RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF 2010-2014
DEPARTEMEN KEHUTANAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN PUSAT PENELITIAN SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN KEHUTANAN
i
ii
RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF 2010-2014
Pengantar Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan telah mengambil langkah strategis dengan menetapkan Rencana Penelitian Integratif (RPI) 2010-2014, sesuai dengan tema penelitian dari Roadmap Penelitian Kehutanan 2010-2025 yang telah dijabarkan ke dalam Program Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan bertanggung jawab terhadap Program Lanskap, Program Perubahan Iklim, dan Program Kebijakan, Buku RPI ini memuat 7 (tujuh) RPI yang menjadi bagian dari Program-Program tersebut, yaitu 1) Manajemen Lanskap Hutan Berbasis DAS, 2) Pengembangan Hutan Kota/Lanskap Perkotaan, 3) Ekonomi dan Kebijakan Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca Kehutanan, 4) Pengembangan Perhitungan Emisi Gas Rumah Kaca Kehutanan, 5) Adaptasi Bioekologi dan Sosial Ekonomi Budaya terhadap Perubahan Iklim, 6) Penguatan Tata Kelola Kehutanan, 7) Penguatan Tata Kelola Industri dan Perdagangan Hasil Hutan. RPI 2010-2014 merupakan acuan utama penyusunan rencana penelitian 2010-2014, baik bagi Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan maupun Balai Penelitian lingkup Badan Litbang Kehutanan sebagai pelaksana kegiatan, sehingga pada akhir periode RPI dapat diperoleh hasil penelitian terintegrasi yang dapat dimanfaatkan oleh pengguna.
Bogor, B Bo gor, Maret 2010 K Ke ep epa paala Pusat, Kepala
Dr D r. IIr r. Nur N r Masripatin, Nu Maasripatin, M.For.Sc M Dr. Ir. NI N IP. P. 195 580108 198603 2 002 NIP. 19580108
iii
iv
RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF 2010-2014
Rencana Penelitian Integratif (RPI) Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan
1. Manajemen Lanskap Hutan Berbasis DAS 2. Pengembangan Hutan Kota/Lanskap Perkotaan 3. Ekonomi dan Kebijakan Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi 4. Pengembangan Perhitungan Emisi GRK Kehutanan (Inventory) 5. Adaptasi Bioekologi dan Sosial Ekonomi Budaya terhadap Perubahan Iklim 6. Penguatan Tatakelola Kehutanan 7. Penguatan Tata Kelola Industri dan Perdagangan Hasil Hutan
v
vi
RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF 2010-2014
PUSAT PENELITIAN SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN KEHUTANAN
Manajemen Lanskap Hutan Berbasis DAS
i
Website : www.puslitsosekhut.web.id
Manajemen M anajemenn La Lanskap anskap Hutan Berba Berbasis errba DAS erbasis AS
ii
RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF 2010-2014
Lembar Pengesahan
Manajemen Lanskap Hutan Berbasis DAS
iii
iv
RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF 2010-2014
Daftar Isi Lembar Pengesahan ................................................................................... iii Daftar Isi ....................................................................................................... v Daftar Tabel ............................................................................................... vii Daftar Singkatan ......................................................................................... ix I.
Abstrak ................................................................................................1
II.
Latar Belakang .....................................................................................1
III.
Rumusan Masalah .............................................................................. 3
IV.
Hipotesis ............................................................................................. 5
V.
Tujuan dan Sasaran.............................................................................6
VI.
Luaran .................................................................................................6
VII.
Ruang Lingkup ....................................................................................6
VIII. Metode ............................................................................................... 7 IX.
Instansi Pelaksana, Rencana Tata Waktu, dan Rencana Biaya ........ 11
X.
Organisasi ..........................................................................................13
XI.
Daftar Pustaka ...................................................................................13
XII.
Kerangka Kerja Logis .........................................................................14
Manajemen Lanskap Hutan Berbasis DAS
v
vi
RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF 2010-2014
Daftar Tabel Table 1. Instansi Pelaksana, Tata Waktu, dan Rencana Biaya ..................12
Manajemen Lanskap Hutan Berbasis DAS
vii
viii
RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF 2010-2014
Daftar Singkatan
BPK
: Balai Penelitian Kehutanan
CBD
: Convention on Biological Diversity
CIFOR
: Center for International Forestry Research
DAS
: Daerah Aliran Sungai
DSS
: Decision Support System
FAO
: Food and Agricultural Organisation
GIS
: Geographic Information System
GPS
: Global Positioning System
Iptek
: Ilmu pengetahuan dan Teknologi
KPH
: Kesatuan Pengelolaan hutan
LHP
: Laporan Hasil Penelitian
RPI
: Rencana Penelitian Integratif
SFM
: Sustainable Forest Management
UUD
: Undang-undang Dasar
UPT
: Unit Pelaksana Teknis
Manajemen Lanskap Hutan Berbasis DAS
ix
x
RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF 2010-2014
I.
ABSTRAK
Pengelolaan hutan di Indonesia dihadapkan pada tiga isue utama yaitu tata ruang, trade-offs tujuan manajemen hutan dan kepentingan para pihak, serta pelestarian sumberdaya hutan atau SFM. Pendekatan klasik untuk mengelola hutan yang memisahkan aspek ekologi dari sosial-ekonomi dan lingkungan sekitar tidak berhasil menahan laju deforestasi maupun degradasi hutan, yang mengakibatkan sumberdaya ini menjadi semakin terancam kelestariannya. Penataan ruang melalui alokasi spasial penggunaan hutan perlu diintegrasikan dengan kepentingan (interests) dari berbagai pihak. Melalui penelitian integratif manajemen lanskap hutan diharapkan dapat disusun rekomendasi kebijakan untuk memperluas peran hutan dalam mendukung pembangunan daerah, melalui integrasi interests para pihak ke dalam rencana pembangunan kehutanan yang akan mendukung tata kelola kehutanan yang baik, good forest governance. Penelitian Integratif Manajemen Lanskap Berbasis Daerah Aliran Sungai dimaksudkan untuk menyediakan strategi kebijakan bagi pengambil keputusan (Decision Support System, DSS) yang dapat dipakai untuk mempertahankan keberadaan hutan dan memperluas peran hutan, termasuk meningkatkan kerentanaan hutan terhadap perubahan iklim. Penelitian ini dilakukan dengan membangun konsep manajemen lanskap hutan yang selanjutnya akan diujicobakan di berbagai DAS yang memiliki karakteristik kepadatan penduduk tinggi, dan mengalami tekanan yang berat. Melalui penelitian ini diharapkan dapat dikaji dinamika spasial perubahan lanskap hutan disertai dengan dinamika sosial-ekonomi dan lingkungan yang mempengaruhi perubahan tersebut. Sasaran yang akan dicapai dari Penelitian Integratif Manajemen Lanskap Berbasis Daerah Aliran Sungai antara lain terwujudnya luas hutan optimal di dalam suatu wilayah DAS disertai dengan sebaran fungsi hutan yang mendukung pengelolaan hutan secara lestari. Kata kunci: manajemen lanskap, lanskap hutan, landuse, landuse change.
II.
Latar Belakang
“Forest management is not rocket science, it is far more complex” (Thomas & Bunnel, 2001). Kalimat tersebut di atas menyebutkan bahwa mengelola hutan jauh lebih kompleks, rumit dari ilmu yang dipakai untuk membangun sebuah roket. Kompleksitas tersebut antara lain disebabkan oleh adanya berbagai faktor yang mempengaruhi keberhasilan pengelolaan hutan dan seringkali faktor tersebut berada di luar kemampuan manajemen untuk mengendalikannya. Baik faktor yang bersifat ekologi dan ekonomi serta sosial saling terkait keberadaannya dan mempengaruhi kelestarian pengelolaan hutan.
Manajemen Lanskap Hutan Berbasis DAS
1
Tantangan pengelolaan hutan di Indonesia adalah untuk mempertahankan sekaligus melestarikan sumberdaya hutan yang tersisa, disamping mengoptimalkan berbagai fungsi yang ada sehingga keberadaan hutan mampu memenuhi kebutuhan yang semakin beragam serta memberikan peran yang lebih luas kepada masyarakat. Pengelolaan hutan juga dihadapkan pada perubahan iklim yang melanda dunia. Hutan di Indonesia dilaporkan menyumbang emisi ketiga terbesar di dunia, yang mempengaruhi fungsi hutan sebagai sumber kehidupan masyarakat di sekitarnya maupun sebagai stabilitas sistem penyangga lingkungan secara luas. Pendekatan klasik untuk mengelola hutan di Indonesia dilakukan sesuai dengan fungsi hutan yang telah ditetapkan, yaitu sebagai hutan produksi, konservasi dan hutan lindung. Pendekatan manajemen ini terbukti tidak berhasil menahan laju deforestasi maupun degradasi hutan, yang mengakibatkan sumberdaya ini menjadi semakin terancam kelestariannya. Kelestarian hutan tidak dapat dipisahkan dari kondisi lingkungan sekitarnya. Pengelolaan sumberdaya alam perlu dilakukan dengan berorientasi ekosistem secara keseluruhan. Pendekatan semacam ini dapat dilakukan dengan menerapkan manajemen lansekap hutan yang memandang hutan sebagai suatu kesatuan fungsi, dan pengelolaannya tidak dapat dipisahkan dari tujuan untuk memenuhi kebutuhan yang beragam1, baik yang bersifat ekologis, ekonomis maupun kebutuhan sosial. Dengan kata lain, melalui manajemen lansekap hutan rencana pengelolaan sumberdaya ditujukan untuk memproduksi komoditas sekaligus mempertahankan nilai ekologi yang ada melalui kegiatan pemantauan, kontrol struktur spasial maupun dinamikanya. Lanskap disepakati melalui konvensi negara-negara Eropa sebagai suatu areal yang dipahami oleh masyarakat memiliki karakter unik. Karakter tersebut merupakan resultante aksi dan interaksi dari berbagai faktor, baik yang bersifat alami maupun hasil pengaruh manusia. Keunikan karakteristik alam tersebut yang merupakan salah satu alasan untuk melakukan perlindungan hutan melalui kerangka hukum konservasi. Lanskap hutan dicirikan oleh karakteristiknya sebagai bentang alam yang didominasi oleh adanya hutan yang wilayahnya meliputi dari daerah hulu hingga ke bagian hilir suatu Daerah Aliran Sungai (DAS). Manajemen
1 Menurut Undang-undang Dasar 1945 dan Undang-undang Kehutanan no 41/1999, hutan di Indonesia dikelola agar dapat dimanfaatkan bagi pertumbuhan ekonomi sekaligus pemeratan sosial, pemantapan stabilitas politik serta pelestarian ekologis-lingkungan.
2
RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF 2010-2014
lanskap bermaksud menata hutan secara spasial termasuk merencanakan alokasi penggunaannya sesuai dengan kepentingan (interests) dari berbagai pihak. Melalui manajemen lanskap kepentingan para pihak untuk menggunakan ruang di-integrasikan dengan tujuan pengelolaan di tingkat tapak atau lokal, wilayah maupun tingkat nasional. Melalui penelitian integratif manajemen lanskap hutan diharapkan dapat disusun rekomendasi kebijakan untuk memperluas peran hutan dalam mendukung pembangunan daerah, melalui integrasi interests para pihak ke dalam rencana pembangunan kehutanan yang akan mendukung tata kelola kehutanan yang baik, good forest governance.
III. Rumusan Masalah Secara tradisional, pengelolaan hutan ditujukan terutama untuk memproduksi kayu dan kurang memperhatikan pengelolaan untuk tujuan yang lain. Tuntutan untuk melestarikan jenis yang terancam punah serta melindungi habitat atau zona sensitif serta tempat-tempat yang historis, dan juga zona perairan melalui pembatasan penebangan pohon menuntut pendekatan pengelolaan sumberdaya alam secara terintegrasi. Menurut data FAO (2007), tingkat deforestasi hutan di dunia mencapai 13,7 juta hektar per tahun, sedangkan penanaman yang dilakukan hanya mencapai 0,7 juta hektar per tahun. Lebih dari setengah luas hutan global yang ada terdeforestasi atau terdegradasi; dimana 40% dari hutan yang lebat dikonversikan menjadi penggunaan lain seperti misalnya untuk pengembangan pertanian, peternakan, dan 10% telah dibuka atau terfragmentasi. Kondisi tersebut merupakan penyebab utama merosotnya kualitas dan kesehatan hutan. Selanjutnya diprediksi bahwa sebanyak 1 juta jenis tanaman dan binatang akan punah dalam jangka waktu 15 – 20 tahun mendatang. Akibatnya, pendekatan manajemen yang dilakukan saat ini dapat dikatakan gagal untuk mempertahankan dan melestarikan lanskap hutan untuk generasi mendatang. Pendekatan pengelolaan hutan yang dilakukan saat ini memiliki beberapa keterbatasan. Diantaranya dan yang paling utama adalah skala atau fokus dari pengelolaan itu sendiri. Sebagai contoh, rencana pengelolaan mencakup berbagai nilai yang tidak mungkin diintegrasikan pengelolaannya. Disamping itu, memprioritaskan nilai tertentu dan mengensampingkan nilai lainnya akan membatasi proses lanskap yang penting serta berdampak luas. Disamping itu, secara tidak disadari rancangan dan implementasi dari kegiatan penebangan dan penerapan silvikultur tertentu meninggalkan fragmentasi hutan, yaitu terputusnya rangkaian hutan yang padat menjadi
Manajemen Lanskap Hutan Berbasis DAS
3
pulau-pulau hutan yang terisolasi. Keadaan ini dikhawatirkan akan mempengaruhi proses biodiversity dan ekologi di masa mendatang. Hutan di Indonesia, kawasannya tersebar dari puncak gunung (Semeru, Rinjani, Puncak Jaya, Merbabu dan lain-lain) hingga wilayah perairan, seperti misalnya di Bunaken, Wasur di Papua, Danau Sentarum dll. Kawasan hutan tersebut ditetapkan oleh pemerintah dan dikelola sesuai dengan fungsinya yang telah ditetapkan. Luas kawasan hutan terus merosot. Laporan terakhir dari Badan Planologi Kehutanan menyebutkan bahwa luas wilayah hutan mencapai 123,46 juta ha, yang dikelola untuk produksi kayu dan hasil hutan seluas 71,52 juta ha, untuk perlindungan tata air seluas 31,78 juta ha dan untuk konservasi flora, fauna endemik serta bentang alam spesifik seluas 23,60 juta ha (Arsyad, 2008). Sebagaimana diamanatkan di dalam UUD 1945, pemerintah memiliki mandat untuk mengelola hutan di Indonesia dan memberikan/ mendelegasikan hak pengelolaannya. Undang-undang Kehutanan yang baru tahun 1999 mengamanatkan pemerintah untuk melakukan desentralisasi urusan kehutanan dengan memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah kabupaten untuk mengurus pengelolaan hutan yang memiliki fungsi produksi dan fungsi lindung. Sedangkan urusan pengelolaan hutan konservasi masih berada pada pemerintah pusat. Ketentuan ini selaras dengan penataan kembali pemerintahan daerah yang dilakukan melalui UU no 32 dan UU no 33 tahun 2004, yang menggantikan UU no 25 dan UU no 27 tahun 1999. Seiring diberlakukannya kebijakan desentralisasi urusan pemerintahan, luas hutan di Indonesia dilaporkan semakin menipis dan kondisinya semakin merosot. Laju penurunan luas hutan yang dilaporkan oleh Departemen Kehutanan pada tahun 2002 mencapai 2,8 juta hektar hutan per tahun. Laju tersebut meningkat 50,5 % dibandingkan dengan tingkat deforestasi dalam periode 12 tahun yang terjadi pada tahun1986 s/d 1997, yang dilaporkan mencapai 1,86 juta hektar. Angka tersebut didukung oleh Forest Watch Indonesia dan Global Forest Watch (2000) yang melaporkan bahwa dalam kurun waktu 20 tahun laju deforestasi di Indonesia mencapai 2 juta ha/ tahun atau 2 kali lebih cepat dibandingkan dengan laju deforestrasi tahun 1980an. Penyebabnya adalah sistem politik dan ekonomi yang korup dengan menganggap sumber daya alam, khususnya hutan, sebagai sumber pendapatan yang dapat dieksploitasi untuk kepentingan politik dan keuntungan pribadi. Laju deforestasi yang paling tinggi terjadi di wilayah Sumatera dan Kalimantan, sehingga apabila tidak dilakukan upaya yang signifikan maka kedua pulau tersebut tidak akan memiliki hutan alam tropis lagi paska tahun 2012.
4
RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF 2010-2014
Hasil studi yang dilakukan oleh CIFOR melaporkan berbagai penyebab dari meningkatnya laju deforestasi di Indonesia. Selain sebagai akibat terjadinya ekonomi krisis di tahun 1997, meningkatnya laju deforestasi hutan terkait erat dengan reformasi politik dan desentralisasi urusan kehutanan yang mengakibatkan hutan di Indonesia semakin ter-fragmentasi dan rentan terhadap kebakaran. Penyebab utama menipisnya luas hutan berasal dari adanya konversi lahan dari kawasan yang diperuntukkan untuk kegiatan kehutanan menjadi kawasan non-kehutanan. Konversi paling tinggi adalah untuk keperluan pertanian dan perkebunan yang dilaporkan mencapai 8,2 juta ha hingga periode 1999/2000 tahun. Selain itu untuk pembangunan infrastruktur pengembangan daerah seperti pembuatan jalan baru yang menerobos kawasan hutan (lindung, konservasi dan produksi) dan memfasilitasi terjadinya pembukaan hutan lebih luas lagi. Kegiatan penebangan hutan untuk produksi kayu dan non-kayu yang melejit pada tahun 1992/1993 dengan produksi sekitar 28,2 juta m3, kebakaran hutan dan juga pemekaran pemerintahan daerah yang ditandai dengan terbentuknya propinsi baru, meningkatnya jumlah kabupaten dan pemerintahan daerah di tingkat desa. Di lain pihak peranan hutan semakin dirasakan pentingnya bagi masyarakat, yang ditandai dengan meningkatnya tutupan hutan di luar kawasan sebagai hutan rakyat, serta pembangunan hutan kota yang diamanatkan melalui PP 65 tahun 2003. Pendekatan manajemen lansekap dimaksudkan untuk menyelesaikan tiga issue utama yang menjadi tantangan bagi Departemen Kehutanan. Ketiga issue tersebut meliputi tata ruang, trade-offs tujuan manajemen hutan dan kepentingan para pihak, serta pelestarian sumberdaya hutan atau SFM. Dalam hubungannya dengan tata ruang, keberadaan hutan semakin terdesak dengan pesatnya pembangunan daerah dan pemekaran wilayah administrasi. Kegiatan pembangunan daerah bertumpu pada sektor-sektor yang menggunakan lahan, seperti pertanian dan perkebunan, pembuatan jalan serta pembangunan perumahan. Kegiatan tersebut menuntut adanya pelepasan lahan hutan untuk memenuhi kebutuhan pembangunan yang berorientasi sektoral. Akibatnya tata guna hutan yang alokasinya telah disepakati pada tahun 1986 ditinjau kembali dan diselaraskan dengan adanya tuntutan pembangunan daerah serta kebutuhan yang semakin berkembang. Manajemen lanskap hutan menjawab isue penataan ruang ini melalui optimasi pemanfaatan lahan hutan serta pembangunan model luas dan sebaran hutan minimal.
Manajemen Lanskap Hutan Berbasis DAS
5
Pemanfaatan hutan dihadapkan pada adanya trade-off berbagai interest, masa waktu serta tujuan pengelolaan. Kebutuhan masing-masing individu untuk memperoleh pangan, sandang dan papan seringkali berbenturan dengan kebutuhan kelompok yang menginginkan keselarasan, kebudayaan dan kenikmatan. Selain itu, kebutuhan makan yang harus dipenuhi masa kini, untuk waktu yang sesaat, seringkali berseberangan dengan adanya kebutuhan perlindungan ataupun konservasi yang sifatnya jangka panjang. Manajemen lanskap hutan diharapkan menjawab permasalahan ini melalui pengaturan kembali fungsi hutan serta distribusinya agar keberadaan hutan dapat dirasakan manfaatnya secara optimal. Kelestarian hutan tidak hanya ditentukan oleh pilihan sistem silvikultur yang digunakan tetapi juga ditentukan kekompakan fungsi hutan sebagai suatu kesatuan ekosistem. Melalui manajemen lansekap hutan karakteristik ekosistem dapat diidentifikasi serta diketahui faktor penentu kelestarian sumberdaya hutan.
IV. Hipotesis Hipotesis yang dibangun dalam penelitian ini adalah penataan ruang (pembangunan wilayah) dan penatagunaan hutan berbasis DAS akan mengurangi frekuensi terjadinya bencana banjir, erosi dan longsor dan mendukung penerapan pelaksanaan KPH.
V.
Tujuan dan Sasaran
Penelitian Integratif Manajemen Lansekap berbasis Daerah Aliran Sungai bertujuan untuk menyediakan strategi kebijakan bagi pengambil keputusan (Decision Support System, DSS) yang dapat dipakai untuk mempertahankan keberadaan hutan dan memperluas peran hutan, termasuk meningkatkan ketahanan (resiliensi) hutan terhadap perubahan iklim. Sasaran yang akan dicapai dari Penelitian Integratif Manajemen Lanskap Berbasis Daerah Aliran Sungai adalah : 1.
Tersedianya rekomendasi mengenai luas hutan optimal di dalam suatu wilayah DAS disertai dengan sebaran fungsi hutan yang mendukung pengelolaan hutan secara lestari 2. Tersedianya informasi mengenai interest para pihak ke dalam berbagai level manajemen dari tingkat operasional, wilayah hingga tingkat nasional
6
RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF 2010-2014
VI. Luaran Rencana Penelitian Integratif Manajemen Lanskap Berbasis Daerah Aliran Sungai diharapkan menghasilkan : 1.
Rekomendasi model penataan ruang dan penatagunaan hutan berbasis DAS sebagai dasar untuk menentukan luas hutan dan sebaran fungsi hutan yang optimal dalam penataan ruang wilayah 2. Rekomendasi model peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui perekonomian yang berwawasan lingkungan Luaran tersebut diharapkan dapat dipakai sebagai landasan untuk menerbitkan kebijakan untuk menentukan luas hutan optimal dan sebaran fungsinya di dalam wilayah DAS dan memberikan bahan pembelajaran untuk melakukan manajemen lanskap hutan.
VII. Ruang Lingkup Sebagai suatu alat perencanaan, pendekatan lanskap mencari hubungan aksi yang dilakukan di tingkat lapangan - di tingkat petani atau pengelola hutan - dengan tingkat lansekap atau ekosistem. Merujuk pada keberhasilan dan kegagalan pendekatan yang dilakukan berbasis sektor, lanskap menghasilkan pendekatan antar sektor dan terintegrasi sehingga secara langsung dapat berkontribusi terhadap pencapaian tujuan pembangunan yang telah disepakati guna memberantas kemiskinan dan menjamin terciptanya kelestarian lingkungan. Pengambilan keputusan di sektor sumberdaya alam beserta perencanaannya semakin banyak dipengaruhi oleh berbagai faktor. Pengambil keputusan dan perencana dengan demikian dituntut untuk membangun praktek dan menyesuaikan diri sesuai dengan isue yang berkembang. Desentralisasi dan pelimpahan otoritas untuk pengambilan keputusan di bidang perencanaan dan alokasi sumberdaya lahan dipandang sebagai salah satu solusi untuk mengatasi kemiskinan dan menciptakan tata pemerintahan yang baik. Keberhasilan perencanaan di tingkat komuniti seringkali menjadi lemah apabila dihadapkan pada isue lingkungan dan sosial ekonomi yang berada di luar jangkauan atau pengaruhnya. Hal ini menggarisbawahi semakin pentingnya pendekatan lanskap untuk menyelaraskan berbagai kepentingan dalam pemanfaatan sumberdaya alam yang seringkali saling bertentangan.
Manajemen Lanskap Hutan Berbasis DAS
7
Selaras dengan itu, CBD yang telah diratifikasi berbagai negara anggota menuntut peran pemerintah untuk menerapkan pendekatan berbasis ekosistem dalam merencanakan pengelolaan sumberdaya alam yang didasari dengan prinsip best practice yang harus dipedomani. Hal ini menuntut dilakukannya koordinasi antar sektor serta pengambilan keputusan yang dilakukan secara bertingkat – termasuk di tingkat lanskap dengan mengikutsertakan berbagai interest yang ada pada stakeholder – yang berimplikasi pada kompleksitas dan proses pelibatan multi-pihak. Implementasi praktis pendekatan lanskap meliputi penerapan proses integratif yang diadaptasi pada konteks lokal. Penerapan ini menuntut keahlian baru serta alat perencanaan yang kemungkinan berbeda dari praktek konvensional yang biasa kita lakukan.
VIII. Metode A. Kerangka Konseptual Manajemen lansekap merupakan konsep yang mempengaruhi bagaimana hutan dikelola secara luas. Terdapat empat dimensi yang menjadi pertimbangan dan dicerminkan di dalam pengambilan keputusan untuk mendorong dan melestarikan fungsi ekosistem disamping memberikan hasil barang dan jasa kepada masyarakat luas. Keempat dimensi tersebut mencakup aspek ekonomi, ekologi, teknologi dan sosial, yang diuraikan sebagai berikut. Aspek sosial: lahan, yang merupakan aspek manajemen merupakan properti, yang dimiliki suatu entitas yaitu masyarakat. Pengambil keputusan suatu lanskap yang dikelola adalah masyarakat. Konsekuensinya, publik menginginkan untuk terlibat, diikutsertakan dalam perencanaan penggunaan lahan dan penatagunaan lahan. Demikian juga dengan masyarakat, mereka memiliki hak sekaligus kewajiban dalampengelolaan lahan publik. Mengingat adanya intervensi terhadap hutan mempengaruhi masyarakat yang tinggal di dalamnya, dengan demikian keterlibatan masyarakat sangat esensial di dalam manajemen lanskap hutan. Peran publik dalam penggunaan sumberdaya sangat esensial dewasa ini. Melalui kelompok-kelompok tertentu, publik mendiskusikan dan mengkritisi penggunaan dan pemanfaatan sumberdaya, bagaimana pohon ditebang, spesies dilindungi serta regulasi dan kebijakan disusun menghadapi perubahan iklim. Pada umumnya perdebatan terpolarisasi pada dua kutub kategori penggunaan lahan, yaitu cut it down or lock it up artinya tebang atau pertahankan. Perdebatan tersebut mencakup nilai ekologi dengan
8
RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF 2010-2014
tanpa mengabaikan produksi untuk komoditas/tertentu. Tendensi yang ada bahwa publik menginginkan peran secara aktif di dalam tahap penyusunan rencana, dan keterlibatan publik tersebut akan membentuk model atau konsep manajemen ekosistem di masa yang akan datang. Aspek Ekonomi: Nilai ekonomi merupakan pembatas bagi setiap kegiatan, demikian juga halnya dengan MLH. Di dalam perencanaan, hasil hutan non-kayu mempengaruhi perolehan nilai ekonomi. Sebagai contoh, lahan hutan diperlukan juga untuk perlindungan biodiversitas, konservasi nasional dan rekreasi selain untuk produksi kayu. Selanjutnya, peningkatan kegiatan manajemen di tingkat lanskap akan berimplikasi menaikkan biaya manajemen dibandingkan dengan fokus pengelolaan pada kayu. Namun demikian, biaya yang dikeluarkan untuk memproduksi kayu, mengkonservasi habitat liaran, biodiversitas dan ekologi di dalam suatu hamparan bentang lansekap kemungkinan akan lebih murah apabila dilakukan secara terpisahpisah. Dengan adanya pengalihan lahan untuk tujuan perlindungan dan bukannya untuk produksi kayu yang dipasarkan akan mengurangi efisiensi, peningkatan biaya untuk memperoleh kayu dan substitusinya. Pengelolaan yang ditujukan untuk mendukung habitat yang beragam, di lain pihak penebangan dilakukan untuk menutup ongkos operasi dapat mengurangi biaya yang diperlukan untuk memproduksi kedua output tersebut. Aspek Ekologi: Tujuan utama dari manajemen hutan adalah untuk mempertahankan sekaligus melestarikan ekosistem yang sehat dan produktif. Di dalam pengelolaan, perspektif ekosistem mempertimbangkan perlunya merancang strategi manajemen alternatif yang sensitif terhadap keseimbangan berbagai komponen hutan. Komponen yang penyusun utamanya adalah organisme di dalam ekosistem hutan terorganisir secara hierarkis kedalam fungsi kelompok dan terikat terhadap proses yang kompleks melalui lingkungan fisiknya serta ikatan yang lainnya. Ekosistem memiliki tiga atribut, yaitu komposisi, struktur atau pola dan fungsi atau proses. Komposisi menunjukkan identitas serta keragaman elemen di dalam suatu kelompok yang meliputi keseluruhan jenis flora dan fauna. Struktur merupakan organisasi fisik suatu sistem. Secara khusus, struktur menunjuk pada pengaturan spasial dari adanya ‘patches’ dan hubungan keterkaitan yang ada di dalamnya. Fungsi tersebut meliputi proses ekologi dan evolutionary termasuk di dalamnya gene flow, disturbance dan siklus hara. Dengan kata lain, fungsi ekologi dikenali melalui capture (penangkapan), produksi, siklus, penyimpanan dan output dari sumberdaya tersebut. Elemen lain dari ekosistem yang mampu mewujudkan harmoni adalah hubungan atau interaksi yang ada pada karakteristik tersebut yang menjadikan sistem tersebut dinamis. Sebagai
Manajemen Lanskap Hutan Berbasis DAS
9
contoh, adanya fungsi tergantung pada struktur yang membentuknya. Dalam hal ini, pengaruh manusia pada seluruh karakteristik ekosistem yang perlu menjadi pertimbangan bagi para perencana. Dengan adanya deskripsi ekosistem seperti tersebut di atas, manajemen yang dilakukan untuk melestarikan karakteristik tersebut menjadi penting dan kompleks. Manajemen perlu memahami kompleksitas tersebut dan memberikan pengukuran secara kuantitatif terhadap karakteristik yang ada, serta menawarkan rancangan prosedur yang dapat dipakai untuk mempertahankan dinamika sistem dalam jangka waktu yang lama dengan tanpa mengorbankan keseimbangan ekosistem itu sendiri disamping mampu memenuhi kebutuhan masyarakat. Peluang inilah yang akhirnya ditangkap oleh paradigma manajemen lansekap. Manajemen lanskap berorientasi pada skala makro, dan bukannya pada individual species. Manajemen lanskap hutan menitikberatkan pada kompleksitas jejaring interaksi yang mempengaruhi kualitas udara, air, tanah, vegetasi, insect, hewan liar dan mikro-organisme. Teori hierarchy menyatakan ‘apabila unit di tingkat bawah berinteraksi dan menghasilkan perilaku yang lebih atas serta perilaku tersebut mengontrol yang ada di bawahnya maka perencanaan harus dilakukan pada skala yang lebih luas. Dengan demikian, pendekatan dalam skala luas –pada level lanskapmerupakan pilihan tunggal untuk mengelola keragaman hayati. Fokus manajemen lanskap hutan dengan demikian adalah struktur lanskap hutan, mosaik patches kondisi hutan yang bervariasi dalam hal isi (content) maupun skala nya, dilengkapi dengan kejadian alam (proses geomorphopic dan ekologi) serta adanya intervensi manusia. Aspek IPTEK: Akumulasi pengetahuan di bidang kehutanan mempengaruhi manajemen ekosistem hutan. Adanya perubahan tujuan dari suatu manajemen, filosofi dan proses yang ada mengakibatkan perubahan fundamental di kehutanan. Disiplin baru muncul, seperti misalnya ekologi lanskap, modeling tata ruang hutan, etika lingkungan, konservasi biologi secara keseluruhan membantu kedewasaan ide manajemen lanskap. Selain itu, terdapat juga perkembangan teknologi komputer untuk menangani permasalahan sumberdaya hutan yang terdapat dalam skala luas dan waktu yang lama. Guna menjamin nilai hutan secara lestari, para pengelola atau manajer memerlukan alat pengambil keputusan yang lebih baik serta database spasial yang komprehensif. Perkembangan Sistem Informasi Geografis (SIG) secara dramatis mampu meningkatkan kemampuan manajer sumberdaya serta para peneliti untuk mengumpulkan, menyimpan, mempertahankan, memanipulasi,
10
RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF 2010-2014
membangun model serta memonitor mosaik lanskap dengan menggunakan inventarisasi hutan digital. Monitoring hutan dapat dilakukan melalui remote sensing dengan resolusi yang tinggi, Geographic Positioning System (GPS) serta data yang diorganisir melalui GIS. Kemampuan tersebut mampu mengubah cakupan permasalahan kehutanan serta pertanyaan yang diajukan. Saat ini, dapat dikatakan mudah untuk melakukan klasifikasi spasial, menganalisis dan membangun model dan memantau adanya perubahan hutan dalam skala yang luas dengan berbagai atribut yang ada disamping mencermati hubungannya dengan nilai hasil hutan kayu dan non-kayu. Sangat memungkinkan saat ini untuk membangun strategi manajemen spasial dengan menerapkan teknik operational research seperti optimisasi, simulasi untuk memanipulasi pola spasial dengan cara pendugaan target pola lanskap dari waktu ke waktu. Dengan menguji adanya perubahan pola lanskap sebagai suatu aktivitas yang terencana maupun intervensi manusia dan atau kejadian alam, maka dinamika lanskap akan mudah dipahami. Penerapan GIS dikombinasikan dengan teknik penghitungan komputer lainnya seperti artificial intellegence dan remote sensing data ataupun analisis citra serta hasil inventarisasi memudahkan untuk mengelola jumlah data yang berlimpah. Di samping itu, proses pengambilan keputusan akan menjadi semakin berkualitas. Keadaan ini yang diinginkan bahwa manajemen lanskap akan menjadi operasional. Strategi kebijakan untuk mempertahankan keberadaan hutan, memperluas peranannya serta memperkuat kerentanannya terhadap perubahan iklim dapat dilakukan dengan cara menyusun model optimasi luas hutan dan mengintegrasikannya ke dalam perencanaan penggunaan hutan dalam suatu wilayah DAS. Kerangka konseptual yang disusun tersebut perlu dikomunikasikan ke berbagai lokasi penelitian yang terpilih. Komunikasi tersebut diperlukan untuk verifikasi jenis data yang diperlukan serta penyusunan rencana pengendalian penelitian di lapangan, termasuk monitoring data dan pelaporan progres penelitian. Sehubungan dengan itu maka kegiatan pengumpulan data lapangan sudah mulai dilakukan di awal tahun penelitian. Termasuk pengumpulan data untuk kegiatan. Kajian Lanskap hutan pada berbagai kondisi DAS dan Analisis persepsi multipihak terhadap lanskap hutan. Kegiatan penelitian Integrasi multi-strategi ke dalam multi-level manajemen lanskap dilakukan pada tahun ke 2 setelah tersedia data awal dari penelitian yang lain.
Manajemen Lanskap Hutan Berbasis DAS
11
B. Kerangka Analisis Manajemen lanskap hutan dilakukan melalui beberapa tahapan sebagai berikut: 1.
Memahami konteks, prinsip dan relevansi pendekatan tingkat lanskap bagi tata kelola sumberdaya alam saat ini; 2. Memahami bagaimana proses perencanaan di tingkat lanskap dapat dibangun serta bagaimana dapat difasilitasi; 3. Mengenali berbagai alat yang dipakai untuk menerapkan pendekatan tingkat lanskap dan berpengalaman dalam menerapkan serta mengadaptasinya sesuai dengan kondisi aktual; 4. Memahami peran pendekatan tingkat lanskap untuk memperbaiki pengambilan keputusan, pengelolaan secara berkelanjutan serta monitoring sumberdaya alam. Kerangka analisis yang dipakai di dalam penelitian manajemen lanskap meliputi analisis dinamika spasial penggunaan lanskap hutan yang dikombinasikan dengan dinamika sosial-ekonomi dan politik para pengguna lanskap hutan. Kombinasi analisis tersebut dapat dilakukan apabila tahapan penelitian tersebut dibawah dilaksanakan sesuai dengan rencana yang telah disusun. Secara keseluruhan analisis manajemen lanskap hutan dimaksudkan untuk menghasilkan model optimasi luas dan sebaran fungsi hutan di dalam suatu wilayah. Kegiatan dilaksanakan dengan tahapan sebagai berikut: 1.
Review status riset manajemen lanskap hutan, untuk menghasilkan kerangka konseptual Penelitian Integratif Manajemen Lanskap Hutan. 2. Analisis persepsi multipihak terhadap lanskap hutan dimaksudkan untuk menghasilkan model lanskap hutan berbasis persepsi para pihak. Kegiatan ini mencakup identifikasi persepsi multipihak tentang lanskap hutan dan identifikasi berbagai faktor yang mempengaruhi persepsi multipihak tentang lanskap hutan 3. Analisis paduserasi Tata Ruang Daerah dengan Tata Guna Hutan yang dimasudkan untuk mengetahui demand dan suplai lahan kehutanan untuk pembangunan daerah. Kegiatan ini dilakukan dengan pendekatan identifikasi faktor koheren dan sinergitas penggunaan ruang dan identifikasi faktor yang mempengaruhi alokasi dan penggunaan ruang 4. Sintesa dan analisa model spasial dinamis dan model sosial-ekonomi lansekap hutan.
12
RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF 2010-2014
IX. Instansi Pelaksana, Rencana Tata Waktu, dan Rencana Biaya Rencana Penelitian Integratif akan dilaksanakan untuk jangka waktu lima tahun, dimulai pada tahun 2010 dan diharapkan pada akhir tahun 2014 sudah dapat diperoleh hasil akhirnya. RPI ini meliputi lima kegiatan penelitian yang akan dilakukan secara simultan selama periode tersebut. Penelitian ini diawali dengan melakukan review status riset manajemen lanskap pada tahun 2010, mengingat pendekatan ini merupakan hal baru bagi kehutanan. Hasil review selanjutnya dipakai sebagai landasan untuk menyusun kerangka konseptual (conceptual framework) penelitian integratif manajemen lanskap hutan berbasis DAS. Selain itu juga dilakukan kegiatan analisis paduserasi tata ruang wilayah (daerah) dengan tata guna hutan. Kedua kegiatan tersebut hanya dilakukan selama satu tahun, yaitu di awal tahun penelitian 2010, mengingat informasi yang dihasilkan dari kedua kegiatan tersebut menjadi landasan untuk penyusunan kerangka konseptual yang selanjutnya akan diterapkan untuk pengumpulan data di lapangan. Kegiatan akan dilaksanakan oleh Puslitsosek dan instansi lingkup Badan Litbang Kehutanan. Instansi Pelaksana, Rencana Tata Waktu, dan Rencana Biaya tersaji dalam Tabel 1. Table 1. Instansi Pelaksana, Tata Waktu, dan Rencana Biaya KODE
Program/ RPI/ Luaran/ Kegiatan
PELAKSANA
TAHUN PELAKSANAAN 2010
2011
2012
2013
2014
Program 1 Lanskap 1
RPI 1 Manajemen Lanskap Hutan Berbasis DAS
1.1
Luaran 1 : Rekomendasi model penataan ruang dan penatagunaan hutan berbasis DAS sebagai dasar untuk menentukan luas hutan dan sebaran fungsi hutan yang optimal di dalam penataan ruang wilayah
1.1.1
Review status riset manajemen lanskap hutan
1.1.1.4 1.1.2
Puslitsosek
100
Kajian Lanskap Hutan pada berbagai kondisi DAS
1.1.2.4
Puslitsosek
100
100
1.1.2.11
BPK Ciamis
125
1.1.2.7
BPK Aek Nauli
125
1.1.2.9
BPK Palembang
125
1.1.2.13
BPK Mataram
125
100
Manajemen Lanskap Hutan Berbasis DAS
13
KODE 1.1.3
Program/ RPI/ Luaran/ Kegiatan
PELAKSANA
TAHUN PELAKSANAAN 2010
2011
2012
2013
2014
Analisis paduserasi Tata Ruang Daerah dengan Tata Guna Hutan
1.1.3.4
Puslitsosek
150
1.2
Luaran 2 : Rekomendasi model peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui pengembangan perekonomian yang berwawasan lingkungan
1.2.1
Analisis persepsi multipihak terhadap lanskap hutan
1.2.1.4
Puslitsosek
100
1.2.1.9
BPK Palembang
100
1.2.1.13
BPK Mataram
100
1.2.1.18
BPK Makasar
1.2.1.7
BPK Aek Nauli
100
1.2.1.12
BPK Solo
100
1.2.2
100
Integrasi multiple strategi ke dalam multi-level manajemen lanskap
1.2.2.4
Puslitsosek
100
1.2.2.12
BPK Solo
100
1.2.2.11
BPK Ciamis
1.2.2.7
BPK Aek Na Uli
100
1.2.2.9
BPK Palembang
100
TOTAL
X.
100 100
100
1000
750
400
Organisasi
RPI akan dikoordinasi oleh Puslitsosek, dengan koordinator Ir. Retno Maryani, MSc. Dalam pelaksanaannya akan melibatkan UPT Lingkup Badan Litbang Kehutanan, seperti BPK Aek Na Uli, BPK Solo, BPK Makasar, juga dengan instansi terkait lainnya. Koordinator akan dibantu Tim Koordinasi yang ditetapkan oleh Kepala Puslitsosek.
XI. Daftar Pustaka Anonimus. A hierarchical spatial framework for forest landscape planning. Ecological Modelling 182 (2005) 25-48. www.sciencedirect.com Food and Agricultural Organization (2007) State of the World Forest Jianguo Liu., Kalan Ickes., Peter S. Ashton., James V Lafrankie and Manokaran (1999). Spatial and Temporal Impacts of Adjacent Areas on the Dynamics of Species Diversity in a Primary Forests. In Spatial
14
RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF 2010-2014
Modeling of Forest Lanscape Change: approaches and applications. Cambridge University Press. Mladenoff, David.J., William Lawrence Baker (1999). Development of Forest and Modelling approaches. In Spatial Modeling of Forest Lanscape Change: approaches and applications. Cambridge University Press. Riiters, Kurt H., James D. Wickham and Timothy G Wade. An Indicator of Forest Dynamics Using a Shifting Landscape Mosaic. Ecological Indicators, Volume 9 Issue 1. January 2009, pages 107-117. Yanuariadi, Tetra (1999). Sustainable Land Allocation. GIS-based decision support for industrial forest plantation development in Indonesia. ITC Publication Series, No 71 (Dissertation No. 59). ISBN 90-6164-167-5. International Institute for Aerospace Survey and Earth Science (ITC). PO.Box.6, 7500 AA Enschede. The Netherlands.
XII. Kerangka Kerja Logis NARASI TUJUAN: Menyediakan strategi kebijakan (decission support system, dcs) untuk mempertahankan keberadaan hutan, memperluas peran hutan dan meningkatkan ketahanan hutan terhadap perubahan iklim.
INDIKATOR
ALAT VERIFIKASI
ASUMSI
Dihasilkannya rekomendasi yang dapat dipakai sebagai landasan pengambilan kebijakan untuk mempertahankan keberadaan hutan, memperluas peran hutan dan meningkatkan ketahanan hutan terhadap perubahan iklim.
Dokumen mengenai rekomendasi kebijakan untuk mempertahankan hutan yang dikemas dalam bentuk produk LHP, Publikasi Ilmiah, dan Policy brief
Tidak ada perubahan mendasar dalam hal kewenangan pemerintah untuk mengatur pengelolaan hutan (UU No. 41/1999) dan PP No.38/2007 Dukungan penuh dari pemerintah daerah yang mewakili tiga contoh DAS
Manajemen Lanskap Hutan Berbasis DAS
15
NARASI SASARAN: • Tersedianya rekomendasi mengenai luas hutan optimal di dalam suatu wilayah DAS disertai dengan sebaran fungsi hutan yang mendukung pengelolaan hutan secara lestari • Tersedianya informasi mengenai interest para pihak ke dalam berbagai level manajemen dari tingkat operasional/ lokal, wilayah hingga tingkat nasional
INDIKATOR
ALAT VERIFIKASI
ASUMSI
Telah dilaksanakannya penelitian penataan ruang dan penatagunaan hutan sesuai dengan karakteristik ekologi, ekonomi dan sosial yang mengutamakan daya dukung DAS
Sintesis hasil penelitian tentang peningkatan peran fungsi hutan dalam mempengaruhi iklim mikro, mengatur tata air dan melindungi keanekaragaman hayati.
Pemerintah Pusat dan Daerah memiliki komitmen kuat untuk melaksanakan pembangunan wilayahnya berbasis DAS dan berwawasan lingkungan
Sintesis hasil penelitian terkait dengan kegiatan perekonomian yang berwawasan lingkungan Sintesis hasil penelitian terkait dengan peranan hutan dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat LHP Policy Brief Publikasi
LUARAN: 1. Rekomendasi model penataan ruang dan penatagunaan hutan berbasis DAS sebagai dasar untuk menentukan luas hutan dan sebaran fungsi hutan yang optimal di dalam penataan ruang wilayah
16
Dilaksanakannya : 1) Review status riset manajemen lanskap, 2) Kajian lanskap pada berbagai kondisi DAS, 3) Analisis padu serasi tata ruang daerah dengan tata guna hutan
RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF 2010-2014
Dokumen LHP, Publikasi dan Policy Brief
Seluruh judul penelitian dapat dilaksanakan oleh para penanggung jawab
NARASI 2. Rekomendasi model peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui perekonomian yang berwawasan lingkungan
INDIKATOR
ALAT VERIFIKASI
ASUMSI
Dilaksanakannya penelitian : 1) Analisis persepsi multipihak terhadap lanskap hutan, 2) Integrasi multiple strategi ke dalam multi level manajemen lanskap
Dokumen LHP, Publikasi dan Policy Brief
Seluruh judul penelitian dapat dilaksanakan oleh para penanggung jawab
1.1. Review status riset manajemen lanskap hutan
Penelitian berhasil menemukan konsep penelitian integratif terkait manajemen lanskap hutan
Dokumentasi hasil penelitian, presentasi hasil penelitian dan publikasi hasil penelitian
Sumberdaya mendukung dan aksesibilitas ke berbagai perpustakaan dan publikasi mudah
1.2 Kajian lanskap hutan pada berbagai kondisi DAS
Penelitian berhasil: (1) menyusun karakteristik berbagai kondisi DAS; (2) mengidentifikasi sebaran luas dan fungsi hutan pada berbagai kondisi DAS; dan (3) menganalisi hubungan antara faktor sosialpolitik,ekonomi dan ekologi- biofisik yang mempengaruhi sebaran luas dan fungsi hutan pada berbagai kondisi DAS
Dokumentasi hasil penelitian, presentasi hasil penelitian dan publikasi hasil penelitian
Adanya dukungan penuh dari para pemangku kepentingan terkait dengan manajemen lanskap
1.3 Analisis Paduserasi Tata Ruang Daerah dengan Tata Guna Hutan
Penelitian berhasil: (i) menyusun pola paduserasi Tata Ruang dengan Tata Guna Hutan di tingkat nasional dan subnasional; dan (ii) menganalisis faktor sosial-politik, ekonomi dan ekologi/biofisik yang menentukan tercapainya paduserasi;
Dokumentasi hasil penelitian, presentasi hasil penelitian dan publikasi hasil penelitian
Pemerintah Pusat dan Daerah memiliki komitmen kuat untuk melaksanakan pembangunan wilayahnya berbasis DAS dan berwawasan lingkungan
KEGIATAN:
Manajemen Lanskap Hutan Berbasis DAS
17
NARASI
INDIKATOR
ALAT VERIFIKASI
ASUMSI
2.1. Analisis persepsi multipihak terhadap lanskap hutan
Penelitian berhasil: (1) mengidentifikasi pihak-pihak yang terkait dengan manajemen lanskap hutan; (2) menyusun persepsi multipihak dalam hubungannya dengan manajemen lanskap hutan; dan (3) menganalisis faktor sosial-politik, ekonomi yang mempengaruhi persepsi multipihak terhadap manajemen lanskap hutan
Dokumentasi hasil penelitian, presentasi hasil penelitian dan publikasi hasil penelitian
Pemerintah Pusat dan Daerah bersungguhsungguh melaksanakan pembangunan antar sektor di wilayahnya secara terpadu dan berwawasan lingkungan
2.2. Integrasi multiple strategi ke dalam multilevel manajemen lanskap hutan
Penelitian berhasil: (1) menyusun berbagai strategi di dalam manajemen lanskap hutan; (2) mengidentifikasi adanya berbagai level manajemen lanskap hutan; dan (3) membuat model integrasi multiple strategi ke dalam multi-level manajemen lanskap hutan
Dokumentasi hasil penelitian, presentasi hasil penelitian dan publikasi hasil penelitian
Tidak terjadi perubahan kebijakan Departemen Kehutanan yang secara drastis berpengaruh kepada arah penelitian
18
RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF 2010-2014
Pengembangan Hutan Kota/Lanskap Perkotaan
Pengembangan Hutan Kota/Lans Kota/Lanskap Perkotaan
i
ii
RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF 2010-2014
Lembar Pengesahan
Pengembangan Hutan Kota/Lanskap Perkotaan
iii
iv
RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF 2010-2014
Daftar Isi Lembar Pengesahan ................................................................................... iii Daftar Isi ....................................................................................................... v Daftar Gambar ............................................................................................ vi Daftar Tabel ............................................................................................... vii Daftar Singkatan ......................................................................................... ix I.
Abstrak ................................................................................................1
II.
Latar Belakang .................................................................................... 2
III.
Rumusan Masalah .............................................................................. 3
IV.
Tujuan dan Sasaran............................................................................. 4
V.
Luaran ................................................................................................. 4
VI.
Ruang Lingkup .................................................................................... 5
VII.
Metode ............................................................................................... 5
VIII. Instansi Pelaksana, Rencana Tata Waktu dan Rencana Biaya .......... 11 IX.
Organisasi ..........................................................................................12
X.
Daftar Pustaka ...................................................................................12
XI.
Kerangka Kerja Logis ........................................................................15
Pengembangan Hutan Kota/Lanskap Perkotaan
v
Daftar Gambar Gambar 1. Pengembangan jenis dan luas ekosistem ruang terbuka hijau menurut struktur dan fungsi dalam Hutan Kota (modifikasi dari Kartawinata dan Samsoedin, 2007) ................ 7 Gambar 2. Faktor sosial budaya dan ekonomi pemilihan jenis pohon dalam pengembangan Hutan Kota ........................................... 7
vi
RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF 2010-2014
Daftar Tabel Table 1. Metode Analisis RPI Pengembangan Hutan Kota/ Lanskap Perkotaan .......................................................................9 Table 2. Instansi Pelaksana, Tata Waktu dan Rencana Biaya ................... 11
Pengembangan Hutan Kota/Lanskap Perkotaan
vii
viii
RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF 2010-2014
Daftar Singkatan
ABRI
: Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
BBPD
: Balai Besar Penelitian Dipterokarpa
BPK
: Balai Penelitian Kehutanan
DSS
: Decision Support System
LHP
: Laporan Hasil Penelitian
RPI
: Rencana Penelitian Integratif
RTH
: Ruang Terbuka Hijau
RTRWN
: Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional
TAHURA : Taman hutan rakyat UI
: Universitas Indonesia
UPT
: Unit Pelaksana Teknis
Pengembangan Hutan Kota/Lanskap Perkotaan
ix
x
RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF 2010-2014
I.
ABSTRAK
Pembangunan fisik di perkotaan yang perencanaannya kurang memadai telah menyebabkan rusaknya lingkungan perkotaan. Kondisi ini diperparah oleh kegiatan ekonomi di sektor produksi maupun konsumsi yang menghasilkan limbah melebihi daya dukung lingkungan, sehingga ekosistem perkotaan tidak mampu lagi menampung dan mengolah limbah secara alami. Fakta yang kita lihat sekarang ini memperlihatkan kondisi lingkungan yang buruk berupa kerusakan hutan alam maupun hutan buatan termasuk rusaknya ekosistem di perkotaan. Oleh karena itu, keinginan untuk menyejahterakan masyarakat akan tercapai apabila dilakukan perubahan kebijakan yang juga memperhitungkan manfaat keberadaan sumberdaya alam termasuk sumberdaya genetik pohon-pohonan dan jasa lingkungan khususnya ekosistem di perkotaan. Ekosistem perkotaan termasuk dalam kategori ekosistem buatan. Contoh ekosistem yang selalu berinteraksi dengan ekosistem di perkotaan, antara lain, bendungan, danau/ situ, sempadan sungai, areal terbuka hijau, hutan tanaman, pekarangan, areal pemukiman, kawasan industri, jalan raya seperti jalan tol dan lain-lain. Prinsip pengembangan dan pengelolaan Hutan Kota untuk mencapai fungsinya adalah mengelola faktor lingkungan, sosial dan ekonomi. Dalam rangka tercapainya pembangunan dan pengembangan Hutan Kota di Indonesia, beberapa permasalahan mendasar yang teridentifikasi diantaranya, Rencana Induk Pembangunan Hutan Kota, pedoman dasar operasional pembangunan Hutan Kota, bencana banjir, masalah polusi udara, kontaminasi air tanah dan sungai serta sampah perkotaan. Promosi potensi sumberdaya genetik pohon-pohonan melalui upaya konservasi ex-situ pada ruang-ruang hijau di perkotaan, dan refungsionalisasi kawasan hijau, situ, danau, bantaran sungai sebagai daerah resapan air perlu dilakukan melalui pembangunan Hutan Kota dan ruang terbuka hijau yang terencana secara baik dan benar. Penelitian ini bertujuan menghasilkan data dan informasi serta IPTEK dalam rangka mendukung terciptanya keseimbangan lingkungan fisik (iklim mikro, kualitas udara, air dan radiasi) ekosistem perkotaan melalui pembangunan dan pengembangan Hutan Kota. Ruang lingkup kegiatan penelitian Pengembangan Hutan Kota/Lanskap Perkotaan tahun 2010-2014 adalah konservasi plasma nutfah pohon-pohonan, analisis kelembagaan dan peraturan pendukung, mencari komposisi jenis pohon sesuai dengan lokasi dan fungsi kawasan ruang terbuka hijau, pengembangan areal persemaian, model Hutan Kota di kawasan pemukiman, kawasan perkotaan, kawasan industri, bantaran sungai, situ dan bendungan, kajian nilai konservasi, ekonomi, jasa lingkungan, rekreasi dan estetika, Design Engineering Hutan Kota, dan pengembangan sistem pembangunan kawasan terbuka hijau baik di ekosistem hulu maupun ekosistem perkotaan. Melalui aktivitas di atas hasil yang diharapkan adalah rekomendasi kebijakan pengembangan hutan kota berbasis demografi, policy brief, laporan kajian dan hasil-hasil penelitian serta bahan
Pengembangan Hutan Kota/Lanskap Perkotaan
1
pembelajaran dalam rangka mendukung keberhasilan pengembangan hutan kota/lanskap perkotaan. Kata kunci: hutan kota, lanskap perkotaan, ekosistem, pengelolaan, sumberdaya genetik pohon-pohonan, konservasi tanah dan tata air.
II.
Latar Belakang
Pembangunan fisik di perkotaan yang diharapkan dapat mensejahterakan kehidupan manusia, dalam perkembangannya telah menimbulkan permasalahan tersendiri akibat perencanaan yang kurang memadai. Pertumbuhan penduduk serta pembangunan infrastruktur untuk mendukung kegiatan ekonomi di perkotaan menyebabkan terjadinya kerusakan lingkungan seperti hilangnya ruang terbuka hijau, rusaknya fungsi resapan air, polusi air dan udara. Tujuan pembangunan pada dasarnya adalah terwujudnya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Namun fakta yang kita lihat sekarang ini memperlihatkan kondisi lingkungan yang buruk berupa kerusakan hutan alam maupun hutan buatan termasuk rusaknya ekosistem di perkotaan. Citacita untuk mensejahterakan masyarakat akan tercapai apabila didukung oleh kebijakan yang mumpuni yang juga memperhitungkan manfaat keberadaan sumberdaya alam termasuk plasma nutfah pepohonan dan jasa lingkungan khususnya ekosistem di perkotaan sebagai sumber ekonomi tidak langsung. Upaya merevitalisasi ekosistem di perkotaan dapat dilakukan, antara lain, melalui pengembangan Hutan Kota/lanskap perkotaan. Ekosistem perkotaan termasuk dalam kategori buatan. Contoh ekosistem yang selalu berinteraksi dengan ekosistem di perkotaan, antara lain, bendungan yang serupa dengan ekosistem danau/situ, sempadan sungai, ruang terbuka hijau, ekosistem pekarangan, kawasan pemukiman, kawasan perkantoran, kawasan industri dan jalan raya termasuk jalan tol. Namun demikian, interaksi yang diharapkan tidak terjadi karena adanya kerusakan beberapa komponen ekosistem. Sebagai contoh, kawasan sekitar danau di Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi (Jabodetabek) yang jumlahnya ribuan pada umumnya mengalami kerusakan. Oleh karena itu, ekosistem danau perlu menjadi prioritas dalam pengelolaannya karena merupakan bagian dari lingkungan perkotaan yang berfungsi sebagai pengatur iklim dan banjir maupun sebagai tempat resapan air. Walaupun upaya untuk memperbaiki ekosistem di perkotaan telah banyak dilakukan, antara lain, dengan melakukan kegiatan penanaman di banyak lokasi di Jakarta (Gerakan Sejuta Pohon, Pembangunan Hutan Kota
2
RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF 2010-2014
Kampus UI Depok, Pembangunan Hutan Kota Eks Kawasan Kemayoran, Pembangunan Hutan Kota Mabes ABRI Cilangkap, Pembangunan Hutan Kota Bumi Perkemahan Cibubur dan pembangunan hutan kota di banyak tempat di Jabodetabek termasuk kegiatan konservasi alam berupa pengembangan koridor konservasi melalui penanaman pohon di kawasan jalan tol), koordinasi dengan pihak terkait dalam pengelolannya secara integratif perlu terus dilakukan. Kiprah dan partisipasi Badan Litbang Kehutanan dalam kegiatan pembangunan dan pengembangan Hutan Kota di Indonesia telah dimulai sejak tahun 1989, melalui penelitian, seminar di dalam dan luar negeri serta kerjasama dengan instansi terkait (Samsoedin et. al., 1989a, 1989b, Samsoedin dan Sutisna, 1990, Samsoedin, 1991; Samsoedin, 1992; Samsoedin dan Setyawati, 1993; Samsoedin dan Mogea, 1993; Samsoedin, 1994; Samsoedin, 1997a, Samsoedin, 1997b; Samsoedin et. al., 2006; Samsoedin, 2007a; 2007b; 2007c ). Namun secara aktif kegiatan ini dimulai lagi pada tahun 2006, antara lain, melalui dijalinnya kerjasama dengan Pemerintah Kota Padang dalam pembuatan Design Engineering Pembangunan Hutan Kota Malvinas seluas 20 hektar serta kerjasama dengan Pemerintah Kota Bogor dalam evaluasi keberadaan pepohonan di kawasan hijau. Kerjasama antara Departemen Kehutanan dan PU yang ditandatangani oleh kedua Menteri terkait pada tahun 2006 tentang Penghijauan di kawasan jalan tol juga merupakan langkah nyata dalam membangun RTH di sekitar perkotaan. Permasalahan ekosistem perkotaan yang demikian kompleks telah mendorong Badan Litbang Kehutanan untuk secara konsisten mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam rangka memperbaiki kerusakan ekosistem di perkotaan melalui kegiatan penelitian pengembangan hutan kota/lanskap perkotaan.
III. Rumusan Masalah Upaya-upaya mereduksi dampak negatif pembangunan fisik dan ekonomi perkotaan sudah banyak dilaksanakan oleh berbagai pihak (pemerintah, swasta, masyarakat). Salah satu upaya yang berdampak positif dalam mengatasi permasalahan ini adalah melalui pembangunan dan pengembangan hutan kota yang sejak tahun 2002 telah memiliki kekuatan hukum dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah No. 63 Tahun 2002 tentang Hutan Kota. Namun demikian dalam perjalanannya PP No. 63 ini belum berjalan dengan optimal. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dirumuskan pertanyaan-pertanyaan penelitian sebagai berikut:
Pengembangan Hutan Kota/Lanskap Perkotaan
3
1.
Apakah kebijakan dan peraturan perundang-undangan, khususnya PP. 63 tahun 2002 tentang Hutan Kota, dalam upaya perbaikan ekosistem perkotaan sudah cukup memadai dan sejauhmana upaya para pihak dalam melaksanakannya? 2. Seberapa jauh masyarakat menghargai hutan kota dan lanskap perkotaan dalam konteks pembangunan perkotaan? 3. Ilmu pengetahuan dan teknologi apakah yang diperlukan untuk membangun dan mengembangkan hutan kota/lanskap perkotaan?
IV. Tujuan dan Sasaran Tujuan penelitian adalah menghasilkan data dan informasi serta ilmu pengetahuan dan teknologi dalam rangka menyediakan strategi kebijakan (Decision Support System) pengembangan hutan kota/lanskap perkotaan dalam proses pengambilan keputusan. Sasaran yang akan dicapai adalah: 1.
Tersedianya rekomendasi terkait kebijakan pengembangan dan pengelolaan hutan kota 2. Tersedianya rekomendasi kebijakan pengembangan hutan kota berbasis demografi 3. Tersedianya rekomendasi tentang jenis-jenis pohon potensial untuk pengembangan hutan kota 4. Tersedianya rekomendasi bentuk ideal pengembangan zonasi fungsi hutan kota di daerah pantai (low laying coastal cities) dan daratan tertutup (Land lock)
V.
Luaran
Roadmap Penelitian dan Pengembangan Kehutanan 2010-2025 secara jelas memberi arahan bahwa hutan telah ditetapkan sebagai azas dari lanskap dan Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional (RTRWN) digunakan sebagai basis dalam arahan lanskap. Disamping itu, target per periode (phase) didasarkan pada urutan prioritas penanganan obyek, yaitu untuk pengembangan hutan kota/lanskap perkotaan diarahkan pada daerah perkotaan berdasarkan tingkat kepadatan penduduk dibagi ke dalam dua zona, yaitu daratan tertutup yang tidak mempunyai akses langsung ke laut (land locked cities) yang rentan terhadap perubahan iklim karena terkendala batas administratif pemerintahan wilayah di sekitarnya dan daerah perkotaan yang rentan terhadap perubahan iklim terutama dengan naiknya permukaan air laut, yaitu perkotaan dengan elevasi rendah yang berada di sepanjang pantai (low-laying coastal cities).
4
RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF 2010-2014
Luaran RPI Pengembangan Hutan Kota/Lanskap Perkotaan yang hendak dicapai dalam waktu lima tahun mendatang (kegiatan RPI tahun 2010-2014) adalah berupa: 1.
Hasil kajian dan rekomendasi tentang aspek kebijakan hutan kota/ lanskap perkotaan 2. Hasil kajian dan rekomendasi tentang aspek biofisik hutan kota/lanskap perkotaan Melalui dua luaran di atas diharapkan terwujudnya strategi pengembangan hutan kota/lanskap perkotaan yang diadopsi oleh pengguna.
VI. Ruang Lingkup Penelitian difokuskan pada upaya-upaya penyediaan ilmu dan teknologi pengembangan hutan kota/lanskap perkotaan dan pengembangan sistem kelembagaan yang mendukung kebijakan pengembangan hutan kota/lanskap perkotaan. Kegiatan penelitian didasarkan pada Road Map Penelitian dan Pengembangan Kehuanan 2010-2025, yaitu mencakup zonasi fungsi hutan kota di daerah pantai (low laying coastal cities) dan daratan tertutup (land lock).
VII. Metode A. Kerangka Konseptual 1.
Sejarah Hutan Kota
Sejarah Hutan Kota telah dimulai sekitar 15.000 tahun lalu ketika manusia di Timur Tengah dan Afrika Utara memulai kebiasaan hidup mereka secara menetap dengan melakukan kegiatan bercocok tanam di sepanjang sungai Tigris, Euphrates, Indus dan Nil yang subur (Miller, 1988). Peradaban manusia terus berlanjut di sepanjang sungai Nil dan sungai Euphrates dan mencapai puncaknya pada 3.000 tahun Sebelum Masehi pada saat dimulainya pembangunan piramid dan monumen-monumen lainnya. Potpot gantung (the hanging gardens) di kota Babylon dipercaya oleh para ahli sebagai awal dari penggunaan tanaman secara terencana (the intentional use of urban vegetation) (Miller, 1988). Di Indonesia, ornamen tanaman pada candi Borobudur yang dibangun oleh Dinasti Syailendra pada abad ke-8 merupakan bentuk sejarah pemanfaatan tanaman. Hutan Kota sebenarnya telah dimulai oleh nenek moyang kita pada saat itu. Mereka telah menanam pepohonan di sekitar
Pengembangan Hutan Kota/Lanskap Perkotaan
5
tempat tinggalnya untuk menopang kehidupan mereka sehari-hari. Penanaman pohon secara lebih teratur dimulai oleh bangsa Belanda yang mulai menjajah bangsa kita ketika mereka memasuki negeri ini pada tahun 1602. Bekas-bekas dari kegiatan mereka masih nampak sampai sekarang dengan masih terpeliharanya pohon-pohon besar di tepi jalan di kota Bogor, Bandung, Medan dan beberapa kota lainnya. Setelah merdeka, penanaman secara berkelompok dilakukan pemerintah pada saat menjadi tuan rumah Games of the New Emerging Forces atau yang kita kenal dengan Ganefo pada tahun 1963. Pepohonan yang ditanam di sekitar Gelora Senayan 43 tahun yang lalu masih dapat kita lihat disana. Namun demikian, secara resmi, pembangunan Hutan Kota dicanangkan oleh Pemerintah pada saat menjadi tuan rumah Kongres Kehutanan Sedunia ke-7 di Jakarta pada tahun 1978. Penanaman pohon oleh para peserta kongres di atas lahan 5 hektar di lingkungan Gedung Manggala Wanabakti menjadi patok sejarah dicanangkannya pembangunan Hutan Kota. Menurut PP No. 63 tahun 2002 Hutan Kota adalah suatu hamparan lahan yang bertumbuhan pohon-pohon yang kompak dan rapat di dalam wilayah perkotaan baik pada tanah negara maupun tanah hak, yang ditetapkan sebagai Hutan Kota oleh pejabat yang berwenang dengan tujuan untuk kelestarian, keserasian dan keseimbangan ekosistem perkotaan yang meliputi unsur lingkungan, sosial dan budaya. Dalam Bab I Pasal 3 disebutkan bahwa fungsi Hutan Kota adalah memperbaiki dan menjaga iklim mikro dan nilai estetika, meresapkan air, menciptakan keseimbangan dan keserasian lingkungan fisik kota dan mendukung pelestarian keanekaragaman hayati Indonesia. Kerusakan hutan yang diakibatkan oleh perladangan berpindah dan perambahan ilegal yang sering mengikuti kegiatan pembalakan dan kemudian diikuti oleh pembangunan perkebunan kelapa sawit umumnya terjadi di hutan pamah dipterokarpa Kalimantan dan Sumatera (Kartawinata dan Samsoedin, 2007). Melihat kenyataan terjadinya degradasi hutan alam yang begitu cepat, upaya-upaya penyelamatan sumberdaya genetik pohonpohonan harus secepat mungkin dilaksanakan. Dalam kasus ini Hutan Kota dapat berperan sebagai kawasan konservasi ex-situ bagi jenis-jenis pohon yang belum diketahui potensinya. Prinsip pengembangan dan pengelolaan Hutan Kota untuk mencapai fungsinya sebagai penunjang ekosistem perkotaan yang utama adalah sebagaimana terlihat pada Gambar 1. Faktor lingkungan, sosial budaya dan ekonomi dalam pemilihan jenis dalam pengembangan Hutan Kota disajikan dalam Gambar 2.
6
RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF 2010-2014
Fungsi Ekosistem PengayaanJenis
EkosistemRuang TerbukaHijau
PenggantianJenis Tanaman Jenis Tanaman& LuasAreal
Pemulihan Rehabilitasi Diterlantarkan Perkembangan EkosistemNormal LahanKritis,Terpolusi
StrukturEkosistem Kota
Terlantar
Gambar 1. Pengembangan jenis dan luas ekosistem ruang terbuka hijau menurut struktur dan fungsi dalam Hutan Kota (modifikasi dari Kartawinata dan Samsoedin, 2007)
Kendala Lingkungan Edafik Iklim Phisiografik Biologis
Faktor Tempat
Seleksi Jenis
Kendala Kultural Struktur Penutup Lahan Polusi Utilities Faktor Sosial Estetika Fungsi Eksternal Negatif
Faktor Ekonomi Biaya Pembangunan Biaya Pemeliharaan Biaya Pengangkutan
Gambar 2. Faktor sosial budaya dan ekonomi pemilihan jenis pohon dalam pengembangan Hutan Kota
Pengembangan Hutan Kota/Lanskap Perkotaan
7
2. Lanskap perkotaan. Lanskap dapat diartikan sebagai tata ruang atau bentang alam yang di dalamnya terdiri dari berbagai kegiatan baik yang berjalan secara alami maupun bentuk kegiatan yang dipengaruhi oleh kegiatan manusia. Oleh karena itu, proses kegiatan di dalam lanskap akan selalu berhubungan dengan proses sosial ekonomi dan ekologi atau yang dikenal dengan ekologi lanskap. Ekologi lanskap merupakan ilmu baru yang baru dikembangkan di negara-negara Eropa setelah Perang Dunia II. Perkembangan ekologi lanskap berjalan secara progresif, dinamis dan merupakan proses global yang berhubungan dengan ilmu ekologi dan berkaitan erat dengan berbagai disiplin ilmu seperti geografi, botani, zoologi, animal behaviour dan arsitektur lanskap (Farina, 1998). Menurut Daryadi et.al. (2002), sejalan dengan berjalannya waktu, lanskap secara terus menerus berubah. Perubahan ini merupakan bagian dari proses evolusi. Namun demikian, perubahan atau degradasi lanskap bisa lebih cepat terjadi karena aktivitas manusia yang menjadikan perubahan amat berbeda bila dibandingkan dengan perubahan pada lanskap karena gangguan alam. Perkembangan atau perubahan lanskap dapat dibedakan ke dalam lima tipe (Forman dan Gordon (1986) dalam Daryadi et.al. 2002) sebagai berikut: 1. 2. 3.
4. 5.
8
Lanskap alamiah (perkembangan/perubahan terjadi karena alam bukan manusia) Lanskap pengelolaan (perkembangan/perubahan terjadi karena missmanagement misal buruknya sistem pengelolaan hutan produksi) Lanskap budidaya (perkembangan/perubahan terjadi karena budidaya usaha tani yang terkait erat dengan pengembangan wilayah dan transportasi. Proses perubahan lanskap budidaya terjadi melalui tiga tahap, yaitu: usaha tani tradisional, kombinasi tradisional dan moderen dan moderen yang pada perkembangannya menghasilkan bentukbentuk pemukiman terpencar, kemudian berkelompok dan akhirnya menyatu menjadi pedesaan dan perkotaan. Lanskap pedesaan (perkembangan/perubahan terjadi karena adanya kegiatan manusia, antara lain, kebun dan pekarangan). Lanskap perkotaan Lanskap perkotaan terbentuk karena adanya perubahan struktur lanskap alamiah yang terdegradasi menjadi bentuk alam perkotaan akibat aktivitas manusia.
RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF 2010-2014
Lingkungan di perkotaan sebagai penyangga kehidupan mahluk hidup khususnya manusia terdiri dari berbagai ekosistem. Sastrapradja et al., (1989) mengklasifikasi ekosistem di Indonesia menjadi empat kelompok ekosistem utama, yaitu: ekosistem bahari, ekosistem darat alami, ekosistem suksesi dan ekosistem buatan. Ekosistem perkotaan termasuk dalam kategori buatan. Contoh ekosistem yang selalu berinteraksi dengan ekosistem di perkotaan, antara lain, bendungan yang serupa dengan ekosistem danau/situ, sempadan sungai, ruang terbuka hijau, ekosistem pekarangan, kawasan pemukiman, kawasan perkantoran, kawasan industri dan jalan raya seperti jalan tol.
B. Metode Analisis Metode analisis untuk masing-masing luaran dipaparkan pada Tabel 1. Table 1. Metode Analisis RPI Pengembangan Hutan Kota/Lanskap Perkotaan Kegiatan
Metode Analisis
1. Kajian kebijakan pengembangan dan pengelolaan hutan kota
Penelitian akan dilaksanakan dengan : • Analisis dokumen • Analisis stakehoders • Lokakarya atau focus group discussion • Analisis sistem pengelolaan Hutan Kota yang •ada serta partisipasi masyarakat di perkotaan • Analisis ekosistem hutan di perkotaan yang dilaksanakan dengan metode valuasi sumberdaya hutan yang sudah dikembangkan • Analisis strategi alih teknologi dilakukan dengan menggunakan pendekatan kelayakan ekonomi, lingkungan dan sosial
2. Kajian peran faktor demografi dalam hubungannya dengan pengembangan hutan kota/ lanskap perkotaan
Penelitian akan dilaksanakan melalui: • Kajian faktor biofisik • Analisis model hutan kota yang ada saat ini dan telah ditetapkan oleh pemerintah setempat • Analisis peran masyarakat dalam pengembangan hutan kota/lanskap perkotaan
Pengembangan Hutan Kota/Lanskap Perkotaan
9
Kegiatan
Metode Analisis
3. Kajian jenis pohon potensial untuk pengembangan hutan kota
• Inventarisasi jenis-jenis pohon di perkotaan dalam rangka mengidentifikasi jenis-jenis pohon yang sesuai dengan pola Hutan Kota yang akan dikembangkan • Parameter pohon yang diukur: (1) Diameter dan tinggi pohon (2) Model tajuk, bentuk daun, bentuk cabang dan bentuk batang (3) Kondisi pohon (4) Daya tumbuh di lahan kritis atau lahan terpolusi dan lahan dengan keadaan air tanah tinggi (situ dan bantaran sungai) (5) Fenologi pohon (buah dan bunga)
4. Kajian pengembangan zonasi fungsi hutan kota daerah pantai dan daratan tertutup
• Analisis jenis-jenis pohon di daerah pantai dan daratan • Analisis tipe ekosistem (alam dan binaan) di kawasan pantai dan daratan
C. Rencana Lokasi Lokasi yang dipilih untuk pelaksanan kegiatan RPI adalah ibukota propinsi yang pertumbuhan penduduknya meningkat dengan tajam dari tahun ke tahun. Selain pertumbuhan penduduk, pertimbangan dipilihnya kota-kota di atas adalah karena kota-kota tersebut merupakan urat nadi dalam menunjang pertumbuhan ekonomi negara sehingga perlu diupayakan keseimbangan lingkungannya. Kota-kota yang dipilih adalah kawasan hilir Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi (Jabodetabek), kawasan hulu Bopuncur (Bogor-Puncak-Cianjur), Bandung, Padang, Medan, Samarinda, Makasar, Mataram dan Denpasar, meliputi Hutan Kota, taman kota, arboretum, kebun raya, kebun percobaan, kebun koleksi, kebun botani, TAHURA (taman hutan rakyat), pohon tepi jalan, taman kota, lapangan golf, kawasan industri, kawasan pemukiman, kawasan perkantoran, sempadan sungai, bantaran kereta api, kolong jembatan, jalan layang, jalan tol, saluran listrik tegangan tinggi, kawasan sekitar danau,waduk, rawa, zona penyangga, perkebunan, perladangan, persawahan, pertanian dan kawasan pantai.
10
RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF 2010-2014
VIII. Instansi Pelaksana, Rencana Tata Waktu dan Rencana Biaya Waktu penelitian RPI adalah 5 tahun (2010-2014) dan rencana tata waktu pelaksanaan kegiatan penelitian pengembangan hutan kota/lanskap perkotaan yang akan dilaksanakan oleh Puslitsosek dan UPT litbang Kehutanan di daerah dapat dilihat pada Tabel 2. Table 2. Instansi Pelaksana, Tata Waktu dan Rencana Biaya
Kode
TEMA/RPI / LUARAN / KEGIATAN
PELAKSANA
TAHUN PELAKSANAAN / ANGGARAN (juta Rupiah) 2010 2011
2012 2013 2014
TEMA 7 LANSKAP HUTAN
2
Pengembangan Hutan Kota/Lanskap Perkotaan
2.1
Luaran 1 : Hasil kajian dan rekomendasi tentang aspek kebijakan hutan kota/ lanskap perkotaan
2.1.1
Kajian kebijakan pengembangan dan pengelolaan hutan kota
2.1.1.4
Puslitsosek
100
150
2.1.1.7
BPK Aek Nauli
2.1.1.18
BPK Makasar
2.1.1.11
BPK Ciamis
100
2.1.1.6
BBPD Samarinda
100
100
100
100 100
2.2
Luaran 2 : Hasil kajian dan rekomendasi tentang aspek biofisik hutan kota/ lanskap perkotaan
2.2.1
Kajian peran faktor demografi dalam hubungannya dengan pengembangan hutan kota
2.2.1.4
Puslitsosek
2.2.1.7
BPK Aek Nauli
2.2.1.9
BPK Palembang
2.2.1.18
BPK Makasar
2.2.1.11
BPK Ciamis
2.2.2
150
100
100
100
100 100 100 100
100
Kajian jenis pohon potensial untuk pengembangan hutan kota
2.2.2.4
Puslitsosek
2.2.2.7
BPK Aek Nauli
2.2.2.9
BPK Palembang
150
150
150
150
150 150
Pengembangan Hutan Kota/Lanskap Perkotaan
11
Kode
TEMA/RPI / LUARAN / KEGIATAN
2.2.2.18
PELAKSANA
2010 2011
2012 2013 2014
BPK Makasar
2.2.2.11
BPK Ciamis
2.2.2.6
BBPD Samarinda
2.2.3
TAHUN PELAKSANAAN / ANGGARAN (juta Rupiah) 150 150 150
Kajian pengembangan zonasi fungsi hutan kota daerah pantai dan daratan tertutup
2.2.3.4
Puslitsosek
2.2.3.7
BPK Aek Nauli
2.2.3.9
BPK Palembang
2.2.3.18
BPK Makasar
2.2.3.11
BPK Ciamis
2.2.3.6
BBPD Samarinda TOTAL ANGGARAN
100
100
100
100
100 100 100 100 100 200
1350
900 1050
550
IX. Organisasi Penelitian ini akan dilaksanakan dibawah koordinasi Puslitsosek dengan melibatkan instansi terkait lingkup Badan Litbang Kehutanan seperti BPK Aek Nauli, BPK Palembang, BPK Makasar, BPK Ciamis dan BBP Dipterokarpa Samarinda. Jika diperlukan, outsourcing dari instansi terkait lainnya dapat dilakukan. Penentuan koordinator RPI ditetapkan berdasarkan keputusan Kepala Badan Litbang Kehutanan, sedangkan tim koordinasi akan ditetapkan oleh Kepala Pusat.
X.
Daftar Pustaka
Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. 2009. ROADMAP Penelitian dan Pengembangan Kehutanan 2010-2025. Departemen Kehutanan. Daryadi, L., Q.A.B. Priarso, T.S. Rostian dan E. Wahyuningsih. 2002. Konservasi Lanskap. Alam, Lingkungan dan Pembangunan. Penerbit: Perhimpunan Kebun Binatang Se-Indonesia/Indonesian Zoological Parks Association.
12
RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF 2010-2014
Farina, A. 1998. Principles and Methods in Landscape Ecology. Chapman and Hall. London-Weinheim-New York-Tokyo-Melbourne-Madras. Forman, R.T.T. and M. Gordon. 1986. Landscape Ecology. John Wiley&Son. Inc. Kartawinata, K. dan I. Samsoedin. 2007. Rehabilitasi Lahan Hutan Rusak dan Pemulihan Ekosistem di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Miller, R. W. 1988. Urban Forestry: Planning and Managing Urban Greenspaces. Prentice Hall, aglewood Cliffs, New Jersey 07632. Samsoedin, I., J.P Mogea and O. Satjapraja. 1989a. Potential Forest Plants for Ornamental Purposes. Flower Cultivation and Bussiness Seminar. Jakarta, 12-13 June. Samsoedin, I.,S. Riswan and Y. Jafarsidik. 1989b. Endangered Plant Species with Emphases on Economic Tree Species. Asean Workshop. Bogor, 20-21 June. Samsoedin, I. dan U. Sutisna. 1990. Prospek Pengembangan Jenis Pohon Serba Guna. Prosiding Seminar Nasional Penelitian dan Pengembangan Jenis-Jenis Pohon Serba Guna. Kerjasama Badan Litbang KerhutananDepartemen Kehutanan dengan F/Fred Project Winrock International. Bogor, 19-20 Juni. Samsoedin, I., 1991. The Role of Trees in an Urban Area in Indonesia. School of Agricultural and Forest Sciences. University of Wales, Bangor, Gwynedd LL 572 UW, United Kingdom (unpublished). Samsoedin, I., 1992. Structural Damage Caused by Tree Roots in the London Area. School of Agricultural and Forest Sciences, University of Wales, Bangor, Gwynedd LL 572 UW, United Kingdom. MSc, Thesis. (Unpublished). Samsoedin, I. and T. Setyawati. 1993. Urban Forestry and It’s Role in Conserving Biodiversity: The Case of Jakarta. Tropical Environmental Management Workshop, Biodiversity for Sustainable Development in Southeast Asia. Dumoga Bone National Park. Toraut, North Sulawesi. February 6-18. p.24. Samsoedin, I. and J.P. Mogea. 1993. Ex-situ Biodiversity Conservation in Some Urban Areas in Indonesia. XV International Botanical Congress, Yokohama, Japan. August 28-September 3. Samsoedin, I. 1994. Toraut Arboretum, A Proposed Site for Biodiversity Ex-situ Conservation and Sustainable Development for Wallace Area. Wallace Development Institute, Jakarta. Serpong, 6-9 june.
Pengembangan Hutan Kota/Lanskap Perkotaan
13
Samsoedin, I. 1997a. Potential Indigenous Plants for Urban Areas. Paper Presented on the Workshop on Biodiversity, FRIM, Kuala Lumpur, Malaysia. 27-28 November. Samsoedin, I. 1997b. Studi potensi jenis-jenis pohon Indonesia untuk daerah perkotaan. Hal 183-188. Dalam. Prosiding Diskusi Hasil-hasil Penelitian. Penerapan hasil Litbang Konservasi Sumberdaya Alam (KSDA) untuk Mendukung Pengelolaan Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Diterbitkan oleh: P3HKA, Bogor 20-21 Maret. 193 hal. Samsoedin, I., E. Subiandono, dan M. Bismark. 2006. Pembangunan dan Pengelolaan Hutan Kota. Paper dipresentasikan pada diskusi GETEK, Padang. Samsoedin, I. 2007a. Sejarah perkembangan hutan kota di Indonesia dan fondasi hukumnya. Kelompok Peneliti Konservasi Sumberdaya Alam. Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam. (Unpublished). Samsoedin, I. 2007b. The ‘bush’ city of Bogor. Kelompok Peneliti Konservasi Sumberdaya Alam. Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam. (Unpublished). Samsoedin, I. 2007c. Sekelumit tentang kota Bogor dan pepohonannya. Kelompok Peneliti Konservasi Sumberdaya Alam. Puslitbang Hutan dan Konservasi Alam. (Unpublished). Sastrapradja, D.S., S. Adisoemarto, K. Kartawinata, S. Sastrapradja dan M. A. Rifai. 1989. Keanekaragaman Hayati untuk Kelangsungan Hidup Manusia. Pusat Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi-LIPI. Bogor. Whitmore, T.C and I. Samsoedin. 1993. Description of Forest Types of The Bukit Tigapuluh Area. p.25 – 27. In: Rain Forest and Resource Management. Proceedings of the Norindra Seminar, Jakarta, 25 – 26 May. p.233.
14
RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF 2010-2014
XI. Kerangka Kerja Logis No
Narasi
1
Tujuan: Menghasilkan data dan informasi serta ilmu pengetahuan dan teknologi dalam rangka menyediakan strategi kebijakan (Decision Support System) pengembangan hutan kota/lanskap perkotaan dalam proses pengambilan keputusan
2
Indikator
Alat Verifikasi
Asumsi
Dihasilkannya rekomendasi strategi pengembangan hutan kota/ lanskap
Dokumen mengenai : • Rekomendasi kebijakan pengembangan hutan kota berbasis demografi • Petunjuk teknis revitalisasi ekosistem hutan di perkotaan • Informasi tentang teknologi revitalisasi ekosistem hutan di perkotaan yang dikemas dalam LHP, Publikasi. Policy Brief
• Pemerintah (Propinsi dan Kota/ Kabupaten) mendukung program pembangunan hutan di perkotaan • Ada kepastian kawasan/ lanskap perkotaan.
• Telah dilaksanakannya kegiatan penelitian terkait sistem pengelolaan dan ekosistem hutan kota dalam implementasi PP 63 tahun 2002
• LHP dan policy brief tentang PP 63 Tahun 2002 tentang Hutan Kota
Tersedianya hasil-hasil penelitian yang dapat digunakan sebagai dasar dalam membuat kebijakan pengembangan hutan kota/ lanskap perkotaan
2. Tersedianya • Telah dilaksanakannya rekomendasi kebijakan kegiatan penelitian pengembangan terkait kebijakan pengembangan hutan kota berbasis demografi hutan kota berbasis demografi
• Sintesis hasil penelitian, publikasi dan policy brief tentang kebijakan pengembangan hutan kota berbasis demografi
Sasaran 1. Tersedianya rekomendasi terkait kebijakan pengembangan dan pengelolaan hutan kota
Pengembangan Hutan Kota/Lanskap Perkotaan
15
No
3
Narasi
Alat Verifikasi
3. Tersedianya rekomendasi tentang jenisjenis pohon potensial untuk pengembangan hutan kota
• Dilaksanakannya penelitian terkait dengan jenisjenis pohon potensial untuk pengembangan hutan kota
4. Tersedianya rekomendasi bentuk ideal pengembangan zonasi fungsi hutan kota di daerah pantai (low laying coastal cities) dan daratan tertutup (Land lock)
• Pembahasan • Dilaksanakannya hasil-hasil kegiatan penelitian penelitian terkait dengan bentuk di tingkat Badan Litbang pengembangan zonasi fungsi hutan Kehutanan kota di daerah pantai dan daratan tertutup
Asumsi
• LHP, policy brief, publikasi tentang fungsi hutan kota di daerah pantai dan daratan tertutup
Luaran: 1. Hasil kajian dan rekomendasi tentang aspek kebijakan hutan kota/lanskap perkotaan
2.
16
Indikator
Hasil kajian dan rekomendasi tentang aspek biofisik hutan kota/lanskap perkotaan
Dilaksanakannya penelitian tentang aspek kebijakan pengelolaan dan pengembangan hutan kota
Dilaksanakannya penelitian : 1) Kajian peran faktor demografi dalam hubungannya dengan pengembangan hutan kota/hutan kota, 2). Kajian jenis potensial untuk pengembangan hutan kota, 3) Kajian pengembangan zonasi fungsi hutan kota daerah pantai dan daratan tertutup
RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF 2010-2014
• Dokumen sintesis, LHP, publikasi dan policy brief
• Dokumen sintesis, LHP, publikasi ilmiah dan semipopuler, policy brief, buku mengenai jenis-jenis pohon untuk pengembangan hutan kota yang dilengkapi dengan deskripsi, gambar dan lain-lain.
• Sumberdaya penelitian tercukupi. • Seluruh judul penelitian dapat dilaksanakan dengan baik oleh para pelaksana. • Data sudah lengkap dan valid.
No
Narasi
Indikator
Alat Verifikasi
Asumsi
• Demplot model hutan kota yang dilengkapi dengan koleksi jenis-jenis pohon potensial kurang dikenal. 4
Kegiatan: 1.1 Kajian kebijakan pengembangan dan pengelolaan hutan kota
• Dokumen hasil • Penelitian dapat penelitian, memberikan informasi tentang publikasi hasil status terkini IPTEK penelitian, dan peraturan presentasi hasil penelitian perundang-undangan • Bahan terkait dengan pengembangan pembelajaran ekosistem hutan di untuk perkotaan pengembangan hutan kota/ lanskap perkotaan
• Penelitian berlangsung sesuai RPTP. • Tidak ada kendala teknis. • Koordinasi berlangsung secara baik.
• Penelitian dapat • Dokumen hasil 2.1. Kajian peran penelitian, memberikan faktor informasi untuk publikasi hasil demografi dalam penelitian, penyusunan hubungannya kebijakan sosialisasi presentasi hasil dengan penelitian pengembangan revitalisasi ekosistem hutan di perkotaan hutan kota/ lanskap perkotaan 2.2. Kajian jenis pohon potensial untuk pengembangan hutan kota
• Penelitian dapat memberikan informasi kemampuan jenisjenis pohon dalam menyerap dan menyerap polutan.
• Dokumen hasil penelitian, publikasi hasil penelitian, presentasi hasil penelitian
Pengembangan Hutan Kota/Lanskap Perkotaan
17
No
Narasi
Indikator • Penelitian dapat memberikan informasi dan persyaratan teknis pembangunan dan pengelolaan jenis-jenis pohon untuk kawasan perkotaan; taman, jalur ruang terbuka hijau, kawasan pemukiman, kawasan industri, bantaran sungai, kebun dan pekarangan.
2.3. Kajian pengembangan zonasi fungsi hutan kota daerah pantai dan daratan tertutup
18
• Penelitian dapat memberikan informasi tentang potensi dan nilai ekologis ruang terbuka hijau di perkotaan, serta dapat menjawab permasalahan dalam mewujudkan Hutan Kota yang sesuai fungsinya.
RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF 2010-2014
Alat Verifikasi • Dokumen hasil penelitian, publikasi hasil penelitian, presentasi hasil penelitian
Asumsi
Ekonomi dan Kebijakan Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi
Ekonomi dan Kebijakan Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi
i
ii
RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF 2010-2014
Lembar Pengesahan
Ekonomi dan Kebijakan Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi
iii
iv
RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF 2010-2014
Daftar Isi Lembar Pengesahan ................................................................................... iii Daftar Isi ....................................................................................................... v Daftar Gambar ............................................................................................ vi Daftar Tabel ............................................................................................... vii Daftar Singkatan ......................................................................................... ix I.
Abstrak ................................................................................................1
II.
Latar Belakang .................................................................................... 2
III.
Rumusan Masalah .............................................................................. 4
IV.
Hipotesis ............................................................................................. 5
V.
Tujuan dan Sasaran............................................................................. 5
VI.
Luaran ................................................................................................6
VII.
Ruang Lingkup ....................................................................................6
VIII. Metode ............................................................................................... 7 IX.
Instansi Pelaksana, Rencana Tata Waktu dan Rencana Biaya ...........9
X.
Organisasi .......................................................................................... 11
XI.
Daftar Pustaka ................................................................................... 11
XII.
Kerangka Kerja Logis .........................................................................13
Ekonomi dan Kebijakan Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi
v
Daftar Gambar Gambar 1. Infrastruktur yang Diperlukan REDD (MoF, 2008) ................... 7 Gambar 2. Kerangka Pikir Riset Integratif .................................................8 Gambar 3. Metode Analisis Penelitian........................................................9
vi
RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF 2010-2014
Daftar Tabel Table 1. Matriks instansi pelaksana, tata waktu dan rencana biaya penelitian ................................................................................... 10
Ekonomi dan Kebijakan Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi
vii
viii
RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF 2010-2014
Daftar Singkatan
BBPD
: Balai Besar Penelitian Dipterokarpa
BPHPS
: Balai Penelitian Hutan Penghasil Serat
BPK
: Balai Penelitian Kehutanan
BUMN
: Badan Usaha Milik Negara
CIFOR
: Center for International Forestry Research
COP
: Conference of the Parties
GDP
: Gross domestic product
GRK
: Gas rumah kaca
ICRAF
: International Centre for Research in Agroforestry
Iptek
: Ilmu Pengetahuan dan Teknologi
LHP
: Laporan Hasil Penelitian
LSM
: Lembaga Swadaya Masyarakat
MoF
: Ministry of Forestry
PHL
: Pengelolaan Hutan Lestari
REDD
: Reducing Emission from Deforestation and Degradation
RPTP
: Rencana Penelitian Tim Peneliti
SBSTA
: Subsidiary Body for Scientific and Technological Advice
SDM
: Sumberdaya manusia
UNFCCC : United Nations Framework Convention on Climate Change UPT
: Unit Pelaksana Teknis
Ekonomi dan Kebijakan Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi
ix
x
RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF 2010-2014
I.
ABSTRAK
Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (Reducing Emission from Deforestation and Degradation, REDD) merupakan suatu upaya untuk mengatasi masalah perubahan iklim. Hal ini karena semua negara yang sudah meratifikasi kesepakatan kerangka kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perubahan Iklim mempunyai kewajiban untuk mengatasi perubahan iklim berdasarkan prinsip permasalahan bersama dengan tanggung jawab berbeda (common but differentiated responsibilities). REDD ini merupakan mekanisme internasional yang dimaksudkan untuk memberikan insentif positif bagi negara berkembang yang berhasil mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan. Untuk mengetahui upaya yang diperlukan untuk mengatasi masalah perubahan iklim tanpa mengurangi tujuan pembangunan lokal dan nasional diperlukan dukungan penelitian yang integratif mencakup aspek sosial, ekonomi, kebijakan. Dukungan penelitian ini diperlukan mulai dari tahap persiapan, sampai tahap pelaksanaan untuk mencapai keberhasilan mekanisme REDD. Beberapa metode analisis yang berbeda akan digunakan untuk mempelajari dan memahami aspek yang berbeda-beda, diantaranya adalah analisis kelembagaan, analisis sistem, analisis biaya manfaat dan lain-lain. Penelitian yang akan dilakukan ditujukan untuk menjawab pertanyaan terkait REDD dan REDD plus yaitu, bagaimana: (i) meningkatkan kapasitas hutan dalam penyerapan dan penyimpanan carbon, (ii) mempertahankan stok carbon, dan (iii) mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi. Analisis untuk menjawab pertanyaan tersebut mencakup aspek kelembagaan dan kebijakan yang diperlukan, temasuk bagaimana melibatkan semua pihak dalam kesepakatan global termasuk masyarakat lokal dan adat, aspek ekonomi termasuk pendanaan dan pemasaran yang paling feasibel, analisis manfaat dan resiko, serta penanganan tata kelola yang baik dalam pelaksanaan dan distribusi manfaat dan tanggung jawab di semua tingkat pelaksanaan. Pada akhir kegiatan diharapkan diperoleh rekomendasi strategi Iptek Sosek dan Kebijakan REDD dalam bentuk publikasi ilmiah dan populer, Policy Brief, petunjuk teknis, dan berbagai bahan pembelajaran REDD dan REDD Plus. Kata Kunci : Emisi, REDD, REDD Plus, kelembagaan, sistem, biaya, manfaat, resiko, karbon, kebijakan
Ekonomi dan Kebijakan Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi
1
II.
Latar Belakang
Pengurangan Emisi dari Deforestasi1 dan Degradasi Hutan (Reducing Emission from Deforestation and Degradation, REDD) merupakan suatu upaya untuk mengatasi masalah perubahan iklim. Hal ini karena semua negara yang sudah meratifikasi kesepakatan kerangka kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Perubahan Iklim (UNFCCC) mempunyai kewajiban untuk mengatasi perubahan iklim berdasarkan prinsip permasalahan bersama dengan tanggung jawab berbeda (common but differentiated responsibilities). Indonesia melalui UU No. 6/1994 telah mensahkan konvensi UNFCCC ini. Deforestasi dan degradasi hutan memberikan kontribusi terhadap emisi CO2. Kontribusi deforestasi dan degradasi terhadap emisi gas rumah kaca global yaitu 18 %, (Stern, 2007), dan 75 persennya berasal dari negara berkembang. Stern (2007) juga mengemukakan untuk menekan laju emisi global pada level 440-550 ppm atau untuk menstabilkan kembali iklim global, apabila dilakukan saat ini diperlukan biaya sebesar 1 sampai 3.5% GDP global2. Apabila upaya penekanan ini ditunda, biaya dan resikonya akan lebih tinggi, bahkan dapat mencapai 5 - 20 % dari GDP global. Karena itu Indonesia mempunyai peran yang penting untuk mengatasi dampak perubahan iklim. Hal ini terutama karena luasnya hutan Indonesia dan pentingnya penghindaran deforestasi dalam upaya mengurangi emisi CO2. Luas kawasan hutan di Indonesia yang mencapai 120 juta ha atau sekitar 60 persen dari total luas Indonesia mempunyai fungsi langsung dan tidak langsung yang telah dikenal secara luas. Selain berperan sebagai sumber pendapatan untuk 1,35 % angkatan kerja langsung, dan 5.4 persen angkatan kerja tidak langsung, hutan merupakan tulang punggung ekonomi nasional antara tahun 1980s – 1990s. Fungsi tidak langsung hutan adalah sebagai sumber mega biodiversitas, pengatur iklim mikro, pengatur tata air dan kesuburan tanah. Dalam konteks perubahan iklim, hutan dapat berperan baik sebagai sink (penyerap/penyimpan carbon) maupun source (pengemisi carbon). Deforestasi dan degradasi meningkatkan source, sedangkan aforestasi, reforestasi dan kegiatan pertanaman lainnya meningkatkan 1 Definisi deforestasi yang akan digunakan perlu disepakati. Menurut Keputusan 11/ CP.7UNFCCC deforestasi didefinisikan sebagai konversi hutan menjadi bukan hutan sebagai akibat langsung dari aktivitas manusia. Di dalam submisi ke SBSTA 25 yang lalu, Indonesia mengajukan definisi “Deforestasi sebagai hilangnya hutan akibat aktivitas manusia yang meliputi konversi hutan menjadi penggunaan lain yang memiliki stok karbon yang lebih rendah, dan hilangnya hutan akibat dari proses degradasi yang berkelanjutan sebagai akibat dari kebakaran yang beruntun dan pemanenan kayu yang tidak berkelanjutan”.
2
2
1 % GDP global saat ini sekitar US $ 400 million.
RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF 2010-2014
sink. Emisi Gas Rumah Kaca (GRK) yang terjadi di kehutanan Indonesia bersumber dari deforestasi terutama konversi hutan untuk penggunaan lain seperti pertanian, perkebunan, pemukiman, pertambangan, dan prasarana wilayah, serta degradasi (penurunan kualitas hutan akibat illegal logging, kebakaran, over cutting, perladangan berpindah (slash and burn), dan perambahan. Ditambah dengan posisi Indonesia sebagai negara kepulauan dengan belasan ribu pulau, ndonesia sangat rentan terhadap perubahan iklim, baik dari sisi lingkungan, sosial, ekonomi. Karena itu mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim adalah masalah survival dan masalah pembangunan yang berkelanjutan. Dan perubahan iklim merupakan salah satu kendala dalam upaya mencapai pembangunan kehutanan yang berkelanjutan dan penanggulangan kemiskinan. Hal ini karena dari sisi suplai, pertama, proporsi luas hutan di Indonesia, menyebabkan kehutanan merupakan sumber daya strategis untuk adaptasi dan mitigasi perubahan iklim akibat kemungkinan meningkatnya emisi GRK. Kedua, tinggi tingkat ketergantungan terhadap sektor berbasis lahan seperti pertanian dan kehutanan, yang sensitif terhadap perubahan iklim. Ketiga, relatif rendahnya pendapatan nasional dan pendapatan per kapita yang menjadikan kapasitas terbatas. Secara lebih terinci pengurangan emisi kehutanan diarahkan pada: 1.
Peningkatan kapasitas hutan dalam penyerapan dan penyimpanan carbon (semua kegiatan penanaman dan rehabilitasi hutan), 2. Mempertahankan stok carbon ( konservasi hutan dan Sustainable Forest Management yang merupakan hasil dari Bali Plan di Conference of the Parties (COP) 13 di Bali, yang dikenal dengan sebutan REDD plus1, 3. Mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi: PHL, pencegahan illegal logging, penanggulangan kebakaran, pencegahan konversi dan perambahan Beberapa kegiatan yang berkaitan adalah rehabilitasi hutan dan lahan yang terdegradasi dan mengelola hutan yang masih tersisa, mengelola kawasan konservasi, kawasan lindung, dan hutan produksi alam, mencegah konversi dan kebakaran hutan. Dengan dilakukan kegiatan ini berarti Indonesia sudah mengurangi emisi CO2 dan meningkatkan resiliensi terhadap perubahan iklim. Rehabilitasi lahan terdegradasi dan 1
Dengan definisi ini artinya, kegiatan pengayaan hutan, penerapan sistem silvikultur dengan dampak tebang rendah (reduced impact logging), menkonservasi karbon di hutan konservasi dan lindung, dapat masuk ke dalam kategori kegiatan REDD plus.
Ekonomi dan Kebijakan Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi
3
mengarahkan pengembangan hutan tanaman dan perkebunan ke lahanlahan tersebut, akan meningkatkan kapasitas hutan dalam menyerap dan menyimpan carbon, dan pada akhirnya juga meningkatkan resiliensi terhadap perubahan iklim. Disamping itu juga mempertahankan fungsifungsi lain seperti konservasi sumberdaya genetik dan keaneka-ragamannya, perlindungan tata air, serta fungsi sosial-ekonomi terutama bagi masyarakat yang menggantungkan sumber penghidupannya dari hutan. Karena itu, tekanan perubahan iklim memerlukan penetapan kebijakan dan strategi yang dapat mengakomodasi semua pihak baik di tingkat lokal, nasional, regional maupun global. Selain itu, pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi akan memberikan revenue yang signifikan bagi Indonesia dalam mendukung pengelolaan hutan yang lebih berkelanjutan. Potensi tersebut akan sangat ditentukan oleh kesiapan dan kemampuan Indonesia melakukan: (i) Pemantauan perubahan penutupan hutan dan cadangan stok karbon, dan (ii) Kesiapan perangkat peraturan dan kelembagaan untuk mendukung pelaksanaan REDD baik secara horizontal maupun vertikal.
III. Rumusan Masalah Sebagai suatu mekanisme internasional yang dimaksudkan untuk memberikan insentif positif bagi negara berkembang yang berhasil mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi hutan dan merupakan hasil kesepakan negara-negara yang tergabung dalam kerangka konvensi UNFCCC, REDD mensyaratkan berbagai kesepakatan yang dikeluarkan dalam setahun sekali dalam konferensi para pihak UNFCCC. Kesepakatan ini diharapkan dapat diakomodasi oleh negara yang menginginkan mekanisme REDD ini diterapkan. Untuk Indonesia, berdasarkan studi MoFor (2008), diperlukan lima pilar penyangga kegiatan REDD yaitu: (i) Pembangunan Referensi Tingkat Emisi (Reference Emission Level – REL )1, Penyiapan Strategi REDD Indonesia, (iii) Pembangunan Monitoring Sistem, (iv) Mekanisme Pasar, dan (v) Mekanisme Distribusi Insentif dan Tanggung Jawab. Untuk mempersiapkan kelima pilar tersebut diperlukan upaya yang tidak sedikit, mulai dari peningkatan kesadaran dan peningkatan kapasitas
1
4
Emisi referensi merupakan tingkat emisi yang akan digunakan sebagai dasar untuk menentukan berapa besar tingkat penurunan emisi yang berhasil dilakukan dari pencegahan kegiatan konversi dan kerusakan hutan yang akan dijadikan basis besarnya kompensasi yang akan diberikan. Penentuan emisi referensi masih akan dinegosiasikan di COP13 di Bali, diantaranya dengan mengikuti pola emisi historis, dengan membuat model pendugaan emisi ke depan dan dengan menggunakan besar emisi atau stok karbon sebelum atau menjelang kegiatan REDD dilaksanakan (MoFor, 2008).
RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF 2010-2014
untuk para pihak terkait REDD, konsultasi dan komunikasi stakeholders, peningkatan akses terhadap data, informasi, dan teknologi; penyiapan regulasi dan identifikasi dan pelibatan instansi penanggung jawab dan pihakpihak yang menangani atau terkait pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi. Untuk menjawab masalah tersebut, diperlukan dukungan penelitian yang integratif, yang mencakup aspek sosial, ekonomi, kebijakan. Penelitian yang akan dilakukan ditujukan untuk menjawab pertanyaan terkait REDD dan REDD plus yaitu, bagaimana: (i) meningkatkan kapasitas hutan dalam penyerapan dan penyimpanan karbon, (ii) mempertahankan stok karbon, dan (iii) mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi. Analisis untuk menjawab pertanyaan tersebut mencakup aspek kelembagaan dan kebijakan yang diperlukan, temasuk bagaimana melibatkan semua pihak dalam kesepakatan global termasuk masyarakat lokal dan adat, aspek ekonomi termasuk pendanaan dan pemasaran yang paling feasibel, analisis manfaat dan resiko, serta penanganan tata kelola yang baik dalam pelaksanaan dan distribusi manfaat dan tanggung jawab di semua tingkat pelaksanaan.
IV. Hipotesis Hipotesis yang dikembangkan dari pertanyaan-pertanyaan penelitian adalah sebagai berikut: 1.
Peningkatan kapasitas hutan dalam pengurangan emisi merupakan upaya strategis untuk mitigasi GRK. 2. Faktor tingginya tingkat ketergantungan terhadap sektor berbasis lahan seperti Pertanian, Pekerjaan Umum, Pertambangan dan Energi dan Depdagri, memerlukan penangan harmonisasi kebijakan, regulasi, institusional dan teknis bersama. 3. Kondisi sosial dan ekonomi lokal, nasional, dan internasional berpengaruh pada perumusan kebijakan dan kelembagaan untuk strategi pengurangan emisi mitigasi kehutanan.
V.
Tujuan dan Sasaran
Tujuan umum penelitian ini adalah menyediakan IPTEK sosek dan kebijakan pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi Hutan. Tujuan penelitian secara khusus adalah: 1.
Mengidentifikasi dan merumuskan strategi mitigasi perubahan iklim kehutanan dengan melakukan analisis terhadap:
Ekonomi dan Kebijakan Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi
5
a. Distribusi insentif dan peran dalam REDD dan REDD Plus b. Tata kelola, Kelembagaan dan Kebijakan REDD dan REDD Plus c. Pasar d. Analisis Kelayakan, Analisis Biaya dan Manfaat (Opp. dan Transaksi) e. Resiko f. Colateral Benefit g. Tenurial, Resiko Sosial, masyarakat adat/ parapihak 2. Menghasilkan rekomendasi strategi Iptek Sosek dan Kebijakan REDD dalam bentuk publikasi ilmiah dan populer, Policy Brief, petunjuk teknis, dan berbagai bahan pembelajaran REDD dan REDD Plus. Sasaran penelitian ini adalah : a. Tersedianya informasi pengetahuan dan teknis sosial ekonomi b. Distribusi insentif dan tanggung jawab c. Tatakelola, Kelembagaan dan Kebijakan REDD dan REDD Plus d. Pasar e. Analisis Kelayakan, Analisis Biaya dan Manfaat (Opp. dan Transaksi) f. Resiko g. Colateral Benefit h. Tenurial, Resiko Sosial, masyarakat adat/ parapihak 3. Tersedianya rekomendasi strategis iptek sosek dan kebijakan dalam mendukung implementsi REDD dan REDD plus
VI. Luaran 1. Informasi iptek sosek mitigasi perubahan iklim 2. Rekomendasi kebijakan strategi REDD dan REDD Plus
VII. Ruang Lingkup Penelitian ini didasarkan pada Roadmap Penelitian dan Pengembangan Kehutanan 2010-2025 dan infrastruktur yang diperlukan dalam persiapan REDD sebagaimana dilihat dalam Gambar 1. Fokus dari penelitian ini sesuai dengan temanya difokuskan pada infrastruktur 2, 4 dan 5, yaitu strategi, pasar dan pendistribusian tanggungjawab dan insentif dari REDD. Dengan coverage dari kegiatan ini nasional dan sub nasional.
6
RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF 2010-2014
National approach, sub-national implementation
• Forest cover and carbon stock changes, • National registry
Historical emission /future scenario
Responsibilities and benefits
Attractiveness, Source of fund
$
CO2 1 Reference Emission Level
Awareness raising Capacity building Access to data Access to technology Stakeholders communication
2 Strategy
WG-FCC REDDI Guideline REDDI Committee
3
4
Monitoring
Market/ Funding
5 Distribution
Rekomendasi IFCA 2007 : Strategi REDD di 5 tipe landscapes : Hutan Produksi, Hutan Konservasi, HTI, Peat land, Pengembangan kelapa sawit (terkait perubahan penggunaan lahan)
Gambar 1. Infrastruktur yang Diperlukan REDD (MoF, 2008)
VIII. Metode A. Kerangka Pikir Riset Riset ini akan lebih memfokuskan pada bagaimana fungsi hutan sebagai pengemisi karbon dapat dihindari, beserta mekanisme pendanaan dan metode yang telah diakui secara internasional, baik voluntari maupun compliance (REDD). Kerangka pikir riset dapat dilihat pada Gambar 2. Dari Gambar terlihat bahwa aspek yang akan dilihat adalah: (i) aspek sosial dan budaya, (ii) ekonomi dan (iii) kelembagaan dan kebijakan, serta (iii) metode, monitoring dan pelaporan. Aspek sosial dan budaya akan meliputi tenurial, resiko sosial, masyarakat adat dan peningkatan kapasitas parapihak umumnya. Untuk aspek ekonomi mencakup Distribusi insentif dan peran dalam REDD dan REDD Plus. Untuk aspek ekonomi mencakup tatakelola, kelembagaan dan kebijakan REDD dan REDD Plus, Pasar Analisis Kelayakan, Analisis Biaya dan Manfaat (Opp. dan Transaksi), Resiko dan colateral benefit. Untuk kelembagaan dan kebijakan meliputi penelitian kesiapan kelembagaan, termasuk regulasi dan kelembagaan.
Ekonomi dan Kebijakan Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi
7
Problem 2
P bl 1 Problem
Rehabilitasi, Deforestasi, Degradasi hutan
Pemanasan Global
CDM
Sink/ Removal
Funds
Volun
Hutan
REDD
Source/ Emisi
Kebijakan, Kelembagaan dan Institusi
Pengguna
Gambar 2. Kerangka Pikir Riset Integratif
B. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang digunakan meliputi: 1.
Desk study dalam upaya mencari riset status dan sinkronisasi penelitian yanga telah dan sedang dilakukan oleh berbagai lembaga penelitian seperti CIFOR, ICRAF, universitas, dan lembaga penelitian lainnya. 2. Survei dalam rangka pengumpulan data kuantitatif dan data kualitatif di tingkat sub nasional di daerah dan nasional di pusat. Di daerah (dinas kehutanan provinsi dan kebupaten/kota), Swasta, BUMN, serta masyarakat dan kalangan LSM, dalam rangka validasi dan pengkayaan hasil desk study. 3. Wawancara (konsultasi) dengan pakar yang terkait dari lembaga penelitian dan universitas.
8
RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF 2010-2014
C. Metode Analisis
N DA TIF A, ITA P, PR NT UA ix, AH r NK TA F Mat eline KA DE TATI guid PEN ANTI IPCC KU
PEN D Uji EKAT kon AN s E An alis isten MPIR si, is, Sko Gap IS rin g
Beberapa metode analisis yang berbeda akan digunakan untuk mempelajari dan memahami aspek yang berbeda-beda, diantaranya adalah analisis kelembagaan, analisis sistem, analisis biaya manfaat dan lain-lain. Secara umum analisis yang digunakan tertera dalam Gambar 3.
PENDEKATAN KUANTITATIF Modeling, Simulasi, Kuantitatif analysis, Economic analysis, Analisis biaya Gambar 3. Metode Analisis Penelitian
Secara khusus, metode analisis akan diperjelas dalam masing-masing Rencana Penelitian Tim Peneliti (RPTP).
IX. Instansi Pelaksana, Rencana Tata Waktu dan Rencana Biaya Instansi pelaksana, tata waktu dan rencana biaya penelitian tersaji pada tabel 1.
Ekonomi dan Kebijakan Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi
9
Table 1. Matriks instansi pelaksana, tata waktu dan rencana biaya penelitian
Kode
RPI / LUARAN / KEGIATAN
PELAKSANA
TAHUN PELAKSANAAN / ANGGARAN (juta Rupiah) 2010
2011
2012
2013
PROGRAM 7 PERUBAHAN IKLIM
16
Ekonomi dan Kebijakan Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi
16.1
Luaran 1 : Informasi iptek sosek mitigasi perubahan iklim
16.1.1
Analisis Distribusi Insentif dan Peran REDD dan REDD plus
16.1.1.4 16.1.2
PUSLITSOSEK
150
150
Analisis Biaya, Manfaat, dan Resiko REDD dan REDD plus
16.1.2.4
PUSLITSOSEK
250
250
16.1.2.6
BBPD Samarinda
100
100
16.1.2.19
BPK Manokwari
100
100
16.1.2.8
BPHPS Kuok
16.1.2.12 16.1.3
100
BPK Solo
100 100
100
250
100
Analisis Sosial budaya REDD
16.1.3.4
PUSLITSOSEK
150
16.1.3.6
BBPD Samarinda
100
100
16.1.3.19
BPK Manokwari
100
100
16.1.3.8
BPHPS Kuok
100
100
16.1.3.18
BPK Makassar
100
100
16.2
Luaran 2. Rekomendasi kebijakan strategi REDD dan REDD Plus
16.2.1
Kajian Tatakelola REDD dan REDD plus
16.2.1.4
PUSLITSOSEK
300
300
16.2.1.18
BPK Manokwari
100
100
16.2.1.8
BPHPS Kuok
100
100
BPK Makassar
100
100
250
250
16.2.1.18 16.2.2 16.2.2.4 16.2.3 16.2.3.4
10
Analisis Pasar dan Pendanaan REDD PUSLITSOSEK
250
Analisis Kebijakan dan Kelembagaan REDD dan REDD plus PUSLITSOSEK
RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF 2010-2014
150
200
200
2014
Kode
RPI / LUARAN / KEGIATAN
PELAKSANA
TAHUN PELAKSANAAN / ANGGARAN (juta Rupiah) 2011
2012
2013
16.2.3.6
BBPD Samarinda
2010
100
100
100
16.2.3.19
BPK Manokwari
100
100
100
16.2.3.11
BPK Ciamis
100
100
100
16.2.3.13
BPK Mataram
100
100
100
16.2.3.12
BPK Solo
100
100
100
2600
2600
1150
TOTAL ANGGARAN
X.
550
2014
Organisasi
RPI ini berada dibawah koordinasi Puslitsosek, dengan koordinator Dr. Kirsfianti L. Ginoga, MSc. Dalam pelaksanaannya akan melibatkan UPT lingkup Badan Litbang Kehutanan seperti BBPD Samarinda, BPK Manokwari, BPK Palembang, serta instansi terkait lainnya.
XI. Daftar Pustaka Boer, R. 2007. Presentasi pembukaan pada Workshop Nasional IFCA. Jakarta. November 2007. Chomitz, K.M. 2006. Policies for national-level avoided deforestation programs: a proposal for discussion. Background paper for Policy Research Report on Tropical Deforestation Geoffrey Heal, G. and Kevin Conrad. 2005. A solution to climate change in the world’s rainforests Financial Times. http://www.typepad.com/t/ trackback/3762041. Indonesia Forestry Climate Alliance (IFCA). 2007. Laporan konsolidasi Penurunan emisi gas rumah kaca dari pencegahan konversi dan degradasi hutan (REDD). Departemen Kehutanan. Jakarta IPCC. 2000. Land use, Land-use change, and Forestry-Intergovernmental Panel on Climate Change Special Report (eds. Watson R.T., Noble I.R., Bolin B., Ravindranath N.H., Verardo D.J., Dokken D.J.) Cambridge University Press, IPCC. 2001. Summary for Policy Makers. In Climate Change 2001: Mitigation Contribution of Working Group III to the Third Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change, Cambridge University Press: Cambridge, United Kingdom and New York, NY, USA. Ekonomi dan Kebijakan Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi
11
IPCC 2006, 2006 IPCC Guidelines for National Greenhouse Gas Inventories, Prepared by the National Greenhouse Gas Inventories Programme, Eggleston H.S., Buendia L., Miwa K., Ngara T. and Tanabe K. (eds). Published: IGES, Japan.IPCC Kremen, C., J. O. Niles, M. G. Dalton, G. C. Daily, P. R. Ehrlich, J. P. Fay, D. Grewal, R. P. Guillery. 2000. Economic Incentives for Rain Forest Conservation Across Scales. Science. June 2000 Vol 288. www.sciencemag.org. Moutinho, P. dan Stephan Schwartzman. 2005. Tropical Deforestation and Climate Change. IPAM - Instituto de Pesquisa Ambiental da Amazônia ; Washington DC - USA Stern, N. 2007. Stern Review: The Economics of Climate Change. Murdiyarso, D, dan Hetty Herawati. 2005. Carbon Forestry: Who Will Benefit?. CIFOR. Bogor. Moutinho, Paulo, and Stephan Schwartzman. 2005. Tropical deforestation and climate change / edited by. -- Belém - Pará - Brazil : IPAM Instituto de Pesquisa Ambiental da Amazônia ; Washington DC - USA : Environmental Defense. Niles, J. O., S. Brown, J. Pretty, A.Ball, J. Fay. 2001. Potential Carbon Mitigation and Income in Developing Countries from Changes in Use and Management of Agricultural and Forest Lands. Centre for Environment and Society Occasional Paper 2001-04, University of Essex. UK. Niles, J.O., S. Brown, J. Pretty, A.S. Ball, and J. Fay. 2002. Potential carbon mitigation and income in developing countries from changes in use and management of agricultural and forest lands. Phil.Trans.R.Soc. Land. The Royal Society. Philibert, Cédric. 2005. Approaches For Future International Co-Operation. Organisation for Economic Co-operation and Development International Energy Agency. Organisation de Coopération et de Développement Economiques Agence internationale de l’énergie. Paris. Santilli, Ma’rcio, Paulo Moutinho, Stephan Schwartzman, Daniel Nepstad, Lisa Curran and Carlos Nobre. 2005. Tropical deforestation and the kyoto protocol An editorial essay. Climatic Change (2005) 71: 267–276. Santilli, M. P. Moutinho, S. Schwartzman, D. Nepstad, L. Curran, and C. Nobre. 2005. Tropical deforestation and the Kyoto Protocol. Climate Change (2005) 71:267-276.
12
RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF 2010-2014
Schlamadinger, B. N. Bird, S. Brown, J. Canadell, B. Clabbers, M. Dutschke,J. Fiedler, A. Fischlin, P. Fearnside, C. Forner, A. Freibauer, P. Frumhoff, N. Hoehne, T. Johns, M. Kirschbaum, A. Labat, G. Marland, A. Michaelowa, L. Montanarella, P. Moutinho, D. Murdiyarso, N. Pena, K. Pingoud, Z. Rakonczay, E. Rametsteiner, J. Rock, M.J.Sanz, U. Schneider, A. Shvidenko, M. Skutch, P. Smith, Z. Somogyi, E. Trines, M. Ward, Y. Yamagata. 2005. Options for including LULUCF activities in a post-2012 international climate agreement. Final Draft for publication in Special Issue of Environment Science and Policy. 2005. Schlamadinger, B. N., L. Ciccarese, M. Dutschke, P. M. Fearnside, S. Brown, D. Murdiyarso. 2005. Should we include avoidance of deforestation in the international response to climate change? CIFOR. Bogor. Stiglitz, J. E. 2005. Global Green Trade. Http://www.typepad.com/
XII. Kerangka Kerja Logis NARASI
INDIKATOR
TUJUAN : Umum : Menyediakan IPTEK sosek dan kebijakan pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi Hutan
Dihasilkannya rekomendasi-rekomendasi tentang: a) Distribusi Insentif dan Tanggung Jawab REDD b) Rumusan Tata kelola Khusus : c) Rekomendasi 1. Mengidentifikasi Kebijakan dan dan merumuskan Kelembagaan REDD strategi mitigasi dan REDD Plus perubahan iklim d) Potensi dan Peluang kehutanan Pasar dan Pendanaan 2. Menghasilkan karbon rekomendasi strategi Iptek Sosek e) Kelayakan, Biaya (Resiko) dan Manfaat dan Kebijakan (Colateral Benefit) REDD dalam bentuk Kegiatan REDD dan publikasi ilmiah REDD Plus dan populer, Policy f) Peranan Tenurial, Brief, petunjuk teknis, dan berbagai Resiko Sosial, masyarakat adat dan bahan pembelajaran parapihak dalam REDD dan REDD kegiatan REDD dan Plus REDD Plus
ALAT VERIFIKASI
Dokumen mengenai rekomendasi implementasi kegiatan REDD dan REDD plus, yang dikemas dalam síntesis formulasi hasil penelitian, Laporan, Jurnal dan Policy Brief
ASUMSI
SDM dan sumberdaya lain mendukung
Ekonomi dan Kebijakan Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi
13
NARASI SASARAN : 1. Tersedianya Informasi pengetahuan dan teknis sosial ekonomi, yang meliputi aspek a) Distribusi Insentif dan tanggung jawab b) Tata kelola, Kelembagaan dan Kebijakan REDD dan REDD Plus c) Pasar dan Pendanaan d) Analisis kelayakan, Analisis Biaya dan Manfaat (Opp. dan Transaksi) e) Resiko f) Colateral Benefit g) Tenurial, Resiko Sosial, masyarakat adat, parapihak 2. Tersedianya rekomendasi strategis iptek sosek dan kebijakan dalam mendukung implementasi REDD dan REDD Plus
14
INDIKATOR
Telah dilakukannya penelitian terkait dengan: a. Distribusi Insentif dan tanggung jawab b. Tatakelola, Kelembagaan dan Kebijakan REDD dan REDD Plus c. Pasar dan Pendanaan d. Analisis Kelayakan, Analisis Biaya dan Manfaat (Opp. dan Transaksi) e. Resiko f. Colateral Benefit g. Tenurial, Resiko Sosial, masyarakat adat, parapihak
Tersedianya rekomendasi strategis Iptek Sosek dan Kebijakan REDD dan REDD plus
RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF 2010-2014
ALAT VERIFIKASI
ASUMSI
Sintesis hasil penelitian terkait IPTEK Sosek Kebijakan Mitigasi Perubahan Iklim
SDM dan sumberdaya lain mendukung
Tersediannya Laporan, Publikasi Ilmiah dan Policy Brief
SDM dan sumberdaya lain mendukung
NARASI
INDIKATOR
LUARAN : 1. Informasi iptek sosek mitigasi perubahan iklim
2. Rekomendasi kebijakan strategi REDD dan REDD Plus
KEGIATAN: 1.1 Analisis Distribusi Insentif dan Peran REDD dan REDD plus 1.2 Analisis Biaya, Manfaat, dan Resiko REDD dan REDD plus 1.3 Analisis Sosial budaya REDD
ALAT VERIFIKASI
ASUMSI
1. Dilaksanakannya penelitiannya (i) Analisis Distribusi Insentif dan Peran REDD dan REDD plus, (ii) Analisis Biaya, Manfaat, dan Resiko REDD dan REDD plus, dan (iii) Analisis Sosial budaya REDD
5 ( lima) publikasi ilmiah dan populer, Policy Brief, dan naskah akademis
SDM dan sumberdaya lain mendukung
2. Dilaksanakannya penelitian (i) Kajian Tatakelola REDD dan REDD plus, (ii) Analisis Pasar dan Pendanaan REDD, dan (iii) Analisis Kebijakan dan Kelembagaan REDD dan REDD plus
5 (lima) publikasi ilmiah dan populer, Policy Brief, dan naskah akademis
SDM dan sumberdaya lain mendukung
Penelitian berhasil menghasilkan formulasi peran, tanggungjawab dan insentif parapihak terkait REDD dan REDD plus
Dokumen hasil penelitian, laporan, Publikasi
SDM dan sumberdaya lain mendukung
2.1 Kajian Tatakelola REDD dan REDD plus 2.1 Analisis Pasar dan Pendanaan REDD 2.2 Analisis Kebijakan dan Kelembagaan REDD dan REDD plus
Ekonomi dan Kebijakan Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi
15
16
RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF 2010-2014
Pengembangan Perhitungan Emisi GRK Kehutanan (Inventory Inventory))
Pengembangan Perhitungan Emisi GRK Kehutanan (Inventory)
i
ii
RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF 2010-2014
Lembar Pengesahan
Pengembangan Perhitungan Emisi GRK Kehutanan (Inventory)
iii
iv
RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF 2010-2014
Daftar Isi Lembar Pengesahan ................................................................................... iii Daftar Isi ....................................................................................................... v Daftar Gambar ............................................................................................ vi Daftar Tabel ............................................................................................... vii Daftar Singkatan ......................................................................................... ix I.
Abstrak ................................................................................................1
II.
Latar Belakang .....................................................................................1
III.
Rumusan Masalah ............................................................................. 2
IV.
Hipotesis ............................................................................................. 4
V.
Tujuan dan Sasaran............................................................................. 4
VI.
Luaran ................................................................................................. 5
VII.
Ruang Lingkup .................................................................................... 5
VIII. Metode ...............................................................................................8 IX.
Instansi Pelaksana, Rencana Tata Waktu, dan Rencana Biaya .......15
X.
Organisasi ..........................................................................................17
XI.
Daftar Pustaka ...................................................................................17
XII.
Kerangka Kerja Logis ........................................................................ 18
Pengembangan Perhitungan Emisi GRK Kehutanan (Inventory)
v
Daftar Gambar Gambar 1. Sumber emisi dan serapan GRK untuk sektor Agriculture, Forestry and Land Use (AFOLU) (Sumber: IPCC 2006) ............6 Gambar 2. Strategi Penelitian Inventarisasi GRK Kehutanan ....................8
vi
RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF 2010-2014
Daftar Tabel Table 1. Negara-negara pengemisi GRK, tanpa LULUCF (Baumertz et al, 2005) ................................................................. 3 Table 2. Negara pengemisi GRK terbesar di dunia (Juta Ton CO2 e) (Peace, 2007) ................................................................................ 3 Table 3. Komponen GRK dan potensinya terhadap pemanasan global ..6 Table 4. Pilihan Pendekatan dan Tiers ...................................................... 7 Table 5. Kategori penutupan lahan menurut IPCC dan kategori penutupan lahan/hutan di Indonesia ........................................ 10 Table 6. Format pelaporan umum hasil inventarisasi GRK sektor LULUCF ........................................................................................13 Table 7. Matriks instansi pelaksana, tata waktu dan rencana biaya ........15
Pengembangan Perhitungan Emisi GRK Kehutanan (Inventory)
vii
viii
RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF 2010-2014
Daftar Singkatan
AGB
: Above Ground Biomass
ALU
: Agriculture and Landuse
BAU
: Business as Usual
BBPD
: Balai Besar Penelitian Dipterokarpa
BGB
: Below Ground Biomass
BPK
: Balai Penelitian Kehutanan
BPHPS
: Balai Penelitian Hutan Penghasil Serat
CAIT
: Climate Analysis Indicators Tool
CDM
: Clean Development Mechanism
Ditjen
: Direktorat Jenderal
GL
: Guideline
GN RHL
: Gerakan Nasional Rehabilitasi Hutan dan Lahan
GPG
: Good Practice Guidance
GRK
: Gas Rumah Kaca
HR
: Hutan Rakyat
HTI
: Hutan Tanaman Indonesia
HTR
: Hutan Tanaman Rakyat
INCAS
: Indonesia National Carbon Accounting System
IPB
: Institut Pertanian Bogor
IPCC
: International Panel on Climate Change
LHP
: Laporan Hasil Penelitian
LULUCF
: Land Use, Land Use Change and Forestry
MAI
: Mean Annual Increment
MRV
: Measurable, Reportable and Verifiable
NFI
: National Forest Inventory
OMOT
: One Man One Tree
PHKA
: Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam
Pengembangan Perhitungan Emisi GRK Kehutanan (Inventory)
ix
REDD
: Reduced Emission from Deforestation and Degradation
REDDI
: Reduced Emission from Deforestation and Degradation in Indonesia
REL
: Reference Emission Level
RLPS
: Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial
RPI
: Rencana Penelitian Integratif
Tier
: Tingkat Kerincian
UNFCCC : United Nations Framework Convention on Climate Change WRI
x
: World Resource Institute
RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF 2010-2014
I.
ABSTRAK
Sektor Kehutanan yang dalam konteks perubahan iklim termasuk kedalam sektor LULUCF (land use, land use change and forestry) adalah salah satu sektor penting yang harus dimasukkan dalam kegiatan inventarisasi gas rumah kaca (GRK). Kehutanan memainkan peranan penting dalam siklus karbon. Di tingkat global, kontribusi sektor LULUCF sebesar 18 %, sedangkan di tingkat nasional mencapai 74 %. Indonesia penting untuk menerapkan metode inventarisasi gas rumah kaca dengan hasil inventarisasi yang lebih akurat dan terpercaya sehingga diakui oleh internasional. Hasil perhitungan emisi GRK kehutanan yang dapat diukur, dilaporkan dan diverifikasi (measurable, reportable and verifiable), perlu untuk pengembangan kegiatan perdagangan karbon di Indonesia baik melalui mekanisme pasar sukarela atau wajib (compliance) termasuk mekanisme REDD. Kajian mengenai kondisi terkini metode perhitungan emisi perlu dilakukan sebagai informasi guna mengembangkan sistem perhitungan GRK di Indonesia. Tingkat kerincian (Tier) yang lebih tinggi (Tier 2 atau 3) untuk activiy data dan emission factor diperlukan guna memperoleh hasil perhitungan emisi yang akurat. Untuk kepentingan inventarisasi gas rumah kaca, berbagai metode inventarisasi telah dikembangkan. Diantaranya IPCC (International Panel on Climate Change) telah mengembangkan metode yang telah diaplikasikan secara luas oleh negara-negara yang meratifikasi UNFCCC. Aplikasi metode IPCC Guideline memerlukan data dan informasi yang lebih komprehensif mencakup tidak hanya sektor kehutanan tapi juga sektor pertanian. Penelitian dalam RPI mencakup kajian tentang inventarisasi GRK kehutanan, penelitian untuk memperbaiki activity data dan faktor emisi/serapan lokal untuk berbagai tipe hutan atau penggunaaan lahan, serta pengaplikasian IPCC GL untuk perhitungan emisi. Hal ini guna memperbaiki sistem inventarisasi GRK khususnya kehutanan yang MRV untuk berbagai keperluan dimasa yang akan datang. Kata Kunci : inventarisasi gas rumah kaca, IPCC Guideline, sektor LULUCF
II.
Latar Belakang
Sektor Kehutanan yang dalam konteks perubahan iklim termasuk kedalam sektor LULUCF (Land Use, Land Use Change and Forestry) adalah salah satu sektor penting yang harus dimasukkan dalam kegiatan inventarisasi gas rumah kaca. Kehutanan memainkan peranan penting dalam siklus karbon. Laporan Stern (2007) menyebutkan kontribusi sektor LULUCF sebesar 18 %, sedangkan di Indonesia First National Communication melaporkan LULUCF sebesar 74 %. Sebagian besar pertukaran karbon dari atmosfer ke biosfir daratan terjadi di hutan. Status dan pengelolaan hutan
Pengembangan Perhitungan Emisi GRK Kehutanan (Inventory)
1
akan sangat menetukan apakah suatu wilayah daratan sebagai penyerap karbon (net sink) atau pengemisi karbon (source of emission). Di Indonesia estimasi penghitungan emisi tahun 1990-an menunjukkan hasil yang sangat bervariasi yaitu antara 41 - 163 juta ton, dengan serapan karbon antara 187 - 337 juta ton (Boer et al., 1999). Variasi ini disebabkan oleh perbedaan activity data (misalnya luas hutan, luas grassland, konversi dan penggunaan lahan lainnya), konsumsi kayu, faktor emisi, metode pengukuran serta asumsi yang digunakan dalam analisis. Untuk kepentingan inventarisasi Gas Rumah Kaca (GRK) kehutanan diperlukan data yang akurat dan metode yang diakui internasional untuk melaporkan perkembangannya. Hal ini untuk mendukung tercapainya hasil perhitungan emisi GRK kehutanan yang dapat diukur, dilaporkan dan diverifikasi (measurable, reportable and verifiable), untuk pengembangan kegiatan perdagangan karbon di Indonesia baik melalui mekanisme pasar sukarela atau wajib (compliance).
III. Rumusan Masalah Kontribusi sektor kehutanan dalam emisi GRK cukup besar. Berbagai laporan menyebutkan, tanpa kontribusi sektor LULUCF Indonesia ada diperingkat 15 dunia sedangkan dengan LULUCF indonesia adalah negara pengemisi terbesar ke 3 di dunia sebagaimana terlihat pada Tabel-Tabel berikut.
2
RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF 2010-2014
Table 1. Negara-negara pengemisi GRK, tanpa LULUCF (Baumertz et al, 2005)
Table 2. Negara pengemisi GRK terbesar di dunia (Juta Ton CO2 e) (Peace, 2007)
Untuk memberikan informasi besarnya emisi dan serapan dari sektor LULUCF di Indonesia, diperlukan data yang valid, terutama dari segi metode, asumsi dan waktu. Karena itu inventarisasi dan pelaporan perubahan emisi dengan menggunakan metode yang secara internasional
Pengembangan Perhitungan Emisi GRK Kehutanan (Inventory)
3
sudah terakreditasi perlu untuk dilakukan, sebagai salah satu kewajiban negara-negara yang meratifikasi konvesi perubahan iklim – United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC). Sampai saat ini metode penghitungan emisi yang dikeluarkan oleh IPCC (International Panel on Climate Change) adalah metode yang digunakan oleh seluruh negara yang meratifikasi UNFCCC. Untuk negara Non-Annex 1 dapat menggunakan revised IPCC 1996 guideline sementara itu negara maju yang masuk dalam negara Annex 1 sejak tahun 2005 wajib menggunakan metode dalam LULUCF GPG 2003. Meskipun demikian, negara non-Annex 1 disarankan agar juga menggunakan LULUCF-Good Practice Guidance (GPG) 2003 atau 2006 IPCC Guide Line (GL). Perhitungan emisi GRK kehutanan termasuk aplikasi IPCC GL 2006 diharapkan akan menghasilkan inventarisasi yang lebih akurat, mengurangi ketidakpastian (reduced uncertanity) dan konsisten dalam pembagian kategori lahan. Hasil perhitungan emisi akan menghasilkan estimasi serapan dan emisi GRK untuk seluruh kategori lahan, stock karbon (carbon pool) yang relevan, serta non CO2 gas (berdasarkan analisis key source/sink category). Sampai saat ini Indonesia belum memiliki institusi khusus yang melakukan inventarisasi dan monitoring GRK. Hal ini menimbulkan permasalahan yaitu kurangnya ketersediaan data perubahan penggunaan lahan (activity data) dan faktor emisi/serapan lokal (emission/removal factors) untuk seluruh kategori lahan, carbon pool dan non-CO2 gas yang terkait, yang sangat berpengaruh terhadap tingkat akurasi dan kerincian hasil inventarisasi.
IV. Hipotesis Peningkatan pemahaman dan pengetahuan tentang perhitungan emisi GRK sektor kehutanan dan penggunaan faktor emisi atau serapan lokal akan meningkatkan kualitas hasil perhitungan emisi GRK sektor kehutanan (peningkatan dari Tier 1 menjadi Tier 2 atau 3).
V.
Tujuan dan Sasaran
Menyediakan informasi, pengetahuan dan teknologi perhitungan emisi dan serapan gas rumah kaca (GRK) kehutanan. Sasaran yang ingin dicapai adalah : 1.
4
Diketahuinya informasi tentang perhitungan emisi GRK kehutanan yang meliputi metode inventarisasi, institusi dan data kegiatan, faktor emisi atau serapan, pengurangan emisi dari substitusi penggunaan energi
RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF 2010-2014
fosil menjadi biomas serta sistem monitoring dan pelaporan serta kontribusi sektor kehutanan di Indonesia dalam target penurunan emisi sebesar 26%. 2. Diketahuinya faktor serapan dan emisi lokal untuk berbagai jenis vegetasi atau hutan 3. Diaplikasikannya metode IPCC GL untuk penghitungan emisi GRK kehutanan, serta metode penghitungan Reference Emission Level (REL). Diharapkan para pihak yang nantinya berkepentingan dalam pelaksanaan perhitungan perubahan emisi dapat melakukannya dengan lebih mudah, dan memberikan hasil yang baik. Aplikasi dari penghitungan emisi menggunakan IPCC GL juga merupakan alat untuk menentukan REL atau referensi emisi (baseline), yang merupakan salah satu infrastruktur yang diperlukan untuk kesiapan pelaksanaan mekanisme pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi (REDD) di Indonesia (REDDI). Untuk menetapkan REL ini diperlukan metode yang terukur, dapat dilaporkan dan dapat diverifikasi (MRV- measurable, reportable, verifiable), serta telah diakui secara internasional.
VI. Luaran Penelitian ini akan menghasilkan luaran : 1. Rekomendasi hasil kajian inventarisasi GRK kehutanan 2. Teknik perhitungan karbon untuk perbaikan faktor emisi atau serapan GRK kehutanan (hutan alam dan tanaman) 3. Informasi hasil aplikasi perhitungan emisi GRK (metode IPCC GL 2006) dan metode penentuan REL
VII. Ruang Lingkup Dalam kaitannya dengan perubahan iklim, sektor kehutanan dapat berfungsi sebagai pengemisi karbon (emitter) dan penyerap karbon (sinker), sebagaimana terlihat pada Gambar 1 berikut:
Pengembangan Perhitungan Emisi GRK Kehutanan (Inventory)
5
Gambar 1. Sumber emisi dan serapan GRK untuk sektor Agriculture, Forestry and Land Use (AFOLU) (Sumber: IPCC 2006)
Selain CO2, sektor AFOLU juga mengemisi GRK lainnya seperti N2O dan CH4. Gas-gas ini memiliki potensi pemanasan global (GWP) yang lebih besar dibandingkan dengan CO2. Tabel 3 menunjukkan jenis gas rumah kaca dan besarnya potensi gas tersebut terhadap pemanasan global. Table 3. Komponen GRK dan potensinya terhadap pemanasan global
Komponen GRK
Potensi Pemanasan Global (GWP)
Carbon Dioxide, CO2
1
Methane, CH4
23
Nitrous Oxide, N2O Hydrofluorocarbons, HFC Perfluorocarbons, PFC Sulfur Hexafluoride
296 120 – 12.000 5.700 – 11.900 22.200
Sumber: IPCC Third Assessment Report (2001)
Dalam inventarisasi GRK, metode yang telah disepakati dan digunakan oleh negara-negara yang meratifikasi UNFCCC adalah metode IPCC GL 2006. Metode ini memberikan tahapan dan langkah yang diperlukan untuk pengukuran, pemantauan dan pelaporan perubahan emisi.
6
RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF 2010-2014
Komponen penting dalam inventarisasi GRK adalah data kegiatan (activity data) dan faktor emisi atau serapan (emission factor). Activity data merupakan kuantifikasi perubahan luas areal untuk setiap kategori emisi atau serapan. Sedangkan faktor emisi/serapan adalah kemampuan untuk mengemisi atau menyerap GRK dari suatu unit/kategori lahan yang dikonversi (misalnya dalam ton CO2/biomas per ha per tahun). Masingmasing activity data dan emission factor memiliki tingkat kerincian (Tier). Tingkat kerincian atau Tiers yang digunakan tertera pada Tabel 1. Terdapat tiga pilihan kerincian, yaitu Tier 1, 2 dan 3. Penelitian ini bertujuan agar terjadi peningkatan kerincian dalam inventarisasi GRK kehutanan (tidak lagi menggunakan Tier 1 untuk mendukung sistem pelaporan yang baik serta skema perdagangan karbon lainnya termasuk pasar sukarela dan mekanisme REDD). Table 4. Pilihan Pendekatan dan Tiers
Pendekatan untuk menentukan perubahan luas areal (Activity Data)
Tingkat kerincian faktor emisi (Emission Factor) (Tier): perubahan cadangan karbon
1. Pendekatan Non-spasial : dari Tier 1 (basic). Memakai data yang data statistik negara/global diberikan oleh IPCC (data default (mis FAO )—memberikan values) pada skala global gambaran umum perubahan luas hutan 2. Berdasarkan peta, hasil survey dan data statistik nasional/lokal
Tier 2 (intermediate). Data spesifik dari tiap negara (nasional/lokal) untuk beberapa jenis hutan yang dominan atau yang utama
3. Data spatial dari interpretasi penginderaan jauh dengan resolusi tinggi
Tier 3 (most demanding). Data cadangan karbon dari Inventarisasi Nasional, yang diukur secara berkala atau dengan modelling
Dengan demikian lingkup penelitian ini adalah terkait inventarisasi GRK kehutanan yaitu penyediaan data dan informasi, serta menyajikan proses dan pilihan perhitungan emisi yang meliputi 5 carbon pools, jenis GRK dan tingkat kerincian (Tier) untuk berbagai kategori penutupan lahan.
Pengembangan Perhitungan Emisi GRK Kehutanan (Inventory)
7
VIII. Metode
Kajian inventarisasi GRK kehutanan kehutanan
Penelitian Inventarisasi GRK GRK Kehutanan
Teknik perhitungan karbonuntuk perbaikan faktoremisi danserapan GRK kehutanan (hutanalam dantanaman) Aplikasi A lik i Perhitungan emisiGRK
1. Kajianmetode inventarisasi 2. KajianInstitusidan DataKegiatan (ActivityData) 3. Kajianfaktoremisi danserapan 4. Kajianpengurangan emisidarihasil substitusi substitusi penggunaanenergi fossilmenjadibiomas 5. Kajiansistem monitoring/Pelaporan 6. Kajianpenurunan emisi 26 % emisi26% 1. Hutanalamgambut 2. Hutanalammineral 3. Hutantanaman gambut 4. Hutantanaman mineral
Informasi Ilmiah Templatedan Rekomendasi Inventarisasi GRK Kehutanan
1.
MetodeIPCCuntuk M d IPCC k lokasiSumatera 2. MetodeREL
Gambar 2. Strategi Penelitian Inventarisasi GRK Kehutanan
A. Kajian Inventarisasi GRK 1.
Kajian Metode Inventarisasi
Kajian meliputi berbagai metode telah dikembangan untuk menghitung besarnya emisi di sektor LULUCF. Metode yang paling banyak dipakai adalah metode inventarisasi GRK yang dikembangkan oleh IPCC. IPCC telah mengembangkan metode inventasisasi GRK sejak tahun 1996, yaitu melalui IPCC Guideline revised 1996, IPCC Good Practice Guidance 2003 dan IPCC Guideline 2006. Dalam IPCC GL 1996, kategori LUCF terdiri dari (1) Changes in forest and other woody biomass stocks (2) Forest and grassland conversion (3) Abandonment of croplands, pastures, plantation forests or other managed lands (4) CO2 emissions and removals from soils dan (5) Others. IPCC GL 1996 tersebut direvisi melalui GPG 2003 dan terakhir IPCC GL 2006. Aplikasi IPCC GL 2006 akan menghasilkan inventarisasi yang lebih baik, mengurangi ketidakpastian (reduced uncertainty), konsistensi pembagian kategori lahan, estimasi serapan dan emisi GRK untuk seluruh kategori lahan, stok karbon (carbon pool) yang relevan serta non CO2 gas
8
RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF 2010-2014
(berdasarkan analisis key source/sink category). Hal ini berimplikasi kepada penyediaan data untuk activity data dan faktor emisi terhadap seluruh kategori lahan, carbon pool dan non-CO2 gas yang terkait. LULUCF IPCC GPG 2006, membagi kategori lahan dalam 6 kategori yaitu: (1) Forest land, (2) Grassland, (3) Cropland, (4) Wetland, (5) Settlement, and (6) Other land. Setiap kategori tersebut memiliki potensi GRK masing-masing tergantung dari kegiatan yang terjadi pada masingmasing penggunaan lahan. Metode lain diantaranya adalah National Carbon Accounting System yang dikembangkan oleh Australia dan saat ini sedang dicoba untuk disesuaikan dan diadopsi oleh Indonesia menjadi Indonesian National Carbon Accounting System (INCAS). University of Colorado juga mengembangkan software untuk menghitung emisi gas rumah kaca khususnya sektor Agriculture and Landuse (ALU) software. Software ini pada dasarnya untuk mendukung sistem inventarisasi GRK dengan metode IPCC. Hasil dari penggunaan program ini akan sama dengan IPCC GL. Sistem lain diantaranya adalah yang dikembangkan oleh World Resource Institute (WRI) yang dikenal dengan CAIT program. Sementara itu di TN Lore Lindu telah dipasang alat untuk memonitor CO2, alat ini perlu dipelajari/ dianalisis untuk kemungkinan pengembangan di wilayah lain dan dapat memberikan kontribusi terhadap sistem perhitungan GRK. 2. Kajian Institusi dan Data Kegiatan (Activity Data) Dalam kegiatan inventarisasi GRK, faktor yang sangat menentukan besarnya GRK adalah luas perubahan lahan yang terjadi selama periode waktu tertentu. Untuk menghasilkan data besarnya perubahan penggunaan lahan diperlukan informasi dari hasil citra satelit. Institusi yang bertanggung jawab dalam penyediaan data perubahan penutupan lahan di Indonesia untuk sektor kehutanan adalah Ditjen Planologi. Kegiatan ini akan mengkaji sistem yang ada dan akan dikembangkan oleh Ditjen Planologi termasuk Teknologi Remote Sensing dan jenis satelit atau images yang digunakan. Klasifikasi penutupan lahan yng dikembangkan oleh IPCC adalah 6 kategori yaitu: (1) Forest land, (2) Grassland, (3) Cropland, (4) Wetland, (5) Settlement, and (6) Other land. Sampai saat ini sistem pembagian kategori penutupan lahan yang dikembangkan oleh Departemen Kehutanan (Ditjen
Pengembangan Perhitungan Emisi GRK Kehutanan (Inventory)
9
Planologi) adalah 23 kategori. Kategori ini apabila dihubungkan dengan kategori lahan menurut IPCC adalah sebagai berikut : Table 5. Kategori penutupan lahan menurut IPCC dan kategori penutupan lahan/hutan di Indonesia
Kategori IPCC 2006 FL FL FL FL FL FL FL GL WL OL WL CL CL CL S GL CL CL OL OL -
10
Kategori Hutan Hutan Lahan Kering Primer (UD) Hutan Rawa Primer (UD) Hutan Mangrove Primer (UD) Hutan Lahan Kering Sekunder (D) Hutan Rawa Sekunder (D) Hutan Mangrove Sekunder (D) Hutan Tanaman Area Penggunaan Lain (APL) Belukar Belukar rawa Tanah terbuka Rawa Pertanian Pertanian campur semak Transmigrasi Permukiman Padang rumput Sawah Perkebunan Tambak Bandara Air Awan
RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF 2010-2014
3. Kajian Faktor Emisi dan Serapan GRK Kehutanan Dalam rangka inventarisasi GRK kehutanan, selain activity data informasi yang diperlukan adalah faktor emisi atau serapan. Faktor emisi atau serapan untuk kehutanan merupakan kemampuan jenis vegetasi atau hutan untuk tumbuh (mean annual increment/MAI) atau potensi biomas (stok) dari tipe hutan tertentu. Banyak tipe hutan di indonesia yang dibagi menurut fungsinya (hutan lindung, hutan produksi atau hutan konservasi), menurut ketinggian dari permukaan laut (hutan pantai, hutan dataran rendah, hutan pegunungan), menurut iklim (hutan hujan, hutan musim), menurut jenis tanah (hutan gambut, hutan pada tanah mineral), hutan alam, hutan tanaman, dan sebagainya. Untuk menghitung emisi atau serapan dari setiap perubahan kondisi atau jenis tutupan hutan perlu didukung oleh informasi luas perubahan tutupan (activity data) dan faktor emisi atau serapan. Berbagai studi telah dilakukan di Indonesia untuk mendapatkan faktor emisi dan serapan. Selain itu IPCC juga telah menyediakan angka default untuk jenis hutan, pada kondisi iklim dan tanah tertentu. Penggunaan faktor emisi atau serapan lokal akan meningkatkan kerincian (Tier) sedangkan penggunaan angka default merupakan tingkat kerincian yang paling rendah (Tier 1). Kajian akan dilakukan dengan mengumpulkan hasil berbagai studi menyangkut pertumbuhan dan stok karbon pada berbagai tipe penutupan lahan/hutan. Kajian juga akan mengumpulkan hasil inventarisasi atau studi tentang biomas yang dilakukan oleh Ditjen Planologi melalui petak permanen dari kegiatan National Forest Inventory (NFI), kelti Biometrika pada Pusat Litbang Hutan Tanaman dan Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam, termasuk informasi dari perkembangan penyusunan NCASI (National Carbon Accounting System Indonesia) dari hasil kerjasama Indonesia dengan Australia. Informasi juga dikumpulkan untuk mengetahui 5 karbon pool yaitu biomas diatas tanah (above ground biomass/AGB), biomas dibawah tanah (below ground biomass /BGB), kayu-kayu mati (dead organic matter), serasah (litter), dan tanah serta pool yang keenam yaitu penebangan kayu. Selain dari perubahan penutupan lahan, emisi GRK kehutanan juga berasal dari kegiatan pemupukan (pemberian kapur) dan kebakaran. Kedua sumber emisi ini menghasilkan GRK lain selain CO2 yaitu CO, CH4, N2O, dan NOx
Pengembangan Perhitungan Emisi GRK Kehutanan (Inventory)
11
4. Kajian pengurangan emisi dari hasil substitusi penggunaan energi biomas sebagai pengganti energi fosil Emisi GRK banyak dihasilkan dari penggunaan energi fosil yang tidak terbarukan. Salah satu kontribusi sektor kehutanan dalam rangka penurunan emisi GRK adalah substitusi penggunaan energi fosil menjadi energi yang berasal dari biomas. Mekanisme ini telah disepakati internasional dalam bentuk Mekanisme Pembangunan Bersih (Clean Development Mechanism/ CDM). Kajian akan difokuskan pada potensi, peluang, tantangan dan hambatan dalam pemanfaatan dan pengembangan energi biomas untuk menggantikan energi fosil. 5.
Kajian kontribusi sektor kehutanan dalam target penurunan emisi 26%
Kajian kontribusi sektor kehutanan dalam target penuruan emisi dilakukan dengan menganalisa trend emisi yang telah lalu sebagai basis terhadap estimasi perhitungan sampai tahun 2020. Data yang dapat digunakan diantaranya adalah hasil dari Second National Communication. Selanjutnya dilakukan kajian terhadap emisi BAU ( Bussines as Usual) yang didasarkan kepada sumber emisi utama dari inventarisasi GRK yaitu deforestasi, degradasi, kebakaran dan pengelolaan lahan gambut. Selain itu dikumpulkan informasi tentang sumber serapan (removal) BAU yaitu pertumbuhan hutan dan penanaman. Sejarah pencapaian penanaman dari berbagai program yang telah dilaksanakan merupakan informasi penting tentang kemampuan rata-rata penanaman berdasarkan BAU. Berbagai asumsi berdasarkan referensi dilakukan terkait dengan activity data serta faktor emisi dan serapan. Kajian terhadap emisi mitigasi dilakukan dengan mengkaji kebijakan mitigasi yang ada, kajian upaya penuruan emisi (REDD, pencegahan deforestasi dan kebakaran) serta kajian berbagai rencana penanaman seperti HTI, HTR, HR, GN RHL, OMOT dsb. Berbagai asumsi berdasarkan referensi dilakukan terkait dengan activity data serta faktor emisi dan serapan untuk mitigasi. Dari hasil perhitungan menggunakan asumsi pada BAU dan skenario mitigasi, dilakukan estimasi proyeksi emisi sampai tahun 2020 yang hasilnya disajikan dalam bentuk tabel dan grafik penurunan emisi. 6. Kajian sistem monitoring dan pelaporan Hasil dari penghitungan emisi dan serapan GRK disajikan dalam tabel yang merupakan format umum dalam pelaporan hasil inventarisasi GRK. Untuk mengisi tabel 6 (enam) tersebut yang merupakan ringkasan dari hasil perhitungan inventarisasi gas rumah kaca, IPCC telah mengembangkan
12
RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF 2010-2014
tabel-tabel dalam format Microsoft Excel. Pengisian data ke dalam tabel excel memerlukan informasi yang rinci mencakup data kegiatan (Activity Data), misalnya perubahan lahan dan luas hutan yang tetap sebagai hutan, luas tanaman pertanian, luas padang rumput dan sebagainya. Selain itu diperlukan informasi mencakup faktor emisi atau removal yang lokal spesifik seperti data pertumbuhan (Mean Annual Increment - MAI) untuk berbagai jenis hutan atau tanaman. Table 6. Format pelaporan umum hasil inventarisasi GRK sektor LULUCF Sumber GRK dan kategori serapan
Net Emisi / Serapan CO2
CH4
N2O
NOx
CO
(Gg)
Kategori penggunaan lahan total A. Lahan hutan A.1. FL sisa FL A.2. Konversi lahan ke FL B. Lahan pertanian B.1. CL tetap CL B.2. Konversi lahan ke CL C. Lahan rumput C.1. GL tetap GL C.2. Konversi lahan ke GL D. Lahan basah D.1. WL tetap WL D.2. Konversi lahan ke WL E. Pemukiman E.1. Set. tetap Set. E.2. Konversi lahan ke Set. F. Lahan lain F.1. OL. tetap OL. F.2. Konversi lahan ke OL. G. Lainnya (specify) Pembakaran biomas Pemberian kapur
Pengembangan Perhitungan Emisi GRK Kehutanan (Inventory)
13
B. Teknik perhitungan karbon untuk perbaikan faktor emisi dan serapan GRK kehutanan (hutan alam dan hutan tanaman) Penelitian ini untuk menghasilkan faktor emisi dan serapan lokal guna meningkatkan akurasi hasil perhitungan emisi GRK. Dari hasil kajian faktor emisi dan serapan akan diketahui tipe hutan/vegetasi yang masih memerlukan hasil penelitian. Selain perhitungan biomas (stok dan pertumbuhan) penelitian juga akan mencakup perhitungan karbon pool yang lain seperti serasah (litter), kayu mati (dry organic matter) dan tanah. Pada garis besarnya penelitian akan dilakukan pada hutan alam dan tanaman tanah mineral serta tanah gambut. Selain itu penelitian juga akan mencakup GRK selain CO2 yang berasal dari kebakaran dan pemupukan yaitu CO, CH4, N2O, dan NOx. Kontribusi GRK kehutanan banyak dihasilkan dari lahan gambut yaitu akibat drainase, pengelolaan dan kebakaran. Penelitian pada lahan gambut akan mencakup faktor emisi dan serapan serta potensi lahan gambut dalam menyerap dan mengemisi GRK.
C. Aplikasi Perhitungan Emisi GRK (Metode IPCC) Sampai saat ini metode penghitungan emisi yang dikeluarkan oleh IPCC adalah metode yang digunakan oleh seluruh negara yang meratifikasi UNFCCC. Dalam perjalanannya metode inventarisasi yang dikeluarkan oleh IPCC telah berkembang selama 3 kali, yaitu metode inventasisasi GRK tahun 1996, yaitu melalui IPCC Guideline revised 1996, IPCC Good Practice Guidance 2003 dan IPCC Guideline 2006. Dalam IPCC GL 1996, kategori LUCF terdiri dari : (i) perubahan di hutan dan simpanan biomas berkayu lainnya, (ii) hutan (forest) dan padang alangalang (grassland) yang dikonversi, (iii) lahan pertanian (croplands), lahan penggembalaan (pastures), dan hutan tanaman (plantation forests) yang diterlantarkan atau lahan yang dikelola lainnya (other managed lands), (iv) emisi dan serapan CO2 dari tanah, dan (v) lainnya. IPCC GL 1996 tersebut direvisi melalui GPG 2003 dan terakhir IPCC GL 2006. Aplikasi IPCC GL 2006 diharapkan akan menghasilkan inventarisasi yang lebih akurat, mengurangi ketidak pastian (reduced uncertainty), konsisten dalam pembagian kategori lahan dan estimasi serapan dan emisi GRK untuk seluruh kategori lahan, stok karbon (carbon pool) yang relevan, serta non CO2 gas (berdasarkan analisis key source/sink category). Ketersediaan data perubahan penggunaan lahan (activity data) dan faktor emisi dan serapan terhadap seluruh kategori lahan, carbon pool dan non-CO2 gas yang terkait sangat menentukan tingkat akurasi inventarisasi.
14
RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF 2010-2014
Penelitian ini merupakan aplikasi penghitungan emisi menggunakan tabel-tabel IPCC GL 2006, dengan wilayah studi di Sumatera dan Papua. Penelitian meliputi aplikasi penghitungan GRK menggunakan IPCC GL 2006 di Indonesia, hambatan yang ada, data pendukung yang diperlukan serta rekomendasi untuk meningkatkan akurasi dari metode ini di Indonesia. Penelitian dan kajian ini diharapkan akan menghasilkan cara aplikasi IPCC GL 2006 sehingga bisa dilakukan oleh para pihak yang berkepentingan dengan pengukuran, pemantauan dan pelaporan pengurangan atau penambahan emisi GRK di Indonesia. Hasil aplikasi penghitungan emisi merupakan informasi yang menjadi masukan untuk penetapan REL. Selain itu akan dilakukan kajian secara khusus mengenai berbagai metode/alternatif untuk menentukan REL pada skala nasional maupun sub nasional.
IX. Instansi Pelaksana, Rencana Tata Waktu, dan Rencana Biaya Pelaksana RPI adalah Puslitosek dan UPT lingkup Badan Litbang Kehutanan, yang relevan dengan topik penelitian serta representasi lokasi penelitian. Jangka waktu RPI adalah 5 tahun mulai tahun 2010 sampai tahun 2014. Jadwal untuk setiap kegiatan selama tahun 2010-2014, instansi pelaksana, dan kebutuhan anggaran adalah sebagai berikut : Table 7. Matriks instansi pelaksana, tata waktu dan rencana biaya Kode
Program/RPI/Luaran/ Kegiatan
Instansi pelaksana
Tahun (juta rupiah) 2010
2011
2012
2013
2014
PROGRAM 7 PERUBAHAN IKLIM
17
Pengembangan Perhitungan Emisi GRK Kehutanan
17.1
Luaran 1 : Rekomendasi sistem inventarisasi GRK kehutanan
17.1.1
Kajian metode inventarisasi GRK
17.1.1.4 17.1.2 17.1.2.4 17.1.3 17.1.3.4 17.1.4 17.1.4.4
Puslitsosek
75
75
75
75
75
75
Kajian Institusi dan Data Kegiatan (Activity Data) Puslitsosek Kajian faktor emisi dan serapan Puslitsosek
Kajian pengurangan emisi dari hasil substitusi penggunaan energi fosil menjadi biomas Puslitsosek
75
75
Pengembangan Perhitungan Emisi GRK Kehutanan (Inventory)
15
Kode 17.1.5
Program/RPI/Luaran/ Kegiatan
Tahun (juta rupiah) 2010
2011
2012
75
75
75
75
2013
2014
Kajian sistem monitoring dan pelaporan
17.1.5.4 17.1.6
Instansi pelaksana
Puslitsosek Kajian target penurunan emisi kehutanan 26 %
17.1.6.4
Puslitsosek
17.2
Luaran 2 : Teknik perhitungan karbon untuk perbaikan faktor emisi dan serapan GRK kehutanan (hutan alam dan hutan tanaman)
17.2.1
Perhitungan karbon untuk perbaikan faktor emisi dan serapan GRK Kehutanan pada Hutan Alam Gambut
17.2.1.4
Puslitsosek
17.2.1.15 17.2.2
BPK Banjarbaru
150
100
100
150
Perhitungan karbon untuk perbaikan faktor emisi dan serapan GRK Kehutanan pada Hutan Alam Tanah Mineral
17.2.2.4
Puslitsosek
17.2.2.6
BBPD Samarinda
17.2.2.19
BPK Manokwari
17.2.3
70
150
150
150
150
150
150
150
150
107
150
150
150
Perhitungan karbon untuk perbaikan faktor emisi dan serapan GRK Kehutanan pada Hutan Tanaman Gambut
17.2.3.4
Puslitsosek
150
150
150
17.2.3.8
BPHPS Kuok
100
100
100
17.2.3.9
BPK Palembang
100
100
100
17.2.4
150
Perhitungan karbon untuk perbaikan faktor emisi dan serapan GRK Kehutanan pada Hutan Tanaman Tanah Mineral
17.2.4.4
Puslitsosek
150
150
150
150
17.2.4.11
BPK Ciamis
100
100
100
100
17.2.4.14
BPK Kupang
100
100
100
100
17.2.4.6
BBPD Samarinda
150
150
150
127
17.3
Luaran 3 : Informasi hasil aplikasi perhitungan emisi GRK (Metode IPCC)
17.3.1
Aplikasi perhitungan emisi GRK di Wilayah Sumatera
17.3.1.4
Puslitsosek
17.3.1.8
BPHPS Kuok
17.3.1.9 17.3.2 17.3.2.4
150 100
BPK Palembang
100
100
Puslit Sosek
100
100
2350
1900
100
Kajian Penentuan REL TOTAL ANGGARAN
16
150
RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF 2010-2014
454
2000
600
X.
Organisasi
Penelitian akan dilaksanakan dibawah kordinasi Puslitsosek, dengan melibatkan instansi terkait lingkup Badan Litbang Kehutanan. Jika diperlukan, akan ditempuh mekanisme outsourcing dari instansi lain seperti IPB, Ditjen Planologi, PHKA, RLPS, dan instansi terkait lainnya.
XI. Daftar Pustaka Baumert, K.A, T. Herzog and J. Pershing. 2005. Navigating the Numbers : Greenhouse Gas Data and International Climate Policy. World Resource Institute. Boer, R., Hendri and Gintings, N.: 1999. ‘Emissions and uptake of greenhouse gases by Indonesian forest’. Paper delivered to F7 network. First National Communication. 1999. The Indonesia First National Communication to the UNFCCC. KLH. Indonesia. IPCC. 2001. IPCC Third Assessment Report IPCC. 1996. Revised 1996 IPCC Guidelines for National Greenhouse Gas Inventories. IGES, Japan. IPCC IPCC. 2003. Good Practice Guidance for Land Use, Land-Use Change and Forestry. Intergovernmental Panel on Climate Change. IPCC National Greenhouse Gas Inventories Programme. IGES. Japan. IPCC. 2006. IPCC Guidelines for National Greenhouse Gas Inventories. IPCC National Greenhouse Gas Inventories Programme. IGES, Japan. PEACE. 2007. Indonesia and Climate Change: Current Status and Policies. DFID, World Bank. Stern, N. 2007. ‘The Stern Review: The Economics of Climate Change. Cambridge University Press. Cambridge.
Pengembangan Perhitungan Emisi GRK Kehutanan (Inventory)
17
XII. Kerangka Kerja Logis No
NARASI
A.
Tujuan: Menyediakan informasi, pengetahuan dan teknologi perhitungan emisi dan serapan gas rumah kaca (GRK) kehutanan
INDIKATOR
ALAT VERIFIKASI
ASUMSI
Tersedianya informasi ilmiah mengenai : • inventarisasi GRK kehutanan, • database faktor emisi dan serapan GRK, • data kegiatan (activity data) yang diperlukan untuk inventarisasi GRK kehutanan, • model/template perhitungan, monitoring dan pelaporan emisi GRK, • hasil aplikasi IPCC dalam inventarisasi GRK kehutanan.
Dokumen dalam bentuk laporan, policy brief dan publikasi ilmiah mengenai inventarisasi GRK kehutanan, database faktor emisi atau serapan GRK, data kegiatan (activity data) yang diperlukan untuk inventarisasi GRK kehutanan, model/template perhitungan, monitoring dan pelaporan emisi GRK, serta hasil aplikasi IPCC inventarisasi GRK kehutanan
Penelitian dilaksanakan, tidak ada kendala di lapangan, tersedia anggaran dan pelaksana kegiatan.
B.
Sasaran:
1.
Diketahuinya informasi tentang perhitungan emisi GRK kehutanan
Telah dilaksanakannya penelitian yang terkait dengan inventarisasi GRK kehutanan
Tersedianya LHP dan sintesis hasil penelitian/ kajian tentang inventarisasi GRK kehutanan.
Penelitian dilaksanakan, tidak ada kendala di lapangan, tersedia anggaran dan pelaksana kegiatan.
2.
Diketahuinya faktor serapan dan emisi lokal untuk berbagai jenis vegetasi atau hutan
Telah dilaksanakannya penelitian yang terkait dengan perhitungan karbon untuk perbaikan faktor serapan dan emisi lokal
Tersedianya LHP dan sintesis hasil penelitian/kajian tentang Faktor serapan atau emisi lokal
Sda
3.
Diaplikasikannya IPCC GL untuk inventarisasi GRK
Telah dilaksanakannya penelitian yang terkait dengan perhitungan emisi menggunakan IPCC GL
Tersedianya LHP dan publikasi ilmiah hasil perhitungan emisi menggunakan IPCC GL
Sda
18
RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF 2010-2014
No
NARASI
INDIKATOR
ALAT VERIFIKASI
ASUMSI
C.
Luaran
1.
Rekomendasi hasil kajian inventarisasi GRK kehutanan
Dilaksanakannya penelitian/kajian : 1) Metode inventarisasi 2) Institusi dan Data Kegiatan (Activity Data) 3) Faktor emisi dan serapan 4) Pengurangan emisi dari hasil substitusi penggunaan energi fossil menjadi biomas 5) Sistem monitoring dan pelaporan 6) Target penurunan emisi
-Dokumen sintesis hasil penelitian/ kajian tentang inventarisasi GRK kehutanan, -LHP, Policy Brief
Tidak ada kendala di lapangan, tersedia anggaran dan pelaksana kegiatan.
2.
Teknik perhitungan karbon untuk perbaikan faktor emisi dan serapan GRK kehutanan (hutan alam dan tanaman)
Dilaksanakannya penelitian teknik perhitungan karbon untuk perbaikan faktor emisi dan serapan GRK kehutanan pada hutan alam dan hutan tanaman gambut serta hutan alam dan hutan tanaman tanah mineral
• Dokumen sintesis hasil penelitian/ kajian tentang Faktor serapan dan emisi lokal • LHP, Policy Brief
Sda
3.
Informasi hasil aplikasi perhitungan emisi GRK (metode IPCC) dan metode REL
Dilaksanakannya penelitian aplikasi perhitungan emisi GRK (metode IPCC) dan metode REL
• Dokumen. hasil perhitungan emisi menggunakan IPCC GL • LHP, Policy Brief
Sda
Pengembangan Perhitungan Emisi GRK Kehutanan (Inventory)
19
No D.
NARASI
INDIKATOR
ALAT VERIFIKASI
ASUMSI
Kajian berhasil mengumpulkan informasi terkini (state of the art) tentang inventarisasi GRK, faktor emisi dan serapan, substitusi penggunaan energi fosil menjadi biomas serta sistem monitoring dan pelaporan.
Dokumen rencana dan hasil kajian/ penelitian, presentasi dan publikasi hasil penelitian/kajian
Penelitian dilaksanakan, tidak ada kendala di lapangan, tersedia anggaran dan pelaksana kegiatan.
Penelitian menghasilkan faktor emisi dan serapan lokal GRK
Dokumen rencana dan hasil kajian/ penelitian, presentasi dan publikasi hasil penelitian/kajian
Sda
Kegiatan 1.1 1.2
1.3 1.4
1.5
1.6
2.1.
2.2.
Kajian metode inventarisasi GRK Kajian Institusi dan Data Kegiatan (Activity Data) Kajian faktor emisi dan serapan Kajian pengurangan emisi dari hasil substitusi penggunaan energi fosil menjadi biomas Kajian sistem monitoring dan pelaporan Kajian target penurunan emisi kehutanan 26 % Perhitungan karbon untuk perbaikan faktor emisi dan serapan GRK kehutanan pada hutan alam gambut Perhitungan karbon untuk perbaikan faktor emisi dan serapan GRK kehutanan pada hutan alam mineral
2.3. Perhitungan karbon untuk perbaikan faktor emisi dan serapan GRK kehutanan pada hutan tanaman gambut 2.4. Perhitungan karbon untuk perbaikan faktor emisi dan serapan GRK kehutanan pada hutan tanaman mineral
20
RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF 2010-2014
No
NARASI 3.1. Aplikasi Perhitungan emisi GRK (metode IPCC) di wilayah Sumatera 3.2. Kajian penentuan REL
INDIKATOR
ALAT VERIFIKASI
Diketahuinya emisi GRK untuk wilayah Sumatera, metode penentuan REL serta rekomendasi perbaikan dalam rangka aplikasi perhitungan emisi menggunakan IPCC GL
Dokumen rencana dan hasil perhitungan emisi GRK metode IPCC dan metode REL
ASUMSI Sda
Pengembangan Perhitungan Emisi GRK Kehutanan (Inventory)
21
22
RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF 2010-2014
Adaptasi Bioekologi dan Sosial Ekonomi Budaya terhadap Perubahan Iklim
Adaptasi Bioekologi dan Sosial Ekonomi Budaya terhadap Perubahan Iklim
i
ii
RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF 2010-2014
Lembar Pengesahan
Adaptasi Bioekologi dan Sosial Ekonomi Budaya terhadap Perubahan Iklim
iii
iv
RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF 2010-2014
Daftar Isi Lembar Pengesahan ................................................................................... iii Daftar Isi ....................................................................................................... v Daftar Gambar ............................................................................................ vi Daftar Tabel ............................................................................................... vii Daftar Singkatan ......................................................................................... ix I.
Abstrak ................................................................................................1
II.
Latar Belakang .....................................................................................1
III.
Rumusan Masalah .............................................................................. 3
IV.
Tujuan dan Sasaran ............................................................................ 4
V.
Luaran ................................................................................................ 4
VI.
Ruang Lingkup .................................................................................... 5
VII.
Metode ............................................................................................ 10
VIII. Instansi Pelaksana, Rencana Tata Waktu, dan Rencana Biaya ........17 IX.
Organisasi ......................................................................................... 19
X.
Daftar Pustaka .................................................................................. 19
XI.
Kerangka Kerja Logis ........................................................................ 22
Adaptasi Bioekologi dan Sosial Ekonomi Budaya terhadap Perubahan Iklim
v
Daftar Gambar Gambar 1. Ekosistem hutan, barang dan jasa hutan serta hubungannya dengan kehidupan manusia (sumber : Locatelly (2008), Seppala (2009)) ........................... 11 Gambar 2. Kerentanan ekosistem dan masyarakat (sumber: Locatelly (2008)) ......................................................12 Gambar 3. Konsep Kerentanan terhadap Perubahan ...............................12
vi
RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF 2010-2014
Daftar Tabel Table 1. Kegiatan penelitian, instansi pelaksana, tata waktu dan rencana biaya ............................................................................. 18
Adaptasi Bioekologi dan Sosial Ekonomi Budaya terhadap Perubahan Iklim
vii
viii
RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF 2010-2014
Daftar Singkatan
AC
: Adaptive Capacity
AHP
: Analytic Hierarchy Process
ANP
: Analytic Network Process
BBPBTH : Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan BPHPS
: Balai Penelitian Hutan Penghasil Serat
BPK
: Balai Penelitian Kehutanan
IAM
: Integrated assessment models
IPCC
: International Panel on Climate Change
LHP
: Laporan hasil penelitian
RPI
: Rencana Penelitian Integratif
Adaptasi Bioekologi dan Sosial Ekonomi Budaya terhadap Perubahan Iklim
ix
x
RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF 2010-2014
I.
ABSTRAK
Perubahan iklim sudah terjadi dan dampaknya telah dirasakan banyak pihak. Perubahan iklim yang ditandai dengan cuaca ekstrim, meningkatnya permukaan air laut dan suhu udara, pergeseran musim dan intensitas curah hujan, berpengaruh pada ekosistem hutan juga kehidupan manusia. Pengaruh perubahan iklim sangat terasa terutama di negara-negara berkembang, khususnya pada masyarakat kurang mampu yang penghidupannya tergantung pada sumber daya alam (hutan). Berbagai keterbatasan menjadikan mereka tidak mempunyai banyak pilihan kecuali beradaptasi dengan lingkungan yang sudah berubah agar tetap dapat bertahan hidup. Pemerintah sebagai penanggung jawab Negara dan kehidupan masyarakat sejahtera sangat penting perannya dalam penyusunan strategi adaptasi dan pelaksanaannya. Di Indonesia, belum didapat banyak informasi tentang kerentanan ekosistem hutan dan masyarakat terhadap perubahan iklim serta bentuk adaptasinya. Penelitian terkait dengan hal ini masih sangat terbatas dan perlu dilakukan untuk mendapatkan basis ilmiah penyusunan strategi adaptasi. Penelitian ‘Adaptasi Bioekologi dan Sosial Ekonomi Budaya Masyarakat Terhadap Perubahan Iklim’ tahun 2010 hingga 2014 diharapkan akan menghasilkan publikasi, policy bief, dan rekomendasi terkait dengan strategi adaptasi dalam pengelolaan sumber daya hutan dan masyarakat di dalam dan sekitar hutan. Penelitian ini mentargetkan empat luaran: i. Hasil analisis tentang kerentanan hutan tropis terhadap perubahan iklim dan rekomendasi kebijakan adaptasinya; ii. Informasi atau hasil analisis tentang adaptasi spesies dan genetik terhadap perubahan iklim; iii. Hasil analisis tentang kerentanan sosial ekonomi masyarakat di dalam dan sekitar hutan terhadap perubahan iklim dan cuaca ekstrim dan rekomendasi kebijakan untuk meningkatkan resiliensi masyarakat terhadap perubahan iklim; iv. Basis kebijakan penanggulangan dampak perubahan iklim terhadap ekosistem hutan dan masyarakat. Kata kunci : adaptasi, bioekologi, sosial ekonomi, budaya, perubahan iklim, kerentanan
II.
Latar Belakang
Terjadinya perubahan iklim telah dilansir oleh International Panel on Climate Change (IPCC). Perubahan iklim merupakan masalah bersama dan dampaknya dirasakan manusia diberbagai belahan bumi. Adanya perubahan iklim dapat dilihat antara lain melalui naiknya permukaan air laut, mencairnya tutupan es di daerah kutub, meningkatnya frekuensi kebakaran, mewabahnya hama penyakit dan munculnya banyak badai dan cuaca ektrim (IPPC, 2007a).
Adaptasi Bioekologi dan Sosial Ekonomi Budaya terhadap Perubahan Iklim
1
Perubahan iklim terjadi karena banyaknya CO2 di atmosfir. Keadaan ini memberikan dampak terhadap ekosistem hutan dan kehidupan manusia, terutama mereka yang berdomisili di negara berkembang, kurang mampu kondisi sosial ekonominya dan penghidupannya tergantung pada hutan. Hasil penelitian di berbagai negara antara lain menunjukkan adanya perubahan fenologi dan produktivitas tumbuhan, pergerakan spesies, jumlah populasi tumbuhan pohon, merebaknya serangga, dan perubahan distribusi spesies (Ayres et al. 2009a; Fischlin et.al. 2009). Didapatkan juga bahwa dampak perubahan iklim lebih terlihat nyata pada hutan boreal dari pada tipe hutan lainnya, namun berbagai faktor terkait dengan kerentanan hutan terhadap perubahan iklim lebih terlihat nyata di hutan tropis (Ayres et al. 2009a). Terkait dengan masyarakat, perubahan iklim yang berpengaruh pada ketersediaan air berdampak pada sumber nafkah, ketahanan pangan, juga kesehatan (Neil Adger et.al. 2009). Kondisi ini memberikan stres sosial. Dampak dari perubahan iklim berbeda dari satu tempat ke tempat lain dikarenakan perbedaan tingkat kerentanan ekosistem hutan dan masyarakat yang tinggal di dalam dan sekitar hutan. Untuk tetap bertahan hidup atau mempertahankan kelestariannya, baik tanaman, hewan maupun manusia perlu beradaptasi. Adaptasi merupakan upaya makhluk hidup yang mengarah pada persiapan atau penyesuaian diri terhadap dampak perubahan iklim yang sedang terjadi. Adaptasi menjadi semakin penting artinya dan sangat perlu untuk dilakukan karena upaya melakukan mitigasi terhadap perubahan iklim tidak cukup. Perubahan iklim tidak dapat sepenuhnya dihindari dan berbagai kebijakan terkait dengan mitigasi memerlukan waktu untuk dapat berjalan dengan efektif. Individu, masyarakat maupun pemerintah perlu menyadari adanya perubahan iklim dan mempersiapkan berbagai strategi untuk beradaptasi, termasuk strategi yang bersifat antisipatif. Untuk mendapatkan strategi adaptasi yang sesuai diperlukan informasi tentang kerentanan ekosistem hutan dan masyarakat terhadap perubahan iklim. Namun belum banyak penelitian di Indonesia mengarah kesana. Oleh karena itu, penelitian ‘Adaptasi Bioekologi dan Sosial Ekonomi Budaya Masyarakat Terhadap Perubahan iklim’ akan mengakses kerentanan dan kapasitas adaptasi dari ekosistem hutan, vegetasi dan masyarakat di dalam dan sekitar hutan terhadap perubahan iklim dan cuaca ekstrim, serta mendapatkan model dampak perubahan iklim terhadap ekosistem hutan, sosial ekonomi masyarakat dan biaya adaptasi. Hasil penelitian ini antara lain dimaksudkan untuk menyediakan ilmu pengetahuan dan teknologi adaptasi, serta memberi masukan ilmiah kepada para pengambil kebijakan sebagai bahan pertimbangan pembuatan kebijakan terkait
2
RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF 2010-2014
dengan adaptasi perubahan iklim, dasar pembuatan berbagai opsi adaptasi untuk menghindari dampak yang membahayakan dari perubahan iklim, dan memanfaatkan keuntungan dari kesempatan yang diberikan oleh perubahan iklim.
III. Rumusan Masalah Sumber daya alam (hutan) dan manusia atau masyarakat (yang oleh Koentjaraningrat, 1984, didefinisikan sebagai kolektif manusia dalam arti yang seluas-luasnya yang terikat oleh suatu kebudayaan yang mereka pandang sama) keberadaannya saling mengkait. Hutan menyediakan produk barang dan jasa kepada masyarakat, dan masyarakat melakukan pengelolaan terhadap hutan dengan harapan untuk mendapat produk barang dan jasa hutan secara lestari. Di Indonesia, sumber daya hutan mendapat tekanan kuat dari luar. Krisis pangan, energi, dan air bersih yang dialami bangsa Indonesia, menjadikan hutan makin dituntut perannya untuk memasok kebutuhan hidup khalayak luas. Kawasan hutan yang mencapai 120 juta ha (60% dari total luas daratan) pada akhirnya perlu dikelola dengan bijak agar menghasilkan produk dan jasa hutan secara lestari serta tetap terjaganya aspek perlindungan dan konservasi. Perubahan iklim langsung maupun tidak langsung berpengaruh pada ekosistem hutan, namun ekosistem hutan mampu mencapai klimaksnya yang baru pada kondisi yang berbeda (Andreas Fischlin et.al 2009). Hasil penelitian di berbagai negara seperti Finlandia, Nigeria, India, Australia, Canada dsb menunjukkan bahwa perubahan iklim berpengaruh pada merebaknya hama dan penyakit tanaman, frekuensi kebakaran, produk barang dan jasa hutan serta fenologi, kehidupan dan kesehatan manusia, dsb (Andreas Fischlin, 2009; Matthew Ayres, 2009a; Matthew Ayres, 2009b). Perubahan iklim baik langsung maupun tidak langsung berpengaruh pada kehidupan masyarakat. Meski banyak diantara masyarakat tidak memahami perubahan iklim, mereka yang penghidupannya dari hasil pertanian dan bergantung pada sumber daya alam (hutan) merasakan dampaknya. Sebagaimana terjadi di Desa Wonorejo, Kecamatan Banyu Putih, Kabupaten Situbondo, Propinsi Jawa Timur, musim kemarau dirasakan masyarakat menjadi lebih panjang dan ketersediaan air menurun, menjadikan hasil pertanian menurun dan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga selama 1 tahun. Kondisi ini menjadikan mereka lebih sering masuk ke hutan untuk pemenuhan kebutuhan pangan, ekonomi (uang tunai) dan energi (kayu bakar). Pengelola Taman Nasional Baluran,
Adaptasi Bioekologi dan Sosial Ekonomi Budaya terhadap Perubahan Iklim
3
Propinsi Jawa Timur merasakan dalam kawasan mereka terjadi kekurangan pasokan air untuk minum dan berkubang satwa. Banyak kubangan yang mengering dan secara rutin harus diisi air agar satwa-satwa bertahan hidup dan tidak lari keluar kawasan guna mencari air. Adaptasi terhadap perubahan iklim merupakan upaya makhluk hidup (manusia, hewan dan tumbuhan) untuk tetap bertahan pada kondisi lingkungan yang telah berubah. Adaptasi juga dimaksudkan sebagai upaya melestarikan ekosistem hutan untuk dapat menghasilkan barang dan jasa secara lestari bagi kepentingan masyarakat dan makhluk hidup lain yang tinggal di dalam dan sekitarnya. Adaptasi yang dilakukan dapat bersifat antisipatif atau reaktif, autonomous atau terencana, sektoral atau multisektoral. Di Indonesia, penelitian terkait dengan dampak perubahan iklim terhadap ekosistem hutan dan masyarakat belum banyak dilakukan, sehingga belum banyak diketahui tingkat kerentanan mereka dan upaya adaptasinya. Pada akhirnya pengelolaan hutan tropis, kebijakan dan program pembangunan terkait dengan sektor kehutanan perlu memperhatikan dampak perubahan iklim dan potensi adaptasi ekosistem hutan dan masyarakat agar kepentingan khalayak umum terhadap pemenuhan ekonomi, pangan, energi dan air dapat terpenuhi secara lestari. Penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan kepada para pengambil keputusan dalam penyempurnaan kebijakan dan pengelolaan sumber daya alam (hutan) terkait dengan dampak dan strategi adaptasi terhadap perubahan.
IV. Tujuan dan Sasaran A. Tujuan Menyediakan ilmu pengetahuan tentang tingkat kerentanan hutan dan masyarakat serta adaptasinya terhadap perubahan iklim.
B. Sasaran Diperolehnya informasi tentang tingkat kerentanan hutan dan sosial ekonomi masyarakat di dalam dan sekitar hutan serta tersedianya basis ilmiah untuk penyusunan strategi adaptasi terhadap perubahan iklim.
V.
Luaran
RPI ‘Adaptasi Bioekologi dan Sosial Ekonomi Budaya Terhadap Perubahan Iklim’ diharapkan memberikan 4 (empat) luaran, yaitu:
4
RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF 2010-2014
1.
Hasil analisis tentang kerentanan hutan tropis terhadap perubahan iklim dan rekomendasi kebijakan adaptasinya 2. Informasi hasil analisis tentang adaptasi spesies dan genetik terhadap perubahan iklim 3. Hasil analisis tentang kerentanan sosial ekonomi masyarakat di dalam dan sekitar hutan terhadap perubahan ikilm dan cuaca ekstrim, dan rekomendasi kebijakan untuk meningkatkan resiliensi masyarakat terhadap perubahan iklim dan cuaca ekstrim 4. Basis kebijakan penanggulangan dampak perubahan iklim terhadap ekosistem hutan dan masyarakat di masa mendatang Luaran tersebut dapat berupa publikasi ilmiah dan popular minimal sebanyak 5 buah dan policy brief.
VI. Ruang Lingkup Penelitian ‘Adaptasi Bioekologi dan Social Ekonomi Masyarakat Terhadap Perubahan Iklim’ akan dilakukan dari tahun 2010 hingga 2014. Penelitian ini akan melihat kondisi hutan, vegetasi dan satwa, genetis tumbuhan, produktivitas dan fenologinya, masyarakat di dalam dan sekitar hutan yang penghidupannya bergantung pada sumber daya hutan, dan melakukan modeling dampak perubahan iklim terhadap hutan, sosial ekonomi masyarakat, dan biaya adaptasi. Lingkup RPI meliputi 4 (empat) kegiatan yang terintegrasi. Kegiatan-kegiatan dimaksud beserta cakupan masing-masing kegiatan tersebut adalah sebagai berikut:
A. Analisis Kerentanan Hutan Terhadap Perubahan Iklim Meliputi 4 (empat) kegiatan, yaitu: 1.
Analisis kerentanan tumbuhan hutan akibat perubahan iklim dan cuaca ekstrim Secara konsep, perubahan satu atau lebih dimensi iklim (a.l. temperature dan curah hujan) akan mempengaruhi proses ekosistem hutan (Ayres, et.al. 2009). Perubahan dari proses ekosistem dapat berdampak pada distribusi, biodiversitas dan jasa ekosistem. Terkait dengan konsep tersebut, cakupan analisa ini meliputi dua atau lebih hal berikut: i. perubahan luasan dan distribusi tipe hutan; ii. komposisi spesies tumbuhan hutan; iii. perpindahan ekosistem hutan (misal dari hutan spruce ke hutan pinus, atau dari hutan ke savana - Nobre and Oyama 2003, Fischlin et al. 2007, Mendes 2007); iv. kelangsungan hidup seedling dan sapling; v. hilangnya flora dan fauna endemik yang lazim di
Adaptasi Bioekologi dan Sosial Ekonomi Budaya terhadap Perubahan Iklim
5
suatu daerah (biodiversitas), dan vi. invasi hama dan penyakit tanaman atau spesies baru. Hal ini pada akhirnya dapat mempengaruhi stabilitas ekologi. 2. Analisis kerentanan satwa hutan akibat perubahan ilim dan cuaca ekstrim Perubahan iklim diduga berperan terhadap keberadaan satwa termasuk species langka di masa mendatang. Hal ini dikarenakan perubahan iklim diduga mempengaruhi kondisi habitat satwa, juga musim berbunga dan produksi biji/buah yang merupakan pakan satwa, ketersediaan air, suhu udara, dsb. Terkait dengan hal tersebut, analisa kerentanan satwa terhadap perubahan iklim mencakup dua atau lebih hal berikut: perubahan perilaku satwa, kemampuan reproduksi, besaran populasi, kemampuan untuk bertahan hidup, perubahan distribusi, wabah hama dan penyakit satwa, serta pola migrasi. 3. Kerentanan jasa hutan air akibat perubahan iklim dan cuaca ekstrim Perubahan iklim mempengaruhi keberadaan air, sebagaimana terjadi di Bali Barat, Indonesia. Perubahan iklim menyebabkan berkurangnya air untuk bertani dan pemenuhan kebutuhan air minum. Disisi lain, perubahan iklim di Philippines menjadikan jumlah penduduk yang kekurangan air berkurang (Seppala, 2009). Perubahan iklim dalam kaitannya dengan jasa hutan (air) secara khusus akan menganalisa pengaruh perubahan iklim terhadap ketersediaan dan kontinuitas air (penurunan atau peningkatan kapasitas air) di sungai, dam, reservoir air dsb. Bila memungkinkan, penting juga untuk mengetahui dampak perubahan iklim terhadap kualitas air (misal salinitas air karena adanya intrusi air laut ke daratan). 4. Analisis dampak perubahan iklim dan cuaca ekstrim terhadap produktivitas hutan dan fenologi Fenologi adalah aktivitas musiman hewan dan tumbuhan. Pergeseran fenologi sebagai dampak dari pemanasan global antara lain berupa pergeseran musim kawin, pertunasan dan pembungaan tumbuhan. Perubahan iklim juga diperkirakan mempengaruhi produktivitas hutan. Produktivitas hutan tropis diperkirakan meningkat bila tersedia cukup air (Seppala, 2009). Dalam analisis dampak perubahan iklim terhadap produktivitas hutan dan fenologi akan mencakup pergeseran fenologi dan produktivitas hutan tropis terutama kayu dan pangan.
6
RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF 2010-2014
B. Informasi hasil analisis tentang adaptasi spesies dan genetik terhadap perubahan iklim Perubahan iklim menjadikan tanaman perlu beradaptasi untuk mempertahankan kelestariannya. Bentuk adaptasi dimungkinkan dengan berbagai cara seperti plastisitas fenotipik, migrasi untuk mendapatkan kondisi yang sesuai, atau evolusi. Untuk mengantisipasi dan mempertahankan kelangsungan hidup tanaman pohon umur panjang, sangat diperlukan sumber benih spesifik dari spesies dengan karakter adaptif yang cocok dengan prediksi perubahan iklim yang akan datang. Beberapa karakter adaptif pada tanaman dapat dilihat dari persen hidup, pertumbuhan, ketahanan terhadap kekeringan, dll (Bradley St Clair dan Howe, 2007). Terkait dengan hal tersebut, analisis adaptasi spesies dan genetik terhadap perubahan iklim akan meliputi 3 hal berikut: 1.
Identifikasi spesies pohon yang potensial untuk dikembangkan di ekosistem pantai dan daerah kering, ekosistem hutan dataran rendah, ekosistem pegunungan dan sebaran alaminya Untuk kepentingan ini akan dilakukan identifikasi jenis di sebaran alami spesies pohon yang potensial untuk dikembangkan di ekosistem pantai dan pegunungan.
2. Koleksi materi genetik dari spesies teridentifikasi dari berbagai variasi habitat untuk uji spesies & uji provenans Koleksi materi genetik akan dilakukan dengan cara mengumpulkan benih di habitat-habitat alami termasuk habitat yang ekstrim pada saat musim berbuah. 3. Uji provenansi spesies teridentifikasi di lahan masyarakat Uji penanaman pada lokasi yang baru dan cocok dengan gambaran prediksi perubahan iklim yang akan datang (misal daerah kering, daerah bergaram tinggi, dll) diharapkan merupakan langkah tepat untuk menyediakan species dan genotip yang tahan di daerah-daerah berkondisi ekstrim atau marginal. Terkait dengan kegiatan ini akan dilakukan 2 hal: i. pembibitan spesies dari masing-masing provenans biji yang terkumpul dan pembibitan spesies yang sudah dimuliakan; ii. Pelaksanaan pembangunan uji species, uji provenans dan genetik, pemeliharaan dan evaluasi. Pada ekosistem pegunungan hanya akan dilakukan identifikasi spesies dan dokumentasi berbagai karakter lingkungan tempat spesies tumbuh yang meliputi: iklim mikro dan karakter fisiologisnya. Hal ini dikarenakan sulitnya mencari lokasi penelitian di ekosistem pegunungan untuk uji
Adaptasi Bioekologi dan Sosial Ekonomi Budaya terhadap Perubahan Iklim
7
spesies dan uji genetik. Dalam uji spesies dan uji genetik dipersyaratkan kondisi yang seragam, meliputi keseragaman lingkungan (perbedaan kelerengan tidak lebih dari 5%) dan keseragaman edapik (keseragaman tanah dalam blok) dan lokasi yang memenuhi persyaratan tersebut tidak mudah didapat. Bila memungkinkan akan dilakukan juga uji spesies dan uji genetik pada ekosistem hutan dataran rendah yang merupakan ekosistem antara (antara ekosistem pantai dan ekosistem pegungan). Spesies yang akan di identifikasi pada ekosistem antara adalah spesies yang sudah dimuliakan. Hal ini terkait dengan upaya besar-besaran untuk merehabilitasi kawasan hutan dan terjadinya penggundulan hutan. Replikasi di beberapa tempat akan dilakukan untuk mengetahui kondisi adaptasi terhadap perubahan ilklim.
C. Hasil analisis tentang kerentanan sosial ekonomi masyarakat di dalam & sekitar hutan terhadap perubahan iklim dan cuaca ekstrim & rekomendasi kebijakan untuk meningkatkan resistensi masyarakat terhadap perubahan iklim Perubahan iklim diperkirakan berdampak pada kapasitas hutan untuk menyediakan jasa ekosistem. Hal ini memberikan konsekuensi yang cukup besar terhadap kehidupan masyarakat, terutama mereka yang kurang mampu dan kehidupannya sangat tergantung pada hutan. Adaptasi harus mereka lakukan untuk dapat bertahan hidup. Penaksiran kerentanan dan strategi adaptasi masyarakat terhadap perubahan iklim akan dikaitkan dengan ketahanan pangan, ketersedian energi, dan kelangsungan ekonomi. Penaksiran akan mempertimbangkan berbagai faktor seperti kondisi sosial ekonomi keluarga atau komunitas, lokasi geografi dan latar belakang budaya, akses mereka terhadap sumber daya alam (hutan), serta program pembangunan dan kebijakan pemerintah setempat. Bentuk adaptasi yang dilakukan terhadap kehidupan masyarakat akan mempertimbangkan skala lokal dan regional; strategi adaptasi yang dilakukan (proaktif atau reaktif, autonomous atau terencana, sektoral atau multisektoral); kendala serta biaya adaptasi. Penelitian kerentanan masyarakat terhadap perubahan iklim masih relatif baru di sektor kehutanan dan berbagai metode digunakan untuk mengukur tingkat kerentanan masyarakat. Penelitian ini dimaksudkan juga untuk mengeksplorasi berbagai metode yang dapat digunakan untuk mengetahui kerentanan masyarakat terhadap perubahan iklim di sektor kehutanan.
8
RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF 2010-2014
D. Basis kebijakan penanggulangan dampak perubahan iklim terhadap ekosistem hutan dan masyarakat di masa mendatang. Pola iklim di Asia Tenggara sudah berubah cukup nyata (Seppala, 2009) dan Stern Review (2007) menginformasikan bahwa Asia Tenggara, termasuk Indonesia, lebih rentan terhadap perubahan iklim di banding belahan bumi lainnya. Dengan demikian penting bagi Indonesia untuk mempunyai kebijakan yang efektif untuk penanggulangan dampak perubahan iklim terhadap ekosistem hutan dan masyarakat juga pengurangan terhadap kerentanan. Terkait dengan hal tersebut perlu diketahui pola dan proyeksi perubahan iklim, kerentanan hutan dan masyarakat serta proyeksinya ke depan, serta melakukan monitoring terhadap dampak perubahan iklim dan proyeksinya di masa mendatang. Informasi tersebut bermanfaat untuk menentukan bentuk atau opsi adaptasi yang tepat guna menghidari dampak yang membahayakan dari perubahan iklim, serta penentuan bentuk tindakan untuk meningkatkan resiliensi hutan dan masyarakat terhadap perubahan iklim. Terdapat tiga kegiatan yang akan dilakukan terkait dengan basis kebijakan penanggulangan dampak perubahan iklim terhadap ekosistem hutan dan masyarakat. Kegiatan dimaksud meliputi: 1.
Modeling dampak perubahan iklim terhadap ekosistem hutan Kegiatan ini akan memproyeksikan dampak perubahan iklim terhadap tumbuhan hutan, satwa, jasa (air), fenologi dan produktivitas hutan.
2. Modeling dampak perubahan iklim terhadap sosial ekonomi masyarakat di dalam dan sekitar hutan Perubahan iklim dapat berdampak pada skala desa hingga nasional. Kegiatan ini direncanakan untuk memproyeksikan dampak perubahan iklim terhadap kehidupan masyarakat, terutama mereka yang kurang mampu dan kehidupannya sangat tergantung pada hutan, minimal pada skala kecamatan dan terkait dengan ketahanan pangan, ketersediaan energi, dan keberlangsungan ekonomi. 3. Modeling biaya adaptasi dan peningkatan resiliensi terhadap perubahan iklim Kondisi sosial, ekonomi, dan kebijakan yang cukup dinamis menjadikan pemilihan bentuk adaptasi yang tepat tidak mudah didapat karena cukup kompleks dan menghadapi banyak pilihan. Adaptasi dapat berupa perubahan pola pengelolaan sumber daya alam (hutan, lahan, air, dsb), penggantian spesies, varietas, atau komposisi tanaman,
Adaptasi Bioekologi dan Sosial Ekonomi Budaya terhadap Perubahan Iklim
9
pembangunan infrastruktur, perubahan perilaku, teknologi, kebijakan, dsb. yang kesemuanya adaptif terhadap kondisi lingkungan baru. Adaptasi memerlukan waktu, daya upaya yang sungguh-sungguh dari berbagai pihak, dan dalam banyak hal memerlukan biaya cukup besar pada skala keluarga, kelompok masyarakat, desa, hingga skala nasional bahkan internasional. Studi yang dilakukan World Bank mendapatkan bahwa biaya adaptasi akan terus bertambah seiring dengan waktu. Besarnya biaya tersebut tergantung, antara lain, pada magnitude dari perubahan iklim, besarnya dampak dan tindakan atau bentuk adaptasi yang dilakukan. Modeling Biaya Adaptasi akan memberikan informasi besaran biaya untuk melakukan adaptasi juga aspek-aspek yang memerlukan biaya adaptasi yang besarnya cukup signifikan. Dalam modeling akan menimbang berbagai biaya adaptasi pada skope yang lebih besar pada skala nasional dan cross sectoral serta meliputi berbagai aspek (pengelolaan, teknologi, sosial ekonomi, dsb) dan akan memperhitungkan kebutuhan ke depan sehingga dapat diketahui keuntungan dari pilihan tindakan adaptasi di masa mendatang. Modeling juga membicarakan tentang ‘ketidakpastian (uncertainities) dan kemungkinan (probabilities)’, membantu memahami sensitivitas dari faktor-faktor yang beradaptasi dan saling berinteraksi serta konsekuensi biaya adaptasi, membantu mengidentifikasi biaya per sektor (yang beresiko), menunjukkan bahwa adaptasi akan mengurangi resiko kerusakan yang parah dari perubahan iklim dan biaya adaptasi yang lebih besar di masa mendatang.
VII. Metode A. Kerangka Konseptual 1.
Kerentanan Terhadap Perubahan Iklim
Hutan berperan penting bagi kehidupan manusia. Secara umum peran tersebut disajikan pada Gambar 1.
10
RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF 2010-2014
FREEDOM OF CHOICE AND ACTION HEALTH x Access to clean air and water x Strength x Feeling well
SECURITY x Personal safety x Secure resource access x Security from disaster
PROVISIONING x Wood products x Non-wood products x Water
BASIC MATERIAL FOR LIFE x Adequate livelihood x Sufficient nutritious food x Shelter x Access to goods
REGULATING x Climate Regulation x Food regulation x Disease regulation
GOOD SOCIAL RELATION x Social cohesion x Mutual respect x Ability to help others
CULTURAL x Aesthetic x Spiritual x Recreational
SUPPORTING SERVICES (Supporting necessary for the production of all other ecosystem services) x Nutrient cycling Primary production x Soil formation Provision of habitat x Biodiversity maintenance
Gambar 1. Ekosistem hutan, barang dan jasa hutan serta hubungannya dengan kehidupan manusia (sumber : Locatelly (2008), Seppala (2009))
Hutan menyediakan barang dan jasa lingkungan untuk kelangsungan hidup manusia. Sebaliknya manusia melakukan pengelolaan terhadap hutan dengan maksud untuk mendapatkan barang dan jasa hutan secara lestari. Perubahan iklim akan mempengaruhi ekosistem hutan dan manusia, secara positif ataupun negatif. Besarnya pengaruh tersebut tergantung pada sensitifitas dan kapasitas adaptasi dari ekosistem hutan, manusia atau masyarakat, serta kemampuan manajemen. Efek negatif akan menjadi makin besar di masa mendatang bila tidak dilakukan penanganan. Adanya pengaruh negatif ini menandakan bahwa ekosistem hutan dan manusia rentan terhadap perubahan iklim.
Adaptasi Bioekologi dan Sosial Ekonomi Budaya terhadap Perubahan Iklim
11
Climate Change
Other driver of change
Exposure
Vulnerability of a coupled human-environment system to the loss of ecosystem services Sensitivity
Ecosystem good & services
Ecosystem (hutan)
Management
Adaptive capacity
Adaptive Capacity
Sensitivity Society Adaptive capacity
Gambar 2. Kerentanan ekosistem dan masyarakat (sumber: Locatelly (2008))
Kerentanan terhadap perubahan iklim dalam International Panel on Climate Change (IPCC) diartikan sebagai keterbatasan kapasitas yang dimiliki untuk mengatasi konsekuensi negatif dari perubahan iklim. Kerentanan dapat juga diartikan sebagai derajat kemudahan suatu sistem terkena dampak, atau ketidakmampuan untuk menanggulangi dampak, termasuk dampak dari variabilitas iklim dan kondisi ekstrim. Hutan dan masyarakat memperlihatkan kerentanan yang berbeda terhadap iklim yang bervariasi, tergantung pada daerah dan tipe hutan, kondisi geografis, latar belakang budaya, kebijakan, kelembagaan, dsb. Metzger et al. (2006) dan IPCC (2007) mendefinisikan kerentanan sebagai fungsi dari eksposure, sensitifitas suatu sistim untuk berubah, dan kapasitas beradaptasi yang dipunyai (yaitu resilience). Gambaran umum dari konsep kerentanan terhadap perubahan iklim disajikan pada Gambar 3. Forest Climate Change
Good & Service
Forest Good and Services
Forest Good & Services
Society Society
Gambar 3. Konsep Kerentanan terhadap Perubahan
12
RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF 2010-2014
Faktor-faktor yang mempengaruhi kerentanan juga bervariasi. Sebagai contoh: masyarakat miskin dengan mobilitas geografis yang rendah akan lebih rentan terhadap dampak perubahan iklim dibandingkan dengan mereka yang mempunyai mobilitas tinggi. Mereka memerlukan kebijakan dan pengelolaan terhadap hutan tempat mereka bergantung untuk mengurangi kerentanan mereka (Reid and Huq, 2007). Pengelolaan hutan lestari sangat esensial untuk mengurangi kerentanan hutan terhadap perubahan iklim. Terdapat keterbatasan kapasitas hutan dan masyarakat (yang kehidupannya tergantung pada hutan) untuk beradaptasi terhadap perubahan iklim. Komitmen yang kuat diberbagai pihak pada level nasional maupun lokal sangat esensial untuk menghadapi berbagai tantangan dalam beradaptasi dan merealisasikan pengelolaan hutan lestari. Kerentanan manusia terhadap perubahan iklim ditentukan oleh berbagai faktor seperti kondisi sosial ekonomi dan latar belakang budaya dari suatu keluarga atau komunitas, akses terhadap sumber daya alam, lokasi geografi, infrastruktur, serta program pembangunan. Kondisi sosial ekonomi dan latar belakang budaya yang meliputi, antara lain, pendidikan formal dan informal, teknologi yang dimiliki, akses informasi, kemampuan ekonomi pada umumnya berpengaruh terhadap tindakan yang akan dilakukan atau kapasitas masyarakat dalam mengatasi atau mengantisipasi terjadinya suatu bencana atau sembuh kembali (recovery). Akses masyarakat terhadap sumber daya alam dapat membantu mengurangi besarnya bencana yang bakal diterima dan mengurangi kerentanan masyarakat karena hutan merupakan sumber ekonomi, pangan, energi, dll. Akses masyarakat ke sumber daya alam (khususnya hutan Negara) di Indonesia diatur pemerintah. Berbagai kebijakan dikeluarkan terkait dengan pemanfaatan hutan oleh masyarakat dan hal ini mempengaruhi kerentanan masyarakat juga kerentanan hutan. Lokasi geografis biasanya dikaitkan dengan lokasi pekerjaan atau lokasi tempat tinggal yang aman bencana serta ketersediaan infrastruktur (misal sarana irigasi, dam, saluran pembuangan air, dsb) akan berdampak pada magnitude kerawanan masyarakat terhadap bencana. Pemetaan lokasi geografis dan sarana infrastruktur yang tersedia dapat memberikan gambaran tentang kelompok masyarakat yang paling rentan terhadap bencana. Hal lain yang juga sangat penting artinya adalah program pemerintah terkait dengan pembangunan infrastruktur dan penanganan
Adaptasi Bioekologi dan Sosial Ekonomi Budaya terhadap Perubahan Iklim
13
atau antisipasi terhadap ancaman bencana, serta penerapan early warning system. Semua faktor tersebut menentukan kerentanan masyarakat, opsi adaptasi dan memilih satu atau kombinasi dari opsi adaptasi yang paling diinginkan serta paling praktis untuk dilaksanakan dan paling efektif. 2. Adaptasi Terhadap Perubahan iklim Adaptasi dalam IPCCC (2007b) didefinisikan sebagai penyesuaian dari alam atau manusia terhadap kondisi iklim aktual atau terhadap prediksi kondisi iklim yang bakal terjadi serta dampak yang akan ditimbulkan. Adaptasi dapat berupa antisipatif atau reaktif, autonomus atau terencana, sektoral atau multisektoral. Sebagai contoh, adaptasi biologi adalah autonomous dan reaktif. Namun manusia dengan kemampuan yang dimilikinya dapat melakukan berbagai macam tindakan terhadap perubahan sebagai upaya untuk beradaptasi. Mereka beradaptasi untuk mengurangi kerentanan atau meningkatkan ketahanan (resilience) guna mengantipasi perubahan-perubahan yang sudah diperkirakan bakal terjadi (adaptasi antisipatif) (Adger et al. 2007). Terkait dengan hutan, tidak ada cara universal yang dapat diterapkan untuk adaptasi hutan terhadap perubahan iklim. Pengelola hutan selayaknya fleksibel untuk menentukan bentuk adaptasi yang paling tepat pada kondisi setempat. Diperlukan pendekatan yang fleksibel dan sesuai dengan konteks yang ada serta tidak tergantung pada satu pilihan. Upaya adaptasi selayaknya menyediakan beberapa solusi teknis dengan mempertimbangkan kelembagaan di masyarakat. Strategi adaptasi banyak yang memfokuskan pada pengurangan kerentanan atau penguatan kemampuan untuk tetap bertahan terhadap efek perubahan iklim. Oleh karena itu kerentanan sangat erat kaitannya dengan adaptasi. Strategi adaptasi yang berorientasikan pada pengurangan kerentanan dapat meliputi (Adger et al.2007): 1.
Altering exposure, antara lain dengan sistem pemberitahuan dini (early warning system) 2. Pengurangan sensitivitas pada sistem yang terkena dampak antara lain dengan penanaman tanaman yang lebih tahan terhadap perubahan temperatur atau keterbatasan air, peningkatan kapasitas dam, atau pembangunan infrastruktur yang tahan terhadap banjir pada daerahdaerah yang rentan banjir.
14
RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF 2010-2014
3. Peningkatan ketahanan atau kemampuan untuk meredam gangguan sosial dan sistem ekologi yang memungkinkan populasi untuk pulih kondisinya seperti sedia kala. Dengan demikian, kapasitas untuk beradaptasi merupakan fungsi dari berbagai elemen, termasuk kemampuan untuk memodifikasi eksposure (keterbukaan) terhadap resiko yang terkait dengan perubahan iklim, kemampuan untuk dapat pulih dari kehilangan yang diakibatkan perubahan iklim, dan kemampuan untuk mendapatkan berbagai kesempatan baru yang muncul dalam proses beradaptasi (Adger dan Vincent, 2005). Pilihan terhadap opsi adaptasi dan kombinasinya sangat tergantung pada kerentanannya, yang sangat dipengaruhi antara lain oleh kondisi sosial ekonomi dari rumah tangga dan masyarakat, lokasi tempat mereka tinggal, hubungan atau jaringan kerja dan akses mereka pada sumber daya dan penguasa. Smit et al (2001) dalam Locatelli (2008) menyatakan bahwa kapasitas adaptasi ditentukan oleh sumberdaya ekonomi (termasuk keuangan, manusia), teknologi, informasi dan keterampilan, infrastruktur; institusi (termasuk regulasi), dan kesetaraan, dimana keterbatasan pada salah satu dari elemen diatas dapat membatasi kapasitas adaptif secara umum. Hal tersebut memberikan banyak sekali opsi adaptasi.
B. Metode Pengumpulan Data Data untuk kepentingan penelitian ini dikumpulkan dengan berbagai metode. Metode dimaksud meliputi: 1.
Desk study guna mendapatkan informasi tentang kondisi terkini dan mensinkronkan berbagai penelitian yang telah dilakukan oleh instansi lain terkait dengan adaptasi terhadap perubahan iklim. 2. Survey lapangan untuk mendapatkan data kuantitatif dan kualitatif. 3. Wawancara, konsultasi, dan diskusi kelompok dengan responden maupun para pakar terkait dengan topik penelitian.
C. Alat Analisis Penaksiran Kerentanan (Vulnerability) dalam penelitian ini akan memakai rumusan IPCC. Dinyatakan bahwa kerentanan merupakan fungsi dari tiga aspek: Exposure (E), Sensitivity (S) dan Adaptive Capacity (AC). Secara ringkas, rumusan tersebut dapat dituliskan sbb: V= f (Exposure+Sensitivity-Adaptive Capacity) 1.
Exposure dimaksudkan sebagai derajat (seberapa jauh) suatu sistem secara alamiah rentan terhadap perubahan iklim. Suhu dan curah hujan merupakan dua dari berbagai faktor dari iklim yang punya pengaruh
Adaptasi Bioekologi dan Sosial Ekonomi Budaya terhadap Perubahan Iklim
15
cukup signifikan terhadap kehidupan dan persebaran vegetasi hutan dan satwa. 2. Sensitivitas dimaksudkan sebagai “derajat atau tingkat suatu sistem terkena dampak sebagai akibat dari semua elemen perubahan iklim, termasuk karakteristik iklim rata-rata, variabilitas iklim, dan frekuensi serta besaran ekstrim. Dampak tersebut dapat merugikan ataupun menguntungkan. Efek-efek tersebut dapat secara langsung (seperti perubahan hasil panen karena perubahan iklim atau variabilitas temperatur) atau secara tidak-langsung (seperti kerusakan yang disebabkan oleh kenaikan frekuensi banjir di pesisir sebagai akibat dari kenaikan muka air-laut)” (McCarthy et al., 2001, p. 6). 3. Kapasitas adaptif (adaptive capacity) didefinisikan sebagai “kemampuan satu sistem untuk menanggulangi konsekuensi dari perubahan iklim atau menyesuaikan diri pada perubahan iklim (termasuk variabilitias iklim dan iklim ekstrim), mengurangi potensi kerusakan, atau mengambil keuntungan dari kondisi yang disediakan iklim yang berubah tersebut (McCarthy et al., 2001 dalam Locatelli et al. 2008). Kerentanan dan adaptasi terhadap perubahan iklim mempunyai cakupan cukup luas, meliputi sumber daya alam (hutan) dan para pemangku kepentingan di sektor kehutanan. Dengan demikian, RPI ini meliputi aspek yang cukup luas dari fisiologi tanaman, sosial-ekonomi, kebijakan, manajemen, teknologi, dsb. Oleh karena itu, alat analisa dalam RPI meliputi berbagai macam sesuai dengan data dan tujuannya. Alat analisa dimaksud antara lain: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12.
16
Analytic Hierarchy Process (AHP) Simple Ranking Simple Rating Expert Panel Judgment Fuzzy Logic Rapid Hydrological Assessment Analytic Network Process (ANP) Participatory Method Integrated assessment models (IAM) Participatory Vulnerability Assessment Adaptation assessment Analisa biaya (untuk pengadaan, pembangunan, kehilangan pendapatan)
RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF 2010-2014
D. Lokasi Penelitian Penelitian RPI ‘Adaptasi Bioekologi dan Sosial Ekonomi Budaya Terhadap Perubahan Iklim’ akan dilakukan pada ekosistem yang ekstrim atau rentan terhadap perubahan iklim, yang meliputi ekosistem pantai, savana, atau hutan dataran rendah dan ekosistem hutan pegunungan. Ekosistem hutan dataran rendah yang merupakan ekosistem antara hutan pantai dan hutan pegunungan penting artinya karena banyak pembangunan kehutanan berupa hutan tanaman dan penduduk tinggal pada ekosistem tersebut, dan ekosistem antara tersebut dimungkinkan akan menjadi ekosistem ekstrim. Secara tepat lokasi penelitian akan ditentukan kemudian, namun lokasi penelitian tersebut diharapkan mempunyai ciri-ciri sbb: 1.
Pada lokasi tersebut terdapat hutan, masyarakat (yang penghidupannya tergantung pada sumber daya hutan), dan kalau dimungkinkan terdapat satwa 2. Beberapa lokasi penelitan terpilih aman dari perusakan karena akan dilakukan pengamatan berulang untuk mendapatkan data series Direncanakan penelitian ini akan dilakukan dalam satu lokasi yang misalnya dibatasi oleh satu Daerah Aliran Sungai. Disini akan dikaji berbagai aspek kerentanan baik hutan, tumbuhan, satwa, masyarakat, maupun kebijakannya. Dari penelitian terpadu dan terfokus pada satu lokasi ini diharapkan akan didapat gambaran menyeluruh dan utuh tentang kerentanan, bentuk adaptasi yang ada atau yang telah dilakukan terkait dengan social, ekonomi, dan lingkungan serta kebijakan yang ada. Pemberian opsi adaptasi serta saran kebijakan terkait dengan adaptasi terhadap perubahan iklim akan lebih mudah dilakukan karena tersedianya berbagai hasil penelitian yang mendukung.
VIII. Instansi Pelaksana, Rencana Tata Waktu, dan Rencana Biaya RPI ‘Adaptasi Bioekologi dan Sosial Ekonomi Budaya Terhadap Perubahan Iklim’ direncanakan untuk 5 tahun dari tahun 2010 hingga 2014. Penelitian ini akan melibatkan beberapa balai penelitian di Indonesia. Topik penelitian, balai pelaksana dan tahun dilaksanakan penelitian disajikan pada tabel 1.
Adaptasi Bioekologi dan Sosial Ekonomi Budaya terhadap Perubahan Iklim
17
Table 1. Kegiatan penelitian, instansi pelaksana, tata waktu dan rencana biaya Kode
Program/ RPI/ Luaran/ Kegiatan
Pelaksana
Tahun Pelaksanaan 2010
2011
2012 2013 2014
PROGRAM 7 PERUBAHAN IKLIM
18
RPI : Adaptasi Bioekologi dan Sosial Ekonomi Budaya Masyarakat Terhadap Perubahan iklim
18.1
Luaran 1 : Hasil analisis tentang kerentanan hutan tropis terhadap perubahan iklim dan rekomendasi kebijakan adaptasinya
18.1.1
Analisis kerentanan tumbuhan hutan akibat perubahan iklim dan cuaca ekstrim
18.1.1.12 18.1.2 18.1.2.16 18.1.3
BPK Solo
100
100
100
Analisis kerentanan satwa hutan akibat perubahan iklim dan cuaca ekstrim BPK Samboja
125
125
100
Analisis kerentanan jasa hutan air akibat perubahan iklim dan cuaca ekstrim
18.1.3.12
BPK Solo
100
100
100
18.1.3.14
BPK Kupang
125
125
125
18.1.4
Analisis dampak perubahan iklim dan cuaca ekstrim terhadap produktivitas hutan dan fenologi
18.2
Luaran 2: Informasi hasil analisis tentang adaptasi spesies dan genetik terhadap perubahan iklim
18.2.1
Identifikasi spesies pohon yang potensial untuk dikembangkan di ekosistem pantai, daerah kering, hutan dataran rendah, dan ekosistem hutan pegunungan serta sebaran alaminya
Puslitsosek
18.2.1.5 18.2.2 18.2.2.5 18.2.3 18.2.3.5 18.3
18
BBPBPTH Yogyakarta
150
75
150
150
150
150
150
Koleksi materi genetik dari spesies teridentifikasi dari berbagai variasi habitat untuk uji spesies & uji provenans atau uji genetis BBPBPTH Yogyakarta
150
150
150
150
150
Uji provenansi spesies teridentifikasi di lahan masyarakat BBPBPTH Yogyakarta
150
150
Luaran 3 : Hasil analisis tentang kerentanan sosial ekonomi masyarakat di dalam & sekitar hutan terhadap perubahan iklim dan cuaca ekstrim & rekomendasi kebijakan untuk meningkatkan resiliensi masyarakat terhadap perubahan iklim dan cuaca ekstrim
RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF 2010-2014
Kode 18.3.1
Program/ RPI/ Luaran/ Kegiatan
Tahun Pelaksanaan 2010
2011
2012 2013 2014
Penaksiran kerentanan dan strategi adaptasi masyarakat terhadap perubahan musim dan cuaca ekstrim pada ekosistem pantai, daerah kering dan hutan dataran rendah
18.3.1.4 18.3.2
Pelaksana
Puslitsosek
150
150
150
Penaksiran kerentanan dan strategi adaptasi masyarakat terhadap perubahan musim dan cuaca ekstrim pada ekosistem pegunungan
18.3.2.8
BPHPS Kuok
100
100
18.3.2.19
BPK Manokwari
150
150
18.4
Luaran 4: Basis kebijakan penaggulangan dampak perubahan iklim terhadap ekosistem hutan dan masyarakat di masa mendatang
18.4.1
Modeling dampak perubahan iklim terhadap ekosistem hutan
18.4.1.4 18.4.2
Puslitsosek
Modeling dampak perubahan iklim terhadap sosek masyarakat di dalam dan sekitar hutan
18.4.2.4 18.4.3
150
Puslitsosek
150
Modeling biaya adaptasi dan peningkatan resiliensi terhadap perubahan iklim
18.4.3.4
Puslitsosek TOTAL ANGGARAN
150 775
1650 1050 1000
550
IX. Organisasi Penelitian ini akan dilaksanakan dibawah koordinasi Pusat Penelitian Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan dengan koordinator RPI: Dr. Niken Sakuntaladewi dan akan melibatkan peneliti dari berbagai instansi lingkup Badan Penelitian dan Pengembangan Teknologi Kehutanan, seperti Balai Besar Penelitian Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan Yogyakarta (BBPBPTH), BPK Manokwari, BPK Solo, BPHPS Kuok, dan outsourcing dari instansi terkait lain jika dibutuhkan.
X.
Daftar Pustaka
Adger.W.N., Agrawala, S., Mirza, M.M.Q., Conde, C., O’Brien, K., Pulhin, J., Pulwarty, R., Smit, B. and Takahashi, K. 2007. Assessment of adaptation practices, options, constraints and capacity. In: Parry, M.L., Canziani, O.F., Palutikof, J.P., van der Linden, P.J. and Hanson, C.E. (eds.). Climate Change 2007: Impacts, adaptation and vulnerability.
Adaptasi Bioekologi dan Sosial Ekonomi Budaya terhadap Perubahan Iklim
19
Contribution of Working Group II to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel of Climate Change (IPCC). Cambridge University Press, Cambridge, UK. P. 717-743 Adger, Neil, Maria Brockhaus, Carol J. Pierce Colfer and Brent Sohnger. 2009. Future Socio-Economic Impacts and Vulnerabilities dalam Adaptation of Forests and People to Climate Change (Risto Seppala, Alexander Buck, Pia Katila, editor). IUFRO World Series Volume 22. Adger, W.N. dan Vincent, K. 2005. Uncertainty in adaptive capacity. Comptes Rendus Geoscience, 337(4): 399-410. Ayres, Matthew, David Karnosky and Ian Thompson. 2009a. Forest Responses and Vulnerabilities to Recent Climate Change dalam Adaptation of Forests and People to Climate Change (Risto Seppala, Alexander Buck, Pia Katila, editor). IUFRO World Series Volume 22. Ayres, Matthew, David Karnosky, Seppo Kellomaki, Bastian Louman, Chin Ong, Gian-Kasper Plattner, Heru Santoso and Ian Thompson. 2009b. Future Environmental Impacts and Vulnerability dalam dalam Adaptation of Forests and People to Climate Change (Risto Seppala, Alexander Buck, Pia Katila, editor). IUFRO World Series Volume 22. Bastiaan Louman. 2007. Forest Ecosystem Services: A Conerstone for Human Well-Being dalam Adaptation of Forest and People to Climate Change. Pp. 15 – 52 Bradley St Clair, J and Howe, Gt. 2007. Genetic maladaptation of coastal Douglas-fir seedlings to future climates. Global Change Biology, 13:1441-1454 Brockhaus, Maria dan Houria Djoudi. 2008. Adaptation at the interface of forest ecosystem good and services and livestock production systems in Northern Mali. CIFOR Info Brief no. 19. www.cifor.cgiar.org. Brooks, N., Adger, W.N. and Kelly P.M. 2005. The determinants of vulnerability and adaptive capacity at the national level and the implications for adaptation. Global Environmental Change 15 (2): 151163 Diaz, S., Tilman, D., fargione, J., Chaopin, F.S., Dirzo, R., Kitzberger, T., Gemmill, B., Zobel, M., Vila, M., Mitchell, C., Wilby, A., Daily, G.C., Galetti, M., Laurance, W.F., Pretty, J., Naylor, R., Power, A. dan Harvell, D.2005. Biodiversity regulation of ecosystem services. Dalam: Hassan, R., Scoles, R. dan Ash, N. (eds.), Ecosystem and Human Well-Being: Current State and Trends. Millenium Ecosystem Assessment Volume I. Island Press, Washington, D.C. p. 297-329.
20
RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF 2010-2014
Fischlin, A., Midgley, G.F., Price, J.T., Leemans, R., Gopal, B., Velichko, A.A. 2007. Ecosystems, their properties, goods and services. Dalam Parry, M.L., Canziani, O.F., Palutikof, J.P., van der Linden, P.J. dan Hanson C.E. (eds.). Climate Change 2007: Impacts, adaptation and vulnerability. Contribution of Working Group II to the Fourth Assessment Report of the Inergovernmental Panel of Climate Change (IPCC). Cambridge University Press, Cambridge, UK. P. 211-272. Fischlin, Andreas, Peter Gluck, John Innes. Alan Lucier. John Parrotta, Heru Santoso, Ian Thomson, dan Anita Wreford. 2009. Forest Ecosystem Services: A Cornerstone for Human Well-Being dalam Adaptation of Forests and People to Climate Change (Risto Seppala, Alexander Buck, Pia Katila, editor). IUFRO World Series Volume 22. Fontaine, C., Dajoz, I., Meriguet, J. dan Loreau, M. 2005. Functional diversity of plant pollinator interaction webs enhances the persistence of plant communities. PLoS Biology 4: 129 – 135. Houghton, R.A. 2005. Tropical deforestation as a source of green-house gas emission. IPPC. 2007a. Impact, adaptation and vulnerability. Contribution of Working Group II to the Fourth Assessement Report of the Environmental Panel on Climate Change (IPCC). Parry, M.L., Canziani, O.F., Palutifof, J.P., van der Linden, P.J. and Hanson, C.E. (eds.). Cambridge University Press, Cambridge, UK. 973 p. IPCC. 2007b. Summary for policy makers. Climate Change 2007: Impacts, adaptation and vulnerability. Contribution of Working Group II to the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel for Climate Change (IPCC). Parry, M.L., Canziani, O.F., Palutikof, J.P., van der Linden, P.J. dan Hanson, C.E. (eds.). Cambridge University Press, Cambridge, U.K., p. 7 – 22. Locatelli,Bruno, Markku Kannined, Maria Brockhaus, Carol J.P. Colfer, Daniel Murdiyarso, dan Heru Santoso. 2008. Facing an uncertain future. How forests and people can adapt to climate change. Forest Perspectives no. 5. CIFOR. Indonesia MEA (Millenium Ecosystem Assessment). 2005. Ecosystem and hutam wellbeing. Synthesis. Island Press, Washington D.C. 137p. Mendes, H. 2007. Brazil faces forecast of heat and dust. Science and Development Network. http://www.SciDev.Net (12 Desember 2008)
Adaptasi Bioekologi dan Sosial Ekonomi Budaya terhadap Perubahan Iklim
21
Mettzger, M.J., Rounsevell, M.D.A., Acosta-Michlik, L., Leemans, R. and Schroter, D. 2006. The vulnerability of ecosystem services to land use change. Agriculture Ecosystem and Environment 114: 69 – 85. Nobre, C. dan Oyama, M. 2003. A new climate-vegetation equilibrium state for Tropical South America. Geophysical Research Letters 30(23): 2199-2203 Reid, H. and Huq, S. 2007. Community-based adaptation. A Vital approach to the threat climate change poses to the poor. IIED Briefing paper. http://www.iied.org/pubs (dikutip Desember 12, 2008) 2 p. SCBD (Secretariat of the Convention on Biological Diversity). 2003. Interlinkages between biological diversity and climate change. Advice on the integration of biodiversity considerations into the implementation of the UNFCCC and its Kyoto protocol. CBD Technical Series no. 10. SBD, Montreal. 154 p. Seppala, Risto, Alexander Buck, Pia Katila (edt.). 2009. Adaptation of Forests and People to Climate Change – A Global Assessment Report. IUFRO World Series Volume 22. IUFRO. Austria Seppala, Risto, Alexander Buck, Pia Katila (edt.). 2009. Making forest fit for climate change. A Global view of climate-change impacts on forests and people and options for adaptation. Policy Brief. Ministry for Foreign Affairs of Findland .International Union of Forest Research Organization.
XI. Kerangka Kerja Logis Narasi
Indikator
Alat verifikasi
Asumsi
TUJUAN : Menyediakan ilmu Dihasilkannya : pengetahuan tentang tingkat • Hasil analisis tentang kerentanan hutan dan kerentanan hutan tropis masyarakat serta adaptasi terhadap perubahan nya terhadap perubahan iklim dan rekomendasi iklim kebijakan adaptasinya • Informasi atau hasil analisis tentang adaptasi spesies dan genetik terhadap perubahan iklim
22
RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF 2010-2014
Dokumen informasi • Tidak terjadi mengenai tingkat perubahan kerentanan hutan kebijakan/ dan masyarakat peraturan serta adaptasi nya terkait terhadap perubahan • Dukungan iklim, yang dikemas dari pihak dalam bentuk LHP, terkait dalam Publikasi, Policy Brief perencanaan dan pelaksanaan penelitian
Narasi
Indikator
Alat verifikasi
Asumsi
• Hasil analisis tentang kerentanan sosial ekonomi masyarakat di dalam dan sekitar hutan terhadap variasi musim dan cuaca ekstrim dan rekomendasi kebijakan untuk meningkatkan resistensi masyarakat terhadap perubahan iklim • Basis kebijakan penanggulangan dampak perubahan iklim terhadap ekosistem hutan dan masyarakat di masa mendatang SASARAN: • Telah dilaksanakan • Sintesis hasil Diperolehnya informasi penelitian dan penelitian terkait tentang tingkat kerentanan diperolehnya informasi dengan tingkat hutan dan sosial ekonomi tentang tingkat kerentanan masyarakat di dalam kerentanan hutan dan hutan dan dan sekitar hutan serta sosial ekonomi masyarakat sosial ekonomi tersedianya basis ilmiah di dalam dan sekitar hutan masyarakat di untuk penyusunan strategi akibat perubahan iklim, dalam dan sekitar adaptasi terhadap perubahan strategi adaptasi serta hutan serta iklim modelling dampak dan tersedianya basis modeling biaya perubahan ilmiah untuk iklim terhadap ekosistem penyusunan hutan dan masyarakat strategi adaptasi terhadap PI • Publikasi ilmiah minimal 5 buah • Policy brief
• Tersedia SDM peneliti • Dana tersedia tepat waktu • Ada komitment instansi penelitian • Tidak ada perubahan kebijakan mendasar tentang arah penelitian • Ada kerjasama pemerintah pusat dan daerah • Ada interest pemerintah pusat dan daerah thd adaptasi bioekologi dan sosekbud terhadap perubahan iklim
Adaptasi Bioekologi dan Sosial Ekonomi Budaya terhadap Perubahan Iklim
23
Narasi
Indikator
Alat verifikasi
LUARAN: • Sintesis hasil tentang kerentanan hutan tropis terhadap perubahan iklim dan rekomendasi kebijakan adaptasinya • Laporan penelitian • Publikasi • Policy Brief
1. Hasil analisis tentang kerentanan hutan tropis terhadap perubahan iklim dan rekomendasi kebijakan adaptasinya
Dilaksanakannya penelitian dan diperolehnya informasi tentang kerentanan hutan tropis, satwa hutan, jasa hutan (air), produktivitas hutan dan fenologi akibat perubahan iklim
2. Informasi hasil analisis tentang adaptasi spesies dan genetik terhadap perubahan iklim
Dilaksanakannya penelitian • Sintesis hasil dan diperolehnya informasi tentang analisis tentang ‘identifikasi species tentang adaptasi pohon yang potensial untuk spesies dan ekologi pantai, daerah kering, genetik terhadap dan ekosistem pegunungan, perubahan iklim koleksi materi genetik, dan uji • Laporan provenans’ penelitian • Publikasi • Policy Brief
3. Hasil analisis tentang kerentanan sosial ekonomi masyarakat di dalam dan sekitar hutan terhadap perubahan iklim dan cuaca ekstrim ,dan rekomendasi kebijakan untuk meningkatkan resiliensi masyarakat terhadap perubahan iklim dan cuaca ekstrim
Dilaksanakannya penelitian dan diperolehnya informasi tentang ‘kerentanan masyarakat terhadap perubahan musim dan cuaca ekstrim, strategi adaptasi, dan rekomendasi terhadap pemerintah pusat dan daerah dalam pengarusutamaan adaptasi terhadap perubahan musim dan cuaca ekstrim
24
RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF 2010-2014
• Sintesis hasil analisis tentang kerentanan sosial ekonomi masyarakat di dalam dan sekitar hutan terhadap perubahan musim dan cuaca ekstrim • Rekomendasi kebijakan untuk meningkatkan resistensi masyarakat terhadap perubahan iklim • Laporan penelitian • Publikasi • Policy Brief
Asumsi
Narasi
Indikator
4. Basis kebijakan penanggulangan dampak perubahan iklim terhadap ekosistem hutan dan masyarakat di masa mendatang
KEGIATAN: 1.1. Analisis kerentanan tumbuhan hutan akibat perubahan iklim dan cuaca ekstrim
Alat verifikasi
Asumsi
• Sintesis hasil atau Dilaksanakannya penelitian rekomendasi dan diperolehnya informasi kabijakan tentang ‘modelling ekosistem penanggulangan hutan, sosial ekonomi dampak masyarakat di dalam dan perubahan sekitar hutan, dan biaya iklim terhadap adaptasi akibat perubahan ekosistem hutan iklim’ dan masyarakat di masa mendatang • Publikasi • Policy Brief • Laporan penelitian Peneltian dapat menjawab tentang tingkat kerentanan vegetasi hutan akibat perubahan iklim dan cuaca ekstrim.
• Laporan kemajuan kegiatan (hasil survey) lapangan • Hasil analisa data lapangan • Laporan penelitian • Publikasi
1.2. Analisis kerentanan satwa hutan akibat perubahan iklim dan cuaca ekstrim
Penelitian dapat memberikan informasi tentang tingkat kerentanan satwa hutan akibat perubahan iklim dan cuaca ekstrim
• Laporan kemajuan kegiatan lapangan • Hasil analisa data lapangan • Laporan penelitian • Publikasi
1.3. Analisis kerentanan jasa hutan air terhadap perubahan iklim dan cuaca ekstrim
Penelitian dapat memberikan • Laporan kemajuan informasi tentang kegiatan lapangan ‘Kerentanan jasa hutan (air) • Hasil analisa data lapangan terhadap perubahan iklim dan cuaca ekstrim’ • Laporan penelitian • Publikasi
1.4. Analisis dampak perubahan iklim dan cuaca ekstrim terhadap produktivitas hutan dan fenologi
Penelitian dapat memberikan informasi tentang dampak perubahan iklim dan cuaca ekstrim terhadap produktivitas hutan dan fenologi’.
• Laporan kemajuan kegiatan lapangan • Hasil analisa data lapangan • Laporan penelitian • Publikasi
Adaptasi Bioekologi dan Sosial Ekonomi Budaya terhadap Perubahan Iklim
25
Narasi
Indikator
Alat verifikasi
1.1. Identifikasi spesies pohon yang potensial untuk dikembangkan di ekosistem pantai, daerah kering, hutan dataran rendah dan ekosistem pegunungan serta sebaran alaminya
Penelitian dapat memberikan informasi tentang spesies pohon yang potensial untuk dikembangkan di ekosistem pantai dan daerah kering, dan ekosistem pegunungan serta sebaran alaminya’
• Laporan kemajuan kegiatan lapangan • Hasil analisa data lapangan • Laporan penelitian • Publikasi
1.2. Koleksi materi genetik dari spesies teridentifikasi dari berbagai variasi habitat untuk uji spesies dan uji provenans atau uji genetis
Penelitian dapat memberikan informasi tentang ‘koleksi materi genetik dari spesies teridentifikasi dari berbagai variasi habitat untuk uji spesies dan uji provenance’
• Laporan kemajuan kegiatan lapangan • Hasil analisa data lapangan • Laporan penelitian • Publikasi
1.3. Uji provenansi spesies teridentifikasi di lahan masyarakat
Penelitian dapat memberikan informasi tentang ‘hasil uji provenansi spesies teridentifikasi’
• Laporan kemajuan kegiatan lapangan • Hasil analisa data lapangan • Publikasi • Laporan penelitian
1.1. Penaksiran kerentanan dan strategi adaptasi masyarakat terhadap perubahan musim dan cuaca ekstrim pada ekosistem pantai, daerah kering dan hutan dataran rendah
Penelitian dapat memberikan informasi tentang ‘Penaksiran kerentanan dan strategi adaptasi masyarakat terhadap perubahan musim dan cuaca ekstrim pada ekosistem pantai, daerah kering dan hutan dataran rendah’
• Laporan kemajuan kegiatan lapangan • Hasil analisa data lapangan • Laporan penelitian • Publikasi
1.2. Penaksiran kerentanan dan strategi adaptasi masyarakat terhadap perubahan musim dan cuaca ekstrim pada ekosistem pegunungan
Penelitian dapat memberikan informasi tentang ‘Penaksiran kerentanan dan strategi adaptasi masyarakat terhadap perubahan musim dan cuaca ekstrim pada ekosistem pegunungan’
• Laporan kemajuan kegiatan lapangan • Hasil analisa data lapangan • Laporan penelitian • Publikasi
1.1. Modeling dampak perubahan iklim terhadap ekosistem hutan
Penelitian dapat memberikan informasi tentang ‘modeling dampak perubahan iklim terhadap ekosistem hutan’
• Laporan kemajuan kegiatan lapangan • Hasil analisa data lapangan • Laporan penelitian • Publikasi
26
RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF 2010-2014
Asumsi
Narasi
Indikator
Alat verifikasi
1.2. Modeling dampak perubahan iklim terhadap sosial ekonomi masyarakat di dalam dan sekitar hutan
Penelitian dapat memberikan • Laporan kemajuan informasi tentang ‘modeling kegiatan lapangan dampak perubahan iklim • Hasil analisa data terhadap sosek masyarakat di lapangan dalam dan sekitar hutan ‘ • Laporan penelitian • Publikasi
1.3. Modelling biaya adaptasi dan peningkatan resiliensi terhadap perubahan iklim
Penelitian dapat memberikan informasi tentang ‘modeling biaya adaptasi dan peningkatan resiliensi terhadap perubahan’
Asumsi
• Laporan kemajuan kegiatan lapangan • Hasil analisa data lapangan • Laporan penelitian • Publikasi
Adaptasi Bioekologi dan Sosial Ekonomi Budaya terhadap Perubahan Iklim
27
28
RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF 2010-2014
Penguatan Tatakelola Kehutanan
Penguatan Tatakelola Kehutanan
i
ii
RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF 2010-2014
Lembar Pengesahan
Penguatan Tatakelola Kehutanan
iii
iv
RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF 2010-2014
Daftar Isi Lembar Pengesahan ...................................................................................iii Daftar Isi ...................................................................................................... v Daftar Gambar ............................................................................................vi Daftar Tabel ...............................................................................................vii Daftar Singkatan ........................................................................................ ix I.
Abstrak ............................................................................................... 1
II.
Latar Belakang .................................................................................... 1
III.
Rumusan Masalah ............................................................................. 3
IV.
Hipotesis ............................................................................................ 5
V.
Tujuan dan Sasaran............................................................................ 5
VI.
Luaran ............................................................................................... 6
VII.
Ruang Lingkup ................................................................................... 7
VIII. Metode .............................................................................................. 7 IX.
Instansi Pelaksana, Tata Waktu dan Rencana Biaya ........................ 17
X.
Organisasi .........................................................................................18
XI.
Daftar Pustaka ..................................................................................18
XII.
Kerangka Kerja Logis ....................................................................... 20
Penguatan Tatakelola Kehutanan
v
Daftar Gambar Gambar 1. Tiga Pilar Tatakelola Pemerintahan ........................................10
vi
RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF 2010-2014
Daftar Tabel Table 1. Rencana instansi pelaksana, tata waktu dan rencana biaya .... 17
Penguatan Tatakelola Kehutanan
vii
viii
RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF 2010-2014
Daftar Singkatan
AHP
: Analytic Hierarchy Process
B-C
: Benefit - Cost
BBPD
: Balai Besar Penelitian Dipterokarpa
BPHPS
: Balai Penelitian Hutan Penghasil Serat
BPK
: Balai Penelitian Kehutanan
BUMN
: Badan Usaha Milik Negara
CIFOR
: Center for International Forestry Research
DEPHUT
: Departemen Kehutanan
DFID
: Department for International Development
Ditjen
: Direktorat Jenderal
HPH
: Hak Pengusahaan Hutan
ICRAF
: International Centre for Research in Agroforestry
IDS
: Institute of Development Studies
IIED
: International Institute for Environment and Development
IPB
: Institut Pertanian Bogor
IUPHHK
: Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu
KPH
: Kesatuan Pemangkuan Hutan
LHP
: Laporan Hasil Penelitian
Litbanghut
: Penelitian dan Pengembangan Kehutanan
LSM
: Lembaga Swadaya Masyarakat
PHKA
: Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam
RKT
: Rencana Kerja Tahunan
RLPS
: Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial
RPI
: Rencana Penelitian Integratif
RPTP
: Rencana Penelitian Tim Peneliti
SDH
: Sumber Daya Hutan
SWOT
: Strength Weakness Opportunity Threat
UI
: Universitas Indonesia
Penguatan Tatakelola Kehutanan
ix
UGM
: Universitas Gajah Mada
UPT
: Unit Pelaksana Teknis
x
RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF 2010-2014
I.
ABSTRAK
Pengurusan hutan (forest administration) selama ini tanpa disadari telah mngabaikan tata kelola hutan yang baik (good forest governance) karena desakan pembangunan ekonomi. Hal ini diindikasikan oleh semakin meningkatnya permasalahan dan isu yang muncul baik yang berhubungan dengan sumberdaya hutan dan kaitannya dengan kondisi sosial, maupun terhadap lingkungan hidup. Fungsi pemerintah sebagai regulator, fasilitator, dan supervisor dalam pengurusan hutan di satu pihak masih sangat lemah, namun di pihak lain dipandang cenderung berlebihan dan tidak efektif. Tata kelola kehutanan yang baik (Good Forest Governance) hanya bisa diwujudkan apabila para pembuat kebijakan (decision makers) dan pelaksana (executive) dalam pembangunan kehutanan mampu mengkaji forest governance yang telah dipengaruhi oleh dinamika sosial seperti kebijakan seperti desentralisasi. Beberapa tahun terakhir, para pihak terkait (stakeholders) telah banyak menyoroti forest governance dalam implementasinya. Hal ini disebabkan oleh semakin meningkatnya permasalahan dan isu yang muncul baik yang berkaitan dengan pemanfaatan kawasan hutan maupun dampaknya terhadap lingkungan hidup. Faktor pendorong lain munculnya isu ini adalah kosekuensi logis dari proses desentralisasi pemerintahan (otonomi) yang implementasinya masih berlangsung hingga saat ini. Kajian ini dimaksudkan untuk menyediakan pengetahuan dan informasi yang relevan serta keterampilan untuk mengidentifikasi skema-skema dan mekanisme tata kelola kehutanan yang baik dengan melakukan analisis terhadap: (1) kelembagaan kehutanan; (2) administrasi peredaran hasil hutan; (3) sistem rujukan dan penilaian tata kelola kehutanan yang baik. Beberapa metode dan pendekatan yang sesuai dengan topik yang akan dikaji akan digunakan sebagai alat analisis. Penelitian ini direncanakan berlangsung selama 5 tahun dan akan dicapai melalui tiga tahap yaitu tahap pendahuluan, tahap pemantapan, dan tahap kolaborasi. Kata Kunci : tata kelola, desentralisasi, kelembagaan, peredaran, hasil hutan
II.
Latar Belakang
Hal yang terakhir misalnya ditunjukkan oleh aturan-aturan yang sangat restrictive bagi pihak pengelola di lapangan (unit manajemen) untuk mengimplementasikan manajemen hutan yang kondisi biofisik dan sosiokulturalnya sangat beragam. Demikian pula kebijakan pemerintah dianggap kaku dan kurang kondusif terhadap kondisi pasar yang dinamis. Namun di sisi lain muncul pernyataan bahwa banyak pemilik hak pengusahaan hutan dan manajer perusahaan yang kurang peduli akan aturan-aturan yang dibuat untuk menjamin kelestarian hutan. Dengan demikian diperlukan
Penguatan Tatakelola Kehutanan
1
sebuah kajian komprehensif mengenai akar permasalahan pengelolaan hutan baik di sisi pemerintah, swasta maupun masyarakat dalam kerangka kebijakan desentralisasi. Setelah lebih dari 30 tahun menjalani sistem pengelolaan hutan sentralistik, UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah memberikan kewenangan dan tanggung jawab yang lebih luas kepada Pemerintah Kabupaten di Indonesia dalam mengelola sumberdaya alam di daerahnya. Dengan adanya UU tersebut, daerah mempunyai hak untuk menetapkan kebijakan daerahnya sendiri secara otonom. Sementara itu, pemerintah tingkat provinsi pada prakteknya masih lebih banyak berfungsi sebagai perpanjangan tangan dari pemerintah pusat. Pada tahun berikutnya, Pemerintah Pusat mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2000. Semestinya PP ini dapat memperjelas pembagian tanggung jawab antara Pemerintah Kabupaten, Pemerintah Provinsi, dan Pemerintah Pusat dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah. Sayangnya, PP tersebut hanya mengatur kewenangan Pemerintah Provinsi dan Pusat, sedangkan kewenangan Pemerintah Kabupaten tidak dinyatakan secara jelas. Menyadari adanya beberapa kelemahan UU No 22 Tahun 1999, maka pemerintah kemudian merevisi UU tersebut menjadi UU No. 32 Tahun 2004. Dengan direvisinya UU Nomor 22 Tahun 1999 menjadi UU Nomor 32 Tahun 2004, maka kewenangan antara Provinsi dan Kabupaten setara, sehingga semua urusan pemerintahan (hak, kewajiban, kewenagan dan tanggung jawab) lintas kabupaten menjadi kewenangan Pemerintah Provinsi. Meskipun oleh beberapa kalangan UU No 32 dipandang sebagai bentuk resentralisasi, namun bagi proponennya UU No 32 merupakan langkah penataan kembali hierarki hukum yang sebelumnya mengalami kesenjangan. Peraturan setingkat menteri yang sebelumnya tidak mendapat tempat dan menjadi salah satu sumber permasalahan dalam pengelolaan sumberdaya alam, termasuk hutan, kembali mendapat tempat (sebagai acuan bagi peraturan daerah) sepanjang peraturan tersebut diamanatkan atau menjadi turunan dari suatu peraturan pemerintah (PP). Demikian pula UU No 32 melakukan penataan terhadap kewenangan pemerintah pusat, provinsi dan daerah dalam urusan pemerintahan termasuk didalamnya bidang kehutanan. Konsekuensi dari perubahan-perubahan UU di sektor pemerintahan berimbas pada penyesuaian-penyesuaian kebijakan dan peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan yang pada gilirannya menjadi salah satu faktor penentu arah tata kelola kehutanan yang menyangkut pengurusan dan pengelolaan hutan di Indonesia. Berkaitan dengan hal
2
RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF 2010-2014
tersebut beberapa PP yang diturunkan dari UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan pun mengalami beberapa kali penyesuaian, termasuk aturanaturan di bawahnya. Proses desentralisasi dalam tata kelola kehutanan belum menunjukkan kemajuan yang berarti. Proses ini baru direspons sebatas jargonjargon maupun wacana-wacana daripada langkah-langkah konkrit yang membuahkan hasil. Konflik atau ketidak harmonisan antara pemerintah pusat – daerah serta meningkatnya peranan politik dalam pemerintahan cenderung mengorbankan dan menimbulkan tekanan-tekanan yang baru terhadap hutan (at the expense of forest resources). Kondisi open access kawasan hutan dewasa ini terjadi akibat lemahnya pengelolaan hutan oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, serta pemegang ijin usaha akibat ketiga pihak dimasa lalu. Kelemahan ini menjadi salah satu penyebab tidak dapat dikendalikannya penebangan kayu, sumber kegagalan pelaksanaan rehabilitasi hutan maupun lahan, maupun lemahnya pelaksanaan perlindungan dan konservasi hutan (Kartodihardjo, 2006). Dalam sisi rantai suplai (supply chain) hutan, telah terjadi kemerosotan mulai dari penetapan kawasan, pemberian ijin pemanfaatan, pembuatan RKT hingga peredaran kayu bulat. Hal ini ditunjukkan dengan semakin merosotnya jumlah Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) maupun Hak Pengusahaan Hutan (HPH) yang beroperasi maupun volume produksi kayu bulat dari IUPHHK/HPH di berbagai wilayah seperti di Sumatera. Penyebab utama adalah disamping oleh kemorosotan potensi hutan produksi juga lemahnya tata kelola hutan yang ada. Pembentukan Kesatuan Pemangkuan Hutan (KPH) secara teoritis pada kawasan hutan negara sebagaimana diamanatkan dalam PP No. 6 Tahun 2007 dapat menutup kesenjangan pengelolaan hutan dewasa ini oleh karena itu memerlukan penelitian untuk pelaksanaannya. Peraturan pusat sering mengalami perubahan (berganti) atau tidak serta merta diikuti peraturan pelaksanaan (petunjuk teknis) kerapkali menyulitkan pemerintah daerah maupun pelaku ekonomi. Permasalahan-permasalahan tersebut merupakan indikasi dari lemahnya tata kelola kehutanan di Indonesia yang memerlukan kajian mendalam mengenai akar permasalahan di balik gejala tersebut.
III. Rumusan Masalah Beberapa sisi yang banyak disorot dalam upaya perbaikan tata kelola kehutanan antara lain adalah yang berhubungan dengan: (i) lemahnya kontrol pemerintah pusat dan daerah dan kurangnya sinergi keduanya
Penguatan Tatakelola Kehutanan
3
sehingga merugikan negara maupun sumberdaya hutan; (ii) tidak ditegakkannya aturan dan hukum untuk keuntungan pihak-pihak tertentu; (iii) masih lemahnya kelembagaan (kurangnya efektivitas organisasi dan perumusan kebijakan di tingkat pemerintahan) secara umum; (iv) lemahnya pengendalian pada sisi produksi dan peredaran hasilnya karena lemahnya integritas tata kelola kawasan; (v) belum adanya rujukan dan batasan kinerja yang jelas tentang performa tata kelola kehutanan yang baik. Dari kelima isu tata kelola kehutanan tersebut dapat dirumuskan beberapa akar masalah yang potensial untuk diteliti sebagai berikut: 1. 2.
3.
4. 5. 6.
Perumusan kebijakan yang tidak tepat dan merugikan negara, masyarakat dan lingkungan; Tidak terjadinya sinergi dan adanya konflik antar instansi dalam pengurusan sumberdaya hutan yang mengakibatkan deforestasi dan degradasi; Ketidakpastian hukum yang menimbulkan konflik kepentingan dan mengakibatkan tidak terurusnya sumberdaya hutan secara baik antara lain diindikasikan oleh belum terbangunnya unit-unit pengelolaan hutan produksi dan hutan lindung; Dinamika sosial, ekonomi, politik dan budaya, tidak terantisipasi dengan baik; Kelemahan peraturan mengakibatkan kerusakan sumberdaya hutan, kerugian pada penerimaan negara, pelaku ekonomi dan masyarakat; Belum adanya kesepakatan tentang kriteria untuk acuan pelaksanaan tata kelola kehutanan yang baik;
Dari keenam akar masalah tata kelola kehutanan tersebut dapat dirumuskan pertanyaan-pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1.
Faktor-faktor apa sajakah yang berpengaruh pada perubahan politik, ekonomi dan internasional dalam perumusan kebijakan di bidang kehutanan? Bagaimana proses-proses perumusan kebijakan di bidang: (1) Penentuan kawasan hutan; (2) Land Tenure; (3) Perlindungan dan Pelestarian SDH; (4) Pemanfaatan hasil hutan; dan (5) Bagaimana pola intervensi kelompok kepentingan dalam perumusan kebijakan atau perundang-undangan di bidang kehutanan? 2. Sampai sejauhmana keutuhan dan kekonsistenan peraturan yang dibuat sehingga dapat diikuti dan dilaksanakan oleh pelaksana di lapangan? 3. Apakah terjadi tumpang tindih dan kekosongan wewenang antar instansi internal DEPHUT, antara DEPHUT dan instansi lain, serta antara instansi pusat dan daerah? Bagaimana strategi penyelesaian
4
RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF 2010-2014
permasalahan kekosongan peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan dan konflik antar peraturan perundang-undangan bidang kehutanan dengan bidang-bidang lainnya serta intra peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan? 4. Bagaimana struktur organisasi DEPHUT harus dibangun dan dikembangkan untuk menyesuaikan dengan permasalahan kehutanan dan prinsip-prinsip tata kelola yang baik? 5. Faktor-faktor apa saja yang perlu diperhatikan dalam membangun kriteria operasional yang dapat dipergunakan untuk menilai tata kelola kehutanan berdasarkan prinsip-prinsip umum good governance di lingkup Pemerintah Pusat dan daerah, dan perusahaan.
IV. Hipotesis Hipotesis yang dikembangkan dari pertanyaan-pertanyaan penelitian adalah sebagai berikut: 1.
2.
3.
4. 5.
6.
V.
Konstelasi politik, perubahan ekonomi dan tekanan internasional berpengaruh pada pola intervensi kelompok kepentingan dalam perumusan kebijakan atau perundang-undangan di bidang kehutanan Implementasi desentralisasi urusan kehutanan khususnya desentralisasi pengelolaan hutan lindung dan hutan produksi masih mengalami berbagai hambatan Tumpang tindih dan kekosongan wewenang antar instansi di bidang kehutanan merupakan salah satu masalah utama deforestasi dan degradasi hutan. Pembangunan KPH masih berjalan lamban karena kelembagaan yang ada belum sesuai dengan kepentingan para pihak. Struktur organisasi Departemen Kehutanan dan perumusan kebijakan saat ini masih belum mampu menangani persoalan kehutanan secara efektif dan akuntabel. Sampai saat ini belum ada kriteria operasional untuk menilai tata kelola kehutanan berdasarkan prinsip-prinsip umum good governance yang disesuaikan dengan kondisi politik, sosial budaya masyarakat, dan ekonomi
Tujuan dan Sasaran
Tujuan umum rencana penelitian integratif ini adalah: Menguatkan dan meningkatkan tata kelola kehutanan dan kinerja Dephut melalui penataan organisasi dan proses pengambilan keputusan. Tujuan tersebut
Penguatan Tatakelola Kehutanan
5
dicapai melalui kajian-kajian terhadap status tata kelola kehutanan saat ini serta berbagai faktor yang berpengaruh terhadap pencapaian tata kelola kehutanan yang baik, serta bentuk-bentuk organisasi departemen serta skema, mekanisme pengambilan keputusan lingkup departemen. Tujuan RPI Tata Kelola Kehutanan secara khusus adalah: 1.
Meningkatkan tatakelola dalam implementasi desentralisasi Hutan Lindung dan Produksi dengan mengkaji proses implemantasinya 2. Meningkatkan kinerja Dephut melalui penataan organisasi dan proses pengambilan keputusan 3. Meningkatkan pembangunan KPH melalui perbaikan kelembagaan dan kebijakan KPH 4. Mengkaji sistem rujukan prinsip-prinsip good governance dan penilaian atas tata kelola kehutanan yang baik berdasarkan kesepakatan para pihak melalui pembentukan indikator kemajuan forest governance Adapun sasaran yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah : 1.
Tersedianya rekomendasi menuju terbangunnya desentralisasi hutan lindung dan produksi yang dapat dijadikan pijakan dalam pengambilan kebijakan kehutanan 2. Tersedianya rekomendasi bentuk organisasi dan skema dan mekanisme perumusan kebijakan Dephut dan peran UPT dalam implementasi desentralisasi kehutanan serta rekomendasi kelembagaan KPH 3. Tersedianya rumusan indikator/ indeks kemajuan forest governance
VI. Luaran 1.
Rekomendasi kelembagaan dalam implementasi desentralisasi pada hutan lindung khususnya tentang syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk berjalannya desentralisasi pengelolaan hutan lindung dan hutan produksi 2. Rekomendasi peran Pusat khususnya UPT dalam implementasi desentralisasi 3. Rekomendasi struktur organisasi Dephut dan skema dan mekanisme perumusan kebijakan di Dephut 4. Rekomendasi kebijakan pembangunan KPH 5. Rumusan indikator (indeks) kemajuan forest governance Luaran tersebut akan dikemas dalam bentuk produk Laporan Hasil Penelitian, publikasi ilmiah dan policy brief.
6
RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF 2010-2014
VII. Ruang Lingkup Aspek-aspek penelitian yang dikaji adalah masalah-masalah yang researchable terkait dengan persoalan: (1) kelembagaan desentralisasi; (2) rantai peredaran hasil hutan; (3) indikator tata kelola yang baik. Cakupan penelitian dibatasi pada beberapa isu: 1. Organisasi dan Perumusan kebijakan di sektor kehutanan 2. Pelaksanaan peraturan perundangan-undangan dalam desentralisasi di bidang kehutanan (hutan lindung dan produksi) 3. Peran dan tata hubungan kerja lembaga-lembaga di bidang kehutanan 4. Tata kelola kawasan melalui pembentukan unit manajemen 5. Insentif dan disinsentif pelaksanaan tata kelola kehutanan yang baik 6. Perumusan indikator tata kelola kehutanan yang baik Penelitian ini difokuskan pada pilar pemerintah, dari tiga pilar tata kelola kehutanan yaitu pemerintah, kalangan bisnis dan masyarakat. Namun demikian pilar kalangan bisnis dan masyarakat tetap dikaji secara terbatas. Hal ini dilakukan mengingat keterbatasan sumberdaya dan adanya asumsi bahwa pihak-pihak lain sudah banyak meneliti tentang tata kelola kehutanan dari aspek masyarakat dan kalangan bisnis.
VIII. Metode A. Kerangka Teoritis Tata Kelola Kehutanan Tata Kelola (Pemerintahan) Kehutanan (forest governance) dapat didefinisikan sebagai seperangkat kesepakatan-kesepakatan yang mengatur interaksi para pihak dalam mengelola sumberdaya hutan dan untuk menentukan kebijakan-kebijakan pengelolaan hutan. Pada dasarnya prinsip-prinsip umum good governance dapat diterapkan di bidang kehutanan. Prinsip-prinsip tersebut meliputi aspek-aspek sebagai berikut: (1) partisipatif (participatory); (2) orientasi kesepakatan (consensus oriented); (3) akuntabel (accountable); (4) transparan (transparent); (5) cepat tanggap (responsive); (6) efektif dan efisien (effective and efficient); (7) adil dan inklusif (equitable and inclusive); (8) mengikuti aturan hukum (follows the rule of law); dan (9) memiliki visi strategis (strategic vision). Hasil workshop parapihak Good Governance tahun 2007 menyimpulkan bahwa dari 9 prinsip tersebut, bagi Indonesia saat ini yang paling utama adalah 5 prinsip yaitu: partispatif, akuntabilitas, transparansi, keadilan didepan hukum, dan efektivitas pemerintahan. Terlepas dari prinsip-prinsip tersebut perlu ada indikator yang dapat mengukur kemajuan tata kelola
Penguatan Tatakelola Kehutanan
7
kehutanan (yang baik) berdasarkan persepsi para pihak yang berkecimpung dalam sektor kehutanan Indonesia, Tata kelola pemerintahan yang baik (Good Governance) harus menjamin keterlibatan para pihak secara bebas dengan tetap memandang hak dan kewajiban masing-masing yang dapat diketahui secara transparan dan akuntabel. Tata kelola pemerintahan yang baik juga harus menjamin kesetaraan, dalam pengertian bahwa pemberlakuan hukum adalah harus berimbang dan diperlakukan bagi setiap individu pada tataran yang sama dan harus mampu menjadi penengah berbagai macam kepentingan untuk mencapai tujuan terbaik bersama. Aturan hukum dalam tata pemerintahan yang baik harus tidak berpihak dan tidak berlaku secara khusus. Aturan hukum tidak hanya berlaku sepihak artinya hanya mengatur kewajiban bagi pihak ketiga dalam hal ini perusahaan (pelaku bisnis) dan atau kelompok masyarakat, namun juga haknya secara berimbang, misalnya kejelasan mengenai tata waktu proses, biaya yang harus dibayarkan atau gratis, peringkat penilaian secara wajar dan adil. Aturan hukum juga mengatur apa yang harus dilakukan oleh Pemerintah sebagai pihak regulator dan pihak lain sebagai objek regulasi. IIED telah mengidentifikasi 5 sistem utama yang menunjang tata kelola pemerintahan yang baik, jika sistem-sistem tersebut mencakup atribut tata kelola yang baik (dalam kurung), yaitu: (1) Informasi (akses, jangkauan, mutu, transparansi); (2) Mekanisme partisipasi (keterwakilan, kesamaan peluang, akses); (3) Pendanaan (internalisasi eksternalitas, efisiensi biaya); (4) Keterampilan (kesamaan dan efisiensi dalam pengembangan modal sosial dan personal); dan (5) Manajemen perencanaan dan proses (penentuan prioritas, pengambilan keputusan, koordinasi dan akuntabilitas). Sejauh mana sebuah organisasi mampu mengadopsi beragam prinsip-prinsip di atas menunjukkan seberapa baik tatakelola organisasi tersebut yang pada akhirnya akan menjadi jaminan bagi keberhasilan program pembangunan dan pengembangan yang telah dirumuskan. Dalam satu sistem negara tiga pilar utama penyangga governance yang saling terkait dan tidak terpisahkan adalah elemen penyelenggara negara, elemen pelaku bisnis dan elemen masyarakat yang membangun perwujudan suatu trilogi. Masing masing elemen dalam trilogi memiliki karakteristik tersendiri, namun dalam pencapaian perikehidupan ke depan yang lebih baik ketiganya harus bersinergi dan berinteraksi untuk menggapai tujuan yang sama. Ketiga pilar tersebut adalah: (1) Penyelenggara Negara; (2) Pelaku Bisnis; dan (3) Masyarakat.
8
RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF 2010-2014
Pelaksanaan kewenangan politik, ekonomi dan administratif untuk mengelola urusan bangsa, mengelola mekanisme, proses dan hubungan yang memiliki kompleksitas tinggi antar warga negara dan kelompokkelompok yang mengartikulasikan kepentingannya (mandat) dan menuntut hak dan kewajibannya dapat dilakukan secara adil dengan mencari solusi atas perbedaan-perbedaan yang timbul merupakan gambaran dari arti governance dari mandat yang diemban penyelenggara negara. Berdasarkan pengertian governance tersebut, ada tiga kelompok aspek pada pilar-pilar governance, yakni economic governance (Tata Kelola Pemerintahan yang berkaitan dengan Ekonomi – Tata Kelola Ekonomi), political governance (Tata Kelola Pemerintahan yang berkaitan dengan Politik – Tata Kelola Politik) dan administrative governance (Tata Kelola Pemerintahan yang berkaitan dengan Administrasi – Tata Kelola Administrasi). Penciptaan struktur, sistem dan proses yang digunakan oleh suatu entitas bisnis untuk dapat memberikan jaminan keberlangsungan hidup perusahaan baik keberlangsungan ekonomi maupun finansial untuk jangka panjang, dengan tuntutan untuk tetap memperhatikan seluruh stakeholder yang terkait, yang memiliki arti adanya transparansi dalam menjalankan roda perusahaan dan adanya tanggungjawab sosial yang harus diemban melalui corporate social responsibility. Interaksi yang dibangun dalam bentuk struktur, sistem dan proses tersebut dipergunakan sebagai dasar mekanisme pengecekan dan perimbangan yang adil (checks and balances) atas kewenangan guna pengendalian dari peluang penyalahgunaan asset perusahaan dan pengelolaan yang tidak benar. Interaksi individu-individu dalam aspek sosial, ekonomi dan politik membuat kesatuan kemasan individu-individu tersebut menjadi suatu masyarakat yang memiliki satu kesatuan tujuan. Keberadaan masyarakat dalam wujud kelembagaan merupakan salah satu unsur yang turut mendukung keberhasilan tata pemerintahan yang baik. Kelembagaan masyarakat memfasilitasi interaksi sosial untuk berpartisipasi dalam aktivitas yang bersinggungan dengan tiga elemen good governance, yakni politik, sosial dan ekonomi. Masyarakat dengan sendirinya merupakan bagian yang tidak terpisahkan (embedded) dari kegiatan-kegiatan dalam tiga pilar tata pemerintahan itu sendiri sehingga tidak saja merupakan unsur pelaku checks and balances namun juga memberikan kontribusi dan memperkuat keberadaan 2 (dua) pilar lainnya.
Penguatan Tatakelola Kehutanan
9
PEMERINTAH PROGRAM PRIORITAS
outcome
TATA KELOLA EKONOMI, KEBIJAKAN DAN ADMINISTRASI
TATA PEMERINTAHAN YANG BAIK
outcome
TATA PEMERINTAHAN YANG BAIK
CHECK AND BALANCE YANG KUAT
CHECK AND BALANCE YANG KUAT
MASYARAKAT
PELAKU BISNIS CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY GOOD CORPORATE GOVERNANCE
Gambar 1. Tiga Pilar Tatakelola Pemerintahan
B. Kerangka Konseptual Penelitian Tata Kelola Kehutanan Penelitian ini didasarkan pada fenomena gejala kerusakan hutan dan inefisiensi serta ketidakefektifan pengurusan hutan saat ini sehingga memunculkan serangkaian persoalan-persoalan sosial ekonomi. Permasalahan-permasalahan tersebut akan dilihat dari empat aspek yaitu: (1) kelembagaan; (2) rantai peredaran hasil hutan; (3) kriteria dan indikator tata kelola yang baik; dan (4) pengelolaan sumberdaya manusia kehutanan. Dari masing-masing aspek tersebut akan dianalisis berbagai persoalan dan faktor-faktor yang berpengaruh baik pada sisi pemerintah, pelaku bisnis maupun masyarakat. Aspek kelembagaan akan dipelajari dengan menggunakan analisis kelembagaan yang antara lain berupa hubungan antar pihak yang berkepentingan dalam pengelolaan hutan menyangkut peran para pihak dan pengaruh antara satu pihak dengan pihak yang lain. Indeks tata kelola kehutanan dikaji berdasarkan kriteria dan indikator tata kelola yang baik akan dikaji dengan menggunakan analisis sistem yang dimulai dari analisis faktor-faktor penentu hingga pengembangan seperangkat tolok ukur pencapaian tata kelola yang baik.
C. Kerangka Pendekatan Penelitian Untuk melakukan riset kebijakan (policy research) maka perlu terlebih dahulu dipahami proses kebijakan (policy processes) khususnya:
10
RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF 2010-2014
“Bagaimana perumusan kebijakan secara Tradisional vs Policy processes”. Dalam hubungan ini uraian berikut diambil dari materi yang dipublikasikan oleh Institute of Development Studies (2006). Proses kebijakan merupakan hubungan antara ilmu pengetahuan, keahlian dan kebijakan, kepentingan politik, partisipasi publik dan teori jejaring (network). 1.
Kebijakan Dalam Pandangan Tradisional
Model tradisional dari pembuatan kebijakan memandang proses ini bersifat linear dimana keputusan yang rasional diambil oleh otoritas yang berwenang dalam bidang kebijakan tertentu. Pendekatan ini memandang pembuatan kebijakan melalui sejumlah tahapan yang berakhir pada suatu keputusan. Pemahamanisyuataupermasahankebijakan (agendaǦsetting) EksplorasiopsiǦopsiyangmungkinuntukmemecahkanmasalah Menimbangbiayadanmanfaatsetiapopsi Membuatpilihanyangrasionalatasopsiterbaik(decisionǦmaking) Implementasikebijakan Evaluasi
Dalam model ini, implementasi kebijakan dipandang sebagai aktivitas terpisah yang dimulai begitu kebijakan dibuat atau diputuskan. Dan implementasi kebijakan seharusnya menuju penyelesaian masalah awal yang dicoba dipecahkan. Model ini menganggap pembuat kebijakan mendekati isu secara rasional, melalui tahapan logis dari proses, dan secara cermat mempertimbangkan semua informasi yang relevan. Jika kebijakan tidak mencapai apa yang diinginkan, kesalahan tidak ditimpakan pada kebijakannya namun pada politik atau kegagalan manajemen dalam mengimplementasikannya karena kurangnya kemauan politik, manajemen yang lemah atau kekurangan sumberdaya.
Penguatan Tatakelola Kehutanan
11
Model tradisional juga menganggap bahwa terdapat pemisahan yang jelas antara fakta (pendekatan kebijakan yang rasional yang didasarkan pada bukti-bukti, ilmu dan pengetahuan yang obyektif) dan tata nilai (value). Pembuatan kebijakan merupakan proses yang bersifat birokratis dan admistratif. Peranan ekspert dipandang kritis dalam proses membuat keputusan yang rasional, dan ekspertise ilmiah dianggap independen dan obyektif. Pemikiran yang berlaku adalah semacam “kebijakan didasarkan bukti fakta” (evidence-based policy); atau kebijakan yang berakar dari ilmu yang baik. Meskipun asumsi-asumsi yang digunakan diatas sulit dipenuhi (pervasive), namun model linear masih banyak digunakan dalam praktek. Namun, riset atas proses kebijakan menunjukkan bahwa pendekatan tradisional diatas merupakan refleksi yang tidak sesuai dengan kenyataan yang ada. 2. Apakah Policy processes ? Menggeser fokus analisis ke kebijakan yang didasarkan pada proses berarti menggeser model kebijakan yang linear dan rasional (Pendekatan Tradisional) kepada proses yang kompleks dan rumit melalui mana kebijakan dipahami, diformulasikan dan diimplementasikan, dan sejumlah aktor yang terlibat. Proses kebijakan memiliki karakteristik berikut: 1.
2.
3.
4.
5.
12
Pembuatan kebijakan harus dipahami sebagai proses politik sebagaimana sebagai suatu Analisis atau pemecahan masalah. Proses pembuatan kebijakan bukanlah bersifat teknis , aktivitas rasional murni yang sering diperkirakan. Pembuatan kebijakan bersifat incremental, kompleks dan rumit, bersifat iterative, dan sering didasarkan atas eksperimentasi, belajar dari kesalahan, dan mengambil tindakan koreksi. Sehingga, tidak ada hasil keputusan kebijakan tunggal yang optimal. Selalu terdapat tumpang tindih dan agenda yang kompetitif; dimungkinkan tidak tercapai kesepakatan yang utuh diantara para pihak atas permasalahan kebijakan yang riil. Keputusan tidak diskrit (tunggal berdiri sendiri); fakta dan nilai-nilai (values) saling terkait. Penilaian atas value memainkan peranan yang besar. Implementasi kebijakan melibatkan diskresi dan negosiasi oleh pekerja ujung tombak (memberi staf lebih banyak ruang gerak untuk inovasi daripada yang seharusnya).
RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF 2010-2014
6. Ekspert teknis dan pembuat kebijakan saling mengkonstruksi kebijakan. Atau dengan perkataan lain, peneliti berkontribusi pada pembuatan kerangka (framing) isyu kebijakan dengan mendefinisikan bukti fakta (evidence) yang dapat dihasilkan dan signifikansinya terhadap kebijakan. 7. Proses-proses kebijakan sering mengandung suatu perspektif yang merupakan biaya bagi pihak yang lain – dan seringkali perspektif si miskin dan pihak yang termarginalkan. Secara esensi, riset proses kebijakan mempertanyakan bagaimana permasalahan dan solusi kebijakan didefinisikan, oleh siapa, dan dengan dampak bagaimana ? 3. Konsep dan Pendekatan Terdapat 3 (tiga) pendekatan utama untuk memahami pembuatan kebijakan. Satu menekankan pada politik ekonomi dan interaksi antara negara dan masyarakat sipil, dan kelompok kepentingan. Yang lain mengkaji sejarah dan praktek yang terkait dengan pergeseran diskursus, dan bagaimana hal ini membentuk dan membimbing masalah kebijakan dan rangkaian tindakan. Yang ketiga memberi penekanan kepada peran dan agen (atau kapasitas untuk membuat perubahan) dari individu aktor-aktor. IDS (2006) mengembangkan dan mengelaborasi kerangka sederhana yang mengkaitkan ketiga tema yang saling terkait tersebut: 1.
Pengetahuan dan diskursus (bagaimana narasi kebijakan) ? Bagaimana hal tersebut dibuat kerangkanya dengan menggunakan ilmu pengetahuan dan riset, dsb. 2. Aktor dan jejaring (siapa yang terlibat dan bagaimana mereka saling terkait?) 3. Politik dan kepentingan (apa yang mendasari dinamika kekuatan?) Pada tingkat tertentu, memahami policy process datang dari pemahaman ketiga unsur tersebut – pada interseksi dari tiga perspektif yang tumpang tindih tersebut. Sehingga, untuk memahami mengapa kebijakan mengambil bentuk tertentu perlu memahami tidak saja pembentukan kerangka ilmiah dari isu – naratif yang menjelaskan cerita kebijakan - , tetapi juga bagaimana posisi kebijakan menjadi terangkai kokoh dalam jejaring (aktor, pendanaan, professional dan hubungan lainnya, dan teristimewa institusi dan organisasi tertentu, dan dinamika kekuatan yang mengkungkungnya. “Policy narrative”. Cerita tentang perubahan kebijakan memiliki permulaan, pertengahan dan suatu akhir. Mereka menggambarkan
Penguatan Tatakelola Kehutanan
13
kejadian-kejadian atau mendefinisikan dunia dalam cara tertentu, sehingga membentuk keputusan kebijakan. Policy narrative member baik diagnosa dan perangkat tindakan dan intervensi. Ia mendefinisikan masalah, menjelaskan bagaimana ia muncul ke permukaan, dan menunjukkan apa yang perlu dilakukan untuk menghindarkan bencana atau mencapai suatu akhir yang berhasil (happy ending), apa yang salah dan bagaimana hal tersebut diperbaiki. Ia mendapat validitas meskipun kenyataannya seringkali menyerdehanakan isyu dan proses yang kompleks. Simplifikasi cenderung memikat dalam hal menghindari kekaburan dan mendukung program aksi. Hal ini yang membuat narrative yang sederhana menarik bagi politisi atau manajer – mengabaikan pihak yang lemah. “Aktor dan Jejaring”. Jejaring, koalisi dan aliansi aktor-aktor (individu atau institusi) dengan visi yang sama – keyakinan yang serupa, codes of conduct, kesamaan pola perilaku – adalah penting dalam menyebarkan dan mempertahankan narrative melalui pembujukan publik dan pengaruh seperti jurnal, konferensi, pendidikan atau cara informal. Proses negosiasi dan tawar menawar diantara kelompok kepentingan yang saling berkompetisi adalah penting (sentral) dalam pembuatan kebijakan. Kebijakan dapat timbul dan tenggelam sebagai hasil dari perubahan dari efektivitas berbagai jejaring aktor-aktor yang terlibat (IDS, 2006). “Politik dan Kepentingan”. Politik membentuk proses kebijakan dalam beberapa cara : 1.
Konteks politik terbentuk oleh kepentingan otoritas regim tertentu untuk tetap berkuasa. Kompetisi juga terjadi diantara kelompokkelompok dalam masyarakat karena perbedaan kepentingan terkait dengan alokasi sumberdaya, atau keprihatinan masyarakat. 2. Proses kebijakan dipengaruhi oleh sejumlah kepentingan kelompok yang menggunakan kekuatannya dan kewenangannya atas pembuatan kebijakan. Hal ini mempengaruhi setiap tahapan proses, dari pembentukan agenda, hingga identifikasi alternatif, pembobotan opsi, pemilihan yang paling menguntungkan dan implementasinya. Kepentingan aktor dalam kebijakan berasal dari instansi pemerintah, pelaksana organisasi donor dan ekspert independen – dibentuk dalam narrative tertentu. 3. Kebijakan dinyatakan sebagai obyektif, netral, bebas nilai, dan seringkali diberi kemasan secara hukum dan ilmiah, yang menekankan pada rasionalitas. Dengan cara ini, sifat politis dari kebijakan tersembunyi melalui penggunaan bahasa teknis, yang menekankan pada rasionalitas dan obyektivitas.
14
RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF 2010-2014
4. Birokrat tidaklah semata-mata pelaksana kebijakan; mereka juga memiliki agenda personal dan politik sendiri untuk bernegosiasi. Politik birokrat, misalnya seperti persaingan dalam kementrian-kementrian untuk memperoleh kendali atas arena kebijakan, merupakan hal yang relevan. 4. Ruang Kebijakan (Policy Space) Konsep policy space terkait dengan sampai tingkat mana pembuat kebijakan dibatasi dalam pembuatan kebijakan oleh kekuatan-kekuatan seperti pendapat jejaring aktor yang dominan atau naratif. Jika terdapat tekanan yang kuat untuk mengadopsi strategi tertentu, maka pembuat keputusan tidak memiliki ruang yang banyak untuk mempertimbangkan opsi-opsi yang lebih banyak. Dapat pula terjadi seorang individu memiliki kapasitas (leverage) yang sangat besar atas proses sehingga dapat memaksakan preferensinya dalam pembentukan pilihan kebijakan.
D. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang digunakan meliputi: 1.
Desk study dengan bahan referensi hasil-hasil penelitian yang telah ada dalam tata kelola dan desentralisasi yang berasal dari berbagai lembaga penelitian, universitas, dan lain-lain, serta produk-produk peraturan perundangan yang ada 2. Survei dalam rangka pengumpulan data kuantitatif dan data kualitatif berupa pendapat pejabat kunci pada instansi terkait di pusat dan daerah (dinas kehutanan provinsi dan kabupaten/kota), BUMN dan HPH, serta masyarakat dan kalangan LSM, dalam rangka validasi (pengkayaan hasil desk study) 3. Wawancara dengan pakar yang terkait dari lembaga penelitian dan universitas, serta pakar-pakar lain yang dianggap relevan. 4. Group atau focused group discussions dengan para pihak
E. Metode Analisis Sebagaimana telah dipaparkan pada bagian 8.2, beberapa metode analisis yang berbeda akan digunakan untuk mempelajari dan memahami aspek yang berbeda-beda, diantaranya adalah analisis kelembagaan, analisis sistem, analisis organisasi dan pengambilan keputusan dan lain-lain. Secara khusus, metode analisis akan diperjelas dalam masing-masing Rencana Penelitian Tim Peneliti (RPTP). Meskipun demikian pendekatan penelitian khususnya untuk Analisis kebijakan (policy analysis) secara umum mengikuti
Penguatan Tatakelola Kehutanan
15
materi yang diuraikan pada Sub Bab 8.3. Berbagai instrumen analisis dalam bentuk metoda kuantitatif maupun kualitatif dapat dijumpai pada berbagai buku teks tentang pembuatan kebijakan, manajemen dan ekonomi. Secara ringkas dibawah ini beberapa metoda kuantitatif sebagai pengantar. 1.
B/C ratio Analisis ini digunakan untuk membandingkan benefit-cost ratio dari masing-masing pilihan kebijakan. Alternatif kebijakan yang memiliki nilai B-C ratio yang tertinggi memiliki prioritas tinggi untuk dipilih. Analisis B-C ratio memiliki beberapa bentuk dan merupakan metoda yang paling banyak digunakan.
2. Analytic Hierarchie Process (AHP) Analisis ini digunakan untuk membandingkan alternatif-alternatif kebijakan dengan cara memberi bobot pada setiap alternatif kebijakan melalui pembandingan berpasangan. AHP dapat mengintegrasikan halhal yang bersifat “intangible” di benak pengambil keputusan melalui pembandingan berpasangan tersebut. Alternatif kebijakan yang memiliki nilai bobot tertinggi memperoleh prioritas tertinggi untuk dipilih. 3. Analisis regressi (Multivariate) Analisis ini digunakan untuk melihat hubungan faktor-faktor. Faktorfaktor mana yang paling berpengaruh atas suatu kejadian atau memberikan dampak yang besar perlu mendapat perhatian yang lebih besar dalam pembuatan kebijakan. 4. Model-model Optimasi Analisis ini digunakan untuk memperoleh solusi kebijakan yang optimal dari banyak (jumlah tak terbatas) pilihan-pilihan kebijakan. Model ini mensyaratkan permasalahan dirumuskan secara matematis dimana terdapat fungsi obyektif dan kendala-kendala yang membatasi pilihan kebijakan. Model-model optimasi yang umum dipakai adalah Linear Programming dan Goal Programming. a. Analisis SWOT (Strength Weakness Opportunity Threat) Analisis ini digunakan untuk mendapatkan strategi kebijakan yang sesuai dengan melihat Kekuatan, Kelemahan, Peluang, Ancaman yang dihadapi suatu organisasi pemerintahan atau perusahaan.
16
RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF 2010-2014
b. Analisis resiko Analisis ini digunakan untuk melihat peluang terjadinya hasil (outcome) yang merugikan dan konsekuensi kerusakan yang terjadi jika hasil tersebut benar-benar terjadi. Analisis ini merupakan suatu proses mengidentifikasi resiko-resiko untuk memperkirakan dampaknya serta peluang terjadinya.
IX. Instansi Pelaksana, Tata Waktu dan Rencana Biaya Pada prinsipnya, Puslitsosek memiliki tugas menyusun Rencana Penelitian Integratif, sebagai koordinator penelitian-penelitian, pelaksana penelitian yang bersifat makro (nasional) atau lintas wilayah, dan pembuat sintesa hasil-hasil penelitian. Sedangkan Balai Besar dan BPK menyusun RPTP dan melaksanakan penelitian (mikro) sesuai dengan kondisi lokal yang berkembang dalam wilayah kerja masing-masing balai sesuai yang digariskan dalam RPI. Keterkaitan penelitian makro dengan mikro menjadi sangat penting untuk penelitian-penelitian desentralisasi dan KPH dari sudut stakeholders yang terlibat, demikian pula dalam penelitian indikator kemajuan tatakelola kehutanan. Oleh karena itu penelitian mikro di daerah menjadi sangat penting dalam pencapaian sasaran penelitian (rekomendasi kebijakan, indikator tata kelola dll). Table 1. Rencana instansi pelaksana, tata waktu dan rencana biaya
Kode
RPI / LUARAN / KEGIATAN
PELAKSANA
TAHUN PELAKSANAAN/ ANGGARAN (juta Rupiah) 2010 2011 2012 2013 2014
24
Penguatan Tata Kelola Kehutanan
24.1
Luaran 1 : Rekomendasi kelembagaan dalam Implementasi desentralisasi pada Hutan Lindung dan Hutan Produksi
24.1.1.4
Kajian Implementasi Desentralisasi Urusan Kehutanan PUSLITSOSEK pada Hutan Lindung dan Hutan Produksi
24.2
125
150
150
Luaran 2 : Rumusan bentuk dan organisasi Dephut dan skema perumusan kebijakan dan Peran UPT dalam implementasi desentralisasi
24.2.1.4 Analisis Peran UPT Lingkup Departemen Kehutanan Dalam Implementasi Desentralisasi Kehutanan
PUSLITSOSEK
150
Penguatan Tatakelola Kehutanan
17
Kode
RPI / LUARAN / KEGIATAN
PELAKSANA
TAHUN PELAKSANAAN/ ANGGARAN (juta Rupiah) 2010 2011 2012 2013 2014
24.2.2.4 Kajian Organisasi dan Mekanisme PUSLITSOSEK Perumusan Kebijakan di Pusat
150
150
24.3
Luaran 3 : Rekomendasi kebijakan pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH)
24.3.1
Analisis Kelembagaan dan Kebijakan KPH
24.3.1.4
PUSLITSOSEK
125
150
24.3.1.19
BPK Manokwari 100
100
24.3.2
Kajian Pengaruh Hak Atas Lahan (Land Tenure) dalam pembangunan KPH
24.3.2.4
PUSLITSOSEK
24.3.2.15
BPK Banjarbaru
24.4
150
150
150 150
100
Luaran 4 : Indikator/indeks kemajuan forest governance
24.4.1.4 Kajian Indikator Kemajuan Forest PUSLITSOSEK Governance 24.4.2.4 Kajian Good Corporate PUSLITSOSEK Governance di Bidang Kehutanan TOTAL ANGGARAN
X.
150
125
150
475 800 600 450 150
Organisasi
Penelitian ini akan dilaksanakan dibawah koordinasi Puslitsosek dengan melibatkan instansi terkait lingkup Badan Litbang Kehutanan. Jika diperlukan akan ditempuh mekanisme outsourcing dari instansi terkait lainnya.
XI. Daftar Pustaka Antara News, 2007. Indonesia Emitter Karbon Terbesar Ketiga Dunia 23/03/07 21:05 (http://www.antara .co.id/profil/). Diakses, 25 Maret 2007. Badan Planologi Kehutanan, 2005. Rekalkulasi Penutupan Lahan Indonesia Tahun 2005. Departemen Kehutanan, Jakarta. Fisher, R.J.2007. Devolution and decentralization of forest management in Asia and the Pacific. (http://www.fao.org). Diakses 30 Maei 20007. Greenpeace, 2007. Indonesia layak peroleh Rekor Dunia sebagai Penghancur Hutan Tercepat. http://www. greenpeace.org/seasia/id/press/press-
18
RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF 2010-2014
releases/Indonesia-layak-peroleh -rekor?mode=send. Diakses, 27 April 2007. Hari Sutanta, 2007. Indonesia duduki peringkat kedua setelah Brazil sebagai kawasan deforestasi terbesar di dunia (http://www.beritabumi.or.id/ aboutus /php). Institute of Development Studies.2006. Understanding Policy Processes. University of Sussex. Brighton BN1 9RE,UK. Kompas, 2007. Insentif Cegah Deforestasi. http://www.kompas.com/ kompas-cetak/ 0703/29/humaniora/3415274.htm. Diakses, 29 April 2007. Mayers, J. dan Bass, S. 1999. Policy that works for forests and people. Policy that works series no. 7: Series Overview. International Institute for Environment and Development, London. Media Indonesia, 2006. Negara Rugi Rp 8,4 T Akibat Perusakan Hutan Dan Lingkungan. http://www. Mediaindonesia.com. Diakses, 25 April 2007. PP No. 6 Th 2007 ttg Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, serta Pemanfaatan Hutan. http://www.Dephut.go.id. Diakses, 15 Mei 2007. Badan Litbang Kehutanan.2009.Roadmap Penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Jakarta. Rully, S, 2007. Pembalakan Liar dan Deforestasi http://www.walhi.or.id/ kampanye/ hutan/jeda/070328_pmblkn_liar_cu/ Sutton, Rebecca.1999. The Policy Process: An Overview. Overseas Development Institute. Portland House.London. Tim Kajian Forest Governance dalam Konteks Desentralisasi Badan Litbang Kehutanan. 2007. Tatakelola Kehutanan di Indonesia Tim Kajian Forest Governance dalam Konteks Desentralisasi Badan Litbang Kehutanan.2007.Agenda Riset Forest Governance Badan Litbang Kehutanan UU RI No. 32 Th 2004 tentang Pemerintah Daerah. Penerbit Citra Umbara, Bandung. UU RI No. 33 Th 2004 tentang Perimbangan Keuangan Antara Pusat dan Pemerintah Daerah. Penerbit Citra Umbara, Bandung.
Penguatan Tatakelola Kehutanan
19
World Bank, 2005. Forest and Forestry Home Page, available from http:// web.worldbank.org/WBSITE/EXTERNAL/TOPICS/EXTARD/EXTFO RESTS/0,,menuPK:985797~pagePK:149018~piPK:149093~theSite PK:985785,00.html, Last updated 13th September 2005, (Accessed 28/10/05).
XII. Kerangka Kerja Logis NARASI
INDIKATOR
ALAT VERIFIKASI
ASUMSI
Dihasilkannya rekomendasi: • Kelembagaan dalam Implementasi desentralisasi pada hutan lindung dan hutan produksi • Peran Pusat khususnya UPT dalam implementasi desentralisasi • Struktur organisasi Dephut dan skema dan mekanisme perumusan kebijakan di Dephut • Rekomendasi kebijakan pembangunan KPH • Rumusan indikator kemajuan forest governance
Dokumen mengenai rekomendasi implementasi desentralisasi sektor kehutanan dan arah perbaikan di masa mendatang dan organisasi Dephut serta skema pengambial kebijakan yang dikemas dalam bentuk produk LHP, Publikasi ilmiah, dan Policy brief
Tidak terjadi perubahan signifikan terhadap UU 32 2004 serta UU dan peraturan pelaksanaan terkait lainnya
Telah dilaksanakan penelitian terkait dengan: Kelembagaan dan implementasi desentralisasi hutan lindung dan produksi;
Sintesis hasil penelitian terkait dengan desentralisasi sektor kehutanan
Tersedia hasilhasil penelitian yang menjadi bahan sintesis
TUJUAN Menguatkan dan meningkatkan tata kelola kehutanan dan kinerja Dephut melalui penataan organisasi dan proses pengambilan keputusan.
Dukungan penuh dari pihak-pihak yang terkait dalam perencanaan dan pelaksanaan penelitian
SASARAN a. Tersedianya rekomendasi menuju terbangunnya desentralisasi hutan lindung dan produksi yang dapat dijadikan pijakan dalam pengambilan kebijakan kehutanan
20
RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF 2010-2014
NARASI
INDIKATOR
ALAT VERIFIKASI
b. Tersediannya rekomendasi bentuk organisasi dan skema dan mekanisme perumusan kebijakan Dephut dan peran UPT dalam implementasi desentralisasi kehutanan serta rekomendasi kelembagaan KPH
Telah dilakukannya penelitian terkait degan aspek-aspek: (1) bentuk organisasi dan perumusan kebijakan Dephut; (2) Peran UPT dalam desentralisasi; (3) Pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH);
LHP, Publikasi, dan Policy brief aspek-aspek: (1) Implementasi desentralisasi hutan lindung dan produksi ; (2) bentuk dan skema perumusan kebijakan Dephut; (3) Peran UPT dalam desentralisasi kehutanan (4) pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH)
c. Rumusan indikator kemajuan forest governance
Telah dilakukannya penelitian terkait: (1) kriteria dan indikator tata kelola kehutanan yang baik; (2) Kajian good corporate governance
LHP, Publikasi dan Policy brief indikator tata kelola kehutanan yang baik
ASUMSI Tersedia hasil penelitian yang menjadi bahan rekomendasi kebijakan
Dilakukannya pembahasan tingkat pimpinan Badan Litbang atas hasil ringkasan kebijakan LUARAN 1 Rekomendasi kelembagaan dalam Implementasi desentralisasi pada hutan lindung dan hutan produksi
Dilaksanakannya penelitian-penelitian: (1) Implementasi desentralisasi hutan lindung dan produksi.
Dokumen sintesis tentang desentralisasi kehutanan
Seluruh judul penelitian dapat dilaksanakan oleh para penanggung jawab
Dokumen LHP, Publikasi, Policy brief
Penguatan Tatakelola Kehutanan
21
NARASI
INDIKATOR
ALAT VERIFIKASI
2 Rumusan bentuk dan organisasi Dephut dan skema perumusan kebijakan dan Peran UPT dalam implementasi desentralisasi
Dilaksanakannya penelitian-penelitian: (1)Kajian organisasi dan mekanisme perumusan kebijakan di pusat (Dephut), (2) Peran Unit-Unit Pelaksana Teknis lingkup Departemen Kehutanan dalam implementasi desentralisasi kehutanan
Dokumen sintesis tentang organisasi Dephut
3 Rekomendasi kebijakan pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH)
Dilaksanakannya penelitian-penelitian: (1) Analisis Kelembagaan dan Kebijakan KPH; (2) Kajian pengaruh hak atas lahan (land tenure) dalam pembangunan KPH
Dokumen sintesis tentang kelembagaan KPH
4 Indikator kemajuan forest governance
Dilaksanakan penelitian: (1) Kajian indikator kemajuan forest governance, (2) Kajian good corporate governance
Dokumen sintesis tentang kriteria kemajuan forest governance
Penelitian berhasil menjawab pertanyaan apakah arah implementasi desentralisasi hutan lindung dan produksi saat ini sudah benar dan faktor-faktor apa yang menghambat implementasi kewenangan
Dokumen hasil penelitian, presentasi hasil penelitian dan publikasi hasil penelitian
Dokumen LHP, Publikasi, Policy brief
Dokumen LHP, Publikasi, Policy brief
ASUMSI Seluruh judul penelitian dapat dilaksanakan oleh para penanggung jawab
Seluruh judul penelitian dapat dilaksanakan oleh para penanggung jawab
Seluruh judul penelitian dapat dilaksanakan oleh para penanggung jawab
Dokumen LHP, Publikasi, Policy brief
KEGIATAN 1.1. Kajian implementasi Desentralisasi Urusan Kehutanan Pada :
22
RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF 2010-2014
Sumberdaya mendukung dan tidak terjadi perubahan kebijakan Departemen Kehutanan yang secara drastis berpengaruh pada arah penelitian
NARASI
INDIKATOR
ALAT VERIFIKASI
ASUMSI
1.1.1. Hutan Lindung
Penelitian berhasil menjawab pertanyaan seberapa jauh implementasi pemberian kewenangan Hutan Lindung kepada daerah; Syarat-syarat apa yang diperlukan bagi keterlaksanaan dalam implementasi kewenangan oleh daerah
Dokumen hasil penelitian, presentasi hasil penelitian dan publikasi hasil penelitian
Sumberdaya mendukung dan tidak terjadi perubahan kebijakan Departemen Kehutanan yang secara drastis berpengaruh pada arah penelitian
1.1.2 Hutan Produksi
Penelitian berhasil menjawab pertanyaan seberapa jauh implementasi pemberian kewenangan Hutan Produksi kepada daerah; Syarat-syarat apa yang diperlukan bagi keterlaksanaan dalam implementasi kewenangan oleh daerah; Bagaimana persepsi pelaku ekonomi tentang implementasi pemberian kewenangan kepada daerah
Dokumen hasil penelitian, presentasi hasil penelitian dan publikasi hasil penelitian
Sumberdaya mendukung dan tidak terjadi perubahan kebijakan Departemen Kehutanan yang secara drastis berpengaruh pada arah penelitian
2.1 Analisis peran Unit-Unit Pelaksana Teknis (UPT) lingkup Departemen Kehutanan dalam implementasi desentralisasi kehutanan
Penelitian berhasil menjawab pertanyaan seberapa efektif dan efisien keberadaan UPT Departemen Kehutanan dalam mendukung desentralisasi urusan kehutanan : Bagaimana meningkatkan efektifitas UPT dalam peningkatan kinerja Dephut dan masa depan Dephut
Dokumen hasil penelitian, presentasi hasil penelitian dan publikasi hasil penelitian
Sumberdaya mendukung dan tidak terjadi perubahan kebijakan Departemen Kehutanan yang secara drastis berpengaruh pada arah penelitian
Penguatan Tatakelola Kehutanan
23
NARASI
INDIKATOR
ALAT VERIFIKASI
ASUMSI
2.2. Kajian Organisasi dan Mekanisme Perumusan Kebijakan di Pusat 2.2.1 Analisis proses perumusan kebijakan atau perundangundangan di Departemen Kehutanan
2.2.2 Analisis organisasi Departemen Kehutanan
3.1. Analisis Kelembagaan dan Kebijakan KPH
24
Penelitian berhasil menjawab pertanyaan bagaimana kelompokkelompok kepentingan dalam perumusan kebijakan atau perundang-undangan di Departemen Kehutanan dan skema perumusan yang akuntabel : Proses dan mekanisme perumusan kebijakan yang mampu melahirkan kebijakan yang efektif dan akuntabel
Dokumen hasil penelitian, presentasi hasil penelitian dan publikasi hasil penelitian
Sumberdaya mendukung dan tidak terjadi perubahan kebijakan Departemen Kehutanan yang secara drastis berpengaruh pada arah penelitian
Penelitian berhasil menjawab pertanyaan apakah struktur organisasi Departemen Kehutanan saat ini memiliki kemampuan untuk menyelesaikan masalah kehutanan dan seberapa jauh daya adaptasinya untuk mencapai pengelolaan hutan lestari. Perbandingan dengan bentuk Holding dan Integratif
Dokumen hasil penelitian, presentasi hasil penelitian dan publikasi hasil penelitian
Sumberdaya mendukung dan tidak terjadi perubahan kebijakan Departemen Kehutanan yang secara drastis berpengaruh pada arah penelitian
Penelitian berhasil menjawab pertanyaan tentang struktur dan susunan organisasi yang mengakomodir kepentingan pusat dan daerah serta aturan yang membagi kewenangan pusat dan daerah secara seimbang berdasarkan azas manfaat
Dokumen hasil penelitian, presentasi hasil penelitian dan publikasi hasil penelitian
Sumberdaya mendukung dan tidak terjadi perubahan kebijakan Departemen Kehutanan yang secara drastis berpengaruh pada arah penelitian
RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF 2010-2014
NARASI
INDIKATOR
ALAT VERIFIKASI
ASUMSI
3.2.Kajian pengaruh hak atas lahan (land tenure) dalam pembangunan KPH
Penelitian berhasil menjawab pertanyaan tentang bagaimana hak atas lahan dalam pembangunan KPH. Bagaimana bentuk kelembagaan yang dapat mengakomodir kepentingan stakeholders atas pengelolaan KPH
Dokumen hasil penelitian, presentasi hasil penelitian dan publikasi hasil penelitian
Sumberdaya mendukung dan tidak terjadi perubahan kebijakan Departemen Kehutanan yang secara drastis berpengaruh pada arah penelitian
4.1. Kajian indikator kemajuan forest governance
Penelitian berhasil mengidentifikasi kriteria dan indikator, dan indeks yang dapat dipakai mengukur kemajuan tatakelola kehutanan (Pemerintah pusat dan daerah serta pelaku ekonomi) secara operasional
Dokumen hasil penelitian, presentasi hasil penelitian dan publikasi hasil penelitian
Sumberdaya mendukung dan tidak terjadi perubahan kebijakan Departemen Kehutanan yang secara drastis berpengaruh pada arah penelitian
4.2.Kajian Good Corporate Governance di bidang kehutanan
Penelitian berhasil menjawab pertanyaan apakah saat ini perusahaan-perusahaan kehutanan telah melakukan prinsipprinsip tata kelola perusahaan yang baik dan indikator apa yang secara efektif dapat menilai kemajuan implementasi-nya ; identifikasi faktor yang berperan dalam tata kelola perusahaan yang baik.
Dokumen hasil penelitian, presentasi hasil penelitian dan publikasi hasil penelitian
Sumberdaya mendukung dan tidak terjadi perubahan kebijakan Departemen Kehutanan yang secara drastis berpengaruh pada arah penelitian
Penguatan Tatakelola Kehutanan
25
26
RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF 2010-2014
Penguatan Tata Kelola Industri dan Perdagangan Hasil Hutan
Penguatan Tata Kelola Industri dan Perdagangan Hasil Hutan
i
ii
RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF 2010-2014
Lembar Pengesahan
Penguatan Tata Kelola Industri dan Perdagangan Hasil Hutan
iii
iv
RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF 2010-2014
Daftar Isi Lembar Pengesahan ...................................................................................iii Daftar Isi ...................................................................................................... v Daftar Tabel ...............................................................................................vii Daftar Singkatan ........................................................................................ ix I.
Abstrak ............................................................................................... 1
II.
Latar Belakang .................................................................................... 1
III.
Rumusan Masalah ............................................................................. 6
IV.
Tujuan dan Sasaran ........................................................................... 6
V.
Luaran ................................................................................................ 6
VI.
Ruang Lingkup ................................................................................... 7
VII.
Metode .............................................................................................. 8
VIII. Instansi Pelaksana, Rencana Tata Waktu dan Rencana Biaya Penelitian ........................................................................................... 9 IX.
Organisasi .........................................................................................10
X.
Daftar Pustaka ..................................................................................10
XI.
Kerangka Kerja Logis .........................................................................11
Penguatan Tata Kelola Industri dan Perdagangan Hasil Hutan
v
vi
RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF 2010-2014
Daftar Tabel Table 1. Kontribusi Sektor Kehutanan dan Hasil-Hasilnya dalam Pembentukan Produk Domestik Bruto Harga Konstan 2000 .... 2 Table 2. Pertumbuhan Sektor Kehutanan dalam Perekonomian Harga Konstan 2000.................................................................... 4 Table 3. Pertumbuhan Sektor Industri Kayu dan Produk-Produk Lainnya dalam Perekonomian Harga Konstan 2000 .................. 5 Table 4. Rencana lokasi penelitian ........................................................... 9 Table 5. Matriks instansi pelaksana, tata waktu dan rencana biaya penelitian .................................................................................... 9
Penguatan Tata Kelola Industri dan Perdagangan Hasil Hutan
vii
viii
RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF 2010-2014
Daftar Singkatan
B/C
: Benefit/Cost
DR
: Dana Reboisasi
HHL
: Hasil Hutan Lain
HHBK
: Hasil Hutan Bukan Kayu
HR
: Hutan Rakyat
HS
: Harmonized System
HTI
: Hutan Tanaman Industri
HTR
: Hutan Tanaman Rakyat
IKBR
: Industri Kayu, Bambu dan Rotan
IRR
: Internal Rate of Return
KBP
: Kayu Bulat dan Perburuan
LHP
: Laporan Hasil Penelitian
PDB
: Produk Domestik Bruto
PSDH
: Provisi Sumberdaya Hutan
Penguatan Tata Kelola Industri dan Perdagangan Hasil Hutan
ix
x
RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF 2010-2014
I.
ABSTRAK
Kontribusi sektor kehutanan pada Produk Domestik Bruto nasional dapat mencapai lebih dari 2% apabila tidak terjadi illegal logging dan illegal trade serta inefisiensi pemanfaatan hutan dan pengolahan kayu serta pasar kayu tidak terdistorsi. Secara umum penelitian integratif ini bertujuan untuk mengaji tata kelola industri dan perdagangan hasil hutan dan secara khusus mengaji: (1) besaran pungutan bukan pajak hasil hutan tanaman, (2) daya saing investasi industri hasil hutan, dan (3) daya saing perdagangan hasil hutan. Besaran pungutan bukan pajak hasil hutan tanaman dikaji menggunakan indikator ekonomi: nilai tegakan (stumpage value), dan indikator kelembagaan: pengaturan penyediaan lahan hutan tanaman. Daya saing investasi industri hasil hutan (tanaman) dikaji menggunakan indikator ekonomi: benefit/cost ratio (B/C ratio), internal rate of return (IRR) serta penawaran dan permintaan kayu, dan indikator kelembagaan: perizinan usaha hutan tanaman. Daya saing perdagangan hasil hutan dikaji menggunakan indikator ekonomi: keunggulan komparatif (comparative advantage) dan efisiensi sistem tataniaga, serta indikator kelembagan: pengaturan perdagangan hasil hutan di dalam dan luar negeri, termasuk harmonized system (HS) dan non tariff barrier. Sasaran penelitian integratif ini adalah diperolehnya informasi faktorfaktor ekonomi dan kelembagaan yang mempengaruhi: (1) besaran pungutan bukan pajak hasil hutan tanaman, (2) daya saing investasi industri hasil hutan, dan (3) daya saing perdagangan hasil hutan. Hasil penelitian integratif ini diharapkan dapat berguna sebagai masukan dalam menetapkan kebijakan memperbaiki tata kelola industri dan perdagangan hasil hutan, termasuk di dalamnya perhitungan besaran pungutan bukan pajak hasil hutan tanaman. Kata Kunci : industri, perdagangan, investasi, hasil hutan, daya saing.
II.
Latar Belakang
Sumberdaya hutan memiliki tiga peran. Pertama adalah sebagai penghasil barang dan jasa. Sebagai penghasil barang, sumberdaya hutan menyediakan Hasil Hutan Kayu (HHK) dan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK). Sebagai penghasil jasa, ekosistem hutan mempertahankan, antara lain: penyediaan sumber mata air, pembentukan iklim mikro, penyerapan karbon (carbon sequestration) dan pemandangan alam yang unik. Kedua adalah sebagai penopang sistem kehidupan sosial ekonomi dan budaya masyarakat. Komunitas masyarakat lokal yang hidup di sekitar hutan memandang hutan sebagai sumber mata pencaharian maupun hutan sebagai sarana peribadatan (Colfer, et al, 2001). Sebagai sumber mata pencaharian, karena hutan bisa menjadi tempat untuk mencari nafkah dengan memanfaatkan hasil hutan berupa kayu, rotan, madu dan ikan. Sebagai sarana peribadatan,
Penguatan Tata Kelola Industri dan Perdagangan Hasil Hutan
1
karena hutan bisa menjadi tempat peribadatan tertentu. Ketiga adalah sebagai sistem penyangga kehidupan. Sebagai sistem penyangga kehidupan, sumberdaya hutan membentuk dan mempertahankan fungsifungsi ekologis (rantai makanan dan kehidupan beragam makhluk hidup, flora dan fauna) dalam keseimbangan dan berkelanjutan. Sehingga hutan dapat berfungsi sebagai penjaga siklus makanan beragam makhluk hidup; pengatur tata air dan pencegah banjir; pengendali erosi; pencegah intrusi air laut; pemelihara kesuburan tanah; dan pembentuk kondisi udara bersih. Meskipun peran sumberdaya hutan sangat penting bagi kehidupan umat manusia, peran sektor kehutanan dalam perekonomian sangat kecil, yaitu hanya sekitar 1% dari PDB (Produk Domestik Bruto) dan bila produkproduk kayu olahan juga dimasukkan, hanya meningkat menjadi sekitar 2% dari PDB (Tabel 1). Namun kontribusi yang kecil bukan hanya milik sektor kehutanan. Sektor-sektor yang lain, seperti perkebunan, peternakan dan hasil-hasilnya, serta perikanan juga memiliki kontribusi yang kurang lebih sama dengan sektor kehutanan, yaitu sekitar 2%. Sektor pertambangan migas juga memiliki kontribusi yang tidak besar sekitar 6%, sementara industri migas malah hanya sekitar 3%, lebih kecil dibanding tanaman bahan makanan sekitar 7%. Persoalan pokoknya bukanlah pada besaran kontribusi sektor kehutanan, melainkan dampak penggandanya (multiplier effect) dalam perekonomian dan yang lebih penting lagi, adakah sumberdaya hutan dimanfaatkan secara lestari? Table 1. Kontribusi Sektor Kehutanan dan Hasil-Hasilnya dalam Pembentukan Produk Domestik Bruto Harga Konstan 2000 Uraian PDB
Miliar Rupiah 2004
2005
2006
2007
2008*
2009**
1.656.516,8 1.750.656,1 1.846.654,9 1.963.974,30 2.082.315,9 2.176.975,5
1. Kehutanan
17.433,8
17.176,9
16.784,1
16.401,40
16.543,3
16.793,8
Persentase terhadap PDB
1,05%
0,98%
0,91%
0,84%
0,79%
0,77%
20.325,5
20.138,5
20.006,2
19.657,60
20.335,8
20.039,2
1,23%
1,15%
1,08%
1,00%
0.98%
0.92%
2. Industri kayu & produkproduk lainnya Persentase Terhadap PDB
2
RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF 2010-2014
Uraian PDB 3. Kehutanan & hasil-hasilnya (1+2) Persentase Terhadap PDB
Miliar Rupiah 2004
2005
2006
2007
2008*
2009**
1.656.516,8 1.750.656,1 1.846.654,9 1.963.974,30 2.082.315,9 2.176.975,5 37,759.30
37,315.40
36,693.10
36.059,00
36.879,1
36.833,0
2,28%
2,13%
1,99%
1,84%
1.77%
1.69%
Sumber: BPS; * angka sementara ; ** angka sangat sementara
Jika sektor kehutanan dan hasil-hasilnya didisagregasi ke dalam tiga subsektor, yaitu: industri kayu, bambu dan rotan (IKBR), kayu bulat dan perburuan (KBP), dan hasil hutan lain (HHL), hasil penelitian (Astana dkk, 2003) menunjukkan masing-masing memiliki nilai pengganda output, pendapatan dan tenaga kerja yang tinggi. Nilai pengganda output subsektor IKBR adalah 1,926 - 2,664, subsektor KBP, 1,401 - 1,841 dan subsektor HHL, 1,387 - 1,907. Nilai pengganda output subsektor IKBR sebesar 1,926 memiliki arti bahwa jika output subsektor IKBR meningkat sebesar satu satuan akibat kenaikan permintaan akhir, maka output perekonomian akan meningkat sebesar 1,926 satuan. Sedangkan nilai pengganda pendapatan subsektor IKBR adalah 1,946 - 4,020, subsektor KBP, 1,406 - 2,053 dan subsektor HHL, 1,453 - 1,680. Nilai pengganda pendapatan subsektor IKBR sebesar 1,946 memiliki arti bahwa jika pendapatan rumah tangga yang bekerja di sektor IKBR meningkat sebesar satu satuan akibat kenaikan permintaan akhir, maka pendapatan rumah tangga dalam perekonomian akan meningkat sebesar 1,946 satuan. Nilai pengganda tenaga kerja subsektor IKBR adalah 4,961 - 8,035, sub sektor KBP, 1,140 - 1,496 dan sub sektor HHL, 1,178 - 1,186. Nilai pengganda tenaga kerja subsektor IKBR sebesar 4,961 memiliki arti bahwa bila penyerapan tenaga kerja di sektor IKBR meningkat sebanyak satu satuan akibat kenaikan permintaan akhir, maka penyerapan tenaga kerja dalam perekonomian akan meningkat sebesar 4,961 satuan. Meskipun sektor kehutanan memiliki nilai pengganda dalam perekonomian yang tinggi, namun peranan tersebut akan hilang jika hutannya tidak dimanfaatkan secara lestari. Dapat dibayangkan jika produksi kayu dan hasil hutan lainnya sama dengan nol, karena hutan (produksi) sudah habis ditebang, maka apa yang akan terjadi dalam perekonomian adalah impor kayu dan hasil hutan lain untuk memenuhi kebutuhan. Ini tentunya akan menguras devisa, dan pada gilirannya akan mengganggu neraca pembayaran (balance of payment) dan perekonomian
Penguatan Tata Kelola Industri dan Perdagangan Hasil Hutan
3
secara keseluruhan, terlebih bila cadangan devisa dalam kondisi tipis. Kenyataan menunjukkan sejak pembangunan ekonomi dimulai tahun 1970an, laju kerusakan sumberdaya hutan terus meningkat. Laju kerusakan dan pengurangan sumberdaya hutan lebih tinggi dibanding laju pemulihan dan penambahan. Luas tutupan dan potensi per ha hutan terus mengalami penurunan. Kerusakan dan pengurangan sumberdaya hutan mengganggu tiga peran sumberdaya hutan, yaitu: sebagai penghasil barang dan jasa; sebagai penopang sistem kehidupan sosial ekonomi dan budaya masyarakat; dan sebagai sistem penyangga kehidupan. Seiring dengan penurunan luas tutupan dan potensi per ha hutan (produksi), PDB sektor kehutanan dan hasil-hasilnya mengalami pertumbuhan negatif. Pada tahun 2004 meskipun PDB sektor kehutanan mengalami pertumbuhan positif sebesar 1,28%, rataan per tahun periode 2004-2009 mengalami pertumbuhan negatif sebesar 0.40% (Tabel 2). Dalam periode 2004-2009, sektor industri kayu dan produk-produk lainnya juga mengalami pertumbuhan negatif rataan per tahun sebesar 0.57% (Tabel 3). Pertumbuhan PDB sektor kehutanan dan hasil-hasilnya yang negatif memberikan bukti telah terjadinya pemanfaatan hutan yang tidak lestari. Ini merupakan sebuah fenomena yang ironis, karena hutan merupakan sumberdaya yang terbarukan. Table 2. Pertumbuhan Sektor Kehutanan dalam Perekonomian Harga Konstan 2000
Tahun
Miliar Rupiah
% Pertumbuhan
2004
17.433,80
1,28
2005
17.176,90
-1,47
2006
16.686,90
-2,85
2007
16.401,40
-1,71
2008*
16.543,30
0.87
2009**
16.793,80
1,51
Rataan
16.839,35
-0.40
Sumber: BPS ; * angka sementara; ** angka sangat sementara
4
RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF 2010-2014
Table 3. Pertumbuhan Sektor Industri Kayu dan Produk-Produk Lainnya dalam Perekonomian Harga Konstan 2000
Tahun
Miliar Rupiah
% Pertumbuhan
2004
20.325,50
-2,07
2005
20.138,50
-0,92
2006
20.006,20
-0,66
2007
19.657,60
-1,74
2008*
20.335.80
3,45
2009**
20.039.20
-1,46
Rataan
20083.80
-0.57
Sumber: BPS ; * angka sementara; ** angka sangat sementara
Kontribusi sektor kehutanan dapat mencapai lebih dari 2% apabila tidak terjadi illegal logging dan illegal trade serta inefisiensi pemanfaatan hutan dan pengolahan kayu serta pasar kayu tidak terdistorsi. Terkait hal ini, terdapat pandangan bahwa kegiatan investasi di bidang industri hasil hutan dipandang kurang menarik dibanding industri bukan hasil hutan (perkebunan), karena prosedur investasi yang kurang transparan dan kelayakan finansial yang relatif rendah. Di samping itu, terdapat juga pandangan bahwa kebijakan industri dan perdagangan hasil hutan belum kondusif. Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) di sektor kehutanan relatif kecil karena pembagian keuntungan (manfaat) secara berkeadilan belum sepenuhnya diterapkan dan cenderung menurun karena produksi kayu tidak lestari. Dampak krisis finansial global diperkirakan semakin menekan investasi industri dan perdagangan hasil hutan namun pada tingkat tertentu dapat menguntungkan dari sisi penghematan stok hutan. Guna meningkatkan kontribusi sektor kehutanan dalam pembentukan Produk Domestik Bruto nasional diperlukan upaya perbaikan tata kelola industri dan perdagangan hasil hutan. Tata kelola industri dan perdagangan hasil hutan yang baik akan meningkatkan investasi industri dan perdagangan hasil hutan serta memungkinkan peningkatan perolehan pungutan bukan pajak sektor kehutanan. Meningkatnya investasi industri dan perdagangan hasil hutan pada gilirannya akan meningkatkan kontribusi sektor kehutanan dalam pembentukan Produk Domestik Bruto nasional. Untuk itu penelitian integratif ini dilakukan.
Penguatan Tata Kelola Industri dan Perdagangan Hasil Hutan
5
III. Rumusan Masalah Kontribusi sektor kehutanan dapat mencapai lebih dari 2% apabila tidak terjadi illegal logging dan illegal trade serta inefisiensi pemanfaatan hutan dan pengolahan kayu serta pasar kayu tidak terdistorsi. Untuk itu diperlukan upaya perbaikan tata kelola industri dan perdagangan hasil hutan. Tata kelola industri dan perdagangan hasil hutan yang baik akan meningkatkan investasi industri dan perdagangan hasil hutan serta memungkinkan upaya peningkatan penerimaan negara bukan pajak dari hasil hutan. Peningkatan investasi dan perdagangan hasil hutan pada gilirannya akan menaikkan kontribusi sektor kehutanan dalam pembentukkan Produk Domestik Bruto nasional. Permasalahannya adalah apa saja faktor-faktor ekonomi dan kelembagaan yang mempengaruhi: (1) besaran pungutan bukan pajak hasil hutan, (2) daya saing investasi industri hasil hutan, dan (3) daya saing perdagangan hasil hutan. Daya saing investasi industri hasil hutan yang dikaji meliputi: (a) investasi usaha Hutan Tanaman Industri (HTI; hasil hutan kayu HTI), (b) investasi usaha Hutan Tanaman Rakyat (HTR; hasil hutan kayu HTR), (c) investasi usaha Hutan Rakyat (HR; hasil hutan kayu HR), dan (d) investasi usaha perkebunan (sebagai pembanding). Daya saing perdagangan hasil hutan yang dikaji adalah daya saing perdagangan produk kehutanan yang berorientasi pasar ekspor (kayu dan rotan). Besaran pungutan bukan pajak yang dikaji adalah besaran pungutan bukan pajak hasil hutan tanaman (HTI; HTR).
IV. Tujuan dan Sasaran Secara umum bertujuan untuk mengkaji tata kelola industri dan perdagangan hasil hutan dan secara khusus mengkaji: (1) besaran pungutan bukan pajak hasil hutan tanaman, (2) daya saing investasi industri hasil hutan, dan (3) daya saing perdagangan hasil hutan. Sasaran yang ingin dicapai : 1.
Tersedianya informasi faktor-faktor ekonomi dan kelembagaan yang mempengaruhi besaran pungutan bukan pajak hasil hutan tanaman 2. Tersedianya informasi faktor-faktor ekonomi dan kelembagaan yang mempengaruhi daya saing investasi industri hasil hutan. 3. Tersedianya informasi faktor-faktor ekonomi dan kelembagaan yang mempengaruhi daya saing perdagangan hasil hutan.
V.
Luaran Luaran yang diharapkan :
6
RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF 2010-2014
1.
Rekomendasi kebijakan perhitungan besaran pungutan bukan pajak hasil hutan tanaman. 2. Rekomendasi kebijakan peningkatan daya saing investasi industri hasil hutan dari sisi: (1) penawaran dan permintaan kayu, (2) kelayakan finansial usaha hutan tanaman, dan (3) perizinan usaha hutan tanaman. 3. Rekomendasi kebijakan peningkatan daya saing perdagangan hasil hutan yang berorientasi ekspor dari sisi: (1) keunggulan produk kehutanan, (2) efisiensi sistem tataniaga, (3) harmonized system (HS), dan (4) non tariff barrier.
VI. Ruang Lingkup Jenis kegiatan untuk memberikan rekomendasi kebijakan besaran pungutan bukan pajak hasil hutan tanaman terdiri dari: 1. Analisis nilai tegakan (stumpage value) hutan tanaman 2. Analisis kebijakan penyediaan lahan hutan tanaman. Jenis kegiatan untuk memberikan rekomendasi peningkatan daya saing investasi industri hasil hutan terdiri dari: 1. Analisis penawaran dan permintaan kayu 2. Analisis kelayakan finansial usaha hutan tanaman dan perkebunan 3. Analisis perizinan usaha hutan tanaman dan perkebunan Jenis kegiatan untuk memberikan rekomendasi peningkatan daya saing perdagangan hasil hutan terdiri dari: 1. 2. 3. 4.
Analisis keunggulan produk kehutanan Analisis efisiensi sistem tataniaga produk kehutanan Analisis harmonized system (HS) produk kehutanan Analisis non-tariff barrier produk kehutanan
Penguatan Tata Kelola Industri dan Perdagangan Hasil Hutan
7
VII. Metode A. Kerangka Pikir Kontribusi sektor kehutanan terhadap perekonomian nasional ditentukan oleh perkembangan investasi industri dan perdagangan hasil hutan. Besaran pungutan bukan pajak hasil hutan (DR- Dana Reboisasi dan PSDH- Provisi Sumber Daya Hutan) mempengaruhi perkembangan investasi industri dan perdagangan hasil hutan. Perkembangan investasi industri hasil hutan mempengaruhi perkembangan perdagangan hasil dan sebaliknya, perkembangan perdagangan hasil hutan mempengaruhi perkembangan investasi industri hasil hutan. Perkembangan investasi industri hasil hutan bergantung pada seberapa jauh industri hasil hutan memiliki daya saing dalam menarik investor untuk berinvestasi di bidang industri hasil hutan. Sedangkan perkembangan perdagangan hasil hutan bergantung pada seberapa jauh hasil hutan memiliki daya saing dalam merebut pangsa pasar, khususnya dalam konteks perdagangan internasional. Besaran pungutan bukan pajak hasil hutan serta daya saing investasi industri dan perdagangan hasil hutan dipengaruhi faktor-faktor ekonomi dan kelembagaan. Faktor-faktor ini merupakan permasalahan yang menjadi fokus kajian ini.
B. Metode Analisis 1.
Besaran pungutan bukan pajak hasil hutan tanaman dikaji menggunakan indikator ekonomi: nilai tegakan (stumpage value) dan indikator kelembagaan: pengaturan penyediaan lahan hutan tanaman. 2. Daya saing investasi industri hasil hutan dikaji menggunakan indikator ekonomi: benefit/cost ratio (B/C ratio), internal rate of return (IRR), penawaran dan permintaan kayu, serta indikator kelembagaan: perizinan usaha hutan tanaman. 3. Daya saing perdagangan hasil hutan dikaji menggunakan indikator ekonomi: keunggulan komparatif (comparative advantage), efisiensi sistem tataniaga, dan indikator kelembagaan: pengaturan perdagangan hasil hutan di dalam dan luar negeri, termasuk harmonized system (HS) dan non tariff barrier.
C. Lokasi penelitian Rencana lokasi penelitian adalah sebagaimana tabel 4 berikut.
8
RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF 2010-2014
Table 4. Rencana lokasi penelitian No.
Kegiatan
Lokasi
1.
Analisis nilai tegakan (stumpage value) hutan tanaman ; Analisis kebijakan penyediaan lahan hutan tanaman
Jawa Tengah, Sumatra Selatan, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah
2.
Analisis penawaran dan permintaan kayu; Analisis kelayakan finansial usaha hutan tanaman dan perkebunan; Analisis perizinan usaha hutan tanaman dan perkebunan
Jawa Barat, Jambi, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur
3.
Analisis keunggulan produk kehutanan; Analisis efisiensi sistem tataniaga produk kehutanan; Analisis harmonized system (HS) produk kehutanan; Analisis non-tariff barrier produk kehutanan
Jawa Timur, Riau, Kalimantan Timur, Kalimantan Barat
VIII. Instansi Pelaksana, Rencana Tata Waktu dan Rencana Biaya Penelitian Instansi pelaksana yang terlibat dalam penelitian, tata waktu penelitian serta rencana biaya yang diperlukan tersaji pada tabel 5. Table 5. Matriks instansi pelaksana, tata waktu dan rencana biaya penelitian
Kode
PROGRAM/RPI / LUARAN / KEGIATAN
PELAKSANA
TAHUN PELAKSANAAN / ANGGARAN (juta Rupiah) 2010
2011
2012
2013
2014
PROGRAM 7 KEBIJAKAN KEHUTANAN 25 25.1
Penguatan Tata Kelola Industri dan Perdagangan Hasil Hutan
Luaran 1 : Rekomendasi kebijakan perhitungan besaran pungutan bukan pajak hasil hutan tanaman
25.1.1.4 Analisis nilai tegakan (stumpage value) hutan tanaman
PUSLITSOSEK
150
25.1.2.4 Analisis kebijakan penyediaan lahan hutan tanaman
PUSLITSOSEK
150
25.2
Luaran 2 : Rekomendasi kebijakan peningkatan daya saing investasi industri hasil hutan
25.2.1.4 Analisis penawaran dan permintaan kayu
PUSLITSOSEK
150
Penguatan Tata Kelola Industri dan Perdagangan Hasil Hutan
9
Kode
PROGRAM/RPI / LUARAN / KEGIATAN
PELAKSANA
TAHUN PELAKSANAAN / ANGGARAN (juta Rupiah) 2010
2011
25.2.2.4 Analisis kelayakan finansial usaha hutan tanaman dan perkebunan;
PUSLITSOSEK
150
25.2.3.4 Analisis perizinan usaha hutan tanaman dan perkebunan
PUSLITSOSEK
100
25.3
2012
2013
2014
Luaran 3 : Rekomendasi kebijakan peningkatan daya saing perdagangan hasil hutan
25.3.1.4 Analisis keunggulan produk kehutanan;
PUSLITSOSEK
200
25.3.2.4 Analisis efisiensi sistem tataniaga produk kehutanan
PUSLITSOSEK
150
25.3.3.4 Analisis harmonized system (HS) produk kehutanan
PUSLITSOSEK
150
25.3.4.4 Analisis non-tariff barrier produk kehutanan
PUSLITSOSEK
150
TOTAL ANGGARAN
300
400
650
IX. Organisasi Penelitian ini akan dilaksanakan di bawah koordinasi Puslitsosek dengan melibatkan instansi lingkup Badan Litbang Kehutanan dan instansi terkait lain.
X.
Daftar Pustaka
Astana S., D. Djaenudin dan M. Z. Muttaqin. 2003. Kajian Peranan Sektor Kehutanan dalam Perekonomian Daerah. Jurnal Penelitian Sosial Ekonomi 4 (1). Puslitbang Sosial Ekonomi dan Kebijakan Kehutanan. Bogor. Coelfer, C. J. P., R. L. Wadley, E. Harwell, and R. Prabhu. 2001. Assessing Intergenerational Access to Resources: Using Criteria and Indicators in West Kalimantan, Indonesia in People Managing Forests: The Links between Human Well-Being and Sustainability, ed. by Coelfer and Byron. Resources for The Future and CIFOR. Washington.
10
RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF 2010-2014
XI. Kerangka Kerja Logis NARASI
INDIKATOR
ALAT VERIFIKASI
Dihasilkan nya informasi faktorfaktor ekonomi dan kelembagaan yang mempengaruhi: (1) besaran pungutan bukan pajak hasil hutan tanaman, (2) daya saing investasi industri hasil hutan, dan (3) daya saing perdagangan hasil hutan
Dokumen data/ informasi/rekomendasi kebijakan terkait dengan faktorfaktor ekonomi dan kelembagaan yang mempengaruhi tata kelola industri dan perdagangan hasil hutan (LHP, publikasi, dan Policy Brief )
Kebijakan perencanaan dan pelaksanaan kegiatan penelitian kondusif.
1. Tersedianya informasi faktor-faktor ekonomi dan kelembagaan yang mempengaruhi besaran pungutan bukan pajak hasil hutan tanaman
Telah dilaksanakan sintesa hasil penelitian: Analisis nilai tegakan (stumpage value) hutan tanaman; Analisis kebijakan penyediaan lahan hutan tanaman.
Sintesa hasil penelitian terkait besaran pungutan bukan pajak hasil hutan tanaman. LHP, Publikasi, dan Policy Brief nilai tegakan dan kebijakan penyediaan lahan hutan tanaman
Tersedia hasilhasil penelitian sebagai bahan sistesis identifikasi faktor-faktor ekonomi dan kelembagaan yang mempengaruhi besaran pungutan bukan pajak hasil hutan tanaman
2. Tersedianya informasi faktor-faktor ekonomi dan kelembagaan yang mempengaruhi daya saing investasi industri hasil hutan
Telah dilaksanakan sintesa hasil penelitian: Analisis penawaran dan permintaan kayu; Analisis kelayakan finansial usaha hutan tanaman dan perkebunan; Analisis perizinan usaha hutan tanaman dan perkebunan
Sintesa hasil penelitian terkait daya saing daya saing investasi industri hasil hutan . LHP, Publikasi, dan Policy Brief penawaran dan permintaan kayu; kelayakan finansial usaha hutan tanaman dan perkebunan; perizinan usaha hutan tanaman dan perkebunan
Tersedia hasilhasil penelitian sebagai bahan sistesis identifikasi faktor-faktor ekonomi dan kelembagaan yang mempengaruhi daya saing investasi industri hasil hutan
TUJUAN: Secara umum bertujuan untuk mengaji tata kelola industri dan perdagangan hasil hutan dan secara khusus mengaji: (1) besaran pungutan bukan pajak hasil hutan, (2) daya saing investasi industri hasil hutan dan (3) daya saing perdagangan hasil hutan
ASUMSI
SASARAN:
Penguatan Tata Kelola Industri dan Perdagangan Hasil Hutan
11
NARASI
INDIKATOR
ALAT VERIFIKASI
ASUMSI
Telah dilaksanakan sintesa hasil penelitian: Analisis keunggulan produk kehutanan; Analisis efisiensi sistem tataniaga produk kehutanan; . Analisis harmonized system (HS) produk kehutanan; Analisis non-tariff barrier produk kehutanan
Sintesa hasil penelitian terkait daya saing perdagangan hasil hutan. LHP, Publikasi, dan Policy Brief keunggulan komparatif produk kehutanan ; efisiensi sistem tataniaga produk kehutanan; harmonized system (HS) produk kehutanan; nontariff barrier produk kehutanan
Tersedia hasilhasil penelitian sebagai bahan sistesis identifikasi faktor-faktor ekonomi dan kelembagaan yang mempengaruhi daya saing perdagangan hasil hutan
1. Rekomendasi kebijakan perhitungan besaran pungutan bukan pajak hasil hutan tanaman
Dilaksanakannya penelitian: Analisis nilai tegakan (stumpage value) hutan tanaman; Analisis kebijakan penyediaan lahan hutan tanaman.
Dokumen hasil penelitian terkait besaran pungutan bukan pajak hasil hutan tanaman. Dokumen LHP, Publikasi, dan Policy Brief nilai tegakan (stumpage value) hutan tanaman; kebijakan penyediaan lahan hutan tanaman
Seluruh kegiatan penelitian dilaksanakan. Kendala dan hambatan dalam merumuskan luaran diatasi.
2. Rekomendasi kebijakan peningkatan daya saing investasi industri hasil hutan
Dilaksanakannya penelitian: Analisis penawaran dan permintaan kayu; Analisis kelayakan finansial usaha hutan tanaman dan perkebunan; Analisis perizinan usaha hutan tanaman dan perkebunan
Dokumen hasil penelitian terkait daya saing investasi industri hasil hutan. LHP, Publikasi, dan Policy Brief penawaran dan permintaan kayu; kelayakan finansial usaha hutan tanaman dan perkebunan; perizinan usaha hutan tanaman dan perkebunan
Seluruh kegiatan penelitian dilaksanakan. Kendala dan hambatan dalam merumuskan luaran diatasi.
3. Tersedianya informasi faktor-faktor ekonomi dan kelembagaan yang mempengaruhi daya saing perdagangan hasil hutan
LUARAN:
12
RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF 2010-2014
NARASI
INDIKATOR
ALAT VERIFIKASI
ASUMSI
3. Rekomendasi kebijakan peningkatan daya saing perdagangan hasil hutan
Dilaksanakannya penelitian: Analisis keunggulan produk kehutanan ; Analisis efisiensi sistem tataniaga produk kehutanan; Analisis harmonized system (HS) produk kehutanan; Analisis non-tariff barrier produk kehutanan
Dokumen hasil penelitian terkait daya saing perdagangan hasil hutan. LHP, Publikasi, dan Policy Brief keunggulan komparatif produk kehutanan ; efisiensi sistem tataniaga produk kehutanan; harmonized system (HS) produk kehutanan; nontariff barrier produk kehutanan
Seluruh kegiatan penelitian dilaksanakan. Kendala dan hambatan dalam merumuskan luaran diatasi.
Penelitian berhasil memperoleh informasi: 1. Nilai tegakan hutan tanaman dan faktorfaktor yang mempengaruhi 2. Kelemahan dan kelebihan alokasi dan distribusi lahan hutan, perizinan dan persyaratan penyediaan lahan hutan tanaman
Dokumen presentasi dan pembahasan hasil penelitian: Analisis nilai tegakan (stumpage value) hutan tanaman; Analisis kebijakan penyediaan lahan hutan tanaman.
Sumberdaya (kuantitas dan kualitas) mendukung . Tidak terjadi perubahan kebijakan yang membatalkan pelaksanaan penelitian
KEGIATAN: 1.1. Analisis nilai tegakan (stumpage value) hutan tanaman 1.2. Analisis kebijakan penyediaan lahan hutan tanaman
Penguatan Tata Kelola Industri dan Perdagangan Hasil Hutan
13
NARASI
INDIKATOR
ALAT VERIFIKASI
ASUMSI
2.1. Analisis penawaran dan permintaan kayu 2.2 Analisis kelayakan finansial usaha hutan tanaman dan perkebunan 2.3. Analisis perizinan usaha hutan tanaman dan perkebunan
Penelitian berhasil memperoleh informasi: 1. Penawaran dan permintaan kayu nasional dan faktorfaktor yang mempengaruhi 2. Perbandingan kelayakan finansial usaha hutan tanaman dan perkebunan 3. Perbandingan perizinan usaha hutan tanaman dan perkebunan
Dokumen presentasi dan pembahasan hasil penelitian: Analisis penawaran dan permintaan kayu; Analisis kelayakan finansial usaha hutan tanaman dan perkebunan; Analisis perizinan usaha hutan tanaman dan perkebunan
Sumberdaya (kuantitas dan kualitas) mendukung . Tidak terjadi perubahan kebijakan yang membatalkan pelaksanaan penelitian
3.1. Analisis keunggulan produk kehutanan 3.2. Analisis efisiensi sistem tataniaga produk kehutanan 3.3. Analisis harmonized system (HS) produk kehutanan 3.4. Analisis non-tariff barrier produk kehutanan
Penelitian berhasil memperoleh informasi: 1. Keunggulan produk kehutanan dan faktorfaktor yang mempengaruhi, termasuk informasi mengenai keunggulan kayu dan non kayu, dampak lingkungan kayu, serta preferensi konsumen. 2. Efisiensi sistem tataniaga produk kehutanan 3. Harmonized system (HS) produk kehutanan 4. Non-tariff barrier produk kehutanan
Dokumen presentasi dan pembahasan hasil penelitian: Analisis keunggulan komparatif produk kehutanan ; Analisis efisiensi sistem tataniaga produk kehutanan; . Analisis harmonized system (HS) produk kehutanan; Analisis non-tariff barrier produk kehutanan
Sumberdaya (kuantitas dan kualitas) mendukung . Tidak terjadi perubahan kebijakan yang membatalkan pelaksanaan penelitian
14
RENCANA PENELITIAN INTEGRATIF 2010-2014