Jurnal Kebijakan dan Manajemen PNS
RELASI POLITIK DAN ADMINISTRASI DALAM KEPEGAWAIAN DAERAH Oleh : M.R. Khairul Muluk Abstract Relation in Politic and administration can be explained in two aspects: local government value and Personnel. Relation in first aspect is represented in debates between structural efficiency and local democracy model. Relation in second aspect is represented in struggle between value-free and value-laden approach. These relations put into continuum rather than dichtomy between politic and administration because both of them are viewed as complementary rather competition. Keyword: local government model, local government personnel, structural effeciency model, local democracy model, value-laden approach, value-free approach.
PENDAHULUAN
DAFTAR PUSTAKA
Praktek dan teori administrasi publik senantiasa berkutat dengan perdebatan antara penekanan pada aspek politik pada suatu masa, kemudian bergeser pada penguatan aspek administrasi dengan mengurangi intervensi politik untuk kemudian selalu berupaya pada upaya pencapaian titik keseimbangan antara pengaruh politik dan administrasi. Persoalan ini senantiasa menjadi isu yang tak berakhir bagi administrasi publik dalam semua sektor di setiap masa. Terkadang posisi politik begitu dominan mempengaruhi nilai dan institusi administrasi publik dan terkadang administrasi publik mampu menjauhkan dominasi politik meskipun tak mampu menghilangkannya sama sekali, bahkan dalam masa tertentu (terutama dalam masa pemerintahan Orde Baru) pernah terjadi ketika birokrasi justru yang lebih menguasai institusi politik. Hal tersebut misalnya dapat disimak dari kajian
Hoessein, Bhenyamin. 1995. “Desentralisasi dan otonomi daerah di negara kesatuan Republik Indonesia: akan berputarkah roda desentralisasi dari efisiensi ke demokrasi?” Pidato Pengukuhan Guru Besar FISIP UI. Jakarta (18 November). Holzer, M. & Callahan, K. 1998. Government at Work. Sage Publications, Inc. : California. Jackson, K.D. 1980. “Bureaucratic Polity : A Theoritical Framework for the Analysis of Power and Communication in Indonesia.” dalam Jackson, K.D. & Pye, L.W. Political Power and Communications in Indonesia. University of California Press, Berkeley. Klingner, D.E. & Nalbandian, J. 1985. Public Personnel Management: Contexts and Strategies. Prentice-Hall, Inc. Englemood Cliffs, New Jersey. Norton, Alan. 1994. International Handbook of Local and Regional Government: A Comparative Analysis of Advanced
Pusat Pengkajian dan Penelitian Kepegawaian BKN
Jurnal Kebijakan dan Manajemen PNS
Democracies. Cheltenham: Edwar Elgar. Rosenbloom, D.H. 1989. Public Administration: Understanding Management, Politics, and Law in the Public Sector. Second Edition, McGraw-Hill Book Company. Santoso, P.B. 1993. Birokrasi Pemerintah Orde Baru: Perspektif Kultural dan Struktural. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Schwarz, A. 1994. A Nation in Waiting: Indonesia in the 1990s. Allen & Unwin Pty Ltd, Australia. Smith, Brian C. 1985. Decentralization: the Territorial Dimension of the State. London: George Alllen & Unwin. Starling, G. 1998. Managing the Public Sector. 5th Edition. Harcourt Brace and Company, Florida.
Pusat Pengkajian dan Penelitian Kepegawaian BKN
Jurnal Kebijakan dan Manajemen PNS
NETRALITAS KORPORAT DAN BIROKRASI INOVATIF DI INDONESIA: MENANAM, MERAWAT DAN MENUAI KEMULIAAN BANGSA
Oleh: Syafuan Rozi Abstract This article will telling us any alternatives about how Indonesian bureaucracy should be reforming and transforming its structure and values into new paradigm, culture and structure. The key words are how they can change to be a political neutrality institution and competence person, they should have good training to build clear vision as entrepreneur corporate and ascetic spiritual institution when they serving all of citizens and states. The conclusion of this article are the explanation about how any stakeholder in Indonesia should make planning of bureaucracy model of transformation and applicable implementation to achieve good bureaucracy, promoting state capacity and welfares people issues should be managed now and the future.
I. PENGANTAR Demi memuliakan bangsa, menjadi pembuat perubahan atau change maker dalam suatu institusi yang pernah menjadi instrumen kekuasaan politik memang tidak mudah, termasuk membenahi institusi dan kultur birokrasi/Pegawai Negeri Sipil (PNS) di Nusantara. Surat kaleng ancaman, pandangan rendah-meremehkan, intrik kusut menebar fitnah sampai tidak dilibatkan dalam pertemuan/kegiatan, dimutasikan ke jabatan pelengkap penyerta, kerap harus dihadapi oleh para pembaharu/inovator birokrasi. Kepada kelompok penentang upaya transformasi dan reformasi birokrasi ini, kita hanya bisa mengatakan, Mahatma Gandhi saja yang wajahnya begitu baik, tenang dan perilakunya menyejukkan, dengan prinsip ahimsa-perlawanan tanpa kekerasan, mereka bunuh, apalagi kita yang bukan siapa-siapa. Namun sebagian kita masih ingin memuliakan birokrasi dan kesejahteraan publik dikemudian hari, apapun kendala yang menghadang. Batu karang yang garang pun bisa bolong-belah tertembus oleh tetesan halus mata air yang terus-menerus. Ada tawaran strategis, bahwa PNS perlu dirubah “dari dalam”, yaitu di mulai oleh
kalangan PNS sendiri. Mengubah suatu keadaan yang bernuansa birokratik-lamban prosedural dan tadinya menjadi alat kekuasaan elit, menuju institusi korporat yang profesional, cepat tanggap, kreatif, dalam pelayanan publik dalam rangka menciptakan lapangan kerja terdidik, terjangkaunya pangan bergizi, perumahan yang dekat dengan tempat kerja, jalan raya yang awet dan tidak macet, angkutan umum yang nyaman, perawatan kesehatan yang dibiayai asuransi nasional, dan seterusnya. Untuk mencapai itu diperlukan kondisi netralitas politik birokrasi adalah suatu upaya sinergi atau saling mendukung yang dilakukan oleh beberapa pihak atau kelompok di dalam masyarakat yang menginginkan terbentuknya suatu keadaan politik yang lebih adil dan demokratis, dengan persyaratan bahwa birokrasi tidak boleh memihak atau tidak menjadi perpanjangan tangan salah satu kekuatan politik yang ikut bertarung dalam pemilihan umum. Pengalaman Jepang dan Jerman, membuktikan netralitas birokrasi dalam beberapa kali pemilu yang dimenangkan oleh Liberal Democratic Party dan Christian Democratic Party, telah menghasilkan kondisi yang memuliakan kepentingan publik dan kepastian karier birokrasi itu sendiri.
Pusat Pengkajian dan Penelitian Kepegawaian BKN
Jurnal Kebijakan dan Manajemen PNS
Untuk itu, saatnya PNS dan KORPRI di Indonesia belajar untuk menanam, merawat independensi politik dan semangatnya untuk melayani publik, agar dengan sendirinya bisa menuai kemuliaan sebagai instrumen negara milik rakyat. Birokrasi dengan baik bisa mengelola pajak yang dibayarkan oleh penduduk, laba perusahaan negara dan sumber daya alam, untuk kepentingan kemakmuran dan kesejahteraan negeri ini dengan semangat inovasi dan kreativitas utama. V. PENUTUP Sebagai penutup kita perlu memperhitungkan adanya tantangan eksternal birokrasi Indonesia seperti dampak globalisasi yang menimbulkan persaingan antar bangsa, kemajuan dan kesenjangan teknologi antar-komunitas, tuntutan pelanggan dan pembayar pajak yang kritis terhadap negara, telah mendorong banyak organisasi dan pelaksananya untuk berubah atau “mati”, begitu juga nasib birokrasi Indonesia. Situasi ekonomi serta persaingan yang tajam men-dorong organisasi melakukan restrukturisasi, perampingan organisasi, desentralisasi, merger, pemanfaatan IT (Information Technology) dan melakukan manajemen perubahan dan harapan. Tantangan eksternal seperti globalisasi, persaingan, kemajuan teknologi, tuntutan pelanggan (Dalam hal ini pembayar pajak dan retribusi), mendorong suatu organisasi untuk berubah, jika tidak ia akan mati suri atau dipersoalkan tanpa ujung pangkal. Situasi ekonomi yang memburuk serta persaingan yang tajam mendorong organisasi melakukan restrukturisasi, perampingan organisasi, desentralisasi, merger, pemanfaatan IT, membangun jaringan. Jika birokrasi Indonesia masih bergaya lama, dengan struktur organisasi yang bersifat hirarkis, tentu sekarang akan
dianggap terlalu lamban untuk memberikan nilai tambah kepada pelanggan atau pembayar pajak. Organisasi dalam situasi yang sangat dinamis harus mampu bergerak secara cepat dan luwes. Struktur organisasi yang lebih datar/ horisontal dianggap lebih tepat untuk keadaan sekarang karena jarak antara konsumen dengan pengambil keputusan lebih dekat. Bahkan struktur organisasi yang bersifat network dimana suatu organisasi hanya memiliki pusat yang kecil dan fungsi fungsi organisasi dilaksanakan secara outsourcing (merekrut atau mengontrak SDM dari luar), dianggap sebagai struktur yang cocok untuk situasi ini. Tantangan lingkungan birokrasi Indonesia, seperti halnya di dunia bisnis ini membuat rasa aman pegawai atau karyawan menjadi hilang. Tempat seseorang dalam suatu organisasi tiba-tiba bisa hilang. Hal ini dapat menimbulkan masalah besar dalam kehidupan seseorang. Seseorang tidak dapat lagi menggantungkan hidupnya pada organisasi. Tanggung jawab pengembangankarier seseorang didorong menjadi tanggung jawab individu. Seseorang harus mencari nilai tambah bagi dirinya sendiri sehingga lebih luwes dalam mencari pekerjaan termasuk menciptakan pekerjaan bagi dirinya sendiri (entrepreneurship). Job security yang hilang harus digantikan menjadi career security. Ada persoalan strukutural dan kultural yang perlu diperhatikan oleh otoritas birokrasi untuk memperbaiki kinerja lembaga ini di masa depan. Ini memerlukan semacam Badan Reformasi Birokrasi Indonesia, sebagai penggerak dan pengawal pembenahan abdi masyarakat dan negara. Paradigma baru birokrasi Indonesia dalam rangka reformasi birokrasi dan pengembangan karier serta fungsi dan tugasnya perlu berorientasi kepada visi dan misi kewirausahaan seperti yang dihidupkan oleh para pemikir seperti Osborn, Gaebler,
Pusat Pengkajian dan Penelitian Kepegawaian BKN
Jurnal Kebijakan dan Manajemen PNS
Frederickson dan Rhenald Kasali. Sejalan dengan perubahan struktur organisasi maka pengembangan karier yang bersifat tradisional dianggap tidak cukup luwes untuk memunuhi kebutuhan organisasi dan pegawai pada saat ini. Tantangan dunia bisnis seperti halnya tantangan jabatan publik menuntut pola kerja yang sifatnya lintas fungsi dan tim kerja. Seseorang birokrat perlu belajar atau minimal berempati pada seorang wirausaha yang bekerja di bidang produksi dan pemasaran yang juga harus memiliki pengetahuan keuangan, sumber daya manusia, produksi atau operasi. Seseorang dapat pula mengembangkan karier ke bidang spesialis dan profesional tanpa harus melalui bidang manajerial. Pada beberapa perusahaan imbalan yang diterima oleh seorang profesional dapat melebihi imbalan dari seorang manajer. Apakah birokrasi Indonesia bisa bercermin dalam dunia sedemikian. Pilihan penting lain adalah menciptakan lapangan kerja untuk anda sendiri dan orang lain. birokrasi Indonesia baru pun perlu berisi orang-orang yang berani mangambil risiko, peka terhadap tantangan lingkungan. Arah pengembangan karier dan bidang tugas pada saat mendatang akan lebih variatif, bisa vertikal, horisontal, dapat juga horisontal dulu kemudian vertikal. Agar PNS dan KORPRI bisa memiliki career security, maka anggotanya perlu lebih aktif dan “dibuatkan jalan” atau fasilitas untuk meningkatkan ketrampilan dan kompetensi dalam lingkungan yang serba berubah, sehingga PNS benar-benar menjadi sangat ahli atau memiliki keahlian yang bersifat multiskill. Kunci pembenahan birokrasi Indonesia masa depan adalah mendekatkannya dengan asset Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. Ia adalah kekuatan di masa depan. Jika birokrasi Indonesia bertindak mengabaikan, maka
dipastikan nasibnya jalan ditempat atau ditinggalkan. Pilihan bagi birokrasi Indonesia adalah berubah menjadi korporat yang netral dan inovatif atau mati. Hanya saja perlu dikemas agar perubahan birokrasi Indonesia dari Birokratik menjadi Korporat adalah suatu ‟pesta bersama‟ yang menyenangkan. Inovasi dan transformasi birokrasi Indonesia yang berjiwa netralitas politik korporat untuk masa depan yang bisa dirancang sekarang untuk masa depan itu antara lain: 1. Mengkondisikan terwujudnya keadaan good governance atau tata kelola negara atau instrumen eksekutif yang berjalan profesional dan berbasis kompetensi. Jika nepotisme dipergunakan kalangan tertentu (berlatar kesamaan etnis, agama, almamater) dalam rekruitmen, perasaan tidak puas akan menggunung. Manejemen rekruitmen yang berbasis keterwakilan etnis multikultural dan keahlian profesionalisme akan menghasilkan dukungan legitimasi yang tinggi dalam suatu negara yang bermasyarakat plural. 2. Ada pandangan transformatif bahwa istilah atau kata Pemerintah/pemerintahan dalam konteks akademis sudah saatnya digantikan dengan kata Eksekutif atau Pelaksana Otoritas Politik dari publik yang menjadi warga negara. Mereka bukan tiran atau penguasa politik, melainkan para abdi masyarakat atau pelaksana negara 3. Prasyarat suatu pemerintahan yang kompeten untuk Penyelenggaraan Pemerintahan yang Baik, memiliki antara lain mampu mengadakan: (a). Informasi akurat; (b). Diagnosa yang benar; (c). Otoritas dan legitimasi yang memadai; d). Punya kemampuan prediktif dan anti-sipatif; (e). Bisa
Pusat Pengkajian dan Penelitian Kepegawaian BKN
Jurnal Kebijakan dan Manajemen PNS
melakukan pengobatan atau penanganan keadaan yang tepat; (f). Mampu mengatasi dampak ikutan suatu kebijakan atau keadaan. 4. Birokrasi Indonesia perlu punya kriteria „a man who knows the way, shows the way and goes the way‟. Berusaha utnuk mengetahui jalan atau cara yang akan ditempuh publik, menunjukannya ke publik dan ikut menjalankannya bersama publik. Korporat yang mau memikirkan perbaikan nasib generasi men-datang...insight and vision for now and fututre generations. Memajukan aspek keteladanan (leadership) dan meng-hormati hukum (rule of law) dalam segala hal, termasuk dalam persoalan menjaga integritas bangsa. 5. Birokrasi Indonesia perlu dilandasi oleh aspek-aspek moralitas dan pembelaan terhadap HAM. yang memotivasi rakyatnya untuk membangun dirinya dan menjadikannya mitra sejajar. Prinsip good governance Birokrasi Indonesia hendaknya bermuara ke “good living for public. Seperti ungkapan Cicero “sales patriae suprame lex”: kesejahteraan rakyat adalah hukum yang tertinggi. 6. Dalam konteks inovasi birokrasi dalam bidang kependudukan dan menjinakkan korupsi, sebagai contoh aplikasi misalnya dapat dilakukan dengan merancang single-identity number. Satu chip electronic yang bisa digunakan untuk KTP, kartu pemilih, SIM, STNK/BPKB, asuransi kesehatan/pendidikan, rekam medis, alat bayar tol/busway/mass rapid transportation, pencatatan migrasi/laksana paspor elektronik, akta kelahiran, akta nikah, akta cerai, electronic-banking/ATM, sehingga penghasilan dan pengeluaran bisa transparan diketahui. Ini bisa dijadikan mekanisme pembuktian terbalik bagi
7.
8.
9.
10.
seluruh warga negara untuk diketahui asset halalnya. Dalam bidang IPTEK diperlukan sinergi antar birokrasi. LIPI-PLN perlu mewujudkan kerja sama dalam lingkup kegiatan penguatan inovasi, pemanfaatan iptek dan sumber daya yang dimiliki LIPI dan PLN. mengembangkan kapasitas penyediaan listrik energi terbarukan berbasis sumber daya lokal untuk desa tertinggal, kawasan perbatasan, daerah pesisir dan daerah terpencil lainnya. Salah satu contoh praktik pemerintahan yang baik adalah adanya transparansi dan pertanggungjawaban terhadap masya-rakat (public accountibility) misalnya menjelaskan berapa penerimaan pajak dari masyarakat dan untuk apa saja dana itu telah digunakan yang diumumkan lewat media publik. Adanya perhatian terhadap dinaikkannya anggaran pendidikan untuk mengembangkan kualitas sumber daya manusia yang akan mengelola potensi kemanusiaan yang ada. Untuk menyemangati anak negeri ini saya mau memulai, menembus tradisi penemuan, ini artinya agar anggaran APBN/APBD sebanyak 20% jangan hanya untuk bidang pendidikan, tapi juga penelitian dan penemuan. Kita memang baru menjadi bangsa pedagang, belum bangsa penemu, banyak dari kita termasuk Pertamina, Bulog, cenderung melakukan impor barang dan jasa. Kebiasaan memudahkan impor, tanpa memperkuat produksi dalam negeri yang mampu penopang lapangan kerja adalah tindakan nasionalisme yang keruh. Birokrasi Indonesia perlu lebih mencintai nation-nya. Terkait dengan telah keluar surat edaran MenPan bulan April 2009, yang secara keras melarang setiap PNS untuk
Pusat Pengkajian dan Penelitian Kepegawaian BKN
Jurnal Kebijakan dan Manajemen PNS
terlibat langsung dalam politik praktis, termasuk menganjurkan mendukung atau menolak calon wakil rakyat disemua tingkatan atau calon presiden/wakil presiden tertentu. P2PLIPI sebagai lembaga riset publik misalnya termasuk berada digarda terdepan dalam mendorong terwujudnya netralitas PNS, semestinya semua jajaran birokrasi bersedia konsisten dengan kebijakan tersebut dan tidak ikut-ikutan mempromosikan salah seorang caleg/capres. DAFTAR PUSTAKA Arief
Budiman. Bentuk Negara dan Pemerataan Hasil-hasil Pembangunan. Jakarta:LP3ES, 1982. Baron de Grimm. Correspondance, Litteraire, Philosophique et Critique, 1753-1769, Edisi 1813, Vol. 4. David Osborne dan Ted Gaebler. Mewirausahakan Birokrasi. Jakarta; Pustaka Binaman Pressindo, 1995. Dwight Y. King, “Indonesia New Order as a Bureaucratic Polity, a Neopatrimonial Regime or a Bureaucratic-authoritarian Regime: What Difference Does it Make?, dalam Interpreting Indonesian Politics, ed. Anderson dan Kahin, 1993. Elizabeth Gifford and Pinchot. The End of Bureaucracy and The Rise of The Intelligent Organization. San
Fransisco: Barret-Koehler Publishers, 1993. Fredickson, George, The Spirit of Public Administration, San Fransisco: Jossey Bass, 1997. Harold Crouch, “The New Order: The Prospect for Political Stability” dalam Indonesia: The Making of Nation, ed. J.A.C. Mackie, Canberra: Research School of Pacific Studies, The Australian National University, 1980. Jennie S. Bev, Sepuluh Tip Sukses Right Here, Right Now, Edisi Bahasa Indonesia, 2002. Martin Albrow, Birokrasi, terj. M. Rusli Karim dan Totok Daryanto, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1989. Max Weber, The Theory of Social and Economic Organization . The Free Press, New York, 1947. Manuel Kaisiepo dalam Jurnal Ilmu Politik No. 2, Jakarta: Gramedia-AIPI. Rhenald Kasali. Change: Manajemen Perubahan dan Harapan. Jakarta: Gramedia, 2005. Teguh Yuwono, “PNS Berpolitik untuk Kepentingan Golkar” Suara Merdeka, Jum‟at, 22 Januari 1999. Prisma No.7, Jakarta LP3ES, 1982. Jurnal Ilmu Politik No.2, Jakarta: Gramedia-AIPI,hlm. 27.
Pusat Pengkajian dan Penelitian Kepegawaian BKN
Jurnal Kebijakan dan Manajemen PNS
MENGUBAH NETRALITAS BIROKRASI KLASIK MENJADI NETRALITAS BIROKRASI BARU: SUATU TELAAH POLITIK BIROKRASI Oleh Dwiyanto Indiahono Abstract Classic neutrality principles of bureaucracy which put down bureaucracy as pure administrator of implementor, apolitic and has low accountability have to be changed become new neutrality principles of bureaucracy. New neutrality principles of bureaucracy want bureaucracy can act as critical administrator and implementor, politic (join in accommodating and submitting public aspiration) and has high accountability (by developing open accountability). New neutrality principles of bureaucracy can be applied if there are supporter system, like: political system which is egaliter and responsive; elite of bureaucracy and politic committing to behave egaliter, responsive and supporting the betterness change; and also education of politics that giving position citizen as most sovereign institution. Keywords: new neutrality principles of bureaucracy, bureaucracy, political system and politic education.
PENDAHULUAN Sejarah Indonesia telah menulis bahwa perjalanan bangsa Indonesia telah melintasi sejarah yang panjang sejak mulai masa kerajaan, masa penjajahan, orde lama, orde baru hingga orde reformasi. Setiap fase ini, pasti tidak lepas dari kehadiran birokrasi untuk mengatur sendi-sendi kehidupan warga negara. Birokrasi memang dikenal sebagai organ pemerintah (di setiap masanya) untuk memikul tanggung jawab yang dibebankan kepadanya. Birokrasi masa kerajaan, dengan birokrat yang disebut abdi dalem diamanahi untuk melakukan tugas: melayani kepentingan raja dan keluarganya, menarik upeti/pajak dari rakyat dan menjadi intelejen terlatih untuk menjaga stabilitas politik dan kedaulatan kerajaan. Birokrasi masa kerajaan sama sekali tidak netral karena memang birokrasi didesain untuk pro kepada raja yang berdaulat. Kedaulatan adalah di tangan raja, dan dilakukan sepenuhnya oleh raja, keluarga dan petinggi kerajaan. Tak ada yang berhak untuk mengawasi jalannya pemerintahan kerajaan, dan warga kerajaan hanya dijadikan sebagai obyek dari prosesi kehidupan kerajaan. Birokrasi yang dipimpin
oleh raja menjadi sangat otonomi, totaliter dan mencengkeram warga kerajaan. Para birokrat bekerja amat “sendiko dawuh” (patuh) kepada raja, karena mati, hidup, kaya dan melarat ada ditangan raja dan para elit kerajaan. Pemerintahan yang seperti ini melahirkan tingkat akuntabilitas yang rendah bahkan tidak ada sama sekali. Raja sebagai simbol kedaulatan melaksanakan apa yang dianggapnya baik, tanpa harus meminta persetujuan publik. Birokrasi jaman kerajaan merupakan simbol dari raja itu sendiri. Para birokrat amat tanggap jika terdapat gejalagejala ketidakpuasan warga kerajaan atas setiap kebijakan raja dan keluarganya. Birokrasi bekerja amat baik dalam hal menjaga stabilitas politik dan kekuasaan kerajaan. Bukan hanya itu, raja juga melakukan uji loyalitas para birokrat. Raja melakukan uji loyalitas ini dengan cara memanggil para petinggi birokrasi ke upacara-upacara resmi kerajaan. Jika ada petinggi birokrasi yang tidak hadir, tanpa memberikan kabar dan permohonan maaf, maka gelar “tidak loyal kepada raja” sudah siap disandangkan kepadanya. Dengan mekanisme ini pula, petinggi kerajaan yang ada di bawah yang tidak suka kepada raja dapat melakukan protesnya dengan tidak
Pusat Pengkajian dan Penelitian Kepegawaian BKN
Jurnal Kebijakan dan Manajemen PNS
hadir ke upacara-upacara kerajaan. Tindakan ini pun beresiko tinggi, karena tidak hadir dalam upacara kerajaan berarti menantang raja, dan berarti pula: genderang perang telah ditabuh. Para petinggi kerajaan yang berhasil juga dapat mengusulkan penggantinya kepada raja, sehingga nepotisme adalah hal yang tidak dapat disangkal dalam periode ini. Birokrasi kerajaan dicirikan dengan birokrasi yang pro kepada kekuasaan-hegemonik, totaliter, kedaulatan ada ditangan raja, akuntabelitas rendah dan nepotisme. Budaya birokrasi tinggalan dari kerajaan ternyata tidak mudah digantikan oleh birokrasi modern yang dikenalkan oleh penjajah VOC dan Belanda. VOC dan Belanda datang ke Indonesia mengenalkan birokrasi modern bukan untuk tegaknya kedaulatan rakyat, namun birokrasi modern itu dikenalkan kepada bangsa Indonesia dengan tujuan dapat lebih melakukan eksploitasi secara besar-besaran. VOC dan Belanda pun mampu melakukan hal ini dengan baik sekali. Misalnya saja, para birokrat setingkat Kepala Desa, Camat dan Wedana digaji berdasarkan tanah bengkok atau lungguh dan sebagian dari upeti yang disetorkan kepada Belanda dengan perhitungan semakin besar upeti semakin besar juga bagian atau pendapatan mereka. Para petinggi tingkat lokal berusaha keras menaikkan upeti yang mereka setor kepada Belanda dengan harapan mendapatkan bagian yang besar pula. Akibatnya, para warga pun semakin ditekan untuk memberikan upeti lebih besar, mereka dipaksa bekerja lebih keras dan bekerja lebih lama di lahan-lahan milik pemerintah. Inilah sebagian dari kegagalan program tanam paksa yang diprakarsai Belanda. Birokrasi jaman penjajahan Belanda sekali lagi dibangun berorientasi kepada atasan dengan alih-alih mendapatkan kesejahteraan lebih dari hubungan dekat yang dibangun dengan petinggi birokrasi Belanda. Akuntabelitas dibangun dengan amat rendah. Warga
pribumi didudukkan sebagai warga negara kelas dua, yang diklaim sebagai orang yang selalu ingin membangkang, tidak jujur, ekstrimis dan bodoh sehingga harus diawasi secara ketat. Warga negara tidak memiliki hak untuk menyatakan pendapat dan berkumpul secara terbuka. Birokrasi penjajahan adalah birokrasi yang tidak netral pro kekuasaan, menciptakan kolusi dan nepotisme. Pembahasan birokrasi Indonesia, setelah masa kerajaan dan penjajahan biasanya dilanjutkan pada pembahasan birokrasi orde baru. Birokrasi orde baru dicirikan dengan dominasi dari institusi pemerintah pusat atas pemerintah di daerah, dan dominasi Golkar sebagai institusi politik yang mengakar di birokrasi. Birokrasi diupayakan bersih dari partai politik dengan membentuk Korps Karyawan Kementrian Dalam Negeri (Kokar Mendagri) sebagai embrio kelahiran KORPRI. Lembaga ini sebenarnya didesain untuk kepentingan politik pemenangan Golkar pada pemilu tahun 1971. Kesuksesan Kokar Mendagri dalam membawa kemenangan Golkar mendorong untuk dibentuknya Korps Pegawai Republik Indonesia (KORPRI). KORPRI merupakan satu-satunya wadah yang menampung aspirasi pegawai birokrasi pemerintah. Bukan hanya itu, lingkungan birokrasi pun disterilisasi dari kepentingan partai politik dengan mono-loyalitas yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1970. Mono-loyalitas ini menegaskan bahwa aparat birokrasi pemerintah harus loyal kepada negara dan pemerintah bukan kepada partai politik. Untuk memuluskan hal ini, Kabinet Pembangunan I dibawah Presiden Soeharto membentuk Menteri Negara Penyempurnaan dan Pembersihan Aparatur Negara (Menpan). Politik penyeragaman ini sebenarnya untuk kepentingan penyeragaman aspirasi dan kepentingan politik birokrasi pemerintah yang diarahkan untuk mendukung kekuatan politik Golkar (Dwiyanto, 2006: 31 – 46).
Pusat Pengkajian dan Penelitian Kepegawaian BKN
Jurnal Kebijakan dan Manajemen PNS
Kekuatan politik orde baru digambarkan dengan trio ABG: ABRI, Birokrasi dan Golkar. Setiap kebijakan dan kepentingan pemerintah selalu dapat diamankan dengan baik oleh ABG, bahkan hingga level bawah. Kekuatan di parlemen pun amat dengan mudah dikendalikan oleh orde baru karena proporsi partai pemerintah jauh lebih besar dari partai-partai lain. Ikon Golkar yang diklaim sebagai bukan partai berhasil membius birokrasi untuk memiliki monoloyalitas kepadanya. Birokrat tidak memiliki pilihan kecuali loyal kepada Golkar, karena birokrat tidak boleh ikut dalam partai politik. ABG benar-benar sukses menjaga stabilitas politik hingga 30 tahun lebih. Dominasi pemerintah pusat terjadi di masa orde baru, pemerintah pusat dengan kendali keuangan telah menjadikan pemerintah daerah tunduk patuh kepadanya. Pemerintah daerah tidak ada pilihan lain kecuali ikut serta dalam permainan yang dikembangkan pemerintah pusat. Hampir 80 persen pendapatan negara terserap bagi pemerintah pusat, untuk kemudian didistribusikan melalui program-program pemerintah pusat di daerah. Hal ini berhasil menjadikan pemerintah pusat sebagai pihak yang paling berkuasa dalam hal pelaksanaan urusan-urusan pembangunan di daerah. Hal ini juga mengakibatkan: pertama, dominasi pemerintah pusat atas program-program pembangunan di daerah; dan kedua, pemerintah daerah tidak memiliki keahlian yang memadai dalam hal merancang program-program pembangunan yang bersifat lokal. Birokrasi orde baru ditandai dengan birokrasi yang amat loyal kepada pemerintah atas, begitu juga ditandai dengan loyalitas birokrat bawah kepada birokrat yang ada di atasnya, ditandai dengan netralitas birokrasi simbolik dalam wujud monoloyalitas kepada Golkar (yang waktu itu bukan partai politik), ditandai dengan birokrasi yang rumit dan tidak pro kepada publik. Birokrasi yang tidak pro kepada publik berkembang karena sikap
yang tidak rasional para birokrat untuk melayani kepentingan para atasan dan bukan sikap rasional untuk melayani kepentingan publik. Tiga periode birokrasi di atas memberikan gambaran bahwa ternyata birokrasi dalam periode kerajaan, kolonial dan orde baru tidaklah netral. Posisi birokrasi selalu diidentikkan dengan pro kepada penguasa, pro kepada kekuatan politik tertentu, dan atau selalu dapat dipolitisasi untuk mendukung kepentingan politik tertentu. Pekerjaan rumah baru bagi penggagas reformasi birokrasi, yaitu terkait dengan bagaimanakah netralitas birokrasi yang dituntut untuk saat ini? Dan sistem pendukung yang bagaimakah yang dapat mendukung agar netralitas birokrasi tersebut dapat diimplementasikan dalam kehidupan birokrasi dan politik di Indonesia? tulisan ini hendak menjawab kedua hal tersebut. PENUTUP Kesimpulan Kesimpulan dari artikel ini adalah: Pertama, bahwa sejarah panjang birokrasi Indonesia dari sejak jaman kerajaan hingga orde baru telah melahirkan budaya birokrasi yang tertutup dan akuntabelitas yang dibangun secara internal. Kedua, prinsip netralitas birokrasi klasik yang mendudukan birokrasi sebagai administrator dan implementor murni, apolitik dan akuntabelitas rendah harus mulai diganti dengan netralitas birokrasi baru yang mendudukkan birokrasi sebagai administrator dan implementor kritis, politis dan memiliki akuntabelitas tinggi. Ketiga, prinsip netralitas birokrasi baru dapat tumbuh pada sistem politik yang pro kepada publik, yang meletakkan warga negara sebagai pemilik kedaulatan.
Pusat Pengkajian dan Penelitian Kepegawaian BKN
Jurnal Kebijakan dan Manajemen PNS
Saran Penerapan prinsip netralitas birokrasi baru memerlukan sistem pendukung seperti: sistem politik yang egaliter dan responsif, elit politik dan birokrasi yang berkomitmen kepada publik dan perubahan serta pen-didikan politik yang massif. Sehingga, di masa yang akan datang menjadi penting untuk dapat memilih pemimpin-pemimpin politik dan birokrasi yang memiliki jiwa egaliter, menjadikan publik sebagai saudara se-penanggungan, memiliki kemampuan untuk mendesain dan mendeklarasikan perubahan secara baik dan demokratis. Selain itu, prinsip netralitas birokrasi baru memerlukan pendidikan politik yang massif di segala tingkat dan sektor. Hal yang sangat penting juga adalah melakukan pendidikan politik yang: menumbuhkan semangat kebangsaan, semangat memiliki hak dan kewajiban yang sama di mata hukum, haus kepada perubahan, meletakkan hak dan kewajiban warga negara, birokrasi dan DPR secara berimbang dan bertanggung jawab. Semoga dengan itu semua, prinsip netralitas birokrasi baru dapat diwujudkan dan semua warga negara mendapat haknya untuk disejahterakan oleh negara. Semoga. DAFTAR PUSTAKA
Albrow, Martin. 1960-cetakan ketiga. Birokrasi. PT. Tiara Wacana Yogya: Yogyakarta. Bellon, Carl. 1980. Organization Theory and The New Public Administration. Boston: Allyn and Bacon Inc. Caiden, Gerald E. 1982-second edition. Public Administration. Palisades Publisher: California. Dwiyanto, Agus dkk. 2006-cetakan kedua. Reformasi Birokrasi Publik di
Indonesia. Gadjah Mada University Press: Yogyakarta. Dwiyanto, Agus dkk. 2008-cetakan ketiga. Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik. Gadjah Mada University Press: Yogyakarta. Goodnow, Frank J. 1900. Politics and Administration. Dalam Shafritz, Jay M and Albert C. Hyde. 1997-fourh edition. Classic of Public Administration. Harcourt Brace College Publisher. Halaman: 27 – 29. Henry, Nicholas. 1980-second edition. Public Administration and Public Affairs. Prentice-Hall, Inc.: Englewood Cliffs, New Jersey. Herring, E. Pedleton. Public Adminis-tration and the Public Interest. Dalam Shafritz, Jay M and Albert C. Hyde. 1997-fourh edition. Classic of Public Administration. Harcourt Brace College Publisher. Halaman: 76-79. Huda S.A., Nurul. 2001. Kuasa Rakyat Merdeka. LkiS Yogyakarta bekerjasama dengan PAN ASIA Research & Communication Services: Jakarta. Indiahono, Dwiyanto. 2006. Reformasi “Birokrasi Amplop”: Mungkinkah?. Gava Media: Yogyakarta. Indiahono, Dwiyanto. 2009. Public Disobedience: Telaah Penolakan Publik terhadap Kebijakan Pemerintah. Gava Media: Yogyakarta. Lewis, Carol W dan Stuart C. Gilman. 2005-second edition. The Ethics in Public Service: a Problem-Solving Guide. Jossey-Bass: San Fransisco. Lindlom, Charles E. 1980-second edition. The Policy Making Process. PrenticeHall, Inc.: Englewood Cliff, New Jersey. Morgan, Gareth. 1986. Images of Organization. Sage Publication Inc. Neo, Boon Siong and Geraldine Chen. 2007. Dynamic Gover-nance:
Pusat Pengkajian dan Penelitian Kepegawaian BKN
Jurnal Kebijakan dan Manajemen PNS
Embedding Culture Capabilities and Chande in Singapura. World Scientific Publishing Co. Pte. Ltd: Singapura. Putra, Fadillah. 1999. Devolusi: Politik Desentralisasi sebagai Media Rekonsiliasi Ketegangan Politik Negara – Rakyat. PB PMII KOPRI bekerjasama dengan Pustaka Pelajar: Yogyakarta. Shafritz, Jay M and Albert C. Hyde. 1997fourh edition. Classic of Public Administration. Harcourt Brace College Publisher. Subarsono, AG. “Pelayanan Publik yang Efisien, Responsif dan Non-Partisan” dalam Dwiyanto, Agus dkk. 2008cetakan ketiga. Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik. Gadjah Mada University Press: Yogyakarta. Halaman: 135-172. Thoha, Miftah. 1997–cetakan keenam. Dimensi-Dimensi Prima Ilmu Admi-
nistrasi Negara. PT RajaGrafindo Persada: Jakarta. Tjokroamidjojo, Bintoro. “Pembangunan Administrasi Publik dalam Pelita VII” dalam Persadi. Persadi. 1998. Pembangunan Administrasi di Indonesia. LP3ES: Jakarta. Halaman 42-48. Warner, Beth E. 2001. Public Administration Review. July/ Agustus 2001, Vol. 61, No. 4. Halaman 403-413. White, Leonard D.. 1926. “Introduction to the Study of Public Adminis-tration”. Dalam Shafritz, Jay M and Albert C. Hyde. 1997-fourh edition. Classic of Public Administration. Harcourt Brace College Publisher. Halaman: 44 – 52. Wibawa, Samodra. “Langkah-Langkah Reformasi Birokrasi Indonesia” dalam Wahyuadianto, Wahyuadianto, Agus (ed). 2008. Meretas Jalan Menuju Good Governance. PKP2A LAN: Bandung. Halaman 258-275.
Pusat Pengkajian dan Penelitian Kepegawaian BKN
Jurnal Kebijakan dan Manajemen PNS
NETRALITAS BIROKRASI DAN KUALITAS PELAYANAN PUBLIK Oleh: Ida Hayu Dwimawanti Abstract In order to create the quality of public service, so bureucracy neutrality as a principle must be done. Therefore, it is necessary the
profesional, responsible, reliable, and fair government officer through construction done based on job performance and carrier system focused on system of job performance. The effort is written in number 43 of Laws in 1999 that regulates about pronciples of officers and number 37 of government regulation in 2004 about prohibition for government officer to be the member of political party.
PENDAHULUAN Birokrasi modern yang ideal seperti yang dicitrakan oleh Weber dan birokrasi yang netral seperti yang dicitrakan oleh Hegel ternyata masih sebuah obsesi dalam pelaksanaannya. Karena lembaga birokrasi merupakan suatu bentuk dan tatanan yang mengandung struktur dan kultur. Struktur mengetengahkan susunan dari suatu tatanan, dan kultur mengandung nilai (values), sistem, dan kebiasaan yang dilakukan oleh para pelakunya yang mencerminkan perilaku dari sumber daya manusianya. Sejarah birokrasi pemerintahan Indonesia menunjukkan kedudukan birokrasi terhadap kekuatan politik tidak lagi bisa dikatakan netral. Pada masa pemerintahan orde lama semua posisi dan jabatan birokrasi terkooptasi dan memihak kepada Peme-rintahan Soekarno yang memberikan akses kepada tiga partai Nasakom untuk meng-kapling birokrasi departemen pemerintah. Pada masa pemerintahan orde baru pengangkatan seseorang pada jabatan birokrasi dalam peraturannya mempergunakan sistem karir, akan tetapi hampir semua pejabat birokrasi pemerintah merupakan partisan dari kekuatan politik yang memerintah sebagai mayoritas tunggal (Golkar). Sedangkan pada era reformasi, terbukanya kebebasan memunculkan euphoria yang dialami oleh kekuatan politik,
akibatnya kekuatan politik saling berlomba untuk mendapatkan pos-pos strategis di lingkungan birokrasi pemerintahan. Sebagai contoh pergantian Sekretaris Jenderal (Sekjend) Departemen Kehutanan dan Perkebunan yang diisi oleh orang partai, kemudian sempat ramai dibicarakan pasca pembentukan Kabinet Persatuan Nasional. Hal ini menunjukkan masih kuatnya keinginan para pejabat politis menguatkan posisi tawar partai politiknya di tengahtengah masyarakat. Hal ini seakan-akan menguatkan hipotesis bahwa birokrasi dan politik adalah dua konsep yang sangat sulit diwujudkan secara bersama-sama. Karena antara politik dan birokrasi mempunyai dua kutub yang saling tarik menarik. Politisi memanfaatkan jaringan birokrasi ke arena politik, paling tidak untuk merebut atau mempertahankan kekuasaan politiknya. Sedangkan birokrat membuka diri ke arena politik, paling tidak untuk mencapai jabatan yang lebih tinggi atau sekedar untuk mempertahankan posisi jabatan yang strategis dalam jabatan birokrasi. Di era otonomi daerah ini dengan berlakunya Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dimana Undang-undang tersebut memfasilitasi Pemilihan Kepala Daerah Langsung, ternyata persoalan birokrasi pemerintah
Pusat Pengkajian dan Penelitian Kepegawaian BKN
Jurnal Kebijakan dan Manajemen PNS
versus kekuatan politik semakin kompleks dari mulai konflik biasa sampai pada tindakan anarkis. PENUTUP Semangat netralitas itu, pada prinsipnya juga merupakan bagian dari amanat reformasi. Netralitas birokrasi merupakan hal prinsipil yang harus diwujudkan dalam rangka mengembalikan peran birokrasi sabagai abdi negara dan masyarakat sebagai public servant. Dengan terwujudnya netralitas birokrasi akan semakin profesional dalam mendukung pelayanan dan pengabdian kepada masyarakat. Pegawai Negeri berkedudukan sebagai unsur aparatur negara yang bertugas untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat secara profesionai, jujur, adil, dan merata dalam penyelenggaraan tugas negara, pemerintahan dan pem-bangunan. Dalam kedudukan dan tugas sebagaimana dimaksud di atas, Pegawai Negeri harus netral dari pengaruh semua golongan dan partai politik serta tidak diskriminatif dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. Untuk menjamin netralitas Pegawai Negeri sebagaimana dimaksud maka Pegawai Negeri dilarang menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik.
Kuatnya konflik kepentingan politik dalam sistem kerja birokrasi menjadi salah satu penyebab lemahnya kompetensi birokrasi di Indonesia. Sehingga optimalisasi pola kepemimpinan yang berkarakter kuat, tegas, serta bertanggung jawab merupakan variabel yang menentukan dalam upaya pengembalian fungsi birokrasi sebagai public servant . DAFTAR PUSTAKA Agustino, Leo, (2008), Pilkada dan Dinamika Politik Lokal, Pustaka Pelajar, Yogyakarta Thoha , Miftah, (2008), Birokrasi Pemerintah Indonesia di Era Reformasi, Kencana Media, Jakarta Utomo, Warsito, (2003), Dinamika Administrasi Publik: Analisis Empiris Seputar Isu-Isu Kon-temporer Dalam Administrasi Publik Undang-Undang no. 43 Tahun 1999, Perubahan atas Undang-Undang no. 8 tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepe-gawaian Martin Albrow (1970), Bureucraci, Frederick A Praeger, New York, NY. Kumorotomo, Wahyudi dan Erwan Agus P, (2005), Birokrasi Publik dalam Sistem Politik semi Parlementer, Gaya Media Yogyakarta.
Pusat Pengkajian dan Penelitian Kepegawaian BKN
Jurnal Kebijakan dan Manajemen PNS
CATATAN KRITIS TERHADAP POLITISASI BIROKRASI DALAM PEMILU Oleh : Enny Suryanjari Abstract Undang-Undang No.43 Tahun 1999 Tentang Pokok-pokok Kepegawaian Negara rules how to make bureaucratic independenly. But in fact, the process of democratic showed many problematic situations of bureaucratic reform in Indonesia. This paper show that the political reform and democratization do not guarantee the neutrality of bureaucracy. Many evidence show that in reform era we still found the political cooptation in the bureaucratic system. Key words: bureaucracy, civil servants, election
PENDAHULUAN
pegawai dalam pemerintahan. Dalam pasal 3 Undang-Undang tersebut mengatur :
Pemilu legislatif baru saja usai. Pelaksanaan pemilu dapat berlangsung ditengah kekhawatiran bahwa pemilu kali ini akan mengalami kegagalan mengingat persiapan pemilu dianggap kurang memadai, meskipun harus diakui bahwa pemilu legislatif kali ini banyak terjadi kekurangan khususnya persoalan DPT. Dalam konteks hubungan politik dan birokrasi, sebenarnya pemilu merupakan ujian untuk menilai apakah birokrasi telah bersikap profesional, netral, dan betul-betul berfungsi sebagai pelayan publik bukan alat kekuasaan yang mudah terkooptasi oleh kepentingan politik kelompok tertentu dan bersifat jangka pendek. Jauh sebelum pemilu pun di kantorkantor pemerintah di pasang spanduk yang mengusung netralitas Korpri dalam pemilu. Ini menunjukkan komitmen kuat dari Korpri sebagai bagian dari birokrasi untuk bersikap netral dalam pemilu. TNI/Polri pun bersikap sama, netral, tidak memihak partai tertentu sebagaimana yang ditegaskan Panglima TNI dan Kapolri. Bagaimana realitanya? Tulisan pendek ini mencoba untuk mengulas realita di lapangan berkaitan dengan netralitas birokrasi dalam pemilu. Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 tentang Pokok-pokok Kepegawaian Negara mengatur secara tegas netralitas
1) Pegawai Negeri berkedudukan sebagai unsur aparatur negara yang bertugas untuk memberikan pelayanan kepada masya-rakat secara profesional, jujur, adil, dan merata dalam penyelenggaraan tugas negara, pemerintahan, dan pembangunan; 2) Dalam kedudukan dan tugas sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Pegawai Negeri harus netral dari pengaruh semua golongan dan partai politik serta tidak diskriminatif dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat. 3) Untuk menjamin netralitas Pegawai Negeri sebagaimana dimaksud dalam ayat (2), Pegawai Negeri dilarang menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik. Mengacu aturan di atas jelas melarang keberpihakan pegawai negeri dan tuntutan sikap profesionalisme Pegawai Negeri ditengah godaan atau paksaan untuk berpolitik praktis. Namun demikian tetap saja terjadi pelanggaran pemilu yang dilakukan oleh aparat Pegawai Negeri ini. Dalam laporan Ketua Panwaslu Sumut misalnya, di Kabupaten Tapanuli Tengah, Panwaslu menemukan bukti rekaman Kepala Desa dan
Pusat Pengkajian dan Penelitian Kepegawaian BKN
Jurnal Kebijakan dan Manajemen PNS
Camat yang dengan sengaja menyerukan masyarakat memilih Partai Demokrat. Hal yang sama terjadi di Pematang Siantar ( Kompas, 13 April 2009). Dalam rapat dengan Komisi II DPR pada 4 Mei 2009 Mendagri Mardiyanto melaporkan ada 68 kasus pejabat negara yang menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan kampanye politik parpol tertentu. Bukti-bukti ini menunjukkan birokrasi belum 100 persen netral dari politik. Dengan jumlah 3,9 juta anggota, berikut fasilitas yang dimilikinya, Pegawai Negeri sangat mungkin dimanfaatkan dalam setiap pemilu atau pilkada. Menurut Eko Prasojo, ada tiga bentuk pelanggaran yang dilakukan PNS dan pejabat pemerintahan dalam pemilu. Pertama, penyalahgunaan kewenangan yang dimiliki, antara lain menerbitkan aturan yang mewajibkan kampanye kepada bawahan, pengumpulan dana bagi parpol tertentu, pemberian izin usaha disertai tuntutan dukungan kepada parpol/caleg tertentu, penggunaan bantuan pemerintah untuk kampanye, mengubah biaya perjalanan dinas, dan memaksa bawahan membiayai kampanye parpol/caleg dari anggaran negara. Kedua, penggunaan fasilitas negara secara langsung, misalnya penggunaan kendaraan dinas, rumah dinas, serta kantor pemerintah dan kelengkapannya. Ketiga, pemberian dukungan lain, seperti bantuan sumbangan, kampanye terselubung, memasang atribut parpol/caleg di kantor, memakai atribut parpol/caleg, menghadiri kegiatan kampanye dengan menggunakan pakaian dinas dan kelengkapannya, serta pembiaran atas pelanggaran kampanye dengan menggunakan fasilitas negara dan perlakuan diskriminatif atas peng-gunaan fasilitas negara kepada parpol/caleg tertentu.(Kompas, Februari 2009).
Netralitas Birokrasi seutuhnya dalam sistem politik Indonesia era reformasi menjadi tantangan serius bagi pemerintah dalam rangka reformasi birokrasi yang telah dicanangkan sejak awal reformasi. Produk hukum disertai sanksi tegas yang diberlakukan pemerintah memperlihatkan keseriusan pemerintah dalam membenahi aparaturnya. Persoalan pelanggaran lebih banyak disebabkan oleh mentalitas oknum birokrat yang mengharapkan promosi jabatan ataupun sikap politisi yang hanya berpikir pragmatis untuk memanfaatkan potensi birokrasi untuk kepentingan politiknya. Simbiosis mutualisme inilah yang merusak tatanan birokrasi ideal yang dicanangkan pemerintah melalui reformasi birokrasi. Kita masih akan menyelenggarakan pilpres, nama birokrasi dipertaruhkan, mengingat banyaknya peran mereka yang signifikan baik itu di KPU, KPUD, PPK, maupun di PPS dan KPPS. Keber-hasilan mereka dalam melaksanakan pemilu yang adil, jujur, bersih, akan meningkatkan kepercayaan masya-rakat terhadap netralitas birokrasi. DAFTAR PUSTAKA Afadhal. (2003). Dinamika Birokrasi Lokal Era Otonomi Daerah. Jakarta : P2P LIPI. Firnas, Muhamad Adian. (2004). Konsep Masyarakat Madani dan Relevansinya Terhadap Masyarakat Indonesia. Jurnal ISIP Vol.1.No.1. Gaffar, Afan. (1999). Politik Indonesia : Transisi Menuju Demokrasi. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Mas’oed, Mohtar. (1997). Politik, Birokrasi dan Pembangunan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
PENUTUP Pusat Pengkajian dan Penelitian Kepegawaian BKN
Jurnal Kebijakan dan Manajemen PNS
Romli, Lili. (2008). Masalah Reformasi Birokrasi. Jurnal Civil Service Vol.2.No.2. Rozi, Syapuan. (2006). Zaman Bergerak, Birokrasi Dirombak : Potret Birokrasi dan Politik di Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Thoha, Miftah. (2008). Birokrasi Pemerintah Indonesia di Era Reformasi. Jakarta : kencana.
Tim
Redaksi Fokusmedia. (2007). Himpunan Peraturan PerundangUndangan Tentang Pokok-Pokok Kepegawaian. Bandung: Fokusmedia. Kompas, Februari 2009. _______, 12 April 2009 _______, 13 April 2009. _______, 22 April 2009. _______, 5 Mei 2009.
Pusat Pengkajian dan Penelitian Kepegawaian BKN
Jurnal Kebijakan dan Manajemen PNS
REFORMASI SISTEM ADMINISTRASI KEPEGAWAIAN MENUJU NETRALITAS PEGAWAI NEGERI SIPIL Oleh: Muhammad Basri Abstract Bureaucracy, inside which the civil servants are, is one of important political structure in democratizion process.Tendency which has happened, during the period of New Order Government was that bureaucracy became political power machine in order to justify all government policies but the government reform does not choices except to personnel adinistrative reform go in the direction of neutrality of civil servan by mean of three policies, regulation reform of government official, human resource development of civil servan prosferity improvement. Key words: Administrative reform, civil servan neutrality, empowerment
PENDAHULUAN Walaupun konsep birokrasi tidak menduduki posisi sentral dari pemikiran Karl Marx, namun pandangan Marx terhadap birokrasi dalam kaitannya dengan struktur kekuasaan dalam masyarakat adalah amat penting untuk dipahami. Pemikiran Marx terhadap birokrasi merupakan suatu gejala yang bisa dipergunakan secara terbatas dalam hubungannya dengan administrasi negara. Pandangan birokrasi hanya bisa dipahami dalam kerangka umum teorinya tentang perjuangan kelas, krisis kapitalisme, dan pengembangan komunisme. Karl Marx mengelaborasi birokrasi dengan cara menganalisis dan mengkritisi philosof Hegel tentang negara. Hegel berpendapat bahwa administrasi negara (birokrasi) sebagai suatu jembatan yang menghubungkan antara negara (pemerintah) dengan masyarakatnya. Adapun masyarakat itu terdiri dari kelompok-kelompok profesional, usahawan, dan lain kelompok yang mewakili bermacam-macam kepentingan partikular (khusus). Di antara keduanya itu birokrasi pemerintah merupakan medium yang bisa dipergunakan untuk menghubungkan kepentingan partikular dengan kepentingan general (umum).
Marxis bisa menerima konsep pemikiran Hegel tentang ketiga aktor tersebut, yakni birokrasi, kepentingan partikular, dan kepentingan general (pemerintah). Akan tetapi menurut Karl Marx itu bukannya mewakili asli dirinya sendiri. Marx berpendapat negara itu bukan mewakili kepentingan umum. Tidak ada kepentingan umum itu, yang ada adalah kepentingan partikular yang mendominasi kepentingan partikular lainnya. Kepentingan partikular yang memenangkan perjuangan klas sehingga menjadi klas yang dominan itulah yang berkuasa. Birokrasi menurut Karl Marx merupakan suatu kelompok partikular yang sangat spesifik. Birokrasi bukanlah klas masyarakat, walaupun eksistensinya berkaitan dengan pembagian masyarakat ke dalam klas-klas tertentu. Lebih tepatnya, menurut Karl Marx birokrasi adalah negara atau pemerintah itu sendiri. Birokrasi merupakan instrumen yang dipergunakan oleh klas yang dominan untuk melaksanakan kekuasaan dominasinya atas klas-klas sosial lainnya. Dengan kata lain birokrasi memihak kepada klas partikular yang mendominasi tersebut. Berdasarkan konsep pemikiran seperti itu, maka birokrasi itu sendiri pada tingkatan tertentu mempunyai hubungan
Pusat Pengkajian dan Penelitian Kepegawaian BKN
Jurnal Kebijakan dan Manajemen PNS
yang sangat erat dengan klas yang dominan dan pada pemerintah. Eksistensi birokrasi sangat tergantung pada klas dominan dan pada pemerintah. Konsep pemikiran Karl Marx dan Hegel dalam konteks pengembangan kekuatan politik dalam birokrasi pemerintah seperti yang banyak dianut oleh pemerintahan yang demokratis, dapat dijadikan suatu perbandingan. Kekuatan politik yang datang dan pergi sebagai kelompok yang menguasai pemerintahan dan birokrasi sebagai pelaksana kebijaksanaan pemerintah merupakan dua hal yang tidak bisa dipisahkan akan tetapi dapat dibedakan. Konsep Marx menunjukkan bahwa keberadaan birokrasi pemerintah memihak pada kekuatan politik yang memerintah. Sedangkan Hegel sebaliknya berada di tengah-tengah sebagai mediator yang menghubungkan kedua kepentingan general (pemerintah) dan partikular (kekuatan politik dalam masyarakat). Dengan kata lain birokrasi Hegelian menekankan posisi birokrasi netral terhadap kekuatan-kekuatan masyarakat lainnya (Thoha, 2003: 22-24). George Wilhelm Fredrich Hegel dalam bukunya The Philosophy of Right bahwa pelayanan sipil dapat berfunsi sebagai “buffer” melawan tirani, Fungsi eksekutif baik pada tingkat atas maupun pada tingkat bawah harus “nyambung”. Menurutnya, negara yang memiliki struktur klas menengah yang besar (karena klas ini banyak terlibat dalam pelayanan sipil) akan mengontrol pemerintah yang korup (Keban, 2004: 28-29). Per-tentangan teori dari para filosof tersebut tetap dijadikan sebagai payung (umberella) yang mewarnai perjalanan sejarah pergeseran paradigma ilmu sosial pada umumnya dan administrasi publik pada khususnya. Konsep netralitas birokrasi sangat erat dengan perkembangan analisis sosial dan politik hampir dua abad yang lalu. Konsep itu terpusat pada analisis dan buah
pikiran para pemikir klasik seperti Karl Mark, Max Weber, Jhon Stuart Mill, Gaestano Mosca dan Robert Michels. Sekitar abad ke 20, konsep netralitas organisasi birokrasi menjadi sangat penting dalam kehidupan sosial politik modern. Para penulis di tahun 30-an mulai lantang berbicara tentang managerial revolution dan konsep baru tentang birokrasi dunia (bureaucratization of the world). Berbarengan dengan itu mereka juga ingin tahu sampai di mana peranan birokrasi dalam perubahanperubahan besar dalam kehidupan sosial, ekonomi dan politik pada zaman yang semakin maju ini Kemudian bila dibandingkan dengan kondisi birokrasi di Indonesia khususnya pada era Orde Baru yang berjalan hamipr 32 tahun di mana jelas bahwa birokrasi sudah menampakkan keberpihakannya kepada satu kekuatan politik tertentu (Golkar) sebenarnya juga tidak bisa dilepaskan dari sejarah politik Orde Baru itu sendiri. Ketika Orde Baru lahir, kehidupan kepartaian kita dalam kondisi dan situasi yang sangat memprihatinkan. Ini disebabkan oleh strategi pembangunan politik orde lama di mana PKI merupakan satu-satunya partai politik yang tetap eksis dengan fungsinya. Sedangkan parta-partai lain satu persatu hilang, baik secara alamiah atupun karena tidak sesuai dengan Bung Karno sebagai Presiden yang sekaligus sebagai Panglima Tertinggi dan menyatakan dirinya juga sebagai Panglima Besar Revolusi waktu itu yang mengeluarkan gagasan JAREK (jalannya revolusi kita) Dalam keadaan seperti itu masyarakat sangat merindukan terciptanya satu situasi yang memungkinkan kepentingan mereka tersalurkan dan terwakili melalui partai politik. Situasi yang demikian dibaca oleh rejim baru, sehingga begitu orde lama tumbang, orde baru berusaha untuk memulihkan keadaan dengan mengetrapkan dua strategi dasar:
Pusat Pengkajian dan Penelitian Kepegawaian BKN
Jurnal Kebijakan dan Manajemen PNS
Pertama: menjadikan tentara/ABRI sebagai ujung tombak demokrasi dan pemegang kendali pemerintahan ditopang oleh birokrasi yang kuat dan terlepas dari ikatan kepartaian konvensional/tradisional. Kedua: menitikberatkan pembangunan ke arah rehabilitasi ekonomi. Dua strategi tersebut jelas akan memerlukan stabilitas dengan segala resikonya yang dalam banyak hal akan merugikan bagi parpol non-pemerintah. Dalam kerangka inilah ABRI kemudian mendirikan Sekretariat Bersama Golongan Karya (SEK-BER GOLKAR) pada tahun 1964 sebagai embrio bagi partai pemerintah (partai pelopor seperti konsep Presiden Soekarno). Dari sini kita melihat bahwa politik orde baru berusaha menciptakan iklim politik yang mendukung tumbuh suburnya kembali partai-partai politik, namun tetap berada di bawah kontrol birokrasi sehingga tidak akan menggoyahkan stabilitas nasional. Faktor lain yang juga dapat disebutkan disini adalah bahwa sejarah birokrasi di Indonesia di jaman kerajaan dahulu pernah meletakkan para birokrat (kaum ningrat dan abdi dalem) sebagai instrumen untuk melayani kepentingan raja. Kemudian datang penjajah atau para kolonial yang mengembangkan birokrasi model Weberian (secara rasional) untuk memenuhi kepentingan negara penjajah. Setelah kemerdekaan diperoleh, birokrasi menjelma sebagai organisasi modern dan besar di tengah masyarakat yang belum terbiasa berorganisasi secara modern. Disamping itu birokratisasi di Indonesia berkembang tanpa didahului oleh demokrasi seperti kebanyakan yang terjadi di negara-negara berkembang lainnya Melihat perjalanan sejarah birokrasi di Indonesia yang seperti di atas tadi, maka sulit kiranya (bila biorkrasi tidak benar-benar netral) mewujudkan proses kontrol yang efektif terhadap birokrasi, menciptakan
proses check and balance dalam mekanisme politik. Sebab dengan model; birokrasi = kekuatan politik tertentu/dominan dan sebaliknya, birokrasi akan bebas meniadakan fungsi kontrol terhadap hak-hak politik warga negara; sebagai contoh (era orde baru) lembaga LITSUS paling efektif untuk mengebiri hak-hak politik warga negara dengan menggunakan justifikasi politis yaitu “stabilitas politik” dan alasan ini adalah paling tepat dan mudah digunakan karena sejauh itulah yang dipercaya sebagai faktor yang mendukung keberhasilan pembangunan Indonesia selama kurun waktu 30 tahun terakhir ini. Namun memihaknya birokrasi pemerintah kepada kekuatan politik atau pada golongan yang dominan membuat birokrasi tidak steril. Banyak virus yang terus menggrogotinya seperti pelayanan yang memihak, jauh dari obyektifitas, terlalu birokratis (bertele-tele) dan sebagainya, akibatnya mereka merasa lebih kuat sendiri, kebal dari pengawasan dan kritik. Dengan melihat masalah politisasi birokrasi yang tetap berlangsung, maka jelas tampak di sini pentingnya untuk mengartikulasikan kembali tuntutan netralisasi birokrasi. Sebenarnya tuntutan ini sudah pernah menghangat ketika muncul perdebatan mengenai rangkap jabatan seorang pejabat pemerintahan sekaligus pengurus atau anggota partai. Namun demikian, tuntutan itu mendapatkan resistensi dari parpol dan para politisi atau kader partai yang meraih kekuasaan dalam kepemimpinan birokrasi pemerintahan. Terungkap setidaknya tiga alasan dari sikap para politisi dan parpol sehingga tidak mau melepaskan inter-relasinya. Pertama, bahwa tidak ada aturan yang melarang seorang aktivis partai merangkap sebagai pejabat birokrasi, khususnya pada jabatan politik dari Presiden/Wakil Presiden, Menteri, Gubernur/Wakil Gubernur, Walikota/Wakil Walikota, dan Bupati/Wakil
Pusat Pengkajian dan Penelitian Kepegawaian BKN
Jurnal Kebijakan dan Manajemen PNS
Bupati. Kedua, bertahannya mereka sebagai pengurus partai meski telah menjadi pejabat birokrasi, bukan karena ambisi pribadi namun karena kehendak partai termasuk konstituen. Ketiga, posisi sebagai aktivis partai dan pejabat negara/pemerintahan merupakan dua hal yang berbeda, karena itu, katanya, dapat berusaha dipisahkan. Pertanyaan yang menarik dilontarkan, apakah mungkin bagi para politisi yang merangkap sebagai birokrat itu benar-benar dapat melepaskan diri dari ikatan aspirasi atau kepentingan partai yang mendukungnya? Sulit disangkal mereka pasti mengalami kendala. Terbuka peluang birokrasi untuk dimanfaatkan sebagai alat politik, jika tidak akibatnya malah melahirkan conflict of interest. Mengingat, garis batas aktivitas dan kepentingan antara domain birokrasi dan parpol bisa amat kabur, jika politisi bersangkutan menjabat pejabat birokrasi tanpa melepaskan atribut kepartaiannya. Mencuatnya berbagai isu krusial seperti pergantian atau pergeseran pejabat dalam pos-pos pemerintahan oleh pejabat yang berkuasa yang tidak mengindahkan aturan, aksi dukung-mendukung aparat birokrasi terhadap kandidat dan aktivitas partai tertentu terutama dalam kasus Pilkada, adanya penetrasi kepentingan parpol dalam penentuan dan pengelolaan anggaran pembangunan dan banyak lagi lainnya yang sudah menjadi isu publik, semua itu menunjukkan isyarat kemungkinan terjadinya politisasi birokrasi. Maka, kini mendesak bagi pemerintah bersama lembaga legislatif mulai dari level pusat hingga ke daerah, untuk menegakkan profesionalitas dan netralitas kinerja birokrasi. Untuk itu, diperlukan code of conduct berupa regulasi tersendiri yang mengatur kinerja birokrasi atau dengan mengefektifkan regulasi yang sudah ada untuk mengontrol dan meng-evaluasi masalah ini. Alternatif lain ialah dengan
membentuk sebuah institusi kontrol khusus atau dengan mengefektifkan lembaga pengawas berwenang yang sudah ada mulai dari pusat hingga daerah, untuk mengawasi dan mengevaluasi sejauh mana arah rasionalitas dan profesionalitas birokrasi telah ditegakkan. Selain itu, keterlibatan komponen masyarakat sipil (civil society) juga penting dalam mengontrol performa birokrasi. Mengingat posisinya yang amat strategis sebagai wadah yang lebih mampu bersikap kritis dan bergerak otonom di antara domain birokrasi (state/government) dan parpol (political society). Unsur masyarakat sipil harus menjaga jangan sampai birokrasi secara melanggar aturan hanya dimanfaatkan sebagai alat politik dan legitimasi belaka, untuk kepentingan partisan pihak yang memegang kepemimpinan birokrasi bersama parpol pendukungnya. PENUTUP Ada dua langkah penting untuk mendorong penyempurnaan peraturan perundangan yang mengarah pada independensi Pegawai Negeri Sipil Pertama, membangun dan memperluas wacana independensi administrasi negara dari pemerintah. Kedua, mengawal proses pembahasan dan penyempurnaan undangundang yang berkaitan dengan administrasi negara dan Pegawai Negeri. Membangun dan memperluas wacana independensi administrasi negara dimaksudkan agar publik semakin terbuka pikirannya, bahwa; 1. Administrasi negara (instansi dan pegawai negeri) adalah abdi negara yang tunduk pada kepentingan negara dan bukan abdi/bawahan pemerintah yang tunduk pada kepentingan pemerintah sebagai lembaga yang sarat kepentingan politik dan kekuasaan.
Pusat Pengkajian dan Penelitian Kepegawaian BKN
Jurnal Kebijakan dan Manajemen PNS
2. Administrasi negara sebagai organ birokrasi negara selama ini tidak pernah bekerja maksimal karena besarnya pengaruh politik dan kekuasaan. Belajar dari sejarah, besarnya pengaruh politik dan kekuasan dalam birokrasi menjadi sumber utama penyebab korupsi, buruknya layanan dan inefisiensi. 3. Administrasi negara harus dilepaskan dari pengaruh besar pemerintah agar birokrasi mampu memberikan pelayanan publik yang profesional dan tidak rentan terhadap pengaruh tarik-menarik kepentingan politis dan kekuasaan. 4. Administrasi negara harus independen untuk menjamin pembatasan kekuasaan dan efektivitas demokrasi. DAFTAR PUSTAKA Dwiyanto, Agus. (2006). “Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia”, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Ferlie, Ewan, et. al. (1997). “The New Public Management in Action”, Oxford: Oxford University Press Keban, Yeremias T. (2004). “Enam Dimensi Strategis Administrasi Publik: Konsep Teori dan Isu”, Yogyakarta: Gava Media. Osborne, David & Ted Gaebler. (1996). “Mewirausahakan Biro-krasi, Reinventing Government”, Jakarta: PT. Pustaka Binaman Pressindo. ______________. & Peter Plastrik. (2000). “Memangkas Birokrasi: Lima Strategi Menuju Peme-rintahan Wirausaha”. Jakarta: Penerbit PPM. Rosenbloom, David H. & Robert S. Kravchuk. (2005). “Public Administration, Understanding Management, Politics, and Law in the Public Sector”, New York. McGraw Hill. Thoha, Miftah. 2003. Birokrasi dan Politik di Indoensia. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada
Pusat Pengkajian dan Penelitian Kepegawaian BKN
Jurnal Kebijakan dan Manajemen PNS
REFORMASI BIROKRASI MELALUI PENERAPAN MANAJEMEN KONTRAK SEBAGAI UPAYA MEWUJUDKAN NETRALITAS PEGAWAI NEGERI SIPIL DALAM ERA OTONOMI DAERAH Oleh: Rosfiah Arsal Abstract Sentralistic power have made of bureaucracy officials are fail to respond of economic and politics crisis because street-level bureaucrats not have authority and creativity to take in hand of economic and social problems. Paternalistic bureucracy and power concentrate on higher officials and social services concentrate on lower officials. Not drive and incentive for efficiency and responsive. Culture and competitive traditions not develop. Contract management is one of element in bureaucracy that regulate of relationship pattern between higher officials and lower officials. Relationship pattern between officials have not openness and rightness so that have potential to make corruption, collution and nepotism. Purposes of contract management models for increase of performances and neutralities of public servan with partnerships equity between higher officials and lower officials. Besides as of personnel admistration models so alternative model to increase of budgeting performance. If this model implemented, the first possible resistant is Governor, Regent and the other higher officials because they have big power for budgeting and personnel policy, second the officias that have not capacities and capabilities have visi and mission, to make programs because they have not competention, skill and knowledge Kata-kata kunci: Bureaucracy reform, partneship of equity, contract management
PENDAHULUAN Semenjak peristiwa politik tahun 1965, Soeharto melancarkan program pembersihan (rasionalisasi) birokrasi dari unsur komunis. Namun akhirnya terdapat tiga alasan yang menghalangi rasionaliasi dalam tubuh birokrasi. Pertama, menjalankan efisiensi birokrasi bukanlah motif utama politik Orde Baru. Motif utama yang melandasi tahun-tahun awal Orde Baru adalah depolitisasi dari kekuatan-kekuatan politik Orde Lama dan pada saat yang sama mengarahkan birokrasi pada monoloyalitas terhadap kepemimpinan nasional yang baru (repolitisasi). Sejauh para anggota birokrasi menunjukkan kesetiaannya pada kepemimpinan yang baru maka pengurangan jumlah yang signifikan dianggap tidak perlu dilakukan. Akibatnya sisa-sisa pegawai birokrasi yang korup masih tetap ada. Kedua, tekanan-tekanan keuangan berupa krisis anggaran terjadi akibat besarnya tubuh birokrasi. Krisis anggaran tidak dihiraukan oleh Soeharto mengingat hasil-hasil yang diperoleh dari
boom minyak telah membuat perekonomian negara tumbuh pesat baik sisi pertumbuhan pembangunan fisik maupun fiskal. Ketiga, perubahan-perubahan internal rejim Orde Baru pasca-1974 telah merangsang faksionalisasi politik sehingga kembali memperkuat kecenderungan pada birokrasi pemerintahan yang kuat dan besar. Berbagai macam faksi militer dan birokrat sibuk mencari posisi tawar dihadapan Soeharto agar tujuan dari masing-masing faksi politik dapat tercapai. Tiap faksi membutuhkan kuantitas sumber daya manusia yang banyak agar kedudukan politik masing-masing faksi tetap dapat bertahan walaupun membutuhkan sumber keuangan yang besar bagi penguatan dukungan politik tersebut. Perkawinan birokrasi modern dan birokrasi patrimonial oleh Orde Baru digunakan untuk meningkatkan pengawasan atas masyarakat sehingga birokrasi akhirnya menjadi mesin pemerintahan sekaligus pelaku politik dari kelompok tertentu. Masingmasing kelompok politik sibuk membentuk aliansi-aliansi kelompok kepentingan dan mem-bangun jaringan patronase dengan
Pusat Pengkajian dan Penelitian Kepegawaian BKN
Jurnal Kebijakan dan Manajemen PNS
meng-gunakan birokrasi sebagai sarana apropriasi sumber-sumber daya ekonomi maupun politik. Model birokrasi patrimonial yang demikian membuat seluruh strata dalam birokrasi dikendarai oleh keinginan selalu mendapatkan semacam tips, memberikan uang tambahan diluar biaya resmi, transaksi bisnis secara gelap, pemaksaan dengan sogokan, dan meminta komisi. Bentuk lain korupsi yang dilakukan oleh pejabat birokrasi pemerintahan di tingkat paling bawah adalah pungutan liar (pungli) dengan skala nilai nominal yang dialokasikan lebih kecil namun konstan. Praktek pungli tidak hanya sudah meluas melainkan juga sudah menjadi hal yang dianggap normal dalam interaksi antara anggota masyarakat dengan birokrasi pemerintahan yang berfungsi memenuhi pelayanan publik. Dalam relasi negara dengan warga negaranya, pungli biasanya terjadi pada proses pengurusan kebutuhan administratif yang diperlukan masya-rakat sebagai syarat diakuinya sebagian hak kewarganegaraan mereka seperti Ijin Mendirikan Bangunan, Sertifikat Hak Milik Tanah, Ijin Usaha, Keterangan Domisili, dan lain-lain. Dampak apropriasi pungli secara simbolik menunjuk-kan masyarakat kebanyakan selalu di-hadapkan pada ketiadaan alternatif untuk mendapat hak kewarganegaraannya tanpa terlebih dahulu memberikan sejumlah uang. Apabila masyarakat menyadari bahwa hampir tiap perbuatan korupsi juga melibatkan anggotanya sendiri maka diharapkan segenap unsur komunitas sosial tersebut juga melakukan tindakan saling mengawasi antar sesama anggota masyarakat. Tindakan saling mencegah dan mengingatkan anggota masyarakat yang ikut terlibat atau memberikan kontribusi terhadap terjadinya perbuatan korupsi merupakan usaha minimal yang dapat dilakukan. Korupsi paling tidak akhirnya akan membuat individu-individu anggota masya-rakat
mengalami efek pemiskinan secara perlahan, namun akumulatif serta konstan. Diakui atau tidak, birokrasi pada waktu yang lalu merupakan bagian dari governance yang membawa kepada kehancuran asas demokrasi dan partsipasi, apalagi jika dikaitkan dengan pelayanan publik, di mana lebih dari seperempat abad merupakan domain borakrasi publik, yang seringkali dimanfaat-kan oleh pemerintah sebagai sarana untuk mencapai tujuan politik yang paling dasar, yaitu mempertahankan kekuasaan, dengan cara memobilisir semua sektor pelayanan publik sehingga publik (masyarakat) merasakan adanya tingkat ketergantungan yang besar pada pemerintah. Bahkan lebih ekstrim lagi, birokrasi dijadikan sebagai pengendali dan pengawas kebijakan yang cenderung lebih otoriter dan militeristik, atau disebut sebagai birokrasi kembar sipil militer (Mas„oed, 1994) Tujuan pelayan dan kebijakan publik sesungguhnya bukan untuk melayani kepentingan dan kesejahteraan masyarakat, tetapi pelayanan dan kebijaksanaan publik adalah bahagian dari mekanisme yang dipakai pemerintah untuk menyelesaikan persoalan politik. Umumnya kebijaksanaan publik dimanfaatkan oleh pemerintah sebagai sarana untuk mencapai tujuan politik paling dasar, yaitu mempertahankan kekuasaan, dengan cara memobilisasi pendukung dan melemahkan penentang politiknya (Mas„oed, 1994:123). SARAN-SARAN a. Perlu dibangun birokrasi berkultur dan struktur rasional-egaliter, bukan irasionalhirarkis. Caranya dengan pelatihan untuk menghargai penggunaan nalar sehat dan mengunakan hasil-hasil ilmu pengetahuan. Perlunya memiliki semangat pioner, bukan memelihara budaya minta petunjuk dari atasan. Perlu dibiasakan mencari cara-cara baru yang praktis
Pusat Pengkajian dan Penelitian Kepegawaian BKN
Jurnal Kebijakan dan Manajemen PNS
b.
c.
d.
e.
untuk pelayanan publik, inisiatif, antisipatif dan proaktif, cerdas membaca keadaan kebutuhan publik, memandang semua orang sederajat di muka hukum, menghargai prinsip kesederajatan kemanusian, setiap orang yang berurusan diperlakukan dengan sama pentingnya. Birokrasi yang propartisipan-outonomus bukan komando-hirarkis. Birokrasi Indonesia ke depan perlu mendukung dan melakukan peran pemberdayaan dan memerdekakan masyarakat untuk berkarya dan berkreativitas. Perlu dikurangi kadar pengawasan dan represi terhadap hak ekspresi masyarakat. Perlu ditinggalkan cara-cara penguasaan masyarakat lewat kooptasi kelembagaan dan dihindari sikap dominasi. Birokrasi bertindak profesional terhadap publik. Berperan menjadi pelayan masyarakat (public servent). Dalam memberikan pelayanan ada transparansi biaya dan tidak terjadi pungutan liar. PNS perlu memberikan informasi dan transparansi sebagai hak masyarakat dan bisa dimintai pertanggungjawabannya (public accountibility) lewat dengar pendapat (hearing) dengan legislatif atau kelompok kepentingan yang datang. Melakukan pemberdayaan publik dan mendukung terbangunnya proses demokratisasi. Birokrasi yang saling bersaing antar bagian dalam meningkatkan kualitas dan kuantitas dalam melayani publik secara kompetitif, bukan minta dilayani atau membebani masyarakat dengan pungutan liar, salah urus, dan ketidakpedulian. Birokrasi yang melakukan rekruitmen sumber daya manusianya melalui seleksi merit system, bukan mengangkat staf atau pimpinan karena alasan kolusi dan nepotisme. Birokrasi yang memberikan reward merit system (memberikan
penghargaan dan imbalan gaji sesuai pencapaian prestasi) bukan spoil system (hubungan kerja yang kolutif, diskriminatif dan kurang mendidik, pola reward dan punishment kurang berjalan). f. Birokrasi yang bersikap netral, tidak diskriminatif, tidak memanfaatkan fasilitas negara untuk kepentingan partai politik tertentu. DAFTAR PUSTAKA Blau, Peter M. & Marshall W. Meyer (2000). “Birokrasi dalam Masyarakat Modern”, Jakarta: Prestasi Pustakarya. Dwiyanto, Agus. (2006). “Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia”, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press Ferlie, Ewan, et. al. (1997). “The New Public Management in Action”, Oxford: Oxford University Press. Keban, Yeremias T. (2004). “Enam Dimensi Strategis Administrasi Publik: Konsep Teori dan Isu”, Yogyakarta: Gava Media. Mas‘oed, Mohtar. (1994a). “Politik, Birokrasi dan Pembangunan”, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Mas‘oed, Mohtar. (1994b). “Negara, Kapital dan Demokrasi”, Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Mustopadidjaja AR. (1999) “Format Bernegara Menuju Masyarakat Madani”. Makassar. Universitas Hasanuddin & LAN RI.
Pusat Pengkajian dan Penelitian Kepegawaian BKN
Jurnal Kebijakan dan Manajemen PNS
Osborne, David & Ted Gaebler. (1996). “Mewirausahakan Birrokrasi, Reinventing Govern-ment”, Jakarta: PT. Pustaka Binaman Pressindo. __________. & Peter Plastrik. (2000). “Memangkas Birokrasi: Lima Strategi Menuju Pemerintahah Wirausaha”. Jakarta: Penerbit PPM. Rosenbloom, David H. & Robert S. Kravchuk. (2005). “Public Administration, Understanding Management, Politics, and Law in the Public Sector”, New York. McGraw Hill.
Tjokroamidjojo, Bintoro (2002). “Reformasi Nasional Penyelenggaraan Good Gover-nance dan Perwujudan Masyarakat Madani”. Jakarta: Lembaga Administrasi Negara. Utomo,
Warsito. (2006). “Administrasi Publik Baru Indonesia, Perubahan Paradigma dari Administrasi Negara ke Administrasi Publik”, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Wibawa, Samodra. (2005). “Peluang Penerapan New Public Management untuk Kabupaten di Indonesia”, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Pusat Pengkajian dan Penelitian Kepegawaian BKN
Jurnal Kebijakan dan Manajemen PNS
NETRALITAS PEGAWAI NEGERI SIPIL: TINJAUAN TEORI DAN PRAKTIK DI INDONESIA Oleh: Aswin Eka Adhi dan Herman Abstract Basing on theoretical perspective, civil service neutrality which is part of bureaucratic neutrality has three theoretical basis: (1) Hegel‟s neutrality, (2) ) Max‟s neutrality, and (3) ) Weber‟s neutrality. Hegel and Weber with their own argumentation agree that bureaucracy should be neutral, while Max argue thar bureaucracy should not be neutral. This theoretical controversion has impact on the interpretation of policy implementation in many countries, including Indonesia. A. PENDAHULUAN Netralitas birokrasi adalah fenomena lama yang senantiasa aktual, terutama menjelang, saat, dan pasca pemilihan umum, baik pemilihan Legislatif, Presiden dan Wakil, maupun Kepala Daerah. Netralitas birokrasi pada hakikatnya adalah suatu sistem dimana birokrasi tidak akan berubah dalam memberikan pelayanan kepada pimpinan/masternya (dari partai politik yang memerintah), biarpun masternya berganti dengan master (parpol) yang lain (Thoha, 2005). Pelayanan yang diselenggarakan oleh aparat birokrasi didasarkan pada profesionalisme bukan karena kepentingan politik. Netralitas juga dimaknai bahwa pemerintahan hendaknya tidak memihak pada kepentingan golongan, tetapi bertindak atas dasar sikap profesionalisme dengan kemampuan individu yang kredibel dan tingkat kapabilitas yang tinggi (Majalah Netral No. 02, Februari 2000: 18). Netralitas birokrasi muncul sejak pemilu pertama tahun 1955 dimana partai politik pemenang pemilu silih berganti memimpin dan mengendalikan pemerintahan yang parlementer sehingga netralitas birokrasi pemerintah mulai terngganggu atau tidak bebas dari pengaruh parpol. Pengaruh parpol berlanjut pada saat sistem pemerintahan berganti menjadi sistem
presidensial (sejak kembali ke UUD 1945), orde baru yang masih menganut sistem presidensial, hingga era reformasi yang menganut sistem setengah presidensial akibat amandemen UUD 1945. Dan hingga saat ini netralitas birokrasi pemerintah dari pengaruh dan kekuatan parpol belum pernah terwujud. (Thoha, 2005). SOLUSI ALTERNATIF Dari tinjauan teori diketahui bahwa pada hulu permasalahan netralitas yaitu teori yang menjadi pijakan, terdapat dua pendapat yang berbeda dengan argumentasi masing-masing. Hal ini menyebabkan dua aliran pendapat yang sulit untuk dipertemukan, sehingga harus dilakukan pemilahan dan pemilihan. Pemilahan yang dimaksud adalah pemilahan konteks sistem negara yang digunakan sebagai asumsi pada setiap teori yang dikemukakan. Sedangkan pemilihan dilakukan jika asumsi yang digunakan sebagai argumentasi suatu teori sama atau memiliki kesamaan dengan sistem negara kita. Asumsi dari teori Hegel dan Weber cenderung memiliki banyak kesamaan dengan sistem negara demokrasi yang tengah ditempuh oleh bangsa Indonesia dibanding asumsi negara yang digunakan
Pusat Pengkajian dan Penelitian Kepegawaian BKN
Jurnal Kebijakan dan Manajemen PNS
oleh Marx yang cenderung sosialis atau komunis. Berdasarkan pemilahan itu maka sebaiknya digunakan netralitas yang diusulkan oleh Hegel maupun Weber. Netralitas seperti apa yang relative cocok dengan negara Indonesia dari kedua teori keduanya? Berdasarkan penjelasan sebelumnya, maka netralitas birokrasi untuk negara ini meliputi sembilan jenis, yaitu: 1. Netralitas anggota DPR RI/DPRD, anggota DPD, dan anggota MPR RI terhadap tugas eksekutif dan yudikatif dalam peme-rintahan. Netral yang dimaksud adalah tidak memaksakan kehendak berupa kepentingan parpol dan kelompok. 2. Netralitas hakim dan jaksa terhadap tugas eksekutif, legislatif dan yudikatif dalam pemerintahan. Netral yang dimaksud adalah tidak membawa kepentingan parpol dan hanya bertindak atas dasar sikap profesionalisme. 3. Netralitas anggota TNI dan POLRI terhadap tugas eksekutif dan yudikatif dalam pemerintahan. Netral yang dimaksud adalah tidak membawa kepentingan parpol dan hanya bertindak atas dasar sikap profesionalisme. 4. Netralitas Presiden, Wakil Presiden, dan para Menteri terhadap tugas eksekutif dalam pemerintahan. Netral yang dimaksud adalah tidak membawa kepentingan parpol dan hanya bertindak atas dasar sikap profesionalisme. 5. Netralitas Gubernur terhadap tugas eksekutif dalam pemerintahan. Netral yang dimaksud adalah tidak membawa kepentingan parpol dan hanya bertindak atas dasar sikap profesionalisme. 6. Netralitas Bupati/Walikota terhadap tugas eksekutif dalam pemerintahan. Netral yang dimaksud adalah tidak membawa kepen-tingan parpol dan hanya bertindak atas dasar sikap profesionalisme.
7. Netralitas PNS terhadap tugas eksekutif dalam pemerintahan. Netral yang dimaksud adalah tidak membawa kepentingan parpol dan hanya bertindak atas dasar sikap profesionalisme . 8. Netralitas pegawai dan anggota komisi terhadap tugas eksekutif dalam pemerintahan. Netral yang dimaksud adalah tidak membawa kepentingan parpol dan hanya bertindak atas dasar sikap profesionalisme . 9. Netralitas pegawai lainnya yang menerima gaji tetap/rutin dari negara lewat APBN/APBD terhadap tugas eksekutif dalam pemerintahan. Netral yang dimaksud adalah tidak membawa kepentingan parpol dan hanya bertindak atas dasar sikap profesionalisme . Dari sembilan jenis netralitas birokrasi tersebut, pemerintah dan dewan tinggal menyusun peraturan perundangan agar kesemuanya dapat diimplementasikan secara optimal. Dan sebagaimana diketahui, beberapa jenis peraturan perundangan yang dibuat telah mengakomodasi beberapa jenis netralitas, seperti netralitas TNI/POLRI dan PNS (meski perlu ada penyempurnaan). Sedangkan untuk yang lain perlu secepatnya dirumuskan agar netralitas birokrasi di negara yang tengah mengembangkan demokratisasi ini dapat terwujud. DAFTAR PUSTAKA Chandler, Ralph C. and Jack C.Plano (1988). The Public Administration Dictionary, 2nd edition, Clio Press Ltd. 55 St.Thomas‟Street, Oxford, OX1 1JG, England. Dwiyanto, Agus, Dkk (2002). Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia, Pusat Studi Kepen-dudukan dan Kebijakan UGM, Yogyakarta.
Pusat Pengkajian dan Penelitian Kepegawaian BKN
Jurnal Kebijakan dan Manajemen PNS
Djiwandono, J Soedjati dan Legowo, TA (1996). Revitasisasi Sistem Politik Indonesia, CSIS, Jakarta. Effendi, Sofian (1987). Debirokratisasi dan Deregulasi: Meningkatkan Kemampuan Administrasi Untuk Melaksanakan Pembangunan, Makalah Seminar DAAD UGM Yk. Keban, Yeremias T (2007). Pembangunan Birokrasi di Indonesia: Agenda Kenegaraan yang Terabaikan, Pidato Pengukuhan Guru Besar Fisipol UGM Yogyakarta. Mustopadidjaya AR (2001). Refor-masi Birokrasi, Perwujudan Good Governance, dan Pembangunan Masyarakat Madani. Makalah Seminar Pada Silaknas ICMI 20001. Mas’oed, Mohtar (1994). Politik, Birokrasi, dan Pembangunan. Penerbit Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Osborne, David dan Plastrik, Peter (2000). Memangkas Birokrasi: Lima Strategi Menuju Pemerintahan Wirausaha, Penerbit PPM, Jakarta.
Santoso, Priyo Budi (1995). Birokrasi Pemerintahan Orde Baru: Perspektif Kultural dan Struktural, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta. Thoha, Miftah (1991). Perpektif Perilaku Birokrasi: Dimensi-Dimensi Prima Ilmu Administrasi Negara Jilid II, Penerbit CV Rajawali, Jakarta. Thoha, Miftah (1992). Beberapa Aspek Kebijakan Birokrasi, Penerbit Widya Mandala, Yogyakarta. Thoha, Miftah (2005). Birokrasi dan Politik di Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta. Thoha, Miftah (2008). Birokrasi Pemerintah Indonesia di Era Reformasi, Kencana Prenada Media Group, Jakarta. Majalah Netral No.2-Tahun I Februari 2000. Kedaulatan Rakyat, 1 November 2008. http://lutfiwahyudi wordpress.com/2007/03/16/netralbirokrasi (di download pada 1 Maret 2009). www.wikipedia.com (di download pada 1 Maret 2009).
Pusat Pengkajian dan Penelitian Kepegawaian BKN
Jurnal Kebijakan dan Manajemen PNS
Call for Papers: “CIVIL SERVICE” Jurnal Kebijakan dan Manajemen PNS Redaksi “Civil Service”, Jurnal Kebijakan dan Manajemen PNS yang dikelola oleh Pusat Pengkajian dan Penelitian Kepegawaian, Badan Kepegawaian Negara mengundang para akademisi dan praktisi serta para pengelola kepegawaian untuk mempublikasikan tulisan/artikel maupun hasil riset terkait/relevan pada Volume IV Nomor 1 dan 2 Tahun 2010. Tema yang diangkat pada Volume IV Nomor 1 Tahun 2010 adalah “Reformasi Kepegawaian” dan tema pada Volume IV Nomor 2 Tahun 2010 adalah “Profesionalisme PNS”. Urgensi penetapan tema ini didasarkan pada kondisi objektif prioritas kebijakan pemerintah untuk melakukan reformasi birokrasi secara sistematis, komprehensif, dan berkesinambungan, khususnya dalam bidang kepegawaian. Naskah yang diterima dewan redaksi akan di-review oleh Redaksi Ahli. Naskah untuk Volume IV Nomor 1 Tahun 2010 diterima oleh Dewan Redaksi paling lambat Tanggal 30 April 2010 dan naskah untuk Volume IV Nomor 2 Tahun 2010 diterima oleh Dewan Redaksi paling lambat Tanggal 30 September 2010. Naskah dapat dikirim via email:
[email protected]. Syarat penulisan artikel sesuai dengan format “Civil Service” yang dapat dilihat di www.bkn.go.id). Artikel maksimal terdiri dari 15 – 30 halaman dan diketik dengan spasi tunggal. Abstraksi maksimal terdiri dari 250 kata dan disertai dengan keywords. Setiap artikel yang dikirimkan disertai dengan nama dan alamat korespondensi penulis. Contact Person: Hj. Siti Djaenab (021-80887011; 08159578984) Janry Haposan U. P. Simanungkalit (081310775217)
Pusat Pengkajian dan Penelitian Kepegawaian BKN