RENCANA PROGRAM DAN KEGIATAN PEMBELAJARAN SEMESTER (RPKPS) 1.
Nama Matakuliah
:
Kritik dan Perbandingan Sastra Arab
2.
Kode / SKS
:
BDA 3507 / 2 SKS
3.
Prasyarat
:
-
4.
Status Matakuliah
:
Wajib
5.
Deskripsi Singkat: Mata kuliah ini berisi perkembangan kritik sastra Arab sejak masa pra-Islam sampai dengan masa modern dan perbandingan karya sastra Arab dengan karya sastra dunia yang lain.
6.
Tujuan Pembelajaran: Setelah mengikuti mats kuliah ini mahasiswa dapat memahami Perkembangan kritik Sastra arab sejak masa pra-Islam sampai dengan masa modern dan perbandingan karya sastra Arab dengan karya sastra dunia yang lain.
7.
Materi Pembelajaran: No. 1.
2.
Pokok Bahasan Pengertian
sastra,
Sub Pokok Bahasan ilmu
1.1 Pengertian sastra secara umum
sastra, dan karya sastra
1.2 Pengertian sastra Arab
Arab
1.3 Pengertian ilmu sastra
Genre sastra Arab: puisi,
1.4 Pengertian karya sastra 2.1 Puisi Arab
prosa, dan drama
2.2 Prosa Arab 2.3 Drama Arab
3.
Unsur-unsur intrinsik puisi, 3.1 Unsur-unsur intrinsik puisi Arab: tema prosa, dan drama Arab
(ma'nâ/fikrah), emosi ('âthifah), imajinasi (khayâl), diksi (uslûb), irama dan rima (mûsyiqasy-sya'r) 3.2 Unsur-unsur intrinsik prosa Arab: narasi (chikâyah), penokohan (syakhshiyyah), alur
(chabkah),
zamân maudhû)
Tatar (maudhi'
walmakâl),
tema
uz-
(fikrah/
No.
Pokok Bahasan
Sub Pokok Bahasan 3.3 Unsur-unsur intrinsik drama Arab: tema (fikrah
asâsiyyah),
penokohan
(syakhshiyyah), konfliks (shirâ’), aksi (charakah), dialog (chiwâr), panggung (binâ') 4.
5.
Pengertian Kritik Sastra 4.1 Kritik sastra Arab secara etimologis Arab
4.2 Kritik sastra Arab secara etimologis
Pertumbuhan dan
5.1 Masa pra-Islam
perkembangan
kritik 5.2 Masa awal Islam
sastra Arab dari masa pra- 5.3 Masa Umawî Islam
sampai
dengan 5.4 Masa Abbâsî
masa modern
5.5 Masa Kebangkitan 5.6 Masa Modern
6.
Teori dan metode sastra 6.1 Teori sastra Arab
7.
Arab Kritikus Arab terkemuka
6.2 Metode sastra Arab 7.1 Kriteria kritikus 7.2 Kritikus
masa
klasik:
An-Nabighah,
Umar Ibn Al-Khattâb, Hassan Ibn Tsabit 7.3 Kritikus masa modern: AlManfaluthi, Thaha Husain, Taufiq Al-Hakim, Najib Machfuzh, Nawal As-Sa' dawi 8.
Pengertian sastra banding
8.1 Pengertian sastra banding 8.2 Kriteria sastra banding 8.3 Ranah sastra banding
8.
8.4 Teori dan metode sastra banding Outcome Pembelajaran (learning outcome) Setelah menerima jmata kuliah Kritik dan Perbandingan Sastra Arab ini, diharapkan mahasiswa mampu: a.
Memahami pengertian sastra Arab, ilmu sastra Arab, dan karya sastra Arab Memahami genre sastra Arab dan unsur-unsurnya, baik unsur intrinsik maupun unsur ektrinsik.
b.
Memahami pengertian kritik sastra Arab, 'criteria kritikus, para tokokh kritikus, dan lainnya yang berkaitan dengan kritik
c.
Mampu melakukan penelitian (mengkritik) karya sastra Arab yang sedang ataupun yang akan diteliti.
9.
Rencana Kegiatan Pembelajaran Mingguan Minggu pertama
:
Pengertian sastra, ilmu sastra, dan karya sastra
Minggu kedua
:
Genre sastra Arab: puisi, prosa, dan drama
Minggu ketiga
:
Unsur-unsur intrinsik puisi, prosa, dan drama Arab
Minggu keempat
:
Unsur-unsur intrinsik puisi Arab
Minggu kelima
:
Unsur-unsur intrinsik prosa Arab
Minggu keenam
:
Unsur-unsur intrinsik drama Arab
Minggu ketujuh
:
Mid semester
Minggu kedelapan
:
Pengertian Kritik Sastra Arab
Minggu kesembilan
:
Pertumbuhan dan perkembangan kritik sastra Arab dari masa pra-Islam sampai dengan masa modern
Minggu kesepuluh
:
Perkembangan kritik sastra Arab dari masa pra-Islam sampai dengan masa modern
Minggu kesebelas
:
Perkembangan kritik sastra Arab dari masa pra-Islam sampai dengan masa modern
Minggu keduabelas
:
Teori dan metode sastra Arab
Minggu ketigabelas
:
Teori dan metode sastra Arab
Minggu keempatbelas
:
Pengertian sastra banding
Minggu kelimabelas
:
Pengertian sastra banding
Minggu keenambelas
:
Ujian Akhir
10. Penilaian: Kriteria dan Cara Evaluasi Hasil Pembelajaran Selama ini penilaian mata kuliah Kritik dan Perbandingan Sastra Arab dilakukan secara klasik, yaitu ujian tertulis, baik mid semester maupun ujian akhir. Nilai dari dua ujian yang telah dilaksanakan dibagi dua menjadi nilai final. Untuk sekarang ini, penilaian dilakukan dengan mempertimbangkan berbagai unsur. Berbagai unsur yang dimaksud meliputi tugas harian, paper, keaktifan dalam kelas, absensi, mid semester, dan ujian akhir. Kesemuanya menjadi bahan pertimbangan untuk memberikan nilai final.
11. Uraian Rencana Kegiatan Pembelajaran Mingguan DEFINISI KATA ADAB 1.1 Sejarah Penggunaan dan Arti Kata "Adab" Ada sejumlah pertanyaan yang dapat diajukan yang berkaitan dengan asal kata adab. Kata adab berasal dari bahasa Arab atau serapan dari bahasa lain? Tidak ada penjelasan yang pasti, baik dari para linguis maupun buku-buku sejarah yang membicarakan tentang asala-usul kata, apakah kata ini telah digunakan pada masa pra-Islam atau belum. Yang lebih menarik lagi, kata ini tidak pernah disebut-sebut dalam al-Quran. Apakah hal ini akan menjadi petunjuk bahwa kata ini tidak asli Quraisy (baca: Arab) karena dengan bahasa inilah al-Quran diturunkan? Dua pertanyaan di atas menunjukkan pada kits bahwa kata ini pasti tidak digunakan dalam al-Quran, tetapi tidak digunakan pada masa pra-Islam? Ini masih melahirkan tanda tanya. Menurut pendapat beberapa ahli sejarah tentang asal-usul kata, kata adab asli Arab dengan dua alasan berikut. 1.
Adanya kata-kata yang merupakan pasangan minimal dari kata adab dengan arti yang berdekatan, yaitu kata ba-da-a (memulai), a-ba-da (berdiam, tinggal di), dan da-a-ba (berusaha tents menerus). Kesamaan arti dari semua kata itu adalah aktifitas yang bertitik tolak dari sesuatu dan terns berlangsung. Dengan adanya pasangan minimal kata adab tersebut tidak mungkin kalau kata adab tidak digunakan karena mudah diucapkan dan kemudahan ucapan termasuk alasan penting penggunaan kata bagi orang Arab.
2.
Kata adab tidak digunakan dalam bahasa Suryani dan Ibrani yang merupakan bahasa serumpun dalam kelompok bahasa Semit. Hal ini dapat menjadi alasan kuat bahwa kata adab itu asli Arab dan bukan serapan dari bahasa lain.
1.1.1 Masa Pra-Islam Ahmad Hasan. Zayyat dan Jurji Zaidan (dalam Asy-Syayib, 1965:3-4) berpendapat bahwa kata adab diserap dalam bahasa Arab dan bahasa Semit yang lain dari bahasa orang-orang Sumeria yang mendiami daerah Irak Selatan sejak berabad-abad sebelumnya oleh orang-orang yang melakukan perjalanan dari dan ke wilayah itu. Arti yang digunakan menurut orang Sumeria adalah insan
(manusia). Kemungkinannya adalah pergeseran bunyi dari a-dab menjadi a-dam dan selanjutnya dalam bahasa Semit menjadi aa-dam. Kata ini kemudian digunakan oleh orang-orang yang diam terpencil di padang pasir dengan arti yang berhubungan dengan keutamaan-keutamaan manusia. Pendapat yang lain lagi menyatakan bahwa kata adab telah digunakan pada masa pra-Islam dengan alasan kata ini telah dipakai oleh An-Nu'man Ibn Munzir dalam suratnya kepada Kisra (dalam Asy-Syayib, 1965:5) Kata adab di dalam surat ini berarti akhlak, etika, atau tata krama. Bunyi surat itu sebagai berikut.
"Aku telah mengirim utusanku, wahai Raja, serombongan orang-orang Arab. Mereka mempunyai keutamaan dalam garis keturunannya, kecerdasannya, dan tata kramanya". Demikian pula Alqamah Ibn `Ulasah yang berkata kepada Kisra (dalam AsySyayib, 1965:5) sebagai berikut.
"Tak seorang pun di antara kami yang hadir di hadapanmu lebih mulia daripada orang yang tidak hadir. Akan tetapi, apabila Anda menilai setiap dan mereka, Anda akan tahu bahwa nenek moyang mereka sangat kuat, berkarakter mulia dan berwibawa, dan terkenal sebagai orang-orang yang mempunyai gagasan utama dan mempunyai tam krama" Kata adab dalam kutipan di atas juga berarti akhlak, etika atau tata krama. Riwayat-riwayat ini sebagai bukti bahwa kata adab telah digunakan pada masa praIslam dengan arti yang berhubungan dengan tata krama dan kesopanan. 1.1.2
Masa Awal Islam Kata adab telah digunakan oleh Rasulullah Muhammad dan para
sahabatnya dengan berbagai arti, yaitu pendidikan dan pengajaran, pedoman, atau jamuan makan sebagaimana terlihat pada ungkapan berikut.
1.
Ketika Ali bertanya kepara Rasul : Wahai Rasul, Kita adalah satu garis keturunan. Akan tetapi, kami lihat Anda berbicara dengan para delegasi Arab dengan hal yang tidak kami mengerti. Rasul menjawab :
"Tuhanku telah mendidikku dan telah memperbaiki akhlakku dan aku telah diasuh oleh Bani Sa'd" Dalam pembicaraan ini kata adab berarti mendidik.
2.
Abdullah Ibn Mas'ud meriwayatkan bahwa Rasul pernah berkata :
"Sesungguhnya al-Quran ini adalah pedoman etika hidup di bumi dari Allah, maka pelajarilah dari pedoman-Nya" Dari perkataan Rasul ini kata adab berarti pedoman etika yang mulia, kebijakan, dan peringatan-peringatan yang bermanfaat untuk mengasah kabaikan jiwa (At-TahzibunNafsi).
3.
Arti yang lain bersumber dari perkataan Ali sebagai berikut
"Saudara kita dari Bani Umayyah adalah pemimpin jamuan makan" Dalam perkataan Ali ini kata adabah adalah jamak kata adib yang berarti jamuan makan. Informasi penggunaan kata adab pada masa pra-Islam dan masa awal Islam yang telah disebutkan di atas berasal dari informasi lisan sehingga menurut para linguis, kebenarannya masih hams dipertanyakan. 1.1.3 Masa Umawi Pada mada Umawi, informasi mengenai sejarah kata adab telah dapat dipertanggungjawabkan kesahihannya. Kata adab telah dapat digunakan secara meluas, baik penggunaan derivasi kola katanya maupun artinya. -
adab berarti pendidikan dan pengajaran
-
muaddib berarti guru pilihan, yaitu guru untuk para anak raja dan pembesar
-
addaba berarti mendidik yang berkaitan dengan akhlak mulia
-
ta'dib berarti pendidikan dan budaya.
Sejak
pertengahan
abad
pertama
hijrah,
kata
adab
mengalami
penyempitan arti, yaitu at-tahzib li maddatil-adab (pengajaran sastra) yang meliputi arti berikut.
1.
Al-khuluqiyyut-tahzibi (pengajaran etika), yaitu pengasahan jiwa melalui pembiasaan melakukan keutamaan-keutamaan dalam masyarakat dan sifat-sifat mulia seperti bijak, berani, terpercaya. Dengan harapan, pembiasaan tersebut dapat mempengaruhi jiwa dalam menyerap etika utama dan terpuji dalam masyarakat. Contoh karya yang mengandung pengajaran etika adalah al-adabus-sagir dan al-adabul-kabir karya ibnulmuqaffa' yang berisi pedoman bagaimana menjadi adib, yaitu orang utama yang beretika mulia dan mempunyai nama harum yang terpuji.
2.
At-Ta’limi ala riwayatisy-syi'ri wan-nasri (pengajaran puisi dan prosa). Pengajaran puisi dan prosa ini termasuk pula dengan pengajaran nasab (silsilah), khabar (berita), amsal (peribahasa), dan hal lain yang dapat mencerahkan akal, rasa, dan jiwa. Ilmu penting lain bagi muslim yang berkaitan dengan pengajaran sastra adalah Al Qur'an dan hadis serta ilmuilmu yang berkaitan dengan keduanya, seperti tafsir, fiqh, fatwa-fatwa ulama. Dari batasan ini muncul istilah adib untuk orang yang mempelajari dan mengajar sastra. Lebih khusus lagi, sebutan sya'ir bagi orang yang menciptakan puisi, katib bagi orang yang menciptakan prosa. Apabila seseorang menciptakan lebih dari satu macam karya sastra dapat sebutan sesuai dengan hasil karyanya. Kata adab dengan arti tersebut dengan sedikit penambahan dan
penyempitan bertahan sampai sekarang. Akan tetapi, ada ungkapan yang perlu diingat, yaitu adab itu ada dua macam : adabun-nafs 'tata krama yang berkaitan dengan pengasahan jiwa' dan adabud-dars 'tata krama yang berkaitan dengan pengajaran. 1.1.4 Masa Abbasiyah Pada pertengahan abad kedua Hijrah dan ketika ilmu bahasa Arab seperti nahwu, sarf dan lugah telah berkembang, terlihat juga pengembangan arti kata adab sehingga kata adab tidak hanya berarti ilmu tentang etika, tetapi juga berarti puisi. prosa, nasab, khabar, surf lugah dan naqd. Hal ini tidak berlangsung lama sehubungan dengan keruntuhan dinasti Umayyah .
Pada akhir abad ketiga hijrah, kata adab mempunyai pengertian sebagai berikut.
1.
Arti khusus, yaitu kata adab berkaitan dengan syi'r, nasr, akhbar, ansab, ayyam, dan al-ahkam an-naqdiyyah . Karya-karya yang berkaitan dengan hal tersebut di antaranya adalah al-Bayan wat-Tabyin karya al-Jahiz, asySyi'ru wasy-Syuara' karya Ibnu Qutaibah, al-Kamil karya al-Mubarrad, dan Tabaqatu Fuhulisy-Syu'ara' karya Ibn Salam. Karya-karya tersebut berisi tentang komentar terhadap karya sastra, baik dari segi bahasa maupun nilai sastranya.
2.
Arti umum, yaitu yang berhubungan dengan pengetahuan umum. Ibn Suhail berkata bahwa adab itu meliputi sepuluh hal; tiga syahrajaniyyah, tiga anusyirwaniyyah, tiga 'arabiyyah, dan satu yang berkaitan dengan semua itu. Yang termasuk syahrajaniyyah adalah permainan 'ud (sejenis gitar), catur, dan anggar. Yang termasuk anusyirwaniyyah adalah ilmu kedokteran, ilmu teknik, dan ilmu kepandaian berkuda. Yang termasuk 'arabiyyah adalah puisi, nasab, dan sejarah. Sementara yang satu adalah potongan-potongan cerita atau pembicaraan-pembicaraan ringan dalam suatu pertemuan. Sementara itu al-Jahiz berpendapat bahwa usulul-adab itu ada empat, yaitu ilmu perbintangan dan yang berkaitan dengannya, ilmu teknik dan yang berkaitan dengannya, ilmu kimia dan kedokteran dan yang berkaitan dengannya, ilmu bahasa dan cabang-cabangnya.
3.
Adab berarti karya seni itu sendiri dan ilmu-ilmu yang menunjang keberadaannya seperti lugah, nahw, nasab, akhbar, naqd. Ilmu-ilmu ini termasuk pilar dalam pembentukan peradaban Arab. Adab juga berarti ilmuilmu yang berkaitan dengan agama, yaitu tafsir al-Qur'an, ilmu hadis,fiqh, usulul-fiqh, ilmut-tauhid. Sementara itu, adab juga berarti ilmu filsafat yang diadopsi dan Yunani, India, Persi, dan lainnya.
4.
Adab berarti adabun-nafs (etika jiwa), yaitu setiap ungkapan tentang akhlak mulia,
sejarah
orang-orang
terpuji,
atau
pedoman-pedoman
yang
digunakan orang untuk meraih derajat tertentu. Buku tentang hal tersebut yang dihasilkan pada masa ini di antaranya adalah Adabul-Qadi karya Imam Abi Yusuf, Adabul-Qira'ah karya Ibn Qutaibah, satu bab dalam Sahihul-Bukhari Al-Adab karya M-Bukhari, Adabun-Nafs karya AsSarkhasi. Beberapa karya tentang hal di atas masih lahir di kurun waktu berikutnya, yaitu abad ke-4 H. Di antaranya adalah Adabun Nadim karya
Kasyajim, Adabud-Dunya wad-Din karya al-Mawardi, Adabus-Sufiyyah karya Naisaburi. Pada abad ke-4 Hijrah, ilmu bahasa telah dipisahkan dengan ilmu sastra sehingga tinggal kritik sastra saja yang berkaitan dengan sastra. Kegiatan kritik sastra semakin berkembang sampai pada tataran yang tinggi. Para kritikus memusatkan perhatian pada hal-hal yang berkaitan dengan estetika sastra. sehingga melahirkan ilmu seni sastra, yaitu balagah yang meliputi ilmu masani, bayan, dan badi'. Buku-buku yang berhasil disusun sebagai basil kerja kritik adalah Kitabus Sina'atain dan Diwanul-Ma'ani karya Abu Hilal Al-Askari yang memuat puisi dan prosanya disertai penjelasan segi-segi estetik yang perlu diungkapkan dalam kritik sastra dan balagah. Buku lain adalah al-Aqdul-Farid karya Ibn Abdi Rabbih. Di abad ke-4 ini pula telah terjadi perselisihan yang hebat antara pengikut al-Bukhturi dan pengikut Abu Tammam dan selanjutnya juga antara pengikut al-Mutanabbi dan lawannya. Dan dua perselisihan ini, para kritikus mengambil manfaatnya dan melahirkan karya yang di antaranya adalah al-Muwazanah bainat-Ta'iyaini karya alAmadi, al-Wisatah baina al-Mutanabbi wa khusumihi karya al-Jurjani, al-Agani karya al-Asfahani. Abad ke-5 Hijrah, kata adab berarti puisi atau prosa pilihan. Jadi, di samping arti umum yang telah berkembang terlebih dahulu, kata adab mempunyai pengertian Baru, yaitu hifzu asy'aril-'arab wa akhbariha wal-akhzu min kulli fannin bi tarafin (menjaga puisi Arab dan sejarahnya dengan memanfaatkan cabangcabang ilmu lain) atau ma yuassiru minasy-syi'ri wan-nasri (puisi dan prosa yang berpengaruh). Kata adab dengan arti ini mencapai kemapanan sampai berabadabad meskipun dalam perjalanannya mengalami penyempitan dan pengembangan arti. Dengan demikian, dalam fasal berikut akan dijabarkan pengertian adab yang berkembang sampai saat ini.
1.2 Definisi Kata Adab di Masa Modern Secara etimologi, kata al-adab menurut para linguis Arab klasik berarti az- zarfu `pandai,cantik', al-kiyasah `elok, cerdas', cerdas' (dalam Al-Badri, 1970:2). Kata al-adab berasal dari kata al-adb yang berarti al-'ujb `Iceajaiban' (Ibn Manzur, 1994:206) dan berarti az-zarfu `pandai, cantik' wa husnut-tanawul ‘cerdas' (al-Muhit dalam Asy-Syayib, 1965:14), atau berarti aduba `bersopan santun' sehingga adab berarti kesopanan (Al-Munawwir, 1984: 14). Secara terminologi, kata al-adab mengandung arti yang beragam sebagaimana yang tersebut di bawah ini.
‘Setiap aktivitas terpuji yang dilakukan seseorang’
‘Etika yang baik dan sifat yang terpuji yang dihasilkan manusia, seperti sifat mulia dan bijak'
‘Rajutan pemikiran terbaik'
‘Ungkapan indah dan mendalam yang mengungkapkan hakekat sastrawi dan emosi kemanusiaan'
‘Ungkapan indah yang dapat dibaca dalam tulisan para pakar, atau pidato para penceramah, atau puisi para penyair'
‘Hasil pemikiran para cerdik pandai dan ungkapan perasaannya dengan bahasa yang membuat nikmat bagi pembacanya'
7.
`Ungkapan indah yang dapat memberikan kenikmatan estetis bagi pendengar atau pembacanya, baik berupa puisi maupun prosa'
8.
`Ungkapan indah yang dapat mentransfer emosi dan makna kepada pembaca dengan bentuk Bahasa khusus yang berbeda dengan ungkapan sehari-hari sehingga keindahan dan kekuatannya dapat mempengaruhi pembaca' Dan beberapa definisi di atas dapat dikemukakan bahwa pengertian adab (sastra) mengandung arti yang bermacam-macam bergantung pada Tatar belakang para ahli dalam mendefinisikannya. Karena itu, tidak ada satu definisi yang dipandang universal yang dapat dijadikan acuan bagi para peminat adab (sastra) Arab. Pengertian adab (sastra) sangat komplek seperti kompleknya manusia itu sendiri karena adab (sastra) mengabtraksi semua aspek kehidupan.
ILMU-ILMU SASTRA
ﻋﻠﻮم اﻷ دب
Menurut asy-Syayib (1965:46) yang dimaksud dengan ilmu-ilmu sastra adalah sebagai berikut.
“Seluruh pedoman atau pengetahuan yang dapat membantu pembelajar untuk memahami karya sastra, menikmatinya, dan menciptakannya" Dengan demikian, ilmu yang dapat digunakan sebagai alat untuk memahami karya sastra secara mendalam dan juga untuk menganalisisnya itulah yang disebut ilmu sastra. Karena karya sastra yang akan dipahami dan dianalisis itu karya sastra Arab, maka ilmu sastra yang terutama diperlukan adalah ilmu bahasa Arab. Ilmu bahasa Arab dibagi menjadi dua bagian, yaitu pokok dan cabang sebagaimana yang dikatakan oleh Asy-Syayib (1965:48-49) berikut.
`Ilmu bahasa Arab dibagi menjadi dua bagian, pokok dan cabang. Yang termasuk ilmu pokok adalah lugah (kosa kata), sarf(morfoligi), isytiqaq (derivasi), nahw (sintaksis), ma'ani (makna), bayan (gaya bahasa), arud (pola puisi), qafiyah (sajak). Adapun yang termasuk cabang adalah khat (kaligrafi), mukhadarat , dan insya' (komposisi). Sementara itu, ilmu yang juga dibutuhkan oleh pembaca sastra dan berkaitan langsung dengan karya sastra itu sendiri adalah sejarah sastra dan kritik sastra. Dalam kaitannya dengan karya sastra Arab, maka ilmu yang dibutuhkan adalah sejarah sastra Arab dan kritik sastra Arab.
GENRE SASTRA ARAB 1.
Masa Pra-Islam Pada masa pra-Islam, genre karya sastra Arab ada tiga, yaitu syi'r (puisi), khitabah (pidato), dan hadis (cerita). Puisi adalah genre sastra Arab yang utama pada masa pra-Islam karena ungkapannya yang indah dan sesuai dengan kenyataan, serta irama dan rima yang selalu terjaga estetikanya sebagai alasan mengapa masyarakat menyukai genre
ini.
Kebiasaan
menghafal
puisi
yang
panjang
merupakan
suatu
kebanggaan, baik untuk pribadi maupun untuk kabilahnya. Kecintaan masyarakat terhadap puisi membangkitkan pula lahirnya pars penyair yang potensial. Khitabah (pidato) merupakan genre yang berbeda dengan syi'r karena pidato harus disampaikan di hadapan khalayak sehingga dibutuhkan kemampuan penyampainya dalam keindahan bahasa, gaya bahasa yang memikat, dan penyampaian perasaan yang mengena. Hadis (cerita) adalah genre lain yang berbeda dengan dua genre di atas. Genre ini tidak berpola seperti syi'r dan tidak disusun seperti pidato. Hadis dapat berupa cerita tentang seseorang atau sesuatu dan dapat juga berupa kata-kata bijak. 2.
Masa Awal Islam Genre pada mada ini bertambah sehingga menjadi empat, yaitu yaitu syi' r (puisi), khitabah (pidato), hadis (cerita), dan al-Qur'an. Mengapa mereka memasukkan al-Qur'an dalam genre sastra Arab? Karena ketika al-Qur'an telah disampaikan kepada masyarakat oleh Rasulullah, mereka terkejut dengan keistimewaannya. Fasal-fasalnya baru, ungkapan bahasanya kuat, gaya bahasanya tidak biasa, dan lebih lagi memberi pengaruh yang kuat pada pendengarnya. Mereka berkomentar: ini syi'r dan yang lain berkata: ini sihr, sementara ada yang berkata juga bahwa al-Qur'an itu kumpulan cerita orang-orang dahulu. Yang pasti mereka mendapatkan bentuk baru yang berbeda dengan yang telah ada. Penambahan al-Qur'an ke dalam genre sastra sudah barang tentu menimbulkan kontroversi, ada yang setuju dan tidak sedikit yang menolak karena al-Qur'an bukan hasil karya manusia.
3.
Masa Umawi dan Abbasi Dampak dan diturunkannya al-Qur'an ini membangkitkan kreatifitas para para penulis sehinggga lahir bentuk karya tulis yang lain, yaitu risalat (surat-surat) karena bentuk ini digunakan pula oleh Rasulullah dalam menjalin diplomasi dengan penguasa negara lain., maqamat (cerita-cerita pendek yang berisi nasihat atau akhlak yang mulia), wasf (deskripsi tentang slam semesta), hikam wa amsal ( kata-kata bijak dan kata-kata mutiara), dan buku-buku ilmiah. Karya-karya terjemahan dari bahasa lain, seperti Persi, Yunani, India juga menyemarakkan suasana uforia keilmuan pada masa-masa kejayaan ini. Dengan demikian, karya sastra yang berbentuk prosa menjadi beragam karena bentuk-bentuk di atas dimasukkan ke dalam genre prosa.
4.
Masa Kebangkitan sampai Masa Modern Masa kebangkitan dimulai di Mesir dan Arab Timur, yaitu ketika sastra Arab telah dipengaruhi sastra Barat yang juga sedang semarak dibicarakan pada mat itu. Atas pengaruh ini, genre sastra Arab menjadi syi'r (puisi), nasr (prosa), dan masrah ( drama). As-Syi'r (puisi) menurut bentuknya ada tiga macaw, yaitu al-multazim, almursal, dan al-mansur. Al- Multazim adalah puisi yang berirama (wazan) dan berrima (qafiyah) sesuai dengan kaidah ilmu Arud. Al-Mursal adalah puisi yang menggunakan ilmu arud tetapi tidak mengikuti seluruh aturannya. Al-mansur adalah puisi bebas yang sama sekali tidak mengikuti pola ilmu Arud. Bentuk ini di sebut juga al-hurr. Sementara dari segi isinya, syi'r dibagi menjadi al-gina'l, alqasasi, atta 'I imi, an-nisa'1.. An-Nars (prosa) menurut bentuknya dibagi menjadi prosa lama dan prosa baru. Prosa lama terdiri atas al-khitabah, ar-rasa'il, at-tarjmah, al-maqalah, almaqamah, al-munazarah, al-wasf, al-hikam wal-amsal, sedangkan prosa bare terdiri atas riwayah/qissah (novel), uqsusah (novelet), dan qissah qasirah (cerita pendek). Al-Masrah (drama) menurut bentuknya menjadi al-masrah an-nasri (naskah drama berbentuk prosa) dan al-masrah asy-syi'r (drama berbentuk puisi). Sementara dari segi isinya, drama dibagi menjadi al-ma 'sat (tragedi) dan almalhat (komedi).
UNSUR-UNSUR INTRINSIK KARMA SASTRA ARAB 1.
Unsur-unsur Intrinsik Puisi Arab Unsur-unsur intrinsik puisi Arab menurut Bath (1411 H) adalah al- `iqa' (irama)
dan bahasa puisi yang meliputi gaya bahasa , al-'atifah (emosi jiwa), dan alkhayal (imajinasi). Sementara itu menurut Farhud (1981:99) unsur-unsur intrinsik puisi Arab adalah al-makna (ide), al-'atifah (emosi), al-khayal (imajinasi), lugatusysyrr (bahasa puisi), dan musigasy-syrr (irama dan rima). Penjelasannya adalah sebagai berikut. a.
Al-Makna (ide) Puisi diciptakan berdasarkan gagasan dan ide yang ada pada penciptanya.
Dalam satu puisi dapat ditemukan satu gagasan atau beberapa gagasan yang akan dipayungi oleh satu gagasan yang lebih besar. Misalnya, setiap bait dalam suatu qasidah mengandung satu gagasan. Gagasan-gagasan tadi merupakan jabaran dari gagasan pokok keseluruhan qasidah tersebut. Gagasan dalam puisi tidak diungkapkan secara eksplisit seperti dalam tulisantulisan ilmiah, tetapi diungkapkan melalui kode-kode yang tertulis dalam puisi. b.
Al-'Atifah (emosi) Al- Atifah yang artinya adalah emosi. Emosi itu meliputi tiga aspek, yaitu alfikr
(kemampuan daya pikir), al-wijdan (perasaan), dan al-iradah (kemauan). AI-Wijdan adalah getaran perasaan di jiwa seseorang, sedangkan al-'atifah adalah bagian pokok dari al-wijdan. Jadi, al-'atifah adalah perasaan jiwa dalam menghadapi suatu peristiwa tertentu. c.
Al-Khayal (imajinasi) Seorang pencipta sastra tidak akan mengungkan fakta sebagai fakta, tetapi
akan menyertakan perasaannya ketika mengungkapkan fakta itu. Dengan demikian, alkhayal adalah penyambung antara alam rasa dengan alam nyata. Al-Khayal merupakan kamera yang terus bergerak dalam ingatan pencipta sastra untuk memotret peristiwa-peristiwa yang ia lihat, ia dengar dan ia rasa sepanjang hidupnya. d.
Lugatusy-Sy'r (bahasa puisi) Ketiga unsur di atas tidak akan dapat dinikmati tanpa adanya bahasa sebagai
medianya. Setiap kata, frasa, kalimat yang diungkapkan oleh penyair merupakan perwujudan dari ketiga unsur yang terdahulu. Setiap kata, frasa, dan kalimat yang tertuang adalah kode dan simbol yang dapat mengngkap makna puisi itu.
e.
Musiqasy-Syi'r (Irama dan Rima) Irama adalah unsur yang tidak dapat ditinggalkan dalam puisi, terutama puisi
Arab. Irama dan rima yang telah diikuti sejak masa pra-Islam merupakan unsur utama terbentuknya puisi Arab. Pola-pola irama dan rima yang disusun oleh Al-Khalil AlFarhidi, yaitu Ilmu Arud dan Qafiyah merupakan pola yang harus diikuti oleh para penyair.
2. Unsur-unsur Intrinsik Prosa Arab Unsur-unsur intrinsik prosa Arab menurut Badr (1411 H) adalah al-andas (peristiwa), asy-syahsiyyat (penokohan), al-habkah (alur), al-bi'ah (lingkungan), dan alhikayah (gagasan), sedangkan menurut Farhud (1981:147-150) adalah al-hikayah (cerita), asy-syahsiyyat (penokohan), al-harakah (alur), az-zaman wal-makan (waktu dan tempat), dan al-hikayah (gagasan). Penjelasannya adalah sebagai berikut. a.
Al-Ahdas/al-hikayah Al-Ahdas atau al-hikayah adalah rangkaian peristiwa yang diungkapkan dalam
novel atau satu peristiwa yang diungkapkan dalam cerita pendek. b.
Asy-Syahsiyyat Asy-Syahsiyyat
adalah
tokoh
yang
berperan
menjalankan
cerita
dan
memerankan bermacam-macam karakter manusia. Sebagian memerankan karakter baik, sebagian memerankan karakter buruk, dan sebagian memerankan keduanya. Jumlahnya sesuai dengan tuntutan cerita. Peran tokoh ini penting karena tokoh inilah yang mewakili pengarang menjalankan cerita dari awal sampai akhir. c.
Al-Habkah Al-Harakah adalah bangunan cerita yang dijalankan oleh tokoh melalui cerita.
Bangunan cerita ini dapat dimulai dari awal lalu menanjak menuju klimaks cerita dan menurun lagi sampai cerita berakhir. d.
Al-Bi'ah/Az-Zaman wal-Makan Al-Bi 'ah adalah keterangan tempat dan waktu terjadinya suatu peristiwa.
e.
Al-Fikrah Al-Fikrah adalah gagasan yang mendasari penulisan suatu karya. Gagasan ini
tidak diungkapkan secara eksplisit, tetapi diungkapkan secara implisit melalui ketegangan-ketegangan yang dialami tokoh dalam suatu peristiwa.
3. Unsur-unsur Intrinsik Drama Unsur-unsur intrinsik drama Arab menurut Badr (1411 H: 188-192) adalah al-fikrah (gagasan), asy-syahsiyyat (penokohan), as-sira' (tegangan), al-harakah (gerakan), al-hiwar (percakapan), al-bina' (setting: tata panggung, lampu, kostum, waktu pementasan), sedangkan menurut Farhud (1981:170-175) adalah al-fikrah al-asasiyyah (gagasan utama), asy-syahsiyyat
(penokohan),
as-sira'
(tegangan),
al-harakah
(gerakan),
al-hiwar
(percakapan), al-raina' (setting: tata panggung, lampu, kostum, waktu pementasan, jumlah babak). Penjelasannya adalah sebagai berikut.
1. Al-Fikrah Al-Fikrah adalah gagasan yang mendasari penulisan suatu karya. Gagasan ini tidak diungkapkan secara eksplisit, tetapi diungkapkan secara implisit melalui keteganganketegangan yang dialami tokoh dalam suatu peristiwa.
2. Asy-Syahsiyyat Asy-Syahsiyyat adalah tokoh yang berperan menjalankan cerita dan memerankan bermacam-macam karakter manusia. Sebagian memerankan karakter baik, sebagian memerankan karakter buruk, dan sebagian memerankan keduanya. Jumlahnya sesuai dengan tuntutan cerita. Peran tokoh ini penting karena tokoh inilah yang mewakili pengarang menjalankan cerita dari awal sampai akhir.
3. As-Sira' As-Sira' adalah unsur pokok dalam drama karena as-Sira' adalah tegangan antara baik dan buruk. Tokoh memerankan karakter tertentu, mulai dari hal yang sederhana, lalu memuncak sampai klimaks cerita dan diakhiri dengan anti klimaks.
4. AI-Harakah Al-Harakah menurut Badr (1411 H: 189) adalah gerakan yang dilakukan oleh para tokoh dalam memerankan karakter dalam cerita ketika dipentaskan. Akan tetapi, menurut Farhud (1981:172) al-harakah adalah gerakan cerita, yaitu gerakan cerita yang diperankan secara kontinyu dari awal menuju klimaks dan menurun kembali sehingga cerita yang disampaikan dapat dipahami oleh penonton.
5. Al-Hiwar Al-Hiwar adalah sarana yang paling utama dalam pementasan drama karena cerita disampaikan oleh para tokoh melalui dialog. Dalam drama Arab dialog ini boleh menggunakan bahasa Arab Amiyah yang merupakan dialek dari salah satu daerah drama itu dipentaskan.
6. Al-Bina' Yang berkaitan dengan al-Bina' adalah jumlah babak, lama pementasan, dan tata letak panggung yang digunakan oleh sutradara. Jumlah babak tidak ditentukan, tetapi lazimnya adalah tiga babak supaya tidak membuat penonton bosan. Waktu pementasan juga harus diperhitungkan secara cermat supaya terpakai secara efektif dan efisien. Demikian, juga tata panggung yang akan mendukung suksesnya pementasan drama.
KRITIK SASTRA ARAB
اﻟﻨﻘﺪ اﻷد ﺑﻲ اﻟﻌﺮﺑﻲ
I.
Definisi An-Naqd Al-Adab (Kritik Sastra) An-Naqd al-adab (kritik sastra) merupakan istilah yang terdiri atas dua kata,
yaitu: kritik (naqd) dan sastra (adab). Kata naqd telah lama dipakai oleh bangsa Arab dengan berbagai macaw arti, sedang kata adab telah dijelaskan dalam bab sebelumnya. Bab ini akan menjelaskan kata naqd secara etimologi dan terminologi dalam hubungannya dengan kata adab. 1. Arti Secara Etimologis Kata naqd terdiri atas huruf n-q-d mempunyai arti yang bermacam-macam. Hanya saja apabila diperhatikan arti itu berkisar antara at-tanawul (perolehan), alakhz (pengambilan), dan al-isabah (pencapaian). Di samping kata naqd, dipakai jugs bentuk derivasinya, yaitu
Apabila kata ini digunakan dalam kalimat, akan mempunyai arti yang di antaranya adalah:
[ ا ﻹﻋﻄﺄpemberian] seperti penggunaannya dalam kalimat [ ﻧﻘﺪ ﺗﻪ اﻟﺸﺊsaya memberinya sesuatu].
[ اﻟﺘﻤﻴﻴﺰmemisahkan] seperti penggunaannya dalam kalimat ﻧﻘﺪ اﻟﺪر اﻫﻢ memisahkan uang emas yang baik dan yang jelek].
[dia
[ اﻇﻬﺎر اﻟﻌﻴﻮبmenjelaskan kelemahan] seperti penggunaannya dalam kalimat [ ﻧﻘﺪﻩ ﺑﺎﻷﻣﺮdia mencelanya dengan suatu hal].
اﻟﻤﻨﺎﻗﺸﺔ
[berdebat], seperti penggunaannya dalam kalimat
ﻧﻘﺪﺗﻔﻼﻧﺎ
[saya
mendebat seseorang].
Penggunaan kata tersebut juga dapat dilihat pada penuturan Abu Zarr berikut.
`Suatu ketika Rasullullah dalam perjalanan. Ketika akan makan, para sahabat mengajaknya makan, tetapi beliau menjawab : Saya puasa. Ketika para sahabat selesai makan, Rasul memilih (yanqudu) sesuatu dari sisa makanan mereka. Kata nadq juga dipakai dalam percakapan sehari-hari: Laki-laki itu memilih sesuatu dengan tangannya" Penuturan Abu Darda' berikut jugs menggunakan kata naqd.
`Jika kamu memilih orang-orang itu, mereka akan memilihmu dan jika kamu tinggalkan mereka, mereka pun akan meninggalkanmu'
2.
Arti Secara Terminologis Beberapa arti di atas masih digunakan sampai sekarang. Hanya saja sejak
masa Abbasiyah, kata naqd dipakai dengan arti khusus, yaitu suatu aktifitas yang mencakup arti sebagai berikut.
1. Memeriksa dan menyelidiki sejumlah karya sastra yang ingin diteliti, 2. memilah satu persatu untuk mencari hal yang menarik hati si pemilih, 3. mempertimbangkan hal-hal yang memenuhi kriteria artistik, 4. dan menentukan karya sastra yang akan diteliti. Dengan demikian, prosesnya adalah:
Proses ini dapat berarti bahwa kritik, secara umum adalah suatu aktifitas yang dimulai dengan pemeriksaan atau penyelidikan terhadap sesuatu (karya sastra) untuk mengetahui sifat-sifatnya sehingga dapat dilakukan pemilahan antara yang baik dan yang buruk dan akhirnya dapat ditentukan pilihan yang terbaik (Badr, 1411 H: 88). Menurut Zaglul Salam, naqd atau kritik adalah ilmu yang mendorong kritikus untuk memanfaatkan seluruh kemampuan dan ilmunya dalam menilai karya sastra, baik buruknya atau benar salahnya (1964:96). Dengan demikian, kronologi kerja kritik menurut Salam adalah:
[Mencari tabu - mendeskripsikan - memutuskan] Pendapat yang lain mengatakan bahwa kritik berarti ilmu yang mempelajari teks sastra, baik puisi, prosa, maupun drama dengan cara mengungkapkan makna, nilai, dan keindahannya kepada pembaca (Syazali, 1980:18). Kata kedua adalah al-Adab. Al-Adab dalam sastra Arab mempunyai pengertian suatu ungkapan yang indah, yang mengandung emosi, imajinasi, dan makna dengan ungkapan-ungkapan tertentu yang berbeda dengan ungkapan sehari-hari. Keindahan dan daya tariknya mempunyai pengaruh yang mendalam di hati pembaca atau pendengarnya. Dalam kesusastraan Arab, karya itu dapat berupa asysyi 'ru (puisi), an-nasru (prosa), atau al-masrahu (drama). Dengan demikian, struktur yang terdiri dari dua kata, yaitu naqd dan adab dapat membentuk pengertian sebagai berikut.
(Badr, 1411 H.: 90) `Kritik sastra adalah ilmu yang digunakan untuk mengkaji karya sastra yang dilakukan melalui proses analisis dan interpretasi sehingga dapat dirasakan nilai kesusastraannya secara benar dan dapat ditentukan karya yang baik secara objektif dan adil' Akhirnya, kritik sastra berarti mempelajari dan mengkaji karya sastra melalui rangkaian aktifitas yang dimulai dengan pemeriksaan, pemilahan, dan penentuan karya sebagai pilihan terbaik, dilanjutkan dengan proses penafsiran. Proses penafsiran diperlukan terutama untuk karya sastra yang menggunakan diksi yang tidak biasa, atau mengandung imajinasiimajinasi yang hanya dapat dijelaskan oleh pembaca tertentu. Seorang kritikus diharapkan dapat berperan dalam menganalisis karya tersebut, baik yang berhubungan dengan unsur-unsur intrinsik maupun ekstrinsik. Oleh karena itu, penafsiran bermanfaat untuk merasakan nilai kesusastraannya dan dapat mengungkapakan makna, gagasan, emosi, imajinasi, dan keindahan gays Bahasa karya sastra tersebut kepada pembaca sehingga dapat ditentukan karya sastra yang baik secara objektif dan adil. II.
MANFAAT KRITIK SASTRA
Kritik sastra dilakukan dengan tujuan: 1.
Menilai karya sastra dari aspek estetik dengan orientasi objektif, meskipun kesubjektifan kritikus tetap berperan di dalamnya.
2.
Menentukan posisi karya sastra tersebut dalam konstelasi sejarah sastra. Apakah karya sastra tersebut bertema baru atau seperti yang lama, apakah karya sastra tersebut mempunyai nilai tambah yang dapat memberi sumbangan bagi perkembangan karya sastra atau tidak.
3.
Menjelaskan nilai terra, amanat, atau kekhasan gaga bahasanya serta pengaruhnya kepada masyarakat pembacanya,
4.
Menerangkan peran pengarang dalam penciptaan karya sastra.
Hasil kerja kritik sastra tidak hanya akan memberikan manfaat bagi perkembangan sastra itu sendiri, tetapi juga bagi pencipta maupun masyarakat pembacanya. Kritik sastra bermanfaat bagi perkembangan sastra itu sendiri karena hasil kritik akan dapat mendorong kemajuan bobot karya sastra, hasil kritik tidak hanya berhenti pada analisis karya saja, tetapi berlanjut sampai hal-hal yang berkaitan dengan perkembangan karya sastra, dan kritik juga dapat membuka cakrawala yang lebih luas dalam hubungannya dengan ilmu-ilmu lain yang terkait. Hasil kritik sastra juga dapat dimanfaatkan oleh sastrawan karena dapat mempertemukan hubungan antara sastrawan, karya sastra, dan masyarakat, dapat juga digunakan untuk mengetahui dan mengukur nilai karyanya sehingga dapat digunakan sebagai koreksi untuk meningkatkan bobot karya selanjutnya, dan dapat menunjukkan seberapa besar manfaat karya sastra tersebut bagi masyarakat. Sementara itu, manfaatnya bagi pembaca adalah dapat mendekatkan dan mengakrabkan pembaca terhadap karya sastra dan mempermudah pemahaman terhadapnya, dapat memberi gambaran kepada pembaca tentang cara membaca yang benar, dan juga dapat mempermudah pembaca dalam memilih karya sastra yang bermutu yang dapat dimanfaatkan menurut kebutuhannya.
TEORI DAN METODE KRITIK SASTRA
أﻧ ـ ــﻮا ع اﻟﻨﻘﺪ اﻷ د ﺑﻲ Kritik sastra menurut bentuknya ada dua macaw, yaitu an-naqdu at-ta' assuri (kritik wartawan) dan an-naqdu al-maudu'I (kritik ilmiah) Kritik wartawan adalah kritik yang dilakukan berdasarakan perasaan saja tanpa ada teori dan metode yang menuntunnya. Kerja kritik dilakukan secara garis besar saja tanpa ketelitian yang mendalam. Kritik ilmiah adalah kritik yang dilakukan berdasarkan teori dan metode tertentu dan memerlukan penelitian secara mendalam. Orang yang melakukan kritik juga harus memenuhi kriteria tertentu (akan dijelaskan dalam bab 'Criteria Kritikus). Menurut Asy-Syayib (1965), kritik sastra dapat dilakukan sesuai dengan tujuan peneliti. Asy-Syayib menawarkan bebrapa teori dan metode yang dapat digunakan oleh peneliti sebagai panduan. Berikut adalah teori dan metode yang ditawarkan. 1.
al-manhaju al-fanni, yaitu penelitian terhadap unsur-unsur estetik dalam karya sastra. Unsur-unsur yang dimaksud adalah unsur-unsur intrinsik yang terdiri atas fikrah, asy-syakhshiyyah, maudhi' uz-zaman wal-makan, dan lain sebagainya.
2.
al-manhaju at-tarikhi, yaitu penelitian yang membedah Tatar pembentukan karya
sastra
dan
segi
sejarahnya.
Bagaimana
kehidupan
sosial
kemasyarakatan dalam karya itu dan dalam masyarakat karya itu dilahirkan. Dalam kelompok ini juga meneliti tanggapan pembaca suatu karya sastra dari waktu ke waktu. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa sejarah merupakan jembatan yang menghubungkan masa lalu dengan masa kini. Sejarah sastra sangat penting untuk membantu kritik sastra. Kritik sastra yang ingin bergerak lebih jauh dan tidak hanya sekedar menilai karya sastra itu baik atau buruk, maka seorang kritikus hams mengetahui sejarah sastra sehingga hasil kritikannya tidak hanya sekedar menilai karya sastra itu baik atau buruk, tetapi juga memberikan pemecahan dari yang buruk tersebut. Kritikus yang tidak peduli dengan sejarah sastra, maka penilaiannya (kritikannya) akan meleset. Sejarah sastra juga dapat dimanfaatkan untuk membantu pemahaman sastra kontemporer (kekinian). Perlu dikemukakan bahwa seorang sejarawan sastra harus menjadi kritikus sebelum menjadi sejarawan (the literary historian must be a critic even in order to be an historian).
3.
al-manhaju an-nafsi, yaitu meneliti karya sastra dari segi pengarangnya, baik latar
belakang
kehidupannya
maupun
lingkungan
masyarakat
tempat
penyerapan bahan-bahan yang akan dijadikan cumber penciptaan karya yang akan dilahirkannya. Penjelasan yang berkaitan dengan kepribadian dan kehidupan pengarang merupakan metode tertua, sistematis, dan paling mapan dalam studi sastra. Ada tiga hal yang perlu diperhatikan, yaitu (1) biografi bernilai sejauh memberi masukan dalam penciptaan karya sastra (ini sangat berguna dalam studi sastra), (2) biografi bernilai sebagai sesuatu yang menarik untuk dinikmati, dan (3) biografi dipandang sebagai hal yang sistematis tentang psikologi pengarang dan proses kreatif.
KRITERIA KRITIKUS
()ﺻﻔﺎت اﻟﻨﺎﻗﺪ
Kritikus, menurut para pakar kesusastraan Arab, adalah orang yang dapat membedakan antara karya sastra yang baik dengan yang buruk. Oleh karenanya, is harus mempunyai kemampuan untuk mengungkap "batin" suatu karya sastra. Kemampuan yang dimilikinya itu, selain kemampuan yang melekat pada dirinya, harus pula menguasai ilmu-ilmu yang berkaitan dengan sastra sehingga seorang kritikus harus memenuhi kriteria-kriteria tertentu untuk kerja kritiknya itu. Kriteria seorang kritikus, menurut Badr (1411 H: 104), harus mempunyai kemampuan sebagai berikut. 1.
Kemampuan Mengkritik dan Kepekaan Estetik [
] اﻟﻤﻮﻫﺒﻪ اﻟﻨﻘﺪ ﻳﺔ اﻟﺬوق
Al-Mauhabatun an-naqdiyyah adalah kemampuan yang dianugerahkan Allah terhadap sesorang untuk meneliti sesuatu (karya sastra) secara cermat sehingga dapat mengungkapkan kelebihan dan kekurangannya, baik dari segi intrinsik maupun ekstrinsik. Kemampuan seperti ini tidak dimiliki semua orang. Sementara itu, az- zauq adalah kemampuan khusus yang dimiliki seseorang dalam hal kepekaan estetiknya. Kedua hal di atas berhubungan erat satu sama lain sehingga seseorang yang meneliti sebuah karya sastra dengan cermat dan mengungkapkan segi estetiknya, akan membantu pembaca untuk dapat menikmati keindahan karya sastra tersebut. 2.
Ilmu Pengetahuan dan Pengalaman (
) اﻟﺜﻘﻔﺔ واﻟﺤﺒﺮة
Kritikus dalam melaksanakan kerjanya hams berpengetahuan luas dan mempunyai pengalaman yang cukup dalam melakukan kerja krit. Pengetahuan yang hams dikuasai di antaranya adalah: a.
Pengetahuan tentang kritik Kritikus harus memahami prinsip-prinsip kritik, teori, metode, maupun cara menganalisis suatu karya sastra. Ia pun harus memahami perkembangan kritik sastra di dunia Arab, hubungannya dengan gerakan kritik yang mempengaruhinya, bahkan sampai perkembangan kritik di seluruh dunia.
b.
Pengetahuan tentang Karya Sastra Karya sastra adalah objek kritik. Oleh karena itu, seorang kritikus harus memahami genre sastra dan ciri-cirinya. Pabila seseorang ingin mengkritik puisi, misalnya, maka is hams memahami ilmu tentang puisi, kaidah-kaidah prosodinya, sejarah perkembangan puisi Arab, sampai nilai-nilai luhurnya. Demikian pula, apabila objeknya adalah novel atau drama, maka hams memahami unsurunsurnya, perbedaannya dengan prosa Arab yang terdahulu, atau hal lain yang berkaitan dengan novel atau drama tersebut.
c.
Pengetahuan tentang Ilmu Balagah Kritikus harus memahami keindahan pemilihan kata, kalimat, dan ungkapan yang digunakan dalam karya sastra sehingga dapat memberi makna secara tepat. Oleh karena itu, kritikus harus memahami ilmu balagah yang meliputi ilmu bayan (stilistika), badi', dan ma'ani (semantik). Sampai abad ke-5 H., ilmu balagah merupakan bagian pokok dalam kerja kritik karena tuntutan kerja kritik adalah ilmu balagah. Setelah abad ke-5 H., ilmu balagah merupakan ilmu yang terpisah dari kritik dan hanya menjadi salah satu instrumen dalam kerja kritik.
d.
Pengetahuan tentang Bahasa Kritikus harus memahami ilmu as-sarfi (morfologi) dan ilmu an-nahwi (sintaksis) karena ilmu-ilmu tersebut adalah instrumen pokok dalam memahami kata, kalimat, atau ungkapan dalam bahasa Arab secara tepat. Seorang kritikus jugs harus mempunyai pengalaman yang cukup
dalam melakukan kerja kritik karena cukup tidaknya pengalaman ini menjadi salah satu tolak ukur kematangan hasil analisisnya. 3.
Adil
[] اﻟﻌﺪ اﻟﺔ وا ﻹﻧﺼﺎف Adil dalam pengertian yang berhubungan dengan kritik adalah tidak
memberi penilain yang dibuat-buat. Seorang kritikus harus dapat memberi penilaian secara objektif berdasarkan teks karya sastra yang dibacanya karena sesungguhnya makna suatu karya sastra itu sudah diarahkan oleh teksnya.
PELOPOR KRITIKUS DALAM SASTRA ARAB: DARI MASA KE MASA 1.
MASA PRA-ISLAM Kritikus terkemuka pada masa ini adalah an-Nabigah az-Zubyani. Ia adalah
kritikus yang memberikan penilaian terhadap syi'ir-syi'ir yang dilombakan pada festival `Ukaz. 2.
MASA AWAL ISLAM Rasulullah SAW merupakan kritikus yang sangat teliti terhadap syi'ir -syi'ir yang
diciptakan oleh para penyair agar isinya tidak menyimpang dari ajaran Islam. Di samping Rasulullah, Umar Ibn Khattab juga mempunyai perhatian yang besar terhadap kebenaran isi karya-karya para sastrawan. 3.
ABAD KE-2 HIJRAH Kritikus yang menonjol pada masa ini adalah Abu Amr Ibn al-' A' la, Al-Asmu'i,
dan Yunus Ibn Habib. 4.
ABAD KE-3 HIJRAH Kritikus pada masa ini adalah:
Muhammad Ibn Salam al-Jumahi, karyanya berjudul Tabaqatu Fuhuli asy- Syua'ara'i Ibn Qutaibah, karyanya berjudul Asy-Syi'ru Wa asy-Syu'ara' A!-Jahiz karyanya berjudul al-Bayanu wa at-Tabyin wa al-Hayawan. 5.
ABAD KE-4 HIJRAH Kritikus pada masa ini adalah:
Al-Hasan ibn Bisyr al-Amadi, karyanya berjudul al-Muwazanah baina Abi Tammam wa al-Bukhturi.
Al-Qa>di> 'Ali Ibn Abd al-`Aziz al-Jurjani, Karyanya berjudul al-Wisatatu bain al-Mutanabbi wa Khusumuhu.
Qadamah Ibn Ja'far, karyanya berjudul Naqd asy-Syi'ir
As-Suli, karyanya berjudul fi Yatimatid-Dahri
Ibn Waki' karyanya berjudul al-Musannif Fi Saraqah al-Mutanabbi
6.
ABAD KE-5 HIJRAH Kritikus pada masa ini adalah:
Ibn Rasyid Al-Qairawani, karyanya berjudul al-Umdah fi Mahasini asy-Syi'ri wa Adabihi wa Naqdihi
Abd al-Qahir al-Jurjani, karyanya berjudul Dalail al-l'jazwa Asrar al-Balagah.
7.
ABAD KE-6 -13 HIJRAH Pada masa ini terjadi kejumudan dan kemandekan dalam kritik sastra Arab yang
salah satu sebabnya adalah menurunnya kreatifitas dalam penciptaan dan dipisahkannya ilmu balagah dalam kerja kritik. Meskipun demikian, kejumudan itu bukan kejumudan total karena masih terdapat kritikus yang mengemuka pada masa ini, yaitu:
Ibn Sina al-Malik, karyanya berjudul Dar at-Tiraz
Usamah Ibn Munqiz, karyanya berjudul al-Badi fi Naqd asy-Syi'ir
Ibn al-Asir, karyanya berjudul al-Musul asy-Sya'ir.
8.
ABAD KE-13 HIJRAH/19 MASEHI - SEKARANG (MASA MODERN) Pada pertengahan abad ke-13 Hijrah atau abad ke-19 Masehi, para sastrawan
dan juga para kritikus mulai bangkit kembali untuk menghidupkan kreatifitas kesusastraan mereka. Yang terkenal adalah Husain al-Marsafi, is mengikuti tatacara kritik abad ke-3 dan 4 Hijrah. Kritik sastra Arab mencapai kemajuannya seiring dengan kemajuan sastra pada masa modern ini. Pelopornya adalah tiga serangkai Abdur-Rahman Syukri, Abbas Mahmud al-Aqqad dan Ibrahim Abdul-Qadir al-Mazini. Abdur-Rah}man Syukri menulis buku La'alil Afkar. Al-Aqqad dan al-Mazini, keduanya melahirkan karya berjudul ad-Diwan. Al-Aqqad sendiri melahirkan karya Ibn ar-Rumi hayatuhu min Syi'rihi, Syu'ara'u Misra wa Bi'atuhum fi al-Jail al-Madi. Al-Mazini juga menulis karya berjudul Asyi'ru: Gayatuhu wa wasaituhu. Taha Husain adalah kritikus dengan karyanya yang produktif, di antaranya adalah Fusul ft al-Adab wa an-Naqd, Fi al-Adab al-Jahili, Min Hadis asy-Syi'r wa anNasr, Min Adab, Hadis al-Arbi'a. Kritikus yang lain adalah Syauqi Daif dengan karyanya berjudul al-Fannu wa Mazahibuhu fi Syi'ri al-Arabi dan al-Adab ar-Rabi' al-Mu'asfir fi Misra. Mahmud Taimur dengan karyanya Ittijahat al-Adab al-Arabi. Taufiq al-Hakim, Aziz Abazah. Khali Murdam, Muhammad al-Mandur, Amin al-Khuli, Murad Kamil, Muhammad Zaglul Salam dan masih banyak lagi.
Kritik sastra Arab terus berkembang dan para kritikus melahirkan berbagai macam karya sampai sekarang. Di antaranya adalah Muhammad al-Majzub, Abd alQuddus Abu Salih, Abd ar-Rahman al-Asymawi, Hasan Syazili Farhud, Ahmad Taufiq Kalib, Syukri Iyad.
SASTRA BANDING
اﻷدب اﻟﻤﻘﺎرن
Yang dimaksud dengan sastra banding ialah studi tentang suatu karya sastra dari bangsa tertentu dalam hubungannya secara historis dengan karya sastra dari bangsa yang lain. Dalam Kesusasteraan Arab, Sastra banding disebut at-tarikh al-muqaran adab, tarikh al-adab al-muqaran, tapi lebih terkenal dengan sebutan al-adab al-muqaran. Aspek yang utama dalam sastra banding ini adalah sejarah karena kajian dalam sastra banding adalah mempertemukan beberapa karya sastra dalam bahasa yang bermacam-macam, keterkaitan di antaranya, masa lahirnya, atau pengaruhmempengaruhinya. keterkaitan itu mungkin dalam hal estetikanya, mazhabnya, gagasannya, atau berkaitan dalam hal terra, tokoh, latarnya. Bahasa merupakan unsur penting yang membedakan antara karya sastra yang satu dengan yang lainnya. Apabila seorang pengarang menulis karya sasatra dalam bahasa Arab, maka karya sastra itu dianggap sebagai karya sastra Arab, apapun bangsa si pengarang itu. Dengan demikian, bahasa merupakan aspek penting dalam sastra banding karena sebagai dasar memperhitungkan anal usul karya sastra. Sastra
banding
dilakukan
dengan
membandingkan
pemikiran,
aliran
kesusasteraan, dan unsur-unsur estetik dalam karya sastra. Hasil penelitian dalam sastra banding akan menyajikan kecerahan dalam hubungannya denga kemanusiaan, membentuk ketokohan Baru, membandingkan peradaban yang satu dengan yang lain dan yang penting jugs adalah globalisasi karya sastra. Berikut adalah penjelasan yang disampaikan oleh Ganimi Hilal dalam bukunya "Al-Adab Al- Muqaran".
PENERAPAN TEORI SEMIOTIK PEMAKNAAN PADA PUISI MA’AL GURABA Puisi Ma'al Guraba' merupakan suatu rekaman penderitaan rakyat Palestina yang mengalami pergolakan terus menerus dalam upayanya mempertahankan tanah air yang dicintainya. Tanah air yang juga merupakan tanah impian bagi pemeluk agama Yahudi dari seluruh penjuru dunia. Berikut ini adalah pemaknaannya. Makna Judul Puisi
Judul puisi ini adalah ma'al guraba' (ilal-laji-ina fi mu'askari Breij). Kata alguraba' adalah kata jamak untuk kata garib yang berarti 'orang asing'. Orang asing dapat berarti bahwa orang-orang di dalam kelompok itu tidak saling mengenal karena berasal dari tempat yang berbeda-beda atau orang-orang yang terasing dari kelompok dan asal-usulnya, yaitu orang-orang yang terlunta hidupnya. Oleh karena itu, judul ma'al guraba' dapat diartikan `bersama orang-orang yang terlunta' yang juga tidak punya harapan lagi untuk mencapai hal yang diinginkan. Puisi ini dibuat untuk para pengungsi yang tinggal di barak Al-Breij, yaitu salah satu barak di daerah Gaza yang dihuni sekitar 30.000 jiwa (Ad-Dabaagh). Penduduk Palestina berjumlah sekitar 8.000.000 jiwa dan sekitar 5.000.000 jiwa berada di kampkamp pengungsian, baik yang ada di Palestina sendiri maupun di negara sekitarnya, seperti Siria, Yordania, Mesir, Irak, Saudi, dan lainnya.
Makna Bagian-bagian Puisi Bagian ke-1
Datang Laila kepada ayahnya Bola matanya sarat derita Dalam dirinya api membara Rindu dendam tiada tara Nyala mata telah sirna Oleh duka dan nestapa Merata Di Al-Breij Lara Tanpa suara, tanpa irama Datang Laila kepada ayahnya Tua renta tak berdaya Berkata is penuh derita Pedih luka sangat terasa Laila adalah gambaran seorang anak yang hidup dalam Barak pengungsian "Al-Breij" yang kotor, kumuh, dan panas oleh udara dan penghuninya yang penuh sesak. Sekitar 30.000 jiwa di suatu kamp pengungsian adalah suatu penderitaan yang luar biasa dan masih ditambah dengan waktu yang tak tertentu masa berakhirnya.Hal itu menjadikan para pengungsi menjadi putus asa. Penderitaan lahir batin telah menjadi kawan akrab bagi para pengungsi. Kelaparan dan kehausan menjadi hal yang biasa karena penderitaan batin karena terpisah atau ditinggal mati oleh orang-orang dicintainya adalah puncak kesedihan yang tidak terukur dan masih ditambah dengan
penderitaan akibat tercampak dari tempat tinggal dan tanah airnya. Penderitaan jiwa yang tak tertanggungkan itu tergambar dari bola matanya yang menampakkan keputusasaan, tetapi di sisi lain bola mata itu menyala penuh kemarahan. Sementara itu, ayah Laila adalah gambaran orang-orang tua yang juga telah mengalami berbagai macam penderitaan, tua rents tak berdaya, dan telah putus asa karena tidak tahu lagi bagaimana harus berjuang merebut kembali tanah airnya. Bagian ke-2
Mengapa ...? Kita, wahai ayahku ...? Mengapa kita terlunta? Tidakkah di dunia ini kita pun punya Kawan dan Tidakkah kita punya teman Tidakkah kita punya kekasih Meng apa ? Kita, wahai Ayahku ? Mengapa kita terlunta ...? Tahun demi tahun berlalu Wahai Ayah tanpa makna Tanpa asa, tanpa gembira Tanpa indah, tanpa penghibur lara Selain pedih dan sengsara Selain duka dan derita Selain suara insan tertindas pilu Yang memanggil-manggil selalu Pada tanah airku Mengapa ...? Kita, wahai Ayahku ? Mengapa kita terlunta ? Dalam keputusasaan itu, Laila menanyakan kepada ayahnya mengapa mereka harus tinggal di barak pengungsian, mengapa tidak tinggal bersama pars sanak saudara dan teman-teman di tanahnya sendiri. Mereka telah bertahuntahun tinggal di barak itu sehingga seluruh derita ia tumpahkan melalui kata laa `tanpa' yang berulang-ulang "tanpa asa, tanpa gembira, tanpa indah, tanpa penghibur lara". Sebuah ungkapan yang menunjukkan kepapaan akan segala sesuatu. Penderitaan yang ia rasakan ia ungkapkan "selain pedih dan sengsara, selain duka dan derita". Hidup tanpa makna karena ia sudah tidak mengerti lagi apa gunanya hidup. Dalam penderitaan lahir batin seperti itu, ia masih ada semangat untuk kembali ke kampung halamannya karena itu satu-satunya harapan untuk hidup yang lebih baik. Ia ungkapkan "selain suara insan tertindas pilu yang memanggil-manggil selalu pada tanah airku".
Bagian ke-3
Mengapa ..? Kita dalam derita Miskin dan sengsara Kita menghadapinya senantiasa, kembara Dari desa ke desa Tidakkah bumi kita punya Bersamanya tumbuh asa ? Pepohonan menari menyapa? Burung-burung berkicau di atasnya Tidakkah bumi tumpah darah kita punya ? Yang telah dikenal sepanjang masa Meng apa ? Kita wahai Ayahku ? Mengapa kita terlunta? Tidakkah ? Bumi hijau kita Penuh mata air segar untuk kita Mimpi manis kita Yang tumbuh bersama cinta Mengapa? Kita tak tanami Bebas dengan tangan-tangan ini Lalu hasilnya kita nikmati Keduanya saling memberi Mengapa ? Kita tak sirami Dengan sepenuh hati dan bumi batik sirami Meng apa ? Kita wahai ayahku ? Mengapa kita terlunta?
Kerinduan kembali ke kampung halaman yang damai kembali mengusik perasaan Laila sehingga ia tanyakan kepada ayahnya mengapa mereka selalu dalam derita, miskin, dan sengsara, selalu berpindah dari daerah ke daerah yang lain. la tanyakan tidakkah mereka punya kampung halaman sendiri yang dapat menjadi tempat mereka membangun impian. Tanah hijau yang subur sehingga penduduknya bisa mengolah dan menanami tanahnya. Tidak hanya manusia, tetapi hewan pun dapat hidup seperti yang ia gambarkan "burung-burung berkicau atasnya" . Hidup dalam keharmonisan antara alam dan manusia sangat ia dambakan. Ia personifikasikan bahwa seluruh alam ini hidup seperti manusia sehingga bisa saling memberi dan menerima. Ia ungkapkan "Keduanya saling memberi, mengapa ? Kita tak sirami dengan sepenuh hati dan bumf balik sirami". Bagian ke-4
Ketika panas dingin menerpa? Mengapa kita tidak kembali ke rumah Ladang dan hidup mulia Mengapa kita dalam kepedihan? Kelaparan dan kesakitan? Keputusasaan dan penderitaan Mengapa ...? Kita wahai Ayahku ? Mengapa kita terlunta? Kutanyakan padamu, Kemarin . . . tentang Thu Yang pergi dan tak pernah kembali Aku bertanya . Dan hatiku mengadu Kubertanya dan biji mataku penuh air mata Engkau . . . terpaku diam Tiada berkata, tiada mendengar Kebisuanmu semakin dalam Tiada suara yang bisa kumengerti Jelaskan . . . Dan katakan, wahai Ayah Mengapa kita terlunta? Kutanyakan padamu Sejak lama Kutanyakan padamu tentang Ahmad, saudaraku Engkau hampir saja lenyap dari pandanganku Itu . . . peristiwa kelam Hampir saja engkau katakan, dia telah mati Wahai Laila . . . dia telah syahid Tetapi engkau tak katakan? Mengapa...?
Kita,
wahai Ayah Mengapa kita terlunta?
Pertanyaan demi pertanyaan diajukan Laila mengapa mereke hidup di kemah padahal cuaca sangat panas atau sangat dingin dan pada saat yang sama mereka dalam kelaparan dan kehausan. Seharusnya mereka dapat kembali ke kampung halaman mereka dan mengusahakan sendiri makan dan minumnya. Laila juga menanyakan di mana ibunya yang tak pernah kembali, tetapi ayahnya hanya diam. Demikian pula ketika ditanyakan ke mana Ahmad, saudaranya, apa dia sudah mati syahid di peperangan? Ayahnya tidak bisa menjawab, dia hanya termangu diam. Hal ini menunjukkan bahwa akibat suatu peperangan anggota keluarga dapat berceraiberai dan saling tidak mengetahui keberadaan mereka atau malah sebagian telah menjadi korban
dan
meninggal.
Pertanyaan-pertanyaan
yang
diajukan
Laila
dan
ketidakmampuan si Ayah menjawab semua itu menunjukkan keputusasaan yang mendalam meneruskan hidupnya. Bagian ke-5
Ingatkah engkau pada Salwa, wahai Ayah Kulihat dia kemarin Lari dan terusir di sepanjang jalan Dalam kesedihan, dalam kesengsaraan Penderitaan telah memenuhi Hari-harinya . . wahai Ayah Ini bukan dia, yakin
Ini bukan kawanku Mata penuh derita Raga penuh Tara Mengapa . . . ? Kita, wahai Ayah . .? Mengapa kita terlunta? Ayah . . . Katakan padaku, demi Allah Akankah kita pulang ke Yafa? Bayangannya yang indah Telah menari-nari di mataku Akankah kita memasukinya dengan kemuliaan Meskipun waktu . . telah melupakannya? Akankah kumasuki kamarku . . . katakan padaku Akankah kumasuki dengan mimpi-mimpiku? Kami saling bertemu Dan mendengar langkah kakiku Akankah aku memasukinya dengan hati Yang luka dan pedih ini Saat yang lain Laila menceritakan kepada ayahnya tentang kawannya yang bernama Salwa. Salwa dilihatnya berlarian di jalanan karena dikejar tentara. Banyak gadis-gadis Palestina yang ditangkap oleh tentara Israel lalu mereka perkosa dan akhirnya mereka bunuh. Penangkapan gadis-gadis ini terungkap lebih jelas dalam prosa liris yang berjudul Salam au Selomita (Yagi, 1983:265-266) sebagai berikut.
"Gadis kecil Salam sedang bermain di jalan dekat rumahnya ketika diculik oleh orang-orang misterius. Salam anak tunggal yang dikenal dan dicinta orang-orang di sekitarnya. … Keberadaan Salam tak diketahui, ada yang bilang dia telah mati dan ada yang bilang dia di salah satu rumah sakit antara New York dan Moskow". Ini suatu kebiadaban yang luar biasa, tetapi kejadian ini terjadi terus menerus tanpa ada yang mampu mencegah, apalagi oleh orang-orang Palestina yang telah hancur jiwanya itu. Laila sampai tidak percaya itu kawannya, Salwa, karena keadaan jiwanya yang terguncang dan badannya yang penuh luka. Dikatakannya "Ini bukan dia, yakin ini bukan kawanku, mata penuh derita, raga penuh lara". Laila memaksa ayahnya berbicara dan bersumpah bahwa suatu saat mereka akan kembali ke kampung halaman mereka, yaitu Yafa. Yafa adalah salah satu kota yang terletak di pantai yang menghadap Laut Tengah. Daerah ini terkenal indah dan subur sehingga banyak orang berkunjung ke sana. Beragam buah-buahan dihasilkan dari daerah ini, misalnya jeruk, anggur, pear, pisang dan lain-lain, bahkan hutan pun ada
di
daerah
ini.
Laila
merindukan
kampung
halamannya
itu
dan
mempersonifikasikannya dalam pertemuan yang ia impikan "Akankah kumasuki kamarku . . . katakan padaku, akankah kumasuki dengan mimpi-mimpiku? Kami saling bertemu dan ia mendengar langkah kakiku". Akan tetapi, ia sadar pula bahwa hal itu sulit terjadi karena perang yang tak kunjung usai. Ujarnya "Akankah aku memasukinya dengan hati yang luka dan pedih Bagian ke-6
Ayah . . . Andai seperti burung aku punya Sayap yang membawaku (ke angkasa) Aku akan terbang dengan penuh duka Karena rindu . . . tanah airku Tetapi aku berasal dari bumi Yang selalu menarik-narikku Burung adalah salah lambang kebebasan yang diimpikan manusia. Oleh karena itu, Laila menyatakan seandainya ia punya sayap seperti burung, ia akan terbang ke manapun ia suka untuk mengobati luka hati karena rindu kampung halamannya. Hal ini juga berarti seandainya ia punya kemampuan untuk mengatasi persoalan yang dihadapi bangsanya ini, ia akan lakukan supaya orang-orang di barakbarak pengungsian dapat kembali ke kampung halamannya. Akan tetapi, ia merasa tidak punya kemampuan untuk itu. "Aku berasal dari bumi yang selalu menarik-narikku (kembali)" adalah pernyataan bahwa selain tidak mampu, ia terpaksa menerima kenyataan yang dihadapi. Bagian ke-7
Dan mengalir deras Air math yang seharusnya Mengalir, tetes demi tetes Menggelegar jeritan anaknya Dalam gelap menotok gendang telinga Mendengar ratapan anaknya itu, serta merta mengalir deras air mata ayahnya. Hati ayahnya yang semula telah mati rasa karena beratnya derita yang ia tanggung menjadi terusik kembali. Ia rasakan suara anaknya itu bagaikan suara halilintar yang
menggelegar dan menggedor-gedor gendang telinganya sehingga membuatnya tersadar kembali dengan apa yang terjadi dan bagaimana ia harus berbuat. Bagian ke-8
Dia berseru, kita 'kan kembali Ke tanah itu kita kembali Kita tak sudi suatu pengganti Kita tak sudi berapapun dihargai Dia lalu berseru: Kita akan segera kembali ke kampung halaman kita. Tekad untuk berjuang merebut kembali kampung halaman yang telah diduduki Zionis. Tanah air yang telah didiami oleh nenek moyang bangsa Arab sejak ribuan tahun lalu telah direbut oleh bangsa yang merasa lebih berhak tinggal di tanah itu karena nenek moyangnya juga telah lebih dahulu meninggali tanah itu. Celakanya, mereka merebut dengan cara yang keji dan ingin merebut tanah itu untuk mereka saja tanpa mengingat bangsa lain yang juga berhak tinggal di dalamnya. Keinginan menguasai tanah itu dapat dilihat dari pernyataan Gershon Salomon, seorang rabbi : "Our vision is to move the mosque, to move the dome of the Rock, and to have them rebuilt in Mecca. The mount must became again the center of the Israeli nation" (Mairson, 1996: 30). Tekad seperti itu yang selalu dihembuskan ke dalam jiwa pemeluk Yahudi di seluruh dunia padahal pemeluk suatu agama tidak dapat mengklaim kelompoknya itu sebagai suatu bangsa. Pemeluk suatu agama dapat siapa saja dan dari bangsa apa saja, mengapa pemeluk agama Yahudi menginginkan satu negara yang penghuninya hanya mereka? Ini suatu keinginan yang mengada-ada dan tetap mereka paksakan.
Bagian ke-9
Kelaparan tak menghalang Kepapaan tak merintang Cita-cita kita akan mendorong Bila dendam telah begitu menindih Sabar . . . wahai anakku, sabar Esok, pertolongan 'kan kita raih Apabila tekad telah bulat, maka rintangan apapun bentuknya akan dilewati. Demikian halnya ayah Laila, setelah tersadar kembali dari kebekuan hatinya is menyatakan bahwa kelaparan dan kepapaan tidak menghalangi tekad merebut kembali tanah air dari tangan zionis betapapun beratnya dan apapun akibatnya Menghilangkan keputusasaan adalah tujuan si penyair agar bangsa Palestina tetap tegar dan kuat menghadapi penderitaan yang tak terhingga beratnya ini dan tetap menyalakan semangat untuk melawan Zion yang telah memporak-porandakan tanah air mereka. 13. Bahan, Sumber informasi dan referensi
Wajib (W) 1. Asy-Syâyib, Ahmad, 1964, Ushûlun-Naqdd-Adabiyyi, Kairo: Maktabatun Nandhatil-Mishriyyah. 2. Badr, ' Abdul-Basith ' Abdurrozzak, 1991, An-Naqdul-Adabiyyah, Wizaratut Ta'lîmil-Âli, Al-Mamlakatul-' Arabiyyatus-Su' udiyyah 3. Farhûd, Syâdzilî wa Ashdiqâ' uhu, 1981, Al-Balaâghah wan-Naqd, Al Mamlakatul- Arabiyyatus-Su' udiyyah
4. Hilal, Muhammad Ghanimî , bilâ sanah, Al-Adabul-Muqâran, Kairo: Dâru Nandhah Anjuran (A) 1. Salâmi,
Muhammad
Zaghlûl,
1964,
An-Naqdul-Arabiyyul-Chadits:
Ushûluhu, Qadhâyâhu, Manâhijuhu, Kairo: Maktabatul-Anjilul-Mishriyyah 2. Al-Hâsyimî, Ahmad, 1965, Jawâhirul-Adabi fi Adabiyyâtin wa Insyâ Lughatil-Arabiyyi, Kairo: Dârul-Fikr 3. Quthb, Sayyid, 1980, An-Naqdul-Adabiyyu: Ushûluhu wa Manâhijuhu, Kairo: Dârusy-Syarqi
14. Contoh Soal Mid Semester dan Ujian Akhir UJIAN MID SEMESTER I 2003/2004 FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA Matakuliah
: Kritik dan Perbandingan Sastra Arab
Hari
: Jumat
Tanggal
: 10-01-2003
Pukul
: 09.30-11.10
Tempat
: A 210
Dosen
: Dr. Sangidu, M.Hum./Dra. Hindun, M.Hum.
LEMBAR SOAL DIKEMBALIKAN BERSAMA LEMBAR JAWABAN
PANITIA UJIAN SEMESTER I 2000/2001 FAKULTAS SASTRA UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA Matakuliah : Kritik dan Perbandingan Sastra Hari : Jumat Tanggal : 18-01-2002 Pukul : 09.30-11.10 Tempat : B 204 Dosen : Dr. Sangidu, M.Hum./Dra. Hindun, M.Hum.