RENUNGAN PASCA BOM BALI: MASA DEPAN ASPEK * SOSIO-EKONOMI POLITIK INDONESIA Fachry Ali
iapapun yang melihat “prosesi” penjemputan polisi terhadap Ustadz Abubakar Ba’asyir dari Rumah Sakit Muhammadiyah, Solo pada 25 Oktober 2002, pasti merasakan sesuatu yang tak terdefinisikan. Berhari-hari sebelumnya, publik Indonesia dipertontonkan wajah tua dengan tubuh lemahnya terbaring tak berdaya di atas ranjang sebuah rumah sakit. Desir di hati menjadi lebih terasa ketika kamera-kamera televisi mendemonstrasikan kepada kita bagaimana selang-selang infus melingkar di sekitar kedua tangannya yang pasti tak lagi kokoh – sementara mulut dan hidung sang Ustadz tertutup alat pernapasan. Dalam perspektif yang sangat subyektif, pemandangan semacam ini mengingatkan saya kepada ayah dan ibu di harihari akhir kehidupan mereka, sama lemah dan tak berdaya di atas ranjang sebuah rumah sakit. Tetapi dalam konteks Ustadz Abubakar Ba’asyir, pemandangan yang dipertontonkan jauh lebih dramatis. Belum lepas bayangan tubuh lemah yang terbaring di atas ranjang itu di dalam benak, kita telah dipertontonkan oleh drama lanjutan pada Senin siang 25 Oktober itu. Kali itu, sang tokoh sudah harus duduk – juga dengan lemah – di atas kursi roda, didorong orang-orang di sekitarnya yang dalam konteks kognisi, mungkin tak diketahuinya dengan baik – bahkan, andaikata ia berada dalam keadaan sehat wal’afiat sekali pun. Secara perlahan, di tengah hiruk pikuk suara dan desak-desakan tubuh yang saling membentur, roda kursi yang diduduki sang Ustadz senior itu perlahan-lahan terputarkan ke depan, semakin lama semakin “jauh” menjauhi kamar perawatannya yang hancur berantakan,
*
Orasi singkat dalam seminar “Usaha Menyelamatkan Masa Depan Bangsa” di Aula Universitas Paramadina, Jakarta, 30 Oktober 2002
Jurnal Universitas Paramadina Vol.2 No. 2, Januari 2003: 101-106
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 2 No. 2, Januari 2003: 101-106
meninggalkan ceceran darah di dinding, di pintu dan di lantai yang bercampur aduk dengan pecahan kaca. Sementara massa – sebagian besar adalah anggota komunitas Pesantren Al-Mukmin, Nguruki, Solo – di luar gedung itu, menumpahkan perasaannya yang, sekali lagi, mungkin tak juga bisa didefinisikan dengan benar oleh mereka. Pergesekan fisik dengan aparat kepolisian, kejarmengejar, lemparan batu yang “bersahutan” dengan tameng yang terpasang dan pukulan pentung menciptakan relung “emosional” lebih dalam terhadap struktur perasaan bagi yang melihatnya. Babak drama berikutnya yang tersaksikan: perbenturan fisik antara para santri dan aparat polisi yang kian menjadi-jadi – ketika baik kendaraan pembawa Ustadz Abubakar Ba’asyir serta kendaraan lapis baja aparat kepolisian lainnya secara perlahan-lahan menyeruak kerumunan massa – telah menyibakkan, sekali lagi, perasaan tak terdefinisikan bagi yang melihat. Ini terutama dirasakan saat-saat takbir digemakan dengan spontan – yang menyebabkan saya berkata dalam hati: betapa kompleks dan elusivenya hubungan antara negara dengan masyarakat; betapa sukarnya memahami persisian antara negara dengan agama – ketika keduanya harus berpaspasan secara tak harmonis di atas struktur motivasi yang berbeda; dan betapa tak terperikannya motivasimotivasi di balik sistem tindakan manusia, ketika kaum santri muda Pesantren Nguruki tersebut membenamkan diri ke dalam situasi emosional yang tak termanai, yang secara kasat mata termanifestasikan dalam bentuk keberanian menyeruak dan bahkan “menyerang” barisan ketat aparat kepolisian. Kita tahu, demikianlah saya berusaha menyimpulkan makna konseptual dari “prosesi” yang luar biasa itu, bahwa loyalitas keagamaan telah memberikan alternatif terhadap sistem tindakan manusia, jauh di luar batas-batas yang distrukturkan oleh kebutuhan material semata-mata. Bahwa kehadiran negara – sebagai sebuah supra-institusi sosial-politik dan ekonomi yang melampaui tapal batas etnik, ras, kelas, pengelompokkan sosial dan agama – selama lebih dari setengah abad di tengah-tengah
102
Fachry Ali “Renungan Pasca Bom Bali”
mereka tetap bersifat impersonal. Bahwa sepanjang kita tak mengetahui perbedaan struktural yang memberi pentas di atas mana masing-masing faktor kelembagaan dan individual saling menabrakkan diri satu sama lain, sejauh itu pula ketegangan-ketegangan yang terjadi di sekitar kita yang menandai hubungan antara negara dan masyarakat akan tetap bersifat elusive. Akan tetapi dalam konteks politik-ekonomi Indonesia dewasa ini, “prosesi” luar biasa di atas itu adalah dampak langsung dari bencana bom Bali yang terjadi pada 12 Oktober 2002, yang memberi “kesempatan” bagi pemerintah mengeluarkan Perpu Anti Teroris. Kendali pun hingga kini tak ada bukti-bukti kuat bahwa Ustadz Abubakar Ba’asyir terlibat dalam bencana bom Bali tersebut, namun melalui Perpu di atas, pemerintah mempunyai wewenang melakukan tindakan-tindakan tertentu terhadap tokoh yang telah lama menjadi perhatian internasional ini – walau atas dugaan tentang “kekeliruan” yang telah dilakukan di masa lalu. Dalam perspektif logika tertentu, Ustadz Ba’asyir dan komunitas Nguruki bisa merasa bahwa ia dan pengikutnya telah menjadi korban absurd dari bencana bom Bali tersebut, sebagaimana juga “dirasakan” banyak penelepon diskusi interaktif radio swasta dengan saya pada dini hari 29 Oktober. Akan tetapi logika negara cenderung memberikan “fakta wacana” yang berbeda, seperti yang dinyatakan Presiden Megawati: “This is my question” ujar Presiden tentang seluruh tindakan negara pasca bom Bali – termasuk terhadap Ustadz Abubakar
Ba’asyir
--
kepada
wartawan
beberapa
saat
sebelum
meninggalkan Mexico setelah menghadiri pertemuan puncak pimpinan negara-negara APEC. “If you were the government, what would you do? Would you do nothing? In light of the bombing tragedy in Bali, you would be condemned if you did nothing”
1
Lepas dari persoalan tentang bagaimana harus memberikan makna atas ucapan Presiden di atas, kita tahu bahwa pancaran perasaan Ustadz Ba’asyir dan komunitas Nguruki serta tindakan “tegas” negara atasnya telah
103
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 2 No. 2, Januari 2003: 101-106
mengirimkan sinyal yang berbeda, kalau bukan malah saling bertabrakan. Negara, dalam hal ini, seperti
dinyatakan Presiden, perlu melakukan
tindakan kongkret agar tak “dikutuk orang” setelah bencana bom Bali yang mengenaskan itu. Sementara Ustadz Ba’asyir dan komunitas Nguruki lebih menuntut sebuah alasan logis mengapa justru tindakan tersebut harus ditujukan kepadanya, tidak kepada yang “lain” – juga setelah bom durjana di Bali itu memakan korban domestik dan internasional. Yang tak terkatakan oleh negara atas peristiwa itu adalah setting ekonomi-politik di atas mana aktor-aktor politik pengendali pemerintahan dihadapkan pada sebuah dilema pelik. Masih merasakan guncangan akibat krisis finansial yang dimulai pada 1997, Indonesia tak lagi bisa berdiri “tegak” di atas pelataran aktor-aktor internasional. Relatif berbeda dibandingkan dengan masa “kejayaan” negara di bawah rezim Orde Baru – yang, walau dalam skala yang tak maksimal, mampu menunjukkan diri sebagai salah satu aktor pemimpin untuk negara-negara berkembang – Indonesia pasca krisis finansial telah “terkerdilkan” secara ekonomi. Maka, jalan satu-satunya bagi negara bukanlah menjaga distansi, melainkan justru mengintegrasikan diri secara lebih dalam untuk menjadi bagian dari orbit internasional, ketika makin disadari bahwa sumberdaya-sumberdaya ekonomi domestik bukan saja tak mampu menjadi penyangga perekonomian nasional. Melainkan juga – seperti terlihat dengan jelas pada utang-utang sektor swasta – telah demikian akut terbelit dan terkait dengan aktor-aktor internasional yang sama. Andaikata
pun
Indonesia
hanya
menghadapi
“kebangkrutan
ekonomi” tanpa embel-embel lain, negara dan pemerintah masih harus mengeluarkan energi ekstra untuk mencapai pemulihannya, dimana hasilnya pun masih menjadi teka-teki. Persoalannya menjadi jauh lebih kompleks ketika tekanan-tekanan terhadap Indonesia telah bersifat beyond economy: bencana 11 September 2001. Walau secara kasat mata bencana yang menimpa Amerika Serikat ini “hanyalah” sebuah peristiwa keamanan, “daya 1
Jakarta Post, 29 Oktober 2002
104
Fachry Ali “Renungan Pasca Bom Bali”
ledak” yang diimplikasikannya bersifat ekonomi-politik bagi Indonesia, seperti juga bagi berbagai negara lainnya. Sebuah peristiwa yang tak terbayangkan terjadi di awal pergantian abad ini yang melahirkan nestapa tingkat buwana. Dalam konteks Indonesia, hubungan-hubungan yang melahirkan dampak negatif ini terjadi ketika Amerika Serikat – yang daya pengeluaran konsumsi
domestiknya
saja
telah
mendorong
terjadinya
kinerja
perekonomian nasional berbagai negara di dunia – bukan saja melihat pangkal tolak the humiliating disaster itu pada gerakan radikalisme Islam AlQaidah di bawah pimpinan Usamah bin Laden di Afghanistan, melainkan juga menyatakan bahwa jaringan organisasi ini telah menyebar ke seluruh dunia, dimana Asia Tenggara dan khususnya Indonesia termasuk wilayah yang mendapatkan perhatian khusus. Dalam konteks inilah Indonesia harus berhadapan dengan persoalan beyond economy dan secara tak terelakkan meletakkannya dalam suasana dilematis: menyangkal tuduhan tersebut akan membuatnya keluar dari orbit “perkawanan” internasional – yang lebih lanjut menyebabkan upaya pemulihan ekonomi menjadi jauh lebh kelam daripada sekedar teka-teki; tetapi pada saat yang sama, pengakuan akan tuduhan tersebut akan melahirkan kondisi dimana negara harus berhadapan dengan salah satu kekuatan civil society pada tingkat domestik. Dengan
melihat
lahirnya
Perpu
Anti
Teroris
dan
“prosesi
penjemputan” Ustadz Abubakar Ba’asyir, kesimpulan telah bisa kita ambil: bahwa negara telah memilih satu dari dua alternatif pilihan yang sama sulitnya. Dan seperti banyak diduga, pilihan ini bersifat kalkulatif. Bahwa pengintegrasian diri ke dalam orbit internasional – dengan mengambil tindakan sesuai dengan asumsi-asumsi mereka – aktor-aktor negara berharap isolasi ekonomi tak akan terjadi. Dan dengan itu pula membuka kembali pintu harapan perbaikan material. Pilihan ini berkaitan erat dengan kalkulasi non ekonomis. Di mana pun juga, sebuah pemerintah tak akan mendapat legitimasi politik ekstra dari rakyat jika kondisi material yang dibutuhkan mereka tak kunjung membaik. Maka, kita bisa mengartikan
105
Jurnal Universitas Paramadina, Vol. 2 No. 2, Januari 2003: 101-106
bahwa pilihan untuk menjadikan diri
sebagai bagian integral dari orbit
internasional sesungguhnya adalah sebuah tindakan yang dibimbing oleh kalkulasi politik. Persoalannya adalah bahwa kinerja negara tak berlangsung dalam ruang hampa pada tingkat domestik. Menggeneralisasikan reaksi yang timbul terhadap “prosesi penjemputan” Ustadz Abubakar Ba’asyir, seperti yang dilukiskan di atas, kita sekaligus bisa menunjukkan dua hal pokok. Pertama, sistem tingkah laku kolektif kekuatan-kekuatan masyarakat tidak selalu distrukturkan oleh nilai-nilai yang bersumber pada kewibawaan negara. Munculnya berbagai gagasan dalam sistem ajaran keagamaan, atau bahkan ideologis, telah dan akan terus berfungsi sebagai sumber-sumber alternatif yang memandu sistem tindakan kolektif berbagai kelompok masyarakat. Kedua, struktur kekuasaan politik pada tingkat domestik telah terbagi secara meluas, baik ke dalam aktor-aktor individual secara tak resmi, lembaga-lembaga negara, partai-partai politik, bahkan sampai pada tingkat pemerintahan daerah serta kekuatan-kekuatan civil society – yang di samping LSM serta organisasi kemasyarakatan lainnya, mahasiswa dan pers termasuk di dalamnya. Adalah menentang logika jika kita menyatakan bahwa
keanekaragaman
pusat-pusat
kekuasaan ini
tak
mempunyai
kepentingan sendiri-sendiri, dan karena itu membuka kemungkinan untuk saling bertabrakan dengan kepentingan negara Maka, persoalan yang menganga pasca bom Bali bagi Indonesia adalah bahwa langkah eksternal negara belum tentu sejalan dengan langkah kepentingan-kepentingan pada tingkat internal. Karena negara pasca Presiden Soeharto tak lagi menjadi memegang komando tunggal, maka kesalahan-kesalahan langkah eksternal bisa menimbulkan persoalan yang melilit kaki negara pada tingkat internal. Dengan menyatakan ini, saya ingin menyampaikan bahwa masa depan Indonesia secara keseluruhan sangat terletak pada kemampuan negara, bukan saja dalam menemukan visi yang jelas dan segar terhadap langkah-langkahnya pada tingkat domestik,
106
Fachry Ali “Renungan Pasca Bom Bali”
melainkan juga melaksanakan dan mengelolanya untuk menjadi kekuatan yang bersifat persuasif yang bisa diterima berbagai pihak.
107