1
Relasi-Kuasa dalam Dangdut (Studi Kasus Dangdut untuk Media Kampanye Politik) Oleh Aris Setyawan Korespondensi:
[email protected], twitter: @arissetyawan Mahasiswa jurusan Etnomusikologi ISI Yogyakarta angkatan 2010. NIM 1010373015. Peminat kajian seni dan politik. Abstract Dangdut is one of Indonesian notably-admired and most popular musics. However, since 1970s to current days, dangdut still holds stigma related to lowermiddle class society audiences. This stigma makes dangdut used by politicians or any political party to hold their campaigns along. Dangdut is utilized as mass mobilization tool, gathering people to where politicians will conduct their speeches. This research aims to comprehend how power relation occurs on dangdut usage as political campaign media. The locus will be hold in Yogyakarta, which focus is laid on dangdut group titled Gilas OBB which once asked by one political party to be on stage along with the party campaign. The result of this research concludes that the power-relation occurred in this matter, is, as the matter of fact, suitable with Michel Foucault theory about how the power walks along in two paths which eventually results its own counter. Dangdut’s characteristics of simplicity and easily-understood by its audiences eventually have been seen merely as mass mobilization tool which has nothing to do with initiating ideology to society. This has been proved when power (political party) holds campaign involving society (dangdut spectator) while the people don’t relate party’s ideology with dangdut of which they experience and see it only as sole entertainment. Accordingly, Gilas OBB as the performer didn’t amenably follow the ideology of political party which paid them, and instead, they carry on and declare their neutrality and apathy approach in this matter. Keyword: dangdut, politics, power relation.
2
Abstrak Dangdut adalah salah satu musik yang paling populer dan paling digemari masyarakat Indonesia. Namun semenjak tahun 70-an hingga sekarang dangdut tetap mendapatkan stigma sebagai musiknya rakyat atau musik kalangan menengah kebawah. Stigma yang melekat ini yang menjadikan dangdut kemudian dimanfaatkan oleh politisi maupun partai politik untuk menjadi media kampanye politik. Dangdut digunakan sebagai alat mobilisasi massa, untuk mengumpulkan sebanyak mungkin orang ke sebuah titik lalu para politisi akan menyampaikan orasi politiknya. Penelitian ini bertujuan mencari bagaimana relasi-kuasa yang terjadi dalam penggunaan musik dangdut sebagai media kampanye politik. Locus atau lokasi penelitian berada di Yogyakarta dengan focus sebuah grup dangdut bernama Gilas OBB yang disewa oleh salah satu parpol untuk bermain di kampanye terbuka mereka. Hasil dari penelitian ini menyimpulkan bahwa ternyata relasi-kuasa yang terjadi dalam kasus ini persis seperti yang diungkapkan Michel Foucault bahwa kuasa berjalan dalam dua arah, setiap ada kuasa pasti ada perlawanan. Bahwa musik dangdut sebagai sebuah musik dengan bentuk yang sederhana dan mudah dipahami penikmatnya ternyata hanya sebatas sebuah alat mobilisasi massa dalam kampanye politik, tidak serta merta memengaruhi ideologi masyarakat. Ini terbukti saat kuasa (partai politik) mengadakan kampanye, masyarakat yang hadir dalam kampanye (para penikmat dangdut) tidak serta merta mengikuti ideologi partai dan menganggap musik dangdut yang dihadirkan sebatas sebagai hiburan. Begitu juga dengan Gilas OBB yang tidak serta merta mengikuti ideologi partai yang menyewanya, mereka melawan dengan menyatakan diri sebagai netral dan apatis. Kata kunci: dangdut, politik, relasi kuasa.
3
Pendahuluan Dangdut is the music of my country adalah judul lagu dari sebuah grup musik pop bernama Project Pop yang sempat populer di Indonesia pada dekade tahun 2003. Frasa dalam lagu tersebut seolah menegaskan sebuah pernyataan bahwa di tengah masyarakat Indonesia yang multikultural, dangdut adalah musik asli Indonesia yang dapat menyatukan segala perbedaan tersebut menjadi satu identitas kebangsaan Indonesia yang tunggal. Pada awal 1970-an, musik berbasis India yang dimainkan orkes Melayu--mengkristal menjadi dangdut. Anggapan tentang dangdut sebagai musik "rakyat" muncul di era ini. Dan semenjak itu menjadi tema yang tak pernah pudar.1 Dangdut
kemudian
mendapat
stigma
sebagai
musik
rakyat,
dalam
perkembangannya hal ini menjurus pada cap dangdut sebagai musik asli Indonesia. Cap tersebut muncul dengan pertimbangan sebagian besar penikmat musik dangdut adalah golongan menengah-kebawah yang sering mendapat cap sebagai rakyat. Seperti dikatakan Ariel Heryanto bahwa betapa pun, pemahaman populer tentang rakyat masih bertahan: rakyat sebagai "sosok-sosok lugu yang unggul secara moral, lemah secara ekonomi, tapi berdaulat secara politis, yang sering menderita ketidakadilan yang ditimbulkan oleh kaum kaya dan berkuasa."2 Pernyataan di atas menegaskan bahwa semenjak dilahirkan pada dekade 1970 sebagai musik sintesis dari India, Melayu, dan unsur rock seperti yang 1
Andrew Weintraub. Dangdut: Musik, Identitas, Dan Budaya Indonesia. (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2012), 90. 2
Ariel Heryanto. “The Years of Living Luxoriosly: Identity Politics of Indonesia’s New
Rich”. Dalam M. Pinches, ed. Culture and Privilege In Capitalist Asia. (London: Routledge. 1999), 162.
4
dimainkan Rhoma Irama dan Soneta, dangdut bukan lagi sekadar sebuah musik dan identitas kultural kebangsaan persis yang dikatakan Project Pop. Dalam dangdut terdapat berbagai aspek lain seperti politik dan ekonomi.
Gambar 1; Evie Tamala dalam kampanye PDIP (Foto Andrew Weintraub)
Andrew Weintraub misalnya menemukan bahwa dangdut dapat menjadi media komunikasi politik yang mumpuni untuk memobilisasi massa atau rakyat. Ia mencatat pada dekade 1990-an dangdut sudah mulai digunakan sebagai media kampanye politik oleh partai yang berkuasa saat itu. Dan praktek komunikasi politik menggunakan dangdut tersebut akhirnya bertahan sampai sekarang. Walau sebenarnya beberapa pakar ilmu politik menyatakan bahwa pengaruhnya bukan pada elektabilitas melainkan pada mobilisasi massa di area kampanye.--- itu bisa jadi daya tarik, karena mampu memobilisasi masyarakat akar rumput atau kelas bawah untuk datang.3
3
Gun Gun Heryanto. Masyarakat Lebih Tertarik Dangdut Ketimbang Program Partai. (Detik.com. Diakses 30 januari 2014)
5
Gilas OBB adalah sebuah grup dangdut asal Yogyakarta yang sebagian besar anggotanya adalah anak muda. Adalah Candra (gitar satu), Iyan (gitar dua), Wisnu Penjol (suling), Irawan (bass), Julian (keyboard satu), Umam (drum), Agung (keyboard dua), Gendut (kendang), dan Kingkin (MC). Pada tahun 2009 sekelompok anak muda ini menyukai musik genre dangdut dan akhirnya memutuskan untuk membentuk grup dangdut.
Gambar 2; Gilas OBB. (Foto Moch Khatibul Umam)
Pada mulanya Gilas OBB memainkan musik yang mereka sebut sebagai ‘rockdut’ atau rock dangdut. Yakni perpaduan antara musik rock dengan adanya instrumen konvensional seperti gitar, bass, drum dan keyboard yang memainkan riff-riff ala musik rock. Serta dipadukan dengan unsur musik dangdut berupa hentakan ketipung, tiupan suling, serta vokal dengan cengkok dangdut yang khas. Namun seiring perkembangan semakin ke sini Gilas OBB mengakui bahwa musik mereka semakin berubah condong ke dangdut koplo, varian terbaru dari dangdut yang lebih dulu populer di kawasan Jawa Timur maupun Pantura.
6
Dangdut koplo dengan tempo yang lebih cepat inilah yang sekarang banyak digemari oleh para penikmat dangdut. Meskipun Rhoma Irama sebagai raja dangdut yang dianggap peletak pertama pondasi musik dangdut menganggap koplo bukanlah bagian dari dangdut dan tidak bisa disebut sebagai dangdut karena sudah keluar dari pakem dangdut,4 namun faktanya penggemar dangdut jaman sekarang banyak yang menggemari dangdut koplo. Hal ini memaksa Gilas OBB juga mengubah konsep musiknya dari rockdut menjadi dangdut koplo agar dapat diterima penonton. Tahun 2014 adalah tahun politik karena pada tahun inilah digelar pemilu atau pemilihan umum. Semua partai politik (parpol) dan politisi berlomba-lomba mencari cara untuk menarik simpati rakyat agar mendekat kepada mereka. Kemudian menyumbangkan suaranya pada saat pemilihan sehingga politisi tersebut dapat memegang tampuk kuasa di pemerintahan. Salah satu yang digunakan untuk menarik massa oleh parpol dan politisi dalah musik dangdut. Andrew Weintraub mencatat bahwa sejak tahun 1970-an, para politisi telah menggunakan dangdut, sebentuk ‘musik rakyat’, untuk menggalang massa dalam kampanye. Rhoma irama menduduki posisi istimewa dalam kampanye-kampanye politik karena ia sejak lama diidentikkan dengan ‘rakyat’. Rhoma sudah lama terjun di kancah politik nasional, mula-mula sebagai kader Partai Persatuan pembangunan (PPP), kemudian banting setir menjadi anggota partai Golongan Karya (Golkar).5
4
http://okezone.com/read/2012/03/05/386/587017/rhoma-irama-koplo-bukan-musikdangdut (diakses 16 mei 2014) 5 Weintraub, 2012, 3.
7
Penelitian ini berusaha mencari relasi-kuasa atau power-relations seperti apa yang berkelindan di balik penggunaan musik dangdut sebagai media kampanye politik ini? Berkacamata pada kacamata etnomusikologi yang mengkaji aspek budaya dalam musik, serta dengan paradigma post-strukturalisme Michel Foucault.
Pembahasan Gilas OBB dan Panggung Politik Gilas OBB sebagai sebuah grup dangdut yang cukup diperhitungkan di Yogyakarta akhirnya juga ikut bermain di kampanye politik. Adalah Partai Demokrasi Perjuangan (PDIP) yang mengundang Gilas OBB untuk bermain di kampanye terbuka partai berlambang banteng bermoncong putih tersebut. Kampanye terbuka untuk putaran pemilu legislatif tersebut digelar di lapangan Denggung Sleman pada tanggal 25 maret 2014. Gilas OBB dibayar sekitar lima belas juta untuk sekali manggung, menghibur massa yang datang dalam kampanye terbuka tersebut.
8
Gambar 3; Gilas OBB di kampanye PDIP (Foto Slamet Riyadi)
Namun selain bermain untuk kampanye pileg tersebut, sebelumnya Gilas OBB juga sering diundang untuk bermain di kampanye Pilkada atau para caleg tingkat kabupaten. Sudah sejak 2010 PDIP cabang Sleman mengundang Gilas OBB untuk bermain di kampanye (Pilkada) maupun event internal partai. Akan tetapi agak berbeda dalam penampilan dimana untuk panggung besar seperti kampanye PDIP tersebut mereka bermain dalam bentuk full band atau personil lengkap. Sementara untuk kampanye tingkat kabupaten lebih seringnya mereka tampil dalam format mini (electone) dengan personil yang lebih sedikit. Biasanya pertimbangannya adalah harga sewa yang lebih murah maka Gilas OBB hanya menampilkan electone yang lebih efisien secara harga. Berbeda dengan full set band.
9
Memahami Relasi-Kuasa Sebelum kita dapat mencari relasi-kuasa seperti apa yang berkelindan dibalik penggunaan musik dangdut sebagai media kampanye politik ini, ada baiknya kita memahami terlebih dahulu apa itu relasi-kuasa atau power-relations. Konsep ini dikenalkan oleh filsuf dan ilmuwan Perancis Michel Foucault sebagai sebuah kritik pada konsep kuasa yang sebelumnya banyak digunakan oleh para pemikir Marxist. Sebelumnya banyak pemikir Marxist seperti Louis Althusser beranggapan bahwa kuasa itu selalu berjalan satu arah dari atas menuju bawah, dari yang berkuasa menuju yang dikuasai. Implementasinya dalam kehidupan politik dalam masyarakat maka pemerintah adalah penguasa dan rakyat atau masyarakat adalah obyek atau boneka yang dikuasai dan bisa digerakkan sesukahati.6 Untuk lebih mudah memahami kuasa dalam kacamata Althusser dapat diperhatikan pada gambar berikut ini:
Gambar 4; Kuasa menurut Louis Althusser.
Pada gambar tersebut dapat dilihat terjadi sebuah proses represi satu arah. Ada dua kotak berisi kuasa pada posisi atas yang menekan sebuah lingkaran berisi pihak lemah di bagian bawah. Proses represi ini terjadi satu arah, pihak kuasa baik
6
Cf. L. Althusser. Essays on Ideology, (London, Verso. 1984)
10
berjumlah satu maupun banyak selalu berada di atas dan menekan pihak lemah yang berada di bawah. Pihak kuasa adalah subjek yang aktif dan mampu melakukan apapun sesuai keinginannya, sementara pihak yang lemah adalah objek yang pasif dan tidak bisa melakukan apapun sesuai keinginannya. Pihak lemah sebagai objek yang pasif harus menurut pada apapun kehendak pihak kuasa yang aktif. Sementara Foucault menolak konsep kuasa seperti itu. Alih-alih Foucault menjabarkan bahwa a) Kuasa adalah sebuah sistem, jaringan relasional yang meliputi seluruh lapisan masyarakat, bukan sekadar relasi antara 'yang berkuasa' dan yang ,dikuasai'; b) individu bukan hanya sekadar objek dari kuasa, tapi mereka adalah locus (lokasi) dimana kuasa dan perlawanan digunakan.7 Untuk lebih mudah memahami kuasa dalam kacamata Foucault dapat diperhatikan pada gambar berikut ini:
Gambar 5; Kuasa menurut Foucault.
Pada gambar tersebut dapat dilihat bahwa sebuah kotak berisi kuasa berada di atas. Sementara dua kotak berisi pihak lemah berada di bawah. Kondisinya kurang lebih sama dengan yang dipaparkan Althusser bahwa pihak 7
Sara Mills. Michel Foucault (London, Routledge, 2003), 35.
11
kuasa menekan atau merepresi pihak lemah. Namun bedanya adalah adanya keyakinan Foucault bahwa pihak lemah sebagai sebuah individu bukan sekadar objek yang pasif. Individu adalah sebuah subjek aktif organik, dalam artian subjek ini berhubungan dengan subjek yang lain dan berorganisasi. Dapat dilihat dalam gambar bahwa satu pihak lemah ternyata berhubungan dengan pihak lemah lainnya. Jadi saat pihak kuasa merepresi mereka, maka pihak lemah ini berhubungan dengan pihak lemah lain lalu memunculkan perlawanan kepada pihak kuasa. Ini dapat dilihat dalam gambar bahwa ada panah yang kembali menuju atas, panah dari pihak lemah kembali menuju pihak kuasa. Ini adalah panah perlawanan. Setelah memahami apa itu relasi-kuasa baru kita dapat membaca relasikuasa seperti apa yang terjadi dalam fenomena dangdut sebagai media kampanye politik. Barangkali dalam kehidupan politik di Indonesia selama ini kita lebih mengamini konsep kuasa yang pertama, bahwa pemerintah (kuasa) selalu menjadikan rakyat sebagai objek atau boneka yang selalu bisa disetir dengan berbagai kebijakan. Dengan keyakinan pada konsep itu kita bisa saja yakin bahwa dangdut adalah sebuah media yang digunakan oleh pemerintah untuk menyetir rakyat agar mengikuti agenda politiknya. Mungkin ini bisa terjadi pada era tahun 1970-an, saat dangdut mulai digunakan untuk kampanye politik. Saat dimana Rhoma Irama menjadi juru kampanye untuk Golkar dan berhasil menyeret opini masyarakat agar mengikuti agenda politik Golkar.8 Hasilnya, Golkar menjadi partai berkuasa selama tiga puluh dua tahun. Naif memang jika menganggap
8
Weintraub, 2012, 3-4.
12
Rhoma Irama dan dangdut yang membuat Golkar berkuasa, namun andilnya dalam menggiring masyarakat agar mengikuti agenda partai tak dapat dipungkiri cukup besar. Namun seperti diyakini Foucault bahwa sejarah tidak berjalan linear, bahwa perubahan zaman akan mengubah kondisi sosial suatu masyarakat. Maka kondisi tahun 70-an tentu berbeda dengan tahun 2000-an ke atas. Dengan menggunakan analisa relasi-kuasa Foucault dapat dibaca bahwa dangdut tak selamanya benar-benar dapat menggiring opini masyarakat untuk secara konsensus menyepakati kekuatan politik tertentu. Masyarakat bukanlah objek yang dapat disetir oleh kuasa (dengan musik dangdut) agar mengikuti setiap agenda mereka. Masyarakat adalah subjek, sebuah individu yang mandiri dan dapat berpikir mana yang baik dan mana yang buruk. 9 Dengan konsep relasi-kuasa ala Foucault kita dapat mengamati bahwa dalam hubungan antara Gilas OBB dan partai politik yang menyewanya. Ada relasi yang begitu kompleks dan lebih dari sekedar hubungan antara ‘yang berkuasa’ dan ‘yang dikuasai’. Hal ini terbukti dengan kondisi saat Gilas OBB bermain untuk kampanye PDIP pada bulan maret 2014, sekalipun dua puluh lima ribu orang yang datang ke kampanye terbuka itu begitu banyak dan begitu riang berjoget dan bernyanyi saat Gilas OBB membawakan lagu-lagu dangdut, namun belum tentu mereka yang datang benar-benar memilih PDIP saat tiba waktu pemilihan suara. Dangdut sekadar menjadi penarik massa agar mereka bisa datang ke tempat itu karena ada hiburannya. Yang penting adalah menarik massa dulu, 9
Sergiu Băllan. M. Foucault’s View On Power Relations. Http://cogito.ucdc.ro/nr_2v2/M.%20FOUCAULT'S%20VIEW%20ON%20POWER%20RELATI ONS.pdf (Diakses pada 24 mei 2014)
13
mengumpulkannya ke sebuah titik. Walau kenyataannya setelah hiburan dangdut biasanya orang-orang pada pergi meninggalkan parpol atau politisi yang sedang berorasi. Hal ini diamini pihak PDIP bahwa musik dangdut digunakan sebagai media kampanye karena musik ini memasyarakat. Ini adalah semacam political branding dari partai tersebut, dengan menghadirkan musik yang merakyat pada kampanyenya maka partai tersebut ingin menunjukkan pada konstituen bahwa mereka dekat dengan rakyat. Perlawanan dalam Relasi-Kuasa Dangdut dan Kampanye Politik Masyarakat ternyata sudah lebih mengerti bahwa dangdut adalah sebuah media yang tengah dimanfaatkan kuasa untuk menyetir mereka sebagai masyarakat agar mengikuti agenda politik parpol. Seperti dijelaskan Foucault dalam An Introduction. Vol. 1 of The History of Sexuality bahwa selama ada kuasa, maka akan ada perlawanan.10 Maka massa yang hadir di kampanye parpol dengan asyik bergoyang dan bernyanyi saat ada grup dangdut bermain di panggung, namun saat dangdut selesai dan politisi mulai berorasi, massa biasanya sudah malas mendengarkan orasi politik dan sebagian besar akan pergi meninggalkan lokasi kampanye. Ini bisa dibaca sebagai sebuah bentuk perlawanan pada kuasa. Bahwa dibalik segala janji-janji manis politik ala orasi, masyarakat sudah sulit mempercayainya lagi sehingga mereka melawan dengan meninggalkan lokasi kampanye. Gilas OBB sebagai artist dangdut yang didaulat oleh parpol untuk berkampanye pun rupanya melontarkan perlawanan yang sama. Mereka tidak
10
Băllan, 2014.
14
pernah menganggap diri sebagai bagian dari parpol yang menyewa mereka. Gilas OBB tidak secara ideologis mengamini setiap program parpol yang menyewanya. Bagi Gilas OBB mereka adalah seniman yang ora nggagas politik11 fleksibel dan malas mengikuti tetek bengek program politik. Mereka menganggap pertunjukan mereka di panggung kampanye tersebut hanya sebagai bentuk komersil atau mencari uang. Hubungan mereka dengan PDIP dianggap sebatas hubungan client yang professional tanpa ikatan ideologis. Jadi seandainya ada partai politik lain yang menyewa Gilas OBB untuk bermain di kampanye mereka, undangan bermain tersebut akan tetap diterima selama ada nominal yang layak dan kontrak yang menyatakan bahwa mereka hanya bermain musik, tidak terikat program ideologi partai. Inilah bentuk perlawanan, Gilas OBB melawan dengan menyatakan diri sebagai seniman yang netral, apatis, tidak memihak satupun partai yang menyewanya.
Penutup Jika Rhoma Irama sebagai raja dangdut saja sudah berkampanye dalam panggung politik sejak tahun 70-an, maka sudah dapat ditebak bahwa para artist penerusnya, mereka yang memainkan musik dangdut, juga bakal dimanfaatkan oleh para politisi untuk media kampanye. Gilas OBB sebagai salah satu grup dangdut yang cukup diperhitungkan di Yogyakarta akhirnya juga masuk dalam ranah panggung politik ini. Saat mereka diundang oleh salah satu partai politik besar untuk bermain di kampanye mereka.
11
Tidak peduli politik (Jawa)
15
Yang kemudian menarik adalah sikap politik dari Gilas OBB. Berbeda dengan Rhoma Irama yang dulu berkampanye untuk PPP dan Golkar dengan ideologi yang benar-benar ada. Dalam artian saat Rhoma berkampanye dalam kedua partai itu, maka secara ideologis Rhoma juga mendukung apapun program partai. Dengan lugas Rhoma Irama mendeklarasikan bahwa Rhoma Irama mendukung penuh partai tersebut. Sementara Gilas OBB ternyata berbeda, saat bermain untuk kampanye politik, mereka menanggalkan nama Gilas OBB. Mereka bermain sebagai grup tanpa nama. Penghilangan nama tersebut dapat dibaca sebagai sikap politik mereka. Mereka menganggap diri mereka sekadar sebagai seniman yang diundang untuk bermusik. Jadi Gilas OBB tidak secara ideologis mengikuti program partai yang mengundang mereka bermain di kampanye. Mereka tidak lantas dengan bangga menyatakan Gilas OBB mendukung penuh PDIP. Gilas OBB hanya datang sebagai artist yang diundang untuk bermain. Dan cukup demikian. Maka seandainya ada parpol lain yang mengundang bermain sekalipun Gilas OBB tetap akan melayaninya karena tujuan mereka hanya ingin bermusik sebagai seniman. Mengabaikan sama sekali unsur politis dari panggung kampanye itu. Dengan relasi-kuasa yang telah terbaca seperti di atas, seharusnya politisi dan parpol segera memulai berpolitik gagasan atau ide. Menjual gagasan dan ide tersebut kepada rakyat selama masa kampanye. Tidak lagi menggunakan dangdut sebagai political branding karena kenyataannya rakyat bukan sekadar objek, mereka adalah subjek organik yang bisa berpikir sendiri dan menyadari dangdut hanya sebatas alat mobilisasi massa. Dangdut harus mendapat sebuah tempat
16
terhormat sebagai bentuk kesenian bangsa, sama seperti saat gamelan atau musik Indonesia lainnya mendapat tempat sebagai kesenian bangsa yang adiluhung.
DAFTAR PUSTAKA Buku Althusser, Louis. 1984. Essays on Ideology,. London, Verso. Heryanto, Ariel. 1999. The Years of Living Luxoriosly: Identity Politics of Indonesia’s New Rich. Dalam M. Pinches, ed. Culture and Privilege In Capitalist Asia. London: Routledge. Mills, Sara. 2003 Michel Foucault. London, Routledge. Weintraub, Andrew. 2012. Dangdut: Musik, Identitas, dan Budaya Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Internet Băllan, Sergiu. M. Foucault’s View On Power Relations. Http://cogito.ucdc.ro/nr_2v2/M.%20FOUCAULT'S%20VIEW%20ON%20POW ER%20RELATIONS.pdf (Diakses pada 24 mei 2014) Heryanto, Gun Gun. Masyarakat Lebih Tertarik Dangdut Ketimbang Program Partai. (Detik.com. Diakses 30 januari 2014) http://okezone.com/read/2012/03/05/386/587017/rhoma-irama-koplo-bukanmusik-dangdut (diakses 16 mei 2014)