Resistensi Pribumi dalam Novel Cantik Itu Luka Karya Eka Kurniawan (Studi Postkolonial)
Andri Anda Saputra Jurusan Sastra Indonesia FIB Universitas Andalas
ABSTRAK Republik Indonesia diakui oleh masyarakat internasional pada tahun 1949 setelah memproklamirkan kemerdekaan pada tahun 1945. Kemerdekaan tersebut diraih setelah perjuangan panjang untuk terlepas dari penjajahan yang berlangsung kurang lebih selama 3,5 abad. Setelah menyatakan kemerdekaan, sebagian masyarakat menyadari bahwa kemerdekaan tersebut lebih bersifat geografis dan politis. Masih ditemukan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara beberapa hal berupa efek negatif yang berhubungan dengan kolonialisme. Melalui kesadaran tersebut sebagian masyarakat pun mulai menyuarakan perasaan-perasaanya, salah satunya melalui karya sastra. Karya sastra yang bersifat sebagai rekaman sekaligus ungkapan secara sadar maupun tidak sadar dari hal-hal demikian. Masyarakat Indonesia pasca-kolonial tergambar dalam novel Cantik Itu Luka karya Eka Kurniawan. Melelui hubungan antara tokoh, alur, dan latar dalam cerita ditemukan situasi dan kondisi masyarakat Indonesia ketika dijajah dan setelah dijajah. Masyarakat yang terkena efek negatif penjajahan mencoba melawan dengan berbagai cara. Melalui kerangka kerja teori postkolonial diteliti efek-efek negatif penjajahan dan bentuk perlawanan tokoh-tokoh yang digambarkan dalam cerita
Kata kunci: kolonial, pasca-kolonial, postcolonial, resistensi, Cantik Itu Luka.
1. Pendahuluan Penjajahan Belanda atas Indonesia yang tercatat selama kurang lebih 350 tahun telah diproklamirkan berakhir pada tanggal 17 Agustus 1945. Praktek kolonialisme di Indonesia pun sudah berlalu secara berangsur-angsur semenjak itu. Yang tertinggal saat ini adalah tatanan hidup nenek-moyang yang mengalami pergeseran di sana-sini sebagai akibat dari keterjajahan yang panjang. Gagasan-gagasan kolonialis tidak sepenuhnya hilang. Pemahaman-pemahaman kolonialis yang menekankan oposisi biner antara penjajah-terjajah, kulit putih-kulit gelap, pribumi dan non-pribumi, serta negara maju-negara berkembang terus menghidupi alam pikir
manusia Indonesia hingga saat ini sebagai tanda bahwa praktek kolonialisme tetap berjejak hingga bagian-bagian terpenting dari bangsa bekas jajahan. Setiap praktek kolonisasi terjadi dengan membawa kepentingan ideologis dan politis. Pemaksaan ideologis demi mempermudah kepentingan politis untuk menguasai suatu wilayah dan masyarakat yang ada didalamnya. Pihak koloni pada akhirnya juga melakukan resistensi terhadap nilai-nilai yang dibawa kolonialis, meski tak jarang pula nilai-nilai tersebut bebas masuk dan diterima dalam kehidupan masyarakatnya (Faruk, 2007). Apa yang ingin disangkal pada studi postkolonial adalah kebenaran kolonialis yang terlanjur ditanamkan pada wilayah-wilayah bekas jajahan. Cermin penilaian dari cara pandang kolonialis dapat dengan mudah dilihat dari beragam karya seni yang dihasilkan pada masa kolonialisme dan menunjuk langsung pada negeri-negeri koloni yang antara lain digambarkan sebagai barbar, eksotik, liar, dan penuh nafsu. Latar belakang sejarah kolonial bangsa Indonesia tak luput menjadi dasar penciptaan karya sastra. Salah satu yang cukup unik adalah novel Cantik Itu Luka (CIL) yang ditulis oleh Eka Kurniawan. Secara garis besar CIL memakai tiga latar penting dalam sejarah Indonesia, yaitu masa akhir penjajahan Belanda atau sebelum Jepang masuk, masa penjajahn Jepang, dan masa awal kemerdekaan Republik Indonesia. Ketiga latar tersebut pada perjalanan cerita memungkinkan munculnya tokoh-tokoh dengan tipikal karakter yang mewakili konflik masyarakat Indonesia dari berbagai kalangan dalam merespon pergolakan zaman tempatnya hidup. Dari sisi kepengarangan, Eka Kurniawan sesungguhnya cukup berjarak dari kehidupan kolonial Indonesia. Eka Kurniawan lahir pada tahun 1975, menamatkan studi di jurusan Filsafat UGM pada tahun 1999, dan menerbitkan Cantik Itu Luka pada tahun 2002. Jadi, penulis dan penulisan Cantik Itu Luka tidak berhubungan secara langsung dengan zaman kolonial. Hal ini jauh berbeda dengan kandidat peraih Nobel satu-satunya dari Indonesia, yaitu Pramoedya Ananta Toer (1925-2003). Pramoedya sangat produktif menulis novel-novel berlatarkan sejarah Indonesia sekaligus pernah merasakan kehidupan zaman kolonial sehingga ia memang bersinggungan langsung dengan beberapa peristiwa yang ditulisnya. Latar belakang pengarang sebagai individu masyarakat jajahan berdampingan dengan model karya yang dilahirkannya, merupakan elemen penting dari sudut pandang penelitian poskolonial dalam dunia sastra. Dalam hal ini, pengarang dan karyanya dapat dibicarakan
sebagai perwakilan dari suara-suara masyarakat bekas koloni. Kandungan yang terdapat dalam novel Cantik Itu Luka dapat memiliki nilai penting dalam melihat perkembangan masyarakat Indonesia pasca-kolonial.
2. Landasan Teori Melihat latar belakang masyarakat Indonesia yang pernah mengalami penjajahan fisik begitu lama dan disandingkan dengan kondisi masyarakat dalam novel Cantik Itu Luka, maka penelitian ini akan mempergunakan pandangan teori postkolonial. Menurut Faruk (2007: 16) teori pasca-kolonial adalah seperangkat pernyataan mengenai kondisi dan kecenderungan masyarakat yang terjajah dan pernah terjajah. Bill Ashcroft dkk. (2003: 1-2) membedakan model penelitian postkolonial atas empat ciri. Pertama, model nasional atau regional, berbagai gambaran yang berbeda mengenai kebudayaan nasional dan regional. Kedua, model berbasis ras yang memodifikasi ciri-ciri tertentu yang sama-sama terdapat pada berbagai kebudayaan nasional, seperti warisan rasial yang terdapat dalam karya sastra diaspora Afrika. Ketiga, model perbandingan. Model ini berusaha menjelaskan ciri-ciri linguistik, historis, dan kebudayaan tertentu yang melintasi dua kesusastraan poskolonial atau lebih dengan cara memperbandingkan beragam kompleksitas yang ada. Keempat, model perbandingan yang lebih luas. Model ini menonjolkan hal-hal semacam hibriditas dan sinkretisitas sebagai elemen pembentuk utama keseluruhan kesusatraan poskolonial. Keempat ciri yang ditawarkan tersebut akan menjadi pintu masuk untuk membaca kondisi setelah masa kolonial, namun dengan beberapa penyesuaian terhadap kondisi di Indonesia sendiri. Sudut pandang penelitian ini diarahkan pada situasi dan kondisi yang berlangsung pada masyarakat terjajah atau yang penah dijajah. Situasi dan kondisi tersebut dibagi oleh Faruk (ibid) menjadi beberapa bagian, yaitu a. Masyarakat terjajah adalah masyarakat yang hidup dalam sebuah wilayah geografis yang diduduki, dikuasai, diatur, dikontrol, dan dikendalikan oleh masyarakat lain yang berasal dari wilayah geografis atau ruang yang lain, terutama masyarakat Eropa. b. Masyarakat terjajah adalah masyarakat yang pikiran, perasaan, sikap, perilaku, dan bahkan tubuhnya diduduki, dikuasai, diatur, dikontrol, dan dikendalikan oleh
masyarakat penjajah melalui praktik, teori, dan sikap yang ditanamkan padanya oleh masyarakat penjajah itu. c. Kekuasaan penjajah atas pikiran, perasaan, sikap, dan perilaku masyarakat terjajah itu dapat lebih kuat dan berlangsung lebih lama daripada kekuasaannya atas wilayah geografis masyarakat terjajah, dapat terus berlangsung bahkan sesudah si penjajah melepaskan kekuasaannya atas wilayah geografis tersebut. d. Kekuasaan penjajah atas pikiran, perasaan, sikap, dan perilaku masyarakat terjajah itu dapat tertanam sangat dalam sehingga tetap mempertahankan pengaruhnya bahkan ketika masyarakat terjajah justru berusaha membebaskan diri darinya. e. Kekuatan dan kedalaman pengaruh kekuasaan penjajah atas pikiran, perasaan, sikap, dan perilaku terjajah itu disebabkan oleh strategi penanaman kekuasaan yang kamuflatif dan manipulatif yang digunakannya, yang antara lain dapat mengubah kekuasaan menjadi seakan-akan kebaikan, dan strategi penanaman kekuasaan yang membentuk suatu konfigurasi praktik, teori, dan sikap, serta strategi transformatif dalam pengertian dapat berubah bentuk menjadi sesuatu yang lain. f. Kondisi dan kecenderungan di atas terutama menampakkan diri secara historis dalam kasus masyarakat terjajah atau yang pernah terjajah oleh masyarakat Eropa ( karena masyarakat Eropa itulah yang berhasil mengembangkan teknologi dan strategi kekuasaan yang sangat efektif, khususnya sejak abad XIX. g. Namun, seberapa kuatnya pun pengaruh kekuasaan penjajah di atas, ruant pikiran, perasaan, sikap, dan perilaku masyarakat terjajah tidak pernah sepenuhnya dimengerti dan dengan demikian dikuasai oleh penjajah. Kenyataan demikian, membuat selalu pula terbuka peluang bagi si terjajah untuk memainkan kekuasaan penjajah dengan cara-cara yang tidak terduga dan terpahami atau bahkan seringkali mengejutkan penjajah itu sendiri (cf. Moore-Gilbert, 1997). 3. Pembahasan
3.1 Uraian Melalui cara pandang teori Postkolonial, penulis meneliti bentuk-bentuk perlawanan masyarakat Indonesia yang tergambar dalam novel CIL. Bentuk-bentuk perlawanan tersebut
direpresentasikan oleh tokoh-tokoh peranakan campuran dan tokoh-tokoh pribumi. Tokoh-tokoh tersebut diposisikan sebagai korban yang mendapat efek kerugian dari penjajahan. Praktek kolonisasi meninggalkan 2 tipe masyarakat di negeri bekas jajahan. Pertama adalah masyarakat Indo-Belanda yang mencoba berbaur dengan masyarakat pribumi asli. Kedua adalah pribumi itu sendiri. Pribumi-pribumi ini hidup dengan kebingungan atas bercampurnya nilai-nilai tradisi dengan modernitas yang ditinggalkan penjajahnya dahulu. Tokoh berdarah campuran yang lazimnya disebut Indo merupakan sosok manusia baru di tengah-tengah masyarakat Indonesia pasca-kolonialisme. Ada keragu-raguan dari masyarakat lokal dalam memandang kehadiran mereka. Pada diri mereka terjadi sebuah konstruksi identitas yang menyebabkan semacam dilema terkait keberadaannya di tengah-tengah masyarakat pribumi. Ada dualisme yang terkandung di dalam diri mereka. Di satu sisi, kondisi fisik dan kelebihan-kelebihan warisan dari salah satu orang tuanya yang merupakan penjajah menciptakan cara pandang bahwa mereka berbeda. Perbedaan mereka dengan masyarakat lain itu pun mereka pahami sebagai suatu kelebihan. Mereka hidup dengan terus mempertahankan kelebihannya tersebut. Hal ini sejalan dengan misi penjajah yang selalu berusaha menempatkan harga dirinya di atas harga diri pribumi selama masa penjajahan berlangsung. Selain penggambaran tentang usaha perlawanan, tokoh-tokoh itu juga tampak mewarisi nilai-nilai kolonial tersebut. Di sisi lain, warisan nilai-nilai dari orang tuanya yang satu lagi merupakan pribumi membuat mereka ikut merasakan sedikit persoalan pribumi. Hal ini membuat mereka memandang rendah pada masyarakat pribumi sekaligus ingin bergabung di dalamnya. Kondisi semacam ini tidak jauh berbeda dengan bentuk-bentuk penerimaan masyarakat pribumi terhadap diri mereka. Tokoh-tokoh pribumi digambarkan melakukan 5 bentuk perlawanan. Pertama, menolak kodisi terjajah dengan cara mempergunakan kepercayaan turun temurun yang disebut tahyul. Hal ini berkaitan dengan pola pikir masyarakat pribumi yang hidup berlandaskan tradisi. Hal ini ditampilkan melalui penokohan Ma Gedik. Kedua, memilih bebas dari penindasan dengan melawan samapai titik darah penghabisan. Hal ini dicerminkan pada karakter tokoh Ma Iyang. Ketiga, mengembalikan semangat perjuangan dengan mengingat kejayaaan masa lalu. Tokohtokoh pendekar, seperti yang digambarkan melalui Maman Gendeng, adalah salah satu kekayaan bangsa Indonesia sejak dahulu. Hal ini berkaitan dengan kekayaan spiritual yang dimiliki
bangsa-bangsa Timur. Sangat berlawanan antara spiritualisme Timur dengan materialisme Barat. Keempat, menyiasati kemampuan yang diajarkan oleh pihak kolonialis. Kondisi semacam ini disampaikan melalui tokoh Shodancho. Kelima, menerima dan mempraktekkan ilmu pengetahuan yang didapatkan dari pihak kolonialis untuk kepentingan bangsa. Hal ini dicerminkan melalui tokoh Kamerad Kliwon. Pada diri masing-masing tokoh tersebut juga diperlihatkan bagaimana efek dari tingkahlaku warisan penjajah. Setiap tokoh mempunyai kecenderungan untuk menguasai pihak lain. Mereka memanfaatkan kelebihannya masing-masing dan terus saling bertikai di sepanjang laju cerita.
3.2
Tokoh Berdarah Campuran Masa penjajahan Belanda dengan masa kemerdekaan Indonesia ditengahi oleh masa
pendudukan Jepang. Jepang menduduki Indonesia selama kurang-lebih 3,5 tahun, namun kekejamannya disebut-sebut melebihi Belanda. Jepang pada perang dunia kedua dikenal luas sebagai negara yang cukup banyak melakukan pelanggaran perang. Perempuan bisa dikatakan adalah korban paling menderita saat itu. Banyak perempuan Indonesia yang menjadi korban kekerasan seksual penjajahan Jepang saat itu. Orang-orang Jepang dengan kejam menuduh mereka sebagai wanita penghibur dan mengistilahkan mereka sebagai Jugun Ianfu. Salah satu perempuan dari masa pendudukan Jepang tersebut direpresentasikan melalui tokoh Dewi Ayu. Namun yang menjadi tanda tanya adalah fakta bahwa Dewi Ayu, meski memiliki nama Indonesia, sesungguhnya merupakan keturunan Belanda. Ia menjadi perempuan Indo yang mengalami nasib tidak jauh berbeda dengan perempuan-perempuan pribumi. Perempuan-perempuan Indo yang tergambar dalam novel adalah orang-orang yang bertahan sendiri di tengah keterasingannya dalam masyarakat. Banyak hal-hal membingungkan yang dilihat masyarakat pada diri mereka. Di tengah keasingannya, mereka mencoba menampilkan hal-hal baru yang mengejutkan dalam interaksi sosialnya. Mereka tidak sepenuhnya diakui asing, namun juga tidak diterima secara umum.
3.2.1
Dewi Ayu
Dewi Ayu lahir dari orangtua yang merupakan pasang inses. Ayahnya Belanda tulen sedangkan ibunya Indo-Belanda. Ia pun mewarisi setengah darah pribumi dari ibunya tersebut dan berkarakter Indo-Belanda. Ada sikap mendua yang ditampakkan Dewi Ayu. Ia mengakui dua sisi identitasnya yang saling berseberangan tersebut. “setelah Prancis, kini Jerman mendudukinya, kata Dewi Ayu. “Benar-benar negeri yang malang.” “Dewi Ayu, apa maksudmu? tanya suster Maria. “Maksudku, kita punya terlalu banyak pedagang daripada tentara (hal. 41).” “Oma, namaku Dewi Ayu dan semua orang tahu itu nama pribumi (hal. 51).” “Aku hanya mengenang kedua nenekku,” katanya (hal. 52). Ia lebih cocok dipandang sebagai representasi dari masyarakat tertindas, khususnya perempuan, terkait dalam usaha bertahan hidup. Ia memanfaatkan segala daya yang dimilikinya dengan cara apa pun. Cara-cara yang dipakainya bisa dikategorikan sebagai cara yang kelewatan jika dilihat dari sudut pandang Barat. Sudut pandang tersebut yaitu kesan-kesan yang menampakkan keliaran daerah Timur yang hendak mereka kolonisasikan. Tidak dipungkiri kalau Dewi Ayu memperlihatkan kecintaan pada Indonesia. Tetapi jika dilihat lebih seksama, karakternya lebih cenderung menampakkan nilai-nilai Barat. Hal ini bisa dilihat dari kemampuannya mengusai beberapa tokoh pribumi, perlawanannya terhadap nilainilai lokal, serta bagaimana ia digambarkan sebagai sosok yang dipuja oleh masyarakat pribumi Halimunda. Ia dipuja karena kondisi fisik yang lebih didominasi ciri fisik orang Belanda. Sebagai perempuan, ia ditindas oleh laki-laki. Sebagai perempuan yang memiliki ciri fisik penjajah, ia dipuja banyak masyarakat pribumi. Ia menjadi legenda karena seluruh masyarakat Halimunda mengakuinya. Dari banyak peristiwa yang menampakkan hubungan pribadinya dengan masyarakat, ia lebih terlihat sebagai representasi penduduk baru di tanah Indonesia. Kehadiran tokoh semacam ini disebut Thomas M. Hunter (lihat Foulcher & Tony Day, 2008) sebagai “Orang Lain” yang pada dirinya bisa dilihat keragu-raguan orang Indonesia dalam menyelaraskan antara tradisi dengan modernitas.
3.2.2
Alamanda
Alamanda lahir karena sebelumnya Dewi Ayu diperkosa tentara Jepang. Tidak diketahui siapa ayahnya. Secara fisik, alamanda disebutkan seperti orang Indo-Belanda, namun bermata sipit seperti Jepang. Ia tidak Belanda, sepertiga Jepang dan tidak sepenuhnya pribumi. Melalui ciri fisik demikian, ia digambarkan sebagai perempuan cantik yang membuat banyak lelaki pribumi bertekuk lutut. Representasi takluknya lelaki pribumi dapat dilihat melalui Kamerad Kliwon dan Shodancho. Ia mencoba melupakan bayangan tentang gadis itu, wajah setengah Jepang setengah Belanda dan sedikit Indonesia itu semakin menghantuinya (pandangan Kamerad Kliwon, hal. 167). Sebagaimana ibunya, Alamanda juga pernah mengalami perkosaan. Ia diperkosa oleh seorang komandan tentara pribumi yang memiliki nama tokoh Shodancho. Dengan kekuasaannya Shodancho memperdaya Alamanda. Ia menikah secara terpaksa dengan Sodancho karena telah diperkosa sebelumnya. Kisah perjalanan hidup Alamanda tidak jauh berbeda dengan Dewi Ayu. Ia diperkosa, kemudian membalas dengan daya pikat fisik yang dimilikinya. Kehadiran tokoh Alamanda memperkuat nilai-nilai yang diusung oleh Dewi Ayu. Alamanda sadar bahwa ia memiliki kelebihan (perbedaan) daripada perempuanperempuan lain di Halimunda. Latar belakang keluarganya juga menjadi pendorong tindaktanduknya. Ia berasal dari keturunan tuan tanah yang pernah berkuasa. Setelah ia cukup besar, ia pun tahu kalau ibunya adalah pelacur paling cantik yang diperebutkan banyak orang. Ia sadar bahwa dirinya mewarisi semua hal tersebut. Ada tiga unsur yang memperkuat alasan kearoganan sikap dari Alamanda. Pertama, ibunya merupakan Indo-Belanda. Kedua, ayahnya merupakan orang Jepang. Ketiga, ia menyandang nama asing yang merupakan pemberian Jepang. Ada indikasi bahwa hal-hal yang berbau asing (kolonialis) ditampilkan sebagai suatu kelebihan yang membuat seseorang jadi lebih baik dari yang lain (pribumi). Karakternya juga merupakan perwakilan dari sikap pandang pribumi terhadap nilai-nilai yang telah ditanamkan kolonialis di Indonesia. Sikap-sikap masyarakat pribumi yang berhubungan dengan tokoh-tokoh semacam ini memperlihatkan keragu-raguan bangsa bekas jajahan. Di satu pihak, masyarakat mengakui kelebihan-kelebihan mereka dan takluk pada halhal tersebut. Di sisi lain tergambar pula hasrat ingin memiliki dan menjadi karakter-karakter
demikian. Terkadang tampak pula hasrat membalas dendam dan keinginan untuk menguasai kelebihan-kelebihan tersebut.
3.2.3
Adinda
Adinda adalah tokoh ketiga yang lahir karena ibunya mengalami kekerasan seksual. Ia lahir setelah Dewi Ayu diperkosa tentara gerilya. Statusnya sebagai setengah pribumi didapatkan dengan cara yang buruk. Ia menantikan kelahiran bayinya yang kedua, yang ia pastikan berasal dari salah satu gerilyawan itu, sambil membaca Max Haveelar yang ditinggalkan Ola…Dewi Ayu memberinya nama Adinda, seperti nama gadis dalam novel yang ia baca (hal 102). Adinda jatuh cinta pada seorang pribumi tulen, yaitu kamerad Kliwon yang berlatar belakang komunis. Ia akhirnya kawin dengan Kamerad Kliwon, namun ia dikhianati karna suatu kali ketika Kamerad Kliwon berkunjung ke rumah Alamanda, mereka berdua melakukan hubungan badan. Adinda mengetahui hal ini, namun mengikhlaskannya. “Hantu-hantu itu memberitahuku, maka aku tahu apa yang kau lakukan di rumah Shodancho,” kata Adinda, “tapi tak apa jika itu membuatmu bahagia.” (hal. 399) Adinda adalah potret dari perempuan yang diperdaya oleh perempuan lainnya. Ia mencintai laki-laki yang mencintai perempuan lain. Hal ini membuatnya menerima perlakuan curang dari pihak-pihak lain tersebut. Ia memiliki kelemahan yang tidak terdapat pada diri Dewi Ayu dan Alamanda. Tidak terasa kearoganan pada tindak-tanduknya.
3.2.4
Maya Dewi
Maya dewi berbeda dengan kedua kakaknya. Pada usia 12 tahun ia dikawinkan ibunya dengan Maman Gendeng. Ia masih lugu dan tentu saja tidak mengerti arti perkawinan sebagaimana orang-orang kebanyakan. Tapi ia menerima saja ketika disuruh ibunya untuk kawin ketika masih dalam usia sekolah. Dewi Ayu menikahkan anaknya tersebut karena ia takut Maya Dewi akan meniru kebinalan kakak-kakaknya. Sesuatu yang tidak pernah diketahui oleh Maya dewi adalah suaminya selalu datang ke tempat pelacuran untuk menemui ibunya. Dewi Ayu melayani kebutuhan biologis menantunya sendiri ketika anaknya telah tidur di rumah. Hal ini terjadi karena usia muda Maya Dewi yang
dianggap belum waktunya untuk berhubungan suami istri. Terdapat gambaran dari semacam kesepakatan antara Dewi ayu dengan Maman Gendeng menyangkut hal ini. “kenapa kau datang kemari?” tanya Dewi Ayu. “Aku tak bisa menahan birahiku.” “kau punya isteri.” “ia begitu mungil untuk dicelakai. Begitu tanpa dosa untuk disentuh. Aku ingin meniduri mertuaku sendiri.” “kau benar-benar menantu celaka.” Malam itu mereka bercinta sampai pagi datang (hal. 274). Warisan biologis yang dimiliki Maya Dewi bisa dilihat cukup sebanding dengan Adinda. Ibunya merupakan Indo-Belanda. Ayahnya merupakan pelanggan Dewi Ayu di rumah pelacuran yang semuanya bisa dipastikan pribumi jika dikaitkan dengan latar waktu kehadirannya. Ia juga menyandang nama pribumi. Hal-hal tersebut bisa dihubungkan dengan alasan kenapa karakternya ditampilkan sebagai orang yang lugu dan tidak banyak melawan. Keluguannya menjadi pemicu kenapa ia mengalami beberapa kecurangan. Kecurangan-kecurangan tersebut sepenuhnya tidak disadari Maya Dewi. Keadaan-keadaaan yang dialaminya ini memperlihatkan bagaimana keluguan dan kepolosan menjadi sebuah pintu masuk bagi dominasi dari pihak lain.
3.2.5
Cantik
Berbeda dengan namanya, Cantik adalah perempuan yang memiliki kondisi fisik paling jelek dalam cerita. Ibunya berusaha menggugurkannya ketika masih janin, namun ia tetap bertahan hidup. Karena putus asa, ibunya mengharapkan ia terlahir buruk rupa. Selain tidak diharapkan untuk lahir ke dunia, ibunya memilih untuk mati setelah melahirkannya. Kematian yang ditunggu-tunggu itu akhirnya datang pada hari kedua belas kelahiran si Cantik yang buruk rupa, setidaknya begitulah orang-orang merasa yakin (hal. 10). Tak jelas siapa ayahnya, namun bisa dilihat bahwa ia lahir setelah Dewi Ayu menjalani profesi sebagai pelacur sekian lama. Ia memang benar-benar anak yang malang. Ibunya memilih mati setelah melahirkannya sehingga ia tak bisa merasakan ASI maupun belaian kasih sayang. Keinginan ibunya untuk memiliki anak buruk rupa telah membuat Cantik terisolasi dari kehidupan masyarakat. Orang-orang takut pada wajah buruknya. Ia memakklumi hal ini dan menghabiskan hidupnya hanya di dalam rumah.
Si Cantik tak akan menampakkan diri untuk mereka, sebab ia tahu itu akan membuat mereka ketakutan, ketakutan yang amat sangat. Si Cantik gaadis yang baik, ia tak mungkin menakuti orang dengan menampilkan dirinya kecuali di hadapan Rosinah yang telah mengenalnya sejak ia dilahirkan. Ia begitu baik, sehingga ia mengorbankan dirinya untuk tidak memperoleh kehidupan yang dinikmati lebih banyak orang: hidupnya hanya seputar rumah itu, kamarnya, kamar makan, kamar mandi, dapur, dan kadang-kadang ia turun ke halaman yang gelap di malam hari (hal. 501). Cantik adalah tokoh yang paling banyak mengalami bentuk-bentuk penindasan. Ia terlahir buruk rupa karena ibunya menginginkannya demikian. Wajah buruknya membuat ia terasing di lingkungan masyarakat. Ia dijadikan alat penyalur balas dendam. Ketika akhirnya ia pun mempunyai kekasih, itu pun hanya menjadi rahasianya sendiri. Tidak akan pernah diakui oleh dunia luar. Ia tidak memiliki daya apa pun untuk melawan nasib buruknya. Pada akhirnya ia hanya bisa pasif dan mesti menerima kenyataan apa pun yang ditimpakan padanya.
3.2.6
Nurul Aini
Nurul Aini adalah anak yang lahir setelah ibunya menyerahkan cinta bersyarat kepada ayahnya. Sebelumnya ibu Nurul Aini telah mengalami keguguran karena mengandung janin hasil perkosaan ayahnya. Ia digambarkan sebagai gadis yang cantik dan pemberani. Ia sangat melindungi Rengganis si Cantik, hingga ketika ia hilang Nurul Aini jatuh sakit karenanya. Krisan menaruh hati padanya, sehingga setelah ia meninggal Krisan menggali kuburan dan mengambil mayatnya. Nurul Aini berusia muda ketika meninggal. Nasib naas dialaminya setelah ia meninggal tersebut. Kuburannya digali, mayatnya disimpan berhari-hari di kolong tempat tidur, setelah itu mayatnya dibuang kelaut dengan terlebih dahulu diikatkan pada batu. Ia mewarisi sedikit kearoganan ibunya yang terlihat ketika ia selalu mencampuri urusan Rengganis si Cantik. Tetapi hal ini dipahami sebagai caranya melindungi sepupunya tersebut. Ia juga merupakan representasi dari kecantikan yang selalu ingin dikuasai, khususnya laki-laki.
3.2.7
Rengganis si Cantik
Rengganis si Cantik adalah anak yang paling cantik dari seluruh keturunan Stamler. Di balik kelebihan fisiknya ini, ia memiliki kekurangan dalam hal tingkat kecerdasan. Namanya
diambil dari kisah Puteri Rengganis yang terkenal sangat cantik. Ibunya sering didongengkan kisah sang Puteri oleh ayahnya. “jika aku punya anak, ia akan bernama Rengganis.” (hal. 125) Maman Gendeng tak pandai mendongeng, dan ia tak bisa mereka-reka sebuah cerita, maka ia mendongeng apa yang pernah ia dengar: tentang puteri Rengganis. “Jika kita punya anak perempuan, berilah ia nama Rengganis,” kata Maya Dewi (hal. 271). Mereka tetap memberi nama anaknya Rengganis padahal tahu bahwa kisah Puteri Rengganis berakhir tragis. Di akhir kisah sang puteri menikah dengan anjing. Hal ini jugalah yang menimpa Rengganis si Cantik, ia diperkosa oleh anjing. Cerita ini menyebar dan membuat kedua orang tuanya berduka, namun yang dimaksud dengan anjing tersebut tak lain adalah sepupunya sendiri, yaitu Krisan. Ia mencintai Krisan, tetapi Krisan hanya memanfaatkannya. Setelah memperkosanya di toilet sekolah, Krisan membuatnya tidak mengadukan hal ini kepada orang-orang dengan mengumbar janji bahwa mereka saling mencintai. Sesungguhnya ia hanya merupakan pelampiasan nafsu dari Krisan. Sekali lagi diperjelas penindasan laki-laki pada perempuan.
3.2.8
Krisan
Krisan adalah keturunan terakhir dari garis keturunan Stamler. Ia membongkar kuburan sepupunya, Nurul Aini, karena sangat mencintai gadis tersebut. Ia juga merupakan orang yang telah memperkosa Rengganis si Cantik di toilet sekolah. Ia adalah tokoh laki-laki yang paling banyak melakukan pelanggaran terhadap perempuan. Pengakuan: Krisanlah yang menggali kuburan Ai dan menyembunyikan mayatnya di bawah tempat tidur (hal. 431). Pengakuan ketiga: Krisanlah yang memperkosa Rengganis si Cantik di toilet sekolah dan tak bertanggung jawab atas apa yang dilakukannya (hal. 450). Perbuatan-perbuatan buruk yang dilakukan Krisan tidak sepenuhnya inisiatif pribadinya. Ada campur tangan roh jahat Ma Gedik di balik nasib sialnya. Ia adalah tokoh laki-laki terakhir, sekaligus tokoh yang memperlihatkan puncak dominasi laki-laki atas perempuan. Ia digambarkan lebih banyak mengandung nilai-nilai pribumi di dalam dirinya. Jika diurut, warisan
nilai-nilai kolonial pada dirinya sudah tidak terlalu dominan, khususnya hal-hal yang menyangkut karakter fisik.
3.3 Resistensi Tokoh Pribumi Selain cerita bergulir seputar tokoh berdarah campuran juga terdapat tokoh-tokoh penting berlatar belakang pribumi. Tokoh-tokoh ini memiliki tipikal perangai jauh berbeda dari apa yang coba ditanamkan penjajah ke dalam pikiran pribumi. Hal ini menampakkan beberapa bentuk usaha yang dapat diusahakan untuk mengatasi rasa terjajah.
3.3.1
Ma Gedik
Dendam Ma Gedik terhadap keluarga Stamler sangatlah besar. Kekasihnya direbut dan dijadikan gundik orang Belanda. Hal ini membuat hidupnya sangat merana. Ia menantikan kekasihnya selama 16 tahun. Selama itu ia menjalani hidup yang menyedihkan. Namun kepergian seorang kekasih bukanlah perkara sederhana. Ia memulai hari-hari penantiannya dengan menjadi laki-laki yang lebih gila dari orang gila, lebih idiot dari orang idiot, dan terutama lebih menyedihkan daripada orang-orang yang tengah berkabung (hal. 32). Lalu ia jadi orang aneh, jika bukan musuh masyarakat, sebab kerap kali ia dipergoki membuat keributan di kandang ternak tetangga, dan ternyata ia tengah memperkosa seekor sapi betina, atau ayam sampai ususnya keluar (hal 33). Ma gedik dua kali mengalami penindasan karena tidak memiliki kekuatan melawan di masa hidupnya. Pertama, kekasihnya dibawa lari sebagai gundik orang Belanda. Kedua, ia dipaksa kawin oleh cucu orang Belanda tersebut. Akhirnya ia memutuskan bunuh diri dengan melompat ke lembah seperti yang pernah dilakukan kekasihnya dulu. Itulah yang terjadi: ma gedik melompat ke udara terbuka menuju lembah begitu lagu selesai dinyanyikan (hal. 55-56). Setelah kematiannya ma gedik membalaskan dendamnya pada garis keturunan Stamler yang lain. Ia membuat rangkaian peristiwa yang mengantarkan garis keturunan Stamler pada kehancuran. Sesuatu yang tidak dapat dilakukannya semasa hidup, ia lakukan setelah jadi arwah gentayangan.
Roh jahat yang sangat kuat sekali itu kini sedang sangat berbahagia, melihat kemenangan-kemenangannya, melihat semua dendamnya terbalaskan, meskipun ia harus begitu lama menunggu. “Telah kupisahkan mereka dari orang-orang yang mereka cintai,” katanya pada Dewi Ayu, “sebagaimana ia memisahkanku dari orang yang aku cintai.” Telah kupisahkan mereka dari orang-orang yang mereka cintai, sebagaimana ia memisahkanku dari orang yang aku cintai, suaranya menggema (hal. 489). Ma gedik merupakan dalang di balik semua kematian menantu Dewi Ayu. ia tidak langsung membalaskan dendamnya, tapi menggunakan orang lain sebagai tumbal. Semua menantu Dewi Ayu padahal tidak bersalah padanya. Tokoh Ma Gedik merupakan representasi dari pandangan bahwa pribumi terlihat belum beradab. Ia melakukan perlawanan dengan cara-cara yang dianggap hina oleh nilai-nilai kolonialis. Karakter negeri-negeri Timur yang dipersepsikan liar, barbar, eksotik, dan tidak beradab ini bisa ditemukan pada karakterisasi Ma Gedik. Puncaknya tergambar jelas pada usaha pembalasan dendamnya pada garis keturunan Stamler. Masyarakat pribumi cenderung adalah makhluk-makhluk lemah yang bisa ditindas. Setelah ditindas habis-habisan, mereka akhirnya melawan dengan sesuatu yang dianggap tidak nyata dalam pandangan Barat, yaitu tahyul. Pandangan modernisme dan materialisme yang ditanamkan Barat ketika menjajah Indonesia adalah menghilangkan nilai-nilai tradisi yang sudah ada. Melalui hilangnya nilai-nilai tradisi yang merupakan ciri khas masyarakat Indonesia, maka masyarakat tersebut akan kehilangan pijakan. Kehilangan pijakan inilah yang akan membuat masyarakat terjajah matianmatian berusaha untuk sama dengan penjajahnya. Mereka kemudian akan terus berusaha mengadopsi nilai-nilai kolonialis dan akan selalu berada di belakang kolonialis tersebut.
3.3.2
Ma Iyang
Ma Iyang adalah satu-satunya tokoh perempuan pribumi yang menampakkan perlawanan sengit terhadap penindasan. Ia dipisahkan dengan kekasihnya karena akan dijadikan gundik oleh orang Belanda. Ia terpaksa melakukannya karena berada di bawah ancaman. ”Kemana kau pergi?” “Ke rumah Tuan Belanda.” “Untuk apa? Kau tak perlu jadi jongos orang Belanda.” “Memang tidak,” kata si gadis. “Aku jadi gundik. Kelak kau panggil aku Nyai Iyang. “Tai,” kata Ma Gedik. “Kenapa kau mau jadi gundik?”
“Sebab jika tidak, bapak dan ibu akan jadi sarapan pagi ajak-ajak (hal. 31).” Setelah mempunyai kesempatan, maka Ma Iyang pun memutuskan untuk melarikan diri. Ia memilih sendiri bagaimana akhir hidupnya. Meski pilihannya tersebut diambil karena ia tidak punya pilihan lain. Tragedi yang sesungguhnya baru terjadi ketika mereka selesai bercinta, ketika Ma Gedik mengajak kekasihnya menuruni bukit cadas dan pulang ke rumah, hidup saling mencintai dan saling mengawini.Itu tak mungkin, kata Ma Iyang. Sebelum mereka menjejak kaki di lembah, oaring-orang Belanda akan melemparkan mereka ke kandang ajak. “aku lebih suka terbang.” “itu tak mungkin,” kata Ma Gedik, “kau tak punya sayap.” “jika kau yakin bisa terbang, maka kau bisa terbang.” Untuk membuktikan ucapannya, Ma Iyang yang telanjang dengan tubuh berkeringat memantulkan cahaya matahari seperti butir-butir mutiara melompat terbang menuju lembah (hal. 38). Ma Iyang merepresentasikan kondisi perempuan-perempuan pribumi di masa penjajahan. Tidak banyak pesan-pesan perlawanan yang disampaikan melalui tokoh ini. Ia lebih memperlihatkan bagaimana kondisi perempuan pribumi yang ditindas dan dijadikan gundik pemuas nafsu Belanda. Tokoh Ma Iyang dijadikan jalan untuk memperlihatkan bagaimana kesukaan orang-orang Belanda terhadap alam Indonesia, termasuk orang-orangnya. Di masa penjajahan Belanda, apa yang dialami Ma Iyang memang kerap terjadi. Perempuan terpaksa merelakan dirinya untuk dikuasai. Tidak banyak yang bisa dilakukan oleh perempuan-perempuan pribumi seperti dirinya di masa itu. Mereka kekurangan daya untuk melawan. Perempuan mengalami penindasan yang lebih berat di masa penjajahan dibandingkan laki-laki. Ma Iyang akhirnya hanya bisa melepaskan ikatan penjajahan itu dengan jalan bunuh diri.
3.3.3
Maman Gendeng
Maman Gendeng adalah seorang pendekar. Lelaki yang memiliki kelebihan dalam hal kekuatan fisik. Ia telah banyak mengalami pertarungan, baik itu sebagai pejuang, maupun sebagai preman. Motif utamanya mengembara adalah untuk membalas dendam pada ayahnya, ia mempergunakan kesaktiannya demi tujuan utama tersebut. ia anak haram jadah seorang bupati (hal. 112).
bagaimanapun ia tak pernah bisa melampiaskan dendamnya, sebab ia menemukan ayahnya telah mati dieksekusi oleh sederet regu tembak dari tentara rakyat (hal. 114). Ia menguasai pasar Halimunda setelah membunuh preman setempat. Setelah itu ia pun ingin mengusai pelacur paling cantik di Halimunda. Bahkan untuk hal tersebut ia berani bermusuhan dengan penguasa rayon militer setempat. Ia menganggap dewi ayu adalah hak miliknya yang tidak boleh diganggu. Pelacur ataupun manusia, tentu saja bukan barang yang bisa dimiliki. “aku akan mengencingi kemaluannya seperti harimau menguasai daerah kekuasannya (hal 127). “sekali lagi shodancho, jangan sentuh dewi ayu karena jika kau lakukan itu, aku tak hanya memporak-porandakan tempat ini tapi bahkan membunuhmu (hal. 140).” Maman Gendeng adalah representasi dari hal-hal yang menyangkut kekuatan supranatural yang dipercayai masyarakat pribumi. Jika Barat memperkenalkan superhero yang lahir dari buah teknologi, di Indonesia lahirlah orang-orang yang memiliki kekuatan bathiniyah. Kekuatan yang dianugerahkan oleh alam. Melalui tokoh semacam ini diperlihatkan nilai-nilai lokal dari masyarakat Indonesia. Ia menampakkan kemampuan yang bersumber dari kemurnian alam tempatnya hidup. Nilai-nilai yang diusungnya menjadi bernilai ketika Maman Gendeng sangat disegani di tengah masyarakatnya. Tokoh ini adalah perwakilan dari perlawanan masyarakat Indonesia yang memperlihatkan kelebihan autentiknya.
3.3.4
Shodancho
Shodancho adalah penguasa rayon militer di Halimunda. Salah seorang pemberontak PETA hasil didikan Jepang yang berhasil melakukan pemberontakan. Ia merupakan seorang pahlawan gerilya yang sangat disegani dan dihormati. Bahkan beberapa komandan atasannya member hormat secara resmi kepadanya, sebab semua orang tahu ia adalah pemimpin pemberontakan Daidan Halimunda di masa pendudukan Jepang, dan tak seorangpun mengalahkan keberaniannya dalam hal itu. Bahkan orang-orang kota itu cukup yakin, seandainya Soekarno dan Hatta tidak memproklamirkan kemerdekaan, lelaki itulah yang akan melakukannya (hal. 130).
Setelah masa penjajahan fisik berakhir ia hidup di hutan sebagai penyelundup. Setelah lama di hutan ia memutuskan untuk menetap dan mendirikan rayon militer di Halimunda karena jatuh cinta pada Alamanda. Ia mempergunakan kekuasaannya untuk mendapatkan apa yang diinginkannya. Karena ditolak oleh dewi ayu untuk mengawinkan Alamanda dengannya, maka ia memperkosa dewi ayu. Ia melangkah menghampiri sang pelacur, menodongkan pistolnya dan menyuruh pelacur itu membuang buku panduan wisatanya dan berjalan ke tempat tidur (hal 136). Dewi ayu masih berbaring tak percaya dengan apa yang telah terjadi. Bukan sekedar bahwa seseorang menidurinya sementara Maman Gendeng telah memberitahu semua orang bahwa hanya lelaki itu yang boleh menidurinya. Ia tak percaya sebab inilah kali pertama ia ditiduri dengan cara yang begitu kurang ajar (hal 138). …sang shodancho mengambil alih seluruh kekuasaan Daidan..(hal. 154). Shodancho merupakan representasi dari sikap dan keinginan pribumi untuk lepas dari ketertindasan. Ia diajarkan tekhnik berperang oleh Jepang, kemudian ia memanfaatkannya untuk memberontak dan melepaskan bangsanya dari penjajahn. Hal ini serupa dengan apa yang telah dilakukan PETA dalam sejarah Indonesia. Karakter Shodancho ini ditampilkan sangat mirip dengan Jepang yang mendidiknya. Shodancho sering menyelesaikan persoalan dengan cara licik, mirip dengan cara yang sering dipakai Jepang di Indonesia. Shodancho sering melakukan pemerkosaan, sesuai dengan apa yang dilakukan Jepang di tanah jajahannya. Shodancho adalah representasi dari masyarakat pribumi yang berhasil dididik oleh penjajah. Ia tetap mengusung kebiasaannya di satu sisi. Di sisi lain ia menyerap dengan baik nilai-nilai yang diberikan oleh penjajah. Ia tidak ingin menjadi seperti apa yang diinginkan oleh penjajah. Ia memanfaatkan pelajaran yang diberikan oleh penjajah tersebut untuk memperoleh kemerdekaan. Ia hidup sebagai manusia Indonesia yang berhasil dengan mempergunakan keahlian warisan zaman penjajahan.
3.3.5
Kamerad Kliwon
Kamerad Kliwon adalah pemuda yang sangat tampan dan cerdas. Ia begitu populer dan disukai oleh banyak gadis di Halimunda. Meskipun begitu, tidak mudah baginya untuk dapat
merebut hati Alamanda. Ia patah hati karena cintanya ditolak oleh Alamanda. Hal ini membuatnya frustasi dan merubah hidupnya. Kamerad Kliwon adalah representasi dari keadaan pola pikir orang pribumi Indonesia yang berpendidikan. Lelaki tampan dan cerdas. Menganut paham Komunisme dengan tujuan menyejahterakan bangsanya. Di tengah rendahnya tingkat kecerdasan di Halimunda, ia hadir mewakili pernyataan bahwa tidak semua orang di Halimunda lebih suka mempergunakan kekerasan daripada otak. Pada karakterisasi Kamerad Kliwon juga dapat dilihat bagaimana proses kehidupan pribumi Indonesia dimulai dari hidupnya yang liar ketika muda hingga pada saat ia sudah mulai berpikir jauh ke depan. Dedikasinya terhadap partai memperlihatkan bagaimana cita-cita perjuangan yang serius pada masyarakat. Ia meninggalkan semua kebiasaan buruk lamanya untuk hal ini. Penokohannya adalah semacam potret dari manusia modern Indonesia. Berada di tengah paham-paham material Komunisme sekaligus berhadapan dengan nilai-nilai tahayul tradisi. Eksistensinya berada di masa transisi ketika Republik Indonesia merupakan sebuah republik muda yang tengah belajar membangun kehidupan bernegara. Keinginan terbesar Kamerad Kliwon adalah membuat masyarakat Halimunda sepenuhnya menganut paham Komunis. Kamerad Kliwon tidak lagi mengusung nilai-nilai tanah kelahirannya. Ia menjadi tokoh yang pada dirinya telah ditanamkan sepenuhnya paham-paham dari luar. Dengan nilai-nilai Barat yang dianutnya ini ia merasa persoalan-persoalan bangsanya bisa diselesaikan.
4. Penutup Melalui penelitian ini, penulis mendapatkan kesimpulan bahwa CIL adalah novel yang merepresentasikan kondisi masyarakat Indonesia pasca-kolonial. Hal ini digambarkan melalui kondisi-kondisi yang dialami masyarakat di kota Halimunda. Unsur-unsur penjajahan tergambar cukup banyak dalam cerita yang diangkat. Interaksi antar tokoh berlangsung pada zaman penjajahan dan masa sesudahnya. Tokohtokoh adalah manusia yang menyerap sekaligus berusaha menepis segala halangan hidup sebagai manusia terjajah atau yang pernah dijajah. Pada bagian alur cerita diperlihatkan arus perjalanan
peristiwa yang mempengaruhi masing-masing tokoh. Latar memperlihatkan kondisi tempat, waktu, dan keadaan para tokoh. Melalui hubungan ketiga unsur tersebut terlihat kondisi hidup para tokoh-tokoh yang mengalami berbagai efek negatif sebagai akibat dari penjajahan. Kondisi penjajahan yang dialami para tokoh melahirkan berbagai bentuk siasat yang dipergunakan untuk bertahan hidup. Tokoh-tokoh dalam CIL merupakan penggambaran dari masyarakat Indonesia yang cukup banyak mengalami penindasan. Penindasan-penindasan dari kekuatan asing tersebut tidak membuat orang Indonesia tinggal diam dan menyerah pada nasib begitu saja. Sangat tampak bagaimana perjuangan keras untuk keluar dari kondisi terjajah itu.
DAFTAR PUSTAKA
Ashcroft, Bill. 2003. Menelanjangi Kuasa Bahasa—Teori dan Praktik Sastra Poskolonial. Yogyakarta: Qalam. Faruk. 2007. Belenggu Pasca-Kolonial: Hegemoni & Resistensi dalam Sastra Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. ───. 2012. Metode Penelitian Sastra: Sebuah Penjelajahan Awal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Fokkema, DW & Elrud Kunne-Ibsch. 1998. Teori Sastra Abad Kedua Puluh. Jakarta: Gramedia. Hindra, Eka & Koichi Himura. 2007. Momoye: Mereka Memanggilku. Esensi. Kurniawan, Eka. 2002. Cantik Itu Luka. Yogyakarta: AKY Press. Loomba, Ania. 2000. Kolonialisme/Pascakolonialisme. Yogyakarta: Bentang.
Muhardi, & Hasanuddin WS. 2006. Prosedur Analisis Fiksi: Kajian Strukturalisme. Padang: Yayasan Citra Budaya. Morton, Stephen. 2008. Gayatri Spivak: Etika, Subalternitas & Kritik Penalaran Poskolonial. Yogyakarta: Pararaton. Nurgiantoro, Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Ratna, Nyoman Kutha.2008. Postkolonialisme Indonesia: Relevansi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Said, Edwar W. 2010. Orientalisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Wellek, Rene & Austin Waren. 1989. Teori Kesusastraan. Jakarta: Gramedia.