RESILIENT PERSONALITY : STRATEGI MENCAPAI KEBAHAGIAAN LANSIA Oleh : Nur Rohmah H.Q
11/326042/PPS/02474
BAB I PENGANTAR
Usia lanjut merupakan masa akhir dari sebuah rentangan kehidupan. Pada masa ini secara umum terjadi proses degeneratif pada segala aspek, fisik, psikis maupun aktivitas sosial. Proses ini sangat individualistik, individu yang mampu menyadarinya bisa merespon positif, namun individu yang tidak mampu menyadari hal ini akan merespon negatif yang berimbas pada semakin cepatnya proses degeneratif tersebut. Cepatnya proses degenaritf ini banyak dipengaruhi oleh berbagai faktor, terutama faktor proses perkembangan masa lalu. Jika masa lalunya dikembangkan dengan harapan positif, maka dia akan merasa puas (integritas). Namun, jika masa perkembangan sebelumnya dilalui dengan cara yang negatif, maka akan menampilkan keragu-raguan, kemurungan, dan keputusasaan atas seluruh nilai kehidupannya (Santrock,1995). Individu yang berada pada kondisi tertekan, mengalami kemunduran, kemalangan, seperti kehilangan pasangan hidup, permasalahan pernikahan, dll., sulit untuk mencapai sebuah kesejahteraan atau kepuasan tanpa adanya resiliensi. Resiliensi berkaitan dengan perbedaan individu atau pengalaman hidup yang menolong orang-orang untuk menyesuaikan secara positif dengan kemalangan, yang mampu membawa pada kebaikan ketika menghadapi stress selanjutnya (Richardson, 2002 dalam Reich, J. W, et al., 2010). Tinjauan terkini dari WHO, seiring majunya informasi terkait kehidupan lansia, populasi lansia pun mulai meningkat. Menurut Mayasari (2012), berdasarkan data WHO, penduduk di 11 negara anggota WHO kawasan Asia Tenggara yang berusia lebih dari 60 tahun berjumlah 142 juta orang dan diperkirakan akan meningkat hingga tiga kali lipat pada tahun 2050. Kondisi ledakan lansia memberikan sinyal pada para praktisi kesehatan dalam pencegahan ledakan jumlah lansia
terutama terkait kesehatan lansia, baik dari aspek fisik, psikis, dan sosial yang akan saling mempengaruhi satu sama lain. WHO, institusi kesehatan dunia, mencanangkan program peningkatan kesehatan agar individu memiliki usia yang lebih panjang dan tetap produktif (http://health.detik.com/read/). Hal ini dikarenakan secara ideal lansia yang tetap produktif di usia lanjut mengindikasikan bahwa kehidupannya berkualitas dan sejahtera. Selain itu berkaitan juga dengan adanya kepuasan hidup lansia. Kepuasan hidup secara luas digunakan sebagai tolok ukur kesejahteraan psikologis pada lansia. Salah satu indikasi individu yang sejahtera adalah individu dengan pribadi resilien dalam proses perkembangan hidupnya. Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Windle, G, et al. (2010) pada lansia dengan kelompok usia yang berbeda yaitu 50-59, 60-69, 70-79, dan 80-90 tahun, ditemukan bahwa hanya kelompok usia 50-59 tahun yang tingkat resiliensinya rendah. Hasil tingkat kesejahteraan yang paling tinggi adalah kelompok usia 60-69 tahun. pada kelompok usia 60-69 tahun, tingkat resilensi yang lebih tinggi memberikan stabilitas pada kesejahteraan meskipun kerapuhan kesehatan meningkat. Kelompok usia 70-79 tahun, ada sedikit stabilitas dalam kesejahteraan pada tingkat resiliensi yang lebih tinggi, baik pada tingkat kerapuhan kesehatan rendah atau tinggi. Terakhir, pada kelompok usia 80-90 tahun, ada pola yang sama dengan usia 70-79 tahun. Tingkat resiliensi yang tinggi menyediakan sebuah keuntungan untuk lebih baik kesejahteraannya, tetapi akan sedikit berkurang ketika kerapuhan kesehatan tinggi dibanding kerapuhan kesehatan rendah. Ini berarti semakin tinggi usia individu, akan semakin tinggi resiliensinya meski sedikit mengurangi tingkat kesejahteraan ketika tingkat kerapuhan kesehatan tinggi. Umumnya, tingginya kerapuhan kesehatan disebabkan usia yang bertambah tua. Maksudnya, bahwa resiliensi dapat menyediakan sebuah keuntungan, tetapi agak berkurang ketika kerapuhan kesehatan lebih tinggi. Analisis yang telah dilakukan Windle, G, et al. (2010) atas uraian hasil penelitian di atas adalah bahwa tingginya tingkat resiliensi pada lansia yang usianya semakin tua, dikarenakan kemampuan lansia beradaptasi ketika menghadapi perubahan negatif, di mana itu merupakan bagian dari proses bertambahnya usia. Menurut Dienner et al. (1999, dalam Windle, G, et al., 2010), pemeliharaan kesejahteraan sepanjang rentangan kehidupan menunjukkan kemampuan seseorang untuk beradaptasi secara positif untuk kondisi yang lebih luas, yang terpenting peran
individu dalam peningkatan sense kesejahteraan di usia yang lebih tua. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa stres dan kemalangan dapat mendorong pertumbuhan personal (personal growth) dan perbaikan fungsi pada diri individu. Kaplan (1988) mendukung pernyataan di atas, bahwa individu yang berusia lanjut bisa mencapai masa tua yang sukses (successful aging) melalui dua hal, pilihan dan kepribadian. Pilihan, yaitu individu dengan sukarela memutuskan untuk mengurangi beberapa tanggung jawabnya (bonds), apapun alasannya, yang memungkinkan menunjukkan sikap legowo atas pelepasan (disengagement) (Neugarten, et al., 1968 dalam Kaplan, 1988). Kedua, kepribadian, yaitu aktivitas sosial dan kepuasan hidup sangat dimediasi oleh pola dan tipe kepribadian, yang menunjukkan adanya konsistensi atau kontinuitas sepanjang rentang kehidupannya. Oleh karena itu, pada makalah ini akan membahas tentang kepribadian resilien sebagai strategi mencapai kebahagiaan lansia.
BAB II KAJIAN PUSTAKA
1. Kepuasan Hidup adalah Sumber Kebahagiaan Kepuasan hidup adalah kesejahteraan psikologis secara umum atau kepuasan terhadap kehidupan secara keseluruhan. Kepuasan ini yang mengindikasikan kesejahteraan psikologis orang-orang dewasa akhir (Santrock,1995). Faktor penentu kepuasan hidup lansia meliputi kesehatan, pendapatan, gaya hidup aktif, serta jaringan pertemanan dan keluarga. Menurut Kaplan (1988) lansia merasakan puas dalam hidupnya ketika kesehatannya baik, memiliki status sosioekonomik baik, dan partisipasi pada aktivitas sosial. Faktor lainnya adalah adanya kemampuan untuk mengatasi masalah (cope) dengan baik. Orang-orang usia lanjut dengan pendapatan layak dan kesehatan baik cenderung lebih puas dengan kehidupannya dibanding orang sebayanya yang memiliki pendapatan kecil dan
kesehatan yang buruk (Markides & Martin, 1979 dalam Santrock, 1995). Gaya hidup aktif atau partisipasi pada aktivitas sosial seperti pergi ke pertemuan-pertemuan, bepergian, dikaitkan dengan kesejahteraan psikologis akan lebih puas kehidupannya dibandingkan lansia yang setia tinggal di rumah. Begitu juga dengan orang yang memiliki jaringan sosial pertemanan dan keluarga yang luas akan lebih puas dibanding lansia yang terisolasi secara sosial (Chapler & Badger, 1989; Palmore dkk, 1985 dalam Santrock, 1995). Yang utama dalam jaringan sosial pertemanan dan keluarga adalah kualitas jaringan bukan kuantitas. Sebagaimana yang dikatakan oleh Kaplan di atas bahwa lansia memiliki coping permasalahan dengan baik. Oleh karena itu, lansia seringkali memiliki persepsi yang lebih optimis mengenai perkembangan akhir kehidupannya dibanding orang-orang yang lebih muda. Dua poin menonjol dari penjelasan di atas, pertama kesehatan, status finansial, dan tingkat hubungan interpersonal baik yang penting dalam menentukan kepuasan hidup. Kedua, kebahagiaan yang berkelanjutan pada usia lanjut menunjukkan bahwa kontinyuitas, merupakan kunci dalam memahami kepuasan orang-orang usia lanjut. Faktor-faktor yang jelas tampak pada dewasa awal menjadi prediksi kebahagiaan di usia lanjut. Pada sebuah studi, Caspi dan Elder (1986 dalam Kaplan, 1988) menemukan bahwa sumber-sumber pribadi/personal dan keterlibatan sosial adalah jembatan penting untuk kepuasan hidup di usia lanjut, dan itu yang mengatasi dengan baik (coping) permasalahan di masa lalu yang segera teratasi dengan baik.
2. Kepribadian Resilien Pengertian sederhana resiliensi adalah sesuatu yang mampu pulih dari atau menyesuaikan atas kemalangan atau perubahan (Windle, G, et al., 2010). Menurut Richardson, 2002 (dalam Reich, J. W., et al., 2010) resiliensi berkenaan dengan perbedaan individu atau pengalaman hidup yang membantu orang-orang untuk mengatasi kemalangan secara positif, membuatnya lebih baik mampu berhadapan dengan stres di masa mendatang, dan melindungi dari perkembangan gangguan mental karena stres. Ini berarti bahwa secara umum resiliensi dimaknai sebagai kemampuan individu beradaptasi atau penyesuaian diri secara positif terhadap berbagai tekanan hidup dan bangkit kembali setelah mengalami peristiwa yang menimbulkan stres. Pada lansia, tekanan hidup ini difahami sebagai proses degeneratif, yang semua lansia pasti mengalami, baik secara fisik, psikis, maupun sosial.
Bermula dari pengertian di atas, Rutter (dalam Windle, G, et al., 2010) menyatakan bahwa kualitas psikologis dalam diri individu yang resilien adalah yang menekankan pada efikasi diri, harga diri, dan batas keterampilan pemecahan masalah. Deskripsi lain dinyatakan juga oleh Beardslee dan Masten, individu yang resilien adalah yang memiliki kepercayaan diri, keingintahuan (curiosity), disiplin diri, harga diri dan kontrol atas lingkungan, intelektual yang berfungsi dan persepsi diri seperti efikasi diri (Windle, G, et al., 2010). Pernyataan hampir sama diungkapkan Reich, J. W., et al. (2010), kepribadian resilien dikarakteristikkan oleh trait yang merefleksikan kekuatan, pembedaan yang baik, dan sense diri (struktur diri) yang terintegrasi dan trait yang mempromosikan kekuatan, timbal balik hubungan interpersonal dengan yang lain. Di sini trait berperan untuk level tinggi fungsi yang adaptif. Sense diri (struktur diri) yang kuat pada kepribadian resilien dibuktikan dengan harga diri, kepercayaan diri atau efikasi diri, pemahaman diri, orientasi pada masa mendatang yang positif, dan kemampuan untuk mengelola tantangan dan situasi hidup secara efektif. Sense diri terdiri atas beberapa hal (Reich, J. W., et al., 2010): a. Harga diri (self-esteem) Adalah sebuah sense dari nilai diri, kehormatan diri, dan penerimaan diri yang biasanya dihubungkan pada sebuah harapan sukses dalam hidup. b. Kepercayaan/efikasi diri (self-confident/self-efficacy) Kepribadian resilien dikarakteristikkan oleh sebuah kepercayaan pada kemampuan dalam diri seseorang untuk mengelola tantangan dan situasi hidup secara efektif. Jadi, kepercayaan atau efikasi diri adalah prasyarat untuk resiliensi. Orang yang resilien mempunyai lokus kontrol internal, yaitu mereka percaya bahwa segala peristiwa yang terjadi pada kehidupannya yang paling sering dipengaruhi dalam skala besar oleh perilaku diri sendiri dan bukan hasil dari takdir, nasib buruk, atau tindakan orang lain. Orang yang resilien adalah optimistik dan penuh harapan (hopeful) atas hasil situasi yang sulit sekalipun. c. Pemahaman diri (self-understanding) Karakteristik lain kepribadian resilien adalah sebuah pemahaman diri sendiri sebagai person. Mereka mempunyai insight pada motivasi, emosi, dan kelebihan serta kelemahannya.
Pemahaman diri memberikan sebuah kekuatan sense identitas kepribadian. Persepsi kesadaran akurat dan monitoring emosi dalam diri adalah aspek penting pada kepribadian seseorang, disebut dengan inteligensi sosioemosional. Pada sisi spiritual, orang resilien seringkali melihat dirinya pada konteks dunia yang lebih luas. Mereka dibangkitkan dan dimotivasi oleh proses penemuan diri. d. Orientasi pada masa mendatang yang positif Orang yang resilien merencanakan untuk masa depan. Mereka dimotivasi untuk meningkatkan dan sukses dalam berbagai aspek kehidupan, terkait pengaturan tujuan, tekun, dan produktif. Meski secara umum optimistik akan hasil usahanya, orang resilien juga fleksibel dalam kemampuannya beradaptasi atas tantangan, keterbatasan, dan perubahan keadaan hidup, serta mampu menerima kemunduran dengan ketenangan hati (equanimity). e. Kontrol perilaku dan emosi negatif Orang yang resilien adalah orang yang bertanggung jawab, teliti, dan secara umum menunjukkan skala tinggi integritas personal. Mereka mampu mengalami kesenangan dan emosi positif lain, dan sering mempunyai sense humor yang baik. Sebuah sense kesejahteraan subjektif dihubungkan dengan tingkat neuroticism rendah dan tingkat extraversion tinggi, dan dengan efikasi diri, agensi, dan autonomi. Berdasarkan struktur sense diri, dalam diri orang yang resilien akan terbentuk kepribadian tangguh (hardiness), ego resliensi, dan mekanisme pertahanan. Kepribadian tangguh difahami sebagai konstruk kepribadian yang terdiri dari kontrol, tendensi untuk merasakan dan bertindak seolah-olah sesuatu berpengaruh lebih baik dari pada putus asa dalam menghadapi kekuatan eksternal; komitmen, tendensi untuk terlibat, menemukan tujuan, dan memaknai serta menghadapi aktivitas hidup lebih baik dari pada merasakan pengasingan; dan tantangan, kepercayaan bahwa perubahan itu normal dalam hidup, dan bahwa antisipasi perubahan adalah kesempatan untuk tumbuh (growth) lebih baik dari pada sebuah ancaman keamanan. (Kobasa, Maddi, & Khan, 1982 dalam Reich, J. W., et al., 2010). Struktur selanjutnya, konsep ego resiliensi dikembangkan untuk mendeskripsikan sifat (trait) kepribadian yang memfasilitasi adaptasi fleksibel dan cerdik (resourceful) untuk stessor kehidupan, modulasi impuls, dan adaptasi untuk situasi baru. Bentuk dasar ego resiliensi adalah kepercayaan yang optimis
(confident optimism), aktivitas yang produktif (productive activity), insight dan kehangatan (insight & warmth), dan keterampilan mengekspresikan diri (skilled expressiveness) (Klohnen, 1996 dalam Reich, J. W., et al., 2010). Efek lain orang yang resilien adalah adanya mekanisme pertahanan, yaitu proses psikologis yang otomatis yang melindungi orang-orang dalam melawan kecemasan dan kesadaran (awareness) internal atau eksternal atas stressor atau bahaya (vaillant, 1992 dalam Reich, J. W., et al., 2010). Mekanisme pertahanan ini terdiri dari afiliasi, altruism, antisipasi, humor, self-assertion, self-observation, dan sublimasi yang adaptif. Afiliasi melibatkan berhadapan dengan konflik emosional atau stresor dengan berbalik ke orang lain untuk membantu atau mendukung; altruism adalah dedikasi untuk mempertemukan kebutuhan orang lain; antisipasi adalah pengalaman emosi dalam kemajuan kejadian ke depan dan anggapan realisitis alternatif respon atau situasi; humor sebagai pertahanan yang menekankan hiburan atau aspek ironis sebuah konflik atau stressor; self-assertion adalah ekspresi perasaan dan pemikiran pemikiran secara langsung, tanpa manipulasi; self-observation adalah refleksi pada suatu ide, perasaan, motivasi, perilaku dan respon yang tepat dalam diri sendiri; terakhir, sublimasi adalah penggalian perasaan yang berpotensi maladaptive atau dorongan ke penerimaan perilaku secara sosial (APA, 2000 dalam Reich, J. W., et al., 2010). Tambahan bentuk efek lain, orang yang resilien akan memiliki keterampilan interpersonal. Keterampilan interpersonal inilah yang memajukan perkembangan dan pemeliharaan hubungan yang membantu dalam mengatasi stress akan pengalaman hidup. Trait kepribadian prososial menjadi konsep umum dalam keterampilan interpersonal ini, terdiri dari tiga aspek, sosiabilitas, pengekspresian emosi, dan pemahaman interpersonal. Sosiabilitas, orang yang resilien secara alami lebih ramah, supel (suka bersahabat), dan lebih terbuka. Mereka lebih menyukai bertemu orang-orang, untuk membentuk persahabatan dengan mudah, dan menikmati persahabatan, hingga memperoleh jaringan sosial yang luas. Penjelasan tentang pengekspresian emosi, bahwa orang yang resilien mampu menyampaikan kehangatan (warmth) dan perasaan lain dengan terbuka dan mampu meyakinkan (trust) orang lain dengan perasaan yang paling mendalam (intimate feeling). Kemampuan inilah yang mendorong untuk lebih kuat berhubungan interpersonal dan efektif menggunakan hubungan ini pada saat stres (Alim, et al., 2008 dalam Reich, J. W., et al., 2010). Pemahaman
tentang interpersonal adalah orang-orang yang resilien itu empatik. Mereka mampu merasakan dan mengalami perasaan orang lain, dan mengkomunikasikan pemahaman ini pada orang lain. Selain itu, mereka tidak egois dan altruistik, mempunyai ketertarikan sungguh-sungguh dalam kesejahteraan orang lain. Trait inilah yang mendorong orang lain untuk menjalin hubungan, yakin, dan pada suatu waktu ingin membantunya. Akhirnya, dapat dikatakan bahwa orang yang resilien adalah yang memiliki kepribadian tangguh, ego resiliensi, mekanisme pertahanan dan keterampilan hubungan interpersonal.
3. Kepribadian Resilien Sebagai Sebuah Strategi Mencapai Kebahagiaan Lansia Kebahagiaan di masa usia lanjut adalah ketika orang-orang lansia mencapai successful aging. Successful aging ini difahami sebagian besar orang sebagai usia bertahan dari kerapuhan kesehatan, sisa usia yang ada dialami lebih sehat dalam waktu lebih lama (Bowling & Dieppe, 2005 dalam Hildon Z, et al., 2008). Alasan hal ini, menurut Peck, yang mengerjakan kembali tahapan akhir perkembangan dari Erikson, tugas perkembangan orang lanjut usia adalah diferensiasi versus kesibukan dengan peran. Peck percaya bahwa orang-orang usia lanjut perlu mengejar serangkaian aktivitas yang bernilai sehingga waktu yang sebelumnya banyak dihabiskan dalam pekerjaan dan dengan anak-anak, tetap dapat terisi; Kekuatiran pada tubuh versus kesibukan pada tubuh. Pada usia lanjut, kemungkinan mengalami penyakit-penyakit kronis dan tentu juga mengalami penurunan kapasitas fisiknya. Hal ini akan menghadirkan beberapa ancaman bagi identitas lansia dan perasaan akan kepuasan hidup. Namun, ada beberapa orang yang meski kapasitas fisik berkurang, mereka tetap menikmati hidup melalui hubungan antar manusia (sosial), sehingga memberi kesempatan untuk keluar dari kesibukan dengan tubuhnya; Tugas perkembangan selanjutnya, melampaui ego versus kesibukan dengan ego. Lansia yang mampu menyadari bahwa kematian pasti datang, mereka akan merasa tenteram atas dirinya sendiri dengan menyadari bahwa mereka telah memberi sumbangan untuk masa depan. Sumbangan ini difahami dalam bentuk pengasuhan yang kompeten terhadap anak-anak, melalui pekerjaan dan ide-idenya (Santrock, 1995). Lansia yang mampu melakukan ketiga tugas perkembangan tersebut dengan baik adalah termasuk lansia yang mampu bertahan menghadapi stressor meski secara pasti mengalami
kemunduran/degeneratif. Mereka menikmati masa tua dengan segala karakteristiknya, mereka tetap tangguh beraktivitas dalam menghadapi kemunduran fisiknya, bahkan mereka sangat menyadari bahwa masa tua memang telah terjadi pada dirinya dan mereka siap untuk menghadapi kematian. Selain itu, mereka akan lebih cenderung mengganti jenis aktivitasnya, yang dulu sibuk di pekerjaan, mereka ubah dengan aktif di pertemuan-pertemuan. Rasa kesepian mereka atasi dengan ada yang memelihara hewan kesayangan, berkebun, dsb. Kriteria tersebut masuk pada aspek penentu kepuasan hidup lansia. Jadi, lansia yang bahagia adalah lansia yang mengalami kesuksesan di usia lanjut dalam bentuk merasa puas baik dari kesehatan, pendapatan maupun aktivitas sosial. Adanya
pencapaian kepuasan hidup
dibutuhkan proses adaptasi atas kemalangan, tantangan, dan tekanan, yang dikenal dengan istilah resiliensi. Gilgun (1999 dalam Hildon Z, et al., 2008) menemukan bahwa orang yang resilien adalah yang telah mengalami berbagai risiko susah payah dalam kehidupannya, di mana hal itu memberikan satu set keterampilan untuk berhadapan dengan kemalangan sekarang ini. Kondisi demikian menjadikan orang-orang resilien ini mampu menggambarkan kapasitas individual dan sosial untuk mengelola kemalangan.
BAB III PENUTUP
Masa usia lanjut adalah masa individu menikmati hasil segala perjuangan di masa sebelumnya. Menikmati hasil masa perjuangan kerasnya dalam bekerja, mengasuh anak, dan membangun interaksi sosial. Di mana pada masa itu banyak tantangan dan kemalangan yang harus dilalui untuk mencapai masa usia lanjut. Pada masa usia lanjut ini akhirnya individu sudah memiliki berbagai pengalaman dan keterampilan dalam menghadapi segala tantangan dan kemalangan. Terutama untuk menangani proses degeneratif baik fisik, psikis, maupun sosial, karena itu, pada tahap ini disebut sebagai tahap integritas. Tahap integritas ditandai dengan tetap sehat meski secara alamiah fisik mengalami degeneratif, merasa bahagia dan tentram meski sudah pensiun, ditinggal anak-anak menikah,
bahkan ada yang ditinggal pasangan meninggal, dan tetap menjalin hubungan baik dengan rekanrekannya, masyarakat sekitar dan keluarga besar serta siap dalam menghadapi kematian yang akan menjemput. Orang yang mengalami hal ini disebut dengan orang yang resilien, yaitu memiliki kepribadian tangguh, ego resiliensi, mekanisme pertahanan, dan memiliki keterampilan interpersonal meski dalam keadaan mengalami proses degeneratif. Setiap masa perkembangan dalam rentangan hidup individu memiliki tugas perkembangan masing-masing dan memiliki keuntungan dari tugas perkembangan tersebut. Pada masa usia lanjut, keuntungan individu mampu menjalankan tugas perkembangannya adalah tercapainya successful aging, yaitu orang merasakan kepuasan dalam kehidupan dan mampu menikmati akhir kehidupan dengan bahagia. Memang tidak mudah untuk mencapai successful aging di usia lanjut, karena ini berkaitan erat dengan pengalaman masa sebelumnya, anak-anak, remaja, dan dewasa awal-tengah, karenanya diperlukan adanya banyak dukungan dari berbagai elemen, keluarga (anak-anak), lingkungan, maupun pemerintah.
BAB IV DISKUSI DAN PEMBAHASAN 1. Resiliensi, coping dan regulasi diri, saling berkaitan. Resiliensi adalah hasil adaptasi sukses dari kemalangan. Proses adaptasi tergantung pada fleksibilitas yang memadai untuk mampu meregulasi emosi, menggunakan keterampilan coping adaptif, dan mengerahkan sumbersumber lain ketika perlu. 2. Proses kemalangan pada lansia yang paling tampak adalah proses degeneratif yang sifatnya individualistik. Adaptasi adanya proses ini sebaiknya dilakukan sejak proses perkembangan masa kana-kanak, dengan tujuan agar ketika tua (lansia) mampu memiliki daya tahan untuk kembali pada kondisi yang positif (resliensi). 3. Orang yang resilien akan mampu melakukan coping, salah satu bentuk sederhananya yaitu dengan bertanya, meminta bantuan, dan melakukan persiapan. Individu pada masa usia lanjut yang tinggal sendiri, jika memiliki kepribadian resiliensi yang baik, maka dia akan mampu melakukan coping untuk masalah yang dihadapinya dan sudah memiliki rencana sebelumnya
untuk mengatasi masalah yang akan dihadapinya, termasuk saat sakit. Lansia sudah tahu sikap apa yang harus dilakukan. 4. Sama halnya dengan proses degenaratif, resiliensi pada diri seseorang juga bersifat individualistik. Hal ini tergantung pada kondisi dan perkembangan kepribadian tiap individu dari masa kanak - kanak sampai masa usia lanjut. Harapan umumnya adalah pada saat usia lanjut, individu tersebut dapat mencapai objektivitas (successful aging).
DAFTAR PUSTAKA
Hildon, Z., Smith, G., Netuveli, G., & Blane, D. (2008). Understanding Adversity and Resilience at Older Ages. Sociology of Helath & Illness……… Kaplan, P. S. (1988). The Human Odyssey : Live Span Development……. Mayasari, L. (2012). Hidup Ideal Seorang Lansia Menurut Who. http://health.detik.com/read/. Diakses tanggal 01 Oktober 2012. Reich, J. W., Zautra, A. J., & Hall, J. S. (2010). Handbook of Adult Resilience……. Santrock, J. W. (1995). Life – Span Development : Perkembangan Masa Hidup…… Windle, G., Woods, R. T., & Markland, D.A. (2010). Living with Ill-Health in Older Age : The Role of a Resilient Personality……..