KEPEMIMPINAN (Suatu Studi Pandangan Teolog Muslim Klasik) Ris’an Rusli1 Abstrac “Islam is indeed much more than a system of theology, it is a complete civilization” ( H.A.R. Gibb). The relationship between man and nature or man's relationship with his neighbor, is not as relationship between the conquerors and the conquered, or between master with slave, but it a relationship of togetherness in submission to Allah. Even though man is capable of managing (master), but it is not due to its strength, but due to subdue God to man. Keywords : Islamic Theology, leadership.
A. Pendahuluan Dari tema dan judul tulisan ini, bisa dimunculkan beberapa pertanyaan antara lain; Apakah teologi membahas persoalan kepemimpinan? Atau bisakah persoalan kepemimpinan, yang merupakan persoalan keduniwian, masuk dalam persoalan dan pembahasan teologi, yang merupakan ilmu tentang ketuhanan? Atau adakah relevansi dari kedua persoalan tersebut? Jika ada, apakah persoalan tersebut dapat memberi masukan informasi dan, bahkan, solusi dalam suksesi kepemimpinan yang bakal terjadi di berbagai institusi dan kelembagaan Negara. Secara gamlang dan historis, persoalan ini dapat merujuk pada diri Muhammad SAW. yang mempunyai sifat wajib amanah, di samping sifat shiddiq, fathanah, dan tabligh. Keberhasilan kepemimpinan dan perjuangan Rasulullah SAW. dalam menyebarkan agama Islam pada masanya tidak terlepas dari sifat ini, sehingga ia diberi gelar kehormatan oleh masyarakatnya dengan sebutan al Amin, orang yang memegang teguh amanah atau orang terpecaya. Dalam kaitan sifat Rasul ini, amanah adalah kepercayaan yang dilimpahkan Allah kepada Rasul untuk menjadi panutan umat manusia. Tak seorang Rasul pun
yang berkhianat karena sifat khianat
bertentangan dengan kedudukannya sebagai makhluk yang mulia dan utama di sisi Nya.
1
Dalam dunia profesionalitas dan dalam berbagai kegiatan organisasi apa pun, baik besar maupun kecil, saat ini, sifat amanah menempati kedudukan tinggi. Seorang profesional, pengusaha, dan apa pun perannya akan berhasil bila sifat amanah ini dijalankan dan dipelihara dengan baik dan benar. Untuk menjawab pertanyaan di atas, maka tulisan ini berusaha untuk memaparkan
persoalan
kepemimpinan
dengan
pendekatan
teologis,
dan
mengemukakan pandangan teologteolog muslim Klasik yang berkaitan dengannya. B. Selayang Pandang Tentang Teologi Islam, Khilafah dan Imamah 1. Teologi Islam Istilah asing di luar Islam yang membahas ajaranajaran dasar dari suatu agama disebut Teologi.2 Kata ini berasal dari kata latin theos yang artinya Tuhan dan logos yang diartikan ilmu (science, study, discourse). Jadi teologi berarti “Ilmu tentang Tuhan” atau “Ilmu Ketuhanan” atau ilmu yang membahas dan membicarakan tentang zat Tuhan dari segala seginya dan hubunganNya dengan alam semesta (Ferm (Ed.), 1976: 782), sehingga seseorang yang mempelajari teologi akan memperoleh keyakinan dengan landasan kuat, dan tidak mudah diombang ambingkan oleh perubahan zaman (Nasution, 1986: ix). Karena itu, kata teologi selalu berarti discourse atau pembicaraan tentang Tuhan. Definisi ini memiliki pengertian yang sama dengan apa yang dijelaskan dalam kamus New English Dictionary, sebagaimana dikutip A. Hanafi (1989: 11), yang mengartikan teologi sebagai “ilmu yang membicarakan kenyataankenyataan dan gejalagejala agama dan membicarakan hubungan Tuhan dan manusia” (the science which treats of the fact and phenomena of religion, and the relation between God and men). Dari kedua pengertian di atas, tampak teologi lebih terkesan bercorak agama, atau dapat dikatakan sebagai refleksi sistematis tentang agama (Berger, 1991: xi), atau “uraian yang bersifat pikiran tentang agama” (the intellectual expression of religion)(Hanafi, 1989: 5). Namun, teologi juga bisa tidak bercorak agama. Seorang teolog, menurut Hanafi (1989: 12), dapat menjelaskan penyelidikannya berdasarkan semangat penyelidikan bebas, tanpa menjadi seorang beragama atau mempunyai pertalian tertentu dengan suatu agama. Teologi bisa bercorak agama (revealed 2
theology) dan bisa juga tidak bercorak agama (natural theology atau philosopical theology). Karena itu, ia mengartikan teologi sebagai “ilmu yang membicarakan tentang Tuhan dan pertaliannya dengan manusia, baik berdasarkan kebenaran wahyu maupun berdasarkan penyelidikan akal murni”. Dalam perkembangan teologi yang berkaitan dan bercorak agama telah mengembangkan disiplin ilmu ini, sehingga timbul teologi yang berlandaskan kepada agama tertentu, seperti teologi Kristen, teologi Yahudi dan teologi Islam. Perbedaan teologi yang bercorak agama terjadi dan timbul sebagai akibat dari perbedaan pandangan terhadap objek material dan objek formal dari teologi. Menurut Dister, sebagai ilmu yang mempelajari wahyu Allah, objek material teologi adalah apa yang diwahyukan Allah. Namun, karena isi iman seseorang tergantung pada agama yang dianut, tidaklah mengherankan bahwa teologi berbedabeda menurut agama yang dipeluk oleh orang yang mengadakan refleksi ilmiah atas imannya itu. Persamaan antara teologi bercorak agama tersebut adalah samasama merenungkan secara ilmiah wahyu Allah kepada manusia yang diyakini oleh penganut agama tersebut. Dan perbedaannya terletak dalam sudut pandang yang ditentukan oleh masing masing agama. Sudut pandang itulah, disebut sebagai objek formal teologi, yang membedakan teologi yang bercorak agama. Dengan demikian, teologi Kristen sebagai contoh, berdasarkan perbedaan objek formal tadi, dapat didefinisikan sebagai refleksi ilmiah umat Kristiani atas iman yang mereka hayati sebagai orang yang beragama Kristen. Adapun istilah kajian ini di dalam Islam sendiri disebut dengan ilmu kalam. Kata kalam, secara etimologis, berarti “pembicaraan”. Kata itu terinspirasi dan merupakan terjemahan dari kata dan istilah Hellenisme Yunani (man¯³q) yang juga berarti “logika” atau “pembicaraan” (Madjid, 1997: 112). Tetapi sebagai istilah, kalam tidak dimaksudkan “pembicaraan” dalam pengertian kita seharihari, melainkan dalam pengertian pembicaraan yang bernalar dengan menggunakan logika. Karena itu ciri utama ilmu kalam adalah rasionalitas atau logika (Madjid, 1992: 203). Dengan demikian, ilmu kalam adalah ilmu yang memperkuat akidah agama dengan berbagai argumen rasional (al Ahwaniy, 1962: 18). Sebagai suatu ilmu, kalam merupakan hasil pemikiran para mutakallim³n, yaitu ahli debat yang pintar memakai katakata. Perkembangan ilmu ini telah dimulai 3
semenjak abad kedua Hijriah dan bibit pertumbuhannya sudah ada sebelum itu. Adapun penggunaan istilah kalam, yang makna harfiyahnya pembicaraan atau kata kata, dan yang paling menonjol dibicarakan adalah masalah “kalam” sebagai salah satu sifat Tuhan atau sabdaNya berupa al Quran yang pernah menimbulkan pertentang keras di kalangan umat Islam di abad kesembilan dan kesepuluh Masehi, sehingga timbul penganiayaan dan pembunuhan terhadap sesama muslim di waktu itu (Nasution, 1986: ix; Madkur, Tt.: 30). Nama lain dari ilmu kalam adalah ‘Ilm U¡l al d³n, karena topik pembahasannya mengenai pokokpokok ajaran agama. Juga ia dinamakan ‘Ilm al Na§r wa al Istidlal (ilmu pembahasan dan penyimpulan rasional) dan juga disebut Ilmu Tawhid, karena ia bertugas untuk mengukuhkan kemahaesaan Allah (Madjid, 1987: 277278). Bagi Abduh (1366 H: 7), ilmu Tawhid adalah ilmu yang membahas tentang wujud Allah, sifatsifat yang wajib dan boleh ditetapkan bagiNya, dan apa yang wajib dinafikan dariNya, serta membahas juga tentang rasulrasul, untuk membuktikan kebenaran tugas kerasulan mereka, dan apa yang wajib ada pada mereka serta apa yang boleh dinisbahkan kepada mereka. Adapun penggunaan istilah teologi Islam dan ilmu kalam setidaknya didasarkan pada asumsi bahwa keduanya mengarahkan pembahasannya pada segi segi mengenai Tuhan dan berbagai derivasinya (Madjid, 1985: 201, dan Hanafi, 1989: 5). Hanya saja jika digunakan istilah teologi sebagaimana dipahami dalam pengertian Teologi Kristen, ilmu fiqh akan termasuk dalam pembahasan teologi (Madjid, 1985: 201). Tetapi dalam Teologi Islam hanya membicarakan persoalan akidah, dasardasar agama, sementara ilmu fiqh membicarakan persoalan furuiyah, yaitu yang bertalian dengan perbuatan. Karena itu untuk menunjukkan ciri khasnya, ilmu kalam diterjemahkan sebagai teologi dialektis atau teologi rasional (Hanafi, 1989: 15 dan Madjid, 1985: 202).
2. Khilafah dan Imamah Pembicaraan mengenai kepemimpinan dalam literatur Arab disinonimkan dengan istilah khilafah3 dan imamah.4 Kedua istilah ini merupakan termasuk tema
4
kalam yang hangat diperdebatkan di kalangan mutakallim³n, seperti di kalangan Syi’ah,5 Mu’tazilah dan al Asy’ariah. Dalam pandangan sekilas tampak bahwa persoalan khilafah dan imamah ini lebih mendominasi persolan politik pada awal kemunculan Islam. Namun pada gilirannya ia memunculkan kecendrungankecendrungan teologis dan melahirkan berbagai aliran. Hal ini dikarenakan bahwa sejak munculnya perbedaan pada masa awal Islam yang berkaitan dengan kepentingan keagamaan, berbagai aliran telah mengembangkan versi Islam yang berbeda dan membentuk perkumpulan keagamaan yang berbeda pula dalam masyarakat Islam secara umum (Syamsuddin, 2001: 93). Dalam konteks ini, menurut Syamsuddin (2001:93) yang mengutip pandangan Hamid Enayat, khilafah yang merupakan salah satu pemikiran politik Islam menjadi subordinat dan bagian dari teologi dan jurisprudensi Islam yang dalam kenyataan dapat dilihat bahwa masalah politik tidak dibicarakan secara terpisah dari berbagai disiplin tersebut dan semua terjalin dalam lingkup syariah yang tak terbantah. Kalangan
Syi’ah,
berbeda
konsep
dari
al
Asy’ariah,
menempatkan
permasalahan imamah kepada persoalan yang pertama dan terpenting dari akidah dan keyakinan mereka (ilmi, 1983: 124). Bagi mereka rukun iman ada lima, yakni (1) Tawh³d, yaitu percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa; (2) al Nubuwwah, yaitu percaya kepada kenabian Nabi Muhammad; (3) al Ma’ad, yaitu keimanan akan hari kebangkitan, percaya bahwa setiap orang akan hidup dalam alam yang akan datang. Di sana perbuatan manusia akan ditimbang dan diberi ganjaran sesuai dengan amalannya; (4) al ‘Adl, yaitu keimanan kepada keadilan Allah. Allah itu adil dalam membimbing semua makhluk di atas bumi ini ke arah kesempurnaan dengan cara cara tertentu, sehingga segala sesuatu itu adalah baik pada tempatnya masing masing. Akal manusia dapat menjangkau keadilan Tuhan dan karena itu kelompok ini juga kerap disebut ahl al ‘adl; dan (5) imam, yaitu percaya kepada imam (Ezzati, 1981: 113). Bagi kalangan Mu’tazilah, menempatkan persoalan ini dalam pembicaraan tentang Al U¡l Al Khamsah mereka, yakni al amr bi al ma’rf wa al nahy ‘an al munkar. Aliran rasional ini memandang bahwa al amr bi al ma’rf wa al nahy ‘an al munkar, sebagaimana dikemukakan al Jabbar, tidak dapat berjalan dan 5
terlaksana tanpa adanya al aimmah (pemimpinpemimpin) (Al Jabbar, 1965: 749, ¦ilmi, 1988:125). Bagi kalangan ahl al sunnah wa al jama’ah (al Asy’ariah) yang bertolak belakang dengan kalangan Syi’ah, persoalan imamah bukan termasuk keimanan6 dan bukan pula salah satu dari beberapa kaidah yang dibangun oleh Islam. Bagi mereka, ada dua pertimbangan yang berkaitan dengan persoalan ini. Pertama, bahwa bangunan pertama yang terpenting dalam Islam adalah alsyahadah yang menjadi dasar pertama seseorang menjadi muslim. Kedua, bahwa Rasulullah SAW belum pernah mengingatkan persoalan imamah ini ketika ia menyeru manusia ke dalam Islam. Ia hanya menyeru manusia kepada al syahadah saja, karena selama kehidupannya, Rasulullah merupakan pemimpin kaum muslimin, sehingga pada masa itu belum tampak kebutuhan umat Islam kepada imamah tersebut. Seandainya persoalan imamah merupakan dasar terpenting dalam u¡l al d³n, maka layaklah persoalan ini dijelaskan oleh al Quran, sebagaima ia menjelaskan persoalan al farai« (warisan dalam Islam). Namun pada hakekatnya, dalam pandangan mereka, imamah bukan persoalan penting (asyraf al masail)(Ibid). Secara bahasa, pada mulanya kata khal³fah berarti “sesuatu di belakang” dan sering pula diartikan sebagai “pengganti” (karena yang menggantikan selalu berada atau datang dari belakang, sesudah yang digantikannya), sehingga orang yang menggantikan seseorang berarti melaksanakan sesuatu atas nama yang digantikan, baik bersama yang digantikannya maupun sesudahnya. Al Isfahani menjelaskan bahwa kekhalifahan dapat terlaksana karena ketiadaan (yang digantikan) di tempat, kematian, ketidakmampuan yang digantikan dan juga akibat penghormatan yang diberikan kepada yang menggantikan. Selanjutnya dalam perkembangan arti kata khilafah mempunyai makna pemerintahan, sehingga kata ini mempunyai arti kepala negara atau pemimpin negara (Shihab, 1993: 157, °abaliyah, 1982: 45). Dengan demikian, secara khusus, menurut Thabaliah, khal³fah dipergunakan untuk arti kepala atau pemimpin negara, dan secara umum, dipergunakan untuk Adam dan anak cucunya. Ia mendasarkan pandangannya kepada dalil na¡ sebagai terdapat dalam al Quran ayat 30 surat al Baqarah7 dan ayat 165 surat al An’am.8
6
Adapun Imamah, menurut Shihab (1993: 157), mempunyai makna yang sama dengan khilafah. Hanya saja, secara bahasa, kata Imam digunakan untuk keteladanan, karena ia terambil dari kata yang mengandung arti “depan” yang berbeda dari khal³fah yang terambil dari kata “belakang”. Bagi Abd al Wahhab Khalaf (1977, hal. 5253), kata Imam Kubra, Khal³fah dan Am³r al Mukmin³n merupakan sinonim dengan satu arti dan makna, yaitu “orang yang, secara umum, memegang pimpinan dalam (urusan) agama dan dunia, untuk menegakkan kemashlahatan dan mengatur berbagai permasalahan umat serta menjaga kesucian agama dan kestabilan politik” (Zahrah, Tt: 20). Suatu hal yang pasti dan jelas bahwa dalam sejarah pemikiran Islam Klasik, persoalan khilafah dan imamah merupakan persoalan pertama yang timbul setelah Nabi Muhammad SAW wafat, sehingga mengakibatkan umat Islam berbeda pandangan menjadi dua golongan dan keyakinan. Pertama, menurut kaum Anshar, yang berhak mengantikan kedudukan Nabi Muhammad SAW. sebagai pemimpin dunia, adalah dari kalangan mereka dengan mengangkat Sa’d Ibn ‘Ubadah sebagai pemimpin. Dan kedua, menurut kaum Muhajirin bahwa yang berhak mengantikan kedudukannya adalah dari kalangan mereka sendiri. Perbedaan pandangan ini berakhir dengan kesepakatan untuk mengangkat Abu Bakar al Siddiq sebagai khalifah setelah ia mengemukakan riwayat hadi£ dari Rasulullah
اﻷﺋﻤ ﺔ ﻣ ﻦ ﻗ ﺮﯾﺶ
(Al Syahrastani, 1967: 2223).9
C. Pandangan Teolog Muslim Klasik Dalam
kaitan
ini
perlu
dikemukakan
pula
secara
ringkas
konsep
kepemimpinan atau khilafah menurut aliran yang ada tersebut. Keperluan ini semakin terasa, karena dalam masingmasing aliran kalam mempunyai pandangan yang berbeda dari pandangan aliran kalam lainnya. Menurut aliran Mu’tazilah, sebagaimana dikemukakan Al Jabbar (1956: 750), ada lima pokok pembahasan dalam membicarakan persoalan imamah tersebut. Pertama, hakekat Imam. Kedua, untuk apakah kebutuhan terhadapnya. Ketiga, sifat
7
sifat atau syaratnya. Keempat, cara dan jalan menuju imamah, dan Kelima, penentuan Imam. Dalam persoalan pertama, yakni hakekat imam, secara bahasa al imam adalah orang yang berada di depan (al muqaddam), baik ia berhak untuk berada di depan, maupun ia tidak mempunyai hak untuk itu. Adapun secara terminologi syariat, ia merupakan sebuah nama bagi orang yang mempunyai kekuasaan terhadap umat dan bekerja untuk kepentingan mereka dalam berbagai bentuk, yang tidak ada kekuasaan seorangpun berada di atas kekuasaannya (Ibid). Berkaitan dengan persoalan kedua, kebutuhan terhadap Imam, sebagian ada yang berpendapat bahwa dalam keadaan dan di manapun, setiap pemerintahan mesti ada pemimpin (imam). Dan sebagian lagi berpendapat bahwa seorang pemimpin tidak dibutuhkan bila manusia telah bebas dari tindakan dan kondisi kezaliman (Al Asy’ari, 1969: 133). Perbedaan pandangan timbul dalam kewajiban (mendirikan) pemerintahan (al imamah) dan kewajiban mencari seorang pemimpin (imam) dalamnya. Menurut al Bağdadi tokoh al Asy’ariah, seperti pendapat kalangan Syiah dan Khawarij dan sebagian besar ulama Mu’tazilah, melihat kewajiban membentuk pemerintahan, dan dengan demikian menimbulkan kewajiban bagi kaum Muslimin menentukan seorang imam (pemimpin) untuk menjalankan hukum dan hudd, memimpin tentara dalam peperangan serta menjalankan roda pemerintahan (Al Bağdadi,1980: 271). Dan sebahagian dari kalangan Mu’tazilah lainnya, melihat kewajiban adanya pemerintahan tersebut sebagai kebutuhan untuk menegakkan hukumhukum syariat, seperti pandangan yang diberikan al Jabbar. Ia menyatakan bahwa kewajiban dan kebutuhan terhadap imam adalah untuk menjalankan hukumhukum syariat, seperti menegakkan hudd Islam, menjaga dan memelihara kesucian negeri Islam. Persoalan ini tidak dapat dijalankan kecuali dengan adanya Imamimam dengan dalil ijma’ ahl al bait (Al Jabbar, 1965: 750751). Sedangkan bagi al Asy’ariah, sebagaimana dikemukakan al Asy’ari sendiri, melihatnya bahwa sesungguhnya pemerintahan (al imamah) tersebut merupakan salah satu dari bermacammacam syariat yang dapat diketahui kebutuhan terhadapnya melalui akal rasio dan dapat pula diketahui kewajibannya melalui al sam’ (wahyu) (Al Bağdadi, 1980: 272).
8
Adapun menurut kalangan Maturidiah Bukhara bahwa kewajiban manusia memilih seorang pemimpin dalam pemerintahan, seperti dikemukakan al Bazdawi. (1963: 186) adalah kewajiban kifayah ( ) ﻓ ﺮض ﻛﻔﺎﯾ ﺔ. Pendapat kalangan terakhir ini didasarkan kepada sebahagian Sahabat Nabi yang menyibukkan diri dalam menentukan seorang pemimpin setelah Rasulullah wafat dan menyatakan bahwa kepemimpinan merupakan salah satu dari berbagai kewajiban, seperti kewajiban memerangi orang kafir dan mencari rezeki. Namun demikian, terdapat pula perbedaan pandangan dari pandangan yang dikemukakan di atas. Pandangan yang dimaksud diberikan oleh Abu Bakr al A¡am, salah seorang tokoh Mu’tazilah, dan Hisyam al Faw¯iy yang berketetapan bahwa bila manusia telah bebas dari kezaliman dan kekacauan, maka pemimpin tidak dibutuhkan lagi keberadaannya (Al Bağdadi, 1980: 271). Adapun persoalan ketiga, yakni sifat atau syarat yang dimiliki seseorang sehingga ia layak menjadi pemimpin (Imam),10 menurut al Jabbar (1965: 752) dari kalangan Mu’tazilah, adalah (1) mempunyai nasab khusus dengan dasar Ijma’. Sesungguhnya Abu Bakr, ketika menyampaikan di hadapan umat bahwa pemimpin pemimpin itu berasal dari nasab Quraisy,
tidak ada seorang pun yang
membantahnya. (2) ia seorang yang ‘Alim (mengetahui). Dengan dasar ini dan sesuai dengan kedudukan Imam, memungkinkannya untuk menegakkan hukumhukum syariat. (3) Pemaaf dan wara’. (4) Pemberani dan mempunyai kemantapan hati. Dan bagi mayoritas kalangan Mu’tazilah lainnya melihat seorang pemimpin (imam) wajib orang yang bertakwa dan mempunyai pengetahuan tentang Kitab Allah, dan tidak wajib ia berasal dari suku Quraisy. Alasan mereka adalah dalil na¡ surat al Hujurat 13.11 Dengan demikian, bagi orang yang lebih bertakwa, ia lah yang lebih mulia di sisi Tuhan, dan dengan demikian, ia pula yang lebih utama dan terbaik untuk memegang kepemimpinan (Al Bazdawi, 1963: 187). Berkenaan dengan syaratsyarat seorang menjadi Imam (pemimpin) dari kalangan al Asy’ariah diberikan oleh pendapat al Bağdadi. Ia berkata bahwa seseorang sah dan pantas untuk memegang kepemimpinan dengan memenuhi empat syarat atau sifat. Yakni, pertama, mempunyai ilmu pengetahuan dan minimal ia menempati posisi sebagai seorang Mujtahid dalam keseluruhan hukumhukum Islam. Kedua, ‘adalah dan wara’. Minimal kesaksiannya (syahadah) diterima oleh ulama 9
lain.
Ketiga, cakap dalam strategi (politik) dan ahli dan baik dalam manajemen
(¥asan al tadb³r) dan ahli pula dalam strategi perperangan. Keempat, Keturunan (nasab) Quraisy. Kalangan Syi’ah menambahkannya dengan syarat al ‘i¡mah (Al Bağdadi, 1980: 277). Sedangkan menurut al Bazdawi (1963: 187) dari aliran Maturidiah Bukhara, seorang pemimpin wajib terbaik intektual (‘ilm), takwa, keberanian (al syaja’ah), dan keturunannya (nasab), serta memiliki pandangan dan manajemen (tadb³r) yang lebih baik dari orang lain. Dan wajib pula ia berasal dari suku Quraisy dengan dasar riwayat
اﻷﺋﻤﺔ ﻣﻦ ﻗﺮﯾﺶ.
Berkaitan dengan had³£ Nabi “kepemimpinan (berasal) dari kalangan suku Quraisy” di atas, menimbulkan perbedaan pandangan aliran teologi. Bagi kalangan sebagian Mu’tazilah dan Khawarij memboleh kepemimpinan dipegang oleh orang yang bukan keturunan dari suku Quraisy. Dan sebagian lagi dari kalangan Mu’tazilah tidak membolehkan pemimpin kecuali ia berasal dari suku Quraisy (Al Asy’ari, 1969: 134). Menurut al Jabbar (1965: 753), seorang pemimpin berasal dari nasab (keturunan) tertentu, yaitu Quraisy. Pendapatnya di atas berdasarkan kepada ijma bahwa tidak ada seorang sahabat pun yang membantah riwayat yang disampaikan Abu Bakr bahwasanya al aimmah min quraisyn. Sedangkan menurut al Asy’ariah, sebagaimana dikemukakan al Bağdadi yang melihat bahwa syara’ telah menetapkan akan kekhususan kaum Quraisy untuk memegang kepemimpinan. Jenis dan nasab pemimpin ini didasarkan kepada syariat bahwa kaum Quraisy tidak sepi dari orang yang pantas untuk memimpin, sehingga tidak boleh penentuan seorang imam bagi manusia tanpa berasal dari keturunannya(Al Bağdadi, 1980: 275). Berbeda dari pandangan di atas, sebahagian kalangan Khawarij berpendapat bahwa kepemimpinan dapat dipegang oleh setiap suku manusia. Hanya saja kepemimpinan tersebut untuk kemaslahatan yang dapat memperbaiki penegakan pemerintahan. Oleh karena itu, mereka berbai’at kepada Nafi’ Ibn al Arzaq, Qatari Ibn al Fuja’ah, Najdah dan ‘Atiyah yang bukan keturunan Quraisy sebagai imam mereka. Pandangan yang hampir sama dengan Khawarij, kalangan Al Dirariyah
10
berpendapat bahwa kepemimpin boleh dipegang oleh yang bukan dari Quraisy, meskipun ada golongan Quraisy yang pantas untuk itu (Ibid.) Sebahagian kalangan Khawarij lainnya, lebih ekstrim, menyatakan pemimpin wajib berasal bukan dari suku Quraisy. Dasar pandangan mereka adalah bahwa pemimpin (al Imam) kadangkadang ia berbuat zalim dan tidak melarang perbuatan maksiat, sehingga membutuhkan kepada pengasingannya. Jika ia berasal dari suku Quraisy, tidak memungkinkan untuk menjatuhkannya sehinga mengakibatkan terjadinya kerusakan di permukaan bumi. Dengan demikian, orang yang bukan dari Quraisy wajib menjadi pemimpin sehingga memungkinkan untuk penjatuhannya (Al Bazdawi, 1963: 187). Dan lebih ekstrim lagi, kalangan Zaidiyah –sekte Syi’ah Rawafidah— berkeyakinan bahwa hak kepemimpinan, bukan saja berada pada suku Quraisy, tapi lebih dikhususkan lagi hak tersebut untuk anak cucu Ali Ibn Abi Talib (Al Bağdadi,1980: 275276). Adapun dalam persolan keempat, yakni jalan (pengangkatan) menuju imamah. Termasuk dalam pembahasan ini adalah persoalan apakah imam tersebut berdasarkan kepada na¡ atau berdasarkan kepada pemilihan (ikhtiyar). Dalam jalan menuju imamah, ada yang berpandangan bahwa tidak terjadi suatu imamah kecuali melalui adanya na¡ dari Allah. Dan dengan demikian, setiap imam dapat menunjuk (yuna¡¡u) imam setelahnya yang ia merupakan na¡ dari Allah juga. Dan sebagian lagi ada yang berpandangan bahwa jalan menuju imamah dapat saja terjadi tanpa adanya na¡, tetapi mesti ada aqd dari ahl al ‘aqd (Al Asy’ari, 1969: 132). Menurut al Jabbar (1965: 754) dari aliran Mu’tazilah, jalan menuju imamah adalah dengan al aqd (sumpah) dan pemilihan (al ikhtiyar). Dan bagi al Jahi§, sesungguhnya jalan untuk menuju imamah tersebut adalah dengan banyak pengabdian (ka£rah al a’mal), dan seseorang diangkat untuk itu sebagai balasan jasa (al jaza’) atas pengabdian tersebut. Adapun bagi kalangan Khawarij, jalan tersebut adalah memenangkan pemilihan dengan mengantongi nilai terbanyak (al ğalabah). Bagi kalangan al ‘Abasiyah, jalan nya adalah warisan (al ir£), sedangkan kalangan al Imamiyah dan al Bakriyah adalah dengan jalan penunjukan (al na¡). Berkenaan dengan pemimpin setelah Rasulullah, ada tiga pendapat aliran. Pertama, Sebahagian ada yang berpendapat bahwa Abu Bakr lah yang mendapat 11
penunjukan (na¡) pemimpin setelah Rasulullah. Kedua, Sebahagian lain melihat Ali lah yang mendapatkan hak kepemimpinan, dan ketiga, sebahagian lagi meliha al Abbas lah yang memimpin setelah Rasulullah. Bagi yang berpandangan kepada Abu Bakr yang menjadi pemimpin setelah Rasululah berdasarkan kepada Ijma’ umat Islam dan kesaksian (syahadah) kepadanya, dan di dalamnya termasuk Ali Ibn Abi Talib dan al ‘Abbas yang telah memberikan bay’at mereka kepadanya (Al Asy’ari, 1411H: 256257). Nabi tidak menunjuk (na¡) seseorang untuk menjadi pemimpin setelah dirinya, menurut Ibn Yusuf, karena jika hal tersebut dilakukannya, maka telah jelas dan berkembang
siapa
yang
menjadi
pemimpin.
Dan
bila
ditetapkan
bahwa
kepemimpinan (al imamah) tidak ditentukan dengan na¡ bagi seseorang, menunjukkan bahwa ia ditentukan dengan jalan pemilihan (ikhtiyar). Hal ini terlihat kaum Muslimin sepakat dengan ijma dan membai’at atas kepemimpinan Abu Bakr tanpa ada perbedaan pandangan. Hal ini terus berlangsung pada masa Umar, Usman dan Ali Ibn Abi Talib (Ibn Yusuf, 1987: 128129). Adapun dasar kepemimpinan seorang Imam dengan na¡ atau ikhtiyar, menurut al Bağdadi, sama seperti yang dianut oleh kalangan Mu’tazilah, Khawarij dan Najjariyah. Ia berkata bahwa jalan untuk menetapkannya didasarkan kepada pemilihan (ikhtiyar) oleh umat dengan disertai ijtihad ahl al ijtihad dan kelompok terakhir ini memilih satu di antara mereka siapa yang pantas dan boleh memegang kepemimpinan tersebut. Dan boleh saja penetapan tersebut berdasarkan na¡, namun juga sesungguhnya na¡ tidak mengemukakan jenis (ain) pemimpin di dalamnya, sehingga umat dalam hal ini juga menuju kepada sistem pemilihan (ikhtiyar) (Al Bağdadi, 1980: 279). Pendapatnya di atas dengan dasar bahwa, jika penetapan pemimpin (imam) dengan na¡ adalah wajib bagi Rasulullah untuk menjelaskannya, maka niscaya ia menjelaskan dan menerangkannya sehingga diketahui oleh umat dengan nyata dan jelas serta tidak terjadi perbedaan pendapat dalamnya. Di samping itu, pengetahuan tentang kewajiban pimpinan (al imamah) mencakupi pengetahuan keseluruhan umat, seperti pengetahuan terhadap kiblat dan bilangan raka’at dalam shalat. Dan seandainya terdapat na¡ dalam hal ini, niscaya umat mengikutinya dengan
12
kesepakatan dan mengetahuinya dengan kepastian, seperti kepastian yang terdapat dalam hadi£ mutawatir (ibid). Sedangkan kalangan Imamiyah, Zaidiyah, dan Rawandiyah berkeyakinan bahwa imamah (pemerintahankepemimpinan) didasarkan kepada na¡ (penunjukan) dari Allah melalui sabda Rasulullah atas seorang Imam dan seterusnya Imam tersebut memberi na¡ (penunjukan) kepada Imam sesudahnya (ibid). Dalam persoalan kelima, yakni penentuan seorang Imam (ta’y³n al Imam), bagi kalangan mayoritas Mu’tazilah dan al Asy’ariah, pemimpin setelah Rasulullah SAW. adalah sahabat Abu Bakr, kemudian Umar Ibn al Khatab, kemudian Usman Ibn Affan, kemudian Ali Ibn Abi Talib dan seterusnya orang dipilih oleh umat dan mereka berjanji untuk kepemimpinannya, serta orang yang mempunyai akhlak dan kepribadian, seperti akhlak dan kepribadian keempat sahabat di atas, sehingga mereka melihat dan bersumpah serta mengakui kepemimpinan Umar Ibn Abd al Aziz (Al Jabbar, 1965: 757758). Alasan dan dalil yang diberikan oleh kalangan aliran yang menyatakan bahwa Abu Bakr pemimpin setelah wafat Nabi tersebut adalah riwayat dari Nabi SAW. bahwa ia menyuruh Abu Bakr ra. untuk menjadi imam shalat12 ketika ia sakit. Makna peristiwa tersebut adalah ia mengantikan posisi diri Nabi dalam urusan agama. Dan hal ini juga, menurut mereka, menunjukkan pergantian diri Nabi kepada Abu Bakr dalam masalah keduniaan. Begitu pula ada riwayat dari Ali ra. yang berkata kepada Abu Bakr ketika ia diminta oleh Sahabat untuk tampil sebagai pemimpin khilafah. Ia berkata: Sesungguhnya Rasulullah telah merestuimu untuk (menjadi pemimpin) dalam urusan keagamaan kita, maka apakah kita tidak merestuimu pula dalam urusan keduniaan (khilafah). Dan ini menunjukkan ia (Nabi) memilihnya (Abu Bakr) untuk pemimpin shalat (Al Bazdawi, 1963: 182). Dalil lain yang mereka kemukakan adalah ijma’ al ¡ahabah yang mana mereka berkumpul untuk mengakui kepemimpinan Abu Bakr. Sesungguhnya Umar mengakui (kepemimpinan ) Abu Bakr yang diikuti oleh Abu ‘Ubaidah Ibn al Jarrah dan sahabat lainnya. Dengan demikian, ijma’ Sahabat merupakan hujjah yang bisa dijadikan dalil dan alasan kepemimpinan Abu Bakr tersebut. Sedangkan menurut al Bazdawi tokoh Maturidiah Bukhara, bahwa pengakuan Umar terhadap Abu Bakr merupakan pengakuannya secara sembunyisembunyi 13
(sirr), bukan secara terangterangan (‘alaniyah) sampai wafatnya Fatimah. Ketika Fatimah wafat, ia pun mengakuinya secara terangterangan. Dasar pendapatnya tersebut adalah riwayat bahwa ia (Umar) berkata:
ﻧﺮﺿ ﺎك ﻟ ﺪﻧﯿﺎﻧﺎ ؟. ﺑﺨﯿ ﺮﻛﻢ
ﻟﻘ ﺪ رﺿ ﯿﻚ رﺳ ﻮل ﷲ ﻟ ﺪﯾﻨﻨﺎ أﻓ ﻼ
Bahkan, ia menambahkan bahwa ucapan Abu Bakr
إﻧ ﻰ ﻟﺴ ﺖ
ketika ia dibay’at sebagai Khal³fah, menunjukkan bahwa ia lah yang terbaik
dari mereka (sahabat) (Al Asy’ari, 1969: 44). Karena sesungguhnya manusia yang terbaik adalah orang yang tidak melihat bahwa dirinyalah yang terbaik dari orang lain, sebagaimana sabda Rasulullah:
ﻻ ﺗﻔﻀﻠﻮﻧﻰ ﻋﻠﻰ ﯾﻮﻧﺲ ﻋﻠﯿﮫ اﻟﺴﻼم وﻗﯿﻞ ﻟﮫ ﻣﻦ ﺧﯿﺮ اﻟﻨﺎس ﻗﺎل ﯾﻮﺳﻒ ﺑﻦ اﻟﻨﺒﻲ ﺻﻠﻮات ﷲ ﻋﻠﯿﮭﻢ Dalam pada itu, Al Bazdawi menolak pandangan yang berpendapat bahwa Ali sebagai khalifah setelah Rasulullah berdasarkan na¡. Ia menyatakan bahwa jika pengangkatan Ali berdasarkan na¡, maka tidak terjadi kesibukan dari kalangan kaum Anshar dalam menentukan seorang pemimpin tersebut. Dan juga tidak terjadi pula ijma sahabat untuk kepemimpinan Abu Bakr. Sebagaimana diketahui, ketika Rasululah wafat, kaum Anshar mengangkat Sa’ad Ibn “Ubadah sebagai pemimpin mereka dan berkata kepada kaum Muhajirin :
ﻣ ﻨﻜﻢ أﻣﯿ ﺮ وﻣﻨّ ﺎ أﻣﯿ ﺮ
(dari golongan
kaummu ada pemimpin dan dari kami ada pula pemimpin), sampai mengemuka ucapan Abu Bakr bahwa Pemimpinpemimpin itu berasal dari suku Quraisy (Ibid). Berbeda dari pandangan mayoritas tersebut, al Jabbar (1965: 757758) melihat pemimpin setelah Rasulullah adalah Ali Ibn Abi Talib, kemudian Hasan dan Husein dan seterusnya oleh keturunannya. Sedangkan bagi kalangan al Imamiyah, pemimpin setelah Rasululah adalah Ali Ibn Abi Talib, kemudian Hasan, kemudian Husain, sampai berjumlah dua belas orang. Alasan yang dikemukakan oleh kalangan Rawafi«ah, salah satu sekte Syi’ah, bahwa Ali sebagai pemimpin setelah Nabi, adalah riwayat yang disandarkan kepada Nabi bahwa ia bersabda (Ibn al Hujjaj, Tt.: 360):
أﻧﺖ ﻣﻨﻰ ﺑﻤﻨﺰﻟﺔ ھﺎرون ﻣﻦ ﻣﻮﺳﻰ إﻻ أﻧﮫ ﻻ ﻧﺒﻲ ﺑﻌﺪى 14
Antara engkau (Ali) dan aku, seperti posisi Harun dan Musa. Hanya saja tidak ada nabi sesudah diriku. Riwayat di atas menunjukan dan membutuhkan pemahaman bahwa Ali merupakan sekutu bagi Nabi dalam hal selain kenabian, karena Ali disamakan dengan Harun di sisi Musa dalam selain kenabian, dan sesungguhnya ia teman Musa dalam kenabian dan seluruh kekuasaan. Bila ia merupakan teman Musa selain soal kenabian, maka ia lah penganti posisinya (Musa) sesudah kematiannya. Begitu pula yang diriwayatkan dari Nabi bahwasanya ia bersabda (al Albaniy, Tt.: 330339):
ﻣﻦ ﻛﻨﺖ ﻣﻮﻻه ﻓﻌﻠﻰ ﻣﻮﻻه اﻟﻠﮭﻢ وال ﻣﻦ واﻻه وﻋﺎد ﻣﻦ ﻋﺎده Siapa yang mengakui aku sebagai pemimpinnya, maka Ali pemimpinnya pula. Ya Allah berilah kekuasaan siapa yang Engkau beri kekuasaan dan kembalikan (kekuasaan) siapa yang Engkau kembalikan kepadanya. Dengan riwayat di atas, Nabi menjadikan Ali pemimpin bagi orang yang mengakui Nabi sebagai pemimpinnya. Oleh karena itu, juga riwayat ini membuktikan bahwa Ali mengantikan posisi Nabi selain soal kenabian, yakni mengantikan posisi Nabi dalam kekuasaan duniawi (Al Bazdawi, 1963: 179).
D. Relevansi dengan Kekinian Dari pokokpokok pendapat yang dikemukakan berbagai aliran di atas dan menarik disimak dan dihubungkan dengan konteks kekinian adalah persoalan syaratsyarat dan sifat serta nasab dari seorang pemimpin dan persoalan bay’ah yang dilakukan oleh yang dipimpin. Dapat disimpulkan dan disepakati bahwa sifat atau syarat yang dimiliki seseorang sehingga ia layak menjadi pemimpin (Imam), adalah :
15
(1). ia seorang yang ‘alim , terbaik intektual. Dengan dasar ini dan sesuai dengan
kedudukan
Imam,
memungkinkannya
untuk
menegakkan
berbagai peraturan dan undang. (2). Pemaaf dan wara’ serta adalah. Dalam sifat adil yang dimiliki seorang pemimpin terlihat bahwa kestabilan hidup bermasyarakat dan bernegara memerlukan tegaknya keadilan. Tiap sesuatu yang melukai rasa keadilan masyarakat bisa mengakibatkan rusaknya kestabilan masyarakat secara keseluruhan, karena rasa keadilan merupakan fitrah manusia. Untuk menegakkan keadilan tersebut, hukum berdaulat atas semua unsur masyarakat, dari yang lemah sampai pemimpin yang paling tinggi sekali pun. Semuanya sama di hadapan hukum.
Menurut penulis, dalam menegakkan keadilan dan kebenaran, pemimpin tidak boleh pandang bulu, bergantung kepada senang atau tidak senangnya. Keadilan bagi orang bertakwa adalah berarti menegakkan keadilan atas dasardasar yang objektif, bukan atas dasar kepentingan sesuatu golongan atau keluarga. Ia mengemukakan dalil na¡ al Quran surat al Nisa ayat 13513 untuk memperkuat pandangannya tersebut. Sebagaimana telah disinggung di atas, kekuasaan yang berada di tangan pemimpin adalah kurnia Ilahi yang diamanatkan kepadanya untuk dijalankan sesuai dengan normanorma yang telah digariskan Allah yang Maha Adil. Kekuasaan bukanlah untuk sematamata berkuasa, tapi untuk menegakkan hukum dan keadilan, dan memberi hak kepada siapa saja yang berhak atasnya, sekalipun yang berhak itu berada dalam posisi yang lemah. Allah mengingatkan penguasa yang menuruti keinginan dan kemauan sendiri tanpa mengambil pusing dengn normanorma keadilan dan kebenaran dengan kehancuran mereka, seperti dalam surat Ibrahim ayat 42.14 (3). Pemberani dan mempunyai keberanian (al syaja’ah), dan kemantapan hati.
16
Seorang pemimpin harus berani dalam mencari terobosanterobosan positif untuk mencapai suatu keberhasilan. Keberanian merupakan kekuatan, karena pemiliknya mampu melawan dan menundukkan kejahatan (Shihab, 1993: 160). (4). Cakap dalam strategi (politik) dan ahli dan baik dalam manajemen (¥asan al tadb³r) dan ahli pula dalam strategi persaingan. Hal ini dibarengi dengan keharmonisan hubungan antara pemimpin dengan yang dipimpin. Keharmonisan hubungan melahirkan kemajuan dan perkembangan masyarakat. Benar bahwa semakin kokoh hubungan dan interaksi keduanya dan semakin dalam pengenalan terhadap kedua pihak, akan semakin banyak yang dapat diperoleh dan dimanfaatkan melalui keduanya. Namun, bila hubungan keduanya tidak harmonis, pastilah hasil lain yang dicapai hanyalah penderitaan dan penindasan manusia atas manusia. Sebaliknya, semakin baik interaksi antar keduanya, akan semakin banyak yang dapat dimanfaatkan darinya. Karena, ketika itu mereka semua akan saling membantu dan bekerjasama (Ibid: 161). (5). Sedangkan berkaitan dengan nasab atau dalam bahasa kekinian dengan istilah “putra daerah/pribumi” terdapat perbedaan pandangan antar golongan yang ada. Hanya saja mayoritas kelompok berpendapat bahwa kepemimpinan dapat dipegang oleh setiap suku manusia. Kepemimpinan tersebut untuk kemaslahatan yang dapat memperbaiki penegakan peraturan suatu institusi dan pemerintahan. Berdasarkan analogi dari persoalan nasab quraisy ini, putra daerah atau pribumi bukanlah jaminan dapat terlaksananya peraturan dan sebaliknya non putra daerah tidak dapat menjalankannya. Yang terpenting bagi setiap golongan adalah seorang pemimpin mempunyai syarat dan sifat yang telah dikemukakan di atas. Dalam persolan jalan (pengangkatan) menjadi seorang pemimpin atau imam dalam konteks kekinian, tampaknya, mayoritas ulama harus berdasarkan kepada pemilihan (ikhtiyar) dan dengan al aqd (sumpah). Jalan tersebut adalah memenangkan pemilihan dengan mengantongi nilai terbanyak (al ğalabah). Namun kalangan minorotas ada yang melihatnya berdasarkan penunjukkan dari pemimpin sebelumnya. Setiap pemimpin dapat menunjuk (yuna¡¡u) imam setelahnya yang ia merupakan na¡ dari Allah juga. Hal ini menunjukkan adanya seleksi alam dari masyarakat terhadap seorang pemimpin. Dengan bahasa lain, masyarakat mengadakan sistem pemilihan (al 17
ikhtiyar) dalam menentukan seorang pemimpin yang akan dijadikan sebagai pemimpin mereka dalam kehidupan perorangan dan sosial kemasyarakatan. Pandangan demikian nyata terlihat dalam sistem pemilihan umum yang merupakan jalan (tujuan) menentukan seorang pemimpin. Sistem pemilihan tersebut merupakan salah satu jalan yang diredai Tuhan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Adapun dalam penentuan (ta’y³n) seorang pemimpin bukan diukur dari asal bangsa dan keturunannya (nasab). Yang nyata bahwa “yang terpenting bagi seseorang untuk menjadi pemimpin adalah berkenaan dengan sifatsifat pada dirinya dan pemenuhan hak dan kewajibannya serta bertanggung jawab kepada negara dan rakyat. Bukan ia berhubungan dan terletak pada bangsa dan keturunannya”. Nilai bangsa dan kebangsaan itu bukanlah diukur dengan kesombongan dan kebanggaan. Tetapi nilai bangsa dan kebangsaan itu adalah diukur dengan banyaknya bakti terhadap bangsa, tanah air dan Tuhan. Menurut penulis, seorang pemimpin negara, rakyat dan masyarakat harus mendapat kepercayaan dari rakyatnya. Dan tentu saja disertai dengan adanya reputasi, amal dan jasa pemimpin yang diketahui oleh masyarakatnya. Sebaliknya masyarakat atau rakyat tidak memilih pemimpin yang belum menunjukkan amal dan jasanya. Betapapun, menempatkan seseorang sebagai pemimpin berarti menyerahkan sebagian haknya kepada orang yang dipilih sebagai pemimpin. Sebagaimana diketahui bahwa kekuasaan yang berada pada pemimpin merupakan anugerah Allah yang diberikan kepadanya. Peanugerahan ini dilakukan melalui satu ikatan perjanjian. Ikatan ini terjalin antara sang pemimpin dengan Allah SWT di satu pihak dan dengan masyarakatnya di pihak lain. Perjanjian dengan Allah dinamakan dengan ‘ahd dan perjanjian dengan masyarakatnya dinamakan dengan bay’ah (Shihab, 1996: 425). Pengertian bay’ah adalah suatu perjanjian suci antara ummat dengan pemimpinnya dalam mempertahankan diri sampai tetesan darah terakhir. Hal ini tampak dalam pandangannya bahwa pada masa hidup Rasulullah, sebelum terjadi perjanjian Hudaibiyah, terjadi satu bay’ah di saat kaum Muslimin sedang terancam oleh kaum Quraisy yang hendak menyerbu umat Islam yang tidak bersenjatakan dalam rangka melaksanakan umrah. Arti bay’ah dalam peristiwa tersebut adalah satu 18
perjanjian yang sangat suci (serius) antara Rasulullah dengan ummat, yakni hendak mempertahankan diri sampai tetesan darah terakhir. Dari ungkapan di atas, menurut penulis, tampak bahwa dua macam bay’ah yang dilakukan, bay’ah yang diucapkan oleh pemimpin (aqad) sebagai sumpah dan janji dalam memimpin, dan bay’ah yang dilakukan oleh umat/rakyat melalui keikutsertaannya dalam pemilihan terhadap pemimpin. Hal ini didasarkan kepada asal makna kata bay’ah15 yang berarti menjual atau memberikan sebagian hak pemilih kepada pemimpin, sebagaimana yang dipahami Natsir –seorang tokoh Indonesia Kontemporer bahwa menempatkan seseorang sebagai pemimpin oleh rakyat berarti menyerahkan sebagian haknya kepada pemimpin tersebut diatas.
1
Guru Besar dan Dosen Pascasarjana dan Fakultas Ushuludin IAIN Raden Fatah Palembang. 19
2Pada
mulanya teologi dianggap sebagai cabang filsafat, yaitu sebagai lapangan khusus pencarian filsafat yang bertujuan untuk menentukan apa yang diperbuat untuk Tuhan. Dalam perkembangannya pengertian teologi lebih menyempit yang hanya memuat satu bidang agama atau topik permasalahan tertentu. Lihat Dagobert D. Runes, Dictionary of Philosophy, Adam & Co, TotowaNew Yersey, 1977, hal. 317. 3 Terma khil±fah umumnya banyak digunakan oleh kalangan ahl al sunnah wa al jam±’ah. Kata ini dalam berbagai bentuknya dalam al Quran tercantum sebanyak 9 ayat. Dua ayat dalam bentuk singular khal³fah terdapat pada ayat 30 surat al Baqarah dan ayat 26 surat ¢±d. Empat ayat dalam bentuk plural khal±if terdapat pada ayat 165 surat al An’am, ayat 14 dan 73 surat Yuns dan ayat 39 surat F±¯ir. Serta tiga ayat dalam bentuk plural khulaf±’ terdapat dalam ayat 69 dan 74 surat al A’raf, dan ayat 62 surat al Naml. Lihat, M. Quraish Shihab, “Membumikan” al Quran, Mizan, Bandung, 1993, hal. 156158. Selanjutnya disebut Membumikan. 4
Terma im±mah banyak dikemukakan oleh aliran Syi’ah yang mempunyai makna sama dengan khil±fah. Hanya saja, kata Im±m digunakan untuk keteladanan, karena ia terambil dari kata yang mengandung arti “depan” dan berbeda dari khal³fah yang terambil dari kata “belakang”. Dalam al Quran, kata Im±m terulang sebanyak tujuh kali dengan makna yang berbedabeda. Namun, kesemuanya bertumpu pada arti “sesuatu yang dituju dan atau diteladani”. Arti tersebut adalah: a). Pemimpin dalam kebajikan, yang terdapat pada ayat 124 surat al Baqarah dan ayat 74 surat al Furq±n. b). Kitab amalan manusia, terdapat pada ayat 71 surat al Isr±. c). Al Law¥ al Mahf©, pada ayat 12 surat Yas³n. d). Taurat, terdapat pada ayat 17 surat Hd dan ayat 12 surat al A¥q±f, dan e). Jalan yang jelas, terdapat pada ayat 79 surat al Hijr. Lihat. Ibid., hal. 163165. 5 Kata Sy³’ah adalah akar kata dari sy±’a atau syayya’a, tasy±ya’a yang berarti pihak, partai dan kelompok, dan telah dikenal sebelum datangnya ajaran Islam dan kata ini juga tercantum dalam al Quran, seperti dalam surat Maryam ayat 69 dan al Qa¡a¡ ayat 15. Namun kata ini dalam sejarah Islam lebih tertuju kepada Syi’ah Ali, yaitu pengikut suatu aliran yang mencintai keturunan Nabi Muhammad dan menaati pemimpinpemimpin yang diangkat dari keluarga dan keturunan Nabi (ahl al bait). Pengertian pengikut yang memihak Ali, menurut al Nubakhti, telah dikenal semasa Nabi masih hidup. Namun Mahmud Subhiy berpendapat bahwa pertumbuhan aliran Syi’ah muncul sesudah wafatnya Nabi Muhammad dan hasil konsensus para sahabat Nabi pada ¤aq³fah Bani Saidah, dimana Ali menolak pembaiatan terhadap Abu Bakar. Pendapat lain menyebutkan munculnya setelah terjadinya kekacauan (fitnah) di masa U£man yang berakhir dengan kematiannya. Adapula yang mengatakan setelah perang Siff³n dan setelah pembunuhan Husain. Syi’ah yang lahir sejak wafatnya Nabi disebut sebagai Syi’atu Aliyyin yang mengambil bentuk sebagai kekuatan politik dan lambat laun berkembang menjadi persoalan akidah. Lihat, Ahmad Mahmud Subhiy, Na©±riyah al Im±mah ladai Sy³’ah I£n± ‘Asy±riyah, Dar al Ma’rif, Mesir, 1969, hal. 2829.
20
6
Rukun Iman bagi kalangan ini ada enam. (1) Iman kepada Allah. (2) Iman kepada Malaikat. (3) Iman kepada Kitabkitab. (4) Iman kepada Rasulrasul. (5) Iman kepada Akhirat, dan (6) Iman kepada Qadar baik dan buruk. 7
Teks ayatnya :
ًض َﺧ ِﻠ ْﯿﻔَﺔ َ إِﻧِّﻰ َﺟﺎ ِﻋ ٌﻞ ﻓِﻰ ْا ِ ﻻ ْر “Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khal³fah di muka bumi” (QS. al Baqarah 2: 30) 8
Ibid. Teks ayatnya:
ٍ ﺾ دَ َر َﺟﺎ ت ٍ ﻀ ُﻜ ْﻢ ﻓَ ْﻮقَ ﺑَ ْﻌ ِ ﻒ اﻻَ ْر َ ض َو َرﻓَ َﻊ ﺑَ ْﻌ َ َو ُھ َﻮ اﻟﱠﺬِى َﺟﻌَﻠَ ُﻜ ْﻢ َﺧﻼَ ِﺋ “Dan Dialah yang menjadikan kamu penguasapenguasa di bumi dan Dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian beberapa derajat” (QS. al An’±m 6: 165) 9
Benih awal perbedaan pandangan dalam persoalan ini dalam sejarah menimbulkan tiga golongan politik, yakni (1) golongan Ali Ibn Abi Thalib yang kemudian dikenal dengan nama Syi’ah, (2) golongan yang keluar dari barisan Ali yang dikenal dengan Khawarij, dan (3) golongan Mu’awiyah, yang kemudian membentuk Dinasti Bani Umayyah dan membawa sistem kerajaan dalam Islam. Lihat Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, Jilid I, UI Press, Jakarta, 1985, hal. 95. 10 Pada intinya, menurut Abu Zahrah, al Quran tidak menyebutkan dasar (u¡l) khil±fah dan tidak pula menjelaskan dan syarat dan sifat seseorang untuk menjabat khalifah. Namun demikian, ia meletakkan hukum Islam atas tiga prinsip dalam khilafah, yaitu sifat ad±lah, syr±, dan taat kepada pemimpin. Lihat Abu Zahrah, T±r³kh al Ma©±hib, hal. 24. 11 Teks ayatnya :
ُ ﺎس إِﻧﱠﺎ َﺧﻠَ ْﻘﻨَﺎ ُﻛ ْﻢ ِﻣ ْﻦ ذَ َﻛ ٍﺮ َوأُﻧﺜَﻰ َو َﺟﻌَ ْﻠﻨَﺎ ُﻛ ْﻢ ﺷﻌُﻮﺑًﺎ َوﻗَﺒَﺎﺋِ َﻞ ُ ﯾَﺎأَﯾﱡ َﮭﺎ اﻟﻨﱠ ﯿﺮ ٌ ﻋ ِﻠﯿ ٌﻢ َﺧ ِﺒ َ َ ﺎرﻓُﻮا ِإ ﱠن أ َ ْﻛ َﺮ َﻣ ُﻜ ْﻢ ِﻋ ْﻨﺪَ ا ﱠ ِ أَﺗْﻘَﺎ ُﻛ ْﻢ ِإ ﱠن ا ﱠ َ َِﻟﺘَﻌ
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang lakilaki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsabangsa dan bersukusuku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal (QS. Al Hujurat 49: 13) 12
Teks riwayat hadis dimaksud adalah: 21
(ﻣﺮوا أﺑﺎ ﺑﻜﺮ أن ﯾﺼﻠﻲ ﺑﺎﻟﻨﺎس )ﻣﺘﻔﻖ ﻋﻠﯿﮫ Hal yang senada dengan hadis di atas adalah riwayat Nabi yang bersabda:
اﻗﺘﺪوا ﺑﺎﻟﻠﺬﯾﻦ ﻣﻦ ﺑﻌﺪى أﺑﯨﺒﻜﺮ وﻋﻤﺮ Lihat al Asy’ari, Maqalat, hal. 129; Muhammad Ibn Ism±il Abu Abd Allah al Bukhari, ¢±h³h al Bukh±ri, Juz I, Dar Ibn Ka£³r al Yamamah, Beirut, 1987, hal. 240; Muhammad Ibn Abd Allah Abu Abd Allah al ¦±kim al N³s±buri, al Mustadrak al± al ¤a¥³hain, Juz 3, Dar al Kutub al Alamiah, Beirut, 1990, hal. 80. 13
Teks ayat:
ُ ْﻂ ﻋﻠَﻰ أَﻧﻔُ ِﺴ ُﻜ ْﻢ أ َ ِو ِ اﻣﯿﻦَ ِﺑ ْﺎﻟ ِﻘﺴ ِ ﯾَﺎأَﯾﱡ َﮭﺎ اﻟﱠ ِﺬﯾْﻦَ آ َﻣﻨُﻮا ُﻛﻮﻧُﻮا ﻗَ ﱠﻮ َ ﺷ َﮭﺪَا َء ِ ﱠ ِ َوﻟَ ْﻮ ْاﻟ َﻮا ِﻟﺪَﯾ ِْﻦ َ َواﻷ َ ْﻗ َﺮ ِﺑﯿﻦَ ِإ ْن ﯾَ ُﻜ ْﻦ ﯿﺮا ﻓَﺎ ﱠ ُ أ َ ْوﻟَﻰ ﺑِ ِﮭ َﻤﺎ ﻓَﻼ َ ﺗَﺘ ﱠ ِﺒﻌُﻮا ْاﻟ َﮭ َﻮى أ َ ْن ً ﻏﻨِﯿﺎ أ َ ْو ﻓَ ِﻘ ﯿﺮا ُ ﺗ َ ْﻌ ِﺪﻟُﻮا َوإِ ْن ﺗ َ ْﻠ ُﻮوا أ َ ْو ﺗ ُ ْﻌ ِﺮ ً ِﺿﻮا ﻓَﺈِ ﱠن ا ﱠ َ َﻛﺎنَ ﺑِ َﻤﺎ ﺗ َ ْﻌ َﻤﻠُﻮنَ َﺧﺒ
“Wahai orangorang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapak dan kaum kerabatmu. Jika ia kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemashlahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutarbalikkan (katakata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui segala apa yang kamu kerjakan” (QS. al Nis± 4: 135) 14Teks
ayatnya:
ﻋ ﱠﻤﺎ ﯾَ ْﻌ َﻤ ُﻞ ﱠ ﺎر ُ اﻟﻈﺎ ِﻟ ُﻤﻮنَ إِﻧﱠ َﻤﺎ ﯾُ َﺆ ِ ّﺧ ُﺮ ُھ ْﻢ ِﻟﯿَ ْﻮ ٍم ﺗ َ ْﺸﺨ ُ ﺼ َ ًﺴﺒَ ﱠﻦ ا ﱠ َ ﻏَﺎﻓِﻼ َ َْوﻻَ ﺗَﺤ َ َﺺ ﻓِﯿ ِﮫ اﻷ َ ْﺑ “Dan janganlah sekalikali kamu mengira, bahwa Allah lalai dari apa yang diperbuat oleh orangorang yang zalim. Sesungguhnya Allah memberi tangguh kepada mereka sampai hari yang pada waktu itu mata (mereka) terbelalak” (QS. Ibrahim 14: 42). Lihat Ibid., hal. 3940. 15Secara
bahasa, bay’ah (jual) berarti lawan kata syir± (beli) dan ¯±’ah (taat/tunduk). Adapun secara istilah kata ini berarti “ungkapan sumpah dan janji antar dua pihak, seolah satu pihak “menjual” dan memberikan dengan keikhlasan apa yang dimilikinya, serta ketaatan atas perintahnya” ( ھﻮ ﻋﺒﺎرة ﻋﻦ اﻟﻤﻌﺎﻗﺪة واﻟﻤﻌﺎھﺪة
ﻛﺄن ﻛﻞ واﺣﺪ ﻣﻨﮭﻤﺎ ﺑﺎع ﻣﺎ ﻋﻨﺪه ﻣﻦ ﺻﺎﺣﺒﮫ وأﻋﻄﺎه ﺧﺎﻟﺼﺔ ﻧﻔﺴﮫ وطﺎﻋﺘﮫ ودﺧﯿﻠ ﺔ ) أﻣﺮهLihat Ibn Manzr, Lis±n al ‘Arab, Juz 8, hal. 26
22