RESPON NELAYAN TRADISIONAL TERHADAP PERUBAHAN MUSIM DI KELURAHAN LAPPA KABUPATEN SINJAI THE RESPONSE OF TRADITIONAL FISHING FOR SEASON CHANGES IN LAPPA VILLAGE, SINJAI REGENCY Raodah Balai Pelestarian Nilai Budaya Makassar Jalan Sultan Alauddin / Tala Salapang Km.7 Makassar, 90221 Telepon (0411) 883748/885119, Faksimile (0411) 883748 Pos-el:
[email protected] Handphone: 081342545911 Diterima: 20 Februari 2015; Direvisi: 20 Maret 2015; Disetujui: 27 Mei 2015 ABSTRACT 7KH¿VKLQJDFWLYLWLHVE\WKH¿VKHUPHQDUHLQÀXHQFHGE\WKHVHDVRQ,QZHVWVHDVRQPRVW¿VKHUPHQVWRSWKHLU DFWLYLWLHVDQGSUHIHUWRVWD\DWKRPHUDWKHUWKDQKDYHWR¿JKWDJDLQVWWKHVWRUP7KHFHDVLQJRIWKHDFWLYLW\ GHFUHDVHGWKHLQFRPHRI¿VKHUPHQWKXVWKHLUDELOLW\WRIXO¿OOWKHQHHGVRIKRXVHKROGVLVYHU\OLPLWHG7KLV UHVHDUFKLVDGHVFULSWLYHTXDOLWDWLYHWKDWLVWRDVVHVVWKHUHVSRQVH¿VKHUPDQIRUVHDVRQFKDQJHV7KHWHFKQLTXHV RIGDWDFROOHFWLRQDUHREVHUYDWLRQLQWHUYLHZDQGOLWHUDWXUH7KHUHVXOWVVKRZHGWKDWWKH¿VKHUPHQLQ/DSSD 9LOODJH6LQMDL5HJHQF\XVHVWKHORFDONQRZOHGJHV\VWHPVWRFRSHWKHVWRUPDQGEDGZHDWKHUZKHQ¿VKLQJ 7RIXO¿OOWKHLUQHHGVGXULQJWKHWLPHVWKH¿VKHUPHQGRDYDULHW\RIDOWHUQDWLYHSURGXFWLYHDFWLYLWLHVLQYROYLQJ IDPLO\PHPEHUVLQFOXGLQJFKLOGUHQDQGZLYHV7KHGXDOUROHRID¿VKHUPDQ¶VZLIHLVYHU\KHOSIXOLQIXO¿OOLQJ WKHLUQHHGVRIKRXVHKROGV7KHDOWHUQDWLYHSURGXFWLYHDFWLYLWLHVFRQGXFWHGE\WKHZLYHVRI¿VKHUPHQDUH¿VKLQJ WUDGHRSHQIRRGVWDOOVPDNLQJVDOWHG¿VKDQGFXOWLYDWLQJ¿VKSRQGV%HVLGHVWKHDGDSWLYHVWUDWHJLHVXQGHUWDNHQ E\WKH¿VKHUPHQWRDQWLFLSDWHWKHLUQHHGVRIKRXVHKROGVDUHVDYLQJDQGLQYHVWLQJIRUPLQJDJURXSJDWKHULQJ ERUURZLQJPRQH\PLJUDWLQJWRRWKHUSODFHVRXWVLGHIURPWKH¿VKHUPHQOLYH Keywords:WKH¿VKHUPHQUHVSRQVHVHDVRQFKDQJHV/DSSD9LOODJH ABSTRAK Aktivitas melaut nelayan sangat di pengaruhi oleh musim. Pada musim barat, kebanyakan nelayan menghentikan aktivitasnya dan memilih tinggal di rumah dari pada bertarung melawan badai. Penghentian aktivitas tersebut berdampak pada menurunnya pendapatan nelayan. Penelitian ini bersifat deskriftif kualitatif, yaitu mengkaji respon nelayan terhadap perubahan musim. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi, wawancara dan studi pustaka. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masyarakat nelayan di Kelurahan Lappa, Kabupaten Sinjai, menggunakan sistem pengetahun lokal untuk mengatasi badai dan cuaca buruk ketika melaut. Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya selama musim tersebut, mereka melakukan berbagai kegiatan alternatif produktif dengan melibatkan anggota keluarga, terutama anak dan istri. Peran ganda istri nelayan sangat membantu dalam memenuhi kebutuhan rumah tangga mereka. Usaha alternatif produktif yang dilakukan oleh istri-istri nelayan adalah berdagang ikan, membuka warung makan, membuat ikan asin, dan melakukan pembudidayaan ikan tambak. Selain itu, strategi adaptif yang dilakukan oleh para nelayan untuk mengantisipasi pemenuhan kebutuhan hidup adalah menabung dan investasi, membentuk kelompok arisan, meminjam uang, dan bermigrasi ke tempat lain di luar perairan sekitar tempat mereka bermukim. Kata kunci: respon nelayan, perubahan musim, Kelurahan Lappa.
PENDAHULUAN Nelayan dan usaha perikanan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan antara satu sama lain. Dikatakan demikian mengingat bahwa nelayan merupakan kelompok penduduk yang hidup dari hasil penangkapan ikan.
Menurut Mubiyarto (1981:25) bahwa masyarakat pantai pada dasarnya lebih diidentikkan sebagai masyarakat nelayan, sebab mayoritas penduduknya bergerak di bidang penangkapan ikan. Kegiatan menangkap ikan di laut merupakan suatu pilihan kegiatan yang ditekuni masyarakat nelayan 225
WALASUJI Volume 6, No. 1, Juni 2015: 225—238 sebagai suatu kegiatan yang menjadi sandaran ekonomi keluarga. Namun kenyataanya usaha perikanan yang digeluti nelayan tradisional sangat dipengaruhi oleh musim. Saat musim barat tiba, kondisi cuaca buruk, terjadi ombak yang besar karena angin kencang, memaksa nelayan tidak dapat melaut. Hal ini menyebabkan penurunan curahan waktu kerja masyarakat nelayan dalam kegiatan perikanan, yang berdampak pada penurunan pendapatan rumahtangga nelayan. Menurut Wawo (2000:9) bahwa rendahnya taraf hidup masyarakat nelayan berkaitan dengan sifat pekerjaan mereka, yang ditentukan oleh NHDGDDQDODPWLQJNDWSHQGLGLNDQOHWDNJHRJUD¿V serta kemampuan sumberdaya manusia. Selain faktor keterbatasan modal usaha, dan penggunaan alat tangkap tradisional, tingkat kesejahteraan masyarakat nelayan dipengaruhi pula pada pengaruh musim dan cuaca. Perubahan cuaca terjadi secara perlahan dalam jangka waktu yang cukup panjang dan merupakan perubahan yang sulit untuk dihindari. Fenomena ini akan memberikan dampak terhadap berbagai segi kehidupan masyarakat nelayan. Dalam dunia perikanan tangkap, secara umum dikenal 3 musim penangkapan yaitu (1) musim timur yang identik dengan musim puncak penangkapan atau hasil tangkapan nelayan lebih maksimal. (2) musim peralihan yaitu dari peralihan dari musim timur ke musim barat (3) musim paceklik atau musim barat. Setiap daerah memiliki pola musim yang berbeda dalam satu tahun kelender. Pada saat musim paceklik atau diidentikkan dengan musim barat, sebagian besar nelayan tidak dapat melaut karena kondisi perairan yang tidak menentu. Musim barat ditandai dengan hembusan angin yang kencang, ombak besar dan bahkan terkadang terjadi badai. Kondisi cuaca yang ekstrim tersebut tentunya memberikan ancaman keamanan dan keselamatan bagi nelayan jika mereka pergi melaut. Pendapatan nelayan penangkap ikan akan menurun karena nelayan tidak berani berlayar jauh dari pantai akibat tingginya gelombang laut. Akibat dari aktivitas nelayan menurun maka, harga ikan laut melonjak tajam dan bisnis penangkapan ikan dapat merosot hingga 50 persen (Imron, 2012:1) Beberapa studi memperlihatkan bahwa di 226
kalangan masyarakat nelayan telah berkembang berbagai strategi untuk mempertahankan kelangsungan hidup, di antaranya adalah adanya pranata-pranata tradisional sebagai tindakan kolektif yang secara efektif dapat dipakai sebagai strategi untuk mengatasi kesulitan hidup, seperti pembentukan kelompok- kelompok usaha dan DULVDQ$NWLYLWDVLQLVDQJDWVHGHUKDQDÀHNVLEHO dan adaptif terhadap kondisi-kondisi sosialekonomi, serta sesuai dengan kondisi masyarakat nelayan, terutama yang kurang mampu (Kusnadi, 1997:13). Adaptasi merupakan salah satu bagian dari proses evolusi kebudayaan, yakni proses yang mencakup rangkaian usaha-usaha manusia untuk menyesuaikan diri atau memberi respon terhadap SHUXEDKDQOLQJNXQJDQ¿VLNPDXSXQVRVLDO\DQJ terjadi secara temporal (Mulyadi dalam Helmi dan Satria, 2012:2). Prilaku responsif manusia terhadap perubahan-perubahan lingkungan yang terjadi, memungkinkan mereka dapat menata sistem-sistem tertentu bagi tindakan atau tingkah lakunya, agar dapat menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi yang ada. Perilaku tersebut di atas berkaitan dengan kebutuhan hidup, setelah sebelumnya melewati keadaan-keadaan tertentu dan kemudian membangun suatu strategi serta keputusan tertentu untuk menghadapi keadaankeadaan selanjutnya. Strategi yang dilakukan masyarakat nelayan untuk memenuhi kebutuhan hidup ketika tidak PHODXW DGDODK GHQJDQ PHODNXNDQ GLYHUVL¿NDVL pekerjaan seperti yang ditemukan pada beberapa masyarakat nelayan di Indonesia. Pekerjaanpekerjaan yang dilakukan masih berkaitan dengan kegiatan kenelayanan atau pencarian ikan di laut, maupun kegiatan di luar sektor kenelayanan, seperti bertani, berkebun, penjual jasa, tukang becak dan lain-lain. Demikian halnya dengan hasil penelitian Wawo (2000:52) bahwa sekitar 70,56% nelayan tradisional di Sulawesi Tenggara ketika terjadi musim barat menggunakan waktu luangnya di atas 10 jam perhari, jenis-jenis kegiatan/pekerjaan yang dilakukan para nelayan adalah bertani, berdagang, tukang,dan lainnya. Hal yang sama dikemukakan pula Asih (2008:34), bahwa usaha perikanan yang digeluti nelayan tradisional di Kabupaten Tojo Una-Una Provinsi
Respon Nelayan Tradisional ... Raodah
Sulawesi Tengah sangat dipengaruhi oleh musim. Saat musim paceklik tiba, kondisi cuaca buruk nelayan tidak dapat melaut. Hal ini menyebabkan penurunan curahan waktu kerja suami dalam kegiatan perikanan, yang berdampak pada penurunan pendapatan rumahtangga dari kegiatan perikanan. Kondisi ini menyebabkan nelayan akan mencari tambahan penghasilan di luar kegiatan perikanan guna memenuhi kebutuhan rumahtangga dan kewajiban pembayaran cicilan kreditnya. Kondisi yang sama terjadi pula pada masyarakat nelayan di Kelurahan Lappa Kabupaten Sinjai, ketika terjadi perubahan musim aktivitas melaut mengalami penurunan yang berdampak pada perekonomian nelayan. Untuk mengantisipasi kondisi tersebut, berbagai respon yang dilakukan masyarakat nelayan di antaranya menggunakan berbagai pengetahuan lokal untuk merespon keadaan cuaca yang memburuk, ketika mereka berada di laut lepas. Melakukan kegiatan alternatif produktif dan berbagai strategi adaptif agar mereka dapat bertahan hidup. Berdasar latar tersebut di atas, masalah dalam artikel ini dirumuskan sebagai berikut: (1) bagaimana sistem pengetahuan lokal digunakan oleh masyarakat nelayan di Kelurahan Lappa dalam merespon perubahan cuaca dan musim? (2) kegiatan alternatif produktif apa yang dilakukan masyarakat nelayan di Kelurahan Lappa sebagai strategi adaptif mengusahakan pendapatan ketika terjadi perubahan musim? (3) bagaimana strategi masyarakat nelayan di Kelurahan Lappa dalam menghadapi masa sulit ekonomi perikanan ketika terjadi perubahan musim?. Dari rumusan masalah tergambar bahwa tujuan penulisan artikel ini adalah: (1) untuk menjelaskan pengetahuan lokal masyarakat nelayan di Kelurahan Lappa dalam memahami perubahan cuaca dan musim. (2) untuk mengungkapkan kegiatan alternatif produktif masyarakat nelayan di Kelurahan Lappa pada musim barat. (3)untuk mendeskripsikan strategi masyarakat nelayan di Kelurahan Lappa dalam menghadapi masa sulit ekonomi perikanan, ketika terjadi perubahan musim.
METODE Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan model analisa deskriptif kualitatif yang bernaung di bawa kutub paradigma interpretivisme, subjektivisme dan defenisi sosial (Bungin, 2012:14). Penelitan di lakukan di Kelurahan Lappa, Kecamatan Sinjai Utara, Kabuapaten Sinjai. Pemilihan lokasi didasarkan pada beberapa pertimbangan bahwa mata pencaharian penduduk Kelurahan Lappa 80% nelayan yang aktivitasnya sangat berpengaruh terhadap perubahan musim yang berimpilikasi pada kehidupan sosial ekonomi nelayan. Sasaran penelitian adalah nelayan yang memiliki pengetahuan lokal dalam merespon cuaca dan perubahan musim, keluarga nelayan yang melakukan kegiatan alternatif produktif dan strategi antisipasi yang dilakukan dalam mengatasi kesulitan ekonomi perikanan. Jenis data yang dikumpulkan adalah data etnografis yang mengungkapkan fenomena kehidupan masyarakat nelayan di Kelurahan Lappa terhadap perubahan musim. Kategori data ini digolongkan sebagai data primer yang menuntun penulis mendeskripsikan konteks sosial masyarakat di Kelurahan Lappa pada tingkat analisis data. Teknik pengumpulan data melalui wawancara, pengamatan langsung dan studi dokumentasi. Dalam penelitian digunakan metode analisis deskriptif-kualitatif, yaitu analisis data dilakukan sejak awal penelitian dan selama proses penelitian dilaksanakan. Di mana pada proses ini diperlukan beberapa tahap. Langkah pertama merupakan langkah untuk memilah-milah antara data yang menunjang dan tidak menunjang dengan fokus penelitian. Kedua, memeriksa seluruh data agar dapat diketahui data atau informasi yang telah diperoleh selama di lapangan. Ketiga, mengingat kembali tanggapan informan ketika wawancara sedang berlangsung, sebab dapat mempengaruhi data yang diberikan. Begitu juga dengan pengaruh kehadiran orang lain yang akan berdampak pada kelancaran wawancara dengan informan. Langkah berikutnya memperhatikan data yang diperoleh baik itu pernyataan langsung maupun kesimpulan tidak langsung yang berhubungan dengan fokus
227
WALASUJI Volume 6, No. 1, Juni 2015: 225—238 penelitian. Lalu langkah terakhir adalah dengan menemukan keabsahan data melalui triangulasi. Di mana yang dilakukan dalam proses ini adalah mencocokkan antara data dari informan yang satu dengan data dari informan yang lain (Moleong, 2002: 34). PEMBAHASAN Gambaran Umum Kelurahan Lappa Kelurahan Lappa terletak dalam wilayah administratif Kecamatan Sinjai Utara, Kabupaten Sinjai yang berjarak sekitar 228 km dari Kota Makassar ibukota Provinsi Sulawesi Selatan. Kelurahan Lappa hanya berjarak 2 kilometer dari pusat kota Sinjai dan 2,5 km dari ibukota kecamatan. Wilayah Kelurahan Lappa pada awalnya adalah daratan rendah di muara Sungai Tangka yang merupakan hutan mangrove, yang kini sudah menjadi pemukiman dan areal pertambakan ikan. Dalam bahasa Bugis Lappa EHUDUWLGDWDUDWDXUDWDVHVXDLOHWDNJHRJUD¿VQ\D yang berada pada 0-0,8 meter dari permukaan laut, hampir sejajar dengan daratan sehingga ketika air pasang naik pemukiman penduduk dan jalan-jalan di sekitarnya tegenang air. Secara administratif Kelurahan Lappa mempunyai batas wilayah sebelah utara berbatasan dengan Sungai Tangka, sebelah timur berbatasan dengan Teluk Bone, sebelah selatan berbatasan dengan Sungai Sinjai, dan sebelah barat dengan Kelurahan Balangnipa. Luas wilayah Kelurahan Lappa 3,95 km² atau 37,37 ha terdiri dari 7 Lingkungan terbagi dalam 15 RW dan 45 RT. Wilayah perkampungan nelayan meliputi 4 (empat) lingkungan yaitu Lengkonge, Kokoe, Lappae dan Larea-rea, untuk areal pertanian berada di lingkungan Baru dan pertambakan berada di lingkungan Talibunging dan Tappae. Sebagaimana halnya dengan wilayah Kabupaten Sinjai dan beberapa wilayah di Sulawesi Selatan mengenal dua musim yang beredar silih berganti yaitu musim bare (barat) dan musim timo (timur). Musim barat berlangsung dalam bulan September sampai dengan Februari, dan musim timur biasanya berlangsung dari bulan Maret sampai Agustus. Namun kondisi cuaca ekstrim yang terjadi sekarang ini cenderung 228
berubah-ubah mengakibatkan perubahan musim di wilayah ini juga mengalami perubahan. Berdasarkan data statistik kantor Kelurahan Lappa tahun 2012 berjumlah 10.750 jiwa, yang terdiri dari laki-laki 5.333 jiwa dan perempuan 5.417 jiwa yang tersebar dalam 7 (tujuh) lingkungan. Mobilitas penduduk Lappa terjadi pada masyarakat nelayan di Kelurahan Lappa ketika musim barat tiba, mereka berimigrasi untuk melakukan penangkapan ikan ke wilayah Sulawesi Tenggara, Kalimantan yaitu ke Bontan, Nusa Tenggara Timur (NTT) ke Labuang Bajo dan menetap di wilayah tersebut kurang lebih enam bulan. Rendahnya tingkat pendidikan yang dimiliki masyarakat nelayan berdampak kepada perilaku, cara berpikir dan produktivitas. Demikian halnya dengan tingkat penduduk di Kelurahan Lappa yang sebagian besar adalah nelayan pada umumnya terbilang rendah, Jumlah Penduduk yang buta huruf, tidak tamat SD, dan hanya tamat SD cukup besar dan didominasi oleh masyarakat nelayan, sehingga pengetahuan mereka sangat terbatas dalam memanfaatkan berbagai teknologi modern di bidang penangkapan. Menurut Syandri (2014:15), bahwa pendidikan untuk nelayan pada hakekatnya merupakan human investmen dan social capital, baik untuk kepentingan pembangunan daerah maupun pembangunan nasional. Pendidikan merata dan bermutu baik melalui pendidikan sekolah maupun luar sekolah akan berdampak pada kecerdasan dan kesejahteraan nelayan. Kualitas sumber daya manusia yang rendah, sehingga tingkat produktivitas hasil tangkapannya juga sangat rendah. Tingkat pendidikan nelayan berbanding lurus dengan teknologi yang dapat dihasilkan oleh para nelayan. Berdasarkan kenyataan tersebut untuk keluar dari persoalan kemiskinan, masyarakat nelayan di Kelurahan Lappa menyadari pentingnya pendidikan, sehingga sebagian nelayan sudah menyekolahkan anak-anak mereka sampai ketingkat perguruan tinggi, misalnya anak nelayan ponggaha (sama dengan ponggaha atau paccata), sudah ada yang menyadang gelar sarjana. Akan tetapi sahi (sama dengan sawi atau ABK)) yang tidak mampu, hanya dapat menyekolahkan anak-anak
Respon Nelayan Tradisional ... Raodah
mereka sampai SD atau SMP, setelah itu mereka membantu orang tuanya melaut atau menjadi sahi pada Ponggaha. Mata pencaharian utama penduduk Kelurahan Lappa dibidang perikanan sebesar 41,03% adalah nelayan meliputi nelayan bagan yang mengoperasikan purse seine, pole end line yang melakukan penangkapan di wilayah perairan terbuka di sekitar Pulau Kabaena, Pulau Muna dan Pulau Buton di Sulawesi Tenggara dan ada pula bagan perahu, pancing (patongkolo, paccumi), dan lain-lain. Adapun mata pencaharian yang masih ada hubungannya dengan perikanan misalnya buruh angkut, nelayan, pengusaha, dan pedagang. Buruh angkut banyak yang beroperasi di Pusat Pendaratan Ikan (PPI) Lappa, dan mendapat upah dari hasil mengangkut tangkapan nelayan dari perahu ke pelataran PPI atau ke mobil pengangkut ikan yang akan menjual ke berbagai daerah di Sulawesi Selatan. Mata pencaharian sebagai pengusaha, pada umunya bergerak di bidang perikanan dan hasil laut. Para pengusaha tersebut dikenal sebagai paccata, yaitu orang yang membeli hasil tangkapan nelayan dalam jumlah besar kemudian menjualnya keberbagai pedagang ikan. Paccata adalah pemilik modal, perahu dan peralatan tangkap serta pemimpin dalam beberapa kelompok nelayan. Paccata membiayai seluruh biaya operasional penangkapan ikan dan memperkejakan nakhoda dan ABK (Anak Buah Kapal) yang beroperasi diberbagai pulau yang ada di sekitar Pulau Sembilan. Mata pencaharian sebagai pedagang pada umumnya adalah pedagang ikan yang ada di PPI Lappa yang berjualan pada malam hari, dan beberapa warung makan yang menyediakan menu berbagai jenis ikan, serta toko-toko yang menjual berbagai macam kebutuhan nelayan. Penduduk yang bermata pencaharian sebagai pengrajin juga masih ada kaitannya dengan kenelayanan yaitu pembuatan perahu. Selebihnya, bekerja di sektor jasa dan PNS, TNI dan Polri. Sarana ekonomi yang tersedia di Kelurahan Lappa, terdapat lembaga perbankan kantor cabang pembantu Bank Rakyat Indonesia (BRI), Perusahaan penangkapan ikan yang khusus menangkap ikan tongkol atau cakalang, koperasi simpan pinjam KUD Mina, dan beberapa toko yang menjual
berbagai keperluan baik kebutuhan rumah tangga maupun peralatan alat tangkap nelayan. 3UR¿O1HOD\DQ/DSSD Pekerjaan sebagai nelayan pada masyarakat di Kelurahan Lappa merupakan pekerjaan turun temurun dan pekerjaan tersebut dilakukan sebagian besar penduduk. Pada umumnya nelayan Lappa adalah nelayan bagan perahu yang kebanyakan menangkap ikan-ikan pelagis yaitu ikan yang habitatnya berada dipermukaan air. Ikan pelagis terbagi atas ikan pelagis besar misalnya ikan tuna, cakalang, tongkol dan lain-lain, sedang ikan pelagis kecil misalnya ikan teri, tembang, layang, ikan kembung dan lain-lain. Adapun jenisjenis peralatan tangkap yang digunakan nelayan adalah sebagai berikut: pukat cincing (purse seine), jaring insang (hanyut, lingkar, tetap), bagan (perahu/rakit dan tancap) pancing (tonda, ulur, tegak, cumi), bubu, perangkap lainnya, alat penangkapan teripang, kepiting, jala tebar, garpu, tombak dan panah. Armada tangkap meliputi perahu tanpa motor, perahu motor tempel dan kapal motor. Frekuensi penangkapan ikan bagi nelayan di Kelurahan Lappa tidak ada ketentuan yang baku. Tinggi rendahnya frekuensi penangkapan di daerah tersebut lebih banyak ditentukan oleh keadaan cuaca dan arus laut, sesuai dengan pernyataan beberapa informan bahwa frekuensi penangkapan masyarakat nelayan di Kelurahan Lappa dalam sebulan tidak ditentukan sesuai kondisi dan cuaca. Penangkapan ikan dilakukan setiap hari dalam sebulan, hal dimungkinkan karena apabila mereka tidak melaut berarti tidak memperoleh nafkah untuk menghidupi keluarganya. Hal ini dirasakan terutama nelayan yang berprofesi sebagai sahi. Mobilitas nelayan Lappa cukup besar keluar keberbagai wilayah penangkapan, misalnya nelayan patongkolo (nelayan pancing ikan tuna) yang melakukan penangkapan ikan sampai ke daerah Bali, Pacitan, Malang bahkan sampai ke Nusa Tenggara Barat (NTB). Di lokasi penangkapan tersebut, nelayan tinggal sampai berbulan-bulan, bisa 3 sampai 4 bulan baru kembali. Menurut informasi dari H.Mustari (55 tahun) biasanya nelayan melakukan penangkapan 229
WALASUJI Volume 6, No. 1, Juni 2015: 225—238 ikan di wilayah tersebut, sudah melakukan kontrak kerja dengan perusahaan penampungan ikan, seluruh biaya operasional penangkapan ditanggung oleh perusahaan, sehingga seluruh hasil tangkapan nelayan dibeli oleh perusahaan penampungan ikan. Operasi penangkapan seperti ini sudah berlangsung lama sehingga banyak nelayan yang berhasil dan mempunyai modal yang cukup besar dari usaha kerjasama tersebut. Nelayan yang sudah mempunyai modal usaha yang besar biasanya beralih profesi menjadi ponggaha atau paccata. (Wawancara 15 Pebruari 2014). Lokasi yang menjadi tujuan penangkapan nelayan di Kelurahan Lappa meliputi perairan Teluk Bone, Selayar, Kupang//lombok dan Sulawesi Tenggara. Selain di lokasi tersebut pada umumnya nelayan melakukan penangkapan di taka-taka sekitar Pulau Sembilan dalam wilayah Kabupaten Sinjai. Lokasi luar yang terbanyak di kunjungi nelayan adalah wilayah perairan Sulawesi Tenggara, khususnya ke Kabupaten Kolaka, karena nelayan lokal di wilayah tersebu masih kurang. Waktu atau lamanya penangkapan nelayan Lappa pada umumnya berbeda-beda, disesuaikan lokasi penangkapan mulai dari satu minggu sampai empat minggu. Bagi nelayan yang hanya melakukan penangkapan di sekitar Pulau Sembilan, waktunya paling lama satu minggu. Musim puncak penangkapan ikan berlangsung dari bulan April hingga Agustus atau bertepatan dengan musim timur. Namun pada musim barat para nelayan, utamanya nelayan mandiri tetap melakukan penangkapan di sekitar taka-taka di wilayah Pulau Sembilan. Kondisi ini dimungkinkan karena wilayah perairan Kabupaten Sinjai terlindung dari pulau-pulau, sehingga apabila terjadi badai, bagi nelayan yang sedang beraktivitas di laut dapat berlindung ke pulau terdekat. Pengetahuan tentang jenis-jenis biota laut yang bernilai ekonomi tinggi oleh nelayan Lappa sudah meluas, ada beberapa biota laut yang selalu diburu oleh nelayan Lappa misalnya ikan kerapu, dan sunu. Jenis ikan kerapu tikus mempunyai nilai ekonomi tinggi, sedangkan jenis non ikan yang bernilai ekonomi tinggi yang mereka ketahui adalah udang/lobster dan teripang. 230
Menurut informasi dari beberapa nelayan di Lappa perburuan biota-biota laut itu semakin gencar sekarang ini, sehingga populasi biotabiota tersebut semakin berkurang. Penurunan populasi ikan karang dalam berbagai jenis, sejak meningkatnya permintaan dan harga ikan-ikan hidup. Selain itu secara umum kemerosotan biota tersebut disebabkan oleh penggunaan bom oleh nelayan-nelayan yang tidak bertanggungjawab. PPI Lappa merupakan pusat pendaratan ikan yang cukup ramai dikunjungi nelayan dari berbagai daerah di Sulawesi Selatan, sehingga pengusaha-pengusahan di bidang perikanan cukup potensial di daerah Sinjai. Pada umumnya ponggaha darat pemilik perahu/kapal berdomisili di Lappa, walaupun kelompok nelayan yang dimilikinya beroperasi di berbagai perairan di dalam maupun di luar Kabupaten Sinjai. Adapun juragan atau pinggawa laut berasal dari berbagai wilayah di Pulau Sembilan, demikian juga sahi atau anak buah kapal (ABK) pada umumnya datang dari Flores, Alor banyak yang bekerja pada para ponggaha darat di Lappa. Menurut A.Alamsyah (45 tahun) pada umumnya anak-anak nelayan di Lappa tidak berminat lagi menjadi ABK mereka lebih memilih pergi merantau atau mencari usaha lain di luar bidang perikanan, sehingga para ponggaha mencari ABK atau sahi dari luar. (Wawancara, 17 Pebruari 2014) Selain nelayan Lappa yang menjual hasil tangkapannya di PPI Lappa, beberapa nelayan dari luar seperti nelayan Galesong Takalar, Bone dan nelayan-nelayan di Pulau Sembilan. Nelayan Galesong datang ke Sinjai ketika terjadi musim barat di wilayahnya, mereka melakukan penangkapan ikan ke berbagai pulau di sekitar Pulau Sembilan dan ke Pulau Kabaena di Sulawesi Tenggara, dan menjual hasil tangkapannya ke PPI Lappa. Menurut penuturan Dg. Raja (45 tahun) bahwa, masyarakat nelayan di Lappa sangat terbuka bagi para nelayan yang datang berlabuh di PPI Lappa. Padangan masyarakat Lappa bahwa laut adalah milik bersama bukan milik perorang atau golongan sehingga siapapun nelayan dapat memanfaatkan perairan di wilayah Sinjai, selama para pendatang tidak melakukan pengrusakan, melainkan menjaga dan melestarikan lingkungan laut (wawancara, 21 Pebruari 2014).
Respon Nelayan Tradisional ... Raodah
Respon Nelayan terhadap Masalah Perubahan Cuaca dan Musim Menggunakan Pengetahuan Lokal Masyarakat nelayan adalah kelompok masyarakat yang kehidupannya sangat tergantung pada sumber daya yang ada di dalam laut, karena hampir aktivitas kehidupan mereka berkaitan dan berhubungan dengan laut. Ciri khas kehidupan mereka adalah keras dan penuh resiko dalam mengarungi kehidupannya, yang senantiasa bertarung melawan badai, sengatan matahari, guyuran hujan dan dekapan angin malam yang dingin. Keadaan seperti ini lebih dirasakan oleh nelayan tradisional, dengan perahu sampannya berani mengarungi lautan luas, demi untuk menghidupi diri dan keluarganya. Untuk tetap dapat bertahan hidup pada masa-masa sulit seperti itu, telah melahirkan sistem pengetahuan dan teknologi yang mampu menaklukkan ganasnya laut dan musim yang tidak bersahabat. Masyarakat nelayan yang bermukim di Kelurahan Lappa, tentunya tidak bisa mengabaikan pengetahuan lokal yang berhubungan dengan lingkungan laut. Seperti pengetahuan tentang gejala alam (tentang musim, bulan, bintang, gugusan karang dan tanda-tanda lain akan terjadi, semuanya ini sangat membantu pekerjaan mereka dalam menangkap ikan dan biota laut lainnya. Semua tanda-tanda gejala alam tersebut dapat menjadi pedoman atau petunjuk bagi nelayan. Mereka belajar dari lingkungan laut, bahkan dapat dikatakan alam lingkungan laut itulah yang membentuk persepsi dan kearifan lokal mereka. Tanpa pengetahuan hal tersebut, niscaya akan sulit bagi nelayan Lappa untuk mendapatkan hasil yang maksimal dalam menangkap ikan dan biota laut lainnya. Bahkan mungkin saja akan menimbulkan kegagalan atau bencana bagi nelayan, seperti tidak membawa hasil, tenggelam di laut, tersesat, dibawa arus dan sebagainya. Kegiatan berlayar dan menangkap ikan selain berpedoman pada peredaran matahari dan bulan, juga berpedoman pada gugusan bintang. Menurut Hamid (1990:27) bahwa gugusan bintang yang dijadikan pedoman dalam kegiatan oleh masyarakat Bugis disebut “pananrang” (tanda-tanda). Masyarakat nelayan mengenal ompo lolo yaitu awal bulan menurut kalender
hijriah, saat itu ditandai dengan angin kencang, sehingga nelayan biasaya tidak melaut. Mereka juga mengenal bentuk bintang seperti tanrae, manue, walue, eppange, butte, lambarue, weromporonge, tellu-tellue, mangiwengnge. Gugusan bintang-bintang itu biasa dipedomani nelayan untuk mengetahui peredaran musim dan cuaca. Ada beberapa gugusan bintang apabila muncul pertanda musim barat akan datang seperti gugusan bintang tanrae, eppange, lambarue dan worongporonge. Misalnya apabila gugusan bintang tanrae, eppange, dan lambarue sudah tampak di ufuk barat, merupakan tanda musim angin barat akan tiba dengan anginnya yang kencang dan curah hujan yang lebat. Dalam keadaan demikian, para pelaut biasanya sudah berlabuh sampai musim barat berlalu. Namun nelayan di Kelurahan Lappa biasanya tetap mencari ikan pada musim barat, walaupun hanya di pesisir pantai. Bintang tanrae adalah gugusan bintang yang terdiri atas 3 buah bintang, yang posisinya membentuk segitia dan letaknya berpindah-pindah atau tidak tetap. Kata Tanrae berarti tanda-tanda, alamat atau pertanda. Apabila bintang itu muncul di ufuk timur, menandakan mulai musim timur yang diikuti angin bertiup dari timur. Sebaliknya apabila bintang itu muncul di ufuk barat menandakan mulai musim barat yang diikuti oleh angin yang bertiup dar arah barat. Pada saat itu pelaut dan nelayan seringkali mengalami hempasan gelombang air laut. Bila muncul bintang manue di ufuk timur menandakan akan tibanya musim timur di mana nelayan bersiap-siap untuk mengeksploitasi ikan sebanyak-banyaknya, karena pada musim ini aktivitas melaut tidak terkendala lagi oleh faktor cuaca. Bintang manue merupakan gugusan bintang yang terdiri dari enam bintang yang posisinya menyerupai ayam. Kata manue berarti ayam, jika bintang ini muncul pada bulan September menandakan akan terjadi angin kencang. Munculnya Bintang butte’e pertanda ikan terbang mulai bertelur, sehingga nelayang patorani akan melaut untuk mencari telur ikan terbang. Selain berpedoman pada peredaran matahari dan bulan, serta perbintangan kegiatan pelayaran dan penangkapan ikan juga berpedoman pada gejala-gejala alam lain berupa cuaca dan 231
WALASUJI Volume 6, No. 1, Juni 2015: 225—238 iklim. Tanda-tanda alam yang paling mudah di kenali oleh nelayan adalah apabila terdapat gumpulan awan yang menghitam di sebelah barat disertai dengan kilat, maka pertanda hujan dan angin kencang akan datang. Untuk mengenal posisi daratan dari perahu atau sebaliknya, biasanya perkiraan mereka jarang meleset dengan menggunakan tanda-tanda alam seperti melihat adanya awan keputih-putihan biasanya menandakan daratan sudah dekat. Selain tanda-tanda tersebut, nelayan juga menggunakan rumput laut sebagai tanda untuk mengetahui posisi daratan. Pada siang hari, mereka dapat mengetahui jenis-jenis awan yang secara tetap berada di sekitar gunung atau di atas daratan, pada jarak 30 mil dari pantai. Mereka dapat membedakan jenis awan yang dapat menurunkan hujan, atau awan yang hanya mendatangkan angin saja. Pada malam hari mereka menggunakan pengetahuan dan pengenalan terhadap kilat sebagai alat untuk mengetahui posisi daratan, di samping itu kilat dapat juga menjadi petunjuk tentang kemungkinan datangnya angin topan. Pengetahuan Lokal Nelayan dalam Menghadapi Cuaca Buruk Dalam menghadapi perubahan cuaca yang tiba-tiba memburuk, angin kencang disertai dengan hujan dan gelombang besar, maka respon nelayan ketika mereka ada di tengah laut adalah menghindar dari badai tersebut dengan mengarahkan kapal/perahunya dengan segera menuju ke pulau yang terdekat untuk berlabuh, atau mencari karang terdekat untuk membuang jangkar. Oleh karena itu ketika musim barat berlangsung, nelayan Lappa terkadang tidak melakukan penangkapan di peraian lepas, mereka memilih untuk menangkap ikan di sekitar Pulau Sembilan atau di pinggir pantai untuk mengantisipasi apabila terjadi badai. Untuk menghidari badai yang sewaktu-waktu akan berkecamuk, bagi nelayan yang sedang beroperasi, tinggal sementara waktu di pulau tersebut sampai cuaca membaik. Tapi apabila terjadi cuaca buruk di lokasi penangkapan ikan, maka jalan yang ditempuh adalah berdoa meminta perlindungan kepada Allah swt. dan segera mencari perlindungan ke pulau terdekat, 232
agar terhindar dari badai. Menurut Anas (45 tahun), ketika menghadapi arus yang sedang menderas dan bentuk-bentuk gelombang yang akan mengamuk, berdasarkan pengalaman dan naluri nelayan, maka cara yang dilakukan adalah mengulurkan sepotong kayu atau tangan ke dalam laut, untuk dapat mengetahui apabila akan terjadi badai, agar dapat berlindung di pulau terdekat atau membuang sauh/jangkarnya di karang yang terdekat dengan posisi di mana kita berada (wawancara, 19 Pebruari 2014). Demikian halnya respon keluarga nelayan ketika suami atau anak mereka ada di laut sedang mengahadapi badai angin kencang dan hujan lebat disertai gelombang yang tinggi, kemungkinan nyawa menjadi taruhannya, maka menurut Puang Lolo (47 tahun) maka selain berdoa yang dilakukan isteri nelayan memohon keselamatan kepada Allah swt., maka sesuai tradisi yang biasa dilakukan adalah mengikatkan kain sarung yang biasa dipakai suaminya ke tiang pusat rumah atau dalam bahasa lokal posi bola, dan meletakan peralatan makan suami mereka di depan posi bola lalu berdoa memohon keselamatan, agar suaminya terhindar dari ganasnya ombak di laut. Ikatan kain sarung tersebut tidak boleh dibuka sampai suami mereka pulang. Ada juga yang melakukan dengan menaruh boko-boko (alat tenun) dan sapu lidi di jendela rumah, yang dimaknai agar angin kencang segerah redah dan hujan segera berhenti. (wawancara, 15 Pebruari 2014). Selain respon yang disebutkan di atas, untuk menghidari berbagai hambatan dalam pelayaran dan penangkapan ikan yang disebabkan oleh kondisi alam, para pelaut melakukan berbagai cara. Antara lain dengan memberikan sesajen berupa telur ayam yang di larung di dasar laut, cara ini disebut mappinanrakka, suatu tanda penyerahan diri dan pemujaan kepada penguasa laut. Ada juga nelayan yang membaca manteramantera untuk mengusir hantu laut dan sejenisnya. Bila angin kencang datang yang disebut oleh masyarakat setempat laso angin (sejenis angin tornado), maka respon nelayan adalah menyuruh sahi atau ABK untuk berdiri di atas geladak dengan telanjang bulat dan mengacungkan keris ke atas, hal ini di lakukan agar angin itu beralih berhembus ke tempat lain.
Respon Nelayan Tradisional ... Raodah
Kepercayaan tentang hal yang gaib yang sering terjadi di lautan diyakini oleh seluruh nelayan di Kabupaten Sinjai termasuk nelayan yang berdomisili di Kelurahan Lappa. Sehubungan dengan hal tersebut maka respon nelayan adalah memasang ijuk pada tiang utama kapal yang dipercaya dapat menolak segala hal-hal gaib yang sering mereka alami di lautan. Demikian juga kepercayaan untuk tidak melakukan penangkapan di hari Jum’at, karena dipercaya dapat mendatangkan musibah, sehingga aktivitas nelayan pada hari tersebut digunakan untuk memperbaiki perahu atau peralatan tangkap yang rusak. Mencari dan Beralih Kegiatan Alternatif Produktif Lainnya. Masyarakat nelayan yang bergantung pada sumber daya alam sebagai matapencarian seringkali menanggulangi ketidakpastian SHQJKDVLODQGHQJDQGLYHUVL¿NDVLPDWDSHQFDULDQ hal ini bertujuan untuk memperkecil resiko dan kelemahan nelayan. Terhentinya kegiatan melaut dengan berbagai penyebab sebenarnya dapat diisi dengan berbagai kegiatan yang bermanfaat dan dapat memberikan penghasilan tambahan bagi nelayan. Masalah sosial pada masyarakat nelayan sebagai kondisi yang tidak diharapkan selalu mendorong adanya tindakan untuk melakukan perubahan dan perbaikan terhadap kondisi tersebut. Menurut Soetomo (2008:22) bahwa proses menuju kondisi yang lebih baik tersebut sering melibatkan berbagai pihak, menggunakan berbagai pendekatan dan strategi, serta memanfaatkan berbagai sumberdaya. Masyarakat nelayan di Kelurahan lappa mempunyai respon tersendiri terhadap tantangan alam sekitarnya, terutama tantangan musim yang kadang kala menghambat proses produksi penangkapan ikan. Penurunan curahan waktu kerja nelayan dalam kegiatan perikanan yang berdampak pada penurunan pendapatan rumahtangga dari kegiatan perikanan. Salah satu strategi yang dilakukan nelayan untuk mempertahankan kelangsungan hidup adalah PHODNXNDQGLYHUVL¿NDVLSHNHUMDDQ0HQXUXW6DWULD (2002:34) pengembangan strategi nafkah ganda ini bertujuan agar nelayan tidak bergantung pada
hasil penangkapan saja. Hal ini perlu dilakukan terutama pada nelayan lapisan bawah dimana keterbatasan sarana yang dimiliki menyebabkan nelayan tidak selalu dapat melaut sepanjang tahun. Diversifikasi merupakan perluasan alternatif pilihan matapencaharian yang dilakukan nelayan, baik dibidang perikanan maupun non perikanan (Haryono, 2005:2). Ragam peluang kerja yang bisa dimasuki oleh mereka sangat tergantung pada sumber-sumber daya yang tersedia di desa-desa nelayan tersebut. Setiap desa nelayan memiliki karakteristik lingkungan alam dan sosial ekonomi tersendiri, yang berbeda antara satu desa dengan desa yang lain. Wilayah pemukiman masyarakat nelayan di Kelurahan Lappa yang berada dalam kota Sinjai, tentunya memberi peluang untuk melakukan diversifikasi pekerjaan, terutama disektor perdagangan. Peluang kerja yang umum dilakukan masyarakat nelayan di Kelurahan Lappa di saat mereka tidak melaut adalah sebagai berikut: 1. Berjualan ikan di PPI. Pada musim barat di perairan Sinjai banyak nelayan-nelayan pendatang misalnya dari Kabupaten, Takalar, Bone, Bulukumba yang membongkar hasil tangkapannya di PPI Lappa, sehingga membuat peluang para paccata atau ponggaha untuk melakukan perdagangan ikan. Sedang bagi buruh nelayan atau sahi, melakukan pekerjaan mengangkut hasil tangkapan nelayan dari perahu ke PPI, atau menjadi buruh angkut pada paccata yang akan menjual ikannya ke pengecer. Pada malam hari di pelataran PPI Lappa istri-istri nelayan, banyak yang melakukan pekerjaan sebagai penjual ikan. Pekerjaan tersebut ada yang sudah menjadi pekerjaan tetap bagi sebagian istri-istri nelayan, tapi ada juga yang melakukan hanya ketika suami mereka tidak melaut. Menurut Kusnadi (2006:45), bahwa salah satu unsur potensi sosial untuk meningkatkan pendapatan masyarakat pesisir adalah kaum perempuan, khususnya istri nelayan. 2. Usaha warung makan. Peran ganda istri nelayan sangat membantu ekonomi keluarga ketika terjadi musim paceklik, sebagian istri nelayan berjualan makanan 233
WALASUJI Volume 6, No. 1, Juni 2015: 225—238 di PPI Lappa pada malam hari. Di sekitar PPI banyak terdapat warung makan yang menjual kue-kue dan minuman untuk memenuhi kebutuhan para pedagang ikan dan pengunjung di PPI. Warung makan yang paling ramai adalah warung makan yang menyediakan menu ikan bakar, di mana pengunjung membeli ikan sesuai selera di pelataran PPI kemudian membawa ke warung makan untuk diolah menjadi ikan bakar. Padatnya aktivitas di PPI pada malam hari memberi peluang masyarakat di sekitar PPI Lappa untuk membuka usaha warung makan, baik untuk pekerjaan sementara waktu maupun sebagai salah satu usaha sampingan. Selain membuka warung makan, ada juga beberapa istri nelayan bekerja pada usaha industri rumah tangga yang membuat kue kering yang di Sinjai di kenal dengan nama kue potopoto. Usaha ini sangat menyerap banyak tenaga kerja, karena merupakan kue khas dan menjadi ole-ole ketika kita berkunjung Kabupaten Sinjai. Sebagian istri-istri nelayan melakukan pekerjaan tersebut hanya bersifat sementara ketika suami mereka tidak melaut, untuk membantu ekonomi keluarga. Sedang ketika musim penangkapan ikan tiba mereka kembali membantu pekerjaan suami sebagai nelayan. 3. Membuat ikan asin. Untuk mengantisipasi kebutuhan lauk di musim paceklik para istri nelayan melakukan pengeringan ikan pada saat musim panen ikan, dan ketika musim barat tiba ikan asin tersebut di jual untuk membeli memenuhi kebutuhan sehari-hari dan selebihnya disisihkan untuk persediaan lauk di musim paceklik. Pada musim panen ikan, nelayan mengeksploitasi ikan secara besar-besaran, sebagian ikan hasil tangkapan mempunyai nilai jual rendah apabila dijual dalam keadaan segar misalnya ikan tembang dan ikan bete-bete, teri dan lain-lain. Untuk memiliki nilai jual dan dapat bertahan lama, maka jenis ikan tersebut diolah dan dijemur untuk dijadikan pakan ikan, dan dijual pada masyarakat yang melakukan pembudidayaan ikan 234
tambak. 4. Menjadi buruh tambak. Sebagian masyarakat nelayan di Lappa ketika terjadi musim paceklik, mereka melakukan pembudidayaan ikan di tepi sungai Tangka, hal ini merupakan pekerjaan sampingan penduduk, di samping berprofesi sebagai nelayan. Bagi sebagian nelayan peluang untuk menjadi buruh tambak pada orangorang yang memiliki lahan tambak di musim paceklik merupakan pekerjaan yang dapat dilakukan untuk memenuhi kebutuhan hidup ketika mereka tidak melaut. Pada musim barat masyarakat di Kabupaten Sinjai lebih memilih mengkonsumsi ikan tambak dari pada ikan laut, karena harganya yang mahal. Masyarakat nelayan seperti ponggaha yang memiliki lahan pembudidayaan ikan tambak akan memperoleh penghasilan dari tambak-tambak mereka, untuk kebutuhan hidup sehari-hari dan untuk keperluan biaya operasional penangkapan ketika musim timur. Strategi Adaptif Nelayan dalam Mengatasi Ekonomi Perikanan Masalah sosial pada masyarakat nelayan sebagai kondisi yang tidak diharapkan selalu mendorong adanya tindakan untuk melakukan perubahan dan perbaikan terhadap kondisi tersebut. Menurut Soetomo (2008:22) bahwa proses menuju kondisi yang lebih baik tersebut sering melibatkan berbagai pihak, menggunakan berbagai pendekatan dan strategi, serta memanfaatkan berbagai sumberdaya. Nelayan di Kelurahan Lappa memiliki strategi adaptasi terhadap perubahan musim, walaupun tidak jarang juga ditemui nelayan yang tidak melakukan kegiatan apa-apa ketika hasil tangkapan menurun, ataupun ketika tidak dapat melaut. Bagi masyarakat nelayan tradisional, seringkali hidup memang tidak terlalu menawarkan banyak pilihan. Sekali pun disadari bahwa dalam kehidupan sehari-hari hasil dari melaut acapkali tidak bisa diandalkan untuk memenuhi kebutuhan keluarga, tetapi karena pekerjaan itu sudah mereka tekuni bertahun-
Respon Nelayan Tradisional ... Raodah
tahun, bahkan merupakan usaha warisan secara turun-temurun, maka tidak lain, yang bisa dilakukan adalah menjalani dan menerimanya sebagai takdir. Alasan utama menekuni pekerjaan sebagai nelayan tradisional adalah karena tidak ada alternatif pekerjaan lain yang dapat mereka akses, meskipun lingkungan kota besar yang dalam banyak hal lebih menawarkan kemudahan dan memiliki kemampuan involutif yang luar biasa untuk menyerap setiap penambahan migran dan tenaga kerja baru. Namun untuk daerah pantai, kesempatan bagi warga untuk mencari pekerjaan alternatif acapkali seperti menemui jalan buntu. Masyarakat nelayan memiliki karakteristik yang berbeda dengan petani pada umumnya, di mana pendapatan nelayan adalah bersifat harian (dayli incretments) dan jumlahnya sulit ditentukan (Haryono, 2005:6). Selain itu pendapatannya sangat tergantung pada musim dan status nelayan itu sendiri, dalam arti apakah ia sebagai juragan/nakhoda atau sahi. Dari Pendapatan nelayan dapat dikatakan sangat rendah, dari pendapatan perbulan dan ditambah dengan pendapatan sampingan tidak mencukupi dibanding pengeluaran perbulan untuk kebutuhan pokok dan pengeluaran lainnya. Dari hasil penelitian di lapangan, maka dapat diketahui bahwa berdasarkan pendapatan nelayan di Kelurahan Lappa pada umumnya sebagian besar penghasilannya bersumber dari kegiatan melaut, penghasilan tersebut menurut mereka tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Bagi nakhoda/sahi yang bekerja pada ponggaha atau paccata, di mana penghasilan nelayan dipengaruhi oleh sistem bagi hasil. Demikian pula pendapatan yang diperoleh pada musim penangkapan ikan habis digunakan untuk menutupi kebutuhan keluarga sehari-hari, bahkan sebagian besar nelayan seringkali tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Implikasinya nelayan sulit untuk mengakumulasikan modal atau menabung. Terlepas dari hal tersebut ada beberapa nelayan, baik yang mandiri maupun yang tergabung dalam kelompok nelayan telah melakukan berbagai strategi untuk mengantisipasi pengaruh musim. Adaptasi merupakan salah satu bagian dari
proses evolusi kebudayaan, yakni proses yang mencakup rangkaian usaha-usaha manusia untuk menyesuaikan diri atau memberi respon terhadap SHUXEDKDQOLQJNXQJDQ¿VLNPDXSXQVRVLDO\DQJ terjadi secara temporal (Mulyadi, dalam Helmi dan Satria 2012:20). Berdasarkan kenyataan tersebut masyarakat nelayan di Kelurahan Lappa dalam mengantisipasi kebutuhan ekonomi nelayan ketika musim paceklik, mereka telah melakukan berbagai strategi untuk mempertahankan kelangsungan hidup, di antaranya: 1. M e n a b u n g / I n v e s t a s i . S e b a g i a n masyarakat nelayan di Kelurahan Lappa sudah mempunyai simpanan, ada berupa uang yang disimpan di bank dan ada yang menyimpan dalam bentuk emas. Hal ini menunjukkan bahwa kesadaran masyarakat akan pentingnya menabung menunjukkan tingkat kesejahteraan nelayan, sebagai contoh nelayan yang berprofesi sebagai paccata atau ponggaha adalah pemilik modal perahu/kapal dan peralatan tangkap yang mempekerjakan juragan dan sahi dalam kelompok kerja nelayan. Pada musim barat di mana anak buahnya tidak dapat melaut selama berhari-hari atau berbulanbulan, karena faktor cuaca. Maka strategi dilakukan untuk mengatasi persoalan biasanya pada musim produksi ikan, di mana penghasilan yang diperoleh disisihkan sebagian untuk ditabung atau dibelikan emas. Ketika terjadi perubahan musim, tidak pemasukan dari hasil penangkapan, maka uang tabungan atau emas tersebut dijual dan uangnya digunakan untuk biaya operasional penangkapan ketika cuaca sudah membaik, dan untuk membiayai kebutuhan hidup juragan dan sahinya selama musim paceklik. Menurut H Mustari (60 tahun). Pada musim barat kelompok nelayan saya tetap melaut, agar nakhoda dan awak perahu tidak menganggur, walaupun hasil yang diperoleh sangat sedikit, tidak dapat menutupi biaya operasional. Hasilnya hanya sekedar cukup untuk makan para awak kapal, sehingga biaya produksi seperti solar dan kebutuhan logistik tidak dapat
235
WALASUJI Volume 6, No. 1, Juni 2015: 225—238 tertutupi. Kerugian ini tentunya menjadi tanggungan saya, apa boleh buat hal tersebut dilakukan untuk mempertahankan anggota nelayan yang dipekerjakan, agar tidak pindah bekerja ke tempat lain. Untuk membiayai kebutuhan operasional nelayan, biasanya saya mengambil uang tabungan atau menjual perhiasan emas istri saya (wawancara, 7 Pebruari 2014). 2. Berutang. Bagi ABK/Sahi dan nakhoda/ juragang untuk mempertahankan kelangsungan hidup di musim barat, maka strategi yang digunakan dalam menghadapi masalah keuangan adalah dengan cara meminjam atau berutang pada ponggaha atau paccata, tempatnya bekerja. Pembayaran atau pengembaliannya dilakukan ketika musim penangkapan ikan dengan cara uang penjualan ikan yang dibagikan ke nakhoda atau sahi dipotong oleh ponggaha atau paccata untuk menutupi hutangnya, tanpa bunga. Namun apabila penghasilan awak kapal/perahu tersebut hanya cukup untuk membayar utangnya, maka ponggaha akan memberi pinjaman lagi untuk kebutuhan hidupnya, sehingga cara ini dikenal dengan tutup lobang gali tutup lobang. Ketergantungan buruh nelayan/sahi dan nakhoda kepada ponggaha sudah berlangsung sejak lama, sehingga merupakan hutang permanen yang terus melilit buruh nelayan. 3. Berhemat. Salah satu karakteristik masyarakat nelayan adalah memiliki kebiasaan boros, dan sulit menabung, mereka membelanjakan uang yang diperolehnya tanpa perhitungan pada musim penangkapan ikan, sehingga ketika musim paceklik mereka tidak memiliki uang dan simpanan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Untuk menghilangkan kebiasaan boros tersebut, maka strategi yang dilakukan nelayan adalah berhemat, dalam artian bahwa mereka hanya membelanjakan penghasilannya untuk memenuhi kebutuhan yang primer saja, kalaupun kebutuhan skunder dipenuhi maka kebutuhan tersebut memang sangat diperlukan. 236
4. Arisan. Strategi yang banyak dilakukan ibu-ibu nelayan untuk mengantisipasi perubahan musim adalah membentuk kelompok arisan, uang dari hasil perolehan suami mereka sebagian dibayarkan arisan, untuk memenuhi kebutuhan apabila musim paceklik tiba. Kegiatan ini banyak dilakukan oleh nelayan di Kelurahan Lappa untuk menyisihkan sebagian penghasilannya untuk ikut arisan, anggota kelompok arisan ini biasanya antar tetangga atau kerabat terdekat. Uang hasil arisan untuk sebagian nelayan biasanya digunakan untuk membeli kebutuhan rumahtangga dan peralatan penangkapan atau dapat dijadikan sebagai modal usaha. Pembentukan kelompok arisan pada masyarakat nelayan merupakan salah satu strategi menyisipkan uang penghasilan dari melaut, walaupun kemampuan nelayan untuk menyisihkan pendapatannya terbatas namun kegiatan tersebut cukup membantu masyarakat nelayan dalam mengatasi kebutuhan hidup. 5. Bermigrasi, strategi yang juga banyak dilakukan nelayan Lappa adalah bermigrasi ke perairan di sekitar Kalimatan untuk menetap sementara waktu, mereka berproduksi di sana selama kurang lebih lima bulan dan kembali pada waktu musim penangkapan di daerah asal. Kegiatan alternatif itu sudah berlangsung lama sesuai dengan tradisi turun menurun masyarakat nelayan untuk mempertahankan kelangsungan hidup. Migrasi musiman ini sudah sering dilakukan oleh nelayan Bugis Makassar mengingat jiwa para nelayan tersebut sebagai jiwa pelaut ulung yang tangguh sejak dari nenek moyang dulu, selain itu faktor kelimpahan ikan yang sangat banyak di daerah tujuan juga merupakan alasan migrasi (Sutinah, 2012:3). PENUTUP Masyarakat nelayan di Kelurahan Lappa dapat merespon berbagai masalah yang terjadi dilaut ketika terjadi cuaca buruk dengan
Respon Nelayan Tradisional ... Raodah
menerapkan berbagai pengetahuan lokal yang dimiliki. Sistem pengetahuan lokal nelayan sarat dengan pola-pola yang mempraktekkan sistem pengetahuan tradisional berkaitan dengan lingkungan laut dan gejala alam yang bersumber dari pengalaman yang diturunkan dari generasi ke generasi, dan menjadi pedoman bagi nelayan untuk mengatasi kemungkinan buruk yang akan terjadi ketika melaut. Perubahan cuaca dan musim berpengaruh pula terhadap kondisi ekonomi masyarakat nelayan di Kelurahan Lappa. Untuk bertahan hidup masyarakat nelayan melakukan berbagai kegiatan alternatif produktif agar dapat membiayai kebutuhan hidup selama tidak melaut. Kegiatan alternatif produktif yang dilakukan masyarakat nelayan dengan melihat berbagai peluang yang ada meliputi: berjualan ikan di PPI, usaha warung makan, membuat ikan asin dan menjadi buruh tambak pada pemilik tambak yang ada di Kelurahan Lappa. Kegiatan alternatif produktif pada umumnya dilakukan oleh istri dan anak-anak nelayan untuk membantu membiayai kebutuhan rumahtangga sampai tiba musim penangkapan dan suami mereka dapat beraktivitas kembali. Selain kegiatan alternatif produktif masyarakat nelayan di Kelurahan Lappa telah melakukan berbagai strategi adaptif untuk mengantisipasi kebutuhan ekonominya, selama musim pacelik, yaitu dengan menabung/ investasi, berutang, berhemat, melakukan arisan dan melakukan migrasi keluar daerah sebagai salah satu cara untuk memperoleh hasil tangkapan yang lebih baik untuk menambah pemasukan ekonomi keluarga. Bagi nelayan ponggaha untuk mengatasi masalah ekonomi di musim paceklik, biasanya mengambil uang tabungan atau menjual perhiasan emas yang dimiliki untuk membiayai kebutuhan hidup, keperluan operasional dan biaya logistik pada kelompok nelayan yang dipimpinnya. Sedang para sahi yang tidak memiliki tabungan dan emas yang bisa dijual mereka hanya dapat berhutang kepada ponggaha atau paccata untuk membiayai kebutuhan hidupnya selama musim paceklik. Berhemat untuk dapat mencukupi kebutuhan hidup di musim paceklik dilakukan pula
sebagian nelayan, dengan cara menghentikan kebiasaan boros pada saat musim penangkapan ikan. Kebiasaan menabung di masyarakat nelayan masih sulit dilakukan, sehingga untuk mengatasi kesulitan ekonomi mereka masuk dalam kelompok arisan, agar dapat menyisihkan sebagian pendapatannya. DAFTAR PUSTAKA Asih, Dewi Nur. 2008. “Analisis Kebijakan Kredit Terhadap Pengembangan Usaha Perikanan Nelayan Tradisional di Kabupaten Tojo Una-Una”, dalam Jurnal Agroland 15 (1). Edisi Maret. Bungin Burhan. 2012. Analisis Data Penelitian Kualitatif: Pemahaman Filosofi dan Metodologis ke Arah PenguasaanModelaplikasi. Jakarta: PT 5DMD*UD¿QGR3HUVDGD Hamid, Pananrangi, dkk.1990. Astronomi dan Meteorologi Tradisional di Daerah Provinsi Sulawesi Selatan. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Haryono, Tri Joko Sri. 2005. “Strategi Kelangsungan Hidup Nelayan: Studi WHQWDQJ GLYHUVL¿NDVL SHNHUMDDQ NHOXDUJD nelayan sebagai salah satu strategi dalam mempertahankan kelangsungan hidup”, dalam Jurnal Berkala Ilmiah Kependudukan. Volume 7, No.2. JuliDesember. +HOPL$O¿DQ GDQ 6DWULD$ULI ³6WUDWHJL Adaptasi Nelayan Terhadap Perubahan Ekologis”, dalam Jurnal Makara Sosial Humaniora Volume 16 Nomor 1 Edisi Juli. Imron, Ali. 2012. “Strategi dan Usaha Peningkatan Kesejahteraan Hidup Nelayan Tanggulsari Mangunharjo Tugu Semarang dalam Menghadapi Perubahan Iklim”, dalam Jurnal Riptek. Volume 6 Nomor 1. Kusnadi. 2006. Perempuan Pesisir. Yogyakarta: LKIS. ------------.1997. Koperasi Keluarga: Pilihan Kontektual Bagi Masyarakat Nelayan Jember. Pusat Studi Komunitas Pantai Universitas Jember. Maleong, Lexy. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Rosda Karya. 237
WALASUJI Volume 6, No. 1, Juni 2015: 225—238 Mubyarto. 1981. Suatu Penciptaan Lapangan Kerja dan Peningkatan Pendapatan di Daerah Miskin Pedesaan. Suatu Strategi Bagi Pembangunan Pedesaan. Agro Ekonomi No. 9 Perhepi. Satria, Arif. 2002. Pengantar Sosiologi Masyarakat Pesisir. Jakarta: Cidesindo. Sutinah,Made. 2012. “Kajian Sosial Ekonomi Nelayan Migrasi Musiman di Provinsi Sulawesi Selatan”. (makalah).Makassar: UNHAS. Soetomo. 2008. Masalah Sosial dan Upaya Pemecahannya. Yogyakarta: Penerbit Pustaka Pelajar. Syandri, Hafrijal. 2014. Nelayan Cerdas, Nelayan Mandiri. Artikel perikanan. Padang: Universitas Bung Hatta.
238
Wawo, Andi Basru. 2000. “Suatu Tinjauan Tentang Aktivitas Nelayan Tradisional di Daerah Pesisir Pantai Kabupaten Buton Sulawesi Tenggara”. Laporan Penelitian. Lembaga Penelitian Universitas Terbuka. DAFTAR INFORMAN 1. Muh. Anas, 45 tahun, Nelayan Mandiri, Alamat La rea-rea. 2. Daeng Raja, 50 tahun, Juragan, Alamat Galesong Kab.Takalar 3. H. Mustari, 60 tahun, Ponggaha/paccata, Alamat Kelurahan Lappa 4. Andi Alamsyah, 45 tahun, Staf Kantor Kelurahan Lappa, Alamat Kelurahan Lappa 5. H. Basri Puang Lolo, 47 Tahun, Budayawan, Alamat Kota Sinjai.