RENCANA AKSI NASIONAL PERLINDUNGAN ANAK 2015-2019
PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
RENCANA AKSI NASIONAL PERLINDUNGAN ANAK 2015- 2019
TAHUN 2015
RENCANA AKSI NASIONAL PERLINDUNGAN ANAK 2015-2019
RENCANA AKSI NASIONAL PERLINDUNGAN ANAK 2015 - 2019 ISBN
Diterbitkan Oleh: Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional / Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS)
Tim Penyusun: Ketua Tim Pengarah Anggota Tim Pengarah
: :
Penanggungjawab Kegiatan Ketua Tim Pelaksana Sekretaris Tim Pelaksana Anggota Tim Pelaksana
: : : :
Tenaga Ahli
:
Mitra Pendukung
:
USER
Dr. Sofyan A. Djalil, SH, MA, MALD Ir. Rizky Ferianto, MA; Dra. Rahma Iryanti, M.T; DR. Pribudiarta Nur Sitepu, MM; Lenny N. Rosalin, SE. M.Sc, M.Fin. Dr. Ir. Subandi, MSc. Dr. Drg. Theresia Ronny Andayani, MPH. Ir. Yosi Diani Tresna, MPM. Ir. Agustina Erni, M.Sc; Rini Handayani, SE, MM; Ir. Nurti Mukti Wibawati; Ali Khasan, SH. M.Si; Hasan, S.H; Maydian Werdiastuti, M.Si; Dra. Elvi Hendrani; Drs. Hendra Jamal, M.Si; Drs. Darmawan M.Si; Dra.Dyah Elvina; Dra. Valentina Ginting, M.Si; Ir. Suharti, M.A., Ph.D; dr. Slamet, MHP; Dra. Sri Puguh Budi Utami, Bc.IP, M.Si; Ir. Restuardy Daud, M.Sc; Dr. Vivi Yulaswati, MSc; Arif Christiono, SH, MSi; Dr. Drg. Theresia Ronny Andayani, MPH; Dr. Hadiat, MA; Ir. Destri Handayani, M.E; Ahmad Taufik, S.Kom, MAP; Ir. Ani Pudyastuti, MA; Dani Ramadan, S.Si, MHR; Indah Erniawati, S.Sos; Aini Harisani, SE; Yasmin Zafira S.Sos Prof. Irwanto, Ph.D; Ni Luh Putu Maitra Agastya, S.Sos, MSW; Putri Kusuma Amanda, SH, LLM; Clara Siagian, Santi Kusumaningrum. UNICEF
1
RENCANA AKSI NASIONAL PERLINDUNGAN ANAK 2015-2019
KATA PENGANTAR
Rencana Aksi Nasional Perlindungan Anak (RAN-PA) merupakan penjabaran lebih rinci atas pelaksanaan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 20152019 untuk mencapai sasaran pembangunan perlindungan anak sebagaimana telah ditetapkan dalam Peraturan Presiden No. 2/2015 tentang RPJMN tahun 2015-2019. Pencapaian berbagai sasaran komitmen global seperti Konvensi Hak Anak dan Sustainable Development Goals juga menjadi tujuan dalam rencana aksi ini. Seperti yang tertera dalam dokumen RPJMN 2015-2019, Pemerintah Indonesia berkomitmen dalam upaya perlindungan anak sebagai bagian dari bentuk investasi terhadap pembangunan sumber daya manusia. Cita-cita besar inipun sejalan dengan agenda nasional pembangunan (Nawacita). Pemenuhan hak dan perlindungan anak secara optimal akan menghasilkan individu berkualitas yang akan membawa kemajuan bangsa di masa yang akan datang, sebaliknya jika permasalahan anak tidak tertangani dengan baik maka generasi selanjutnya akan menjadi beban bagi negara. Sasaran utama RAN-PA ini adalah anak, yang berdasarkan UU No.35/2014 tentang Perubahan Atas UU No.22/2003 tentang Perlindungan Anak merupakan individu berusia 0 sampai sebelum 18 tahun termasuk anak yang berada di dalam kandungan. Intervensi yang dilakukan dalam RAN-PA ini dibagi kedalam tiga kategori berdasarkan kebutuhan selama siklus hidup usia anak, yakni Pondasi yang Kuat 1000 Hari Pertama Kehidupan (0 - 2 tahun), Pilar yang Kokoh dalam 10 Tahun Perkembangan Anak (>2 12 tahun), dan Atap yang Melindungi (>12 – <18 tahun). RAN-PA telah diamanatkan dalam UU No.35/2014 Bab II Pasal 21 ayat (1), (2), dan (3) sebagai kewajiban negara dalam menghargai, melindungi, dan memenuhi hak-hak anak. Oleh karena itu, RAN–PA memuat koordinasi lintas sektor termasuk lembaga non pemerintah dan dunia usaha dalam mewujudkan pemenuhan hak dan perlindungan anak di Indonesia. Di tingkat daerah, RAN-PA dapat dikembangkan menjadi Rencana Aksi Daerah (RAD) terkait perlindungan anak dan diintegrasikan dengan program pemerintah daerah. Dalam hal ini, peranan Pemerintah Daerah dan masyarakat sipil sangat penting untuk melaksanakan aksi pemenuhan hak dan perlindungan yang diperuntukkan bagi anak. Dengan adanya dokumen ini, diharapkan upaya pemenuhan hak dan perlindungan anak di Indonesia dapat dilakukan secara holistik, serta sasaran nasional pembangunan perlindungan anak dapat tercapai secara optimal. Jakarta, Januari 2016 Menteri PPN/Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
Sofyan A. Djalil
USER
2
RENCANA AKSI NASIONAL PERLINDUNGAN ANAK 2015-2019
Ringkasan Eksekutif --------------------------------------------------------------------------------------------
RENCANA AKSI NASIONAL PERLINDUNGAN ANAK 2015-2019 Berbagai permasalahan perlindungan anak seperti meningkatnya pelaporan kejadian kekerasan pada anak, kasus anak yang berhadapan dengan hukum, meningkatnya jumlah anak yang dititipkan orangtuanya dipanti, pelayanan dasar seperti pendidikan dan kesehatan belum sepenuhnya dapat dinikmati oleh anak penderita disabilitas begitupun dengan anak yang tinggal di daerah terpencil secara geografis, hal tersebut merupakan suatu tantangan pentingnya disusun suatu perencanaan yang menjadi acuan intervensi yang holistik-integratif bagi seluruh pemangku kepentingangan. Rencana Aksi Nasional Perlindungan Anak (RAN-PA) 2015 - 2019 disusun untuk merespon tantangan tersebut. Dokumen ini juga merupakan penjabaran lebih rinci atas pelaksanaan Peraturan Presiden No. 2/2015 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 untuk mencapai sasaran pembangunan perlindungan anak. Penyusunan rencana aksi telah diamanatkan dalam UU No.35/2014 Bab II Pasal 21 ayat (1), (2), dan (3) sebagai kewajiban negara dalam menghargai, melindungi, dan memenuhi hak-hak anak. Pencapaian berbagai sasaran komitmen global seperti Konvensi Hak Anak dan Sustainable Development Goals juga menjadi dasar dalam rencana aksi ini. Tujuan dari RAN PA adalah: (1) Memperkuat komitmen dari semua pemangku kepentingan pembangunan agar melindungi dan mendukung tumbuh kembang anak agar sehat, berbudi pekerti dan berkarakter, dan tangguh dalam menghadapi berbagai tantangan pembangunan, dan (2) Memberikan kerangka rancang bangun kebijakan negara yang peka terhadap kebutuhan tumbuh kembang anak yang dapat dipahami dan dilaksanakan oleh semua unsur pemerintah serta arahan-arahan yang diperlukan untuk mengimplimentasikan kebijakan yang terkoordinasi dan terintegrasi Ruang lingkup dari dokumen ini mencakup analisa situasi, tantangan, sasaran, rencana aksi dan mekanisme pelaksanaan serta matriks rencana aksi. Sebagai dasar untuk menentukan intervensi yang akan dilakukan, maka anak dibagi kedalam tiga kategori berdasarkan kebutuhan selama siklus hidup usia anak, yakni Pondasi yang Kuat 1000 Hari Pertama Kehidupan (0- 2 tahun), Pilar yang Kokoh dalam 10 Tahun Perkembangan Anak (>2-12 tahun), dan Atap yang Melindungi (>12-<18 tahun). Agar memberikan hasil yang optimal, maka RAN-PA disusun berdasarkan prinsip relevansi dengan berbagai persoalan tumbuh kembang anak yang sesuai dengan periode perkembangannya, mengandung unsur kekinian sesuai dengan tantangantangan terkini dan yang akan datang, terkelola berdasarkan data dan informasi yang akurat dan kontekstual, dan sistemik karena harus disertai pembangunan sistem yang memfasilitasi pelaksanaan program dan kerangka hukum yang mendasarinya.
USER
3
RENCANA AKSI NASIONAL PERLINDUNGAN ANAK 2015-2019
Gambar 1. Kerangka kerja Rencana Aksi Nasional Perlindungan Anak
USER
4
RENCANA AKSI NASIONAL PERLINDUNGAN ANAK 2015-2019
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ........................................................................................................................
2
RINGKASAN EKSEKUTIF .............................................................................................................
3
DAFTAR ISI .......................................................................................................................................
5
DAFTAR GAMBAR...........................................................................................................................
6
BAB I
PENDAHULUAN ...............................................................................................
7
1.1 Latar Belakang............................................................................................
8
1.2 Maksud dan Tujuan..................................................................................
9
1.3 Prinsip............................................................................................................
10
1.4 Kedudukan dan Ruang Lingkup..........................................................
10
ANALISA SITUASI DAN TANTANGAN .....................................................
12
2.1 Analisa Situasi berdasarkan Alur Siklus Kehidupan ...............
14
2.2 Analisa Situasi Berdasarkan Kelembagaan …………….........….
23
2.3 Akar Permasalahan……………………………………………............…..
24
2.4 Tantangan ..................................................................................................
26
SASARAN DAN RENCANA AKSI .................................................................
28
3.1 Sasaran Nasional Pembangunan Perlindungan Anak.............
29
3.2 Sasaran dan Aksi RAN-PA 2015-2019...........................................
30
MEKANISME PELAKSANAAN ...................................................................
33
4.1 Koordinasi .................................................................................................
34
4.2 Mekanisme Pelaksanaan Kebijakan...............................................
34
4.3 Pemantauan dan Evaluasi . ................................................................
35
PENUTUP .........................................................................................................
37
DAFTAR PUSTAKA.......................................................................................................................
39
LAMPIRAN: MATRIKS RAN-PA 2015-2019.......................................................................
42
BAB II
BAB III
BAB IV
BAB V
USER
5
RENCANA AKSI NASIONAL PERLINDUNGAN ANAK 2015-2019
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1
Kerangka Kerja Rencana Aksi Nasional Perlindungan Anak
4
Gambar 2
Sasaran dan Aksi RAN-PA 2015 – 2019
30
Gambar 3
Skema Rencana Aksi Nasional Perlindungan Anak 2015-2019
34
USER
6
RENCANA AKSI NASIONAL PERLINDUNGAN ANAK 2015-2019
BAB I. PENDAHULUAN
USER
7
RENCANA AKSI NASIONAL PERLINDUNGAN ANAK 2015-2019
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Anak sebagai kapasitas yang terus berkembang dan hak-haknya diakui dan dilindungi oleh berbagai konvensi internasional, khususnya di dalam Konvensi Hak Anak (KHA), Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (CEDAW), dan Konvensi Hak-hak Orang dengan Disabilitas (UNCRPD). Ketiga konvensi yang disebutkan di atas menekankan pada pentingnya pendidikan keluarga untuk perkembangan dan kepentingan terbaik bagi anak. Anak sebagai pemegang hak ditekankan dalam KHA. Adapun hak anak tersebut yaitu hak-hak sipil, politik, sosial, dan budaya. Perlindungan dan pemenuhan hak-hak tersebut didasarkan pada empat (4) prinsip hak asasi manusia, yaitu: (1) non diskriminasi; (2) kepentingan terbaik anak; (3) hak untuk hidup dan berkembang; dan (4) hak untuk didengar pendapatnya. Konvensi ini telah diratifikasi melalui Keputusan Presiden Nomor 36/1990 dengan tujuan agar anak sebagai penerus generasi bangsa menjadi isu prioritas, dan memperoleh ruang berpartisipasi dalam pembangunan nasional. Sebagai bagian dari komitmen yang kuat terhadap perlindungan hak-hak anak, Indonesia juga telah meratifikasi protokol tambahan KHA mengenai (1) perdagangan, prostitusi, dan pornografi anak; dan (2) keterlibatan anak dalam konflik bersenjata. Konvensi Hak-Hak Orang dengan Disabiltas yang diratifikasi melalui UU No. 19/2011 menjamin anak dengan disabilitas mendapatkan pemenuhan hak yang sama dengan anak lainnya, termasuk akses terhadap pendidikan yang layak dan identitas hukum. Indonesia juga telah meratifikasi Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of Discrimination Against Women/CEDAW) yang menekankan pada pentingnya pendidikan keluarga untuk perkembangan dan kepentingan terbaik bagi anak. Perlindungan yang serupa juga telah dijamin di dalam Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya (Ratifikasi Melalui UU No. 11/2005) yang antara lain menekankan pada: (1) perlindungan terhadap keluarga, tanggung jawab keluarga atas perawatan dan pendidikan anak; (2) perlindungan dan bantuan untuk kepentingan anak dan remaja, tanpa diskriminasi; dan (3) perlindungan anak dari eksploitasi ekonomi dan sosial. Secara global, pembangunan, termasuk didalamnya pembangunan yang berpihak pada anak mengacu pada Sustainable Development Goals (pembangunan berkelanjutan), terutama mengakhiri kemiskinan anak (G-1), mengakhiri kelaparan dan kekurangan gizi pada anak (G-2), memastikan setiap anak sehat dan sejahtera (G-3), akses yang sama pada pendidikan yang berkualitas (G-4), memastikan kesetaraan gender (G-5), memastikan akses pada air bersih dan sanitasi (G-6), akses pada energi yang murah dan berkelanjutan (G-7), mampu memperoleh kesempatan kerja yang bermartabat (G-8), literasi dan akses dalam pemanfaatan teknologi (G-9), memastikan kesamaan kesempatan (G-10), lingkungan komunitas dan kota yang ramah anak (G-11), memperoleh manfaat dan dan dapat berpartisipasi dalam konsumsi yang bertanggung jawab (G-12), terhindar dari konsekuensi buruk perubahan iklim (G-13), masih memiliki akses, mampu menimati manfaat kekayaan laut (G-14), diberi kesempatan dan mampu menjaga kelestarian Bumi (G-15), dan memastikan anak berkembang dalam lingkungan yang damai dan inklusif dan mendapatkan akses kepada keadilan, termasuk memiliki identitas hukum (G-16). USER
8
RENCANA AKSI NASIONAL PERLINDUNGAN ANAK 2015-2019
Dengan berbagai ratifikasi yang telah disahkan, Pemerintah Indonesia harus memastikan standar peraturan nasional telah sepadan dengan peraturan internasional tersebut agar hak-hak anak terpenuhi dengan baik. Komitmen kebijakan nasional perlindungan anak tercermin di dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa “setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi (Pasal 28 B ayat (2))”. Selanjutnya, UU No. 23/2002 tentang Perlindungan Anak telah disahkan dengan memuat berbagai peraturan tentang pemenuhan hak anak dalam segala aspek, dan kemudian direvisi dengan UU No. 35/2014. Dalam dokumen RPJMN 2015-2019, Kabinet Kerja 2014-2019 menginginkan proses pembangunan nasional yang mampu mencapai cita-cita besar baik dalam agenda nasional maupun internasional. Untuk itu, diperlukan berbagai perubahan mendasar yang diuraikan oleh Presiden Joko Widodo dalam Sembilan agenda utama pembangunan nasional RI (Nawacita). Untuk meraih cita-cita besar itu, investasi pembangunan harus dilakukan secara seimbang antara investasi dalam pembagunan infrastruktur dan investasi dalam pembangunan sumberdaya manusia. Sejalan dengan itu, dalam RPJMN 2015-2019, arah kebijakan pembangunan dalam bidang perlindungan anak adalah: (1) Meningkatkan akses semua anak terhadap pelayanan yang berkualitas dalam rangka mendukung tumbuh kembang dan kelangsungan hidup; (2) meningkatkan perlindungan anak dari dari tindak kekerasan, eksploitasi, penelantaran, danperlakuan salah lainnya; dan (3) peningkatan efektivitas kelembagaan perlindungan anak, salah satunya melalui penguatan partisipasi anak muda untuk ikut menentukan arah dan kualitas pembangunan. Sumberdaya manusia yang berkualitas hanya mungkin dicapai melalui investasi yang memadai pada masamasa kritis dalam pertumbuhan dan perkembangan manusia, yaitu masa kanak-kanak (18 tahun pertama). Secara spesifik dinyatakan bahwa anak Indonesia tidak hanya harus memperoleh pendidikan berkualitas tentang nilai-nilai budi pekerti, kebangsaan, nasionalisme, dan kemanusiaan tetapi juga harus diupayakan akses pada layanan kesehatan yang berkualitas, dikembangkan lingkungan hidup yang sehat dan aman, serta diciptakan bagi mereka ruang-ruang dialog antar warga dan mengupayakan kerukunan yang memperteguh kebhinekaan bangsa. Upaya-upaya tersebut tidak dapat berdiri sendiri-sendiri tetapi harus dilaksanakan secara serentak bersama membangun sistem perlindungan anak, dengan melibatkan berbagai unsur pemangku kepentingan terkait. 1.2. Maksud dan Tujuan Maksud dari penyusunan RAN-PA adalah menghasilkan sebuah dokumen payung petunjuk strategik dalam mencapai sasaran perlindungan anak sebagaimana telah ditetapkan dalam RPJMN 2015-2019 dan berbagai komitmen global, yang terkoordinasi secara terpadu dengan melibatkan semua pemangku kepentingan baik dari unsur pemerintah, maupun non pemerintah termasuk organisasi kemasyarakatan dan dunia usaha.
USER
9
RENCANA AKSI NASIONAL PERLINDUNGAN ANAK 2015-2019
Tujuan dari Rencana Aksi Nasional Perlindungan Anak 2015-2019 adalah: 1. Memastikan perlindungan hak-hak anak menjadi komitmen dari semua pemangku kepentingan pembangunanagar setiap anak di Indonesia dapat tumbuh dan berkembang secara optimal, sehat, berbudi pekerti dan berkarakter, dan tangguh dalam menghadapi berbagai tantangan pembangunan. 2. Memberikan kerangka rancang bangun kebijakan negara yang peka terhadap kebutuhan tumbuh kembang anak yang dapat dipahami dan dilaksanakan oleh semua elemen negara dan pemerintah dari tingkat pusat sampai daerah. 3. Memberikan arahan dalam pengembangan kelembagaan yang relevan dan terkoordinasi antar dan lintas pemangku kepentingan, baik pemerintah, masyarakat dan dunia usaha di semua tingkatan yang fokus pada kebutuhan pembangunan anak nasional dan komitmen global. 4. Memberikan arahan pada pelaksana kebijakan dan pemangku kepentingan terkait dalam menyusun prioritas pembangunan yang menghasilkan daya ungkit terbesar dalam memastikan perlindungan dan pemenuhan hak-hak anak. 1.3
Prinsip
Prinsip-prinsip yang menjadi dasar dari arah kebijakan dan strategi dari RAN-PA 20152019 adalah sebagai berikut: 1. Kebijakan pembangunan nasional anak harus mampu menjawab kebutuhankebutuhan spesifik anak yang sedang tumbuh dan berkembang sesuai dengan periode-periode kritis (sensitif) dan kebutuhan khusus anak. 2. Kebijakan pembangunan nasional anak harus mampu menjawab berbagai faktor yang mendasari masalah-masalah yang menimpa anak-anak seperti penyakit, berbagai defisiensi dan deprivasi baik gizi, lingkungan sosial yang konstruktif sampai dengan sanitasi yang sehat, dan berbagai faktor yang menyebabkan anak-anak rentan terhadap eksploitasi, kekerasan dan penelantaran. 3. Kebijakan pembangunan nasional harus mampu mengantipasi dan merespons berbagai persoalan yang muncul karena bencana dan perubahan iklim, kemajuan teknologi, epidemi HIV dan AIDS, dan mobilitas penduduk yang semakin tinggi. 4. Kebijakan pembangunan nasional harus disertai mekanisme pemantauan dan evaluasi yang terkelola dan efektif untuk mencegah kesenjangan, dan memastikan tercapainya tujuan secara kuantitatif maupun kualitatif. 5. Kebijakan pembangunan nasional anak harus disertai dengan pembangunan sistem perlindungan anak yang mampu menciptakan lingkungan yang memfasilitasi pelaksanaan program dan pelaksanaan instrumen hukum yang diperlukan. 1.4
Kedudukan dan Ruang Lingkup RAN PA
Kerangka hukum utama RAN-PA 2015-2019 adalah Undang-undang Perlindungan Anak No. 23/2002 yang telah direvisi menjadi UU No. 35/2014 Bab II Pasal 21 ayat ( 1), (2), dan (3) sebagai kewajiban negara dalam menghargai, melindungi, dan memenuhi hakhak anak melalui kebijakan pemerintah pusat. Selain itu, RAN-PA memperoleh mandat eksekutif melalui Quick Wins Kabinet Kerja Presiden Joko Widodo. Dengan demikian, RAN-PA menjadi dokumen payung pemerintah yang mengambil sari pati rencana strategis kementerian dan lembaga (K/L) mengenai anak yang dituangkan ke dalam RPJMN 2015-2019 dan ditambah dengan berbagai analisis kesenjangan sesuai dengan USER
10
RENCANA AKSI NASIONAL PERLINDUNGAN ANAK 2015-2019 situasi yang paling mutakhir. Khusus mengenai isu kekerasan terhadap anak akan dimuat lebih lanjut di dalam Strategi Nasional Penghapusan Kekerasan terhadap Anak, sementara Kota/Kabupaten Layak Anak menjadi kebijakan yang setara dengan Rencana Aksi ini untuk diimplementasikan sebagai inisiatif Kabupaten/Kota sesuai dengan Bab II Pasal 21 ayat (4) dan (5). Konsep mengenai “perlindungan anak” merujuk pada UU No. 35/2014 pasal 1 ayat 2, yang menyatakan bahwa bahwa “Perlindungan Anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi”. Dengan demikian, arti perlindungan menurut undang-undang ini tidak sekedar melindungi anak dari berbagai risiko kekerasan eksploitasi atau penelantaran, tetapi lebih luas dari itu karena yang dilindungi adalah hak-hak dasar anak.
USER
11
RENCANA AKSI NASIONAL PERLINDUNGAN ANAK 2015-2019
BAB II. ANALISA SITUASI DAN TANTANGAN
USER
12
RENCANA AKSI NASIONAL PERLINDUNGAN ANAK 2015-2019
BAB II ANALISA SITUASI DAN TANTANGAN
2.1. Analisa Situasi berdasarkan Alur Siklus Kehidupan Dalam proses tumbuh kembangnya, setiap anak memiliki berbagai kebutuhan dan tantangan yang perlu diatasi untuk tumbuh dan berkembang secara optimal. Dalam dokumen RAN-PA ini, siklus kehidupan anak dibagi menjadi tiga periode utama yaitu: 1000 hari pertama kehidupan sampai dengan usia 2 tahun, 10 tahun pertumbuhan dan perkembangan anak usia 3 sampai dengan 12 tahun, dan masa remaja usia 13 sampai sebelum 18 tahun. Dalam setiap periode utama, analisa situasi akan difokuskan pada kebutuhandan isu perkembangan serta pertumbuhan yang paling krusial untuk diatasi dalam rangka mendukung terwujudnya RPJMN 2015-2019. 2.1.1. Pondasi yang Kuat 1000 Hari Pertama Kehidupan Seribu hari pertama kehidupan terhitung dari waktu janin di dalam rahim selama masa kehamilan hingga anak mencapai ulang tahun kedua (270 hari + 365 hari + 365 hari)merupakan periode kritis untuk membangun pondasi kehidupan yang kuat baik fisik, mental maupun kemampuan kognitifnya. Dalam periode ini, penting sekali mencegah penelantaran, malnutrisi dan kelebihan berat badan, meningkatkan daya tahan tubuh terhadap penyakit, memenuhi kebutuhan perkembangan otak, serta memfasilitasi pembentukan dasar kemampuan kognitif dan psikososial. Jika periode 1000 hari kehidupan berlalu tanpa intervensi yang tepat, maka anak-anak berpotensi mengawali kehidupan dengan modal fisik dan mental yang buruk dan dampak negatifnya tidak mudah dimitigasi. Seribu hari kehidupan pertama adalah periode kritis yang tidak dapat diulang. a.
Kematian Ibu dan Bayi serta Anak di bawah 2 Tahun
Kematian ibu dan bayi merupakan persoalan strategis yang perlu diatasi, baik pada masa kehamilan bahkan jauh sebelum itu. Pemerintah perlu memastikan bahwa di masa-masa pubertas, remaja dan calon ibu diberikan tambahan gizi dan suplemen yang tepat, serta informasi yang memadai mengenai risiko-risiko kehamilan terutama kehamilan dalam kategori 4T (4 terlalu: terlalu muda, terlalu banyak, terlalu rapat, terlalu tua). Intervensi di masa pubertas dan masa kehamilan ini tidak hanya akan membantu mengurangi jumlah kematian bayi, tetapi juga mengurangi risiko kematian ibu. Saat ini angka kematian ibu di Indonesia cukup tinggi yaitu 346 per 100.000 kelahiran di tahun 2010 (Sensus Penduduk 2010). Penyebab utama kematian ibu ditengarai adalah adanya pendarahan post partum dan hipertensi pada saat kehamilan dan masih belum optimalnya fasilitas kesehatan yang mempunyai kompetensi penanganan komplikasi kehamilan. Masih rendahnya jumlah ibu hamil yang melakukan pemeriksaan kehamilan rutin dan ideal (empat kali dalam satu masa kehamilan) dan persalinan di luar fasilitas kesehatan juga menjadi faktor yang mengakibatkan intervensi dan pencegahan komplikasi kehamilan menjadi sulit dilakukan (Riskesdas 2013).
USER
13
RENCANA AKSI NASIONAL PERLINDUNGAN ANAK 2015-2019 Selanjutnya, laporan Save the Children tahun 2012 menunjukkan bahwa anemia adalah isu kesehatan utama yang dihadapi oleh anak perempuan dan wanita di negara berkembang (Save the Children, 2012). Data Riskesdas 2013 memperkirakan 24.2 persen ibu hamil di Indonesia memiliki risiko kekurangan energi kronis (KEK) serta 24.3 persen ibu hamil memiliki risiko kekurangan yodium. Diketahui bahwa anemia juga merupakan penyebab utama kematian ibu serta bayi lahir dengan berat badan rendah (dibawah 2500 gram). Efek buruk yang kurang lebih sama juga didapati pada ibu hamil dan anak yang kekurangan yodium karena mempertinggi risiko kerusakan otak pada bayi. Memperkuat pondasi bagi kesejahteraan anak berlanjut dari masa kehamilan ke masa kehidupan awal sejak hari pertama. Akan tetapi, banyak anak yang tidak memulai kehidupan dengan modal kondisi yang ideal. Saat ini kematian neo-natal di Indonesia diperkirakan pada angka 19 per 1000 kelahiran sementara angka kematian bayi (0-11 bulan) adalah 40 per 1000 kelahiran. Penyebab utama kematian neo-natal dan bayi terbanyak adalah infeksi, terutama pneumonia dan diare serta berat badan yang lahir rendah (Riskesdas 2013). b. Pencatatan Kelahiran dan Kepemilikan Akta Kelahiran
Pencatatan kelahiran adalah bagian dari sistem besar pencatatan sipil dan statistik vital yang diperlukan pemerintah untuk mendapatkan data kependudukan yang tepat, aktual dan akurat. Data jumlah kelahiran diperlukan untuk menentukan pertumbuhan jumlah penduduk secara aktual sebagai dasar penentuan target dan penganggaran layanan yang lebih terarah dan efektif. Saat ini Indonesia belum memiliki sistem pencatatan sipil dan statistik vital yang holistik dan terpadu, termasuk sistem pencatatan perkawinan belum terintegrasi dengan Sistem Informasi Administrasi Kependudukan (SIAK). Pembuatan kebijakan, sasaran dan anggaran dilakukan dengan mengandalkan data-data dari survei yang mengandalkan sampling populasi. Data sensus hanya tersedia 10 tahun sekali. Akta Kelahiran sebagai dokumen identitas hukum merupakan produk hukum dari pencatatan kelahiran. Akta Kelahiran merupakan hak sipil dasar setiap anak sebagai bentuk perlindungan hukum dari negara. Akta Kelahiran juga menjadi dasar pembuktian kewarganegaraan seorang anak yang selanjutnya menjadi acuan untuk mengakses pelayanan dasar lainnya. Kajian dasar mengenai kepemilikan Identitas Hukum (Sumner & Kusumaningrum, 2014) menunjukkan bahwa anak yang memiliki akta kelahiran lebih sering mengakses layanan kesehatan daripada yang tidak. Kajian tersebut juga menemukan adanya hubungan positif antara kepemilikan akta kelahiran dan kemungkinan anak menamatkan pendidikan dasar dan menengah.Kepemilikan akta kelahiran pada anak usia 0-17 tahun di rumah tangga termiskin dua kuintil terbawah baru mencapai 50% (SUSENAS, 2014). c.
Status Gizi, Ketahanan dan Perkembangan Anak
Berawal dari masa kehamilan, pondasi yang kuat terus dibangun hingga anak berusia dua tahun. Gizi buruk berhubungan dengan prestasi pendidikandan produktivitas yang rendah, risiko mengidap penyakit tidak menular, serta menurunnya sistem kekebalan tubuh. Penelitian longitudinal menunjukkan anak dari keluarga miskin yang tidak memperoleh asupan gizi memadai akan mempunyai kemampuan kognitif yang rendah(lihat Dickerson dan Popli 2014, Engle dan Black 2008 dan Grantham-MacGregor et al., 2007) serta cenderung miskin ketika dewasa(Grantham-MacGregor et al., 2007). USER
14
RENCANA AKSI NASIONAL PERLINDUNGAN ANAK 2015-2019 Kerentanan terhadap stunting dan berat badan yang rendah berkontribusi terhadapsiklus kemiskinan antar generasi. Setelah kelahiran, bayi memerlukan imunisasi untuk melindungi mereka terutama dari penyakit berbahaya yang dapat dicegah. Imunisasi adalah satu dari sedikit intervensi yang berbiaya murah tetapi dengan dampak positif yang luar biasa, tidak hanya berdampak positif bagi anak tetapi juga bagi keseluruhan komunitas (PATH 2002). Ketika ada cukup banyak orang yang diimunisasi sejak kecil, maka kecil kemungkinan bagi virus atau bakteri penyakit untuk berkembang dan menyebar. Saat ini prevalensi kekurangan gizi (underweight) pada balita berada di kisaran 19.6 persen dan persentase stunting pada anak di bawah dua tahun (di bawah 1000 hari) adalah 32.9 persen. Sementara itu, prevalensi gemuk pada balita berkisar pada 11,9 persen (Riskesdas 2013, hal. 213). Mengutip Riskesdas 2013, RPJMN menunjukkan bahwa persentase bayi di bawah umur 6 bulan yang mendapatkan ASI Eksklusif hanya sekitar 38 persen. Cakupan imunisasi lengkap untuk anak di bawah dua tahun diperkirakan masih tergolong rendah yaitu 58.9 persen (Riskesdas 2013). Saat ini hanya 71.3 persen dari seluruh kabupaten dan kota yang mencapai minimal 80 persen cakupan imunisasi lengkap. Dukungan pemberian informasi mengenai pengasuhan yang baik juga masih rendah di mana Puskesmas yang menyelenggarakan Kelas Ibu Hamil di tahun 2014 hanya sekitar 27 persen (Renstra Kemenkes 2015-2019). d. Deteksi Dini dan Rehabilitasi Cepat Disabilitas di Awal Kehidupan
Seribu hari awal kehidupan merupakan periode hidup yang krusial untuk mencegah, mendeteksi, merehabilitasi serta mengurangi dampak disabilitas. Ada tiga jenis risiko disabilitas yang dapat dialami oleh anak-anak yaitu (1) “risiko bawaan” - disabilitas yang disebabkan oleh faktor genetik, (2) “risiko biologis”- disabilitasyang merupakan akibat permasalahan fisik setelah anak dilahirkanseperti kekurangan gizi, dan (3) “risiko di lingkungan” -disabilitas yang merupakan akibat dari lingkungan yang tidak sehat dan tidak mendukung. Pada kenyataannya, anak-anak terutama dari keluarga miskin rentan terhadap ketiga risiko disabilitas ini sekaligus. Data Sensus 2010 yang diolah ulang oleh Lembaga Demografi UI menunjukkan bahwa adanya anggota keluarga dengan disabilitas meningkatkan tingkat kemiskinan keluarga tersebut hingga 3-28 persen tergantung tingkat keparahan disabilitasnya (Adioetomo, Mont, Irwanto, 2014). Untuk anak-anak berusia di bawah 1000 hari, risiko bawaan dan risiko biologis perlu penanganan secara efektif. Risiko bawaan dapat diatasi sejak sebelum masa kehamilan. Pencegahan risiko bawaan sangat berkaitan dengan kesehatan calon ayah dan ibu serta kemudian kesehatan ibu selama masa kehamilan. Kekurangan asam folat pada trisemester pertama kehamilan, contohnya, dapat mengakibatkan bayi lahir dengan tulang belakang cacat. Kekurangan Vitamin A juga dapat mengakibatkan gangguan visual pada bayi yang akan dilahirkan. Ibu hamil yang kekurangan yodium akan memberikan risiko pada bayi dikandungnya lahir dengan keterbelakangan mental dan gangguan pertumbuhan. Catatan ini penting karena masih ada 18.4% rumah tangga yang kurang dan 8% tidak mengkonsumsi yodium (Riskesdas tahun 2013 hal. 249). Deteksi awal segera setelah kelahiran akan berdampak positif pada pengurangan risiko atau keparahan disabilitas pada anak di bawah 1000 hari. Disabilitas pada usia anak terutama di bawah 1000 hari belum menjadi prioritas di dalam RPJMN 2015-2019. Meskipun demikian, program dan target seperti pemberian imunisasi yang lengkap turut mendukung pencegahan disabilitas pada bayi dan anak di bawah 1000 hari USER
15
RENCANA AKSI NASIONAL PERLINDUNGAN ANAK 2015-2019 misalnya imunisasi polio. Selain vaksinasi, program disabilitas lainnya yang diarahkan untuk anak-anak lebih terkonsentrasi pada periode umur di atas 5 tahun terutama dari sektor pendidikan dan bantuan sosial. Untuk menjembatani kesenjangan intervensi isu disabilitas di periode 1000 hari awal kehidupan, diperlukan data dan informasi yang tepat, akurat dan lengkap yang saat ini tidak tersedia. Riskesdas tahun 2013, misalnya, hanya menyajikan data disabilitas dalam kelompok umur 2-5 tahun. Ketiadaan data ini menyebabkan arah kebijakan, perencanaan, program dan anggaran yang kurang memadai untuk isu disabilitas anak terutama untuk anak di bawah 1000 hari kehidupan. e.
Pengasuhan Berbasis Keluarga, Pencegahan dan Penanganan Kekerasan serta Penelantaran
Konvensi PBB tentang Hak-hak Anak menyatakan bahwa keluarga adalah tempat terbaik bagi tumbuh kembang anak yang optimal (pasal 9). Anak-anak yang berada di institusi/panti sejak dini dan dalam waktu yang panjang sering tidak mendapatkan rangsangan perkembangan dan pemenuhan kebutuhan akan kelekatan (attachment) yang mempengaruhi perkembangan kognitif dan sosial anak di masa depan (Save the Children, Depsos RI and UNICEF 2007:21). Data Kemensos menyatakan bahwa pada tahun 2013 masih terdapat 205.700 anak yang diasuh di dalam panti. Dari data tersebut tidak diketahui sejak usia berapa mereka sudahdi panti. Di samping itu, berbagai penelitian juga menunjukkan bahwa banyak Ibuibu buruh migran yang terpaksa meninggalkan anak-anaknya yang masih bayi untuk diasuh hanya oleh ayah atau oleh pengasuh pengganti. Nasib anak-anak yang ditinggalkan orangtua, khususnya Ibu yang bekerja di luar negeri dalam jangka waktu lama telah menjadi perhatian serius baik oleh tokoh masyarakat setempat maupun oleh aktivis hak-hak anak. Mereka rentan memperoleh kekerasan domestik, penelantaran dan bullying oleh teman sebaya (Sellabank, 2015). Penelitian-penelitian longitudinal (School of Human Services and Social Work 2012:7) menunjukkan bahwa membantu keluarga memahami tugas-tugas perkembangan anak dapat mengurangi kemungkinan terjadinya kekerasan, eksploitasi, dan perlakuan salah terhadap anak. Peningkatan kualitas pengasuhan orangtua dalam jangka panjang juga ditemukan dapat mengurangi kemungkinan anak untuk melakukan kegiatan-kegiatan berisiko(Heckman, 2011). 2.1.2. Pilar yang kokoh dalam 10 tahun Pertumbuhan dan Perkembangan anak (312 tahun) Investasi di 1000 hari pertama awal kehidupan sampai dengan anak berusia 3 tahun menjadi dasar bagi perkembangan anak pada satu dekade berikutnya sebelum memasuki masa remaja. Dalam periode ini, interaksi anak dengan lingkungan di luar keluarga bertambah. Lingkungan fisik dan sosial yang sehat, aman, dan nyaman bagi anak di tingkat keluarga, sekolah, dan lingkungan masyarakat turut mendukung peningkatan kualitas hidup dan tumbuh kembang anak. a. Kematian Anak di bawah Usia 5 Tahun Data Puslitbang Kementerian Kesehatan pada tahun 2014 mencatat pneumonia dan diare sebagai salah satu penyebab kematian utama anak usia di bawah 5 tahun, sementara kelompok umur balita adalah kelompok yang paling tinggi menderita USER
16
RENCANA AKSI NASIONAL PERLINDUNGAN ANAK 2015-2019 diare(Riskesdas, 2013). Prevalensi malnutrisi yang tinggi pada usia bayi juga meningkat sampai anak berusia 5 tahun. Cakupan imunisasi dasar untuk mencegah penyakit mematikan seperti campak, dipteri, tetanus, pertussis, pneumonia, dan diare juga cenderung lebih rendah bagi anak usia 12-23 bulan pada keluarga dengan pendapatan rendah (Riskesdas, 2013). Selain rendahnya cakupan imunisasi, faktor lain yang dapat meningkatkan risiko kematian anak adalah sanitasi dan tempat tinggal. Berdasarkan analisa data panel SUSENAS 2009, sanitasi dan tempat tinggal mempunyai korelasi signifikan yang berpengaruh terhadap kesehatan. Kondisi sanitasi dan akses terhadap air bersih yang buruk akan berdampak pada kesehatan anak yang buruk (SMERU, Bappenas, dan UNICEF, 2012). b.
Penyakit Menular dan Cedera
Indonesia masih harus berkutat dengan berbagai penyakit menular yang menyebabkan kematian anak, terutama TBC, campak, hepatitis, dan HIV–AIDS(malaria resisten, TB resisten). Infeksi HIV-AIDS pada bayi dan balita merupakan persoalan yang baru muncul sekitar 10 tahun terakhir karena meningkatnya infeksi pada perempuan hamil. Kemenkes memperkirakan saat ini terdapat 9.000 anak yang telah terinfeksi dengan HIV (Nadia, 2013). Jika program pencegahan infeksi tidak berhasil, ketersediaan obat (ARV) dosis anak masih bermasalah, maka angka kesakitan dan kematian akan meningkat. Kecelakaan transportasi juga tercatat sebagai penyebab kematian tertinggi untuk anak usia 5-14 tahun. Selain kematian, cedera yang dialami oleh anak juga dapat mengakibatkan kecacatan atau disabilitas yang berdampak jangka panjang terhadap tumbuh kembang dan masa depan anak (Renstra 2015-2019 Kemenkes). Isu lain yang perlu dijadikan perhatian adalah kekerasan terhadap anak baik fisik maupun psikologis. Kekerasan dapat mengakibatkan cedera, terhambatnya perkembangan fisik dan psikis, dan dapat mengakibatkan kematian pada anak (Riskesdas, 2013;MICS, 2011).Selain pencegahan kecelakaan, intervensi berkesinambungan dan tanggap terhadap kekerasan pada anak akan mempunyai dampak positif pada pencegahan disabilitasyang disebabkan oleh cedera. Bagi anak-anak, pencegahan penyakit menular tertentu dicapai melalui peningkatan cakupan imunisasi dasar lengkap yang merupakan salah satu sasaran pembangunan bidang kesehatan. Pencegahan terhadap penyakit menular lainnya seperti pneumonia, demam berdarah, dan malaria secara umum bergantung pada peningkatan akses, mutu, dan kesinambungan pelayanan kesehatan yang tersedia yang merupakan salah satu sasaran utama pembangungan dalam RPJMN 2015-2019. Pencegahan penularan HIV pada anak melalui jalur maternal dapat dilakukan dengan megintensifkan PMTCT, termasuk pemberitahuan pasangan seksual (partner notification). Berangkat dari bukti intervensi yang telah berhasil, inisiatif-inisiatif global untuk mengurangi kematian akibat cedera kecelakaan dan kekerasan berfokus pada upayaupaya pencegahan (dalam bentuk penelitian, koordinasi pemerintah – masyarakat, dan pengingkatan kesadaran) yang didukung dengan sistem data yang kuat untuk mengetahui bentuk dan jumlah kecelakaan dan kekerasan (WHO, 2010).
USER
17
RENCANA AKSI NASIONAL PERLINDUNGAN ANAK 2015-2019 c.
Akses pada Pengembangan Anak Usia Dini Holistik Integratif dan Pendidikan Dasar Berkualitas
Pada saat usia balita, anak tidak hanya membutuhkan rangsangan psikososial dan mental yang optimal untuk mendukung tumbuh kembang mereka, tetapi juga membutuhkan intervensi pendukung seperti imunisasi, asupan gizi yang memadai, pemeliharaan kesehatan gigi, dan lain-lain. Persoalan ketidakmerataan ketersedian layanan kesehatan dan gizi, menyebabkan perlunya strategi terpadu seperti yang disediakan dalam posyandu dalam bentuk PAUD Holistik Integratif. Layanan kesehatan dan gizi telah diperkaya dengan layanan rangsangan mental dan psikososial. Dengan demikian, anak tidak hanya memperoleh rawatan kesehatan, tetapi juga disiapkan untuk ikut dalam program pendidikan formal kelak ketika berusia sekolah. Sejalan dengan Peraturan Presiden No. 60/2013 tentang Pengembangan Anak Usia Dini Holistik Integratif, maka pengembangan anak usia dini bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pertumbuhan anak. Adapun kebutuhan yang diperlukan tersebut meliputi kesehatan dan gizi, rangsangan pendidikan, pembinaan moral-emosional dan pengasuhan, melindungi anak dari segala bentuk kekerasan, penelantaran, perlakuan salah, dan eksploitasi, menyelenggarakan pelayanan anak usia dini secara integratif, dan berkembangnya komitmen pemerintah, orangtua, keluarga, dan masyarakat terhadap pengembangan anak usia dini. Saat ini masih terdapat sekitar 36.99 persen anak usia 3-6 tahun yang belum mengakses pendidikan anak usia dini. Telah disepakati secara global bahwa pendidikan anak usia dini secara signifikan dapat mendukung anak, terutama mereka yang miskin dan rentan, untuk dapat mengejar ketertinggalan dalam berbagai aspek perkembangan dari kelompok sebaya mereka. Penelitian global memperkuat bukti bahwa anak-anak dari kelompok rentan yang mendapatkan pelayanan pendidikan anak usia dini yang menyeluruh dan berkualitas mampu mencapai luaran-luaran akademik yang setara dengan kelompok anak yang tidak rentan di saat mereka di sekolah dasar. Dalam jangka panjang, persiapan sekolah yang baikmemperkecil kemungkinan anak untuk mengulang kelas atau tidak menyelesaikan pendidikan sehingga dapat mencapai luaran sumber daya manusia yang berkualitas. Persoalan pendidikan dasar saat ini adalah masih tingginya angka tidak melanjutkan pada jenjang pendidikan yang tinggi dan kesenjangan kualitas pendidikan baik antara swasta dan negeri dan antar daerah/wilayah.Data Susenas 2012 menunjukkan bahwa jumlah siswa usia sekolah yang tidak sekolah adalah 30.6 juta anak. Di jenjang Wajib Belajar 12 tahun (7-15 tahun) terdapat 4 juta anak yang tidak lagi bersekolah. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa anak-anak putus sekolah ini menjadi lebih rentan terhadap keterpisahan dari keluarga dan eksploitasi serta kekerasan dan berkonflik dengan hukum karena bekerja dalam kondisi berbahaya, seperti tinggal di institusi pengasuhan anak yang tidak memenuhi standar nasional bagi lembaga pengasuhan anak atau melakukan kegiatan berisiko (PUSKAPA UI, UNICEF, dan DFAT, 2014). Alokasi pendanaan yang besar bagi pendidikan bertujuan untuk meningkatkan akses dan mutu pendidikan. Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dan Kartu Indonesia Pintar (KIP) terus diperluas cakupannya, namun ketidaktepatan target dan sasaran program masih menjadi kendala (Buku II RPJMN). Masih tingginya jumlah anak usia sekolah yang tidak bersekolah, diantaranya disebabkan karena terbatasnya program untuk menjangkau anak-anak yang rentan. Anak-anak yang bekerja di beragam kondisi USER
18
RENCANA AKSI NASIONAL PERLINDUNGAN ANAK 2015-2019 rentan dan membahayakan juga tidak mendapatkan akses terhadap bantuan pendidikan yang berbasis keluarga (seperti PKH dan KIP). Anak-anak dari keluarga yang termarginal, seperti stateless children, anak dalam keluarga yang hidup berpindahpindah, anak dari masyarakat adat dan kelompok agama tradisional juga belum mendapatkan akses pendidikan. Selain itu, akses anak penyandang disabilitas (APD) dan anak dengan kebutuhan khusus (ABK) untuk mengikuti pendidikan masih rendah karena terbatasnya jumlah dan kurang meratanya ketersediaan sekolah inklusi dan sekolah luar biasa (SLB). Data Kemendikbud tahun 2011 menunjukkan hanya 88,9 ribu dari 1.6 juta APD yang memperoleh layanan pendidikan melalui SLB (TK-SMA). Pepres No. 60/2014 dan UU No.20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang juga mengatur pelaksanaan pendidikan anak usia dini memiliki definisi pelayanan yang tumpang tindih. Secara mendasar, pelayanan yang ditetapkan dalam kedua peraturan tersebut dapat diberikan secara bersamaan dalam beberapa bentuk pelayanan yang berbasis pengembangan atau pendidikan. Pendidikan pra-sekolah yang bersifat universal juga diperkirakan menjadi investasi yang memberikan keuntungan lebih baik dibandingkan dengan investasi terbatas pada anak rentan. Secara global, faktor kesehatan anak terkait dengan penyakit menular atau sanitasi pribadi menjadi penghambat anak untuk menyelesaikan pendidikan dasar. Masih terbatasnya kegiatan-kegiatan yang mendorong anak untuk menyelesaikan pendidikan dasar seperti penyediaan makanan sehat bergizi, infrastruktur sanitasi yang memadai di sekolah serta kurikulum yang memberikan pemahaman pada pentingnya kebersihan dan kesehatan pribadi. d.
Pembentukan Dasar Keterampilan Hidup dan Nilai-Nilai Luhur
Pembentukan dasar keterampilan hidup dan nilai-nilai budi pekerti perlu dimulai sedini mungkin. WHO menekankan bahwa keterampilan hidup dapat menyiapkan seorang anak untuk mengatasi tekanan-tekanan dalam keseharian secara efektif. Pengembangan keterampilan hidup telah banyak diimplementasikan dan terbukti efektif dalam intervensi-intervensi pencegahan, seperti pencegahan kehamilan remaja, bullying, dan penggunaan narkotika. Beberapa keterampilan yang termasuk dalam keterampilan hidup adalah kemampuan memecahkan masalah, berpikir kreatif, empati, dan kemampuan berkomunikasi secara efektif, dan resolusi konflik. Pembentukan dasar keterampilan hidup dan nilai-nilai dapat diselaraskan dengan peningkatan kualitas pengasuhan orangtua di dalam keluarga. Program seperti Program Keluarga Harapan (PKH) telah memastikan adanya tambahan penguatan kapasitas orangtua yang secara tidak langsung dapat meningkatkan kemampuan sosial anak. Program lainnya seperti Pembangunan Keluarga yang dilaksanakan oleh BKKBN juga secara tidak langsung bermanfaat pada pembentukan keterampilan hidup dan nilai pada anak. e. Pengasuhan Berbasis Rumah Tangga yang Aman Penelitian Kemensos di tahun 2007 mengestimasi setidaknya 500 ribu anak tinggal di panti asuhan atau institusi lainnya. Sebanyak 70% dari anak-anak yang berada di panti asuhan masih memiliki setidaknya satu orangtua. Jumlah anak yang diasuh oleh orangtua tunggal semakin meningkat. Data tahun 2012 menunjukkan adanya 9.6 persen anak usia 0-17 tahun yang tidak tinggal bersama dengan ibu kandungnya. Angka ini
USER
19
RENCANA AKSI NASIONAL PERLINDUNGAN ANAK 2015-2019 meningkat dari sekitar 8.5 persen pada tahun 2000, dimana sekitar 50 persen dari mereka adalah anak usia balita (RPJMN Buku II hal. 2-73). Penguatan kapasitas keluarga menjadi kunci untuk memastikan keluarga dapat memberikan pengasuhan yang tepat bagi anak. Secara tidak langsung, program perlindungan sosial bagi keluarga sangat miskin dan miskin diharapkan dapat meningkatkan kemampuan ekonomi keluarga untuk memberikan akses pelayanan pemenuhan hak-hak dasar anak seperti pendidikan dan kesehatan. Namun program perlindungan sosial yang ada sering tidak dapat diakses oleh keluarga hampir miskin atau rentan yang berakibat pada terpisahkannya anak dari keluarga untuk mendapatkan pendidikan atau bekerja. Pemerintah Indonesia telah mengimplementasikan Permeneg PP dan PA No. 20/2010 tentang Panduan Umum Bina Keluarga Tenaga Kerja Indonesia, yang meliputi pemberdayaan ekonomi, ketahanan keluarga dan perlindungan anak-anak TKI, namun anak-anak dari pekerja migran yang harus tinggal tanpa pengasuhan ibu, ayah, atau kedua orangtua juga meningkat jumlahnya dan masih rentan terhadap kekerasan dan penelantaran. Hasil survei prevalensi Kekerasan Terhadap Anak (KtA) tahun 2013 menunjukkan prevalensi kekerasan pada anak laki-laki adalah 38.62 persen, sedangkan pada anak perempuan adalah 20.48 persen (Buku I RPJMN5-6). Kekerasan fisik merupakan jenis kekerasan yang paling banyak dialami anak, diikuti dengan kekerasan emosional dan kekerasan seksual. Pelaku kekerasan terhadap anak umumnya adalah orang-orang yang dekat dengan anak, seperti ibu/ayah kandung, ibu/ayah tiri, anggota keluarga lainnya, guru, dan tetangga.Data kekerasan yang masih bersifat data pelaporan juga tidak cukup valid untuk digunakan dalam memperkirakan kemungkinan kekerasan yang berakibat pada kematian untuk kebijakan dan perencanaan yang lebih komprehensif. 2.1.3. Atap yang melindungi (Remaja 13-18 tahun) Usia remaja adalah periode transisi dari masa kanak-kanak ke masa dewasa muda. Anak-anak pada kelompok usia ini mengalami berbagai perubahan dalam aspek fisik, psikis, dan perkembangan sosial yang perlu didukung oleh lingkungan di sekitarnya. Untuk melewati periode ini, anak-anak perlu mengembangkan ketangguhan mental dan fisik yang diperlukan untuk menghadapi tantangan pergaulan dan tekanan dari teman sebaya, harapan keluarga dan masyarakat, serta mengantisipasi dunia kerja. a.
Pengetahuan Kesehatan Reproduksi Anak dan Perkawinan Usia Anak
Pengetahuan mengenai kesehatan reproduksi untuk remaja menjadi penting dengan diketahuinya data 22% anak remaja perempuan dan 18% laki-laki telah melakukan hubungan seks pertama kali pada usia sebelum 16 tahun (Riskesdas 2010). Menurut SDKI 2007, 13.3% remaja putri tidak tahu sama sekali soal perubahan fisiknya saat sudah akil balik dan 47.9% dari remaja perempuan tidak mengetahui waktu dirinya memiliki masa subur. Pengetahuan remaja untuk menghindari infeksi HIV juga masih sangat terbatas, yakni hanya 14% - 20%anak muda yang mempunyai pengetahuan yang benar tentang penularan HIV (IBBS, 2011: 35). Minimnya pengetahuan remaja mengenai kesehatan reproduksi juga berkaitan dengan masih tingginya perkawinan pada usia anak. Setiap tahun terjadi kurang lebih 125.000 penduduk usia 10-14 tahun dan 1.1 juta penduduk usia 15-19 tahun yang telah menikah (Sensus Penduduk 2010). Pada tahun 2012, terdapat 1.36 juta penduduk usia 15-19 tahun berstatus menikah atau pernah menikah, dan 100 ribu anak usia 10-14 tahun sudah menikah atau pernah menikah (RPJMN: 2-74). Perkawinan usia anak USER
20
RENCANA AKSI NASIONAL PERLINDUNGAN ANAK 2015-2019 mengandung risiko baik pada anak perempuan sebagai calon ibu maupun pada calon janin yang akan dikandungnya. Pada tahun 2012, 48 dari 1.000 kelahiran bayi dialami oleh perempuan berusia 15-19 tahun dan jumlah remaja yang menjadi ibu atau sedang hamil anak pertama meningkat dari 8.5% menjadi 9.5 %. Kehamilan dan kelahiran pada usia ini dianggap berisiko tinggi terhadap komplikasi (maternal) yang membahayakan janin dan ibunya (RPJMN 20152019: h. 2-6), semakin rentan dengan masalah kesehatan (kekurangan gizi) serta persaingan kebutuhan perkembangan ibu yang masih berusia anak dengan kebutuhan anaknya yang dapat berujung pada penelantaran dan kekerasan. Dalam menanggapi situasi ini, diperlukan optimalisasi sektor kesehatan dan pendidikan yang memiliki peranan sentral (AIDS Research Center Unika Atma Jaya & UNESCO, 2010; Iwu D Utomo & McDonald, 2009). b.
Perilaku Berisiko Tinggi
Merokok adalah salah satu perilaku berisiko yang berdampak pada berbagai penyakit kronik yang berbahaya dan berpengaruh signifikan terhadap eksperimentasi zat-zat adiktif lainnya, terutama narkoba (ganja).Informasi yang tersedia (WHO, 2009) menunjukkan bawa 1 dari 3 laki-laki dan 1 dari 4 perempuan mencoba untuk merokok pertama kalinya di usia 10 tahun, dan 6 dari 10 perokok usia 13-15 tahun membeli rokok secara bebas di toko. Pada tahun 2013, Menteri Kesehatan mengeluarkan Peta Jalan Pengendalian Dampak Konsumsi Rokok Bagi Kesehatan (Permenkes 40/2013) sebagai acuan bagi Pemerintah, Pemerintah Daerah dan Masyarakat dalam pengambilan kebijakan dan strategi di bidang kesehatan, terkait dengan pengendalian dampak konsumsi rokok di Indonesia. Salah satu strategi yang diangkat adalah pembatasan waktu iklan rokok di media elektronik, yaitu hanya dapat ditayangkan pada pukul 21.30–05.00, dan program kawasan tanpa rokok di sekolah. Peraturan ini perlu diperkuat dengan pengawasan dan sanksi yang memadai (Irwanto, 2014). Selain kebijakan pencegahan, Hopkins mengemukakan bahwa pencantuman harga yang tinggi untuk rokok justru menjadi lebih efektif karena remaja umumnya 3 – 4 kali lebih sensitif terhadap harga daripada orang dewasa. Kebijakan menaikkan harga rokok telah dilakukan oleh Kanada pada tahun 1980 dan 1990-an dan berhasil menekan perilaku merokok remaja hingga 60% (Hopkins, 2001: 16-66). Penggunaan Narkoba oleh remaja menjadi keprihatinan nasional. Data terbaru dari survei BNN (2014) menunjukkan bahwa saat ini diperkirakan 3,8 sampai dengan 4,1 juta penduduk Indonesia telah menggunakan narkoba, baik dalam kategori coba-coba, maupun teratur. Kurang lebih 25% (atau 1 jutaan) dari pengguna tersebut adalah kategori pelajar dari SLTP sampai perguruan tinggi, termasuk di antaranya yang menggunakan heroin dengan suntikan(Narkotika suntik). Laporan kumulatif Kemenkes sampai dengan September 2014 menunjukkan bahwa telah ada 1.717 remaja usia 15-19 tahun yang terindikasi AIDS karena pemakai narkotika suntik. Pelanggaran lalu lintas oleh remaja merupakan salah satu penyebab kematian dan disabilitas. Hasil Health Sector Review 2014 (RPJMN Buku II: 2-17) menunjukkan bahwa kecelakaan lalulintas yang pada tahun 1999 menduduki peringkat ke-5 dalam beban penyakit (DALYS), maka pada tahun 2015 diperkirakan menjadi peringkat ke-2 setelah stroke. Korlantas Polri pada tahun 2014 memperlihatkan sekitar 26 ribu anak usia 1016 tahun menjadi pelaku pelanggaran lalu lintas (Buku IIRPJMN 2015-2019 : 2-74) dan USER
21
RENCANA AKSI NASIONAL PERLINDUNGAN ANAK 2015-2019 kecelakaan menjadi salah satu penyebab utama kematian anak yang berumur lebih dari 15 tahun (PNBAI, 2015 : 6). Data Riskesdas 2013 juga mencatat tingginya kasus cedera akibat kecelakaan sepeda motor pada penduduk usia 15-24 tahun sehingga perlu peningkatan penegakan peraturan lalu lintas dan kualitas road safety untuk mengurangi risiko pelanggaran lalu lintas dan kecelakaan. Kekerasan antar sebaya, juga sering terjadi baik berupa tawuran antar kelompok atau antar sekolah dan bullying sesama pelajar. Akibatnya cukup banyak anak yang berkontak dengan hukum dan kehilangan kebebasannya serta kesempatan untuk bersekolah. Diperlukan penanganan dan intervensi terhadap perilaku tawuran dan bullying secara sistemik, dengan menyentuh akar permasalahannya (Irwanto, 2014:40). Sebagai salah satu tanggapan strategik untuk mengatai meningkatnya Anak yang Bersentuhan dengan Hukum, pemerintah kini menggunakan UU No. 11/2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) dengan mengedepankan pada upaya alternatif untuk mencegah anak dipenjara dan terpisah dari orang tua dan lingkungannya. c.
Akses dan Kualitas Pendidikan Usia Remaja
Angka anak usia remaja yang tidak lagi berada dalam sistem pendidikan formal masih cukup tinggi, yaitu 10.48 persen dari anak usia 13-15 tahun. Beberapa di antaranya bahkan tidak/belum pernah sekolah. Terdapat 2 juta anak (dari 12.4 juta anak) usia 1618 tahun tidak menyelesaikan pendidikan dasar sembilan tahun, 1.4 juta anak yang sudah lulus SMP/MTs tidak melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi, dan 280 ribu anak yang putus sekolah selama menempuh pendidikan di SMA/SMK/MA (Bappenas, 2015). Kesenjangan pendidikan pun terjadi, terutama kesenjangan antara penduduk yang kaya dan miskin.Angka Partisipasi Sekolah (APS) anak usia 13-15 tahun (SMP/MTs) pada kelompok masyarakat termiskin lebih rendah daripada APS penduduk terkaya (RPJMN 2-30). Susenas tahun 2012 menunjukkan bahwa APS anak usia 16-18 tahun pada kelompok 20 persen terkaya sudah mencapai 75.3 persen, sementara pada kelompok 20 persen termiskin baru mencapai 42.9 persen (Bappenas, 2015). Kualitas belajar, sarana prasarana, dan jumlah ketersediaan guru sangat berbeda jika dibandingkan antara sekolah-sekolah di Indonesia bagian barat dan Indonesia bagian timur (Indonesia Mengajar, 2012; Jaring Kawan, 2013; Irwanto, 2014). Kesenjangan juga terjadi pada anak-anak penyandang disabilitas yang memiliki kesempatan yang lebih kecil untuk mendapatkan kualitas pendidikan yang sama dengan anak yang tidak mengalami disabilitas (Adioetomo, Mont, & Irwanto, 2014; , Irwanto, 2014). Anak yang terlibat dalam bentuk-bentuk pekerjaan terburuk juga terampas haknya untuk mendapatkan pendidikan. Survei Nasional BPS 2009 menunjukkan bahwa kurang lebih 1.7 juta anak usia 10-18 tahun di Indonesia melakukan jenis-jenis pekerjaan terburuk baik dalam industri perumahan, pertambangan, deep-sea fishing, prostitusi, peredaran narkoba, pemulung sampah, bekerja di jalanan dan sebagainya yang tidak sesuai dengan tantangan tumbuh kembang jasmani, mental, sosial, dan rohaninya. d.
Keterampilan Hidup dan Karakter Kemanusiaan/Pendidikan Karakter
Selama ini terdapat salah persepsi bahwa lulusan SMA umum dan sederajat harus dapat memperoleh pekerjaan yang berorientasi pada keterampilan. Oleh karena itu, pendidikan keterampilan hidup diarahkan untuk membekali anak sekolah SMP dan SMA dengan keterampilan yang terpakai dalam pasar tenaga kerja. Sementara itu, lulusan SMA umum dan sederajat perlu disiapkan untuk menempuh pendidikan yang lebih USER
22
RENCANA AKSI NASIONAL PERLINDUNGAN ANAK 2015-2019 tinggi, yaitu di akademi maupun perguruan tinggi. Terdapat 50 persen lulusan SMA/MA yang bekerja di unskilled jobs dan lebih dari 30 persen di semi-skilled jobs, dan sekitar 26 persen pelaku usaha menilai lulusan SMK juga berkualitas rendah dan tidak ada perbedaan kualitas secara signifikan antara lulusan SMA dan SMK. Ini adalah persoalan yang harus dijawab tersendiri.Mempertimbangkan persoalan di atas, siswa perlu dibekali dengan keterampilan sosial atau soft-skills yang menunjang. Pendidikan keterampilan hidup diperlukan untuk membekali siswa dengan keterampilan yang bersifat sosial (soft-skills), membantu mereka untuk membangun citra diri yang positif, daya juang, dan daya lenting. Di sinilah relevansi pendidikan karakter karena anak akan belajar mengenai menghargai dan mengelola perbedaan, resolusi konflik, berkomunikasi dengan efektif, team-work, dan lain-lain. Pendidikan keterampilan hidup perlu diintegrasikan dalam berbagai mata pelajaran yang ada, seperti olah raga, enterpreneurship, penugasan praktik mandiri, ekstrakurikuler kepanduan, pengembangan keterampilan untuk perilaku hidup sehat (mengatasi perilaku rokok, narkoba, seks, kelebihan berat badan,anoreksia, dll). Pendidikan keterampilan hidup mendukung proses pembentukan kepribadian anak, membangun watak yang baik, mental yang tangguh, dan pribadi yang kuat (Bappenas, 2015). e. Kekerasan di masa Remaja Hasil survei prevalensi Kekerasan Terhadap Anak (KtA) tahun 2013 menunjukkan sekitar 38.62 persen anak laki-laki dan 20.48 persen anak perempuan pada kelompok umur 13-17 tahun menyatakan dirinya pernah mengalami tindak kekerasan dalam satu tahun terakhir. Pelaku kekerasan terhadap anak umumnya adalah orang-orang yang dekat dengan anak, seperti orangtua kandung, ibu/ayah tiri, kerabat, guru, dan teman. (RPJMN 2015-2019). Munculnya berbagai tindak kekerasan di media online seperti pornografi, pelecehan seksual, dan penipuan berakibat pada meningkatnya kekerasan dan eskploitasi seksual serta perdagangan orang. 2.2
Analisa Situasi berdasarkan Kelembagaan
Mekanisme pelaksanaan pembangunan nasional telah diatur dalam peraturan perundangan yanng berlaku. Adapun tiga produk hukum yang relevan yaitu: (1) UU No. 23/2014 tentang Pemerintahan Daerah, (2) UU No. 6/2014 tentang Desa, dan (3) Perpres No. 65/2015 tentang Kementerian Pembangunan dan Perencanaan Nasional. Hasil kajian tersebut menunjukkan urusan pemerintahan dibagi menjadi tiga. Pertama, urusan pemerintahan absolut seperti politik luar negeri, pertahanan dan keamanan, yustisi, moneter dan fiskal, serta agama merupakan urusan dan tangung jawab pemerintah pusat. Urusan pemerintahan kedua adalah urusan konkuren, yaitu yang diselenggarakan bersama pemerintah daerah menjadi kewenangan daerah dalam kategori urusan wajib baik yang berkaitan dengan pelayanan dasar seperti pendidikan dan kesehatan maupun yang tidak terkait dengan pelayaan dasar seperti statistik, komunikasi dan informasi. Sedangkan ketiga adalah urusan pemerintah pilihan yang menjadi wewenang pemerintah daerah seperti kelautan, pariwisata, dan kehutanan. Menurut UU No. 23/2014 pemerintah pusat menetapkan standar, norma, prosedur, dan kriteria pelaksanaan pemerintahan yang wajib menjadi acuan pemerintah daerah dengan konsekuensi pembatalan kebijakan daerah jika tidak diikuti. Prioritas pemerintah daerah adalah melaksanakan urusan pemerintahan wajib berkaitan dengan
USER
23
RENCANA AKSI NASIONAL PERLINDUNGAN ANAK 2015-2019 pelayanan dasar. Urusan yang bersifat konkuren dilaksanakan pemerintah pusat melalui instansi vertikal dibantu oleh pemerintah daerah. Koordinasi pemantauan dan evaluasi untuk urusan pemerintahan absolut dan konkuren juga menganut mekanisme yang bekerja secara vertikal, yaitu dari tingkat pusat sampai ke desa dan sebaliknya sebagaimana diatur dalam UU No. 23/2014 dan UU No. 6/2014. Pengawasan pembangunan perlindungan anak bermuara pada Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. Meskipun demikian, data dan informasi terdapat di tiap-tiap tingkatan pemerintahan yang dikoordinasikan oleh Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi. Mekanisme koordinasi horisontal dilakukan oleh setiap lembaga pemerintahan menurut jenjangnya yang dibantu oleh DPRD dan Bappeda serta lembaga masyarakat terkait. UU No. 23/2014 maupun UU No. 6/2014 mewajibkan setiap pemerintahan memberikan laporan publik kepada masyarakat atas kinerja pembangunan mereka. Dalam mekanisme horisontal ini peranan masyarakat termasuk lembaga masyarakat, dunia usaha, maupun media menjadi sangat penting. 2.3 Akar Permasalahan Akar permasalahan yang menghambat partisipasi dan kontribusi kebijakan pembangunan anak yang optimal dipengaruhi oleh interaksi tiga faktor di bawah ini. 2.3.1. Kemiskinan dan Kerentanan Anak Kemiskinan merupakan kerentanan sekaligus faktor risiko bagi tumbuh kembang anak. The World Fit For Children(WFFC) terkait dengan SDGs telah menetapkan indikator pencapaian untuk mengurangi ketimpangan, menghapuskan kekerasan terhadap anak dan mengentaskan kemiskinan anak. Secara konsisten, keluarga yang sangat miskin mempunyai kapasitas terbatas dalam berbagai faktor pemenuhan hak-hak dasar, seperti pemenuhan asupan zat gizi, akses pendidikan dasar, perawatan kesehatan, sanitasi dan lain-lain. Proporsi dan jumlah anak Indonesia yang lahir dan hidup di dalam keluarga miskin dan rentan masih cukup besar. Berdasarkan garis kemiskinan nasional, hampir 50% anak Indonesia masih hidup dalam keluarga yang tergolong miskin (Patunru & Kusumaningrum, 2014). Perubahan iklim dan berbagai bencana yang terjadi di Indonesia juga akan mempengaruhi peta kemiskinan di masa yang akan datang. Hanya 18.3% dari semua anak Indonesia yang terbebas dari deprivasi pendidikan, kesehatan, pekerjaan, rumah tinggal, air dan sanitasi yang layak. (SMERU, Bappenas, dan UNICEF, 2013). Berbagai studi lainnya menunjukkan bahwa kemiskinan sekaligus memperbesar risiko anak untuk tidak didaftarkan kelahirannya sehingga tidak mempunyai akta lahir, tidak diasuh oleh orangtua sendiri karena tinggal di luar keluarganya (baik di panti, sekolah, atau bekerja),putus atau tidak melanjutkan sekolah, menikah padausia anak (terutama perempuan), melakukan pekerjaan berbahaya, tidak memperoleh perlindungan hukum yang memadai sehingga rentan mengalami kekerasan, eksploitasi dan penelantaran (SMERU, 2012; 2015; UNICEF, 2012; Sumner & Kusumaningrum, 2014). Kondisi seperti ini menyulitkan anak untuk keluar dari kemiskinan karena terus menerus diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
USER
24
RENCANA AKSI NASIONAL PERLINDUNGAN ANAK 2015-2019 1.3.2. Ketimpangan Horisontal dan Vertikal Ketimpangan pembangunan adalah perbedaan tingkat dan hasil pembangunan antar wilayah desa-kota, barat-timur, maupunpusat dan daerah karena persoalan investasi dan prioritas pembangunan. Kesenjangan pembangunan adalah perbedaan besarnya hasil pembangunan yang dapat dimanfaatkan oleh penduduk, terutama antara penduduk yang kaya dan miskin yang diukur oleh Gini Ratio. Wilayah yang kaya sumberdaya alam dan manusia cenderung menjadi prioritas pembangunan sehingga akses terhadap hasil pembangunan relatif lebih mudah dan lebih besar. Hal ini berdampak pada kesenjangan pendapatan antara penduduk di wilayah prioritas pembangunan dengan penduduk di wilayah yang relatif ditinggalkan. Dalam RPJMN, kesenjangan pendapatan (Gini ratio 0.41) maupun ketimpangan pembangunan daerah (khususnya antara Wilayah Indonesia Barat dan Timur) masih menjadi pekerjaan rumah yang sangat besar. Di samping itu masih ada dimensi lain yaitu kesenjangan berbasis gender (Gender Inequality Index = 0.500 Rank : 103 – UNDP, 2014). Berbagai studi menunjukkan bahwa ketimpangan tingkat pembangunan antar wilayah merupakan salah satu penyebab migrasi, baik perempuan maupun anak-anak, untuk mencari nafkah di luar rumah tangga, dikirimnya anak ke pengasuhan nonkeluarga (panti) untuk memperoleh kesempatan sekolah, dan bekerja di berbagai jenis pekerjan berbahaya (Puskapa UI, UNICEF, dan DFAT 2014; Puskapa, 2012; BPS, 2010). Studi kerentanan terhadap infeksi HIV-AIDS di Asia Tenggara juga dipicu oleh besarnya migrasi ibu yang mencari kesempatan memperoleh penghasilan lebih baik di wilayah atau negara lain (UNDP, 2008). 1.3.3. Kekerasan, Eksploitasi, Penelantaran dan Diskriminasi Perlakuan diskriminatif pada anak, atas dasar apapun, akan meningkatkan risiko anak untuk diperlakukan tidak seperti anak-anak lainnya. Dengan cara itu, perlakuan kekerasan, penelantaran, dan eksploitasi dapat memperoleh “pembenaran sosial” karena anak yang didiskriminasi diposisikan sebagai anak yang berbeda, tidak sama dibanding anak pada umumnya. Dalam wacana kebijakan publik, tidak seharusnya memarjinalkan anak sebagai “anak miskin” karena semua anak Indonesia adalah “anak harapan” atau “anak hebat”. Ada hambatan sosial kultural yang memposisikan anak yang mengalami diskriminasi tidak setara dengan anak lain. Berbagai penelitian juga menunjukkan bahwa anak Indonesia terbiasa menerima hukuman fisik sebagai bagian dari pendisiplinan, baik di rumah, sekolah, maupun dalam masyarakat. Pelaporan kejadian kekerasan seksual dan penelantaran juga meningkat.Di samping itu, dengan kemajuan informasi dan teknologi, maka potensi terjadinya kekerasan tidak lagi hanya di dunia nyata tetapi juga di dunia maya. Beberapa peraturan perundangan terkait pengaturan perkawinan dan sistem peradilan pidana anak belum memberikan perlindungan optimal, baik karena batasan usia maupun pasal-pasal pelaksanaannya. Kekerasan berbasis rumah tangga juga perlu ditangani secara serius. Banyak anak menderita secara fisik maupun mental, bahkan kehilangan kesempatan untuk hidup, karena perlakuan orangtua mereka sendiri. Karena kekerasan ini terjadi dalam ranah domestik, masyarakat enggan untuk ikut campur sampai tingkat keparahan kekerasan tersebut diketahui.
USER
25
RENCANA AKSI NASIONAL PERLINDUNGAN ANAK 2015-2019 Kekerasan karena kejahatan yang dilakukan oleh individu yang tidak dikenal maupun organisasi kriminal telah lama menjadi persoalan yang merisaukan masyarakat. Penculikan, perdagangan, pengambilan gambar pornografi, dan kekerasan sebaya (perundungan) adalah beberapa tindakan yang sering dilaporkan oleh pihak kepolisian atau media massa. Sistem perlindungan hukum perlu diperkuat dalam mencegah terjadinya kejahatan seperti ini. Laporan UN CRC tahun 2014 menyatakan keprihatinan terhadap kurang efektifnya program pencegahan dan program rehabilitasi bagi korban kekerasan dan penelantaran, khususnya meningkatnya korban kekerasan seksual dan kriminaisasi terhadap korban.
2.4 Tantangan Berdasarkan analisa situasi tersebut diatas, maka tantangan dalam perlindungan anak adalah sebagai berikut: 2.4.1 Tantangan 1000 Hari Pertama Kehidupan a. Memperluas akses dan pelayanan terpadu untuk pencegahan dan pengurangan kematian ibu-bayi, stunting-kurang gizi, cakupan imunisasi rendah, berdasarkan pada pemetaan karakteristik kelompok, sebaran, dan kebutuhan kelompok yang paling rentan. b. Mengembangkan sistem pencatatan kelahiran yang dekat dan mudah dengan masyarakat termasuk kemudahan mendapatkan akta kelahiran melalui pelayanan dasar. c. Memperluas akses untuk pelayanan promotif dan preventif terhadap disabilitas di awal kehidupan berdasar pada pemetaan karakteristik kelompok, sebaran, dan kebutuhan kelompok yang paling rentan. d. Mengembangkan program inovatif berbasis bukti untuk penguatan kemampuan keluarga, komunitas dan penyedia layanan agar mampu memberikan pengasuhan optimal, mencegah kekerasan, dan mendeteksi cepat disabilitas. 2.4.2.Tantangan 10 Tahun Pertumbuhan dan Perkembangan Anak a. Memperluas akses dan integrasi pelayanan bagi kelompok anak dan komunitas yang rentan terhadap kematian balita, tumbuh kembang tidak optimal, kekerasan, dan kesenjangan pendidikan yang berdasar pada pemetaan karakteristik kelompok, sebaran, dan kebutuhannya. b. Mendorong implementasi Pengembangan Anak Usia Dini Holistik-Integratif untuk kesiapan bersekolah dan tumbuh kembang optimal. c. Mengintegrasikan pembentukan dasar keterampilan hidup dan nilai-nilai luhur pada seluruh aspek pendidikan dan pengasuhan anak. d. Mengembangkan sistem pelayanan yang terjangkau untuk pencegahan, deteksi, dan rehabilitasi kekerasan, serta pengasuhan anak alternatif yang berbasis keluarga. 2.4.2. Tantangan Usia Remaja a. Meningkatkan akses terhadap informasi, pelayanan preventif-promotifbagi remaja mengenai kesehatan reproduksi, perkawinan usia anak, dan perilaku berisiko, kekerasan dan eksploitasi. melalui seluruh aspek kehidupan.
USER
26
RENCANA AKSI NASIONAL PERLINDUNGAN ANAK 2015-2019 b. Memperluas akses dan program rehabilitatif-reintegratif berbasis masyarakat bagi kelompok remaja berhadapan dengan hukum. c. Meningkatkan kesempatan yang sama bagi partisipasi dalam pendidikan berkualitas untuk semua anak, terutama kelompok anak rentan. d. Mengimplementasikan integrasi keterampilan hidup, nilai-nilai luhur,dan kebiasaan hidup sehat dalam kurikulum pendidikan dan kehidupan sehari-hari. 2.4.4. Tantangan Kelembagaan a. Memastikan kementerian/lembaga yang terlibat dalam perlindungan anak memiliki rasa kepemilikan yang sama terhadap RAN-PA, terutama apabila berkaitan dengan tugas pembantuan di tingkat daerah, b. Melakukan penyempurnaan regulasi dan memperkuat sistem kelembagaan untuk isu seperti penentuan prioritas program dan sumber daya antara urusan wajib dengan urusan pilihan.
USER
27
RENCANA AKSI NASIONAL PERLINDUNGAN ANAK 2015-2019
BAB III. SASARAN DAN RENCANA AKSI
USER
28
RENCANA AKSI NASIONAL PERLINDUNGAN ANAK 2015-2019
BAB III SASARAN DAN RENCANA AKSI
3.1. Sasaran Nasional Pembangunan Perlindungan Anak Dalam RPJMN 2015 -2019 telah dijabarkan sasaran dan strategi perlindungan anak, yang terdiri dari: 1) meningkatkan akses semua anak terhadap pelayanan yang berkualitas dalam rangka mendukung tumbuh kembang dan kelangsungan hidup; 2) menguatkan sistem perlindungan anak yang mencakup pencegahan, penanganan, dan rehabilitasi anak korban tindak kekerasan, eksploitasi, penelantaran, dan perlakuan salah lainnya; dan 3) meningkatkan efektivitas kelembagaan perlindungan anak. Untuk menekan angka kematian Ibu, RPJMN menargetkan untuk menurunkan angka kematian ibu dan bayi dan menurunkan angka berat badan rendah pada bayi pada tahun 2019. Infrastruktur yang menunjang serta dukungan informasi yang tepat juga akan ditingkatkan dalam kurun waktu lima tahun ke depan.Untuk mengatasi kekurangan gizi, RPJMN dan Renstra menargetkan presentase balita kurang gizi turun hingga 17 persen sementara anak di bawah dua tahun yang mengalami stunting turun menjadi 28 persen di 2019. Untuk mendukung hal tersebut, maka ditargetkan untuk meningkatkan jumlah kunjungan bayi neo-natal, jumlah anak yang mendapatkan ASI Eksklusif dan imunisasi. Jumlah kabupaten/kota yang mencapai minimal 80 persen imunisasi lengkap juga ditargetkan naik hingga 95 persen dan Puskesmas yang menyelenggarakan Kelas Ibu Hamil di 2019 ditargetkan mencapai 90 persen.Kepemilikan identitas hukum, terutama akta kelahiran menjadi prioritas RPJMN sebagai satu dari lima pelayanan dasar bagi 40 persen masyarakat termiskin. Selain itu pemerintah Indonesia juga telah menetapkan cakupan registrasi vital sebagai arah kebijakan dan strategi peningkatan ketersediaan kualitas data serta informasi kependudukan. Penguatan kapasitas pengasuhan orangtua dan keluarga telah menjadi fokus RPJMN melalui Program Bina Keluarga Balita dan Pembangunan Keluarga dengan menambahkan sesi penguatan keluarga untuk meningkatkan stimulasi dan pencegahan kekerasan. Program Kesejahteraan Sosial Anak (PKSA) kini difokuskan kepada pemberian bantuan bagi anak untuk tetap berada di dalam keluarga dengan dukungan LKSA (Lembaga Kesejahteraan Sosial Anak) yang berkualitas. Sasaran utama pembangunan bidang pendidikan dalam lima tahun kedepan adalah pemenuhan hak seluruh warga negara untuk menyelesaikan pendidikan dasar, dan partisipasi anak usia dini yang mengikuti PAUD. Menurunnya prevalensi kekerasan terhadap anak telah ditetapkan sebagai sasaran pokok pembangunan nasional bidang perlindungan anak. Pelayanan responsif terhadap anak korban kekerasan, eksploitasi, dan penelataran melalui P2TP2A juga direncanakan untuk dikembangkan agar lebih tersedia dan terjangkau. Jumlah anak balita/anak terlantar dan anak yang membutuhkan perlindungan khusus menjadi indikator dari program Rehabilitasi dan Perlindungan Sosial Anak dalam RPJMN 2015-2019.RPJMN juga menargetkan pada meningkatnya perlindungan perempuan dari berbagai tindak kekerasan, termasuk TPPO, yang diukur dengan prevalensi/kasus kekerasan terhadap USER
29
RENCANA AKSI NASIONAL PERLINDUNGAN ANAK 2015-2019 anak, cakupan anak korban yang mendapatkan layanan, dan ketersediaan layanan dasar yang berkualitas, serta mampu mendeteksi kasus kekerasan terhadap anak. Penguatan pencegahan dan penanggulangan penyalahgunaan narkoba dalam RPJMN 2015-2019 adalah salah satu sasaran di bidang pertahanan dan keamanan. Sasaran lainnya adalah peningkatan pelayanan anak yang berhadapan dengan hukum menggunakan basis keadilan restoratif. Penurunan jumlah anak yang bekerja dalam bentuk pekerjaan terburuk juga menjadi sasaran pembangunan di bidang ketenagakerjaan. Sasaran untuk menurunkan kesenjangan dalam pendidikan adalah melalui peningkatan akses pendidikan menengah yang berkualitas, meningkatkan keterjangkauan layanan akses pendidikan formal dan non-formal, penguatan program wajib belajar 12 tahun dengan fokus pada keluarga tidak mampu, penyediaan sarana-prasarana, alternatif pembelajaran yang beragam untuk pengembangan potensi, minat, bakat; dan pengembangan layanan pendidikan inklusif. Berdasarkan hasil analisis situasi pada Bab II, maka sasaran nasional pembangunan perlindungan anak dapat tercapai secara optimal dengan didukung oleh: (1) data yang akurat dan terkini; (2) peningkatan upaya pencegahan; dan (3) partisipasi masyarakat yang berdaya dalam mewujudkan perlindungan anak. Dengan demikian, sasaran dan aksi perlindungan anak 2015- 2019 disusun untuk melengkapi arah kebijakan dan strategi perlindungan anak yang telah dijabarkan di dalam RPJMN 2015 -2019. 3.2. Sasaran dan Aksi RAN PA 2015-2019 a. Tersedianya kebijakan dan program berbasis bukti dan data yang mempertimbangkan kebutuhan dan karakteristik anak berdasarkan gender dan siklus kehidupan sesuai konteks sosial, ekonomi dan budaya, melalui: 1) Pengembangan penelitian dan pemanfaatan data penelitian terkait keluarga
dan anak yang peka terhadap gender, disabilitas, dan kebutuhan anak di tiap siklus kehidupan.
2) Penguatan sistem data dan informasi terpadu dari tingkat desa untuk
pemetaan kebutuhan dan faktor risiko, sebagai dasar dari perencanaan pembangunan dan penganggaran yang peka terhadap kebutuhan anak dan keluarga. 3) Peningkatan pencatatan kelahiran dan cakupan akta kelahiran dalam
rangka mendukung sistem pencatatan sipil dan statistik vital termasuk didalamnya penyebab kematian ibu dan anak. 4) Perluasan kesempatan bagi partisipasi masyarakat dalam penguatan sistem data, perluasan akses, pengembangan program, dan peningkatan mutu melalui identifikasi kelompok rentan dan kebutuhan kelompok tersebut dan memberikan umpan balik dalam tiap tahapan pada siklus pengembangan kebijakan dan program. b. Menguatnya aspek pencegahan, deteksi dini dan perlindungan sosial untuk mengurangi risiko dan kerentanan ibu, anak, dan keluarga karena kemiskinan, ketimpangan, dan kekerasan, melalui: 1) Perluasan penjangkauan secara aktif untuk deteksi dini dan pengurangan risiko untuk kelompok rentan yang sulit dijangkau.
USER
30
RENCANA AKSI NASIONAL PERLINDUNGAN ANAK 2015-2019 2) Pengidentifikasian, perancangan ulang, dan pengimplementasian program
lintas sektoral yang berkelanjutan untuk deteksi dini terhadap disabilitas, tumbuh kembang, dan pencegahan kekerasan.
3) Pengembangan sistem perlindungan sosial dan pelayanan komprehensif – inklusif-terpadu untuk terpenuhinya hak-hak dasar pendidikan anak, menguatkan kapasitas keluarga, dan mempertahankan anak dalam asuhan keluarga. 4) Penyusunan kurikulum pada institus pendidikan dan masyarakat untuk praktik keterampilan hidup dan keterampilan vokasional anak sebagai pencegahan terhadap perilaku-perilaku berisiko. 5) Peningkatan pengetahuan dan perilaku remaja mengenai kesehatan reproduksi dan seksualitas yang bertanggungjawab dalam kurikulum pendidikan, materi KIE, dan melalui pendekatan sebaya-tenaga professional-pendamping dalam masyarakat. c. Menguatkan peran komunitas, termasuk anak, dalam pemenuhan hak dan perlindungan anak secara universal, melalui: 1) Penguatan kapasitas orangtua, tokoh agama, professional, relawan, pendamping masyarakat agar mampu mengaplikasikan keterampilan pengasuhan anak yang berpusat pada pemenuhan hak-hak anak. 2) Penyusunan protokol dan mekanisme pemantauan serta rujukan di sekolah dan masyarakat yang mengarahkan semua unsur masyarakat untuk menciptakan lingkungan tanpa kekerasan, stigma, dan diskriminasi bagi pertumbuhan dan perkembangan anak. 3) Pelibatan dan pemberian penghargaan bagi dunia usaha, individu, lembaga non pemerintah dalam upaya-upaya pengembangan keterampilan anak, kemampuan keluarga dan lingkungan. 4) Penyusunan intrumen-instrumen untuk alternatif pengasuhan di luar keluarga yang berbasis pada keluarga besar, komunitas, atau orangtua asuh. Sasaran dan aksi tersebut diatas sebagian besar telah tercantum dalam RPJMN 20152019 dan rencana strategis K/L terkait, adapun aksi yang bersifat melengkapi disampaikan pada matriks terlampir.
USER
31
RENCANA AKSI NASIONAL PERLINDUNGAN ANAK 2015-2019
Gambar 1. Sasaran dan Aksi RAN-PA 2015 – 2019
Menguatkan aspek pencegahan, deteksi dini dan perlindungan sosial
Tersedianya kebijakan dan program berbasis bukti dan data Aksi
Sektor Terkait
Pengembangan penelitian dan pemanfaatan data penelitian. Penguatan sistem data dan informasi terpadu yang dimulai dari tingkat desa yang digunakan untuk pemetaan kebutuhan dan faktor risiko Peningkatan pencatatan kelahiran dan cakupan akta kelahiran. Perluasan kesempatan bagi partisipasi masyarakat dalam penguatan sistem data, perluasan akses, pengembangan program, dan peningkatan mutu.
1. Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak; 2. Sosial; 3. Pendidikan dan Kebudayaan; 4. Kesehatan 5. Urusan Pemerintahan; 6. Hukum dan HAM
Aksi
Pemenuhan Hak Anak dan Perlindungan Anak
Penguatan kapasitas orangtua, tokoh agama, professional, relawan, pendamping masyarakat agar mampu mengaplikasikan keterampilan pengasuhan anak yang berpusat pada pemenuhan hak-hak anak. Penyusunan protokol dan mekanisme pemantauan serta rujukan di sekolah dan masyarakat yang mengarahkan semua unsur masyarakat untuk menciptakan lingkungan tanpa kekerasan, stigma, dan diskriminasi bagi pertumbuhan dan perkembangan anak. Pelibatan dan pemberian penghargaan bagi dunia usaha, individu, lembaga non pemerintah dalam upaya-upaya pengembangan keterampilan anak, kemampuan keluarga dan lingkungan. Penyusunan intrumen-instrumen untuk alternatif pengasuhan di luar keluarga yang berbasis pada keluarga besar, komunitas, atau orangtua asuh.
USER
Pengidentifikasian, perancangan ulang, dan pengimplementasian program lintas sektoral yang berkelanjutan untuk deteksi dini terhadap disabilitas, tumbuh kembang, dan pencegahan kekerasan. Pengembangan sistem perlindungan sosial dan pelayanan komprehensif – inklusif-terpadu untuk terpenuhinya hak-hak dasar pendidikan anak, menguatkan kapasitas keluarga, dan mempertahankan anak dalam asuhan keluarga.
Menguatkan peran komunitas, termasuk anak, dalam pemenuhan hak dan perlindungan anak secara universal Aksi
Perluasan penjangkauan secara aktif untuk deteksi dini dan pengurangan risiko untuk kelompok rentan yang sulit dijangkau.
Sektor Terkait 1. Urusan Pemerintahan; 2. Sosial; 3. Pendidikan dan Kebudayaan; 4. Kesehatan; 5. Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak; 6. Agama
Penyusunan kurikulum pada institusi pendidikan dan masyarakat untuk praktik keterampilan hidup dan keterampilan vokasional anak sebagai pencegahan terhadap perilaku-perilaku berisiko. Peningkatan pengetahuan dan perilaku remaja mengenai kesehatan reproduksi dan seksualitas yang bertanggungjawab dalam kurikulum pendidikan, materi KIE, dan melalui pendekatan sebaya-tenaga professional-pendamping dalam masyarakat.
Sektor Terkait
1. Kesehatan; 2. Urusan Pemerintahan; 3. Kependudukan dan Keluarga Berencana; 4. Pendidikan dan Kebudayaan; 5. Tenaga Kerja dan Transmigrasi; 6. Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak; 7. Sosial 8. Hukum dan HAM
32
RENCANA AKSI NASIONAL PERLINDUNGAN ANAK 2015-2019
BAB IV. MEKANISME PELAKSANAAN
USER
33
RENCANA AKSI NASIONAL PERLINDUNGAN ANAK 2015-2019
BAB IV MEKANISME PELAKSANAAN Berdasarkan analisis kelembagaan seperti yang diuraikan pada Bab II, maka mekanisme pelaksanaan rencana aksi dirumuskan sebagai berikut: 4.1. Koordinasi Mekanisme koordinasi pelaksanaan terbagi atas koordinasi horisontal dan vertikal yang menjadi mandat Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak. 4.1.1 Koordinasi horisontal a. Memetakan intervensi sektoral yang dilaksanakan untuk mengetahui pencapaian dan kesenjangan program perlindungan anak. b. Melakukan koordinasi perencanaan untuk mencegah tumpang tindih kebijakan dan program. c. Membuat kesepakatan lintas sektoral agar persoalan anak di semua sektor memperoleh asupan, dukungan, dan pengawasan. d. Menindaklanjuti hasil koordinasi pelaksanaan program terkait perlindungan anak dengan sektor-sektor terkait. 4.1.2 Koordinasi vertikal – pelaksanaan kebijakan dan program a. Melakukan peninjauan pelaksanaan dan koordinasi lapangan di masingmasing tingkat pemerintahan untuk mencegah tumpangtindih. b. Mengintegrasikan program-program perlindungan anak di tingkat nasional, daerah, dan desa sesuai dengan kewenangannya masing-masing. c. Memaksimalkan kepesertaan program Kabupaten/Kota Layak Anak sebagai sarana pelaksanaan RAN-PA. d. Memberikan dukungan terhadap pemerintah daerah dalam menyusun rencana aksi ditingkat daerah. 4.2. Mekanisme Pelaksanaan Kebijakan Untuk melaksanakan RAN-PA 2015-2019, diperlukan langkah-langkah sebagai berikut: a. Menjalin kemitraan dengan unsur-unsur masyarakat sipil di tingkat Kabupaten Kota dan desa untuk memahami dan menumbuhkan merasa memiliki RAN-PA. b. Pemberdayaan struktural pemerintah daerah untuk memahami RAN-PA, melaksanaan pengumpulan data dan informasi yang relevan dari tingkat desa, serta menyelenggarakan musrenbang yang melibatkan semuapemangku kepentingan. c. Memperkuat kelembagaan lembaga adat dan lembaga kemasyarakatan desauntuk melakukan sinkronisasi RPJMN bagi perumusan RPJMD dan RKPD.
USER
34
RENCANA AKSI NASIONAL PERLINDUNGAN ANAK 2015-2019 d. Memastikan dialog rutin antara lembaga pengawasan pelaksanaan pembangunan daerah dengan lembaga pelaksana program terkait perlindungan anak di tingkat daerah . e. Memberdayakan forum koordinasi antar kepala daerah sebagai jaringan komunikasi dan bantuan teknis yang diperlukan dalam semangat dan azas “kekeluargaan” guna memperoleh informasi mengenai kesenjangan pembangunan dan pembangunan kemitraan antar daerah, antar tingkat pemerintahan, dan lintas sektor. f.
4.3
Menjalankan regulasi yang ada sebagai sarana insentif dan sanksi pada pihak-pihak di semua tingkatan pemerintahan untuk menjalankan standar, norma, prosedur, dan kriteria pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan.
Pemantauan dan Evaluasi
Pemantauan dan evaluasi bertujuan untuk mengetahui capaian pelaksanaan program dan kegiatan. Salahsatu kunci dari dari pemantauan dan evaluasi adalah data dan informasi yang akurat. Data dan informasi mengenai proses dan hasil pembangunan pemenuhan hak dan perlindungan anak perlu dikelola secara sistemik, transparan, dan berdaya guna di semua tingkat pemerintahan dan dikumpulkan secara rutin. a. Membentuk mekanisme pengawasan yang merupakan sinergi dari lembaga eksekutif dan legislatif pusat dan daerah b. Mengintegrasikan data dan informasi hasil pemantauan dan evaluasi untuk bahan perencanaan dan pengalokasian anggaran sebagai laporan dan bahan diskusi tingkat nasional dan daerah . c. Melibatkan lembaga negara yang mempunyai mandat untuk pengawasan, lembaga non pemerintah, dunia usaha, dan media massa termasuk forum anak, untuk menjadi bagian dalam mekanisme pengawasan pelaksanaan rencana aksi di semua jenjang pemerintahan. d. Menyusun mekanisme pelaporan data dan informasi sebagai berikut: (1) secara vertikal dari unit pelayanan teknis terendah ke kementerian masingmasing.; (2) Sesuai dengan kewenangan di dalam UU Desa dan UU Pemerintah Daerah, tingkatan terendah di pemerintah daerah melaporkan kepada kepala daerah secara vertikal hingga ke kepala daerah tingkat provinsi, dan (3) Kepala daerah provinsi melaporkan data dan informasi kepada Kementerian Dalam Negeri yang difasilitasi oleh insitusi pemerintah sesuai dengan lingkup kewenangan masing-masing.
USER
35
RENCANA AKSI NASIONAL PERLINDUNGAN ANAK 2015-2019
Gambar 2. Skema Rencana Aksi Nasional Perlindungan Anak
PEMENUHAN HAK ANAK DAN PERLINDUNGAN ANAK Mekanisme Pelaksanaan, Koordinasi dan Evaluasi 1. Koordinasi Horisontal dan Vertikal 3. Mekanisme Pelaksanaan Kebijakan 2. Pemantauan dan Evaluasi AKSI
SASARAN 1. Tersedianya kebijakan dan program berbasis bukti dan data
a. b. c. d.
2. 2. Menguatkan aspek pencegahan, deteksi dini dan perlindungan sosial
a. b. c. d. e.
3. Menguatkan peran komunitas, termasuk anak, dalam pemenuhan hak dan perlindungan anak
a. b. c. d.
Aksi Sasaran 1 Pengembangan penelitian dan pemanfaatan data penelitian terkait keluarga dan anak yang peka terhadap gender, disabilitas, dan kebutuhan anak di tiap siklus kehidupan. Penguatan sistem data dan informasi terpadu dari tingkat desa untuk pemetaan kebutuhan dan faktor risiko, sebagai dasar dari perencanaan pembangunan dan penganggaran yang peka terhadap kebutuhan anak dan keluarga. Peningkatan pencatatan kelahiran dan cakupan akta kelahiran dalam rangka mendukung sistem pencatatan sipil dan statistik vital termasuk didalamnya penyebab kematian ibu dan anak. Perluasan kesempatan bagi partisipasi masyarakat dalam penguatan sistem data, perluasan akses, pengembangan program, dan peni ngkatan mutu melalui identifikasi kelompok rentan dan kebutuhan kelompok tersebut dan memberikan umpan balik dalam tiap tahapan pada siklus pengembangan kebijakan dan program. Aksi Sasaran 2 Perluasan penjangkauan secara aktif untuk deteksi dini dan pengurangan risiko untuk kelompok rentan yang sulit dijangkau. Pengidentifikasian, perancangan ulang, dan pengimplementasian program lintas sektoral yang berkelanjutan untuk deteksi dini terhadap disabilitas, tumbuh kembang, dan pencegahan kekerasan. Pengembangan sistem perlindungan sosial dan pelayanan komprehensif – inklusif-terpadu untuk terpenuhinya hak-hak dasar pendidikan anak, menguatkan kapasitas keluarga, dan mempertahankan anak dalam asuhan keluarga. Penyusunan kurikulum pada institus pendidikan dan masyarakat untuk praktik keterampilan hidup dan keterampilan vokasional anak sebagai pencegahan terhadap perilaku-perilaku berisiko. Peningkatan pengetahuan dan perilaku remaja mengenai kesehatan reproduksi dan seksualitas yang bertanggungjawab dalam kurikul um pendidikan, materi KIE, dan melalui pendekatan sebaya-tenaga professional-pendamping dalam masyarakat. Aksi Sasaran 3 Penguatan kapasitas orangtua, tokoh agama, professional, relawan, pendamping masyarakat agar mampu mengaplikasikan keterampilan pengasuhan anak yang berpusat pada pemenuhan hak-hak anak. Penyusunan protokol dan mekanisme pemantauan serta rujukan di sekolah dan masyarakat yang mengarahkan semua unsur masyarakat untuk menciptakan lingkungan tanpa kekerasan, stigma, dan diskriminasi bagi pertumbuhan dan perkembangan anak. Pelibatan dan pemberian penghargaan bagi dunia usaha, individu, lembaga non pemerintah dalam upaya-upaya pengembangan keterampilan anak, kemampuan keluarga dan lingkungan. Penyusunan intrumen-instrumen untuk alternatif pengasuhan di luar keluarga yang berbasis pada keluarga besar, komunitas, atau orangtua asuh.
Tantangan 1000 Hari Pertama
1. Memperluas akses dan pelayanan terpadu untuk pencegahan dan pengurangan kematian ibu-bayi, stunting-kurang gizi, cakupan imunisasi rendah, berdasarkan pada pemetaan karakteristik kelompok, sebaran, dan kebutuhan kelompok yang paling rentan. 2. Mengembangkan sistem pencatatan kelahiran yang dekat dan mudah dengan masyarakat termasuk kemudahan mendapatkan akta kelahiran melalui pelayanan dasar. 3. Memperluas akses untuk pelayanan promotif dan preventif terhadap disabilitas di awal kehidupan berdasar pada pemetaan karakteristik kelompok, sebaran, dan kebutuhan kelompok yang paling rentan. 4. Mengembangkan program inovatif berbasis bukti untuk penguatan kemampuan keluarga, komunitas dan penyedia layanan agar mampu memberikan pengasuhan optimal, mencegah kekerasan, dan mendeteksi cepat disabilitas.
Tantangan 10 Tahun Pertumbuhan dan Perkembangan Anak 1.
2.
3.
4.
Memperluas akses dan integrasi pelayanan bagi kelompok anak dan komunitas yang rentan terhadap kematian balita, tumbuh kembang tidak optimal, kekerasan, dan kesenjangan pendidikan yang berdasar pada pemetaan karakteristik kelompok, sebaran, dan kebutuhannya. Mendorong implementasi Pengembangan Anak Usia Dini Holistik-Integratif untuk kesiapan bersekolah dan tumbuh kembang optimal. Mengintegrasikan pembentukan dasar keterampilan hidup dan nilainilai luhur pada seluruh aspek pendidikan dan pengasuhan anak. Mengembangkan sistem pelayanan yang terjangkau untuk pencegahan, deteksi, dan rehabilitasi kekerasan, serta pengasuhan anak alternatif yang berbasis keluarga.
Tantanganan Masa Remaja 13-18 Tahun
1.
2.
3.
4.
Meningkatkan akses terhadap informasi, pelayanan preventifpromotifbagi remaja mengenai kesehatan reproduksi, perkawinan usia anak, dan perilaku berisiko, kekerasan dan eksploitasi. melalui seluruh aspek kehidupan. Memperluas akses dan program rehabilitatif-reintegratif berbasis masyarakat bagi kelompok remaja berhadapan dengan hukum. Meningkatkan kesempatan yang sama bagi partisipasi dalam pendidikan berkualitas untuk semua anak, terutama kelompok anak rentan. Mengimplementasikan integrasi keterampilan hidup, nilai-nilai luhur,dan kebiasaan hidup sehat dalam kurikulum pendidikan dan kehidupan sehari-hari.
Tantangan Kelembagaan
1.
2.
Memastikan kementerian/lembaga yang terlibat dalam perlindungan anak memiliki rasa kepemilikan yang sama terhadap RAN-PA, terutama apabila berkaitan dengan tugas pembantuan di tingkat daerah, Melakukan penyempurnaan regulasi dan memperkuat sistem kelembagaan untuk isu seperti penentuan prioritas program dan sumber daya antara urusan wajib dengan urusan pilihan.
TANTANGAN 1000 Hari Pertama Kehidupan (0-2 Tahun) 1. Kematian Ibu dan Bayi serta Anak di bawah 2 Tahun 2. Pencatatan Kelahiran dan Kepemilikan Akta Kelahiran 3. Status Gizi, Ketahanan, dan Perkembangan Anak 4. Deteksi Dini dan Rehabilitas Cepat Disabilitas di Awal Kehidupan 5. Pengasuhan Berbasis Keluarga, Pencegahan dan Penanganan Kekerasan serta Penelantaran
10 Tahun Pertumbuhan dan Perkembangan Anak (3-12 Tahun) 1. Kematian Anak di bawah Usia 5 Tahun 2. Penyakir Menular dan Cedera 3. Akses pada Pengembangan Anak Usia Dini Holistik Integratif dan Pendidikan Dasar Berkualitas 4. Pembentukan Dasar Keterampilan Hidup dan NilaiNilai Luhur 5. Pengasuhan Berbasis Rumah Tangga yang Aman
Masa Remaja (13-17 Tahun) 1. Pengetahuan Kesehatan Reproduksi dan Perkawinan Usia Anak 2. Perilaku Berisiko Tinggi 3. Akses dan Kualitas Pendidikan Usia Remaja 4. Keterampilan Hidup dan Karakter Kemanusiaan/Pendidikan Karakter 5. Kekerasan di Masa Remaja
ISU POKOK 3 SIKLUS KEHIDUPAN ANAK Akar Permasalahan Perlindungan Anak : 1. Kemiskinan dan Kerentanan Anak; 2. Ketimpangan Horisontal-Vertikal; 3. Kekerasan, Eksploitasi, Penelantaran, Diskriminasi
USER
36
RENCANA AKSI NASIONAL PERLINDUNGAN ANAK 2015-2019
BAB V. PENUTUP
USER
37
RENCANA AKSI NASIONAL PERLINDUNGAN ANAK 2015-2019
BAB V PENUTUP Rencana Aksi Nasional Perlindungan Anak 2015-2019 merupakan sebuah upaya terpadu antar pemangku kepentingan, baik pemerintah dan non pemerintah, yang bertujuan untuk meningkatkan sistem perlindungan anak di Indonesia. Keberhasilan penerapan strategi peningkatan perlindungan bagi semua anak tanpa kecuali tidak terlepas dari komitmen yang kuat dari semua pihak, baik pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha. Selain itu, keberhasilan upaya ini juga sangat tergantung dari kesepakatan antara pemerintah pusat dan daerah mengenai urgensi optimalisasi perlindungan anak sebagai elemen paling mendasar dari pembangunan nasional. Dengan demikian semua pihak ikut bertanggung jawab (akuntabel) untuk menghasilkan luaran dan dampak yang positif-konstruktif.
USER
38
RENCANA AKSI NASIONAL PERLINDUNGAN ANAK 2015-2019
DAFTAR PUSTAKA
Adioetomo, S.M., Mont, D., & Irwanto (2014).Persons with Disabilities in Indonesia: Empirical Facts and Implications for Social Protection Policies. Jakarta: Indonesia. Demographic Institute, Faculty of Economics, University of Indonesia in collaboration with Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K). Badan Narkotika Nasional.2014. Laporan Akhir Survei Nasional Perkembangan Penyalahguna Narkoba Tahun Anggaran 2014. Badan Pusat Statistik. (2007). Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2007. Jakarta: Badan Pusat Statistik. Badan Pusat Statistik.(2010). Sensus Penduduk 2010. Badan Pusat Statistik.(2013). Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia 2012. Badan Pusat Statistik.(2013). Survey Sosial Ekonomi Nasional 2013. Bappenas. (2014). Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2015-2019: Buku I agenda pembangunan nasional. Bappenas.(2014). Rencana Pembangunan Jangka Menenagah 2015-2019: Buku II agenda bembangunan bidang. Dickerson, A., & Popli, G. (2014). Persistent Poverty and Children’s Cognitive Development: Evidence from the UK Millennium Cohort Study. Sheffield Economic Research Paper Series, (023). Engle, P. L., & Black, M. M. (2008).The effect of poverty on child development and educational outcomes.Annals of the New York Academy of Sciences, 1136(1), 243– 256. FHI – ARC Unika Atma Jaya.2010. Jaringan Seksual dan Penggunaan Napza pada Pengguna Napza Suntik di 6 Propinsi.Jakarta: FHI & LPPM Unika Atma Jaya. Grantham-McGregor, S., Cheung, Y. B., Cueto, S., Glewwe, P., Richter, L., Strupp, B., … others. (2007). Developmental potential in the first 5 years for children in developing countries.The Lancet, 369(9555), 60–70. Heckman, J.(2008). Schools, skills, and synapses.Economic Inquiry, 46(3), 289-324. doi: doi:10.1111/j.1465-7295.2008.00163.x Hopkins, D, et al.(2001). Reviews of Evidence Regarding Interventions to Reduce To bacco Use and Exposure to Environmental Tobacco Smoke. American of Preventive Medicine. IBBS (2011).Integrated biological and behavioral survey 2011.Kemenkes. Irwanto. (2014).Background study penyusunan RPJMN 2015-2019 bidang perlindungan anak. Jakarta: Bappenas. Kane, M., & Lashier, H. (2002). The Case for Childhood Immunization (Occasional Paper No. 5). Washington, D.C: Child Vaccination Program, PATH. Kementerian Kesehatan RI. (2010). Riset Kesehatan Dasar 2010. Kementerian Kesehatan RI. (2013). Riset Kesehatan Dasar 2013. USER
39
RENCANA AKSI NASIONAL PERLINDUNGAN ANAK 2015-2019 Nadia, S. (2013).Strategy to reduce morbidity and mortality of PLHIV and maximize the prevention benefits of ARVs: the Indonesian Experience. Kemenkes Pusat Penelitian dan Pengembangan Kementerian Sosial RI (2013).Survei Kekerasan Terhadap Anak Indonesia. PUSKAPA UI and The Asia Foundation.(2011). Rehabilitation and Reintegration Mechanism for Children in Indonesia’s Correctional System. PUSKAPA UI and ILO. (2013). Child Domestic Workers (CDW) in Indonesia: Case Studies of Jakarta and Greater Areas. PUSKAPA UI & UNICEF. (2013). Knowledge, Attitudes and Behaviours on Violence Against Children inSouth Sulawesi. PUSKAPA UI, UNICEF, &DFAT (2014).Understanding vulnerability: A study on situations that affect family separation and the lives of children in and out of family care. Research in DKI Jakarta, Central Java, and South Sulawesi. Patunru, A. & Kusumaningrum, S. (2012). Reducing inequality to improve the wellbeing of children: Learning lessons from Indonesia for the post MDGs agenda. London: Save the Children. Republik Indonesia. 2015. Program Nasional Bagi Anak Indonesia 2015. Sallabank, J. (2015). Does labor migration do more harm than good? IRIN, 12 June 2015 http://www.irinnews.org/report/101627/does-labour-migration-do-moreharm-than-good Save the Children, DEPSOS RI and UNICEF. (2007). Someone that Matters.Jakarta: Save the Children Save the Children. (2012). Nutrition in the first 1.000 Days. Westport: Save the Children. SMERU, BAPPENAS, and UNICEF. (2012) Child Poverties and Disparities in Indonesia: Challenges in Inclusive Growth. Jakarta: UNICEF. Sumner, C., & Kusumaningrum, S. (2014). Studi Dasar AIPJ tentang Identitas Hukum: Jutaan Orang Tanpa Identitas Hukum di Indonesia. Jakarta: Australian Indonesia Partnership for Justice Suryadharma, D., P. & Suryahadi. (2009). The contrasting role of ability and poverty on education attainment: Evidence from Indonesia. Jakarta: SMERUWorking Paper. Technical Assistance Team UNICEF Indonesia Project. (2012). Building an effective child protection and social welfare system in Indonesia: Developing the role of social work. Queensland: School of Human Services and Social Work Griffith University. United Nations Convention of the Rights of the Children (2014).Concluding observation on the combined third and fourth periodic report of Indonesia. CRC/C/IDN/3-4, July 10, 2014 – h: 7-9 United Nations Development Programme (2008).HIV & AIDS and Mobility in South East Asia.Bangkok: United Nations Development Programme. United Nations Development Programme (2014).Human Development Report. Utomo, I.D. and P. McDonald.(2009). Adolescent Reproductive Health in Indonesia: Contested Values and Policy Inaction.Studies in Family Planning (40). World Health Organization.(2009). Indonesia (Ages 13-15), Global Youth Tobacco Survey (GYTS) Fact Sheet. Geneva: WHO. World Health Organization. (2010). Injuries and violence: the facts. Geneva: WHO. USER
40
RENCANA AKSI NASIONAL PERLINDUNGAN ANAK 2015-2019
Peraturan Undang-Undang Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Undang-Undang Nomor 6 tahun 2014 tentang Desa Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah Undang-Undang No.35 tahun 2014 Perubahan Atas UU Nomor 23 tahun2002 tentang Perlindungan Anak Peraturan Presiden Nomor 65 tahun 2015 tentang Kementerian Pembangunan dan Perencanaan Nasional Peraturan Presiden Republik Indonesia No 60 tahun 2013 tentang Pengembangan Anak Usia Dini Holistik Integratif Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 40 tahun 2013 tentang Peta Jalan Pengendalian Dampak Konsumsi Rokok Bagi Kesehatan.
USER
41
RENCANA AKSI NASIONAL PERLINDUNGAN ANAK 2015-2019
LAMPIRAN
USER
42
RENCANA AKSI NASIONAL PERLINDUNGAN ANAK 2015-2019
MATRIK RENCANA AKSI NASIONAL PERLINDUNGAN ANAK
No I
Siklus Kehidupan Lintas Siklus Kehidupan
Sasaran RANPA Tersedianya kebijakan dan program berbasis bukti dan data yang mempertimbangkan kebutuhan dan karakteristik anak berdasarkan gender dan siklus kehidupan sesuai konteks sosial, ekonomi dan budaya
Program/Kegiatan RPJMN 2015-2019
Program Perlindungan Anak Program pendidikan, pelatihan, penelitian dan pengembangan kesejahteraan sosial Program Pengembangan SDM Pendidikan dan Kebudayaan dan Penjaminan Mutu Program Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Program Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Program Bina Pembangunan Daerah Program Pengelolaan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Program Pemerintahan Umum Program Penelitian dan Pengembangan Kementerian Hukum dan HAM Program Penelitian Pengembangan dan
Usulan Aksi
Penguatan sistem data dan informasi terpadu dari tingkat desa untuk pemetaan kebutuhan dan faktor risiko sebagai dasar dari perencanaan pembangunan dan penganggaran yang peka terhadap kebutuhan anak dan keluarga Pengembangan penelitian dan pemanfaatan data penelitian terkait keluarga dan anak yang peka terhadap gender, disabilitas, dan kebutuhan anak di tiap siklus kehidupan.
Sektor PenanggungJawa b
Pemberdayaa n Perempuan dan Perlindungan Anak Sosial Pendidikan dan Kebudayaan Urusan Pemerintahan Hukum dan HAM Perencanaan pembangunan
RENCANA AKSI NASIONAL PERLINDUNGAN ANAK 2015-2019
Menguatkan aspek pencegahan, deteksi dini dan perlindungan sosial untuk mengurangi risiko dan kerentanan
I
1000 Hari Pertama Kehidupan
Menguatkan peran komunitas, termasuk anak, dalam pemenuhan hak dan perlindungan anak secara universal
USER
Pendidikan Pelatihan Kementerian Agama Program Perencanaan Pembangunan Nasional Program Perlindungan dan Jaminan Sosial Program Rehabilitasi Sosial Program Perlindungan Anak Program Penguatan Pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional Program Dukungan Manajemen dan Pelaksanaan tugas teknis lainnya Kementerian Kesehatan
Perluasan penjangkauan secara aktif untuk deteksi dini dan pengurangan risiko kelompok rentan yang sulit untuk dijangkau
Pengembangan sistem perlindungan sosial dan pelayanan komprehensif – inklusif-integratif untuk terpenuhinya hak-hak dasar pendidikan anak, menguatkan kapasitas keluarga, dan mempertahankan anak dalam asuhan keluarga.
Program Pembangunan Sumber Daya Manusia dan modal sosial budaya masyarakat desa Program Perlindungan Anak Program Perlindungan dan Jaminan Sosial Program Rehabilitasi Sosial Program Penguatan Pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional Program Bina Gizi dan
Penguatan kapasitas orangtua, tokoh agama, professional, relawan, pendamping masyarakat agar mampu, mengaplikasikan keterampilan pengasuhan anak yang berpusat pada pemenuhan hak-hak anak.
Penyusunan intrumeninstrumen untuk alternatif pengasuhan di luar keluarga yang berbasis pada keluarga
1
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Sosial Kesehatan
Urusan Pemerintahan Sosial Pendidikan Kesehatan Pemberdayaa n Perempuan dan Perlindungan Anak
RENCANA AKSI NASIONAL PERLINDUNGAN ANAK 2015-2019
II
Pondasi yang Kuat
Tersedianya kebijakan dan program berbasis bukti dan data yang mempertimbangkan kebutuhan dan karakteristik anak berdasarkan gender dan siklus kehidupan sesuai konteks sosial, ekonomi dan budaya
Menguatnya aspek pencegahan, deteksi dini dan perlindungan sosial
USER
Kesehatan Ibu dan Anak Program Pembinaan Upaya Kesehatan Program Penataan Administrasi Kependudukan Program Pembinaan Upaya Kesehatan Program Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak Program Pengelolaan Desentralisasi dan Otonomi Daerah Program Bina Pembangunan Daerah
Program Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan; Program Bina Gizi dan
besar, komunitas, atau orangtua asuh.
Penguatan sistem data dan informasi terpadu dari tingkat desa untuk pemetaan kebutuhan dan faktor risiko sebagai dasar dari perencanaan pembangunan dan penganggaran yang peka terhadap kebutuhan anak dan keluarga
Peningkatan pencatatan kelahiran dan cakupan akta kelahiran dalam rangka mendukung sistem pencatatan sipil dan statistik vital termasuk didalamnya penyebab kematian ibu dan anak.
Perluasan penjangkauan secara aktif untuk deteksi dini dan pengurangan risiko untuk kelompok rentan yang sulit
2
Kesehatan Urusan Pemerintahan
Kesehatan Sosial
RENCANA AKSI NASIONAL PERLINDUNGAN ANAK 2015-2019
untuk mengurangi risiko dan kerentanan ibu, anak, dan keluarga karena kemiskinan,ketimpan gan, dan kekerasan.
III
Pilar yang Kokoh
Menguatnya aspek pencegahan, deteksi dini dan perlindungan sosial untuk mengurangi risiko dan kerentanan
USER
Kesehatan Ibu dan Anak Program Pembinaan Upaya Kesehatan Program Rehabilitasi Sosial Program Pemberdayaan Sosial dan Penanggulangan Kemiskinan Program Pendidikan Dasar
untuk dijangkau Pengidentifikasian, perancangan ulang, dan pengimplementasian program lintas sektoral yang berkelanjutan untuk deteksi dini terhadap disabilitas, tumbuh kembang, dan pencegahan kekerasan.
Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan; Program Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak Program Kependudukan, KB, dan Pembangunan Keluarga Program Pendidikan Anak Usia Dini, Non Formal dan Informal;
Perluasan penjangkauan secara aktif untuk deteksi dini dan pengurangan risiko kelompok rentan yang sulit untuk dijangkau
Program Perlindungan Tenaga Kerja dan Pengembangan Sistem Pengawasan Ketenagakerjaan Program Pemberdayaan Sosial dan Penanggulangan
Pengembangan sistem perlindungan sosial dan pelayanan komprehensif – inklusif-integratif untuk terpenuhinya hak-hak dasar pendidikan anak, menguatkan kapasitas keluarga, dan
Pengidentifikasian, perancangan ulang, dan pengimplementasian program lintas sektoral yang berkelanjutan untuk deteksi dini terhadap disabilitas, tumbuh kembang, dan pencegahan kekerasan.
3
Kesehatan Sosial
Kesehatan Urusan Pemerintahan Kependuduka n dan Keluarga Berencana Pendidikan Kesehatan; Kependuduka n dan Keluarga Berencana
Tenaga Kerja dan Transmigrasi Pendidikan; Sosial
RENCANA AKSI NASIONAL PERLINDUNGAN ANAK 2015-2019
Kemiskinan
mempertahankan anak dalam asuhan keluarga.
Program Pendidikan Dasar Program Pendidikan Islam Program Penguatan Pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional Program Perlindungan dan Jaminan Sosial
USER
Pengembangan sistem perlindungan sosial dan pelayanan komprehensif – inklusif-integratif untuk terpenuhinya hak-hak dasar pendidikan anak, menguatkan kapasitas keluarga, dan mempertahankan anak dalam asuhan keluarga. Penyusunan kurikulum untuk praktik keterampilan hidup dan keterampilan vokasional sebagai pencegahan terhadap perilakuperilaku berisiko. Penyusunan protokol dan mekanisme pemantauan serta rujukan di sekolah dan masyarakat yang mengarahkan semua unsur masyarakat untuk menciptakan lingkungan kondusif bagi pertumbuhan dan perkembangan anak.
4
Pendidikan Sosial Kesehatan
RENCANA AKSI NASIONAL PERLINDUNGAN ANAK 2015-2019
IV
Atap yang Melindungi
Tersedianya kebijakan dan program berbasis bukti dan data yang mempertimbangkan kebutuhan dan karakteristik anak berdasarkan gender dan siklus kehidupan sesuai konteks sosial, ekonomi dan budaya
Menguatnya aspek pencegahan, deteksi dini dan perlindungan sosial untuk mengurangi risiko dan kerentanan
USER
Program perlindungan Anak) Program Bina Pembangunan Daerah Program Penguatan Pemerintahan Umum Program Pembinaan dan Penyelenggaraan Pemasyarakatan Program Pendidikan dan Pelatihan Aparatur Kementerian Hukum dan HAM
Penguatan sistem data dan informasi terpadu dari tingkat desa untuk pemetaan kebutuhan dan faktor risiko, sebagai dasar dari perencanaan pembangunan dan penganggaran yang peka terhadap kebutuhan anak dan keluarga
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Urusan Pemerintahan Hukum dan HAM Sosial
Program Kependudukan, KB, dan Pembangunan Keluarga Program Bina Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak
Peningkatan pengetahuan dan perilaku remaja mengenai kesehatan reproduksi dan seksualitas yang bertanggungjawab dalam kurikulum pendidikan, materi KIE, dan melalui pendekatan sebaya -tenaga professional-pendamping dalam masyarakat.
Kependuduka n dan Keluarga Berencana Kesehatan
Program Pendidikan Menengah; Program Pendidikan Islam Program Perlindungan Anak
Penyusunan kurikulum berbasis pendidikan dan pengajaran dalam masyarakat untuk praktik keterampilan hidup dan keterampilan vokasional sebagai penguatan keterampilan hidup anak untuk pencegahan terhadap
Pendidikan Agama
5
RENCANA AKSI NASIONAL PERLINDUNGAN ANAK 2015-2019
perilaku-perilaku berisiko.
USER
Program Pendidikan Dasar Program Pendidikan Islam Program Perlindungan dan Jaminan Sosial Program pembinaan dan penyelenggaraaan pemasyarakatan
Pengembangan sistem perlindungan sosial dan pelayanan komprehensif – inklusif-integratif untuk terpenuhinya hak-hak dasar pendidikan anak, menguatkan kapasitas keluarga, dan mempertahankan anak dalam asuhan keluarga.
6
Pendidikan; Hukum dan HAM