Resume Prinsip-Prinsip Perlindungan Hukum Bagi Konsumen Di Indonesia Prof. Dr. Ahmadi Miru, Sh.,M.H. Perlindungan konsumen merupakan bagian tak terpisahkan dari kegiatan bisnis yang sehat. Dalam kegiatan bisnis yang sehat terdapat keseimbangan hukum antara konsumen dengan produsen. Tidak adanya perlindungan yang seimbang menyebabkan konsumen berada pada posisi yang lemah apalagi produk yang dihasilkan oleh produsen merupakan jenis produk yang terbatas, maka produsen dapat menyalahgunakan posisinya yang monipolistis yang dapat mengakibatkan kerugian bagi para konsumen, sebagai akibat dari adanya hubungan hukum perjanjian antara produsen dengan konsumen, maupun akibat dari adanya perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh produsen. Perjanjian yang dilakukan antara pihak tidak selamanya berjalan mulus atau kalau yang di perjanjikan tidak sesuai harapan, maka produsen telah melakukan Wanprestasi sehingga konsumen mengalami kerugian. “Wanprestasi adalah satu pihak dalam perjanjian merupakan kelalaian untuk memenuhi syarat yang tercantum dalam perjanjian”. Selain wanprestasi kerugian yang dialami para konsumen dapat pula terjadi diluar hubungan perjanjian, yaitu : 1.
Jika terjadi perbuatan melanggar hukum yang dapat berupa adanya cacat pada barang atau jasa.
2. Konsumen kurang kritis terhadap barang-barang yang ditawarkan. Kondisi Konsumen yang banyak dirugikan, memerlukan peningkatan upaya untuk melindunginya, sehingga hak-hak konsumen dapat ditegakkan. Dan upaya terpenting dalam memberikan perlindungan kepada konsumen adalah melalui peraturan perundang-undangan, sehingga perlu melengkapi ketentuan perundang-undangan bidang perlindungan konsumen yang sudah ada.
Menurut Friedman, agar hukum dapat bekerja harus dipenuhi tiga syarat, yaitu : 1. Aturan itu harus dapat dikomunikasikan kepada subjej yang diaturnya. 2. Subjek yang diaturnya mempunyai kemampuan untuk melaksanakan aturan itu. 3. Subjek itu harus mempunyai motivasi untuk melaksanakan aturan itu.
1
Fakultas Hukum Universitas Wiraswasta Indonesia Status Terakreditasi Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi
Info Penerimaan Pendaftaran Mahasiwa Baru / Pindahan / Karyawan Uang Muka : Rp. 2.500.000,Uang Kuliah : Rp. 450.000,- / Per.Bulan
Alamat Kampus Jln. Basuki Rahmad Nomor 19 – 20 Kampung Melayu / Jatinegara - Jakarta Timur Dengan mememilih & bergabung di Fakultas Hukum Universitas Wiraswasta Indonesia : 1. Anda dipersiapkan untuk memiliki kemampuan praktek hukum ; karena 2. Mahasiswa mendapat dosen pembimbing akademis yang menjalankan profesi Advokat 3. FH-UWIN memiliki Program KHUBUKA [kuliah hukum terbuka] yang dengan melibatkan mahasiswa secara penuh dan berkesinambungan, dibimbing untuk terjun langsung dalam : melaksanakan pengabdian masyarakat ; penyuluhan / advokasi hukum, seminar hukum ; menyebarluaskan informasi hukum baik secara nyata maupun secara melalui virtual [internet] ; bimbingan praktek konsultasi hukum bisnis didampingi oleh dosen hukum yang menjalankan profesi Advokat [PERADI] serta
4. Keluwesan memilih mata kuliah sesuai waktu dan kesibukan tugas mahasiswa [yang berstatus karyawan]. Pendaftaran dan informasi detail, hanya dapat dilaksanakan melalui Unit Penerimaan Mahasiswa FH-UWIN 1. Sdr. Anthony Sabar | 081297344480 2. RGS & Mitra | SMS : 081511771888 |
[email protected] Informasi Virtual http://uwin.ac.id/ https://www.facebook.com/fhuwin https://www.facebook.com/groups/MahasiswaFakultasHukum/ http://fhuwin.blogspot.com/ | https://twitter.com/HukumUWIN
Dengan adanya pandangan ini, maka dapat dikemukakan bahwa pembentukan ketentuan hukum atau pembaruan hukum bukan sekedar pembaruan substansi hukumnya, melainkan pembaruan orientasi dan nilai-nilai yang melandasi aturan hukum tersebut. Dengan demikian, pembaruan hukum harus diartikan sebagai mengadopsi nilai-nilai hukum yan baru sebagai akibat dari perubahan nilai-nilai hidup bermasyarakat.Nilai-nilai hukum inilah yang merupakan landasan filosofi bagi substansi hukum yang baru. Walaupun telah banyak ketentuan hukum yang tersebar di berbagai peraturan perundang-undangan yang memberikan perlindungan kepada konsumen serta lahirnya Undan-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan Konsumen (selanjutnya disebut Undang-Undang Perlindungan Konsumen atau UUPK) yang merupakan paying pengikat dari berbagai peraturan perundang-undangan yang tersebar tersebut, namun UUPK masih perlu dilengkapi dengan beberapa peraturan pemerintah , agar dapat dilaksanakan sebagaimana mestinya. Dan ketentuan hukumnya pun harus tidak bertentangan dengan ketentuanketentuan atau prisip-prinsip perjanjian Internasional, agar aturan hukum tersebut tidak menjadi alasan bagi Negara lain untuk melakukan tuntutan-tuntutan tertentu karena diabaikannya perjanjian Internasional. Untuk menghindari adanya pertentangan ketentuan hukum, di tempuh berbagai cara oleh Negara-negara lain yang berkepentingan dalam perdagangan Internasional. Salah satunya adalah lahirnya The General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) yang kemudian menjadi World Trade Organization (WTO). A. Istilah dalam Hukum Perlindungan Konsumen 1. Konsumen Pengertian Konsumen dalam Rancangan Undang-Undang Perlindungan Konsumen Yang diajukan oleh yayasan Lembaga Konsumen Indonesia, yaitu : “Konsumen adalah pemakai barang dan jasa yang tersedia dalam masyarakat, bagi kepentingan diri sendiri atau keluarganya atau orang lain yang tidak untuk diperdagangkan kembali”. Istilah Konsumen menurut UUPK, yaitu : “konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain,
2
maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan”. 2. Produsen Dalam Pasal 3 Directive ditentukan bahwa : 1. Produsen berarti pembuat produk akhir, produsen dari setiap bahan mentah, atau pembuat dari suatu suku cadang dan setiap orang yang memasang nama, mereknya atau suatu tanda pembedaan yang lain pada produk, menjadikan dirinya sebagai produsen. 2. Tanpa mengurangi tanggung gugat produsen, maka stiap orang yang mengimpor suatu produk untuk dijual, dipersewakan atau untuk leasing, atau setiap bentuk pengedaran dalam usaha perdagangannya dalam masyarakat Eropa, akan dipandang sebagai produsen dalam arti directive ini, dan akan bertanggung gugat sebagai produsen. 3. Dalam hal produsen suatu produk tidak dikenal identitasnya, maka setiap levaransir/supplier akan bertanggung gugat sebagai produsen, kecuali ia memberitahukan orang yang menderita dalam waktu yang tidak terlalu lama mengenai identitas produsen atau orang yng menyerahkan produk itu kepadanya. Hal yang sama akan berlaku dalam kasus barang/produk yang diimpor, jika produk yang bersangkutan tidak menunjukkan identitas importer sebagaimana yang dimaksud dalam ayat(2), sekalipun nama produsen dicantumkan. Pengertian Pelaku Usaha dalam UUPK adalah : “Setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum Negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersamasama melalui perjanjian penyelenggaraan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi. 3. Produk Cacat Dalam pasal 2 Directive disebutkan bahwa produk adalah semua benda bergerak kecuali produk pertanian primer dan hasil perburuan, sekalipun telah dimasukkan/dipasang pada benda bergerak lainnya atau tak bergerak. Sedangkan produk menurut Agnes M. Toar, adalah semua benda bergerak atau tidak
3
bergerak/tetap, dan cacat pada produk adalah kekurangan pada produk yang menjadi penyebab timbulnya kerugian. Untuk mengetahui kapan suatu produk mengalami cacat, dapat dibedakan atas tiga kemungkinan, yaitu : a. Kesalahan Produksi Kesalahan prodiksi dapat dibedakan atas dua bagian, yaitu : 1. Kesalahan yang meliputi kegagalan proses produksi, pemasangan produk, kegagalan pada sarana infeksi, apakah karena kelalaian manusia atau ke tidakberesan pada mesin dan yang serupa dengan itu. 2. Produk-produk yang telah sesuai dengan rancangan dan spesifikasi yang dimasukkan oleh pembuat, namun terbukti tidak aman dalam pemakaian normal. b. Cacat mesin Cacat terjadi pada tingkat persiapan produk, yang terdiri atas desain, komposisi, atau konstruksi. c. Informasi yang tidak memadai Hal ini berhubungan dengan pemasaran suatu produk, dimana keamanan suatu produk ditentukan oleh informasi yang diberikan kepada pemakai yang berupa label produk, cara penggunaan, peringatan atas resiko tertentu atau hal lainnya.Dengan demikian, produsen berkewajiban untuk memperhatikan keamanan produknya. 1. Keseimbangan Antara Resiko dan Manfaat Ada tujuh factor, untuk menentukan risiko-manfaat menurut wade, yaitu : -
Kemanfaatan atau sifat yang diinginkan dari produk
-
Kemungkinan dan keseriusan dari produk
-
Tersedianya produk pengganti yang akan memenuhi kebutuhan yang sama dan aman
4
-
Kemampuan pabrik untuk menghilangkan bahaya tanpa merusak kegunaan atau menyebabkan produk terlalu mahal
-
Kesadaran pemakai terhadap bahaya
-
Kemampuan pemakai untuk menghindari bahaya
-
Kemungkinan produsen pembuat menyebar risiko kerugian, melalui harga dan asuransi.
2. State of the art State of the art adalah pengetahuan keilmuan dan teknologi yang tersedia atau ada pada saat produk dipasarkan. Dan dari rumusan diatas dapat di tarik kesimpulan bahwa produk cacat adalah produk yang dengan mempertimbangkan pengetahuan dan teknologi yang tersedia serta biaya produksi, produk tersebut tidak memenuhi harapan yang wajar dari konsumen. Harapan yang wajar dari konsumen adalah : 1. Pengetahuan dan pengalaman konsumen terhadap produk yang sama 2. Kepercayaan konsumen terhadap produsen atau pengetahuan produsen tentang kekurangan atau bahaya produk 3. Harga produk 4. Informasi yang disampaikan produsen tentang produk tersebut. B. Hubungan Hukum Antara Produsen dengan Konsumen Secara garis besar pihak-pihak yang terlibat dalam hubungan ini, dikelompokkan dalam dua kelompok, yaitu : a. Kelompok penyedia barang atau penyelenggara jasa -
Penyedia dana untuk keperluan para penyedia barang atau jasa (Investor)
-
Penghasil atau pembuat barang dan jasa
-
Penyalur barang atau jasa
5
b. Kelompok kedua adalah : -
Pemakai atau pengguna(konsumen) barang atau jasa dengan tujuan memproduksi (membuat) barang atau jasa lain ; atau mendapatkan barang atau jasa itu untuk dujual kembali(tujuan komersial)
-
Pemakai atau pengguna(konsumen) barang atau jasa untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri, keluarga atau rumah tangganya (untuk tujuan nonkomersial).
1. Hubungan langsung Adalah hubungan antara produsen dan konsumen yang terikat secara langsung dengan perjanjian.Salah satu bentuk perjanjian yang banyak dikenal dalam perjanjian jual-beli adalah perjanjian tertulis (perjanjian baku), yaitu bentuk perjanjian yang banyak digunakan jika salah satu pihak sering berhadapan dengan pihak lain dalam jumlah yang banyak dan memiliki kepentingan yang sama. Perjanjian baku ini, pada dasarnya dilakukan berdasarkan asas kebebasan berkontrak sebagaimana diatur dalam Pasal 1338 ayat (1) B.W., yaitu bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah, berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Sedangkan pengertian sah adalah telah memenuhi syarat sahnya perjanjian berdasarkan Pasal 1320 B.W., sebagai berikut: a. Kata sepakat mereka yang mengikatkan diri b. Adanya kecakapan untuk mengadakan adanya perikatan c. Mengenai suatu objek tertentu d. Mengenai causa yang dibolehkan. e. 2. Hubungan tidak langsung Adalah hubungan antara produsen dan konsumen yang tidak secara langsung terikat dengan perjanjian, karena adanya pihak di antara pihak konsumen dengan produsen.Dalam hubungan ini di kenal ada dua sumber perikatan, yaitu Perjanjian dan Undang-Undang (undang-undang karena perbuatan manusia), karena perbuatan manusia yang melanggar hukum merupakan hal yang penting dalam kaitan dengan perlindungan konsumen. Perbuatan melanggar hukum dalam B.W. diatur dalam pasal 1365, yaitu :
6
“Tiap perbuatan melanggar hukum yang menyebabkan kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”. C. Usaha-usaha Yuridis Perlindungan Konsumen Sebelum lahirnya UUPK, sudah terdapat berbagai ketentuan perlindungan konsumen yang tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan, yang dapat dibagi atas peraturan perundang-undangan di bidang hukum privat dan peraturan perundang-undangan di bidang hukum public. Salah satu undang-undang yang sangat erat kaitannya dengan perlindungan konsumen yang mengandung aspek hukum privat, maupun aspek hukum publik (hukum administrasi, pidana dan hukum Internasional) adalah Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992 tentang merek , yang kemudian diubah berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1997 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1992 tentang merek. Bahkan yang berlaku sekarang adalah Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001 tentang merek. Tujuan dari perlindungan merek ini adalah untuk memberikan perlindungan kepada pemakai merek yang sah (terdaftar) agar tidak dirugikan oleh pihak lain yang memakai merek tersebut secara tidak sah. Dan usaha yuridis terakhir untuk perlindungan konsumen adalah usaha yuridis perlindungan di bidang hukum Formal/hukum acara (tentang beban pembuktian).
PERLINDUNGAN HUKUM DI INDONESIA 1. Perkembangan Umum Hukum Perlindungan Konsumen Perkembangan hukum perlindungan konsumennya belum berkembang sebagaimana di negara-negara maju. Hal ini disebabkan karena lazimnya perkembangan perlindungan konsumen merupakan akibat dari perkembangan industri suatu negara, yaitu industrialisasi massal. Tapi tidak dapat dipungkiri juga bahwa usaha pemerintah untuk memberikan perlindungan kepada konsumen telah dilakukan sejak lama, hanya saja kadang tidak disadari bahwa pada dasarnya tindakan tertentu yang dilakukan oleh pemerintah merupakan usaha
7
untuk melindungi kepentingan konsumen.Hal ini dapat dibuktikan dengan dikeluarkannya berbagai ketentuan perundang-undangan perlindungan konsumen sejak tahun 1961, yaitu Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1961 tentang Barang, serta disusul dengan berbagai undang-undang lainnya. 2. Ruang Lingkup Perlindungan Konsumen Perlindungan hukum terhadap konsumen meliputi bidang hukum privat maupun bidang hukum publik. Perlindungan konsumen dalam bidang hukum privat paling banyak ditemukan dalam B.W, khususnya dalam Buku III tentang perikatan, seperti : -
ketentuan tentang wanprestasi (pasal 1243 sampai pasal 1252)
-
serta ketentuan tentang perikatan yang lahir karena perjanjian (Pasal 1313 sampai Pasal 1351)
-
Perikatan lahir karena undang-undang (Pasal 1352 sampai Pasal 1369)
-
Perbuatan melanggar hukum yang diatur dalam pasal 1365 sampai pasal 1369
-
Pasal 1370 tentang kemungkinan menuntut ganti kerugian oleh orang-orang yang berada dalam tanggungan si korban, apabila ia meninggal akibat kesengajaan atau kelalaian orang lain.
-
Pasal 1371 (Tindakan yang hanya menimbulkan cacat bagi si korban, tuntutan ganti rugi juga dimungkinkan. Tuntutan ganti kerugian ada dua, yaitu : 1. Tuntutan ganti kerugian berdasarkan Wanprestasi 2. Tuntutan ganti kerugian berdasarkan perbuatan melanggar hukum
A. Tuntutan ganti kerugian berdasarkan Wanprestasi Tuntutan ganti kerugian berdasarkan Wanprestasi adalah didasarkan pada perikatan yang lahir karena perjanjian. Bentuk-bentuk wanprestasi dapat berupa :
8
1. Debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali 2. Debitur terlambat dalam memenuhi prestasi 3. Debitur berprestasi tidak sebagaimana mestinya Terjadinya wanprestasi pihak debitur, dalam suatu perjanjian, membaw akibat yang tidak mengenakan bagi debitur, karena debitur harus : -
Mengganti kerugian
-
Benda yang menjadi objek perikatan, sejak terjadinya wanprestasi menjadi tanggung gugat debitur
-
Jika perikatan itu timbul dari perikatan timbale balik, kreditor dapat minta pembatalan (pemutusan) perjanjian.
Sedangkan untuk menghindari terjadinya kerugian bagi krediator karena terjadinya wanprestasi, maka krediator dapat menuntut salah satu dari lima kemungkinan : -
Pembatalan (pemutusan perjanjian)
-
Pemenuhan perjanjian
-
Pembayaran ganti kerugian
-
Pembatalan perjanjian disertai ganti kerugian
-
Pemenuhan perjanjian disertai ganti kerugian
B. Tuntutan Ganti Kerugian Berdasarkan Perbuatan Melanggar Hukum Untuk dapat menuntut ganti kerugian, maka kerugian tersebut harus merupakan akibat dari perbuatan melanggar hukum. Hal ini berarti bahwa untuk dapat menuntut ganti kerugian harus dipenuhi unsur-unsur sebagai berikut : -
Ada perbuatan melanggar hukum
-
Ada kerugian
-
Ada hubungan kausalitas antara perbuatan melanggar hukum dengan kerugian
-
Ada kesalahan
1. Perbuatan melanggar Hukum
9
Perbuatan melanggar Hukum dapat berupa : a. Melanggar hak orang lain b. Bertentangan dengan kewajiban hukum si pembuat c. Berlawanan dengan kesusilaan baik d. Berlawanan dengan sikap hati-hati yang seharusnya diindahkan dalam pergaulan masyarakat terhadap diri atau benda orang lain. Menurut rumusan Regout “Barangsiapa karena perbuatan melanggar hukum menimbulkan kerugian, maka ia wajib mengganti kerugian itu”. Berdasarkan berbagai bentuk perbuatan yang dapat digolongkan sebagai perbuatan hukum, maka jika disederhanakan dapat dikatakan bahwa perbuatan melanggar hukum adalah perbuatan yang betentangan dengan standar perilaku dalam masyarakat. 2. Kerugian Kerugian menurut Nieuwenhuis (1985), adalah : berkurangnya harta kekayaan pihk yang satu yang disebabkan oleh perbuatan (melakukan atau membiarkan) yang melanggar norma oleh pihak lain. Ganti kerugian dalam Undan-Undang perlindungan konsumen, hanya meliputi pengembalian uang atu penggantian barang dan/atu jasa yang sejenis atau setara nilainya, atau perawatan kesehatan dan/atau pemberian santunan yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 3. Hubungan Sebab Akibat Pada mulanya, teori kausalitas yang dianut adalah conditie sine qua non, namun pada tahun 1927, Hoge Raad (H.R.) memilih adequat yang berlansung sampai tahun 70-an. Teori yang pertama kali diajukan oleh Paul Scholten 1092 ini yang mengandung pengertian “apa yang dapat diperkirakan sebelumnya”atau”akibat yang menurut akal sehat diharapkan dapat timbul dari suatu perbuatan.
10
Pada tahun 1962, koster menyarankan untuk menghapus adequate dan menerima toerrekening naar redelijkheid (dipertanggukan secara layak) ini dalam B. W. baru. Faktor penting yang disebut oleh Kooster dalam sarannya tersebut adalah : a. Sifat dari kejadian yang menjadi dasar pertanggunggugatan b. Sifat kerugian c. Besar kecilnya kerugian yang diperkirakan akan terjadi d. Beban tidak seimbang yang dapat timbul bagi pihak tergugat dari kewajibannya untuk membayar ganti kerugian, serta memperhatikan keadaan keuangan pihak yang dirugikan. Berbagai alasan yang dikemukakan tentang penggunaan teori kausalitas tersebut, maka tampak bahwa teori adequate yang dipahami di Indonesia bahwa akibat tersebut disebabkan oleh factor yang secara yuridis relevan, yakni yang dapat menimbulkan akibat itu, karena teori adequat diartikan penyebab yang secara wajar dapat diduga menimbulkan akibat. 4. Kesalahan Berdasarkan Pasal 1365 B.W. salah satu syarat untuk membebani tergugat dengan tanggunggugat berdasarkan perbuatan melanggar hukum adalah adanya kesalahan.Kesalahan ini memiliki tiga unsur, yaitu : a. Perbuatan yang di lakukan dapat disesalkan b. Perbuatan tersebut dapat diduga akibatnya: 1) Dalam arti objektif : sebagai manusia normal dapat menduga akibatnya 2) Dalam arti subjektif : sebagai seorang ahli dapat menduga akibatnya c. Dapat dipertanggungjawabkan : debitur dalam keadaan cakap. Ketentuan pidana, khususnya yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang memberikan Perlindungan Hukum terhadap Konsumen adalah :
11
-
Pasal 204-205, tentang ancaman pidana bagi orang yang mengalihkan barang berbahaya (terhadap jiwa maupun kesehatan ) terhadap konsumen.
-
Pasal 378-395, tentang Penipuan, dan Pasal 396-405, tentang Perbuatan Merugikan Krediator atau orang yang mempunyai hak dan lain-lain.
Sedangkan perlindungan konsumen dari aspek hukum internasional yang penting adalah Persetujuan tentang pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia/World Trade Organization (WTO) yang telah disahkan oleh Pemerintah Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun1994.
5. Lembaga Konsumen Peran lembaga konsumen dalam suatu negara sangat penting untuk memberikan perlindungan terhadap konsumen. Gerakan perlindungan konsumen di Indonesia ditandai dengan berdirinya Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) pada 11 Mei 1973. YLKI ini didirikan dengan tujuan untuk membantu konsumen Indonesia agar tidak dirugikan dalam mengkonsumsi barang dan jasa. Kehadiran lembaga YLKI ini merupakan langkah maju dalam perlindungan konsumen karena dalam upaya mencapai tujuannya melaksanakan berbagai kegiatan, yang dilakukan melalui beberapa bidang, yaitu : a. Bidang penelitian b. Bidang pendidikan c. Bidang penerbitan, warta konsumen, dan perpustakaan d. Bidang pengaduan e. Bidang umum dan keuangan Kegiatan bidang penelitian berguna bagi konsumen karena melalui bidang penelitian ini akan memberikan informasi kepada konsumen mengenai mutu barang secara
12
objektif, sehingga konsumen dapat menentukan pilihannya terhadap suatu produk tertentu secara rasional. Bidang Pendidikan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran dan pengetahuan konsumen serta untuk mengubah perilaku konsumen. Karena pendidikan konsumen ini merupakan suatu proses untuk mengajarkan bagaimana membeli, menggunakan dan mengatur barang-barang yang kadang-kadang sedikit, namun mampu untuk memenuhi kebutuhan mereka. Pendidikan konsumen adalah proses dimana konsumen : a. Mengembangkan keahlian untuk membuat keputusan (terdidik) atau tepat dalam pembelian barang dan jasa. b. Mengetahui hukum c. Meningkatkan peran masyarakat dalam ekonomi, sosial dan sistem pemerintahan. Bidang Penerbitan,warta konsumen dan perpustakaan . Bidang ini menerbitkan bukubuku yang berkaitan dengan perlindungan konsumen , serta majalah warta konsumen yang berisi hasil-hasil penelitian dan perpustakaan yang di jadikan sebagai sumber dalam mencari literatur mengenai hal-hal yang berkaitan dengan konsumen. Bidang Pengaduan, yang kegiatannya adalah menerima dan menyelesaikan keluhan dan ketidakpuasan konsumen terhadap barang dan jasa yang dibelinya/diperolehnya. Keberadaan lembaga-lembaga yang memberikan perlindungan kepada konsumen ini, semakin kuat dengan dikeluarkannya Undang-Undang Perlindungan Konsumen, yang secara tegas menyatakan akan dibentuknya Badan Perlindungan Nasional yang diberikan tugas untuk : a. Memberikan saran dan rekomendasi kepada pemerintah dalam rangka penyusunan kebijakan di bidang perlindungan konsumen
13
b. Melakukan penelitian dan pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku di bidang perlindungan konsumen c. Melakukan penelitian terhadap barang dan/atau jasa yang menyangkut keselamatan konsumen d. Mendorong berkembangnya lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat e. Menyebarluaskan
informasi
melalui
media
mengenai
perlindungan
konsumen
dan
memasyarakatkan sikap keberpihakan kepada perlindungan konsumen. f.
Menerima pengaduan tentang perlindungan konsumen dari msayarakat, lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat, atau pelaku usaha
g. Melakukan survei yang menyangkut kebutuhan konsumen. Tugas lembaga perlindungan konsumen swadaya ini adalah : a. Menyebarluaskan informasi dalam rangka meningkatkan kesadaran atas hak dan kewajiban dan kehati-hatian konsumen dalam mengkonsumsi barang dan/atau jasa b. Memberikan nasehat kepada konsumen yang memerlukannya c. Bekerjasama dengan instansi terkait dalam upaya mewujudkan perlindungan konsumen d. Membantu konsumen dalam memperjuangkan haknya, termasuk menerima keluhan dan pengaduan konsumen. e. Melakukan pengawasan bersama pemerintah dan masyarakat terhadap pelaksanaan perlindungam konsumen.
6. Lahirnya Undang-Undang Perlindungan Konsumen Lahirnya Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42 tentang perlindungan konsumen, merupakan perkembangan yang sangat berarti dalam perkembangan hukum perlindungan konsumen di Indonesia. Diharapkan dengan lahirnya UndangUndang Perlindungan Konsumen yang mendorong terbentuknya lembaga perlindungan konsumen swadaya masyarakat, akan dapat menempatkan posisi konsumen pada posisi yang seharusnya, yaitu menjadi seimbang bahkan lebih kuat daripada produsen.
14
7. Keseimbangan Perlindungan Konsumen dengan Produsen 1. Hak-Hak Konsumen Hak-hak yang merupakan hak dasar konsumen, untuk pertama kali dikemukakan oleh Presiden Amerika Serikat J. F Kennedy di sepan Kongres pada 15 Maret 1962. Yaitu : a. Hak memperoleh keamanan b. Hak memilih c. Hak mendapat informasi d. Hak untuk didengar Keempat hak tersebut adalah bagian dari Deklarasi dari Hak-Hak Asasi Manusia yang di canangkan PPB pada 10 Desember 1948, masin-masing pada pasal 3, 8,19,21, 26, yang oleh Organisasi
Konsumen
Sedunia
(International
Organization
of
consumers
Union-
IOCU)ditambahkan empat hak dasar konsumen lainnya yaitu : a. Hak untuk memperoleh kebutuhan hidup b. Hak untuk memperoleh ganti rugi c. Hak untuk memperoleh pendidikan konsumen d. Hak untuk memperoleh lingkungan hidup yang bersih dan sehat. Disamping itu masyarakat ekonomi Eropa, juga telah menyepakati lima hak dasar konsumen sebagai berikut : a. Hak perlindunga keamanan dan kesehatan b. Hak perlindungan kepentingan ekonomi c. Hak mendapat ganti rugi d. Hak atas penerangan e. Hak untuk didengar Dengan demikian, secara keseluruhan pada dasarnya dikenal 10 macam hak konsumen, yaitu : a. Hak atas keamanan dan keselamatan
15
b. Hak untuk memperoleh Informasi c. Hak untuk memilih d. Hak untuk di dengar e. Hak untuk memperoleh kebutuhan hidup f.
Hak untuk memperoleh ganti rugi
g. Hak untuk memperoleh pendidikan konsumen h. Hak untuk memperoleh lingkungan hidup yang bersih dan sehat ( diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 dan yang berlaku sekarang adalah UndangUndang Nomor 32 Tahun 2009) i.
Hak untuk mendapatkan barang yang sesuai dengan niai tukar yang di berikannya
j.
Hak untuk mendapatkan uapaya penyelesaian hukum yang patut.
2. Informasi yang memadai Pentingnya menyampaikan informasi yang benar terhadap konsumen mengenai suatu produk, agar konsumen tidak salah terhadap gambaran mengenai suatu produk tertentu. Penyampain informasi tersebut dapat berupa representasi, peringatan , maupun yang berupa intruksi. a. Representasi (penyampaian Informasi) Reprentasi suatu produk, dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen diatur dalam bab IV mengenai perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha. Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromoskan, mengiklankan suatu barang dan/jasa secara tidak benar, dan /atau seolah-olah : 1. Barang tersebut telah memenuhi dan/atau memiliki potongan harga, harga khusus, standar mutu tertentu, gaya atau mode tertentu, karakteristik tertentu, sejarah atau guna tertentu 2. Barang tersebut dalam keadaan baik dan/atau baru
16
3. Barang atau jasa tersebut telah mendapatkan atau memiliki sponsor, persetujuan, perlengkapan tertentu, cirri-ciri kerja atau aksesori tertentu 4. Barang atau jasa tersebut dibuat oleh perusahaan yang mempunyai sponsor, persetujuan atau afiliasi 5. Barang atau jasa tersebut tersedia 6. Barang tersebut tidak mengandung cacat yang tersembunyi 7. Barang tersebut merupakan kelengkapan barang tertentu 8. Barang tersebut berasal dari daerah tertentu. 9. Secara langsung atau tidak langsung merendahkan barang atau jasa lain 10. Menggunakan kata-kata yang berlebihan, seperti aman, tidak berbahaya, tidak beresiko, atau efek sampingan tanpa keterangan yang lengkap 11. Menawarkan sesuatu yang mengandung janji yang belum pasti b. Peringatan (pemberian informasi) c. Intruksi (pencantuman informasi) Iktikad Baik Ketentuan tentang iktikad baik diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik. Dalam UUPK, kewajiban iktikad baik bagi produsen adalah diwajibkn beriktikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya, sedangkan bagi konsumen, diwajibkan beriktikad baik dalam melakukan transaksi pembelian barang dan/atau jasa. Pengalihan Tanggung Gugat Produsen Pengalihan tanggung gugat produsen dapat terjadi dengan mengalihkannya kepada konsumen, yaitu dengan cara mencantumkan pengalihan tanggung gugat tersebut dalam klausal perjanjian atau dengan kata lain dicantumkan klausal eksonerasi (exoneration) yang menyebabkan beralihnya tanggung gugat yang seharusnya ditanggung oleh produsen kepada konsumen, dan tanggung gugat dapat juga dialihkan kepada pihak ketiga melalui asuransi.
17
1. Klausal Eksonerasi Rikjen mengatakan bahwa klausal eksonerasi adalah klausal yang dicantumkan dalam suatu perjanjian dengan mana satu pihak menghindarkan diri untuk memenuhi kewajibannya membayar ganti rugi seluruhnya atau terbatas, yang terjadi karena ingkar janji atau perbuatan melanggar hukum. Klausal Eksonerasi pada umumnya di temukan dalam perjanjian baku. Perjanjian baku yang mengandung klausal eksonerasi cirinya adalah sebagai berikut : a. Pada umunya isinya ditetapkan oleh pihak yang posisinya lebih kuat b. Pihak lemah pada umumnya tidak ikut menentukan isi perjanjian yang merupakan unsure aksidentalia dari perjanjian c. Terdorong oleh kebutuhanya, pihak lemah terpaksa menerima perjanjian tersebut d. Bentuknya tertulis e. Dipersiapkan terlebih dahulu secara massal atau individual. 2. Perjanjian Asuransi ( diatur dalam asas kebebasan berkontrak Pasal 1338 (1) B.W. dan Syarat sahnya diatur dalam pasal 1320 B.W. Pengalihan tanggung gugat melalui perjanjian asuransi adalah
mengalihkan tanggung
gugatannya kepada pihak ketiga dengan siapa perjanjian asuransi itu diadakan. Perjanjian asuransi merupakan suatu perjanjian dimana pihak penanggung berjanji kepada pihak tertanggung untuk menerima sejumlah uang premi sebagai pengganti kerugian, yang mungkin akan diderita oleh tertanggung, karena akibat dari suatu peristiwa yang belum akan terjadi. Ada tiga unsur dalam perjanjian Asuransi yaitu : -
Pihak tertanggung yang berjanji akan membayar uang premi kepada penanggung
-
Pihak penanggung yang berjanji membayar sejumlah uang kepada pihak tertanggung
-
Suatu peristiwa yang semula belum tentu akan terjadi.
18
a. Jenis-jenis Asuransi Sebagaimana yang diatur dalam kitab Undang-Undang Hukum Dagang (W. v. K.), yaitu yang diatur dalam : 1. Buku I, Bab IX, tentang “Asuransi Pada Umumnya” (Pasal 246 sampai 286) 2. Buku I, Bab X, tentang “Asuransi Kebakaran, Bahaya hasil panen dan Asuransi Jiwa” (Pasal 287 sampai 308) 3. Buku II, Bab IX, tentang “Asuransi terhadap Bahaya Laut” (Pasal 592 sampai 685) 4. Buku II, Bab X, tentang “Asuransi Bahaya dalam Pengangkutan Darat dan Perairan Darat” (Pasal 686 sampai 695). Selain jenis asuransi diatas, ada juga asuransi yang diatur secara khusus dalam W.v. K. Pasal 246 sampai 286 antara lain : Asuransi terhadap Pencurian, kehilangan, keselamatan perusahaan, dan pertanggunggugatan terhadap pihak ketiga. Serta jenis Asuransi yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 33 dan Nomor 34 Tahun 1964, yaitu masing-masing tentang Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang dan Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan, serta Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 1977 tentang Asuransi Sosial Tenaga Kerja, yang kesemuanya merupakan asuransi wajib. b. Ganti Kerugian Secara garis besar asuransi dapat dibagi dua yaitu asuransi kerugian dan asuransi sejumlah uang. Asuransi kerugian merupakan asuransi suatu jenis asuransi yang dimaksudkan untuk memberikan ganti kerugian kepada pihak tertanggung yang mengalami kerugian akibat suatu kejadian yang ditanggung oleh penanggung. Sedangkan asuransi sejumlah uang yang salah satu jenisnya adalah asuransi jiwa, yaitu Perjanjian untuk mengadakan pembayaran sejumlah uang dengan menerima premi, dalam hubungan hidup dan wafatnya seseorang. Asuransi jiwa, yang merupakan asuransi yang berhubungan denga kematian seseorang tersebut, berdasarkan Pasal 302 W.v.K., dapat dibagi atas dua jenis, yaitu :
19
1. Asuransi jiwa yang diadakan selama hidup 2. Asuransi jiwa yang hanya berlangsung untuk jangka waktu tertentu, kecuali orang tersebut meninggal dunia sebelum jangka waktu tersebut berakhir. Pembayaran asuransi jiwa ini dilakukan sekaligus pada saat orang yang bersangkutan meninggal dunia atau dengan habisnya jangka waktu yang telah ditentukan.Pembayaran tersebut dilakukan terhadap ahli waris atau orang lain yang ditunjuk dalam polis asuransi.
c. Asuransi Wajib Asuransi wajib yang dikenal dalam perundang-undangan kita adalah : 1. Asuransi Kecelakaan Lalu Lintas Asuransi kecelakaan lalu lintas ini terdiri dari asuransi kecelakaan penumpang dan asuransi kecelakaan lalu lintas jalan, yang masing-masing diatur dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 1964 tentang Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang dan Undan-Undang Nomor 34 Tahun 1964 tentang Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan. 2. Asuransi Sosial Tenaga Kerja
20
Asuransi terhadap tenaga kerja, semula diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 1977 tentang Asuransi Sosial Tenaga Kerja, namun kaera peraturan Pemerintah tersebut dianggap belum lengkap, maka dikelurkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1992 tenyang Jaminan Sosial Tenaga Kerja. Berdasarkan Pasal I angka I UndangUndang tersebut, jaminan sosial tenaga kerja merupakan suatu perlindungan bagi tenaga kerja dalam bentuk santunan berupa uang sebagai pengganti sebagaian dari penghasilan yang hilang atau berkurang dan pelayanan sebagai akibat dari peristiwa atau keadaan yang dialami oleh tenaga kerja berupa kecelakaan kerja, sakit, hamil, bersalin, hari tua, dan meninggal dunia. Asuransi Konsumen/Asuransi Tanggung Gugat Produsen Peranjian asuransi yang diadakan konsumen adalah perjanjian asuransi yang dapat memberikan ganti kerugian manakala ia mengalami kerugian akibat penggunaan produk, sedangkan bagi Produsen adalah perjanjian asuransi yang dimaksudkan agar jika terjadi kerugian bagi konsumen akibat penggunaan produk yang menjadi tanggung gugat produsen, maka perusahaan asuransi membayar gnti kerugian tersebut kepada konsumen. Untuk asuransi konsumen, terdapat berbagai pilihan bentuk, yaitu : 1. Asuransi yang dilakukan secara sukarela (apabila yang melakukan perjanjian adalah produsen). 2. Asuransi wajib (apabila yang membayar premi adalah konsumen dan yang melakukan perjanjian adalah produsen). 3. Asuransi kerugian 4. Asuransi sejumlah uang 5. Campuran antara asuransi dengan sejumlah uang 6. Preminya dipungut dari konsumen, secara langsung 7. Preminya dipungut dari konsumen melalui produsen 8. Preminya dipungut dari produsen 9. Yang mengadakan perjanjian asuransi adalah konsumen, produsen, atau keduanya. Penyelesaian Sengketa Konsumen
21
1. Penyelesaian sengketa di luar Pengadilan Penyelesaian sengketa diluar pengadailan juga dikenal dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Lembaga yang menangani penyelesaian sengketa diluar pengadilan tersebut adalah “ Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen”. Hal ini diatur dalam Pasal 49 ayat (1), bahwa : “pemerintah membentuk Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen di Daerah Tingkat II untuk penyelesaian sengketa konsumen diluar pengadilan. Sedangkan tugas dan wewenangnya diatur dalam Pasal 52, sebagai berikut : a. Melaksanakan penanganan dan penyelesaian sengketa konsumen dengan cara melalui mediasi atau arbitrase atau konsiliasi. Mediasi (Penyelesaian sengketa yang telah dikenal dalam Undang-Ungang Nomor 23 Tahun 1997 tentang”Pengelolaan Lingkungan Hidup “ dan UndangUndang Nomor 25 Tahun1997 tentang”Ketenagakerjaan”. Mediasi merupakan cara penyelesaian sengketa yang fleksibel dan tidak mengikat serta melibatkan pihak netral, yaitu mediator, yang memudahkan negosiasi antara para pihak/membantu mereka dalam mencapai kompromi/kesepakatan. Keuntungan Penyelesian sengketa melalui mediasi : karena cara pendekatan diarahkan pada kerja sama untuk mencapai kompromi, sehingga masing-masing pihak tidak peril mempertahankan fakta dan bukti yang mereka miliki, serta tidak membela dan mempertahankan kebenaran masing-masing. Arbitrase ( cara penyelesaian sengketa perdata diluar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat para pihak yang bersengketa . Yang telah di bentuk Badan Arbitrase Nasional Indonesia (BANI) sejak 30 November 1977, berdasarkan Surat Keputusan Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Nomor SKEP/152/DPH/1977. Kelebihan arbitrase
: putusannya langsung final dan mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat para pihak.
Kelemahannya : Biaya mahal, dan penyelesaian lambat.
22
Konsiliasi (cara penyelesaian sengketa yang cara penyelesainnya sangat tergantung pada kesukarelaan para pihak. b. Memberikan konsultasi perlindungan konsumen c. Melakukan pengawasan terhadap pencantuman klausal baku d. Melaporkan kepada penyidik umum apabila terjadi pelanggaran dalam ketentuan ini. e. Menerima pengaduan baik tertulis maupun tidak tertulis, dari konsumen tentang terjadinya pelanggaran terhadap perlindungan konsumen f.
Melakukan penelitian dan pemeriksaan sengketa perlindungan konsumen
g. Memanggil pelaku usaha yang diduga melakukan pelanggaran terhadap perlindungn konsumen h. Memanggil dan menghadirkan saksi yang mengetahui pelanggaran i.
Meminta bantuan penyidik untuk menghadirkan pelaku usaha
j.
Mendapatkan, meneliti, menilai surat, dokumen atau alat bukti lain guna penyelidikan, atau pemeriksaan
k. Memutuskan dan menetapkan ada atau tidaknya kerugian di pihak konsumen l.
Memberitahukan putusan kepada pelaku usaha yang melakukan pelanggaran
m. Menjatuhkan sanksi administrative kepada pelaku usaha yang melanggar ketentuan undanh-undang ini. 2. Peradilan yang Sederhana bagi Konsumen Penyelesaian sengketa yang tidak diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen adalah small claim court atau small claim tribunal, yaitu Pengadilan yang tujuan utamanya adalah untuk mengadakan penyelesaian secara cepat dan murah terhadap sengketa yang tuntutannya dalam jumlah kecil. 3. Beban Pembuktian dalam Perkara Kerugian Konsumen Sebagai dasar pembebanan pembuktian dalam hukum acara perdata di Indonesia, berlaku asas umum beban pembuktian yang terdapat dalam pasal 163 H.I.R/283 Rbg/1865 B.W., yang menentukan bahwa : “ Barangsiapa yang menhgaku mempunyai hak atau yang mendasarkan pada suatu peristiwa
23
untuk menguatkan haknya itu atau menyangkal hak orang lain, harus membuktikan adanya hak atau peristiwa itu.” Walaupun ketentuan diatas dikenal sebagai asas beban pembuktian, namun tidak selalu tepat untuk dibebankan pada setiap perkara, karena disamping asas tersebut, terdapat ketentuan khusus yang lebih tegas, yaitu : a. Pasal 533 B.W. : Orang yang menguasai barang tidak perlu membuktikan itikad baiknya. Siapa yang mengemukakan adanya iktikad buruk harus membuktikannya. b. Pasal 535 B.W. : Bilamana seseorang telah memulai menguasai sesuatu untuk orang lain, maka selalu dianggap meneruskan penguasaan tersebut, kecualu apabila terbukti sebaliknya c. Pasal 1244 B.W. : Krediator dibebaskan dari pembuktian kesalahan debitur dalam hal adanya wanprestasi. Untuk membuktikan adanya hak konsumen, maka berdasarkan Pasal 1365 B.W., Konsumen tersebut harus membuktikan adanya kesalahan produsen yang mengakibatkan kerugian, atau dengan kata lain konsumen harus membuktikan : a. Adanya kesalahan/perbuatan melanggar hukum produsen b. Adanya kerugian konsumen c. Adanya hubungan kausal antara kesalahan produsen dengan kerugian konsumen. Konsumen hanya dibebaskan dari pembuktian yang demikian apabila kerugian yang dialami konsumen tersebut diakibatkan oleh wanprestasi produsen (Pasal 1244 B.W.). Berdasarkan UUPK, terdapat beberapa hal yang harus dibuktikan oleh produsen untuk dapat bebas dari tanggung gugat, apabila : a. Barang tersebut terbukti seharunya tidak diedarkan atau tidak dimaksudkan untuk diedarkan b. Cacat barang timbul dikemudian hari c. Cacat yang timbul akibat ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang
24
d. Kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen e. Lewatnya jangka waktu penuntutan 4 (empat) tahun sejak barang dibeli tau lewatnya jangka waktu yang diperjanjikan. REFLEKSI PRINSIP-PRINSIP PERLINDUNGAN HUKUM BAGI KONSUMEN DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA. A. Prinsip Perlindungan Kesehatan Prinsip perlindungan kesehatan/ harta konsumen tersebut dapat dilihat dari berbagai ketentuan hukum yang pada dasarnya juga dimaksudkan untuk memberikan perlindungan kepada konsumen, diantaranya adalah Pasal 36 dan Pasal 37 Undan-Undang Pangan, yaitu sebagai berikut : Pasal 36 : (1) Setiap pangan yang dimasukkan kedalam wilayak Indonesia untuk diedarkan wajib memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini dan peraturan pelaksanaanya (2) Setiap orang dilarang memasukkan pangan kedalam wilayah Indonesia dan/atau mengedarkan di wilayah Indonesia pangan yang dimasukkan ke wilayah Indonesia apabila pangan tersebut tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini dan peraturan pelaksanaanya. Pasal 37 : Terhadap pangan yang dimaksudkan kedalam wilayah Indonesia, sebagaimana dimaksud dalam pasal 36, Pemerintah dapat menetapkan persyaratan bahwa : a. Pangan telah diuji dan/atau diperiksa serta dinyatakan lulus dari segi keamanan, mutu atau giji oleh instansi yang berwenang di negara asal b. Pangan dilengkapi dengan dokumen hasil pengujian atau pemeriksan sebagaimana dimaksud pada huruf a;
25
c. Pangan terlebih dahulu di uji dan atau diperiksa di Indonesia dari segi keamanan, mutu, giji sebelum peredarannya. Selain Undang-Undang Pangan, ketentuan perlindungan kesehatan manusia melalui pengamanan makanan dan minuman juga dikenal dalam Undang-Undang Kesehatan, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 21 sebagai beikut : (1) Pengamanan makanan dan minuman diselenggarakan untuk melindungi masyarakat dari makanan dan minuman yang tidak memenuhi ketentuan mengenai standar atau persyaratan kesehatan (2) Setiap makanan dan miniman yang dikemas wajib diberi tanda atau label yang berisi : a. Bahan yang dipakai b. Komposisi setiap bahan c. Tanggal, bulan, dan tahun kedaluarsa d. Ketentuan lainnya (3) Makanan dan minuman yang tidak memenuhi ketentuan standar atau persyaratan kesehatan atau membahayakan kesehatan sebagaimana yang disebut dalam ayat (1) dilarang untuk diedarkan, ditarik dari peredaran, dan disita untuk dimusnahkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku (4) Ketentuan mengenai pengamanan makanan dan minuman sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), ayat (2), ayat (3) ditetapkan dengan peraturan pemerintah. B. Prinsip Perlindungan atas Barang dan Harga Ketentuan dalam UUPK yang melindungi konsumen dari penggunaan barang dari penggunaan barang yang tidak sesuai dengan standar yang ditentukan, adalah Pasal 8 ayat (1) a, yang menentukan bahwa pelaku usaha dilarang memproduksi dan/atau memperdagangkan barang dan jasa yang tidak memenuhi atau yang tidak sesuai dengan standar yang dipersyaratkan dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
26
Menyadari peranan standardisasi yang penting dan strategis tersebut, pemerintah dengan keputusan Presiden Nomor 20 Tahun 1984 yang kemudian disempurnakan dengan Keputusan Presiden Nomor 7 Tahun 1989 menentukan Dewan Standardisasi Nasional. Di samping itu, telah dikeluarkan pula Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1991 tentang Standar Nasional Indonesia (SNI) dan Keppres Nomor 12 Tahun 1991 tentang Penyusunan, Penerapan dan Pengawasan SNI dalam Rangka Pembinaan dan Pengembangan Standardisasi Secara Nasional. Dengan telah dibentuknya Dewan Standardisasi Nasional dan diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 15 Tahun 1991 tentang Standar Nasional Indonesia dan Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 1991 tentang Penyusunan, Penerapan dan Pengawasan SNI, yang kemudian ditindaklanjuti dengan Surat Keputusan Menteri Perdagangan Nomor 22/KP/II/95, maka mulai 1 Februari 1996 hanya ada satu standar mutu saja di Indonesia, yaitu SNI. Pemberlakuan SNI ini merupakan suatu usaha peningkatan mutu, yang disamping menguntungkan produsen, juga menguntungkan konsumen, tidak hanya konsumen dalam negeri, akan tetapi juga konsumen luar negeri, karena standar yang berlaku di Indonesia
telah
disesuaikan dengan standar mutu internasional, yaitu dengan telah diadopsinya ISO 9000 oleh Dewan Standardisasi Nasional dengan Nomor Seri SNI 19-9000:1992. Dimana ISO 9000 pada umumnya : 1. Mengatur kegiatan dari perusahaan dalam hal teknis, administrasi, dan sumber daya manusia yang mempengaruhi mutu produk dan jasa yang dihasilkan 2. Memberikan kepuasan kepada para pelanggan dan pemakai akhir 3. Penerapan konsep penghematan biaya dengan cara pelaksanaan pekerjaan yang benar pada setiap saat 4. Memberikan petunjuk tentang koordinasi antara manusia, mesin, dan informasi untuk mencapai tujuan standar 5. Mengembangkan dan melaksanakan sistem manajemen mutu untuk mencapai tujuan mutu dari perusahaan.
27
C. Prinsip Penyelesaian Sengketa Secara Patut Penyelesaian sengketa secara patut bagi konsumen yang mengalami sengketa dengan produsen dapat terlaksana manakala para pihak (konsumen dan produsen) mematuhi setiap ketentuan dalam undang-undang perlindungan konsumem.
FHU-WIN Pimer Purba April 2015
28