Karya Komunikasi Visual dalam Dialektika Budaya Masyarakat di Kota Semarang
Karya Komunikasi Visual dalam Dialektika Budaya Masyarakat di Kota Semarang Fitro Nur Hakim, S.Sn Jurusan Sistem Informasi STMIK ProVisi Semarang
[email protected] Abstract Pluralistic society in the city of Semarang still reflect a harmonious interethnic between Javanese, Chinese, Arabic in life. Diverse backgrounds and faith communities in the city of Semarang enrich the cultural artifacts, works of visual form of a spiritual charge. Artwork in the form of craft toys Warak Ngendog, has inspired several works of important visual representation of typical Semarang is a form of cultural dialectics in the city of Semarang. Uniqueness as well as the hallmark of Semarang has been treading a new episode, the evolution of art as a form of harmony. Cultural dialectic is happening in the city of Semarang was already beginning to show the superiority of one culture forces background of other factors that dominate public life. Deformation occurs in the form of the head of Warak Ngendog, the first representations of imaginary animals dragon, camel and goat (the harmony of ethnic Chinese, Arabic and Javanese) into a tangible form of the Dragon's head intact only. Dysfunction "culture of support" in the representation Horse Parade was raised in the annual ceremoni Semarang, but the harmony remains the breath of life. Dialectical forms of culture can be seen also in the works of visual communication such as Logo Pilwalkot, Semarang Great Sale and Semarang United. Keywords : Cultural dialectic, Deformation Visual Works, Warak Ngendog Semarang
1.
Latar Belakang Kota Semarang merupakan salah satu kota yang mempunyai beraneka ragam warisan budaya dari masa lalu yang sampai sekarang masih dapat dirasakan keberadaannya. Ragam warisan tersebut mulai dari zaman Kolonial yang dapat dilihat disekitar kawasan kota lama Semarang, kemudian warisan budaya Timur Tengah yang masih kentara di kawasan Pekojan hingga Kauman dan tentu saja warisan budaya yang merupakan hasil perpaduan budaya masyarakatnya yang multikultur makin terasa seiring pertumbuhan ekonomi. Penduduk Semarang sangat heterogen terdiri dari campuran beberapa etnis, Jawa, Cina, Arab dan keturunanya. Juga etnis lain dari beberapa daerah di Indonesia yang datang di Semarang untuk berusaha, menuntut ilmu maupun menetap selamanya di Semarang. Mayoritas penduduk memeluk agama Islam, kemudian berikutnya adalah Kristen, Katholik, Hindu dan Budha. Mata pencaharian pendududuk beraneka ragam, terdiri dari pedagang, pegawai pemerintah, pekerja pabrik dan petani. Keragaman budaya Semarang ini menjadi kekuatan tersendiri bagi Pemerintah Kota Semarang dalam promosi wisata, salah satunya adalah klenteng Sam
Po Kong tempat ibadah warga Etnis Cina Semarang. Kelenteng Sam Po Kong merupakan akulturasi dari budaya Cina, Jawa, Budha dan Islam. Kelenteng pada akhirnya juga merupakan asimilasi antar etnis dan agama (Liliweri, 2007). Keragaman etnis di kota Semarang menjadikan umat muslim yang merupakan golongan masyarakat mayoritas, melakukan suatu praktekpraktek ibadah yang telah mengalami pencampuran dengan budaya Cina. Praktek atau ritual ibadah ini menghasilkan artefak baru dalam sejarah agama Islam yang tumbuh dan berkembang di Semarang. Sama halnya dengan etnis Cina di Semarang yang melakukan praktek-praktek ibadah dengan pengaruh Islam, yang hidup disekitar lingkungannya. Sejarah telah membuktikan artefak pencampuran agama ini dengan adanya kompleks bangunan tempat ibadah Gedong Batu. Jalinan keharmonisan ini tercermin dari sejarah monumental Cheng Ho dalam menyebarkan Islam di Semarang, salah satu artefak yang dapat dijumpai adalah Gedong Batu. Gedong Batu itulah yang kemudian dijadikan sebagai masjid – asalnya Kelenteng Sam Po Kong (Kong, 2007).
9
Jurnal Teknologi Informasi dan Komunikasi Vol. 3 No.1 Maret 2012
2.
Landasan Teori Kebudayaan ada diantara umat manusia yang sangat beraneka ragam, diperoleh dan diteruskan secara sosial melalui pembelajaran, dijabarkan dari komponen biologi, psikologi dan sosiologi sebagai eksistensi manusia, berstruktur, terbagi dalam beberapa aspek dinamis dan nilainya relatif (Liliweri, 2002: 10). Terdapat suatu pilar etnis yang membangun kebudayaan baru di Kota Semarang, artefak budaya dapat menjadi identitas dalam mengenali teori ini. Transformasi budaya yang terjadi di masyarakat merupakan disfungsi budaya penyangga, tanggapan terhadap kebudayaan baru yang dianggap tidak membahayakan kebudayaan lama (Sachari, 2007: 28). Dialektika kebudayaan ini dapat memunculkan suatu identitas baru. Faktor substansial dalam perubahan kebudayaan adalah teknologi, teknologi yang lebih maju memberikan kekuatan kepada manusia sehingga kebudayaan manusia berkembang dan berubah (Ihromi, 2006: 64).Pembahasan 3. 3.1.
Pembahasan Bentuk Ritual Baru Bentuk-bentuk ritual yang menjadi tradisi dan memiliki ciri penanda artefak baru dapat dikenali hingga masa sekarang. Salah satu ciri artefak ini adalah mainan anak berupa warak ngendog. Warak ngendog sekarang telah menjadi maskot dan simbol kota Semarang. Kegiatan yang melatar belakangi terwujudnya karya seni warak ngendog adalah budaya Islam yang terpengaruh atau bercampur dengan budaya Cina. Dirunut secara historis warak ngendog hanya terdapat di Kota Semarang pada saat perayaan bulan suci Ramadan saja. Warak ngendog juga merupakan bukti keharmonisan budaya Islam dan Cina. Keharmonisan ini yang menjadi tonggak acara dugder hingga sekarang. Dugder adalah sebutan festifal perayaan pasar malam dan pawai
10
warak ngendog yang ditujukan untuk menandai awal bulan Ramadhan. Tradisi dugder adalah ritual yang sifatnya adalah Islam, dengan ciri ditabuhnya bedug. Bedug merupakan penanda orang untuk melakukan ibadah Sholat, dan bedug menurut budaya yang ada di Semarang hanya ada dan ditabuh di Masjid. Hal ini menandakan bahwa esensi dugder adalah milik umat Islam yang ada di Semarang. Kata dugder terdiri dari dua kata yaitu dug yang artinya suara bedug. Kata kedua dari dugder adalah der, yang dalam kontek ini adalah suara mercon. Kata dugder memang dicerap dari suara, karena mengingat ritual ini adalah penanda dimulainya suatu ibadah. Elemen suara adalah elemen yang paling banyak digunakan oleh agama dalam menandai acara atau momen-momen penting. Agama kristen juga mengggunakan suara lonceng dalam menandai suatu waktu penting untuk umatnya, di Kota Semarang Lonceng Gereja yang kerap kali terdengar adalah Lonceng Gereja Gereja Katedral Randusari didekat Pusat Kota Tugu Muda Semarang. Acara yang disebut Dugderan merupakan tradisi warga Semarang yang dilaksanakan dua pekanmenjelang Bulan Ramadan. Tradisi Dugderan di Kota Semarang dipengaruhi masuknya Islam di Tanah Air pada 1881. Pada masa pemerintahan Kanjeng Bupati Raden Mas Tumenggung Aryo Purbaningrat 1891 terjadi kebingungan pada masyarakat untuk menentukan awal puasa secara seragam. Gagasan Bupati awal hari puasa bulan Ramadan diwujudkan menggunakan tanda bunyi bedug Masjid Agung Semarang dan meriam di halaman masjid. Suara bedug “dug” dan meriam “der” itulah kemudian dikenal dengan Dugder. Dalam acara Dugder digelar pula aneka dagangan khas seperti gerabah, mainan anak-anak, makanan dan minuman hingga hiburan bagi warga. Acara itu digelar di alun-alun Kabupaten Semarang, yaitu depan kantor dan rumah Bupati Semarang di Kanjengandan seputar Masjid Agung Semarang.
Karya Komunikasi Visual dalam Dialektika Budaya Masyarakat di Kota Semarang
Gambar 1. Dugderan diawali dengan Pawai Warak Ngendog
Tradisi Dugderan sudah menjadi semacam pesta rakyat yang makin bervariasi rangkaiannya berupa tari japin, arak-arakan/karnaval hingga tabuh bedug oleh Walikota Semarang, tetapi proses ritual pengumuman awal puasa tetap menjadi puncak dugderan. Memang sebelum acara tabuh bedug, biasanya ada karnaval diawali pemberangkatan peserta karnaval dari Balai Kota dan berakhir di masjid masjid Agung Kauman, dekat Pasar Johar. Tapi dalam dua tahun terakhir ini, rute karnaval diperpanjang dari Balai Kota menuju Masjid Kauman lalu ke masjid Agung Jawa Tengah yang terletak di Gayamsari. Puncak dari ritual dugderan berlangsung sehari sebelum puasa, tepatnya setelah Sholat Ashar dengan diadakan musyawarah dengan tujuan menentukan awal Ramadhan yang dihadiri para ulama. Setelah itu, digelar halaqah tentang pengumuman ketentuan dimulainya puasa dengan ditandai pemukulan bedug oleh Walikota,kemudian ritual itu diakhiri dengan pembacaan doa. Pasar rakyat Dalam tradisi dugderan juga terdapat pasar rakyat, yaitu pasar yang diselenggarakan khusus karena datangnya bulan Ramadhan. Di belahan kota manapun di Indonesia pasti juga menggelar acara pasar rakyat pada bulan Ramadhan. Di Semarang kegiatan pasar rakyat ini khas, hanya ada di Ibu Kota Jawa Tengah Semarang, acaranya pun berlangsung hanya sepekan menjelang bulan Ramdhan. Pasar malam yang berlangsung menjelang awal Bulan Ramadan dimasa sekarang memiliki durasi lebih lama daripada dugder pada masa Raden Tumenggung Purbaningrat. Pada puncak waktu pasar rakyat ini, ditandai dengan arak-
arakan warak ngendog dan diakhiri bedug tanda diawalinya bulan Ramadahan, esok harinya umat muslim menunaikan ibadah puasa. Pada awalnya penyelenggaran pasar rakyat jelang Ramadhan ini hanya berlangsung malam hari, sehingga lebih dikenal pasar malam. Selain dari segi waktu, keunikan lain dari pasar rakyat jelang Ramadhan ini adalah dari segi komoditi yang dipasarkan. Mayoritas produk-produk kerajinan rakyat yang akan dijumpai pada area pasar rakyat, juga produk-produk untuk memenuhi kebutuhan nanti selaman bulan Ramadan, namun pada perkembangannya sekarang sudah meluas kekomoditi lain yang meliputi kebutuhan lengkap sebagai mana pasar pada umumnya. Perkembangan tema fungsi produk komoditi yang ada, adalah perubahan yang logis dari mengingat pengaruh dari perpaduan budaya yang mendukungnya. Dari segi fungsi, komoditi pasar malam dugder sekarang lebih beragam, tetapi berfokus pada kriya atau kerajinan rakyat seperti gerabah dari tanah berupa celengan, mainan anak, dan aksessoris interior. Pengaruh besar perubahan ini karena sekarang aset warak ngendog dikembangkan oleh perajin-perajin yang mayoritas didukung oleh kalangan ekonomi etnis Cina.
11
Jurnal Teknologi Informasi dan Komunikasi Vol. 3 No.1 Maret 2012
3.2.
Karya-karya Media Integrasi Dari berbagai bentuk ritual baru yang berupa kegiatan massal masyarakat dapat dikenali hasilhasil artefak yang digunakan pada saat kegiatan tersebut. Salah satunya adalah Warak Ngendhog, yaitu mainan khas Kota Semarang yang muncul sekali dan hanya hadir diperayaan tradisi Dugder-an.
Kata Warak berasal dari bahasa arab wara’i yang berarti suci. Ngendog atau bertelur disimbolkan sebagai hasil pahala yang didapat seseorang setelah sebelumnya menjalani proses suci. Secara harfiah, Warak Ngendog bisa diartikan sebagai siapa saja yang menjaga kesucian di Bulan Ramadhan, kelak di akhir bulan mendapatkan pahala di Hari Idul Fitri.
Gambar 2. Seni Kriya Mainan Anak Warak Ngendog Mainan ini berwujud makhluk rekaan yang merupakan gabungan beberapa binatang yang merupakan simbol persatuan dari berbagai golongan etnis di Semarang: Cina dan Islam Jawa. Kepalanya menyerupai kepala naga berasal dari Cina, tubuhnya layaknya buraq berasal dari Arab, dan empat kakinya menyerupai kaki kambing Jawa (Djawahir, 2010). Binatang rekaan ini hanyalah mainan dalam bentuk patung atau boneka celengan yang terbuat dari gerabah. Sejak dugder-an digelar, sejumlah pedagang menggelar mainan ini. Dalam setiap penjualan, penjual menaruh telur ayam matang di bawahnya. Telur itu turut serta dijual bersama waraknya. Warak ngendog aslinya memang hanya berupa mainan anak-anak dengan wujud menyerupai hewan. Warak Ngendog yang terdahulu terbuat dari gabus tanaman mangrove dan bentuk sudutnya yang lurus. Ciri khas bentuk yang lurus dari Warak Ngendog ini mengandung arti filosofis mendalam, yaitu menggambarkan citra warga Semarang yang terbuka lurus dan berbicara apa adanya. Tak ada perbedaan antara ungkapan hati dengan ungkapan lisan. Selain itu Warak Ngendog juga mewakili akulturasi budaya dari keragaman etnis yang ada di Kota Semarang. 12
Dalam keramaian dugder dimeriahkan juga dengan mainan anak-anak yang disebut dengan Warak Ngendog (Budiman, 1979). Maka tradisi ini tetap dilestarikan hingga sekarang dan menjadi ciri khas budaya Kota Semarang menjelang datangnya bulan puasa bagi umat Islam. Bahkan dalam perkembangannya bukan hanya umat Islam saja tapi juga umat agama lainnya yang ada di Kota Semarang melebur dalam keramaian tradisi ini. Penyelenggaraan semakin ditingkatkan oleh Pemerintah Kota Semarang untuk menjadi salah satu aset wisata. Kemudian dalam upacara Dugder, Walikota Semarang bertindak sebagai Bupati Prabuningrat yang membunyikan Bedug dan Meriam sehingga terdengar bunyi “dug-der". Seiring dengan perkembangan Agama Islam, dengan masuknya para pendatang di Kota Semarang yang juga membawa serta agama serta budaya mereka masing-masing. Kemudian membaur dengan warga pribumi berbagai bangsa dan budaya termasuk dibangunnya berbagai tempat ibadah seperti masjid, gereja dan kelenteng di Semarang.
Karya Komunikasi Visual dalam Dialektika Budaya Masyarakat di Kota Semarang
of the emperor (Eason, 2008). Pada masa awal kemunculan warak lebih memiliki bentuk yang simbolik namun sekarang menjadi berkurang nilai simbolisnya karena hanya langsung menempelkan kepala Naga pada karakter Warak Ngendog ini. Struktur dalam teks produk kesenian warak terdahulu lebih artistik dan simbolis, yang masih dapat dilihat pada anatomi warak misalnya yaitu leher panjang, ekornya yang tegak, hingga gaya perupaan yang cenderung dinamis lurus tanpa atribut yang bersifat hiasan. Perubahan budaya dugder yang telah membawa ikon warak ngendog menjadi identitas Semarang, menjadi bahan para seniman grafis dalam
3.3.
Karya Komunikasi Visual Perubahan nilai konteks dalam karya seni yang lahir dari acara Dugder ini bisa dilihat dari kerajinan Warak Ngendog. Wujud dari Warak Ngendog sekarang sudah bervariasi, misalnya dari unsur kepala yang dulu lebih abstrak yaitu hanya menyerupai struktur kepala kambing, secara bertahap berubah menjadi kepala singa dan sekarang menjadi kepala Naga. Kepala Naga ini digagas dan diangkat oleh masyarakat etnis Cina di Semarang dalam menciptakan seni kerajinan warak. The dragon in China has always been considered a bringer of luck, and it was associated with the power
A.
B.
Gambar 3.A. Seni grafis pada desain kaos, menggunakan ikon warak ngendog disamping macan yang merupakan tahun macan pada waktu pembuatan kaos tersebut. B. Seni grafis logo Pilwalkot kota Semarang, karakter beraksessoris adat jawa dengan kepala yang meminimalisir kekuatan naga sebagaimana gambaran karakter Naga dalam budaya Cina
C.
D.
C. Seni grafis logo Semarang Great Sale, upaya Pemerintah menyetarakan Kota Semarang sebagai kota metropolis dengan mengangkat aset seni dan budaya. D. Seni grafis lambang klub sepak bola terbaru Semarang, justru menggantikan ikon Pangeran Diponegoro dengan ikon Warak Ngendog yang dianggap lebih mewakili Kota Semarang.
13
Jurnal Teknologi Informasi dan Komunikasi Vol. 3 No.1 Maret 2012 menciptakan karyanya. Pada tingkat pemerintahan pun ikon warak ngendog ini pun kerap kali menjadi kekuatan visual utama dalam media komunikasi. 3.4.
Pengaruh Dialektika Budaya Budaya Islam sebagai sumber sekaligus pencetus makna filosofis Warak Ngendog tidak lagi
budaya lebih dapat melaksanakan fungsi sosial dalam masyarakat. Langkah lebih lanjut yang dapat dilakukan seniman adalah dengan mulai membangun sedikit-demi sedikit suatu karya yang estetis pada seni-seni grafis yang menggunakan karakter Warak Ngendog.
Gambar 4. Perubahan Perupaan Warak Ngendog, Identifikasi Terjadinya Dialektika dan Disfungsi Budaya Penyangga memandang perupaan Warak Ngendog yang dicerap oleh mayoritas masyarakat Semarang saat ini sebagai sesuatu yang merugikan. Perupaan sebagai akibat dialektika antar dua budaya yaitu Islam dan Cina pada aktivitas penciptaan Warak Ngendog saat ini justru menjadi pemersatu kerukunan hidup sosial antar warga Semarang secara keseluruhan. Disisi lain sebagai seniman yang menilai suatu konteks dari karya seni (obyek) akan mendapati perupaan ini sebagai disfungsi budaya penyangga yang berakibat disfungsi pula nilai estetis perupaan yang dihasilkan. Berkurangnya nilai estetika seni pada perupaan Warak Ngendog yang ada sekarang dapat diidentifikasi dari karakter hewan yang muncul secara anatomis saja. Pada gambar sebelah kanan diatas terlihat karakter lebih simbolik, berupa kepala berstruktur Kambing yang merupakan perwakilan dari budaya Islam, kemudian aksesoris yang melengkapi kepala diambil dari binatang mitologis Naga sebagai perwakilan budaya Cina. Tentang disfungsi sebagaimana idealisme seni terhadap obyek atau karya rupa dalam kontek produk budaya harus dipandang dengan sudut yang berbeda. Kajian ini menunjukkan seni dalam produk
14
4.
Penutup Budaya Islam dalam melaksanakan ibadah bulan suci Ramadhan disambut dengan ritual yang mentradisi yaitu dugder. Tradisi ini hanya ada di Kota Semarang yang merupakan pencampuran antara Islam Jawa dengan budaya etnis Cina. Islam khususnya di Semarang memiliki praktek-praktek ibadah yang kerap kali tidak ada dalam ajaran Islam aslinya. Praktek atau bentuk ritual baru ini merupakan pengaruh dari budaya masyarakat yang berada dilingkungan hidupnya. Kota Semarang sendiri sejarahnya sangat lekat dengan Islam, mengingat Asal terbentuknya. Semarang mengawali sejarahnya sebagai sebuah dusun nelayan yang kecil, didirikan oleh Kyai Ageng Pandan Arang, seorang maulana dari negeri Arab (Budiman, 1979). Pada masa sekarang dapat dilihat kehidupan masyarakat Semarang sangat harmonis, yang paling menonjol adalah etnis Cina dan Muslim. Kehidupan masyarakat yang terus berjalan dengan masing-masing ide agamanya menjadikan ritual-ritual baru dalam berbagai aspek kegiatan kemasyarakatan. Beberapa kegiatan masyarakat
Karya Komunikasi Visual dalam Dialektika Budaya Masyarakat di Kota Semarang
tentu saja ada yang masih mempertahankan atau mengutamakan nilai agama induknya, tanpa ada pengaruh budaya lain. Kegiatan sebagai unsur kompleks yang menarik untuk diangkat adalah dugderan, karena acara ini melibatkan semua etnis dan unsur kelembagaan. Bahkan artefak kristalisasi dari dugderan yaitu warak ngendog, dijadikan simbol kota Semarang oleh Pemerintah Kota. 5. Daftar Pustaka Budiman, Amen, (1979), Tanjung Sari.
Semarang
Juwita,
Kong,Yuanzhi, (2007), Muslim Tionghoa Cheng Ho : Misteri Perjalanan Muhibah di Nusantara, Pustaka Populer Obor Jakarta. Liliweri, Alo, (2002), Makna Budaya dalam Komunikasi Antarbudaya, PT Lkis Pelangi Aksara Yogyakarta. Muhammad, Djawahir, (9 Desember 2010), Meluruskan Ikon Warak Ngendhog, http://suaramerdeka.com/smcetak/index. php?fuseaction=berita cetak.detail beritacetak& id_beritacetak=26969
Eason, Cassandra, (2008), Fabulous Creatures, Mythical Monsters, And Animal Power Symbols, Greenwood Press Westport, Connecticut.
Solikhin, Muhammad, (2010), Misteri bulan Suro: perspektif Islam Jawa, Penerbit Narasi, Yogyakarta.
Giri MC, Wahyana, (2010), Sajen dan Ritual Orang Jawa, Penerbit Narasi, Yogyakarta.
Sachari, Agus, (2007), Indonesia,Erlangga, Bandung.
Budaya
Visual
Ihromi, (2006), Pokok-pokok Antropologi Budaya, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
15