PENDIDIKAN DAN PENGAJARAN
PENGABDIAN PADA MASYARAKAT
PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN
RESEARCH DAYS FISIPOL UGM
2015
SINOPSIS UNIVERSITAS GADJAH MADA
DIES NATALIS KE-60 FISIPOL UGM “SMART ACTION TOWARDS GLOBAL SOCIETY”
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
i
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
ii
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
PENGANTAR DEKAN
Tugas utama lembaga pendidikan tinggi salah satunya adalah menghasilkan ilmu pengetahuan. Tugas tersebut dilakukan melalui pelaksanaan salah satu dari Tridharma, yaitu penelitian. Sebagai lembaga pendidikan tinggi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada (Fisipol-UGM) tidak terkecuali juga memiliki tanggung jawab untuk memproduksi ilmu pengetahuan terkait dengan bidang sosial dan politik. Tugas tersebut makin mendesak di tengah-tengah realitas bahwa masyarakat Indonesia saat ini sedang mengalami berbagai macam transformasi sosial, ekonomi, dan politik yang membutuhkan pemahaman dan penjelasan. Sebagai wujud komitmen untuk memahami masyarakat Indonesia yang sedang berubah, meningkatkan produktivitas dalam menghasilkan ilmu baru melalui riset, dan menghasilkan solusi berbagai masalah bangsa maka dalam tiga tahun terakhir ini Fisipol secara konsisten memberikan hibah penelitian bagi para akademianya (dosen dan mahasiswa). Program hibah penelitian yang dirancang Fisipol dimaksudkan untuk mendorong berkembangnya penelitian yang memiliki kualitas internasional melalui Hibah Riset Kolaboratif-Internasional maupun riset yang mendorong kerja sama antara pemerintah, swasta, dan perguruan tinggi melalui skema Hibah Riset KolaboratifTriple Helix. Tahun 2015 ini dengan tema penelitian terkait dengan isu-isu: ASEAN, Liberalisasi, Intoleransi, dan Public Distrust pelaksanaan program Hibah Riset Fisipol UGM telah mampu menghasilkan 68 judul penelitian yang terinci sebagai berikut: --
Hibah Riset kolaboratif terdiri dari: • Hibah Riset Kolaboratif-Triple Helix 2 judul • Hibah Riset Kolaboratif-Internasional 4 judul • Hibah Riset Kolaboratif-Internal Fisipol 1 judul
iii
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
--
--
Hibah Riset Jurusan terdiri dari Kelompok dan Individu: • Jurusan Manajemen dan Kebijakan Publik: riset kelompok 1 judul, riset individu 5 judul • Jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan: riset kelompok 2 judul, riset individu 4 judul • Jurusan Ilmu Komunikasi: riset kelompok 2 judul, riset individu 5 judul • Jurusan Hubungan Internasional: riset kelompok 3 judul • Jurusan Sosiologi: riset kelompok 1 judul, riset individu 5 judul • Jurusan Politik dan Pemerintahan: riset kelompok 2 judul, riset individu 4 judul Hibah Riset Mahasiswa: • Jurusan Manajemen dan Kebijakan Publik: 5 judul • Jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan: 5 judul • Jurusan Ilmu Komunikasi: 5 judul • Jurusan Hubungan Internasional: 2 judul • Jurusan Sosiologi: 5 judul • Jurusan Politik dan Pemerintahan: 5 judul
Sebagai bentuk pertanggungjawaban akademik dan akuntabilitas publik, hasil-hasil penelitian tersebut akan dipresentasikan dalam acara tahunan yang bertajuk: Fisipol Research Days 2015. Acara ini akan diselenggarakan pada tanggal 15-18 Desember 2015. Selain presentasi, hibah riset, juga terdapat presentasi riset dari berbagai lembaga riset di Fisipol UGM sebanyak 16 judul terdiri dari: •
Pusat Kajian: Institute of International Studies (IIS), Newmesis, Research Centre for Politics and Government (POLGOV), Center for Policy and Management Studies (REFORMA), ASEAN Studies Center (ASC), dan Youth Study Centre (YouSure). Masing-masing 1 judul • Popular Control and Effective Welfarism Program (PACER) kerja sama antara Fisipol dengan University of Oslo dan University of Agder: 10 judul Buku Sipnosis hasil penelitian ini disusun untuk mengetahui secara ringkas isi dari 84 judul penelitian, yang telah dihasilkan oleh akademia Fisipol sebagaimana diuraikan di atas. Harapannya, buku Sipnosis ini dapat menjadi panduan bagi para akademia dan praktisi dalam memilih sesi presentasi penelitian dalam mengikuti Fisipol Research Days 2015. Dengan suksesnya pelaksanaan program hibah penelitian tahun 2015 ini, atas nama Pengurus Fakultas kami mengucapkan selamat kepada seluruh peneliti yang
iv
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
bekerja siang-malam untuk mengumpulkan data, menganalisis dan menyajikannya dalam bentuk laporan penelitian. Secara khusus, ucapan terimakasih kami sampaikan kepada: Dr. M. Najib Azca dan Dr. Novi Kurnia yang telah bekerja keras mengawal pelaksanaan hibah dari merancang tema, melakukan monitoring dan evaluasi, serta memberikan pertangungjawaban kepada publik dalam bentuk penyelenggaraan “Fisipol Research Days 2015”. Terima kasih juga kami sampaikan kepada seluruh anggota Komisi Riset Senat Fakultas, terutama Ketua Komisi Prof. Dr. Janianton Damanik dan Sekretaris Komisi Dr. Kuskridho Ambardi yang berjasa dalam menyusun buku Panduan Riset Fisipol sebagai acuan pelaksanaan program hibah riset. Akhirnya, kami ucapkan selamat membaca semoga Buku Sipnosis sederhana ini bermanfaat bagi sidang pembaca sekalian.
Yogyakarta, Awal Desember 2015 Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada
Dr. Erwan Agus Purwanto
v
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
vi
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
vii
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
viii
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
ix
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
x
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
DAFTAR ISI PENGANTAR DEKAN..................................................................................................................... iii JADWAL RESEARCH DAYS .......................................................................................................... vi DAFTAR ISI ......................................................................................................................................... xi
RISET KOLABORATIF STRATEGI PENGEMBANGAN KAPASITAS APARATUR DALAM KONTEKS MASYARAKAT EKONOMI ASEAN............................................................................................... 3 LIBERALISASI PERTANIAN, MARGINALISASI PETANI DAN PERUBAHAN IKLIM : STUDI DI KABUPATEN SLEMAN DAN GUNUNG KIDUL...................................................... 6 MEMAHAMI MODEL BISNIS ORGANISASI SOCIAL ENTREPRENEURSHIP DI INDONESIA........................................................................................................................ 11 INTOLERANCE, MEDIA BARU, DAN MASYARAKAT EKONOMI ASEAN: Studi Eksploratif Intoleransi Sosial di Media Baru Malaysia dan Indonesia dalam Kaitannya dengan Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015....................................... 14 BEYOND LIBERAL POLITICS OF RECOGNITION: BRINGING INDIGENOUS RIGHTS MOVEMENTS INTO DEMOCRATIC FRAMEWORK OF PUBLIC POLICY Comparative Studies of the Indigenous Rights Movement in Aceh, Maluku and East Nusa Tenggara Provinces ........................................................................... 16 DOES INTOLERANCE ALWAYS MATTER? DYNAMICS CO-EXISTENCE OF PLURALISM AND ISLAMIST RADICALISM IN JAVA .................................................................. 18 POLITIK INOVASI DALAM INDUSTRI TEKNOLOGI INFORMASI GLOBAL : Studi Komparasi Strategi Bisnis dengan Model Inkubasi dan Akselerator di Jakarta, Bandung, Bali dan Yogyakarta.................................................................... 20
RISET JURUSAN - MAHASISWA: KEPEMIMPINAN MENINGKATKAN KETERWAKILAN PEREMPUAN DALAM POLITIK DAN PARLEMEN MELALUI REVITALISASI SAYAP PEREMPUAN PARTAI : Studi Kasus pada Sayap Perempuan Partai di DIY ..............................................................25
xi
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
HILANGNYA KEPEMIMPINAN: Transformasi Wacana, dari Seleksi ke Kontestasi .............................................................. 27 POLITIK GENDER SULTAN ........................................................................................................... 29 DEMOKRASI SEBAGAI SIASAT: Menafsirkan Tapak Politik Demokrasi Sri Sultan Hamengku Buwono IX ................. 31 IMPLEMENTASI REKRUTMEN KEPALA DAERAH OLEH PARTAI POLITIK PADA PILKADA KOTA BANDAR LAMPUNG TAHUN 2015................................................. 33
RISET JURUSAN - MAHASISWA: KEBIJAKAN PEMETAAN TERKINI KAJIAN (STATE OF THE ART) SEKTOR EKSTRAKTIF....................... 37 PERTANIAN ORGANIK SEBAGAI BENTUK KEDAULATAN PANGAN................................ 39 KEPERCAYAAN PUBLIK (PUBLIC TRUST) DALAM IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PEMERINTAH............................................................................................................ 41 POLA KEPEMIMPINAN KOLEKTIF DALAM KERJASAMA ANTAR-DAERAH YANG FUNGSIONAL: Studi Kasus Kartamantul ........................................................... 43 MODEL KORUPSI DI INDUSTRI PERMINYAKAN................................................................... 49 PENGAMBILALIHAN KEWENANGAN PENGELOLAAN SAMPAH TPA PIYUNGAN DARI KARTAMANTUL OLEH PEMDA DIY................................................ 50 PUBLIC-PRIVATE PARTNERSHIP DALAM PENGEMBANGAN WISATA LAWANG SEWU.............................................................................................................................. 51 KEPEMIMPINAN SEKRETARIAT BERSAMA KARTAMANTUL DALAM KERJASAMA ANTAR DAERAH KAWASAN URBAN D.I. YOGYAKARTA....................... 53 PERAN PEMERINTAH DALAM PENEGAKAN ATURAN KEAMANAN DAN KESELAMATAN LALU LINTAS DI KABUPATEN SLEMAN..................................................... 55
RISET JURUSAN - MAHASISWA: KAJIAN PERKOTAAN AKTOR NON-NEGARA DAN URBAN HERITAGE TOURISM................................................ 59 HETEROTOPIA: PENAKLUKAN RUANG PUBLIK SECARA KREATIF DI KOTA YOGYAKARTA................................................................................................................. 62 AKTIVISME WARGA: Aksi Penolakan Pembangunan Hotel dan Apartemen di Perkotaan Yogyakarta............................................................................................................. 65
xii
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
ELITISM : ORIENTASI ELIT LOKAL TERHADAP PROSES PEMBANGUNAN APARTEMEN UTTARA DI PADUKUHAN KARANGWUNI, SLEMAN, YOGYAKARTA 2015.............................................................................................................. 68 MENGGUGAT RUANG PUBLIK MELALUI GERAKAN MASYARAKAT URBAN: Studi Kasus Gerakan Warga Berdaya Yogyakarta.............................................................. 71
RISET JURUSAN - MAHASISWA: PERUBAHAN SOSIAL PROSES AKULTURASI SITUS BUDAYADI KAWASAN PANTAI NGOBARAN MENUJU PENGEMBANGAN INDUSTRI PARIWISATA YANG RESPONSIF GENDER............................................................................................................................................. 75 POLA ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM TERHADAP SEKTOR PERTANIAN DI INDONESIA................................................................................................................................. 79 PERILAKU PENJUAL JAMU DALAM MENGHADAPI KOMPETISI GLOBAL ................... 81 ANALISIS HUBUNGAN ANTAR MASYARAKAT RURAL DALAM PERSPEKTIF KONFLIK SOSIO-PSIKOLOGIS: Studi pada Kelompok Masyarakat Penerima Program CSR di Daerah Sekitar Industri Hilir Minyak dan Gas PT Pertamina Terminal BBM Rewulu.................................................................................................................. 83 PERUBAHAN SOSIAL WANITA DI DAERAH PANTAI NGOBARAN................................... 86 TERANG KONFLIKNYA, REDUP RESOLUSINYA: Resolusi Konflik Lingkungan antara Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Sumber Segara Primadaya (S2P) dengan Warga Perumahan Griya Kencana Permai (GKP) Karangkandri di Cilacap................................................................. 88 BADUY DAN NEGARANYA STUDI HUBUNGAN MASYARAKAT ADAT DAN NEGARA DALAM KONTEKS FENOMENA KONFLIK MASYARAKAT ADAT DI INDONESIA................................................................................................................................. 90 ADAPTASI TERHADAP PERUBAHAN IKLIM DI SEKTOR PERTANIAN DAN PERIKANAN DI INDONESIA ...................................................................................................... 92
RISET JURUSAN - MAHASISWA: TEORI DAN GERAKAN SOSIAL DEADLOCK DEMOKRASI LIBERAL DAN PROBLEMATIKA REPRESENTASI DI INDONESIA: PENDEKATAN KRITIK IDEOLOGI........................................................... 95 ISLAMISME DISKURSIF................................................................................................................. 97 GERAKAN SOSIAL-LINGKUNGAN PEMUDA NU, POTRET GERAKAN ORGANISASI FRONT NAHDLIYIN UNTUK KEDAULATAN SUMBER DAYA ALAM....... 99
xiii
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
RISET JURUSAN - MAHASISWA: JAMINAN SOSIAL DAN ISU KESEJAHTERAAN JAMINAN KESEHATAN NASIONAL : REFORMASI JAMINAN SOSIAL KESEHATAN Studi tentang Implementasi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Bidang Kesehatan di Kabupaten Sleman.......................................................................................... 103 MENGAWAL NEGARA: Peran “BPJS Watch” dan “Jamkeswatch” dalam Mengawal Kebijakan BPJS bagi Kelompok Buruh dan Kaum Miskin Kota di Jakarta dan Bekasi” ................................................................................................................ 105 TINGKAT KEPUASAN MASYARAKAT PENERIMA MANFAAT LAYANAN BPJS KESEHATAN DI RSUP. Dr. SARDJITO YOGYAKARTA .............................................108 PEMBERDAYAAN KELOMPOK RENTAN DIFABLE: Studi tentang Peran Multistakeholder dalam Mewujudkan Masyarakat Inklusif........................................ 110 ANALISIS DINAMIKA KOPERASI SEBAGAI WADAH KEGIATAN SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DESA: Studi Kasus Koperasi Binaan CSR PT. Jogja Magasa Iron Kabupaten Kulonprogo................................................................. 111 GERAKAN JAMINAN KESEHATAN (JAMKES) WATCH DALAM MENGAWAL KEBIJAKAN BPJS KESEHATAN DI KABUPATEN BEKASI...................................................... 113 DINAMIKA AKTOR DALAM PENGELOLAAN PROGRAM CSR: Studi Kasus tentang Dualisme Peran Rumah Cemara dan LPPMK dalam Program Pemberdayaan Masyarakat di Kelurahan Lomanis, Kecamatan Cilacap Tengah, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah................................... 114
RISET JURUSAN - MAHASISWA: MEDIA SOSIAL DAN POLITIK RUANG PUBLIK POLITIK WARUNG KOPI DALAM POLITIK KESEHARIAN DAN KEWARGAAN............. 119 RUANG PUBLIK DAN LOKALITAS: Studi Kasus terhadap Festival Film Purbalingga ................................................................................................................................... 121 dalam Sinema Indonesia Paska Orde Baru ......................................................................... 121 PENYIARAN PUBLIK LOKAL DALAM KONSTELASI POLITIK LOKAL: Studi Kasus pada LPP Lokal di Kebumen Jawa Tengah dan Kota Batu Jawa Timur......................................................................................................... 123 TIDAK MUDAH MEMELIHARA DAN MERAWAT RUANG PUBLIK................................... 125 POLA AKSES BERITA ONLINE KAUM MUDA......................................................................... 127
xiv
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
MENGANALISIS FUNGSI PENYIARAN TELEVISI LOKAL DI WILAYAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA (DIY) DAN JAWA TENGAH........................................................ 129 KONSUMSI FILM PENONTON FESTIVAL FILM LOKAL: Studi Etnografi Penonton Festival Film Purbalingga 2015............................................ 131 REPRESENTASI MEME SUSILO BAMBANG YUDHOYONO (SBY) DI MEDIA SOSIAL: Sebuah Analisis Semiotika pada Kasus Kontra RUU Pilkada 2014 di Twitter Melalui Tagar #ShameOnYouSBY................................... 133
RISET JURUSAN - MAHASISWA: TEORI DAN MEDIA SOSIAL PANORAMA KOMUNIKASI: GAGASAN, RELEVANSI DAN APLIKASINYA..................... 137 MEDIA BARU DALAM RAGAM LOKUS DAN PERSPEKTIF: Studi Literatur Institusi, Produksi, Konten, dan Akses Media Baru............................. 139 URGENSI LITERASI DIGITAL UNTUK PELAJAR SMA Penelitian Survei Tingkat Literasi Digital Pelajar Sekolah Menengah Atas-Negeri di Daerah Istimewa Yogyakarta............................................................................................... 141 RATIH TV DAN IN FM SEBAGAI MEDIA KEHUMASAN PEMERINTAH KABUPATEN KEBUMEN............................................................................................................... 144 POLA KERJASAMA TELEVISI LOKAL BERJARINGAN: Studi Kasus iNews TV Semarang............................................................................................. 146 LOKALISASI DAN INSTITUSIONALISASI NORMA HAM DI ASIA TENGGARA............. 151 PERAN AKTOR TRANSNASIONAL DALAM MEMBANGUN “IMAGE” DAN “BRANDING” NEGARA DALAM HUBUNGAN INTERNASIONAL ........................... 154 SECURITY COMPLEX ANTARA INDONESIA - AUSTRALIA DAN PENGARUHNYA TERHADAP DINAMIKA HUBUNGAN KEDUA NEGARA..................................................... 157 REGIME ON WATER SECURITY IN GREATER MEKONG...................................................... 160 PERAN AKTOR TRANSNASIONAL DALAM MEMBANGUN COUNTRY BRAND : Industri Jam Swiss Membangun Country Brand “Swiss Global Enterprise”.............. 162
RISET JURUSAN - MAHASISWA: PEMBANGUNAN MASYARAKAT STRATEGI PERUSAHAAN DALAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT DI WILAYAH PERKOTAAN DAN PEDESAAN.......................................................................... 167 KONTRIBUSI ACADEMIC, BUSINESS, GOVERNMENT, COMMUNITY (ABGC) DALAM MANAJEMEN SAMPAH DI TPA PIYUNGAN ......................................................... 169
xv
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
DAMPAK KEGIATAN PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA UAP (PLTU) PT. SUMBER SEGARA PRIMADAYA (S2P) CILACAP TERHADAP “BEDOL DESO” MASYARAKAT PERUMAHAN KARANGKANDIR................................................................... 171 MODEL PENGEMBANGAN MASYARAKAT MENUJU PENGHIDUPAN BERKELANJUTAN: Studi di Kalurahan Lomanis Kecamatan Cilacap Tengah Kabupaten Cilacap...................................................................................................................... 173 KEWIRALEMBAGAAN DI ARAS KONFLIK: Institutional Entrepreneurship KSU FKMP Manunggal dalam Pengembangan Masyarakat di Desa Karangwuni, Kecamatan Wates, Kabupaten Kulon Progo....................................................................... 175 PROSES PEMBERDAYAAN KELOMPOK PENJUAL JAMU: Studi Kasus Penguatan Kelembagaan Kelompok Penjual Jamu Jati Husada Mulya Binaan PT. Pertamina TBBM Rewulu dalam Menghadapi Tantangan Integrasi Ekonomi Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015 .................................................. 177
RISET UNGGULAN - PUSAT KAJIAN PENGUATAN SIMPUL PENGETAHUAN LOKAL BAGI TATA KELOLA SUMBER DAYA EKSTRAKTIF....................................................................................................... 181 JARAK SOSIAL DAN PUBLIC DISTRUST TERHADAP MASYARAKAT EKONOMI ASEAN.......................................................................................................................... 183 COMPREHENSIVE STUDY ON ADOLESCENTS AND YOUTH RELATED POLICIES IN INDONESIA............................................................................................................... 185 REFERENCE OF THE FRAMEWORK ON A HOLISTIC YOUTH DEVELOPMENT POLICY................................................................................................................ 185 NUCLEAR WEAPONS IN INTERNATIONAL RELATIONS: A BACKGROUND PAPER................................................................................................................ 187 GENDER DAN ENVIRONMENTAL JUSTICE DI ASEAN: STUDI KASUS INDONESIA.......................................................................................................... 189 MENGGAGAS PETA JALAN REFORMASI BIROKRASI......................................................... 191
RISET UNGGULAN - POPUPLAR CONTROL AND EFFECTIVE WELFARISM (PACER) THE INOVATION ADOPTION PROCESS OF NATURAL DYE BATIK PRODUCERS IN INDONESIA Case Study Natural Dye Batik Industry in Solo................................197
xvi
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
DIANTARA KONSERVASI DAN PARIWISATA: DINAMIKA SOSIAL NELAYAN DI TAMAN NASIONAL KOMODO............................................................................................. 198 DAMPAK EKONOMIS DAN EKOLOGIS EKSPLOITASI HUTAN PADA MASA ORDE BARU..................................................................................................................................... 200 LEGAL PROTECTION OF WORK AGREEMENT LIMITED DURATION BETWEEN EMPLOYEE AND PT. SURVEYOR INDONESIA (PARTIES WHO HAVE SIGNED THE AGREEMENT) WHICH WAS PLACED IN PT. TOTAL E&P INDONESIE AND THE IDEAL ROLES OF CSR REGARDING TO POSITIVE REGULATION IN INDONESIA................................................................................................................................ 201 KEKAYAAN DAN PENGETAHUAN EKOLOGI MASYARAKAT PULAU KOMODO......203 POST-FUNDAMENTALISM AND POLITICS OF CITIZENSHIP IN INDONESIA..........204
xvii
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
xviii
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
RISET KOLABORATIF
1
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
2
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
STRATEGI PENGEMBANGAN KAPASITAS APARATUR DALAM KONTEKS MASYARAKAT EKONOMI ASEAN Dr. Gabriel Lele, Arie Ruhyanto, M.Sc., M. Prayoga Permana, M.PP., Sukmawani Bela Pertiwi, M.A., Ario Wicaksono, M. Si Seiring dengan kemajuan proses integrasi ekonomi regional dalam skema MEA (MEA), ada tuntutan mendesak untuk mendefinisikan kembali strategi penguatan kapasitas aparatur aparatur negara. Tuntutan tersebut didasari oleh beberapa alasan. Pertama, walaupun Indonesia memiliki banyak peluang untuk memenangkan MEA, tanpa intervensi yang tepat dari pemerintah dan aparaturnya tujuan-tujuan MEA seperti perwujudan pembangunan yang merata dan berkeadilan sulit terpenuhi. Kedua, sudah banyak studi yang dilakukan untuk mengukur awareness dan preparedness masyarakat dalam menghadapi MEA baik oleh pemerintah maupun lembaga penelitian, namun belum memberikan perhatian terhadap kesiapan pemerintah. Cara pandang ini seakan-akan mengasumsikan pemerintah sendiri telah siap padahal aparatur baik di pusat dan daerah banyak mengalami kegamangan dalam menghadapi MEA. Ketiga, dokumen strategi penguatan aparatur negara yang sudah ada umumnya bersifat generik, memberikan resep yang bersifat general pada lingkungan kebijakan yang statis, namun belum memberikan resep yang lebih spesifik kepada pemerintah daerah. Alih-alih mampu memberikan arah yang kontekstual sesuai dengan perkembangan dinamika global, dokumen tersebut menjebak aparatur pada jeratan birokratisasi reformasi birokrasi. Keempat, adanya indikasi inkompatibilitas kapasitas institusi publik di Indonesia dalam menghadapi MEA. Hal ini terlihat dari rendahnya daya saing kapasitas pengembangan institusional Indonesia dalam menopang MEA (lihat ASEAN Competitiveness Fundamentals, 2013). Dengan berpijak pada kerangka Competitive and Representative Government, penelitian ini ingin berargumen bahwa negara justru semakin penting dalam konteks regionalisme ekonomi di kawasan (lihat Nesadurai, 2003; Nesadurai, 2013). Negara berfungsi untuk meregulasi kebijakan-kebijakan domestik, mengefektifkan pelayanan publik, dan memfasilitasi pemerataan ekonomi agar tidak muncul ketimpangan (lihat Shin, 2005). Dalam konteks MEA, peran-peran tersebut membutuhkan aparatur yang siap untuk menghadapi integrasi ekonomi regional dengan kesiapan yang baik dan jauh dari kesan business as usual. Dalam konteks Indonesia, kesiapan aparatur ini dilihat dari kesiapan pemerintah pusat sebagai tolak ukur kesiapan pemerintah daerah. Pemerintah pusat merupakan penghubung
3
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
antara kebijakan yang dibuat di level regional ASEAN dan kebijakan yang dibuat di level daerah, sehingga jika ada missing link pada level pemerintah pusat dalam menyampaikan informasi kepada pemerintah daerah tentu akan berdampak pada kinerja pemerintah daerah. Kondisi yang terjadi adalah pemerintah pusat adalah lambannya finalisasi pembentukan Komnas Masyarakat ASEAN menjadi faktor sentral yang berkontribusi pada permasalahan koordinasi ini karena pada dasarnya adanya Komnas Masyarakat ASEAN akan sangat membantu meminiminalisir permasalahan koordinasi antar 93 satuan kerja yang berkaitan dengan MEA yang tergabung dalam Komnas tersebut Pada level kebijakan, telah ada banyak inisiatif dari kedua instansi ini dalam menjalankan perannya masing-masing terkait dengan MEA. Lalu bagaimana dengan kondisi di daerah? Daerah yang menjadi lokus dalam penelitian ini adalah Yogyakarta, Surabaya, Batam, dan Makassar. Keempat daerah tersebut dipilih karena merupakan daerah tujuan investasi dan perdagangan serta berpotensi langsung dengan MEA, sehingga dianggap aparatur harus lebih siap. Kondisi yang terjadi adalah secara pengetahuan hampir 97% mereka pernah mendengar tentang MEA, hanya saja mereka tidak pernah membaca cetak biru MEA. Cetak biru MEA sebagai pedoman penyiapan ASEAN sebagai komunitas ekonomi adalah dokumen yang sangat penting untuk dicermati karena memuat argumentasi terkait pentingnya masyarakat ekonomi dan juga memuat sejumlah saran terkait peta jalan dan petunjuk praktis untuk menyiapkan MEA. Dari segi kesiapan, secara umum kapasitas aparatur dapat dilihat dari tiga level berikut, yaitu level sistemik, level kelembagaan dan level individu. Terkait level sistemik, terlihat bahwa kebijakan-kebijakan yang dibuat untuk mempersiapkan MEA, khususnya yang terkait peningkatan kapasitas aparatur, belum cukup memadai. Hambatan terkait ketiadaan rujukan dan pedoman regulasi pusat, serta ketidakmampuan sosialisasi yang diberikan untuk dijadikan pedoman penyusunan rencana aksi daerah secara efektif, mengindikasikan bahwa belum tersedia eksosistem yang memadai untuk tumbuhnya kebijakan-kebijakan yang fokus. Selain itu pada level kelembagaan juga tidak ditemukan perangkat-perangkat yang secara spesifik dapat mengakomodasi penyiapan kapasitas aparatur secara spesifik, terkecuali sekadar menggunakan perangkat yang selama ini sudah ada. Adapun di level individual belum banyak inisiatif-inisiatif individu yang dapat menunjukkan keinginan untuk meningkatkan kapasitas individu, terkecuali pada kasus di Yogyakarta dimana aparat memiliki inisiatif untuk mencari dan memperkaya sumber informasi dari media massa selain dari forum sosialiasi.
4
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
Isu MEA dan keharusan peningkatan kapasitas aparatur dalam menghadapinya masih sangat tergantung kepada variabel yang sifatnya birokratis. Variabel tersebut terkait dengan dukungan regulasi dan kebijakan pusat yang dapat dijadikan pedoman baik dalam rangka penyusunan rencana aksi daerah maupun sebagai imperatif dan arahan dalam pengembangan kapasitas aparatur. Ketiadaaan instrumen tersebut kemudian menjadi alasan bagi daerah untuk tidak menyiapkan langkahlangkah antisipatif secara optimal. Karena itu, walaupun dalam beberapa hal dirasa bukan menjadi solusi yang strategis, peningkatan kapasitas yang menggunakan pendekatan top-down dirasa tetap relevan dan perlu diintensifkan, dengan catatan bahwa pendekatan tersebut merupakan pendekatan yang disusun dalam perspektif multisektor.
5
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
LIBERALISASI PERTANIAN, MARGINALISASI PETANI DAN PERUBAHAN IKLIM : STUDI DI KABUPATEN SLEMAN DAN GUNUNG KIDUL Dr. Hempri Suyatna, Dr. Suharko, Dr. Subando Agus Margono Sektor pertanian masih menjadi sektor yang mayoritas digeluti oleh penduduk. Namun potensi besar di sektor pertanian tersebut tidak berbanding lurus dengan tingkat kesejahteraan petani. Besarnya potensi pertanian di Indonesia sepertinya gagal dikonversi menjadi arena untuk mengakselerasi level kesejahteraan rakyat Indonesia. Berdasarkan data BPS, jumlah penduduk Indonesia yang bekerja di sektor pertanian pada tahun 2013 mencapai 38,07 juta orang atau menyerap tenaga kerja di Indonesia sebesar 34,6 persen dari total tenaga kerja Indonesia. Namun demikian, berdasarkan Sensus Pertanian 2013 BPS mencatat bahwa kontribusi sektor pertanian terhadap produk domestik bruto (PDB) selama sepuluh tahun terakhir mengalami penurunan. Pada tahun 2003, sektor pertanian memberikan kontribusi 15,19 persen terhadap PDB, namun pada tahun 2013 turun. Pada tahun 2013, sektor pertanian memberikan kontribusi 14,43 persen terhadap PDB (Warta Ekonomi, 12 Agustus 2014). Rendahnya tingkat kesejahteraan petani ini menyebabkan terjadinya penurunan jumlah petani di Indonesia. Dalam survei pertanian yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik, jumlah rumah tangga usaha tani di Indonesia pada tahun 2003 masih 31,17 juta akan tetapi sepuluh tahun kemudian (tahun 2013), jumlah petani menyusut menjadi 26,13 juta. Turun sekitar 5 juta dalam sepuluh tahun atau kalau di rata-rata terjadi penurunan 1,75 persen per tahun atau sekitar 500.000 petani. Penurunan jumlah petani ini sebagian besar dari para petani kecil yang memiliki luas lahan sangat minim yakni sekitar 0,3 hektar. Mereka meninggalkan profesi sebagai petani karena penghasilan sangat minim, hanya sekitar Rp 200 ribu per bulan, sangat jauh dari kebutuhan (Jawa Pos, 9 Maret 2015). Kondisi tersebut diduga berkaitan dengan pergeseran orientasi pembangunan ekonomi yang awalnya menitiberatkan pada sektor pertanian dan sekarang bergeser menjadi sektor non-pertanian tersebut yang terutama didorong oleh menguatnya paradigma ekonomi neoliberal di Indonesia. Selain terkait faktor kebijakan pemerintah di sektor pertanian yang tidak berpihak kepada petani kecil, serta berbagai variabel ekonomi-politik internasional, salah satu tantangan bagi pengembangan sektor pertanian di Indonesia adalah faktor alam terutama fenomena perubahan iklim
6
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
sebagai akibat dari gejala global warming (pemanasan global). Isu perubahan iklim merupakan tantangan multidimensi paling serius dan kompleks yang dihadapi umat manusia pada awal abad ke-21. Kebijakan impor di dalam mengatasi ketidakcukupan produksi dalam negeri menyebabkan petani dalam negeri semakin termarginalkan. Dalam konteks makro, ketergantungan pada bahan pangan impor akan semakin mengancam kemandirian pangan nasional. Jika dibandingkan dengan stok pangan terhadap produksi dengan negara-negara ASEAN akan tampak bahwa stok pangan Indonesia akan sangat jauh dari negara-negara lain. Akibat dari permasalahan yang kompleks tersebut, petani akhirnya menjadi pihak yang termarginalkan. Proses marginalisasi petani tersebut tentunya menarik untuk dikaji dengan melihat bentuk-bentuk marginalisasi, kebijakan yang sudah ada di dalam mengatasi marginalisasi dan kemampuan petani di dalam menghadapi marginalisasi tersebut. Tujuan penelitian ini mencakup (1) Mengidentifikasi bentukbentuk marginalisasi yang dialami oleh petani; (2)Memetakan kebijakan-kebijakan yang telah dilakukan pemerintah di dalam mengatasi marginalisasi tersebut; (3) Mengidentifikasi dan memahami jaringan relasi petani dengan aktor-aktor lain di dalam mengatasi gejala marginalisasi; (4) Mengidentifikasi dan menganalisis kebijakan pemerintah dan kemampuan petani di dalam mengatasi kondisi marginalisasi. Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian di atas, kerangka analisis Drivers (driving forces), Pressures, State, Impacts and Responses (DPSIR) akan dipergunakan untuk menganalisis dan memahami data. Dalam kaitan itu, pada bagian awal sub-bab ini akan dipaparkan kerangka umum DPSIR yang dikembangkan oleh UNEP, yang selanjutnya diikuti oleh uraian kerangka DPSIR dalam konteks pembangunan sektor pertanian.
7
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
DPSIR FRAMEWORK
Source: http://ian.umces.edu
DRIVERS Human demands and lifestyles
RESPONSES
PRESSURES Human Activities affecting the environment
Political and stakeholders’ prioritisations
IMPACTS Effects of changed environment
STATE Physical, chemical and biological conditions
Lokasi penelitian yang dipilih adalah Kabupaten Sleman, Kabupaten GunungKidul (Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta).Kedua daerah ini memiliki karakteristik yang berbeda.Sebagian besar lahan pertanian di Sleman adalah lahan irigasi teknis dengan karakteris geografis dataran.Di Kabupaten Gunungkidul, lahan pertanian di dominasi dengan sawah tadah hujan dengan karakter geografis sebagian besar berupa pegunungan dan karst. Dengan perbedaan karakter dari dua daerah tersebut diharapkan akan diperoleh komparasi yang menarik terkait bentuk-bentuk marginalisasi dan strategi petani di dalam menghadapi marginalisasi tersebut. Di setiap daerah akan dipilih masing-masing dua kecamatan sebagai pembanding. Untuk Kabupaten Sleman dipilih Kecamatan Moyudan (representasi daerah pertanian irigasi teknis), dan Kecamatan Prambanan (Pertanian tadah hujan). Menurut data Bappeda Sleman, luas lahan sawah di Kecamatan Moyudan pada tahun 2014 mencapai 1403 hektar sedangkan di Kecamatan Prambanan luasnya 1483 hektar. Sedangkan di Kabupaten Gunungkidul dipilih Kecamatan Ponjong (daerah pertanian irigasi teknis) dam Kecamatan Saptosari (Pertanian tadah hujan). Menurut data BPS tahun 2013, luas lahan sawah di Kecamatan Ponjongpada tahun 2013 690 hektar dan bukan sawah 9759 hektar. Untuk kecamatan Saptosari tidak memiliki lahan sawah akan tetapi memiliki lahan bukan sawah 8782 hektar (BPS Gunungkidul, 2014). Metode pengumpulan data dilakukan dengan analisis data sekunder mengenai perubahan iklim dan liberalisasi pertanian, analisis data sekunder mengenai marginalisasi petani, wawancara mendalam, survey dan review kebijakan.
8
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada driving force, pressures dan state yang mempengaruhi marginalisasi petani. Driving force yang terlihat adalah adanya peningkatan jumlah penduduk yg diikuti oleh meningkatnya kebutuhan pangan, ketercukupan, ketersediaan & ketahanan pangan, perubahan iklim (climate change) yakni adanya gejala perubahan iklim yg dirasakan dan dialami oleh masyarakat dan adanya kebijakan pertanian internasional seperti Liberalisasi sektor pertanian melalui Agreement on Agriculture (AoA) oleh WTO yang diratifikasi dalam berbagai kebijakan nasional dan daerah. Pressures terkait dengan aktivitas petani yang menyebabkan terjadinya kerusakan lingkungan. Misalnya pemanfaatan lahan pertanian secara intensif, tanam padi secara terus-menerus tanpa jeda (misalnya di Moyudan dan Ponjong), penggunaan pupuk kimiawi yang intensif-masif (ketergantungan petani pada korporasi pupuk) dan penggunaan pestisida (gejala ketergantungan petani pada korporasi pestisida). Sedangkan aspek state berkaitan dengan adanya perubahan lingkungan/ekosistem pertanian di 4 lokasi. Aspek state ini berkaitan dengan perubahan fisik (Lahan sempit dan tidak subur (bantat) karena hilang unsur hara, Keterbatasan air atau terlalu banyak air dan berlumpur dalam (di Moyudan). Dari aspek biologi berkurangnya Berkurangnya predator/ ketidakseimbangan ekologi (tikus merajalela di Moyudan); munculnya jenis hama baru (akibat iklim yg tdk berpola, di Prambanan). Sedangkan dari aspek Kimiawi terdapat kandungan zat-zat kimia di lahan/tanah sebagai residu dari pupuk kimia dan pestisida. Tekanan-tekanan tersebut akhirnya memberikan dampak yang cenderung negatif bagi para petani. Dampak yang dirasakan adalah Pendapatan cenderung kecil/rendah; bertani itu merugi (tidak menguntungkan). Selain cenderung merugi, nilai tukar hasil pertanian (HPP) yg diberlakukan pemerintah cenderung rendah. Data dari lapangan menunjukkan bahwa, petani menghadapi kenyataan antara biaya produksi dan hasil dan harga jualnya tidak seimbang. Dulu gabah kering hanya dihargai Rp 4.200,00/kg, namun saat ini sudah cukup meningkat menjadi rp 4.600,00/kg. dengan perhitungan seperti itu, lahan seluas 2.000 meter persegi, akan menghabiskan biaya kurang lebihnya Rp 2.000.000,00. Hal ini mengakibatkan sulit bagi petani untuk mendapatkan keuntungan, terlebih lagi petani yang statusnya hanya petani penggarap. Petani untuk menaikkan harga gabah tidak bisa karena Gapoktan yang diberikan tugas membeli gabah justru tidak membeli sehingga hasil pertanian tetap dijual ke penggiling dan tengkulak. Dari hasil di lapangan juga menunjukkan adanya ketidaktepatan subsidi pemerintah yang ditujukan ke pupuk dan bibit, bukan subsidi pemerintah terhadap harga.
9
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
Dalam menghadapi marginalisasi, petani, kelompok tani dan pemerintah daerah juga memberikan respon. Petani misalnya melakukan dengan diversifikasi usaha/pekerjaan untuk menutupi kebutuhan sehari-hari mereka. Selain bertani, banyak dari mereka yang kemudian menjadi buruh banguan atau pedagang di kota. Kelompok tani juga mendorong pembentukan pupuk organik untuk menghindari ketergantungan atas pupuk kimiawi dan menekan biaya produksi. Sedangkan Dinas pertanian juga melakukan beberapa kebijakan misalnya dengan memelihara burung hantu di area persawahan seperti halnya di Moyudan. Pendek kata, mereka memiliki strategi survival di dalam menghadapi marginalisasi yang terjadi.
10
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
MEMAHAMI MODEL BISNIS ORGANISASI SOCIAL ENTREPRENEURSHIP DI INDONESIA Dr. Bevaola Kusumasari, Dr. Widodo Agus Setianto, Dr. Eli Susanto, Suzanna Eddyono, S. Sos, M.Si, MA, Krzysztof Dembek Ph. D (University of Melbourne) Social entrepreneurship menggambarkan suatu bidang usaha yang berorientasi pada pemenuhan kebutuhan dasar manusia saat pasar ataupun institusi yang ada telah gagal untuk memenuhinya. Dalam studi ini, landasan konsep social entrepreneurship dikembangkan dengan melihat model bisnis organisasi yang berusaha memecahkan isu-isu sosial. Dari model bisnis ini kemudian dilakukan analisa dan kategorisasi model bisnis yang tepat. Untuk menghadapi ragam misi sosial dengan nilai sosial yang tercipta dalam organisasi yang diteliti maka desain model bisnis yang dianalisis menitikberatkan pada tiga aspek yaitu value proposition (proposisi nilai), value creation (penciptaan nilai) dan value capture (tangkapan nilai). Value preposition dilihat dari latar belakang organisasi dibentuk, tujuan yang ingin dicapai oleh organisasi ini, isu sosial yang ingin dijawab, siapa pelanggannya dan apa yang ditawarkan kepada pelanggan atau pengguna jasa/produk organisasi. Value creation mencakup hal-hal mengenai aktivitas organisasi untuk mencapai nilai organisasi, bagaimana cara organisasi bekerja, bagaimana keberlanjutan suatu organisasi, dengan siapa organisasi melakukan kerjasama dan bagaimana suatu organisasi membiayai aktivitasnya. Value capture menekankan pada bagaimana organisasi mendapatkan keuntungan, definisi sukses bagi suatu organisasi, bagaimana organisasi mengukur kinerja dan hambatan dalam pencapaian kinerja. Penelitian yang dilakukan untuk menganalisis bisnis model pada organisasiorganisasi yang berusaha memecahkan masalah sosial ini dilakukan dalam tiga langkah. Pertama, melakukan kajian literatur mengenai praktik model bisnis yang dilakukan oleh berbagai organisasi di dunia. Kedua, melakukan studi data sekunder dengan mencari informasi melalui website, artikel pers, blog dan sumber yang relevan mengenai model bisnis organisasi yang menangani masalah-masalah sosial dan lingkungan di Indonesia. Penelitian ini memilih Indonesia dengan melihat Indonesia sebagai sebuah negara dengan penduduk terpadat keempat dengan angka kemiskinan yang cukup tinggi serta jumlah penelitian yang sangat sedikit terkait penyelesaian isu sosial dan lingkungan melalui bisnis. 100 organisasi menjadi daftar awal yang disusun oleh University of Melbourne bekerjasama FISIPOL UGM, Ashoka
11
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
dan GIZ. Dalam hal ini, organisasi dengan ketersediaan data sekunder yang sangat terbatas dan organisasi yang tidak memasukkan isu sosial dan lingkungan sebagai salah satu kegiatan bisnis utama mereka tidak dikutsertakan. Akhirnya penelitian ini dilakukan pada 30 organisasi sebagai sampel yang mencakup organisasi-organisasi multinasional, perusahaan lokal, perusahaan sosial, serta LSM baik skala besar dan kecil yang berada di Yogyakarta, Jakarta, Bali dan Bandung. Langkah ketiga adalah melakukan wawancara semi-terstruktur dengan para pendiri atau penanggungjawab (informan kunci) pada 30 organisasi tersebut selama 50 hingga 100 menit. Studi terhadap 30 sosial entrepreneurship di Jakarta, Bandung, Yogyakarta dan Bali ini menemukan 7 (tujuh) model bisnis social entrepreneurship yaitu Model Bisnis Campuran (Mixed-Based model), Model Bisnis Syariah (Syariah-Based Model), Model Bisnis Volunter (Volunterism-Based Model), Model Bisnis Murni Bisnis (BusinessBased Model), Model Bisnis Koperasi (Cooperation-Based Model), Model Bisnis Berbasis Proyek (Project-Based Model) dan Model Bisnis Kerjasama (Partnership-Based Model). Value Proposisition yang muncul dari studi ini adalah bahwa semua organisasi social entrepreneurship yang ada lahir karena latar belakang adanya diskriminasi yang dihadapi oleh masyarakat marginal seperti ketidakmerataan pelayanan kesehatan, stigma negatif bagi masyarakat pengidap penyakit tertentu, ketidakmampuan masyarakat kecil untuk mengakses permodalan bagi pengembangan usaha, kegagalan pemerintah dalam menciptakan lingkungan yang bersih dan sehat serta Ketidakmampuan kelompok masyarakat tertentu untuk mengakses kebutuhan dasar (ekonomi, pendidikan, kesehatan). Atas dasar alasan tersebut maka isu-isu sosial yang coba diselesaikan oleh organisasi-organisasi ini adalah masalah lingkungan, pendidikan, kesehatan, pemberdayaan kaum marginal, persamaan gender, ekonomi dan kesejahteraan dan energi terbarukan. Sasaran pengguna (customer) pelayanan atau produknya adalah masyarakat miskin, generasi muda, orang dengan HIV/AIDS (ODHA), masyarakat miskin, pedagang kecil, anak jalanan, maupun perempuan. Yang ditawarkan kepada penggunanya antara lain pelayanan kesehatan, pengelolaan sampah, pendampingan, perlindungan dan teknologi tepat guna. Value capture atau nilai yang ingin ditangkap oleh organisasi social entrepreneurship ini diwujudkan melalui serangkaian aktivitas seperti melakukan program berbasis kemanusiaan, pengembangan kapasitas serta pendidikan dan pelatihan mengenai lingkungan. Untuk keberlanjutan hidup organisasi dilakukan melalui pengembangan jejaring/kerja sama, donor dalam dan luar negeri, penjualan produk, pemerintah, maupun dana CSR dari organisasi swasta. Value creation atau penciptaan nilai yang ingin dicapai dari organisasi social
12
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
entrepreneurship adalah apabila Semakin banyaknya masyarakat yang merasakan manfaat dari program-program yang dijalankan. Selain itu, ukuran kesuksesannya adalah adanya integrasi sosial dimana kelompok marginal dapat diterima kembali di masyarakat.
13
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
INTOLERANCE, MEDIA BARU, DAN MASYARAKAT EKONOMI ASEAN: Studi Eksploratif Intoleransi Sosial di Media Baru Malaysia dan Indonesia dalam Kaitannya dengan Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015 Dian Arymami, S. IP. M.Hum., Dr. Azman Azwan Azmawati (USM), Dr. Jamilah Haji Ahmad (USM), Dr. Hendri Adji Kusworo, M.Sc., Drs. Hadriyanus Suharyanto, M.Si., Dr. Juliana Abdul Wahab (USM), Dr. Shuhaida Md Noor (USM) Kehadiran media baru di masyarakat menghadirkan dua wajah dari konsekuensi perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Pertama, masyarakat teramat diuntungkan dengan fleksibilitas waktu dan tempat dalam menjalin pertukaran data. Hal ini menggarisbawahi fungsi komunikasi pada umumnya yang menjadi inti dari adanya interaksi dan relasi antarmanusia. Sebaliknya, kedua, sebagian anggota masyarakat terancam keberadaan dan kenyamanan hidupnya saat malfungsi pesan tersebar pesat, meluas, dan bersifat degradatif. Intoleransi (intolerance) yang datang pun harus kemudian dimaknai sebagai ancaman (threats), hasil perbuatan yang tidak menyenangkan (unpleasant acts), hingga ke pembunuhan karakter (character assassination). Pada tataran ini, intoleransi mewujud dalam tindakan “layak sosial” di masyarakat, pesan yang mengakibatkan atau memperluas ketidaktoleranan, dan isi pesan yang memang sudah tidak mempertimbangkan toleransi lagi. Konsekuensinya, terjadi social disorder, disharmonisasi sosial, isi pesan yang berbenturan, serta isi pesan provokatif yang tidak mengedepankan perbedaan, membuat tidak senang, dan memfitnah. Hadirnya media baru, sebagai sisi lain dari perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, dalam kenyataannya justru memudahkan, memperluas, dan mengakselerasi pesan-pesan intoleransi ini. Dalam hubungan antarbangsa, pesan-pesan intoleransi di media baru juga muncul dalam wujud pesan dari satu negara ke negara lainnya, atau bahkan dari satu region yang satu ke region yang lain. Hal ini sering terjadi, walaupun belum pernah menjadi penyebab utama, dan mewarnai fluktuasi hubungan beberapa negara, misalnya antara Indonesia dan Australia atau antara Indonesia dan Malaysia. Persoalan yang terbentang dalam kaitannya dengan intoleransi di media baru adalah peta ketidaktoleranan yang muncul di media baru Indonesia, persepsi
14
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
tentangketidaktoleranan dan aspirasi tentang toleransi di antara pengguna media baru di Indonesia, eksplorasi kebijakan yang perlu diambil, serta potensi intoleransi di media baru yang dapat muncul di berbagai negara termasuk dalam hubungan antarnegara yang nantinya tergabung dalam Masyarakat Ekonomi ASEAN. Berdasar pada hal di atas, studi ini mengeksplorasi intoleransi sosial di media baru di Indonesia dalam kaitannya dengan Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015. Tiga metode diterapkan untuk mengkaji intoleransi sosial di media baru Indonesia dalam kaitannya dengan Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015 yaitu analisis isi, survei, dan wawancara kelompok terarah (focus group interview). Kehadiran media baru tidak hanya mengubah lanskap kanal komunikasi yang tersedia melainkan juga memberi warna baru dalam cara publik berpendapat. Seluruh fitur yang tersedia di media baru memungkinkan publik memperoleh ruang yang lebih besar untuk menyampaikan pendapatnya. Melalui media baru, “suara publik” yang kerap terbungkam oleh media mainstream dapat disampaikan secara bebas, bahkan kerap kali mampu memantik isu yang lebih besar. Meskipun demikian, tidak adanya peran gatekeeper yang bertugas untuk menyaring informasi memungkinkan isu yang lahir di media kian beragam. Fenomena ini mengerucut pada dua konsekuensi. Pertama, media baru secara positif hadir sebagai bentuk pemenuhan hak publik untuk berpendapat sekaligus mampu menghadirkan ragam informasi alternatif bagi masyarakat. Kedua, kebebasan berpendapat di media baru secara negatif turut membuka peluang akan berkembangnya pesan bermuatan intoleran. Penelitian analisis isi dalam kajian ini menunjukkan bahwa individu merupakan aktor utama yang menjadi pelaku tindak intoleransi. Empat tema menjadi isu yang banyak memuat konten intoleransi yaitu sosial (49%), agama (21%), seks (4%), etnis (4%), dan kombinasi keempatnya (22%). Penelitian survei menunjukkan bahwa mayritas responden menyarakan persetujuan mereka terhadap bahaya intoleransi terhadap bangsa. Akan tetapi, kecenderungan pro-konformitas justru ditunjukkan oleh responden yang cenderung menganjurkan hidup dalam golongan yang heterogen. Adapun penelitian focus group interview menunjukkan bahwa intoleransi hadir karena adanya perbedaan baik di tataran kelas sosial maupun kultural.
15
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
BEYOND LIBERAL POLITICS OF RECOGNITION: BRINGING INDIGENOUS RIGHTS MOVEMENTS INTO DEMOCRATIC FRAMEWORK OF PUBLIC POLICY Comparative Studies of the Indigenous Rights Movement in Aceh, Maluku and East Nusa Tenggara Provinces Lambang Trijono, Ph. D Cand, Dr. Morgan Brigg (University of Queensland), Dr. Eric Hiariej, Dr. Muhammad Sulhan, Frans Djalong, M.A, AB. Widyanta, M.A, Ayu Rahmawati, M.A, Dana Hasibuan, M.A Indigenous Rights Movement (IRM) has proliferated in Indonesian regions in the last decade as the consequence of diversifying and pluralizing of social life brought about by democratization. However, the movements are still relatively isolated in their interests, right claims, and local tradition, without much connection with a broader arena of democratic movement. Therefore, they still have a limited impact to alter their life chances against exclusionary policy impacts brought by state policy and extractive business activities. This study examines the roles that have been played by political agency including political parties, local government, and civil society organizations in representing and advocating the right claims and demands of the indigenous people movement in the arena of public policy. By comparing three cases of the indigenous rights movement in post-conflict areas of Aceh, Maluku and East Nusatenggara provinces in where the indigenous movement is strengthened under decentralization, this study elaborates the nature of the indigenous rights movements, their particularities and diversities, their problems and challenges in dealing with state policies and private business, and opportunities for integrating these movements into broader democratic movements at the national, regional and global level. This study finds first that the articulation of indigeneity reveals the limit of both development and democracy practices framed by the democratization and decentralization policy. As a consequence, indigeneity politics enables the disfranchised to rearticulate problems of welfare distribution and recognition in each region. Second, indigeneity signifies different meanings as attempt to overcome crisis respective to each region’s local characteristics. In Aceh, indigeneity politics sets out to contrast their demands in comparison with the ‘others’ in order to shed light the existing exclusionary policy of post-conflict development and democratization. In Ambon, indigeneity is being revived again to unify different groups’ interests post-conflict period, especially between the
16
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
Muslim and Christian communities that its segregation still commonly prevailed in the region. And, in East Nusa Tenggara, indigeneity becomes the site of contestation of state and non-state actors in claiming, constituting and representing the citizen aspirations. While showing their different characteristic in articulating their democratic demands, the three cases show that they have similar problem of the still lack of democratic movement to bring them into a broader arena of democratic politics. In the three cases we found the indigenous people movement are still isolated in their own particularities without much connected into a broader democratic movement to strengthen their position in front of the dominant power holders. This is not only make the indigenous people is still being marginalized but also tend to create social tensions in the regions. In order to prevent conflict and promote peace building and sustainable development, their movements should be reactivated by inter-linked them into a broader arena of democratic movement. In this respect, the indigenous people movement should be posited under democratic movement framework that frame them to be in equal position with other democratic demands and move together to articulate their general will or popular democratic demand in the arena of democratic politics. The roles of political agencies is very crucial in this respect to articulate and represent their democratic demands by strategically equalizing their particular demand with the other democratic demands and formulate them together to form a popular democratic demands in the arena of public policy.
17
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
DOES INTOLERANCE ALWAYS MATTER? DYNAMICS CO-EXISTENCE OF PLURALISM AND ISLAMIST RADICALISM IN JAVA Dr. Hakimul Ikhwan, Dr. Muhammad Najib Azca, Miftah Adhi Ikhsanto, Mi.OP., Rochdi Mohan Nazala, MSA, M. Lit., Dr. Syahrul Hidayat (Honorary Research Fellow at The Institute of Arab and Islam Studies University of Exeter UK) This research focuses on the relationship between Islamist movement (including its symbolism) and the Sultanate-related symbolism in the two Sultanate City of Yogyakarta and Solo in the era of nation-state Indonesia. Comparing Yogyakarta and Solo is very interesting as the both cities have similarities in terms of centrum of Javanese culture and birthplace of various Islam-related movements. However, the both cities have also represented different form of political authority in post-colonial State of Indonesia where Yogyakarta has been given a status of Special Province that gives privilege to exercise the Sultanate-related authorities (social, political, cultural, and economical) where as the City of Solo has became an ordinary district with limited and indeed weakened Sultanate authorities. The implication of different convergences of authorities between the two Sultanate cities, as this research implies, is that Yogyakarta has relatively manageable social conflict whereas Solo has become more prone to social conflict. With this in mind, this research addresses the question of “how pluralism and Islamist radicalism have been persisted and indeed co-existed over time in Yogyakarta and Solo?” To address the question, this research has employed post-structuralism theoretical perspective that viewed the ‘social’ as an open-space and allowed various elements of the social to shape-and-reshape one another in open-ended processes of making. These processes could be in the form of contestation as well as of concurrence within and between various moments of articulation at the local. In terms of research method, it has employed the extended case method where the research took depart from the pre-existing theories (and theoretical approach) but at the same time has emphasized the necessity of theoretical reflexivity that allowed theoretical abstraction beyond the localities. Thus, the case of Yogyakarta and Solo could be expanded beyond the localities to develop generalizeable arguments in terms of relationship between Islamism, Sultanate, and nation-State. Although this research has primarily observed the recent development of tension and concurrence between the three — Islamism, Sultanate, and nation State — in the era
18
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
of democratization post Suharto but it has also attempted to trace back historical roots that underpinned the formation of current social structure in the two Sultanate cities of Yogyakarta and Solo. In this regard, the research has found that the difference in social structure has led onto different convergences of political, cultural, economical, and social (religious) authorities in the two cities. This has thus led onto different capacity of the ‘social’ in dealing with the issues of intolerance in Yogyakarta and Solo. In Yogyakarta, the Sultanate has had played significant role, directly or indirectly, in undermining tension between the contesting social groups of Islamists and pluralists. The symbolism of Sultanate has had, to a degree, hegemonized the contesting groups of the Islamists and the pluralists to avoid using violence means of action. Here, the symbolism of Sultanate became an indirect measurement to prevent escalation of violence in Yogyakarta. Although it was not always the case, the Sultanate of Yogyakarta also used to employ its political and cultural authorities to involve directly in preventing escalation of conflict between groups i.e. the Papuan-related tension and the Galang Press incident. Contrary to this, in the City of Solo the Islamists and the nationalists (of Indonesian Democratic Party of Struggle-PDIP) were heading one-another directly and openly without having ‘mediatory’ authority(ies) and symbolism. This situation has been augmented by the fact that one group — the PDIP-related groups — strongly predominated the local political power in Solo. The Islamists, in fact, have never been able to win the election for the local Executive Office. Neither they have been influential in policy-making processes at the local. However, although the Islamists were less significant in number but they have militancy in promoting their political view especially related to symbolism of Islam. This social composition of Solo has frequently led onto increasing escalation of tension with possible employment of violent attacks. This research is a collaborative research between researchers at the Faculty of Social and Political Science Gadjah Mada University and the Institute of Arab and Islamic Studies (IAIS) University of Exeter UK. The IAIS at Exeter has hosted workshop and facilitated the Faculty researchers to connect with numbers of researchers in the UK such as Dr. Kevin Fogg at Oxford and Kirstein Schutz at London School of Economic University of London.
19
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
POLITIK INOVASI DALAM INDUSTRI TEKNOLOGI INFORMASI GLOBAL : Studi Komparasi Strategi Bisnis dengan Model Inkubasi dan Akselerator di Jakarta, Bandung, Bali dan Yogyakarta Suci Lestari Yuana, MIA, Nur Azizah, M.Sc, Indri Dwi Apriliyanti, MBA Inovasi dalam industri TI menjadi hal yang penting untuk dikembangkan. Tidak terkecuali di Indonesia, dimana jumlah pengguna internet (2013) telah mencapai angka 82 juta atau sekitar 30% dan nilai transaksi e-commerce (2014) mencapai Rp.130 triliun dan akan terus meningkat di setiap tahunnya. Kesempatan ini kemudian mendorong berbagai aktor untuk ikut bergerak dalam mengembangkan inovasi dalam bisnis TI di Indonesia. Berbagai aktor tersebut dapat berupa pemerintah, swasta, universitas ataupun komunitas. Proses pengembangan inovasi dihadirkan dengan membuat program berupa co-working space, inkubator bisnis maupun akselerator bisnis. Dengan menggunakan perspektif global value chain, regional innovation system, dan learning region and tacit knowledge penelitian komparasi politik inovasi dalam strategi inkubasi dan akselerasi bisnis ini secara umum menelaah dan memahami relasi kekuasaan antara aktor-aktor yang terlibat dan berkepentingan dalam perkembangan industri TI di Indonesia serta bagaimana pola relasi ini berpengaruh pada perkembangan inovasi dan akselerasi daya saing Indonesia dalam skala persaingan global. Penelitian ini dilakukan di 3 kota di Indonesia yaitu Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta. Metode penelitian yang digunakan adalah metodologi penelitian kualitatif. Format desain penelitian adalah format verifikatif dengan desain logika deduksihipotesis-verifikasi. Pengambilan data dilakukan melalui serangkaian wawancara mendalam dan FGD dengan para aktor yang menjadi objek penelitian. Model pengembangan inovasi yang dilakukan oleh pemerintah diantaranya dilakukan oleh BPPT dan Kominfo. PT Telkom Tbk sebagai BUMN juga mengembangkan dua inkubator bisnis di Bandung Digital Valley (Bandung), Jogja Digital Valley (Yogyakarta), dan akselerator bisnis Jakarta Digital Valley. Model pengembangan yang dilakukan oleh swasta dilakukan oleh inkubasi bisnis seperti Merah Putih Incorporation (Jakarta) dan PT Kaloborasi Kapital Indonesia (Bandung). Sedangkan model pengembangan inkubasi bisnis yang dilakukan oleh universitas diantara adalah Lembaga Pengembangan Inovasi dan Kewirausahaan (ITB), Innovative
20
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
Academy (UGM), Skystar Venture (UMN), dan Binus Creates (Binus). Model co-working space yang dikembangkan oleh swasta diantaranya adala Co&Co (Bandung), Conclave (Jakarta), Hackerspace (Bandung), dan Maliome Hackerspace (Bandung). Secara umum setiap inkubator bisnis memiliki kesamaan dalam cita meningkatkan jiwa entrepreneurship dan mengembangkan startup. Selain itu, layanan yang diberikan tiap inkubator bisnis, model bisnis, cara penjaringan startup pun memiliki keseragaman. Namun, perbedaan yang cukup mencolok terdapat pada aspek jaringan kerja, beberapa inkubator bisnis memiliki jaringan kerja di level internasional, sedangkan inkubator bisnis yang lain memiliki jaringan kerja hanya di level nasional maupun level lokal. Inkubator bisnis yang dimiliki oleh pemerintah dan universitas tidak memiliki jaringan global yang luas, namun PT Telkom Tbk dan beberapa entitas dari sektor swasta justru memiliki jaringan global yang cukup besar. Luasnya jaringan global ini ditentukan oleh komitmen dan koneksi founder maupun tim manajemen dari inkubator bisnis tersebut. Perbedaan juga dapat dilihat pada keyakinan tiap inkubator bisnis dalam menentukan jenis industri dari startup yang ingin dinaunginya. Beberapa inkubator bisnis ingin menaungi startup dengan ragam industri yang berbeda, namun seringkali keinginan ini tidak didukung oleh sumberdaya inkubator bisnis yang memadai. Pembinaan pada startup dengan ragam industri membutuhkan resources yang besar, sebab inkubator bisnis harus mampu merespon kebutuhan dan tantangan tiap startup, padahal tiap industri memiliki nature dan kebutuhan yang berbeda. Alasan inilah yang membuat beberapa inkubator bisnis lainnya memilih fokus pada satu ranah industri. Dalam konteks governance dalam GVC, pola relasi antara inkubator dengan start up menunjukkan kecenderungan ke arah pola dialogis dan egaliter. Pola hubungan ini mengarah pada model governance yang relational. Pola hubungan berlangsung secara kompleks, sehingga terjalin ketergantungan antara kedua belah pihak. Hal ini kemudian membuat startup membutuhkan Godfather, yang merupakan aktor (personal maupun institusi) yang mempunyai kapasitas-kapasitas tertentu yang dapat digunakannya untuk memastikan inovasi dapat berjalan. Dalam ekosistem startup, ada 6 komponen yang perlu diperhatikan, yaitu: pasar, modal, sumber daya manusia, kultur, infrastruktur, dan regulasi. Sejauh ini di Indonesia, baru faktor pasarlah yang sudah memadai, sementara untuk lima komponen lainnya masih harus dikembangkan. Untuk melakukan hal itu, pemerintah dapat berperan sebagai enabler, dimana pemerintah memposisikan diri sebagai penyedia sumber daya dan infrastruktur yang relevan dengan upaya menumbuhkan
21
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
bisnis startup, termasuk didalamnya penyusunan regulasi yang dapat mengakselerasi bisnis industri TI di Indonesia. Peran ini ditimbang lebih tepat dibanding pemerintah berperan sebagai leader karena keterbatasan sumber daya manusia dan finansial pemerintah, ataupun sebagai user karena hal ini dapat merubah kondisi pasar TI Indonesia yang sudah memadai.
22
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
RISET JURUSAN - MAHASISWA:
KEPEMIMPINAN
23
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
24
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
MENINGKATKAN KETERWAKILAN PEREMPUAN DALAM POLITIK DAN PARLEMEN MELALUI REVITALISASI SAYAP PEREMPUAN PARTAI : Studi Kasus pada Sayap Perempuan Partai di DIY Dr. Rer. Pol. Mada Sukmajati Salah satu fungsi dari organisasi kolateral adalah membantu partai politik untuk dapat memperluas dukungan dari masyarakat diluar basis konstituennya. Karena itu, partai politik berupaya untuk menciptakan ikatan dengan organisasi kolateral guna mendulang suara yang lebih banyak. Salah satu organisasi kolateral tersebut adalah organisasi atau sayap perempuan partai yang target grup-nya adalah kelompok perempuan. Departemen atau sayap perempuan partai ini dianggap sebagai alat vital untuk bisa mendulang dukungan suara dari kelompok pemilih perempuan dalam Pemilu. Biasanya sayap perempuan partai tersebut dapat dijadikan sebagai kendaraan politik baik oleh politisi maupun caleg perempuan untuk melakukan berbagai aksi kegiatan yang mengangkat isu-isu tentang perempuan guna menarik perhatian kelompok perempuan. Karena itu, salah satu langkah strategis yang dilakukan oleh partai politik adalah berupaya mengoptimalkan peran organisasi atau departemen sayap perempuan yang dimilikinya dalam rangka memenangkan politik elektoral. Dalam kasus DIY, organisasi sayap perempuan partai dimanfaatkan pula oleh beberapa caleg perempuan untuk mendulang suara pada Pemilu 2014 yang lalu. Berangkat dari hal tersebut, penelitian ini memfokuskan pada bagaimana kinerja dari sayap perempuan partai tersebut dalam meningkatkan keterwakilan perempuan di parlemen DIY, khususnya bagaimana peran dari organisasi sayap perempuan partai tersebut dalam menjalankan fungsi kaderisasi, kandidasi dan kebijakan. Penelitian ini mengambil 7 (tujuh) organisasi sayap perempuan partai di DIY sebagai subyek risetnya, yaitu Kesatuan Perempuan Partai Golongan Karya, Perempuan Merah Putih, Perempuan Demokrat Republik Indonesia, Sekar Surya, Perempuan Indonesia Raya, Garnita Malahayati, dan Pergerakan Perempuan Kebangkitan Bangsa. Temuan riset ini mengungkapkan bahwa organisasi sayap perempuan partai ini hanya sekedar dijadikan kendaraan politik oleh para caleg perempuan menjelang Pemilu untuk mendulang suara dengan “menjual” kegiatan-kegiatan yang prokesetaraan gender. Namun karena kehadiran dan kinerjanya bersifat “incidental”, maka eksistensi dari organisasi sayap perempuan partai ini sekedar sebagai organisasi
25
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
“pendongkrak” suara ataupun sebagai “hiasan” partai politik. Belum optimalnya kinerja organisasi sayap perempuan partai ini pada akhirnya mengkonfirmasi bahwa telah terjadi disfungsi organisasi sayap perempuan partai. Oleh karena itu, diperlukan upaya-upaya guna revitalisasi kembali fungsi organisasi sayap perempuan partai dalam menjalankan fungsi kaderisasi, kandidasi dan kebijakan.
26
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
HILANGNYA KEPEMIMPINAN: Transformasi Wacana, dari Seleksi ke Kontestasi Prof. Dr. Purwo Santoso Pada masa pemerintahan otoriter-sentralistik Soeharto, sosok pemimpin ideal bisa disimplifikasi sebagai sosok yang tegap, berseragam, resmi dan sangat berjarak dengan, kalaulah tidak lebih tinggi dari masyarakat. Negara adalah domain luar biasa, dan para pemimpin adalah representasi fisik dari gagasan tentang negara. Berangkat dari imajinasi ini, kaderisasi pemimpin dilakukan dengan prosedur khusus. Disamping ada AKABRI di Magelang juga didirikan Sekolah Menengah Atas khusus untuk menyiapkan pemimpin, yakni SMA Taruna Nusantara. Saat ini kita menemukan gejala yang sebaliknya. Sekarang yang mengedepan dan mempesona justru yang kelihatan bersahaja, dekat dengan rakyat, dan rendah hati. Presiden Joko Widodo, tidak pernah dididik dengan sengaja menjadi pemimpin. Ketika ditempa keilmuannya untuk menjadi insinyur kehutanan di Universitas Gadjah Mada, beliau tidak pernah dibayangkan akan menjadi orang nomor satu di negeri ini. Lebih dari itu, pesona yang mengantarkan beliau ke kursi kepresidenan adalah justru menghadirkan dirinya sebagai seorang yang biasa-bisa saja. Simbol-simbol kenegaraan, kalaulah beliau kenakan, sangat terbatas. Jangkar untuk membayangkan pemimpin, bukan lagi ‘negara’ melainkan ‘rakyat’. Beranjak dari perubahan imajinasi tentang sosok pemimpin tersebut, studi ini dilakukan untuk mengetahui bagaimana pola transformasi kepemimpinan yang berlangsung. Khususnya kepemimpinan pemerintahan daerah yang menjadi lokus desentralisasi yang diikuti pemberlakuan otonomi daerah secara luas. Studi ini dilakukan dengan merunut perubahan-perubahan dalam cara berfikir yang membongkar-pasang gagasan, kalau bukan mitos pemimpin sebagai orang hebat. Sekarang, kepemimpinan justru diaktualisasikan melalui kedekatan kepada pihakpihak yang dilayani. Bongkar-pasang imaji tentang sosok pemimpin ini tentu saja dilakukan dalam bingkai pemikiran tertentu. Ketika hendak melacak pembingkai, kajian ini langsung membidik wacana demokratisasi dan desentralisasi. Dimana keduanya dalam studi ini didudukkan sebagai setting dalam aktualisasi kepemimpinan seseorang dalam tata pemerintahan yang sedang berubah. Yang kita sama-sama tahu, keduanya merupakan agenda kunci reformasi pemerintahan Indonesia pasca-Orde Baru.
27
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
Studi ini menemukan perubahan-perubahan yang terjadi selama pergeseran model pemerintahan yang bersifat otoriter-sentralistik ke pemerintahan demokratis. Dimana perubahan-perubahan tersebut turut berkontribusi dalam perubahan imajinasi tentang sosok pemimpin dan cara memimpin. Pertama, telah terjadi perubahan cara berfikir dari komunalisme ke liberalisme. Dimana Orde Baru lebih mengedepankan bekerjanya negara dalam mengelola urusan publik dibanding era sesudahnya yang lebih menitik beratkan hak individu dalam pengelolaan sektor publik. Kedua, dengan bergesernya cara berfikir dari komunalisme ke liberalisme, turut menggeser cara berpemerintahan. Pada masa Orde Baru, negara menjadi aktor yang dominan dalam aktivitas pemerintahan. Berbeda dengan era reformasi yang mendudukkan negara sebagai hanya salah satu aktor saja yang berperan dalam aktivitas pemerintahan. Dengan kata lain terlah terjadi pergeseran dari government ke governance. Ketiga, perubahan tata pemerintahan tersebut membawa implikasi dalam tata cara pengisian jabatan publik. Jika masa Orde Baru pengisian jabatan publik dilakukan dengan cara sistem seleksi dan kaderisasi, era reformasi dilakukan dengan cara kontestasi atau adu banyak suara (votes). Dalam bingkai wacana demokratisasi dan desentralisasi yang bernafaskan liberal tersebut, tata kelola pemerintahan dan model pengisian jabatan publik telah diubah sedemikian rupa. Dimana perubahan tersebut secara koheren turut menentukan arah transformasi imajinasi kepemimpinan. Jika sosok pemimpin dulu diandaikan sebagai visualisasi dari negara, dengan semangat liberal yang menekankan pada hak individu dan mereduksi peran negara, maka sekarang pemimpin diimajinasikan sebagai representasi dari rakyat. Sehingga cara memimpin pun berbeda dengan masa lalu yang otoritatif, militeristik dan cenderung lebih mendikte, sekarang cara memimpin yang ideal adalah dengan cara menjawab atau menuruti wacana yang setiap saat digulirkan oleh rakyat.
28
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
POLITIK GENDER SULTAN Dra. Ratnawati, SU Berdasarkan atas Permendagri Nomor 15 Tahun 2008 setiap daerah memiliki kewajiban untuk melaksanakan pengarus-utamaan di daerah. Dengan adanya kebijakan tersebut maka tiap daerah mau tidak mau harus menghapus adanya diskriminasi terhadap perempuan dan tidak lagi mendeskriminasi perempuan. Provinsi DIY sendiri sebagai daerah yang merupakan bagian dari NKRI juga wajib melaksanakan hal tersebut. Kemudian muncul sebuah dilema, ketika kita tahu bahwa DIY memiliki sebuah keistimewaan dan keunikan dibanding daerah lain. Provinsi DIY masih memiliki sebuah peninggalan sejarah berupa Kraton Kasultanan Yogyakarta dengan Sultannya yang bertahta saat ini yakni Sri Sultan Hamengku Buwono X yang juga menjabat sebagai Gubernur DIY. Dilema yang muncul adalah bahwa kerajaan JawaIslam (Mataram) sejak jaman dahulu menyimpan nilai-nilai budaya patriarkhi yang melekat sejak jaman berdirinya Kraton tersebut. Pembatasan peran perempuan, adanya poligami, pemberian tahta kerajaan yang selalu diberikan kepada laki-laki adalah bentuk-bentuk praktek patriarkhi dalam lingkungan Kraton Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Sehubungan dengan itu, maka pertanyaan penelitian dalam riset ini adalah (1) bagaimana Sri Sultan memposisikan diri antara sebagai pemilik simbolsimbol budaya patriarkhi dan sebagai stakeholders issue pengarus- utamaan gender di provinsi DIY? (2) mengapa Sri Sultan bersikap pro gender, dengan melihat latar belakang dan tradisi patriarkhi yang masih melekat sampai sekarang ? Untuk menjawab pertanyaan penelitian di atas, maka desain penelitian yang akan digunakan adalah metode kualitatif. Oleh karena itu, peneliti mencoba menggali secara mendalam apa yang menjadi nilai-nilai budaya patriarkhi dalam kehidupan Sri Sultan berdasarkan atas latar belakang sejarah yang Dimilikinya. Dalam riset ini, data kualitatif tersebut diperoleh dari hasil wawancara dengan pihak-pihak yang dianggap mampu untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut. Wawancara tidak hanya dilakukan kepada satu pihak saja, namun kepada pihak lain yang mempunyai pandangan berbeda. Selain itu juga peneliti menggunakan data sekunder yang berupa catatan- catatan, buku atau tulisan-tulisan lain yang sebelumnya sudah membahas tentang permasalahan
29
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
gender, terutama di Provinsi DIY. Dengan menggunakan dua jenis data tersebut diharapkan mampu memberikan pengkayaan data untuk menjawab pertanyaan penelitian. Sementara instrumen riset yang digunakan adalah human instrument dimana yang digunakan alat menggali data adalah manusia tersebut, yang terdiri dari pihak keluarga Kraton, pihak kerabat Kraton (di luar keluarga Sri Sultan HB X), serta kyai dan aktivis gerakan perempuan. Temuan dari penelitian ini adalah (1) Sultan HB X memposisikan dirinya sebagai pelaksana, agen pemerintah dalam upaya pengarus-utamaan gender di Provinsi DIY, walau posisinya sebagai raja tidak terlalu memihak terhadap kesetaraan gender, (2) Sultan berani melakukan perubahan, mendobrak budaya dengan menunjukkan sikap-sikapnya yang pro gender, baik itu di lingkungan keluarga (terhadap istri dan anak-anaknya) maupun sebagai Gubernur yang memilki kewajiban tersebut, dan (3) Sultan melakukan perubahan terhadap peran perempuan di dalam Kraton, yang semula selalu dikuasai oleh laki-laki, kini perempuan juga bisa mendudukinya. Sekarang, walau perempuan dapat menduduki peran yang penting dalam Kraton. Dengan kekuasaannya sebagai raja, Sultan melakukan beberapa perubahan terhadap kebijakan-kebijakan di Kraton menyangkut posisi (peran) perempuan di dalam Kraton tersebut. Terkait isu gender yang menyentuh Pemerintah Provinsi dan Kraton Yogyakarta, alangkah lebih baik jika kedua belah pihak (Pro dan Kontra terhadap kepemimpinan perempuan) mau memandang secara jernih. Siapapun yang akan menjadi Sultan ke depan --baik laki-laki maupun perempuan--, haruslah bermanfaat bagi bagi masyarakat Yogyakarta.
30
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
DEMOKRASI SEBAGAI SIASAT: Menafsirkan Tapak Politik Demokrasi Sri Sultan Hamengku Buwono IX Bastian Widyatama Dalam konteks sistem pemerintahan, raja sebagai pemilik kekuasaan yang absolut semakin tergeser posisinya di era demokratisasi yang terjadi sejak era 1940-an. Bahkan banyak negara dengan sistem pemerintahan monarki harus menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman yaitu dengan mengadopsi sistem demokrasi. Di Indonesia, masuknya nilai-nilai demokrasi justru dibawa oleh sosok feodal yang dinilai bertentangan dengan demokrasi yaitu Sri Sultan Hamengku Buwono IX, Raja Keraton Yogyakarta. Berdasarkan fenomena menarik tersebut, maka fokus permasalahan yang diangkat dari penelitian ini adalah bagaimana penafsiran tapak politik demokrasi Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang notabene merupakan seorang raja. Selain itu, penelitian ini juga akan menguak faktor-faktor yang mempengaruhi tindakan politik Sri Sultan Hamengku Buwono IX untuk mempertahankan eksistensi kekuasaan yang dimilikinya. Untuk melihat sisi demokratis dari tokoh tersebut, maka teori besar yang digunakan adalah teori sosiologi pengetahuan dan nilai-nilai demokrasi. Adapun teori sosiologi pengetahuan digunakan untuk mengetahui aspek sosialhistoris yang dapat mempengaruhi pemikiran seseorang. Dari aspek sosial-historis tersebut, maka setidaknya ada 3 hal penting yang digunakan untuk melacak faktor-faktor yang mempengaruhi tindakan seseorang yaitu faktor kognisi, interaksi, dan kebutuhan untuk aksi. Selanjutnya, untuk menafsirkan tapak politik demokratis Sri Sultan Hamengku Buwono IX, maka penelitian ini menggunakan teori nilai-nilai demokrasi Henry B.Mayo yang terdiri dari lima hal yaitu adanya penyelesaian masalah secara damai, menjamin adanya perubahan secara damai di dalam masyarakat yang selalu berubah, adanya pergantian kekuasaan secara teratur, adanya nilai keanekaragaman, dan menegakkan keadilan sebagai inti moralitas politik. Metode yang digunakan adalah metode kualitatif dengan pendekatan biografi sehingga tapak politik tokoh tersebut dapat dilacak secara lebih komprehensif berdasarkan pengalaman hidupnya. Dengan menuliskan kisah hidup Sri Sultan Hamengku Buwono IX, maka akan didapatkan pengalaman menarik yang dapat menjadi poin penting untuk menafsirkan tapak politik demokrasi
31
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
yang dilakukan oleh sultan. Adapun teknik pengumpulan data yang dilakukan yaitu dengan menggunakan studi literatur yang membahas tentang kisah hidup Sri Sultan Hamengku Buwono IX, termasuk melakukan wawancara terhadap beberapa tokoh-tokoh tertentu untuk mengonfirmasi data yang didapatkan dari studi literatur tersebut. Berdasarkan penelitian yang dilakukan, tapak politik demokrasi yang dilakukan Sri Sultan Hamengku Buwono IX tidak lain mengacu pada kebutuhan sultan untuk mengadopsi ide- ide demokrasi. Konsep kepemimpinan demokratis Sri Sultan Hamengku Buwono IX tersebut kemudian dimanifestasikan ke dalam beberapa kebijakan demokratis, termasuk ke dalam sikap dan tindakannya. Bahkan, sikap politik demokratis sultan tersebut tidak lain merupakan siasat untuk mempertahankan eksistensi kekuasaan yang dimilikinya (kerajaan). Hasil penelitian tersebut tentu akan menjadi pembeda di tengah maraknya romantismeromantisme lama tentang sosok Sri Sultan Hamengku Buwono IX.
32
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
IMPLEMENTASI REKRUTMEN KEPALA DAERAH OLEH PARTAI POLITIK PADA PILKADA KOTA BANDAR LAMPUNG TAHUN 2015 Umar Abdul Aziz Rekrutmen kepala daerah sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari transisisi kekuasaan adalah mutlak harus dilakukan secara demokratis. Sebagaimana pandangan Schumpeter1 bahwa keberhasilan demokrasi dapat dilihat dari segi prosedural. Demokrasi tentu di nilai ideal jika partai politik berfungsi dengan baik, termasuk fungsi untuk melalukan sirkulasi maupun regenerasi elit politik. Namun sayangnya berdasar beberapa penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa rekrutmen kepala daerah masih menimbulkan banyak persoalan. Mada Sukmajati, Ari Dwipayana, dkk pada tahun 2011 melakukan penelitian terkait Rekrutmen Kepala Daerah pada Pilkada Kota Yogyakarta tahun 2012, menunjukkan bahwa rekrutmen kepala daerah pada umumnya hanya melibatkan para pengurus hingga petinggi partai. Hal ini terjadi lantaran partai politik tidak memiliki basis konstituen yang jelas, sehingga enggan untuk melibatkan kader partai secara aktif. Persoalan semakin rumit, ketika kemudian keputusan rekrutmen kepala daerah masih sangat didominasi petinggi partai di ranah pusat. Hal ini menunjukkan corak kandidasi di Indonesia bersifat sentralistik. Contoh temuan diatas menunjukkan bahwa terdapat gap antara das sollen dan das sein pada penyelenggaraan rekrutmen kepala daerah. Mengatasi hal ini pemerintah alih-alih memproduksi produk UU yang dipercaya bisa lebih menertibkan proses pilkada. Pada Bulan Desember tahun 2015, sebanyak 204 Kabupaten/Kota di Indonesia akan mengadakan Pilkada secara serentak.2 Salah satu wilayah yang akan menyelenggarakan pemilihan kepala daera pada tahun 2015 ini adalah Kota Bandarlampung, Provinsi Lampung. Pada tahun 2015 ini Pilkada Kota Bandarlampung hanya akan diikuti 3 pasangan calon. Penelitian ini berusaha menjawab permasalahan bagaimanakah proses rekrutmen kepala daerah oleh partai politik pada Pilkada Kota Bandarlampung 2015? Apakah proses rekrutmen kepala daerah yang dilakukan oleh partai-partai politik pada Pilkada tersebut telah berjalan sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi? Schumpeter. Joseph A. 1972. Capitalism, Socialism and Democracy. New York: Herper
1
2
Setiawanti, Budi. 2015. Tujuh Gelombang Pilkada Serentak 2015 Hingga 2027. Laman Antaranews Online. Diakses melalui, http://www.antaranews.com/berita/480618/tujuh-gelombang-pilkada-serentak-2015-hingga-2027. tanggal 10/04/2015 jam 20.40 WIB
33
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
Untuk menjawab masalah ini, metode penelitian menggunakan metode studi kasus. Rekrutmen kepala daerah yang dimaksud pada penelitian ini adalah rekrutmen untuk Pilkada Kota Bandarlampung tahun 2015. Partai politik yang akan diteliti adalah partai politik peserta pilkada yang mengusung ketiga calon kandidat tersebut. Penelitian ini akan menggunakan kerangka analisis milik Gideon Rahat dan Reuven Hazan mengenai seleksi kandidat dalam partai politik; Who can be selected?, Who select candidates?, Where candidates selected? And how are candidates nominated?. Tidak lupa konsep institusionalisais partai menjadi konsep penguat analisis. Berbicara temuan model Rahat dan Hazan di Bandar Lampung, peneliti menyajikan sebagai berikut. Model kandidasi terbagi menjadi model inklusif dengan partai PDIP, Hanura, PKB, PAN. Model bersyarat ditempati oleh tiga partai yakni, Demokrat, Gerindra dan Nasdem. Sementara partai dengan model ekslusif sepertinya masih ditempati oleh PKS, tambahan dua syarta menyebabkan partai ini cukup memperumit prosedur pendaftaran calon kandidat. Model penyeleksian terdiri atas model dengan agen partai politik yang direpresentasi oleh PKS, PDIP dan PAN. Yang mengagetkan adalah mayoritas partai di Bandar Lampung memainkan model berbasis elit partai seperti Hanura, PKB, Nasdem, dan Demokrat. Gerindra masih nyaman dengan nilai kebesaran yang dipegang, penyeleksian dengan model yang berkiblat pada pimpinan tunggal partai. Mengetahui bagaiamana derajat desentralisasi partai-partai politik yang mmepersiapkan pilkada 2015 di Bandar Lampung ini, peneliti menemukan adanya klasifikasi baru, yang disebut desentralisasi semu. Semu dalam artian hanya sebatas konteks wacana. PDIP dan PKB merupakan dua partai yang berada pada derajat ini. Model semi desentralistik berusaha direfleksikan oleh partai PKS, PAN, PDIP, Hanura, PKB, Nasdem dan Demokrat. Tetapi yang membedakan antara partai-partai semi desentralistik ini adalah masih berada di tataran regional tetapi penyeleksinya dalam partai PKS PAN dan PDIP melibatkan agen partai, dan sisanya elit partai. Model sentralistik nampaknya masih ditempati oleh partai Gerindra sebagai bentuk konsistensinya sebagai partai dengan bentuk penyeleksi dengan pimpinan tunggal. Terkait institusionalisais partai, melihat dari tata kelola dengan 10 partai politik di Bandar Lmapung yang coba dipetakan secara acak hanya tiga partai yang bersifat transparan selebihnya tertututp dan bahkan tidak jelas. Kegagalam kaderisasi juga menjadi pemandangan yang jelas bila publik melihat nama-nama kandidat yang lolos dalam pencalonan kandidat dari 6 partai sekalipun, hanya merujuk pada “orang-orang lama” dan mungkin mereka yang ‘dipanen’ dari kebun partai politik yang sangat rahasia.
34
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
RISET JURUSAN - MAHASISWA:
KEBIJAKAN
35
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
36
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
PEMETAAN TERKINI KAJIAN (STATE OF THE ART) SEKTOR EKSTRAKTIF Hasrul Hanif, MA., Ashari Cahyo Edi, MA., Dr. Amalinda Savirani, Wigke Capri Arti, S.IP., Primi Puteri P., S.IP Kajian ini memiliki fokus state of the art dalam sektor pertambangan dengan memetakan pendekatan-pendekatan utama dan disiplin dari pelbagai ilmu. Tidak hanya berusaha untuk memetakan subtansi (nalar dan kepentingan) yang ditawarkan berbagai pihak, kajian ini berusaha untuk memetakan isu-isu strategis seperti norms, pembangunan, konflik, dan pengaruhnya dalam formasi negara dan bagaimana isu-isu strategis memiliki misi agenda perubahan tertentu. Tiga pertanyaan utama yang akan dijawab dalam tulisan ini adalah pertama, bagaimanakah state of the art kajian tambang; kedua, apa saja pendekatan utama kajian tambang; Ketiga, bagaimana pemetaan pendekatan tersebut dalam melihat isu-isu strategis seperti norma (transparansi, HAM, Kemitraan, dll), pertambangan dan pembangunan seperti redistribusi rente dan pengelolaan resiko sosial dan lingkungan; pertambangan dan konflik; dan formasi negara. Ketiga pertanyaan tersebut akan dijawab dengan menggunakan metode studi pustaka terhadap kajiankajian sumber daya alam. State of the Art kajian tambang menggunakan metode studi pustaka kajiankajian strategis dalam industri pertambangan. Studi pustaka ini berfungsi untuk memetakan dua pendekatan utama dalam industri pertambangan sekaligus melacak, dan memahami kelebihan dan kritik terhadap dua pendekatan utama di kajian-kajian industri ektraktif. Temuan-temuan dalam state of the art kajian tambang ini dibagi ke dalam tiga bab utama yaitu pengantar kajian pwertambangan dalam ragam hak kepemilikan, pendekatan utama dalam kajian-kajian tambang, dan isu-isu strategis dalam kajian pert`ambangan. Pertama, bagaimana tambang dipahami sebagai rente dan resiko menjadi fokus dari bab pengantar kajian state of the art kajian tambang. Tambang sebagai rente dan resiko seringkali diperlakukan sebagai dua sisi mata uang yang berbeda. Padahal, baik rente maupun resiko merupakan karakter bawaan tambang yang membutuhkan pengelolaan yang bersifat komprehensif, tidak dualis dan bertanggung jawab.
37
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
Kedua, kajian state of the art ini menemukan adanya tiga pendekatan utama dalam kajian tambang yaitu pendekatan ontologis, epistemologis, dan aksiologis. Dalam laporan pendahuluan, Tim menggunakan pendekatan formal (legal) dan informalitas (illegal) namun dalam perkembangan penelahaan kajian, dua pendekatan tersebut sangat terbatas dalam menjelaskan kajian pertambangan. Perkembangan studi Tim menunjukkan bahwa pendekatan formal (legal) dan informal (illegal) adalah salah satu dari tiga pendekatan besar yaitu pendekatan ontologis. Di sisi lain, kajian stategis tambang yaitu gender memiliki keterbatasan untuk dijelaskan dalam pendekatan formal dan informal karena kajian strategis gender berada dalam pendekatan yang lebih besar yaitu pendekatan epistemologis. Pendekatan utama yang terakhir adalah pendekatan aksiologis dimana kajian tambang bersifat berjarak dengan aktivisme tambang atau bersifat riset-aksi yang cenderung tidak berjarak, sangat ideologis, dan advokatif. Ketiga, tim menemukan setidaknya terdapat empat isu-isu strategis dalam kajian pertambangan yaitu norma, tambang dan pembangunan, tambang dan konflik, dan formasi negara. Pertama, isu transparansi, akuntabilitas, hak asasi manusia, kemitraan, dan serangkaian aturan internasional EITI, Global Compact, UN-HR business adalah norma-norma global yang diadopsi dan dilokalisasi di kajian pertambangan. Isu strategis kedua yaitu tambang dan pembangunan sangat terkait dengan redistribusi rente dan pengelolaan resiko sosial dan lingkungan tambang. Pembahasan konten lokal, corporate social responsibility, dan mekanisme transfer yang dapat dibedakan menjadi transfer antar spatial atau transfer fiskal dan transfer antarf generasi atau transfer dana cadangan minyak. Ketiga, isu strategis yang paling mendapatkan perhatian; tambang dan konflik karena karakter destruktif yang melekat. Di banyak daerah kaya tambang, tambang menjadi sumber konflik. Isu strategis keempat adalah formasi negara tambang baik berupa negara rente maupun negara berbasis extraktivisme. Ke depannya, state of the art kajian tambang ini diharapkan menjadi dasar kajian pertambangan dalam disiplin Ilmu Politik. Secara lebih luas, kajian ini berupaya untuk memberikan sumbangan perdebatan wacana dalam proses revisi UU No. 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral dan Batubara.
38
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
PERTANIAN ORGANIK SEBAGAI BENTUK KEDAULATAN PANGAN Dr. Subando Agus Margono, Dr. Ag. Subarsono, Dr. Eli Susanto Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif tentang model pertanian organik dalam rangka menemukan kedaulatan petani. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis apakah sistem produksi pangan organik memenuhi syarat disebut kedaulatan pangan. Pertanyaan penelitian yang ingin di jawab adalah:‘Bagaimana kedaulatan pangan dikelola ketika harus berhadapan dengan sistem yang telah terpola secara sistematis?’ Pertanian organik dalam penelitian ini di pahami sebagai ruang kontestasi untuk memperjuangkan, menegosiasikan dan mengembangkan kemandirian petani dalam kedaulatan yang utuh, baik secara individu, komunitas dan kultur bertani. Penelitian ini mempertanyakan tentang sistem pertanian umum yang tidak lagi mengangkat kemandirian petani, namun justru menempatkannya sebagai objek dari korporasi. Ketika hal itu terjadi, birokrasi justru berdiri di balik korporasi atas nama program subsidi. Food sovereignty di definisikan sebagai “the right of peoples to healthy and culturally appropriate food produced through ecologically sound and sustainable methods, and their right to define their own food and agriculture systems”. Penelitian yang dilakukan di Sleman ini menunjukkan bahwa model pertanian organik mengintervensi sistem yang ada dan menegosiasikan menjadi pertanian berbasis kultur dan bukan tehnikal. Sistem pertanian ini mengubah kelembagaan top down menjadi kelembagaan yang dialogik, petani sebagai subyek bersama dengan ketua kelompok mengelola posisi kemandirian mereka dalam penjualan produk dan pola penanaman. Penelitian ini memberikan hasil berikut: Pertanian Organik sebagai Bentuk Kemandirian Pertanian organik yang dikembangkan Johan dan TO. Suprapto, penggiat pertanian organik yang selalu kritis terhadap pembangunan pertanian pemerintah, adalah pertanian yang bukan hanya memberikan gambaran tentang model pertanian, namun juga sistem. Mereka berasumsi bahwa sistem pertanian yang berjalan sekarang ini telah menggeser substansi pertanian dari gerakan kultural menjadi pemahaman tehnis penanaman belaka. Melalui kenyataan tersebut, pertanian menjadi tehnikal, lahan tereksploitasi, demikian juga petani menjadi outsider di lahan mereka sendiri.
39
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
Cara penanaman: Melakukan cara penanaman secara organik dilakukan di deretan lahan yang ditanam secara pertanian un-organic. Pilihan ini bisa dikatakan demonstratif dan bahkan provokatif. penggiat mencoba mengkontestasikan sitem yang mereka impikan dengan sistem konvensional yang masih dipercaya petani melalui jaringan birokrasinya. Kelembagaan: Pertanian organik tidak terkelola melalui birokrasi namun tokoh penggerak. Perbedaannya adalah adanya posisi tawar dari masing-masing petani kepada ketua jaringan. Mereka tidak berada dalam posisi sebagai obyek, namun diberikan pilihan. Menyiasati krisis: Tiga krisis disiasati: krisis ekologi, ekonomi dan budaya.
40
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
KEPERCAYAAN PUBLIK (PUBLIC TRUST) DALAM IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PEMERINTAH Dr. Ambar Widaningrum Studi administrasi publik terdahulu menekankan indikator yang cenderung teknokratis, seperti sumber daya dan output, untuk memantau kinerja. Peningkatan perhatian pada akuntabilitas dan isu-isu seputar dampak dan hasil kerja telah mendorong pengenalan indikator yang lebih lunak, yang menekankan pada pentingnya penilaian bersifat eksternal misalnya kepuasan pengguna atau warga dan kepercayaan publik (trust). Selain itu, terjadi peningkatan ”demand” terhadap informasi kinerja dalam kaitannya dengan tata kelola pemerintahan secara keseluruhan. Kepercayaan publik menggambarkan suatu kondisi dimana masyarakat percaya dengan kompetensi pemerintah dalam menjalankan perannya dalam mengelola kegiatan pemerintah. Kepercayaan publik amat penting untuk mendorong partisipasi masyarakat dalam kegiatan pemerintahan dan kewargaan. Penelitian ini bertujuan untuk menggali isu-isu kepercayaan dan ketidakpercayaan publik terhadap pemerintah yang dilihat dari aspek penegakan aturan, khususnya aturan yang terkait dengan kepatuhan masyarakat terhadap kebijakan telah diimplementasikan. Asumsi pokok yang digunakan untuk penelitian ini adalah: Ketika warga memiliki kepercayaan publik yang tinggi maka kepatuhan masyarakat untuk mengikuti aturan dan kebijakan pemerintah, serta partisipasi publik dalam mengikuti kegiatan kewargaan akan semakin tinggi. Asumsi-asumsi ini mendasari pentingnya kepercayaan publik dalam tata kelola pemerintahan yang demokratis. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif-deskriptif. Sumber data yang digunakan: data primer dan sekunder. Data primer mencakup data hasil observasi dan wawancara untuk menggali informasi tentang persoalan-persoalan yang terkait dengan gagalnya implementasi kebijakan atau program pemerintah dan pelanggaran-pelanggaran yang terjadi sebagai bentuk ketidakpatuhan terhadap peraturan. Obyek yang dikaji adalah: 1) pendirian toko-toko berjejaring; 2) penataan PKL; dan 3) perilaku berlalu lintas. Data sekunder juga mencakup 3 obyek kajian yang diolah dari data angket penelitian sebelumnya tentang kepatuhan masyarakat pada aturan berlalu-lintas, dokumen-dokumen kebijakan-kebijakan terkait ijin pendirian supermarket, dan penataan pedadang kaki lima (PKL). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kepercayaan publik terhadap
41
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
implementasi kebijakan pemerintah merupakas keluaran dari berbagai elemen yang saling terkait. Elemen pertama adalah keyakinan dari masyarakat bahwa aturan atau kebijakan yang dibuat adalah untuk menyelesaikan masalah publik atau mengurangi beban masalah publik, yang dilihat melalui kinerja kebijakan. Elemen yang kedua adalah konsistensi dalam penegakan aturan dan bersifat adil (non diskrimatif). Elemen ketiga adalah penilaian terhadap perilaku pejabat pemerintah, yang ditunjukkan melalui keteladanan sikap. Kepercayaan publik yang tinggi kepada pemerintah akan memudahkan pemerintah dalam melaksanakan berbagai kebijakan, karena publik percaya bahwa pemerintah memiliki kepedulian kepada kepentingan publik. Bentuk dari tinggi rendahnya publik kepada pemerintah diwujudkan dalam dukungan publik melalui perilaku kepatuhannya (compliance) terhadap aturan-aturan yang ada. Perilaku tidak patuh kepada aturan merupakan representasi dari kegagalan mewujudkan kepastian hukum, sehingga menjadi salah satu penyebab mengapa beberapa proses dan prosedur pelayanan publik tidak dipatuhi atau dilanggar oleh masyarakat. Persepsi warga tentang uang bawah meja atau sogokan masih tetap ada meskipun pemerintah telah mengaplikasikan beberapa sisem dan prosedur pelayanan yang terbuka, dan informasi yang simetris serta mudah diakses oleh publik.
42
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
POLA KEPEMIMPINAN KOLEKTIF DALAM KERJASAMA ANTAR-DAERAH YANG FUNGSIONAL: Studi Kasus Kartamantul Prof. Dr. Wahyudi Kumorotomo Diantara berbagai bentuk kerjasama antar-daerah yang menjadi kesepakatan Pemerintah Daerah di tingkat provinsi maupun tingkat kabupaten/kota di Indonesia, masih terlalu sedikit bentuk kerjasama yang benar-benar ditindaklanjuti dengan kegiatan kerjasama yang fungsional. Sekber Kartamantul (Sekretariat Bersama kerjasama antara kota Yogyakarta, kabupaten Sleman dan kabupaten Bantul) adalah salah satu dari sedikit bentuk kerjasama antar-daerah yang relatif berhasil. Sejak dirintis pada tahun 2001, forum kerjasama Kartamantul telah melewati berbagai tantangan kelembagaan maupun legitimasi yang membuat kajian mengenai pola kerjasama ini sangat penting bagi upaya replikasinya di daerah-daerah lainnya. Dengan fokus pada kerjasama penanganan limbah padat (solid waste management), penelitian ini bermaksud menganalisis pola kepemimpinan kolektif yang tercipta dalam sistem kerjasama Kartamantul yang menjadi salah satu variabel penentu keberlanjutan dan pengembangan bentuk-bentuk kerjasama lainnya di masa mendatang. Dalam identifikasi masalah kerjasama, terdapat beberapa isu pokok yang mempengaruhi keberlanjutan kerjasama ini, yaitu: 1. Kesepakatan Lokasi TPA; Meskipun sejak awal berdirinya telah disepakati bahwa lokasi TPA terdapat di Piyungan, kabupaten Bantul, namun terdapat kekhawatiran dari Pemda Bantul mengenai daya tampung dan dampak lingkungannya di masa mendatang. 2. Resistensi Penolakan dari Masyarakat; Penolakan dari masyarakat di sekitar TPA Piyungan memang belum menjadi gerakan sosial yang menentang kebijakan pemerintah daerah. Namun sebagian dari warga yang berkomunikasi dengan LSM di bidang lingkungan mulai menyuarakan bahwa tempat ini kurang sesuai untuk menjadi tempat pembuangan limbah. 3. Manajemen Pengelolaan: bentuk kelembagaan, tupoksi; Secara umum bentuk kelembagaan tidak akan banyak berubah jika dibanding ketika pertama kali terbentuknya Sekber Kartamantul. Namund dalam
43
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
hal tugas pokok dari setiap satuan di dalamnya terdapat beberapa perubahan untuk mengantisipasi kompleksitas masalah penanganan sampah perkotaan. 4. Pembiayaan Pengelolaan; Salah satu isu sensitif yang masih berpotensi menimbulkan konflik adalah pembiayaan untuk pengelolaan penanganan sampah. Sejauh ini memang kontribusi dari setiap Pemda kabupaten dan kota masih berbeda-beda dengan pertimbangan yang subjektif. Di masa mendatang, kecemburuan dan ketimpangan hendaknya dapat dipecahkan untuk bisa menjamin keberlanjutan dari kerjasama. 5. Pelibatan Masyarakat & Swasta; Sebenarnya cukup banyak swasta, terutama lembaga riset dan pengembangan teknologi solid waste management, yang ingin terlibat dan membantu Kartamantul. Tetapi karena keterbatasan dari segi peraturan maupun keraguan mengenai efek komersialisasi dari kerjasama dengan swasta tersebut, belum banyak pola kerjasama dengan swasta yang dapat dijalin. 6. Penerapan Teknologi Terapan; waste refinery, waste to renewable energy; Akibat dari minimnya kerjasama dengan swasta dan masyarakat pendaur-ulang sampah, maka penerapan teknologi yang dapat membantu meningkatkan efektivitas penanganan sampah masih rendah. Oleh sebab itu, kendatipun sudah terdapat fasilitas penurunan kadar toksik sampah, tetapi hasilnya masih jauh jika dibanding standar internasional. Meskipun terdapat begitu banyak tantangan dalam kerjasama penanganan limbah padat, tetapi setelah berjalan lebih dari 14 tahun kerjasama yang dikelola oleh Sekber Kartamantul ternyata tetap bisa berjalan dengan baik dan tetap efektif dalam menanggapi berbagai kebutuhan dari warga di ketiga wilayah, yaitu kota Yogyakarta, kabupaten Sleman dan kabupaten Bantul. Aspek yang menentukan dari keberlanjutan itu adalah manajemen konflik dengan pola kepemimpinan kolektif secara bergiliran. Pimpinan Sekber Kartamantul dijabat oleh seorang Sekda (Sekretaris Daerah) dari ketiga daerah yang masing-masing menjabat selama 2 (dua) tahun. Tidak tersedia informasi yang cukup mengenai pertimbangan mengapa pergiliran jabatan Sekber itu ditetapkan dua tahun. Tetapi dokumen mengenai konsolidasi awal menunjukkan bahwa dua tahun adalah masa yang cukup memadai bagi seorang pemimpin untuk melakukan konsolidasi internal dan sekaligus mengambil kebijakan strategis dalam organisasi sesuai tantangan kebijakan terbaru.
44
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
Secara internal, manajemen limbah padat oleh Sekber Kartamantul sebenarnya memiliki tiga lapisan yang melibatkan pejabat politis, pejabat struktural di dalam jajaran Pemda, serta staff operasional yang sehari-hari menangani masalah teknis. Sejalan dengan hasil penelitian Vidayani dan Hudalah (2013:203), terdapat tiga lapisan kepemimpinan dan manajemen kolektif dalam pola kerjasama Kartamantul. Pembagian tiap lapis dalam Kerjasama Kartamantul mengikuti tugas pokok dan fungsi dari lapisan yang terjadi dari Pemerintah Daerah ketika melakukan tugas. Ketiga lapisan kepemimpinan tersebut adalah: 1) Pengambil Keputusan Puncak, yang dijabat oleh Walikota dan Bupati; 2) Tim Pengarah, yang terdiri dari Sekretaris Daerah, Kepala Bappeda, Kepala Instansi Keuangan dan Kelapa Instansi Teknis lain yang relevan; dan 3) Tim Teknis, yang didukui oleh staff atau birokrat yang mengerjakan implementasi dari segi teknis. Selanjutnya, kegiatan kolektif yang benar-benar menentukan aktivitas keseharian Kartamantul adalah Sekretariat Bersama (Sekber) yang mengurusi segala kegiatan atau program yang telah disepakati oleh Tim Pengarah. Dipimpin oleh seorang Manajer Kantor, Sekretariat Bersama yang berkedudukan di kota Yogyakarta itu membagi pekerjaan teknis ke dalam dua bidang, yaitu: 1) Bidang Riset dan Teknis dan 2) Bidang Administrasi dan Keuangan. Para pegawai atau staff teknis melaksanakan tugas-tugasnya sesuai dengan pembagian kerja yang relatif sederhana tetapi sesuai dengan tuntutan pekerjaan dalam manajemen penanganan limbah padat. Berdasarkan analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, Threat), dapat diidentifikasi ciri-ciro pokok dari pola manajemen yang berlaku dalam penanganan limbah oleh Sekber Kartamantul. Dari segi kekuatan (strength), kesadaran kolektif mengenai penanganan sampah sebagai masalah bersama adalah hal pokok yang menjadi inti dari semangat kerjasama ini. Dukungan dari walikota dan bupati yang senantiasa kuat, komunikasi antar pejabat daerah yang relatif lancar karena proksi jarak yang cukup dekat, kesadaran tentang pentingnya kolaborasi sebagai paradigma baru dalam membangun daerah, serta kesediaan untuk menerima kritik sebagai upaya untuk mencapai kemajuan adalah ciri yang menonjol dari forum Kartamantul. Kelemahan (weakness) yang masih harus dihadapi terutama menyangkut kurangnya dana dari anggaran di ketiga daerah. Perbedaan tingkat pembangunan di kota Yogyakarta, kabupaten Sleman dan kabupaten Bantul juga sering mengakibatkan keirian atau kecemburuan, terutama dari daerah yang telah merasa memberikan kontribusi keuangan yang relatif besar. Sementara itu, karena bentuknya adalah Sekretariat Bersama, tidak ada otoritas untuk menentukan dan menindaklanjuti
45
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
rekomendasi dari berbagai rencana pembangunan karena keputusan akhir tetap berada di otoritas Pemda masing-masing. Akuntabilitas yang penuh juga tidak bisa diharapkan dari bentukan organisasi Sekretariat Bersama yang memang sifat identitasnya kolektif. Setelah berjalan lebih dari satu dasawarsa, Sekber Kartamantul sebenarnya memiliki banyak peluang (opportunity) untuk menjadi lembaga yang lebih kuat dan profesional daripada yang sekarang ada. Peluang itu antara lain muncul dari banyaknya sektor swasta yang berminat untuk menjalin kerjasama karena nama Kartamantul bukan hanya dikenal di Indonesia tetapi juga sudah seringkali mendapat publikasi di tingkat internasional. Peluang ini sebenarnya juga didukung oleh perkembangan baru tentang persepsi diantara para pemangku kepentingan yang berniat untuk meningkatkan fungsi Sekber bukan hanya sebatas masalah teknis atau forum koordinasi, namun bisa menjadi badan permanen yang dapat lebih meyakinkan pembuat keputusan. Namun kendala yang mungkin harus dihadapi dari aspek ancaman (threat) adalah belum adanya basis legal formal dari kerjasama dan jaminan atas investasi karena sifatnya yang masih merupakan kontribusi dari ketiga daerah. Secara politis, pergantian kepemimpinan puncak (baik eksekutif maupun legislatif) setiap 5 (lima) tahun juga seringkali menciptakan ketidakpastian mengenai keberlanjutan dari kerjasama Kartamantul. Dari segi ini, kepemimpinan kolektif disamping merupakan sumber kekuatan kerjasama juga bisa menjadi ancaman dari eksistensi kerjasama itu sendiri. Jika sebagian dari kelompok atau komunitas tidak setuju dengan program atau kegiatan dapat memarginalkan mereka, sedangkan pejabat politis dapat diyakinkan dengan tuntutan-tuntutan populer mereka, bisa saja terjadi penurunan efektivitas dari kegiatan Sekber. Walaupun kerjasama antar-daerah merupakan gagasan yang senantiasa dianjurkan dalam kebijakan pemerintah di tingkat pusat, seperti yang terdapat di dalam UU No.32/2004 (terutama pasal 195 dan pasal 196) dan ditekankan lebih lanjut dalam UU No.23/2014, tetapi praktik menonjol di Kartamantul masih merupakan bentuk perkecualian di Indonesia. Di sebagian besar forum kerjasama, kegiatan-kegiatan fungsional tidak dapat berjalan karena forum hanya terhenti di tingkat wacana. Seperti diungkapkan dalam penelitian Firman (2010:404), bahkan forum internasional di Delgosa telah menempatkan Kartamantul ke dalam salah satu best practice yang perlu dikaji dan direplikasikan, khususnya di negara-negara berkembang.
46
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
Dari penelitian ini, setidaknya terdapat empat aspek kepemimpinan kolektif yang menunjang keberhasilan Kartamantul dan selanjutnya menentukan perkembangannya di masa mendatang, yaitu: 1. Adanya nilai bersama (shared-values) dan visi kepemimpinan yang sama diantara perumus kebijakan; Ciri yang menyangkut nilai-nilai yang sama ini memerlukan pemahaman yang sama diantara para walikota, bupati atau kepala daerah yang menentukan kebijakan umum meskipun mereka tidak terlibat dalam kegiatan fungsional keseharian. Latar-belakang budaya, pola pembangunan dan faktor kedekatan daerah menunjang adanya faktor ini di Kartamantul. 2. Pengambilan keputusan bersama secara horizontal; Keputusan yang mampu mengakomodasi kepentingan bersama yang dilakukan secara horizontal menentukan keberhasilan Sekber Kartamantul. Meskipun terdapat pergantian kepemimpinan setiap dua tahun sekali, tetapi organisasi dengan format konsorsium yang sifatnya egaliter dan horizontal telah mampu menjamin keberlanjutan kerjasama dan sekaligus mendinamisasi organisasi dalam menghadapi tantangan-tantangan baru. 3. Transparansi dan keterbukaan antar pemangku kepentingan; Meskipun di banyak forum kerjasama telah ada komitmen bagi transparansi dan keterbukaan, di dalam praktik tidak semua komitmen itu dapat diwujudkan. Sekber Kartamantul setidaknya telah mampu melembagakan mekanisme komunikasi dan forum yang mengutamakan transparansi dan keterbukaan dalam pembuatan keputusan yang menyangkut hal-hal strategis seperti kontribusi keuangan dari ketiga daerah, alokasi pendanaan, hingga pertanggungjawaban internalnya. 4. Pemahaman atas sinergi pelayanan publik; Setiap pihak yang terlibat dalam ketiga lapisan kepemimpinan kolektif selalu melihat adanya kebutuhan untuk melakukan sinergi pelayanan publik, dalam hal ini untuk menangani limbah padat yang dihasilkan oleh warga di ketiga daerah. Kesadaran bahwa mereka tidak mungkin menangani masalah limbah padat secara sendiri-sendiri inilah yang memungkinkan bahwa pola kerjasama tetap dibutuhkan dan bahkan harus ditingkatkan di masa-masa mendatang.
47
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
Penelitian juga mengidentifikasi adanya keinginan agar otoritas Sekber Kartamantul dari segi keuangan dapat diperluas meliputi bidang-bidang keuangan di masing-masing daerah sehingga kontribusi keuangan dari daerah dapat dijamin dan dirumuskan secara pasti. Keinginan atau rekomendasi itu tampaknya belum bisa dilakukan karena terbentur masalah legal-formal. Kontribusi yang tidak selalu sama dari masing-masing daerah memang bisa menjadi potensi konflik yang akan mengancam efektivitas dan bahkan eksistensi forum kerjasama. Tetapi penetrasi kewenangan Sekber yang terlalu dalam ke dalam otoritas keuangan di masing-masing daerah juga tidak mungkin dilakukan karena sifat kelembagaan yang ad hoc dan kendala regulasi yang tidak memungkinkan. Sementara itu, perluasan otoritas atau peningkatan legitimasi kelembagaan menjadi semacam Badan Otorita antar-daerah juga tidak mungkin dilakukan karena akan bertabrakan dengan kepentingan setiap SKPD yang terdapat di masing-masing daerah. Oleh sebab itu, efektivitias dan keberlanjutan kerjasama dalam Sekber Kartamantul hanya bisa dilakukan dengan memperdalam intensitas kerjasama secara internal atau merumuskan bentuk-bentuk kolaborasi baru yang produktif tetapi bukan dengan memperluas atau menambah otoritas dari lembaga kerjasama itu sendiri.
48
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
MODEL KORUPSI DI INDUSTRI PERMINYAKAN David Thamrin S Korupsi di industri minyak dan gas memiliki karakter yang berbeda dengan korupsi pada umumnya. Dalam sektor ini faktor non sosial bisa menjadi sumber kekuasaan bagi oknum untuk melakukan korupsi, seperti kompeksitas geologis di wilayah kerja pertambangan. Lebih jauh lagi kemampuan aktor untuk memahami resiko menjadi sumber kekuasaan bagi aktor tersebut untuk melakukan korupsi. Tulisan ini menggunakan game theory sebagai alat utama untuk membangun model korupsi di industri minyak dan gas. Penulis menggunakan tiga model game theory yaitu Prissoners Dilemma, Willenbrock Bidding Model dan Inspection Game yang telah diredified oleh Pradiptyo. Penulis juga memilih pemodelan matematis untuk melakukan analisis data karena memungkinkan untuk melakukan simulasi dari bagaimana korupsi terjadi. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa baik pemerintah maupun kontraktor memiliki potensi untuk terlibat dalam situasi asymetrisme informasi antara satu sama lain, terkait resiko. Hal ini lah yang menjadi faktor besar yang mendorong mengapa kerap terjadi korupsi di industri minyak dan gas. Hasil pemodelan dengan prissoner dilemma, diperoleh equlibrium keduanya (oknum pemerintah maupun oknum kontraktor) memilih terlibat untuk melakukan korupsi. Payoff atau keuntungan yang didapat ketika mereka melakukan korupsi oleh penulis didefenisikan dengan menggunakan model Willenbrock dan Inpection Game yang telah diredifined oleh Pradiptyo. Penulis juga menambahkan dua faktor baru yaitu rasio pemahaman akan resiko (α dan β ) ke dalam kedua persamaan sebelumnya. Penambahan faktor α dan β ditujukan untuk menjelaskan bagaimana perbedaan pemahaman akan resiko atau asymetrisme informasi terkait resiko mampu menjadi penyebab terjadinya korupsi di dalam persamaan matematis. Penulis menyimpulkan bahwa akan pemahaman resiko bisa menjadi faktor penting yang mengakibatkan korupsi di industri minyak dan gas terjadi. Membuat kebijakan pemberantasan korupsi tanpa memahaminya terlebih dahulu adalah kebodohan, sebab lain lubuk lain pula ikan nya. Jika kita berhasil mengukur fenomena korupsi, maka pasti praktek korupsi bisa dimanajemen.
49
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
PENGAMBILALIHAN KEWENANGAN PENGELOLAAN SAMPAH TPA PIYUNGAN DARI KARTAMANTUL OLEH PEMDA DIY Laily Fadliyah Pengelolaan TPA Piyungan merupakan salah satu sektor strategis yang dikelola oleh Kartamantul. Hal ini karena sampah di daerah perkotaan telah menjadi sebuah permasalahan yang begitu kompleks, apalagi mengingat karakteristik daerah perkotaan yang lebih banyak berupa building coverage (tutupan bangunan) daripada vegetation coverage (tutupan vegetasi). Hadirnya TPA Sampah Piyungan yang dikelola dengan mekanisme kerjasama memberikan kesempatan bagi Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman dan Kabupaten Bantul untuk menyediakan fasilitas perkotaan yang lebih efisien dan efektif. Setelah kurang lebih 14 tahun TPA Piyungan dikelola oleh Kartamantul secara otonom, kewenangan pengelolaan TPA Piyungan diambilalih oleh Pemda DIY sejak tanggal 1 Januari 2015. Pengambilalihan ini telah menggeser kewenangan Kartamantul, keputusan puncak yang semula berada di tangan ketiga daerah (Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman dan Kabupaten Bantul) telah beralih ke Pemerintah Provinsi DIY. Di samping itu, pengambilalihan kewenangan tersebut juga berarti bahwa ada otoritas lain yang sewaktu-waktu dapat memaksakan keputusan ketiga daerah. Dengan kata lain, otoritas yang dimiliki Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman dan Kabupaten Bantul dalam menentukan kebijakan pengelolaan sampah menjadi semakin berkurang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui alasan pengambilalihan pengelolaan TPA Piyungan, Bantul oleh Pemda DIY dan mendeskripsikan proses pengambilalihan pengelolaan TPA Piyungan, Bantul. Penelitian akan menggunakan pendekatan kualitatif untuk memperoleh kedalaman data. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka, observasi, dan wawancara. Berdasarkan hasil penelitian, pengambilalihan kewenangan pengelolaan TPA Piyungan dari Kartamantul kepada Pemerintah Provinsi DIY disebabkan oleh lemahnya kapasitas daerah dalammengelola TPA Piyungan. Keterbatasan dana menjadi permasalahan penting dalam pengelolaan TPA Piyungan.
50
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
PUBLIC-PRIVATE PARTNERSHIP DALAM PENGEMBANGAN WISATA LAWANG SEWU Anindya Dessi Wulansari Penelitian ini berjudul “Penguatan Kapasitas Kelembagaan dalam Pengembangan Wisata Lawang Sewu”. Penelitian bertujuan untuk mengetahui praktik kapasitas kelembagaan Unit Pelaksana Teknis (UPT) Bangunan Permuseuman PT Kereta Api Indonesia (Persero) di Lawang Sewu sehingga menunjukan adanya best practice dalam menarik wisatawan. Dalam pengolahan data digunakan teknik analisis kualitatif dengan wawancara dan studi dokumentasi. Wawancara dilaksanakan dengan Manajer Museum PT KAI (Persero), Staff Pengusahaan SUmber Daya Manusia (SDM) Daerah Operasional (DAOP) IV Semarang, tour guide Lawang Sewu, dan beberapa wisatawan Lawang Sewu. Studi dokumentasi dilakukan dengan meganalisis video documenter tentang sejarah perkeretaapian Indonesia, Lawang Sewu, talk show dengan narasumber humas DAOP IV Semarang, dan beberapa referensi dari media elektronik maupun cetak. Dalam pelaksanaan penelitian diajukan lima macam pertanyaan, yaitu mengenai: sejarah dan pendayagunaan aset Lawang Sewu, pengorganisasian SDM dalam mengembangkan Lawang Sewu, Budaya organisasi yang mempengaruhi kinerja stakeholder, praktik MSDM, dan pihak-pihak yang terlibat dalam jaringan kerja. Pada penelitian pertama dilaksanakan wawancara dengan Manajer Museum PT KAI (Persero) tentang sejarah dan pendayagunaan aset Lawang Sewu. Hasil wawancara tersebut adalah tentang sejarah lengkap mulai dari berdirinya lawang sewu, hingga pendayagunaan aset mulai dari perencanaan, pengelolaan, sampai pemasarannya. Penelitian selanjutnya dilanjutkan dengan pengajuan pertanyaan yang berkaitan dengan jaringan kerja. Hasilnya dalam pengelolaannya, Lawang Sewu bekerjasama dengan pihak-pihak swasta, komunitas, dan masyarakat. Kerjasama dengan pemerintah dilakukan pula, namun sangat lemah. Penelitian ini didukung dengan studi dokumentasi melalui talkshow dengan humas DAOP IV Semarang yang menyatakan bahwa masih terdapat banyak miskomunikasi dengan pemerintah. Penelitian kedua difokuskan pada MSDM dan pengorganisasian dalam pengelolaan Lawang Sewu. Penelitian dilakukan dengan Manajer Museum PT KAI (Persero) dan staff pengusahaan SDM DAOP IV Semarang. Hasil penelitian ini didapatkan struktur organisasi dalam pengelolaan museum aset PTKAI beserta tugas, fungsi, serta wewenagnya dalam pengorganisasian. Selain itu juga didapatkan praktik
51
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
MSDM mulai dari perekrutan sampai pada pengembangan SDM. Penelitian ketiga difokuskan dalam analisis budaya organisasi. Dalam penelitian ini dilakukan wawancara dengan Manajer Museum Lawang Sewu. Dari wawancara tersebut dihasilkan adanya pengaruh perubahan logo perusahaan dan adanya lima nilai utama dalam budaya perusahaan. penelitian ini didukung dengan literatur yang berasal dari website PT KAI (Persero) tentang makna logo baru PT KAI (Persero) dan budaya perusahaan. Dari hasil penelitian pertama disimpulkan bahwa Lawang Sewu memiliki nilai sejarah tentang perkeretaapian di Indonesia. Selain itu juga nilai sejarah tentang pertempuran lima hari di Tugu Muda. Lawang Sewu menawarkan daya terik berupa kaca patri yang indah. Hasil dari penelitian ini juga adanya kerjasama dengan pihak swasta dalam pemasarannya, misalnya dengan media online dan media cetak, kerjasama yang dilakukan denganmasyarakat berupa adanya Corporate Social Responsibility (CSR) Lawang Sewu pada masyarakat untuk memberdayakan masyarakat menjadi bagian dari pengelola Lawang Sewu, yaitu tour guide. Dari penelitian kedua disimpulkan bahwa adanya pengorganisasian yang baik dengan membagi tugas dan tanggung jawab dari tiap SDM beserta asisten yang membantu tiap manajernya. Dari seluruh penelitian dapat disimpulkan bahwa adanya best practice dalam pengembangan wisata Lawang Sewu dipengaruhi oleh kelembagaan didalamnya. Kelembagaan eksternal lemah karena kurangnya peran dari pemerintah dalam pengembangan Lawang Sewu.
52
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
KEPEMIMPINAN SEKRETARIAT BERSAMA KARTAMANTUL DALAM KERJASAMA ANTAR DAERAH KAWASAN URBAN D.I. YOGYAKARTA Raditya Dwi Priyambodo Kerjasama Antar Daerah (KAD) Kartamantul merupakan salah satu praktik kerjasama yang dilakukan oleh banyak daerah. Kerjasama tersebut melibatkan Pemerintah Kota Yogyakarta, Pemerintah Kabupaten Sleman, dan Pemerintah Kabupaten Bantul. Sektor Kerjasama Kartamantul adalah sektor urban. Sektor urban dipilih karena urgensi untuk menyelesaikan masalah dikawasan urban lebih tinggi. Sektor yang dikerjasamakan adalah sektor sampah, limbah cair, drainase, air bersih, transportasi dan jalan. Salah satu sektor yang diunggulkan dalam KAD Kartamantul adalah sektor sampah. Dimana cara untuk menyelesaikan masalah sampah adalah dengan membuat Tempat Pembuangan Sampah Terpadu (TPST) di Piyungan Bantul. Sektor sampah menjadi sektor unggulan karena dianggap menyelesaikan masalah sampah diketiga daerah. Untuk menjalankan Kerjasama, Sekretariat Bersama (Sekber) Kartamantul dibagi menjadi tiga lapis, yaitu tim pengambil keputusan, tim pengarah dan tim teknis.Setiap lapisan dijabat oleh pejabat publik yang setara. Pejabat publik yang menjabat pada tiap lapis manajemen kerjasama mengikuti jabatsan pada instansi pemerintahan. Dimana tim pengambil keputusan dijabat oleh Walikota dan Bupati. Tim pengarah diisi oleh Sekda, Bappeda, serta Badan keuangan. Dan tim Teknis diisi oleh dinas terkait sektor kerjasama. Sekber Kartamantul dipimpin oleh ketiga Sekda, yang diketuai oleh salah satu Sekda. Ketua Sekber akan berganti setiap dua tahun sekali. Ketua Sekber dipilih secara musyawarah oleh tim pengarah, yaitu Sekda, Bappeda, dan Badan Keuangan Daerah. Ketika masa jabtan ketua telah habus, ketua sekber akan digantikan oleh sekda lain yang dilipih secara musyawarah. Kewenangan Ketua Sekber adalah memlegalisasi keputusan bersama. Sedangkan rumusan masalah yang di ambil adalah “Apakah sistem kepemimpinan Sekretariat Bersama Kartamantul mampu menjaga keberlanjutan kerjasama?” Motede penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara mendalam kepada informan terkait. Data yang didapat dari informan akan diguanakns ebagai data primer.
53
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
Pencarian data juga dilakukan dengan menelaah dokumentasi, terutama dari penelitian-penelitian sebelumnya, yang akan digunakan sebagai data sekunder. Data diuji dengan melakukan analisis silang dengan informan lain. Kerangka kerjasama kartamantul sangat mengedepankan prinsip kerjasama, yaitu keseimbangan kekuatan dan dilakukan bersama-sama. Namun karena sangat mengedepankan prinsip tersebut, kinerja kerjasama menjadi tidak efektif. Sebagai contoh adalah pengambilan keputusan memakan waktu yang lama. Interaksi yang terjadi dalam KAD Kartamantul merupakan interaksi yang dinamis dan ajeg. Dengan begitu pertukaran informasi akan terur terjadi. Pertukaran informsi yang dinamis dan ajeg tersebut menimbulkan rasa kebersamaan yang sangat berguna sebagai modal sosial dalam kerjasama. Kekuatan yang terdapat dalam kepemimpinan Sekber Kartamantul dapat dikatakan seimbang. Terdapat pertemuan rutin yang meningkatkan pertukaran informasi. Keputusan yang diambil harus dilakukan secara bersama, dan harus disetujui oleh ketiga daerah. Tidak ada insentif dan disinsentif karena dapat menimbulkan kecemburuan dan eksklusifitas. Terakhir kewenangan antar aktor sama, terutama dalam proses pertanggung jawaban materil karena dana berasal dari ketiga daerah. Dengan begitu tidak ada aktor yang lebih baik dibandingkan aktor lainnya. Sistem yang digunakan dalam KAD Kartamantul membuat semua aktor berada di posisi yang sama. Peran anggota non-pemimpin, dalam Sekber Kartamantul adalah Sekda yang tidak menjabat sebagai Ketua Sekber sangat kuat. Tidak hanya kontrol, masukan dari sekda juga didengar karena mekanisme pengambilan keputusan yang menggunakan cara musyawarah. Untuk menjamin kontrol dan masukan, keputusan yang diambil memerlukan persetujuan dari ketiga daerah. Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa Kepemimpinan Sekber Kartamantul sudah mengedepankan prinsip kerjsama yang dapat membuat kerjasama berkelanjutan. Namun kerjasama tersebut kurang efisien karena mengedepankan prinsip kerjasama. Proses pengambilan keputusan cenderung memakan waktu yang lama. Serta kerjasama akan susah berkembang karena keputusan yang diambil memerlukan persetujuan dari ketiga daerah. Agar mengetahui kinerja kepemimpinanm perlu diteliti lebih lanjut hubungan Sekda atau tim pengarah dengan tim teknis.
54
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
PERAN PEMERINTAH DALAM PENEGAKAN ATURAN KEAMANAN DAN KESELAMATAN LALU LINTAS DI KABUPATEN SLEMAN Wafiyatuz Zahroh Posisi Kabupaten Sleman yang cukup strategis dalam berbagai aspek membuat kepadatan lalu lintas di kabupaten Sleman juga cukup tinggi. Oleh karenanya Kabupaten Sleman memiliki tingkat kecelakaan lalu lintas tertinggi di antara semua kabupaten/kota se DIY selama kurun waktu 2011-2013 (DIY dalam Angka 2012-2014). Sementara itu, spirit kemanan dan keselamatan lalu lintas di Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Tahun 2009 (UU LLAJ) semakin dipertegas melalui pembagian wewenang antara stakeholder yang lebih jelas dan upaya menggandeng masyarakat. Bagaimana peran Pemerintah Kabupaten Sleman dalam upaya penegakan aturan keselamatan lalu lintas di Kabupaten Sleman? Bagaimana penerimaan masyarakat terhadap UULLAJ di Kabupaten Sleman? Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif deskriptif dengan lokasi penelitian di Kabupaten Sleman. Adapun Subjek dari penelitian ini dipilih secara purposive. Subjek penelitian dari pemerintah adalah Polres Sleman dan Dishubkominfo Kab. Sleman serta pengguna jalan yang diwakili oleh sebagian mahasiswa UGM. Pengumpulan data dilakukan melalui teknik wawancara, kuirsioner, observasi, serta dokumentasi. Analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah model analisis interaktif (interactive model of system) yang dikemukakan oleh Miles dan Hebermas (1992). Pemerintah, dalam hal ini adalah Satlantas Polres Sleman dan Dishubkominfo Kabupaten Sleman telah melaksanakan perannya dalam penegakan aturan keamanan dan keselamtan lalu lintas jika dilihat dari pelaksanakan fungsi-fungi pemerintahnya. Namun demikian Satlantas Polres Sleman lebih banyak berperan dalam pengawasan, termasuk di dalamnya penegakan hukum. Sedangkan Dishubkominfo Kabupaten Sleman lebih banyak berperan dalam pelayanan. Hal ini telah sesuai dengan posisi kedua lembaga tersebut. Kepolisian merupakan lembaga kemanan dan penegak hukum, sedangkan Dishubkominfo yang merupakan bagian dari jajaran birokrasi merupakan salah satu ujung tombak pelayanan bagi masyarakat. Adapun dalam hal pelaksanaan fungsi pemberdayaan, Dishubkominfo Kabupaten Sleman melaksanakan fungsi pemberdayaan dengan melibatkan masyarakat dalam memberikan masyarakat kesempatan untuk memberikan
55
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
masukan dan terlibat dalam perencaaan berbagai kegiatan. Tidak banyak dalam pelaksanaan. Sedangkan Satlantas Polres Sleman banyak mengakomodasi peran aktif masyarakat lewat berbagai kegiatan lapangan, misalnya lewat penjagaan eventevent tertentu, patroli sekolah, pelibatan pramuka dengan saka bhayangkaranya, dan lain sebagainya. Meskipun pada dasarnya Dishubkominfo dan Satlantas Polres Sleman memiliki tugas-masing-masing dalam upaya mewujudkan keamanan dan keselamatan lalu lintas, masih ada kegiatan atau program yang sama-sama dilakukan dalam praktik pelaksanaan tugas kedua lembaga tersebut. Hanya saja, dengan perbedaan tugas utama yang cukup jelas dari masing-masing lembaga membuat hal tersebut tidak begitu banyak menimbulkan permasalahan. Adapun mengenai penerimaan masyarakat, Penelitian yang dilakukan terhadap sebagian mahasiswa UGM untuk mewakili pengguna jalan di Kabupaten Sleman menunjukkan bahwa pada dasarnya secara umum para responden mengetahui dan cukup memahami aturan keamanan dan keselamatan lalu lintas. Selain itu, pada umumnya mereka juga mendukung dan mengakui pentingnya aturan tersebut. Namun demikian, pelanggaran lalu lintas masih banyak dilakukan dengan berbagai faktor pendorong, diantaranya karena padatnya lalu lintas, untuk efisiensi waktu, karna tergesa-gesa, dan proses birokrasi dalam pengurusan dokumen kendaraan dan pengendara yang masih sulit dan cukup berbelit-belit. Untuk penelitian selanjutnya, perlu diadakan penelitian yang lebih mendalam dengan responden yang banyak dan berfariatif terkait penerimaan (kepatuhan) pengguna jalan agar menemukan hasil yang lebih komprehensif. Selain itu, upaya pemberdayaan masyarakat yang dilakukan pemerintah ada baiknya untuk lebih disorot dalam penelitian-penelitian selanjutnya, untuk mendorong pemerintah lebih banyak melaksanakan pemberdayaan masyarakat
56
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
RISET JURUSAN - MAHASISWA:
KAJIAN PERKOTAAN
57
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
58
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
AKTOR NON-NEGARA DAN URBAN HERITAGE TOURISM Ario Wicaksono, M. Si Aktivitas wisata memiliki berbagai pilihan kategori, salah satunya adalah wisata minat khusus. Jenis wisata ini memiliki karakter yang spesifik baik menyangkut profil wisatawan maupun destinasinya. Salah satunya adalah wisata minat khusus bangunan cagar budaya dan kawasan pusaka perkotaan (urban heritage tourism). Jenis wisata ini semakin menemukan aktualitasnya beriringan dengan semakin menguatnya keinginan untuk memunculkan dan memperkuat kembali identitas kolektif dan kontinuitas nilai antara masa lalu dengan masa sekarang. Sifatnya yang tidak masif dan konvensional, menjadikan wisata minat khusus memiliki karakter yang khas, karena walaupun tidak memiliki dampak keuntungan ekonomi yang signifikan namun sangat esensial untuk meninjau kembali konstruksi sosial dan memori kolektif masyarakat setempat maupun wisatawan yang bersangkutan. Dan ketika berbicara tentang urban heritage maka tidak bisa dilepaskan dari peran aktor non-negara, mengingat kepemilikan bangunan cagar budaya rata-rata berada di tangan privat (baik kepemilikan atas nama pribadi maupun oleh kolektif dan korporat), sehingga partisipasi aktor tersebut kemudian menjadi sangat esensial untuk diperhitungkan. Penelitian ini mencoba untuk mengelaborasi peran dari beberapa aktor nonnegara, baik individu, komunitas maupun korporasi, dalam pengelolaan bangunan cagar budaya dan kawasan pusaka yang dimilikinya sebagai obyek wisata minat khusus. Beberapa kajian teoritis tentang Pusaka Kota (Urban Heritage) dan Wisata Pusaka Kota (Urban Heritage Tourism) akan digunakan untuk memberikan kerangka terhadap penelitian sekaligus sebagai pisau analisis dalam mencermati data. Pendekatan kualitatif digunakan untuk mendalami persepsi, pendapat dan posisi masing-masing aktor terkait isu tersebut. Secara umum temuan penelitian mengarahkan pada fakta bahwa dinamika serta variasi peran dari aktor non-negara antara lain sangat tergantung dari konteks lingkungan dimana cagar budaya tersebut berada. Penelitian dilakukan di tiga tempat: 1). Kawasan Kotagede-Yogyakarta; 2). Kawasan Kraton dan TamansariYogyakarta; 3). Kawasan Kota Tua Jakarta. Di Kawasan Kotagede, peran komunitas dan tokoh-tokoh kunci di dalamnya sangat signifikan, sehingga dapat dikategorisasi sebagai wisata berbasis komunitas. Terdapat kesepakatan bahwa wisata Kotagede adalah wisata yang berbasis pada nilai pelestarian, dimana aspek komersial hanya menjadi efek samping. Selain itu kegiatan wisata dilakukan tidak secara massal
59
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
(mass tourism) namun customized dengan kebutuhan peminat. Kegiatan wisata lebih mengutamakan aspek harmoni dengan nilai setempat serta pengalaman (experience) kehidupan keseharian masyarakat lokal, dan wisata dimaknai sebagai aktivitas pengembangan budaya mengikuti prinsip living heritage yang mengutamakan pengalaman yang otentik terhadap potensi dan kearifan lokal. Variabel penting yang membentuk pilihan sikap ini adalah keyakinan religius masyarakat lokal yang sangat menjunjung tinggi penghormatan kepada nilai-nilai kesakralan tempat, perilaku individu dan privasi pemilik properti. Selain itu sumber utama penghidupan warga lokal yang berasal dari sektor lain menjadikan nilai komersial tidak menjadi orientasi. Sementara itu di Kawasan Kraton, khususnya Tamansari, telah lama berkembang beberapa komunitas pengrajin industri kreatif seperti lukisan batik dan usaha pemandu wisata. Selain itu dalam beberapa waktu belakangan ini juga telah diinisiasi kampung wisata yang dikelola masyarakat lokal. Pengembangan kawasan wisata Tamansari sangat tergantung dari kebijakan Kraton sebagai pemilik kawasan. Tamansari cenderung tidak dapat menikmati dinamika seperti di Kotagede dikarenakan setiap aktivitas pemanfaatan kawasan harus sesuai dengan kebijakan Kraton. Bukan saja di level komunitas namun hal yang sama juga dialami oleh unit pengelola Kraton dan Tamansari, yaitu kantor Unit Pelaksana Teknis di bawah Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) DIY, yang merasakan perlunya kolaborasi yang lebih erat dan konstruktif dengan pihak Kraton. Namun pilihan sikap Kraton dalam beberapa hal dan dalam derajat tertentu dapat dimaklumi dan dimaknai sebagai upaya untuk menjaga nilai-nilai, aspek simbolis dan kesakralan dari kawasan, sebuah sikap yang pada dasarnya kurang lebih sama dengan yang diambil oleh masyarakat Kotagede. Temuan di kawasan Kota Tua Jakarta juga menarik untuk dicermati. Pengelolaan kawasan kota tua di Jakarta tidak dapat dilepaskan dari konsorsium 9 perusahaan yang diinisiasi oleh pengelola kawasan industri Jababeka melalui PT Jakarta Old Town Revitalization Company (JOTRC). Apabila JOTRC lebih berorientasi pada perbaikan fisik dan infrastruktur kawasan, maka “wajah lain” dari konsorsium adalah lembaga bernama JEFORAH (Jakarta Endowment for Art and Heritage) yang bertanggungjawab untuk membangkitkan “ruh” atau aktivitas yang melibatkan pemangku kepentingan non-komersial seperti budayawan, seniman, arsitek dan pihak pemerintah. Motivasi utama yang menggerakkan inisiatif ini adalah keprihatinan melihat wajah kota tua yang tidak terkelola dibandingkan dengan kawasan berkarakter serupa di negara lain. Kasus Jakarta menjadi sangat menarik karena inisiasi dilakukan oleh korporasi. Pada awalnya memang terdapat kecurigaan terhadap motif komersial di belakang inisiatif tersebut, namun seiring dengan
60
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
berjalannya waktu dan serangkaian pembuktian, korporasi mampu menjawab keraguan dengan menunjukkan bahwa sektor privat adalah aktor yang dapat diandalkan dalam menjalankan misi pengembangan budaya dan pariwisata. Hambatan yang sering muncul justru terkait dengan kesulitan pemerintah dan BUMN pemilik mayoritas bangunan cagar budaya untuk menembus keruwetan sistem birokrasi internalnya agar dapat berjalan beriringin dalam langkah yang sama cepatnya dengan konsorsium. Selain temuan di atas, terdapat juga beberapa kecenderungan umum yang teridentifikasi yang kemudian setidaknya dapat disimpulkan bahwa: 1). Aktor nonnegara memiliki kontribusi yang sangat signifikan dalam menterjemahkan dan mengimplementasikan gagasan pengembangan (kawasan) cagar budaya sebagai destinasi dan atraksi wisata, tentu saja sesuai dengan nilai, kepentingan dan konteks lingkungan yang membentuk eksistensi mereka; 2). Cetak biru yang jelas sangat diperlukan untuk membantu masing-masing aktor menemukan perannya secara optimal. Peta jalan (roadmap) yang sudah ada, seperti di kawasan Kotagede dan Kota Tua Jakarta, perlu mendapatkan komitmen yang kuat dari para pihak untuk mewujudkannya, terutama dari aktor pemerintah yang dirasa masih dapat lebih optimal berperan dibandingkan dengan apa yang dilakukan sekarang; 3). Dibutuhkan kelembagaan yang inklusif dan memiliki peran yang tegas untuk mengelola aktivitas yang berbasis kolaborasi antar pemangku kepentingan. Dalam rencananya, kawasan Kotagede dan Kota Tua Jakarta akan dikelola oleh badan pelaksana tersendiri yang sayangnya sampai sekarang belum dapat mewujud. Dari ketiga kawasan tersebut, terlihat bahwa kawasan Kraton dan Tamansari belum begitu terlihat gerak majunya, walau sudah ada masterplan revitalisasi kawasan, sehingga peran signifikan dari Kraton sangat perlu untuk dilihat kembali. Terkait dengan temuan-temuan tersebut, maka rekomendasi yang dapat diberikan adalah: 1). Memastikan dalam cetak biru dan peta jalan termuat aspek pengembangan kawasan yang integratif, tidak saja secara fisik namun inklusif pemangku kepentingan; 2). Melakukan percepatan penataan kelembagaan dan tata kelola yang berbasis pada prinsip kolaboratif dan berorientasi pada misi.
61
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
HETEROTOPIA: PENAKLUKAN RUANG PUBLIK SECARA KREATIF DI KOTA YOGYAKARTA Dr. Arie Setyaningrum Pamungkas, MA Pada dasarnya penelitian ini menggunakan pendekatan etnografi dengan melakukan 3 studi kasus sebagai perbandingan di dalam merespon kebutuhan atas ‘ruang publik’ di perkotaan khususnya di kota Yogyakarta. Penelitian ini ditunjang pula oleh arsip dan data sekunder yang berkaitan dengan ketiga studi kasus, serta pembahasan hasil temuan penelitian dengan menggunakan metode analisis wacana. Penelitian pada studi kasus pertama difokuskan pada sejarah gerakan masyarakat sipil yang secara kreatif mengokupasi – atau menduduki secara langsung ruang publik semisal dengan aktivisme yang dilakukan oleh komunitas Warga Berdaya yang pada awalnya merintis Gerakan Jogja Ora Didol melalui kegiatan Merti Kutho dan Merti Kampung di kota Yogyakarta. Sasaran dari penelitian ini adalah para seniman dan aktivis yang mengokupasi ruang publik sebagai bentuk ekspresi mereka untuk mengembalikan ingatan kolektif warga atas kebutuhan bersama mereka pada ruang publik yang nyaman dan melintasi kelas-kelas sosial atau bersifat plural. Penelitian pada studi kasus yang kedua dilakukan adalah observasi, pengamatan dan wawancara dengan para subyek partisipan dengan mengambil contoh salah satu wilayah perkampungan di kota Yogyakarta, yakni di Kelurahan Karangwaru yang secara swadaya telah melakukan suatu praktek spatial secara terorganisir dan melembagakannya menjadi suatu Program Penataan Pemukiman Berbasis Lingkungan (PLBK). Praktek spatial yang melibatkan kinerja swadaya (volunterisme) warga di Kelurahan Karangwaru merupakan suatu respon lokal atas masalah urbanisme khususnya dalam menanggapi kebutuhan dengan menciptakan ‘ruang publik’ baru di kampung mereka dengan memanfaatkan dan merenovasi daerah aliran sungai. Penelitian pada studi kasus ini mencermati bagaimana masyarakat mempraktekkan secara langsung kebutuhan atas ruang publik yang mereka maknai bersama dan dampak yang terjadi setelah proses swadaya itu berhasil (sukses) sehingga menjadi proyek percontohan dan mendapat intervensi dari pemerintah Kota. Studi kasus ketiga berkenaan dengan diseminasi wacana tentang ruang publik melalui aktivisme dan seni yang dilakukan oleh Yayasan Biennale Yogyakarta melalui kegiatan paralel events yang melibatkan peran dan partisipasi warga khususnya yang di wilayahnya mengalami proses urbanisasi dan terdampak baik
62
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
secara spatial, secara sosial, maupun secara kultural. Secara khusus, studi kasus ketiga ini memanfaatkan momentum penyelenggaraan event pameran seni rupa yang diadakan setiap dua tahun sekali di Kota Yogyakarta, yakni Biennale yang pada tahun 2015 ini merupakan penyelenggaraan untuk ke 13 kalinya. Selain penelitian yang berbasis secara etnografis yang dilakukan selama 6 bulan (Mei-Oktober 2015), penelitian ini juga didukung oleh beberapa penelusuran arsip-arsip mengenai keberadaan ruang publik dalam sejarahnya di kota Yogyakarta dan dokumentasi serta arsip gerakan masyarakat sipil dalam upaya mengokupasi – perebutan ruang publik oleh beberapa komunitas. Analisis data atas temuan-temuan dari studi etnografi dan pengumpulan data sekunder yang saya lakukan melalui 3 studi kasus ini, saya analisis ke dalam tiga aspek pembahasan utama tesis mengenai ‘produksi ruang sosial dan heterotopia’ dengan membandingkan aspek-aspek temuan sebagai berikut: (1).
Okupasi dan Politik Ruang Publik.
Studi kasus yang pertama berkenaan dengan aktor – dalam gerakan sosial yang mengupayakan suatu bentuk advokasi politik untuk mengembalikan fungsi ruang publik secara ideal. Upaya yang dilakukan adalah aktivisme dengan ‘pendudukan secara temporer’, pewacanaan ruang publik, mobilisasi dukungan dan kampanye, serta akselerasi ruang publik melalui pemanfaatan sosial media.
(2).
Praktek Spatial, Kreativitas dan Inisiatif Warga
Sedangkan studi kasus yang kedua berkenaan dengan basis komunitas yang mengakar di wilayah perkampungan – dimana bentuk-bentuk advokasi dan gerakan sosial tidak menjadi pilihan strategi untuk mensiasati ‘lenyapnya’ ruang publik – melainkan suatu respon yang tak terhindarkan bagi para warga khususnya di perkampungan untuk menciptakan ruang spatial-nya sendiri secara kolektif dan gotong royong yang mereka lakukan secara bersama-sama untuk mensiasati alih fungsi ruang publik perkotaan untuk menghindarkan konflik sosial secara horizontal.
(3).
Wacana mengenai Pedagogi Ruang dan Waktu: Seni dan Partisipasi Sosial mengenai Ruang Publik
Studi kasus yang ketiga berkenaan dengan bagaimana aktivisme dan praktek yang melibatkan kreativitas dan partisipasi sosial. Kreativitas ini berkenaan dengan praktek estetis yang berpengaruh pada pewacanaan mengenai praktek spatial. Pedagogi ruang dan waktu berkenaan dengan strategi pewacanaan yang melibatkan partisipasi sosial dan berdampak pada
63
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
bagaimana publik mendapatkan pembelajaran untuk mengembangkan praktek spatial yang berdampak pada relasi sosial mereka. Dalam kegiatan penelitian ini, observasi, penelitian lapangan etnografis telah berjalan mulai bulan Mei dan berlangsung hingga akhir bulan Oktober 2015. Pembahasan atas ketiga aspek mengenai produksi ruang sosial dan praktek ruang heterotopik akan dibahas dalam bab penutup dan kesimpulan hasil penelitian yang juga melibatkan metode analisis wacana.
64
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
AKTIVISME WARGA: Aksi Penolakan Pembangunan Hotel dan Apartemen di Perkotaan Yogyakarta Derajad S. Widhyharto, M.Si Maraknya aksi penolakan pembangunan hotel dan apartemen tiga tahun terakhir di perkotaan Yogyakarta, di satu sisi memperlihatkan kepekaan dan kepedulian warga terhadap kondisi lingkungan dan pembangunan perkotaan. Di sisi lain, pembangunan hotel dan apartemen tersebut dianggap bertentangan dengan nilai dan norma warga Yogyakarta itu sendiri. Praktiknya memunculkan aktivisme warga, yakni upaya perlawanan yang dilakukan oleh warga sekitar untuk menolak pembangunan hotel dan apartemen di perkotaan Yogyakarta. Adapun yang menjadi salah satu simpul aktivisme warga adalah munculnya wacana kota “pagar” yang direpresentasikan oleh terbangunnya hotel, apartemen, mal, hunian eksklusif dan sebagainya. Resikonya terjadi krisis lingkungan, berupa ancaman susutnya air tanah, banjir, rusaknya sanitasi, individualisme dan lain-lain. Hal tersebut menjadi penanda sekaligus pertanda pembatas kehidupan antar warga, dan bertentangan dengan pembangunan perkotaan Yogyakarta yang mengacu pada konsep memayu hayuning bawono yakni sebuah konsep penciptaan kesejahteraan di dunia dan hidup selaras dengan Tuhan maupun sesama. Merespon hal tersebut peneliti yang tergabung dalam Urban Movement Research Group (UMRG), Jurusan Sosiologi, Fisipol UGM. Yakni sebuah kelompok riset dosen dan mahasiswa Keluarga Mahasiswa Sosiologi (KMS) yang melakukan pemetaan aktivisme warga dalam aksi penolakan pembangunan hotel dan apartemen di perkotaan Yogyakarta. Setidaknya ada dua pertanyaan penelitian yang ingin di jawab dalam topik tersebut. Pertama, apa yang menjadi momentum terciptanya penolakan warga terhadap pembangunan hotel dan apartemen. Kedua, bagaimana bentuk aktivisme yang dilakukan warga sekitar lokasi pembangunan hotal dan apartemen tersebut. Studi ini menganggap penting untuk memahami simpul dan mengetahui bentuk aksi penolakan masyarakat sekitar lokasi pembangunan hotel dan apartemen. Mengingat Yogyakarta menjadi salah satu kota yang menjadi barometer politik, sosial, budaya, dan gerakan sosial nasional. Secara metodologis studi ini merujuk pada pendekatan mixed method atau lazim disebut campuran. Adapun strategi samplingnya menggunakan snowball, yakni wawancara mengalir sesuai rekomendasi responden dan informan warga
65
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
yang dianggap terdampak langsung di lokasi pembangunan hotel dan apartemen. Pendekatan tersebut dianggap dapat mewakili dinamika aktivisme dan kompleksitas persoalan warga perkotaan yang tidak mudah dilihat dari satu sisi saja. Pendekatan tersebut juga dianggap tepat untuk memberikan ilustrasi dan penyajian berupa angka dan narasi untuk saling memperkuat analisis dalam rangka menjawab pertanyaan penelitian. Temuan menunjukkan bahwa momentum aksi penolakan bukan sekedar melakukan penolakan biasa tapi berkembang menjadi aksi penolakan yang sistematis yang berproses dari Bawah atau murni inisiatif dari warga. Beberapa aksi tersebut ditandai dengan 1) terbentuknya forum komunikasi warga, 2) Meluaskan jejaring civil society, 3) Membentuk strategi aksi, 4) Memanfaatkan media sosial, 5) Demonstrasi dan aksi Kesenian, 6) Memasang spanduk penolakan, 7) Audiensi dengan lembaga legislatif dan eksekutif. Selanjutnya, bentuk aktivisme warga dilakukan dengan dua strategi yang off line dan on line secara bersamaan, dua dimensi tersebut menjadi konsep dan praktik baru aktivisme warga dalam aksi penolakan pembangunan hotel dan apartemen di perkotaan Yogyakarta. Bentuk off line terlihat melakukan demonstrasi, membuat forum komunikasi warga, audiensi dengan DPRD dan wakil Pemerintah, langkah hukum, demonstrasi “Mencari Haryadi”, aksi teatrikal, dan riset bersama kalangan akademisi. Sedangkan, on line dilakukan dengan membuat film belakang hotel dan menyebarkannya secara viral di Youtube, membuat account media social facebook, twitter, dan instagram dan berbagai #hastag aktivisme melalui jargon @warga berdaya, #jogja ora didol, #jogja asat. Aktivisme tersebut menguatkan kesadaran kritis warga lainnya seperti komunitas, mahasiswa, LSM, kelompok riset, dll melakukan aktivisme on line dengan membuat account dan hastag serupa seperti @jogjaberpagar, @kawanhijaujogja, @kotanyamanusia, @PetarungKota, @ KaryaTanpaBatas dan sebagainya. Studi ini merupakan kajian awal untuk melihat momentum, bentuk maupun variasi aktivisme warga, studi ini diharapkan dapat mengkayakan diskusi bergenre urban movement. Studi ini mempunyai peluang pengembangan yang kritis dan strategis bagi formulasi kebijakan pembangunan perkotaan. Adapun tiga tawaran pengembangan tersebut adalah: Pertama, secara metodologis studi ini belum menerapkan metode mixed method secara utuh, sehingga masih relevan, jika mixed method dikembangkan untuk merespon fenomena gerakan perkotaan yang semakin kompleks. Kedua, secara substansi studi ini merupakan studi pembuka untuk melakukan pendalaman ketika aktivisme warga tersebut berubah menjadi
66
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
sebuah gerakan sosial dan politik sehari-hari. Ketiga, pengembangan substantif penting untuk mengekplorasi hubungan aktivisme warga dengan konsep besar demokratisasi dan global citizenship, mengingat fenomena aktivisme warga tidak hanya terjadi di Yogykarta dan Indonesia saja.
67
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
ELITISM : ORIENTASI ELIT LOKAL TERHADAP PROSES PEMBANGUNAN APARTEMEN UTTARA DI PADUKUHAN KARANGWUNI, SLEMAN, YOGYAKARTA 2015 Kreshna Manggala Putra Elite tidak selalu diartikan sebagai individu atau kelompok berkuasa yang terjaring dalam kekuatan birokrasi pemerintahan. Melainkan Elite juga dapat berupa golongan individu atau kelompok diluar kekuatan struktural tersebut. Seperti eliteelite massa, gerakan, dan kelompok-kelompok terorganisir lainnya yang berupaya untuk mewujudkan adanya perubahan tatanan sosial baru juga dapat diartikan sebagai elite. Kekuatan Elite pada aras lokal juga tidak kalah pentingnya dengan kekuatan elite pada aras global, nasional maupun regional. Menilai bahwasannya permasalahan lokalitas juga sebagai faktor penentu utama dalam menanggapi tawaran-tawaran perubahan sosial dari level diatasnya. Menganalogi, peranan Elite lokal sebagai garda terdepan keputusan-keputusan pengaruh dari pusatnya. Studi ini berupaya untuk menjelaskan keberadaan dari kedua dimensi Elit lokal itu, mengenai proses terbentuknya kelas-kelas elit tersebut, hubungan keterkaitan antara kelas elit keduanya, dan dinamika pengaruh elit lokal pada kasus yang dipilih. Adapula yang menjadi perhatian pada penelitian ini adalah pada kasus pembangunan apartemen Uttara (15 lantai dan 3 Basement) di Padukuhan Karangwuni Sleman, Yogyakarta yang masih tengah berlangsung pada 1-2 tahun terakhir ini. Dinamika yang terjadi di Padukuhan Karangwuni tersebut menjadi perbincangan hangat ditengah hiruk pikuk kesibukan urban. Pemukimannya yang dipenuhi berbagai tempat-tempat usaha dan letaknya yang strategis mencerminkan adanya kepadatan ruang fisik maupun sosial-ekonomi. Akses pada aktivitas pendidikan pada kampus ternama seperti UGM, UNY dan tempat-tempat wisata lainnya di Sleman, tidak mengherankan proyek apartemen Uttara tersebut sangat strategis dihadirkan ditengah pemukiman warga Karangwuni sebagai solusi hunian masyarakat pendatang. Namun, Kompleksitas atas permasalahan yang timbul pada warganya seperti kekhawatirannya terhadap ancaman dampak lingkungan disekitar pembangunan mengalami dinamika yang cukup mendapat perhatian publik. Mencuatnya pemberitaan keberadaan aksi penolakan oleh warga setempat terhadap pembangunan apartemen berupa demonstrasi, dan insiden kriminalisasi warga memantik aksi progresif warga melayangkan penolakannya hingga level regional di kabupaten Sleman. Bahwasannya eskalasi konflik yang terwujud di level lokalnya tersebut sudah tidak terbendung lagi hingga level pusatnya.
68
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
Berdasarkan lingkup topik yang peneliti angkat tersebut, peneliti menggunakan pendekatan Kualitatif (Qualitatif) sebagai metodologi penelitian peneliti. Karenanya untuk melihat dimensi elit ini peneliti dituntut harus terjun ke lapangan (dalam kurun waktu tertentu) dan melakukan observasi serta wawancara mendalam peneliti gunakan sebagai teknik metode penelitian terhadap elit-elit yang bersangkutan untuk melihat orientasi-orientasi mereka terhadap pembangunan apartemen Uttara. Penelitian ini peneliti lakukan dalam jangka waktu 6 Bulan dari bulan Mei-November 2015. Adapun Informan yang berhasil peneliti jaring informasinya adalah sejumlah 8 orang. ( 2 Elite Dusun dan 6 Elite Kelompok Penolak) yakni, Pendekatan ini peneliti rasa cocok untuk melakukan riset semacam ini karena menuntut peneliti untuk melakukan riset Face to face yaitu bertatap muka dan berbicara langsung dengan elit-elit tersebut. Pada praktiknya, dari dinamika kasus diatas, secara lokal di Padukuhan Karangwuni terdapat 2 kelas Elit yang berseteru antar sesamanya. Yakni antara elitelit dusun (Dukuh, RT / RW) sebagai perangkat pelayan warga dengan elit-elit massa yang terorganisir dalam kelompok Penolakan Warga Karangwuni Tolak Apartemen Uttara (PWKTAU) . Perseturuan antara kedua kelas elit ini mewujudkan adanya kontestasi ‘Duel Elite’ terhadap pembangunan Apartemen Uttara. Polemik yang tercermin adalah pada urusan perizinan pembangunan berupa izin dari kolektifitas warga padukuhan, dan berita acara sosialisasi pembangunan yang diakomodir oleh elit-elit dusun dan perangkat desa dirasa tidak merepresentasikan penolakan dari kelompok elite-elite massa tersebut. Kasus ini juga menghasilkan kelompokkelompok yang Pro dan Kontra terhadap pembangunan. Agenda sosialisasi tersebut diyakini sebagai munculnya kelas-kelas elit baru sekaligus menjadi pernyataan sikap untuk menolak maupun mendukung pembangunan. Hal ini mewujudkan adanya ketimpangan demokrasi karena suara dan partisipasi dari kolektifitas warga dirasa belum setuju sepenuhnya dan memperlihatkan pengaruh antara hubungan negara, pasar dan masyarakat. Topik ini menjadi penting untuk dikaji mengingat permasalahan lokalitas juga tidak kalah vital dengan kompleksitas permasalahan pada skala pusat maupun regional. Justru lokalitas menjadi penentu sikap dan arah pembangunan yang lebih luas kedepannya. Melihat pada dinamika bentuk dan dimensi pada elit-elit lokal tersebut, memberi wawasan bahwa keberadaan elite-elite pada pada lingkup lokal cukup dapat memberikan pengaruh yang vital bagi penentu keberlanjutan tatanan sosial maupun fisik di wilayahnya. Mengingat aspek partisipasi dalam keberlanjutan kehidupan berdemokrasi, pembangunan menjadi lebih bernilai adanya dan menggambarkan kita pada realita pemahaman terhadap pengaruh dominasi kapital
69
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
yang dilihat dari hubungan negara, pasar dan masyarakat. Sehingga rekomendasi yang tepat dalam kajian permasalahan-permasalahan sosial urban ada sangat baiknya untuk melihat pada dimensi partisipasi masyarakat dan dimensi kapital dalam perencanaan kota untuk selanjutnya.
70
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
MENGGUGAT RUANG PUBLIK MELALUI GERAKAN MASYARAKAT URBAN: Studi Kasus Gerakan Warga Berdaya Yogyakarta Hamada Adzani Mahaswara Ruang publik Yogyakarta menjadi persoalan yang ramai diperbincangkan dalam tiga tahun terakhir. Ruang publik sebagai ruang milik warga, kini berubah fungsinya, menghilang dan digantikan bangunan-bangunan baru yang dianggap tidak merepresentasikan identitas Yogyakarta. Ruang-ruang spasial yang sebelumnya kosong, diperebutkan oleh berbagai pihak. Diantaranya adalah dominasi pembangunan permukiman baru, hotel, apartemen dan mall di berbagai sudut kota. Sementara itu billboard, baliho dan beragam spanduk memadati ruas-ruas jalan, menimbulkan sampah visual yang mengganggu mata. Berbagai upaya protes dilayangkan pada pemerintah karena mereka dianggap abai dalam memelihara kepentingan publik dan berpihak pada kepentingan tertentu. Salah satu yang masih terus konsisten hingga kini adalah Gerakan Warga Berdaya. Gerakan ini menyebut dirinya sebagai “inisiatif warga”—yang merupakan gabungan/kolektif dari individuindividu lintas disiplin di Yogyakarta. Mereka yang tergabung diantaranya berprofesi sebagai akademisi, seniman, arsitek, aktivis lingkungan, mahasiswa, warga kampung sekitar, dan anggota LSM. Beberapa pegiat yang hingga kini masih aktif diantaranya: Elanto Wijoyono (Jogja Heritage Community), Yoshi Fajar (Arsitek), Digie Sigit, Anti Tank dan Anang Saptoto (Seniman) serta Wahana Lingkungan Hidup (WALHI). Salah satu momentum yang menjadi cikal bakal gerakan ini adalah pergantian kepemimpinan dari Herry Zudianto ke Haryadi Suyuti pada tahun 2012. Beberapa program yang sebelumnya ada, ditiadakan oleh Haryadi. Sementara itu lolosnya izin pendirian bangunan di titik-titik kritis kota juga menjadi hal yang dipertanyakan oleh Warga Berdaya. Aktivitas pertama yang mereka lakukan adalah Merthi Kuta pada awal 2013. Menganalogikan aktivitas bersih-bersih desa yang kerap dilakukan oleh warga, anggota Gerakan Warga Berdaya mencoba mencatat permasalahan kota berdasarkan latar belakang keilmuan mereka. Aktivitas ini didokumentasi serta disebarluaskan ke berbagai media sebagai penanda bahwa masyarakat secara kritis memberikan aspirasinya pada kota. Gerakan Warga Berdaya menggunakan kesenian sebagai sarana penyadaran sekaligus upaya menarik simpati warga. Beberapa aktivitasnya antara lain Festival Seni Mencari Haryadi, penggambaran mural dengan gimmick “Ra Masalah Har!”, “Jogja Ora Didol” dan penyebaran tagar #JogjaAsat di berbagai
71
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
platform media sosial. Jogja Asat akhirnya diadaptasi menjadi film dokumenter bertajuk “Belakang Hotel” yang diputar di kampung-kampung untuk membangun kesadaran kritis warga mengenai dampak pembangunan bagi lingkungan sekitarnya. Secara formal-organisasional, Gerakan Warga Berdaya bukanlah gerakan yang memiliki struktur yang melakukan regenerasi setiap tahunnya. Gerakan ini dapat dikatakan sebagai inisiatif warga yang tumbuh secara organik. Warga Berdaya sesungguhnya merupakan semangat bahwa setiap warga di Yogyakarta merupakan manusia yang berdaya. Sekecil apapun peranannya, setiap warga bisa berkontribusi aktif bagi lingkungannya, sehingga Warga Berdaya sesungguhnya merupakan kita semua. Berdasarkan evaluasi aktivitas sepanjang kurun waktu 2012-2014 disadari bahwa selama ini aktivisme yang dilakukan cenderung bersifat eventual dan parsial. Dalam satu tahun ke belakang, strategi aktivisme berbasis event mulai dikurangi dan secara berkala, para pegiat Warga Berdaya mulai mengadakan workshop, pelatihan dan pengembangan kapasitas bagi warga yang terdampak pembangunan. Materi yang disampaikan pun beragam, mulai dari teknis evaluasi lingkungan sampai strategi pengorganisasian gerakan politik. Namun demikian, event dan sarana persebaran melalui budaya populer masih menjadi gimmick yang terus dipertahankan oleh Warga Berdaya dalam menarik empati warga. Melihat realita yang ada, sejumlah bangunan yang terus diloloskan izinnya mustahil untuk dilawan. Langkah terakhir yang bisa mereka lakukan adalah bertahan, beradaptasi dengan segala perubahan yang ada dan menuntut tanggung jawab korporasi bagi warga terdampak di sekitar area pembangunan.
72
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
RISET JURUSAN - MAHASISWA:
PERUBAHAN SOSIAL
73
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
74
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
PROSES AKULTURASI SITUS BUDAYADI KAWASAN PANTAI NGOBARAN MENUJU PENGEMBANGAN INDUSTRI PARIWISATA YANG RESPONSIF GENDER Drs. Suprapto, SU Salah satu unsur pembeda antara makhluk manusia dengan makhluk lain di dunia ini adalah adanya kepemilikan Kebudayaan. Setiap masyarakat di manapun, termasuk Indonesia selalu memiliki “Seven Universal Culture” berupa : (1) Sistem Peralatan dan Perlengkapan Hidup, (2) Sistem Mata Pencaharian, (3) Sistem Kemasyarakatan, (4) Sistem Bahasa, (5) Sistem Kesenian, (6) Sistem Religi, dan (7) Sistem Ilmu Pengetahuan (baca Koentjaraningrat, 1980). Keberadaan kebudayaan tersebut dimaksudkan sebagai salah satu pedoman perilaku dan sarana pengendali kehidupan manusia, agar di dalam kehidupan manusia didapati kondisi yang harmonis dan berada dalam kesetimbangan, atau sering disebut sebagai memiliki kualitas sistem sosial. Oleh R. Linton, dinyatakan bahwa kebudayaan merupakan : Petunjuk dalam hidup atau merupakan suatu petunjuk pokok mengenai peri-kelakuan dengan menetapkan ketentuan yang patut atau tidak patut tertuang dalam kehidupan masyarakat (dalam Soerjono Soekanto, 1990) Di dalam proses perkembangannya, kehidupan manusia makin lama semakin kompleks dan heterogen, sehingga kebudayaan pun menjadi beragam juga, dan keragaman ini akan dapat menjadi sumber konflik apabila tidak diatur secara sistemik di dalam suatu masyarakat demi mempertahankan keharmonisan dan kesetimbangan kehidupan bersama. Ujud dari kebudayaan itu sendiri ada yang berupa kebudayaan material (benda-benda hasil cipta, rasa, karsa manusia), akan tetapi ada juga yang bersifat imateriil (ide, gagasan, pendapat, sikap, perilaku) yang untuk mengekspresikan kebudayaan itu biasanya di dalam kehidupan manusia dilengkapi dengan media, sarana, atau arena untuk melakukannya, seperti : Sanggar tari, sanggar lukis, tempat ibadah, rapat antar warga, dan lain-lain. Keadaan seperti di atas ternyata di dapati pula di kawasan pantai ngobaran Gunung Kidul yang ternyata di sana ditemukan situs yang terdiri atas dua tempat ibadah dari agama yang berbeda, dan tempat peribadatan dari dua aliran kepercayaan berbeda, namun berada pada posisi berdekatan dan bahkan nyaris berdampingan.
75
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
Keberadaan dua tempat ibadah berlainan agama dan dua tempat ibadah berlainan kepercayaan yang berdampingan tersebut, sudah tentu telah mendatangkan daya tarik tersendiri bagi siapapun yang melihatnya, dan disertai tanda-tanya bagaimana hal itu dapat terjadi ? Suatu tempat ibadah lain agama dan lain kepercayaan, berada pada suatu tempat yang sangat berdekatan. Keberadaan situs kebudayaan tersebut sampai sekarang masih ada dan seharusnya berpotensi menjadi sumber konflik atau disharmoni di antara para pemeluk agama dan aliran kepercayaan, namun ternyata hal tersebut tidak terjadi sampai sekarang. Sepertinya ada faktor-faktor penyebab mengapa hal ini bisa terjadi. Lebih dari sekedar tempat ibadah, situs kebudayaan tersebut juga memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan sebagai salah satu obyek wisata yang ada di kawasan pantai ngobaran Gunung Kidul ini, karena disamping berguna bagi pelestarian kebudayaan, juga berguna bagi peningkatan pendapatan penduduk setempat pada khususnya, maupun pemerintah pada umumnya. Sudah disadari banyak pihak bahwa industri pariwisata merupakan salah satu sumber penyumbang devisa terbesar bagi suatu negara. Kabupaten Gunung Kidul merupakan kabupaten yang memiliki banyak tempat wisata pantai karena letak geografisnya berada di selatan dan berbatasan langsung dengan Samudera Hindia. Obyek wisata pantai yang terkenal di Gunung Kidul antara lain Pantai Baron, Pantai Kukup, Pantai Krakal, Pantai Indrayanti, Pantai Sundak, Pantai Siung, Pantai Ngrenehan, Pantai Ngobaran dan sebagainya. Minat wisatawan yang besar terhadap pantai di Gunung Kidul membuat bermunculan banyak pantai baru di sana. Salah satu pantai yang sedang berkembang dan mulai populer adalah Pantai Ngobaran yang terletak di Desa Kanigoro, Kecamatan Saptosari, Kabupaten Gunung Kidul. Pantai ini dikenal karena memiliki cerita sejarah tersendiri, sebagaimana disebutkan sebelumnya bahwa di tempat itu terdapat dua tempat ibadah lain agama, yaitu berupa pura atau tempat ibadah umat Hindu dan masjid atau mushola yang digunakan untuk tempat ibadah umat Islam dalam lokasi yang berdekatan. Hal menarik yang terdapat di sama adalah adalah : (1) Keberadaan tempattempat ibadah dari agama yang berbeda, (2) Kerukuman warga yang bertahan sampai sekarang, (3) Potensi wisata yang berkembang dari waktu ke waktu, (4) Keterlibatan kaum perempuan dalam mempertahankan eksistensi dan pengembangan obyek wisata, (5) Faktor-faktor yang membuat warga di sana tetap solid-integratif dalam mempertahankan kehidupan bersama di antara pemeluk agama yang berbeda..
76
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
Pantai Ngobaran sebagai salah satu pantai yang sedang berkembang dan banyak dikunjungi wisatawan memiliki potensi dalam bidang ekonomi yang memberi peluang bagi masyarakat untuk dapat berpartisipasi dalam kegiatan pariwisata. Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah : Bagaimana proses akulturasi situs budaya di kawasan pantai ngobaran dalam pengembangan industri wisata yang responsif gender ? Untuk menjawab permasalahan di atas, telah dilakukan penelitian terhadap para informan kunci, seperti : Camat, Staf Desa, Juru Kunci, Ketua Sadar Wisata, Tokoh Agama, Pedagang, Fotografer/pemandu wisata, sopir taksi, dan wakil pedagang, dengan menggunakan teknik observasi, wawancara mendalam, diskusi kelompook terarah, dan dokumentasi. Adapun hasil dari penelitian ini, secara singkat dapat dikemukakan sebagai berikut. 1. Data sekunder dari Kecamatan Saptosari maupun Kelurahan Kanigoro
2. Data primer yang diperoleh melalui observasi, wawancara mendalam, dan diskusi kelompok terarah, bersama : Bapak Camat, Pihak Kelurahan, Ketua Dasa Wisma Ngobaran, Juru Kunci, Tokoh Agama, Pelaku Pendukung Kegiatan Obyek Wisata (Pemilik rumah makan, Fotografer, Tukang Parkir, dan Sejumlah Wisatawan) 3. Diperoleh data bahwa dalam melakukan pengembangan wisata di kawasan Pantai Ngobaran, sudah didapati keseimbangan keterlibatan di antara kaum laki-laki dan Perempuan. 4. Keseimbangan sebagaimana dimaksudkan di atas telah memenuhi persyaratan: Akses Partisipasi, Kontrol, dan Manfaat atau yang dikenal sebagai Konsep APKM dalam studi Gender. Kesimpulan singkat yang dapat dirumuskan dalam laporan penelitian ini adalah antara lain meliputi beberapa hal sebagai berikut : 1. Kawasan Pantai Ngobaran betul-betul memiliki tempat ibadah yang saling berdekatan di antara agama yang satu dengan agama yang lain, tanpa mengalami benturan atau konflik. 2. Didapati bangunan berupa mushola yang kiblatnya tidak mengarah ke barat, akan tetapi ke selatan dan tidak menimbulkan proses di antara para warga atau antar pemeluk agama.
77
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
3. Didapati faktor perekat interaksi sosial (glue of social interaction) berupa kepercayaan terhadap jasa dan kekuatan Sosok Ratu Kidul sebagai Penguasa Laut Selatan yang dianggap telah banyak melakukan Perlindungan terhadap Kehidupan Masyarakat Setempat, sehingga pantas untuk dihormati, dengan membangun mushola yang arah imamnya di sisi selatan,bukan barat.. 4. Ketika para informan ditanya alasannya, mereka menjawab bahwa Tuhan itu ada dimana-mana, jadi menghadap kemanapun kita berdoa, maka Tuhan pasti ada. Itupun jika mau sholat maka arah nya tetap ke barat, silahkan lihat tanda arah panah yang yang dibuat masyarakat 5. Proses sosial pelaksanaan akulturasi budaya, nilai-nilai sosial, maupun norma sosial, dilakukan melalui cara formal dan non formal. a. Cara formal dilakukan melalui rapat-rapat rutin bulanan baik di tingkat kecamatan maupun kelurahan dan melalui upacara hari hari penting nasional. b. Cara non formal dilakukan melalui pertemuan selapanan warga, pertemuan kelompok sadar wisata, pertemuan karang taruna, pertemuan-pertemuan yang bersifat keagamaan, dan obrolan santai di saat gotong-royong maupun kerja bakti. 6. Sedangkan substansi akulturasi atau pewarisan budaya, nilai-sosial, dan norma sosial yang disampaikan adalah meliputi : (1). Urgensi menjaga persatuan dan kesatuan warga; (2) Toleransi dan tenggang rasa antar umat beragama; (3) Keyakinan bahwa Sosok Kanjeng Ratu Kidul adalah Pelindung dan Penyelamat warga masyarakat Kanigoro, maka pantas untuk dihormati.
78
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
POLA ADAPTASI PERUBAHAN IKLIM TERHADAP SEKTOR PERTANIAN DI INDONESIA Dr. Bevaola Kusumasari Isu perubahan iklim merupakan tantangan multidimensi paling serius dan kompleks yang dihadapi umat manusia pada awal abad ke-21. Semua negaranegara di dunia merasakan ancaman dan tantangan dari perubahan iklim dan pemanasan global ini yang terjalin erat dengan perilaku dan gaya hidup manusia, keputusan politik, pola pembangunan, pilihan teknologi, kondisi social ekonomi dan kesepakatan internasional. Dampak negatifnya menjadi cepat meluas dari tingkat global hingga ke tingkat lokal.Ketika suhu bumi semakin panas, pola curah hujan berubah drastic, iklim dan cuaca menjadi lebih ekstrem.Seringnya muncul bencana kekeringan, badai dan banjir maka gelombang panas dan kebakaran huttan makin banyak dan meluas. Pada suhu bumi yang mencapai titik panas tertentu, bongkahan es di kutub dan salju dapat mencair dan menimbulkan gejala pemekaran air laut, permukaan laut naik dengan kemampuan menenggelamkan dataran rendah, pesisir pantai dan pulau-pulau kecil padat penghuni di negara-negara sedang berkembang. Puluhan juta rakyat miskin yang rentan menjadi kekurangan air bersih dan semakin terancam oleh gagalnya panen hasil pertanian, merosotnya produktivitas dan hasil usaha tani, kebun dan perikanan. Sektor pertanian terutama sektor tanaman pangan merupakan sektor yang paling berdampak dengan adanya perubahan iklim. Terdapat tiga faktor utama yang terkait dengan perubahan iklim global yang berdampak pada sektor pertanian adalah: (1) perubahan pola hujan, (2) meningkatnya kejadian iklim ekstrim (banjir dan kekeringan), dan (3) peningkatan suhu udara. Pengaruh perubahan iklim terhadap sektor pertanian bersifat mutidimensional, mulai dari sumberdaya, infrastruktur pertanian, sistem produksi pertanian, sampai denganaspek ketahanan, kemandirian pangan dan kesejehteraan petani. Dampak ini semakin terlihat dari adanya penciutan lahan sawah, konversi lahan yang semakin tinggi, perluasan lahan kritis, meluasnya kerusakan jaringan irigasi, penurunan ketersediaan air pada waduk, serta peningkatan frekuensi banjir yang berimplikasi pada munculnya berbagai hama penyakit. Perubahan iklim merupakan proses alami yang bersifat tren yang terus menerus dalam jangka panjang. Oleh karena itu diperlukan suatu strategi untuk antisipasi dan penyiapan adaptasi dalam rangka menghadapi perubahan iklim dan mengembangkan pertanian yang tahan terhadap perubahan iklim. Di samping
79
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
itu perlu adanya persepsi yang sama tentang perubahan iklim diantara berbagai kalangan seperti ilmuwan/peneliti, dengan pemangku kebijakan, penyuluh, dan petani. Adaptasi adalah salah satu dari opsi kebijakan berkenaan dengan perubahan iklim. Adaptasi terhadap perubahan iklim berhubungan dengan pengaturan terhadap praktek, proses dan sistem untuk meminimalkan dampak negatif perubahan iklim pada saat sekarang dan masa depan, serta mendayagunakan peluang dan kesempatan yang tersedia untuk memaksimalkan manfaat. Kajian literatur telah dilakukan untuk memetakan bagaimana pola petani di Indonesia mengatasi perubahan iklim. Petani saat ini tidak dapat mengandalkan lagi perkiraan cuaca atas dasar kearifan lokal atau yang dikenal dengan istilah Pranata Mangsa, oleh karena itu yang dapat dilakukan adalah melakukan strategi adaptasi terhadap perubahan iklim. Dari berbagai temuan di banyak daerah ditemukan bahwa strategi yang digunakan petani untuk meningkatkan hasil pertanian adalah pertama, menanam padi dan sayuran dengan sistem seling. Misalnya untuk beradaptasi dengan banjir,maka petani menanam padi IR 64 atau Cisedane dan berseling dengan tanaman singkong, terong, jagung, kacang, dan cabai. Untuk beradaptasi dengan musim kering berkepanjangan, maka tanaman yang ditanam adalah beras merah dan Pandan Wangi, berseling dengan singkong, Jagung dan Kacang Koro. Pola tanam seperti ini terbukti mampu meningkatkan penghasilan petani. Kedua, mengembangkan varietas padi lokal yang tahan pada kekeringan, hama dan penyakit serta padi yang dapat dipanen antara 75-80 hari. Hasil varietas padi yang ada misalnya padi merah yang kaya akan nutrisi dan protein serta rendah kalori dan terbukti cocok untuk penderita diabetes. Ketiga, diversifikasi makanan untuk dikonsumsi. Petani mulai mengolah jagung dan singkong untuk dikonsumsi sebagai makanan utama pengganti beras dan sebagai sumber karbohidrat utama. Keempat, menciptakan model terasering pada lahan pertanian di pegunungan. Hal ini dilakukan untuk mencegah terjadinya erosi dan menjamin kesuburuan tanah. Sistem teraserring terbukti mampu meningkatkan produktivitas lahan dan hasil panen. Kelima, menanam tanaman rumput dan pohon untuk mencegah erosi. Pohon yang ditanam antara lain akasia, mahoni, sengon, dan pohon buah-buahan. Keenam, menggunakan areal sawah untuk beternak ikan sekaligus menanam padi. Hal ini terbukti mampu meningkatkan hasil panen petani yang berasal dari padi dan ikan.
80
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
PERILAKU PENJUAL JAMU DALAM MENGHADAPI KOMPETISI GLOBAL Dr. S. Djuni Prihatin, MSi dan Dra. Susi Daryanti, MSc Indonesia sebagai negara yang mempunyai kekayaan sumberdaya alam dan keanekaragaman hayati yang relatif besar, mempunyai peluang yang cukup besar untuk mewujudkan kedaulatan pangan yang berkelanjutan. Perkembangan teknologi yang pesat, tingkat pendidikan masyarakat yang lebih baik, keberadaan berbagai institusi di tingkat lokal (posyandu, kelompok tani, organisasi kemasyarakatan dll), dan adanya pendekatan baru manajemen pembangunan ke arah desentralisasi dan partisipasi masyarakat, merupakan faktor pendorong bagi upaya pemantapan capaian produk pangan dan gizi masyarakat. Dengan memanfaatkan keragaman potensi sumber daya antar daerah dan keragaman selera serta permintaan pangan yang semakin mengglobal, pemantapan dapat diwujudkan melalui upaya (a) memanfaatkan potensi dan keragaman sumberdaya lokal yang dilaksanakan secara efisien dengan memanfaatkan teknologi spesifik lokasi dan ramah lingkungan (b) mendorong pengembangan sistem dan usaha agribisnis pangan yang berdaya saing, berkelanjutan, kerakyatan dan terdesentralisasi, (c) mengembangkan perdagangan regional (antar daerah) yang mampu meningkatkan ketersediaan dan kegiatan ekonomi untuk mensejahterakan masyarakat, (d) memanfaatkan pasar internasional secara bijaksana bagi pemenuhan kebutuhan konsumen, (e) memberikan jaminan akses yang lebih baik bagi masyarakat miskin dalam melakukan kegiatan usaha. Globalisasi pangan sebenarnya tidak sepenuhnya terbukti efisien bahkan proses tersebut mengancam keragaman sumber daya hayati. Globalisasi cenderung lebih menguntungkan industri skala besar dan mengesampingkan industri kecil dan menengah sebagai industri dominan di negara berkembang. Salah satu alternatif bijaksana bagi negara berkembang untuk menghadapi globalisasi ialah dengan pembentukan sentra-sentra industri bagi budidaya produk lokal, seperti produk jamu. Teori yang dipakai dalam menjelaskan fenomena perilaku dengan menggunakan teori perilaku Kurt Lewin yang menyebutkan bahwa perilaku itu fungsi dari individu dan lingkungan. Teknik pengumpulan data menggunakan observasi, wawancara mendalam dan dokumentasi. Data terkumpul kemudian dianalisis secara deskriptif kualitatif. Perilaku penjual jamu dalam menghadapi kompetisi global adalah perilaku yang merespon dari aktivitas seperti : curahan waktu yang digunakan untuk memproduksi jamu, penggunaan teknologi untuk memperluas
81
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
jaringan pemasaran, penguatan jaringan kerjasama untuk memeperkuat eksistensi, penguatan kesadaran hak dan kewajiban untuk penguatan kapasitas diri, penguatan kelembagaan kelompok jamu dalam mendorong inovasi, dan standarisasi usaha jamu yang menggunakan label PIRT amupun sertifikasi halal.
82
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
ANALISIS HUBUNGAN ANTAR MASYARAKAT RURAL DALAM PERSPEKTIF KONFLIK SOSIO-PSIKOLOGIS: Studi pada Kelompok Masyarakat Penerima Program CSR di Daerah Sekitar Industri Hilir Minyak dan Gas PT Pertamina Terminal BBM Rewulu Galih Prabaningrum, S.Sos., MA Perubahan dinamika masyarakat pedesaan kontemporer saat ini tidak bisa lepas dari pengaruh kelompok yang bebas dari pengaruh pihak luar. Pihak luar yang dimaksud bisa bermakna luas, yaitu negara dan sektor privat (dalam pandangan good governance). Negara dalam rangka untuk menyelenggarakan kesejahteraan bagi masyarakatnya atau sektor privat yang menaruh perhatian pada isu tertentu sehingga melakukan program-program dalam upaya pemberdayaan masyarakat. Peran eksternal, dalam dinamika masyarakat pedesaan membawa perubahan sosial yang ada di dalamnya. Konflik adalah salah satu konsekuensi yang hadir sebagai dampak dari gagalnya proses kompromi terhadap intervensi internal. Tulisan ini mencoba mengelaborasi mengenai dinamika konflik yang terjadi di masyarakat pedesaan di jawa yang terbuka dan memiliki hubungan eksternal yang baik dengan pihak luar. Ilustrasi yang digambarkan dalam tulisan ini adalah hubungan masyarakat pada masyarakat rural, yang secara geografis wilayah desa tersebut juga menjadi wilayah pengembangan program CSR yang berlokasi di Desa Argomulyo, Kecamatan Sedayu, Kab. Bantul. Masyarakat rural dipilih karena mempunyai tipologi yang unik, khususnya masyarakat Desa Argomulyo, karena mempunyai ciri sebagai masyarakat hierarkis. Masyarakat rural cenderung mempunyai kesetiaan terhadap kelompok maupun pemimpin, dibandingkan terhadap nilai. Oleh karena itu struktur masyarakat terintegrasi secara vertikal dalam suatu kelompok, namun secara horizontal sangat rentan terhadap terjadinya gesekan maupun konflik. Interaksi antar individu dalam masyarakat rural yang intens, misalnya kebiasaan “kongkow” di depan rumah seharihari, kebiasaan bergosip saat berbelanja maupun kebiasaan “nonggo”, di satu sisi semakin melekatkan hubungan namun di sisi lain rentan terjadinya gesekan karena arus informasi sangat cepat berputar dan susah membedakan kebenarannya. Rasa “ewuh pakewuh” dan “mbatin” yang kental dalam masyarakat rural menyebabkan kerentanan tersendiri, karena di depan terlihat tidak terjadi apa-apa namun di belakang terjadi banyak ketidaksukaan. Selain itu, institusi-institusi sosial yang ada
83
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
dalam masyarakat, lebih banyak ditemukan adanya kepentingan pribadi dari aktoraktor yang terlibat di dalamnya sehingga kepentingan publik menjadi prioritas kesekian dari institusi tersebut. Pemaknaan terhadap aktor menjadi elemen penting dalam penelitian ini. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif untuk menjelaskan fenomena yang terjadi di lapangan dan untuk mengungkap fakta dibalik fenomena tersebut. Konflik melibatkan para aktor yang biasanya berusaha untuk menutupi adanya konflik, namun konflik dapat dilihat melalui pergerakan aktor yang mengisyaratkan adanya konflik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa level konflik masih tergolong konflik laten yang belum mengarah pada konflik terbuka. Pada tahap ini ditandai dengan adanya perebutan kendali kekuatan tatkala orang memandangnya perlu untuk mengontrol atau mencegah diri karena adanya perbedaan persepsi pada sub unit kelompok dalam masyarakat. Konflik terjadi up and down yang tidak selalu terlihat namun kadang terlihat jelas dan kadang tidak terlihat sama sekali. Tidak terlihatnya konflik bukan berarti tidak ada konflik tetapi konflik sedang menurun. Konflik terlihat baik melalui aktivitas, distribusi wewenang yang tidak merata maupun statement-statement yang dikeluarkan aktor maupun melalui pergerakan aktor yang mengisyaratkan konflik. Elite lokal yang mempunyai kekuatan dan peran yang besar menjalin kedekatan dengan aktor tertentu yang hanya dianggap sejalan dengan pemikirannya. Masyarakat berada pada kondisi disharmoni sebelum PT Pertamina (Persero) Terminal BBM Rewulu melaksanakan program CSR tahun 2012. Pada dasarnya masyarakat sudah berkonflik namun konflik semakin terasa ketika pelaksanaan program CSR tahun 2012. Bentuk-bentuk konflik yang ditemukan sebelum implementasi program CSR tahun 2012 meliputi konflik laten nir regulasi, konflik laten kontestasi antar kelompok dan konflik laten penguasaan alat produksi. Sedangkan konflik yang ditemukan setelah implementasi program CSR tahun 2012 meliputi konflik laten nir regulasi, konflik laten dominasi aktor, konflik laten kontestasi kelompok dan konflik laten antara masyarakat dengan Pertamina. Konflik terjadi karena adanya perbedaan kepentingan antar aktor sehingga menimbulkan gejolak. Selain itu, sebagai masyarakat yang hierarkis posisi aktor di dalam masyarakat menjadi elemen pemicu konflik. Konflik antar aktor lebih banyak ditemukan akibat dari “dominasi” aktor. Upaya yang dilakukan masing-masing aktor dalam masyarakat untuk meminimalisir konflik dilakukan dalam beberapa cara, misalnya menarik dari kelompok, mengurangi dominasi, diam untuk mempertahankan diri, maupun membuka diri terhadap masukan pihak lain. Perusahaan berusaha mengurangi konflik dengan membuka dialog kepada masyarakat untuk mendekatkan perusahaan
84
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
dengan masyarakat sehingga memperkecil terjadinya miskomunikasi. Oleh sebab itu, dapat dikatan bahwa konflik berasal dari masyarakat dan intervensi perusahaan terhadap masyarakat yang diimplementasikan dalam program CSR bukan merupakan elemen utama penyebab konflik.
85
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
PERUBAHAN SOSIAL WANITA DI DAERAH PANTAI NGOBARAN Elizabeth Grace Simanjuntak Pariwisata merupakan salah satu penyumbang devisa terbesar bagi suatu negara. Pariwisata juga memiliki potensi untuk tempat berkembangnya sektor ekonomi karena sebagai suatu sistem besar, industri pariwisata mempunyai sub sistem yang dapat dikembangkan untuk berbagai macam ladang usaha ekonomi. Kabupaten Gunung Kidul memiliki banyak tempat wisata pantai karena letak geografisnya di sebelah selatan berbatasan langsung dengan Samudera Hindia. Obyek wisata pantai yang terkenal di Gunung Kidul antara lain Pantai Baron, Pantai Sundak, Pantai Siung, dan Pantai Krakal. Minat wisatawan yang besar terhadap pantai di Gunung Kidul membuat banyak pantai baru yang dibuka sebagai obyek wisata. Salah satu pantai yang sedang berkembang dan mulai populer adalah Pantai Ngobaran yang terletak di Desa Kanigoro, Kecamatan Saptosari, Kabupaten Gunung Kidul. Tidak seperti pantai yang lain, Pantai Ngobaran memiliki keunikan tersendiri karena cerita sejarahnya dan adanya beberapa tempat ibadah dalam satu lokasi yang berdekatan. Jumlah wisatawan yang terus meningkat membuat Pantai Ngobaran memberi kesempatan masyarakat untuk berpartisipasi dan menimbulkan dampak positif bagi ekonomi masyarakat sekitar antara lain menambah peluang membuka usaha, membuka lapangan pekerjaan yang baru, dan menambah penghasilan. Masyarakat pedesaan umumnya tinggal dalam lingkungan agraris dan sebagian besar aktivitasnya berkaitan dengan pertanian baik di area persawahan, lahan, maupun kebun. Berkembangnya Pantai Ngobaran memicu munculnya peluang kerja bagi masyarakat sekitar Pantai Ngobaran tak terkecuali ibu rumah tangga. Secara tidak langsung hal tersebut telah menyebabkan perubahan sosial bagi wanita di daerah Pantai Ngobaran. Ibu rumah tangga yang awalnya tidak bekerja atau sebagai petani mulai mencari tambahan penghasilan di Pantai. Namun dengan beralihnya pekerjaan ibu rumah tangga tersebut terdapat pula hal-hal yang harus dikorbankan seperti pekerjaan rumah yang belum selesai dan kurangnya waktu untuk mengurus anak-anak. Pertanyaan penelitian dalam penelitian ini sebagai berikut: Bagaimana perubahan sosial wanita di daerah Pantai Ngobaran? Penelitian ini menggunakan metodologi kualitatif dengan pendekatan deskriptif. Informan penelitian dipilih secara purposive berdasar dua kriteria yaitu yang pertama, wanita pedagang merupakan penduduk asli Desa Kanigoro. Kedua, wanita pedagang yang sebelumnya bekerja di bidang pertanian maupun di bidang
86
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
lain. Informan penelitian juga dibagi menjadi dua kelompok yaitu pedagang tidak tetap dan pedagang tetap. Selain itu terdapat informan dari tokoh masyarakat seperti Kepala Desa dan Juru Kunci guna memperoleh data pendukung mengenai asal-usul atau sejarah Pantai Ngobaran. Dari penelitian yang dilakukan, terlihat bahwa proses beralihnya pekerjaan menjadi wanita pedagang di Pantai Ngobaran karena jumlah wisatawan yang semakin meningkat dan sadar akan keunikan Pantai Ngobaran dibandingkan dengan pantai lainnya. Selain itu pendapatan yang minim dan jam kerja yang kurang fleksibel dari pekerjaan sebelumnya membuat mereka beralih menjadi wanita pedagang. Banyaknya pedagang yang berjualan di Pantai Ngobaran membuat masyarakat lain tertarik untuk mencoba hal yang sama. Pokdarwis Sidorukun sebagai kelompok pedagang di wilayah Pantai Ngobaran dibuat untuk mempererat hubungan antar pedagang. Kelompok sosial tersebut dapat menimbulkan kekuatan yang menggerakkan atau mempengaruhi orang lain untuk melakukan hal yang sama sehingga banyak orang yang tertarik untuk ikut berjualan. Setelah berdagang di Pantai Ngobaran, terdapat perubahan yang mereka rasakan. Wanita pedagang kini memiliki lapangan pekerjaan baru. Baik wanita pedagang tetap maupun tidak tetap merasa pendapatan mereka meningkat. Walaupun kini mereka bekerja dan memiliki pendapatan sendiri namun mereka tetap menghormati suaminya. Wanita pedagang turut mengambil keputusan jika ada hal yang harus dimusyawarahkan dalam keluarga sehingga menunjukkan kesetaraan antara suami dan istri. Berubahnya pekerjaan wanita pedagang juga membuat bertambahnya relasi sosial mereka seperti kepada agen distributor barang, nelayan, sopir, dan pedagang lain. Penghasilan yang meningkat membuat gaya hidup wanita pedagang sedikit demi sedikit berubah terlihat dari jumlah kepemilikan sepeda motor, handphone, dan alat-alat elektronik mahal. Partisipasi wanita pedagang terhadap kegiatan sosial berkurang karena mereka kini lebih mementingkan kegiatan ekonominya yaitu berdagang. Diharapkan untuk penelitian selanjutnya dapat menggali lebih dalam mengenai kebijakan pemerintah dan peran kelompok sadar wisata dalam memajukan pariwisata Pantai Ngobaran.
87
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
TERANG KONFLIKNYA, REDUP RESOLUSINYA: Resolusi Konflik Lingkungan antara Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Sumber Segara Primadaya (S2P) dengan Warga Perumahan Griya Kencana Permai (GKP) Karangkandri di Cilacap Rizki Adi Priatama Pendirian Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Sumber Segara Primadaya (S2P) Cilacap, sebagai salah satu obyek vital yang menyuplai pasokan kebutuhan listrik bagi masyarakat luas, telah mendorong terjadinya konflik lingkungan sebagai konsekuensi dari keberadaan suatu industri. Tulisan ini berupaya mengeksplorasi secara mendalam mengenai dinamika konflik yang terjadi, sebagai tahapan dalam mencapai suatu bentuk resolusi konflik. Konflik lingkungan seperti yang dilukiskan Usman (2004) terus terjadi ditengah perluasan cakupan industri oleh PLTU S2P Cilacap. Implikasi dari hal tersebut berdampak pada keberadaan warga Perumahan Griya Kencana Permai (GKP) yang tepat berada disebelah area produksi PLTU. Mereka harus menanggung derita berkepanjangan karena berjibaku dengan polusi setiap hari. Puncaknya, mereka memutuskan pindah rumah ke tempat lain yang dirasa lebih aman, nyaman dan bebas dari polusi. Sebagai alat bantu pembacaan terhadap situasi konflik yang terjadi, tulisan ini menggunakan 2 konsep mengenai pemetaan konflik dan resolusi konflik. Pertama, analogi konflik model ‘bawang bombay’ (Fisher, 2000) digunakan untuk mengeksplorasi posisi, kepentingan dan kebutuhan dari obyek sosial dan serta pihak yang berkonflik. Kedua, model resolusi konflik (Wehr, 1979) digunakan untuk mengidentifikasi suatu jalan keluar permasalahan atas konflik yang terjadi. Sementara itu, pendekatan penelitian kualitatif digunakan untuk mendeskripsikan dan memahami fenomena secara lebih mendalam dan komprehensif. Desa Karangkandri sebagai kawasan industri, khususnya warga Perumahan GKP inilah yang menjadi fokus penelitian dan batasan dalam mencari data. Akhirnya, identifikasi mengenai bentuk dan tahapan resolusi konflik didapatkan setelah melalui proses penelitian yang panjang. Berbagai upaya telah dilakukan oleh PLTU S2P Cilacap, termasuk memberikan kompenisasi dan ganti rugi kepada warga. Namun upaya tersebut bukanlah jalan keluar permasalahan mengingat hingga kini konflik terus terjadi. Resolusi konflik berkeadilan inilah yang diharapkan sebagai jalan keluar atas sederet permasalahan yang terjadi selama ini.
88
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
Untuk mencapai resolusi konflik yang berkeadilan tersebut, kiranya upaya-upaya yang akan dilakukan sejatinya bermuatan politis, yang dapat berimplikasi pada perubahan kebijakan, serta untuk kebaikan semua pihak.
89
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
BADUY DAN NEGARANYA STUDI HUBUNGAN MASYARAKAT ADAT DAN NEGARA DALAM KONTEKS FENOMENA KONFLIK MASYARAKAT ADAT DI INDONESIA Ardiansyah Bahrul Alam Hubungan Negara dan masyarakat adat hingga hari ini menjadi salah satu kajian akademik yang cukup menarik, meskipun dalam kajian politik tidak begitu menjadi pilihan. Kajian hubungan Negara dan masyarakat adat telah banyak diteliti, akan tetapi yang menarik adalah hubungan Negara dan masyarakat adat selama Orde Baru. Dimana hubungan Negara dan masyarakat adat dapat dikatakan selalu konfliktual. Pemerintahan Orde Baru dikenal dengan karakteristik yang otoriter, selalu mengabaikan hak-hak masyarakat adat. Negara begitu dominan dalam segala hal, karena Negara-lah satu-satunya institusi yang memiliki kewenangan absah. Selama Orde Baru hal tersebut menjadi alasan Negara untuk melakukan dan merencanakan apapun, hasilnya Negara melakukan kesemena-manaan terhadap masyarakat adat dan seluruh elemen didalamnya. Namun semua itu rasa-rasanya tidak berlaku pada Masyarakat Baduy, dimana selama ini hubungan dengan Negara menjadi antitesis hubungan konfliktual tersebut. Sekiranya dapat menjadi sumbangan bagi kajian tentang hubungan Negara dan masyarakat adat, karena sekalipun banyak kasus yang demikian akan tetapi Baduy memiliki corak yang berbeda. Maka dari itu penelitian ini mencoba menarik pertanyaan tentang bagaimana hubungan Negara dan masyarakat Baduy selama Orde Baru hingga reformasi, tentunya dalam pola relasi kuasa. Selain itu, penelitian ini juga mencoba mencari alasan mengapa hubungan Negara dan masyarakat Baduy tidak seperti masyarakat adat lainnya. Agar dapat menemukan penjelasan tentang hal tersebut, maka penelitian ini memilih corak kualitatif untuk memudahkan pengumpulan data, dengan memilih studi kasus sebagai metodenya. Hubungan Negara dan masyarakat Baduy ternyata berakar begitu kuat. Keduanya melewati beberapa generasi hingga melilit sangat kencang hingga hari ini, setidaknya penulis melacak ke tiga masa Negara yaitu masa Negara tradisional selama masa kesultanan Banten, masa kolonial dalam kurun waktu pendudukan Belanda, dan Negara modern setelah berdirinya Negara Indonesia. Selama itu pula terdapat pola yang mengikat antara Negara dan masyarakat Baduy, yaitu Patron-klien. Hubungan patron klien merupakan bagian penting dalam pola relasi kuasa yang ada
90
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
diantara keduanya dimana Negara sebagai pelindung (patron) dan Masyarakat Adat Baduy sebagai kliennya. Secara normatif, pola hubungan patron klien bersifat diadik, dan cenderung Harmonis. Kecenderungan harmonis dalam hubungan patron klien adalah jawaban dari mengapa selama Orde Baru Negara dan Masyarakat Baduy tetap menjaga hubungannya dengan baik. Selama Orde Baru Negara memang terus mengeksploitasi Baduy dengan beragam program pembangunannya, salah satunya adalah program pemukiman kembali (resettlement). Program ini memaksa Baduy mengikuti tradisi dan kebudayaan yang sangat bias kota, tidak hanya mereka pun dipaksa untuk melanggar adat mereka sendiri. Namun sebagai seorang klien, Masyarakat Baduy merelakan sebanyak 500 kepala keluarga meninggalkan Baduy. Sebuah pertukaran ini berasal dari kepentingan Baduy untuk meminta perlindungan dalam menjalankan adat dan wilayahnya, alhasil semenjak tahun 1972 Sunda Wiwitani menjadi agama lokal masyarakat Baduy dalam KTP. Sekian lama mereka menjalin hubungan dengan “Negara” maka pendahulu mereka pun telah memasukkannya kedalam pikukuh karuhun atau Peraturan/Adat nenek moyang. Negara selama Orde Baru hanya akan memaafkan mereka yang patuh pada aturan Negara, maka Baduy Patuh pada Negara. Dalam pola relasi patron klien, klien akan memilih merasakan kesakitan untuk menghindari sesuatu ketidakpastian yang lebih buruk. Selama Orde Baru dan Bahkan sejak zaman Kesultanan Banten hingga Reformasi, pola relasi patron klien tetap dipertahankan sebagai sebuah jaminan kehidupan mereka untuk menghindari ketidakpastian yang buruk. Selain hubungan yang berbasis pada pola relasi patron klien, selama Orde Baru tidak ada faktor pendorong konflik yang lebih eksploitatif seperti hal mengenai hutan dan tanah ulayatnya sebagai sumber kehidupannya. Maka Negara harus tetap menjaga dan menghindarkan dari dilema program pembangunan yang mengenai hutan dan tanah ulayat. Bersamaan dengan itu masyarakat Baduy akan mendapatkan tantangan yang sebenarnya. Penelitian ini tidak hanya sebagai pengantar dari penelitian-penelitian berikutnya, maka jawaban atas pertanyaan mengapa dan bagaimana masyarakat Baduy melewati masa sulit selama Orde Baru jawabannya adalah pola relasi patron klien.
91
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
ADAPTASI TERHADAP PERUBAHAN IKLIM DI SEKTOR PERTANIAN DAN PERIKANAN DI INDONESIA Zahro Kariima Pertanian merupakan sektor yang sangat penting di Indonesia, bukan hanya karena sebagian besar masyarakat Indonesia berprofesi sebagai petani, tetapi juga karena pertanian merupakan sektor penyokong terwujudnya ketahanan pangan. Namun, Pembangunan sektor pertanian sangatlah tertinggal oleh sektor lain karena kurangnya tenaga kerja dan lahan. Selain itu, pertanian merupakan sektor yang sangat dipengaruhi oleh kondisi iklim dan cuaca. Akibat perubahan iklim, pertanian di Indonesia banyak mengalami masalah. Para petani di berbagai daerah telah mempraktikkan adaptasi dalam kehidupan bercocok tanam, tetapi masih bersifat reaktif (bukan antisipatif ) dan privat, yang berarti berasal dari pihak petani. Peran kebijakan pemerintah tampak belum terlalu terlihat. Kebijakan pemerintah dinilai kurang menjawab permasalahan petani. Bagi sebagian pemerintah daerah, perubahan Iklim merupakan masalah yang masih relatif baru. Isu perubahan iklim bukanlah komoditas politik sebagaimana isu pengurangan kemiskinan dan lapangan kerja. Kesadaran dan kapasitas pemerintah daerah terhadap isu iklim masih kurang. Begitupun ketika pemerintah pusat maupun daerah membuat kebijakan terkait iklim, kebijakan tersebut sering kali kurang mengakomodasi kondisi di lapangan. Kebijakan nasional terlalu umum dan tidak sesuai dengan kondisi di lapangan, sehingga sering gagal untuk mengakomodasi upaya adaptasi yang diperlukan untuk kapasitas lokal dengan sumber daya yang terbatas. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kapasitas adaptif pemerintah dalam menghadapi permasalahan pertanian yang diakibatkan oleh perubahan iklim.
92
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
RISET JURUSAN - MAHASISWA:
TEORI DAN GERAKAN SOSIAL
93
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
94
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
DEADLOCK DEMOKRASI LIBERAL DAN PROBLEMATIKA REPRESENTASI DI INDONESIA: PENDEKATAN KRITIK IDEOLOGI Prof. Dr. Heru Nugroho, AB. Widyanta, MA., Mustaghfiroh Rahayu, MA., Frans Vicky Djalong, MA., Dana Hasibuan, MA. Studi ini berpendapat bahwa krisis representasi justru merupakan hal yang tak terelakkan demokrasi liberal yang selanjutnya rentan menciptakan situasi buntu atau deadlock. Lebih jauh, limitasi demokrasi liberal tidak hanya mereproduksi krisis representasi, tetapi juga marjinalisasi identitas dan agensi kelompok kecil atau subaltern. Dengan kata lain, studi ini hendak memperluas kritik-kritik yang selama ini menganggap bahwa krisis representasi semata-mata disebabkan oleh sifat negatif individual, oligarki politik atau ego-sektoral diantara lembaga-lembaga negara. Melalui pendekatan kritik ideologi, studi ini hendak mengeksplorasi secara lebih mendalam krisis representasi dan relasinya dengan limitasi sistem demokrasi liberal sehingga hubungan antara elite atau dalam hal ini Jokowi dengan kelompok subaltern sebenarnya merupakan relasi yang semu. Untuk mengeksplorasi lebih jauh mengenai krisis representasi di dalam demokrasi liberal, studi ini akan fokus pada kelompok subaltern. Meski setiap kelompok rentan untuk disenyapkan atau tidak dapat berbicara dalam model representasi dominan, wacana kelompok tertindas atau subaltern adalah wacana yang paling sering digunakan untuk membangun legitimasi elite atau kelompok yang merepresentasikan. Dan oleh karena itu, kelompok subaltern adalah kelompok yang pertama kali mengalami dampak negatif dari limitasi proses representasi (Guha, 1983, hlm 6). Meski demikian, siapa yang dimaksud secara spesifik dengan kelompok subaltern sendiri merupakan konsep politik yang terus dikontestasikan. Di dalam studi ini, kelompok subaltern dipahami sebagai kelompok yang tidak hanya mengalami marjinalisasi tetapi juga terus aktif membangun resistensi meski dalam skala kecil sekalipun (Chakrabarty, 2000) Singkat kata, studi ini fokus mengeksplorasi limitasi cara kerja representasi dan demokrasi liberal bagi kelompok subaltern. Kedua, studi ini membuka kemungkinan-kemungkinan adanya perlawanan kelompok subaltern terhadap model representasi dominan di luar bentuk formal. Bentuk resistensi dapat berupa artikulasi budaya, bahasa, dan ekonomi alternatif.
95
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
Beberapa temuan studi menunjukkan bahwa terdapat berbagai jenis wacana yang saling berkontestasi dalam mengartikulasikan dan merepresentasikan kepentingan publik. Situasi tersebut alih-alih memberdayakan kelompok subaltern justru semakin meminggirkan kelompok subaltern sebab wacana-wacana mengenai kepentingan publik seringkali tidak merepresentasikan kepentingan kelompok subaltern. Wacana yang digunakan untuk mendeskripsikan kelompok subaltern diasumsikan secara otomatasi merefleksikan keinginan kelompok subaltern. Dalam beberapa kasus di resettlemet Mandiri, dinamika ini bahkan menciptakan ‘minority within’ kelompok subaltern itu sendiri, dimana suara perempuan dan anak-anak seringkali tidak terwakili dalam dialog publik. Meski tidak membawa perubahan yang signifikan khususnya bagi kelompok subaltern, pandangan post-kolonial yang mengkritik mekanisme representasi secara tidak langsung juga semakin memperkuat pandangan liberalisme selama ini bahwa tidak ada alternatif lain selain model representasi yang dominan digunakan saat ini. Akibatnya, aspek prosedural, administrasi dan apolitis dalam politik representasi dan demokrasi di Indonesia mengalami normalisasi.
96
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
ISLAMISME DISKURSIF Dr. Hakimul Ikhwan Penelitian ini bermaksud memahami sejauh mana Islamisme dipengaruhi oleh berbagai dimensi sosiologi, ekonomi, politik, dan budaya di tingkat lokal. Penelitian ini penting mengingat selama ini Islamisme dipahami dalam frame universalitas (teks dan ajaran) Islam lintas batas komunitas bahkan teritori geografis. Pada kenyataanya Islamisme tidak tunggal melainkan hadir dalam beragam ekspresi di tingkat lokal. Untuk itu, penelitian ini berfokus untuk menjawab pertanyaan “bagaimana diskursus Islamisme berlangsung dalam ekspresi keIslam-an di tingkat lokal?” Dalam menjawab pertanyaan tersebut, penelitian ini menggunakan metode extended case method yang menjadikan teori-teori yang sudah ada tentang Islamisme sebagai basis pijakan tetapi tidak kehilangan daya refleksif dan kritis dengan melakukan kontekstualisasi dan bahkan re-abstraksi atas teori-teori tersebut. Islamisme diskursif menjelaskan fenomena keberagaman agenda, asosiasi, dan motive gerakan Islamisme di tingkat lokal dan keterkaitannya dengan narasi besar tentang universalitas Islam. Agenda penegakan syaria, misalnya, mewujud dalam beragam gerakan seperti kemampuan membaca Al-Qur’an, busana Muslim(ah), zakat, anti-pornografi, dan sebagainya. Sebagian dari agenda syariah tersebut diberlakukan pada suatu komunitas pada periode waktu tertentu dan kemudian beralih pada agenda lain pada periode waktu berbeda. Demikian pula halnya asosiasi gerakan syariah dapat beralih dari suatu aliansi partai politik, atau masyarakat sipil ke asosiasi lainnya. Pergesearn agenda dan asosiasi gerakan syariah tersebut juga seringkali ditandai pergeseran makna dan interpretasi terhadap narasi besar teks dan ajaran Islam. Oleh karenanya, keragaman ekspresi Islamisme di tingkat lokal hampir selalu—untuk tidak mengatakan selamanya—dibangun dalam rekonstruksi nalar keterhubungan antara ‘yang lokal’ dan ‘yang universal. Penelitian ini menemukan keterhubungan Islamisme ‘particular’ dan ‘universal’ tersebut dalam diskursus Islamisme di kalangan anak muda hijabers, aktivis lingkungan, dan para laskar Islam. Di kalangan hijabers, teks dan ajaran Islam tentang etika berpakaian menjadi rujukan utama para perempuan hijabers. Tetapai teks dan ajaran tersebut tidak serta merta menghilangkan dimensi fashion, simbolisme status sosial, dan bahkan identitas komunitas para hijabers. Di satu sisi, para hijabers sangat ‘ketat’ dalam mengadopsi nilai dan etika berbusana
97
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
Muslimah dalam hal menutup aurat kecuali muka dan telapak tangan. Bahkan mereka juga berprinsip no legging, no jeans, no tight. Akan tetapi, di sisi lain para hijabers mengadopsi perkembangan fashion sehingga terlihat modern dan bahkan merepresentasi status sosial dan ekonomi hijabers. Dengan demikian, diskursus mengenai jilbab bisa merujuk kepada sumber teks dan narasi besar (grand narrative) Islam tetapi dalam prakteknya terjadi perbedaan dalam, misalnya, jilbab cadar, jilbab panjang, dan jilbab fashion. Fenomena ini tidak selalu bisa dikaitkan dengan perkembangan sekularisme dan sekularisasi mengingat keragaman tersebut telah terjadi sebelum masyarakat modern mengenal sekularisme pada zaman kolonial dimana jilbab — dalam pengertian penutup kepala bagi perempuan — digunakan oleh kelompok elite Islam (pesantren) sebagai simbol status sosial ekonomi terutama orang yang sudah menunaikan ibadah haji. Berbeda dengan era kolonial, saat ini jilbab telah digunakan oleh semua lapisan masyarakat lintas struktur sosial ekonomi tetapi tidak kehilangan daya reproduksi status dan identitas melalui diskursus dan narasi tentang jilbab yang terbuka (open) dan cair (fluid). Nalar diskursif Islamisme juga terjadi di kalangan aktivis lingkungan Islam dimana narasi besar Teks dan ajaran Islam tentang tauhid dan fiqh direkonstruksi dalam diskursus modern dan global seperti ‘go green’ dan ‘global warming’ yang tidak hanya memberi justifikasi atas gerakan-gerakan lingkungan tetapi juga memberi makna dan interpretasi baru terhadap teks dan ajaran. Sementara, di kalangan para laskar, rekonstruksi Teks dan ajaran Islam terjadi dalam mensikapi dengan berbagai peristiwa (events) di tingkat lokal, nasional, dan global. Di tingkat lokal, narasi ke-Sultan-an Islam bersinggungan dengan agenda politik dan ekonomi kelompok laskar turut mempengaruhi rekonstruksi Teks dan ajaran. Sementara di tingkat nasional, isu syiah dan ancaman komunisme memberi ‘konteks’ lain dalam proses rekonstruksi diskursus Islamisme. Di tingkat global, rekonstruksi diskursus Islamisme berkaitan dengan perkembangan Negara Islam di Irak dan Siria (ISIS — Islamic State in Iraq and Syria) dan Timur Tengah secara umum seperti Saudi versus Yaman.
98
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
GERAKAN SOSIAL-LINGKUNGAN PEMUDA NU, POTRET GERAKAN ORGANISASI FRONT NAHDLIYIN UNTUK KEDAULATAN SUMBER DAYA ALAM Ach Fikri Syahrul Mubarok Peran gerakan sosial terhadap transformasi sosial di masyarakat menjadi sesuatu yang tidak terelakkan. Gelombang gerakan sosial tersebut terus menerus diproduksi dan mengalami dinamikanya sendiri. Salah satu diantara banyak faktor yang menjadikan gelombang gerakan sosial tidak pernah surut adalah protes-protes berkaitan dengan kontestasi merebutkan Sumber Daya Alam (SDA). Salah satu aktor gerakan sosial tersebut adalah Organisasi Front Nahdliyin Untuk Kedulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA). Organisasi tersebut sebagian besar anggotanya adalah pemuda dan memiliki basis dengan warga Nahdliyin. Penelitian ini mencoba mendiskripsikan dan menganalisis secara sosiologis gerakan sosial yang dilakukan oleh FNKSDA. Gerakan sosial-lingkungan oleh kelompok pemuda muncul dalam tubuh ormas Islam Nahdlatul Ulama (NU). Kondisi defisit kedaulatan sumber daya alam di Indonesia mendorong sekelompok pemuda NU membangun organisasi gerakan sosial-lingkungan yang yang berbasis jaringan dengan komunitas Nahdlatul Ulama. Organisasi yang resmi berdiri pada 9 desember 2013. Awalnya FNKSDA muncul akibat dari kekecewaan sebagian pemuda NU terhadap kelompok NU struktural. Sebab, kelompok elit NU yang duduk struktural dianggap kurang peduli terhadap isu kedaulatan sumber daya alam dan kelestarian lingkungan-sosial hidup rakyat Indonesia, khususnya warga NU. Pemerintah dan kelompok NU struktural menurut FNKSDA kurang bertanggung jawab terhadap kedaulatan SDA serta dampak sosiallingkungan yang ditimbulkan. Sedangkan rumusan masalah yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah : “Bagaimana proses gerakan pemuda NU di dalam Front Nahdliyin Untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam (FNKSDA) dalam menjalankan agendaagenda gerakan sosial-lingkungan?” Berawal dari pertanyaan itu, penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian deskriptif-kualitatif dengan metode pengumpulan data melalui wawancara, observasi dan studi pustaka. Pendekatan ini mencoba menggambarkan fenomena sosial yang terjadi pada permasalahan yang akan diteliti yang kemudian dilakukan proses penyusunan-penjelasan-tahap analisa. Penelitian diskriptif tidak dimaksudkan untuk menguji hipotesa tertentu
99
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
tetapi menggambarkan tentang apa adanya tentang suatu variable, gejala atau keadaan sosial. Secara keseluruhan penelitian ini adalah untuk mengetahui pembentukan gerakan yang dilakukan oleh FNKSDA. Selain itu, bagaimana organisasi yang utamanya dimotori oleh pemuda NU ini dalam melakukan kritik dan perlawanan praksis terhadap pemerintah yang lemah terhadap Industri ekstraktif multinasional. Studi ini akan menghasilkan pemahaman baru terkait konfigurasi protes-protes kolektif salah satu gerakan sosial-lingkungan yang membawa ideologi serta simbolsimbol agama sebagai alat perjuangan. Hasil dari penelitian ini diharapkan mampu menjadi konsep kerangka pemahaman pentingnya peran organisasi masyarakat dalam wacana pembangunan dan pengelolaan sumber daya alam di Indonesia. FNKSDA itu sendiri yang merupakn organisasi berbasis jaringan dalam komunitas NU memiliki kepedulian terhadap pengelolaan SDA. Keanggotaan FNKSDA bersifat volunteer, yang terdiri dari beberapa jaringan LSM lingkungan yang tersebar di beberapa Propinsi di Indonesia. Front ini terbentuk atas inisiasi pemudapemuda Nahdliyin yang sebelumnya aktif sebagai aktivis sosial-lingkungan. Visimisinya adalah “memperkuat dan mendukung perjuangan ekonomi-politik dan kultural masyarakat korban konflik Sumber Daya Alam (SDA) di Indonesia”. Selain itu, “mengkokoh kan kedaulatan masyarakat dalam tata milik, tata kelola, dan tata guna SDA”. Salah satu fokus gerakan FNKSDA yang menjadi konsen penelitian ini adalah proses sinergi dan advokasi FNKSDA terhadap kasus sengketa lahan anatara TNI AD dengan petani Urutsewu Kebumen. Pada akhirnya, ruang lingkup studi ini menyulitkan saya dalam membahas satu model gerakan FNKSDA. Hal ini karena gerakan FNKSDA yang kompleks dan luas spektrum wilayah kerjanya. Sebab, mendiskripsikan FNKSDA juga harus menjelaskan secara detail dengan siapa FNKSDA bergerak. Sebab, aktor utama dalam agenda gerakan lingkungan yang bersifat lokalitas adalah organisasi lokal itu sendiri, FNKSDA merupakan simbol pemersatu gerakan-gerakan tersebut. Keterbatasan studi ini sangat memungkinkan dilanjutkannya kajian sejenis untuk melengkapi khazanah sosiologi gerakan FNKSDA. Sebab seiring berjalannya waktu, FNKSDA bisa saja menjelma organisasi pergerakan profesional yang memiliki basis massa yang kuat. Ini merupakan lahan kajian yang masih memerlukan kerja-kerja intelektual yang terintegrasi, lintas bidang, disamping ketekunan untuk terlibat secara intens dengan obyek studi.
100
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
RISET JURUSAN - MAHASISWA:
JAMINAN SOSIAL DAN ISU KESEJAHTERAAN
101
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
102
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
JAMINAN KESEHATAN NASIONAL : REFORMASI JAMINAN SOSIAL KESEHATAN Studi tentang Implementasi Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Bidang Kesehatan di Kabupaten Sleman Drs. Suparjan, M.Si Sistem Jaminan Sosial di Indonesia lahir bersama dengan lahirnya UndangUndang No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional yang disahkan oleh Presiden Megawati Soekarnoputri di akhir masa jabatannya yaitu tanggal 19 Oktober 2004. Pelaksanaan SJSN adalah 10 tahun setelah UU SJSN di sahkan, atau terhitung pada 1 januari 2014 sistem ini harus dilaksanakan. Prasyarat dari sistem ini berjalan harus ada badan yang menyelenggarakannya, yaitu Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Maka sekali lagi proses pembentukan UU BPJS mulai digulirkan dan prosesnya sangat panjang dan alot. Berbagai kepentingan dihadapkan dalam proses pembahasannya antara legislatif dengan eksekutif yang pada saat itu kekuasaan ada pada tangan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono beserta partai koalisinya. Pemerintah pada saat itu sebenarnya sudah nyaman dengan sistem jaminan yang ada dan berjalan saat itu. Paling tidak ada 4 BUMN yang bergerak di dalam sistem Jaminan selama ini, yaitu PT. Jamsostek, PT. Taspen, PT. Asabri, dan PT. Askes. Rencananya keempat BUMN ini akan dilebur menjadi satu, yaitu BPJS, meskipun saat ini BPJS menjadi 2, yaitu PBJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan. Aset dari ke 4 BUMN tersebut mencapai kurang lebih 190 Triliyun, sehingga apabila ditransformasi menjadi BPJS dikhawatirkan ada hal-hal keuangan yang hilang atau berkurang, penguasaan yang terbatas atau hal-hal lain yang intinya mengintervensi keuangan. Hal ini merupakan ego sektoral yang ada di masing-masing BUMN tersebut, bahkan sampai pada tingkat kementerian. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif karena penelitian ini diyakini dapat memperoleh pemahaman tentang kepentingan subyektif dan tersembunyi. Sumber data dalam penelitian ini adalah data sekunder dan data primer. Data sekunder didapat dari dokumen dan studi pustaka serta studi media. Sedangkan data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari hasil wawancara. Wawancara dilakukan pada para pejabat pengambil keputusan dan penyusun kebijakan serta implementator kebijakan di tingkat daerah, pengurus organisasi public privat yang memberikan pelayanan kesehatan, serta masyarakat yang
103
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan. Subyek penelitian secara umum adalah secara nasional. Namun untuk fokus penelitian lapangan di arahkan kepada Kabupaten Sleman untuk memberikan gambaran spesifik dan nyata. JKN-BPJS di negeri ini baru berjalan kurang dari 2 tahun. Dalam waktu yang singkat ini semuanya berproses untuk menuju cita-cita bahwa seluruh rakyat akan terjamin kesehatannya tanpa terkecuali. Untuk itu semua perlu berbenah, memperbaiki apa-apa yang kurang. Pembenahan yang ideal adalah yang dilakukan berdasarkan fakta-fakta empiris dilapangan yang terjadi selama ini. Mengakomodir semua kepentingan stakeholders, tidak ada yang merasa dirugikan, karena semuanya mempunyai peran dan fungsi masing-masing. Peta persoalan yang dilengkapi dengan pemetaan peran dan fungsi Stakeholders BPJS diharapkan mampu memilah persoalan dari sumbernya dan siapa yang paling dirugikan serta siapa yang bisa menjadi solusi atas persoalan yang lahir.
104
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
MENGAWAL NEGARA: Peran “BPJS Watch” dan “Jamkeswatch” dalam Mengawal Kebijakan BPJS bagi Kelompok Buruh dan Kaum Miskin Kota di Jakarta dan Bekasi” Dr. Amalinda Savirani Penelitian ini adalah tentang upaya masyarakat sipil mengawal dan mengawasi kebijakan jaminan kesehatan atau “kebijakan BPJS” sejak diberlakukan pada 2014. Kebijakan BPJS dianggap sebagai kebijakan asuransi kesehatan terbesar di dunia mengingat jumlah penduduk yang ditangani dan dana yang dialokasikan (Aspinall 2014). Sebagai sebuah sistem jaminan kesehatan pertama di Indonesia yang mencakup seluruh warganegara tanpa terkecuali (universal coverage), kebijakan ini memiliki kelebihan dan kekuatan sekaligus. Kelemahan kebijakan ini membatasi warga negara dalam mengakses jaminan kesehatan ini, khususnya kelompok marjinal seperti komunitas miskin kota dan kelompok buruh. Dalam konteks terbatasnya akses warganeagra ini lahir kelompok masyarakat sipil yang berupaya menjamin kebijakan BPJS untuk menjamin kelompok marjinal dengan membentuk “BPJS Watch” dan “Jamkeswatch” masingmasing di tingkat nasional dengan pusat di DKI Jakarta dan di Kabupaten Bekasi. “BPJS Watch” merupakan inisiatif berskala nasional yang diluncurkan oleh elemen KAJS (Kesatuan Aksi Jaminan Kesehatan), setelah UU BPJS resmi berlaku tahun 2014. Komunitas kaum miskin kota yang merupakan bagian dari JERAMI (Jaringan Rakyat Miskin Indonesia) menjadi relawan dalam “BPJS Watch”. Tujuannya adalah memastikan BPJS dapat menjangkau warganegara miskin. Di Kabupaten Bekasi, sekelompok buruh manufaktur membentuk “Jamkeswatch” dengan tujuan yang sama dengan “BPJS Watch”, yakni memastikan akses buruh pada kebijakan kesehatan dapat dijamin. Kedua inisiatif pengawasan kebijakan BPJS di DKI Jakarta dan Bekasi ini sesungguhnya lahir dari “ibu” yang sama yakni KAJS. Pertanyaan yang membimbing penelitian ini adalah pertama, apa yang melatari kelahiran kedua inisiatif ini? Kedua, bagaimana “Jamkes watch” dan “BPJS Watch” bekerja? Ketiga, sejauh mana inisiatif ini dapat mengadvokasi jaminan kesehatan kelompok marjinal dan apa dampaknya bagi peningkatan kualitas pelayanan publik secara umum? Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, dengan khususnya dua studi kasus yakni di “BPJS Watch” di wilayah DKI Jakarta
105
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
khususnya komunitas kaum miskin kota, dan “Jamkesewatch” di Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Temuan dari penelitian ini ada tiga. Pertama, inisiatif kelompok buruh dalam mengawal kebijakan di bidang kesehatan ini merupakan kelanjutan dari keterlibatan kelompok buruh dalam KAJS. Keterlibatan ini memberi pemahaman mendalam tentang berbagai peluang loopholes dalam implementasi kebijakan BPJS. Pemahaman yang mendalam terhadap isu jaminan kesehatan, terpecah saat pemilu presiden 2014, dan membuat gerakan ini pun terpecah. “BPJS Watch” lebih dikenali oleh publik karena tokohnya yang berada di tingkat nasional, dan sering diliput oleh media nasional, dan membuatnya populer. Sementara itu, “Jamkeswatch” lebih lokal dengan dukungan media yang terbatas, dan karenanya tidak terlalu populer di kalangan para penyedia kesehatan. Ini berakibat “Jamkeswatch” tidak disegani oleh para penyedia kesehatan. Dari sisi sumberdaya manusia yakni para relawan, kedua inisiatif ini mendasari diri pada peran para relawan. Keduanya sama-sama memiliki keterbatasan dalam memobilisasi relawan. Ini berakibat kedua institusi ini membatasi peran mereka: “BPJS Watch” bermain dalam wacana kontrol terhadap kelembagaan BPJS, yakni secara makro kebijakan; sementara pola “Jamkeswatch” di level kegiatan teknis seperti penyadaran warganegara, khususnya kelompok buruh, terkait hak-hak di bidang kesehatan. “BPJS Watch” tampaknya lebih berhasil dalam melakukan perannya, ketimbang “Jamkeswatch”. Kedua, lepas dari perpecahan tsb, apa yang dilakukan oleh “BPJS watch” dan “Jamkeswatch” memberi tekanan pada para pengambil dan pelaku kebijakan kesehatan, yakni BPJS sebagai sebuah institusi, dan para penyedia layanan seperti praktek dokter keluarga, klinik kesehatan, Rumah Sakit, dan penyedia obat-obatan (farmasi). Terkait dengan dampak konkritnya, penguatan wacana yang terus menerus dilakukan oleh para aktivis “BPJS Watch” cukup mampu mengadvokasi warganegara yang mengalami kesulitan dalam mengakses kebijakan bidang kesehatan. Dalam komunitas masyarakat miskin kota, para relawan melakukan advokasi warga miskin ke rumah sakit guna menjamin hak kesehatan mereka. Sementara itu, yang dilakukan oleh “Jamkeswatch” masih sulit diprediksi dampaknya. Hal ini disebabkan karena peran utama yang dilakukan oleh “Jamkeswatch” adalah sosialisasi, itu pun sosialisasi yang bersifat pasif, yakni relawan “Jamkeswatch” melakukan kegiatan ini berdasarkan permintaan dari warga. Ketiga, secara umum, keberadaan kedua inistiatif warganegara dalam mengawasi dan mengadvokasi implementasi kebijakan BPJS membuat kelompok ini secara minimal sebagai kekuatan deterrence, sebuah peran yang membuat
106
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
penyelenggara jaminan kesehatan dan penyedia jasa kesehatan lebih berhati-hati dalam melakukan tugasnya. Ini merupakan dampak minimal dari gerakan sosial yang diinisiasi warganegara, khususnya warganegara kelompok marjinal.
107
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
TINGKAT KEPUASAN MASYARAKAT PENERIMA MANFAAT LAYANAN BPJS KESEHATAN DI RSUP. Dr. SARDJITO YOGYAKARTA Lailul Febriyanti Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan mendeskripsikan Indeks Kepuasan Masyarakat pada layanan BPJS Kesehatan khususnya untuk pasien yang sedang melakukan rawat jalan dengan spesifikasi penderita penyakit berat seperti jantung, diabetes militus dan hipertensi pada RSUP. Dr. Sardjito Yogyakarta. Data dari hasil penelitian ini dapat dijadikan gambaran bentuk pelayanan BPJS Kesehatan di salah satu rumah sakit penyedia layanan kesehatan bagi masyarakat di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta serta Jawa Tengah Bagian Selatan. Lebih lanjutnya lagi diharapkan hasil penelitian ini dapat menjadi bahan penilaian terhadap pelayanan BPJS Kesehatan yang masih perlu diperbaiki agar dapat meningkatkan kualitas pelayanan. Pada penelitian ini pengukuran kinerja pelayanan menggunakan konsep yang sering digunakan untuk mengukur kualitas pelayanan yaitu Service Quality (SERVQUAL) oleh Zeithaml, Parasuraman dan Berry (1990). Indikator dari konsep tersebut adalah Tangible (Bukti Fisik), Reliability (Keandalan), Responsiveness (Ketanggapan), Competence (Kompetensi), Courtessy (Kesopanan), Credibility (Kreadibilitas), Security (Keamanan), Acces (Akses), Communication (Komunikasi), Understanding the customer (Pengertian). Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuantitatif, dengan populasi yaitu pasien BPJS Kesehatan yang sedang melakukan rawat jalan dengan spesifikasi penderita penyakit berat seperti jantung, diabetes militus dan hipertensi pada RSUP. Dr. Sardjito Yogyakarta. Teknik pengambilan sampel sesuai dengan ketentuan dalam Kep.Men.PAN No 25 Th 2015. Responden dipilih secara acak dengan jumlah sampel sebanyak 110 responden. Teknik analisis data dalam penelitian ini menggunakan Nilai Indeks Kepuasan Masyarakat yang dihitung dengan menggunakan “nilai rata-rata tertimbang” masing-masing unsur pelayanan dan kemudian dimasukan kedalam grafik dan diagram kartesius. Dalam penyusunan pertanyaan dalam kuesioner telah dilakukan survei yang berkaitan dengan pelayanan BPJS Kesehatan, namun karena proses perijinan pengambilan data di RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta harus memiliki Ethical Clearance melalui Komisi Etik Fakultas Kedokteran UGM maka peneliti belum
108
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
dapat memperoleh data penelitian secara keseluruhan. Ethical Clerance merupakan pernyataan bahwa rencana kegiatan penelitian yang tergambar pada protocol, telah dilakukan kajian dan telah melalui kaidah etik sehingga layak dilakukan. Kajian ini dilakukan untuk melindungi dan menghargai martabat manusia, baik sebagai subyek penelitian maupun penelitinya. Proses pengkajian Ethical Clerance dilakukan selama 45 hari, dan perijinan di rumah sakit dilakukan selama 20 hari. Secara keseluruhan perijinan ini telah diselesaikan dan mendapat surat keterangan ijin pelaksanaan penelitian pada 16 November 2015.
109
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
PEMBERDAYAAN KELOMPOK RENTAN DIFABLE: Studi tentang Peran Multistakeholder dalam Mewujudkan Masyarakat Inklusif Reiki Nauli Harahap Diskursus difabilitas setiap tahun selalu mengalami perkembang, yang awalnya dimonopoli oleh dunia medis kini telah merampah keberbagai aspek mulai dari tata ruang bahkan hingga aspek kehidupan sosial bermasyrakat difable itu sendiri. Studi pembangunan telah mengambil bagian dalam diskursus difabilitas tersebut dengan konsepnya yang bernama Pemberdayaan masyarakat. bila dikerangkai dengan teori struktural funsgsional, sebagai bagian dari kelompok rentan, selama ini difable menjadi kelompok sasaran kegiatan charity. Hal tersebut justru mengkibatkan ketergantungan dan Pertuni sebagai sebuah lembaga kemasyarakatan menyadari hal tersebut. Penelitian ini berjudul pemberdayaan kelopok rentan difable: Studi peran multistakeholder mewujudkan masyrakat inklusif. Fokus penelitian ini lebih condong kepada bagaimana masing-masing stakeholder melaksanakan tugas serta perannya dalam upaya mewujudkan masyrakat inklusif, sebelum itu perlu diketahui bersama bahwa indikator masyrakat inklusif yang dilihat pada penelitian ini di ambil dari Aksesibilitas non-fisik. Sebelum jauh melangkah kepada sejauhmana pencapaian masyrakat inklusif, penelitian ini akan membahas bagaiamana pola mengorganisir diri yang dilakukan oleh masing-masing stakeholder yaitu PT Holcim (Private sector), Pertuni dan Stikes Al-Irsyad (Civil society). Bentuk pemberdayaan masyarakat yang dilakukan disini adalah berupa Pelatihan Pijat Fisioterapi Difable Tuna Netra, namun sebelum program tersebut terwujud beberapa stakeholder telah bersama-sama melaksanakan kegiatan sejenis salah satunya Bantuan modal usaha Ternak ayam. Metode penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan analisis deskriptif. Untuk membantu peneliti mengkerangkai fakta dan data yang ada dilapangan peneliti dibantu oleh beberapa definisi konsep serta teori yang dikemukakan oleh lawrance tentang konvergensi komunikasi. Penggunaan teori tersebut untuk mengungkapkan bagaimana pembagian peran antar masing-masing stakeholder tercapai. Dari data dilapangan yang diperoleh bahwa sebelum masing-masing stakeholder berkomitment untuk bekerja sama mewujudkan masyrakat inklusif ada proses yang panjang yaitu membangun kepercayaan antar aktor, sebagaimana yang kita ketahui bahwa selama ini memang masih sedikit aktor-aktor yang bekerjasama melaksanakan pembangunan sosial dikarenakan belum terbangunnya tujuan dan komitment bersama.
110
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
ANALISIS DINAMIKA KOPERASI SEBAGAI WADAH KEGIATAN SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT DESA: Studi Kasus Koperasi Binaan CSR PT. Jogja Magasa Iron Kabupaten Kulonprogo Ega Harvaliani Pembangunan dalam sebuah Negara tidak hanya bertumpu pada peran besar pemerintah. Terlebih pasca era reformasi seluruh institusi diberi kebebasan penuh untuk turut dalam proses pembangunan, khususnya di Indonesia. Hegemoni model pembangunan berbasis People Centre Development mulai meluas. Masyarakat dituntut untuk aktif memainkan perannya sebagai aktor pembangunan. Disamping itu peran sektor swasta tak kalah pentingnya. Peran ini diperkuat dengan adanya UU nomor 40 tahun 2007 yang menghimbau perusahaan untuk melaksanakan tanggung jawab sosial terhadap masyarakat dan lingkungan sekitar perusahaan. Bentuk tanggung jawab ini kemudian dikenal dengan istilah Corporate Social Responsibility (CSR). Konsep ini berawal dari pemahaman terkait kegiatan perusahaan yang terus berkembang, dimana kegiatan ini semula berorientasi pada profit yang cenderung berkiblat pada nilai ekonomi, kemudian bergeser ke arah nilai sosial. Konsep CSR ini kemudian di implementasikan ke dalam bentuk programprogram pemberdayaan masyarakat. Lambat laun seiring berjalannya waktu, CSR menjadi sebuah mainstream di dunia. Perusahaan mulai berlomba-lomba untuk merealisasikan segala agenda kegiatan terkait tanggung jawab sosial mereka terhadap lingkungan dan masyarakat sekitar. Berbagai program pemberdayaan masyarakat dicanangkan sebagai bentuk manifestasi dari konsep CSR. Hal serupa dilakukan oleh perusahaan PT. Jogja Magasa Iron kepada masyarakat sekitar proyek perusahaan dengan membentuk koperasi sebagai wujud kepedulian sosial mereka terhadap masyarakat sekitar perusahaan. Pendirian Koperasi oleh PT. JMI di beberapa desa di Kabupaten Kulonprogo berawal dari konflik antara warga dengan Pihak perusahaan yang beniat untuk menambang pasir. Kedatangan PT. JMI disambut oleh kecaman dari para warga yang merasa mata pencahariannya sebagai petani dan nelayan akan terancam dengan adanya pembangunan perusahaan tambang pasir besi. Proses pendekatan yang terus dilakukan akhirnya memberikan jalan terang bagi perusahaan. Sebagian warga melunak dan menyerahkan lahannya. Sebagai bentuk ganti rugi, PT. JMI memberikan dana kepada warga dan mendirikan koperasi di sejumlah desa.
111
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
Pada dasarnya, sesuai dengan UUD 1945 pasal 33, koperasi dibentuk atas dasar semangat kebersamaan dengan tujuan yang sama dari tiap anggotanya, yaitu terciptanya kehidupan yang sejahtera.Fenomena lain muncul ketika koperasi berdiri sebagai produk CSR perusahaan, bukan keinginan masyarakat, tulisan ini akan membahas bagaimana sejarah terbentuk koperasi yang diinisiasi oleh PT. JMI dan bagaimana kemudian perjalanan koperasi hingga saat ini. Apakah sesuai dengan prinsip koperasi, atau hanya sebatas instrument perusahaan untuk mengambil hati masyarakat ? Penelitian ini menggunakan teori strukturasi Anthony Giddens sebagai alat untuk melihat dinamika koperasi yang telah berjalan selama 3 tahun. Giddens sangat menekankan aspek ruang dan waktu, oleh karena itu peneliti akan menggunakan kerangka pemikirannya mengenai teori strukturasi untuk mengkaji secara lebih lanjut bagaimana dinamika koperasi yang dibentuk oleh PT. JMI. PT. JMI sebagai struktur memiliki peran untuk menjalankan rules dan menyediakan resources. Sedangkan masyarakat, khususnya anggota koperasi berperan sebagai aktor atau agen. Kedua unsur ini kemudian berkolaborasi hingga akhirnya menciptakan sebuah praktik sosila, yaitu koperasi. Oleh karena itu, amsyarakat dan perusahaan tergabung dalam dualitas, karena diantara mereka berjalan beriringan, tidak sendiri-sendiri. diharapkan riset ini dapat mengggambarkan bagaimana simbiosis yang tercipta antara struktur dan agen yang saling mempengaruhi satu sama lain melalui rutinitas yang dijalani dalam ruang dan waktu. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif yang mengedepankan pada kedalaman riset yang dilakukan melalui observasi, wawancara mendalam, juga analisis dokumen. Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa langkah yang ditempuh PT. JMI untuk melakukan pemberdayaan masyarakat melalui pendirian koperasi dinilai terburu-buru dan mendadak oleh masyarakat. Selain itu prosedur yang begitu cepat dalam mengurus perizinan koperasi juga menimbulkan kecurigaan tersendiri bagi masyarakat, apakah jalan yang ditempuh perusahaan murni atau tidak. Dampak positif dirasakan oleh anggota KSU FKMP Manunggal atas kerjasama dengan perusahaan, karena letak koperasi yang strategis dengan perusahaan, sehingga segala proyek perusahaan ditangani langsung oleh FKMP Manunggal. Sedangkan 8 koperasi lainnya mati suri, bahkan tak sedikit yang mengalami konflik. Hal ini dikarenakan kegiatan yang dilaksanakan hanya sebatas pinjam dan mirisnya banyak warga yang tidak bertanggung jawab keadaan lebih diperparah dengan kurangnya pendampingan perusahaan terhadap 8 koperasi lainnya. Sehingga terkesan perusahaan hanya setengah hati dalam membina 9 koperasi yang teah dibentuk.
112
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
GERAKAN JAMINAN KESEHATAN (JAMKES) WATCH DALAM MENGAWAL KEBIJAKAN BPJS KESEHATAN DI KABUPATEN BEKASI Adistiara Herwinanda Ini adalah penelitian tentang gerakan jaminan kesehatan yang di inisiasi oleh buruh (masyarakat), yang peduli tentang kebijakan jaminan kesehatan di Kabupaten Bekasi. Dari telaah bentuk-bentuk strategi gerakan yang berdasarkan aksi kolektif, penelitian ini hendak melihat bagaimana strategi mereka dalam memenuhi tujuannya yakni pemahaman dan pengetahuan masyarakat tentang jaminan sosial. Pertanyaan yang hendak dijawab adalah bagaimana peran dari Jamkes Watch sebagai sebuah gerakan sosial? Dengan mengacu pada pemahaman teoritik gerakan sosial merupakan sebuah hasil dari aksi kolektif dengan cara memobilisasi massa. Sebagai sebuah sarana untuk memenuhi tujuannya walaupun terdapat konflik didalam memenuhi tujuannya. disisi lain melihat bahwa ini merupakan tahap awal apakah sudah dapat dikatakan sebagai sebuah gerakan sosial. Penelitian ini kemudian membahas konsep tentang tahap kelahiran, latar belakang serta apa saja yang dilakukan. Maka dari itu, penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif sebagai pisau analisis untuk menjawab Jamkes Watch dapat dikatakan sebagai sebuah gerakan atau tidak. Penelitian ini melihat pergolakan sosial sebagai sebuah hasil dari respon masyarakat akan kehadiran dari kebijakan jaminan kesehatan dalam implementasinya mengalami beberapa kendala. Hasil penelitian ini menggambarkan: (1) munculnya gerakan sosial merupakan sebuah bentuk keresahan masyarakat akibat implementasi kebijakan yang tidak sesuai dengan ekspektasi. (2) resistensi gerakan sosial hadir dari instruksi organisasi masyarakat untuk mewujudkan implementasi kebijakan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. (3) strategi dengan membingkai isu jaminan kesehatan berupa advokasi, sosialisasi, memperluas jaringan. (4) konflik yang terjadi sulitnya menentukan waktu dan jumlah relawan dari internal gerakan sendiri dalam melakukan strategi mereka dan dalam pendanaan kebutuhan operasional untuk relawan. Pada akhirnya, penelitian ini berkesimpulan yakni entah aksi kolektif ini dapat dikatakan sebagai sebuah gerakan sosial maupun aksi yang berkelanjutan hingga kapan. Bahwa identitas dari gerakan sosial ini masih belum jelas namun startegi yang sudah jelas dilakukan oleh gerakan tersebut. Penelitian yang dapat dilihat bahwa gerakan sosial ini apakah akan bertransformasi sebagai sebuah gerakan politik untuk masuk dalam struktur politik dalam tingkat daerah.
113
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
DINAMIKA AKTOR DALAM PENGELOLAAN PROGRAM CSR: Studi Kasus tentang Dualisme Peran Rumah Cemara dan LPPMK dalam Program Pemberdayaan Masyarakat di Kelurahan Lomanis, Kecamatan Cilacap Tengah, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah Della Nirmala Pertanyaan penelitian yang diajukan adalah bagaimana dinamika aktor dalam pengelolaan CSR dengan adanya dualisme peran antara Rumah Cemara dan LPPMK dalam program pemberdayaan masyarakat di Kelurahan Lomanis, Kecamatan Cilacap Tengah, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah. Hal ini melihat adanya dua lembaga yang ada di Kelurahan Lomanis yang mengelola program permberdayaan dengan adanya CSR dari perusahaan. Akan tetapi pada kenyataannya, Rumah Cemara hadir sebagai lembaga yang mengisi kekosongan akibat kurangnya kinerja dari LPPMK dalam pemberdayaan masyarakat Lomanis. Rumah Cemara dibentuk sebagai lembaga khusus untuk menangani CSR perusahaan. Metode dalam penelitian menggunakan metode penelitian kualitatif deskriptif. Hal ini digunakan karena peneliti ingin menjelaskan masalah yang diteliti yang lebih mendalam. Kemungkinan untuk mendapatkan fakta-fakta terbaru yang mungkin tidak sesuai dengan rumusan masalah pada awalnya. Penelitian dilakukan dengan observasi lapangan dan wawancara mendalam kepada responden yang dipilih peneliti karena dianggap memiliki pengetahuan yang diperlukan dalam menjelaskan masalah yang sebenarnya terjadi di lapangan. CSR sebagai bagian dari perusahaan yang wajib diberikan kepada masyarakat sekitar perusahaan menjadikan adanya aktor yang berperan dalam pengelolaannya. Pengelolaan program pemberdayaan masyarakat yang berkelanjutan menjadi tujuan utama dari para aktor agar masyarakat semakin berdaya. Aktor-aktor perantara yang berperan sering mengalami perbedaan kepentingan sehingga muncul konflik di antara para aktor. Pihak perusahaan yang memberikan CSR kepada masyarakat juga melihat peran dari aktor perantara sebagai penghubung antara perusahaan dengan masyarakat. Rumah Cemara muncul sebagai sebuah organisasi yang dibentuk untuk menjadi satu pintu bagi bantuan program CSR perusahaan kepada masyarakat. Akan tetapi, di kelurahan Lomanis terdapat LPPMK (Lembaga Pemberdayaan dan Pembangunan Masyarakat Kelurahan) yang merupakan lembaga sosial dari
114
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
pemerintah. Perbedaan pandangan berasal dari PT. Pertamina Lubricants, PT. Pertamina TBBM, dan PT.Holcim. PT. Pertamina Lubricants dan PT Pertamina TBBM memberikan pandangan yang positif dengan adanya Rumah Cemara karena Rumah Cemara memnatau dan memonitoring secara langsung setiap kegiatan yang telah mendapatkan bantuan CSR dari perusahaan. Apabila ada program pemberdayaan yang kurang berjalan baik maka akan dievalusi sehingga dapat diketahui penyebabnya. Lain halnya dengan PT Pertamina RU IV yang menganggap adanya ketidakefektifan dengan adanya Rumah Cemara. Pertamina RU IV lebih memilih LPPMK karena memiliki legalitas jika dibandingkan dengan Rumah Cemara. Pihak Pertamina dan Holcim juga tidak ingin bersinggungan secara langsung dalam setiap kegiatan yang diadakan. Ketika Pertamina telah melakukan pemberdayaan di satu wilayah, maka Holcim tidak ingin masuk ke dalam wilayah itu. Demikian pula sebaliknya. Tidak ada sinergitas di antara perusahaan-perusahaan itu. Holcim lebih memilih Posdaya sebagai lembaga yang dibuat oleh Holcim sendiri untuk menyalurkan CSR. Akan tetapi, pada kenyataannya Posdaya juga tidak berjalan dengan baik sebagaimana dengan LPPMK. Rumah Cemara tidak memaksakan siapapun untuk ikut bergabung di dalamnya. Kegiatan-kegiatan yang dilakukan dapat membuktikan kinerja Rumah Cemara yang secara penuh berupaya untuk memberdayakan masyarakat Lomanis. Meskipun demikian, fungsionalisasi Rumah Cemara pada kenyataannya kurang berjalan dengan baik. Rumah Cemara yang dibuat agar menjadi Rumah Satu Pintu, belum dapat berfungsi secara optimal. Dinamika aktor di lingkungan Rumah Cemara menjadikan hambatan yang cukup berpengaruh bagi keberlangsungan Rumah Cemara. Fungsionalisasi Rumah Cemara memang tidak dapat dikatakan berhasil sesuai dengan tujuan pembentukan awal sebagai satu pintu. Dapat dikatakan bahwa keberhasilan Rumah Cemara hanya separuh dari tujuan utama. Akan tetapi, Rumah Cemara telah berusaha untuk mencapai tujuannya dalam memberdayakan masyarakat Lomanis.
115
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
116
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
117
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
118
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
POLITIK WARUNG KOPI DALAM POLITIK KESEHARIAN DAN KEWARGAAN Abdul Gaffar Karim, MA Penelitian ini berusaha untuk memberikan politik alternatif yaitu pentingnya melakukan studi politik keseharian untuk mengkaji demokratisasi di Indonesia yang mengalami stagnasi melalui kajian informal demokrasi. Penelitian ini mengangkat politik warung kopi sebagai ruang demokrasi dimana politik keseharian dan kewargaan dari masyarakat terekam dengan baik. Kedua, warung kopi menjadi politik alternatif berbasis keseharian untuk merekam dinamika politik ditengah kejemuan demokrasi procedural. Ketiga, warung kopi menjadi arena repolitisasi atas maraknya depolitisasi yang terjadi di Indonesia. Keempat menegaskan bahwa pasar bekerja secara dualis dimana di satu sisi menguatkan depolitisasi namun disisi lain menciptakan peluang repolitisasi melalui menjamurnya ruang-ruang demokrasi mengikuti logika pasar. Untuk itu, penelitian ini bermaksud untuk menjawab pertanyaan utama bagaimana politik warung kopi merekam politik keseharian sebagai pendalaman demokrasi dan politik kewargaan masyarakat dalam upaya merepolitisasi demokrasi di Bojonegoro. Pertanyaan tersebut berusaha dijawab dengan menggunakan metode penelitian yang memiliki empat tahapan. Pertama, kajian dokumen/studi pustaka. Studi pustaka dilakukan dengan mereviu studi-studi terkait dengan demokrasi, governance, dan politik keseharian dan kewargaan. Studi pustaka menjadi tahapan penting karena upaya penelitian ini adalah melakukan pendalaman demokrasi dengan politik keseharian dan politik kewargaan. Acuan utama dalam penelitian ini adalah tulisan dari Asef Bayat dan Ruth Wodak mengenai politik keseharian; Henk Nordholt, Gerry van Klinken, Edward Aspinall tentang demokrastisasi di Indonesia, termasuk hasil-hasil penelitian di Jurusan Politik dan Pemerintah seperti State of Local Democracy in Indonesia sebagai kajian asesmen demokrasi di Indonesia. Kedua, studi lapangan dengan melakukan wawancara secara informal di beberapa warung-warung kopi Bojonegoro. Wawancara ini dilakukan di bulan minggu keempat bulan Juni 2015, minggu keempat Juli 2015, dan Agustus 2015. Selain itu, penelitian ini juga menggunakan data-data lapangan dari penelitianpenelitian sebelumnya. Ketiga, analisa data. Data dan informasi dirangkum, diolah dan dianalisa.
119
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
Penelitian ini menghasilkan empat temuan yang dirangkum dalam struktur bab laporan yaitu depolitisasi demokrasi di Bojonegoro, pasar sebagai pendorong terciptanya ruang demokrasi, politik warung kopi sebagai politik keseharian dan kewargaan, dan repolitisasi demokrasi. Ke depannya, penting untuk melakukan studi politik keseharian dalam ruang-ruang demokrasi di masyarakat untuk melakukan pendalaman demokrasi dan kewargaan masyarakat. Sehingga demokrasi benar-benar milik dari demos dan keluar dari karakter elitis demokrasi prosedural.
120
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
RUANG PUBLIK DAN LOKALITAS: Studi Kasus terhadap Festival Film Purbalingga dalam Sinema Indonesia Paska Orde Baru Dr. Novi Kurnia Salah satu fitur yang menarik dalam sinema Indonesia paska Orde Baru adalah munculnya beragam festival film setelah sebelumnya hanya terdapat Festival Film Indonesia sebagai satu-satunya festival film pada era Orde Baru. Dari puluhan festival film yang lahir pada masa reformasi terdapat satu festival film yang unik karena identitas kedaerahannya yang kuat. Festival tersebut adalah Festival Film Purbalingga yang diselenggarakan setiap tahun sejak tahun 2007. Festival yang mendapatkan penghargaan sebagai festival terbaik dari Apresiasi Film Indonesia tahun 2015 ini lahir sebagai jawaban dari kurangnya infrastruktur distribusi dan eksibisi film di Purbalingga, sebuah kota kecil di Jawa Tengah. Penelitian ini bertujuan untuk melihat sejauh mana para pemangku kepentingan dalam Festival Film Purbalingga memaknai ruang publik dan lokalitas dalam relasi mereka dengan pemangku kepentingan lainnya dalam festival tersebut. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, penelitian ini menggunakan metode studi kasus dengan teknik pengumpulan data berupa focus group discussion, wawancara, studi dokumen dan studi literatur. Temuan yang menarik dari penelitian ini adalah bahwa Festival Film Purbalingga berhasil menciptakan komunitas (baru) dan ruang publik (baru) bagi para pemangku kepentingan festival tersebut. Salah satu syarat untuk terciptanya ruang publik ini adalah seluruh pemangku kepentingan dapat menegosiasikan kepentingan mereka masing-masing sesuai dengan tujuan penyelenggaraan festival. Pembuat film lokal di Purbalingga dan kota-kota sekitarnya secara aktif memproduksi berbagai ragam film independepen baik dokumenter maupun fiksi. Film-film ini diproduksi dalam bahasa lokal, Banyumasan dengan narasi lokal berdasarkan isu-isu sosial, politik, dan budaya di wilayah Purbalingga dan Banyumas sekitarnya. Distributor lokal mendistribusikan film lokal karya pembuat film lokal tidak hanya untuk diputar dan didistribusikan di Purbalingga dan wilayah Banyumas melainkan juga untuk festival film lain yang ada di Indonesia. Pemuda Karang Taruna di desa-desa dimana program Layar Tanjleb diadakan menjadi tulang punggung festival dengan menyediakan tenaga dan berbagai elemen logistik sebagai dukungan terhadap festival. Jurnalis baik dari media cetak maupun media online terlibat untuk memberitakan program
121
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
festival, film-film yang diputar di festifal maupun penyelenggara dan pembuat film yang tergabung di festival. Bahkan setelah festival usai, jurnalis melihat kegiatan pembuatan film sebagai peristiwa yang mempunyai berita yang tinggi terutama terkait dengan aktivitas budaya lokal. Penonton festival terdiri dari penonton program film Layar Tanjleb merasa kebutuhan mereka untuk menonton film-film berkualitas tapi dekat dengan mereka terpenuhi. Penonton juga merasa nyaman karena bahasa pengantar dalam film adalah bahasa yang mereka gunakan sehari-hari. Secara umum, Festival Film Purbalingga dalam sembilan tahun perjalanannya tidak hanya menarik perhatian penonton lokal melainkan juga penonton film nasional dan internasional karena keunikan festival ini terutama dalam program Layar Tanjleb dan sajian film lokal berbahasa lokalnya. Publikasi mengenai festival ini juga mulai menghiasi berbagai media lokal dan nasional. Studi mengenai festival film ini tidak hanya penting untuk mengetahui posisi festival film daerah melainkan juga untuk menempatkan pada konteks nasional sekaligus konteks internasional dimana studi mengenai festival film adalah studi yang sedang berkembang dewasa ini di seluruh penjuru dunia. Studi ini memberikan penjelasan tentang bagaimana sebuah film festival bisa berperan dalam menciptakan ruang publik sekaligus memegang peranan penting untuk memotivasi kaum muda untuk memproduksi, mendistribusikan, dan mengkonsumsi film lokal dengan penuh kebanggaan. Namun demikian, studi ini mempunyai keterbatasan karena hanya memfokuskan perhatian pada para pemangku kepentingan festival dan relasi yang ada. Studi ini tidak akan bisa menyediakan analisis mendalam mengenai isu ruang publik yang direpresentasikan dalam film-film yang diputar di festival tersebut. Topik ini menarik untuk dieksplorasi dalam penelitian mengenai Festival Film Purbalingga di masa mendatang.
122
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
PENYIARAN PUBLIK LOKAL DALAM KONSTELASI POLITIK LOKAL: Studi Kasus pada LPP Lokal di Kebumen Jawa Tengah dan Kota Batu Jawa Timur Drs. I Gusti Ngurah Putra, M.A Pengembangan kehidupan politik yang lebih demokratis di Indonesia sejak 1998 antara lain memasukan reformasi dalam bidang kelembagaan media media dengan mengacu pada amandemen UUD 1945 terutama dengan munculnya pasal 28F yang mengakui secara lebih eksplisit hak untuk menyampaikan dan memperoleh informasi bagi warganegara. Reformasi media yang penting antara lain dilakukan dengan penghapusan lembaga penyiaran pemerintah diganti dengan lembaga penyiaran publik. RRI dan TVRI ditetapkan sebagai Lembaga PenyiaranPublik (LPP). Pemerintah daerah yang sudah memiliki media penyiaran baik radio maupun televise harus mentransformasi media itu menjadi LPP lokal. Kebumen merupakan satu dari sedikit daerah di Indonesia yang memiliki kedua media penyiaran yakni Ratih TV dan Radio in FM. Keduanya harus berubah menjadi LPP lokal. Penelitian ini mengajukan pertanyaan bagaimanat ransformasi kedua media ini berlangsung. Untuk menjawab penelitian ini, studi kasus tunggal dipakai sebagai pilihan metodelogis dengan menggunakan hasil wawancara mendalam dan berbagai dokumen sebagai data. Hasil penelitian menunjukkan proses tranformasi ini belum sepenuhnya berhasil menjadikan Ratih TV benar-benar sebagai penyiaran publik yang menjalankan fungsi untuk melayani publik, independen, sebagai ruang publik dan membangun identitas kultural dengan memberi ruang pada penghargaan terhadap multikulturalisme. Secara legal, baik Ratih TV maupun Radio InFm sudah sah disebut sebagai penyiaran publik dengan IPP yang diperolehnya. Namun demikian, secara substantif, fungsinya sebagai lembaga penyiaran publik belum sepenuhnya mewujud dalam berbagai program siaran dan juga hubungannya dengan pemerintah. Sampai saat ini, kedua media ini masih menginduk sepenuhnya pada SKPD atau menjadi bagian organik SOTK Pemerintah Kabupaten Kebumen. Ini akan menyulitkannya untuk menjaga jarak dengan pemerintah. Oleh karena masih melekat dalam struktur organisasi pemerintah, berada di bawah Bagian Humas, anggaran, SDM merupakan anggaran dan SDM yang dialokasikan melalui bagian humas dan SDMnya sepenuhnya merupakan PNS bagian Humas. Posisi ini akan menyulitkan kedua media ini untuk menjalankan fungsi-fungsi jurnalisme yang menuntut adanya
123
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
objektivitas dalam peliputan dan pelaporan. Di samping itu, dengan posisi demikian, kedua media ini bisa dikendalikan oleh pemerintah sehingga berkecendrungan untuk lebih melayani kepentingan pemerintah daripada melayani kepentingan publik. Indepedensi sebagai salah satu prinsip penting dalam penyiaran publik belum sesuai dengan harapan mengingat posisinya sebagai organ penting. Gagasan untuk itu pun belum berkembang sehingga, dalam waktu dekat akan sulit berharap kedua media ini benar-benar akan memiliki indepedensi. Dengan posisi demikian, kedua media ini juga kesulitan untuk menjadikan dirinya sebagai ruang publik tempat publik bisa mendiskusikan berbagai persoalan bersama tanpa tekanan dari pemerintah atau kekuatan lain. Walau pernah ada siaran yang sempat memberi ruang pada publik untuk mendiskusikan isu-isu yang ada, intervensi pemerintah menyebabkan: pertama, tekanan untuk tidak mendiskusikan isu-isu yang memojokkan pemerintah, kedua, acara ini tidak lagi dilanjutkan atau diubah menjadi acara yang lebih terkendali. Laporan-laporan jurnalisme yang dibuatnya masih kental diisi dengan laporan tentang kegiatan pemerintah dan para pejabatnya, walau sudah ada juga laporan di luar itu, tetapi jumlahnya relatif tak signifikan. Tampaknya dibutuhkan waktu yang lebih panjang untuk benar-benar menjadikan kedua media ini sebagai media penyiaran publik, terutama yang tercermin dari indepedensi dari lembaga pemerintah atau kekuatan lain. Di samping itu, waktu panjang dibutuhkan agar para pekerjanya menyerap nilai-nilai jurnalisme yang sesuai dengan kebutuhan lembaga penyiaran publik. Selama ini para pekerja di kedua media ini merupakan PNS yang kompetensi di bidang jurnalismenya kurang memadai untuk menjalankan kegiatan jurnalisme untuk kepentingan kedua media penyiaran publik ini.
124
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
TIDAK MUDAH MEMELIHARA DAN MERAWAT RUANG PUBLIK Dr. Ana Nadhya Abrar, M.E.S Pada 9 Desember 2015 mendatang Indonesia akan mengadakan pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak. Dalam pilkada ini rakyat akan memilih kepala daerah secara langsung. Tentu saja rakyat menjadi senang. Namun, sebelum sampai keputusan pilkada secara langsung ini, terjadi polemik yang panjang antara dua kekuatan politik besar, yakni Koalisi Merah Putih (KMP) dan Koalisi Indonesia Hebat (KIH) tentang Undang-Undang (UU) Pilkada 2015. Di antara dua kekuatan itu, terdapat satu kekuatan yang tidak bisa dianggap enteng, yakni Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Sebagai mantan Presiden RI dan Ketua Umum Partai Demokrat, suara SBY sangat diperhitungkan oleh DPR yang menggodog UU Pilkada. Menyadari posisi ini, SBY memanfaatkan ruang publik yang tersedia untuk menyampaikan idenya tentang pilkada langsung. Dia menggunakan twitter untuk mempengaruhi khalayak. Twitter SBY tentang pilkada inilah yang menjadi objek penelitian untuk menjawab pertanyaan penelitian: Bagaimana implikasi twitter SBY tentang Pro-Kontra RUU Pilkada yang disiarkan sejak 26 September 2014 hingga 10 Oktober 2014 pada ruang publik? SBY adalah seorang tentara intelektual, sebelum menjadi tokoh partai. Sebagai tentara intelektual, dia paham betul bagaimana memproduksi diskursus dengan melibatkan kekuasaan. Dia melihat bahwa hanya dengan mendirikan partai politik (parpol) dia bisa berkuasa. Sebagai tokoh partai politik, dia merealisasikan diskursus berkontestasi dengan partai lain. Prinsip ini akan terus dipraktikkannya, sekalipun dia sudah tidak menjadi Presiden lagi. Penelitian ini meninjau semua twitter SBY tentang pilkada 2014 dalam posisinya sebagai Ketua Partai Demokrat. Sekalipun tokoh partai, tetap saja SBY seorang intelektual. Sudah begitu, dia sangat peduli dengan citranya sebagai seorang demokrat. Citra ini konon akan selalu dia pertahankan. Dengan konteks seperti ini, lahirlah lima kesimpulan berikut: Pertama, SBY tidak konsisten dengan idenya tentang Pilkada langsung. Dengan kondisi yang demikian, SBY sudah menggunakan ruang publik untuk kepentingan pribadinya. SBY menggunakan ruang publik hanya untuk keuntungan pribadinya. Dia belum merawat ruang publik agar bisa dimanfaatkan oleh khalayak secara optimal.
125
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
Kedua, SBY sedang berupaya menyusun opini pribadi yang menyajikan citra dan interpretasi SBY tentang Pilkada Langsung di dalam setting politik yang dia ciptakan, karena menyangkut isu yang diperhitungkan orang banyak. Opini pribadi ini dapat dimiliki bersama secara luas dengan lebih banyak orang ketimbang yang menjadi pihak pencetus masalah yakni kedua kubu lainnya. Ketiga, SBY mencoba mengajak publik untuk memahami Perppu dan mengawalnya di DPR. SBY mengajak publik turut serta dalam aksi yang dia bangun. Dalam hal ini, dia ingin larut dalam suasana publik, menyatu dengan publik, sebagai seorang demokrat sejati. Padahal pada dasarnya Perppu merupakan salah satu bentuk tanggung jawab SBY dalam mempertahankan Pilkada Langsung. Aksi walk out yang dilakukan oleh Partai Demokrat dan diketahui oleh SBY saat itu berujung pada keputusan Pilkada tak langsung dan menyakiti hati rakyat. SBY mendapat kritik pedas. Oleh karena itu, dia mencoba memperbaiki citranya melalui Perppu. Perppu, dengan kata lain, merupakan wujud dari perbaikan citranya sebagai seorang demokrat. Keempat, SBY merupakan public figure yang dikenal khalayak luas dan memiliki banyak pengikut. Melalui twitter, dia bisa mengamati respons masyarakat secara langsung, mengkonfirmasi dan, bahkan, melakukan klarifikasi. Tegasnya, dia menggunakan kelebihan yang dimiliki twitter untuk melakukan komunikasi politik dan penegakkan citra. Kelima, lewat twitter, SBY memperlihatkan bagaimana dia mengambil langkah politik yang tidak semata-mata untuk kepentingan rakyat, tetapi membangun citra dirinya yang pro rakyat. Seolah-olah segala aktivitas politiknya berbasis rakyat. Semua ini dia ciptakan melalui ruang publik. Semua kesimpulan ini diperoleh setelah mengelompokkan twit SBY berdasarkan: (i) tema umum twit, (ii) metafor yang dipakai dalam men-twit, dan (iii) konteks twit dan menganalisis data nya dengan perspektif politik yang terkandung dalam ruang publik seperti yang diperkenalkan Jurgen Habermas. Keterangan yang dipakai untuk menganalisis ini diperoleh dari internet, seperti yang tercantum dalam daftar pustaka. Dengan kata lain, peneliti mencocokkan data yang terkandung dalam twit SBY dengan kenyataan riil politik.
126
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
POLA AKSES BERITA ONLINE KAUM MUDA Lisa Lindawati, S.IP., M.Si Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi mendorong lahirnya generasi digital atau Digital Natives. Generasi yang saat ini masih tergolong kaum muda ini tumbuh dalam era informasi yang berlimpah ruah (information overload). Mereka mempunyai akses yang lebih tinggi terhadap media digital dibandingkan dengan generasi sebelumnya (Digital Immigrants). Hal ini melebarkan peluang bagi digital natives menjadi komunitas yang ‘well-informed’ dan bertransformasi menjadi ‘well-participate’. Kecepatan dan kuantitas informasi memberi peluang kaum muda terlibat dalam ruang publik sebagai organ penting bagi demokrasi. Sayangnya, information overload juga bisa menjadi bumerang bagi demokrasi itu sendiri. Informasi yang kemudian mewarnai ruang publik tidak lagi dapat dikontrol dan diverifikasi dengan mudah. Bahkan, institusi media yang seharusnya menyajikan informasi yang benar dan akurat tidak lagi dapat diandalkan. Di era informasi yang serba cepat, Jurnalisme sebagai sebuah ideologi menjadi sangat longgar. Media berlomba untuk memberikan informasi yang serba cepat dan ringkas. Padahal, kecepatan bisa jadi mengorbankan akurasi dan disiplin verifikasi. Sedangkan berita yang ringkas bisa jadi mengorbankan kelengkapan berita. Hal ini membawa kekhawatiran tingkat kepercayaan masyarakat terutama kaum muda terhadap media online memburuk. Disamping itu, kemampuan kaum muda dalam memilah dan memilih berita yang relevan juga dipertanyakan. Alih-alih membentuk kaum muda yang ‘well informed’ dan ‘well participate’, kualitas informasi, dalam hal ini berita, yang buruk justru akan merentangkan jarak digital natives dengan kehidupan berdemokrasi. Penelitian ini diawali dengan Depth Interview kepada 6 kaum muda dengan latar belakang pendidikan, ekonomi, dan tempat tinggal yang beragam. Langkah ini dilakukan untuk menggali detail perilaku kaum muda ketika mengakses berita online. Hasil dari wawancara mendalam menjadi acuan dalam menyusun kuesioner. Kemudian, kuesioner disebarkan secara online (online survey) untuk menjangkau kaum muda yang lebih banyak dan beragam. Ada setidaknya 139 kaum muda yang menjadi responden dalam penelitian ini, dengan variasi umur, latar pendidikan, dan tempat tinggal yang beragam. Hasil dari kedua metode tersebut menjadi pijakan dalam pengambilan kesimpulan.
127
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Digital Natives menyikapi information overload sebagai sebuah fakta bukan suatu permasalahan. Sebagian besar dari mereka selalu terkoneksi dengan internet dan menghabiskan waktu 4-6 jam setiap harinya. Sebagian besar kaum menggunakan smartphone untuk mengakses internet. Kedekatannya dengan teknologi digital ini menjadikan para Digital Natives menempatkan internet sebagai sumber berita utama dibandingkan dengan media konvensional seperti Televisi, Radio, maupun Surat Kabar Cetak. Hanya saja, internet belum mendapat kepercayaan penuh dari kaum muda. Surat Kabar dan Televisi masih menjadi media yang lebih dipercaya dibanding internet. Meskipun demikian, membaca berita menjadi aktivitas wajib kedua yang mereka lakukan ketika mengakses internet selain mengobrol (chatting). Berita sudah menjadi keseharian mereka untuk mengikuti perkembangan zaman. Motif ini terlihat dari kebiasaan mereka mengikuti timeline media sosial mengenai peristiwa-peristiwa terkini. Para Digital Natives juga terbiasa membandingkan sumber berita yang satu dengan sumber berita yang lain. Mereka tidak mudah percaya dengan satu sumber berita. Setidaknya mereka memerlukan 3-4 sumber berita sebagai pembanding. Hanya saja, sebagian dari mereka tidak konsisten dalam mengikuti perkembangan berita. Mereka bergantung pada timeline media sosial dibandingkan secara aktif mengikuti perkembangan suatu isu dari sumbernya langsung. Hal ini berpotensi untuk menimbulkan pemahaman yang tidak utuh atas suatu peristiwa. Disamping itu, yang menarik dari penelitian ini adalah harapan mereka terhadap berita online. Kecepatan yang selama ini didewakan oleh para jurnalis online ternyata bukan karakter terpenting yang dibutuhkan oleh kaum muda. Kejelasan berita menjadi prioritas utama, baru kemudian ringkas dan cepat. Menariknya, disamping membutuhkan berita yang jelas, kaum muda juga menginginkan berita online yang mendalam. Hal ini perlu mendapat perhatian lebih mendalam dari peneliti dan menjadi pekerjaan rumah bagi institusi media online.
128
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
MENGANALISIS FUNGSI PENYIARAN TELEVISI LOKAL DI WILAYAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA (DIY) DAN JAWA TENGAH Rahayu, M. Si., MA Fungsi televisi lokal sebagai lembaga penyiaran di daerah (Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan Jawa Tengah) masih jauh dari ideal. Keterbatasan dana dan konsentrasi manajemen dalam mempertahankan eksistensi lembaga menyebabkan keterbatasan fungsi tersebut. Meningkatnya kerjasama antara televisi lokal dengan televisi Jakarta, tidak cukup memberikan kontribusi. Empat fungsi televisi lokal yang menjadi perhatian penelitian ini -yaitu fungsi informasi, fungsi hiburan, fungsi pelestarian budaya, dan fungsi watchdog dan ruang publik- tidak sepenuhnya berjalan dengan baik. Dalam hal penyajian informasi, jumlah program informasi yang cukup banyak dimiliki oleh beberapa televisi lokal tidak paralel dengan muatan lokal yang dipresentasikannya. Di sini, informasi tentang Jakarta nampak dominan daripada informasi yang mengangkat dinamika kehidupan masyarakat lokal. Penyajian hiburan juga menunjukkan kecenderungan yang sama. Beberapa televisi lokal yang berjaringan dengan televisi Jakarta berfungsi hanya sebagai penyalur acara-acara hiburan yang berasal dari induknya. Keleluasaan untuk merancang sendiri program dengan basis lokal sangat terbatas. Di samping itu, ada kesan yang cukup kuat bahwa pengelola televisi lokal tidak cukup familiar dengan keberagaman seni budaya masyarakat setempat. Persoalan ini menyebabkan tampilan hiburan mengarah pada kesenian daerah yang selama ini telah cukup populer –seperti campur sari, wayang kulit, karawitan dan sejenisnya- sehingga variasi ekspresi seni budaya lain menjadi terbatas. Penonjolan sensasionalisme dalam penyajian hiburan demi mendongkrak jumlah pemirsa menjadi keprihatinan tersendiri. Terkait dengan fungsi televisi lokal sebagai watchdog, hal ini masih belum cukup nampak. Fakta di lapangan menunjukkan televisi lokal lebih cenderung menyajikan informasi tentang sosialisasi program-program pemerintah daerah daripada melakukan kontrol atau kritik terhadap jalannya pemerintahan. Relasi interdependensi antara pemerintah daerah dengan televisi lokal membatasi berjalannya fungsi watchdog. Fungsi televisi lokal sebagai ruang publik juga masih sangat terbatas. Di satu sisi, hanya sedikit pengelola televisi lokal yang berkomitmen memberikan ruang bagi diskusi publik. Di sisi lain, partisipasi masyarakat untuk mengisi ruang tersebut juga masih terbatas. Meskipun pencapaian fungsi-fungsi tersebut lebih banyak ditentukan oleh manajemen, namun peran pemiliki televisi lokal menjadi kunci. Komitmen terhadap
129
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
penyiaran lokal dan bagaimana penyiaran dapat berfungsi bagi masyarakat lokal menjadi acuan pokok bagi pengembangan strategi lembaga. Peran kunci lain yang tidak kalah penting dipegang oleh regulator penyiaran, sejauh mana komitmennya dalam mengatur sistem penyiaran yang demokratis dan berkeadilan sosial -seperti amanat konstitusi- sangat menentukan perkembangan penyiaran lokal ke depan.
130
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
KONSUMSI FILM PENONTON FESTIVAL FILM LOKAL: Studi Etnografi Penonton Festival Film Purbalingga 2015 Ajeng Devita Penelitian ini mencoba menunjukkan bagaimana penonton Festival Film Purbalingga (FFP) 2015 melakukan praktik konsumsi terhadap film yang mereka tonton di festival tersebut. Penelitian ini menggunakan metode etnografi untuk menjawab pertanyaan penelitian. Observasi partisipatif, wawancara, dan studi dokumen dilakukan untuk menggali data. Informan dalam penelitian ini berjumlah tiga orang yang terdiri dari satu orang siswa SMA, satu orang penonton setia yang berasal dari warga Purbalingga, dan satu orang penonton yang berasal dari komunitas. Penelitian dilakukan selama satu bulan, yakni pada tanggal 2-30 Mei 2015 sepanjang festival berlangsung di Purbalingga dan di Banyumas Raya. Sejak regulasi tentang penyelenggaraan festival film di Indonesia mulai melonggar, banyak festival film yang kemudian lahir dan berkembang, salah satunya adalah Festival Film Purbalingga (FFP). FFP adalah sebuah festival film yang dengan layar tancapnya berhasil menjamah desa-desa terpencil, memutar dan melombakan film-film karya pelajar yang dekat dengan kehidupan masyarakat sekitar, dan memiliki hubungan yang menarik dengan pemerintah kabupaten setempat. Kualitas film Indonesia memang sepenuhnya ada di tangan pembuat film. Namun, kualitas perfilman Indonesia justru ada di tangan penonton. Sebagai bagian dari stakeholder sebuah festival film, penonton dapat mempengaruhi dan dipengaruhi oleh jalannya festival film. Hal inilah yang melatarbelakangi penelitian ini, mengapa kemudian ‘penonton’ menjadi objek yang penting untuk dikaji. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penonton Festival Film Purbalingga 2015 memiliki pola-pola konsumsi seperti pengaruh lokasi menonton, dukungan komunitas, tujuan menonton, dan preferensi menonton film lokal. Lokasi menonton, yaitu menonton di hall dan menonton di layar tancap berpengaruh terhadap perilaku penonton. Penonton di kedua lokasi ini pun cukup berbeda. Penonton layar tancap adalah warga desa di sekitar lokasi layar tancap sedangkan penonton hall terdiri dari pelajar, undangan, dan juga komunitas film. Dukungan komunitas ataupun orangorang di sekitar penonton mempengaruhi konsumsi film penonton. Penonton setia FFP memiliki kedekatan dengan penyelenggara, penonton komunitas datang untuk menikmati film, dan penonton pelajar datang atas dorongan atau kewajiban dari sekolah. Preferensi utama dari penonton FFP adalah film-film lokal yang diputar dan
131
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
dikompetisikan di festival ini. Penonton lokal Banyumas dapat melihat diri mereka sendiri melalui film, sedangkan penonton di luar Banyumas mendapatkan gambaran mengenai kehidupan orang-orang di Banyumas melalui film-film lokal yang diputar di festival ini. Penonton FFP 2015 dapat menemukan ‘local content’ atau issue-issue lokal seputar Banyumas Raya. Selain itu, dalam memaknai festival film terdapat dua jenis penonton, yakni penonton yang menghadiri festival untuk menonton film dan penonton yang mengadiri festival untuk menikmatinya sebagai sebuah event. Penonton yang menghadiri festival untuk menonton film memiliki ketertarikan yang besar terhadap film. Penonton jenis ini biasanya berasal dari komunitas film atau pegiat film yang telah terliterasi. Konsentrasi tinggi saat menonton, lokasi menonton, menonton film secara penuh, banyaknya jumlah film yang ditonton, dan pemaknaan terhadap film melalui elemen-elemennya seperti pengambilan gambar, latar suara, pewarnaan, dan editing merupakan pola konsumsi yang nampak pada penonton yang datang ke festival film karena kekuatan dari film-film yang diputar. Festival film juga memungkinkan penontonnya untuk datang menikmati festival sebagai sebuah event. Penonton memanfaatkan festival film untuk mengisi waktu luang dengan hiburan film ataupun untuk berkumpul bersama teman dan menambah kenalan baru. Festival film yang menjadi titik temu berbagai komunitas dan pecinta film juga dimanfaatkan untuk saling bertukar informasi dan memperluas jaringan antar komunitas. Selain itu, FFP juga dimaknai sebagai ajang unjuk gigi bagi sekolah-sekolah yang filmnya lolos menjadi finalis. Penonton-penonton pelajar memenuhi ruang pemutaran untuk mendukung film dari sekolahnya dan merayakan FFP sebagai peristiwa bergengsi baginya dan bagi sekolahnya. Terakhir, untuk penelitian sejenis sebaiknya peneliti dapat melakukan pendekatan yang lebih baik dengan informan sehingga lebih banyak lagi informasi yang bisa digali. Pembatasan masalah yang jelas dan juga ketegasan dalam reduksi data akan membuat penelitian menjadi lebih jelas dan tidak jauh melebar. Masih banyak hal yang menarik untuk dilihat dari festival ini. Untuk penelitian selanjutnya, bisa dikaji topik-topik yang lebih spesifik seperti pemetaan penonton dari setiap kabupaten, ataupun resepsi makna dari penonton FFP terhadap film-film lokal yang diputar di festival ini.
132
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
REPRESENTASI MEME SUSILO BAMBANG YUDHOYONO (SBY) DI MEDIA SOSIAL: Sebuah Analisis Semiotika pada Kasus Kontra RUU Pilkada 2014 di Twitter Melalui Tagar #ShameOnYouSBY Cyntia Ayu Hera Pratami Wibowo Tagar #ShameOnYouSBY lahir sebagai ekspresi kekecewaan rakyat yang merasa direbut haknya untuk memilih Kepala Daerah-nya sendiri, dan merasa ditinggalkan oleh Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), sosok yang menurut mereka dapat membalikkan keadaan, serta figur dari demokrasi itu sendiri. SBY yang kala itu sedang berada di New York, Amerika Serikat untuk menghadiri pelbagai sidang di markas Perserikatan Bangsa-Bangsa, sebagai Ketua Umum Partai, seakan tidak mempunyai kuasa untuk menahkodai partainya, dan di ujung masa jabatannya sebagai Presiden Indonesia malah memiliki andil besar dalam kemunduran demokrasi. Namun, jika melihat secara obyektif, bukan hanya tagar #ShameOnYouSBY, idealnya, tagar-tagar lain harusnya juga bermunculan untuk mengkritik Koalisi Merah Putih yang memiliki tendensi balas dendam atas kekalahan capres yang diusungnya, dan Koalisi Gotong Royong yang terbukti gagal membangun komunikasi politik dengan partai lain, terutama Partai Demokrat. Sempat menjadi fenomena di media sosial twitter dengan menduduki peringkat 1 trending topics world wide pada akhir tahun 2014 lalu, Tagar #ShameOnYouSBY muncul dengan berisikan meme-meme provokatif atas tokoh SBY, Mantan Presiden ke-6 Republik Indonesia, yang digambarkan melalui berbagai tanda baik verbal maupun non verbal. Pilihan tanda (sign) dalam komunikasi menjadi sangat mendasar dalam menciptakan makna-makna tertentu, dan dalam hal ini adalah yang dihadirkan pada meme-meme tersebut. Meme yang muncul terkait dengan SBY melalui tagar #ShameOnYouSBY menyuguhkan makna dan tanda yang secara langsung maupun tidak langsung akan membentuk sosok SBY. Penggambaran yang secara terus menerus dilakukan para pembuat meme pada akhirnya akan merepresentasikan sosok SBY dibenak khalayak. Untuk itu, penelitian ini memilih untuk meneliti representasi SBY di media sosial, tempat dimana tagar ini lahir, yaitu twitter. Analisis yang dilakukan terutama pada bagaimana hubungan antara gambar, teks, dan makna yang terhubung satu sama lain untuk membentuk pesan sosial, pesan politik, emosi publik, atau sekedar membuat humor yang menghibur. Peneliti menguji lima sampel meme yang tersebar lewat tagar #ShameOnYouSBY di twitter dan menghubungkan antara gambar, teks, dan makna menggunakan semiotika yang
133
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
dijabarkan ke dalam bentuk tabel pemaknaan. Berdasarkan hasil dari proses semiosis tersebut, penelitian ini menemukan bahwa para pembuat meme yang berpartisipasi dalam tagar tersebut memiliki kecenderungan yang sama, yaitu menghina. Sosok SBY direpresentasikan secara negatif, namun dengan cara yang menarik. Untuk penelitian selanjutnya, disarankan agar penelitian sejenis ini dikembangkan pada penelitian yang lebih mendalam khususnya terkait dengan teknik pembuatan meme.
134
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
RISET JURUSAN - MAHASISWA:
TEORI DAN MEDIA SOSIAL
135
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
136
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
PANORAMA KOMUNIKASI: GAGASAN, RELEVANSI DAN APLIKASINYA Dr. Budi Irawanto, dkk Penelitian ini merupakan pelacakan terhadap sejumlah teori komunikasi untuk menangkap gagasan pokoknya, menemukan relevansinya dan menunjukkan aplikasinya terutama dalam konteks masyarakat Indonesia. Penelitian ini didorong oleh temuan riset yang dilakukan oleh Tim Jurusan Ilmu Komunikasi pada 2014 yang mengindikasikan kesulitan mahasiswa komunikasi dalam memahami teori komunikasi dan harapan mereka pada buku teks teori komunikasi yang menyajikan contoh kasus atau fenomena dalam kehidupan sehari-hari di Indonesia. Oleh karenanya, penelitian ini berupaya mendeskripsikan argumen pokok teori komunikasi berserta kritik yang menyertainya serta mendiskusikan signifikasi teori-teori komunikasi itu dalam menganalisa gejala komunikasi di Indonesia Setidaknya ada tiga temuan penting penelitian ini, antara lain: pertama, teori komunikasi lahir dari konteks perdebatan intelektual di Barat yang tidak jarang merupakan gugatan (kritik) terhadap pandangan teoritis sebelumnya, namun juga menjadi upaya penyempurnaan teori sebelumnya. Perdebatan itu berakar pada perbedaan dalam melihat dan memaknai fenomena komunikasi dari sudut pandang tertentu maupun perbedaan dalam menyodorkan bukti-bukti bagi pengkonstruksian teori tersebut. Kedua, teori komunikasi sesungguhnya merupakan ikhtiar untuk memahami fenomena komunikasi dengan segala kompleksitasnya mulai dari tataran individu, kelompok, publik, organisasi hingga masyarakat. Karena itu, teori komunikasi senantiasa berkembang secara dinamis seiring dengan perubahan yang berlangsung dalam masyarakat terutama yang dipicu oleh perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Ketiga, teori komunikasi telah melahirkan serangkaian penelitian yang membuktikan atau memperkuat tesis yang dibangun oleh teori itu. Penelitian tersebut secara inovatif menggunakan beragam metode agar mampu menangkap fenomena komunikasi secara tuntas serta mempertajam daya analitik teori tersebut dalam memberikan eksplanasi terhadap fenomena komunikasi yang diteliti. Penelitian ini menggunakan metode studi pustaka yang mengidentifikasi sejumlah teori, terutama yang berasal dari teks berbahasa Inggris. Ada sekitar delapan teori komunikasi yang berhasil diidentifikasi, antara lain: teori negosiasi muka, teori kelompok bisu, teori pandangan interaksional, teori narasi, teori budaya organisasi, teori informasi organisasi, teori ekologi media dan teori kultivasi. Bertolak dari
137
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
delapan teori komunikasi tersebut, maka dilakukan pelacakan data berupa kasus empiris yang relevan dengan teori yang diulas lewat pemberitaan media massa. Di samping itu, pengumpulan data juga dilakukan pada situs berbasis video seperti YouTube sebagai sumber informasi yang tidak bisa diabaikan dalam masyarakat yang berbasis budaya visual. Simpulan penting yang bisa ditarik dari penelitian ini adalah teori-teori komunikasi tersebut memberikan penjelasan konseptual terhadap gejala komunikasi di berbagai tataran (individu, kelompok, organisasi, publik, dan masyarakat) serta memiliki akarnya pada perdebatan intelektual maupun kondisi masyarakat yang melatarinya Di samping itu, kemampuan eksplanatif teori ternyata memerlukan dukungan riset yang sistematis sehingga tampak relevansi teori komunikasi tersebut sekaligus menjadi bukti empiris pengaplikasiannya. Penelitian ini masih terbatas pada pelacakan terhadap teori-teori komunikasi yang dirumuskan dalam konteks masyarakat Barat (Amerika) dan belum menggali khasanah teori dengan perspektif Asia atau bahkan Asia Tenggara. Kendatipun teori yang dirumuskan dalam masyarakat Barat dalam beberapa hal memiliki relevansinya dalam masyarakat Indonesia, teori-teori komunikasi itu tetap menyimpan bias pada kondisi masyarakat Barat. Di samping itu, tidak semua teori komunikasi mampu menginspirasi pelbagai riset dengan keragaman objek penelitiannya maupun konteks yang bervariasi. Dengan demikian, penting dilakukan pelacakan terhadap teori yang memiliki konteks maupun perspektif yang berakar pada masyarakat Asia (termasuk Asia Tenggara) agar fenomena komunikasi yang ada di masyarakat Asia bisa terbaca secara konseptual. Begitu pula, riset komunikasi lebih bervariasi dan imajinatif diperlukan untuk menakar relevansi atau signifikansi teori yang memiliki basis pada kondisi yang ada dalam masyarakat.
138
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
MEDIA BARU DALAM RAGAM LOKUS DAN PERSPEKTIF: Studi Literatur Institusi, Produksi, Konten, dan Akses Media Baru Wisnu Martha Adiputra, M. Si., dkk Kemunculan dan perkembangan media baru memberikan konsekuensi logis para pemahaman ilmu komunikasi dan kajian media. Di satu sisi media baru memperkaya lokus dan perspektif keilmuan, di sisi yang lain mengembangkan ilmu komunikasi dan kajian media menjadi lebih luas dan semakin terkait dengan ilmu yang lain, terutama psikologi, studi ekonomi politik dan teknologi informasi dan komunikasi. Lokus lama ilmu komunikasi dan kajian media tetap menjadi wilayah yang penting ketika dikaitkan dengan media baru. Fenomena ini terlihat dari kajian periklanan dan kehumasan yang semakin berelasi dengan media baru. Demikian pula dengan produksi konten berita dan konten fiksi yang semakin dibahas dengan mendalam ketika media baru digunakan dengan ekstensif. Kemampuan individu menyebarkan informasi yang bersifat sindiran melalui meme misalnya, sedikit banyak memperkuat fungsi memberikan informasi dan menghibur dari media. Selain itu, lokus baru ilmu komunikasi dan kajian media juga lahir sebagai akibat perkembangan media baru yang sangat cepat. Kajian mengenai komunitas fan misalnya, kemampuan pengguna mengakses, menganalisis, sekaligus memberikan tafsir baru atas teks awal yang didapatkan menjadikan relasi produsen teks dengan pengakses semakin intim dan dekat, namun juga problematik. Sebagai akibat perkembangan media baru studi audiens perlu ditinjau kembali dan dikembangkan agar lebih kaya dan mendalam. Studi game adalah salah satu lokus keilmuan baru yang kini semakin menarik perhatian untuk dikaji mengingat popularitas sekaligus penetrasi teks media baru ini semakin tinggi di masyarakat. Keberagaman pemaknaan gamer atas satu teks game misalnya, memerlukan banyak pengetahuan baru agar bisa dijelaskan dengan lebih mendalam. Melalui riset ini perspektif yang sejak awal digunakan semakin penting, misalnya saja perspektif politik untuk melihat penerapan prinsip keterbukaan informasi publik ketika suatu lembaga publik telah menggunakan internet. Perspektif sosiokultural juga masih digunakan untuk mengamati fenomena media baru, misalnya saja pengaruh konteks lokalitas budaya dalam penggunaan media sosial.
139
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
Walau demikian, perkembangan media baru juga turut mendorong perspektif baru untuk digunakan dalam melihat fenomena ilmu komunikasi dan kajian media. Aspek terpenting adalah pada produsen pesan terinstitusi yang semakin intens menerapkan perspektif strukturasi misalnya, agen dan struktur dalam produksi, distribusi, dan akses teks pada media baru sulit untuk diamati secara monolit. Perspektif yang bervisi untuk mengamati media baru secara makro cenderung tidak memadai untuk mengamati kasus-kasus terkini dari penggunaan media baru. Bentuk new economy seperti yang dijelaskan oleh Manuel Castells misalnya, dapat dengan mudah diamati pada para aktivis media sosial yang menunjukkan tegangan antara agen dan struktur ketika konsekuensi tindakan informasional hadir pada konteks lokal. Diharapkan hasil penelitian ini semakin mendorong antusiasme pembelajar untuk memperdalam kajian media baru sekaligus memberikan pemahaman pada kondisi kontemporer secara akademis maupun strategis.
140
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
URGENSI LITERASI DIGITAL UNTUK PELAJAR SMA Penelitian Survei Tingkat Literasi Digital Pelajar Sekolah Menengah Atas-Negeri di Daerah Istimewa Yogyakarta Rezha Rosita Amalia Perkembangan internet sebagai media digital membawa banyak pengaruh terhadap kehidupan manusia. Salah satu contoh pengaruh negatif internet bagi kehidupan sosial (merujuk pada kehidupan fisik), yakni manusia menjadi kecanduan dan terlalu bergantung dengan teknologi komunikasi yang terhubung dengan internet, sehingga seringkali manusia lupa untuk bersosialisasi dan berkomunikasi dengan sesama manusia secara langsung. Namun demikian, di sisi lain internet juga memiliki pengaruh positif yang dapat dirasakan manusia ialah semakin luasnya jaringan komunikasi yang dapat dilakukan. Manusia menjadi terhubung satu dengan lainnya di berbagai belahan dunia dengan mudah karena internet. Kemunculan media sosial dan aplikasi sosial lainnya membuat manusia dipermudah dalam mencari informasi serta menjalin komunikasi. Implikasi dari hal tersebut ialah muncul dan berkembangnya masyarakat digital. Masyarakat digital merupakan sekumpulan individu yang memiliki kesamaan minat atau visi yang sama, kemudian terhubung melalui internet. Sebagai masyarakat digital, setiap individu di dalamnya memiliki karakter, yakni memiliki e-skill dan literasi digital. Kedua kemampuan ini sama-sama menuntut manusia untuk trampil dalam penggunaan teknologi digital, seperti pengoprasian komputer, smartphone, dan lainnya yang terhubung dengan internet. Namun demikian, di dalam litersi digital, manusia tidak hanya dituntut untuk menguasai penggunaan teknologi secara teknis semata, tetapi juga manusia dituntut untuk mampu memahami pesan atau informasi yang disampaikan lewat internet secara kritis, dan manusia mampu menjalin hubungan sosial serta berpartisipasi dalam masyarakat lewat internet. Untuk menjalin hubungan sosial lewat internet, manusia perlu menerapkan netiket (nettiquette=netter ettiqutte), yakni aturan yang perlu ditaati oleh masyarakat digital ketika tengah berinteraksi satu sama lain (Pratama, 2014: 76). Netiket inilah yang kadang dilupakan oleh masyarakat digital, termasuk pelajar di tingkat menengah atas yang masuk dalam kategori digital natives. Untuk itulah penelitian ini dilakukan untuk mengetahui tingkat literasi digital pelajar menengah atas. Penelitian difokuskan pada pelajar SMA Negeri di Daerah
141
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
Istimeway Yogyakarta dengan berbagai pertimbangan. Metode yang digunakan untuk penelitian kali ini ialah metode survei, di mana peneliti menggunakan kuesioner sebagai instrumen penelitiannya. Peneliti menyasar setiap wilayah (kotamadya dan kabupaten) di provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan mengambil sampel pelajar di dua SMA Negeri berbeda di masing-masing wilayah. Dari hasil penelitian diperoleh temuan yang menunjukkan bahwa kemampuan teknis pelajar SMA Negeri di Daerah Istimewa Yogyakarta sudah masuk dalam kategori mahir. Pelajar sudah menguasai penggunaan beragam perangkat teknologi keras dan lunak. Smartphone menjadi perangkat teknologi keras yang paling banyak dikuasai, sementara web browser menjadi perangkat teknologi lunak yang paling banyak dikuasai. Sementara pada kemampuan menggunakan internet secara aktif dan seimbang diketahui bahwa pelajar cenderung menggunakannya untuk berkomunikasi dengan orang lain. Meskipun diketahui juga bahwa penguasaan fungsi media internet sebagai media mencari informasi, media belajar dan media hiburan sudah baik. Sebaliknya, kemampuan menggunakan internet secara advanced masih cenderung kurang. Pada komponen pemahaman kritis, diketahui bahwa pemahaman pelajar sudah baik. Mereka mampu menganalisis, mengevaluasi, dan melakukan sintesis terhadap konten yang disajikan internet. Begitu pula dengan pengetahuan mereka tentang netiket. Terlihat bahwa pelajar cenderung tidak mengakses dan menyebarkan konten pornografi ataupun kekerasan. Akan tetapi dari hasil temuan terlihat bahwa kesadaran mereka untuk mengakses dan menyebarkan file bajakan masih kurang. Sementara perilaku pelajar selama menggunakan internet terlihat bahwa cukup banyak yang cenderung memanfaatkan kemudahan yang diberikan, seperti penggunaan kolom menu search, membaca thread, dan membaca daftar FAQ. Pada kemampuan berkomunikasi dan berpatisipasi juga terlihat bahwa pelajar sudah cenderung aktif menggunakan media sosial. Dari hasil penelitian, facebook masih mejadi primadona. Dalam membangun relasi sosial secara keseluruhan pelajar sudah menyadari dan menerapkan netiket, meskipun dari hasil temuan terlihat bahwa penggunaan kata atau istilah vulgar bukan menjadi persoalan bagi beberapa di antara mereka. Hasil ini perlu menjadi koreksi berbagai pihak agar mereka mampu membangun relasi dengan berkomunikasi yang baik dan sehat. Dari hasil temuann diketahui bawa pelajar sudah mulai menyadari bahwa perubahan sosial dapat dilakukan dengan berpartisipasi dalam internet melalui gerakan sosial online. Gerakan sosial online online yang cenderung diikuti ialah Earth Hour Indonesia. Sementara pada penggunaan metode kolaboratif, terlihat bahwa metode media sites
142
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
like cenderung menjadi piliha mereka. Dalam memproduksi dan mengkreasi konten diketahui bahwa pelajar cenderung menggunakan jejaring sosial dibandingkan milis atau forum. Kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ialah tingkatan literasi digital pelajar SMA Negeri di Daerah Istimewa Yogyakarta sudah berada di tingkat advanced. Secara keseluruhan dapat diketahui dari penelitian bahwa kemampuan teknis, pemahaman kritis dan kemampuan berkomunikasi dan berpartisipasi pelajar SMA Negeri di Daerah Istimewa Yogyakarta sudah sangat baik. Peneliti merekomendasikan kepada peneliti selanjutanya untuk memperdalam bahasan topik literasi digital terutama pada aspek atau komponen pemahaman kritis dan komunikasi serta berpartisipasi. Penelitian dua aspek ini disarankan agar lebih diperdalam menggunakan metode kualitatif, sehing data dan informasi yang dapat digali lebih bervariasi dan mendalam. Akan ada banyak temuan menarik jika peneliti lain mengembangkannya, sehingga mampu melengkapi hasil temuan penelitian ini.
143
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
RATIH TV DAN IN FM SEBAGAI MEDIA KEHUMASAN PEMERINTAH KABUPATEN KEBUMEN M. Awwaludin Jamil Penelitian ini dilakukan untuk mencoba mengetahui bagaimana Humas Pemkab Kebumen memanfaatkan In Fm dan Ratih TV menjadi saluran komunikasi humas pemerintah daerah. Seperti kita tahu bahwa In Fm dan Ratih TV mulanya memang merupakan lembaga penyiaran milik pemerintah Kabupaten Kebumen yang notabene digunakan sebagai media ‘corong’ pemerintah daerah, pengelolaannya pun berada dibawah kewenangan Bagian Humas Pemkab Kebumen sehingga bisa dikatakan bahwa kedua media tersebut merupakan media Humas Pemkab Kebumen. Seiring dengan diberundangkannya undang-undang No 32 Tahun 2002 Tentang Penyiaran telah membuat status In Fm dan Ratih TV dari yang semula lembaga penyiaran pemerintah daerah berubah menjadi lembaga penyiaran publik lokal, perubahan ini membawa konsekuensi bahwa kepemilikan In Fm dan Ratih TV tidak lagi berada dibawah Pemkab Kebumen,karena lembaga penyiaran publik lokal merupakan lembaga yang netral dan independen. Maka dari itu peneliti ingin mengetahui bagaimana praktik pemanfaatan Humas Pemkab Kebumen terhadap In Fm dan Ratih TV sebagai saluran komunikasi humas pemerintah daerah setelah menjadi lembaga penyiaran publik, mengingat pernah adanya hubungan menejerial diantara kedua lembaga tersebut. Kemudian, apakah lembaga penyiaran publik lokal tersebut mampu menjaga aspek indepensitas dan netralitas sebagai ruang publik bagi masyarakat Kebumen, dan mampu menjadi media penyalur aspirasi publik. Untuk melihat fenomena tersebut dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode studi kasus kualitatif dimana metode tersebut dianggap mampu memberikan pembahasan data yang mendalam tentang suatu kasus yang spesifik. Sedangkan metode penelitian kualitatif sendiri merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data diskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Adapun data dalam penelitian ini akan diperoleh melalui wawancara mendalam dengan pihak Ratih TV dan In Fm, observasi langsung terhadap program siaran kehumasan baik di In Fm maupun Ratih TV dan analisis dokumen-dokumen tentang penyiaran Ratih TV dan In Fm. Setelah melakukan penelitian, akhirnya peneliti menemukan beberapa hal yakni: 1) Bahwasannya perubahan status baik In Fm dan Ratih TV menjadi lembaga penyiaran publik lokal nampaknya masih setengah hati, hal ini dapat diilihat dari
144
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
Perbup No 28 Tahun 2012 Tentang Penyelenggaraan Lembaga Penyiaran Publik Lokal Kabupaten Kebumen yang menyatakan sementara belum diangakatnya dewan pengawas dan dewan direksi sesuai amanat Perda guna kelancaran pengelolaan Ratih TV dan Radio In Fm maka kordinasi tentang penyelanggaraan Ratih TV dan In Fm ada di kewenangan di Kabag Humas dan Protokol, disitu dapat kita lihat bahwa ternyata secara struktural In FM dan Ratih TV masih belum independen. 2) Belum adanya dewan pengawas yang ditetapkan oleh Bupati Kebumen atas usulan dari DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) Kabupaten Kebumen setelah dilakukan uji kepatutan dan kelayakan secara terbuka atas masukan pemerintah daerah dan/ atau masyarakat. Berdasarkan Perda No 10 dan 11 Tahun 2009 Tentang Pembentukan Lembaga Penyiaran Publik Lokal Radio dan Televisi Kabupaten Kebumen. Jadi Dewan Pengawas yang ada sekarang merupakan hasil dari penunjukan Kabag Humas. 3) Belum adanya Dewan Direksi yang diangkat menurut ketentuan UU penyiaran maupun Perda lembaga penyiaran publik lokal. Jadi sifatnya juga penunjukan. 4) Sebagian besar posisi strategis baik di In Fm dan Ratih TV diisi oleh Pegawai Negeri Sipil yang notabene juga merupakan staf Bagian Humas dan Protokol Setda Kabupaten Kebumen. 5) Disamping dari APBD sumber pendanaan berasal dari iklan layanan masyarakat, akan tetapi dalam prakteknya pendapatan tersebut wajib disetorkan ke kas Pemkab Kebumen. Untuk penelitian selanjutnya dapat difokuskan untuk melihat seberapa besar kefektifan penggunaan media penyiaran publik lokal sebaga saluran komunikasi humas pemerintah daerah. Jadi, dalam penelitian selanjutnya data, pembahasan dan analisis nantinya akan difokuskas untuk melihat seberapa besar tingkat efektifitas media penyiaran publik lokal sebagai saluran komunikasi humas pemerintah daerah dan dampaknya terhadap masyarakat.
145
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
POLA KERJASAMA TELEVISI LOKAL BERJARINGAN: Studi Kasus iNews TV Semarang Dimeitrianus Aninditya P Bisnis televisi lokal di Indonesia pernah menjadi sebuah tren, banyak televisi lokal yang muncul terutama setelah ditetapkannya UU no 32 tahun 2002 tentang penyiaran. Namun begitu, banyak televisi lokal yang akhirnya malah bangkrut dan hilang begitu saja. Beberapa yang masih bertahan menoba untuk menggandeng stasiun televisi yang berada di Jakarta untuk berjaringan, beberapa mencoba berjaringan dengan televisi lokal di daerah lain, dan yang lain mencoba mencari pemasok program acara. Beberapa cara tersebut dinilai cukup membantu dan bisa menyelamatkan bisnis televisi lokal di Indonesia. Salah satunya adalah Pro TV semarang yang akhirnya menjadi iNews TV Semarang. iNews TV Semarang merupakan sebuah stasiun televisi yang berjaringan dengan televisi lokal Jakarta yaitu iNews TV Jakarta. iNews TV merupakan sebuah jaringan televisi terbesar di Indonesia. Tidak hanya sebagai pemasok program tetapi juga sebagian besar saham dimiliki oleh jaringan Global Telekomunikasi Terpadu yang adalah pemilik saham dari induk jaringan iNews TV. Pola kerjasama berjaringan yang dianut dalam iNews TV Semarang ini adalah sistem owned & operated, karena induk jaringan dan anggota jaringan berada dalam satu perusahaan. Penelitian ini mengungkapkan apa saja kerjasama yang dijalin dalam pola berjaringan ini. Untuk meneliti dan menganalisis fenomena ini digunakan metode studi kasus. Data-data yang diperoleh untuk studi kasus dapat diambil dari apa saja dan dari semua pihak yang bersangkutan. Dari hasil penelitian dapat ditemukan bahwa iNews TV Semarang walaupun berjaringan, masih berjuang secara mandiri dalam hal pendanaan. iNews TV Semarang hanya mendapat pemasukkan dari iklan pada slot tayang lokal yang diberikan oleh induk jaringan. Menarik pengiklan untuk mengiklankan produknya di tv lokal cukup sulit, hal ini jugalah yang menjadi kendala bagi iNews TV Semarang, padahal dari situlah satu-satunya pendapatan mereka. Induk jaringan dalam iNews TV memang memberikan bantuan dana kepada anggota jaringannya, namun pinjaman dana itu hanya seperti ‘hutang’ yang jika sudah ada uang yang masuk, anggota jaringan harus mengganti uang yang telah mereka pinjam sebelumnya.
146
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
Selain dalam hal keuangan, kerjasama berjaringan yang terjadi dalam iNews TV Semarang adalah dalam hal peralatan dan teknologi. Bantuan dari jaringan diberikan dalam hal penguatan transmisi. Transmisi yang dipergunakan iNews TV Semarang dapat menghasilkn gambar yang lebih jernih dibanding stasiun tv lokal lain yang ada di Semarang. Hal ini dikarenakan transmisi yang dipergunakan iNews TV Semarang memiliki spesifikasi yang lebih baik daripada tv lokal lainnya. Untuk peralatan, memang dibantu oleh induk jaringan, terutama untuk alat-alat yang memiliki spesifikasi tinggi yang tidak bisa didapatkan di daerah. Namun, bantuan itu biasanya sifatnya untuk pembaruan, untuk keadaan mendesak dan penting biasanya tim teknik dari iNews TV Semarang dituntut sekreatif mungkin untuk dapat mengatasi masalah tersebut. Untuk penelitian selanjutnya yang memiliki tema serupa, peneliti merekomendasikan untuk fokus pada salah satu bidang kerjasamanya saja (kepemilikan, isi kerjasama, SDM, keuangan, atau manajemen medianya).
147
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
148
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
RISET JURUSAN - MAHASISWA:
STUDI KAWASAN
149
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
150
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
LOKALISASI DAN INSTITUSIONALISASI NORMA HAM DI ASIA TENGGARA Drs. Muhadi Sugiono, M.A, Atin Prabandari, M.A (IR), Novie Lucky Andriyani, Muhammad Abie Zaidannas Suhud Ditandatanganinya Piagam ASEAN pada tahun 2009 menandai era baru dalam sejarah perkembangan norma hak asasi manusia (HAM) di Asia Tenggara. Pasalnya,ASEAN memiliki catatan sejarah HAM yang kurang baik seringkali dikaitkan sebagai entitas yang menentang penerimaan norma HAM. Walaupun demikian, norma HAM dimasukkan sebagai nilai yang mendasari proses regionalisme di Asia Tenggara melalu pembangunan Komunitas ASEAN tahun 2015. Lebih dari itu, Piagam ASEAN tidak hanya meletakkan HAM dalam tatanan normatif dengan mengamanatkan pendirian badan HAM di ASEAN yang diwujudkan melalui ASEAN Intergovernmental Comission of Human Rights (AICHR). Walaupun ASEAN telah berhasil membangun norma HAM dalam tatanan normatif dan praktis, terdapat kesenjangan antara norma yang telah terbangun dengan proses institusionalisasi HAM di Asia Tenggara. Berdirinya AICHR seringkali masih terbentur dengan mekanisme-mekanisme yang ada di ASEAN seperti prinsip non-intervensi dan konsensus sehingga fungsi AICHR masih terhitung terbatas jika dibandingkan institusi HAM lainnya. Dari fakta-fakta yang ada dapat dilihat bahwa implikasi institusional dari pembangunan norma HAM di Asia Tenggara masih sangat rendah jika dibandingkan dengan penempatan norma HAM dalam dokumen-dokumen resmi ASEAN yang menempatkan norma HAM sebagai salah satu nilai dasar yang melandasi organisasi ASEAN. Penelitian ini akan melihat bagaimana perkembangan norma HAM di Asia Tenggara berjalan sehingga terbentuk sebuah institusi HAM di bawah mekanisme ASEAN. Penelitian ini akan menjawab pertanyaan“mengapa terdapatkesenjangandi antara lokalisasi norma dengan institusionalisasi HAM di Asia Tenggara?”dengan melihat proses lokalisasi norma HAM di Asia Tenggara serta bagaimana norma HAM direfleksikan dalam mekanisme ASEAN. Penelitian akan dilakukan dengan metode kualitatif dengan menelaah sumber-sumber primer lewat wawancara serta studi literatur, dokumen resmi dan pidato pejabat ASEAN yang berkaitan dengan proses lokalisasi norma HAM di Asia Tenggara.
151
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
Hasil penelitian menunjukkan bahwa perdebatan norma HAM ASEAN antara paradigma universalis dengan partikularis telah bergeser meskipun masih dirasakan pada sebagian besar negara anggota ASEAN. Paradigma HAM dalam ranah universalisme atau relativis partikularisme sudah tidak menjadi perdebatan utama. Perdebatan lebih diarahkan pada proses sosialisasi untuk norm-building maupun standard-setting dalam rangka mengimplementasikan HAM yang sesuai dengan piagam ASEAN dan kepentingan nasional masing-masing negara. Setiap negara memiliki pandangan tersendiri terhadap norma hak asasi manusia dan upaya melokalisasikannya. Proses lokalisasi dan “norm-building” hak asasi manusia di wilayah Asia Tenggara baik secara regional maupun nasional menitik beratkan pada aspek sosial dan kolektif dengan latar belakang historis, budaya, dan agama. Momentum awal diterimanya norma hak asasi manusia ditandai dengan adanya Deklarasi Bangkok tahun 1993 yang selanjutnya memunculkan gagasan untuk menginstitusionalisasikan norma HAM. Capaian penting proses institusionalisasi HAM di Asia Tenggara selanjutnya diwujudkan lewat pencanangan Piagam ASEAN pada tahun 2007. Proses institusionalisasi norma HAM di Asia Tenggara juga tidak bisa dilepaskan dari konstelasi politik regional dan domestik negara- negara ASEAN. Dalam tatanan domestik, institusionalisasi norma HAM terwujud dalam bentuk institusi HAM nasional pada beberapa negara anggota ASEAN. Dalam lingkup regional, keberhasilan proses awal institusionalisasi ditandai dengan berdirinya ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights (AICHR) pada 2009 dan dilanjutkan dengan ASEAN Human Rights Declarations (AHRD) pada 2012. Pasca didirikannya AICHR, proses institusionaliasi norma HAM untuk mencapai institusi yang lebih kuat dan kredibel masih terkendala oleh banyaknya kepentingan negara di dalam tubuh AICHR. Hingga saat ini AICHR masih memiliki kemampuan yang terbatas dalam menangani masalah-masalah HAM di kawasan Asia Tenggara. Walaupun demikian, fakta bahwa isu HAM telah masuk ke dalam agenda ASEAN perlu diapresiasi sebagai salah satu capaian penting dalam membangun penguatan norma HAM di Asia Tenggara melalui mekanisme ASEAN. Selain itu, peran elemen masyarakat sipil sangat berperan dalam keberhasilan proses lokalisasi dan institusionalisasi norma HAM di Asia tenggara dengan harapan berdirinya Pengadilan HAM ASEAN nantinya. Dengan demikian, dapat dilihat bahwa terdapat kesenjangan antara lokalisasi HAM di negara-negara ASEAN dengan proses institusionalisasi norma HAM di bawah mekanisme ASEAN. Kesenjangan ini terlihat dari bagaimana masyarakat
152
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
sipil di lingkup domestik berperan aktif dalam mempromosikan norma HAM dan melakukan advokasi dalam menegakkan ham serta secara konsisten memprotes pelanggaran-pelanggaran HAM yang dilakukan oleh negara. Sementara itu, Institusi HAM di tingkat regional mengalami kemajuan yang lambat karena memiliki wewenang yang terbatas dan sarat akan kepentingan negara anggota. Walaupun kemajuannya berjalan lambat, komponen masyarakat sipil melalui lembaga-lembaga non-pemerintah masih secara aktif mendorong terbentuknya institusi HAM regional yang lebih kuat dalam bentuk pengadilan HAM ASEAN yang memiliki Konvensi HAM ASEAN sebagai dasar hukumnya.
153
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
PERAN AKTOR TRANSNASIONAL DALAM MEMBANGUN “IMAGE” DAN “BRANDING” NEGARA DALAM HUBUNGAN INTERNASIONAL Dra. Siti Daulah Khoiriati, MA., Rochdi Mohan Nazala, MSA.,M. Litt., Putri Rakhmadani Nur Rimbawati, Diakonia Pungkassari Riset yang bertema “Aktivisme Transnasional daalam Membangun „Image” dan „Branding”Negara dalam Hubungan Internasional” ini mengkaji fenomena aktivisme transnasional dalam hubungan internasional yang dilakukan oleh aktoraktor non-negara dalam tataran konseptual dan empiris. Aktivisme transnasional dalam hal ini dimaknai sebagai aktivitas yang dilakukan oleh individu atau kelompok secara lintas negara yang dapat mempengaruhi kebijakan pemerintah dalam bidang tertentu (Tarrow: 2005). Melalui penelitian ini dikaji secara mendalam bagaimana aktor-aktor non-negara berperan secara transnasional dalam membangun “image” dan “branding” negara untuk suatu kepentingan tertentu di dalam hubungan internasional, terutama kepentingan ekeonomi dan pengembangan budaya sebagai bagian dari diplomasi publik. Pada bagian awal dilakukan kajian pada tataran teoritis (konseptualisasi) mengenai aktivisme transnasional, dengan mengupas mengenai apa; mengapa dan bagaimana aktivisme transnasional dilakukan oleh aktor transnasional untuk mendukung kepentingan negara dalam dua hal yaitu: (1) membangun suatu gambaran tertentu (image) yang dikehendaki untuk mempengaruhi persepsi negara lain; dan (2) untuk membentuk identitas tertetu (branding) yang akan ditampilkan oleh suatu negara dalam hubungan internasional dan terhadap suatu negara tertentu. Untuk mencapai kepentingan-kepentingan tersebut, actor-aktor transnasinal berperan menjalankan diplomasi publik secara transnasional. Menggunakan kerangka teoritis yang terbangun dari penelitian pendahuluan yang menjadi riset payung (yang dituangkan dalam temuan penelitian), penelitian dilanjutkan dengan studi kasus dari pengalaman empiris. Kajian empiris dilakukan oleh dua orang mahasiswa yang menghasilkan penelitian dalam bentuk thesis pascasarjana (S2). Adapun riset empiris yang dilakukan mengambil dua tema yaitu pertama, mengenai peran media Voice of America (VOA) dalam pembentukan image Amerika dimata publik Indonesia; dan kedua, mengenai peran Institute Francais d’Indonesie (IFI) dalam pembentukan nation branding Perancis di Indonesia. Temuan dari kedua penelitian tersebut memperkuat konseptualisasi yang dikerjakan dalam
154
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
riset payung dan menjadi kajian yang memperkaya khazanah studi hubungan internasional dalam perspektif transnasionalisme. Pada tataran teoritis atau konseptual, penelitian ini menunjukkan bahwa studi hubungan internasional telah mengalami perkembangan yang signifikan di era globalisasi, dimana hubungan transnasional yang di inisiasi oleh aktor-aktor non-negara turut berperan penting dalam membantu menyelesaikan berbagai persoalan. Isu utama dalam hubungan internasional bukan hanya persoalan politik dan keamanan, tapi juga meliputi isu-isu ekonomi, perdagangan, hubungan social dan budaya. Kompleksitas isu-isu tersebut telah menjadikan peran Negara tidak cukup memadai, sehingga membutuhkan dukungan aktor transnasional dalam menjalankan diplomasi publik. VOA Indonesia adalah affiliates based media, maka VOA menjalin hubungan yang sangat erat dengan ratusan media yang bekerja sama dengan VOA, baik radio, TV maupun new media. VOA memiliki peran yang cukup besar dalam mencitrakan Amerika, yaitu “to inform, engage, dan connect people”. Menginformasikan (to inform), merupakan peran media yang penting dan strategis dalam menginformasikan berbagai kegiatan dan pemberitaan. Peran “untuk terlibat” (to engage) mencerminkan prioritas utama dalam dialog dengan pemirsa, pendengar, dan pembaca VOA, mendengarkan apa yang mereka katakan, dan mendorong mereka untuk berbagi dengan VOA termasuk dalam konten program. Peran “untuk menghubungkan orang” (to connect people) mengacu dalam membantu penonton jaringan dengan satu sama lain untuk berbagi informasi dan ide-ide sesuai dengan minat mereka. Peran aktor transnasional dalam membangun image dilakukan dengan cara diplomasi publik melalui media VOA. Peran VOA membangun image AS di mata publik Indonesia melalui cara konten program VOA dan media afiliasi. Peran VOA sebagai kepanjangan tangan Amerika tersebut berhasil membangun image “freedom dan democracy” kepada publik Indonesia. Citra Amerika yang terdapat dalam misi BBG tersebut bertujuan ingin memajukan kebebasan berekspresi serta kebebasan pers, baik untuk mendorong kebebasan dan demokrasi. Mengapa harus kebebasan dan demokrasi dalam pernyataan tersebut? Karena strategi berbicara kepada dunia dan Undang-undang yang memungkinkan membuat jelas bahwa kebebasan dan demokrasi adalah tujuan jangka panjang dari usaha Amerika. Dengan menempatkan kata-kata dalam misi media jaringan tersebut, pernyataan jelas dari Amerika dan para pemangku kepentingan dan kekuasaan bahwa dengan “freedom and democracy” menunjukkan mengapa Amerika ada.
155
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
Di dalam bidang budaya, IFI bertujuan untuk memberikan akses kepada masyarakat Indonesia untuk lebih mengenal Prancis. Selain itu juga memberikan ruang kepada seniman Indonesia untuk berkarya dan lebih dapat mengaktualisasikan diri. Peran yang lain adalah menjadi jembatan bagi seniman Prancis dan seniman Indonesia untuk bertemu dan melakukan kolaborasi. IFI menjadi semacam media bagi proyek-proyek seni kedua negara. Tujuan program- program IFI, baik program kebudayaan maupun program dalam bidang keilmuan adalah membangun kerjasama yang efektif. Berbagai program yang diselenggarakan oleh IFI membentuk suatu kerangka besar dalam menampilkan citra Prancis di Indonesia. Citra yang ingin ditampilkan oleh Prancis di mata publik Indonesia adalah Prancis yang hebat dan dekat. Ketika sesuatu dipandang hebat, ada semacam eksklusivitas yang membuat orang tidak berani mendekat. Prancis ingin memberikan kesan bahwa walaupun Prancis hebat tetapi Prancis tidak eksklusif. Prancis dekat dengan masyarakat dan bisa dijangkau oleh seluruh lapisan masyarakat. Rekomendasi untuk penelitian selanjutnya adalah, bahwa masih terbuka peluang yang sangat luas untuk melakukan penelitian mengenai hubungan transnasional di berbagai bidang sebagai bagian dari penelitian HI. Secara keseluruhan, penelitian ini menunjukkan bahwa studi hubungan internasional telah mengalami perkembangan yang luas di era globalisasi, dimana hubungan transnasional yang di inisiasi oleh aktor-aktor non-negara turut berperan penting dalam membantu menyelesaikan berbagai persoalan. Disamping itu, keterlibatan aktor-aktor non-negara juga membawa isu-isu baru dalam hubungan internasional yang tidak hanya menyangkut konflik dan perang, seperti isu yang terkait dengan budaya, perdagangan, hubungan sosial dan sebagainya.
156
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
SECURITY COMPLEX ANTARA INDONESIA - AUSTRALIA DAN PENGARUHNYA TERHADAP DINAMIKA HUBUNGAN KEDUA NEGARA Dr. Siti Muti’ah Setiawati, MA., Drs. Dafri Agussalim, MA. Rifa Fatharani, Muhammad Angga Krisna Sudah banyak penelitian yang mencoba menjelaskan mengapa fenomena hubungan Indonesia dan Australia seperti roller coaster, mengalami pasang surut secara dinamis dari waktu ke waktu. Sayangnya, beberapa kajian tersebut umumnya hanya melihat dari sisi kebijakan satu negara terhadap negara lain secara sepihak. Hampir tidak ada penelitian yang mencoba melihat akar masalah tersebut pada aspek security complex atau pattern of amity and enmity diantara kedua negara ini. Penelitian ini memfokuskan perhatiannya pada dinamika aspek amity dan enmity dari kedua negara tersebut. Ada dua pertanyaan utama yang ingin dijawab; pertama bagaimana security complex (pattern of amity and enmity) antara Indonesia dan Australia berlangsung selama ini? Kedua, apa hubungan karakter security complex yang demikian itu dengan dinamika hubungan kedua negara selama ini? Argumen utama yang dikembangkan dalam penelitian ini adalah bahwa karakter security complex atau the pattern of amity and enmity antara kedua negara lebih diwarnai dan didominasi oleh aspek enmity (permusuhan) ketimbang aspek amity-nya (kerjasama). The pattern of amity and enmity antara kedua negara ini relatif bersifat persisten, tidak terlalu banyak terpengaruh oleh perubahan lingkungan politik internal dan eksternal dari masing-masing negara tersebut. Adanya perbedaan dan benturan aspek amity dan enmity ini menjadi faktor penting yang menyebabkan perbedaaan sikap dan perilaku (kebijakan luar negeri) satu negara terhadap negara lainnya, yang pada akhirnya mempengaruhi dinamikan hubungan keduanya dari waktu ke waktu. Aspek amity dan enmity dalam hubungan Indonesia – Australia terdapat di hampir semua bidang: politik, ekonomi, sosial dan budaya dan keamanan. Dinamika tumbuh dan berkembangnya aspek amity dan enmity kedua negara ini terkait dengan erat dengan faktor sejarah masa lampau, letak geografis, perbedaan sistem politik, ekonomi, sosial dan budaya serta etnik dan ras, perbedaan ideologi serta sengketa perbatasan, baik yang bersifat negatif maupun yang bersifat positif, serta distribusi kekuasaan (distribution of power) diantara negara-negara atau di kawasan tersebut
157
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
Sulit disangkal bahwa salah satu penyebab munculnya berbagai kontroversi dalam hubungan Indonesia – Australia selama ini adalah kenyataan adanya perbedaan yang sangat kontras di hampir semua bidang kehidupan diantara kedua bangsa dan negara ini; ideologi, sistem politik, sosial, ekonomi, hukum, budaya, dan tentu saja juga tujuan dan kepentingan nasional masing-masing. Perbedaanperbedaan yang kontras ini telah menyulitkan kedua bangsa dan negara untuk saling berkomunikasi dan memahami kebutuhan dan kepentingan masing-masing di berbagai bidang, walaupun keduanya menyadari bahwa mereka sebenarnya saling membutuhkan. Berbagai hambatan dan kesulitan untuk saling pengertian tersebut telah coba diatasi oleh kedua bangsa melalui berbagai program. Misalnya melakukan dan mengembangkan hubungan ekonomi dan perdagangan, pendidikan, sosial dan budaya dan bahkan hubungan politik dan keamanan. Tetapi berbagai upaya tersebut belumlah membawa hasil seperti yang diharapkan. Sementara itu, tuntutan dan kebutuhan agar hubungan kedua negara harus terus berjalan semakin menguat, tidak boleh terhenti oleh adanya perbedaan-perbedaan dan kesulitan saling memahami tersebut. Akibatnya, keinginan untuk menjalin hubungan baik dan saling menguntungkan diantara kedua negara “terpaksa” hanya didasarkan pada asumsiasumsi dan harapan-harapan bahwa masing-masing pihak akan dapat mengerti dan memahami kepentingan masing-masing yang saling berbeda tersebut. Masyarakat dan Pemerintah Australia selalu berasumsi dan berharap bahwa seharusnya bangsa dan Pemerintah Indonesia dapat memahami setiap apa yang mereka lakukan beserta nilai-nilai yang mendasarinya. Sebaliknya, pemerintah dan bangsa Indonesia juga selalu berharap dan berasumsi bahwa masyarakat dan Pemerintah Australia seharusnya dapat memahami perasaan dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat Indonesia. Australia diharapkan dapat lebih sensitif terhadap perasaan bangsa Indonesia, menghormati prinsip-prinsip bertetangga baik menurut standar Indonesia tentunya. Selain karakter dasar yang penuh dengan sensitivitas dan ganjalan serta potensi positif, dari dinamika hubungan kedua negara yang telah diuraikan di atas juga menunjukkan beberapa karakter penting yang selalu melekat dan mewarnai hubungan Indonesia dan Australia. Pertama, masalah hubungan kedua negara umumnya selalu berpangkal pada masalah yang ada dan berkembang di dalam negeri Indonesia sendiri. Tidak pernah hubungan kedua negara ini terganggu misalnya karena Indonesia menggugat, mengkritik, atau menyerang secara fisik Australia terlebih dahulu. Kedua, masalah tersebut paling sering dimunculkan atau berasal dari masyarakat (individual atau kelompok) bukan dari dan oleh pemerintah kedua belah pihak. Di tingkat pemerintahan pada umumnya sikap Australia relatif
158
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
lebih akomodatif terhadap Indonesia dibandingkan ditingkat masyarakatnya. Ketiga, kebanyakan dari persoalan yang muncul terhadap hubungan kedua negara disebabkan oleh kegagalam kedua belah pihak untuk saling memahami satu sama lain (kegagalan komunikasi) bukan disebabkan oleh sesuatu yang benar-benar dapat membahayakan eksistensi dan kedaulatan kedua negara. Faktor emosi sesaat jauh lebih dominan dibandingkan pemikiran rasional untuk proyeksi kepentingan jangka panjang kedua negara. Keempat, khususnya dikaitkan dengan fenomena seperti dijelaskan di poin ketiga, bahwa kedua negara sesungguhnya menyadari bahwa potensi yang dikandung dalam hubungan baik kedua negara amat besar bagi kepentingan nasional (di berbagai bidang) masing-masing. Dan oleh karena itu, diakui atau tidak, kedua negara ini sebenarnya juga menyadari bahwa mereka saling membutuhkan satu sama lain. Dari hasil penelitian dapat ditarik kesimpulan bahwa karakter security complex atau the pattern of amity and enmity antara antara Indonesia dan Australia terjalin sangat kompleks. Kedua negara sama-sama mempunyai aspek amity dan enmity terhadap satu sama lainnya. The pattern of amity and enmity antara kedua negara ini relatif bersifat persisten, tidak terlalu banyak terpengaruh oleh perubahan lingkungan politik internal dan eksternal dari masing-masing negara tersebut. Sesungguhnya secara totalitas aspek amity antara kedua negara jauh lebih dominan dari pada aspek enmitynya. Walaupun demikian, setidaknya dipermukaan atau di mata publik, hubungan kedua negara tersebut lebih diwarnai dan didominasi oleh ekspresi aspek enmity (permusuhan) ketimbang aspek amity-nya (kerjasama). Adanya perbedaan dan benturan aspek amity dan enmity ini menjadi faktor penting yang menyebabkan perbedaaan sikap dan perilaku (kebijakan luar negeri) satu negara terhadap negara lainnya, yang pada akhirnya mempengaruhi dinamikan hubungan keduanya dari waktu ke waktu.
159
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
REGIME ON WATER SECURITY IN GREATER MEKONG Paska B. Darmawan Mekong river is the biggest river in Southeast Asia and a transboundary river shared by six countries, which are Cambodia, Lao, Myanmar, Thailand, Vietnam, and China. The Mekong is now reflecting serious challenges to water security in its surrounding countries. The overexploitation of the river through the development of hydropower dams, for example, clearly threatens the sustainability of the Mekong area. This issue constitutes serious challenge for people living in surrounding region, as more than 80 million people depend upon the Mekong River for resources ranging from drinking water, fish, transport and irrigation water (Goh, 2010). Problems over water access can potentially trigger conflicts between countries, which in turn will lead into a bigger problem. Mekong River Commission (MRC) as the only regime concerning on water security in the region is currently under pressure to overcome the multiple layers of water-related problem that currently occur in the region. In addition, the burden of MRC in addressing the issue becomes heavier because of the transboundary nature of this issue.Thus, this research aims to assess the extent of work MRC has done in addressing water issue in Greater Mekong, and later on, to give directives for MRC for improving its works in managing water and bridging the differences between member countries. The work of MRC, therefore, is important to be analysed to determine the next steps that should be taken by this organisation. From this research we can see that, despite its many agreements regarding water management, MRC has not been able to solve the prolonged environmental issue. There are three fatal loopholes that have been identified in this paper. The first one would be its lackluster regulation on tributary area. As one of the most highly developed areas in the basin, the tributaries need specific regulation to preserve its water and other natural resource. However, The agreement fails to bring up specific legal foundation in managing the development of tributary area as it only requires the member states to notify the Joint Committee before starting a project. Second, it lacks definitive conflict resolution mechanism, as the agreement only states that MRC would make every effort to resolve the issue without describing any detailed steps on how it would resolve it. Lastly, the commission also has limited enforcement towards its member states as it has no punishment mechanism for its members.
160
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
From those limitations, this research offers several directives for the commission to finally to achieve its goals in creating sustainability and water security in the area. First, MRC needs to create specific regulation on tributary area. The lack of regulation on tributary area becomes a huge loophole for MRC, as this area is very vital for region. Second, MRC needs to establish clear and legally-binding disputes and differences resolution mechanism, as the current provision on disputes and differences mechanism has been proven to be incapable in addressing the problem between member states. Third, MRC here should increase its enforcement power by creating a punishment mechanism that would lead to compliance among the member states. Lastly, the Commission has to start persuading China to cooperate intensively with MRC. It is important for water management in the region as China has major control over this issue, that the compliance of China is necessary to finally solve the problem.
161
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
PERAN AKTOR TRANSNASIONAL DALAM MEMBANGUN COUNTRY BRAND : Industri Jam Swiss Membangun Country Brand “Swiss Global Enterprise” Rizky Damayanti Putri Era globalisasi semakin mengukuhkan posisi perusahaan transnasional sebagai salah satu pemain penting dalam ekonomi internasional. Negara pun harus mengakui apabila tidak bisa menafikan fakta perusahaan transnasional yang memiliki kemampuan khas, dimana pada dasarnya adalah mencari profit, telah berkontribusi menggerakkan roda ekonomi global. Di lain sisi, globalisasi juga telah menyatukan pasar dunia, sehingga setiap aktor ekonomi internasional harus bersaing dengan setiap aktor di antara mereka. Akibatnya, kompetisi yang terjadi memaksa negara menemukan cara untuk menonjolkan dirinya dan tetap menjadi perhatian masyarakat internasional demi mempertahankan daya saingnya di level global. Kebutuhan untuk memperkenalkan dan mempromosikan diri tersebutlah membuat upaya dalam nation branding, kini menjadi jauh lebih signifikan. Belum lagi masifnya alur informasi, memaksa negara mampu membangun brand yang kuat demi membuat aktor internasional lainnya mudah mengindentifikasi. Dengan kata lain, kini soft power yang oleh Joseph Nye disebut sebagai kemampuan untuk mendapatkan apa yang dikehendaki menggunakan daya tarik atas keunggulan budaya, ekonomi, kebijakan publik, dan lainnya, menjadi lebih relevan untuk dioptimalkan dalam menghadapi konstelasi hubungan internasional. Dari rangkaian alur berpikir tersebut, kemudian muncul pertanyaan, “Lalu bagaimana peran aktor transnasional dalam membangun country brand?”. Dan demi melakukan assesment atas isu tersebut, maka digunakan pengalaman empiris dari nation branding Negara Swiss yang membangun country brand “Swiss Global Enterprise”, khususnya untuk menjelaskan “Bagaimana peran industri jam membangun country brand “Swiss Global Enterprise”?”. Industri jam dipilih menjadi prototype karena merupakan industri yang menjadi salah satu keunggulan sekaligus kekhasan Swiss. Dimana Simon Anholt cenderung menyebutnya sebagai usaha menciptakan competitive identity. Pada gilirannya, penelitian dilakukan dengan menggunakan metode penelitian kualitatif, dimana menampilkan data sekunder dari penelitian kuantitatif terdahulu yang diinterpretasikan oleh peneliti dalam kerangka konsep besar “nation branding”. Ini mengakibatkan penelitian ini tetap berpijak pada metode
162
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
penelitian kualitatif yang berupaya memahami fenomena berdasarkan realitas sosial, yaitu melihat dunia sebagaimana adanya, dan menjelaskannya dengan menggunakan perspektif transnasional dalam konteks hubungan internasional. Penelitian ini pun mendeskripsikan apabila pemasaran produk yang melampirkan brand-nya sebagai bagian dari aktivitas komersil oleh perusahaan transnasional, berdasarkan penelitian atas efek country of origin, ternyata merefleksikan suatu citra brand tertentu yang berbanding lurus dengan citra negara asal perusahaan. Dari sana nampak bahwa terdapat hubungan timbal balik antara persepsi atas nilai simbolik produk internasional sebagai bagian dari karakteristik khas suatu negara dengan citra negara atas country brand tertentu. Hal ini dapat terjadi karena brand dari sebuah produk tidak hanya mengidentifikasi identitas dan menjadi informasi produk bagi konsumen. Namun brand image juga menjadi alat dari upaya nation branding. Maksudnya, pada realita sosial yang ada, refleksi atas brand image produk internasional oleh para konsumen justru diasosiasikan terhadap negara asal perusahaan transnasional atau home country, bukan terhadap perusahaan transnasionalnya. Dalam konteks industri jam Swiss, perusahaan transnasionalnya telah menjadi kepanjangan tangan dari Pemerintah Swiss untuk membangun kepercayaan publik atas citra juga reputasi negaranya. Brand image atas “Swiss Made” di produk jam-jam buatan perusahaan Swiss dipercaya publik memang memiliki kualitas terbaik di industri jam dunia. Hal ini pun dikuatkan oleh usaha-usaha Pemerintah Swiss untuk menjaga standarisasi dari “Swiss Made, sehingga persepsi konsumen terhadap produksi jam Swiss sebagai produk jam terbaik tetap terjaga. Pada gilirannya, kepercayaan publik tersebut terasosiasikan terhadap citra dan reputasi Negara Swiss yang suportif terhadap pengusaha dan ideal sebagai lokasi bisnis. Akhirnya, dengan komitmen Pemerintah Swiss dalam nation branding, CB “Swiss Global Enterprise” terbukti dengan profil ekonomi Swiss, utamanya di bidang ekspor, impor, dan investasi yang cemerlang. Akhirnya dapat dipahami apabila nation branding, memang bagian dari upaya negara membangun competitive identity untuk mencapai kepentingan nasionalnya. Dimana fenomena ini adalah bentuk lain dari soft power. Penelitian ini masih jauh dari kata komprehensif, oleh karena itu, harapannya pada penelitian selanjutnya, dilakukan penelitian secara kuantitatif untuk menganalisis efek country of origin. Misalnya dengan menggunakan quesieksperimental, dimana melibatkan konsumen secara langsung untuk memahami keterkaitan antara brand image produk internasional dengan country image negara tertentu. Selain itu diperlukan juga penajaman dalam menginterpretasikan data
163
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
kuantitatif yang telah ada untuk menjelaskan konsep competitive identity dalam kaitannya digunakan sebagai sarana mencapai kepentingan nasional secara soft power.
164
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
RISET JURUSAN - MAHASISWA:
PEMBANGUNAN MASYARAKAT
165
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
166
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
STRATEGI PERUSAHAAN DALAM PENGEMBANGAN MASYARAKAT DI WILAYAH PERKOTAAN DAN PEDESAAN Dr. Krisdyatmiko dan Danang Arif Darmawan, S. Sos., MA Tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility/CSR) telah menjadi bagian penting dalam pengembangan masyarakat (PM), khususnya di wilayah seputar perusahaan. Dalam melakukan tanggung jawab sosialnya, perusahaan mempunyai wilayah PM yang biasanya disebut dengan ring. Penetapan wilayah PM ini didasarkan jarak, dampak dan keberadaan aset perusahaan. Perusahaan tentu harus menyesuaikan program-program PM dengan konteks masyarakat yang dihadapinya agar program dapat terlaksana dengan baik menuju kepada kemandirian dan kesejahteraan masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui strategi perusahaan dalam pelaksanaan program PM, apakah telah sesuai dengan karakteristik masyarakat di mana perusahaan itu berada. Wilayah penelitian dipilih dalam dua kategori, perdesaan dan perkotaan. Wilayah PM di perdesaan dilakukan oleh JOB Pertamina Talisman Jambi Merang, sedangkan wilayah Perkotaan dilakukan oleh PT. Holcim Tbk Cilacap. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan lokasi penelitian di wilayah PM PT. Holcim Tbk di Kabupaten Cilacap – Jawa Tengah dan JOB Jambi Merang di Kabupaten Muaro Jambi dan Kabupaten Tanjung Jabung Timur – Jambi serta Kabupaten Musi Banyuasin - Sumatera Selatan. Teknik pengumpulan data dengan observasi, wawancara dan dokumentasi. Setelah data terkumpul dilakukan analisis dengan menggunakan model dari Miles dan Huberman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tatakelola perusahaan dalam PM menjadi faktor pembeda dari dua perusahaan tersebut. PT. Holcim memiliki struktur organisasi pengelola program PM yang lebih tertata dibanding JOB Talisman. Di PT. Holcim, kegiatan PM di bawah koordinasi community relation officers coordinator (CRO) yang merupkan bawahan dari general administration and community relation. CRO officer memimpin empat orang CRO, sehinngga total ada enam orang yang bertanggung jawab sebagai pengelola, seluruhnya merupakan staf tetap perusahaan. Sementara di JOB Talisman, dikoordinir oleh external relation coordinator (ER) yang merupakan bawahan dari general service head sebagai bagian dari business support manager. ER coordinator memimpin enam community development ofiicer (CDO) sehingga total ada sembilan pengelola CSR, tetapi keenam CDO adalah staf kontrak yang bekerja dengan sistem back to back.
167
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
Kedua perusahaan telah melakukan pemetaan sosial (social mapping) untuk mengidentifikasi potensi dan kebutuhan masyarakat. Tetapi, dalam perencanaan program sebagai tindak lanjut hasil pemetaan sosial ini, Holcim lebih partisipatif dibanding JOB Talisman. Holcim mengadakan forum komunikasi masyarakat (FKM) yang melibatkan berbagai aktor strategis di masyarakat, sementara JOB hanya mengandalkan stakeholder meeting dan pertemuan bulanan yang masih terbatas melibatkan para elit lokal. Mengacu pada perspektif Matarrita-Cascante dan Brennan, kedua perusahaan ada dalam kategori directed (diarahkan) dalam implementasi pengembangan masyarakat. Pos Pemberdayaan Keluarga (Posdaya) menjadi pilihan jenis program Holcim di daerah perkotaan. Tanaman Obat Keluarga (Toga) dan sulam merupakan pilihan JOB di daerah perdesaan. Program-progran dari kedua perusahaan ini fokus pada perempuan. Ada empat pilar dalam Posdaya (pendidikan, kesehatan, lingkungan dan ekonomi), di mana pilar ekonomi dimaksudkan untuk mengembangkan perekonomian melalui berbagai jenis usaha yang dikelola kelompok dan rumah tangga. Pilihan ini selaras dengan karakteristik masyarakat perkotaan yang basis penghidupannya pada produksi, perdagangan dan jasa. Di sisi lain, JOB masih memiliki keterbatasan dalam perumusan program di daerah perdesaan yang basis penghidupannya adalah perkebunan (karet dan kelapa sawit). Toga, meskipun berkaitan dengan pertanian/perkebunan, tetapi masih lemah daya dukungnya dalam mengembangkan penghidupan berkelanjutan, karena masih kecil skala usahanya dan masih terbatas di enam desa dari total 22 desa yang menjadi sasaran program PM JOB Talisman.
168
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
KONTRIBUSI ACADEMIC, BUSINESS, GOVERNMENT, COMMUNITY (ABGC) DALAM MANAJEMEN SAMPAH DI TPA PIYUNGAN Dra. Ambar Teguh Sulistyani, M.Si Konsep ideal Kartamantul dalam manajemen sampah di TPA Piyungan, adalah sanitary control landfill. Akan tetapi teknologi pengolahan sampah dengan konsep tersebut berbiaya operasional sangat mahal, yaitu mencapai Rp 10.000.000.000,00 Rp 16.000.000.000,00 sehingga tidak sebanding dengan perolehan retribusi sampah dari tiga kabupaten kota yang relatif kecil yaitu hanya mencapai Rp3.192.644.874,00. Dengan pendapatan retribusi yang sangat rendah, serta sharing kabupaten/kota yang kecil maka tidak mencukupi pemenuhan kebutuhan operasional manajemen sampah dengan sanitary control landfill secara sempurna. Di samping itu manajemen 3R (reuse, reduce, recycle) juga tidak dapat dilakukan, karena banyak keterbatasan resources, sumber daya manusia dan teknologi. Untuk itulah diperlukan kontribusi dari pihak akademisi, swasta, pemerintah, dan masyarakat (academic, business, government and community/ABGC). Penelitian ini menjawab tentang bagaimana kontribusi ABGC dalam manajemen sampah dengan konsep 3R di TPA Piyungan. Penelitian dilakukan dengan pendekatan action reseach, dan social engineering, dengan peneliti secara aktif melakukan pendampingan di masyarakat, melakukan pendekatan kepada pemerintah dan swasta. Dari sejumlah kontribusi yang diberikan oleh akademisi, sektor swasta, pemerintah dan masyarakat dalam manajemen sampah dengan konsep 3 R dapat disimpulkan bahwa: 1). Bentuk program aksi memiliki sifat langsung maupun tidak langsung dalam manajemen sampah di TPA Piyungan. 2). Dilihat dari katagori kontribusi dapat dibedakan menjadi perilaku preventif dan kuratif. 3). Realisasi kontribusi dari pihak akademik adalah perencanaan perubahan, demplot-pioneering, transformasi, training, konstruksi perubahan, organisasi, pengenalan dan alih teknologi, networking, promosi dan advokasi. Realisasi kontribusi pihak swasta adalah pengurangan volume sampah untuk diambil nilai ekonomi secara langsung oleh pengepul, dan perkuatan masyarakat dengan membeli produkpupuk organi. Kontribusi pemerintah khususnya BLH Kabupaten Bantul adalah memperbesar kapasitas masyarakat, alih teknologi, networking, training, promosi, supporting msyarakat dalam mengelola sampah.
169
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
Kontribusi masyarakat dalam manajemen sampah dengan konsep 3 R di TPA Piyungan dibagi menjadi dua, yaitu kontribusi langsung oleh para pemulung dengan memilah memilih sampah bernilai ekonomi untuk dijual sehingga mengurangi volume sampah. Sedangakan kedua masyarakat desa Sitimulyo yang secara kuratif mengikuti program advolasi pihak akademisi dalam mengubah perilaku terhadap sampah. Dengan demikian jenis kontribusinya yang bersifat changes capability (kesanggupan berubah), kecakapan teknis, pelayanan masyarakat, mengembangkan kreativitas, dalam pemakaian kembali, pemusnahan dan mendaur ulang sampah. Keterpaduan kontribusi empat pihak ini telah menghasilkan keberagaman inovasi dalam manajemen sampah dengan konsep 3 R di sekitar TPA Piyungan. Kontribusi ABGC masih sangat terbatas, khususnya SDM yang terlalu sedikit sehingga pendampingan yang dilakukan tidak optimal. Terlalu sedikit akademisi, pemerintah, swasta dan masyarakat yang bersedia mengimpelemntasikan ilmu dan teknologi serta hasil penelitian kepada masyarakat secara langsung. Perguruan tinggi lebih besar bobot teoritisnya, sedangkan birokrat lebih besar administratifnya sedangkan swasta lebih banyak mengejar keuntungan dan masyarakat memiliki ketergantungan sehingga inisiatif dari ABGC masih sangat terbatas untuk menerapkan manajemen 3R dalam pengurangan sampah. Keadaan ini hendaknya segera diperbaiki dengan sistem pembelajaran perguruan tinggi yang mengintegrasikan antara teori dan praktik, dengan memperbanyak dosen dan mashasiswa untuk menggiatkan riset kelas integratif (pendidikan, penelitian dan pengabdian), birokrat untuk melakukan pendampingan dengan menambah bobot program dengan implikasi teknis bukan sekedar administratif, swasta dengan meningkatkan CSR dan masyarakat dengan memperluas perubahan perilaku 3R.
170
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
DAMPAK KEGIATAN PEMBANGKIT LISTRIK TENAGA UAP (PLTU) PT. SUMBER SEGARA PRIMADAYA (S2P) CILACAP TERHADAP “BEDOL DESO” MASYARAKAT PERUMAHAN KARANGKANDIR Drs. Andreas Soeroso, MA Peran Negara dalam memenuhi kebutuhan listrik bagi masyarakatnya adalah kebutuhan yang harus dipenuhi, maka pemerintah senantiasa membangun pembangkit pembangkit listrik yang baru, salah satunya adalah PLTU S2P Cilacap. Guna keperluan Negara atau pemerintah pusat tersebut Pemerintah Daerah mengubah Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) kawasan PLTU dari Kawasan Pemukiman menjadi Kawasan Industri pada tahun 1997. Perubahan status kawasan tersebut telah menyebabkan Perumahan Griya Kencana Permai yang telah dibangun lebih dahulu menjadi masalah karena tidak sesuai dengan peruntukannya yaitu perumahan berada di kawasan industri, berawal dari sinilah konflik terjadi dan berbagai akar permasalahan konflik muncul. Teori Konflik menjadi salah satu pilihan teori yang digunakan untuk memahami akar permasalahan konflik yang ada. Karena konflik telah berlangsung lama, maka untuk menggali permasalahan yang ada, digunakan metode deskripsi mendalam (Thick Discription) metodeini mampu untuk menggali akar permasalahan konflik yang ada. Penelitian ini mengambil lokasi di Desa Karangkandri Kecamatan Kesugihan Kabupaten Cilacap. Hasil penelitian menunjukkan bahwa awal dari permasalahan konflik adalah kebutuhan akan listrik oleh pemerintah yang menyebabkan terjadinya perubahan RTRW kabupaten Cilacap. Konflik mengemuka akibat polusi dampak penurunan kualitas lingkungan bagi masyarakat sekitar. Ada dua kecenderungan yang terjadi diatara pihak yang berkonflik. Kedua hal tersebut adalah sebagai berikot : Kedudukan atau posisi PLTUS2P semakin hari semakin kuat, dikarenakan : 1. Sebagai industry yang menguasai hajat hidup orang banyak, karena listrik telah menjadi kebutuhan pokok semua orang. 2. Kegiatan PLTU tidak bisa berhenti dengan alasan apapun, termasuk perbaikan cerobong yang masih hitam walaupun memakai tehnologi IPI.
3. PLTU ini ‘Enclave’ untuk masyarakat sekitarnya karena tenaga kerja berasal dari China, hamper semua tenaga asing bekerja sebagai tenaga tehnis dalam
171
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
menjalankan mesin PLTU. Tenaga Indonesia sebagai tenaga dalam bidang administrasi atau menejemen. 4. Membutuhkan lahan untuk perluasan PLTU, dan hal itu akan mengambil lahan masyarakat di desa Karang Kandri. Kondisi Masyarakat sekitar semakin lemah karena: 1. Masyarakat tidak bisa masuk sebagai tenaga tehnik di PLTU tersebut, karena Sumber Daya Manusia tidak memenuhi kualifikasi untuk mengoperasionalkan mesin dengan tehnologi tinggi. 2. Buangan limbah air panas ke laut masih relative panas berkisar 50 derajat Celsius, sehingga membunuh biota laut, khususnyaa dalam proses berkembang biak. 3. Sebagian tanah disekitar PLTU sudah dibeli dari petani, walaupun sampai saat ini masih dapat mengolahnya. Pada suatu waktu dibutuhkan guna perluasan lahan, maka mereka akan kehilangan sumber pendapatan dari sawah mereka.
172
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
MODEL PENGEMBANGAN MASYARAKAT MENUJU PENGHIDUPAN BERKELANJUTAN: Studi di Kalurahan Lomanis Kecamatan Cilacap Tengah Kabupaten Cilacap Dra. Agnes Sunartiningsih, M.Si Menjadi kesadaran bersama bahwa pengembangan masyarakat tidak hanya merupakan tanggung jawab bisnis, melainkan juga tanggung jawab bersama antara bisnis, negara dan masyarakat. Hubungan antara perusahaan dan pemerintah daerah serta hubungan antara perusahaan dan masyarakat menjadi titik penting untuk mewujudkan perkembangan masyarakat menuju penghidupan berkelanjutan. Penghidupan berekelanjutan menjadi sangat penting untuk dikaji lebih jauh dalam rangka memahami sampai seberapa jauh komitmen moral dari stake holders dalam mewujudkan CSR yang kemudian terimplementasi dalam realitaskehidupan masyarakat. Pertanyaan dalam penelitian ini kemudian dapat dirumuskan sebagai berikut : “Bagaimanakah Model Pengembangan Masyarakat yang dikendaki Stakeholder untuk menuju penghidupan yang berkelanjutan ?” Temuan lapangan tentang Model Pengembangan Masyarakat menuju penghidupan berkelanutan adalah sebagai berikut : 1. Pengembangan masyarakat adalah kegiatan yang menempatkan manusia/ masyarakat sebagai sentral atau pusat perhatian. Masyarakat diharapkan dapat mengorganisir diri untuk menentukan apa yang menjadi kebutuhannya, kemudian dapat merencanakan dan mengimplementasikan rencana yang sudah dibuat secara bersama - sama. Kegiatan ini apabila dapat dilakukan secara terus menerus maka dapat menjadikan pengembangan masyarakat tersebut dilaksanakan secara berkelanjutan. 2. Untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan adanya pendampingan terhadap masyarakat agar mereka mampu mendefinisikan dan merumuskan kebutuhan mereka, memahami persoalan atau problem individual maupun persoalan masyarakat secara umum, kemudian mampu membuat perencanaan sendiri dalam rangka menjawab kebutuhan dan menyelesaikan permasalahan yang ada. 3. Kalurahan Lomanis yang berada kawasan Industri mendapatkan program pendampingan dari beberapa perusahaan dalam rangka implementasi program CSRnya. Masing – masing perusahaan maupun pemerintah lokal yang ada sebagai pemangku kepentingan memiliki model pengembangan masyarakat
173
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
yang berbeda walaupun tujuan mereka sama yaitu pengembangan masyarakat yang dapat berkelanjutan. 4. PT. Holcim Cilacap lebih menekankan pentingnya menemukan Kompetensi Inti yang ada di dalam masyarakat yang merupakan kombinasi dari potensi lokal dan sumberdaya manusia yang ada. Apabila ini bisa dicapai maka pengembangan masyarakat akan dapat tetap berjalan secara berkelanjutan. Programprogram CSR yang dilaksanakan oleh PT Holcim Cilacap bukan hanya sekedar menyelesaikan masalah yang ada dalam masyarakat melalui kegiatan-kegiatan yang lazim dilakukan oleh kebanyakan perusahaan. Program dan kegiatan yang dilaksanakan selama ini merupakan perpaduan dan pengembangan ide, gagasan, pengetahuan, ketrampilan dari proses interaksi antara staf perusahaan yang mengelola CSR dengan masyarakat. PT. Pertamina RU IV menekankan pada perlunya pengembangan potensi ekonomi yang dominan misal dalam lingkup yang lebih luas ingin Cilacap sebagai lumbung padi Jawa Tengah. Sedangkan untuk pimpinan lokal yang ada model pengembangan masyarakat yang dikehendaki adalah yang dapat menumbuhkan kemandirian ekonomi masayarakat dengan tetap mengakomodasi modal sosial yang berkembang di dalam masyarakat. Dengan berpijak pada hasil penelitian tersebut maka rekomendasi yang dapat diberikan 1. A dalah : perlunya pengembangan potensi ekonomi dalam pengembangan masyarakat dan program – program CSR dari Perusahaan diupayakan untuk dapat meningkatkan kemandirian ekonomi masyarakat. Untuk itu perlu dicermati dalam pelaksanaan program CSR agar dapat menghindari permasalahan – permasalahan misalnya yang berkaitan dengan pemerataan bantuan, terkikisnya modal sosial yang selama ini sudah eksis di dalam masyarakat karena sifat individual yang semakin menonjol. Untuk penelitian selanjutnya sangat menarik untuk mencermati tingkat keberdayaan masyarakat dari adanya program CSR ini, sehingga dapat menjadi evaluasi terhadap implementasi CSR selama ini.
174
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
KEWIRALEMBAGAAN DI ARAS KONFLIK: Institutional Entrepreneurship KSU FKMP Manunggal dalam Pengembangan Masyarakat di Desa Karangwuni, Kecamatan Wates, Kabupaten Kulon Progo Eka Zuni Lusi Astuti, S.Sos., M.A Fenomena konflik rencana penambangan pasir besi di pesisir selatan Kabupaten Kulon Progo dapat ditelisik dari sudut pandang konflik, politik, sosial dan ekonomi. Penelitian ini mencoba melihat fenomena tersebut dari sudut pandang sosial, yaitu program communiy development PT JMI kepada masyarakat Desa Karangwuni melalui KSU FKMP Manunggal. Dalam rangka menjalankan program community development, PT JMI menginisiasi sembilan koperasi serba usaha di sembilan desa yang ada di wilayah kontrak karya rencana penambangan pasir besi. Dari sembilan koperasi, hanya ada satu koperasi, yaitu KSU FKMP Manunggal di Desa Karangwuni, yang mampu bertahan, selebihnya vakum atau mengalami disfungsi. Menjadi menarik untuk mengetahui apa yang menyebabkan koperasi ini dapat bertahan dan berhasil melakukan pengembangan masyarakat. Penelitian ini berusaha untuk mengetahui bagaimana strategi KSU FKMP Manunggal dalam pengembangan masyarakat di Desa Karangwuni. Tujuannya adalah, untuk mengidentifikasi strategi KSU FKMP Manunggal dan sinergi antar aktor yang ada dalam pengembangan masyarakat Desa Karangwuni serta mengidentifikasi inovasi-inovasi yang dilakukan KSU FKMP Manunggal dalam memanfaatkan program community development PT JMI. Untuk memahami hal tersebut, digunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriptif interpretatif supaya peneliti dapat memasuki dunia informan, melakukan interaksi dengan informan, dan memahami fenomena yang diteliti dengan menggunakan sudut pandang informan. Penelitian ini berlokasi di Desa Karangwuni, Kecamatan Wates, Kabupaten Kulon Progo. Informan berasal dari pengurus dan anggota KSU FKMP Manunggal, Tim Lokal, masyarakat Desa Karangwuni, Pemerintah Desa Karangwuni, PT JMI, Dinas Koperasi Usaha Mikro Kecil Menengah, dan Bidang Pertambangan Dinas Perindustrian dan ESDM. Penelitian ini menghasilkan beberapa temuan yang dapat disimpulkan bahwa KSU FKMP Manunggal dapat bertahan dan berhasil mengembangkan masyarakat karena melaksanakan praktik institutional entrepreneurship atau kewiralembagaan. Kinerja KSU FKMP Manunggal tidak sekedar untuk menghasilkan uang, namun juga berorientasi pada pengembangan kelembagaan. Pengembangan kelembagaan yang
175
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
dimaksud adalah, pertama, upaya koperasi supaya dapat diterima oleh masyarakat yang hidup di tengah pusaran konflik pasir besi dan ketidakpercayaan kepada PT JMI serta mendorong partisipasi masyarakat di dalam berbagai kegiatan koperasi. Kedua, upaya dalam menjalin hubungan baik dengan masyarakat baik yang pro maupun kontra terhadap keberadaan PT JMI. Ketiga, upaya dalam menjalin hubungan baik dengan PT JMI dan Pemerintah Daerah Kabupaten Kulon Progo. Keempat, upaya dalam mempersiapkan masyarakat Desa Karangwuni, terutama yang terdampak penambangan pasir besi, untuk melakukan alih profesi dari pertanian lahan pantai ke pertanian sawah, sektor perdagangan atau jasa. Koperasi yang diinisiasi oleh PT JMI sebagai program community development sekaligus untuk meredam konflik yang ada, berhasil melahirkan wiralembagawan (institutional entrepreneur). Keberhasilan KSU FKMP Manunggal ini ditentukan oleh kapasitas wiralembagawan pengurus koperasi yang tidak sekedar menjalankan koperasi namun memiliki kesamaan visi yaitu menciptakan kehidupan berkelanjutan bagi masyarakat Desa Karangwuni ketika PT JMI beroperasi dan setelah PT JMI meninggalkan Desa Karangwuni. Kapasitas kewiralembagaan inilah yang menghasilkan kinerja wiralembagawan sehingga terjadi modifikasi terhadap peran dan fungsi koperasi yang semula ditujukan sebagai wadah penyalur program-program community development PT JMI. Tak ada gading yang tak retak, banyak kekurangan dalam penelitian ini. Masih banyak celah yang perlu digali pada praktik kewiralembagaan KSU FKMP Manunggal, terutama upayanya dalam mempersiapkan masyarakat Desa Karangwuni untuk alih fungsi profesi dan menciptakan kehidupan berkelanjutan. Penelitian selanjutnya dapat menggali dan mengidentifikasi aktor-aktor potensial untuk regenerasi wiralembagawan. Praktik kewiralembagaan, tidak akan bertahan tanpa adanya regenerasi wiralembagawan.
176
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
PROSES PEMBERDAYAAN KELOMPOK PENJUAL JAMU: Studi Kasus Penguatan Kelembagaan Kelompok Penjual Jamu Jati Husada Mulya Binaan PT. Pertamina TBBM Rewulu dalam Menghadapi Tantangan Integrasi Ekonomi Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015 Nitya Saputri Rizal Penelitian ini membahas mengenai bagaimana proses pemberdayaan kelompok penjual jamu Jati Husada Mulya (JHM) binaan PT. Pertamina TBBM Rewulu dalam menghadapi tantangan integrasi ekonomi Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015. Metode penelitian yang digunakan sebagai dasar dari pelaksanaan penelitian ini adalah metode kualitatif. Metode penelitian ini digunakan untuk memahami secara mendalam mengenai sebuah fenomena yang belum diketahui atau sudah diketahui dengan informasi yang sangat sedikit. Metode penelitian kualitatif menggunakan pendekatan yang kontekstual dengan perkembangan yang ada di lapangan, sehingga akan menghasilkan data yang lebih menyeluruh dan lengkap. Dengan menggunakan metode kualitatif ini, peneliti dapat memahami dan mengikuti alur kejadian secara menyeluruh. Penelitian ini dilaksanakan untuk mengetahui tentang proses pemberdayaan kelompok jamu Jati Husada Mulya di Dusun watu Desa Argomulyo, Kecamatan Sedayu, Kabupaten Bantul. Fokus penelitian ini adalah pada proses pemberdayaan melalui penguatan kelembagaan kelompok penjual jamu Desa Argomulyo, Kecamatan Sedayu, Kabupaten Bantul dalam menghadapai tantangan kompetisi dalam integrasi ekonomi Masyarakat Ekonomi ASEAN. Penelitian ini melihat mulai dari tahap perencanaan, persiapan, pelaksanaan, dan evaluasi program pemberdayaan yang dilakukan dalam menghadapi tantangan integrasi Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015. Penelitian ini juga melihat sejauh mana perhatian PT. Pertamina TBBM Rewulu terhadap tantangan integrasi ekonomi Masyarakat Ekonomi ASEAN, sekaligus melihat kesadaran perusahan terhadap tantangan yang dialami oleh kelompok binaannya. Selain itu, peneliti juga mengambil beberapa narasumber dari pengurus dan anggota kelompok jamu Jati Husada Mulya binaan CSR PT. Pertamina TBBM. Dalam penelitian ini ditemukan bahwa CSR PT. Pertamina Rewulu dalam melakuakn kegiatan pemberdayaannya menggunakan pemberdayaan berbasis kelompok, Dipilihnya pendekatan berbasis kelompok, dengan harapan manfaat dari fasilitasi pemberdayaan yang dilakukan oleh CSR Pertamina Rewulu dapat dirasakan
177
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
tidak hanya oleh perorangan tapi juga secara kelompok. Dengan begitu diharapkan dapat tercipat distribusi manfaat yang merata kepada semua anggota kelompok. Sehingga dapat memajukan sekaligus individu dan kelompok dalam menghadapi gempuran persaingan eksistensi maupun persaingan profuk lokal dan international yang ada dari tantangan MEA 2015. Selain itu, dalam proses pemberdayaannya, CSR Pertamina Rewulu menekankan pentingnya partisipasi aktif anggota dalam setiap tahapan pemberdayaan, mulai dari identifikasi masalah, perencanaan program, pelaksanaan program, hingga evaluasi program. Dalam penentuan program pemberdayaan, juga berdasarkan potensi kelompok dan lingkungan. Program yang telah dilaksanakan antara lain, Pengembangan Inovasi Produk dan Pemberian Kelengkapan Peralatan Produksi, Sertifikasi Produk dan Pembentukan Badan Hukum Koperasi, Penguatan Manajemen Usaha Kelompok, dan Pembentukan Kader Kelompok untuk Mampu Menyebarkan Informasi Secara Mandiri. Seluruh program yang telah dilaksanakan sekaligus menjadi persiapan kelompok dalam menghadapi tantangan MEA 2015, walaupun pihak CSR PT Pertamina Rewulu belum menyadari tantangan dari MEA 2015 dan hanya menyadari symbol-simbol umum MEA 2015. Namun demikian, CSR Pertamina rewulu memiliki tujuan pemberdayaan agar terciptanya kelompok yang mandiri dan mampu membuat kelompok yang awalnya powerless menjadi powerfull untuk bisa berdiri secara mandiri mampu mengidentifikasi dan memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri. Dalam jangka panjangnya, diharapkan kelompok binaan ini dapat menjadi Industri Rumah Tangga besar dimana para anggota nya yang sekarang mendapat binaan dari CSR Pertamina Rewulu dapat menjadi direksinya dan mampu membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat lain. Pada penelitian selanjutnya, diharapkan dapat melihat bagaimana perkembangan kelompok ketika MEA 2015 telah berlangsung. Apakah dengan proses pemberdayaan yang telah dilakukan oleh CSR Pertamina Rewulu sekarang ini, telah mampu membuat kelompok bertahan dan sukses dalam arus MEA yang akan dimulai begitu berakhirnya tahun 2015 ini. Ditambah dengan adanya rencana melepaskan kelompok Jati Husada Mulya dari binaan CSR Pertamina pada tahun depan. Sangat menarik untuk melihat apakah kelompok ini mampu menghadapi gempuran MEA 2015 tanpa adanya campur tangan dari CSR Pertamina Rewulu.
178
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
RISET UNGGULAN
PUSAT KAJIAN
179
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
180
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
PENGUATAN SIMPUL PENGETAHUAN LOKAL BAGI TATA KELOLA SUMBER DAYA EKSTRAKTIF Research Centre for Politics and Government (PolGov) Jurusan Politik dan Pemerintahan Riset ini bertujuan untuk mengembangkan simpul pengetahuan yang mampu menjembatani, mendorong dan mendayagunakan pengetahuan lokal agar terserap dan mempengaruhi proses kebijakan dalam tata kelola sumberdaya. Riset ini dilatarbelakangi fakta bahwa kebijakan publik dalam pengelolaan sumberdaya alam terlalu didominasi oleh nalar teknokrasi. Sementara itu, secara metodologi dan substansi, pengetahuan lokal dipandang bukan hasil dari upaya “ilmiah” dan arena itu tidak sah disebut sebagai “evidence”(bukti). Padahal, ketika tatakelola sumberdaya sarat akan konflik mengingat nature industri yang menimbulkan eksternalitas negatif maupun positif. Ketika narasi pengetahuan lokal termarjinalkan, kepentingan masyarakat lokal pun terabaikan. Sebagai riset aksi, terdapat kegiatan yang merupakan upaya mendokumentasikan berbagai mekanisme lokal yang selama ini dipraktikkan oleh masyarakat terkait tatakelola sumberdaya. Selain itu, riset ini ditindaklanjuti oleh kegiatan pilot fasilitasi untuk mengembangkan simpul pengetahuan (knowledge hub) bagi para aktivis di empat kabupaten tersebut. Simpul inilah yang akan difasilitasi agar menjadi wahana sharing dan komunikasi dengan pembuat kebijakan. Hasil yang ingin dicapai adalah adanya inklusi dari proses policymaking terhadap pengetahuan-pengetahuan lokal tersebut. Selain membangun simpul pengetahuan, kegiatan riset aksi ini juga meliputi promosi inklusi pengetahuan lokal di kalangan pengambil kebijakan di empat kabupaten lokasi program. Ini didukung oleh strategi komunikasi lainnya yakni desiminasi hasil riset, desiminasi policybrief hingga pertemuan local leader forum. Kegiatan terakhir diharapkan bisa menjadi ruang belajar dan berbagi praktik baik diantara empat daerah mengenai inklusi dan adopsi pengetahuan lokal dalam proses dan produk kebijakan publik. Bertolak dari tujuan dan kegiatan-kegiatan program di atas, dari riset aksi ini diharapkan bisa memberi tiga kontribusi strategis. Pertama, substansi kebijakan publik menjadi lebih pro-masyarakat da relevan dengan konteks. Kedua, legitimasi kebijakan meningkat sebab proses-prosesnya lebih partisipatif ketika
181
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
mengakomodasi pengetahuan lokal. Ketiga, introdusir toolkits/instrument kegiatan yang fasilitatif bagi pengetahuan lokal. Riset aksi yang didukung oeh Knowledge Sector Initiative-DFAT ini dilaksanakan di Kabupaten Manggarai, Kabupaten Belu (NTT), Kabupaten Banyuwangi (Jawa Timur), Kabupaten Tanah Bumbu (Kalimantan Selatan). Maisngmasing kabupaten merupakan daerah yang kaya dengan sumberdaya alam dan merupakan lokasi industri ekstraktif.
182
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
JARAK SOSIAL DAN PUBLIC DISTRUST TERHADAP MASYARAKAT EKONOMI ASEAN New Media Studies (Newmesis) Jurusan Ilmu Komunikasi Gagasan ASEAN sebagai sebuah komunitas kawasan telah lama diagendakan. Secara formal, agenda tersebut diwacanakan akan segera diberlakukan pada akhir tahun 2015. Sebagai konsekuensinya, kesiapan masyarakat dalam menyambut agenda tersebut menjadi prasyarat mutlak. Pemahaman terhadap kesiapan masyarakat dalam menyongsong Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015 menjadi fokus kajian dalam penelitian ini. Tingkat kesiapan masyarakat terhadap wacana ini dapat dilihat dari dua indikator yaitu actual network of friendship (kepemilikan jejaring pertemanan aktual) dan social distance (jarak sosial) masyarakat terhadap negaranegara tetangga sesama anggota ASEAN. Metode survei digunakan sebagai basis metodologis untuk melihat persepsi dan sikap masyarakat terhadap jarak sosial masyarakat Indonesia warga negara di kawasan ASEAN serta kepercayaan mereka terhadap agenda Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015. Hasil kajian menunjukkan bahwa tingkat kepemilikan relasi antara masyarakat Indonesia dengan sesama warga dari negara-negara di kawasan ASEAN terbilang rendah. Mayoritas responden menyebutkan bahwa mereka tidak memiliki teman dari sesama negara ASEAN. Secara khusus, kajian ini mengungkap bahwa tingkat kepemilikan jaringan pertemanan mengerucut pada dua kelompok negara yaitu negara dengan jaring pertemanan tinggi dan rendah. Negara dengan tingkat kepemilikan jaringan pertemanan terendah yang dimiliki oleh responden antara lain Laos, Myanmar, Brunei Darussalam, Vietnam, dan Timor Leste. Adapun tingkat kepemilikan jaringan pertemanan tertinggi ditempati oleh Malaysia dan Singapura. Jarak sosial relatif tidak menjadi persoalan yang berarti bagi masyarakat. Masyarakat Indonesia cenderung bersikap terbuka dan bersedia menjalin relasi dengan warga masyarakat dari negara-negara di kawasan ASEAN. Jarak sosial secara sederhana dimaknai sebagai tingkat kesediaan untuk berhubungan dan dalam konteks apa hubungan tersebut dapat diterima. Jarak sosial sekaligus menjadi indikasi level kedekatan yang dapat ditoleransi antar kelompok sosial. Secara umum, mayoritas masyarakat menerima warga dari sesama negara ASEAN dalam dua kategori yaitu pendatang/tamu/turis dan sebagai teman dekat. Dalam konteks relasi sebagai teman dekat sejumlah negara seperti Thailand, Singapura,
183
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
Vietnam, Filipina, Brunei Darussalam, dan Malaysia dapat diterima dengan cukup baik. Dalam konteks relasi pendatang/tamu/turis, penerimaan terbesar ditujukan kepada Laos, Myanmar, dan Vietnam. Dalam konteks relasi sebagai kolega kerja, Singapura menjadi negara yang dianggap paling potensial. Terakhir, dalam konteks hubungan keluarga penduduk dari Singapura, Brunei Darussalam, dan Malaysia cenderung lebih diterima dibandingkan negara-negara lain. Terdapat kesenjangan antara kepemilikan relasi secara empiris dengan ekspektasi relasi yang dimiliki responden. Ekspektasi responden untuk menjalin relasi dengan warga negara dari negara-negara di ASEAN relatif lebih tinggi dibandingkan relasi aktual yang saat ini dimiliki. Ketidakpercayaan publik (public distrust) terhadap MEA 2015 dipahami melalui dua paparan utama. Pertama, persepsi masyarakat tentang potensi adanya praktik intoleransi dalam pelaksanaan MEA 2015. Kedua, aspirasi masyarakat terkait pencegahan praktik intoleransi dalam konteks MEA 2015. Secara umum, masyarakat cenderung ragu dalam mengekspresikan pendapatnya terhadap MEA 2015 dibuktikan melalui presentase jawaban ragu-ragu yang berkisar antara 30%47% di hampir seluruh pertanyaan. Mayoritas masyarakat meyakini bahwa agenda MEA 2015 akan lebih banyak menguntungkan perusahaan multinasional asing namun tidak sampai menghancurkan kekuatan ekonomi domestik. Masyarakat bahkan cenderung optimis bahwa MEA 2015 akan meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat. Pesimisme masyarakat muncul dari keyakinan mereka bahwa MEA 2015 berpotensi menciptakan ketimpangan pendapatan, diskriminasi tenaga kerja, dan masalah perdagangan manusia antarbangsa. Mayoritas responden juga menyepakati bahwa intoleransi di media baru berpotensi menciptakan konflik yang berdampak pada disharmoni relasi antarwarga dan antarbangsa di kawasan ASEAN. Pada akhirnya, harapan masyarakat terhadap MEA 2015 berpusat pada tiga hal. Pertama, MEA 2015 semestinya tidak memberi peluang bagi praktik intoleransi di media baru. Kedua, Pemerintah diharapkan dapat membatasi tenaga kerja asing untuk melindungi kepentingan warga negara asli. Terakhir, harapan atas pembatasan terhadap akses kelompok radikal terhadap media baru di ASEAN.
184
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
COMPREHENSIVE STUDY ON ADOLESCENTS AND YOUTH RELATED POLICIES IN INDONESIA REFERENCE OF THE FRAMEWORK ON A HOLISTIC YOUTH DEVELOPMENT POLICY Youth Studies Centre (YouSure) BPS-Statistics Indonesia data from Population Census 2010 showed that there were 237.6 million people living in Indonesia, of which 27.6 percent (about 63 million people) were young people aged 10-24 years.1 These data indicated the need for specific and comprehensive policy attention on the country’s population of young people. Young people have a lot of potential in various areas. The first step to realising their potential is by providing young people with access and opportunities to optimally play a role in society, and encouraging them to participate in safeguarding the development of future generations. Realising their potential is an acknowledgement of young people as citizens, with equal rights to other citizens, who are capable of becoming main actors in the future development of the nation. Young people’s development needs to address using a ‘joined-up’2 strategy that emphasises a multi-professional approach. Based on the above, this study aims to: (1) conduct situation analysis on the implementation of development policies and programmes relating to young people in the RPJMN 2010-2014, including by identifying opportunities, challenges and strategies for the development of young people; (2) identify good practices based on case studies of adolescent and youth participation in society; and (3) prepare recommendations on key issues, priority policies and programmes that highlight adolescent and youth development. Based on a youth study desk review, this background study suggested that a holistic concept of young people’s development needs to be defined based on two important approaches in observing young people objectively. Nonetheless, a holistic concept of young people, in responding to and negotiating with their world situations, is the true form of young people’s representation3, that has not been systematically utilised by the government and non-government sectors. The first approach is the relational approach, which sees young people according to their roles with older people in society (adults, including parents, Statistic Indonesia, Bappenas, UNFPA. 2013. Indonesia Population Projection 2010-2035. Statistic Indonesia, Jakarta. 2 ‘Joined-up thinking’ will be used as an approach to change the mechanism of young people’s development to one that is based on a bureaucracy that promotes multi-professionalism rather than single (sectoral) institutions. 3 Adolescent and youth representation are two isses that have been studied in the dissertation entitled: Youth Excluded Micro Politics in Solo, (Margono, 2013). 1
185
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
teachers, political elites, government officials, etc.). Second, the constructional approach, which sees young people according to conceptual constructions, which are often regarded as overlapping realities as young people transition from the status of children to teenagers, and, finally, adults. In understanding the agency4 of young people as stakeholders, the two approaches shall be considered together in order to see a more complete profile of young people. In matters of public policy relating to young people, the formulation of concepts needs to be based on certain assumptions about young people as a population. It is important that any assumptions be made explicitly, since the theoretical definition of young people is very broad, and sometimes its categories overlap. The assumptions used in this study are that young people are actors/agency in development, and can become assets as high-quality human resources in the future. In most government’s programmes, young people are generally approached according to the interests of specific sectors, and not according to a holistic concept, looking at their overall development and wellbeing. The orientation of policies and programmes for young people’s development need to be developed based on the citizenship approach5, with features to develop the role of young people as agents or subjects, in order to prepare them to become quality human capital for the future. 1. The target of young people’s development is to prepare a ‘high-quality’ generation and not to place young people in a vulnerable position under an authoritative programme. The assumption that young people have a voice should be realised by preparing bureaucratic readiness for a change from giving orders to giving room, from a sectoral to a joined-up approach, and from administrative allocation to allocation by citizenship. Thus, the concept of holistic youth development is development that places young people in a position to develop their role as agents through a multi-professional approach. The background study is focused in six areas, namely: (1) health, (2) education, (3) employment and entrepreneurship, (4) leadership, (5) social protection and (6) information technology.
Agency is the culmination of an individual’s capacity to act: their skills and capabilities and their ability to change their own lives (DFID – CSO Youth Working Group. 2010. Youth Participation in Development: a Guide for Development Agencies and Policy Makers. London, SPW/DFID-CSO Youth Working Group) 5 Citizenship approach means that young people are recognized politically, socially and culturally 4
186
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
NUCLEAR WEAPONS IN INTERNATIONAL RELATIONS: A BACKGROUND PAPER Institute of International Studies cluster Program on Humanitarian Action Department of International Studies (POHA) Jurusan Hubungan Internasional This paper will tell a story of nuclear weapons in international relations, by tracing its roots, impacts and looking at states’ attitude and behavior toward nuclear weapons over time. The importance of nuclear weapons in international relations is never a question. If there is one type of weapon that has so much impact in the way international relations are ordered, the answer will definitely be nuclear weapons. Since its invention and subsequent use at the end of the World War II, nuclear weapons have been deeply entrenched within the structure of international politics. It is no coincidence that the permanent members of the United Nations Security Council who possess veto privilege are all nuclear-armed states. The entry into force of the Nuclear Non-Proliferation Treaty (NPT) in 1970 is also central in the reordering of the world around the two categories of states, the nuclear weapons states (NWS) and the Non Nuclear Weapon States (NNWS). The centrality of nuclear weapons in international politics is due to its sheer power. The explosions caused by nuclear weapons are believed to be effective in bringing even the most stubborn country like the Empire of Japan to its knees. The level of destruction caused by the detonation of a nuclear bomb is unprecedented, not to mention its long- term effects to the health of the human and to the environment. The introduction of nuclear weapons in war through the bombing of Hiroshima and Nagasaki inevitably sparked fear to the world. The International Committee of the Red Cross (ICRC) concluded as early as September 1945 that the humanitarian consequences of nuclear weapons were simply unacceptable, and therefore they should be abolished. In January 1946, the United Nations General Assembly issued its very first resolution, entitled ‘Establishment of a Commission to Deal with the Problems Raised by the Discovery of Atomic Energy’. In this ‘Resolution 1’, UNGA aspired for ‘the elimination from national armaments of atomic weapons and of all major weapons adaptable to mass destruction.’ It is rather odd, therefore, to see on the one hand the world realize the dangers of keeping nuclear weapons and wish to abolish it, while on the other hand a number of states remain clung to their nuclear arsenals. 70 years from their first use in war, the number of nuclear weapons in the world remains staggeringly high. There are currently around 16,000 nuclear weapons
187
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
in the world, possessed by 9 countries. Many of those nuclear weapons are kept in hairtrigger alert. Although this number is significantly lower than it was at the height of the Cold War, it is still more than enough to destroy the earth several times. The nuclear weapons states have never lived up to their promise as written in Article VI of the NPT. These states are even willing to spend billions of dollars for modernization program of their nuclear arsenals. Against this backdrop, the NNWS decided that it is pointless to wait for the NWS to begin the process of nuclear abolition. This sentiment becomes materialized when a group of NNWS finally initiated another approach to abolish nuclear weapons, called the Humanitarian Initiative. The central idea of the initiative is to reframe the debate about nuclear weapons away from strategic / security conversation, into the conversation about their humanitarian consequences. This initiative has garnered wide support from NNWS and is envisioned to be the platform to start a negotiation on a treaty banning nuclear weapons.
188
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
GENDER DAN ENVIRONMENTAL JUSTICE DI ASEAN: STUDI KASUS INDONESIA ASEAN Studies Center (ASC) Studi ini bertujuan untuk menelaah dinamika masyarakat terutama dalam isu pengelolaan sumber daya. Timbulnya masalah dipacu oleh adanya jurang besar dalam proses pembangunan dan pengelolaan sumber daya alam dengan kebutuhan dasar penduduk lokal. Logika pertumbuhan dan kesejahteraan yang dibawa oleh kalangan modernis hanya memfokuskan pada keuntungan. Sedangkan masyarakat lokal lebih menekankan kepada pengelolaan sumber daya alam yang berlandaskan pada pelestarian alam. Dalam konteks ASEAN yang muncul sebagai kekuatan baru ekonomi dunia, wilayah ini menjadi target industri terutama dalam ranah ekstraktif. Eksploitasi besar-besaran terhadap sumber daya alam, jelas memberikan pengaruh signifikan terhadap lingkungan sosial, terutama mereka yang termarginalisasi, yaitu perempuan. Akibat langsung diterima oleh para wanita dikarenakan aktifitas mereka yang tidak bisa dilepaskan dari nurturing dan reproduksi dimana sangat berkaitan langsung dengan alam. Penyelenggaraan industri ekstraktif menyebabkan kerusakan di sektor-sektor utama aktifitas perempuan, seperti kontaminasi air, tanah yang tak subur, dan pencemaran lingkungan. Kultur wilayah Asia Tenggara yang masih menganut sistem patriarki dalam kehidupannya menjadikan perempuan kurang mendapatkan ruang untuk membagikan pengalamannya dalam pengelolaan sumber daya alam. Namun, dalam kasus-kasus penting di Asia Tenggara, khususnya Indonesia terdapat fenomena menarik dimana perempuan menunjukkan aksinya dalam menuntut keadilan lingkungan. Untuk itu penting bagi para pemerhati sosial dan politik menelaah lebih jauh fenomena peran gender dan environmental justice khususnya dalam kasus tambang. Penelitian ini menggunakan pendekatan ekofeminisme, environmental justice, dan gerakan sosial sebagai landasan untuk melihat konteks peran wanita dalam pemenuhan keadilan lingkungan. Ekofeminisme sebetulnya berangkat dari pemikiran yang berbeda dari para kaum feminis liberal. Para ekofeminis percaya bahwa peran domestik perempuan merupakan hal yang perlu dirayakan para wanita karena dengan itu mereka dapat menjadi subjek dalam kehidupan sosial ini, terutama pemaknaan mereka terhadap alam yang sangat dekat dengan
189
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
peran perempuan dalam reproduksi dan nurturing. Nilai-nilai ini yang kemudian dapat digunakan untuk melakukan aksi “perlawanan” terhadap penyalahgunaan pengelolaan sumber daya alam. Kasus menarik yang diteliti dalam riset ini adalah kasus Desa Tumbak, Manggarai Timur, NTT dengan tambang mangan yang sudah pada tahap moratorium penambangan dan warga Rembang yang sedang menanti putusan PTUN dalam kasus tambang Semen. Kontek sosial di kedua daerah memang berbeda dan berimplikasi pada perjuangan para wanita dalam menyuarakan penolakannya terhadap tambang. Dalam kasus Tumbak, gereja Katolik memiliki pengaruh yang besar dalam perjuangan wanita, sedangkan para wanita Rembang harus berhadapan dengan oligarki yang menggurita dalam isu penyelenggaraan tambang. Setelah melakukan studi lapangan dan wawancara, fakta menarik ditemukan bahwa para wanita memiliki persepsi dan pemaknaan terhadap alam yang menghantarkan mereka untuk melakukan linking yang dapat diartikan sebagai pengenalan terhadap konflik, bonding atau solidaritas yang dibangun antar sesama perempuan, dan transforming ide serta gagasan mereka untuk dapat mempengaruhi kebijakan dengan melakukan aksi dan gerakan sosial. Dengan menyoroti fenomena tersebut, diskursus mengenai wanita dalam konteks lingkungan menjadi nilai yang sangat esensial. Pengalaman hidup mereka dalam mengelola alam menjadi penting untuk diberi ruang dengar yang dapat menjadi alternatif kebijakan bagi para stake holder. Lebih lanjut lagi, studi ini diperlukan bagi ASEAN sebagai sebuah regional yang masih kurang memiliki konsen terhadap gender dan pengelolaan industri ekstraktif untuk meningkatkan awareness dan willingness dalam melibatkan perempuan di institusi penting baik dalam negeri maupun regional.
190
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
MENGGAGAS PETA JALAN REFORMASI BIROKRASI Center for Policy and Management Studies (REFORMA) Jurusan Manajemen dan Kebijakan Publik Birokrasi merupakan instrumen negara (pemerintah) untuk memberikan pelayanan publik dan pelaksana kebijakan untuk meningkatkan kesejahteraan warga negara. Realitas kebutuhan dan tantangan yang harus dihadapi oleh masyarakat yang dinamis menuntut kapasitas birokrasi untuk terus melakukan perubahan sesuai tuntutan zaman. Untuk mewujudkan sosok birokrasi yang kontekstual maka reformasi birokrasi adalah sebuah kebutuhan yang tidak terelakkan oleh setiap pemerintahan modern dalam rangka meningkatkan efektivitas, efisiensi, dan akuntabilitas kinerja birokrasi dalam memberikan pelayanan publik. Selain itu, tuntutan publik maupun tekanan kompetisi global yang semakin meningkat juga mendorong reformasi birokrasi harus dijalankan terus-menerus. Pelaksanaan Reformasi Birokrasi (RB) yang digagas sejak tahun 2008 oleh Kemenpan-RB ternyata mengandung tiga kelemahan mendasar. Pertama, program RB lebih menitikberatkan pada perbaikan remunerasi bagi pejabat dan pegawai negeri sipil (PNS) tanpa mengaitkannya dengan perbaikan kinerja. Sementara itu, Singapura yang selama ini menjadi rujukan terobosan remunerasi terus berusaha memastikan agar market salary benchmark, penetapan standar gaji dan remunerasi aparatur yang disetarakan dengan sektor privat, harus berjalan bersamaan dengan sistem penilaian kinerja yang baik sebagaimana di sektor privat. Kedua, program RB di Kementerian dan Lembaga terperangkap pada formalisme yang hanya menekankan dokumentasi rencana-rencana, target-target, serta indikator kuantitatif yang kurang relevan dengan perubahan substansial. Dalam pengisian Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP), misalnya, birokrat cenderung memberikan data kuantitatif tanpa dukungan evidence yang konkrit. Ketiga, terjadi penyeragaman kebijakan yang mengakibatkan RB kehilangan konteks dan kemampuan untuk merancang program yang spesifik dan relevan dengan persoalan yang benar-benar dihadapi dalam entitas lembaga tertentu dalam pemerintahan. RB justru masih terjebak pada birokratisasi reformasi birokrasi. Aparatur masih didorong untuk berorientasi pada pemenuhan aturan dan dokumen pendukung pelaksanaan aturan RB, sehingga RB sendiri baru menyentuh proses ketimbang hasil.
191
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
Strategi Reformasi Birokrasi: Inovatif dan Extra Ordinary Jika dibandingkan dengan capaian negara lain seperti Singapura, Korea Selatan dan Taiwan, Indonesia termasuk di deretan paling belakang. Ketiga negara tersebut berangkat dari kondisi yang sama dengan Indonesia, akan tetapi mereka sekarang sudah melaju menjadi negara industri yang sangat maju. Untuk itu, revolusi mental yang dijadikan jargon utama Jokowi perlu diterjemahkan ke dalam reformasi birokrasi. Berikut adalah lima perombakan yang harus dilakukan sebagai strategi inovatif reformasi birokrasi: 1. Perombakan komposisi SDM Birokrasi
Hal ini bisa dilakukan dengan merekrut sebanyak mungkin dari sektor swasta maupun lembaga non pemerintah lainnya. Eksperimen semacam ini perlu dilakukan didasarkan pada pengalaman merekrut Ignatius Jonan dan Dahlan Iskan yang telah berhasil merubah birokrasi PT KAI dan PLN. Ini juga menujukkan bahwa kepemimpinan yang transformative menjadi factor penentu.
2. Perombakan pola pengambilan keputusan
Ini bisa dilakukan dengan memberikan ruang inovasi yang luas dan tindakantindakan di luar kebiasaan (extra-ordinary actions). Hanya dengan cara revolusi pengambilan keputusan maka inovasi dapat dijalankan dengan baik. Sejauh tindakan diskresi seseorang tersebut tidak ada unsur korupsi dan merugikan publik maka hal itu bisa dibenarkan.
3. Perombakan sistem akuntabiltas kinerja birokrasi
Penilaian kinerja harus didasarkan pada cost-effectiveness dalam mencapai tujuan yang direncanakan, dan bukan pada penyerapan anggaran yang tidak berdampak positif untuk warga. Selain itu, tuntutan terhadap akuntabilitas administratif (administrative accountability) dalam setiap penggunaan anggaran tidak boleh mengurangi substansi akuntabilitas kinerja.
4. Perombakan regulasi yang merugikan publik
Saat ini ada kecenderungan birokrasi menciptakan regulasi tanpa penilaian dampak atas diterapkannya regulasi. Sejauh ini, ada keseriusan Pemerintah Pusat untuk menghapus peraturan daerah (Perda) yang merugikan dunia swasta, tetapi tidak ada upaya untuk menghapus Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri dan Keputusan Menteri yang merugikan publik.
5. Perombakan struktur ke arah birokrasi fungsional
Hal ini bisa dilakukan dengan menghapus unit yang tidak relevan untuk pelayanan publik. Unit-unit yang dibangun hanya untuk menempatkan seseorang tanpa fungsi yang jelas harus dihapus. Konsekuensi dari
192
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
perombakan struktur adalah pengurangan jumlah jabatan struktural dan lebih menekankan pada rekrutmen pejabat fungsional. Policy notes ini disusun sebagai semangat untuk dapat memberi masukan kepada pemerintah Presiden Joko Widodo agar Road MAP Reformasi Birokrasi 20152019 menjadi lebih sempurna. Tanpa mengurangi apresiasi terhadap capaian yang telah dihasilkan oleh Pemerintah sebelumnya, policy notes ini diharapkan dapat memberikan tambahan gagasan segar yang bisa diadopsi dalam pelaksanaan reformasi birokrasi lima tahun ke depan sehingga mampu mengakselerasi upaya pemerintah dalam mewujudkan target-target yang telah ditetapkan.
193
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
194
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
195
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
196
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
THE INOVATION ADOPTION PROCESS OF NATURAL DYE BATIK PRODUCERS IN INDONESIA Case Study Natural Dye Batik Industry in Solo Dyah Anindita D.P In Search of Balance Inovasi bukan merupakan fenomena baru. Inovasi dianggap sebagai elemen kunci dalam kesuksesan bisnis. Namun terlepas dari hal itu, literatur terdahulu mengungkapkan berbagai macam definisi, tahapan proses adopsi inovasi maupun faktor pendorong keputusan adopsi sebuah inovasi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengeksplorasi faktor-faktor yang mempengaruhi keputusan adopsi sebuah inovasi, memahami proses adopsi inovasi serta mengeksplorasi tipe-tipe adopter yang ditemukan dalam proses adopsi inovasi. Konteks yang dipilih dalam penelitian ini adalah industri batik warna alam di kota Solo. Seperti diketahui saat ini industri batik diwarnai oleh batik dengan pewarna kimia atau sintetis dengan berbagai pertimbangan diantaranya harganya yang jauh lebih murah dan prosesnya yang cenderung instan menyebabkan batik dengan pewarna sintetis lebih dianggap efisien oleh para produsen. Namun, adanya fakta bahwa batik sintetis merusak lingkungan melalui pembuangan limbahnya serta bahaya yang disebabkan oleh zat-zat kimia terhadap kulit seakan dihiraukan oleh produsen maupun konsumen. Ditengah-tengah maraknya industri batik sintetis inilah tersisa produsen batik warna alam yang masih bertahan berproduksi batik warna alam sampai saat ini. Penelitian ini menggunakan studi kualitatif dengan studi kasus. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi sebuah keputusan adopsi inovasi bisa berasal dari dalam (internal) maupun luar (eksternal) perusahaan. Pada penelitian ini juga ditemukan proses adopsi inovasi yang beragam dari berbagai perusahaan. Selain itu ditemukannya berbagai macam tipe adopter inovasi dilihat dari kecepatan inovasi dan faktor pendorong dalam adopsi inovasinya.
197
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
DIANTARA KONSERVASI DAN PARIWISATA: DINAMIKA SOSIAL NELAYAN DI TAMAN NASIONAL KOMODO Dian Lintang Sudibyo In-Search of Balance Pascasarjana Antropologi Budaya UGM Melibatkan masyarakat lokal dalam industry pariwisata, telah menjadi rencana kerja pengelolaan Taman Nasional Komodo (TNK) sejak 36 tahun lalu (1979). Pariwisata dilihat sebagai pemanfaatan sumberdaya paling lestari, sehingga merubah aktivitas ekonomi masyarakat lokal agar terlibat dalam pariwisata sungguh diharapka. Hal ini bukan tanpa kritik. Ahli ekonomi-politik melihat kolaborasi konservasi dan pariwisata sebagai kesempatan kapitalisme untuk memulai akumulasi kapital di ruang baru. Proses ini ditandai dengan ambil alih wilayah untuk konservasi dan kemudian menciptakan kelas buruh sebagai motor penggerak industry pariwisata. Saya menolak gagasan tersebut. Data menunjukan, hingga kini mayoritas penduduk (97%) adalah nelayan, padahal penetapan wilayah konservasi sudah terjadi puluhan tahun lalu. Mengapa hal ini terjadi? Penelitian dilakukan di Pulau Rinca, Labuan Bajo, manggarai Barat, Nusa tenggara Timur (NTT). Pulau Rinca masuk dalam wilayan Taman Nasional Komodo bersama Pulau Komodo, Papagaran, dan pulau-pulau kecil lainnya. Selain daratan, wilayah perairan di sekitar pulau juga masuk dalam wilayah lindung ini. Data dikumpulakan melalui partisipasi obervasi dan wawancara mendalam. Disini saya berasumsi manusia melihat, memaknai dan mengelola lingkungan sekitarnya berdasarkan pengalaman-pengalaman historis. Konsekuensinya penelusuran pengalaman masa lalu harus dilakukan, untuk melihat kondisi sekarang. Saya menelusuri bagaimana program awal TNK pada masa colonial hingga sekarang. Saya juga mengurai keterkaitan antara pariwisata dan konservasi dalam konteks logika pasar. Kemudian saya menelusuri bagaimana dinamika sosial masyarakat lokal merespon tekanan konservasi dan pariwisata di wilayah mereka. Ada empat jawaban. Pertama, konservasi telah memproduksi ruang baru yang pada akhirnya merubah relasi antara manusia dan lingkungananya. Masyarakat yang dulu membagi waktu kerja berdasarkan dua musim, musim ikan dan berladang, kini hanya bertumpu pada satu mata pencaharian yaitu nelayan. Kedua, pariwisata justru memarginalkan masyarakat lokal, sebab kalah bersaing dengan pemodal yang lebih kuat dan tenaga kerja dari tempat lain. Ketiga,
198
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
konservasi disatu sisi memang menekan masyarakat lokal dengan berbagai macam aturan, namun dia juga memunculkan peluang bagi nelayan agar tetap eksis sebagai nelayan. Wilayah konservasi dijaga ketat, sehingga ‘perusak’ dari luar susah masuk dalam wilayah ini. Artinya persaingan perebutan sumberdaya laut, tidak begitu ketat. Keempat, secara sosial relasi produksi nelayan yang mengikat justru membuat para buruh nelayan, susah lepas dari jerat menjadi nelayan itu sendiri. Keempat alasan tersebut menjadi jawaban mengapa nelayan masih bertahan di Taman Nasional Komodo.
199
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
DAMPAK EKONOMIS DAN EKOLOGIS EKSPLOITASI HUTAN PADA MASA ORDE BARU Akhmad Ryan Pratama In-Search of Balance Pascasarjana Ilmu Sejarah UGM Kalimantan Timur merupakan sala satu provinsi di Indonesia yang memiliki luas tutupan hutan yang sangat luas. Tutupan hutan yang sangat luas itu memiliki banyak sekali potensi yang dimanfaatkan. Salah satuya ialah potensi ekonomi yang terkandung didalamnya. Pemerintah Orde Baru pada awal-awal mereka berkuasa menyadari potensi ekonomi hutan Kalimantan Timur. Untuk itu mereka mulai membuka peluang bagi investasi modal asing, untuk menamkan modalnya pada sektor kehutanan di Kalimantan Timur. Adanya investasi asing akhirnya membuka jalan, bagi pemerintah untuk bisa mendapatkan devisa ekonomi dari eksploitasi hutan di Kalimantan Timur. Secara riil, eksploitasi hutan mampu meningkatkan pendapatan pemerintah. Namun, apakah benar bahwa peningkatan devisa pemerintah itu juga berbanding lurus dengan pemerataan kesejahteraan di Kalimantan Timur?. Selain itu, berbagai data dan fakta menegaskan bahwa kebakaran hutan besar baru terjadi ketika pemerintah Orde Baru memberikan konsesi bagi para pengusaha untuk mengeskploitasi hutan. Sehingga sangat jelas terlihat benang merah antara eksploitasi hutan, dengan dampak ekologis yang bisa ditimbulkan. Tulisan ini akan membahas mengenai relsasi-relasi yang mebghubungkan antara eksploitasi hutan dan dampaknya yang difokuskan dalam fenomena ekonomi dan ekologis.
200
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
LEGAL PROTECTION OF WORK AGREEMENT LIMITED DURATION BETWEEN EMPLOYEE AND PT. SURVEYOR INDONESIA (PARTIES WHO HAVE SIGNED THE AGREEMENT) WHICH WAS PLACED IN PT. TOTAL E&P INDONESIE AND THE IDEAL ROLES OF CSR REGARDING TO POSITIVE REGULATION IN INDONESIA Nomensen Freddy Siahaan1 dan Ari Hernawan2 In-Search of Balance The capacities among Government, Employer, and Employees have unequal bargaining power. The employer usually has greatest bargaining power among of them, followed by the Government, then the employees. But normally, the government should control and restrain the employer and employees. On business process, generally parties who are getting careless from our government are employees, because employees are used as a production factor only by employer. This Legal Writing3 aims to answer the issues related to Manpower System especially toward Outsourcing Employee’s Agreement in oil and gas company. Firstly, Scholar would like to know the critical or analyses toward Work Agreement Limited Duration. Then Preventive Protection toward Outsourcing Employees which was stated on Work Agreement Limited Duration and ideal roles of CRS to handle it. The method which was used in this Scholar Paper was Qualitative Research Method, a kind of Normative Legal Writing which was based on prescriptive library research concerning study of positive law. For the Primary Legal Materials, Scholar used references such as Act Number 13 Year 2003 regarding to Manpower, Legal protections of working, etc. And for Secondary Legal Material, Scholar uses books, journals, papers, newspapers, and report of legal writing. Then, for Tertiary Legal Materials, Scholar used references such as legal dictionary, dictionary IndonesianEnglish dictionary and vice versa, etc. In the end of Legal Writing, Scholar concludes that: (1) there are some weaknesses that have found on Work Agreement Limited Duration. Those Student of Master of Legal Science Program, Gadjah Mada University, Yogyakarta, Indonesia. Lecture of Law Faculty of Gadjah Mada University, Yogyakarta, Indonesia. 3 Legal writing was sponsored by In Search of Balance (ISB) Batch 2 Year 2014 which was corporated by Universitas Gadjah Mada and Adger University of Norway. 1
2
201
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
weaknesses have infringed Positive Regulation in Indonesia. (2) outsourcing Employees do not get totally preventive protection toward themselves because they could not access the right and for their families. Scholar recommends that the supervision from Governmental Officer has to be strengthened up to avoid many forms of infringements that would be happened in the next time.
202
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
KEKAYAAN DAN PENGETAHUAN EKOLOGI MASYARAKAT PULAU KOMODO Laras Aridhini In-Search of Balance Kekayaan alam Indonesia seyogyanya dapat menjadi daya tarik tersendiri. Akan tetapi, kekayaan alam dan sumber daya yang terkandung di dalamnya dapat terkikis dengan cepat jika tidak digunakan secara bijak oleh manusia. Misi konservasi sebagai salah satu upaya untuk mengirit kekayaan alam diharapkan dapat berjalan dengan mulus. Pulau Komodo yang terkenal dengan komodo sebagai ikonnya, juga menyimpan keragaman flora dan fauna eksotis lainnya. Sebelum kedatangan misi konservasi, masyarakat Pulau Komodo memiliki hubungan paradoksal dengan komodo. Meski mereka membagi hasil buruan dengan komodo (domestifikasi), mereka juga memburu komodo. Secara tidak langsung, citra hidup mereka di masa lalu telah tergambarkan dalam mitos Ompu Najo yang pada intinya menggambarkan hubungan manusia dengan komodo. Berbagai literatur menyatakan bahwa Pulau Komodo telah berada dalam naungan Kesultanan Bima sejak abad 17. Aturan dari Sultan Bima yang melarang perburuan komodo pada akhirnya menjadi cikal bakal terbentuknya misi konservasi. Misi konservasi tak hanya menyusup ke dalam hubungan manusia dengan komodo (dan ekosistem lainnya), tetapi juga ke dalam hubungan antarmanusia. Masyarakat yang menghuni Pulau Komodo telah lebih dulu ada sebelum misi konservasi datang ke wilayah mereka. Sebelum 1970-an, mereka tinggal secara tersebar di beberapa wilayah Kepulauan Komodo. Kedatangan misi konservasi telah menyatukan mereka ke dalam satu wilayah yang saat ini menjadi Desa Komodo. Seiring berjalannya waktu, mereka yang berasal dari beragam etnis itu kini menjadi masyarakat hibrida lantaran proses interaksi antarmereka. Penelitian ini melihat kedua pihak yang terkait dengan keberadaan Taman Nasional Komodo (TNK), yakni Balai TNK sebagai pengemban misi konservasi dan masyarakat Pulau Komodo sebagai pewaris mitos kepemilikan ‘tanah komodo’. Dengan melihat keduanya, diharapkan penelitian ini mampu melihat keseimbangan yang tercipta dari sistem pengelolaan terpusat.
203
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
POST-FUNDAMENTALISM AND POLITICS OF CITIZENSHIP IN INDONESIA Frans Djalong,M.A, Dr. Eric Hiariej, Ayu Diasti Rachmawati, M.A, Dana Hasibuan, M.A Power, Welfare, and Democracy (PWD) Overview of the Research Almost a decade has passed since radical conflicts in Ambon as well as Poso erupted and the Bali bombings took place. Should those events be taken as a marker for the intensification of fundamentalist values in Indonesia, then this research is more interested in the aftermath. This research assumes that the rise of Islamic fundamentalism in Indonesia should be seen as a part of a larger resistance against a particular structure of oppression (Hiariej 2009). Fundamentalism is therefore better portrayed as a struggle for identity creation in order to create a sense of certainty. Religious movements are indeed playing a significant role at the national and local politics, but how do they perceive their political engagement with the state at this moment? Has there been any transformation in how they view the source of oppression? How do they construct their identity while at the same time challenging the dominant structure/discourse? Would it be correct to conclude that the fundamentalist are now actually transforming to a “post-fundamentalist” period? The research will touch all three dimensions of citizenship, which include the way Islamic groups reconstruct a community of citizens through a contestation over exclusion/inclusion (membership), their struggle for both civil/political and social/economic/cultural rights (rights), as well as the strategies they have been employing to claim for spaces for political participation (participation). Interviewees are selected on the basis of the pro-thesis – antithesis – synthesis categorization of Islamic movements in Indonesia represented by PKS that recognize the concept of “nation-state” as the most legit and highest level of societal formation (prothesis), HTI and JI (antithesis) which gives more concerns for its transnational Islamic agenda and the synthesis group marked by vigilantism in its attempts to regulate public space according to Islamic values such as the Islamic Defenders Front (FPI, Front Pembela Islam).
204
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
Main Findings The following pointers illustrate the main findings of the afore-mentioned field research: •
All fundamentalist groups have experienced exclusion hence their activities should be understood as a movement to breach such an exclusion. The exclusion mostly begins with symbolic oppression which subsequently discriminates and prevents them from being “legitimate” citizens. However, each group actually experiences different history of exclusion which resulted in varied form of oppression. FPI, HTI, and PKS have undergone such exclusion ever since the Soeharto era, during which the symbolic oppression against this group manifests in the stigma of “being a right-wing, dissenting fundamentalist Muslim” while ex-Jamaah Islamiyah members (i.e. the jihadists and ex-combatants) were mostly excluded after the 9/11 with its grand narrative of war against terrorism.
•
These forms of exclusion propel each group not only to valorize their identity as a Muslim, but also, and most importantly, to demand for “a share” from the state. At this point, fundamentalist group would adopt different strategy for engagement with the state. Being long-excluded from formal governance mechanism during Soeharto era, it is important for PKS as an Islamic party to be continuously perceived as “a critical opposition” to the present administration. Meanwhile HTI shows its willingness to engage with the state not only by cooperating with the governing party, but also by allowing one of its members to serve at the Indonesian Ulemma Council (MUI). FPI on the other hand wants to be seen as a “nongovernmental organization” that deals with popular concerns, ranging from biased media, urban poverty, to post-disaster humanitarian efforts. Ex-jihadists’ and terrorist convicts’ willingness to engage with the state are more pragmatic in nature. Terrorist convicts’ and ex-jihadists’ argue that engaging with the state is needed to secure their daily survival.
•
The afore-mentioned distinct interpretation of structure of oppression, history of exclusion, and the personal trajectory of each radical group plays a role in determining their political articulation. Having a long experience in activism, HTI, PKS, and FPI continuously articulate Islam as a mean for politics of representation where these organizations portray themselves as a representative of other Muslim to the extent of advocating the wider popular concerns. Meanwhile, ex-jihadists tend to use Islam as means to gain recognition (i.e. politics of recognition as opposed to representation) as they had to face the negative hegemonizing stigma of being violent and anti-state terrorist.
•
The transformation of identities result in the retraction Shari’a practice back into the private sphere. While in this past, the valorization of Shari’a and disengagement with the state were the primary concern. Today,
205
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
fundamentalist groups are more inclined towards articulating issues such as poverty alleviation, anti-corruption, preaching non-violence, and “working with democracy” as stages toward Islamic state or Daulah Islamiyah. Their religion puritanism is still seen as useful source of inspiration to overcome marginalization and discrimination in public sphere.
206
Sinopsis Research Days Fisipol UGM 2015
ORANG LAUT DAN KEKERASAN INFRASTRUKTUR Khidir Marsanto In-Search of Balance *tidak tersedia executive summary
POLITIK KEWARGA(NEGARA)AN: Identitas Politik bagi Pekerja Rumah Tangga Debbie Prabawati, MA Power, Welfare, and Democracy *tidak tersedia executive summary
CITIZENSHIP, EXTRACTIVE INDUSTRY, AND WELFARE IN INDONESIA Joash Tapiheru, MA Power, Welfare, and Democracy *tidak tersedia executive summary
MEMBANGUN GERAKAN KEADILAN LINGKUNGAN DI SEKTOR PERKEBUNAN SAWIT: Pergulatan atas Kewargaan Dr. Maharani Hapsari Power, Welfare, and Democracy *tidak tersedia executive summary
207
PENDIDIKAN DAN PENGAJARAN
PENGABDIAN PADA MASYARAKAT
PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN