KONSEP GURU YANG IKHLAS MENURUT IMAM ALGHAZALI DALAM KITAB IHYA’ ULUMIDDIN
SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Tugas dan Syarat guna Memperoleh Gelar Sarjana dalam Ilmu Pendidikan Islam
Oleh: LISA FATHIYANA NIM: 063111056
FAKULTAS TARBIYAH INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO SEMARANG 2011
ABSTRAK Lisa Fathiyana (NIM : 063111056). “Konsep Guru Yang Ikhlas Menurut Imam Al-Ghazali Dalam Kitab Ihya’ Ulumiddin”. Dalam bidang Pendidikan Agama Islam (Tinjauan Yuridis Formal). Skripsi. Semarang: Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo. Semarang. 2011. Keyword: Guru, Ikhlas, Imam Al-Ghazali, Kitab Ihya’ Ulumiddin. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Konsep Guru Yang Ikhlas menurut Imam Al-Ghazali dalam Kitab Ihya’ Ulumiddin. Penelitian ini merupakan studi kepustakaan (Library Research) dengan menggunakan metode penelitian deskriptif, dari keseluruhan data yang terkumpul kemudian dianalisis yang bersifat kualitatif dengan menggunakan metode berikut, yaitu Metode Interpretasi dan Content Analysis. Dengan menggunakan metode Interpretasi ini peneliti akan menganalisis Kitab Ihya’ Ulumiddin untuk mengungkapkan makna yang terkandung didalamnya. Kemudian dengan metode Content Analysis peneliti akan mengungkapkan isi pemikiran Imam Al-Ghazali dalam Kitab Ihya’ Ulumiddin tentang konsep guru yang ikhlas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: Dalam Kitab Ihya’ Ulumiddin mencakup berbagai pengetahuan yang luas, yang merupakan perpaduan antara ilmu fiqh dan ilmu tasawuf. Dalam kitab ini terdapat materi pembahasan tentang guru yang terdapat pada bahagian peribadatan dalam bab ilmu, dan pembahasan tentang ikhlas ada pada bahagian perbuatan yang menyelamatkan dalam bab niat, benar dan ikhlas. Adapun konsep guru yang ikhlas menurut Al-Ghazali adalah seorang guru yang senantiasa membersihkan hati dan memurnikan segala tujuan amal ibadahnya semata-mata hanya karena Allah SWT, yaitu untuk mendapatkan ridha-Nya dan menjadikan ilmunya manfaat, bukan karena mencari harta, kedudukan dan pangkat. Ia menyatakan bahwa tujuan dari menuntut ilmu adalah untuk mendekatkan diri kepada Allah. Ilmu tersebut akan sia-sia, kecuali apabila ilmu itu diamalkan. Sementara amal akan ditolak kecuali dengan ikhlas. Menurut Al-Ghazali, orang yang berprofesi sebagai guru sangat mulia, baik dihadapan Allah maupun dihadapan para makhluk-Nya. Oleh karena itu, maka guru hendaknya ikhlas dalam mengamalkan ilmunya semata-mata untuk Allah SWT. Guru juga harus memenuhi berbagai persyaratan, seperti penguasaan ilmu, kepribadian dan akhlak yang mulia serta menyayangi muridnya dengan sepenuh hati. Pemikiran Al-Ghazali berkaitan dengan guru yang ikhlas, dapat diterapkan pada masa sekarang ini, terutama sebagai bahan refleksi dan peringatan bagi para guru. Karena pada masa sekarang ini, banyak guru yang lupa akan kewajibannya, namun sangat keras dalam menuntut haknya. Namun demikian, AlGhazali tidak melarang adanya upah atau gaji atas pengajaran tersebut. Hal itu demi kesejahteraan hidup guru dan demi kelancaran proses belajar mengajar. Hasil penelitian ini diharapkan akan menjadi bahan informasi dan masukan bagi para mahasiswa, para tenaga pengajar, para peneliti dan semua pihak yang membutuhkan di lingkungan Fakultas Tarbiyah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo Semarang. ii
KEMENTERIAN AGAMA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
FAKULTAS TARBIYAH Jl. Prof. Dr. Hamka KM 1 Ngaliyan Telp. (024)7601291 Semarang 50185
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Semarang, 27 Mei 2011 Lamp : 4 (Empat) Eksemplar Hal : Naskah Skripsi An. Sdri. Lisa Fathiyana
Kepada Yth. Dekan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo di Semarang
Assalamualaikum Wr. Wb. Setelah saya mengadakan koreksi dan perbaikan seperlunya, maka saya menyatakan bahwa skripsi saudari: Nama NIM Jurusan Judul Skripsi
: Lisa Fathiyana : 063111056 : Pendidikan Agama Islam : Konsep Guru Yang Ikhlas Menurut Imam Al-Ghazali Dalam Kitab Ihya’ Ulumiddin
Telah melalui proses bimbingan, selanjutnya saya mohon agar skripsi saudari tersebut dapat di munaqosahkan. Atas perhatiannya saya ucapkan terima kasih. Wassalamualaikum Wr. Wb.
Pembimbing I
Pembimbing II
Dr. H. Raharjo, M.Ed, St. NIP. 19651123 199103 1 003
Drs. Ikhrom, M.Ag NIP. 19650329 199403 1 002
iii
PERNYATAAN
Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab peneliti menyatakan bahwa skripsi ini tidak berisi materi yang pernah ditulis oleh orang lain atau diterbitkan. Demikian juga skripsi ini tidak berisi satupun pikiran-pikiran orang lain, kecuali informasi yang terdapat dalam referensi yang dijadikan bahan rujukan.
Semarang, 27 Mei 2011 Deklarator,
Lisa Fathiyana NIM. 063111056
iv
KEMENTERIAN AGAMA INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
FAKULTAS TARBIYAH Jl. Prof. Dr. Hamka KM 1 Ngaliyan Telp. (024)7601291 Semarang 50185
PENGESAHAN Nama
: Lisa Fathiyana
NIM
: 063111056
Fakultas/Jurusan
: Tarbiyah / PAI
Judul Skripsi
: Konsep Guru Yang Ikhlas Menurut Imam Al-Ghazali Dalam Kitab Ihya’ Ulumiddin
Telah Dimunaqosahkan oleh Dewan Penguji Fakultas Tarbiyah Institut Agama Islam Negeri Walisongo Semarang, pada tanggal: 15 Juni 2011 Dan dapat diterima sebagai kelengkapan ujian akhir dalam rangka menyelesaikan studi Program Sarjana Strata I (S.1) tahun akademik 2010/2011 guna memperoleh gelar sarjana dalam Ilmu Tarbiyah. Semarang, 20 Juni 2011 Dewan Penguji Ketua Sidang,
Sekretaris Sidang,
Drs. Wahyudi, M.Pd NIP. 19680314 199503 1 001
Nadhifah, S.Th.I., M.SI NIP. 19750827 200312 2 003
Penguji I,
Penguji II,
Drs. H. Jasuri, M.Si NIP. 19671014 199403 1 005
Alis Asikin, M.A NIP. 19690724 199903 1 002
Pembimbing I,
Pembimbing II,
Drs. Ikhrom, M.Ag NIP. 19650329 199403 1 002
Dr. H. Raharjo, M.Ed, St. NIP. 19651123 199103 1 003
v
MOTTO
اّ ا ل ّ ت:ر ل ا ّ ا و ّ ل ١
(! ري و#$ ا%وا ّ ا ئ ى )روا
Rasulullah SAW bersabda: Sesungguhnya amal itu tergantung pada niatnya dan sesungguhnya balasan yang akan diperoleh seseorang dari amalnya juga sesuai dengan niatnya. (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Seluruh manusia akan binasa, kecuali orang-orang yang beriman. Orang-orang yang beriman akan binasa, kecuali mereka yang berilmu. Orang-orang yang berilmu akan binasa, kecuali mereka yang mengamalkannya. Orang-orang yang beramal akan binasa, kecuali mereka yang ikhlas. 2
1 2
Abi Zakariya Yahya, Riyadhush Shalihin, (Semarang: Pustaka Alawiyah, tt.), hlm. 6. Shihab, Pintu-Pintu Kesalehan, (Jakarta: PT Mizan Publika, 2007), Cet. I, hlm. 234.
vi
PERSEMBAHAN Skripsi ini penulis persembahkan kepada: Kedua orang tuaku: Bapakku Abdurrahim dan Ibuku Waqi’ah Kakak-kakakku: M. Ali Soghir beserta keluarganya, Siti Nur Azizah beserta keluarganya dan kakakku tercinta Muhammad Mustajib Adik-adikku tercinta & tersayang: Muhammad Khumaedi, Rizki Amelia dan Uswatun Chasanah Terkasih: R.H. Bagus Satriyo Negoro Djoyo Diningrat (Mz. Habib)
vii
KATA PENGANTAR Bismillahirrahmanirrahim Alhamdulillah, segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat, taufiq dan hidayah-Nya. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat dan para pengikutnya. Berkat rahmat dan nikmat Allah SWT, penulis dapat menyajikan skripsi ini guna memenuhi syarat untuk memperoleh gelar sarjana dalam ilmu pendidikan Islam (tarbiyah). Kepada semua pihak yang membantu kelancaran dalam menulis skripsi ini, penulis menyampaikan rasa terima kasih dan penghargaan yang sebesarbesarnya, khususnya kepada yang terhormat: 1. Dr. Sujai, M.Ag, selaku Dekan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang. 2. Drs. Abdul Wahib, M.Ag, selaku Wali Studi. 3. Drs. Ikhrom, M.Ag, beserta keluarganya dan Dr. H. Raharjo, M.Ed, St, selaku Dosen Pembimbing, yang dengan ikhlas telah meluangkan banyak waktu, tenaga dan pikirannya guna membimbing dan mengarahkan penulis hingga terselesaikannya skripsi ini. 4. Segenap Civitas Akademika Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang. 5. Bapakku Abdurrahim dan Ibuku Waqi’ah yang penuh dengan cinta kasih serta kesabaran dalam berjuang, mendidik dan selalu memberikan yang terbaik bagi putrinya. Segala doa dan dukungan yang mereka berikan, baik berupa moral maupun material dengan tulus ikhlas demi kesuksesan putri tercinta. Semoga Allah senantiasa meridhai atas segala budi baik mereka. Amin. 6. Saudara-saudaraku beserta segenap keluarga yang telah turut serta membantu dan memberikan dukungan baik berupa moral maupun material. 7. Untuk Mz. Habib yang selalu memberikan semangat dan motivasi, serta ilmu yang bermanfaat bagi kehidupan dan kelancaran penulis. Terimakasih untuk segalanya.
viii
8. Keluarga besar Pondok Pesantren Raudlothut Tholibin (PPRT), antara lain: Bpk. KH. Zaenal Asyikin (Alm) dan Ibu Nyai Hj. Muthohiroh, Ibu Nyai Hj. Muniroh, Bpk. KH. Abdul Khaliq, Lc. dan Ustadz Qolyubi S.Ag, beserta segenap keluarga yang senantiasa membimbing dan mendoakan terhadap keberhasilan penulis. 9. Keluarga besar TPQ Miftahus Shibyan, khususnya untuk anak-anakku yang telah mewarnai hari-hari penulis selama di Semarang. 10. Guru-guruku yang telah mengantarkan penulis dari tidak tahu menjadi tahu. 11. Sahabat-sahabatku: Zammi Diannitasari, Listiana dan Ummu Aiman. 12. Teman-teman PPRT yang selama ini hidup bersama dan mendukung penulis, khususnya (mba Ika, mba Aan, Ifeh, Aiz, Tyaz, Sakin, Nihlatun, Indah, Uus, Muji, Lilis dan Ardana) semoga tetap kompak dan rukun. 13. Teman-teman PAI Paket B, khususnya (Aim, Mb. Nur, Mb. Obi dan Fatma), serta kawan senasib seperjuangan. 14. Semua pihak yang telah berperan dan membantu penulis hingga skripsi ini bisa terwujud. Teriring doa dan harapan semoga amal baik dan jasa dari semua pihak tersebut di atas akan mendapat balasan yang sebaik-baiknya dari Allah SWT. Penulis menyadari, bahwa skripsi ini masih banyak kekurangan baik dari teknik penulisan maupun isi. Oleh karena itu, penulis mengharapkan adanya kritik dan saran yang konstruktif bagi kesempurnaan penulisan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi siapa saja yang membaca, terutama bagi Civitas Akademika IAIN Walisongo Semarang. Amin.
Semarang, 27 Mei 2011 Penulis,
Lisa Fathiyana NIM. 063111056
ix
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL......................................................................................... i HALAMAN ABSTRAK ................................................................................... ii HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .............................................. iii HALAMAN DEKLARASI .............................................................................. iv HALAMAN PENGESAHAN .......................................................................... v HALAMAN MOTTO ...................................................................................... vi HALAMAN PERSEMBAHAN........................................................................ vii HALAMAN KATA PENGANTAR ................................................................ vii DAFTAR ISI ..................................................................................................... x BAB I.
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ...............................................
1
B. Penegasan Istilah ............................................................... 6 C. Fokus Penelitian ...........................................................
8
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian .......................................... 8
BAB II.
E. Metodologi Penelitian ..................................................
9
1. Metode Pengumpulan Data ...................................
9
2. Metode Analisis Data ............................................
10
GURU YANG IKHLAS A. Guru ………………………………………..…………
12
1. Pengertian Guru .....................................................
12
2. Kriteria dan Syarat Guru ........................................
13
3. Tugas dan Peranan Guru ........................... ……....
17
4. Guru Sebagai Profesi............................................. .
18
B. Ikhlas ……………………………………………. …..
22
1. Pengertian Ikhlas………………………………..
22
2. Hakikat Ikhlas …………………………………..
25
3. Buah Keikhlasan…………………………… ….
28
C. Guru Yang Ikhlas……………………………… ….
29
1. Pengertian Guru Yang Ikhlas……………………
x
29
2. Kriteria Guru Yang Ikhlas....................................
30
3. Pendapat Para Tokoh Berkaitan Dengan
BAB III.
Guru Yang Ikhlas.................................................
32
D. Kajian Hasil Penelitian Yang Relevan…………. …
35
PEMIKIRAN IMAM AL-GHAZALI DALAM KITAB IHYA’ ULUMIDDIN A. Riwayat Hidup Imam Al-Ghazali 1. Biografi Imam Al-Ghazali………………………
39
2. Perjalanan Imam Al-Ghazali Sebagai Guru…….
43
3. Karya-Karya Imam Al-Ghazali…………………
47
B. Kitab Ihya’ Ulumiddin 1. . Sekilas Isi Kitab Ihya’ Ulumiddin……………….
48
2. . Pemikiran Imam Al-Ghazali Dalam KItab Ihya’ Ulumuddin………………….. BAB IV.
57
ANALISIS KONSEP GURU YANG IKHLAS DALAM KITAB IHYA’ ULUMIDDIN Pemikiran Imam Al-Ghazali Tentang Konsep Guru Yang Ikhlas Dalam Kitab Ihya’ Ulumiddin
BAB V.
1. Pengertian Guru Yang Ikhlas …………………….
70
2. Kriteria Guru Yang Ikhlas ……..…………………
75
3. Tujuan Menjadi Guru……………………………..
78
4. Efek dan Kontribusi Guru Yang Ikhlas ………….
85
PENUTUP A. Kesimpulan .................................................................
89
B Saran-Saran .................................................................
90
C Penutup .......................................................................
91
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN DAFTAR RIWAYAT HIDUP
xi
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Guru ikhlas atau guru yang ikhlas merupakan suatu fenomena yang terjadi dalam dunia pendidikan saat ini. Penafsiran yang berbeda, akan menghasilkan pemahaman yang berbeda pula. Banyak orang yang keliru dalam menafsirkan guru ikhlas. Mereka beranggapan bahwa guru yang ikhlas adalah seseorang yang dengan rela mengajar tanpa harus diberi upah atas pekerjaannya tersebut. Jika memang demikian, lalu bagaimana seorang guru bisa mengajar dengan tenang sementara ia harus memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari. Di sisi lain, mengajar juga merupakan suatu profesi yang menuntut keahlian dengan mendapat imbalan berupa bayaran, upah, dan gaji.1 Oleh karena itu, maka dari segi mana seorang guru dikatakan sebagai guru yang ikhlas. Dari sinilah penulis tertarik untuk mengkaji lebih lanjut tentang konsep guru yang ikhlas. Imam Al-Ghazali mengungkapkan bahwa siapa yang menekuni tugas sebagai pengajar, berarti ia tengah menempuh suatu perkara yang sangat mulia. Oleh karena itu, ia harus senantiasa menjaga adab dan tugas yang menyertainya.2 Salah satu diantaranya adalah, seorang guru harus menjaga adab dan tugasnya dengan meneladani Rasulullah SAW. Dalam hal ini, pengajar tidak diperkenankan menuntut upah dari aktivitas mengajarnya. Sebagaimana firman Allah SWT.
∩∪ #‘θä3ä© Ÿωuρ [!#t“y_ óΟä3ΖÏΒ ß‰ƒÌçΡ Ÿω Kami tidak mengharap balasan dari kalian dan tidak pula ucapan terimakasih. (Q.S. Al-Insan: 9).3 1
Yamin, Profesionalisasi Guru & Implementasi KTSP, (Jakarta: Gaung Persada Press, 2008), hlm. 3. 2 Al-Ghazali, Ihya’ Al-Ghazali, terj. Ismail Yakub, (Jakarta: CV. Faizan, 1994), Jilid I, Cet. 12, hlm. 212. 3 Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Surabaya: Karya Agung, 2006), hlm. 857.
1
2
Dalam tafsir Ibnu Katsir diterangkan, bahwa ”Sesungguhnya kami memberikan makanan kepadamu hanyalah karena mengharapkan ridha Allah,” yaitu mengharapkan kerelaan dan pahala dari Allah. ”kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula ucapan terimakasih.” Dalam hal ini Rasulullah tidak meminta imbalan atas pemberiannya kepada orang lain. Rasulullah juga tidak mengharapkan ucapan terimakasih, karena beliau hanya mengharapkan ridha dari Allah SWT.4 Ayat tersebut menunjukkan, bahwa dalam memberi sesuatu hendaknya dilandasi dengan dasar keikhlasan, semata-mata untuk mendapatkan ridha Allah bukan untuk yang lainnya, seperti mengharap pujian dan balasan yang seimbang serta ucapan terimakasih dari orang lain.5 Hal ini sama halnya bagi seorang guru dalam memberikan suatu ilmu, pemahaman dan pengertian kepada muridnya. Seorang guru harus senantiasa menjaga niatnya dengan baik, agar tidak terkecoh akan kemegahan duniawi dan menjadikan ilmunya sebagai alat untuk memperoleh harta, pangkat dan jabatan. Akan tetapi, harus mendasarkan niatnya untuk mencari keridhaan Allah SWT dan mengamalkan ilmunya agar bermanfaat, baik bagi dirinya maupun untuk orang lain. Meneladani Rasulullah SAW dengan tidak meminta upah pengajaran, tidak bermaksud mencari imbalan ataupun ucapan terimakasih melainkan semata-mata untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Selain itu, guru juga tidak merasa perlu penghargaan dari murid walaupun hal itu adalah kewajiban mereka. Para guru hendaknya menilai, bahwa mereka memiliki keutamaan karena mau membersihkan hatinya agar dekat kepada Allah dengan menabur berbagai ilmu. Seperti halnya orang yang meminjamkan tanahnya kepada orang lain untuk di tanami dan hasilnya untuk sang peminjam tersebut, maka manfaat yang diperolehnya dari tanah itu lebih besar daripada manfaat yang diperoleh oleh pemilik tanah itu. 6
4
Nasib Ar-Rifa’i, Ringkasan Ibnu Katsir, terj. Syihabudin, (Jakarta: Gema Insani, 1999), Jilid 4, Cet. I, hlm. 878. 5 Ibid. 6 Hawa, Tazkiyatun Nafs, terj. Tim Kuwais, (Jakarta: Darus Salam, 2005), hlm. 22.
3
Dengan demikian, maka bagaimana guru mengharuskan seorang murid untuk memberi penghargaan kepadanya, sedangkan pahala pengajaran di sisi Allah lebih besar daripada pahala dari murid itu. Akan tetapi, kehadiran murid sangat berarti bagi seorang guru. Karena seandainya tidak ada murid, niscaya seorang guru tidak akan meraih pahala tersebut. Maka dari itu, hendaknya seorang guru jangan meminta upah, kecuali kepada Allah Yang Mahatinggi. Sebagaimana firman Allah SWT mengisahkan Nabi Nuh a.s.,
∩⊄∪ «!$# ’n?tã āωÎ) y“Ìô_r& ÷βÎ) ( »ω$tΒ Ïµø‹n=tã öΝà6è=t↔ó™r& Iω ÏΘöθs)≈tƒuρ Dan wahai kaumku, Aku tidak meminta harta kepada kamu (sebagai imbalan) atas seruanku, imbalanku hanyalah dari Allah. (Q.S. Hud: 29).7 Ayat tersebut menunjukkan, bahwa nabi Nuh merupakan orang yang ikhlas. Ia senantiasa mengharap ridha Allah dalam setiap seruannya mengajak kepada amar ma’ruf nahi mungkar. Ia tidak pernah mengharapkan upah dari kaumnya. Sebagaimana firman Allah sebelumnya, yang menggambarkan Rasulullah dalam memberikan sesuatu tidak mengharapkan adanya imbalan, melainkan hanya ridha Allah dan pahala disisi-Nya.8 Namun yang menjadi latar belakang dan permasalahan dalam hal ini, apakah benar ikhlas artinya tidak menerima upah setelah mengajar? Benarkah makna ikhlas tidak menerima amplop setelah kegiatan dakwah? Dalam AlQur’an, orang yang menyebarkan agama Islam termasuk fi sabilillah dan berhak mendapatkan bagian dari zakat, meskipun orang tersebut kaya raya. Dengan demikian, ketika seorang mubalig atau guru menerima upah, maka ia tidak kehilangan ikhlasnya. Ikhlas tidak ada hubungannya dengan menerima atau menolak upah.9
7 8 9
148.
Departemen Agama, op.cit, hlm. 301. Nasib Ar-Rifa’i, op.cit, hlm. 782-783. Nurdin, Kiat Menjadi Guru Profesional, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2008), Cet. I, hlm.
4
Hal ini sebagaimana di ungkapkan oleh Gusmian, bahwa: Kita hanya pantas menggerakkan hidup ini untuk Sang Pemiliknya. Namun hal ini bukan berarti bahwa kreativitas dalam hidup kita tidak perlu dihargai secara material. Sebagian orang memahami ikhlas dengan melakukan kebajikan tanpa penghargaan secara material. Misalnya mengajar baca tulis Al-Qur’an gratis, menjadi pembicara di acara pengajian tanpa bayaran. Gratis bukanlah identik dengan sikap ikhlas, karena ikhlas adalah urusan sikap hati.10 Sebagai contoh, ada seorang penceramah dengan begitu bangga mengatakan di depan jamaah bahwa dirinya tidak mau menerima bayaran dari profesinya, karena merasa kasihan kepada para jamaah dan dengan mengatakan bahwa dirinya ikhlas. Hal ini belum tentu bahwa dia benar-benar orang yang ikhlas. Sebab dengan pengakuan keikhlasan itu, bisa jadi dia justru ingin mendapat pujian bahwa dirinya telah mampu menguasai ilmu ikhlas. Padahal, ia justru sedang riya’, mencari pujian di hadapan manusia dengan amal baiknya. Maka dengan demikian, keikhlasan bukan berarti tanpa penghargaan material di dunia, melainkan kemampuan seseorang dalam menjaga hati dari orientasi dan belenggu dunia. Berkaitan dengan pemaparan di atas, peneliti ingin mengkaji konsep guru yang ikhlas menurut Imam Al-Ghazali. Hal ini bisa dilihat dari latar belakang beliau yang juga sebagai guru, dan melihat dari perjalanan hidup beliau dalam mengarungi samudera kehidupan, sehingga menemukan hakekat kebenaran. Hal ini sebagaimana pernyataan Imam Al-Ghazali: Kehausan untuk mengetahui hakekat segala sesuatu adalah watak dasarku sejak lahir. Ini pembawaan yang dianugerahkan Allah di jiwaku, bukan hasil usahaku sendiri. Sejak remaja, sebelum usia 20 tahun, sampai berusia 50 tahun, aku telah mengarungi gelombang lautan (mazhab dan ilmu) yang sangat dalam. Aku menyelami kedalamannya sebagai seorang pengembara dan bukan sebagai seorang pengecut. Aku terjebak dikegelapannya, namun dapat mengatasi rintangannya. Aku menceburkan diri di tengah-tengahnya, menyelidiki setiap mazhab dan membuka misteri ajarannya, sehingga aku mengetahui kebenaran dan kesalahan masing-masing. 11 10
Gusmian, Surat Cinta Al-Ghazali: Nasihat-Nasihat Pencerah Hati, (Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2006), Cet. II, hlm. 168. 11 Said Basil, Al-Ghazali Mencari Makrifah, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1990), hlm. 11.
5
Pernyataan Al-Ghazali tersebut menunjukkan, bahwa ia benar-benar telah menyelami hidupnya dengan berbagai pengalaman spiritual, sehingga mengantarkan ia sebagai guru yang ikhlas. Hal ini karena ia telah menemukan hakikat kebenaran dan keikhlasan. Sehingga ia mampu mempraktikan dan membuktikannya, dengan mengamalkan dan mengajarkan ilmunya sematamata karena Allah SWT. Tugas mendidik memiliki nilai spiritual yang tinggi, jika tugas mendidik tersebut di orientasikan untuk mencari keridhaan Allah SWT. Selain itu, mendidik juga memiliki nilai universal yang dilakukan oleh siapapun di dunia ini. Oleh karena itu, tugas mendidik merupakan tugas yang sangat mulia dan merupakan tugas utama guru, maka guru harus secara sungguh-sungguh dan tulus-ikhlas melakukan tugas tersebut sehingga ia dapat menikmati, menjiwai dan merasa nyaman menjadi seorang guru.12 Adapun karena kemuliaan yang dimiliki oleh seorang guru, berbagai gelar disandangnya. Guru adalah pahlawan tanpa pamrih, pahlawan tanpa tanda jasa, pahlawan ilmu, pahlawan kebaikan, manusia serba bisa, warga negara yang baik, soko guru, ki ajar, sang guru dan sebagainya.13 Betapa tingginya derajat seorang guru, sehingga wajarlah bila guru diberi berbagai julukan yang tidak akan pernah ditemukan pada profesi lain. Semua julukan itu perlu dilestarikan dengan pengabdian yang tulus ikhlas, dengan motivasi kerja untuk membina jiwa dan watak anak didik, bukan segalanya demi uang yang membatasi tugas dan tanggung jawabnya sebatas dinding sekolah. 14 Dengan demikian, maka ketulusan dalam mengajar sangat penting sekali untuk diperhatikan bagi seorang guru. Sehingga dalam setiap gerak langkahnya, seorang guru harus senantiasa menanamkan niat yang ikhlas, semata-mata untuk mendapatkan keridhaan dari Allah SWT. Dalam hal ini, penulis sangat tertarik ingin meneliti dan mengkaji, bagaimana konsep guru 12
Hidayatullah, Guru Sejati, (Surakarta: Yuma Pustaka, 2009), hlm. 129-130. Djamarah, Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2005), Cet. II, hlm. 41. 14 Ibid, hlm. 42. 13
6
ikhlas yang akan di jabarkan dalam skripsi dengan judul: Konsep Guru yang Ikhlas menurut Imam Al-Ghazali dalam Kitab Ihya’ Ulumiddin. B. Penegasan Istilah Untuk memudahkan pemahaman dan pemaknaan sekaligus untuk menghindari kesalahpahaman persepsi dalam memahami judul di atas serta untuk memperjelas dalam penulisan skripsi ini, maka terlebih dahulu akan penulis kemukakan beberapa istilah yang dipandang perlu dijelaskan. Adapun istilah-istilah tersebut sebagai berikut: 1. Konsep Konsep secara bahasa berarti ide umum; pengertian; pemikiran; rancangan; rencana dasar.15 Sedangkan secara istilah konsep adalah ide atau pengertian yang diabstrakkan dari peristiwa konkret. 2. Guru Yang Ikhlas Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.16 Ikhlas secara bahasa berarti rela; dengan tulus hati; rela hati.17 Sedangkan secara istilah ikhlas adalah keterampilan (skill) penyerahan diri total kepada Tuhan untuk meraih puncak sukses dan kebahagiaan dunia akhirat.18 Adapun yang dimaksud dengan konsep guru yang ikhlas, adalah suatu konsep yang membahas tentang hakekat keikhlasan seorang guru dalam mengamalkan ilmunya, sehingga menjadikan ilmunya manfaat serta
15
M. Dahlan Al Barry & Pius A Partanto, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Arkola, 1994), hlm. 362. 16 Undang-Undang R.I No 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, (Bandung: Citra Umbara, 2006). 17 M. Dahlan Al Barry & Pius A Partanto, op.cit, hlm. 241. 18 Sentanu, Quantum Ikhlas, (Jakarta: PT. Gramedia, 2008), hlm. xxxiv.
7
membawa kebaikan bagi orang lain. Selain itu, bagaimana seorang guru bisa membawa hati dalam melaksanakan tugasnya sebagai pendidik dan pengajar. Ia mendasarkan niat yang benar dan ikhlas semata-mata untuk mendapatkan ridha dari Allah SWT, sehingga mencapai kesuksesan dan kebahagiaan di dunia dan akhirat. 3. Imam Al-Ghazali Nama lengkap Imam Al-Ghazali adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali Ath-Thusi An-Naysaburi AlFaqih Ash-Shufi Asy-Syafi’i Al-Asy’ari. Ia mendapat gelar Hujjatul Islam yang artinya pembela Islam dan Zainuddin yang artinya hiasan agama. Ia lahir di Kota Thus pada tahun 450 Hijriah.19 Abu Hamid Muhammad AlGhazali (1058-1111M) seorang filsuf, teolog, ahli hukum, dan Sufi. Di kalangan Barat ia dikenal dengan Nama Al-Qazeel. Al-Ghazali lahir dan meninggal di Thus Persia. Ia banyak menulis karya, diantaranya yang terbesar mengenai pencarian ilmu pengetahuan antara lain: Ihya Ulum alDin (menghidupkan kembali ilmu-ilmu agama), al-Munqid Min al Zalalah (penyelamat dari kesesatan), dan di dalam karyanya Tahafut al-Falasifah (sanggahan terhadap pemikiran kaum filsafat).20 4. Kitab Ihya’ Ulumiddin Kitab Ihya’ Ulumiddin (Menghidupkan Kembali Ilmu-ilmu Agama), merupakan salah satu karya monumental yang ditulis oleh Imam Abu Hamid Al-Ghazali pada awal abad ke-5 Hijriyah. Kitab ini terdiri dari empat bahagian besar (empat rubu’) antara lain: Pertama, bahagian (rubu’) peribadatan (rubu’ ibadah). Kedua, bahagian (rubu’) pekerjaan sehari-hari (rubu’ adat kebiasaan). Ketiga, bahagian (rubu’) perbuatan yang membinasakan (rubu’ al-muhlikat). Keempat, bahagian (rubu’) perbuatan
19
Al-Ghazali, Mutiara Ihya’ Ulumuddin, terj. Irwan Kurniawan, (Bandung: Mizan, 2008),
hlm. 9. 20
117.
Mujieb, dkk, Ensiklopedia Tasawuf Imam Al-Ghazali (Jakarta: Hikmah, 2009), hlm. 116-
8
yang menyelamatkan (rubu’ al-munjiyat). Setiap rubu’ terdiri dari sepuluh bab.21 Adapun pembahasan tentang guru terdapat pada bahagian (rubu’) peribadatan dalam bab ilmu, dan pembahasan tentang ikhlas ada pada bahagian (rubu’) perbuatan yang menyelamatkan dalam bab niat, benar dan ikhlas. Kitab Ihya’ ini juga merupakan referensi utama bagi penulis sekaligus sebagai obyek kajian dalam penelitian ini. C. Fokus Penelitian Berdasarkan dari latar belakang masalah di atas, maka penulis mambatasi permasalahan dengan fokus penelitian pada: Bagaimana Konsep Guru yang Ikhlas menurut Imam Al-Ghazali dalam Kitab Ihya’ Ulumiddin? D. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan yang ingin dicapai oleh penulis dalam melaksanakan penelitian ini adalah: untuk mengetahui bagaimana konsep guru yang ikhlas menurut Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulumiddin. Adapun manfaat dari penelitian ini adalah, antara lain: 1. Secara teoritis: Hasil studi ini diharapkan bisa menambah kepustakaan tentang konsep ikhlas, khususnya konsep guru yang ikhlas agar khalayak mengetahui betapa pentingnya keikhlasan dalam menjalani kehidupan sehari-hari dan pentingnya ikhlas dalam melakukan setiap pekerjaan. 2. Secara praktis: a. bagi guru : Terbentuknya sebuah kesadaran dalam diri seorang guru, bahwa dalam mengajar hendaknya dilandasi dengan niat tulus ikhlas semata-mata untuk mengamalkan ilmunya dan mengharap ridha dari Allah SWT, tidak berorientasi pada materi. 21
Al-Ghazali, Ihya’ Al-Ghazali, op.cit, hlm. 33.
9
b. bagi siswa : Terbentuknya sebuah kesadaran dalam diri seorang murid, bahwa dalam menuntut ilmu hendaknya meluruskan niat untuk mencari ridha Allah dan menghilangkan kebodohan. E. Metodologi Penelitian Untuk memudahkan dalam penulisan skripsi ini, maka penulis menggunakan metode sebagai berikut: 1. Metode Pengumpulan Data Dalam penulisan skripsi ini penulis mengumpulkan data dengan metode kepustakaan (library research). Metode ini digunakan untuk mengumpulkan data yang bersumber dari buku dan dokumen-dokumen lainnya.22 Metode kepustakaan ini penulis gunakan untuk meneliti tentang konsep guru yang ikhlas dalam kitab Ihya’ Ulumiddin menurut Imam AlGhazali yang ditunjang dengan buku-buku ilmiah lainnya atau dari beberapa sumber yang lain. a. Sumber Data Primer Sumber data primer adalah sumber data langsung yang dikaitkan dengan objek penelitian yaitu kata-kata atau tindakan orang-orang yang diamati atau diwawancarai.23 Sumber data primer yang digunakan oleh penulis sebagai rujukan adalah Kitab Ihya’ Ulumiddin karya Imam Al-Ghazali. b. Sumber Data Sekunder Sumber data sekunder adalah sumber data yang tidak langsung memberikan data kepada pengumpul data, misalnya lewat orang lain atau lewat dokumen.24 Sumber data sekunder sebagai data pendukung dan pelengkap dari sumber data primer. Adapun sumber data sekunder 22
Ismail SM, Strategi Pembelajaran Agama Islam Berbasis PAIKEM, (Semarang: RaSAIL, 2008), Cet. I, hlm. 5-6. 23 Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT. Rosdakarya, 2007), hlm. 157. 24 Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan, (Bandung: Alfabeta, 2010), Cet. 11, hlm. 309.
10
dalam penelitian ini adalah buku-buku atau karya-karya ilmiah yang isinya dapat melengkapi data yang diperlukan penulis dalam penelitian ini. Misalnya Mutiara Ihya’ Ulumiddin karya Imam al-Ghazali, Mengarungi Samudra Ikhlas karya Rachmat Ramadhana al-Banjari, Quantum Ikhlas karya Erbe Sentanu dan lain sebagainya. 2. Metode Analisis Data Setelah data-data terkumpul, maka penulis akan menganalisis data. Analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari berbagai hasil pengumpulan data.25 Metode analisis data yang penulis gunakan adalah metode deskripsi. Karena data yang terkumpul kemudian dianalisis secara non statistik, adapun data yang terkumpul berupa data deskriptif. Menurut Sukardi, penelitian deskriptif merupakan metode penelitian yang dilakukan dengan tujuan utama untuk menggambarkan secara sistematis fakta dan karakterisitik objek atau subjek yang diteliti secara tepat.26 Metode ini penulis gunakan untuk mendeskripsikan konsep guru yang ikhlas. Adapun metode yang digunakan adalah: a. Metode Analisis Isi (Content Analysis) Menurut Earl Babbie “content analysis as the study of recorded human communications, such as books, websites, paintings and laws.” Berkaitan dengan hal ini, Harold Lass well formulated the core questions of content analysis: “Who says what, to whom, why, to what extent and with what effect?”27 Earl Babbie mendefinisikan content analysis sebagai suatu penyelidikan yang mencatat sistem komunikasi manusia, seperti buku-buku, website, lukisan-lukisan dan hukumhukum. Sementara Harold Lass well merumuskan beberapa pertanyaan inti tentang content analysis, antara lain: siapa yang mengatakan, 25
Ibid, hlm. 335. Sukardi, Metodologi Penelitian Pendidikan, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2009), Cet. VII, hlm. 157. 27 http://en. wikipedia.org/wiki/Content analysis, diundo 26/02/2011. 26
11
kepada siapa, mengapa, untuk apa secara luas dan bagaimana dengan pengaruhnya. Berkaitan dengan pengertian content analysis tersebut, Burhan Bungin mengatakan bahwa content analysis adalah “teknik penelitian untuk membuat inferensi-inferensi yang dapat ditiru (replicabel), dan sahih data dengan memperhatikan konteksnya. Adapun contentanalysis ini berhubungan dengan komunikasi atau isi komunikasi.”28 Berdasarkan beberapa pengertian di atas, maka content analysis merupakan suatu metode untuk mengungkapkan isi pemikiran tokoh yang diteliti, yang meliputi beberapa pertanyaan inti tersebut tentang content analysis. Adapun content analysis ini penulis gunakan untuk mengungkapkan isi dan menggambarkan dari kitab Ihya’ Ulumiddin. b. Metode Interpretasi Menurut Moleong, metode interpretasi data merupakan upaya untuk memperoleh arti dan makna yang lebih mendalam dan luas terhadap hasil penelitian yang sedang dilakukan.29 Metode ini penulis gunakan untuk menganalisis beberapa buku secara implisit untuk mengungkapkan makna yang terkandung di dalamnya.
28
Bungin (Ed.), Metodologi Penelitian Pendidikan, ( Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008), hlm. 231. 29 Moleong, op. cit, hlm. 151.
BAB II GURU YANG IKHLAS A. Guru 1. Pengertian Guru Guru dalam literarur kependidikan Islam, biasa disebut sebagai ustadz, mudarris, mu’allim, murabbiy, mursyid, dan muaddib.1 Sedangkan dalam bahasa Inggris disebut teacher yang artinya pengajar dan educator yang artinya pendidik.2 Dalam pengertian sederhana, guru adalah orang yang memberikan ilmu pengetahuan kepada anak didik. Sementara guru dalam pandangan masyarakat adalah orang yang melaksanakan pendidikan di tempat-tempat tertentu, tidak mesti di lembaga pendidikan formal, tetapi bisa di masjid, di surau, di rumah, dan sebagainya.3 Menurut Undang-Undang RI Nomor 14, guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.4 Guru sebagai seorang pendidik disebut mu’addib yaitu orang yang berusaha mewujudkan budi pekerti yang baik atau akhlakul karimah, sebagai pembentukan nilai-nilai moral atau transfer of values. Sementara guru sebagai pengajar disebut mu’allim yaitu orang yang mengajarkan berbagai ilmu pengetahuan kepada peserta didik, sehingga peserta didik
1
Muhaimin, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), Cet. II, hlm. 209. 2 Hassan Shadily & John M. Echols, Kamus Inggris Indonesia, (Jakarta: PT Gramedia, 1996), Cet. 23, hlm. 207. 3 Djamarah, Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2005), Cet. II, hlm. 31. 4 Undang-Undang R.I Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, (Bandung: Citra Umbara, 2006), hlm. 2-3.
12
13
mengerti, memahami, menghayati dan dapat mengamalkan berbagai ilmu pengetahuan yang disebut sebagai transfer of knowledge. 5 Adapun definisi atau pengertian guru menurut beberapa pakar pendidikan, sebagaimana dikutip oleh Nurdin, antara lain: Guru menurut Ahmad D. Marimba adalah orang yang memikul pertanggung jawaban untuk mendidik. Sedangkan guru menurut Zahra Idris dan Lisma Jamal, adalah orang dewasa yang bertanggung jawab memberikan bimbingan kepada peserta didik dalam hal perkembangan jasmani dan ruhaninya untuk mencapai tingkat kedewasaan, memenuhi tugasnya sebagai makhluk Tuhan, makhluk individu yang mandiri dan makhluk sosial. Sementara guru menurut Zakiah Daradjat adalah pendidik profesional, karena secara implisit telah merelakan dirinya menerima dan memikul sebagian tanggung jawab pendidikan dari pundak para orang tua. Adapun guru menurut Poerwadarminta adalah orang yang kerjanya mengajar. 6 Dari beberapa pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa guru adalah orang yang bertanggung jawab memberikan pendidikan dan ilmu pengetahuan serta menanamkan nilai-nilai moral kepada anak didik mereka, sehingga menjadi manusia dewasa yang berguna bagi nusa dan bangsa serta memiliki akhlakul karimah. Hal ini menunjukkan bahwa seorang guru mempunyai tanggung jawab yang sangat besar dalam membentuk sebuah generasi penerus, yang bisa membawa perubahan suatu bangsa. Dengan berbekal ilmu pengetahuan dan nilai-nilai sebagai suatu pedoman dalam membentuk generasi yang berbudi pekerti luhur. 2. Kriteria dan Syarat Guru Berdasarkan pengertian di atas, maka dapat diketahui beberapa kriteria seorang guru ideal. Adapun yang dimaksud guru ideal ialah sosok guru yang mampu menjadi panutan dan selalu memberikan keteladanan baik dalam lingkungan sekolah maupun dalam lingkungan masyarakat.
5
Abdul Mu’ti & Chabib Thoha, Abdul, PBM-PAI di Sekolah, (Semarang: Fak. Tarbiyah IAIN Walisongo, 1998), Cet. I, hlm. 179. 6 Nurdin, Kiat Menjadi Guru Profesional, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2008), Cet. I, hlm. 49-128.
14
Menurut Husnul Chotimah, sebagaimana dikutip oleh Asmani, ada empat kriteria guru ideal yang seharusnya dimiliki bangsa Indonesia di abad 21 ini. Pertama, dapat membagi waktu dengan baik, dapat membagi waktu antara tugas utama sebagai guru dan tugas keluarga, serta dalam masyarakat. Kedua, rajin membaca. Ketiga, banyak menulis. Keempat, gemar melakukan penelitian. 7 Dari kriteria tersebut dapat disimpulkan, bahwa kriteria guru ideal antara lain: Pertama, guru yang memahami benar profesinya. Kedua, guru yang rajin membaca dan menulis. Ketiga, guru yang sensitif terhadap waktu. Keempat, guru yang kreatif dan inovatif. Kelima, guru yang memiliki kecerdasan, yaitu kecerdasan intelektual, kecerdasan moral, kecerdasan sosial, kecerdasan emosional dan kecerdasan motorik.8 Adapun sosok kepribadian guru ideal menurut Islam telah di tunjukkan pada keguruan Rasulullah SAW. Sebagaimana firman Allah SWT.
∩⊄⊇∪ .... ×πuΖ|¡ym îοuθó™é& «!$# ÉΑθß™u‘ ’Îû öΝä3s9 tβ%x. ô‰s)©9 Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah SAW suri tauladan yang baik bagimu. (Q.S. Al-Ahzab: 21).9 Ayat tersebut menerangkan tentang norma-norma yang tinggi dan adanya teladan yang baik telah berada dihadapan manusia, jika mereka menghendaki, hendaknya mereka mengambil contoh Rasulullah SAW di dalam amal perbuatannya, dan hendaknya mereka berjalan sesuai dengan petunjuknya.10 Sementara dalam tafsir Ibnu Katsir dijelaskan, bahwa ayat tersebut merupakan prinsip utama dalam meneladani Rasulullah SAW baik dalam 7
Asmani, Tips Menjadi Guru Inspiratif, Kreatif dan Inovatif, (Jogjakarta: Diva Press, 2009), Cet. II, hlm. 21. 8 Ibid, hlm. 21-24. 9 Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Surabaya: Karya Agung, 2006), hlm. 595. 10 Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, terj. K. Anshori Umar Sitanggal, (Semarang: CV. Toha Putra, 1998), juz VIII, hlm. 277.
15
ucapan, perbuatan, maupun perilakunya. Ayat ini merupakan perintah Allah kepada manusia agar meneladani Nabi SAW dalam peristiwa alahzab yaitu dengan meneladani kesabaran, upaya dan penantiannya atas jalan keluar yang diberikan oleh Allah Azza Wa Jalla. Karena itu Allah Ta’ala berfirman kepada orang yang hatinya kalut dan guncang dalam peristiwa al-ahzab, ”Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah SAW suri tauladan yang baik bagimu”.11 Adapun maksud dari ayat tersebut adalah perintah bagi manusia untuk mengikuti dan meneladani Rasulullah SAW dalam segala tingkah laku, perkataan dan perbuatannya. Jika diterapkan oleh seorang guru, maka hal ini akan sangat mendukung profesinya, karena Rasulullah adalah orang yang sangat berhasil dalam mendidik dan mengajarkan ilmu, baik kepada para sahabatnya maupun kepada para umatnya. Agar tujuan pendidikan tercapai dengan baik, maka seorang guru harus memiliki syarat-syarat pokok. Syarat pokok tersebut menurut Sulani, sebagaimana dikutip oleh Nurdin, antara lain: Pertama, syarat syakhsiyah (memiliki kepribadian yang dapat diandalkan). Kedua, syarat ilmiah (memiliki ilmu pengetahuan yang mumpuni). Ketiga, syarat idhafiyah (mengetahui, menghayati dan menyelami manusia yang dihadapinya, sehingga dapat menyatukan dirinya untuk membawa peserta didik menuju tujuan yang ditetapkan). 12 Sementara menurut Suwarno, syarat-syarat untuk guru yang baik, antara lain: syarat profesional (ijazah), syarat biologis (kesehatan jasmani), syarat psikologis (kesehatan mental) dan syarat paedagogies-didaktis (pendidikan dan pengajaran).13 Syarat-syarat tersebut menunjukkan bahwa profesi guru tidak dapat dipegang oleh sembarang orang, selain ia telah menempuh pendidikan, ia juga harus sehat jasmani dan rokhaninya. 11
Nasib Ar-Rifa’i, Ringkasan Ibnu Katsir, terj. Syihabudin, (Jakarta: Gema Insani, 1999), Jilid 3, Cet. I, hlm. 841. 12 Nurdin, op.cit, hlm. 129. 13 Suwarno, Pengantar Umum Pendidikan, (Jakarta: Aksara Baru, 1988), Cet. III, hlm. 9293.
16
Sedangkan menurut Al-Ghazali, syarat seorang guru (syekh) adalah sebagai berikut: a.
Alim Orang yang pantas menjadi penerus Rasulullah adalah orang yang alim, namun tidak semua orang alim bisa menjadi penerus Rasulullah. Adapun syarat seorang alim di sini, adalah berpaling dari kesenangan duniawi dan tidak menyukai pangkat serta kedudukan.
b.
Berakhlak mulia Orang yang berakhlak mulia disini ialah orang yang mampu mengendalikan hawa nafsunya, dengan sedikit makannya, sedikit bicaranya, dan sedikit tidurnya, serta suka memperbanyak shalatnya, shadaqah, dan puasa. Semua hal tersebut ia kerjakan semata-mata untuk mencari keridhaan Allah dan kedekatan kepada-Nya. Selain itu, seorang guru berakhlak mulia dalam segala tingkah lakunya, seperti sabar, tekun dalam menjalankan shalatnya, senantiasa bersyukur atas kenikmatan Allah yang diterimanya, dan selalu bertawakkal kepada Allah SWT dalam segala kehidupannya.14 Dari berbagai syarat di atas menujukkan bahwa seorang guru
adalah orang yang menjadi panutan, sehingga segala tingkah lakunya harus mencerminkan akhlak yang mulia. Selain itu, ia juga harus mempunyai ilmu pengetahuan yang luas, sehingga bisa mengayomi muridmuridnya. Seorang guru senantiasa harus meluruskan niatnya untuk mendekatkan diri kepada Allah, bukan untuk mencari materi semata. Sehingga ilmu yang dimilikinya manfaat, baik untuk dirinya maupun untuk orang lain. Selain itu, seorang guru juga harus memahami betul sifat dan karakteristik para muridnya, sehingga hubungan antara guru dan murid bisa tetap terjaga dan terjalin dengan baik.
14
Al-Ghazali, Ayyuhal Walad, terj. Fu’ad Kauma, ( Bandung: Irsyad Baitus Salam, 2005), Cet.I, hlm. 50-51.
17
3. Tugas dan Peranan Guru Jabatan guru memiliki banyak tugas, baik yang terikat oleh dinas maupun diluar dinas dalam bentuk pengabdian. Tugas guru tidak hanya sebatas sebagai suatu profesi, tetapi juga sebagai suatu tugas kemanusiaan dan kemasyarakatan. Tugas guru sebagai suatu profesi menuntut kepada guru untuk mengembangkan profesionalitas diri sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Adapun mendidik, mengajar, dan melatih anak didik adalah tugas guru sebagai suatu profesi. Tugas guru sebagai pendidik berarti meneruskan dan mengembangkan nilai-nilai hidup kepada anak didik. Adapun tugas guru sebagai pengajar ialah meneruskan dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi kepada anak didik. Sedangkan tugas guru sebagai pelatih ialah mengembangkan ketrampilan dan menerapkannya dalam kehidupan demi masa depan anak didik. 15 Tugas kemanusiaan merupakan salah satu segi dari tugas guru. Dalam hal ini, guru harus terlibat dalam kehidupan di masyarakat dengan interaksi sosial. Guru harus menanamkan nilai-nilai kemanusiaan kepada anak didik. Selain itu, guru juga harus bisa menempatkan diri sebagai orang tua kedua, dengan mengemban tugas yang dipercayakan oleh orang tua atau wali murid dalam jangka waktu tertentu. Oleh karena itu, pemahaman terhadap jiwa dan watak anak didik diperlukan agar dapat dengan mudah memahami mereka.16 Berkaitan dengan hal ini, Al-Ghazali membagi tugas dan adab seorang guru, antara lain: Pertama, seorang guru harus mempunyai rasa belas kasih kepada murid-muridnya dan memperlakukan mereka sebagai anak sendiri. Kedua, dengan mengikuti jejak Rasulullah SAW yakni tidak mencari upah, balasan dan terimakasih atas pengajaran tersebut. Ketiga, memberi nasihat 15 16
Djamarah, op.cit, hlm. 37. Ibid.
18
dengan melarangnya mempelajari suatu tingkat ilmu, sebelum pada tingkat ilmu tersebut dan melarangnya belajar ilmu yang tersembunyi sebelum selesai ilmu yang terang. Keempat, memberi nasehat kepada para murid dengan tulus, serta mencegah mereka dari akhlak tercela.17 Adapun peranan (role) seorang guru ialah keseluruhan tingkah laku yang harus dilakukan guru dalam melaksanakan tugasnya sebagai guru. Guru mempunyai peranan yang amat luas, baik di sekolah, keluarga, dan di dalam masyarakat. Adapun yang paling utama adalah kedudukannya sebagai pengajar dan pendidik, yakni sebagai guru. Berdasarkan kedudukannya sebagai guru, ia harus menunjukkan perilaku yang layak (bisa dijadikan teladan oleh siswanya). Tuntutan masyarakat khususnya siswa dari guru dalam aspek etis, intelektual dan sosial lebih tinggi daripada yang dituntut dari orang dewasa lainnya.18 Untuk memenuhi tuntutan di atas, maka guru harus mampu memaknai pembelajaran, serta menjadikan pembelajaran sebagai ajang pembentukan kompetensi dan perbaikan kualitas pribadi peserta didik. Dalam hal ini, Mulyasa mengidentifikasikan ada 19 peran guru, yakni guru sebagai pendidik, pengajar, pembimbing, pelatih, penasehat, pembaharu (inovator), model dan teladan, pribadi, peneliti, pendorong kreativitas, pembangkit pandangan, pekerja rutin, pemindah kemah, pembawa ceritera, aktor, emansipator, evaluator, pengawet, dan sebagai kulminator.19 4. Guru Sebagai Profesi Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Profesi adalah bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan keahlian tertentu (ketrampilan, kejuruan dan sebagainya). Sementara profesional adalah sesuatu yang bersangkutan dengan profesi, sesuatu yang memerlukan keahlian khusus 17
Al-Ghazali, Ihya’ Al-Ghazali, terj. Ismail Yakub, (Jakarta: CV. Faizan, 1994), Jilid I, Cet. 12, hlm. 212-217. 18 Tohirin, Psikologi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2005), hlm. 165. 19 Mulyasa, Menjadi Guru Profesional, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2008), Cet. VII, hlm. 36-37.
19
untuk menjalankannya, dan mengharuskan adanya pembayaran untuk melakukannya.20 Kata profesi identik dengan kata keahlian, hal ini sebagaimana dikutip oleh Daeng Arifin & Dedi Permadi, bahwa Jarvis mengatakan ”seseorang yang melakukan tugas profesi juga sebagai orang yang ahli (expert)”. Pada sisi lain profesi mempunyai pengertian seseorang yang menekuni pekerjaan berdasarkan keahlian, kemampuan, teknik dan prosedur berdasarkan intelektualitas. Selain itu, profesi juga sebagai spesialisasi dari jabatan intelektual yang diperoleh melalui studi dan training yang bertujuan menciptakan ketrampilan, pekerjaan yang bernilai tinggi, sehingga ketrampilan dan pekerjaan itu diminati, disenangi oleh orang lain dan ia dapat melakukan pekerjaan itu dengan mendapat imbalan berupa bayaran, upah dan gaji (payment).21 Dari pengertian profesi di atas, maka profesi yang disandang oleh guru, merupakan suatu pekerjaan yang membutuhkan ilmu pengetahuan, ketrampilan, kemampuan, keahlian dan ketelatenan dalam menciptakan generasi penerus yang sesuai dengan harapan. Adapun pengertian profesi guru diatas dilihat dari usaha keras dan keahlian yang dimiliki oleh seorang guru, sehingga mereka wajar mendapatkan kompensasi yang adil berupa gaji dan tunjangan yang besar serta fasilitas yang memadai dibanding pegawai struktural, apabila dilihat dari berat ringan pekerjaan. Tugas guru sebagai pembimbing, pelatih dan pengajar merupakan tugas yang berat yakni memeras otak. Guru harus siap mental dan fisik untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Upaya dalam menciptakan guru yang profesional, maka para guru diberi kesempatan untuk mengembangkan diri, dengan mengikuti berbagai pelatihan, kursus dan penataran serta melanjutkan pendidikan ke 20
Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1993), Cet. 2, hlm. 789. 21 Daeng Arifin & Dedi Permadi, The Smiling Teacher, (Bandung: CV. Nuansa Aulia, 2010), hlm. 11.
20
jenjang yang lebih tinggi. Mereka juga diberi kesempatan untuk menduduki jabatan apapun di negeri ini sesuai dengan keahlian yang dimilikinya. Sehingga dalam hal ini, profesi guru sama dengan profesi yang lainnya. Dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen juga dijelaskan, bahwa profesional adalah pekerjaan (profesi) atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran, atau kecakapan yang harus memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi.22 Seorang guru yang profesional akan beritikad untuk merealisasikan kebajikan demi tegaknya kehormatan profesi yang digelutinya. Oleh karena itu, dalam hal ini seorang guru tidak terlalu mementingkan atau mengharapkan imbalan upah material. Adapun masalah profesionalisme guru, mengandung pengertian kegiatan dan usaha meningkatkan kompetensi guru ke arah yang lebih baik dilihat dari berbagai aspek demi terselenggaranya suatu optimalisasi pelayanan kegiatan atau pekerjaan profesi guru yang memiliki makna penting sebagaimana dikutip oleh Daeng Arifin & Dedi Permadi, antara lain: 23 Pertama, profesionalisme akan memberikan jaminan perlindungan kepada kesejahteraan masyarakat umum. Kedua, profesionalisme guru merupakan suatu cara untuk memperbaiki profesi pendidikan yang selama ini dianggap oleh sebagian masyarakat, rendah. Ketiga, profesionalisme guru memberikan kemungkinan perbaikan dan pengembangan diri yang memungkinkan guru dapat memberikan pelayanan sebaik mungkin dan memaksimalkan kompetensinya, selanjutnya dengan profesionalisme guru, terjadi pergeseran fungsi guru dari pengajar (teacher), beralih
22 23
Undang-Undang R.I Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, op. cit, hlm. 3. Daeng Arifin & Dedi Permadi, op. cit, hlm. 12.
21
sebagai pelatih (coach), pembimbing (concelor), dan sebagai manajer pembelajaran (learning manager). Sementara itu, profesionalitas menunjukkan adanya kualitas suatu profesi atau pekerjaan sesuai dengan standar yang diinginkan dan mendapat pengakuan secara positif dari klien atau masyarakat atas hasil yang dicapai dari profesi guru akan dilakukannya. Dalam hal ini, kualitas profesi guru akan ditunjukkan oleh sikap utama berikut ini: keinginan untuk selalu menampilkan perilaku hasil kerja yang mendekati sesuai dengan standar ideal, senantiasa berusaha meningkatkan dan memelihara citra profesinya, memiliki keinginan yang kuat untuk senantiasa mengejar kesempatan pengembangan profesional agar dapat meningkatkan dan memperbaiki kualitas pengetahuan dan keterampilannya, senantiasa mengejar dan mengutamakan kualitas atau mutu dan cita-cita dalam profesi, serta memiliki kebanggaan terhadap profesinya. Adapun Kode Etik Guru Indonesia, antara lain: a. Guru berbakti membimbing anak didik seutuhnya untuk membentuk manusia pembangunan yang ber-Pancasila. b. Guru memiliki kejujuran profesional dalam menerapkan kurikulum sesuai kebutuhan anak didik masing-masing. c. Guru
mengadakan
komunikasi,
terutama
dalam
memperoleh
informasi tentang anak didik, tetapi menghindarkan diri dari segala bentuk penyalahgunaan. d. Guru menciptakan suasana kehidupan sekolah dan memelihara hubungan dengan orang tua anak didik sebaik-baiknya bagi kepentingan anak didik. e. Guru memelihara hubungan baik dengan masyarakat di sekitar sekolahnya maupun masyarakat yang lebih luas untuk kepentingan pendidikan. f.
Guru sendiri atau bersama-sama berusaha mengembangkan dan meningkatkan mutu profesinya.
22
g. Guru menciptakan dan memelihara hubungan antara sesama guru, baik berdasarkan lingkungan kerja maupun dalam hubungan keseluruhan. h. Guru secara hukum bersama-sama memelihara, membina, dan meningkatkan mutu organisasi guru profesional sebagai sarana pengabdiannya. i.
Guru melaksanakan segala ketentuan yang merupakan kebijaksanaan pemerintah dalam bidang pendidikan.24
B. Ikhlas 1. Pengertian Ikhlas Secara bahasa kata ikhlas berasal dari bahasa Arab: - -
وyang artinya murni, tiada bercampur, bersih, jernih.25 Ikhlas secara bahasa berbentuk mashdar, dan fiilnya adalah akhlasha. Fiil tersebut berbentuk mazid. Adapun bentuk mujarradnya adalah khalasha. Makna khalasha adalah bening (shafa), segala noda hilang darinya. Jika dikatakan khalashal ma’a minal kadar (air bersih dari kotoran) artinya air itu bening. Jika dikatakan dzahaban khalish (emas murni) artinya emas yang bersih tidak ada noda di dalamnya. Dalam hal ini, emas tidak dicampuri oleh partikel lain seperti perunggu dan lain sebagainya.26 Ikhlas adalah menyaring sesuatu sampai tidak lagi tercampuri dengan yang lainnya. Kalimatul ikhlas adalah kalimat tauhid yaitu laa ilaaha illallah. Surah ikhlas adalah surat qul huwallahu ahad, yaitu surat tauhid. Dari penjelasan di atas, maka dapat diketahui bahwa makna ikhlas secara bahasa adalah suci (ash-shafa’), bersih (an-naqi), dan tauhid.
24
Djamarah, op.cit, hlm. 49-50. Munawir & Al-Bisri, Kamus Al-Bisri, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1999), hlm. 171. 26 Abu Farits, Tazkiyatunnafs, terj. Habiburrahman Saerozi, (Jakarta: Gema Insani, 2006), Cet. II, hlm. 15. 25
23
Adapun ikhlas dalam syariat Islam adalah sucinya niat, bersihnya hati dari syirik dan riya serta hanya menginginkan ridha Allah semata dalam segala kepercayaan, perkataan dan perbuatan.27 Berkaitan dengan ikhlas, Nawawi mengungkapkan bahwa: ٢٨
"# !ا ص ن ت ا ا هة وا ا ق ا Ikhlas yaitu membersihkan pancaindranya dengan lahir dan batin dari budi pekerti yang tercela. Sementara ikhlas menurut Al-Imam Asy Syahid, sebagaimana
dikutip oleh Ramadhan adalah sebuah sikap kejiwaan seorang muslim yang selalu berprinsip bahwa semua amal dan jihadnya karena Allah SWT. Hal itu ia lakukan demi meraih ridha dan kebaikan pahala-Nya, tanpa sedikitpun melihat pada prospek (keduniaan), derajat, pangkat, kedudukan, dan sebagainya.29 Arberry dalam bukunya Sufism An Account Of The Mystics Of Islam, mengatakan ikhlas (sincerity) that is, seeking only God in every act of obedience to Him.30 Ikhlas atau ketulusan hati yaitu, yang dalam setiap perbutannya ditujukan hanya semata-mata karena Tuhan. Adapun beberapa pendapat guru tasawuf mengenai ikhlas, sebagaimana dikutip oleh Al-Ghazali, antara lain sebagai berikut: As-Susi berkata, ”Ikhlas adalah hilangnya pandangan keikhlasan. Karena, barang siapa melihat keikhlasan di dalam ikhlasnya, maka ikhlasnya memerlukan keikhlasan.” Sahl ditanya, ”Apakah yang paling sulit bagi diri?” Ia menjawab, ”Ikhlas, karena ia tidak mempunyai bagian di dalamnya.” Ia pun pernah berkata, ”Ikhlas adalah diam dan geraknya hamba hanyalah
27
Ibid, hlm. 16. Nawawi As-Syafi’i Al-Qadiri, Bahjatul Wasaail Bisyarhi Masaail, (Semarang: Maktabah Wamatbaah “Karya Thoha Putra”, tt.), hlm. 32. 29 Ramadhan, Quantum Ikhlas, terj. Alek Mahya Shofa, (Solo: Abyan, 2009), hlm. 9. 30 Arberry, Sufism An Account Of The Mystics Of Islam, (London: George Allen & Unwin Ltd, t.th), hlm. 77. 28
24
karena Allah SWT semata.” Al-Junaid mengatakan bahwa, ”Ikhlas adalah membersihkan perbuatan dari kotoran.”31 Dalam perspektif sufistik, ikhlas di samping sebagai bagian dari maqam yang perlu dilalui oleh seorang sufi untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, juga merupakan syarat syahnya suatu ibadah. Jika amal perbuatan diibaratkan sebagai badan jasmani, maka ikhlas adalah roh atau jiwanya. Hal ini berbeda sekali dengan pandangan ulama fiqh yang menganggap bahwa ikhlas bukanlah syarat syahnya suatu ibadah. Dari beberapa pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa ikhlas adalah mengerjakan suatu amal perbuatan semata-mata hanya untuk mendapatkan ridha dari Allah SWT, bukan untuk meraih pamrih duniawi, dengan tidak mengharapkan pujian dari manusia dan senantiasa menjaga niatnya dengan benar. Sesungguhnya jika amal itu ikhlas namun tidak benar, maka tidak akan diterima sehingga amal itu ikhlas dan benar. Adapun ikhlas artinya amal itu dikerjakan karena Allah, dan benar jika amal itu dikerjakan berdasarkan sunah. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh ‘Audah al-‘Awayisyah, bahwa suatu aktivitas apabila tidak memenuhi dua perkara maka tidak akan diterima oleh Allah. Pertama, hendaknya aktivitas itu ditujukan semata-mata hanya mengharap keridhaan Allah ’azza wa jalla. Kedua, hendaknya aktivitas itu sesuai dengan apa yang disyariatkan Allah SWT dalam al-Qur’an dan sesuai dengan penjelasan Rasul-Nya dalam sunah beliau.32 Jadi, ikhlas adalah berbuat sesuatu dengan tidak ada pendorong apa-apa melainkan semata-mata untuk bertaqarrub kepada Allah SWT, serta mengharapkan keridhaan-Nya saja. Keikhlasan yang demikian tidak akan tercipta melainkan dari orang yang betul-betul cinta kepada Allah SWT, dan tidak ada tempat sedikitpun dalam hatinya untuk mencintai harta keduniaan. 31
Al-Ghazalli, Mutiara Ihya Ulumuddin, ( Bandung: Mizan, 2008), hlm. 412. ‘Audah al-‘Awayisyah, Keajaiban Ikhlas, terj. Abu Barzani, (Yogyakarta: Maktabah AlHanif, 2007), Cet. I, hlm.6. 32
25
2. Hakikat Ikhlas Ikhlas dengan sangat indah digambarkan oleh Allah dalam AlQur’an surat al -An’am [6] ayat 162:
∩⊇∉⊄∪ tÏΗs>≈yèø9$# Éb>u‘ ¬! †ÎA$yϑtΒuρ y“$u‹øtxΧuρ ’Å5Ý¡èΣuρ ’ÎAŸξ|¹ ¨βÎ) ö≅è% Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku, matiku lillahi rabbil ’alamin.33 Menurut ajaran Islam, hidup ini adalah untuk beribadah, bekerja dan berbuat baik untuk diri sendiri maupun untuk orang lain. Pada hakikatnya semua kebaikan itu, kapan saja, di mana saja, dan kepada siapa saja sepatutnya hanya dipersembahkan kepada Allah semata, bukan kepada selain-Nya. Sebagaimana firman Allah SWT.
4’n<Î) šχρ–ŠuäIy™uρ ( tβθãΖÏΒ÷σßϑø9$#uρ …ã&è!θß™u‘uρ ö/ä3n=uΗxå ª!$# “uz|¡sù (#θè=yϑôã$# È≅è%uρ ∩⊇⊃∈∪ tβθè=yϑ÷ès? ÷ΛäΖä. $yϑÎ/ /ä3ã∞Îm7t⊥ã‹sù Íοy‰≈pꤶ9$#uρ É=ø‹tóø9$# ÉΟÎ=≈tã Dan katakanlah: ’Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu Dia beritakan kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan. (QS. At-Taubah [9]: 105).34
nο4θn=¢Á9$# (#θßϑ‹É)ãƒuρ u!$x"uΖãm tÏe$!$# ã&s! tÅÁÎ=øƒèΧ ©!$# (#ρ߉ç6÷èu‹Ï9 āωÎ) (#ÿρâ÷É∆é& !$tΒuρ ∩∈∪ ÏπyϑÍhŠs)ø9$# ߃ϊ y7Ï9≡sŒuρ 4 nο4θx.¨“9$# (#θè?÷σãƒuρ Dan mereka tidak diperintah kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan sholat dan menunaikan zakat, dan yang demikian itulah agama yang lurus”. (QS. al-Bayyinah [98]: 5).35
33
Departemen Agama, op.cit, hlm. 201 Ibid, hlm. 273. 35 Ibid, hlm. 907.
34
26
Beberapa ayat di atas menegaskan bahwa beribadah dengan ikhlas adalah satu-satunya tugas dan kewajiban manusia kepada Allah SWT. Artinya, seluruh aktivitas hidup dan kehidupan manusia (gerak dan diamnya) adalah dalam rangka pengabdian (’ubudiyah) dan perilaku ketauhidan yang jauh dari syirik (mempersekutukan Allah) serta jauh dari kesesatan. Seorang tokoh sufi bernama Dzun al-Misry menjelaskan tentang ciri-ciri orang yang berbuat ikhlas dalam amalnya, sebagaimana dikutip oleh Syukur, antara lain: Pertama, disaat orang yang bersangkutan memandang pujian dan celaan manusia sama saja. Kedua, melupakan amal ketika beramal dan Ketiga, jika ia lupa akan haknya untuk memperoleh pahala di akherat karena amal baiknya.36 Dengan demikian, maka ikhlas merupakan pondasi penting dalam membangun agama, karena ikhlas mempunyai cakupan yang tidak kalah penting, antara lain: Ikhlas dalam niat, yakni ikhlas beribadah dan beramal hanya demi Allah semata. Ikhlas dalam nasihat, sebagaimana asal muara kata nasihat (dalam bahasa Arab) adalah khulus atau kemurnian. Ikhlas dalam agama atau akidah, adapun yang dimaksud akidah adalah hakekat Islam dan prinsip dasar yang terbangun atas ketundukan yang mutlak hanya kepada Allah, tidak yang lain-Nya. Hal itu semua terangkum dalam redaksi kalimat tauhid yang berbunyi: ”La illaha illallah, Muhammadur rasulullah.” 37 Sebagaimana firman Allah SWT.
∩⊄∪ šÏe$!$# 絩9 $TÁÎ=øƒèΧ ©!$# ωç7ôã$$sù Maka sembahlah Allah dengan tulus ikhlas beragama kepada-Nya. (Q.S. Az-Zumar [39]:2).38
36
Syukur, op.cit, hlm. 120. Ramadhan, op.cit, hlm. 31-32. 38 Departemen Agama, op.cit, hlm. 658. 37
27
Maksud dari ayat di atas adalah sebuah perintah bagi umat manusia untuk mengabdi kepada-Nya dan menyeru kepada semua orang untuk mengabdi kepadanya saja. Tidak ada sekutu bagi-Nya, karena tidak layak peribadatan kecuali bagi-Nya saja. Oleh karena iu, Allah berfirman, ”ingatlah, hanya kepunyaan Allah lah agama yang bersih”. Maksudnya, tidak ada amalan yang diterima kecuali bila amalan itu ikhlas semata-mata karena-Nya dan tidak ada sekutu bagi-Nya.39 Untuk memperoleh sifat ikhlas diperlukan beberapa sifat atau sikap sekaligus sebagai unsur penunjang kesempurnaan yang harus ada dalam sifat ikhlas. Selain itu, unsur penunjang tersebut sekaligus sebagai quality control bagi keikhlasan itu sendiri, diantaranya adalah sifat atau sikap: Husnuzhan (berprasangka baik), Istiqamah, Tawakkal, Sabar, Syukur, Zuhud dan Wara’.40 Banyak diantara manusia yang menganggap dirinya sudah ikhlas dalam hal niat, i’tikad (keyakinan), tujuan dan maksud dari perbuatannya. Namun, apabila mereka mau menyelidikinya dengan teliti, mereka akan mengetahui bahwa telah tersembunyi dalam niat, keyakinan, tujuan, dan maksud selain Allah dalam aktivitasnya tersebut. Adapun indikasi atau tanda-tanda ikhlas berdasarkan al-Qur’an dan hadist Nabi SAW adalah sebagai berikut: Ikhlas yaitu tidak berharap apapun kepada makhluk, menjalankan kewajiban bukan mencari status, tidak ada penyesalan, tidak berbeda apabila direspons positif ataupun negatif, tidak membedakan situasi dan kondisi, menjadikan harta dan kedudukan bukan sebagai penghalang, berintegrasinya lahir dan batin, jauh dari sikap sektarian atau fanatisme golongan, selalu mencari celah untuk beramal saleh.41 Dengan adanya indikasi tersebut, maka akan menjadi cermin bagi setiap orang, khususnya bagi seorang guru agar senantiasa mengontrol dirinya untuk ikhlas dan tidak terkecoh akan kemegahan dunia dengan 39
Nasib Ar-Rifa’i, op.cit, jilid 4, hlm. 90. Al-Banjari, Mengarungi Samudra Ikhlas, (Jogjakarta: Diva Press, 2007), hlm. 28. 41 Ibid, hlm. 61-75. 40
28
segala yang menghiasinya. Adapun mengenai hal-hal yang dapat menjadi rusaknya ikhlas, antara lain: riya’ (suka pamer), nifaq, ’ujub, sum’ah, waswas, takabur, cinta dunia, kedudukan, dan jabatan, hasad (dengki), su’uzhan (berburuk sangka) dan bakhil (kikir).42 Sifat-sifat tersebut mengenai hal yang dapat merusak keikhlasan seseorang merupakan sifat-sifat yang tercela. Sehingga untuk menjadi orang yang ikhlas, maka harus senantiasa menjaga sikap dan sifatnya dengan terus istiqomah untuk melakukan kebaikan dan amal sholeh semata-mata untuk mendapat ridha Allah dan senantiasa mengoreksi diri. 3. Buah Keikhlasan Diantara buah ikhlas karena Allah SWT, sebagaimana disebutkan oleh ’Audah al-’Awasyiah, antara lain sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16.
42 43
Akan ditolong dan dibela oleh Allah SWT. Selamat dari siksa di akhirat. Mendapat kedudukan tinggi di akhirat. Diselamatkan dari kesesatan di dunia. Merupakan sebab bertambahnya petunjuk (hidayah). Orang yang ikhlas dicintai penduduk langit. Orang yang ikhlas diterima dengan baik di muka bumi. Orang yang ikhlas akan mendapatkan reputasi (nama baik) di kalangan manusia. Dihindarkan dari kesulitan-kesulitan duniawi. Ketentraman hati dan kebahagiaan. Menyebabkan iman indah dalam hati dan menjadikan hati benci kepada kefasikan dan kemaksiatan. Orang yang ikhlas akan diberi taufik oleh Allah sehingga berkesempatan berteman dengan orang-orang yang ikhlas. Sanggup memikul segala kesulitan hidup di dunia, betapa pun beratnya. Mendapat husnul khatimah. Doanya makbul. Merasakan kenikmatan dan kabar gembira akan mendapatkan kesenangan di dalam kubur.43
Ibid, hlm. 9. ‘Audah al-‘Awayisyah, op.cit, hlm. 149-156.
29
C. Guru Yang Ikhlas 1 . Pengertian Guru Yang Ikhlas Tidak ada pekerjaan yang lebih mulia daripada pekerjaan sebagai guru atau pengajar. Semakin tinggi dan bermanfaat materi ilmu yang diajarkan, maka yang mengajarkannya juga semakin mulia dan tinggi derajatnya. Jika guru atau pengajar mengikhlaskan amalnya karena Allah, maka akan memberi manfaat kepada manusia dengan amalnya itu karena mengajarkan kebaikan kepada mereka. Akan tetapi, banyak orang yang belajar dan berilmu tanpa beramal. Padahal, menuntut ilmu harus disempurnakan dengan menyibukkan diri beramal yang disertai dengan keikhlasan. Dengan demikian, maka keikhlasan seorang guru dalam mengajar harus senantiasa terjaga. Adapun yang dimaksud dengan guru yang ikhlas disini ialah mengajar dengan niat semata-mata mengamalkan ilmunya karena Allah dan untuk mendapatkan ridho dari-Nya. Ia selalu membawa hatinya dalam mengajar, sehingga ia benar-benar menikmati tugasnya sebagai pengajar dan murid pun bisa menerima dengan baik ilmu yang diajarkan gurunya. Dengan demikian, maka akan terciptalah lingkungan belajar yang kondusif. Sehingga tujuan pembelajaran pun bisa tercapai dengan baik, yakni menciptakan generasi penerus yang cerdas, beriman dan bertaqwa serta mempunyai akhlakul karimah. Jadi, dalam hal ini seorang guru hanya pantas menggerakkan hidupnya untuk Allah semata, inilah yang disebut ikhlas. Tapi, hal ini bukan berarti bahwa kreativitas dalam hidup ini tidak perlu dihargai secara material. Sebagian orang memahami ikhlas dengan melakukan kebajikan tanpa penghargaan secara material. Misalnya mengajar baca tulis al-Qur’an gratis, menjadi pembicara di pengajian tanpa bayaran.
30
Gratis bukanlah identik dengan sikap ikhlas, karena ikhlas adalah urusan sikap hati. 44 Berkaitan dengan hal ini, disebutkan dalam al-Qur’an, bahwa orang yang menyebarkan agama Islam termasuk fi sabilillah dan berhak mendapatkan bagian dari zakat, meskipun ia kaya raya. Ketika mubalig atau guru menerima upah, ia tidak kehilangan ikhlasnya. Karena ikhlas tidak ada hubungannya dengan menerima atau menolak upah. Demikian juga apabila guru meminta upah (gaji) setelah memberikan pelajaran. Sejauh guru menuntut upah itu karena tahu bahwa Allah dan Rasulnya menyuruh untuk menuntut haknya, maka ia masih tergolong ikhlas. Justru menjadi tidak ikhlas ketika seorang guru menolak upah, sementara ia sangat memerlukannya. Apalagi jika penolakan tersebut lantaran ia tidak ingin disebut orang yang tidak ikhlas.45 Seperti telah dikemukakan di atas bahwa ikhlas artinya bersih, murni, dan tidak bercampur dengan yang lain. Sedangkan ikhlas menurut istilah adalah ketulusan hati dalam melaksanakan suatu amal yang baik, yang semata-mata karena Allah. Apabila pekerjaan dilakukan dengan ikhlas (tulus hati), maka pekerjaan itu tidak akan terasa berat, betapa pun pekerjaan itu sangat sulit. Dengan demikian, keikhlasan guru dalam mengajar sangat penting. Sehingga guru tidak merasa terbebani dengan tugasnya, para muridpun akan merasa nyaman dalam belajar sehingga proses pembelajaran akan berjalan lancar. 2. Kriteria Guru Yang Ikhlas Berdasarkan ciri-ciri dan kriteria guru ideal di atas, maka kriteria guru yang ikhlas adalah sebagai berikut: a. Berniat untuk mencari ridha Allah SWT.
44
Gusmian, Surat Cinta Al-Ghazali: Nasihat-Nasihat Pencerah Hati, (Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2006), Cet. II, hlm. 168. 45 Nurdin, op. cit, hlm. 148.
31
b. Senantiasa mendekatkan diri dengan menjalani perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. c. Menghadirkan hati dan jiwanya dalam mengajar. d. Menguasai empat kompetensi guru, antara lain kompetensi paedagogik, profesional, personal dan sosial. e. Tidak berorientasi pada materi. Seorang guru yang ingin mengajar dan mendidik dengan berhasil harus mampu membawa pembelajaran dengan menghadirkan jiwanya. Guru tidak sekedar mentransfer ilmu yang bersifat kognitif, melainkan seorang guru juga dituntut untuk dapat menyertakan semangat, gairah, perhatian dan kesabarannya selama proses pembelajaran sehingga dapat menumbuhkan suasana pembelajaran yang kondusif. 46 Kepandaian guru dalam memahami perasaan dan keinginan peserta didik menjadikan suasana kelas menjadi lebih hidup dan dinamis. Adanya kesempatan lebih besar yang diberikan pendidik kepada peserta didik untuk terlibat dalam proses pembelajaran menyebabkan peserta didik merasa dihargai dan merasa ikut memiliki. Suasana tersebut lebih efektif untuk menumbuhkan semangat dan memacu gairah belajar peserta didik. Namun, proses pembelajaran tersebut tidak akan terwujud tanpa adanya kehadiran jiwa dari seorang guru, sebagaimana disebutkan di atas. Berkaitan dengan empat kompetensi guru di atas, maka seorang guru harus menguasai empat bidang tersebut dalam proses pengajaran. Menurut Undang-Undang Nomor 14 tahun 2005, yang dimaksud dengan kompetensi adalah seperangkat pengetahuan, ketrampilan, dan perilaku yang harus dimiliki oleh guru atau dosen dengan jenis, jenjang, dan satuan pendidikan formal di tempat penugasan.47 Dalam bidang paedagogik, maka seorang guru harus mempunyai ilmu pengetahuan yang mumpuni. Adapun kompetensi profesional, maka 46 47
Hidayatullah, Guru Sejati, (Surakarta: Yuma Pustaka, 2009), Cet. II, hlm. 147. Undang-Undang R.I No. 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, op. cit, hlm. 4.
32
pekerjaan guru memerlukan berbagai kemahiran, keahlian, dan kecakapan yang memenuhi standar mutu atau norma tertentu serta memerlukan pendidikan profesi dengan mendapat penghasilan. Sedangkan kompetensi personal, maka seorang guru harus mempunyai kepribadian yang baik dan mulia, karena guru sebagai teladan bagi para muridnya. Sementara kompetensi sosial, maka seorang guru harus bisa hidup bermasyarakat, baik di lingkungan sekolah maupun di luar lingkungan sekolah. 3. Pendapat Para Tokoh Berkaitan Dengan Guru Yang Ikhlas Beberapa tokoh yang menyatakan bahwa seorang guru haruslah ikhlas, antara lain: Nasih Ulwan dalam bukunya Tarbiyatul Aulad Fil Islam, menyatakan bahwa sifat-sifat mendasar yang harus dimiliki pendidik, antara lain: ikhlas, takwa, berilmu, penyabar, dan rasa tanggung jawab. Adapun tentang sifat ikhlas, beliau menjelaskan bahwa pendidik hendaknya mencanangkan niatnya semata-mata untuk Allah dalam seluruh pekerjaan mendidiknya, baik yang berupa perintah, larangan, nasehat, pengawasan ataupun hukuman. Dengan demikian, maka pendidik akan mendapat pahala dan keridhaan Allah SWT sebagai hasil dari usahanya. Yakni apabila pelaksanaan terhadap sebuah metode pendidikan dilakukan secara langgeng dan pengawasan terhadap anak didik berlangsung secara terus menerus.48 Nasih Ulwan juga menggunakan dasar hukum al-Qur’an (QS. AlBayyinah: 5 dan QS. Al-Kahfi: 110) dalam menegaskan betapa pentingnya ikhlas bagi seorang guru. Oleh karena itu, setelah pendidik mengetahui betapa pentingnya niat, maka hendaknya ia memurnikan niat bermaksud mendapatkan keridhaan Allah dalam setiap amal perbuatan yang dikerjakannya. Hal demikian agar diterima oleh Allah, dan dicintai anak-anak serta muridnya. Disamping itu, apa yang dinasehatkan oleh
48
Nasih Ulwan, Pendidikan Anak Dalam Islam, terj. Tarbiyatul Aulad Fil Islam, (Jakarta: Pustaka Amani, 2007), Juz 2, hlm. 337.
33
guru dengan tulus ikhlas bisa membekas dengan baik pada anak didik mereka. Asy Syalhub juga mengatakan dalam bukunya yang berjudul Guruku Muhammad SAW, bahwa salah satu sifat yang harus dipelihara seorang guru adalah mengikhlaskan ilmu kepada Allah. Ia menyatakan bahwa perkara besar yang dilupakan oleh kebanyakan guru dan pengajar ialah menanamkan prinsip keikhlasan ilmu dan amal kepada Allah. Banyak ilmu yang berguna dan pekerjaan yang besar bagi umat, namun orang yang memilikinya atau orang yang mengerjakannya tidak bisa mengambil manfaat apapun darinya. Hal itu karena orang tersebut tidak mengikhlaskan ilmu dan amalnya, dan tidak menjadikannya di jalan Allah. Akan tetapi tujuan mereka adalah untuk mendapatkan kedudukan, pangkat dan semacamnya.49 Dari pernyataan di atas, maka sudah sepatutnya bagi para guru dan pendidik untuk menanamkan sifat mengikhlaskan ilmu dan amal kepada Allah, serta mencari pahala dan balasan dari Allah kedalam jiwa anak didik mereka. Adapun jika ia mendapatkan pujian dan sanjungan dari orang-orang, maka itu adalah anugerah dan nikmat dari Allah yang patut untuk di syukuri. Jadi dalam hal ini, seorang guru harus menanamkan sifat ikhlas kedalam jiwa murid-muridnya. Selain itu, seorang guru juga harus membawa serta sifat itu dalam setiap memulai pekerjaan dan harus selalu mengingatnya. Sementara itu, Hidayatullah menjelaskan tentang keikhlasan seorang guru yang dikaitkan dengan konsep mendidik dengan hati. Ia menjelaskan bahwa untuk mengaktualisasikan pendidikan dan pengajaran dengan suara hati, maka guru harus mendasarkan niatnya untuk mencari keridhaan Allah. Adapun inti mendidik dengan hati adalah membangun sebuah motivasi yang tumbuh dari dalam diri secara ikhlas. Dengan kata lain bagaimana menumbuhkan motivasi internal untuk melakukan suatu 49
Asy Syalhub, Guruku Muhammad SAW, (Jakarta: Gema Insani, 2006), hlm. 5.
34
aktivitas. Adapun motivasi internal adalah sebuah motivasi dari dalam diri yang dilandasi dengan sebuah keikhlasan dalam bekerja.50 Dengan demikian, maka mengajar dan mendidik berdasarkan suara hati merupakan kata lain dari mengajar dan mendidik dengan ikhlas. Karena agar bisa mengajar dan mendidik dengan suara hati, seorang guru harus melandasi niatnya untuk mencari keridhaan Allah SWT. Yakni dengan munculnya motivasi dalam diri seorang guru secara ikhlas, dengan segala kesadaran dan tanpa ada paksaan dari orang lain. Nurdin juga menyebutkan dalam bukunya yang berjudul Kiat Menjadi Guru Profesional, bahwa salah satu syarat profesionalisme guru dalam Islam adalah harus ikhlas. Adapun yang dimaksud dengan profesionalisme dalam hal ini ialah sebagai kemampuan dan kewenangan guru dalam menjalankan profesinya. Yakni guru yang piawai dalam menjalankan tugasnya, sehingga disebut sebagai guru yang berkompeten dan profesional.51 Suatu pekerjaan apabila dilakukan dengan ikhlas (tulus hati), maka pekerjaan itu tidak akan terasa berat, betapapun pekerjaan itu sangat sulit. Bagi seorang guru hendaknya ia harus ikhlas, karena ikhlas termasuk sifat rabbaniyyah. Dengan kata lain, seseorang yang berprofesi sebagai guru harus bercita-cita menggapai keridhaan Allah. Karena, kalau saja sifat ikhlas ini hilang, dikhawatirkan terjadi sikap saling mendengki diantara para guru, dan tidak menghiraukan pendapat orang lain. Sehingga akan muncul sifat egois yang didukung oleh hawa nafsu yang menggantikan pola hidup di atas kebenaran. Padahal kemuliaan hidup ini hanya dapat dicapai dengan mendidik dari generasi ke generasi, supaya bisa menggapai kemuliaan disisi Allah yang di upayakan dengan penuh keikhlasan dan perhatian.52
50
Hidayatullah, op. cit, hlm. 131. Nurdin, op. cit, hlm. 48-49. 52 Ibid, hlm. 148. 51
35
Dari beberapa pendapat para tokoh di atas, menggambarkan betapa pentingnya keikhlasan bagi seorang guru dalam menjalani profesinya. Keikhlasan seorang guru tidak bisa dilihat dari ia menerima atau menolak upah atas imbalan dari mengajarnya. Karena ikhlas adalah suatu dorongan dalam diri seorang guru sehingga bisa membawa hatinya dalam mengajar. Sehingga guru mampu menciptakan lingkungan belajar yang kondusif dan memberikan ilmu yang manfaat serta mendapat ridha dari Allah SWT. Oleh karena itu, sudah sepatutnya para guru dan pendidik menanamkan sifat mengikhlaskan ilmu dan amal kepada Allah, serta mencari pahala dan balasan dari Allah ke dalam jiwa anak didik mereka. Kemudian jika mendapatkan pujian dan sanjungan dari orang-orang, maka itu adalah anugrah dan nikmat dari Allah yang patut di syukuri. Hal ini sebagaimana sabda Nabi SAW.
( و#& ) ل ا) * ا,#- ل- & ) ا./ ذر ر. & أ ,4& 78 ل- #& ا س:;"<3 و#6 ا,"2 ا,"23 ,4 ا53أرأ ٥٣ ( (@ :?ى ا"= ) روا Dari Abu Dzar, ia berkata: “pernah ada seorang bertanya kepada Rasulullah SAW. ‘Bagaimanakah tentang seorang yang berbuat kebajikan, lalu ada orang lain yang memuji nya (padahal niatnya ikhlas karena Allah)?’ Beliau menjawab: ‘itu adalah kegembiraan awal yang diberikan kepada seorang mukmin.’(H.R. Muslim) D. Kajian Hasil Penelitian Yang Relevan Pembahasan tentang ikhlas dan guru telah banyak dikemukakan dalam berbagai penelitian. Hal ini dapat ditemukan dalam beberapa buku, skripsi dan sebagainya. Namun yang penulis angkat dalam penelitian ini adalah tentang konsep guru yang ikhlas.
53
Abi Zakariya Yahya, Riyadhush Sholihin, (Semarang: Pustaka Alawiyah, t.t.), hlm. 618.
36
Dengan adanya telaah pustaka adalah sebagai bahan perbandingan terhadap penelitian yang ada, baik mengenai kekurangan atau kelebihan sebelumnya. Dari karya-karya yang dijumpai penulis, data yang dapat mendukung kajian ini antara lain: skripsi karya Muhammad Ghozali tahun 2006 yang berjudul “Etika Guru dan Murid menurut Imam Al-Ghazali dalam Kitab Ihya’ Ulumuddin”. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa dalam Kitab Ihya’ Ulumuddin yang merupakan karya monumental Imam Al-Ghazali terdapat beberapa etika yang harus dilaksanakan bagi guru dan murid demi kesuksesan proses pembelajaran sehingga terjadilah suatu relasi yang harmonis antara keduanya. Guru merupakan sosok yang mampu sebagai penunjuk ke jalan Allah. Kesuksesan anak adalah tanggung jawab guru dan kesuksesan anak adalah kesuksesan orang tua.54 Sementara pada penelitian ini, penulis memfokuskan pada pembahasan tentang guru dalam kitab Ihya’ Ulumiddin, yang berkaitan dengan keikhlasan guru dalam mengajar. Skripsi karya Dewi Khurun Aini tahun 2009 yang berjudul “Pemikiran Al-Ghazali tentang Kompetensi Guru Pendidikan Akhlak (Studi atas Kitab Ihya’ Ulumuddin)”. Hasil penelitian tersebut menunjukkan, bahwa Al-Ghazali mengharuskan pada seorang pendidik untuk menguasai ilmu-ilmu yang berkaitan dengan keberhasilan pendidikan akhlak, seperti psikologi, kesehatan dan sebagainya. Secara keseluruhan Imam Al-Ghazali termasuk sebagian dari filosof yang menciptakan sistem pendidikan yang komprehensif, termasuk tentang kompetensi yang harus dimiliki oleh pendidik dalam memberikan pendidikan akhlak kepada peserta didik.
55
Dalam penelitian tersebut, peneliti
memfokuskan pada kajian tentang kompetensi guru pendidikan akhlak, semantara penulis dalam penelitian ini, fokus pada konsep Imam Al-Ghazali tentang guru yang ikhlas. Dari konsep tersebut kemudian akan menghasilkan sebuah rumusan tentang beberapa kompetensi guru ikhlas, yang dijadikan 54
Ghozali, Etika Guru dan Murid menurut Imam Al-Ghazali dalam Kitab Ihya’ Ulumuddin, ( Semarang : Fak.Tarbiyah IAIN Walisongo, 2006). 55 http://digilib.uin-suka.ac.id/download.php?id=2009, diundo 16/05/2011.
37
pedoman bagi guru dalam mengajar, sehingga mendapat ridha dari Allah SWT. Karya Asy Syalhub yaitu dalam buku yang berjudul Guruku Muhammad SAW, yang merangkum berbagai keteladanan Rasulullah sebagai seorang guru, dan untuk memperluas cakrawala tentang pendidikan dan pengajaran dalam pandangan Islam. Salah satu bab dalam buku tersebut menjelaskan tentang sifat-sifat yang harus dipelihara oleh seorang guru, antara lain: seorang guru harus mengikhlaskan ilmu kepada Allah, jujur, sesuai perkataan dan perbuatan, menghiasi dengan akhlak mulia dan sebagainya.56 Adapun perbedaannya dengan penelitian ini, penulis lebih cenderung dengan pemikiran Al-Ghazali dalam memaparkan tentang konsep keikhlasan seorang guru. Namun demikian, penulis tidak lepas dari ayat-ayat al-Qur’an dan hadits-hadits Rasulullah SAW sebagai landasan dasar dalam memaparkan konsep guru yang ikhlas. Karya Herdananto dalam buku yang berjudul Menjadi Guru Bermoral Profesional. Dalam buku ini diterangkan, bahwa profesi apapun yang dijalani secara profesional pasti akan memberikan hasil yang terbaik. Maka, sangatlah penting bagi siapapun untuk bersikap dan bermoral profesional, tak terkecuali bagi seorang guru. Profesi yang sangat mulia ini mengantarkan sebuah bangsa menjadi bermartabat. Dalam buku ini disebutkan tentang beberapa niatan awal seseorang menjadi guru, sehingga menjadikan kemampuan guru berbeda-beda dalam menyikapi hidup sebagai seorang guru, baik dalam persoalan antusias dan kesungguhan dalam mengajar, masalah gaji maupun masalah lainnya yang berkaitan dengan pembelajaran.57 Berkaitan dengan penelitian ini, penulis menyinggung masalah pekerjaan seorang guru sebagai profesi, dimana seorang guru harus mempunyai berbagai ketrampilan dan keahlian serta berbagai syarat lainnya yang memenuhi kriteria guru sebagai profesi. Adapun perbedaan dengan 56
Asy Syalhub, op. cit, hlm. i-iii. Herdananto, Menjadi Guru Bermoral Profesional, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2009), hlm. ix-xi. 57
38
penelitian ini, penulis lebih menekankan pada profesi guru, dimana seorang guru diperbolehkan untuk mengambil imbalan jasa atau upah. Hal ini demi kesejahteraan hidup guru dan keluarganya serta demi kelancaran proses pembelajaran. Namun demikian, guru dalam hal ini harus tetap menanamkan niatnya dengan tulus ikhlas semata-mata untuk mencari ridha Allah, bukan karena urusan duniawi, seperti mencari harta, jabatan, pangkat maupun kedudukan. Dari berbagai data di atas, menunjukkan bahwa penelitian ini bukanlah sesuatu hal yang baru. Karena masalah guru dan hal ikhlas telah banyak dikaji, akan tetapi sepengetahuan penulis belum ada yang membahas tentang konsep guru yang ikhlas menurut Imam Al-Ghazali. Sehingga penulis berkesimpulan bahwa belum ada secara khusus penelitian yang membahas Konsep Guru Yang Ikhlas menurut Imam Al-Ghazali dalam Kitab Ihya’ Ulumiddin.
BAB III PEMIKIRAN IMAM AL-GHAZALI DALAM KITAB IHYA’ ULUMIDDIN
A. Riwayat Hidup Imam Al-Ghazali 1. Biografi Imam Al-Ghazali Nama lengkap Imam Al-Ghazali adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali Ath-Thusi An-Naysaburi AlFaqih Ash-Shufi Asy-Syafi’i Al-Asy’ari. Ia mendapat gelar al-Hujjah alIslam Zaynuddin al-Thusi.1 Ada dugaan, kata Al-Ghazali berasal dari Ghazalah, desa di Khurasan Iran tempat dimana Al-Ghazali di lahirkan. Ada pendapat lain, Al-Ghazali berasal dari kata Ghazzal al-Shuf, berarti pemintal benang wol, yaitu profesi ayah Imam Al-Ghazali untuk menghidupi keluarga. Jadi, sebutan Al-Ghazali berasal dari dua Ghazala.2 Di kalangan Barat Al-Ghazali dikenal dengan nama Al-Qazeel. Imam Al-Ghazali dilahirkan pada tahun 450 H/1058 M di kota Thus yang merupakan kota kedua di Khurasan setelah Naysabur. Beliau berasal dari keluarga Muslim dengan anggota keluarganya sebagai pemintal wol. Imam Al-Ghazali selanjutnya dikenal sebagai seorang filsuf, teolog, ahli hukum, dan Sufi. Imam Al-Ghazali wafat di Thus pada hari senin, 14 Jumada al-Akhir 505 H/1111 M dalam usia 55 tahun. Al-Hujjah al-Islam Zaynuddin al-Thusi Abu Hamid Muhammad bin Muhammad AlGhazali di kuburkan di Zhahir al-Thabiran, ibu kota Thus.3 Ayah Al-Ghazali merupakan orang yang saleh. Dia tidak makan kecuali dari hasil usahanya sendiri. Mata pencahariannya adalah memintal bulu domba dan menjualnya di tokonya. Ketika ajal akan menjemputnya, 1
Al-Ghazali, Mutiara Ihya’ Ulumuddin, terj. Irwan Kurniawan, (Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2008), hlm. 9. 2 Said Basil, Al-Ghazali Mencari Makrifah, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1990), hlm. 7. 3 Al-Ghazali, Mukasyafah al-Qulub, terj. Irwan Kurniawan, (Bandung: Marja’, 2003), Cet. I, hlm.18.
39
40
dia menitipkan Al-Ghazali dan saudaranya Ahmad, kepada sahabatnya seorang sufi yang dermawan. Dia berkata kepada karibnya, “Aku menyesal tidak pernah belajar menulis. Oleh karena itu, aku ingin sekali memperoleh apa yang telah aku tinggalkan itu pada kedua anakku, ajarilah mereka menulis. Untuk itu, engkau boleh menggunakan peninggalanku untuk pendidikan mereka. 4 Al-Ghazali masuk sekolah Ahmad Al-Razkani di Thus. Di sini ia belajar ilmu fiqih secara luas. Semangatnya menuntut ilmu sangat tinggi. Al-Ghazali pun pergi ke Naysabur untuk menuntut ilmu lebih luas. Di sana ia belajar ilmu mantik (logika) dan ilmu kalam (teologi) kepada alJuwaini, yang dikenal dengan imam Haramain. Ia mempunyai kecerdasan tinggi karena pandai menggunakan logika. Kemampuannya menguasai ilmu dan diskusi ilmiah diakui oleh teman-temannya.5 Al-Ghazali juga aktif menulis dalam berbagai bidang ilmu dengan susunan dan metode yang sangat bagus. Ada sebuah riwayat, bahwa ketika Al-Ghazali menulis bukunya Al-Mankhul dan memaparkan kepada gurunya untuk meminta pendapatnya tentang karyanya itu, Imamul Haramain mendesah ketika membacanya dengan sungguh-sungguh: “Wahai, engkau telah memudarkan ketenaranku sebagai seorang penulis, sampai-sampai aku berasa telah mati.” Pada saat kematiannya, Imam Haramain meninggalkan beberapa karya terkemuka dan empat ratus ulama istimewa sebagai murid-muridnya, tetapi Al-Ghazali melampaui mereka semua. 6 Al-Ghazali adalah orang yang sangat cerdas, berwawasan luas, kuat hafalan, berpandangan mendalam, menyelami makna, dan memiliki hujjah-hujjah (argumen) yang akurat. Ketika Imam Haramain Al-Juwaini wafat, Al-Ghazali pergi menemui Perdana Menteri Nizham Al-Mulk. Ia 4
Ibid., hlm.13-14. Said Basil, loc.cit, hlm. 7 6 Qayyum, Surat-Surat Al-Ghazali, terj. Haidar Baqir, (Bandung: Mizan, 1985), Cet. II, 5
hlm. 6.
41
mendapat sambutan hangat darinya dan kedudukan yang agung karena ketinggian derajatnya dan pandangan-pandangannya yang cemerlang. Majelis Nizham al-Mulk senantiasa dipadati para ulama dan didatangi para imam, pada suatu kesempatan Al-Ghazali mengemukakan pandanganpandangannya yang sesuai dengan pandangan para tokoh itu, dari situ maka mencuatlah namanya, dan menjadi tokoh yang terkenal dengan pemikirannya yang tajam dan cemerlang. Dengan penguasaan ilmu tersebut Imam Al-Ghazali dipercaya untuk mengelola Madrasah Nizamiyah di Baghdad sehingga majelis taklim ini didatangi oleh para ulama dengan kebesaran sorbannya tidak kurang dari tiga ratus orang ulama yang ingin berguru kepada Imam AlGhazali. Dalam hal ini beliau ditunjuk sebagai guru hukum Islam di Madrasah Nizamiyah tersebut, yang didirikan oleh Gubernur Nizam alMuluk, yakni seorang negarawan dan tokoh pendidikan yang sekaligus sebagai pendiri lembaga pendidikan madrasah. 7 Di Baghdad, Al-Ghazali meraih sukses besar sebagai ahli hukum Islam. Akan tetapi, walaupun demikian, Al-Ghazali merasa masih perlu untuk terus menuntut ilmu. Ia lalu meninggalkan Baghdad dan menuntut ilmu ke berbagai kota, ia menuju Syria untuk bermujahadah dan ber’uzlah (mengasingkan diri dari kehidupan dan keramaian) selama dua tahun, guna mencari esensi hakiki kehidupan. Al-Ghazali juga berziarah ke makam Rasulullah SAW dan juga ke makam para aulia untuk pendekatan diri kepada Allah. 8 Disebutkan bahwa Al-Ghazali pergi meninggalkan kota Baghdad yang penuh kehormatan dan kemuliaan baginya itu, menuju Baitullah alHaram di Makkah al-Mukarrramah. Lalu, beliau menunaikan ibadah haji pada bulan Zulhijah 488 H. Sementara pengajaran di Baghdad, beliau 7
Mujieb, dkk, Ensiklopedia Tasawuf Imam Al-Ghazali (Jakarta: Hikmah, 2009), hlm. 116-
117. 8
Munir Amin, Kisah Sejuta Hikmah Kaum Sufi, (Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2008), Cet. I, hlm. 176.
42
mewakilkan kepada adiknya. Sekembalinya dari haji pada tahun 489 H AlGhazali menuju ke Damaskus. Beliau tinggal di situ tidak lama, kemudian pergi ke Baitul Maqdis. Setelah menunaikan ibadah di sana, beliau kembali lagi ke Damaskus, dan beriktikaf di menara sebelah barat masjid jami’. Al-Ghazali tinggal dan menetap di tempat tersebut.9 Di Damaskus, beliau tinggal selama sepuluh tahun, disitu beliau mulai menulis bukunya, Ihya’ Ulumiddin. Selain itu, beliau juga membaktikan dirinya untuk ibadah, terus-menerus mengaji Al-Qur’an dan menyebarkan pengetahuan serta memutuskan kontak dengan orang-orang. Kemudian setelah mengunjungi Yerusalem dan Iskandariah, ia kembali ke rumahnya di Thus, tempat ia mendirikan universitas untuk melatih dan mempersiapkan ulama-ulama yang kelak bisa memberikan petunjuk dan kepemimpinan yang dibutuhkan bagi dunia Islam.10 Al-Ghazali diminta kembali untuk menjadi Guru Besar di Universitas Nizamiyah di Naysabur. Al-Ghazali menyetujuinya dan ia pun kembali pada kehidupan kemasyarakatan pada tahun 500 H atau tahun 1106 M. Namun setelah mengajar beberapa waktu, ia berhenti dari jabatannya dan kembali untuk menghabiskan hari-hari terakhirnya di kota asalnya Thus. Di samping rumahnya dia mendirikan madrasah untuk para fuqaha (ahli fiqih) dan kamar-kamar untuk para Sufi. Dia membagi waktunya untuk mengkhatamkan al-Qur’an, berdiskusi dengan ulama lain, mengkaji ilmu, dan terus mendirikan shalat, puasa dan ibadah-ibadah lainnya hingga wafat.11 Al-Ghazali meninggal dengan husnul khatimah pada hari senin tanggal 14 juamadil akhir tahun 505 H (1111M) di Thusia. Jenazahnya dikebumikan di samping makam Al-Firdausi, seorang ahli syair yang termasyhur. Sebelum meninggal Al-Ghazali pernah mengucapkan katakata yang di ucapkan pula oleh Francis Bacon seorang filsuf Inggris, yaitu: 9
Al-Ghazali, Mukasyafah al-Qulub, op.cit, hlm. 17. Qayyum, op.cit, hlm. 9-10. 11 Al-Ghazali, Mukasyafah al-Qulub, op.cit, hlm. 18. 10
43
“Ku letakkan arwahku di hadapan Allah dan tanamkanlah jasadku dilipat bumi yang sunyi senyap. Namaku akan bangkit kembali menjadi sebutan dan buah bibir umat manusia di masa depan”.12 Ia meninggalkan pusaka yang tidak dapat dilupakan oleh umat muslimin pada khususnya dan dunia pada umumnya dengan karangankarangannya yang berjumlah hampir seratus buah banyaknya. 2. Perjalanan Imam Al-Ghazali Sebagai Guru Al-Ghazali, selain dikenal sebagai seorang Sufi, filsuf, teolog dan ahli hukum, juga dikenal sebagai seorang guru. Hal ini bisa dilihat dari perjalanan hidup beliau yang sarat akan pengalaman spiritual dan menunjukkan bahwa Al-Ghazali adalah orang alim, yang mengetahui hakekat dari setiap ilmu yang ia pelajari, sehingga pada akhirnya ia menemukan arti dan hakekat dari keikhlasan. Ia mendekatkan dirinya kepada Allah dengan melakukan segala peribadatan dan menjalani sunahsunah rasul serta meninggalkan semua harta-bendanya, kesenangan dunia, pangkat dan kedudukan. Ia hanya mengharapkan ridha dari Allah SWT, senantiasa melakukan apapun karena Allah dan untuk Allah. Al-Ghazali memiliki kecerdasan yang sangat luar biasa, hal ini diakui oleh gurunya sendiri Imam Al-Juwaini, sehingga ia diberi gelar oleh gurunya dengan “bahr muhriq”(samudera yang menenggelamkan), dan ia sering diminta untuk mengajar adik-adik kelasnya.13 Adapun masa mengajar Al-Ghazali sebagai guru, dimulai setelah Imam Al-Juwaini meninggal. Ia pergi ke Muaskar, di sana ia bertemu wazir Nidzam alMulk. Nidzam al-Mulk mengetahui kemampuan Al-Ghazali dalam berdebat dan berdiskusi. Karena itu, ia diangkat menjadi dosen Universitas Nidzamiyah di Baghdad pada tahun 484 H/1091 M. Masa ini sangat penting bagi Al-Ghazali, ia juga mendalami filsafat Yunani ditengah
12
Al-Ghazali, Ihya’ Al-Ghazali, terj. Ismail Yakub, (Jakarta: CV. Faizan, 1994), Jilid I, Cet. XII, hlm. 25. 13 Jahja, Teologi Al-Ghazali, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), Cet. I, hlm. 71.
44
kesibukannya mengajar. Hal ini ia lakukan tanpa bantuan seorang guru, akan tetapi ia bisa memahami seluk beluk filsafat Yunani tersebut. Untuk itu ia menulis Maqashid al-Falasifah (Tujuan Filsafat) yang memuat tentang pikiran-pikiran filsafat, sebagai pengantar bagi bukunya yang lain. Tahafut al-Falasifah (Kerancuan Para filosuf), buku ini berisi kritik yang keras terhadap filsafat. Karenanya ada anggapan filsafat tidak akan tumbuh kembali. Setelah itu, Al-Ghazali menyusun Mi’yar al-‘ilm dan buku-bukunya yang lain. Al-Ghazali telah mencapai kedudukan yang mulia, semua orang takjub akan keindahan tutur katanya, kesempurnaan keutamaannya, kefasihan bicaranya, kedalaman wawasannya, dan kekuatan isyaratnya. Ia mengkaji ilmu dan menyebarkannya melalui pengajaran dan pemberian fatwa serta menulis buku. Ia memiliki kedudukan yang mulia, menduduki posisi yang tinggi, ucapannya didengar dimana-mana, terkenal namanya, menjadi teladan dan didatangi banyak orang. Namun, ia mengabaikan semua itu dan pergi ke Baitullah al-Haram di Makkah al-Mukarramah. Dia menunaikan ibadah haji pada bulan Zulhijah 488 H, sementara untuk pengajaran di Baghdad, ia mewakilkannya pada adiknya. Sekembalinya Imam Al-Ghazali ke Khurasan di Baghdad, beliau memutuskan hanya untuk beribadah dan memilih uzlah, karena senang untuk kholwah dan membersihkan atau mengonsentrasikan hati untuk berdzikir kepada Allah. Pada suatu saat ia diminta untuk menjadi guru lagi di Madrasah Nidzamiyah di Naysabur oleh Fajrul Muluk bin Nidzom Al Muluk, tetapi ia menolaknya dan berkata: “aku hanya ingin untuk beribadah” maka Fajrul Muluk berkata: ”tidak halal bagimu mencegah kaum muslimin yang hendak mengambil faedah darimu”. Akhirnya AlGhazali menerima anjuran mengajar walau tidak lama dan kemudian ia kembali ke Thus.14 Di samping rumahnya ia mendirikan madrasah untuk para fuqaha (ahli fiqih) dan menyediakan kamar-kamar untuk para sufi, ia 14
Syakur, Biografi Ulama Pengarang Kitab Salaf, (Kediri: Baroza, 2008), hlm. 38.
45
membagi waktunya untuk mengkhatamkan al-Qur’an, berdiskusi dengan ulama lain, mengkaji ilmu, dan terus mendirikan shalat, puasa, dan ibadahibadah lainnya hingga wafat. Imam Al-Ghazali wafat di Thus pada hari Senin, 14 Jumada Akhir 505 H. Dari berbagai pemaparan di atas, maka jelas bahwa Al-Ghazali adalah orang yang haus akan ilmu dan selalu mengamalkan ilmunya. Ia mengamalkan ilmunya dalam berbagai kesempatan, baik melalui dakwah, diskusi, pengajaran formal maupun ia tuangkan dalam bentuk tulisan dan buku. Adapun ilmu yang ia tuangkan dalam berbagai tulisan dan buku, telah membuktikan akan keluasan ilmunya, hingga sampai saat sekarang ini bisa dinikmati oleh siapa saja yang membacanya. Perlu diketahui, bahwa pada awalnya Al-Ghazali menuntut ilmu karena ingin menjadi seorang guru profesional untuk menghidupi dirinya. Namun ketika ia telah mencapai keinginan itu, timbul hasrat untuk menambah pengetahuan yang lebih banyak lagi. Hal ini bisa dilihat dari masa belajarnya, yang dimulai dengan belajar ilmu fiqih kepada Ahmad Al-Radzkani. Setelah itu, ia pergi ke Naysabur dan belajar kepada Imam al-Haramain, Abi Ma’ali al-Juwaini. Ia belajar dengan sungguh-sungguh sehingga menguasai ilmu-ilmu tentang mazhab, khilaf, ilmu argumentasi, dan logika (manthiq). Ia pun mempelajari hikmah (tasawuf). Disamping belajar tersebut ia juga aktif menulis berbagai bidang ilmu dengan susunan yang sangat bagus.15 Selain itu, Al-Ghazali juga menekuni filsafat disela kesibukannya mengajar di Baghdad seperti yang telah disebutkan di atas. Al-Ghazali memiliki watak semangat untuk mengetahui hakekat kebenaran. Namun semangat ini terkalahkan oleh kedudukannya di masa muda. Akan tetapi, setelah mendalami beberapa ilmu tersebut dan ketika hasratnya pada kedudukan dan jabatan hilang, semangatnya untuk mencari hakekat kebenaran semakin kuat.
15
Al-Ghazali, Mukasyafah al-Qulub, op. cit, hlm.15.
46
Berkaitan dengan hal ini, Al-Ghazali menyatakan: Sekarang aku tidak seperti dahulu. Jika dahulu aku masih mencari kedudukan. Sekarang tujuanku memperbaiki pribadiku dan juga orang lain. Aku mengajak menuju ilmu yang bisa untuk meninggalkan kedudukan duniawi dan untuk mengetahui rendahnya mencari kedudukan. Bukan aku yang menggerakkan, tetapi Allah yang memperjalankan aku. Segala sesuatu yang aku kerjakan ini semata-mata ikhlas karena Allah SWT. 16 Para sejarawan sependapat bahwa Al-Ghazali adalah sosok manusia yang berpindah dari satu pendapat pada pendapat lainnya. Setelah lama menuntut ilmu untuk jabatan, ia berubah menjadi penuntut ilmu karena Allah. Abu Abbas mendengar, bahwa Al-Ghazali mengulang-ulang ungkapan tadi dalam suatu pertemuan ilmiah. Maksudnya, Al-Ghazali telah menuntut ilmu untuk tujuan selain Allah, padahal ilmu itu tidak berkompromi kecuali untuk Allah.17 Hal ini sesuai dengan pernyataan Al-Ghazali, Menjelang ayahku meninggal dunia, beliau meninggalkan sedikit harta untukku dan saudaraku. Ketika harta itu habis, kami menghadapi kesulitan ekonomi. Karena itu kami masuk sekolah menuntut ilmu fiqh dengan tujuan memperoleh biaya hidup. Itu berarti, ketika itu kami belajar bukan karena Allah, padahal ilmu hanya untuk Allah SWT.18 Pernyataan-pernyataan Al-Ghazali di atas menunjukkan, setelah Al-Ghazali berusaha mengejar harta, secara drastis ia berusaha mencari ma’rifah dengan jalan mendekatkan dirinya kepada Allah. Ibnu Al-Jauzi di dalam Al-Muntazhim mengatakan bahwa menjelang wafatnya, Al-Ghazali diminta sebagian sahabatnya untuk berwasiat, maka Al-Ghazali pun menjawab: ”hendaklah engkau ikhlas”, senantiasa ia mengulanginya hingga meninggal.19 Hal ini sebagaimana di ungkapkan oleh Fadhalalla Haeri, one of his famous saying is, “Those which are learned about, for example, the 16
Munir Amin, lok. cit, hlm. 176. Said Basil, op.cit, hlm. 13. 18 Ibid. 19 Al-Ghazali, Mutiara Ihya’ Ulumuddin, terj. Iwan Kurniawan, (Bandung: PT Mizan Pustaka, 2008), hlm. 19. 17
47
laws of divorce, can tell you nothing about the simpler aspects of spiritual life, such as the meaning of sincerely towards God or trust in Him.”20 Salah satu perkataan Al-Ghazali yang paling terkenal adalah “bahwa ketika mempelajari tentang suatu hal, sebagai contoh tentang hukum talak, kamu dapat memberitahukan bahwa tidak ada aspek yang lebih sederhana dalam kehidupan spiritual, sebagaimana makna keikhlasan kepada Allah atau kepercayaan pada-Nya. 3. Karya-Karya Imam Al-Ghazali Al-Ghazali bagi dunia Islam merupakan seorang tokoh yang tidak bisa dilupakan. Jika berbicara tentang tasawuf dan filsafat Islam secara luas, maka dianggap tidak lengkap tanpa menyertakan buah pikiran dan pendapat beliau. Hal itu karena jasa Al-Ghazali sangat besar dalam memperkaya perkembangan ilmu-ilmu Islam. Hasil usahanya sangat berharga dalam mempertemukan fiqih dan tasawuf dengan sublimates yang luar biasa. Kemampuan itu bisa dilihat pada karya-karyanya.21 Selama hidupnya yang kaya dengan berbagai peristiwa, ia membuktikan diri sebagai penulis yang produktif dari kira-kira tujuh puluh buku. Beberapa diantaranya karya-karya baku dalam bidang hadist, tafsir, akhlak, teologi, filsafat, logika, tauhid, tasawuf, metafisika dan ilmu-ilmu lain. Karya-karyanya yang paling terkenal sebagian telah disebutkan di atas, antara lain: a. Ihya’ Ulumuddin (Menghidupkan Kembali Ilmu-ilmu Agama) b. Kimiya-i-Sa’adat (Kimia Kebahagiaan) c. Al-Munqidz Minadh Dhalal (Pembebas dari Kesesatan) d. Tahafutul Falasifah (Rubuhnya para Filosof), suatu risalah yang dirancang untuk menyangkal dan memusnahkan doktrin-doktrin para filosof muslim. 20
Fadhalalla Haeri, The Elements Of Sufism, (Dorset: Elements Books Limited, 1990), hlm..
99. 21
Adnan (ed), Gema Ruhani Imam Ghazali, terj. Saifuddin Mujtaba, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1993), Cet. I, hlm. 2.
48
e. Mizanul ‘Amal, sebuah risalah tentang logika. f. Al-Mankhul, tentang skolastik muslim atau kalam. g. Al- Wajiz, pelajaran ilmu tauhid. h. Mihakkun Nazhar, tentang logika. i. Mi’yarul ‘Ilm, juga tentang logika. j. Maqasidul Falasifah, sebuah risalah tentang logika, ilmu-ilmu alam, metafisika dan sebagainya. k. Misykatul Anwar (Misykat Cahaya-cahaya). l. Makatibul Ghazali (Surat-surat Al-Ghazali). Dari berbagai karya Imam Al-Ghazali tersebut, menunjukkan bukti akan keluasan ilmunya dalam berbagai bidang. Adapun salah satu karyanya yang sangat monumental dan telah membuatnya hidup terus adalah karyanya yang amat terkenal, Ihya’ Ulumuddin (Menghidupkan Kembali Ilmu-ilmu Agama), yang penuh dengan mutiara-mutiara kebijakan dan ditaburi dengan penafsiran-penafsiran sufistik dan filosofis tentang kehidupan. B. Kitab Ihya’ Ulumiddin 1. Sekilas Isi Kitab Ihya’ Ulumiddin Kitab Ihya’ Ulumuddin karya Imam Al-Ghazali ditulis pada abad ke-5 Hijriyah tahun 489 H. Kitab ini ditulis dalam masa pengembaraan beliau dalam mencari hakikat kebenaran, tepatnya pada masa perjalanan beliau pulang dari ibadah haji menuju Damaskus dan Baitul Maqdis. Sampai beliau menetap dan tinggal di Damaskus, tepatnya di sebelah barat Masjid Jami’ Al-Umawi, di suatu sudut yang terkenal sampai sekarang dengan nama “Al-Ghazaliyah”. Nama sudut tersebut diambil dari nama Al-Ghazali, dan pada masa itulah ia mulai mengarang kitab Ihya’ Ulumiddin. Kitab Ihya’ ini mempunyai peranan dan pengaruh yang sangat besar dalam membendung serangan materialisme dan ateisme, yang
49
bertujuan meruntuhkan agama dari fondasinya. Serangan terhadap ajaranajaran agama Islam sedemikian gencar dan berbagai macam cara. Bahkan sinar keagamaan nyaris dimatikan. Oleh karena itu pula, Imam Al-Ghazali memberi judul bukunya dengan Ihya’ Ulumiddin, dalam bahasa Inggris disebut ‘Revival of Religious Sciences’ yang berarti “Menghidupkan Kembali Ilmu-ilmu Agama”. Kitab Ihya’ Ulumiddin merupakan salah satu karya Imam AlGhazali yang sangat monumental, dan merupakan salah satu usahanya yang sangat berharga dalam memperkaya perkembangan ilmu-ilmu Islam. Kitab ini, merupakan hasil usahanya dalam mempertemukan ilmu fiqih dan ilmu tasawuf dengan penyatuan yang sangat luar biasa. Hasil karyanya tersebut mampu menembus ruang dan waktu, sehingga tetap terasa segar sampai saat ini. Hal ini, dikarenakan latar belakang beliau sebagai seorang Sufi, pemikir dan ulama dengan perjalanan ruhani mencari hakikat dalam lautan hikmah dan usahanya yang keras dalam menyingkap berbagai hijab. Sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Fadhalalla Haeri, bahwa Imam Al-Ghazali’s book called Revival of the Religious Sciences is considered to be his greatest work. It is the spiritual experience. This made him one of the most influential theologians in the Muslim world, as well as making the orthodox religious scholars take sufi movements seriously.22 Kitab Imam Al-Ghazali yang disebut dengan Ihya’ Ulumiddin, merupakan hasil karyanya yang terbesar. Kitab ini merupakan hasil dari pengalaman spiritual. Karyanya yang satu ini sangat berpengaruh terhadap para teologi di dunia Islam, sebagaimana menjadikan pelajar-pelajar Kristen dengan pergerakan sufi secara serius. Hal ini terbukti dengan eksistensinya kitab Ihya’ tersebut yang terus berkembang dengan berbagai cetakan dan penerbit serta berbagai bahasa di antaranya cetakan Bulaq tahun 1269, 1279, 1282, dan 1289,
22
Fadhalalla Haeri, loc. cit, hlm. 99.
50
cetakan Istanbul tahun 1321, cetakan Teheran tahun 1293, dan cetakan Dar Al-Qalam Beirut tanpa tahun.23 Dalam kalangan agama di negeri ini tidak ada yang tidak mengenal kitab Ihya’ Ulumiddin, suatu buku standar terutama tentang akhlak. Di Eropa, kitab ini mendapat perhatian besar sekali dan telah dialih bahasakan ke dalam beberapa bahasa modern. Dalam dunia Kristen telah lahir pula, Thomas a Kempis (1379-1471 M) yang mendekati dengan pribadi AlGhazali dalam dunia Islam, berhubung dengan karangannya “De Imitation Christi” yang sifatnya mendekati Ihya’, tetapi dipandang dari pendidikan Kristen. Hal tersebut membuktikan, bahwa kitab Ihya’ Ulumiddin benarbenar suatu karya yang sangat besar, dengan sarat makna dan fikiran yang terkandung di dalamnya. Ds. Zwemmer, tokoh sending Kristen yang terkenal, berpendapat bahwa sesudah Nabi Muhammad SAW, ada dua pribadi yang sangat besar jasanya dalam menegakkan Islam. Pertama, Imam Bukhari karena pengumpulan haditsnya dan kedua, Imam AlGhazali karena Ihya’-nya.24 Dalam kitab Ihya’ Ulumiddin ini, Al-Ghazali menyusun menjadi empat bab utama dan masing-masing bab utama dibagi kedalam sepuluh pasal. Keempat bab utama itu adalah bab utama tentang ibadah (rubu’ al ibadah), bab utama kedua adalah berkenaan dengan adat istiadat (rubu’ al ’adat), bab utama ketiga adalah berkenaan dengan hal-hal yang mencelakakan (rubu’ al-muhlikat) dan bab utama keempat berkenaan dengan maqamat dan ahwal (rubu’ al-munjiyat). Keempat bab utama dalam Ihya’ tersebut sangat penting bagi seseorang yang memasuki tasawuf. Dalam bab utama pertama akan diketahui kepentingan ilmu, dasar-dasar akidah yang amat diperlukan dan mengetahui berbagai ibadah, keutamaan dan rahasia yang dikandungnya 23 24
Al-Ghazali, Mutiara Ihya’ Ulumuddin, op.cit, hlm. 11. Al-Ghazali, Ihya’ Al-Ghazali, op.cit, hlm. 15.
51
hingga dapat dilaksanakan dengan seksama dan menjaganya dengan intensif. Dalam bab utama kedua akan diketahui berbagai aturan yang perlu ditegakkan, rahasia-rahasia kehidupan dan kebiasaan yang perlu dan mana-mana yang tidak perlu atau ditinggalkan. Dalam bab utama yang ketiga akan diketahui hal-hal yang mencelakakan baik yang timbul dalam diri manusia, pergaulan dan dunia yang menjadi penghambat jalannya seorang menuju kepada Tuhan. Dengan itu terdorong untuk menggantinya dengan sifat-sifat, pemikiran dan perbuatan yang terpuji. Dan apa yang terpuji itu ditemui dalam bab keempat. Dalam bab keempat di uraikan oleh Al-Ghazali secara rinci berupa maqamat dan ahwal yang perlu ditempuh oleh seorang salik. Ia mengemukakan maqamat dan ahwal yang perlu ditempuh oleh salik itu adalah tobat, sabar, syukur, raja’, khauf, zuhud, tawakkal, mahabbah, unsu, ‘isyq dan ridha. 25 Adapun sistematika penulisan kitab Ihya’ Ulumiddin, secara umum dibagi menjadi empat bahagian besar (empat rubu’), dan setiap bahagian besar (rubu’) terdiri dari sepuluh bab yaitu: a. Bahagian (rubu’) peribadatan (rubu’ ibadah), melengkapi sepuluh bab: 1) Bab ilmu. 2) Bab kaidah-kaidah i’tikad (aqidah). 3) Bab rahasia (hikmah) bersuci. 4) Bab hikmah shalat. 5) Bab hikmah zakat. 6) Bab hikmah shiyam (puasa). 7) Bab hikmah haji. 8) Bab adab (kesopanan) membaca Al-Qur’an. 9) Bab dzikir dan doa. 10) Bab wirid pada masing-masing waktunya.
25
Mansur, Ajaran dan Teladan Para Sufi, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2002), Cet. III, hlm. 161.
52
b. Bahagian (rubu’) pekerjaan sehari-hari (rubu’ adat kebiasaan), melengkapi sepuluh bab: 1) Bab adab makan. 2) Bab adab perkawinan. 3) Bab hukum berusaha (bekerja). 4) Bab halal dan haram. 5) Bab adab berteman dan bergaul dengan berbagai golongan manusia. 6) Bab ‘uzlah (mengasingkan diri). 7) Bab adab bermusafir (berjalan jauh). 8) Bab mendengar dan merasa. 9) Bab amar ma’ruf dan nahi mungkar. 10) Bab adab kehidupan dan budi pekerti (akhlaq) kenabian. c. Bahagian (rubu’) perbuatan yang membinasakan (rubu’ al-muhlikat), melengkapi sepuluh bab: 1) Bab menguraikan keajaiban hati. 2) Bab latihan diri (jiwa). 3) Bab bahaya hawa nafsu perut dan kemaluan. 4) Bab bahaya lidah. 5) Bab bahaya marah, dendam dan dengki. 6) Bab tercelanya dunia. 7) Bab tercelanya harta dan kikir. 8) Bab tercelanya sifat suka kemegahan dan cari muka (ria). 9) Bab tercelanya sifat takabur dan mengherani diri (‘ujub). 10) Bab tercelanya sifat suka tertipu dengan kesenangan duniawi. d. Bahagian (rubu’) perbuatan yang menyelamatkan (rubu’ al-munjiyat), melengkapi sepuluh bab: 1) Bab taubat. 2) Bab sabar dan syukur. 3) Bab takut dan harap. 4) Bab fakir dan zuhud.
53
5) Bab tauhid dan tawakkal. 6) Bab cinta kasih, rindu, jinak hati dan rela. 7) Bab niat, benar dan ikhlas. 8) Bab muraqabah dan menghitung malam. 9) Bab memikirkan hal diri (tafakkur). 10) Bab ingat mati.26 Pada bahagian ibadah diterangkan tentang periadabnya yang mendalam, sunah-sunahnya yang halus dan maksudnya yang penuh hikmah, yang diperlukan bagi orang yang berilmu dan mengamalkan. Bahkan tidaklah dari ulama akhirat, orang yang disia-siakan dalam ilmu fiqih. Adapun bahagian pekerjaan sehari-hari, diterangkan tentang hikmah pergaulan yang berlaku antara sesama manusia, liku-likunya, sunahnya yang halus-halus dan sifat memelihara diri yang tersembunyi pada tempattempat lalunya, yaitu yang harus dipunyai oleh orang yang beragama. Pada bahagian perbuatan yang membinasakan, diterangkan tentang semua budi pekerti yang tercela, yang tersebut dalam al-Qur’an, dengan menghilangkannya, membersihkan jiwa dan mensucikan hati daripadanya. Dari masing-masing budi pekerti itu diterangkan batas dan hakikatnya. Kemudian sebab terjadinya, bahaya yang timbul daripadanya, tanda-tanda mengenalinya, cara mengobatinya supaya terlepas dari padanya. Adapun bahagian perbuatan yang melepaskan, diterangkan tentang semua budi pekerti yang terpuji dan keadaan yang disukai, yang menjadi budi pekerti orang-orang muqarrabin dan shaddiqin, yang mendekatkan hamba kepada Tuhan semesta alam. Pada setiap budi pekerti itu diterangkan batas dan hakikatnya, sebab yang membawa tertarik kepadanya, faedah yang dapat diperoleh daripadanya, tanda-tanda untuk mengenalinya dan keutamaan yang membawa kegemaran kepadanya, serta apa yang ada padanya, dari dalil-dalil syariat dan akal pikiran.
26
Al-Ghazali, Ihya’ Al-Ghazali, op.cit, hlm. 33-34.
54
Penulis-penulis lain sudah mengarang beberapa buku yang berkaitan dan mengenai sebagian maksud-maksud tadi. Akan tetapi kitab ini, berbeda dari buku-buku itu dalam lima hal, antara lain: a. Menguraikan dan menjelaskan apa yang ditulis penulis-penulis lain secara singkat dan umum. b. Menyusun dan mengatur apa yang dibuat mereka itu berpisah-pisah. c. Menyingkatkan apa yang dibuat mereka itu berpanjang-panjang dan menentukan apa yang ditetapkan mereka. d. Membuang apa yang dibuat mereka itu berulang-ulang dan menetapkan dengan kepastian di antara yang diuraikan. e. Memberi kepastian hal-hal yang meragukan yang membawa kepada salah paham, yang tidak disinggung sedikitpun dalam buku-buku yang lain. Karena semuanya, walaupun mereka itu menempuh pada suatu jalan, tetapi tak dapat di bantah, bahwa masing-masing orang salik (orang yang berada pada jalan Allah) itu mempunyai perhatian tersendiri, kepada suatu hal yang tertentu baginya dan dilupakan temantemannya. Atau ia tidak lalai dari perhatian itu, akan tetapi ia dipalingkan
oleh
sesuatu
yang
memalingkannya
dari
pada
menyingkapkan yang tertutup daripadanya.27 Oleh sebab itulah, kitab Ihya’ ini dalam keadaan khusus, berbeda dengan kitab atau buku-buku yang lainnya serta mengandung semua ilmu pengetahuan didalamnya. Adapun yang membuat beliau mendasarkan kitab Ihya’ ini menjadi empat bahagian (rubu’) ada dua hal, antara lain: Pertama, yaitu pendorong asli, bahwa susunan ini menjelaskan hakekat dan pengertian, seperti ilmu dlaruri (ilmu yang mudah, tidak memerlukan pemikiran yang mendalam). Pengetahuan yang menuju ke akhirat, terbagi menjadi ilmu muamalah dan ilmu mukasyafah. Adapun yang dimaksud dengan ilmu mukasyafah ialah ilmu yang hanya diminta untuk mengetahuinya saja. Sedangkan ilmu mu’amalah, selain diminta 27
Ibid, hlm. 35.
55
untuk mengetahuinya juga diminta untuk mengamalkan ilmu tersebut. Sementara yang dimaksudkan dari kitab ini, ialah ilmu mu’amalah saja, bukan ilmu mukasyafah, sebab tidak mudah menyimpannya di buku-buku, meskipun menjadi maksud dan tujuan para pelajar serta keinginan perhatian orang-orang shiddiqin. 28 Ilmu muamalah merupakan jalan menuju ilmu mukasyafah. Akan tetapi, para nabi tidak mengatakan kepada orang banyak, selain mengenai ilmu untuk jalan dan petunjuk kepada ilmu mukasyafah itu. Adapun ilmu mukasyafah, mereka tidak mengatakannya selain dengan jalan rumus dan isyarat, yang merupakan contoh dan kesimpulan. Karena para nabi itu tahu akan singkatnya pemahaman banyak orang, sehingga berat untuk dapat memikulnya. Sebagaimana disebutkan, bahwa alim ulama adalah pewaris para nabi. Maka, tidak ada jalan bagi mereka untuk berpaling daripada mengikuti dan mematuhinya. 29 Adapun ilmu muamalah itu terbagi kepada: a. ilmu dhahir, yaitu ilmu mengenai amal perbuatan anggota badan. b. ilmu bathin, yaitu ilmu mengenai amal perbuatan hati dan yang melalui anggota badan. Adakalanya adat kebiasaan dan adakalanya ibadah. Sesuatu yang datang pada hati, yang tidak dapat dilihat dengan panca indra, merupakan bagian alam malakut, adakalanya terpuji dan adakalanya tercela. Maka dari itu, ilmu ini terbagi menjadi dua, yaitu dhahir dan bathin. Bagian dhahir menyangkut dengan anggota badan, terbagi kepada adat kebiasaan dan ibadah. Bagian bathin yang menyangkut dengan hal ihwal hati dan budi pekerti jiwa, terbagi kepada: yang tercela dan yang terpuji. Jadi, semuanya berjumlah empat bahagian. Sehingga tidaklah kurang perhatian pada ilmu muamalah, dari bahagian-bahagian ini.30
28
Ibid, hlm. 36. Ibid. 30 Ibid, hlm. 36-37. 29
56
Kedua, yang menggerakkan Al-Ghazali untuk menyusun kitab ini menjadi empat bahagian, ialah karena melihat keinginan para pelajar yang sangat besar terhadap ilmu fiqih, ilmu yang layak bagi orang yang tidak takut kepada Allah SWT, yang memperalat ilmu itu untuk mencari kemegahan
dan
penonjolan
kemegahan
serta
kedudukan
dalam
perlombaan. Ilmu fiqih itu terdiri dari empat bahagian. Orang yang menghiasi dirinya dengan hiasan yang disukai orang banyak, tentu dia akan disukai. Maka dari itu, kitab ini dibentuk dengan fiqih untuk menarik hati golongan pelajar-pelajar. Maka dari inilah, sebagian orang yang ingin menarik hati pembesar-pembesar kepada ilmu kesehatan, bertindak lemah lembut, lalu membentuknya dalam bentuk ilmu bintang dengan memakai ranji dan angka. Dan menamakannya ilmu takwim kesehatan, supaya kejinakan hati mereka dengan cara itu menjadi tertarik untuk membacanya.31 Sikap lemah lembut untuk menarik hati orang kepada ilmu pengetahuan yang berguna dalam kehidupan abadi, lebih penting daripada kelemahlembutan menariknya kepada ilmu kesehatan, yang faedahnya hanya untuk kesehatan jasmaniah belaka. Sementara faedah pengetahuan ini ialah membawa kesehatan kepada hati dan jiwa yang bersambung terus kepada kehidupan abadi. Apalah artinya ilmu kesehatan itu yang hanya dapat mengobati tubuh kasar saja, yang akan hancur binasa dalam waktu yang tidak lama lagi. Dari berbagai pemaparan di atas, mengenai kitab Ihya’ Ulumiddin, maka Imam Al-Ghazali menekankan betapa pentingnya pendidikan. Ia membuat strategi dengan memadukan ilmu-ilmu agama, tasawuf dengan ilmu fiqh, agar ilmu tersebut bisa diminati dan bermanfaat bagi orang banyak, khususnya bagi para pelajar. Ia menyajikannya dalam sebuah buku yang sarat akan ilmu pengetahuan dan nilai-nilai ketuhanan. Ia menyatakan, bahwa dengan bertambahnya ilmu seseorang, maka akan 31
Ibid.
57
semakin mendekatkan orang tersebut kepada Allah. Sehingga dapat disimpulkan, bahwa tujuan dari menuntut ilmu adalah semata-mata untuk mendekatkan diri kepada Allah dengan mengamalkannya kepada orang lain demi meraih ridha-Nya. 2. Pemikiran Imam Al-Ghazali Dalam Kitab Ihya’ Ulumiddin Al-Ghazali merupakan seorang ulama Sufi yang banyak mengulas masalah keguruan, dan menempatkan posisi guru sebagai profesi yang sangat mulia. Hal ini berawal dari perhatiannya yang sangat mendalam tentang ilmu dan pendidikan. Ia mempunyai keyakinan yang kuat bahwa pendidikan yang baik itu merupakan suatu jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dan untuk mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat. Adapun pembahasan tentang guru dalam kitab Ihya’ Ulumiddin terdapat pada bahagian (rubu’) peribadatan dalam kitab ilmu. Berkaitan dengan ilmu pengetahuannya, manusia mencakup empat macam keadaan, antara lain: Pertama, dalam keadaan mencari. Kedua, dalam keadaan berusaha. Ketiga, dalam keadaan menghasilkan yang tidak perlu lagi kepada bertanya dan Keempat dalam keadaan meneliti, yaitu berpikir mencari yang baru dan mengambil faedah darinya.32 Berdasarkan hal tersebut, maka keadaan mancari dan berusaha ialah suatu keadaan dimana seseorang mencari dan menuntut ilmu dengan berusaha untuk mengerti dan memahaminya. Adapun mengenai keadaan menghasilkan ialah suatu keadaan dimana orang tersebut sudah faham dan mengetahui ilmu tersebut dengan baik, sehingga ia tidak perlu lagi untuk bertanya kepada orang lain. Sementara keadaan meneliti, yaitu keadaan berpikir untuk mencari suatu hal yang baru dan mengambil faedah atau manfaat darinya serta keadaan untuk memberi sinar cemerlang kepada orang lain, yakni dengan mengajarkan ilmu pengetahuannya tersebut kepada orang lain, dan inilah suatu keadaan yang paling mulia.
32
Ibid, hlm. 212.
58
Karena kemuliaan tersebut, bagi orang yang berilmu, baramal dan mengajar, disebut orang yang besar dalam alam malakut tinggi. Ia laksana matahari yang menyinarkan cahayanya kepada lainnya dan menyinarkan pula kepada dirinya sendiri. Ia laksana kasturi yang membawa keharuman kepada lainnya dan ia sendiripun harum.33 Berkaitan dengan orang yang berilmu namun tidak beramal menurut ilmunya, Al-Ghazali memberikan beberapa perumpamaan, antara lain: manusia seumpama suatu daftar yang memberi faedah kepada yang lainnya, akan tetapi ia sendiri kosong dari ilmu pengetahuan. Seumpama batu pengasah yang menajamkan lainnya akan tetapi ia sendiri tidak dapat memotong. Seumpama jarum penjahit yang dapat menyediakan pakaian untuk lainnya akan tetapi ia sendiri telanjang. Seumpama sumbu lampu yang dapat menerangi lainnya akan tetapi ia sendiri terbakar.34 Hal ini sebagaimana kata pantun:
ذ و رت ٭ ّ س وه ق ّ ه ٳ Dia hanyalah laksana sumbu yang menyala menerangi manusia. Ia terbakar jadi abu dan orang lain yang mendapatkan sinarnya.35 Dari beberapa perumpamaan di atas, maka dapat dipahami bahwa profesi guru merupakan profesi yang paling mulia dan paling agung dibandingkan dengan profesi yang lain. Dengan profesinya tersebut, seorang guru menjadi perantara antara manusia dalam hal ini murid, dengan penciptanya yaitu Allah SWT. Dengan demikian, maka seorang guru telah mengemban pekerjaan yang sangat penting. Sehingga guru dianggap sebagai bapak kerohanian, yaitu seseorang yang mempunyai tugas sangat tinggi dalam dunia ini. Ia memberikan ilmu sebagai makanannya, sebagai kebutuhan manusia yang tinggi, disamping ia sebagai alat untuk sampai kepada Tuhan.
33
Ibid. Ibid. 35 Adnan (ed), Gema Ruhani Imam Al-Ghazali, op. cit, hlm. 19. 34
59
Menurut Al-Ghazali, guru adalah seseorang yang bertugas untuk menyempurnakan, mensucikan dan menjernihkan serta membimbing anak didiknya untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Hal ini sebagaimana pernyataan Al-Ghazali, yang juga menggambarkan ketinggian derajat dan kedudukan seorang guru, bahwa: Guru itu berpengurusan dalam hati dan jiwa manusia. Yang termulia di atas bumi, ialah jenis manusia. Yang termulia dari bagian tubuh manusia ialah hatinya. Guru itu bekerja menyempurnakan, membersihkan, mensucikan dan membawakan hati itu mendekati Allah ‘Azza wa Jalla. Mengajarkan ilmu itu dari satu segi adalah ibadah kepada Allah Ta’ala dan dari segi yang lain adalah menjadi khalifah Allah Ta’ala. Dan itu adalah yang termulia menjadi khalifah Allah. Bahwa Allah telah membuka pada hati orang berilmu, akan pengetahuan yang menjadi sifat-Nya yang teristimewa, maka dia adalah seperti penjaga gudang terhadap barang gudangannya yang termulia. Kemudian diizinkan berbelanja dengan barang itu untuk siapa saja yang membutuhkannya.36 Berdasarkan pemaparan di atas, maka orang yang berilmu diwajibkan untuk mengamalkan dan mengajarkan ilmunya kepada orang lain. Adapun seorang guru tidak hanya sebatas mengamalkan ilmunya saja, akan tetapi mengamalkan harus dilandasi dengan keikhlasan dalam mendidik dan mengajarkan ilmunya kepada anak didik mereka. Karena ikhlas merupakan amal hati yang menjadi syarat diterimanya amal-amal seseorang. Sehingga tiada sempurna sebuah amal tanpa dilandasi keikhlasan. Seorang guru berperan penting dalam melepaskan murid-muridnya dari api neraka akhirat, yakni dengan ilmu yang diajarkan kepadanya. Sementara ibu bapaknya, hanya melepaskan anaknya dari neraka dunia. Dalam hal ini orang tua menjadi sebab lahirnya seorang anak dan dapat hidup di dunia yang fana ini. Sedangkan guru menjadi sebab anak itu memperoleh hidup kekal di akhirat nanti. Sehingga, jika tidak ada seorang guru, maka apa yang diperoleh anak tersebut dari orang tuanya dapat membawa kepada kebinasaan yang terus menerus. Oleh sebab itu, hak 36
Al-Ghazali, Ihya’ Al-Ghazali, op.cit, hlm. 77.
60
seorang guru lebih besar daripada hak ibu bapaknya. Adapun guru yang dimaksud disini adalah guru yang memberikan kegunaan hidup akhirat yang abadi. Yakni guru yang mengajar ilmu akhirat ataupun ilmu pengetahuan duniawi, tetapi dengan tujuan akhirat, bukan untuk tujuan dunia.37 Dari penjelasan di atas, menunjukkan bahwa keikhlasan guru dalam mengajar terletak pada niatnya, yakni untuk mencapai tujuan akhirat, yaitu dengan mendapatkan keridhaan Allah. Sementara mengajar dengan tujuan dunia, hanya akan membawa pada kehancuran. Hal ini seumpama hak anak-anak dari seorang ayah, yang saling mengasihi dan saling membantu dalam mencapai segala maksud, maka demikian juga dengan kewajiban murid-murid terhadap seorang guru, saling mengasihi dan menyayangi. Semua itu akan terwujud, apabila tujuan guru dan murid adalah akhirat. Namun jika tujuannya dunia, maka yang ada hanyalah saling mendengki dan saling bermusuh-musuhan. Berkaitan dengan masalah upah atau imbalan, Imam Al-Ghazali menyatakan bahwa seorang guru harus mengikuti jejak Rasulullah SAW. Ia tidak mencari upah, balasan dan juga ucapan terimakasih dengan mengajar itu. Tetapi seorang guru mengajar karena Allah dan untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Adapun seorang guru diperbolehkan untuk memandang bahwa dirinya telah berbuat suatu perbuatan yang baik, dengan menanamkan ilmu pengetahuan dan mendidik jiwa para muridnya. Hal ini agar hatinya senantiasa dekat dengan Allah SWT.38 Al-Ghazali membuat perumpamaan tentang posisi guru dan murid dengan seorang yang meminjamkan sebidang tanah untuk ditanami didalamnya tanam-tanaman yang hasilnya untuk peminjam tersebut. Maka faedah atau manfaat yang diperoleh dari peminjam tanah melebihi faedah yang diperoleh dari pemilik tanah itu. Dengan demikian, maka seorang
37 38
Ibid, hlm. 212-213. Ibid, hlm. 214.
61
guru tidak perlu menyebut jasa-jasanya sebab mengajar. Karena pada hakikatnya pahala yang diperoleh guru dari mengajar tersebut, ada pada Allah Ta’ala lebih banyak dari pahala yang diperoleh murid. Akan tetapi keberadaan murid juga sangat penting, karena jika tidak ada murid yang belajar, maka guru pun tidak akan memperoleh pahala tersebut. Selain itu, proses pembelajaran pun tidak akan berjalan. Sehingga hubungan guru dan murid pun harus senantiasa terpelihara dengan baik.39 Adapun orang-orang yang berilmu menempati derajat yang tinggi di hadapan Allah. Orang berilmu disini ialah orang yang mempunyai ilmu dan mengamalkannya kepada orang lain. Dalam pengamalan ilmu juga dibutuhkan keikhlasan agar mampu menjadi jembatan amal perbuatannya, sehingga amalnya dapat diterima oleh Allah SWT. Orang yang berilmu akan mendapatkan kehidupan yang lebih baik daripada orang yang tidak berilmu. Hal ini sesuai dengan janji Allah dalam Al-Qur’an,
( Zπt6ÍhŠsÛ Zο4θu‹ym …絨ΖtÍ‹ósãΖn=sù ÖÏΒ÷σãΒ uθèδuρ 4s\Ρé& ÷ρr& @Ÿ2sŒ ÏiΒ $[sÎ=≈|¹ Ÿ≅Ïϑtã ôtΒ ∩∠∪ tβθè=yϑ÷ètƒ (#θçΡ$Ÿ2 $tΒ Ç|¡ômr'Î/ Νèδtô_r& óΟßγ¨ΨtƒÌ“ôfuΖs9uρ Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan Sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. (QS. An-Nahl: 97).40 Ayat tersebut, menegaskan kepada seluruh manusia bahwa Allah akan memberikan kehidupan yang jauh lebih baik bagi orang yang berilmu. Adapun yang ditekankan dalam ayat ini bahwa laki-laki dan perempuan dalam Islam mendapat pahala yang sama dan bahwa amal saleh harus disertai iman. Allah menjanjikan sebuah kehidupan yang baik bagi orang yang berilmu dan beramal. Ilmu yang bersih dari hawa nafsu ibarat cahaya bagi 39 40
Ibid, hlm. 214-215. Departemen Agama, op. cit, hlm. 378-379.
62
siapa saja yang mendekatinya. Apabila seseorang memiliki ilmu dan ia gunakan dengan sebaik-baiknya, maka hal itu menunjukkan adanya suatu kemanfaatan yang besar bagi dirinya maupun orang lain. Hal inilah yang paling Allah cintai. Berdasarkan dari pemaparan diatas, maka dapat diambil suatu kesimpulan bahwa Allah mengangkat derajat orang-orang yang beriman dan berilmu. Namun demikian, ilmu tanpa amal adalah sia-sia dan amal yang tidak disertai dengan niat ikhlas semata-mata karena Allah maka akan ditolak. Sehingga orang yang berilmu hendaknya mengamalkan ilmu yang dimilikinya dengan niat ikhlas semata-mata karena Allah. Ia tidak mengharapkan balasan dari orang lain, karena sesungguhnya Allah telah menjamin segala kebutuhannya dan Allah menjanjikan kehidupan yang jauh lebih baik bagi orang yang beramal shaleh. Selain itu, Allah juga menegaskan kembali, sebagaimana firman Allah SWT mengisahkan Nabi Nuh as.
∩⊄∪ 4 «!$# ’n?tã āωÎ) y“Ìô_r& ÷βÎ) ( »ω$tΒ Ïµø‹n=tã öΝà6è=t↔ó™r& Iω Θöθs)≈tƒuρ Dan (Dia berkata): Hai kaumku, aku tiada meminta harta benda kepada kamu (sebagai upah) bagi seruanku. upahku hanyalah dari Allah. (QS. Hud, ayat 29).41 Dalam tafsir ibnu Katsir, juga dijelaskan bahwa nabi Nuh merupakan orang yang ikhlas. Beliau senantiasa mengharap ridha Allah dalam setiap seruannya mengajak amar ma’ruf nahi mungkar. Beliau tidak mengharapkan upah sedikitpun dari kaumnya. Sebagaimana firman Allah sebelumnya, yang menggambarkan Rasulullah dalam memberikan sesuatu tidak mangharapkan adanya imbalan, melainkan hanya ridha Allah dan pahala disisi-Nya.42 Harta dan isi dunia hanyalah menjadi pesuruh dari anggota badan. Sementara badan menjadi kendaraan dan tanggungan jiwa ilmu 41 42
Ibid, hlm. 301. Nasib Ar-Rifa’i, op.cit, hlm. 782-783.
63
pengetahuan. Oleh karena itulah yang diutamakan ialah ilmu pengetahuan. Karena dengan ilmu pengetahuanlah, jiwa itu menjadi mulia. Orang yang mencari harta dengan ilmu, ibarat orang yang menyapu bawah sepatunya dengan mukanya supaya bersih. Dengan demikian, seorang guru hendaknya tidak terkecoh oleh kesenangan duniawi, yang hanya akan membuatnya menjadi hina, baik dimata Allah maupun dimata manusia. Karena sejatinya Allah telah memberikan kelebihan dan kenikmatan bagi orang yang berilmu.43 Berkaitan dengan ini, Al-Ghazali mengatakan betapa kotornya orang berilmu, yang rela untuk dirinya kedudukan duniawi. Sementara ia berbohong dan menipu diri sendiri dengan tidak malu mengatakan: “Maksudku dengan mengajar ialah menyiarkan ilmu pengetahuan, untuk mendekatkan diri kepada Allah dan menolong agama-Nya.”44 Dari beberapa uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa AlGhazali telah memberlakukan prinsip pengabdian dalam mengajar, baik terhadap pejabat negara maupun terhadap tokoh masyarakat, sehingga orang yang akan mengajar harus memantapkan dan meluruskan niatnya hanya untuk mendapatkan keridhaan Allah dan mendekatkan diri kepadaNya. Al-Ghazali berpendapat bahwa guru yang dapat diserahi tugas mendidik adalah guru yang selain cerdas dan sempurna akalnya, juga guru yang baik akhlaknya serta kuat fisiknya. Dengan kesempurnaan akal, ia dapat memiliki berbagai ilmu pengetahuan secara mendalam, dan dengan akhlaknya yang baik, ia dapat menjadi contoh dan teladan bagi para muridnya. Sementara dengan kuat fisiknya, maka ia dapat melaksanakan tugas mengajar, mendidik dan mengarahkan para muridnya. Adapun mengenai seorang guru, Al-Ghazali menyatakan bahwa siapa yang menekuni sebagai tugas sebagai pengajar, berarti ia tengah 43 44
Al-Ghazali, Ihya’ Al-Ghazali, op.cit, hlm. 215. Ibid.
64
menempuh suatu perkara yang sangat mulia. Oleh karena itu, ia harus senantiasa menjaga adab dan tugas yang menyertainya. Antara lain: Tugas dan adab yang Pertama, mempunyai rasa belas-kasihan terhadap murid-muridnya dan memperlakukan mereka sebagai anak sendiri. Dalam hal ini seorang guru berperan untuk melepaskan muridmuridnya dari api neraka akhirat, yakni dengan ilmu yang diajarkannya. Hal ini lebih penting dari usaha kedua ibu bapak, melepaskan anaknya dari neraka dunia. Oleh karena itu, hak seorang guru lebih besar dari hak ibu bapaknya. Orang tua menjadi sebab lahirnya anak itu dan dapat hidup di dunia yang fana ini. Sedangkan guru menjadi sebab anak itu memperoleh hidup kekal. Jika tidak ada seorang guru, maka apa yang diperoleh anak dari orang tuanya, dapat membawa kepada kebinasaan yang terus menerus. Guru memberikan keagungan hidup akhirat yang abadi. Guru di sini yang mengajarkan ilmu akhirat ataupun ilmu pengetahuan duniawi, tetapi dengan tujuan akhirat, tidak dunia.45 Adapun mengajar dengan tujuan dunia, maka akan binasa dan membinasakan. Sebagaimana hak anak-anak dari seorang ayah, saling mengasihi dan saling membantu dalam mencapai segala maksud, maka demikian juga dengan kewajiban murid-murid terhadap seorang guru, saling mengasihi dan menyayangi. Semua itu akan terwujud, bila tujuan guru dan murid adalah akhirat. Namun jika tujuannya dunia, maka yang ada hanyalah saling mendengki dan saling bermusuh-musuhan. Tugas Kedua, mengikuti jejak Rasul SAW. Dalam hal ini tidak mencari upah, balasan dan juga ucapan terimakasih dengan mengajar itu. Tetapi seorang guru mengajar karena Allah dan untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Ia tidak melihat, bahwa dirinya telah menanam budi baik kepada murid-muridnya Itu. Akan tetapi, guru itu harus memandang bahwa dia telah berbuat suatu perbuatan yang baik, karena telah mendidik
45
Ibid., 212-213.
65
jiwa anak-anak itu. Supaya hatinya dekat dengan Allah Ta’ala dengan menanamkan ilmu pengetahuan kepadanya.46 Tugas Ketiga, tidak meninggalkan nasehat sedikitpun kepada yang demikian itu, ialah dengan melarangnya mempelajari suatu tingkat, sebelum berhak pada tingkat itu. Belajar ilmu yang tersembunyi sebelum selesai ilmu yang terang. Kemudian menjelaskan kepadanya bahwa maksud dengan menuntut ilmu itu, ialah mendekatkan diri kepada Allah. Bukan karena keinginan menjadi kepala, kemegahan dan perlombaan.47 Tugas Keempat, seorang guru harus bersikap lemah lembut dalam mengajar, ketika guru menghardik muridnya dari berperangai jahat, maka dengan cara sindiran selama mungkin dan tidak dengan cara terus terang. Dengan cara kasih sayang, tidak dengan cara mengejek. Sebab, kalau dengan cara terus terang, menghilangkan rasa takut murid kepada guru. Selain itu, mengakibatkan murid berani menentang dan suka meneruskan sifat yang tidak baik tersebut.48 Tugas Kelima, seorang guru yang bertanggung jawab pada salah satu mata pelajaran, tidak boleh melecehkan mata pelajaran yang lain dihadapan muridnya. Sebaliknya, yang wajar hendaklah seorang guru yang bertanggung jawab sesuatu mata pelajaran, membuka jalan seluasluasnya kepada muridnya untuk mempelajari mata pelajaran yang lain. Apabila seorang guru bertanggung jawab untuk dalam beberapa ilmu pengetahuan, maka hendaklah menjaga kemajuan si murid dari setingkat ke tingkat.49 Tugas Keenam, guru harus menyingkatkan pelajaran menurut tenaga pemahaman si murid. Jangan di ajarkan pelajaran yang belum
46
Ibid., hlm. 214-215. Ibid., hlm. 215-216. 48 Ibid., hlm. 217-218. 49 Ibid. 47
66
sampai otaknya kesana. Setelah murid memahaminya barulah guru mengembangkan pengetahuan tersebut secara mendalam.50 Tugas Ketujuh, kepada seorang pelajar yang singkat paham, hendaklah diberikan pelajaran yang jelas, yang layak baginya. Janganlah disebutkan kepadanya, bahwa di balik yang diterangkan ini, ada lagi pembahasan yang mendalam yang disimpan, tidak dijelaskan. Karena yang demikian itu, mengakibatkan kurang keinginannya pada pelajaran yang jelas itu dan mengacaukan pikirannya. Sebab menimbulkan dugaan kepada pelajar itu nanti, seolah-olah gurunya kikir, tak mau memberikan ilmu itu kepadanya.51 Tugas Kedelapan, seorang guru harus mengamalkan ilmunya sepanjang masa. Ia harus menjaga perkataannya agar sesuai dengan perbuatannya. Karena ilmu dilihat dengan mata hati dan amal dilihat dengan mata kepala. Apabila amal tidak sesuai dengan ilmu, maka akan tersesat dan menyesatkan. Seperti perumpamaan guru yang mursyid dengan para muridnya, ialah seumpama ukiran dari abu tanah dan bayangbayang dari kayu. Bagaimanakah abu tanah itu terukir sendiri tanpa benda pengukir dan kapankah bayang-bayang itu lurus sedang kayunya bengkok? Hal ini sebagaimana pantun berikut: 52 “Janganlah engkau melarang suatu pekerti, Sedang engkau sendiri melakukannya. Malulah kepada diri sendiri, Dilihat orang engkau mengerjakannya.” Sebagaimana firman Allah dalam Al-Qur’an,
tβθè=É)÷ès? Ÿξsùr& 4 |=≈tGÅ3ø9$# tβθè=÷Gs? öΝçFΡr&uρ öΝä3|¡àΡr& tβöθ|¡Ψs?uρ ÎhÉ9ø9$$Î/ }¨$¨Ψ9$# tβρâ÷ß∆ù's?r& Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri. (QS. Al-Baqarah, ayat 44).53 50
Ibid. Ibid, hlm. 221. 52 Ibid, hlm. 222 51
67
Dalam tafsir Ibnu Katsir, dijelaskan bahwa Allah Ta’ala berfirman, “Hai kaum ahli kitab, apakah kamu pantas menyuruh manusia berbuat berbagai macam kebajikan, sedangkan kamu melupakan dirimu sendiri, yaitu tidak melakukan apa yang kamu perintahkan kepada orang lain? Padahal kamu membaca al-kitab dan mengajarkan kandungannya kepada orang yang terbatas pengetahuannya mengenai perintah-perintah Allah? Apakah kamu waras? Apa yang telah dilakukan oleh dirimu sendiri sehingga kamu
bangun
dari
tidurmu
dan
melihat
kebutaanmu.
Demikianlah Allah mencela ahli kitab dengan ayat ini,” Mengapa kamu menyuruh manusia kepada kebajikan dan kamu sendiri melupakan dirimu sendiri, sedang kamu membaca al-kitab, maka tidakkah kamu berpikir?” karena, mereka menyuruh orang lain mengerjakan kebaikan, sementara dirinya sendiri tidak melakukannya maka mereka pantas menerima celaan dari Allah.54 Ayat ini mengandung pengertian, bahwa tujuan ayat ini bukan hanya mencela kepada para ulama karena menyuruh kepada amal ma’ruf sedang mereka sendiri meninggalkannya, namun karena para ulama meninggalkan amal ma’ruf itu, yang merupakan kewajiban bagi setiap individu yang mengetahuinya. Akan tetapi, hal yang wajib dan utama bagi seorang ulama ialah melakukan beramal ma’ruf dan memerintahkannya kepada orang lain, serta tidak menyalahi mereka. Namun demikian, bukan berarti apabila seorang ulama melakukan kemungkaran (misalnya), kemudian ia tidak boleh melarang orang lain berbuat kemungkaran yang dilakukannya. Hal ini sebagaimana dikutip oleh Ibnu Katsir, bahwa Sa’id bin Jubeir berkata, “Apabila seorang tidak menyuruh kepada amal ma’ruf dan tidak melarang kemungkaran hingga
53 54
Departemen Agama, op. cit, hlm. 8. Nasib Ar-Rifa’i, op.cit, hlm. 120.
68
pada dirinya tidak ada perkara apapun, niscaya tidak akan ada seorang pun yang menyuruh kepada amal ma’ruf dan melarang dari kemungkaran”.55 Hal ini menunjukkan, bahwa tidak ada seorang pun yang tidak pernah luput dari kesalahan, termasuk juga seorang ulama dan guru. Namun perlu diketahui, bahwa dosa orang yang berilmu mengerjakan perbuatan ma’shiat, lebih besar dari dosa orang bodoh. Karena dengan terperosoknya orang berilmu, maka akan terperosok pula orang-orang yang menjadi pengikutnya. Adapun bila dikaitkan dalam lingkungan pendidikan, maka seorang guru diwajibkan untuk menyampaikan apa yang diketahuinya mengenai suatu ilmu kepada muridnya, dan hendaknya perbuatan seorang guru harus sesuai dengan perkataannya. Karena segala sikap dan tingkah laku guru menjadi perhatian para muridnya. Dari berbagai pemaparan di atas, maka keberhasilan seseorang tergantung pada niatnya, seorang guru akan berhasil dalam mengajar dan mendidik muridnya apabila dilandasi dengan niat yang lurus. Yakni ketika mengajar dan mendidik, guru senantiasa berniat untuk mendekatkan diri kepada Allah, menyebarkan ilmunya untuk kebaikan, menghilangkan kebatilan dan menghidupkan agama serta demi kemaslahatan umat. Hal ini yang menggambarkan sikap dan ketulusan seorang guru dalam mengajar dan mendidik murid-muridnya.
55
Ibid, hlm. 121.
BAB IV ANALISIS KONSEP GURU YANG IKHLAS DALAM KITAB IHYA’ ULUMIDDIN
Pemikiran Imam Al-Ghazali Tentang Konsep Guru Yang Ikhlas Dalam Kitab Ihya’ Ulumiddin Pada bab sebelumnya, yakni pada bab tiga telah disebutkan bahwa Imam Al-Ghazali merupakan seorang ulama besar yang sebagian waktunya dihabiskan untuk memperdalam khazanah keilmuan. Perhatiannya yang sangat besar pada ilmu, menjadikan Al-Ghazali sebagai salah satu ulama Islam yang menghasilkan banyak bentuk tulisan dari buah pemikirannya, yang hingga saat ini masih banyak dipelajari dan dianut oleh sebagian kelompok masyarakat. Hal ini, karena ia menuangkan buah pemikirannya dengan penuh penghayatan, dan dari hasil pergulatan hidupnya sendiri dalam mengarungi samudra kehidupan. Sehingga buah pemikirannya tersebut mampu menjadi sebuah karya yang sarat akan makna dan penuh dengan nilai-nilai kehidupan. Dalam pemikiran Al-Ghazali mengenai guru yang ikhlas ini, sangat diwarnai dengan nuansa tasawuf. Perjalanan hidupnya setelah mengalami skeptis telah mengantarkannya pada dunia sufi secara mendalam. Ia mengabdikan seluruh hidupnya hanya untuk Allah SWT semata. Ia senantiasa mengamalkan ilmunya dengan mengadakan berbagai kajian dakwah, diskusi maupun dengan mengajar secara formal. Ia juga mendirikan sebuah madrasah bagi yang ingin belajar fiqh dan mendirikan sebuah kamar untuk para sufi. Hal ini menunjukkan akan kecintaan beliau pada ilmu tasawuf dan ilmu fiqh, sehingga melekat dalam hidupnya. Kedua ilmu itu pula yang mewarnai gagasan dan pemikiran beliau dalam kitab Ihya’ Ulumiddin. Adapun konsep guru yang ikhlas menurut Imam AlGhazali dalam kitab Ihya’ Ulumiddin dapat dilihat dari beberapa aspek, antara lain:
69
70
1. Pengertian Guru Yang Ikhlas Guru menurut Imam Al-Ghazali adalah seseorang yang bekerja untuk menyempurnakan, membersihkan dan mensucikan serta membimbing anak didiknya untuk mendekatkan diri kepada Allah ‘Azza Wa Jalla. Ia juga mengatakan bahwa dari satu segi, mengajarkan ilmu merupakan suatu ibadah kepada Allah Ta’ala dan dari segi yang lain merupakan tugas manusia menjadi khalifah Allah. Sementara dengan melaksanakan tugas tersebut, maka ia telah menjadi khalifah Allah yang paling mulia.1 Hal tersebut menunjukkan bahwa profesi guru merupakan profesi yang paling mulia dan paling agung dibandingkan dengan profesi yang lain. Dengan profesinya tersebut, seorang guru menjadi perantara antara manusia dalam hal ini murid, dengan penciptanya yaitu Allah SWT. Dengan demikian, maka seorang guru telah mengemban pekerjaan yang sangat penting. Sehingga guru dianggap sebagai bapak kerohanian, yaitu seseorang yang mempunyai tugas sangat tinggi dalam dunia ini. Maka tidak heran jika Al-Ghazali mengatakan bahwa ulama adalah pewaris para nabi. Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah SAW, ٢
ن اء ور ا ء ّ وا
Sesungguhnya ulama adalah pewaris para nabi. (HR. Abu Dawud). Berkaitan dengan ketinggian derajat dan kedudukan seorang guru, Ahmad Barizi setuju dengan pendapat Al-Ghazali. Ia menyatakan bahwa guru merupakan resi spiritual yang mengenyangkan diri dengan ilmu. Hidup dan matinya pembelajaran bergantung sepenuhnya pada guru, sehingga peran dan fungsi guru begitu mulia yang kedudukannya menyamai rasul Allah yang diutus pada suatu kaum. Bahkan ia juga mengutip perkataan Al-Ghazali, bahwa:
1
Al-Ghazali, Ihya’ Al-Ghazali, terj. Ismail Yakub, (Jakarta: CV. Faizan, 1994), Jilid I, Cet. XII, hlm. 77. 2 Sulaiman, Sunan Abu Dawud, (Indonesia, Maktabah Dahlan, t.t), hlm. 317.
71
Barangsiapa yang berilmu dan mengamalkan ilmunya itu, maka dia adalah orang paling mulia di seantero dunia. Dia laksana matahari yang bisa menerangi orang lain. Disamping dirinya memang pelita yang cemerlang. Dia laksana harum minyak kasturi yang mengharumi orang lain. Barangsiapa yang bersibuk diri dengan mengajarkan ilmu (guru), maka sungguh dia telah mengikatkan suatu ikatan yang mulia dan bermakna. Maka, hormatilah profesinya (orang yang menjadi guru).3 Berdasarkan pemaparan di atas, maka orang yang berilmu diwajibkan untuk mengajarkan ilmunya kepada orang lain. Sebagaimana firman Allah SWT dalam Al-Qur’an:
…çµtΡθßϑçGõ3s? Ÿωuρ Ĩ$¨Ζ=Ï9 …絨Ζä⊥ÍhŠu;çFs9 |=≈tGÅ3ø9$# (#θè?ρé& tÏ%©!$# t,≈sVŠÏΒ ª!$# x‹s{r& øŒÎ)uρ Tatkala diambil oleh Allah akan janji mereka yang diberikan Kitab supaya diterangkannya kepada manusia dan tidak disembunyikannya. (QS. Al-Imran, ayat 187). 4 Dalam tafsir Ibnu Katsir dijelaskan, bahwa Allah SWT mencela dan mengancam ahli kitab yang telah diambil janjinya oleh Allah melalui lisan para nabi, yaitu janji untuk beriman kepada nabi Muhammad SAW, serta menjelaskannya kepada manusia. Mereka sangat cekatan dalam menangani persoalan Muhammad SAW. Apabila Allah mengutus seorang rasul, mereka mengikutinya, namun menyembunyikan cerita tentang nabi Muhammad dan menggantikan kebaikan dunia dan akhirat yang dijanjikan kepada mereka dengan imbangan yang sedikit berupa perolehan duniawi yang hina. Maka alangkah buruknya tukar menukar itu. 5 Ayat tersebut mengandung peringatan bagi para ulama atau orangorang yang berilmu, supaya mereka tetap berada pada jalannya sehingga apa yang menimpa para ahli kitab tidak menimpa dirinya. Dengan demikian, maka para ulama harus senantiasa memberikan ilmu pengetahuan yang bermanfaat, menunjukkan amal saleh kepada orang lain, serta tidak menyembunyikan ilmu 3 4
Barizi, Menjadi Guru Unggul, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2010), hlm. 130. Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Surabaya: Karya Agung, 2006), hlm.
95. 5
Nasib Ar-Rifa’i, Ringkasan Ibnu Katsir, terj. Syihabudin, (Jakarta: Gema Insani, 1999), Jilid I, Cet. I, hlm. 630-631.
72
sedikitpun. Dalam hal ini, maka seorang guru harus senantiasa mengajarkan dan mengamalkan ilmunya dengan melihat dari tingkat kemampuan para muridnya, sehingga ilmunya manfaat dan memperoleh kebaikan di dunia dan akhirat. Untuk itu, maka seorang guru harus senantiasa melakukannya dengan ikhlas, bukan karena tujuan duniawi semata. Sehingga menjadi amal shaleh dan menjadi manusia mulia dihadapan Allah SWT. Rasulullah SAW bersabda dalam hadits, ٦
$م ا%& "! أ ا م ر#
Barangsiapa yang ditanya mengenai suatu ilmu, kemudian ia menyembunyikannya, maka kelak pada hari kiamat ia akan dikekang dengan kekang dari api neraka. (HR. Abu Dawud). Hadist tersebut menunjukkan bahwa dalam pandangan Islam menuntut ilmu merupakan suatu kewajiban bagi setiap muslim dan muslimah, sehingga orang yang sengaja tidak menuntut ilmu dan mengajarkannya kepada orang lain diancam dengan siksaan. Orang yang menyembunyikan ilmunya pada hari kiamat akan dikekang dengan kekang yang terbuat dari kekang api neraka. Al-Ghazali menyatakan, bahwa seorang guru tidak hanya sebatas mengamalkan ilmunya saja, akan tetapi harus dilandasi dengan keikhlasan dalam mendidik dan mengajarkan ilmunya kepada anak didik mereka. Adapun yang dimaksud dengan ikhlas adalah berbuat sesuatu dengan tidak ada pendorong apa-apa melainkan semata-mata untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, serta mengharapkan keridhaan-Nya saja. Dengan demikian, maka guru yang ikhlas menurut Imam Al-Ghazali adalah seseorang yang bekerja menyempurnakan, membersihkan, mensucikan dan membimbing anak didiknya untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, semata-mata untuk mendapatkan ridha-Nya. Ia tidak mengharapkan upah atau imbalan atas pengajarannya, begitu juga dengan kedudukan, pangkat dan jabatan. Ia menganggap bahwa mengajar merupakan suatu kewajiban bagi
6
Sulaiman, op. cit, hlm. 321.
73
orang berilmu sekaligus bernilai ibadah kepada Allah, sehingga menjadikan ilmunya bermanfaat dan dapat diterima oleh Allah SWT. Sebagaimana firman Allah SWT dalam Al Qur’an:
() : ( ) اu... !$xuΖãm tÏe$!$# ã&s! tÅÁÎ=øƒèΧ ©!$# (#ρ߉ç6÷èu‹Ï9 āωÎ) (#ÿρâ÷É∆é& !$tΒuρ Padahal mereka hanya diperintah menyembah Allah, dengan ikhlas mena’ati-Nya semata-mata karena (menjalankan) agama. (Q.S. Al Bayyinah: 5).7 Dalam perspektif sufistik, ikhlas di samping sebagai bagian dari maqam yang perlu dilalui oleh seorang sufi untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, juga merupakan syarat syahnya suatu ibadah. Jika amal perbuatan diibaratkan sebagai badan jasmani, maka ikhlas adalah roh atau jiwanya. Hal ini berbeda sekali dengan pandangan ulama fiqh yang menganggap bahwa ikhlas bukanlah syarat syahnya suatu ibadah. Maka tidaklah heran jika AlGhazali menyatakan, bahwa ilmu tanpa amal akan sia-sia dan amal tanpa ikhlas akan tertolak. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Syeikh Husain, bahwa suatu aktivitas apabila tidak memenuhi dua perkara maka tidak akan diterima oleh Allah. Pertama, hendaknya aktivitas itu ditujukan semata-mata hanya mengharap keridhaan Allah ’azza wa jalla. Kedua, hendaknya aktivitas itu sesuai dengan apa yang disyariatkan Allah SWT dalam al-Qur’an dan sesuai dengan penjelasan Rasul-Nya dalam sunah beliau.8 Ilyas Ismail juga menyatakan bahwa ikhlas memperlihatkan semangat tauhid, yaitu komitmen untuk menuhankan Allah dan menyembah hanya kepada-Nya. Demikian juga dalam bekerja dan beramal harus dilandasi dengan keikhlasan. Namun demikian, pada kenyataanya, seseorang dalam bekerja dan beramal sering bukan karena Allah, tetapi karena pertimbangan lain yang lahir dari hawa nafsu, seperti mencari muka (riya’) dan mencari
7
Departemen Agama, op. cit, hlm. 907. ‘Audah al-‘Awayisyah, Keajaiban Ikhlas, terj. Abu Barzani, (Yogyakarta: Maktabah AlHanif, 2007), Cet. I, hlm.6. 8
74
popularitas (sum’ah). Kedua sifat ini, dalam kacamata sufisme, merupakan penyakit hati yang dapat menggerogoti keikhlasan seseorang dalam beramal dan mendekatkannya pada pintu gerbang kemusyrikan.9 Dari pernyataan di atas, maka dapat diketahui bahwa pemikiran AlGhazali mengenai guru yang ikhlas diwarnai dengan nuansa tasawuf. Namun demikian, pada saat sekarang ini pemikiran beliau masih dianggap relevan dan terbukti dengan beberapa tokoh yang setuju akan pemikirannya mengenai guru yang ikhlas, bahkan seringkali mereka mengutip tentang pendapat beliau mengenai hal tersebut. Sebagaimana pandangan Abdullah Nasih Ulwan, bahwa ikhlas merupakan sifat mendasar yang harus dimiliki pendidik. Adapun tentang sifat ikhlas, ia menjelaskan bahwa pendidik hendaknya mencanangkan niatnya semata-mata untuk Allah dalam seluruh pekerjaan mendidiknya, baik yang berupa perintah, larangan, nasehat, pengawasan ataupun hukuman. Begitu juga dengan pandangan Fu’ad Asy Syalhub yang mengatakan bahwa salah satu sifat yang harus dipelihara seorang guru adalah mengikhlaskan ilmunya kepada Allah. Dengan demikian, maka terdapat beberapa persamaan antara pendapat Al-Ghazali mengenai guru yang ikhlas dengan beberapa tokoh tersebut di atas. Ikhlas menjadi syarat diterimanya suatu amal, sehingga seorang guru hanya pantas menggerakkan hidupnya semata-mata untuk Allah SWT. Ia mengajarkan ilmunya, semata-mata untuk mendekatkan dirinya kepada Allah SWT dan untuk mendapatkan ridha-Nya. Ia tidak berorientasi pada urusan duniawi seperti mencari kedudukan, pangkat dan jabatan dalam mengajarkan dan mengamalkan ilmunya kepada anak didik mereka. Sehingga ilmunya menjadi manfaat dan diterima oleh Allah SWT. Ia juga senantiasa menjaga niat dan hatinya agar tetap lurus, serta memohon perlindungan kepada Allah SWT dari perbuatan syirik sekecil apapun. Adapun pemikiran Al-Ghazali mengenai guru ikhlas tersebut, sangat berbeda dengan apa yang disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 14 9
Ismail, Pilar-Pilar Takwa, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2009), hlm. 14-15.
75
tentang Guru dan Dosen, bahwa guru adalah seorang pendidik profesional dengan beberapa tugasnya seperti mendidik, mengajar dan membimbing dalam beberapa jalur pendidikan. Sementara profesional sendiri merupakan pekerjaan atau kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dan menjadi sumber penghasilan kehidupan yang memerlukan keahlian, kemahiran atau kecakapan yang memenuhi standar mutu serta memerlukan pendidikan profesi.10 Adanya perbedaan pandangan merupakan sesuatu yang wajar, justru dengan adanya perbedaan menjadikan adanya kekhasan dari pemikiran satu dengan pemikiran lainnya. Dalam hal ini, maka jelas bahwa Al-Ghazali berpandangan bahwa guru adalah profesi yang sangat mulia, bahkan guru disebutkan sebagai ulama yang merupakan pewaris para nabi. Sehingga AlGhazali menyatakan, seorang guru hanya pantas mengamalkan ilmunya semata-mata untuk mendapat ridha Allah SWT, bukan menjadikannnya sebagai alat untuk mencari urusan duniawi. Ia berpandangan bahwa sudah menjadi tugas dan kewajiban bagi seorang yang berilmu untuk mengajarkan dan mengamalkan ilmunya kepada orang lain. Sehingga ia tidak patut untuk meminta upah, karena pahala disisi Allah jauh lebih mulia dibandingkan urusan duniawi. Namun demikian, pada dasarnya setiap guru mempunyai tugas yang sama, yakni mengajarkan ilmu pengetahuan dan mendidik dengan menanamkan nilai-nilai moral. Sehingga ia menjadikan muridnya menjadi manusia yang cerdas, bertaqwa dan mempunyai akhlakul karimah. 2. Kriteria Guru Yang Ikhlas Dari berbagai pemaparan di atas, mengenai pemikiran Al-Ghazali tentang guru yang ikhlas, maka dapat diketahui beberapa indikasi atau kriteria guru yang ikhlas menurut Al-Ghazali dalam Kitab Ihya’ Ulumiddin. Al-Ghazali berpendapat bahwa guru yang dapat diserahi tugas mendidik adalah guru yang selain cerdas dan sempurna akalnya, juga guru yang baik akhlaknya serta kuat fisiknya. Dengan kesempurnaan akal, ia dapat 10
Undang-Undang R.I Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, (Bandung: Citra Umbara, 2006), hlm. 2-3.
76
memiliki berbagai ilmu pengetahuan secara mendalam, dan dengan akhlaknya yang baik, ia dapat menjadi contoh dan teladan bagi para muridnya. Sementara dengan kuat fisiknya, maka ia dapat melaksanakan tugas mengajar, mendidik dan mengarahkan para muridnya. Berkaitan dengan pemikirannya mengenai guru yang ikhlas, maka dapat diindentifikasikan sebagai berikut: Pertama, seorang guru senantiasa mendasarkan dan meluruskan niatnya semata-mata untuk mendekatkan diri kepada Allah dan mencari keridhaan-Nya. Kedua, menyadari akan kewajiban bagi setiap orang beriman untuk berilmu dan beramal dengan tulus. Ketiga, mengikuti jejak Rasulullah SAW, dalam hal ini tidak meminta upah dan tidak juga ucapan terimakasih. Keempat, tidak berorientasi pada urusan duniawi, tapi melihat tujuan jangka panjang, yakni untuk memperoleh kebahagian di akhirat kelak dengan beramal sholeh tersebut. Kelima, senantiasa menjaga adab dan tugasnya sebagai guru. Keenam, tidak merasa terbebani dengan tugasnya yang begitu banyak. Karena ia senantiasa membawa hatinya dalam mengajar dan merasa nyaman dengan pekerjaanya. Ketujuh, bersikap menerima. Kedelapan, senantiasa bersyukur atas nikmat dan karunia yang diperoleh dari Allah SWT dan senantiasa bersabar atas segala cobaan. Kesembilan, terus belajar dan mengkaji ilmu dan Kesepuluh, bisa menjadi teladan bagi para muridnya. Dari beberapa sifat guru ikhlas yang disebutkan di atas, menunjukkan betapa indahnya apabila seorang guru mau menerapkan konsep Al-Ghazali dalam mengamalkan ilmunya. Pekerjaan guru akan terasa ringan dan guru akan senantiasa tersenyum dalam menerima kehendak-Nya. Dengan demikian, maka pekerjaan guru tidak akan berhasil dengan baik, apabila tidak disertai dengan ikhlas. Hal ini karena tugas-tugas pendidikan merupakan tugas yang berat. Pekerjaan yang membutuhkan adanya rasa aman dan nyaman dalam hatinya. Sehingga guru akan bisa melaksanakan tugas tertentu dengan baik, apabila mendasarkan niatnya semata-mata karena Allah. Ia menjadikan pekerjaan tersebut bukan suatu beban, melainkan rahmat karena telah diberi
77
kesempatan, untuk menjadi perantara antara manusia, dalam hal ini murid dengan sang Penciptanya. Adapun mengenai adab dan tugas seorang guru telah dipaparkan dalam bab tiga. Dari beberapa tugas tersebut, tampak bahwa sebagiannya masih ada yang sejalan dengan tuntutan masyarakat modern. Sebagaimana sifat guru yang mengajarkan pelajaran secara sistematik, yaitu tidak mengajarkan bagian berikutnya sebelum bagian terdahulu dikuasai, memahami tingkat perbedaan usia, kejiwaan dan kemampuan intelektual siswa, bersikap simpatik, tidak menggunakan cara-cara kekerasan, serta menjadi pribadi panutan dan teladan adalah sifat-sifat yang tetap sejalan dengan tuntutan masyarakat modern. Dengan demikian, maka kriteria guru yang ikhlas menurut Al-Ghazali mencakup beberapa kriteria guru ideal yang telah diungkapkan oleh Husnul Chotimah, sebagaimana dikutip Asmani. Bahwa kriteria guru ideal yang seharusnya dimiliki bangsa Indonesia di abad 21 ini. Pertama, dapat membagi waktu dengan baik, dapat membagi waktu antara tugas utama sebagai guru dan tugas keluarga, serta dalam masyarakat. Kedua, rajin membaca. Ketiga, banyak menulis. Keempat, gemar melakukan penelitian. Kelima, guru yang memahami benar profesinya. Keenam, kreatif dan inovatif juga memiliki kecerdasan, baik kecerdasan intelektual, kecerdasan moral, kecerdasan sosial, kecerdasan emosional dan kecerdasan motorik. 11 Dari pernyataan tersebut, maka terlihat adanya persamaan antara pemikiran Al-Ghazali dengan pemikiran kedua tokoh tersebut. Dimana seorang guru harus memiliki kecerdasan yang berarti harus mempunyai ilmu pengetahuan yang mumpuni, senantiasa melakukan penelitian dengan mengkaji berbagai ilmu, serta memahami profesinya dengan baik. Adapun perbedaanya, maka pemkiran Al-Ghazali lebih khas dengan adanya kemurnian dari seorang guru dalam mengabdikan diri semata-mata untuk beribadah dan mencari keridhaan-Nya. Selain itu, pemikiran Al-Ghazali juga memiliki ciri
11
Asmani, Tips Menjadi Guru Inspiratif, Kreatif dan Inovatif, (Jogjakarta: Diva Press, 2009), Cet. II, hlm. 21-24.
78
khas mengenai kepribadian seorang guru yang sangat menonjol, sebagaimana disebutkan dalam beberapa adab dan tugas guru. Berdasarkan uraian di atas, terlihat bahwa sosok guru ideal adalah guru yang memiliki motivasi mengajar yang tulus, yaitu ikhlas dalam mengamalkan ilmunya, bertindak sebagai orang tua yang penuh kasih sayang kepada anaknya, dapat mempertimbangkan kemampuan intelektual anaknya, mampu menggali potensi yang dimiliki para siswa, dapat bekerja sama dengan para siswa dalam memecahkan masalah. Ia menjadi idola di mata muridnya, sehingga para murid akan mengikuti perbuatan baik yang dilakukan gurunya menuju jalan akhirat. Dari berbagai pemaparan di atas, maka terlihat bahwa pada akhirnya para murid dibimbing menuju Allah. Berbagai upaya yang dilakukan oleh guru terhadap muridnya dalam belajar merupakan suatu proses, yang pada akhirnya harus dapat membawa murid menuju Allah. Atas dasar ini, terlihat jelas sekali pengaruh pemikiran Al-Ghazali mengenai sikap guru yang harus berniat ikhlas. Ia tidak mengharapkan adanya imbalan, berakhlak mulia, mengamalkan ilmu yamg diajarkannya dan menjadi panutan serta mengajak pada jalan Allah, itu semua merupakan nilai-nilai ajaran tasawuf. Maka benar, bahwa Kitab Ihya’ Ulumiddin karya Al-Ghazali yang sangat monumental tersebut, kaya akan khazanah keilmuan, yang memadukan antara ilmu fiqh dan tasawuf. Termasuk di dalamnya mengenai guru yang ikhlas, Ia banyak menggunakan pemikiran sufistik dan ilmu fiqh untuk kemudian dikaitkannya dalam dunia pendidikan. 3. Tujuan Menjadi Guru Al-Ghazali menyatakan bahwa tujuan menjadi guru semata-mata untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dan mencari ridha-Nya. Selain itu, karena sudah menjadi kewajiban bagi setiap orang yang berilmu untuk mengamalkan ilmunya, sebagaimana telah disebutkan di atas. Hal ini menunjukkan bahwa seorang guru harus senantiasa memantapkan dan meluruskan niatnya sebelum mengajar, yakni dengan tulus ikhlas semata
79
karena Allah, bukan untuk mencari harta, kedudukan dan juga pangkat. Dengan demikian, maka tujuan untuk menjadi guru yang ikhlas dalam mengajar terletak pada niatnya, yakni untuk mencapai tujuan akhirat, yaitu dengan mendapatkan keridhaan Allah SWT. Sementara itu, ia juga menyatakan bahwa mengajar dengan tujuan dunia, hanya akan membawa pada kehancuran. Sebagian orang mengerti bahwa tugas mendidik adalah tugas yang sangat mulia yang tidak bisa dinilai dengan uang. Sebagian lagi terpanggil karena melihat kebodohan yang merajalela dan menindas masyarakat. Menyadarkan dan mengajari mereka untuk keluar dari penjara kebodohan adalah sebuah pekerjaan mulia. Fenomena seperti inilah yang mengetuk hati sebagian orang yang lurus dan mulia. Adapun tujuan pendidikan menurut Al-Ghazali, maka pendidikan harus mengarah kepada realisasi tujuan keagamaan dan akhlak, dengan titik penekanannya pada perolehan keutamaan dan taqarrub kepada Allah dan bukan untuk mencari kedudukan yang tinggi atau mendapatkan kemegahan dunia. Sebab jika tujuan pendidikan diarahkan selain untuk mendekatkan diri kepada Allah, akan menyebabkan kesesatan dan kemudharatan. Rumusan tujuan pendidikan tersebut berdasarkan firman Allah SWT, tentang tujuan penciptaan manusia yaitu:
∩∈∉∪ Èβρ߉ç7÷èu‹Ï9 āωÎ) }§ΡM}$#uρ £Ågø:$# àMø)n=yz $tΒuρ Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku. (QS. Az-Zariyat: 56).12 Tujuan pendidikan yang dirumuskan Al-Ghazali tersebut dipengaruhi oleh ilmu tasawuf yang dikuasainya. Karena dalam ajaran tasawuf memandang, bahwa dunia ini bukan merupakan hal utama yang harus didewakan, karena dunia tidak abadi dan akan rusak, sementara maut dapat memutuskan kenikmatannya setiap saat. Dunia merupakan tempat lewat 12
Departemen Agama, op. cit, hlm. 756.
80
sementara, tidak kekal. Sedangkan akhirat adalah desa yang kekal dan maut senantiasa mengintai setiap manusia. Berkaitan dengan pemikiran Al-Ghazali tersebut, Herdananto juga menyebutkan tujuan seseorang menjadi guru yang ikhlas, bahwa seorang guru bekerja karena adanya panggilan nurani, tidak bekerja untuk mencari penghidupan, akan tetapi justru mereka ingin menghidupkan orang lain, dan keluar dari belenggu kebodohan. Mereka benar-benar mengabdi dengan tulus ikhlas.13 Dalam hal ini, Nasih Ulwan juga sependapat dengan Al-Ghazali, bahwa Islam menjadikan pengajaran dengan segala kekhususannya secara sukarela tanpa pamrih, hal ini sesuai dengan sikap Nabi SAW yang mengajar secara sukarela, dan memberikan peringatan secara keras kepada orang yang mengambil upah mengajar kepada teman-temannya. Telah tercatat dalam sejarah, bahwa Rasulullah tidak pernah mengambil upah atas dakwah dan mengajar dari seorangpun.14 Hal ini sebagaimana firman Allah dalam al-Qur’an: ( ٧:!« ( ) ء$# ’n?tã āωÎ) y“Ìô_r& ÷βÎ) ( öΝä3s9 uθßγsù 9ô_r& ôÏiΒ Νä3çFø9r'y™ $tΒ ö≅è% Katakanlah (Muhammad): “Imbalan apapun yang aku minta kepadamu, maka itu untuk kamu. Imbalanku hanyalah dari Allah.” (QS. Saba’: 47).15 Berkaitan dengan masalah upah atau imbalan, Imam Al-Ghazali menyatakan bahwa seorang guru harus mengikuti jejak Rasulullah SAW. Ia tidak mencari upah, balasan dan juga ucapan terimakasih dengan mengajar itu. Tetapi seorang guru mengajar karena Allah dan untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Adapun seorang guru diperbolehkan untuk memandang bahwa dirinya telah berbuat suatu perbuatan yang baik, dengan menanamkan ilmu
13
Herdananto, Menjadi Guru Bermoral Profesional, (Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2009),
hlm. 7. 14
Nasih Ulwan, Pendidikan Anak Dalam Islam, terj. Tarbiyatul Aulad Fil Islam, (Jakarta: Pustaka Amani, 2007), hlm. 311. 15 Departemen Agama, op. cit, hlm. 614.
81
pengetahuan dan mendidik jiwa para muridnya. Hal ini agar hatinya senantiasa dekat dengan Allah SWT.16 Al-Ghazali mengatakan betapa kotornya orang berilmu, yang rela untuk dirinya kedudukan duniawi. Sementara ia berbohong dan menipu diri sendiri dengan tidak malu mengatakan: “Maksudku dengan mengajar ialah menyiarkan ilmu pengetahuan, untuk mendekatkan diri kepada Allah dan menolong agama-Nya.”17 Al-Ghazali juga menyatakan, bahwa: “Orang yang mencari harta dengan ilmu, samalah dengan orang yang menyapu bawah sepatunya dengan mukanya supaya bersih. Dijadikannya yang dilayani pelayan dan pelayan menjadi yang dilayani”. 18 Pandangan Al-Ghazali tersebut, ditujukan kepada guru yang menerima honorarium. Karena beliau berkeyakinan bahwa orang alim itu tidak lain adalah pemberi petunjuk agama, sehingga tidak layak bagi orang alim mencampurkan urusan agama dengan materi dan menjadikan agama sebagai sarana penjilat orang-orang yang berharta dan berkedudukan. Adapun alasan Al-Ghazali melarang guru untuk meminta gaji atas pengajarannya, berdasarkan hal berikut, antara lain: a. Al-Qur’an diajarkan karena Allah, jadi tidaklah patut digaji orang (guru) yang mengajarkannya. Ini adalah alasan agama yang menuntut para guru menunaikan tugas dan kewajibannya (bekerja) di jalan Allah. b. Pemimpin-pemimpin kaum muslimin pada masa awal kebangkitan Islam, semuanya memperhatikan kaum muslimin. Mereka senantiasa ikhlas, tidak pernah terdengar bahwa mereka mengkhususkan para guru untuk mengajar anak-anak mereka di surau-surau (kuttab) dan mengambil harta Allah untuk menggaji guru-guru tersebut. c. Mengajar merupakan kewajiban bagi setiap orang yang berilmu dan bernilai ibadah, sehingga pahala ada pada Allah. 16
Al-Ghazali, Ihya’ Al-Ghazali, op. cit, hlm. 214. Ibid. 18 Ibid, hlm. 215. 17
82
d. Guru tidak dibenarkan minta dikasihani oleh muridnya, dengan meminta upah. Melainkan sebaliknya, ia harus berterima kasih kepada muridnya atau memberi imbalan kepada muridnya apabila ia berhasil membina mental. Karena murid telah memberi peluang kepada seorang guru untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT Berdasarkan beberapa alasan di atas, maka dapat diketahui bahwa pendapat Al-Ghazali tentang pengharaman gaji guru tersebut berdasarkan dari pemahamannya mengenai kewajiban seorang yang beriman untuk berilmu dan beramal. Al-Ghazali menyatakan bahwa orang yang mengamalkan ilmunya merupakan sudah menjadi tugasnya sebagai kholifah Allah di bumi dan sebagai bentuk ibadah kepada Allah SWT. Dari beberapa uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa AlGhazali telah memberlakukan prinsip pengabdian di dalam belajar mengajar, baik terhadap pejabat negara maupun terhadap tokoh masyarakat, sehingga orang yang akan mengajar harus senantiasa memantapkan niatnya hanya untuk mendapatkan keridhaan Allah dan mendekatkan diri kepada-Nya. Jadi, seharusnya seorang guru menilai tujuan dan tugas mengajarnya adalah karena mendekatkan diri kepada Allah semata-mata dan ini dapat dipandang dari dua segi. Pertama, sebagai tugas kekhalifaan dari Allah SWT. Kedua, sebagai pelaksana
ibadah
kepada
Allah
yang
mencari
keridhaan-Nya
dan
mendekatkkan diri kepada-Nya. Hal yang demikian itu, dimaksudkan untuk memurnikan tugas mendidik dan mengajar itu sendiri. Sehingga dari pernyataan di atas, maksudnya adalah bahwa Al-Ghazali mencela guru yang menuntut upah dari murid. Namun dari berbagai pernyataan di atas, timbul suatu pertanyaan, bagaimana jika seseorang mengkhususkan dirinya sebagai pengajar, sedang ia tidak mempunyai pendapatan lain sebagai mata pencahariannya, maka bolehkah ia mengambil upah dari pekerjaan mengajarnya itu? Seorang guru yang mengkhususkan dirinya untuk kegiatan belajar mengajar, sementara sarana-sarana untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sulit didapatkan, maka ia
83
diperbolehkan memungut upah dari pekerjaan mengajar itu sebagai imbalan jasa, demi menjaga kehormatan diri dan memenuhi kebutuhan hidupnya. Berkaitan dengan hal ini, Al-Ghazali menyatakan, sebagaimana dikutip oleh Nasih Ulwan, bahwa: …demikianlah, maka seorang guru diperbolehkan memungut apa yang dapat mencukupinya untuk menenangkan hatinya dari masalah penghidupan, selain itu, hal ini agar seorang guru benar-benar dapat mengkhususkan dirinya di dalam menyebarkan ilmu. Adapun yang menjadi tujuannya adalah penyebaran ilmu dan pahala di akhirat. Ia diperkenankan mengambil upah untuk memudahkan pencapaian maksud tersebut.19 Pada situasi tertentu yang mengharuskan mengambil upah, seperti guru yang mengkhususkan dirinya mengajar, sedang ia tidak mempunyai pendapatan lain kecuali dari mengajar. Begitu juga keadaan anak-anak menuntut wali mereka untuk mencarikan para pendidik yang mengkhususkan diri memelihara akidah mereka dari keingkaran dan kekufuran, serta menumbuh kembangkan dengan prinsip Islam dan pendidikan yang utama.20 Dalam situasi seperti ini, maka guru boleh mengambil upah atas pengajaran tersebut, baik pengajaran yang berupa ilmu-ilmu agama, maupun ilmu-ilmu lain. Sesungguhnya, kesimpulan Al-Ghazali dalam hal mengaharamkan gaji guru dapat dipahami secara tersirat. Bahwa, gaji yang tercela (diharamkan) sebagaimana yang dikecam Al-Ghazali itu adalah apabila Al-Qur’an (dan ilmu-ilmu yang lain) dijadikan sebagai alat untuk mencari rizki, menumpuk kekayaan, bahkan satu-satunya tujuan mengajar dari seorang guru, yaitu semata-mata hanya untuk mencari nafkah dan mencukupi segala kebutuhan rumah tangganya. Sementara dalam Undang-Undang RI Nomor 14 tentang Guru dan Dosen, disebutkan bahwa penghasilan merupakan hak yang diterima oleh guru atau dosen dalam bentuk finansial sebagai imbalan melaksanakan tugas 19 20
Nasih Ulwan, op. cit, hlm. 314. Ibid, hlm. 318.
84
keprofesionalan yang ditetapkan dengan prinsip penghargaan atas dasar prestasi dan mencerminkan martabat guru atau dosen sebagai pendidik profesional.21 Dalam Undang-Undang Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 Pasal 40, juga dijelaskan bahwa seorang guru mempunyai beberapa hak profesional, diantaranya adalah guru berhak memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial. Bahkan guru berhak mendapat promosi dan penghargaan sesuai dengan tugas dan prestasi kerja, serta guru juga berhak memperoleh dan memanfaatkan sarana dan prasarana pembelajaran untuk menunjang kelancaran tugas profesinya, dll. Dengan demikian, masalah upah tidaklah menjadi permasalahan bagi seorang guru untuk tetap ikhlas.22 Adapun yang disebut dengan pendidik profesional dalam UndangUndang Sisdiknas adalah tenaga profesional yang bertugas berkenaan dalam merencanakan dan melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi. Sehingga dapat ditarik kesimpulan, bahwa pada dasarnya setiap tugas guru atau pendidik adalah sama, sebagaimana dikatakan oleh Al-Ghazali maupun tokoh-tokoh lain. Hanya saja yang menjadikan berbeda adalah pada tujuan utamanya dalam mengamalkan ilmu. Adapun tujuan tersebut terletak pada niat dan hati seorang guru. Dengan adanya perlindungan hukum dari negara, serta kebutuhan manusia yang kian kompleks, maka demi kelancaran proses pembelajaran, seorang guru boleh mengambil haknya dari hasil pekerjaannya. Adapun dengan adanya hukum atau undang-undang tersebut diharapkan bisa menjadi prospek guru dimasa mendatang sebagai guru profesional, yang sejahtera dan terlindungi semakin cerah. Jadi, jelaslah bahwa hal keikhlasan tidak ada 21
Undang-Undang R.I Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, op. cit, hlm. 5. Undang-Undang R I Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, (Bandung: Citra Umbara, 2006), hlm. 13. 22
85
kaitannya dengan menerima atau menolak imbalan dari mengajar. Karena sesungguhnya niat yang ikhlas itu berasal dari dorongan yang muncul di dalam hati, dalam hal ini seorang guru mengamalkan ilmunya hanya karena Allah SWT. Dari berbagai pemaparan di atas, maka demi manfaatnya ilmu dan ketenangan batin seorang guru serta diterimanya amal, maka sangat perlu untuk megikhlaskan niatnya semata-mata karena Allah SWT. Rasulullah juga mengatakan bahwa keberhasilan seseorang tergantung pada niatnya, seorang guru akan berhasil dalam mengajar dan mendidik muridnya apabila dilandasi dengan niat yang lurus. Ia senantiasa berniat untuk mendekatkan diri kepada Allah, menyebarkan ilmunya untuk kebaikan, menghilangkan kebatilan dan menghidupkan agama serta demi kemaslahatan umat manusia. Hal inilah yang menggambarkan sikap dan ketulusan seorang guru dalam mengajar dan mendidik murid-muridnya. 4. Efek dan Kontribusi Guru Yang Ikhlas Al-Ghazali merupakan orang yang sangat ikhlas, meskipun pada awalnya ia menuntut ilmu dan mengamalkannya bukan karena Allah. Sebelum Al-Ghazali menemukan hakikat kebenaran dan keikhlasan, ia mengalami skeptis yang sangat luar biasa. Disebutkan dalam sejarah, bahwa pada masa itu Al-Ghazali sudah sangat sukses dengan segala kedudukan, pangkat dan jabatan yang dimilikinya. Bahkan ia telah menjadi orang yang sangat terkenal, dengan kebesaran namanya dalam majelisnya dihadiri oleh tiga ratus orang ulama. Setiap orang mengakui akan kecerdasannya, dan ilmunya yang begitu luas. Namun itu semua tidak membuatnya semakin bahagia dan tenang, sehingga ia mengalami skeptis dan sakit. Dalam keadaan seperti itu, ia mendapat hidayah dari Allah sehigga menemukan kebenaran dalam hatinya dan mampu melihat hakikat kebenaran dan keikhlasan. Dalam hatinya juga muncul ketakutan yang luar biasa, yaitu ketakutan terhadap hari akhirat. Sehingga ia memutuskan hubungan jiwanya dengan hal-hal duniawi dengan meninggalkan dunia ini dan menghadap Allah,
86
ini hanya dapat dicapai dengan mengabaikan kekayaan dan kedudukan serta lari dari segala sesuatu yang berkaitan dengan waktu yang sia-sia. Karena itu ia meninggalkan jabatan mahaguru dan seluruh kariernya sebagai faqih dan ahli theologis dengan melepaskan dirinya dari seluruh kekayaannya kecuali yang perlu untuk nafkah dirinya sendiri dan keluarganya.23 Hal tersebut menunjukkan bahwa harta bukanlah segalanya, yang manusia butuhkan adalah kebahagiaan sejati yang bermuara dalam hatinya. Sehingga ia senantiasa bersikap tenang, merasa cukup dan selalu menerima. Dalam hal ini Al-Ghazali telah mangalaminya secara nyata, sehingga efek atau hasil dari keikhlasannya adalah adanya ketenangan batin, keberkahan dalam hidup serta kebahagiaan di dunia dan akhirat. Wallahu a’lam. Sehingga dalam hal ini, maka seorang guru senantiasa merasa cukup akan rizki yang dikaruniakan oleh Allah SWT. Ia juga bisa mengajar dengan tenang serta menyertakan hatinya, sehingga ia bisa menikmati dan menjiwai pekerjaaannya. Ia akan senantiasa menyambut anak didiknya dengan senyuman dan semangat yang tinggi. Yang terpenting bagi guru yang ikhlas, adalah ia tidak akan merasa sedih apabila gaji yang diterima sangat kecil dan tidak bisa memenuhi kebutuhan hidupnya. Karena sesungguhnya niat dari mengajar bukanlah karena materi semata. Ia justru akan bersyukur dengan mendapatkan imbalan tersebut, sebagai haknya menjadi guru profesional dan berusaha untuk meningkatkan mutu dan kemampuannya dalam mengajar. Dengan demikian, maka betapa besar dampak positif yang diperoleh karena keikhlasan seorang guru dalam mengamalkan ilmunya. Adapun diantara manusia yang menjadi guru, karena keinginannya untuk berbuat baik kepada sesama manusia dengan mengajarkan ilmunya. Sebagian orang mengistilahkan hal tersebut dengan mengajar karena panggilan nurani. Ia tidak memedulikan besarnya gaji yang didapatkan. Ia merasa bahwa menjadi pegawai tetap atau tidak baginya sama saja. Guru yang seperti inilah yang
23
8.
Quasem, Etika Islam Al-Ghazali, terj. Mahjudin, (Bandung: Pustaka, 1975), Cet. I, hlm.
87
disebut sebagai guru yang ikhlas, karena ia tidak berorientasi pada materi. Akan tetapi, ia hanya mengharapkan keridhaan dari Allah SWT. Berkaitan dengan kesejahteraan guru yang ikhlas, Bagus Herdananto mengatakan, bahwa ada diantara banyak orang yang bertugas menjadi guru dan mendapatkan kesejahteraan yang cukup, akan tetapi sesungguhnya tujuan dia menjadi guru atau pengajar bukanlah untuk mencapai status atau kesejahteraan atau materi yang lain. Karena memang ia mencintai pekerjaan sebagai guru dan ia terpanggil untuk mendidik masyarakat, ia ingin menghabiskan seluruh waktunya untuk mendidik orang lain. Adapun status dan besarnya gaji tidak begitu dipikirkan karena bukan itu yang menjadi tujuannya. Di antara orang-orang tulus tersebut ada yang mendapatkan kesejahteraan meski bukan itu yang menjadi tujuannya, dan di antara mereka ada yang benar-benar berkorban karena kecintaan mereka untuk mendidik dan mengajar. 24 Menjadi seorang guru berdasarkan tuntutan pekerjaan adalah suatu pekerjaan yang sangat mudah, tetapi menjadi guru berdasarkan panggilan jiwa atau tuntutan hati nurani tidak mudah, karena dalam hal ini seorang guru lebih banyak dituntut suatu pengabdian kepada murid daripada karena tuntutan pekerjaan dengan material oriented. Dalam hal ini, guru mengabdi, dengan tulus hati untuk mendapatkan keridhaan dari Allah SWT, bukan semata-mata karena mencari materi atau kesenangan duniawi. Dengan demikian, maka seorang guru akan merasakan jiwanya lebih dekat dengan muridnya. Sehingga guru senantiasa ingin selalu bersama dengan muridnya, bahkan ketiadaan muridnya akan menjadi pemikirannya. Hubungan guru dan murid yang demikian akan menciptakan generasigenerasi yang unggul, kreatif, dan percaya diri. Karena dalam hal ini, seorang guru menjalankan tugasnya dengan sepenuh hati. Sehingga akan sepenuh hati pula menyisihkan waktunya, tenaga dan fikirannya untuk membimbing,
24
Herdananto, op. cit, hlm. 8.
88
membina, mendengarkan keluh kesah muridnya, menasehati dan membantu kesulitan-kesulitan yang dihadapi murid-muridnya. Adapun dari beberapa keterangan di atas, peneliti dapat mengambil pelajaran bahwa guru yang ikhlas berdasarkan konsep Al-Ghazali merupakan suatu contoh teladan yang bisa diterapkan dalam masa sekarang ini. Dimana perkembangan teknologi semakin canggih, sehingga peranan seorang guru semakin berkurang. Semangat dan minat siswa dalam belajar di kelaspun menjadi sangat lemah. Namun, dengan konsep yang ditawarkan Al-Ghazali, bahwa seorang guru harus senantiasa ikhlas dalam mengamalkan ilmu yang dimilikinya, menghadirkan hati dan jiwanya dalam mengajar disertai dengan budi pekerti yang halus. Sehingga murid bisa menerimanya dengan baik, bahkan muridpun bisa mengikutinya dengan senang hati, karena adanya keikhlasan yang diberikan oleh sang guru. Dengan demikian, ilmu yang diajarkan dengan tulus ikhlas menjadi ilmu yang bermanfaat dan berdampak positif dalam proses pembelajaran. Dengan demikian, maka seorang guru yang ikhlas mempunyai peran yang sangat besar dalam perkembangan jiwa dan pendidikan seorang murid. Menjadikan murid mengerti akan ilmu pengetahuan serta mempunyai akhlak dan budi pekerti yang baik. Semua itu tidak akan terwujud tanpa keikhlasan dari seorang guru. Karena dengan keikhlasan guru, maka proses belajar mengajar pun akan menjadi hal yang sangat menyenangkan. Hal ini karena seorang guru membawa hatinya dalam mengajar, bukan semata-mata untuk mencari kedudukan, pangkat ataupun harta duniawi. Maka dari itu, ikhlas sangat penting untuk diterapkan bagi seorang guru. Sehingga dalam setiap gerak langkahnya senantiasa menanamkan niat yang tulus-ikhlas, semata-mata untuk mendapatkan keridhaan dari Allah SWT, dan untuk mendekatkan diri kepada-Nya.
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Dari telaah yang telah dilakukan pada bab-bab sebelumnya, khususnya dengan menguak pemikiran Imam Al-Ghazali dalam Kitab Ihya’ Ulumiddin tentang konsep guru yang ikhlas, maka penulis mengambil kesimpulan sebagai berikut: Al-Ghazali merupakan seorang ulama Sufi yang banyak mengulas masalah keguruan, dan menempatkan posisi guru sebagai profesi yang sangat mulia. Hal ini berawal dari perhatiannya yang sangat mendalam tentang ilmu dan pendidikan. Ia mempunyai keyakinan yang kuat bahwa pendidikan yang baik itu merupakan suatu jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dan untuk mendapatkan kebahagiaan dunia dan akhirat. Itulah sebabnya ia memberikan kedudukan yang tinggi bagi seorang guru dan menaruh kepercayaannya terhadap seorang guru. Ia berpendapat bahwa guru adalah seseorang yang bertanggung jawab atas pendidikan dan pengajaran, serta bertugas untuk menyempurnakan, mensucikan dan menjernihkan serta membimbing anak didiknya untuk mendekatkan diri kepada Allah. Guru yang ikhlas ialah seorang guru yang mengajar dengan niat semata-mata mengamalkan ilmunya karena Allah dan untuk mendapatkan ridho dari-Nya. Senantiasa membawa hatinya dalam mengajar, sehingga guru benar-benar menikmati tugasnya sebagai pengajar dan murid pun bisa menerima dengan baik ilmu yang diajarkan gurunya. Dengan demikian, maka akan terciptalah lingkungan pembelajaran yang kondusif. Sehingga tujuan pembelajaran pun bisa tercapai dengan baik, yakni menciptakan generasi yang cerdas, beriman dan bertaqwa serta mempunyai akhlakul karimah. Menurut Imam Al-Ghazali dalam Kitab Ihya’ Ulumiddin, ikhlas adalah sebuah usaha untuk menjaga hati dan niat agar tetap suci dan bersih, tanpa mencampurinya dengan sesuatu hal selain Allah. Selain itu, ikhlas juga
89
90
merupakan syarat diterimanya amal seseorang. Dengan demikian, maka guru yang ikhlas menurut Imam Al-Ghazali adalah seorang guru yang mengajarkan ilmunya semata-mata hanya untuk mencari ridha Allah SWT, bukan untuk mencari harta, pangkat dan kedudukan serta menjadikan ilmunya manfaat dan dapat diterima oleh Allah SW. Dengan adanya sikap ikhlas tersebut, diharapkan seorang guru bisa mengabdi dengan sepenuh jiwa dan raganya serta mengajarkan ilmu pengetahuannya dengan sepenuh hati. Sehingga guru akan merasa nyaman dan benar-benar menikmati tugasnya sebagai pengajar dan pendidik. Sikap guru yang demikian itu, juga akan berdampak positif bagi murid-muridnya, karena suatu pekerjaan yang dilakukan dengan tulus ikhlas, maka akan mudah diterima dengan lapang. Dalam hal ini, para murid akan mudah menerima dan mengerti apa yang di ajarkan oleh gurunya, selain itu para murid juga akan merasa senang dengan pembelajaran tersebut. B. Saran-Saran Bagi seorang guru, hendaknya selalu menjaga niatnya agar tetap lurus dan hendaknya menanamkan niat yang tulus ikhlas kepada para muridnya. Guru senantiasa menjaga akhlaknya dalam mengajar dan berhubungan dengan para muridnya. Sebagaimana diungkapkan oleh Imam Al-Ghazali, karena seorang guru adalah teladan dan model bagi para muridnya, sehingga guru harus menjaga betul sikap dan tingkah lakunya agar sesuai dengan perbuatannya. Guru hendaknya tidak berorientasi pada materi dalam menjalankan profesinya sebagai pengajar, karena pada hakikatnya Allah akan membalas amal baik yang dilakukan guru atas pengajaran tersebut. Guru harus senantiasa ikhlas dalam mengamalkan ilmunya, agar bermanfaat dan tidak siasia serta dapat diterima Allah SWT sebagai amal sholeh. Hal ikhlas adalah masalah hati yang sangat halus, sehingga terkadang manusia lalai dan telah berbuat riya’ dengan melakukan amal kebaikan, buakan karena Allah. Maka dalam hal ini, hendaknya para guru harus
91
senantiasa berdoa memohon pertolongan kepada Allah SWT agar dijauhkan dari perbuatan syirik sekecil apapun. Sebagaimana dengan doa yang diajarkan oleh Rasulullah SAW.
اّ ّ اّ ذ ان ك وك Ya Allah, kami berlindung kepada-Mu dari berbuat syirik kepada-Mu dengan sesuatu yang kami mengetahuinya dan kami mohon ampun kepada-Mu bagi apa yang tidak kami ketahui.1 Dengan demikian, maka seorang guru hendaknya menjaga niatnya agar tetap lurus, dan senantiasa memohon pertolongan dan perlindungan kepada Allah dengan mengamalkan doa tersebut. C. Penutup Alhamdulillah, segala puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang senantiasa melimpahkan segala rahmat, hidayat, taufiq serta inayah-Nya sehingga penulis bisa menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam penulis haturkan kepada Rasulullah SAW, yang mana beliaulah yang membawa pelita umat, dari jaman jahiliyah menuju jaman yang terang benderang. Beliaulah sebaik-baik guru dan suri tauladan bagi seluruh umat manusia serta selalu kami nanti-nantikan syafaatnya di hari akhir. Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan skripsi ini masih banyak kekurangan dan kelemahan, baik dari segi materi maupun dari tulisan ini. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan skripsi ini. Penulis hanya bisa mengungkapkan rasa terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu terselesaikannya skripsi ini. Penulis berharap, semoga karya ini dapat bermanfaat bagi semua pihak, yakni bagi penulis khususnya, dan bagi pembaca pada umumnya. Amin Ya Rabbal ‘Alamin.
1
Ridhwan, Al-Ma’tsurat, terj. Syafi’i Syukur, (Yogyakarta: Mashoer, 2007), hlm. 43.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Mu’ti & Chabib Thoha, PBM-PAI di Sekolah, Semarang: Fak. Tarbiyah IAIN Walisongo, 1998. Cet, I. Abi Zakariya Yahya, Syeikh Muhyidin, Riyadhush Shalihin, Semarang: Pustaka Alawiyah, tt. Abu Farits, M. Abdul Qadir, Tazkiyatunnafs, terj. Habiburrahman Saerozi, Jakarta: Gema Insani, 2006, Cet. II. Adnan, Anas (ed), Gema Ruhani Imam Ghazali, terj. Saifuddin Mujtaba, Surabaya: Pustaka Progressif, 1993, Cet. I. Al-Banjari, Rahmat Ramadhana, Mengarungi Samudra Ikhlas, Jogjakarta: Diva Press, 2007. Cet. I. Al-Ghazali, Imam, Ayyuhal Walad, terj. Fu’ad Kauma, Bandung: Irsyad Baitus Salam, Cet. I, 2005. _______________, Ihya’ Al-Ghazali, terj. Ismail Yakub, Jilid I, Jakarta: CV. Faizan, 1994. _______________, Mukasyafah al-Qulub, terj. Irwan Kurniawan, Bandung: Marja’, Cet. I, 2003. _______________, Mutiara Ihya’ Ulumuddin, terj. Irwan Kurniawan, Bandung: Mizan, 2008. Al-Ghazali, Muhammad, Akhlaq Seorang Muslim, Semarang: Wicaksana, 1985. Al-Maraghi, Musthafa, Tafsir Al-Maraghi, juz VIII, terj. K. Anshori Umar Sitanggal, Semarang: CV. Toha Putra, 1998. Arberry, A. J., Sufism An Account Of The Mystics Of Islam, London: George Allen & Unwin Ltd, t.th. Asmani, Jamal Ma’mur, Tips Menjadi Guru Inspiratif, Kreatif dan Inovatif, Jogjakarta: Diva Press, 2009, Cet. II.
Asy Syalhub, Fu’ad, Guruku Muhammad SAW, Jakarta: Gema Insani, 2006. ‘Audah al-‘Awayisyah, Syaikh Husain, Keajaiban Ikhlas, terj. Abu Barzani, Yogyakarta: Maktabah Al-Hanif, 2007. Barizi, Ahmad, Menjadi Guru Unggul, Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2010. Bungin, Burhan (Ed.), Metodologi Penelitian Pendidikan, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2008. Daeng Arifin & Dedi Permadi, The Smiling Teacher, Bandung: CV. Nuansa Aulia, 2010. Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Surabaya: Karya Agung, 2006. Djamarah, Syaiful Bahri, Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif, Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2005, Cet. II. Fadhalalla Haeri, Syaikh, The Elements Of Sufism, Dorset: Elements Books Limited, 1990. Gusmian, Islah, Surat Cinta Al-Ghazali: Nasihat-Nasihat Pencerah Hati, Bandung: PT. Mizan Pustaka, 2006, Cet. II. Hassan Shadily & John M. Echols, Kamus Inggris Indonesia, Jakarta: PT Gramedia, 1996. Hawa, Sa’id, Tazkiyatun Nafs, terj. Tim Kuwais, Jakarta: Darus Salam, 2005. Herdananto, Bagus, Menjadi Guru Bermoral Profesional, Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2009. Hidayatullah, M. Furqon, Guru Sejati, Surakarta: Yuma Pustaka, 2009, Cet. II. Ismail, Ilyas Pilar-Pilar Takwa, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2009. Ismail SM, Strategi Pembelajaran Agama Islam Berbasis PAIKEM, Semarang: RaSAIL, 2008, Cet. I. Jahja, Zurkani, Teologi Al-Ghazali, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996, Cet. I.
Mansur, Laily, Ajaran dan Teladan Para Sufi, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2002, Cet. III. Moleong, Lexy J, Metodologi Penelitian Kualitatif, Bandung: PT. Rosdakarya, 2007. Muhaimin, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cet. II, 2004. Mujieb, M. Abdul, dkk, Ensiklopedia Tasawuf Imam Al-Ghazali, Jakarta: Hikmah, 2009. Mulyasa, E., Menjadi Guru Profesional, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2008, Cet. VII. Munawir & Al-Bisri, Kamus Al-Bisri, Surabaya: Pustaka Progressif, 1999. Munir Amin, Samsul, Kisah Sejuta Hikmah Kaum Sufi, Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2008, Cet. I. M. Dahlan Al Barry & Pius A Partanto, Kamus Ilmiah Populer, Surabaya: Arkola, 1994. Nasib Ar-Rifa’i, Muhammad, Ringkasan Ibnu Katsir, Jilid III & IV, terj. Syihabudin, Jakarta: Gema Insani, 1999. Nasih Ulwan, Abdullah, Pendidikan Anak Dalam Islam, terj. Tarbiyatul Aulad Fil Islam, Jakarta: Pustaka Amani, 2007. Nawawi Asy-Syafi’i Al-Qadiri, Syekh Muhyidin, Bahjatul Wasaail Bisyarhi Masaail, Semarang: Maktabah Matbaah “Karya Thoha Putra”, tt. Nurdin, Muhammad, Kiat Menjadi Guru Profesional, Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2008, Cet. I. Quasem, Abdul, Etika Islam Al-Ghazali, terj. Mahjudin, Bandung: Pustaka, 1975. Ramadhan, Muhammad, Quantum Ikhlas, terj. Alek Mahya Shofa, Solo: Abyan, 2009.
Ridhwan, Muhammad, Al-Ma’tsurat, terj. Syafi’i Syukur, Yogyakarta: Mashoer, 2007. Said Basil, Victor, Al-Ghazali Mencari Makrifah, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1990. Sentanu, Erbe, Quantum Ikhlas, Jakarta: PT. Gramedia, 2008. Shihab, Othman, Pintu-Pintu Kesalehan, Jakarta: PT Mizan Publika, 2007, Cet. I. Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan, Bandung: Alfabeta, 2010. Sukardi, Metodologi Penelitian Pendidikan, Jakarta: PT Bumi Aksara, 2009. Sulaiman, Abu Dawud, Sunan Abu Dawud, Indonesia: Maktabah Dahlan, t.t. Suwarno, Pengantar Umum Pendidikan, Jakarta: Aksara Baru, 1988, Cet. III. Syakur, Masyhudi, Biografi Ulama Pengarang Kitab Salaf, Kediri: Baroza, 2008. Syukur, Amin, Tasawuf Kontekstual, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003. Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 1993, Cet. 2. Tohirin, Psikologi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam, Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2005. Undang-Undang R.I Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, Bandung: Citra Umbara, 2006. Undang-Undang R.I Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas, Bandung: Citra Umbara, 2006. Qayyum, Abdul, Surat-Surat Al-Ghazali, terj. Haidar Baqir, Bandung: Mizan, 1985, Cet. II. Yamin, Martinus, Profesionalisasi Guru & Implementasi KTSP, Jakarta: Gaung Persada Press, 2008. http://digilib.uin-suka.ac.id/download.php?id=2009, diundo 16/05/2011. http://en. wikipedia.org/wiki/Content analysis, diundo 26/04/2011.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP Yang bertanda tangan di bawah ini: Nama
: Lisa Fathiyana
Tempat Tanggal Lahir
: Brebes, 13 Maret 1988
Bangsa
: Indonesia (WNI)
Agama
: Islam
Alamat
: Jl. KH. A. Badawi No.38 RT 2/II Ketanggungan Kec. Ketanggungan Brebes 52263
Tempat Tinggal Sekarang : Jl. Tugurejo No. 9 RT 01/I Tugurejo Kec. Tugu Semarang 50151 Menerangkan dengan sesungguhnya: Pendidikan Formal
: 1. SD Negeri Ketanggungan III, lulus tahun 2000 2. SLTP Negeri 1 Ketanggungan, lulus tahun 2003 3. SMA Negeri 1 Kersana, lulus tahun 2006 4. IAIN Walisongo Semarang Fakultas Tarbiyah Jurusan Pendidikan Agama Islam
Pendidikan Non Formal: 1. Madrasah Diniyah Wushto Tarbiyatul Muta’allimin, lulus tahun 2001 2. Pondok Pesantren Roudhotuth Tholibin Tugurejo
Demikian daftar riwayat hidup ini saya buat dengan sebenarnya. Hormat saya,
Lisa Fathiyana 063111056