Pustaha: Jurnal Studi Perpustakaan dan Informasi, Vol.2, No.2, Desember 2006
Revitalisasi Peran Strategis Perpustakaan dalam Menunjang Pembelajaran Berbasis Mahasiswa A. Ridwan Siregar Departemen Studi Perpustakaan dan Informasi Universitas Sumatera Utara Abstract Transformation of teaching method into student-based learning in a higher education institution (HEI) has implication to its library roles. How a library should response toward such change is discussed in this paper. Keywords: Higher Education Libraries, Student-based Learning Pendahuluan Perpustakaan perguruan tinggi sebagai perpustakaan akademik telah dan akan terus memainkan peran yang sangat penting dalam kehidupan suatu perguruan tinggi. Sebagai pusat sumber informasi, perpustakaan memperoleh tempat utama dan sentral karena perpustakaan melayani semua fungsi perguruan tinggi. Untuk menjalankan fungsi tersebut, perpustakaan menyediakan pelayanan yang bersifat mendasar dan mutlak. Perpustakaan merupakan instrumen dinamis pendidikan, bukan gudang buku yang dilengkapi dengan ruang baca. Pelayanan yang diberikan akan mempengaruhi keseluruhan program perguruan tinggi, dan tanpa itu berarti penundaan berfungsinya perguruan tinggi sebagai pusat pembelajaran dan penelitian. Perubahan metode pembelajaran yang diterapkan oleh perguruan tinggi memiliki implikasi terhadap penyelenggaraan perpustakaan. Sejauhmana implikasi yang ditimbulkannya tergantung pada kondisi perpustakaannya. Jika operasional perpustakaan telah berjalan secara proporsional sebagai bagian dari operasional perguruan tinggi secara keseluruhan, maka perubahan yang harus dilakukan tentu tidak terlalu besar. Tetapi jika penyelenggaraannya belum berjalan sebagaimana lazimnya suatu perpustakaan perguruan tinggi, maka perubahan besar harus dilakukan berkaitan dengan manajemen dan operasional perpustakaan.
Halaman 65
Transformasi dari metode pembelajaran konvensional ke pembelajaran berbasis mahasiswa (PBM) atau student-based learning, sebenarnya tidak jauh berbeda dengan peralihan dari metode teaching-based kepada learning-based yang telah lama dikenal di dunia perpustakaan. Pendekatan tersebut selain memiliki ketergantungan yang lebih besar pada bahan pustaka, juga merupakan salah satu misi perpustakaan pada umumnya yaitu mempromosikan pembelajaran sepanjang hayat (life-long learning). Tulisan ini tidak dimaksudkan untuk membicarakan metode pembelajaran, tetapi lebih pada upaya untuk melihat bagaimana seharusnya perpustakaan berperan dalam mendukung semua program perguruan tinggi termasuk penerapan suatu metode pembelajaran yang baru. Pembelajaran Berbasis Mahasiswa Sebelum melihat bagaimana perpustakaan harus melakukan perubahan untuk menunjang perubahan metode pembelajaran, perlu kiranya dibicarakan secara ringkas tentang metode tersebut. PBM dapat dipandang sebagai suatu model alternatif terhadap model pembelajaran konvensional. Selain metode PBM, masih banyak metode atau istilah lain yang berkaitan dengan konsep pembelajaran. Semuanya pada umumnya bertujuan untuk mengubah model konvensional yang lebih berorientasi pada pengajaran (teaching).
Universitas Sumatera Utara
Pustaha: Jurnal Studi Perpustakaan dan Informasi, Vol.2, No.2, Desember 2006
Seperti kita ketahui, PBM tidak menekankan hanya pada transmisi konten atau isi tetapi lebih pada pemfasilitasian pembelajaran yang menyatukan keterampilan keilmuan dan pengetahuan. Dengan kata lain, PBM lebih menekankan pada cara atau proses penyampaiannya (learning delivery) dibandingkan dengan metode konvensional yang lebih pada isi mata kuliah dan hasil akhir suatu proses belajar. Bagaimana kaitan antara kurikulum berbasis kompetensi (KBK) yang banyak diimplementasikan di sejumlah perguruan tinggi dewasa ini dengan PBK. Penulis melihat bahwa KBK lebih menitik-beratkan pada konten, sedangkan PBM menitikberatkan pada proses. Oleh karena itu, PBM menjadi komplementer terhadap KBK. Selain itu, dalam metode PBM penciptaaan suasana pembelajaran tertentu menjadi penting. Dalam hal ini termasuk penyediaan berbagai fasilitas baik fisik maupun non-fisik. Fasilitas fisik termasuk penyediaan ruang diskusi untuk kelompok kecil dan penyediaan dukungan infrastruktur teknologi informasi (TI). Sedangkan fasilitas non-fisik termasuk antara lain penyediaan sumberdaya informasi berbasis elektronik dan sumberdaya belajar lainnya. Dengan penggunaan TI misalnya, ruang kelas tradisional dapat ditransformasikan ke PBM, yang dapat meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam penyelidikan, kerja sama tim, dan interaksi global yang dapat menciptakan lingkungan yang inovatif. Di satu sisi, bentuk perkuliahan konvensional dipandang lebih ekonomis bagi perguruan tinggi, tetapi tidak efisien untuk pembelajaran. Di sisi lain, banyak yang menyadari bahwa proses belajar harus beralih dari “delivering quality instruction” kepada “designing a climate most conductive to student learning.” Berbagai studi telah dilakukan yang menyarankan agar institusi pendidikan lebih berfokus pada pembelajaran yang sesungguhnya (learning-centered) seperti PBM. Dalam PBM biasanya mahasiswa dibagi ke dalam sejumlah kelompok kecil yang terdiri empat hingga enam orang. Kelompok ini melakukan pertemuan di luar kelas untuk melaksanakan berbagai diskusi dalam berbagai topik dan memberikan presentasi tentang topik tersebut.
Selain itu, setiap kelompok juga ditugaskan untuk membuat makalah pendek dan menyebutkan sumber bibliografi yang dikutip. Mahasiswa juga diminta untuk membuat makalah perorangan. Berkaitan dengan itu, sistem penilaian juga akan mengalami perubahan disesuaikan dengan tugas yang diberikan. Misalnya, 30% untuk partisipasi dalam kelompok yang terdiri dari: 10% untuk diskusi, 8% untuk respons kelompok, dan 12% untuk presentasi topik; 30% untuk makalah perorangan yang terdiri dari: 20% persen untuk makalah perorangan dan 10% untuk diskusi; 32% untuk ujian yg terdiri dari: 16% untuk ujian akhir semester, 16% untuk ujian tengah semester; dan 8% untuk persiapan kolaborasi dalam kelompok. Jika dalam pendekatan konvensional, dosen aktif dalam proses perkuliahan dan mahasiswa lebih pasif dengan asumsi bahwa mahasiswa diharapkan harus menerima materi pembelajaran yang telah diprogramkan (programmed learning atau development based learning). Sedangkan dalam PBM, mahasiswa melakukan pencarian sendiri informasi yang diperlukan. Mahasiswa bekerja dalam lingkungan kelompok, melakukan practical exercise, simulasi kasus, dan sebagainya dengan melibatkan semua anggota kelompok. Di sini termasuk kegiatan seperti role-plays, kerja proyek, pembelajaran berbantuan komputer, situational role-plays, conceptual mapping, self discovery learning, dan studi kasus. Penyesuaian dengan Metode Pembelajaran Seperti dikemukakan sebelumnya, bahwa perubahan metode pembelajaran memiliki implikasi terhadap pelayanan perpustakaan. Suatu metode yang lebih menekankan pada penggunaan sumberdaya informasi yang luas seperti model PBM, mengharuskan perpustakaan menyediakan sumberdaya yang diperlukan untuk mendukungnya. Penerapan konsep ”learning” membutuhkan bahan pustaka dengan cakupan yang lebih luas dibandingkan dengan metode konvensional yang lebih banyak mengandalkan buku teks. Dengan demikian, para mahasiswa memperoleh pengalaman yang luas tidak saja berkaitan dengan disiplin ilmu yang mereka pelajari, tetapi juga pengalaman untuk mendapatkan sendiri informasi yang mereka perlukan.
Halaman 66 Universitas Sumatera Utara
Pustaha: Jurnal Studi Perpustakaan dan Informasi, Vol.2, No.2, Desember 2006
Pengalaman dalam mendapatkan informasi, jauh lebih berharga dibandingkan dengan informasi itu sendiri. Informasi yang diperoleh sewaktu mahasiswa belum tentu sesuai dengan kebutuhan dunia kerja mereka nanti, tetapi pengalaman untuk mendapatkannya menjadikan mereka memiliki kemampuan dan sekaligus dapat mendorong mereka untuk mendapatkan informasi mutakhir untuk memperbaharui pengetahuan mereka secara berkelanjutan. Selanjutnya diharapkan mahasiswa akan sadar bahwa apapun pengetahuan yang telah mereka ketahui sesungguhnya masih ada sejumlah besar yang belum mereka ketahui; dan mereka diharapkan terdorong untuk ingin tahu dan mampu mengatasi setiap permasalahan. Para mahasiswa juga diharapkan mampu mempertanyakan dan menganalisis setiap informasi yang diterima melalui berbagai saluran. Dan akhirnya diharapkan mahasiswa menyadari bahwa pendidikan merupakan suatu proses belajar sepanjang hayat (life-long process of learning). Untuk tujuan itu, perpustakaan harus selalu bekerja sama dengan dosen untuk memastikan bahwa para mahasiswa mampu: • Memahami dan menganalisis kebutuhan informasi yang mereka perlukan; • Mengetahui sumberdaya informasi yang tersedia bagi mereka; • Menelusur dan menggunakan sumberdaya tersebut secara efektif dan mengetahui bagaimana mengaksesnya; dan • Mengambil manfaat dari informasi yang tersedia untuk memproduksi karya akademik. Pertukaran ide antara perpustakaan dan komunitas akademik membantu untuk meningkatkan kualitas penerapan metode yang gunakan dalam penyampaian pembelajaran (learning delivery) dan memberikan manfaat yang besar bagi mahasiswa. Kerja sama yang erat antara dosen dan pustakawan adalah mutlak dalam merancang dan melaksanakan perkuliahan dan sekaligus memberikan bimbingan penggunaan bahan-bahan dimaksud. Revitalisasi Peran Perpustakaan Kebutuhan terhadap perpustakaan merupakan suatu keharusan bagi dosen dan mahasiswa untuk menyelenggarakan pembelajaran yang efisien. Hal ini semakin penting dengan Halaman 67
terjadinya transformasi pembelajaran dari metode konvensional ke PBM yang menekankan pada belajar mandiri yang selanjutnya menyebabkan kebutuhan yang lebih besar terhadap pelayanan perpustakaan. Untuk menyelenggarakan fungsi tersebut, perpustakaan harus mampu menerjemahkan kebutuhan perubahan tersebut ke dalam kenyataaan operasional. Perpustakaan harus mampu menambahkan beberapa dimensi lebih lanjut dalam upaya menyediakan fasilitas untuk pembelajaran dalam rangka memenuhi kebutuhan mahasiswa. Untuk itu, perpustakaan harus diperkuat sehingga memiliki kapasitas yang memadai untuk mampu memberdayakan sivitas akademika melalui pelayanan yang disediakannya. Pentingnya peran perpustakaan dalam proses pembelajaran di suatu perguruan tinggi sebenarnya telah disadari sejak dahulu. Sebagai contoh, di Inggris, Universities Grant Committee (UGC) dalam laporannya pada tahun 1921 menyebutkan bahwa ciri dan efisiensi suatu perguruan tinggi dapat dilihat melalui pelayanan organ pusatnya yaitu perpustakaan. Untuk menyediakan fasilitas sumberdaya informasi yang memadai terhadap proses pembelajaran, perguruan tinggi di Inggris pada tahun 1971–72 membelanjakan antara 2,7 s.d. 8,1 persen dari anggaran belanja tahunan perguruan tinggi induknya untuk perpustakaan. Di Indonesia juga direkomendasikan sebesar 5 persen dari belanja operasional perguruan tinggi yang bersangkutan. Berbagai aspek penyelenggaraan perpustakaan perlu ditinjau kembali untuk melihat sejauhmana perpustakaan telah dijalankan secara proporsional sebagai bagian dari peyelenggaraan keseluruhan fungsi perguruan tinggi. Organisasi dan Manajemen Perpustakaan di dalam perguruan tinggi pada umumnya merupakan satu sistem terintegrasi. Selain perpustakaan induk bisa terdapat perpustakaan tingkat fakultas atau bahkan pada tingkat departemen atau unit kerja lainnya. Tetapi dengan alasan efisiensi semuanya berada dalam satu organisasi. Perpustakaan fakultas
Universitas Sumatera Utara
Pustaha: Jurnal Studi Perpustakaan dan Informasi, Vol.2, No.2, Desember 2006
atau departemen biasanya menjadi cabang dari perpustakaan induk. Dengan dukungan infrastruktur jaringan kampus dan perangkat lunak aplikasi perpustakaan terintegrasi, manajemen dan operasional perpustakaan dapat dilakukan dengan lebih mudah dan efisien. Penyelenggaraan perpustakaan sebagai suatu organisasi harus dilakukan secara mandiri dengan pengertian seluruh sumberdaya perpustakaan dikelola secara internal termasuk manajemen keuangannya. Oleh karena itu, organisasi perpustakaan harus terdiri dari sejumlah bagian. Organisasi tersebut dapat terdiri dari kepala, tata usaha, pengadaan, pengatalogan, pelayanan pengguna, manajemen koleksi, dan perpustakaan cabang. Setiap bagian dapat terdiri dari sejumlah tim yang beranggotakan tiga hingga enam orang sesuai kebutuhan. Jika organisasi perpustakaan digabungkan dengan pelayanan sistem informasi, seperti yang dilakukan pada beberapa perguruan tinggi belakangan ini, maka pelayanan sistem informasi menjadi satu bidang tersendiri selain perpustakaan. Dalam organisasi yang sering disebut information services biasanya terdapat dua wakil kepala yang bertangungjawab untuk masing-masing bidang. Penyatuan kedua organisasi yang sebelumnya terpisah ini dilakukan dengan alasan efisiensi dan kemudahan koordinasi. Perkembangan pesat sumberdaya elektronik dan ketergantungan perpustakaan yang semakin tinggi terhadap sistem jaringan merupakan salah satu alasan penyatuannya.
pada saat diterima menjadi mahasiswa baru. Perpustakaan biasanya tidak diperkenankan mengenakan tarif langsung kecuali untuk pelayanan ekstra seperti penggunaan printer atau fotokopi. Alokasi anggaran perpustakaan dapat menggunakan pola 50:25:25 persen masingmasing untuk koleksi, staf, dan peralatan/operasional. Setiap rupiah yang dibelanjakan oleh perpustakaan harus disertai dengan pertanggung-jawaban yang tinggi. Isu akuntabilitas semakin penting karena bagian terbesar dari belanja perpustakaan adalah bersumber dari masyarakat. Alokasi anggaran belanja sebaiknya didasarkan pada kepentingan kelompok pengguna yaitu departemen atau program studi atau mata kuliah. Dengan demikian diharapkan departemen akan lebih aktif dalam memberikan masukan untuk pengadaan bahan pustaka sehingga hasilnya benar-benar berpengaruh besar terhadap peningkatan kualitas pembelajaran di masingmasing departemen. Anggaran belanja yang dihabiskan perpustakaan untuk pengadaan buku dibagi dengan jumlah buku yang dipinjam dalam satu tahun, akan menunjukkan biaya peminjaman satu buah buku. Demikian juga halnya dengan penggunaan jurnal elektronik. Biaya berlangganan setahun dibagikan dengan jumlah artikel yang di-download (hardcopy atau softcopy), akan diperoleh harga satuan artikel. Suatu perhitungan sederhana menunjukkan bahwa fee yang dibayarkan oleh mahasiswa pemanfaatannya lebih efisien dibandingkan dengan jika dibelanjakan sendiri oleh mahasiswa.
Keuangan Pengembangan Koleksi Perpustakaan perguruan tinggi harus memiliki sumber pendanaan yang tetap dengan pengelolaan sendiri oleh perpustakaan. Seperti disebutkan di atas, besarnya anggaran belanja perpustakaan berkisar lima persen dari total belanja operasional perguruan tinggi induknya. Anggaran belanja ini diperoleh dari lembaga induknya yang berasal dari berbagai sumber pendanaan. Beberapa perpustakaan dewasa ini membebankan anggaran perpustakaan langsung kepada mahasiswa dalam bentuk fee yang langsung dikutip oleh perguruan tinggi
Pengembangan koleksi adalah prioritas utama dalam suatu perpustakaan. Pemilihan koleksi merupakan kunci pengembangan koleksi. Kerja sama yang baik antara dosen dan pustakawan adalah suatu hal yang sangat menentukan dalam pemilihan koleksi. Untuk itu pola komunikasi yang efisien dan efektif perlu dikembangkan sehingga pertukaran informasi antara kedua belah pihak dapat berlangsung secara berkelanjutan.
Halaman 68 Universitas Sumatera Utara
Pustaha: Jurnal Studi Perpustakaan dan Informasi, Vol.2, No.2, Desember 2006
Dalam praktik pengadaan, seleksi buku asing lebih ketat dibandingkan seleksi buku dalam negeri. Pengadaan buku impor karena harganya yang tergolong mahal untuk ukuran Indonesia, sebaiknya dilakukan setelah diperoleh rekomendasi dari dosen atau program studi. Untuk penambahan eksemplar dan pemutakhiran edisi serta bahan referens kiranya rekomendasi pustakawan sudah cukup. Untuk buku dalam negeri karena jumlah judul yang terbatas, yang diperkirakan tidak lebih dari 1.000 judul setiap tahun untuk tingkat perguruan tinggi, seleksi cukup dilakukan oleh pustakawan. Bahkan perpustakaan dapat langsung membeli semua judul tersebut tanpa melakukan seleksi normal yang membutuhkan banyak waktu dan energi. Untuk langganan paket jurnal elektronik, jenis database yang akan dilanggan dapat didiskusikan bersama departemen atau fakultas. Dalam berlangganan jurnal ini, salah satu hal penting yang harus diperhitungkan adalah kapasitas bandwidth internet dan access point yang harus disediakan. Langganan jurnal online yang tidak didukung dengan kapsitas bandwidth dan terminal akses yang memadai bisa menimbulkan ketidakefisienan penggunaan anggaran perpustakaan. Berdasarkan pengalaman biaya yang diperlukan untuk melanggan jurnal dan biaya berlangganan bandwidth sama besarnya setiap tahun. Organisasi Koleksi Pengorganisasian koleksi yang baik akan meberikan kemudahan kepada pengguna dan staf perpustakaan. Selanjutnya hal ini akan menarik minat yang lebih besar untuk menggunakan koleksi perpustakaan. Pengorganisasian dimaksud tidak hanya berdasarkan sistem klasifikasi tetapi juga pengelompokan bahan pustaka ke dalam koleksi tertentu, seperti koleksi deposit (repository), pinjam singkat (reserved), multimedia, koleksi cabang dan sebagainya. Dalam suatu sistem perpustakaan perguruan tinggi yang kompleks, peran manajemen koleksi sangat penting, termasuk untuk mengontrol perpindahan koleksi dari suatu lokasi ke lokasi lain, termasuk pengubahan
Halaman 69
kode lokasi pada cantuman database katalog ketika terjadi pemindahan. Penataan perpustakaan dewasa ini menyatukan buku, terminal komputer dan meja baca, sehingga semua jenis sumberdaya informasi dapat diperoleh dalam radius yang tidak terlalu berjauhan. Dukungan penyediaan jaringan tanpa kabel (WiFi) untuk penggunaan komputer bergerak pribadi juga seharusnya dapat menjangkau seluruh sisi ruang gedung perpustakaan. Penyediaan outlet listrik yang dapat dijangkau dari semua meja baca juga sangat mendukung proses pembelajaran di perpustakaan. Selain itu, karya sivitas akademika seharusnya dipublikasikan kepada masyarakat luas melalui situs web dan sebaliknya akademisi memperoleh umpan balik untuk meningkatkan kualitas dan mengembangkan secara terus menerus bidang yang mereka tekuni. Tugas seperti itu, dengan dukungan teknologi saat ini dapat dengan lebih mudah dilakukan. Publikasi elektronik terbukti lebih efisien dan efektif dibandingkan dengan publikasi cetak. Akomodasi Tata ruang yang ditata dengan baik akan memberikan kemudahan kepada pengguna dan staf perpustakaan. Hal ini juga akan memudahkan pengawasan terhadap koleksi perpustakaan. Tanda-tanda penunjuk (sign systems) mulai dari petunjuk utama hingga petunjuk rinci suatu rak buku, turut memegang peranan penting dalam memberikan pelayanan yang baik kepada pengguna. Penyediaan sejumlah ruang diskusi untuk mendukung PBM juga perlu dilakukan. Pengembangan ruang baca dengan dinding terbuka yang dekat dengan taman juga semakin diminati oleh mahasiswa untuk menghilangkan kejenuhan dalam ruang tertutup. Kita harus memanfaatkan iklim tropis di negara kita yang memungkinkan fasilitas tersebut disediakan. Fasilitas seperti itu dapat digunakan oleh mahasiswa untuk belajar dan diskusi kelompok kecil yang tidak memerlukan bahan pustaka cetak, cukup dengan kursi, meja dan fasilitas WiFi.
Universitas Sumatera Utara
Pustaha: Jurnal Studi Perpustakaan dan Informasi, Vol.2, No.2, Desember 2006
Ketenagaan Transfer informasi yang efektif sangat tergantung pada kualitas staf perpustakaan. Karena kompleksnya perpustakaan perguruan tinggi diperlukan untuk menunjuk staf profesional dengan kualifikasi tertentu yang akan bertanggung jawab atas berbagai jenis pelayanan perpustakaan. Peningkatan karier dan kesejahteraan staf yang sepadan dengan produktivitas kerja yang mereka hasilkan perlu diupayakan secara seimbang. Suatu lingkungan kerja yang nyaman bagi staf juga perlu dikembangkan untuk meningkatkan rasa bangga dan percaya diri mereka dalam melayani pengguna perpustakaan. Pelayanan Teknis Berfungsinya pelayanan teknis, sebagai dapur perpustakaan, dengan baik pada akhirnya akan menyajikan pelayanan pengguna yang berkualitas baik. Kelancaran sirkulasi bahan pustaka dan kemudahan mendapatkan informasi yang diinginkan banyak tergantung pada kegiatan pengadaan bahan pustaka, pengatalogan dan pemeliharaan yang dilakukan di bidang pelayanan teknis. Pengatalogan bahan pustaka harus berjalan secara teratur, sehingga setiap minggu sejumlah tertentu buku baru dapat dipamerkan secara teratur selama seminggu. Jika jumlah perolehan buku misalnya mencapai lebih dari 10.000 eksemplar setahun, maka setiap minggu akan dipamerkan sekitar 200 eksemplar buku baru. Ini menjadi daya tarik tersendiri bagi pengguna yang dapat mendorong mereka untuk datang setiap minggu. Pelayanan Pengguna Salah satu hal yang terpenting dalam pelayanan perpustakaan adalah menekan sekecil mungkin ketidak-nyamanan pengguna dalam menggunakan koleksi perpustakaan. Peningkatan mutu pelayanan menjadi upaya yang seharusnya dilakukan secara berkelanjutan. Pelayanan pengguna yang menerapkan filosofi “mahasiswa yang utama” atau student first dapat mengubah sikap staf terhadap
pengguna dan sebaliknya imej terhadap staf akan semakin baik. Mahasiswa dalam hidupnya sudah seharusnya merasakan bahwa banyak orang di sekitarnya yang peduli terhadap keberhasilan mereka. Perpustakaan dapat memainkan peran yang besar dalam hal ini, dan menjadikannya sebagai suatu tantangan terhadap citra tradisional perpustakaan akademik. Mahasiswa adalah donor potensial terbesar dalam sejarah perguruan tinggi kita. Semua pendanaan yang diperoleh didasarkan kepada jumlah dan kebutuhan mereka, bahkan di perguruan tinggi swasta mungkin seratus persen anggaran belanjanya berasal dari mahasiswa. Di beberapa perguruan tinggi, hampir seluruh anggaran belanja operasional perpustakaan diperoleh langsung dari kontribusi mahasiswa. Kita juga tahu bahwa mahasiswa program pascasarjana, ekstensi, dan diploma menanggung seluruh biaya operasional pendidikan mereka dan bahkan memberikan subsidi silang pada program lain. Oleh karena itu sudah sewajarnya kita lebih peduli terhadap mahasiswa yang juga adalah sebagai pelanggan utama (primary customer) perpustakaan. Berfokus pada mahasiswa berarti melayani mahasiswa dengan respek dan bermartabat. Penutup Perpustakaan perguruan tinggi harus mengorganisasikan kembali sumberdaya dan merancang ulang pelayanan dan ruang yang mampu memenuhi dan mengantisipasi kebutuhan baru masyarakat akademik dalam hal pembelajaran. Sejumlah besar peran dapat dilakukan oleh perpustakaan sebagai perluasan peran yang telah dilakukan selama ini. Usaha kita, pilihan kita, dan visi kita sangat menentukan bagi keberhasilan pembelajaran yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi. Rujukan Allen, David. 1995. “Information systems strategy formation in higher education institutuion”. Information Research, Vol. 1 No. 1, April 1995.
Halaman 70 Universitas Sumatera Utara
Pustaha: Jurnal Studi Perpustakaan dan Informasi, Vol.2, No.2, Desember 2006
Bertnes, Pal A. 2000. “New role for academic libraries in scientific information”. Liber Quarterly, 10: 326-334. Levesque, Nancy. 2002. “Partner in education: the role of academic library”. The Idea of Education Conference, Mansfield College, Oxford University, England, July 3-4, 2002. Loughridge, Brendan. 1996. “The management information needs of academic Head of Department in universities in the United Kingdom”. Information Research, Vol. 2, No2, October 1996. Meyyappan, Narayanan, Suliman AlHawamdeh and Schubert Foo. 2002. “Task based design of a digital work environment (DWE) for an academic community”. Information Research, Vol. 7 No. 2, January 2002. Savenije, Bas and Natalia Grygierczyk. 2002. “The role and responsibility of the university library in publishing in a university”.
. (02/09/2003). Shumaker, John W. 2003. “The higher education environment and the role of the academic library”. ACRL Eleventh National Conference, Charlotte, North Caroline, April 10-13, 2003. Line, Maurice B. Libraries in the educational process, LAITG, June 1990
Halaman 71
Universitas Sumatera Utara