Mar - Apr 2010
Volume 7
REVITALISASI BP HLSL DALAM PENGELOLAAN KAWASAN LINDUNG SUNGAI LESAN
P
emerintah Kabupaten Berau saat ini menyadari betul keberadaan potensi sumberdaya hutan beserta ancaman potensialnya, sehingga upaya untuk menyelamatkan hutan dan lingkungannya telah dilakukan. Wujud dari kesadaran ini bisa kita lihat dalam Perda Nomor 3 Tahun 2004 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Berau Tahun 2001 – 2011. Dalam RTRWK tersebut dicantumkan bahwa sekitar 31% dari seluruh wilayah daratan dialokasikan untuk Kawasan Lindung. Salah satu daerah yang diusulkan menjadi Kawasan Lindung tersebut adalah wilayah hutan di Sungai Lesan yang memiliki luasan sekitar 10.343 ha. Kawasan hutan Sungai Lesan ini memiliki keanekaragaman hayati cukup tinggi serta memiliki peran penting sebagai daerah tangkapan air (catchment area). Sebagai tindak lanjut dari pengelolaan wilayah hutan ini, kemudian dibentuk Badan Pengelola Hutan Lindung Sungai Lesan (BP HLSL) pada tahun 2004 berdasarkan SK Bupati Nomor 256 tahun 2004. BP HLSL ini melakukan
upaya pengelolaan bekerjasama dengan masyarakat sekitar kawasan dan didukung oleh The Nature Conservancy (TNC). Bentuk pengelolaan yang dilakukan merujuk pada Rencana Strategis BP HLSL periode 20062008. Beberapa tugas penting dari BP HLSL ini seperti a) Mengkoordinasikan kepentingan perencanaan dan program antar berbagai pihak yang terkait dengan Hutan Lindung Habitat Sungai Lesan, b) Melakukan pengelolaan untuk kepentingan pelestarian Hutan Lindung Habitat Orangutan Sungai Lesan, dan c) Melakukan monitoring dan evaluasi pengelolaan Hutan Lindung Habitat Orangutan Sungai Lesan. Dari rencana tersebut di atas, beberapa kegiatan telah dilakukan namun demikian ditemui juga beberapa kegiatan yang mengalami stagnasi. Di sisi lain juga, pada saat ini dinamika kebijakan sektor kehutanan juga sangat tinggi seperti munculnya isu pengembangan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) dan isu Program Karbon Hutan Berau terkait dengan Pengurangan Emisi Karbon
(Reduce Emission from (bersambung ke hal. 7)
Inside Issue: Menyusun Kembali Asa yang Terserak . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 2 The Art of Vibrant Facilitation . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 3 Pelatihan Pengambilan Data Lapangan Monitoring Biomassa . . . . . . . . . . . . . 4
Penerimaan Staf Media Untuk Meningkatkan Kinerja Pokja REDD . . . . . . . . . 5 Pembahasan Persiapan Kab. Berau dalam Program ForClime FC Modul . . . . . 6 Refresh; Efek Rumah Kaca . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . 8
Volume 7
Hal. 2
MENYUSUN KEMBALI ASA YANG TERSERAK Sebuah Catatan Dari Lokakarya Penyusunan Renstra Lesan
I
nisiasi program pengelolaan dan perlindungan kawasan hutan lindung Sungai Lesan telah dimulai sejak tahun 2003 dimana kawasan ini kemudian dimasukkan sebagai kawasan lindung dalam Peta Tata Ruang Wilayah Kabupaten Berau 2001 – 2011 yang dituangkan kedalam Perda Nomor 3 tahun 2004. Ini merupakan bentuk komitmen Pemerintah Kabupaten Berau dalam menjaga kelestarian sumberdaya alamnya. Sebagai tindak lanjutnya kemudian dibentuk Badan Pengelola Hutan Lindung Sungai Lesan (BP HLSL) pada 2004 berdasarkan SK Bupati Nomor 256 tahun 2004. BP HLSL pun melakukan upaya pengelolaan bekerjasama dengan para pihak seperti masyarakat sekitar kawasan dan The Nature Conservancy. Untuk mewujudkan pengelolaan Kawasan Lindung Sungai Lesan secara efektif, pada tahun 2006 telah disusun Rencana Stratejik Pengelolaan Kawasan Lindung Sungai Lesan periode 2006-2008. Berdasarkan perencanaan tersebut telah dilakukan upaya pengelolaan mulai dari penguatan status kawasan, pengembangan sistem perlindungan berbasis kawasan, peningkatan kapasitas para pihak dan juga masyarakat. Namun hal ini bukannya tanpa kendala, disadari pula bahwa dalam pelaksanaan tugasnya BP HLSL lebih banyak dilakukan oleh Kelompok Kerja yang dibentuk. Dari sisi pendanaan juga menjadi bagian penting dalam pelaksanaan program ini. Di tahun 2006, BP HLSL mendapatkan pendanaan yang bersumber dari TNC selama satu tahun yang digunakan oleh Kelompok Kerja dalam implementasi beberapa program. Kemudian pada tahun 2007 mendapatkan dukungan pendanaan dari Pemerintah Kabupaten (APBD II) yang difokuskan pada program penguatan status dan perlindungan kawasan serta dari Pemerintah Provinsi (APBD I) yang difokuskan pada pembangunan sarana dan prasarana kawasan. Seiring dengan perjalanan waktu, dari rencana yang disusun juga ada kegiatan yang stagnan (tidak berjalan sesuai dengan perencanaan awal) yang disebabkan beberapa faktor baik internal BP HLSL seperti tiadanya personil khusus yang menangani manajemen BP HLSL, maupun dari eksternal seperti dukungan pendanaan yang tidak berlanjut. Sejatinya, implementasi kegiatan pada 2006 sudah memberikan beberapa output yang cukup positif, namun disayangkan kegiatan tersebut tidak ditindaklanjuti secara berkesinambungan. Belajar dari pengalaman tersebut tentunya tidak bisa dibiarkan berlarut. Dengan semangat yang masih ada,
beberapa pihak di dalam BP HLSL dan TNC melakukan upaya menghidupkan kembali program yang telah ada. Untuk itu pada 23-25 Februari 2010 dilaksanakan Lokakarya Penyusunan Renstra Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung Sungai Lesan bertempat di Hotel Herlina. Kegiatan ini diikuti oleh perwakilan deri Pemkab Berau yang masuk dalam struktur BP HLSL, perwakilan dari masyarakat sekitar kawasan dan juga lembaga yang melakukan program di kawasan Lesan seperti World Education dan TNC. Melalui lokakarya ini diulas kembali perjalanan program, apa yang telah dicapai, hambatan dan juga rencana ke depan yang difasilitasi oleh Edy Marbyanto. Dari diskusi diperoleh masukan untuk perbaikan pengelolaan kawasan HL Sungai Lesan seperti melakukan restrukturisasi organisasi dan personil BP HLSL (termasuk Unit Pelaksana); menyempurnakan aturan main (AD/ART) BP HLSL; menyempurnakan mekanisme koordinasi dan pembagian peran BP HLSL dan lembaga mitra; memperjelas komitmen pendanaan untuk pembiayaan program; melakukan penajaman kembali program dan kegiatan dengan mengacu pada ancaman dan kebutuhan di tingkat lapangan; mendorong proses penetapan dan pengukuhan kawasan untuk menjamin kepastian hukum status kawasan. Selain itu juga program yang berkaitan langsung dengan kepentingan masyarakat perlu didorong lebih intens guna mengembalikan kredibilitas BP HLSL di mata masyarakat dan sekaligus untuk membangkitkan peran serta masyarakat dalam pengelolaan HLSL. Dengan penyusunan perencanaan ini diharapkan menjadi langkah baru untuk mengumpulkan kembali asa dan upaya yang telah dilakukan beberapa waktu yang lalu guna mewujudkan tujuan besar pengelolaan kawasan hutan lindung Sungai Lesan yaitu terjaminnya fungsi kawasan dan mensejahterkan masyarakat sekitar kawasan. (Iwied)
Volume 7
Hal. 3
THE ART OF VIBRANT FACILITATION
M
emasuki ruang yang telah disetting sedemikian rupa oleh tim Inspirit membuat peserta Pelatihan The Art of Vibrant Facilitation tergugah keingintahuannya. Bagaimana tidak, ruang belajar dipenuhi dengan gambar-gambar unik, lucu dan juga kata-kata yang menarik. “Wah, kita masuk ruang belajar TK sepertinya nih” seloroh seorang peserta. Yups, begitulah saat pertama masuk dalam ruang pelatihan ini. Namun itu tak berlangsung lama karena tim Inspirit yang terdiri dari Dani, Budshi dan Dendy mengajak peserta untuk memulai perkenalan dengan menceritakan kebanggaan yang dirasakan oleh setiap peserta hingga saat ini. “Lebih baik kita berinventasi waktu lebih banyak pada proses perkenalan agar setiap peserta mendapatkan ikatan yang sama dan mendukung proses selanjutnya” ungkap Dani di awal proses pelatihan. Dan
memang benar saja dengan menginventasikan waktu lebih banyak pada proses awal perkenalan, maka proses selanjutnya menjadi lebih cair antar peserta dan pelatih. The Nature Conservancy bekerjasama dengan Inspirit Innovation Circles untuk melaksanakan pelatihan ini pada 20 – 24 Maret 2010 di Hotel Mesra Samarinda. Peserta pelatihan merupakan staff internal TNC dan para mitra kerja seperti Pokja REDD Berau, Pokja REDD Provinsi Kaltim dan Badan Pengelola Hutan Lindung Wehea. Metode pelatihan yang sangat interaktif, innovatif dan didukung dengan berbagai media baik tulisan, audio dan video membuat pelatihan sangat menyenangkan. “Baru kali ini saya mengikuti pelatihan yang tidak membosankan” kata Tomy Yulianto dalam testimoni-nya. Materi yang disampaikan pun dapat diterima dengan baik oleh peserta seperti pemahaman konsep dan teori fasilitasi vibrant; tehnik dan metode fasilitasi vibrant; bagaimana mendesain dan aplikasi fasilitasi vibrant. Selain materi yang berikan, kegiatan ini lebih banyak menggunakan metode praktek langsung memfasilitasi suatu proses. Sebagaimana diketahui bahwa peserta pelatihan ini juga merupakan fasilitator dari masingmasing lembaganya. Sehingga menjadi tantangan tersediri bagi fasilitator yang melakukan fasilitasi bagi rekan-rekan fasilitator itu sendiri. Tentunya ini juga sekaligus praktek bermain peran. Semua Orang adalah Spesial Fasilitasi Vibrant merupakan proses penuh antusiasme membantu kelompok (bersambung ke hal. 7)
Volume 7
Hal. 4
PELATIHAN PENGAMBILAN DATA LAPANGAN MONITORING BIOMASSA
D
iperlukan dua hari perjalanan untuk mencapai ibukota LAOS PDR, Vientiene d i man a d i l aks an akan p e l ati h an pendalaman dalam monitoring biomassa pada kawasan hutan tropis yang dilaksanakan oleh Woods Hole Research Center (WHRC). Kegiatan ini merupakan lanjutan dari workshop sebelumnya yang dilaksanakan di Taman Nasional Cat Tien, Vietnam pada bulan Nopember 2009 lalu. Di dalam workshop sebelumnya disampaikan berbagai metode pengukuran dan monitoring biomassa termasuk upaya beberapa negara di Asia dalam pengembangan program REDD serta WHRC yang mengenalkan Pan-Tropical Mapping of Forest Cover and Above-Ground Biomass Project. Untuk itu WHRC pun menawarkan kepada peserta yang berminat untuk mencoba melakukan pengukuran dan pengambilan data di negara masing-masing dengan metode yang dikembangkan oleh WHRC. Peluang ini pun diambil oleh POKJA REDD Berau untuk dapat melakukan pengambilan data di Kabupaten Berau. Diharapkan kegiatan ini memperkaya data yang telah dikembangkan di Kabupaten Berau dalam Program Karbon Hutan Berau. Pelatihan yang dilaksanakan pada 24-25 Maret 200 ini diikuti 8 orang peserta yang berasal dari Laos, Kamboja dan Indonesia. Dari Indonesia ada Ali Suhardiman (Fahutan Unmul) dan Iwied Wahyulianto (secretariat Pokja REDD Berau). Sedangkan yang menjadi pelatih adalah Ned Horning dari Center for Biodiversity and Conservation. Dalam dua hari pelatihan ini lebih banyak pada praktek lapangan di beberapa titik di luar kota Vientiane. Peserta menerapkan tahapan dan metode pangambilan data lapangan. Pada dasarnya lokasi plot pengambilan data telah ditentukan berdasarkan analisis data MODIS (moderate resolution imaging spectroradiometer) dan GLAS (Geoscience Laser Altimeter System) sehingga diketahui titik-titik lokasi
plot. Hal yang pertama kali dilakukan dalam pengambilan data lapangan adalah mendapatkan titik tengah dari plot tersebut dengan menggunakan GPS. Setelah diketahui titik tengah plot maka dibuat garis lurus ke empat arah mata angin (utara, selatan, barat dan timur) sepanjang 28 meter. Kemudian dari ujung garis tersebut ditarik garis yang menghubungkan titik terluar dari masing-masing arah mata angin sehingga diperoleh plot dengan ukuran 40 x 40 meter sebagaimana tergambar pada gambar 1. Jika plot tersebut sudah terbentuk maka dimulai mengambil data seluruh diameter pohon yang masuk dalam plot tersebut dengan ukuran diameter lebih dari 5 cm. Data tersebut dimasukkan dalam tallysheet yang telah disediakan. Data yang diambil lainnya adalah tinggi dari tiga pohon tertinggi yang masuk dalam plot. Untuk lebih memahami tehnik pengambilan data ini, Ned mempraktekkan pengambilan data pada 4 plot yang berbeda kepada masing-masing kelompok peserta. Ned ingin memastikan bahwa metode pengambilan data ini dilakukan dengan baik di negara masing-masing untuk meningkatkan ketelitian dan keakuratan data yang dikumpulkan. Sebagai tindak lanjut pelatihan ini, akan dilakukan pengambilan data lapangan di beberapa lokasi dan titik di Kabupaten Berau yang nantinya data tersebut juga digunakan sebagai referensi pada data base Program Karbon Hutan Berau. (Iwied)
Volume 7
Hal. 5
PENERIMAAN STAF MEDIA UNTUK MENINGKATKAN KINERJA POKJA REDD
P
ada COP 13 di Bali, para peserta menyetujui REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Degradation) dalam perjanjian i k l i m internasional yang akan berlaku setelah 2012. Juga ada perjanjian agar dilakukan kegiatankegiatan ujicoba di Negara berkembang untuk membangun kesiapan dan percobaan bagi rancang bangun program sebelum diimplementasikan secara penuh. Kabupaten Berau telah berkomitmen menjadi bagian dari upaya nasional dalam melakukan ujicoba REDD pada tingkat kabupaten. Bersama dengan The Nature Conservancy (TNC), Kabupaten Berau telah mengembangkan Kelompok Kerja REDD (POKJA REDD) yang bertugas untuk menyediakan masukan teknis bagi Bupati maupun para pengambil keputusan dibawahnya yang terkait dengan pelaksanaan REDD di tingkat kabupaten. POKJA REDD ini dibentuk berdasarkan SK Bupati Berau nomor 313 tahun 2008 yang kemudian diperbaharui melalui SK Bupati nomor 716 tahun 2009.
secara internal anggota POKJA REDD maupun eksternal di lingkung Kabupaten Berau secara umum baik itu berupa kampaye, buletin update, poster dan media lainnya. Untuk itu P O K J A merekrut satu orang staff media dan komunikasi.. Tugas utama dari staff media dan komunikasi ini adalah melakukan koordinasi dan mengembangkan strategi penjangkauan (outreach) mulai dari perencanaan, penyiapan materi, pelaksanaan dan evaluasi termasuk kampanye dan pendidikan pada Program Karbon Hutan Berau kepada para pihak, sehingga tujuan program dapat tersampaikan dengan baik dan efektif.
Dalam pelaksanaan tugas dan fungsinya sebagaimana terurai dalam rencana kerja, POKJA REDD Kabupaten Berau dibantu oleh Sekretariat POKJA REDD. Sekretariat ini tidak hanya menjadi tempat bagi berlangsungnya proses koordinasi dan diseminasi informasi, tetapi juga menjadi tempat bagi proses perumusan-perumusan teknis bagi pengambilan keputusan kabupaten khususnya yang terkait dengan program karbon hutan/REDD.
Setelah dibuka pendaftaran selama 1 bulan dan berakhir pada 31 Maret 2010, dilakukan proses seleksi administrasi peserta dan diinterview oleh tim seleksi yang ditunjuk oleh anggota POKJA REDD. Ada 5 peserta yang lolos sampai tahap interview dan dilaksanakan secara bertahap dengan 2 metode yaitu interview langsung di Sekretariat dan melalui telepon untuk peserta yang berada di luar kota Berau. Berdasarkan hasil penilaian tim seleksi saudara Muhammad Fajri mendapatkan point tertinggi dan terpilih sebagai staf media dan komunikasi Sekretariat POKJA REDD Berau. Berbekal pengalaman sebagai staff media dan komunikasi pada Yayasan Berau Lestari menjadi nilai tambah bagi Fajri dan juga kemampuannya sesuai dengan yang diharapkan oleh POKJA REDD Berau.
Pada tahun kedua terbentuknya Sekretariat ini, dirasakan perlu adanya pengembangan program terutama yang terkait dengan pengembangan media dan komunikasi program secara luas baik
“Selamat bergabung dan mengemban tugas di Sekretariat POKJA REDD Berau buat M. Fajri. Semoga menjadi bagian semangat baru dalam Program Karbon Hutan Berau” (Adji)
Volume 7
Hal. 6
PEMBAHASAN PERSIAPAN KABUPATEN BERAU DALAM PROGRAM FORCLIME FC MODUL Sebagaimana diketahui bahwa pada 6 Januari 2010 Kabupaten Berau telah ditunjuk sebagai kabupaten ketiga yang menjadi lokasi Demonstration Activities ( D A) b er s am a d en g an Kabupaten Malinau dan Kapuas Hulu yang merupakan bagian dari kerjasama Pemerintah Republik Indonesia dengan Pemerintah Federal Jerman dan dikenal dengan Program Kehutanan dan Keuangan ForClime FC Modul. Selanjutnya Kabupaten Berau menerima surat dari Sekretaris Jendral Departemen Kehutanan Boen Purnama dengan nomor S.84/Menhut-II/ Ren/2010 tanggal 3 Februari 2010 yang memberikan arahan tindak lanjut kerjasama antar pemerintah RI dan Jerman. Berdasarkan surat tersebut diberikan arahan terkait dengan persiapan administrasi yang dilakukan oleh pemerintah daerah. Persiapan yang dilakukan adalah pembentukan District Project Management Unit (DPMU); menentukan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) yang akan menjadi penanggung jawab kegiatan sekaligus pengelola dana; mengidentifikasi areal yang clear and clean yang akan dijadikan lokasi DA REDD dengan mempertimbangkan hasil studi kelayakan yang dilaksanakan oleh konsultan; mempersiapkan counter budget, kantor dan staff adminitrasi untuk DPMU. Untuk itu, Dinas Kehutanan Kabupaten Berau bersama dengan perwakilan instansi di Pemerintah Kabupaten Berau seperti Bappeda, Dinas Perumahan dan Tata Ruang, BLH, TNC dan Sekretariat POKJA REDD yang juga tergabung dalam Kelompok Kerja (POKJA) REDD Kabupaten Berau melakukan pertemuan pembahasan persiapan berdasarkan surat arahan dari Sekjen Dephut. Pertemuan ini dilakukan pada tanggal 10, 18 dan 22 Februari 2010 bertempat di ruang Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten Berau. Dalam pertemuan ini pembahasan lebih banyak ditekankan pada istilah clear and clean suatu
kawasan yang akan dijadikan areal DA REDD. Hal ini juga disebabkan belum disyahkannya peta RTRW Kabupaten Berau oleh Departemen Kehutanan RI sehingga ada kawasan yang masih tumpang tindih dimana ada perbedaan peruntukan berdasarkan rencana penggunaan ruang dengan penunjukan kawasan hutan dan perairan (SK 79/2001). Peserta rapat mengharapkan adanya kejelasan tentang definisi dari clear and clean agar dalam penentuan lokasi tidak salah nantinya. Kejelasan definisi ini diharapkan dalam bentuk tertulis yang disampaikan oleh Dephut RI. Hal lain yang dibahas dalam beberapa kali pertemuan adalah terkait dengan counter budget yang diharapkan juga memperhatikan dimana lokasi yang menjadi program ini, apakah di kawasan hutan atau tidak. Hal ini untuk melihat sejauh mana kewenangan Pemkab Berau (dalam hal ini Dinas Kehutanan, apakah memang masuk dalam kewenangannya atau tidak). Selain itu untuk SKPD yang akan menjadi leading-nya diusulkan ke Dinas Kehutanan yang sesuai dengan tugas dan fungsinya. Sedangkan untuk pembentukan DPMU masih belum dibahas karena masih menunggu format struktur yang akan dibahas bersama konsultan GFA yang akan datang nanti. Hasil pembahasan ini menjadi bahan pembahasan selanjutnya bersama konsultan yang akan melakukan Studi Kelayakan pada Februari – Mei 2010 oleh tim GFA. (Iwied)
Volume 7
Hal. 7
Sambungan... Revitalisasi BP HLSL ….. Dari hal 1
masyarakat dalam pengelolaan HLSL.
Deforestration and Degradation/REDD). Isu kebijakan tersebut sedikit banyak perlu dipertimbangkan karena akan dapat membawa implikasi perlunya penyesuaian implementasi program dan kegiatan pengelolaan Kawasan Lindung Sungai Lesan di lapangan.
Hasil dari lokakarya ini kemudian disampaikan ke pihak-pihak terkait dengan kegiatan diskusi ekspose proses dan hasil perencanaan partisipatif kampung sekitar kawasan Hutan Lindung Sungai Lesan di ruang pertemuan Badan Lingkungan Hidup (BLH) Kabupaten Berau tanggal 15 April 2010.
Langkah-langkah revitalisasi program BP HLSL inipun dilakukan. Bentuk komitmen ini dimulai dengan mengadakan Penyusunan Renstra Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung Sungai Lesan yang dilaksanakan pada tanggal 23-25 Februari 2010, diikuti oleh sekitar 30 peserta dari unsur anggota BP HLSL (Dinas Kehutanan, Bappeda, Badan Lingkungan Hidup, Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Pemerintahan Kampung, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, Kecamatan Kelay, Seksi KSDA, wakil masyarakat Kampung Lesan Dayak, wakil masyarakat Kampung Muara Lesan, wakil masyarakat Kampung Sidobangen) maupun mitra kerja (The Nature Conservancy, World Education, STIPER Berau, Pokja REDD Berau, wakil perusahaan, dan LSM Menapak).
Dari kegiatan ekspose ini diharapkan dukungan nyata dari berbagai pihak untuk dapat mewujudkan harapan pengelolaan yang telah direncanakan bersama. Banyak harapan yang disampaikan oleh peserta ekspose ini yang rata-rata mengharapkan peran BP HLSL ke depan dapat lebih baik. Isu-isu pelestarian diharapkan tidak hanya berfokus kepada penyelamatan habitat Orangutan tapi juga lebih dititik beratkan kepada peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan. Demikan juga dengan pelibatan masyarakat dalam pengelolaan hutan sehingga mereka dapat mengelola dan sekaligus menjaga hutannya. (Fajri)
Kegiatan ini dimaksudkan untuk melakukan intervensi strategis dan upaya pengembangan terintegrasi bidang-bidang strategis yang menjadi ruang lingkup tugas dan kewenangan BP HLSL. Melalui lokakarya ini diulas kembali perjalanan program, apa yang telah dicapai, hambatan dan juga rencana ke depan. Dari diskusi diperoleh masukan untuk perbaikan pengelolaan kawasan HL Sungai Lesan seperti melakukan restrukturisasi organisasi dan personil BP HLSL (termasuk Unit Pelaksana); menyempurnakan aturan main (AD/ART) BP HLSL; menyempurnakan mekanisme koordinasi dan pembagian peran BP HLSL dan lembaga mitra; memperjelas komitmen pendanaan untuk pembiayaan program; melakukan penajaman kembali program dan kegiatan dengan mengacu pada ancaman dan kebutuhan di tingkat lapangan; mendorong proses penetapan dan pengukuhan kawasan untuk menjamin kepastian hukum status kawasan. Selain itu juga program yang berkaitan langsung dengan kepentingan masyarakat perlu didorong lebih intens guna mengembalikan kredibilitas BP HLSL di mata masyarakat dan sekaligus untuk membangkitkan peran serta
The Art of Vibrant ….. Dari hal 3 mencapai tujuan terbaiknya dengan mengaktifkan energi keagungan insani. Keagungan insani yang dimiliki setiap manusia terdiri dari jiwa, karsa dan raga. Dengan mengaktifkan ketiga komponen ini maka setiap orang menjadi spesial yang memiliki keunikan tersendiri. Tehnik fasilitasi vibrant ini dapat berjalan dengan baik karena memberikan fokus pada keagungan insane itu sendiri, memanfaatkan percakapan positif, serta memanfaatkan gambar dan imajinasi. Untuk menjadi fasilitator yang handal tentunya harus dapat menjadi pemudah proses yang berjalan dalam kelompok agar semua anggota kelompok dapat memahami apa yang terjadi dalam proses hingga pengambilan keputusan kelompok itu sendiri. Hal ini dapat terjadi apabila fasilitator memberikan ruang untuk semua anggota kelompok dapat terlibat secara aktif dan penuh dalam setiap fase proses yang terjadi karena harus diingat bahwa setiap orang adalah spesial. (Iwied)
Volume 7
Hal. 8
EFEK RUMAH KACA (Tanya) Apakah yang dimaksud dengan Efek Rumah Kaca (ERK) dan penyebabnya? (Jawab) Efek Rumah Kaca dapat divisualisasikan sebagai sebuah proses. Di lapisan atmosfer terdapat selimut gas. Rumah kaca adalah analogi atas bumi yang dikelilingi gelas kaca. Nah, panas matahari masuk ke bumi dengan menembus gelas kaca tersebut berupa radiasi gelombang pendek. Sebagian diserap oleh bumi dan sisanya dipantulkan kembali ke angkasa sebagai radiasi gelombang panjang. Namun, panas yang seharusnya dapat dipantulkan kembali ke angkasa menyentuh permukaan gelas kaca dan terperangkap di dalam bumi. Layaknya proses dalam rumah kaca di pertanian dan perkebunan, gelas kaca memang berfungsi menahan panas untuk menghangatkan rumah kaca. Masalah timbul ketika aktivitas manusia menyebabkan peningkatan konsentrasi selimut gas di atmosfer (Gas Rumah Kaca) sehingga melebihi konsentrasi yang seharusnya. Maka, panas matahari yang tidak dapat dipantulkan ke angkasa akan meningkat pula. Semua proses itulah yang disebut Efek Rumah Kaca. (T) Apakah Efek Rumah Kaca merupakan proses alami? (J) Ya! Efek Rumah Kaca terjadi alami karena memungkinkan kelangsungan hidup semua makhluk di bumi. Tanpa adanya Gas Rumah Kaca, seperti karbondioksida (CO2), metana (CH4), atau dinitro oksida (N2O), suhu permukaan bumi akan 33 derajat Celcius lebih dingin. Sejak awal jaman industrialisasi, awal akhir abad ke-17, konsentrasi Gas Rumah Kaca meningkat drastis. Diperkirakan tahun 1880 temperatur rata-rata bumi meningkat 0.5 – 0.6 derajat Celcius akibat emisi Gas Rumah Kaca yang dihasilkan dari aktivitas manusia. (T) Apa buktinya bahwa Efek Rumah Kaca itu benar-benar terjadi ? (J) Melalui beberap a bukti berikut:
Pertama, berdasarkan ilmu fisika, beberapa gas mempunyai kemampuan untuk menahan panas. Tak ada yang patut diragukan dari pernyataan ini. Kedua, pengukuran yang dilakukan sejak tahun 1950-an menunjukkan tingkat konsentrasi Gas Rumah Kaca meningkat secara tetap, dan peningkatan ini berhubungan dengan emisi Gas Rumah Kaca yang dihasilkan industri dan berbagai aktivitas manusia lainnya. Ketiga, penelitian menunjukkan udara yang terperangkap di dalam gunung es telah berusia 250 ribu tahun . Artinya: Konsentrasi Gas Rumah Kaca di udara berbeda-beda di masa lalu dan masa kini. Perbedaan ini menunjukkan adanya perubahan temperatur. Konsentrasi Gas Rumah Kaca terbukti meningkat sejak masa praindustri. (T) Apa sajakah yang termasuk dalam kelompok Gas Rumah Kaca? (J) Yang termasuk dalam kelompok Gas Rumah Kaca adalah karbondioksida (CO 2), metana (CH 4), dinitro oksida (N2O), hidrofluorokarbon (HFC), perfluorokarbon (PFC), sampai sulfur heksafluorida (SF6). Jenis GRK yang memberikan sumbangan paling besar bagi emisi gas rumah kaca adalah karbondioksida, metana, dan dinitro oksida. Sebagian besar dihasilkan dari pembakaran bahan bakar fosil (minyak bumi dan batu bara) di sektor energi dan transport, penggundulan hutan , dan pertanian . Sementara, untuk gas rumah kac a lainnya (HFC, PFC, SF6 ) hanya menyumbang kurang dari 1% . (T) Darimanakah emisi karbondioksida dihasilkan ? (J) Sumber -sumber emisi karbondioksida secara global dihasilkan dari pembakaran bahan bakar fosil (minyak bumi dan batu bara): • 36% dari industri energi (pembangkit listrik/kilang minyak, dll) • 27% dari sektor transportasi • 21% dari sektor industry • 15% dari sektor rumah tangga & jasa, dan • 1% dari sektor lain -lain. (T) Apa yang dapat dilakukan untuk mengurangi kontribusi Gas Rumah Kaca?
Informasi lebih lanjut mengenai REDD Program, kontak : Iwied Wahyulianto Koordinator Sekretariat POKJA REDD Kab. Berau Jln. Anggur No 265 Tanjung Redeb, Berau Telp/Fax. 0554 - 21232 email:
[email protected] Hamzah As-Saied Dinas Kehutanan Kab. Berau Jl. Pulau Sambit No 1 Tanjung Redeb Email:
[email protected] Fakhrizal Nashr Berau Program Leader The Nature Conservancy JL. Cempaka No. 7 - RT 07/RW 07 Berau 77311 Tel. +62 - 554 23388; Hp.: +62-812-5408141 Email :
[email protected] Alfan Subekti REDD Field Manager The Nature Conservancy Jalan Polantas No. 5, Markoni, Balikpapan, 76112, Telp.: +62-542-442896; Fax.: +62-542-745730 Email :
[email protected]
(J) Emisi Gas Rumah Kaca harus dikurangi! Jadi harus dibangun system industri dan transportasi yang TIDAK bergantung pada bahan bakar fosil (minyak bumi dan batu bara). Kalau perlu, TIDAK menggunakannya SAMA SEKALI! Karena Perubahan Iklim adalah masalah global, penyelesaiannya pun mesti secara internasional. Langkah pertama yang dilakukan adalah pembuatan Kerangka Konvensi untuk Perubahan Iklim (Framework Convention on Climate Change) tahun 1992 di Rio de Janeiro, Brazil, yang ditandatangani oleh 167 negara. Kerangka konvensi ini mengikat secara moral semua negaranegara industri untuk menstabilkan emisi karbondioksida mereka. Sayangnya, hanya sedikit negara industri yang memenuhi target. Langkah selanjutnya berarti membuat komitmen yang mengikat secara hukum dan memperkuatnya dalam sebuah protokol. Dibuat lah Kyoto Protocol atau Protokol Kyoto. Tujuannya: mengharuskan negara-negara industri menurunkan emisinya secara kolektif sebesar 5,2 persen dari tingkat emisi tahun 1990. (bersambung) Photo-Photo: Adjie R (hal 1, 6), Iwied (hal 2,3, 4)