Diri-Jamak (Plural-Self): Diri dalam Tinjauan Psikologi Diskursif Achmad Chusairi Fakultas Psikologi Universitas Airlangga
Abstract This study aims to explore main concept of "self" in youth construction about self. This analysis stand on discursive analysis which concern about modernism development, late capitalism, and discursive analysis approach. Discursive analysis was done through four stages, i.e. data collection, preparation for analysis, analysis, and report writing. Discursive analysis aims to describe the construction, variability, and function of a discourse. In depth interview were carried to six participants, recorded, transcribed verbatim, and analyzed. Validation process of analysis and interpretation in this research based on coherence principle, i.e. every claims in analysis and interpretation must be based on evidences that refers to texts and must be clear formulated. Research findings show that youth construct about self as substantial-self, social-self, and rational-self. Those concepts are adapted with social condition and real situation. The construction process is experienced by youth directive, constructively, and repressive. Youth acceptance of self as concept, divide into two attitudes: fully acceptance and selective acceptance. Self as concept have function as gratification of psychological and instrumental needs, and also as form of obedience. Keywords: self, youth, modernism, late capitalism, discursive analysis
Pencapaian rumusan identitas diri menurut Erikson adalah bagian penting dari proses perkembangan remaja (Schachter, 2002). Identitas diri yang dirumuskan Erikson sebagai "perasaan subyektif akan kesamaan dan kontinuitas yang nyata" (subjective sense of an invigorating sameness and continuity) menjadikan individu seolah menjadi orang yang sama sepanjang waktu. Proses perumusan identitas diri pada masa remaja menjadi penting karena terjadinya pengorganisasian, sintesis, dan transformasi
identitas-identitas di masa kanak-kanak menuju satu struktur tunggal yang disebut sebagai konfigurasi identitas (identity configuration). Marcia dengan mengembangkan gagasan Erikson dalam teori ego identity status menyatakan bahwa identitas diri merupakan hasil dari komitmen individu pada identitas tertentu. Kegagalam dalam proses pembentukan identitas menjadikan individu mengalami kebingungan (diffuse) atau kemandegan (moratorium) dalam proses pembentukan identitas diri.
* Tulisan ini merupakan ringkasan laporan penelitian thesis di Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, tahun 2008. * Korespondensi: Achmad Chusairi, Departemen Psikologi Kepribadian dan Sosial Fakultas Psikologi Universitas Airlangga, Jl. Dharmawangsa Dalam Selatan Surabaya 60286, Telp. (031) 5032770, 5014460, Faks. (031) 5025910, E-mail:
[email protected].
INSAN Vol. 12 No. 01, April 2010
21
Diri-Jamak (Plural-Self): Diri dalam Tinjauan Psikologi Diskursif
Identitas diri bagi Mansfield (2000), dalam kajian filsafat, teori sosial maupun kajian budaya (cultural studies) seringkali digunakan saling bergantian dengan istilah diri (self) dan subjek (subject). Diri dalam pengertian Mansfield adalah konsep yang mengandung pengertian campuran tentang pengalaman individu tentang dirinya s e n d i r i s e b a g a i s e b u a h ko n s e p d a l a m pengertiannya yang paling abstrak dengan emosi yang paling langsung dan intens. Pengertian diri yang cenderung subjektif ini dibedakan dengan konsep subjek yang cenderung mengandung pengertian pengaruh sosial dan budaya dalam pengertian kita tentang diri. Pengalaman tentang diri sebagai subyek, menurut Mansfiled, selalu mengandaikan diri yang telah berada dalam relasirelasi sosial, budaya, dan politik. Kondisi tersebut di atas kini tidak lagi memungkinkan karena adanya proses globalisasi, proses penyebaran kapital, orang, informasi, kebudayaan melampaui batas-batas nasionalitas, yang disokong oleh kemajuan dan kecanggihan teknologi transportasi dan komunikasi (Callero, 2003). Globalisasi menjadikan sumber pemaknaan untuk membangun satu identitas diri menjadi beragam, dan bahkan bersifat saling bertentangan (kontradiktif). Keragaman dan kontradiksi nilainilai sumber pemaknaan identitas tersebut besumber pada perbedaan antara nilai-nilai globalisasi dengan nilai-nilai sosial tradisi dimana seseorang hidup. Callero bahkan menyatakan bahwa yang sering terjadi ketika nilai atau tradisi lokal berhadapan dengan nilai-nilai globalisasi yang sebagian besar diproduksi oleh kebudayaan negara-negara maju adalah tergerusnya (disruption), bercampurnya, dan terkolonisasinya nilai dan tradisi lokal oleh nilai-nilai global. Kebingungan identitas yang sama menurut penulis juga terjadi pada masyarakat Indonesia, khususnya kaum muda, di Indonesia yang juga menjadi negeri obyek globalisasi. Kebingungan akibat dari kontradiksi identitas diri pada kaum muda dapat dicermati pada gaya hidup remaja di kota-kota besar Indonesia (Putri, 2005), seperti Jakarta, Surabaya, Yogyakarta, dan Bandung. Kontradiksi dalam pencarian identitas diri kaum muda yang tercermin dalam gaya hidup mereka salah satunya berwujud pada dalam pola berpakaian yang terus-menerus mengikuti mode fashion (Juliastuti, 2000). Pola berpakaian adalah
22
bagian dari sumber daya perumusan identitas diri dalam kategori bagian fisik dari tubuh (feature of corporal body), selain kategori sumber daya yang lain yaitu dongeng-dongeng tradisi, wacana kebudayaan, ideologi politik, dan peran sosial (Callero, 2003). Deskripsi faktual tentang hal ini pernah dilaporkan dalam harian Kompas (Fitrianto, 2006). Laporan di rubrik gaya hidup itu menjelaskan apa yang menjadi mode pakaian mutakhir yang dianggap bagian dari ekspresi identitas. Identitas dalam bentuk tradisional tersebut kini telah banyak berubah seiring dengan berlangsungnya proses globalisasi (Evers, 2007). Perubahan tersebut juga menjadi bagian dari perubahan hidup yang dialami kaum muda di Indonesia dalam konteks perumusan dirinya. Perilaku konsumsi atas benda (material) sendiri menurut Ahuvia (2005) dalam kajian ilmu-ilmu sosial dianggap sebagai bagian dari ritus perumusan diri. Dengan demikian, dapat dipahami jika pada kaum muda Indonesia, perilaku mengkonsumsi barang dan makna yang menjadi komoditas gaya hidup modern menjadi pola dan ekspresi identitas diri. Komoditas dalam masyarakat dan budaya konsumerisme tidak sekedar diperlakukan sebagai benda atau barang fungsional, namun berkat berkembangnya kebudayaan iklan, komoditas mengalami reorganisasi makna sebagai satu sistem simbol dan pemaknaan. Makna yang melekat pada komoditas diciptakan dan disebarluaskan kepada konsumen sebagai bagian dari strategi pemasaran kemudian bagi konsumen menjadi sumber-sumber pemaknaan yang digunakan untuk merumuskan dirinya (Minerbo & Yazigi, 2000). Konsumsi sebagai hidup kemudian menjadi pola dan proses individu memaknai diri dan hidupnya, seperti yang diungkapkan oleh Pierre Bourdieu (dalam Lodziak, 2002), "Consumption is the articulation of a sense of identity. Our identity is made up by our consumption of goods and their consumption and display constitutes our expression of taste". Proses perumusan diri yang membutuhkan simbol dan makna yang diperoleh dari konteks sosial dimana ia hidup selalu membutuhkan medium bahasa untuk merangkai simbol dan makna diri tersebut. Bahasa yang digunakan individu untuk merumuskan diri ini kemudian INSAN Vol. 12 No. 01, April 2010
Ahmad Chusairi
menyusun sebuah narasi atau cerita tentang diri seseorang. Diri tidak hanya dapat dinarasikan dalam satu versi cerita, tetapi dapat dinarasikan ke dalam beberapa cerita, atau diceritakan dengan cara yang baru berdasarkan cerita yang lama. Pemikiran ini yang menjadi dasar ahli psikologi sosial yang berpandangan konstruksi sosial menyebut diri sebagai suatu narasi (Burr, 2002). Tafsir atas diri yang beragam tampaknya telah menjadi realitas hidup sehari-hari dan bukan dianggap sebagai satu masalah, meskipun jika merujuk pada definisi diri dan identitas diri (self identity) dalam kajian psikologi yang konvensional diri dianggap sebagai sesuatu yang tunggal (unity) dan tak terbagi (indivisibility) (Wolputte, 2004). Dua ekspresi identitas diri tersebut dalam kajian psikologi bahkan sudah dapat dikategorikan sebagai gejala patologi mental, paling tidak termasuk dalam kategori multiple personality disorder. Dengan demikian, mestinya individu yang mengalami kontradiksi identitas diri ini akan mengalami "gangguan" mental, seperti yang selama ini diyakini dalam psikologi. "Diri" seperti yang telah dipaparkan di atas, dapat ditafsirkan sebagai suatu narasi. Narasi yang tersusun dari elemen-elemen bahasa. "Diri" dengan demikian dapat dipandang sebagai suatu entitas kebahasaan. Pendekatan dalam psikologi yang menggunakan pendekatan kebahasaan untuk memahami suatu konsep psikologi salah satunya adalah psikologi diskursif, yang model analisisnya dikenal dengan analisis diskursif (discoursive analysis). Konstruksi tentang "diri" dan bagaimana kaum muda mengkonstruksikannya dalam perspektif analisis diskursif adalah rangkaian sistem representasi (a system of representation) yang meliputi pola-pola dasar (rules) dan praktikpraktik kehidupan yang memproduksi makna (Parker, 1997; Rogers, 2003). Sistem representasi ini dalam penelitian ini disebut sebagai wacana (discourse). Wacana adalah suatu praktik produksi makna yang secara umum meliputi praktik bahasa dan penggunaan media simbolis lainnya yang berfungsi sebagai produksi makna. Media simbolis lainnya dapat berupa sesuatu dengan keragaman tanpa batas, dimana sesuatu dapat disebut media simbolis sejauh sesuatu tersebut digunakan oleh individu untuk memproduksi dan mengkomunikasikan makna. INSAN Vol. 12 No. 01, April 2010
Latar belakang sosial-budaya seperti yang diungkapkan di atas menjadi dasar pokok penelitian ini untuk berusaha mengeksplorasi lebih lanjut tentang bagaimana konstruksi diri pada kaum muda (remaja) dengan menggunakan pendekatan analisis diskursif. Analisis diskursif diharapkan mampu menggambarkan konsepkonsep pokok yang digunakan kaum muda untuk merumuskan dirinya.
Diri Diri sebagai suatu representasi konseptual lebih tajam lagi dirumuskan sebagai suatu narasi dalam pemikiran-pemikiran ahli psikologi konstruktivis seperti Kenneth J. Gergen (1998). Gergen berpendapat bahwa diri pada dasarnya merupakan suatu textual being atau keberadaan tekstual. Diri pada awalnya adalah konsep-konsep yang ada dalam pikiran-pikiran mereka (individu) yang merumuskannya. Konsep tentang diri ini sangat berbeda dengan pandangan ahli-ahli psikologi konvensional yang membayangkan diri sebagai suatu substansi mental yang nyata (real), bersifat otonom, pribadi, dan terisolasi dari lingkungan sosialnya (Mattes & Schraube, 2004). Diri sebagai narasi dengan demikian berciri sebagai proses berbahasa dan proses sosial (relasional), yang memungkinkan diri dibentuk dan dibentuk lagi. Upaya merumuskan konsep tentang "diri" dalam psikologi memiliki sejarah yang panjang. Penjelasan berikut ini berusaha memaparkan secara ringkas sejarah perumusan tersebut dimulai dari pemikiran René Descartes.
1.
Descartes: Diri Kognitif René Descartes, filsuf pencerahan yang dianggap sebagai peletak dasar filsafat modern, dalam pencariannya akan dasar filsafat pertama yang tak terbantahkan menempuh metode keraguan. Metode ini mengantarkan Descartes pada simpulan bahwa pikiran/rasio manusia adalah keberadaan yang tak terbantahkan. Manusia dianggap secara esensi merupakan makhluk yang berpikir, namun dengan tubuh yang fana. Tubuh hanya alat bagi pikiran. Diri Cartesian yang memandang pikiran sebagai entitas yang mengandung pemikiran dan kenyataan dalam dirinya sendiri juga menggambarkan diri sebagai sesuatu yang lepas dari lingkungan. Diri cartesian
23
Ahmad Chusairi
dengan benar ini dapat disejajarkan dengan keyakinan psikologi dalam mendeskripsikan "diri". Ahli-ahli psikologi konservatif, dan juga orang awam, percaya bahwa pengalaman akan "diri" merupakan pengalaman kesadaran yang langsung (an immediate) dan intuitif. Pengalaman kesadaran ini menghasilkan pengetahuan akan "diri" yang ketika berusaha kita pahami dengan baik, selalu kita rumuskan dalam bahasa (secara verbal atau hanya di tingkat kognisi). Keyakinan kita atas validitas dan kebenaran rumusan atas "diri" dengan menggunakan perangkat bahasa ini oleh Derrida disebut sebagai keyakinan akan selfpresence (Løvlie, 1992), diri yang mempresentasikan/menghadirkan dirinya. Keyakinan tentang self-presence inilah yang ditolak oleh Derrida. Rumusan "diri" yang sebelumnya diyakini bersifat substantif dan dianggap sebagai inti atau esensi, sejauh rumusannya menggunakan bahasa, maka rumusan itu tidak lagi meyakinkan diri berkorespondensi dengan "diri" sebagai realitas yang substantif. "Diri" yang dirumuskan dengan bahasa lebih tepat disebut sebagai proses merepresentasikan pengalaman tentang yang langsung dan intuitif itu. Perumusan "diri" dengan demikian merupakan proses pembahasaan pengalama, atau dalam istilah Derrida, merupakan proses signification. Proses ini lebih lanjut membongkar asumsi dan keyakinan psikologi konservatif selama ini bahwa berbagai konsep tentang "diri" bersifat mendasar (esensial), seperti tampak dalam berbagai teori kepribadian. "diri" adalah hasi dari proses representasi dan signifikansi melalui bahasa, atau bahkan "diri" adalah sibolsimbol yang menjadi bagian dari konstruk representasi atau proses signifikansi itu sendiri. Diri adalah bahasa, atau dalam istilah Løvlie (1992) diri sebagai teks. Teks dan proses signif ikansi dalam pengertian pascastrukturalisme adalah komponen b a h a s a ya n g ke t i k a d i b e r i p e m a k n a a n dekonstruktif oleh Derrida menjadikan mungkin untuk menafsirkan konstruksi dan representasi "diri" tidak sebagai suatu proses yang tunggal. Proses signifikansi itu mungkin saja melibatkan banyak signifikansi dengan menggunakan beragama modalitas tanda (sign) untuk menyusun teks. "Diri" dengan demikian tidak lagi mencukupi INSAN Vol. 12 No. 01, April 2010
untuk ditafsirkan sebagai diri yang tunggal, "diri" kini dapat dibaca sebagai diri yang jamak atau diri plural (plural self). Pengertian yang kurang lebih sama juga dirumuskan oleh pendekatan konstruktivisme sosial yang menganggap diri merupakan kompilasi dari berbagai narasi, teks, atau wacana.
Postmodernisme, Kapitalisme Lanjut dan Konsumsi Kondisi sosial dan kebudayaan mutakhir telah banyak menimbulkan perdebatan dalam kajian filsafat dan ilmu-ilmu sosial karena sebagian ahli menyebutkan sebagai "postmodern" (Kang, 1999; Featherstone, 1991). Istilah postmodern/postmodernisme sendiri hampir mencapai tingkat abuse dalam perdebatan ilmuilmu sosial. Sebagian ahli menganggap postmodern/postmodernisme sebagai suatu tahapan sejarah/jaman (epoch) yang datang meneruskan/mengganti jaman modern, sebagian yang lain menggapnya sebagai suatu kondisi sosial-kebudayaan yang mengandung maknamakna baru yang tidak ada dalam masa modern, sebagian yang lain menganggapnya lebih serius sebagai suatu sistem filsafat (di tingkat ontologi, epistemologi dan aksiologi) (Kvale, 1992). Penciptaan nilai guna tambahan (ersatz usevalue) (Rose, dalam Featherstone 1991) dan penciptaan kebutuhan dan keinginan tanpa henti untuk mengkonsumsi barang dilakukan dengan memanipulasi berbagai simbol kehidupan untuk diasosiakan dengan komoditas yang dingin dijual oleh kapitalisme. Tujuan utama dari langkah kapitalisme ini adalah menjadikan budaya modern (atau postmodern) sebagai budaya masyarakat pengkonsumsi (culture of consumer society) (Featherstone 1991). Kultur dalam masyarakat kontemporer kemudian mendapatkan pemaknaan yang baru melalui pembanjiran tanda dan makna sejuah hal itu memenuhi kaidah bahwa apapun yang ada dalam kehidupan sosial dapat dijadikan sesuatu yang bersifat budaya (kultural). Pembanjiran tanda dan makna demi kepentingan pemasaran kapitalisme ini tidak terelakkan menciptakan pembauran, peleburan, penghilangan kategori dan makna lama simbol budaya untuk diproduksi dan direproduksi demi pemasaran. Proses ini mengakibatkan, dalam sudut pandang nilai-nilai tradisonal, menciptakan
25
Diri-Jamak (Plural-Self): Diri dalam Tinjauan Psikologi Diskursif
ini bersifat asosial, karena keberadaaannya tidak ditentukan oleh lingkungan sosialnya (Bakhurst & Sypnowich, 1995; Sökefeld, 1999).
2.
William James: Teori tentang Aku sebagai Subyek (I) dan Obyek (Me) James membedakan antara "diri" sebagai yang diketahui yaitu sebagai "me", sebagai "the self as known" dan "diri" sebagai yang mengetahui yatu "I", "the self as knower" (Rogers, 2003). "Diri" sebagai yang diketahui lebih lanjut dibagi oleh James menjadi tiga aspek yaitu diri material, sosial dan spiritual. Diri sebagai yang mengetahui (the self as knower) menurut James jauh lebih sulit untuk dirumuskan karena diri yang seperti ini adalah diri yang muncul dalam momentummomentum kesadaran (moments of consciousness). Kesulitan ini kemudian memunculkan spekulasi, apakah diri yang mengetahui pada dasarnya adalah ego transenden atau jiwa. Kesadaran bagi James merupakan kesadaran yang mengalir (stream of co n s c i o u s n e ss ) d i m a n a p i k i ra n , e m o s i , momentum kesadaran seketika (states), perasaan, imaji-imaji, dan ide-ide terus-menerus hadir bersama-sama secara langsung. Aliran kesadaran ini berada di luar kesadaran langsung seketika kita, aliran kesadaran yang disebut James sebagai transivitas (transitivity). Transivitas inilah yang menurutnya menjadi bidang bagi diri untuk berada dalam keadaan tetap dan tunggal (enduring, ongoing, unitary self). Diri sebagai yang mengetahui ini bagi James adalah diri yang substansial, bersifat tetap dan tunggal. 3. George Herbert Mead: "Diri" Sosial (social self) "Diri" bagi Mead yang seorang filsuf adalah sesuatu yang dikonstruksi secara sosial melalui bahasa. Pandangan Mead ini sangat dipengaruhi pandangan Vygotsky yang memandang bahasa merupakan medium bagi pikiran bergerak dalam dunia nyata. Pandangan ini lebih menekankan karakter sosial dari bahasa. Diri bagi Mead dengan demikian dihasilkan dari interaksi sosial dimana setiap individu mengasumsikan peran dari orang lain untuk mendapatkan pemahaman tentang dirinya. 4. Ervin Goffman: "Diri" sebagai Panggung Drama Goffman dalam tema tentang kehidupan 24
sehari-hari sebagai proses interaksi sosial mengambil inti gagasan dari Mead. Kehidupan di dunia bagi Goffman disimbolkan sebagai sebuah panggung teater, dimana individu-individu adalah aktor yang bermain. "Diri" adalah peran yang dimainkan individu dalam drama kehidupan. Konsep kunci dalam teori dramaturgi Goffman adalah "wajah" (face) yaitu nilai sosial positif yang diklaim atau seolah-seolah menjadi sifat dari individu ketika ia melakukan interaksi sosial. Interaksi sosial adalah ruang dimana masingmasing individu atau individu-individu yang terlibat dalam interaksi sosial memiliki komitmen bersama untuk menjadikan masing-masing pihak dalam "wajah" masing-masing. "Wajah-wajah" yang terlibat dalam interaksi sosial ini dalam istilah Goffman disebut sebagai "face work".
5.
"Diri" yang Ditentukan secara Biologis Gagasan pokok determinisme biologis tentang "diri" adalah bahwa apa yang menjadikan "diri" kita adalah faktor-faktor biologis yang bersifat alamiah. Faktor-faktor ini bersifat fisik, lebih khusus lagi faktor penentu tersebut adalah faktor genetis. 6. "Diri" yang Ditentukan secara Sosial Konsep tentang "diri" yang telah dikaji sebelumnya, lebih menekankan pada diri sebagai konsep yang dirumuskan dari kualitas-kualitas individual. Pandangan berbeda dari konsep yang individual ini lebih menekankan pada bagaimana dunia sosial sebagai basis dari konstruksi "diri". Teori belajar sosial (social learning theory) merupakan perspektif dalam model sosial ini. Pe r s p e k t i f y a n g p a d a aw a l ny a b a ny a k dikembangkan oleh Albert Bandura ini kemudian melahirkan teori-teori yang lebih detil dalam menjelaskan diri. Salah satunya adalah teori persepsi diri (self-perception theory) oleh Daryl Bems yang menjelaskan bahwa kita mengetahui siapakah kita dengan mengamati perilaku kita sendiri (Rogers, 2003). Rogers memberikan ilustrasi bagaimana seseorang yang setiap hari Minggu secara reguler pergi ke gereja, lamakelamaan akan menyimpulkan bahwa dirinya adalah individu yang religius.
Diri Plural (plural-self) Ide Derrida tentang bahasa yang dianggap media transparan untuk melukiskan kenyataan INSAN Vol. 12 No. 01, April 2010
Diri-Jamak (Plural-Self): Diri dalam Tinjauan Psikologi Diskursif
devaluasi simbol dan makna budaya. Perumusan "diri", seperti yang ditegaskan dalam pemikiran-pemikiran pascastrukturalisme dan postmodernisme, lebih bersifat lentur dalam penggunaan simbol dan tanda kebudayaan. Perumusan ini tidak terjadi dalam sebuah ruang hampa, ia terjadi dalam konteks sosial-budaya yang disebut sebagai postmodernisme atau kapitalisme lanjut. Dengan demikian, apa yang dilakukan individu dalam upaya mengkonstruksikan dirinya berdasar pada tiga aksis yaitu: 1. D e k o n s t r u k s i a t a s b a h a s a y a n g mengakibatkan melumernya batas-batas kategoris yang selama ini dipertahankan dan diyakini ada antara konsep dan metafor, antara kebenaran dan fiksi, antara filsafat (dan juga ilmu pengetahuan) dan puisi, antara yang serius dan permainan. Akibat lain dari dekonstruksi ini adalah tertolaknya gagasan tentang self-presence dalam upaya merumuskan "diri" yang menjadikan "diri" dapat dikonstruksikan secara jamak dan menggunakan simbol serta signifikansi yang beragam. 2. Kondisi postmodern, dimana membanjirnya simbol budaya dan makna tidak lagi memiliki korelasi yang pasti dan tunggal, namun bersifat artifisial. 3. Kondisi yang disebut kapitalisme lanjut (late capitalism) dimana simbol dan makna budaya dalam kehidupan sosial dieksploitasi oleh kapitalisme untuk kepentingan menciptakan budaya masyarakat konsumen.
METODE PENELITIAN Penelitian ini bertujuan mengetahui konsep kaum muda tentang "diri" dan bagaimana konsep tentang diri tersebut dikonstruksi. Tujuan untuk memahami wacana kaum muda tentang "diri" dan bagaimana wacana tersebut dikonstruksikan menjadikan peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif. Pendekatan kualitatif dipilih karena lebih relevan dan mampu mengungkap praktik pemaknaan manusia, khususnya yang dilakukan melalui praktik bahasa (Smith, Harré & Langenhove, 1995). Praktik wacana dan konstruksi wacana yang kompleks menjadikan peneliti menggunakan metode analisis diskursif.
26
Analisis diskursif adalah bagian dari pendekatan penelitian yang dikenal sebagai analisis wacana (discourse analysis). Analisis diskursif sendiri dilekatkan pada satu model penelitian analisis wacana yang umum disebut sebagai model Discourse and Social Psychology. Analisis wacana adalah pendekatan penelitian yang menekankan pentingnya bahasa dalam mengkonstruksi dan menentukan makna (Burman dan Parker, 1993; Macleod, 2002). Burman dan Parker (1993) menyatakan bahwa meskipun dalam pendekatan analisis wacana terdapat keragaman model teoritis, namun semuanya memiliki titik perhatian yang sama yaitu pada bagaimana bahasa memproduksi dan menentukan makna. Partisipan penelitian ini adalah enam kaum muda. Pemilihan partisipan dalam penelitian ini dilakukan dengan bantuan seorang informan. Informan penelitian ini pada tahap awal mendapatkan penjelasan tujuan dan kerangka berpikir penelitian ini serta karakteristik partisipan yang hendak diwawancara oleh peneliti. Peneliti dan informan kemudian mendiskusikan beberapa alternatif calon partisipan yang dianggap sesuai dan kemudian menentukan partisipan yang kemudian akhirnya menjadi partisipan dalam penelitian ini. Data dikumpulkan dengan melakukan interview mendalam kepada keenam subyek. Lokus analisis metode analisis diskursif adalah penggunaan bahasa (language use) dan bukan pengguna bahasa (language users) (Potter & Wetherell, 1987; Wood & Kroger, 2000). Unit analisisnya adalah teks, bagian dari serangkaian teks dan bukan individu yang menjadi partisipan. Pandangan teoritis ini menjadikan masalah besar sampel dalam konteks metode analisis diskursif cenderung tidak relevan karena kreteria kecukupan unit analisis dalam metode analisis diskursif adalah relevansi dan variabilitas wacana yang menjadi kajian peneliti (Wood & Kroger, 2000). Dengan demikian, sejauh wacana atau teks yang akan menjadi obyek analisis telah dianggap relevan dengan tujuan penelitian dan memenuhi variabilitas yang diinginkan oleh peneliti dalam desain penelitiannya, maka jumlah wacana atau teks dapat diangap mencukupi. Analisis dalam pendekatan analisis diskursif bertujuan mengeksplorasi konstruksi INSAN Vol. 12 No. 01, April 2010
Ahmad Chusairi
(construction), variabilitas (variability), dan fungsi wacana tertentu (Potter & Wetherell, 1987). Proses validasi dalam penelitian ini menggunakan pendekatan koherensi. Pengertian koherensi sendiri adalah bahwa setiap klaim dalam analisis dan interpretasi yang dilakukan peneliti harus memiliki serangkaian bukti yang mengacu pada teks (verbatim) dan harus pula diformulasikan dengan jelas (Wood & Kroger, 2000). Ketajaman dan kejelasan formulasi (beberapa) analisis dan interpretasi tersebut secara keseluruhan harus dapat membangun satu bangunan wacana yang meyakinkan dan argumentatif atau seperti yang dinyatakan Tracy (dalam Wood & Kroger, 2000) bahwa tidak mencukupi jika analisis-analisis yang disusun peneliti " … persuasive but collectively go in different directions" namun harus pula " … cohere together in a well-developed argument".
HASIL DAN BAHASAN Proses pertama yang dilakukan setelah proses wawancara dilakukan adalah mentranskrip hasil wawancara tersebut. Proses transkripsi dalam metode analisis diskursif umumnya menggunakan konvensi notasi transkripsi yang disusun oleh Gail Jefferson (Potter & Wetherell, 1987; Wood & Kroger, 2000; Day, Gough, & Mcfadden, 2003). Peneliti kemudian menerapkan sebagian konvensi notasi ini dengan sedikit perubahan. Notasi transkripsi yang digunakan dalam transkripsi penelitian ini adalah sebagai berikut: [teks] k a l i m a t p e n j e l a s a n ( cl a r i f i ca to r y information). (3.0) waktu jeda dalam detik (timed pause in seconds). (..) kata dihilangkan karena tidak terdengar (material omitted due to inaudibility). ::: diam atau berhenti dalam waktu yang cukup lama (lebih dari 3 detik) " bagian yang dikutip Hasil transkripsi rekaman wawancara kemudian dilakukan proses pembacaan awal dalam tahap persiapan analisis yang berguna untuk mendapatkan wawasan atau gagasan awal tentang tema penelitian pada rangkaian data yang diperoleh. Pembacaan awal ini juga sering harus dilakukan dengan diikuti proses mendengarkan
INSAN Vol. 12 No. 01, April 2010
kembali rekaman wawancara, hingga peneliti mendapatkan wawasan dan gagasan untuk melakukan analisis. Pembacaan awal yang dilakukan peneliti juga berfungsi untuk mengidentifikasikan bagian-bagian penting wacana yang dianggap penting sebagai bahan analisis. Pengidentifikasian bagian-bagian penting wacana ini oleh Potter (2003) disebut sebagai pengkodean (coding). Proses koding ini bertujuan mendapatkan (to squeeze) bagianbagian wacana yang kemudian lebih mudah diatur (manageable chunks) untuk keperluan analisis sesuai dengan pertanyaan penelitian (Potter & Wetherell, 1987). Bagian-bagian wacana ini menjadi bahan awal untuk analisis lebih mendalam. Hasil koding kemudian menjadi bahan bagi peneliti untuk melakukan pembacaan lebih mendalam untuk mengungkap konstruksi, variabilitas, dan fungsi wacana/diskursus partisipan tentang "diri". Pembacaan ini menurut Potter dan Wetherell (1987) dan juga Wood dan Kroger (2000) seringkali harus dilakukan berulang kali, khususnya peneliti yang baru menggunakan pendekatan analisis diskursif, karena biasanya seolah-olah hanya menghadapi limpahan data dalam wujud ribuan kata yang tidak ada artinya. Peneliti sendiri tidak menghitung berapa kali harus membaca verbatim dan tabel koding kemudian bolak-balik membaca konsep dan perspektif teoritis peneliti sendiri dalam proses analisis diskursif. Teknik pembacaan data yang dilakukan peneliti adalah berusaha menemukan tiga dimensi analisis diskursif yang dijelaskan oleh Potter dan Wetherell (1987) yaitu dimensi ko n s t r u k s i ( c o n s t r u c t i o n ) , v a r i a b i l i t a s (variability), dan fungsi wacana pada masingmasing partisipan penelitian. a. Konstruksi Konstruksi adalah proses analisis diskursif memahami bagaimana individu menggunakan kosa kata, kalimat, argumentasi yang merupakan bagian dari praktik bahasa untuk membangun konsepnya tentang "diri". Hasil pembacaan atas wacana keenam partisipan dalam penelitian ini menghasilkan identifikasi konstruksi "diri" sebagai berikut: 1. Diri substansial (substantial-self) Konstruksi diri substansial bermakna bahwa diri sebagai satu entitas/hal
27
Diri-Jamak (Plural-Self): Diri dalam Tinjauan Psikologi Diskursif
keberadaannya nyata, obyektif, meskipun tidak dianggap bersifat empiris sehingga keberadaannya tidak dapat dicerap secara empiris. Diri substansial juga dianggap berada di dalam eksistensi tubuh biologis namun dianggap tidak identik dengan eksistensi ragawi. 2. Diri sosial (social-self) Diri sosial adalah rumusan diri yang dikonstruksi secara sosial dalam konteks interaksi sosial. Konstruksi diri sosial ini justru lebih banyak berasal dari persepsi orang lain. Individu yang dipersepsi kemudian meyakini bahwa konsep tentang diri seperti yang dipersepsi oleh orang lain itu adalah dirinya. 3. Diri rasional Diri rasional adalah rumusan yang mendeskripsikan diri sebagai makhluk dengan rasio atau kemampuan berpikir rasional. Rasio ini menjadi salah satu elemen yang paling dianggap penting dalam rumusan tentang diri. b.
Variabilitas Variabilitas wacana menunjuk pada adanya keberagaman wacana yang digunakan individu untuk membangun konsep tentang "diri". Variabilitas tersebut juga dapat dikonstruksi dengan melihat adanya unsur ke-tidakkonsistenan dan kontradiksi makna dalam wacana yang dibangun oleh individu. Variabilitas ini juga sekaligus menunjukkan adanya kompetisi dan dominasi antar wacana dalam dunia sosial. Analisis diskursif kemudian dapat digunakan untuk memahami wacana mana yang digunakan individu, yang mungkin berarti dianggap individu sebagai wacana dominan, wacana yang dianggap benar, atau wacana yang dijadikan sumber pembenaran bagi konsepnya tentang "diri". Peneliti menafsirkan variabilitas dengan menemukan kontradiksi ketiga rumusan partisipan tentang diri seperti yang sudah dijelaskan di atas pada bagian konstruksi tentang diri. Rumusan diri substansial yang mengandaikan keberadaan diri yang keberadaannya tidak dapat dipertanyakan lagi, diri sebagai entitas yang tunggal dan tetap didalamnya mengandung kontradiksi karena dunia sosial menurut partisipan juga mengkonstruksi bentuk
28
penampilan yang menjadi representasi dari disi substansial. c.
Fungsi Wacana Analisis peneliti pada data verbatim memunculkan gagasan paling tidak ada tiga fungsi dari rumusan diri yang berbeda yaitu sebagai gratifikasi psikologis (kepuasan, kesenangan), gratifikasi instrumental (memenuhi kebutuhan ekonomis-praktis), dan bentuk kepatuhan sosial (obedience). Konsep tentang diri yang kemudian direpresentasikan dalam perilaku dan penampilan partisipan menjadi sumber pemenuhan kebutuhan afeksi. Keberhasilan individu dalam mengkonstruksi diri melalui perilaku dan penampilan sesuai dengan tujuan masing-masing partisipan jika berhasil kemudian mendatangkan efek kesenangan dan kepuasan psikologis. Wacana tentang diri berfungsi sebagai gratifikasi instrumental (memenuhi kebutuhan ekonomispraktis). Konstruksi diri yang dilakukan individu juga dijadikan sebagai elemen pemenuhan kebutuhan yang bernilai ekonomis-praktis. Representasi diri dalam perilaku dan penampilan terjadi dalam proses kontruksi sosial dimana dunia sosial yang didalamnya hidup norma-norma sosial, struktur sosial, dan kaidah-kaidah peran sosial memaksa indvidu mengembangkan rumusan diri yang adaptif dengan dunia sosial tersebut. Hal ini dapat dipahami karena dunia sosial akan memberikan berbagai sanksi sosial jika individu menentang nilai-nilai sosial yang berlaku. Rumusan diri dengan demikian adalah bentuk dari kepatuhan indvidu terhadap konstruksi dunia sosialnya
SIMPULAN DAN SARAN Individu dalam kehidupan selalu berusaha memaknai dirinya dalam konteks ruang-waktu yang dialaminya. Proses pemaknaan yang disebut individuasi ini menjadi sangat penting karena proses itu lah yang memberi makna eksistensial manusia dalam dimensi di sini dan kini sekaligus menjadi penunjuk arah menghadapi dimensi akan datang dan di sana dari kehidupan. Kehidupan modern yang memberikan banyak kesempatan individu untuk berkembang sesuai dengan harapan dan keinginan indvidu pada saat yang
INSAN Vol. 12 No. 01, April 2010
Ahmad Chusairi
bersamaan juga memberikan tekanan bagi individu karena ciri ketidakpastian dan hilangnya ikatan-ikatan sosial tradisional yang sebelumnya secara tradisi menjadi sumber pemaknaan hidup individu. Kapitalisme pada saat yang bersamaan menawarkan berbagai pemaknaan yang melekat pada berbagai komoditas yang harus diperebutkan oleh indvidu sebagai konsumen. Diskursus partisipan tentang diri memang masih menganggap bahwa diri adalah entitas yang bersifat substansial, tunggal, dan tetap, dan juga ra s i o n a l . Pa n d a n g a n i n i m e n j a d i s u l i t dipertahankan karena konstruksi partisipan tentang diri juga terjadi melalui konstruksi dunia sosial. Diskursus diri yang terumuskan sesuai dengan kompleksitas peran, kedudukan, dan situasi sosial menjadikan sulit untuk tidak memahami diri sebagai rumusan yang jamak, berbeda, dan berubah-ubah. Praktik diskursif yang dilakukan invidu dalam merumuskan dirinya tersebut terjadi selalu dalam konteks relasi sosial dan ruang sosial, yang menjadikan diskursus tentang diri ini dapat dipandang sebagai proses konstruksi sosial. Keragaman dan kompleksitas diskursus diri itu sendiri bagi partisipan berfungsi terutama sebagai media untuk memuaskan kebutuhan psikologis, kebutuhan instrumental (ekonomispraktis), dan sebagai bentuk kepatuhan sosial partisipan pada dunia sosial. Ada dua saran yang dapat diberikan berdasarkan hasil penelitian ini, yaitu: 1. Berkaitan dengan pendidikan kepada remaja di rumah. Kecenderungan individu, begitu juga remaja, untuk memaknai dirinya dalam hidup adalah kecenderungan yang kuat karena melemahnya sumber pemaknaan tradisional akibat terpecahnya ikatan-ikatan sosial tradisional.
Kapitalisme, di saat bersamaan, menyediakan makna-makna baru yang dilekatkan pada komoditas dengan proses edukasi indvidu sebagai konsumen melalui media massa, khususnya dalam bentuk iklan. Pemahaman akan kondisi ini adalah lumrah apabila banyak individu, khususnya remaja, memiliki dorongan dan perilaku konsumtif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa yang dibutuhkan adalah bahwa remaja dapat mengalami individuasinya secara bermakna. Oleh karena itu, keluarga atau orang tua dapat menahan pengaruh konsumtivisme dengan jalan memberikan alternatif-alternatif makna dan pemaknaan kepada remaja sebagai anggota keluarga. Tindakan yang lebih baik lagi adalah mendorong remaja untuk secara mandiri memaknai hidupnya, dan tidak tergantung pada komoditas kapitalisme. 2. Peneliti yang tertarik pada diskursus tentang diri dengan pendekatan analisis diskursif. Topik tentang diri, pemaknaan diri, dan pendekatan analisis diskursif adalah wilayah kajian yang banyak dipengaruhi dan juga dikerjakan oleh ahli di berbagai disiplin ilmu sosial, khususnya filsafat, kajian budaya, sosiologi, antropologi dan sebagainya. Psikologi, meski pokok kajiannya tentang individu, secara tradisional lebih memandang individu atau manusia yang dipelajarinya dari perilaku. Hal ini disebabkan adanya tuntutan agar kajian yang dilakukan disiplin psikologi mampu menghasilkan pengetahuan yang obyektif. Topik tentang diskursus diri yang dalam kajian ilmu-ilmu sosial cenderung bersifat pemahaman (verstehen) dan bukan hasil kajian empiris-positivistik membutuhkan ketajaman perumusan konseptual jika dikaji dalam psikologi.
PUSTAKA ACUAN Ahuvia, A. C. (2005). Beyond the extended self: Loved objects and consumers identity narratives. Journal of Consumer Research, 32, 171-184. Bakhurst, D., & Sypnowich, C. (1995). Introduction: Problems of the social self. Dalam D. Bakhurst, & C. Sypnowich, The social self (hal. 1-17). London: Sage Publication. Burman, E. & Parker, I (eds). (1993). Discourse analytic research: Repertoires and readings of texts in action. London: Routledge.
INSAN Vol. 12 No. 01, April 2010
29
Diri-Jamak (Plural-Self): Diri dalam Tinjauan Psikologi Diskursif
Burr, V. (2002). The person in social psychology. East Sussex: Psychology Press. Callero, P. L. (2003). The sociology of the self. Annual Review of Sociology, 29, 115-133. Day, K., Gough, B., & Mcfadden, M. (2003). Women who drink and fight: A discourse analysis of working-class women's talk. Feminism & Psychology, 13, 141158. Evers, H. D. (2007). The end of urban involution and the cultural construction of urbanism in Indonesia. Internationales Asian Forum. International Quarterly for Asian Studies, 38, 51-65. Featherstone, M. (1991). Consumer culture and postmodernism. London: Sage Publication. Fitrianto, D. (2006, 19 Februari). Pernyataan remaja dalam "fashion" … Kompas, hal. 17. Gergen, K. J. (1998). The ordinary, the original, and the believable in psychology's construction of the person. Dalam B. M. Bayer & J. Shotter, Reconstructing the psychological subject: Bodies, practices and technolgies (hal. 111-125). London: Sage Publication. Juliastuti, N. (2000). Fesyen dan identitas. Newsletter KUNCI, Mei-Juni 2000. Kang, M. K. (1999). Postmodern consumer culture without postmodernity: Copying the crisis of signification. Cultural studies, 13, 18-33. Kvale, S. (1992). From the archeology of the psyche to the architecture of the cultural landscapes. Dalam S. Kvale (ed), Psychology and postmodernism (hal. 2-16). London: Sage Publication. Lodziak, C. (2002). The myth of consumerism. London: Pluto Press. Løvlie, L. (1992). Postmodernism and subjectivity. Dalam S. Kvale (ed), Psychology and postmodernism (hal. 119134). London: Sage Publication. Macleod, C. (2002). Deconstructive discourse analysis: Extending the methodological conversation. South African Journal of Psychology, 32, 17-25. Mansfield, N. (2000). Subjectivity: Theories of self from Freud to Haraway. St. Leonards: Allen & Unwin. Mattes, P., & Schraube, E. (2004, September). "Old-stream' psychology will disappear with the dinosaurs!" Kenneth Gergen in conversation with Peter Mattes and Ernst Schraube [39 paragraphs]. Forum Qualitative Sozialforschung / Forum: Qualitative Social Research [Online Journal], 5(3), Art. 27. Available at: http://www.qualitative-research.net/fqs-texte/3-04/04-3-27-e.htm (Diambil pada 24 Mei 2006). Minerbo, M dan Yazigi, L. (2000). Post modern forms of subjectivity, International Journal of Psychotherapy, 5, 59-65. Parker, I. (1997). Discursive psychology. Dalam D. Fox & I. Prilleltensky (eds), Critical psychology (hal. 284-298). London: Sage Publication. Potter, J. (2003). Discourse analysis and discursive psychology. Dalam P. M. Camic, J. E. Rhodes, & L. Yardley, Qualitative research in psychology; Expanding Perspectives in methodology and design (hal. 73-94). Washington, DC: American Psychological Association. Potter, J., & Wetherell, M. (1987). Discourse and social psychology: Beyond attitudes and behavior. London: Sage Publication. Putri, P. W. (2005, 15 Januari). Generasi MTV, "Shopping Mall", dan wajah kota. Kompas, hal. 15. Rogers, W. S. (2003). Social psychology: Experimental and critical approach. Maidenhead: Open University Press. Schachter, E. P. (2002). Identity constraints: The perceived structural requirements of a 'good' identity. Human Development, 45, 416-433. Smith, J. A., Harré, R., & Langenhove, L. V. (1995). Introduction. Dalam J. A. Smith, R. Harré, & L. V. Langenhove, Rethinking methods in psychology (1-8). London: Sage Publication. Sökefeld, M. (1999). Debating self, identity, and culture in anthropology. Current Anthropology, 40, 417-431. Wolputte, S. V. (2004). Hang on to your self: Of bodies, embodiment, and selves. Annual Review of Anthropology, 33, 251-269. Wood, L. A., & Kroger, R. O. (2000). Doing discourse analysis: Method for studying action in talk and text.
30
INSAN Vol. 12 No. 01, April 2010