IHYA’ AL-MAWAT DALAM HUKUM ISLAM AMBOK PANGIUK Abstrak Artikel ini membahas tentang tanah telantar (al-mawat) dan pemberdayaannya (ihya’ al-mawat) dalam hukum Islam. Di Indonesia, persoalan ini menjadi penting karena hukum yang dianut juga mengakui hukum Islam. Dalam Undang-Undang Pokok Agraria 1960, misalnya, terkait tanah, eksplisit dikatakan bahwa tanah adalah karunia Tuhan. Masalah pertanahan juga masuk ke dalam UU No. 38 Tahun 1999 dan Kompilasi Hukum Islam. Tak semata melihat persoalan tanah dari sudut pandang Islam, artikel ini juga mendiskusikannya dalam bingkai sistem hukum yang berlaku di Indonesia. Kata Kunci: ihya’ al-mawat, hukum Islam, UU Pokok Agraria.
Pendahuluan Kedudukan tanah mati adalah salah satu persoalan penting yang harus mendapat perhatian pemerintah. Tumpang-tindih antara satu kedudukan dengan lainnya yang menyebabkan pemilikan tanah oleh dua orang dengan satu lahan. Kasus seperti ini terjadi karena masih ada bidang-bidang tanah yang dikerjakan dan telantar, sehingga kecenderungan bagi masyarakat yang tidak memiliki lahan untuk mengakui dan menggarapnya. Bila tidak diperhatikan, hal ini akan mengganggu proses jalannya pembangunan pada sektor pertanahan, mengingat luas lahan tanah yang semakin terbatas dan kebutuhan akan tanah yang tidak bermasalah semakin diperlukan oleh setiap penduduk di negeri ini. Keberadaan kedudukan tanah mati baik di daerah pedesaan maupun di daerah perkotaan akan mengurangi arti dan peran tanah yang berfungsi sosial. Hukum agraria di Indonesia meliputi
166
| Media Akademika Volume 25, No. 2, April 2010
keseluruhan kaidah-kaidah hukum yang meliputi bumi, tanah, air dari bangsa Indonesia. Pada awalnya (sebelum tahun 1960) diberlakukan 2 hukum yaitu adat dan hukum barat. Satu hukum dibangun berdasarkan pada nilai yang diadopsi dari hukum yang berlaku di negara-negara Barat, sedangkan hukum adat dibangun berdasarkan kebiasaan yang berlaku di Indonesia sejak dahulu.1 Hukum Agraria memperlihatkan adanya hubungan antara manusia dengan Tuhan bahwa bumi, air, ruang angkasa dari bangsa Indonesia adalah karunia dari Tuhan yang maha Esa kedua, hukum Undangundang Pokok agraria yang berlaku sebelum tahun 1960 adalah hukum agraria yang disadur dari hukum adat, sehingga tidak sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia dan tidak menjamin kepastian hukum, dan hukum agraria yang berdasarkan hukum adat.2 Selain dari hukum perdata dan hukum adat, maka hukum Islam pun berlaku di Indonesia dalam bidang keperdataan yang berkaitan dengan perkawinan, kewarisan, zakat dan perwakafan, seperti UU No. 38 Tahun 1999 dan Kompilasi Hukum Islam. Masalah pertanahan ini pun termasuk ke dalam UU No. 38 Tahun 1999 dan ke dalam Kompilasi Hukum Islam. Islam mengaturnya melalui dua sumber utama ajaran Islam, Alquran dan Hadis. Salah satu bentuk pengaturan dalam Islam yaitu kedudukan tanah mati dan pemberdayaannya. Dalam hukum Islam tanah mati lebih dikenal dengan al-mawat. Menurut Louis Ma’luf, al-mawat mempunyai dua arti. Pertama, sesuatu yang tidak mempunyai roh. Kedua, tanah yang tidak berpenduduk dan tanah yang tidak dimanfaatkan.3 Sedangkan dalam Hukum Agaria, kedudukan tanah mati adalah tanah yang ditelantarkan oleh pemegang atas tanah. Pemegang hak pengelolaan atau pihak yang tidak memperoleh dasar penguasaan atas 1 2
3
Budi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, ( Jakarta: Djambatan, 1988), hlm. 2. A.P. Parlidungan, Komentar atas Undang-undang Pokok Agraria, (Bandung: Mandar Maju, 1991), hlm. 20. Louis Ma’luf., Al-Munjid: Fiy al-Lughah wa al-A ‘lam, (Beirut: Dar al-Musyriq, 1986), hlm. 779.
Ambok Pangiuk, “Ihya’ al-Mawat dalam Hukum Islam” |
167
tanah tetapi belum memperoleh hak atas tanah sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Konteks Tanah Mati Konteks tanah mati dalam Islam dikenal dengan tanah mati atau ihya al-mawat. Al-mawat secara etimologi berarti yang mati atau lawan dari hidup. Al-mawat memiliki arti yaitu sesuatu yang tidak mempunyai roh atau tanah yang tidak berpenghuni atau tidak seorangpun memanfaatkannya). Tanah mati berarti sesuatu yang tidak mempunyai roh dan tanah tidak berpenghuni atau berarti sesuatu yang tidak mempunyai roh, juga berarti tanah yang tidak dimiliki serta tidak dimanfaatkan. Arti lain dari tanah mati yaitu tidak dimanfaatkan, serta susah pula memanfaatkannya, tidak dimiliki, atau terdapat atas tanah tersebut hak milik, tetapi tidak diketahui pemiliknya. 4 Secara terminologi terdapat beberapa pengertian tanah mati yang dikemukakan para ulama fikih, ulama Syafi’iyah, Malikiyah dan Hambaliah mengemukakan definisi al-mawat dalam persepsi tentang tanah yang tidak dimiliki dan tidak dimanfaatkan oleh seseorang. Ulama Syafi’iyah mendefinisikan sebagai lahan yang belum digarap orang dan tidak pula terlarang untuk digarap baik lahan itu jauh dari pemukiman maupun dekat). 5 Sebagaimana pengertian tanah mati yang diungkapkan oleh Hanafiyah bahwa tanah yang berada di luar perkampungan, tidak dimiliki oleh siapa pun, tidak pula terdapat hak khusus atasnya.6 Berdasarkan definisi tanah mati yang dikemukakan oleh fuqaha di atas, kriteria tanah yang tergolong tanah mati yaitu tanah yang tidak dimiliki oleh seseorang atau tanah yang tidak terdapat hak milik 4 5
6
Ma’luf., Al-Munjid. Al-Ibrahim Bajuriy., Hasyiyah al-Bajuriy Ala’ Ibnu al-Ghazali, Juz II, (Semarang: Maktabah Matbu’ah Thaha Putra, t.th.), hlm. 37. Al-Kasaniy ‘Ala al-Din Abi Bakar ibn Mas’ud., Kitab Bada‘i al-Shana’i, Juz VI, (Beirut: Dar al-Kutub al-Alamiyah, t.th.), hlm. 194.
168
| Media Akademika Volume 25, No. 2, April 2010
atasnya, baik hak milik orang Islam maupun hak milik non nuslim. Dalam suatu hadits yang pernah dijelaskan oleh rasul tentang siapa yang menghidupkan tanah/lahan mati, maka tanah tersebut menjadi miliknya” (diriwayatkan oleh Ahmad dan al-Tarmiziy).7 Tanah mati yang berarti tidak digarap adalah lahan yang tidak digarap dapat dibuktikan dengan tanda-tanda pada lahan tersebut seperti pemagaran, bekas penggarapan dan tanda-tanda lainnya yang biasa dipakai oleh masyarakat setempat dan tanah yang berada jauh di luar perkampungan. Menurut imam Hanafi bahwa lahan yang berada di kawasan masyarakat muslim adalah hak kaum muslim. Tanah terdiri dari banyak jenis, tanah liat, tanah tandus, tanah basah, dan lain-lain. Disin akan diuraikan penbagian tanah menurut Fuqaha yang terdapat dalam kitab-kitab fiqh dan peraturan-peraturan yang pernah berlaku dari zaman Rasulullah sampai zaman Khalifah Rasyidin. Pembagian tanah disini bukan dari zat tanahnya, tapi dari segi hukum yang melekat pada tanah. Pembagian tanah dapat dilihat dari dua segi, pertama, kedudukannya terbagi kepada dua, 1). tanah yang terdapat atasnya hak milik (ardh mamlukah). Tanah yang terdapat hak milik atasnya ada dua macam, tanah yang telah digarap dan bekas digarap. Tanah yang sudah digarap tidak dibolehkan orang lain untuk mengolahnya kecuali ada izin dari pemilik hak, 2), tanah yang tidak dimiliki (ardh ghair al-mamlukah). Tanah yang tidak dimiliki terdiri dari tanah untuk kepentingan umum dan tanah yang belum digarap serta tidak diketahui pemiliknya atau tanah tidak diketahui pemiliknya dikenal dengan istilah al-mawat,8 kedua, Tanah pemberian khalifah kepada rakyat yang terdiri dari 1), tanah taklukkan, 2), tanah kontrak 3), tanah milik kaum muslimin, 4), tanah pemerintah.
7
8
Abi Abd Allah Muhammad Ibn Muflih, Kitab al-Furu’, Juz IV (Allm al-Kutub, 1968), hlm. 552. M. Rasyid Ridha, al-Manar, Juz VII, (Mesir: al-Bab al-Halabiy wa Awladuh, 1987), hlm. 161.
Ambok Pangiuk, “Ihya’ al-Mawat dalam Hukum Islam” |
169
Kepemilikan Hak atas Tanah Mati Dalam Alquran dan Hadist serta dalam literatur buku fiqh klasik maupun modern, tidak memperinci bentuk-bentuk hak atas tanah menurut hukum Islam. Namun dalam pembahasan mengenai hak dan kewajiban menusia terhadap harta benda, terdapat beberapa bentuk hak manusia terhadap harta benda yang dikuasainya, seperti hak milik, hak manfaat, hak sewa. Bertitik tolak dari macam-macam hak seseorang terhadap benda yang dikuasainya tersebut, peneliti akan menguraikan beberapa bentuk hak atas tanah menurut hukum Islam yaitu hak milik atas tanah secara etimologi berasal dari bahasa Arab al-milk yang berarti penguasaan terhadap sesuatu. Hak milik atas tanah didefinisikan sebagai wewenang atau kekuasaan yang ditetapkan oleh syara’ atau hak manfaat atas tanah adalah secara hak manfaat atas tanah dalam bahasa Arab dikenal dengan haq al-intifa’. Kewenangan itu terjadi disebabkan oleh beberapa hal yang disyari’atkan dalam ajaran Islam yaitu terdiri dari pinjam-meminjam, sewa menyewa, wakaf, wasiat atas tanah, pembolehan atas tanah.9 Sedangkan dalam pembagian hak hasil atas tanah tersebut dibagi kepada dua yaitu pertama, hak bagi hasil atas tanah menurut hukum Islam terjadi dari beberapa bentuk, di antaranya: al-muzara’ah dan almusaqah. Sedangkan Malikiyyah, Hanabilah, Syafi’iyah, dan sebagian fuqaha’ Hanabilah membolehkan transaksi dalam bentuk musaqah, dan kedua, hak sewa atas tanah atau ijarah merupakan salah satu bentuk dari hak manfaat atas tanah atau hak milik tidak sempurna atas tanah.10 Dalam pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah RI No. 36 Tahun 1998 hal 816, tanah telantar itu adalah tanah yang dibiarkan terbengkalai oleh pemegang hak atas tanah, atau pihak yang telah memperoleh dasar penguasaan atas tanah tetapi belum memperoleh
9 10
Nasrun Harun, Fiqh Muamalah, ( Jakarta: Gaya Media Pratama, 2000), hlm. 23. Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid, Jilid II, (Semarang: Usaha Keluarga, t.th.), hlm. 183.
170
| Media Akademika Volume 25, No. 2, April 2010
hak atas tanah sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. Hal ini juga diatur di dalam UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok Agraria, tanah hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan dan hak pakai dapat dinyatakan sebagai tanah telantar apabila tanah tersebut dengan sengaja tidak dipergunakan oleh pemegang haknya sesuai dengan keadaannya atau sifat dan tujuan haknya atau tidak dipelihara dengan baik. Tanah mati dapat menghilangkan hak atas tanah yang telah dimiliki seseorang, lalu tanah tersebut dikuasai kembali oleh pemerintah. Hal ini sesuai dengan hukum agraria yang menyatakan bahwa hak atas tanah akan hapus apabila tanah tersebut jatuh kepada negara karena ditelantarkan. Dalam hukum agraria tersebut dikenal tanah tak bertuan/tanah mati. Sejalan dengan pengertian tanah mati dalam Islam, dalam hukum agraria diartikan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yaitu tanah mati sebagai tanah yang tidak diusahakan lagi. Adapun tanah yang telah diperoleh penguasaan atasnya tetapi belum diperoleh hak atasnya sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku.11 Dilihat dari kriteria tanah mati yang diungkapkan oleh Mahadi yaitu tanah hutan/tanah liar, tidak terdapat hak atas tanah dan tidak digarap. Defenisi tanah mati yang diungkapkan di atas, membatasi pengertian tanah mati hanya kepada dua pembagian, yaitu pertama, tanah hutan yang dibiarkan menjadi hutan, tidak dikerjakan dan digarap oleh orang lain, kedua, tanah yang pernah digarap kemudian ditinggalkan oleh penggarapnya.12 Selain tanah mati, tanah tak bertuan, tanah bebas, tanah liar di atas juga terdapat tanah guntai (abstantee), yaitu tanah yang pemiliknya berada di luar perkampungan di mana tanah itu berada.13 11
12
13
WJS Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, ( Jakarta: Balai Pustaka, 1991), hlm. 1289. Mahadi, Sejarah Perkembangan Hak-hak Suku Melayu atas Tanah di Sumatra Timur (1800-1975), skripsi di USU Medan, 1987, hlm. 102. Adiwinata, Status Hak dan Pembebasan Tanah, ( Jakarta: Sinar Grafika, 1984), hlm. 16.
Ambok Pangiuk, “Ihya’ al-Mawat dalam Hukum Islam” |
171
Pengklasifikasian terhadap tanah dalam Undang-undang Pokok Agraria dibedakan berdasarkan penguasaan terhadap tanah. Penguasaan tanah dalam UUPA terklasifikasikan dalam tiga kelompok besar. Pertama, tanah adat adalah tanah yang dimiliki oleh adat atau tanah yang dikuasai oleh adat. Tanah adat di Indonesia telah ada sebelum berlakunya hukum agraria tanggal 4 September 1960. Oleh karena itu, Pengertian tentang tanah adat, dijelaskan dalam hukum agraria yang berlaku sebelum dikeluarkan Undang-Undang No. 5 Tahun I960, karena sebelum Undang-Undang No. 5 Tahun 1960, ada dua hukum pertanahan yang berlaku di Indonesia yaitu hukum adat dan hukum Barat. Dualisme hukum pertanahan ini melahirkan dua macam tanah yaitu tanah adat yang disebut dengan tanah Indonesia, dan tanah Barat yang dikenal dengan tanah Eropa. Tanah adat atau tanah Indonesia yang sepenuhnya tunduk pada hukum (agraria) adat, sepanjang tidak diadakan ketentuan yang khusus atau hak-hak tertentu. Misalnya, tanah ulayat, tanah kaum, tanah gadai, dan lain-lain. Sedangkan tanah barat yaitu tanah yang tunduk pada hukum Eropa, misalnya tanah grand, tanah eigendom, dan lain-lain. Kedua, tanah negara adalah tanah yang negara berkuasa penuh terhadap semua jenis tanah sebagaimana tercantum dalam pasal UndangUndang Dasar 1945 Pasal 33 ayat (3) yang mengatakan bahwa bumi, air, dan ruang angkasa dan kekayaan yang terkandung di dalamnya pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh negara. Pasal 2 ayat (1) UndangUndang Pokok Agraria menyebutkan atas ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Ketiga, tanah hak adalah hak atas tanah yang diatasnya terdapat hak orang atau badan hukum. Sebagaimana penjelasan dalam hukum agraria menyebutkan bahwa hak-hak yang sifatnya sementara sebagaimana yang dimaksud Pasal 16 ayat (1) huruf h ialah hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang, dan hak sewa tanah pertanian, diatur dan dibatasi sifatnya yang bertentangan dengan undang-undang ini dan hak-hak tersebut diusahakan hapusnya dalam waktu yang singkat. Hak atas tanah dalam pasal hukum agraria, secara umum dapat dibagi menjadi
172
| Media Akademika Volume 25, No. 2, April 2010
dua kategori, yaitu pertama, semua hak yang diperoleh langsung dari negara, disebut hak primer. Hak yang tergolong ke dalam kategori ini ada enam macam hak, diantaranya hak pakai, hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak membuka tanah dan memanfaatkan hasil hutan. Kedua, semua hak yang berasal dari pemegang hak atas tanah orang lain berdasarkan perjanjian bersama, disebut hak sekunder. Hak sekunder ini dijelaskan hukum agraria dalam Pasal 53 ayat (l), yaitu hak gadai, hak guna usaha bagi hasil, hak menumpang, dan hak sewa tanah pertanian. Kedua macam hak tersebut mempunyai persamaan, dimana pemegangnya berhak untuk menggunakan tanah yang dikuasainya untuk dirinya atau mendapatkan keuntungan dari orang lain melalui perjanjian kepada pihak tertentu.14
Pemberdayaan Tanah Mati (Ihya’ al-Mawat) dalam Konteks Hukum Penggunaan tanah mati dalam bahasa Arab digunakan istilah ihya almawat atau immar al-ardh sebagaimana yang dijelaskan dalam defenisi tanah mati yang dijadikan tanah itu menjadi miliknya sepanjang umur.15 Menurut fuqaha pendayagunaan tanah mati dapat dilakukan dengan berbagai cara yaitu dimulai dengan jalan memberi tanah, baik berbentuk pagar, tembok, bangunan dan lain sebagainya. Selain itu pendayagunaan terhadap tanah dapat pula dilakukan dengan jalan mengairi lahan tersebut, serta menjadikannya sebagai sawah, ladang, perkebunan, atau mendirikan bangunan atasnya.16 Mendayagunakan tanah mati antara lain pertama, diurus sendiri, kedua, memberikan lahan tersebut kepada orang lain untuk mengurusnya, ketiga, pengelola pertama tanah mati dikelola sehingga ia menjadi miliknya.17 14 15
16
17
Adiwinata, Status Hak dan Pembebasan Tanah, hlm, 10-14. Al-Syihab al-Din dan Amirah Qalyubi, Qalyubiy wa Amirah, Juz III, (Semarang: Maktabah Thoha Putra, t.th.), hlm. 88. Al-As-Sayyid Abi al-Nashr Husniy, Al-Milkiyyah Fi al-lslam, (Cairo: Dar al-Kutub Al-Haditsah, t.th.), hlm. 43. Yusuf Qardhawi, Norma dan Etika Ekonomi Islam, ( Jakarta: Gema Insani Press, 1995), hlm, 122.
Ambok Pangiuk, “Ihya’ al-Mawat dalam Hukum Islam” |
173
Penggarapan tanah mati tidak bisa dilakukan dengan sewenangwenang sebab, tanah mati adalah tanah yang tidak dimiliki, sedangkan tanah yang tidak ada pemiliknya dikuasai oleh pemerintah. Penggarapan tanah yang dikuasai oleh negara harus ada izin dari negara. Dengan kata lain, pendayaan tanah mati boleh dilakukan setelah mendapat izin dari (imam) pemerintah. Menurut hukum agraria pada ayat 2 Pasal 12 PP tentang pendayagunaan tanah mati, tanah yang telah diambil haknya oleh pemerintah dan diserahkan tanah orang lain, maka pendayagunaannya dilaksanakan oleh pemegang hak dengan bimbingan instansi teknis yang berwenang di bidang penggunaan tanah. Pendayagunaan tanah ini dilaksanakan melalui program kegiatan instansi/dinas yang bertujuan untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna tanah tersebut. Menurut Pasal 13 ayat 1 setelah pemegang hak diberikan hak penguasaan untuk mendayagunakan dikeluarkan maka pemegang hak diberikan waktu satu tahun sejak diterimanya surat tersebut yang bersangkutan telah mulai menggunakan tanahnya. Apabila dia tidak mengelola dan mendayagunakan tanah tersebut setelah dikeluarkannya surat peringatan maka pemerintah mengeluarkan surat peringatan kedua dengan memberi jangka waktu yang sama yaitu satu tahun. Apabila si pemegang hak belum mendayagunakan juga tanah tersebut, maka pemerintah mengeluarkan lagi surat peringatan ketiga dengan jangka waktu yang sama pula. Apabila jangka waktu yang telah ditentukan yaitu tiga tahun berturut-turut tanah tersebut tidak didayagunakan, maka pemerintah berhak mengambil dan menguasai tanah itu kembali karena tanah tersebut telah masuk ke dalam kategori tanah telantar.18 Untuk mendayagunakan tanah mati oleh pihak lain, maka izin dari pemerintah sangatlah diperlukan, karena pendayagunaan tanah tidak bisa dilakukan dengan sewenang-wenang karena sudah ada peruntuk18
Harsono, Hukum Agraria Indonesia, hlm. 48.
174
| Media Akademika Volume 25, No. 2, April 2010
annya sebagaimana yang disebut hukum agraria yang menyatakan bahwa pemerintah daerah mengatur kesediaan, peruntukan dan penggunaan air serta ruang angkasa untuk daerahnya masing-masing. Sehingga tanah menurut Pasal 6 Undang-Undang Agraria, mempunyai fungsi sosial dan pemanfaatannya harus meningkatkan kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu, sebelum penggarapan terhadap lahan dilakukan, seorang penggarap harus mengetahui untuk apa tanah itu disediakan oleh pemerintah agar tidak terjadi tumpang tindih kepentingan terhadap penggunaannya.19 Pendayagunaan tanah mati harus sesuai dengan kemampuan lahannya berdasarkan beberapa ketentuan antara lain, pertama, yaitu berdasarkan hak tata guna tanah. Tata guna tanah ini dapat diketahui dengan adanya kegiatan pembuatan peta topografi. Keadaan tata guna tanah proyek apa yang berlaku akan menentukan metode pembukaan tanah yang bagaimana perlu dilakukan. Penggarap yang akan mendayagunakan lahan terlanlar harus mengetahui untuk apa lahan tersebut akan dikembangkan oleh pemerintah sehingga sesuai dengan perencanaan pembangunan nasional, kedua, berdasarkan luas lahannya yaitu lahan akan mempengaruhi skala usaha, dimana skala usaha ini pada akhirnya akan mempengaruhi efisien atau tidaknya usaha suatu pertanian. Oleh karena itu agraria mengatur luasnya lahan yang akan didayagunakan untuk menghindari monopoli pertanian, ketiga, berdasarkan kewarganegaraan yaitu yang mengelola adalah warga negara Indonesia dan kepemilikannya pun milik masyarakat Indonesia dan status kewarganegaraan Indonesia menjadi syarat mutlak mendayagunakan tanah mati.20 Ada pendapat yang menyatakan berdasarkan keumuman hadis tentang ihya al-mawat yang diriwayatkan oleh al-Tsalasah yang diriwayatkan dari Jabir bahwa Nabi saw bersabda, siapa yang menghidupkan 19
20
G. Kertasapoetra, dkk., Hukum Tanah: Jaminan UUPA bagi Keberhasilan Pendayagunaan Tanah, ( Jakarta: Rineka Cipta, 1985), hlm. 14. Soekartawi, Prinsip Dasar Ekonomi Pertanian: Teori dan Aplikasi, ( Jakarta: Rajawali Pers, 1989), hlm, 14.
Ambok Pangiuk, “Ihya’ al-Mawat dalam Hukum Islam” |
175
lahan (tanah mati) telantar, maka tanah tersebut menjadi miliknya (diriwayatkan oleh Ahmad dan al-Tirmidzi). Tinjauan atas Pasal 2 ayat (1) Undang-undang Pokok Agraria dikatakan bahwa atas dasar ketentuan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD dan hal-hal sebagaimana yang dmaksud dalam Pasal 1, bumi, air dan ruang angkasa, termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya itu pada tingkat tertipggi dikuasai oleh negara sebagai organisasi seluruh rakyat Indonesia.21 Kata “dikuasai oleh negara” dalam Pasal 2 ayat (1) ini dijelaskan dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-undang Pokok Agraria yang mengatakan bahwa wewenang hak menguasai dari negara ini dalam tingkat tertinggi, mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan persediaan dan pemeliharaan, mengatur dan menentukan hak-hak yang dapat dipunyai (bagian dari) bumi, air dan ruang angkasa.22 Bagi orang yang menghidupkan tanah mati dalam komentar atas undang-undang agraria diberikan kemungkinan untuk memperoleh hak atas tanah setelah jangka waktu ditentukan (sampai 3 tahun berturut-turut setelah itu diusahakan). Hak membuka tanah ini berasal dari hukum hukum adat kedalam hukum Agraria. Pembukaan tanah telantar dalam hukum adat dilakukan dengan meminta izin dari kepada suku, kemudian tanah itu baru bisa. Andaikata tanah yang sudah digarapnya itu dibiarkan terbengkalai, maka sipenggarap harus menyerahkan tanah tersebut kembali agar dapat digarap oleh orang lain.23 Dalam hukum agraria, izin pendayagunaan tanah mati merupakan syarat mutlak. Izin akan dikeluarkan oleh pejabat yang berkompeten dan apabila pendayagunaan tanah mati sesuai dengan perencanaan pemerintah. Izin dari pemerintah Indonesia ini bertujuan pertama, untuk menjamin kepastian hukum, sebagaimana yang telah diungkapkan oleh Pasal 19 ayat (1) Undang-Undang Agraria menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan identifikasi/pendaftaran 21 22 23
Harsono, Hukum Agraria Indonesia, hlm. 6-7. Harsono, Hukum Agraria Indonesia, hlm. 6-7. A.P. Parlindungan, Komentar atas Undang-undang Pokok Agraria.
176
| Media Akademika Volume 25, No. 2, April 2010
tanah di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuanketentuan yang diatur dengan peraturan pemerintah kedua, mencegah terjadinya sengketa atas tanah, ketiga, mencegah terjadinya monopoli atas tanah keempat, agar pemanfaatan tanah dapat dilakukan secara efektif. Setelah mendapat izin dari penguasa, dalam hukum Islam penggarap lahan telantar dapat memulainya dengan melakukan pemugaran atas tanah, membersihkan lahan, mengairinya, menanam bibit dan lain-lain. Begitu pun dalam hukum agraria pendayagunaan lahan mati dapat dilaksanakan berdasarkan tata guna tanah, artinya pemanfaatan tanah harus sesuai dengan tata guna tanah apakah untuk areal pertanian, pembangunan, industri, dan lain-lain. Sehingga dalam hukum Islam, pemerintah dapat menarik kembali tanah yang diberikan kepada penggarap, bila ia tidak mengusahakan tanah tersebut. Begitu pula dengan hukum agraria yang memberikan batasan waktu tiga tahun kepada penggarap. Perbedaan dan persamaan antara hukum agraria dan hukum Islam tentang akibat hukum dari pendayagunaan kepemilikan terhadap tanah mati mayoritas ulama mengatakan bahwa pendayagunaan tanah mati melahirkan hak milik bagi penggarapnya. Dengan kata lain, penggarap lahan telantar akan mendapatkan hak milik atas tanah garapannya. Dalam hukum agraria penggarapan lahan telantar atau membuka lahan telantar tidak langsung mendapatkan hak milik atas tanah. Hak atas tanah telantar diberikan setelah tiga tahun berturutturut penggarapan dilakukan. Hak atas tanah ini tidak hanya hak milik, juga terdapat hak guna bangunan, hak guna usaha, hak pakai dan Iain-lain. Perbedaan antara kemaslahatan hukum Islam dan hukum agraria tentang hak atas tanah yang diperoleh lahan mati ini akan menimbulkan konsekuensi hukum yang berbeda pula, apabila ditetapkannya hak milik bagi penggarapnya, ia dapat menjual, menghibahkan, bahkan mewariskannya. Berbeda dengan Undang-undang Pokok Agraria yang memberikan pada penggarap untuk memberikan hak
Ambok Pangiuk, “Ihya’ al-Mawat dalam Hukum Islam” |
177
apa yang diinginkannya dari berbagai macam hak atas tanah dalam hukum agraria. Bagi penggarap memilih hak milik, maka hukum yang berkaitan dengan hak miliklah yang berlaku baginya. Namun jika ia memilih hak pakai, maka ia tidak dapat menghibahkannya atau mengalihtangankan kepada orang lain. Penggarapnya hanya bisa memanfaatkannya serta mengambil hasil darinya. Sedangkan menurut hukum agraria, penggarap lahan telantar tidak berhak mendapatkan lahan di sekitar tanah telantar. Batasan-batasan dalam mendayagunakan tanah telantar ditentukan melalui izin pemerintah. Batasan-batasan tersebut membatasi areal tanah yang boleh didayagunakan. Tanah yang berada di luar batasan itu dikuasai oleh negara apabila tidak ada hak orang lain di atasnya. Pembatasan tanah yang telah ditentukan oleh hukum agraria ini telah termasuk ke dalamnya sarana penunjang untuk mendayagunakan lahan ini. Seperti tanah untuk bangunan, penggarap boleh membuat bangunan termasuk sarana pcnunjangnya seperti halaman rumah, pekarangan lahan pemugaran dan lain-lain, sehingga pada Pasal 5 Undangundang Agraria menyatakan bahwa hukum agraria yang berlaku sekarang adalah hukum adat. Walaupun hukum agraria tidak membolehkan adanya hak atas tanah harim, bukan berarti hukum agraria menyalahi hukum adat tentang tanah harim yang berlaku dalam hukum Islam. Ketentuan batasan-batasan bagi tanah telantar yang dimaksud untuk menghindari terjadinya monopoli atas penggunaan tanah, meningkatkan efisiensi pendayagunaan lahan, memberikan kepastian hukum batas tanah yang tidak boleh digunakan orang lain, menghindari sengketa tanah. Uraian di atas menunjukkan bahwa hak yang diperoleh penggarap lahan berupa hak milik, hak guna bangunan, hak guna usaha, hak pakai, dan lain-lain, yang diungkapkan oleh hukum agraria tidak bertentangan dengan hukum, meskipun dalam hukum Islam hanya menyebutkan hak yang diperoleh penggarap tanah telantar hanya hak milik. Karena hak milik dalam hukum agraria adalah hak terpenuh dan terkuat. Begitu pula dengan ketetapan hukum agraria yang tidak
178
| Media Akademika Volume 25, No. 2, April 2010
menentukan batasan tanah yang berada di sekitar tanah mati (harim) yang boleh digunakan penggarap sebagai lahan penunjang keberhasilan pendayagunaan tanah mati, juga tidak bertentangan dengan hukum Islam. Karena batasan tanah mati yang boleh didayagunakan oleh penggarap, sebagaimana yang telah ditetapkan oleh hukum agraria, telah tercakup ke dalamnya tanah sebagai sarana penunjang pendayagunaan tanah mati. Banyak permasalahan yang tidak memuaskan dalam pembahasan tentang perbedaan sudut pandang tanah mati. Konsep yang ditujukan ini pada anggapan tradisi yang menganggap sama antara pandangan hukum Islam dan undang-undang pokok agraria. Aspek yang pertama dan sangat mendasar tersebut sangat mempengaruhi terhadap pandangan hukum Islam yang dihubungkan dalam kehidupan yang kemudian membentuk secara umum masalah tanah mati dalam memenuhi segala kebutuhan ekonomi manusia. Diakui bahwa permasalahan kedudukan tanah mati tidak pernah memuaskan untuk diklarifikasi secara perorangan dan yang sesuai dengan hukum Islam. Hal ini berkaitan dengan proses kepemilikan tanah, penarikan kedudukan tanah, samapi pada kepemilikan tanah mati oleh pemerintah. Konsep klasik ini melahirkan dua pandangan yang berbeda tentang kedudukan tanah mati pada aspek hukum agraria dan hukum Islam. Pada saat yang sama juga artikel ini mencoba menguraikan langkah-langkah yang diperlukan secara umum dalam mengenali ciri-ciri kepemilikan dan kedudukan tanah mati.
Penutup Artikel ini mencoba menguraikan sebagian kecil tentang proses kedudukan tentang tanah mati melalui tinjauan perbandingan hukum Islam dan hukum agraria, karena itu belum mewakili untuk digeneralisir secara utuh sebagai konsep hukum Islam yang sempurna. Penulis menyarankan dilakukan suatu kajian terarah dengan harapan penelitian terus dilakukan dengan tema dan konteks hukum yang memiliki kemampuan pemecahan dan analisis yang berbeda.
Ambok Pangiuk, “Ihya’ al-Mawat dalam Hukum Islam” |
179
Pembenahan pada setiap instansi pertanahan nasional untuk melakukan sosialisasi dengan masyarakat yang akan membangun tanah agar tidak lagi terdapat tanah-tanah mati, dan sering menimbulkan banyak permasalahan dan momok bagi masyarakat.
180
| Media Akademika Volume 25, No. 2, April 2010
DAFTAR PUSTAKA Adiwinata, Status Hak dan Pembebasan Tanah, ( Jakarta: Sinar Grafika, 1984). Ibn Muflih, Abi Abd Allah Muhammad, Kitab al-Furu’, (Mesir: Allm al-Kutub, 1968). Bajuriy, Ibrahim, Hasyiyah al-Bajuriy Ala’ Ibnu al-Ghazali, (Semarang: Maktabah Matbu’ah Thaha Putra, t.th.). Suasthawa, M., Status dan Fungsi Tanah Adat Bali Setelah Berlakunya UUPA, (Denpasar: Kayu Mas, 1987). Harsono, Budi, Hukum Agraria Indonesia, ( Jakarta, Djambatan, 1988). Husniy, As-Sayyid Abiy al-Nashr, Al-Milkiyyah Fi al-lslam, (Cairo: Dar al-Kutub Al-Haditsah, t.th.). Hutagalung, Arie Sukanti, Program Retribusi Tanah di Indonesia, ( Jakarta: Rajawali Press, 1985). Kartasaputra, G., dkk, Hukum Tanah: Jaminan UUPA bagi Keberhasilan Pendayagunaan Tanah, ( Jakarta: Rineka Cipta, 1991). Kasaniy, Ala al-Din Abi Bakar ibn Mas’ud, Kitab Bada’i al-Shana’i, Juz VI, (Beirut: Dar al-Kutub al-Alamiyah, t.th.). Khatib, Al-Syaibaniy, Mughniy al-Muhtaj, Jilid II, (Beirut: Dar alFikr, 1998). Ma’luf, Louis, Al-Munjid: Fi al-Lughah wa al-A’lam, (Beirut: Dar alMusyriq, 1986). Mahadi, Sejarah Perkembangan Hak-hak Suku Melayu atas Tanah di Sumatra Timur (1800-1975), skripsi di USU Medan, 1987. Nan Tuo, Narullah Dt. Parpatih, Tanah Ulayat Menurut Ajaran Adat Minangkabau, (Padang: Yayasan Sao Batuah, 1999). Parlidungan, A.P., Komentar atas Undang-undang Pokok Agraria, (Bandung: Mandar Maju, 1998). Poerwadarminta, W.J.S., Kamus Besar Bahasa Indonesia, ( Jakarta: Balai Pustaka, 1991). Qardhawi, Yusuf, Etika dan Norma Ekonomi Islam, ( Jakarta: Gema Insani Press, 1995).
Ambok Pangiuk, “Ihya’ al-Mawat dalam Hukum Islam” |
181
Ridha, M. Rasyid, al-Manar, Juz VII, (Mesir: Al-Bab al-Halabiy wa Awladuh, 1987). Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid, Jilid II, (Semarang: Usaha Keluarga, t.th.). Sudiyat, Imam, Beberapa Masalah Pcnguasaan Tanah di Berbagai Masyarakat yang Sedang Berkembang, (Yogyakarta: Liberty, 1982). Suwastawa, Status dan Fungsi Tanah Adat Bali setelah Berlakunya UUPA, (Denpasar: Kayu Mas, 1987). Sunindhia, Y.W., dan Ninik Widhiawati, Pembaharuan Hukum Agraria: Beberapa Pemikiran, ( Jakarta: Bina Aksara, 1988).