REPRODUKSI STEREOTIPE KOMUNIKASI BUDAYA PADA ETNIS TORAJA DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT **Windi Aprianti, **Muh. Najib, ***Marsia Sumule Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Haluoleo Kota Kendari, Sulawesi Tenggara
[email protected] ABSTRAK Permasalahan dalam penelitian ini adalah Bagaimana reproduksi stereotipe komunikasi budaya pada etnis toraja dalam kehidupan masyarakat di Kelurahan Kadia. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui Bagaimana reproduksi stereotipe komunikasi budaya pada Etnis Toraja dalam kehidupan masyarakat di Kelurahan Kadia. Lokasi penelitian ini dilaksanakan di Kelurahan Kadia Kota Kendari. Teori yang digunakan adalah Teori Etnosentrisme dari William Graham summer. Dengan jumlah informan sebanyak 15 orang, 3 orang yang mewakili Etnis Toraja dan 12 orang yang bukan Etnis Toraja. Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kualitatif dan data kuantitatif. Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Hasil Penelitian ini menunjukan bahwa stereotipe pada Etnis Toraja ada yang sifatnya positif dan negatif, stereotipe positif antara lain Ramah, Toleransi, Tekun, memiliki solidaritas yang kuat, dan stereotipe negatif antara lain Gemar Berjudi, Berlebihan, Gengsi, dan Kurang Bersih. Dari stereotipe-stereotipe tersebut, ada beberapa yang masih berlaku hingga saat ini dan ada pula yang sudah terreproduksi.Diharapkan penelitian ini dapat memberikan manfaat dan sumbangan Ilmu Pengetahuan bagi masyarakat khususnya masyarakat Toraja yang ada di perantauan. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan manfaat dalam perkembangan Ilmu Komunikasi khususnya pada penelitian Reproduksi Stereotipe Komunikasi Budaya Pada Etnis Toraja. Kata kunci : Reproduksi Stereotipe Komunikasi Budaya
ABSTRACT The problem in this research is how the reproduction of cultural stereotypes in ethnic Toraja communication in public life in the Village Kadia. The purpose of this research is to know how the reproduction of cultural stereotypes on Ethnic Toraja communication in public life in the Village Kadia. Location of the study was conducted in the village of Kadia Kendari. The theory used is the theory of ethnocentrism of William Graham summer. With the number of informants as many as 15 people, three people representing ethnic Toraja and 12 people who are not ethnic Toraja. Data used in this study is qualitative data and quantitative data. Data analysis techniques used in this research is descriptive qualitative. The results of this study show that stereotypes in Toraja Ethnic there are positive and negative, positive stereotype among others Friendly, Tolerance, Diligent, had a strong solidarity, and negative stereotypes among other Gemar Gambling, Overrated, prestige, and less clean. Of stereotypes, there are some that are still valid today, and some are already tar-reproduction. This research is expected to provide benefits and contributions of Sciences for the community, especially people Toraja in overseas. This research is also expected to benefit in the development of Communication Studies, especially on research Reproduction On Ethnic Stereotyping Cultural Communication Toraja. Keywords : reproduction of stereotypes, cultural communication
PENDAHULUAN Sulawesi Tenggara merupakan daerah yang dihuni oleh beberapa etnis baik itu etnis pribumi (Tolaki, Moronene, Muna, dan Buton) maupun etnis pendatang sehingga menyebabkan masyarakat di Sulawesi Tenggara hidup di dalam kemajemukan. Kemajemukan di wilayah Sulawesi Tenggara memberikan potensi timbulnya penilaian ataupun anggapan yang beragam dari satu etnis kepada etnis lainnya. Pemberian penilaian atau yang lebih dikenal dengan stereotipe pada suatu etnis merupakan hasil dari tendensi kita berdasarkan tingkat asosiasi antara anggota kelompok dan atribut psikologis yang dimiliki. Stereotipe yang menjustifikasi suatu etnis perlu diselidiki kebenarannya, apakah stereotipe tersebut memang benar adanya. Sulawesi Tenggara merupakan daerah dimana masyarakatnya hidup ditengah-tengah kemajemukan karena adanya keragaman sosial yang berdasarkan ras, suku bangsa dan agama, khususnya di Kota Kendari Kelurahan Kadia, dimana masyarakatnya hidup secara berdampingan ditengah perbedaan etnis (suku). Dari sekian banyak etnis yang ada terdapat etnis Toraja yang mayoritas di Kelurahan Kadia. Meskipun berada jauh dari tanah kelahiran namun masyarakat Toraja senantiasa tetap memegang teguh adat istiadat, Pola hidup berkelompok dan bekerjasama menjadi ciri khas orang Toraja, Masyarakat Toraja yang merupakan etnis mayoritas tentunya tidak terlepas dari steriotipe setiap etnis baik yang sifatnya positif maupun negatif. Adapun steriotipe tentang Etnis Toraja yaitu Etnis Toraja dianggap sebagai etnis yang Ramah, Toleransi, Tekun, memiliki solidaritas yang tinggi, Gemar Berjudi, Berlebihan, Gengsi, dan Kurang Bersih.
Dari steriotipe tersebut apakah masih berlaku pada etnis Toraja di Kelurahan Kadia saat ini dalam interaksinya dengan etnis lain karena Steriotipe tersebut muncul berdasarkan asumsi dan kondisi real yang disaksikan oleh setiap orang terhadap Etnis Toraja karena stereotipe merupakan konsepsi mengenai suatu golongan berdasarkan kondisi normatif. METODE PENELITIAN Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kualitatif, dimana penulis mendeskripsikan hasil penelitian berdasarkan gambaran atau data yang ditetapkan dalam penelitian. Data secara kualitatif ini diuraikan dengan menggunakan kalimat secara logis yang diperoleh dari hasil pengamatan dan wawancara. Penelitian ini telah dilaksanakan di Kelurahan Kadia Kota Kendari. Pemilihan lokasi ini atas dasar pertimbangan peneliti karena di Kelurahan Kadia dihuni oleh beragam etnis yang hidup berdampingan dengan Etnis Toraja. HASIL DAN PEMBAHASAN Reproduksi Stereotipe Komunikasi Budaya Pada Etnis Toraja Dalam Kehidupan Masyarakat. Kemajemukan masyarakat terutama sangat terlihat dari keragaman adatistiadatnya, terdapat beragam etnis yang bertempat tinggal di Kelurahan Kadia sehingga hal tersebut membuat Kadia menjadi salah satu daerah dengan masyarakat yang majemuk. Tercatat ada 8 suku yang tinggal di Kelurahan Kadia, yaitu Suku Toraja, Suku Tolaki, Suku Bugis, Suku Bali, Suku Makassar, Suku Muna, Suku Jawa, dan Suku Buton. Bertemunya etnis-etnis yang berbeda dapat menyebabkan terjadinya benturan-benturan yang melibatkan etnis setempat dan
etnis pendatang khususnya yang tinggal di Kelurahan Kadia Kota Kendari. Dalam interaksi sosial masyarakat Etnis Toraja dengan masyarakat etnis pribumi dan etnis pendatang lainya di Kelurahan Kadia tentu tidak terlepas dari steriotipestereotipe tiap individu yang berbeda budaya, baik stereotipe yang sifatnya positif maupun stereotipe negatif. Steriotipe tersebut muncul bukan hanya karena kondisi real yang disaksikan tetapi stereotipe juga bias timbul berdasarkan asumsi dari orang lain, steriotipe yang muncul berdasarkan asumsi orang lain bisa saja berubah ketika orang tersebut menyaksikan kondisi real yang tidak sesuai dengan asumsi begitu pula sebaliknya. Demikian pula yang terjadi pada Masyarakat Etnis Toraja di Kelurahan Kadia, dalam interaksinya Masyarakat Etnis Toraja telah memiliki stereotipe dari masyarakat
etnis pribumi dan etnis pendatang lainnya yang
kebanyakan hanya berdasarkan asumsi. Stereotipe-stereotipe tersebut antara lain : 1. Ramah Masyarakat Etnis Toraja tidak hanya menjalin kedekatan dengan sesama Etnis Toraja yang memilki kesamaan bahasa, namun mereka juga menjalin kedekatan dengan masyarakat etnis pribumi dan etnis pendatang lainnya yang ada di Kelurahan Kadia, hal tersebut terlihat dari sikap pengertian satu sama lain, saling menghargai dan saling menghormati. Seperti yang disampaikan dalam kutipan wawancara bersama Ibu RW sebagai berikut: “Dari dulu memang waktu saya masih tinggal di Poli-polia itu, kadang saya dengar kalau ada orang cerita toh tentang orang Toraja kalau orang Toraja itu baik-baik, dan memang tawa betul pas saya juga tinggal disini, bertetangga dengan mereka, baik ji memang
orang Toraja. ramah juga, baru misalnya kalau ada acara-acara atau apalah begitu toh mereka ringan tangan untuk menolong tanpa mau beda-bedakan ini suku ini suku itu.”(Wawancara, April 2016). Hal tersebut pun di benarkan oleh bapak S.S sebagai Masyarakat Etnis Toraja yang mengatakan bahwa Masyarakat Etnis Toraja di Kelurahan Kadia memang selalu menjaga keharmonisan dalam hubungan bermasyarakat, seperti yang di sampaikan dalam wawancara sebagai berikut : “Memang kalau kita mau orang baik sama kita, yah kita juga harus baik sama orang, harus ramah sama semua orang. Apa lagi ini bukan kampung ta, walaupun kita mayoritas tapi kita harus tetap ramah sama orang di sekitar kita biar beda suku.” (Wawancara, April 2016) Dari hasil wawancara di atas, dapat di simpulkan bahwa stereotipe ramah ada pada masyarakat Etnis Toraja khususnya di Kelurahan Kadia Kota Kendari. 2. Toleransi Kelurahan Kadia di huni oleh 8 etnis, 3 Etnis pribumi yaitu Tolaki, Muna, Buton kemudian 5 yang merupakan etnis pendatang yaitu Toraja, Bugis, Makassar, Jawa, dan Bali. Meskipun Etnis Toraja merupakan Etnis pendatang namun Etnis Toraja merupakan Etnis yang mayoritas di Kelurahan Kadia. Dalam berinteraksi Masyarakat Etnis Toraja memiliki stereotipe sebagai Etnis yang memiliki sikap toleransi antar Etnis yang berbeda. Seperti yang di sampaikan bapak H dalam wawancara sebagai berikut : “Orang Toraja itu bagus toleransinya, biar juga di bilang disini mereka banyak tapi saling menghormati kita disini. Tidak pernah itu mereka mau sok-sok karena mereka banyak. Ini orang Toraja
mereka sangat menghargai dan menghormati itu yang namanya perbedaan, seperti kalau mereka ada acara mau orang menikah, kematian atau apa, mereka biasa potong babi toh tapi mereka tidak terang-terangan juga potong disitu, karena mereka ingat juga mungkin ini ada tetanggaku yang non muslim, yah begitu lah.”(Wawancara, April 2016). Kemudian sikap toleransi Etnis Toraja dalam berinteraksi dengan masyarakat sekitarnya juga di benarkan oleh Bapak Y.I selaku Masyarakat Etnis Toraja yang tinggal di Kelurahan Kadia bahwa Masyarakat Etnis Toraja khususnya di Kelurahan Kadia memiliki sikap toleransi antar Etnis, hal tersebut di ungkapkan dalam wawancara sebagai berikut : “kita hidup memang harus saling toleransi, biar juga kita banyak disini tapi kita tidak boleh seenak-enaknya sama orang. Kita (Masyarakat Etnis Toraja) harus tetap jaga hubungan baik dengan orang di sekitar.” (wawancara, April 2016) Dari hasil wawancara di atas, dapat di simpulkan bahwa stereotipe toleransi ada pada Etnis Toraja khususnya di Kelurahan Kadia Kota Kendari. 3. Tekun Masyarakat Etnis Toraja dikenal sabagai masyarakat yang sangat tekun dalam bekerja, hal ini memang sudah melekat dalam diri masyarakat Toraja dari sejak nenek moyang mereka. Seperti ada prinsip orang Toraja yang mengatakan tangabu’ bang (biar sedikit-sedikit yang penting ada). Jadi masyarakat Toraja Tekun bekerja mencari uang guna memenuhi kebutuhan dirinya, keluarganya dan faktor lainnya juga yaitu karena adanya tuntutan budaya utamanya budaya pada
upacara adat Aluk Rambu Solo’ (upacara kematian). Seperti yang di ungkapkan oleh Bapak S.S sebagai berikut : “kalau soal tekun, ya memang orang toraja termasuk orang yang tekun dalam bekerja. Sejak dulu itu saya kenal orang toraja saya lihat mereka memang sangat tekun bekerja,tekun dalam artian misalnya pekrjaannya kadang bukan hanya satu pekerjaan, itu biasa ada orang Toraja sudah PNS ada juga kios-kiosnya untuk jual apa gitu ya, terus pelihara ternak juga untuk di jual. Jadi saya fikir memang ini orang Toraja kayaknya tidak mau sia-siakan kalau ada kesempatan, asal dia liat ada peluang pasti di kerjakan. Karaena begitunya juga mungkin orang Toraja di bilang tekun cari uang.”(Wawancara, April 2016). Sebagai Masyarakat Etnis Toraja yang tentunya memahami betul bagaimana karakteristik Etnis Toraja itu sendiri, bapak L.L membenarkan stereotipe yang mengatakan bahwa Etnis Toraja adalah Etnis yang Tekun dalam bekerja dan sikap tekun itu masih terus ada hingga saat ini sekalipun mereka berada di daerah perantauan. Seperti yang di sampaikan dalam wawancara sebagai berikut : “kita ini memang banyak orang bilang tekun rajin cari uang, yah memang sudah begitu. Selain memang kita punya tanggung jawab keluarga, kita juga ada tuntutan adat kalau misalnya ada acara kita kan juga punya budaya sendiri. Bagi orang Toraja juga tekun karena ada toh istilahnya bahwa orang Toraja itu harus seperti ayam jantan yang tekun dan ulet mencari rejeki selagi hari masi siang, karena bagi orang Toraja waktu itu sangat berharga”.(Wawancara, April 2016) Dari hasil wawancara di atas, dapat disimpulkan bahwa stereotipe tekun yang melekat pada Masyarakat Etnis Toraja masih berlaku hingga saat ini khususnya di Kelurahan Kadia Kota Kendari. 4. Solidaritas Masyarakat Etnis Toraja di kelurahan Kadia juga dinilai sebagai masyarakat yang memiliki jiwa solidaritas yang tinggi dan jiwa
solidaritas masyarakat Etnis Toraja sangat nampak dan hampirr semua masyarakat yang pernah berinteraksi dengan masyrakat Etnis Toraja mengakui Etnis Toraja sebagai etnis yang memiliki jiwa solidaritas tinggi. Seperti yang disampaikan bapak L.U sebagai berikut : “Persatuannya orang Toraja memang sangat bagus, banyak ji juga orang yang akui itu karena berapa kali juga pernah saya dengar orang bilang kalau orang Toraja sudah beracara pasti datang semua mi juga itu orang-orang Toraja lain. Barukan mereka juga itu ada biasa perkumpulannya. Ini selama saya tinggal disini banyak saya sudah lihat kalau orang Toraja ada yang meninggal, rame sekali itu biasa, karangan bunganya biasa saya baca juga kerukunan ini itu banyak. Jadi bagus toh maksudnya biar juga bukan di kampungnya mereka tapi mereka tetap kayak baku tau-tau semua.”(Wawancara, April 2016) Sebagai Masyarakat Etnis Toraja yang tentunya memahami betul bagaimana karakteristik Etnis Toraja, bapak Y.I membenarkan stereotipe yang mengatakan bahwa Etnis Toraja adalah Etnis yang memiliki sikap solidaritas yang tinggi. Seperti yang di sampaikan dalam wawancara sebagai berikut : “Solidaritas orang Toraja itu sudah dari sejak nenek moyang kita (Etnis Toraja), bisa kita lihat sampai sekarang kalau orang Toraja beracara pasti ramai juga datang sesama orang Toraja, bantu-bantu apa supaya meringankan pekerjaan. Karena biar juga kita di daerahnya orang begini, kita masih tetap punya kerukunankerukunan perkumpulannya orang Toraja memang.” (wawancara, April 2016). Dari hasil wawancara di atas, dapat di simpulkan bahwa stereotipe solidaritas yang di miliki Etnis Toraja masih berlaku hingga saat khususnya di Kelurahan Kadia Kota Kendari.
5. Gemar Berjudi Selain ramah, tekun dalam bekerja, berjiwa solidaritas tinggi, masyarakat Etnis Toraja juga memiliki stereotipe negatif sebagai Etnis yang gemar bermain judi. Namun beberapa tahun belakangan stereotipe tersebut sudah ter-reproduksi, hal tersebut disampaikan oleh Bapak K.S dalam wawancara sebagai berikut : “Dulu memang orang Toraja itu anak-anak mudanya juga mereka sering itu adu-adu ayam begitu, ini di sebelah rumah pernah juga dulu, tapi sudah berapa tahun ini hampir-hampir mi tidak pernah saya lihat lagi. Mungkin karena sudah punya kesibukan semua jadi tidak urus lagi yang judi-judi begitu.” (wawancara, April 2016 ) Hal tersebut kemudian di benarkan oleh bapak S.S selaku Etnis Toraja, Seperti yang di sampaikan dalam wawancara sebagai berikut : “Memang kalau orang Toraja sudah jarang sekali mau berjudi lagi begitu, tidak seperti dulu masih banyak yang lakukan bukan cuman bapak-bapak tapi anak mudanya juga biasa kalau ada orang meninggal atau sembarang ji juga kapan mereka mau. Tapi ini sudah berapa tahun kurang sekali mi orang berjudi, sudah punya kerja mi mungkin semua, sudah sibuk dengan urusan-urusannya.” (wawancara, April 2016) Dari hasil wawancara di atas, dapat di simpulkan bahwa stereotipe gemar berjudi pada Masyarakat Etnis Toraja kini sudah mulai terreproduksi seiring dengan berjalannya waktu. 6. Berlebihan Seperti yang banyak di ketahui oleh masyarakat umum bahwa Etnis Toraja memiliki upacara Aluk Rambu Solo’ (upacara adat kematian) yang konon dapat menghabiskan biaya hingga ratusan juta rupiah sehingga menimbulkan stereotipe berlebihan pada Etnis Toraja. namun
kini stereotipe tersebut telah ter-reproduksi, seperti yang di sampaikan bapak A.S dalam wawancara sebagai berikut : “Biasakan kita dengar orang Toraja potong kerbau ta berapa ekor, baru harga kerbau juga tidak main-main untuk kalau orang meninggal. Kadang juga kayak tetangga biasa cerita katanya ada lagi orang meninggal di kampung pusing-pusing mi lagi. Jadi kita lihatnya itu kayak terlalu di paksakan juga, terlalu berlebihan sekali yah kalau menurut saya pribadi, namanya orang meninggal kan sebenarnya dia lebih butuh doa dari orang-orang bukan yang lain, tapi kalau kita lihat juga orang Toraja di Kadia ini tidak pernah ji kayaknya potong yang berlebihan sekali seperti kalau di kampungnya. Jadi mungkin soal berlebihan ini, sesuai konteksnya saja dimana dia berada kayaknya.” (Wawancara, April 2016) Namun hal lain di tanggapi berbeda oleh bapak L.L yang merupakan Masyarakat Etnis Toraja dalam wawancara sebagai berikut : “kurang bijak kalau orang mengatakan Etnis Toraja itu terlalu berlebihan karena hanya melihat dari budaya Rambu Solo’nya saja, tapi perlu kita pahami bahwa budaya Rambu Solo’lah salah satunya yang medorong orang toraja untuk keluar merantau mencari kerja agar mereka bisa mendapat pekerjaan yang layak supaya bisa menyekolakan sanak saudaranya agar mereka bisa berhasil, makanya jangan heran kalau sekaran suda banyak orang toraja yang berhasil” Dari hasil wawancara di atas, dapat di simpulkan stereotipe berlebihan pada Etnis Toraja telah ter-reproduksi. 7. Gengsi Upacara Adat Rambu Solo’ hanya mampu dilaksanakan oleh keluarga bangsawan, namun seiring dengan perkembangan zaman utamanya bagi Etnis Toraja di perantauan, strata sosial tidak lagi berdasarkan pada keturunan atau kedudukan. Jumlah hewan yang di korban sudah tidak lagi berdasarkan status sosialnya, selagi mereka rasa mampu untuk berkorban lebih maka akan di lakukan. Hal tersebut juga terjadi
Karena adanya sikap gengsi antar sesama Etnis Toraja, malu ketika korban sembelihannya lebih sedikit di bandingkan orang-orang tertentu. Seperti yang di sampaikan Bapak S.S dalam wawancara sebagai berikut : “Bagi orang-orang yang memperhatikan betul dan tau bagaimana karakteristik orang Toraja pasti akan bisa lihat bagaimana itu orang Toraja kalau bikin acara pokoknya selagi dia bisa usahakan bikin pesta yang besar, dia akan usahakan. Karena itu tadi, gengsi kalau acaranya si A lebih besar dari acaranya. Sikap-sikap gengsi ini masih ada pada orang Toraja hingga saat ini.” (wawancara, April 2016) Namun hal lain di ungkapkan oleh bapak S.S mengenai sikap gengsi pada Etnis Toraja, selaku Etnis Toraja beliau menganggap Etnis Toraja bukanlah Etnis yang Gengsi, hal tersebut di ungkapkan dalam wawancara sebagai berikut : “kalau gengsi tidak juga sebenarnya, tergantung dari individunya. Karena tiap orang punya cara berfikir yang beda-beda. Ada ji memang yang seperti itu (gengsian) tapi tidak semua Etnis Toraja seperti itu.” (wawancara, April 2016) Berdasarkan hasil wawancara dapat di simpulkan bahwa tidak semua masyarakat Etnis Toraja memiliki sikap gengsi terhadap sesamanya Etnis Toraja, hal ini kembali lagi pada masing-masing individu dan cara berfikir setiap orang yang berbeda. Pandangan gengsi tentang Etnis Toraja ini hanya disampaikan oleh salah seorang informan yang berinisial SS dari 13 orang informan. Sehingga gengsi tidak dapat di generalisasikan sebagai stereotipe bagi Etnis Toraja.
8. Kurang Bersih Kurang bersih yang dimaksud yaitu karena Etnis Toraja memelihara binatang anjing yang dianggap najis bagi etnis lain yang beragama muslim, dan kebiasaan Etnis Toraja dalam memelihara ternak babi yang kemudian kandangnya berada di sekitar rumah mereka. Namun stereotipe tersebut sudah tidak berlaku lagi bagi Masyarakat Etnis Toraja khususnya di Kelurahan Kadia Kota Kendari. seperti yang di sampaikan oleh Bapak HD dalam wawancara sebagai berikut : “Tidak juga, karena ini kita lihat saja ada kah yang pelihara babi dekat rumahnya? Kan tidak ada. Paling pelihara anjing saja tapi itu pun tidak kotor juga, biasa saja. Itu di sebelah bersih ji rumahnya biar ada anjingnya, Sebenarnya tidak masalah ji hanya bagi kita yang muslim, anjing itu kan binatang yang najis. Jadi kita agak lain-lain kalau ke rumahnya tapi ada juga bagusnya mereka pelihara anjing karena takut pencuri kalau mau mencuri jadi kita disini jarang ada kecurian.” (wawancara, April 2016) Kebiasaan Etnis Toraja di kampung mereka (Tana Toraja) memelihara binatang khususnya anjing dan babi di sekitar lingkungan rumah menimbulkan stereotipe kurang bersih bagi Etnis Toraja, namun kebiasaan tersebut sudah jarang lagi kita temukan khususnya di perkotaan karena Masyarakat Etnis Toraja sudah menyesuaikan dengan kondisi lingkungan dimana mereka tinggal. Seperti yang disampaikan Dalam wawancara bersama bapak L.L mengenai stereotipe kurang bersih pada Etnis Toraja, sebagai berikut : “kalau soal pelihara babi ada memang yang suka pelihara biar di depan atau samping rumanya tapi itu di kampung. Di kota sudah tidak ada lagi seperti itu karena kita juga menyesuaikan dengan lingkungan kita, kecuali anjing yang memang masih tetap dipelihara karena kita jadikan penjaga rumah biasa. (Wawancara, April 2016)
Hasil dari wawancara di atas menyatakan bahwa stereotipe kurang bersih pada Masyarakat Etnis Toraja khususnya di Kelurahan Kadia sudah mengalami reproduksi. Hal tersebut karena Masyarakat Etnis Toraja sudah menyesuaikan dengan lingkungan tempat tinggalnya, sehingga masyarakat Etnis Toraja tidak dinilai lagi sebagai etnis yang kurang bersih. KESIMPULAN Penelitian ini telah dilakukan terhadap 13 orang warga Etnis di luar Etnis Toraja dan 3 orang warga Etnis Toraja yang bertempat tinggal di Kelurahan Kadia Kota Kendari. Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa steriotipe pada Etnis Toraja di Kelurahan Kadia Kota Kendari ada yang sifatnya positif dan ada yang negatif. Adapun steriotipe positif Etnis Toraja antara lain Ramah, Tekun, Solidaritas yang kuat, dan Toleransi, sedangkan steriotipe yang sifatnya negatif yaitu Berlebihan, Gemar Berjudi, Kurang Bersih, dan Gengsi. Dari steriotipe Etnis Toraja yang sifatnya negatif ada beberapa yang mulai tereproduksi khususnya di Kelurahan Kadia ketika etnis pribumi dan pendatang lainnya menyaksikan kondisi real Etnis Toraja dalam berinteraksi dengan etnis Lainnya, stereotipe tersebut antara lain Berlebihan, Gemar Judi,dan Kurang Bersih. Dalam penelitian ini juga terdapat dua stereotipe baru tentang Etnis Toraja, yaitu stereotipe Ramah yang bersifat positif, dan stereotipe gengsi yang bersifat negative, namun stereotipe gengsi hanya di ungkapkan oleh salah seorang informan dari 13 informan sehingga Gengsi tidak dapat di generalisasikan sebagai stereotipe untuk Etnis Toraja.
Saran Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap ilmu komunikasi khususnya dalam komunikasi antar budaya. Adapun saran-saran yang diberikan: 1. Stereotipe yang berkembang akan mempengaruhi proses komunikasi dalam kehidupan bermasyarakat khususnya bagi masyarakat yang berlainan budaya, oleh karena itu kesadaran dan peran aktif untuk saling memahami satu sama lain sangat diperlukan. Tentunya hal tersebut dapat dimulai dengan sikap terbuka dalam komunikasi antarbudaya. 2. Stereotipe-stereotipe yang berkembang terhadap suatu kelompok etnis yang arahnya negatif hendaknya tidak dipandang sebagai penghambat dalam komunikasi melainkan dibutuhkan peran aktif dan baik dalam menanggapi hal tersebut. Sebaliknya stereotip yang mengarah pada penilaian positif hendaknya dijadikan sebagai karakteristik suatu kelompok budaya sehingga penilaian terhadap kelompok tersebut dapat mejadi kesan positif bagi kelompok lain. 3. Diperlukan kesadaran akan pentingnya pemahaman unsur-unsur Budaya baik itu kepercayaan, nilai-nilai dan sikap mengingat pemahaman-pemahaman tersebut dapat memberikan pemahaman dalam menaggapi stereotipe yang mengandung dapak negatif. Selain itu semangat untuk ikut serta dan aktif dalam lembaga-lembaga
sosial harus senantiasa ditingkatkan mengingat peranan lembaga tersebut sebagai wadah pemersatu antar anggota masyarakat.