BAB II ADAB MURID TERHADAP GURU DALAM KITAB IHYA ‘ULUMUDDIN A. Ihya ‘Ulumuddin Sebagai Karya Monumental Al-Ghazali nama lengkapnya adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali (1058-1111M) lahir di kota Thuss dalam wilayah Khurasan, Iran. Pada tahun 450 H/1058 M. Abu Hamid itu saudaranya Abdul Futuh, Ahmad bin Muhammad adalah putera seorang penenun di kota Thuss itu.1 Nama al-Ghazali kadang-kadang diucapkan al-Ghazzali (dua z), kata ini berasal dari ghazzal, artinya tukang pintal benang, pekerjaan ayah ghazali adalah memintal benang wol, sedangkan al-Ghazali, dengan satu z, diambil dari kota Ghazalah, nama kampung kelahiran al-Ghazali yang terakhir inilah yang banyak dipakai.2 Dia adalah tokoh pemikir Islam yang menyandang gelar “Pembela Islam” (Hujjatul Islam),”Hiasan Agama”, (Zainuddin), “Samudra yang menghanyutkan”, (Bahrun Mughriq) dan lain-lain.3 Hal ini disebabkan pemikiran-pemikirannya yang sangat mendalam dan mempunyai dampak yang besar atas kehidupan intelektual dunia Islam. Selain itu beliau juga berusaha mengembalikan madzha– madzhab yang muncul pada masanya dimana mereka di pengaruhi oleh aliran Mu’tazilah dan filsafat Yunani untuk pada ajaran Islam yang murni di lapangan aqidah diajarkannya faham Asy’ari, sedang dilapangan akhlaq diperkuatnya ilmu tasawuf.4
1
Yoesoef Sou’yb, Pemikiran Islam Merombak Dunia, (Jakarta : Madju, 1984), hlm.169 Poerwantana, Ahmadi, dan Rosali, Seluk Beluk Filsafat Islam, (Bandung : C.V Rosda, 1988), hlm.166 3 Abidin Ibn Rusn, Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1998), hlm.9 4 Zainal Abidin Ahmad, Riwayat Hidup Al-Ghazali, (Jakarta : Bumi Aksra, 1975), hlm.38 2
14
Beliau keturunan Persia dan mempunyai hubungan keluarga raja saljuk yang memerintah daerah Khurasan, Jibal, Irak, Jazirah, Persia dan Ahwaz.5 Ayahnya adalah seorang muslim yang saleh, ia termasuk orang yang miskin dengan usahanya bertenun wol, namun ia termasuk orang yang mengikuti majlis para ulama dan pecinta ilmu.6 Apabila ia mendengar uraian para ulama itu, maka ayah al-Ghazali menangis tersedu-sedu seraya memohon kepada Allah SWT. Kiranya ia dianugrahi seorang putra yang pandai dan berilmu.7 Akan tetapi belum sempat menyaksikan jawaban Allah ( karunia atas doanya), ia meninggal dunia pada saat putra idamannya masih anak-anak.8 Ketika ayahnya meninggal, berpesan kepada sahabat setianya agar kedua putranya itu diasuh dan disempurnakan pendidikannya seterusnya. Sahabatnya segera melaksanakan wasiat ayah al-Ghazali kedua anak itu dididik dan di sekolahkan, setelah harta pustaka peninggalan ayahnya habis, mereka dinasehati agar meneruskan sekolah semampunya.9 Menurut satu riwayat disebutkan, bahwa teman ayah al-Ghazali itu bernama Ahmad bin muhammad al-Razikani, seorang sufi besar. Dari guru tersebut al-Ghazali mempelajari fiqih, riwayat para wali dan kehidupan spiritual mereka. Selain itu, al-ghazali belajar menghafal syair-syair mahabbah (cinta) kepada Allah, al-Qur’an dan sunnah.10 Dan pada masa itu juga. Al-Ghazali dan saudaranya berguru pada seorang ustad bernama Yusuf al-Nassaj, seorang sufi yang kemudian disebut juga Imam
5
Zainuddin, dkk, Seluk-Beluk Pendidikan dari Al-Ghazali, (Jakarta : Bumi aksar, 1991), hlm.
9 6
M.Bahri Ghazali, Konsep Ilmu Menurut Al-Ghazali, (Yogyakarta : C.V Pedoman Ilmu jaya, 1989), hlm.22 7 Imam Al-Ghazali, Ihya ‘Ulumuddin, Terj. H. Ismail Y’akub, (Jkarta : C.V Faizan, 1994), hlm. 24 8 Zinuddin dkk, Op-cit, hlm. 7 9 H. Abudin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, (Jakarta : PT Gravindo persada, 2001), hlm 81 10 Ruswan Thoyib, dan Darmuin, Pemikiran Pendidikan Islam Kajian Tokoh Klasik dan Konteporer, (yogyakarta : Pustaka Pelajar, 1999), hlm. 84
15
Haraimain.11 Dialah yang pertama kali meletakkan dasar-dasar pemikiran sufi pada dirinya setelah itu dia melanjutkan pendidikannya yang lebih tinggi di Jurjan dan dia belajar pada syhaik Abul Qosim bin Ismail bin Masadat al-Jurjani (404 477 H), seorang ulama dari madzhab Syafi’i dan ahli Hadits dan ahli Sastra, rumahnya tempat berkumpul dan berdiskusi oleh para sarjana di kota Jurjan.12 Kemudian melanjutkan lagi ke Nisyabur dengan gurunya yang bernama alJuwaini. Ia adalah seorang Imam Harauman yang ditunjuk sebagai guru hukum Islam pada Madrasah Nizamiyah di Bagdad yang didirikan oleh gubenur Nizam al-Mulk, yakni seorang negarawan dan tokoh pendidikan yang sekaligus sebagai pemprakarsa pendirian lembaga pendidikan madrasah. Dengan gurunya ini pula ia tinggal hingga imam Haraumain wafat, sebagaimana diungkapkan H.A.R Gibb, dan J.H. Kramers: “that he was aducated at Tus and at Naisabur, especially under al-Djuwaini, the Imam al-Huraimain, With whom he remained until the Imam’s death in 478 H/ 1085 M.13 Pada masa ini, disamping belajar al-Ghazali menjadi asiten al-Juwayni.14 Diantara mata pelajaran yang dipelajari al-Ghazali pada Imam Haraimain adalah teologi, hukum Islam, fisafat, logika, sufisme dan ilmu-ilmu alam. Ilmuilmu yang dipelajarinya inilah yang kemudian mempengaruhi sikap dan pemikirannya di kemudian hari.15 Imam al-Ghazali memang orang yang cerdas dan sanggup mendebat segala sesuatu yang tidak sesuai dengan penalaran yang jernih hingga Imam Al-Juwaini sempat memberi predikat beliau itu sebagai orang
11
M. Bahri Ghazali, O-pcit, hlm. 23 Yoesuf Su’yb,Op-Cit, hlm. 196 13 H.A.R Gibb, dan J.H. Krames, Shoerter Encylopedia of Islam,(London : Luzac d ca, 1961), 12
hlm. 13 14
Hasan Asri, Nukilat Pemikiran Islam Klasik Gagasan Pendidikan al-Ghazali, (Yogyakarta : P T Tiara Wacana Yogya, 1999), hlm. 13 15 H. Abudin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta : logos, 1995), hlm 150
16
yang memiliki ilmu yang sangat luas “lautan dalam nan menggelamkan (Bahrul Mughrib)”. 16 Selama menjadi guru di sekolah Nizdamah di Bagdad ia dapat mengerjakan tugasnya dengan hasil yang sangat baik, selama di Bagdad ia mengajar hukum agama. Selain itu juga menuluis buku-buku kontroversial tentang bantahan-bantahan terhadap pemikiran-pemikiran golongan-golongan Bathiniyah, Ismailiyah, golongan Filsafat dan lain-lain.17 Aliran Bathiniyah (aliran Hassyasyin), telah melakukan pembunuhan terhadap wasir besar Nizam Al-Mulk dan Sultan Malik Shah bin Alep Arselam pada tahun 485/1092. Trgedi itu mendorong al-Ghazali mendalami pokok-pkok pikiran aliran bathiniyah dan menjadi bahan baginya pada masa belakangan untuk mengecam aliran bathiniyah itu.
18
Al-Ghazali hidup pada akhir abad ke IV H, di mana pada abad tersebut
berkembang para pemikir, muncul beberapa golongan, muncul perselisihan ma’rifat, jalan pemikiran para mufakkir yang berbeda-beda, banyaknya para mutakallimin di bidang aqaidah ushuluddin, berbagai mazhab agama dan munculnya perbedaan pada cara beribadah dan tujuannya. Dari sinilah al-Ghazali tertarik untuk menyelidiki pendapat dan pemikiran mereka.19 Munculnya perbedaan-perbedaan di atas, telah menyebabkan al-Ghazali mengalami keraguan di berbagai hal. Ketika gejolak keraguan al-Ghazali telah mencapai puncak, kesehatannya mulai terganggu sehingga tidak dapat memberikan kuliah karena tidak dapat berbicara, dan ini dideritanya selama enam bulan lamanya. Para tabib menasehatinya supaya melawat guna memperoleh
16
Abudin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Isalam, Op-Cit, hlm. 83 Ahmad Hanfi, Pengatar Filsafat Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1996), hlm. 135 18 Yoesoef Sou’yb, Op-cit, hlm. 170 19 Departemen Agama R. I., Ensiklopedi Islam di Indonesia, (IAIN Jakarta : Proyek Peningkatan sarana dan Prasarana), 1993, hlm. 306. 17
17
kesegaran jiwa kembali. Kewajiban mengajar pada perguruan tinggi Nizhamiyah itu dipindahkan nya ke saudaranya Abul FutuhnAhmad bin Muhammad.20 Dalam kegelapan dan keraguan tersebut, dalam posisi antara api uap dan cahaya yang tampil dari balik cakrawala, al-Ghazali berlindung kepada Allah untuk memohon pertolongan, mencari keimanan, mendampakan keyakinan dan kedamian, akhirnya doanyapun dikabulkan oleh Allah. Dia memperlihatkan kepada al-Ghazali rahasia yang memudahkan al-Ghazali untuk berpaling meninggalkan pangkat, harta, dan temannya. Al-Ghazali meninggalkan kota Bagdad dengan dalih untuk melaksanakan Ibadah Haji, agar tidak ada yang menghalangi kepergiannya baik dari penguasa (khalifah) maupun sahabat dosen se-Universitasnya. Di Damaskus inilah ia mulamula
melakukan
pertobatannya
dengan
melakukan
khalwat,
beiktikaf,
menyucikan diri dan jiwanya, membersihkan akhlak, dan budi perkertinya, selalu berpikir tentang Allah SWT. Dari situ kemudian pergi ke Yerussalam. Di sinipun beliau menetap dan berkhalwat di Masjid Maqdis. Kemudian sesudah itu, beliau pergi ke-Mesir dn seterusnya ke-Mekah dan ke-Madinah untuk menunaikan Ibadah Haji.21 Dalam pengasingan itu al-ghazali ber’itikad di sudut menara masjid AlMuwawi dengan memakai baju jelek. Disini Al-Ghazali mengurangi makan, minum, pergaulan dan mulai menyusun kitab “Ihya ‘Ulumuddin”.22 Dan dikarangnya selama beberapa tahun dalam keadaan berpindah-pindah antara Syam, Yarussalam, Hajzz dan Thus, dan yang berisi paduan yang indah antara
20
Yoesoef Sou’yb, Op-Cit, hlm., 171. Al-Ghazali, Kegelisahan al-Ghazali; sebuah Otobiografi Intelektual; Penerj.Achmad Khudori Saleh, (Bandung : Pustaka Hidayah, 1998), hlm. 59 22 Thaha Abd Al-Baqi Surur, Alam Pemikiran Al-Ghazali, Penj : LPMI, (Solo : CV Pustaka Mantiq, 1993), hlm. 40 21
18
figih, tasawuf, dan filsafat, bukan saja terkenal dikalangan kaum muslim, tetapi juga dikalangan dunia barat dan luar Islam. Kitab Ihya’ Ulumuddin ini merupakan kitab yang paling banyak membahas tentang etika, dan menjelaskan dengan tegas pentingnya seorang syaih atau “pembimbing moral” sebagai figur sentral.23 Kitab Ihya ‘Ulumuddin itu, oleh al-Ghazali dibagi menjadi empat jilid, di mana masing-masing jilid itu terdiri dari beberapa bab. Adapun empat itu adalah sebagai berikut: Jilid pertama tentang peribadatan (rubu’ ibadah) yang terdiri dari sepuluh bab yaitu : Kitab Ilmu, kitab kaidah-kaidah ‘iktikad (aqodah), kitab rahasia (hikma) bersuci, kitab hikmah sholat, kitab hikmah zakat, kitab hikmah shiam, kitab hikmah haji, kitab adab (kesopanan) membaca Al-Qur’an, kitab dzikir dan do’a, dan kitab tartib wirid pada masing-masing waktunya. Jilid kedua tentang pekerjaan sehari-hari (rubu’ adat kebiasaan) yang terdiri dari sepeluh bab yaitu: Kitab adab makan, kitab adab perkawinan, kitab hukum berusaha (bekerja), kitab halal dan haram, kitab adab berteman dan bergaul dengan berbagai golongan manusia, kitab ‘uzlah (mengasingkan diri), kitab adab musafir (berjalan jauh), kitab mendengar dan merasa, kitab amar ma’ruf dan nahi munkar, dan kitab adab kehidupan dan budi pekerti (akhlaq) kenabian. Jilid ketiga tentang perbuatan yang membinasakan (rubu’ al-muhlikat) yang terdiri dari sepuluh bab yaitu : Kitab menguraikan keajaiban hati, kitab latihan diri (jiwa), kitab hawa nafsu perut dan kemaluan, kitab bahaya lidah, kitab bahaya marah, dengki dan dendam, kitab tercelany dunia, kitab tercelanya harta 23
M.Amin Abdullah, Antara Al-Ghazali dan Kant : Filsafat Etika Islam, penj : Hamzah, (Bandung : Mizan, 2002), hlm. 30
19
dan kikir, kitab tercelanya sifat mencari kemegahan dan mencari muka, kitab tercelanya sifat takabur dan mengherani diri, dan kitab tercelanya sifat tertipu dengan kesenangan dunia. Jilid keempat tentang perbuatan yang menyelamatkan (rubu’ al-munjiyat) yang terdiri dari sepuluh bab yaitu : Kitab taubat, kitab sabar dan syukur, kitab fakir dan zuhud, kitab tauhid dan tawakal, kitab cinta kasih, rindu, jihad hati dan rela, kitab niat, benar dan ikhlas, kitab muraqabah dan menghitung amalan, kitab memikirkan hal diri (tafakkur), dan kitab ingat mati.24 Adapun dalam kitab ilmu ini terdiri dari tujuh bab yaitu 1. Tentang kelebihan ilmu, mengajar dan belajar. 2. Tentang ilmu fardu a’in dan yang fardu kifayah, menerangkan batas ilmu fiqih, memperkatakan ilmu agama, penjelasan ilmu dunia dan ilmu akhirat. 3. Tentang apa, yang dihitung oleh orang awwam, termasuk sebahagian dari ilmu agama, pada hal tidak. Juga menerangkan jenis ilmu yang tercela dan kadarnya 4. Tentang bahaya perdebatan dan menyebabkan kesibukan manusia dengan berselisih dan bertengkar 5. Tentang adab pelajar dan pengajar 6. Tentang bahya ilmu, ulama dan tanda-tanda yang membedakan antara ulama dunia dan ulama akhirat 7. Tentang akal, kelebihan akal, bahagia-bahagia akal dan hadits-hadits yang membicarakan tentang akal. Pada bab kelima yaitu adab pelajar dan pengajar, dijelaskan beberapa tugas yang harus dilaksanakannya demi keberhasilan dalam belaja, adapun keretria yang harus dimiliki oleh pelajar ini ada sepuluh yaitu: 1.
Mendahulukan kesucian batin dari kerendahan budi dan sifat-sifat tercela. 24
Al-Ghazali, Ihya Ulumuddiin Juz I, (Indonesia : Toha Putra, t.th), hlm. 27
20
2.
Seorang pelajar hendaknya mengurangkan hubungan dengan duniawi, menjauhkan diri dari kaum keluarga dan kampung halamannya.
3.
Seorang pelajar itu jangan menyombong dengan ilmunya dan jangan menentang gurunga.
4.
Seorang pelajar pada tingkat permulaan, hendahnya menjaga diri dari pertentangan orang tentang ilmu pengetahuan.
5.
Seorang pelajar itu tidak meninggalkan suatu mata pelajaran pun dari ilmu pengetahuan yang terpuji.
6.
Seorang pelajar itu tidak memasuki sesuatu bidang dalam ilmu pengetahuan serentak.
7.
Tidak mencempelungkan diri kedalam sesuatu bidang ilmu pengetahuan sebelum menyempurnakannya.
8.
Seorang pelajatr hendaknya mengetahui sebab untuk dapat mengethui ilmu pengetahuan tersebut.
9.
Tujuan belajar adalah untuk menghiasi kebatinannya dan mencantikkan sifat keutamaannya.
10. Harus mengetahuinya hubungan pengetahuan itu kepada tujuannya. Dan al-Ghazali kembali ketanah kelahirannya (thuss), disana ia membangun sekolah untuk para fuqoha’ dan sebuah biara untuk para mutasawifin. Dan di kota Thuss itu beliau wafat pada tahun 505 H/1111 M, dalam usia lima puluh empat tahun. B. Al-Ghazali Perhatiannya terhadap Adab/Akhlak Al-Ghazali adalah seorang tokoh pendidikan, dan akhlak berada pada poros pemikiran al-Ghazali. Di mana al-Ghazali lebih menekankan nilai etis ketimbang nilai intlektual dari ilmu pengetahuan. Karena itu tidaklah
21
mengherankan kalau dalam Ihya’ Ulumuddin, ia menyediakan satu bab khusus untuk pembahasan dan pembiasaannya.25 Menurut pandangan al-Ghazali, akhlak bukanlah pengetahuan (ma’rifat) tentang baik dan jahat maupun kodrat (qudrat) untuk baik dan buruk, bukan pula pengamalan (fi’il), yang baik dan buruk, malainkan kemampuan jiwa.26 “Akhlah berarti suatu kemampuan (jiwa), yang menghasilkan perbuatan atau pengamalan dengan mudah, tanpa harus direnungkan dan disengaja. Jika kemampuan sedemikian, sehingga menghasilkan amal-amal yang baik-yaitu amal yang terpuji menurut akal dan syariat, maka ini disebut akhlak yang baik. Jika amal-amal yang tercelahlah yang mucul dari keadaan (kemantapan) itu, maka itu dinamakan akhlak yang buruk”.27 Al-Ghazali mengemukakan metode mendidik anak dengan memberi contoh, latihan dan pembiasaan (driil) kemudian nasehat dan anjuran sebagai alat pendidikan dalam rangka membina kepribadian anak sesuai dengan ajaran agama Islam. Pembentukan kepribadian itu berlangsung secara berangsur-angsur dan berkembang sehingga merupakan proses menuju kesempurnaan.28 Dari pengertian di atas, dapat ditarik benang merah bahwa hakikat akhlak menurut al-Ghazali harus memenuhi dua syarat: 1. Perbuatan ini harus konstan yaitu dilakukan berulang kali kontinyu dalm bentuk yang sama, sehingga menjadi kebiasaan. 2. Perbuatan yang konstan itu harus tumbuh dengan mudah sebagai wujud reflektif dari jiwanya tanpa pertimbangan dan pemikiran yakni bukan karena
25
yaitu kitab riyadhat al-nafs wa-tahadzib al-aklaq wa-mu’alajat amra’dh; bab tentang pembinanan jiwa, pembiana akhlak, dan [engobatan penyakit-penyakit hati, Hasan Asri, Nukilan,op.Cit., hlm. 85 26 Muhammad Abu Quasem, Etika Al-Ghazali ; Etika Majemuk di dalam Islam, (Bandung ; Pustaka, 1997), hlm. 81 27 Al-Ghazali, Ihya ’Ulumuddin Jilid III, (Indonesia : Toha Putra, t.th), hlm 52 28 Zainuddin, Op-Cit, Hlm. 106
22
adanya tekanan-tekanan, paksaan-paksaan dari orang lain atau pengaruhpengaruh dan bujukan yang indah dan sebagainya.29 Al-Ghazali menegaskan lebih konkrit bahwa induk dan pokok akhlak itu ada empat, yaitu hikmah, syaja’ah, iffah dan adil. Hikmah adalah keadaan jiwa yang dapat mengetahui kebenaran dari kesalahan semua perbuatan ikhtiariyah (perbuatan yang dilakukan dengan pilihan dan kemauan sendiri). Adil berarti keadaan dan kekuatan jiwa yang dapat menuntut dan mengendalikan amarah dan syahwat kearah hikmah. Syaja’ah yaitu keadan kekuatan amarah yang harus tunduk kepada akal, sedangkan iffah adalah terdidiknya kekuatan syahwat dengan pendidikan, akal dan agama.30 Dari uraian di atas dapat ditarik benang merah bahwa akhlak menurut pandangan al-Ghazali, bukan perbuatan baik atau buruk dan kekuatan dan kekuasaan baik atau buruk, tetapi akhlak merupakan keadaan jiwa yang mampu mempersiapkan dan memunculkan tingkah laku yang baik. Akhlah menurut al-Ghazali, ini dapat dibagi menjadi dua yaitu : akhlak baik dan buruk. Akhlak baik adalah perbuatan yang menurut dengan akal dan syra’, dan akhlak yang baik adalah akhlak (tingkah laku) yang dipegang oleh Rasulullah. Akal menurut al-Ghazali adalah sesuatu yang dapat memperoleh pengetahuan, atau tempat pengetahuan (yang mengetahui). Jika ditinjau dari dzatnya, akal merupakan hakikat manusia yang dapat mengetahui dan mengenal dirinya sendiri serta hal-hal diluar dirinya, sedangkan ditinjau dari objeknya akal yaitu kebenaran-kebenaran atau ukuran-ukuran yang dapat mendapatkan ilmuilmu.31 Kalau standar akhlak adalah akal dan syara’, maka syara’ berfungsi
29
Ibid, Hlm. 104 Ihya’ III, Op-Cit, hlm. 53 31 Sid Basil, Al-Ghzali Mencari Ma’rifat, Terj. Ahmadie Thaha (Jakarta : Pustaka Panjimas, 1990), Hlm. 85 30
23
menunjukkan baik dan buruk secara mutlak. Oleh karena itu akhlak baik pasti direalisasikan dalam bentuk iman. Dalam hal ini al-Ghazali mengatakan; “Sesungguhnya kebagusan akhlak itu adalah iman. Dan keburukan akhlak itu adalah nifaq (sifat orang munafik).32 Akhlak buruk adalah keadaan jiwa yang menimbulkan perbuatan jelek, sebagaimana diungkapkan oleh al-ghazali yang telah dikutip oleh Drs. Ruswan Thayib, M.A dan Drs. Darmuin, M.Ag : “Aklak yang jahat adalah racun yang membunuh, membinasakan, memecahkan kepala (memusingkan kepala), Perbuatan-perbuatan yang keji, perbuatan-perbuatan yang kotor yang nyata, kekejian menjauhkan dari sisi Tuhan semesta Alam dan memasukkan orang berakhlak demikian dalam kawasan syaitan.”33
yang hina yang yang
Dari ungkapan al-Ghazali tersebut dapat dilihat bahwa akhlak yang jelek adalah perbuatan yang menyimpang akal dan jauh dari syara’, akhlak yang jelek atau keji merupakan penyakit jiwa. Jadi akhlak seseorang yang tercela ini dalam hatinya terkena penyakit, dan yang menyebabkan itu terjadi karena bibit syaitan yang ditanamkan dalam hati manusia. Sehingga dengan bibit itu manusia akan terseret dan terbujuk untuk mengikuti hawa nafsunya. Al-Ghazali menegaskan bahwa usaha untuk melatih anak-anak agar mereka itu memperoleh pendidikan yang baik serta akhlak yang mulia termasuk hal yang amat penting. Seorang anak adalah amanat yang diberikan oleh Allah SWT kepada kedua orang tua. Hatinya yang suci adalah bagaikan mutiara yang belum dibentuk. Karena itu, dengan mudah saja ia menerima segala bentuk rekayasa yang ditujukan kepadanya. Jika dibiasakan melakukan kebiasaan dan menerima pengajaran yang baik, ia akan tumbuh dewasa dalam keadaan baik dan bahagia, dalam kehidupan di dunia dan di akhirat. Dan kedua orang tuanya, 32
33
Loc.Cit, hlm. 67 Ruswan Thayib, M.A dan Drs. Darmuin, Op-Cit, hlm. 90
24
gurunya serta pendidikannya ikut pula menerima pahala yang disediakan baginya. Tetapi jika dihabiskan kepadanya perbuatan yang buruk atau ditelantarkan seperti halnya hewan yang berkeliaran tak menentu, niscaya ia akan sengsara dan binasa, dosanya akan dipikul juga oleh kedua orang tua, walinya atau siapa saja yang yang bertanggung jawab atas pendidikannya.34 Apabila anak dibiasakan untuk mengamalkan apa-apa yang baik, diberi pendidikan kearah itu, pastilah ia akan tumbuh di atas kebaikan tadi akibat positifnya ia akan selamat sentosa di dunia dan di akhirat. Kedua orang tuanya atau semua pendidik, pengajar serta pengasuhnya ikut serta memperoleh pahalanya. Sebaliknya jika anak sejak kecil sudah dibiasakan mengerjakan keburukan dan dibiarkan begitu saja tanpa dihiraukan pendidikan dan pengajarannya, yakni sebagai mana halnya seorang yang memelihara binatang, maka akibatnya anak itupun akan celaka dan rusak binasa akhlaknya, sedang dosanya yang utama tentulah dipikul kedua orang (orang tua, pendidik) yang bertangung jawab untuk memelihara dan mengasuh. 35 Oleh karena seorang anak siap menerima pengaruh apapun dari orang lain, maka persiapan dan pembinaan akhlaknya haruslah dilakukan sendiri mungkin sejak awal anak harus dihindarkan dari lingkungan yang jelek dan mesti dirawat dan disusui oleh wanita baik-baik.36 Usia yang paling rawan pada prilaku anak adalah masa remaja, oleh karena itu al-Ghazali menyarankan untuk menjaga waktu-waktu senggang dengan kesibukan yang bermanfaat, sebagai pendidik berkewajiban menganjurkan anak didiknya untuk membiasakan membaca, khususnya membaca al-Qur’an dan
34
Loc.Cit Jamaluddin Al-Qosimi, Bimbingan Untuk Mecapai Tingkat Mukmin, Ringkasan Dari Ihya ‘Uluuddin,Terj. Mohammad Abdi Rothomy, (Bandung : CV Diponegoro, 1983), hlm. 534 36 Hasan Asri, Op-Cit, hlm. 82 35
25
karangan-karangan agama, sehingga ia memperoleh bantuan untuk melewatkan waktu senggang. Adapun pemikiran al-ghazali tentang konsep pendidikan akhlak pada anak adalah sebagai berikut: 1. Akhlak Terhadap Allah
ﻢ ﻴﻋ ِﻈ ﻢ ﻙ ﹶﻟﻈﹸﻠ ﺮ ﺸ ﷲ ِﺍﻥﱠ ﺍﻟ ِ ﻙ ﺑِﺎ ﺸ ِﺮ ﺗ ﹶﻻﻨﻲﺑ ﻳﺎﻳ ِﻌﻈﹸﻪ ﻮ ﻭﻫ ﺑِﻨ ِﻪﺎ ﹸﻥ ِﻻﻭِﺍ ﹾﺫ ﻗﹶﺎ ﹶﻝ ﹸﻟ ﹾﻘﻤ 37 ( 13 : )ﺍﻟﻘﻤﺎﻥ Dan (ingatlah) ketika luqman berkata kepada anaknya, diwaktu ia memberi pelajaran kepadanya : “Hai anakku, janganlah mempersekutukan Allah, sesunguhnya mempersekutukan Allah adalah benar-benar kezaliman yang sangat besar. (QS Luqman : 13) Ayat tersebut mengisaratkan bagaimana seharusnya para orang tua mendidik anaknya untuk mengesahkan penciptaannya dan menegak prinsip tauhid dengan tidak menyekutukan Tuhannya, kemudian hendaklah anak diajarkan salat sehingga terbentuk manusia yang senantiasa kontak dengan pencipta.
ﻚ ِﺍﻥﱠ ﺫﻟِﻚ ﺑﺎﺎ ﹶﺍﺻﻋﻠﹶﻰ ﻣ ﺮ ﺻِﺒ ﺍﻨ ﹶﻜ ِﺮ ﻭﻋ ِﻦ ﺍﳌﹸ ﻪ ﻧﺍﻑ ﻭ ِ ﻭ ﺮ ﻌ ﺮ ﺑِﺎ ﹶﳌ ﻣ ﻠﻮ ﹶﺓ ﻭﹾﺃ ﹶﺍِﻗ ِﻢ ﺍﻟﺼﻨﻲﺑﻳﺎ 38
( 17 : ﻮ ِﺭ ) ﻟﻘﻤﺎﻥ ﺰ ِﻡ ﺍﻻﹸﻣ ﻋ ﻦ َ ِﻣ
Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah ). (QS Luqman : 17) Supaya anak mengetahui bagaimana caranya taat dan tidak menyekutukannya. Seorang anak yang telah mencapai usia tamyiz, maka 37 38
Soenarno, Al-qur’an danTerjemahnya, (Semarang : CV Asy-Syifa , 1992), hlm. 654 Op-Cit, hlm. 655
26
hendaklah tidak dibiarkan meninggalkan thaharah dan sholat, juga mulai diperintah berpuasa beberapa hari dibulan Ramadan.39 Untuk membentuk jiwa keagamaan anak, meskipun anak yang belum mencapai tamyiz, anak bisa diperkenalkan aktivitas-aktivitas keagamaan seperti anak diajak pergi ke masjid, wudhu, bersahur dan buka puasa. Semua aktivitas tersebut dapat dilakukan oleh setiap keluarga dalam kehidupan keseharian. Ibadah tersebut ditanamkan sejak pertumbuhannya. Sehingga ketika anak tumbuh dewasa, ia telah terbiasa melakukan dan terdidik untuk mentaati Allah, melaksanakan hal-Nya, bersandar kepada-Nya, dan berserah diri kepada-Nya. Disamping itu, anak akan mendapatkan kesucian rohani, kesehatan jasmani, kebaikan akhlak, perkataan dan perbuatan d dalam ibadahibadah ini.40 2. Akhlak Terhadap Orang Tua Orang tua merupakan orang yang telah bersusah payah menjaga, memelihara, dan mendidik kita, lantaran itu tidak patut dan wajib kita menjaga diri jangan sampai terunjuk satu perangai yang kurang baik atau terlanjur satu perkataan yang kurang manis terhadap ibu bapak.41
ﺎﻬﻤ ﻭﹸﻗ ﹾﻞ ﹶﻟ ﺎﻫﻤ ﺮ ﻬ ﻨﺗ ﻭ ﹶﻻ ﺎ ﹸﺍﻑﻬﻤ ﺗﻘﹸ ﹾﻞ ﹶﻟﻼ ﺎ ﹶﻓ ﹶﻫﻤ ﻼ ﻭ ِﻛ ﹶ ﺎ ﹶﺍﻫﻤ ﺪ ﺣ ﺮ ﹶﺍ ﺒﻙ ﺍﹾﻟ ِﻜ ﺪ ﻨﻦ ِﻋ ﻐ ﺒﻠﹸﻳ ﺎِﺍﻣ 42 ( 32 : ﺎ ) ﺍﻻﺳﺮﺃﻳﻤﻮ ﹰﻻ ﹶﻛ ِﺮ ﹶﻗ Kalau salah seorang dari pada mereka itu atau keduanya telah tua, maka janganlah engkau berkata (perkataan menunjukkan kebencian 39
Al-Ghazali, Mengobati Penyakit Hati; Menbentuk Akhlak Mulia ; Penj. Muhammad alBaqir, (Bandung : Karisma,2001), Cet.IX, hlm. 110 40 Abdullah Nashihul Ulwan, Pendidikan Anak dalam Islam, (Jakarta : Pustaka Amani, 1995), hlm.153 41 A.Hasan, Kesopanan Tinggi, (Bandung : Diponegoro, 1993), hlm. 12 42 Al-Qur’an dan Terjemahnya, Op-Cit, hlm. 427
27
seperti) “Ah” dan janganlah engkau hadapkan kepada mereka itu yang kasar, tetap hendaklah engkau berkata kepada mereka itu perkataan yang mulia. (Bani Israil : 23 ) Sebagai seorang anak yang saleh, apabila orang tua sedang memberi nasehat, maka hendaknya didengarkan dengan sebaik-baiknya, lekas dan cepatlah datang, jika mereka memanggil dengan penuh kesopanan dan rendah hati dihadapan keduanyaِ 43
( 24 : ) ﺍﻻﺳﺮﺃ000000 ﻤ ِﺔ ﺣ ﺮ ﻦ ﺍﻟ ﺡ ﺍﻟ ﹸّﺬﻝﱢ ِﻣ ﺎﺟﻨ ﺎﻬﻤ ﺾ ﹶﻟ ﺣ ِﻔ ﺍﻭ
Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kasih sanyang. (Al-Isra’ ; 24) Al-Ghazali mengatakan hendaknya anak haruslah dididik untuk selalu taat kepada orang tua, gurunya serta yang bertanggung jawab siapa saja yang lebih tua dari padanya, dan agar ia senantiasa bersikap sopan dan tidak bercanda atau bersendau gurau dihadapan mereka.44 3. Akhlak Ketika Makan Hendaknya anak dibiasakan makan disertai niat agar mendapat kekuatan untuk taat dan beribadah kepada Allah SWT. Sebelum makan hendaknya diperintah untuk mencuci kedua tangannya, karena Rasulluh SAW. Sebelum makan beliau berwudhu untuk menghilangkan kefakiran dan berwudhu setelah makan untuk menghilangkan gangguan setan. Makanlah diawali dengan membaca basmalah dan menggunakan tangan yang kanan, awali dan diakhiri dengan memakan garam. Dan kecilkan suapan dan perbanguskan kunyahannya.45 Dan perhaluslah kenyahan, makanlah dari arah
43
Ibid, Hlm. 428 Al-Ghazali, Op-Cit, hlm. 110 45 Al-Ghazali, Mutiara Ihya Ulumuddin, (Bandung : Mizan, 1997), Cet.I, hlm. 126 44
28
pinggir-pinggir piring, tidak makan dari atasnya,46 janganlah mengulurkan tangan pada suapan yang lain sebelum menelan suapan pertama dan jangan mencela makanan. Makanlah makanan yang dekat letaknya, kecuali buah-buahan, janganlah meniup makanan yang panas, karena hal itu dilarang.47 bersihkanlah sisa makan dijari-jejari dengan melumatinya, lalu membaca hamdalah, sebagai ungkapan rasa terimakasih kepada Allah SWT. 4. Akhlak Ketika Minum Sebelum minum periksalah tempat air (gelas), kemudian membaca basmalah setelah itu mengucapkan hamdalah, minumlah seteguk, jangan mengumpulkan air di dalam mulud yang kemudian diminum sekaligus, janganlah bernafas di dalam gelas. 5. Akhlak Terhadap Lingkungan Apabila anda bertemu dengan kawan maupun musuhmu ucapkanlah salam terlebih dahulu dan hadapilah dengan wajah yang menunjukkan kegembiraan dan kerelaan serta penuh kesopanan dan ketengan, jangan sekali-kali menampakkan sikap angkuh, sombong dan merasa tinggi diri.48 Jenguklah apabila ia sakit dengan membawa oleh-oleh kesukaannya, dan ucapkanlah selamat jika ia sukses meraih cita-citanya. 6. Akhlak Dalam Berpakaian Hendaklnya diajarkan kepadanya agar menyukai pakaian yang putihputih saja, bukan yang berwarna ataupun yang terbuat dari sutra, sebab kedua 46
Imam Al-Ghazali, Kaidah-kaidah Sufistik Keluar dari Kemelut Tipu Daya, (Surabaya : Risalah Gusti, 1997), hlm. 49-50 47 Op-Cit, hlm. 127 48 Jamaluddin Al-Qosimi, Op-Cit, Hlm. 387
29
jenis jenis pakain tersebut seperti itu hanya untuk perempuan atau yang berlagak
kebanci-bancian,
dan
karennya,
laki-laki
tidak
pantas
mengenakannya. Keterangan seperti ini, hendaklnya diulang-ulang, bahkan jika melihat seorang anak laki-laki mengenakan baju berwarna atau terbuat dari sutra, maka sebaiknya si ayah mengecamnya dan menengaskan lagi bahwa yang demikian itu tidak baik bagi dirinya.49 Dan anak hendaknya diajarkan pula untuk tidak suka pada kemewahan yang mengakibatkan pada pemborosan. Sebagaimana dijelaskan oleh al-Ghazalai yang dikutib oleh Zainuddin, sebagai berikut: Jangan digemari berhias yang tidak sepatutnys stsu apa saja yang menimbulkan keborosan. Jikalau ini dilakukan, pasti usia anak itu nantinya akan dihabiskan saja pada waktu besarnya, dan dengan demikian akan rusaklah jiwanya sepanjang masa dan tahan menderita, serta ingin berkecimpung dalam kenikmatan saja, sekalipun kehormatan dan haknya akan dilarang.50 C. Pemikiran al-Ghazali tentang Adab Murid terhadap Guru Dalam proses pendidikan yang berlangsunng, tidak lepas dari interaction education (hubungan antara murid dengan guru). Di mana seorang murid itu dalam menuntut ilmu bukan mencari lembaga tetapi mencari guru, mengapa? Karena seorang murid ini akan mengabdi kepada gurunya. Hubungan yang terjalin antara murid dengan guru selalu intim, sebagaimana murid menghormati gurunya seperti seorang ayah dan mematuhinya, bahkan dalam hal-hal pribadi yang tidak langsung berkaitan dengan pendidikannya secara formal. Hubungan yang terjalin antara murid dan gurunya ini, akan memberi pengaruh sikap dan kepribadian murid dalam kesehariannya, dan berhasil atau tidaknya dalam mencapai cita-cita yang akan dicapainya dan manfaat atau tidaknya ilmu yang diprolehnya selama belajar selama bersama syaihnya. Oleh 49 50
Mengobati Op-Cit, Hlm. 105 Zainuddin, Op-Cit, Hlm. 110-111
30
karena itu al-Ghazali menjelaskan dalam kitab Ihya ‘Ulumuddin nya, adab murid terhadap guru yang harus dimilikinya, supaya apa yang dicita-citakan oleh murid akan berhasil dengan baik, dan adab murid terhadap guru antara lain:
ﺍﻥ ﻻ ﻳﺘﻜﱪ ﻋﻠﻰ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﻭﻻ ﻳﺘﺄﻣﺮ ﻋﻠﻰ ﺍﳌﻌﻠﻢ.1 Seorang Pelajar itu jangan menyombong dengan ilmunya dan jangan menentang gurunya.51 Seorang murid hendaklah mendengarkan dengan baik semua nasehatnasehat gurunya dan mengindahkannya atau melaksanakan dalam kehidupan sehari yakni tindak tanduknya ketika dalam menuntut ilmu supaya ilmu itu mendekat tidak menjauh demi mendapatkan ilmu yang bermanfaat . Alangkah baiknya seorang pelajar ini, mematuhi dan melaksanakan segala nasehat, perintah atau perkataan gurunya. Nasehat yang diberikannya bermanfaat bagi murid untuk mencapai apa yang dicita-citakannya.
ﻓﻼ ﻳﻨﺒﻐﻰ ﻟﻄﺎﻟﺐ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﺃﻥ ﻳﺘﻜﱪ ﻋﻠﻰ ﺍﳌﻌﻠﻢ ﻭ ﻣﻦ ﺗﻜﱪﻩ ﻋﻠﻰ ﺍﳌﻌﻠﻢ ﺍ ﻥ ﻳﺴﺘﻨﻜﻒ.2 ﻋﻦ ﺍﻻﺳﺘﻔﺎﺩﺓ ﺇﻻﻣﻦ ﺍﳌﺮﻣﻮﻗﲔ ﺍﳌﺸﻬﻮﺭﻳﻦ Tidaklah layak seorang pelajar menyombongkan terhadap gurunya, termasuk sebagian dari pada menyombong terhadap guru itu, ialah tidak mau belajar kecuali yang terkenal benar keahliannya.52 Dalam
menuntut
ilmu,
janganlah
memandang
siapa
yang
menyampaikannya (guru) apakah ia terkenal atau tidak, karena ilmu pengetahuan itu bagaikan barang yang hilang dari tangan seorang mu’min, yang harus dipungut atau dicarinya dimana saja diperolehnya. Dan hendaklah mengucapkan rasa terima kasih kepada siapa saja yang membawanya kepadanya. Sebagaimana ungkapkan syair sebagai berikut: 51
Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin I, (Indonesia: Toha Putra, t.th), hlm. 50 Loc-Cit
52
31
Pengetahuan adalah perjuangan Bagi pemuda yang bercita-cita tinggi Seumpamanya banjir itu adalah perjuangan Bagi sesuatu tempat tinggi…..….53
ﻓﻼ ﻳﻨﺎﻝ ﺍﻟﻌﻠﻢ ﺇﻻ ﺑﺎ ﻟﺘﻮﺍ ﺿﻊ ﻭﺇﻟﻘﺈﺍﻟﺴﻤﻊ.3 Ilmu pengetahuan tidak tercapai selain dengan merendahkan diri dan penuh perhatian.54 Sebagaimana seorang murid dalam menuntut ilmu, janganlah sifat tamak dalam (menginginkan sesuatu yang belum semestinya), sebab hanya akan menghasilkan dirinya hina. Dan menjaga sesuatu yang mengakibatkan ilmu beserta ahlinya menjadi hina, akan tetapi hendaklah tawaduk (rendah hati), karena dengan tawaduk ilmu itu akan melekat dalam hati sehingga manusia yang beradab/bermoral.
ﻭ ﺑﻪ ﺍﻟﺘﻘﻲ ﺍﱃ ﺍﳌﻌﺎﱃ ﻳﺮﺗﻘﻰ# ﺍﻥ ﺍﻟﺘﻮﺍ ﺿﻊ ﻣﻦ ﺧﺼﺎﻝ ﺍﳌﺘﻘﻰ Sesungguhnya sikap tawaduk (rendah hati) adalah sebagian dari sifat-sifat orang yang takwa kepada Allah SWT. Dan dengan tawaduk akan semakin baik derajatnya menuju keluhuran.55 Selain tawaduk, hendaklah murid mendengarkan keterangan guru dengan penuh perhatian, supaya dapat menyerap seluruh yang disampaikan guru. Tiada yang menolong kepada pemahaman selain dengan mempergunakan pendengaran dengan berhati-hati dan sepenuh jiwa. Meskipun keterangan itu sudah pernah didengar seribu kali, hendaknya keterangan tersebut didengarkan seperti ia mendengarkan pertama kali.
53
Loc,Cit Loc-Cit 55 Syaik Az-Zarnuji, Penj: Noor Anfa Shiddiq,Terjemah Ta’limMuta’lim, (Surabaya : AlHidayah, t.th), hlm. 14 54
32
Dalam hal ini al-Ghazali mengibaratkan seorang murid bagaikan tanah kering yang disirami hujan lebat. Maka meresaplah keseluruhan bahagiannya dan meratalah keseluruhannya air hujan itu.56 57
ﻭﻣﻬﻤﺎ ﺃﺷﺎﺭ ﻋﻠﻴﻪ ﺍﳌﻌﻠﻢ ﺑﻄﺮﻳﻖ ﰲ ﺍﻟﺘﻌﻠﻢ ﻓﻠﻴﻘﻠﺪﻩ ﻭﻟﻴﺪﻉ ﺭﺃﻳﻪ.4
“Manakala guru itu menunjukkan jalan kepadanya hendaklah ditaati dan ditinggalkan pendapat sendiri.” Seorang pelajar hendaklah mentaati apa yang menjadi keputusan gurunya dalam meneىtukan kurikulum, jangan mengikuti pendapat dan kehendaknya sendiri, karena guru lebih tahu tingkatan-tingkatan pengetahuan yang harus diberikan kepadamu. Dari uraian di atas menimbulkan beberapa adab yang sejalan dengan uraian tersebut yang telah disebutkan dalam karangan beliau dalam kitab Bidayatul Bidayah yaitu : Jangan bertanya jika belum minta izin lebih dahulu.58 59
( 43 : ﻮ ﹶﻥ ) ﺍﻟﻨﺤﻞ ﻌﹶﻠﻤ ﺗ ﻢ ﹶﻻ ﺘﻨﻫ ﹶﻞ ﺍﻟ ﱢﺬ ﹾﻛ ِﺮ ِﺇ ﹾﻥ ﹸﻛ ﺍ ﹶﺃﺴﹶﺌﹸﻠﻮ ﻓ
Maka bertanyalah kepada ahli ilmu jika kamu tidak tahu. (Q.S. An-Nahl : ayat 43) Izin seorang pelajar terhadap gurunya dalam bertanya sesuatu sangat penting karena di mana seorang guru jelas lebih tahu letak penyampaian ilmu yang harus diselesaikan lebih jelasnya menjaga kesopanan. Bertanya tentang soal yang belum sampai tingkatanmu memahaminya, adalah dicela, karena itulah, maka khaidir melarang Musa bertanya.
56
Al-Ghazali, Loc-Cit. Loc-Cit. 58 Al-Ghazali, Syaih Muhammad Nawawi, Syarah Bidayah Al-Hidayah, (Semarang : AlAlawiyah,t.th), hlm. 88 59 Soenarjo, Op-Cit., hlm.408 57
33
Seabagaimana ungkapan al-Ghazali sebagai berikut: Tinggalkan bertanya sebelum waktunya ! guru lebih tahu tentang keahlianmu dan kapan sesuatu ilmu harus diajarkan kepadamu. Sebelum waktu itu datang dalam tingkatan mana pun juga, maka belumlah datang waktunya untuk bertanya.60 Hal di atas jelaslah bahwa seorang pelajar harus sopan dan tidak boleh melontarkan pertanyaanatau perkataan yang belum minta izin terhadap gurunya atau tiba-tiba berbicara dan bertanya. Dari itu tinggalkanlah bertanya sebelum waktunya, guru lebih tahu tentang keahlianmu dan kapan sesuatu ilmu harus diajarkan kepadamu. Sebelum waktunya untuk bertanya. Hal ini sebagaimana diungkapkan nahi mungkar kepada Nabi Musa As dalam surat Al-Kahf;ayat 70 61
(70 : ﺍ) ﺍﻟﻜﻬﻒ ِﺫ ﹾﻛﺮﻨﻪﻚ ِﻣ ﺙ ﹶﻟ ﺣ ِﺪ ﹶ ىﺎﹸﺣﺘ ﻴ ٍﺊﺷ ﻦ ﻋ ﺴﹶﺌ ﹾﻠﻨِﻰ ﺗَ ﻼ ﺘﻨِﻰ ﹶﻓ َﹶﻌ ﺒﺗﹶﻓِﺈﻥﱠ ﺍ
Jika engkau mengikuti aku maka janganlah bertanya tentang ssesuatu, sehingga aku sendiri yang akan menceritakan kepadamu nanti. ( QS.AlKahfi : 70 )
ﻭﻳﻨﺒﻐﻰ ﺃﻥ ﻳﺘﻮﺍ ﺿﻊ ﳌﻌﻠﻤﻪ ﻭﻳﻄﻠﺐ ﺍ ﻟﺜﻮﺍﺏ ﻭ ﺍ ﻟﺸﺮﺍﻑ.5 Seharusnya seorang pelajar itu, tunduk kepada gurunya, mengharap pahala dan kemuliaan dengan berkhitmat kepadanya.62 Seorang
pelajar
hendaknya
mendengarkan
keterangan
gurunya,
mengharapkan pahala dari guru yakni mengharapkan keridha’an guru dengan tidak banyak bertanya sewaktu guru kelihatan bosan atau kurang baik.63
60
Ihya ‘Ulumuddin, Op-Cit, Hlm. 51 Sonarjo, Op-Cit., hlm. 454 62 Loc-Cit. 63 Bidayah,op-cit, Hlm. 89 61
34
Karena kondisi guru kurang enak lebih mempengaruhi cara bicara dan penyampaian seorang guru sehingga percakapan antara keduanya harus melihat kondisi keduanya tersebut seperti ungkapan Hasyim.
ﻩ ﺫﻟﻚﺍﻥ ﻳﺘﺼﱪ ﻋﻠﻲ ﺟﻔﻮﺓ ﺗﺼﺪﺭ ﻣﻦ ﺍﻟﺸﻴﺦ ﺍﻭ ﺳﺆ ﺧﻠﻘﻪ ﻻ ﻳﺼﺪ Seorang pelajar supaya sabar atas keras hati (kemarahan) yang keluar dari guru/jelek budi pekertinya dan jangan mencengah keluar kemarahan tersebut. Sebagaimana perkataan Ali R.A. : “Hak dari seorang yang berilmu, ialah jangan engkau banyak bertanya! jangan engkau paksakan dia menjawab, jangan engkau minta, bila dia malas.”64 Kemarahan seorang atau rasa kurang enak kondisi guru tersebut kelihatan dari cara bicara dan paras wajahnya, maka kondisi seperti itu seorang pelajar harus dapat memahami diri dari bertanya, memberikan solusi apabila lagi mencengah dan melarang guru untuk tidak marah. Seorang guru dimanapun tetap akan ingat tugas guru diatas mempunyai tujuan untuk menghargai dan menghormati dengan dihadapan mendapat ilmu pengetahuan yang bermanfaat, karena seorang guru mepunyai tugas menyampaikan ilmu 6. Jika berkunjung kepada guru harus menghormati dan menyampaikan salam terlebih dahulu.65 Menghormati guru merupakan salah satu sifat terpuji bahwa kewajiban seorang pelajar terhadap guru untuk mencari kerelaan gurunya dalam memberi ilmunya, seperti dalam kitab adabul’alimi wal muta’alim.
ﺍﻥ ﳚﻠﺲ ﺍﻡ ﻣﺎ ﺍﻟﺸﻴﺦ ﺑﺎﻷﺩﺏ ﻛﺄﻥ ﳛﺜﻮ ﻋﻠﻰ ﺭﻛﺒﺘﻴﻪ ﺍﻭ ﳚﻠﺲ ﻛﺎﻟﺘﺸﻬﺪ
66
64 65
Ihya ‘Ulumuddin, Loc-Cit. Bidayah, op-cit., hlm. 88
35
Pelajar hendaknya duduk didepan guru dengan sopan (adab) seperti pelajar memenuhi (meliputi dan merapatkan) pada kedua lututnya atau pelajar duduk seperti duduk takhiyat. 7. Jangan berbicara jika tidak diajak bicara oleh guru.67 Hubungan antara murid dengan guru dalam proses pendidikan yang berlangsung ini memang harus terjalin dengan baik, tetapi ada batasbatasannya untuk menjaga kesopanan murid terhadap ilmu,dan gurunya.
ﻭﺍﺫ ﺫﺍﻛﺮ ﺷﻴﺌﺎ ﻓﻼ ﻳﻘﻮﻝ ﻫﻜﺬﺍ ﺍﻭﺧﻄﺮﱃ ﺍ ﻭﻛﺬﺍ ﻗﻠﺖ ﺍﻭ ﻛﺬﺍ ﻗﺎﻝ ﻓﻼ ﻥ
68
dan ketika guru berfikir sesuatu maka pelajar tidak boleh bicara, yaitu seperti aku berbicara atau seperti ini berpikir bagiku atau seperti fulan berkata. Berbicara ditengah-tengah waktu guru berbicara atau berpikir sesuatu itu merupakan tindakan yang kurang tepat, karena akan menghilangkan konsentrasi berpikir guru. 8. Jangan sekali-kali su’udhan terhadap guru mengenai tindakan yang kelihatannya mungkar atau tidak diridhai Allah menurut pandangan murid, sebab guru lebih mengerti rahasia-rahasia yang terkandung dalam tindakannya.69 Dalam belajar murid tidak boleh su’dhan guru mengenai tindakan yang kelihatan munkar, su’udhan ini akan mengkibatkan ilmu yang akan diterima tidak sampai, sebab su’udhan merupakan penyakit hati, maka dari itu murid tidak boleh su’udhan terhadap gurunya, karena tidak tahu rahasia dibalik itu, seperti yang terjadi dengan Nabi Musa terhadap Nabi Khidir, yang telah
66
Syeih Hasyim As’ary, Adabul ‘alimi Wal Muta’alim, (Jombang : Malitabah Turots alislam, 1415), Bidayah,Op-Cit, hlm.34 67 Bidayah, loc-cit. 68 Op-Cit, hlm. 37 69 Bidayah, loc-cit
36
membunuh anak kecil. Oleh karena itu salah satu seoran sufi melukiskan kewajiban murid terhadap gurunya dalam sajak sebagai berikut: Engkau laksana mayat terlentang Didepan gurumu terletak membentang Dicuci dibalik laksana batang Janganlah engkau berani menentang Perintahnya jangan engkau elakkan Meskipun haram seakan-akan Tunduk dan taat diperntahkan Engkau pasti ia cintakan Biar semua perbuatannya Meskipunbrlaianan dengan syara’nya Kebenaran nanti akan nyatanya Bagimu akan jelas putus asa Pada akhirnya ia terasa Pada akhirnya jelaslah sudah Tampak padanya secara mudah Kekuasaan Allah tidak tertadah Ilmunya luas tidak termudah.70 9. Seorang pelajar hendahnya bersabar dalam menghadapi pelajaran dan konsekuen pada guru. Sabar merupakan kunci dari keberhasilan mencapai cita-cita, maka murid hendak bersabar menghadapi pelajaran yang dihadapinya, janganlah kamu sibuk dengan ilmu yang lain sebelum kamu dapat menguasai dengan baik ilmu yang pertama tadi.
71
Hal ini tercermin pada firman Allah dalam
70
H.Aboe Bakar Ajheh, Pengantar Sejarah Sufi dan Tasawuf, (Solo : Ramadhani, 1984),
71
Ahmad Sjalaby, Op-Cit, hlm. 313
hlm. 309
37
surat kahfi ayat 67-68, yang mengisahkan Nabi Musa yang tidak bersabar menghadapi Nabi Khaidir.
ﺍﺒﺮﺧ ﻂ ﺑِﻪ ﺤ ﹾ ِ ﺗ ﻢ ﺎ ﹶﻟﻋﻠﹶﻰ ﻣ ﺼِﺒﺮ ﺗ ﻒ ﻴﻭ ﹶﻛ . ﺍﺒﺮﺻ ﻲ ﻣ ِﻌ ﻊ ﻴﺘ ِﻄﺴ ﺗ ﻦ ﻚ ﹶﻟ ﻧﻗﹶﺎ ﹶﻝ ِﺍ 72 ( 68 -67 : ) ﺍﻟﻜﻬﻒ Dia menjawab : “Sesungguhnya kamu (musa) sekali-kali tidak akan sanggup bersamarku. Dan bagaimana kamu sabar atas sesuatu, yang belum mempunyai pengetahuan yang cukup tentang hal itu. ( QS. Alkahfi : 67-68) Tetapi Nabi Musa tidak sabar untuk menunggu
atau menghadapi
pngalamannya bersama Nabi Khaidir, selalu ia bertanya sampai Nabi Khaidir berkata: 73
( 70 : ﺍ) ﺍﻟﻜﻬﻒ ِﺫ ﹾﻛﺮﻨﻪﻚ ِﻣ ﺙ ﹶﻟ ﺣ ِﺪ ﹶ ىﺎﹸﺣﺘ ﻴ ٍﺊﺷ ﻦ ﻋ ﺴﹶﺌ ﹾﻠﻨِﻰ ﺗَ ﻼ ﺘﻨِﻰ ﹶﻓ َﹶﻌ ﺒﺗﹶﻓِﺈﻥﱠ ﺍ
Jika engkau mengikuti aku maka janganlah bertanya tentang sesuatu, sehingga aku sendiri yang akan menceritakan kamu nanti. ( Q.S. Al-Kahfi : 70) Sikap Nabi Musa syaiknya (gurunya), selalu bertanya apa yang diperbuat oleh Nabi Khaidir. Salah satu prinsip dasar dalam hubungan ini adalah rasa hormat seorang murid kepada gurunya, dan rasa seorang guru terhadap muridnya prinsip ini sama pentingnya dalam sistem pendidikan sufi maupun non sufi . 74 Bagi
al-Ghazali,
ibadah
merupakan
ibadah
internal,
bila
ingin
menanyakan sesuatu, murid harus terlebih dahulu meminta izin dari gurunya, karena hal ini adalah bagian dari manifestasi signifikansi yang lebih tinggi
72
Soenarjo, Op-Cit. Op-Cit 74 Hasan Asri, Op-Cit, Hlm 116 73
38
dikalangan sufi, karena seorang murid sangat tergantung pada guru untuk kemajuannya. Pola hubungan guru murid guru diatas masih cukup relevan untuk diaplikasukn dalam kegiatan belajar-mengajar dimasa sekarang, karena hubungan tersebut disamping tidak akan membunuh kreativitas guru dan murid, juga dapat mendorong terciptanya akhlak yang mulia dikalangan pelajar khususnya, dan pendidikan lain pada umumnya. Para ahli pendidikan Islam masa kini juga telah sepakat bahwa maksud dari pengajaran dan pendidikan bukanlah belum mengetahui tetapi maksudnya adalah mendidik akhlak dan jiwa mereka, menanamkan rasa fadhillah (keutamaan), mempersiapkan mereka untuk sesuatu kehidupan yang suci seluruhnya ikhlas dan jujur. 75 Jika hubungan antara anak dan orang tua, murid dan gurunya, tidak terjadi atau jarang, maka kemungkinan besar pengajaran dan tujuan pendidikan tidak akan berhasil. Dengan inilah para orang tua dan pendidikan harus memperhatikan dengan seksama sarana-sarana dan cara yang positif agar ia mencintai anak-anak dan anak-anak mencintai mereka, saling membantu dan berkasih sanyang sesamanya. Dan apabila adab murid tersebut ada diri murid maka dia akan mencapai apa yang dicita-citakan, tetapi apabila dalam hatinya tidak ada, maka ia tidak akan berhasil meskipun kelihatannya berhasil, hal ini dapat dilihat pada tingkah lakunya sehari-hari. Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa adab murid terhadap guru itu masih kondisional dengan proses belajar mengajar dimasa sekarang meskipun ada juga yang tidak kondisional apabila diterapkan di dalam proses belajar mengajar
75
M.Athiyah al-Abrasy, Dasar-dasar Pokok pendidikan Islam, Alih Bahasa Bustami A.Gani dan Djohar Bahri (Jakrta : Bulan Bintang , 1993), Cet I, Hlm. 1
39
pada saat sekarang. Adapun yang masih kondisional dalam proses belajar mengajar di masa sekarang adalah : a. Seorang Pelajar itu jangan menyombong dengan ilmunya dan jangan menentang gurunya.b. Tidaklah layak seorang pelajar menyombongkan terhadap gurunya, termasuk sebagian dari pada menyombong terhadap guru itu, ialah tidak mau belajar kecuali yang terkenal benar keahliannya. c. Ilmu pengetahuan tidak tercapai selain dengan merendahkan diri dan penuh perhatian.d. Manakala guru itu menunjukkan jalan kepadanya hendaklah ditaati dan ditinggalkan pendapat sendiri. e. Seharusnya seorang pelajar itu, tunduk kepada gurunya, mengharap pahala dan kemuliaan dengan berkhitmat kepadanya. f. Jika berkunjung kepada guru harus menghormati dan menyampaikan salam terlebih dahulu. g. Jangan berbicara jika tidak diajak bicara oleh guru, h. Seorang pelajar hendahnya bersabar dalam menghadapi pelajaran dan konsekuen pada guru. i. Jangan berbicara jika tidak diajak bicara oleh guru. j. Jangan sekali-kali su’udhan terhadap guru mengenai tindakan yang kelihatannya mungkar atau tidak diridhai Allah menurut pandangan murid, sebab guru lebih mengerti rahasia-rahasia yang terkandung dalam tindakannya. Adab-adab tersebut, masih kondisional dalam proses belajar mengajar di masa sekarang, karena akan membantu dalam keberahasilan belajar murid untuk mencapai citacitanya. Adapun adab murid terhadap guru yang tidak sesuai / tidak kondisional dimasa sekarang adalah : a. Seorang pelajar tidak boleh banyak bertanya kepada gurunya sebelum waktunya. Adab ini sudah tidak kondisional lagi digunakan dalam proses belajar mengajar, sebab dimasa sekarang informasi tidak hanya diperoleh dari guru saja tapi bisa juga dari alat elektronika seperti radio, teletisi atau yang lain. ---------------------------