RESTRUKTURISASI KREDIT SEBAGAI BAGIAN INTEGRAL RESTRUKTURISASI PERBANKAN (Bagian Pertama dari dua tulisan) Oleh : Wahyudi Santoso, S.H.MKn* )
I. PENDAHULUAN Berawal dari krisis nilai tukar pada pertengahan tahun 1997, dimana nilai rupiah terdepresiasi demikian dramatis terhadap mata uang negara lain khususnya dolar Amerika, memicu adanya ketidakpercayaan masyarakat terhadap rupiah. Fakta menunjukkan ketidakpercayaan tersebut kemudian menjalar sampai pada ketidakpercayaan pada perbankan yang bermuara pada timbulnya krisis perbankan.1 Bahkan untuk kasus *)Penasehat Hukum Eksekutif, Direktorat Hukum Bank Indonesia 1
J. Soedradjad Djiwandono, mantan Gubernur Bank Indonesia, dalam kaitan dengan masalah perbankan membedakan antara banking distress dan banking crisis. Banking distress digunakan untuk menunjukkan keadaan bila sejumlah bank mengalami masalah solvabilitas tetapi likuiditas tidak bermasalah. Istilah krisis perbankan digunakan untuk menggambarkan keadaan di mana terjadi peningkatan kredit macet, peningkatan kerugian bank (karena pinjaman valuta asing) dan menurunnya investasi sehingga menimbulkan masalah solvabilitas dalam perbankan. Dalam hal ini sejumlah bank mengalami masalah di mana kewajiban bank lebih besar dari
Indonesia, krisis tersebut berlanjut hingga pada krisis sosial politik yang kemudian berujung pada pergantian rezim penguasa. Bank disamping ditinggalkan oleh para nasabah deposannya, juga ditinggalkan bankbank lain yang selama ini menjadi mitranya (ditandai dengan rush atau bank run). Fenomena semacam itu yang “memaksa” pemerintah menerbitkan kebijaksanaan blanket guarantee untuk menyelamatkan sistem perbankan dan ekonomi secara keseluruhan. Buah dari krisis itu, mengingat strategisnya peran perbankan dalam perekomian nasional selaku intermediary institution, maka dipandang perlu untuk melakukan
nilai pasar asetnya (net worth yang negatif), sehingga menyebabkan terjadinya penarikan besar-besaran, bangkrutnya bank yang kemudian terjadi campur tangan pemerintah. Dan krisis Indonesia pada mulanya didahului banking distress yang kemudian berjalan sangat cepat menjadi banking crisis (J.Soedradjad Djiwandono, Bergelut Dengan Krisis dan Pemulihan Ekonomi Indonesia, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2001, hal.138141).
_______________________________________________________________________________________________________________ BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 6, Nomor 1, April 2008 14
restrukturisasi perbankan secara menyeluruh guna memulihkan 2 perekonomian. Seperti diketahui, pada sisi lain perekonomian nasional juga dibebani masalah kredit macet yang cukup serius. Terlebih pada era krisis yang terjadi, di mana tingkat bunga pinjaman demikian tinggi baik karena akibat kebijaksanaan uang ketat yang diterapkan saat itu maupun tingginya bunga simpanan guna mempertahankan likuiditas bank, sehingga kemampuan debitur untuk mengembalikan kewajiban pada bank juga menurun. Akibatnya non performance loan (NPL) bank menjadi bertambah besar, bahkan pernah tercatat mencapai 50% dari total portfolio kredit perbankan. Keadaan seperti itu jelas merupakan 2
Perlu dicatat bahwa dalam sejarah perbankan Indonesia restrukturisasi perbankan tersebut bukanlah hal yang baru, karena melalui paket-paket deregulasi pada era pemerintahan orde baru sebenarnya langkah tersebut sudah dimulai. Di bidang perbankan, PAKTO 1988 merupakan paket deregulasi yang cukup fenomenal, karena melalui paket ini perbankan nasional berkembang sangat cepat, terlepas dari dampak negatif yang ditimbulkannya yang tidak dapat dipungkiri harus dibayar mahal akibat kurang siapnya infrastruktur saat itu. Yang jelas ada pula pengaruh posisitifnya karena telah mengantar perbankan nasional menjadi perbankan yang modern dengan kualitas layanan dan produk yang relatif sejajar dengan perbankan internasional.
kendala besar ketika dilakukan restrukturisasi perbankan. Untuk itu tidak bisa tidak, NPL tersebut harus ‘dibersihkan’ sebagai bagian dari program restrukturisasi perbankan agar di samping tidak ‘membebani’ lagi bank yang telah direstrukturisasi juga masalah NPL tersebut dapat diselesaikan secara lebih fokus sehingga dapat memberikan hasil yang lebih maksimal.
II. SEKILAS RESTRUKTURISASI PERBANKAN Program restrukturisasi perbankan pada dasarnya dapat dipilah dalam dua besaran pokok, yaitu program pemulihan perbankan (recovery program) dan pemantapan ketahanan sistem perbankan (strengthen the banking system). Recovery program diarahkan pada upaya mengatasi dampak krisis, karena secara faktual pekerjaan rumah yang sudah di depan mata memang bagaimana pemulihan tersebut dapat segera dilakukan sekurang-kurangnya untuk meminimalisasikan timbulnya resiko sistemik yang lebih parah. Adapun program pemantapan ketahanan sistem perbankan diperlukan atau diarahkan agar perbankan nasional tidak terperosok lagi dalam segala bentuk krisis serta lebih kuat dan sehat dibanding sebelumnya.
_______________________________________________________________________________________________________________ BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 6, Nomor 1, April 2008 15
Sebagai suatu gambaran umum pemulihan perbankan dijalankan melalui langkah-langkah sebagai berikut. a. Pemberian jaminan pemerintah secara menyeluruh (blanket guarantee) untuk memulihkan kepercayaan masyarakat dan kreditur. b. Rekapitalisasi perbankan untuk memberdayakan kembali bankbank yang kehilangan daya akibat krisis namun masih mempunyai prospek yang baik. c. Restrukturisasi kredit untuk ‘membersihkan’ bank-bank, terutama yang direkapitalisasi, dari beban NPL sehingga mempunyai performance yang lebih baik dan sehat. d. Likuidasi bank yang tidak mempunyai harapan hidup sehingga tidak membebani sistem yang dibangun. Disadari bahwa adanya kebijakan blanket guarantee berpotensi terhadap timbulnya moral hazard, karena dapat mendorong bank (pengurus atau pemilik bank) untuk kurang hati-hati dalam menjalankan operasional bank. Namun demikian dalam situasi di mana kepercayaan masyarakat kepada perbankan sudah demikian sangat rendah atau mengalami krisis yang dahsyat, maka penerapan blanket guarantee
merupakan tindakan yang cukup ampuh. Hasrat masyarakat untuk menarik dana simpanannya di bank secara besar-besaran dan serentak dapat diredam, dan situasi ini cukup membantu ketika program rekapitalisasi mulai dijalankan. Dalam perspektif ini kehadiran Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) sebagai bagian dari sistem perbankan menjadi hal yang strategis dan mendesak, karena secara normatif dalam situasi yang normal blanket guarantee tidak mungkin dipertahankan terus menerus. Ketentuan yang cukup fenomenal menyangkut rekapitalisasi perbankan adalah Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia No.53/KMK.027/1990 dan No.31/12/KEP/GBI tanggal 8 Februari 1999 tentang Pelaksanaan Program Rekapitalisasi Bank Umum. Secara teori hukum memang ada yang mempertanyakan keberadaan dan kekuatan suatu SKB, mengingat dalam tata urutan perundangundangan tidak dikenal adanya produk hukum berupa SKB. Namun demikian karena kebutuhan dalam praktek yang memerlukan tindakan tertentu yang bersifat koordinatif antar berbagai institusi negara, maka keberadaan SKB dianggap sebagai “hidup dan mengikat”. Dalam hal ini tampaknya yang lebih dikedepankan
_______________________________________________________________________________________________________________ BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 6, Nomor 1, April 2008 16
adalah faktor asas manfaat dalam hukum yang dalam beberapa hal memang diperlukan ‘payung’ guna menaungi atas perbuatan hukum yang bermanfaat yang harus diambil. Dan secara fakta dalam konteks rekapitalisasi perbankan SKB itulah yang dijadikan pedoman atau dasar pokok pelaksanaannya. Terkait dengan upaya dimaksud juga telah dilakukan pemetaan perbankan di mana Bank Indonesia dengan dibantu auditor internasional melakukan due 3 diligent terhadap setiap bank , dan di samping itu dibentuk pula Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN)agar penanganan restrukturisasi perbankan dapat lebih fokus. Dalam ketentuan SKB Menkeu dan Gubernur BI tersebut diatur kriteria pokok bagi bank yang dapat diikutsertakan dalam program rekapitalisasi antara lain : * Bank tergolong dalam katagori B; * Pemegang saham Bank wajib setor tunai sekurang- kurangnya 20%
* *
*
*
kebutuhan modal untuk mencapai CAR 4%; Rencana kerja dinilai layak; Pemegang saham dan pengurus bank harus lulus fit and proper test; Pengalihan kredit yang tergolong macet pada Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN); Menyampaikan rencana yang jelas dan realistis untuk menyelesaiakan kredit kepada pihak terkait termasuk kredit yang melampaui Batas Maksimal Pemberian Kredit (BMPK).
Memperhatikan persyaratan tersebut tampak bahwa syarat untuk menyelesaikan permasalahan kredit merupakan faktor sangat penting. Bahkan manajemen bank, untuk dapat mengikuti program rekapitalisasi dipaksa untuk menyelesaikan masalah kreditnya baik dengan menyerahkan kepada BPPN maupun melalui upaya terencana dalam monitoring terhadap masalah BMPK.
3
Dari hasil dari due diligent tersebut, perbankan nasional dikelompokkan dalam tiga kategori, yaitu A, B dan C. Bank kategori A adalah bank yang memiliki CAR 4% atau lebih dan mampu mandiri, Bank kategori B adalah bank yang memiliki CAR antara minus 25% dan 4% yang mendapat kesempatan untuk mengikuti program rekapitalisasi. Sedangkan bank kategori C adalah bank yang memiliki CAR kurang dari minus 25% yang dinilai tidak layak hidup lagi sebagai bank.
Terhadap besaran kedua menyangkut program restrukturisasi perbankan berupa pemantapan ketahanan sistem perbankan, dilakukan langkahlangkah peningkatan integritas SDM perbankan, pemantapan pengawasan bank dan penciptaan kondisi lingkungan perbankan yang kondusif. Integritas SDM perbankan tersebut diupayakan dengan menempuh
_______________________________________________________________________________________________________________ BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 6, Nomor 1, April 2008 17
antara lain mendorong untuk menciptakan good corporate governance, fit and proper test terhadap pengurus maupun pemegang saham pengendali, kewajiban pembentukan direktur kepatuhan (compliance director). Paradigma baru yang diusung untuk memantapkan fungsi pengawasan bank diarahkan pada fokus kondisi keuangan bank, kepatuhan terhadap ketentuan, penilaian fit dan proper bagi manajemen bank serta sistem dan prosedur pengawasan intern bank. Sedangkan penciptaan lingkungan perbankan yang kondusif ditempuh antara lain dengan mengupayakan pendirian LPS sebagai pengganti blanket guarantee dan mengoptimalkan lembaga penunjang lainnya seperti asosiasi perbankan dan kantor akuntan publik. III. RESTRUKTURISASI KREDIT Dari sisi penanaman, fungsi intermediasi yang paling dominan dilakukan bank adalah melalui usaha perkreditan. Disadari bahwa disamping menjanjikan keuntungan sebagai sumber utama pendapatan bank, pemberian kredit juga mempunyai sisi risiko yang tinggi bagi bank. Oleh sebab itu terdapat pokokpokok kaidah yang harus diperhatikan atau dilakukan bank sebelum mengucurkan kreditnya, yang biasa dikenal dengan prinsip 5’C (Character,
Capacity, Capital, Condition Economy, dan Collateral).
of
Dari sisi prudential, berdasarkan SK Direksi BI No.27/162/KTP/DIR tanggal 31 Maret 1995 kepada bank diwajibkan untuk memiliki kebijakan perkreditan secara tertulis, yang sukurang-kurangnya memuat atau mengatur prinsip kehati-hatian dalam perkreditan, organisasi dan manajemen perkreditan, kebijakan persetujuan kredit, dokumentasi dan administrasi kredit, pengawasan dan penyelesaian kredit bermasalah. Melalui ketentuan tersebut diharapkan bank mempunyai panduan yang jelas sebagai pedoman pelaksanaan perkreditannya, sehingga risiko yang mungkin timbul sedini mungkin dapat dideteksi dan dikendalikan, sekaligus dapat menghindari kemungkinan penyalahgunaan wewenang dalam pemberian kredit. Sebagaimana dimaklumi salah satu dampak yang serius dari krisis terhadap sektor perkreditan adalah besarnya non performance loan (NPL) pada bank-bank. Sebagai upaya mengatasinya BI menetapkan arah kebijaksanaan agar setiap bank umum secara bertahap dapat menurunkan NPL sampai pada tingkat tidak lebih dari 5% pada akhir 2001 (dari posisi rata-rata 39%). Dalam hal ini bankbank dibebaskan menentukan atau memilih cara untuk menurunkan level
_______________________________________________________________________________________________________________ BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 6, Nomor 1, April 2008 18
NPL tersebut, apakah melalui penagihan langsung, atau melalui jalur hukum (gugatan pengadilan), atau melakukan restrukturisasi kredit. Dari beberapa alternatif tersebut tampaknya restrukturisasi kredit merupakan alternatif yang banyak ditempuh bank, termasuk bank yang direkapitalisasi. Dalam hubungan dengan hal tersebut langkah yang diambil BI untuk membantu proses restrukturisasi kredit adalah dengan menerbitkan SK Direksi BI No.31/150/KEP/DIR tanggal 12 November 1998 tentang Restrukturisasi Kredit dan membentuk Satuan Tugas (Satgas) Restrukturisasi Kredit. Dalam ketentuan tersebut ditegaskan bahwa : “Restrukturisasi Kredit adalah upaya yang dilakukan oleh bank dalam kegiatan usaha perkreditan agar debitur dapat memenuhi kewajibannya, yang dilakukan antara lain melalui : 1. penurunan suku bunga; 2. pengurangan tunggakan bunga kredit; 3. pengurangan tunggakan pokok kredit; 4. perpanjangan jangka waktu kredit; 5. penambahan fasilitas kredit; 6. pengambilalihan aset debitur sesuai ketentuan yang berlaku; 7. konversi kredit menjadi penyertaan modal sementara pada perusahaan debitur.” Dari batasan tersebut tampak jelas bahwa arah dari restrukturisasi kredit pada prinsipnya untuk memperbaiki
kualitas kredit. Namun demikian untuk melakukan hal tersebut terdapat kaidah-kaidah yang harus diperhatikan oleh bank, karena upaya ini juga mengandung kerawanan penyalahgunaan oleh manajemen. Oleh sebab itu secara prinsip ditetapkan bahwa restrukturisasi kredit hanya boleh dilakukan terhadap debitur yang masih memiliki prospek usaha yang baik, dan telah atau diperkirakan akan mengalami kesulitan pembayaran pokok dan atau bunga. Bank juga dilarang melakukan restrukturisasi kredit dengan tujuan untuk menghindari penurunan penggolongan kualitas kredit, atau pembentukan Penyisihan Penghapusan Aktiva Produktif (PPAP) yang lebih besar, atau menghindari penghentian pengakuan pendapatan bunga secara akrual. Adapun peran yang dimainkan Satgas Restrukturisasi Kredit pada dasarnya sebagai fasilitator yang melakukan langkah-langkah koordinatif terhadap kreditur dan debitur dalam rangka penyelesaian kredit. Untuk itu ada delapan tahapan proses restrukturisasi yang ditetapkannya, yaitu pengumpulan data kreditur dan debitur, pertemuan antar kreditur dan pembentukan komite kreditur, negosiasi antara kreditur dan debitur tentang cara penyelesaian, penandatanganan perjanjian standstill, penunjukan Financial
_______________________________________________________________________________________________________________ BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 6, Nomor 1, April 2008 19
Advisor, Auditor, Legal Advisor, proses due diligence, negosiasi persyaratan restrukturisasi dan penandatanganan perjanjian restrukturisasi. Tahapan tersebut tidak bersifat ‘series’ yang harus dilalui, di mana penerapannya sangat tergantung pada kondisi obyektif kreditur dan debiturnya.
gambaran bahwa sebanyak 1.368 debitur dinilai layak direstrukturisasi dengan melibatkan nilai nominal Rp.55.610 milyar, sedangkan yang tidak direstrukturisasi sejumlah 874 debitur dengan nominal Rp.2.285 milyar yang ditempuh melalui penyelesaian lainnya seperti write off, jalur pengadilan dan sebagainya. Untuk lebih mudahnya terlihat pada tabel di bawah ini.
Dari identifikasi, seleksi dan tindak lanjut yang dilakukan oleh bank terhadap debitur bermasalah, per posisi 31 Oktober 1999 diperoleh
(Dalam milyar Rupiah) 1999 Keterangan
Agustus
September
Oktober
Jml
Baki
Jml
Baki
Jml
Baki
Deb.
Debet
Deb.
Debet
Deb.
Debet
Layak restrukturisasi
887
43.903
1.190
52.078
1.368
55.610
- Dalam proses restrukturisasi
753
40.125
852
40.649
891
41.447
- Implementasi kesepakatan
134
3.778
338
11.429
477
14.163
374
1.248
443
1.373
847
2.285
5
13
11
18
79
100
369
1.235
432
1.356
768
2.185
1.261
45.151
1.633
53.451
2.215
57.895
Restrukturisasi *) Tidak direstrukturisasi - Write off - Penyelesaian lainnya Jumlah
*)Untuk posisi September dan Oktober termasuk data Bank mandiri dengan jumlah debitur sebanyak 133 debitur dan baki debet sebesar Rp.7.501 milyar
_______________________________________________________________________________________________________________ BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 6, Nomor 1, April 2008 20
Beberapa kendala yang dihadapi dalam proses restrukturisasi kredit antara lain sebagai berikut. a. Tidak adanya keterbukaan antara kreditur dan debitur. Hal demikian tidak lepas dari sifat hubungan yang antagonistik antara keduanya. Pihak kreditur, dalam hal ini bank, dalam prakteknya menetapkan persyaratan lebih mencerminkan besarnya kerugian yang dapat ditolerirnya serta kepastian pembayaran sesegera mungkin tanpa memperhatikan kondisi bisnis dan keuangan debiturnya. Pada sisi yang lain pihak debitur selalu berupaya memperoleh keringanan yang maksimal dengan menyerahkan agunan seminimal mungkin. b. Adanya keterbatasan baik finansial maupun tenaga staf yang ahli di bidang restrukturisasi pada lembaga-lembaga fasilitator seperti Satgas maupun Prakarsa Jakarta, sementara pada sisi yang lain nasabah debitur maupun bank kreditur terlalu berharap banyak pada lembaga tersebut yang secara fakta sebenarnya juga tidak mempunyai kekuatan memaksa. c. Kurangnya koordinasi antara lembaga yang terlibat sebagai fasilitator dalam restrukturisasi, karena masing-masing lembaga tersebut mempunya agenda atau
prioritas yang berbeda dengan yang lain.
satu
Adapun terhadap penyelesaian kredit bermasalah pada bank yang direkapitalisasi secara garis besar dapat diberi gambaran bahwa sesuai dengan SKB Menkeu dan Gubernur BI, terhadap bank yang ikut program rekapitalisasi wajib menyerahkan aset kredit macetnya kepada BPPN, di mana untuk hal ini dibuat perjanjian rekapitalisasi. Di BPPN hal ini ditangani oleh Aset Manajemen Unit (AMU BPPN). Per Juni 1999, jumlah kredit yang dialihkan berjumlah Rp.193,693 trilyun, yang 54,9%-nya berasal dari bank-bank BUMN dan hal itu belum termasuk kredit macet dari 38 bank beku kegiatan usaha (BBKU) dan 7 bank take over (BTO) di luar 4 bank yang saat itu dalam proses pembahasan pengalihannya. Di samping itu terhadap (berdasar SKB tersebut) bank-bank yang akan mengikuti program rekap juga diwajibkan untuk lebih dahulu menyelesaikan masalah kredit macet kepada pihak terkait, termasuk penyelesaian BMPK. Untuk hal ini di BPPN ditangani oleh Aset Manajemen Investment (AMI BPPN), dan dalam rangka proses tersebut, AMI BPPN telah menerima penyerahan 215 perusahaan dengan total nilai sebesar USD 10,4 milyar yang dikelola melalui 6 holding company. Namun demikian, setelah masa tugas BPPN
_______________________________________________________________________________________________________________ BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 6, Nomor 1, April 2008 21
berakhir, masalah tersebut masih menjadi pekerjaan rumah yang belum tuntas.
_______________________________________________________________________________________________________________ BULETIN HUKUM PERBANKAN DAN KEBANKSENTRALAN Volume 6, Nomor 1, April 2008 22