RELEVANSI KONSEP IMAM AL-GAZÂLÎ TENTANG SABAR DALAM KITAB IHYA ULUMUDDIN DENGAN TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM
SKRIPSI Diajukan untuk Memenuhi Sebagian Tugas dan Syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Ilmu Pendidikan Islam
Oleh:
Oleh: AMIN HUSNI NIM : 043111103
FAKULTAS TARBIYAH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) WALISONGO SEMARANG 2011
PERNYATAAN KEASLIAN
Yang bertanda tangan di bawah ini: Nama
: Amin Husni
Nim
: 043111103
Jurusan/Program Studi
: Pendidikan Agama Islam
menyatakan bahwa skripsi ini secara keseluruhan adalah hasil penelitian/karya saya sendiri, kecuali bagian tertentu yang dirujuk sumbernya. .
Semarang, 23 Mei 2011 Deklarator,
Amin Husni NIM : 043111103
ii
DEPARTEMEN AGAMA RI INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO FAKULTAS TARBIYAH JL. Prof. Dr. HAMKA (Kampus ) Ngalian Semarang Telp. (024) 7601291 Fax.7615387
PENGESAHAN Naskah skripsi dengan: Judul Nama NIM Jurusan Program Studi
: Relevansi Konsep Imam Al-Gazâlî tentang Sabar dalam Kitab Ihya Ullumuddin dengan Tujuan Pendidikan Islam : Amin Husni : 043111103 : Pendidikan Agama Islam : Pendidikan Agama Islam
telah diujikan dalam sidang munaqasyah oleh Dewan Penguji Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo dan dapat diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar sarjana dalam Ilmu Pendidikan Islam Semarang,
Juni 2011
DEWAN PENGUJI Ketua,
Sekretaris,
H. Mursid, M.Ag. NIP. 19670305 200112 1001
Yunita Rakhmawati, MA. NIP. 19780627 200501 2004
Penguji I,
Penguji II,
Drs. H. Mat Solikhin, M.Ag NIP. 19600524 199203 1 001
Dr. Ahwan Fanani, M.Ag NIP. 19780930 200312 1001
Pembimbing I,
Pembimbing II,
Drs. Darmuin, M.Ag NIP. 19640424 199303 1 003
Amin Farih, M.Ag NIP. 19710614200003 1 002
iii
NOTA PEMBIMBING
Semarang,
Juni 2011
Kepada Yth. Dekan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo di Semarang Assalamua’alaikum Wr.Wb.
Dengan ini diberitahukan bahwa saya telah melakukan bimbingan, arahan dan koreksi naskah skripsi dengan: Judul
:
Nama NIM Jurusan Program Studi
: : : :
RELEVANSI KONSEP IMAM AL-GAZÂLÎ TENTANG SABAR DALAM KITAB IHYA ULUMUDDIN DENGAN TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM Amin Husni 043111103 Pendidikan Agama Islam Pendidikan Agama Islam
Saya memandang bahwa naskah skripsi tersebut sudah dapat diajukan kepada Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo untuk diajukan dalam Sidang Munaqasyah Wassalamu’alaikum Wr.Wb.
Pembimbing I,
Drs. Darmuin, M.Ag. NIP. 19640424 199303 1 003
iv
NOTA PEMBIMBING
Semarang, Juni 2011
Kepada Yth. Dekan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo di Semarang Assalamua’alaikum Wr.Wb.
Dengan ini diberitahukan bahwa saya telah melakukan bimbingan, arahan dan koreksi naskah skripsi dengan: Judul
:
Nama NIM Jurusan Program Studi
: : : :
RELEVANSI KONSEP IMAM AL-GAZÂLÎ TENTANG SABAR DALAM KITAB IHYA ULUMUDDIN DENGAN TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM Amin Husni 043111103 Pendidikan Agama Islam Pendidikan Agama Islam
Saya memandang bahwa naskah skripsi tersebut sudah dapat diajukan kepada Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo untuk diajukan dalam Sidang Munaqasyah Wassalamu’alaikum Wr.Wb.
Pembimbing II,
Amin Farih, M.Ag NIP. 19710614200003 1 002
v
ABSTRAK Judul : Relevansi Konsep Imam Al-Gazâlî Tentang Sabar dalam Kitab Ihya Ulumuddin dengan Tujuan Pendidikan Islam Penulis: Amin Husni NIM : 043111103 Skripsi ini membahas konsep Imam Al-Gazâlî tentang sabar ditinjau dari tujuan pendidikan Islam. Realita fenomena di masyarakat terjadi suatu kesenjangan antara teori yang mengharuskan ikhtiar maksimal dengan sabar diri sepenuhnya tanpa usaha. Studi ini dimaksudkan untuk menjawab permasalahan bagaimana konsep sabar menurut Imam Al-Gazâlî? Bagaimana sabar menurut Imam Al-Gazâlî ditinjau dari tujuan pendidikan Islam? Permasalahan tersebut dibahas melalui studi kepustakaan (library research) dengan jenis penelitian kualitatif dengan metode deskriptif analisis. Dalam membahas dan menelaah data, penulis menggunakan metode deskriptif Analisis. Kajian ini menunjukkan bahwa (1) Menurut Imam Al-Gazali, Allah telah mensifati orang-orang yang sabar dengan beberapa sifat, Dia menyebut sabar dalam Al-Qur'an pada lebih dari tujuh puluh tempat. Ketahuilah bahwa sabar adalah kedudukan dari kedudukan agama dan derajat dari derajat-derajat orang-orang yang menempuh jalan menuju Allah. Apabila mengkaji konsep sabar menurut Imam al-Ghazali sebagaimana telah dikemukakan dalam bab sebelumnya, maka konsepnya sangat penting dan relevan dengan pendidikan, kode etik pendidik (guru) dan kode etik peserta didik. Ali bin Abi Thalib memberikan syarat bagi peserta didik dengan enam macam, yang merupakan kompetensi mutlak dan dibutuhkan tercapainya tujuan pendidikan. Syarat yang dimaksud sebagaimana dalam syairnya: "Seorang santri harus tabah menghadapi ujian dan cobaan. Sebab ada yang mengatakan bahwa gudang ilmu itu selalu diliputi dengan cobaan dan ujian. Ali bin Abi Thalib, berkata, "Ketahuilah, kamu tidak akan memperoleh ilmu kecuali dengan bekal enam perkara, yaitu: cerdas, semangat, bersabar, memiliki bekal, petunjuk/bimbingan guru, dan waktu yang lama." (2) Hubungan konsep sabar menurut Imam al-Ghazali dengan tujuan pendidikan Islam sebagai berikut: pendidikan Islam ialah segala usaha untuk memelihara dan mengembangkan fitrah manusia serta sumber daya manusia yang ada padanya menuju terbentuknya manusia seutuhnya (insan kamil). Karena itu tujuan pendidikan Islam adalah terbentuknya insan kamil yang di dalamnya memiliki wawasan yang kaffah (utuh/lengkap/menyeluruh). Tujuan terakhir pendididikan Islam yaitu penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah. "Kata penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah" dalam bahasa agama disebut tawakkal yang dicerminkan oleh sikap sabar. Tujuan pendidikan Islam seperti ini sesuai pula dengan Konferensi Dunia Pertama tentang Pendidikan Islam (1977).
vi
TRANSLITERASI ARAB LATIN Keputusan bersama Menteri Agama dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor:158 th. 1987, Nomor:1543b/u/1987 . ا ب ت ث ج ح خ د ذ ر ز س ش ص ض
ط ظ ع غ ف ق ك ل م ن و ه ء ي
a b t ś j h kh D ż r Z S Sy ş d
vii
t Z ' g f q k l m n w h , y
KATA PENGANTAR Segala puji bagi Allah yang maha pengasih dan penyayang, bahwa atas taufiq dan hidayah-Nya maka penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Skripsi yang berjudul “RELEVANSI KONSEP IMAM AL-GAZÂLÎ TENTANG SABAR DALAM KITAB IHYA ULUMUDDIN DENGAN TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM”, ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S.1) Fakultas Tarbiyah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo Semarang. Dalam penyusunan skripsi ini penulis banyak mendapatkan bimbingan dan saran-saran dari berbagai pihak sehingga penyusunan skripsi ini dapat terselesaikan. Untuk itu penulis menyampaikan terima kasih kepada : 1. Bapak Dr. Suja'i, M.Ag. selaku Dekan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang. 2. Bapak Drs. Darmuin, M.Ag selaku Dosen Pembimbing I dan Bapak Amin Farih, M.Ag selaku Dosen Pembimbing II yang telah bersedia meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk memberikan bimbingan dan pengarahan dalam penyusunan skripsi ini. 3. Bapak Nasirudin, M.Ag selaku Kajur PAI Fakultas Tarbiyah 4. Pimpinan Perpustakaan Institut yang telah memberikan izin dan layanan kepustakaan yang diperlukan dalam penyusunan skripsi ini. 5. Pimpinan Perpustakaan Fakultas Tarbiyah yang telah memberikan izin dan layanan kepustakaan yang diperlukan dalam penyusunan skripsi ini. 6. Seluruh dosen, staf dan karyawan di lingkungan civitas akademik Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang yang telah memberikan pelayanan yang baik serta membantu kelancaran penulisan skripsi ini. Pada akhirnya penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini belum mencapai kesempurnaan dalam arti sebenarnya, namun penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis sendiri khususnya dan para pembaca pada umumnya.
viii
Penulis
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ........................................................................................ i PERNYATAAN ................................................................................................ ii PENGESAHAN ................................................................................................ iii NOTA PEMBIMBING ................................................................................... iv ABSTRAK ...................................................................................................... vi TRASLITERASI .............................................................................................. vii KATA PENGANTAR ...................................................................................... viii DAFTAR ISI .................................................................................................... ix BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah .............................................................. 1 B. Penegasan Istilah ......................................................................... 6 C. Perumusan masalah ..................................................................... 8 D. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................... 8 E. Telaah Pustaka ............................................................................ 9 F. Metodologi Penelitian ................................................................. 13 BAB II : LANDASAN TEORI KONSEP SABAR DAN TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM A. Konsep Sabar 1. Pengertian Sabar
…. ............................................................ 15 ................................................................. 15
2. Macam-Macam Sabar ............................................................. 16 B. Pendidikan Islam
................................................................. 21
1. Pengertian Pendidikan Islam ................................................... 21 2. Landasan Pendidikan Islam .................................................... 24 3. Tujuan Pendidikan Islam......................................................... 28 BAB III: KONSEP IMAM AL-GAZÂLÎ TENTANG SABAR A. Biografi Imam Al-Gazâlî ............................................................ 31
ix
1. Latar Belakang Imam Al-Gazâlî ............................................. 31 2. Karya-Karyanya ...................................................................... 35 B. Konsep Imam Al-Gazâlî tentang Sabar dalam Kitab Ihya 'Ulum al-Din.............................................................. 38 BAB IV: KONSEP SABAR MENURUT IMAM AL-GHAZALI DAN RELEVANSINYA DENGAN TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM A. Analisis Pandangan Imam Al-Ghazali tentang Sabar ................. 57 B. Analisis Pandangan Imam Al-Ghazali tentang Sabar Relevansinya dengan Tujuan Pendidikan Islam ................................................ 61 BAB V : PENUTUP A. Simpulan ..................................................................................... 80 B. Saran-Saran ................................................................................. 81 C. Penutup ....................................................................................... 81 DAFTAR PUSTAKA DAFTAR RIWAYAT HIDUP LAMPIRAN-LAMPIRAN
x
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Pendidikan Islam ialah segala usaha untuk memelihara dan mengembangkan fitrah manusia serta sumber daya manusia yang ada padanya menuju terbentuknya manusia seutuhnya (insan kamil).1 Karena itu tujuan pendidikan Islam adalah terbentuknya insan kamil yang di dalamnya memiliki wawasan yang kaffah (utuh/lengkap/menyeluruh).2 Sejalan dengan itu menurut Arifin tujuan terakhir pendidikan Islam yaitu penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah.3 Menurut seorang tokoh filsuf Islam Ibnu Thufail bahwa manusia yang terdiri dari badan dan jiwa, yang memiliki akal pikiran, ia selalu menggunakan akalnya untuk berpikir mengetahui hal-hal yang belum ia ketahui, tetapi akal tersebut kadang-kadang mengalami kebuntuan dan ketidak mampuan dalam memahami rahasia Illahi, mengungkap misteri kehidupan dan mengemukakan dalil-dalil pikiran. Akal yang sehat akan berpikir dengan sendirinya, berupa kebenaran, kebaikan dan keindahan kedua-duanya dapat bertemu dalam satu titik tanpa harus diperselisihkan lagi.4 Manusia yang terdiri dua unsur tidak dapat dipisahkan, kedua unsur tersebut adalah jasad dan jiwa merupakan satu kesatuan. Karena bila dipisahkan ia bukan manusia lagi.5 Jasad dapat bergerak karena adanya jiwa, dan jiwa itu adalah tuan daripada jasad, namun kehidupan jasad tidak hanya bergantung pada jiwa semata hal ini disebut dengan kehidupan ragawi (lahiriyah), ia membutuhkan yang namanya pakaian, makanan, tempat tinggal, 1
Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 28. Abdul Mujib dan Yusuf Muzakir, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Prenada Media, 2007), hlm. 83. 3 Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2003), hlm. 28. 4 Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, (Yogyakarta: Bulan Bintang, 1990), hlm. 163 5 Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur'an; Tafsir Maudhu'i Atas Berbagai Persoalan Umat, (Bandung: Mizan, 1997), hlm. 282 2
1
harta kekayaan dan sebagainya. Beda dengan jasad, untuk dapat hidup selalu dalam kebenaran maka jiwa juga membutuhkan makanan, sementara makanan yang dibutuhkan jiwa tidak serupa dengan apa yang dimakan oleh jasad, makanan itu berupa ajaran-ajaran agama, memegang teguh Kalam Suci (AlQuran), menjalankan apa-apa yang telah disyari'atkan oleh Sang Maha Pencipta, dan juga bersabar, yakni sabar dalam menjalankan perintah dan larangan-Nya, menghadapi musibah dan menerima nikmat-Nya. Kalau kedua unsur pokok telah terpenuhi kebutuhannya, terdapatlah keseimbangan, maka kehidupan menjadi lebih tenang tentram dan bahagia. Inilah yang disebut kepribadian manusia dalam totalitasnya.6 Melihat
segala
tingkah
laku
manusia,
tokoh
Barat
yang
mengembangkan teori psikologi humanistik Abraham Maslow, memiliki asumsi dasar, bahwa tingkah laku manusia dapat ditelaah melalui kecenderungan dalam memenuhi kebutuhan hidup, sehingga bermakna dan terpuaskan.7 Berkaitan dengan hal itu seorang tokoh tasawuf ulama besar Imam alGazâlî memeta-metakan tingkah laku manusia atau kepribadian (kejiwaan) manusia ke dalam beberapa dimensi, secara dimensi pada diri manusia terkumpul empat dimensi kejiwaan: 1. Dimensi ragawi (al-Jism) 2. Dimensi nabati (al-Natiyyah) 3. Dimensi Hewani (al-Hayawaniyyun) 4. Dimensi insani (al-insaniyah).8 Pada dasarnya pengetahuan manusia tentang dirinya secara umum masih pada tahap awal, pengetahuan itupun menjadi terbatas sebab; pertama, Pembahasan masalah manusia terlambat dilakukan karena pada mulanya perhatian manusia hanya tertuju pada penyelidikan tentang alam materi. 6
Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur'an; Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat, (Bandung: Mizan, 1994), hlm. 247 7 Hasyim Muhammad, Dialog Antara Tasawuf Dan Psikologi; Telaah Atas Pemikiran Psikologi Humanistik Abrahan Maslow, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 76 8 Hanna Djumhana Bastaman, Integrasi Psikologi Dengan Islam; Menuju Psikologi Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Dana Yayasan Insani, 2001), hlm. 79
2
kedua, ciri khas akal manusia yang lebih cenderung memikirkan hal-hal yang tidak kompleks, ketiga, karena disebabkan multi kompleknya manusia.9 Akhir-akhir ini persaingan kehidupan yang terkotak-kotak pada bidang-bidang tertentu semakin ketat membuat perjalanan peradaban yang semakin cepat seperti terjadi sekarang ini menjadikan manusia yang hidup di dalamnya harus mampu menyesuaikan diri dengan perkembangan yang terjadi, teknologi makin canggih, krisis ekonomi yang berkepanjangan membuat perekonomian di masayarakat semakin parah, hingga akhirnya kelangkaan pangan makin menjadi. Apabila dipandang dengan kaca mata Islam, tidak terpenuhinya keinginan-keinginan dalam hidup ini tidak hanya semata-mata karena kesalahan mekanisme dan prosesnya saja, tetapi selaku umat Islam harus memiliki keyakinan bahwa dibalik itu semua terdapat kekuatan (ketentuan) lain yang berasal dari Allah Swt, inilah yang sering dipahami dengan ujian, cobaan atau musibah dari Allah Swt , sebagaimana firman-Nya dalam AlQur'an Surat Al-Baqarah; Ayat 155
"Dan sesungguhnya akan kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira bagi orang-orang yang sabar" (Q.S. AlBaqarah: l55).10 Maka tidak reda-redanya Allah Swt., memberi peringatan kepada hamba-Nya untuk tabah dan berpegang teguh dalam menghadapi segala cobaan, sebagaimana Allah Swt., memberi peringatan kepada para Rasul dan nabi dan pembawa da'wah pada umumnya, bahwa mereka akan berjumpa dan mengalami bermacam-macam cobaan.11 Dari sini pentingnya konsep sabar
9
Wawasan Al-Qur'an; Tafsir Maudhu'i Atas Berbagai Persoalan Umat, hlm.278 Soenarjo, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang: Toha Putra, 1993), hlm. 99 11 Muhammad Natsir, Fiqhud Da'wah, (Jakarta: Media Da'wah, 2000), hlm. 259 10
3
diterapkan oleh manusia dalam menyikapi cobaan, ujian, musibah dan berbagai masalah lainnya. Dari sekian banyaknya konsep sabar, maka konsep Imam Al-Gazâlî menarik untuk dikaji. Alasannya karena konsepnya jelas dan lugas. Hal ini tidak berarti konsep pakar lainnya kurang menarik dan jelas, namun konsep Imam Al-Gazâlî bisa dijadikan salah satu alternatif. Menurut Imam Al-Gazâlî, Allah Ta'ala telah mensifati orang-orang yang sabar dengan beberapa sifat, Dia menyebut sabar dalam Al-Qur'an pada lebih dari tujuh puluh tempat dan Dia menambah lebih banyak derajat dan kebaikan dan menjadikannya sebagai buah bagi sabar.12 Ketahuilah bahwa sabar adalah kedudukan dari kedudukan agama dan derajat dari derajat-derajat orang-orang yang menempuh jalan menuju Allah. Dan semua kedudukan agama itu sesungguhnya dapat tersusun dari tiga perkata yaitu: Ma'rifat, hal ihwal dan amal perbuatan.13 Dari arti-arti yang dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa kesabaran menuntut ketabahan dalam menghadapi sesuatu yang sulit, berat, dan pahit, yang harus diterima dan dihadapi dengan penuh tanggung jawab. Berdasar kesimpulan tersebut, para agamawan merumuskan pengertian sabar sebagai "menahan diri atau membatasi jiwa dari keinginannya demi mencapai sesuatu yang baik atau lebih baik (luhur)". 14 Orang yang sabar akan mampu menerima segala macam cobaan dan musibah. Berbagai musibah dan malapetaka yang melanda Indonesia telah dirasakan masyarakat. Bagi orang yang sabar maka ia rela menerima kenyataan pahit, sementara yang menolak dan atau tidak sabar, ia gelisah dan protes dengan nasibnya yang kurang baik.15 Realita fenomena di masyarakat terjadi suatu kesenjangan antara teori yang mengharuskan ikhtiar maksimal dengan sabar diri sepenuhnya tanpa
12
Abu Hamid Muhammad al-Gazâlî, Ihya Ulum ad-Din, Jilid VII, (Semarang: CV AsySyifa, 1994), hlm. 314. 13 Abu Hamid Muhammad al-Gazâlî, Ihya Ulum ad-Din, hlm. 323. 14 M. Quraish Shihab, Secercah Cahaya Ilahi, (Bandung: Mizan, 2007), hlm. 165. 15 Achmad Mubarok, Psikologi Qur'ani, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), hlm. 73.
4
usaha. Dengan kata lain kenyataan menunjukkan bahwa persepsi yang berkembang di sebagian masyarakat yaitu sabar merupakan bentuk pasrah diri pada Allah Swt namun tanpa ikhtiar. Persepsi yang keliru ini mengakibatkan umat Islam berada dalam kemunduran dan tidak mampu bersaing dengan dinamika zaman. Kenyataan ini dapat dijumpai dalam kehidupan sehari-hari.16 Dalam masyarakat bergulir sebuah anggapan bahwa sabar yang sesungguhnya adalah kepasrahan seorang hamba terhadap Allah SWT tanpa perlu usaha. Banyak orang yang diam bertopang dagu, mereka beranggapan bahwa jika sudah menjadi rizkinya maka ia tidak akan kemana-mana. Sebaliknya apabila bukan rizkinya maka dikejar pun akan lari dan menjauh. Kekeliruan persepsi dan interpretasi seperti ini merupakan salah satu fenomena ketidakmampuan manusia itu dalam berkompetisi di tengah-tengah masyarakat yang makin kompleks.17 Konsep sabar perspektif Imam al-Gazâlî mempunyai hubungan yang erat dengan tujuan pendidikan. Dengan kata lain bahwa konsep Imam alGazâlî berkaitan pula dengan pendidikan karena dalam pendidikan dibutuhkan kesabaran. Pendidik harus sabar dalam mentransfer ilmu dan peserta didik harus sabar dalam mempelajari dan mendalami ilmu. Apabila mengkaji konsep sabar menurut Imam al-Gazâlî, maka konsepnya sangat penting dan relevan dengan pendidikan, kode etik pendidik (guru) dan kode etik peserta didik. Dalam mengungkapkan konsep sabar Imam al-Ghazali muncul suatu masalah yaitu apakah konsepnya ada kesesuaian dengan tujuan pendidikan Islam, jika sesuai sejauhmana hubungannya dengan pendidik dan peserta didik. Bertitik tolak dari keterangan dan masalah tersebut mendorong peneliti mengangkat tema ini sebagaimana tersebut sebelumnya.
16 17
Achmad Mubarok, Psikologi Qur'ani, hlm. 73. Yunan Nasution, Pegangan Hidup, 3, (Solo: Ramadhani, 1999), hlm. 187.
5
B. Penegasan Istilah Agar pembahasan tema dalam skripsi ini menjadi terarah, jelas dan mengena yang dimaksud, maka perlu dikemukakan batasan-batasan judul yang masih perlu mendapatkan penjelasan secara rinci.
1. Sabar Sabar (al-shabru) menurut bahasa adalah menahan diri dari keluh kesah. Bersabar artinya berupaya sabar. Ada pula al-shibru dengan mengkasrah-kan shad artinya obat yang pahit, yakni sari pepohonan yang pahit. Menyabarkannya berarti menyuruhnya sabar. Bulan sabar, artinya bulan puasa. Ada yang berpendapat, "Asal kalimat sabar adalah keras dan kuat. Al-Shibru tertuju pada obat yang terkenal sangat pahit dan sangat tak enak. Al Ushmu'i mengatakan, "Jika seorang lelaki menghadapi kesulitan secara bulat, artinya ia menghadapi kesulitan itu secara sabar. Ada pula al-shubru dengan men-dhamah-kan shad, tertuju pada tanah yang subur karena kerasnya. Ada pula yang berpendapat, "Sabar itu diambil dari kata mengumpulkan. memeluk, atau merangkul. Sebab, orang yang sabar itu yang merangkul atau memeluk dirinya dari keluh-kesah. Ada pula kata shabrah yang tertuju pada makanan. Pada dasarnya, dalam sabar itu ada tiga arti. menahan, keras, mengumpulkan, atau merangkul, sedang lawan sabar adalah keluh-kesah.18 2. Tujuan Pendidikan Islam Dalam pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional ditegaskan bahwa pendidikan
nasional
berfungsi
mengembangkan
kemampuan
dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, 18
Muhammad Rabbi Muhammad Jauhari, Keistimewaan Akhlak Islami, terj. Dadang Sobar Ali. (Bandung: Pustaka Setia, 2006), hlm. 342.
6
mandiri.
dan
menjadi
bertanggungjawab.
warga
negara
yang
demokratis
serta
19
Dalam konteksnya dengan pendidikan Islam, menurut Arifin, tujuan pendidikan Islam secara filosofis berorientasi kepada nilai-nilai islami yang bersasaran pada liga dimensi hubungan manusia selaku "khalifah" di muka bumi, yaitu sebagai berikut. a. Menanamkan sikap hubungan yang seimbang dan selaras dengan Tuhannya. b. Membentuk sikap hubungan yang harmonis, selaras, dan seimbang dengan masyarakatnya. c. Mengembangkan kemampuannya untuk menggali, mengelola, dan memanfaatkan kekayaan alam ciptaan Allah bagi kepentingan kesejahteraan hidupnya dan hidup sesamanya serta bagi kepentingan ubudiahnya kepada Allah, dengan dilandasi sikap hubungan yang harmonis pula.20 Para pakar pendidikan Islam Muhammad Athiyah al-Abrasyi telah sepakat bahwa tujuan dari pendidikan serta pengajaran bukanlah memenuhi otak anak didik dengan segala macam ilmu yang belum mereka ketahui. melainkan: a. Mendidik akhlak dan jiwa mereka; b. Menanamkan rasa keutamaan (fadhilah): c. Membiasakan mereka dengan kesopanan yang tinggi; d. Mempersiapkan mereka untuk suatu kehidupan yang suci seluruhnya dengan penuh keikhlasan dan kejujuran. Dengan demikian, tujuan pokok dari pendidikan Islam menurut Athiyah al-Abrasyi ialah mendidik budi pekerti dan pembentukan jiwa. Semua mata pelajaran haruslah mengandung pelajaran-pelajaran akhlak, setiap pendidik haruslah memikirkan akhlak dan memikirkan akhlak keagamaan sebelum yang lain-
19
Undang-Undang RI No. 20/2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, (Jakarta: BP. Cipta Jaya, 2003), hlm. 7. 20 Muzayyin Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, hlm. 121
7
lainnya karena akhlak keagamaan adalah akhlak yang tertinggi, sedangkan. akhlak yang mulia itu adalah tiang dari pendidikan Islam.21 C. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang sebelumnya, maka yang menjadi permasalahan sebagai berikut: 1. Bagaimana konsep sabar menurut Imam Al-Gazâlî? 2. Bagaimana sabar menurut Imam Al-Gazâlî ditinjau dari tujuan pendidikan Islam? D. Tujuan dan Manfaat Penelitian a. Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan di atas, maka tujuan yang hendak dicapai. dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui konsep sabar menurut Imam Al-Gazâlî 2. Untuk mengetahui sabar menurut Imam Al-Gazâlî ditinjau dari tujuan pendidikan Islam b. Manfaat Penelitian Nilai guna yang dapat diambil dari penelitian ini adalah: 1. Bagi peneliti, dengan meneliti konsep sabar, maka akan menambah pemahaman yang lebih mendalam melalui studi pemikiran Imam AlGazâlî 2. Hasil dari pengkajian dan pemahaman tentang konsep sabar sedikit banyak akan dapat membantu dalam pencapaian tujuan dalam membentuk pribadi yang sempurna yaitu yang beriman, berilmu dan beramal shaleh.
21
Muhammad 'Athiyyah al-Abrasyi, al-Tarbiyah Al-lslamiyyah, Terj. Abdullah Zakiy alKaaf. "Prinsip-Prinsip Dasar Pendidikan Islam", (Bandung: Pustaka Setia, 2003), hlm. 13.
8
3. Penulisan ini sebagai bagian dari usaha untuk menambah khazanah ilmu pengetahuan di Fakultas Tarbiyah pada umumnya dan jurusan pendidikan agama Islam khususnya. E. Telaah Pustaka Sepanjang pengetahuan peneliti, dalam penelitian di perpustakaan IAIN Walisongo belum ditemukan skripsi yang judulnya sama menyangkut sabar. Demikian pula berdasarkan browsing internet dalam hal tesis pasca sarjana belum ditemukan adanya judul yang sama. Sedangkan yang ada hanya membahas tokoh Imam Al-Gazâlî tetapi dalam tema yang sangat berbeda sehingga tidak ada sama sekali hubungannya dengan tema sabar dalam perspektif pendidikan Islam. Namun demikian sejauh yang peneliti ketahui telah banyak penelitian yang membahas konsep sabar namun belum ada yang menyentuh dan menganalisis pemikiran Imam Al-Gazâlî ditinjau dari tujuan pendidikan Islam. Skripsi yang disusun Rizal Muttaqin (NIM: 1100094) jurusan Bimbingan dan Penyuluhan Islam dengan judul Implikasi Sabar dalam Mencegah Penyakit Stres Pemikiran al-Ghazali (Tinjauan Konseling Islam), skripsi ini menitikberatkan pembahasan pada bimbingan dan konseling Islam dalam mencegah penyakit stress. Temuan skripsi ini adalah bahwa sabar dapat mencegah penyakit stress.22 Skripsi yang disusun oleh Ernawati (NIM: 4103063) dengan judul Sabar dalam Perspektif Imam al-Ghazali Ditinjau dari Kesehatan Mental. Konsep Imam al-Ghazali yang menyuruh manusia untuk sabar sangat relevan dengan kesehatan mental karena dengan sabar maka dapat membentuk manusia yang bermental sehat. Al-Quran mengajak kaum muslimin agar berhias diri dengan kesabaran. Sebab, kesabaran mempunyai faedah yang besar dalam membina jiwa, memantapkan kepribadian, meningkatkan
22
Rizal Muttaqin, Implikasi Sabar dalam Mencegah Penyakit Stres Pemikiran al-Ghazali (Tinjauan Konseling Islam) (Skripsi Fakultas Dakwah, tidak diterbitkan, IAIN Walisongo Semarang).
9
kekuatan manusia dalam menahan penderitaan, memperbaharui kekuatan manusia dalam menghadapi berbagai problem hidup, beban hidup, musibah, dan bencana, serta menggerakkan kesanggupannya untuk terus-menerus berjihad dalam rangka meninggikan kalimah Allah SWT. Apabila seseorang bersabar dalam memikul kesulitan dan musibah hidup, bersabar dalam gangguan dan permusuhan orang lain, bersabar dalam beribadah, dan taat kepada Allah SWT, maka mentalnya akan sehat. Sabar dalam melawan syahwat, bersabar dalam bekerja dan berkarya, ia tergolong orang yang memiliki kepribadian yang matang, seimbang, paripurna, kreatif, dan aktif. Selain itu, ia juga menjadi orang yang terlindung dari kegelisahan dan aman dari gangguan-gangguan kejiwaan.23 Skripsi yang disusun Retno Wahyunigsih (NIM 4197027/AF) dengan judul: Hubungan Kausalitas Sabar dan Takdir dalam Perspektif Jabariyah dan Qadariyah. Pada intinya penulis skripsi ini menjelaskan bahwa yang menjadi rumusan masalah adalah bagaimana hubungan antara sabar dan takdir dam perspektif Jabariyah dan Qadariyah. Metode penelitian ini menggunakan metode komparasi dan hermeneutic. Menurut penyusun skripsi ini, kekeliruan umum orang terhadap sabar dan takdir itu ialah segala nasib baik dan buruk seseorang. atau muslim/kafirnya manusia, telah ditetapkan secara pasti oleh Allah. Manusia adalah ibarat robot Allah. Maka segala kenyataan hidup haruslah diterima apa adanya dengan sabar. Dengan begitu manusia harus sabar dalam arti menerima apa yang terjadi pada dirinya tanpa reserve. Kekeliruan ini misalnya terdapat dalam pendirian kaum Jabariyah, dimana menurutnya manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam menentukan kehendak dan perbuatannya. Manusia dalam paham ini terikat pada kehendak mutlak Tuhan. Konsep Jabariyah cenderung memaknai sabar secara berlebihan dan inilah bagian paham yang memukul umat Islam dalam berkompetisi' dengan dunia Barat. Menurut paham ini manusia tidak hanya
23
Ernawati, Sabar dalam Perspektif Imam al-Ghazali Ditinjau dari Kesehatan Mental (Skripsi Fakultas Ushuluddin, tidak diterbitkan, IAIN Walisongo Semarang)
10
bagaikan wayang yang digerakkan oleh dalang, tapi manusia tidak mempunyai bagian sama sekali dalam mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Sebaliknya kaum Qadariyah berpendapat bahwa manusia mempunyai kemerdekaan dan kebebasan dalam menentukan perjalanan hidupnya. Menurut paham Qadariah manusia mempunyai kebebasan dan kekuatan sendiri untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Konsep ini pada hakekatnya menafikan konsep sabar. Dengan demikian dalam paham tersebut bahwa Allah ta'ala tidak mengetahui segala apa jua pun yang diperbuat oleh manusia dan tidak pula yang diperbuat oleh manusia itu dengan kudrat dan iradah Allah Ta'ala. Bahkan manusialah yang mengetahui serta mewujudkan segala apa yang diamalkannya itu dan semuanya dengan kudrat iradat manusia sendiri. Tuhan sama sekali tidak campur tangan di dalam membuktikan amalan-amalan itu. Abdullah bin Umar ad-Dumaiji (guru besar Fakultas Dakwah dan Ushuluddin Universitas Ummul Qura) dalam disertasinya yang berjudul atTawwakal Alallah wa Alaqatuhu bi al-Asbab dan diterjemahkan oleh Kamaluddin. menjelaskan bahwa sikap manusia terhadap perkara sabar ini amat beraneka ragam. di antara mereka ada sekelompok manusia yang telah takluk dengan kehidupan materi yang melampaui batas hingga menimbulkan kesengsaraan seperti yang telah terjadi pada masa-masa terakhir ini, hal yang membawa mereka amat menggantungkan hidup dengan harta di mana untuk mendapatkannya harus dengan permusuhan dan tumpahan darah, demi harta manusia rela mengunci akal dan hati yang ada dalam dirinya. Sikap seperti ini amat jelas pengaruhnya pada hati yaitu hati menjadi asing untuk sabar, keterasingan ini mengendalikan manusia untuk tidak mau mensucikan jiwanya dengan mengingat Allah; mereka hanya mengandalkan otak dan merasa bangga dengan apa yang mereka miliki yang berupa pengetahuan. Mereka hanya melihat kehidupan dunia yang dengannya mereka mendapatkan
11
ketenangan hidup, mereka lupa atau melupakan bahwa Allah akan melupakan mereka sebagaimana mereka melupakan Allah.24 Sebaliknya. di antara manusia ada yang merasa puas dengan duduk berdiam diri, senang menunda-nunda pekerjaan, kemalasan dan kebodohan menyelimuti diri mereka, walaupun demikian mereka tetap mencari-cari alasan atau dalih untuk membenarkan apa yang mereka lakukan dengan dalih bahwa mereka sabar pada kehendak Allah, mereka menganggap bahwa sabar adalah meninggalkan sarana dan usaha, yang mendatangkan keuntungan materi atau harta. Singkatnya mereka sudah merasa puas dengan rizki yang didapat dari orang lain dan dari sedekah-sedekah yang mereka terima, mereka hidup di sudut-sudut kehidupan dan terpencil dari dinamika kehidupan. Sejalan dengan temuan tersebut, As'-Syarif dalam disertasinya yang berjudul al-lbadah al-Qalhiyah wa Atsaruhu fi Hayalil Mu'minin menguraikan pengaruh-pengaruh sabar. Menurutnya, sabar
memberikan pengaruh yang
sangat besar, antara lain: ketenangan, ketenteraman, kekuatan, kemuliaan, ridla dan harapan. Akan tetapi menurutnya untuk meraih sabar memiliki sejumlah rintangan, dan rintangan-rintangan inilah yang menghambat sabar, antara lain: bodoh terhadap Allah dan keagunganNya, terpedaya oleh nafsu. bersandar kepada makhluk, cinta kepada kehidupan duniawi dan terpedaya olehnya. Skripsi yang disusun Mahfudz Yasin (Fakultas Dakwah IAIN Walisongo) berjudul: Analisis Dakwah terhadap Konsep Tawakal T.M. Hasbi ash Shiddiqie. Pada intinya dijelaskan bahwa Relevansi konsep tawakal T.M. Hasbi ash Shiddiqie dengan dakwah yaitu da'i sebagai ujung tombak syiar Islam dapat meluruskan kesalahan dalam memaknai tawakal. Merujuk pada kondisi seperti ini tidak berlebihan bila dikatakan bahwa dakwah memiliki nilai yang sangat urgen dalam memperkuat jati din dan mental bangsa ini. Dapat dipertegas bahwa tawakal mempunyai kaitan yang erat dengan dakwah. Tawakal tidak dapat dipisahkan dengan dakwah, karena masih banyak orang 24
http://www. ad-Dumaiji oocities.org/fauzy70/para/p043.html, diakses tanggal 29 Juli
2011
12
yang tawakal secara berlebihan, ia terlalu memasrahkan dirinya dalam berbagai hal namun tanpa ikhtiar atau usaha sama sekali. Tawakal bukan hanya berserah din melainkan ia perlu usaha dahulu secara maksimal baru kemudian tawakal. Urgensi dakwah dengan konsep tawakal yaitu dakwah dapat memperjelas dan memberi penerangan pada mud'u tentang bagaimana tawakal yang sesuai dengan al-Qur'an dan hadits. Dengan adanya dakwah maka kekeliruan dalam memaknai tawakal dapat dikurangi. 25 Dalam hubungannya dengan bimbingan dan konseling Islam, bahwa konsep tawakal TM. Hasbi Ash-Shiddiqie dapat dijadikan materi bagi konselor dalam membimbing dan mengkonsel klien yang belum atau sedang menghadapi masalah. Karena konsep tawakal TM. Hasbi Ash-Shiddiqie sesuai asas-asas dan tujuan bimbingan konseling Islam. Dengan mencermati uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa penelitian terdahulu berbeda dengan penelitian yang penulis susun. Perbedaannya yaitu penelitian terdahulu belum mengungkap konsep Imam AlGazâlî Ditinjau dari Tujuan Pendidikan Islam. F. Metodologi Penelitian Ketepatan menggunakan metode dalam penelitian adalah syarat utama dalam menggunakan data. Apabila seorang mengadakan penelitian kurang tepat metode penelitiannya, maka akan mengalami kesulitan, bahkan tidak akan menghasilkan hasil yang baik sesuai yang diharapkan. 1. Jenis Penelitian dan Pendekatan Penelitian ini menggunakan-jenis penelitian kualitatif. Menurut Arief Fuchan dan Agus Maimun studi tokoh atau sering disebut juga dengan penelitian tokoh atau penelitian riwayat hidup individu merupakan salah satu jenis penelitian kualitatif.26 Analisis ini akan digunakan dalam usaha mencari dan mengumpulkan data, menyusun, menggunakan serta 25
Mahfudz Yasin berjudul: Analisis Dakwah terhadap Konsep Tawakal T.M. Hasbi ash Shiddiqie. (Skripsi: Fakultas Dakwah IAIN Walisongo, tidak diterbitkan) 26 Arief Fuchan dan Agus Maimun, Studi Tokoh: Metode Penelitian Mengenai Tokoh, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 1
13
menafsirkan data yang sudah ada. Untuk menguraikan secara lengkap, teratur dan teliti terhadap suatu obyek penelitian, yaitu menguraikan dan menjelaskan konsep sabar menurut Imam Al-Gazâlî dan hubungannya dengan tujuan pendidikan Islam. Adapun pendekatan penelitian ini menggunakan pendekatan pendidikan tasawuf.27 2. Sumber Data a. Data Primer yaitu sejumlah buku karya Abu Hamid Muhammad alGazâlî, Ihya Ulum ad-Din, Jilid VII. b. Data Sekunder yaitu sejumlah literatur yang relevan dengan judul ini, di antaranya: buku-buku, kitab, artikel, internet dan sejumlah data tertulis lainnya. 3. Metode Pengumpulan Data Dalam pengumpulan data, peneliti menempuh langkah-langkah melalui riset kepustakaan (library research) yaitu penelitian kepustakaan murni. Metode riset ini dipakai untuk mengkaji sumber-sumber tertulis. Sebagai data primernya adalah karya tulis Imam al-Gazâlî. Di samping itu juga tanpa mengabaikan sumber-sumber lain dan tulisan valid yang telah dipublikasikan untuk melengkapi data-data yang diperlukan. Misalnya kitab-kitab, buku-buku, dan lain sebagainya yang ada kaitannya dengan masalah yang penulis teliti sebagai data sekunder. 4. Metode Analisis Data Dalam membahas dan menelaah data, penulis menggunakan metode deskriptif analitis yang akan digunakan dalam usaha mencari dan mengumpulkan data, menyusun, menggunakan serta menafsirkan data yang sudah ada, Untuk menguraikan secara lengkap, teratur dan teliti terhadap suatu obyek penelitian, yaitu menguraikan dan menjelaskan pemikiran Imam al-Gazâlî tentang sabar dan hubungannya dengan tujuan pendidikan Islam.
27
Abudin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003), hlm.
235.
14
BAB II LANDASAN TEORI KONSEP SABAR DAN TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM
A. Konsep Sabar 1. Pengertian Sabar Sabar (al-shabru) menurut bahasa adalah menahan diri dari keluh kesah. Bersabar artinya berupaya sabar. Ada pula al-shibru dengan mengkasrah-kan shad artinya obat yang pahit, yakni sari pepohonan yang pahit. Menyabarkannya berarti menyuruhnya sabar. Bulan sabar, artinya bulan puasa. Ada yang berpendapat, "Asal kalimat sabar adalah keras dan kuat. Al-Shibru tertuju pada obat yang terkenal sangat pahit dan sangat tak enak. Al Ushmu'i mengatakan, "Jika seorang lelaki menghadapi kesulitan secara bulat, artinya la menghadapi kesulitan itu secara sabar. Ada pula AlShubru dengan men-dhamah-kan shad, tertuju pada tanah yang subur karena kerasnya.1 Ada pula yang berpendapat, "Sabar itu diambil dari kata mengumpulkan, memeluk, atau merangkul. Sebab, orang yang sabar itu yang merangkul atau memeluk dirinya dari keluh-kesah. Ada pula kata shabrah yang tertuju pada makanan. Pada dasarnya, dalam sabar itu ada tiga arti, menahan, keras, mengumpulkan, atau merangkul, sedang lawan sabar adalah keluh-kesah.2 Dari arti-arti yang dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa kesabaran menuntut ketabahan dalam menghadapi sesuatu yang sulit, berat, dan pahit, yang harus diterima dan dihadapi dengan penuh tanggung jawab. Berdasar kesimpulan tersebut, para agamawan menurut M. Quraish Shihab merumuskan pengertian sabar sebagai "menahan diri atau
1
Muhammad Rabbi Muhammad Jauhari, Keistimewaan Akhlak Islami, terj. Dadang Sobar Ali, (Bandung: Pustaka Setia, 2006), hlm. 342 2 Muhammad Rabbi Muhammad Jauhari, Keistimewaan Akhlak Islami, hlm. 342
15
membatasi jiwa dari keinginannya demi mencapai sesuatu yang baik atau lebih baik (luhur)".3 Al-Gazâlî mendefinisikan sabar merupakan sutu proses untuk meninggalkan perbuatan-perbuatan yang penuh dengan nafsu syahwat, yang dihasilkan oleh suatu keadaan.4 Menurut Imam al-Gazâlî, sabar adalah kedudukan dari kedudukan agama dan derajat dari derajat-derajat orang-orang yang menempuh jalan menuju Allah. Dan semua kedudukan agama itu sesungguhnya dapat tersusun dari tiga perkata yaitu: "Ma'rifat, hal ihwal dan amal perbuatan. Ma'rifat adalah pokok dan ia menimbulkan bal ihwal, dan bal ihwal membuahkan amal perbuatan. Ma'rifat adalah seperti pohon dan hal ihwal adalah seperti dahan, dan amal perbuatan itu seperti buah-buahan. Dan ini berlaku pada semua kedudukan orang-orang yang menempuh jalan menuju Allah Ta'ala. Dan nama iman suatu ketika tertentu dengan ma'rifat dan suatu ketika disebutkan secara keseluruhan sebagaimana kami sebutkan pada perbedaan nama iman dan Islam pada Kitab Kaidah-kaidah Aqidah.5 Terlepas dari pandangan Imam al-Ghazali di atas, namun dapat disimpulkan bahwa al-Quran mengajak kaum muslimin agar berhias diri dengan kesabaran. Sebab, kesabaran mempunyai faedah yang besar dalam membina jiwa, memantapkan kepribadian, meningkatkan kekuatan manusia dalam menahan penderitaan, memperbaharui kekuatan manusia dalam menghadapi berbagai problem hidup, beban hidup, musibah, dan bencana, serta menggerakkan kesanggupannya untuk terus-menerus berjihad dalam rangka meninggikan kalimah Allah .SWT 2. Macam-Macam Sabar Dilihat dari lemah dan kuatnya sabar, Imam al-Gazâlî membaginya ke dalam tiga kategori: pertama, bahwa ia memaksakan penggerak hawa 3 4
M.Quraish Shihab, Secercah Cahaya Ilahi, (Bandung: Mizan, 2007), hlm. 165-166. Al-Gazâlî, Ihya Ulumuddin, Terj. Ismail Yakub, (Jakarta: CV. Faizan, 1982), hlm.
275 5
Abu Hamid Muhammad al-Gazâlî, Ihya Ulum ad-Din, Jilid VII, (Semarang: CV Asy-Syifa, 1994), hlm. 323.
16
nafsu, lalu penggerak hawa nafsu itu tidak lagi mempunyai kekuatan untuk melawan. Kedua, bahwa menanglah penggerak-penggerak hawa nafsu dan jatuhlah perlawanan penggerak agama, jadi dalam hal ini kesabaran
dapat
terkalahkan
oleh
hawa
nafsu
yang
kemudian
menyebabkan jatuhnya kesabaran, lalu ia menyerahkan dirinya kepada tentara syetan dan ia tidak berjuang (bermujahadah). Ketiga, bahwa peperangan itu adalah menjadi hal yang biasa diantara dua tentara, sekali ia memperoleh kemenangan atas peperangan dan pada waktu yang lain peperangan itu mengalahkannya. Uraian kuat dan lemahnya sabar tersebut mengandung suatu pengertian bahwa terjadinya tarik menarik antara memenuhi hawa nafsu dan meninggalkannya dengan pilihan sabar. Namun sebagai manusia biasa, pada suatu waktu hawa nafsu itu mendominasi sehingga manusia cenderung memenuhi nafsu syahwatnya dan terkadang pula hawa nafsu itu dapat diredam. Menurut Ibnu Qayyim al-Jauziyyah, sabar ini ada tiga macam: Sabar dalam ketaatan kepada Allah, sabar dari kedurhakaan kepada Allah, dan sabar dalam ujian Allah. Dua macam yang pertama merupakan kesabaran yang berkaitan dengan tindakan yang dikehendaki dan yang ketiga tidak berkait dengan tindakan yang dikehendaki.6 Menurut Yusuf Qardawi, dalam al-Qur'an terdapat banyak aspek kesabaran yang dirangkum dalam dua hal yakni menahan diri terhadap yang disukai dan menanggung hal-hal yang tidak disukai:7 1. Sabar terhadap Petaka Dunia Cobaan hidup, baik fisik maupun non fisik, akan menimpa semua orang, baik berupa lapar, haus, sakit, rasa takut, kehilangan orang-orang yang dicintai, kerugian harta benda dan lain sebagainya. Cobaan seperti itu bersifat alami, manusiawi, oleh sebab itu tidak ada 6
Ibnu Qayyim Jauziyah, Madarijus Salikin, Pendakian Menuju Allah: Penjabaran Konkrit: Iyyaka Na'budu wa Iyyaka Nasta'in, hlm.206. 7 Yusuf Qardawi, al-Qur'an Menyuruh Kita Sabar, Terj. Aziz Salim Basyarahil, (Jakarta: Gema Insani Press, 1990), hlm. 39.
17
seorangpun yang dapat menghindar. Yang diperlukan adalah menerimanya dengan penuh kesabaran, seraya memulangkan segala sesuatunya kepada Allah SWT. Allah berfirman:
Artinya: "Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orangorang yang sabar. Yaitu orang-orang yang apabila ditimpa. musibah, mereka mengucapkan Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un. Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang sempurna dan rahmat dari Tuhan mereka, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk." (QS. Al-Baqarah/2: 155-157).8 2. Sabar terhadap Gejolak Nafsu Hawa nafsu menginginkan segala macam kenikmatan hidup, kesenangan dan kemegahan dunia. Untuk mengendalikan segala keinginan itu diperlukan kesabaran. Jangan sampai semua kesenangan hidup dunia itu membuat seseorang lupa diri, apalagi lupa Tuhan. AlQur'an mengingatkan, jangan sampai harta benda dan anak-anak (di antara yang diinginkan oleh hawa nafsu manusia) menyebabkan seseorang lalai dari mengingat Allah SWT.
Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta.-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. 8
Soenayo, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang: Toha Putra, 1993), hlm. 73.
18
Barangsiapa yang membuat demikian, maka mereka itulah orang-orang yang rugi. " (QS. Al-Munafiqun 63: 9).9
3. Sabar dalam Ta'at kepada Allah SWT Dalam menta'ati perintah Allah, terutama dalam beribadah kepada-Nya diperlukan kesabaran. Allah berfirman:
Artinya: "Tuhan langit dan bumi dan apa-apa yang ada di antara keduanya, maka sembahlah Dia dan berteguh hatilah dalam beribadat kepada-Nya. Apakah kamu mengetahui ada seorang yang sama dengan Dia (yang patut disembah)?" (QS. Maryam 19: 65).10 Penggunaan kata ishthabir dalam ayat di atas bentuk mubalaghah dari ishbir menunjukkan bahwa dalam beribadah diperlukan kesabaran yang berlipat ganda mengingat banyaknya rintangan baik dari dalam maupun luar diri.11 4. Sabar dalam Berdakwah Jalan dakwah adalah jalan panjang berliku-liku yang penuh dengan segala onak dan duri. Seseorang yang melalui jalan itu harus memiliki kesabaran. Luqman Hakim menasehati puteranya supaya bersabar menerima cobaan dalam berdakwah.
Artinya: "Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk 9
Soenaryo, Al-Qur’an dan Terjemahny, hlm. 936. Soenaryo, Al-Qur’an dan Terjemahnya, hlm. 462. 11 Yunahar Ilyas, Kuliah Akhlak, (Yogyakarta: LPPI, 2004), hlm. 134 10
19
hal-hal yang diwajibkan Luqman/31:17).12
(oleh
Allah)."
(QS.
5. Sabar dalam Perang Dalam peperangan sangat diperlukan kesabaran, apalagi menghadapi musuh yang lebih banyak atau lebih kuat. Dalam keadaan terdesak
sekalipun,
seorang prajurit
Islam
tidak
boleh lari
meninggalkan medan perang, kecuali sebagai bagian dari siasat perang (QS. Al-Anfal 8: 15-16). Di antara sifat-sifat orang-orang yang bertaqwa adalah sabar dalam peperangan:
Artinya:
"...dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orangorang yang benar (imannya) dan mereka itulah orang-orang yang bertaqwa." (QS. Al-Baqarah/2: 177).13
6. Sabar dalam Pergaulan Dalam pergaulan sesama manusia baik antara suami isteri, antara orang tua dengan anak, antara tetangga dengan tetangga, antara guru dan murid, atau dalam masyarakat yang lebih luas, akan ditemui hal-hal yang tidak menyenangkan atau menyinggung perasaan. Oleh sebab itu dalam pergaulan sehari-hari diperlukan kesabaran, sehingga tidak cepat marah, atau memutuskan hubungan apabila menemui halhal yang tidak disukai. Kepada para suami diingatkan untuk bersabar terhadap hal-hal yang tidak dia sukai pada diri isterinya, karena boleh jadi yang dibenci itu ternyata mendatangkan banyak kebaikan.14
12
Soenaryo, Al-Qur’an dan Terjemahnya, hlm. 653. Soenaryo, Al-Qur’an dan Terjemahnya, hlm. 70. 14 Yunahar Ilyas, Kuliah Akhlak, hlm. 135. 13
20
Artinya: "...Dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak." (QS. AnNisa'/4:19).15 Adapun tingkatan orang sabar ada tiga macam: pertama, orang yang dapat menekan habis dorongan hawa nafsu hingga tidak ada perlawanan sedikitpun, dan orang itu bersabar secara konstan. Mereka adalah orang yang sudah mencapai tingkat shiddiqin. Kedua; Orang yang tunduk total kepada dorongan hawa nafsunya sehingga motivasi agama sama sekali tidak dapat muncul. Mereka termasuk kategori orang-orang yang lalai (alghofilun). Ketiga; Orang yang senantiasa dalam konflik antara dorongan hawa nafsu dengan dorongan keberagamaan. Mereka adalah orang yang mencampuradukkan kebenaran dengan kesalahan.16 Secara psikologis, tingkatan orang sabar dapat dibagi menjadi tiga, yaitu: Pertama; orang yang sanggup meninggalkan dorongan syahwat. Mereka termasuk kategori orang-orang yang bertaubat (at taibin). Kedua; orang yang ridla (senang/puas) menerima apa pun yang ia terima dari Tuhan, mereka termasuk kategori zahid. Ketiga; orang yang mencintai apa pun yang diperbuat Tuhan untuk dirinya, mereka termasuk kategori shidddiqin.17 3. Keutamaan Sabar Seorang mukmin yang sabar tidak akan berkeluh kesah dalam menghadapi segala kesusahan yang menimpanya serta tidak akan menjadi lemah atau jatuh gara-gara musibah dan bencana yang menderanya. Allah SWT telah mewasiatkan .kesabaran kepadanya serta mengajari bahwa apa
15
Soenaryo, Al-Qur’an dan Terjemahnya, hlm. 116. Achmad Mubarok, Psikologi Qur’ani, hlm. 74. 17 Achmad Mubarok, Psikologi Qur’ani, hlm.75. 16
21
pun yang menimpanya pada kehidupan dunia hanyalah merupakan cobaan dari-Nya supaya diketahui orang-orang yang bersabar.18 Kesabaran mengajari manusia ketekunan dalam bekerja serta mengerahkan kemampuan untuk merealisasikan tujuan-tujuan amaliah dan ilmiahnya. Sesungguhnya sebagian besar tujuan hidup manusia, baik di bidang kehidupan praksis misalnya sosial, ekonomi, dan politik maupun dl bidang penelitian ilmiah, membutuhkan banyak waktu dan banyak kesungguhan.
Oleh
sebab
itu,
ketekunan
dalam
mencurahkan
kesungguhan serta kesabaran dalam menghadapi kesulitan pekerjaan dan penelitian merupakan karakter penting untuk meraih kesuksesan dan mewujudkan tujuan-tujuan luhur.19 Sifat sabar dalam Islam menempati posisi yang istimewa. AlQur'an mengaitkan sifat sabar dengan bermacam-macam sifat mulia lainnya. Antara lain dikaitkan dengan keyakinan (QS. As-Sajdah 32: 24), syukur (QS. Ibrahim 14:5), tawakkal (QS. An-Nahl 16:41-42) dan taqwa (QS. Ali 'Imran 3:15-17). Mengaitkan satu sifat dengan banyak sifat mulia lainnya menunjukkan betapa istimewanya sifat itu. Karena sabar merupakan sifat mulia yang istimewa, tentu dengan sendirinya orangorang yang sabar Juga menempati posisi yang istimewa. Misalnya dalam menyebutkan orang-orang beriman yang akan mendapat surga dan keridhaan Allah SWT, orang-orang yang sabar ditempatkan dalam urutan pertama sebelum yang lain-lainnya.20 Perhatikan firman Allah berikut ini:
18
Muhammad Utsman Najati, Psikologi dalam Al-Qur'an, Terapi Qur'ani dalam Penyembuhan Gangguan Kejiwaan, Terj. Zaka al-Farisi, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2005), hlm. 467. 19 Muhammad Utsman Najati, Psikologi dalam Al-Qur'an, Terapi Qur'ani dalam Penyembuhan Gangguan Kejiwaan, hlm. 471. 20 Yunahar Ilyas, Kuliah Akhlak, (Yogyakarta: LPPI, 2004), hlm. 138.
22
Artinya: "Katakanlah" "Inginkan aku kabarkan kepadamu apa yang lebih baik dari yang demikian itu". Untuk orang-orang yang bertaqwa, pada sisi Tuhan mereka ada surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya. Dan ada pula pasangan-pasangan yang disucikan serta keridhaan Allah. Dan Allah Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya. Yaitu orang-orang yang berdo'a: "Ya Tuhan Kami, sesungguhnya kami telah beriman, maka ampunilah segala dosa kami dan peliharalah kami dari siksa neraka. Yaitu orang-orang yang sahar, yang benar, yang tetap ta'at, yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah), dan yang memohon ampun di waktu sahur." (QS. Ali 'Imran 3:15-17).21 Di samping itu, setelah menyebutkan dua belas sifat hamba-hamba yang akan mendapatkan kasih sayang dari Allah SWT (dalam Surat AlFurqan 25: 63-74), Allah SWT menyatakan bahwa mereka akan mendapatkan balasan surga karena kesabaran mereka. Artinya untuk dapat memenuhi dua belas sifat-sifat tersebut diperlukan kesabaran.22
( Artinya: "Mereka itulah orang yang dibalasi dengan martabat yang tinggi (dalam surga) karena kesabaran mereka dan mereka disambut dengan penghormatan dan ucapan selamat di dalamnya". (QS. Al-Furqan/25: 75).23 Di samping segala keistimewaan itu, sifat sabar memang sangat dibutuhkan sekali untuk mencapai kesuksesan dunia dan Akhirat. Seorang mahasiswa tidak akan dapat berhasil mencapai gelar kesarjanaan tanpa sifat sabar dalam belajar. Seorang peneliti tidak akan dapat menemukan
21
Soenayo, Al-Qur’an dan Terjemahnya, hlm.77. Yunahar Ilyas, Kuliah Akhlak, hlm. 139. 23 Soenayo, Al-Qur’an dan Terjemahnya, hlm. 569. 22
23
penemuan-penemuan ilmiah tanpa ada sifat sabar dalam penelitiannya. Demikianlah seterusnya dalam seluruh aspek kehidupan.24 Lawan dari sifat sabar adalah al-jaza'u yang berarti gelisah, sedih, keluh kesah, cemas dan putus asa, sebagaimana dalam firman Allah SWT:
Artinya: "...Sama saja bagi kita, mengeluh ataukah bersabar. Sekali-kali kita tidak mempunyai tempat untuk melarikan diri." (QS. Ibrahim/14: 21).25
Artinya: "Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah. Dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir. Kecuali orang-orang yang mengerjakan shalat." (QS. Al-Ma'arij/70: 19-22).26 Ketidaksabaran dengan segala bentuknya adalah sifat yang tercela. Orang yang dihinggapi sifat ini, bila menghadapi hambatan dan mengalami kegagalan akan mudah goyah, berputus asa dan mundur dari medan perjuangan. Sebaliknya apabila mendapatkan keberhasilan juga cepat lupa diri. Menurut ayat di atas, kalau ditimpa kesusahan dia berkeluh kesah, kalau mendapat kebaikan ia amat kikir. Semestinyalah setiap Muslim dan Muslimah menjauhi sifat yang tercela ini.27 B. Pendidikan Islam 1. Pengertian Pendidikan Islam Maulana Muhammad Ali dalam bukunya The Religion of Islam menegaskan bahwa Islam mengandung arti dua macam, yakni (1) mengucap kalimah syahadat; (2) berserah diri sepenuhnya kepada
24
Yunahar Ilyas, Kuliah Akhlak, hlm. 139. Soenayo, Al-Qur’an dan Terjemahnya, hlm.383.. 26 Soenayo, Al-Qur’an dan Terjemahnya, hlm.974. 27 Yunahar Ilyas, Kuliah Akhlak, hlm. 140. 25
24
kehendak Allah.28 Pengertian tersebut jika diawali kata pendidikan sehingga menjadi kata "pendidikan Islam" maka terdapat berbagai rumusan. Menurut Arifin, pendidikan Islam dapat diartikan sebagai studi tentang proses kependidikan yang bersifat progresif menuju ke arah kemampuan optimal anak didik yang berlangsung di atas landasan nilainilai ajaran Islam.29 Sementara Achmadi memberikan pengertian, pendidikan
Islam
adalah
segala
usaha
untuk
memelihara
dan
mengembangkan fitrah manusia serta sumber daya manusia yang ada padanya menuju terbentuknya manusia seutuhnya (insan kamil) sesuai dengan norma Islam.30 Abdur Rahman Saleh memberi pengertian juga tentang pendidikan Islam
yaitu
usaha
sadar
untuk mengarahkan
pertumbuhan
dan
perkembangan anak dengan segala potensi yang dianugerahkan oleh Allah kepadanya agar mampu mengemban amanat dan tanggung jawab sebagai khalifah Allah di bumi dalam pengabdiannya kepada Allah.31 Menurut Abdurrahman an-Nahlawi, pendidikan Islam adalah penataan individual dan sosial yang dapat menyebabkan seseorang tunduk taat pada Islam dan menerapkannya secara sempurna di dalam kehidupan individu dan masyarakat. Pendidikan Islam merupakan kebutuhan mutlak untuk dapat melaksanakan Islam
sebagaimana
yang dikehendaki
oleh Allah.
Berdasarkan makna ini, maka pendidikan Islam mempersiapkan diri manusia guna melaksanakan amanat yang dipikulkan kepadanya. Ini berarti, sumber-sumber Islam dan pendidikan Islam itu sama, yakni yang terpenting, al-Qur’an dan Sunnah Rasul.32 28
Maulana Muhammad Ali, The Religion of Islam, (USA: The Ahmadiyya Anjuman Ishaat Islam Lahore, 1990), hlm. 4. 29 M.Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2003), hlm. 4. 30 Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 28-29. 31 Abdur Rahman Saleh, Pendidikan Agama dan Keagamaan, Visi, Misi dan Aksi, (Jakarta: PT Gemawindu Pancaperkasa, 2000), hlm. 2-3. 32 Abdurrahman an-Nahlawi, Prinsip-Prinsip dan Metoda Pendidikan Islam dalam Keluarga, di Sekolah dan di Masyarakat, (Bandung: CV.Diponegoro, 1996), hlm. 41.
25
Dilihat dari konsep dasar dan operasionalnya serta praktek penyelenggaraannya, maka pendidikan Islam pada dasarnya mengandung tiga pengertian: Pertama, pendidikan Islam adalah pendidikan menurut Islam atau pendidikan Islami, yakni pendidikan yang difahami dan dikembangkan dari ajaran dan nilai-nilai fundamental yang terkandung dalam sumber dasarnya, yaitu al-Qur’an dan al-Sunnah. Dalam pengertian yang pertama ini, pendidikan Islam dapat berwujud pemikiran dan teori pendidikan yang mendasarkan diri atau dibangun dan dikembangkan dari sumber-sumber dasar tersebut atau bertolak dari spirit Islam. Kedua, pendidikan Islam adalah pendidikan ke-Islaman atau pendidikan agama Islam, yakni upaya mendidikkan agama Islam atau ajaran dan nilai-nilainya, agar menjadi way of life (pandangan hidup) dan sikap hidup seseorang. Dalam pengertian yang kedua ini pendidikan islam dapat berwujud (1) segenap kegiatan yang dilakukan seseorang atau suatu lembaga untuk membantu seorang atau sekelompok peserta didik dalam menanamkan dan menumbuh-kembangkan ajaran Islam dan nilai-nilainya; (2) segenap fenomena atau peristiwa perjumpaan antara dua orang atau lebih yang dampaknya adalah tertanamnya dan atau tumbuh-kembangnya ajaran Islam dan nilai-nilainya pada salah satu atau beberapa pihak.33 Ketiga, pendidikan Islam adalah pendidikan dalam Islam, atau proses dan praktik penyelenggaraan pendidikan yang berlangsung dan berkembang dalam realitas sejarah umat Islam. Dalam pengertian ini, pendidikan
Islam
dalam
realitas
sejarahnya
mengandung
dua
kemungkinan, yaitu pendidikan Islam tersebut benar-benar dekat dengan idealitas Islam atau mungkin mengandung jarak atau kesenjangan dengan idealitas Islam.34 Walaupun istilah pendidikan Islam tersebut dapat dipahami secara berbeda, namun pada hakikatnya merupakan satu kesatuan dan mewujud 33
Muhaimin, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), hlm. 23-24. 34 Muhaimin, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam, hlm. 23-24.
26
secara operasional dalam satu sistem yang utuh. Konsep dan teori kependidikan Islam sebagaimana yang dibangun atau dipahami dan dikembangkan dari al-Qur’an dan As-sunnah, mendapatkan justifikasi dan perwujudan secara operasional dalam proses pembudayaan dan pewarisan serta pengembangan ajaran agama, budaya dan peradaban Islam dari generasi ke generasi, yang berlangsung sepanjang sejarah umat Islam.35 Kalau definisi-definisi itu dipadukan tersusunlah suatu rumusan pendidikan Islam, yaitu: pendidikan Islam ialah mempersiapkan dan menumbuhkan anak didik atau individu manusia yang prosesnya berlangsung secara terus-menerus sejak ia lahir sampai meninggal dunia. Yang dipersiapkan dan ditumbuhkan itu meliputi aspek jasmani, akal, dan ruhani sebagai suatu kesatuan tanpa mengesampingkan salah satu aspek, dan melebihkan aspek yang lain. Persiapan dan pertumbuhan itu diarahkan agar ia menjadi manusia yang berdaya guna dan berhasil guna bagi dirinya dan bagi umatnya, serta dapat memperoleh suatu kehidupan yang sempurna. Dengan melihat keterangan di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa pendidikan Islam adalah segenap upaya untuk mengembangkan potensi manusia yang ada padanya sesuai dengan al-Qur'an dan hadis.
2. Landasan Pendidikan Islam Dasar pendidikan Islam dapat dibedakan kepada; (1) Dasar ideal, dan (2) Dasar operasional.36 Dasar ideal pendidikan Islam adalah identik dengan ajaran Islam itu sendiri. Keduanya berasal dari sumber yang sama yaitu Al-Qur'an dan Hadits. Kemudian dasar tadi dikembangkan dalam pemahaman para ulama dalam bentuk :
35
Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2002), hlm. 30. 36 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam , (Jakarta: Kalam Mulia, 1994), hlm. 54.
27
(1) Al-Qur'an Al-Qur'an sebagaimana dikatakan Manna Khalil al-Qattan dalam kitabnya Mabahis fi Ulum al-Qur'an adalah mukjizat Islam yang kekal dan mukjizatnya selalu diperkuat oleh kemajuan ilmu pengetahuan. Ia diturunkan
Allah
kepada
Rasulullah,
Muhammad
Saw
untuk
mengeluarkan manusia dari suasana yang gelap menuju yang terang, serta membimbing mereka ke jalan yang lurus.37 Semua isi Al-Qur’an merupakan syari’at, pilar dan azas agama Islam, serta dapat memberikan pengertian yang komprehensif untuk menjelaskan suatu argumentasi dalam menetapkan suatu produk hukum, sehingga sulit disanggah kebenarannya oleh siapa pun.38 (2) Sunnah (Hadis) Dasar yang kedua selain Al-Qur'an adalah Sunnah Rasulullah. Amalan yang dikerjakan oleh Rasulullah SAW dalam proses perubahan hidup sehari-hari menjadi sumber utama pendidikan Islam karena Allah SWT menjadikan Muhammad sebagai teladan bagi umatnya. Firman Allah SWT.
"Di dalam diri Rasulullah itu kamu bisa menemukan teladan yang baik..." (Q.S.Al-Ahzab:21).39 Muhammad 'Ajaj al-Khatib dalam kitabnya Usul al-Hadis 'Ulumuh wa Mustalah menjelaskan bahwa as-sunnah dalam terminologi ulama' hadis adalah segala sesuatu yang diambil dari Rasulullah SAW., baik yang berupa sabda, perbuatan taqrir, sifat-sifat fisik dan non fisik atau sepak
37
Manna Khalil al-Qattan, Mabahis fi Ulum al-Qur'an, (Mansurat al-A'sr al-Hadis, 1973), hlm. 1. 38 Wahbah Az-Zuhaili, Al-Qur’an dan Paradigma Peradaban, Terj. M.Thohir dan Team Titian Ilahi, (Yogyakarta: Dinamika,1996), hlm. 16. 39 Soenaryo, Al-Qur’an dan Terjemahnya, hlm. 402.
28
terjang beliau sebelum diutus menjadi rasul, seperti tahannuts beliau di Gua Hira atau sesudahnya. 40 (3) Perkataan, Perbuatan dan Sikap Para Sahabat Pada masa Khulafa al-Rasyidin sumber pendidikan dalam Islam sudah mengalami perkembangan. Selain Al-Qur'an dan Sunnah juga perkataan, sikap dan perbuatan para sahabat. Perkataan mereka dapat dipegang karena Allah sendiri di dalam Al-Qur'an yang memberikan pernyataan. Firman Allah:
"Orang-orang yang terdahulu lagi pertama-tama masuk Islam di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik Allah ridho kepada mereka dan mereka pun ridho kepada Allah dan Allah menjadikan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya, mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar". (Q.S. Al-Taubah: 100) 41 Dalam Tafsîr al-Qur’an al-Azîm, Ibnu Katsir menerangkan bahwa Allah Swt. menceritakan tentang rida-Nya kepada orang-orang yang terdahulu masuk Islam dari kalangan kaum Muhajirin, Ansar, dan orangorang yang mengikuti jejak mereka dengan baik. Allah rida kepada mereka, untuk itu Dia menyediakan bagi mereka surga-surga yang penuh dengan kenikmatan dan kenikmatan yang kekal lagi abadi.42
40
Muhammad 'Ajaj al-Khatib, Usul al-Hadis 'Ulumuh wa Mustalah, (Beirut: Dar alFikr, 1989), hlm. 19. 41 Soenaryo, Al-Qur’an dan Terjemahnya, hlm. 532 42 Isma'il ibn Katsir al-Qurasyi Dimasyqi, Tafsir al-Qur’an al-Azim, (Bandung: Sinar Baru Algensindo, 1978), Jilid 11, hlm. 9.
29
Firman Allah SWT:
"Hai orang-orang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah kamu bersama-sama dengan orang yang benar." (Q.S. Al-Taubah: 119)43 Ibnu Katsir menerangkan bahwa jujurlah kalian dan tetaplah kalian pada kejujuran, niscaya kalian akan termasuk orang-orang yang jujur dan selamat dari kebinasaan serta menjadikan bagi kalian jalan keluar dari urusan kalian.44 (4) Ijtihad Muhammad
Abu
Zahrah
dalam
kitabnya
Usûl
al-Fiqh
mengemukakan bahwa ijtihad artinya adalah upaya mengerahkan seluruh kemampuan dan potensi untuk sampai pada suatu perkara atau perbuatan. Ijtihad menurut ulama usul ialah usaha seorang yang ahli fiqh yang menggunakan seluruh kemampuannya untuk menggali hukum yang bersifat amaliah (praktis) dari dalil-dalil yang terperinci.45 Sehubungan dengan itu, Nicolas P.Aghnides dalam bukunya, The Background Introduction to Muhammedan Law menyatakan sebagai berikut: The word ijtihad means literally the exertion of great efforts in order to do a thing. Technically it is defined as "the putting forth of every effort in order to determine with a degree of probability a question of syari'ah."It follows from the definition that a person would not be exercising ijtihad if he arrived at an 'opinion while he felt that he could exert himself still more in the investigation he is carrying out. This restriction, if comformed to, would mean the realization of the utmost degree of thoroughness. By extension, ijtihad also means the opinion rendered. The person exercising ijtihad is called mujtahid. and the question he is considering is called mujtahad-fih.46 43
Soenaryo, Al-Qur’an dan Terjemahnya, hlm. 534 Isma'il ibn Katsir al-Qurasyi Dimasyqi, Tafsir al-Qur’an al-Azim, Jilid 11, hlm. 95. 45 Muhammad Abu Zahrah, Usûl al-Fiqh, (Cairo: Dâr al-Fikr al-‘Arabi, 1958), hlm. 44
379. 46
Nicolas P. Aghnides, The Background Introduction To Muhammedan Law, New York: Published by The Ab. "Sitti Sjamsijah" (Publishing Coy Solo, Java, with the authority – license of Columbia University Press), hlm. 95
30
Perkataan ijtihad berarti berusaha dengan sungguh-sungguh melaksanakan sesuatu. Secara teknis diartikan mengerahkan setiap usaha untuk mendapatkan kemungkinan kesimpulan tentang suatu masalah syari'ah". Dari definisi ini maka seseorang tidak akan melakukan ijtihad apabila dia telah mendapat suatu kesimpulan sedangkan dia merasa bahwa dia dapat menyelidiki lebih dalam tentang apa yang dikemukakannya. Pembatasan ini akan berarti suatu penjelmaan bagi suatu penyelidikan yang sedalam-dalamnya. Jika diperluas artinya maka ijtihad berarti juga pendapat yang dikemukakan. Orang yang melakukan ijtihad dinamai mujtahid dan persoalan yang dipertimbangkannya dinamai mujtahad-fih. Dari pendapat di atas, penulis menyimpulkan bahwa ijtihad adalah berusaha sungguh-sungguh dengan mempergunakan daya kemampuan intelektual serta menyelidiki dalil-dalil hukum dari sumbernya yang resmi, yaitu al-Qur'an dan hadis.
3. Tujuan Pendidikan Islam Dalam pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional ditegaskan bahwa pendidikan
nasional
berfungsi
mengembangkan
kemampuan
dan
membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri,
dan
menjadi
warga
negara
yang
demokratis
serta
bertanggungjawab.47 Menurut Arifin, pendidikan Islam secara filosofis berorientasi kepada nilai-nilai islami yang bersasaran pada tiga dimensi hubungan manusia selaku "khalifah" di muka bumi, yaitu sebagai berikut. a. Menanamkan sikap hubungan yang seimbang dan selaras dengan Tuhannya.
47
Undang-Undang RI No. 20/2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, (Jakarta: BP. Cipta Jaya, 2003), hlm. 7.
31
b. Membentuk sikap hubungan yang harmonis, selaras, dan seimbang dengan masyarakatnya. c. Mengembangkan kemampuannya untuk menggali, mengelola, dan memanfaatkan kekayaan alam ciptaan Allah bagi kepentingan kesejahteraan hidupnya dan hidup sesamanya serta bagi kepentingan ubudiahnya kepada Allah, dengan dilandasi sikap hubungan yang harmonis pula.48 Para pakar pendidikan Islam menurut Athiyah al-Abrasyi telah sepakat bahwa pendidikan serta pengajaran bukanlah memenuhi otak anak didik dengan segala macam ilmu yang belum mereka ketahui, melainkan: a. Mendidik akhlak dan jiwa mereka; b. Menanamkan rasa keutamaan (fadhilah); c. Membiasakan mereka dengan kesopanan yang tinggi; d. Mempersiapkan mereka untuk suatu kehidupan yang suci seluruhnya dengan penuh keikhlasan dan kejujuran. Dengan demikian, tujuan pokok dari pendidikan Islam menurut Athiyah al-Abrasyi ialah mendidik budi pekerti dan pembentukan jiwa. Semua mata pelajaran haruslah mengandung pelajaran-pelajaran
akhlak,
setiap
pendidik
haruslah
memikirkan akhlak dan memikirkan akhlak keagamaan sebelum yang lainlainnya karena akhlak keagamaan adalah akhlak yang tertinggi, sedangkan, akhlak yang mulia itu adalah tiang dari pendidikan Islam.49 Menurut Ahmad Tafsir, tujuan umum pendidikan Islam ialah a. Muslim yang sempurna, atau manusia yang takwa, atau manusia beriman, atau manusia yang beribadah kepada Allah; b. muslim yang sempurna itu ialah manusia yang memiliki: a) Akalnya cerdas serta pandai; b) jasmaninya kuat; c) hatinya takwa kepada Allah; d) berketerampilan; e) mampu menyelesaikan masalah secara ilmiah dan filosofis; f) memiliki
48
Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2003), hlm.
121. 49
Muhammad 'Athiyyah al-Abrasyi, al-Tarbiyah Al-Islamiyyah, Terj. Abdullah Zakiy al-Kaaf, "Prinsip-Prinsip Dasar Pendidikan Islam", (Bandung: Pustaka Setia, 2003), hlm. 13.
32
dan mengembangkan sains; i) memiliki dan mengembangkan filsafat; h) hati yang berkemampuan berhubungan dengan alam gaib. 50 Berdasarkan uraian di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah untuk membangun dan membentuk manusia yang berkepribadian Islam dengan selalu mempertebal iman dan takwa sehingga bisa berguna bagi bangsa dan agama.
50
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004), hm. 50 – 51.
33
BAB III KONSEP IMAM AL-GAZÂLÎ TENTANG SABAR
A. Biografi Imam Al-Gazâlî 1. Latar Belakang Imam Al-Gazâlî Al-Gazâlî (1058 – 1111 M), nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ta'us Ath-Thusi AsySyafi'i Al-Gazâlî.1 Secara singkat, dipanggil Al-Gazâlî atau Abu Hamid Al-Gazâlî. la dipanggil Al-Gazâlî karena dilahirkan di kampung Ghazlah, suatu kota di Khurasan, Iran, pada tahun 450 H/1058 M, tiga tahun setelah kaum Saljuk mengambil alih kekuasaan di Baghdad. Menurut As-Subki sebagaimana dikutip Solihin bahwa ayah AlGazâlî adalah seorang miskin pemintal kain wol yang taat, sangat menyenangi ulama dan sering aktif menghadiri majelis-majelis pengajian. Menjelang wafatnya, ayahnya menitipkan Al-Gazâlî dan adiknya yang bernama Ahmad kepada seorang sufi.2 Kepada sufi itu dititipkan sedikit harta, seraya berkata dalam wasiatnya:
"sesungguhnya aku menyesal sekali dikarenakan aku tidak belajar menulis, aku berharap untuk mendapatkan apa yang tidak kudapatkan itu melalui dua putraku ini."4 Sufi tersebut menjalankan isi wasiat itu dengan cara mendidik dan mengajar keduanya. Suatu hari ketika harta titipannya habis dan sufi itu
1
Pradana Boy, Filsafat Islam: Sejarah, Aliran dan Tokoh, (Malang: UMM Press, 2003), hlm. 175. 2 Solihin, Tokoh-Tokoh Sufi Lintas Zaman, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2003), hlm. 111. 3 Abd Halim Mahmud, Penyelamat Dari Kesesatan, Terj. Abdullah Zakiy Al-Kaaf, (Bandung: Pustaka Setia, 2001), hlm. 37. 4 Abd Halim Mahmud, Penyelamat Dari Kesesatan, hlm. 37.
34
tidak mampu lagi memberi makan keduanya ia menyarankan pada kedua anak titipan tersebut untuk belajar di madrasah sekaligus menyambung hidup mereka dengan mengelola madrasah tersebut. 5 Di madrasah tersebut, Al-Gazâlî mempelajari ilmu fiqh kepada Ahmad bin Muhammad Ar-Rizkani. Kemudian al-Gazâlî memasuki sekolah tinggi Nizhamiyah di Naisabur, dan di sinilah ia berguru kepada Imam Haramain (Al-Juwaini, wafat 478 H/1086 M) hingga menguasai ilmu manthiq, ilmu kalam, fiqh-ushul fiqh, filsafat, tasawuf, dan retorika perdebatan. Selama berada di Naisabur, Al-Gazâlî tidak saja belajar kepada AlJuwaini, tetapi juga mempergunakan waktunya untuk belajar teori-teori tamsawuf kepada Yusuf An-Nasaj. Kemudian ia melakukan latihan dan praktik tasawuf kendatipun hal itu belum mendatangkan pengaruh berarti dalam hidupnya. Ilmu-ilmu yang didapatkannya dari Al-Juwaini benar-benar ia kuasai, termasuk perbedaan pendapat dari para ahli ilmu tersebut, dan ia mampu memberikan sanggahan-sanggahan kepada para penentangnya. Karena kemahirannya dalam masalah ini, Al-Juwaini menjuluki Al-Gazâlî dengan sebutan Bahr Mu'riq (lautan yang menghanyutkan). Kecerdasan dan keluasan wawasan berpikir yang dimiliki Al-Gazâlî membuatnya menjadi populer. Bahkan, ada riwayat yang menyebutkan bahwa diamdiam di hati Imam Haramain timbul rasa iri. 6 Setelah Imam Haramain wafat (478 H./1086 M.), Al-Gazâlî pergi ke Baghdad, tempat berkuasanya Perdana Menteri Nizham Al-Muluk (w. 485 H/1091 M). Kota ini merupakan tempat berkumpul sekaligus diselenggarakannya perdebatan-perdebatan antarulama terkenal. Sebagai seorang yang menguasai retorika perdebatan, ia terpancing untuk melibatkan diri dalam perdebatan-perdebatan itu. Dalam perdebatan5
Abd Halim Mahmud, Penyelamat Dari Kesesatan, hlm. 40 Imam Haramain timbul rasa iri hingga ia mengatakan: "Engkau telah memudarkan ketenaranku padahal aku masih hidup, apakah aku mesti menahan diri padahal ketenaranku telah mati." 6
35
perdebatannya, ternyata ia sering mengalahkan para ulama ternama sehingga mereka pun tidak segan-segan mengakui keunggulan Al-Gazâlî.7 Sejak saat itu nama Al-Gazâlî menjadi termasyhur di kawasan Kerajaan Saljuk. Kemasyhuran itu menyebabkannya dipilih oleh Nizham Al-Muluk untuk menjadi guru besar di Universitas Nizhamiyah, Baghdad, pada tahun 483 H/1090 M," meskipun usianya baru 30 tahun. Selain mengajar di Nizhamiyah, ia juga aktif mengadakan diskusi dengan para tokoh paham golongan-golongan yang berkembang waktu itu. Di balik kegiatan perdebatan dan penyelaman berbagai aliran, semua itu menimbulkan pergolakan dalam dirinya karena tidak memberikan kepuasan batinnya. Untuk itulah, ia memutuskan untuk melepaskan jabatan dan pengaruhnya lalu meninggalkan Baghdad menuju Syiria, Palestina, kemudian ke Mekah untuk mencari kebenaran. Setelah memperoleh kebenaran hakiki pada akhir hidupnya, tidak lama kemudian ia menghembuskan nafasnya yang terakhir di Thus pada tanggal 19 Desember 1111 Masehi," atau pada hari Senin 14 Jumadil Akhir tahun 505 Hijriah, dengan meninggalkan banyak karya tulisnya. Karya-karya tulis yang ditinggalkan Al-Gazâlî menunjukkan keistimewaanya sebagai seorang pengarang yang produktif. Dalam seluruh masa hidupnya, baik sebagai penasihat kerajaan maupun sebagai guru besar di Baghdad, baik sewaktu mulai dalam skeptis 8 di Naisabur maupun setelah berada dalam keyakinan yang mantap, ia tetap aktif mengarang. Menurut catatan Sulaiman Dunya, karangan Al-Gazâlî mencapai 300 buah. la mulai mengarang pada usia 25 tahun, sewaktu masih di Naisabur. Waktu yang ia pergunakan untuk mengarang terhitung selama tiga puluh tahun. Dengan perhitungan ini, setiap tahun ia menghasilkan karya tidak kurang dari 10 buah kitab besar dan kecil, meliputi beberapa
7
A.Mustofa, Filsafat Islam, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1997), hlm. 215 Yang dimaksud skeptis di sini yaitu Al-Gazâlî ketika dalam proses pencarian kebenaran ia mengalami keraguan terhadap kebenaran ilmu yang selama ini ia yakini sebagai kebenaran. 8
36
lapangan ilmu pengetahuan, antara lain: filsafat dan ilmu kalam, fiqh, ushul fiqh, tafsir, tasawuf, dan akhlak. Karya-karyanya itu membuat Al-Gazâlî tidak mungkin diingkari sebagai seorang pemikir kelas jagad yang amat berpengaruh. Kalangan Islam sendiri banyak yang menilai bahwa dalam hal ajaran, ia adalah orang kedua yang paling berpengaruh sesudah Rasulullah SAW. sendiri. Mungkin berlebihan, tetapi banyak unsur yang mendukung kebenaran penilaian serupa itu. Uniknya lagi, pemikiran keagamaannya tidak hanya berpengaruh di kalangan Islam, tetapi juga di kalangan agama Yahudi dan Kristen. "Titisan" Al-Gazâlî dalam pemikiran Yahudi tampil dalam pribadi filosof Yahudi besar, Musa bin Maymun (Moses the Maimonides). Karyakaryanya yang amat penting dalam sejarah perkembangan Filsafat Yahudi itu dapat sepenuhnya dibaca di bawah sorotan pemikiran Al-Gazâlî. Di kalangan Kristen abad pertengahan, pengaruh Al-Gazâlî merembes melalui filsafat Bonaventura. Sama dengan Musa bin Maymun, Bonaventura pun dipandang sebagai "titisan" Kristen dari Al-Gazâlî. Lebih jauh,
pandangan-pandangan
tasawuf
Al-Gazâlî
juga
memperoleh
salurannya dalam mistisisme Kristen (Katolik) melalui Ordo Fransiscan, sebuah ordo yang karena banyak menyerap ilmu pengetahuan Islam, memiliki orientasi ilmiah yang lebih kuat dibandingkan ordo-ordo lainnya, seperti diungkapkan dalam novel abest seller-nya Umberto Eco, The Name of the Rose Dunia Islam mengenal Al-Gazâlî sebagai sosok ulama yang sangat alim dan berilmu tinggi sehingga diberi gelar kehormatan dengan sebutan Hujjatul Islam (pembela Islam).9 Dia adalah ulama besar dalam bidang agama. Dia termasuk salah seorang terpenting dalam sejarah pemikiran agama secara keseluruhan. Barangkali Al-Gazâlî dan Shalahuddin alAyyubi adalah orang yang paling disukai oleh orang-orang Nasrani di Barat karena keduanya dianggap sebagai orang muslim yang paling dekat 9
Abdillah F Hassan, Tokoh-Tokoh Mashur Dunia Islam, (Surabaya: Jawara, 2004),
hlm. 193
37
dengan orang Kristen.10 Dengan berbagai kemampuan yang dimilikinya, Al-Gazâlî dapat menjadikan sunnah, filsafat dan sufisme menjadi satu aturan yang harmonis dan seimbang.11 Harus diakui juga bahwa banyak literatur yang menyebutkan jasajasa
Al-Gazâlî
bagi
peradaban
Islam.
Cyrill
Glasse,
misalnya,
menyebutkan, "Peradaban Islam telah mencapai kematangannya berkat AlGazâlî." Suatu penilaian yang banyak mendapat dukungan. Namun, tidaklah demikian pandangan lawan-lawannya. Sebagai mana layaknya dalil umum bahwa tidak ada manusia yang sempurna, Al-Gazâlî pun tidak lepas dari kekurangan. 2. Karya-Karyanya Adapun karya-karya Al-Gazâlî dapat dijelaskan bahwa Al-Faqih Muhammad ibnul Hasan bin Abdullah al- Husaini al-Wasithy dalam kitabnya, ath-Thabaqatul Aliyah fi Manaqibi asy-Syafi'iyah, menyebutkan ada 98 judul kitab karya Al-Gazâlî. Sedangkan as-Subky dalam kitabnya, ath-Thabaqat asy-Syafi'iyah, menyebutkan ada 58 judul karyanya. Thasy Kubra Zadah menyebutkan dalam bukunya, Miftahus Sa'adah wa Misbahus Siyadah, jumlah karyanya mencapai 80 judul kitab. la menambahkan bahwa buku dan risalah-risalahnya mencapai ratusan, bahkan sulit dihitung. Tidak mudah bagi orang yang ingin mengenal nama-nama kitabnya. Bahkan pernah dikatakan, Al-Gazâlî memiliki seribu minus satu karya. Walaupun hal tersebut bertentangan dengan adat kebiasaan, namun orang yang mengenal kondisi Al-Gazâlî sebenarnya, bisa jadi akan membenarkan informasi tersebut. Abdurrahman Badawi mengikutsertakan jumlah dan nama-nama kitab Al-Gazâlî dalam bukunya,
10
Husayn Ahmad Amin, Seratus Tokoh Dalam Sejarah Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2003), hlm. 177 11 Muhammad Iqbal, 100 Tokoh Islam Terhebat dalam Sejarah, (Jakarta: Intimedia & Ladang Pustaka, 2001), hlm. 115
38
Muallifatul Gazâlî, sebanyak 487 judul. Di antara karya-karya itu bisa disebutkan di sini.12 a. Kelompok Filsafat dan Ilmu Kalam 1. Maqashid al-Falasifah (Tujuan Para Filosof) 2. Tahafut al-Falasifah (Kekacauan Para Filosof) 3. Al-Iqtishad fi al-I'tiqad (Moderasi Dalam Aqidah) 4. Al-Muqidz minal-Dhalal (Pembebas Dari Kesesatan) 5. Al-Maqshad al-Asna fi Ma'ani Asma'illah al-Husna (Arti NamaNama Tuhan), 6. Faisahal al-Tafriqah bain al-Islam wa al-Zindiqah (Perbedaan Islam dan Atheis) 7.
Al-Qisthas al-Mustaqim (Jalan Untuk Menetralisir Perbedaan Pendapat)
8. Al-Mustadziri (Penjelasan-penjelasan) 9. Hujjah al-Haq (Argumen Yang Benar) 10. Mufahil al-Hilaf fi Ushul al-Din (Pemisah Perselisihan dalam Prinsip-Prinsip Agama) 11. Al-Muntaha fi 'ilmi al-Jidal (Teori Diskusi) 12. Al-Madznun bihi 'ala ghairi Ahlihi (Persangkaan Pada yang Bukan Ahlinya) 13. Mihaq al-Nadzar (Metode Logika) 14. Asraru ilm al-Din (Misteri Ilmu Agama) 15. Al-Arbain fi Ushul al-Din (40 Masalah Pokok Agama) 16. Iljam al-Awwam fi Ilm al-Kalam (Membentengi Orang Awam dari Ilmu Kalam) 17. Al-Qaul al-Jamil fi Raddi 'ala Man Ghayyar al-Injil (Jawaban jitu untuk Menolak Orang yang Mengubah Injil) 18. Mi'yar al-Ilmi (Kriteria Ilmu)
12
Yusuf al-Qardhawi, Pro-Kontra Pemikiran Al-Gazâlî, Terj. Achmad Satori Ismail, (Surabaya: Risalah Gusti, 1997), hlm. 189
39
19. Al-Intishar (Rahasia-Rahasia Alam) 20. Itsbat al-Nadzar (Pemantapan Logika) b. Kelompok Ilmu Fiqh dan Ushul Fiqh 1. Al-Basith (Pembahasan Yang Mendalam) 2. Al-Wasith (Perantara) 3. Al-Wajiz (Surat-Surat Wasiat) 4. Khulashah al-Mukhtashar (Inti Sari Ringkasan Karangan) 5. Al-Mankhul (Adat Kebiasaan) 6. Syifa' al-'Alil fi al-Qiyas wa al-Ta'wil (Terapi yang Tepat pada Qiyas dan Ta'wil) 7. Al-Dzari'ah ila Makarim al-Syari'ah (Jalan Menuju Kemuliaan Syari'ah) c. Kelompok Ilmu Akhlak dan Tasawuf 1. Ihya 'Ulum al-Din (Menghidupkan Kembali Ilmu-Ilmu Agama) 2. Mizan al-'Amal (Timbangan Amal) 3. Kimya' al-Sa'âdah (Kimia Kebahagiaan) 4. Misykat al-Anwar (Relung-relung Cahaya) 5. Minhaj al-'Abidin (Pedoman Orang yang Beribadah) 6. Al-Durar al-Fakhirah fi Kasyfi Ulum al-Akhirah (Mutiara Penyingkap Ilmu Akhirat) 7. Al-Anis fi al-Wahdah (Lembut-Lembut dalam Kesatuan) 8. Al-Qurabah ila Allah 'Azza wa Jalla (Pendekatan Diri pada Allah) 9. Akhlaq al-Abrar wa Najat al-Asyrar (Akhlak Orang-Orang Baik dan Keselamatan dari Akhlak Buruk) 10. Bidayah al-Hidayah (Langkah Awal Mencapai Hidayah) 11. Al-Mabadi wal al-Ghayah (Permulaan dan Tinjauan Akhir) 12. Talbis al-Iblis (Tipu Daya Iblis) 13. Nashihat al-Muluk (Nasihat untuk Raja-Raja) 14. Al-Ulum al-Ladduniyah (Risalah Ilmu Ketuhanan)
40
15. Al-Risalah al-Qudsiyah (Risalah Suci) 16. Al-Ma'khadz (Tempat Pengambilan) 17. Al-Amali (Kemuliaan) d. Kelompok Ilmu Tafsir 1. Yaqut al-Ta'wil fi Tafsir al-Tanzil (Metode Ta'wil dalam Menafsirkan al-Qur'an) 2. Jawahir al-Qur'an (Rahasia-Rahasia al-Qur'an). B. Konsep Imam Al-Gazâlî tentang Sabar dalam Kitab Ihya 'Ulum al-Din Al-Gazâlî mendefinisikan sabar merupakan suatu proses untuk meninggalkan perbuatan-perbuatan yang penuh dengan nafsu syahwat, yang dihasilkan oleh suatu keadaan.13 Menurut Imam al-Gazâlî, sabar adalah kedudukan dari kedudukan agama dan derajat dari derajat-derajat orang-orang yang menempuh jalan menuju Allah. Dan semua kedudukan agama itu sesungguhnya dapat tersusun dari tiga perkata yaitu: "Ma'rifat, hal ihwal dan amal perbuatan. Ma'rifat adalah pokok dan ia menimbulkan bal ihwal, dan bal ihwal membuahkan amal perbuatan. Ma'rifat adalah seperti pohon dan hal ihwal adalah seperti dahan, dan amal perbuatan itu seperti buah-buahan. Dan ini berlaku pada semua kedudukan orang-orang yang menempuh jalan menuju Allah Ta'ala. Dan nama iman suatu ketika tertentu dengan ma'rifat dan suatu ketika disebutkan secara keseluruhan sebagaimana kami sebutkan pada perbedaan nama iman dan Islam pada Kitab Kaidah-kaidah Aqidah.14 Kebutuhan akan sifat dan sikap sabar berlaku umum dalam berbagai hal. Hal-hal yang bertolak belakang dengan ajakan hawa nafsu imam al-Gazâlî membaginya menjadi dua macam, yaitu: 1. Sabar badaniyah
13
Abu Hamid Muhammad Al-Gazâlî, Ihya Ulumuddin, Terj. terj. Moh.Zuhri, dkk, (Jakarta: CV. Faizan, 1982), hlm. 275 14 Abu Hamid Muhammad Al-Gazâlî, Ihya Ulum ad-Din, Jilid VII, terj. Moh.Zuhri, dkk, (Semarang: CV Asy-Syifa, 1994), hlm. 323. 41
Seperti menahan kepayahan badan setelah banyak mengerjakan amal ibadah. Atau menahan penderitaan, misalnya sabar atas pukulan yang ditimpakan kepadanya. Sabar yang demikian ini terpuji jika sesuai dengan syara'. Jika tidak sesuai, misalnya sabar melihat orang Islam dianiaya orang kafir, atau sabar melihat al-Qur'an dihinakan orang: maka sabar yang demikian ini dilarang dan dicela di dalam agama Islam, yang harus dihindari. 2. Sabar kejiwaan (nafs) Sabar kejiwaan ini bermacam-macam, misalnya: -
Sabar menahan syahwat perut dan farji (kemaluan). Kesabaran ini disebut Iffah.
-
Tenang di dalam menerima cobaan, maka ini disebut sabar. Kesabaran ini selalu dilawan oleh sifat suka menggerutu.
-
Sabar di dalam keadaan kaya, maka kesabaran ini disebut keteguhan jiwa.
-
Keteguhan jiwa ini selalu dilawan oleh sifat angkuh, sombong.
-
Sabar di dalam peperangan atau pertempuran, maka kesabaran ini disebut pemberani. Namun keberanian itu selalu dilawan oleh sifat penakut (jubun).
-
Sabar menahan marah, maka kesabaran ini disebut penyantun. Tetapi sifat penyantun selalu dilawan oleh sifat suka uring-uringan.
-
Sabar di dalam menghadapi bencana yang menyedihkan dan menyesatkan hati, maka kesabaran ini disebut lapang dada. Akan tetapi sifat ini selalu dilawan oleh kebosanan dan kegelisahan.
-
Sabar menahan ucapan maka kesabaran ini disebut pandai menyimpan rahasia.
-
Sabar di dalam menahan berlebih-lebihan, maka kesabaran ini disebut zuhud, sifat ini selalu dilawan dengan sifat tamak.
42
-
Sabar dalam menerima pembagian sedikit dari Allah, maka kesabaran ini disebut qonaah. Tetapi sifat ini selalu dilawan dengan sifat serakah.15
1. Keutamaan Sabar Allah Ta'ala telah mensifati orang-orang yang sabar dengan beberapa sifat, Dia menyebut sabar dalam Al-Qur'an pada lebih dari tujuh puluh tempat dan Dia menambah lebih banyak derajat dan kebaikan dan menjadikannya sebagai buah bagi sabar.16 Maka Allah Azza wa Jalla berfirman:
Artinya: "Dan kami jadikan diantara mereka itu pemimpinpemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar… " (QS. As Sajdah: 24).17 Berdasarkan pemikiran Imam Ghazali tentang keutamaan sabar memiliki aktualisasi untuk membangun paradigma yang relevan dengan kebutuhan diri manusia. Jadi maksud Imam Ghazali bahwa sabar memiliki sejumlah keutamaan yang tidak kalah dengan keutamaan lain dan memiliki tingkat yang tinggi dalam membangun manusia yang utama..
2. Hakikat Sabar dan Artinya Ketahuilah bahwa sabar adalah kedudukan dari kedudukan agama dan derajat dari derajat-derajat orang-orang yang menempuh jalan menuju Allah. Dan semua kedudukan agama itu sesungguhnya dapat tersusun dari tiga perkata yaitu: "Ma'rifat, hal ihwal dan amal perbuatan. Ma'rifat adalah pokok dan ia menimbulkan bal ihwal, dan bal ihwal membuahkan amal perbuatan. Ma'rifat adalah seperti pohon dan hal ihwal adalah seperti 15
Abu Hamid Muhammad Al-Gazâlî, Ihya Ulum ad-Din, Jilid VII, terj. Moh.Zuhri, dkk, (Semarang: CV Asy-Syifa, 1994), hlm. 324. 16 Abu Hamid Muhammad Al-Gazâlî, Ihya Ulum ad-Din, Jilid VII, terj. Moh.Zuhri, dkk, (Semarang: CV Asy-Syifa, 1994), hlm. 314. 17 Soenarjo, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang: Toha Putra, 1993), hlm. 662.
43
dahan, dan amal perbuatan itu seperti buah-buahan. Dan ini berlaku pada semua kedudukan orang-orang yang menempuh jalan menuju Allah Ta'ala. Dan nama iman suatu ketika tertentu dengan ma'rifat dan suatu ketika disebutkan secara keseluruhan sebagaimana kami sebutkan pada perbedaan nama iman dan Islam pada Kitab Kaidah-kaidah Aqidah.18 Demikian pula sabar itu tidak dapat sempurna kecuali ma'rifat yang mendahului dan dengan keadaan yang berdiri tegak. Maka sabar secara hakekat adalah ibarat dari ma'rifat itu. Dan amal perbuatan adalah seperti buah-buahan yang keluar dari padanya. Dan ini tidak dapat diketahui kecuali dengan mengetahui cara menyusun antara malaikat, manusia dan binatang. Maka sabar adalah ciri khas manusia dan demikian itu tidak tergambar pada binatang dan malaikat. Adapun pada binatang, maka karena kekurangannya dan adapun pada malaikat, maka karena kesempurnaannya. Penjelasannya adalah bahwa binatang-binatang itu dikuasai oleh bawa nafsu syahwat dan ia tunduk padanya, maka tidak ada yang membangkitkan bagi binatang untuk bergerak dan diam kecuali nafsu syahwat dan tidak ada padanya kekuatan yang dapat memukulnya dan menolaknya dari apa yang dituntutnya sehingga tetapnya kekuatan itu dalam menghadapi nafsu syahwat itu dinamakan sabar. 19 Adapun para malaikat, maka mereka semata-mata rindu kepada hadhirat Tuhan dan merasa bahagia dengan derajat berdekatan denganNya dan mereka tidak dikuasai oleh nafsu syahwat yang memalingkan yang mencegah dan padanya sehingga memerlukan kepada memukul apa yang memalingkannya dari hadhirat Tuhan Yang Maha Agung dengan tentara lain yang dapat mengalahkan hal-hal yang memalingkan. Adapun manusia, maka sesungguhnya ia diciptakan pada permulaan waktu kecilnya dalam keadaan kurang seperti binatang yang tidak diciptakan padanya selain nafsu syahwat makan yang ia 18 19
Abu Hamid Muhammad al-Gazâlî, Ihya Ulum ad-Din, Jilid VII, hlm. 323. Abu Hamid Muhammad al-Gazâlî, Ihya Ulum ad-Din, Jilid VII, hlm. 324
44
perlukannya, kemudian tampak padanya nafsu syahwat bermain dan berbias, kemudian nafsu syahwat nikah secara tertib. Dan tidak ada pada manusia kekuatan sabar sama sekali karena sabar adalah ibarat dari tetapnya tentara dalam menghadapi tentara yang lain yang terjadi peperangan antara keduanya karena berlawanan apa yang dituntut keduanya dan apa yang dikehendaki keduanya. Dan tidak pada anak selain tentara hawa nafsu sebagaimana yang ada pada binatang. Tetapi Allah Ta'ala dengan karuniaNya dan kelapangan kemurahanNya memuliakan anak Adam dan mengangkat derajat mereka dari derajat binatang lalu Dia mewakilkan anak kecil tersebut ketika sempurna pribadinya dengan mendekati dewasa kepada dua malaikat yang salah satunya memberi petunjuk kepadanya dan yang lain memberi kekuatan kepadanya, lalu ia menjadi berbeda dengan bantuan dua malaikat tersebut dari binatang dan ia tertentu dengan dua sifat yaitu ma'rifat kepada Allah Ta'ala dan ma'rifat kepada Rasul-Nya, dan ma'rifat (mengenal) kemaslahatan-kemaslahatan yang berkaitan dengan akibat.20 Dan semua itu berhasil dari malaikat yang kepadanya petunjuk dan pengenalan. Binatang itu tidak mempunyai ma'rifat dan tidak mempunyai petunjuk kepada kemaslahatan akibat, tetapi kepada apa yang dituntut oleh nafsu syahwatnya pada waktu seketika saja. Karena itu binatang tidak mencari kecuali sesuatu yang lezat. Adapun obat yang berguna beserta ia mendatangkan bahaya pada waktu seketika, maka binatang itu tidak mencarinya dan tidak mengenalnya. Maka manusia dengan cabaya petunjuk menjadi mengerti bahwa mengikuti nafsu syahwat mempunyai akibat yang tidak disukai. Tetapi petunjuk ini tidak cukup selama ia tidak mempunyai kemampuan untuk meninggalkan apa yang mendatangkan bahaya. Banyak sesuatu yang mendatangkan bahaya yang diketahui oleh manusia seperti penyakit yang bertempat padanya umpamanya, tetapi ia tidak mempunyai kemampuan untuk menolaknya, maka ia memerlukan kepada kemampuan dan 20
Abu Hamid Muhammad al-Gazâlî, Ihya Ulum ad-Din, Jilid VII, hlm. 325.
45
kekuatan yang dapat mendorong kepada menyembelih nafsu syahwat, lalu ia menyerangnya dengan kekuatan tersebut sehingga dapat memutuskan permusuhan bawa nafsu dari dirinya, lalu Allah mewakilkan manusia kepada malaikat lain yang membetulkannya, menolongnya dan memberi kekuatan kepadanya dengan tentara-tentara yang diketahuinya. Dan dia menyuruh tentara ini untuk memerangi tentara nafsu syahwat, maka sekali tentara ini lemah dan sekali kuat. Demikian itu menurut pertolongan Allah Ta'ala
kepada
hamba-Nya
dengan
ta'yid
(pemberian
kekuatan).
Sebagaimana petunjuk-petunjuk juga berbeda-beda pada makhluk dengan perbedaan yang tidak dapat dihitung.21 Maka hendaklah kami menamakan sifat ini yang membedakan manusia dengan binatang dalam mengalahkan nafsu syahwat dan memaksanya "penggerak agama" dan hendaklah kami menamakan tuntutan nafsu syahwat dengan apa yang dikehendaki olehnya "penggerak bawa nafsu." Dan hendaklah mengerti bahwa peperangan itu terjadi antara penggerak agama dan penggerak bawa nafsu, dan peperangan antara keduanya adalah silih berganti kemenangan, dan medan pertempuran ini adalah hati hamba, dan bala bantuan penggerak agama adalah dari malaikat yang menolong tentara Allah Ta'ala dan bala bantuan penggerak nafsu syahwat adalah dari syaitan yang menolong musuh-musuh Allah Ta'ala. Maka sabar adalah ibarat dari tetapnya penggerak agama dalam menghadapi penggerak nafsu syahwat. Kalau sabar itu tetap sehingga mengalahkan nafsu syahwat dan terus-menerus menentangnya, maka ia telah menolong tentara Allah dan ia dimasukkan dalam kelompok orangorang sabar. Kalau penggerak agama itu membiarkan dan lemah sehingga ia dikalahkan oleh nafsu syahwat dan ia tidak sabar untuk menolaknya, maka ia dimasukkan dalam golongan pengikut syaitan.
21
Abu Hamid Muhammad al-Gazâlî, Ihya Ulum ad-Din, Jilid VII, hlm. 326.
46
Jadi, meninggalkan perbuatan-perbuatan yang diinginkan oleh nafsu syahwat adalah perbuatan yang dihasilkan oleh keadaan yang dinamakan sabar yaitu: tetapnya penggerak agama yang tengah menghadapi penggerak nafsu syahwat. Dan tetapnya penggerak agama adalah keadaan yang dihasilkan oleh ma'rifat (pengertian) dengan memusuhi nafsu syahwat dan melawannya untuk sebab-sebab kebahagiaan di dunia dan di akherat. Apabila keyakinannya kuat maksudnya: Ma'rifatnya yang dinamakan "iman" yaitu: keyakinan bahwa nafsu syahwat adalah musuh yang memotong jalan menuju Allah Ta'ala, niscaya penggerak agama kuat dan apabila tetapnya penggerak agama kuat, niscaya perbuatan-perbuatan itu sempurna dengan bertentangan terhadap apa yang dituntut oleh nafsu syahwat.22 Maka meninggalkan nafsu syahwat tidak dapat sempurna kecuali dengan kekuatan penggerak agama yang berlawanan dengan penggerak nafsu syahwat. Dan kekuatan ma'rifat dan iman dapat mengkejikan akibat nafsu syahwat dan kejelekan akibatnya. Kedua malaikat inilah yang menanggung kedua tentara ini dengan izin Allah Ta'ala dan ditundukkan keduanya oleb-Nya. Kedua malaikat tersebut termasuk malaikat-malaikat yang mencatat amal perbuatan manusia. Keduanya adalah malaikat yang ditugaskan kepada setiap orang dari anak-anak Adam. 3. Sabar itu Separoh dari Iman Ketahuilah bahwa iman pada suatu kali dalam mengatakannya secara mutlak khusus kepada macam-macam tasdiq (pembenaran dalam hati) kepada pokok-pokok agama dan suatu kali khusus kepada amal perbuatan yang shaleh yang timbul dari tashdiq-tashdiq tersebut dan kadang-kadang dikatakan secara mutlak kepada keduanya. 23
22 23
Abu Hamid Muhammad al-Gazâlî, Ihya Ulum ad-Din, Jilid VII, hlm. 326. Abu Hamid Muhammad al-Gazâlî, Ihya Ulum ad-Din, Jilid VII, hlm. 333.
47
Dan ma'rifat-ma'rifat itu mempunyai bab-bab dan karena kata-kata iman itu meliputi keduanya (pembenaran dan amal shaleh), maka iman itu ada tujuh puluh bab lebih. Dan perbedaan arti-arti iman secara mutlak telah kami sebutkannya pada Kitab Kaidah-Kaidah dari Rubu' Ibadah. Tetapi sabar itu setengah dari iman dengan dua pemikiran atas tuntutan dua arti secara mutlak: Pemikiran Pertama: Iman itu dikatakan secara mutlak kepada tasdiq dan amal shaleh semuanya. Maka iman mempunyai dua rukun yang pertama adalah keyakinan dan yang kedua adalah sabar. Yang dimaksudkan dengan keyakinan adalah ma'rifat-ma'rifat yang pasti yang dihasilkan dengan petunjuk Allah Ta'ala terhadap hambaNya kepada pokok-pokok agama. Dan yang dimaksudkan dengan sabar adalah amal perbuatan disebabkan tuntutan keyakinan karena keyakinan memberi pengertian kepadanya bahwa perbuatan maksiat adalah membawa bahaya dan thaat membawa manfaat dan tidak mungkin meninggalkan maksiat dan rajin melakukan thaat kecuali dengan sabar yaitu: memakai penggerak agama dalam menundukkan penggerak hawa nafsu dan malas. Maka sabar itu setengah dari iman dengan pemikiran ini.24 Kesimpulan yang dapat diambil dari konsep Imam Ghazali bahwa sabar merupakan refleksi dari keimanan seseorang. Tidak bisa disebut beriman jika seseorang belum mampu bersikap sabar, karena sabar merupakan perwujudan dari perjuangan manusia dalam memahami hakikat agama. Itulah sebabnya sabar merupakan sebagian dari iman. Sabar masuk dalam kerangka keimanan bukan hanya masuk dalam dimensi akhlak. 4. Nama-Nama yang menjadi Baru Bagi Sabar dengan Dikaitkan kepada Sesuatu yang Disabari Ketahuilah bahwa sabar itu ada dua macam: 24
Abu Hamid Muhammad al-Gazâlî, Ihya Ulum ad-Din, Jilid VII, hlm. 334.
48
Pertama: Badaniah seperti menanggung kesulitan dengan badan dan tetap teguh atas kesulitan. Dan itu adakalanya dengan perbuatan seperti mengerjakan pekerjaan-pekerjaan yang berat adakalanya dari ibadah atau dari lainnya, dan adakalanya dengan menahan seperti sabar dari pukulan yang keras, sakit yang berat dan luka-luka yang parah. Demikian itu kadang-kadang terpuji apabila sesuai dengan agama. Tetapi sabar yang terpuji lagi sempurna adalah macam yang lain yaitu sabar dalam jiwa dari keinginan-keinginan thabiat dan tuntutan-tuntutan hawa nafsu. Kemudian sabar ini, kalau sabar itu dari nafsu syahwat perut dan kemaluan, maka dinamakan iffah (penjagaan diri) dan kalau sabar dalam menanggung yang tidak disukai, maka nama-namanya berbeda-beda menurut manusia disebabkan perbedaan apa yang tidak disukai yang dikuasai oleh sabar. Kalau sabar dalam menghadapi musibah, maka terbatas dengan nama sabar. Dan yang berlawanan dengannya adalah keadaan yang dinamakan keluh kesah dan gelisah, yaitu yang mendorong kepada hawa nafsu secara mutlak supaya terlepas dalam mengeraskan suara, memukul pipi, mengoyakkan saku baju dan lainnya.25 Kalau sabar dalam menanggung kekayaan, maka dinamakan "menahan diri." Dan yang berlawanan dengannya adalah keadaan yang dinamakan "sombong." Dan kalau sabar itu dalam peperangan, maka dinamakan "berani." dan yang berlawanan dengannya adalah "penakut." Dan kalau sabar itu dalam menahan amarah dan marah, maka dinamakan "murah hati." Dan yang berlawanan dengannya adalah "penyesalan diri." Dan kalau sabar itu dalam menghadapi zaman yang celaka lagi membosankan, maka dinamakan "lapang dada." Dan yang berlawanan dengannya adalah bosan; jemu dan sempit dada."
25
Abu Hamid Muhammad al-Gazâlî, Ihya Ulum ad-Din, Jilid VII, hlm. 336.
49
Dan kalau sabar itu dalam menyembunyikan perkataan, maka dinamakan "menyimpan rahasia" dan pelakunya dinamakan "penyimpan rahasia." Dan kalau sabar itu dari berlebihan dalam penghidupan, maka dinamakan "zuhud." Dan yang berlawanan dengannya adalah "rakus," Dan kalau sabar itu atas kadar yang sedikit dari keuntungan, maka dinamakan qana'ah (suka menerima seadanya) dan yang berlawanan dengannya adalah ' 'lahap.' 26 Berdasarkan uraian di atas, maka konsep Imam Ghazali mengandung arti bahwa sabar memiliki makna yang luas. Sabar dalam mengendalikan harta benda, sabar dalam memelihara kewajiban terhadap anak, sabar dalam memberi nafkah, sabar dalam mengarungi berbagai cobaan dan malapetaka. 5. Bagian-Bagian Sabar menurut Perbedaan Kuat dan Lemahnya Ketahuilah bahwa penggerak agama dikaitkan dengan penggerak hawa nafsu mempunyai tiga keadaan. 27 Keadaan Pertama : Bahwa penggerak agama dapat menundukkan penggerak hawa nafsu sehingga tidak tersisa bagi penggerak hawa nafsu itu kekuatan dan ia dapat sampai kepadanya dengan kekalnya sabar. Dan pada waktu ini dikatakan: "Barang siapa sabar, niscaya memperoleh." Dan orang-orang yang sampai kepada tingkat ini adalah sedikit, maka pasti mereka adalah orang-orang (benar) yang dekat dengan Tuhannya, yang mereka berkata: "Allah itu Tuhan kami". Kemudian mereka beristiqomah (lurus). Mereka telah terus-menerus menempuh jalan yang lurus, mereka tegak lurus di atas jalan yang lurus, hati mereka tenang atas tuntutan penggerak agama dan kepada mereka pemanggil memanggil:
26 27
Abu Hamid Muhammad al-Gazâlî, Ihya Ulum ad-Din, Jilid VII, hlm. 337. Abu Hamid Muhammad al-Gazâlî, Ihya Ulum ad-Din, Jilid VII, hlm. 338.
50
Artinya: "Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhainya."(QS. Fajar : 2728).28 Keadaan Kedua : bahwa hal-hal yang mendorong kepada hawa nafsu lebih kuat dan perlawanan penggerak agama jatuh secara keseluruhan lalu ia menyerahkan dirinya kepada tentara syaitan dan ia tidak berjuang karena keputus-asaannya dari mujahadah (perlawanan). Mereka adalah orang-orang yang lalai dan mereka adalah yang terbanyak. Mereka telah diperbudak oleh nafsu syahwat mereka, dan celaka mereka lebih kuat atas mereka, lalu mereka diputuskan sebagai musuh-musuh Allah dalam hati mereka yang itu adalah rahasia dari rahasia-rahasia Allah dan urusan dari urusan-urusan Allah.29 Mereka adalah orang-orang yang membeli kehidupan dunia dengan kehidupan akhirat. Maka jual beli mereka rugi dan dikatakan kepada orang yang bermaksud memberi petunjuk kepada mereka:
Artinya: "Maka berpalinglah (hai Muhammad) dari orang yang. berpaling dari peringatan Kami, dan tidak mengingini kecuali kehidupan duniawi. Itulah sejauh-jauh pengetahuan mereka." (QS. An Najm: 29 - 30).30 Uraian di atas dapat disimpulkan bahwa setiap orang memiliki kesabaran yang berbeda. Mungkin pada orang tertentu dalam menghadapi masalah tidak sabar, namun masalah tersebut jika mengena pada orang lain, bisa jadi ia sabar dalam memecahkan masalah tersebut, karena itu sabar memiliki tingkatan. Manusia dalam menjalani sabar pun bertingkattingkat.
28
Soenarjo, Al-Qur’an dan Terjemahnya, hlm. 1057. Abu Hamid Muhammad al-Gazâlî, Ihya Ulum ad-Din, Jilid VII, hlm. 339. 30 Soenarjo, Al-Qur’an dan Terjemahnya, hlm. 871. 29
51
6. Tempat Dugaan yang Membutuhkan Kepada Sabar dan bahwa Hamba Itu Tidak Terlepas dari Sabar dalam Suatu Keadaan Apapun. Ketahuilah, bahwa semua apa yang ditemui oleh hamba dalam kehidupan ini itu tidak terlepas dari dua macam: Pertama: Yang sesuai dengan hawa nafsunya. Yang lain : Yang tidak sesuai dengan hawa nafsunya, bahkan ia tidak menyukainya.31 Hamba itu memerlukan kepada sabar pada masing-masing dari dua macam tersebut. Dan hamba itu dalam keadaannya itu tidak terlepas dari salah satu diantara dua macam ini atau dari kedua-duanya. Jadi, hamba itu tidak dapat terlepas sama sekali dari sabar. Macam yang pertama: Apa yang sesuai dengan hawa nafsu yaitu: kesehatan, keselamatan, harta, kedudukan, banyak keluarga, luasnya sebab-sebab, banyaknya pengikut dan penolong dan semua kelezatan dunia. Alangkah perlunya hamba kepada sabar atau semua perkara ini, sesungguhnya kalau hamba itu tidak dapat menahan dirinya dari terlepas dan kecenderungan kepada perkara-perkara itu dan bersungguh-sungguh dalam kelezatannya yang mubah, niscaya demikian itu mengeluarkannya kepada kesombongan dan durhaka. Sesungguhnya manusia itu akan durhaka kalau ia melihat dirinya serba cukup sehingga sebagian orang yang ahli ma'rifat berkata: "Bencana itu orang mu'min sabar atasnya. Dan kesehatan-kesehatan yang sempurna itu tidak sabar atasnya kecuali orang yang siddiq." Sahl berkata: "Sabar atas kesehatan yang sempurna itu lebih berat dari pada sabar atas bencana." Tatkala pintu-pintu dunia terbuka kepada para shahabat ra., maka berkata: "Kita telah diuji dengan fitnah kesengsaraan, maka kita sabar dan
31
Abu Hamid Muhammad al-Gazâlî, Ihya Ulum ad-Din, Jilid VII, hlm. 344.
52
kita diuji dengan fitnah kesenangan, maka kita tidak sabar. Karena itu Allah memperingatkan hamba-hambaNya dari fitnah harta, isteri dan anak.32 Allah Ta'ala berfirman:
Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, janganlah harta-hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah… (QS. al-Munafiqun: 9).33 Kesimpulan yang dapat diambil dari konsep Imam Ghazali diatas yaitu keadaan bagaimana pun manusia tidak terlepas dari apa yang dinamakan sabar. Kehidupan tidak selalu enak, suka duka silih berganti. Kebahagiaan dan penderitaan akan menerpa pada setiap orang. Kadar dan maknanya saja yang berbeda. Hal itu tergantung pada persepsi manusia. 7. Obat Sabar dan Sesuatu yang Dapat Menolong untuk Bersabar Ketahuilah bahwa yang menurunkan penyakit adalah yang menurunkan obat dan menjanjikan sembuh. Sabar itu walaupun berat atau tercegah, maka menghasilkannya itu mungkin dengan obat campuran dari ilmu dan amal. Maka ilmu dan amal adalah campuran-campuran yang dipakai untuk menyusun obat-obat bagi penyakit-penyakit hati semuanya. Tetapi setiap penyakit memerlukan kepada ilmu yang lain dan amal yang lain. Dan sebagaimana bagian-bagian sabar itu bermacam-macam, maka bagian-bagian penyakit yang mencegah sabar itu bermacam-macam pula. Dan apabila penyakit-penyakit bermacam-macam, maka pengobatannya bermacam-macam pula karena arti pengobatan adalah melawan penyakit dan mencegahnya. Dan mencukupi demikian itu termasuk yang panjang keterangannya. .Tetapi kami mengetahui jalan pada sebagian contohcontoh.34 32
Abu Hamid Muhammad al-Gazâlî, Ihya Ulum ad-Din, Jilid VII, hlm. 345. Soenarjo, Al-Qur’an dan Terjemahnya, hlm. 936. 34 Abu Hamid Muhammad al-Gazâlî, Ihya Ulum ad-Din, Jilid VII, hlm. 368. 33
53
Maka kami berkata bahwa apabila orang memerlukan kepada sabar dan nafsu syahwat bersetubuh umpamanya dan nafsu syahwat telah menguasainya di mana ia tidak dapat menahan kemaluannya atau ia dapat menahan kemaluannya, tetapi tidak dapat menahan diri kemaluannya, atau dapat menahan diri kemaluannya tetapi tidak dapat menahan hati dan jiwanya. Karena nafsu syahwat senantiasa membisikannya dengan tuntutan-tuntutan nafsu syahwat dan demikian itu memalingkannya dari kerajinan dzikir, berfikir dan amal-amal yang shaleh. Maka kami menjawab bahwa telah terdahulu kami terangkan bahwa sabar adalah ibarat dari bergulatnya pendorong agama dengan pendorong hawa nafsu. Dan masing-masing dari dua orang yang bergulat kami kehendaki bahwa salah satunya dapat mengalahkan yang lain. Maka tidak ada jalan bagi kami padanya selain memperkuat siapa yang mempunyai tangan di atas dan melemahkan yang lain. 35 Maka di sini kita harus memperkuat pendorong agama dan melemahkan pendorong hawa nafsu. Adapun pendorong nafsu syahwat, maka jalan melemahkannya adalah tiga perkara: Pertama : Bahwa kita memandang kepada bahan makanan pokoknya yaitu: makanan-makanan yang baik yang menggerakkan nafsu syahwat dan segi macamnya dan dari segi banyaknya. Maka tidak boleh tidak memutuskannya dengan puasa yang terus-menerus beserta sederhana ketika berbuka dengan makanan yang sedikit mengenai diri makanan itu serta lemah mengenai jenisnya. Maka menjaga diri dari daging dan makanan-makanan yang membangkitkan nafsu syahwat. Kedua: Memutuskan sebab-sebab yang membangkitkan nafsu syahwat seketika. Sesungguhnya pendorong nafsu syahwat itu dapat bangkit dengan memandang kepada tempat dugaan nafsu syahwat. Karena memandang itu dapat menggerakkan hati dan hati itu menggerakkan nafsu 35
Abu Hamid Muhammad al-Gazâlî, Ihya Ulum ad-Din, Jilid VII, hlm. 369.
54
syahwat. Memutuskan pendorong hawa nafsu ini dapat berhasil dengan mengasingkan diri dan menjaga diri dari tempat dugaan jatuhnya pandangan kepada gambar-gambar yang menimbulkan nafsu syahwat dan lari dari padanya secara keseluruhan. Itu adalah panah yang diluruskan oleh syaitan yang terkutuk dan tidak ada perisai untuk menangkisnya kecuali memejamkan pelupuk mata atau lari dari tempat sasaran lemparannya. Maka sesungguhnya syaitan yang terkutuk melempar panah beracun tersebut dari busur gambargambar. Apabila kamu berbalik melempar dari tempat sasaran gambargambar, niscaya anak panahnya tidak mengenaimu. Ketiga: Menghibur diri dengan yang diperbolehkan dari jenis yang kamu senangi. Demikian itu dengan nikah. Sesungguhnya setiap apa yang disenangi oleh thabiat, maka pada hal-hal yang diperbolehkan terdapat apa yang tidak memerlukan kepada hal-hal yang diharamkan. Dan ini adalah pengobatan yang sangat berguna bagi kebanyakan orang.
Sesungguhnya
memutuskan
makanan
dapat
melemahkan
perbuatan-perbuatan yang lain, kemudian memutuskan makanan kadangkadang tidak dapat mengalahkan nafsu syahwat bagi kebanyakan orang laki-laki. Ini adalah tiga sebab, maka pengobatan pertama yaitu: memutuskan makanan adalah menyerupai memutuskan makanan dari binatang yang keras kepala dan dari anjing yang diajari berburu agar ia lemah lalu kekuatannya jatuh.36 Pengobatan kedua itu menyerupai menyembunyikan daging dari anjing dan menyembunyikan gandum dari binatang sehingga perutnya tidak bergerak disebabkan melihatnya. Pengobatan ketiga itu menyerupai menghibur diri dengan sesuatu yang sedikit dari apa yang dicenderungi oleh thabiatnya sehingga tersisa beserta nafsu syahwat kekuatan yang dapat bersabar untuk mendidiknya. Adapun memperkuat pendorong agama itu dengan dua jalan: 36
Abu Hamid Muhammad al-Gazâlî, Ihya Ulum ad-Din, Jilid VII, hlm. 370.
55
Pertama : Memberi makan kepadanya dengan segala macam faedah mujahadah dan buahnya mengenai agama dan dunia. Demikian itu dengan memperbanyak berfikir tentang hadits-hadits yang telah kami sebutkan mengenai keutamaan sabar dan baik akibat sabar di dunia dan di akhirat dan memperbanyak berfikir tentang atsar: bahwa pahala sabar atas bencana itu lebih banyak dari apa yang telah hilang dan sesungguhnya ia dengan sebab demikian adalah diinginkan nikmatnya dengan musibah. Karena telah hilang dari padanya apa yang tidak kekal bersamanya selain masa hidup dan telah berhasil baginya apa yang kekal setelah kematiannya selama-lamanya. Barang siapa yang menyerahkan yang hina untuk memperoleh yang berharga, maka tidak seyogyanya ia sedih karena hilangnya yang hina itu seketika. Dan ini termasuk bab ma'rifat dan itu termasuk iman, maka iman itu sekali lemah dan sekali kuat. Kalau iman kuat, maka pendorong agama kuat dan dibangkitkannya dengan sekuat-kuatnya dan kalau ia lemah, maka ia melemahkan pendorong agama itu. Dan sesungguhnya kekuatan iman itu diibaratkan dengan keyakinan. Dan keyakinan itu yang menggerakkan kepada kemauan sabar yang kuat. Dan sedikit-sedikitnya apa yang diberikan kepada manusia adalah keyakinan dan kemauan sabar yang kuat. Kedua: bahwa pendorong agama biasa bergulat dengan pendorong hawa nafsu secara bertahap sedikit demi sedikit sehingga ia memperoleh lezatnya kemenangan dengan bergulat itu lalu ia berani untuk bergulat dan niatny a kuat dalam bergulat dengannya. Sesungguhnya membiasakan diri dan melatih diri dengan pekerjaan-pekerjaan yang berat itu mengokohkan kekuatan-kekuatan yang menimbulkan pekerjaan-pekerjaan itu. Karena itu bertambah kekuatan (nilai-nilai) petani-petani dan orang-orang yang berperang. Dan secara global kekuatan orang-orang yang melatih diri dengan pekerjaanpekerjaan yang berat itu melebihi kekuatan penjahit-penjahit, pembuat56
pembuat minyak wangi, orang-orang ahli fiqih dan orang-orang yang shaleh. Demikian itu karena kekuatan mereka tidak diperkuat dengan latihan itu. Maka pengobatan pertama itu menyerupai keinginan-keinginan orang yang bergulat dengan pemberian pakaian ketika menang dan dijanjikan dengan macam-macam kemuliaan.37 Sebagaimana Fir'aun menjanjikan kepada ahli-ahli sihirnya ketika ia membujuk mereka untuk berhadapan dengan Nabi Musa As. di mana ia berkata:
Artinya: …"Kalau demikian sesungguhnya kamu sekalian benarbenar akan menjadi orang yang didekatkan kepadaku." (QS. Asy Syu'ara: 42).38 Pengobatan kedua itu menyerupai pembiasan anak kecil yang dikehendaki agar ia bergulat dan berperang dengan melakukan sebabsebab demikian secara langsung sejak kecil sehingga ia jinak dengannya, berani kepadanya dan kemauannya kuat padanya. Maka barang siapa meninggalkan mujahadah dengan sabar secara keseluruhan, niscaya pendorong agama padanya lemah dan tidak kuat menghadapi nafsu syahwat walaupun nafsu syahwat itu lemah. Dan barang siapa membiasakan melawan hawa nafsunya, niscaya ia telah mengalahkannya manakala ia menghendaki. Ini adalah jalan pengobatan pada semua macam sabar dan tidak mungkin menyempurnakannya. Dan sesungguhnya berat-beratnya segala macam sabar adalah mencegah bathin dari suara hati. Dan demikian itu sangat berat atas orang yang mengerjakan semata-mata untuk sabar dengan mencegah semua nafsu syahwatnya yang zhahir (tampak), memilih mengasingkan diri dan duduk untuk muraqabah dzikir dan berfikir, maka sesungguhnya bisikan syaitan senantiasa menariknya dari sudut ke sudut.
37 38
Abu Hamid Muhammad al-Gazâlî, Ihya Ulum ad-Din, Jilid VII, hlm. 371. Soenarjo, Al-Qur’an dan Terjemahnya, hlm. 572.
57
Kemudian semua itu tidak cukup selama cita-cita tidak menjadi satu cita-cita yaitu: Allah Ta'ala. Kemudian kalau demikian telah menguasai hati, maka demikian itu tidak cukup selama tidak ada baginya jalan di dalam fikiran dan berjalan-jalan dengan bathin di alam malakut langit dan bumi, keajaiban-keajaiban ciptaan Alah dan segala pintu-pintu ma'rifat. Sehingga apabila demikian itu telah menguasai atas hatinya, niscaya kesibukannya dengan demikian dapat menolak syaitan dan bisikannya. Dan kalau ia tidak mempunyai perjalanan dengan bathin, maka tidak dapat menyelamatkannya kecuali oleh wirid-wirid yang bersambung lagi tertib pada setiap saat dari membaca Al-Qur'an, dzikirdzikir dan shalat-shalat. Dan di samping demikian ia memerlukan kepada memaksakan hati akan kehadirannya. Sesungguhnya berfikir dengan bathin adalah yang menenggelamkan hati bukan wirid-wirid itu.39 Kemudian apabila ia telah melakukan demikian itu semuanya, maka tidak selamat baginya dari semua waktunya kecuali sebagiannya. Karena ia tidak terlepas pada semua waktunya dari kejadian-kejadian yang baru, lalu menyibukkannya dari berfikir dan dzikir seperti sakit, takut, disakiti oleh orang dan penganiayaan dari orang yang bercampur. Karena ia tidak dapat terlepas dari bercampur dengan orang yang menolongnya dalam sebagian bab penghidupan. Maka ini adalah satu dari macammacam yang menyibukkan itu.40 Adapun macam kedua, maka itu adalah hal yang penting dari pada macam yang pertama. Yaitu: kesibukannya dengan makanan, pakaian dan sebab-sebab penghidupan. Karena mempersiapkan demikian itu juga memerlukan kepada kesibukan kalau diurus sendiri. Dan itu kalau diurus oleh orang lain, maka ia tidak terlepas dari kesibukan hati dengan orang yang mengurusnya.
39 40
Abu Hamid Muhammad al-Gazâlî, Ihya Ulum ad-Din, Jilid VII, hlm. 372. Abu Hamid Muhammad al-Gazâlî, Ihya Ulum ad-Din, Jilid VII, hlm. 373.
58
Kemudian setelah memutuskan semua hubungan, kebanyakan waktunya tidak dapat selamat baginya kalau bencana atau kejadian tidak menyerangnya. Pada waktu-waktu itulah hati bersih, dan fikiran dipermudah baginya dan tersingkap dari rahasia-rahasia Allah Ta'ala pada alam malakut langit dan bumi apa yang ia tidak mampu pada seperseratus pada waktu yang lama jikalau ia disibukkan hatinya dengan hubunganhubungan. Sampai kepada ini adalah setinggi-tingginya ma'qam (kedudukan) yang mungkin dicapai dengan bekerja dan usaha keras. Adapun banyaknya apa yang tersingkap dan jumlahnya apa yang datang dari kasih sayang Allah pada segala keadaan dan segala amal perbuatan, maka demikian itu berlaku seperti berlakunya rizqi, yaitu: menurut rizqi. Kadang-kadang usaha sedikit dan buruan yang diperoleh banyak dan kadang-kadang usaha lama dan keberuntungan sedikit. Dan pegangan di balik usaha ini adalah atas tarikan dari tarikan-tarikan Tuhan Yang Maha Pengasih. Sesungguhnya itulah yang menghadapi segala amal perbuatan manusia dan jin dan demikian itu tidak dengan kemauan hamba.41 Kesimpulan yang dapat diambil dari konsep Imam Ghazali yaitu sesuatu yang dapat menolong sabar di antaranya adalah salat, zikir, membaca al-Qur'an beserta maknanya. Sabar tidak bisa tumbuh begitu saja, melainkan ia harus diperjuangkan. Sabar tanpa diperjuangkan maka kesabaran tidak akan tertanam dalam diri manusia.
Kesabaran
memerlukan sarana pembantu. Sabar memerlukan ibadah, perbuatanperbuatan yang baik. Sabar harus mampu mengosongkan diri sifat-sifat tercela dan mampu mengisi dari sifat-sifat terpiuji.
41
Abu Hamid Muhammad al-Gazâlî, Ihya Ulum ad-Din, Jilid VII, hlm. 374.
59
BAB IV KONSEP SABAR MENURUT IMAM Al-GAZÂLÎ DAN RELEVANSINYA DENGAN TUJUAN PENDIDIKAN ISLAM
A. Analisis Pandangan Imam Al-Gazâlî tentang Sabar Menurut pendapat penulis bahwa jalan-raya yang dilalui dalam kehidupan ini tidak selamanya datar. Tapi, adakalanya mendaki dan menurun, kadang-kadang jalan itu bertaburan dengan onak dan duri. Adakalanya manusia mendapat nikmat dan adakalanya pula ditimpa kesusahan atau musibah. Ada saat tertawa dan ada waktu menangis; ada masa bahagia dan ada waktu menderita; adakalanya menang dan adakalanya kalah, dan lain-lain sebagainya. Ini adalah hukum-alam, sunnatullah. Berdasarkan hal itu, maka menurut penulis bahwa dalam tiap-tiap keadaan dan situasi itu haruslah dihadapi dengan sikap jiwa yang telah digariskan oleh Al-Quran. Sudah dijelaskan bahwa tatkala mendapat nikmat dan bahagia, manusia haruslah bersyukur. Sekarang, apabila mendapat kesusahan atau ditimpa bencana (musibah) haruslah bersikap sabar. Kesusahan dan musibah itu bermacam-macam. Adakalanya berbentuk tekanan jiwa, kemiskinan, kehilangan harta, kematian anak dan lain-lain. Semua kesusahan itu adalah merupakan cobaan. Berangkat dari keterangan tersebut, maka menurut penulis bahwa konsep Imam al-Gazâlî menjadi bagian penting untuk kehidupan manusia terutama ketika ditimpa cobaan. Imam al-Gazâlî memberikan penjelasan secara rinci tentang jenis kesabaran yang dibutuhkan di dalam melaksanakan amal saleh. la mengatakan bahwa orang yang taat membutuhkan kesabaran dalam ketaatannya dalam tiga hal, yaitu: (1) Sebelum melaksanakan amal, yaitu memperbaiki niat, ikhlas, menahan diri dari riya dan faktor-faktor yang merusak amal, dan membulatkan tekad untuk menunaikannya; (2) Sewaktu beramal, yakni tidak melupakan Allah pada saat menunaikan amal, tidak bermalas-malas dalam merealisasikan
60
adab, sunat, dan ketentuannya hingga selesai; dan (3) Setelah selesai menunaikan amal, yakni menahan diri dari merusak amal dan menonjolkan amal tersebut untuk didengar dan disaksikan, serta menahan diri untuk memandang amal dengan rasa kagum dan semua hal yang membatalkan amal dan meruntuhkan nilainya. Selanjutnya, kalau diperhatikan dengan seksama rangkaian ayat alQur'an yang terdapat pada surat al-Furqan dari ayat 63 hingga 75, maka di sana dapat ditemukan rincian sejumlah amal yang membutuhkan kesabaran, baik sebagai kekuatan untuk melaksanakan amal itu, maupun sebagai kualitas yang harus mewarnai amal tersebut. Amal dalam hal ini dibedakan atas dua macam, yaitu amal yang sifatnya aktif dalam melakukan sesuatu yang positif dan amal yang sifatnya menahan diri dari perkara yang tergolong negatif. Rincian amal yang dimaksud, yaitu: a. Berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang jahil menyapa mereka, maka mereka mengucapkan kata-kata yang mengandung keselamatan (ayat 63) b. Melaksanakan salat tahajud pada malam hari (ayat 64) c. Berdoa agar dijauhkan dari azab Jahanam (ayat 65) d. Tidak berlebihan dan tidak kikir dalam membelanjakan hartanya (ayat 67) e. Tidak menyembah selain Allah, tidak membunuh jiwa yang diharamkan kecuali dengan alasan yang benar, dan tidak berzina (ayat 68), f. Tidak memberikan kesaksian palsu dan bila bertemu dengan orang-orang yang melakukan perbuatan yang tidak berfaedah, mereka menjaga kehormatan diri mereka (ayat 72) g. Apabila diberi peringatan akan ayat-ayat Tuhan, mereka tidak bersikap tuli dan buta (ayat 73) h.
Berdoa agar diberi keturunan yang menyenangkan hati dari istri-istri mereka dan menjadi imam bagi orang-orang yang bertakwa (ayat 74). Setelah rangkaian ayat di atas, maka ayat selanjutnya dari surat al-
Furqan memberikan penjelasan akan balasan yang akan diberikan kepada 61
mereka berkat kesabaran mereka. Ayat yang dimaksud yaitu: "Mereka itulah orang yang dibalasi dengan martabat yang tinggi (dalam surga) karena kesabaran mereka dan mereka disambut dengan penghormatan dan ucapan selamat di dalamnya (Q 25:75). Sejumlah amal yang disebutkan pada rangkaian ayat di atas dapat dibedakan atas dua macam, yaitu amal yang bersifat lahir dan amal yang bersifat batin. Semuanya membutuhkan kesabaran. Dengan demikian, kesabaran pun dapat dibedakan atas dua macam, yaitu lahir dan batin. Kesabaran lahir mencakup: (1) kesabaran dalam menjalankan kewajiban dalam berbagai keadaan, seperti susah dan senang, sehat sejahtera dan mendapat cobaan; (2) kesabaran atas segala apa yang dilarang oleh Allah Ta'ala; dan (3) kesabaran dalam menjalankan anjuran (sunat) dan amal kebaikan yang dapat mendekatkan diri seorang hamba kepada tujuan hidupnya, yaitu Allah 'Azza wa Jalla. Adapun kesabaran batin adalah kesabaran dalam menerima siapa saja yang datang membawa berita kebenaran berupa nasehat atau apa saja yang hakikatnya merupakan seruan Rasulullah SAW. Pembagian lain dari kesabaran diistilahkan oleh Imam al-Gazâlî dengan badani (fisik) dan nafsi (psikis). Jenis kesabaran yang pertama mencakup ketekunan dalam mengerjakan pekerjaan yang berat, seperti ibadah; dan menanggung kesulitan seperti pukulan yang keras, penyakit yang keras, dan luka yang parah. Jenis kesabaran yang kedua adalah menahan diri dari keinginan yang bersumber dari naluri dan tuntutan hawa nafsu. Di antara kedua macam kesabaran itu, maka al-Gazâlî mengisyaratkan bahwa yang disebut terakhir itu lebih berat. Konsep kesabaran dari pemikiran Imam al-Gazâlî sangat penting dalam kehidupan seorang peserta didik dan pendidik, karena pendidik dan peserta didik membutuhkan kesabaran dalam mencapai tujuan yang diharapkan yaitu peserta didik dalam menuntut ilmu butuh kesabaran, demikian pula pendidik dalam mentransfer ilmu butuh kesabaran. Tanpa kesabaran maka tidak akan berhasil sesuai dengan harapan.
62
Sehubungan dengan itu, Ali bin Abi Thalib memberikan syarat bagi peserta didik dengan enam macam, yang merupakan kompetensi mutlak dan dibutuhkan
tercapainya
tujuan
pendidikan.
Syarat
yang
dimaksud
sebagaimana dalam syairnya:
"Seorang santri harus tabah menghadapi ujian dan cobaan. Sebab ada yang mengatakan bahwa gudang ilmu itu selalu diliputi dengan cobaan dan ujian. Ali bin Abi Thalib, berkata, "Ketahuilah, kamu tidak akan memperoleh ilmu kecuali dengan bekal enam perkara, yaitu: cerdas, semangat, bersabar, memiliki bekal, petunjuk/bimbingan guru, dan waktu yang lama." Adapun cara memilih guru /kiai carilah yang alim, yang bersifat wara', dan yang lebih tua. Sebagaimana Abu Hanifah memilih kiai Hammad bin Abi Sulaiman, karena beliau (Hammad) mempunyai kriteria/sifat-sifat tersebut. Maka Abu Hanifah mengaji ilmu kepadanya. Abu Hanifah berkata, "Beliau adalah seorang guru berakhlak mulia, penyantun, dan penyabar. Aku bertahan mengaji kepadanya hingga aku seperti sekarang itu." 2 Ketahuilah, bahwa kesabaran dan ketabahan/ketekunan adalah pokok dari segala urusan. Tapi jarang sekali orang yang mempunyai sifat-sifat tersebut, sebagaimana kata sebuah syair yang artinya, setiap orang pasti mempunyai hasrat memperoleh kedudukan/martabat yang mulia, namun jarang sekali orang yang mempunyai sifat sabar, tabah, tekun, dan ulet." Ada yang berkata, bahwa keberanian adalah kesabaran menghadap kesulitan dan penderitaan. Oleh karena itu, seorang santri harus berani bertahan dan bersabar dalam mengaji kepada seorang guru dan dalam 1
Syaikh Al-Zarnuji, Ta’lim al-Muta’alim Tariq al-Ta’allum, Terj. Abdul Kadir alJufri, (Surabaya: Mutiara Ilmu, 1995), hlm. 23. 2 Syaikh Al-Zarnuji, Ta’lim al-Muta’alim Tariq al-Ta’allum, hlm. 19.
63
membaca sebuah kitab. Tidak meninggalkannya sebelum tamat/selesai. Tidak pindah-pindah dari satu guru ke guru yang lain. Dari satu ilmu ke ilmu yang lain. Padahal ilmu yang dipelajari belum ia kuasai, juga tidak pindah-pindah dari satu daerah ke daerah lain, supaya waktunya tidak terbuang sia-sia.3 Mencari ilmu itu harus sabar. Pelan-pelan tapi kontinyu, sabar inilah pokok yang penting dari segala sesuatu.4 Rasulullah Saw. bersabda, "Sesungguhnya Allah itu mencintai sesuatu yang luhur/tinggi dan membenci sesuatu yang rendah." Dikatakan oleh seorang penyair, "Janganlah kau tergesa-gesa ingin mencapai sesuatu tapi cobalah terus bersabar (ulet), karena sabar itu ibarat api yang dapat melunakkan tongkat dari besi."5
B. Analisis Pandangan Imam Al-Gazâlî tentang Sabar Relevansinya dengan Tujuan Pendidikan Islam Apabila mengkaji konsep sabar menurut Imam al-Gazâlî sebagaimana telah dikemukakan dalam bab tiga skripsi ini, maka konsepnya sangat penting dan relevan dengan pendidikan, kode etik pendidik (guru) dan kode etik peserta didik. Ditinjau dari aspek pendidikan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan bertujuan untuk mengembangkan kualitas manusia. Sebagai suatu kegiatan yang sadar akan tujuan, maka dalam pelaksanaannya berada dalam suatu proses yang berkesinambungan dalam setiap jenis dan jenjang pendidikan.6 Sedangkan dalam Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dinyatakan bahwa yang dimaksud dengan pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar anak didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian
3
Syaikh Al-Zarnuji, Ta’lim al-Muta’alim Tariq al-Ta’allum, hlm. 22. Syaikh Al-Zarnuji, Ta’lim al-Muta’alim Tariq al-Ta’allum, hlm. 42. 5 Syaikh Al-Zarnuji, Ta’lim al-Muta’alim Tariq al-Ta’allum, hlm. 44. 6 Syaiful Bahri Djamarah, Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif, (Jakarta: Rineka cipta, 200) hlm. 22. 4
64
diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.7 Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan adalah usaha sadar untuk mewujudkan manusia seutuhnya dengan selalu mengembangkan potensi yang ada pada setiap peserta didik. Semuanya bermuara kepada manusia, sebagai suatu proses pertumbuhan dan perkembangan secara wajar dalam masyarakat yang berbudaya. Dengan demikian dapat dirumuskan bahwa pendidikan adalah suatu proses alih generasi, yang mampu mengadakan transformasi nilai-nilai ilmu pengetahuan dan budaya kepada generasi berikutnya agar dapat menatap hari esok yang lebih baik. Pendidikan memiliki kode etik yang berhubungan dengan kode etik pendidik (guru) dan kode etik peserta didik. Kode etik pendidik adalah norma-norma yang mengatur hubungan kemanusiaan (hubungan relationship) antara pendidik dan peserta didik, orang tua peserta didik, koleganya, serta dengan atasannya. Suatu jabatan yang melayani orang lain selalu memerlukan kode etik. Demikian pula jabatan pendidik mempunyai kode etik tertentu yang harus dikenal dan dilaksanakan oleh setiap pendidik. Bentuk kode etik suatu lembaga pendidikan tidak harus sama, tetapi secara intrinsik mempunyai kesamaan konten yang berlaku umum. Pelanggaran terhadap kode etik akan mengurangi nilai dan kewibawaan identitas pendidik. Menurut Ibnu Jama'ah, yang dikutip oleh Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, etika pendidik terbagi atas tiga macam, yaitu: 1. Etika yang terkait dengan dirinya sendiri. Pendidik dalam bagian ini paling tidak memiliki dua etika, yaitu (1) memiliki sifat-sifat keagamaan (diniyyah) yang baik, meliputi patut dan tunduk terhadap syariat Allah dalam bentuk ucapan dan tindakan, baik yang wajib maupun yang sunnah; senantiasa membaca Al-Qur'an, zikir kepada-Nya baik dengan hati maupun lisan; memelihara wibawa Nabi Muhammad; dan menjaga 7
Undang-Undang RI No. 20 tahun 2003, (Jakarta: BP.Cipta Jaya, 2003), hlm. 4. (DEPDIKNAS, 2003: 163)
65
perilaku lahir dan batin; (2) memiliki sifat-sifat akhlak yang mulia (akhlaqiyyah), seperti menghias diri (tahalli) dengan memelihara diri, khusyu', rendah hati, menerima apa adanya, zuhud, dan memiliki daya dan hasrat yang kuat. 2. Etika terhadap peserta didiknya. Pendidik dalam bagian ini paling tidak memiliki dua etika, yaitu: (1) sifat-sifat sopan santun (adabiyyah), yang terkait dengan akhlak yang mulia seperti di atas; (2) sifat-sifat memudahkan, menyenangkan, dan menyelamatkan (muhniyyah). 3. Etika dalam proses belajar-mengajar. Pendidik dalam bagian ini paling tidak mempunyai dua etika, yaitu: (1) sifat-sifat memudahkan, menyenangkan, dan menyelamatkan (muhniyyah); (2) sifat-sifat seni, yaitu sent mengajar yang menyenangkan sehingga peserta didik tidak merasa bosan.8 Dalam merumuskan kode etik, al-Gazâlî lebih menekankan betapa berat kode etik yang diperankan seorang pendidik daripada peserta didiknya. Kode etik pendidik terumuskan sebanyak 17 bagian, sementara kode etik peserta didik hanya 11 bagian. Hal itu terjadi karena guru dalam konteks ini menjadi segala-galanya, yang tidak saja menyangkut keberhasilannya dalam menjalankan profesi keguruannya, tetapi juga tanggungjawabnya di hadapan Allah SWT. kelak. Adapun kode etik pendidik yang dimaksud adalah:9 1. Menerima segala problem peserta didik dengan hati dan sikap yang terbuka dan tabah. 2. Bersikap penyantun dan penyayang (QS. ali Imran: 159). 3. Menjaga kewibawaan dan kehormatannya dalam bertindak. 4. Menghindari dan menghilangkan sikap angkuh terhadap sesama. (QS. al-Najm: 32). 5. Bersifat rendah hati ketika menyatu dengan sekelompok masyarakat (QS. al-Hijr: 88). 8
Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2006), hlm. 98. 9 Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu pendidikan Islam., hlm. 99.
66
6. Menghilangkan aktivitas yang tidak berguna dan sia-sia. 7. Bersifat lemah lembut dalam menghadapi peserta didik yang tingkat IQ-nya rendah, serta membinanya sampai pada taraf maksimal. 8. Meninggalkan sifat marah dalam menghadapi problem peserta didiknya. 9. Memperbaiki sikap peserta didiknya, dan bersikap lemah lembut terhadap peserta didik yang kurang lancar bicaranya. 10. Meninggalkan sifat yang menakutkan pada peserta didik, terutama pada peserta didik yang belum mengerti atau mengetahui. 11. Berusaha
memerhatikan
pertanyaan-pertanyaan
peserta
didik,
walaupun pertanyaannya itu tidak bermutu dan tidak sesuai dengan masalah yang diajarkan. 12. Menerima kebenaran yang diajukan oleh peserta didiknya. 13. Menjadikan kebenaran sebagai acuan dalam proses pendidikan, walaupun kebenaran itu datangnya dari peserta didik. 14. Mencegah dan mengontrol peserta didik mempelajari ilmu yang membahayakan (QS. al-Baqarah: 195). 15. Menanamkan sifat ikhlas pada peserta didik, serta terus-menerus mencari informasi guna disampaikan pada peserta didik yang akhirnya mencapai tingkat taqarrub kepada Allah SWT. (QS. al-Bayyinah: 5). 16. Mencegah peserta didik mempelajari ilmu fardlu kifayah (kewajiban kolektif, seperti ilmu kedokteran, psikologi, ekonomi dan sebagainya) sebelum mempelajari ilmu fardlu 'ain (kewajiban individual, seperti akidah, syariah, dan akhlak). 17. Mengaktualisasikan informasi yang diajarkan pada peserta didik (QS. al-Baqarah; 44, as-Shaf: 2-3).10 Dalam bahasa yang berbeda, Muhammad Athiyah Al-Abrasyi menentukan kode etik pendidik dalam pendidikan Islam sebagai berikut:
10
Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu pendidikan Islam, hlm. 100.
67
1. Mempunyai watak kebapakan sebelum menjadi seorang pendidik, sehingga ia menyayangi peserta didiknya seperti menyayangi anaknya sendiri. 2. Adanya komunikasi yang aktif antara pendidik dan peserta didik. Pola komunikasi dalam interaksi dapat diterapkan ketika terjadi proses belajarmengajar. Pola komunikasi dalam pendidikan dapat dilakukan dengan tiga macam, yaitu komunikasi sebagai aksi (interaksi searah), komunikasi sebagai interaksi (interaksi dua arah) dan komunikasi sebagai transaksi (interaksi multiarah). Tentunya untuk mewujudkan tujuan pendidikan Islam yang maksimal harus digunakan komunikasi yang transaksi, sehingga suasana belajar menjadi lebih aktif antara pendidik dan peserta didik, antara peserta didik dan pendidik, dan antara peserta didik dengan peserta didik. 3. Memperhatikan kemampuan dan kondisi peserta didiknya. Pemberian materi pelajaran harus diukur dengan kadar kemampuannya. 4. Mengetahui kepentingan bersama, tidak terfokus pada sebagian peserta didik, misalnya hanya memprioritaskan anak yang memiliki IQ tinggi. 5. Mempunyai sifat-sifat keadilan, kesucian, dan kesempurnaan. 6. Ikhlas dalam menjalankan aktivitasnya, tidak banyak menuntut hal yang di luar kewajibannya. 7. Dalam mengajar supaya mengaitkan materi satu dengan materi lainnya (menggunakan pola integrited curriculum). 8. Memberi bekal peserta didik dengan ilmu yang mengacu pada masa depan, karena ia tercipta berbeda dengan zaman yang dialami oleh pendidiknya. 9. Sehat jasmani dan rohani serta mempunyai kepribadian yang kuat, tanggung jawab, dan mampu mengatasi problem peserta didik, serta mempunyai rencana yang matang untuk menatap masa depan yang dilakukan dengan sungguh-sungguh.11 11
Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu pendidikan Islam, hlm. 100
68
Adapun sifat-sifat dan kode etik peserta didik merupakan kewajiban yang harus dilaksanakannya dalam proses belajar mengajar, baik secara langsung maupun tidak langsung yaitu: 1. Belajar dengan niat ibadah dalam rangka taqarrub kepada Allah SWT., sehingga dalam kehidupan sehari-hari peserta didik dituntut untuk menyucikan jiwanya dari akhlak yang rendah dan watak yang tercela (takhalli) dan mengisi dengan akhlak yang terpuji (tahalli) (perhatikan QS. al-An'am: 162, al-Dzariyat: 56). 2. Mengurangi kecenderungan pada duniawi dibandingkan masalah ukhrawi (QS. adh-Dhuha: 4). Artinya, belajar tak semata-mata untuk mendapatkan pekerjaan, tapi juga belajar ingin berjihad melawan kebodohan demi mencapai derajat kemanusiaan yang tinggi, baik di hadapan manusia dan Allah SWT. 3. Bersikap tawadlu' (rendah hati) dengan cara menanggalkan kepentingan pribadi untuk kepentingan pendidiknya. Sekalipun ia cerdas, tetapi ia bijak dalam menggunakan kecerdasan itu pada pendidiknya, termasuk juga bijak kepada teman-temannya yang IQ-nya lebih rendah. 4. Menjaga pikiran dan pertentangan yang timbul dari berbagai aliran, sehingga ia terfokus dan dapat memperoleh satu kompetensi yang utuh dan mendalam dalam belajar. 5. Mempelajari ilmu-ilmu yang terpuji (mahmudah), baik untuk ukhrawi maupun untuk duniawi, serta meninggalkan ilmu-ilmu yang tercela (madzmumah). Ilmu terpuji dapat mendekatkan diri kepada Allah, sementara ilmu tercela akan menjauhkan dari-Nya dan mendatangkan permusuhan antar sesamanya. 6. Belajar dengan bertahap atau berjenjang dengan memulai pelajaran yang mudah (konkret) menuju pelajaran yang sukar (abstrak) atau dari ilmu yang fardlu 'am menuju ilmu yang fardlu kifayah (QS. al-Insyiqaq: 19). 7. Belajar ilmu sampai tuntas untuk kemudian beralih pada ilmu yang lainnya, sehingga peserta didik memiliki spesifikasi ilmu pengetahuan secara mendalam. Dalam konteks ini, spesialisasi jurusan diperlukan agar 69
peserta didik memiliki keahlian dan kompetensi khusus (QS. al-Insyirah: 7). 8. Mengenal nilai-nilai ilmiah atas ilmu pengetahuan yang dipelajari, sehingga mendatangkan objektivitas dalam memandang suatu masalah. 9. Memprioritaskan ilmu diniyah yang terkait dengan kewajiban sebagai makhluk Allah SWT., sebelum memasuki ilmu duniawi. 10. Mengenal nilai-nilai pragmatis bagi suatu ilmu pengetahuan, yaitu ilmu yang bermanfaat dapat membahagiakan, menyejahterakan, serta memberi keselamatan hidup dunia akhirat. 11. Peserta didik harus tunduk pada nasihat pendidik sebagaimana tunduknya orang sakit terhadap dokternya, mengikuti segala prosedur dan metode madzab yang diajarkan oleh pendidik-pendidik pada umumnya, serta diperkenankan bagi peserta didik untuk mengikuti kesenian yang baik.
Menurut analisis penulis bahwa konsep sabar perspektif Imam alGazâlî mempunyai hubungan yang erat dengan tujuan pendidikan. Dengan kata lain bahwa konsep Imam al-Gazâlî berkaitan pula dengan pendidikan karena dalam pendidikan dibutuhkan kesabaran. Pendidik harus sabar dalam mentransfer ilmu dan peserta didik harus sabar dalam mempelajari dan mendalami ilmu. Sabar sudah menjadi model perilaku dalam menghadapi musibah, fenomenanya yaitu banyak musibah yang melanda negara Indonesia, mulai dari persoalan banjir, letusan gunung, gempa bumi dan masih banyak lagi. Bagi yang sabar maka orang yang ditimpa musibah akan menerima kenyataan ini dengan lapang dada. Sedangkan bagi yang tidak sabar, maka akan putus asa. Sabar jika anggota keluarga meninggal dunia yaitu tidak meratapi terus menerus dan ia pasrah dengan keyakinan segala sesuatu kembali kepada Allah Swt. Indikator sabar menurut Imam al-Gazâlî yaitu mampu menahan diri dari rasa putus asa, berserah diri kepada Allah Swt., tidak mengeluh, tenang, segala sesuatu dianggap terpulang kembali kepada Allah Swt. 70
Hikmah sabar yaitu seorang mukmin yang sabar tidak akan berkeluh kesah dalam menghadapi segala kesusahan yang menimpanya serta tidak akan menjadi lemah atau jatuh gara-gara musibah dan bencana yang menderanya. Allah SWT. telah mewasiatkan .kesabaran kepadanya serta mengajari bahwa apa pun yang menimpanya pada kehidupan dunia hanyalah merupakan cobaan dari-Nya supaya diketahui orang-orang yang bersabar. Kesabaran mengajari manusia ketekunan dalam bekerja serta mengerahkan kemampuan untuk merealisasikan tujuan-tujuan amaliah dan ilmiahnya. Sesungguhnya sebagian besar tujuan hidup manusia, baik di bidang kehidupan praksis misalnya sosial, ekonomi, dan politik maupun dl bidang penelitian ilmiah, membutuhkan banyak waktu dan banyak kesungguhan. Oleh sebab itu, ketekunan dalam mencurahkan kesungguhan serta kesabaran dalam menghadapi kesulitan pekerjaan dan penelitian merupakan karakter penting untuk meraih kesuksesan dan mewujudkan tujuan-tujuan luhur.12 Sifat sabar dalam Islam menempati posisi yang istimewa. Al-Qur'an mengaitkan sifat sabar dengan bermacam-macam sifat mulia lainnya. Antara lain dikaitkan dengan keyakinan (QS. As-Sajdah 32: 24), syukur (QS. Ibrahim 14:5), tawakkal (QS. An-Nahl 16:41-42) dan taqwa (QS. Ali 'Imran 3:15-17). Mengaitkan satu sifat dengan banyak sifat mulia lainnya menunjukkan betapa istimewanya sifat itu. Karena sabar merupakan sifat mulia yang istimewa, tentu dengan sendirinya orang-orang yang sabar Juga menempati posisi yang istimewa. Misalnya dalam menyebutkan orang-orang beriman yang akan mendapat surga dan keridhaan Allah SWT, orang-orang yang sabar ditempatkan dalam urutan pertama sebelum yang lain-lainnya. Perhatikan firman Allah berikut ini:
12
Muhammad Utsman Najati, Psikologi dalam al-Qur'an, Terapi Qur'ani dalam Penyembuhan Gangguan Kejiwaan, Terj. Zaka al-Farisi, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2005), hlm. 312.
71
Artinya: "Katakanlah" "Inginkan aku kabarkan kepadamu apa yang lebih baik dari yang demikian itu". Untuk orang-orang yang bertaqwa, pada sisi Tuhan mereka ada surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya. Dan ada pula pasangan-pasangan yang disucikan serta keridhaan Allah. Dan Allah Maha Melihat akan hamba-hamba-Nya. Yaitu orang-orang yang berdo'a: "Ya Tuhan Kami, sesungguhnya kami telah beriman, maka ampunilah segala dosa kami dan peliharalah kami dari siksa neraka. Yaitu orang-orang yang sahar, yang benar, yang tetap ta'at, yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah), dan yang memohon ampun di waktu sahur." (QS. Ali 'Imran 3:15-17).13 Di samping itu, setelah menyebutkan dua belas sifat hamba-hamba yang akan mendapatkan kasih sayang dari Allah SWT (dalam Surat Al-Furqan 25: 63-74), Allah SWT menyatakan bahwa mereka akan mendapatkan balasan surga karena kesabaran mereka. Artinya untuk dapat memenuhi dua belas sifat-sifat tersebut diperlukan kesabaran.
( Artinya: "Mereka itulah orang yang dibalasi dengan martabat yang tinggi (dalam surga) karena kesabaran mereka dan mereka disambut dengan penghormatan dan ucapan selamat di dalamnya". (QS. Al-Furqan/25: 75).14 Di samping segala keistimewaan itu, sifat sabar memang sangat dibutuhkan sekali untuk mencapai kesuksesan dunia dan Akhirat. Seorang mahasiswa tidak akan dapat berhasil mencapai gelar kesarjanaan tanpa sifat sabar dalam belajar. Seorang peneliti tidak akan dapat menemukan penemuan-
13 14
Soenarjo, Al-Qur’an dan Terjemahnya, hlm. 75. Soenarjo, Al-Qur’an dan Terjemahnya, hlm. 559.
72
penemuan ilmiah tanpa ada sifat sabar dalam penelitiannya. Demikianlah seterusnya dalam seluruh aspek kehidupan. Lawan dari sifat sabar adalah al-jaza'u yang berarti gelisah, sedih, keluh kesah, cemas dan putus asa, sebagaimana dalam firman Allah SWT:
Artinya: "...Sama saja bagi kita, mengeluh ataukah bersabar. Sekali-kali kita tidak mempunyai tempat untuk melarikan diri." (QS. Ibrahim/14: 21).15
Artinya: "Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah. Dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir. Kecuali orang-orang yang mengerjakan shalat." (QS. Al-Ma'arij/70: 19-22).16 Ketidaksabaran dengan segala bentuknya adalah sifat yang tercela. Orang yang dihinggapi sifat ini, bila menghadapi hambatan dan mengalami kegagalan akan mudah goyah, berputus asa dan mundur dari medan perjuangan. Sebaliknya apabila mendapatkan keberhasilan juga cepat lupa diri. Menurut ayat di atas, kalau ditimpa kesusahan dia berkeluh kesah, kalau mendapat kebaikan ia amat kikir. Semestinyalah setiap Muslim dan Muslimah menjauhi sifat yang tercela ini. Apabila mengkaji konsep Imam al-Gazâlî tentang sabar, maka dapat dikatakan bahwa konsepnya sangat relevan dengan kondisi saat ini. Menurut Muhammad Utsman Najati bahwa sabar merupakan indikator jiwa yang stabil karena dalam sabar tersirat kemampuan individu memikul kesulitan hidup, tegar dalam menghadapi berbagai bencana dan cobaan hidup. Ia tidak menjadi lemah, tidak terpuruk, dan tidak diliputi keputusasaan. Orang yang sanggup 15 16
Soenarjo, Al-Qur’an dan Terjemahnya, hlm. 380. Soenarjo, Al-Qur’an dan Terjemahnya, hlm. 975.
73
menghadapi berbagai cobaan dan situasi sulit dengan kesabaran adalah orang yang memiliki kepribadian paripurna. Dalam banyak ayat, Allah Ta'ala telah berpesan untuk bersikap sabar.
Artinya: Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. Dan sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu' (QS. Al-Baqarah: 45).17 Sabar itu haruslah diterapkan dalam segala bidang-kehidupan. Tidak hanya dalam menghadapi malapetaka (musibah) saja. Itu hanyalah merupakan salah satu diantara bidang-bidang itu. Sebagai contoh pada bidang-bidang mana harus diterapkan sikap sabar itu, dijelaskan di dalam Al-Quran Sabar itu harus diterapkan paling tidak pada lima macam, yaitu : 1) Sabar dalam beribadat Sabar mengerjakan ibadat ialah dengan tekun mengendalikan diri melaksanakan
syarat-syarat
dan
tata-tertib
ibadah
itu.
Dalam
pelaksanaannya perlu diperhatikan tiga hal, yaitu; a. Sebelum melakukan ibadah. Harus dibuhul niat yang suci ikhlas, semata-mata beribadah karena taat kepada Allah; b. Sedang melakukan ibadah. Janganlah lalai memenuhi syarat-syarat, jangan malas mengerjakan tata-tertibnya. Seumpama mengerjakan shalat, janganlah melakukan sembahyang "cotok ayam'', yaitu seperti ayam yang sedang mencotok padi, main cepat-cepat dan kilat saja. Yang dikerjakan hanya yang wajib-wajibnya saja, sedang yang sunnat-sunnat ditinggalkan. Pada hal tidak ada yang akan diburu atau yang mendesak. c. Sesudah selesai beribadah. Jangan bersikap ria, menceriterakan ke kiri dan ke kanan tentang ibadah atau amal yang dikerjakan, dengan maksud supaya mendapat sanjungan dan pujian manusia. 2) Sabar ditimpa malapetaka. 17
Soenarjo, Al-Qur’an dan Terjemahnya, hlm. 72.
74
Sabar ditimpa malapetaka atau musibah ialah teguh hati ketika mendapat cobaan, baik yang berbentuk kemiskinan, maupun berupa kematian, kejatuhan, kecelakaan, diserang penyakit dan lain-lain sebagainya. Kalau malapetaka itu tidak dihadapi dengan kesabaran, maka akan terasa tekanannya terhadap jasmaniah maupun rohaniah. Badan semakin lemah dan lemas, hati semakin kecil. Timbullah kegelisahan, kecemasan, panik dan akhirnya putus-asa. Malah kadang-kadang ada pula yang nekad dan gelap mata mengambil putusan yang tragis, seumpama membunuh diri. 3) Sabar terhadap kehidupan dunia. Sabar terhadap kehidupan dunia (as-shabru 'aniddunya) ialah sabar terhadap tipudaya dunia, jangan sampai terpaut hati kepada kenikmatan hidup di dunia ini. Dunia ini adalah jembatan untuk kehidupan yang abadi, kehidupan akhirat. Banyak orang yang terpesona terhadap kemewahan hidup dunia. Dilampiaskannya hawa nafsunya, hidup berlebih-lebihan, rakus, tamak dan lain-lain sehingga tidak memperdulikan mana yang halal dan mana yang haram, malah kadang-kadang merusak dan merugikan kepada orang lain. Kehidupan di dunia ini janganlah dijadikan tujuan, tapi hanya sebagai alat untuk mempersiapkan diri menghadapi kehidupan yang kekal. Memang, tabiat manusia condong kepada kenikmatan hidup lahiriah, kehidupan yang nyata dilihat oleh mata dan dinikmati oleh indera-indera yang lain. Tak ubahnya seperti orang yang meminum air laut, semakin diminum semakin haus. Untuk ini diperlukan kesabaran menghadapinya. 4) Sabar terhadap maksiat. Sabar terhadap maksiat ini ialah mengendalikan diri supaya jangan melakukan perbuatan maksiat. Tarikan untuk mengerjakan maksiat itu sangat kuat sekali mempengaruhi manusia, sebab senantiasa digoda dan didorong oleh iblis. Iblis itu bertindak laksana kipas yang terus menerus pengipas-ngipas api yang kecil, sehingga akhirnya menjadi besar
75
merembet dan menjilat-jilat ke tempat lain. Kalau api sudah semakin besar, maka sukar lagi memadamkannya. Sabar terhadap maksiat itu bukanlah mengenai diri sendiri saja, tapi juga mengenai diri orang yang lain. Yaitu, berusaha supaya orang lain juga jangan sampai terperosok ke jurang kemaksiatan, dengan melakukan: amar makruf, nahi munkar. Yakni, menyuruh manusia melakukan kebaikan dan mencegahnya dari perbuatan yang salah dan buruk. 5) Sabar dalam perjuangan. Sabar dalam perjuangan ialah dengan menyadari sepenuhnya, bahwa setiap perjuangan mengalami masa up and dawn, masa-naik dan masa-jatuh, masa-menang dan masa-kalah. Kalau perjuangan belum berhasil, atau sudah nyata mengalami kekalahan, hendaklah berlaku sabar menerima kenyataan itu. Sabar dengan arti tidak putus harapan, tidak patah semangat. Harus berusaha menyusun kekuatan kembali, melakukan introspeksi (mawasdiri) tentang sebab-sebab kekalahan dan menarik pelajaran daripadanya. Jika perjuangan berhasil atau menang, harus pula sabar mengendalikan emosi-emosi buruk yang biasanya timbul sebagai akibat kemenangan itu, seperti sombong, congkak, berlaku kejam, membalas dendam dan lain-lain. Sabar disini harus diliputi oleh perasaan syukur. Apabila sesuatu perjuangan dikendalikan oleh sifat kesabaran, maka dengan sendirinya akan timbul ketelitian, kewaspadaan, usaha-usaha yang bersifat konsolidasi dan lain-lain. Orang yang tidak sabar dalam perjuangan kerap kali mundur di tengah jalan atau setelah sampai di medan juang, kalah sebelum mengangkat senjata dalam medan tempur Al-Quran mengajak kaum muslimin agar berhias diri dengan kesabaran. Sebab, kesabaran mempunyai faedah yang besar dalam membina jiwa, memantapkan kepribadian, meningkatkan kekuatan manusia dalam menahan penderitaan, memperbaharui kekuatan manusia dalam menghadapi berbagai problem hidup, beban hidup, musibah, dan bencana, serta
76
menggerakkan kesanggupannya untuk terus-menerus berjihad dalam rangka meninggikan kalimah Allah SWT. Seorang mukmin yang sabar tidak akan berkeluh kesah dalam menghadapi segala kesusahan yang menimpanya serta tidak akan menjadi lemah atau jatuh gara-gara musibah dan bencana yang menderanya. Allah SWT. telah mewasiatkan .kesabaran kepadanya serta mengajari bahwa apa pun yang menimpanya pada kehidupan dunia hanyalah merupakan cobaan dari-Nya supaya diketahui orang-orang yang bersabar. Kesabaran mengajari manusia ketekunan dalam bekerja serta mengerahkan kemampuan untuk merealisasikan tujuan-tujuan amaliah dan ilmiahnya. Sesungguhnya sebagian besar tujuan hidup manusia, baik di bidang kehidupan misalnya sosial, ekonomi, dan politik maupun dl bidang penelitian ilmiah, membutuhkan banyak waktu dan banyak kesungguhan. Oleh sebab itu, ketekunan dalam
mencurahkan kesungguhan serta
kesabaran dalam
menghadapi kesulitan pekerjaan dan penelitian merupakan karakter penting untuk meraih kesuksesan dan mewujudkan tujuan-tujuan luhur. Apabila seseorang bersabar dalam memikul kesulitan dan musibah hidup, bersabar dalam gangguan dan permusuhan orang lain, bersabar dalam beribadah, dan taat kepada Allah SWT, maka mentalnya akan sehat. Sabar dalam melawan syahwat, bersabar dalam bekerja dan berkarya, ia tergolong orang yang memiliki kepribadian yang matang, seimbang, paripurna, kreatif, dan aktif. Apabila menghubungkan konsep sabar Imam al-Gazâlî terutama dalam konteks masa kini, maka hal yang dapat diungkap yaitu dunia pendidikan demikian pesat dan majunya seiring dengan kemajuan informasi dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sejalan dengan itu banyak manusia yang sudah memuja atau barangkali diperbudak oleh teknologi sehingga segalanya dengan semua yang terjadi adalah atas usaha manusia tanpa ada keterlibatan yang Maha Kuasa. Padahal pendidikan Islam meskipun sudah turut dikembangkan secara modern, namun akar keagamaan dan akhlak tidak disingkirkan melainkan terus ditanamkan. 77
Akan tetapi kenyataan lain menunjukkan di tengah kemajuan zaman dan modernisasi di segala bidang sekaligus juga manusia telah banyak yang melupakan kekuasaan Allah Swt. Berdasarkan hal itu tingkat keyakinan manusia dapat dikatakan banyak yang makin menurun atau tipis. Padahal tujuan pendidikan Islam pada puncaknya adalah pengabdian seorang hamba kepada Allah Swt. Itulah sebabnya salah seorang ahli pendidikan Islam yaitu Ahmad Tafsir menyatakan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah menjadikan peserta didik yang pasrah kepada khaliq-Nya. Pernyataan ini dapat dikaji dari pernyataannya sebagai berikut: tujuan pendidikan Islam seperti ini sesuai pula dengan Konferensi Dunia Pertama tentang Pendidikan Islam (1977) berkesimpulan bahwa tujuan akhir pendidikan Islam adalah manusia yang menyerahkan din dan sabar secara mutlak kepada Allah.18 Maulana Muhammad Ah dalam bukunya The Religion of Islam menegaskan bahwa Islam mengandung arti, dua macam, yakni (1) mengucap kalimah syahadat; (2) berserah diri sepenuhnya kepada kehendak Allah.19 Pengertian tersebut jika diawali kata pendidikan sehingga menjadi kata "pendidikan Islam" maka terdapat berbagai rumusan. Menurut M. Arifin, pendidikan Islam dapat diartikan sebagai studi tentang proses kependidikan yang bersifat progresif menuju ke arah kemampuan optimal anak didik yang berlangsung di atas landasan nilai-nilai ajaran Islam.20 Sementara Achmadi memberikan pengertian, pendidikan Islam adalah segala usaha untuk memelihara dan mengembangkan fitrah manusia serta sumber daya manusia yang ada padanya menuju terbentuknya manusia seutuhnya (insan kamil) sesuai dengan norma Islam.21 Abdur Rahman Saleh memberi pengertian juga tentang pendidikan Islam yaitu usaha sadar untuk mengarahkan pertumbuhan dan perkembangan 18
Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan. Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006), hlm. 48. 19 Maulana Muhammad Ali, The Religion of Islam, (USA: The Ahmadiyya Anjuman Ishaat Islam Lahore, 1990), hlm. 4. 20 21
Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2003), hlm. 4. Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm.
28-29.
78
anak dengan segala potensi yang dianugerahkan oleh Allah kepadanya agar mampu mengemban amanat dan tanggung jawab sebagai khalifah Allah di bumi dalam pengabdiannya kepada Allah.22 Menurut Abdurrahman anNahlawi, pendidikan Islam adalah penataan individual dan sosial yang dapat menyebabkan seseorang tunduk taat pada Islam dan menerapkannya secara sempurna di dalam kehidupan individu dan masyarakat, Pendidikan Islam merupakan kebutuhan mutlak untuk dapat melaksanakan Islam sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah. Berdasarkan makna ini, maka pendidikan Islam mempersiapkan diri manusia guna melaksanakan amanat yang dipikulkan kepadanya. Ini berarti, sumber-sumber Islam dan pendidikan Islam itu sama, yakni yang terpenting, al-Qur'an dan Sunnah Rasul.23 Apabila memperhatikan konsep sabar Imam al-Gazâlî, maka tujuan konsepnya
yaitu
(1)
agar
manusia
memiliki
kemampuan
untuk
mengembangkan potensi diri, bermanfaat untuk orang lain dan masyarakat. (2) membentuk manusia yang berakhlak al-karimah. (3) membentuk manusia yang cerdas dalam iman dan taqwa. 1. Konsep sabar Imam al-Gazâlî bertujuan agar manusia memiliki kemampuan untuk mengembangkan potensi diri, bermanfaat untuk orang lain dan masyarakat. Tujuan ini sejalan dengan tujuan pendidikan Islam sebagaimana dikatakan oleh M. Arifin bahwa tujuan pendidikan Islam secara filosofis berorientasi kepada nilai-nilai islami yang bersasaran pada tiga dimensi hubungan manusia selaku "khalifah" di muka bumi, yaitu sebagai berikut: a. menanamkan sikap hubungan yang seimbang dan selaras dengan Tuhannya. b. membentuk sikap hubungan yang harmonis, selaras, dan seimbang dengan masyarakatnya.
22
Abdur Rahman Saleh, Pendidikan Agama dan Keagamaan, Visi, Misi dan Aksi, (Jakarta: PT Gemawindu Pancaperkasa, 2000), hlm. 2-3. 23 Abdurrahman an-Nahlawi, Prinsip-Prinsip dan Metoda Pendidikan Islam dalam Keluarga, di Sekolah dan di Masyarakat, (Bandung: CV.Diponegoro, 1996), hlm. 41.
79
c. mengembangkan kemampuannya untuk menggali, mengelola, dan memanfaatkan kekayaan alam ciptaan Allah bagi kepentingan kesejahteraan hidupnya dan hidup sesamanya serta bagi kepentingan ubudiahnya kepada Allah, dengan dilandasi sikap hubungan yang harmonis pula.24 Jadi berdasarkan pendapat M. Arifin, maka konsep Imam al-Gazâlî relevan dengan tujuan pendidikan Islam yaitu agar manusia memiliki kemampuan untuk mengembangkan potensi diri, bermanfaat untuk orang lain dan masyarakat. 2. Membentuk manusia yang berakhlak al-karimah Tujuan yang kedua ini sesuai dengan penegasan Athiyah alAbrasyi. Para pakar pendidikan Islam menurut Athiyah al-Abrasyi telah sepakat bahwa tujuan dari pendidikan serta pengajaran bukanlah memenuhi otak anak didik dengan segala macam ilmu yang belum mereka ketahui, melainkan: a. mendidik akhlak dan jiwa mereka; b. menanamkan rasa keutamaan (fadhilah); c. membiasakan mereka dengan kesopanan yang tinggi; d. mempersiapkan mereka untuk suatu kehidupan yang suci seluruhnya dengan penuh keikhlasan dan kejujuran. Dengan demikian, tujuan pokok dari pendidikan Islam menurut Athiyah al-Abrasyi ialah mendidik budi pekerti dan pembentukan jiwa. Semua mata pelajaran haruslah mengandung pelajaran-pelajaran akhlak, setiap pendidik haruslah memikirkan akhlak dan memikirkan akhlak keagamaan sebelum yang lainlainnya karena akhlak keagamaan adalah akhlak yang tertinggi, sedangkan, akhlak yang mulia itu adalah tiang dari pendidikan Islam.25 Dengan demikian berdasarkan pendapat Athiyah al-Abrasyi relevan dengan tujuan pendidikan Islam yaitu membentuk manusia yang berakhlak al-karimah 3. Membentuk manusia yang cerdas dalam iman dan taqwa
24
Muzayyin Arifin, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2003), hlm.
121 25
Muhammad 'Athiyyah al-Abrasyi, al-Tarbiyah Al-lslamiyyah, Terj. Abdullah Zakiy al-Kaaf, "Prinsip-Prinsip Dasar Pendidikan Islam", (Bandung: Pustaka Setia, 2003), hlm. 13.
80
Butir yang ketiga yang menjadi tujuan dari konsep sabar Imam alGazâlî ini senafas dengan pendapat Ahmad Tafsir, menurutnya, tujuan umum pendidikan Islam ialah a. muslim yang sempurna, atau manusia yang takwa, atau manusia beriman, atau manusia yang beribadah kepada Allah; b, muslim yang sempurna itu ialah manusia yang memiliki: (1) akalnya cerdas serta pandai; (2) jasmaninya kuat; (3) hatinya takwa kepada Allah; (4) berketerampilan; (4) mampu menyelesaikan masalah secara ilmiah dan filosofis; (5) memiliki dan mengembangkan sains; (6) memiliki dan mengembangkan filsafat; (7) hati yang berkemampuan berhubungan dengan alam gaib.26 Berdasarkan uraian di atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa tujuan pendidikan Islam adalah untuk membangun dan membentuk manusia yang berkepribadian Islam dengan selalu mempertebal iman dan takwa sehingga bisa berguna bagi bangsa dan agama. Pendidikan Islam ialah segala usaha Untuk memelihara dan mengembangkan fitrah manusia serta sumber daya manusia yang ada padanya menuju terbentuknya manusia seutuhnya (insan kamil).27 Karena itu tujuan pendidikan Islam adalah terbentuknya insan kamil yang di dalamnya memiliki wawasan yang kaffah (utuh/lengkap/menyeluruh).28 Sejalan dengan itu menurut Arifin tujuan terakhir pendidikan Islam yaitu penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah.29 Tujuan pendidikan Islam seperti ini sesuai pula dengan Konferensi Dunia Pertama tentang Pendidikan Islam (1977) berkesimpulan bahwa tujuan akhir pendidikan Islam adalah manusia yang menyerahkan diri secara mutlak kepada Allah.30 26
Ahmad Tafsir, llmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004), hlm. 50-51. 27 Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), hlm. 28. 28 Abdul Mujib dan Yusuf Muzakir, llmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Prenada Media, 2007), hlm. 83. 29 Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2003), hlm. 28. 30 Ahmad Tafsir, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006), hlm. 48.
81
Jadi berdasarkan pendapat Ahmad Tafsir, maka konsep sabar Imam al-Gazâlî relevan dengan tujuan pendidikan Islam yaitu membentuk manusia yang cerdas dalam iman dan taqwa.
82
BAB V PENUTUP
A. Simpulan Berdasarkan uraian dalam bab pertama sampai keempat, maka dapat diambil kesimpulan: 1. Dalam perspektif Imam al-Ghazali bahwa sabar merupakan suatu konsep utama yang harus dilalui dan dijalani oleh setiap orang yang beriman. Kesabaran merupakan ciri khas orang yang mengaku dirinya muslim dan beriman. Tanpa kesabaran maka seluruh dimensi yang ada dalam diri manusia itu tidak mungkin dapat dikendalikan. Manusia sebagai makhluk yang sempurna diberi sejumlah potensi yang harus dikembangkan. Seiring dengan potensi itu maka manusia diberi nafsu. Masalahnya nafsu itu tidak bisa ditiadakan namun harus dijinakkan oleh manusia agar nafsu itu dapat dikendalikan. Salah satu sarana untuk mengendalikan nafsu itu adalah melalui suatu proses yang disebut sabar. 2. Hubungan konsep sabar menurut Imam al-Gazâlî dengan tujuan pendidikan Islam sebagai berikut: pendidikan Islam ialah segala usaha untuk memelihara dan mengembangkan fitrah manusia serta sumber daya manusia yang ada padanya menuju terbentuknya manusia seutuhnya (insan kamil). Karena itu tujuan pendidikan Islam adalah terbentuknya insan kamil yang di dalamnya memiliki wawasan yang kaffah (utuh/lengkap/menyeluruh). Sejalan dengan itu menurut Arifin tujuan terakhir pendididikan Islam yaitu penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah. "Kata penyerahan diri sepenuhnya kepada Allah" dalam bahasa agama disebut tawakkal yang dicerminkan oleh sikap sabar. Tujuan pendidikan Islam seperti ini sesuai pula dengan Konferensi Dunia Pertama tentang Pendidikan Islam (1977) berkesimpulan bahwa tujuan akhir pendidikan Islam adalah manusia yang menyerahkan diri secara mutlak kepada Allah. 83
B. Saran-saran Dengan memperhatikan konsep Imam al-Gazâlî tentang sabar, maka saran yang dapat dikemukakan antara lain: bahwa perlu adanya peningkatan pemahaman terhadap masyarakat tentang sabar yang pada hakikatnya dapat membangun manusia seutuhnya. Agar adanya kesamaan dalam pandangan, maka menjadi tugas ulama dan para pendidik sebagai ujung tombak syi'ar Islam dalam mensosialisasikan manfaat sabar sebagai sebuah kebutuhan bagi manusia untuk mengenal dirinya dan pada puncaknya untuk mengenal Yang Maha Kuasa. C. Penutup Tiada puja dan puji yang patut dipersembahkan kecuali kepada Allah Swt yang dengan karunia dan rahmat-Nya telah mendorong penulis hingga dapat merampungkan tulisan yang sederhana ini. Dalam hubungan ini sangat disadari sedalam-dalamnya bahwa tulisan ini dari segi metode apalagi materinya jauh dari kata sempurna.
84
DAFTAR PUSTAKA
Achmadi, Ideologi Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005). Aghnides, Nicolas P., The Background Introduction To Muhammedan Law, (New York: Published by The Ab. "Sitti Sjamsijah" Publishing Coy Solo, Java, with the authority – license of Columbia University Press) Al-Abrasyi, Muhammad 'Athiyyah, al-Tarbiyah Al-Islamiyyah, Terj. Abdullah Zakiy al-Kaaf, "Prinsip-Prinsip Dasar Pendidikan Islam", (Bandung: Pustaka Setia, 2003). Ali, Maulana Muhammad, The Religion of Islam, (USA: The Ahmadiyya Anjuman Ishaat Islam Lahore, 1990). al-Khatib, Muhammad 'Ajaj, Usul al-Hadis 'Ulumuh wa Mustalah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1989). Al-Qardawi, Yusuf, al-Qur'an Menyuruh Kita Sabar, Terj. Aziz Salim Basyarahil, (Jakarta: Gema Insani Press, 1990). ---------, Pro-Kontra Pemikiran Al-Gazâlî, Terj. Achmad Satori Ismail, (Surabaya: Risalah Gusti, 1997). Amin, Husayn Ahmad, Seratus Tokoh Dalam Sejarah Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2003). Arifin, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2003). ---------, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2003) Bastaman, Hanna Djumhana, Integrasi Psikologi Dengan Islam; Menuju Psikologi Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar Dana Yayasan Insani, 2001) Boy, Pradana, Filsafat Islam: Sejarah, Aliran dan Tokoh, (Malang: UMM Press, 2003). Djamarah, Syaiful Bahri, Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif, (Jakarta: Rineka cipta, 200). Fuchan, Arief dan Agus Maimun, Studi Tokoh: Melode Penelitian Mengenai Tokoh, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005). AlGhazali, Abu Hamid Muhammad, Ihya Ulum ad-Din, Jilid VII, (Semarang: CV Asy-Syifa, 1994).
Hanafi, Ahmad, Pengantar Filsafat Islam, (Yogyakarta: Bulan Bintang, 1990) Hassan, Abdillah F, Tokoh-Tokoh Mashur Dunia Islam, (Surabaya: Jawara, 2004). Ilyas, Yunahar, Kuliah Akhlak, (Yogyakarta: LPPI, 2004). Iqbal, Muhammad, 100 Tokoh Islam Terhebat dalam Sejarah, (Jakarta: Intimedia & Ladang Pustaka, 2001). Jauhari, Muhammad Rabbi Muhammad, Keistimewaan Akhlak Islami, terj. Dadang Sobar Ali, (Bandung: Pustaka Setia, 2006). Jauziyah, Ibnu Qayyim, Madarijus Salikin, Pendakian Menuju Allah: Penjabaran Konkrit: Iyyaka Na'budu wa Iyyaka Nasta'in. Terj. Kathur Suhardi, (Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2003). Mahmud, Abd Halim, Penyelamat Dari Kesesatan, Terj. Abdullah Zakiy Al-Kaaf, (Bandung: Pustaka Setia, 2001). Mubarok, Achmad, Psikologi Qur’ani, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001). Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2002). ---------, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004). Muhammad, Hasyim, Dialog Antara Tasawuf Dan Psikologi; Telaah Atas Pemikiran Psikologi Humanistik Abrahan Maslow, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002) Mujib, Abdul, dan Jusuf Mudzakkir, Ilmu pendidikan Islam, (Jakarta: Kencana, 2006). Mustofa, A., Filsafat Islam, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1997) Nahlawi, Abdurrahman, Prinsip-Prinsip dan Metoda Pendidikan Islam dalam Keluarga, di Sekolah dan di Masyarakat, (Bandung: CV.Diponegoro, 1996). Nata, Abudin, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003) Najati, Muhammad Utsman, Psikologi dalam al-Qur'an, Terapi Qur'ani dalam Penyembuhan Gangguan Kejiwaan, Terj. Zaka al-Farisi, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2005). Nasution, Yunan, Pegangan Hidup, 3, (Solo: Ramadhani, 1999).
Natsir, Muhammad, Fiqhud Da'wah, (Jakarta: Media Da'wah, 2000). Al-Qattan, Manna Khalil, Mabahis fi Ulum al-Qur'an, (Mansurat al-A'sr al-Hadis, 1973). Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam , (Jakarta: Kalam Mulia, 1994). Saleh, Abdur Rahman, Pendidikan Agama dan Keagamaan, Visi, Misi dan Aksi, (Jakarta: PT Gemawindu Pancaperkasa, 2000). Shihab, M. Quraish, Secercah Cahaya Ilahi, (Bandung: Mizan, 2007). Shihab, Quraish, Membumikan Al-Qur'an; Fungsi dan Peran Wahyu Dalam Kehidupan Masyarakat,(Bandung: Mizan, 1994) ---------, Wawasan Al-Qur'an; Tafsir Maudhu'i Atas Berbagai Persoalan Umat, (Bandung: Mizan, 1997) Soenarjo, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang: Toha Putra, 1993). Solihin, Tokoh-Tokoh Sufi Lintas Zaman, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2003). Tafsir, Ahmad, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2006). ---------, llmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2004). Undang-Undang RI No. 20/2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, (Jakarta: BP. Cipta Jaya, 2003). Zahrah, Muhammad Abu, Usûl al-Fiqh, (Cairo: Dâr al-Fikr al-‘Arabi, 1958). Al-Zarnuji, Syaikh, Ta’lim al-Muta’alim Tariq al-Ta’allum, Terj. Abdul Kadir alJufri, (Surabaya: Mutiara Ilmu, 1995). Az-Zuhaili, Wahbah, Al-Qur’an dan Paradigma Peradaban, Terj. M.Thohir dan Team Titian Ilahi, (Yogyakarta: Dinamika,1996).
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Yang bertanda tangan di bawah ini: Nama
: Amin Husni
Tempat / Tanggal Lahir
: Semarang, 16 Oktober 1985
Alamat Asal
: Jl. Sendangguwa raya RT 9 RW 9 Gemah Pedurungan Semarang
Pendidikan
: - MI Ad-Dainuriyyah lulus th. 1998 - SMP Walisongo 1 Semarang lulus th. 2001 - SMA Sultan Agung 1 Semarang lulus th. 2004 -
Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang Angkatan 2004
Demikianlah daftar riwayat hidup ini saya buat dengan sebenarnya untuk dapat dipergunakan sebagaimana mestinya.
Amin Husni
BIODATA DIRI DAN ORANG TUA Nama
: Amin Husni
NIM
:
Alamat
:
Nama orang tua
: Bapak Kasnawi dan Ibu Samiyatun
Alamat
: