RESPONS KELOMPOK MUSLIM TERHADAP KEPEMIMPINAN NON-MUSLIM (Studi Kasus di Kelurahan Lenteng Agung Periode 2013-2014) Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Theologi Islam (S.Th.I.)
Oleh ILHAM NIM: 1110032100033
JURUSAN PERBANDINGAN AGAMA FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1436 H./2015 M.
ABSTRAK
Ilham Respons Kelompok Muslim Terhadap Kepemimpinan Non-Muslim (Studi Kasus di Kelurahan Lenteng Agung Periode 2013-2014) Indonesia merupakan negara multikultural, baik suku, bahasa dan agama. Hal ini memungkinkan adanya kepemimpinan dengan pemimpin yang memiliki keyakinan berbeda dengan mayorits warganya. Salah satunya adalah Kebijakan pemerintah DKI Jakarta yang mengeluarkan sistem lelang pada tahun 2013, menempatkan non-Muslim sebagai pemimpin di Kelurahan Lenteng Agung yang memiliki penduduk mayoritas Muslim dengan persentase ± 96%. Kepemimpinan yang dihasilkan sistem lelang tersebut disambut negatif oleh masyarakat Kelurahan Lenteng Agung. Pada tanggal 25 september 2013, untuk yang kedua kalinya, mereka melakukan aksi damai menolak kepemimpinan Lurah Susan. Dalam sebuah kepemimpinan respons masyarakat merupakan kunci keberhasilan, karena kepemimpinan adalah proses mempengaruhi masyarakat untuk mencapai tujuan bersama. Penelitian ini ingin mengetahui respons kelompok Muslim di Kelurahan Lenteng Agung periode 2013-2014 terhadap kepemimpinan non-Muslim. kemudian melalui studi kepustakaan, wawancara dan pengamatan lapangan penulis mendeskripsikan dan menganalisa landasan respons Kelompok Muslim di Kelurahan Lenteng Agung periode 2013-2014 terhadap kepemimpinan NonMuslim. Subyek yang diteliti memiliki pola kehidupan diantara masyarakat tradisional dan masyarakat modern. Tradisi keislaman masih di pegang kuat dalam kehidupan sehari-hari sehingga Kelurahan Lenteng Agung disebut sebagai “Kota Santri” Jakarta Selatan. Dari ajaran keagamaan serta sejarah kepemimpinan mereka sejak zaman dahulu, menunjukkan pemimpin Lenteng Agung adalah seorang Muslim. Oleh karena itu, kepemimpinan non-Muslim bagi mereka sangat dilarang atau sesuatu yang taboo.
i
KATA PENGANTAR Alhamdulillahi rabi al-‘alamin, puja serta puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT., atas segala rahmat, karunia dan ridho-Nya, skripsi dengan judul “Respons Kelompok Muslim Terhadap Kepemimpinan Non-Muslim: Studi Kasus di Kelurahan Lenteng Agung Periode 2013-2014” ini dapat diselesaikan. Shalawat serta salam penulis curahkan kepada panutan hidup, pencerah kehidupan, Nabi Muhammad saw., melaluinya mukjizat terbesar dari Allah SWT., Tuhan seluruh manusia, yakni al-Qur’an al-Karim dapat tersampaikan kepada umat manusia. Selanjutnya, penulis menyadari banyak pihak yang telah membantu penyelesaian skripsi ini. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan rasa hormat dan ucapan terima kasih kepada: 1.
Kedua orang tua penulis. Ketulusan, kesabaran serta dukungan keduanya baik moril maupun materil memberikan semangat dan kemudahan bagi penulis untuk segera bergerak menyelesaikan setiap tugas pendidikan.
2.
Bapak Dr. M. Amin Nurdin, M.A. yang telah membimbing dan meluangkan waktunya untuk penulis. Memberikan saran serta masukan dalam penyusunan skripsi. Mencurahkan pemikiran dan pengetahuan dalam penelitian. Setiap bantuan beliau adalah hal paling berharga dalam penyelesaian skripsi ini.
3.
Ketua Jurusan Ibu Dra. Halimah, M.Ag serta sekretaris Jurusan Ibu Rosmaria Syafariah W, S M.Si.
4.
Bapak K.H. Mujiburrahman pimpinan Pondok Pesantren Modern Assa’adah Serang-Banten yang membimbing penulis dari dunia pendidikan SMP hingga SMA serta mengarahkan penulis kedalam dunia pendidikan Tinggi.
5.
Seluruh Dosen yang mengajar di Jurusan Perbandingan Agama.
6.
Bapak Naseri Nasrullah selaku ketua RW. 003 Lenteng Agung sekaligus ketua penolakan Lurah Susan Jamine Zulkifli yang telah mengarahkan penulis kepada para informan. Ustad M. H. Thamrin selaku tokoh Agama sekaligus jubir penolakan Lurah Susan. Bapak H. Ya’qub Shabirin selaku
ii
tokoh masyarakat. Bapak Adhi Suryo selaku sekretaris Kelurahan yang telah memberikan informasi untuk skripsi ini. 7.
Someone special, yang selalu menemani dalam setiap langkah penelitian penulis dan orang yang selalu dapat me-recargh semangat penulis.
8.
Adik-adik kandung penulis tersayang yang selalu memberikan warna keceriaan dan arti dalam setiap aktifitas penulis. Mereka yang selalu memberikan tekanan yang menyadarkan penulis sebagai seorang kakak untuk selalu dapat menjadi panutan terbaik.
9.
Untuk teman-teman satu perjuangan terkhusus teman-teman dari jurusan Perbandingan Agama periode 2010-2011.
10. Semua pihak yang telah membantu penyusunan skripsi ini tanpa mengurangi rasa terima kasih yang tidak dapat penulis cantumkan satu persatu secara keseluruhan. Akhirnya, penulis selalu meyakini sebagai makhluk tiada kata sempurna, begitu pun dengan skripsi ini. Saran dan kritik konstruktif selalu diharapkan guna penyempurnaan selanjutnya. Penulis berharap skripsi ini dapat berguna secara umum bagi para pembaca dan secara khusus bagi penulis.
Ciputat, 15 Januari 2015 Penulis,
Ilham NIM 1110032100033
iii
DAFTAR ISI ABSTRAK ....................................................................................................... i KATA PENGANTAR ................................................................................... ii DAFTAR ISI ................................................................................................... iv BAB I
BAB II
BAB III
BAB IV
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ........................................................... B. Rumusan Masalah .................................................................... C. Tujuan Penelitian ...................................................................... D. Kegunaan Penelitian ................................................................. E. Tinjauan Pustaka ....................................................................... F. Definisi Konseptual .................................................................. G. Metodologi Penelitian ............................................................... H. Sistematika Penulisan ...............................................................
1 8 9 9 10 12 13 14
DISKURSUS KEPEMIMPINAN NON-MUSLIM A. Jabatan Dalam Islam ................................................................. B. Kriteria Pemimpin Menurut Ulama Klasik dan Kontemporer 1. Farabi ................................................................................... 2. Mawardi ............................................................................... 3. Ghazali ................................................................................. 4. Ibnu Taimiyah ...................................................................... 5. M. Quraish Shihab ............................................................... C. Warga Non-Muslim Dalam Kepemimpinan menurut Islam ....
16 19 19 20 22 23 25 27
GAMBARAN UMUM KELURAHAN LENTENG AGUNG A. Sejarah Kelurahan Lenteng Agung ........................................... B. Letak Geografis Kelurahan Lenteng Agung ............................. C. Sistem Pengangkatan Lurah dan Struktur Organisasi Kelurahan Lenteng Agung ........................................................ D. Keadaan Sosial dan Kebudayaan Kelurahan Lenteng Agung 1. Keadaan Sosial Kelurahan Lenteng Agung.......................... 2. Kebudayaan Kelurahan Lenteng Agung .............................. RESPONS KELOMPOK ISLAM TERHADAP KEPEMIMPINAN NON-MUSLIM DI KELURAHAN LENTENG AGUNG A. Masyarakat Tradisional dan Masyarakat Modern .................... 1. Masyarakat Tradisional ........................................................ 2. Masyarakat Modern ............................................................. 3. Masyarakat Kelurahan Lenteng Agung ............................... B. Pluralisme dan Toleransi Kelompok Islam Lenteng Agung Terhadap Kepemimpinan Non-Muslim .................................... 1. Pluralisme dan Kebebasan Beragama .................................. 2. Toleransi Terhadap Kepemimpinan non-Muslim dan
iv
39 41 43 45 46
50 51 52 54 55 55
Kebebasan Berprofesi .......................................................... 63 3. Kepemimpinan non-Muslim Menurut Kelompok Islam di Lenteng Agung ..................................................................... 68 4. Keadilan dan Kesetaraan ...................................................... 75 BAB V
PENUTUP A. Simpulan ................................................................................... B. Saran .........................................................................................
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... LAMPIRAN
v
81 82 84
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indonesia merupakan negara dengan jumlah penduduk terpadat ke-4 di dunia. Sekitar lebih dari 248,8 juta jiwa1 penduduk Indonesia memadati sekitar 17.504 pulau2 yang tersebar di Indonesia. Jumlah penduduk dan pulau yang ada di Indonesia menjadikannya sebagai negara yang Multikultural; terdiri dari berbagai etnis, bahasa, hingga keyakinan dalam beragama. Tingkat pluralitas keberagamaan yang tinggi di Indonesia memungkinkan adanya pemerintahan yang dipimpin oleh seseorang yang memiliki keyakinan berbeda dengan mayoritas masyarakat. Seperti yang terdapat di DKI Jakarta, dengan jumlah penduduk yang mencapai 9.607.787 jiwa3, menjadikan ibu kota Negara Indonesia ini memiiki tingkat kepadatan penduduk yang tinggi. Kepadatan penduduk ini tentu tidak terlepas dengan pluralitas keyakinan yang dianut warganya, mengingat banyaknya masyarakat Indonesia yang ikut berperan dalam berbagai kegiatan di Jakarta dengan merantau dari berbagai daerah. Sehingga di tengah pluralitas yang ada baik itu ras, suku, maupun agama, pemprov DKI Jakarta dituntut untuk dapat memajukan setiap wilayah yang berada dalam kekuasaannya. Tentunya kemajuan suatu wilayah tidak akan lepas dari peran seorang pemimpin. Dalam keadaan seperti ini,
1
Http://www.bps.go.id, diakses pada tanggal: 05-01-2015, pada pukul: 12.10 WIB. http://www.dkn.go.id/site/index.php/ruang-opini/126-jumlah-pulau-di-indonesia, diakses pada 05 Januari 2015, pukul: 12.15 WIB. 3 www.dephut.go.id, diunduh pada 21 Juli 2014, pukul: 14.00 WIB. 2
1
2
terkadang pemerintah harus menempatkan seorang pemimpin daerah yang dianggap kompeten untuk mengurus daerah tersebut, meskipun ia memiliki keyakinan yang berbeda dengan mayoritas warganya. Salah satu contoh adalah yang terjadi di Kelurahan Lenteng Agung. Kelurahan Lenteng Agung memiliki luas wilayah 227,74 ha4 dan jumlah penduduk pada tahun 2010 sekitar 59.735 jiwa5 menjadikannya sebagai kelurahan dengan mayoritas umat Islam, yakni sekitar 50.215 orang beragama Islam pada tahun 20086. Pada tahun 2013 masyarakat Muslim menjadi sekitar 53.732 jiwa7 dari total keseluruhan masyarakat 55.902 jiwa.8 Kelurahan Lenteng Agung, Kecamatan Jagakarsa, Jakarta Selatan, merupakan salah satu dari sekian contoh kepemimpinan yang dijalankan oleh pemimpin berbeda keyakinan dengan mayoritas masyarakatnya. Kepemimpinan tersebut merupakan hasil kebijakan pemerintah yang merubah sistem pengangkatan Lurah dari jenjang jabatan menjadi sistem lelang jabatan. Sistem lelang jabatan yang dilakukan oleh pemerintah pusat DKI Jakarta, menempatkan Susan Jasmine Zulkifli yang beragama Kristen sebagai Lurah ditengah warganya yang mayoritas beragama Islam. Keputusan yang diambil pemerintah ini tidak disambut positif oleh warga Lenteng Agung. Sehingga pada hari rabu (25/9/2013) siang, sejumlah warga Lenteng Agung kembali 4
Http://Akumassa.Org/Program/Lenteng-Agung-Jakarta-Selatan/Monografi-KelurahanLenteng-Agung/, diakses pada 08 Mei 2014, pukul: 08:20 WIB. 5 Http://Jakarta.Bps.Go.Id/Index.Php?Bwvudt0xnszwywdlpwrhdgemc3vipszpzd0xmszpzh dpbd0zmtcxmdew, diakses pada 08 Mei 2014, pukul: 09:14 WIB. 6 Http://Akumassa.Org/Program/Lenteng-Agung-Jakarta-Selatan/Monografi-KelurahanLenteng-Agung/, diakses pada 08 Mei 2014, pukul: 08:20 WIB. 7 Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta, Laporan Tahunan tahun 2013, kelurahan Lenteng Agung, Jagakarsa Jakarta Selatan, h. 7 8 ibid, h. 5
3
(sebelumnya juga sempat mengadakan demo hari rabu 28 agustus 2013) melakukan aksi damai menolak Lurah Lenteng Agung Susan Jasmine Zulkifli. Demo ini sebagai bentuk penolakan mereka pada sosok Lurah Lenteng Agung, Susan, lantaran keyakinan yang dianut Susan tidak sama dengan mayoritas warga di wilayah binaannya.9 Meski demikian, salah satu kelurahan yang berlokasi tidak jauh dari Lenteng Agung, yakni kelurahan Pejaten Timur, juga mengalami kebijakan pemerintah serupa. Namun, hal tersebut memunculkan efek yang berbeda dari apa yang dilakukan oleh sebagian warga kelurahan Lenteng Agung. Mereka (warga Pejanten Timur) menerima kehadiran lurah baru yang telah dipilih oleh pemerintah DKI Jakarta. Kebijakan tersebut menempatkan Grace Tiaramudi, 45 tahun, sebagai lurah di Pejaten Timur yang memiliki penduduk dengan mayoritas beragama Islam. Grace Tiaramudi terpilih dalam lelang jabatan akhir Juni lalu.10 Oleh karena itu, penelitian ini secara umum mengkaji pandangan dan respons kelompok Muslim di Kelurahan Lenteng Agung terhadap penempatan kepemimpin Non-Muslim periode 2013-2014. Saat penelitian ini berlangsung mulai dari tanggal 21 Mei 2014, kepemimpinan non-Muslim di Kelurahan Lenteng Agung masih berjalan. Namun, mulai hari Jumat, 02 januari 2015, Lurah Susan digeser menjadi Lurah di Gondangdia.11 Meskipun
9
Http://www.merdeka.com/Peristiwa/Demo-Warga-Lenteng-Agung-Tolak-Lurah-SusanCederai-Pancasila.Html, diakses pada 08 Mei 2014, pukul: 08:45 WIB. 10 Http://Www.Tempo.Co/Read/News/2013/09/25/083516430/Lurah-Susan-DidemoGrace-Tiaramudi-Dipuji-Warga, diakses pada 08 Mei 2014, pukul: 08:55 WIB. 11 http://news.detik.com/read/2015/01/02/134233/2792496/10/ahok-mutasi-lurah-susanke-gondangdia?n991104466, diakses pada diakses pada 05 Januari 2015, pukul: 13:05 WIB.
4
saat penelitian ini hampir selesai, lurah di Lenteng Agung sudah berganti, penelitian ini dianggap tetap dapat diteruskan, karena fokus penelitian adalah respons masyarakat bukan Lurah yang non-Muslim. Dengan demikian, penambahan
periode
kepemimpinan
tersebut
dianggap
perlu
untuk
memberikan batasan sekaligus keterangan waktu dalam penelitian ini dikarenakan pemutasian yang dilakukan Pemerintah DKI Jakarta yang saat ini dipimpin Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Kepemimpinan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti perihal pemimpin atau cara memimpin. Sedangkan menurut Rauch dan Behling (1984, 46) “Leadership is the process of influencing the activities of an organized
group
toward
goal
achievement”.12
Dengan
kata
lain,
kepemimpinan di sini adalah suatu proses mempengaruhi masyarakat untuk mencapai tujuan bersama. Penentuan seorang pemimpin dalan suatu kepemimpinan tidak dapat memperhatikan kepentingan maupun keunggulan sebelah pihak saja, sebab dalam sebagian masyarakat struktur kekuasaan berkaitan erat dengan sistem kepercayaan, sebab nilai-nilai yang berfungsi untuk mempertahankan masyarakat itu bersumber pada sistem tersebut. Dalam sebuah kata pengantar, Sartono
Kartodirdjo,
mengungkapkan
bahwa
secara
terperinci
lagi
kepemimpinan adalah pertemuan antara berbagai faktor: sifat golongannya, kepribadian dan situsi atau kejadian. Ketiga faktor itu menunjukkan sifat
12
Andrew K. Leigh, Leadership and Aboriginal Reconciliation, h. 5. Diakses pada 05 Januari 2015, pukul: 11:05 WIB, dari http://andrewleigh.org//pdf/Leadership%20&%20 Reconciliation%20text%20only.pdf
5
multidimensional gejala kepemimpinan, yaitu aspek sosial-psikologis, sosialantropologis dan sosial-historis.13 Dengan demikian, untuk menghasilkan seorang pemimpin membutuhkan interaksi antara orang dengan kepribadian yang kuat dengan faktor situasi agar tercipta suasana harmonis antara pemimpin dengan masyarakat yang merespons positif setiap kegiatan. Dalam dunia Islam, proses penentuan seorang pemimpin yang dapat mengarahkan warganya merupakan suatu wacana yang sering menjadi pembicaraan. Salah satunya ialah menurut Dr. Anis Malik Thoha, bahwa dalam Islam, pemerintahan atau khilafah mencakup kepemimpinan agama dan dunia yang menggantikan Nabi saw., sebagaimana yang dinyatakan para ulama. Maka dalam hal kepemimpinan ini tidak boleh menggantikan Nabi saw. kecuali seorang Muslim. Adapun jabatan-jabatan selain pos-pos yang kental dengan warna agama (selain pemimpin tentara dan peradilan) boleh dipercayakan kepada non-Muslim yang memang berkompeten. Bahkan para fuqoha sekaliber al-Mawardi menjelaskan bahwa Dhimmi dibolehkan memegang jabatan eksekutif. Dan pada masa kekhalifahan Abbasyiyyah beberapa orang Nashrani memegang jabatan setingkat menteri, seperti Nasr ibn Harun (369 H.) dan Isa ibn Nasturus (380 H.).14 Begitu pula yang tertera pada hasil muktamar yang terdiri dari para ulama dari bermacam aliran untuk membicarakan soal Negara Islam.
13
Sartono Kartodirdjo. Kepemimpinan Dalam Dimensi Sosial (Jakarta: LP3ES, 1984), h.
vii. 14
Anis Malik Thoha, Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis (Jakarta: Perspektif, 2005),
h. 260.
6
Muktamar ini dipimpin oleh Syeikh Suleiman el-Nadawi (alm.) dilaksanakan di Karachi – Pakistan pada tanggal 12 – 15 Rabi’ul akhir 1370 / 21 – 24 Januari tahun 1951. Pada poin ke-12 menyatakan bahwa kepala negara harus seorang pria beragama Islam, kepadanya masyarakat atau wakil-wakil mereka yang terpilih meletakkan kepercayaan berdasarkan keagamaan, kecakapan dan kecerdasan pikirannya.15 Dengan kata lain, mereka yang menghendaki seorang pemimpin hanya dari golongan Muslim saja adalah bagian dari dambaan sistem Negara Islam atau sering disebut dengan istilah Khilafah. Sedangkan di Indonesia, wacana tentang “masyarakat Islam”, yang menarik perhatian pada tahun tujuh puluhan, tidak mendapat persetujuan. Oleh karena itu, sekelompok cendekiawan yang belajar di IAIN Yogyakarta, di bawah A. Mukti Ali – yang kemudian menjadi menteri agama – menghimbau dengan tegas kaum intelektual Muslim untuk mengemansipasi diri – lebih daripada yang dimaksudkan di Jakarta – dari elit politik umma yang lama. Mereka dihimbau untuk menjadi kekuatan dinamis dan partisipatoris dalam seluruh bangsa. Salah seorang juru bicara mereka, Ahmad Wahib, malah mengatakan bahwa ia akan berpihak pada kaum non Muslim, jika ternyata nilai-nilai keadilan dan tanggung jawab sosial yang dipentingkan Islam diwakili dengan lebih baik oleh mereka dari pada oleh kaum.16
15
Fuad Mohd. Fachruddin, Pemikiran Politik Islam (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1988),
h. 267. 16
Olaf H. Schumann, Menghadapi Tantangan, Memperjuangkan Kerukunan (Jakarta: Gunung mulia, 2009), h. 243.
7
Kaum cendekiawan Islam moderat – seperti tampak di atas – berusaha menyosialisasikan semangat demokrasi dan konsep masyarakat madani (civil society) dalam kesadaran umum. Dengan demikian, mereka juga ingin – dalam perspektif Islam – menyiapkan jalan bagi suatu konsep masyarakat yang memenuhi tuntutan masyarakat modern serta memajukan kerukunan dan kerja sama. Apabila demokrasi diartikan sebagai apa yang didefinisikan bahwa sistemnya, diikuti dengan realisasi asas pemisahan antara kekuasaankekuasaan. Ini juga ada dalam sistem Islam. Dalam kekuasaan legislatif yang merupakan kekuasaan terpenting dalam sistem demokrasi – apapun diberikan penuh kepada rakyat sebagai satu kesatuan, dan terpisah dari kekuasaan imam atau presiden. Pembuatan undang-undang atau hukum didasarkan pada Al-Quran dan hadis atau ijma’ atau ijtihad. Oleh sebab itu, pembuatan undang-undang atau hukum tersebut terpisah dari imam, bahkan dia berkedudukan lebih tinggi dari pada imam (pemimpin). Sedangkan imam harus menaatinya dan terikat olehnya.17 Dengan demikian, perhatian masyarakat Indonesia yang telah memilih demokrasi dalam bernegara adalah mereka (pemimpin) yang mampu dan bertanggung jawab untuk menegakkan setiap hukum yang telah disepakati bersama dengan tetap menjaga nilai-nilai yang ada di masyarakat. Meski demikian, pemerintah juga perlu untuk memperhatikan respons ataupun penerimaan dari warga sebelum menentukan kebijakan. Selain sistem 17
Fahmi Huwaydi, Demokrasi, Oposisi dan Masyarakat Madani: Isu-isu Besar Politik Islam (T.tp.: Mizan, t.t.), h. 197.
8
demokrasi yang digunakan di Indonesia, dalam kepemimpinan tidak hanya kemampuan saja yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan bersama, tapi juga penerimaan dari masyarakat akan kehadiran pemimpin tersebut. Karena pemimpin yang ideal itu, paling tidak, harus memenuhi beberapa persyaratan. Pertama, ia harus memiliki penerimaan (acceptability) di kalangan umat (masyarakat) itu sendiri, baik pada tingkat lokal maupun pada tingkat nasional. Kedua, ia harus memiliki penghargaan di kalangan umat itu (accountability), baik karena kemampuannya atas ilmu-ilmu keagamaan maupun karena kemampuannya menjalankan roda organisasi. Dan ketiga, ia perlu memiliki kredibilitas di kalangan pemerintah dan umat lain sehingga dapat menghadirkan agama sebagai rahmatan lil’alamin dalam konteks kekuasaan dan kemajemukan masyarakat di Indonesia.18 B. Rumusan Masalah Penolakan yang dilakukan oleh sebagian kelompok Muslim di Kelurahan Lenteng Agung tanpa melihat kapabilitas dan pengalaman Lurah yang sesungguhnya telah menjadi perhatian pemerintah DKI Jakarta dalam upaya peningkatan kualitas pemerintahan yang lebih efektif, menunjukkan sikap intoleransi kelompok Muslim yang menjadi warga kelurahan Lenteng Agung terhadap kepemimpinan Non-Muslim masih tinggi. Dengan memperhatikan respons negatif yang muncul maka hipotesis dari penelitian ini adalah kelompok
18
Muslim
kelurahan
Lenteng
Agung
intoleran
terhadap
H.M. Hasbi Umar, Islam dan Kepemimpinan Nasional: Pemaknaan dan Mengkulturasikan Model Kepemimpinan Masa Kini, ebook, h. 326, diakses pada 05 Januari 2015, pukul: 14.56, dari http://blog.ub.ac.id/senyumu/files/2013/11/Islam-dan-Kepemimpinan-NasionalHM-Hasbi-Umar. pdf.
9
kepemimpinan non-Muslim. Oleh karena itu, yang akan dilihat dalam penelitian ini adalah sejauhmana pandangan kelompok Muslim kelurahan Lenteng Agung terhadap kegiatan kepemimpinan yang dilakukan oleh nonMuslim periode 2013-2014 untuk mencapai tujuan bersama. Berdasarkan hipotesis di atas maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah respons kelompok Muslim terhadap kepemimpinan non-Muslim. Pertanyaan penelitian yang diajukan adalah: Bagaimana respons kelompok Muslim
kelurahan
Lenteng
Agung
periode
2013-2014
terhadap
kepemimpinan non-Muslim? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan peneltian ini adalah: Untuk mengetahui, menganalisa dan mendeskripsikan respons kelompok Muslim di Kelurahan Lenteng Agung periode 2013-2014 terhadap kepemimpinan non-Muslim. D. Kegunaan Penelitian Dalam penelitian ini, penulis berharap hasil yang didapat memiliki kegunaan sebagai berikut: a.
Kegunaan Akademis Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan informasi dan dokumentasi ilmiah untuk perkembangan ilmu pengetahuan terutama dalam bidang ilmu sosial-keagamaan. Selain itu, Penelitian ini juga dapat menambah khazanah keilmuan serta wawasan baru, bagi peneliti secara khusus dan masyarakat pada umumnya
10
b.
Kegunaan Pragmatis Penelitian ini ditujukan untuk memenuhi tugas akademik yang merupakan syarat dan kewajiban bagi setiap mahasiswa dalam rangka menyelesaikan studi tingkat Sarjana Program Strata 1 (S1). Penelitian ini juga dapat memberikan kontribusi yang nyata berupa aspirasi dan informasi kepada pihak-pihak tertentu, seperti mahasiswa, aktivis, cendekiawan serta pengambil kebijakan di Indonesia.
E. Tinjauan Pustaka Orisinalitas,
autentisitas,
dan
kontekstualitas
dalam
penelitian
merupakan asas yang harus dipegang teguh dalam setiap penelitian. Oleh karena itu, agar penilitian yang dilakukan mendapatkan pengakuan atau validitas yang utuh, maka penulis melakukan kajian kepustakaan supaya penelitian yang dilakukan mendapatkan posisi yang lebih jelas. Dari hasil penelusuran penulis ditemukan beberapa hasil penelitian yang terkait dengan tema yang akan diteliti, di antaranya sebagai berikut: Pertama: sebuah karya tulis Herly Janet Lesilolo yang dimuat dalam sebuah Jurnal Pembangunan Pendidikan: Fondasi dan Aplikasi berjudul “Kepemimpinan Transformasional dalam Rekonstruksi Peran Agama di Indonesia”.
Dalam
tulisan
tersebut
ia
menganggap
Kepemimpinan
transformasional, dengan ciri utama perubahan diri diharapkan dapat merekonstruksi peran agama di Indonesia dengan: Pertama, menginternalisasi hak, kesamaan dan kesetaraan dalam lingkung kehidupan beragama. Kedua,
11
membumikan makna martabat manusia. Ketiga, menerapkan apresiasi toleransi keragaman. Keempat, memobilisasi kolektif dengan adaptif sebagai upaya penghilangan diskriminasi, stereotipe dan prasangka, dan Kelima, membangun demokrasi dalam dialog. Disini terlihat jelas bahwa Herly menghendaki adanya peningkatan peran agama di masyarakat dengan peran serta seorang pemimpin, sedangkan penulis bertujuan untuk mengetahui respons yang terjadi dalam sebuah masyarakat dengan seorang pemimpin yang memiliki keyakinan yang berbeda. Kedua, sebuah buku berjudul “Presiden Non Muslim Di Negara Muslim: Tinjauan Dari Perspektif Politik Islam Dan Relevansinya Dalam Konteks Indonesia”. Buku ini adalah sebuah karya Dr. Mujar Ibnu Syarif, M.Ag. Buku tersebut memuat berbagai pandangan dari beberapa ulama dari ulama klasik hingga kontemporer mengenai kepemimpinan non-Muslim. Di dalamnya dibahas pula dalil-dalil naqli maupun aqli yang dijadikan landasan untuk menentukan sebuah kepemimpinan baik dari kalangan yang pro maupun kontra terhadap kepemimpinan non-Muslim. Polemik penetapan syarat seorang pemimpin di Indonesia juga menjadi pembahasan pada bab akhir buku ini. Dalam buku ini muatan pembahasan seputar kepemimpinan non-Muslim dalam pandangan para ulama sangat detil dan menyeluruh, berbeda dengan penulis yang hanya mencantumkan beberapa tokoh dan argumentasi terhadap kepemimpinan non-Muslim. Perbedaan tersebut dilandaskan pada fokus penelitian yang akan dilakukan penulis. Penulis tidak terfokus pada pembahasan konsep kepemimpinan non-Muslim dan kemudian
12
dijadikan landasan untuk menentukan hukum maupun sikap bagi para pembacanya seperti yang terkandung dalam buku ini. Namun, penulis hendak meneliti respons masyarakat terhadap kepemimpinan non-Muslim itu sendiri. Sehingga pembahasan selanjutnya yakni BAB III dan BAB IV dalam penelitian ini tidak dibahas dalam buku tersebut. F. Definisi Konseptual Dalam pembahasan ini dibatasi pada pengertian respons, oleh karena itu, pemahaman mengenai istilah “respons masyarakat” perlu disatukan agar hal yang dikaji dalam penelitian ini dapat dipahami bersama. Istilah respons dalam bahasa Indonesia merupakan bahasa serapan yang diambil dari bahasa Inggris yaitu “response”. Dalam kamus terjemahan bahasa Inggris ke Indonesia, kata response berarti: jawaban, balasan, tanggapan, dan reaksi.19 Arti kata serupa juga didapatkan dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, yang mengartikan kata respons adalah jawaban dan tanggapan.20 Dengan demikian, istilah respons dalam perbendaharaan Bahasa Indonesia maupun bahasa asing memiliki arti yang sama. Lain halnya jika kita menilik dalam perbendaharaan bahasa sosial. Kata respons memiliki arti yang lebih jelas. Terdapat beberapa pengertian dalam kamus sosiologi mengenai respons, namun penulis hanya mencantumkan yang penulis anggap berkaitan dengan penelitian ini. Meski demikian, secara keseluruhan respons berarti perilaku yang merupakan konsekuensi dari
19
John M. Echols dan Hassan Shadily. Kamus Inggris-Indonesia (Jakarta: PT. Gramedia, t.t.), h. 481. 20 Badudu-Zain. Kamus Umum Bahasa Indonesia, Cet. I (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994), h. 1163.
13
perilaku sebelumnya (tanggapan). Dalam keadaan kolektif, respons berarti tanggapan (dalam kamus tertulis tanggalan) suatu kolektiva di mana setiap orang berperan serta, atau tanggapan suatu kolektiva yang mengalami pengaruh emosional yang sama (tanggapan kolektif). Sedangkan dalam keadaan protektif, respons berarti gerak protektif yang bersifat serta merta (tanggapan).21 Berbagai pengertian tersebut membuktikan bahwa respons masyarakat dapat menentukan baik buruknya suatu kepemimpinan tertentu. Dengan memahami pengertian respons di atas maka kata “respons” memiliki arti yang netral, dapat berarti menerima ataupun menolak. Namun, di Latar Belakang Masalah tergambar bahwa kelompok Muslim di Kelurahan Lenteng Agung menolak kepemimpinan non-Muslim periode 2013-2014. Oleh karena itu, penulis merasa perlu untuk meluruskan bahwa kata “respons” dalam penelitian ini berarti penolakan. G. Metodologi Penelitian Dalam penulisan ini, metodologi penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif. Penelitian dengan metodologi kualitatif berusaha menggambarkan fenomena sosial secara holistik tanpa perlakuan manipulatif. Instrumen kunci dalam penelitian kualitatif adalah peneliti itu sendiri. Karena apa yang dilakukan mulai dari desain, data yang dikumpulkan dan fokus penelitian bisa berubah sesuai kondisi alamiah yang ada. Logika teoritis (pendekatan) yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah sosiologi fungsional. Menurut Robert K. Merton, bila masyarakat 21
Soerjono Soekanto. Kamus Sosiologi, Cet. III (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1993), h. 382.
14
merasa puas dengan nilai-nilai yang ada, maka masyarakat akan menghargainya. Nilai yang menjadi patokan bersama merupakan faktor yang dapat mendorong integrasi sosial.22 Oleh karena itu hal yang sangat penting untuk ditekankan menurut Merton adalah nilai dan norma. Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penulisan penelitian ini adalah secara trianggulasi, yaitu gabungan dokumentasi kepustakaan (Library Research), wawancara (Interview), dan penelitian lapangan (Field Research). Wawancara yang akan penulis lakukan adalah kepada pihak yang bersangkutan, seperti: Tokoh Masyarakat, Tokoh Agama dan instansi pemerintahan maupun keagamaan. Beberapa cara tersebut penulis gunakan, agar data yang diperoleh dapat saling menguatkan satu dengan yang lainnya. Sehingga penelitian ini dapat berguna sesuai dengan kegunaan penelitian diatas. Dalam penulisan skripsi ini, penulis berpedoman pada ketentuan dan petunjuk buku “Pedoman Akademik Program Strata 1 Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta 2013-2014” yang dikeluarkan oleh UIN Jakarta. H. Sistematika Penulisan Dalam penulisan skripsi ini, penulis membagi pembahasan menjadi lima bab yang masing-masing memiliki spesifikasi pembahasan mengenai topik-topik tertentu. Sistematika penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
22
M. Sayuthi Ali, Metodologi Penelitian Agama: Pendekatan Teori dan Praktek, h. 102.
15
Bab I
: Pendahuluan, menguraikan Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah,
Tujuan Penulisan, Kegunaan Penelitian, Tinjauan
Pustaka,
Deskripsi
Konseptual,
Metodologi
Penelitian,
Sistematik Penulisan Bab II
: Diskursus Kepemimpinan Non-Muslim, menjelaskan tentang Jabatan Dalam Islam, Kriteria Pemimpin Menurut Ulama Klasik dan
Kontemporer,
dan
Warga
Non-Muslim
Dalam
Kepemimpinan Menurut Islam. Bab III
: Gambaran Umum Kelurahan Lenteng Agung, mencakup Sejarah Kelurahan Lenteng Agung, Letak Geografis Kelurahan Lenteng Agung, Sistem Pengangkatan Lurah dan Struktur Organisasi Kelurahan Lenteng Agung, Keadaan Sosial dan Kebudayaan Kelurahan Lenteng Agung.
Bab IV
: Respons Kelompok Muslim terhadap Kepemimpinan NonMuslim di Kelurahan Lenteng Agung, membahas Masyarakat Tradisional dan Masyarakat Modern, Pluralisme dan Toleransi Kelompok Muslim Lenteng Agung terhadap Kepemimpinan Non-Muslim.
Bab V
: Penutup, meliputi Simpulan dan Saran.
BAB II DISKURSUS KEPEMIMPINAN NON-MUSLIM A. Jabatan Dalam Islam Umat manusia sejatinya memerlukan pedoman untuk dapat melalui berbagai rintangan dan tipuan kehidupan agar tak masuk kedalam jurang kenistaan. Oleh karena itu, Allah menurunkan Al-Quran untuk dijadikan acuan berfikir manusia, sehingga ia mampu untuk menentukan baik atau buruk dan mana yang patut atau tidak patut untuk dilakukan dalam kehidupan yang selalu berkaitan erat dengan hubungan kepada Tuhan dan Manusia. Oleh karena itu, dalam Islam, wajib hukumnya untuk mengembalikan setiap persoalan kehidupan kepada Al-Quran dan As-Sunnah. Dengan demikian manusia dapat terhindar dari jurang kehinaan dan kegelapan, sesuai dengan yang diamanatkan oleh Rasulullah saw.: "Aku tinggalkan kepada kalian dua perkara yang kalian tidak akan tersesat selamanya selama berpegang teguh dengan keduanya, Kitabullah dan Sunnah nabi-Nya" (HR. Malik) Seorang pemimpin tak terlepas dari kekuasaan untuk mengurusi masyarakatnya. Dalam Islam kekuasaan merupakan amanah yang dapat memberikan kehinaan dan penyesalan maupun sebaliknya, ia akan menjadi salah satu pengantar seorang pemangku jabatan menuju surga. Kekuasaan haruslah diserahkan kepada orang yang tepat, agar setiap tugas dan kewajiban didalamnya dapat diaksanakan dengan benar. Seperti sabda Nabi saw. kepada Abu Dzarr mengenai kekuasaan, yang artinya:
16
17
“Hai Abu Zarr sesugguhnya engkau itu lemah dan sesungguhnya jabatan itu amanah, dan jabatan itu kelak di hari kiamat menjadi (sebab) kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi orang yang mengambil jabatan itu dengan haknya dan menunaikan apa yang menjadi kewajibannya dalam jabatan itu.” (Riwayat Muslim dari Abu Zarr)1 Dalam Musnad al-Imam Ahmad diriwayatkan dari Nabi saw bahwa beliau bersabda: “Manusia yang paling dicintai oleh Allah adalah pemimpin yang adil, sedangkan mereka yang dibenci-Nya adalah pemimpin yang zhalim”(HR. Ahmad)2 Imam al-Bukhari meriwayatkan dari Abu Hurairah ra. dalam kitab shahihnya bahwa Nabi saw. bersabda: “Apabila amanah telah disia-siakan maka tunggulah saat kehancuran.” Rasulullah ditanya, “Apa yang dimaksud dengan menyia-nyiakan amanah itu?” Rasululah menjawab: “Apabila urusan diserahkan bukan kepada ahlinya maka tunggulah terjadinya kiamat.”(HR. Bukharidari Abu Hurairah)3 Dengan demikian, Pengangkatan seseorang untuk mengemban amanah haruslah sesuai dengan keahliannya agar tugas dalam bidang tersebut dapat dikelola dengan baik dan benar. Pengangkatan seseorang untuk mengemban suatu jabatan yang tidak sesuai dengan kompetensi yang dimilikinya akan memberikan dampak buruk bagi pemerintahan itu sendiri. Dalam Islam, seseorang tidak dibenarkan untuk meminta suatu jabatan dan tidak juga dibenarkan seorang pemimpin menugaskan seseorang sebagai pemangku jabatan tertentu atas dasar permintaan. Nabi saw pernah bersabda kepada Abdurrahman bin Samurah: 1
Muchlis M. Hanafi, et. al, Hukum, Keadilan dan Hak Asasi Manusia: Tafsir Qur’an Tematik (Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur‟an, 2010), h. 256. 2 Muhammad bin Shalih al-„Utsaimin, Politik Islam: Ta’liq Siyasah Syar’iyah Ibnu Taimiyah (Jakarta: PT Griya Ilmu Mandiri Sejahtera, Cet. II, 2014), h. 72. 3 Muchlis M. Hanafi, et. al, Hukum, Keadilan dan Hak Asasi Manusia: Tafsir Qur’an Tematik, h. 262.
18
“Wahai Abdurrahman, janganlah engkau meminta jabatan, karena jika jabatan itu diberikan kepadamu tanpa memintanya, niscaya engkau diberi pertolongan dalam menjalankannya. Tetapi jika jabatan itu diberikan kepadamu karena permintaan, niscaya engkau ditinggalkan sendirian dalam mengurusnya (tanpa pertolongan dari Allah).” (HR. Bukhari dan Muslim)4 Dalam Shahih Bukhari dan Shahih Muslim disebutkan bahwa suatu kaum menemui Nabi saw. Kemudian meminta jabatan kepada beliau, mendengar permintaan mereka, beliau bersabda: “Sesungguhnya kami tidak memberikan kewenangan atas urusan kami ini kepada orang yang memintanya.” (HR. Bukhari dan Muslim)5 Dengan demikian, keadilan dalam memilih pengemban jabatan tidak dapat ditawar lagi, karena pada hakikatnya pemilihan bukan atas dasar kemampuan dalam bidangnya merupakan pengkhianatan kepada Allah, RasulNya dan orang-orang beriman. Sesuai dengan sabda Nabi saw.: “Barang siapa mengangkat seseorang dari sekelompok orang padahal dalam kelompok itu ada orang yang lebih Allah ridhai maka ia telah mengkhianati Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman.” (Riwayat alHakim dari Husain bin Qais ar-Rahbi, Ikrimah dan Ibnu „Abbas)6 Lebih lanjut, Ibnu Taimiyyah menjelaskan bahwa berpalingnya seseorang dari merekrut orang yang paling berkompeten kepada orang lain yang kurang kompeten bisa jadi diakibatkan oleh adanya hubungan kekerabatan, primordial (kedaerahan), mazhab, etnis, dan semacamnya. Suap yang diberikan oleh orang yang tidak berkompeten itu juga memainkan peran yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Faktor kebencian dan permusuhan kepada orang yang paling berkompeten juga tidak jarang memotivasi seseorang 4
Muhammad bin Shalih al-„Utsaimin, Politik Islam: Ta’liq Siyasah Syar’iyah Ibnu Taimiyah, h. 33. 5 Ibid, h. 33. 6 Muchlis M. Hanafi, et. al, Hukum, Keadilan dan Hak Asasi Manusia: Tafsir Qur’an Tematik, h. 263.
19
untuk tidak merekrutnya sebagai pejabat. Sikap seperti ini, menurut Ibnu Taimiyyah, termasuk dalam keumuman pengertian khianat yang dilarang Allah dalam firman-Nya7: “Hai orang-orang yang beriman! janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat yang dipercayakan kepadamu, sedangkan kamu mengetahui.” (Q.S. Al-Anfal: 27) Abdullah bin Qatadah ra. memaparkan, bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan Abu Lubabah bin „Abdul Mundzir. Kala terjadi Perang Quraizhah, ia diutus Rasulullah saw. sebagai mata-mata Bani Quraizhah. Namun setelah tiba di tempat Bani Quraizhah, ia membocorkan semua rencana Rasul saw., yaitu semua orang Bani Quraizhah akan diserang setelah dikepung selama 21 malam. (HR. Said bin Manshur)8 B. Kriteria Pemimpin menurut Ulama Klasik dan Kontemporer I.
Farabi Farabi dilahirkan tahun 257 H atau 870 M, disebuah kawasan bernama Wasij, wilayah Farab. Ia terlahir dari pasangan berkebangsaan Persia (ayah) dan berkebangsaan Turki (Ibu). Ia memiliki nama lengkap Abu Nashar bin Mohammad bin Mohammad bin Tharkhan bin Unzalagh. Menurut Farabi, kepala negara yang utama itu haruslah seorang pemimpin yang arif dan bijaksana, yang memiliki dua belas kualitas luhur. Adapun dua belas kualitas luhur itu adalah: lengkap anggota badannya; baik
daya
pemahamannya;
tinggi
intelektualitasnya;
pandai
mengemukakan pendapatnya dan mudah dimengerti uraiannya; pencinta 7
Ibid, h. 263. Ahmad Hatta, Tafsir Qur’an Perkata: Dilengkapi Dengan Asbabun Nuzul & Terjemah, (Jakarta: Maghfirah Pustaka, 2010), h. 180 (a). 8
20
pendidikan dan gemar mengajar; tidak loba atau rakus dalam hal makanan, minuman dan wanita; pencinta kejujuran dan pembenci kebohongan; berjiwa besar dan berbudi luhur; tidak memandang penting kekayaan dan kesenangan – kesenangan duniawi yang lain; pencinta keadilan dan pembenci perbuatan zalim; tanggap dan tidak sukar diajak menegakkan keadilan dan sebaliknya sulit untuk melakukan atau menyetujui tindakan keji dan kotor; kuat pendirian terhadap hal – hal yang menurutnya harus dikerjakan, penuh keberanian, tinggi antusiasme, bukan penakut dan tidak berjiwa lemah atau kerdil.9 Dalam pemikirannya, Farabi tidak menyinggung kriteria keharusan memiliki keyakinan tertentu. Namun, melihat dari pendapatnya mengenai tujuan bermasyarakat tidaklah hanya untuk mencapai tujuan yang bersifat duniawi atau materi tetapi juga tujuan Ukhrawi atau spiritual. Dapatlah dipahami bahwa beberapa kriteria yang harus dimiliki seorang pemimpin tersebut diatas agar seorang pemimpin dapat mengajak warganya untuk dapat mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. II. Mawardi Nama lengkap tokoh terkemuka Madzhab Syafi‟i ini adalah Abu Hasan Ali bin Habib al-Mawardi al-Bashri. Ia dilahirkan pada tahun 975 M yang bertepatan pada tahun 364 H dan meninggal pada tahun 1059 M atau 450 H.
9
H. Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, (Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press), 1993), h. 56.
21
Dengan sistem pemerintahan yang diusungnya adalah kekhilafahan atau kerajaan, Mawardi berpendapat bahwa seorang imam adalah orang yang diangkat oleh Allah sebagai pengganti Nabi untuk mengamankan agama. Dengan demikian, baginya seorang imam tidaklah hanya menjabat dalam dunia politik namun juga menjabat dalam dunia agama. Sehingga ia menyebutkan seorang pemimpin harus memiliki tujuh syarat: sikap adil dengan segala persyaratannya; ilmu pengetahuan yang memadai untuk ijtihad; sehat pendengaran, penglihatan dan lisannya; utuh anggotaanggota tubuhnya; wawasan yang memadai untuk mengatur kehidupan rakyat dan mengelola kepentingan umum; keberania yang memadai untuk melindungi rakyat dan mengenyahkan musuh; keturunan Quraisy.10 Meskipun kaum non-muslim tidak diperbolehkan memegang jabatan kepemimpinan, namun mereka (non-muslim) memiliki hak untuk menduduki jabatan-jabatan dalam pemerintahan seperti halnya kaum muslim, selain jabatan-jabatan yang memiliki warna keagamaan, seperti menjadi imam, pemimpin tertinggi negara, paglima militer, dan hakim untuk kaum muslim serta penanggung jawab urusan zakat dan shadaqah.11 Dengan melontarkan pendapat yang cukup kontroversial tersebut, alMawardi kemudian tercatat sebagai pemikir politik Muslim pertama yang
10
Ibid, h. 63. Adian Husaini, Solusi Damai Islam Kristen di Indonesia, (T.tp.: Pustaka Da‟i, 2003), h.
11
76.
22
berani memberikan legitimasi bagi non-Muslim untuk duduk dalam sistem pemerintahan Islam12 III. Ghazali Abu Hamid Al-Ghazali atau Imam Al-Ghazali merupakan seorang teolog terkemuka, ahli hukum, pemikir yang orijinal, ahli tasawwuf terkenal dan yang mendapat julukan hujjah al-Islam. Ia dilahirkan di kota Thus, yang termasuk wilayah khurasan pada tahun 450 H atau 1058 M, dan wafat juga di Thus pada tahun 505 H atau 1111 M.13 Dalam pada itu, menurut Ghazali terdapat sepuluh syarat yang harus dipenuhi oleh seseorang untuk dapat diangkat sebagai kepala negara, sultan atau raja: 14 dewasa atau aqil baligh; otak yang sehat; merdeka dan bukan budak; laki-laki; keturunan Quraisy; pendengaran dan penglihatan yang sehat; kekuasaan yang nyata; hidayah15; ilmu pengetahuan; dan wara’16. Tidak disebutkan Islam menjadi syarat untuk menjadi seorang pemimpin. Namun dengan sistem pemerintahan yang dianut oleh Ghazali adalah teokrasi17, kemudian melihat sistem politik yang berkembang pada
12
Mujar Ibnu Syarif, Presiden Non Muslim di Negara Muslim: Tinjauan Dari Perspektif Politik Islam dan Relevansinya dalam Konteks Indonesia (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2006), h. 129 13 H. Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h. 70. 14 Ibid, h. 78 15 Merupakan daya pikir dan daya rancang yang kuat dan diunjang oleh kesediaan bermusyawarah, mendengarkan pendapat serta nasihat orang lain. 16 Kehidupan yang bersih dengan kemampuan mengendalikan diri, tidak berbuat hal-hal yang terlarang dan tercela. 17 yakni kekuasaan seorang pemimpin bukan datang dari rakyat, tetapi dari Allah maka kekuasaan kepala negara adalah muqaddas atau suci. Juga kepala negara sebagai bayangan Allah di bumi, hukumnya wajib bagi rakyat dari tingkat mana pun untuk taat mutlak kepadanya, dan melaksanakan semua perintahnya.
23
masa hidupnya adalah kekhalifahan maka menurut penulis kepemimpinan menurut imam Ghazali haruslah diserahkan kepada seorang Muslim. Menurut al-Rayis, meskipun Ibn Abi Rabi, al-Farabi, al-Mawardi, alGhazali, Ibnu Taimiyah dan Ibn Khaldun tidak menyebutkan syarat seorang kepala negara harus beragama Islam, namun keharusan mengenai adanya persyaratan tersebut merupakan sesuatu yang telah dimaklumi.18 IV. Ibnu Taimiyah Nama lengkap Ibnu Taimiyah adalah Abu Abbas Ahmad bin Abd alHalim bin Abd al-Salam Abdullah bin Mohammad bin Taimiyah. Dia lahir di Harn dekat Damaskus, Suria, pada tahun 661 H atau 1263 M. Sebagai ilmuwan, Ibnu Taimiyah mendapatkan reputasi sebagai seorang yang berwawasan luas, pendukung kebebasan berpikir, tajam perasaan, teguh pendirian dan pemberani, serta mengusai banyak cabang ilmu pengetahuan agama. Dia seorang ahli dalam bidang Tafir, Hadits, teologi dan fiqh, khususnya fiqh Hambali.19 Ada dua kriteria yang wajib dipenuhi oleh orang yang akan direkrut sebagai pejabat atau aparat, yaitu kemampuan (al-quwwah) dan kepercayaan (al-amanah). Dua kriteria ini disimpulkan oleh ibnu Taimiyah dari tiga firman Allah SWT.20 Pertama, firman Allah ketika mengisahkan ucapan salah satu putri Syuaib: 18
Mujar Ibnu Syarif, Presiden Non Muslim di Negara Muslim: Tinjauan Dari Perspektif Politik Islam dan Relevansinya dalam Konteks Indonesia, h. 127 19 H. Munawir Sjadzali, Islam dan Tata Negara, h. 80. 20 Muchlis M. Hanafi, et. al, Hukum, Keadilan dan Hak Asasi Manusia: Tafsir Qur’an Tematik, h. 269.
24
Salah seorang dari kedua (perempuan) itu berkata: "Wahai ayahku! jadikanlah dia sebagai pekerja (pada kita), sesungguhnya orang yang paling baik yang engkau ambil sebagai pekerja (pada kita) ialah orang yang kuat dan dapat dipercaya". (Q.S. Al-Qasas: 26) Kedua, firman Allah ketika mengisahkan ucapan raja Mesir kepada Yusuf: Dan raja berkata: "Bawalah dia (Yusuf) kepadaku, agar aku memilih dia (sebagai orang yang dekat) kepadaku". Ketika dia (raja) telah bercakap-cakap dengan dia, dia (raja) berkata: "Sesungguhnya kamu (mulai) hari ini menjadi seorang yang berkedudukan tinggi di lingkungan kami dan dipercaya." (Q.S. Yusuf: 54) Ketiga, firman Allah tentang sifat Jibril: “Sesungguhnya (al-Qur'an) itu benar-benar firman (Allah yang dibawa oleh) utusan yang mulia (Jibril), Yang memiliki kekuatan, yang memiliki kedudukan Tinggi di sisi (Allah) yang mempunyai 'Arsy, Yang di sana (di alam malaikat) ditaati dan dipercaya.” (At-Takwir: 19-21) Ketika realitas bahwa kedua sifat itu sulit berpadu pada diri seseorang, berhadapan vis a vis dengan kewajiban mendahulukan orang yang paling kompeten dalam proses rekrutmen aparat, maka menurut Ibnu Taimiyah, kriteria paling kompeten itu harus disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing bidang. Jika dua orang nominee; satunya menonjol dalam segi integritas dan kepercayaan, dan satunya lagi menonjol dalam segi kapabilitas, kemampuan dan kekuatan maka yang harus dipilih adalah dia yang paling berguna dan sedikit mudharatnya.21 Pelanggaran atas prinsip keadilan dalam rekrutmen aparat akan berdampak buruk bagi kelangsungan dan stabilitas hidup suatu masyarakat. Sebaliknya, sikap konsisten dalam hal ini akan berdampak
21
Ibid, h. 270.
25
positif bagi stabilitas dan kelangsungan hidup suatu masyarakat, bangsa dan negara. Dalam sebuah kata mutiara disebutkan22: “Negara yang adil akan leastari, meski itu negara kafir. Sebaliknya, negara yang dzalim (tidak berkeadilan) akan hancur, walaupun itu adalah negara Islam.” Terdapat pula versi lain yang menyebutkan:23 “Sesungguhnya Allah mendukung negara yang adil kendatipun negara itu negara Kafir, dan (Allah) tidak mendukung (negara) yang zalim sekalipun negara itu negara Muslim.” Berbeda dengan pendapat al-Rayis yang menyatakan syarat seorang pemimpin harus beragama Islam menurut Ibn Taimiyah, menurut Munawir Sjadzali, pernyataan Ibn Taimiyah tersebut dapat ditafsirkan bahwa kepala negara yang adil meskipun tidak beragama Islam itu lebih baik dari pada kepala negara yang tidak adil meskipun beragama Islam.24 V. M. Quraish Shihab Senada dengan apa yang diungkapkan oleh Ibnu Taimiyah, M. Quraish Shihab berpendapat bahwa dari celah ayat-ayat Al-Quran ditemukan paling sedikit dua sifat pokok yang harus disandang oleh seseorang yang memikul suatu jabatan yang berkaitan dengan hak-hak masyarakat, kedua hal itu hendaknya diperhatikan dalam menentukan pilihan.25
22
Ibid, h. 273. Mujar Ibnu Syarif, Presiden Non Muslim di Negara Muslim: Tinjauan Dari Perspektif Politik Islam dan Relevansinya dalam Konteks Indonesia, h. 53 24 Ibid, h. 53 25 M. Quraish Shihab, Lentera Al-Quran: Kisah dan Hikmah Kehidupan (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2008), h. 318. 23
26
Dalam pendapatnya M. Quraish Shihab bersandar pada beberapa ayat dan hadits. Dalil yang digunakan pun tak jauh berbeda dengan yang digunakan oleh Ibnu Taimiyah, diantaranya tiga dalil yang diambil dari Al-Quran yakni Q.S. 28: 26, Q.S. 12: 54, dan Q.S. 81: 19-21. Ia juga menambahkan beberapa hadits yang telah dikemukakan di atas, seperti sabda Nabi yang ditujukan kepada Abu Dzar dan hadits dari Abu Hurairah r.a. yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari. Namun demikian terdapat beberapa pertimbangan yang dicantumkan olehnya, yakni dari sahabat nabi, Abu Bakar r.a., Ketika Abu Bakar r.a. menunjuk Zaid bin Tsabit sebagai ketua panitia pengumpulan mushaf alasannya pun tidak jauh berbeda dengan beberapa dalil diatas: “Engkau seorang pemuda (kuat lagi bersemangat) dan telah dipercaya oleh Rasul menulis wahyu.” Dan ketika Imam Ahmad Ibnu Hanbal ditanya tentang dua orang yang dicalonkan untuk memimpin satu pasukan – yang pertama kuat tetapi bergelimang dalam dosa dan yang kedua baik keberagamaannya namun lemah – beliau menjawab: ”Orang pertama, dosanya dipikul sendiri sedangkan kekuatannya mendukung kepentingan umat, dan orang kedua keberagamaannya untuk dirinya, sedangkan kelemahannya menjadi petaka bagi yang dipimpin.” Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya Allah mengokohkan agama ini dengan orang yang berperangai buruk.” (HR. Al-Bukhari kitab al-jihad was Siyar dan Muslim kitab al-Imam)26
26
Muhammad bin Shalih al-„Utsaimin, Politik Islam: Ta’liq Siyasah Syar’iyah Ibnu Taimiyah, (Jakarta: PT Griya Ilmu Mandiri Sejahtera, Cet. II, 2014), h. 52.
27
C. Warga Non-Muslim Dalam Kepemimpinan Menurut Islam Islam bukanlah agama yang statis yang tidak dapat mengikuti perubahan kehidupan. Memang dalam islam terdapat beberapa ajaran agama yang tetap atau tidak dapat diubah-ubah. Ajaran agama yang tetap adalah: Akidah, ibadah, nilai-nilai, keutamaan-keutamaan, serta hukum-hukum yang qath’i yang sudah menjadi konsesus umat Islam. Namun terdapat juga beberapa yang bersifat Dzanni, hukum-hukum tersebut diperluka ijtihad, tajdid (pembaharuan) dan membolehkan adanya perbedaan pendapat. Sesuai dengan hasil ijtihad, hukumhukum tersebut bisa berubah-ubah, karena itu fatwa yang keluar pun berubahubah, tergantung masa, tempat, adat dan kondisi saat itu.27 Islam mengajak umatnya untuk melakukan ijtihad dan pembaharuan dalam agama, bahkan para ulama memasukkan ijtihad dalam agama sebagai salah satu Fardhu Kifayah bagi umat Islam28. Umat juga diwajibkan memenuhi seluruh perlengkapan, sarana dan prasarana baik dalam bidang keilmuan dan pendidikan, tenaga maupun administrasi yang diperlukan guna membantu para ulama yang memiliki ilmu syariat memadai sekaligus mengetahui situasi dan kondisi saat itu agar proses ijtihad berhasil dengan baik. Dan segala hal yang harus ada untuk memenuhi satu kewajiban, hukumnya wajib dipenuhi.29 Rasulullah saw. bersabda, “sesungguhnya setiap seratus tahun, Allah akan mengutus seorang pembaharu agama bagi umat Islam.” (HR. Abu Dawud dan Ath-Thabrani)
27
Yusuf Al-Qaradhawi, Meluruskan Dikotomi Agama dan Politik: Bantahan Tuntas Terhadap Sekularisme dan Liberalisme, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2008), h. 134. 28 Kewajiban yang apabila dilakukan oleh sebagian, maka kewajiban yang lain sudah gugur. 29 Yusuf Al-Qaradhawi, Meluruskan Dikotomi Agama dan Politik: Bantahan Tuntas Terhadap Sekularisme dan Liberalisme, h. 127.
28
Dalam website alquranalhadi.com dapat ditemukan beberapa ayat yang melarang seorang Muslim untuk memilih pemimpin dari kalangan nonMuslim, beberapa ayat itu adalah: “Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah kembali(mu).” (QS. Ali-Imran: 28) Dalam surat al-Maidah ayat 57 juga dinyatakan: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil jadi “wali” kalian, orang-orang yang membuat agamamu jadi bahan ejekan dan permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi kitab sebelummu, dan orangorang yang kafir. Dan bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul orangorang yang beriman.” (Q.S. al-Maidah: 57) Kemudian dalam QS. An-Nisa': 144, Allah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu)?” (QS. AnNisa': 144) Dalam beberapa buku pun ditemukan beberapa ayat Al-Quran yang digunakan untuk menolak kepemimpinan yang diemban oleh seorang nonMuslim. Dalam beberapa ayat tersebut kata yang digunakan untuk menunjukkan makna pemimpin adalah wali. Diantaranya adalah: Firman Allah Swt. yang tercantum dalam surat al-Anfal ayat 72 disebutkan, bahwa: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan harta dan jiwanya pada jalan Allah dan orang-orang yang memberikan tempat kediaman dan pertoIongan (kepada orang-orang muhajirin), mereka itu satu sama lain lindung-melindungi. dan (terhadap) orang-orang yang beriman, tetapi belum berhijrah, Maka tidak ada kewajiban sedikitpun atasmu melindungi mereka, sebelum mereka berhijrah. (akan tetapi) jika mereka
29
meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, Maka kamu wajib memberikan pertolongan kecuali terhadap kaum yang telah ada Perjanjian antara kamu dengan mereka. dan Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan.” Sedangkan ayat 73 surat al-Anfal menyebutkan: “Ada pun orang-orang yang kafir sebagian mereka menjadi wali bagi sebagian yang lain. Jika kamu (hai para muslimin) tidak melaksanakan apa yang telah diperintahkan Allah itu (keharusan adanya persaudaraan yang teguh antara kaum muslimin), niscaya akan terjadi kekacauan di muka bumi dan kerusakan yang besar. Dalam penjelasannya, Hamka menyebutkan bahwa kata “wali” dapat bermakna pemimpin, pengurus, teman karib, sahabat atau pelindung. Dalam surat Al-Baqarah ayat 256 disebutkan, bahwa Allah adalah wali sejati dari orang-orang beriman. Artinya, bahwa Allah-lah pemimpin, pelindung dan pengurus orang-orang mukmin. Menurut Thabathaba‟i, kata “áwliya” yang merupakan bentuk jamak dari kata “wali” pada mulanya berarti orang yang memiliki kewenangan mengatur sesuatu, seperti wali seorang anak dan atau orang gila. Namun dalam perkembangannya, kata “wali” lebih banyak dipakai untuk seseorang yang memiliki hubungan cinta kasih. Dua orang yang saling mencinta pasti akan memungkinkan mereka saling menceritakan rahasia masing-masing. Dengan demikian, boleh jadi rahasia-rahasia internal umat Islam akan diketahui oleh musuh sehingga bisa merugikan umat Islam.30 Kemudian dalam ayat lain yang berkenaan dengan kasus sahabat besar yang terlibat dalam Perang Badar, Hathib bin Abi Thalhah, secara diam-diam
30
Abd. Moqsith Ghazali, Argumen Pluralisme Agama: Membangun Toleransi Berbasis al-Qur’an, cet.II (Depok: Katakita, 2009), h. 312.
30
menyuruh seorang wanita untuk membawa surat kepada sejumlah orang Musyrik Mekah, yang berisi pemberitahuan penyerangan Mekah untuk bersiap-siap. Dengan turunnya ayat ini Allah memberitahukan tindakan Hathib, sehingga wanita tersebut berhasil dicegat. Yaitu Surat al-Mumtahanah ayat 1. “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang; Padahal Sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu, mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kamu karena kamu beriman kepada Allah, Tuhanmu.” Melalui ayat tersebut Allah mengingatkan agar hubungan pribadi tidak boleh mengalahkan hubungan iman, apalagi sampai merugikan perjuangan kaum Muslim. “Dengan sebab mengambil wali kepada kafir, baik pimpinan atau persahabatan, niscaya lepaslah dari perwalian Allah, putuslah dari pimpinan Tuhan.” Tulis Hamka.31 Mengenai ayat ayat 28 Ali Imran, al-Jashshash memberikan catatan sebagai berikut: “Dalam ayat ini dan ayat-ayat lain yang yang isinya senada dengannya ada petunjuk bahwa dalam hal apa pun orang kafir tidak boleh berkuasa atas (umat) Islam”.32 Dari beberapa ayat di atas maksud yang terkandung di dalamnya nampak bahwa seseorang yang harus mengemban amanat kepemimpinan atas orang mukmin tidak boleh diserahkan kepada kaum “kafir”. Namun dalam Islam mengambil ayat secara parsial untuk menentukan suatu hukum tidak dapat
31
Adian Husaini, Solusi Damai Islam Kristen di Indonesia, h. 80. Mujar Ibnu Syarif, Presiden Non Muslim di Negara Muslim: Tinjauan Dari Perspektif Politik Islam dan Relevansinya dalam Konteks Indonesia, h. 80 32
31
dibenarkan. Satu ayat dengan ayat yang lain bisa saja dapat memiliki hubungan yang dapat saling menjelaskan atau mungkin bahkan saling menguatkan. Jika kembali dilihat dengan teliti dan kritis, beberapa ayat di atas selalu menyinggung tentang kelompok non-Muslim secara keseluruhan. Sedangkan di kalangan para ahli fikih, dikenal beberapa macam jenis kafir.33 Pertama, kafir dzimmi yaitu orang-orang kafir yang masih tetap dengan agama lamanya akan tetapi ia tunduk dan patuh pada ketentuan agama Islam dengan tidak memerangi umat Islam. Kedua, kafir mu’ahad adalah orang-orang kafir yang melakukan kontrak kesepakatan dengan umat Islam untuk tidak saling menyerang satu sama lain, mereka membuat kesepakatan perihal gencatan senjata dalam waktu tertentu. Ketiga, kafir musta’min, yaitu orang kafir yang minta jaminan keamanan kepada orang-orang Islam dalam waktu tertentu. Dan yang keempat, kafir harbi, yaitu orang kafir yang selalu memusuhi Islam dengan berbagai cara. Mungkin dengan jalan menghasut, memfitnah, bahkan dengan peperangan fisik berupa penumpasan. Dari beberapa jenis kafir di atas, jenis kafir yang pertama, kedua, dan ketiga ini terlarang untuk diperangi. Sedangkan jenis kafir yang keempat dipandang sebagai orang-orang yang membahayakan eksistensi Islam. Allah berfirman dalam al-Qur‟an, “Hai orang-orang yang beriman, perangilah orang-orang kafir yang di sekitar kamu itu, dan hendaklah mereka menemui kekerasan daripadamu.” (Q.S. al-Tawbah: 123). “Hai Nabi, berjihadlah (melawan) orang-orang kafir dan munafik itu, dan bersikap keraslah terhadap mereka.” (Q.S. al-Tawbah: 73). 33
Abd. Moqsith Ghazali, Argumen Pluralisme Agama: Membangun Toleransi Berbasis al-Qur’an, h. 307.
32
Muhammad Rasyid Ridla mengartikan kata “kuffar” dalam ayat ini sebagai orang-orang kafir harbi. Muhammad Nawawi al-Jawi mengartikan kata “kuffar” di situ sebagai orang-orang yang secara terang-terangan mengangkat pedang untuk memerangi umat Islam.34 Melihat dari beberapa jenis orang kafir di atas lantas apakah yang dimaksud dalam ayat-ayat tersebut? Apakah benar kursi kepemimpinan dalam sebuah negara tidak dapat dipercayakan kepada seorang non-Muslim tanpa terkecuali? Jika ditinjau dari sebab turunnya ayat (asbab an-nuzul) larangan memilih pemimpin dari kalangan non-Muslim, seperti yang telah dicantumkan di atas, nampaknya akan semakin jelas orang non-Muslim seperti apa umat Islam harus melarang untuk menjadi seorang pemimpin. Mengenai surat Ali „Imran ayat 28, al-Dlahhak meriwayatkan dari Ibn „Abbas, ayat ini turun dalam kasus „Ubadah ibn al-Shamit, salah seorang sahabat Nabi yang ikut dalam Perang Badar. Ia memiliki sejumlah kawan dari kalangan Yahudi. Ketika Nabi hendak berangkat menuju Perang Ahzab, „Ubadah berkata:“Wahai Nabi Allah, saya sedang bersama dengan 500 lakilaki
Yahudi
yang
siap
memerangi
Nabi.
Mereka
menampakkan
permusuhannya dengan umat Islam”. Dengan latar itu, turunlah ayat yang melarang berteman dengan orang kafir harbi tersebut.35 Dalam riwayat lain Ibn „Abbas ra. Berkata:
34
Ibid, h. 308. Ibid, h. 311.
35
33
“Hajjaj bin „Amr, sekutu para tokoh Yahudi (Ka‟ab bin Asyraf, Ibnu Abi Huqaiq, dan Qais bin Zaid), telah berhasil menghasut segolongan kaum Anshar agar Murtad dari Islam. Mengetahui hal itu, Rifa‟ah ra., „Abdullah bin Zubair ra., dan Sa‟id bin Hatsmah ra. mengingatkan segolongan kaum Anshar itu, „jauhilah orang-orang Yahudi itu dan jangan tinggal bersama mereka.‟ Namun, orang-orang Anshar itu menolak peringatan tersebut. Lalu, Allah menurunkan ayat ini.” (HR. Ibnu Jarir)36 Seakan mengukuhkan surat Ali „Imran ayat 28 di atas, firman Allah dalam surat al-Maidah ayat 57 menerangkan bahwa tidak baik bagi umat Islam berteman dengan orang-orang yang merendahkan dan menghinakan agama Islam, seperti yang ditunjukkan sebagian Ahli Kitab dan orang-orang kafir. Menurut Ibn Katsir, berteman dengan orang kafir harbi dibolehkan sekiranya seorang Muslim dalam keadaan terancam. Itu pun harus dilakukan secara taqiyyat; secara lahir ia menunjukkan sikap baik, sementara dalam hatinya mengingkari orang-orang kafir harbi tersebut.37 Ibnu „Abbas ra. memaparkan, bahwa kedua ayat ini (57-58 surat alMaidah) diturunkan berkenaan dengan Rifa‟ah bin Zaid bin Tabut dan Suwaid bin Harits. Mereka masuk Islam, tetapi kemudian mereka menjadi orang Munafik. Beberapa orang dari kaum Muslim bersahabat dan sangat menyayangi mereka berdua. (HR. Abu Syaikh dan Ibnu Hibban).38
36
Ahmad Hatta, Tafsir Qur’an Perkata: Dilengkapi Dengan Asbabun Nuzul & Terjemah,
h. 53 (b). 37
Abd. Moqsith Ghazali, Argumen Pluralisme Agama: Membangun Toleransi Berbasis al-Qur’an, h. 312. 38 Ahmad Hatta, Tafsir Qur’an Perkata: Dilengkapi Dengan Asbabun Nuzul & Terjemah, h. 118 (a).
34
Sedangkan mengenai surat al-Nisa ayat 144, menurut al-Qurthubi, ayat ini menjelaskan tentang larangan bagi umat Islam menjadikan orang-orang kafir sebagai sahabat dekat (bithanat).39 Mengenai ini perlu dilihat apa yang terkandung dalam surat AlMumtahinah ayat 8-9: “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan Berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang Berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. dan Barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, Maka mereka Itulah orang-orang yang zalim.”(QS. Al-Mumtahinah: 8-9) Prof. Dr. H. Mahmud Yunus mengatakan bahwa dengan jelas ayat-ayat ini menerangkan, bahwa orang-orang Islam boleh berbuat baik dan berlaku adil kepada orang-orang kafir, yang tidak memerangi mereka, lantaran agama mereka dan tidak pula mengusir mereka dari tanah airnya. Hanya yang dilarang Allah mengangkat pemimpin dari orang-orang kafir yang memerangi mereka dan mengusir mereka dari tanah airnya. Sebab itu nyatalah salah tuduhan orang yang mengatakan bahwa Islam menyuruh memerangi tiap-tiap orang kafir dan merampas hartanya. Sebagian ulama tafsir mengatakan ayat-ayat ini mansukh, tetapi Allah atau Nabi tidak mengatakan demikian, padahal kita hanya wajib mengikuti perkataan keduanya. Firman Allah: 40 “Quran itu (ayat-ayatnya) tidak ada yang membatalkannya (merusaknya, menyalahkannya), baik yang dahulunya ataupun yang kemudiannya” (QS. AsSajdah: 42). 39
Abd. Moqsith Ghazali, Argumen Pluralisme Agama: Membangun Toleransi Berbasis al-Qur’an, h. 310. 40 Mahmud Yunus, Tafsir Quran Karim, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 2004, cet. VII), h. 823.
35
Ia juga menambahkan surat Al-Baqarah ayat 190 untuk keterangannya: “Dan perangilah di jalan Allah orang-orang yang memerangi kamu, (tetapi) janganlah kamu melampaui batas, karena Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al-Baqarah: 190) Menurut Mahmud Yunus, maksud “melampaui batas” dalam ayat tersebut adalah memerangi orang-orang yang tidak memerangi kamu. Hak memilih dan dipilih dalam kepemimpinan merupakan hak setiap warga negara tanpa mengharuskan untuk memiliki terhadap keyakinan tertentu. Karena kedua hak ini bukanlah sifat keagamaan yang mendasari seseorang untuk membedakan antar warga negara. Hal ini juga telah disimpulkan oleh beberapa peneliti kontemporer. Tidak hanya di Indonesia yang menganut sistem demokrasi dan tidak mendeklarasikan sebagai negara Islam di tengah penduduknya yang mayoritas Muslim, bahkan di negara Islam pun keterlibatan seorang warga non-muslim dalam pemerintahan termasuk di dalamnya amanat kepemimpinan pun di bolehkan. Dengan syarat, non-Muslim tersebut tidak sedang memerangi atau mengusir warga muslim dari tanah kelahiran seperti yang termaktub dalam ayat di atas. Dr. Abdul Karim Zidan41 berkata dalam masalah yang berhubungan dengan hak memilih dan dipilih, serta hak partisipasi dalam memilih pesiden di negara Islam: “Menurut kami, hukum yang paling jelas adalah boleh, sebab jabatan presiden di masa sekarang tidak mempunyai bentuk kata keagamaan sebagaimana dahulu. Oleh karena itu, ia bukanlah kekhalifahan yang banyak dibicarakan oleh para fukaha sekalipun masih ada sedikit makna yang sama. 41
Merupakan seorang guru besar syariat Islam di Universitas Baghdad.
36
Jabatan presiden adalah jabatan kepemimpinan di dunia dan bukan kekhalifahan yang diberikan oleh Rasulullah saw. dalam memelihara agama dan politik dunia.”42 Berdasarkan hal ini, orang-orang kafir dzimmi boleh berpartisipasi dalam pemilihan umum sebab mereka tidak dilarang untuk ikut serta dalam urusanurusan duniawi. Sedangkan untuk memilih wakil-wakil mereka dalam majelis permusyawaratan rakyat dan pencalonan dirinya sebagai anggota dewan, kami juga berpendapat boleh, sebab keanggotaan dalam majelis permusyawaratan rakyat artinya memberikan usulan juga memberikan nasihat kepada pemerintah dan seumpamanya, dan ini adalah perkara-perkara yang tidak ada larangan bagi orang-orang kafir dzimmi untuk melakukannya dan ikut serta didalamnya.43 Satu hal yang tidak boleh dilupakan adalah ayat-ayat yang melarang umat Islam memilih pemimpin non-Muslim, tegas Abduh,
turun sebelum
Futuh Mekkah (pembebasan Mekkah). Saat itu, menurut dia, kaum Musyrik memang berada pada puncak kebencian dan permusuhannya terhadap umat Islam. Sungguhpun demikian, sewaktu Futuh Mekkah, Nabi suci melupakan segala kejahatan dan kekejaman tiada tara yang pernah dideritanya di kota itu. Beliau tidak melakukan balas dendam, tapi yang dilakukan Nabi suci justru memberikan amnesti umum kepada semua orang yang begitu jahat kepadanya, seraya bersabda, “antum al-thulaqa”, “kalian bebas”. Berbuat baiklah terhadap orang Mukmin, orang Kafir, orang taat, maupun orang durjana (fajir).44
42
Farid Abdul Khaliq, Fikih Politik Islam (Jakarta: Amzah, 2005), h. 178. Ibid, h. 179. 44 Mujar Ibnu Syarif, Presiden Non Muslim di Negara Muslim: Tinjauan Dari Perspektif Politik Islam dan Relevansinya dalam Konteks Indonesia, h. 162 43
37
Perbedaan pendapat di kalangan para ulama mengenai boleh atau tidaknya seorang non-Muslim untuk menjadi pemimpin merupakan hal yang wajar. Penentuan seorang pemimpin dalam Islam termasuk hukum Islam mengenai muammalah. Menurut Thariq al-Bishri, teoritisi politik liberal asal Mesir setuju bahwa hukum Islam mengenai muammalah, bersifat fleksibel dan dapat beradaptasi dengan dinamika dan perkembangan zaman, terlebih mengenai politik ketatanegaraan. Dengan selogannya yang terkenal, “agama untuk Tuhan, namun tanah air untuk kita semua”, Al-Bishri terus memperjuangkan pentingnya mewujudkan kesetaraan hak politik sepenuhnya bagi non-Muslim, tak terkecuali Kaum Nashrani Kaptia di negerinya, mesir.45 Penjelasan tersebut menegaskan satu hal. Bahwa larangan menjadikan orang-orang kafir harbi sebagai teman, sahabat atau wali orang Islam tersebut kiranya turun dalam kondisi peperangan sehingga menjadikan orang kafir sebagai teman karib akan membahayakan umat Islam. Karena itu, orang-prang Islam yang mengangkat orang-orang kafir sebagai teman disebut sebagai orang-orang munafik.46 Dapat disimpulkan, dengan memperhatikan ayat-ayat al-Qur‟an dan penafsiran para ulama tersebut, perlakuan umat Islam terhadap non-Muslim sangat tergantung pada keadaan dan sikap non-Muslim terhadap umat Islam. Jika non-Muslim (kafir harbi) mau bekerja sama, taat pada kesepakatan bersama dan tidak memerangi serta tidak mengusir umat Islam dari tanah kelahiran maka umat Islam dilarang untuk memusuhi atau pun menyakiti 45
Ibid, h. 150 Abd. Moqsith Ghazali, Argumen Pluralisme Agama: Membangun Toleransi Berbasis al-Qur’an, h. 313. 46
38
mereka. Tapi jika sebaliknya maka umat Islam dapat memberikan balasan yang setimpal dan tidak berlebihan. Dengan demikian, umat Islam tidak dibenarkan untuk terus menurus memusuhi orang-orang non-Muslim, jika mereka menginginkan adanya perdamaian kehidupan saling menjauhkan diri dari peperangan dan saling bahu-membahu dalam kebaikan maka kaum Muslim harus mendukung hal tersebut. Dan jika mereka, orang-orang non-Muslim, mencoba untuk mengelabui atau menipu maka umat Islam haruslah yakin bahwa cukuplah Allah yang akan melindungi mereka, kaum Muslim, dengan pertolongan-Nya dan kekuatan Kaum Muslimin. Hal ini sesuai dengan Firman Allah swt. dalam al-Qur‟an al-Karim: “Dan jika mereka condong kepada perdamaian, Maka condonglah kepadanya dan bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah yang Maha mendengar lagi Maha mengetahui. Dan jika mereka bermaksud menipumu, Maka Sesungguhnya cukuplah Allah (menjadi pelindungmu). Dialah yang memperkuatmu dengan pertolongan-Nya dan dengan Para Mukmin.” (Q.S. al-Anfal: 61-62).
BAB III GAMBARAN UMUM KELURAHAN LENTENG AGUNG
A. Sejarah Kelurahan Lenteng Agung Menurut sejarawan Betawi, Alwi Shahab, nama daerah Lenteng Agung berasal dari Klenteng yang diagungkan oleh etnis Tionghoa yang tinggal tidak jauh dari daerah tersebut, yaitu Pondok Cina. Awalnya, Belanda yang dulu sering mempekerjakan etnis Tionghoa untuk mendirikan bangunan dan membuat jalan di pinggiran kota Jakarta. Namun, etnis Tionghoa tidak diperbolehkan untuk tinggal di daerah Depok sehingga mereka lebih memilih untuk membuat tenda-tenda dan pondokan untuk tempat tinggal. Kemudian, bangsa China membuat tempat peribadatan atau Klenteng di sekitar daerah tersebut dan tidak jauh dari Pondok Cina. Klenteng itu besar dan diagungkan oleh etnis China pada saat itu jadi dinamakan Klenteng Agung. Alwi menegaskan jarak antara Pondok Cina dan Lenteng Agung tidak begitu jauh sehingga memudahkan untuk para etnis Cina beribadah di sekitar daerah tersebut. Apalagi, dahulu daerah tersebut didominasi oleh etnis China sebelum akhirnya menikah dengan warga asli Lenteng Agung. Itu sejarah nama daerah Lenteng Agung sendiri. Dia menambahkan Pondok Cina dan Lenteng Agung sangat berhubungan erat sehingga dua daerah ini tidak dapat dipisahkan. Kemudian, di daerah Depok lebih banyak penduduk yang berbangsa Belanda sehingga etnis China tidak diperbolehkan berada dan masuk
39
40
ke daerah Depok. Jarak dua daerah itu kan juga tidak terlalu jauh sekitar 3 kilometer (km) sehingga dua daerah itu berhubungan erat.1 Berbeda dengan apa yang telah dikemukakan oleh sejarawan dari betawi Alwi Shahab, H. Ya‘qub, tokoh masyarakat setempat, mengemukakan bahwa sejarah Lenteng Agung tidak ada yang tertulis. Beliau menegaskan dengan jelas bahwa ―tidak ada orang Cina dulunya, jadi Lenteng Agung tidak berasal dari Klenteng‖. Menurutnya, Lenteng Agung dalam bahasa Yogyakarta memiliki arti ‗tanah yang bertebing-tebing‘. Arti tersebut dianggap lebih tepat, karena sesuai dengan kondisi alam Lenteng Agung yang berbukit-bukit. Beliau meyatakan kebenaran mengenai keberadaan Klenteng Agung tersebut, namun bukan berada di wilayah Negeri (sebutan orang dulu) Lenteng Agung tapi pada perbatasan. ―Klenteng ada hanya di perbatasan antara babakan dengan srengseng tapi stasiunnya Lenteng Agung, pasarnya bukan pasar Lenteng Agung.‖2 Dengan demikian untuk pemberian makna atau sejarah yang terkandung dari Kelurahan Lenteng Agung saat ini dapat – paling tidak – disandarkan pada sejarah Klenteng Agung seperti yang dikemukakan oleh Alwi. Meskipun pada hakikatnya jika sejarah dikembalikan pada awal mula melekatnya nama Lenteng Agung dengan luas wilayah yang berbeda jauh dengan saat ini, tidak sesuai dengan fakta sejarah yang dirasakan oleh warga Lenteng Agung dalam hal ini yang lebih sepuh atau lebih berumur.
1
http://www.merdeka.com/peristiwa/asal-usul-lenteng-agung-bermula-dari-klentengagung.html. Diakses pada tanggal: 10-11-2014, Pukul: 20.00 WIB 2 Wawancara Pribadi dengan Ya‘qub Shobirin, Lenteng Agung, 22 Desember 2014.
41
Jika ditinjau dari bahasa Hok Kian, Lenteng Agung memiliki kedekatan kata dengan Klenteng Agung seperti yang disinggung oleh Alwi Shahab. Meski demikian, menurut penulis bukan berarti Lenteng Agung diambil dari nama Klenteng yang diagungkan oleh etnis China seperti dimaksud Alwi. Klenteng berasal dari kata kaw lang teng. Menurut Js. Hendra kaw berarti belajar, lang berarti orang, sedangkan teng berarti ruangan. Klenteng berarti ruangan untuk orang belajar. Lenteng Agung pada zaman dahulu memang merupakan tempat umat Islam dari beberapa daerah untuk mempelajari ilmu agama Islam. Dengan demikian, Lenteng Agung berarti tempat yang besar untuk orang belajar agama Islam. Meskipun memiliki kedekatan kata dan kemiripan fungsi sebagai tempat belajar, namun penulis belum dapat membuktikan kebenaran makna tersebut jika dilihat dari siapa dan mengapa dinamakan Lenteng Agung. B. Letak Geografis Kelurahan Lenteng Agung Sebagaimana yang dijelaskan Undang-Undang Nomor 32 Tahun2004 tentang Pemerintah Daerah bahwa kelurahan merupakan wilayah kerja Lurah sebagai Perangkat Daerah Kabupaten dan Kotamadya dalam melaksanakan Pelayanan Masyarakat di wilayahnya. Pengertian di atas berarti bahwa kelurahan tidak lagi merupakan wilayah administrasi pemerintahan tetapi sudah menjadi perangkat daerah yang tugas dan fungsinya memberikan pelayanan kepada masyarakat di wilayahnya dengan diberikan kewenangan yang diatur dengan peraturan perundangan.
42
Untuk kelurahan di Provinsi DKI Jakarta telah diberikan kewenangan yang diatur dalam Keputusan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Nomor 40 Tahun 2002 tentang Organisasi dan Tata Kelola Pemerintahan Kelurahan di Provinsi DKI Jakarta. Kelurahan Lenteng Agung merupakan salah satu kelurahan dari enam kelurahan yang terdapat di Kecamatan Jagakarsa termasuk dalam wilayah Kota Administrasi Jakarta Selatan. Pada mulanya luas Lenteng Agung adalah +/- 96 hektar yang terbagi menjadi 4 blok (sekarang Rukun Warga). Adapun perbatasannya adalah sebagai berikut:3 Sebelah utara
: Jalan Jambu.
Sebelah barat
: Kali Bata.
Sebelah timur : Kali Ciliwung. Sebelah selatan : Gang Jalan Haji Nase. Namun saat ini, berdasarkan keputusan Gubernur KDKI Jakarta Nomor: 1251 Tahun 1986 tanggal 03 Juni 1986 dan SK Gubernur KDKI Jakarta Nomor: 1815 Tahun 1988 Wilayah Kelurahan Lenteng Agung dengan batasbatas: Sebelah Utara : Kelurahan Kebagusan dan Tanjung Barat. Sebelas Timur : Kali Ciliwung dan Kelurahan Tanjung Barat. Sebelah Selatan : Kelurahan Srengseng Sawah. Sebelah Barat : Kelurahan Jagakarsa, Kelurahan Srengseng Sawah dan Kelurahan Kebagusan.
3
Wawancara Pribadi dengan Ya‘qub Shobirin.
43
Jauh melewati luas Lenteng Agung sebelumnya, luas wilayah Kelurahan Lenteng Agung saat ini adalah 227,74 Ha yang terbagi ke dalam 10 Rukun Warga (RW) dan 114 Rukun Tetangga (RT), dengan jumlah Kepala Keluarga 11.358 KK, adapun penduduk sampai dengan akhir tahun 2012 tercatat sebanyak 55.095 jiwa terdiri dari Warga Negara Indonesia (WNI) sebanyak 29.625 jiwa laki-laki dan sebanyak 25.470 jiwa perempuan.4 C. Sistem Pengangkatan Lurah dan Struktur Organisasi Kelurahan Lenteng Agung Sistem pengangkatan lurah yang dilaksanakan di kelurahan Lenteng Agung saat ini telah mengalami perubahan. Sebelum Gubernur DKI Jakarta saat itu, Joko Widodo, menerapkan sistem lelang jabatan, pengangkatan seorang lurah di Kelurahan Lenteng Agung berdasarkan jenjang karir. Sehingga tidak hanya pengalaman dan lamanya dalam kepengurusan untuk mendapatkan amanat menjadi Lurah, tapi lebih dari itu berbagai persyaratan wajib dipenuhi oleh para ―peserta‖ untuk menempati jabatan sebagai Lurah. Menurut Sekretaris Kelurahan Lenteng Agung, Adhi Suryo, tidak mudah untuk dapat mengikuti proses lelang jabatan. Ia menilai sistem lelang jabatan yang di mulai tahun 2013 ini merupakan sebuah kebijakan reformasi birokrasi. Meskipun untuk dapat mengikuti sistem lelang ini dapat dilakukan melalui internet, namun terdapat persyaratan yang harus dimiliki terlebih dahulu bagi orang yang berminat. Syarat-syarat tersebut diantaranya: mulai dari staff yang bekerja di pemda DKI (Yang berkerja di kecamatan dan kelurahan min golongan 3C.) Kecuali guru, militer dan kementrian tidak dibolehkan. Tidak 4
Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta, Laporan Tahunan tahun 2013, kelurahan Lenteng Agung, Jagakarsa Jakarta Selatan, h. 2.
44
ada batasan bagi lurah sebelumya maupun yang ―baru‖, selama ia memenuhi syarat tersebut di perbolehkan mengikuti proses lelang jabatan ini. Setelah lolos persyaratan kemudian tes tulis dan wawancara, maka orang tersebut dapat menempati jabatan sebagai lurah di dalam keorganisasian Kelurahan Lenteng Agung. Kelurahan Lenteng Agung yang merupakan sistem pemerintahan ini memiliki tujuan yang ingin dicapainya, oleh karena itu dalam menunjang tercapainya tujuan, perlu adanya koordinasi yang baik dan terkontrol dengan dibentuknya suatu kepengurusan. Adapun Struktur Organisasi Kelurahan Lenteng Agung sampai dengan bulan Desember 2013, sebagai berikut: Lurah
: Susan Jasmine Zulkifli, S.Sos
Wakil lurah
: Moh. Napis, S.Sos
Sekretaris Kelurahan : Adhi Suryo, S.Sos Seksi-seksi : Pemerintahan Ketentraman dan ketertiban : Asmat, SE Perekonomian
: Eti Sumiati, Amd
Sarana dan Prasana
: Abdurro‘uf
Kesejahteraan Masyarakat
: Mustofa
Kebersihan dan Lingkungan Hidup
: Rosmiati
Pelayanan Umum
: Indriana
45
D. Keadaan Sosial dan Kebudayaan Kelurahan Lenteng Agung 1. Keadaan Sosial Kelurahan Lenteng Agung Masyarakat Lenteng Agung terdiri dari masyarakat yang beragama Islam, Kristen, Katholik, Hindu, dan Budha. Jumlah penduduk menurut agama yakni: a. Islam
: 53.732
b. Kristen
: 1.355
c. Katholik : 688 d. Hindu
: 57
e. Budha
: 70
Jika data di atas di persentasekan maka warga Kelurahan Lenteng Agung yang beragama Islam sekitar 96,12%, Kristen 2,42%, Katholik 1,23%, Hindu 0,1% dan Buddha 0,12%. Tampak jelas bahwa masyarakat di Lenteng Agung mayoritas beragama Islam. Dari beberapa agama yang dianut oleh masyarakat Kelurahan Lenteng Agung, mereka memiliki mata pencaharian yang berbeda-beda, meskipun pada awalnya penduduk Lenteng Agung memiliki mata pencaharian dalam bidang agraris khususnya sebagai petani seperti yang diungkapkan oleh H. Ya‘qub, ―Kehidupan Lenteng Agung (dahulu) dengan Bertani dan berternak‖, namun saat ini nampaknya telah bergeser sangat jauh, seperti yang ditampilkan data di bawah ini: 1. Swasta
: 9.877
2. Buruh
: 7.390
46
3. Pedagang
: 9.995
4. PNS (Pegawai Negeri Sipil)
: 5.011
5. Pensiunan
: 1.495
6. ABRI/POLRI
: 2.012
7. Petani
: —
8. Lain-lain
: 20.122
Dalam segi pendidikan, Lenteng Agung telah memiliki sarana untuk menunjang masyaratnya terutama untuk para generasi selanjutnya agar mendapatkan pendidikan yang layak dengan melakukan pembangunan sekolah-sekolah baik negeri maupun swasta. Adapun data sarana pendidikan yang tedapat di Lenteng Agung, sebagai berikut: Status No
Tingkat
1
Negeri
Swasta
TK
—
8
2
SD
13
4
3
MI
—
2
4
SLTP
2
4
5
MTs
—
4
6
SLTA
2
3
7
ALIYAH
1
—
8
UNIVERSITAS
1
—
19
27
JUMLAH
2. Kebudayaan Kelurahan Lenteng Agung Terdapat beberapa definisi dari para ahli atas kebudayaan. Merujuk pada asal kata yang dipakai di Indonesia, kebudayaan berasal dari kata
47
buddayah yang berarti akal, maka tentunya budaya hanya dicapai dengan kemampuan akal yang tinggi tingkatannya yang dalam hal ini dimiliki oleh manusia. Sementara dari asal kata Yunani, culture berasal dari kata colere yang berarti mengolah atau mengerjakan.5 Koentjaraningrat menyebut kebudayaan sebagai seluruh sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat, dan dijadikan milik bersama melalui proses belajar.6 Sedangkan menurut Clifford Geertz kebudayaan merupakan sistem mengenai konsepsikonsepsi yang diwariskan dalam bentuk simbolik, yang dengan cara ini manusia
dapat
berkomunikasi,
melestarikan,
dan
mengembangkan
pengetahuan dan sikapnya tentang kehidupan.7 Kebudayaan bukanlah milik seorang saja. Ia mendapatkannya justru karena ia adalah anggota dari suatu kelompok. Dalam suatu kelompok, disitulah kemudian seseorang mendapatkan konsep-konsep, misalnya belief (keyakinan), nilai-nilai, dan cerita-cerita (ingatan bersama). Oleh karena itu, satu individu dalam masyarakat terbuka kemungkinan untuk memiliki pengalaman yang relatif sama dengan individu lainnya.8 Kebudayaan yang ada di Lenteng Agung sangat kental dengan nilainilai keislaman, terlebih, dahulu Lenteng Agung merupakan destinasi
5
Eko A. Meinarno, DKK, Manusia Dalam Kebudayaan dan Masyarakat: Pandangan Antropologi dan Sosiologi, Edisi 2 (Jakarta: Salemba Humanika, 2011), h. 90. 6 Bambang Widiarto dan Iwan Media (peny.), Perspektif Budaya: Kumpulan Tulisan Koentjaraningrat Memorial Lectures i-v/2014-2008, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009), h. xi. 7 M. Ridwan Lubis, Melacak Akar Paham Teologi di Indonesia, makalah studium general fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Rabu, 10 Desember 2014, h. 1. 8 Eko A. Meinarno, DKK, Manusia Dalam Kebudayaan dan Masyarakat: Pandangan Antropologi dan Sosiologi, Edisi 2, h. 91.
48
seorang
Muslim
dari
daerah
lain
untuk
memperdalam
wawasan
keislamannya, baik dari pendidikan maupun kebudayaan. Tidak ada pondok pesantren di Lenteng Agung, namun hampir setiap rumah mengajarkan Ilmu Agama Islam seperti Nahwu, Sharaf, Tauhid, dsb. Bahkan Akal (sebutan Bela Diri zaman dulu di Lenteng Agung) pun banyak yang mempelajarinya di Lenteng Agung. Nilai-nilai tradisional Islam masih tetap dipegang kuat di sini mulai dari Rebana yang sering di pakai dalam acara besaran seperti perkawinan sampai pengajian rutin malam jum‘at terus berjalan di Kelurahan Lenteng Agung. Bahkan mengembalikan setiap persoalan hidup kepada agama terus ditekankan dan diamalkan. Sehingga Kelurahan Lenteng Agung dikenal dengan julukan ―Kota Santrinya Jakarta Selatan‖. Julukan tersebut dibenarkan baik dari tokoh masyarakat maupun dari pihak pemerintahan. Seperti yang diungkapkan oleh H. Ya‘qub Shabirin yang menyatakan, ―Lenteng agung memang kota santri, hampir setiap rumah ngajar agama.‖9 Hal senada juga disampaikan oleh Sekretaris Kelurahan Lenteng Agung, Adhi Suryo, ―Menurut saya itu benar, karena sebagian besar pendidikannya dari sekolah Islam. Memang disini keagamaannya sangat kuat.‖10 Konstruk budaya yang terdapat di Kelurahan Lenteng Agung dapat dikatakan merupakan sebuah keberhasilan penyiaran agama Islam (Dakwah) pada zaman dahulu yang telah mengadaptasi bahkan mengakomodasi nilai9
Wawancara Pribadi dengan Ya‘qub Shabirin. Wawancara Pribadi dengan Adhi Suryo, Lenteng Agung, 22 Desember 2014.
10
49
nilai dan ajaran-ajaran Islam. Adaptasi adalah upaya melakukan penyesuaian internalisasi ajaran Islam sesuai dengan tingkat kepahaman masyarakat. Akomodasi adalah upaya mengutip tradisi lokal yang sudah akrab di dalam peta budaya masyarakat sebagai sarana mengantarkan kepada proses terjadinya pemahaman, penghayatan dan pengalaman Islam.11 Namun demikian, saat ini, kebudayaan Kelurahan Lenteng Agung sudah mulai ada yang berubah, seperti hari libur zaman dahulu adalah hari Jum‘at, sekarang karena berbagai faktor terutama ekonomi dan tuntutan zaman, hari libur sudah berganti dengan hari minggu. Hal seperti ini lah yang dikhawatirkan para tokoh masyarakat maupun pemuka agama khusunya Islam di Lenteng Agung. Sehingga mereka terus melakukan upaya protektif terhadap nilai-nilai dan norma-norma yang sudah ada di masyarakat Lenteng Agung. Karena kebudayaan bukanlah sekumpulan hal yang terpisah-pisah satu sama lainnya. Sebaliknya, kebudayaan merupakan satu kesatuan dari banyak hal, termasuk sistem masyarakat (terintegrasi). Misalnya, jika salah satu sistem masyarakat, yakni ekonominya berubah, maka banyak hal yang akan mengikuti perubahan ekonomi tersebut.
11
M. Ridwan Lubis, Melacak Akar Paham Teologi di Indonesia, h. 3.
BAB IV RESPONS KELOMPOK MUSLIM TERHADAP KEPEMIMPINAN NON-MUSLIM DI KELURAHAN LENTENG AGUNG
Pembahasan pada bab IV ini, penulis hendak mendeskripsikan bagaimana respons masyarakat Lenteng Agung terhadap kepemimpinan non-Muslim. untuk dapat memahami pola pikir serta sikap yang ditunjukkan oleh masyarakat Lenteng Agung, menurut penulis dibutuhkan terlebih dahulu pemetaan cara hidup masyarakat Lenteng Agung, agar pembaca dapat memahami hasil penelitian dalam skripsi ini dengan baik. A. Masyarakat Tradisional dan Masyarakat Modern Untuk membahas lebih lanjut diperlukan pemahaman terhadap apa yang dimaksud dengan masyarakat. Terdapat beberapa definisi mengenai masyarakat dari para sarjana, diantaranya:1 a. R. Linton: seorang ahli antropologi mengemukakan, bahwa masyarakat adalah setiap kelompok manusia yang telah cukup lama hidup dan bekerja sama, sehingga mereka ini dapat mengorganisasikan dirinya berpikir tentang dirinya dalam satu kesatuan sosial dengan batas-batas tertentu. b. M.J. Herskovits: mengatakan bahwa masyarakat adalah kelompok individu yang diorganisasikan dan mengikuti satu cara hidup tertentu. c. Hasan Shadily: mendefinisikan masyarakat adalah golongan besar atau kecil dari beberapa manusia, yang dengan atau sendirinya bertalian secara golongan dan mempunyai pengaruh kebatinan satu sama lain. 1
Abu Ahmadi, dkk., Ilmu Sosial Dasar (Jakarta: PT Rineka Cipta, 1991), h. 225-226
50
51
Dari beberapa definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa yang disebut masyarakat adalah perkumpulan manusia yang telah cukup lama hidup dan bekerjasama yang diorganisasikan dan mengikuti satu cara hidup tertentu serta memiliki pengaruh kebatinan satu sama lain. 1. Masyarakat Tradisional Masyarakat tradisional ialah sekelompok masyarakat bina yang secara geografis dan teritorial umumnya berada di wilayah pedesaan. Wilayah pedesaan yang dimaksud dalam konteks ini bukan pedesaan dalam arti administratif pemerintahan, melainkan mengacu pada kondisi masyarakat.2 Menurut Sutardjo kartohadikusuma, desa adalah suatu kesatuan hukum di mana bertempat tinggal suatu masyarakat yang berkuasa mengadakan pemerintahan sendiri.3 Sedangkan menurut Bintarto desa merupakan perwujudan atau kesatuan geografi, sosial, ekonomi, politik dan kultural yang terdapat disitu (suatu daerah) dalam hubungannya dan pengaruhnya secara timbal-balik dengan daerah lain.4 Beberapa ciri masyarakat pedesaan, diantaranya:5 a. Homogenitas Sosial, bahwa masyarakat pada umumnya terdiri dari satu atau beberapa kekerabatan saja, sehingga pola hidup tingkah laku maupun kebudayaan sama/homogen.
2
Rasyidul Bashri, Kajian Diklat Terhadap Strategi dan Metode Penyuluhan Agama Islam, diakses pada 09-01-2015, pukul 18.20 WIB, dari http://sumbar.kemenag.go.id/file/file/ ArtikelWidyaiswara/qgdj1384839462.pdf 3 Hartomo dan Arnicun Aziz, MKDU Ilmu Sosial Dasar, Cet. II (Jakarta: Bumi Aksara, 1992), h. 240. 4 Abu Ahmadi, dkk., Ilmu Sosial Dasar, h. 241-242. 5 Hartomo dan Arnicun Aziz, MKDU Ilmu Sosial Dasar, h. 246.
52
b. Hubungan Primer, pada masyarakat desa hubungan kekeluargaan dilakukan secara akrab, semua kegiatan dilakukan secara musyawarah. c. Kontrol Sosial yang Ketat, kekurangan dari salah satu anggota masyarakat adalah merupakan kewajiban anggota yang lain untuk menyoroti dan membenahi. d. Gotong Royong, semua masalah kehidupan dilaksanakan secara gotong royong, baik dalam arti gotong royong murni (misal: melayat, mendirikan rumah dan sebagainya) maupun gotong royong timbal balik (misal: mengerjakan sawah, nyumbang dalam hajat tertentu, dsb.). e. Ikatan Sosial, setiap anggota masyarakat desa diikat dengan nilai-nilai adat dan kebudayaan secara ketat. f. Magis Religius, kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa bagi masyarakat desa sangat mendalam. Bahkan setiap kegiatan kehidupan sehari-hari dijiwai bahkan diarahkan kepadanya. g. Pola Kehidupan, masyarakat desa bermata pencaharian di bidang agraris, baik pertanian, perkebunan, perikanan dan peternakan. 2. Masyarakat Modern Adalah masyarakat yang sebagian besar warganya mempunyai orientasi nilai budaya yang terarah ke kehidupan dalam peradaban dunia masa kini. Masyarakat modern identik dengan masyarakat kota.6 Masyarakat perkotaan sering disebut juga urban community. Pengertian masyarakat kota lebih ditekankan pada sifat-sifat kehidupannya serta ciri6
T.pn., Ringkasan Materi Sosiologi, diakses pada 09 Januari 2015, pukul 17.30 WIB, dari http://history1978.files.wordpress.com/2008/08/ringkasan-materi-sosio-antro-smt-genap.pdf
53
ciri kehidupannya yang berbeda dengan masyarakat pedesaan. Perhatian khusus masyarakat kota tidak terbatas pada aspek-aspek seperti pakaian, makanan, dan perumahan, tetapi mempunyai perhatian yang luas lagi. 7 Adapun ciri-ciri masyarakat kota adalah sebagai berikut:8 a. Heteregonitais Sosial, kota merupakan melting pot bagi aneka suku maupun ras, sehingga masing-masing kelompok berusaha di atas kelompok yang lain. Maka dari itu sering terjadi usaha untuk memperkuat kelompoknya untuk melebihi kelompok yang lain. b. Hubungan Sekunder, dalam masyarakat kota pergaulan dengan sesama anggota (orang lain) serba terbatas pada bidang hidup tertetu. Misal: temen kerja, temen seagama, atau seorganisasi yang lain. c. Toleransi Sosial, pada masyarakat kota orang tidak memperdulikan tingkah laku sesamanya secara mendasar dan pribadi, sebab masingmasing anggota mempunyai kesibukan sendiri. Sehingga kontrol sosial pada masyarakat kota dapat dikatakan lemah sekali. d. Kontrol Sekunder, anggota masyarakat kota secara fisik tinggal berdekatan, tetapi secara pribadi atau sosial berjauhan. Dimana bila ada anggota masyarakat yang susah, senang, jahat, dan lain sebagianya, anggota masyarakat yang lain tidak mengerti. e. Mobilitas Sosial, di kota sangat mudah sekali terjadi perubahan maupun perpindahan status, tugas, maupun tempat tinggal.
7
Abu Ahmadi, dkk., Ilmu Sosial Dasar, h. 228. Hartomo dan Arnicun Aziz, MKDU Ilmu Sosial Dasar, h. 233-235.
8
54
f. Individul, akibat hubungan sekunder, maupun kontrol sekunder, maka kehidupan masyarakat di kota menjadi individul. g. Ikatan Sukarela, walaupun hubungan sosial bersifat sekunder, tetapi dalam organisasi tertentu yang mereka sukai (kesenian, olah raga, politik), secara sukarela ia menggabungkan diri dan bekorban. h. Segredasi Ruangan, akibat dari heterogenitas sosial dan kompertisi ruang, terjadi pola sosial yang berdasarkan pada sosial ekonomi, ras, agama, suku bangsa, dan sebagainya. 3. Masyarakat Kelurahan Lenteng Agung Dengan melihat pada ciri-ciri yang terdapat di atas kemudian disesuaikan dengan keadaan serta kondisi sosial warga kelurahan Lenteng Agung, nampaknya Kelurahan Lenteng Agung khususnya wilayah Lenteng Agung yang masih dalam cakupan +/- 96 hektar, lebih condong pada karakter masyarakat pedesaan. Beberapa ciri masyarakat pedesaan, seperti Hubungan Primer, Kontrol Sosial yang Ketat, Gotong Royong, Ikatan Sosial, Magis Religius, masih terlihat di Lenteng Agung. Namun seiring meluasnya cakupan Kelurahan Lenteng Agung saat ini serta kepadatan penduduk yang terjadi membuat wilayah Lenteng Agung yang dahulu masih dipenuhi dengan persawahan sudah berubah menjadi kepadatan rumah. Sehingga tidak ada lagi penduduk Lenteng Agung yang berprofesi menjadi petani atau peternak seperti dahulu. Hal ini sesuai dengan data yang ditampilkan pada bab III.
55
Dengan demikian, saat ini homogenitas sosial telah berubah menjadi heterogenitas, pola kehidupan tidak lagi sebagai petani atau peternak yang menjadi ciri khusus masyarakat pedesaan, bahkan Ikatan sosial di Kelurahan Lenteng Agung saat ini tidak lagi sekuat dahulu. Hal ini terlihat dari sekian puluh ribu total keseluruhan warga Lenteng Agung, hanya sekitar 1500 warga yang memberikan dukungan nyata terhadap penolakan Lurah Susan. Sesuai dengan apa yang diucapkan oleh H. Ya‟qub: 9 “Sampai di ajukan 1500 tanda tangan dan terdiri dari beberapa mushalla dan masjid itu langsung satu bundel diserahkan kepada Jokowi tapi Jokowi ya iya nanti diurus, tapi sampe sekarang (tidak pernah dipenuhi)”. Dari penjelasan di atas, masyarakat Kelurahan Lenteng Agung tidak dapat disebut masyarakat tradisional, namun mereka juga belum termasuk dalam kategori masyarakat modern meskipun mereka berada di wilayah perkotaan, keadaan seperti ini dikenal dengan istilah masyarakat transisi. Masyarakat transisi merupakan masyarakat yang berada di antara masyarakat tradisional dengan masyarakat modern, atau masyarakat peralihan dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern.10 B. Pluralisme dan Toleransi Kelompok Muslim Lenteng Agung terhadap Kepemimpinan Non-Muslim 1. Pluralisme dan Kebebasan Beragama Pluralisme merupakan salah satu tema yang paling hangat diperdebatkan saat ini, terutama di kalangan Muslim. KTT Organisasi 9
Wawancara Pribadi dengan Ya‟qub Shabirin pada 22 Desember 2014. T.pn, Bagian 4:Perkembangan Kehidupan Masyarakat Indonesia, h. 96, diakses pada 09 Januari 2015, pukul 17.54 WIB, dari http://file.upi.edu/Direktori/FPIPS/UR._PEND. GEOGRAFI/196103231986031-R._GURNIWAN_KAMIL_PASYA/SMI-4.pdf 10
56
Konferensi Islam (OKI), di Dakar, Senegal, 13-14 Maret 2008 juga menjadikan pluralisme sebagai topik utama. Organisasi beranggotakan 57 negara Islam ini sengaja menggelar tema tersebut sebagai upaya menghapus fobia terhadap Islam yang dalam beberapa tahun ini mendapat stereotipe amat buruk akibat aksi-aksi intoleransi dan kekerasan oleh sebagian kaum Muslimin atas nama agama. Ini menunjukkan bahwa pluralisme,
termasuk
di
dalamnya
kebebasan
beragama,
tengah
menghadapi problem serius di dunia Islam.11 Kata “pluralisme” berasal dari bahasa inggris, pluralism. Kata ini diduga berasal dari bahasa Latin, plures, yang berarti “beberapa dengan implikasi perbedaan”. Bila ditinjau dari asal-usul kata ini, jelas bahwa pluralisme agama tidak menghendaki keseragaman bentuk agama. Sebab, ketika keseragaman sudah terjadi, maka tidak ada lagi pluralitas agama (religious plurality). Keseragaman itu sesuatu yang mustahil. Allah menjelaskan bahwa sekiranya Tuhanmu berkehendak, niscaya kalian akan dijadikan dalam satu umat.12 Pluralisme
merupakan
keyakinan
seseorang
atau
kelompok
keagamaan bahwa segenap agama-agama dan keyakinan adalah jalan-jalan keselamatan (menuju Tuhan) yang sama-sama absah. Kelompok ini memandang bahwa secara teologis, kemajemukan agama adalah kehendak Tuhan yang mutlak; kebhinekaan dipandang sebagai suatu realitas niscaya 11
KH. Husein Muhammad, prolog dalam buku: Abd. Moqsith Ghazali, Argumen Pluralisme Agama:Membangun Toleransi Berbasis al-Qur’an, (Depok: Katakita, cet.II, 2009), h. xi. 12 Abd. Moqsith Ghazali, Argumen Pluralisme Agama:Membangun Toleransi Berbasis alQur’an, Cet. II (Depok: Katakita, 2009), h. 66
57
yang masing-masing berdiri sejajar. Karena itu satu agama tertentu tidak berhak memvonis benar tidaknya agama lain, karena pada dasarnya keselamatan dapat dicapai melalui aneka agama (jalan).13 Dalam
konteks
Indonesia,
pluralisme
dimaknai
sebagai
kemajemukan, keberagaman, atau kebinekaan. Keberagaman bukan hanya sebagai realitas sosial (pluralitas), melainkan juga sebagai gagasangagasan, paham-paham, dan pikiran-pikirannya. Kebinekaan sudah berlangsung berabad-abad, jauh sebelum negara ini terbentuk.14 MUI atau Majelis Ulama Indonesia merupakan institusi keagamaan di Indonesia - negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia – yang dianggap memiliki otoritas dalam bidang agama, beberapa tahun lalu, tapatnya dalam MUNAS ke-7, yang berlangsung pada tanggal 26-29 Juli 2005,
mengeluarkan
fatwa
agama
pada
tanggal
29
Juli
yang
mengharamkan gagasan itu. MUI juga mengharamkan liberalisme pemikiran dan sekularisme.Dalam pandangan MUI, pluralisme agama adalah suatu paham yang mengajarkan bahwa semua agama adalah sama dan karenanya kebenaran setiap agama adalah relatif; oleh sebab itu, setiap pemeluk agama tidak boleh mengklaim bahwa hanya agamanya saja yang benar sedangkan agama yang lain salah. Pluralisme juga mengajarkan
13
Media Zainul Bahri, Satu Tuhan Banyak Agama: pandangan sufistik Ibn ‘Arabi, Rumi dan Al-Jili (Jakarta: PT. Mizan Publika, 2011, cet. I), h. 370. 14 KH. Husein Muhammad, prolog dalam buku: Abd. Moqsith Ghazali, Argumen Pluralisme Agama:Membangun Toleransi Berbasis al-Qur’an, h. xiii.
58
bahwa semua pemeluk agama akan masuk dan hidup dan berdampingan di surga.15 Bagi MUI, paham pluralisme agama bertentangan dengan ajaran Islam. Fatwa MUI didasarkan kepada ayat-ayat al-Qur‟an, di antaranya; “Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, Maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu)daripadanya, dan Dia di akhirat Termasuk orang-orang yang rugi.” (Q.S. Ali Imran: 85), “Sesungguhnya agama (yang diridhai) disisi Allah hanyalah Islam.”(Q.S. Ali Imran: 19), “Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku." (Q.S. al-Kafirun: 6) Selain itu, MUI juga mendasarkan kepada beberapa hadith di antaranya: hadith yang diriwayatkan oleh Imam Muslim (w. 262 H) dalam kitab shahih Muslim, meriwayatkan Muhammad Rasulullah saw., bersabda16: “Ðemi zat yang mengusai jiwa Muhammad. Tidak ada seorang pun baik Yahudi maupun Nasrani yang mendengar tentang diriku dari umat Islam ini, kemudian ia mati dan tidak beriman terhadap ajaran yang aku bawa, kecuali ia akan menjadi penghuni neraka.” Selain ayat-ayat Qur‟an dan hadith di atas, Nabi juga pernah mengajak beberapa raja yang tidak beragama Islam melalui surat-surat dakwah yang dikirimnya agar mereka masuk Islam, di antaranya: Kaisar Heraklius, Raja Romawi yang beragama Nasrani, al-Najsyi raja Abesenia yang beragama Nasrani, dan Kisra Persia yang beragama Majusi. Pluralisme agama sangat berkaitan erat dengan wacana kebebasan beragama dan berkeyakinan. Di Indonesia, tuntutan untuk menjamin kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) sesungguhnya sudah tertera 15
Adnin Armas, Pluralisme agama dalam sorotan, dalam buku, pluralisme agama: telaah kritis cendekiawan Muslim (Jakarta: INSISTS, 1434 H), h. xii. 16 Ibid, h. xiii.
59
dalam konstitusi negara seperti UUD 1945 pasal 29 (2), yaitu: “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu”, dan pasal 28 (e) ayat 1 dan 2 UUD 1945:17 a) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya. b) Setiap orang berhak menyatakan pikiran dan sikap sesuai hati nuraninya. Jaminan KBB tersebut ditegaskan kembali dalam pasal 22 UU No. 39 tentang HAM:18 a) Setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu. b) Negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya masing-masing
dan
untuk
beribadah
menurut
agamanya
dan
kepercayaannya itu. Oleh karena itu, dengan adanya undang-undang ini, negara tidak dibolehkan melakukan diskriminasi terhadap seluruh warga negara, dengan beragam identitas suku, kultur, agama, jenis kelamin, ras dan lain sebagainya dengan alasan apapun untuk mandapatkan jaminan itu.Tidak hanya pemerintah, seluruh warga negara Indonesia berkewajiban menegakkan konstitusi tersebut.
17
Sri hidayati, kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) dalam perspektif HAM, dalam Center for study of religion and culture (CSRC). Modul Kebebasan Beragama & Integrasi Sosial. (Jakarta: CSRC Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, t.t.), h. 29. 18 Ibid, h. 30.
60
Secara normatif memang pengakuan terhadap pluralisme agama bisa ditemukan di dalam UUD tersebut. Namun dalam prakteknya, tentu ada kalanya politik pengakuan pluralisme itu kehilangan pengaruhnya ketika kelompok mayoritas terus menurus berusaha untuk menjadikan nilai-nilai mereka sebagai nilai yang diterapkan dalam kehidupan bernegara; seperti penerapan syariah Islam dalam peraturan daerah. Dalam kaitan ini adalah penting pula untuk menegaskan bahwa regulasi yang hegemonik seperti itu tentu saja bukan saja mengancam pluralisme agama, tetapi pada prinsipnya memiliki potensi mengancam kebebasan beragama.19 Terlepas dari pro-konta di atas, melihat dari tujuan pluralisme tersebut dalam membangun dan membina kebebasan beragama di Indonesia adalah hal yang baik. Pluralisme hendak menyadarkan manusia bahwa kemajemukan merupakan hal yang pasti dan tidak terhindari terlebih di Indonesia. Gagasan pluralisme agama meniscayakan bukan hanya pengakuan terhadap eksistensi dan hak agama-agama lain, tetapi juga keterlibatan dalam usaha memahami perbedaan dan persamaan guna tercapainya kerukunan dalam kebhinekaan.20 Oleh karena itu, bangsa Indonesia harus menyikapinya dengan bijak. Sehingga bangsa Indonesia dapat menghindar dari perpecahan yang menuju kehancuran. Pluralisme agama memiliki beberapa kemungkinan pengertian yang berbeda. Pertama, pluralisme diartikan sebagai pandangan atas agama 19
M. Amin Nurdin-Ismatu Ropi, Laporan Akhir Penelitian Kompetitif: Respon Kelompok Non-Muslim Terhadap Perkembangan Sosial Keagamaan Islam Di Indonesia Paska Reformasi, (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2010), h. 68. 20 Abd. Moqsith Ghazali, Argumen Pluralisme Agama:Membangun Toleransi Berbasis alQur’an, Cet. II (Depok: Katakita, 2009), h. 23.
61
sebagai satu hakikat namun dengan berbagai rupa dan bentuk. Kedua, pluralisme diartikan sebagai esensi hakikat memiliki berbagai bentuk yang terjelma dalam berbagai agama. Ketiga, pluralisme diartikan bahwa hakikat terdiri dari berbagai unsur yang masing-masing dari unsur yang ada tersimpan dalam sebuah agama. Dan keempat, pluralisme diartikan sebagai saling menghormati antar pengikut umat beragama, toleransi sosial antar umat beragama.21 Warga Kelurahan Lenteng agung tidak menafikan adanya Pluralisme Agama di dalam kehidupan, hanya saja penempatannya yang perlu disesuaikan. Ust. Thamrin yang merupakan tokoh agama menyatakan, “Nonsenlah. Pluralisme ada dalam konteks yang berbeda. Kalau untuk kerja bakti oke saya akui, Tapi kalau untuk dibenturkan dengan agama, hanya Islam saja yang paling benar.”22 Oleh karena itu, makna pluralisme agama yang dikehendaki sebagian kolempok Muslim Kelurahan Lenteng Agung adalah makna yang keempat; pluralisme diartikan sebagai saling menghormati antar pengikut umat beragama, toleransi sosial antar umat beragama. Berbeda dengan paradigma yang dimiliki oleh para pluralis. Paradigma pluralis berpendirian bahwa setiap agama memang punya jalan sendiri-sendiri. Jalan-jalan menuju Tuhan beragam, banyak, dan tak tunggal. Semuanya bergerak menuju yang satu, Tuhan. Tuhan yang Satu memang tak mungkin dipahami secara tunggal oleh seluruh umat
21
Gunawan Adnan, Pluralisme Agama: Sebuah Tantangan Global, dalam buku: Refleksi: Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin, Vol. XII (Jakarta: Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah, No.1, 2010), h. 39. 22 Wawancara Pribadi dengan M. H. Tamrin pada 22 Desember 2014.
62
beragama. Karena itu, paradigma pluralis menegaskan bahwa yang lain itu harus dipahami sebagai yang lain. Paradigma pluralis tak menilai agama lain. Semua agama memiliki hak yang sama untuk tumbuh dan berkembang, termasuk hak pemeluk agama untuk menjalankan agamanya secara bebas. Yang lain tidak perlu dipaksa pindah agama sebagaimana dikehendaki paradigma eksklusif, atau diakui sebagai orang terselamatkan sekalipun berada di luar agama dirinya sebagaimana dinyatakan paradigma inklusif. Dengan cara ini akan tercipta sikap saling mengakui dan saling memercayai, tanpa ada kekhawatiran untuk dikonversikan kedalam agama tertentu, baik secara halus maupun terang-terangan. Dengan ini terang bahwa kaum pluralis tidak hendak menyatakan bahwa semua agama adalah sama belaka.23 Menurut Cak Nur (panggilan akrab bagi Nurcholish Madjid), dalam al-Qur‟an terdapat petunjuk yang dengan tegas menekankan bahwa kemajemukan adalah suatu kepastian Allah (taqdir). Karena itu yang diharapkan dari setiap umat beragama: menerima kemajemukan itu sebagaimana adanya, kemudian menumbuhkan sikap bersama yang sehat, menggunakan segi-segi kelebihan masing-masing, untuk secara maksimal saling mendorong usaha mewujudkan berbagai kebaikan (al-khayrat) dalam masyarakat. Sementara segala persoalan perbedaan, kata Cak Nur –
23
Gunawan Adnan, Pluralisme Agama: Sebuah Tantangan Global, dalam buku: Refleksi: Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin, h. 60.
63
misalnya perbedaan intraagama, apalagi yang menyangkut hakikat perbedaan antaragama – diserahkan saja kepada Tuhan semata.24 Dengan demikian, pluralisme agama merupakan sistem nilai yang memandang keberagamaan atau kemajemukan agama secara positif sekaligus optimis dengan menerimanya sebagai kenyataan (sunnatullah) dan berupaya agar berbuat sebaik mungkin berdasarkan kenyataan itu. Dikatakan secara positif karena mengandung pengertian agar umat beragama tidak memandang pluralitas agama sebagai kemungkaran yang harus dibasmi. Dinyatakan secara optimis karena kemajemukan agama itu sesungguhnya
sebuah
potensi
agar
setiap
umat terus
berlomba
menciptakan kebaikan di bumi.25 2. Toleransi terhadap kepemimpinan non-Muslim dan kebebasan berprofesi Toleransi yang dalam bahasa Arab disebut al-tasamuh merupakan salah satu ajaran inti Islam yang sejajar dengan ajaran lain, seperti kasih (rahmat), kebijaksanaan (hikmat), kemaslahatan universal (mashlahat ‘ammat), keadilan („adl). Beberapa ajaran inti Islam tersebut merupakan sesuatu yang – meminjam istilah ushul fiqh – qath’iyyat, yakni tak bisa dibatalkan dengan nalar apa pun, dan kuliyyat, yaitu bersifat universal, melintasi ruang dan waktu (shalih li kulli zaman wa makan).26 Kata al-tasamuh menjadi istilah mutakhir bagi toleransi. Bentuk akar dari kata ini mempunyai dua macam konotasi: “kemurahan hati” (jud wa 24
Budhy Munawar-Rachman, Islam dan Pluralisme Nurcholish Madjid, Cet. I (Jakarta: Pusat Studi Islam dan Kenegaraan Universitas Paramadina, 2007), h. 157. 25 Abd. Moqsith Ghazali, Argumen Pluralisme Agama:Membangun Toleransi Berbasis alQur’an, h. 68. 26 Ibid, h. 215.
64
karam) dan kemudahan (tasahul). Karena itu, kaum Muslim di tanah Arab berbicara tentang tasamuh al-Islam dan al-tasamuh al-din, dengan cara yang sangat berbeda dari penggunaanya dalam bahasa Inggris. Sementara kata “toleransi” menunjukkan adanya sebuah otoritas berkuasa, yang dengan enggan “bersikap sabar” atau “membiarkan” orang lain yang berbeda, istilah Arab justru menunjukkan kemurahan hati dan kemudahan dari kedua belah pihak atas dasar saling pengertian. Istilah itu selalu digunakan dalam bentuk resiprokal (hubungan timbal balik).27 Toleransi dapat dipahami sebagai sikap dan perilaku untuk menerima sebagian atau seluruhnya atas perbedaan, baik yang berkaitan dengan suku, ras, atau agama.28 Ketidak percayaan yang terus mengalir kepada pemeluk agama lain akan terus menimbulkan intoleransi dalam kehidupan bermasyarakat. Sedangkan di Indonesia dengan tingkat pluralitas yang tinggi menuntut tingkat toleransi yang tinggi pula agar tercipta kerjasama antar umat beragama yang harmonis. Menurut Said Aqil Siraj, semangat pluralis, semangat toleransi atau saling menghargai antar umat beragama harus terus diperjuangkan dan dipupuk. Bukan hanya bersikap toleran, tapi juga harus memahami betul budaya mereka. Dalam kitab Fath al-Mu’in, dalam Fashl fi al-Jihad, jihad adalah fardu kifayah, ada empat macam: mengajak manusia berjuang agar semua beriman kepada Allah; menjalankan syariat Islam; siap berkorban 27
Muhammad Abdul Halim, Menafsirkan Al-Quran dengan Metode: Menafsirkan AlQuran dengan Al-Quran, Cet. III (Bandung: Marja, 2012), h. 104. 28 M. Amin Nurdin-Ismatu Ropi, Laporan Akhir Penelitian Kompetitif: Respon Kelompok Non-Muslim Terhadap Perkembangan Sosial Keagamaan Islam Di Indonesia Paska Reformasi, h. 48.
65
demi kebenaran; kemudian memberi perlindungan kepada orang yang baik-baik. Baik dia Muslim atau non-Muslim29 Bagi Nurcholish madjid sebagai misal sikap toleransi Islam memang berpijak pada semangat humanitas dan universalitas Islam sendiri. Islam merupakan agama kemanusiaan (fitrah), dan cita-cita Islam sejalan dengan cita-cita kemanusiaan pula. Menurut Nurcholish, secara etimologi istilah “Islam” sendiri berarti sebuah kepasrahan kepada Tuhan yang karena itu ia percaya bahwa setiap agama pasti mengajarkan kepasrahan kepada Tuhan. Sikap ini pada ujungnya akan mengantarkan pada penghargan terhadap kelompok dan agama lain karena setiap kelompok itu memiliki kesamaan sikap kepasrahan kepada Tuhan.30 Hal yang sama juga diungkapkan oleh Abdurrahman Wahid yang melihat bahwa Universalisme dan Kosmopolitanisme ajaran Islam memang memberikan kesejatian kepada semua kelompok yang ada. Menurutnya, inilah cita-cita toleransi Islam yang memberikan jaminan kepada semua kelompok dan warga berdasarkan lima dasar jaminan utama yakni pertama, jaminan keselamatan fisik warga masyarakat dari tindakan badani di luar ketentuan hukum; kedua, jaminan keselamatan keyakinan agama masing-masing tanpa ada paksaan untuk berpindah agama; ketiga, jaminan keselamatan atas keluarga dan keturunan; keempat, jaminan
29
Said Aqiel Siradj, dalam buku: Budi Munawar-Rahman(ed), membela kebebasan beragama: buku 4, Cet. 1 (Jakarta: Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF), t.t.), h. 1415. 30 M. Amin Nurdin-Ismatu Ropi, Laporan Akhir Penelitian Kompetitif: Respon Kelompok Non-Muslim Terhadap Perkembangan Sosial Keagamaan Islam Di Indonesia Paska Reformasi, h. 57.
66
keselamatan harta benda dan milik pribadi di luar prosedur hukum; dan kelima, bagi keselamatan untuk memilih profesi pekerjaan.31 Lima jaminan tersebut merupakan landasan utama bagaimana umat Islam di Indonesia dapat bersikap toleran terhadap keberadaan nonMuslim. Khusus dalam penelitian ini, jaminan yang ke-5 adalah sesuatu yang harus dipahami seluruh umat Islam, khususnya bagi masyarakat Indonesia yang heterogen. Kebebasan seseorang dalam memilih profesi apapun termasuk menjadi seorang pemimpin atau presiden di Indonesia telah disahkan dalam pasal 6 ayat (1) UUD 1945 yang hanya mencantumkan tiga syarat untuk menjadi calon presiden RI, yaitu:32 1) Harus warga negara RI sejak kelahirannya dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain atas kehendaknya sendiri, 2) Tidak pernah menghianati negara, dan 3) Mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai presiden. Berdasarkan UUD tersebut jelas sudah bahwa hak untuk menjadi seorang pemimpin – jangankan sebagai pimpinan daerah, menteri bahkan menjadi seorang pemimpin setingkat presiden pun di benarkan– di Indonesia tidak hanya menjadi hak seorang Muslim semata. Oleh karena
31
Ibid, h. 58. KH.Salahuddin Wahid, Prolog: Presiden Non-Muslim di Indonesia, Mungkinkah?, dalambuku: Dr. Mujar Ibnu Syarif, M.Ag, Presiden Non Muslim di Negara Muslim: Tinjauan Dari Perspektif Politik Islam dan Relevansinya dalam Konteks Indonesia, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2006), h. viii. 32
67
itu, toleransi di Indonesia amat dibutuhkan untuk dapat menerapkan kesepakatan bersama yang tercantum dalam undang-undang. Nampaknya pandangan toleransi yang demikian tidak berlaku bagi sebagian kelompok Muslim Lenteng Agung yang memberikan syarat utama bagi seorang pemimpin adalah harus seorang Muslim. Menurut mereka toleransi hanya bergerak di bidang muamallat; seperti berdagang, bertetangga, dsb. Namun jika sudah masuk keranah akidah tidak ada kata toleransi. Ust. Thamrin mengatakan: 33 “Dalam urusan akidah tidak bisa (tidak ada toleransi), tapi dalam urusan interaksi sosial (bisa). Disini juga ada non muslim kita berlakukan. Islam tidak masuk dalam muamallat. Ucapan salam itu tidak boleh, termasuk ucapan selamat natal, saya yang termasuk tidak membolehkan.” Oleh karena itu, toleransi menurut sebagian kelompok Muslim di kelurahan Lenteng Agung harus memiliki batasan. Hal tersebut bukan berarti menghendaki permusuhan di antara setiap pemeluk agama yang berbeda, namun lebih untuk menjaga kemurnian identitas mereka sebagai Muslim. Mereka menghargai setiap hak yang dimiliki oleh masyarakat lain yang berbeda keyakinan, bahkan kewajiban mereka sebagai tetangga pun tetap dilakukan meskipun antar pemeluk agama; seperti takziyah kepada orang yang salah satu keluarganya terkena mushibah, terlebih khusus kematian atau biasa disebut dengan istilah nyelawat. Sebagaimana yang dikatanya: “Jual-beli, muammalat, berinteraksi sosial, bertetangga, non-Muslim mempunyai hak itu. Jadi dia berikan selamat kalo dia senang, dan berikan ucapan belasungkawa kalo dia (terkena) musibah. Jadi kalo ada orang non33
Wawancara Pribadi dengan M. H. Thamrin.
68
Muslim meninggal ya nyelawat, bahasa kita, kalo bahasa dia kan bukan itu. Takziah kan al-amru bi shobri, memberikan kata sabar ya neng, meskipun dia non-Muslim”.34 3. Kepemimpinan non-Muslim Menurut Kelompok Muslim di Lenteng Agung Supaya hubungan antar manusia di dalam suatu masyarakat terlaksana sebagaimana diharapkan maka dirumuskanlah norma-norma masyarakat. Norma adalah aturan bersama tentang perilaku sosial yang boleh dan tidak boleh.35 Norma juga dapat diartikan sebagai standarstandar yang diakui bersama oleh anggota sebuah kelompok, dan norma suatu kelompok memiliki suatu karakteristik yang dianggap penting bagi anggota-anggotanya. norma dapat saja berbentuk tertulis, tapi seringkali dapat dikomunikasikan secara lisan kepada anggota-anggota lainnya.36 Mula-mula norma-norma tersebut terbentuk secara tidak disengaja. Namun lama-kelamaan norma-norma tersebut dibuat secara sadar. Normanorma yang ada di dalam masyarakat, mempunyai kekuatan mengikat yang berbeda-beda. Ada norma yang lemah, yang sedang sampai yang kuat daya ikatnya. Pada yang terakhir, umumnya anggota-anggota masyarakat tidak berani melanggarnya. Untuk dapat membedakan
34
Wawancara Pribadi dengan M. H. Thamrin. M. Amin Nurdin, Ahmad Abrori, Mengerti Sosiologi: Pengantar Memahami KonsepKonsep Sosiologi, (Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006), h. 64. 36 John M. Ivancevich, DKK, Perilaku Dan Manajemen Organisasi Edisi Ketujuh Jilid 2 (Jakarta: Erlangga, 2012), h. 12. 35
69
kekuatan mengikat norma-norma tersebut, secara sosiologis, dikenal adanya empat pengertian, yaitu:37 a. Cara (usage) Cara (usage) lebih menonjol di dalam hubungan antar individu dalam masyarakat. Suatu penyimpangan terhadapnya tidak akan mengakibatkan hukuman yang berat, akan tetapi hanya sekedar celaan dari individu yang dihubunginya. Misal cara minum dan makan. b. Kebiasaan (folkways) Kebiasaan (folkways) mempunyai kekuatan mengikat yang lebih besar dari pada cara (usage). Kebiasaan diartikan sebagai perbuatan yang diulang-ulang dalam bentuk yang sama, merupakan bukti bahwa orang banyak menyukai perbuatan tersebut. Misal kebiasaan memberi hormat kepada yang lebih tua. c. Tata kelakuan (mores) Tata kelakuan (mores) merupakan kelanjutan dari kebiasaan yang tidak semata-mata dianggap sebagai cara perilaku saja, akan tetapi bahkan diterima sebagai norma-norma pengatur. Tata kelakuan dilaksanakan sebagai alat pengawas, secara sadar maupun tidak sadar, oleh masyarakat terhadap anggota-anggotaya. Tata kelakuan, di satu pihak memaksakan suatu perbuatan dan di lain pihak melarangnya, sehingga secara langsung merupakan alat agar anggota masyarakat menyesuaikan perbuatan-perbuatannya dengan tata kelakuan tersebut. 37
Soerjono Sukanto, Sosiologi Suatu Pengantar, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998, cet. xxv), h. 220.
70
d. Adat-istiadat (custom) Tata kelakuan yang kekal serta kuat integrasinya dengan polapola prilaku masyarakat, dapat meningkat kekuatan mengikatnya menjadi custom atau adat-istiadat.
Anggota masyarakat yang
melanggar adat-istiadat, akan menderita sanksi yang keras yang kadang-kadang secara tidak langsung diperlakukan. Misal: Perceraian di daerah Lampung. Kepemimpinan adalah masalah relasi dan pengaruh antara pemimpin dan yang dipimpin. Kepemimpinan tersebut muncul dan berkembang sebagai hasil dari interaksi otomatis di antara pemimpin dan individuindividu yang dipimpin (ada relasi interpersonal).38 Kepemimpinan adalah proses di mana individu memengaruhi sekelompok individu untuk mencapai tujuan bersama.39 Keharusan seorang Muslim dalam menanggung kepemimpinan di Kelurahan Lenteng Agung bagi sebagian kelompok Muslim di Kelurahan Lenteng Agung bukanlah sesuatu yang muncul tanpa proses sejarah yang panjang. Sejak dahulu sebelum istilah Lurah muncul yang saat itu disebut sebagai Bek seluruhnya beragama Islam, bahkan zaman pemerintahan kolonial Belanda pun tidak berani menempatkan seorang pemimpin nonMuslim di Lenteng Agung. Hingga kemudian Lurah Susan muncul sebagai
38
Kartini kartono, Pemimpin dan Kepemimpinan: Apakah Pemimpin Abnormal itu?, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001, cet. IX), h. 5. 39 Peter G. Northouse, Kepemimpinan: Teori dan Praktek, (Jakarta: PT Indeks, 2013, ed. VI), h. 5.
71
Lurah di Kelurahan Lenteng Agung merupakan sesuatu yang berbenturan dengan kebiasaan yang ada. H. Ya‟qub menyatakan:40 “Mulai dari Bek (sebelum penyebutan lurah) sampe lurah sebelum Lurah Susan, Lurah di Lenteng Agung semua beragama Islam.” Begitu pula yang disampaikan oleh Ustad Thamrin:41 “Pemimpin non-Muslim saja sudah melanggar norma Lenteng Agung. Dari zaman penjajah saja tidak berani meletakkan pemimpin nonMuslim di Lenteng Agung.” Faktor sejarah tersebut saat ini sudah menjadi acuan bersama untuk menentukan seorang pemimpin bagi mereka. Jika ditinjau dari sudut pandang kekuatan ikatan norma yang berlaku di sebagian kelompok Muslim di Kelurahan Lenteng Agung, norma tersebut telah menjadi pengatur sosial atau dapat disebut sebagai tata kelakuan (mores). Merupakan hal yang alami jika terjadi penolakan terhadap kepemimpinan non-Muslim, karena norma tersebut telah menjadi alat agar anggota masyarakat dapat menentukan siapa yang sesuai untuk menjadi pemimpin di Kelurahan Lenteng Agung. Sehingga meskipun kompetensi kepemimpinan merupakan harapan bagi sebagian kelompok Muslim di Kelurahan Lenteng Agung, namun syarat sebagai Muslim adalah prinsip yang tidak dapat dihilangkan. Seperti yang disampaikan oleh Ustad Thamrin yang mengatakan nilai-nilai kepemimpinan tentu harus ada seperti integritas, amanat, tabligh dalam arti menyampaikan yang benar dan adil. Namun ketika ditanya mengenai
40 41
Wawancara Pribadi dengan Ya‟qub Shabirin. Wawancara Pribadi dengan M. H. Thamrin.
72
kriteria utama untuk menjadi seorang Lurah di Lenteng Agung, beliau menjawab:42 “Orang Muslim lah.” Ketegasan tersebut tidak hanya bersandar pada faktor sejarah, namun juga diperkuat dengan adanya ajaran yang menolak kepemimpinan nonMuslim dalam Al-Quran, meskipun mereka menyadari terdapat perbedaan penafsiran, namun tetap menjadikan Muslim sebagai kriteria utama untuk menjadi seorang Lurah. Sesuai dengan ungkapan Ustad Thamrin:43 “Itu sudah menjadi prinsip. Respons kelompok lenteng agung tidak terima karena sudah prinsip bahkan dogma agama berbicara itu. Ketika interpretasi berbeda-beda urusan dua belas. Landasan penolakan Lenteng Agung pertama, dogma agama. Kedua, adat istiadat/budaya. Di sini masyarakat religius bahkan naik jabatan saja tasyakuran. Di sini disebut kota santri. Berkenaan dengan legowo tentunya pergerakan kita juga dibatasi oleh data yang lain, terdapat hadits man roa minkum munkaron ila anqol wakadzalika adh’aful iman. Jadi dari sekian rangkaian berarti kita udah ikhtiar. Ketika kita melihat kemungkaran, kemungkaran apa, nonMuslim, ini merupakan kemungkaran masa kita ridho. Saya demo saya bawa anak istri saya biar dia menyaksikan kalau kita sudah berusaha meskipun tidak berhasil, Allah tidak tuli untuk membalas.” Keadaan seperti ini memberikan kesan bahwa penempatan Lurah susan merupakan bukti bahwa pemerintah bermain pada wilayah keyakinan. Hal ini terlihat dari ungkapan Ustad Thamrin:44 “Pemerintah bermain-main diranah kepercayaan. Seharusnya pemimpin (Jokowi-Ahok) melihat (nilai yang terkandung dalam) proses pembuatan pancasila oleh para founding fathers, khususnya dalam sila pertama; dimana mereka (founding fathers) mengubah sila pertama karena melihat adanya non-Muslim di Indonesia. Hukum di Indonesia ada dua, Yuridis formal dan yuridis normatif. Ketika (yuridis formal) dibenturkan dengan yuridis normatif harus nyerah. Contoh: UU pornografi dan 42
Wawancara Pribadi dengan M. H. Thamrin. Wawancara Pribadi dengan M. H. Thamrin. 44 Wawancara Pribadi dengan M. H. Thamrin. 43
73
pornoaksi yang tidak berlaku di daerah yang adat istiadatnya mandi di kali.” Selain dibagi berdasarkan kekuatan ikatan, ada 4 macam norma yang dibagi tergantung pada tingkat kompromi yang diperlukan: 45 a. Laws Laws adalah norma yang dijalankan oleh lembaga hukum. Perbedaan mencolok dengan ketiga norma lainnya adalah laws itu merupakan norma formal, yakni tertulis secara eksplisit dalam sebuah aturan atau undang-undang dan dilaksanakan oleh lembaga kepolisian, militer dan kehakiman. b. Mores Mores (baca: morays) adalah adat istiadat, yakni bentuk norma yang jika dilanggar akan melahirkan sanksi negatif yang kuat. Pelanggaran terhadapnya akan menimbulkan kejahatan moral, seperti mencuri, berbohong, membunuh dan sejenisnya. c. Folkways Folkways adalah kebiasaan, yakni bentuk norma yang tingkat komprominya lemah. Folkways itu merupakan kebiasaan umum yang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari tanpa ada tekanan untuk melakukannya. Misalnya, memakai sandal hendaknya sepasang, makanlah apa yang didekat kita saat makan bersama, dan lain sebagainya.
45
M. Amin Nurdin, Ahmad Abrori, Mengerti Sosiologi: Pengantar Memahami KonsepKonsep Sosiologi, h. 64.
74
d. Taboo Taboo adalah praktik sosial yang sangat dilarang. Ia adalah bentuk norma sosial yang paling kuat. Misal incest taboo, yakni melakukan seks antara bapak dengan anak perempuan, ibu dengan anak laki-lakinya, saudara laki-laki dengan saudara perempuannya, serta bentuk hubungan yang sejenis. Dari keempat kriteria tersebut, maka kepemimpinan non-Muslim bagi sebagian kelompok Muslim di Kelurahan Lenteng Agung merupakan praktik sosial yang sangat dilarang (taboo). Praktik sosial tersebut menjadi sangat dilarang karena telah mengusik beberapa kebutuhan hidup kelompok Muslim di Kelurahan Lenteng Agung, baik sengaja maupun tidak. Yakni Kebutuhan transmisi budaya dan kebutuhan perlindungan. Karena untuk bisa bertahan hidup, semua masyarakat harus bisa memenuhi
kebutuhan-kebutuhan
dasar
tertentu,
yang
kalangan
fungsionalis menyebutnya dengan istilah prasayarat fungsional (functional prerequisites). Kebutuhan-kebutuhan itu diantaranya:46 1) Kebutuhan subsistens; kebutuhan jasmaniyah: makan, minum, dsb. 2) Kebutuhan
distribusi;
pendistribusian
subsistens
keseluruh
anggota masyarakat (bayi dan anak kecil membutuhkan orang lain untuk menyuplai makanan mereka)
46
Ibid, h. 35-36.
75
3) Kebutuhan reproduksi biologis; agar masyarakat tetap eksis dan survive: melalui pernikahan 4) Kebutuhan transmisi budaya; kebiasaan, nilai-nilai, ide-ide agar terus bertahan atau berlanjut 5) Kebutuhan perlindungan; menghindari tindakan yang merusak dan perlindungan dari ancaman luar 6) Kebutuhan untuk komunikasi; untuk memenuhi semua kebutuhan di atas, anggota masyarakat perlu mengomunikasikannya dengan sesama anggota lainnya. Tidak terpenuhinya kebutuhan transmisi budaya dalam konteks penelitian ini, yakni norma mengenai kepemimpinan dan kebutuhan perlindungan akan tindakan yang merusak norma yang berlaku maka tentu sebagian kelompok Muslim di Kelurahan Lenteng Agung butuh untuk mengomunikasikannya dengan pemerintah sebagai sesama anggota masyarakat DKI Jakarta dengan melakukan demo yang selama ini tetap dalam keadaan kondusif. Meskipun pada akhirnya tetap tidak dihiraukan, karena sikap legowo yang dimiliki, menuntun mereka untuk tidak melakukan tindakan anarkhis. 4. Keadilan dan Kesetaraan Telah dibahas pada bab sebelumnya, bab II, bagaimana sebenarnya Islam memandang keterlibatan warga non-Muslim dalam kepemimpinan. Selain terdapat surat mumtahinah ayat 8-9 yang menjelaskan beberapa ayat yang melarang kepemimpinan non-Muslim, terdapat pula ayat-ayat
76
yang menjelaskan bagaimana seharusnya seorang Muslim memperlakukan manusia lainnya. Islam bukanlah agama yang hanya memperhatikan nilai-nilai ketauhidan yang merupakan kewajiban penganutnya dalam hubungan vertikal, namun juga, Islam mengajarkan penganutnya dalam menjalani hubungan horizontal (sesama makhluk / manusia). Salah satu sikap yang harus di miliki oleh seorang Muslim adalah perlakuan adil atau memberikan perlakuan yang sama bahkan terhadap musuh atau orang yang dibenci sekali pun. Hal ini tergambar dalam beberapa firman Allah swt.: “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benarbenar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biar pun terhadap dirimu sendiri, ibu-bapak dan kerabatmu. Jika ia kaya atau miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutarbalikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala sesuatu yang kamu kerjakan.” (Q.S. An-Nisa: 135) Terdapat pula ayat lain yang menjelaskan pentingnya keadilan dan persamaan dengan ketakwaan seorang Muslim, yakni surat Al-Maidah ayat 8: “Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu Jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk Berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. dan bertakwalah kepada Allah, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Q.S. Al-Maidah: 8) Dalam ayat lain juga terdapat perintah Allah untuk berlaku adil dan melarang permusuhan. “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari
77
perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” (Q.S. An-Nahl: 90) Dalam ayat lain juga dijelaskan: “Sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah Kami turunkan bersama mereka Al kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat melaksanakan keadilan. dan Kami ciptakan besi yang padanya terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia, (supaya mereka mempergunakan besi itu) dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong (agama)Nya dan rasul-rasul-Nya Padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya Allah Maha Kuat lagi Maha Perkasa.” (Q.S. Al-Hadid: 25) Perkataan “adil” berasal dari kata Arab yang berarti seimbang dan proporsional. Kata tersebut ada hubungannya dengan kata Arab lainnya al‘idl, yang artinya salah satu bakul gandaran yang dipikul oleh petani atau yang dibawa di atas punggung unta. Kalau orang memikul dua buah bakul dengan sebuah gandar (kayu pemikul) di mana salah satu bakul diletakkan di muka dan yang lainnya diletakkan di belakang, maka berat kedua bakul itu harus seimbang agar ia dapat dipikul; jika tidak orang tersebut tidak dapat memikulnya. Bakul tersebut disebut al-‘idl karena ia seimbang satu sama lain sehingga dapat dipikul atau diletakkan di atas punggung unta. Jadi keadilan itu secara harfiah menggambarkan adanya perimbangan yang proporsional.47 Perintah berbuat adil dalam ayat-ayat di atas sangat umum, karenanya berlaku juga dalam hubungan antar umat beragama. Al-Ustadz Muhammad Abu Zahrah menyatakan bahwa semua hubungan antar manusia dalam Islam berasaskan keadilan, bahkan keadilan terhadap 47
Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Tafsir Tematik Al-Qur’an Tentang Hubungan Sosial Antarumat Beragama,(Yogyakarta: Pustaka SM, 2000), h. 55.
78
musuh sekalipun. Lawan dari keadilan adalah ketidakadilan (kezaliman), dan nabi Muhammad dalam sebuah hadits Qudsi menyatakan bahwa Allah berfirman: 48 “Wahai hamba-hamba-Ku, sesungguhnya Aku telah mengharamkan ketidakadilan (kezaliman) atas diri-Ku dan Aku telah menjadikannya haram di antara sesamamu. Oleh karena itu janganlah kamu saling manzalimi (berlaku tidak adil). (H.R. Muslim dan Ahmad) Cabang dari asas keadilan adalah prinsip perlakuan yang sama (almu’amalah bi al-mitsl). Perlakuan yang sama itu adalah bagian dari prinsip keadilan yang berlaku dalam hubungan dan pergaulan antar manusia baik pada level individual maupun pada level kelompok. Menegaskan asas ini Nabi meriwayatkan yang terjemahannya49: “Perlakukanlah manusia diperlakukan.” (H.R. Hakim)
dengan
cara
yang
kamu
ingin
Beberapa ayat dan hadits di atas telah menjelaskan kepada seluruh Muslim bagaimana seharusnya berinteraksi dengan sesama manusia, tidak hanya sesama Muslim, namun juga kepada non-Muslim. Dari sudut pandang al-Qur‟an, setiap orang yang tidak adil kepada dirinya sendiri atau kepada orang lain adalah zalim. Dalam bahasa seharisehari, orang yang zalim hanyalah orang yang menyimpangkan hak-hak orang lain. Tetapi menurut terminologi Qur‟ani, orang yang zalim adalah orang yang tidak adil terhadap diri sendiri.50
48
Ibid, h. 56. Ibid, h. 57. 50 M. Sidi Ritaudin, Agama dalam Negara: Politik Islam Indonesia Kontemporer, dalam buku: Refleksi: Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin, (Jakarta: Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah, Vol. XI, No. 2, 2009), h. 160. 49
79
Selain ayat-ayat Qur‟an di atas, sebagai negara religius yang bertumpu pada Pancasila dan UUD-1945 maka gaya kehidupan bermasyarakat tidak boleh bersikap zalim dan tidak adil dalam melaksanakannya. Maka Pancasila dijadikan sebagai moral bangsa. Terdapat dua sila dalam Pancasila yang menyangkut tentang adil; sila kedua dan sila ke-lima. Sila ke-dua menyatakan, kemanusiaan yang adil dan beradab. Ini berarti, tidak sewenang-wenang, dan bisa tepa selira, mencintai sesama manusia. Tanpa ada diskriminasi; dan sama hak serta kewajiban asasi selaku manusia. Toleran terhadap sesama, saling menghormati; mampu melakukan kegiatan-kegiatan manusiawi dan kerjasama dengan bangsa-bangsa lain. Sedangkan sila ke-lima, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Ini berarti hidup sederhana, mengamalkan kelebihan untuk menolong orang lain, menghargai kerja yang bermanfaat; dan ada keadilan yang lebih merata di segala bidang kehidupan.51 Kelompok Muslim di Lenteng Agung pun meyakini nilai tersebut dan menerapkannya dalam kehidupan. Ia mengartikan adil dengan definisi wadh’usy syai fi mahallihi, yakni menempatkan sesuatu pada tempatnya. Hal ini menjelaskan mengapa mereka selalu memberikan batasan dalam segala urusan terlebih dalam akidah. Pandangan ini dapat terlihat juga dari pendapat mereka mengenai pluralisme agama dan toleransi di atas. Dengan demikian nilai keadilan bagi mereka sama pentingnya bagi umat islam
51
Ibid, h. 162
80
bahkan umat agama yang lain, hanya saja definisi keadilan yang berbeda. Sehingga bagi mereka penempatan pemimpin non-Muslim di Kelurahan Lenteng Agung dinilai sudah tidak memiliki nilai keadilan bagi mereka yang memiliki nilai dan norma keagamaan Islam yang sangat kental dan menyatu dalam kehidupan sehari-hari. “Tetap sesuai dengan definisi wadh’ussyai fi mahallihi. Dalam penempatan kepemimpinan non-muslim di Lenteng Agung sudah tidak adil”.52
52
Wawancara Pribadi dengan M. H. Thamrin.
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Setelah melakukan penelitian maka penulis menyimpulkan bahwa respons kelompok Muslim di Kelurahan Lenteng Agung adalah melarang dan antipati terhadap kepemimpinan non-Muslim. Respons tersebut muncul karena di Indonesia tidak hanya norma yang berbentuk aturan hukum (Law) yang berlaku. Sejarah dan kekuatan nilai-nilai serta ajaran agama yang kuat dijalankan dalam kehidupan sehari-hari juga dapat menjadi semacam norma pengatur tata kelakuan (mores). Seperti yang terjadi di Kelurahan Lenteng Agung. Menurut kelompok Muslim di Kelurahan Lenteng Agung, kepemimpinan non-Muslim periode 2013-2014 adalah sesuatu yang sangat dilarang atau disebut dengan istilah taboo. Norma tersebut muncul karena semenjak zaman dahulu pemimpin mereka adalah Muslim, ajaran agama yang mereka pahami juga melarang hal tersebut. Selain itu, di Kelurahan Lenteng Agung, tradisi-tradisi keislaman masih dipegang kuat serta agama masih menjadi pegangan utama sehingga Kelurahan Lenteng Agung disebut sebagai “Kota Santri Jakarta Selatan” Meskipun beberapa corak masyarakat tradisional – seperti mata pencaharian, serta ikatan sosial yang mulai mengendur, namun mereka tidak dapat disebut sebagai masyarakat modern. Keadaan masyarakat yang demikian dalam sosiologi disebut sebagai masyarakat transisi.
81
82
Ada pun aksi damai menolak kepemimpinan non-Muslim adalah suatu bentuk kebutuhan untuk komunikasi kepada pemerintah bahwa kebutuhan transmisi budaya dan kebutuhan perlindungan atas rusaknya norma yang berlaku di masyarakat. B. Saran Keadaan Indonesia sebagai negara yang multikultural seharusnya menjadi salah satu pertimbangan kelompok Islam dalam menafsirkan dalil-dalil agama untuk dijadikan aturan hidup. Sehingga hukum yang digunakan dapat menyatukan setiap elemen masyarakat Indonesia baik tingkat nasional maupun regional. Namun melihat keadaan kelompok Islam di Kelurahan Lenteng Agung yang berada dalam tahap transisi dan dikenal sebagai “Kota Santri Jakarta Selatan” seharusnya pemerintah lebih arif dalam menentukan kebijakan. Melalui penelitian ini penulis mengkritisi kebijakan sistem lelang yang dilakukan oleh pemerintah DKI Jakarta periode Joko Widodo sebagai Gubernur. Menurut penulis sistem lelang telah yang mengesampingkan nilainilai serta norma-norma yang terdapat di masyarakat. padahal sesungguhnya kepuasan masyarakat terhadap norma yang ada dapat dijadikan salah satu faktor integrasi sosial. Sebaliknya, penulis secara khusus mengapresiasi kebijakan pemerintah DKI Jakarta yang dipimpin Basuki Tjahaja Purnama yang menggeser Lurah Susan Jasmine Zulkifli ke Gondangdia. Karena dalam kepemimpinan tidak hanya kompeten seorang pemimpin yang menentukan, namun harmonisasi
83
antara pemimpin dan warganya, menurut penulis, adalah sesuatu yang lebih urgen untuk mencapai tujuan bersama. Diperlukan sosialisasi yang holistik untuk dapat merubah norma dalam masyarakat menjadi sesuatu yang dapat mendukung setiap pergerakan pemerintah untuk dapat mencapai kepentingan bersama. Pemanfaatan FKUB seharusnya dapat menjadi jembatan pemerintah untuk dapat bersosialisasi dengan masyarakat. Sehingga wawasan masyarakat dapat meningkat sesuai dengan kepentingan bersama. Secara akademis, penulis menyarankan agar pembaca dapat melanjutkan penelitian dalam skripsi ini. Tidak hanya muatan diskursus kepemipinan di Indonesia yang masih panjang untuk dijabarkan, namun pembuktian Kelurahan Lenteng Agung sebagai Kota Santri Jakarta Selatan juga perlu dibuktikan secara luas. Begitupun peran FKUB dalam peningkatan wawasan masyarakat beragama.
DAFTAR PUSTAKA Adnan, Gunawan. Pluralisme Agama: Sebuah Tantangan Global dalam Refleksi: Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin, Vol. XII, No.1. Jakarta: Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah, 2010. Ahmadi, Abu. dkk. Ilmu Sosial Dasar. Jakarta: PT Rineka Cipta, 1991. Ali, H.M. Sayuthi. “Metodologi Penelitian Agama”. Jakarta: PT Raja Grafindo, 2002. Armas, Adnin (Peny). Pluralisme Agama: Telaah Kritis Cendekiawan Muslim. Jakarta: INSISTS, 1434 H. Badudu, J.S. dan Zain, Sotan Muhammad. Kamus Umum Bahasa Indonesia, cet. I. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. 1994. Bagian 4:Perkembangan Kehidupan Masyarakat Indonesia. Diakses pada 09 Januari 2015 dari http://file.upi.edu/Direktori/ FPIPS/UR._PEND.GEOGRAFI /19610323198603 1R._GURNIWAN_ KAMIL_PASYA/SMI-4.pdf. Bahri, Media Zainul. Satu Tuhan Banyak Agama: pandangan sufistik Ibn „Arabi, Rumi dan Al-Jili, cet. I. Jakarta: PT. Mizan Publika, 2011. Bashri, Rasyidul, Kajian Diklat Terhadap Strategi dan Metode Penyuluhan Agama Islam, diakses pada 09-01-2015, pukul 18.20 WIB, dari http://sumbar.kemenag.go.id/file/file/ArtikelWidyaiswara/qgdj1384839462. pdf. Hidayati, Sri. kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) dalam perspektif HAM dalam Center for study of religion and culture (CSRC). Modul Kebebasan Beragama & Integrasi Sosial. Jakarta: CSRC Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, t.t. Echols, John M. dan Shadily, Hassan. Kamus Inggris-Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia. Fachruddin, Fuad Mohd. Pemikiran Politik Islam. Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1988. Ghazali, Abd. Moqsith. Argumen Pluralisme Agama: Membangun Toleransi Berbasis al-Qur‟an, cet. II. Depok: Katakita, 2009. Halim, Muhammad Abdul. Menafsirkan Al-Quran dengan Metode: Menafsirkan Al-Quran dengan Al-Quran, cet. III. Bandung: Marja, 2012. Hanafi, Muchlis M., et.al. Hukum, Keadilan dan Hak Asasi Manusia: Tafsir Qur‟an Tematik, cet. V. Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an, 2010. Hartomo dan Aziz, Arnicun. MKDU Ilmu Sosial Dasar, cet. II. Jakarta: Bumi Aksara, 1992. Hatta, Ahmad. Tafsir Qur‟an Perkata: Dilengkapi Dengan Asbabun Nuzul & Terjemah. Jakarta: Maghfirah Pustaka, 2010.
84
85
Husaini, Adian. Solusi Damai Islam Kristen di Indonesia. T.tp: Pustaka Da’i, 2003. Huwaydi, Fahmi. Demokrasi, Oposisi dan Masyarakat Madani: Isu-isu Besar Politik Islam. T.tp: Mizan, 1993. Ivancevich, John M. dkk. Perilaku Dan Manajemen Organisasi Edisi Ketujuh Jilid 2. Jakarta: Erlangga, 2012. Kartodirdjo, Sartono. Kepemimpinan Dalam Dimensi Sosial. Jakarta: LP3ES. 1984. Kartono, Kartini, Pemimpin dan Kepemimpinan: Apakah Pemimpin Abnormal itu?, cet. IX. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2001. Khaliq, Farid Abdul. Fikih Politik Islam. Jakarta: Amzah, 2005. Leigh, Andrew K. Leadership and Aboriginal Reconciliation. Diakses pada 05 Januari 2015, dari http://andrewleigh.org//pdf/Leadership%20&%20 Reconciliation%20text% 20only.pdf. Lembaga Studi Agama dan Filsafat (LSAF). Membela Kebebasan Beragama: buku 4, cet. I. Jakarta: LSAF, t.t. Lubis, M. Ridwan. Melacak Akar Paham Teologi di Indonesia, makalah studium general fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Rabu, 10 Desember 2014. Majelis Tarjih dan Pengembangan Pemikiran Islam Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Tafsir Tematik Al-Qur‟an Tentang Hubungan Sosial Antarumat Beragama. Yogyakarta: Pustaka SM, 2000. Meinarno, Eko A. dkk. Manusia Dalam Kebudayaan dan Masyarakat: Pandangan Antropologi dan Sosiologi, Edisi 2. Jakarta: Salemba Humanika, 2011. Munawar, Budi dan Rahman. ed. Islam dan Pluralisme Nurcholish Madjid, cet. I. Jakarta: Pusat Studi Islam dan Kenegaraan Universitas Paramadina, 2007. Northouse, Peter G. Kepemimpinan: Teori dan Praktek, ed. VI. Jakarta: PT Indeks, 2013. Nurdin, M. Amin dan Ropi, Ismatu. Laporan Akhir Penelitian Kompetitif: Respon Kelompok Non-Muslim Terhadap Perkembangan Sosial Keagamaan Islam Di Indonesia Paska Reformasi, Jakarta: Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah, 2010. Nurdin, M. Amin dan Abrori, Ahmad. Mengerti Sosiologi: Pengantar Memahami Konsep-Konsep Sosiologi. Jakarta: UIN Jakarta Press, 2006. Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta. Laporan Tahunan tahun 2013, kelurahan Lenteng Agung, Jagakarsa Jakarta Selatan. Qaradhawi, Yusuf Al-, Meluruskan Dikotomi Agama dan Politik: Bantahan Tuntas Terhadap Sekularisme dan Liberalisme, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2008.
86
Ringkasan Materi Sosiologi. Diakses pada 09 Januari 2015 dari http://history 1978.files.wordpress.com/2008/08/ringkasan-materi-sosio-antro-smtgenap.Pd f. Ritaudin, M. Sidi. Agama dalam Negara: Politik Islam Indonesia Kontemporer dalam Refleksi: Jurnal Ilmu-Ilmu Ushuluddin, Vol. XI, No. 2. Jakarta: Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah, 2009. Schumann, Olaf H. Menghadapi Tantangan, Memperjuangkan Kerukunan. Jakarta: Gunung mulia, 2009. Shihab, M. Quraish. Lentera Al-Quran: Kisah dan Hikmah Kehidupan. Bandung: PT Mizan Pustaka, 2008. Soekanto, Soerjono. Kamus Sosiologi, Cet. III. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. 1993. Soekanto, Soerjono. Sosiologi Suatu Pengantar, cet. XV. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1998. Sjadzali, Munawir. Islam dan Tata Negara. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press), 1993. Syarif, Mujar Ibnu. Presiden Non Muslim di Negara Muslim: Tinjauan Dari Perspektif Politik Islam dan Relevansinya dalam Konteks Indonesia. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2006. Thoha, Anis Malik. Tren Pluralisme Agama: Tinjauan Kritis. Jakarta: Perspektif, 2005. Umar, H.M. Hasbi. Islam dan Kepemimpinan Nasional: Pemaknaan dan Mengkulturasikan Model Kepemimpinan Masa Kini. ebook: Innovation, Vol. 5, No. 10, Edisi Juli-Desember 2006. Diunduh pada tanggal: 01-052014. Utsaimin, Muhammad bin Shalih Al-. Politik Islam: Ta‟liq Siyasah Syar‟iyah Ibnu Taimiyah, cet. II. Jakarta: PT Griya Ilmu Mandiri Sejahtera, 2014. Widiarto, Bambang dan Media, Iwan. peny. Perspektif Budaya: Kumpulan Tulisan Koentjaraningrat Memorial Lectures i-v/2014-2008. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2009. Yunus, Mahmud. Tafsir Quran Karim, cet. VII. Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 2004. Http://Www.Akumassa.Org/ Http://www.bps.go.id/ Http://Www.Dephut.Go.Id/ Http://Www.Detik.Com/ Http://Www.Jakarta.Bps.Go.Id/ Http://Www.Merdeka.Com/ Http://Www.News.Detik.Com/ Http://Www.Tempo.Co/
HASIL WAWANCARA Adhi Suryo NO 1.
2.
3.
4.
5.
PERTANYAAN Bagaimana kronologis sistem lelang yang mengantarkan anda menjadi lurah?
JAWABAN Itu adalah kebijakan reformasi birokrasi. Lahir pada tahun 2013 dengan syarat mulai dari staff yang bekerja di pemda DKI klo yang lain belum. Yang berkerja di kecamatan dan kelurahan min gol. 3C. Kecuali guru, militer dan kementrian tidak dibolehkan. Pendaftaran melalui internet dimulai bulan juni yang diuji bulan juli. Jika tidak memenuhi syarat sistem internet tersebut akan menyaring sendiri. Lurah sebelumnya dan calon Lurah semuanya sama boleh ikut. Sebelumnya melalui sistem jenjang jabatan. Sekarang meskipun masih staff bisa juga menjadi lurah. Termasuk yang lama juga masih jadi Lurah tapi ditempatkan di kelurahan yang lain. Untuk menjadi seorang Yang pertama harus mengutamakan pelayanan pemimpin apakah yang publik, yang kedua harus menguasai wilayah. harus diperhatikan? Menurut bapak/ibu Tidak melihat perbedaan agama tapi harus melihat sikap toleransi seperti pelayanan publik. apa yang pantas untuk diterapkan di Indonesia, guna mewujudkan nilai-nilai yang terkandung dalam pancasila di kehidupan sehari-hari? Menurut ibu, Apakah Menurut saya sudah tepat, tinggal kita harus mampu keputusan pemerintah berkompetisi dengan terbuka dan bersih sehingga mengadakan lelang menghasilkan para pejabat yang bersih, mau bekerja tersebut sudah tepat? dan jujur. Mengapa? Dari pengakuan warga Menurut saya itu benar, karena sebagian besar setempat, lenteng pendidikannya dari sekolah Islam. Memang disini agung merupakan kota keagamaannya sangat kuat. santri JakSel. Apakah bapak/ibu mengetahui dan membenarkan hal tersebut? Mengapa demikian?
HASIL WAWANCARA Naseri Nasrullah NO PERTANYAAN 1. Apa yang menjadi kriteria utama untuk menjadi seorang pemimpin? Mengapa demikian? 2. Apakah bapak/ ibu mengetahui paham pluralisme agama? Apa yang bapak/ ibu ketahui? Dan bagaimana tanggapannya? 3. Menurut bapak/ibu sikap toleransi seperti apa yang pantas untuk diterapkan di Indonesia, guna mewujudkan nilainilai yang terkandung dalam pancasila di kehidupan sehari-hari? 4. Dapatkah agama atau keyakinan membatasi cita-cita warga Indonesia dalam berprofesi? 5. Apakah terdapat nilai atau norma masyarakat yang terancam terlanggar jika pemimpin merupakan seorang nonMuslim? Jika iya, apa saja?
JAWABAN
Data hilang
Data hilang
Data hilang
Data hilang Nilai-nilai sosial di sini tidak ada yang terlanggar. Yang terganggu di sini seperti dia mengucapkan salam itukan terganggu kita. Istilah terganggu tidak hanya berupa fisik, tapi juga psikis. NonMuslim mengucapkan salam itu kan tidak boleh, karena itu bukan hak dia. Jilbab juga merupakan pakaian islam, jika itu juga dipakai maka itu juga mengganggu.
HASIL WAWANCARA Ustad M. H. Thamrin NO 1.
PERTANYAAN Bagaimana tanggapan bapak terhadap kepemimpinan nonMuslim di Kelurahan Lenteng Agung?
2.
Apa yang menjadi kriteria utama untuk menjadi seorang pemimpin? Mengapa demikian?
JAWABAN Ketika isu itu digelontorkan langsung saja ingin bergerak, tapi karena memang didampingi oleh yang lebih tua, maka menjadi prosedural. Tentu anti pati, jika terdapat pemimpin nonMuslim. Berbeda dengan Pejaten timur yang jumlah Muslimnya lebih sedikit, muslim Lenteng Agung berani untuk melakukan demo. Selain mayoritas penolakan ini juga bersandar pada sejarah pada zaman Belanda pun tidak berani menjadikan non-Muslim sebagai pemimpin disini. Pemerintah bermain-main diranah kepercayaan. Seharusnya pemimpin (Jokowi-Ahok) melihat (nilai yang terkandung dalam) proses pembuatan pancasila oleh para founding fathers, khususnya dalam sila pertama; dimana mereka (founding fathers) mengubah sila pertama karena melihat adanya non-Muslim di Indonesia. Hukum di Indonesia ada dua, Yuridis formal dan yuridis normatif. Ketika dibenturkan dengan yuridis normatif harus menyerah. Contoh: UU pornografi dan pornoaksi yang tidak berlaku di daerah yang adat istiadatnya mandi di kali. Orang Muslim lah, Itu sudah menjadi prinsip. Respon kelompok lenteng agung tidak terima karena sudah prinsip bahkan dogma agama berbicara itu. Ketika interpretasi berbeda-beda urusan dua belas. Landasan penolakan LA pertama dogma Agama, kedua adat istiadat/budaya. Disini masyarakat religius bahkan naik jabatan saja tasyakuran. Di sini disebut kota santri. Berkenaan dengan legowo tentunya pergerakan kita juga dibatasi oleh data yang lain, terdapat hadits man roa minkum munkaron ila anqol wakadzalika adh’aful iman. Jadi dari sekian rangkaian berarti kita sudah ikhtiar. Ketika kita melihat kemungkaran, kemungkaran apa, non-Muslim ini merupakan kemungkaran masa kita ridho. Saya demo saya bawa anak istri saya biar dia menyaksikan kalau kita sudah berusaha meskipun tidak berhasil, Allah tidak tuli untuk membalas. Saya tidak turun lagi karena duit sudah berselebaran.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Apakah bapak/ibu mengetahui paham pluralisme agama? Apa yang bapak/ibu ketahui? Dan bagaimana tanggapannya? Menurut bapak/ibu sikap toleransi seperti apa yang pantas untuk diterapkan di Indonesia, guna mewujudkan nilainilai yang terkandung dalam pancasila di kehidupan seharihari?
Nonsenlah. Pluralisme ada dalam konteks yang berbeda. Kalau untuk kerja bakti oke saya akui, Tapi kalau untuk dibenturkan dengan agama, hanya Islam saja yang paling benar.
Toleransi yang meletakkan pada tempatnya. Toleransi bisa berlaku ketika melihat faktor sejarah. Dalam urusan akidah tidak bisa tapi dalam urusan interaksi sosial. Disini juga ada non muslim kita berlakukan. Islam tidak masuk dalam muamallat. Ucapan salam itu tidak boleh, termasuk ucapan selamat natal, saya yang termasuk tidak membolehkan. Jual-beli, muammalat, berinteraksi sosial, bertetangga, non-Muslim mempunyai hak itu. Jadi dia berikan selamat kalo dia senang, dan berikan ucapan belasungkawa kalo dia (terkena) musibah. Jadi kalo ada orang non-Muslim meninggal ya nyelawat, bahasa kita, kalo bahasa dia kan bukan itu. Takziah kan al-amru bi shobri, memberikan kata sabar ya neng, meskipun dia non-Muslim. Untuk cita-cita sah saja bagi dia, kita giana? Untuk saat ini, karena emang pemikiran itu fluktuatif, saat ini ya kita cegah itu. Tapi klo ntr dia tetep jadi juga ya sikap legowo itu ada.
Dapatkah agama atau keyakinan membatasi cita-cita warga Indonesia dalam berprofesi? Apa yang diharapkan Nilai-nilai kepemimpinan tentu harus ada seperti dari seorang integritas, amanat, tabligh dalam arti pemimpin? menyampaikan yang benar, adil tetep kita ingin seperti itu. Apakah terdapat nilai Pemimpin non-Muslim saja sudah melanggar atau norma norma Lenteng Agung. Dari zaman penjajah saja masyarakat yang tidak berani meletakkan pemimpin non-Muslim di terancam terlanggar Lenteng Agung. jika pemimpin merupakan seorang non-Muslim? Jika iya, apa saja? Menurut bapak/ibu Tetap sesuai dengan definisi wadh’ussyai fi adil itu apa, seperti mahallihi. Dalam penempatan kepemimpinan nonapa dan bagaimana muslim di Lenteng Agung sudah tidak adil. untuk menegakkannya?
HASIL WAWANCARA H. Ya’qub Shobirin No. PERTANYAAN 1. Apakah bapak mengetahui sejarah Lenteng Agung?
2.
Seperti apa keadaan sosial dan kebudayaan warga lenteng agung?
3.
Bagaimana sejarah kehidupan (intra dan antar) umat beragama di lenteng agung?
JAWABAN Tidak ada sejarah tertulis lenteng agung. Lenteng agung itu luasnya kira-kira 96 hektar yang terbagi kepada 4 blok. 4 blok sama dengan 4 RW, sebelah timur kali Ciliwung, sebelah barat Kali Bata, sebelah selatan gang Jalan Haji Nase, dan sebelah utara Jalan Jambu. Itu aslinya Lenteng Agung. Dan tidak ada orang Cina dulunya. Jadi bukan tuh (berasal dari) Klenteng. Lenteng Agung itu tanah yang bertebing-tebing dalam bahasa Jogja. Kalo tanah yang bertebing-tebing yang saya alami memang seperti itu. Dan penduduknya mulanya Muslim. Jadi Lenteng Agung itu masih ada tali persaudaraan antara Banten, Cirebon, Jatinegara Kaum dan Sukaraja, Lenteng Agung ada di tengah. Klenteng ada hanya di perbatasan antara babakan dengan serengseng tapi stasiunnya Lenteng Agung, pasarnya bukan pasar Lenteng Agung. Kehidupan Lenteng Agung dengan bertani dan berternak sehingga orang dulu tidak seperti model orang-orang sekarang. Karena Lenteng Agung dulu semuanya hampir satu keturunan. Waktu itu, apa yang dikatakan oleh agama silaturahim itu berjalan. Di sini dalam menjalani hidup itu, Al-Quran yang paling depan. Kebudayaannya adalah Betawi Muslim. dulu di Lenteng banyak orang belajar agama (Islam). Belajar budaya seperti Silat, rebana dsb. Rebana dibuat besaran seperti saat kawinan. Sekarang ya sudah jarang, sedikit-sedikit mulai terkikis. Dulu hari libur di Lenteng Agung adalah hari Jum’at, artinya meskipun orang mau keladang kalau hari Jum’at libur. Sekarang hampir setiap RT malam jumaat ada pengajian-pengajian di mushalla. Di sini tidak ada sarjana cuma memang fokusnya ke pendidikan Islam. (data yang terdapat di kelurahan) Setelah terjadi pemekaran. Jangankan orang Nashrani, orang China pun tidak ada kecuali di perbatasan, tapi hubungan dengan masyarakat non-Muslim tidak ada permusuhan. Namun sempat di tahun sekitar 70-an dan 80-an, beberapa kali sering terjadi, terutama orang-orang Nashrani yang berasal dari Medan yang ingin mendirikan rumah ibadah sempat tidak disetujui oleh warga sekitar.
4.
5.
Dari pengakuan warga setempat, lenteng agung merupakan kota santri JakSel. Apakah bapak/ibu mengetahui dan membenarkan hal tersebut? Mengapa demikian? Apakah terdapat nilai atau norma masyarakat yang terancam terlanggar jika pemimpin merupakan seorang non-Muslim? Jika iya, apa saja?
Lenteng Agung memang Kota Santri. Hampir setiap rumah mengajar agama. Sekarang yang belajar Ilmu agama sudah agak anu (berkurang).
Justru itu, justru adanya kebudayaan kita memang selama ini Muslim (pemimpinnya). Sampe di ajukan 1500 tanda tangan dan terdiri dari beberapa mushalla dan masjid itu langsung satu bundel itu diserahkan kepada Jokowi tapi Jokowi ya iya nanti diurus, tapi sampe sekarang (tidak pernah dipenuhi), makanya Jokowi itu banyak bohongnya. Mulai dari Bek (sebelum penyebutan lurah) sampe Lurah sebelum Lurah Susan, Lurah di Lenteng Agung semua beragama Islam.