MIYAH VOL.XI NO. 01 JANUARI TAHUN 2016
JIWA RASIONAL DAN PRAKTIS SEBAGAI SARANA MENCAPAI KEBAHAGIAAN Ali Ahmad Yenuri ABSTRAK : Kebahagiaan adalah idaman setiap manusia, sehingga dalam setiap doanya selalu memohon kepada Tuhannya agar diberikan kebahagiaan baik di dunia dan di Akhirat. Namun, yang menjadi masalah adalah bagaimana kita sebagai manusia mampu dan dapat meraih apa yang menjadi idamannya “kebahagiaan”, sehingga sangat penting bagi setiap manusia memahami dan mencari sarana apa saja yang perlu dilakukan oleh manusia dalam meraih kebahagiaan. Oleh karena itu, Penulis mencoba menawarkan sarana atau instrument untuk mencapai kebahagiaan adalah melalui Jiwa rasional dan praktis. Kata kunci: jiwa rasional, jiwa praktis, dan kebahagiaan. PENDAHULUAN Kebahagiaan adalah sebuah nama yang biasanya memberikan manusia harapan final; akan tetapi meskipun terdapat kesepakatan dalam penamaan harapan final dengan kebahagiaan, namun tidak ada satu keyakinan dalam definisi. Menurut Aristoteles, sebagian orang membayangkannya sebagai kelezatan dan keberhasilan dan sebagian yang lain sebagai kemuliaan dan kehormatan sosial serta para filsuf meyakininya sebagai perenungan dan pemikiran terhadap realita-realita final eksistensi. Disamping itu, terkadang seseorang memperoleh berbagai macam pandangan tentang kebahagiaan; misalnya ketika sakit, menganggap kebahagiaan adalah kesehatan, ketika fakir dan keterdesakan perokonomian menganggap kebahagiaan adalah harta dan kekayaan dan seterusnya1 Namun kesulitan mengenal kebahagiaan tidak harus menghalangi kita untuk berusaha meraihnya; karena setiap langkah tanpanya ibarat memanah dalam kegelapan, tidak ada harapan untuk mengenai sasaran. Kebahagiaan merupakan harta yang dicari oleh setiap manusia dari kalangan manapun, tetapi kebahagiaan yang hakiki tidak akan pernah dijumpai oleh manusia di
Aristotle, Nicomach ean, translated by Martin O Swald, (New York: The Bobs Marril Company inc. Indianapolis, 1962) 17. 1
105
MIYAH VOL.XI NO. 01 JANUARI TAHUN 2016
dalam kehidupan dunia, karena kebahagiaan dunia merupakan kebahagiaan yang semu dan fatamorgana.2 Sehingga mereka cenderung mengartikan kebahagiaan itu dengan kesenangan sesaat, tetapi di balik itu semua justru menyebabkan penderitaan yang berkepanjangan akibat nafsu shahwatnya. Kebahagiaan yang hakikat merupakan inti dari kebahagiaan yang ideal, yaitu kebahagiaan yang bisa mencerminkan kehidupan yang sejahtera dan harmonis, baik di dunia maupun di akhirat. Hal ini tidak bisa dicapai dengan begitu mudah, akan tetapi membutuhkan kerja-kerja jiwa yang sesuai dengan tuntutan shari’at keagamaan islam. Di antara unsur-unsur pokok yang dapat berfungsi untuk mendapatkan kebahagiaan hakiki adalah jiwa rasional dan jiwa praktis. Jiwa rasional oleh kelangan ulama’ akhlaq dipahami sebagai salah satu unsur jiwa yang senantiasa selalu memihak kepada hal-hal positif. Kemudian, capaian-capaian jiwa rasional itu tidak cukup tanpa diaplikasikan dalam bentuk praktis (perbuatan) yang akan timbul ketika capaian jiwa rasional itu ditindak lanjuti oleh jiwa praktis sehingga melahirkan suatu tindakan yang positif yang memiliki dampak baik bagi ketenangan jiwa baik di dunia maupuan di akhirat. Oleh karena itu, kebahagiaan inilah yang menjadi tujuan pokok manusia yang hanya dicapai oleh sinergisitas antara jiwa rasional dan jiwa praktis. JIWA RASIONAL DAN PRAKTIS SEBAGAI SARANA MENCAPAI KEBAHAGIAAN Mempertanyakan suatu makna, merupakan upaya yang bebas dari jeratan waktu dan ruang. Makna menjadi suatu yang selalu berorientasi kepada kebebasan, kejujuran dan obyektifitas. Makna adalah suatu yang mampu hadir dengan kepolosan, tanpa harus di manipulir. Mempertanyakan makna, berarti upaya mengupas tuntas sesuatu apapun saja yang hadir dalam gejala atau fenomena dalam cakupan ruang dan waktu.3 Oleh karena itu mempertanyakan makna kebahagiaan, berarti upaya mencari
2 “tiadalah kehidupan dunia ini kecuali hanyalah perhiasaan(yang membahagiakan) yang mengandung unsure tipu daya(QS: Ali Imran(3): 185 3 Shaleh Harun, Abdul Munir Mulkan, Latar Belakang Umat Islam Menerima Pancasila Sebagai Asas Tunggal, (Yogyakarta: Aquarius, 1986), 11.
106
MIYAH VOL.XI NO. 01 JANUARI TAHUN 2016
kejujuran dan obyektifitas yang terlepas dari cakupan ruang dan waktu sebagai tuntutan otensitasnya. Secara etimologi kebahagiaan berarti keadaan senang, tentram, terlepas dari segala yang menyusahkan atau secara negatif dapat dikatakan kebahagiaan adalah lawan dari penderitaan. Ini artinya, kebahagiaan adalah suatu keadaan yang berlangsung dan bukanlah perasaan dan emosi yang berlalu.4 Menurut Sokrates, tujuan tertinggi kehidupan manusia ialah membuat jiwanya menjadi sebaik mungkin. Jiwa adalah sebagai intisari kepribadian manusia atau dengan kata lain sokrates mengatakan bahwa tujuan kehidupan manusia adalah kebahagiaan (eudamonia), yang menurutnya kebahagiaan bukan merupakan hal yang material, tetapi merupakan ketenangan hati, kegembiraan internal,5 asal istilah ini dimengerti sebagaimana dalam bahasa Yunani.6 Kebahagiaan adalah merupakan suatu aktifitas jiwa yang sesuai dengan budi sempurna.7Aristoteles memberikan penjelasan kebahagiaan disini adalah kebahagiaan yang terdapat secara aktif, sesuai dengan kebajikan kebahagiaan yang ditimbulkan oleh kegiatan-kegiatan manusia.8Dari sudut ini Aristoteles memandang kebahagiaan bukanlah suatu barang yang bersifat statis, akan tetapi aktif. Demikian pula, kebahagiaan bukanlah akhir tujuan, jadi aktifitas yang dinamakan Aristoteles itu, bukanlah tujuan karena sesampainya ditempat tujuan itu, tidak ada lagi aktif. 9 Bagi filosof modern, Descartes, menjelaskan bahwa kebaikan tertinggi (kebahagiaan) adalah ketentraman jiwa sempurna.10kebahagiaan tidak sama dengan kegembiraan dan kesenangan. Sebab, secara umum boleh jadi seorang merasa bahagia meskipun sementara menderita kesedihan, sebagaimana orang tidak mengalami kebahagiaan yang kronis juga bisa mengenal saat-saat gembira. Kebahagiaan merupakan kesulitan yang terpecahkan, permusuhan yang surut, keshalihan yang dipraktekkan, dan mampu mengalahkan syahwat. 11sedangkan W. Poespo Prodjo, Filsafat Moral, (Bandung: Remaja Rosda Karya, 1986), 30. Ibn Manzur, Lisan al-Arab, (Kairo: Dar al-Ma’rif, tt), 87. 6 K. Bartens, Sejarah Filsafat Yunani, (Yogyakarta: Kanisius, 1984), 88. 7 Oemar Amin Husein, Filsafat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), 57. 8 Muh. Said, Etika Masyarakat Indonesia, (Jakarta: Paradiya Paramita, 1980), 88. 9 Oemar Amin Husein, Filsafat Islam., 58. 10 Muhammmad Ghallab, Madhahib al-Falsafah al-Udhma fi Ushur al- Hadith, (Kairo: Dar Ihya alKutub al-Arabiyah, 1948), 98. 11 Aid al-Qarni, La Tahzan, Terj. Samson Rahman, (Jakarta: Qisthi Press, 2005), 324. 4 5
107
MIYAH VOL.XI NO. 01 JANUARI TAHUN 2016
menurut Ibn Miskawaih kebahagiaan meliputi jasmani dan rohani, ini merupakan gabungan pendapat Plato dan Aristoteles.12 Sedangkan faktor yang dipentingkan dalam mencapai kebahagiaan adalah usaha untuk mempertahankan kepuasan yang telah didapat itu selama mungkin atau harus terus menerus.13mungkinkah itu bisa terjadi, kepuasan sesaat kita merasa kemudian kita coba atau usahakan supaya abadi, kita langgengkan, maka hal itu tidak mungkin dengan demikian maka, kebahagiaan adalah sekedar nama untuk menyatakan keadaan sadar kita bahwa keinginan kita lelah atau sedang dipuaskan.14Dengan demikian, tidak mungkin terjadi sehingga al-Ghazali menyatakan bahwa kebahagiaan yang sebenarnya yang dicitakan oleh para filosof adalah kebaikan atau kebahagiaan ukhrawi.15Bukan dan tidak mungkin dicapai oleh manusia didalam kehidupan ini. Yakni keterkumpulannya keadaan yang sempurna bagi jiwa dan badan secara bersama-sama dan terjadi terus-menerus. Kebahagiaan adalah keriangan hati, karena kebenaran yang dihayatinya. Kebahagiaan adalah kelapangan dada, karena prinsip yang menjadi pedoman hidup. Juga ketenangan hati, karena kebaikan disekelilingnya. 1. Macam- Macam tingkatan kebahagiaan Menurut Aristoteles dalam Tahdzib al Akhlak kebahagiaan dibagi menjadi 5 tingkatan, Yaitu: 1. Kebahagiaan yang terdapat pada kondisi sehat badan dan kelembutan inderawi. Berkat temperamen yang baik, yaitu jika pendengaran, penglihatan, penciuman, perasaan dan perabaan baik. 2. Kebahagiaan yang terdapat pemilikan keberuntungan, sahabat dan yang sejenis. Dengan itu, hingga orang dapat membelanjakan hartanya dimanapun bila mau, dan dengan harta itu pula ia dapat melakukan kebaikan-kebaikan, menolong orang-orang yang patut umumnya. Dengan
Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1986), 61. Hasbullah Bakry, Sistematika Filsafat, (Jakarta: Wijaya, 1981), 98. 14 W. Poespo Prodjo, Filsafat Moral., 32. 15 Muhammad Yusuf Musa, Filsafat al Ahlaq Fi al Islam wa Silatuha bi al Falsafah al Igriqiyah, (Kairo: Muassah Khanaji, 1963), 165. 12 13
108
MIYAH VOL.XI NO. 01 JANUARI TAHUN 2016
harta itu pula dapat melakukan kegiatan-kegiatan yang menambah kemuliaan serta karenanya ia memperoleh pujian dan sanjungan. 3. Kebahagiaan karena memiliki nama baik dan termasyhur dikalangan orang-orang yang memiliki keutamaan, dan lantaran begitu dia dipuji-puji dan disanjung-sanjung oleh mereka, karena sikapnya yang senantiasa berbuat kebajikan. 4. Sukses dalam segala hal. Itu bisa terjadi sekiranya dia mampu merealisasikan aya yang dicitakannya dengan sempurna. 5. Hanya bisa diperoleh kalau ia menjadi cermat pendapatnya, benar pola pikirnya, lurus keyakinannya, baik keyakinan dalam agama maupun di luar masalah agama, jarang salah dan terjebak kekeliruan dan mampu memberikan petunjuk yang tepat. Menurut Aristoteles jika seluruh kebaikan ini ada pada diri seseorang, maka adalah orang yang bahagia dan sempurna. Namun jika dia Cuma mencapai sebagian, maka kebahagiaan yang dimilikinya pun sesuai dengan apa yang baru dicapainya itu.16
2. Sumber Kebahagiaan Beragam sumber kebahagiaan dapat diperoleh. Ia dapat diraih dan dirasakan kapan dan dimana saja, karena ia tidak mengenal ruang dan waktu. Secara mutlak ia bersumber pada Allah. Allah-lah yang memancarkan cahaya kebahagiaan itu ke seluruh penjuru alam. Oleh karena itu, ia tidak hanya dirasakan oleh manusia saja tetapi oleh seluruh makhluk Allah di muka bumi ini.17 Imam al-Ghazali, mengatakan bahwa sumber-sumber kebahagiaan antara lain; melalui akal budi yang meliputi: a. Sempurna akal Kesempurnaan akal harus dengan ilmu. Ilmu yang membuat manusia dapat memehami sesuatu. Ilmu yang member kemudahan teknis bagi 16 17
Ibn Miskawaih, Tahdhib al Akhlak fi al Tarbiyah, (Beirut: Dar al Kutub al Ilmiyah, 1985), 64. Anwar Sanusi, Jalan Kebahagiaan, (Jakarta: Gema Insani, 2006), 8.
109
MIYAH VOL.XI NO. 01 JANUARI TAHUN 2016
manusia untuk mengekspresikan nilai-nilai keimanannya. Bahkan, sebuah ibadah kalau tidak diiringi dengan ilmu, ibadah tersebut diragukan kualitasnya. Tipis kemungkinannya diterima oleh Allah SWT. Demikian pentingnya ilmu ini sehingga wahyu pertama yang diturunkan oleh allah berkaitan erat dengan ilmu yaitu iqra’ (membaca). Kata ini sangat kompendium (mencakup segala-galanya). Dia juga bermakna memahami, menganalisis, hipotesis, eksperimentasi, dan mengaplikasikannya. b. Iffah (menjaga kehormatan diri) Orang yang berupaya terus-menerus dengan sungguh-sungguh untuk memelihara kesucian hati sehingga akan tetap tegar dalam menghadapi ujian dan kesulitan-kesulitan hidup. Ia mencoba meraihnya dengan mengawali bersikap wara’ dan tawadhu’. Dari situ, terbuka tabir-tabir yang menuntun dirinya ke arah sikap dan perbuatan yang berkualitas. Perbuatan yang diridhoi oleh Allah SWT. Kebahagiaan hati akan terasa kalau hidup kita diridhai oleh-Nya. c. Shaja>’ah (berani) Kebaranian
dalam menegakkan
kebaikan
dan
menyingkirkan
keburukan dengan berbagai risiko dan konsekuensinya. Selain itu, berani untuk mengakui kelebihan orang lain. Berani untuk tidak mengungkitungkit aib dan cacat-cela orang lain dan berani memaafkan orang yang pernah berbuat salah kepada kita. Artinya, keberanian bukan ditunjukkan pada saat melakukan pelanggaran, seperti membunuh orang lain tanpa hak, berzina, berjudi, berdusta, korupsi, dan lain-lain. Itu semua tidak termasuk dalam sajaah. d. Al ‘adl (keadilan) Keadilan adalah meletakkan sesuatu pada tempat dan porsinya. Keserasian dan keteraturan dan memperlakukan sesuatu dapat menghadirkan kebahagiaan. Pemimpin yang adil hatinya akan tenang. Dirinya disukai oleh banyak orang. Namun sebaliknya, jika zalim, yang
110
MIYAH VOL.XI NO. 01 JANUARI TAHUN 2016
tidak bahagia bukan orang lain saja, dirinya pun akan merasakan penderitaan, paling tidak penderitaan batin. 3. Jiwa Rasional dan Praktis Sebagai Sarana Mencapai Kebahagiaan Jiwa menurut Imam al- Ghazali ada tiga macam : 1.
Jiwa nabati (al-nafs al-naba>tiyah), yaitu kesempurnaan awal bagi benda alami yang hidup dari segi makan, minum, tumbuh dan berkembang.
2.
Jiwa hewani (al-nafs al-hayawa>niyah), yaitu kesempurnaan awal bagi benda alami yang hidup dari segi mengetahui hal-hal yang kecil dan bergerak dengan ira>dat (kehendak).
3.
Jiwa insani (al-nafs al-insa>niyah), yaitu kesempurnaan awal bagi benda yang hidup dari segi melakukan perbuatan dengan potensi akal dan pikiran serta dari segi mengetahui hal-hal yang bersifat umum. kategori jiwa yang ketiga ini juga oleh beliau disebut dengan jiwa rasional (al- naf al- na>tiqah). Jiwa sebelum masuk dan berhubungan dengan tubuh disebut ruh, sedangkan
setelah masuk ke dalam tubuh dinamakan nafs yang mempunyai daya (al-'aql), yaitu daya praktik yang berhubungan dengan badan, daya teori yang berhubungan dengan hal-hal yang abstrak. Selanjutnya al-Ghazali menjelaskan bahwa kalb, ruh dan al-nafs al mutmainnah merupakan nama-nama lain dari al-nafs al-natiqah yang bersifat hidup, aktif dan bisa mengetahui.18 Jiwa menurut ibnu miskawaih adalah jauhar rohani yang tidak hancur dengan sebab kematian, jiwa merupakan limpahan akal aktif, 19jiwa dapat menangkap bentuk sesuatu yang berlawanan dalam waktu yang bersamaan, seperti warna hitam dan putih.20menurutnya jiwa memiliki 3 daya21; daya berfikir
,
daya marah, daya
keinginan. Sifat hikmah merupakan sifat utama bagi jiwa berpikir yang lahir dari ilmu. Dewan Redaksi, Enseklopedi Isla>m vol IV, (Jakarta: Ikh|tiar Baru Van Hoeve, 1993), 147 Mustofa, Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2009), 173. 20 Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof Dan Filsafatnya, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), 18
19
133. 21
Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam, (Jakarta: Gramedia Media Pratama, 1999) , 63.
111
MIYAH VOL.XI NO. 01 JANUARI TAHUN 2016
Berani adalah sifat utama bagi jiwa marah yang timbul dari hilm (mawas diri). Sementara murah adalah sifat utama bagi jiwa keinginan yang lahir dari iffah (memelihara kehormatan diri). Dengan demikian ada 3 sifat utama, yakni hikmah, berani, dan murah.apabila ke tiga sifat utama ini serasi maka lahir sifat utama yang keempat yakni adil.22 Jiwa mempunyai daya pengenalan akal, jiwa mampu membedakan antara yang benar dan yang tidak benar berkaitan dengan hal-hal yang diperoleh panca indera. Perbedaan itu dilakukan dengan jalan membanding-bandingkan obyek-obyek inderawi yang satu dengan yang lain dan membedakannya. Dengan demikian jiwa bertindak sebagai pembimbing pancaindera dan membetulkan kekeliruan-kekeliruan yang dialami pancaindera. Kesatuan aqliyah jiwa tercermin secara amat jelas, yaitu bahwa jiwa itu mengetahui dirinya sendiri, dan mengetahui bahwa ia mengetahui dirinya, dengan demikian jiwa merupakan kesatuan yang didalamnya terkumpul unsur-unsur akal, subyek yang berfikir dan obyek-obyek yang dipikirkan, dan ketigatiganya merupakan sesuatu yang satu.23 Kondisi jiwa manusia sangat tergantung kepada kualitas pengetahuan yang diperoleh melalui instrumen akal atau yang disebut dengan jiwa rasional (al- nafs alna>tiqah) dan dibantu dengan pertolongan Alla>h, karena realitasnya, banyak orang yang pandai dan mampu memahami segala yang diajarkan oleh Alla>h dan rasul-Nya tetapi tidak mendapatkan pertolongan (taufi>q) dari Alla>h, maka jiwanya tetap tidak baik dan ilmu yang dimilikinya tidak memberikan konstribusi positif berupa daya control terhadap jiwanya sehingga ia cendrung tidak baik dan amoral. Jiwa rasional (al- nafs al- na>tiqah) akan selalu menjalankan fungsi yang dinisbatkan kepada akal, dan hubungan jiwa dengan jasad merupakan hubungan yang saling mempengaruhi. Kemampuan jiwa rasional dalam menangkap hal-hal yang bersifat hakikat merupakan hasil dari pengaruh yang diberikan oleh akal. Akal bisa menjadikan jiwa manusia menjadi jiwa yang baik mana kala semua unsur-unsur yang ada bisa terpengaruh oleh hasil pengetahuan yang dicapai oleh akal yang terdapat
22 23
Sirajuddin Zar, Filsafat Islam., 136. Mustofa, Filsafat Islam., 173.
112
MIYAH VOL.XI NO. 01 JANUARI TAHUN 2016
dalam jiwa rasional dan pengaruh itu akan menjadikan jiwa terproteksi dari hal-hal yang dapat mencelakakan dirinya.24 Akal (aql) menurut Ibra>him Madku>r yang dikutip oleh Prof. Dr. Baharuddin memaknai akal dengan suatu potensi rohani untuk membedakan antara yang benar dan salah. Kemudian juga, Abbas Mahmud Aqqad mengatakan bahwa, akal adalah penahanan hawa nafsu. Karena dengan akal manusia dapat mengetahui amanah dan kewajibannya, akal adalah pemahaman dan pemikiran, akal juga merupakan petunjuk yang membedakan antara petunjuk(hida>yah) dan kesesatan (dala>lah), akal juga merupakan kesadaran batin yang berdaya tembus melebihi penglihatan mata. 25 Akal dalam pemahaman di atas bukanlah otak sebagai salah satu organ tubuh, tetapi daya pikir yang terdapat dalam jiwa manusia. Maka akal dalam hubungannya dengan dimensi jiwa memiliki beragam makna dan fungsi. Pertama, akal adalah isntrumen jiwa yang membedakan antara manusia dengan makhluk lainnya. Kedua, dengan akalnya, manusia dapat menemukan, mengkonstruksi, bahkan menciptakan ilmu pengetahuan. Ketiga, dengan akalnya manusia mampu mengendalikan dorongan hawa nafsunya.26 Di sinilah letak relasi timbal baliknya antara ilmu, akal, dan jiwa manusia. Kemudian juga, menurut Ibn Bajjah salah seorang filusuf islam, bahwa akal itu terbagi dua, yaitu akal teoritis dan akan praktis. Akal teoritis merupakan akal yang bisa memahami segala sesuatu yang tidak ada (ghaib) dan dimunculkannya menjadi sesuatu yang konkrit. Dan akal ini yang befungsi untuk menggapai pemahaman yang mendalam tentang segala bentuk kebenaran melalui kitab dan sunnah kenabian. Sedangkan akal praktis adalah akal yang memiliki kemampuan mengangankan segala benda-benda yang tiruan yang dapat ditemukan. Kesempurnaan akal praktis ada pada kemampuan menirukan benda-benda yang diangankan dan diwujudkan dalam bentuk
24 M. Uthma>n Najati, Dira>sah al- Nafsa>niyah ind al- Ulama>’, Terj, (Bandung: Pustaka Hidayah, 2002), 144-146 25 Baharuddin, Paradigma Psikologi Islami, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), 116 26 Ibid, 166
113
MIYAH VOL.XI NO. 01 JANUARI TAHUN 2016
yang konkrit dengan menggerakkan organ-organ tubuh dengan dibantu organ yang ada diluar tubuh.27 Organ tubuh yang dimiliki manusia dapat bergerak dengan sendirinya, tetapi ketika objek-objek tiruan dibuat oleh akal teoritis dengan melakukan perenungan dan pengkajian, maka organ tubuh itu digerakkan berdasarkan imaji tersebut dengan dorongan akal praktis, kemudian menghasilkan prilaku dan tindakan sesuai dengan objek imaji yang dibuat oleh akal teoritis.28 Dari sisi inilah ilmu pengetahuan yang teguh akan melahirkan sebuah prilaku dan tindakan. Ilmu pengetahuan sebagai sebuah hasil olah akal pikiran teoritis dengan dibantu akal praktis akan memberikan pengaruh yang luar biasa dalam menyerap ilmu pengetahuan dan direalisasikan dalam bentuk prilaku dan tindakan, ketika dilakukan dengan cara bersungguh-sungguh sesuai dengan kadar, tujuan, dan fungsi ilmu pengetahuan itu sendiri, dalam setiap ucapan dan perbuatan yang dilakukannya, tanpa pengaruh nafsu shahwat yang mengajak kepada kejelekan. Karena secara fungsional, akal teoritis akan mampu mensterilkan jiwa dari gangguan yang dapat mencelakakannya. Disamping dorongan akal, jiwa juga didorong oleh ilmu untuk selalu memihak dan jatuh kepada hal-hal yang baik sesuai dengan tuntunannya. Maka kebahagiaan yang ideal akan senantiasa dapat digapai oleh jiwa yang ideal, yaitu jiwa yang mampu menyeimbangkan antara jiwa rasional dan jiwa prkatis. Sebab jiwa rasional tidak bisa melahirkan suatu nilai positif yang bisa disebut kebahagiaan ketika kebaikan dan kebenaran yang hakiki tidak bisa diterapkan oleh jiwa peraktis. Jiwa praktis secara fungsional hanya menirukan dan menjalankan hal-hal yang dapat dijangkau oleh akal yang terdapat di dalam jiwa rasional. Kebahagiaan yang diraih jiwa itu disebabkan oleh kemampuan unsure rasionalitas jiwa dalam menangkap hal-hal yang baik dan tidak baik dengan dukungan dari ilmu pengetahuan yang positif. Ilmu pengetahuan dapat membantu untuk mensterilkan setiap lintasan-lintasan yang dilahirkan dan dimunculkan oleh akal
27 28
M. Sya>rif, M.A., Para Filosuf Muslim, (Bandung: Mizan, 1985), 162. Ibid, 163
114
MIYAH VOL.XI NO. 01 JANUARI TAHUN 2016
teoritis. Imajinasi dan perenungan yang seringkali terjadi dalam wilayah akal teoritis atau jiwa rasional akan senantiasa terbantahkan oleh kedalaman pengetahuan yang dimiliki. Dan dengan pola konsistensi dan istiqomah, maka jiwa rasional akan senantiasa membersihkan diri dari gejala-gejala yang tidak baik sehingga lahirlah perbuatan yang baik atau posistif yang dapat membuahkan kebahagiaan. Ariestotele menyatakan bahwa kebahagiaan yang berbentuk atau buah dari kerja pikiran kontemplatif adalah paling sempurna, baik berhadapan dengan obyek yang rendah maupunyang tinggi, sementara kebahagiaan yang dimaksud adalah merupakan beberapa macam aktifitas jiwa yang sesuai dengan keutamaan. 29oleh karena itu kehidupan kontemplatif adalah jenis kebahagiaan yang terbaik bagi manusia. Perenungan pasti akan memberikan kebahagiaan, dan kebahagiaan ini adalah kebahagiaan yang suci, karena perenungan dapat dilakukan pada saat kapanpun dan untuk jangka waktu yang lebih lama disbanding dengan setiap kegiatan apapun.30 Aristoteles mengatakan bahwa kehidupan kontemplatif sebagai suatu cara berada dalam kehidupan tuhan, dengan mengarahkan pada seluruh kecendrungankecendrungan alam manusia esensial.31kenikmatan esensial kapanpun tidak akan berbalik selamanya. Jika demikian maka ibn miskawaih, berkata bahwa kenikmatan orang bahagia itu essensial bukan aksidental, intelektual bukan hawwa nafsu, aktif tidak pasif, ilahi bukan hewani. Dengan demikian, kebahagiaan yang menjadi idealitas atau tujuan dari setiap manusia adalah kebahagiaan yang sempurna, yaitu kebahagiaan yang meliputi dlahir dan bathin. Kebahagiaan bathin menurut Al- Ra>zi adalah kebahagian yang dihasilkan oleh jiwa rasional, yaitu berupa sinergisitas jiwa dengan tuntutan-tuntutan ilmu pengetahuan yang positif,
sementara kebahagiaan dlahir itu merupakan
kebahagiaan yang dihasilkan praktek-praktek yang dihasilkan dari jiwa praktis yang dikenal dengan prilaku yang bermoral(al- ‘amal al- akh|laqi).32
29 30
214. 31 32
Aristotle, Nicomach ean,., 22. Majid Fahry, a History of Islamic Philosophy, (New York: Columbia University Press, 1970), Ibid., 214. Fakhr al Din al Razi, Mafatih al Ghayb, juz 5 (Beirut: Dar al Kutub al Ilmiyyah, 1990), 160.
115
MIYAH VOL.XI NO. 01 JANUARI TAHUN 2016
Oleh karena itu, keseimbangan antara jiwa rasional dengan jiwa praktis merupakan tujuan paling pokok dalam proses pencapaian kebahagiaan yang abadi yang dicita-citakan oleh setiap jiwa yang baik(al-nafs al muthmainnah) yang baik di dunia berupa kehidupana yang ideal(hayatan tayyiban) dan di akhirat yang berupa surga, seperti yang dijelaskan oleh Allah di dalam QS: Hud(11): 108 : Adapun orang-orang yang berbahagia, Maka tempatnya di dalam syurga, mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu menghendaki (yang lain); sebagai karunia yang tiada putusputusnya.33 Ayat di atas mendiskripsikan secara gambling tentang kebahagiaan yang hakiki yang menjadi tujuan pokok dari setiap manusia. Kebahagiaan yang diraih di dunia berupa kehidupan yang sempurna merupakan gambaran dari kebahagiaan yang abadi yang akan dicapai di dalam kehidupan akhirat yang abadi.
PENUTUP Kebahagiaan merupakan tujuan pokok dari setiap keragaman pola hidup yang dilakukan oleh manusia. Tetapi kebahagiaan itu masih beragama, ada kebahagiaan yang sesaat dan pada akhirnya berujung pada penderitaan, kebahagiaan ini yang dicapai oleh nafsu. Sementara kebahagiaan yang hakiki adalah kebahagiaan yang melahirkan sebuah ketenangan hidup baik di dunia dan di akhirat. Adapun instrumennya adalah jiwa rasional dan jiwa praktis. Jiwa rasional sebagai salah satu unsur jiwa yang mengarahkan tubuh kepada hal-hal yang positif senantiasa dibantu oleh ilmu pengetahuan yang dimilikinya. Segala bentuk hasil yang digapai oleh jiwa rasional akan senantiasa membentuk suatu sikap dan prilaku yang juga positif ketika merefleksikan suatu tindakan yang ditimbulkan oleh jiwa praktis. Keseimbangan jiwa rasional dan jiwa praktis merupakan salah satu syarat untuk meraih kebahagiaan yang hakiki, yaitu kebahagiaan di dunia yang berupa kehidupan yang ideal(hayatan thayyiban) dan kebahagiaan di akhirat berupa kenikmatan surga sebagai buah dari keseimbangan kedua unsur tersebut. 33
2002), 343.
Raja Fahd, Al Qur’an Dan Terjemahnya, (Madinah: Dar al-Thiba’ al- Mus}haf al Shari>f,
116
MIYAH VOL.XI NO. 01 JANUARI TAHUN 2016
DAFTAR PUSTAKA Aristotle, Nicomach ean, translated by Martin O Swald. New York: The Bobs Marril Company inc. Indianapolis. 1962. Bakry, Hasbullah. Sistematika Filsafat. Jakarta: Wijaya. 1981. Baharuddin, Paradigma Psikologi Islami. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2007. Daudy, Ahmad. Kuliah Filsafat Islam. Jakarta: Bulan Bintang. 1986. Dewan Redaksi, Enseklopedi Isla>m vol IV. Jakarta: Ikh|tiar Baru Van Hoeve, 1993. Fahry, Majid. a History of Islamic Philosophy. New York: Columbia University Press. 1970. Ghallab, Muhammmad. Madhahib al-Falsafah al-Udhma fi Ushur al- Hadith. Kairo: Dar Ihya al- Kutub al-Arabiyah. 1948. Harun, Shaleh. Abdul Munir Mulkan. Latar Belakang Umat Islam Menerima Pancasila Sebagai Asas Tunggal. Yogyakarta: Aquarius. 1986. Husein, Oemar Amin. Filsafat Islam. Jakarta: Bulan Bintang. 1975. Ibn Manzur, Lisan al-Arab. Kairo: Dar al-Ma’rif. tt. K. Bartens, Sejarah Filsafat Yunani. Yogyakarta: Kanisius. 1984. Nasution, Hasyimsyah. Filsafat Islam. Jakarta: Gramedia Media Pratama. 1999. Najati, M. Uthma>n. Dira>sah al- Nafsa>niyah ind al- Ulama>’. Bandung: Pustaka Hidayah. 2002. Musa, Muhammad Yusuf. Filsafat al Ahlaq Fi al Islam wa Silatuha bi al Falsafah al Igriqiyah. Kairo: Muassah Khanaji. 1963. Mustofa, Filsafat Islam. Bandung: Pustaka Setia. 2009. M. Sya>rif, M.A., Para Filosuf Muslim. Bandung: Mizan. 1985. Prodjo, W. Poespo. Filsafat Moral. Bandung: Remaja Rosda Karya. 1986. al-Qarni, Aid. La Tahzan, Terj. Samson Rahman. Jakarta: Qisthi Press. 2005. al Razi, Fakhr al Din. Mafatih al Ghayb, juz 5. Beirut: Dar al Kutub al Ilmiyyah, 1990. Raja Fahd, Al Qur’an Dan Terjemahnya. Madinah: Dar al-Thiba’ al- Mus}haf al Shari>f. 2002. Said, Muh. Etika Masyarakat Indonesia. Jakarta: Paradiya Paramita. 1980. Zar, Sirajuddin. Filsafat Islam: Filosof Dan Filsafatnya. Jakarta: Raja Grafindo Persada. 2004.
117