RESUME KECAMATAN SEBAGAI PUSAT PELESTARIAN DAN PENGEMBANGAN KEBUDAYAAN SERTA SEBAGAI SUMBER KEKUATAN DAN POTENSI DAERAH
A. Pendahuluan Salah satu kecenderungan yang tampak dengan jelas dari dinamika kehidupan manusia dewasa ini ialah perubahan-perubahan yang disebabkan oleh upaya-upaya manusia di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang berlangsung kian cepat. Perubahan-perubahan tersebut terasa besar sekali pengaruhnya bagi berbagai aspek kehidupan, termasuk di dalamnya adalah pengaruh yang tak terhindarkan pada kehidupan budaya daerah dengan berbagai segi, termasuk seni dan tradisi. Akibatnya, kita pun dihadapkan pada berbagai keniscayaan: penetrasi nilai-nilai baru yang avant garde
yang
acapkali
bertentangan
dengan
nilai
lama
yang
konvensional;
kecenderungan pragmatik, materialistik, dan hedonik yang menjadi dominan di tengah masyarakat yang semakin konsumeristik yang ujung-ujungnya sampai pada pemiskinan spiritual; dan sederet panjang fenomena lainnya. Oleh karena itu, upaya menempatkan kembali kebudayaan sebagai kerja perencanaan manusia berikut tindakan nyatanya demi kesejahteraan bersama, merupakan upaya yang tidak bisa ditunda-tunda. Persoalannya, imperatif yang bagaimanakah yang mestinya ditunaikan bersama agar masyarakat dengan budaya lokalnya memiliki ketahanan budaya yang tangguh dalam memasuki sejumlah proses yang tidak terhindarkan itu. Kebudayaan pada dasarnya merupakan kerja perencanaan manusia berikut tindakan nyata demi memenuhi kebutuhan hidup agar survive. Karenanya, produk budaya bisa saja bersifat material dan bisa pula nonmaterial, yang semuanya demi pemenuhan kebutuhan fisik ataupun kebutuhan rohani. Dalam kehidupan masyarakat secara umum, kebudayaan seringkali disalahartikan, dibatasi, atau hanya disamakan dengan kesenian. Pandangan ini tidak sepenuhnya keliru karena kesenian memang merupakan salah satu produk budaya yang di dalamnya juga terbayang adanya nilainilai dan aktivitas sosial. Karenanya, perlu ada upaya meluruskan agar proses dan produk budaya yang ada dapat diposisikan secara strategis. Artinya, di samping berbagai ragam seni, kebudayaan juga mencakupi hal-hal yang lain seperti tradisi masyarakat yang bersifat lisan dan turun-temurun, termasuk adat istiadat dan keyakinan-keyakinan yang diekspresikan melalui ritus-ritus tertentu. Dengan cara demikian, seluruh nilai budaya yang ada dapat dijadikan sumber kekuatan dan ketahanan masyarakat dalam membangun dirinya, terutama tatkala bersemuka dengan budaya lain yang bisa saja dalam sejumlah hal bersifat mengancam. Implikasinya, nilai 1
dan bentuk budaya lain pun dapat disaring dan diseleksi agar masyarakat tidak mengalami benturan, bahkan longsor budaya. Budaya lain bisa saja dikelola setepattepatnya dalam rangka memperkaya khasanah budaya yang ada dan sudah berurat berakar dalam masyarakat. Dengan cara demikian pula, masyarakat berbudaya sebagai cita-cita bersama diniscayakan dapat terwujud.
B. Pentingnya Pengembangan Budaya Potensi Lokal Keinginan untuk mengembangkan budaya dan potensi lokal, pada hakikatnya dapat dipertimbangkan sebagai salah satu sarana yang penting untuk menyeleksi, dan bukannya melawan, pengaruh budaya “yang lain, liyan”. Gerakan nativisme bisa saja dipandang naif, akan tetapi ia merupakan suatu reaksi logis apabila diletakkan dalam perspektif budaya yang berubah sangat cepat. Oleh karena itu, menggali dan menanamkan kembali (sebagai wujud upaya pengembangan) budaya dan potensi lokal dapat pula dikatakan sebagai gerakan kembali pada basis nilai budaya lokalnya sendiri sebagai bagian dari upaya membangun identitas. Fungsinya sebagai semacam filter dalam menyeleksi berbagai budaya “liyan”. Budaya dan potensi lokal itu meniscayakan fungsi yang strategis bagi pembentukan karakter dan identitas. Apa yang disebut sebagai budaya dan potensi lokal meniscayakan adanya muatan budaya masa lalu. Ini dapat juga berfungsi untuk membangun kerinduan pada kehidupan nenek moyang, yang menjadi tonggak kehidupan masa sekarang. Dengan cara demikian, kesadaran budaya dan sejarah dapat ditumbuhkan. Anggapan bahwa yang relevan dengan kehidupan hanyalah “masa kini dan di sini” juga dapat dihindari. Budaya dan potensi lokal dapat dijadikan jembatan yang menghubungkan antara masa lalu dan masa sekarang, antara generasi nenek moyang dan generasi sekarang, demi menyiapkan masa depan dan generasi mendatang. Di samping mempunyai arti penting bagi identitas daerah yang memilikinya, pengembangan
budaya
dan
potensi
lokal
memiliki
arti
penting
pula
bagi
berkembangnya budaya bangsa. Koreografi, musik, dan sastra yang menempatkan nilai-nilai lokal sebagai sumber inspirasi kreatif, misalnya saja, akan mendorong rasa kebanggaan masyarakat terhadap budayanya, dan sekaligus bangga terhadap daerahnya karena telah berperan serta dalam menyumbang pengembangan budaya secara luas. Karya-karya seni budaya yang digali dari sumber-sumber potensial yang bersifat lokal, jika ditampilkan dalam wajah atau wacana nasional niscaya memiliki sumbangan yang tidak sedikit bagi terciptanya identitas baru.
2
C. Beberapa Pilihan Strategis Dalam rangka pengembangan budaya dan potensi lokal demi pemenuhan fungsi kultural, edukatif, dan ideologis sebagaimana telah digambarkan di atas, kita perlu memilih strategi yang tepat dan jitu diantara sejumlah strategi yang tersedia. Yang jelas, upaya dan strategi apapun yang dilakukan dan dipilih hendaknya jangan sampai menjadi upaya penghapusan identitas (lokal tertentu). Nilai trans-lokal dan kesadaran multikultural tetap menjadi sandaran dan tujuan utama, apalagi ketika disadari bahwa proses global (-isasi) merupakan suatu keniscayaan. Pada hakikatnya, upaya pengembangan budaya dan potensi lokal termasuk kategori tindakan komposisi, yakni tindakan konstitutif dalam pengembangan budaya dan potensi lokal itu, atau dalam rangka yang lebih luas, yakni mengaitkannya dengan “yang lain” demi kepentingan yang lebih besar. Oleh karena itu, tindakan tersebut mengandaikan
tindakan
memilih-menolak,
menaikkan-menurunkan,
dan
atau
menggabungkan-memisahkan berbagai gagasan budaya dan potensi lokal. Dengan demikian, pemahaman bahwa setiap etnik lokal memiliki tema kulturalnya sendiri, menjadi penting. Pemahaman itu bukan hal yang mustahil karena tema kultural dalam masyarakat etnik tertentu diorganisasikan dalam pola yang dapat dipahami, dan pola atau bentuk kulturalnya diderivasikan dari pikiran objektif. Karena tema-tema kultural merupakan ekspresi gagasan atau nilai kultural, tema tersebut kadang tidak berbeda antara yang satu dan lainnya, bahkan berpotensi saling mempengaruhi. Itu sebabnya, sering terjadi penerimaan salah satu tema mengarahkan penolakan terhadap yang lain, dan realisasi penolakan tersebut bisa saja menuntut penerimaan yang berikutnya. Tema-tema kultural yang berbeda bisa saling melengkapi, tetapi bisa juga saling berlawanan. Dalam berbagai bentuk yang berbeda, tema-tema kultural mampu memainkan dirinya melawan yang lain. 1. Strategi Dualistik Ketika dua budaya dan potensi lokal dikompetisikan antara yang satu dan yang lain, konflik yang timbul dapat dipecahkan dalam sejumlah strategi yang berbeda. Dalam kaitan ini, terdapat tiga strategi yang bisa diambil dengan tetap mengakui eksistensi dua budaya dan potensi lokal yang berkompetisi dan mencoba menangani tuntutan keduanya. Ketiganya termasuk dalam kategori strategi dualistik. Pertama, strategi dengan keseimbangan, yakni penempatan dua budaya dan potensi lokal dalam keseimbangan. Kedua, strategi dengan penindasan, yakni ketika satu budaya dan potensi lokal ditinggalkan atau ditindas demi yang lain. Ketiga, strategi dengan subordinasi, yakni ketika satu budaya dan potensi lokal disubordinasikan bagi yang lain. 3
2. Strategi Monistik Di samping tiga strategi dualistik untuk memecahkan konflik-konflik tematis tersebut, masih terdapat tiga strategi lain yang termasuk dalam kategori strategi monistik. Pertama, strategi dengan peleburan, yakni ketika dua budaya dan potensi lokal yang berkompetisi dapat disatukan atau dileburkan menjadi satu. Doktrinnya bersifat univositas: dua hal diikat dalam satu semesta wacana. Kedua, strategi dengan penyingkiran, yakni ketika salah satu dari dua budaya dan potensi lokal yang berkompetisi disingkirkan. Ketiga, strategi dengan peresapan, yakni ketika salah satu dari dua budaya dan potensi lokal yang berkompetisi dapat diresapkan ke dalam yang lain. Tiga strategi ini berbeda dengan tiga cara terdahulu. Tiga cara ini dalam strateginya hanya menerima legitimasi satu tema dan tuntutannya. Di samping strategi-strategi yang sudah dikemukakan tersebut, dalam New Paradigm for Re-engineering Education, Ceng (2005) mengemukakan enam buah teori yang dapat diadaptasi dan dimanfaatkan sebagai alternatif model pengembangan budaya lokal. Model-model yang dimaksud; 1) model Pohon, 2) model Kristal, 3) model Sangkar Burung, 4) model DNA, 5) model Jamur, 6) model Amuba Keenam model pengembangan yang dikemukakan di atas dapat dijadikan alternatif pengembangan budaya lokal yang dipersiapkan demi ketahanan budaya masyarakat. Pilihan terhadapnya lebih ditentukan arah orientasi pengembangan budaya lokal dalam rangka keseluruhannya, yakni konstelasinya dalam sistem budaya nasional dan global. Berdasarkan luasnya dependensi pengetahuan global dan orientasi nilai dan kultur lokal, tampak bahwa model amuba dan jamur kurang relevan dan kurang signifikan karena dependensi globalnya sangat kuat. Model pohon, kristal, dan sangkar burung memiliki orientasi lokal lebih kuat, sedangkan model DNA terletak di antara dua kelompok tersebut.
D. Kehidupan Seni Budaya Seni budaya dan tradisi di wilayah Kabupaten Sleman dewasa ini mengalami berbagai perubahan. Perubahan yang terjadi antara lain punahnya sejumlah tradisi yang ada, baik yang berupa kesenian maupun tradisi yang pernah ada. Di samping itu, terdapat pula berbagai pengembangan seni dan tradisi yang ada. Keadaan
tersebut
disebabkan
oleh
berbagai
hal,
antara
lain
akibat
industrialisasi. Sebagian masyarakat memandang semua hal yang dihasilkan berkaitan dengan kemajuan ekonomi. Akibatnya, perilaku dan pandangan dunia masyarakat pun berubah. Selalu saja terdapat penghitungan untung rugi untuk setiap hal yang dilakukan. Semula kesenian yang ada difungsikan dalam pemenuhan kebutuhan naluri 4
manusia, yakni kebutuhan akan keindahan, bahkan religi. Untuk itu, masyarakat rela menyisihkan uang untuk pemenuhan kebutuhan tersebut. Berikut ini data seni budaya yang ada di Kabupaten Sleman didasarkan pada kegiatan seni budaya yang ada. Tabel 1 Jenis Kegiatan yang Terdapat di Kabupaten Sleman
Kesenian
Jenis Kegiatan Daur Tradisi Kehidupan Masyarakat Brokohan Sadranan Merti Selapanan Desa/Dusun
1.
Karawitan
2.
Campursari
3.
Kroncong
Tingkeban
4.
Macapat
5.
Jathilan
6. 7. 8.
Pedalangan Reyog Sholawat
9.
Hadroh
Tedhaksiten Saparan Suran Bathok Kenduri Bolu Slametan Suran Sepasaran Labuhan Susupan Pager Bumi Bersih Dusun Ki Aqiqohan Ageng Tunggul Wulung Supitan Mbah Bregas Nikahan Tuk Si Bedug Suran Mbah Ruwatan Demang Saparan Ruwahan Bekakak Haul Kyai Nuriman Mlangi Haul Habib Ahmad Kirab Budaya Mbah Bokari Kirab Budaya Haul Demang Randugapuk Haul KHM Barnawi Sadranan Kali Bulus Saparan Ki Ageng Wonolelo Dandan Kali Sadranan Agung Wotgaleh Ngrowhod Saparan Kwagon Sadranan Makam Suruh
10. Qasidah 11. Srandul 12. Kethoprak 13. Dhadungawuk 14. Badui 15. Kuda Lumping 16. Angguk 17. Cokekan 18. Wayang Wong 19. Terbangan 20. Larasmadya 21. Tari 22. Dayakan 23. Samroh 24. Kubra 25. Bregada 26. Emprak
Wiwit
Kemasyarak atan Desa LPMD Karang Taruna Kelompok Tani PKK
Tingkat Dusun Ronda Gotongroyong
Sinoman
Sambatan
Koperasi Takmir Linmas
Jagongan Kerja bhakti
Bakti sosial Arisan
USEP Gapoktan KUBE BPD Paguyuban
5
27. Kuntulan 28. Trengganon 29. Incling 30. Thek-thek 31. Teater 32. Gejog Lesung 33. Rebana 34. Wayang Golek 35. Srunthul 36. Jabur 37. Peksimoy 38. Nasyid Sumber: Kecamatan se-Kabupaten Sleman Tahun 2011
E.
Kesenian Selanjutnya untuk melihat kegiatan seni budaya yang dilakukan oleh masyarakat yang ada pada setiap kecamatan di wilayah Kabupaten Sleman, seperti terlihat pada tabel di bawah ini: Tabel 2 Jenis Kesenian
Jenis kesenian
D
N
G
N
P
M
P
K
C
T
S
M
G
T
B
M
S
e
g
o
g
r
o
a
a
a
u
e
i
a
e
e
l
l
p
e
d
a
a
y
k
l
n
r
y
n
m
m
r
a
e
o
m
e
g
m
u
e
a
g
i
e
g
p
p
b
t
m
k
p
a
l
b
d
m
s
k
g
g
i
e
a
i
a
l
n
l
h
a
i
a
a
a
r
a
i
n
k
n
n
n
i
n
r
g
k
a
n
N
g
n
a n 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
1.
Karawitan
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
2.
Campursari
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
3.
Kroncong
v
v
v
v
v
v
v
4.
Macapat
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
5.
Jathilan
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
6.
Pedalangan
v
v
v
v
v
7.
Reyog
v
v
8.
Sholawat
v
v
v
v
v
v
v
v
9.
Hadroh
v
v
v
v
v
v
v
v
10.
Qasidah
v
v
v
11.
Srandul
v
12.
Kethoprak
v
13.
Dhadhungawuk
14.
Badui
v v
v
v v
v
v
v
v v
v
v v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v v
v
v
v
v v
v
v
v
6
15.
Kuda Lumping
16.
Angguk
17.
Cokekan
18.
v
v
v
v
v
v
v
v
v
Wayang Wong
v
v
v
v
19.
Terbangan
v
v
v
v
v
20.
Larasmadya
v
v
v
v
21.
Tari
v
v
v
22.
Dayakan
v
23.
Samroh
24.
Kubra
25.
Bregada
26.
Emprak
v
27.
Kuntulan
v
28.
Trengganon
v
29.
Incling
v
30.
Thek-thek
31.
Teater
32.
Gejog Lesung
v
33.
Rebana
v
v
34.
Wayang Golek
v
v
35.
Srunthul
v
36.
Jabur
37.
Peksimoy
38.
Nasyid
v
v
v
v v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v
v v
v
v
v
v
v
v
v
v v
v
v
v v v
v
v
v v v
v
v
v
v
v
v
v
v v v v
v
v
v
v
v
Sumber: Kecamatan se-Kabupaten Sleman Tahun 2011
Dari data di atas terlihat adanya beberapa jenis kesenian yang ada di setiap kecamatan, namun juga ada jenis kesenian yang dilakukan pada kecamatan tertentu. Terjadinya kesamaan berbagai jenis kesenian pada setiap kecamatan seperti: macapat, sholawat, hadroh, jathilan ini menggambarkan adanya duplikasi dalam kegiatan berkesenian. Hal ini lebih disebabkan oleh adanya komunikasi sosial diantara warga masyarakat dan juga kesadaran masyarakat akan pentingnya hidup berkesenian sehingga ketika suatu jenis kesenian muncul dan hidup berkembang dalam kelompok masyarakat
di
suatu
daerah,
maka
masyarakat
di
wilayah
lain
juga
ingin
mengembangkannya. Berdasarkan data di atas, maka jenis kesenian yang banyak dilakukan oleh masyarakat di Kabupaten Sleman adalah: 1) karawitan, 2) macapat, 3) shalawat, 4) campursari, 5) jathilan, dan 6) hadroh. Selain kesenian yang banyak dimiliki oleh setiap kecamatan, ada beberapa jenis kesenian yang hanya dimiliki oleh kecamatan tertentu. Jenis kesenian tersebut yaitu:
7
1. Dhadhungawuk: Kecamatan Godean dan Kalasan 2. Angguk: Kecamatan Ngaglik dan Pakem 3. Emprak: Kecamatan Seyegan dan Mlati 4. Kuntulan: Kecamatan Seyegan dan Minggir 5. Trengganon: Kecamatan Minggir 6. Incling: Kecamatan Minggir 7. Jabur: Kecamatan Minggir 8. Peksimoy: Kecamatan Tempel 9. Teater: Kecamatan Mlati Dari data di atas dapat dilihat bahwa jenis kesenian yang hanya dimiliki oleh kecamatan tertentu dan tidak terdapat di kecamatan lain, kemudian dapat dijadikan ciri khas dan identitas bagi kecamatan yang memilikinya. Adanya dukungan dan motivasi dari masyarakat pelaku kesenian ini, niscaya akan menjadikan kesenian tersebut tetap terjaga kelestariannya.
F.
Upacara Adat Individual Upacara adat sebagai implementasi kepercayaan dan rasa syukurnya kepada Tuhan diwujudkan dalam berbagai bentuk tradisi. Upacara adat yang merupakan rangkaian dan daur kehidupan manusia diselenggarakan secara berurutan yang dimulai dari upacara pernikahan. Upacara adat yang masih ada dalam kehidupan masyarakat ada yang dilakukan oleh perorangan anggota masyarakat, namun juga ada yang dilakukan secara kolektif dalam masyarakat satu desa secara bersama-sama. Upacara adat seperti: manten, tingkeban, sepasaran, dan sebagainya, masih banyak dilakukan oleh masyarakat di wilayah Kabupaten Sleman, meskipun tidak setiap masyarakat melakukannya. Hasil yang diperoleh dari beberapa narasumber dikatakan bahwa ada sebagian masyarakat yang beranggapan bahwa peristiwa tersebut merupakan hal yang memang harus dijalani dalam kehidupan. Namun, kelompok masyarakat lain ada juga yang beranggapan bahwa upacara adat merupakan hal yang istimewa dalam kehidupan ini sehingga harus dilaksanakan dan diperingati. Tabel berikut ini menunjukkan jenis kegiatan adat yang bersifat individual.
8
Tabel 3 Kegiatan Adat Bersifat Individual Jenis Kegiatan Budaya 1.
Brokohan
2.
Selapanan
3.
Tingkeban (mitoni)
4.
Tedhaksiten
5.
Kenduri
6.
Slametan
7.
Sepasaran
8.
Susupan
9.
Aqiqohan
10.
Supitan
11.
Nikahan
12.
Ruwatan
13.
Ruwahan
Sumber: Kecamatan se-Kabupaten Sleman Tahun 2011
F.
Fungsi Seni Budaya dan Tradisi Seni dan tradisi merupakan bagian budaya yang muncul dalam masyarakat agraris sehingga seni dan tradisi tersebut merupakan resitasi yang berpijak pada tradisi lokal masyarakat agraris. Penyajian seni dan tradisi sebagian dapat dipandang sebagai bagian dari pelaksanaan ritual, meskipun ada juga penyajian seni dan tradisi tersebut hanya sekadar sebagai tontonan atau hiburan pada acara-acara suatu perhelatan. Karena merupakan bagian dari pelaksanaan ritual, penyajian seni dan tradisi tertentu bermuatan norma dan nilai-nilai kearifan lokal yang berlaku dalam masyarakat pendukungnya dan amat dijunjung tinggi oleh pelaku seni dan amat dipahami oleh masyarakat pendukungnya. Kenyataan semacam itu juga dapat ditemukan di kawasan geokultural Kabupaten Sleman. Sebagai bagian dari kegiatan ritual, pementasan seni tertentu atau pelaksanaan tradisi tertentu lebih mengutamakan aspek kemasyarakatan atau kegotongroyongan antarwarga. Hal itu disebabkan kegiatan ritual yang melibatkan pementasan seni dan tradisi tersebut merupakan hajat bersama masyarakat setempat. Sebagai misal adanya kegiatan bersih desa yaitu kegiatan ritual yang dilaksanakan oleh sekelompok masyarakat untuk memohon keselamatan seluruh warga. Sebagai bentuk hajat 9
bersama masyarakat secara suka rela merancang wujud kegiatan, waktu, bahkan sampai masalah pembiayaan tanpa memikirkan untung rugi. Bagi masing-masing warga yang diutamakan adalah terlaksananya kegiatan bersama tersebut. Mereka memposisikan
seni
sebagai
sarana
untuk
melabuhkan
harapan
untuk
bisa
menjaga/melestarikan budaya, di samping sebagai sarana untuk menghilangkan kepenatan batinnya. Selain upacara adat yang diuraikan sebelumnya, penggunaan bahasa Jawa sebagai pengantar dalam interaksi antaranggota masyarakat dalam kehidupan seharihari merupakan tradisi yang berlaku kuat. Bahasa Jawa yang memiliki tingkatan bahasa mengandung unsur ajaran tata kehidupan manusia serta nilai-nilai moral perlu mendapatkan perhatian secara khusus. Hal ini disebabkan semakin berkurangnya penggunaan bahasa Jawa khususnya di kalangan generasi muda. Pelajaran bahasa Jawa yang sangat terbatas waktunya di sekolah dan digunakannya bahasa pengantar bahasa Indonesia di sekolah menjadikan generasi muda tidak lagi memahaminya. Namun demikian, penggunaan bahasa Jawa ini masih dipertahankan oleh masyarakat di wilayah Kabupaten Sleman. Bahasa Jawa sebagai media komunikasi yang dimiliki oleh masyarakat suku Jawa memiliki peranan dalam kehidupan masyarakat. Tidak hanya sekedar sebagai media komunikasi antaranggota masyarakat, namun dibalik penggunaan bahasa tersebut ada etika yang berlaku. Nilai etika yang terkandung dalam penggunaan bahasa Jawa ini dapat terlihat ketika anak muda harus menghormati orang tua pada saat harus berkomunikasi menggunakan bahasa Jawa. Gradasi atau tingkatan dalam bahasa Jawa secara jelas menunjukkan tatanan etika bagi masyarakat Jawa sebagai pengguna bahasa tersebut. Bagi masyarakat di pedesaan, penggunaan bahasa Jawa sebagai pengantar untuk berkomunikasi tetap dipertahankan. Data yang diperoleh dari para narasumber menjelaskan bahwa dalam keseharian masyarakat di wilayah pedesaan masih tetap menggunakan bahasa Jawa. Bahkan dalam acara-acara bersama seperti dalam masyarakat seperti rembug desa, kenduren, ataupun dalam upacara adat seperti manten, syawalan, dan sebagainya, masih tetap menggunakan bahasa Jawa. Oleh sebab itu, bahasa Jawa sebagai salah satu kekayaan budaya yang dimiliki oleh masyarakat suku Jawa, tidak hanya sekedar media komunikasi namun juga nilai etikanya, perlu untuk tetap dipertahankan dan disampaikan pada generasi muda agar mereka dapat mempertahankan sebagai salah satu kekuatan budaya masyarakat.
10
H. Penutup 1. Eksistensi seni budaya dan tradisi selalu berada dalam jaringan strategis, baik dalam relasi dan interaksinya dengan seni lain maupun dalam relasi dan interaksinya dengan fenomena budaya yang lebih luas. Karenanya, kekhasan eksistensi tersebut harus dijaga keberlangsungan-nya. Konsekuensinya, seni budaya dan tradisi harus mampu mengatasi situasi-situasi batas yang mengekangnya yang berpeluang muncul akibat “ada bersama” tersebut, secara terus-menerus. 2. Upaya pengembangan seni budaya dan tradisi selalu merupakan kesatuan yang padu antara gagasan dan wujud nyata, yang secara metodologis bertolak pada prinsip aksi dan refleksi. Tindakan-tindakan konkret dilakukan berbarengan dengan ditumbuhkannya kesadaran terhadap realitas yang “mengepungnya”, yang tidak sebatas pada realitas seni budaya. Untuk itu, cara dan bentuk upaya pengembangan hendaknya
dilakukan
secara
strategis,
tersistem,
berkesinambungan,
dan
melembaga. 3. Untuk saat ini dan mendatang, terdapat sejumlah perspektif dan konteks penting yang perlu diperhitungkan: (1) menguatnya ideologi multikulturalisme sebagai akibat globalisasi, yang memberi peluang munculnya rezim global berikut dampaknya dalam hampir semua aspek kehidupan; (2) pentingnya wacana kemandirian dalam berbagai aspek di tengah kehidupan budaya yang berkembang di masyarakat. 4. Pentingnya pengembangan untuk melaksanakan dan menghasilkan aktivitas dan produk seni budaya dan tradisi yang berkualitas, memiliki keunggulan kompetitif, dan selalu diupayakan menuju bobot yang diakui dalam berbagai tingkatan. Konteks dan perspektif
ini
diharapkan
mampu
menjaga
relevansi
semua
bentuk
pengembangannya. 5. Pentingnya pengembangan yang dilakukan diarahkan pada, atau sekaligus merupakan gerakan penyadaran di kalangan seluruh unsur penyangga seni budaya dan tradisi itu sendiri. Oleh karena itu, pengembangan seni pertunjukan hendaknya diperhitungkan sebagai upaya sinergis yang
mengacu pada prinsip partisipatif-
demokratif, dengan mengesampingkan kehendak menjadi superordinat bagi unsur lainnya. 6. Dalam kaitannya dengan perspektif dan konteks pengembangan seni budaya dan tradisi dapat diposisikan secara strategis, baik dalam perspektif ekspresif maupun apresiatif, baik secara tekstual maupun kontekstual. Artinya, berbagai bentuk komunikasi artistik dalam dan lewat seni budaya dan tradisi sudah seharusnya diarahkan pada tumbuh-kembangnya kesadaran budaya. Berbagai seni pertunjukan diharapkan
mampu
mengubah
dan
memperbaharui
keadaan,
sekaligus 11
menyadarkan dan membebaskan subjek-subjek yang terlibat di dalamnya agar tidak terperangkap dalam situasi menjadi manusia yang terasing dari realitas dirinya, yang “menjadi ada” dalam pengertian “menjadi seperti (orang lain) dan bukan dirinya sendiri”. 7. Ekspresi dan apresiasi seni budaya dan tradisi hendaknya menghindari sifat satu arah, kognitif, dan eksklusif, di samping harus juga menghindari superioritas, primordialisme, dan eksklusivisme nilai tertentu. Pengembangan yang bersifat multikultural, multilingual, dan multidimensional merupakan salah satu jalan yang bisa ditempuh. Melaluinya, pemahaman nilai-nilai bersama dan upaya kolaboratif mengatasi masalah-masalah bersama diupayakan, potensi nilai yang bersifat transdicahayakan, dan tegur-sapa yang ramah menjadi etikanya.
DAFTAR PUSTAKA 1.
Anderson, Benedict. (1993). Komunitas-komunitas Imajiner: Renungan tentang Asalusul dan Penyebaran Nasionalisme. Edisi bahasa Indonesia, diterjemahkan oleh Omi Intan Naomi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar & Insist Press.
2.
Cheng, Yin Cheoong. (2005). New Paradigm for Re Engineering Education. Netherlands. Published by Springer.
3.
Geertz, Hildred. (1985). Keluarga Jawa. Jakarta: Grafiti Press.
4.
Huberman, Mattew. (1992). Kualitatif Analysis Method. New York: Columbia University Press.
5.
Laksono, P.M. (1985). Tradisi dalam Struktur Masyarakat Jawa Kerajaan dan Pedesaan. Alih-ubah Model Berpikir Jawa. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
6.
Lombards, Denys. (1996). Nusa Jawa: Silang Budaya. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
7.
Magnis-Suseno, Franz. (1978). Etika Jawa. Jakarta: Gramedia.
8.
Sayuti, Suminto A. (2000). “Menuju Situasi Sadar Budaya: Antara “Yang Lain” dan Kearifan Lokal.” Makalah untuk Dialog Budaya, Pusat Studi Budaya Lemlit UNY, 26 Oktober 2000.
9.
__________. (2007). “Teater Tradisi Jawa di Era Global: Butir-butir Penting untuk Mengatasi Konflik Kultural.” Makalah yang disampaikan di ISI Surakarta tanggal 28 Juli 2007.
10. __________. (2007). “Bahasa, Identitas, dan Kearifan Lokal dalam Perspektif Global.” Makalah untuk Kongres Bahasa Cirebon, tanggal 2 Agustus 2007. 11. __________. (2009). “Pengembangan Budaya dan Potensi Lokal.” Makalah yang disampaikan pada Pendidikan Kesadaran Bela Negara bagi Pemuda Tingkat Nasional Tahun 2009, Kementerian Negara Pemuda dan Olahraga bekerja sama dengan Departemen Pertahanan, 25 Maret 2009. 12. __________. (2009). “Kearifan Lokal dan Kita.” Makalah untuk Seminar Ilmiah Budaya Nasional yang diselenggarakan oleh Badan Eksekutif Mahasiswa FBS UNY, tanggal 29 Oktober 2009.
12
13. __________. (2011). “Pengembangan dan Pemanfaatan Kearifan Lokal dalam Proses Pendidikan.” Makalah Seminar Nasional, 30 April 2011. Lembaga Kebudayaan Universitas Muhammadiyah Malang. 14. __________. (2011). “Pluralitas, Pendidikan Seni, dan Character Building”. Makalah Seminar Nasional, 9 November 2011. Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta. 15. Seung, T.K. (1982). Semiotic and Thematics in Hermenetics. New York: Columbia University Press.
13