Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011
REKAYASA TEKNOLOGI INSTALASI BIOGAS SIAP PAKAI DAN PEMANFAATANNYA PADA USAHA PENGGEMUKAN TERNAK SAPI (Engineering Technology of Ready for Use Biogas Installation and its Utilization in Fattening Cattle) MURYANTO1, A. HERMAWAN1, M. WIDAGDO2 dan MUNTOHA1 1
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tengah, Bukit Tegalepek, Sidomulyo, Ungaran 50501 2 CV Prima Utama, Semarang
ABSTRACT Engineering have been carried out in installation of ready to use biogas pruducing unit (BPU) and its implementation in fattening cattle farming. This activity consists of four stages: (1) Studying the formation process of installation of BPU and formation of gasbio; (2) Engineering the installation of BPU (inlet, digester and outlet); (3) Arranging biogas installation ready-made design and (4) Testing the installation of BPU and its feasibility. The study was conducted for 2 years in 2007 to 2008. Location of activity in Magelang regency, Pemalang and Sragen, and engineering performed in the District Temanggung. Data and information collected includes biogas production and processing and its utilization in fattening cattle farming. Data were analyzed descriptively and equipped with a feasibility analysis. It was concluded that the installation of BPU that initially used fairly complex contruction could be engineered to be more practical, initially it needed 12 days/units was shortened to 3 hours/units, ranging from the inlet, digester and outlet installation assembled into one unit ready to install. The key ingredient was polyethylene plastic (PE), in addition to easy installation, it can be mass produced. From the test results using raw cow dung indicated that the gas produced can be used to cook with the burners for 3 hours or equivalent + 2.25 liters of kerosene. Organic fertilizer producted was 9.6 kg/day of soild fertilizer and 150.4 kg/day of liquid fertilizer. Result of financial analysis from the introduction of BPU reach at 4 heads fattening cattle farming of 6 months, showed that the price of installation of BPU can break even on the fattening farming. Key Words: Biogas, Engineering, Fattening Cattle ABSTRAK Telah dilakukan kegiatan rekayasa teknologi instalasi biogas siap pakai dan pemanfataatannya pada usaha penggemukan sapi. Kegiatan ini terdiri dari empat tahap yaitu: (1) Mempelajari instalasi biogas dan proses terbentuknya gas bio; (2) Merekayasa instalasi biogas (inlet, digester dan outlet); (3) Merangkai design instalasi biogas siap pakai dan (4) Menguji instalasi biogas dan kelayakannya. Penelitian dilakukan selama 2 tahun mulai tahun 2007 – 2008. Lokasi kegiatan di Kabupaten Magelang, Pemalang dan Sragen, sedang perekayasaan dilakukan di Kabupaten Temanggung. Data dan informasi yang dikumpulkan meliputi produksi gas bio dan prosesnya serta pemanfaatan pada usaha penggemukan ternak sapi. Data dianalisis secara deskriptif dan dilengkapi dengan analisis kelayakan. Dari kajian ini dapat disimpulkan bahwa instalasi biogas yang awalnya menggunakan kontruksi cukup rumit dapat direkayasa menjadi lebih praktis, pembuatan yang awalnya membutuhkan waktu 12 hari/unit dipersingkat menjadi 3 jam/unit, mulai dari inlet, digester dan outlet dirangkai menjadi satu unit instalasi siap pasang, menggunakan bahan utama plastik Polyethylene (PE), disamping itu pemasangannya mudah dan dapat diproduksi secara massal. Dari hasil pengujian menggunakan bahan baku kotoran sapi ditunjukkan bahwa gas yang diproduksi dapat digunakan untuk memasak dengan kompor dua tungku selama 3 jam atau setara ± 2,25 liter minyak tanah. Pupuk organik yang diproduksi 9,6 kg/hari berupa pupuk padat dan 150,4 kg/hari berupa pupuk cair. Hasil analisis finasial dari introduksi biogas pada usaha penggemukan 4 ekor ternak sapi dengan periode penggemukan 6 bulan, menunjukkan bahwa harga instalasi biogas dapat impas pada usaha penggemukan periode ketiga. Kata Kunci: Biogas, Rekayasa, Penggemukan Sapi
320
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011
PENDAHULUAN Di Indonesia, program pengembangan biogas mulai digalakkan pada awal tahun 1970. Pengembangan tersebut bertujuan untuk memanfaatkan limbah dan biomassa lainnya dalam rangka mencari sumber energi lain di luar kayu bakar dan minyak tanah (SURIAWIRIA, 2005). Program tersebut tidak berkembang meluas di masyarakat, hal ini disebabkan karena masyarakat pada waktu itu masih mampu membeli minyak tanah dan gas, adanya kebijakan subsidi dari pemerintah, disamping itu sumber energi lain seperti kayu bakar masih banyak tersedia di lapangan. Pengembangan biogas mulai mendapat perhatian baik dari pemerintah maupun masyarakat setelah dikeluarkannya kebijakan pemerintah dalam mengurangi subsidi bahan bakar minyak (BBM), dengan kenaikan harga BBM sampai 100%, bahkan untuk minyak tanah sampai 125% per 1 Oktober 2005, Pengembangan biogas semakin penting karena minyak tanah menjadi langka dan mahal (Rp. 8000/l). Bahan bakar dapat memicu kerusakan lingkungan (kebun, hutan, atmosfir), sedangkan kelangkaan pupuk dapat menyebabkan menurunnya kesuburan lahan. Oleh karena itu pengembangan biogas merupakan salah satu alternatif pemecahan dalam rangka mencari sumber energi alternatif sekaligus sebagai upaya konservasi. Prinsip pembuatan instalasi biogas adalah menampung limbah organik baik berupa kotoran ternak, limbah tanaman maupun limbah industri pertanian, kemudian memproses limbah tersebut dan mengambil gasnya untuk dimanfaatkan sebagai sumber energi serta menampung sisa hasil pemrosesan yang dapat dipergunakan sebagai pupuk organik. Dengan mengembangkan biogas, akan diperoleh manfaat baik secara langsung maupun tidak langsung. Manfaat langsung yang dapat diperoleh adalah mendapatkan sumber energi alternatif untuk memasak, penerangan, bahan bakar generator dan pupuk organik siap pakai. Untuk dapat membangun satu unit biogas, diperlukan 3 tabung yaitu, tabung penampung bahan baku atau inlet, tabung pemroses/pencerna atau digester dan tabung penampung sisa hasil pemrosesan atau outlet. Dari ketiga tabung tersebut yang paling utama adalah digester, karena tabung ini berfungsi
sebagai tempat terjadinya proses fermentasi bakteri anaerob yang kedap udara. Pembuatan instalasi biogas berdasarkan bahan pembuatnya dapat dibedakan menjadi 3, yaitu instalasi model bata, plastik dan bis beton. Pilihan model instalasi biogas yang akan dibangun dapat disesuai berdasarkan kondisi lokasi, anggaran dan adanya muatan pemberdayaan masyarakat. Instalasi model bata, mempunyai kelebihan, tahan sampai 20 tahun bahkan lebih, namun mempunyai kelemahan yaitu biaya tinggi (Rp. 17 juta/unit/9m3), pembuatannya lama (± 15 hari) dan memerlukan keahlian. Instalasi model plastik mempunyai kelebihan yaitu murah, namun mudah rusak sedangkan instalasi dengan bis beton kelebihannya harga murah, namun pemasangannya sulit. Dengan mempelajari kelebihan dan kelemahan tersebut, maka diperlukan suatu rekayasa instalasi biogas yang mudah dipasang, tahan lama, harga relatif murah dan dapat diproduksi dalam jumlah banyak. MATERI DAN METODE Pengkajian ini merupakan lesson learn dari pengembangan teknologi biogas yang terdiri dari empat tahap yaitu: (1) Mempelajari instalasi biogas dan proses terbentuknya gas bio; (2) Merekayasa instalasi biogas (inlet, digester dan outlet); (3) Merangkai design instalasi biogas siap pakai dan (4) Menguji instalasi biogas dan kelayakannya. Penelitian dilakukan selama 2 tahun mulai tahun 2007 – 2008. Lokasi kegiatan di Kabupaten Magelang, Pemalang dan Sragen, sedang perekayasaan dilakukan di Kabupaten Temanggung. Data dan informasi yang dikumpulkan meliputi referensi instalasi biogas dan proses terbentuknya gas bio, ukuran/dimensi instalasi, produksi gas bio dan prosesnya, produksi slury/pupuk organik serta pemanfaatan pada usaha penggemukan ternak sapi. Data dianalisis secara deskriptif dan dilengkapi dengan analisis kelayakan usaha. HASIL DAN PEMBAHASAN Mempelajari instalasi biogas dan proses terbentuknya gas bio Instalasi biogas terdiri dari 3 tabung yaitu: (1) tabung penampung bahan baku (inlet); (2)
321
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011
tabung pemroses/pencerna (digester) dan (3) tabung penampung sisa hasil pemrosesan (outlet). Bahan pembuat tabung-tabung tersebut dapat berasal dari bata merah, plastik atau drum bekas baik dari seng atau dari plastik. Ketiga tabung tersebut ditempatkan pada posisi tertentu agar proses pembuatan gas bio dapat berjalan dengan baik. Penjelasan dari ketiga tabung tersebut adalah sebagai berikut: Tabung penampung bahan (inlet) Tabung ini berfungsi untuk menampung, mengencerkan dan menyaring kotoran sebelum diproses lebih lanjut kedalam tabung yang kedua atau digester. Penampungan dilakukan untuk mempermudah proses, sedang pengenceran dilakukan karena proses pengambilan gas memerlukan kondisi tertentu. Pengenceran dilakukan dengan menambah air, sehingga perbandingan antara limbah dan air adalah 1 : 1. Penyaringan dilakukan agar limbah tidak tercampur dengan bahan material lain yang dapat mengganggu proses fermentasi. Bahan-bahan yang mengganggu diantaranya sisa pakan yang teksturnya keras dan bentuknya besar, logam berat seperti tembaga, cadmium, kromium, selain itu desinfektan, deterjen dan antibiotik. Tabung pemroses/pencerna (digester) Tabung ini disebut juga digester, merupakan tabung yang paling penting, hal ini disebabkan karena fungsinya sebagai tempat pemrosesan dan pemisahan antara gas yang akan diambil dengan material lain yang harus dikeluarkan dari tabung tersebut, untuk diisi dengan bahan baku yang baru. Proses antara pengisian, pengeluaran gas dan pengeluaran materi yang sudah diambil gasnya harus dapat berlangsung terus-menerus, sehingga gas dapat diproduksi secara kontinyu. Oleh karena pentingnya fungsi dari tabung ini, maka pembuatannya harus rapat/tidak bocor. Tabung penampung sisa hasil pemrosesan (outlet) Tabung ini berfungsi untuk menampung limbah hasil akhir pemrosesan. Apabila bahan baku yang digunakan adalah kotoran sapi, maka hasil akhir pemrosesan adalah pupuk
322
organik. Pupuk ini sudah tidak berbau dan dapat langsung digunakan, namun masih mengandung air. Pupuk organik dalam tabung dapat langsung didistribusikan ke tanaman, atau diproses lebih lanjut atau dikemas untuk dikomersialkan. Dari penjelasan ketiga tabung tersebut, tabung kedua atau digester merupakan tabung yang paling penting. Oleh karena itu, rancangan konstruksinya harus detail, sedang tabung-tabung yang lain pembuatannya dapat dimodifikasi sesuai dengan kondisi setempat. RAHMAN (2005) menjelaskan bahwa secara umum terdapat dua tipe digester, yaitu tipe terapung (floating type) dan tipe kubah tetap (fixed dome type). Tipe terapung terdiri atas tabung pemroses dan di atasnya ditempatkan drum terapung dari besi terbalik yang berfungsi untuk menampung gas yang dihasilkan oleh digester. Sedangkan tipe kubah adalah digester yang dibangun dengan menggali tanah kemudian dibuat bangunan dari bata, pasir, dan semen yang berbentuk seperti rongga yang kedap udara dan berstruktur seperti kubah (bulatan setengah bola). Terdapat dua macam tipe ukuran kecil untuk rumah tangga dengan volume 6 – 10 m3 dan tipe besar 60 – 180 m3. Dari kedua tipe digester tersebut, tipe fixed dome dipilih untuk direkayasa menjadi instalasi biogas siap pakai dan mudah dipasang. Contoh sketsa dari tipe fixed dome dengan kapasitas 9 m3 (Gambar 1) terdiri dari tabung inlet yang terhubung dengan digester dan outlet. Pada bagian atas digester dibuat saluran yang berfungsi untuk mengetahui adanya kebocoran sekaligus dapat dibuka yang dapat digunakan untuk memperbaiki kerusakan pada digester. Pada bagian outlet diberi penutup berbentuk setengah lingkaran yang dapat dimodifikasi bentuk sesuai dengan kondisi lokasi. Mempelajari proses terbentuknya gas bio Mempelajari proses terbentuknya gas bio merupakan hal penting guna melengkapi informasi penggunaan instalasi biogas hasil rekayasa. Gas bio terbentuk melalui proses degradasi limbah baik dari limbah pertanian, kotoran hewan, dan kotoran manusia atau campurannya yang dicampur dengan air dan ditempatkan dalam tempat yang tertutup atau dalam kondisi anaerob/kedap udara (HADI
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011
323
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011
et al., 1982). Keadaan anaerob ini dapat terjadi secara buatan yaitu dengan membuat digester sebagai tempat terjadinya proses degradasi limbah organik (FRY dan MEVIL, 1973). Kondisi anaerob dalam digester inilah yang kemudian berkembang dengan bermacammacam bentuk dan bahan yang digunakan. Gas bio (metan) sebagai produk utama dari instalasi biogas merupakan campuran dari berbagai jenis gas dan gas methan merupakan kandungan yang paling besar. Nilai kalor gas metana murni (100%) adalah 8.900 kkal/m3. Pembuatan gas bio dengan bahan baku kotoran sapi, nilai kalor yang diperoleh antara 4800 – 6700 kkal/m3 yang akan mengahasilkan biogas dengan komposisi: 54 – 70% metana; 27 – 45% karbondioksida; 0,5 – 3,0% nitrogen; 0,1% karbonmonoksida; 0,1% oksigen dan sedikit sekali hidrogen sulfida, amoniak dan nitrogen oksida (KARSINI, 1981; HARAHAP dan GINTING, 1984). Bahan baku limbah organik, berfungsi sebagai sumber unsur karbon dan nitrogen, yang selanjutnya digunakan untuk aktivitas reaksi kimia dan pertumbuhan mikroorganisme melalui tiga tahap reaksi kimia (proses dekomposisi anaerob; NOEGROHO HADI, 1980; SAUBOLLE, 1978; ANONIMUS, 1977), hingga terbentuk gas bio yaitu: (1) Tahap pelarutan bahan-bahan organik, pada tahap ini bahan padat yang mudah larut atau yang sukar larut akan berubah menjadi senyawa organik yang larut; (2) Tahap asidifikasi atau pengasaman, merupakan tahap terbentuknya asam-asam organik dan pertumbuhan atau perkembangan sel bakteri; (3) Tahap metanogenik, merupakan tahap dominasi perkembangan sel mikroorganisme dengan spesies tertentu yang menghasilkan gas metan. Bahan organik yang dimasukkan ke dalam digester kedap udara akan dicerna/diproses oleh bakteri anaerob menghasilkan gas yang kemudian disebut gasbio. Gasbio merupakan gabungan antara gas metan (CH4) dengan CO2 dengan perbandingan 65 : 35. Biogas yang telah terkumpul di dalam digester selanjutnya dialirkan melalui pipa penyalur gas menuju tabung penyimpan gas atau langsung ke lokasi penggunaannya. Agar proses terbentuknya biogas berjalan sesuai yang diharapkan, artinya dapat
324
menghasilkan gas methan, maka diperlukan persyaratan-persyaratan tertentu (ANONYMOUS, 2003; SURIAWIRIA, 2005; KADARWATI, 2003; SAUBOLLE, 1978) diantaranya, C/N rasio antara 20 – 25, kandungan air 93 – 99 %, jasad renik/mikro organisma pembentuk asam antara lain: Pseudomonas, Escherichia, Flavobacterium dan Alcaligenes yang mendegradasi bahan organik menjadi asamasam lemak. Selanjutnya asam-asam lemak didegradasi menjadi biogas yang sebagian besar adalah gas methan oleh bakteri methan antara lain: Methanobacterium, Methanosarcina, dan Methanococcus (SAHIDU dan SIRAJUDDIN, 1983). Persyaratan lain adalah tidak diperlukannya udara sama sekali (anaerob) pada digester, temperatur 5 – 55°C optimumnya 35°C, derajat keasaman (pH) 6,8 sampai 8, pengadukan yang dimaksudkan agar bahan baku menjadi homogen dan tidak adanya bahan penghambat pertumbuhan mikroorganisme antara lain, logam berat seperti tembaga, kadmium, dan kromium, desinfektan, deterjen dan antibiotik. Merekayasa instalasi biogas (inlet, digester dan outlet) Rekayasa inlet Rekayasa pada inlet tidak membutuhkan keahlian yang khusus, karena fungsi dari inlet hanya untuk menampung, mengaduk dan mengenerkan bahan baku. Pada awalnya inlet dibuat dengan bahan baku bata merah dan semen dengan ukuran dimensi yang bervariasi, kemudian direkayasa menggunakan bahan serat fiber, pralon dalam posisi miring dan tegak lurus (Gambar. 2, 3, 4 dan 5). Rekayasa digester Pada awalnya digester dibuat dengan teknik yang sederhana yaitu menggunakan drum tangki air yang dibuat dari bahan plastik polyethiline (PE) kapasitas 1.000 liter. Digester dibuat dengan menyambung 2 drum dan 4 drum. Penyambungan dilakukan dengan lem plastik dan skrup. Kemudian dilakukan modifikasi dengan menggunakan 2 drum
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011
Gambar 2. Inlet dengan bahan bata merah
Gambar 4. Rekayasa inlet dengan bahan paralon (melengkung)
tangki air kapasitas 2.000 liter disambung dengan teknik yang sama (Gambar 6). Semua rekayasa pembuatan digester tersebut dapat bekerja dengan baik dan menghasilkan gas bio yang dapat digunakan untuk memasak dan penerangan. Digester tersebut dimodifikasi memjadi satu digester
Gambar 3. Rekayasa inlet dengan bahan serat fiber
Gambar 5. Rekayasa inlet dengan bahan paralon (tegak lurus)
yang dibuat dari bahan Polyethyline (PE) dengan kapasitas 4,6 m3 (Gambar 7), kemudian digester tersebut dimodifikasi lagi dengan kapasitas 5,3 m3 (Gambar 8). Digester tersebut dibuat dengan menggunakan cetakan dari baja (moulding), sehingga dapat diproduksi dalam jumlah banyak.
325
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011
Gambar 6. Digester 4 drum masing-masing kapasitas 1000 l
Gambar 7. Rekayasa digester kapasitas 4,6 m3
Gambar 8. Rekayasa digester kapasitas 5,3 m3
326
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011
Rekayasa outlet Rekayasa pada outlet sama seperti pada inlet, tidak membutuhkan keahlian yang khusus, karena fungsi dari outlet untuk menampung sisa limbah setelah diproses didalam digester. Pada awalnya outlet dibuat
Gambar 9. Outlet dengan bahan bata merah
dengan bahan baku bata merah dan semen dengan ukuran dimensi yang bervariasi (Gambar 9), kemudian dikembangkan menggunakan bahan serat fiber (Gambar 10) dan terakhir dalam bentuk tabung menggunakan bahan plastik PE (Gambar 11).
Gambar 10. Rekayasa outlet dengan bahan serat fiber
.
Gambar 11. Rekayasa outlet bentuk tabung dengan bahan plastik PE
327
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011
Merangkai design instalasi biogas siap pakai Sebagai upaya agar instalasi biogas dapat siap langsung dipasang, maka masing-masing tabung harus dicetak agar didapatkan ukuran yang sama dan dapat dirangkai menjadi satu unit instalasi biogas. Design ini terus dievaluasi dan dikembangkan menjadi suatu rangkaian
instalasi yang dapat mengahasilkan biogas dengan harga yang terjangkau. Sampai saat ini telah mengalami 2 kali penyempurnaan (redesign) masing-masing pada digester dan outlet. Secara rinci rangkaian instalasi biogas dapat dilihat pada gambar 10, kemudian disempurnakan lagi dengan rangkaian instalasi yang sudah disiapkan terlebih dahulu sehingga siap pakai (Gambar 12 dan 13).
Gambar 12. Maket dan pemasangan instalasi biogas yang dirangkai
Gambar 13. Maket dan pemasangan rangkaian instalasi biogas siap pakai
328
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011
Pengujian instalasi dan kelayakan finansial Pengujian instalasi Cara kerja instalasi biogas diawali dengan pengisian digester sampai penuh + 300 kg kotoran sapi. Kotoran tersebut dicampur air dengan perbandingan 1 : 1. Kemudian dibiarkan sampai terbentuk gas bio. Pada umumnya terbentuknya biogas berkisar 4 – 12 hari, namun pada pengujian ini, gas bio diproduksi 10 hari setelah digester dipenuhi dengan kotoran. Produksi gas dapat diketahui dari alat pengukur tekanan yaitu manometer (Gambar 14) yang dipasang pada saluran gas sebelum masuk ke kompor atau lampu. Selanjutnya, digester diisi dengan kotoran dari 4 ekor sapi setiap hari pada saat membersihkan kandang.
Gambar 14. Manometer (alat pengukur tekanan gas)
Keragaan pengujian instalasi biogas model ini diukur dari jumlah gas bio yang diproduksi dan pemanfaatannya untuk memasak. Disamping gas bio, juga diproduksi pupuk organik siap pakai dalam bentuk adonan (padat) dan cair. Pupuk organik bentuk padat terletak pada tabung outlet bagian bawah, sedang bagian atasnya merupakan pupuk cair. Dari hasil pengujian ditunjukkan bahwa gas yang diproduksi dapat digunakan untuk memasak dengan kompor dua tungku selama 3 jam atau setara ±2,25 liter minyak tanah. Pupuk organik yang diproduksi 9,6 kg/hari berupa pupuk padat dan 150,4 kg/hari pupuk cair. Jumlah pupuk organik yang diproduksi tergantung dari jumlah kotoran yang dimasukkan ke dalam digester, sehingga bila jumlah sapi ditambah atau dikurangi maka produksinya akan menyesuaikan (Tabel 1).
Tabel 1. Keragaan pengujian instalasi biogas Uraian
Keterangan
Jumlah kotoran untuk pengisian awal
2300 kg
Jumlah limbah per hari dari 3 ekor sapi
60 kg
Manometer maksimal
37,5 cm
Produksi gas bio *)
1,08 m3
Pemanfaatan gas untuk kompor 2 tungku
3 jam
Produksi pupuk padat/hari
9,6 kg
Produksi pupuk cair/hari
150,4 kg
*) produksi gas bio berdasarkan perhitungan
Kelayakan finansial Harga satu unit instalasi biogas Rp. 9.500.000 yang diantar sampai ke lokasi untuk wilayah Provinsi Jawa Tengah. Instalasi ini merupakan instalasi biogas siap pakai, sehingga para pengguna dapat dengan mudah memasang. Pemasangan dilakukan dengan memperhatikan kondisi lahan atau posisi kandang, apabila kandang terletak di bagian atas, maka instalasi ini dapat dengan mudah dipasang yang letaknya sejajar dengan saluran kotoran dari kandang, namun bila letak kandang sejajar dengan tanah, maka harus dilakukan penggalian tanah untuk meletakkan instalasi agar saluran kotoran dari kandang letaknya sejajar dengan inlet. Kelayakan ekonomis dari instalasi ini dapat diperhitungkan dengan analisis finasial dari introduksi biogas pada usaha penggemukan ternak sapi. Pada usaha penggemukan sapi, investasi awal yang dibutuhkan sebanyak Rp. 43.140.000 yang digunakan untuk pembelian sapi jantan 4 ekor, biogas 1 unit termasuk pembuatan kandang. Biaya tersebut belum dapat dibayarkan pada usaha penggemukan periode I (6 bulan). Hal ini disebabkan karena pendapatan kotornya Rp. 32.260.000, namun pada periode penggemukan III, IV dan seterusnya biaya yang dikeluarkan sama yaitu Rp. 25.840.000, sehingga mulai periode penggemukan yang III sudah didapatkan keuntungan, dan keuntungan tersebut terus meningkat pada periode-periode berikutnya.
329
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011
330
Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner 2011
KESIMPULAN Dari kajian ini dapat disimpulkan bahwa: 1. Rekayasa instalasi biogas yang dilakukan menjadi lebih praktis, pembuatan yang awalnya 12 hari/unit menjadi 3 jam/unit, sudah dirangkai menjadi satu unit instalasi siap pasang, pemasangannya mudah dan dapat diproduksi secara massal. 2. Hasil pengujian menggunakan kotoran sapi, gas yang diproduksi dapat digunakan untuk memasak dengan kompor dua tungku selama 3 jam atau setara ± 2,25 liter minyak tanah. Pupuk organik padat yang diproduksi 9,6 kg/hari dan 150,4 kg/hari pupuk cair. 3. Hasil analisis finasial menunjukkan bahwa harga instalasi biogas dapat impas pada usaha penggemukan periode penggemukan ketiga. DAFTAR PUSTAKA AMARU, K., M. ABIMAYU, D.Y. SARI dan I. KAMELIA, 2004. Teknologi ”digester” gas bio skala rumah tangga. http://www.pikiran rakyatcybermedia. ANONIMUS. 1977. Digester Gas Bio, Program Badan Urusan Tenaga Kerja Sukarela Indonesia, Departemen Tenaga Kerja, Bandung. ANONIMUS. 2003. Biogas production. the methane digester for biogas. http://habmigern .2003.info /methane-digester.
FRY, C.J. dan R. MEVIL. 1973. Methane Digester for Fuel Gas and Fertilizer, Fakultas Teknik Kimia, Institut Teknologi Sepuluh November, Surabaya. HARAHAP, F. dan S. GINTING. 1984. Pusat Teknologi Pembangunan, Institut Teknologi Bandung, Bandung. JUNUS MUHAMAD. 1987. Teknik Membuat dan Memanfaatakan Unit Gas Bio. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. KADARWATI, S. 2003. Studi pembuatan biogas dari kotoran kuda dan sampah organik skala laboratorium. P3TEK (2)1. April 2003. hlm. 3 – 10. KARSINI. 1981. Biogas dari Limbah. Departemen Perindustrian Balitbang Industri Proyek Balai Pendidikan Industri, Jakarta. NOEGROHO HADI, HS. 1980. Teknologi Gas Bio sebagai Sumber Energi dan Pengembangan Desa, LPL, No. IV tahun XIII, LEMIGAS, Jakarta. RAHMAN, B. 2005. Biogas, sumber energi alternatif http://www. kimianet.lipi.go.id. Kompas (8 Agustus 2005). SAHIDU dan SIRAJUDDIN, 1983. Kotoran Ternak sebagai Sumber Energi. PT Dewaruci Press, Jakarta. SAUBOLLE, S.J. 1978. Fuel Gas from Cowdung, UNICEF, Sahayogi Press, Kathmandu, Nepal.
331