5 Restrukturisasi Korporat Pertamina Dari Legacy ke Imperatif Baru
299
Dari Penelitian ke Korporasi dan Diplomasi | Prof. Riset Dr. Maizar Rahman
Restrukturisasi Korporat Pertamina Dari Legacy ke Imperatif Baru Catatan: Sebagian besar tulisan ini diringkas dari buku putih DKPP (Dewan Komisaris Pemerintah untuk Pertamina) yang berjudul “Restrukturisasi Korporat Pertamina,Dari Legacy Ke Imperatif Baru” (179 halaman) yang disusun pada tahun 2003 oleh Tim Penyusun Buku Putih DKPP yang diketuai Maizar Rahman, serta naskah ditulis oleh Anwari WMK. Buku tersebut merupakan penuangan dari wawancara kepada para mantan Ketua DKPP yang juga mantan Menteri Pertambangan dan Energi atau Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, para anggota DKPP dan Direktur Utama Pertamina pada waktu itu, Baihaki Hakim. Ringkasan ini mungkin memiliki banyak kekurangan yang dapat menghilangkan beberapa substansi penting, serta juga dapat mengubah gaya penulisan penulis utama, Pak Anwari WMK. Karena itu untuk pemahaman yang lebih komprehensif dapat merujuk buku aslinya.
Pertamina dan Perubahan Undang-Undang Migas
S
ejak Pertamina dibentuk dengan Undang-undang No. 8 Tahun 1971, yang kadang-kadang disebut juga undang-undang Pertamina, maka perusahaan ini diberi kewenangan yang sangat luas dan tanggung jawab yang besar untuk menangani pengusahaan minyak dan gas di negara ini. Undang-undang tersebut memberi tugas Pertamina sebagai pemain sekaligus regulator, dan juga bertanggung jawab atas penyediaan bahan bakar minyak di dalam negeri. Kelahiran ketentuan legal tersebut dijiwai harapan pengelolaan sumber daya migas untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dengan mewakilkannya kepada badan usaha yang dinilai mampu serta memahami hakikat hubungan abadi antara alam dan bangsa Indonesia. Dalam perjalanannya, sumbangan besar Pertamina terhadap perekonomian nasional dan terhadap pembangunan bidang sosial adalah wujud nyata kontribusi Pertamina. Namun di lain pihak, seperti dikatakan Prof.Dr.M.Sadli (mantan Ketua DKPP dan mantan Menteri Pertambangan dan Energi), Pertamina terlalu jauh diskenariokan untuk memainkan peran sebagai kas
300
Restrukturisasi Korporat Pertamina Dari Legacy Ke Imperatif Baru
ataupun pundi-pundi kekayaan dan “sapi perah” rezim orde baru. Hal ini salah satu hal yang melumpuhkan Pertamina untuk mandiri dan rendah daya saingnya dibandingkan Petronas misalnya. Dengan berlakunya Undang-undang No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi, maka Pertamina mau tidak mau harus meninggalkan bentuknya yang lama dan beralih menjadi PT Pertamina (Persero). Sejak itu berarti Pertamina mulai memasuki era dan paradigma baru dengan tantangan dan masalah yang berbeda, yang kesemuanya itu perlu dihadapi dengan visi, misi, nilai-nilai dan strategi yang baru pula. Boleh dikata, UU No. 22 Tahun 2001 merupakan antitesis terhadap UU No. 8 Tahun 1971, yang mendekonstruksi hampir secara total orientasi dan hegemoni Pertamina. Pertamina setelah itu hanya boleh tampil sebagai pemain dalam industri migas, setara dengan pemain-pemain lainnya. Sebetulnya, sebelum undang-undang baru itu keluar, Pertamina sudah mewacanakan restrukturisasi yang deksplisitkan sebagai “ paradigma baru”, yaitu agar kontrol terhadap Pertamina tidak seluruhnya merupakan kontrol politik tapi juga kontrol yang dapat menjamin tegaknya akuntabilitas dan efektivitas manajemen agar Pertamina juga mampu muncul sebagai perusahaan yang berorientasi profit. Munculnya wacana tersebut juga oleh perubahan cepat yang terjadi pada korporasi-korporasi migas lainnya. Maka pada awalnya, restrukturisasi didasarkan pada tujuan optimasi demi melanjutkan keberhasilan peran Pertamina pada era Pembangunan Jangka Panjang I. Optimasi tersebut mencakup faktor-faktor internal seperti sumber daya manusia, bahan baku, manajemen produksi, manajemen keuangan, struktur organisasi, segmentasi dan pemasaran dan isu-isu khusus. Sedangkan faktor-faktor eksternal yang berpengaruh adalah ekonomi, politik, industri, teknologi dan pesaing. Adanya liberalisasi ekonomi juga menyadarkan Pertamina bahwa perusahaan ini tidak bisa hanya berlandaskan pada payung perlindungan politik dan yang diistimewakan. Perusahaan tidak hanya melihat jangka pendek tapi juga mengadop konsep, strategi dan rencana jangka panjang. Dengan demikian terjadilah pembentukan beberapa strategic business unit.
301
Dari Penelitian ke Korporasi dan Diplomasi | Prof. Riset Dr. Maizar Rahman
Wacana restrukturisasi tersebut ternyata hanya tinggal sebagai embrio yang tidak utuh,dan tidak berpihak pada paradigma yang holistik. Hal ini karena naungan UU Nomor 8 Tahun 1971 yang memberi tugas pengelolaan kekayaan sumber daya Migas dan penyediaan BBM di dalam negeri yang ternyata tidak mampu memberikan keunggulan kompetitif kepada perusahaan. Juga, makrokosmos ekonomi politik pada pertengahan 90’an membuat sangat muskil bagi Pertamina untuk dilepaskan “merdeka” menjadi persero. Rezim kekuasaan pada waktu itu tidak memungkinkan hal tersebut. Posisi Pertamina sangat penting menurut perspektif rezim kekuasaan, yang karena itu harus dijaga establishment-nya yang “unik” sebagai perusahaan negara. UU No. 22 tahun 2001 dilahirkan untuk merespons apa yang disebut sebagai “perkembangan nasional dan internasional” demi menciptakan pola pengusahaan migas yang mandiri, andal, transparan, berdaya saing, efisien dan berwawasan pelestarian lingkungan serta mendorong perkembangan potensi dan peranan nasional. Karena itu UU tersebut merupakan kekuatan pengubah eksternal bagi Pertamina sehingga harus melakukan penyesuaian diri secara drastis dan harus memikul berbagai implikasi yang ditimbulkan dengan lepasnya fungsi perusahaan ini sebagai regulator di hulu dan lepasnya monopoli produksi bahan bakar minyak di hilir. Pertamina lalu berada pada situasi time of no return untuk mentransformasi dirinya menjadi perseroan terbatas dan harus menentukan pilihan-pilihan strategis dalam menghadapi masa depannya, baik di hulu maupun hilir. Di lain pihak, UU No. 22 tahun 2001 mendorong lahirnya sebuah momentum bagi Pertamina untuk mereposisi dirinya paralel dengan yang harus dilakukan oleh perusahaan-perusahaan minyak asing, dan mengharuskan Pertamina melakukan otokritik demi mempersiapkan diri memasuki persaingan pasar bebas, dan memungkinkan Pertamina memasuki suatu optimisme baru. Di samping itu harapan filosofis negara terhadap masa depan Pertamina tidaklah mati dan masih bermuatan optimisme bahwa bagaimanapun statusnya, tetap diharapkan sebagai representasi negara bagi pengelolaan dan pengusahaan kekayaan alam migas dan mengoptimasikan pemanfaatan migas untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
302
Restrukturisasi Korporat Pertamina Dari Legacy Ke Imperatif Baru
Suasana salah satu rapat DKPP (Dewan Komisaris Pemerintah Untuk Pemerintah) tahun 2003, dipimpin oleh Ketua DKPP, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Purnomo Yusgiantoro, dan Direksi Pertamina dipimpin Direktur Utama, Baihaki Hakim
303
Dari Penelitian ke Korporasi dan Diplomasi | Prof. Riset Dr. Maizar Rahman
Tantangan Pertamina di Masa Depan Sebagai implementasi dari undang-undang yang baru tersebut, terbitlah Peraturan Pemerintah Nomor 31 tahun 2003. Isinya tentang pengalihan Pertamina menjadi perusahaan perseroan atau persero, yang menegaskan bahwa perusahaan ini a) mengusahakan keuntungan berdasarkan prinsip pengelolaan perusahaan secara efektif dan efisien, dan b) memberikan kontribusi dalam meningkatkan kegiatan ekonomi untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Namun peran Pertamina dalam penyediaan dan pelayanan bahan bakar minyak masih sangat diandalkan sehingga walaupun sudah berupa persero, perusahaan ini masih diberi beban tersebut sebagai Public Service Obligation (PSO) yang tentu saja merupakan beban yang bersifat politis. Sebaliknya Pertamina harus memanfaatkan status ini untuk memperkuat posisinya dalam penanganan sektor hilir. Prof. Dr. Subroto, mantan Menteri Pertambangan dan Energi dan Ketua DKPP, menyarankan agar ada perhatian yang seksama terhadap evolusi perkembangan migas di dunia untuk memberikan tempat yang tepat terhadap peran Pertamina di masa depan. Perjuangan negara-negara berkembang penghasil minyak berpengaruh terhadap terbentuknya dimensi global industri migas. Sebelum tahun 1972, harga minyak dunia ditentukan oleh raksasa minyak dunia yang dikenal sebagai seven sisters. Negara-negara penghasil minyak hanya dapat sebagian kecil dari total penghasilan minyak, dan dengan harga minyak hanya satu dollar per barel. Sejak tahun 1973, perkembangan ekonomi-politik kemudian mengkoreksi dengan hebat situasi tersebut. Peristiwa embargo minyak pada waktu perang Arab-Israel mampu menaikkan harga dari 1,5 dolar menjadi 11,5 dolar dan menyadarkan negaranegara produsen akan nilai kedaulatan pada kekayaan alam mereka serta arti penting mereka bagi kelanjutan industri minyak dunia. Kejadian tersebut juga menunjukkan bahwa dasar-dasar globalisasi sudah ada sejak lama. Subroto menambahkan bahwa dengan tingginya harga minyak muncul pukulan balik dari negara-negara industri di Barat terhadap negara-negara berkembang produsen minyak, misalnya timbulnya eksplorasi di wilayah frontier di berbagai negara seperti Northway, Gulf of Mexico, Alaska, dikembangkannya energi alternatif seperti gas dan energi terbarukan,
304
Restrukturisasi Korporat Pertamina Dari Legacy Ke Imperatif Baru
sehingga harga minyak menyentuh titik terendah, 10 dolar per barel pada bulan Oktober 1986. Situasi harga yang sangat fluktuatif tersebut, sebagai bagian dari perkembangan global, sangat berpengaruh kepada perekonomian nasional yang sangat tergantung kepada minyak bumi. Maka, tinjauan yang dikemukakan Subroto di atas mengindikasikan adanya satu hal, bahwa manakala Pertamina benar-benar memasuki kancah liberalisasi dan globalisasi perekonomian sekarang ini, terdapat begitu banyak cermin yang dapat difungsikan untuk mengaca diri. Menurut Ketua DKPP (Dewan Komisaris Pemerintah untuk Pertamina) yang juga Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral waktu itu, Purnomo Yusgiantoro, ke depan Pertamina akan lebih fleksibel, justru untuk menghadapi makin banyak tantangan. Pertamina akan dapat memperoleh pinjaman tanpa harus minta izin Pemerintah, akan dapat memperoleh keuntungan dalam bisnis di sektor hilir, tidak sekadar kompensasi cost and fee dari Pemerintah. Dengan status sebagai persero, beban pajak Pertamina yang semula mencapai 60% akan menjadi 35% seperti perusahaan-perusahaan lainnya. Pengalaman yang panjang di sektor hilir membuat Pertamina berada di garda depan dalam penyediaan bahan bakar migas di seluruh wilayah Indonesia yang akan menjadi modal utama. Namun di sektor hulu Pertamina harus meningkatkan kemampuannya, melalui penguasaan teknologi yang didukung sumber daya manusia yang handal sehingga pada waktunya dapat berkembang seperti world class company. Konklusi yang dikemukakan Purnomo ialah kebebasan dan kehati-hatian. Adanya kebebasan Pertamina dari beban penugasan Pemerintah, adanya keharusan Pemerintah memperlakukan Pertamina secara bijaksana sebagai aset nasional.Pertamina justru harus mulai berfikir tentang implikasi-implikasi yang ditimbulkan oleh perubahan volume dan harga migas terhadap masyarakat luas. Sebagai konsekuensinya, Pertamina dituntut untuk memantapkan landasan filosofis dan tool teknokratiknya demi mensintesiskan seluruh kepentingan yang berkecamuk dari lingkup pemerintahan dan dari wilayah civil society.
305
Dari Penelitian ke Korporasi dan Diplomasi | Prof. Riset Dr. Maizar Rahman
Kwik Kian Gie, anggota DKPP yang juga Menteri Perencanaan Pembangunan berpendapat bahwa perubahan Pertamina tidak mengubah hakikat Pertamina untuk sepenuhnya bekerja bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pertamina juga masih berkaitan langsung dengan eksploitasi sumber daya alam, Pertamina dibangun atas dasar penafsiran yang jelas mengenai bumi, air dan kekayaan alam, kalau kita mengacu pada UUD 45. Tugas Pertamina pada pengelolaan sumber daya alam harus menjadi inti dari sebuah gerakan membangkitkan semua usaha yang ada di Indonesia. Kwik juga mengatakan tidak ada alasan untuk memprivatisasi Pertamina, karena perusahaan ini tidak problematik. Privatisasi sangat ditentang oleh masyarakat, dan Petronas, suatu badan usaha yang 100% dimiliki oleh negara dapat sukses tanpa harus diprivatisasi. Bambang Kesowo, anggota DKPP dan yang juga Menteri Sekretaris Negara waktu itu menenggarai perubahan Pertamina terkait dengan liberalisasi dan globalisasi, yang menuntut transformasi dalam diri Pertamina sendiri, antara lain menstrukturisasi mental, perubahan image, etos dan kultur. Dengan image selama ini, Pertamina dipersepsi publik sebagai perusahaan negara yang gagal membangun daya saing. Pertamina besar hanya karena keistimewaan yang diberikan negara, bukan lantaran adanya kemampuan secara genuine melakukan pengusahaan migas. Etos Pertamina dalam pengusahaan migas juga dipersoalkan oleh kenyataan, bahwa hingga sejauh ini tak ada bukti yang lebih dari cukup berkenaan dengan kemampuan Pertamina untuk tampil menjadi perusahaan migas Indonesia dengan daya jangkau dan jaringan usaha di dunia internasional. Pada sisi kultur, kelemahan Pertamina terletak pada masih belum mapannya sistem meritokratik. Dilihat dari aspek kerangka waktu, semestinya sudah sejak tahun ’60 dan ‘70’an Pertamina memasuki kancah persaingan bebas. Mantan Ketua DKPP dan juga mantan Menteri Pertambangan dan Energi, Kuntoro Mangkusubroto mengungkapkan bahwa dari segi momentum semestinya Pertamina sudah berubah menjadii persero dan terjun ke dalam kancah liberalisasi dan globalisasi pada tahun 1995, tiga tahun sebelum perekonomian Indonesia dilanda krisis, Pertamina semestinya telah tampil dengan orientasi kuat sebagai world-class company. Pertamina menghadapi perusahaan-perusahaan raksasa yang telah mengalami perubahan
306
Restrukturisasi Korporat Pertamina Dari Legacy Ke Imperatif Baru
fundamental berupa merger untuk mencapai efisiensi dan peningkatan daya saing. “Kita sudah kehilangan momentum. Kalau kita dulu berhadapan dengan raksasa yang lamban, maka sekarang kita berhadapan dengan raksasa yang bisa menari”. Namun Kuntoro mengatakan pula bahwa kita tidak perlu berkecil hati karena Pertamina juga memiliki kekuatan di samping kelemahan. “ Kemampuan eksplorasi lepas pantai kita ternyata hampir nol, tapi Pertamina duduk di atas reserve yang banyak, one, two or three of our refinery are world class, kita petakan saja masalahnya dan solve the problem”.
Politik Harga BBM Di Dalam Negeri Purnomo Yusgiantoro mengemukakan dalam bukunya “Ekonomi Energi: Teori dan Praktik“ tentang peranan energi migas dalam perekonomian nasional. Energi migas dan ekonomi makro berkaitan langsung dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Karena itu pemenuhan energi di dalam negeri bukan saja penting dan menentukan, tapi lebih dahsyat dari itu, pemenuhan tersebut ikut mendikte eksistensi perekonomian nasional, apakah akan terperosok menuju stagnasi atau bergerak ke arah progresivitas. Aksioma tersebut menjadi semacam patokan dasar di dalam menyimak peran yang dimainkan energi migas di masa depan dalam konteks Indonesia, termasuk Pertamina. Di samping itu suasana liberalisasi dan globalisasi merupakan faktor determinan bagi politik baru harga BBM. Bagaimana politik baru harga BBM tatkala Pertamina telah berstatus sebagai persero ? Pertamina tidak lagi menjadi pemain tunggal pemasok energi migas dan berada pada taraf sejajar dengan para pemain lain di sektor hilir. Dari segi beban, Pertamina sesungguhnya diuntungkan oleh keadaan ini karena tidak harus bertanggung jawab penuh jika kemudian terjadi dislokasi yang dipicu oleh kelangkaan energi migas di tingkat nasional. Namun sebagaimana diakui oleh Purnomo, pengalaman panjang pada pengelolaan sektor hilir merupakan kekuatan yang inherent di dalam diri Pertamina untuk menjawab persoalan politik harga BBM di dalam negeri. Karena itu tak berlebihan jika
307
Dari Penelitian ke Korporasi dan Diplomasi | Prof. Riset Dr. Maizar Rahman
dikatakan posisi Pertamina adalah sebagai market leader bagi market structure migas yang akan datang. Purnomo menjelaskan seperti ini: “Diharapkan terjadi perubahan struktur pasar, dari monopoli menjadi competitive market. Tapi sebetulnya hal itu diharapkan tidak terjadi dalam jangka pendek, tetapi terjadi jauh di depan.Itulah impian kita, yaitu setinggi-tinggi bintang di langit yang ingin kita capai. Tapi perjalanan dari sekarang sampai ke sana, road map-nya seperti apa. Nah dalam hal ini saya tidak sependapat dengan Bank Dunia. Perjalanan itu adalah bertahap, tapi harus pasti dan jelas. Pertamina tidak langsung menuju ke sana seperti apa yang diharapkan Bank Dunia. Tapi biar melalui struktur pasar yang disebut oligopoly. Artinya pintu market itu dibuka pelan-pelan. Waktu itulah pemain baru masuk. Dan pemain baru harus punya persyaratan sebagaimana juga Pertamina. Jadi kita harus memiliki equal rights and opportunity. Kalau kita meminta Pertamina untuk mempersiapkan stock selama 25 hari, maka kepada pemain baru juga kita minta 25 hari. Perusahaan baru kan harus melakukan investasi. Pertamina tidak perlu, karena sudah ada, meskipun mesinnya sudah agak tua. Dalam jangka pendek, Pertamina bisa berjalan tanpa harus ada investasi baru. Walaupun investasi baru diperlukan, tapi tidak terburu-buru. Tidak harus seperti pemain baru. Artinya, pada saat itu yang menjadi market leader adalah Pertamina. Apalagi kalau harga BBM-nya tidak tinggi. Kalau harga BBM-nya sama persis pada tingkat di mana Pertamina masih punya untung, dan pemain baru membayar biaya operasinya, maka pemain baru itu tetap merugi karena dia harus membiayai investasinya.
Jadi jelas bahwa pada fase jangka pendek dan menengah liberalisasi migas, Pertamina akan tampil sebagai market leader, dan Pertamina akan mempunyai waktu untuk membenahi dan mentransformasi dirinya menjadi perusahaan yang kompetitif. Namun, ujar Purnomo” Dia dituntut harus efisien.Kalau dia tidak efisien, makin lama dia makin digerogoti, sehingga satu saat dia disalib sama pemain baru yang efisien. Nah, proses ini mungkin bisa terjadi, mungkin tidak terjadi, tergantung sikap Pertamina sendiri di dalam mengantisipasi persaingan seperti itu.” Mengenai market leader, Kuntoro Mangkusubroto berkomentar “ If you don’t become a market leader or price leader, maka ada masalah besar. Kalau you omong tentang infrastruktur Pertamina, nggak ada masalah. Cuma kita perlu hati-hati. Yang dikhawatirkan adalah pada kesukaan kita untuk manipulasi dan korupsi. Ini suatu stumbling block untuk kita maju. Kita dengan mudah memberikan konsesi kepada lawan kita.”
308
Restrukturisasi Korporat Pertamina Dari Legacy Ke Imperatif Baru
Dari ancangan itu, menurut Purnomo Yusgiantoro, Pertamina dihadapkan pada empat tantangan besar, yaitu: (1) cost yang kompetitif, (2) kualitas yang sangat terjaga, (3) pelayanan yang baik, (3) canggih mengembangkan business entrepreneurship. Berdasarkan kenyataan Indonesia sebagai negara kepulauan maka kata Purnomo, pasar dibuka bukan tanpa reserve, tapi harus disertai oleh kecerdasan memahami keadaan diri sendiri sebagai negara archipelago dengan corak tertentu dalam geopolitik. Di sinilah, dibandingkan negara lain, intervensi Pemerintah masih dibutuhkan, yakni untuk menjadikan Pertamina yang mampu menjadi kekuatan penting dalam market leader. BBM di pelosok-pelosok Kalimantan dan Papua jelas akan melonjak tinggi ketika tiba-tiba terbentuk competitive market. Apabila Pertamina tidak menjadi market leader, dapat dipastikan takkan ada satu pun pemain di sektor hilir yang dapat diandalkan untuk menahan terjadinya lonjakan BBM di pelosokpelosok Nusantara. Competitive market dalam pengertiannya yang liberal dan muncul secara tiba-tiba justru bakal menciptakan guncangan sosial dan politik. Berdasarkan logika ini dapat dimengerti jika subsidi pemerintah-dalam berbagai bentuknya-yang terus berlangsung bagi pengadaan BBM di dalam negeri terjadi bersamaan dengan pembukaan pasar. Pada situasi demikian, menurut Purnomo, akan terbentuk apa yang disebut degree of government responsibilities yang lebih besar. Secara teknis, bagaimana wajah pasar liberal dibentuk bersamaan dengan upaya menjadikan Pertamina sebagai market leader ? Purnomo menjawab pertanyaan ini sebagai berikut: “Rumusannya sudah ada. Ada daerah-daerah yang akan terbuka penuh seperti Jawa, Sumatera, Bali. Tapi di daerah-daerah lain atau di pelosok-pelosok, harga yang ditetapkan lebih tinggi dari harga market, dan selisihnya akan ditutup Pemerintah. Nanti Pertamina yang akan masuk. Misalkan, secara ekonomis harga BBM di Waimena Rp 3550,-. Tapi rakyat di sana kalau di suruh membeli dengan harga seperti itu nggak kuat, lalu Pertamina hanya menjual dengan harga Rp 2500,- dan kekurangannya disubsidi oleh Pemerintah. Sistem subsidi seperti ini akan lebih kecil bebannya jika dibandingkan kalau kita mensubsidi seluruh Indonesia seperti sekarang. Artinya, hal ini tetap menjadi tugas Pemerintah dan tidak lagi dibebankan kepada Pertamina. Pertamina tetap akan melakukan
309
Dari Penelitian ke Korporasi dan Diplomasi | Prof. Riset Dr. Maizar Rahman
misinya. Harganya tidak lagi dibebankan ke Pertamina. Pemerintah akan menutup kekurangan sesuai dengan harga. Jadi, ke depan cost and fee akan hilang.”
Dari penjelasan tersebut sangat bisa dimengerti mengapa Purnomo Yusgiantoro menentang manuver Bank Dunia dalam memberlakukan asetaset Pertamina. Sebagaimana diketahui, Bank Dunia menghendaki agar pemerintah Indonesia mengambil alih seluruh aset yang dimiliki Pertamina. Maksudnya, ketika memasuki pasar bebas, posisi Pertamina ada di titik nol seperti halnya perusahaan migas pada umumnya. Aset Pertamina tersebut, dalam skenario Bank Dunia, dikendalikan oleh sebuah entitas yang membuka akses bagi pemain lain di luar Pertamina untuk memanfaatkan aset tersebut. Jadi, ada semacam open access bagi semua player industri migas. Menangkis kehendak Bank Dunia itu, Purnomo menjawab:” Itu memang baik kalau kita ingin mempercepat proses kompetisi. Tapi itu tidak akan baik dan menyulitkan proses liberalisasi itu sendiri. Liberalisasi harus betul-betul memperhatikan daya beli dan kemampuan masyarakat. Selain itu, kita ingin membesarkan BUMN kita. Di satu sisi kita ingin terbuka, tapi terbuka tidak berarti segala-galanya”. Politik harga BBM di dalam negeri dengan sudut pandang yang dikemukakan di atas, merupakan bentuk kehati-hatian menyikapi perkembangan industri migas ke arah pasar bebas. Dengan demikian, politik harga BBM di dalam negeri dibentuk berdasarkan tawar-menawar melawan kekuatan berskala global. Sebuah penggambaran yang lebih dramatis tentang tawar-menawar itu, dikemukakan Kwik Kian Gie sebagai berikut: “ Sekarang ini Indonesia tidak bisa lepas dari incaran kekuatan dan kekuasaan internasional yang ingin menyedot nilai tambah dari semua negara yang bodoh. Tentang hal ini saya bisa lebih berfalsafah lebih dalam lagi. Apakah setiap manusia memiliki kebutuhan berkelompok atau tidak ? Jawabnya, yes. Sebab manusia paling primitif sekalipun, juga berkelompok. Di dalam manusia yang berkelompok itu, apakah di antara mereka ada yang cenderung untuk menyedot dan merampas supaya dia lebih kaya? Jawabannya, juga yes.” Sejarah penuh dengan tribes war, dan setelah itu peperangannya menjadi modern. Yang termodern adalah Amerika menyerang Irak. Apakah betul itu urusan terorisme ? Apakah bukan karena ingin menguasai minyak ? Orang Barat sendiri banyak
310
Restrukturisasi Korporat Pertamina Dari Legacy Ke Imperatif Baru
yang mengatakan, bahwa urusannya tak lebih hanyalah soal minyak. Nah, Indonesia diincar seperti itu. Saya haqqul yakin, bahwa tambang kita sudah banyak habis, hutan kita sudah banyak gundul. Yang ditinggali pada kita hanya utang. Begitulah kekuatan global bekerja merusak kita.”
Demikianlah politik harga BBM pada era pasar bebas di Indonesia masih akan mempertautkan hubungan Pemerintah dan Pertamina. Sebab kalau tidak, Indonesia akan kian parah menjadi mainan kekuatan global seperti diinsyafi oleh Kwik Kian Gie itu. Masa depan penyediaan BBM terasa makin kompleks sehubungan dengan munculnya berbagai proyeksi tentang Indonesia yang bakal menjadi net oil importer. Dan jika problem-problem mendasar itu tidak dielaborasi dari sekarang, maka secara jelas akan memperhadapkan Indonesia pada situasi kelangkaan.
Kritisisme Publik dan Good Corporate Governance Tantangan lain dari Pertamina adalah bagaimana good corporate governance menjadi bagian yang tidak terpisahkan dalam penanganan usaha migas di Indonesia. Kritisisme publik yang dimaksud di sini adalah timbulnya pandangan kritis yang terus menerus terhadap Pertamina, karena perusahaan ini tak sepenuhnya digdaya membangun sebuah trust sesuai dengan nama besarnya sebagai perusahaan nasional di bidang migas. Ketika pada dasawarsa ’70-an Pertamina hampir runtuh oleh besarnya beban hutang, kritisisme publik mengemuka oleh adanya kenyataan bahwa pemerintah harus mem-bail out utang-utang Pertamina. Dalam perkembangan selanjutnya, Pertamina terlanjur diidentifikasi publik dengan stigma yang buruk, dari sejak labelisasi sebagai sarang pengembangbiakan KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) hingga pada penyebutan Pertamina sebagai basis establishment rezim kekuasaan otoriter. Oil and politics dalam konteks Pertamina menurut perspektif publik pada akhirnya lebih menegaskan berjalannya rezim kekuasaan otoriter itu. Inilah kristalisasi dari seluruh pandangan publik yang negatif: Pertamina yang tampil sebagai perusahaan minyak raksasa nasional, namun rapuh dalam hal good corporate governance.
311
Dari Penelitian ke Korporasi dan Diplomasi | Prof. Riset Dr. Maizar Rahman
Bagaimana mengubah citra Pertamina menjadi perusahaan yang kuat mengusung good corporate govenance dan cermin keunggulan bangsa ini di masa depan? Ini berarti Pertamina perlu membentuk visi dan paradigma baru. Citra masa depan tersebut diwarnai oleh efisiensi. Dan prasyaratnya menurut Purnomo Yusgiantoro adalah transparansi. Ini terletak pada pengeluaranpengeluaran Pertamina di masa depan. “Jadi Pertamina tidak mudah memberikan sumbangan yang sifatnya charity. Pertamina akan dikontrol publik berdasarkan asas transparansi”.Sejalan dengan makin kecilnya peluang mengeluarkan biaya-biaya politik, diperlukan format organisasi yang mewadahi pengeluaran yang rasional, yang menurut Purnomo, terejawantah dalam pembentukan anak-anak perusahaan sebagai strategic business unit (SBU). Melalui anak perusahaan, pengeluaran Pertamina menjadi terukur dan tunduk pada kaidah pengembangan usaha yang berpatokan pada keunggulan kompetitif. Pencitraan di masa depan berada pada dua tataran, yaitu: (1) bagaimana dengan transparansi terbentuk identitas baru Pertamina sebagai korporat, (2) bagaimana dengan transparansi tergambarkan adanya tanggung jawab Pertamina terhadap publik. Langkah ke arah ini, kata Bambang Kesowo, adalah mengubah etos dan kultur pengelolaan usaha. Profesionalitas dan kerja keras menjadi kata kunci dari semua itu. Menurut Kwik Kian Gie, prinsip dasar dari terbentuknya konsepsi dan praktik etik pengelolaan usaha itu terletak pada apresiasi dan realisasi dari peran besar Pertamina di masa depan bagi kemakmuran rakyat. Dapat diprediksikan bahwa di masa depan tanggung jawab Pertamina ke hadapan publik berada dalam sebuah setting yang kompleks, yakni dibentuk oleh jalinan hubungan segi tiga antara tatanan moral, publik dan Pertamina, yang masing-masing berada dalam kedudukan setara. Tatanan moral merupakan pengertian yang dirajut secara kolektif oleh Pertamina dan khalayak publik. Maka, keunggulan kompetitif dan transparansi benar-benar menjadi sesuatu yang niscaya ada dalam tubuh Pertamina. Dalam posisinya sebagai persero, publik benar-benar berfungsi sebagai “samudera” luas bagi “layar terkembang” Pertamina. Taruhannya benar-benar terletak pada trust dan kejujuran. Sementara kompetisi sengit pada era pasar
312
Restrukturisasi Korporat Pertamina Dari Legacy Ke Imperatif Baru
bebas dewasa ini tak sepenuhnya menyadarkan setiap entitas bisnis untuk mampu menyimak secara jernih berbagai jebakan yang mengitari dirinya. Meminjam perspektif management guru Kenichi Ohmae, kompetisi dalam era pasar bebas dewasa ini berada dalam dataran yang ia sebut sebagai the invisible continent. Pertarungan untuk memenangkan kompetisi tak sepenuhnya ditentukan oleh faktor-faktor yang bersifat tangible dan terukur, tetapi didikte oleh kekuatan-kekuatan baru yang tak sepenuhnya tampak, dan oleh karena itu bersifat intagible. Empat dimensi pembentuk kekuatan intagible adalah visi, kesadaran tentang dunia tanpa tapal batas, pertukaran yang berlangsung dalam dunia maya, dan multiplisitas tingkat tinggi pada hubungan-hubungan ekonomi. Kemampuan menjawab empat dimensi itu ternyata terletak pada good corporate governance. Sementara pilar tegaknya good corporate governance termaktub pada identitas, citra dan tanggung jawab publik. Karena itu, navigator baru yang akan memimpin Pertamina diharapkan mampu membaca “cuaca” dalam “lautan lepas yang ganas”, figur yang mampu membaca arah perjalanan yang mungkin tanpa peta, dengan mengerahkan segenap sumber daya untuk menggerakkan “kapal” Pertamina mencapai tujuannya, yaitu kemakmuran yang sebesar-besarnya bagi bangsa ini.
Restrukturisasi Korporat Pertamina Dengan perubahan status Pertamina menjadi persero maka akan diperlukan perubahan visi dan paradigma dari perusahaan ini, baik dari segi manajemen, strategi peningkatan daya saing serta idealisasi peran Pertamina, yang sepenuhnya diharapkan mampu menjadi guidance bagi perusahaan ini dalam menjelajahi masa depan dalam posisinya sebagai persero.
Visi dan Paradigma Purnomo Yusgiantoro mengungkapkan bahwa visi dan paradigma baru mutlak dikembangkan Pertamina sejalan dengan posisinya sebagai persero, yang mampu diterapkan menjadi program aksi yang riil dan memenuhi
313
Dari Penelitian ke Korporasi dan Diplomasi | Prof. Riset Dr. Maizar Rahman
harapan-harapan objektif, artinya misinya perlu dijabarkan dalam programprogram yang rinci. Visi dan paradigma harus berpijak pada kehendak dan cita-cita besar untuk menjadikan Pertamina sebagai world-class company yang tingkat profitibilitasnya ditentukan oleh faktor-faktor 3 E, yaitu Efisiensi (output dan input seimbang), Efektif (output sesuai target ), dan Ekonomis (margin revenue harus lebih tinggi dari cost) atau profit yang membuahkan return bagi perusahaan. Direktur Utama Pertamina, Baihaki Hakim, mengatakan bahwa world-class company adalah ukuran yang lebih tepat untuk menempatkan keunggulan Pertamina, sedangkan performance measuresnya adalah efisiensi, biaya produksi yang rasional dan adanya return on investment, yang semuanya itu dikonkritkan dengan memberlakukan Ukuran Kinerja Terpilih ( UKT), yang diterapkan pada tahun 2002. Dalam perspektif manajemen mutakhir, UKT itu sama maknanya dengan apa yang disebut balance score card. “Dengan menerapkan UKT, kita bisa mengukur apakah kita sudah menjadi perusahaan unggul atau tidak. Tentu ada benchmarking. Maju artinya tidak mundur, melainkan tercapainya suatu pertumbuhan”. Pernyataan Baihaki dapat dimaknai sebagai adanya suatu situasi untuk downsizing. Namun Pertamina tidak mengambil jalan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dan penjualan aset yang dinilai tidak produktif. Menurut Baihaki “ Pertamina lebih mengacu kepada perusahaan yang unggul, maju, terpandang (respective) dan bersih dari KKN. Hal yang hendak diwujudkan adalah good corporate governance. Karena itu, kami sudah mempersiapkan strategi, melakukan streamlining usaha dan sebagainya, yang secara paralel berlandaskan pada strategi pertumbuhan. Semuanya itu diterjemahkan ke dalam business plan. Berdasarkan business plan itu, lima tahun ke depan peningkatan laba terjadi dua kali lipat dibandingkan tahun 2002.” Masalah mendasar Pertamina memang praktik good corporate governance yang sangat lemah, Baihaki mengungkapkan : ”Yang kami lakukan selama ini ialah bagaimana kita bisa lebih fokus kepada pembenahan SDM, mengubah budaya perusahaan yang cenderung menjadi role regulator. Paradigma Pertamina di zaman lama cenderung ke arah birokrasi. Itu yang harus kita switch menjadi business oriented. Maka perlu dipersiapkan program.”
314
Restrukturisasi Korporat Pertamina Dari Legacy Ke Imperatif Baru
Upaya mewujudkan visi dan paradigma baru menghadapi resistensi dari “ lingkungan petinggi Pertamina”, sedangkan pada level yang lebih rendah hampir tidak ada resistensi itu. Lingkungan petinggi Pertamina”sangat tidak terbiasa dengan suasana baru persaingan bebas. Mereka besar dan
Cetak Biru Pertamina (2003) LIMA FASE PERKEMBANGAN PERTAMINA MENUJU TAHUN 2010
Pada dasawarsa 90-an di lingkungan Pertamina sesungguhnya telah bergulir isu restrukturisasi korporat dan bahkan telah muncul beberapa konsepsi yang antara lain dirancang bersama oleh jajaran Direksi Pertamina dan Boston Consulting Group. Pertamina kemudian menerbitkan Cetak Biru yang bertajuk “ Pertamina Baru: Menjadi Perusahaan yang Unggul, Maju dan Terpandang “ (Jakarta: Pertamina, April 2003). Dalam buku tersebut dijelaskan lima fase perkembangan Pertamina menuju tahun 2010, sejak awal mula berdirinya. Pada fase pertama, terhitung dari tahun 1971 sejak dikeluarkannya UU No 8 Tahun 1971, di mana Pertamina merupakan perusahaan integratif pada sektor hulu dan hilir, bersifat monopolistik dan diterapkannya Production Sharing Contract. Fase kedua yang bertitik tolak tahun 1995 menetapkan reorganisasi berupa downsizing karena Pertamina dirasakan sudah terlalu besar dan perlunya pengurangan pegawai yang berjumlah 40 ribu orang menjadi 30 ribu. Baru pada fase ketiga mulai disentuh pemikiran dan desain restrukturisasi. Restrukturisasi tahap I berlangsung tahun 1997-2000 dengan tema “ Penerapan Strategic Holding dan Strategic Business Unit (SBU). Pola SBU diterapkan untuk unit-unit usaha, peningkatan outsourcing, desentralisasi, pengurangan karyawan menjadi 27 ribu dan profitisasi. Pada fase keempat, Pertamina telah berada sebagai persero dan memasuki fase “Restrukturisasi Tahap II" yang berlansung antara tahun 2002-2005,
315
Dari Penelitian ke Korporasi dan Diplomasi | Prof. Riset Dr. Maizar Rahman
berpijak pada prinsip dasar UU Migas Nomor 22 Tahun 2001. Pengusahaan hulu dan hilir yang terpisah, demonopoli sektor hilir, Pertamina menjadi holding, unit-unit usaha menjadi anak perusahaan, Pertamina membuka akses ke pasar modal dan go international dalam pengusahaan migas. Fase kelima direncanakan terjadi pada tahun 2006-2010, yang dianggap sebagai “menuju perusahaan publik” secara bertahap. Ciri-cirinya, akses ke pasar modal, subsidi BBM dihapus, internasionalisasi, target enterprise market values US$ 42 billion (2007), dan jumlah karyawan antara 15-18 ribu saja. Dalam posisinya sebagai persero, Pertamina berada di bawah kondisi untuk membangun visi dan paradigma baru. Visi, sebagaimana tertera dalam Cetak Biru ditegaskan sebagai “ perusahaan yang unggul, maju dan terpandang”. Misi mencakup tiga hal yang dipersepsikan mendasar, yaitu (1) Pertamina melakukan usaha dalam bidang energi dan petrokimia serta usaha lain yang menunjang bisnis Pertamina. (2) Pertamina merupakan entitas bisnis yang dikelola secara profesional, kompetitif dan berdasarkan tata nilai unggulan, dan (3) Pertamina memberikan nilai tambah bagi pemegang saham, pelanggan, pekerja dan masyarakat, serta mendukung pertumbuhan ekonomi nasional. Sementara tata nilai terdiri atas lima komponen, yaitu: (1) Fokus, menggunakan secara optimum berbagai kompetensi perusahaan untuk meningkatkan nilai tambah perusahaan, (2) Integritas, mampu mewujudkan komitmen ke dalam tindakan nyata, (3) Visionary, mengantisipasi lingkungan usaha yang berkembang saat ini maupun yang akan datang untuk dapat tumbuh dan berkembang, (4) Excellence, menampilkan semua yang terbaik dalam aspek pengelolaan usaha, dan (5) Mutual Respect, menempatkan seluruh pihak yang terkait setara dan sederajat dalam kegiatan usaha.
316
Restrukturisasi Korporat Pertamina Dari Legacy Ke Imperatif Baru
Ukuran Kinerja Terpilih (UKT) UKT sektor hulu meliputi penilaian terhadap: (1) Net profit margin, (2) Net new reserves, (3) Finding cost, (4) Production volume (Migas+Panas Bumi)+JOB+TAC+IP/IPPI), (5) Production cost operation (own operation) dan (6) Number incident. UKT pada sektor hilir terdiri atas konsolidasi, pengolahan, PMS dan niaga, perkapalan. Komponen konsolidasi meliputi: (1) Rasio profit margin terhadap total penjualan, (2) Pengendalian volume penjualan BBM, (3) Biaya operasi BBM, (4) Ketahanan stok nasional BBM, (5) Losses hydrocarbon dan (6) Number incident. UKT pengolahan mencakup: (1) Processing cost excluding refinery fuel, (2) Realisasi produksi, (3) pemakaian refinery fuel dan (4) Number incident. Dalam PMS dan niaga adalah (1) customer satisfaction, (2) Market share, (3) Distribution cost, (4) Pengendalian penjualan minyak tanah, (5) realisasi penjualan BBM (tanpa minyak tanah), pelumas, LPG, aviation, aspal dan petrokimia, (6) Realisasi ekspor dan impor (crude, LNG dan LPG), dan (7) Number of incident. Sedangkan perkapalan meliputi: (1) Comission days, (2) Round trip days, (3) Effective load factor, (4) Transportation cost dan (5) Number of incident. UKT untuk Pertamina penunjang berada di wilayah keuangan, pengembangan, internal audit dan jasa korporat. Keuangan terdiri atas: (1) Realisasi pendanaan proyek/investasi, (2) Ketepatan waktu penyajian Laporan Keuangan Tahunan (audited) (3) Efektivitas pengadaan valas, (4) Efektivitas manajemen cash-flow atau investasi jangka pendek, (5) Efektivitas biaya penutupan asuransi, (6) Efektivitas penyaluran dana PUKK, (7) Ketepatan waktu pembayaran dan (8) Ketepatan penyelesaian piutang. Pengembangan meliputi: (1) Pembuatan prosedur, pedoman standar dan business plan, (2) Realisasi program investasi khusus/strategis, (3) Tingkat layanan, (4) Pembinaan SDM, dan (5) Number of quality audit. Sementara itu, internal audit terdiri atas: (1) Laporan Hasil Pemeriksaan, (2) Nilai Rekomendasi Audit, dan (3) Tindak Lanjut Rekomendasi . Sedangkan jasa korporat meliputi: (1) Pembinaan hubungan baik dan kerja sama dengan pers, (2) Penyelesaian masalah hukum, (3) Optimalisasi asset non operasional, (4) Citra perusahaan, dan (5) Tingkat layanan.
317
Dari Penelitian ke Korporasi dan Diplomasi | Prof. Riset Dr. Maizar Rahman
Pertamina, Good Corporate Governance Dalam konteks Pertamina, good corporate governance dilandaskan pada empat prinsip dasar, yaitu: (1) Fairness, menjamin hak-hak pemilik modal dan terlaksananya komitmen dengan investor; (2) Transparansi , menjamin adanya suatu informasi yang terbuka, tepat waktu, jelas dan dapat diperbandingkan berupa keadaan keuangan, pengelolaan perusahaan dan kepemilikan perusahaan kepada stakeholder; (3) Akuntabilitas, peran dan tanggung jawab yang mendukung usaha untuk kepentingan manajemen dan pemilik modal dengan pengawasan melekat; (4) Bertanggung jawab, memastikan dipatuhinya peraturan, ketentuan dan nilai-nilai sosial yang berlaku. Dari prinsip dasar tersebut maka dirumuskan skala luas dari good corporate governance yang mencakup: (1) bertindak secara efisien dan efektif; (2) responsif terhadap perubahan lingkungan usaha; (3) saling menghargai; (4) mempunyai visi yang realistis; (5) profesionalisme, (6) akuntabilitas, (7) entrepreneurship; (8) stake holder; (11) pengawasan melekat; (12) transparansi. Cetak Biru Pertamina, op.cit.
318
Restrukturisasi Korporat Pertamina Dari Legacy Ke Imperatif Baru
menemukan eksistensi diri dalam atmosfer usaha yang bercorak monopolistis. Ini diperlihatkan Baihaki pada anjloknya jumlah penjualan pelumas produk Pertamina, yang penguasaan pasarnya anjlok dari 80% menjadi 52%. Kata Baihaki: ”Orang Pertamina yang selama ini cukup menjadi bowher (juragan), harus bersedia mengubah mentalnya menjadi pemain. Di masa dulu orang Pertamina tidak memiliki keinginan untuk melakukan sendiri. Kalau bisa semuanya dilakukan oleh pihak ketiga, baik di hulu maupun di hilir. Di hulu Pertamina menjadi mandor. Dengan management fee saja Pertamina sudah bisa hidup. Tetapi namanya orang mendapatkan fee, mereka jelas orang tidak kreatif. Karena orang ketiga memang banyak, maka orang Pertamina merasa tidak perlu capek-capek. Jadi, karena berapapun cost BBM dibayar, orang Pertamina merasa buat apa melakukan efisiensi. Inilah sebetulnya suatu lingkungan usaha yang diciptakan Pemerintah sendiri, sehingga orang Pertamina tidak merasa perlu bekerja keras. Semuanya jadi di-sub-kan. Misalnya, pembelian minyak mentah diserahkan kepada pihak ketiga, apalagi kepada keluarga Soeharto, sehingga mereka seenaknya saja menetapkan fee, yang bagi Pertamina menjadi cost. Mental inilah yang harus diubah, kalau bisa kita kerjakan sendiri. Dengan begitu, artinya sekaligus memutus mata rantai dengan pihak ketiga itu. Ini yang kita potong, dan ke depan tidak bisa lagi. Semua ini, sekarang, tidak bisa tidak, harus segera berubah.”
Seluruh uraian di atas menyiratkan adanya citra dan fakta berkenaan dengan keharusan adanya visi dan paradigma baru pengusahaan Migas oleh Pertamina untuk beranjak ke arah world-class company, dan bahwa Pertamina memasuki proses kelahiran kembali sebagai sebuah perusahaan minyak nasional yang membersitkan harapan untuk menjadi aset nasional untuk terciptanya kemakmuran bagi bangsa ini, dan ada baiknya otokritik yang dkemukakan Baihaki diterima secara lapang dada.
Manajemen: Spirit Baru dan Perubahan Kultural Perubahan ke arah persero, berimplikasi luas pada manajemen Pertamina. Misalnya, entrepreneurship merupakan tuntutan yang tak bisa ditawar-tawar untuk dijadikan “landasan pacu” pengusahaan migas. Namun ini takkan serta
319
Dari Penelitian ke Korporasi dan Diplomasi | Prof. Riset Dr. Maizar Rahman
merta dapat diwujudkan, mengingat entrepreneurship merupakan sesuatu yang intagible dan membutuhkan waktu panjang untuk dikukuhkan menjadi suatu tradisi. Jadi perubahan manajemen merupakan sebuah spirit untuk membebaskan Pertamina dari berbagai belenggu yang bersumber pada kekeliruan cara pikir dan kesalahan pandangan dunia. Ujian paling besar dari pembentukan entrepreneurship oleh adanya kenyataan ini adalah bagaimana dinamika manajemen Pertamina dikelola dengan merangkum seluruh proses aksiomatik evolusi bisnis. Sungguhpun entrepreneurship membuka peluang bagi tampilnya formulasi-formulasi baru kegiatan usaha, teori-teori bisnis dibentuk berdasarkan akumulasi panjang pengalaman riil pengelolaan usaha dari begitu banyak entiitas bisnis yang heterogen. Masalahnya juga, pada saat kesadaran entrepreneurship mulai terbentuk dalam diri Pertamina, kemungkinan besar sudah tertinggal jauh dari seluruh perkembangan teori yang inherent ke dalam evolusi bisnis di masa kini. Maksudnya, pada saat perusahaan-perusahaan Migas dunia sudah mencapai tingkat sofistikasi yang tinggi dalam pengelolaan usaha (misalnya merger, akuisisi, privatisasi), Pertamina masih harus belajar hal-hal yang paling dasar dari teori-teori bisnis tersebut sebelum diintegrasikan secara sistemik ke dalam mekanisme kompleks Pertamina. Pertamina, dalam restrukturisasinya, ternyata telah menemukan kata kunci untuk dikedepankan sebagai konsepsi, yaitu first quality and growth di sektor hulu, dan retrenchment and growth di sektor hilir. First quality and growth dapat ditafsirkan sebagai orientasi yang kuat terhadap kompetensi, mengingat quality yang disinggung di sini terkait langsung dengan kegiatan dalam bidang eksplorasi dan eksploitasi.Teknologi dan kualitas sumber daya manusia Pertamina dengan demikian menjadi taruhan. Retrenchment and growth di sektor hilir mengacu pada asas-asas prudensial dalam pengolahan ataupun distribusi Migas di tingkat nasional, yang merupakan negara kepulauan. Tuntutan ke arah ini tidaklah terlalu sulit dipenuhi Pertamina, sebab sebagaimana pernah disinggung oleh Kuntoro Mangkusubroto, pada sektor hilir itulah sesungguhnya letak keunggulan Pertamina.
320
Restrukturisasi Korporat Pertamina Dari Legacy Ke Imperatif Baru
Strategi Pokok Restrukturisasi Pertamina Strategi pokok di hulu, first quality and growth terdiri atas dua hal. Pertama, peningkatan pendapatan melalui perbaikan efisiensi dan efektivitas dalam rencana dan implementasi program-program operasional di lahan existing. Kedua, menemukan dan mengembangkan cadangan Migas di dalam dan di luar negeri serta pengembangan panas bumi di dalam negeri. Untuk mendukung semua ini dibutuhkan strategi usaha mencakup: (i) peningkatan penyertaan usaha melalui akuisisi, farm-in, dan penyertaan; (ii) mempercepat siklus usaha dengan exploration campaign untuk perluasan resources base dan reserve placement; (iii) peningkatan laba melalui peningkatan volume dan penurunan biaya produksi; (iv) pengembangan panas bumi untuk memenuhi kebutuhan pembangkit tenaga listrik; dan (v) pelaksanaan overseas ventures, baik langsung melalui anak perusahaan maupun joint venture. Strategi dasar di hilir, retrenchment and growth itu ialah maksimimalisasi nilai tambah melalui optimalisasi pengelolaan dan pengembangan kilang, perkapalan dan jaringan distribusi atau pemasaran. Sedangkan strategi pokok yang dikembangkan: (a) peningkatan kompetensi, kehandalan dan daya saing kilang melalui pengingkatan mutu, biaya operasi rendah, keteapan delivery, pelayanan dan memuaskan stake holder; (b) integrasi proses bisnis kilang-pemasaran atas dukungan niaga dan perkapalan demi mencapai optimalisasi, efisiensi dan efektivitas sehingga secara keseluruhan tercapai biaya terendah atau sebagai cost leadership;(c) maksimalisasi value creation. Baihaki Hakim, dan Cetak Biru Pertamina
321
Dari Penelitian ke Korporasi dan Diplomasi | Prof. Riset Dr. Maizar Rahman
Transformasi kultural pada tataran manajemen haruslah berjalan paralel di sektor hulu dan hilir, untuk diorientasikan pada apa yang disebut sebagai “keunggulan kompetitif”, yang terdiri atas tiga pilar. Pertama, bagaimana manajemen Pertamina berlandaskan asumsi tentang lingkungan usaha, misi dan kompetensi yang realistis. Misalnya menjadikan perusahaan-perusahaan minyak raksasa dunia sebagai benchmarking untuk mencapai keunggulan kompetitif. Kedua, transformasi kultural mengacu pada perkembangan revolusioner teori-teori bisnis demi mensinergikan teori-teori bisnis tersebut ke dalam ranah organisasi, diadopsi dengan dimodifikasi, direformulasi, atau bahkan didekonstruksi untuk ditemukan relevansinya dengan ranah manajerial Pertamina. Ketiga, pengujian terhadap penerapan teori-teori bisnis tersebut untuk menilik reliabilitas, keabsahan dan relevansinya ke dalam realitas sesungguhnya dalam lingkup manajemen Pertamina. Transformasi kultural tersebut berarti sebuah upaya untuk ikut memberikan kontribusi terhadap perubahan wajah dan format Pertamina ke arah masa depan yang jauh, yaitu menjadi knowledge industry. Salah satu contoh integrasi antara teori bisnis dan praktik manajemen Pertamina ialah keputusan Baihaki Hakim berkenaan dengan penataan pemasaran pelumas, dengan menghadirkan konsultan pemasaran Hermawan Kertajaya dari Mark Plus Corporation dalam kegiatan studi untuk mengetahui seluruh aspek yang membuat pelik pemasaran pelumas. Dari studi itu terkuak sebuah fakta, bahwa pemasaran pelumas Pertamina ternyata amburadul dan saling over lapping di lihat dari wilayah kerja pemasaran. Kata Baihaki: “Misalnya ada agen di Surabaya yang juga memasarkan pelumas untuk daerah kawasan Indonesia Timur. Ke depan, agen-agen pelumas hanya akan mempunyai satu wilayah kerja. Ketika belum ada persaingan, hampir separuh dari agen-agen pelumas adalah mantan-mantan orang Pertamina dan mereka tidak punya greget terhadap perluasan pasar produk pelumas. Nah, sekarang, dengan strategi baru, dilakukan pengelompokkan daerah-daerah pemasaran yang sangat
322
Restrukturisasi Korporat Pertamina Dari Legacy Ke Imperatif Baru
fokus, sehingga agen berusaha merebut pangsa pasar. Lalu diberlakukan target penjualan dengan volume tertentu. Jika gagal memenuhi target, keagenan dicabut. Kita sekarang sedang melakukan semacam restrukturisasi pemasaran pelumas, yang sengaja meniru praktik perusahaan yang telah maju. Ini akan membuka mata orang Pertamina, bahwa kalau kita do nothing maka pangsa pasar kita akan di-gerogoti pemain lain. Suatu waktu pemain lain will eat our lunch. Saya terpaksa melakukan intervensi dalam soal ini untuk membuka mata orang-orang Pertamina pada kenyataan yang sebenarnya.”
Dari pengungkapan Baihaki itu terbukti, bahwa adalah tak memadai jika upaya pemahaman terhadap sebuah persoalan hanyalah common sense saja sifatnya. Sudah tiba saatnya bagi Pertamina mentradisikan diri menyimak masalah-masalah berdasarkan perspektif teori bisnis. Kesimpulan lain yang lebih dramatis mengungkapkan banyak hal yang harus dibenahi dalam lingkup Pertamina. Untuk masa selanjutnya orang-orang Pertamina sendirilah yang melakukan upaya besar integrasi teori bisnis dan praktek manajemen.Jadi spirit baru dalam Pertamina sudah terbentang nyata, dan perubahan kultural yang niscaya pun sudah jelas sosoknya, yaitu mentradisikan seluruh obsesi ke arah integrasi antara teori bisnis dan praktik manajemen.
Strategi Peningkatan Daya Saing Dalam buku Cetak Biru Pertamina terdapat Analisis Strategik Pertamina, yaitu lingkungan strategik dan prospek Migas, isu-isu strategik, analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, Threat), posisi Pertamina, skenario dasar perencanaan, mapping usaha-usaha produk, dan kekuatan penggerak bisnis. Analisis strategik ini merupakan elemen fundamental untuk dikembangkan lebih lanjut menjadi strategi peningkatan daya saing. Lingkungan strategik dan prospek Migas dalam perspektif Pertamina berada dalam empat titik fokus, yaitu kondisi makro internasional, makro nasional, prospek internasional dan prospek nasional. Masing-masing fokus memuat berbagai macam persoalan yang diproyeksikan akan berpengaruh pada Pertamina sebagai persero (Matriks 5.1 ). Di sini muncul semacam kesimpulan, bahwa Pertamina akan berhadapan dengan begitu banyak paradoks, baik dalam aras internasional maupun dalam tataran nasional.
323
Dari Penelitian ke Korporasi dan Diplomasi | Prof. Riset Dr. Maizar Rahman
Paradoks di tingkat makro dan prospek internasional ditandai oleh terjadinya reorientasi perusahaan-perusahaan Migas nasional di berbagai negara di dunia bersamaan dengan timbulnya kecenderungan kian menipisnya cadangan minyak di berbagai belahan bumi, semakin ketatnya kompetisi memperebutkan pasar LNG di dunia, serta ancaman secara tiba-tiba oversupply global yang ternyata kontras dengan peningkatan kebutuhan secara eksponensial terhadap energi primer dalam hitungan negara per negara. Paradoks tersebut kian dipertajam oleh adanya ketidakpastian yang berlangsung secara terus-menerus berkenaan dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang berpengaruh serius terhadap permintaaan migas. Matriks 5.1 Lingkungan Strategis dan Prospek Migas
Makro
Internasional 1. Kecenderungan industri minyak dunia melakukan merger dan akuisisi sejak 1996 masih berjalan, ditambah dengan kecenderungan baru privatisasi emerging majors, seperti PetroChina dan Petrobras. 2. Keterbatasan dan penurunan kemampuan produksi minyak dunia berpotensi melahirkan krisis energi yang baru. 3. Persaingan pasar LNG dunia semakin ketat dengan munculnya negara produsen baru antara lain Qatar, Australia dan Aljazair. 4. Terjadinya over-supply global, margin kilang cenderung tetap rendah. 5. Pertumbuhan ekonomi Asia rata-rata 4% per tahun.
324
Nasional 1. Implikasi UU Migas No. 22 Tahun 2001 terhadap sistem bisnis perminyakan nasional dan Pertamina. 2. Dampak UU No. 22 dan 25 Tahun 1999 mengenai Kebijakan Otonomi Daerah dan Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah terhadap pegusahaan Migas di daerah. 3. Kepres No.76 Tahun 2000 tentang Larangan Monopoli Geothermal. 4. Pasar bebas berlaku mulai tahun 2003 (AFTA). 5. Pemulihan ekonomi yang relatif lambat dengan pertumbuhan ekonomi nasional antara 3% - 6%, serta kondisi keamanan dan politik, khususnya menghadapi Pemilu 2004.
Restrukturisasi Korporat Pertamina Dari Legacy Ke Imperatif Baru
Prospek
1. Kebutuhan energi primer dan minyak global dari tahun ke tahun secara keseluruhan meningkat. 2. Kebutuhan minyak di kawasan regional Asia Pasifik menigkat 3% - 6%. 3. Pada tahun 2010 di kawasan Asia Pasifik diperkirakan terdapat supply gap LNG sekitar40 - 60 juta ton per tahun.
1. Kebutuhan BBM dalam negeri meningkat 3% - 5% per tahun, sejalan dengan potensi pertumbuhan ekonomi nasional. 2. Kebutuhan energi gas dan panas bumi meningkat sejalan dengan tumbuhnya tuntutan energi ramah lingkungan dan dicabutnya subsidi BBM. 3. Kebutuhan petrokimia akan bertambah sejalan dengan perkembangan industri
Sumber : Cetak Biru Pertamina (2003)
Pada tataran nasional, baik situasi makro maupun prospek pengusahaan Migas di bawah penanganan Pertamina, memperlihatkan adanya tumpang tindih persoalan, ekonomi atau non ekonomi. Berbagai format perundangundangan, instrusi pasar bebas global ke dalam kancah perekonomian nasional, pemulihan ekonomi dari krisis, serta situasi politik dan keamanan, jelas-jelas menempatkan BBM, gas, panas bumi dan petrokimia dalam pertaruhan yang cukup rumit. Selaras dengan demonopoli pengusahaan Migas, kedudukan Pertamina dalam situasi makro dan prospek pengusahaan Migas dengan sendirinya takkan pernah bisa dilepaskan dari dimensi-dimensi ekonomi politik. Dalam perspektif Pertamina, lingkungan strategis yang sedemikian rupa itu berimplikasi pada adanya dua penyikapan. Pertama, penanganan secara antisipatif situasi makro dan prospek internasional harus benar-benar disertai oleh terjadinya perubahan mendasar dalam diri Pertamina ke arah worldclass company.
325
Dari Penelitian ke Korporasi dan Diplomasi | Prof. Riset Dr. Maizar Rahman
Kedua, tantangan Pertamina pada tataran nasional, baik dalam tinjauan situasi makro maupun prospek pengusahaan Migas, pada Matriks 5.2 sesungguhnya terkait erat dengan problem besar demokratisasi Indonesia. Berbagai gejolak dalam bidang politik dan keamanan merembeskan pengaruhnya secara sangat kuat terhadap perekonomian.
Matriks 5.2 Analisis SWOT Pertamina
Kekuatan
• Pengalaman lebih dari 30 tahun dalam industri Migas sebagai integrated company. • Salah satu perusahaan yang mempunyai cadangan minyak dan gas terbesar di Asia Tenggara. • Mempunyai kapasitas kilang 1 juta barel/hari. • Menguasai sistem distribusi dan transportasi BBM dalam negeri. • Mempunyai jaringan retail non-BBM dan Petrokimia di seluruh Indonesia.
Kelemahan
• Market leader dalam bisnis LNG internasional. • Enterprise Market Value relatif rendah. • Akses ke pasar modal sangat terbatas. • Keterbatasan infrastruktur marketing termasuk jaringan retail. • Anak perusahaan belum memberikan dividen yang optimal. • Portofolio usaha dan set masih domestik.
326
Restrukturisasi Korporat Pertamina Dari Legacy Ke Imperatif Baru
• Eksplorasi di daerah frontier, laut dalam dan cekungan yang belum dikembangkan. • Reaktivitas suspended discoveries dan idle field dengan teknologi maju. Peluang
• Akuisisi working interest Blok Migas di dalam dan luar negeri. • Kebutuhan gas nasional dan regional yang meningkat. • Terbukanya kesempatan untuk memasuki pasar regional. • Kebutuhan produk BBM dan non-BBM di dalam dan luar negeri meningkat sekitar 4% per tahun. • Pertumbuhan kebutuhan listrik 10% per tahun , kelangkaan listrik mulai tahun 2003. • Pengembangan energi panas bumi untuk memenuhi kebutuhan listrik. • Pemberlakuan UU Otonomi Daerah dan UU Pembagian Pendapatan Pusat dan Daerah.
Ancaman
• Pesaing mulai mengembangkan jaringan pemasaran BBM dan non-BBM di Indonesia. • Pesaing baru semakin meningkat dengan pemberlakuan UU Migas nomor 22 Tahun 2001 dan berlakunya AFTA pada tahun 2003. • Country risk Indonesia masih tinggi menyebabkan cost of capital tinggi , sehingga mempersulit pendanaan. • Isu lingkungan semakin mengemuka. • Intervensi IMF , Bank Dunia dalam bisnis Migas Indonesia. Sumber : Cetak Biru Pertamina (2003)
327
Dari Penelitian ke Korporasi dan Diplomasi | Prof. Riset Dr. Maizar Rahman
Di tengah atmosfer yang demikian, strategi Pertamina berada dalam wilayah tarik-menarik kepentingan yang jauh lebih besar dibandingkan dengan semata mengacu pada peran barunya sebagai persero. Di satu sisi, Pertamina mutlak memantapkan posisi dirinya pada kancah persaingan pasar bebas, di sisi lain, par excellence Pertamina merupakan perusahaan raksasa di Indonesia, sehingga langkah-langkah yang ditempuhnya berpengaruh signifikan terhadap timbulnya sebuah multiplier effect baru dalam perekonomian nasional, dan recovery pada seluruh aras perekonomian nasional menuntut adanya keterlibatan positif Pertamina. Karena itu, penting bagi Pertamina menjadikan dimensi ekonomi politik sebagai titik pijak untuk menegaskan dirinya dalam recovery perekonomian nasional. Dalam Cetak Biru Pertamina juga diungkapkan, bahwa Analisis Strategis mencakup isu-isu strategik yang terhampar ke dalam 11 aras persoalan, yaitu: (1) Perubahan Pertamina menjadi persero, (2) Citra perusahaan, (3) Wilayah Kerja (WK) hulu diperlakukan Kontrak Kerja Sama (KKS), (4) Revaluasi aset, (5) Struktur pendanaan, (6) Otonomi daerah dan pembagian keuangan pusat dan daerah, (7) Liberalisasi pasar, (8) Merger perusahaan-perusahaan minyak besar di dunia, (9) Margin usaha kilang rendah, (10) Lingkungan hidup, dan (11) Teknologi. Isu-isu strategik tersebut harus didekati dan dipecahkan berdasarkan sudut pandang komprehensif, kalau tidak, itu akan bersifat adversarial terhadap Pertamina. Tatkala dipetakan, saling hubungan antar isu-isu strategik tersebut membentuk totalitas dan ketakberhinggaan masalah, sehingga dapat menisbikan seluruh visi dan paradigma menuju world class company.
328
Restrukturisasi Korporat Pertamina Dari Legacy Ke Imperatif Baru
Matriks 3.3 Kekuatan Penggerak Bisnis Eksternal
Internal • Peningkatan nilai Pertamina melalui korporatisasi.
• Kemandirian Petamina dalam keputusan bisnis.
• Good corporate governance.
• Seluruh aset yang dikelola saat ini diserahkan kepada Pertamina.
• Teknologi.
• Pertumbuhan ekonomi dan energi.
Dua Kekuatan
• Dukungan Pemerintah dalam regulasi masa transisi Pertamina.
• Manajemen portofolio.
• Penugasan Pemerintah untuk BBM hingga tahun 2005.
• Kemampuan pemupukan dana.
• Stabilitas sosial dan politik.
• Entrepreneurship.
• Implementasi UU otonomi Daerah.
• Peningkatan citra Pertamina.
• Tuntutan lingkungan hidup.
Sumber : Cetak Biru Pertamina (2003)
329
Dari Penelitian ke Korporasi dan Diplomasi | Prof. Riset Dr. Maizar Rahman
Analisis SWOT dalam konteks Pertamina ternyata merupakan kelanjutan wacana restrukturisasi korporat korporat pada dekade 1990-an, artinya sebagian besar persoalan merupakan “warisan lama”. Seperti disajikan dalam Matriks 5.2 terdapat empat Kwadran. Kwadran –I adalah Kekuatan (Strength) di mana Pertamina dieksplisitkan sebagai perusahaan yang sedang tumbuh dan berkembang (prosper and growth). Kwadran-II adalah Kelemahan (Weakness), di mana Pertamina dinyatakan sebagai perusahaan dalam pertumbuhan terbatas dan marginal. Kwadran-III yang dikenal sebagai cluster penciutan (downsizing) merupakan format lain dari Ancaman (Threat) yang tengah dihadapi Pertamina. Sementara Kwadran-IV adalah Peluang (Opportunity) dan dikenal pula sebagai perubahan organisasi dan transformasi (organizational change and transformation). Pertamina dewasa ini diasumsikan tengah berada pada Kwadran II. Artinya, titik berat Pertamina dalam analisis SWOT berada pada sisi Kelemahan. Apa artinya ini semua ? Pertamina adalah perusahaan yang secara objektif berada dalam posisi limited and marginal growth, yang dipersepsi sebagai situasi yang timbul oleh adanya ancaman pada tataran eksternal, sehingga dua jalan ke luar yang dirancang sebagai “terapi” adalah: (1) Menuju Kwadran-I dengan mengubah ancaman menjadi peluang serta memperkuat kondisi internal perusahaan; (2) Strategi dasar Pertamina dibentuk ke arah apa yang disebut “pembenahan diri, tumbuh dan berkembang” (retrenchment and growth). Dua hal inilah yang kemudian dikenal sebagai “skenario dasar perencanaan”. Dalam hal mapping usaha-usaha produk, terdapat variabel vertikal dan horizontal. Pada variabel vertikal terdapat assessment “tinggi”, “sedang” dan “rendah”, sementara dalam variabel horizontal terdapat assessment “kuat”, “sedang” dan “lemah”. Untuk produk-produk gas (hulu), minyak(hulu), LNG, pelumas dan propylene, berada pada variabel vertikal “sedang” dan variabel horizontal “kuat”.Untuk produk-produk BBM dan aviasi, paraxylene, polypropylene, LPG, panas bumi (hulu), angkutan laut dan aspal, berada pada variabel vertikal maupun horizontal “sedang”. Kelemahan paling mencolok berada pada PTA (rendah dan sedang) dan BBG (rendah dan lemah). Mapping ini cukup untuk menciptakan kesadaran baru bahwa Pertamina merupakan sebuah perusahaan yang mutlak untuk mengubah dirinya ke arah keunggulan kompetitif.
330
Restrukturisasi Korporat Pertamina Dari Legacy Ke Imperatif Baru
Kekuatan penggerak bisnis Pertamina, sebagaimana dapat disimak dalam Cetak Biru Pertamina secara skematik dibagi atas kekuatan eksternal dan internal (Matriks 5.3). Matriks ini seakan merupakan penegasan bahwa langsung ataupun tidak langsung kekuatan penggerak bisnis Pertamina sebagian terbesarnya ditentukan oleh faktor-faktor eksternal, sedangkan pada level internal merupakan faktor given yang telah dianggap selesai, dan meniscayakan Pertamina untuk hanya memberikan perhatian secara lebih mendalam terhadap dimensi-dimensi internal. Strategi peningkatan daya saing mengharuskan Pertamina untuk dilahirkan kembali. Baik landasan hukum, visi, misi, tata nilai, organisasi, sasaran usaha, pengelolaan keuangan, peningkatan kualitas sumber daya manusia, pemberlakuan Ukuran Kinerja Terpilih maupun good corporate governance, semuanya merupakan elemen-elemen baru dalam diri Pertamina. Penanganan agenda-agenda ini sepenuhnya tegak di atas landasan keunggulan kompetitif world-class company.
Idealisasi Peran Pertamina Konsekuensi dari pembicaraan tentang strategi peningkatan daya saing itu terletak pada terbentuknya gambaran ideal tentang Pertamina setelah berubah menjadi persero. Purnomo Yusgiantoro menggunakan istilah world class company untuk menggambarkan peran ideal Pertamina itu. Dalam hal ini, apa yang disebut dengan “idealisasi peran Pertamina” bukanlah sesuatu yang normatif dan jargonistik sifatnya, tetapi kombinasi pemikiran dan praktik pengusahaan Migas, dengan restrukturisasi korporat sebagai titik tolaknya. Idealisasi peran Pertamina ditentukan oleh kemampuan mengembangkan industri Migas berdasarkan prinsip with a difference. Sehingga, benchmarking Pertamina terhadap perusahaan-perusahaan Migas berskala global dengan sendirinya bukan berarti adopsi secara telanjang teknikalitas dan know how. Jauh lebih penting lagi dari itu, bagaimana Pertamina tampil dengan kekhasannya yang utuh sebagai world class company sejalan dengan semangat zaman abad 21. Selain peningkatan produktivitas dan sebagai entitas bisnis yang maju dan berkembang, juga proses ke arah good corporate governance berlangsung secara spektakuler dan memberikan ilham yang
331
Dari Penelitian ke Korporasi dan Diplomasi | Prof. Riset Dr. Maizar Rahman
memukau bagi bangkitnya keunggulan kompetitif dalam spektrum yang sangat luas di Indonesia. Dari kenyataan ini dikukuhkan kembali sebuah postulat: when Pertamina goes, so goes the nation. Langkah ke arah ini terletak pada dua hal, Pertama, jajaran kepemimpinan Pertamina sekarang dan di masa depan adalah sebuah teamwork yang memiliki orientasi kuat pada lahirnya konsepsi-konsepsi baru pengusahaan migas. Mereka sengaja memainkan peran sebagai pembentuk wawasan baru pengusahaan Migas di Indonesia, bahkan wawasan baru tersebut sebagai referensi pata tataran universal. Kedua, Pertamina sebagai organisasi berubah total untuk menjalankan fungsi sebagai wadah pengejawantahan konsepsikonsepsi cerdas pengusahaan migas. Pada fase permulaan, Pertamina mutlak memperkukuh dirinya dengan daya dukung keunggulan kompetitif. Bukan saja harus bersih dari anasir KKN, Pertamina juga dikelola oleh manusia dengan kemampuan yang lebih digdaya dibandingkan dengan para pengelola perusahaan-perusahaan asing. Pada fase selanjutnya, dukungan publik terbentuk sepenuhnya, bukan tanpa reserve, yang merupakan manifestasi dari pengakuan obyektif tentang Pertamina yang sudah bermetamorfosis menjadi world class company. Secara skematik, itu berarti Pertamina memenuhi lima prasyarat penting: hadir dengan possibilitas ke arah penggunaan knowledge dan teknologi yang relevan, memfasilitasi inisiatif-inisiatif yang bersifat lokal, memperkuat infrastruktur usaha, mengembangkan model dan ketrampilan baru kepemimpinan serta terbuka dan berani tampil untuk mengkomunikasikan narasi-narasi sukses pengusahaan migas. Kompetisi pasar bebas sebagai kata kunci bagi Pertamina sebagai persero memperkuat kehadiran dua hal, yaitu pemain-pemain lain sebagai kompetitor dan konsumen yang berdaulat. Skala dan intensitas persaingan melawan para kompetitor itu dengan sangat gamblang telah menisbikan seluruh warisan lama pola pengusahaan Migas di Pertamina. Terlebih lagi jika warisan lama pola pengusahaan Migas ternyata merupakan basis tumbuh suburnya KKN. Sementara, masyarakat konsumen yang terbentuk oleh luasnya diferensiasi kelas sosial dengan mudahnya dilanda situasi distrust tatkala Pertamina gagal memenuhi harapan-harapan. Dramatisnya lagi, dua penghadapan itu sama-
332
Restrukturisasi Korporat Pertamina Dari Legacy Ke Imperatif Baru
sama berada dalam posisi yang sangat penting, di mana salah satu pihak tidak lebih menonjol dibandingkan dengan pihak lain. Tentu saja, hanya dengan kecanggihan dan kepiawaian Pertamina mampu menghadapi dua penghadapan (shaping) yang sangat berlainan tersebut. Dari sini jelas kiranya, bahwa idealisasi peran Pertamina tak semata terfokus pada penanganan berbagai aspek teknis yang memang inherent dalam pengusahaan Migas. Tak kalah pentingnya dari itu, Pertamina berdiri di atas landasan visi holistik pengusahaan Migas, beyond dimensi-dimensi teknikalitas. Belajar dari pengalaman masa lampau yang kosong dari suasana persaingan pasar bebas serta besarnya kecenderungan yang kurang memberi tempat terhormat pada kedaulatan masyarakat konsumen, kini semuanya harus diubah melalui transformasi kultural dan reorientasi kepemimpinan. Idealisasi peran Pertamina dengan sendirinya merupakan pengakuan bahwa masih ada masa depan bagi Pertamina. Idealisasi mengimbangi berbagai kekurangan dan kelemahan yang telah ditorehkan oleh jajaran pimpinan Pertamina ke dalam strategi peningkatan daya saing.
PENUTUP Seluruh pembicaraan dalam buku “Restrukturisasi Korporat Pertamina“, bagaimanapun, terbuka untuk diperdebatkan berdasarkan argumenargumen lain yang mungkin lebih kukuh dan mendasar, karena ketika buku ini ditulis, belum dapat menyorot eksistensi Pertamina dalam posisi sesudah tuntasnya restrukturisasi. Hanya saja, atmosfer penulisan buku yang demikian itu juga penting untuk tujuan pembuka jalan bagi dilakukannya upaya telaah terhadap Pertamina setelah restrukturisasi korporat tampil utuh dan membuahkan hasil yang dapat ditakar secara lebih konkret pada beberapa tahun ke depan. Pembahasannya sesungguhnya menguak dua hal mendasar, yaitu harapan terhadap Pertamina sebagai persero dan legacy pemikiran yang dikemukakan oleh sejumlah nara sumber.
333
Dari Penelitian ke Korporasi dan Diplomasi | Prof. Riset Dr. Maizar Rahman
Harapan dan Legacy Pemikiran Bagi hampir semua narasumber penulisan buku, seperti Ketua dan Anggota Dewan Komisaris Pemerintah untuk Pertamina (DKPP), mantan Ketua DKPP dan Direktur Utama Pertamina, world-class company merupakan suatu harapan bagi Pertamina, dan melalui restrukturisasi korporat terdapat dorongan kuat dan agar di masa depan mampu melakukan lompatan kuantum menuju world class company. Hal-hal fundamental yang berperan menjadi pilar kontinuitas Pertamina sebagai entitas bisnis hingga ke masa depan adalah kebebasan untuk meraih profit dan memberikan kontribusi positif terhadapa bangsa Indonesia atau benefit. Keberhasilan dalam dalam dua pokok persoalan ini akan melahirkan apresiasi publik yang spektakuler tentang Pertamina sebagai perusahaan nasional di bidang Migas, sebagai hero, diiringi oleh trust publik yang makin besar. Untuk itu, mau tidak mau Pertamina harus menempatkan competing by cooperation berada dalam posisi signifikan atas tiga alasan. Pertama, realisme global market mengaburkan batas-batas “kawan” dan “lawan” dalam persaingan. Realitas menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan besar ternyata dipenuhi oleh formula kerja sama atas kesamaan-kesamaan jenis industri yang ditangani dengan prinsip ketercukupan sumber daya, skala ekonomi, kekuatan dan kemampuan berkompetisi pada tingkat global. Karena itu kemampuan menjalin kerja sama merupakan terobosanterobosan penting. Kedua, meningkatnya pengaruh ilmu pengetahuan dan intensitas informasi terhadap kelahiran produk dan jasa sehingga kolaborasi di bidang ini tak terelakkan. Ilmu pengetahuan dan informasi muncul dan menyebar di mana saja (omnipresent) sehingga harus ada kemauan untuk saling berbagi dalam hal pengalaman. Imperatif ini kian terasakan atas otokritik bahwa Pertamina tak cukup digdaya mengembangkan kapasitas penguasaaan ilmu pengetahuan dan informasi yang berjalin kelindan dengan prospek masa depan pengusahaan Migas. Ketiga, portofolio teknologi mendeterminasi lahirnya produk-produk baru dan pola-pola baru pelayanan. Sayangnya imperatif ini tak banyak disinggung dalam Cetak Biru Pertamina, karena terhadap kemajuan teknologi yang dahsyat itu, Pertamina hanya
334
Restrukturisasi Korporat Pertamina Dari Legacy Ke Imperatif Baru
memposisikan dirinya sebagai user, hal mana tidak cocok lagi pada posisi persero, bila ingin menjadi world class company. Ketiga alasan tersebut merupakan faktor determinan terbentuknya competing by cooperation, karena Pertamina memerlukan terbentuknya talenta-talenta pengusahaan Migas di masa depan, sedangkan konstruksi dan rekonstruksi talenta-talenta itu berhubungan erat dengan tiga hal di atas: pasar global, ilmu pengetahuan dan informasi (knowledge based product) , serta portofolio teknologi. Karena itu Pertamina harus kenyal untuk melakukan apa yang disebut sleeping with enemy.
Dari Legacy ke Imperatif Baru Pada prinsipnya, competing by cooperation adalah upaya pengelolaan secara cerdas terhadap paradoks-paradoks, ketika tidak ada lagi batas kaku “lawan” maupun ‘kawan” dan ketika setiap perusahaan harus bersaing melawan dirinya sendiri membangkitkan seluruh kapasitas yang terbengkalai serta mengutuhkan seluruh talenta yang berserakan. Karena itu, pengelolaan terhadap paradoks-paradoks berarti ada upaya sengaja mensinergikan berbagai hubungan yang terkait dengan pengusahaan Migas melalui jaringan (networking). Persoalannya kemudian, networking macam apakah yang dibutuhkan ? Networking dimaksud bertitik tolak dari hakikat perkembangan ekonomi abad 21 yang telah menggeser economic of scale menjadi economic of speed, mengubah orientasi dari volume ke values, serta mendesak peran penting faktor tangible untuk digantikan oleh yang intagible. Komponen-komponen penting pembentuk networking, yang langsung ataupun tidak langsung memiliki relevansi dengan eksistensi Pertamina di masa depan antara lain meliputi pemasok, produksi, finansial, konsumen, dan teknologi. Kompetisi yang sungguh-sungguh didasari oleh trust dan lantaran itu competing by cooperation berkembang menjadi sebuah “hukum besi” dalam pengelolaan usaha. Networking dengan demikian merupakan hubungan resiprokal atau saling menguntungkan pada lima komponen yang disebutkan di atas. Maka, ketika networking penting demi lahirnya keunggulan kompetitif, jauh lebih elegan jika semua itu dikaitkan secara utuh dengan competing by
335
Dari Penelitian ke Korporasi dan Diplomasi | Prof. Riset Dr. Maizar Rahman
cooperation. Hanya saja, dengan demikian berarti harus terbentuk sebuah wawasan baru di Pertamina, bahwa kompetisi dalam pengusahaan Migas berjalin kelindan dengan berlangsungnya saling hubungan antara ekonomi, masyarakat dan kebudayaan menurut setting abad informasi dewasa ini. Demikianlah, tak berlebihan jika dikatakan bahwa penyingkapan tentang restrukturisasi korporat di Pertamina tidaklah teknikalitas sifatnya, jauh lebih signifikan dari itu, yaitu telah menyentuh dimensi-dimensi filosofis mengapa restrukturisasi korporat mesti dilakukan, ke mana arah tujuannya serta bagaimana mencapai tujuan itu. Upaya ini juga semacam pengingatan kembali (reminding) , bahwa hidup ternyata tak hanya berurusan dengan roti dan anggur, tetapi juga dengan pencapaian puncak martabat kemanusiaan di Indonesia, dengan Pertamina sebagai institusinya. -----------++++---------
336