Kepribadian Resilien sebagai Lokasi Kebahagiaan P. Tommy Y. S. Suyasa Fakultas Psikologi Universitas Tarumanagara dipresentasikan dalam Temu Ilmiah Nasional Psikologi Jakarta, 21 Oktober 2011 Abstract Resilient personality is characterized by the presence of emotional stability, empathy, the ability to perceive the existence of something that was achieved, self-control, optimistic attitude, ability to analyze a problem and the confidence to do a task. Resilient personality as the location of happiness is a character that could be an alternative source of happiness lies within. With resilient personalities, individual will be able to experience feelings of pleasure/satisfaction, not regret or do not complain to the things that happen, feeling that life is meaningful, purposeful, and hopeful. Key words: resilience, happiness, location, personality
Pendahuluan Dalam menjalani kehidupan, ada beberapa pertanyaan yang sering kali dilontarkan oleh orang lain atau bahkan oleh kita sendiri. Pertanyaan-pertanyaan tersebut seperti: Apa sebenarnya tujuan hidup ini?; Sudahkah saya menemukan tujuan hidup ini?; Apa yang sebenarnya saya cari dalam hidup ini?; Apakah saya sudah mendapatkan apa yang saya cari dalam hidup ini?; Seberapa penting saya melakukan sesuatu?; Apakah sesuatu tersebut sejalan dengan tujuan hidup saya?; dan pertanyaanpertanyaan jenis lainnya, yang pada intinya bertanya tentang hakekat kehidupan ini. Dari hasil diskusi mengenai pertanyaan-pertanyaan tersebut, ternyata jawabanjawaban yang muncul mengarah pada satu kata, yaitu kebahagiaan. Satu kata tersebut tampaknya paling mendasari setiap aktivitas yang dilakukan oleh setiap seorang. Apa pun aktivitas yang dilakukan oleh seseorang, akan berujung pada satu kata tersebut, yaitu kebahagiaan. Jawaban tersebut boleh diuji kebenarannya, saat kita bertanya: Apa tujuan orang bekerja?; Apa tujuan orang meraih sukses?; Apa tujuan orang makan?; Apa tujuan orang berkumpul bersama teman-teman?; Apa tujuan orang menikah?; Apa tujuan orang rajin beribadah?; Apa tujuan orang meraih prestasi?; apa tujuan orang berlibur?; Bahkan dengan pertanyaan, apa tujuan orang berperang? Kalau individu sudah sepakat mengenai tujuan hidup ini, yaitu mencapai kebahagiaan, adakah cara yang paling tepat dan paling cepat untuk mencapainya. Sebelum menjawab hal tersebut, ada baiknya kita terlebih dahulu mengetahui lokasi kebahagiaan. Sebagian orang berpendapat bahwa kebahagiaan tersebut letaknya ada di luar diri mereka. Sementara sebagian orang berpendapat bahwa kebahagiaan itu, justru letaknya di dalam diri ini. Orang-orang yang berpendapat kebahagiaan tersebut ada di luar diri mereka, cenderung mencari kebahagiaan dengan cara-cara yang berorientasi pada jasmaninya. Dalam hal ini kebahagiaan dicapai dengan cara memuaskan kebutuhan-kebutuhan indriawi, seperti: selalu ingin melihat hal-hal yang menarik, selalu ingin mencoba berbagai jenis makanan, selalu ingin menikmati lagu-
Halaman 1 dari 14 halaman
lagu yang indah, selalu ingin mencari informasi yang up to date, selalu mencari kenyamanan sentuhan fisik, ataupun selalu ingin mencari aroma harum yang dapat membuat hidup lebih bersemangat. Sedangkan orang-orang yang berpendapat bahwa kebahagiaan tersebut ada di dalam diri mereka, cenderung berorientasi pada pemuasan kebutuhan non-fisik, seperti melakukan pengembangan kepribadian. Menurut penulis, cara yang paling tepat dan cepat untuk mencapai kebahagiaan adalah melalui usaha pengembangan kepribadian. Dikatakan tepat, karena melalui pengembangan kepribadian, sasasaran kebahagiaan ditujukan kepada jiwa (soul), bukan sekedar kepada jasmani. Cara pencapaian kebahagiaan yang berorientasi pada jasmani, umumnya hanya bersifat sementara. Bandingkan manakah yang lebih bertahan lama, kebahagiaan karena memakan makanan yang enak atau kebahagiaan karena memiliki kepribadian yang baik. Kebahagiaan karena memakan makanan yang enak, paling-paling bertahan dalam hitungan jam, sedangkan kebahagiaan karena kepribadian yang baik, boleh jadi akan bertahan dalam hitungan tahun. Pencapaian kebahagiaan melalui pengembangan kepribadian, dikatakan lebih cepat karena ada kesamaan bentuk antara kebahagiaan yang bersifat abstrak, dan pengembangan kepribadian yang sifatnya non-fisik. Untuk mencapai hal-hal yang bersifat abstrak, dibutuhkan materi yang juga sifatnya abstrak (non-fisik). Pengembangan kepribadian yang sifatnya non-fisik, akan menjadi bahan yang mudah diolah untuk mencapai kondisi kebahagiaan yang sifatnya abstrak. Selain itu, pencapaian kebahagiaan melalui pengembangan kepribadian dapat dikatakan cepat, karena sarana pengembangan kepribadian lebih mudah didapat, misalnya melalui pengalaman-pengalaman yang ada pada individu, maupun melalui kebijaksanaan yang dapat dipelajari dari lingkungan. Kebahagiaan Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005), kebahagiaan adalah keadaan atau perasaan senang dan tenteram (bebas dari segala yang menyusahkan). Menurut Morris (1996), perasaan senang termasuk salah satu bentuk emosi positif yang dimiliki individu. Dalam bahasa Inggris, kebahagiaan dapat disamakan dengan kata happiness (Hariyono & Idel, 2005). Lebih lanjut, happiness dipadankan dengan katakata feeling or expressing of pleasure, contentment, satisfaction dan cheerfulness (Hornby, Cowie, & Gimson, 1987), yang dapat diartikan sebagai perasaan senang, perasaan bermakna, perasaan puas, dan ceria. Dalam kamus psikologi, agak sulit mencari padanan kata kebahagiaan. Namun demikian ada kata yang mungkin dapat mendekatinya, yaitu well being. Menurut Corsini (2002), well-being adalah a subjective state of being well, includes happiness, self-esteem, and life satisfaction. Artinya, well being adalah kondisi saat individu merasa dirinya baik-baik saja (state of being well), saat individu merasakan kebahagiaan (happiness), saat individu merasa dirinya mampu dan berharga (selfesteem), dan saat individu merasakan kepuasan hidup (life satisfaction). Dalam perumusan konsep kebahagiaan, kata well being terkadang dipasangkan dengan kata psychological sehingga menjadi psychological well being (Ryff, 1989, 1995; Ryff & Essex, 1992; Ryff & Keyes, 1995; Ryff & Singer, 1996) dan terkadang dipasangkan dengan kata subjective sehingga menjadi subjective well being (Diener, 2000, 2002; Diener & Oishi, 2003; Diener, Scollon & Lucas, 2003; Diener, Suh & Oishi, 1997). Walaupun tokoh-tokoh tersebut terkadang menggabungkan istilah well being menjadi subjective well being maupun psychological well being, namun menurut penulis, kedua konsep tersebut dapat disetarakan atau diintisarikan sebagai kebahagiaan (well being).
Halaman 2 dari 14 halaman
Menurut Ryff (sebagai tokoh yang banyak menggunakan istilah psychological well being), well being adalah kondisi pada saat seseorang berada dalam keadaan sehat mental, memiliki penerimaan diri, memiliki hubungan yang positif dengan orang lain, merasa memiliki otonomi, merasa mampu menguasai lingkungan, memiliki tujuan hidup, dan merasa adanya pertumbuhan/pengembangan diri. Sedangkan menurut Diener (sebagai tokoh yang banyak menggunakan istilah subjective well being), well being didefinisikan sebagai kondisi pada saat individu mengalami kepuasan pada berbagai aspek kehidupan atau pada berbagai peristiwa; pada saat individu tidak memiliki perasaan cemas, atau hanya memiliki tingkat kecemasan yang rendah; pada saat individu tidak berada dalam kondisi depresi; dan pada saat individu mengalami emosi-emosi positif. Menurut Diener, kondisi kebahagiaan yang dialami oleh individu tidak harus mendapatkan pengakuan sehat mental. Seseorang yang mengalami delusi, bisa saja menyatakan bahwa dirinya berada dalam kondisi well being. Dalam konsep Living Value (BKWSU, 1998; Tillman, 2000), kebahagiaan menjadi salah satu value di dalamnya. Kebahagiaan diartikan sebagai kedamaian, yaitu kondisi pada saat tidak ada gejolak di dalam pikiran. Lebih lanjut, Tillman (2000) menyatakan bahwa kebahagiaan adalah kondisi yang dialami individu pada saat adanya perasaan cinta, harapan, serta pada saat adanya tujuan yang tercemin dari pikiran, kata-kata, dan perbuatan. Fokus kebahagiaan bukan pada kesejahteraan sosial-ekonomi. Kesejahteraan sosial-ekonomi hanya merupakan sebagian sarana (infrastructure) untuk pengembangan diri. Dari beberapa pengertian tentang kebahagiaan, penulis menyimpulkan bahwa kebahagiaan adalah perasaan senang atau puas terhadap kondisi yang ada, adanya kesadaran untuk tidak menyesali/mengeluh terhadap hal-hal yang sudah terjadi, terhadap kenyataan yang ada pada diri sendiri maupun orang lain, bahkan justru bersyukur atas apa yang telah dimiliki (what I have had...); kesadaran bahwa hidup ini bermakna, memiliki tujuan, dan penuh harapan; kondisi pada saat individu dapat memaknai hidup ini dengan berbagai emosi positif, penuh keceriaan, penuh rasa cinta/kasih terhadap sesama, yang diwujudkan secara konkrit melalui kata-kata atau perbuatan; kondisi pada saat ada kedamaian di dalam pikiran, dalam arti individu mampu berkonsentrasi pada lingkungan yang sedang dihadapinya, sehingga ia memiliki perasaan mampu (I can...) menjalani kehidupan sehari-hari; kondisi pada saat pikiran tidak (terlalu) terikat pada keinginan-keinginan sesaat, atau pada saat individu berpikir bahwa dirinya adalah (I am...) sosok yang bebas/otonom yang mampu mengendalikan perbuatan, kata-kata, bahkan buah pikirannya. Lokasi Kebahagiaan Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005), lokasi diartikan sebagai letak atau tempat. Namun menurut penulis, lokasi sebenarnya bisa diartikan lebih dari sekedar persamaan kata sebagai letak atau tempat. Menurut penulis, lokasi juga identik dengan sumber/pusat. Seperti halnya lokasi mata air, maka tempat tersebut akan menjadi sumber/pusat air; perpustakaan sebagai lokasi penyimpanan buku-buku referensi, maka tempat tersebut akan menjadi sumber/pusat buku-buku referensi; lokasi wisata, maka tempat tersebut akan menjadi sumber/pusat wisata. Begitu pula lokasi kebahagiaan, maka tempat tersebut akan menjadi sumber/pusat kebahagiaan. Seperti yang telah diungkapkan pada bagian pendahuluan, lokasi kebahagiaan terdapat di dua tempat yang berbeda, yaitu di dalam diri dan di luar diri individu. Dalam tulisan ini, penulis tergolong individu yang menyatakan bahwa lokasi kebahagiaan ada di dalam diri individu, tepatnya pada kepribadian yang dimilikinya.
Halaman 3 dari 14 halaman
Artinya kepribadian orang tersebut akan menjadi sumber/pusat kebahagiaan bagi dirinya. Lokasi akan identik dengan sumber/pusat, bila lokasi tersebut memiliki sifat asli/hakekat dari nama lokasi yang bersangkutan. Misalnya lokasi mata air, akan menjadi sumber air, bila lokasi tersebut masih memiliki sifat asli/hakekat mata air, yaitu mengeluarkan air. Lokasi wisata, akan menjadi sumber/pusat wisata, bila lokasi tersebut masih memiliki sifat asli/hakekat sebagai lokasi wisata, yaitu adanya pemandangan yang memberikan pengalaman unik dan mengesankan. Lokasi yang tidak memiliki sifat asli/hakekat, tidak dapat menjadi sumber. Kepribadian dapat dijadikan lokasi kebahagiaan, bila kepribadian memiliki sifat asli/hakekat kebahagiaan. Sifat asli/hakekat kebahagiaan seperti yang sudah penulis rumuskan dalam bagian pengertian kebahagiaan, yaitu: perasaan senang atau puas terhadap peristiwa yang dialami atau kondisi yang ada, kesadaran bahwa hidup ini bermakna, adanya tujuan hidup, dan adanya perasaan penuh harapan, penuh rasa cinta/kasih terhadap sesama, yang diwujudkan secara konkrit melalui kata-kata atau perbuatan, kondisi pada saat ada kedamaian di dalam pikiran, kondisi pada saat pikiran tidak (terlalu) terikat, merasa diri sebagai sosok yang bebas/otonom yang mampu mengendalikan perbuatan, kata-kata, dan buah pikiran. Kepribadian yang dapat menjadi lokasi/sumber/pusat kebahagiaan, adalah kepribadian yang dapat memberikan hal-hal seperti yang tercakup dalam definisi kebahagiaan di atas. Permasalahannya adalah: apakah setiap kondisi kepribadian yang dimiliki individu dapat menjadi sumber/pusat kebahagiaan; apakah setiap kondisi kepribadian yang dimiliki individu dapat memberikan efek kebahagiaan yang sama; atau apakah ada perbedaan tingkat kebahagiaan berdasarkan jenis kepribadian yang dimiliki oleh individu. Dalam analogi lokasi mata air, ada mata air yang besar dan ada mata air yang kecil. Ada mata air yang lebih banyak mengeluarkan air sehingga dapat lebih dihandalkan untuk menjadi sumber air dibandingkan dengan lokasi mata air yang hanya mengeluarkan air pada musim-musim tertentu saja. Dalam analogi lokasi wisata, ada tempat yang ramai pada musim libur saja, namun ada tempat yang ramai sepanjang tahun, sehingga dapat dikatakan benar-benar sebagai pusat wisata bila dibandingkan dengan lokasi wisata lainnya. Demikian pula kepribadian, ada jenis kepribadian yang lebih menjadi sumber/pusat kebahagiaan dibandingkan dengan jenis kepribadian lainnya. Menurut penulis, di antara berbagai jenis kepribadian, ada jenis kepribadian yang relatif dapat menjadi sumber/pusat kebahagiaan, yaitu kepribadian resilien. Kepribadian resilien, relatif dapat dianggap sebagai lokasi kebahagiaan, karena adanya kedekatan antara definisi kebahagiaan dengan ciri/karakter/sifat-sifat resilien. Dengan demikian, sebagaimana yang telah penulis nyatakan di atas, bahwa lokasi kebahagiaan ada di dalam diri individu, secara lebih spesifik ada pada kepribadian (karakteristik) resilien. Penjelasan mengenai kedekatan konsep kebahagiaan dan ciri/karakter kepribadian resilien akan dibahas lebih lanjut. Ada tiga alasan mengapa penulis menggunakan istiliah kepribadian resilien sebagai lokasi/sumber/pusat kebahagiaan. Alasan pertama, adalah untuk memperjelas posisi/letak, khususnya pada saat individu menyatakan bahwa lokasi kebahagiaan (yang sebenarnya) berada di dalam diri. Jika pusat/sumber kebahagiaan sekedar dinyatakan berada di dalam diri, boleh jadi individu menganggap pusat/sumber kebahagiaan tersebut hanya sebagai suatu kiasan atau keyakinan subjektif. Dengan memberi label kepribadian resilien, diharapkan ada gambaran yang lebih jelas, kongkrit dan akurat mengenai lokasi kebahagiaan.
Halaman 4 dari 14 halaman
Alasan kedua, adalah untuk menginternalisasi resiliensi sebagai suatu model kepribadian, bukan sekedar nama variabel atau fenomena. Fenoma dan variabel psikologis, seperti: inteligensi, kepercayaan diri, komitmen, kepuasan kerja, kedisiplinan, kemampuan interpersonal, dll., sering kali hanya menjadi wacana yang bersifat parsial atau kurang terintegrasi. Dengan konsep kepribadian resilien, diharapkan konsep-konsep psikologis yang bersifat positif tersebut dapat lebih terintegrasi dan lebih dapat diinternalisasi sebagai suatu pola kepribadian. Alasan ketiga, adalah untuk memberikan alternatif dalam mengevaluasi kepribadian. Saat seorang peneliti melakukan pengukuran kepribadian dengan menggunakan dua pendekatan besar, yaitu pendekatan tipologi atau pendekatan trait, kepribadian dianggap sebagai sesuatu yang relatif, tidak ada yang benar atau yang salah. Masing-masing jenis dan trait kepribadian dianggap sebagai sesuatu yang unik, yang membedakan individu yang satu dengan individu yang lain. Dengan menggunakan istilah kepribadian resilien, penulis mencoba mengajukan hipotesis/dugaan bahwa sebenarnya ada suatu model kepribadian yang bersifat ideal, yang secara implisit ada kesan benar/salah, sehat/tidak sehat, diinginkan/tidak diinginkan, serta baik/buruk. Dugaan tersebut didasari oleh satu kriteria yang sangat esensial dan selalu dicari oleh semua individu, yaitu kebahagiaan. Alasan penulis bahwa resiliensi sebagai suatu konsep yang terintegrasi (bukan sekedar trait atau tipe kepribadian) dan dapat dianggap sebagai suatu pola kepribadian yang ideal/sehat, didukung oleh pendapat Garmezy dan Masten (dikutip oleh Hiew & Matchett, 2001). Mereka menyatakan bahwa saat ini banyak penelitian yang menggunakan konsep resiliensi sebagai model pengembangan kepribadian yang sehat. Dengan demikian, maka pendapat yang menyatakan bahwa kepribadian individu bersifat tidak ada yang benar/salah, perlu dikaji ulang. Kepribadian yang benar adalah kepribadian yang sehat. Kepribadian yang sehat adalah kepribadian resilien. Demikian penjelasan mengenai lokasi kebahagiaan. Lokasi kebahagiaan boleh jadi memang berada di dalam diri. Namun secara lebih akurat, ia berada pada kepribadian yang bersifat resilien (kepribadian resilien). Kepribadian resilien, sebagai kepribadian yang sehat, adalah sebagai pusat/sumber (lokasi yang ingin dituju) bagi individu yang ingin mencapai kebahagiaan.
Kepribadian Dalam kamus psikologi, kepribadian adalah konstruk psikologis yang sering digunakan secara spontan untuk memahami tingkah laku individu/kelompok yang ditampilkan dalam situasi/kondisi yang berbeda-beda (Corsini, 2002). Dalam Chaplin (1995), terdapat definisi kepribadian yang dikemukakan oleh berbagai tokoh, seperti: Cattel, Murray, Freud, dan Adler. Menurut Cattell, kepribadian adalah segala sesuatu yang dapat meramalkan tentang apa yang akan dilakukan oleh sesseorang dalam satu situasi tertentu. Menurut Murray, kepribadian adalah bentuk-bentuk dorongan berupa kekuatan fungsional yang dinyatakan melalui tingkah laku/proses yang terorganisir dari lahir sampai mati. Menurut Freud, kepribadian adalah integrasi dari id, ego, dan superego. Menurut Adler kepribadian adalah gaya hidup individu atau cara/ karakteristik seseorang bereaksi terhadap masalah-masalah/tujuan hidup. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa secara garis besar, kepribadian dapat dipahami dalam dua bentuk, yaitu: kepribadian sebagai sesuatu yang berbentuk abstrak dan kepribadian sebagai sesuatu yang berbentuk kongkrit/nyata. Kepribadian sebagai sesuatu yang berbentuk abstrak berwujud sebagai
Halaman 5 dari 14 halaman
potensi/konstruk psikologis yang terdiri atas dorongan/kebutuhan/keinginan (id), serta terdiri atas sistem norma/belief system (superego). Sedangkan kepribadian sebagai sesuatu yang berbentuk kongkrit berwujud sebagai tingkah laku nyata yang tampil dalam berbagai situasi/kondisi dengan tujuan tertentu. Kepribadian yang berbentuk abstrak dan kongkrit tersebut berfungsi sebagai suatu sistem/pola/sifat/gaya hidup yang terorganisir dan dinamis dari lahir sampai mati. Resilien Dalam Bahasa Indonesia, istiliah resilien belum digunakan secara meluas, bahkan belum ada di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2005). Kata tersebut merupakan kata serapan dari bahasa asing, yaitu resilience. Menurut Hornby et al. (1987) resilience atau resiliency digolongkan sebagai suatu kata benda yang tidak dapat dihitung (uncountable noun). Kata tersebut diartikan sebagai suatu kualitas/sifat (quality or property) zat untuk kembali ke bentuk atau kondisi asli (original shape or condition), setelah zat tersebut ditarik, ditekan atau diubah-ubah (after being pulled, pressed & crushed). Sebagai perumpamaan dalam hal ini, adalah karet (the resilience/resiliency of rubber). Sarafino (1994) mendefinisikan resilience sebagai daya lenting, yaitu kemampuan untuk bangkit dari permasalahan atau sebagai kemampuan untuk tidak terlarut dalam perasaan tertekan. Conner (1995) menyatakan resilience sebagai suatu kemampuan individu untuk membebaskan diri dari kondisi yang kurang menguntungkan. Grotberg (1995) menyatakan bahwa resilience adalah kemampuan seseorang, suatu kelompok atau komunitas untuk mencegah, meminimalkan, dan mengatasi dampak dari kesulitan yang merusak. Menurut Krovertz (1999), resiliency berhubungan dengan keyakinan seseorang akan kemampuannya untuk mengatasi permasalahan. Reivich dan Shatte (2002) menjelaskan resilience sebagai kemampuan untuk merespon kesulitan hidup secara sehat, produktif, dan positif. Reivich dan Shatte memandang bahwa resiliency bukan hanya menyebabkan seseorang dapat mengatasi atau pulih dari suatu kesulitan, tetapi resiliency juga menyebabkan seseorang dapat meningkatkan aspek-aspek kehidupannya menjadi lebih positif. Pandangan Reivich dan Shatte tersebut secara tersirat mengandung makna bahwa resiliensi tidak hanya dibutuhkan pada saat seseorang mengalami kesulitan berat, namun juga pada saat seseorang menjalani permasalahan dalam hidup sehari-hari. Lifton (dikutip oleh Bernard, 2004) menjelaskannya resiliensi sebagai self righting, yaitu kapasitas manusia untuk berubah dan melakukan transformasi ke arah yang lebih baik dalam menghadapi permasalahan hidup, tidak peduli jenis dan berat masalah yang dihadapi. Dari beberapa pengertian mengenai resilience/resiliency di atas, dapat disimpulkan bahwa resilien/resiliensi adalah kemampuan individu untuk mencegah, meminimalkan dan mengatasi berbagai kesulitan hidup yang dialaminya, secara sehat, produktif dan positif. Kemampuan mencegah, mengacu pada kemampuan individu untuk mempertahankan kondisi kehidupan pada keadaan baik, atau bahkan meningkat menjadi lebih baik, positif dan produktif. Kemampuan meminimalkan, mengacu pada kemampuan individu untuk memberikan respon atau bangkit dari berbagai jenis permasalahan yang dihadapi agar tidak semakin buruk dan berat. Terakhir kemampuan mengatasi, mengacu pada kemampuan individu untuk berubah dan melakukan transformasi dari berbagai jenis permasalahan, sehingga terbebas dari perasaan tertekan atau kondisi yang kurang menguntungkan dalam menghadapi permasalahan hidup. Ketiga kemampuan tersebut identik dengan sifat/kualitas zat
Halaman 6 dari 14 halaman
yang dapat selalu kembali kepada bentuk asli setelah zat tersebut mengalami berbagai tekanan, tarikan atau berbagai kondisi perubahan. Kepribadian Resilien Berdasarkan penjelasan di atas terhadap pengertian kata kepribadian dan kata resilien, penulis menyatakan bahwa kepribadian resilien adalah suatu pola/gaya hidup individu yang didasari oleh pola pikir (belief system), sifat/karakter serta keyakinan untuk mencegah, meminimalkan dan mengatasi berbagai permasalahan kehidupan. Pola/gaya hidup tersebut tercermin dari usaha-usaha kongkrit yang dilakukan individu untuk mempertahankan kondisi kehidupan pada keadaan yang baik, atau bahkan menjadi lebih baik, positif dan produktif; untuk bangkit dari berbagai jenis permasalahan yang dihadapi agar tidak semakin buruk dan berat; serta untuk berubah dan melakukan transformasi sehingga terbebas dari perasaan tertekan atau kurang menguntungkan. Kepribadian resilien tidak terlepas dari hakekat kata resilien. Dalam penjelasan tentang hakekat kata resilien, ada kata yang perlu cermati, yaitu kata ”bentuk/kondisi asli”. Pada pengertian mengenai resiliensi, telah dinyatakan bahwa resilien identik dengan kemampuan untuk selalu kembali kepada bentuk atau kondisi asli (original shape or condition), setelah suatu zat mengalami berbagai tekanan, tarikan atau berbagai kondisi perubahan. Menurut penulis, kata bentuk/kondisi asli tersebut bila dianalogikan dengan individu adalah ”kondisi/perasaan baik” Analogi bentuk asli sebagai kondisi/perasaan baik, menurut penulis adalah tepat. Hal ini sesuai dengan berbagai pengertian sebelumnya mengenai resiliensi, yaitu resiliensi sebagai kemampuan untuk bangkit dari permasalahan atau sebagai kemampuan untuk tidak terlarut dalam perasaan tertekan (Sarafino, 1994); resiliensi sebagai kemampuan untuk membebaskan diri dari kondisi yang kurang menguntungkan (Conner, 1995); resiliensi sebagai kemampuan untuk mencegah, meminimalkan, dan mengatasi dampak dari kesulitan yang merusak (Grotberg, 1995); dan resiliensi sebagai kemampuan untuk merespon kesulitan hidup secara sehat, produktif, dan positif (Reivich dan Shatte, 2002). Inti dari berbagai pengertian mengenai resiliensi tersebut adalah pencapaian kondisi/perasaan baik. Dengan demikian, pengertian kepribadian resilien juga dapat disederhanakan sebagai suatu karakter (sifat & pola tingkah laku) yang dimiliki oleh individu dengan tujuan untuk selalu kembali atau selalu mempertahankan kondisi/perasaan baik yang dimiliki, walaupun individu mengalami berbagai gejolak/permasalahan kehidupan. Kepribadian Resilien dan Kebahagiaan Kepribadian resilien berkaitan dengan karaktertistik individu yang tercermin dari usaha-usahanya untuk selalu mempertahankan atau selalu kembali kepada kondisi/perasaan baik yang dialaminya. Secara psikologis, kondisi/perasaan baik tersebut identik dengan emosi positif atau perasaan senang. Emosi positif atau perasaan senang tidak lain adalah kondisi kebahagiaan yang selama ini selalu diinginkan oleh semua individu. Dengan demikian semakin individu mampu menemukan kepribadian resilien di dalam dirinya, semakin besar peluang untuk mencapai kondisi baik (perasaan bahagia). Menurut penulis, dari berbagai teori mengenai resilien, teori Reivich dan Shatte (2002) adalah teori yang mendekati ideal untuk dijadikan sebagai dasar kepribadian resilien. Penulis menyatakan mendekati ideal, karena tidak tertutup kemungkinan adanya karakteristik-karakteristik lain yang belum tercakup di dalam teori Reivich dan Shatte. Menurut mereka, individu yang resilien ditandai oleh adanya kestabilan
Halaman 7 dari 14 halaman
dalam pengelolaan emosi (emotion regulation), kemampuan berempati (emphaty), kemampuan merasakan sesuatu hal yang berhasil dicapai (reaching out), kemampuan mengendalikan diri (impulse control), sikap optimis (optimism), kemampuan menganalisis permasalahan (causal analysis), serta keyakinan diri untuk mengerjakan suatu tugas (self efficacy). Pengaruh karakteristik-karakteristik resilien tersebut terhadap kebahagiaan akan penulis uraikan satu per satu pada alinea di bawah ini. Stabilitas emosi. Stabilitas emosi adalah kemampuan individu untuk menenangkan berbagai emosi negatif yang dimiliki. Menurut Fernald (1997), emosi negatif meliputi perasaan marah, cemas, takut, bersalah, malu dan sedih. Kebahagiaan hidup dapat dicapai jika seseorang mampu mengurangi atau bahkan membebaskan perasaan marah, cemas, takut, bersalah, malu dan sedih yang ada pada dirinya. Adalah sesuatu yang aneh jika seseorang menyatakan bahwa dirinya merasa bahagia, namun pada saat yang bersamaan ia kurang dapat menenangkan perasaan-perasaan negatif yang ada pada dirinya. Cara yang paling sederhana untuk mampu mengendalikan emosi marah adalah menunda timbulnya keinginan untuk mencurahkan kemarahan tersebut secara segera kepada orang lain. Penundaan dapat saja dilakukan dengan cara melakukan pekerjaan lain yang lebih penting, melakukan hobby, mendengarkan musik atau membaca bacaan yang bersifat inspiratif. Penundaan terhadap kemarahan, umumnya akan mengurangi emosi negatif atau menenangkan emosi marah yang ada. Cara mengatasi emosi cemas dan takut adalah menghindari (flight from) objek yang membuat cemas/takut atau sebaliknya menghadapi (fight to) objek yang membuat cemas/takut. Kecemasan dan ketakutan pada dasarnya disebabkan oleh ketidaktahuan individu mengenai hakekat dari sesuatu. Oleh karena itu cara yang paling utama untuk mengatasi perasaan cemas/takut adalah membekali diri dengan pengetahuan/kebijaksanaan. Di samping itu, hal yang perlu dilakukan untuk mengatasi kecemasan/ketakutan adalah dengan berpikir bahwa semuanya akan berjalan dengan baik dan sesuai dengan drama atau kehendak Yang di atas. Emosi negatif berupa perasaan bersalah dan malu akan timbul pada saat individu melakukan kesalahan dan kemudian terus menerus memikirkan kesalahan tersebut. Cara yang paling mudah untuk mengatasi perasaan bersalah dan malu adalah dengan memberikan maaf pada diri sendiri. Memberikan maaf berarti menerima dan juga menghargai hal yang bersangkutan. Menerima kesalahan yang pernah dilakukan, dapat diatasi dengan cara menyatakan di dalam hati (affirmasi) bahwa: ”saya telah melakukan sesuatu yang mungkin jauh dari harapan orang lain, namun saya yakin apapun yang saya lakukan sebenarnya adalah proses belajar yang sudah diatur untuk saya (oleh invisible hand) agar saya semakin/menjadi lebih bijaksana”. Mengenai cara mengatasi/mengendalikan emosi sedih, sebelumnya individu perlu menyadari bahwa sering kali kesedihan berawal dari kondisi kekecewaan dan perasaan kesendirian (lonely). Kekecewaan dan perasaan kesendirian muncul karena tidak terpenuhinya harapan atau karena tidak ditemuinya hubungan bermakna dengan orang lain. Menghadapi kondisi ini, ada baiknya individu memiliki sikap pasrah/ iklas, tidak terikat (dettachment), dan bersyukur. Kombinasi dari ketiga sikap tersebut akan membawa perasaan yang lebih baik. Pertama, perasaan pasrah/iklas akan menyebabkan individu tersadar bahwa ada kekuatan lain di luar diri individu yang tidak mungkin dikendalikannya. Kedua, perasaan tidak terikat (dettachment) akan menyebabkan individu tersadar bahwa tidak ada satupun materi di dunia ini yang dapat dimiliki secara pribadi dan abadi. Adalah hal yang sia-sia meratapi sesuatu yang tidak dapat dimiliki secara pribadi dan abadi. Ketiga, perasaan bersyukur akan menyebabkan individu melihat keistimewaan yang ada dalam dirinya. Mudah-
Halaman 8 dari 14 halaman
mudahan dengan melihat keistimewaan yang masih ada dalam dirinya, individu dapat mengobati rasa sedihnya. Jika individu mampu menenangkan berbagai emosi negatifnya (perasaan marah, cemas, takut, bersalah, malu & sedih) bahkan mampu mengolahnya menjadi emosi positif, individu akan menuju kepada kondisi kebahagiaan. Sesuai dengan definisinya, kebahagiaan ditandai oleh hadirnya emosi positif/perasaan senang yang relatif menetap. Empati. Empati adalah kemampuan seseorang untuk memahami pikiran, perasaan dan tingkah laku orang lain. Goleman (1997), menyatakan bahwa empati adalah kemampuan untuk memahami perasaan/emosi, kebutuhan dan kepentingan orang lain. Menurut Corsini (2002), empati merupakan dasar bagi terbentuknya hubungan sosial yang positif. Individu yang dapat memahami perasaan, kebutuhan serta kepentingan orang lain, akan lebih mudah menerima dan diterima oleh orang lain/lingkungan sosial. Dengan perkataan lain, semakin individu dapat memahami pikiran, perasaan, kebutuhan/kepentingan orang lain, semakin besar kemungkinkan ia dapat diterima di dalam lingkungan sosialnya. Kata kunci dari sikap empati, adalah pemahaman terhadap kebutuhankebutuhan orang lain. Banyak cara untuk memahami kebutuhan-kebutuhan orang lain, bisa dengan cara bertanya langsung kepada orang yang bersangkutan atau bisa dengan cara mempelajarinya secara teoretis. Misalnya, berdasarkan teori tingkat kebutuhan (hierarchy of needs dari Maslow) kebutuhan orang lain dapat digolongkan ke dalam 5 tingkatan, yaitu: kebutuhan fisik (physiological need), kebutuhan rasa aman (safety need), kebutuhan untuk dicintai (love & belonging need), kebutuhan dihargai/ dipercaya (esteem need), dan kebutuhan mengaktualisasikan diri (self actualization need). Pemahaman terhadap kebutuhan-kebutuhan tersebut, setidaknya akan membuat individu belajar menjadi empati terhadap orang lain. Sikap empati akan membuat hubungan dengan orang lain menjadi lebih bermakna dan positif. Hubungan yang ada didasari oleh content berupa kebutuhan. Mungkin individu tidak harus dapat memenuhi semua kebutuhan orang lain/orang yang dicintainya, tetapi setidaknya individu dapat memberikan sesuatu yang ia tahu bahwa orang lain/orang yang dicintainya sedang membutuhkan hal tersebut. Sebagian orang menemukan makna pada saat ia dapat membuat orang lain/orang yang dicintainya mendapatkan kebutuhannya. Penemuan makna di dalam hubungan dengan orang lain dan terjalinnya hubungan yang positif dengan orang lain merupakan suatu kondisi kebahagiaan. Kemampuan merasakan ada sesuatu hal yang berhasil dicapai. Sebelum seseorang mampu merasakan ada sesuatu hal yang berhasil dicapai dalam hidupnya, ia perlu menyadari sesuatu hal tersebut. Sesuatu hal tersebut dapat berupa objek yang bersifat material, atau dapat berupa nilai-nilai yang bersifat abstrak. Objek yang bersifat material dapat berupa kondisi fisik yang ia miliki, makanan yang ia dapatkan sehari-hari, kesuksesan materi, teman-teman, kerabat, serta keluarga yang ia miliki. Nilai-nilai yang bersifat abstrak dapat berupa kasih sayang, tanggung jawab, kejujuran, toleransi, keberanian, kerendah-hatian, ataupun nilai kesederhanaan yang individu miliki. Individu yang mampu menyadari hal-hal tersebut, baik yang bersifat materi maupun abstrak, akan mampu merasakan bahwa ternyata ada hal-hal yang sudah ia raih/capai dalam hidup ini. Orang-orang yang bahagia adalah orang-orang yang mampu merasakan bahwa di dalam hidup ini, ada berbagai materi dan nilai-nilai yang sudah berhasil ia raih/capai dan miliki. Pengendalian diri. Pengendalian diri adalah kemampuan individu untuk menunda kesenangan sesaat yang diinginkannya. Kesenangan-kesenangan sesaat
Halaman 9 dari 14 halaman
tersebut umumnya berupa keinginan untuk mengalami hal-hal yang dapat memuaskan panca indra ataupun organ-organ fisik lainnya. Panca indera yang dimaksud meliputi indera pengecap (lidah), indera penglihatan (mata), indera pendengaran (telinga), indera perabaan (kulit), serta indera penciuman (hidung). Sedangkan organ fisik lainnya meliputi organ sex, organ pencernaan, serta organ tubuh/syaraf secara keseluruhan. Individu yang mampu mengendalikan (menjadi penguasa) atas panca indera dan organ-organ fisiknya adalah individu yang cenderung dapat mengalami kebahagiaan. Hal ini memang agak kontroversi dengan pendapat umum yang menyatakan bahwa individu akan mengalami kesenangan/kebahagiaan adalah individu yang dapat memenuhi berbagai macam keinginannya. Untuk menjembatani kontroversi tersebut kita perlu menekankan kata kunci ”menunda” dan kata kunci ”keinginan”. Individu yang mampu menunda keinginannya, akan lebih bahagia daripada individu yang tidak mampu menunda keinginannya. Individu cenderung merasa bahwa jika keinginannya sudah terpenuhi maka ia akan merasa senang/bahagia. Pertanyaan yang harus diajukan adalah: Sampai berapa lama perasaan senang/bahagia tersebut akan bertahan?; Adakah kesenangan/kebahagiaan lain yang dapat kita peroleh bila kita mau/mampu menunda pemenuhan keinginan sesaat tersebut?; Apakah kita sudah mengetahui/menyadari dengan jelas akibat, baik positif maupun negatif, baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain, dari pemenuhan keinginan sesaat tersebut?; Apakah bila keinginan tersebut tidak segera dipenuhi, diri kita akan mengalami resiko yang fatal? Umumnya jawaban atas pertanyaanpertanyaan tersebut adalah: kesenangan/kebahagiaan yang diperoleh tidak bertahan lama; ada kesenangan/kebahagiaan lain yang dapat kita capai/kita raih, yang boleh jadi akan lebih abadi, bila kita mampu menunda keinginan-keinginan kita; kita belum mengetahui dengan jelas akibat negatif yang akan ditimbulkan, atau ternyata kita belum menyadarinya, dalam artian kalau pun kita mengatakan kita sudah mengetahui akibat negatifnya (dengan jelas), tetap saja kita melakukannya; dan jawaban atas pertanyaan terakhir, bahwa tidak terpenuhinya keinginan tersebut dengan segera ternyata tidak menimbulkan akibat yang fatal bagi diri kita, atau sebenarnya kita tetap dapat berada dalam keadaan yang menyenangkan/membahagiakan bila keinginan tersebut tidak terpenuhi. Dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut di atas, kita perlu secara kritis membedakan mana yang tergolong keinginan dan mana yang tergolong kebutuhan. Pada saat kita mampu mengendalikan diri atau pada saat kita mampu menunda keinginan-keinginan sesaat, kita berharap dapat menemukan hal-hal lain yang lebih berdampak positif, baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain. Kita berharap dapat menemukan hal-hal lain yang lebih menimbulkan perasaan bahagia, yang sifatnya lebih abadi. Optimisme. Optimisme adalah bagaimana seseorang bersikap positif terhadap suatu keadaan (Seligman, 1995). Dengan kata lain, optimisme mengacu pada penjelasan positif terhadap keadaan baik atau keadaan buruk yang dialaminya. Individu yang optimis memandang bahwa keadaan buruk yang dialaminya bersifat spesifik, hanya untuk situasi dan kondisi tertentu saja; bersifat sementara dan tidak menetap, bahwa kemungkinan keadaan buruk tersebut terulang lagi di masa yang akan datang adalah sangat kecil; serta individu memandang bahwa kejadian buruk yang dialaminya bukan semata-mata disebabkan oleh kekurangan/kesalahan dirinya. Sedangkan saat mengalami keadaan baik, individu yang optimis akan memandang bahwa keadaan baik tersebut bersifat menetap (bukan sementara dan bukan kebetulan), dalam arti keadaan baik tersebut kemungkinan besar akan berulang atau terjadi lagi di masa mendatang; keadaan baik akan dialami pada berbagai bidang kehidupan, bukan hanya untuk hal-hal tertentu saja; serta individu optimis akan
Halaman 10 dari 14 halaman
memandang bahwa keadaan baik tersebut dipengaruhi oleh usaha yang dilakukannya. Beberapa pandangan atau buah pikiran di atas adalah buah pikiran yang positif, yang pada intinya selalu memandang bahwa sesuatu keadaan pada dasarnya baik, dan kalaupun keadaan buruk terjadi, maka keadaan buruk tersebut akan berubah menjadi lebih baik. Individu yang dipenuhi oleh buah pikiran yang positif, akan cenderung mengalami kebahagiaan hidup. Mampu menganalisis permasalahan. Kemampuan menganalisis masalah diawali oleh kemampuan mengidentifikasi/mengenali pokok masalah serta penyebab terjadinya permasalahan. Kemampuan ini akan semakin baik, bila individu memiliki nilai toleransi. Individu yang memiliki nilai toleransi akan lebih jernih dalam memandang dan menganalisis pokok permasalahan. Ia tidak hanya akan melihat permukaan masalah, tetapi ia akan mampu melihat inti permasalahan. Dengan dasar toleransi, individu akan mampu membedakan (menganalisis) masalah dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut: apakah dengan adanya masalah ini, saya tidak dapat mencapai tujuan hidup saya?; seberapa jauh masalah yang saya hadapi berpengaruh terhadap tujuan hidup saya?; tujuan hidup saya yang mana yang akan terhambat pencapaiannya dengan adanya permasalahan ini?; apakah saya akan berkonsentrasi pada masalah atau pada tujuan hidup saya?; cara-cara apa yang dapat saya lakukan untuk menyelesaikan masalah yang sedang saya hadapi?; hal-hal (referensi bacaan, dokumen, bahan-bahan tulisan, dana, sikap hidup, dan lain lain) apa yang saya perlukan untuk menyelesaikan masalah ini?; apakah saya membutuhkan bantuan orang lain untuk menyelesaikan masalah ini?; kapan saya menginginkan masalah ini selesai?; apa keuntungan/nilai positif yang akan saya dapatkan jika saya mampu mengatasi/menyelesaikan/ menghadapi/menjalani permasalahan ini dengan baik?; apa kerugian yang akan saya alami, jika saya tidak mau berusaha semaksimal mungkin menyelesaikan/mengakhiri permasalahan ini?; apa yang dapat saya lakukan agar permasalahan yang saya hadapi saat ini, dapat saya antisipasi di masa mendatang?; pada saat kondisi apa/bagaimana masalah tersebut muncul?; dan pertanyaan-pertanyaan lain sebagainya yang pada intinya berusaha memahami dan menganalisis masalah yang sedang kita hadapi. Diharapkan setelah kita menganalisis masalah, kita mendapatkan jawaban-jawaban yang bersifat insipirasi/pencerahan bagi kita. Pencerahan/inspirasi bagi kita tersebut pada hakikatnya merupakan buah pikiran positif yang akan menambah kebahagiaan hidup. Dengan demikian semakin individu mau dan mampu menganalisis permasalahan, maka semakin ia dapat merasakan kebahagiaan hidup, di saat ia menghadapi permasalahan tersebut. Self-Efficacy. Self-Efficacy adalah keyakinan pada kemampuan diri sendiri untuk merencanakan dan melaksanakan/memutuskan serangkaian tindakan yang dibutuhkan untuk mengatasi suatu situasi yang sedang dihadapi. Definisi tersebut sesuai dengan yang dikatakan Corsini (2002), bahwa Self efficacy adalah “… beliefs in one’s capabilities to organize and execute the courses of action required to manage prospective situations”. Santrock (2001) mendefinisikan self efficacy sebagai keyakinan individu terhadap kemampuan dirinya untuk menguasai suatu situasi dan menghasilkan sesuatu yang positif. Dari dua pengertian tersebut, secara singkat dapat disimpulkan bahwa inti dari self-efficacy adalah suatu keyakinan pada kemampuan diri sendiri untuk menghadapi suatu situasi. Agar individu yakin akan kemampuannya, individu perlu memahami keistimewaan yang ada. Ada pepatah, seburuk-buruknya diri seseorang, pasti terdapat satu keistimewaan. Keistimewaan tersebut dapat berupa pengetahuan, pengalaman positif pada masa lalu, sifat rendah hati, sifat ikhlas, sifat jujur, sifat sederhana, penampilan fisik, kekuatan fisik, keterampilan mengerjakan/membuat sesuatu, atau
Halaman 11 dari 14 halaman
apa pun yang intinya merupakan sesuatu yang baik yang ada pada diri individu. Ketidaksadaran individu atas keistimewaan yang dimilikinya dapat diibaratkan seperti seorang ratu yang tidak menyadari bahwa dirinya sedang menggunakan kalung permata yang sangat indah. Jika individu menyadari keistimewaan yang dimilikinya, individu akan yakin terhadap dirinya. Hal kedua dari konsep self efficacy, selain keyakinan terhadap kemampuan/keistimewaan diri, adalah tingkah laku (action) untuk menghadapi situasi/tugas tertentu. Tingkah laku tersebut dapat berupa pikiran/perasaan, perkataan, dan perbuatan/gerakan yang tepat. Permasalahannya, terkadang individu menyianyiakan waktu dengan berpikir, berprasangka, berkata atau berbuat hal-hal lain di luar situasi/tugas yang sedang dihadapi. Hal-hal lain tersebut menyebabkan individu tidak dapat fokus pada situasi/tugas yang sedang dihadapi, dan akhirnya menyebabkan individu tidak yakin bahwa dirinya mampu menampilkan serangkaian tingkah laku yang yang dibutuhkan. Pada saat seseorang memahami keistimewaan yang dimilikinya dan dapat memanfaatkan waktu sebaik mungkin untuk berpikir, berkata, berbuat atau bergerak sesuai dengan situasi/tugas yang dihadapinya, maka ia akan yakin terhadap kemampuan dirinya. Keyakinan terhadap kemampuan diri berarti sikap yang positif terhadap diri. Individu yang yakin terhadap kemampuan dirinya, akan merasa senang terhadap dirinya. Kebahagaiaan hidup dapat dirasakan pada saat individu memiliki sikap positif dan perasaan senang terhadap dirinya. Penutup Kepribadian resilien ditandai oleh adanya stabilitas emosi, sikap empati, kemampuan merasakan adanya sesuatu yang berhasil dicapai, kemampuan mengendalikan diri, sikap optimis, kemampuan menganalisis suatu permasalahan dan adanya keyakinan untuk mengerjakan suatu tugas. Kepribadian resilien sebagai lokasi kebahagiaan, merupakan karakter yang dapat menjadi alternatif sumber kebahagiaan yang ada di dalam diri. Dengan kepribadian resilien individu akan mampu mengalami perasaan senang/puas, tidak menyesali atau tidak mengeluh terhadap hal-hal yang terjadi, merasakan bahwa hidup ini bermakna, memiliki tujuan, dan penuh harapan.
Halaman 12 dari 14 halaman
Daftar Pustaka
Benard, B. (2004). The foundations of the resiliency framework: From research to practice. Retrieved December 30th, 2006, from www.resiliency.com/htm/ research.htm. Brahma Kumaris World Spiritual University [BKWSU]. (1998). Living value statements (edisi Bahasa Indonesia). Jakarta: Yayasan Studi Spriritualitas Brahma Kumaris. Chaplin, C. P. (1995). Kamus lengkap psikologi (edisi 1, cetakan ke-2), (Kartono Kartini, Penerj.). Jakarta: PT. Grafindo Persada. (Karya asli diterbitkan tahun 1981). Conner, D. R. (1995). Managing at the speed of change: How resilient managers suceed and prosper where others fail. Retrieved January 7th, 2007, from http//www.Lessons4living.com/resiliency.htm#topics. Corsini, R. J. (2002). The dictionary of psychology. NY: Brunner–Routledge. Departemen Pendidikan Nasional. (2005). Kamus besar bahasa Indonesia (edisi ketiga). Jakarta: Balai Pustaka. Diener, E. (2000). Subjective well-being: The science of happiness and a proposal for national index. American Psychology. 55(1). 34-43. Diener, E. (2002). Findings on subjective well-being and their implications for empowerment. Retrieved December 30th, 2006, from http:// www.worldbank.org/poverty/empowerment/events/februari03/pdf/diener.pdf Diener, E. & Oishi, S. (2003). Are scandinavians happier than asian?:Issues in comparing nations on subjective well-being. Retrieved December 30th, 2006 from http://www.psych.uiuc.edu/ediener/hottopic/diener-oishi.pdf Diener, E., Scollon, C. N., & Lucas, R. E. (2003). The evolving concept of subjective well-being: The multifaceted nature of happiness. Retrieved December 30th, 2006, from http://www.psych.uiuc.edu/`ediener/hottopic/4153k-costa-chob.pdf Diener, E., Suh, E., & Oishi, S. (1997). Recent findings on subjective well-being. Retrieved December 30th, 2006, from http://www.psych.uiuc.edu/ediener/ hottopic/paper1.html Ehrlich, B. S. & Isaacowitz, D. M. (2002). Does subjective well-being increase with age? December 30th, 2006, from http://www.bespin.stwing.upenn.edu/upsych/ perspective/2002/ehrlich.pdf Fernald (1997). Psychology upper saddler river, NJ: Prentice Hall. Goleman, D. (1997). Kecerdasan emosional. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Grotberg, E. (1995). A guide to promoting resilience in children: strengthening the human spirit. Den Haag: Bernard Van Leer Foundation. Hariyono, R. & Idel, A. (2005). Kamus lengkap, inggris-indonesia, indonesia-inggris plus idiom. Gitamedia Press. Hiew, C. C., & Matchett, K. (2001). Resilience measurement: Using a resilience scale. Canada: University of New Brunswick. Hornby, A. S., Cowie, A. P., & Gimson, A. C. (1987). Oxford advanced learner’s dictionary of current english. Oxford: Oxford University Press. Janas, M. (2002). Built resiliency: Intervention in school & Clinic. Retrieved December 30th, 2006, from www.highbeam.com/library/doc3.asp. Krovetz, M.L. (1999). Fostering resiliency: expecting all students to use their minds and hearts well. California: Corwin Press.
Halaman 13 dari 14 halaman
Mangham, C., McGrath, P., Reid, G., & Stewart, M. (1995). Resiliency: Relevance the health promotion. Retrieved December 30th, 2006, from www.hssc.gc.ca/ hppb/alcohol-otherdrugs/pube/resiliency/discus. Morris, C. G. (1996). Understanding psychology (3rd ed.). NJ: Prentice Hall. Reivich, K., & Shatte, A. (2002). The resilience factor: 7 essential skills for overcoming life’s inevitable obstacles. NY: Broadway Brooks. Ryff, C D. (1989). Happiness is everything, or is it? explorations on the meaning of psychologycal well-being. Journal of Personality and social Psychology. 57 (6), 1069-1081. Ryff, C D. (1995). Psychological well-being in adult life. Current Directions in Psychological Science, 4, 99-104 Ryff C D., & Essex, M J. (1992). The interprestation of life experience and wellbeing: the sample case of relocation. Journal of Personality and Social Psychology, 2 (4), 507-516. Ryff, C. D. & Keyes, C. L. (1995). The structure of psychological well being. Revisited, Journal of Personality and Social Psychology, 69 (4), 719-727. Ryff, C D. & Singer, B. (1996). Psychological well-being: meaning, measurement, and implications for psychotherapy research. Psychotherapy Psychosomatics, 65, 14-23. Santrock, J. W. (2001). Educational psychology. New York: McGraw-Hill. Sarafino, E. P. (1994). Health psychology: biopsychosocial interactions (2nd ed.). Canada: John Wiley & Sons. Seligman, M. E. P., Reivich, J., Cox, L. J., & Gillham, J. (1995). The optimistic child. Boston: Houghton Mifflin Company. Tillman, D. (2000). Living values: an educational program. FL: Health Communications, Inc.
Halaman 14 dari 14 halaman