Rencana Kegiatan Mingguan dan Bahan Ajar Hukum Pengawasan Terhadap Aparatur Pemerintah Pertemuan
:
Minggu ke-10
Estimasi waktu
:
100 menit.
Pokok Bahasan
:
1. Pengawasan politis 2. Pergawasan Yuridis
Sub pokok bahasan
:
1. Pengawsan politis - Pengertian pengawsan politis - Fungsi pengawsan politis - Pelaksanaan pengwsan politis 2. Pengawsan Yuridis. - Pengertian Pengawsan Yuridis. - Pelaksanaan Pengawasan Yuridis
Tujuan khusus
:
1. Mahasiswa
dapat
menjelaskan
pengertian
pengawasan politis. 2. Mahasiswa dapat menjelaskan pengertian pengawsan yuridis. Metode
:
Kuliah, tanya jawab.
Media
:
OHP, papan tulis, spidol.
Bahan Ajar. Penawasan Politis. Pengertian Pengawasan Politis. Pengawasan Politis adalah pengawasan terhadap perbuatan pemerintah dilakukan oleh lembaga Perwakilan Rakyat baik oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) maupun Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR). Dalam proses pengawasan mi DPR maupun MPR sebagai pihak yang melakukan pengawasan sedangkan pemerintah atau Presiden beserta aparatumya di bawahnya merupakan pihak yang diawasi. Dewan Perwakilan Rakyat dalam melakukan pengawsan terhadap perbuatan aparatur pemerintah menitik beratkan pada aspek politis. Implementasi Pengawasan Politis Dasar hukum pengawasan DPR terhadap apartur pemerintah terdapat dalam pasal 20 A Undang-Undang Dasar 1945. Adapun isi pasal 20 A UUD 1945 adalah sebagai berikut:
(1) Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislatif, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan. (2) Dalam melaksanakan fungsinya, selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain gUndang Dasar mi, Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat. (3) Selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang-Undang Dasar ini, setiap anggota Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat serta hak imunitas. (4) Ketentuan lebih lanjut tentang hak Dewan Perwakilan Rakyat dan hak anggota Dewan Perwakilan Rakyat diatur dalam undang-undang Apabila
dalam
melaksanakan
fungsi
pengawasan
DPR
menemukan
penyimpangan yang dilakukan oleh aparat pemerintah, maka DPR dapat mengajukan masalah tersebut kepada Mahkamah Konstitusi. Mahkamah Konstitusi adalah Lembaga Tinggi Negara yang melaksanakan kekuasaan kehakiman selain Mahkamah Agung yang dibentuk oleh Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar 1945. Keberadaan Mahkamah Konstitusi ini berdasarkan Undang-Undang Nomor : 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Konstitusi. Adapun ketentuan yang berkaitan dengan fungsi pengawasan DPR terhadap aparatur pemerintah terdapat dalam pasal 10 ayat 2, dan ayat 3 UU No: 24 tahun 2003. Adapun ketentuan pasal 10 (2) dan (3) UU No: 24 tahun 2003 adalah sbb: (1) Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat DPR bahwa Presiden dan atau Wakil Presiden diduga telah melakukan diduga telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, danlatau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Tahun 1945. (2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) berupa: a. pengkhianatan terhadap negara adalah tindak pidana terhadap ketentuan negara sebagaimana diatur dalam undang-undang. b. korupsi dan penyuapan adalah tindak pidana korupsi atau penyuapan sebagaimana diatur dalam undang-undang. c. tindak pidana berat lainnya adalah tindak yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih. d. perbuatan tercela adalah perbuatan yang dapat merendahkan martabat Presiden dan/atau Wakil Presiden.
e. tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah syarat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 6 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan Presiden danlatau Wakil Presiden melanggar ketentuan undang-undang, maka para anggota DPR yang juga merupakan anggota MPR, akan memanggil MPR guna mengadakan sidang istimewa guna meminta pertangungan-jawaban Presiden. Hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 2 (1) dan pasal 3 (3)UUD 1945. Pasal 2 (1) UUD 1945 menyebutkan : Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur lebih lanjut dengan undang-undang. Pasal 3 (3) UUD 1945 menyebutkan : Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut Undang-Undang Dasar. Pengawasan yuridis/ oleh Kekuasaan Kehakiman Pengertian Pengawasan yuridis/ oleh Kekuasaan Kehakiman Yang dimaksud dengan kekuasaan kehakiman di sini adalah kekuasaan untuk mengadili. Berdasarkan Undang-undang No: 14 tahun 1970 tentang Pokok Kekuasaan Kehakiman, kekuasaan kehakiman ini dilaksanakan oleh lembaga peradilan dalam lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara yang semuanya berpuncak kepada Mahkamah Agung. Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) ini diatur dalam Undang-undang Nomor:5 tahun 1986. Meskipun UU PTUN dikeluarkan tahun sejak 1986 namun pelaksanaannya secara efektif baru pada tahun 1991. Kompetensi dari PTUN adalah memeriksa dan mengadili sengketa tata usaha negara, yakni sengketa antara orang (individu atau badan hukum perdata) dengan pejabat tata usaha negara atau Badan Tata Usaha Negara karena berlakunya keputusan tatausaha negara (Muchsan, Sistem Pengawasan Terhadap Perbuatan Aparat Pemerintah Dan Peradilan Tata Usaha Negara Di Indonesia, hal 50) Dari uraian di atas dapat disimpulkan unsur-unsur untuk adanya Peradilan Tata Usaha Negara adalah: 1. Adanya pihak ketiga (Lembaga Pengadilan). 2. Minimal ada 2 pihak yang bersengketa yaitu Pejabat / Badan Tata Usaha dengan orang (individu atau badan hukum perdata) 3. Adanya keputusan tata usaha negara.
4. Adanya peraturan hukum di bidang adminstrasi negara/tata negara. Peradilan Tata Usaha Negara ini memiliki tiga jenjang pemeriksaan, yakni peradilan tingkat pertama dilaksanakan oleh PTUN, peradilan tingkat banding dilaksanakan oleh Pengadilan Tinggi TUN dan peradilan tingkat kasasi dilaksanakan oleh Mahkamah Agung. Berdasarkan UU No: 14 tahun 1970 PTUN ini secara operasional dan fungsional bertanggung jawab kepada Mahkamah Agung, akan tetapi secara administratif finansial bertanggung jawab kepada departemen kehakiman. Ini berarti bahwa kualitas keadilan dan putusan hakim, Mahkamah Agung yang berhak menilai melalui pemeriksaan kasasi. Sedangkan segala sesuatu yang berkaitan dengan status, hak serta kewajiban hakim sebagai Pegawai Negeri Sipil diurus oleh Departemen Kehakiman. (Muchsan, Sistem Pengawasan Terhadap Perbuatan Aparat Pemerintah Dan Peradilan Tata Usaha Negara Di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1997,hal 51) Dalam pengawasan yuridis atau pengawsan oleh kekuasaan kehakiman terhadap aparatur pemerintah, titik berat pengawsan terletak pada aspek yuridis sehingga hakim tidak boleh menilai perbuatan aparatur pemerintah dan aspek kebijaksanaan (doelmatigeheids). Dalam pasal 53 (2) UU PTLTN sudah diatur mengenai alasan-alasan yang dipergunakan oleh hakim untuk menilai apakah perbutan dari aparat pemerintah apakah bertentangan atau tidak dengan ketentuan yang berlaku. Ketentuan pasal 53 (2) UU No: 5/1986 adalah : Alasan-alasan yang dapat dipergunakan dalam gugatan pada PTUN adalah: a. Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat itu bertentangan dengan peraturan perundangan yang berlaku. b. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara pada waktu mengeluarkan keputusan telah menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain dan maksud dibenikannya wewenang tersebut. c. Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara pada waktu mengeluarkan atau tidak mengeluarkan keputusan setelah mempertimbangkan semua kepentingan yang tersangkut dengan keputusan itu seharusnya tidak sampai pada pengambilan atau tidak pengambilan keputusan tersebut. Dari ketentuan pasal 53 (2) UU No:5 tahun 1986 dapat disimpulkan bahwa perbuatan aparatur pemenintah dalam hal ini keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang dapat digugat di PTUN adalah Keputusan Badan/Pejabat TUN yang merugikan individu yang dikategorikan sebagai:
1. Perbuatan melanggar Undang-Undang (Onwetmatige) 2. Perbuatan menyalah gunakan wewenang (Detournement de pouvoir) 3. Perbuatan sewenang-wenang. (willekeur) Rumusan pasal 53 (2) UU No:5 tahun 1986 ini bersifat limitatif artinya hanya 3 perbuatan tersebut yang hanya dapat dipergunakan sebagai alasan menggugat di PTUN. Selain hal terdebut di atas sikap aparatur pemerintah yang dapat digugat adalah baik yang bersifat aktif artinya aparatur pemerintah mengeluarkan suatu keputusan maupun bersifat pasif artinya aparatur pemerintah tidak mengeluarkan keputusan. Daftar Pustaka: Hadawi Nawawi, Pengawasan Melekat Dikingkungan Aparatur Pemerintahan, Penerbit Erlangga, Jakarta, 1989. Jimly Asshiddiqie, Format Lelembagaan Negara Dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD 1945, Penerbit FH Ull, Yogyakarta, 2004. Muchsan, Sistem Pengawasan Terhadap Perbuatan Aparat Pemerintah Dan Peradilan Tata Usaha Negara Di Indonesia, Liberty, Yogyakarta, 1997.