KONSEP TAFAKKUR SUFISTIK MENURUT IMAM AL-GHAZALI SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Islam (S.Pd.I) Pada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
OLEH : MULYADI BATUBARA 104011000189
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1430 H/2010 M
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah
Eksistensi manusia di dunia tidak terlepas dari tujuan hidupnya. Tujuan ini begitu beragam dan dipengaruhi karakter fitrah manusia yang bermuara pada “solusi persuasif” untuk menghasilkan nilai-nilai tertentu. Sebagai makhluk yang beragama manusia berusaha memperoleh modelmodel tujuan hidup yang ternyata ditawarkan agama sebagai bagian primer dalam ajarannya. Dalam agama Islam, tujuan ini telah jelas-jelas digariskan dalam kitab suci Al-Qur’an sebagai sumber momentum terbesar dan teragung, yang tidak hanya dikenal sebagai kitab suci yang bernilai ibadah tetapi juga kitab suci dengan mukjizat yang keramat. Bernilai ibadah karena adanya balasan pahala bagi siapa yang membacanya serta termasuk amal yang utama serta merupakan mukjizatnya Rasulullah SAW sebagai hujjah tertinggi kerasulan beliau yang sarat dengan muatan ilmu, hikmah, rahmat dan hidayah. Dalam kitab suci Al-Qur’an tujuan ini dituangkan pada salah satu ayat-Nya yaitu pada surat Az-Zariat ayat ke-56:
Artinya:” dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” Ayat ini secara jelas menyatakan kewajiban manusia dalam menyembah Allah SWT sebagai tujuan penciptaannya. Penyembahan yang sempurna adalah penyembahan dalam wujud pengenalan dan pengetahuan kepada yang disembah. Lalu lahirlah konsep “makrifatullah” yang pada akhirnya diakui sebagai tujuan hakiki dari ibadah. Selanjutnya “makrifatullah” dijelaskan dalam berbagai ayat lainnya, diantaranya surat Ar-Rum ayat ke-8 :
1
2
Artinya: ”Dan mengapa mereka tidak memikirkan tentang (kejadian) diri mereka? Allah tidak menjadikan langit dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya melainkan dengan (tujuan) yang benar dan waktu yang ditentukan. dan Sesungguhnya kebanyakan di antara manusia benar-benar ingkar akan Pertemuan dengan Tuhannya.” Pada ayat ini terdapat jalan untuk mencapai makrifatullah yang diisyaratkan dengan kata “memikirkan” atau “yatafakkaru”. Prosesnya meliputi dua tahapan yakni berpikir tentang diri sendiri dan berpikir tentang alam semesta. Aliansi keduanya akan menempatkan struktur poros tengah yang mengacu pada tahapan-tahapan mistis menuju gerbang makrifatullah. Poros tengah di sini dimaksudkan sebagai landasan koherensi untuk meletakkan proporsi dan komposisi yang tepat dalam memberikan formulasi tentang Tuhan yang tentu saja berbeda dengan makhluk-Nya yakni manusia sebagai “citra” Tuhan dan alam semesta sebagai manifestasi pelengkap. Di kalangan akademisi sendiri, metodologi dalam sintesa – sintesa ilmu pengetahuan menerapkan dominansi akal teoritis yang menyusun struktur kerjanya dalam wadah logika yang menitikberatkan pada penyusunan matriks – matriks kausalitas. Di satu sisi metodologi ini positif karena bisa mendorong kemajuan ilmu pengetahuan teoritis yang banyak mengakuisisi metode – metode terapan yang kemudian direduksi dalam metodologi sintetis yang tepat guna. Namun, di sisi lain metodologi ini gagal dalam integrasi menyeluruh dalam keselarasan antara aspek spritualitas yang murni yaitu makrifatullah yang merupakan esensi penciptaan manusia. Ini dikarenakan metodologi ini dalam aplikasinya merunut akal sebagai domain utama yang berarti tidak terbukanya akses ke pintu alam malakut yang merupakan media dalam eksplorasi ilmu - ilmu esensial.
3
Setelah memahami supremasi tafakkur sebagai sarana untuk mencapai tujuan hidup maka perlulah kiranya dirumuskan konsep tafakkur yang menyangkut disiplin-disiplin formulasinya sehingga dengan tafakkur yang benar tujuan tadi bisa dicapai. Berdasarkan maksud ini maka penulis tertarik untuk mengangkat tema sentral ini dengan rujukan buku “Ihya Ulumuddin” karya Imam Al-Ghazali sebagai bahan skripsi dengan judul ”KONSEP TAFAKKUR SUFISTIK MENURUT IMAM AL- GHAZALI”.
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah Di muka telah disebutkan bahwa diantara obyek tafakkur adalah manusia dan alam semesta. Korelasi keduanya dalam setiap aspeknya yang menyangkut muatan lahir batin serta spritualitas yang mewadahinya tentunya telah menciptakan sebuah konsepsi pengetahuan tanpa batas. Sebab penelusuran bagian vital dari topik ini adalah tentang makrifat yang di satu sisi adalah pembukaan akses ke alam ghaib untuk eksplorasi ilmu-ilmu ke-Tuhanan yang mutlak. Pengkajian secara global sangatlah tidaklah mungkin mengingat faktor minimnya pengetahuan penulis sendiri. Atas dasar pertimbangan di atas, maka penulis membatasi penulisan konsep tafakkur versi Imam Al-Ghazali hanya pada penggambaran sistematika secara sederhana saja tentang proses tafakkur. Adapun rumusan masalahnya adalah tentang bagaimana proses tafakkur dalam dunia tasawuf perspektif Imam Al-Ghazali dan aplikasinya dalam dunia akademis yang saat ini banyak mengadopsi mekanisme logika terapan murni.
C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini adalah : 1. Memberikan konsep tafakkur sufistik yang dilandasi gagasan, semangat, dan kreatifitas sufisme yang melahirkan metodologi efektif dalam mencapai tujuan akademis.
4
2. Sebagai mediator dalam memetakan rancangan penyusunan konsep perpaduan antara daya akal dan hati sebagai basis keilmuan dalam pencapaian kebahagiaan hakiki. 3. Mewujudkan analisa formal dalam apresiasi karya – karya ulama Salaf sehingga didapatkan sebuah petunjuk tentang dinamika pemikiran dan perkembangan keilmuan secara implisit maupun eksplisit. 4. Mendapatkan sebuah standar kebenaran bagi pengujian ilmu – ilmu teoritis dengan dasar kitabullah dan hadis yang bisa memberikan solusi bagi kerancuan pemikiran mutakhir. 5. Mendapatkan gambaran dari model pemikiran Imam Al- Ghazali untuk diaplikasikan dalam dunia akademis. 6. Sebagai amal jariyah dan ibadah 7. Mengharapkan rahmat Tuhan Yang Maha Mengetahui
D. Metodologi Penelitian Metode yang dipakai dalam pembahasan skripsi ini adalah metode deskriptif analitis yaitu prosedur pemecahan masalah dengan mendeskripsikan atau menjelaskan masalah yang kemudian data disusun dan dianalisa sehingga mendapatkan sebuah kesimpulan (konklusi). Model penelitian ini menggunakan penelitian kepustakaan (library research) dengan akomodasi buku-buku terkait dengan tema yang hendak dikaji. Penulis berusaha mengutamakan dalil-dali Al-Qur’an sebagai penopang argumen utamanya. Dengan demikian diharapkan skripsi ini memiliki nilai argumen yang mumpuni. Adapun buku - buku pedoman utama pada penulisan masalah ini adalah karya – karya Imam Al-Ghazali yang meliputi: kitab Ihya Ulumuddin (terjemah), kitab ‘Ajaib Al- Qalb (terjemah), kitab Kimya As- Sa’adah (terjemah), kitab Al- Qisthas Al- Mustaqim (terjemah) dan lain- lain. Buku – buku pendukung antara lain: Pengetahuan Suci karya Imam Ad- Dihlawi, Energi Ibadah karya Murtadha Muthahari, Falsafah Dan
5
Mistisisme Dalam Islam karya Harun Nasution, The Wisdom Of Al- Hakim Al- Tirmidzi karya Al- Hakim Al- Tirmidzi dan lain - lain.
Bab II SISTEMATIKA TAFAKKUR
A. Pengertian, Ruang Lingkup dan Tujuan 1.
Pengertian Tafakkur Dalam surat As-Shad ayat ke-29 terdapat firman Allah SWT :
Artinya:”Kitab yang kami turunkan kepadamu penuh berkah agar mereka menghayati ayat- ayatnya dan agar orang – orang yang berakal sehat mendapat pelajaran .1 Dalam ayat ini terdapat dua aktivitas ibadah
untuk memahami Al –
Qur’an sebagai sumber ilmu yaitu aktivitas tadabbur (penghayatan ) dan aktivitas tadzakkur ( mengingat – ingat ). Keduanya merupakan bagian dari aktivitas berpikir ( tafakkur ) . Jadi, proses berpikir ( tafakkur ) dalam AlQur’an melibatkan dua faktor esensial yaitu hati sebagai obyek tadabbur dan akal dalam proses tadzakkur. Dalam kolaborasi keduanya tercipta kesimpulan dan prosesnya dinamakan tafakkur. Asal kata tafakkur berasal dari suku kata”fakara”,”fakr” dan “fikr” yang berarti mempergunakan akal dalam sesuatu.“Fakara”,“afkara” dan “tafakkara” semua kata tersebut memiliki arti yang sama, yaitu berpikir atau memikirkan dan “fakara fisy – sya’i” artinya memikirkan tentang sesuatu. Dalam kekuatan
buku mufradat Al- Qur’an
yang mampu memicu
disebutkan, “tafakkur adalah
pengetahuan
menjadi yang diketahui,
perguliran kekuatan sesuai dengan pandangan akal”. Itu terjadi pada manusia dan tidak terjadi pada binatang, serta tidak mungkin dinyatakan kecuali pada 1
Tim Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang: Toha Putra, 1995) Cet. 1995, h.736
6
7
apa yang mungkin dapat diperoleh gambarannya di dalam hati. Maka di dalam sebuah riwayat
dikatakan, “ Pikirkanlah tentang nikmat – nikmat
Allah dan jangan memikirkan tentang zat Allah, sebab Allah Maha Suci dari gambaran yang dapat diungkapkan” .2 Allah SWT berfirman dalam surat Ar-Rum ayat ke-8:
Artimya:“Mengapa mereka tidak memikirkan tentang (kejadian) diri mereka? Allah tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada di anatara keduanya melainkan dengan (tujuan) yang benar dan dalam waktu yang ditentukan. Dan sesungguhnya banyak di antara manusia benar – benar mengingkari pertemuan dengan Tuhannya”.3 “Rajulun fakir” artinya orang yang banyak pemikiran, kebalikan dari kata “fakr”(menggosok, menggaruk), tetapi “fakr” digunakan dalam segi makna yaitu memecahkan dan membahas perkara agar
sampai pada
hakikatnya. 4 Definisi tafakkur menurut Imam Al- Ghazali adalah “ menghadirkan dua makrifat dan dalam hati agar dapat membuah dari keduanya akan buah yang ketiga. 5 Imam Al -Ghazali menyebutkan hati sebagai basis kronologis pengambilan
kesimpulan
dan mensyaratkan pengetahuan – pengetahuan
elementer sebagai generalisasi makna rasional dan intuisi dalam produksi kesimpulan – kesimpulan
2
baru. Titik kumulatif tafakkur adalah daya
Syekh Abdul Aziz Bin Nashir Al-Jalil,Tidakkah Kalian Berpikir, (Jakarta: Cakrawala, 2008) Cet. І, h.7-8 3 Tim Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya (Semarang: Toha Putra, 1995) Cet. 1995, h. 642 4 Syekh Abdul Aziz Bin Nashir Al-Jalil, Tidakkah Kalian Berpikir, (Jakarta: Cakrawala, 2008) Cet. І, h.8 5 Imam Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, (Semarang:Pustaka Asy-Sifa, 2003) Cet. 2003, h.238
8
fungsional hati sebagai obyek sentral dalam wacana – wacana tasawuf (sufistik ). Pemikiran juga bisa dinamakan pandangan, karena ia adalah penelusuran dengan hati terhadap objek yang dipandang. Dinamakan mengambil pelajaran (i’tibar). “I’tibar” adalah bentuk “ ifti’al” dari kata “ ubur” (menyeberang), karena ia beralih kepada pandangan yang lain, atau dari hal yang dipikirkan itu beralih kepada yang lain. Lalu dari hal yang dipikirkannya itu beralih dimaksud
menjadi pengetahuan ketiga , dan itulah yang
dengan mengambil pelajaran.6 Adanya variasi pemahaman ini
mengindikasikan bahwa dalam prosesnya tafakkur nantinya akan terlibat dalam turunan-turunan kualitatif yang disesuaikan dengan bentuk-bentuk struktural kajian ilmunya. Ini menimbulkan sebuah pemahaman multi-dimensi yang membentuk sebuah kesimpulan bahwa tafakkur merupakan ritual ibadah yang terorganisir dalam runtutan mendalam antara wujud partikulariat akal dengan dimensi “dzauq “yang nantinya akan membentuk sebuah pemahaman bipolar. Allah SWT berfirman dalam surat An-Nisa ayat ke-82:
Artinya:“ Maka tidaklah mereka menghayati (mendalam) Al Quran ? Sekiranya (Al Qur’an) itu bukan dari Allah, pastilah mereka menemukan banyak hal yang bertentangan di dalamnya.)7 Dalam ayat di atas tafakkur identik dengan penghayatan (tadabbur) karena ia memandang pada akhir-akhir perkara dan akibatnya (menghayati perkataan). Menghayati perkataan itu dengan akhirnya. Kemudian
6
memperhatikan
awal dan
mengulang lagi perhatiannya selama beberapa kali.
Syekh Abdul Aziz bin Nashir Al-Jalil,Tidakkah Kalian Berpikir, (Jakarta: Cakrawala, 2008)
Cet. І, h.6 7
Tim Departemen Agama,Al-Qur’an dan Terjemahnya,(Semarang:Toha Putra, 1995) h,232
9
Maka, susunan katanya berdasarkan bentuk “tafa'ul” seperti “tajaru” (mengeruk),
”tafahum”(memahami)
dan
“tabayun”
(mengklarifikasi). 8
Maksudnya proses tafakkur adalah aplikasi tadabbur yang merupakan proses eksplorasi menyeluruh terhadap satu batas kesatuan korelatif yang bermuara terhadap pemahaman tauhid. Dalam ayat di atas terdapat dua batas dwi-fungsional yang mengindikasikan dua dimensi pemahaman logika dan esoterika yang tersurat pada kata Al-Qur’an dan Allah SWT. Al-Qur’an sarat dengan tafsiran yang menerima aplikasi-aplikasi justifikasi akal dan hati menuju konsep ketauhidan. Ada tafsiran yang membuka akses dalam proses berpikir yang memberikan sebuah hierarki global konsep-konsep keesaan Tuhan yang menerima secara terbuka ruang-ruang pemahaman universal yang diisyaratkan dengan keanekaragaman kekuatan aqidah, simbolisme ibadah, corak aplikatif syariat dan sebagainya yang terstruktur dalam firman-firman suci. Terkadang Al-Qur’an telah menjadi sebuah pintu transendensi dalam wujud tafsiran mistis yang memberikan sebuah wujud pemahaman esoteris yang dapat dicapai dengan sebuah metode tertentu yang dalam sufisme dikenal dengan sebutan tarekat. Al-Qur’an melibatkan proses tafakkur dan tadabbur secara sekaligus sebagai bentuk struktur formalitas yang selanjutnya dibawa kepada wujud realitas mutlak melalui intuisi (dzauq). Kompromitas kata Allah merupakan sandaran mutlak bahwa tafakkur dan tadabbur pada esensinya hanya merupakan jalan atau bentuk pemahaman terstruktur yang tergeneralisasi dalam batasan-batasan definitif dan bukan merupakan tujuan final dalam spritualitas, sekalipun dalam bidang-bidang mutual mendapat korelasi yang differensial secara random. Kata Allah dalam ayat di atas merupakan standar dan variabel bagi aktivitas tafakkur. Sebagai standar dikarenakan daya fungsional tafakkur secara esensial diarahkan untuk tujuan-tujuan mistis seperti pencapaian makrifat dan hakikat terhadap Allah 8
Cet. І, h.7
Syekh Abdul Aziz bin Nashir Al-Jalil, Tidakkah Kalian Berpikir, (Jakarta: Cakrawala, 2008)
10
SWT. Sebagai variabel dikarenakan aktivitas tafakkur ternyata memberi nilai bagi sebuah pencapaian tingkatan spritual tertentu. Ketika kedua aspek ini disinergikan terlihatlah bahwa tafakkur hanya ruang peralihan bagi sebuah wujud manifestasi agung Allah SWT dengan strukturalisasi Al-Qur’an. Ayat di atas secara tersirat juga memberikan pemahaman baru tentang fungsi tadabbur sebagai penjelas bagi hal-hal yang kontradiktif sebagaimana tersebut pada petikan “....pastilah mereka menemukan banyak hal yang bertentangan di dalamnya”. Kontradiksi memuat ragam definisi dan sejatinya selalu bersifat kontroversi sebagai wujud kausalitas dari alam ciptaan. Ketika tadabbur dihadapkan kepada hal-hal yang kontradiktif maka struktur bipolar akan terwujud. Struktur polar pertama adalah rekonstruksi daya akal yang secara induktif dan deduktif akan memberikan pola-pola solusi yang melibatkan segenap afiliasi wujud partikulariat dalam sebuah sistem terpadu yang dikenal dengan ilmu. Ilmu inilah yang menjadi sumber pengetahuan pertama dalam basis kausalitas yang mandiri dalam wujudnya. Kemandirian wujud ilmu didasarkan pada pandangan bahwa ilmu bebas dalam ekspresi orientasinya dan cenderung impulsif seakan-akan memiliki tatanan sumber otonom. Akibat kemandirian wujud inilah yang terkadang disalahtafsirkan sebagai pencapaian tujuan padahal fase ini baru langkah awal sebagaimana adanya istilah-istilah ilmul yaqin,’ainal yaqin dan haqqul yaqin dalam terminologi sufi yang mengisyaratkan hal ini. Struktur polar kedua adalah dengan cahaya hati yang merekonstruksi ilmu dalam tatanan dzauq. Idealnya ilmu akan memberikan pengaruh bagi hati yang disesuaikan dengan toleransi hati dalam menyerap sebuah konsep dari ilmu. Atas dasar inilah dalam ajaran Islam terdapat anjuran dalam mencari ilmu yang bermanfaat bagi hati.Sebab ilmu yang tidak bermanfaat bagi hati hanya akan menjadi hijab yang mengakibatkan kegagalan hati dalam membuka aksesnya ke dalam dunia gaib. Ilmu yang bermanfaat bagi hati akan
11
memberikan pengaruh positif dalam meningkatkan kualitas ibadah dan dzauq yang merupakan tahapan pertama dalam pendakian spritual kaum Salikin. Dari argumen-argumen di atas, kita bisa memberikan definisi tafakkur adalah proses pemaduan antara dua ilmu konektif dengan subyek ilmu yang sedang dipelajari (diteliti) dengan syarat, tidak terjadi kontradiksi yang meragukan
kebenaran
kedua ilmu
tersebut, disamping hati harus
konsentrasai terhadap keduanya dan benar- benar meneliti dengan sungguhsungguh. Dengan demikian hati yang semula kosong akan menjadi penuh dengan kedua ilmu tersebut. Proses tafakkur akan memberikan nilai afektif bagi hati. Nilai
ini terkait erat dengan kaidah, pendapat, aktifitas, yang
memberikan solusi-solusi persuasif bagi pelaksanaan syariat sehingga kondisi spritual dapat diidentifikasikan. Tafakur adalah wajib hukumnya bila berhadapan dengan sesuatu yang masih meragukan dan syubhat (belum jelas persoalannya) atau disaat ingin mengobati
penyakit jiwa yang susah
disembuhkan. Sedangkan ilmu berpikir ini terbagi dalam lima macam : a. Ilmu yang wajib, seperti ilmu ushul ( dasar – dasar ) keimanan, baik tentang Allah, malaikat, kitab – kitabNya, rasul – rasulNya dan hari akhir. b. Ilmu ibadah yang terkait dengan aktifitas jasmani dan harta benda. c. Ilmu yang terkait dengan panca indra, seperti : lisan, alat kelamin, perut, pendengaran dan penglihatan . d. Ilmu tentang akhlaq tercela yang wajib dihilangkan dari hati. e. Ilmu tentang akhlaq terpuji yang wajib dilakukan hati terhadap Allah. 9 2. Ruang Lingkup Tafakkur Dalam menjelaskan ruang lingkup tafakkur di dalam Al- Qur’an Surat Ar- Rum ayat ke- 8 telah diisyaratkan tentang hal ini :
9
Imam Al-Ghazali,Mihrab Kaum Arifin,(Surabaya:Pustaka Progresif:2002)Cet.II ,h.170
12
Artinya:“Dan mengapa
mereka tidak
memikirkan tentang diri
mereka ? Tuhan tidak menciptakan langit dan bumi dan apa yang ada diantara keduanya melainkan dengan ( tujuan ) yang benar dalam waktu yang ditentukan. Dan sesungguhnya banyak diantara manusia benar- benar mengingkari pertemuan dengan Tuhannya”.10 Aplikasi utama ayat ini koneksi
adalah pencarian hikmah
pada tatanan
manusia dengan Tuhan dan alam semesta. Koneksi ini bersifat
mutlak dan termasuk komposisi sentral dalam ritus-ritus keagamaan Islam yang diistilahkan dengan aspek ubudiyah dan uluhiyyah. Pada akhirnya ruang lingkup ini akan bermuara pada dua tema sentral yaitu relasi dengan Tuhan
(habluminallah)
dan
relasi
dengan
masyarakat
Islam
(hablumminannas). Berbicara tentang Habluminallah adalah refleksi aplikasi akidah yang tentunya bersifat pribadi dan merupakan buah dari tafakkur. Kita hanya bisa memasukkan proses tafakkur hanya pada tataran konsep – konsep keilmuan Islam, seperti : aqidah , syariat , tasawuf dan lain – lain yang menjadi suatu tolak ukur keimanan kita dan terkait dengan integrasinya dengan “maqamatahwal” sebagai basis reproduksi dan afiliasi ilmu sebagaimana yang diklaim oleh kaum sufi. Jadi , ruang lingkup tafakkur sungguh luas karena proses interaksinya dengan ilmu dan sumber ilmu (hati) itu sendiri. Beberapa contoh ruang lingkup terkait dengan aplikasi tafakkur antara lain:
10
h, 642
Tim Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang: Toha Putra, 1995),
13
a. Ruang Lingkup Teologis Ruang lingkup teologis secara harfiah dapat diartikan sebagai upaya memahami agama dengan menggunakan kerangka ilmu – ilmu ketuhanan yang bertolak keagamaan
dari suatu
keyakinan bahwa
dianggap sebagai
wujud empirik dari suatu
yang paling benar dibandingkan
yang
lainnya. 11 Ruang lingkup teologis memberikan akses dalam pengembangan kualitas keimanan kaum muslimin. Para ulama dan fuqaha sejak generasi salaf telah berupaya memberikan konsep-konsep kontemporer dalam rangka mereformasi nilai-nilai Islam yang dimulai dengan metode, bentuk aplikatif, wacana dan sebagainya agar susunan totalitas ajaran Islam senantiasa mendapatkan varian-varian konstruktif dalam setiap masa dan peradaban. Sejak dulu, bagian-bagian dari ruang lingkup ini telah menghadirkan klaimklaim perbedaan yang dilihat dari banyaknya penganut aliran-aliran (sektesekte) yang merupakan bukti nyata bahwa pola rekonstruktif dari tafakkur senantiasa memberikan propaganda tertentu yang diisyaratkan dengan sabda Nabi yang terkenal tentang perpecahan umat Islam menjadi 73 golongan. Ruang lingkup teologis adalah wujud cerminan tatanan kerangka segenap aspek aqidah diekspresikan untuk senantiasa dicari wujud haqiqinya bagi para pencari kebenaran dari seluruh golongan dari agama ini. Dalam
ruang
lingkup
teologis,
dalam
memahami
agama
menggunakan cara berpikir deduktif yaitu cara berpikir yang berawal dari keyakinan yang diyakini benar dan
mutlak adanya karena ajaran
yang
berasal dari Tuhan, sudah pasti benar, sehingga tidak perlu dipertanyakan lebih dahulu melainkan dimulai dari keyakinan yang selanjutnya diperkuat dengan
dalil dan argumentasi. Sementara ruang lingkup normatif, cara
berpikirnya lebih ditekankan kepada pemahaman bahwa agama dari segi 11
h. 28
Prof.Dr.H.Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 2004) Cet.IX,
14
ajarannya yang pokok dan asli dari Tuhan yang didalamnya belum terdapat penalaran pemikiran manusia. 12 b.
Ruang Lingkup Antropologis Ruang lingkup antropologis dapat diartikan sebagai salah satu upaya
memahami agama
dengan cara melihat wujud praktek keagamaan
yag
tumbuh dan berkembang di masyarakat. Sifatnya langsung, bahkan sifatnya partisipatif.Dari sini timbul kesimpulan-kesimpulan yang bersifat induktif yang mengimbangi
pendekatan deduktif dalam pengamatan sosiologis.13
Ruang lingkup ini mencoba membagi wujud nilai-nilai Islam pada setiap corak kebudayaan yang pada akhirnya membentuk pola sosialisasi yang cenderung akomodatif. Seringkali terjadi konflik internal dan eksternal yang justru dijadikan refererensi justifikasi dalam penyusunan argumen-argumen keseimbangan atas dasar toleransi inheren dalam berbagai aspek. c. Ruang Lingkup Sosiologis Dalam ruang lingkup sosiologis digunakan pola – pola tafakkur yang mempelajari hidup bersama dalam masyarakat dan menyelidiki ikatan – ikatan antara manusia maksud hidup
yang menguasai hidupnya, memahami sifat
dan
bersama, cara terbentuk dan tumbuh serta berubahnya
perserikatan-perserikatan hidup serta kepercayaannya, keyakinan yang memberi sifat tersendiri kepada cara hidup bersama dalam organisasi. 14 Dalam ruang lingkup ini ada beberapa faktor landasan pentingnya eksplorasi tafakkur, diantaranya : Pertama, bahwa syariat Islam memberikan ruang bagi aspek-aspek muamalah yang nyatanya banyak membutuhkan pola-pola pengembangan struktural yang terkait dengan pengembangan kualitas kehidupan keduniawian 12
Prof.Dr.H.Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: Rajawali Press, 2004) Cet. IX,
h. 34 13
M.Dawam Raharjo, Pendekatan Ilmiah Terhadap Fenomena Keagamaan, (Jakarta: Rajawali Press, 2004) Cet. II, h .19 14 Hassan Shadily, Sosiologi Untuk Masyarakat Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang, 1983) Cet. III, h. 70
15
sebagai aspek yang selaras dengan masalah akhirat. Pengembangan ini mendorong terciptanya sebuah kajian referensif yang terbuka dengan metodemetode simulatif yang selanjutnya memberikan solusi-solusi verbal bagi wacana-wacana kausalitas yang rentan dan mendorong partisipasi aktif dalam pemecahannya secara general. Kedua, bahwa dalil-dalil naqli menunjukkan secara jelas bahwa dalam soal-soal muamalah, syariat tetap mengacu kepada bentuk ”mashlahah” dari suatu perbuatan hukum yang substansinya dapat ditangkap oleh nalar. Keterangan ini menunjukkan perbedaan yang nyata antara ibadah dan muamalah sekalipun ada korelasi antara keduanya. Makna yang terkandung dalam semua ibadah tidak dapat diketahui kecuali dengan informasi wahyu yang harus diterima dan dilaksanakan oleh manusia dengan penuh kepatuhan. Di sisi lain,akal bisa mengetahui makna dalam muamalah. Ketiga, bahwa syariat berbeda fungsi dalam aspek ibadah dan muamalah. Dalam hal ibadah, syariat berfungsi sebagai pembentuk dan pencipta hukum.Di lain pihak, syariat berfungsi sebagai penyempurna bagi pengetahuan akal yang terlebih dahulu telah memahami substansi muamalah. Hal ini dikarenakan karena akal manusia tidak berwenang dalam menentukan bentuk-bentuk ibadah. Keempat adanya aspek-aspek komplementer dalam Islam. Contohnya dalam Islam terdapat ketentuan bila urusan ibadah dilakukan tidak sempurna atau batal, karma melanggar pantangan tertentu, maka kifaratnya (tebusannya) ialah melakukan sesuatu yang berhubungan dengan masalah sosial . Bila puasa tidak mampu dilakukan misalnya, jalan keluarnya adalah dengan membayar fidyah dalam bentuk memberi makan bagi orang miskin. Bila suami istri bercampur siang hari di bulan ramadhan atau ketika istri dalam keadaan haid, tebusannya adalah memberi makan kepada orang miskin. d. Ruang Lingkup Filosofis Tafakkur pada ruang lingkup ini adalah upaya-upaya menjelaskan inti, hakikat atau hikmah mengenai sesuatu yang berada di balik objek formanya.
16
Ini bertujuan dalam memberikan penafsiran-penafsiran agama secara komprehensif dalam tataran tertentu yang disesuaikan dengan kapasitas seseorang dalam pemahamannya tentang agama. Ini penting dikarenakan agama bersifat universal yang berarti diperlukan sebuah skema tertentu untuk mengkomunikasikannya dengan pemahaman umat dalam berbagai aspek yang diyakini bisa memberikan kontribusi solutif. Ruang lingkup filosofis menyediakan akses bagi pengembangan metode-metode baru tentang tafsiran Islam terutama yang terkait dengan wacana-wacana transendental melalui filsafat Iluminasi. e. Ruang Lingkup Historis. Tafakkur
historis
mencoba menghadirkan hikmah-hikmah dari
berbagi peristiwa dengan memperhatikan unsur, tempat, waktu, objek, latar, dan pelaku dari perisriwa tersebut. Dalam Al-Qur’an sendiri banyak konsepkonsep yang membentuk pemahaman yang komprehensif mengenai nilai-nilai islam, seperti kisah-kisah historis yang secara langsung membuka perenungan untuk memperoleh hikmah, Melalui kontemplasi terhadap kejadian-kejadian atau peristiwaperistiwa historis dan juga melalui kiasan-kiasan yang berisi hikmah tersembunyi, manusia di ajak merenungkan hakikat dan makna kehidupan banyak sekali ayat yang berisi ajakan semacam ini, tersirat maupun tersurat, baik menyangkut hikmah historis atau pun menyangkut simbol-simbol. 15 f. Ruang Lingkup Psikologis Tafakkur psikologis berusaha mempelajari jiwa seseorang melalui gejala perilaku yang dapat diamatinya. Menurut Zakiyah Darajat, perilaku seseorang yang tampak
lahiriah dipengaruhi oleh keyakinan yang
dianutnya. 16 Dengan adanya tafakkur bagi seorang muslim akan amat 15
Kantowijoyo, Paramadina Islam Interupsi Untuk Aksi. (Bandung: Mizan, 1991) Cet .I,
16
Zakiyah Darajat, Ilmu Jiwa Agama (Jakarta: Bulan Bintang, 1987) Cet.I, h. 76
h. 328
17
mempengaruhi kehidupannya, sehingga setiap apa yang dia lakukan adalah tak lepas dari apa yang dia yakini. Dengan bertafakur, kehidupan seorang muslim baik lahir maupun lahir tidak akan terlepas dari sikap beriman dan bertakwa kepada Allah SWT. Secara global ruang lingkup tafakkur terkait dengan obyek kajian ilmu itu sendiri. Ini berarti bisa kita bagi ke dalam dua kelompok besar yakni yang bersifat rohani (keagamaan Islam) dan keduniawian. Ruang lingkup kerohanian Islam bersifat absolut dari berbagai sisi dikarenakan intensitas tujuannya sedangkan ruang lingkup keduniawian bersifat terbatas dikarenakan aspek temporalitas. 3. Tujuan Tafakkur Secara global, tujuan tafakkur adalah upaya mendapatkan kebahagiaan (kimia kebahagiaan) dengan cara mendayagunakan potensi-potensi internal dan eksternal manusia. Potensi internal meliputi daya-daya batin yang terkait dengan alam ghaib (malakut) sementara potensi eksternal meliputi daya-daya lahir yang terkait dengan alam indera (syahadah).“Kimia kehabagiaan” ini hanya ada di perbendaharaan Allah SWT, melalui cahaya kenabian (nubuwwah). Ini tersirat pada firman-Nya surat Al-Qaf ayat ke-22:
Artinya:” Sesungguhnya kamu berada dalam keadaan lalai dari (hal) ini, Maka kami singkapkan daripadamu tutup (yang menutupi)matamu,maka penglihatanmu pada hari itu amat tajam”17. Penyingkapan tutup pada ayat tersebut adalah realisasi dari mujahadah yaitu membersihkan diri pekerti-pekerti yang tercela dan dari sifat-sifat kebinatangan, serta menjadikan sifat-sifat malaikat sebagai sifat utama.
17
h. 853
Tim Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang: Toha Putra, 1995),
18
Posisi tafakkur adalah penyempurnaan kebahagiaan manusia sebab esensi kebahagiaan tidak lain dari makrifat kepada Allah SWT. Makrifat kepada Allah SWT tidak akan sempurna tanpa tafakkur. Sementara kunci makrifat adalah pengenalan diri yang juga merupakan bagian dari tafakkur sebagaimana tercermin pada firman-Nya surat Al-Fushilat ayat ke-53:
Artinya:”Kami
akan
memperlihatkan
kepada
mereka
tanda-tanda
(kekuasaan) kami di segala wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al Quran itu adalah benar. Tiadakah cukup bahwa Sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?”18 Sabda Nabi Muhammad SAW yang terkenal : “Barang siapa telah mengenal dirinya, maka benar-benar dia telah mengenal Tuhannya”. Melalui tafakkur, kita harus mengenali diri kita, darimana dan untuk apa kita diciptakan. Dengan apa kita bahagia dan hal-hal apa saja yang akan membuat kita sengsara. Tafakkur adalah makanan bagi ruh yakni hakikat elemen diri sedangkan yang lain adalah asing dan sekedar pinjaman yang ada pada diri kita. Kita harus mengerti bahwa bagi masing-masing karakter ciptaan memiliki unsur kebahagiaan yang berbeda. Kebahagiaan tertinggi adalah kebahagian para malaikat yang fitrahnya adalah kebahagiaan dalam makrifat kepada Allah SWT. Kalau kita termasuk dari anasir-anasir malaikat, maka
18
Tim Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang: Toha Putra, 1995) Cet.1995, h. 781
19
kita harus bersungguh-sungguh dalam mengenali asal penciptaan kita, sehingga mampu mengenal jalan menuju hadlirat Ilahi, mencapai tingkat musyahadah (penyaksian) terhadap Zat yang Maha Agung dan Maha Indah, melepaskan diri dari belenggu nafsu dan angkara murka.19 Tafakkur membuka pengembangan pengetahuan inderawi (fisik), rasional dan keagamaan, secara fitrah, manusia diciptakan secara sederhana tidak mengetahui apapun, kemudian dia meningkat dengan kekuatan memahami (al-idrak). Pertama kali dia mengetahui hal-hal iderawi melalui bantuan panca indera, seperti pendengaran, penglihatan, peraba, perasa dan penciuman. Kemudian menapaki tahapan berikutnya, memahami alam yang berbeda dari wujud-wujud inderawi (fisik), dengan akalnya, seperti pengetahuan yang bersifat keharusan (dlaruriyat), pengetahuan tentang yang wajib, yang jaiz (mungkin) dan yang mustahil serta pengetahuan terhadap makna-makna universal selain yang dipahami indera dan terhadap sejumlah hakikat rasional yang merupakan persoalan metafisika. Puncaknya adalah makrifatullah. Lalu bagaimana hubungan tafakkur dengan makrifat sebagai tujuan utamanya? Untuk menjelaskan hal ini, kita perlu tahu konsep makrifat sufistik yang merupakan syarat mutlak dalam mencapai kebahagiaan tadi. Makrifat adalah kedekatan, yaitu gerakan hati dengan segala pengaruhnya yang dapat mempengaruhi seluruh anggota tubuh. Kalau ilmu bisa dicontohkan sebagai melihat api, maka makrifat adalah rasa panas yang ditimbulkannya. Makrifat dalam pengertian bahasa adalah ilmu yang tidak lagi diragukan. Sementara istilah ilmu dalam pengertian konversional adalah istilah untuk pengetahuan yang diawali dari ketidaktahuan. Makrifat dalam
19
Imam Al-Ghazali, Manajemen Hati,(Surabaya: Pustaka Progresif, 2002) Cet.II,h.44
20
pengertian kaum sufi adalah ilmu yang tidak menerima keraguan lagi jika yang diketahui itu zat Allah dan sifat-sifatNya.20 Jadi, makrifat bukanlah medan akal rasional, tapi merupakan peran fungsional qalbu (hati), serta dzauq. Yang dimaksud dengan kata dzauq adalah daya hati bagi jalan kepada pengetahuan metafisika dan meta-rasional. Dzauq semacam itu berada di atas ilmu, sebab dzauq bersumber kepada rasa bathin sedangkan ilmu bersumber dari analogi. Rasa batin ini (dzauq) tersebut tidak akan mantap kecuali bagi orang yang mengalaminya dan melatihnya secara aktual dalam olah spiritual. Prosesnya terjadi di qalbu (hati) yang laksana cermin memantulkan persoalan-persoalan meta-inderawi, serta hal-hal yang ada di Lauh Mahfud dengan syarat tabir telah tersingkap darinya. Produknya disebut ilham (ilmu ladumi) yang merupakan keutamaan yang diberikan Allah bagi kita serta merupakan cahaya yang bersinar pada qalbu kita dari sisi-Nya. Jadi, tafakkur berada pada tatanan ilmu dalam rangka pencapaian makrifat. Kesimpulannya tafakkur berperan sebagai proses data yang diperoleh melalui sumber-sumber ilmu pengetahuan. Sumber-sumber ini bisa berupa dengan belajar dan tanpa belajar, seperti intuisi (dzauq) dan perubahan sifat-sifat yang diindikasikan dengan maqamat-ahwal.
B. Komponen-Komponen Tafakkur Berbicara tentang komponen-komponen tafakkur tidak terlepas dari dasardasar tasawuf itu sendiri. Sebab komponen-komponen tafakkur yang dibahas disini adalah juga merupakan perluasan difinitif dari tema-tema sentral tasawuf, seperti hati (Al-qalb), nafsu (An-nafs) dan akal (Al-aql). Komponen-komponen ini mempengaruhi setiap kondisi spiritual kaum sufi dalam setiap tahapan perjalanan batinnya menuju Allah SWT.
20
Imam Al-Ghazali, Mihrab Kaum Arifin, (Surabaya: Pustaka Progresif, 2002) Cet.II.h.54
21
Terkait
dengan
tafakkur,
komponen-komponen
ini
juga
saling
mempengaruhi dengan akal sebagai basis utamanya. Harus diketahui, bahwa pada awalnya tasawuf adalah ilmu, lalu pada tahap pertengahannya menjadi awal perbuatan dan pada tahap akhirnya berubah menjadi penerimaan karunia dari Allah SWT fungsi ilmu dalam dunia tasawuf adalah untuk menyibak cita-cita, amal perbuatan untuk membantu “permohonan” untuk mengantarkan kepada tujuan akhir (ma’rifatullah). Sufi mempunyai tiga tingkatan tingkatan: “Muridun Thalibun” yakni seorang yang memiliki kehendak untuk mencapai sesuatu, ”Sairun”, yakni orang yang menempuh suatu perjalanan, dan “Al-Washil” yakni mereka yang sampai. 21 Dalam setiap tingkatan ini, ketiga komponen ini saling mepengaruhi dan pada setiap tingkatan ini pula tafakkur berperan dalam pengaturan dan pengembangan keilmuan sufi, yang nantinya akan menjadi referensi bagi perjalanan spiritualnya serta menjadi tolak ukur tingkatan batinnya (maqam). Pada tingkatan “Muridun Thalibun” tafakkur terkait dengan proses belajar, tingkatan “Sairun” tafakkur terkait afiliasi ilmu dengan dzauq sedangkan pada tahapan “Al-Washil” tafakkur terlibat dengan ilmu-ilmu kasyaf (penyingkan mistis) yang terkenal dengan sebutan ilmu ladunni. Ringkasnya tafakkur terkait erat dengan maqam spiritual kaum sufi. Pembahasan komponen ini dimaksudkan untuk mengetahui definisi, daya kerja, aplikasi sehingga dapat dipahami kondisi tafakkur sesuai keadaan spiritual komponen-komponen ini.Hal ini penting mengingat karakteristik ilmu dan adanya tingkatan jiwa. Karena pada dasarnya ilmu-ilmu itu dapat dimiliki oleh setiap jiwa manusia. Setiap jiwa dapat menerima semua ilmu. Ilmu itu luput dari suatu jiwa semata-mata karena sesuatu yang asing dan baru datang dari kepadanya. Sabda Rasulullah: “Manusia diciptakan lurus. Setan-setanlah membuat mereka bersikap sombong.” Dalam hadis yang lain Rasulullah bersabda, “Setiap anak dilahirkan
21
Imam Al-Ghazali, Mihrab Kaum Arifin, (Surabaya: Pustaka Progresif, 2002) Cet.II, h. 29
22
dalam keadaan suci.” Karena itu, jiwa mansuia yang berpikir berhak mendapat pancaran jiwa universal dan siap menerima gambaran akal dengan kekuatan kesucian dan sifat-sifatnya yang asli. 22 Dengan demikian, bagi jiwa-jiwa yang “sakit” jelas-jelas memerlukan pendidikan dan pengajaran. Agar jiwa dikembalikan kepada fitrahnya yang suci dan akan mencari ilmu asli naluri (ilmu ladunni) serta hilangnya penyakitpenyakit batin yang dipicu oleh kerakusan jiwa pada kebutuhan-kebutuhan jasad alamiah. Dengan pengertian lain, dibutuhkan upaya mengembalikan jiwa itu keadaan substansinya dan mengeluarkan apa-apa yang ada di dalam batinnya menuju kesempurnaan dan kebahagiaan. Dalam tradisi sufi, seseorang guru spiritual mutlak dibutuhkan dalam kasus ini. Jadi, hakikat dan substansi jiwa yang meliputi akal (Al-Aql), hati (Al-Qalb) dan nafsu (An-Nafs) perlu diketahui dan diobati dengan belajar demi kebahagiaan jiwa itu sendiri. Karena pemahaman yang baik adalah salah satu syarat dalam mengidentifikasi penyakit sebagai orientasi positif dalam tindak lanjut berikutnya. 1. Akal (Al-Aql) Imam al-Ghazali memberikan dua pengertian bagi akal. Pertama kata “Aql” diartikan sebagai pengetahuan tentang hakikat sesuatu, dimana ia sebagai sifat dari ilmu yang bertempat di hati. Makna kedua adalah bagian dari manusia yang memiliki kemampuan untuk menyerap ilmu pengetahuan, dan ini adalah hati (Al-qalb) itu sendiri. Setiap diri seseorang terdapat unsur pengetahuan yang menempai sebuah “wadah” dan ilmu itu merupakan sifat yang melekat pada wadah tersebut, walaupun ilmu pengetahuan itu tidak identik dengan “wadah” yang menampungnya. Istilah “Al-aql” bisa juga dimaksudkan
22
h. 182
sebagai
sifat
yang
melekat
dalam
diri
orang
yang
Imam Al-Ghazali, Menuju Labuhan Akhirat, (Surabaya: Pustaka Progresif, 2002) Cet.II,
23
berpengetahuan dan bisa juga dimaksudkan untuk menyebut wadah yang menjadi tempat pengetahuan itu.23 Syekh Syihabuddin ‘Umar As-Suhrawardi memberikan penjelasan akal sebagai berikut: “Akal adalah cahaya fitrah yang digunakan untuk membedakan kebaikan dan keburukan. Akal yang membedakan kebaikan dan keburukan: a) di dunia adalah akal yang dimiliki oleh orang-orang kafir dan orang-orang yang beriman; b) di akhirat adalah akal yang dimiliki oleh orangorang beriman. Ilmu dikhususkan untuk orang-orang beriman; ilmu dan akal diperlukan oleh semua orang.24 Imam Al-Ghazali dalam uraiannya lebih lanjut tentang akal mengemukakan konsep tentang macam-macam akal. Menurut beliau akal terbagi dua macam yakni akal Gharizi (akal naluri) dan akal Muktasab (akal yang dapat diusahakan untuk memperolehnya). Akal Gharizi adalah potensi yang mampu menerima ilmu. Akal Gharizi dalam diri seorang akan kecil ibarat cikal bakal pohon kurma yang terdapat di dalam biji kurma, sedangkan akal Muktasab adalah akal yang dapat menghasilkan berbagai ilmu dengan cara yang tidak diketahui, sebagaimana ilmu yang datang tanpa pemikiran bagi anak-anak kecil setelah mereka mencapai usia tamyiz, walaupun tanpa belajar. Adakalanya dari arah yang diketahui sumbernya, yaitu belajar.25 Di dalam penjelasan-penjelasan di atas, dituntut konsep tentang hubungan akal dalam pencapaian kebahagiaan (kimia kebahagiaan). Untuk menjelaskan hal ini kita berpedoman pada Al-Qur’an surat Al-Hajj ayat 46 :
23
Imam Al-Ghazali, Manajemen Hati, (Surabaya: Pustaka Progresif, 2002) Cet. II, h. 89 Syekh Syihabuddin ‘Umar As-Suhrawardi, ’Awarif Al-Ma’arif, (Bandung:Pustaka Hidayah, 1998) Cet.I, h.101 25 Imam Al-Ghazali,MizanAl-‘Amal,(Surabaya:Pustaka Progresif,2002)Cet.II,h.185 24
24
Artinya: “Maka apakah mereka tidak berjalan di muka bumi,lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? Karena Sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada”.26
Demikian juga dalam surat Al-Isra’ ayat 72 :
Artinya: “Dan barang siapa yang buta mata (hatinya) di dunia ini, niscaya di akhirat ia akan buta (pula) dan lebih tersesat dari jalan yang benar”.27 Pada surat Al- Hajj ayat ke-46, dituntut keharmonisan mutlak antara dua potensi jiwa manusia, yang berbagi kepada potensi lahir dan batin.AlQur’an menyebut dua “mata” yang berarti dua pola pengetahuan yang tergeneralisasi menuju kesatuan tujuan yang terpusat di hati. Kita tahu dalam literatur sufistik dua pola pengetahuan itu merupakan jalan-jalan mendapatkan kebenaran (makrifat) melalui ilham dan interpretasinya. Ilham adalah lambang supremasi “kesucian” hati yang diwujudkan dalam penerimaan ilmu-ilmu kasyaf (penyingkapan mistis). Inilah puncak pengetahuan karena pengetahuan ini bersifat universal dalam tatanan kosmik. Kaum sufi menyebutnya ilmu ladunni. Pada tahapan inilah akal Gharizi berperan dominan. Akal Gharizi
26
Tim Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang:Toha Putra,1995) Cet.1995,h.519 27 Tim Departemen Agama,Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang:Toha Putra,1995) Cet.1995,h.435
25
berada dalam “inti” jiwa yang memungkinkan dan membutuhkan “kesucian ” dalam hakikatnya. Di sinilah tersirat dua proses bagi dua “mata”. Proses pertama adalah penyucian diri bagi akal Gharizi sedangkan proses kedua adalah tindakan edukasi bagi akal Muktasab. Pada surat Al-Isra’ telah diperjelas tentang interaksi keduanya dan adanya “interpretasi” merupakan produk setelah interaksi keduanya berjalan harmonis. Dalam “interpretasi” inilah tafakur memainkan peranan dalam memproduksi produk-produk pengetahuan yang dihasilkan kedua akal tadi secara kontinu. Sasarannya adalah pengetahuan yang paling utama, tinggi, mulia dan agung yakni Allah sang pencipta, dengan kata lain ilmu tauhid, yang diisyaratkan dengan “kebutuhan di akhirat”. Inilah disiplin ilmu dlaruri yang wajib dipelajari oleh segenap orang yang berakal sebagaimana sabda Nabi yang terkenal: “ Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap muslim”. Secara samar, surat Al-Hajj ayat ke-46 sebenarnya berbicara tentang konsep “manusia berakal”. Manusia berakal berarti manusia berilmu. Ilmu merupakan persepsi jiwa berbicara yang tenang tentang fakta-fakta sesuatu dan gambarannya yang abstrak dan terlepas dari materi dengan bentuk-bentuk formalnya, kualitas, analogi, substansi dan esensinya. Sementara orang alim adalah orang yang mengetahui dan berpersepsi. Sedangkan “ma’lum” (pengetahuan) adalah esensi sesuatu yang terlukiskan oleh ilmu di dalam jiwa. Dengan demikian keutamaan ilmu tergantung kadar keutamaan ma’lum (pengetahuan), dan tingkat orang alim tergantung tingkat keilmuanya. 28 Kita juga mendapatkan gambaran bahwa akal adalah medan apresiasi ilmu sedangkan hikmah adalah medan apresiasi hati .Keduanya saling terkait dan saling mendukung, seperti dua sisi koin.Ketika Allah SWT memberikan hikmah tertinggi kepada hamba-hamba-Nya, mereka dapat melihat langsung
28
h. 140-141
Imam Al-Ghazali,Samudera Pemikiran Al-Ghazali,(Yogyakarta:Pustaka Sufi,2002) Cet.II,
26
apa yang ada di alam malaikat dengan pandangan hati mereka. Penglihatan hati secara langsung itu kemudian menjadi “bashirah” (hujjah yang nyata). Dari penjelasan ini dapat diketahui bahwa posisi akal adalah seperti seorang perdana menteri yang arif dan bijaksana dari sorang raja (hati). Analogi ini bisa kita kita kompromikan mengingat karakteristik dasar ilmu yang terbatas pada aplikasi-aplikasi logika elementer sebagai wujud interaksi dlarurinya, yang kemudian dijadikan parameter-parameter konklusif sesuai tingkatan usaha edukasinya. Berlainan dengan hikmah yang membuka aksesnya ke alam malakut, hikmah ternyata lebih proporsional dalam mendiktekan hakikat-hakikat gaib yang terkait dengan maqam sufistik yang disebut fana. Makna fana dijelaskan sebagai ketenggelaman hati kepada Zat AllahTa’ala, yang juga berarti tidak berfungsinya daya akal. Kita telah mendapatkan gambaran singkat tentang akal dan demi kepentingan skripsi ini, penulis merasa pembahasannya tidak diperpanjang lagi. Sebagai penutup, penulis mencantumkan “pasukan akal” sebagai implementasi tolak ukur kekuatan akal. Ini penting diktahui agar kita bisa mawas diri (muhasabah) sampai dimana taraf keimanan kita. “Pasukan akal” yang merupakan cerminan “cahaya” hati ini adalah sebagaimana yang terdapat pada kitab Ghawr al-Umur karya Imam Tirmidzi: “Ilmu, kesabaran, keyakinan, kebenaran, penglihatan, kecerdasan, pemahaman, kewibawaan, ketenangan, malu, petunjuk, hafalan, keberanian, ketajaman, ketaqwaan, pemikiran, ampunan, kebijakan, kasih sayang, kelembutan, kedermawaan, keagungan, pujian, kejujuran, keikhlasan, niat tekad, kesetiaan, keadilan, keselamatan, kelurusan, ihsan, kerinduan, kebijaksanaan, pengabdian, ridha, hati-hati, pengaturan, tawakkal, kemenangan, pertolongan, ketulusan, kelapangan, pengampunan, penutupan, takut, harap, diam, cinta, ilham, pengawasan, tobat, zuhud.29
29
Al-Hakim al-Tirmidzi, Ghawr al-Umur, (Jakarta:Serambi,2005)Cet.I,h.164-165
27
2. Nafsu (An-Nafs) Nafsu dikaitkan dengan definisi etimologi merupakan organ ruhani manusia yang berpengaruh terhadap daya-daya indera dalam kaitannya dengan proses alamiah biologis. Rupanya definisi ini terkait dengan aspek mutual mengingat peran nafsu dalam penunjang kehidupan dan dalam aspek non- mutual atau esensialnya nafsu memiliki definisi lain. Imam Al-Ghazali memberikan definisi nafsu sebagai daya yang mengandung kekuatan marah dan syahwat dalam diri manusia. Nafsu selalu dikaitkan dengan sumber sifatsifat buruk dan ini terkait dengan adab sufi “jihad an-nafs”. Definisi kedua adalah mengandung makna lathifah yakni hakikat manusia dan jati dirinya.30 Dua definisi ini sebenarnya bisa dikompromikan karena definisi pertama adalah definisi aktif yakni terlibat dalam proses-proses daya kerja unsur-unsur biologis sementara definisi kedua disebut definisi pasif karena aktivasi definisi ini adalah ke-pasif-an definisi pertama. Definisi pertama adalah “penjelas” atau faktor bagi kualitas final (definisi kedua). Hal ini terkait dengan “maqamat ahwal” kaum sufi yang dalam pencapaiannya dipengaruhi oleh daya-daya nafsu, suatu ketika, bila nafsu dalam kondisi tenang dan mampu menyingkirkan kegaluannya dalam menentang kehendak syahwatnya, maka nafsu demikian dinamakan dengan nafsu yang tenang (al-mutmainnah). Apabila nafsu belum dapat tenang, tetapi sudah berupaya menolak syahwat dan amarah disebut nafsu “al-lawwamah”. Bila tidak ada upaya penentangan dan bahkan tunduk kepada syahwat dan amarah dinamakan nafsu “al-ammarah”. Nafsu dengan daya syahwat dan amarahnya bisa menguasai daya akal yang
berarti
melemahkan
daya
kreatifitas
tafakkur.Ini
termasuk
kecenderungan jiwa manusia secara global sebagai hikmah penciptaan manusia dari tanah. Nafsu adalah sumber sifat-sifat tercela sedangkan
30
Imam Al-Ghazali, Raudhah, (Surabaya:Pustaka Progresif,2002)Cet.II,h.62
28
antagonisnya adalah ruh (ar-ruh). Kaitan antara nafsu dan ruh sangat erat dan merupakan pasangan kehidupan. Syekh Suhrawardi menjelaskan bahwa semua makhluk adalah hasil dari nafsu (an-nafs) dan ruh (ar-ruh). Nafsu adalah hasil dari ruh, sedangkan ruh adalah hasil dari perintah Tuhan. Sebab, dengan diri-Nya sendiri tanpa sebab lain apapun, Tuhan menciptakan ruh, dengan ruh dia menciptakan segenap makhluk lainnya.Nafsu sendiri menciptakan sepuluh sifat tercela yaitu : hasrat (hawa), nifaq, riya, kufur, takabur, kikir, tamak, tergesa-gesa, bosan, lalai. 31 Karakter nafsu yang merusak menghalangi esensi nafsu itu sendiri untuk makrifat kepada Tuhan, kaidah ini berlaku mengingat ilmu sebagai syarat makrifat sebenarnya adalah “makanan” bermanfaat yang menyebabkan nafsu, akal dan hati berkembang. Nafsu bersifat positif bagi proses tafakkur dengan syarat-syarat tertentu yang merupakan kualitas hati yang bersih (akhlaqul karimah). Teori ini relevan dengan daya fungsional hati yang berpengaruh pada nafsu. Bukankah jika hati sudah tenggelam dalam cinta kepada dunia maka ilmu meningkatkan gejolak nafsu? Maka tafakkur telah gagal yang berarti terbelenggu dalam perangkap hawa nafsu. Firman Tuhan pada surat Al-Qaf ayat ke-22 :
Artinya:’Sesungguhnya kamu berada dalam keadaan lalai dari (hal) ini, Maka kami singkapkan daripadamu tutup (yang menutupi) matamu, Maka penglihatanmu pada hari itu amat tajam”.32 Ayat ini ditakhsis oleh sabda Nabi yang terkenal: “Barang siapa telah mengenal dirinya, maka benar-benar dia telah mengenal Tuhannya. ”Kedua dalil ini menjelaskan tentang keterkaitan potensi-potensi jiwa dalam
31
Syekh Syihabuddin ‘Umar As-Suhrawardi, Awarif al-Ma’arif,(Bandung:Pustaka Hidayah, 1998) Cet.I,h.138 32 Tim Departemen Agama,Al-Qur’an dan Terjemahnya,(Semarang:Toha Putra,1995), h.853
29
pencapaian makrifat. “Tutup” pada ayat di atas adalah nafsu dan “pandangan tajam” adalah keterbebasan hati dari pengaruh nafsu. Ada sifat antagonis dalam
merealisasikan kualitas
esensial
hati
sebagai
syarat
mutlak
makrifatullah. Sementara kita tahu, salah satu kualitas hati adalah tafakkur sebagai wujud kolaborasi dengan akal. Sebagai contoh, ketakaburan sebagai wujud nafsu bergejolak dalam jiwa, dan kita menyebutnya faktor negatif. Lalu dengan kualitas ilmu pada akal (tafakkur) yang mengakibatkan pengetahuan terhadap sifat ini (tercela), sehingga didapat kualitas nafsu yang tidak mungkin dihinggapi ketakaburan tadi. Ini adalah isyarat lain dari sabda Nabi tadi dan dalam hal ini taffakur bersifat dominan positif. Jika sebaliknya, maka ketakaburan akan dominan dan tafakkur bersifat negatif. Inilah kualitas jiwa yang rendah (nauzubillah). Dibutuhkan upaya keras dalam mengendalikan nafsu (riyadhah). Dalam tasawuf, riyadhah dianggap sebagai bagian dari tharekat, sebagaimana firman Allah SWT dalam surat Al-Ankabut ayat ke-69:
Artinya: “Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) kami, benar- benar akan kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan kami. dan Sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat baik.”33 Maka seyogyanya bagi orang yang berakal, mengekang keinginan nafsunya dengan lapar karena kelaparan (puasa) adalah pengekangan terhadap musuh Tuhan (setan) dan kesuburan setan adalah kesenangan nafsu,makanan dan minuman. Nabi bersabda,“Sesungguhnya setan berjalan dalam diri anak Adam bersama peredaran darah, maka persempit jalannya dalam lapar”.34
33 34
h.29
Tim Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya,(Semarang:Toha Putra, 1995),h.638 Imam Al-Ghazali, Di balik Ketajaman Mata Hati, (Jakarta: Pustaka Amani, 1997), Cet.I,
30
Keterangan di atas mengisyaratkan tujuan mujahadah dan riyadhah adalah penyempurnaan dan penyucian hati. Antara hati dan potensipotensinya terdapat relasi tertentu dan antara hati dan tubuh bersifat saling mempengaruhinya. Jika hati telah dikuasai oleh daya syahwat dan amarah (nafsu) maka perbuatan tubuh menjadi tidak baik yang mengakibatkan akal sebagai sarana tafakkur tidak berfungsi, untuk mengembalikan fungsi hati dan akal diperlukan mujahadah dan riyadhah; seperti: bangun malam, puasa, diam (uzlah) dan awal-awal lainnya secara konsisten demi mengendalikan nafsu. Jadi, cara untuk menyucikan hati adalah dengan membiasakan diri melakukan perbuatan-perbuatan taat sehingga nafsu menjadi terbiasa dan selalu terdorong untuk melakukan perbuatan tersebut. Antara jiwa dan tubuh terdapat hubungan yang erat karena perbuatanperbuatan yang terus dipaksa untuk dilakukan oleh tubuh dapat menjadi sifat bagi nafsu. Jika karakter ini dapat dipertahankan maka daya akal dan hati akan berkembang dan membantu proses kesinambungannya, salah satunya melalui tafakkur.Kondisi ini bersifat terus menerus sepanjang hayat dan inilah jihad akbar itu. 3. Hati (Al-Qalb) Imam Al-Ghazali dalam bukunya “Kimia As-Sa’adah” memberikan dua definisi bagi hati. Satu bermakna fisik yaitu daging yang berbentuk sanubar, yang terdapat di bagian kiri dada, dimana di dalamnya terdapat rongga yang berisi darah hitam. Makna kedua adalah sesuatu yang amat halus (lathifah), tidak kasat mata dan tidak dapat diraba, dimana hati mempunyai potensi untuk mengenal dan mengetahui sesuatu.Ia juga sebagai pihak yang diajak bicara yang dikenakan sangsi, cercaan dan obyek yang akan diminta pertanggungjawaban. 35 Imam Al-Ghazali juga menyamakan definisi hati dengan ruh (Ar-ruh) dari sisi makna batin, sementara dari makna lahir, ruh
35
Imam Al-Ghazali,Kimia As-Sa’adah,(Surabaya:Pustaka Progresif,2002)Cet.II,h.84
31
merupakan jenis (benda) yang sangat halus yang bersemayam dalam rongga hati jasmani, yang berperan dalam memberikan cahaya kehidupan. Definisi di atas diperkuat oleh Syekh As-Suhrawardi dalam bukunya “Awarif Al-Ma’arif”. Beliau berkata: “Makna hati adalah suatu titik, yang karena lingkungan eksistensi bergerak dan yang dengannya ia menemukan kesempurnaan. Rahasia keazalian pun bergabung dengannya. Didalamnya, sumber penglihatan mencapai batas visi dan ia pun dimuliakan. Keindahan dan keagungan aspek sang Baqi, singgasana Tuhan ada dan tiada, ruh (Ar-ruh) dan nafsu (An-nafs), berzakh antara ada dan tiada, ruh (Ar-ruh) dan nafsu (Annafs), samudera negeri dan kerajaan, pengawas dan yang diawasi raja, pencinta dan yang dicintai Tuhan. Makna perkawinan ruh dan nafsu adalah hasil eksistensi hati.”36 Dua definisi tadi telah memberikan gambaran bagi kita bahwa hati sebagai esensi manusia merupakan wadah dalam makrifat kepada Tuhan. Jika kita kembali ke analogi maka hati adalah raja, akal dan nafsu sebagai pembantu-pembantunya. Kebahagiaan akan dicapai jika sang raja berkuasa dengan adil, dengan bantuan perdana menteri (akal) dan penguasaan terhadap para pemberontak (nafsu). Makrifat yang kita dambakan adalah pengembalian fungsi hati dalam mencapai hakikat fitrahnya sendiri yaitu mencintai dan mengenal Tuhannya sebagai wujud kebahagiaan sejati. Hati memiliki dua “pintu” dalam hubungannya dengan ilmu; pertama bagi impian-impian kedua, bagi alam jaga, yaitu pintu yang tampak keluar.37 Untuk memahami “pintu” pertama, kita dapat menganalisanya pada proses terjadinya mimpi. Dalam keadaan tidur, daya-daya indera tertutup dan dayadayya batin terbuka. Daya-daya batin ini mempunyai akses dalam penyingkapan alam malakut (kerajaan langit) dan lauh al-mahfudh. 36
Syekh Syihabuddin ‘Umar As-Suhrawardi,Awarif al-Ma’arif,(Bandung:Pustaka Hidayah, 1998) Cet.I, h.217-218 37 Imam Al-Ghazali,Ajaib Al-Qalb,(Surabaya:Pustaka Progresif,2002)Cet.II,h.61
32
Sedangkan “pintu” kedua terkait erat dengan daya fungsional indera, yang dalam hubungannya dengan “pintu” pertama merupakan hijab (penghalang). Atas dasar inilah, ilmu-ilmu digolongkan menjadi teoritis (pintu kedua) dan gaib ladunni (pintu pertama). Kaum sufi mengatakan pengetahuan yang didapat di dalam kondisi tidur dan jaga, lebih memungkinkan makrifah dari posisi tidur dan jaga dua aktivitas yang satu berfungsi untuk menyingkapan alam gaib yang secara simultan mendapatkan akses “aplikasi definitif” bagi konsep-konsep gaib kepada pemahaman-pemahaman inderawi, yang terjadi pada kondisi jaga. Janganlah sekali-kali menyangka bahwa kekuatan melihat alam malakut hanya terbuka pada saat tidur dan mati saja. Tetapi kondisi ini dapat juga terbuka dalam keadaan jaga bagi mereka yang benar-benar berjuang, melatih diri dan menghindarkan diri dari cengkraman hawa nafsu, angkara murka, pekerti buruk dan perbuatan-perbuatan hina.38 Inilah dasar tarikat kaum sufi yang diwujudkan dalam metode-metode zikir tertentu dengan bimbingan seorang guru spiritual. Intinya adalah penyucian hati demi membuka potensi penyingkapan bagi alam malakut. Inilah rahasia ke-ummian Rasulullah sebagaimana firman-Nya pada surat Al-Muzammil ayat ke-8:
Artinya: “Sebutlah nama Tuhanmu, dan beribadatlah kepada-Nya dengan penuh ketekunan.”39 Ke-ummi-an adalah refleksi dari ayat ini, yang bisa ditafsirkan sebagai pemusatan hubungan dan kaitan dengan segala sesuatu, pembersihan hati dari kecenderungan duniawi, pasrah secara total kepada Tuhan.I niah metode sufistik dan selainnya adalah metode pembelajaran.
38 39
h. 988
Imam Al-Ghazali, Ajaib Al-Qalb, (Surabaya: Pustaka Progresif, 2002) Cet. II, h. 63 Tim Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang: Toha Putra, 1995),
33
Hati dalam pencapaian kesejatiannya dipengaruhi oleh faktor-faktor tertentu. Faktor-faktor ini mempunyai daya kreasi yang sifatnya sebagai motivator,motorik serta spionase. Hati ini juga dipengaruhi oleh daya-daya malaikat dan syetan. Keduanya terlibat dalam perebutan kekuasaan bagi hati. Dalam literatur sufi, daya-daya malaikat memberikan kekuatan positif melalui wahyu ataupun ilham (ilmu) sedangkan kekuatan negatif setan adalah waswas dan pemberontak nafsu. Firman Tuhan dalam surat Ar-Rum ayat ke-30:
Artinya: “Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang Telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”40 Fitrah adalah adanya keyakinan terhadap ketuhanan yang bertempat di hati, yang bertolak ukur kepada kesucian hati. Kesucian hati diaplikasikan dalam wujud akhlak yang baik (akhlaqul karimah). Akhlak yang baik muncul sebagai kondisi atau aspek batin dan hati yang telah mencapai fase “keseimbangan.” Imam Al-Ghazali memberikan formulasi “keseimbangan” sebagai bagian dari pelatihan jiwa (tazkiyatun nafs). Sebagaimana kecantikan paras lahiriah sama sekali tidak sempurna jika hanya mata yang indah,namun hidung,mulut,dan pipi buruk maka demikian pula ada empat hal dalam hati yang secara keseluruhan harus baik agar kebaikan akhlak menjadi sempurna. Sebab jika keempat hal itu ada, keseimbangan, proporsional, tercapailah kebaikan akhlak. Keempat hal itu adalah daya rasional, daya amarah, daya
40
Tim Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya,(Semarang:Toha Putra,1995),h.645
34
syahwat dan daya pengendali keseimbangan bagi ketiga daya sebelumnya.41 Keempat daya ini akan diukur dengan standar Al-Quran dan Al-hadis, yang berarti menempatkannya pada pengawasan akal. Otoritas akal bagi daya rasional, daya amarah, daya syahwat adalah sebagai acuan reflektif sedangkan daya pengendalian bertindak dalam hal-hal aktivitas. Prosesnya menggiring hati pada tataran hikmah (jalan tengah). Hikmah ini meliputi kepandaian, keberanian, kesederhanaan dan keseimbangan. Potensi-potensi hikmah inilah yang memunculkan ketrampilan dan kecerdasan spiritual, seperti ketajaman pikiran, keberanIan pendirian dan sebagainya. Pada taraf inilah tafakkur berperan aktif dalam menjaga dan memelihara keseimbangan yang dibina di dalam hati. Tafakkur menjadi salah satu tentara bagi hati. Proses tafakkur dalam tahapan ini bisa dijelaskan melalui sinergisasi antara daya akal dan hati. Kondisi hati pada tahapan inilah yang siap menangkap hakikat segala sesuatu, laksana cermin yang merefleksikan setiap bayangan. Ketika hakikat segala sesuatu telah ditangkap gambarannya dalam hati maka akal akan menerjemahkannya dalam bahasa rasional. Terjemahan ini disebut ilmu dan akan mengalami reproduksi secara dinamis seiring dengan kapasitas akal itu sendiri. Inilah tafakkur.
C. Penyimpangan Dalam Bertafakkur Jika kita kembalikan kepada prinsip tafakkur secara esensial,yang mana secara langsung dan tidak langsung sangat tergantung terhadap potensialisitas hati dan perangkat-perangkatnya, maka aplikasi tafakkur mutlak menuntut sinergisasi harmonis komponen-komponen pendukungnya. Kualitas tafakkur terukur dengan daya kerja akal dan sintesa ilmu yang dengan standarisasi Al-Qur'an dan AlHadis. Secara alamiah ,tafakkur rentan dengan penyimpangan-penyimpangan struktural. Hal ini lumrah jika dikaitkan dengan aspek relativitas hati yang terbuka
41
Imam Al-Ghazali,Metode Menaklukkan Jiwa,(Bandung:Mizan,2002)Cet.II,h.87
35
terhadap dua pengaruh fitrah penciptaanya yaitu Tashdiq (pembenaran) dan Juhud(pengingkaran). Tashdiq adalah salah satu tentara akal dan merujuk pada fitrah “makhmurah” (terfermentasi), sedangkan Juhud termasuk tentara Jahal (nafsu)dan berkaitan dengan fitrah “mahjubah” (terhijab).42 Tafakkur adalah bagian dari Tashdiq karena dalam prosesnya tafakkur berkolaborasi dengan “cahaya keimanan”. Cahaya keimanan adalah implementasi tatanan ruh suci yang siap menerima hakikat-hakikat imani dan perkara-perkara yang haq (kebenaran), dengan kata lain antagonis dengan kebodohan,kebatilan,dan aspek negatif lainnya yang membawa hati kepada hijab yang menjauhkannya dari kebahagiaan makrifat. Kondisi Tashdiq adalah kondisi ideal bagi eksplorasi tafakkur dan senantiasa tuntutan kondisi ini membuat konflik tanpa batas dengan Juhud. Konflik ini dalam batas-batas tertentu mengakibatkan penyimpangan dalam bertafakkur.
Juhud
diwujudkan
dalam
keterhijaban
hati
dalam
esensi
kebenarannya dengan adanya hijab-hijab penghalang fitrah.Ada tiga macam hijab yang akan menghalangi munculnya fitrah yaitu:hijab alam (jiwa rendah), hijab konvensi (sosial) dan hijab salah paham.43 Hijab-hijab inilah yang membuka akses sifat-sifat tercela yang mengkontaminasi kesucian hati dan secara laten berpeluang mengakibatkan penyimpangan bertafakkur. Bentuk-bentuk penyimpangan dalam bertafakkur bisa dipicu oleh taklid dan penolakan-penolakan integratif terhadap kaidah-kaidah tertentu. Dalam prosesnya, penyimpangan dalam tafakkur membuat hijab bagi hati yang mengakibatkan daya akal mengalami malfungsi dalam kesejatiannya sebagai posos pengendali bagi hati. Keterperdayaan dan kepercayaan secara mutlak terhadap akal akan menimbulkan kekeliruan-kekeliruan besar dalam bertafakkur bagi pelakunya. Padahal pendayagunaan akal ini harus selalu terkait dengan hati 42 43
h. 234
Imam Khomeini, Insan Ilahiah, (Jakarta: Pustaka Zahra, 2004) Cet. I, h.131 Syah Waliyyullah Ad-Dihlawi, Argumen Puncak Allah, (Jakarta: Serambi, 2005) Cet.I,
36
sebagai subyek terpenting bagi referensi-referensi tafakkur sebagaimana yang diketahui tentang hakikat hati dan fungsinya. Tetapi dalam kasus ini yang terjadi justeru sebaliknya, akal difungsikan secara otonom dan dominan daripada hati. Sekalipun terkadang tafakkur ini bersifat positif secara praktis tapi jika dikaitkan dengan dengan konsep makrifatullah tetap merupakan hijab terbesar. Firman Allah Taala pada surat Al-Jin ayat ke26-27:
Artinya:“Dia mengetahui yang gaib,tetapi Dia tidak memperlihatkan kepada siapapun
tentang
yang
gaib
itu.Kecuali
kepada
Rasul
yang
diridhaiNya,maka sesungguhnya Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat) di depan dan di belakangnya.”44 Ayat ini menjelaskan tentang pengetahuan gaib (ladunni) yang hanya diberikan kepada orang yang diridhaiNya dengan dikuatkan oleh daya-daya malaikat . Ayat ini adalah dalil tak terbantahkan tentang bagaimana pengetahuan gaib yang termasuk rahasia-rahasia ke-Tuhan-an hanya bisa diakses oleh kaum Rasul yang diketahui terkenal dengan kesucian hatinya dan bukan dengan penalaran fungsi akal. Konsep transendensi pengetahuan gaib inilah yang diingkari oleh akal sebagai wujud interaksinya dengan pengetahuan - pengetahuan material-elementer. Tersirat dalam ayat tadi tiga tingkatan hijab yang mengindikasikan konsekuensi daya akal yang menyimpang dari esensialisitasnya. Tingkatan pertama adalah turunan pertama dari gerbang makrifat yang disebutkan dalam isyarat ayat “Dia mengetahui yang gaib”. Dalam literatur sufi ,makrifat tertinggi adalah kebodohan itu sendiri sebab tidak ada yang mengenal hakikat Allah Taala kecuali diriNya sendiri atau jika dianalogikan pengetahuan yang diberikan Tuhan kepada manusia hanya seperti setetes air dari sanudera luas 44
Tim Departemen Agama, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Semarang:Toha Putra,1995), h.986
37
sebagaimana juga analogi pada surat Al-Kahfi. Pengetahuan gaib (makrifat) adalah pijakan terakhir daya akal dalam kapasitasnya sebagai sarana pengetahuan teoritis untuk berafiliasi dengan cahaya Ilahi sebagai modus dan supremasi independen bagi pengungkapan-pengungkapan makrifat. Ketika daya akal masih begitu kuat dalam tafakkur ilmiah yang meliputi kajian-kajian teoritis dalam tatanan muamalah , aqidah , fiqih dan lain-lain telah menjadi hijab bagi toleransi makrifatnya. Kasus-kasus ini banyak menimpa kaum salikun , abid, serta kaum sufi yang masih dalam taraf pendakian spritual . Jadi, pada tingkatan pertama relasi antara akal dan hati positif karena akal telah berfungsi dalam suplementasi ilmu bagi hati (tafakkur) sekalipun jika diukur dengan hakikat makrifat sebagai tujuan final tetap merupakan sebuah penyimpangan dalam wujud hijab. Tingkatan kedua adalah turunan dari tingkatan pertama yang diisyaratkan dengan perkataan “..kecuali kepada Rasul yang diridhaiNya..” adalah hegemoni ke-Tuhan-an yang terkait dengan aspek hijab internal manusia. Daya akal dalam keadaan ini mengalami gangguan dari daya-daya luar seperti: daya emosi, syahwat, setan yang mengakibatkan tafakkur mengalami penyimpangan. Kasus konkritnya adalah fanatisme madzhab dan taklid buta, ikhtilaf negatif yang menimpa ahli-ahli kalam, fiqh filsafat dan juga menimpa kaum sufi yang masih dalam tahapan mujahadah. Dalam ushul fiqh misalnya ada persoalan persoalan yang memungkinkan timbulnya penafsiran -penafsiran yang berbeda atau yang berasal dari qiyas, sehingga orang menafsirkan tergiring kepada suatu keputusan hukum yang berbeda45. Skema tafakkur seperti ini rentan dipengaruhi daya-daya negatif sehingga tafakkur kehilangan akses dalam penyempurnaan kesucian hati. Penyimpangan ini didasarkan atas adanya intervensi faktor-faktor luar bagi akal sebagai akibat adanya interaksi dengan hati. Penyimpangan ini terkait
45
Imam As-Syafi’i, Ar-Risalah, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2004), Cet. V, h. 339
38
dengan dengan subyektifitas hati sebagai faktor induktif bagi konsepsi-konsepsi ilmu pengetahuan. Seperti diketahui sebelumnya, upaya-upaya penyucian hati telah menarik akal sebagai sebagai mediator penting dalam pencapaian makrifat sebagai tujuan penyucian hati (mujahadah). Dalam sufisme, kondisi-kondisi ini (maqmat ahwal) menciptakan kontraksi-kontraksi yang ditimbulkan oleh dayadaya malaikat, setan, nafsu, emosi yang membawa perubahan-perubahan bagi hati. Daya akal mengalami pengaturan-pengaturan generatif dan bahkan bisa kehilangan fungsi
sebagai akibat faktor luar tadi. Dalam hal ini,akal akan
mengalami dua kondisi yakni kondisi yang menerima “cahaya” hati sebagai implementasi kesucian serta kondisi “kegelapan” sebagai atribut karena kontaminasi dengan faktor-faktor negatif. Kondisi pertama adalah medan tafakkur sedangkan kondisi kedua mengalami penyimpangan-penyimpangan. Contoh aplikatifnya, seperti daya setan akan mempengaruhi akal sehingga terjadi keraguan , was-was, sikap berlebih-lebihan, tergesa-gesa dalam mengambil keputusan serta adanya kerancuan dalam proses-proses tafakkur. Daya nafsu akan mematikan kreatifitas tafakkur sedangkan daya emosi akan mendorong pemikiran emosional yang melahirkan pemikiran-pemikiran fanatis dan sebagainya. Penyimpangan dalam bentuk ini juga bisa dijelaskan dengan teori konvergensi . Teori konvergensi berpendapat bahwa di dalam perkembangan individu itu dasar pembawaan (bakat) maupun lingkungan memainkan peranan penting. Bakat sebagai kemungkinan telah ada pada masing-masing individu, akan tetapi bakat itu perlu menemukan lingkungan yang sesuai supaya dapat berkembang. Jadi, dalam prosesnya daya akal mengalami benturan -benturan internal dan eksternal yang mengakibatkan adanya pengaruh -pengaruh polutif bagi optimalisasi fungsional akal. Tingkatan ketiga adalah turunan tingkatan kedua yang diisyaratkan dengan perkataan Ilahi:”Dia mengadakan penjaga-penjaga (malaikat)di depan dan di belakangnya”. Ayat ini mengisyaratkan aspek fitrah manusia dengan daya
39
kemanusiannya sebagai subyek yang yang membutuhkan daya-daya malakuti bagi pemenuhan kebutuhannya. Tafakkur telah difungsikan bagi pengembangan-pengembangan ilmu-ilmu teoritis seperti ilmu-ilmu sains dan teknologi (non- agama). Sehingga daya hati terkadang tidak berfungsi dan terjadilah proses rasionalisasi murni. Padahal akal sendiri tidak memiliki apa-apa. Pengetahuan yang ada di dalamnya berkat kemampuan daya tampung yang dimilikinya. Jika kemampuan semacam ini ada,tentu apa yang telah dijelaskan Tuhan tentang diriNya sendiri lebih utama untuk diterima daripada logika pikiran.46 Penyimpangan sifatnya menyeluruh bagi setiap kalangan awam dan non- Islam. Diantara bentuk konkritnya adalah sikap keterperdayaan terhadap akal dan percaya secara mutlak kepadanya(logika murni). Padahal Tuhan telah membuat batas akal dalam jangkauan pemahamannya, sebagaimana Dia membuat batas bagi penglihatan dan pendengaran . Ketergantungan dan kepercayaan secara mutlak terhadap akal ini akan menimbulkan kekeliruan-kekeliruan besar dalam berpikir. Maka muncullah darinya sekolah-sekolah pemikiran materialis yang ingkar. Paradigma lain dari penyimpangan ini bisa dijelaskan dengan logika analogi. Dalam logika analogi,”wujud”merupakan” sebab absolut” dari suatu fenomena agar memenuhi prinsip ” pasti ada” (mewujud) maka dalam kegiatannya , tipologi dari gambaran kesimpulan ini adalah deduksi “akibat dari sebab”. Tetapi,jika sesuatu yang dari segi “wujud” bukan ” sebab absolut” maka suatu akibat tidak dapat disimpulkan (berasal) dari”sebab” karena sekaitan dengan eksistensi “sebab absolut”, suatu akibat hanya menemukan kebutuhan ihwal eksistensi dari dirinya (sebab absolut).
46
Syekh Abdul Aziz bin Nashir Al-Jalil, Tidakkah Kalian Berpikir, (Jakarta: Cakrawala, 2008) Cet.I. h. 467
40
Dapat dikatakan bahwa suatu akibat mempunyai kebutuhan deduktif (wujud bil-qiyas) terhadap “sebab absolut”.47. Jika dalam hal ini ,”wujud” adalah akal sebagai “sebab absolut” bagi fenomena ilmu(being science) maka dalam aplikasinya terjadi proses dimana eksistensi sintesa ilmu
mengakibatkan
ketergantungan mutlak tanpa adanya penyaring (filter) sesuai tatanan kondisional hati. Akibatnya daya akal menjadi hijab murni bagi hati. Secara global penyimpangan ini mewabah di kalangan ademisi.
47
M.T.M Yazdi, Freedom, (Jakarta:Al-Huda,2006),Cet.I h.115
BAB III IMAM AL- GHAZALI
A. Riwayat Hidup Al-Ghazali nama lengkapnya adalah Abu Muhammad Ibn Muhammad Ibn Ahmad, yang karena kedudukan tingginya dalam Islam beliau digelari “Hujjatul Islam”. Beliau adalah tokoh pemikir Islam dan juga tokoh pemikir kemanusiaan. Ayahnya bekerja sebagai pemintal wol dan karena alasan ini beliau terkenal dengan sebutan Al-Ghazali yang berarti pemintal wol. Al-Ghazali lahir di Thus,kawasan Khurasan,tahun 450 Hijriah. Ayahnya dengan kehidupannya yang sederhana adalah seorang yang saleh dan menggemari kehidupan sufi.Menjelang ajalnya ,ayahnya menitipkan Imam Al-Ghazali kecil dan saudaranya Ahmad kepada seorang sufi . Karena kefakirannya sang sufi akhirnya memutuskan untuk menyerahkan kedua anak tersebut ke sebuah madrasah di Thus untuk memperoleh pendidikan dan biaya hidup . Disinilah awal mula perkembangan intelektual dan spritual Al-Ghazali.1 Pada masa kecilnya, beliau belajar pada seorang fakih yang bernama Ahmad Al-Radzkani di kota Thus. Lalu beliau pergi ke Jurjan dan belajar pada Imam Abu Nashr Al -Ismaili. Setelah itu beliau kembali ke Thus dan terus pergi ke Nishapur.Di sana beliau belajar pada seorang teolog aliran Asy'ariyyah yang terkenal , Abu Al-Maali Al-Juwaini,yang bergelar Imam Al-Haramain. Imam AlHaramain adalah pemimpin perguruan tinggi Nizhamiah. 2 Dibawah bimbingan Imam Al-Haramain ,beliau mulai mendalami disiplin ilmu seperti:fiqih, ushul fiqih, teologi, logika, filsafat, bahasa dan lain sebagainya. Kecerdasannya yang luar biasa telah membuat kekaguman di hati gurunya sehingga gurunya menggelarinya “Bahr Mughrig” yang berarti samudera yang menenggelamkan. Saat itu beliau telah merangkap menjadi asisten gurunya dan telah sanggup memecahkan masalah -masalah akademis dalam berbagai kajian ilmu. Beliau juga 1 2
H.M Zurkani Yahya,Teologi Al-Ghazali,(Yogyakarta:Pustaka Pelajar,1996)Cet.I,h.63-64 Dr.Abu al-Wafa al-Ghanimi,Sufi Dari Zaman Ke Zaman,(Bandung:Pustaka,1997)Cet.II,h.148
41
42
telah menulis karya pertamanya yang berjudul “Al-Mankhul Fi Al-Ushul”serta memperdalam sufisme kepada Abu Ali Al-Fadhl Ibn Muhammad Ibn Ali AlFarmadi.3 Ketika Imam Al-Haramain wafat, beliau keluar menuju lembaga Nidzamul Muluk, tempat para pakar berkumpul.Maka sejak saat itu para pemuka pakar ilmiah Islam mengakuinya dalam setiap forum, karena pandangan dan ucapannya yang mendalam. Mereka pun mengenal sifat kemuliaan dan akhlaknya,ketika bergaul dengan sesama sahabat. Maka sejak saat itu, beliau diserahi mengajar di Madrasah Nidzam, di Baghdad sejak tahun 484 H, hingga menjadikannya sangat populer.4 Tentu saja setelah menjadi guru besar di perguruan besar ini beliau masih terus menimba dan memperdalam banyak cabang ilmu pengetahuan. Beliau memberi kuliah teologi dan fiqih. Kuliah-kuliahnya dihadiri oleh ulama-ulama terkenal dan termasuk diantaranya para pemuka madzhab Hambali . Kejadian ini sungguh langka mengingat beliau bermadzhab Syafii dan di saat itu konflik antar madzhab masih kental. Disela-sela kegiatannya dalam mengajar , beliau juga memperdalam filsafat dan dalam tempo dua tahun secara otodidak beliau telah menguasai filsafat Yunani, terutama yang sudah diolah oleh filsafat Islam seperti: Al-Farabi, Ibnu Sina,Ibnu Maskawaih dan mereka yang tergabung dalam “Ikhwan Al-Shafa”. Penguasaan beliau
terhadap
filsafat dibuktikan dengan karyanya
yang
berjudul”Maqashid Al-Falasifah” yang menjelaskan tentang tiga pokok bahasan utama filsafat Yunani (logika, metafisika dan fisika).5 Barangkali karena penguasaan beliau yang mendalam terhadap filsafat inilah yang membuat beliau bisa mengkompromikan metode-metode dan konsep-konsep filsafat non-Islam untuk diselaraskan dengan nilai-nilai Islam yang terkait. Sebaliknya pula ajaran filsafat yang bertentangan dengan ajaran Islam beliau menentangnya dengan keras bahkan memberikan fatwa kafir kepada filosof yang pendapatnya dianggap membahayakan akidah kaum muslimin. Ini terlihat dalam kitabnya “Tahafut Al3
H.M Zurkani Yahya,Teologi Al-Ghazali,(Yogyakarta:Pustaka Pelajar,1996)Cet.I,h.71 Imam Al-Ghazali,Jawahirul Al-Qur’an,(Surabaya:Risalah Gusti,2001)Cet.III,h.xii 5 H.M Zurkani Yahya,Teologi Al-Ghazali,(Yogyakarta:Pustaka Pelajar,1996)Cet.I,h.72
4
43
Falasifah” yang isinya menjelaskan kerancuan ajaran filsafat dalam topik tertentu yang sekaligus memberikan argumen penyanggah yang membuat keutuhan akidah Islam tetap terjaga. Buku ini dengan brilian mematahkan setiap argumen-argumen filsafat yang dianggap berbahaya bagi akidah Islam dan sekaligus membuktikan bahwa dominansi akal sebagai basis pengetahuan puncak yang didewa-dewakan kaum filsuf telah gagal menjelaskan ranah-ranah pengetahuan ghaib. Sebagai ulama dengan pengetahuan yang luas ternyata beliau sama sekali tidak mendapatkan ketenangan jiwa bahkan membuat beliau tertimpa krisis psikis yang kronis. Akibat keadaan ini, beliau lalu meninggalkan kedudukannya sebagai guru agung dan beliau memutuskan untuk mengembara dan menjalani kehidupan sufistik. Dalam aliran sufi inilah beliau mendapatkan ketenangan batin dan berhasil pula menghilangkan segala keraguan yang pada akhirnya mengantarkan beliau pada pengetahuan hakiki(makrifatullah). Beliau menjalani praktek -praktek sufistik selama kurang lebih sepuluh tahun sambil menyempatkan diri juga menulis buku. Saat itulah kitab magnum opusnya “Ihya Ulumuddin” berhasil beliau tulis. Tahun 499 Hijriah beliau kembali ke Baghdad untuk mengajar kembali di perguruan Nizhamiah. Tetapi beliau tidak lama mengajar dan pada akhirnya beliau kembali ke Thus. Di Thus beliau mendirikan madrasah yang bercorak tasawuf dan sebuah pondok tempat praktikum para sufi . Akhirnya pada 14 Jumadil Akhir tahun 505 Hijriah Imam Al-Ghazali wafat.6 Semoga Tuhan meridhai amal-amal beliau. Amin.
B. IMAM AL-GHAZALI SANG HUJJATUL ISLAM Abu Hamid Muhammad Al-Ghazali termasuk diantara mercusuar ulama Islam secara umum dan tokoh spritualitas secara khusus. Beliau termasuk salah seorang terpenting dalam sejarah pemikiran Islam dalam meletakkan gagasan gagasan baru dalam eksplorasi agama. Pikiran-pikirannya membawa reformasi bagi ajaran Islam dan sekaligus membawa paradigma ekslusif bagi pemahaman 6
K.H M.Sholikhin:Filsafat dan Metafisika Dalam Islam,(Bandung:Narasi,1998)Cet.III,h.184
44
ajaran Islam. Di tangannya ,Islam kembali hadir dengan kapasitas ekstra yang diwujudkan dalam tafsiran-tafsiran brilian dengan daya analisis yang tajam ,padat dan penuh visi. Belum ada ulama yang memiliki muatan intelektual yang begitu mumpuni dan bahkan sampai sekarang popularitas beliau masih menggema ,sampai-sampai tercipta adagium yang sekiranya ada Nabi setelah Nabi Muhammad SAW beliaulah orangnya. Sebelumnya,kehidupan pemikiran pada zamannya sangat memprihatinkan karena kaum Muslim terbagi-bagi menjadi beberapa kelompok: kelompok defensif yang terdiri atas ulama agama yang telah merasa puas dengan Al-Qur'an dan Al-Hadis (fanatik), kelompok moderat yang berusaha mengikuti berbagai madzhab filsafat Yunani dan logika Aristoteles , kelompok Syiah Batiniah yang berpendapat bahwa nas-nas agama mengandung tafsiran batin yang tidak diketahui kecuali oleh orang-orang yang hatinya jernih, kelompok sufi yang percaya bahwa makrifat kepada Tuhan bisa dicapai oleh pencari hakikat melalui cahaya Ilahi bukan dengan daya akal, dan kelompok filosof yang mengikuti filsafat plato modern.7 Di situasi yang sarat dengan persaingan dan kemajuan berbagai macam ilmu pengetahuan inilah beliau tampil sebagai “penyaring”untuk menjernihkan kembali ajaran Islam yang pada masa ini terkesan formal. Belum lagi krisis moral telah mewabah dan agama dengan cara pandang berbagai golongan tidak berhasil memberi perubahan dan solusi dan cenderung hanya menciptakan basis-basis teologi diskursif dan mengabaikan sisi spritualnya yang merupakan esensi ajaran Islam. Salah satu kontribusi teologis yang paling penting dari ImamAl-Ghazali adalah keunggulan yang beliau sematkan pada kesiapan manusia yang dipatrikan Tuhan(isti'dad) menuju makrifatullah. Hal tersebut merupakan kualitas inheren pada hati manusia yang membentuk unsur-unsur dalam kesiapan ini. Dalam pandangan Imam Al-Ghazali ,hati merupakan pusat modus pengetahuan manusia yang paling signifikan.8 Orientasi ajaran Imam Al-Ghazali yang menitik beratkan 7Husain Ahmad Amin,Seratus Tokoh Dalam Sejarah Islam,(Bandung:PT Remaja Rosdakarya:2001)Cet.VII,h177 8 John Renard,Mencari Tuhan:Menyelam Ke Dalam Samudera Makrifat,(Bandung:Mizan Media Utama:2006)Cet.I,h.64
45
pada kesucian hati telah berhasil memberikan formula -formula yang berhasil memadukan aspek akidah sebagai poros pencapaian esensi kebahagiaan dengan aspek psikologis manusia dengan penjelasan yang memakai tafsiran-tafsiran esoteris. Dalam karya-karyanya seperti Ihya Ulumuddin ,Minhajul Abidin ,Kimia As-Saadah banyak membahas tentang karakteristik hati dan jalan-jalan penyuciannya agar sampai kepada makrifatullah. Jadi, jelaslah bahwa Imam AlGhazali telah memformulasikan doktrin-doktrin sufisme yang cenderung kepada aspek esoteris menjadi sebuah jalan dan mediator tunggal bagi kebahagiaan hakiki manusia. Dalam ajaran tasawufnya , Imam Al-Ghazali menganut doktrin tasawuf sunni yang berdasarkan doktrin Ahlus Sunnah Wal- Jamaah. Dari paham tasawufnya itu, beliau menjauhkan semua kecenderungan gnostis yang mempengaruhi para filsuf Islam,sekte Ismailiah dan aliran Syiah,Ikhwanus Shafa dan lain-lainnya. Juga beliau menjauhkan tasawufnya dari teori-teori ketuhanan menurut Aristoteles,antara lain dari teori emanasi dan penyatuan.9 Dalam ajaran sufismenya banyak dipengaruhi oleh guru -guru sufi sunni seperi: Al-Harits AlMuhasibi, Imam Junaid, Abu Thalib Al-Makki dan lain-lain yang mana sangat memprioritaskan Al-Qur'an dan Al -Hadis sebagai landasan teoritisnya ,yang kemudian dipadukan dengan pengalaman -pengalaman spritual dan penyingkapan mistis. Intinya adalah penerimaan cahaya Ilahi untuk menyingkapkan segenap hakikat pengetahuan. Pengalaman -pengalaman spritual dipetakan dengan konsep Maqamat Ahwal sementara dalam setiap tahapannya mutlak memerlukan seorang mursyid. Imam Al-Ghazali menolak teori emanasi dan penyatuan dengan Tuhan karena keduanya hanyalah sangkaan (zhan) sebagai bagian dari “hal” yang merupakan lintasan-lintasan hati ketika terkoneksi dengan alam malakut dan ini sesuai dengan aspek rububiah dan ilahiah. Ajaran Imam Al-Ghazali juga telah membuktikan bahwa aspek akidah dalam agama tidak mungkin dibuktikan secara inderawi (rasional). Dalam kitabnya Tahafut Al- Falasifah beliau menyerang filsafat dan menyampaikan 9
Dr.Abu Al-Wafa Al-GanimiAl-Taftazani,Sufi Dari Zaman Ke Zaman, (Bandung: Pustaka, 1997) Cet.II, h. 156
46
pandangan apologis atau kecerobohan ahli-ahli filsafat tertentu dalam membahas hal-hal yang ada kaitannya dengan aqidah, seperti dalam kasus kebangkitan pada hari kiamat yang menurut filsuf hanya bersifat ruhani. Sebenarnya beliau tidak anti filsafat dan kecamannya diarahkan pada teori dan kesimpulan mereka yang dianggap berbahaya bagi aqidah kaum awam dan jelas-jelas bertentangan dengan syariat Islam. Justeru beliau sendiri dalam menganalisa berbagai ilmu selalu bercorak filsafat. Faktor yang mendukung Imam Al-Ghazali sehingga berhasil dalam mempelajari ilmu pengetahuan adalah kebebasan berpikirnya yang selalu beliau pegang teguh. Akibatnya beliau menolak segala bentuk ikatan yang dapat membatasi kebebasan berpikirnya,sekalipun ikatan itu berupa emas. Sikap itulah yang beliau miliki sejak mudanya. Kemudian Imam Al Ghazali meneliti penyakit yang mewabah pada masyarakat, yaitu buruknya akhlak yang secara umum melanda berbagai kalangan. Maka beliau pun menyusun sebuah kitab yang disinari dengan dasar Al-Qur'an dan Hadits yang merupakan kitab paling fenomenal hingga saat ini. Kitab tersebut adalah Ihya Ulumuddin yang memuat ajaran -ajaran muamalah dan interpretasi paling lengkap tentang Islam.10 Seandainya beliau tidak menulis kitab yang lainnya kiranya cukup dengan kitab itu beliau layak menyandang gelar seorang mujaddid. Di dalamnya(Ihya Ulumuddin) beliau mengatakan bahwa akal memerlukan syara' dan sebaliknya syara' membutuhkan akal. Beliau mengecam sikap taklid buta dan orang-orang yang mencukupkan diri dengan akal murni,dan mengabaikan perbaikan hati sebagai mediator kebahagiaan sejati. Secara global beliau berusaha memadukan aspek syariat dengan ciri khasnya sebagai hukum -hukum lahir yang dipadukan dengan aspek hakikat sebagai intisari keislaman seseorang. Imam
Al-Ghazali
adalah
reformer
kelas
dunia
yang
diakui
kecemerlangannya , tidak hanya dalam kalangan Islam tetapi juga dunia Barat. Dunia Barat menyejajarkan beliau dengan reformer-reformer besar kalangan Kristen seperti Kant,Saint Augustine,Martin Luther King. Namun tentu saja ada perbedaan besar antara beliau dengan mereka yang jika dilihat dari sisi nilai 10
Imam Al-Ghazali ,Rambu-Rambu Mengenal Allah,(Surabaya:Pustaka Progresif ,2003)Cet.I
47
spritualnya benar-benar
membuat tokoh-tokoh Barat kehilangan pamornya.
Sekalipun ada kesamaan beliau dalam aplikasi basis akal sebagai sarana pencapaian kebenaran tetapi jelas sekali akal hanya dipahami dalam ranah-ranah teoritis oleh kalangan intelektual Barat. Berlainan dengan Imam Al-Ghazali yang menggunakan akal sebagai obyek pengkaji dan membawanya kepada ranah keyakinan sejati (hati). Beliau telah sampai kepada hakikat kebenaran(makrifat) sementara mereka tidak bahkan binasa di dalam pendewaan akal. Beberapa prinsip ajaram Imam Al-Ghazali jika dikaitkan dengan karyakarya beliau adalah : 1. Agama Islam adalah agama hakiki yang memfokuskan ajarannya kepada kebahagiaan sejati(makrifat) dengan hati sebagai sarana vital dalam pencapaian tujuan tersebut dan akal adalah pembantu hati , yang kemudian diformatkan dengan sebuah jalan penyucian (tarekat) dengan wewenang guru spritual yang akan melalui tahapan-tahapan spritual. Inilah ajaran utama beliau yang tertuang dalam kitab utamanya “Ihya Ulumuddin”. 2. Supremasi Al-Qur'an dan Hadits sebagai sumber pengetahuan dan hukum Islam harus diletakkan pada tatanan kutub kehidupan dalam interaksi aktifpasif manusia dalam menafsirkan setiap wacana-wacana kehidupan dan ilmu pengetahuan yang tercermin dalam setiap bukunya yang khas dengan analisis dengan
rujukan
Al-Qur'an
dan
Al-Hadits.Lihat
kitabnya
seperti
:Arbain,Minhajul Abidin,Jawahirul Al-Qur'an dan lain-lain. 3. Ilmu-ilmu furu'(cabang) harus diletakkan pada proporsi dan kapasitasnya sebagai suplemen doktrinal dalam tatanan teoritis yang hanya efektif pada kuantitas dan kualitas tertentu yang kemudian dijadikan referensi -referensi mutual bagi kemaslahatan hati seperti dalam karyanya: Al-Wajiz, AlMustashfa, Kimia As-Saadah dan lain -lain. Beliau telah wafat ratusan tahun yang lalu tetapi ilmu -ilmu beliau sebagai hujjah kebenaran Islam senantiasa bangkit dan secara sadar dan tidak sadar kita sebenarnya tengah menikmati karomah beliau yang diwujudkan dalam aplikasi aplikasi ajaran dan produk pemikiran.Beliaulah “Hujjatul Islam”sejati agama ini.
BAB IV KONSEP TAFAKKUR SUFISTIK PADA BUKU IHYA ULUMUDDIN KARYA IMAM AL-GHAZALI
A. Keutamaan Tafakkur Allah Ta'ala menyuruh untuk tafakkur mengenai kitab-Nya yang mulia dan Dia memuji kepada orang-orang yang melakukannya.Allah Ta'ala berfirman:
Artinya:” (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa neraka”.1 Ibnu Abbas RA berkata : ”Sesungguhnya suatu kaum berpikir tentang Allah Taala. Maka Rasulullah SAW bersabda : ”Berpikirlah tentang makhluk Allah Taala dan janganlah kamu berpikir tentang Allah. Sesungguhnya kamu tidak akan mengagungkan kedudukanNya.” 2 Imam Al-Ghazali dalam bab ini hanya memberikan dalil -dalil Al-Qur'an ,hadis-hadis dan atsar-atsar yang menyorot tentang keutamaan tafakkur. Keutamaan tafakkur dikembalikan kepada keutamaan ilmu karena tujuan tafakkur adalah sintesa ilmu yang posisinya lebih utama daripada ibadah. Sebagaimana yang tersebut pada atsar yang tercantum pada kitab Al-Ihya : ”Dari Thawus ia berkata: ”Kaum Hawari bertanya kepada Nabi Isa bin Maryam: ”Wahai Rasulullah ! Apakah di atas bumi hari ini ada orang yang sepertimu? Nabi
1
Tim Departemen Agama,Al-Qur’an dan Terjemahnya,(Semarang:Toha Putra,1995)Cet.1995,h.110 2 Imam Al-Ghazali,Ihya Ulumuddin,(Semarang :Asy-Sifa,2003)Cet.2003, h.230
48
49
Isa menjawab: ”Ya, barang siapa yang ucapannya adalah zikir, diamnya adalah berpikir (tafakkur) dan pandangannya adalah mengambil ibarat (iktibar), maka ia adalah sepertiku”. Jadi, jelas bahwa zikir, tafakkur dan iktibar bermuara kepada ilmu sebagai representasi kualitas hati (maqam) yang dianalogikan dengan maqam kenabian sebagaimana isi atsar tadi. Dalil-dalil di atas memposisikan dua aspek sentral keutamaan tafakkur yaitu ilmu dan ibadah. Ilmu menjadi asal yang diikuti dan wajib didahulukan atas ibadah karena supaya bisa menghasilkan ibadah yang selamat dan benar. 3 Ibadah akan rusak jika syarat-syarat fundamentalnya tidak terpenuhi dan menyeret pelakunya kepada kebutaan jalan-jalan spritual. Rinciannya meliputi disiplin ilmu-ilmu aqidah, fiqih, tasawuf dan ilmu-ilmu pendukung lainnya. Kesesuaian antara ukuran ilmu dan relevansinya dengan tatanan spritual akan membentuk harmonisasi yang dalam taraf tertentu berpengaruh dalam kualitas ibadah. Kualitas ibadah inilah yang mempengaruhi hati bukan ilmu dan kualitas hati ini akan memunculkan cita rasa dzauq (intuisi) yang mutlak diperlukan dalam perjalanan spritual (maqamat ahwal) seperti rasa khauf (takut), malu, sabar dan lain sebagainya.. Dalam atsar lain dari kitab Al-Ihya yang disebutkan Imam Al-Ghazali adalah perkataan Imam Junaid: ”Paling mulianya majlis dan paling tingginya adalah duduk beserta berfikir pada lapangan tauhid , menghirup dengan udara makrifat, minum dengan gelas kecintaan dari lautan kasih sayang dan memandang dengan bagus sangkaan kepada Allah Ta'ala”. Dalam atsar ini termaktub keutamaan tafakkur secara global. Rinciannya adalah sebagai berikut : 1.
Keutamaan pertama tafakkur dalam tatanan ilmu untuk sampai
kepada tatanan tauhid. Keutamaan ini terkait dengan fungsi tafakkur sebagai suplementasi hati dengan memberikan akses-akses
ilmu
pengetahuan teoritis yang dibutuhkan dalam memberikan keseimbangan mutual dalam relasi kondisionalnya dengan aspek-aspek indera. Kondisi ini adalah kondisi general bagi kaum sufi dalam perjalanan spritualnya sekalipun rumusan ini tidak bersifat mutlak karena dalam kesejatiannya 3
Imam Al-Ghazali, Meniti Jalan Menuju Surga,(Jakarta:Pustaka Amani,1986) h.26
50
hati sanggup mengeksplorasi ilmu secara otonom tanpa proses belajar seperti yang terjadi pada kasus para Nabi. Poin utama dalam tahapan ini adalah adanya keutamaan tafakkur sebagai susunan konstruktif bagi tahapan “yaqin”. ”Yaqin” adalah ilmu yang tidak merasuki seseorang yang menyebabkan keraguan sepenuhnya.”Al-yaqin” tidak diucapkan dalam sifat Allah SWT , karena memang tidak relevan. Sedangkan “ilmul yaqin” adalah “yaqin” itu sendiri. Termasuk kategori “yaqin” adalah “ainul yaqin” dan”haqqul yaqin.4 Tafakkur memberikan bukti-bukti tauhid dengan ilmu-ilmu teoritis yang secara relevan mengukur konsepsikonsepsi struktural keabsahan “yaqin” yang justru “tercetak” secara fitrah dalam hati. Konsekuensinya adalah terwujudnya pola-pola konsepsional definisi-definisi “tauhid” yang mengisyaratkan adanya kemutlakan variabel bagi dominansi aspek rububiah dan ilahiah. 2.
Keutamaan tafakkur dengan basis makrifat. Makrifat adalah jiwa
taqarrub. Makrifat merupakan sesuatu yang diserap dan berpengaruh dalam hati dan kemudian pada seluruh anggota badan. Ilmu ibarat melihat api, sedangkan makrifat ibarat cahaya yang menyala pada api.5 Keutamaan tafakkur pada level ini adalah bersifat “pasif” dalam arti tidak terlibat secara langsung dengan akal dan lebih interaktif dengan hati sebagai basis makrifat. Ketika ilmu telah dibawa kepada tatanan makrifat dalam hati maka akan muncul “dzauq” sebagai implementasi kesucian hati yang akan memancarkan kualitas akhlaqul karimah. Indikatornya adalah keterbukaan jiwa dalam mencerminkan toleransi sifat-sifat malakuti , seperti rasa khauf (takut) ,raja (harap), tawakkal, sabar dan lain-lain. Isyarat tentang hal ini terungkap dalam sajak mistis An-Niffari: Aku membuat huruf tegak di hadapan makhluk Aku membuat amal tegak di hadapan huruf Aku membuat makrifat tegak di hadapan amal
4 5
Imam Al-Qusyairi,Risalatul Qusyairiyah,(Surabaya:Risalah Gusti,2001)Cet.I,h.69 Imam Al-Ghazali,Raudhah,(Surabaya,Risalah Gusti:2000)Cet.IV, h.43
51
Aku membuat ikhlas tegak di hadapan makrifat6 Salah satu hal yang utama pada keutamaan tafakkur model ini adalah adanya tahapan ikhlas sebagai representasi kolaborasi sinergis “cahaya Ilahi” yang diintegrasikan dengan konsepsi-konsepsi Ladunni yang selanjutnya diproses dalam medan tafakkur. Dengan kata lain makrifat memberikan bahan-bahan teoritis dengan landasan tauhid untuk ditransformasikan ke dalam konsepsi akal bisa dalam wujud ilham ataupun firasat. Maqam ini sudah meliputi musyahadah (penyaksian) dan ru'yat (melihat) dengan “sirr” kalbu. Ia melihat untuk dimakrifati. Karena hakikat makrifat ada di dalam batin orang-orang melihat, kemudian Allah SWT menghilangkan sebagian tirai (hijab), lantas mereka diperlihatkan nur Zat-Nya dan sifat-sifat-Nya dari balik hijab agar makrifat kepada-Nya.7 Makrifat telah membuka jenjang-jenjang Maqamat-Ahwal yang akan membawa pemiliknya ke dataran keyakinan melalui rasa sukma (dzauq) sehingga sampai kepada kedudukan wushul (predikat bagi ketenggelaman hati dengan pesona Al-Haq yang merupakan tujuan final). Sifatnya variatif .Ada yang bertemu Allah Taala melalui jalan af'al dalam manifestasi (tajalli), sehingga perbuatannya dan selain dirinya dalam situasi fana yang merupakan kondisi di luar ikhtiar dan akal. Ada pula yang berada dalam kondisi mahabbah yang merupakan puncak rasa sukacita jiwa (al-uns). Al-uns merupakan rasa suka dan kegembiraan karena terjadinya mukasyafah kepada Allah dengan segala keindahan (Jamal) dan keagungan-Nya (Jalal) yang kemudian membuahkan kerinduan (as-syauq) yang lebih utama dari al-uns. Uns mempunyai Al-wajd (kondisi ekstase) dengan klasifikasi: 1.
Kedahsyatan (ad-dahsyi) yang merupakan gaibnya kalbu
dari sentuhan rasanya karena kejutan yang luar biasa. 2.
Keterpesonaan(al-haiman). Apabila kalbu mulai tenang
kemudian
decaknya
berulang-ulang,
maka
kalbu
menjadi
takjub,bimbang akan kebajikan kharismanya yang merupakan 6 7
Syekh An-Niffari,Al-Mawaqif(Bandung,Mizan,2004)Cet.I,h.32 Imam Al-Ghazali,Raudhah,(Surabaya,Risalah Gusti:2000)Cet.IV, h.43
52
refleksi musnahnya sentuhan karena ketakjuban dan kebimbangan secara abadi. 3.
Penempatan(tamkin) sehingga tidak satu pun ada yang
masuk ,atau tidak satu pun jalan yang melintasinya yang merupakan isyarat menuju pangkal kemandirian (istiqrar).8 Adanya kemanunggalan tujuan dan perspektif mistis telah menghadirkan keragaman tafsiran dzauq yang kemudian akan diwujudkan dengan standarisasi makrifat. Pengenalan kepada Allah tergantung dengan daya makrifatnya dan kedekatan terhadap totalitas Ilahiah diwujudkan dengan kemanunggalan hakikat hati sebagai poros makrifat yang menginterpretasikan konsep -konsep Ilahiat yang sekali lagi diproyeksikan ke hati dalam terminologi rukyat. Secara global buah dari makrifat adalah adanya mata hati (bashirah), mukasyafah, musyahadah, mu'ayanah (pembuktian nyata), yaqin, ilham dan firasat. Pada tahapan ini juga tauhid telah mengalami transformasi dari tatanan burhan logis menjadi tatanan makrifat yang diindikasikan dengan maqam fana yaitu kondisi penunggalan diri kepada Al-Qidam (Maha Dahulu) meninggalkan segala yang hadits (baru), berpaling dari segala yang baru untuk menghadap kepada yang Qadim sehingga seseorang mampu menyaksikan keindahan Zat Allah Taala secara spritual.
B. Penjelasan Hakikat Pikiran Dan Buahnya Imam Al-Ghazali dalam Al-Ihya memberikan definisi tafakkur sebagai upaya menghadirkan dua pengetahuan dalam hati agar dapat membuah dari keduanya akan buah yang ketiga. Contohnya adalah bahwa barangsiapa yang cenderung kepada akhirat dan tidak memilih kehidupan dunia dan ia berkehendak mengetahui bahwa akhirat itu lebih utama daripada dunia. Maka baginya ada dua jalan: 1. untuk 8
Bahwa ia mendengar dari orang lain bahwa akhirat itu lebih utama diutamakan
daripada
dunia,
lalu
ia
Imam Al-Ghazali,Raudhah,(Surabaya,Risalah Gusti:2000),cet.IV,h.63
mengikutinya
dan
53
membenarkannya dengan tanpa penglihatan hati tentang hakikat perkara. Maka ia cenderung dengan alamnya kepada mengutamakan akhirat karena berpegang dengan perkataan orang semata-mata. Ini dinamakan taqlid dan tidak dinamakan pengetahuan. 2.
Bahwa ia mengerti bahwa yang lebih kekal itu lebih utama ,
kemudian ia mengetahui bahwa akhirat lebih kekal. Maka berhasil baginya dari dua pengetahuan ini , pengetahuan yang ketiga yaitu: bahwa akhirat lebih utama untuk diutamakan. Tidak mungkin untuk meyakinkan mengetahui bahwa akhirat lebih utama untuk dipilih kecuali dengan dua pengetahuan yang terdahulu. Secara eksplisit Imam Al-Ghazali dalam pernyataan-pernyataan di atas sedang memperkenalkan konsep Logika. Adanya kecenderungan konsep Logika mengindikasikan bahwa dalam sufisme terdapat ruang -ruang yang kompleks dalam mengeksplorasi ilmu demi kebenaran hakiki. Seperti yang kita ketahui dalam logika ada nilai-nilai kebenaran yang harus dicari untuk menentukan sebuah nilai. Argumen-argumen yang disusun akan mengantarkan sebuah kesimpulan yang bersifat apriori yaitu murni definitif dan non-empris. Kesimpulannya disusun karena adanya hubungan logis antara dua premis yang saling berhubungan. Imam Al-Ghazali memberikan contoh deduktif (silogisme) dalam merumuskan sebuah kebenaran umum. Pola silogisme disusun dari dua proposisi (pernyataan) yang kemudian menghadirkan sebuah konklusi (kesimpulan). Analisis struktural pada contoh di atas bila kita modifikasi dengan pola silogisme disyungtif adalah: 1.
Yang lebih utama itu dunia atau akhirat.
2.
Akhirat lebih kekal.
Jadi, akhirat lebih utama. Jadi proses pertama dalam tafakkur adalah aktifitas logika yang menitikberatkan kepada pengetahuan-pengetahuan elementer untuk kemudian dibawa kepada sebuah kesimpulan. Adanya integrasi dan otonomsi ilmu pengetahuan akan melibatkan proses eksplorasi ilmu demi sintesa ilmu untuk
54
dibawa ke hati. Dengan demikian daya kerja tafakkur melibatkan persepsi akal melalui aktifitas pendidikan dan pembelajaran. Lebih lanjut Imam Al-Ghazali menjelaskan rincian proses pra-tafakkur yang dikenalkan dengan istilah-istilah tadzakkur dan tafakkur. Beliau berkata: ”Adapun tadzakkur dan tafakkur maka itu adalah beberapa ibarat (kata) yang mempunyai satu arti yang tidak dibawahnya makna-makna yang berbeda”. Kedua istilah itu pokoknya adalah satu dengan dua aktifitas yang berbeda. Tadzakkur hanya melibatkan proses pengulangan sedangkan tafakkur terkait dengan sintesa ilmu. Dua gejala ini terkait dengan ranah-ranah psikologi manusia yang menetralisir konsep-konsep baku untuk menjelaskan universalitas yang secara inheren dan koheren terkandung dalam perspektif dan konklusi pemikiran logis. Rinciannya sebagai berikut: 1
Kognisi
Psikologi kognitif adalah kajian studi ilmiah mengenai proses-proses mental atau pikiran (intelektual). Tadzakkur dan tafakkur terlibat dalam proses mental intelektual yang dalam kegiatannya dipengaruhi oleh pengalaman belajar (study experience). Ini sejalan dengan teori Gestalt (Mex Weitheimer). Dalam teori Gestalt dijelaskan bahwa pengalaman itu berstruktur yang terbentuk dalam suatu keseluruhan. Ada dua hukum wajib dalam teori Gestalt yaitu: kejelasan (pragnaz) dan totalitas (closure).9 Tadzakkur dan tafakkur akan memberikan dunia konsep bagi ide-ide analitis yang secara struktural akan terkait dengan tujuan-tujuan ilmiah. Tujuan-tujuan ilmiah ini adalah struktur pertama bagi standarisasi kebenaran yang nantinya akan mendapat klarifikasi dan klasifikasi verbal dan non-verbal melalui cahaya Al-Qur'an dan Al-Hadis. Standarisasi kebenaran dalam batasan ini baru merupakan legitimasi akal yang akan memprioritaskan kaidah-kaidah logis yang akan memberikan tafsirantafsiran general-psikologis dalam mengakumulasi seluruh rancanganrancangan terorganisir sebagai wujud konsepsi universalitas. Rancangan9
M.Dalyono,Psikologi Pendidikan(Jakarta:RinekaCipta,1997)Cet.III, h.63
55
rancangan ini terkait dengan seluruh tatanan interaktif manusia dengan ruang-ruang kognitif yang selalu terbuka dengan varian-varian variabel yang terjadi sebagai implikasi positif dengan obyek pemikiran . Dalam aplikasinya tafakkur dan tadzakkur sangat tergantung terhadap fakultasfakultas kognisi yang akan memberikan produk-produk ilmu dalam rangka penyesuaian kausalitas dengan tatanan fitrah manusia. 2
Afeksi
Tadzakkur dan tafakkur secara afektif bisa dijelaskan sebagai upaya pemberian nilai rasa (dzauq) bagi hati yang selektif dalam penerimaanpenerimaan konseptualnya, yang membawa pengaruh-pengaruh spritual (maqamat-ahwal) dalam aplikasinya. Jika dalam tatanan kognitif tadzakkur dan tafakkur berada pada ruang lingkup logika maka dalam tatanan afeksi pengetahuan-pengetahuan teoritis akan menjadi basis dzikir dalam transformasi nilai menuju aktifitas amal. Syekh Abdul Qadir Al-Jailani mengatakan ada tiga hal yang mesti bagi setiap mukmin dalam setiap situasi dan kondisi: perintah yang harus dilaksanakan, larangan yang harus dijauhi dan ketetapan yang harus diterima.10 Nilai rasa (dzauq) yang muncul karena aktifitas tadzakkur dan tafakkur akan dibawa kepada hegemoni ritual ibadah yang akan menegakkan aspek syariat yang meliputi perintah dan larangan yang selanjutnya dihadapkan kepada pintu makrifat (ketetapan yang harus diterima). Lalu akan terjadi penjabaran mutu ibadah dan kualitas hati yang akan mendefinisikan seluruh aktifitas ibadah. 3
Psikomotorik
Ranah psikomotorik menekankan tentang proses -proses praktisi yang merupakan wujud tanggapan impulsif tentang bagaimana kontraksikontraksi pikiran terdefinisikan sebagai gerak solutif dalam pencapaian sebuah tujuan. Pada tingkatan psikomotorik pengetahuan sudah menjadi faktor pendorong untuk berbuat. Dalam prakteknya, tafakkur dan tadzakkur akan menjadi acuan dalam pengembangan kualitas dan kuantitas 10
Syekh Abdul Qadir Al-Jailani,Raihlah Hakikat,(Bandung:PustakaHidayah,2007),Cet.I, h.55-56
56
ilmu dalam pencapaian makrifat yang diterapkan dalam dua pola aspek ubudiah dan uluhiah. Dalam aspek ubudiah,peranan tafakkur dan tadzakkur akan terlibat dalam aktifitas ibadah seperti ijtihad, muhasabah, muraqabah yang akan meningkatkan kualitas ibadah lahir dan batin. Dalam aspek uluhiah , tadzakkur dan tafakkur berasosiasi dengan makrifat dalam sintesa ilmu sebagai wujud domain pasif bagi hati yang merupakan sumber cahaya ilmu. Kedua proses inilah yang merupakan syarat mutlak tingkatan mulia gerbang kaum arifin. Ini tercermin dalam sabda Rasulullah SAW :”Sesungguhnya Allah Taala menyukai penglihatan yang meneliti dengan seksama ketika datangnya perkara -perkara yang syubhat dan akal yang sempurna ketika diserang nafsu-syahwat (HR Abu Nua'im)11 Hadis ini menjelaskan tentang dua kekuatan psikomotorik dalam perjalanan spritual sufi. Kekuatan psikomotorik pertama adalah kekuatan hati yang sanggup menerangi kegelapan perkara-perkara syubhat. Perkara syubhat adalah perkara yang meragukan dan dalam sufisme keraguan adalah syirik yang merupakan salah satu dosa besar. Kekuatan hati yang suci akan membangkitkan ilmu Ladunni (makrifat) yang akan menghilangkan syubhat secara internal (tauhid). Sementara dalam tatanan eksternal yang meliputi lintasan-lintasan jiwa akan membutuhkan aplikasi tafakkur dan tadzakkur yang akan mengukurnya dengan standar Al-Qur'an dan Al-Hadis. Kekuatan psikomotorik kedua adalah kekuatan akal yang akan mengintegrasikan tadzakkur dan tafakkur sebagai wadah dalam proses penyucian hati yang secara luas akan mencakup ruang lingkup ilmu-ilmu teoritis yang menuntut mujahadah dalam prakteknya. Hal ini karena kekuatan ini dipengaruhi oleh faktor-faktor luar seperti daya -daya setani, syahwat, emosi , amarah dan lain-lain. Kekuatan ini terkait erat denan proses pendidikan dan pembelajaran. Secara psikomotorik ilmu diwujudkan secara esensial dalam hati dalam dua fase yaitu fase alamiah yang berupa potensi hati dalam pencapaian makrifat serta fase artifisial yang terbuka dalam eksplorasi fiskal dan non-fiskal dalam pencitraan ilmu. 11
Imam Al-Ghazali,Ihya Ulumuddin(Semarang,Asy-Sifa,2003)Cet.tahun2003, h.149
57
Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin memberikan penjelasan tentang rangkaian kronologis proses proses tafakkur ,yang menurut beliau dibagi kepada lima tingkatan yaitu: 1. Tadzakkur yang merupakan upaya menghadirkan dua pengetahuan di dalam hati. 2. Tafakkur yang merupakan proses mencari pengetahuan baru dari proses tadzakkur. 3. Hasilnya pengetahuan yang dicari dan bersinarnya hati dengan dengannya. 4. Berubahnya keadaan hati dari apa yang telah ada disebabkan hasilnya cahaya makrifat. 5. Pelayanan anggota-anggota badan bagi hati menurut keadaan yang baru baginya.
Proses-proses di atas merupakan rangkaian tafakkur sufistik yang diindikasikan dengan hati sebagai poros utama dalam upaya pencapaian makrifat dengan basis ilmu-ilmu teoritis.Inilah tujuan tafakkur secara hakiki. Tentang buah dari tafakkur beliau menguraikannya dalam Al-Ihya sebagai berikut: ”Adapun buah pikiran, maka itu adalah ilmu pengetahuan hal ihwal dan amal perbuatan. Tetapi buahnya yang khusus adalah ilmu, tidak yang lainnya. Ya, apabila ilmu berhasil di dalam hati, maka keadaan hati menjadi berubah. Apabila keadaan hati menjadi berubah maka amal perbuatan itu mengikuti keadaan. Keadaan mengikuti ilmu dan ilmu mengikuti pikiran. Jadi, pikiran adalah dasar dan kunci bagi segala kebaikan semuanya. Inilah yang tersingkap bagimu tentang keuntungan tafakkur dan bahwa tafakkur lebih utama daripada zikir dan tadzakkur. Karena tafakkur adalah zikir dan tambahan dan zikir hati itu lebih baik daripada amal perbuatan anggota badan. Bahkan mulianya amal itu karena adanya zikir padanya. Jadi, tafakkur lebih utama daripada sejumlah amal perbuatan.” Buah dari tafakkur adalah ilmu pengetahuan. Penjelasan tentang ilmu akan menuntun kita dalam memahami ilmu dalam batas-batas epistemologi, ontologi dan aksiologi. Ilmu memiliki dua komponen yaitu pertama , bahwa sumber asli seluruh pengetahuan adalah wahyu atau Al-Qur'an yang mengandung kebenaran
58
absolut dan yang kedua, bahwa metode mempelajari pengetahuan yang sistematis dan koheren semuanya sama-sama valid, semuanya menghasilkan bagian dari satu kebenaran atau realitas. 12 Dua komponen ilmu inilah yang mengisyaratkan keutamaan ilmu sebagai kesempurnaan mutlak. Ini dikarenakan ilmu itu sendiri adalah sifat Allah dan para malaikat. Dengan ilmu para malaikat dan hambahamba Allah dapat mendekatkan diri secara sempurna kepada-Nya. Pendekatan diri kepada Allah tidak terkait dengan tempat melainkan dengan sifat ilmu. Semakin banyak dan semakin sempurna ilmu seseorang, ia akan semakin dekat kepada Allah dan semakin menyamai malaikat-malaikatNya.Keutamaan ini diisyaratkan dengan hadis Nabi yang berbunyi: ”Isi langit dan bumi memintakan ampunan untuk orang-orang berilmu”.13 Ini dikarenakan ilmu untuk mencapai tujuan hidup dari sisi agama dan dunia karena tidak akan norma agama tanpa ada norma dunia. Dunia adalah media penghubung dan bukan tujuan sebagaimana klaim sebagian besar orang. Dilihat dari materinya,ilmu ada dua macam, yaitu ilmu syariat dan nonsyariat. Ilmu syariat yaitu ilmu yang sumber rujukannya adalah para Nabi dan tidak dapat diatur oleh akal sebagaimana ilmu eksak. Ilmu syariat terdiri dari ilmu ushul, ilmu furu', ilmu muqaddimah (pengantar), dan penyempurna. Ilmu-ilmu ini terkait dengan penelusuran jalan akhirat yang kemudian diklasifikasi lagi sebagai ilmu muamalah dan mukasyafah. Ilmu muamalah yaitu ilmu yang dipelajari dengan tujuan untuk diamalkan dalam perbuatan sedangkan ilmu mukasyafah yaitu ilmu yang dipelajari dengan tujuan terbukanya pengetahuan makrifat (gnosis) tanpa ada unsur amal perbuatan. Ilmu mukasyafah ini bersifat esoteris dan sangat samar. Ia puncak dari setiap ilmu bahkan tujuan dari semua ilmu yang ada.14 Adapun rinciannya adalah sebagai berikut: a) Pokok-pokok (ushul) itu ada empat, yaitu kitabullah, sunnah, ijma' dan atsar sahabat. 12
Prof.Mujamil Qomar,M.Ag,Epistemologi Pendidikan Islam(Jakarta:Erlangga,2007)Cet.III,h.105 Imam Al-Ghazali,Buat Pecinta Ilmu(Surabaya:Pustaka progresif.2002)Cet.I, h.6 14 Imam Al-Ghazali,Buat Pecinta Ilmu(Surabaya,Pustaka Progresif,2002)Cet.I, h.110 13
59
b) Cabang (furu') yaitu sesuatu yang dipahami dari pokok-pokok ini, bukan dengan kepastian lafal-lafalnya tetapi dengan pengertianpengertian yang diketahui akal. Ini terbagi empat macam: c) Berkaitan dengan kemaslahatan-kemaslahatan dunia dan itu termuat dalam kitab-kitab fiqih dan yang bertanggung jawab adalah para puqaha. d) Sesuatu
yang
berkaitan
dengan
kemaslahatan-kemaslahatan
akhirat.Yaitu ilmu mengenai keadaan hati dan akhlak yang terpuji dan tercela, sesuatu yang diridhai di sisi Allah Taala dan sesuatu yang dibenciNya. e) Muqaddimat (pendahuluan-pendahuluan) yaitu ilmu-ilmu yang berlaku sebagai alat seperti ilmu bahasa dan tata bahasa karena keduanya itu merupakan alat bagi ilmu kitabullah Taala dan Sunnah Nabi SAW. f)
Penyempurna-penyempurna yaitu mengenai ilmu Al-Qur'an. Itu terbagi kepada sesuatu yang berkaitan dengan lafal seperti belajar qiraat dan makhraj-makhraj huruf, kepada yang berkaitan dengan makna seperti tafsir, karena bersandarnya juga kepada naql karena bahasa semata tidak dapat berdiri sendiri. 15
Ilmu non-syariat merupakan ilmu yang secara umum merupakan hasil pemikiran manusia yang terkait dengan potensi kemanusiaanya sendiri secara menyeluruh. Adapun klasifikasi ilmu non-syariat sebagai berikut: 1. Ilmu pasti (matematika) yang meliputi aritmetika, geometri, musik. 2. Ilmu perbintangan seperti astrologi dan astronomi. 3. Ilmu alam (fisika) seperti kedokteran,meteorologi,mineralogi. 4. Ilmu kimia. 5. Ilmu hayat seperti fisiologi dan biologi. 6.
Fisika sosial seperti sosiologi, antropologi, ilmu hukum dan lain-lain.16
Ilmu pengetahuan jika disandarkan kepada makrifat sebagai tujuan haqiqi 15
Imam Al-Ghazali,Ihya Ulumuddin,(Semarang,Pustaka Asy-Sifa,2003)Cet.tahun2003, h.54-55 Yesmil Anwar dan Adang,Pengantar Sosiologi Hukum(Jakarta,Grasindo,2004)Cet.III h.18
16
60
akan dibagi kepada tiga tingkatan. Pertama, ilmu perbekalan semisal ilmu fiqih yang terkait dengan kemaslahatan sosial. Kedua, ilmu yang dipergunakan untuk membersihkan
hati
dari
segala
sifat
tercela
serta
akibat-akibat
yang
ditimbulkannya, seperti ilmu tasawuf. Ketiga, ilmu tentang sifat-sifat Allah Taala yang merupakan ilmu yang paling tinggi derajatnya.17
C.Penjelasan Jalan-Jalan Pikiran Dalam pembahasan ini Imam Al-Ghazali sekilas menyorot tentang obyek tafakkur yang secara global menurut beliau terbagi kepada ilmu agama dan nonagama. Kemudian pembahasan dilanjutkan dengan klasifikasi ringkas tentang bahasan obyek ilmu muamalah yang merupakan medan kajian tafakkur, dimana klasifikasi diprioritaskan kepada hamba,sifat-sifatnya dan hal ikhwalnya untuk persiapan ibadah. Beliau berkata dalam Al-Ihya: ”Tersingkaplah bagimu membatasi pikiran pada bagian-bagian ini dengan contoh, yaitu bahwa keadaan orang yang berjalan kepada Allah Taala dan orang-orang yang rindu kepada perjumpaan denganNya adalah menyerupai keadaan orang-orang yang sangat rindu. Orang yang rindu akan tenggelam dengan cita-citanya dengan tidak melampui pikirannya dari keterkaitan dengan orang yang dirindukannya. Kalau ia berpikir pada orang yang dirindukannya, maka adakalanya ia berpikir tentang kecantikannya dan ia merasa nikmat dengan berpikir padanya dan dengan menyaksikannya.” Penjelasan di atas memetakan konsep tentang bagaimana tafakkur diaplikasikan sebagai sarana ibadah dalam perjalanan spritual yang dianalogikan dengan cinta kepada Allah Taala. Dalam hal ini Imam Al-Ghazali mengisyaratkan tentang jalan-jalan pikiran yang dimulai dengan tafakkur konseptual sebelum pada akhirnya dibawa ke dalam dzauq bagi hati. Hal ini terkait dengan dimensi-dimensi ruhani mistisisme yang sarat dengan persoalan-persoalan yang berkenaan dengan intuisi dan penyingkapan mistis dan tidak muncul dalam lingkup ilmu pengetahuan spekulatif dan tradisional. Eksplorasi pertama yang akan kita 17
Imam Al-Ghazali,Buat Pecinta Ilmu,(Surabaya,Pustaka Progresif,2002)Cet.I, h.120
61
lakukan berkaitan dengan pembahasan ini adalah tentang fakultas-fakultas kemanusiaan yang merupakan mediator pertama dalam tafakkur konseptual. Dalam prosesnya pikiran terakumulasi dalam kata,pengetahuan dan obyek yang diketahui dan sesuatu (obyek pemikiran) itu memiliki eksistensi sebagai individu dalam lisan atau dalam pikiran. Keberadaan sebagai individu merupakan keberadaan asasi, sementara keberadaan dalam pikiran adalah keberadaan formal dan dalam kesadaran serta keberadaan dalam lisan adalah verbal dan indikatif. 18 Fakultas-fakultas kemanusiaan adalah struktur mikro dalam menjelaskan tatanan kronologis pikiran yang membagi-bagi aktifitasnya secara aktif dalam dikotomi parsial yang menuntut sinergisasi stimulus dan kehendak bebas manusia. Stimulus disini adalah wujud reaksi dan tanggapan positif dalam penerimaan sebuah konsep yang tersusun sistematis dan ilmiah untuk ditransfer ke dalam fakultas-fakultas kemanusiaan yang selanjutnya akan dklasifikasi secara kulitatif dan kuantitatif
partikulariat.
Proses
inilah
yang
secara
kontinu
akan
mempengaruhi kehendak bebas yang merupakan supremasi aksi dan merupakan cetak biru kehendak Ilahi, sebagaimana yang tersirat dalam aforisme terkenal bahwa manusia adalah citra Tuhan. Bagian dari citra diantaranya adalah konsepsi yang merupakan determinasi akal. Fakultas-fakultas kemanusiaan menurut para filsuf dibagi menjadi dua bagian yaitu
perseptif (mudrikah) dan motif (muharrikah). Fakultas-fakultas
perseptif ada dua macam yaitu eksternal (zhahir) dan internal (batin). Fakultas perseptif eksternal terdiri dari lima indera yang terpasang pada tubuh. Sedang fakultas-fakultas perseptif internal ada tiga yaitu: 1. Fakultas imajinatif (al-quwwah al-khayaliyyah), yang terletak di bagian depan otak, di belakang indera penglihatan. Dalam fakultas ini terekam bentuk-bentuk suatu yang terlihat, ketika mata ditutup bahkan data kelima indera terekam di dalamnya. 2. Fakultas estimative (al-quwwah al-wahmiyyah), yang berfungsi mengetahui pengertian-pengertian atau konsep-konsep, sedang fakultas 18
Imam Al-Ghazali,Al-Asma Al-Husna,(Bandung:Mizan,1995),Cet.II, h.17
62
yang pertama mengetahui bentuk-bentuk. Fakultas ini terletak di tengah bagian belakang. 3. Fakultas imajinasi sensitive ( mutakhaliyah) untuk binatang dan kogitasi (mufakkirah) untuk manusia. Fungsinya adalah untuk menyusun bentuk-bentuk inderawi satu sama lain atau untuk menata pengertian-pengertian dan konsep-konsep di atas bentuk-bentuk. Ia berada di ronggga tengah otak di antara memori penyimpan bentuk dan penyimpan konsep. Fakultas motif( muharrikah) terbagi menjadi: 1. Penggerak dalam arti bahwa ia mendorong ke arah gerakan. Termasuk di antaranyafakultas hasrat (inklinatif) yaitu fakultas yang apabila bentuk yang diharap atau dibenci terpasang pada fakultas imajinatif, fakultas hasrat mendorong fakultas motif untuk aktif ke arah gerakan. Ia mempunyai dua sub-bagian: a) Fakultas erotic (al-quwwah asy-syahwatiyyah) yaitu fakultas yang mendorong lahirnya gerakan yang mendekatkan pada hal-hal yang diimajinasikan sebagai keharusan untuk mencari kenikmatan. b) Fakultas kemarahan (al-quwwah al-gadabiyyah) yaitu fakultas yang membangkitkan
gerakan
yang
dipakai
dalam
usaha
untuk
menguasainya. 1.
Penggerak dalam arti bahwa ia penggerak langsung. Fakultas ini beroperasi di dalam otot-otot dan syaraf-syaraf. Fungsinya adalah mengontak otot-otot dan untuk mendorong urat-urat dan ikat-ikat sendi tulang, yang terhubungkan dengan anggota-anggota badan, menuju posisi di mana fakultas ini mengatur jalannya. 19
Fakultas-fakultas kemanusiaan di atas merupakan tolak ukur kualitas dan kuantitas ilmu teoritis dalam substansi yang terbatas karena fakultas-fakultas ini terkait erat dengan potensi fitrah yang merupakan akses elementer koordinasi koordinasi struktural pikiran dalam tatanan biologis. Tatanan biologis inilah yang 19
Imam Al-Ghazali,Tahafut Al-Falasifah,(Yogyakarta:Islamika,2003)Cet.I, h.230-231
63
mengintegrasikan potensi-potensi akal dalam wujud aksi dan reaksi. Wujud aksi dan reaksi membutuhkan klarifikasi obyektif yang akan memberikan sebuah rumusan holistik dalam tahapan yang terkenal dengan sebutan tafakkur. Pelaku klarifikasi ini terkait erat dengan kemampuan-kemampuan utama dalam terminologi sufi. Kemampuan-kemampuan utama ini terkait dengan kapasitas sufi sendiri dalam menafsirkan hakikat yang merupakan terminal terakhir maqamatahwal. Kita telah mengetahui bahwa dalam sufisme, kemampuan ini akan membagi para pencari kebenaran dalam dua opsi yang akan menentukan posisi maqamat-ahwalnya. Opsi pertama adalah golongan yang menempuh jalan tetapi masih terjebak dalam jalan itu sendiri karena kuatnya hubungan dengan kekuatankekuatan spritual yang melingkupi mereka, seperti misalnya rasa kerinduan dan kecintaan sebagai afinitas malaikat batin, kecintaan terhadap perjalanan batin sebagai efek dari wirid dan lain-lain. Akibatnya hanya sebagian dari kemampuankemampuan utama yang tersucikan dan mengakibatkan sang pencari ini mengalami kegagalan mencapai tahap akhir yaitu manusia sempurna (Insan Kamil). Opsi kedua adalah golongan manusia sempurna dimana Zat Yang Maha Agung telah menunjuk mereka sebagai pemandu jalan spritual bagi manusia. Melalui perantara mereka, komunitas spritual disatukan dalam bentuk tarekat dan syariat yang merupakan salah satu tujuan Tuhan akan ditegakkan. Mereka terilhami dengan penglihatan batin (ladunni) atas apa yang harus dilakukan yang kemudian akan menetapkan jalan-jalan kebenaran. Dua opsi ini telah memberikan kesimpulan bagi kita bahwa struktur mikro di atas ternyata mengalami benturan fungsional dengan struktur makro yang merupakan wilayah hati. Struktur makro sendiri merupakan pembahasan tentang hati yang merupakan gerbang pembuka pintu-pintu kebenaran (makrifat). Hubungan kedua struktur inilah yang menciptakan sebuah komposisi sempurna dalam merumuskan dan menafsirkan hakikat yang dikembalikan kepada kapasitas fitrah manusia. Kualitas dan kuantitas dari struktur mikro hanya akan terdefinisi secara terbatas dalam
medan
akal
yang
selanjutnya
mendapat
korelasi
dzauq
yang
mendeterminasi struktur mikro dengan kualitas tertentu. Dalam struktur makro terdapat tiga komponen utama yang mendukung
64
proses tafakkur menjadi sebuah aktifitas metafisika: 1. Substansi subtil yang muncul dari asap beragam unsur dalam makanan yang dicerna. Ia memiliki kapasitas untuk makanan, pertumbuhan dan perasaan inderawi. Ia dirujuk sebagai sebuah ruh yang bernafas, ruh alami, atau ruh halus. 2. Jiwa rasional yaitu jiwa yang mengatur tatanan manusia,yang memunculkan sifat-sifat serupa dalam diri manusia sebagai sebuah penglihatan semesta dan lima kemampuan, dengan semua percabangan mereka. Realitas mendasar dari jiwa rasional merupakan jiwa universal. Jiwa universal adalah penguasa mutlak semua komponen semesta. 3.
Jiwa malaikat yaitu jiwa yang membuat sifat-sifat mampu menampung bentuk segala sesuatu yang harus terwujud, bahkan sebelum ia benarbenar mewujud. Jiwa malaikat laksana kapasitas manusia untuk memvisualkan sebuah perbuatan yang diharapkan dalam batin sebelum perbuatan itu diwujudkan ke dunia luar.20
Tiga komponen ini telah menghasilkan tahapan-tahapan kausalitas yang berdampak terhadap aktifitas tafakkur. Karakter ruh halus rentan dikuasai oleh organ dan anggota-anggota tubuh yang merupakan fase nafsu Lawwamah mendorong aktifitas pikiran menjadi terkontaminasi negatif yang mengisyaratkan fluktuasi kemerosotan spritual. Jika ruh halus menghindari penyatuan dengan karakter organ-hewani maka ruh halus akan mendapat pengaruh dari akal yang akan melengkapi kondisi-kondisi spritual dengan gagasan-gagasan positif yang akan membantu menyelaraskan suasana jiwa dengan daya kerja anggota fisik. Tingkatan tertinggi adalah adanya bantuan dari jiwa malaikat dimana ruh halus mendapat pengendalian sehingga rahasia-rahasia misterius dan rahasia ruh-ruh surgawi terungkap dalam konsepsi Ladunni. Ketiga komponen ini saling melengkapi dan melalui ketiganya kondisikondisi spritual terungkap melalui sebuah dimensi komunikasi yang sarat dengan 20
Syah Waliyyulah Ad-Dahlawi.Pengetahuan Suci(Surabaya:Risalah Gusti,2002)Cet.I, h.17-18
65
variasi konseptual dalam tafsiran mistis. Tetapi ketiganya mendapat ujian dalam rangka pencapaian kualitas spritual tertentu. Salah seorang guru sufi berkata mengenai determinasi ujian ini: ”Pikiran itu ada empat yaitu dari Tuhan, dari malaikat, dari diri sendiri dan dari setan. Pikiran yang berasal dari Tuhan merupakan suatu teguran yang baik, pikiran dari malaikat adalah adalah motivasi untuk patuh, pikiran yang berasal dari diri sendiri adalah pemenuhan nafsu, pikiran dari setan merupakan ajakan kepada keingkaran. Dengan tuntunan tauhid pikiran dari Tuhan diterima, dengan tuntunan makrifat pikiran dari malaikat itu diterima,dengan tuntunan iman pikiran mengenai diri sendiri disangkal dan dengan tuntunan Islam pikiran dari setan ditolak.21 Perkataan guru sufi di atas memberikan gambaran tentang adanya klasifikasi pikiran yang terjadi pada benak manusia. Pikiran apapun yang terjadi dalam benak seorang manusia turut ambil bagian dalam salah satu dari tiga situasi. Situasi pertama terjadi di hati yang disebut “keadaan-keadaan”emosi ( haal) seperti ketakutan, harapan, depresi, cinta dan sebagainya. Situasi kedua terjadi di akal yang berupa bentuk penyingkapan kejadian-kejadian di masa depan. Situasi ketiga terjadi di hati dan akal dimana akal membayangkan dan membentuk sesuatu yang pasti, sedangkan hati memberikan ketetapan yang diperlukan (impuls).22 Referensi yang kita perlukan terkait dengan sintesa pikiran ini tentunya terkait dengan kemampuan dalam membedakan pikiran-pikiran positif dan negatif sehingga tidak terjadi tindakan-tindakan tercela. Pengujian dari tahapan ini akan efektif jika sumber -sumber pikiran diketahui . Logisnya sumber pikiran tentunya dikembalikan kepada karakteristik khas dari komponenkomponen tafakkur yang setiap saat memberikan rumusan-rumusan persuasif dalam
pengambilan
konsep.
Akal
dengan
kekuatan
persepsinya
telah
mempengaruhi hati yang lekat dengan dzauq sehingga menimbulkan kerancuan pikiran sehingga dibutuhkan upaya-upaya pembatasan melalui riyadhah yang merupakan salah satu terapi sufistik. Hal inilah yang memberikan bukti bagi kita betapa penyucian hati mencakup pembebasan aktual dari akal karena pikiran 21 22
Al-Kalabadzi,Ajaran Kaum Sufi(Bandung:Mizan,1995)Cet.I, h.111 Syah Waliyyullah Ad-Dahlawi,Pengetahuan Suci(Surabaya:Risalah Gusti,2002)Cet.I h.187-188
66
perseptif tidak akan sanggup merealisasikan tafsiran hakikat kebenaran. Di luar dari kondisi ini faktor luar rentan dalam mempengaruhi prosesproses suplementasi pikiran yang diindikasikan dengan adanya fluktuasi dan koordinasi akal, hati dan nafsu yang memberikan pola-pola tertentu. Salah satu faktor luar itu adalah daya setan yang memberikan unsur-unsur godaan dengan karakteristik pemalingan hati dari jalan yang lurus dengan memberikan fantasifantasi yang khas dengan impuls-impuls setan seperti rasa melankolis, kegamangan, kekerasan hati dan lain-lain. Jika setan telah berhasil masuk ke dalam jiwa manusia maka ia akan menjadi jahat, jiwanya menjadi kotor sehingga ia mau melakukan segala dosa baik besar atau kecil. 23 Pergolakan yang terjadi akibat pengaruh ini menghasilkan pikiran-pikiran yang buruk dan berisiko merusak tatanan spritual. Upaya menghilangkan pengaruh ini dengan ini cara memiliki pengetahuan untuk mengusir dan membuang pikiran-pikiran semacam itu dan berlindung kepada Tuhan dari mereka. Pengaruh berikutnya adalah pengaruh malaikat yang memberikan penurunan pikiran dari dunia gagasan yang merupakan kapasitas esensial mereka. Pengaruh ini hanya efektif jika si penerima telah berhasil menjadi manusia intuisi yang dicirikan dengan kesucian hati yang bisa memproyeksikan penjabaran hakikat esensial dan memberikan sebuah otoritas tersendiri dalam kaitannya dengan potensi penyingkapan mistis. Harus ada keseimbangan antara unsur-unsur subtil yang berupa karakteristik sifat-sifat mulia agar jiwa-jiwa malaikat bisa memberikan pertolongan spritualnya. Para malaikat dengan kekhususannya mewujud pada saat-saat yang berbeda dan akibatnya menjadi tertarik dengan wilayah-wilayah yang berbeda. Wilayah-wilayah spritual inilah yang mencirikan maqamat-ahwal yang disesuaikan dengan hakikat asli malaikat yang memiliki kapasitas menerima ilham dalam satu masalah tertentu. Impuls dan pikiran yang digolongkan diantara tahap kesempurnaan masuk ke dalam satu dari tiga pengelompokan. Kategori pertama ketika sebuah pikiran turun dari keakuan besar ke dalam keakuan kecil. Alasan penurunan ini adalah 23
Abdul Latif Faqih,Rahasia Segitiga,Allah-Manusia-Setan(Jakarta:Hikmah,2008)Cet.I, h.184
67
satu bagian inheren dari sistem,dimana kebajikan universal telah mensyaratkan sebuah penetapan keuntungan atau hal lain di dunia. Kategori kedua adalah ketika pelatihan jiwa manusia memiliki ekuivalensinya di dunia gagasan dan ini menjadi perhatian impuls universal. Impuls ini menapis ke dalam hati manusia-manusia mulia yang secara terus menerus mengabdikan diri kepada dunia gagasan dan kepada para malaikat yang menjadi pembawa rahasia ini. Kategori ketiga adalah para malaikat yang bercahaya yang ditunjuk untuk mengawasi laku-laku pujian dan ketundukan melingkari siapa saja yang melaksanakannya dan sebagian pesona mereka memancar kepada akal dan hatinya. Jika hatinya yang berkuasa maka kualitasnya adalah sebuah keintiman dan ketenangan.Jika akal yang dominan, berkah mengambil bentuk firasat, ketetapan hatinya menjadi terhubung dengan niat untuk melaksanakan perbuatan baik yang sesuai dengan pemahaman para malaikat (pikiran malaikat).24 Setelah memberikan penjelasan tentang rangkaian jalan-jalan pikiran, Imam Al-Ghazali kemudian memformulasikan konsep tentang bagaimana tafakkur bisa memberikan pengaruh spritual dalam kaitannya dengan penyucian hati. Sang Imam berkata dalam Al-Ihya tentang konsep ini: ”Kemudian masingmasing dari yang tidak disukai di sisi Allah atau yang dicintai itu terbagi kepada lahiriah seperti perbuatan-perbuatan taat dan perbuatan-perbuatan maksiat yang berimbas kepada batiniah yang dicirikan dengan sifat-sifat yang menyelamatkan dan yang membinasakan yang tempatnya adalah di hati”. Pola-pola pikiran yang bertumpu pada runtutan pikiran-pikiran di atas bila terakumulasi akan menambah jalan-jalan pikiran dengan bagian-bagian yang lebih luas sehingga akan timbul dorongan alamiah untuk lebih berekspresi dan berkreasi dalam ruang tafakkur. 1. Perbuatan Maksiat Imam Al-Ghazali menjelaskan konsep tentang perbuatan maksiat yang merupakan salah satu hijab terbesar dalam perjalanan spritual. Imam Al-Ghazali dalam Al-Ihya mengatakan agar seorang hamba memeriksa (muhasabah) pada pagi hari akan semua anggota badannya yang tujuh secara terperinci kemudian badannya secara global. Apakah ia pada waktu mengerjakan maksiat, lalu ia 24
Syah Waliyyullah Ad-Dahlawi,Pengetahuan Suci(Surabaya:Risalah Gusti,2002)Cet.I,h.200-201
68
meninggalkannya, lalu ia memperbaikinya dengan meninggalkannya dengan penyesalan, atau ia menghadap kepadanya pada siang harinya, lalu bersiap-siap menjaga diri dan menjauhinya. Muhasabah seperti yang dikonsepkan oleh Sang Imam merupakan mata rantai pertama dalam persiapan tafakkur yang terkait dengan aspek ibadah. Karena dalam proses muhasabah ada penggunaan potensi “fu'ad” (akal,fikir) dan potensi
“shadr”
(emosi,zikir)
untuk
mempertanyakan 25
perbuatannya dalam kaitannya dengan dunia luar.
dan
menghitung
Muhasabah dimulai dengan
penelitian tentang potensi-potensi indera yang berpengaruh besar terhadap potensi hati. Potensi indra yang menyimpang mengindikasikan adanya penyakit bagi hati. Hati yang sakit adalah adalah hati yang tidak mampu lagi lagi menjalankan fungsi yang seharusnya yang selaras dengan tujuan penciptaannya yaitu hikmah, ilmu, makrifat dan mencintaiNya. Ini berarti siapa yang memiliki sesuatu dan sesuatu itu lebih dicintainya daripada Allah maka berarti hatinya telah dijangkiti penyakit. Konsepsi inilah yang mendorong kaum sufi melakukan mujahadah yang merupakan latihan spritual untuk mengembalikan kesucian hati sehingga cahaya hati memberikan pengaruh positif bagi indra yang dicirikan dengan akhlak mulia. Syekh Hasan Basri berkata, ”Dosa demi dosa sehingga membutakan hatinya.”Perkataan ini mengisyaratkan ketika dosa dan maksiat bertumpuk, hati akan tertutup yang berupa “raan” (titik hitam) dan selanjutnya menjadi tutup yang menguncinya sehingga hati berada dalam kegelapan.26 Hal ini karena ketaatan adalah cahaya dan maksiat adalah kegelapan. Semakin kuat kegelapan dalam hati maka ilmu akan mengalami kondisi-kondisi destruktif yang merubah susunan alaminya menjadi pola-pola yang rancu dengan konsepsi-konsepsi yang menyesatkan. Betapa banyak ilmu yang bermanfaat tetapi tidak bisa membawa kebahagiaan karena faktor hati yang sakit. Contoh nyata adalah adanya kaum pecinta hawa nafsu yang telah tersesat karena hati yang sakit sekalipun mereka adalah kaum intelektual. Seperti aliran Tashbih (aliran yang menyerupakan Tuhan),a liran Jabariah, aliran Qadariah dan lain-lain. 25 26
Toto Tasmara,Kecerdasan Ruhaniah,(Jakarta:Gema Insani Press,2001)Cet.II, h.77 Ibnu Qayyim Al-Jauziah,Penawar Hati Yang Sakit,(Jakarta:Gema Insani Press,2005)Cet.II,h.72
69
Imam Al-Ghazali dalam Al-Ihya memberikan uraian tentang muhasabah dalam kaitannya dengan perbuatan maksiat. Muhasabah dimulai dengan lisan yaitu dengan memeliharanya dari sifat tercela seperti:mengumpat, berdusta, berbantah-bantahan dan lain-lain. Indra pendengaran dijaga dari perkataan yang keji seperti ucapan dosa, umpatan, bid'ah dan lain-lain. Kemudian muhasabah tentang perut yaitu bagaimana agar perut diisi dengan makanan yang halal sehingga syahwat tercela dan godaan syetan bisa diredam. Kemudian muhasabah tentang makanan, pakaian, tempat tinggal, mata pencaharian. Imam Al-Ghazali selalu menerapkan tafakkur dalam setiap aspek muhasabah secara global pada semua anggota badan yang secara simultan diikuti dengan sikap muraqabah yang merupakan afiliasi hati sebagai realisasi ibadah batin dengan Tuhan Yang Maha Melihat. Relasi ini akan efektif secara langsung dalam mengobati penyakit-penyakit laten hati seperti: berkuasanya nafsu syahwat, marah, kikir, ombong, ujub, ria, dengki, buruk sangka, lalai, ghurur dan lain-lain. Muhasabah ini jika mendapat dugaan tentang kesuciannya di dalam hati maka selanjutnya tafakkur akan diarahkan tentang cara pengujiannya dan mencari persaksiannya dengan tanda-tanda atasnya. Pengujiannya bisa berupa tindakantindakan ekstrim dalam laku mujahadah sementara tanda-tandanya adalah tingkatan-tingkatan spritual. Imam Al-Ghazali dalam kitab Mizan Al-'Amal lebih lanjut mengatakan bahwa perbuatan maksiat disebabkan karena keterbatasan dan kelalaian manusia.Keterbatasan ini menyangkut tentang kekurangan potensi lahir dan kelalaian menyangkut tentang kebodohan dan pengaruh hawa nafsu. Kebodohan ini bisa diakibatkan oleh kelalaian dengan persepsi-persepsi yang salah tentang agama dan juga adanya keyakinan bahwa kebahagiaan adalah kenikmatan duniawi dan bahwa urusan akhirat adalah sesuatu yang tidak memiliki dasar kebenaran. Keterbatasan dan kelalaian ini menciptakan variasi-variasi akal yang selanjutnya menciptakan beragam karakter sifat dan ilmu. Akibat pengaruh ini akal kadang-kadang mungkin memahami dasar perbuatan dan akibat buruk yang dihasilkannya tetapi ia tidak dapat melaksanakan perintah-perintahnya. Terkadang
70
akal menyerap pengetahuan yang ditujukan untuk memperkuat dorongandorongan negatif yang dikonsepsikan lewat kemungkinan-kemungkinan profit semata dan rencana-rencana efektif yang mengakibatkan keyakinan mengalami perubahan. Perbuatan maksiat memperoleh yurisdiksi dari syariat yang memuat hukum suci Tuhan dan di dalam syariat fungsi hati dikembalikan kepada fitrahnya. Karena ada banyak keragaman dalam karakter dasar manusia maka sarana penyucian juga akan berbeda sehingga ruang lingkup topik ini akan menjadi luas.Hendaknya diingat bahwa tahapan-tahapan penyucian juga berbedabeda dan masing-masing memiliki bentuk dan polanya sendiri.Inilah mengapa masalah ini begitu rumit karena tidak adanya kemampuan dalam memahami bagaimana mencapai kesatuan di dalam semua bentuk dan pola yang beragam sebagai akibat interaksi potensi-potensi jiwa. Solusinya adalah menyadari dan membedakan semua bentuk dan pola yang berbeda dan pemahaman yang baik tentang metode yang dipergunakan untuk mencapai tujuan hakiki. 2. Perbuatan Taat Imam Al-Ghazali dalam menjelaskan tentang laku perbuatan taat kembali memadukan muhasabah dan tafakkur yang menitikberatkan kepada pemeliharaan ibadah. Pemeliharaan ibadah ini menurut beliau dimulai dengan muhasabah dan tafakkur terhadap shalat-shalat fardhu yang meliputi cara pelaksanaan,istiqamah serta pelaksanaan shalat-shalat sunnat. Lebih lanjut beliau menjelaskan bahwa perbuatan taat secara global mencakup pemeriksaan tentang semua anggota badan dan aktifitas muamalah. Karena hal itu merupakan alat-alat dan sebab-sebab untuk mendapatkan kesucian hati dengan proses yang menerapkan pikiran yang halus terhadap macam-macam amalan taat, yang pada akhirnya menghasilkan pendorong dalam bersegera kepada amalan-amalan taat. Jadi, Imam Al-Ghazali membuat pola konsepsi perbuatan taat yang dikembalikan kepada konsepsi ibadah internal dan eksternal dengan muhasabah dan tafakkur sebagai titik tolak momentumnya. Momentum inilah yang menghubungkan nilai-nilai ibadah yang diwujudkan dengan tindakan moral (akhlakul karimah). Moral sendiri secara esensial merupakan bagian dari ibadah
71
sehingga relasi-relasi yang timbul murni merupakan sebuah do’a. Do’a merupakan otak ibadah yang berarti gagasan-gagasan Tuhan telah mengalami proyeksi fungsi dengan struktur baku yang ditetapkan dalam syariat yang pada gilirannya menjadi sarana munajat suci di dalam hati. Manusia dengan fitrahnya mengakui bahwa tindakan moral adalah tindakan yang agung dan mulia walaupun terkadang dipandang tidak rasional menurut naluri, logika, atau kebiasaan. 27 Ini berarti tindakan moral bisa terrealisasi sekalipun tanpa pengaruh akal karena dominansi hati yang merupakan alam bawah sadar di kedalaman jiwa bisa memberikan impuls-impuls solutif dan persuasif karena hati menyimpan potensi fitrah berupa pengetahuan suci Ilahiah, hukum-hukum-Nya, af'al-af'al-Nya serta iradah-Nya. Hakikat ibadah adalah sebuah perjalanan dari alam fisik menuju alam gaib yang sarat dengan lintasan-lintasan hati serta kenikmatan ruhaniah. Ibadah yang benar akan menggapai keridaan Tuhan. Dalam ibadah inilah seseorang akan selalu berprilaku normal di dunia dan mendapatkan kesehatan jiwanya.Implikasi ibadah kepada Allah adalah perilaku normal dan juga kesehatan jiwa atas keikhlasannya melakukan ibadah.28 Konsepsi tentang hakikat ibadah mengindikasikan syarat ibadah yang menolak syirik karena makrifat berdiri di ujung yang berseberangan dengan syirik. Ibadah sufistik adalah sebuah upaya untuk mengetahui,mendaki dan mendekati tempat sumber cahaya wujud secara internal dan secara eksternal yang
merupakan
sarana
jihad
pertarungan
ruhani
untuk
menaklukkan
kecenderungan tubuh demi kesempurnaan akhlak yang secara psikologi disebut kesehatan jiwa. Ada beberapa faktor pendorong ibadah menurut Imam Al-Ghazali dalam kitabnya Mizan Al-'Amal. Menurut beliau pendorong ibadah ada tiga;yang pertama adalah orang yang beribadah karena senang terhadap pahala dan kenikmatan surga atau terhadap hukuman dan siksa neraka.Ini adalah derajat kebanyakan orang. Tingkatan berikutnya adalah orang yang beribadah karena mengharapkan pujian dan takut murkaNya. Ini adalah derajat orang-orang yang 27 28
Murtadha Mutahhari,Energi Ibadah(Jakarta:Serambi,2007)Cet.I,h.28 M.Izuddin Taufik,Panduan Lengkap dan Praktis Psikologi Islam(Jakarta:Gema Insani Press,2004)Cet.II, h.449
72
shalih.
Tingkatan tertinggi adalah orang-orang
yang beribadah karena
mengharapkan kedekatan diri kepada Allah dan mencari ridhaNya, merindukan bertemu denganNya dan bergabung ke dalam golongan malaikat-malaikat yang dekat kepadaNya. Ibadah merupakan tingkatan rububiyah pertama dimana dalam ibadah manusia mampu menundukkan dirinya sendiri. Artinya ibadah telah berhasil memunculkan cahaya hati dan penglihatan batin sebagai visi positif dari ibadah yang berimbas pada penguasaan diri, semangat untuk menangkal naluri syahwat sehingga ia bisa menjadi hakim bagi dirinya sendiri serta punya kekuatan untuk mengimbangi segala hasrat dan keinginannya. Ibadah semuanya bermuara kepada amal-amal ketaatan dan tauhid. Ini
karena amal-amal ketaatan dan tauhid
merupakan sebab-sebab yang disukai olehNya dan sebab-sebab ini mengakibatkan adanya pemberian pahala dan ihsan. Sedangkan syirik dan dosa maksiat merupakan sebab-sebab yang dibenci olehNya tetapi mengakibatkan keadilan sekalipun pemberian berdasarkan anugerah lebih disukaiNya daripada pemberian dengan keadilan. 29 Tingkatan berikutnya dari aplikasi ibadah adalah adanya kemampuan dalam menundukkan setiap pemikiran negatif yang berupa imajinasi dan anganangan. Ini merupakan kaitan yang secara kausal terkait dengan tafakkur karena adanya hubungan interaktif dengan fakultas-fakultas kemanusiaan. Imajinasi dan angan-angan merupakan potensi manusia yang memungkinkan pikiran berpindah secara leluasa dari suatu obyek ke obyek lainnya. 30 Pikiran yang dipenuhi oleh imajinasi dan angan-angan adalah salah satu perangkap setan untuk membelokkan tujuan hakiki ibadah. Sebab ibadah murni adalah esensi zikir yang akan menyingkap hakikat spritual yang meliputi empat tingkatan maqam wujud esensi yang meliputi Zat, Sifat, Asma dan Af'al-Af'alNya. Imajinasi dan angan-angan akan memberikan ilusi-ilusi delusif yang merupakan pemalingan hati terhadap jalan-jalan kebenaran.Ilusi ini berupa hijab yang akan mempengaruhi daya akal, yang memberikan efek konversi polutif yang 29 30
Imam Al-Jauziyyah,Tobat:Kembali Kepada Allah(Jakarta:Gema Insani Press,2006)Cet.I,h.124 Murtadha Muthahhari,Energi Ibadah(Jakarta:Serambi,2007)Cet.I, h.181
73
mereka-reka sebuah solusi kebenaran demi mencapai keinginan rendah dari syahwat, amarah dan hawa nafsu. Ibadah juga merupakan bagian penting dari proses penyucian diri yang bertujuan untuk mendapatkan akses kepada sifat-sifat Ilahiah dan yang lainnya adalah untuk mencapai alam esensi. Konsepsi ibadah menurut kaum sufi sarat dengan aturan-aturan tarekat yang menitikberatkan pembersihan cermin hati dari citra binatang dan manusia dengan zikir-zikir suci. Citra binatang dan manusia merupakan bagian dari syahwat sebagai wujud kegelapan hati. Jika syahwat berbicara, ia keluar menuju kalbu dan dada. Kalbu adalah pimpinan seluruh anggota badan. Apabila kekuasaan dan kenikmatan syahwat menguasai kalbu maka kekuasaan dan kenikmatan makrifat juga akan bersembunyi di dalam kalbu sementara kekuatan, perhiasan dan sinar akal bersembunyi di dalam otak maka pikiran tidak bisa lagi mengontrol dan mengatur. Cahaya ilmu di dalam dada meredup,maka muncullah maksiat-maksiat badan.31 Pengembalian wujud esensi hati terhadap kondisi fitrahnya yang berupa totalitas penerimaan cahaya Esensi Tuhan merupakan akhir perjalanan legitimasi keislaman seseorang yang berarti pengasingan diri terhadap segala sesuatu selain Esensi Allah. Ketika hati telah bersih dan suci dari selain Allah Taala maka hati akan dipenuhi oleh makrifat yang merupakan wujud akhlak yang mulia. Kesucian hati sesuai dengan kadar tauhid dan makrifat akan memunculkan perkataan dan perbuatan yang baik. Kehadiran hati karena pengaruh langsung tauhid dan makrifat akan menimbulkan rasa tunduk, tenang dan pasrah. Variasi laku ibadah yang melibatkan mujahadah tujuannya adalah membentuk sifat-sifat yang terpuji. Sifat-sifat yang terpuji ini merupakan bagian dari wujud otoritas akal yang telah berhasil memposisikan tafakkur sebagai sarana produksi dan apresiasi ilmu dan hikmah. Melalui kekuatan ilmu dan hikmah inilah potensi-potensi jiwa bisa dipengaruhi untuk kemudian diarahkan dalam pembentukan karakter-karakter terpuji lainnya. Karakter terpuji ini dikenal dengan sebutan sifat lurus yang moderat sebagaimana yang disebutkan dalam surat Al-Fatihah ayat ke-enam.Lurus dalam 31
Al-Hakim Al-Tirmidzi,TheWisdom Of Al-Hakim Al-T irmidzi(Jakarta: Serambi,2008)Cet.I,H.175
74
sifat adalah bahwa kekuatan hikmah bisa bersifat “al-fitrah”,”al-tafrith” dan “alwasath”. Sifat “al-wasath” inilah yang terpuji dan dinamakan hikmah. Dengan kelurusan akhlak inilah yang akan melahirkan kemampuan untuk mengatur dengan mendayagunakan pikiran dan pemahaman yang jernih terhadap suatu perbuatan serta mampu memahami rahasia godaan jiwa. Berbeda dengan sifat “alifrath”yang akan menimbulkan sifat makar dan perilaku makar. Sementara sifat “al-tafrith” akan menimbulkan perilaku bodoh, dungu dan gila.32 Sebagai contoh adalah kekuatan amarah yang unsur lurusnya(al-wasath) adalah keberanian. Sifat berani ini melahirkan sifat-sifat seperti murah hati,kuat menahan marah dan setia terhadap janji misalnya. Tapi kekuatan marah juga bisa memiliki sifat “al-ifrath” yang bisa menimbulkan perilaku-perilaku seperti: takabur, ujub, sombong dan sebagainya. Sedangkan sifat “al-tafrith” menciptakan perilaku-perilaku seperti: pengecut, lemah kemauan, tertutup sekalipun ada di jalan yang benar. Sementara itu kekuatan syahwat memiliki sifat “al-wasath” yang dinamakan kesucian. Darinya akan timbil perilaku dermawan, sabar, pemurah dan lain-lain. Kekuatan “al-tafrith” dari syahwat adalah sifat hasud, dengki, fitnah dan sebagainya. Imam Al-Ghazali dalam Al-Ihya telah membuat konsep tentang hubungan tafakkur dengan sifat-sifat terpuji ini yang merupakan salah satu produk ibadah. Beliau merinci sifat-sifat terpuji yang diantaranya adalah taubat, sabar, syukur, takut, harap, zuhud, ikhlas, benar dalam ketaatan, cinta kepada Allah Taala, ridha, rindu, khusyu, serta tawadhu. Menurut beliau sifat-sifat terpuji ini bisa diperoleh dengan cara melakukan tafakkur di dalam hatinya tentang aspek-aspek pendukung dalam kaitannya dengan sifat-sifat tersebut. Aspek-aspek pendukung ini adalah konsepsi-konsepsi ilmu yang dibangun atas pikiran-pikiran obyektif dalam rangka penyusunan sebuah kesimpulan. Dalam hal ini Imam Al-Ghazali menekankan pentingnya referensi Al-Qur'an dan Al-Hadis sebagai sumber relevan dalam aktifitas ini. Salah satu contoh adalah sifat taubat yang bisa diperoleh dengan cara bertafakkur tentang dosa-dosa. Lalu dihubungkan dengan ancaman dan siksa yang 32
Imam Al-Ghazali,Mihrab Kaum Arifin(Surabaya:Pustaka Progresif,2002)Cet.II,H.165
75
pedih yang telah disebutkan dalam ajaran agama. Hal ini akan menimbulkan keyakinan tentang kemurkaan Tuhan sehingga terbangkit rasa penyesalan dan takut. Menurut Imam Al-Ghazali tingkatan pertama dalam tafakkur dalam kaitannya dengan sifat-sifat yang terpuji ini adalah tafakkur dalam ilmu-ilmu muamalah dan sifat-sifat hamba dari segi sifat-sifat yang dicintai atau dibenci oleh Allah Taala. Sementara tingkatan tertinggi adalah tafakkur tentang keagungan Allah Taala dan keelokan-Nya dengan disertai ketenggelaman hati. Maka jadilah citacitanya menjadi sebentuk cinta kepada Allah Taala. Dalam sufisme interaksi antara tafakkur dengan perbuatan taat (ibadah) inilah yang akan membentuk empat sifat utama yakni hikmah, keberanian, kesucian dan keadilan. Pewaris sempurna empat sifat utama ini adalah Rasulullah SAW yang digambarkan sebagai Nabi dengan akhlak Al-Qur'an.
D. Aplikasi Tafakkur 1. Tafakkur Manusia Konsep aplikasi tafakkur alam menurut Imam Al-Ghazali dibagi dalam dua tema sentral sebagaimana yang didasarkan dalam Al-Qur'an surat Yasin ayat ke-36 yang berbunyi:
Artinya :”Maha suci Tuhan yang menciptakan pasangan-pasangan semuanya baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui.”33 Tema pertama adalah tafakkur alam semesta dan manusia yang merupakan proses tafakkur teoritis yang sangat dominan dengan kompilasi data-data ilmiah yang susunannya bisa berbentuk pola-pola analitik. Sementara tema kedua adalah 33
Tim Departemen Agama,Al-Qur’andanTerjemahnya(Semarang:TohaPutra,1995)Cet.1995,h.710
76
tafakkur mistis (alam ghaib) seperti: rahasia-rahasia batin Al-Qur'an, para malaikat, jin, syetan, arasy, kursi dan lain-lain yang dalam prosesnya melibatkan penyingkapan-penyingkapan spiritual oleh hati. Dalam contoh aplikasi tentang tafakkur alam, Imam Al-Ghazali menitikberatkan tentang aspek-aspek zikir, muhasabah dan muraqabah yang mengindikasikan bahwa tafakkur merupakan medan ibadah dalam fungsinya sebagai sarana taqarrub dan jalan pendakian spritual. Karakter mendasar dari proses tafakkur sufistik versi Imam Al-Ghazali ini adalah adanya klasifikasi hierarki dalil-dalil pendukung untuk selanjutnya mendapat afirmasi tauhid yang bertumpu ke dalam empat konsepsi puncak tauhid yaitu Af'al-Af'al, Asma, Sifat dan Zat Allah Ta'ala. Kempat konsepsi tauhid ini merupakan tolak ukur kekuatan iman yang dibangun atas dua poros manifestasi rububiah dan uluhiah yang telah mengalami generalisasi struktur yang selanjutnya mendapat nuansa hegemoni syariat. Puncak pemahaman syariat hanyalah bila terdefinisi secara aktual dalam wujud konsepsi sebagai bagian transenden dari dwi-fungsional akal yang terlibat dalam tafsirantafsiran mistis. Tafsiran-tafsiran mistis inilah yang secara esensial mendefinisikan semua ilmu pengetahuan sekalipun dominansinya terkadang mengalami degeneralisasi sebagai efek dari daya-daya luar. Terkait dengan contoh aplikasi ini Imam Al-Ghazali memberikan sebuah konsep tentang asal-usul penciptaan manusia secara bertahap untuk selanjutnya dibawa ke dalam medan tafakkur. Tafakkur ini kemudian akan kita bagi menjadi empat tahapan sesuai empat tingkatan tauhid. Firman-firman Allah Ta'ala dalam Al-Qur'an terkait tentang proses penciptaan manusia diantaranya: a. Al-Qur'an surat Al-'Abasa ayat ke-17 hingga ayat ke-22 yang berbunyi:
77
Artinya:”Binasalah manusia,alangkah amat sangat kekufurannya?Dari apakah Allah
menciptakannya?Dari
menentukannya.
Kemudian
setetes Dia
mani,
Dia
memudahkan
menciptakannya,lalu
jalannya.
Kemudian
Dia
mematikannya dan memasukkannya ke dalam kubur. Kemudian jika Dia telah menghendaki, Dia membangkitkannya kembali.”34 b. Al-Qur'an surat Ar-Rum ayat ke-20 yang berbunyi:
Artinya:”Dan diantara tanda-tanda kekuasanNya ialah Dia menciptakan kamu dari tanah, kemudian tiba-tiba kamu menjadi manusia yang berkembang biak”.35 c. Al-Qur'an surat Al-Qiamat ayat ke-37 hingga ayat ke-38 yang berbunyi:
Artinya:”Bukankah
ia
ditumpahkan.Kemudian
(manusia) mani
itu
dahulu
menjadi
setetes
segumpal
mani darah,lalu
yang Allah
menciptakannya dan menyempurnakannya.”36 d. Al-Qur'an surat Yasin ayat ke-77 yang berbunyi:
Artinya:”Dan
apakah
manusia
tidak
memperhatikan
bahwa
Kami
menciptakannya dari setetes air mani maka tiba-tiba ia menjadi penentang yang nyata.”37 Adapun hadis -hadis yang terkait dengan penciptaan manusia ini antara lain: a) Nabi bersabda:”Kemudian diutus kepada janin itu malaikat,lalu ditiupkan ruh(nyawa)dan malaikat itu diperintahkan menulis empat kata,yaitu menulis riski,ajal,amal perbuatannya dan apakah ia akan menjadi orang
34
Tim Departemen Agama,Al-Qur’andanTerjemahnya(Semarang:TohaPutra,1995)Cet.1995,h.1025 Tim Departemen Agama,Al-Qur’an danTerjemahnya(Semarang:TohaPutra,1995)Cet.1995,h.644 36 Tim Departemen Agama,AlQur’andanTerjemahnya(Semarang:TohaPutra,1995)Cet.1995,h.1000 37 Tim Departemen Agama,Al-Qur’an dan Terjemahnya(Semarang:TohaPutra,1995)Cet.1995,h.714 35
78
yang bahagia atau menjadi orang yang celaka.”38 b) Hadis qudsi yang berbunyi:”Wahai anak Adam! Kuciptakan untuk kalian tempat yang kukuh(rahim). Lalu kuselimuti kalian dengan sebuah selaput hingga kamu tidak merasakan sakit di dalam rahim. Kujadikan wajahmu di sisi punggung ibumu agar bau makanan tidak menyakitimu. Dan Kujadikan kamu bersandar ke kanan dan ke kiri. Yang di sebelah kananmu adalah hati. Dan yang di sebelah kirimu adalah limpa(empedu). Kuajarkan kamu berdiri dan duduk di dalam perut ibumu. Maka, apakah ada selain-Ku yang mampu melakukan seperti itu? Kemudian, tatkala Aku sempurnakan umurmu di dalam rahim, maka Aku utus kepadamu malaikat yang mengurusi rahim. Lalu Aku tiupkan roh kepadamu melalui sayap malaikat itu, namun kamu belum memiliki gigi yang dapat menggigit, tangan yang dapat memegang dan kaki yang dapat berjalan. Kutumbuhkan untukmu dua pembuluh darah halus di dada ibumu. Dua pembuluh darah itulah yang mengantarkan padamu susu hangat pada musim dingin dan susu sejuk pada musim panas. Lalu Kucurahkan rasa cinta di hati ibumu dan ayahmu sehingga mereka berdua pun tidak dapat tidur hingga kamu dapat tidur. Mereka tidak dapat kenyang sehingga kamu kenyang. Kemudian, tatkala tulangmu menjadi kekar dan punggungmu menjadi hebat, kamu serta-merta mempersembahkan kepada-Ku kemaksiatan dalam kesendirianmu. Meskipun demikian,jika kamu kembali kepada-Ku , maka Aku akan menerimamu. Dan jika kamu meminta ampunan-Ku maka Aku akan mengampunimu.”39 Langkah berikutnya adalah penyusunan argumen-argumen penjelas yang merupakan hasil proses pengkajian secara teoritis. Dalam hal inilah konsepsikonsepsi disusun untuk membuat sebuah pengertian kausalitas yang dihadapkan pada sebuah kesimpulan aksiomatis yang akan relevan dengan konsep tunggal induk pengetahuan yakni Al-Qur'an. Dengan sebuah interpretasi batin yang memadukan cahaya hati dan cahaya akal sebuah kualitas baru akan tersusun dan 38
Abu Fida' Abdur Rafi,Menjadi Kaya Dengan Menikah,(Jakarta,Republika:2007)Cet.III, h.18 Abdul Basith Muhammad Sayyid,Rasulullah Sang Dokter(Solo:Tiga Serangkai,2006)Cet.I,h.5556
39
79
di saat yang tepat akan mewujud dalam dunia ide. Berikut ini adalah rangkaian argumen penjelas yang disusun oleh Imam Al-Ghazali terkait dengan kajian ini dalam Al-Ihya: ”Nutfah dikeluarkan oleh Tuhan dari tulang rusuk dan tulang dada. Bagaimana Dia mengumpulkan diantara laki-laki dan perempuan dan Dia melemparkan kasih sayang dan kecintaan pada hati mereka. Kemudian bagaimana Dia menciptakan anak dari air mani dan memberi minuman kepadanya dengan darah haid dan memberi makanan kepadanya sehingga anak itu berkembang. Bagaimana Dia menjadikan air mani yang berwarna putih cemerlang menjadi segumpal darah, kemudian bagaimana Dia menjadikannya segumpal daging, kemudian bagaimana Dia membagi bagianbagian air mani yang menyerupai lagi sama kepada tulang belulang, urat syaraf, urat-urat, tali pusar dan daging. Kemudian bagaimana Dia menyusun dari daging itu urat syaraf dan urat-urat menjadi anggota-anggota badan yang zahir. Lalu Dia membulatkan kepala, melubangi pendengaran, penglihatan, hidung, mulut dan jalan-jalan masuk lainnya. Kemudian Dia memanjangkan tangan dan kaki dan membagi jari-jari dengan anak-anak jari. Kemudian Dia menyusun anggotaanggota badan yang batin dari hati, perut besar, jantung, paru-paru, empedu, rahim, ginjal dan usus-usus. Masing-masing terbentuk dengan ukuran tertentu untuk fungsi tertentu.” Skema di atas adalah bagian dari kaidah-kaidah yang bisa disimpulkan dari hubungan-hubungan bipolar antara subyektifitas hati dengan obyektifitas akal sebagai konsekuensi dari proses tafakkur dengan memunculkan orientasi af'alaf'al Tuhan dengan proyeksi ilmu pada tatanan alam syahadah yang pada gilirannya mendapat klasifikasi dengan tingkatan-tingkatan pendakian spritual. Ketika konsepsi af'al-af'al tentang penciptaan manusia dibawa ke dalam ruang pemahaman akal secara simultan hati akan memberikan koreksi parsial lewat impuls yang integral dengan cahaya Ilahi. Cahaya Ilahi merupakan penerjemah
murni bagi
konsepsi-konsepsi
yang
dirancang akal untuk
menghadirkan daya-daya intimidatif. Daya-daya intimidatif itu misalnya adalah daya-daya malaikat, jiwa universal dan lain-lain yang akan memberikan impuls baru dengan struktur yang lebih baku. Struktur yang lebih baku adalah klarifikasi
80
Al-Qur'an yang memuat seluruh kodifikasi Af'al-Af'al Tuhan dengan tatanan yang universal. Jadi, dalam tingkatan pertama ini ada dua proses aktualisasi dan manifestasi sebuah konsep untuk mendapatkan afirmasi spritual dari Af'al-Af'al Tuhan. Proses pertama adalah ketika konsep dibawa ke dalam pemahaman akal yang akan menjadi wujud partikulariat yang terinduksi dalam dunia gagasan. Dunia gagasan adalah sebutan lain bagi otoritas Al-Qur'an yang merupakan sumber ilmu pengetahuan. Ketika konsepsi mengalami abstraksi total maka sebuah klasifikasi akan membentuknya menjadi sebuah kesimpulan. Kesimpulan inilah yang mendapat legitimasi syariat dan akan tersusun menjadi sebuah konsepsi tunggal. Disebut konsepsi tunggal karena dalam esensinya pengetahuan adalah tunggal jika dikaitkan dengan struktur universalitas Al-Qur'an. Jadi, proses pertama
adalah sebuah ekstraksi yang potensial terhadap proses daya hati.
Ekstraksi ini bersifat opensif yang berarti daya kerjanya akan mendapat struktur kuantitatif dan kualitatif jika terkoneksi dengan fakultas-fakultas kemanusiaan yang akan menimbulkan sintesa ilmu pengetahuan teoritis. Proses kedua merupakan afiliasi daya akal dengan hati untuk menciptakan “gagasan-gagasan Tuhan”. Ini dapat terbentuk dengan limpahan cahaya hati yang juga memperoleh intimidasi daya-daya malaikat, jiwa universal dan lain-lain. Dalam kondisi ini, kualitas hati yang dihasilkan sangat dipengaruhi dengan totalitas ibadah sebagai medium penerimaan cahaya Ilahi. Intinya, kegiatan ibadah seperti: shalat, puasa, zikir dan sebagainya akan melahirkan kekuatan spritual yang pada gilirannya mendorong impuls menjadi variabel dzauq. Dzauq yang telah menyerap sebuah konsepsi dengan bantuan cahaya Ilahi selanjutnya akan mengalami”mi'raj” spritual dalam empat tingkatan tauhid tadi. Tingkatan pertama adalah ketika proyeksi hati mengungkapkan setiap aspek dari konsepsi yang terserap menjadi sebuah wujud manifestasi Af'al-Af'al Tuhan.Tingkatan ini tercipta karena sudut pandang visioner telah berubah menjadi obyek manifestasi setelah sebelumnya menjadi subyek manifestasi dalam dunia gagasan konseptual teoritis.Ini merupakan akibat dari efek maqamat-ahwal yang secara sporadis akan menimbulkan ketenggelaman spritual tauhid.Ketika telah menjadi obyek manifestasi maka sang visioner akan mengalami definisi zauq
81
yang proyeksinya adalah sebuah konsepsi tentang Af'al-Af'al Tuhan. Tingkatan kedua adalah naiknya proyeksi akal dengan toleransi makrifat yang diwujudkan dalam konsepsi-konsepsi spritual. Tahapan ini telah mencapai sumber-sumber poros pengetahuan yang terintegrasi dengan susunan-susunan bipolar yang selanjutnya akan mengaktual dalam sebuah persepsi transendental. Dalam proyeksinya akan memperoleh impuls-impuls definitif yang merupakan manifestasi nama-nama agung Tuhan, yang segera setelah terproyeksi akan memberikan nilai intuitif baru bagi hati. Kondisi ini merupakan wujud equivalensi hati ketika nama-nama suci Tuhan bermanifestasi secara laten maka akal akan memproyeksikannya dengan unsur-unsur baku yang selanjutnya teraktualisasi dalam perspektif definitif. Selanjutnya aktualisasi ini akan mengalami turunan intensitas sesuai dengan karakter nama- nama suci Tuhan yang dipengaruhi oleh susunan wujud penerimanya. Adapun tahapan-tahapan yang terjadi bisa berupa regenerasi potensi fisik dan non-fisik yang selanjutnya terakumulasi dengan sebuah kilatan takdir. Tingkatan ketiga adalah ketika segenap pancaran hati sepenuhnya mengekstraksi daya akal maka proyeksi tunggal hati akan menjadi dominan. Dominansi ini akan memberikan impuls transenden tentang bagaimana sebuah kualitas zauq terdefinisi sebagai sifat-sifat suci Tuhan. Totalitas akan mewujud dalam satu sifat dan akan bermanifestasi sepenuhnya secara”Ahadiah” dan “Wahidiah”. Secara “Ahadiah” sifat-sifat suci Tuhan adalah murni sebuah kualitas dzauq transenden yang tidak dapat diekstraksi oleh hati secara utuh bahkan hati sendiri mengalami peniadaan (fana) secara total. Sedangkan “Wahidiah” sifat-sifat terdefinisi secara ajeg yang selanjutnya bermanifestasi secara kausalitas dengan sebuah gagasan Tuhan. Dalam maqam ini,hati akan terisolir dengan sifat-sifat suci Tuhan yang akan bermanifestasi dengan kesempurnaan wujud tunggal Tuhan yang hanya mendeteksi totalitas Uluhiah dan Ubudiah untuk selanjutnya mendapatkan wewenang suci yang terkenal dengan sebutan “wilayah” (kewalian). Intensitas sifat-sifat suci Tuhan adalah pola-pola regenerasi potensi-potensi akal aktual dan non-aktual yang akan”berdifusi” pada setiap alam ciptaan. Adapun tingkatan keempat terkenal dengan sebutan “Haqqul Yaqin”.Hati
82
akan dibawa kepada sumbernya yang berarti peniadaan segenap totalitas insaniat (potensi nasut) untuk sepenuhnya “lebur”dalam wujud Uluhiat (lahut). Interaksi hati akan dipenuhi oleh puncak-puncak penyingkapan mistis yang mengakibatkan daya hati terekstraksi sepenuhnya oleh Zat Yang Maha Suci. Kondisi terkenal dengan sebutan “fana”. Menurut Abu Yazid Al-Bustami,
seorang sufi akan
sampai pada penyatuan dengan Tuhan melalui “fana an-nafs” (hilang, hancur dan baqa) yaitu hilangnya kesadaran diri terhadap wujud jasmani, namun tetap menyadari akan wujud ruhaninya.40 Hubungan ini bersifat temporer karena wujud hamba sepenuhnya adalah putera waktu dan ketika Zat Yang Maha Suci menguasai sepenuhnya daya hati, maka hati akan kehilangan potensi rububiahnya yang selanjutnya memperoleh poros pengendali potensi uluhiah.Disinilah puncak impuls terkonsentrasi menjadi sebuah totalitas” waktu Tuhan”. Istilah “waktu Tuhan” adalah kefanaan total hamba sebelum pada akhirnya dibawa kepada kebaqaan. 1. Tafakkur Al-Qur’an Dalam buku “Al-Qistas Al-Mustaqim” Imam Al-Ghazali memberikan contoh tentang aplikasi tafakkur Al-Qur'an dalam menyusun konsep-konsep baru yang memadukan daya nalar logika dengan daya cahaya hati. Prosesnya mirip dengan pola-pola filsafat iluminasi. Filsafat iluminasi sendiri adalah filsafat yang ajarannya didasarkan pada penyinaran (al-isyraq) yang tidak lain adalah penyingkapan( al-kasyaf) dan penglihatan batin (al-musyahadah). Hal tersebut terjadi karena munculnya cahaya dari alam immateri yang menyinari hati dan jiwa lewat tahapan-tahapan tertentu.41 Di dalam buku tersebut Imam Al-Ghazali menyusun konsep tentang standar kebenaran yang merupakan kaidah-kaidah dalam mengukur sebuah konsepsi. Adapun standar kebenaran (parameter) yang beliau susun sebagai aplikasi dari tafakkur Al-Qur'an itu antara lain : skala besar parameter Equilibrium (Ta'adul), skala medium parameter Equilibrium, skala kecil parameter Equilibrium, parameter Equivalensi (Talazum), parameter Kontradiksi (Ta'anud). 40 41
Harun Nasution,Falsafah dan Mistisisme dalam Islam(Jakarta:Bulan Bintang,1995)Cet.IX, h.76 M.Hadi Masruri,,Ibn Tufail:Jalan Pencerahan MencariTuhan(Yogyakarta:LKIS,2005)Cet.I,h.15
83
a. Skala Besar Parameter Equilibrium (Ta'adul) Menurut Imam Al-Ghazali skala besar parameter Al-Qur'an tercermin dalam cerita Nabi Ibrahim As. dengan raja Namrud. Raja Namrud mengaku dirinya sebagai Tuhan, padahal kesepakatan umum mengatakan bahwa ke-Tuhanan adalah ungkapan dari Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu. Argumen Nabi Ibrahim As adalah seperti yang tersurat pada firman Allah Ta'ala pada surat AlBaqarah ayat ke-258 yang berbunyi :
Artinya: ”Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang mendebat Ibrahim tentang
Tuhannya
karena Allah
telah
memberikan
kepada
orang
itu
pemerintahan. Ketika Ibrahim mengatakan: ”Tuhanku ialah yang menghidupkan dan mematikan, ”orang itu berkata: ”Saya dapat menghidupkan dan mematikan.Ibrahim berkata, ”Sesungguhnya Tuhanku mendatangkan matahari dari timur, maka jika kamu benar-benar Tuhan, datangkanlah matahari dari barat,” lalu heran terdiamlah orang kafir itu, dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.”42 Skala ini memiliki hujah argumentasi yang didasarkan atas dua pondasi pokok (dualisme) yang kemudian melahirkan konklusi yaitu pengetahuan. Gambaran yang sempurna dari parameter ini adalah ketika raja Namrud menyatakan dirinya sebagai Tuhan yang berarti premis pertama adalah klaim raja Namrud sebagai Tuhan yang mampu menerbitkan matahari. Sementara premis kedua adalah adanya Tuhan Yang Maha Kuasa
yang mampu menerbitkan
matahari Maka konklusi kedua premis adalah bahwa bahwa Tuhan yang 42
Tim Departemen Agama,Al-Qur’an dan Terjemahnya,(Semarang:TohaPutra,1995)Cet.1995,h.64
84
sebenarnya adalah selain raja Namrud.43 Analisis di atas terlihat bahwa premis pertama merupakan pengetahuan yang ketetapannya telah disepakati umum sementara premis kedua dimaklumkan dengan fakta nyata bahwa raja Namrud bukan Tuhan Yang Maha Kuasa yang menggerakkan matahari. Jabaran dari proses di atas adalah bahwa setiap tingkatan pengetahuan yang mana kita menghasilkan pengetahuan akan atribut sesuatu, lalu kita mendapatkan pengetahuan yang lain juga tentang hukum atribut ini, sehingga lahirlah dari kedua premis itu pengetahuan ketiga tentang ketetapan hukum atas ”yang disifati” secara alami. Penyusunan premis sendiri didasarkan atas skala umum yang merupakan pengetahuan akan aksioma-aksioma yang konsekuensif yang bersumber dari pengetahuan inderawi, eksperimental maupun akal intuitif. Diantara contoh lainnya adalah tentang keharaman kokain. Premis pertama adalah bahwa kokain itu memabukkan dan merusak sistem saraf
yang diketahui dari pengalaman
inderawi. Premis kedua adalah setiap yang memabukkan dan cenderung merusak kesehatan adalah yang haram. Premis ini diketahui melalui hadis yang bersumber dari Nabi Muhammad SAW. b. Skala Medium Dari Parameter Equilibrium Imam Al-Ghazali menyusun skala medium ini yang sumbernya adalah surat Al-An'am ayat ke-76 yang berbunyi:
Artinya:”Ketika malam telah menjadi gelap,dia melihat sebuah bintang,lalu dia berkata:”Inilah Tuhanku”. Tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia berkata : Saya tidak suka pada yang tenggelam.”44 Firman di atas berkisah tentang Nabi Ibrahim As yang menafikan bulan sebagai Tuhan.Adapun alur lengkap skala ini adalah bahwasanya Tuhan tidak bisa tenggelam (premis mayor) dan bulan bisa menghilang (premis minor),maka konklusinya bulan bukanlah Tuhan.
43 44
Imam Al-Ghazali,Al-Qistas Al-Mustaqim,(Yogyakarta:Pustaka Sufi,2002).Cet.I,h.91 Tim Departemen Agama,Al-Qur’an danTerjemahnya(Semarang:TohaPutra,1995)Cet.1995,h.199
85
Skala medium secara sederhana disusun atas pengetahuan tersendiri di dalam pikiran Nabi Ibrahim As bahwasanya Tuhan tidak tenggelam, meskipun pengetahuan ini bukanlah aksioma ,melainkan lebih terdeduksi dari premis mayor dan minor yang menghasilkan konklusi bahwa Tuhan tidaklah berubah-ubah sebab semua yang berubah-ubah adalah aksiden (baru) sementara ketenggelaman adalah perubahan. Adapun batasan skala ini adalah bahawa setiap dua hal yang sama salah satunya akan menerangkan (sifat) kepada yang lain, kemudian sifat tersebut akan menghilangkan yang lain. Maka kedua sifat tersebut antara satu dengan yang lain jauh berbeda, yakni salah satunya akan menghilangkan sifat yang lain. 45 Aplikasinya ketika Tuhan ternegasi dari ketenggelaman yang ditetapkan pada bulan maka hal itu mengharuskan adanya differensiasi antara Tuhan dan bulan, yaitu bulan bukan Tuhan dan Tuhan tidak berupa bulan. Adapun contoh lain tentang parameter ini antara lain pada firman Allah SWT pada surat Al-Baqarah ayat ke-186:
Artinya : ”Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo’a apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaknya mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.”46 Parameter ini menimbang tentang konsekuensi do’a yang merupakan tingkatan manifestasi Af’al-Af’al Allah SWT yang tersusun dalam kerangka kausalitas. Salah satu premis mayornya adalah Tuhan tidak jauh (dekat). Premis minornya adalah adanya syarat dalam berdo’a. Konklusinya adalah pengabulan do’a tidak berpengaruh dalam status rububiahNya tetapi lebih merupakan efek dari Af’al45 46
Imam Al-Ghazali,Tangga Makrifatullah,(Surabaya:Risalah Gusti,2000)Cet.II,h.158 Tim Departemen Agama,Al-Qur’an dan Terjemahnya,(Semarang:TohaPutra,1995)Cet.1995,h.45
86
Af’al-Nya yang menuntut adab –adab dalam berdo’a. c. Skala Kecil Dari Parameter Equilibrium Sumbernya adalah Al-Qur'an surat Al-An'am ayat ke-91 yang berbunyi:
Artinya : ”Dan mereka tidak menghormati Tuhan dengan penghormatan yang semestinya di kala mereka berkata : ”Tuhan tidak menurunkan sesuatu pada manusia”. Katakanlah : ”Siapakah yang menurunkan Kitab Taurat yang dibawa oleh Musa sebagai cahaya dan petunjuk bagi manusia, kamu jadikan Kitab itu lembaran-lembaran kertas yang tercerai-berai, kamu perlihatkan (sebagiannya), dan kamu sembunyikan sebagian besarnya, padahal telah diajarkan kepadamu apa yang kamu dan bapak-bapak kamu tidak mengetahuinya ?”. Katakanlah : ”Allah-lah (yang menurunkannya)”, kemudian(sesudah kamu menyampaikan AlQur’an kepada mereka), biarkanlah bermain-main dalam kesesatannya.”47 Dalam ayat di atas terdapat dua premis.Pertama,Nabi Musa As adalah manusia(premis mayor). Kedua, Nabi Musa As diberi kitab (premis minor). Konsekuensi logisnya, ada sebagian manusia yang diberi wahyu dan menjadi gugurlah pendapat generalisir yang menyatakan bahwa tidak ada manusia yang menerima Kitab (wahyu) sama sekali. Premis pertama bahwa Nabi Musa As adalah manusia diketahui dengan indera, sementara premis kedua bahwa Nabi Musa As menerima Kitab diketahui dari pengakuan kaum Yahudi sendiri. Menurut Imam Al-Ghazali , batasan definitif parameter ini adalah bahwa jika ada dua atribut yang terkumpul dalam satu materi , maka salah satu atribut haruslah menjadi atribut yang lain dan tidak boleh 47
Tim Departemen Agama,Al-Qur’an danTerjemahnya(Semarang:TohaPutra,1995)Cet.1995,h.20
87
dikatakan bahwa kedua atribut harus menjadi atribut satu materi melainkan lebih kondisional, kadang menjadi atributnya dan kadang tidak juga. Contoh lainnya adalah kasus penyifatan manusia.Premis pertama adalah bahwa hewan itu bertubuh (premis mayor) dan manusia itu bertubuh (premis minor) maka konklusinya harus dikatakan bahwa hanya sebagian materi bertubuh saja yang bisa disebut hewan dan tidak bisa digeneralisir.48 d. Skala Parameter Equivalensi (Talazum). Parameter ini dideduksi dari firman Tuhan surat Al-Anbiya ayat ke-22 yang berbunyi:
Artinya : ”Sekiranya di langit dan di bumi ada Tuhan selain Allah tentu keduanya telah rusak binasa. Maka Maha Suci Allah yang mempunyai Arasyi daripada apa yang mereka sifatkan.”49 Parameter ini juga terdapat pada surat Al-Isra ayat ke-42 yang berbunyi:
Artinya : ”Katakanlah:”Jika ada tuhan-tuhan di samping-Nya sebagaimana yang mereka katakan,niscaya tuhan-tuhan itu mencari jalan kepada Tuhan yang memiliki singgasana Arasy”.50 Aplikasi gambaran parameter ini adalah jika ada dua Tuhan di alam semesta pastilah alam akan binasa (premis mayor) dan kenyataannya alam tidak binasa (premis minor) maka konsekuensi logisnya adanya Tuhan selain Allah jelas ternafikan dengan sendirinya. Juga, jikalau ada tuhan-tuhan lain disamping Tuhan pemilik Arasy mereka akan memperebutkan Arasy (premis mayor) dan kenyataannya mereka tidak saling berebut (premis minor), maka konsekuensi logisnya tuhan-tuhan lain selain pemilik Arasy harus dinafikan. Adapun batasan definitif parameter ini adalah
bahwa setiap yang
menempel pada sesuatu, ia akan terus mengikutinya dalam segala kondisi. 48
Imam Al-Ghazali,Al-Qistas Al-Mustaqim,(Yogyakarta:Pustaka Sufi,2002).Cet.I,h.101 Tim Departemen Agama,Al-Qur’an danTerjemahnya(Semarang:TohaPutra,1995)Cet.1995,h.498 50 Tim Departemen Agama,Al-Qur’an danTerjemahnya(Semarang:TohaPutra,1995)Cet.1995,h.430 49
88
Konsekuensi logisnya, penafian adhesi (lazim, kelekatan)
mengimplikasikan
keharusan penafian yang dilekatkan (malzum) dan sebaliknya adanya “malzum” mengimplikasikan keharusan adanya “lazim”. Adapun penafian “malzum” dan adanya “lazim” tidak membawa konklusi dan merupakan timbangan setan. 51 Contoh aplikasi parameter ini antara lain tentang larangan nikah lintas agama. Premis pertama didasarkan aspek universalitas kedudukan sosial umat manusia yang menuntut persamaan hak. Premis kedua adalah legalitas syariat yang menuntut keabsahan aqidah secara khusus. Konklusinya nikah lintas agama tidak memenuhi kualifikasi dalam tuntutan dan konsekuensi global tentang totalitas syarat-syarat sah nikah. e. Skala Parameter Kontradiksi (Ta'anud) Letak timbangan ini di dalam Al-Qur'an adalah pada firman Allah Ta'ala sewaktu mengajari Nabi Muhammad SAW :
Artinya : ”Katakanlah:”Siapakah yang memberi rizki kepadamu dari langit dan dari bumi?Katakanlah:”Allah” dan sesungguhnya kami atau kalian (orang-orang musyrik) pasti berada dalam kebenaran atau di dalam kesesatan yang nyata.”(Q.S Saba ayat 24).52 Dalam ayat di atas Allah Ta'ala tidak mengemukakan “kami dan kalian” dalam tataran yang equivalen dan skeptis, akan tetapi ada premis implisit di dalamnya, yaitu; ”kami tidak berada di dalam kesesatan”. Lengkapnya, sesungguhnya Allah Ta'ala memberikan rizki kepadamu dari langit dan bumi. Dia memberikan rizki dari langit dengan menurunkan hujan dan memberikan rizki dari bumi dengan menumbuhkan tanaman maka kalian telah sesat dengan mengingkari
hal tersebut.
Logika
timbangan
ini adalah bahwa
diksi
“sesungguhnya kami dan kalian berada dalam kebenaran atau di dalam kesesatan “ adalah satu premis. Lalu diketahui selanjutnya bahwa “kami tidak sesat” sebagai 51 52
Imam Al-Ghazali,Al-Qistas Al-Mustaqim,(Yogyakarta:Pustaka Sufi,2002).Cet.I,h.103 Tim Departemen Agama,Al-Qur’an danTerjemahnya(Semarang:TohaPutra,1995)Cet.1995,h.687
89
premis kedua. Maka konsekuensi logis dari dualisme premis ini adalah konklusi keharusan bahwa kalian sajalah yang tersesat.53 Adapun definisi neraca ini adalah, segala yang bisa dibatasi dalam dua bagian, kalau salah satunya positif tentu yang lain negatif, begitu sebaliknya. Akan tetapi disyaratkan bagian tersebut terbatas dan bukan yang tidak dapat dibatasi. Sebab neraca dengan bagian tidak terbatas adalah neraca setan. 54 Contoh kasusnya adalah pengingkaran
kenyataan hari kebangkitan.
Konklusi dibangun atas dua opsi yakni adanya aspek kausalitas dan kematian dalam penciptaan alam. Maka konklusinya pengukuran nilai-nilai dari kedua aspek mutlak memerlukan pola dimensi kehidupan lain untuk mewujudkannya yakni hari kebangkitan. 3.Tafakkur Ilmu Adapun pembahasan tentang tafakkur ilmu ini didasarkan atas kitab Imam Al-Ghazali yang berjudul “Al- Munqiz Min Ad- Dhalal” edisi terjemah. Di dalam kitab ini Imam Al- Ghazali merumuskan konsep tentang bagaimana tafakkur teoritis berhasil sampai kepada ilmu hakikat jika syarat – syarat kondisionalnya terpenuhi, sekalipun pada dasarnya merupakan tulisan biografi perjalanan intelektual beliau. Beberapa syarat itu diantaranya adalah daya kecerdasan intelektual yang mumpuni, bebas dari taklid buta, taqwa, kreatifitas bertafakkur dan lain – lain. Tema sentral kitab ini adalah ilmu hakikat yang merupakan esensi dari setiap ilmu, yang eksistensinya berada pada tatanan spritual dengan hati sebagai basis eksplorasinya. Imam Al- Ghazali menjelaskan bahwa ilmu hakikat ini merupakan sumber dari segala ilmu pengetahuan sebagaimana tersirat dalam hadis “ Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, kemudian kedua orang tuanyalah yang menjadikannya seorang Yahudi, Nasrani, atau Majusi.”
55
Aspek
fitrah adalah sisi fundamental setiap manusia yang pada esensinya selalu siap
53 54
55
Imam Al-Ghazali,Al-Qistas Al-Mustaqim,(Yogyakarta:Pustaka Sufi,2002).Cet.I,h.104 Imam Al-Ghazali,Tangga Makrifatullah,(Surabaya:Risalah Gusti,2000)Cet.II,h.172 Imam Al-Ghazali,Samudera Pemikiran Al-Ghazali,(Yogyakarta:Risalah Gusti,2002)Cet.I,hal.447
90
menerima sebuah perubahan, yang tersusun menurut ukuran tertentu yang dinisbatkan pada sebuah tahapan konvergensi kausalitas. Jadi, jika terkait dengan akidah sebagaimana diisyaratkan dengan sebuah aliran kepercayaan maka sebuah totalitas akan muncul yang merupakan acuan kausalitas dalam merumuskan sebuah konsepsi akidah tertentu. Dalam batas – batas tertentu prosesnya melibatkan faktor – faktor terpisah yang akan memberikan aspek primordial dalam referensi pemahamannya tentang sebuah akidah. Totalitas inilah yang dimaksudkan sebagai sumber pengetahuan tadi. Salah satu poin pertama pembahasan ini adalah pengetahuan tentang adanya ilmu yaqini
(ilm al-yaqin) sebagai induk dari segala pengetahuan
(totalitas), yang keberadaannya bisa merupakan sesuatu yang timbul dari sikap skeptisisme terhadap ilmu inderawi atau teoritis. Hal inilah yang dialami oleh Imam Al- Ghazali dalam karir intelektualnya, yang pada akhirnya beliau harus menguji setiap kajian ilmu dari berbagai klan pengetahuan. Diantaranya adalah: ilmu kalam, filsafat, aliran Batinniyah dan golongan Sufi. Keempat aliran di atas adalah induk dari segala cabang – cabang pengetahuan yang relevansinya mendapat afirmasi dari syara’ tetapi dalam afirmasi ilmu yaqini membutuhkan pengujian (eksperimen) sebagai medianya. Kita
tidak akan membahas tentang aspek – aspek komplementer dari setiap
aliran karena akan memperluas pembahasan tetapi kita hanya akan menguraikan bagaimana Imam Al- Ghazali mengadopsi tafakkur dalam pencarian kebenaran hakiki. Imam Al-Ghazali mengadopsi pola logika induksi sebagai kerangka berpikir dasar, yang berarti Imam Al-Ghazali telah memiliki sebuah standar kebenaran sementara yang merupakan acuan definitif bagi struktur – struktur doktrinal referensi pengetahuan yang diuji. Sebagaimana perkataan beliau :” Aku sangat membutuhkan akan ilmu tentang hakikat segala sesuatu. Karena itu, aku harus mencari tentang hakikat ilmu itu sendiri. Kemudian tampak bagiku, bahwa ilmu yaqini adalah ilmu yang bisa menyibak pengetahuan secara sempurna tanpa
91
menyisakan keraguan sedikit pun “.56 Pernyataan ini beliau peroleh sebagai hasil tafakkur sebelumnya dengan Al-Qur”an dan Al-Hadis sebagai referensi utamanya. Pernyataan ini kemudian beliau uji dengan konsep – konsep doktrinal setiap aliran dengan mencari aspek negasinya yang klarifikasinya adalah integrasi dari konsepsi holistikanya yang dirunut dengan variabel – variabel bipolarnya. Sebagai contoh kita akan menguji filsafat sebagai aliran yang diklaim paling dekat dengan kebenaran . Dalam bukunya Imam Al- Ghazali memberikan beberapa variabel – variabel bipolar yang diperoleh setelah analisa mendalam tentang intisari dari ajaran kaum filsafat. Variabel – variabel bipolar ini adalah sebuah konsepsi yang berimplikasi terhadap dua aspek mutual yang meliputi aspek logika empris – inderawi dengan aspek aqidah – syara’. Jika tidak terdapat kesesuaian yang melibatkan dua poros pengetahuan ini akan berujung kepada kesimpulan – kesimpulan yang sesat. Diantara kesesatan yang terjadi di kalangan filsuf adalah pengingkaran terhadap kebangkitan jasad yang premis – premisnya mereka susun dalam kaidah matematis dimana mereka mengklaim bahwa makna kebangkitan adalah murni ruhani karena sesuatu yang tersusun atas integritas konseptual sebagaimana yang diindikasikan dengan daya kerja akal adalah daya reka yang terjalin dalam formalitas yang terpadu. Ini berarti ketika kematian manusia akan melepaskan daya hayawannya secara mutlak sebagai implikasi kegelapan ruh. Daya ini tidak akan kembali saat hari kebangkitan karena mustahil sesuatu yang bukan komponen asli bisa terwujud kembali dalam struktur yang sama sebagaimana dalam teori matematis tentang pembagian angka – angka. Dalam pembagian angka – angka, sebuah pembagi dan yang dibagi akan selalu menghasilkan nilai konvergen dari masing – masing komponennya. Variabel – variabel bipolar untuk mematahkan argumentasi adalah bahwa sebuah sistem yang bekerja dengan sebuah susunan tertentu bisa bebas dikreasikan dalam rupa dan dimensi yang baru. Karena makna
perubahan tidak
hanya terbatas pada susunan formalnya tetapi juga menyangkut aspek soliternya yang selalu ajeg dalam transformasi baru. Sebagaimana diisyaratkan dalam surat 56
Imam Al-Ghazali,Keluar dari Lumpur kesesatan/ sub terjemah,(Yogyakarta:Risalah Gusti, 2002) Cet.I, hal. 447
92
Yasin tentang kayu basah yang bisa terbakar. Keterbakaran kayu basah adalah sifat soliter yang terwujud dengan sifat baru yang bertentangan dengan kausalitas sebagai sifat aslinya. Inilah
gambaran
sederhana
tentang
tafakkur
ilmu,
yang
dapat
mengantarkan kita kepada keyakinan hakikat sebagaimana yang terjadi pada Imam Al- Ghazali ra. Kembali penulis tekankan bahwa aplikasi tafakkur dalam aspek apapun selalu kembali kepada tujuan ini.
BAB V PENUTUP
A. KESIMPULAN Setelah mengkaji dan menganalisa pada akhirnya penulis berkesimpulan bahwa tafakkur versi Imam Al-Ghazali adalah integrasi menyeluruh antara komponen-komponennya yang meliputi hati (al-qalbu), akal (al-aql) dan nafsu (an-nafs). Sementara faktor keempat adalah ruh (ar-ruh) yang ternyata lebih bersifat pasif dalam koordinasi kausalitas biologis sebelum pada akhirnya menjadi dominan dalam pemberi suplementasi nilai-nilai dzauq pada tataran nasut. Tafakkur bertujuan untuk menghadirkan makrifat di dalam hati. Tafakkur merupakan proses sintesa ilmu yang meliputi dua tahapan. Tahapan pertama merupakan aplikasi akal muktasab yang aktifitasnya adalah proses-proses
pembelajaran
dalam
sintesa
ilmu-ilmu
teoritis
yang
menitikberatkan kepada daya akal secara global dan tersusun dalam pola-pola tertentu. Sementara tahapan kedua adalah merupakan aplikasi akal fitrah yang mempunyai akses ke hati (al-qalbu) yang menerima cahaya Ilahi dalam bentuk makrifat yang selanjutnya mendapat reinterpretasi oleh akal untuk disusun menjadi sebuah bentuk definitif. Tafakkur berjalan dengan efektif jika komponen-komponennya telah tersucikan yang dicirikan dengan timbulnya kemampuan-kemampuan spritual yang merupakan tolak ukur akhlakul karimah. Tafakkur sejalan dengan maqamatahwal yang akan selalu mempengaruhi prosesnya dan akan selalu memberikan ciri representatif dalam penentuan kualitas dan kuantitas produk dari tafakkur. Diantaranya adalah laku-laku taat dan maksiat yang dominan dalam penentuan karakteristik sifat-sifat yang berpengaruh dalam penerimaan intensitas cahaya Ilahi. Jika semua komponen telah berada di dalam posisi keseimbangan
93
94
yang mana kaum sufi mengisyaratkannya dengan “jalan tengah” maka sebuah kemampuan suci akan diperoleh (ilmu Ladunni) yang merupakan puncak afiliasi tafakkur. Dalam prosesnya tafakkur mendapat impuls-impuls yang bersumber dari interaksi pasif dan aktif daya-daya luar seperti: daya-daya malaikat, setan, nafsu, emosi, amarah yang akan berpotensi memberikan penyimpangan dalam proses tafakkur. Penyimpangan ini meliputi susunan formalitas struktural yang bisa bersifat positif dan negatif.Impuls-impuls ini terbagi dalam dua kategori. Kategori pertama adalah wujud pencitraan interaksi akal dengan daya-daya luar yang akan menafsirkan definisi-definisi secara simbolik dan cenderung pragmatis sesuai dengan kapasitas dan intensitas daya-daya luar yang mempengaruhinya. Sedangkan kategori kedua adalah wujud pencitraan hati dengan dayadaya luar yang hanya menafsirkan definisi-definisi uluhiah yang cenderung dominan terhadap daya-daya luar. Imam Al-Ghazali menitikberatkan peran hati(al-qalbu) dalam proses tafakkur yang selanjutnya menghubungkannya dengan konsep-konsep penyucian hati. Pada tahap awal tafakkur adalah media dalam proses” tazkiyatun nafs” sebelum pada akhirnya menjadi interpretasi makrifat dalam mihrab kaum arifin.Menurut beliau proses-proses tafakkur ideal adalah sebagai berikut: 1. Tadzakkur yang merupakan upaya menghadirkan dua pengetahuan di dalam hati. 2. Tafakkur merupakan proses mencari pengetahuan baru dari proses tadzakkur. 3. Hasilnya pengetahuan yang dicari dan bersinarnya hati dengannya. 4. Berubahnya keadaan hati dari apa yang telah ada disebabkan hasilnya cahaya makrifat. 5. Pelayanan anggota-anggota badan bagi hati menurut keadaan yang baru baginya. Dalam sufisme, tafakkur adalah termasuk tingkatan spritual yang tinggi dan
95
dilihat dari tujuannya sudah sewajarnya kita memupuk niat agar senantiasa bertafakkur dalam kehidupan sehari-hari. Semoga kita termasuk orang-orang yang bertafakkur.
KATA PENGANTAR Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya,sehingga penulisan skripsi ini dapat terselesaikan. Shalawat dan salam semogta tercurah kepada Nabi Muhammad SAW ,keluarga,sahabat dan seluruh pengikut beliau. Dalam penulisan sakripsi ini, banyak kesan yang penulis dapatkan berupa hambatan dan tantangan yang membuat penulis semakin bergiat diri untuk terus memperbaiki skripsi yang telah diajukan hingga titik maksimal usaha penulis. Ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya penulis sampaikan kepada: 1. Dekan Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Ketua dan Sekretaris Jurusan Pendidikan Agama Islam UIN Syarif Hidayatullah. 3. Prof . Dr .H. M. Ardani, MA, selaku dosen pembimbing yang telah sudi menyisihkan waktu dalam membantu penulisan skripsi ini. 4. Para Dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah mendidik dan memberikan bekal ilmu pengetahuan yang sangat bernilai. 5. Kedua orang tua tercinta yang telah memberikan curahan kasih sayang dan do’a. 6. Teman-teman angkatan 2004 khususnya kelas E. Dengan mengharap ridha dari Allah SWT ,semoga segala kebaikankebaikan yang telah diberikan kepada penulis mendapatkan balasan Allah SWT.Amin. Jakarta, 2 Agustus 2010 Penulis
i
ABSTRAK
Dewasa ini, metodologi dalam dunia pendidikan dan pengajaran mengalami disorientasi substansial ketika dihadapkan terhadap kasus esensialisasi tujuan pendidikan dan pengajaran itu sendiri. Ini dikarenakan metodologi yang dipakai tidak sinergis dengan daya akomodasi yang meliputi faktor – faktor dominan yang terintegrasi dengan kapasitas spritual yang sekarang banyak dilupakan. Faktor – faktor dominan yang dimaksud adalah daya – daya jiwa yang menitikberatkan terhadap sintesa ilmu untuk selanjutnya dirumuskan dalam sebuah varian – varian korelatif dengan jaringan ilmu teoritis. Ilmu teoritis secara formal selalu gagal dalam pembentukan karakter takwa yang merupakan tujuan formal dari dunia pendidikan. Daya – daya jiwa bersumber dari hati yang suci yang secara khusus telah menjadi kajian kaum sufi. Dalam tradisinya, kaum sufi telah berhasil membuat sebuah metodologi penyucian hati agar sintesa dari ilmu mengalami regenerasi struktural yang diindikasikan dengan konsep “maqamat – ahwal” yang secara langsung dan tidak langsung akan merevisi sebuah konsepsi ilmu menuju gerbang makrifat yang merupakan indikator keberhasilan metodologi ini. Imam Al- Ghazali secara tersirat dalam kitab Ihya Ulumuddin telah menggagas konsep tentang hubungan kausalitas ilmu teoritis dengan daya jiwa (dzauq) dalam memberikan sebuah solusi esensial dalam bagaimana seharusnya sintesa ilmu teoritis yang benar, untuk selanjutnya mendapat klarifikasi positif dari hati sebagai basis bagi makrifat dalam mewujudkan citra insan kamil yang merupakan fitrah sejati kaum muslimin. Beliau lalu menyusun konsep tafakkur sufistik yang merupakan langkah proaktif dalam mencapai tujuan tadi.
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ...........................................................................
i
ABSTRAK..............................................................................................
ii
DAFTAR ISI ..........................................................................................
iii
BAB I
BAB II
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ......................................................
1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ...................................
3
C. Tujuan Penelitian ................................................................
3
D. Metodologi Penelitian .........................................................
4
SISTEMATIKA TAFAKKUR A. PENGERTIAN, RUANG LINGKUP DAN TUJUANNYA .
6
1. Pengertian Tafakkur.......................................................
6
2. Ruang Lingkup Tafakkur ...............................................
11
3. Tujuan Tafakkur ...........................................................
17
B. KOMPONEN-KOMPONEN TAFAKKUR .........................
20
1. Akal (Al-Aqlu) ..............................................................
22
2. Nafsu (An-Nafs) ...........................................................
27
3. Hati (Al-Qalb) ...............................................................
30
C. PENYIMPANGAN DALAM BERTAFAKKUR ..............
34
BAB III IMAM AL-GHAZALI A. Riwayat Hidup ..................................................................
41
B. Imam Al-Ghazali Sang Hujjatul Islam ...............................
43
BAB IV KONSEP TAFAKKUR SUFISTIK MENURUT IMAM AL-GHAZALI A. KEUTAMAAN TAFAKKUR ...........................................
48
B. PENJELASAN HAKIKAT PIKIRAN DAN BUAHNYA .
52
C. PENEJELASAN JALAN-JALAN PIKIRAN ....................
60
iii
BAB V
1.
Perbuatan Maksiat ......................................................
67
2.
Perbuatan Taat ............................................................
70
D. APLIKASI TAFAKKUR ..................................................
75
1.
Tafakkur Alam .........................................................
75
2.
Tafakkur Al-Qur’an .................................................
82
3.
Tafakkur Ilmu ..........................................................
89
PENUTUP Kesimpulan .............................................................................
DAFTAR PUSTAKA
iv
93