak LSF ini kemudian menuai protes dari berbagai pihak. “Komnasham dukung film Senyap; tapi LSF menolak film Senyap: okey, mari adu argumentasi di forum publik!” tulis Otto Syamsuddin Ishak melalui akun @osimparsial. Protes keras juga diberikan langsung oleh sang sutradara. Joshua dalam akun @JoshuaOppenheim menulis, “Indonesia’s film censors violate the human right to freedom of expressioon.” Keputusan LSF dianggap menciderai penegakan hak asasi manusia dan kebebasan berekspresi. Uniknya, beberapa pengguna sosial media juga mengharapkan agar Presiden Jokowi bisa ikut menyaksikan film Senyap. Attari Rahmi melalui akun @attariot semisal menulis, “Pak @jokowi_do2, masa lalu masa lupa? Tonton film #Senyap.” Hal itu adalah simbolisasi dari tekanan pada pemerintah agar segera menuntaskan pelanggaran hak asasi manusia pada peristiwa seputar 1965. Untuk tujuan itu, pengguna tweeter Pamflet bahkan sengaja membuat petisi. “Sudah 1.523 pendukung petisi change. org/senyap. Ayo kita buat @jokowi_do2 #nontonSenyap. Isi petisinya guys!” tulisnya pada akun @_pamflet. Pada akhirnya, publik ingin agar melalui Film Senyap, bangsa ini bisa belajar dan tidak terjermbab pada lubang yang sama. “Film Senyap ini mempunyai tujuan yang baik. Masyarakat diingatkan kembali akan kejadian 65 yang belum sepenuhnya selesai,”PMII UI melalui akun @PMII-UI.
PRANALA, Edisi Januari-Februari 2015
39
Resensi
Panduan Dalam Menyikapi Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan Oleh: Budi Prasetya WR
Setelah lebih dari 69 tahun Bangsa Indonesia mendeklarasikan kemerdekaanya, ternyata kemerdekaan secara nyata masih jauh api dari panggang. Banyak aspek yang sampai saat ini masih belum bisa diekspresikan secara merdeka, salah satunya tentang kebebasan beragamaan dan berkeyakinan (freedom of religion and belief).
Tahun 2014 silam tercatat lebih dari 100 konflik yang dipicu dari perbedaan pandangan tentang keberagamaan dan berkeyakinan terjadi. Lebih fatal lagi, banyak konflik yang bernuansa agama baik antar pemeluk agama yang sama maupun konflik berlatar beda agama yang tidak diselesaikan dengan baik oleh pemerintah, misalnya konflik Syiah dan Ahmadiyah juga GKI Yasmin dan HKBP Philadelpia. Di luar konflik perbedaan pandangan dalam menerjemahkan satu agama, konflik lain yakni tentang umat berbeda agama. Beberapa kasus yang menjadi perhatian publik seperti GKI Yasmin di Bogor, HKBP Philadelpia di Depok, sampai saat ini belum mendapat solusi terbaik untuk menyelesaikan konflik ini. Konflik dengan basis perbedaan keyakinan ini tidak selalu menimpa umat minoritas, tetapi juga sebaliknya. Contohnya, beberapa kasus pelarangan pendirian
40
PRANALA, Edisi Januari-Februari 2015
masjid di Sorong Papua atau juga pelarangan siswa berhijab di sekolah-sekolah negeri di Pulau Bali. Menjadi fakta, bahwa ancaman mengekspresikan keyakinan beragama di negeri ini masih rendah indeksnya. Dominasi mayoritas serta tirani minoritas menjadi momok dalam kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia saat-saat ini. Dalam permasalahan ini, ada dua kutub berseberangan sekaligus saling bertentangan terhadap masalah kebebasan beragama dan berkeyaknin. Kedua kutub ini tidak akan pernah bisa disatukan, namun yang perlu dicari solusi dan jalan keluarnya agar keduanya bisa hidup berdampingan harmonis. Upaya untuk menyatukan dua kutub bersebarangan tersebut telah banyak dilakukan, salah satunya dalam buku yang diterjenahkan dalam versi Inggrisnya yaitu Facilitating Freedom of Religion or Belief: A Desbook
(Lindholm Durham & Tahzib-Lie, eds., Martinus Nijhoff Publisher, Leiden) pada 2004 silam. Buku yang diterjemahkan dalam bahasa Indonesia tahun 2010 ini, mulanya merupakan kumpulan makalah yang ditulis oleh banyak pakar pada Konferensi Oslo tentang kebebasan beragama dan berkeyakinan, yang disponsori oleh Norwegia. Menjawab Isu Kebebasan Beragama Tanpa Batas Kaum konservatif berpendapat, bahwa kebebasan beragama yang didengungkan dalam hal ini adalah kebebasan tanpa batas. Salam satu bab dalam buku ini membahas khusus tentang permasalahan kebebasan beragama tanpa batas ini. Di Bab 4, Manfred Nowak dan Tanja Vospernik menyorot khusus hal ini. Kedua orang ini merupakan pekerja kebebasan beragama asal Eropa yang sudah bekerja dibanyak negara dalam mengkampanyekan kebebasan beragama.
Tanja adalah seorang peniliti hukum pada Institute Hak Asasi Manusia Ludwig Boltzmann di Wina, Austria. Sedangkan Manfred adalah Pelapor Khusus PBB untuk Penyiksaan dan Bentuk Perlakukan yang Kejam serta ahli pada Jaringan Ahli Independen Uni Eropa dalam bidang Hak-Hak Fundamental sejak 2004. Kebebasan beragama dan berkeyakinan dalam nomenklatur HAM dibagi dalam dua ranah, yakni forum internum dan forum eksternum. Forum internum dalam konteks kebebasan beragama dan berkeyakinan mencakup ranah internal, yakni tentang kebebasan berfikir, berkeyakinan dan beragama berkuasan secara absolut. Sedangkan forum eksternum meliputi hak bersembahyang, berkumpul, mendirikan, melestarikan, dan mengembangkan agama, mendapatkan dan menggunakan material untuk menjalankan ritual dan tradisi, menulis dan menyebarkan ajaran agama, mengajarkan pada tempat yang benar, mendirikan perkumpulan dan organisasi keagamaan, pembangunan sarana ibadah, hari libur agama, dan hak orang tua terhadap pendidikan agama anak-anaknya. Dalam buku ini, forum internum merupakan kebebasan absolut yang tidak bisa diganggu gugat, dan merupakan kesepakan semua penggiat HAM di dunia. Dalam kondisi apapun, kebebasan internum secara luas dianggap sebagai kebebasan yang absolut. Forum internum dilindungi dalam kasus-kasus tindakan indoktrinasi maupun penyebaran ajaran agama yang tidak patut seperti manipulasi, kecurangan serta paksaan. Meski demikian, perlindungan ‘absolute’ forum internum terhadap indoktrinasi tidaklah seabsolut seperti yang nampak secara sepintas.
Judul Buku
: Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan
Penulis
: Malcolm D. Evans, dkk.
Penerbit
: Kanisius
Cetakan
: Pertama, 2010
Tebal
: xvii + 829
Meski dalam diskursus HAM, ada pula kelompok yang menyebutkan hak internum ini bisa di intervensi oleh negara dengan tiga hal. Tetapi hal tersebut tidak di bahas dalam buku ini, karena para penulis ini merupakan kelompok yang berpendapat bahwa hak internum ini absolut. Buku ini berpendapat, bahwa pembatasan terhadap kebebasan beragama dan berkeyakinan hanya
PRANALA, Edisi Januari-Februari 2015
41
Resensi boleh dilakukan dalam ranah forum eksternum, yang hanya boleh dilakukan oleh aktor negara. Dalam ranah eksternum pembatasan diatur dalam berbagai instrumen internasional, seperti pada pasal 18 ayat (3) Kovenan Hak Sipil dan Politik (ICPPR), pasal 9 ayat (2) dari Konvensi HAM Eropa (European Convention on Human Rights / ECHR), dan pasal 12 ayat (3) dari Konvensi HAM Amerika (America Convention on Human Rights (ACHR). Namun dalam konteks negara, khususnya Indonesia, perlu adanya penyamaan pemahaman tentang pembatasan ini. Pembatasan yang dilakukan oleh negara terkadang menimbulkan beda presepsi sehingga menimbulkan konflik-konlfik. Setidaknya ada tiga syarat yang harus dilakukan oleh negara sebelum melakukan pembatasan dalam hak eksternum ini. Pertama, pembatasan harus dilakukan dengan cara pengaturan hukum yang sah berlaku di negara tersebut. Kedua, pembuatan hukum tersebut harus dilakukan dengan cara-cara yang demokratis. Ketiga, pembatasan ini harus ditujukan untuk melindungi kepentingan publik. Kepentingan publik ini antara lain yakni keselamatan publik (public safety), keamanan publik (public security), ketertiban publik (public order), kesehatan publik (public health), moral publik (public morals) dan hak-hak dan kewajiban fundamental orang lain. Bahkan dalam keadaan perang dan konflik pun, forum internum ini tidak bisa diintervensi. Konvensi Hak Sipil Politik pasal 4 menyebutkan dalam kondisi darurat perang, tidak boleh ada derogasi (pengurangan) pada kebebasan berpikir, bernurani, beragama serta berkeyakinan. Terkait pembatasan atas alasan keamaan publik, dalam buku ini Manfred dan Tanja memberi sebuah contoh kasus. Kasus yang terjadi di Itali, yakni penuntutan pidana terhadap upaya menyusun kembali partai fasis yang sudah dibubarkan di Italia, merupakan suatu intervensi yang diperbolehkan terhadap kebebasan berkeyakinan. Komite Hak Asasi Manusia menanganggap bahwa Kasus M.A. vs Itali yang dituntun pidana oleh pengadilan karena penyebaran pemikiran fasis, merupakan pembatasan yang diperbolehkan sesuai Pasal 18 ayat (3) ICCPR. Contoh-contoh lain penerapan
42
PRANALA, Edisi Januari-Februari 2015
pembatasan untuk keempat alasan lain juga bisa dijumpai dalam bab ini. Harus diakui, praktik pembatasan di banyak negara itu hingga kini masih terus diperdebatkan, khususnya kecenderungan berpihak negara kepada kelompok mayoritas. Dalam Konteks Keindonesiaan Buku ini juga dengan satu bab tentang konteks Indonesia yang saat ini masih mengalami masalah dengan kebebasan beragama dan berkeyakinan. Para pemberi pengantar buku ini dalam edisi bahasa lebih mengkontekskan buku ini dengan Indonesia. Sejumlah diskursus tentang kebebasan beragama dan berkeyakinan yang belum selesai, seperti isu penodaan agama, menyebarkan kebencian, pelarangan rumah ibadah tersedia dalam buku ini. Buku ini terdiri dari 13 bab dan juga dilengkapi dengan sejumlah lampiran instrumen internasional, termasuk peraturan-peraturan terkait untuk konteks Indonesia. Pada bab-bab awal, banyak menyuguhkan tulisan dari sisi teoritis dan historis. Di sana pembaca diajak memahami jalinan norma, instititusi dan prosedur yang komplek yang dibuat untuk melindungi kebebasan beragama beryakinan. Di bagian akhir, sejumlah isu terkait dibicarakan seperti perempuan, pendidikan, dan problem gerakan-gerakan keagamaan baru. Memasuki abad ke-21, kebebasan agama dan keyakinan merupakan salah satu bagian penting dari hak asasi manusia. Meski hampir tidak ada lagi perdebatan substantif tentang esensialnya subjek ini, jelas pula kebebasan agama dan keyakinan masih menghadapi masalah dan kendala tertentu di banyak bagian dunia, termasuk di tanah air kita Indonesia. Karena itu, kebebasan beragama dan berkeyakinan masih perlu diperjuangkan secara terus menerus pada berbagai level kehidupan. Hambatan dan kendala dalam aktualisasi kebebasan beragama dan berkeyakinan itu boleh jadi berkaitan dengan ketentuan-ketentuan hukum dan kebijakan-kebijakan tertentu negara. Dalam satu dan lain hal, menyebabkan individu atau masyarakat tertentu terhalangi atau tidak dapat sepenuhnya mengekspresikan agama dan keyakinan yang mereka anut. Dalam hal ini, perlu diperjuangkan untuk perubahan ketentuan hukum dan kebijakan negara tersebut, sehingga kebebasan agama dan keyakinan dapat terwujud lebih baik.
www.merdeka.com
Perspektif
REKONSILIASI DAN PEREBUTAN MAKNA Oleh : ST. Tri Guntur Narwaya, M.Si
“Kita tak bisa mengampuni apa yang tak dapat kita hukum” (Hannah Arendt) Dasar ideal bagi pengembangan bangsa yang beradab, salah satunya terletak pada bagaimana entitas negara bisa memberikan jaminan atas kehidupan yang baik dan manusiawi untuk seluruh warga negaranya.1 Negara mempunyai mandat dan tugas penting untuk menyelenggarakan tata kelola seluruh sumber daya yang ada. Dalam mewujudkan proses itu, tentu pencapaian ini tidak mudah. Bangsa adalah entitas hidup yang selalu bergumul dengan dialektika sejarahnya masing-masing. Dalam banyak hal, pembentukan sebagai bangsa dan negara tak luput dari benturan-benturan dan konflik-konflik kepentingan. Pada titik ini, dimensi artikulasi politik mengambil tempat. Tentu politik yang dimaksud di sini bukan semata gambaran politik praktis yang berlangsung telanjang, seperti misalnya urusan praktik politik pemerintah, parlemen atau lembaga-lembaga politik lainnya. Politik lebih jauh dari itu meminjam pendekatan Laclau sebagai sebuah organisasi masyarakat dalam sisi tertentu dengan cara tertentu, yang meniadakan semua kemungkinan adanya cara yang lain. Politik akhirnya tidak akan jauh dengan persoalan perebutan makna atas kehidupan tersebut. Problem terpenting dari tugas negara tentu saja bagaimana bisa mengelola dan menyelesaikan beragam konflik dan benturan kepentingan, demi tercapainya kehendak keadilan bagi seluruh warga negara. Jikapun terjadi berbagai perkembangan teoritik tentang apa itu entitas negara, hampir sebagian besar perspektif itu meletakan dimensi negara sebagai sesuatu yang penting. Namun ten-
tu, minat tulisan ini jauh dari ini. Negara juga bisa dipandang sebagai bagian medan wacana dimana setiap kepentingan wacana kemudian bernegosiasi.2 Negara tak lagi dilihat sebagai bangunan struktur objektif mati, tetapi negara selalu bertumbuh bukan semata sebagai problem realitas objektif empirik material, namun juga menjadi bagian dari hasil diskursif berbagai subjek. Negara menjadi bagian diskursif dan juga hasil dari diskursif tersebut. Dalam fakta pengalaman sejarah, Indonesia juga memiliki banyak catatan kisah dan pengalaman sejarah yang terbilang besar. Transisi perwujudan menuju proses demokratisasi juga meninggalkan memori besar tentang berbagai catatan di dalamnya. Salah satu yang masih menarik akan diangkat dalam tulisan ini adalah pengalaman tragedi 1965, beserta berbagai aspek persoalannya. Ada banyak trauma sejarah yang penting untuk dilampui. Salah satu yang ingin diangkat dalam tulisan ini, tentu saja adalah pemaknaan atas peristiwa 1965, upaya rekonsiliasi dan berbagai artikulasi pertarungan makna di dalamnya. Gagasan Rekonsiliasi Melampui Nalar Legal Formal Masa transisi tumbangnya sistem totalitarian Soeharto memberi sumbangan penting bagi gagasan rekonsiliasi. Secara legal barangkali gagasan dan prakarsa rekonsiliasi sejatinya sudah tertera secara jelas mislanya dalam TAP MPR No V/MPR/2000 tentang Pemantapan Persatuan Nasional.3 Namun demikian, cerita perjalanan rekonsiliasi tak hanya bisa dibaca dalam legal formal prosedural tersebut. Apalagi setelah putusan pembatalan oleh MK sePRANALA, Edisi Januari-Februari 2015
43
Perspektif
olah perjuangan rekonsiliasi mengalami titik buntu. Untuk sebagian yang mencurahkan semata pada nalar legal dan politik praktis tentu bisa pesimistis. Namun jika diperluas medan pencapaian dan metode yang bisa dikembangkan, tentu kekawatiran itu tidak lagi muncul. Pertimbangan pemilihan tematik ini pertama berdasar dari skala keluasan dan kedalaman masalah, dan juga relasi-relasinya dengan berbagai dimensi ekonomi politik dan budaya yang amat meluas.4 Terlebih lagi, jika dilihat dari jumlah korban langsung maupun tidak langsung atas tragedi politik ini. Banyak catatan dan pengungkapan sejarah yang sudah menunjukan keluasan persoalan yang dibawa oleh dimensi tragedi ini hingga hari ini. Bisa dikatakan, ‘tragedi 1965’ masih banyak menyisakan persoalan, terutama pada belum tuntasnya upaya dan dorongan untuk melakukan apa yang dinamakan sebagai cita-cita gagasan rekonsiliasi nasional. Gagasan mendorong cita-cita rekonsiliasi nasional tentu saja tidak semata hanya untuk persoalan yang menyangkut peristiwa 1965. Banyak juga berbagai subjek fakta sejarah yang sangat penting untuk dimasukkan, terutama tentu peristiwa-peristiwa yang punya dimensi pelanggaran kemanusiaan yang cukup massif dan meluas. Prinsip dasar gagasan ini bisa dikatakan sejalan dengan upaya membangun narasi sejarah yang adil dan benar, melalui berbagai pengungkapan kebenaran dan rekonsiliasi. Prinsip cita-cita rekonsiliasi5 mempunyai pengandaian bahwa jika saja masa lalu sejarah masih belum terungkap, maka masa lalu juga akan bisa ‘menyandera’ dan ‘menjerat’ berbagai persoalan bangsa kemudian. Misalnya, kita bisa melihat basis dasar argumentasi dari beberapa kekuatan sosial masyarakat yang mendorong upaya cita-cita rekonsiliasi. Dalam Policy Brief lembaga Elsam Jakarta, mengawali argumentasinya dengan menyatakan betapa ‘pengungkapan kebenaran’ dan ‘rekonsiliasi’ yang terinstitusionalisasikan dalam UU KKR sangat penting. “Demi sempurnanya proses transisi demokratik, dari rezim otoritarianisme ke demokrasi, diperlukan sebuah upaya pengungkapan kebe44
PRANALA, Edisi Januari-Februari 2015
naran dan rekonsiliasi. Proses ini penting dilakukan, guna meminimalisir ‘ganjalan sejarah’, yang bisa menjadi hambatan dalam perjalanan bangsa ke depan. Bila permasalahan di masa lalu tidak segera dicarikan mekanisme penyelesaiannya, dikawatirkan segregasi sosial di masyarakat akan terus berkepanjangan dan meruncing, yang sewatu-waktu bisa menjadi sumber potensi konflik horizontal, di kelak kemudian hari.” Cukilan gagasan dari rumusan Policy Brief lembaga ElSAM Jakarta ini hanyalah salah satu bagian dari mereka yang meyakini, bahwa proses gagasan rekonsiliasi adalah sangat penting. Dipergunakan untuk membangun fondasi dasar perjalanan bangsa Indonesia ke depan. Lebih jauh dari itu, gagasan rekonsiliasi harus bisa terinstitusionalkan dalam kebijakan formal negara dan dalam hal ini penting adanya sebuah lembaga atau komisi tentang kebenaran dan rekonsiliasi. Pasca Reformasi 1998, prinsip dan rute akhir pencapaian gagasan rekonsiliasi ini telah diperjuangkan oleh berbagai kelompok kekuatan masyarakat Sipil, NGO dan masyarakat, termasuk dalam hal ini Komnas HAM. Namun memang tidak sedikit juga banyak kekuatan sosial politik yang tidak sependapat dengan prinsip atau target gagasan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi ini. Tidak sedikit penolakan justru hadir dari kelompok korban 1965, dengan berbagai alasan penolakan. Salah satu gagasan penolakan hadir disuarakan oleh Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan (YPKP) 1965- 1966. Dalam salah satu pandangan umum YKPK, RUU KKR tidak berpihak dan tidak memenuhi rasa keadilan bagi korban, dan justru menguntungkan pelaku dengan memberi peluang adanya pengampunan (impunitas). RUU KKR ini juga dianggap akan menyingkirkan upaya pengungkapan kebenaran yang sungguh-sungguh. YPKP juga menyatakan bahwa RUU KKR ini juga hanya akan memberikan amnesti, rehabilitasi, restitusi dan kompensasi yang berifat material belaka dan masih jauh dari rasa keadilan yang lebih berdimensi sosial yang luas.5 Gagasan dan wacana tentang cita-cita rekonsiliasi nasional memang sarat dengan berbagai ketegangan dan perdebatan. Secara resmi memang UU KKR berhasil disahkan dalam Rapat
Paripurna DPR tahun 2004. Tidak lebih dari dua tahun, yakni akhir tahun 2006, UU KKR dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK) dengan beberapa alasan. Sebelumnya, uji material atas UU KKR ini disampaikan oleh beberapa kelompok masyarakat sispi, NGO dan komunitas korban pelanggaran HAM. MK memberikan rekomendasi penting untuk pembentukan UU KKR kembali yang disesuaikan dengan UUD 1945, Hukum humaniter dan hukum hak asasi international. Fakta tersebut membuktikan bahwa dinamika atas gagasan rekonsiliasi sebenarnya masih terus berproses hingga hari ini. Rekonsiliasi dan Perebutan Makna Gagasan rekonsiliasi tentu sangatlah kompleks dan luas cakupannya. Gagasan rekonsiliasi juga tidak hanya menjadi persoalan nalar legal konstitusional belaka. Rekonsiliasi tidak hanya bagaimana diatasi dengan prosedur dan tahapan hukum ataupun politik semata. Menjadi krusial untuk melihat dan menjangkau pemahaman tentang gagasan ini melalui dimensi analisis dan pendekatan lain. Tentu sangat menarik untuk melihat lebih dalam berbagai proses panjang bagaimana geneologi dan politik wacana tentang rekonsiliasi ini bekerja. Berbagai ketegangan, perbedaan prinsip dan juga kerumitan yang melingkupi gagasan perjuangan rekonsiliasi tak hanya menjadi tugas dari perspektif legal hukum semata.7 Mengapa gagasan ini menimbulkan berbagai polemik perbedaan cara pandang, tentu juga berawal dari perbedaan pemaknaan dan juga penghayatan apa yang dimengeri sebagai rekonsiliasi itu sendiri. Perbedaan atas pemaknaan ini juga dipengaruhi dengan berbagai basis dimensi yang komplek dan juga barangkali rumit, termasuk konteks sosial historis yang berkembang. Sebagai sebuah gagasan wacana, rekonsiliasi tentu berproses dan berkembang. Sejauh mana kemudian gagasan rekonsiliasi ini diletakkan pada ruang-ruang wacana tertentu, sangatlah menarik untuk digali. Bagaimana rekonsiliasi kemudian diwacanakan, apakah kemudian rekonsiliasi dimaknai dan diartikulasikan berbeda dengan cara berbeda8, dan bagaimana kemudian wacana tentang rekonsiliasi diartikulasikan secara berbeda oleh masing-masing
kelompok, komunitas ataupun masyarakat, sangatlah menarik menjadi satu aspek kajian. Harapan dari cara baca ini tentu akan memberikan perpektif makna yang lebih luas dan tidak terpola dan terbakukan pada gagasan-gagasan yang seolah sudah final. Bisa jadi bahwa konflik berbagai ketegangan atas cita-cita rekonsiliasi juga merupakan satu bentuk dari wujud konflik atas makna dan cara pemaknaan itu sendiri. Setelah transisi politik jatuhnya Presiden Soekarno, tatanan sistem politik hukum dan sekaligus kebudayaan telah diatur begitu rupa dalam kekuasaan otoritarianisme orde baru. Satu kebijakan politik yang penting dilakukan orde baru adalah strategi pendisiplinan dan pembungkaman pada setiap entitas politik yang dianggap mengganggu kekuasan politik negara. Partai Komunis Indonesia (PKI) oleh orde baru dibubarkan dan dilarang perkembangan ajarannya. Melalui Tap MPRS No. 25 tahun 1966, pengetahuan, ajaran dan praktik pengembangan nilai ajaran yang berbau komunis telah benar-benar ditutup rapat. Secara politis kemudian banyak regulasi, aturan, dan kebijakan yang mengarah pada kontrol ketat atas ajaran Komunis. Wacana anti komunis begitu rupa disebarkan secara meluas dengan berbagai bentuk artikulasinya.9 Setiap hal yang berkaitan dengan ‘komunis’ dianggap momok menakutkan. Hingga horor dan stigma itu masih dilanggengkan dengan berbagai modus cara. Politik stigmatisasi dan pelanggengan wacana anti komunis inilah yang kemudian juga menjadi satu bagian dimensi persoalan sendiri. Menyebabkan berbagai upaya cita-cita rekonsiliasi sering mengalami ganjalan. Argumentasi penolakan atas gagasan rekonsiliasi selalu mengarah pada bangunan wacana yang meletakkan rekonsiliasi hanya akan menyebabkan terulangnya tragedi politik.10 Jauh dari itu, korban yang menyuarakan pentingnya rekonsiliasi dianggap sebagai manifestasi dari wujud ‘komunis gaya baru’, yang akan membahayakan kepentingan bangsa dan masyarakat. Phobia komunitas itu seakan terawat dalam struktur ingatan dan juga cara pandang masyarakat. Alternatif Pendekatan untuk Mengurai Kebuntuan Gagasan tulisan ini sebenarnya berangkat dari kegelisahan atas berbagai dinamika prakarsa PRANALA, Edisi Januari-Februari 2015
45
Perspektif
rekonsiliasi yang menurut hemat penulis mengalami proses tantangan luar biasa. Jauh dari itu, juga tulisan ini ingin melihat bagaiman praktik diskursif tentang rekonsiliasi ini dipraktikan dalam ruang-ruang yang berbeda. Semenjak UU KKR dibatalkan oleh MK pada tahun 2006, gagasan dan polemik tentang prakarsa rekonsiliasi mulai menghangat kembali. Dalam berbagai langkah yang berbeda dan pemajuan-pemajuan alternatif lain, isu ini dalam beberapa kesempatan masih terus digulirkan. Tentu ini juga menjadi satu hal yang bisa merawat harapan meskipun terbatas pada beberapa hal. Perjuangan untuk pengungkapan kebenaran dan prakarsa rekonsiliasi kemudian hadir dalam banyak alternatif gerakan. Hadirnya berbagai buku otobigrafi korban, testimoni, karya sastra tentang 1965 ataupun sekian upaya mengungkap narasi sejarah tentang 1965, baik yang dilakukan oleh korban, penulis luar negeri, ataupun karya dari berbagai lembaga masyarakat, bisa menjadi bagian penting dari arah pengungkapan kebenaran tersebut. Harus diakui bahwa pasca reformasi, karya-karya tulisan dan kesaksian itu banyak hadir. Meskipun memang jika kita letakkan pada bangunan resmi di mana negara kemudian melakukan rekonstruksi atas narasi kebenaran sejarah, memang belum sampai ke situ. Hanya jauh berbeda dengan orde baru, maka ruang untuk melakukan artikulasi lain dari yang terdapat dalam sejarah resmi negara diberi kesempatan yang cukup baik. Hanya beberapa fakta juga tercatat bahwa kekawatiran dan sikap reaksioner kekuatan sosial yang masih berpegang pada prinsip anti komunis, juga masih sering hadir. Ada trauma sejarah yang masih hidup mengental. Trauma baik dari korban atau juga mereka yang sekarang masih dianggap bersalah sebagi pelaku. Trauma atas ingatan memori sejarah adalah dimensi penting yang menjadi salah satu penghambat langkah rekonsiliasi. Meski demikian, upaya terus mengawetkan trauma tetap saja berlangsung. Banyak pihak yang juga masih sengaja mendorong trauma itu kembali dihadirkan dengan membangun persepsi ketakutan. Trauma sejatinya bisa diminimalisir dan juga dihilangkan, namun aspek kepentingan bisa saja menggunakan basis trauma 46
PRANALA, Edisi Januari-Februari 2015
ini sebagai bagian dalih pembenar untuk kepentingannya. Tugas untuk memprakarsai rekonsiliasi juga harus berhadapan dengan langkah untuk memutus dan menjernihkan berbagai basis argumentasi yang menyesatkan, yang sengaja terus-menerus dibangun. Ruang publik untuk selalu mendiskusikan, mendialogkan dan menegosiasikan berbagai kepentingan sah-sah saja dalam menghargai proses dan proses penyelesaian yang demokratis. Persoalannya tak jarang, ruang dialog selalu tertutup dengan berbagai mekanisme kekerasan yang jauh dari spirit dialog. Kekerasan yang disertai dengan berbagai dalih pembenarannya selalu dijadikan alat untuk menutup ruang-ruang prakarsa ini. Kekerasan menjadi alat yang efektif untuk gagasan rekonsiliasi bisa didialogkan secara jernih. Memang berbagai perspektif teoritik baik pada dimensi etika dan juga moralitas politik juga sudah menyinggung kepentingan besar dari rekonsiliasi. Ada syarat-syarat yang juga harus dibangun untuk proses tersebut.11 Walaupun demikian syarat nomatif itu tidak gampang untuk diwujudkan. Laclau dan Mouffe: Perspektif Kritis Wacana Meminjam pendekatan kritis Laclau dan Mouffe untuk melihat artikulasi keragaman dan ketegangan, diskursus tentang rekonsiliasi menjadi berguna untuk dilakukan. Gagasan prakarsa rekonsiliasi bisa diletakkan juga sebagai ‘perjuangan wacana (Discursive Struglle)’ dan wacana tentang ‘rekonsiliasi’ sendiri bisa dianggap semacam ‘nodal poin’ yang diperebutkan oleh berbagai wacana. Artinya wacana rekonsiliasi tidak bisa berdiri sebagai artikulasi yang merepresentasikan pada dirinya sendiri. Gagasan Laclau dan Mouffe ini bisa menjadi cara untuk mengelaborasi lebih lanjut. Penulis juga mengganggap bahwa isu rekonsiliasi dengan segala problemnya juga menjadi isu penting dari proses politik kontemporer. Memperbarui analisis Marxis, Laclau ingin meletakan pluralitas keragaman politik kontemporer yang tak lagi terpusat pada ranah dan domain analisis ideologi kelas tertentu. Perjuangan demokrasi modern hari ini juga butuh perluasan sehingga bisa membangun perebutan atas makna lebih luas. Secara umum, Laclau dan Mouffe meng-
gabungkan beberapa sumbangan pemikiran besar terutama beberapa pendekatan teoritik baik ‘Marxisme’, ‘Strukturalisme’ dan juga ‘Psikoanalisa’ terutama dari Lacan. Untuk Marxisme, menyediakan analisis untuk ‘fenomena sosial dan politik’, sementara ‘Strukturaisme’ membantu dalam menganalisa ‘makna’. Menurut analisis Laclau dan Mouffe, penggunaan bahasa adalah merupakan fenomena sosial yang diciptakan melalui ‘konvensi’, ‘negosiasi’, dan ‘konflik’ dalam konteks sosial untuk mencapai kondisi yang ‘tetap’ tetapi sekaligus ‘tertantang’. Politik rekonsiliasi yang menjadi corpus masalah ini barangkalai bisa menggambarkan akan situasi tersebut. Pada beberapa konsep kunci Laclau dan Mouffe, kita akan mengenal beberapa pengertian penting seperti: ‘artikulasi’, ‘wacana’, ‘moment’, ‘unsur’, ‘kontingensi’, ‘medan kewacanaan’, ‘praktik wacana’ dan beberap unsur kunci yang lain seperti ’nodal point’.12 Rekonsiliasi bisa ditempatkan sebagai semacam ‘nodal point’. Beberapa interpretasi, ketegangan pendapat, dan berbagai negosiasi yang ada dan beragam penulis tempatkan sebagai unsur-unsur dan momen-momen dalam artikulasi wacana. Sebagai gagasan Laclau, ‘wacana’ adalah upaya pengurangan kemungkinan-kemungkinan akan makna tanda yang lain. Semua kemungkinan yang ditiadakan oleh wacana disebut sebagai ‘medan kewacanaan’. Prakarsa gagasan rekonsiliasi tidak semata persoalan transfer gagasan atapun pertukaran pesan antara subjek satu dengan yang lain. Dalam sifat inhernnya sejatinya, prakarsa rekonsiliasi jika dipandang sebagai bagian wacana adalah upaya untuk mengurangi berbagai ‘kemungkinan-kemungkinan’ makna lain. Masing-masing pihak akan selalu menunjukan bahwa perspektif dan pandangannya yang baik dan benar. Saat dia mengatakan kebenaran maka sejatinya ia telah mengurangi kesalahan dengan menyisihkan kemungkinan wacana yang lain. Pada sisi inilah problemnya menjadi penting kita kaji. Bagi pemahaman pemikiran Laclau dan Mouffe, makna tidak akan pernah fix dan tetap. Makna selalu dalam kondisi ‘rentan’ dan ‘berbahaya’ selalu ada kemungkinan untuk merusaknya. Maka poin penting
‘wacan’ adalah melakukan sedemikian rupa untukm menyingkirkan unsur-unsur tersebut sedemikian rupa sehingga padu dan tetap, walaupun ini tidak akan pernah terjadi. Tak ada wacana yang bisa berdiri kokoh dan stabil terus menerus. Setiap kekuasaan dominan atas wacana akan selalu membuka ruang ‘kebermungkinan’ sebagai sebuah kondisi yang menantang dan bisa jadi menggantikan artikulasi yang dominan. Dengan kata lain, wacana melakukan ‘pengakhiran’ atas fluktuasi makna. Meskipun demikian, Laclau meyakini bahwa proses ‘pengakhiran’ ke arah ‘poenetapan makna’ itu tak pernah bisa fix karena selalu akan dirongrong oleh hadirnya relasi unsur lain. Bisa dikatakan lain bahwa tak ada mungkin ruang ‘hegemoni atas makna’ secara fix. Mobilisasi makna apapun yang mengarah ke hegemoni akan membuka ruang untuk artikulasi yang lain. Dan yang juga sangat penting bagi perpektif ini adalah bahwa semua praktik sosial bisa difahami sebagai sebuah bentuk artikulasi wacana.13 Laclau sendiri tidak membedakan antara artikulasi wacana yang menggunakan medium ‘bahasa’ atau ‘non-bahasa’. Banyak unsur yang kemudian diperebutkan untuk menjadi ‘investasi wacana’. Unsur-unsur tersebut oleh Laclau disebut sebagai ‘floating signifier’ atau tanda yang diperjuangkan setiap wacana untuk diarahkan untuk penetapan wacana sehingga dominan. Wacana tentang rekonsiliasi satu sisi bisa menjadi ‘nodal point’, ‘medan wacana’ dan sekaligus ‘tanda mengambang’ (floating signifier) yang selalu ‘diperebutkan dan berproses terus menerus. Artikulasi wacana bisa senantiasa ‘memproduksi’, ‘mengubah’ dan ‘menantang wacana’. Kalaupun wacana legalitas hukum seperti sebuah regulasi Undang-undang oleh sebagian dianggap sebagai wacana yang tetap (fix), seperti yang selalu diungkapkan dalam jargon ‘kepastian hukum’, namun sejatinya ia juga tak akan pernah tetap dan selalu rentan terhadap berbagai ketegangan dan perebutan makna. Jika kita bumikan pada tema pokok gagasan tulisan ini, refleksi teoritis yang bisa dibangun adalah bahwa apa itu rekonsiliasi, bagaimana itu rekonsiliasi, dan apa yang dimengerti sebagai syarat PRANALA, Edisi Januari-Februari 2015
47
Perspektif
rekonsiliasi yang benar selalu ada ruang perebutan makna. Kenapa gagasan rekonsiliasi dalam banyak hal mengalami sumbatan dan hambatan tak semata karena persoalan kuatnya subjek penentangnya, tetapi bisa juga kita katakan bahwa persoalannya ada dalam bagaimana produksi dan negosiasi makna itu dijalankan dan bagaimana pula perjuangan wacana itu dilakukan. Pengandaiannya begini, jika saja semua masyarakat kemudian bisa menerima gagasan rekonsiliasi maka sejatinya proses artikulasi wacana itu mampu untuk berdiri secara dominan dan menyingkirkan kemungkinan-kemungkinan wacana lain yang akan merusaknya. Secara praktik memang pertarungan wacana dan perebutan makna atas dominasi gagasan rekonsiliasi bukanlah perkara ringan. Cita-cita gagasan rekonsiliasi menjadi bagian
yang harus kita letakkan dalam perspektif perjuangan wacana terus menerus yang tak berhenti. Jikapun secara legal formal misalnya keberhasilanya sudah didapat, masih saja perjuangan itu tak akan pernah bisa final. Sama seperti dalam asumsi Laclau dan Mouffe, perjuangan wacana adalah akan terjadi terus menerus dalam skala waktu yang tak terbatas. Ia tak akan pernah fix. Ia akan seperti horizon yang terus akan bergerak ketika kita mendekatinya. Sama sebenarnya dengan berbagai utopia perjuangan tentang cita-cita membangun mimpi keadaban manusia secara lebih luas. Perjuangan akan makna selalu tak akan pernah purna dan tuntas.
Endnotes 1.
2.
3.
4.
5.
6.
48
Prinsip ini sejatinya menjadi kecenderungan umum yang ada dalam klausul dasar sebuah negara berdiri. Kepentingan rakyat dan warga negara menjadi prioritas utamanya. Dalam UUD 1945 juga tercantum mukadimah dasar dari apa itu peran negara dan kewajibannya bagi warga negara. Lihat Berger, Peter L. dan Thomas Luckman, 1996. The Social Costruction of Reality: A Treatise in The Sociology of Knowledge, New York, Double Daay. Dalam cakrawala ilmu sosiologi, kita pernah dikenalkan dengan beberapa perspektif tentang realitas sosial, yang melihat masyarakat sebagai realitas pertalian antara realitas objektif dan realitas subjektif. Pada Tap. MPR No V/MPR/2000 tercantum paragrap yang penting bahwa “Kesadaran dan komitmen yang sungguh-sungguh untuk memantapkan persatuan dan kesatuan nasional harus diwujudkan dalam langkah-langkah nyata, berupa pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, serta merumuskan Etika Berbangsa dan Visi Indonesia Masa depan.” Peristiwa 1965 bisa terbilang sebagai kisah besar bangsa Indonesia yang menjadi tonggak perubahan mendasar dari arah ekonomi politik dan budaya yang dikembangkan kemudian. Kurun waktu sejarah ini juga mengisahkan berbagai problem ketragisan dan tragedi. Banyaknya korban atas peristiwa ini juga menjadi torehan yang cukup penting, bagaimana tragedi ini bisa digambarkan dan berdampak meluas dalam berbagai sendi hidup masyarakat Indonesia. Penolakan dari komunitas korban ini menjadi salah satu bukti, bahwa perspektif dan gagasan tentang rekonsiliasi itu tidaklah sama bisa diterima oleh komunitas korban. Bandingkan misal dengan Sekber 65, lembaga komunitas korban 1965 ini justru menerima gagasan rekonsiliasi, tetapi dengan tidak perlu untuk melakukan proses pengadilan HAM terhadap para pelaku yang terbukti. Sementara YPKP 65 berbeda. Lembaga ini selalu mendorong akan pentingnya pengungkapan kebenaran melalui proses peradilan bagi para pelaku yang bertanggungjawab atas tragedi 1965. Salah satu sumbangan atas pemunculan perspektif lebih kritis jauh dari pengamatan legal dan politik, salah satunya pernah dikembangkan oleh Budiawan. Ia meninjau aspek berbagai tautan dimesi pelanggengan wacana anti-komunis dan gagasan reko-
PRANALA, Edisi Januari-Februari 2015
7.
8.
9.
10.
11.
12.
siliasi dalam tingkat akar rumput. Lihat Budiawan, Mematahkan Pewarisan Ingatan (Wacana Anti-Komunis dan Politik Rekonsiliasi Pasca Soeharto), Penerbit Elsam, Jakarta, 2004. Konsep ‘artikulasi’ sebenarnya merujuk pada pemahaman Laclau dan Mouffe, penggunaannya untuk melengkapi teori relasi antara unsur-unsur yang membentuk wacana (unsur dikursif) dengan komponen-komponen formasi sosial. Menurut Laclau, artikulasi adalah praktik apapun yang berusaha menetapkan hubungan di antara unsur-unsur, sehingga identitasnya berubah sebagai praktik artikulatoris. Lihat, Laclau, Ernesto and Chantal Mouffe (1985), Hegemony and Socialist Strategy: Toward a Radical Democratic Politics. London : Verso. P. 105. Beberapa gagasan tentang bagaimana praktik diskursif ideologis pelanggengan ingatan dan politik stigmatisasi sudah beberapa penulis elaborasi dalam karya buku penulis sebelumnya. Lihat, ST. Tri Guntur Narwaya, Kuasa Stigma dan Represi Ingatan, Penerbit ResistBook, Yogyakarta, 2009. Lihat, kutipan putusan NO 020/PUU-IV/2006 Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, terutama pada poin alasan-alasan dari pemohon tentang pengujian UU RI NO. 27 Tahun 2004 tentang UU KKR. Salah satu pandangan mensyaratkan empat unsur dan sekaligus tahapan pokok dalam melakukan rekonsiliasi: Pertama, adalah ‘Truth’ (kebenaran). Sebuah usaha rekonsiliasi harus bertolak pada ‘kebenaran; Kedua, ‘Mercy’ (pengampunan), rekonsiliasi perlu diikuti dengan kerelaan hati untuk mengampuni dan diampuni; Ketiga, ‘Justice’ (keadilan), bahwa rekonsiliasi juga harus mengupayakan pada keadilan di mana setiap kejahatan masa lalu perlu untuk diungkap dan diadili dengan cara-cara seadil-adilnya; Keempat, ‘Peace’ (Perdamaian), yakni rekonsiliasi merupakan upaya yang serius untuk mencapai perdamaian kepada semua pihak. Lihatm Baskara T Wardaya, “Dari kebenaran ke Rekonsiliasi”. Diambil dari Http://www.unisosdem.org/ Beberapa penjelasan konsep kunci itu adalah ada dalam buku utama Laclau dan Mouffe. Lihat, Laclau, Ernesto and Chantal Mouffe, Hegemony and Socialist Strategy: Toward a Radical Democratic Politics. London: Verso, 1985. Ibid, hal. 113