KEGAGALAN PEMENUHAN ARKETIPE SELF PADA DIRI MARGIO DALAM NOVEL LELAKI HARIMAU KARYA EKA KURNIAWAN (KAJIAN PSIKOLOGI CARL GUSTAV JUNG) Adelia Putri Lestari Mahasiswa S-1 Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia, Prodi Sastra Indonesia, Universitas Negeri Surabaya,
[email protected]
Abstrak Tokoh dan penokohan merupaan dua hal yang melekat pada tiap novel yang ditulis oleh pengarang. Dua hal ini menjadi faktor penting yang membentuk cerita dari awal hingga akhir. Karakter yang kuat pada tiap tokoh dibangun melalui berbagai cara, seperti melalui gaya penceritaan, pengungkapan tokoh lain, atau penjelasan lanngsung melalui narasi yang diberikan oleh pengarang. Kedua aspek ini digunakan oleh pengarang untuk menyampaikan cerita dan pesan kepada pembaca. Karakter dari tokoh dalam cerita diadaptasi oleh pengarang dari karakter atau kepribadian manusia pada umumnya yang kemudian ditambah dengan daya imajinasi pengarang.Novel Lelaki Harimau karya Eka Kurniawan merupakan novel yang karakter utamanya sangat kuat, hal ini dapat dilihat dari ketertikan pembaca terhadap novel tersebut. Keinginan Margio yang begitu kuat untuk membahagiakan ibunya dapat dikaji lebih dalam menggunakan konsep Carl Gustav Jung berkenaan dengan aspek arketipe self dan juga hubungannya dengan sistem paruhan hidup manusia. Kata Kunci :Tokoh, Penokohan, Arketipe, Self.
Abstract Characters and characterizations are two things that are attached to each novel written by the author. These two things became an important factor that shaped the story from beginning to end. Strong characters in each character are constructed in various ways, such as through storytelling, other character figures, or direct explanations through the narrative given by the author. Here this aspect is used by authors to convey stories and messages to readers. The character of the character in the story is adapted by the author of the character or personality of the human in general which is then added to the imaginative power of the author. Eka Kurniawan's novel Men Tiger is a novel whose character is very strong, it can be seen from the reader's interest in the novel. Margio's very strong desire to please mother can be studied more deeply using Carl Gustav Jung's concept of the self-archetype aspect as well as with the human life system. Keyword:Figure, Characterizing, Archetypes, Self
PENDAHULUAN Novel Lelaki Harimau menjadi salah satu novel yang meningkatkan kepopuleran Eka Kurniawan dalam dunia kesusastraan. Hal ini dapat dilihat dari bagaimana novel Lelaki Harimau diterbitkan berulang-ulang dengan sampul yang berbeda, bahkan hingga diterjemahkan ke dalam bahasa asing dengan judul “Man Tiger: A Novel”. Novel Lelaki Harimau tidak hanya menaklukkan pembaca pada tingkat Indonesia saja karena para penikmat karya sastra dari berbagai negara juga menaruh minat terhadapnya. Novel ini menceritakan kehidupan seorang lelaki bernama Margio dan kondisi lingkungan hidupnya. Sebagian besar latar tempat yang digunakan adalah pedesaan tempat Margio dan keluarganya tinggal. Kisah yang diceritakan dikemas dengan apik menggunakan berbagai jenis majas atau gaya bahasa, seperti majas hiperbola, personifikasi, asosiasi, simbolik, dan lain-lain. Novel ini berkisah tentang Margio yang sejak kecil hidupnya
dirundung duka. Lingkungan tempat ia tumbuh berperan besar dalam membentuk kepribadian Margio sebagai tokoh utama. Peran yang dapat dikatakan memiliki banyak tempat dalam cerita adalah Margio sebagai tokoh utama, Nuraeni (ibu Margio), Komar (ayah Margio), Mameh (Adik Margio), Anwar Sadat (Tetangga Margio), dan Maharani (putri ketiga Anwar Sadat). Masih banyak tokoh lain yang muncul dalam cerita, namun hanya sepenggal-sepenggal saja. Bukan berarti tokoh lain tidaklah penting, tokoh-tokoh lain yang dihadirkan sesaat hanya digunakan sebagai sarana pembentuk cerita yang memperkuat karakter Margio sebagai tokoh utama. Dalam tiap karya sastra yang berbentuk prosa, baik itu cerita pendek (cerpen) atau novel, faktor pembentuk cerita seperti alur, tema, judul, tokoh, penokohan, latar , gaya bahasa, dan amanat menjadi hal yang patut diperhatikan. Hal ini dikarenakan tiap faktor yang membangun cerita
memiliki keterikatan satu bagian dengan bagian lainnya. Tiap bagian ini seperti saling membangun dan melekat hingga kemudian menjadi satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dalam tiapcerita yang dibuat oleh pengarang. Misalnya saja pada bagian tokoh dan penokohan, dua hal ini tidak dapat dipisahkan karena tiap tokoh dalam cerita pasti memiliki watak atau kepribadian tersendiri. Pembentukan dua hal ini juga tidak lepas dari peran penting bagian lainnya, seperti alur dan juga latar. Tokoh dan penokohan merupaan dua hal yang melekat pada tiap novel yang ditulis oleh pengarang. Dua hal ini menjadi faktor penting yang membentuk ceria dari awal hingga akhir. Karakter yang kuat pada tiap tokoh dibangun melalui berbagai cara, seperti melalui gaya penceritaan, pengungkapan tokoh lain, atau penjelasan lanngsung melalui narasi yang diberikan oleh pengarang. Karakter tiap tokoh dalam novel Lelaki Harimau disampaikan dengan apik oleh Eka Kurniwan melalui gaya penceritaan, atau dapat dikatakan ia ungkap secara langsung. Sebagaian besar novel memanng berisi narasi, tidak banyak percakapan yang terjadi di dalamnya. Sehingga karakter tiap tokoh disampaikan secara langsung oleh Eka Kurniawan dengan jelas. Percakapan atau dialog antar tokoh dalam cerita digunakan sebagai salah satu sarana dalam pembentukan karakter tokoh-tokoh di dalamnya. Melalui gaya penceritaan yang secara gamblang menjelaskan karakter tiap tokoh pembaca menjadi lebih mudah memahami arah cerita yang ingin disampaikan oleh Eka Kurniawan. Karena keberadaan tokoh dan penokohan yang dirasa wajib ada dalam tiap karya sastra yang berbentuk prosa, maka kajian tentang segi psikologi dari tiap tokoh khususnya tokoh utama dirasa menjadi hal yang penting. Hal ini dapat dijadikan sebagai bahan penelaah seberapa dalam karakter yang dimiliki tiap tokoh dalam cerita. Hal-hal yang ada dalam diri Margio dapat dikaji dari sudut pandang psikologi. Kepribadian Margio sebagai tokoh utama rasanya layak ditelaah lebih dalam lagi. Carl Gustav Jung merupakan salah satu tokoh besar dalam bidang psikologi. Ia memperkenalkan struktur kepribadian yang berbeda dari tokoh lainnya. Jika Sigmund Freud (2013: 21) membagi struktur kepribadian menjadi tiga bagian, di antaranya id, ego, dan supeperego. Maka Jung membagi kepribadian manusia menjadi tiga bagian yang berbeda dengan struktur kepribadian Sigmund Freud. Bagian tersebut di antaranya ego, tak sadar pribadi, dan tak sadar kolektif. Dalam tak sadar kolektif masih terdapat bagian-bagian kecil, di antaranya arketipe anima dan animus, self, shadow, dan juga simbolisasi. Menurut Carl Gustav Jung semua hal tersebut ada dalam diri manusia, juga
mempengaruhi tingkah laku manusia dalam lingkungan tempat mereka tinggal dan menjadi bahan pertimbangan sendiri ketika mengambil satu keputusan dalam kehidupan. Tiap bagian bekerja sesuai fungsi masing-masing, namun tetap manusia dikatakan utuh apabila dapat memenuhi apa yang ada dalam arketipe self. Ada masa di mana arketipe self dalam diri seseorang dapat mendominasi psike. Hal itulah yang menjadi harapan manusia ideal, menjadi utuh dengan mampu memenuhi arketipe self dalam dirinya. Ketika seseorang dapat membuka diri untuk menyadari keberadaan arketipe self dan mewujudkannya maka seseorang tersebut akan semakin dekat dengan nilai-nilai baik kehidupan, dapat juga dikatakan menjadi semakin dekat dengan nilai-nilai ketuhanan. Karakter Margio yang dibentuk oleh lingkungan secara tidak langsung juga melahirkan satu keinginan terdalam dalam dirinya. Keinginan inilah yang menjadi wujud dari arketipe self. Keinginan yang membawa dirinya pada kebaikan untuk membuat ibunya hidup bahagia. Sejak kecil Margio menyadari keberadaan arketipe self dalam dirinya ini, ia melakukan beberapa hal untuk merealisasikannya. Bagaimana bentuk usaha Margio untuk mewujudkan self dan juga apa yang menjadi sebab timbulnya arketipe self dalam dirinya akan dibahas dalam penelitian kali ini. Keinginan yang besar dan dalam pada diri Margio ini akan menarik apabila dikaji dengan konsep arketipe arketipe self yang juga akan dihubungkan dengan sistem paruhan hidup manusia. Sistem paruhan hidup manusia merupakan salah saytu hal yang dapat mempengaruhi keberhasilan dari perwujudan arketipe self yang dilakukan oleh manusia. Proses perwujudan arketipe self ini terbilang memakan waktu yang cukup lama, seperti halnya Margio yang berusaha mewujudkan arketipe self yang ia sadari sejak ia masi anak-anak. Proses untuk mewujudkan arketipe self yang dilakukan oleh manusia dinamakan proses individuasi. Rumusan Masalah: Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan, maka ditemukan masalah-masalah sebagai berikut 1.
2.
3.
4.
Bagaimana arketipe self dapat timbul pada diri Margio dalam novel Lelaki Harimau Karya Eka Kurniawan? Bagaimana bentuk arketipe self yang berkembang pada diri Margio dalam novel Lelaki Harimau Karya Eka Kurniawan? Bagaimana sistem paruhan hidup tokoh Margio pada novel Lelaki Harimau Karya Eka Kurniawan? Bagaimana relasi antara arketipe self dengan sistem paruhan hidup tokoh Margio dalam novel Lelaki Harimau Karya Eka Kurniawan?
Kajian Teori Arketipe Self Manusia perlu meraih keutuhan dalam dirinya. Keutuhan yang dimaksud disini adalah sesuatu yang apabila diraih akan membuat manusia merasa bahwa tujuan hidupnya telah terpenuhi. Dapat dikatakan bahwa proses perealisasian tujuan hidup ini juga merupakan proses menjadi diri sendiri yang kemudian dapat membedakan manusia satu dengan manusia lainnya. Proses yang panjang dan cukup berat ini disebut sebagai proses individuasi, yang kemudian dapat diartikan sebagai proses perwujudan arketipe self dalam diri manusia. Sekalipun berada dalam wilayah tak sadar kolektif yang terpendam, nyatanya self justru memiliki peranan besar yang dapat membuat manusia merasa dirinya utuh karena tujuan hidupnya sudah terpenuhi dengan benar. Arketipe self merupakan arketipe yang memotivasi perjuangan orang menuju keutuhan (Alwisol, 2016: 49). Setiap manusia memiliki keinginan dalam diri yang harus ia raih agar ia bisa menjadi manusia yang utuh. Utuh yang dimaksud di sini adalah menjadi lengkap setelah self dalam dirinya disadari dan dapat diwujudkan. Manusia yang ideal adalah manusia yang mampu menyadari dan mengambil langkah untuk mewujudkan self dalam dirinya. Menurut Jung (1986: 146) self merupakan tujuan hidup kita, karena dia adalah pernyataan yang paling lengkap dari komposisi yang mau tak mau harus diterima (sudah menjadi nasib). Proses perwujudan self untuk menjadi manusia yang utuh ini dapat juga disebut sebagai individuasi. Jung mengatakan, “Setiap hidup adalah perealisasian atau perwujudan dari keseluruhan atau self.” Dan perwujudan ini juga dapat disebut individuasi (Jung, 1986: 40). Dalam proses individuasi arketipe self memang sangat dibutuhkan sebagai sesuatu yang harus diraih manusia untuk menjadi utuh. Hal ini juga yang membuat arketipe self menjadi pusat dari kepribadian manusia. Proses individuasi adalah jalan yang ditempuh dalam perkembangan psikis menuju self (Jung, 1986: 36). Jung juga mengatakan bahwa tujuan dari proses individuasi bukan kesempurnaan religius dan moral melainkan keutuhan psikis yang terintegrasi (Jung, 1986: 30). Pribadi yang berkembang adalah yang mampu menerima sisi buruk dalam dirinya, apabila manusia mencoba membuang sisi buruk dalam dirinya maka yang terjadi adalah proses individuasi atau perwujudan self akan sulit dilaksanakan. Manusia seharusnya menyadari bahwa dalam dirinya sudah seharusnya terdapat sisi buruk yang secara tidak disadari melengkapi psike manusia. Penerimaan atas sisi buruk dalam diri inilah yang kemudian mampu menciptakan keseimbangan psike hingga
kemampuan untuk mewujudkan self dalam diri secara mumpuni. Menurut Jung (1986: 30) dalam keutuhan psikis kenyataan konkret dari aspekaspek negatif, yang jahat, yang salah (shadow) tidak boleh ditiadakan tetapi harus diakui dan diterima dalam psike sebagai hal yang negatif di dalam diri seseorang. Jung memperkenalkan dua devinisi dari individuasi berdasarkan prosesnya. Pertama, proses individuasi yang terjadi secara alamiah, menurut Jung (1986: 31) individuasi merupakan proses organisme biologis manusia yang bersifat alamiah, spontan, dan tak sadar. Kedua, proses individuasi merupakan satu tugas etis manusia yang berkesadaran diri, tugas yang menuntut manusia untuk mencapai keutuhan hidup. Manusia memiliki dorongan dalam diri yang begitu kuat untuk mewujudkan self dalam dirinya beriringan dengan perkembangan biologis yang semakin matang. Jung (1986: 31) berpendapat bahwa proses psikis perwujudan self berjalan serentak dengan proses pertumbuhan biologis: lahir, mejadi dewasa, dan menjadi tua. Sebenarnya perwujudan self dalam diri manusia tidak hanya dilakukan beriringan dengan pertumbuhan sisi biologisnya. Manusia dapat mewujudkan self dalam dirinya dengan lebih cepat dibanding waktu yang dibutuhkan saat proses alamiah berjalan. Hal ini bisa terjadi apabila manusia tersebut melakukan Opus Contra Naturam (OCN). Jung memperkenalkan metode ini sebagai salah satu cara perwujudan self yang lebih cepat. Opus Contra Naturam (OCN) adalah jalan sulit dalam rangka penyadaran diri yang metodis (Jung, 1986: 31). Self tidak hanya merupakan dasar atau titik asal melainkan juga sekaligus merupakan penemuan terakhir dari ego sendiri (Jung, 1986: 41). Hal ini berarti self dalam diri seseorang tidak akan pernah ditemukan apabila orang tersebut tidak benar-benar ingin menemukannya. Namun sebenarnya self sudah ada sebelum ego. Self merupakan sesuatu yang menaungi keseluruhan psike, dan ego adalah satu-satunya yang bisa menemukan self dalam diri seseorang. Self adalah dasar mula dan pemenuhan terakhir dari ego, self adalah sumber dan dasar atau awal dari ego, sebab ego lahir dari self yang sebelum ego itu, sudah ada. Ego adalah instansi satu-satunya dari psike yang dapat tahu tentang self (Jung, 1986: 43). Untuk dapat menyadari dan mewujudkan self maka ego dan self dalam diri seseorang perlu menjadi selaras. Agar manusia dapat memenuhi sesuatu dalam dirinya yang membuatnya merasa utuh dan lengkap. Apabila tak ada ego maka selamanya self akan terkurung di alam tak sadar, tidak dapat muncul ke permukaan. Karena self sendiri merupakan perwujudan dari setiap isi dari kesadaran (Jung, 1986: 43). Peran ego sangatlah
besar, ia berusaha memenuhi self yang sudah terlebih dahulu ada, dan ia juga membawa self ke jalan yang lebih terang, ia menyediakan ruang untuk self di kesadaran. Sebab sekalipun self sudah terlebih dahulu ada, manusia belum dapat merasakan keberadaannya. Ibaratnya ego adalah bumi yang berputar mengitari self sebagai matahari (Jung, 1986: 45). Hal ini menunjukkan bahwa ego akan selalu berusaha memenuhi self dalam diri seseorang. Keberadaan self akan disadari manusia seiring dengan perjalanan hidupnya. Manusia akan sadar bahwa ada sesuatu dalam dirinya yang ingin ia raih agar lengkap hidupnya. Seperti yang diutarakan Jung bahwa self sudah ada sejak permulaan hidup, tetapi hanya dalam bentuk laten dan tak sadar, baru dalam perjalanan hidup si individu self akan disadari (Jung, 1986: 49). Terdapat beberapa aspek yang mendasari terbentuknya self dalam diri manusia. Di antaranya self merupakan warisan leluhur, dapat muncul ke wilayah kesadaran melalui berbagai macam cara, salah satunya melalui mimpi, dan dibentuk oleh lingkungan Self merupakan warisan leluhur Arketipe hadir untuk setiap pengalaman yang universal, dalam artian dialami oleh tiap anggota generasi. Pengalaman-pengalaman ini bisa seputar pengalaman lahir, mati, matahari gelap, kekuatan, wanita, pria, seks, magi, ibu, ayah, pahlawan, dan lain-lain (Hargenhaln, 2013: 132). Self merupakan salah satu arketipe yang dapat juga berisi pengalaman atau ingatan mengenai ibu yang merupakan bentuk peninggalan dari generasi sebelumnya. Self ini merupakan satu hal yang dimiliki manusia sejak lahir, dan berisi pandanganpandangan dari leluhur sebelumnya. Pandangan ini terus melekat pada diri manusia, serta terus diingat meskipun manusia tersebut tidak mengetahui bagaimana kehidupan leluhurnya. Ingatan-ingatan dari leluhur mengenai ibu akan terus tinggal dalam kepala manusia, bahwa ibu adalah perempuan yang patut mendapat pengabdian dari seorang anak yang telah ia lahirkan di dunia. Berbekal dari ingatan atau pengalaman inilah lah keagungan seorang ibu akan terus terjaga dalam kepala manusia. Self merupakan ingatan dari warisan leluhur yang tidak akan pernah berubah sekalipun jaman terus berkembang dan mengalami perubahan. Seperti yang dikatakan oleh Jung (1986: 47) self merupakan sesuatu yang berkembang tetapi juga sekaligus bersifat abadi karena tidak tersentuh oleh perkembangan. Berdasarkan pendapat Jung tersebut dapat dikatakan bahwa self yang berupa ingatan-ingatan warisan leluhur akan selalu ada dalam pikiran manusia meskipun tidak secara langsung disadari. Sekalipun jaman telah berubah ingatan ini akan terus tertancap dalam pikiran generasi-generasi
selanjutnya. Jung (1986: 49) mengatakan bahwa self sudah ada sejak permulaan hidup, tetapi hanya dalam ingatan laten dan tak sadar, baru dalam perjalanan hidup si individu self ini akan disadari. Dari pernyataan tersebut dapat dilihat bahwa memang self dalam diri seseorang akan selalu ada dan dapat disadari beriringan dengan perjalanan hidup seseorang tersebut. Self merupakan bentukan lingkungan Self merupakan arketipe yang dibentuk atas dasar pengaruh dari lingkungan sekitar. Hal ini dapat dilihat dari pengaruh lingkungan terhadap pembentukan kepribadian manusia yang juga dipengaruhi oleh ingatan-ingatan dari generasi selanjutnya. Lingkungan hidup generasi yang sudah berlalu dengan generasi masa kini tentunya berbeda, hal inilah yang melatarbelakangi adanya perbedaan dalam pola tingkah laku sehari-hari, meskipun warisan ingatan leluhur tetap berada pada bagian tak sadar kolektif tiap generasi. Seperti yang dikatakan oleh Jung (1986: 7) bahwa dalam psike manusia tergabung species-species manusia, ras, bangsa, keluarga, dan mental zaman dengan sifatsifat khas, unik, dan personal. Jadi dapat disimpulkan bahwa lingkungan membawa peran yang besar terhadap perkembangan psike manusia. Munculnya self melalui mimpi Tak sadar kolektif merupakan bagian yang paling penting dan berpengaruh dalam psike, dan kecenderungannya yang diwariskan selalu mencari manifestasi keluar. Ketika isi dari tak sadar kolektif tidak diakui di dalam kesadaran, mereka akan bermanifestasi dalam bentuk mimpi, fantasi, gambaran mental, dan simbol (Hargenhaln, 2013: 133). Self merupakan salah satu bagian dari tak sadar kolektif yang teramat penting dalam psike atau kejiwaan manusia. Apabila perkembangan biologis manusia tidak diiringi dengan kesadaran untuk mewujudkan self maka yang terjadi adalah self dapat memberi sinyal atas keberadaannya melalui mimpi. Keberadaan self dalam diri manusia yang dapat dikatakan sangat penting diperkuat oleh Jung (1986: 49) yang mengatakan bahwa awal mula dari seluruh kehidupan psikis kita rupanya berasal dari titik ini. Dan semua tujuan yang paling tinggi dan yang paling akhir nampaknya bermuara ke dalam titik dasar ini. Terdapat pengalaman-pengalaman lain dalam diri manusia mengalami bukan ego dalam obyektivitas psikisnya. Misalnya manusia dapat mengalami dalam dirinya penglihatan impian dan lambang yang ternyata timbul tanpa pengaruh ego dan kesadaran. Kejadian-kejadian psikis tersebut rupanya bersifat batas pribadi. Lambang mimpi penglihatan ini memiliki satu intensitas yang luar biasa tinggi menimpa manusia, mempesonanya dan dialami sebagai sesuatu yang nyata (Jung, 1986:
51). Manusia mau tidak mau harus menyadari bahwa dalam dirinya ada sesuatu selain ego yang juga mampu mengendalikan diri. Self dalam diri manusia memiliki tujuan agar dapat diangkat oleh ego ke wilayah kesadaran, untuk memenuhi hal ini ia dapat muncul sewaktu-waktu dalam mimpi manusia. Ego yang merupakan penguasa wilayah kesadaran mulanya akan menganggap hal ini aneh karena berada di luar jangkuannya. Namun seiring berjalannya waktu ego manusia akan dapat menerima kenyataan bahwa dalam diri manusia terdapat aspek lain selain dirinya yang juga memiliki pernanan yang teramat penting. Sistem Paruhan Hidup Manusia Dalam proses individuasi atau perwujudan self, sistem paruhan hidup manusia memiliki peran yang penting. Jung membagi manusia ke dalam dua paruhan hidup. Paruhan hidup ini mempengaruhi proses berjalannya individuasi. Paruhan hidup pertama adalah ketika seseorang lahir hingga berusia 30 tahun. Paruhan hidup pertama bertujuan untuk mengantar manusia masuk ke dalam dunia fisis dan sosial di luar atau di sekitarnya. Sejak masa kanak-kanak, dimensi kesadaran dan instansi ego sebagai fungsi kesadaran secara berangsur dibedakan. Itu berarti: dilepaskan ke luar dari identitas psikis asli yang tak sadar sehingga terbentuklah ego sebagai inti yang cukup mantap dan kuat dari kepribadian mandiri (Jung, 1986: 33). Hal ini menunjukkan bahwa pada paruhan hidup pertama ego atau kesadaran menjadi fungsi utama yang menentukan hidup seseorang. Pada masa ini seseorang bersifat ekstrovert, yang artinya terbuka terhadap dunia luar. Energi yang dimiliki pada paruhan pertama mendorong seseorang untuk dapat melanjutkan hidup. Sehingga pada masa ini seseorang dapat beradaptasi terhadap lingkungan sosial dengan baik. Energi untuk melanjutkan hidup juga menyebabkan seseorang terdorong untuk memiliki pekerjaan, menikah, memiliki kedudukan sosial, dan juga memiliki anak atau keturunan. Ego yang besar pada paruhan pertama membuat seseorang cenderung bersifat egosentris. Pada tahap ini self sudah ada dan disadari, namun ego dalam diri manusia lebih besar sehingga self yang sudah disadari sangat sulit untuk diwujudkan karena terhalang oleh ego yang begitu besar. Paruhan kedua terjadi ketika seseorang berumur 30 tahun ke atas. Pada masa ini ego tidak lagi menjadi bagian yang mendominasi. Individuasi terjadi ketika manusia berada pada paruhan hidup kedua ini. Ego mulai digeser dan digantikan dengan self yang mulai menuntut kehidupan seseorang. Nilai-nilai rohani dan kebudayaan mulai masuk ke dalam diri seseorang, sehingga manusia menjadi lebih bijaksana dalam menjalani hidupnya. Manusia yang pada paruhan pertama mengutamakan ego dan bersifat ekstrovert akan
digeser dengan kepribadian yang introvert dan mengutamakan self. Dalam paruhan hidup kedua, tujuan psikis ialah bahwa kekuasaan mutlak dari ego dan kesadaran rasional harus diserahkan kembali kepada self dan kepada penyadaran yang lebih luas (Jung, 1986: 44). Hal-hal yang berbau rohani atau keagamaan menuntun seseorang untuk berpikir tentang makna dan tujuan hidup, pada paruhan kedua inilah psike manusia seakan bersiap menuju kematian (Jung, 1986: 34). Pada paruhan hidup kedua seseorang akan melakukan berbagai macam hal baik yang membawa mereka pada nilainilai ketuhanan. Menjadi dekat dengan Tuhan merupakan hal utama yang diinginkan oleh manusia pada masa ini. Kedekatan yang dijalin dengan Tuhan tidak hanya dilihat dari bagaimana manusia melalukan peribadatan, tetapi dapat juga dilihat dari bagaimana mereka melakukan hal-hal baik dan menjadi bermanfaat bagi orang lain. Sumber Data dan Data Sumber data dalam penelitian ini adalah novel berjudul Lelaki Harimau karya Eka Kurniawan. Novel ini diterbitkan ulang pada tahun 2014 oleh PT Gramedia Pustaka Utama di Jakarta. Cetakan pertama terbit pada tahun 2004. Novel Lelaki Harimau karya Eka Kurniawan terdiri dari lima bab dengan tebal 194 halaman. Data yang digunakan berupa unit-unit teks yang berhubungan dengan arketipe self, langkah mewujudkan arketipe self, bentuk kegagalan pemenuhan arketipe self, dan paruhan hidup tokoh Margio dalam novel Lelaki Harimau karya Eka Kurniawan. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah teknik studi pustaka. Teknik studi pustaka dilakukan dengan cara menemukan segala sumber yang terkait dengan objek penelitian (Faruk, 2012: 56). Objek yang dicatat merupakan segala hal yang berhubungan dengan perwatakan dan arketipe self dalam diri Margio pada novel Lelaki Harimau karya Eka Kurniawan.
Teknik Analisis Data Teknik analisis data yang digunakan adalah teknik deskripsi analitik. Menurut Ratna (2013: 53) teknik deskriptif analitik merupakan sebuah cara untuk menangkap pesan yang ada dalam sebuah karya sastra dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta kemudian menganlisisnya.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitiandan Pembahasan Arketipe Self merupakan salah satu bagian dalam arketipe manusia, dan arketipe merupakan bagian yang mengisi wilayah tak sadar kolektif. Tak sadar kolektif dapat berisi ingatan-ingatan warisan leluhur seputar Tuhan, ibu, kematian, kelahiran, ayah, dan lain-lain. Seperti yang dikatakan oleh Semiun (2013: 12) bahwa tak sadar kolektif ini berisikan gambaran-gambaran primitif atau arketipe-arketipe yang mencerminkan sejarah spesies kita, yang meliputi gambaran-gambaran mitos yang misterius dan samar-samar, seperti Allah yang Mahakuasa, ibu yang subur dan bersifat pengasuh, pahlawan cilik, orangtua yang bijaksana, dan tema kelahiran serta kebangkitan. Pada novel Lelaki Harimau karya Eka Kurniawan arketipe self yang merupakan ingatan warisan dari generasi sebelumnya berwujud ingatan seputar ibu. Hal ini dapat dilihat dari bagaimana Margio begitu menyayangi ibunya, Nuraeni. Dalam novel diceritakan bagaimana Margio begitu menyayangi ibunya sekalipun ia sadar bahwa sebagai seorang ibu Nuraeni tidak luput dari kesalahan yang kemudian mampu membuatnya begitu kecewa. Warisan leluhur yang berupa ingatan bahwa ibu adalah seorang perempuan yang penuh kasih sayang secara otomatis memengaruhi pola tingkah laku Margio dalam kehidupan seharihari. Hingga kemudian apa yang ia lakukan akan berpusat pada ingatan ini, di sinilah dapat dikatakan self memiliki ruang gerak yang cukup besar karena memang dalam cerita Margio memiliki keinginan yang begitu besar untuk membahagiakan ibunya. Berikut datanya: ... Margio tak sanggup melihat tamasya tersebut, baik si bayi maupun ibunya, sebab ia pun ta mampu mengusir rasa cemas tersebut, dan pilih meninggalkan kamar menghindari menyaksikan proses kematian dan kejatuhan mendalam seorang ibu yang sedih (Kurniawan, 2014: 173). Sebagaimana diketahui bahwa lingkungan memiliki peran yang sebar dalam membentuk kepribadian manusia. Lingkungan yang diacu dalam hal ini mengarah pada dua hal, yaitu lingkungan luar dan lingkungan dalam. Lingkungan luar yang dimaksud di sini adalah interaksi tokoh utama dengan anggota masyarakat lainnya, sedangkan lingkungan dalam mengarah pada interaksi tokoh utama dengan anggota keluarga. Interaksi yang terjadi pada lingkungan dalam tentu lebih erat terjalin, hal ini disebabkan manusia tumbuh dan berkembang sejak dini di lingkungan tersebut. Sehingga bagaimana manusia berperilaku
akan bergantung atau bercermin pada bagaimana kehidupan sehari-hari keluarganya. Pada diri Margio arketipe self timbul akibat bentukan dari lingkungan keluarganya. Hal ini memungkinkan, karena menurut Jung (1986: 7) bahwa dalam psike manusia tergabung speciesspecies manusia, ras, bangsa, keluarga, dan mental zaman dengan sifat-sifat khas, unik, dan personal. Lingkungan memiliki kemungkinan besar sebagai salah satu lingkungan yang menunjang tumbuhnya arketipe self dalam diri manusia. Pengalaman Margio dalam kehidupan sehari-hari akan mempengaruhi arketipe self yang timbul dalam dirinya, karena melalui pengalaman-pengalaman tersebut Margio dapat memahami apa yang benarbenar ia inginkan dalam kehidupannya. Lingkungan keluarga Margio memiliki peran besar dalam pembentukan arketipe arketipe self. Margio terbiasa melihat ibunya yang bernama Nuraeni, disiksa oleh ayahnya sendiri, Komar bin Syueb. Penyiksaan-penyiksaan yang setiap saat ia lihat inilah yang menumbuhkan keinginan cukup besar dalam diri Margio untuk membahagiakan mereka berdua. Perlakuan kasar dari Komar terhadap ia dan kedua anggota keluarga yang lain melekat dalam ingatan Margio, hal ini yang kemudian menjadi pemicu arketipe self dalam diri Margio mulai disadari. Mulanya arketipe self dalam diri Margio tidak disadari. Namun seiring berjalannya waktu ia mulai memahami apa keinginan terbesar dalam hidup yang harus ia wujudkan. Bentuk dari keinginan ini muncul dan berkembang beriringan dengan perasaan Margio yang tidak sanggup melihat Nuraeni terus mendapat perlakuan kasar dari Komar. Margio kecil hanya dapat melihat apa tindakan keji Komar kepada Nuraeni yang terjadi di hadapannya. Ia tidak dapat melakukan banyak hal, karena terbiasa melihat perilaku keji inilah Margio mulai terdorong untuk melakukan berbagai macam cara agar Nuraeni bahagia. Berikut datanya: Sepanjang hidupnya, ia telah sering melihat Komar memukul Nuraeni di depan matanya sendiri, menghajarnya hingga babak belur. Margio terlampau kecil untuk melerai, dan ia sendiri sering dapat bagiannya pula. Ia hanya berdiri menyandar ke pintu, dengan Mameh di sampingnya menggigit ujung baju, sementara Nuraeni meringkuk di pojok rumah dengan Komar berdiri di depannya, tangan menggenggam rotan penggebuk kasur. Komar selalu punya alasan apa pun untuk mengayunkannya (Kurniawan, 2014: 115). Ego manusia tidak dapat menerima perlakuan kejam yang ditujukan kepada orang-
orang yang dikasihi. Hal ini juga yang membuat Margio secara otomatis membenci Komar. Ketika Margio melihat Nuraeni disakiti oleh Komar, ia merasakan sakit yang berlebih dan berakibat pada kemarahan kepada Komar yang ia timbun hingga menguap di kemudian hari. Menurut Jung (1986: 43) self sendiri merupakan perwujudan dari setiap isi dari kesadaran manusia. Margio dalam wilayah sadar terus-menerus menyaksikan tingkah keji Komar kepada Nuraeni, hal ini membuat arketipe selfnya disadari oleh ego. Aketipe Self merupakan nilai-nilai ketuhanan dalam diri manusia yang mengarah pada hal-hal yang baik. Nilai-nilai ketuhanan tidak hanya dilihat dari bagaimana manusia berhubungan langsung dengan Tuhannya melalui kegiatan-kegiatan peribadahan, tetapi dapat juga dilihat dari bagaimana manusia ingin berperilaku baik atau mewujudkan hal-hal baik dalam hidupnya. Pada novel Lelaki Harimau Karya Eka Kurniawan kemuliaan yang ingin diwujudkan oleh Margio adalah ingin menjadi bermanfaat bagi orang –orang yang ia kasihi, khususnya Nuraeni, dengan cara membuat perempuan tersebut memiliki kehidupan yang bahagia. Bentuk kemarahan Margio terhadap Komar sebenarnya merupakan satu hal yang menunjukkan bahwa arketipe self dalam dirinya mulai diangkat ke permukaan, yaitu wilayah kesadaran. Karena pada dasarnya kemarahan ini merupakan bentuk cinta dan kasih sayang Margio terhadap Nuraeni. Apabila Margio tidak memiliki kemarahan yang cukup besar terhadap Komar setelah melihat bagaimana kedua orang yang ia sayangi disiksa, maka tidak dapat dikatakan bahwa bentukarketipe self dalam diri Margio merupakan keinginan yang besar untuk membahagiakan ibunya. Keberadaan amarah inilah yang menjadi satu bentuk acuhan atas kemunculan arketipe self dan juga langkah-langkah berikutnya yang diambil oleh Margio untuk merealisasikannya ke dalam bentuk yang lebih nyata. Alasan lain mengapa arketipe self dapat muncul dan kemudian berusaha direalisasikan oleh Margio adalah karena arketipe self merupakan salah satu bagian psike yang memegang kendali besar dalam pengorganisasian sistem psikologi seseorang. Dalam psikologi Jungian, “diri” merupakan kekuatan bawah sadar, lebih khusus lagi, sebuah aspek ketidaksadaran kolektif yang berfungsi sebagai “pusat pengorganisasian” (Jung and Collaborators, 1964, halaman 161) seluruh sistem psikologi seseorang (Oliver, 2010: 147). Manusia membutuhkan sesuatu yang harus dituju dalam hidup, apa yang ia tuju akan menghindarkan diri dari kekosongan yang tiada ujung, karena sebagaimana diketahui arketipe self merupakan bagian arketipe manusia yang dapat mengantar manusia menuju rasa utuh.
Arketipe self yang berada di wilayah tak sadar kolektif akan mencari cela untuk muncul ke permukaan kesadaran manusia, dengan tujuan agar dapat diketahui dan kemudian diwujudkan oleh manusia itu sendiri. Salah satu hal yang dilakukanarketipe self dalam diri manusia agar dapat disadari adalah dengan muncul melalui mimpi. Melalui mimpi arketipe self dapat menunjukkan wujudnya pada manusia, sekalipun membutuhkan cukup waktu bagi manusia untuk merealisasikannya ke dalam dunia nyata. Menurut Semiun (2013: 12) dalam pandangan Jung meskipun arketipe-arketipe itu tetap tidak sadar namun mereka mempengaruhi pikiran-pikiran, mimpi-mimpi, dan emosi-emosi kita. Arketipe self dalam novel Lelaki Harimau karya Eka Kurniawan berhubungan dengan ingatan seputar ibu, hingga kemudian arketipe self yang berkembang berupa keinginan yang besar untuk membahagiakan ibunya. Hal ini menjadi salah satu latar belakang aspek mengenai ibu dapat muncul dalam mimpi manusia. Oliver (2010: 145) mengatakan bahwa berbagai arketipe, seperti arketipe ibu, sering kali tampak dalam dongeng, mimpi, mitos, dan beberapa pemikiran psikotik. Maka dianggap sebagai hal yang wajar apabila manusia memimpikan sosok ibu dalam kehidupannya ketika sedang tertidur. Jika dilihat dari aspek ini, Margio dalam novel Lelaki Harimau juga mengalami hal yang sama, ketika tidur ia memimpikan ibunya. Mimpi yang dialami tidak berupa penglihatan yang buram atau simbolik, melainkan satu hal yang dirasa nyata karena ia dapat menyadari bahwa yang berada dalam mimpinya benar-benar sang ibu. Berikut datanya: Margio tengah tertidur di pos ronda, berimpitan dengan Agung Yuda selepas mabuk arak ketan putih, sambil mengigau “ibuku bunting dan bakal beranak, menambah-nambah bocah kurang urus di rumah” kala Jafar tetangga yang bertugas ronda membangunkannya dan memberi tahu, “Ibumu hendak melahirkan”.... (Kurniawan, 2014: 149). Menurut Gardner (2005: 184) pengetahuan tentang ibu yang diperoleh secara individual merupakan pemenuhan suatu kemampuan yang diwariskan yang telah dibentuk dalam otak manusia oleh pengalaman-pengalaman ras masa lampau. Margio sebagai tokoh utama juga memiliki pandangan tentang seorang ibu dalam pikirannya yang merupakan warisan leluhur terdahulu. Namun untuk menyadari seberapa besar pentingnya sosok seorang ibu dalam kehidupannya, ia memerlukan pengalaman-pengalaman yang kemudian mampu mendorong dirinya menyadari bahwa kehadiran seorang ibu adalah hal yang
sangat penting dalam dirinya. Bahkan hal itu dapat menjadi sesuatu hal yang mampu membuatnya meraih keutuhan dalam kehidupan. Sejak kecil Margio menyadari bahwa ibunya menjalani kehidupan yang tidak bahagia. Kenyataan ini yang mendorong Margio melakukan hal-hal kecil untuk membuat ibunya merasa bahagia. Usaha yang dilakukan Margio untuk membahagiakan ibunya merupakan bentuk dari perkembangan self dalam diri Margio. Self yang sudah disadari dan kemudian terus berkembang ini secara alami mendorong Margio untuk merealisasikannya ke dalam perilaku-perilaku yang membuat ia semakin dekat dengan apa yang ingin ia capai. Menurut Alwisol (2016: 49) arketipe self merupakan arketipe yang memotivasi perjuangan orang menuju keutuhan. Untuk menjadi pribadi yang utuh Margio harus mencapai atau memenuhi self dalam dirinya. Ketika self disadari oleh ego secara otomatis apa yang dilakukan oleh manusia dan yang telah disadari oleh ego sebagai bagian yang mendominasi wilayah kesadaran akan terus berpusat pada pencapaian self dalam diri manusia itu sendiri. Dalam bagian ini akan dijelaskan bagaimana Margio berusaha mencapai keutuhan (arketipe self) dalam dirinya. Arketipe self yang memang berada pada alam bawah sadar atau ketaksadaran kolektif memang dari awal masa kehidupan sudah mempengaruhi tingkah laku manusia, meskipun pengaruhnya tidak termasuk pengaruh yang sangat besar dan dapat dilihat dengan jelas. Bagaimana manusia melakukan sesuatu, apa yang disuka dan tidak disuka, serta hal apa yang membahayakan bagi diri manusia, merupakan hal-hal kecil yang sebenarnya dipengaruhi oleh sisi tak sadar kolektif meskipun tidak disadari oleh manusia itu sendiri. Menurut Gardner (2005: 185) apa yang dipelajari oleh seseorang sebagai hasil dari pengalaman secara substansial dipengaruhi oleh ketidaksadaran kolektif yang melakukan peran mengarahkan atau menyeleksi tingkah laku sang pribadi sejak awal kehidupan. Hal tesebut dapat dilihat dalam diri Margio, Margio selalu ingin membahagiakan kehidupan ibunya meskipun ia tahu apa yang inginkan susah terwujud. Keinginan ini merupakan bentuk dari arketipe self yang berada di wilayah ketaksadaran. Langkah Margio untuk mewujudkan hal ini dipengaruhi oleh kekuatan alam bawah sadar atau ketaksadaran kolektif pada dirinya. Sehingga dapat dibenarkan bahwa segala yang ia lakukan akan terus membuatnya semakin dekat dengan penyempurnaan diri meraih keutuhan (arketipe self). Kenyataannya Margio hanyalah manusia biasa yang juga mengalami kesulitan dalam pencapaian atau perwujudan arketipe self untuk
menuju keutuhan hidup. Kesulitan yang amat besar terjadi dalam proses yang dijalani Margio, ia gagal mewujudkan keinginannya untuk menikahkan ibunya. Arketipe self Margio seperti menemui titik terang ketika Komar meninggal, dan dalam wilayah kesadaran arketipe self mampu semakin berkembang pesat. Hal ini kemudian membuat Margio mampu menyingkirkan rasa gugup dan malu pada dirinya sendiri. Ia memberanikan diri untuk menemui Anwar Sadar agar keinginannya dapat terealisasikan ke dalam dunia nyata. Margio meminta Anwar Sadat menikahi ibunya. Berikut datanya: Di depannya tanpa membuang tempo sebab dirinya sadar waktu bisa melenyapkan seluruh nyali, ia berkata kepada lelaki itu, “Aku tahu kau meniduri ibuku dan Marian anak kalian,” katanya. Kalimat itu mengapung di antara mereka, Anwar Sadat pasi menatap wajahnya. Margio melanjutkan, “Kawinlah dengan ibuku, ia akan bahagia.” Tergagap Anwar Sadat menggeleng, dan dengan kata terpatah ia bergumam. “Tidak mungkin, kau lihat aku ada istri dan anak.” Tatapan itu jelas mencela gagasan konyol Margio. Dan kalimat selanjutnya memberi penjelasan melimpah, “Lagi pula aku tak mencintai ibumu.” Itulah kala harimau di dalam tubuhnya keluar. Putih serupa angsa (Kurniawan, 2014: 190). Kegagalan Margio dalam mewujudkan self bermula dari hal tersebut, dari ketika ia tidak mampu mengendalikan emosi dan ego yang terluka karena ucapan Anwar Sadat. Nuraeni adalah bagian dari arketipe self yang selama ini ingin ia wujudkan, kebahagiaan Nuraeni menjadi hal utama uang ingin ia berikan. Bukan hanya demi Nuraeni, tetpai juga demi dirinya sendiri yang tidak mampu melihat Nuraeni terlukai. Ucapan Anwar Sadat tidak hanya melukai ego dalam diri Margio, tetapi juga memberikan goresan atas tujuan hidupnya selama ini. Tindakan Margio kepada Anwar Sadat merupakan satu reaksi karena ego dan arketipe self dalam dirinya sama-sama terluka. Namun dalam kejadian tersebut yang lebih dominan bereaksi adalah ego Margio. Mengingat tindakan membunuh bukanlah satu tindakan yang membawa kebaikan ke arah ketuhanan. Membunuh manusia atau makhluk lain bertentangan dengan nilai-nilai ketuhanan yang selama ini dipercaya. Dalam cerita dikisahkan bahwa Margio beragama Islam, tentu dalam agama yang mendominasi dunia ini tidak diajarkan hal-hal buruk, tidak hanya Islam tetapi tidak ada satu pun agama yang memperbolehkan umatnya saling membunuh. Langkah untuk mewujudkan self akan selalu berada
pada jalan yang benar, patuh pada nilai-nilai agama yang ada di dunia. Sekalipun tujuan Margio untuk membahagiakan ibunya merupakan hal yang baik, tetapi cara perealisasiannya tidak dapat diterima. Kegagalan Margio ini memiliki hubungan yang erat dengan sistem paruhan hidup pada dirinya. Sistem paruhan hidup akan menunjukkan bagaimana posisi arketipe self pada diri manusia berdasarkan faktor usia. Usia manusia secara langsung memiliki peran yang besar bagi manusia itu sendiri ketika sedang melakukan proses indivisuasi (perwujudan arketipe self). Arketipe self tidak dengan cepat berada dalam wilayah kesadaran, ia harus melalui proses berdasarkan pertumbuhan biologis dan psikis manusia. Hal ini dikarenakan arktipe self tidak berkembang dengan baik ketika pertumbuhan biologis dan psikis manusia belum siap untuk melakukan proses penyempurnaan dengan menuju keutuhan. Paruhan hidup merupakan sebuah sistem pembagian usia manusia. Pembagian usia manusia dibagi menjadi dua macam, yaitu paruhan hidup pertama dan paruhan hidup kedua. Manusia berada pada paruhan hidup pertama ketika baru lahir hingga berusia 30 tahun, dan memasuki paruhan hidup kedua ketika berusia lebih dari 30 tahun. Sistem paruhan hidup inilah yang nantinya memiliki pengaruh yang cukup besar terhadap perwujudan self dalam diri manusia. Pada novel Lelaki Harimau karya Eka Kurniawan, Margio sebagai tokoh utama berada pada paruhan hidup pertama. Hal ini dikarenakan novel ini menceritakan kehidupan Margio sejak kecil hingga berusia 20 tahun. Berikut data yang menunjukkan bahwa Margio dalam novel Lelaki Harimau karya Eka Kurniawan menceritakan kehidupan Margio sebagai tokoh utama sejak kecil hingga berumur 20 tahun:
untuk mewujudkan keinginannya hidup bahagia bersama ibunya, tetapi kemudian satu pemahaman baru muncul dalam pikiran Margio. Ia merasa bahwa ibunya akan bahagia apabila menikah dengan lelaki yang ia cintai, Margio akan sangat bahagia apabila lelaki tersebut tidak seperti ayahnya, Komar, yang begituu kejam terhadap ibunya, Nuraeni. Pemahaman inilah yang kemudian membawa Margio pergi menemui Anwar Sadat di rumahnya. Ia pikir Anwar Sadat adalah laki-laki yang dicintai Nuraeni dan jelas mampu membuat perempuan tersebut hidup bahagia. Ketika Margio mengambil langkah untuk menemui Anwar Sadat menunjukkan bahwa ia masih berusaha untuk mewujudkan arketipe self dalam dirinya. Tetapi kemudian permintaan untuk membahagian Nuraeni ditolak oleh Anwar Sadat, ditambah dengan ungkapan bahwa sebenarnya ia tidak pernah mencintai Nuraeni. Dalam sekejap ego yang mendominasi wilayah kesadaran Margio mendorongnya untuk melakukan sesuatu yang merusak arketipe self yang selama ini begitu ingin diwujudkan olehnya. Margio membunuh Anwar Sadat dengan cara yang begitu keji, ia mengabaikan arketipe self yang berwujud hal-hal baik dalam dirinya. Karena keberadaan ego yang lebih besar dibanding self dalam wilayah kesadaran, Margio mengabaikan perjuangannya sejak lama untuk membuat ibunya bahagia dan lebih memilih menuntaskan amarahnya ketika mendengar ucapan Anwar Sadat dengan cara menggigit leher lelaki patuh bayah itu hingga hampir putus. Kemudian cerita ini ditutup dengan Margio yang berada di sebuah sel akibat perbuatannya yang tak bisa diterima oleh masyarakat luas.
Agung Yuda pikir itu maksudnya tak lagi perjaka, dan disebabkan tak banyak bocah dua puluh tahunan di antara mereka masih perjaka, Agung Yuda tak menganggap serius omongan itu.... (Kurniawan, 2014: 48).
Kegagalan Margio tidak lepas dari perkembangan sisi biologis dan psikis dalam dirinya yang belum sepenuhnya mampu melakukan proses individuasi atau perwujudan self yang terbilang berat. Keadaan biologis dan psikis dapat dilihat dari usia Margio yang baru menginjak 20 tahun, pada usia 20 tahun Margio masih dikuasai oleh ego yang sangat besar meskipun arketipe elf juga sudah berada di wilayah kesadaran.
Margio dalam novel Lelaki Harimau karya Eka Kurniawan masuk pada paruhan hidup pertama. Hal ini berarti arketipe self yang terus berusaha diwujudkan oleh Margio akan terhalang oleh ego yang pada saat itu memang menguasai wilayah kesadaran dalam dirinya. Perwujudan self dalam diri Margio secara otomatis menuju kegagalan. Seperti yang dikisahkan dalam novel, sejak kecil Margio sudah menyadari keberadaan self yang berupa keinginan untuk membahagiakan ibunya, ia merasa keinginan ini akan terwujud apabila ayahnya meninggal dunia. Ketika ayahnya meninggal dunia Margio merasa ada titik terang
Sekalipun sama-sama terlukai, namun ego dan arketipe self memiliki perbedaan yang sangat jelas. Ego bertindak sesuai realita dan tidak memandang benar atau salah, hal ini yang membuat manusia terkadang dapat melakukan kesalahan, baik itu kecil ataupun besar. Sedangkan arketipe self hanya membawa hal-hal baik pada diri manusia, proses perwujudannya juga berdasarkan jalan yang sudah digariskan Tuhan dalam tiap agama. Sehingga perwujudannya pun tidak akan membawa manusia pada hal-hal yang merugikan orang lain. Margio gagal mempertahankan hal-hal baik yang selama ini ia pegang teguh selama 20
tahun, egonya masih memiliki kekuatan yang lebih besar untuk menekan dan mengesampingkan arketipe self meskipun arketipe tersebut selama 20 tahun sudah banyak mempengaruhi tingkah laku Margio. Sikap yang belum bijaksana dan masih mementingkan diri sendiri ada pada tiap manusia yang belum memasuki masa paruhan hidup kedua. Hal ini dapat dibuktikan dari bagaimana Margio mendahulukan amarahnya dibanding keluarga yang harus ia jaga. Gardner (2005:193) mengatakan bahwa pada saat ini (setengah baya atau paruhan hidup kedua) orang mulai berusaha mengubah pusat kepribadiannya dari ego sadar ke ego yang berada di antara kesadaran dan ketidaksadaran, daerah pertengahan ini merupakan wilayah diri. Ketika Margio berada pada masa paruhan hidup pertama yaitu usia 20 tahun, arketipe self belum sepenuhnya berkembang dan menguasai wilayah kesadaran. Ia hanya menjadi satu bagian lain selain ego yang ada di sana, tetapi tetap tidak menjadi bagian yang kuasanya lebih besar dari ego. Hal ini berarti pada usia 20 tahun ego dalam diri Margio tetap memegang kekuasaan, selama ini apa yang ia lakukan untuk mewujudkan arketipe self dalam dirinya berdasarkan persetujuan ego. Namun pada akhir cerita ego tidak mampu mengambil jalan kebaikan seperti yang selalu terjadi ketika mewujudkan arketipe self, ia mengambil jalan lain yang membawa Margio pada kesalahan yang tidak dapat diterima oleh orang lain.
2.
PENUUP Kesimpulan Berdasarkan penelitian terhadap novel Lelaki Harimau karya Eka Kurniawan dengan menggunakan teori psikologi milik Carl Gustav Jung pada bab sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa: 1.
Arrketipe Self merupakan sesuatu yang dimiliki manusia sejak mereka lahir. Ia berwujud keinginan yang amat besar dalam hidup yang apabila diwujudkan dapat membuat seseorang merasa utuh. Kebaikan-kebaikan dalam arketipe self yang mengarah pada nilai-nilai ketuhanan dapat disampaikan melalui beberapa hal. Wujud arketipe self pada tokoh Margio dalam novel Lelaki Harimau karya Eka Kurniawan adalah hasrat atau keinginan yang begitu besar untuk membahagiakan ibunya, Nuraeni. Hasrat atau keinginan yang mulia ini timbul sejak Margio kecil, ia merasa kehidupan Nuraeni tidak bahagia karena harus terus menerus mendapat siksaan dari ayahnya, Komar
3.
bin Syueb. Atas dasar keinginan inilah Margio sering melakukan hal-hal kecil untuk membahagiakan Nuraeni dan Mameh, sekalipun kemudian ia sadar bahwa kebahagiaan yang diberikan kepada Nuraeni tidak pernah bertahan lama dan selalu berakhir pada kembalinya roman sedih di wajah Nuraeni. Pada novel Lelaki Harimau karya Eka Kurniawan, Margio sebagai tokoh utama dapat dikatakan gagal mewujudkan arketipe self dalam dirinya. Hingga akhir cerita ia tidak dapat membahagiakan Nuraeni dan Mameh. Segala usahanya sejak ia kecil terpatahkan akibat egonya tidak dapat menerima perilaku Anwar Sadat, hingga kemudian ia membunuh Anwar Sadat dengan cara menggigit leher lelaki tersebut. Sekalipun pada awalnya Margio tidak memiliki keinginan untuk membunuh Anwar Sadat, ia hanya ingin Nuraeni hidup bahagia dengan menikahi lelaki yang dicintai. Margio beranggapan bahwa Anwar Sadat mampu membahagiakan Nuraeni, hal ini yang mendorong Margio untuk pergi menemui Anwar Sadat dan menyampaikan niatnya tersebut. Tetapi kemudian yang ia dapat dari Anwar Sadat adalah jawaban bahwa ia tidak akan pernah menikahi Nuraeni, sebab ia sudah beranak istri dan tidak pula mencintai Nuraeni. Jawaban Anwar Sadat inilah yang membuat Margio begitu marah dan mengesampinngkan keinginannya untuk membahagiakan Nuraeni hingga kemudian memutuskan membunuh Anwar Sadat dengan cara yang keji. Margio berada pada paruhan hidup pertama, paruhan pertama yang dimiliki seseorang sejak lahir hingga berusia 30 tahun. Novel Lelaki Harimau karya Eka Kaurniawan menceritakan kehidupan Margio sejak kecil hingga berumur 20 tahun. Hal ini yang menyebabkan Margio masuk ke dalam sistem paruhan hidup yang pertama. Pada paruhan hidup pertama manusia cenderung lebih mengutamakan ego dibanding aspek lainnya. Pada paruhan ini arketipe self dalam diri seseorang sudah dapat disadari dan diangkat ke wilayah kesadaran. Begitu pula arketipe self Margio, namun karena memang ego masih mendominasi wilayah kesadaran self dalam diri seseorang cenderung gagal untuk diwujudkan. Hal ini yang menyebabkan Margio gagal mewujudkan arketipe self dalam dirinya, yaitu karena ego yang ia miliki masih menguasai wilayah kesadaran karena
memang Margio masih berada di paruhan hidup pertama. 5.2 Saran Dalam penelitian ini, saran yang akan disampaikan bagi penulis lain dapat dijadikan sebagai berikut: 1.
2.
3.
Akan ada penelitian selanjutnya yang membahas aspek psikologi dari tokoh Margio dengan menggunakan konsep dari tokoh psikologi yang lain. Hal ini bertujuan agar pemahaman seputar aspek psikologi Margio sebagai tokoh utama dapat lebih beragam. Bagi peneliti yang hendak menggunakan aspek psikologi Carl Gustav Jung diharapkan dapat menggunakan bukubuku primer yang memang ditulis oleh Carl Gustav Jung, hal ini disebabkan materi yang dibahas dalam buku-buku sekunder tidak cukup memadai untuk digunakan sebagai bahan acuhan. Dengan menggunakan buku primer peneliti akan lebih mudah memahami pemikiran tokoh yang teorinya digunakan untuk menelaah karya sastra. Banyak sekali aspek selain psikologi yang dapat dikaji dalam novel Lelaki Harimau karya Eka Kurnniawan, sehingga diharapkan akan ada penelitian menggunakan teori-teori lain agar segala aspek dalam novel ini dapat terkupas dengan baik.
Jung, Carl Gustav. 1986. Menjadi Diri Sendiri: Pendekatan Psikologi Analitis (terjemahan Agus Cremes). Jakartsa: PT Gramedia. Jung, Carl Gustav. 2016. Memories, Dreams, Reflections (terjemahan Apri Danarto). Yogyakarta: Octopus Publishing. John, Oliver P, dkk. 2010. Psikologi Kepribadian: Teori dan Penelitian. Jakarta: Prenada Media Group. Kurniawan, Eka. 2014. Lelaki Harimau. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Lindzey, Gardner, dkk. 2005. Psikologi Kepribadian I: Teori-teori Psikodinamik (klinis). Yogyakarta: Penerbit Kanisius (Anggota IKAPI). Mayasari, Henny Tri. 2015. Ekstroversi dan Introversi Tokoh dalam Novel LayangLayang Terakhir Karya Hery Sunarsono: Tinjauan Psikologi Carl Gustav Jung. Skripsi. Tidak Diterbitkan. JBSI FBS Unesa. Minderop, Albertine. 2013. Psikologi Sastra: Karya Sastra, Metode, Teori, dan Contoh Kasus. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia. Najid, Moh. 2009. Apresiasi Prosa Fiksi . Surabaya: University Press.
DAFTAR PUSTAKA Alwisol. 2016. Psikologi Kepribadian. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang. Azwar, Saifuddin. 2015. Metode Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Indah, Eka Yuni Nur. 2015. Kepribadian TokohTokoh dalam Cerita Anak Karya Shoffiyah Lukman: Kajian Psikologi Sastra Carl Gustav Jung. Skripsi. Tidak Diterbitkan. JBSI FBS Unesa.
Pervin, Lawrence A, dkk. 2008. Kepribadian: Teori dan Penelitian. Jakarta: Salemba Humanika.
Penelitian. Rafiek, M. 2013. Pengkajian Sastra: Kajian Praktis. Bandung: PT. Rafika Aditama.
Budianta, Melani, dkk. 2006. Membaca Sastra: Pengantar Memahami Sastra untuk Perguruan Tinggi. Magelang: Indonesia Tera.
Ratna, Nyoman Kutha. 2013. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Pustaka Pelajar: Yogyakarta.
Endraswara, Suwardi. 2013. Metode Penelitian Sastra. Yogyakarta: CAPS (Center for Academic Publishing Service).
Semiun, Yustinus. 2013. Teori-Teori Kepribadian: Psikoanalitik Kontemporer 2. Yogyakarta: Penerbit Kansius.
Faruk. 2012. Metode Penelitian Sastra: Sebuah Penjelajahan Awal. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Wellek, Rene dan Austin Warren. 2014. Teori Kesusastraan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Hargenhahn, B.R. dan Matthew H. Olson. 2013. Pengantar Teori-Teori Kepribadian: Edisi Kedelapan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Widyanugroho, Alfiansyah. 2014. Legenda Macan Putih di Desa Blega Kecamatan Blega Kabupaten Bangkalan (Kajian Arketipe Carl Gustav Jung). Skripsi. Tidak Diterbitkan. JBSI FBS Unesa.